Ceritasilat Novel Online

Stacey Si Gila Cowok 1

Baby Sitter Club 8 Stacey Si Gila Cowok Bagian 1


Bab 1
"MA," kataku. "Menurut Mama, bagaimana kita seharusnya
bersikap kalau bertamu di rumah orang kaya?"
Ibuku berpaling dari surat yang sedang ditulisnya di meja ruang
belajar. "Ada apa, Stace?" ia bertanya.
"Nanti malam kami semua akan pergi ke rumah Watson?eh,
maksudku ke rumah Kristy. Dan aku mau memastikan bahwa aku
tidak melakukan kesalahan."
"Sebelum ini kamu kan sudah pernah berkunjung ke rumah Mr.
Brewer, Sayang," balas ibuku.
"Ya, memang sih, tapi bukan untuk kunjungan seperti ini.
Kristy bilang, semua tetangga barunya orang kaya yang hidup mewah.
Mama masih ingat, kan, bagaimana kami mendandani Louie sehari
sebelum kepindahan keluarga Thomas, supaya dia tidak kalah keren
dengan anjing-anjing di lingkungannya yang baru?"
Ibuku tersenyum. "Kamu tahu sendiri, Kristy kadang-kadang
suka berlebihan. Menurut Mama, sebaiknya kamu pergi saja ke sana
dan bersikap sama seperti waktu kamu berkunjung ke rumah Kristy
yang lama."
"Mama yakin?""Percaya, deh. Jam berapa kamu sudah harus sampai di sana,
Sayang?"
"Kira-kira sejam lagi. Pak Kishi mau mengantar Claudia dan
Mary Anne dan aku, begitu dia pulang dari tempat kerjanya."
"Tapi kamu harus..."
"Aku tahu, Ma. Aku harus berhati-hati dengan apa yang
kumakan."
"Stacey, kamu tidak perlu ketus begitu."
"Tapi Mama kan sudah tahu bahwa aku selalu berhati-hati. Dan
Kristy juga selalu penuh perhatian. Dia selalu menyediakan popcorn
tawar atau buah atau... pokoknya pasti ada yang bisa kumakan, deh.
Lagi pula ini kan cuma pesta kecil. Acaranya juga seusai makan
malam. Dan setelah itu aku langsung pulang."
Para anggota Baby-sitters Club akan berkunjung ke rumah baru
Kristy Thomas, ketua klub kami. Dia dan ibunya dan saudarasaudaranya belum lama ini pindah ke sana, waktu ibunya menikah
dengan Watson Brewer, seorang pria yang sangat ramah dan
kebetulan juga sangat kaya. Di lingkungan tempat tinggal mereka
sekarang, semua rumah mempunyai pekarangan yang cukup luas
untuk membuat kolam renang atau lapangan tenis, dan semua rumah
berjarak cukup jauh dari jalanan. Beberapa malah tersembunyi di balik
tembok atau semak-semak.
Sebelum kepindahannya, Kristy tinggal di sebuah rumah tua
biasa di Bradford Court yang juga tua dan biasa-biasa saja,
bersebelahan dengan sahabat karibnya, Mary Anne Spier?Mary
Anne adalah sekretaris klub kami?dan berseberangan dengan
Claudia Kishi, wakil ketua klub dan sahabat karibku. Kristy-lah yangpertama-tama mendapat ide untuk menjaga anak-anak para tetangga,
dan ternyata usaha kami berjalan baik. Kami berempat, ditambah
Dawn Schafer, yang tinggal tidak jauh, bertemu tiga kali dalam
seminggu selama setengah jam pada sore hari. Tempat pertemuan
rutin adalah di kamar Claudia. (Soalnya dia punya pesawat telepon
pribadi di kamarnya.) Para klien kami menelepon untuk mencari babysitter, dan mereka hampir selalu berhasil mendapatkan seseorang,
sebab mereka bisa menghubungi lima baby-sitter sekaligus.
(Maksudku, lima baby-sitter berkualitas?sombong sedikit boleh,
kan?)
Kami punya buku agenda yang berisi segala macam informasi,
termasuk jadwal kerja masing-masing. Mary Anne yang mencatat
tugas-tugas yang sudah diterima, siapa bisa bertugas kapan, dan halhal semacam itu. Kristy berkeras agar kami juga membuat Buku
Catatan Baby-sitters Club, di mana kami semua harus membuat
rangkuman mengenai setiap tugas yang kami kerjakan. Kemudian
buku itu diedarkan supaya yang lain bisa tahu apa saja yang terjadi.
Buku itu cukup berguna, kok.
Pada musim panas tahun ini, klub kami mulai melebarkan
usaha. Bulan Juli yang lalu, kami menjaga anak seperti biasa dan
mengadakan play group. Acara itu berlangsung di sini, di pekarangan
belakang rumahku. Tiga kali seminggu pada pagi hari, anak-anak para
tetangga datang untuk bermain dan mendengarkan cerita dan
melakukan kegiatan kerajinan tangan. Rasanya sih, kami cukup
sukses.
Tapi bulan Juli telah berlalu. Kini sudah permulaan Agustus.
Dan untuk pertama kali sejak klub kami didirikan hampir setahunyang lalu, pada awal kelas tujuh, kami para baby-sitter akan
berpencar-pencar. Tapi sebelumnya Kristy minta agar kami semua
bisa melakukan acara bersama-sama. Dan dia ingin agar acaranya
diadakan di rumahnya yang baru. Yang lain sih oke-oke saja. Kami
menyukai rumah Watson, walaupun suasana di rumah itu kadangkadang membuat kami agak kikuk.
Aku pergi ke kamarku dan mulai mengamati isi lemari pakaian.
Kenapa tidak dari tadi kulakukan? Aku sadar bahwa aku harus
berhati-hati dalam memilih baju. Aku ingin berpakaian cukup santai
supaya bisa bersenang-senang, tapi cukup canggih agar tampil
mengesankan?sekadar untuk berjaga-jaga kalau ada tetangga kaya
yang mampir. Aku juga ingin pakaianku sejuk, sebab suhu di luar
rasanya seperti 65 derajat Celsius. Enam kali aku berubah pikiran.
Akhirnya kuputuskan untuk memakai blus warna pink yang kubeli
waktu aku terakhir pergi ke New York untuk mengunjungi beberapa
teman. Blus itu penuh dengan gambar burung-burung berwarna hijau
dan kuning. Ukurannya besaaar sekali, jadi aku tak bakal kepanasan.
Aku mengenakannya bersama celana pendek berpotongan baggy, lalu
memasang ikat pinggang lebar berwarna hijau pada pinggangku, dan
menambahkan perhiasan?gelang perak dan sepasang anting-anting
perak berbentuk lonceng yang benar-benar berbunyi kalau digoyanggoyangkan.
Ngomong-ngomong soal anting, sampai sekarang aku masih
berusaha membujuk Mama dan Papa agar mereka mengizinkanku
menindik telinga untuk kedua kalinya. Kalau begitu aku bisa pakai
dua pasang anting-anting sekaligus. Sayang sekali sampai sekarang
aku belum berhasil. Sebenarnya aku dibesarkan di New York?barutahun lalu kami pindah ke sini, ke Stoneybrook, Connecticut? dan
seleraku memang agak nyentrik. Kalau soal memilih baju, kedua
orangtuaku jarang ikut campur, tapi kalau urusannya menyangkut dua
anting-anting di satu telinga?wah, itu soal lain lagi. Mereka bilang
aku akan kelihatan seperti bajak laut, padahal aku sendiri belum
pernah melihat bajak laut dengan lebih dari satu anting-anting. Aku
sampai menjelaskan bahwa takkan ada yang menyangka aku bajak
laut kalau aku menindik telinga sekali lagi, tapi orangtuaku tetap pada
pendirian mereka.
Din! Din!
Aku mendengar suara klakson dan melihat ke luar jendela.
Ternyata mobil Pak Kishi sudah menunggu di depan garasi kami. Pak
Kishi duduk di belakang kemudi; Mimi, nenek Claudia, berada di
sebelahnya; sedangkan Claudia duduk di bangku belakang bersama
Mary Anne.
"Tunggu sebentar!" aku berseru.
Langsung saja aku bergegas menuruni tangga. "Aku pergi ya,
Ma! Dadah!"
"Tunggu, Stacey!" katanya sambil berjalan ke ruang depan.
"Ma, aku sudah dijemput, nih!"
Ibuku menyerahkan sebuah bungkusan kecil padaku. "Bawa
saja ke sana."
"Apa sih isinya?"
"Irisan apel."
"Ma, aku jamin pasti ada yang bisa kumakan di rumah Watson
nanti. Dia punya dapur paling besar yang pernah kulihat. Jadi jangankuatir, deh, pasti ada apel di sana." Aku mengembalikan bungkusan
itu. "Simpan di lemari es saja, ya? Biar besok masih bisa kumakan."
Orangtuaku selalu cemas karena aku mengidap sakit gula,
istilah kedokterannya adalah diabetes. Artinya, aku harus makan gula
dalam jumlah tertentu setiap harinya?tidak terlalu banyak dan tidak
terlalu sedikit. Kalau aku tidak berhati-hati, kadar gula dalam darahku
langsung kacau-balau, dan aku bisa sakit keras. Nah, masalahnya,
orangtuaku selalu kuatir kalau-kalau aku diam-diam suka jajan atau
makan camilan. Oke, aku memang pernah tergoda, tapi aku tidak
pernah melakukannya. Untuk apa sih, aku cari penyakit?
Aku bergegas keluar lewat pintu depan. "Dadah!" aku berseru
pada ibuku.
Ayahku sedang mengurusi kebun bunga. Itulah kegiatan
kesukaannya pada sore hari di musim panas.
"Dadah, Papa!" aku berseru.
"Dadah, Sayang. Hati-hati, ya."
Hati-hati. Memang sudah kuduga bahwa ayahku akan berpesan
begitu. Tapi kemudian aku mengingatkan diriku bahwa orangtuaku
sudah jauh lebih mending sekarang dibandingkan dengan dulu. Kirakira setahun yang lalu, aku hampir tidak boleh pergi ke sekolah.
Aku masuk ke mobil Pak Kishi dan duduk di bangku belakang.
"Halo, semuanya! Halo, Mimi!"
Mimi menoleh dan tersenyum. "Halo, Stacey," ia membalas
pelan-pelan. (Musim panas ini Mimi terkena stroke dan dia belum
pulih benar. Gerakannya masih kaku, dan kemampuan bicaranya juga
belum kembali seperti semula.)Aku tahu bahwa Claudia dan Mary Anne sama tegangnya
dengan aku karena akan berkunjung ke rumah Kristy. Sepanjang
perjalanan kami bertiga tidak bisa duduk tenang. Kami terus
menggeliat-geliut seperti anak anjing. Tapi kami segera terdiam
setelah tiba di lingkungan tempat tinggal Kristy yang baru. Dan waktu
Pak Kishi membelokkan mobilnya ke jalan masuk yang melingkar dan
rumah Watson sudah kelihatan di depan mata, kami benar-benar
terbungkam.
Aku rasa penampilan Kristy-lah yang membawa kami kembali
ke alam nyata. Dia duduk berselonjor di depan pintu rumah Watson
yang anggun sambil makan permen loli dan membaca majalah People.
Dia memakai celana jeans buntung dan T-shirt putih berlubang-lubang
dengan tulisan I ? MY diikuti siluet anjing collie. Kakinya tidak
bersepatu.
Kami langsung merasa lega. Detik itu juga aku sadar bahwa
ibuku benar. Di mana Kristy tinggal tidak jadi soal, pokoknya Kristy
tetap Kristy. Jadi aku tidak perlu bersikap lain dari biasanya.
Dawn muncul tepat pada waktu mobil Pak Kishi menghilang di
ujung jalan keluar.
"Hai!" ia berseru sambil melompat turun dari mobil. "Sampai
nanti, Ma!"
Kami berlima saling pandang.
"Ayo, masuk dong!" Kristy akhirnya mengajak.
Kami masuk ke ruang depan dan menemui ibunya dan Watson
di ruang duduk. Setelah itu kami menyerbu ke lantai atas dan bergegas
menyusuri koridor ke kamar yang dipilih Kristy sebagai kamar
tidurnya. Rumah Watson begitu besar, sehingga Kristy dan ketigasaudara laki-lakinya masing-masing mendapat kamar sendiri waktu
mereka pindah ke sana. Karen dan Andrew?anak-anak Watson dari
perkawinannya yang pertama?juga punya kamar sendiri-sendiri serta
kamar bermain, padahal mereka tidak tinggal bersama Watson.
Mereka tinggal dengan ibu mereka, dan hanya sekali-sekali
berkunjung. Sudah begitu, masih ada beberapa kamar untuk kamar
tidur tamu. Bagaimana aku tidak terbengong-bengong? Coba
bayangkan, waktu kami masih tinggal di New York, kami punya
apartemen yang menurut ukuran sana sudah cukup besar, padahal
kamarnya cuma empat, dan yang satunya hanya pas-pasan untuk satu
tempat tidur.
Di kamar Kristy, kami semua merebahkan diri di kasur barunya
di tempat tidur yang baru juga, sambil mengatur posisi di sekeliling
Louie, anjing collie milik Kristy, yang sudah duluan berbaring.
"Hei, di mana saudara-saudaramu?" aku bertanya.
"David Michael ada di rumah, tapi aku tidak tahu persis di
mana," jawab Kristy. (David Michael berumur tujuh tahun.) "Sam dan
Charlie lagi main ke rumah tetangga dan berenang di sana." (Sam dan
Charlie sudah lebih besar, mereka sudah duduk di high school.)
"Bagaimana kalau malam ini kita makan sandwich?" Kristy
bertanya pada kami. "Tadi sore aku dan ibuku sudah menyiapkan
setumpuk. Ada beberapa yang khusus untukmu, Stace. Isinya ikan
tuna."ebukulawas.blogspot.com
"Sip," kataku. "Makasih."
Aku melirik ke arah Mary Anne Spier. Seperti sudah kukatakan
tadi, Mary Anne bersahabat karib dengan Kristy, sedangkan Claudia
paling dekat denganku. Tapi kadang-kadang hidup memang penuhkejutan. Ternyata Mary Anne dan aku akan menghabiskan dua
minggu berikut bersama-sama. Terus terang aku merasa agak kurang
sreg. Habis, kami berdua begitu berbeda. Mary Anne masih agak
kekanak-kanakan; aku lebih dewasa. Mary Anne tidak tertarik pada
cowok; aku sudah beberapa kali punya cowok selama duduk di kelas
tujuh.
Seakan-akan membaca pikiranku, Claudia berkata, "Kamu
sudah siap menghadapi anak-anak Pike, Stace?"
"Moga-moga saja," jawabku. "Belum pernah aku menghabiskan
dua minggu bersama delapan anak. Tapi untung saja Mary Anne dan
aku bisa saling membantu."
"Kalian berdua memang beruntung," ujar Kristy. "Wah, dua
minggu di pantai."
"Dan selama itu kami harus mengejar-ngejar Claire dan Margo
dan Nicky dan Vanessa dan Byron dan Adam dan Jordan dan
Mallory," aku membalas.
"Kalau aku sih takkan berpikir dua kali untuk berlibur di pantai,
meskipun dalam rangka tugas sebagai 'pembantu ibu'," kata Kristy.
Harus kuakui, aku memang ingin sekali pergi, walaupun
bersama Mary Anne. Keluarga Pike memang salah satu langganan
Baby-sitters Club, dan para anggota klub sudah sering menjaga anakanak itu. Nah, beberapa waktu lalu Bu Pike menelepon dan bertanya
apakah dua orang dari kami bersedia ikut sebagai "pembantu ibu"
selama mereka berlibur di Sea City, New Jersey. Setelah dibicarakan
dalam pertemuan rutin, ternyata hanya Mary Anne dan aku yang bisa
pergi.Inilah yang menyebabkan para anggota Baby-sitters Club
terpaksa berpencar-pencar.
Beberapa hari lagi Mary Anne dan aku sudah berangkat ke Sea
City, sementara Claudia dan keluarganya akan berlibur di daerah
pegunungan yang tenang di New Hampshire. Dawn dan adik lakilakinya akan terbang ke California untuk bertemu dengan ayah
mereka. Sudah tujuh bulan mereka tidak ke sana?sejak orangtua
mereka bercerai dan Bu Schafer memutuskan untuk kembali ke
kampung halamannya di Connecticut.
"Ya ampun, hanya aku yang tetap tinggal di Stoneybrook.
Kalian semua bepergian ke tempat yang asyik-asyik," Kristy
merengek.
"Ini memang agak ironis," Dawn angkat bicara. "Maksudku,
kamu berada di rumah mewah dengan ayah tirimu yang kaya raya..."
"Ya, aku tahu," kata Kristy. Ia kelihatan agak cemberut. "Tapi
ibuku ingin agar segala sesuatu yang menyangkut keluarga kami yang
'baru' bisa berjalan dengan lancar. Karena itu dia minta agar kami
semua tetap di rumah selama liburan musim panas, supaya kami
secepatnya bisa saling menyesuaikan diri."
Pada saat itulah ibu Kristy muncul di pintu. Dia membawa baki
besar berisi limun dan sandwich. Begitu dia pergi, kami langsung
menyambar roti-roti itu seolah-olah belum makan sejak bulan lalu.
Setelah kenyang, kami iseng-iseng mencoba gaya rambut baru, dan
aku meminjam anting-anting jepit milik Kristy untuk melihat
bagaimana penampilanku kalau orangtuaku tiba-tiba mengizinkan aku


Baby Sitter Club 8 Stacey Si Gila Cowok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk menindik telinga lagi."Oh-oh," kata Dawn tiba-tiba, ketika melihat jam tangannya.
"Sudah hampir jam sembilan. Ibuku bilang dia akan menjemputku
antara jam sembilan dan setengah sepuluh."
"Sebentar lagi ayahku juga sudah datang," ujar Claudia.
"Aduh, aku takkan ketemu kalian selama dua minggu!" seru
Kristy.
"Hei," kata Mary Anne, "aku punya ide. Bagaimana kalau kita
bertukar alamat libur masing-masing? Kalau begitu kita bisa saling
menulis kartu pos."
Kristy menemukan beberapa kartu kosong di laci meja tulisnya,
dan kami mencatat alamat libur masing-masing.
"Aku punya ide yang lebih hebat lagi," ujar Kristy. "Stacey dan
Mary Anne, bagaimana kalau kalian setiap hari mengirimkan kartu
pos berisi rangkuman pekerjaan kalian bersama keluarga Pike? Nanti,
kalau kalian sudah kembali, kita pindahkan semuanya ke buku
catatan. Dengan begitu, buku catatan tetap memuat perkembangan
terakhir."
"Mungkin aku juga akan menjaga anak-anak dari klien-klienku
yang dulu kalau aku sampai di California," kata Dawn. "Pokoknya,
nanti kukabari, deh."
Kami terus mengobrol dan sibuk menyusun rencana. Kami
hampir tidak percaya waktu David Michael tiba-tiba memanggil,
"Halo, semuanya! Pak Kishi dan Bu Schafer sudah datang!"
Kami para baby-sitter saling pandang. Kristy mulai menangis.
Lalu Dawn. Lalu Mary Anne. Lalu Claudia dan aku.
"Aku akan kehilangan kalian!" Dawn terisak-isak."Aku akan kehilangan kalian dan bosan setengah mati di sini!"
Kristy menambahkan.
"Aku belum pernah bepergian seorang diri!" Mary Anne
tersedu-sedu.
Kami mulai berpelukan. Kristy membagi-bagikan kertas tisu.
Begitu suasananya agak tenang, Dawn mendesah, "Aduh, dua
minggu," dan kemudian air mata bercucuran lagi dan kami
berangkulan kembali.
Beberapa menit kemudian, Claudia, Mary Anne, dan aku naik
ke bangku belakang mobil Pak Kishi. Kami terisak-isak sepanjang
jalan menuju Bradford Court.
Aku merasa betul-betul sedih... sampai aku masuk ke kamarku
dan menatap bikini yang baru kubeli. Kemudian aku mulai
membayangkan sinar matahari dan laut dan cowok-cowok keren
bercelana renang dan jalan dermaga yang selalu diceritakan oleh anakanak Pike. Semangat yang meluap-luap berhasil mengusir rasa galau
dari hatiku. Pada waktu aku naik ke tempat tidur, aku begitu tidak
sabar untuk sampai ke Sea City, New Jersey, sampai-sampai aku tidak
bisa tidur.Bab 2
TAK ada yang bisa menyamai ingar-bingar yang terjadi pada
saat bel berdering di rumah keluarga Pike. Kalau anak-anak ada di
rumah, semuanya akan berlomba-lomba untuk paling dulu sampai di
pintu.
Keesokan sorenya Mary Anne dan aku berdiri di teras depan
mereka. "Siap-siap, deh," bisikku.
Aku menekan bel.
Tap-tap-tap-tap. Terdengar suara kaki-kaki kecil berlari ke arah
kami.
Dug-d ug-dug-dug. Srek-srek-srek-srek
Gedubrak
Pintu sebelah dalam membuka. Di hadapan kami berdiri Claire,
Margo, Nicky, Vanessa, dan Jordan. Semuanya berwajah merah dan
tersengal-sengal.
"Hai!" pekik Claire. Claire adalah anak bungsu keluarga Pike.
Dia baru saja merayakan ulang tahun kelimanya. Margo berumur
tujuh tahun, Nicky delapan, dan Vanessa sembilan. Jordan sudah
sepuluh tahun, tapi dia bukan anak umur sepuluh tahun biasa?dia
salah satu dari si kembar tiga. Saudara-saudara kembarnya bernama
Byron dan Adam. Anak sulung keluarga Pike adalah Mallory, yangberusia sebelas tahun. Dia anak yang menyenangkan dan biasanya
membantu kami para baby-sitter. Bulan lalu dia bahkan ikut
membantu waktu kami mengadakan play group di rumahku.
Aku membuka pintu kawat nyamuk, dan Claire segera menarik
tanganku. "Ayo, masuk," katanya dengan nada mendesak.
Tak mau kalah, Margo meraih tangan Mary Anne. "Yeah, ayo
masuk."
Vanessa, yang biasanya lebih banyak diam, mulai melompatlompat. "Besok kita berangkat untuk bersantai," ia berseru, "ke Sea
City yang indah di pinggir pantai."
Nicky memutar-mutar bola matanya. "Kenapa sih kamu selalu
berpantun?"
"Karena aku mau jadi penyair," balas Vanessa.
"Nah, barusan kamu tidak berpantun," kata Nicky dengan gaya
menjengkelkan, dan kontan saja Vanessa menjulurkan lidah ke
arahnya.
"Mama!" teriak Nicky. "Mama! Vanessa menjulurkan lidah
padaku!"
Kami masih berdiri di ruang depan yang sempit. Mary Anne
dan aku terdesak ke pintu lemari.
"Ayo, Anak-anak," seru Bu Pike sambil bergegas dari dapur.
"Biarkan Stacey dan Mary Anne masuk dulu, dong!"
Anak-anak Pike langsung mundur.
Bu Pike sengaja mengundang kami pada sore itu untuk
membahas rencana liburan, dan sekaligus untuk menjelaskan hal-hal
apa saja yang bakal menjadi tanggung jawab kami. Ia menggiringkami ke ruang duduk dan menyuruh anak-anaknya bermain di luar.
Kemudian ia mulai berbicara.
"Sebagian besar waktu," ia berkata, "kalian berdua hanya akan
membantu Pak Pike dan saya, sebab tentu saja kami juga akan ada di
sana. Tapi sesekali kami ingin meluangkan waktu untuk pergi berdua
saja, terutama pada sore dan malam hari. Pada waktu itulah kalian
menggantikan posisi kami."
Mary Anne dan aku mengangguk. Aku mulai merasa bahwa
istilah "pembantu ibu" sebenarnya keliru, sebab kami bukan hanya
membantu Bu Pike tetapi juga suaminya. Mungkin lebih tepat kalau
kami disebut "pembantu orangtua".
"Kalian sudah pernah ke Pantai Jersey?" tanya Bu Pike.
"Belum," jawab Mary Anne.
"Pernah, tapi baru satu kali," kataku.
"Oke, ini sedikit informasi mengenai Sea City. Kota itu
merupakan kota berukuran sedang. Banyak yang bisa dilihat dan
dilakukan di sana, dan kalian tidak perlu kuatir mengenai keamanan.
Kalian hanya perlu mengawasi anak-anak. Lalu lintasnya cukup
ramai, dan selain itu masih ada samudera."
Mary Anne dan aku mengangguk.
"Kalian kan sudah tahu bahwa Pak Pike dan saya tidak suka
membuat peraturan macam-macam untuk anak-anak. Kami juga tidak
mau memaksa mereka untuk melakukan hal-hal yang tidak ingin
mereka lakukan. Tapi kami telah membuat satu peraturan pantai yang
harus ditaati oleh semuanya: Tak ada yang boleh main di laut?
biarpun sekadar berjalan-jalan di pinggir pantai?sebelum jam
sembilan pagi atau sesudah jam lima sore. Antara jam sembilansampai jam lima ada petugas penjaga pantai, kecuali kalau kebetulan
hujan. Pada waktu itu kalian boleh berenang sesuka hati, asal tetap di
depan pos penjaga. Bagaimana, sudah cukup jelas?"
"Sudah," ujar kami.
"Saya tidak bermaksud membatasi kebebasan kalian.
Masalahnya, samudera bisa sangat berbahaya. Tapi percayalah, masih
banyak hal lain yang bisa kalian lakukan di Sea City. Ada Trampoline
Land dan golf mini. Ada dermaga dengan taman hiburan. Ada bioskop
dan toko-toko dan begitu banyak tempat makan, sehingga kalian
sudah bisa mencium Sea City sebelum kalian melihatnya."
Aku ketawa cekikikan.
"Tempatnya asyik sekali untuk anak-anak," Bu Pike
menambahkan. "Tahun ini sudah kesembilan kalinya kami pergi ke
sana untuk liburan musim panas. Saya jamin deh, kalian takkan
menyesal."
Kemudian Bu Pike bercerita mengenai rumah yang selalu
mereka sewa, mengenai belanja makanan, pembagian tugas, dan
urusan-urusan seperti itu. Setelah itu aku memberitahunya bahwa aku
harus berdiet, dan aku juga bercerita soal insulin yang harus
kusuntikkan setiap hari. Berbeda dengan anak-anak mereka, Pak dan
Bu Pike tahu bahwa aku mengidap diabetes. Jadi mereka ingin
memastikan bahwa aku merasa nyaman selama liburan, dan bahwa
mereka membawa makanan yang cocok untukku. Mereka memang
penuh perhatian.
Bu Pike harus berusaha keras untuk meyakinkan ayah dan
ibuku agar mereka mengizinkan aku pergi ke Sea City. Inilah pertama
kali aku berpisah lebih dari semalam dengan orangtuaku sejak akuterkena diabetes hampir dua tahun lalu. Papa dan Mama bahkan tidak
mau mempertimbangkan untuk memberi izin sebelum mencari alamat
beberapa dokter di Sea City dan bicara lewat telepon dengan mereka.
Waktu Mary Anne dan aku meninggalkan rumah keluarga Pike
pada sore itu, kami sudah tak sabar menunggu sampai besok. Menurut
rencana kami akan berangkat jam delapan pagi. Karena itu sudah
waktunya untuk pulang dan berkemas-kemas.
"Aku sudah selesai berkemas," Mary Anne berkata padaku.
"Habis, aku sudah tidak tahan lagi. Aku agak ngeri, tapi sekaligus
gembira sekali. Ini pertama kali aku berlibur tanpa ayahku, pertama
kali aku pergi ke pantai?dan pertama kali aku punya bikini! Ayahku
bilang aku boleh pakai bikini asal bagian bawahnya cukup pantas."
Dulunya Pak Spier sangat keras terhadap Mary Anne. Sekarang
pun dia masih agak keras, tapi sudah jauh mendingan. Dia bersikap
begitu karena Bu Spier sudah lama meninggal, sehingga dia
membesarkan Mary Anne seorang diri. Belakangan, setelah Mary
Anne berani mempertahankan pendapatnya sendiri, ayahnya mulai
mau diajak berkompromi.
**********
Begitu sampai di rumah, aku langsung masuk ke kamarku,
meletakkan koper di atas tempat tidur, dan mulai membereskan
pakaian-pakaian yang akan kubawa?bikini tahun lalu, bikini yang
baru, dua gaun berwarna cerah, sepasang sandal, beberapa celana
pendek, beberapa blus, dan pakaian tidur. Kemudian aku mengendapendap ke meja tulisku, menarik laci paling bawah, mengeluarkan
sebuah botol bertulisan SUN-LITE, lalu menyembunyikannya di
bawah pakaianku. Aku telah membulatkan tekad untuk kembalidengan rambut yang lebih terang nanti. Sebenarnya rambutku
sekarang juga sudah pirang, tapi aku kepingin punya rambut pirang
Sun-Lite. Tapi kalau Mama sampai memergokiku dengan botol itu,
tamatlah riwayatku.
Ternyata kusembunyikan botol itu tepat pada waktunya, sebab
tahu-tahu aku sudah mendengar langkah Mama menaiki tangga.
"Sayang?" dia memanggil.
"Aku di kamar," jawabku, "lagi beres-beres."
Mama masuk dan duduk di tepi tempat tidur. Dia
memperhatikanku melemparkan barang-barang ke dalam koper.
"Tidak ada yang kelupaan?" dia bertanya.
"Rasanya semua sudah kubawa. Tadi sore Mary Anne
menanyakan soal pakaian dan sebagainya pada Bu Pike. Menurut Bu
Pike, orang-orang di Sea City biasa berpakaian santai. Baju terusan
biasa sudah cukup kalau kami makan malam di luar."
"Apakah kamu punya kegiatan untuk mengisi waktu luang di
sana?"
"Mengisi waktu luang? Seluruh waktuku bakal tersita oleh
kedelapan anak yang harus kuawasi."
"Mama tahu. Tapi Mama yakin bahwa pasti ada saat kamu tidak
punya kesibukan. Kamu bawa buku bacaan atau alat-alat untuk
menyulam?"
Aku mengangkat kedua-duanya?sebuah buku cerita misteri
karangan Agatha Christie, dan seekor angsa sulaman yang sudah
kukerjakan selama lima tahun, tapi sampai sekarang belum selesai
juga.Mama mengangguk. "Bagaimana dengan prangko? Kamu
punya prangko supaya kamu bisa mengirim kartu pos?" Semakin lama
Mama kelihatan semakin gelisah.
"Aku belum beli prangko. Tapi di Sea City pasti ada kantor
pos."
"Biar Mama ambilkan saja," ibuku tiba-tiba berkata. "Sebentar,
ya!" Dia bergegas ke kamar tidurnya dan aku mendengarnya
membongkar laci meja tulis. Waktu Mama kembali, dia menyerahkan
beberapa prangko padaku.
"Makasih," kataku. Aku menyelipkan semuanya ke dalam
dompet.
Kemudian Mama menanyakan pasta gigi. Tapi aku sudah tahu
apa sebenarnya yang ingin ditanyakannya padaku. Mama ingin tahu
apakah aku cukup bertanggung jawab untuk mengumpulkan segala
sesuatu yang kuperlukan untuk menyuntikkan insulin selama dua
minggu. Akhirnya aku menyerah dan menunjukkan kotak khusus yang
pernah ia belikan untukku.
"Nah, Mama lihat sendiri, kan?" ujarku. "Semuanya ada di
sini."
"Bagaimana dengan..."
"Nomor telepon semua dokter ada di dompetku. Dan Bu Pike
juga sudah mencatat semuanya. Dan dia juga sudah tahu mengenai
dietku. Kami sempat membicarakannya tadi."
"Oh, Stacey," Mama tiba-tiba mendesah. "Mama begitu kuatir.
Mama akan cemas terus selama dua minggu mendatang."
"Sebenarnya Mama tidak perlu kuatir," aku berkata padanya.
"Rumah di Sea City yang disewa keluarga Pike kan dilengkapitelepon. Mama bisa telepon ke sana kalau mau. Dan tentu saja Bu Pike
juga akan menelepon Mama kalau memang terjadi sesuatu?mogamoga sih, tidak," aku cepat-cepat menambahkan. "Tapi jangan telepon
terlalu sering, ya? Jangan sampai anak-anak Pike menganggapku bayi.
Kalau sudah begitu, mereka takkan mau menurut lagi."
Lama sekali Mama menatapku. Akhirnya ia merentangkan
tangan. Aku membungkuk sedikit dan kami berpelukan. Mama
menangis. Aku pun menangis sedikit. Memang sulit sekali untuk
membimbing orangtua kita agar cepat dewasa.
Tapi mau tidak mau kita harus melakukannya.Bab 3KEESOKAN paginya aku menemukan arti sesungguhnya dari
ungkapan kacau-balau.
Pagi-pagi sekali Mary Anne dan aku sudah muncul di rumah
keluarga Pike. Ayahku yang mengantar kami ke sana. Kalau kalian
menganggap ibuku dan aku sudah cengeng kemarin, kalian mestinya
sempat melihat Mary Anne dengan ayahnya. Wah, aku merasa seperti
nonton Air Terjun Niagara. Sebelum ini, baru beberapa kali aku
melihat seorang pria dewasa menangis.
Tapi air mata Mary Anne sudah mengering pada waktu kami
tiba di rumah keluarga Pike. Ayahku menghentikan mobilnya di depan
rumah mereka. Kemudian dia membantu Mary Anne dan aku
mengeluarkan koper.
"Papa langsung pulang lagi, deh," kataku. "Oke? Papa tidak
perlu ikut masuk."
Untung saja ayahku penuh pengertian. Dia cuma memelukku,
melambaikan tangan ke arah Pak Pike, lalu membalik dan kembali ke
rumah.
Pak Pike sedang sibuk mengutak-atik rak barang di atap mobil.
Sebenarnya, dia sibuk menangani dua rak barang. Begitu banyak
orang yang akan ikut ke Sea City, sehingga kami harus menggunakan
kedua mobil station milik keluarga Pike.
Sementara Pak Pike berusaha menaikkan koper-koper ke rak
barang, Bu Pike dan Mallory masih terus menggotong kardus-kardus
dari dalam rumah, lalu menumpuk semuanya di antara kedua mobil.


Baby Sitter Club 8 Stacey Si Gila Cowok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hai, Stacey! Hai, Mary Anne!" seru Margo.Claire berlari keluar dan bergabung dengan kakaknya itu.
Belum pernah aku melihat orang begitu senewen. Sepertinya dia baru
saja minum sepuluh cangkir kopi.
"Hai, hai, Stacey-silly-billy-goo-goo!" Claire memekik. "Hai,
Mary Anne-silly-billy-goo-goo!" Ia ber-lari berkeliling-keliling.
Aku menoleh ke arah Mary Anne dan memutar-mutar mata.
Tingkah Claire betul-betul konyol. Lama-lama kesabaranku bisa habis
menghadapi dia.
Pak Pike akhirnya selesai mengangkat koper-koper. Semuanya
diamankan dengan tali pengikat. Ia berbalik. Tujuh kardus sudah
menunggu di hadapannya. "Astaga, apa saja isi kardus-kardus ini?" ia
ingin tahu.
"Selimut dan seprai," jawab istrinya.
"Mainan," Nicky menambahkan.
Pak Pike mendesah.
Empat puluh lima menit kemudian, segala sesuatu sudah berada
di dalam atau di atas mobil, termasuk orang-orang yang akan
berpergian. Aku duduk di bangku belakang mobil yang dikemudikan
Pak Pike. Di sebelahku ada Nicky. Di antara kami ada sebuah kardus.
Di kaki kami ada termos besar. Claire dan Margo berada paling
belakang. Mallory duduk di depan bersama ayahnya.
"Bagaimana di belakang sana?" aku bertanya pada Claire dan
Margo. "Tempatnya cukup nyaman?"
"Yap," balas Margo. "Semua yang kami perlukan sudah ada di
sini."
"Kelihatannya memang begitu," kataku. "Kalian bawa buku
untuk mewarnai.""Dan krayon," tambah Claire.
"Dan bantal-bantal," ujar Nicky sambil menoleh.
"Ada biskuit," kataku, "dan ember darurat.... Ember darurat?
Untuk apa itu?" Di antara kedua gadis cilik itu ada sebuah ember
plastik berwarna merah yang diisi pasir. Ember itu ditandai dengan
tulisan EMBER DARURAT KELUARGA PIKE.
"Kalau-kalau ada yang mabuk nanti," kata Claire.
"Mestinya kalian minum soda rasa anggur dulu," ujar Nicky
sambil tersenyum jail. "Nanti hasilnya pasti bagus, deh. Ih, muntah
warna ungu."
Claire dan Margo ketawa terpingkal-pingkal.
Aku memejamkan mata, soalnya aku benar-benar tidak tahan
kalau di sekitarku ada orang muntah. Waktu aku membuka mata lagi,
aku menyadari bahwa Pak Pike sedang menatapku lewat kaca spion.
"Jangan kuatir," katanya. "Kami jarang sekali memakainya.
Rasanya selama ini hanya beberapa kali saja terjadi keadaan darurat."
Aku tersenyum lega.
Semua orang sudah duduk di dalam kedua mobil. Pak dan Bu
Pike menurunkan jendela mobil masing-masing untuk saling memberi
petunjuk terakhir. Hal-hal seperti, "Jangan lupa, kita harus lewat
Garden State Parkway, bukan New Jersey Turnpike," dan "Kita
mampir di kios es krim di Howard Johnson's," dan "Usahakan agar
kamu jangan tertinggal, tapi kalau sampai kita terpencar, ingat bahwa
agen rumahnya bernama Ellen Cooke."
Akhirnya kami mulai menggelinding.
"Selamat tinggal, rumah!" seru Nicky.
"Selamat tinggal, rumah-silly-billy-goo-goo!" seru Claire."Selamat tinggal, Stoneybrook. Sea City, kami datang," tambah
Mallory.
"Eh, Daggles-silly-billy-goo-goo," Claire berkata pada ayahnya.
"Coba tebak, deh."
"Ada apa, Manis?" balas Pak Pike, sambil berusaha melewati
perempatan yang ramai.
"Itu, tuh!"
Pak Pike berhasil melewati perempatan dan melihat ujung tali
dari rak bagasi membentur-bentur kaca depan. Ia berhenti di tepi jalan
dan turun untuk mengencangkannya.
"Memangnya kita sudah sampai?" tanya Claire.
"Huh, ini kan masih di jalan kita sendiri, bodoh," ujar Nicky
dengan kesal.
"Jangan panggil dia bodoh," kata Mallory tanpa menoleh ke
belakang.
"Stacey-silly-billy-goo-goo?" tanya Claire.
Aku menunggu sejenak, karena tidak mau terjebak seperti Pak
Pike. "Ada apa?" aku akhirnya bertanya.
"Berapa lama lagi, sih?"
"Beberapa jam," jawabku ketika Pak Pike kembali ke dalam
mobil. "Perjalanannya masih panjang. Kenapa kamu dan Margo tidak
mengambil buku mewarnai kalian? Kalian bisa membuat gambar
untuk hadiah Mama pada waktu kita sampai di pantai."
Kedua gadis cilik itu membuka buku masing-masing dan mulai
memilih-milih krayon. Nicky mengeluarkan seekor monster
mengerikan berwarna hijau dari kantong dan mulai bermain-main
dengannya. Di bangku depan, Mallory sedang membaca buku berjudulTaman Rahasia. Beberapa saat kemudian kami memasuki jalan bebas
hambatan.
Selama setengah jam kami melaju dalam suasana tenang dan
damai?sampai Bu Pike menyusul kami di jalur cepat. Entah kenapa,
kami semua menoleh pada saat mobilnya lewat. Karena itu kami
semua melihat bahwa Jordan sedang menempelkan sepotong kertas
bertulisan MOBIL BUTUT ke jendela. Sambil nyengir lebar, Jordan
menunjuk ke arah kami. Rupanya mobil kamilah yang dimaksudnya
dengan mobil butut.
"Mobil butut!" seru Nicky. Sepertinya ia tersinggung sekali.
"Hei, kalian punya kertas di belakang?" ia bertanya sambil berpaling
pada adik-adiknya.
"Tentu," balas Margo. "Kertas, gunting, krayon..."
"Cepat, aku perlu kertas," kata Nicky. "Dan krayon warna
merah."
Margo menyerahkan keduanya. Nicky meletakkan kertas ke
atas kardus dan mulai menulis.
"Apa sih yang kamu tulis, Nicky-silly-billy-goo-goo?" Claire
bertanya sekitar dua belas kali.
Nicky memamerkan karyanya.
Tulisan pada kertas itu berbunyi SI JAGO MOGOK.
"Biar tahu rasa mereka," Mallory berkomentar.
"Eh, Papa," ujar Nicky sambil menggelantungkan kedua
lengannya melewati sandaran bangku depan. "Papa ngebut sedikit,
dong."
"Untuk apa?" tanya Pak Pike.
"Supaya kita bisa susul Mama.""Sori, Nick-o. Lalu lintasnya terlalu padat. Mungkin nanti,
kalau sudah agak sepi."
"Ya, deh." Nicky kembali duduk. Tampangnya agak cemberut.
Claire dan Margo mulai mewarnai lagi, dan Mallory
meneruskan membaca Taman Rahasia.
Tapi Nicky tetap menatap ke luar jendela sambil berusaha
menemukan mobil ibunya. "Hei, itu mereka!"
Lalu lintas memang padat. Mobil-mobil di jalur Bu Pike tampak
merayap, tapi arus kendaraan di jalur kami tiba-tiba agak lebih lancar.
Ketika kami melewati mobil keluarga Pike yang satu lagi, tiga hal
terjadi secara bersamaan. Dengan senyum kemenangan Nicky
mengangkat kertasnya, dan langsung dipelototi oleh si kembar tiga.
Claire berseru, "Hai, Moozie-silly-billy-goo-goo!" pada ibunya.
Sedangkan Margo meraih ember darurat dan mengeluh, "Aduh,
perutku tidak enak."
"Oh-oh," kataku.
"Sial," ujar Nicky. "Padahal dia belum sempat minum sari
anggur."
Tampang Margo mengibakan sekali. Aku tidak tega
memalingkan wajah, walaupun aku sadar bahwa jika dia muntah, aku
pun terpaksa menggunakan ember darurat. Muka Margo jadi agak
kehijau-hijauan, tapi selain itu tidak terjadi apa-apa.
"Barangkali dia akan lebih enak kalau duduk di depan," Mallory
mengusulkan.
"Hati-hati kalau kalian mau tukar tempat," Pak Pike mewantiwanti."Wah, gawat," seru Nicky. "Terakhir kali mereka tukar tempat
sambil jalan, Margo muntah waktu dia lagi manjat ke depan."
"Moga-moga kali ini tidak," aku bergumam.
Pertukaran tempat antara Margo dan Mallory berjalan dengan
mulus. Mallory tanpa sengaja menendang bahu Pak Pike, tapi sarapan
Margo tetap di dalam perutnya.
"Berapa lama lagi, sih?" Claire ingin tahu.
"Seperempat jam lagi kita akan berhenti untuk beli es krim,"
jawab ayahnya.
Syukurlah. Memang itu yang kami butuhkan. Mary Anne dan
anak-anak Pike (termasuk Margo, yang mengaku kelaparan) langsung
membeli es krim cone. Pak dan Bu Pike pesan kopi. Dan aku berhasil
menemukan permen loli yang terbuat dari sari buah murni?tanpa
tambahan gula. Enak juga kalau kita tidak tersisihkan setiap kali ada
acara makan-makan.
Kami kembali ke dalam mobil dan menempuh sisa perjalanan
ke Sea City. Setelah beberapa saat, tanah mulai lebih berpasir. Pohonpohon semakin pendek. Dan akhirnya Mallory menunjuk sebuah
papan bertulisan SEA CITY, 10 MIL.
"Hei, kita sudah hampir sampai!" ia berseru.
Yang lainnya bersorak-sorai.
Tidak lama kemudian kami sudah keluar dari jalan bebas
hambatan, dan membelok ke jalan lintasan yang melewati daerah
rawa-rawa. Mobil Bu Pike berada persis di belakang kami. Udara
berbau laut.
"Eh, itu papan sapinya!" seru Nicky sambil menunjuk.Aku menengok ke kanan dan melihat papan iklan yang
menampilkan seekor sapi berwarna ungu.
"Dan itu Crabs for Grabs!" kata Mallory waktu kami melewati
sebuah restoran.
"Dan itu si anak pantai," tambah Margo sambil ketawa
cekikikan ketika kami melewati papan iklan lain, yang
memperlihatkan seekor anak anjing menarik baju renang seorang
gadis cilik, sehingga batas kulitnya yang kecoklat-coklatan kelihatan
jelas.
"Ayo tebak, kenapa Pak Pandir lewat di depan lemari obat
sambil berjingkat-jingkat?" pekik Claire. "Karena dia tidak mau
membangunkan pil-pil tidur," dia menjawab sendiri.
"Oke, tenang sedikit, ya?" aku berkata padanya.
Anak-anak Pike terdiam ketika kami memasuki Sea City.
Mereka kelihatan terpesona, dan aku bisa mengerti kenapa. Di manamana ada hal-hal yang mengasyikkan untuk anak-anak: bau hot dog
dan makanan goreng-gorengan dan udara laut; debur ombak dan tawa
anak-anak kecil yang berseru-seru, tertawa riang, dan saling
memanggil; tetapi terutama apa yang bisa dilihat. Kami melewati
Trampoline Land dan lintasan golf mini dan kios-kios cendera mata.
Kami melewati toko-toko dan restoran-restoran dan kios-kios es krim.
Dan di kejauhan terlihat dermaga dengan dermolen dan roller coaster
dan pasti masih banyak jenis hiburan lainnya. Dan di belakang
semuanya itu, Samudera Atlantik tampak berkilauan.Bab 4
PAK PIKE menyusuri sebuah jalan lebar di Sea City, yang
merupakan jalan utama di kota itu. Aku sempat terkejut, karena di
depan banyak toko ada pohon palem. Tapi setelah kuperhatikan,
ternyata semuanya terbuat dari plastik. Mungkin karena Sea City
memang bukan daerah pohon palem. Tapi itu tidak begitu penting,
kok. Pokoknya, setelah beberapa waktu kami membelok ke sebuahjalan kecil, lalu berhenti di depan rumah mungil berwarna pink, yang
dikelilingi oleh kerikil-kerikil putih. Di pekarangannya ada papan
bertulisan ELLEN COOKE, MAKELAR RUMAH. Pak Pike masuk
ke dalamnya. Tidak lama kemudian ia keluar lagi sambil membawa
seikat kunci dan sebuah map berisi selebaran dan juga sebuah bola
pantai yang masih kempis. Kami berangkat lagi.
"Bola itu untuk aku saja," seru Nicky.
"Bukan, untukku!" teriak Margo.
"Bukan, untukku!" Claire menimpali.
Aku merebut bola itu dan mendudukinya. "Dengar baik-baik,"
kataku. "Bola ini untuk semuanya. Kalau kalian saling berebutan, tak
ada yang boleh memilikinya."
"Terima kasih, Stacey," ujar Pak Pike.
"Tapi bagaimana mungkin bola itu jadi milik kita semua?!"
Nicky memprotes.
"Kalau begitu, tidak ada yang boleh memilikinya," kataku.
"Ya, kalau tidak ada yang punya, aku ambil saja," jawab Nicky,
yang tidak kehabisan akal.
Untung saja pada saat itu kami berhenti lagi.
"Nah, sudah sampai, deh!" Pak Pike mengumumkan.
"Pemberhentian terakhir! Ayo, semuanya turun!"
"Yeah! Hore!" Kami berhamburan keluar. Bu Pike parkir di
samping mobil kami, dan si kembar tiga serta Vanessa segera
melompat keluar. Anak-anak Pike melompat-lompat sambil bersoraksorai. Udaranya betul-betul enak. Bukan cuma karena berbau laut.
Ada sesuatu yang tak bisa kujelaskan?pokoknya, kesegarannya
berbeda dengan kesegaran udara pegunungan."Kami kembali untuk bersantai, di rumah indah di pinggir
pantai!" Vanessa bersenandung.
"Hei, pantunmu boleh juga," Byron memuji.
Aku memandang rumah yang disewa keluarga Pike. Kami
berada di bagian belakangnya. Rumah bergaya kuno itu besar dan
dicat kuning dengan pinggiran putih. Aku melirik ke arah Mary Anne
dan langsung menyadari bahwa dia telah terpikat. Aku tahu bahwa
dalam hati dia sedang menulis kartu pos untuk Dawn,
menggambarkan rumah itu serta pemandangan ke arah laut.
"Apakah kalian selalu menyewa rumah yang sama setiap
tahunnya?" aku bertanya pada Mallory pada waktu kami menurunkan
kardus-kardus dari mobil.
"Yap," katanya. "Dan kami beruntung sekali. Lihat saja,
letaknya persis di tepi pantai. Pada malam hari kami kadang-kadang
duduk-duduk di teras depan sambil memandang ke laut. Dan kalau
lagi hujan..."
"Yeah?"
"Kalau lagi hujan, aku suka naik ke kamar di lantai tiga dan
duduk di depan jendela dan menonton petir dan ombak dan
semuanya."
Aku merinding. Kedengarannya romantis sekali.
"Terus," Mallory menambahkan, "pos penjaga pantai berada
tepat di depan rumah kita. Begitu keluar pintu depan, kita bisa
langsung berenang."
Jalan mobil berada di belakang rumah, dan kami membawa
masuk semua barang lewat pintu belakang. Di dalam, Bu Pike sibuk
mengatur lalu lintas."Bagaimana kalau kalian semua pakai kamar yang sama seperti
tahun lalu?" ia mengusulkan. "Anak-anak laki-laki di kamar besar di
ujung selasar. Claire dan Margo di kamar yang bersebelahan dengan
kamar Papa dan Mama. Vanessa dan Mallory, kalian di kamar pink.
Oh, Mal, tolong tunjukkan kamar kuning pada Mary Anne dan Stacey,
ya?"
Mary Anne menatap berkeliling dengan mata lebar. Semua
kamar di lantai pertama besar, terang, dan sejuk. Aku sempat melihat
ruang duduk, teras untuk berjemur, dan dapur, sebelum Mallory
mengajak kami menaiki tangga lebar ke lantai dua.
Di lantai dua ada selasar, beberapa kamar tidur, dan beberapa
kamar mandi. Aku jadi teringat pada rumah Watson. Hanya saja
rumah Watson lebih besar lagi. Mallory membuka sebuah pintu di
ujung selasar.
"Ini kamar kuning," ia mengumumkan. "Kalau kalian kurang


Baby Sitter Club 8 Stacey Si Gila Cowok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suka, di lantai tiga masih ada beberapa kamar lagi. Atau kalian bisa
tukar tempat dengan yang lain."
"Oh, tidak perlu! Ini cocok sekali!" Mary Anne mendesah.
"Benar-benar cocok."
Ruangannya memang menyenangkan, walaupun kurang pas
untuk seleraku. Gayanya kuno, dengan dua tempat tidur kayu yang
tinggi, lantai kayu tanpa karpet, dan kertas pelapis dinding berwarna
kuning. Yang paling menarik bagiku adalah jendela yang langsung
menghadap ke laut, sehingga kami bisa melihat pasir dan matahari dan
pos penjaga pantai.
"Sip!" aku berkata pada Mary Anne setelah Mallory turun lagi.
"Pemandangannya bagus sekali. Ayo, kita bongkar koper dulu. Habisitu kita bantu anak-anak, dan setelah makan siang kita bisa jalanjalan."
Itulah yang kami lakukan. Kami mengosongkan koper masingmasing, memasukkan barang-barang ke dalam lemari kecil yang
berada di antara kedua tempat tidur, dan menggantungkan pakaian di
lemari pakaian. Kemudian kami membantu anak-anak Pike.
Sementara Pak dan Bu Pike masih sibuk membongkar kardus dan
membuka jendela dan membuat daftar belanja, Mary Anne
menyiapkan makan siang berupa sandwich untuk semua di meja
dapur.
Setelah makan siang, aku membuat kesalahan dengan bertanya,
"Jadi, apa yang ingin kalian lakukan sore ini?"
"Pergi ke pantai," kata Mallory.
"Pergi ke pertokoan," kata Jordan.
"Berenang," kata Adam.
"Pergi ke Trampoline Land," kata Nicky.
"Bikin istana pasir," kata Claire.
"Naik dermolen," kata Margo.
"Pergi ke Istana Es Krim," kata Byron, yang suka makan.
"Cari kerang, cari kerang, yang terbawa ombak dari negeri
seberang." (Siapa lagi kalau bukan Vanessa.)
Mary Anne dan aku saling melirik. Mary Anne mengangkat
alis. "Hmm," ia bergumam, "barangkali kita bisa melakukan semua
itu."
"Bagaimana caranya?" anak-anak bertanya.
"Yeah, bagaimana?" aku pun ingin tahu."Kita jadi penjelajah," jawab Mary Anne. "Stacey dan aku kan
belum pernah ke sini. Nah, bagaimana kalau kalian membawa kami
berdua berkeliling kota? Kalian bisa menunjukkan semuanya. Oke,
mungkin memang tidak ada waktu untuk menikmati setiap hiburan
yang ada, tapi paling tidak kita bisa lihat-lihat kota."
Si kembar tiga yang paling dulu setuju, dan yang lainnya segera
menyusul. Lima belas menit kemudian Mary Anne dan aku
menggiring anak-anak Pike keluar lewat pintu belakang, lalu mulai
menyusuri jalan.
"Kita mulai dari mana?" tanyaku.
"Dari jalan utama saja," Adam langsung mengusulkan.
"Yeah, setuju," ujar Mallory. "Kita jalan dari ujung kota ke
ujung kota, lalu menyeberang ke dermaga dan pulang lewat jalan itu."
Berjalan dari ujung kota ke ujung kota ternyata menghabiskan
waktu hampir dua jam. Bagaimana tidak? Paling tidak ada satu
anggota rombongan kami yang mau mampir di hampir semua tempat
yang kami lewati. Nicky ingin tahu berapa harga karcis masuk ke
Trampoline Land pada musim panas ini. Byron penasaran apakah
harga es krim cone masih sama seperti tahun lalu, dan apakah Istana
Es Krim masih menjual es krim rasa cherry-vanilla. Mallory dan
Vanessa memasuki hampir setiap toko cendera mata. Mereka berseru
tertahan ketika melihat boneka-boneka kecil berbentuk binatang yang
terbuat dari kerang (yang memang lucu). Mereka juga mengagumi
topi-topi, handuk-handuk, cangkir-cangkir, T-shirt, celana pendek,
dan kartu pos?semuanya dengan lambang atau foto Sea City.
Mary Anne dan aku hampir putus asa waktu kami melewati
toko permen bernama Candy Heaven dan Byron menemukan duakeping uang di kantong celananya dan ia mulai memborong permen?
tapi hanya untuk dirinya sendiri. Tentu saja yang lain juga minta
permen. Untung saja Mary Anne dan aku membawa cukup banyak
uang receh untuk membeli permen loli buat semuanya. Mary Anne
sendiri membeli beruang-beruangan yang terbuat dari coklat, tapi aku
tentu saja keluar toko dengan tangan kosong. Anak-anak sibuk
menjilat permen loli masing-masing sambil berseru, "Eh, punyaku
berubah jadi biru, nih!" atau "Hei, lihat! Punyaku jadi kuning!" atau
"Kalau loliku sudah hampir habis, aku mau gigit, ah, supaya semua
lapisannya kelihatan!"
Kami kembali menyusuri jalan utama.
"Ini Burger Garden!" Byron menjelaskan ketika kami melewati
sebuah restoran yang agak kurang terpelihara. Restoran itu dikelilingi
"taman" bunga plastik. Meja-meja di pekarangan menyerupai jamur
raksasa, dan para pelayan mengenakan kostum binatang.
"Coba tanya Claire apa nama tempat ini," bisik Jordan.
"Apa nama tempat ini?" aku bertanya padanya.
"Gurber Garden."
Jordan terbahak-bahak. "Hahaha, dia selalu salah menyebutkan
namanya."
Kami melanjutkan perjalanan. "Itu Candy Kitchen," kata
Margo. "Di sana kita bisa beli gula-gula. Hmm, nyam-nyam-nyam."
"Dan di sebelah sana ada golf mini," ujar Jordan sambil
menunjuk.
"Kelihatannya menarik juga," aku berkomentar. "Di New York
tidak ada golf mini. Kamu pernah main golf mini, Mary Anne?""Beberapa kali. Di dekat Shelbyville di Connecticut ada
lapangan golf mini."
Aku terus memandang ke arah sana?begitu lama, sehingga
Adam berkata penuh harap, "Barangkali kita bisa main sekarang."
"Sori, Adam, sebenarnya aku juga kepingin, tapi uang kita tidak
cukup. Besok-besok kita pasti akan ke sini lagi. Sepertinya
permainannya cukup menarik."
Kami masih berhenti beberapa saat, lalu kembali menjelajahi
kota. Kami menghabiskan satu jam lagi untuk menyusuri dermaga,
dan akhirnya kami tiba di pantai di depan rumah yang disewa keluarga
Pike.
"Kita boleh main-main di air, kan?" tanya Nicky.
Aku melihat jam tanganku. "Tidak. Sori," kataku, "sekarang
sudah jam lima. Para petugas penjaga pantai sudah mau pulang. Lagi
pula kalian belum pakai baju renang."
"Jalan-jalan di pinggir juga tidak boleh?" Nicky mendesak.
"Ayo, dong!" Vanessa merajuk. "Cuma sampai lutut saja."
"Tidak boleh," aku melarang mereka. "Kalian kan tahu
peraturannya."
"Bagaimana kalau kalian bikin istana pasir atau cari kerang
saja?" Mary Anne mengusulkan.
Nicky merengut. "Ah, itu kan permainan untuk anak cewek," ia
mengumumkan. "Hei, aku tahu. Kita bisa main tenis-tenisan."
Langsung saja ia berlari ke dalam rumah untuk mengambil raket dan
bola.
Mary Anne dan aku duduk di pasir. Kami mengawasi anak-anak
Pike berlari-lari, tertawa-tawa, bergembira karena akhirnya telahsampai di pantai. Aku memperhatikan orang-orang yang ada di sekitar
kami. Sebagian besar pengunjung pantai adalah keluarga-keluarga.
Kemudian aku menoleh ke arah kedua penjaga pantai. Mereka baru
turun dari pos dan sedang memakai jaket biru bertulisan PANTAI
UMUM SEA CITY. Yang satu berambut gelap dan keriting; yang satu
lagi pirang dan berombak. Aku rasa umur mereka sekitar tujuh belas
tahun.
Ketika si pirang membungkuk untuk melipat handuk,
rambutnya memantulkan sinar matahari sehingga kelihatan berkilaukilau. Dan pada saat itulah dia mengangkat kepala. Dia melihat aku
sedang memandang ke arahnya, lalu tersenyum dan mengedipkan
sebelah mata.
Orangnya keren sekali. Benar-benar kece.
Ia kembali menatap handuknya dan aku mengembuskan napas
sambil mendesah tertahan.
"Oh, wow," aku berbisik pada Mary Anne. "Aku jatuh cinta."
"Huh?" tanya Mary Anne sambil mengerutkan kening.
"Aku jatuh cinta," aku mengulangi, "sama penjaga pantai yang
kece itu."
Mary Anne hanya geleng-geleng kepala. Dia pasti
menganggapku sinting.Bab 5
"STACEY?" sebuah suara kecil berbisik.
Aku menarik selimut sampai menutupi kepala, sambil berharap
bahwa suara itu cuma ada dalam mimpiku. Sekarang Minggu pagi.Minggu pagi-pagi sekali. Sesuatu telah membangunkanku dari tidur
lelap.
"Stacey?" suara itu kembali berbisik, kali ini dengan nada lebih
mendesak.
"Hmmm?"
"STACEY-SILLY-BILLY-GOO-GOO?"
"APA?" Aku duduk di tempat tidur seakan-akan ditembakkan
dari meriam. "Ada apa, sih?"
Margo berdiri di ambang pintu kamar kami. Claire berdiri di
sebelahnya.
"Aku dan Claire mau ke pantai," kata Margo.
"Ada apa, sih?" tanya Mary Anne terkantuk-kantuk.
"Mereka berdua mau ke pantai, padahal sekarang masih tengah
malam," ujarku.
"Eh, siapa bilang?" balas Margo. "Matahari sudah hampir terbit,
kok."
"Matahari-silly-billy-goo-goo!" seru Claire.
"Sst! Sekarang masih terlalu pagi untuk pergi ke pantai. Bahkan
masih terlalu pagi untuk bangun. Ayo sini, kita tidur lagi."
Kedua gadis cilik itu naik ke tempat tidurku, tapi ternyata
tempat tidurnya terlalu sempit untuk tiga orang. Karena itu Claire lalu
pindah ke tempat tidur Mary Anne. Kami semua kembali tidur, dan
baru bangun waktu kami mencium bau masakan untuk sarapan.
"Mmmm," aku bergumam. "Telur dadar. Ham. Roti panggang."
"Daggles-silly-billy-goo-goo lagi bikin sarapan untuk kita
semua," kata Claire.Mary Anne dan aku berpakaian, dan sepuluh menit kemudian
kami berempat menuruni tangga. Para anggota keluarga Pike yang lain
sudah berkumpul di dapur. Mallory dan Adam sudah pakai baju
renang. Tapi Nicky, Vanessa, Byron, Jordan, Claire, dan Margo masih
mengenakan pakaian tidur. Aku mendapat firasat bahwa menyiapkan
delapan anak untuk pergi ke pantai bukanlah pekerjaan yang mudah.
"Selamat pagi!" Pak Pike menyapa kami. "Saya juru masak
utama untuk sarapan di sini. Kalian lapar?"
"Lapar sekali!" Mary Anne dan aku menjawab berbarengan.
"Bagus," ujar Pak Pike. "Stacey, kamu bisa membantu saya
sebentar?"
"Saya tidak begitu pandai memasak," aku memberitahunya.
"Tidak apa-apa," Pak Pike berkata waktu aku sudah berdiri di
sebelahnya. "Saya hanya ingin memastikan bahwa kamu bisa makan
apa yang saya siapkan untuk sarapan. Roti danish itu pasti tidak bisa,
ya?"
Aku mengangguk, sambil menatap roti berlapis gula yang
sedang dipanaskan di dalam oven. Sebelum aku kena diabetes, roti
danish isi keju merupakan makanan kegemaranku untuk sarapan.
"Roti panggang?"
Aku meneliti daftar bahan bakunya yang tercantum pada kertas
pembungkus roti. "Kalau ini bisa," aku memberitahunya.
"Ham?"
"Boleh."
"Dan hidangan utama?omelet keju!" Pak Pike berkata dengan
bangga.
"Oh. Ehm, tidak Saya tidak boleh makan kejunya.""Tak jadi masalah. Kalau begitu saya buatkan telur dadar biasa
untukmu, oke?"
"Oke," jawabku. "Terima kasih."
Pak Pike tampak tidak keberatan, tapi aku merasa tidak enak
Sebagai "pembantu ibu", seharusnya aku tidak menambah beban kerja
klien-klienku. Aku mulai salah tingkah. Bagaimana kalau Mallory
atau salah seorang adiknya ingin tahu kenapa aku berdiet, padahal aku
sudah kurus begini? Tapi aku menyingkirkan segala rasa cemas, dan
ternyata memang tidak ada yang bertanya kenapa aku lebih suka
makan roti panggang biasa daripada roti danish yang "nyam-nyamnyam".
Begitu gigitan terakhir ditelan, Jordan langsung berseru,
"Sekarang ke pantai!" dan anak-anak Pike berubah menjadi angin
puting beliung. Enam anak harus berganti pakaian. Kami harus
mengumpulkan delapan handuk, dua payung pantai, beberapa kursi,
empat ember dan empat sekop, empat raket dan bola, buku-buku,
kartu remi, beberapa tube krim pelindung matahari, T-shirt, dan
beberapa botol limun. Dan itu baru untuk anak-anak saja. Padahal
Mary Anne dan aku juga masih harus bersiap-siap.
Mary Anne, yang selalu cermat, sudah menyiapkan tas
pantainya pada malam sebelumnya. Di dalamnya ada sisir, kacamata
hitam, ikat rambut, dan sebuah buku berjudul A Tree Grows in
Brooklyn?semuanya tersusun dengan rapi. Aku menyiapkan tas
serupa, dan tidak lupa untuk memasukkan botol Sun-Lite. Kemudian
kami bersiap-siap untuk melepaskan celana pendek dan baju,
sekaligus memamerkan bikini masing-masing.
"Kamu duluan," aku berkata pada Mary Anne."Kamu saja, deh."
Aku bukan pemalu. Langsung saja kutanggalkan pakaianku. Di
bawahnya aku sudah mengenakan bikiniku yang baru. Warnanya
kuning, dengan lengkungan kecil pada bagian bawahnya. Dan
bukannya mau nyombong nih... bagian atasnya cukup terisi.
Kedua mata Mary Anne nyaris copot.
"Oh, aku...," ia mulai berkata. "Oke, cukup sekian. Aku tidak
akan melepaskan bajuku. Lebih baik aku duduk di pantai dengan
celana jeans dan T-shirt. Kalau perlu, aku bahkan mau memakai gaun
malam."
"Ayo dong, Mary Anne," kataku. "Masa sih segawat itu? Coba
kulihat dulu."
"Tidak."
"Mary Anne, anak-anak sudah menunggu. Mereka mau ke
pantai, dan mereka sudah mulai tidak sabar. Ayo, ganti baju, dong!"
Perlahan-lahan Mary Anne melepaskan T-shirt dan celana
pendeknya. Di bawahnya.ia memakai bikini berwarna biru pucat
dengan garis-garis putih menyilang. Terus terang, aku tidak mengerti
kenapa dia harus malu. Memang, bagian atasnya tidak terisi sama
sekali (Mary Anne dan Kristy termasuk cewek paling kecil di kelas
tujuh), tapi penampilannya oke, kok. Itulah yang kukatakan padanya.
Dengan ragu-ragu ia membantu mengatur anak-anak. Kemudian
kami bersepuluh keluar lewat pintu depan dan berjalan di pasir. Kirakira setengah jalan antara rumah dan batas air, Mallory tiba-tiba
berkata, "Rasanya tempat ini sudah cocok."
Anak-anak segera melepaskan barang-barang yang sedang
mereka bawa lalu kabur, meninggalkan Mary Anne dan aku untukmengatur semuanya. Jam tanganku menunjukkan pukul setengah
sepuluh. Para penjaga pantai sudah mulai bertugas, jadi kami tahu
bahwa anak-anak cukup aman bermain di laut. Kami merentangkan
beberapa handuk, membuka kedua payung pantai, dan memasang
kursi lipat.
Aku mengoleskan Sun-Lite ke rambutku. "Matahari, sekarang
kau boleh bersinar dengan cerah," kataku. Kemudian kuoleskan krim
pelindung matahari ke seluruh tubuhku, dan duduk bersandar.
"Hei!" seru Mary Anne. "Kita lupa mengolesi anak-anak
dengan krim pelindung. Kalau kita tidak hati-hati, mereka akan
semerah udang rebus."


Baby Sitter Club 8 Stacey Si Gila Cowok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kami terpaksa memanggil mereka semua, lalu memastikan
bahwa masing-masing memakai krim pelindung. Baru setelah itu kami
membiarkan mereka kembali bermain.
Aku memasang kacamata hitam di hidungku. Aku memakai
topi. Aku duduk lagi di kursiku. Pasir yang putih terasa hangat di
bawah kaki. Langit tampak biru cerah. Di hadapanku, ombak
samudera berdebur dan berbuih. Yeah, inilah nikmatnya hidup.
Aku melihat berkeliling. Tidak jauh dari tempat kami ada
seorang ibu dengan tiga anak. Di tempat lain ada keluarga yang terdiri
atas ibu, ayah, nenek, dan anak laki-laki yang kira-kira seumur Nicky.
Aku memperhatikan dua anak laki-laki, yang satu sekitar tujuh tahun,
yang satu lagi sekitar empat, menarik-narik tangan cowok yang lebih
tua (empat belas?). Cowok itu tampak kerepotan membawa gulungan
handuk, sebuah payung, dan seorang bayi. Mereka berhenti di dekat
tempat kami. Cowok itu mengingatkanku pada diriku sendiri. Ia
merentangkan handuk, mengolesi kedua anak kecil itu dengan krimpelindung matahari, lalu membiarkan mereka berlari ke air sementara
ia sendiri duduk di bawah payung dengan si bayi.
Mungkinkah dia kakak mereka? Rasanya sih tidak. Dia berkulit
putih dengan rambut coklat muda, sedangkan kulit mereka sawo
matang dan rambut mereka hitam dan ikal.
Aku berkata pada Mary Anne, "Kamu lihat cowok di sebelah
sana?"
Mary Anne mengangguk.
"Aku rasa dia juga 'pembantu ibu'."
"Oh, ya?"
Selama lima belas menit berikutnya, Mary Anne dan aku
mengawasi anak-anak Pike, memperhatikan cowok di bawah payung,
dan menikmati suasana pantai. Tentu saja aku juga memperhatikan
pos penjaga pantai. Hari ini ada dua penjaga dan dua-duanya keren.
Tapi sayangnya si kece yang kulihat kemarin belum kelihatan lagi.
"Stacey," ujar Mary Anne setelah beberapa saat. "Coba
perhatikan Byron."
Pandanganku menyusuri batas air. Aku melihat Mallory,
Jordan, Adam, dan Nicky bercanda ria di air setinggi pinggang. Claire,
Margo, dan Vanessa sedang berlutut di pasir yang basah, sambil
membuat istana pasir yang setiap kali hancur tersapu ombak. Tapi
Byron kelihatan menyendiri. Dia duduk di pasir kering dan menatap
ke samudera.
"Kenapa dia?" aku terheran-heran.
"Sejak kita datang dia belum mendekati air sama sekali.
Kakinya pun belum sempat basah."
"Dia bisa berenang, kan?""Aku tahu persis bahwa dia bisa. Aku ingat bahwa si kembar
tiga ikut les renang di Stoneybrook," balas Mary Anne.
Perhatianku beralih dari Byron ke sesuatu yang sangat menarik.
Sebuah mobil jeep sedang mendekat, lalu berhenti di depan pos
penjaga pantai. Dua cowok berjaket biru melompat turun, dan yang
satu melepaskan kacamata hitam yang dipakainya. Ternyata si kece!
Wajahnya tampak cemong karena krim pelindung berwarna-warni
yang dipakainya, tapi aku tidak peduli. Pokoknya dia tetap kece.
Dan kemudian dia bertukar tempat dengan salah seorang
penjaga pantai yang sedang bertugas! Aduh, si kece duduk kurang dari
sepuluh meter di depanku. Sayangnya, dia duduk membelakangiku.
"Itu dia! Itu dia!" aku berbisik pada Mary Anne.
"Siapa?" Mary Anne ternyata masih memperhatikan Byron.
"Dia! Si kece yang kulihat kemarin. Oh, aku benar-benar jatuh
cinta padanya."
"Bukan kamu saja."
"Hah?"
"Lihat saja." Mary Anne menunjuk sekelompok anak cewek
yang kira-kira seumur dengan kami. Mereka mengerumuni pos jaga.
Entah dari mana mereka tiba-tiba muncul. Mereka ketawa bisik-bisik
sambil cekikikan dan mengajukan pertanyaan pada para penjaga
pantai.
Aku langsung patah arang.
Sepanjang pagi aku memperhatikan para penjaga pantai dengan
anak-anak cewek itu. Aku lebih memperhatikan mereka daripada
anak-anak Pike. Mary Anne kelihatan agak keki, tapi apa boleh buat.
Habis, aku sedang jatuh cinta.Kenapa anak-anak cewek itu begitu beruntung? Mereka bukan
saja dikenal oleh para penjaga pantai, mereka juga diberi kesempatan
untuk mengerjakan tugas-tugas kecil. Mereka boleh mengambilkan
minuman dingin, dan memungut apa saja yang jatuh ke pasir. Salah
satu dari mereka bahkan mendapat kehormatan besar karena diminta
untuk membuatkan beberapa potong sandwich.
"Hei, sudah dulu, dong!" Mary Anne akhirnya berkata dengan
gusar. "Kamu benar-benar gila cowok. Para penjaga pantai itu kan
terlalu tua untukmu."
"Tidak."
"Ya."
Pada saat itu tiga cewek yang pasti sudah duduk di high school,
mungkin malah sudah di universitas, berjalan melewati pos jaga.
Kontan para penjaga memutuskan obrolan dengan kelompok cewek
sebaya kami tadi, lalu menatap ketiga cewek yang sedang lewat
dengan penuh perhatian.
"Nah, itulah yang kumaksud," ujar Mary Anne.
"Ah, sudahlah," aku membalas dengan ketus. "Kamu memang
tidak mengerti."
Dan setelah itu kami duduk membisu sampai kami
mengumpulkan anak-anak Pike untuk makan siang. Mereka makan
dengan lahap, tapi tak satu pun mau berlama-lama di dalam rumah.
Dalam waktu singkat mereka sudah mulai merengek-rengek agar
diizinkan kembali ke pantai. Aku menyuruh mereka memakai T-shirt,
karena kulit mereka tidak biasa terkena terik matahari. Aku sendiri
juga memakai kaus lengan pendek. (Hanya Mary Anne yang merasa
tidak perlu melindungi kulitnya. Dia bilang dia kepingin kulitnyacepat-cepat coklat.) Kemudian kami kembali ke pantai. Pak dan Bu
Pike telah memutuskan akan pergi ke kota.
Anak-anak langsung menuju air. Padahal aku baru saja
mengingatkan mereka untuk tidak bermain air sampai satu jam setelah
makan siang.
"Setidak-tidaknya Byron memperhatikan kata-katamu," ujar
Mary Anne membesarkan hatiku.
"Yeah.... Oh-oh."
Aku melompat berdiri. Di tepi pantai, Adam dan Jordan sedang
menyiram-nyiramkan air ke arah Byron.
"Berhenti!" dia berteriak. "Berhenti, kubilang!"
"Anak mami!" Adam balik berseru.
"Brengsek!"
"Dasar bayi!"
"Muka tikus!"
"Oke, oke, oke!" Dalam beberapa detik saja aku sudah berdiri di
depan mereka. "Ada apa ini?"
"Dia yang mulai!" Byron berteriak.
"Aku tidak peduli siapa yang mulai. Aku ingin tahu apa yang
kalian ributkan?"
Mary Anne telah menyusul. Waktu Adam ingin mencengkeram
Jordan, Mary Anne langsung maju dan memisahkan mereka. Hampir
saja bikininya copot.
"Byron anak bayi!" seru Adam. "Dia tidak mau masuk ke air."
"Dan karena itu kalian jadi kesal?" tanyaku.
"Dia harus ikut dengan kami. Kembar tiga harus kompak, dong.
Gara-gara dia liburan kami jadi tidak asyik.""Kelihatannya hanya ada satu pemecahan: kalian bertiga harus
melakukan sesuatu di darat," Mary Anne mengemukakan, sambil
membetulkan posisi baju renangnya.
Pada detik itulah aku menoleh dan melihat bahwa si kece
sedang memperhatikan kami. Dia tersenyum padaku. Kedua lututku
langsung gemetaran. Aku harus bicara dengan dia.
Sementara Mary Anne mengurus si kembar tiga, aku menuju ke
pos jaga.
"Halo, Manis," si kece menyapaku.
Rasanya aku sudah mau pingsan saat itu. Tapi kemudian aku
mengerahkan segenap keberanian yang kumiliki. "Jam berapa sih
sekarang?" aku bertanya. "Arlojiku tidak jalan."
Cewek-cewek yang berkerumun di sekitar pos penjaga pantai
menatapku dengan sinis. Sambil bisik-bisik mereka mundur beberapa
langkah.
"Sekarang jam setengah tiga kurang lima," jawab si kece.
"Makasih," kataku.
Aku baru saja berbalik, waktu aku mendengar pekikan yang
disusul oleh isak tangis. "Stacey!" Mallory memanggil.
Mallory bergegas ke arahku sambil menggendong Claire. Kaki
adiknya itu berdarah. "Kakinya luka karena menginjak kerang,"
Mallory menjelaskan.
"WAHHH! Stacey," Claire merengek. Dia menjulurkan tangan,
seakan-akan minta digendong.
Aku segera meraih kedua tangannya?lalu aku sadar bahwa si
kece berada di sampingku. Dia membawa kotak P3K. Dalam sekejapdia telah membersihkan luka di kaki Claire, dan menutupnya dengan
plester. Claire dan aku menatapnya dengan kagum.
Ketika Claire kembali bermain beberapa saat kemudian, si kece
berkata, "Mungkin ada baiknya kalau kita berkenalan. Namaku Scott.
Scott Foley. Dari tadi aku sudah memperhatikanmu."
(Cewek-cewek di pos penjaga pantai semakin mundur.)
"Aku... aku Stacey McGill," aku memberitahunya. "Umur tiga
belas tahun. Tadinya tinggal di New York City." (Oh, rasanya aku
lebih baik mati saja! Kenapa aku jadi kikuk begini?)
Tapi Scott cuma tersenyum. "Aku harus meneruskan tugasku,"
katanya.
Sore itu, masih beberapa kali aku berbicara dengan Scott. Aku
menanyakan cuaca untuk keesokan hari. Aku bertanya kapan laut akan
pasang. Aku bersikap seakan-akan aku betul-betul memerlukan
informasi itu. Kemudian, sekitar pukul setengah lima, Scott tanya
apakah aku keberatan untuk mengambilkan minuman dingin
untuknya. (Keberatan?!)
Cewek-cewek yang lain akhirnya menyerah dan pergi. Dan
sepanjang sisa sore itu Scott hanya mengobrol denganku. Ternyata dia
tinggal di Princeton, New Jersey. Dia baru-baru ini merayakan ulang
tahun kedelapan belas. Dan bulan September mendatang dia akan
masuk college. Sebetulnya dia memang agak terlalu tua untukku, tapi
aku tidak peduli.
Beberapa saat sebelum makan malam, aku melarikan diri
karena Mary Anne menuduh bahwa aku sama sekali tidak
membantunya menjaga anak-anak. Aku berlari menyeberangi pantai
dan duduk di tepi air. Aku menatap titik tempat, pos penjaga pantaiberdiri tadi, lalu memperhatikan jejak yang ditinggalkannya ketika
diseret ke bukit-bukit pasir. Sesaat kemudian aku berlutut di pasir
yang basah. Aku menemukan sepotong kerang, dan menulis perlahanlahan:
Habis itu aku segera kembali ke rumah sebelum ombak berikut
datang. Aku tidak mau melihat kata-kataku itu hilang tersapu air.Bab 6
HAMPIR sepanjang hari Senin Pak dan Bu Pike berada di
pantai bersama anak-anak dan Mary Anne dan aku.
Scott tidak bertugas.Aku jadi tidak bersemangat.
Tapi ketika Bu Pike mengatakan pada sore hari, bahwa ia dan
Pak Pike ingin makan malam di luar ?berdua saja?aku mulai
merasa lebih baik. Mereka akan mengunjungi sebuah restoran mewah
di Jamesport, kota tetangga Sea City. Bu Pike lalu meninggalkan
sejumlah uang agar Mary Anne dan aku bisa mengajak anak-anak
berjalan-jalan.
"Rasanya paling baik kalau kalian membawa mereka ke Burger
Garden. Tempat itu tidak begitu mahal. Kemudian kalian masih punya
sisa uang untuk bersenang-senang di jalan dermaga," ujar Bu Pike.
Waktu mendengar ini, anak-anak langsung bersorak-sorai
dengan girang.
"Gurber Garden-silly-billy-goo-goo!" seru Claire.
"Burger Garden! Setahun yang lalu kita bertemu, semoga
semuanya masih seperti dulu!" kata Vanessa.
Yang lainnya melompat-lompat di tempat.
Pukul enam sore itu kami melambaikan tangan pada Pak dan Bu
Pike yang berangkat naik mobil.
"Oke, tunggu apa lagi?" ujar Jordan.
"Pokoknya aku mau pesan Double Crazy Burger lengkap,"
Byron mengumumkan.
Anak-anak menatap Mary Anne dan aku. Sepertinya mereka
sudah tidak sabar.
"Kalian semua sudah siap pergi?" aku bertanya.
"Yap."
"Kalian semua sudah pakai sepatu?"
"Yap.""Semuanya sudah ke kamar mandi?"
"Yap."
"Benar?"
"Yap."
"Tunggu dulu," kata Mary Anne. "Vanessa mana?"
"Di kamar kami," jawab Mallory. "Aku rasa dia masih
berpakaian."
Aku menaiki tangga dan bergegas ke kamar pink. Ternyata
Vanessa memang masih bersiap-siap dengan tenang. Kadang-kadang
aku mendapat kesan bahwa dia lebih lamban daripada kura-kura
sekalipun.
"Siap?" aku bertanya padanya.
"Hampir."
"Semuanya sudah menunggu."
"Aku tahu, aku tahu," jawabnya. "Tapi aku tidak bisa lebih
cepat, sebab kakiku terlalu lambat."
Aku ketawa. "Ayo, dong!" Aku membantunya mengikat tali
sepatu dan pita rambut, dan kemudian ia siap pergi.
Kami berangkat ke Burger Garden. Mary Anne dan Mallory di
depan; si kembar tiga, Claire, Margo, dan Nicky di tengah; sedangkan
Vanessa dan aku paling belakang.
Kalau mengingat bahwa kami harus melewati tempat-tempat
yang penuh godaan?Candy Heaven, kios-kios cendera mata, Istana
Es Krim?kami sampai di Burger Garden dalam waktu tidak terlalu
lama. Dengan setiap langkah anak-anak Pike semakin ramai. Waktu
kami hampir sampai di pintu masuk, mereka mulai berceloteh.
"Kita bakal duduk di bawah jamur raksasa!""Crazy Burger pakai saus jingga, soalnya saus tomatnya sudah
bercampur dengan mustard!"
"Aku mau naik komidi putar!"
"Tempatnya asyik, tak perlu sangsi, makanan diantar oleh
seekor kelinci!"
"Tahun lalu ada lomba mewarnai, dan aku menang dua Crazy
Burger dan segelas soda!"
Mary Anne dan aku memandang sekeliling. Burger Garden
ternyata merupakan restoran bersuasana santai. Para pengunjungnya
bisa memilih tempat duduk di dalam, atau di luar, di pekarangan. Aku
langsung memutuskan bahwa makan di luar akan lebih
menyenangkan.
Ternyata anak-anak Pike juga sependapat.
"Aku mau duduk di dekat komidi putar!" seru Claire.
"Sst," kataku. "Kita akan duduk di mana pun kita ditempatkan.
Dan sepertinya kita perlu tiga meja."
"Di dekat Pohon Tersihir di sebelah sana ada beberapa jamur
kosong," seorang pelayan berbaju tikus memberitahu kami. Ia
membawa daftar makanan. "Mari saya antar."
"Wah, ini pengalaman pertama," bisik Mary Anne.


Baby Sitter Club 8 Stacey Si Gila Cowok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebenarnya, seluruh minggu ini penuh pengalaman pertama. Pertama
kali aku memakai bikini, pertama kali aku pergi berlibur tanpa
ayahku, pertama kali aku mengunjungi Pantai Jersey. Dan sekarang,
pertama kali makananku dihidangkan oleh seekor tikus."
Aku ketawa cekikikan. "Atau disantap di atas jamur."
"Di dekat Pohon Tersihir lagi, entah apa maksudnya," Mary
Anne menambahkan.Meja-meja berbentuk jamur ternyata agak kecil, jadi kami
memang memerlukan tiga buah. Claire dan Margo langsung
menempati satu meja. Vanessa memilih duduk sendiri, sementara si
kembar tiga berkumpul di jamur terakhir. Nicky ingin bergabung
dengan mereka.
"Ah, jangan ganggu, deh. Kamu duduk sama Vanessa saja,"
Adam berkata pada Nicky.
"Tidak, aku mau duduk bareng kalian."
"Kembar tiga harus duduk bertiga," ujar Jordan.
"Kata siapa? Aku juga mau duduk di sini, kok," kataku.
"Eh, enak saja!" seru Adam.
"Di mana aku harus duduk?" kata Nicky dengan sedih.
"Pokoknya, aku tidak mau duduk bareng anak-anak cewek."
"Sini, Nicky-silly-billy-goo-goo," Claire memanggil
"Tidak mau! Kalian kan cewek," balas Nicky dengan nada
meremehkan.
Vanessa masih duduk seorang diri. "Hei, kenapa ribut kenapa
sibuk, di mejaku masih ada tempat duduk."
"Tidak, tidak, tidak!"
"Cukup," aku akhirnya menengahi. "Lihat, tikus raksasa yang
mengantar kita ke sini sudah menunggu lima menit agar kita duduk.
Kalau kalian tidak bisa mengambil keputusan, kita takkan bisa
makan."
Semuanya langsung duduk. Aku membiarkan Adam, Jordan,
dan Byron duduk bertiga. Mary Anne duduk bersama Claire dan
Margo, sedangkan aku menemani Nicky, Vanessa, dan Mallory.Sebelum kami sempat membuka daftar makanan, Nicky memaksa
Vanessa untuk berjanji bahwa ia tidak akan berpantun selama makan.
"Bagaimana, puas?" aku bertanya padanya.
"Yap."
Kami mulai mempelajari daftar makanan. Untung saja aku suka
hamburger, sebab selain hot dog, restoran itu hanya menyajikan
hamburger. Semuanya ada dua puluh macam.
Setelah beberapa saat, seekor kelinci besar menghampiri kami.
"Hai, namaku Bugs," katanya. "Ada pertanyaan mengenai daftar
makanan?" ebukulawas.blogspot.com
"Burger Kejutan untuk hari ini berisi apa saja?" tanyaku.
"Hari ini kami punya burger istimewa, yaitu burger dengan tahu
dan alpukat."
Vanessa hampir tersedak.
Dia dan Nicky dan Mallory dan aku memesan Crazy Burger?
hamburger berisi bacon, keju Swiss, acar, dan saus berwarna jingga.
"Eh, aku mau lihat Pohon Tersihir dulu, ya," kata Vanessa.
"Boleh, kan?"
"Tentu."
"Oh, pohonnya... pohonnya... kalian takkan percaya," ia berseru
beberapa menit kemudian. Ia berlari ke jamur kami. "Pohonnya persis
seperti dalam cerita Charlie and the Chocolate Factory! Pohon itu
berbuah batangan coklat!"
"Benar?" tanya Nicky sambil membelalakkan mata.
"Tidak, bodoh! Batang-batang coklat itu hanya tergantung di
sana. Satunya berharga dua puluh lima sen dan kalau kamu beli satu
yang bungkus dalamnya ternyata terbuat dari kertas emas, kamu dapathadiah seperti Charlie Bucket hanya saja hadiahnya berlaku untuk
Burger Garden dan bukan untuk pabrik coklat dan aku sama sekali
tidak berpantun, Nicholas."
Bugs kembali sambil membawa minuman kami. Di jamur
sebelah, si kembar tiga saling melemparkan sedotan.
"Hmm," aku sengaja berkata keras-keras pada Mary Anne,
"kalau begini aku akan duduk dengan si kembar tiga."
"Jangan, jangan!" ujar Byron buru-buru. "Kami sudah mau
berhenti, kok. Betul."
Dan ternyata memang begitu.
Semua anak Pike bersikap tenang. Waktu pesanan kami datang,
mereka menghabiskannya tanpa membuat meja jadi berantakan.
Kemudian, setelah Mary Anne dan aku memastikan berapa yang harus
dibayar, kami mengizinkan masing-masing anak membeli sebatang
coklat dari Pohon Tersihir. Nicky mendapat coklat yang terbungkus
kertas emas! Seorang pelayan mengantarkannya ke tempat kasir, dan
di sana ia diberitahu bahwa ia memenangkan empat kupon makan
malam gratis di Burger Garden. Begitu mendengar kabar itu, si
kembar tiga mendadak mau berteman dengannya.
Mary Anne dan aku menghitung uang yang tersisa, lalu
memikirkan apa lagi yang akan kami lakukan malam itu. Akhirnya
kami memutuskan untuk pergi ke dermaga. Dari sana kami akan
mampir ke Istana Es Krim, dan setelah itu kembali ke rumah.
Di dermaga, kami memberikan satu dolar pada masing-masing
anak. Kami tidak berani menghambur-hamburkan uang, karena belum
tahu seberapa mahalnya Istana Es Krim. Anak-anak langsung sibuk
menyusun rencana. Mereka ingin memperoleh yang terbaik danterbanyak untuk uang mereka. Satu-satunya yang tidak boleh mereka
lakukan adalah naik roller coaster atau semacamnya. Aku tidak
berminat melihat Crazy Burger berserakan di lantai sebuah kereta.
Sejam kemudian, Byron sudah dua kali naik dermolen; Vanessa
membeli rusa kecil berwarna pink di toko cendera mata; Claire,
Nicky, dan Margo telah mencoba boom-boom car, Mallory memilih
kodok yang terbuat dari kerang, dan Jordan dan Adam sudah
menjelajahi Rumah Hantu?dan marah kepada Byron, yang tidak mau
ikut dengan mereka.
Ketika tiba di Istana Es Krim, kami merasa bahwa memang
sudah waktunya untuk duduk dan beristirahat sejenak.
"Oke," kataku, "aku takkan pesan es krim, jadi jatah kalian
masing-masing sekitar tiga dolar." Aku mengamati daftar harga. Istana
Es Krim kelihatannya cukup mahal.
"Lebih dari tiga dolar," Mary Anne menambahkan. "Rasanya...
rasanya aku juga takkan pesan apa-apa."
"Ada apa?" aku bertanya dengan waswas. "Muka kamu
kelihatan agak... ehm... agak lain."
"Entahlah. Tiba-tiba seluruh badanku terasa panas."
"Wajahmu merah sekali," kataku.
"Dan kulitku terasa kaku."
"Kulitmu? Wah, tunggu dulu. Coba luruskan tanganmu ke
depan."
Mary Anne melakukannya.
Aku menekan kulitnya dengan jari. Sebuah bercak putih timbul
di tempat jari kutempelkan. Perlahan-lahan bercak itu berubah warna
menjadi merah?seperti warna kulitnya di bagian lain. "Kulitmuterbakar!" aku berseru. "Coba makan es krim, deh. Kamu pasti bakal
merasa lebih segar."
Uang kami ternyata cukup. Masing-masing memesan yang
paling disukainya. Dan setelah membayar uangnya masih tersisa dua
dolar dan tiga puluh satu sen.
Kami kembali ke rumah pantai beberapa menit setelah pukul
sembilan. Pak dan Bu Pike belum pulang.
"Aduh, kulitmu merah sekali!" Mallory berseru pada Mary
Anne.
"Oh, aku tahu. Tolong jangan ingatkan aku tentang itu."
Mary Anne merebahkan diri di tempat tidurnya. Ia berbaring
telentang sambil melebarkan tangan. Aku hanya berdiri tanpa dapat
berbuat apa-apa. "Apa salahku sampai aku dihukum seperti ini?" dia
mendesah.
Mary Anne telah berbaring selama sekitar sepuluh menit.
Sementara itu anak-anak seharusnya sudah bersiap-siap untuk tidur.
Tiba-tiba sebuah suara berkata, "Mary Anne, aku membawakan
sesuatu untukmu."
"Kami semua membawakan sesuatu untukmu."
Kedelapan anak keluarga Pike berdiri di ambang pintu.
Semuanya sudah mengenakan pakaian tidur.
"Ini untuk kulitmu yang terbakar," kata Margo. "Aku bawa
Noxema."
"Aku bawa Solarcaine," kata Byron.
"Aku bawa es," kata Jordan.
"Kompres dingin," kata Adam.
"Krim aloe punya Mama," kata Vanessa."Kipas," kata Nicky. "Supaya kamu tidak kepanasan."
"Kantong teh untuk mengompres kelopak matamu," kata
Mallory. "Cara ini benar-benar membantu, lho!"
"Aku bawa mentega," kata Claire, sambil menyodorkan
margarin.
"Mentega kan untuk luka bakar, bukan untuk kulit yang
terbakar matahari," seru Nicky. Ia mencoba menangkap adiknya, tapi
Claire menghindar dengan gesit, dan kabur ke dekapan Mary Anne.
Nicky menyusul. Begitu juga yang lainnya. Akhirnya mereka
menumpuk di tempat tidur Mary Anne sambil ketawa cekikikan?
berikut margarin, es, dan semuanya. Aku pun bergabung dengan
mereka.
Rasanya seumur hidup aku belum pernah ketawa sekeras waktu
itu.Bab 7
PADA hari Selasa cuacanya enak sekali. Pantai kelihatan
seperti pemandangan yang biasa terlihat di kartu pos. Pagi-pagi Mary
Anne dan aku sudah membawa anak-anak keluar, bahkan sebelumScott mulai bertugas. Udaranya sejuk, dan langitnya cerah. Hanya ada
satu-dua awan putih yang sepintas lalu mirip domba. Matahari pun
bersinar cerah.
Pagi itu Mary Anne memakai jubah berlengan panjang dan topi
pet dengan lambang Boston Red Sox (klub bisbol profesional) yang
dipinjamkan oleh Adam. Bisa dibayangkan bahwa penampilannya
cukup ajaib?dan bahkan bertambah ajaib setelah ia mengoleskan
krim pelindung pada hidung dan bibir, dan mengenakan kacamata
hitam. Dia tidak mau ambil risiko, jadi dia memilih duduk di bawah
payung saja. Aku tidak berkomentar apa-apa. Aku tahu bahwa ia
merasa kepanasan dan tidak nyaman.
Begitu para penjaga pantai muncul, anak-anak (kecuali Byron,
tentu saja) langsung menyerbu ke air. Aku segera menyusul karena
harus mengawasi mereka, tapi sebenarnya aku cuma mencari-cari
alasan untuk menyapa Scott. Dia menyambutku dengan, "Hei, apa
kabar, Putri?"
Aku nyaris jatuh pingsan.
"Hai," kataku. "Kemarin kamu tidak bertugas, ya?"
"Yap, kemarin aku libur."
Dalam hati aku menambahkan informasi itu?Scott libur setiap
Senin?pada daftar hal-hal yang kuketahui tentang dia. Sebenarnya
aku berharap daftar itu lebih panjang.
Kemudian aku berdiri bersandar pada pos jaga, seolah-olah siap
dipotret. Aku melirik ke arah Mary Anne untuk melihat apakah dia
memperhatikanku. Tapi ternyata dia sibuk. Claire, Margo, dan
Vanessa?ketiga-tiganya sudah basah kuyup? berkerumun di
sekitarnya dan minta tolong mengenai sesuatu. Di luar dugaanku,cowok kemarin yang juga "pembantu ibu" berdiri di belakang Mary
Anne dan membantunya.
Tapi aku tidak punya waktu untuk memikirkan hal itu. Sebab
pada saat yang sama terjadi beberapa hal yang tidak kusangka-sangka.
Mula-mula sekelompok cewek lain muncul. "Hai, Scott,"
mereka berkata.
"Halo, Anak-anak! Kalian sudah kenal Stacey McGill?" balas
Scott.
Anak-anak! Scott menyebut mereka anak-anak! Dia pasti
menganggap bahwa sikapku lebih dewasa ketimbang mereka!
Cewek-cewek itu langsung cemberut. Tanpa berkata apa-apa
lagi, mereka pindah ke sisi pos yang satu lagi. "Hai, Bruce," salah
seorang dari mereka berkata sambil cekikikan.
"Hei, Cantik," jawab Bruce.
Cekikikan lagi.
Perhatian Scott kembali tertuju padaku.
Sekali lagi aku melirik ke arah Mary Anne. Dia sedang duduk
seorang diri.
Aku baru saja hendak mencari Claire dan Margo ketika sebuah
seruan mengejutkan seluruh pantai.
"HIU!" teriak seseorang yang sedang berada di air.
Scott dan Bruce langsung berdiri dan menempelkan teropong ke
wajah masing-masing. Kemudian mereka menurunkan tangan,
bertukar pandang, mengangguk, dan mulai menyuruh orang-orang
naik ke pantai.
PRIIIT! "Semuanya kembali ke pantai! Semuanya kembali ke
pantai!"PRIIIT! "Keluar dari air! Keluar dari air!"
Kemudian Scott meniup peluit tiga kali pendek-pendek dan
memberi isyarat kepada para penjaga pantai yang menyebar di
sekitarnya, sementara Bruce memberi isyarat kepada rekan-rekannya
yang berada agak jauh.
Belum pernah aku melihat begitu banyak orang bergerak begitu
cepat. Orang-orang yang sedang berenang segera bergegas ke darat.
Orang-orang yang berada di pantai langsung berlari ke tepi air. Sambil
kalang kabut aku berusaha mengumpulkan anak-anak Pike. Dalam
beberapa detik saja Byron, Jordan, Nicky, dan Vanessa sudah berdiri
di sekitarku.
"Mary Anne!" panggilku. "Di mana yang lainnya? Kita harus
memastikan bahwa mereka tidak... Maksudku..." Hampir saja aku
berkata, Tidak disantap hiu yang kelaparan.
"Claire dan Adam ada bersamaku."
"Aduh! Kita kehilangan Mallory dan Margo."
"Kami ada di sini," kata Mallory. Dia bergegas ke arahku
sambil menuntun Margo.
"Oh, untung saja."
Mary Anne dan aku menghitung anak-anak Pike sampai lima
kali. Baru setelah itu kami yakin bahwa semuanya aman dan selamat.
"Mana hiunya? Aku mau lihat hiunya!" seru Nicky sambil
melompat-lompat.
Aku pun ingin melihat ikan buas itu. "Oke," kataku. "Kita
susuri pantai ke tempat yang tidak begitu ramai."
Mary Anne dan anak-anak yang lain mengikuti kami. Setelah
menemukan tempat yang tidak penuh orang, kami menatap ke lautlepas sambil menggunakan tangan untuk melindungi mata dari sinar
matahari yang menyilaukan.
"Sepertinya aku lihat sesuatu!" seru Byron.
"Di mana?" kami semua bertanya.
Ia menunjuk. "Lihat tidak? Di sebelah kiri sana!"
Samar-samar aku melihat sebuah sosok di kejauhan, tapi
sebenarnya sosok itu lebih mirip burung camar yang mengambang di
atas air.
Belakangan, Adam bersumpah bahwa dia melihat lima sirip
berenang berputar-putar, tapi kecuali dia tidak ada yang melihatnya.
Akhirnya kami menyerah, dan kembali ke pos jaga.
Lambat laun kerumunan orang mulai bubar. Scott dan Bruce
pun sudah bertugas seperti biasa lagi. Ini kesempatan baik untuk
mengajukan sebuah pertanyaan pada Scott.
"Hai," aku berkata padanya, sambil menyandarkan badan ke
tiang pos jaga dan menatap ke atas.
"Hai, Sayang."
Sayang! Scott memanggilku Sayang! Tentu saja maksudnya
"Sayangku"!
Setelah bisa menguasai diri, aku bertanya, "Jadi memang ada
hiu tadi?"


Baby Sitter Club 8 Stacey Si Gila Cowok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kelihatannya sih begitu. Kadang-kadang agak sukar untuk
memastikannya. Tapi lebih baik berhati-hati daripada menyesal
kemudian."
"Yeah."
Scott mengusap alis. "Huh, hari ini bakal panas sekali.""Kamu mau minum sesuatu?" aku menawarkan penuh
semangat.
"Kalau kamu tidak keberatan..."
Aku bergerak secepat kilat. Aku bahkan tidak ingat untuk
memberitahu Mary Anne ke mana aku pergi. Terburu-buru aku
mengambil sekaleng limun dari lemari es keluarga Pike, berlari
menyeberangi pantai, lalu menyerahkan kaleng yang dingin itu kepada
Scott.
Dia menempelkan kaleng itu ke keningnya. "Oh, wow!
Nikmatnya!" Kemudian dia membuka kaleng itu, mendongakkan
kepala, mereguk setengahnya tanpa berhenti, dan menyerahkannya
pada Bruce. Bruce menghabiskan isinya dengan sekali teguk.
"Wah, kamu memang dewi penyelamat, Manis," Scott memuji.
Aku hampir mati. Aku hampir mati!
***********
Seusai makan siang, Mary Anne dan aku berdiri di tepi air.
Lima Iblis Dari Nangking 2 The Last Empress Karya Anchee Min Tiga Ksatria Bertopeng 1

Cari Blog Ini