Ceritasilat Novel Online

Tahun Ajaran Baru 2

Girl Talk 01 Tahun Ajaran Baru Bagian 2


seolah-olah Nick adalah pacarnya!
"Kamu lagi ngigau kali. Aku nggak ngerti kamu ngomong apa,"
jawabku.
"Eva kebetulan lewat rumahmu beberapa hari lalu. Katanya kau
main basket sampai berguling-guling di rumput dengan Nick.
Memalukan sekali! Kau tahu kan dia cowokku? Lebih baik kamu
jauhi dia!" Sambil berbicara Stacy menunjuk-nunjuk dengan jarinya.
Aku tak pernah membiarkan diriku ditunjuk-tunjuk seperti itu.
Menurutku hal seperti itu amat kasar!
"Ya. Memalukan. Merebut pacar orang!" Eva dan Laurel seperti
biasanya mengulang kata-kata Stacy. Saat aku sedang bingungmemikirkan apa yang harus kuperbuat, kudengar suara sang
penyelamat.
"Hei kalian! Jangan ganggu temanku!"
Stacy dan ?geng?-nya segera menoleh ke belakang.
Randy!
Aku terkejut dua kali. Pertama, agak kaget karena tak tahu dia
muncul dari mana. Ke dua, kaget mendengar perkataannya barusan.
Teman? Sejak kapan aku ber-?teman? dalam arti kata yang
sesungguhnya dengan Randy?
Kami memang saling kenal, pernah berbicara dan tergabung
dalam satu kelompok seksi dekorasi. Tapi selama ini Randy tak
pernah bersama-sama kami seperti Allison dan Katie. Ini baru kabar
baik! Randy menganggap dirinya temanku!
"Ngomong apa kamu?" tanya Stacy dengan muka merah
menahan marah. Ia melangkah menjauhiku, mendekati Randy.
Wah, coba lihat Stacy dan Randy. Seperti langit dan bumi.
Stacy dengan rok mini kuning dengan stoking dan sepatu tumit tinggi
kuningnya, kelihatan begitu rapi. Sementara Randy penuh warnawarni.
"Kataku: Jangan ganggu temanku. Budek ya? Dan sekarang,
menyingkirlah kau, Nona Otak Udang!" bentak Randy dengan suara
keras dan gayanya yang khas: cuek! Pakai tolak pinggang segala, lagi.
Stacy terperanjat. Mulutnya ternganga. Tapi ia tak bisa
menjawab sepatah kata pun. Keberanian Randy membuatnya surut.
Lantas diajaknya Eva dan Laurel berlalu meninggalkan kami.
"Randy," panggilku saat melihat Randy telah beranjak dari
tempat itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dengan tastersangkut di bahu dan skate board di tangan kanannya, Randy
kelihatan tomboy sekali.
"Randy, makasih ya. Sudah dua kali ini kamu nolong aku dari si
jelek Stacy itu," ujarku.
"Dan...o...ya... nanti siang aku, Allison dan Katie mau kumpulkumpul di Fitzie?s. Kita pingin ngomongin soal dekorasi pesta. Kamu
mau...."
Randy menghentikan langkahnya, membuat aku menghentikan
kata-kataku.
"Sorry Sabs, tapi aku nggak tertarik dengan urusan dekormendekormu itu. Mungkin lain kali kita bisa kerja sama. Kalau aku
bilang sih, lebih baik kalian rapat untuk menghadapi Stacy Hansen.
Dia betul-betul tukang bikin onar yang hebat!"
Ganti aku yang termangu. Aneh. Baru saja tadi Randy
membelaku dan menyebutku ?teman? di depan Stacy Hansen. Tapi
beberapa detik kemudian ia bersikap begitu dingin. Kalau memang
kami berteman, mestinya Randy bersedia membantu kami
menyiapkan dekorasi pesta, kan?
Aku tak sabar untuk segera menceritakan hal ini pada Katie dan
Allison. Nampaknya mencari sahabat dan berteman sekarang betulbetul tak semudah dulu, waktu di kelas enam. Ah....BAGIAN SEMBILAN
Kutelusuri trotoar sepanjang jalan besar lantas belok kanan,
masuk ke jalan Maple. Beberapa puluh meter di depanku sudah
terlihat plang ukuran besar Fitzie?s.
Sepanjang jalan aku masih terus memikirkan Randy. Kadang ia
kelihatan begitu melindungi dan memperhatikanku, tapi beberapa
detik kemudian ia sudah berubah jadi orang asing yang tak
mengenalku. Apa begitu sikap orang-orang New York, ya?
Lewat jendela kaca, kuintip suasana di dalam Fitzie?s. Mencari
Katie dan Allison. Setelah itu aku berkaca, memperbaiki
penampilanku. Hari ini kukenakan celana hitam dengan vest motif
abstrak yang kubeli di salah satu departement store terbesar di Acorn
Falls. Warnanya meriah, campuran oranye dan ungu.
Ketika masuk, langsung terdengar suara musik dan bisik-bisik
anak-anak yang ramai ngobrol. Kutembus kerumunan anak-anak
sambil mencari Katie atau Allison. Bagaimana caranya bisa
kutemukan mereka di tengah orang sebanyak ini? Setelah beberapa
menit, akhirnya kulihat Katie di bagian belakang. Agak di pojok. Ia
tengah berbincang-bincang dengan seseorang. Mungkin Allison. Aku
tak dapat melihatnya dari arah sini. Mereka berdua pasti sudah datang
lebih dulu dan tengah menungguku, pikirku.Aku segera menuju ke tempat duduk mereka. Dalam benakku
terkumpul segudang cerita tentang keanehan sikap Randy tadi di
sekolah. Harus kusampaikan pada Katie dan Allison. Tapi kemudian
aku begitu terkejut melihat teman ngobrol Katie. Bukan Allison,
melainkan....
"Sam?" desisku terkejut melihat saudara kembarku. Mereka
kelihatan sedang asyik sekali hingga tak menyadari kehadiranku.
Sama seperti kekagetanku, Katie dan Sam juga terkejut
menatapku. Nyata sekali mereka salah tingkah. Tanpa tahu apa yang
harus kukatakan, kuambil tempat duduk di sebelah Katie.
Sedang apa mereka berdua di sini? Mestinya kan Sam duduk
dengan teman-teman cowoknya dan Katie bersamaku serta Allison.
Ada keuntungannya punya saudara kembar. Kadang-kadang kami
seperti dapat membaca pikiran masing-masing dan tak perlu selalu
berkomunikasi lewat kata-kata. Sam agaknya menyadari aku tak
begitu mengharapkan kehadirannya di sini.
"Oke, sampai ketemu deh," Sam tertawa kecut dan berlalu.
"Jadi...," ujarku perlahan pada Katie setelah Sam berlalu.
"Sab, aku dan Sam," Katie mencoba menjelaskan. Mungkin
ia juga merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan Sam. Tak
enak hati.
"Eh...mm...kita mau ngomongin soal dekorasi, kan?" selaku tak
ingin membicarakan kebersamaan Katie dan Sam barusan. Aku tak
ingin kehadiran Sam merusak persahabatan kami, sebaliknya aku juga
tak ingin mencampuri hubungan Katie dan Sam.
"Randy mana?" tanya Katie."Tadi aku ketemu dia, dua kali," kumulai ceritaku. "Pertama,
aku hanya sempat membicarakan soal New York. Kelihatannya dia
nggak begitu suka aku ngomong-ngomong soal kota asalnya. Yang
kedua, Randy menolongku dari ancaman Stacy. Tapi waktu kuajak ke
Fitzie?s, dia menolak. Katanya dia tak berminat bergabung dengan
kita. Kadang-kadang aku senang melihat gayanya. Tapi kalau terlalu
membingungkan, jengkel juga jadinya."
Katie menyeruput milk shake-nya sebelum berkata, "Barangkali
dia perlu cukup waktu untuk menyesuaikan diri. Mungkin agak sulit
baginya pindah dari kota besar ke kota kecil kita ini."
"Mungkin kau betul." Kusandarkan diri di kursi, tapi langsung
melonjak begitu teringat sesuatu. "Hei, mana Allison?"
"Tadi sih ada. Tapi dia harus cepat pulang untuk menjaga
adiknya. Dia minta maaf karena nggak bisa ikut rapat kali ini."
"Jadi kita cuma berdua nih?"
"He-eh. Dan kurasa hal penting yang harus kita putuskan adalah
tema dekorasi kita. Aku punya gagasan menarik," kata Katie
bersemangat. "Yah...sebetulnya bukan gagasanku, tapi gagasan Sam."
"Katie, ini kan bukan urusan Sam?" bantahku agak jengkel.
Katie tersipu.
"Kau benar. Harusnya aku tak perlu membicarakan urusan kita
dengan Sam," kata Katie dengan nada merasa bersalah.
"Memang," sahutku agak senang.
Katie ternyata sahabat yang baik dan punya pemikiran
bijaksana. Ia tak menuruti kemauannya sendiri, meskipun aku yakin ia
menyukai Sam. Mungkin ia menyadari, kencan dengan kakak sahabatbukan suatu hal yang menyenangkan untukku. Padahal menurutku sih
tak terlalu jadi masalah. Tapi, entahlah....
Pelayan datang menanyakan pesananku.
"Kentang goreng dan milk shake," jawabku.
Setelah pelayan pergi, Katie dan aku mulai lagi membicarakan
soal tema dekorasi, sampai datang gangguan berikut dari Sam dan
teman-temannya.
"Setuju nggak kalau dekorasinya bertema hutan rimba? Ide
bagus kan?" sela Nick memotong pembicaraanku dengan Katie.
Sekilas kulihat Katie tersipu-sipu saat menyadari Sam datang
lagi. Kali ini tidak sendiri, melainkan bersama Nick dan Jason. Seperti
biasanya mereka selalu bertiga.
"Hutan rimba?" tanyaku, agak kaget.
"Ya. Itu gagasan Sam yang ingin kusampaikan padamu tadi
Sabs," sambung Katie.
Aku menghela nafas jengkel. Sam benar-benar keterlaluan.
Bukan saja dengan sikapnya terhadap Katie, sahabat baruku, tapi juga
dengan ulahnya mencampuri urusan kami.
"Rasanya kalian bukan anggota seksi dekorasi deh," tukasku
agak ketus.
"Seksi? Kalian kan cuma berdua Sabs. Jadi bagus kan kalau
orang lain mau sumbang ide. Siapa tahu bagus. Lagipula bisa
meringankan beban kalian," kilah Sam.
Mungkin Sam benar juga. Lagipula aku senang karena ada
Nick. Terbayang lagi kata-kata Stacy siang tadi di sekolah. Nick
adalah pacarku! Bah! Siapa yang peduli? Nick betul-betul lucu. TapiStacy barangkali tidak tahu bahwa aku lebih menyukai cowok yang
lebih dewasa. Seperti Alec, misalnya.... Ah, kok lagi-lagi Alec, sih.
"Jadi? Kau terima ide kami?" Sam memotong lamunanku.
"Ide? Ide apa?"
"Hutan rimba sebagai tema dekorasi," sambung Nick.
"Hhhh....belum tahu deh," bisikku.
Aku tak mampu menolak usul Nick, tapi juga tak suka mereka
mencampuri urusanku. Yang jadi ketua seksi kan aku, dan mereka
sama sekali bukan anggota kelompok kami. Kupikir tema dekorasi
harus menjadi kejutan. Tapi kalau terlalu banyak orang yang ikut
campur, mana mungkin jadi kejutan?
"Kita omongin lagi besok deh, Katie," akhirnya aku
memutuskan. Lantas aku berdiri, melambaikan tangan untuk Katie.
Kutinggalkan Fitzie?s dengan perasaan gundah.
"Ke mana Sabs?" tanya Katie mencoba mencegah kepergianku.
Aku mengangkat bahu. Sambil menyandangkan tas di bahu,
kubuka pintu tapi seketika itu juga aku terperanjat. Kulihat sepasang
kekasih bergandengan mesra, berjalan masuk ke Fitzie?s.
Stacy dan Alec!BAGIAN SEPULUH
Aku berjalan cepat ke rumah dengan perasaan tak menentu.
Stacy dan Alec ke Fitzie?s pakai gandeng-gandeng tangan segala.
Kelihatannya mesra lagi! Bah, bayang-bayang tentang mereka benarbenar membuatku kehilangan mood!
Bagaimana mungkin aku bisa mengajak Alec ke pesta dansa
malam penyambutan murid baru, jika Stacy selalu ada di sebelahnya?
Tak habis pikir aku, kok bisa-bisanya cowok macam Alec menyukai
cewek seperti Stacy?
Aku masih juga memikirkan masalah itu sampai saat makan
malam. Ketika kubereskan meja makan, telepon berdering.
"Halo, bisa bicara dengan Sabrina?"
"Ya, saya sendiri."
"Ini aku, Katie," terdengar suara lembut.
"Oh...hai," aku menyahut balik. Kuharap nada suaraku tak
terlalu sinis. Jangan-jangan Katie masih mau memaksakan tema hutan
rimba itu! Aku sama sekali tak setuju atas usul Sam!
"Sabs, aku ingin bicara tentang kejadian siang tadi di Fitzie?s,"
tutur Katie perlahan.
Nah ini dia! Sebentar lagi pasti Katie pasti akan mengusulkan
dekorasi ruangan pesta dengan kertas warna hijau dan membuatpohon-pohonan. Lengkap dengan beberapa anak yang disuruh
memakai kostum monyet! Mau pesta atau jadi Tarzan?
"Katie," tandasku cepat, "kurasa ide hutan rimba bukan gagasan
yang menarik."
"Ya. Sepulang dari Fitzie?s, sepanjang jalan aku memikirkan
hal itu. Kurasa kau benar. Hutan rimba bukan gagasan yang menarik."
Kuhela nafas lega. (Wah, Katie pasti dengar). Untunglah. Kalau
sampai Katie dan aku berbeda pendapat, kan nggak enak, ya?
"Jadi kita singkirkan tema itu jauh-jauh, ya?" ujarku, "dan kita
pikirkan ide lain. O ya, besok pagi kita tunggu Allison di gerbang
sekolah, yuk? Barangkali saja dia sudah punya ide yang lebih
menarik."
Kudengar Katie menghela nafas.
"Boleh juga. Dan setelah kita menemukan tema, kurasa kita
juga bisa mulai membicarakan ?Operasi Alec? kita."
"O ya? Apa rencanamu?" tanyaku kurang bersemangat.
Aduh si Katie ini bagaimana sih? Tahu sendiri kan, semangatku
mulai pudar sejak kusadari bahwa Stacy selalu ada di sebelah Alec.
Kelihatannya dia malah tak akan membiarkan Alec sendirian, walau
cuma sedetik!
"Sabtu pagi, kita nonton sepak bola yuk?" Katie agaknya tak
dapat membaca nada suaraku yang tak bersemangat.
"Nonton sepak bola? Ngapain?"
"Alec dan tim sepak bolanya kan latihan tiap Sabtu pagi!
Rasanya ini kesempatan baik untukmu. Siapa tahu dia malah suka
karena kau memperhatikan hobinya."Rupanya ?Operasi Alec? benar-benar akan dilangsungkan! Hari
Sabtu tinggal satu malam lagi. Antara resah dan bersemangat, kucoba
lagi membangun segala keberanian yang ada dalam diriku.
Kuyakinkan diriku, tak ada salahnya mencoba.
Beberapa saat kemudian kami mengakhiri pembicaraan telepon.
Segera kulanjutkan pekerjaanku membereskan meja makan. Terus
terang saja nih, telepon dari Katie membuat hatiku tenteram,
malah...berbunga-bunga!
**************
Esoknya aku terbangun pagi-pagi. Lebih pagi dari wekker yang
semalam ku-stel. Satu jam sebelumnya! Kumatikan dering yang bising
itu dan kurentangkan tubuhku menatap langit-langit. Ah, poster Tom
Cruise itu masih setia menatapku. Kucoba membayangkan wajah
Alec. Hari Sabtu. ?Operasi Alec? akan segera dimulai.
Memikirkan Alec membuatku jadi ikut memikirkan pesta
penyambutan murid baru kami. Rapat kecil bersama Bu Staats
kemarin tidak begitu lancar. Masing-masing punya ide-ide aneh
tentang dekorasi yang agaknya tak dapat dijalankan. Kecuali Randy.
Ia tak punya gagasan sama sekali. Allison menyarankan agar membuat
dekor ala tahun 60-an. Kurasa akan membosankan dan kurang meriah.
Sementara aku sendiri mengusulkan memakai tema 'Hollywood?. Tapi
jelas akan sulit sekali menerapkan Hollywood dalam dekor.
Akhirnya, Bu Staats mengajukan gagasan yang cukup asyik:
suasana Luar Angkasa! Aku langsung menyetujui ide cemerlang itu.
Tapi sampai kini aku masih belum dapat merencanakan apa-apa saja
yang akan kami lakukan untuk mewujudkan gagasan tadi dalam
bentuk dekorasi.Aku melompat turun dari tempat tidur dan segera ke kamar
mandi sebelum didahului yang lain. Luke, kakakku menghabiskan
waktu amat lama hanya untuk mandi. Bergegas kuturuni anak tangga
dan kulihat pintu kamar mandi masih terbuka.
Usai mandi, hal pertama yang kulakukan adalah menyisir
rambut. Rambut keriting, seperti kataku sebelumnya, amat sukar
ditata. Kusut di sana-sini. Setelah rapi tersisir, kukenakan jepit rambut
unik yang baru kubeli. Penuh hiasan mungil berupa miniatur orangorang dari berbagai penjuru dunia.


Girl Talk 01 Tahun Ajaran Baru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebelum memutuskan mengenakan pakaian apa yang pas, aku
harus berganti sampai lima kali! Pakaianku berserakan di kamar.
Kutatap bayangan diriku dalam cermin. Jelas aku ingin tampil sebaik
mungkin untuk menarik perhatian Alec. T-shirt putih, celana bergaris
putih hijau dan jaket hijau kurasa kelihatan cukup manis dan sportif.
Sambil berlari kecil, kutelusuri jalan menuju lapangan bola di
sekolah. Katie ternyata sudah ada di sana.
"Sorry...telat...," ujarku terengah-engah.
"Nggak apa-apa," sahut Katie. "Siap untuk ?Operasi Alec??"
tanya Katie saat kami berdua menyeberangi halaman rumput menuju
lapangan bola.
"Siap? Yah...mudah-mudahan."
Tiba-tiba kusadari penampilan Katie biasa-biasa saja. Sweater
putih dengan hiasan warna-warni dengan jeans belel dan sepatu kets.
Mungkin sebaiknya aku juga mengenakan jeans saja, pikirku seketika.
Barangkali aku terlalu berlebihan.
"Katie," kutahan lengannya. "Rasanya aku ... eh...kita batalkan
saja rencana ini yuk?""Jangan ngaco deh."
"Rasanya aku nggak siap. Moral materil," keluhku cemas.
"Sabrina, kamu cuma cemas. Percaya deh. Buang rasa cemas
itu. Hari ini kamu kelihatan cantik sekali," Katie seperti biasa
membesarkan hatiku.
"Thanks," aku berterimakasih. Kata-kata Katie benar-benar
membuatku sedikit tenang dan mantap.
"Kau bilang apa sih sama si...."
"Todd. Teman Alec namanya Todd," sela Katie.
"Ya. Kau bilang apa?"
"Tenang aja deh. Aku nggak akan memberi kesan agresif atau
kampungan. Percaya deh sama aku," Katie tersenyum.
"Percaya sih percaya, tapi...kita batalkan saja ya?" aku kembali
ciut.
"Sabrina, kau pasti bisa mengatasi perasaan cemasmu itu. Kalau
tidak, kau harus rela melihat Alec pergi ke pesta dengan Stacy," tukas
Kaite.
Kuhela nafas panjang dan kubuang pandangan ke lapangan.
Ramai sekali. Tak kusangka akan begitu banyak orang datang ke
lapangan hari ini. Itu artinya kedatanganku sama sekali tidak akan
mencolok. Kulihat beberapa anak laki-laki dan anak perempuan duduk
berkelompok-kelompok di tepi lapangan.
"Kok Alec-nya nggak kelihatan? Barangkali dia nggak datang,"
bisikku.
"O pasti datang deh. Dia kan kapten kesebelasan."
Kuputar pandangan sekali lagi dan kuputuskan untuk memakai
kaca mata hitam. Kebetulan matahari bersinar terik. Tapi sebenarnyaaku hanya ingin menutupi mataku agar tak seorang pun tahu bahwa
aku tengah mencari Alec. Lagi pula para bintang terkenal juga sering
memakai kaca mata hitam.
"Sst...tuh mereka datang. Sekarang lagi pada kemari," bisik
Katie menyenggol lenganku.
Alec kelihatan luar biasa dengan polo t-shirt biru elektrik yang
dipadukan dengan jeans hitamnya. Aduuuh cowok ini! Begitu keren
dan oke. Di sampingnya berjalan Todd dan kakakku, Mark, serta
beberapa anak lain yang tak kukenal.
"Katie, rasanya aku mau mati aja deh," bisikku sambil
menghela nafas berat.
"Jangan dulu! Lihat di mana mereka duduk. Operasi kita pasti
cespleng deh," Katie tetap bersemangat.
Kulihat posisi mereka dan aku langsung setuju pada anggapan
Katie. Mereka duduk di sebelah kanan kami. Tak begitu jauh. Dari
tempatku ini, aku bisa memantau Alec dengan leluasa.
"Tunggu di sini ya. Oke?"
"He-eh. tapi cepetan ya, biar cepet beres," sahutku makin resah.
"Siplah. Aku cepat-cepat deh," kata Katie sebelum berlalu.
"Hei...hei...tunggu!" panggilku menahan langkahnya.
"Apa lagi?"
"Aku nggak siap," bisikku masih ragu.
"Sabrina, ngapain sih pakai bisik-bisik segala? Norak ah.
Emangnya mereka bisa mendengar suaramu dari jarak sejauh ini?
Sudah deh, aku ke sana dulu...."
Semoga sukses, gumamku penuh harap dalam hati. Kulihat
Katie berjalan mendekati mereka.Kutarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan debar yang tak
karuan ini.
Tiap gerak Katie kupantau dengan cermat dari balik kaca mata
hitamku. Katie bicara pada Todd dan kemudian Todd membisikkan
sesuatu pada Alec.
Beberapa detik kemudian Alec menatap ke arahku. Aku merasa
salah tingkah saat tatapan kami bertemu. Padahal sebetulnya Alec kan
sebenarnya nggak tahu kalau aku juga sedang menatapnya, sebab aku
mengenakan kaca mata hitam! Lalu Katie kembali ke tempatku.
"Operasi selesai dengan sukses," lapor katie. "Nggak ada
masalah kok. Alec udah tahu kamu menyukainya. Sekarang kamu
tinggal nunggu ajakan dari Alec aja. Gampang kan?"
"Oh Tuhan. Dia tadi menatapku terus! Katie, kamu betul-betul
udah ngomong sama Todd ya?" aku masih belum dapat menguasai
perasaanku.
Katie hanya memandangku jenaka sambil tersenyum.
"Makasih ya Katie. Rencanamu memang bagus. Mudahmudahan selanjutnya juga bagus," harapku.
"Menurut perasaanku sih memang begitu," Katie tersenyum
yakin.BAGIAN SEBELAS
"Aduuuh, rasanya nggak sabar lagi deh, nunggu pesta itu!" seru
Stacy bersemangat.
"Jadi mau betul-betul nekad ngajak dia?" tanya Eva.
"Yap."
"Wah...wah...," B.Z. yang memang malas bicara hanya
mengungkapkan kekagumannya dengan pujian.
"Kau untung besar deh, Stacy. Cowok itu bener-bener keren.
Coba lihat matanya...uh...," timpal Laurel.
Siapa sih yang mereka omongin? pikirku heran. Aku masih di
dalam kamar kecil ketika Stacy dan badut-badut pengikutnya masuk.
Bukan maksudku menguping percakapan mereka. Aku hanya ingin
menunggu mereka selesai dan keluar dari kamar mandi. Tahu sendiri
kan, setiap melihatku Stacy selalu ingin cari gara-gara.
"Kita harus belanja dulu nih," lanjut Stacy, "aku harus tampil
istimewa. Kira-kira apa ya warna kesukaan Alec?"
Astaga! Aku terkejut dan berusaha menahan emosi agar tidak
pingsan di kamar mandi. Jadi Stacy mau pergi ke pesta dansa dengan
Alec! Berarti operasi Alec tempo hari sama sekali gagal total!
Aku benar-benar bodoh. Bagaimana mungkin aku
mengharapkan Alec bakal tertarik pada gadis macam aku? Aku inginsegera mengadukan hal ini pada Katie, bahwa aku sudah melupakan
soal pesta dansa itu. Cowok impianku sudah punya pasangan. Yang
bikin kesal, pasangannya adalah si Hebat Stacy Hansen! Rasanya
hidup benar-benar tak adil.
"Eh, ayo, cepat! Kalau nggak kita terlambat latihan paskibra
nih," ajak Eva pada teman-temannya.
Kutunggu sampai pintu kamar mandi terdengar ditutup sebelum
keluar dari kamar kecil. Seperti mereka, aku pun harus segera ke
bawah, mengambil perlengkapan dekorasi. Sampai detik ini aku
belum tahu harus mengambil bahan-bahan apa saja. Gagasan memang
sudah ada, tapi bagaimana mewujudkannya? Belum ada bayangan.
Semua orang sedang sibuk. Katie berlatih dengan pasukan
pembawa benderanya. Allison harus menjaga adiknya selama ibunya
sibuk, dan Randy masih juga belum dapat kubujuk untuk bergabung
dengan kami. Jadi aku benar-benar bertugas dan bekerja sendirian.
Seperti anggota tunggal dalam seksi dekorasi. Huh.
Aku melangkah perlahan menuju ruang kesenian. Rencanaku
adalah mengambil bahan-bahan yang kira-kira perlu, lantas
mengerjakannya di rumah.
Kuambil sebuah papan poster, karton warna-warni, lem, selotip,
kertas krep dan balon-balon berwarna. Sejauh ini aku tetap belum
punya bayangan, apa yang akan kulakukan dengan benda-benda ini.
Bagaimana caranya dapat kubangun suasana ?ruang angkasa? dengan
benda-benda ini?
Menaiki tangga, aku menuju lokerku perlahan. Membawa
bahan-bahan dekorasi aku harus melangkah berhati-hati. Aku harusrajin-rajin memperhatikan jalan di depanku agar tidak menabrak orang
lain.
Tiba-tiba saja aku begitu kangen untuk ngobrol. Dengan siapa
sajalah. Rasanya kesibukan sebagai seksi dekorasi benar-benar
menyita waktuku, sampai-sampai aku tak sempat lagi melakukan hobi
yang satu itu. Apalagi ditambah dengan persoalan Alec. Memikirkan
Alec membuatku ingin menangis. Tanpa Alec aku enggan datang ke
pesta dansa.
Entah kemana pikiranku, tahu-tahu saja aku menabrak
seseorang. Lamunanku bertebaran seperti juga barang-barang yang
kubawa.
"Randy!" seruku terkejut.
Aku tak tahu harus berkata apa. Marahkah dia? Randy sukar
ditebak wataknya. Suasana hatinya amat mempengaruhi sikapnya.
"Hei, hati-hati dong kalau jalan!" tegurnya ketus.
Aku diam. Randy benar-benar keterlaluan deh. Mestinya dia
yang harus hati-hati dong. Apa dia nggak lihat bawaanku begini
banyak?
"Dan jangan coba-coba membujukku untuk ikut bekerja dalam
seksi dekorasimu!" pesan Randy ketika melangkah meninggalkanku.
Mendengar kata ?dekorasi?, aku jadi teringat pesta dansa malam
penyambutan murid-murid baru yang tengah kupersiapkan. Aku
menyiapkan dekornya sementara Alec datang dengan Stacy. Rasanya
aku bakalan sulit menerima kenyataan itu. Tapi harus bagaimana lagi?
Air mata yang telah lama kutahan mendadak mengalir menuruni
pipiku. Kucoba menyusutnya cepat-cepat agar tak seorang punmelihat. Tapi nyatanya tangisku tak tertahan lagi. Aku terisak-isak
sendiri. Lirih.
Aku tak ingin Randy melihatku. Cepat-cepat kutundukkan
kepalaku, pura-pura sibuk memunguti barang-barang yang berserakan
di lantai. Kurasakan tetes air mataku jatuh membasahi sepatuku.
Sepatu yang kubeli waktu kelas enam dulu. Banyak tanda tangan
teman-temanku waktu kami lulus dari kelas enam. Aku jadi teringat,
hari-hariku di kelas enam jauh lebih lancar daripada kelas tujuh
sekarang.
"Sabrina," tiba-tiba terdengar panggilan Randy. Tangannya
menyentuh bahuku. "Kau baik-baik saja kan?"
Eh? Suara Randy benar-benar berubah seratus delapan puluh
derajat. Baru saja ia begitu ketus, kini begitu lembut dan hangat.
Bersahabat.
"Sini kubantu." Randy ikut membenahi bahan dekorasi yang
berserakan. Ia meletakkan skate-board-nya untuk membantuku. "Buat
apa sih ini semua?" tanyanya.
"Pesta penyambutan murid baru," sahutku. "Buat dekorasinya."
"Dekorasi? Dengan bahan-bahan ini? Kau mau buat apa?"
tanyanya lagi.
"Ruang angkasa."
"Ruang angkasa? Hmm...itu tema yang diberikan Bu Staats
tempo hari kan?"
Aku mengangguk.
"Dekor ruang angkasa,...dengan bahan-bahan seperti ini?"
Randy mengangkat alisnya seperti heran."Nanti akan kutambahkan kertas perak," jawabku sambil
meredakan tangis.
"Kertas perak?" pekik Randy tertahan.
"Iya. Kenapa? Lucu ya?" aku mulai tersinggung.
Randy tersenyum.
"Bukan kertas peraknya yang lucu, tapi kamu! Masa bikin
suasana ruang angkasa dengan bahan-bahan ini. Rasanya nggak
mungkin, deh," komentarnya.
"Hei Randy!" Tiba-tiba terdengar suara anak cowok memanggil
Randy. Penampilannya jantan, benar-benar ?macho?.
Siapa dia ya? Aku belum mengenalnya. Rambutnya coklat tua
seperti matanya yang sepintas kelihatan hitam. Ia menatapku, tapi
kupalingkan wajahku agar ia tak melihat bekas air mata di pipiku.
Wajahnya membuatku teringat pada Johnny Depp, salah satu aktor
pujaanku selain Tom Cruise.
"Ada apa sih?" ia bertanya pada Randy sambil mencoba
menatapku, kali ini tatapan kami bertemu pandang. Wow! Dalam hati
aku berseru kagum. Keren amat dia!
"Kami lagi ngebahas soal dekorasi untuk pesta penyambutan
murid baru," jawab Randy.
Kami?! Sejak kapan Randy merasa dirinya bagian dari seksi
dekorasi?
"O ya? Apa temanya?" tanyanya lagi. Ia menatapku lagi dan
tersenyum. Baru kusadari ia memiliki sepasang lesung pipit yang
membuatnya gagah sekaligus imut-imut. Aku merasa pipiku merah
karena tersipu. Pasti aku kelihatan jelek banget dengan bekas air matadan mata memerah macam ini, pikirku malu. Lagipula bibirku pasti
sudah pucat karena lip-gloss-ku sudah hilang.
"Spike, kenalkan ini Sabrina. Sabs, ini Spike," Randy
memperkenalkan kami.
Spike. Betul-betul nama yang cocok untuk cowok macam dia.
Wajahnya dan namanya benar-benar memberi kesan nge-rock!
"Sabrina, kamu juga mau datang ke pesta itu?" tanyanya. Ia
bicara padaku!
"Sepertinya iya...," seketika aku melupakan kesedihanku
barusan. Tadinya aku sudah menyerah dan pasrah. Tapi kini rasanya
mulai punya semangat lagi untuk datang ke pesta,
"Bagus. Jadi kau bisa melihat penampilan group band-ku."
Nah, betul kan! Spike benar-benar seorang pemain band seperti
dugaanku. Penampilan dan namanya saja sudah menunjukkan hal itu.
"Spike ini pemain gitar sekaligus penyanyi di grup
WideAwake. Mereka akan mengiringi kita di pesta nanti," Randy
menjelaskan. "Mereka dari kelas sembilan."
"Hei, buat apa barang-barang ini?" tanya Spike melihat bahan
dekorasi yang kupegang.
"Mh...ini...bahan dekorasi pesta dansa...rasanya...," sahutku
malu-malu.
"Kelihatannya kalian masih mau rembukan dekor, ya? Oke deh,
kalau gitu aku pergi dulu. Sampai ketemu di pesta nanti, Sabs. Daah
Randy!" Sebelum pergi ia melirikku sekali lagi dan tersenyum.
"Wah Randy, darimana kamu kenal dia? Dia betul-betul keren
lho!" seruku meluapkan rasa kagum yang kutahan sejak tadi."Ya. Emang keren. Musiknya juga keren. Mengingatkanku pada
suasana New York," sahut Randy.
"Dia pasanganmu di pesta nanti?" tanyaku penasaran.
"Aku dengan Spike?" Randy balas bertanya sambil menahan
tawa. "Buat aku sih, datang ke pesta nggak selalu harus berpasangan.
Aku bisa datang sendiri kok."
Aku tak tahu, senang atau sebaliknya mendengar jawaban
Randy. Tapi Randy mungkin benar. Pesta dansa tidak berarti harus
punya pasangan.
"Eh, gimana tadi soal dekorasinya?" Randy memutuskan
lamunanku. "Jadi, temanya luar angkasa, gitu ya?"
"He-eh."
"Ada ide lain selain menggunakan kertas perak?" tanya Randy.
Aku mengangkat bahu. "Sampai detik ini belum."
"Aku punya!" Randy menepuk bahuku. "Aku punya lampu
disko yang bisa menyala mengikuti irama musik!"
Aku masih belum mengerti maksudnya. Tapi kedengarannya


Girl Talk 01 Tahun Ajaran Baru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gagasan memakai lampu disko jauh lebih asyik dan menarik daripada
kertas krep dan balon.
"Dan sebagai pendukungnya," lanjut Randy tanpa
menghiraukan keherananku, "kita pinjam beberapa peralatan musik
Spike. Pasti boleh deh."
"Bagus! Ide bagus!" pekikku girang. Meskipun tetap belum bisa
membayangkan apa yang akan dilakukan Randy, aku merasa senang.
Dia kelihatan begitu yakin dengan idenya itu.
"Ruangan pesta akan berubah menjadi semacam pesawat ruang
angkasa. Harus kelihatan aneh dan penuh lampu-lampu," Randy mulaimengkhayal. "Ini baru gagasan aja kok. Besok kita ketemu lagi. Kita
bahas lebih rinci. Oke?"
"Oke. Makasih ya Randy!" aku membalas lambaiannya.
Randy berlalu, meluncur di atas skateboard-nya.
Aku tak sabar lagi untuk segera memberitahukan Katie dan
Allison tentang gagasan Randy. Lampu disko dan asap buatan. Dan
yang paling penting aku yakin mereka akan terkagum-kagum bila
mendengar ceritaku tentang perkenalanku dengan Spike!BAGIAN DUA BELAS
Belum pernah aku merasa secemas ini seumur hidupku.
Memang sih, menjadi pemimpin barisan peniup klarinet jelas
merupakan hal yang penting! Ratusan orang akan menyaksikan
atraksiku. Selalu kuusahakan menyisihkan waktu untuk latihan
tambahan di luar latihan rutin.
Tapi beban yang kusandang rasanya kian berat karena aku tahu,
anggota barisan peniup klarinet lainnya bergantung padaku. Ah,
mudah-mudahan semuanya berlangsung sesuai rencana. Semoga juga
anggota lainnya juga berlatih sekeras aku.
Begitu banyak suara dan nada-nada berbaur memenuhi ruangan
sehingga menimbulkan kebisingan yang luar biasa. Kulirik arloji di
pergelangan tanganku. Sudah hampir jam lima sore.
Jum?at ini kami akan melakukan parade marching band jam
lima. Hari pesta penyambutan murid baru yang menandai awal tahun
ajaran segera berlangsung. Bukan hanya oleh para siswa, pesta besarbesaran ini juga ditunggu-tunggu oleh penduduk setempat. Banyak
orang menunggu di tepi jalan. Kemarin tim sepak bola Acorn Falls
setelah melampaui babak final dan kini tinggal menghadapi tim
Redwings."Sabrina!" panggil Nick sambil melangkah mendekatiku. Ia
membawa genderang besar di perutnya dan pemukulnya di tangan.
"Siap untuk parade?" tanyanya.
Aku hanya mengangkat alis, sebab mulutku masih
kupergunakan untuk meniup klarinet. Aku tahu, bentuk wajahku pasti
konyol dengan klarinet dimulut. Tapi seperti anjuran para profesional,
sebelum mulai bermain, kita harus mengadakan latihan sekurangnya
sepuluh menit sebelumnya. Warming Up, gitu.
"Sayang kita nggak bisa bareng, ya. Kalau bisa kan lebih asyik
tuh," ujar Nick lagi sambil tersenyum. Nick kelihatan cakep banget
kalau lagi senyum seperti itu. Tapi sayangnya ia sebaya denganku dan
menurutku cowok yang sebaya sebaiknya hanya dianggap teman saja.
Kucoba untuk balas tersenyum. Tapi ketika kugerakkan bibirku,
klarinet meluncur lepas dari mulutku.
"Ops...," pekikku.
Secara reflek Nick dan aku berusaha memungut klarinet dalam
saat yang bersamaan, tak terhindarkan lagi genderang di perut Nick
membentur dadaku. Kami berdua jatuh terjengkang ke rumput.
"Aduh....maaf ya Sabs," Nick menolongku bangkit dengan
panik. "Aku selalu lupa sedang membawa genderang besar ini."
Kubersihkan rumput yang mengotori celana hitamku. Tak
apalah. Malah kami berdua tertawa atas kejadian konyol barusan.
Nick menyerahkan klarinetku kembali. Aku tersipu malu sebab
kusadari klarinet itu penuh air liurku. Kubersihkan ujung klarinet yang
basah itu dengan lap khusus dan kembali memasukkannya ke
mulutku."Sabrina, sebetulnya ada yang mau aku omongin, nih...," Nick
terbata.
Beberapa saat ia tak melanjutkan kata-katanya. Sementara aku
menunggu dengan klarinet tetap di mulutku. Nick kelihatan salah
tingkah sendiri. Apakah ia cemas memikirkan parade yang akan
segera berlangsung? Kelihatannya seperti orang yang tertekan
perasaannya.
"Aku...mh...kira-kira...kamu...,"Nick masih terbata-bata.
Kutatap wajahnya, menunggu kalimatnya selesai.
"Sabrina," Nick mulai lagi dan tiba-tiba wajahnya memerah. Ia
menunduk.
Sesaat aku terpana. Ia kelihatan makin imut-imut jika sedang
tersipu seperti ini. Seperti anak kecil yang ganteng, pikirku.
"Mau nggak kamu ke pesta denganku," tutur Nick begitu cepat
tanpa titik koma, sehingga agak sukar bagiku untuk menangkap isi
kalimatnya. Beberapa detik kemudian baru bisa kucerna maksudnya.
Sebelum aku sempat menjawab. Pak Metcalf, guru musik kami,
sudah berteriak-teriak memerintahkan barisan parade untuk segera
membentuk formasi dan bersiap-siap.
"Habis parade, kita ketemu lagi ya!" Nick melambai dan
bergegas bergabung di barisan pemukul genderang.
Aku tertegun. Nick Robbins baru saja mengajakku ke pesta
dansa! Dia mengencani aku! Apa yang harus kulakukan?
Tahun lalu, waktu masih di kelas enam, memang aku gandrung
sekali pada Nick. Kalau dia yang ngajak aku jalan-jalan jawabannya
pasti: YA! Tak usah pakai pikir panjang.Sekarang? Emm, gimana ya? Cowok yang sebaya rasanya
terlalu muda untuk jadi pasangan kencan. Lagipula perasaanku pada
Nick juga biasa-biasa saja tuh. Maksudku, aku ingin dekat tapi hanya
sebagai sahabat. Aku tak ingin mengacaukan perasaan itu.
"Sabrina!" panggil Pak Metcalf. "Ke sini! Bentuk barisan
segera!"
Winslow segera berdiri di belakangku, sebagaimana posisi
seharusnya. Ia adalah peniup klarinet ke tujuh.
"Eh,...Winslow. Kalau melangkah nanti yang pas dengan irama,
ya?" pesanku, mengingatkan. teenlitlawas.blogspot.com
Winslow cuma nyengir. Dia memang sering canggung
melangkah di tengah-tengah alunan musik. Apalagi dalam suasana
hingar-bingar. Bisa tambah kikuk dia.
Kemudian barisan peniup trombone di depan barisan klarinet
mulai bergerak. Tapi mereka lantas berhenti lagi. Pasti ada yang
belum siap. Menunggu adalah hal yang paling bikin frustasi.
Kira-kira si Sam, kembaranku, sedang apa, ya? Orang seperti
dia tak begitu suka pada acara-acara parade seperti ini. Dia paling
tidak suka ditonton orang banyak. Sam hanya suka tampil di depan
orang banyak dalam olah raga.
Di barisan depan kulihat gadis-gadis pembawa bendera sedang
melakukan pemanasan. Mereka ini boleh dibilang gadis-gadis
tercantik di sekolahku. Aku senang sekali melihat Katie ada di situ.
Tahun ini seragam mereka benar-benar keren deh. Roknya mini
hitam dari bahan kulit yang diberi lipitan menawan. Rok itu
dipadukan dengan blus berkerah tinggi warna hitam. Lantas sebagai
pemanis diberi selendang dan topi kain yang juga dilipit-lipit kecil.Dengan seragam itu, Katie terlihat tambah cantik. Ya, dia
sungguh beruntung terpilih sebagai pembawa bendera, meskipun
menurutnya sendiri ia tak begitu tertarik.
Kadang-kadang dia juga mengeluhkan Stacy. Si Hebat Stacy
memang selalu ingin berada di barisan depan dan menonjolkan diri.
Ya, siapa pun yang kenal Stacy pasti tahu bahwa cewek ini selalu
ingin menjadi pusat perhatian.
Kutarik nafas panjang dan mengeringkan telapak tanganku yang
basah pada celanaku. Rupanya aku benar-benar resah. Meskipun
seragam marching band sederhana saja, kuharap penampilanku manis.
Aku mengenakan blus putih dan celana panjang hitam seperti anggota
lainnya. Kami kelihatan seperti serombongan pinguin, mungkin.
"Sabrina!" bisik Winslow agak keras.
Ternyata sudah waktunya barisan klarinet bergerak mengikuti
barisan trombone yang telah melangkah lebih dulu. Kumasukkan
klarinet ke mulut dan beberapa saat kemudian kami sudah berjalan
sambil memainkan lagu-lagu. Rasanya amat berbeda ketika masih
latihan. Waktu latihan kami hanya mengelilingi lapangan bola. Kini
kami menyusuri jalan yang penuh orang-orang di tepiannya.
Kami sampai di pusat kota dan parade mulai melakukan atraksi.
Pemain genderang melakukan permainan solo dan mayoret juga
menyajikan atraksi, melepaskan petasan warna-warni ke udara. Di tepi
jalan, bapak walikota ikut menyaksikan atraksi kami. Sesuai irama
genderang, para pom-pom girls meneriakkan kata-kata yang amat
kunanti-nantikan: "Hidup pemimpin kami, hidup tim kami, hidup
atraksi kami, hidup semangat kami! Hore...hore...hore....!" Merekabersorak-sorak sambil melompat-lompat lincah, disambut teriakan
para penonton: "Hidup Bradley, hidup Bradley!"
Saat puncak hampir tiba. Acara pengibaran bendera. Tapi
sekonyong-konyong angin bertiup cukup keras. Rok mini para gadis
pembawa bendera tersingkap tertiup angin. Mereka sibuk memegangi
rok sekaligus topi agar tak melayang. Dalam suasana ditonton orang
banyak, mereka kelihatan tambah panik. Bendera belum dikibarkan
karena tangan mereka sibuk memegangi topi dan rok. Sementara
bendera cuma dijepit di lengan saja.
Mestinya, sebelum mengibarkan bendera mereka melepaskan
balon warna-warni. Tapi balon-balon itu sudah lebih dulu
diterbangkan angin. Membumbung jauh ke angkasa. Di tengah
kepanikan itu beberapa gadis malah menjatuhkan bendera yang
dibawanya.
Semua orang tertawa melihat kejadian konyol itu. Bahkan
gadis-gadis pembawa bendera sendiri pun ikut tertawa, termasuk
Katie. Tapi Stacy Hansen kelihatan marah dan tidak senang atas
kejadian itu. Terutama waktu orang tertawa melihat rok mininya
tersingkap. Kejadian ini membuatku merasa beruntung menjadi
peniup klarinet. Angin tak akan mampu menerbangkan instrumen
kami yang berat-berat ini.
Namun akhirnya para penonton bertepuk tangan juga, meskipun
atraksi tidak berjalan lancar. Kami melakukan marching lagi dengan
arah kembali ke sekolah. Dari kejauhan terlihat puncak bangunan
sekolah kami. Waktu berjalan cukup cepat dan nyaris tak terasa.
Nick bilang ia akan menemuiku lagi seusai parade. Parade
hampir berakhir, tapi aku belum mendapat keputusan: Pergi ke pestadengan Nick atau tidak? Aku ingin meminta pendapat Katie lebih
dahulu.
Kami berhenti di lapangan sepak bola tempat kami memulai
parade tadi. Secara resmi parade berakhir. Kujepit klarinet di bawah
lenganku dan mulai mencari Katie. Aku merasa perlu meminta
pendapat Katie sebelum Nick menemuiku. Tapi suasana yang begitu
ramai membuatku sulit menemukan Katie dalam waktu singkat.
Akhirnya Nick lebih dulu datang dengan terengah-engah.
"Sabrina! Sabrina! Tunggu!"
Yah. Kurasa aku harus memutuskan sendiri karena belum
sempat menemui Katie. Dan detik ini, Nick sudah berada di
hadapanku, sementara aku tetap belum memutuskan jawabanku. Aduh
gimana nih, ya atau tidak?
"Asyik ya? Sayang anginnya nakal, jadi acara puncaknya agak
kacau," seru Nick.
"He-eh, bagus," kusilangkan kaki sambil mencuri waktu untuk
berpikir.
"Gimana Sabs?" Ah, ini dia, Nick mulai lagi dengan ajakannya.
Aku mengangkat alis, siap-siap mendengarkan kelanjutan katakatanya.
"Mau kan pergi ke pesta dengan aku?" Nick mengulangi
pertanyaannya, kali ini dengan nada yang lebih jelas dan lancar. Tidak
gagap seperti tadi. Bahkan suaranya lembut sekali. Dan seperti biasa,
dia kelihatan tersipu-sipu. Giliranku yang kehilangan kata-kata.
"Aku senang sekali kau mengajakku. Jemput aku, ya?" tiba-tiba
kalimat itu meluncur dari bibirku tanpa sempat kukontrol sama sekali.Jawaban yang spontan dan hati kecilku sebenarnya juga masih ragu.
Benarkah keputusanku itu?BAGIAN TIGA BELAS
"Sabrina, coba kau atur penempatan lampu blitz itu. Tiap sudut
satu lampu!" perintah Randy. Hari Sabtu siang ini, aku bersama-sama
Katie, Allison dan Randy sedang membangun dekor di aula untuk
pesta malam nanti. Rasanya satu jam sudah terlewati, tapi menurut
perasaanku, kami masih akan bekerja lebih lama lagi.
Aku mendekati kotak lampu yang dibeli Randy dan Allison
pagi tadi. Aku bingung memperhatikan benda-benda teknologi
canggih yang bentuknya aneh-aneh itu. Mana ya, lampu blitz itu?
Wah, bentuknya saja aku belum tahu. Bagiku semua lampu sama saja.
Kalaupun berbeda, setahuku hanya lampu bohlam atau neon. Aduuh,
lampu blitz itu yang mana ya?
"Sabrina? Ada apa sih? Kok lama?" teriak Randy. Kepalanya
menyembul dari tumpukan kotak hitam yang mirip stereo set kakakku.
Kata Randy, kotak hitam itu namanya ?lampu organ?. Menurutku
benda itu sama sekali tidak berbentuk seperti organ. Tak ada tuts-nya
sama sekali.
Kutatap Randy dengan putus asa. Untunglah Allison datang
membatuku.
"Ini yang namanya lampu blitz, Sabs," ia menunjuk sebuah
lampu dengan bertiang hitam yang tinggi."Kok kamu tahu sih?" aku terkejut.
Baru saja Allison mau membuka mulut untuk menjawab, segera
kupotong cepat, "Ya, ya, aku tahu,...kau pernah membacanya entah
dari buku mana." Allison memang kutu buku. Buku apa pun
dibacanya, sehingga dia bisa tahu macam-macam.
"Lampu macam ini biasa dipakai di film-film," tambah Allison.
"Film?" aku mulai tertarik.
"Ya...," sahut Randy menimpali.
"Tapi dari mana kamu dapat lampu-lampu ini?" tanyaku pada
Randy, penasaran.
Katie dan Allison menatap Randy. Sementara Randy sendiri
tidak menunjukkan tanda-tanda akan menjawab pertanyaanku. Baru
saja aku hendak mengulang pertanyaanku, Randy menjawab perlahan,
"Dari ayahku."
"Ayahmu?" aku bingung.
"Hmm. Ayahku sutradara."
"Sutradara!" kini yang berteriak terperanjat bukan cuma aku,
tapi juga Katie. Aku nyaris tak percaya. Cita-citaku adalah menjadi
bintang film terkenal. Dan ayah sahabatku, Randy, adalah seorang
sutradara!
"Film apa saja yang dibuat ayahmu?" tanyaku lebih lanjut.
"Ayahku nggak bikin film buat bioskop. Dia sutradara untuk
video musik dan film iklan," Randy menjelaskan sambil mentest suara
lampu organnya.
"Wah,...hebat dong! Mungkin salah satunya pernah kulihat di
televisi ya?""Bisa jadi." Randy lantas mengalihkan pembicaraan pada
Allison. Kembali ke pekerjaan kami mendekor ruangan. "Allison,
tolong oper kabel merah di bawah kakimu itu."
Sebetulnya aku ingin bertanya-tanya tentang ayahnya lebih jauh
lagi. Tapi Randy kelihatan begitu sibuk dan lebih suka bekerja
daripada ngobrol. Katie menyenggol lenganku, mengajak kembali
bekerja. Berdua kami menggotong lampu blitz ke sudut yang
ditentukan Randy.
Jadi ini yang namanya lampu blitz. Lampu yang dipakai dalam
shooting-shooting film. Kuperhatikan bentuknya dengan seksama
sambil memasang kabel.
"Sabrina!" teriak Randy mengejutkanku. Dengan refleks kutarik
tanganku yang sedang mengelus-elus lampu.
"Apa sih? Ngagetin aja!" aku tersentak agak marah. Ngapain
sih dia membentak-bentak kayak gitu?
"Sori. Tapi kamu bisa kesetrum. Lihat, Katie sudah
menyambungkan listriknya," katanya dengan suara yang lebih lembut.


Girl Talk 01 Tahun Ajaran Baru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh...," kejengkelanku langsung mereda. Randy baru saja
menyelamatkan aku dari bahaya strum listrik.
Setelah selesai dengan lampu blitz, Katie dan aku kembali ke
tengah aula untuk memasang sisa-sisa lampu yang lain.
"Mau dipasang di mana lampu-lampu ini?"
"Jajarkan saja di sepanjang dinding. Pilih warna yang kontras
biar asyik kalau menyala nanti," pesan Randy.
Katie dan aku mulai memilih warna-warna yang serasi dan
memasangnya di sekeliling panggung dan beberapa baris di dinding.Randy kelihatannya begitu ahli soal ?perlampu?-an. Demikian juga
Allison.
"Sabs, aku senang deh kau jadi pergi dengan Nick," tutur Katie.
"Kita bisa jadi dua pasangan yang kompak."
"Dua pasangan? jadi kamu udah dapet pasangan?"
Katie mengangguk.
"Dengan siapa?" aku penasaran.
"Sam," sahut Katie perlahan sambil menunduk malu.
"Sam? Kok kamu nggak bilang-bilang sih?" tanyaku
terperanjat. "Kita kan tiap hari telpon-telponan. Kok kamu diem-diem
aja sih?"
"Aku...aku takut kau marah mendengarnya. Lagipula ini bukan
kencan serius kok. Kita nanti berangkat sama-sama?"
Aku hanya mengangkat bahu, tak tahu harus menjawab apa.
Aku tak ingin menyalahkan Katie.
Tapi dalam hati, rasanya nggak enak melihat kakak kembarku,
Sam, pergi dengan sahabatku, Katie. Aneh gitu.
"Sabrina," panggil Allison, "tolong oper spotlight itu dong."
Kuberikan beberapa lampu spotlight pada Allison. Dengan
tangkas ia segera memasangnya di tangga bawah panggung. Aku
senang Allison memberiku kesibukan sehingga aku tak perlu lagi
berbincang-bincang dengan Katie tentang Sam dan pesta dansa itu.
Aku tak mau dengar apa-apa lagi tentang Katie dan Sam.
Waktu kami selesai, Randy datang menghampiri dengan bola
warna-warni berkilau di tangannya. "Ini namanya tracers..." kata
Randy. "Harus digantung di tengah ruangan. Kalau disoroti lampu,
efeknya luar biasa deh. Cahaya lampu akan memantul dan terpecah-pecah seperti berjalan di lantai!" Randy mencoba menjelaskan
kehebatan bola itu.
"Wah,...seru banget kedengarannya!" seruku.
"Nanti kalau sudah lihat, kamu pasti lebih kagum lagi," Randy
tersenyum. "Kita belum selesai nih, masih harus menunggu Spike. Dia
janji meminjamkan tape deck-nya."
Spike? Spike mau datang? Eh, benar tuh. Baru saja dibicarakan,
pintu terbuka dan Spike masuk membawa stereo set-nya.
"Halo semua, lancar-lancar aja?" tanyanya sambil meletakkan
barang-barangnya yang berat di lantai.
Sekilas tatapannya menyapa mataku. Katie hanya terpaku
kagum menatap Spike. Pasti Katie punya penilaian yang sama seperti
aku. Spike memang keren dan gagah!
Spike meminta pertolonganku untuk mengangkat barangbarangnya ke atas panggung. Sementara Randy dengan gesit mulai
menghubungkan kabel-kabel dari stereo set Spike ke kabel-kabel
dalam kotak lampunya.
Akhirnya semua selesai juga. Kini kami siap melakukan gladi
resik untuk mencoba semua alat-alat yang telah terpasang.
Semua, kecuali Spike, mengikuti Randy menuju satu sisi aula
dan menunggu Spike menyalakan musik. Dan hasilnya? Luar biasa!
Decak kagum dan teriakan-teriakan spontan keluar dari mulut kami.
Rasanya kerja keras kami terbayar dengan hasil yang luar biasa unik
ini. Musik mengalun dari speaker dan lampu-lampu berkedip sesuai
hentakan irama musik disko yang dipasang Spike. Kelap-kelip
menyilaukan mata. Kata Randy, lampu itu bisa berkedip mengikutiirama lagu karena frekuensi yang berbeda-beda. Pokoknya gitu deh.
Aku nggak begitu mengerti dan tak begitu tertarik untuk mengerti cara
kerjanya. Yang jelas kelihatannya sungguh luar biasa!
"Wah,...lagunya asyik banget. Lagu siapa nih, Ran?" tanya
Spike.
"Broken Arrow. Mereka teman-temanku di New York," sahut
Randy. "Kalau kamu mau, boleh pinjam nanti!"
"Hei! Mesin dry ice-nya belum dipasang!" Spike mengingatkan.
"Harus dipasang di atas ruangan, supaya asapnya meluncur ke bawah.
Efeknya lebih seru!"
"Ya, kau betul!" Randy setuju.
"Apa pendapatmu Sabrina?" tanya Spike tiba-tiba.
"Tentu, tentu aku setuju," sahutku seadanya.
"Nah kalau Sabrina setuju, aku juga setuju!" Spike menatapku
penuh arti, dan tak melepaskan tatapannya sekali pun ia bicara pada
Randy, "Ran, lampu blitz itu sebaiknya jangan ditaruh di situ deh.
Kurang pas."
Randy setuju untuk memindahkan posisi lampu blitz.
"Sabrina, gimana kalau kita ?turun? sebentar supaya Randy bisa
mengatur posisi lampu yang paling tepat!" usul Spike tiba-tiba.
"Maksudmu?" aku bingung.
"Seolah-olah pesta sudah dimulai. Gladi resik! Kita jojing
beneran," Spike menarik tanganku.
"Oke."
Randy melompat ke panggung dan mulai memainkan lampulampu. Sementara aku dan Spike turun ke tengah aula. Randymengganti lagu dengan kaset dari kelompok Fine Young Cannibals,
She Drive Me Crazy. Wah, lagu kesukaanku!
Iramanya penuh semangat. Aku dan Spike langsung saja
bergoyang mengikuti irama lagu disko itu.
Sementara itu Randy sibuk memainkan efek-efek yang
terpancar dari lampu-lampu di sekeliling ruangan. Rasanya gagasan
?Luas Angkasa? ini benar-benar terwujudkan. Aku merasa sedang
berada dalam sebuah pesawat ruang angkasa sekarang!
Kok Randy bisa tahu lagu favoritku sih? Tadinya aku sedikit
salah tingkah waktu Spike mengajakku jojing. Tapi karena lagunya
begitu asyik, aku pun lantas larut dalam irama.
Tiba-tiba pintu aula terbuka. Nick dan Jason masuk membawa
beberapa kotak. Tepat pada saat lagu habis dan musik terhenti.
Lampu-lampu berhenti pula berkedip.
"Kukira kalian sedang mendekor ruangan," ujar Nick dengan
nada jengkel. "Kelihatannya kalian lagi nggak kerja deh. Lagi senengseneng ya?"
Menurut pendapatku, Nick sedang marah, belum pernah kulihat
ekspresi wajahnya yang setegang ini. Apa yang membuatnya marah?
"Hai Nick. Sudah kenal sama Spike?" tanyaku mencoba
mencairkan ketegangan diwajah Nick.
"Spike? Apa itu Spike?" Nick balas bertanya dengan nada sinis.
Sama sekali tidak menunjukkan minat untuk berkenalan dengan
Spike.
"Halo, saya Spike...," Spike mengulurkan tangannya tapi Nick
malah membuang muka, membalik tubuhnya ke arah berlawanansambil pura-pura sibuk memperhatikan aula. Pasti ada sesuatu yang
membuat Nick jengkel. Tapi apa ya?
Nick akhirnya menatap Spike dengan pandangan bermusuhan.
Sementara Spike malah nyengir. Konyol sekali kelihatannya. Aku
hanya bisa berdiri menatap keadaan itu dengan bingung. Apa yang
bisa kulakukan? Aku bahkan tak tahu kenapa Nick seperti
bermusuhan dengan Spike.
Aku telah lama mengenal Nick. Dan tak pernah kulihat reaksi
Nick yang se-?judes? ini.
"Aku pingin ngomong sama kamu, Sabs. Tapi nanti aja deh,"
ujar Nick sambil mengajak Jason keluar dari aula.
Aku dan Katie saling pandang. Sama-sama bingung. Allison
langsung bekerja lagi, memasang mesin dry ice di dinding yang agak
tinggi. Sementara Randy hanya mengangkat bahu, tanpa komentar
apa-apa terhadap kejadian tadi. Kenapa sih suasana yang tadinya enak
harus dirusak oleh kejadian macam tadi? Kuhela nafas jengkel.BAGIAN EMPAT BELAS
Nick menelpon Sabrina.
NICK: Sabrina? Ini Nick. Ada yang ingin kukatakan padamu.
SABRINA: Hai Nick. Ada apa?
NICK: Tentang pesta itu
SABRINA: Oya? Kenapa?
NICK: Aku nggak jadi pergi sama kamu...
SABRINA: Apaa??!!
NICK: Nggak perlu kuulangi, kan?
SABRINA: Main-mainmu nggak lucu, ah!
NICK: Nggak, aku lagi nggak ngelawak. Aku serius. Sori deh.
Aku nelpon cuma untuk membatalkan janji kita. Cuma itu kok.
SABRINA: Nick, ada apa sih? Kamu kan udah janji dan aku
udah mau....
NICK: Ya. Tapi itu kan tempo hari.
SABRINA: Hmm...hm...emangnya kenapa sih?
NICK: Aku mau ngajak gadis lain.
SABRINA: Cewek lain? Kamu kan udah ngajak aku!
NICK: Aku berubah pikiran.
SABRINA: Berubah pikiran? Oo...gitu ya... bagus....
NICK: Oke. Udahan dulu ya? Sampe ketemu.SABRINA: Yoi deh.
Sabrina menelepon Katie
SABRINA: Katie, hancur deh hidupku!
KATIE: Sabrina? Ini kamu kan? Kenapa? Rumahmu dibom?
SABRINA: Nggak tahu deh,...rasanya semangatku buat ke
pesta sudah habis total.
KATIE: Kamu ngelindur ya?
SABRINA: Aku lagi sedih. Nggak tahu deh harus gimana.
KATIE: Cerita deh. Barangkali saja kalau kita bagi-bagi cerita
perasaanmu bisa lebih tenang.
SABRINA: Nick Robbins barusan menelepon. Katanya dia mau
ngajak cewek lain untuk ke pesta. Dia batalkan janji kencannya begitu
aja! Padahal hampir semua orang sudah tahu kalau aku bakalan pergi
sama dia. Kalau tiba-tiba dia ngajak cewek lain,...hhh...rasanya aku
lebih baik nggak muncul sekalian aja!
KATIE: Kok si Nick tiba-tiba aneh gitu?
SABRINA: Nggak tahu. Aku sendiri nggak ngerti. Tadinya
malah kupikir dia main-main. Malah kurasa dia menyukaiku. Aku
kege-eran, ya?
KATIE: Tepat seperti dugaanku, Nick dan kamu cuma cocok
jadi teman biasa aja.
SABRINA: Udah deh, jangan dibahas. Aku jadi makin sakit
hati mendengarnya.
KATIE: Eh sabs.jangan-janganNick cemburu padamu. Tadi
siang dia kan lihat kamu jojing dengan Spike!SABRINA: Apa?! Cemburu?
KATIE: Pikir dulu deh Sabs. Tentu aja dia cemburu melihat
gadis yang mau diajaknya kencan asyik dengan cowok lain.
SABRINA: Aku tetap nggak ngerti. Bagaimanapun ia telah
mencampakkanku dan aku nggak mau pergi. Titik.
KATIE: Tapi Sabs, kau harus pergi. Jangan biarkan cowok
brengsek macam Nick merusak malam yang kau tunggu-tunggu ini!
SABRINA: Nggak mungkin. Aku bakalan malu berat dong,
Kat. KATIE: Pikirkan sekali lagi deh sebelum kau memutuskan
untuk nggak datang. Oke?
SABRINA: Keputusanku sudah bulat.
KATIE: Aku akan membantumu Sabs. Udah dulu ya.
SABRINA: Ya.
Katie menelepon Allison
KATIE: Hallo, ada Allison?
CHARLIE: Siapa ini? mata-mata musuh ya? (Charlie adalah
adik Allison dan beberapa detik kemudian Allison merebut gagang
tilpon)
ALLISON: Ya, ini Allison.
KATIE: Al? Ini katie. Punya waktu buat omong-omong
sebentar?
ALLISON: Tentu. Sori ya, tadi adikku. Umurnya baru tujuh
tahun. Kamu maklum kan?
KATIE: Nggak apa-apa kok. Denger nih, kita harus menolong
Sabrina.ALLISON: Sabrina? Kenapa dia?
KATIE: Cukup rumit. Ingat nggak waktu Nick masuk ke aula
tadi siang, waktu Sabrina dan Spike lagi asyik jojing? Barusan saja
Nick membatalkan kencannya dengan Sabs. Katanya dia mau ngajak
cewek lain!
ALLISON: Oh, Sabrina...kasihan....
KATIE: Ya. Sabrina bilang, dia nggak mau dateng ke pesta
daripada malu dilihat orang-orang.
ALLISON: Nggak bisa dong. Sabrina harus datang. Tadinya
aku juga nggak berminat. Tapi si Sabs membujuk-bujuk terus, jadi aku
pingin sekali datang. Meskipun tanpa cowok, aku yakin dia akan
menikmati pesta itu.
KATIE: Aku juga bilang begitu. Tapi dia nggak mau denger!
ALLISON: Pasti Nick cemburu pada Spike. Ya...lumrah deh.
Nick takut, jangan-jangan Sabrina naksir si Spike.
KATIE: Aku juga sudah bilang begitu sama dia.
ALLISON: Lalu kita harus gimana dong? Yang pasti Sabrina
harus datang!
KATIE: Aku nggak berhasil meyakinkan dia. Aku juga nggak
tahu, harus bagaimana lagi.
ALLISON: Coba kutelepon Randy ya? Barangkali saja dia
punya ide lain.
KATIE: He-eh deh. Coba ya? Tapi setelah itu kabari aku ya.
Sampe ketemu! Bye.
ALLISON: Bye...Allison menelepon Randy
ALLISON: Randy? Ini Al. Allison Cloud.
RANDY: Hai. Ada apa?
ALLISON: Katie baru saja menelepon aku. Katanya Sabrina
batal ke pesta nanti malam, soalnya si Nick Robbins membatalkan
kencan mereka.
RANDY: Wah...wah..., kelihatannya janji kencan di Acorn
Falls gampang sekali berubah ya? (Randy tertawa kecil)
ALLISON: Ah, nggak semua cowok begitu kan? Gimana nih,
kita harus menolong Sabrina. Sabrina kan harus datang. Katie udah
mencoba membujuk tapi gagal. KuRasa kalau kau yang bicara,
Sabrina pasti mau dengar.
RANDY: Ya. Pasti akan kucoba bicara padanya. Aku juga
nggak rela membiarkan Sabrina tinggal di rumah saja.
ALLISON: Kau benar. Thanks ya Randy.
RANDY: Ciao...
ALLISON: Sampai ketemu, Randy.
Randy menelpon Sabrina
RANDY: Hallo. Ada Sabrina?
SAM: Ada. Siapa nih?
RANDY: Randy. Kamu siapa?
SAM: Saya Sam. Tunggu sebentar ya Randy. (Sam meletakkan
gagang telpon dan berteriak memanggil Sabrina.)
SABRINA: Halo.RANDY: Hei Sabs, ini aku, Randy. Jam enam nanti siap di
rumahku ya!
SABRINA:Randy? Kamu ngomong apa sih?
RANDY: Kita kan harus siap-siap sebelum pesta besar nanti
malam.
SABRINA: Randy, aku harus mengatakan sesuatu
padamu...aku...eh...aku nggak mau datang.
RANDY: Udah deh jangan aneh-aneh. Kutunggu kau jam enam
tepat. Rumahku ada di tikungan antara jalan Maple dan jalan Ninth.


Girl Talk 01 Tahun Ajaran Baru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oke? SABRINA: Randy, kamu nggak ngerti. Datang ke pesta cuma
akan membuatku merasa makin dipermalukan.
RANDY: Sabrina, tanpa cowok pun kau bisa berkumpul sama
kita-kita kan? Kan ada aku, Allison, Katie atau Spike? Pasti asyik deh.
SABRINA: Ya. Memang sih,...itu betul. Tapi...
RANDY: Kutunggu kau jam enam. Ciao...BAGIAN LIMA BELAS
Malam Minggu pun tiba. Malam perayaan menyambut tahun
ajaran baru dan murid-murid baru yang ditandai dengan parade dan
marching band akan ditutup dengan acara puncak: Pesta Dansa malam
ini. teenlitlawas.blogspot.com
Lampu-lampu menyala meriah dan musik memenuhi seisi
ruangan. Band WideAwake benar-benar hebat. Mereka memainkan
nomor-nomor lagu disko yang asyik buat ajojing. Lihat, begitu banyak
anak-anak yang ?turun?. Tapi ada pula beberapa gadis yang cuma
diam saja di tepi. Ada juga cowok-cowok yang tak punya gadis
pasangan kencan sehingga mereka hanya bergerombol mengobrol satu
sama lain.
Selaku ketua seksi dekorasi, aku benar-benar berterima kasih
pada Randy. Segala macam perkakas teknologi canggih miliknya telah
menyelamatkan kami dari tugas mendekor ruangan pesta. Semua
nampak kagum dan menyukainya. Belum lagi ketrampilannya
mengolah lagu dan ketrampilannya menangani alat-alat itu. Aku tak
sabar menanti atraksi mesin dry ice kami. Pasti mereka makin
berdecak kagum!
Lagu berirama slow mulai terdengar. Lagu slow pertama untuk
malam ini. Terlihat Katie berdansa dengan Sam. Aku belum sempatbicara dengannya. Aku harus mengakui, mereka nampak sebagai
pasangan yang serasi. Katie mengenakan gaun biru-putih, rok mini
dan juga pita rambut dalam nuansa warna senada. Sam mengenakan
celana jeans tanpa sobekan-sobekan. Kurasa ia juga memakai parfum
milik Luke malam ini.
Tiba-tiba kulihat rambut lebat berkilau di balik kilatan lampu
blitz. Nick berdansa dengan Eva. Eva Malone! Ingat kan? Eva adalah
salah satu badut pengikut Stacy! Sepasang orang brengsek, pikirku
jengkel.
Lantas aku juga melihat Alec. Ia tengah merangkul Stacy
sambil tak henti-henti tersenyum padanya. Stacy tampak cantik
dengan gaun merah jambu penuh kerut-kerut dan pita serta ikat
rambut juga berwarna merah muda. Rasanya koleksi pita Stacy
mencakup semua warna, pikirku. Tak dapat kusangkal, Stacy nampak
luar biasa cantik malam ini.
Alec dan Stacy lalu berdansa di dekatku. Rasanya aku mau
lenyap saja dari bumi. Kuharap mereka tak melihatku. Soalnya aku
sendirian dan tak punya pasangan untuk dansa. Bahkan teman ngobrol
pun tak punya! Katie sibuk dengan Sam, sementara Randy dan Allison
sibuk dengan lampu-lampu mereka.
Lagu tuntas. Aku masih berdiri sendirian sambil memikirkan
apa yang harus kulakukan. Sebelum sempat bersembunyi, Stacy dan
Alec sudah berdiri di sebelahku. Kucoba untuk menyelinap, tapi
langkahku tersandung kaki Stacy. Ya ampun!... keluhku dalam hati.
"wah,...pakaian yang aneh!" sindir Stacy seraya menatapku dari
ujung rambut hingga ujung kaki.Malam itu aku mengenakan pakaian yang memang lain dari
yang lain, tapi aku menyukainya. Aku memakai stoking loreng milik
Randy, rok mini hitam, t-shirt gantung dan sepatu putih. Di telingaku
menggantung anting-anting ukuran besar berbentuk lingkaran, juga
punya Randy. Kupikir gaya berpakaianku betul-betul ala New York.
Alec juga menatapku. Ekspresi wajahnya aneh. Kurasa ia juga
tak menyukai pakaianku.
"Aku suka stokingmu Sabrina," ujar Alec membuatku terkejut.
"Kelihatan lain dari yang lain."
Stacy melirik Alec dan ikut mengomentari, "Aku lebih suka
yang sedikit anggun. Nggak urakan macam itu."
"Sori, aku ada perlu lain nih," aku melambai meninggalkan
Alec dan Stacy. Aku memutar langkah menembus kerumunan anakanak, melintasi panggung. Semua sedang sibuk ngobrol, makanmakan, tertawa-tawa dan berdansa. Sekilas kulihat lagi Sam dan
Katie. Mereka kelihatan benar-benar menikmati suasana. Aku harus
pergi dari sini. Aku tak tahan lagi melihat semua bergembira
sementara aku sendiri...?
Air mata pun mulai membayang di pelupuk mataku. Kucoba
untuk menahan, tapi rasanya aku tak kuat lagi.
Ketika melewati panggung, kulihat Randy dan Allison juga
begitu sibuk dan asyik mengatur nyala lampu dari kotak ?ajaib?
mereka.
"Hei...," bisikku perlahan.
Mereka tak mendengar.
"Hei!!!" bisikku agak berseru.Namun agaknya mereka tetap tak mendengar. Entah karena
terlalu asyik atau memang karena musik yang begitu berisik. Yang
jelas mereka menikmati suasana ini. Barangkali juga mereka sama
sekali tidak membutuhkan aku. Aku merasa tidak enak, sejak tadi
hanya diam berdiri dan tak melakukan apa-apa. Keputusanku pun
makin bulat: aku harus pulang!
Diam-diam aku beranjak keluar. Jangan sampai ada yang
melihat kepergianku, sebab aku tak ingin ada yang berusaha
mencegahku untuk pergi. Aku hanya ingin pulang ke rumah dan
melupakan segalanya. Titik.
Tiba-tiba lampu-lampu berhenti berkedip, demikian pula alunan
lagu. Tinggal sebuah lampu sorot yang terarah pada Spike di
panggung.
"Saya ingin mempersembahkan lagu ini," ujar Spike dari atas
panggung. Suara baritonnya sangat ?aduhai? bila terdengar di-mic.
Kalau dia menyanyi langkahku bisa terhenti, dan kurasa banyak
orang yang menyukai suaranya sama seperti aku. "...Untuk seorang
teman perempuan saya yang sangat istimewa," lanjutnya lagi.
Aku menghela nafas. Siapa pun gadis itu, pasti ia betul-betul
gadis yang beruntung. Tapi apa peduliku?
Aku meneruskan langkahku untuk meninggalkan aula tanpa
berminat mendengar nama gadis yang dimaksud Spike. Bisa-bisa air
mataku tumpah di tempat pesta ini. Aku makin merasa paling
menderita dan ?kesepian? di tengah kegembiraan teman-temanku.
"Lagu ini kupersembahkan untuk Sabrina Wells," desah Spike
di mikropon.
Aku?!Namaku yang disebut!
Aku hampir pingsan mendengarnya. Spike menujukan lagu ini
untukku? Aku bagai terkena aliran listrik 220 volt! Seumur hidupku
baru sekali ini ada orang yang mempersembahkan sebuah lagu
untukku. Tak heran beberapa saat lamanya aku terpaku diam. Tak tahu
harus bersikap apa.
"Dimana Sabrina?" panggil Spike lagi dari atas panggung. Ia
menatap Randy dan Allison. "Tolong cari dia dengan lampu sorot?"
Sebelum kusadari apa yang terjadi, tiba-tiba cahaya terang
menyinari tubuhku dan semua mata tentu saja tertuju padaku. Aku
merasa malu dan salah tingkah dibuatnya. Lalu band memainkan lagu
Crazy For You-nya Madonna. Aku suka lagu slow ini.
"Mau dansa denganku Sabrina?" satu suara membuatku
berpaling ke kanan dengan terkejut.
"Nick...?" gumamku.
"Ya. Ini lagu kesukaanmu, kan?" Nick tersenyum tipis sambil
menatapku lembut.
Aku tak tahu, harus menerima atau menolak. Tanpa sadar aku
melangkah ke depan dan Nick menggamit tangan serta pinggangku
untuk berdansa. Aku tak percaya hal ini terjadi! Nick melingkarkan
lengannya ke pinggangku dan kami pun mulai melangkahkan kali
untuk berdansa. Di bibirnya tersungging senyum manis.
"Dengar, aku minta maaf. Siang tadi aku begitu kasar dan
menyakiti hatimu. Terus terang saja, aku cemburu melihat kau ?turun?
dengan Spike waktu mendekor tadi siang."
"Ya," sahutku jengah. "Kata-katamu sore tadi memang kasar.
Sebenarnya aku sudah nggak pingin lagi ngomong sama kamu.Alasanmu membatalkan kencan sangat menyakitkan. Apalagi kamu
ngajak gadis lain!"
Nick tersipu.
"Uh...mh...aku nggak ngajak siapa-siapa kok. Aku cuma ingin
membuatmu cemburu."
Wah. Aneh juga ya?
Tadinya kupikir cuma cewek yang menjalankan taktik seperti
itu. Membuat pasangannya cemburu. Nyatanya, cowok juga
melakukan hal yang sama. Berusaha membuat ceweknya cemburu
hanya untuk membalas rasa kecewanya.
Waktu kutatap wajahnya, terlihat garis-garis kekhawatiran
membayang. Ia takut aku tak memaafkannya.
"Kita baikan lagi. Oke?" bisiknya hati-hati.
"Okelah...," kubalas senyumnya. Tiba-tiba saja aku ingin tahu
apa bintangnya. "Apa zodiakmu Nick?"
"Zodiak?"
"Ya. Bintang. Sesuai tanggal lahirmu," jelasku.
"Cancer. Jelek atau bagus tuh?"
"Bagus. Amat bagus malah," sahutku. Jadi ramalan bintangku
tidak meleset. Hanya aku saja yang salah menafsirkannya. Aku
meletakkan harapan pada cowok yang salah. Aku lebih memusatkan
perhatianku pada Alec daripada Nick. Nyatanya harus kusadari,
cowok yang tertarik pada cewek macam Stacy, sudah jelas bukan
cowok yang tepat untuk cewek macam aku.
Sambil lalu kulihat Alec. Ternyata dia sedang berdiri
menatapku dan Nick dengan tatapan bingung."Nick," ujarku. "Kamu mau tunggu aku di sini sebentar. Aku
ada perlu sedikit dengan Randy, Katie dan Allison."
Nick mengangguk. Kulepaskan genggamanku dari tangannya
lalu kudekati teman-temanku. Randy, Allison dan Katie sedang
duduk-duduk di balik panggung. Mereka menyambutku dengan tawa
lebar waktu aku muncul.
"Ide siapa ini?" tanyaku.
"Randy," sahut Katie.
Kutatap Randy dengan rasa terima kasih.
"Randy, ini betul-betul luar biasa. Thanks berat!"
"Ya. Mudah-mudahan kamu suka atraksi asapnya," Randy
mengalihkan pembicaraan seperti enggan mendengar ucapan terima
kasih dan pujianku.
"Gimana caranya kalian bisa menemukan aku dengan lampu
sorot itu?" aku masih penasaran.
"Kami mengamat-amati gerak-gerikmu. Jadi kami tahu waktu
kau menyelinap mau keluar," jawab Allison.
"Yah, gitulah,...dan kita pikir pasti rugi berat buat kamu kalau
melewatkan saat yang mengesankan," sambung Randy.
Aku hanya tersenyum bahagia. Amat bahagia dan
berterimakasih pada mereka. Rasanya aku ingin menangis lantaran
terharu. Katie, Allison dan Randy benar-benar teman yang terbaik
yang pernah kumiliki.
Sekonyong-konyong Randy merangkul bahuku lantas menepuknepuk punggungku. "Selamat datang di kelas tujuh, Non!" ujarnya.
END Jauhi Ruang Bawah Tanah 2 Raja Naga 08 Ratu Tanah Terbuang Gadis Penyebar Cinta 3

Cari Blog Ini