Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap Bagian 2
sampai ia meringis sendiri, kesakitan. Mukanya
yang membara, seperti mau menghanguskan diriku
dengan buasnya. "Masih untung tetua-tetua yang
hadir tadi tidak tahu apa yang kau lakukan di
Bandung sana. Kalau mereka sempat dengar...
wahai, kiamatlah dunia!"
"Bah!" aku memaki.
"Bah apanya?" teriak bang Tigor seraya
merentak berdiri. Dari kamar terdengar ibu batuk-Hal. 134
batuk kecil. Kak Ros tergopoh-gopoh memegangi
bang Tigor, berusaha menyabarkannya.
"Jangan bikin ribut tengah malam begini. Apa
nanti kata tetangga kalau ada yang dengar?"
"Jadah!" sungut bang Tigor, duduk kembali.
"Cabut kata-katamu itu, bang," tantangku.
"Jadah!" ulangnya.
Dan lebih keras lagi: "Jadaaaah!"
Tahu-tahu saja, sebelah kakiku telah menari
di udara. Lembut dan gemulai. Tetapi sewaktu
mendarat, tepi-tepi telapak kakiku itu telah
berubah sekeras batu. Tak sampai satu detik
berikutnya, bang Tigor terangkat dari duduknya,
kemudian terlempar jauh membentur tembok. Kak
Ros memekik tertahan.
la berlari menyongsong bang Tigor yang luruh
ke lantai. Tetapi laki-laki yang masih tetap perkasa
itu segera bangkit dengan wajah murka.
"Minggir!" teriaknya, lantas tangannya
menepiskan kak Ros sehingga tubuh perempuan itu
terlontar membentur kursi.Hal. 135
Bang Tigor melangkah maju dengan tinju
yang aku tahu sekeras besi berada di depan
wajahnya. Dari sela-sela pergelangan tangan yang
berurat itu aku lihat sepasang mata Foreman.
Bukan Ali yang selalu berhati-hati tetapi penuh
nafsu membunuh di matanya. Melihat itu, dua
lenganku melentur lembut di depan dada,
membentuk lingkaran menyilang di udara
kemudian bersiap dengan gaya taring-taring naga
yang penuh lendir berbisa dan berbau maut. Ketika
itulah, suami kak Ros tahu-tahu telah membetot
pinggangku sekuat-kuatnya, dan kak Ros sendiri
memegangi lutut bang Tigor.
"Berhenti! Kubilang berhenti!" berteriakteriak suami kak Ros yang tergopoh-gopoh keluar
dari kamarnya itu.
Aku segera menemukan diriku kembali.
Telapak-telapak tanganku yang pernah
digodok dalam kuali besar berisi pasir berwarna
hitam kemerah-merahan dan panasnya melebihi
api serta pernah menumbangkan sebatang pohon
oak waktu latihan di Cijantung, terkulai lesu di
kedua sisi tubuhku. Dari mulutku lepas ucapan
lemah:Hal. 136
"Ya Allah. Apa yang hampir kulakukan?"
Tetapi bang Tigor masih meronta-ronta dari
betotan kak Ros sambil mulutnya tak hentihentinya mengumpat cerca:
"Lepaskan! Lepaskan aku! Biar kuajari anjing
ini bagaimana caranya berlaku sopan pada
keluarga!"
"Tigor!"
Suara yang lengking itu membuat bang Tigor
pucat wajahnya. Aku tidak berani menoleh. Aku
kenal ibuku.
Dan perempuan tua yang setengah
terbungkuk, bungkuk itu tau-tau saja telah berada
di antara aku dan bang Tigor. la memandang kami
satu per satu, Mencoba melihat wajah kami lewat
tatap matanya yang sudah mulai rabun, dan tampak
teramat letih dan menderita itu.
Dadanya yang kempis tergoncang-goncang hebat.
"Apakah kalian mau berbunuh-bunuhan?
Begitukah kelakuan kalian, setelah ditinggal mati
oleh ayaah kalian?"
Lututku goyah.Hal. 137
Aku jatuh berlutut.
Dan menangis tersedu-sedu.
"Maafkan aku, ibunda. Maafkan anakmu
yang tak bisa menahan diri ini!"
"Kau," jerit ibu tertahan. "Begitu hinakah
perbuatanmu di Bandung? Inginkah kau ibumu ini
mati berdiri? Inginkah kau?"
"Ibuuuu!" jerit Rosmala, lantas berlari
memeluk beliau.
Kak Rosmala. meratap. Ibuku mengurut dada.
"Astagfirullah," ucapnya.
Aku mengikuti:
"Astagfirullah."
Bang Tigor mengikuti:
"...astagfirullah!"
Dadaku yang gersang dan kering, seperti di
siram air yang sejuk dan dingin selesai membaca
istigfar. Dengan mata berlinang aku lihat ibu
berjalan ke arahku, la berdiri di depanku.
Memandangku dengar mata tuanya, la tidakHal. 138
tersenyum, tetapi kata-kata yang keluar dari
mulutnya tidak ada lagi yang terlebih kasih di dunia
ini: "Anakku. Kau masih tetap anakku, bukan Bonar?"
"Ya, ibuku."
"Kau masih ingat apa yang sering dipesankan
almarhum ayahmu?"
"Ya, ibuku"
"Katakanlah, biar kudengarkan, anakku."
"Aku dan saudara-saudaraku tidak boleh
berselisih, biar apapun yang terjadi."
Tetap memandang padaku, ibu berkata dengan
nada keras:
"Kau dengar itu, Tigor?!"
" ya, bu."
"Tahukah kau bahwa kau anak yang tertua?"
"Ya, bu."
"Pantaskah perbuatanmu menurunkan
tangan pada adikmu?"Hal. 139
Bang Tigor tidak menyahut. Tentu saja.
Akulah yang lebih dulu menyentuh kulitnya. Tetapi,
ia adalah tetap saudaraku, abang yang dengan setia
dan penuh tanggung jawab, senantiasa ikhlas untuk
membela kesalahan adik-adiknya. Segera kemudian
terdengar pengakuan dari mulutnya:
"Maafkan anakmu yang lancang ini, ibu."
"Nah. Kesini kau."
Bang Tigor maju.
"Ulurkan tanganmu!"
Bang Tigor mengulurkan tangannya.
"Kau Bonar, terima permintaan maaf dari
abangmu."
Aku cepat mengulurkan tanganku
menyambut an tangan bang Tigor. Cepat pula aku
mengatakan apa yang pada waktu bersamaan juga
keluar dari mulut bang Tigor:
"Maafkan aku ...," yang buntutnya terdengar
bersatu: entah "bangdik"entah "dikbang."
Barulah setelah itu, tubuh ibu yang tegang
perlahan mengendur, la dibimbing oleh kak Ros keHal. 140
sebuah kursi di mana ia kemudian duduk dengan
anggun.
"Sekarang, anakku Bonar. Aku bertanya baikbaik padamu. Sudah siapkan kau?"
Hati-hati, aku menjawab:
"Berilah aku waktu untuk menjernihkan
pikiran yang sedang gundah, ibu."
Beliau tersenyum.
"Itu memang hak-mu. Nah, kau Tigor.
Beritahul pamanmu, agar mengundurkan waktu
beberapa hari sampai adikmu Bonar yang
menentukannya sendiri."
Bang Tigor mengangguk dengan patuh.
Dan ketika kami berdua sama-sama menoleh
di kursinya, kami lihat ibu menangis!
* * *Hal. 141
7 RUMAH Kak Rosmala di jalan Pabrik Tenun
yang dulunya hanya gang sempit dan kotor tetapi
kini beraspal licin serta lebar, terasa sangat sepi
sepeninggal kak Ros. Suaminya yang masih
tergoncang oleh peristiwa tadi malam di jalan
Pimpinan, pagi itu bangun dengan mata merah.
Setelah sarapan ia naik ke dalam bus karyawan yang
datang menjemputnya untuk bekerja hari itu di
kantor. Sebelum pergi, ia memperingatkan anakanaknya agar bermain-main di luar sebelum tiba
waktu berangkat ke sekolah.
Kak Ros muncul tak lama kemudian.
Ketika aku membuka pintu, ia tersenyum.
Kaku. Di belakangnya, seseorang lainnya juga
tersenyum. Sama kakunya.
"Masuklah, Anna," aku mempersilahkan.
"Eh, kau atau aku tuan rumah?" protes kak Ros.Hal. 142
"Biarlah, kak," menukas Marianna seraya
masuk ke dalam kemudian duduk di sebuah kursi
plastik yang beberapa bilah disambung-sambung
bekas putus.
Sambil membawa tas belanjanya ke
belakang, kak Ros ngomel-ngomel:
"Habis, lagaknya bukan main. Coba suruh ia
membuat teh, pasti ia tak bisa."
"Tentu saja!" aku setengah berseru
membalas. "Yang bisa membuat teh kan hanya
pekerja pabrik atau perkebunan saja!"
"Yang kakak maksud, minum teh," tukas
Marianna lagi.
"Kau bisa?" tanyaku.
"Hai. Apa abang tak bisa minum?"
"Kau!"
la tertawa cekikikan.
Lantas masuk ke dalam. Tak lama kemudian
ia telah keluar dengan menating baki berisi dua
cangkir teh panas. Ia letakkan salah satu di depanku,
dan memegang salah satu lagi untuk dirinya sendiri.Hal. 143
"Minumlah," katanya.
"Panas-panas begini? Kau bisa?"
"Tidak."
"Nah, letakkanlah cangkir di tanganmu.
Capek kau nanti memeganginya."
Tangan yang gemetar itu, meletakkan cangkir
teh di atas meja. Tetapi karena gugup, air teh itu
tumpah sebagian, membasahi buku-buku pelajaran
nya yang tadi ia letakkan di sana. Dengan ribut
Marianna kemudian mengeringkan air teh itu dari
kulit bukunya yang mulai basah.
"Lihat ini, pekerjaan abang!" tuduhnya.
"Eh. Kok aku yang disalahkan?"
"Bukuku tak akan basah, kalau abang tak
mengundangku ke rumah ini."
"Aku mengundang kau datang. Bukan
mengundang buku-bukumu. Eh, rupanya kau minta
diberi pelajaran apa hari ini? Aljabar?"
"Cinta!" dari dalam, terdengar kak Ros
setengah berseru.
Merah padam wajah Marianna.Hal. 144
Dan aku, jadi mati kutu.
"Aku baru keluar rumah mau pergi sekolah,
waktu kak Ros datang," si gadis menerangkan
dengan wajah tersipu-sipu.
"Oh."
"Habis dari sini, aku mau terus ke sekolah."
"Oh."
"Aku sekolah di Simpang Limon,"
"Oh."
"Oh?"
"Eh. Ya. Ya. Masih ingat."
"Abang dulu pernah dikeroyok peremanpereman di sana."
"Kok kau ingat."
"Iya dong. Kan waktu itu abang terus ke
rumah. Hampir-hampir tak kami kenali karena muka
abang matang biru. Mula-mula yang berdiri di muka
pintu waktu ku buka, adalah hantu."
"Pantas kau waktu itu lari terbirit-birit."Hal. 145
"He-eh," ia tertawa. "Aku ketakutan amat
sangat, sampai menabrak kaki kursi. Aku terjatuh.
Dan ibu terpaksa merawat dua orang siang itu " ia
tertawa lagi. Manja.
"Nantulang mau ke sini hari ini?"
"Tau. Mengapa?"
"Di bolehin?"
"Apa memangnya aku harus dipingit?"
tanyanya dengan muka polos.
"Hem. Otakmu tidak semuda usiamu."
"Apakah aku masih kelihatan seperti anakanak, bang?"
Lantas ia berdiri. Persis seperti yang ia waktu
di rumah sakit. Tegak dengan perut dikecilkan dan
dada dibusungkan. la malah berputar-putar.
Rambutnya yang panjang bergelombang, berkibarkibar kian kemari.
Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sayang, tak ada kaca," la berhenti berputar.
"Buat apa kaca?"
"Kau ingat lagunya Lilis Suryani dulu?"Hal. 146
"Yang mana?"
"Yang begini: Lalalalalala... kini hari ulang
tahunku. Sangat riang rasa hatiku. Tujuh belas
sudah umurku"
la menyambung:
"Kuberhayal, seperti putri raja. Kuberkaca
berputar-putar ...!"
Dan ia berputar lagi.
Lalu tiba-tiba berhenti. Kak Ros berdiri
dengan mulut tercengang di pintu ruang tengah.
Tergopoh-gopoh. Marianna duduk di kursinya,
meneguk teh dari cangkir tetapi kemudian cepatcepat menyemburkannya kembali sehingga
bukunya menjadi basah pula.
"Panas!" sungutnya seraya mengerpisngerpiskan air teh dari sampul buku yang semakin
kuyup itu.
"Kalian lagi latihan untuk kontes menyanyi
dan menari?" tanya kak Ros menyindir sambil
meletakkan dua piring kueh-kueh di atas meja.
"Dia yang memulai!" tuduh Marianna seraya
menuding mukaku.Hal. 147
"Kau yang mulai," balasku. "Kau berputar-putar."
"Kau menuduh aku anak-anak!"
"Aku tak bilang begitu."
"Bilang."
"Tidak."
"Bilang!" dan ia mulai menghentakhentakkan kaki ke lantai. "Bilang! Kau bilang begitu!
Bilang!"
"Ck-ck-ck ... kalian benar-benar seperti anakanak betulan. Ampun. Sudah mau kawin ..."
"Kawin?" aku mendelik, lantas menuding ke
muka Marianna. "Belum apa-apa dia sudah
mengajak bertengkar."
"Siapa yang...," Marianna berdiri.
"Wah. Perlu kuambil peluit. Sekali-sekali,
boleh juga jadi wasit," potong kak Ros. Tertawa
bergelak. Aku jadi ikut tersenyum sendiri. Dan
Marianna memberengut di tempat duduknya.
Kupanasi dengan kata-kata:Hal. 148
"Sekarang, baru kakinya yang ia hentakhentakkan. Besok lusa, pasti piring mangkok yang ia
bikin berantakan!"
"Siapa bilang?" alisnya naik lagi.
"Hei. Sudah. Sudah. Sudah. Bagaimana ini? Di
ajak ke sini untuk bermesraan, malah"
Kak Rosmala tiba-tiba terdiam sendiri, ketika
melihat aku berdiri.
"Mau ke mana kau?"
"Jalan-jalan."
"Tetapi "
"Kota ini kok makin panas saja ya," sungutku
sambil lalu, terus berjalan ke pintu. Di belakang,
Marianna berlari-lari. la menyambar lantas
menggenggam pergelangan tanganku. Erat.
Mulutnya berkemik mau mengatakan sesuatu.
Tetapi tak jadi. Enggan, tangannya kulepaskan. Lalu
kekeluarkan sebuah potret kecil dari kantong
kemeja. Ujarku:
"Ini kudapat di jepitan kaca toilet di kamarku,
lalu potret itu kubalikkan. Untuk siapa ucapan yang
tertulis di sini?"Hal. 149
la tertunduk malu.
"Untuk siapa?" desakku lagi.
la tak berani mengangkat muka.
"Bacalah sendiri," gumamnya sayup sayup sampai.
"Kau mau baca apa tidak?"
Wajah Marianna berubah pucat, la
menatapku dengan sinar mata tidak percaya. Aku
tidak mengelak. Dan tidak menyembunyikan
perasaan yang bergejolak dalam dada. Sepasang
mata itu mulai berair pada sudut-sudutnya, la
terisak. Dan kemudian memutar tubuh, berlari
masuk ke dalam rumah. Ratap tangisnya segera
terdengar memenuhi ruangi tengah. Kak Rosmala
melangkah ke arahku. Panjang-panjang. Wajahnya
merah padam. Juga kedua cupil telinganya. Setelah
berada di hadapanku, tak pelak lagi. Tangannya
melayang, Tar! Wajahku tidak bergeming oleh
tamparannya. Aku siap menerima tamparan
berikutnya. Dan tak akan membalas. Tetapi ia tak
menampar. Melainkan berkacak pinggang.
Nafas kak Ros tersengal-sengal waktu berkata:
"Begitu jelekkah perangaimu sekarang?"Hal. 150
Lesu, aku menyahut:
"Aku hanya ingin tahu, sejauh mana sifat-sifat
dirinya yang menonjol. Dan aku telah melihatnya."
"Tadi itu ia hanya bermain-main."
"Dan aku tidak bermain-main."
"Kau...."
"Kak. Camkanlah ini. Marianna memang anak
yang baik. Tetapi ia memiliki sifat lekas marah, dan
ingin menang sendiri!"
"Apakah kau tak begitu juga?"
"Aku laki-laki."
"Hemm, lantas?"
"Kalian mau aku jadi suaminya. Dan karena
aku suaminya, aku mau tahu apakah ia mau
mengalah atau tetap berkeras kepala. Itu sebabnya
kupaksa agar ia membaca ini!" kusodorkan
belakang foto bertuliskan kata-kata: "untukmu,
sayangku" itu kepadanya. Dan
Tarrr! Tamparan kedua itu benar-benar
kuterima, tanpa kuduga.Hal. 151
"Untuk apa pula yang barusan?" tanyaku
dengan hati mulai marah.
"Pembelaan seorang perempuan terhadap
kehormatan kaumnya!" balas kak Ros sengit.
"Aku tak menghina si Anna."
"Tidak? Apakah menyuruh membacakan
kata-kata mesra itu dengan cara paksa bukan
merupakan penghinaan?"
"Kak..."
"Abang Tigor sudah memaafkan kelancangan
mu. Berharaplah, bahwa aku juga akan bersedia
memaafkan perangai jelekmu hari ini!" , ia menyisi,
seperti mau memberi jalan padaku. "Ayo, minta
maaflah pada Anna."
Mataku mengecil.
Tetapi sakit hatiku, membesar.
Belum jadi suami gadis mentah itu, aku sudah
harus mengalah!
Tanpa berkata sepatahpun juga, kutinggalkan
rumah itu. Di belakangku, terdengar suara pintu
dibantingkan. Keras sekali. Kukira kak Ros tidak sajaHal. 152
ingin membantingkan pintu itu. la juga ingin
membanting diriku. Dan kukira, ia kini tengah
membanting dirinya sendiri, di samping Marianna.
Biarlah mereka saling membantingkan diri. Apa
perduliku.
Tak usah berhari-hari seperti diminta oleh
ibu. Hari ini juga aku telah mengambil keputusan.
Malas, aku mengamit seorang abang becak yang
sedang terkantuk-kantuk di kendaraanya. la
terkejut, lantas buru-buru meluncur turun.
"Mau ke mana bang?" tanyanya seraya
menggenjot becak dayungnya.
Tadinya aku bermaksud mau ke jalan
Ayahanda! sepulang dari rumah kak Ros. Pingin
tahu bagaimana keadaan es-em-a di mana dulu aku
dijadikan orang. Ingin bertemu bekas-bekas guruku.
Ingin ke tempat wak Parto. Penasaran mau tahu
seperti apa Ijah sekarang.
Tetapi mulutku menyebut alamat lain:
"Kantor Pos!"
Pikiranku yang kusut semakin kusut sewaktu
jalan becak seringkali tersendat-sendat oleh lalu
lintas jalan Binjei yang ramai. Abang becakHal. 153
ngumpat-ngumpat. Aku mendukungnya dengan
bernafsu. Hampir saja kami bertengkar dengan
seorang pemilik Chevrolet usang yang mobilnya
mogok persis di tengah-tengal jalan, kalau tak urung
kami lihat seorang petugas polisi lalu lintas datang
mendekat.
Tiba di kantor pos, aku membeli beberapa
lembar kertas surat dan sebuah amplop pos kilat
khusus.
Beberapa kali kertas-kertas surat itu kusobek
dan kusobek lagi sampai akhirnya suratnya jadi.
Sebelum kumasukkan dalam amplop, kubaca isinya
sekali lagi.
Neneng, kekasihku sayang.
Baru sekarang aku menulis surat,
setelah beberapa hari berada di kota ini.
Sudikah memaafkan aku, sayangku? Aku
mengalami kecelakaan. Kecelakaan betulbetulan, bukan bohong-bohongan. Nanti
buktinya akan kau lihat pada tulang pipiku.
Oh, tidak. Tidak. Aku tidak begitu parah.
Hanya luka-luka kecil, tetapi baru sekarangHal. 154
kuberi tahu, setelah aku sembuh dan aku tak
ingin kau cemas memikirkan suamimu.
Gadisku terkasih.
Pikiranku selalu tertuju kepadamu.
Sehat-sehatkah kau? Tidak menangiskah lagi
kau, seperti waktu mau mengantarku pergi?
Apakah bengkak bekas suntikan kotipa di
lenganmu sudah sembuh? Aku baru ingat, di
salah satu kantong belakang celanaku ada
surat yang harus kau antarkan ke fakultas.
Ada baiknya tak kau antarkan. Karena di
surat itu aku minta permisi satu minggu.
Ternyata lebih. Di sini kulampirkan surat
keterangan dokter. Bukan untuk membuat
kau percaya, tetapi untuk membuat pak
Tobing yang streng itu yakin bahwa aku
bukan bolos sembarangan sehingga
diperkenankan mengikuti ujian semester
tambahan
O, isteriku tercinta.
Ingat kau kereta kuda di tembok kamar
tidur kita? Rasanya aku sudah tak sabar ikut
berpacu seperti kuda-kuda itu. Tentu saja,Hal. 155
dengan kau. O, tentu bantal guling kita sudah
makin tipis terus-terusan kau peluk
pengganti tubuhku bukan? Begitu pula di sini.
Tak saja bantal guling. Kasurpun rasanya
tipis. Dingin. Beku seperti batu. Kering
kerontang. Habis, tak ada kau. Aku
bermaksud beli tiket hari ini.
Supaya kita bisa berpacu dengan kudakudaan itu. Salam untuk ayah ibumu. Dan
peluk cium dengan tangan gemetar dan lutut
goyah, khusus untuk dirimu. Ttd. Bonar, yang
tak sabar!"
Setelah memposkan surat itu di loket pos
kilat khusus aku berjalan menuju sebuah box dekat
pintu samping. Ketika pintu box kubuka, seorang
pemuda berwajah klimis meletakkan koran pagi
yang sedang ia baca. la tersenyum waktu bertanya
nomor berapa yang kukehendaki. Sebaliknya aku
bertanya pula dapatkah ia menghubungkan aku
dengan salah satu travel biro yang ia anggap
servisnya cukup baik. Operator itu mengangguk
lantas memutar beberapa nomor. Sementara itu
aku berpikir keras hari apa dan jam berapa
sebaiknya aku kabur dari kota kesayangan di manaHal. 156
aku lahir dan dibesarkan tetapi kini seolah-olah
telah tidak menyukai ke hadiranku lagi.
" silahkan," kata operator tiba-tiba.
Gagang telephone kusambut dari tangannya.
"Selamat pagi. Phoenix travel di sini ...,"
terdengar suara dari seberang sana. Lembut dan
halus. Penuh daya pikat. Petugas yang tepat dan
tentunya, berwajah teramat manis, pikirku seraya
menyahut:
"Hallo. Saya mau book ticket Merpati untuk
satu orang."
"Nama Tuan?"
"Bonar."
"Bonar saja?"
" Bonar saja!"
"Nomor telhepone Tuan?"
"Tak punya. Catat alamat rumah saja,"
jawabku seraya menyebut alamat rumah.
"Tujuan?"
"Jakarta."Hal. 157
"Ada tempat untuk sore nanti?" tanyaku,
nekad. Persetan dengan kota ini. Persetan dengan
keluargaku. Persetan dengan heboh yang pasti
timbul akibat aku minggat.
"Wah. Sebentar ya ...," terdengar suara
keresak-keresek. Agak lama juga, sehingga aku
mulai bimbang. Alasan apa yang akan kukemukakan
nanti di rumah? Apakah ibu tak nanti shock? Cap
apa yang nanti akan kuterima? Anak durhaka? Tak
Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tau membalas guna? Dimakan setanlah aku
hendaknya?
"Menyesal sekali, Tuan. Merpati sore nanti
sudah penuh, Juga Garruda. Bagaimana kalau besok
pagi?"
"Hem. Apa boleh buat."
"Okey, jadi besok pagi, dengan Merpati.
Dalam satu jam petugas kami akan tiba di alamat
Tuan untuk"
"Ah, ah ...," tukasku cepat. Celaka, kalau
keluargaku tahu secepat itu. Mungkin aku bisa
kabur diam-diam. "... Begini saja. Dalam waktu yang
sama, saya akan tiba di Phoenix. Terimakasih untuk
bantuan saudari."Hal. 158
Setelah membayar biaya telephone pada
operator, aku cepat-cepat keluar dari kantor pos.
Secepat itu pula aku melambai sebuah becak mesin
yang kebetulan lewat. Waktu naik, terdengar
klakson mobil berbunyi nyaring. Sebuah mobil
lewat di dekat becak. Mesin becak menderum.
Serak. Di depan sana, mobil tadi berhenti dengan
bunyi rem mendecit-decit! Pintunya terbuka. Dan
seseorang berdiri di samping mobil, melihatiku.
Entah mengapa, darahku berdesir setelah
mengenalinya.
Jantung ini berdegup. Dan dadaku berbunga-bunga
"Berhenti, bang," kataku pada abang becak
yang segera menghentikan kendaraannya tak jauh
di depan mobil. Ongkos kubayar lantas berjalan ke
depan mobil itu.
"Hai," sapanya. Lembut. Dengan bola mata
berbinar-binar.
"Hai, Lily. Kebetulan sekali, aku sedang ngejar
waktu. Boleh numpang mobilmu?"
Setelah berada di dalam, Lily menceritakan
baru saja pulang dari les tata buku di Jl. Patria
Lumumba. la bermaksud mau terus ke rumahHal. 159
seorang teman "perempuan, tentu," katanya seraya
mengerdipkan mata ? waktu ia lihat aku keluar dari
kantor pos.
"Siapa yang sedang kau buru?" tanyanya
seraya menjalankan mobil dengan kecepatan yang
lumayan.
"Tak ada."
"Tak ada? Lantas?"
"Aku mau mengambil uang ke rumah."
"Hem. Untuk?"
"Beli ticket."
Wajahnya berubah tiba-tiba. Lari mobil agak
menyimpang sehingga hampir saja naik ke trotoar
kalau ia tidak keburu banting setir. Setelah
kendaraan laju lagi dengan normal kulihat Lily
menggigit bibirnya keras-keras.
"... mengapa kau?" tanyaku heran.
Lama ia tak menjawab. Gigitan di bibirnya
lepas, berganti dengan helaan-helaan nafas
panjang. Lalu:Hal. 160
"Aku lupa kau akan pulang ke Bandung,"
katanya, teramat perlahan seolah-olah ia berkata
untuk dirinya sendiri. Aku jadi terenyuh, terlebih
lebih setelah melihat warna wajahnya yang agak
kepucat-pucatan. Ia rupanya mengetahui kalau
kuperhatikan, lantas mengerling serasa tersenyum.
"Kapan kau berangkat?"
"Besok."
la diam lagi.
Aku juga diam. Bingung. Entah mengapa, aku
menjadi ragu-ragu sendiri. Apakah aku harus
berangkat besok?
"Lily..."
"Ngg?"
"Aku sudah pesan ticket barusan."
"Nghhh..."
"Belum kubayar"
" Lantas?"
"Kupikir ...," aku menatap wajahnya dari
samping. Matahari yang baru naik membiaskanHal. 161
silhouet di tepi-tepi wajah yang semakin lama
kupandang-tampak semakin manis dan indah.
"Ya, Bonar?" ia menatapku. Mata kami
beradu. Berpagut malah, la cepat memalingkan
muka dengan wajah yang merona merah, namun
sempat kulihat seberkas harapan yang tersembunyi
di balik sinar matanya.
"Kau pikir, apakah memang sebaiknya besok
saja aku berangkat?"
la menatapku lagi. Cahaya matanya kian
berbinar-binar.
"Mengapa kau tanya itu padaku?"
"Karena aku sendiri sedang bingung."
"Boleh aku membantu?"
"Itulah yang kuinginkan."
"Ada sesuatu yang penting di Bandung
sehingga kau berpikir untuk pulang saja cepatcepat?"
Terdiam aku mendengar pertanyaan Lily.
Apakah lagi yang terlebih penting daripada pulang
keharibaan Neneng? Bergelut di bawah lukisanHal. 162
kereta kuda dan kemudian berpacu sepuas hati?
Hanya itu sajakah yang kuperoleh selama ini dari
Neneng? Berpacu, dan berpacu. Terus berpacu.
Kami tak ubahnya joki-joki yang menyenangi
pekerjaan itu, hidup dengan pekerjaan itu pula
tanpa pernah memperbincangkan apakah tidak ada
hal-hal lain yang dapat kami lakukan serta yang
lebih berarti dari hanya sekedar berpacu saja.
Menikah misalnya. Lantas punya anak. Menikah dan
punya anak, berarti tanggung jawab. Dengan
kewajiban untuk melaksanakan tanggung jawab,
orang akan berjuang menempuh apapun dalam
hidup ini. Segalanya. Tidak hanya kesenangan
belaka. Hanya berpacu dan berpacu, yang toh akan
ada akhirnya.
" ... seorang gadis?" bisik Lily tiba-tiba.
Aku tersentak. Kupandangi wajahnya, la
menggigit bibir, dan aku mengerti. Maka jawabku
tanpa berpikir panjang lagi:
"Aku harus mengikuti ujian semester.
Kemudian menyempurnakan thesis yang kerangka
nya telah kuajukan pada dosen-dosen penguji.
Mereka telah setuju. Dan bila ujian-ujian semester
ku sukses..."Hal. 163
"Kapan?"
"Sebenarnya sudah dimulai hari ini. Tetapi
aku punya alasan untuk mengikuti ujian tersendiri."
"Jadi, cepat ataupun lambat tergantung kau."
"Ya."
"Bagaimana dengan kota ini?"
"Semakin sempit. Dan gersang di sana sini."
"Semuanya?"
"Terutama di lingkungan keluargaku."
"Kalau boleh aku menebak, apakah persoalan
tentang sebuah pernikahan?"
Aku terjengah. Tak mampu untuk menjawab.
Lily tertawa kecil. Gumamnya:
"Mungkin pertanyaanku tadi bisa kupertegas.
Kau dipaksa kawin oleh keluargamu."
Luluh, kujawab dengan suara runtuh: "Ya"
"Dan kau tak cinta pada calon isterimu."
Aku mengangguk.Hal. 164
Dan mobil tiba-tiba berhenti tepat di pengkolan
jalan Pimpinan.
"Ada apa?" tanyaku heran.
Lily tidak menyahut. Dengan senyum
memekar di bibirnya yang merah basah, mobil ia
putar kemudian larikan kembali menuju ke pusat
kota. Cepat sekali, la salib kendaraan demi
kendaraan, ia ambil pengkolan demi pengkolan
dengan bunyi ban yang menjerit-jerit lengking. Baru
setelah memasuki jalan Putri Hijau, aku bertanya
hati-hati:
"Kemana kita?"
"Kemana lagi?" jawabnya seraya tertawa
manis. "Membuka matamu, tentu. Supaya kau
tahu, bahwa kota ini tidak sempit dan segersang
yang kau lihat dan rasakan."
Mobil membelok memasuki halaman sebuah
rumah yang semi permanen.
"Rumahmu?" tanyaku ketika membuka pintu.
"Kawan yang kukatakan tadi. Ayo, ikut
sajalah. Aku ada rencana yang barusan terpikir
olehku."Hal. 165
Begitu bel dekat pintu ia pijit, begitu seorang
gadis bertubuh jangkung serta sedikit kurus berdiri
di hadapan kami. la berseru riang pada Lily:
"Hallo, calon direktris. Kukira kau tak jadi datang."
Mereka berpelukan. Mesra.
"Kenalkan " Lily menarik lenganku segera
disambut oleh gadis itu yang setelah kusebutkan
namaku lantas menyebutkan namanya:
"Saha...," dan tiba-tiba matanya terbeliak,
justru pada saat yang sama setelah kuperhatikan
dirinya betul-betul aku sendiri juga terbeliak.
"Kau!" lanjutnya setengah berseru. Lantas
tertawa lebar. "Pantas tadi ada kupu-kupu hinggap
di jendela. Rupanya mau mengabarkan ada tamu
agung dari Bandung akan berkunjung!"
Lily tercengang.
"Kalian sudah saling mengenal?" tanyanya.
"Kenal?" geleng-geleng kepala perempuan
yang tampak lebih tua dari umurnya yang
sesungguhnya itu. "Aku kenal Bonar luar dalam.
Sampai ke bulu-bulunya yang paling kecil."Hal. 166
"Sahara, Sahara," aku ikut geleng-geleng
kepala. "Kau masih suka omong sembarangan
seperti waktu kita masih sama-sama satu sekolah
dulu. Apa kabarmu, wahai gurun yang tandus?"
Kilat matanya jadi redup seketika. Tetapi
mulutnya yang tersenyum manis segera melontar
kata-kata:
"Masuklah. Masuklah. Akan banyak sekali
yang bisa kuceritakan padamu...," dan seraya
memperhatikan aku melangkah lantas duduk di
sebuah kursi berjok tebal, ia bergumam: "Kau
semakin gagah dan tampan saja. Pantas Lily
senantiasa menceritakan tentang dirimu, tiap kali ia
punya kesempatan untuk buka mulutnya yang
nyinyir di depanku."
"Jangan menghina kau!" rungut Lily dengan
wajah tersipu-sipu.
Seraya mengerling nakal, Sahara ngoceh semaunya:
"Ala, engga usahlah pula main kura-kura
dalam perahu. Laut kan sudah mulai tenang dan
layarpun telah pula dikembangkan!"
Lily mencubit paha Sahara keras-keras.
Sahara terpekik. Keras pula. Lantas balas mencubitHal. 167
lebih keras lagi. Lily yang kemudian terpekik. Sama
kerasnya.
"Hei. Kalian mau menyuguhkan acara cubitcubit-an saja ya?" rungutku seraya menyeringai.
"Kerongkonganku kering nih!"
Sahara dan Lily tertawa bergelak. "Mengapa
tak duduk di kursi panjang?" tanya Sahara
menyindir seraya mengerling bergantian dari
wajahku ke wajah Lily yang kian memerah dan
menjadi gugup. Lily mau mencubit pula, tetapi
Sahara keburu menjauh seraya masuk ke ruangan
dalam. Lily kemudian mengambil tempat di kursi
panjang, setelah mana ia memandangiku seraya
tersenyum lembut. Matanya mengajak. Bagai
ditarik magnit, aku pindah dari tempat dudukku,
dan duduk di sebelahnya. Tiada kata-kata yang
terucap. Yang ada, hanya tatapan mata. Dan jutaan
kata-kata di sebaliknya.
* * *Hal. 168
Sahara mendecip-decipkan mulut waktu
muncul kembali di ruang depan membawa tiga
gelas berkaki tinggi dan sebuah botol Martini yang
ia tuangkan isinya ke dalam tiga gelas tersebut.
Sambil menyerahkan gelas demi gelas ke tanganku
dan ke tangan Lily serta gelas ketiga untuk dirinya
sendiri, Sahara nyeletuk:
"Pasangan yang harmonis."
"Eh, apaan kau?" memberengut Lily dengar
mata mendelik ke Sahara.
"Perahu sudah laju, Diam sajalah, jangan
berbisik. Nanti bisa oleng lagi!" balas Sahara dengan
puitis.
Lily merunduk.
Malu.
"Bawa oleh-oleh apa dari Bandung?" tanya
Sahara padaku, sengaja mengalihkan situasi yang
sudah melampaui batas itu.
"Justru sebaliknya," jawabku tersenyum.
Kutunjuk tulang pipiku yang kanan. "Waktu datang
di kota ini, bagian yang ini bersih. Kalau aku pulang
lagi ke Bandung, maka cacat ini benar-benarHal. 169
merupakan oleh-oleh yang tak akan habis
dimakan."
Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cacat yang mujarab," Sahara mengerling.
"Mulai nakal pula kau!" aku bersungutsungut. "Kudengar kau sudah kawin. Mana
suamimu?"
Wajah perempuan itu berubah murung.
Tampak semakin tua.
la reguk habis isi gelasnya, mengisinya
kembali dan mau mereguknya pula waktu Lily tibatiba berdiri dan berjalan ke pintu.
"He, mau ke mana?" tanya Sahara.
"Saling tukar ceritalah kalian. Aku telah
menghasilkan suprise barusan, dan aku ingin
memberikan, suprise lebih banyak lagi," jawab Lily
dan tanpa menerangkan apa tujuan kata-katanya
tau-tau ia telah masuk ke mobil, menghidupkan
mesin, mundur ke jalan kemudian lenyap ditelan
lalu lintas yang ramai.
Aku dan Sahara berpandangan. Tak mengerti.
"Mau apa dia?" tanyaku. Bingung.Hal. 170
"Entahlah. Lily kadang-kadang memang suka
bertingkah aneh," jawab Sahara, seraya
mengangkat gelas di meja. Ia minum, Semula kukira
sampai habis seperti tadi. Nyatanya cuma seteguk
kecil. Setelah itu gelas di tangan ia putar-putar
pelan dengan mata redup menatap ke depan, lewat
jendela, lewat pohon pohon cemara, lewat jalan
besar, lewat lalu lintas yang ramai, lewat tepian
langit. Lewat apapun yang menghalangi
pandangannya. Kosong. Dan hampa.
Aku mencoba menebak apa yang membuat
sikapnya berubah ganjil, namun tidak berani untuk
mengutarakan. Takut terjadi akibat yang lebih fatal.
Untuk mengembalikan suasana riang tadi, pelanpelan aku bertanya:
"Tadi kudengar kau sebut Lily calon direktris.
Apa maksudnya?"
Sahara meneguk minumannya. Lantas
mencoba tersenyum.
Memandangku dengan manis.
"Aku tidak sekedar meledek."
"Jadi..."Hal. 171
"Kau belum tahu siapa ayahnya?"
"Jangankan ayah Lily. Rumahnya pun aku
belum pernah tahu."
"Kok aneh."
"Habis, namanya juga baru bertemu sekali dua."
"Tapi Lily, kalau menceritakan kau seakanakan sudah kenal selama bertahun-tahun."
"Ah?"
"Kau orang beruntung, Bonar."
"Nah, apa ini?"
"Orang bercinta memang suka berpura-pura.
Aku tahu siapa dia, dan aku juga tahu siapa kau. Jadi
jangan berlagak di depanku!"
Aku kikuk jadinya.
Kehilangan kata-kata. Sampai kemudian,
kucoba memperbaiki posisiku yang salah tingkah
itu: "Emangnya ayah Lily siapa?"
"Direktur CV. Triton."
"Triton?"Hal. 172
"Oh. Belum ada ketika kau tinggalkan kota ini.
Dulunya ayah Lily pedagang tekstiel biasa. Kau kan
tahu, di negeri yang kaya raya ini perdagangan
dikuasai Cina di mana-mana. Satu-satunya suku
yang bisa mengimbangi mereka, hanya orang-orang
padang."
"Jadi ... Lily seorang gadis Minang?" aku
ta'jub. Teramat ta'jub.
"Wahai kalian. Aku khawatir, kalian baru
kenal nama saja. Ya, ia gadis Minang asli. Kelahiran
Payakumbuh. Ibunya dari sana, ayahnya dari
Padang. Datang ke Medan dengan modal dengkul,
jualan kain di pinggir jalan, beberapa tahun
kemudian punya kios yang kian bertambah dan
akhirnya mendirikan Triton. Perusahaan imporexport, masih di bidang tekstiel. Lily itu anak
tunggal. Kesayangan. Apa yang dimaui, semua
terpenuhi. Tinggal tunjuk, maka dapat. Tinggal
sebut, maka ia peroleh, la benar-benar anak
kemanjaan. Tetapi tahu diri. Tidak takabur. Tidak
cengeng"
"Mengapa ia harus les tata buku, tak
keperguruan tinggi saja? Mengambil fak ekonomi
misalnya."Hal. 173
"Tak diijinkan orang tua. Tamat es-em-a, ia
ikut les dengan rajin. Kalau tidak sedang les, praktek
dasar di kantor perusahaan ayahnya. Dengan begitu
ia bisa cepat menguasai segala sesuatu tanpa
memerlukan waktu yang terlalu lama. Ayahnya
sudah tua dan tak ingin hasil jerih payahnya jatuh ke
tangan orang lain. Tekun sekali ia membimbing Lily
sebagai calon penggantinya."
"Hemm"
"Mengapa wajahmu masam begitu?"
Mengapa? Karena Lily ternyata orang kaya
raya. Dan aku?
Keluhku kemudian:
"Tidak. Tidak apa-apa."
"Aku tau. Tak usah cemas, Bonar. Lily tak picik
pandangannya dalam soal status sosial seseorang."
"Oooo..."
"Bagaimana studimu? Sudah selesai?"
"Hampir."
"Keluargamu baik-baik saja?"Hal. 174
Aku terjengah. Namun kujawab juga:
"Berkat do'amu," lantas, tanpa sadar lepas
saja dari mulutku: "Dan kau?"
la tersenyum. Getir. Aku bersyukur, ia tidak
pingsan, meskipun aku belum habis mengerti ia
harus pingsan atau shock seperti tadi. Seraya
menekuri meja di hadapan kami, Sahara
mengisahkan tentang hidupnya yang malang.
"Aku mandul," katanya memulai, Bertahuntahun setelah menikah, suaminya mulai berkurang
cintanya terhadap Sahara. Suaminya dilahirkan dari
keluarga yang juga miskin anak, dan tidak mau
mengalami nasib yang sama dengan orang tuanya.
Diam-diam ia berhubungan dengan perempuan
lain, diam-diam pula menikah di luar
sepengetahuan Sahara. Rupanya suaminya tidak
ingin menyinggung perasaan Sahara. Di samping itu,
suaminya ingin tahu apakah ia bisa memperoleh
anak dari perempuan lain. Ketika ia benar-benar
memperolehnya, ia mendatangi Sahara dan berkata
dengan terus terang:
"Bukan aku tak sayang padamu, mam"Hal. 175
Ia memang selallu memanggil suaminya
"papa" dan sauaminya memanggil dia "mama"
sekedar untuk melipur lara karena mereka tak
beruntung memperoleh keturunan. Belum habis
ucapan sang suami, Sahara dengan tabah sudah
menukas:
"Aku tahu, pap. Aku harus pergi dari rumah
ini bukan?"
Suaminya terkejut.
"Bukan. Bukan itu maksudku."
"Tujuanmu pasti semacam itu"
Gugup, suaminya mengangguk.
"Akulah yang akan pergi," katanya. "Aku
sudah..."
"Ya. Ya. Desas-desus itu sudah kudengar.
Naluriku membenarkannya. Tidak mempersalahkan
kau, hakmu. Anakmu laki-laki?"
Suaminya mengangguk dengan wajah pucat.
"Tak perlu gelisah. Sudah kubilang, aku tidak
mempersalahkan kau. Dan akupun tahu, kauHal. 176
lakukan itu bukan semata-mata karena dorongan
nafsu."
Meskipun suaminya bertahan dengan
pendirian untuk tidak menceraikan Sahara, namun
sang istri tidak bersedia dimadu. Bagaimanapun,
kehadiran seorang perempuan lain pelan-pelan
akan menyisihkan dirinya juga. Apalagi dari sang
isteri muda si suami telah memperoleh anak. Tidak
si istri muda, tentu si anak yang akan menyita kasih
sayang suaminya. Mereka kemudian bercerai
secara baik-baik. Rumah dan segala isinya diberikan
si suami untuk jandanya. Termasuk biaya bulanan
secara tetap, sampai Sahara memperoleh
pelindung lain. Kalau suaminya yang akan datang
tidak mampu membelanjai rumah tangga mereka,
bekas suami Sahara tetap tidak akan melepaskan
tanggung jawabnya.
"Ia suami yang baik. Benar-benar baik," keluh
Sahara. Lirih.
Aku menelan ludah.
"Kau sudah kenal anak isterinya?"
"Mereka kadangkala suka berkunjung ke
rumah Ini. Aku tidak. Mungkin aku egois, tetapiHal. 177
bagaimana mungkin aku datang ke rumah mereka
untuk melihat syurga di mana orang yang kucintai
hidup dan melupakan neraka yang bergolak selama
ia berada di sampingku?"
"Sudah lama kau hidup sendirian?"
"Hampir satu tahun. Rasanya baru kemaren
terjadi Bobot tubuhku meluncur sangat cepat.
Untung ada Lily yang menghibur. Kalau tidak ..."
"Bagaimana kau bisa mengenal Lily?"
"la salah seorang keponakan bekas suamiku!''
Kerikil di depan rumah berbunyi dengan
suara berisik. Terdengar derum mobil yang
kemudian mati. Lalu suara orang melangkah di
terras. Sahara berdiri.
"Lily sudah kembali," katanya. Dan tiba-tiba
ia tercengang. "Lihat. Siapa yang berjalan di
sampingnya itu!"
* * *Hal. 178
8 "CHAIRUDIN!" seruku seraya berlari-lari kecil
menyongsong sahabat kentalku itu. la tertawa
lebar, lebih-lebih lagi setelah mengenali siapa
nyonya rumah yang mempersilahkannya masuk
tanpa lupa berjabat tangan. Erat sekali. Dan melihat
pandangan mata Sahara, kukira jabatan itu tak saja
erat. Juga hangat.
"Kau makin jelek sekarang," cemooh Sahara
pada Chairudin.
Tanpa tersinggung, sahabatku menyahut:
"Makanya, aku terus-terusan jadi bujang lapuk ..."
"Dan bisa bulukan, kalau tak cepat-cepat
ditolong!" tambahku.
"Nenekmu!" tawa Chairudin seraya memukul
bahuku.Hal. 179
Lily ikut sumbang ketawa. Berderai-derai. Suasana
riang itu lenyap seketika Chairudin bertanya
seenaknya:
"Dan kau, nyonya besar dari gurun Sahara,
sudah punya anak belum?"
Aku dan Lily terbungkam.
Ingin kupukul sahabatku, tetapi Sahara
tertawa kecil. Pura-pura. Dan letih.
"Tak ada yang perlu disembunyikan,"
katanya. "Perempuan-perempuan kota ini suka
malu besar kalau memperoleh gelar janda. Toh ini
kenyataan, sebesar apapun kemaluanku!" lanjutnya
seraya menekankan kata yang paling akhir.
Chairudin yang melongo sesaat, kemudian tertawa.
"Omonganmu masih suka jorok seperti dulu,
Sahara."
"Biar awet," jawab Sahara, tersenyum senang.
"Awet bagaimana. Kerangka hidup begini!"
"Eh, jaga dong omonganmu Din," cetusku,
memprotes.Hal. 180
Lagi-lagi Sahara menjernihkan situasi dengan
kata-kata:
"Ketimbang tubuh seperti goni, Din, kan
kerangka lebih hebat goyangnya. Konon ditambah
pengalaman sebagai jaminan!"
"Idiiihhh!" umpat Lily, menahan tawa. la
masuk ke dalam, ganti jadi tuan rumah. Keranjang
kecil yang tadi ia bawa waktu masuk berisi buahbuahan segar, dan bungkusan plastik berisi roti
keju. Di samping hidangan itu, waktu keluar ke
ruang depan Lily menanting juga baki berisi empat
gelas air jeruk.
"Mengapa tidak masak sekalian?" celetuk
Sahara.
"Memang akan!" jawab Lily dan masuk
kembali ke dalam.
Makan siang yang terhidang di atas meja tak
lama kemudian, ludas hanya dalam sekejap mata.
Meskipun masakan Padang sering kucicipi selama di
rantau namun toh masakan hasil tangan Lily
rasanya tidak akan terimbangi masakan Padang
manapun di seluruh dunia ini. Sampai-sampai basah
kuyup bajuku oleh teringat karena terlalu kenyang,Hal. 181
terlalu nikmat dan terlalu pedas. Pujiku dengan
tulus:
Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sejak pulang ke kota ini, baru sekaranglah
aku menghabiskan nasi lebih dari sepiring."
Chairudin meningkah:
"Dan sambal lado-nya, ampun!" la mendesisdesis kepedasan sedangkan kulit mukanya merah
terbakar. "Di samping cantik, Lily ternyata pintar
juga masak. Ideal bukan, Bonar?"
"Kalau kalian memuji terus-terusan, aku akan
usir kalian mentah-mentah," mendahului Lily
sebelum aku sempat menjawab pertanyaan
Chairudin.
"Iya dah. Aku berani bertaruh, bahwa yang
kau usir hanya aku saja. Bonar tidak. Bagaimana,
Lily?"
Gadis itu merah telinganya.
la membereskan perabotan di atas meja
dengan tangan-tangan gemetar, tidak berani
memandang ke arahku. Sebaliknya, akupun hanya
berani memandangi Chairudin sambil menginjakHal. 182
kakinya keras-keras. Kawanku itu menjerit
tertahan.
Lily yang sudah mau masuk ke pintu dapur,
bertanya heran:
"Ada apa?"
"Ada apa?"
"Celaka. Tikus busuk di bawah meja
menggigit isepatuku," dan seraya tertawa lebar
Chairudin berbisik di telingaku, sangat perlahan:
"Dan kau, sobat, memang tikus terbusuk!"
Aku mengerti tujuan kata-katanya.
Dan tak bisa menjawab. Setelah berada di
ruang depan kembali, kukira yang membasahi
badanku bukan saja keringat biasa akan tetapi
sudah bercampur dengan peluh dingin. Aku meraba
saku mencari rokok dengan tangan gemetar. Tetapi
yang pertama kali tersentuh justru secarik kertas
kecil berwarna putih. Kertas nota terima surat kilat
khusus yang tadi pagi kukirimkan ke alamat Neneng
di Bandung.
Neneng, yang begitu percaya bahwa aku akan
setia. Neneng yang begitu cemas karena takut iaHal. 183
tersisihkan. Neneng yang bermimpi di siang bolong
melihat dirinya terjerumus ke dalam jurang yang
dalam. Dan jauh di atas tebing yang terjal, ia lihat
diriku samar-samar menjauhi, betapapun suaranya
sampai parau memanggil-manggil namaku. Neneng
yang sempat mencemoohkan impianku terjatuh
dari langit disambut oleh tiga buah jurang
menganga jauh di bawah. Kini aku mengerti, apa
makna impian itu. Aku benar-benar sedang berada
di awang-awang. Sedang diuji kemampuan dan
kesetiaanku. Ke jurang manakah aku akan jatuh.
Neneng. Marianna. Atau Lily!
"Apa yang kau lamunkan, Bonar?" tau-tau
Lily sudah duduk di sampingku.
Aku terkejut.
Lalu menyahut dengan gugup:
"Ah. Tak apa-apa."
"Bohong."
"Sungguh, tidak..."
"Sumpah?"
"Aaaa...apa?" aku tergagap.Hal. 184
"Bersumpahlah, memang tak ada yang kau
lamunkan , matanya menatap tajam.
"Lily, kau toh tak bermaksud memaksaku
untuk"
"Berbohong?" desaknya.
Sahara yang dari tadi diam mendengarkan
perdebatan itu, buru-buru menengahi:
"Hey, Lily. Sudah hampir jam tiga!"
Tubuh Lily yang tegang, perlahan
mengendur, "Ah, hampir aku lupa," keluhnya. Lalu
berjalan masuk ke dalam. "Ayolah kita dandan
dulu."
"Emangnya, mau ke mana?" tanya Chairudin.
Sahara menjawab:
"Kami janji tadi pagi, mau nonton sore ini.
Ada Joe Don Baker di Megaria...," lantas seraya
berdiri untuk mengikuti Lily yang sudah duluan
menghilang, ia mengejek: "Kalau merasa kanker
alias kantong kering, silahkan piket di rumah."
Tentu saja aku dan Chairudin tak sudi piket di
rumah janda.Hal. 185
"Lain kalau janda-nya tinggal menemani,"
berungut Chairudin, lantas nyeletuk ke telingaku:
"Aku benar-benar lagi tongpes. Kantong Kempes,
Bonar. Kau?"
"Tenanglah, sahabatku," sahutku, tersenyum. Pelan
tetapi pasti, Neneng menghilang dari pikiranku.
Filmnya berjudul "Kill Mr. Mitchell!"
Dan nyatanya, Sahara yang duluan buka
dompet. Namun tak lupa bersungut:
"Kamu berdua berhutang padaku!"
Filmnya tidak terlalu jelek. Sebuah film action
yang sayang Joe Don Baker sedikit over acting
dibanding film-filmnya terdahulu yang sempat
kulihat. Terasa semakin tidak berartinya jor-joran di
layar putih waktu telapak tangan Lily yang duduk di
sebelahku tak lepas-lepas dari tanganku semenjak
kami memasuki gedung bioskop. Hangat.
Terkadang gemetar, manakala kuremas dengan
lembut. Dalam remang-remang acap kali kami
saling beradu pandang. Malah sekali, tanpa sadar
kudekatkan wajahku ke wajahnya.
Tetapi sebuah dehem halus dari Chairudin
menggagalkan ciuman curi itu. Aku tersipu sendiri.Hal. 186
Tak berani menoleh ke nomor kursi yang letaknya
agak berjauhan, di antarai oleh kursi-kursi yang
kosong. Di sana duduk Chairudin bersama Sahara,
yang waktu meminta Chairudin membeli ticket agar
nomor-nomorku yang ia ambil agak terpisah
letaknya. Sempat aku berpikir apakah tindakan
genit itu dilakukan Sahara untuk memberi
kesempatan padaku dan Lily, ataukah ia sendiri
bermaksud mencari kesempatan yang sama dengan
Chairudin?
Mataku terpaut lagi ke layar.
Martin Balsam sedang marah pada Joe Don Baker.
Di sebelahku, Lily menghela nafas. Jelas sekali
kutangkap helaan itu. Malah waktu ekor mataku
melirik, tampak gelembung payudaranya
bergelombang dengan kencang. Jantungku
berdegup. Apalagi waktu tampil Linda Evans di
layar, memerankan seorang tokoh call-girl kelas
jetset tanpa segan-segan berbugil lantas kemudian
bergelut dengan Joe Dom Baker di atas ranjang.
Helaan nafas di sampingku semakin jelas, disusul
oleh kepala yang rebah dil lenganku. Aku melirik.
Sepasang mata Lily terpejam, Bibirnya setengah
terbuka. Menantang. Aku ingini menciumnya.Hal. 187
Tetapi tidak ingin mendapat dehem Chairudin yang
mungkin akan berubah jadi batuk- batuk yang keras.
Dan lebih dari itu, aku takut apakah perbuatan itu
tidak akan menyinggung perasaan Lily.
Keluar dari bioskop, aku mengambil setir
setelah berada di dalam mobil kembali. Tak ada di
antara kami yang bersuara selama mobil kujalankan
tanpa tergesa-gesa. Lily duduk di sampingku. Tidak
terlalu rapat, namun tak pula terlalu renggang.
Matanya menatap jauh ke depan, menembus kaca
depan, ke jalan yang bermandi cahaya senja teram
temaram. Aku menarik nafas untuk melepaskan
ganjalan yang memberati dada, dan secara tidak
sengaja melirik ke kaca spion. Di tempat duduk
belakang, Sahara bergenggaman tangan dengan
Chairudin. Mereka rupanya tau aku mengintip.
Sahara buru-buru menarik tangannya dan
membuang muka keluar jendela. Chairudin
tersenyum. Malu.
"... kemana kita sekarang?" tanyaku
memecah kesunyian yang ganjil itu.
Lily membuang nafas. Panjang. Di belakang,
Sahara nyeletuk. Suaranya terdengar sumbang:Hal. 188
"Lupakah kau kesenangan kita dulu?"
"Lupa?" sahutku. Angkat bahu. "Tidak!"
"Kalau begitu, tunggu apa lagi?"
Mobil kemudian kularikan kencang-kencang.
Menjelang Magrib, kuparkir mobil itu tak jauh dari
bioskop Riang. Dulunya masih bernama Rio. Aku
teringat lelucon wak Gabus yang populer pernah
mengeja huruf-huruf itu dengan "er-sepuluh." Saat
berikutnya kami telah mengisi penuh suatu bangku
panjang dalam sebuah warung penjual kerang
rebus. Seperti disengaja saja. Aku duduk paling
kanan. Di kiriku Lily. Di sebelahnya, Chairudin. Dan
paling kiri, Sahara. Seperti disengaja pula, ketika
pelayan mengantarkan empat gelas teh panas, Lily
menyodorkan salah satu untukku, satu untuknya.
Sahara mengambil satu untuknya sendiri dan
menyodorkan gelas keempat pada Chairudin.
Seperti waktu dalam mobil, ketika melahap
kacang rebus kami berempat juga tidak banya
bicara. Aku minta tambah. Lily tidak. Chairudin
minta tambah. Sahara tidak. Tak ayal lagi waktu
berjalan kembali ke mobil aku mendekati Chairudin
dan berbisik di telinganya:Hal. 189
"Tampaknya kau mau ikuti jejak Mamonta.
Dapat janda muda."
la mendelik.
Lily dan Sahara yang telah masuk lebih dahulu
dalam mobil tidak mendengar suara kami.
Dan Chairudin membalas:
"Kau!" bisiknya. "Kau justru akan membuat
seseorang menjanda."
"Eh, siapa pula itu?"
"Isterimu yang di Bandung!"
Aku gemetar ketika memegang setir dan
jalankannya keluar dari tempat parkir. Melihat Lily
mengambil alih kemudi. Mobil ia larikan cangkencang. Karena heran, aku nyeletuk:
"Apa yang kau kejar?"
"Waktu Asyar," jawabnya, tersenyum. Mata
berbinar-binar. Bahagia.
Tentu saja terlambat!
Kami berempat sama-sama menjamaknya
setiba rumah Sahara. Chairudin yang jadi Imam.Hal. 190
Waktu saatnya berdo'a, kutadahkan wajah.
Tubuhku getar. Hebat. Di balik mataku yang
terpejam, aku diriku bersujut di atas sejadah
kemudian menangis seraya bertanya:
"Tidakkah perbuatanku munafik, ya Tuhanku?"
Lalu aku melihat Neneng.
la mengelus rambutku.
Penuh rasa sayang.
Ia bukan Tuhan. Yang kucari. Tetapi ia memberikan
apa yang kuingin. Lewat kata-katanya yang
menghibur:
"Tergantung isi hatimu, sayangku!"
Lily, Sahara dan Chairudin sudah pergi dudukduduk di ruang depan setelah selesai Magrib. Tetapi
aku masih bersidepa di atas sejadah, dengan sudutsudut mata yang basah. Bayangan Neneng tidak
lepas dari balik kelopak mataku. Seolah-olah ia
menggantung di sana, rapat dan kuat, tidak mau
dilepaskan. Isak tangisnya seakan-akan dekat sekali
di hati, dan jantung ini digugah oleh pertanyaannya
yang setengah ketakutan setengah menghiba:Hal. 191
"Pulanglah, kekasih. Pulanglah, junjunganku.
Pulanglah padaku!"
Air bening di sudut-sudut mataku, tak bisa
lagi kutahan. Meleleh hangat, membasahi pipiku
yang dingin.
* * * "Bonar?"
Suara itu sayup-sayup sampai. Sayup-sayup
sampai...
"Bonar!"
Mataku terbuka. Ada sentuhan halus di
pundak. Waktu aku menoleh, aku melihat Lily.
Bibirnya tersenyum, tetapi matanya sendu,
digantungi seribu Btu pertanyaan yang minta
kujawab.
"... kau menangis," bisiknya. Lemah.
"Oh ya?" sahutku, terkejut lalu buru-buru
menyeka kedua belah pipi dengan sebelah tangan.Hal. 192
Di luar dugaanku, tangan Lily terangkat, la
memegang pergelangan tanganku, menurunkannya
perlahan-lahan lantas menggenggamnya kuat-kuat.
Bersamaan dengan itu sebelah tangannya yang lain
terangkat pula.
Tampak jari telunjuknya yang lentik gemetar,
dan jemarinya kemudian menyeka air mata di
pipiku, dan berhenti lama, waktu menyentuh bekas
luka yang baru sembuh di tulang pipi.
"Apa yang kau tangisi, Bonar?"
Aku menelan ludah. Lama baru bisa menjawab
"...diriku,"
"Ada apa dengan kau?"
"Betapa kerdilnya aku ini," jawabku lirih, dan
Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam hati kecil aku berteriak: "Betapa kerdil dan
kotornya jiwaku!"
Kelopak mata Lily terpejam.
Waktu matanya kembali terbuka, tampak basah.
"Bangkitlah, sayangku ..." ucapnya, gemetar
Aku terpana mendengar perkataan "sayangku" itu.
Tetapi Lily seperti tidak sadar telah mengucapkanHal. 193
sesuatu yang membuat jantungku bagaikan putus di
rangkaiannya. Dengan suara bergetar, ia
meneruskan "Semakin seseorang merasa dirinya
kerdil, semakin orang itu membutuhkan cinta kasih
untuk membesarkan hatinya."
Aku tidak kuasa untuk bangkit.
Karena, sebelum aku bangkit, tiba-tiba Lily
telah memelukku. Dan menangis di dadaku.
"Tuhan jadi saksi, Bonar ...," isaknya. "Mula
pertama aku melihatmu tergeletak dengan wajah
berlumuran darah di rumah sakit, aku tidak bisa
melepaskan kau dari ingatanku. Dan ... dan ketika
kau selipkan seiris jeruk di antara bibirku, aku pun
lalu mengerti... bahwa aku ... aku telah menemukan
lelaki yang telah lama kucari-cari. Aku cinta
padamu, Bonar!"
* * *Hal. 194
9 SAMPAI tiba waktu pulang, tidak ada
sentuhan bibir pertanda cium cinta pertama di
antara kami berdua. Sahara mengucapkan
terimakasih untuk kencan kami hari itu. Chairudin
tidak mau di antar pulang karena katanya masih
banyak yang akan ia perbincangkan dengan Sahara.
Belangnya ketahuan meskipun ia berdalih:
"Maklum, ketemu kawan lama. Banyak yang
menarik untuk diceritakan, bukan?"
Di mobil, aku dan Lily sama-sama berdiam diri.
la merebahkan wajahnya di bahuku. Matanya
terpejam, rapat Dan dadanya bergerak dengan
teratur. Aku yakin ia tidak tertidur. Senyum bahagia
tidak lepas-lepas dari mulutnya.
Pikiranku sendiri sedang kacau.Hal. 195
Di depanku, bermain-main tiga buah jurang
menganga di permukaan jalanan aspal yang licin
dan hitam.
"... Bonar?"
"Nggh?!" aku terkejut.
"Apa yang kau pikirkan?"
Aku gugup oleh pertanyaan itu. Namun
sebagai laki-laki, aku cepat memperoleh jawab:
"Banyak Kau."
"Aku?"
"Kau dan aku!"
la memelukku. Hangat. Dadanya menyapu
lenganku. Panas. "Apalagi?"
"Banyak."
"Antaranya?"
"Kita tidak hanya berdua di dunia ini," la
terkejut. Menatapku.
Kucoba tersenyum. Yang bermain di benakku
masih jurang-jurang menganga itu. Berlari-lari
dahulu mendahului. Sekali Neneng di depan.Hal. 196
Tersusul Marianna. Belum lagi Marianna jauh,
Neneng sudah melesat lagi ke depan, tak ubahnya
panah yang baru saja lepas dari busurnya. Neneng
belum sempat tertawa karena menang, muncul
bayangan yang melejit bagaikan angin. Melejit
terus, meninggalkan Neneng dan Marianna. Setelah
jauh, bayangan itu berhenti. Aku melihat Lily
melambai. Neneng mengumpat. Marianna
mencaci. Mereka lalu mengejar. Lily tertawa, lantas
berlari ...
Berlawanan dengan apa yang tersirat di benak di
mulut aku berkata:
" Chairudin misalnya."
"Ooo."
"Dan... Sahara!"
Lily tiba-tiba tertawa kecil.
"Kawanku itu," katanya. "Sudah berapa kali
Kujodohkan dengan lelaki. Engga ada yang cocok.
Selalu banyak kekurangannya. Yang ini sudah
kelewat tua. Yang itu masih kekanak-kanakkan.
Yang lain, bertampang bandit. Tak sedap
dipandang. Ada yang sedap dipandang, lantas ia
bilang: kok kayak banci. Aku jadi bosan. Eh, takHal. 197
tahunya, baru ketemu hari pertama, ia sudah ada
main dengan temanmu yang kucel dan berkumis
lele itu ..."
"Pertama bertemu?" cetusku, tertawa.
"Mereka sudah pernah dijodohkan."
"Ah, masa iya!"
"Sungguh mati."
Dahi Lily mengernyit.
"Kok Sahara kawin dengan orang lain. Ada
yang curang?"
"Bukan."
"Lantas?"
"Jodoh main-main mereka itu."
"Main-main bagaimana? Kok aneh."
"Waktu di es-em-a, kawan-kawan sekelas
suka saling jodoh-menjodohkan. Tidak sungguhan.
Tetapi ada juga yang jadi benaran. Misalnya si otak
cemerlang Legiman yang menikah dengan si tukang
cerewet Murniati. Chairudin yang pemalu,
dihubung-hubungkan dengan Sahara yang galak."
Aku geleng-geleng kepala. "Heran, Sahara telahHal. 198
berubah jauh. Tidak segalak dulu lagi. la pernah
menampar Legiman yang mengejeknya sebagai
pacarnya Chairudin ..."
"Mungkin rumah tangganya yang berantakan
telah mengubah dirinya,"
"Benar juga. Justru pada saat, Chairudin
sekarang galak pada perempuan."
"Suka main pukul?"
"Bukan, la suka berganti-ganti perempuan."
"Wah?! Laki-laki seperti dia?"
"Jangan menghina. Siapa yang tahu apa isi
seseorang?" gumamku sambil dalam hati aku,
mengeluh, Bagaimana kalau Sahara tahu bahwa si
Udin itu suka main ke tempat pelacuran? Ah,
barangkali tidak jadi persoalan betul. Kawan
Chairudin yang bernama Margono itu sedikit
banyak telah membantu sahabatku agar tidak
menjadi langganan dokter spesialis. Mudahmudahan ia masih utuh, sehingga Sahara yang pasti
haus belaian lelaki itu tidak sampai kecewa
dibuatnya.
"Omong-omong, apa Honda baru itu jadi ia ambil?"Hal. 199
"Sudah. Malah ketika tadi siang aku ke
rumahnya, ia tengah mencobanya sepanjang jalan
Berayan Endreien," Lily tertawa senang.
"Keluarganya orang baik-baik. Sayang saudarasaudaranya teramat banyak, sehingga tampaknya
temanmu itu selalu tertekan bathin. Komplikasi
dalam dirinya sendiri. Tetapi kelihatannya ia cukup
tahu siapa dirinya dan di mana posisinya. Di
rumahku ada karangan bunga. Pengirimnya,
Chairudin."
"... pertanda cinta?" tanyaku, kecut.
"Hmmm. Jangan lekas cemburu, Bonar.
Hanya ucapan terimakasih."
"Syukurlah."
Tak jauh dari rumah, mobil kuhentikan.
Lily terheran-heran.
"Kenapa tak diteruskan?"
"Jangan."
"Lho!"Hal. 200
"Apa kata mereka kalau tahu seorang
perempuan mengantar seorang lelaki ke
rumahnya? Malam-malam lagi"
Lily tersenyum. Aku hampir turun, ketika ia berbisik:
"Ciumlah aku, kekasih!"
Tertegun aku mendengar permintaan Lily.
Sudah seberani itukah gadis-gadis Medan
yang terkenal fanatik sampai kutinggalkan hampir
lima tahun yang lalu?
" Bonar?"
Aku merunduk sedikit. Mencium dahinya. Lembut.
"Mm...bukan di situ."
Kucium pipi kanannya.
"Kekasih. Kau tega mataku tidak bisa
terpejam malam ini?"
Maka, kucium bibirnya.
Lily mengulumnya. Lama. Ketika kemudian
ciuman yang panas itu berakhir, dengan nafas
tersengal-sengal Lily tersenyum.
"Kau akan datang besok bukan?" tanyanya.Hal. 201
"Besok?" aku tak mengerti. "Kemana?"
"Makan siang. Di rumahku."
"Oh!"
Tangan kirinya meluncur melewati tubuhku.
Membuka pintu. Aku bergerak keluar. Enggan. "Aku
tahu kau akan datang!" katanya.
Pintu tertutup.
Dan mobil itu meiaju. Meninggalkan aku
termangu-mangu.
* * * BUTET yang membukakan pintu untukku.
Wajah gadis kecil itu agak pucat dan lesu. Aku
menghela nafas. Gadis seumur dia harus sudah
mendengar dan melihat apa yang suatu ketika
mungkin membuatnya takut untuk menentukan
pilihan sebagai gadis yang sudah dewasa. Kalaulah
tidak kasihan pada neneknya aku yakin Butet sudah
jauh-jauh hari pulang ke rumah orangtuanya di
Pabrik Tenun.Hal. 202
Sambil menutupkan pintu kembali, aku lantas
teringat pada kak Ros, dan kejadian tadi pagi di
rumahnya. Dapatkah kakak memaafkan perbuatan
ku pagi ini? Tentang Marianna, aku tidak perduli.
Sejak dulu-dulu juga aku tidak berangan-angan
untuk ber-isterikan anak kaum keluarga. Terlalu
banyak aturan-aturan yang harus ditempuh. Dan
bukan pula sedikit resiko yang pasti terjadi bila ada
hal-hal yang tidak dikehendaki. Soal yang sekecilkecilnyapun tidak akan lepas dari telinga kaum
keluarga. Dan soal yang teramat kecil itu bisa
menjadi teramat besar serta menentukan. Orang
bersuami isteri sudah berhak untuk menentukan
diri sendiri. Tetapi di kota ini, keluargalah yang
masih harus menentukan.
Ibu sedang mengunyah tembakau di sebuah
kursi malas yang tepi-tepinya sudah retas.
"Malam benar kau pulang, anakku," sapanya.
Malam benar. Padahal belum juga lewat jam
sembilan. Apa beliau masih menganggap aku anak
ingusan seperti waktu-waktu yang lampau?
"Ibu belum tidur?" sahutku. Kaku.
Beliau geleng-geleng kepala. Lemah, jawabnya:Hal. 203
"Sudah beberapa hari ini aku kurang tidur, anakku"
Beberapa hari ini. Itu berarti semenjak aku
pulang di kota ini. Dan pasti, semenjak aku
memperlihatkan kartu mati, bahwa calon isteri yang
mureka sodorkan ke mukaku tampaknya harus
mereka ambil dan simpan jauh-jauh.
Seperti maklum aku berminat untuk langsung
ke kamar lalu tidur, ibu memerintah tiba-tiba
dengan suara halus:
"Duduklah dulu."
Aku memenuhinya, betapapun aku ingin
menolaknya.
Beliau meludahkan air tembakau ke sebuah
kaleng dekat kaki kursi malas. Ibu jari dan
telunjuknya berlepotan warna merah waktu
tembakau suntil ia geser-geserkan di antara gigigiginya, membuangnya ke kaleng yang sama lantas
menggantinya dengan tembakau baru.
" ... kau sudah makan?"
Pertanyaan itu lebih mirip basa-basi. Tetapi
ku-jawab juga:
"Sudah..."Hal. 204
Diam lagi.
Beliau mengunyah-ngunyah tembakau.
Memandangku, lewat sepasang bola mata
tuanya yang sudah mulai rabun. Lalu:
"Tadi siang Tigor kemari."
"Oh."
"la mencari kau."
"Mau apa dia?"
Dahi ibuku mengernyit. Aku merasa
menyesal, tetapi terlanjut sudah. Dan aku benarbenar terpukul waktu ibu menandaskan:
"Kau belum berkunjung ke rumahnya
semenjak kau tiba!"
Lagi-lagi aku terdiam.
"Bonar..."
"Ya bu?"
"Ada yang datang sore tadi."
"Siapa?"Hal. 205
"Katanya, pegawai dari travel biro Apa tadi
Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
namanya? Pelil? Puik?"
"Phoenix," aku membetulkan, dan tiba-tiba
menyadari sesuatu. Menyadari, mengapa ibu masih
menungguku. Dudukku seketika menjadi resah.
Kureguk teh panas yang diantarkan Butet, tanpa
selera. Sebelum pergi, gadis kecil itu menatap ibu.
Lalu ganti menatapku. Aku tidak mengelak.
Matanya seperti menuduh. Tak ubahnya mata
Rosmala. Dan aku tersinggung. Untung si Butet
buru-buru menyingkir. Masuk ke kamar makan, di
mana samar-samar aku lihat beberapa buah buku
berserakan di atas meja.
"Jadi kau sudah nekad mau pulang besok,"
cetus ibu tiba-tiba.
Aku terjengah. Menyahut gagap:
"...belum, bu."
"Syukurlah. Pada orang itupun telah
kukatakan hal yang sama. Kau belum bermaksud
pulang ..."
Kubayangkan wajah pegawai Phoenix yang
kesal. Seolah-olah ia kulihat kembali ke kantor dan
melapor seraya marah-marah pada petugas yangHal. 206
menerima pesananku. Gadis yang bertugas di
bagian penjualan ticket balas marah-marah. Bukan
pada petugas itu. Tetapi padaku. Ah, Benarbenarkah kota ini telah tidak menyukai kehadiranku
lagi?
"Tahukah kau akibatnya kalau kau pulang
begitu saja?"
Aku tahu. Tetapi aku tidak menjawab. Ibu
yang menjawabkan:
"Pertalian keluarga akan putus. Dan ayahmu
bisa bangkit dari kuburnya!"
Mataku terpejam. Perih.
"Sudah ziarahkah kau ke kuburan ayahmu?"
Kugigit bibir. Perih. Lalu:
"... belum."
"Tak baik melupakan orang yang telah
meninggal, anakku," sungut ibu dengan nada pedih.
"Ayahmu paling sayang padamu. Setengah mati ia
banting tulang untuk menyekolahkan kalian bertiga.
Ros gagal. Tigor setengah-setengah. Ayahmu tahu
ia hampir-hampir tidak sanggup menyekolahkan
engkau. Tetapi ia nekad mengirim kau ke Bandung,Hal. 207
la sangat merindukan kau. Waktu mau
menghembuskan nafas yang penghabisan, ia hanya
menyebut-nyebut namamu ... la mencarimu di
antara Tigor dan Ros. la tidak melihat kau. Lalu ia
menangis. Itu adalah tetesan air matanya yang
paling akhir dalam hidupnya."
Dan, aku menangis tersendat-sendat waktu
setengah jam berikutnya aku bersimpuh di atas
sejadah, menghadapkan mukaku yang kelabu pada
Tuhan, meminta petunjuk-Nya dan memohon agar
memberikan tempat yang layak di sampingnya
untuk ayahku yang tercinta. Dengan nada
tergoncang aku memohon:
"Katakanlah, ya Tuhanku. Apakah tangis ayah
waktu itu hanya semata-mata tangis kerinduan?
Ataukah ayah menangis, karena ia sudah berfirasat
bahwa anak yang paling ia sayangi akan melakukan
perbuatan-perbuatan yang paling ia benci?
* * *Hal. 208
10 PAGI harinya aku terbangun dengan kepala
yang diganduli oleh batu yang beratnya berton-ton.
Matahari telah naik sepenggalah di langit waktu
jendela kamar kubuka. Kuregang-regangkan otototot yang terasa kejang. Lalu berjalan ke luar,
menuju kamar mandi. Butet sudah berangkat ke
sekolah. Ibu sedang menyapu di halaman samping.
Ketika aku selesai mandi dan berganti pakaian,
beliau meletakkan secangkir teh manis panas di
meja ruang tengah.
"Minumlah dulu, sebelum kau pergi."
Tanpa duduk, teh itu ku reguk.
"Makruh kalau minum sambil berdiri, anakku."
Tergopoh-gopoh, aku lantas duduk.
Ibu geleng-geleng kepala. Mengeluh:
"Kau tidak sholat subuh, bukan?"Hal. 209
Terbungkam aku mendengarnya. Ibu benar.
Dan karena ia benar, bukan saja aku tidak bisa
menjawab. Aku malah tidak berani memperhatikan
wajah beliau. Khawatir, kalau di matanya nanti aku
menemukan tuduhan berbau kemarahan bahwa
selama aku merantau di negeri orang, aku telah
mengabaikan apa-apa yang pernah mereka ajarkan
padaku, semenjak aku kecil dan mulai mengenal
huruf. Terkadang disertai ayunan sapu lidi yang
mengancam. Tetapi lebih sering diimbangi tutur
kata yang lembut penuh kasih sayang.
Suasana teduh dan kudus di bawah naungan
pohon-pohon kemboja waktu aku bersimpuh di
dekat kuburan ayah, membuat hatiku lebih
terenyuh lagi. Setiap orang akan mengakhiri
hidupnya di tempat yang serupa ini. Sebidang tanah
sempit yang ditumbuhi rumput menyemak, tinggal
tulang berkalang tanah. Apa yang dicari selama
hidup dengan susah payah, tidak akan turut dibawa
ke dalam kubur. Hanya amal yang jadi bekal. Untuk
diperlihatkan pada Tuhan yang akan tersenyum
menerimanya. Dan akan murka besar kalau yang
dibawa manusia hanyalah tumpukan dosa dan
dosa. Dosa dan dosa!Hal. 210
"Berdosakah aku ayah...," gumamku
setengah menangis waktu merumputi gundukan
tanah di depanku. "Telah begitu berdosakah
anakmu yang lemah iman ini, sehingga harus di
hadapkan pada persoalan-persoalan yang begini
membingungkan? Padamu, ayah...," aku mengurut
dada yang terasa bagai ditusuk-tusuk. "Hanya
padamu kuceritakan semuanya ini. Ketika dosa yang
pertama kulakukan, aku sadar sentuhan kulit yang
dilapisi madu ciptaan setan sajalah yang
mempengaruhi nafsuku untuk... untuk... untuk
menyetubuhi Neneng. Sentuhan-sentuhan yang
terus merangsangku, dari hari ke hari. Dari bulan ke
bulan. Aku menyukainya. Neneng menyukainya.
Aku bingung, ayah. Sentuhan cintakah itu? Atau
hanya zinah?"
Hati kecilku tiba-tiba menjerit:
"Zinah! Itu jelas zinah! Zinah yang sangat
dikutuk Tuhan!"
Aku mengurut dada lagi. Terasa semakin sakit.
"Masih adakah artinya maaf, ayah? Masih
mungkinkah untuk bertobat? Katakanlah padaku.
Katakanlah, ayah. Jangan biarkan anakmu iniHal. 211
semakin bingung. Jalan mana yang harus
kutempuh? Aku tidak mencintai Marianna.
Memang, tanpa cinta orang bisa menikah. Toh
mungkin cinta itu akan datang belakangan, seperti
kata orang. Tetapi setidak-tidaknya, aku harus
menyukainya. Tetapi ayah. Ayah, aku tidak
menyukai Marianna. Aku tidak mencintainya. Tidak
menyukai Anna. Aku hanya menyukai... menyukai
Neneng. Meskipun aku belum yakin... apakah aku
juga mencintainya. Haruskah aku kembali padanya?
Dan meneruskan kehidupan munafik yang selama
ini kami jalani? Tidakkah itu akan menambah beban
dosa yang sudah segudang?"
Matahari memegang ubun-ubun.
Aku gemetar.
Namun tidak bergerak dari tempatku
bersimpuh. Lalu matahari itu kian garang. Garang.
Garang. Dan memanggang. Tanpa belas kasihan.
"Siang ini aku berjanji akan ke rumah Lily. Bila
kaki ini kulangkahkan ke sana, apakah kaki ini
didorong oleh langkah-langkah orang yang sedang
dimabuk cinta? Atau hanya sekedar, pelepas
gundah dan jiwa yang tengah putus asa? PadamuHal. 212
aku mengadu, ayah. Padamu aku memohon.
Jawablah, ayah jawablah...," aku menjatuhkan diri
di atas gundukan tanah berwarna coklat kehitamhitaman itu. Aku memeluknya. Merahup tanah
kering itu dengan kuku-kuku jariku.
Mengeluh dengan putus asa:
"Mengapa tidak kau jawab, ayah? Mengapa
tidak kau jawab? Jangan tinggalkan aku, ayah.
Jangan! Jangan! Jangan!"
Dan air mataku tumpah membasahi tanah.
Mata ini terpejam. Rapat. Terpejam. Kian
terpejam. Semakin banyak batu-batu besar
mengganduli kepala. Aku mengerang, menggeliat
dengan otot-otot yang seperti berlepasan,
menjauhi panggangan matahari yang kejam,
kemudian tergeletak di bawah naungan pepohonan
kemboja. Angin semilir bertiup sejuk. Tenang. Dan
diam-diam.
Entahlah berapa lama aku dalam keadaan demikian.
Aku baru terbangun waktu terdengar suara
ranting patah terpijak. Enggan, sepasang mata ini
terbuka. Samar-samar aku lihat daun-daun kemboja
berubah kelam. Dan warna merah lembayung dariHal. 213
matahari senja, menyapu wajah seseorang yang
berdiri dengan mata runtuh, melihat ke bawah. Ke
mukaku. Aku mencoba tersenyum, la juga.
Lalu sayup-sayup aku mendengar suaranya
yang ramah:
"... kalau masih mengantuk, lanjutkanlah
tidurmu di rumahku, adikku."
Perlahan-lahan aku bangkit.
Tigor membantuku berdiri.
Setelah sama-sama memanjatkan do'a di
makam ayahanda, ia membimbingku ke luar dari
pekuburan itu. Tiba di jalanan legam Thamrin yang
bermandi matahari senja. Sebuah Honda kijang
yang sudah sangat tipis warna merahnya berdiri
diam di pinggir jalan, di atas rerumputan. Tegaknya
goyah. Salah satu kaki standar rupanya terbenam
dalam di rerumputan.
"Wah, celaka!" seru Tigor lalu berlari ke arah
kendaraan itu.
Hampir saja terjatuh.Hal. 214
Namun tak urung ia terpeleset waktu
membetulkan tegak kendaraan. Cepat aku
membantu. Tigor berdiri seraya tertawa.
"Motor ini minta dipensiunkan rupanya,"
sungutnya setelah kami menggenjot kendaraan itu
meninggalkan pekuburan yang sepi dan
mendatangi pusat kota yang ramai. Lampu-lampu
listrik mulai menyala di sana sini. Kabel-kabel yang
berseliweran dari satu tiang ke lain tiang, tampak
menebal karena di gelantungi oleh beribu-ribu
burung gereja yang berkicau ribut. Ribuan lainnya
beterbangan di antara atap-atap toko berkepak riuh
rendah. Semenjak aku kenal kota ini, burungburung gereja itu telah bertahta di sana. Tak pernah
berpindah-pindah, sampai beranak pinak, bercucucicit. Tak pernah pula ada yang mengganggu apa
lagi mengusirnya. Mereka adalah raja. Penguasa
kota. Dan pengindah panorama. Ciri khas Medan
yang tidak pandang musim.
Pelataran yang kering menyambut kami
setiba di rumah Tigor yang letaknya agak terpencil
di ujung jalan Puri. Segerobak anak-anak sedang
bermain-main dengan suara riuh rendah di ruang
depan. Mereka terdiam waktu melihatku, lalu adaHal. 215
di antaranya yang tertawa. Suasana riuh rendah
kembali ketika mereka menyapaku, satu persatu.
Ponakan-ponakanku telah semakin besar jua.
Malah ada yang tinggi dan besar badannya melebihi
tinggi dan besar badanku. Benar-benar turunan
ayahnya. Lalu seseorang yang juga bertubuh tinggi,
tetapi justru tampak bagai tiang listrik saking
kerempengnya keluar dengan suara ribut
menyuruh anak-anak bubar. Perempuan yang kurus
setenqah berlari mendapatkan lantas memakiku.
Hangat.
"Tulang-tulangmu semakin keras kak!"
ujarku, seraya tertawa bergelak.
Suasana riang itu terbawa sampai ke meja
makan. Kak Dima menghidangkan lauk pauk ikan
goreng, sambal tuktuk, daun ubi tumbuk. Tertawa,
aku berkata pada kunyahan nasi yang pertama:
"Di Bandung, lauk pauk serupa ini hanya
terhidang dalam impian, Kak."
"Ah, menghina pula kau," sahut istri Tigor,
tertawa. "Kami pingin masak yang enak-enak.
Tetapi maklumlah kau. Kain-kain yang dijualHal. 216
abangmu banyak yang ketinggalan jaman. Makin
tak laku..."
"Wah, bisa saja kakak merendah. Lantas
sawah yang berante-rante di Percut itu punya siapa,
hayo!"
"Cadangan buat masa depan anak-anak,"
menengahi Tigor. "Aku tak ingin seperti ayah," la
memandangiku dengan tajam. Melanjutkan: "Tadi
siang kau kutunggu-tunggu. Karena kau tak datang,
aku pergi ke Pimpinan. Kau tak ada. Di Pabrik Tenun,
Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
juga tidak. Ribut aku mencarimu. Takut kau minggat
seperti yang dikhawatirkan ibu kita. Tak ada
keluarga yang tau di mana kau berada. Sampai ibu
yang mulai cemas ingat, malam harinya ia
menyuruhmu untuk ziarah ke makam ayah..." la
menoleh pada isterinya. "Kau tau, Dima? Si Bungsu
yang olok-olok ini, hampir-hampir jadi penghuni
kuburan!"
"Aku hanya tertidur," kataku membela diri.
"Iyalah. Tidur dengan pipi yang di selemaki air
mata mengering. Eh, kenapa kau tak bunuh diri
saja? Lumayan, peninggalan orangtua kita yang tak
seberapa jatahnya bisa dikurangi satu."Hal. 217
"Idih, si abang," kak Dima tersenyum.
Selesai makan Tigor menyuruh salah seorang
anaknya membeli kelapa muda dan anak yang lain
mencari es batu. Es kelapa muda itu benar-benar
merupakan penghibur yang tepat di tengah-tengah
kegersangan kota Medan yang membuat pakaianku
basah kuyup oleh keringat.
"Aku makan terlalu nikmat," rungutku seraya
mengipas-ngipas wajah pakai selembar majalah
bekas.
"Tentu saja. Kau pergi dari rumah tanpa
makan pagi, kata ibu. Kukira juga kau tidak makan
siang."
Makan siang!
Aku terpana. Makan siang!
Janji dengan Lily, benar-benar telah terlupa.
Gadis yang tengah dimabuk itu tentu telah bersusah
payah memasak makanan yang enak-enak. Tentu
pula sambil bernyanyi-nyanyi di dapur, sehingga
membuat orangtuanya terheran-heran. Sudah
malam kini. Dan aku tak datang-datang. Jamuan itu
tentu telah dingin. Malah mungkin dibuang Lily keHal. 218
belakang. Terus ia masuk ke kamar tidur. Menangis.
Diperhatikan ibunya, yang semakin terheran-heran.
Tigor yang memperhatikan perubahan di
wajahku, cepat-cepat menegur:
"Apa yang kau pikirkan?"
Aku terkejut.
Lantas menggeluh.
"Ah. Tidak."
"Jangan begitu. Kau sampai lupa makan lupa
tidur tentu karena memikirkan sesuatu...," ia
menyulut sebatang rokok, mengisapnya dengan
bernafsu.
"Apa tentang Anna?" tanyanya sekonyongkonyong.
Aku terjengah. Memandang wajahnya di
antara rokok. Asap putih itu bergerak naik, melebar
di udara lantas pecah berantakan di langit-langit.
Langit-langit rumah itu rasanya terlampau rendah.
Rendah sekali, sehingga dekat sekali kepala. Aku
merasa terjepit, terengah-engah kehabisan nafas.
Majalah bekas di tanganku, terjatuh.Hal. 219
Tigor memungutnya.
Menyerahkan ke tanganku. Kuambil, lalu
kuletakkan di atas meja. Uap es kelapa di pinggir
gelas membasahi permukaan meja. Lantas ikut pula
membasahi permukaan majalah. Hitam. Legam.
Dan suram. Semakin lebar, semakin suram. Lalu
suara Tigor terdengar lebih suram lagi:
"Waktu tadi aku ke Pabrik Tenun, kudengar
pengaduan Ros."
Aku diam. Menunggu.
Tak lama:
"Jadi kau tidak ada kecocokan dengan Anna, eh?"
la memandangku, aku merunduk. Majalah itu
telah hampir basah seluruhnya. Cepat-cepat
kusingkirkan ke bawah meja. Waktu menarik
tanganku kembali dan memegangi gelas, jari
jemariku menggeletar.
"Benar bukan?" desak bang Tigor.
Aku mengangguk. Kaku.
Tigor mengeluh. Panjang. Kak Dima yang
sejak tadi diam saja, bangkit dari kursinya, laHal. 220
berjalan keluar rumah, meninggalkan kata-kata
sambil lalu :
"Sudah malam, mereka masih di luar juga.
Biar kusuruh anak-anak itu tidur."
Aku dan Tigor masih berdiam diri ketika
persatu anak-anak mereka masuk digiringkan Dima.
Tak ubahnya lembu-lembu kekenyangan, jalan
malas di bawah ancaman cambuk sang gembala.
Setelah semuanya menghilang di kamar
masing-masing, bang Tigor memecah kesepian yang
mencekik itu:
"... kau tahu bukan akibatnya, dik?"
Pertanyaan itu tajam sekali. Namun sebutan
'dik?, ramah sekali. Lantas aku merasa bahwa di
antara aku dengan saudaraku yang tertua, yang
selalu siap untuk membela kepentingan adikadiknya biarpun ia tahu, adiknya berbuat kesalahan
yang tidak bisa diampuni, telah terjalin hubungan
bathin yang puluhan tahun terbina.
Pasrah, aku bergumam:
"Apakah ada jalan yang lebih baik lagi, abang?"Hal. 221
Ditekannya sisa rokok yang masih panjang di
asbak. Abunya berserpihan ke sana ke mari. la
mengambil sebatang rokok baru. la sulut la isap. la
kebulkan asapnya. Bergumpal-gumpal. Dan di
wajah Tigor, tampak warna susah. Bergumpalgumpal.
"Itulah sukarnya, dik. Aku mengerti, kau akan
bersikeras untuk tidak memperisteri Anna. Amboi,
gemparnya nanti keluarga mereka...," ia membuang
nafas. Berat. Berat sekali. "Tetapi yah... orang
memang tidak selamanya bisa dipaksa, bukan?
Lebih baik rusak sekarang, dari pada lebih rusak
kemudian!" la terbatuk. Pendek-pendek. Lalu
seolah-olah pada dirinya sendiri ia meneruskan:
"Walaupun sudah ada aturannya dalam agama, kau
kan tau perceraian sangat terpantang buat orang
Batak. Bisa saja kau kami paksa kawin dengan Anna.
Lantas karena memandang kami, terutama
memandang ibu kita yang sudah tua dan sakitsakitan saja itu, kau mengalah pada kemauan kami.
Kau boyong Anna, kau boyong dengan pendirian
bahwa gadis itu akan memaksamu jadi orang yang
kalah. Gadis itu menghancurkan masa depanmu,
menjadi penyebab ketidakbahagisanmu. Kau
kemudian tahu, setelah menikah Anna adalahHal. 222
hakmu. Toh isteriku telah kubeli mungkin demikian
pikirmu. Isteriku telah melepaskan marganya, dan
harus mengabdikan diri pada si pembeli. Tak
ubahnya barang dagangan, kau berhak
memperlakukan dia semena-mena. Kalau cuma itu
saja, isterimu mungkin bisa bertahan. Tetapi kalau
sempat bercerai... Amboi. Perempuan-perempuan
kalangan suku kita, paling takut disebut janda. Bagi
perempuan-perempuan kita bunuh diri adalah lebih
terhormat dari pada hidup menjanda. Tak perduli
bahwa di mata Tuhan justru jadi janda lebih
terhormat dari pada nekad bunuh diri...."
la terengah-engah sehabis berpetuah
panjang lebar itu.
Dahinya berkerut-kerut.
Banyak.
la benar-benar telah semakin tua. Dan ia
adalah pengganti ayah.
Luluh, aku bergumam:
"Itulah yang kucemaskan, bang."
la manggut-manggut.
"Jadi, kami telah kehabisan harapan, bukan?"Hal. 223
Aku tak menjawab. Tak kuasa menjawab.
Tigor tersenyum. Getir.
"Tadi, waktu kami kehilangan kau, ibu kita
panik, la merasa bersalah, Bonar. la takut kau nekat
dan lupa diri. la benar-benar merasa bersalah.
Sampai-sampai ia mengatakan padaku begini: He
kau Tigor. Cepatlah cari adikmu. Kalau ia masih
hidup katakan padanya. Bonar, kau punya hak
untuk membatalkan perkawinan ini!"
* * * HATI ini terenyuh.
Lama aku tercenung dengan perasaan
terharu biru. Di luar rumah, sayup-sayup terdengar
teriakan lemah dan berirama: "Cangeeeaaang,
puak!" dari seorang pedagang kacang goreng dan
kerupuk. Sudah bisa kutebak, pedagang itu pasti
seorang laki-laki Minang. Aku lantas teringat pada
Lily. Gadis Minang itu entah sedang apa sekarang.
Mungkin bergulung di atas ranjang, membasahi
bantal dan guling dengan air matanya.Hal. 224
Tanpa sadar, aku bergumam:
"... jadi aku diperkenankan memilih sendiri?"
Tigor terbatuk lagi. Pendek-pendek, seperti
tadi. la sedang mengambil rokok baru. "Apa boleh
buat," sahutnya. Patah. Dan di luar dugaanku, ia
menegaskan: "Kecuali, dengan gadis Bandung itu."
Aku tersentak. Kupandangi abangku dengan
jantung melecut-lecut. Ingatan pada Neneng,
membuat dadaku berdebar-debar. Keras. Telinga
kiri Neneng saat ini pasti berdenging-denging, dan
dadanya juga berdebar-debar. Keras. Berdenging.
Berdebar. Berdenging...
"Mengapa kalau dengan dia?" tanyaku
dengan suara serak.
"Tidak. Tak mungkin!"
"Sebabnya?"
"Sebabnya?" mata bang Tigor mengecil.
Kejam.
"Ibu membenci dia. Membenci perempuan
itu sampai ke sumsum-nya."
"Tetapi... Neneng tak pernah menyakiti"Hal. 225
"Neneng telah menyakiti hati beliau,
semenjak beliau dengar Neneng hidup satu atap
dengan anaknya, tanpa nikah. Beliau merasa ia
telah mendidiknya jadi orang baik-baik. Jadi orang
Kalau anaknya sampai berubah, tentulah setan yang
telah menggubahnya. Kau berubah, Bonar. Dan
karena kau berubah setelah kau berada di Bandung,
maka di mata ibu kita yang merubah dirimu adalah
Neneng...," ia mengakhiri kata-katanya dengan
tajam, tanpa mengatakan apa yang pasti tersirat di
balik kata-kata itu: "Setan itu iyalah Neneng!" atau,
"Nenenglah setan itu!"
Dadaku bagai belah. Rekah-rekah.
Sakit bukan main.
Mata bagai kering. Kering-kerontang.
Perih tiada dua.
"... jadi, Bonar" desah Tigor perlahan-lahan.
"Kau boleh melepaskan Marianna. Tetapi kau tidak
boleh mengambil Neneng. Satu-satunya jalan
tengah, kau harus memilih gadis lain...!"
Neneng. Nenengku tersayang.
Apakah kau memanggilku?Hal. 226
Apakah jurang itu, terlalu tinggi untuk kau
daki?
"Kau mau tidur di sini, atau kuantar pulang?"
Aku terjengah.
"Pulang saja," sahutku. Lesu.
la berdiri.
"Akan kubilangin kakakmu."
"Aku akan pulang sendiri."
"Lalu kami cemas memikirkan apakah kau
tidak celaka di jalan?" Tigor geleng-geleng kepala.
"Tidak," katanya. "Aku akan antar kau. Bahkan
kalau perlu, aku akan mengantarmu sampai ke
tempat tidur" ia tersenyum, mendatangi kamar
isterinya yang tak lama kemudian keluar untuk
mengantar kami. Kak Dima memperlihatkan
kegundahan di wajahnya yang kurus. Mata yang
jauh menjorok itu, pudar alang kepalang. Waktu di
pintu, ia pegang tanganku kuat-kuat. Dari gua yang
gelap gulita di balik matanya, terpercik seberkas
sinar yang kelap kelip.
"Siapapun yang kau pilih, adikku, janganlah
perempuan itu sampai menderita. Aku pernahHal. 227
merasakannya...," bang Tigor terbatuk, tapi kak
Dima tak perduli. "Rumah inipun pernah jadi kancah
neraka, dik. Hanya ketabahan hati dan kepercayaan
akan lindungan Tuhan jugalah yang membuat
rumah ini tidak sampai runtuh berkeping-keping.
Kebahagiaan itu belakangan ini telah mulai kami
cicipi lagi. Meskipun hanya sisa-sisa belaka. Tetapi
sisa-sisa adalah lebih berguna dari pada tidak ada
sama sekali. Semoga kau berbahagia, Bonar!"
Ketegangan yang mengerikan tergantung di
antara diriku dengan Tigor waktu melaju menuju
jalan Pimpinan. Tak seorangpun di antara kami
berdua yang sanggup untuk berkata sepatahpun
juga. Meskipun angin malam mulai dingin
membeku, namun toh setiba di rumah ketiakku
basah oleh peluh. Seperti biasa, Butet yang
membuka pintu, la menyapa Tigor dengan hormat,
tersenyum manis ke arahku lalu kemudian
menghilang kembali ke kamarnya. Sampai Tigor
Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pulang, ibu tidak keluar-keluar menyambutku.
Kucoba membaca buku komik yang kutemukan
terselip di antara buku-buku pelajaran Butet yang
terletak di atas meja.
Komik silat.Hal. 228
Terbitan Jakarta. Sudah agak lusuh karena
sering dibaca. Baru beberapa halaman kubuka, aku
mulai tidak tertarik. Komik-komik seperti ini, hanya
menggambarkan kepahlawanan yang berlebihlebihan. Anak muda selalu keluar sebagai
pemenang. Kalaupun ada lawan yang tangguh
melebihi ketangguhan dirinya, maka pada saat yang
kritis akan muncul seseorang untuk menolong.
Entah laki-laki dari perguruan lain, entah gadis jelita
sebagai penghias cerita, paling tidak pasti yang
muncul itu guru besar sang pahlawan yang di pujapuja. Aku bukan pahlawan, tetapi aku tahu ada yang
memuja-muja diriku. Tetapi aku tidak tahu, apakah
ada yang bersedia menolongku keluar dari kesulitan
yang kini tengah kuhadapi.
Kuletakkan komik murahan itu di atas meja.
Berjalan ke kamar. Tidur mungkin satusatunya jalan untuk melupakan kesusahan yang
mendera.
Waktu melewati kamar itu, aku dengar suara
tangis mengisak.
Sesaat, aku tertegun. Menarik nafas.Hal. 229
Terus masuk ke kamarku sendiri.
Kulemparkan tubuh yang sakit-sakit di atas tempat
tidur.
Tetapi sampai pagi datang, kelopak mataku
enggan terpejam.
Azan yang sayup-sayup dari mesjid di
kejauhan menyadarkan diriku. Cepat-cepat aku
meluncur turun. Pergi ke kamar mandi. Tadinya
mau ambil wudhu. Tetapi karena merasa gerah,
kuguyurkan bergayung-gayung air ke sekujur tubuh.
Lupa membuka piyama. Selesai mandi, aku masuk
ke kamar kembali. Kudengar pintu kamar ibu
dibuka. Lantas langkahnya yang tertatih-tatih
menuju kamar mandi. Di selang seling oleh suara
batuk-batuk yang kering.
Sembahyangku tidak khusuk sama sekali.
Aku tidak memikirkan Tuhan. Aku justru
memikirkan diriku sendiri. Tigor benar. Semenjak
aku merantau ke negeri orang, aku telah berubah.
Kini aku telah kembali ke tempat aku lahir dan di
besarkan. Nanti, bila aku kembali ke Bandung,
apakah diriku juga akan berubah seperti yang
cemaskan Neneng? Perubahan yang dimaksudHal. 230
keluargaku berbeda jauh dengan perubahan yang
dimaksud Neneng. Namun betapapun, keduakeduanya memperlihatkan kesamaan: diriku telah
berubah.
Jendela kamar kubuka. Angin pagi bertiup
menyapu dadaku yang setengah telanjang.
Dan dada ini dipenuhi pertanyaan yang sukar
untuk dijawab:
"Sejauh manakah aku telah berubah?"
Sarapan pagi berlangsung diam-diam. Tanpa
selera sama sekali. Si Butet kemudian
membereskan perabotan di atas meja. Kemudian
pamit pada ibu, neneknya.
"Yang pintar di sekolah, cucuku," ibu
mendo'a-kan.
Butet menyandang tas sekolahnya. Lantas
menghilang.
Ibu berdiri.
Aku memandangnya. Sepasang mata tua itu
agak bengkak. Bekas menangis. Mulutnya yang
keriput, bergemit. Mau mengatakan sesuatu. Tetapi
tak jadi. la masuk ke kamar. Waktu keluar, ibu sudahHal. 231
berdandan rapih. Sebuah tas tangan dari kulit
berwarna hitam dan agak lusuh, tergantung di
lengan tangan kiri.
"Kalau kau nanti pergi, tinggalkan kunci pada
tetangga sebelah," katanya, mencoba tersenyum.
Jelas, dipaksakan.
"Mau ke mana?" tanyaku.
"Ke Pabrik Tenun. Suami si Ros harus
kuberitahu agar mempersiapkan upacara adat..."
"... upacara?"
Matanya yang bengkak, menyidik ke mataku.
Tajam.
"Bukankah kita harus membatalkan
perkawinan itu?" tanyanya. Setengah marah
setengah pasrah.
Aku terdiam. Bagaimana ibu tahu?
Seperti membaca apa yang tersirat di
benakku, ibu cepat-cepat berkata:
"Aku ibumu, nak. Aku tahu apa yang kau
pikirkan. Nah. Aku pergi dulu ya. Jangan lupa titip
kunci..."Hal. 232
"Aku tak akan ke mana-mana, bu!"
Tetapi kunci rumah kutitipkan juga ke rumah
sebelah, waktu setengah jam kemudian sebuah
sepeda motor Honda yang mulus memasuki
halaman dengan suara mesin yang empuk.
Chairudin turun tergesa-gesa, berlari-lari masuk
dengan wajah ganjil dan setengah berseru waktu
melihatku:
"Syukur kau ada di rumah!"
"Eh, emangnya kenapa?" tanyaku heran
seraya mempersilahkan ia duduk. Timbul
keinginanku memperolok-olok dia seperti biasa.
"Janda-mu sakit keras?"
"Bukan Sahara," jawabnya tanpa
tersinggung. "Tapi Lily!"
la tidak bersedia menyerahkan kunci sepeda
motornya ke tanganku.
"Nanti kau tabrakan lagi," sungutnya. Dalam
situasi lain mungkin aku tertawa bergelak. Tetapi
pikiranku tertuju pada Lily. Aku duduk dengan
mulut terkunci rapat di boncengan sepeda motor
yang masih endreien itu. Sayang pada
kendaraannya, Chairudin melarikan Honda tanpaHal. 233
tergesa-gesa, meskipun sikapnya kelihatan sangat
ingin mengebut melampaui kecepatan angin.
"Kau benar-benar anak celaka!" makinya di
tengah perjalanan.
"Eh, Kok. marah-marah..."
"Diam kau. Sudah menghianati isteri di
Bandung, kini mau kau sia-siakan pula anak orang.
Padahal selama ini anak gadis itu begitu di manja
oleh orang tuanya, la lebih berarti dari bergudanggudang harta yang mereka miliki. Dan harta
kesayangan itu kini terbaring payah di rumah
Sahara"
la kemudian menceritakan seraya tak lupa
mencaci-maki sesekali bagaimana Sahara tergopohgopoh mengetuk pintu rumahnya pagi-pagi benar di
Berayan. Belum juga berkata ba atau bu Sahara
sudah menanyakan apakah aku ada di rumahnya.
Chairudin tentu saja ta'jub. Lantas Sahara
menceritakan bagaimana ia tidak panik waktu
menjelang tengah malam Lily muncul di Putri Hijau
dengan wajah pucat dan rambut yang kusut masai.
Begitu masuk ke rumah Sahara, air mata Lily punHal. 234
tertumpah. Bagaikan tak habis-habis. Sahara jadi
kalang kabut.
Lama baru Lily mengutarakan mengapa
sikapnya begitu aneh.
la telah mempersiapkan makan siang di
rumah-nya. Masakan paling lezat yang pernah ia
hidangkan. Ibunya yang terheran-heran, mencicipi
makanan itu sedikit sambil bertanya apakah ada
yang berulang tahun hari itu. Lily tidak mengatakan
apa-apa. la hanya berlari ke telephone,
menghubungi ayahnya di kantor. Barulah ibunya
tahu mengapa Lily begitu riang gembira dan
wajahnya bercahaya-cahaya. Di telephone, Lily
meminta ayahnya pulang untuk makan siang di
rumah. Katanya, ia akan memperkenalkan seorang
pada mereka!
" Sampai jauh malam, batang hidung orang
itu tidak kelihatan. Dimakan setanlah kau
hendaknya Bonar!" Chairudin mengakhiri ceritanya.
Sekeranjang sumpah serapah ia tujukan
kepadaku sampai kami tiba di rumah janda muda
itu.Hal. 235
Mata Sahara yang selama ini bersahabat,
tampak keras waktu menyambut kemunculanku
dengan kata-kata:
"Baik benar kelakuanmu, Bonarl" la
kemudian menggiringku ke depan sebuah kamar.
Pintunya tertutup. Sahara tidak membukanya
untukku. Melainkan pergi menemui Chairudin di
ruang depan, meninggalkan aku dalam
kebingungan. Apa yang harus kulakukan?
Mengetuk lebih dulu? Langsung membukanya?
Atau mundur saja? Waktu aku menoleh ke
belakang, aku menangkap wajah Sahara yang
mengancam. Maka kubuka. Untung tak dikunci.
Dari tempatku berdiri, aku melihat sesosok tubuh
ramping berisi terbaring di atas ranjang. Dadanya
menggumpal, bergerak tak teratur. Matanya
terpejam rapat. Dan wajah yang kukenal senantiasa
bersinar-sinar itu, tampak redup dan pucat.
Goyah lututku seketika.
"... kenapa tak masuk, Sahara?" bisiknya lirih,
masih dengan mata terpejam, la masih keponakan
sahabatku itu, tetapi persahabatan yang terjalin di
antara mereka lebih menyerupai pertalian sesama
perempuan, bukan antara bibi dan keponakan.Hal. 236
Gontai, kaki kulangkahkan ke dalam.
"Tutupkan pintunya sekalian."
Patuh, pintu kututupkan.
"Kau bawa minyak, angin itu, Sahara?"
Aku tidak menyahut. Mulutku terjahit rapat.
Pelan-pelan aku mendekat, dan berdiri di sampi
tempat tidur dengan jantung yanq meletup-letup.
Gadis itu mengangkat kedua belah tangannya. Satu
untuk memijiti pelipis sendiri. Lemah. Sebelah
lainnya terkulai ke arahku.
"Makin pening kurasa. Ke sinikanlah"
Karena tidak menerima minyak angin yang ia
harapkan bahkan tidak mendengar ucapan
ucapannya ada yang menyahut, perlahan-lahan
sepasang kelopak mata yang indah itu terbuka.
Manik-manik matanya yang bening berlairan ke
samping ranjang. Dan:
"Kau!" cetusnya, terkejut.
Kucoba tersenyum.Hal. 237
Gagal, kukira, karena ia cepat-cepat
membalikkan tubuh. Menghadap tembok.
Terperangah aku dibuatnya.
"... Lily!"
Isak tangisnya menggema.
"Pergi. Pergi. Tinggalkan aku!"
"Lily, dengarkan dulu...."
"Tidak. Aku tak sudi. Cukuplah kau membuat
aku malu. Janganlah lagi kau tambah-tambah sakit
hatiku. Pergilah. Aku tak ingin kau ada di dekatku.
O, si Sahara yang konyol. Siapa yang suruh ia
menemui laki-laki yang ternyata tidak pernah
mencintai diriku? Pantas laki-laki itu menciumku di
dahi. Bukan di, He, kau!" ia membalikkan tubuh.
Kedua belah pipinya basah oleh air mata. "Mengapa
masih berdiri di situ? Ingin mentertawakan gadis
bodoh yang cintanya bertepuk sebelah tangan ini?
Begitu? Ingin tertawa, ya? Ayo, tertawalah.
Tertawalah sepuas-puas hatimu. Lalu enyahlah dari
mukaku!"
la, membalikkan tubuh lagi. Entah apa yang ia
cari di tembok.Hal. 238
Aku sendiri, tak tahu apa yang kutekuri di
lantai. Hanya, kulihat kemudian lantai itu berputar
waktu aku melangkah kemudian berjalan ke arah
pintu. Tangaku terangkat mau membukanya, ketika
tiba-tiba :
"Jangan tinggalkan aku, Bonar!"
* * *Hal. 239
11 AKU tertegun dan terperangah waktu Lily
yang meluncur turun dari tempat tidur langsung
berlari dan memeluk tubuhku kuat-kuat. Aku
tersandar di ambang pintu, dalam pelukannya yang
ketat. Dan teramat hangat.
"Kekasih!" isaknya tersendat. "Maafkan
sikapku barusan. Aku tak bermaksud mengusirmu.
Sungguh!"
Kedua belah lenganku bergerak cepat,
Wajahnya kubenamkan rapat-rapat di dadaku.
Kutekan erat-erat dengan kedua belah lenganku.
Rambutnya yang harum semerbak, kuciumi sepuas
hati. la tertengadah. Mulutnya basah. Aku
cercahkan bibirku di atasnya, la terengah.
Membalas ciuman itu, bertubi-tubi. Ada suara
orang batuk-batuk di luar. Lily tidak perduli.
Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bibirnya terus mencari. Bibirku, pipiku, kedua belah
mataku silih berganti, pipiku, bibirku lagi, lamaHal. 240
kemudian daguku, la menggigit daguku perlahan.
Manja. Dengan nafas memburu. Mesra.
Barulah kemudian ia berbisik :
" bukalah pintu."
"Lepaskan pelukanmu dulu, sayang."
Matanya mengerjap. Tetapi pelukan tidak ia
lepaskan sampai kami berjalan berdampingan ke
ruang tengah di mana Chairudin tampak pura-pura
asyik melembari sebuah majalah dan Sahara yang
berwajah kemerah-merahan bangkit dari kursinya,
menyongsong Lily.
"Tak kusangka kau akan sembuh selekas itu
benar," katanya, tertawa.
"Cinta memang obat yang paling mujarab,"
meningkah Chairudin tanpa melepaskan matanya
dari lembaran majalah.
Aku tersenyum, bersungut-sungut pada
temanku itu.
"He, Din. Di mana kau belajar dengan huruf
terbalik?"
"Ha?" ia terperanjat.Hal. 241
Lantas dengan mula-mula ia membetulkan
letak majalah yang terbalik di tangannya.
Tawa riang berderai di ruangan itu.
Tak sampai satu jam kemudian, kami telah
meninggalkan kota Medan. Lily yang pegang setir.
Sampai Tebing Tinggi. Di Siantar kami singgah untuk
makan siang. Lalu berangkat lagi. Kuambil alih setir
dari tangan Lily. Selama perjalanan kami berdua
lebih banyak diam. Pembicaraan diborong oleh
Chairudin yang bercerita dengan gayanya yang
khas.
"... setan benar!" katanya antara lain. "Dulu
Sahara gemuk dan tambun. Aku kerempeng. Lantas
dijodohin oleh teman-teman. Bagai pinang dibelah
dua, kata mereka. Sial kagak?"
"Aku lebih sial lagi," membalas Sahara. Sengit
"Tiap minggu aku beli baju baru. Mahalmahal harganya. Bagus-bagus potongannya. Selalu
up to date. Lalu si Bonar brengsek ini bilang padaku:
He. Sahara. Sisakan secarik kainmu untuk Udin.
Lantas ia menunjuk pada kau yang bercelana
pendek. Satu-satunya murid yang masih bercelana
pendek di sekolah kita. Ingat kagak, Din. Guru-guruHal. 242
semua kewalahan kau buat. Kalau tak ingat pada
otakmu yang cemerlang, maulah kau mereka pecat.
Bikin malu saja!"
"Malu gimana?" memberengut temanku.
"Iyalah. Habis, celanamu kadang-kadang
kelewat pendek dan agak lebar bagian bawahnya
..."
"Lantas?"
"Pernah sekali waktu, sekolah kita gempar.
Ketika volley, kau coba-coba mensmes bola."
"Hem, lalu?" desak Chairudin seraya
tersenyum di kulum, sementara aku sendiri hampir
saja tidak bisa menahan ketawa karena siapa yang
pernah bisa melupakan kejadian yang memalukan
itu? Tepi celana Chairudin robek sedikit, tetapi
cukup lebar untuk...
"Awas. Lonceng gantung! Lonceng
gantung...!" teriak Sahara menirukan suaranya
waktu ia meneriakkan kalimat yang sama bertahuntahun yang lampau. Di antara tawa kami yang
bergelak, ia menoleh pada temanku dan bertanya
dengan, wajah serius: "He, kumis lele. Apa lonceng
gantung itu masih ada di tempatnya?"Hal. 243
"Emangnya pindah ke mana. Ke pantat?"
balas Chairudin. Dongkol.
"Sudah. Sudah ah. Jorok!" nyeletuk Lily
seraya menekan perutnya yang sakit oleh ketawa.
Menjelang senja, kami memasuki daerah
Parapat. danau Toba yang cemerlang terhampar
jauh di bawah jalan. Airnya tenang. Biru jernih. Ada
riak-riak berbuih di tepian. Kehijau-hijauan. Lantas
pulau Samosi di tengah-tengah sana. Mataku
mencari-cari hutan pinus yang berbentuk hurufhuruf "RIMBA BUATAN." Tinggal puing-puing yang
sukar dibaca. Tak lebih dari sisa-sisa hutan yang tak
pernah dirawat. Sekitar danau penuh dengan
perumahan-perumahan serta bungalow-bungalow.
Dan aku geleng-geleng kepala, ta'jub melihat jalanjalan berliku dengan traffic-light khusus meliuk
semakin ke bawah dan berakhir di kompleks
peristirahatan Pertamina.
Angin sejuk dari Danau Toba menyambut
kami waktu turun dari mobil di pelataran parkir. Tak
banyak pengunjung sore hari itu. Tetapi suasana
tenang dan tenteram itu justru membuat daerah
seputar danau diliputi oleh kabut kasih dan haru.
Aku berdiri di atas sebuah batu karang di tengah-Hal. 244
tengah air danau yang biru jernih. Di bawah kakiku
terlihat ikan-ikan kecil bermain-main dengan
riangnya dan pasir kelabu ke putih-putihan seolaholah ikut tertawa bersama ribuan ikan-ikan itu.
Sebuah perahu kecil lewat nun jauh di depan.
Ombak yang tenang itu beriak. Kemudian diam. Di
dalam air, aku lihat langit yang kuning kemerahan.
Nun jauh di dasar, tampak matahari senja
merangkak ke pembaringannya. Angkuh, dan
malas.
Sebuah boat kosong mendekat.
Lily memanggilku dari pinggir danau. Aku
meluncur dari batu karang.
"Mau keliling?" ajak Lily.
"Hiii," menggigil Sahara. "Tenggelam nanti
perahunya. Aku tidak bisa berenang."
"Kan ada Udin," aku membujuk.
Temanku mendelik.
Tentu saja. Waktu dulu mandi-mandi di
sungai, ia terpeleset dari atas batu yang licin.
Tubuhnya lenyap dalam air. Aku dan kawan-kawan
lain terjun serempak. Waktu Chairudin akhirnyaHal. 245
berhasil kami angkat, tubuhnya agak kembung oleh
air. la terbaring sakit satu bulan setelahnya. Begitu
sembuh, musuh yang ia benci bertambah satu: air
yang dalam.
Lily duduk di sampingku seraya lengannya tak
lepas-lepas dari pinggangku selama boat berkeliling
di danau. Semakin ke tengah, gelombang semakin
tinggi. Boat terayun-ayun, dan mesinnya tiba-tiba
mati. Lily menjadi pucat.
"Ada apa, bang?" tanyanya pada laki-laki
pemilik boat yang sibuk memperbaiki bagian-bagian
mesin Mercury-nya.
"Kerusakan kecil. Maafkanlah."
Dan mesin menderu lagi. Boat melaju pula.
"Terus ke Samosir?" tanyaku pada Lily.
Laki-laki itu yang menjawabkan:
"Jangan sore begini."
"Kenapa?"
"Tak baik."
"Ooo..."Hal. 246
Mulutku masih celengap menyebut "Ooo"
ketika tiba-tiba mesin mati lagi. Lily memeluk
tubuhku dengan cemas.
Wajah pemilik boat jadi kelabu.
"Pertanda buruk," ia bersungut-sungut
seraya memperbaiki mesin lagi.
Aku bertukar pandang dengan Lily. Wajah
gadis itu memutih seperti kapas. Melihat itu, aku
mencoba tersenyum.
"... Tenanglah, sayangku," aku berbisik di
telinganya.
Mesin boat di selaag lagi. Terbatuk-batuk
sebentar. Lalu mati. Perahu bergoyang ke kiri
kanan. Keras. Lily memelukku kuat-kuat. Dan aku
berpegang ke pinggir perahu. Kiri kanan. Kuat-kuat.
Menjaga keseimbangan.
"Akan tenggelamlah kita?" bisik Lily cemas.
Kuperhatikan dasar perahu. Berair memang.
Tetapi tak ada pertanda bocor. Ketika mata
kuangkat untuk memperhatikan mesin, lewat
punggung laki-laki yang berusaha tenang selama
memperbaiki mesin, di kejauhan aku melihatHal. 247
Chairudin dan Sahara. Mereka berdiri di tepi air.
Berpegangan tangan. Keduanya juga tengah
memperhatikan ke arah kami. Dapat kubayangkan
raut wajah mereka yang cemas.
Lily yang melihat ke arah berlawanan, tiba
bergumam:
"Bonar..."
"Mh?"
la menuju ke arah sebuah tebing batu. "Kau
lihat itu?"
"Hanya batu-batu yang hitam legam. Berlumut..."
"Perhatikan benar-benar. Bukankah ada
sebuah batu yang bergantung di sana?"
Aku lantas teringat.
"O, jadi di situ letaknya Batu Gantung yang
terkenal itu," sahutku, tersenyum. Kuperhatikan
lagi, bidang batu di bawah tepian jalan berumput
tebal di kejauhan itu. "Kalau tak salah, Lily, salah
satu sudut batu itu memanjang ke tepi. Sebenarnya
bukan tergantung tanpa pegangan... Kau percaya
dongengan itu?"Hal. 248
"Tentang cinta gadis yang patah?" ia
manggut-manggut.
"Ya."
Logikaku pernah menentang dongeng itu
Tetapi kebenarannya mendarah daging di seantero
penduduk Danau Toba yang kemudian menjalar
pada penduduk-penduduk yang bersebar jauh di
sekelilingnya. Sampai ke kota-kota besar. Konon
dahulu kala entah karena ditentang orang tua entah
karena dikhianati oleh pacarnya, seorang gadis
nekad terjun dari pinggir tebing. Air danau yang
dalam, ternganga diam untuk menyambut
tubuhnya. Tetapi baru setengah jalan, tubuh si gadis
terhenti. Kaku. la telah berubah jadi batu.
Tergantung di sana. Dari tahun ke tahun. Mungkin
sepanjang manusia masih hidup di permukaan bumi
ini untuk menyadari bagaimana seharusnya mereka
menghormati apa yang dikatakan cinta. Dan batu
hitam yang bentuknya memang seperti manusia itu
tetap tergantung di sana, memperlihatkan
keajaiban dan kebesaran cintanya yang terkandas di
tengah jalan.
"... aku juga pernah hampir bunuh diri."Hal. 249
"Ah," cetusku, terkejut oleh pengakuan Lily.
"Karena patah hati?"
la berusaha tersenyum. Kaku. Tanyanya:
"Kau tak akan marah kalau kuceritakan?"
"Tidak. Ceritakanlah," jawabku, meski hati ini
agak diliputi kabut kecewa setelah menyadari
bahwa aku bukanlah lelaki pertama yang pernah
menyentuh hatinya. Apakah tidak mungkin lelaki itu
juga telah menjamah hal-hal yang lebih jauh dari
sekedar hati Lily saja?
"... hubungan kami tidak sampai melampaui
batas," gumam Lily setengah menghibur, setengah
menyadari apa yang bermain di kepalaku.
Wajahnya sendu. Dan matanya agak pucat
memandangi batu Gantung itu. Pemilik boat
menoleh sebentar, lalu kemudian tak ambil perduli.
Sibuk dengan pekerjaannya, sementara wajahnya
sudah basah oleh peluh.
"Aku bertemu dengan laki-laki itu waktu
cocktail-party yang diadakan ayah dalam
pembukaan perusahaannya, la bekerja sebagai
sales manager perusahaan yang sejenis. WaktuHal. 250
mata kami bertemu, aku lantas sadar bahwa kami
saling menyukai..."
"Lantas kau jatuh cinta," gumamku. Kecut.
"Ya...," lantas Lily tertawa. Juga, kecut. "Aku
baru di es-em-pe ketika itu. Belum pernah aku
mengenal apa artinya lelaki selain menjadi teman
yang kadang-kadang menyebalkan. Jakub lain
orangnya ..."
"Jadi Jakub namanya...."
"Ya. la laki-laki yang baik. Lemah lembut,
seperti Nabi yang namanya ia ambil. Dari tahun ke
tahun kami berhubungan. Kebanyakan melalui
surat menyurat. Aku selalu malu kalau bertemu
muka dengannya. Dan ia selalu kelihatan kaku
dalam gerak geriknya. Ternyata ia terlahir di
tengah-tengah keluarga yang streng dalam soal
agama... Percaya tidak? Selama tiga tahun
berhubungan, tidak sekalipun kami pernah
berciuman!"
"Oh!" cetusku. Lega. "Luar biasa!"
"Memang. Lebih luar biasa lagi, apa yang
terjadi setelannya. Waktu ulang tahunku yang
keenam belas, bertepatan dengan lulusnya aku dariHal. 251
es-em-pe, banyak undangan datang mengucapkan
selamat. Tetapi hanya satu orang yang tak kelihatan
batang hidungnya. "
"Jakub?"
Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"He-eh."
"Kenapa?"
"Waktu kutanya ke esokan harinya, ia
memohon maaf. Katanya ia sedang mengikuti
sakramen di gereja."
"Oh!"
"Yah. Seperti kau, akupun sangat terkejut, lah
bertahun-tahun, baru ia berterus terang. Hubungan
kami agak renggang selama beberapa saat. Baru
beberapa bulan, aku telah sadar bahwa aku
merindukannya. Aku mendatangi Jakub. Persis pada
saat, ia juga bermaksud datang untuk
menjengukku, karena tidak kuat menahan rindu.
Tetapi pertemuan itu melahirkan pertengkaran
demi pertengkaran..."
"Kok aneh."
"Habis, la bersikeras memaksaku masuk
dalam agama Katholik. Sebaliknya aku masihHal. 252
berharap ia berpindah masuk agama Islam.
Beberapa sahabat menyarankan agar kami tetap
pada agama masing-masing. Tetapi kalau tiba pada
persoalan anak yang akan terlahir bila kami
menikah, maka pertentangan itu muncul lagi. Makin
lama makin hebat. Akhirnya nekad, kutinggalkan
Jakub. Setelah aku sadar apa yang kulakukan itu
salah, aku bermaksud kembali padanya. Tetapi
Jakub telah berubah jadi laki-laki dingin. Teramat
dingin. Lama kemudian baru kuketahui sebabnya.
Kecewa kutinggalkan, ia melarikan dirinya ke gereja.
Minta dikukuhkan jadi pendeta. Dalam posisi itu,
tidak ada lagi tempat untuk seorang perempuan di
hatinya"
"la masih mencintaimu?"
"Entahlah. Pernah sekali dua kami bertemu.
Karena tidak sempat mengelak, aku bisa
menangkap perubahan rona mukanya, la tampak
gugup. Lalu cepat-cepat menggerakkan tangan
dalam bentuk salib di depan dada..."
"Dan kau?"
"... ya?"
"Apakah kau masih mencintai dia?"Hal. 253
Lily tersenyum. Manis. Keteqangan dan
kecemasan lenyap dari wajahnya.
"Usiaku semakin bertambah," katanya.
Lembut. Dan tulus. "Aku pun semakin mengerti apa
sesungguhnya yang dinamakan cinta itu. Banyak
laki-laki datang setelah Jakub. Ada yang kubenci,
tetapi tak kurang pula yang kusukai. Beberapa di
antara mereka adalah calon-calon yang disodorkan
oleh sanak famili. Salah seorang calon yang terkuat
dan paling dibangga-banggakan ayah, baru saja
kuhentak habis-habisan setelah mana kemudian
kularikan mobil kencang-kencang tanpa tujuan, dan
Tuhan melalui jalan yang salah mengantarkan aku
ke orang yang benar."
"Maksudmu?"
Lily tertawa. Manis. Jawabnya:
"Bukankah menabrak orang di cap jalan yang
salah? Tetapi aku tidak menyesal. Sungguh-sungguh
tidak menyesal. Orang yang benar telah
kutemukan. Mula pertama aku melihatmu terbang
di udara, hatiku bergetar. Rasanya dirikulah yang
melayang-layang, kemudian terhempas dengan
keras di tanah. Di rumah sakit, kuperhatikanHal. 254
wajahmu yang berlumur darah. Hatiku semakin
bergetar. Dahsyat, sampai aku terhuyung-huyung
dibantu oleh seorang suster ke sebuah kursi. Aku
tidak mengerti kenapa hatiku terkoyak melihat
tulang pipimu yang sobek"
Tanpa sadar, tanganku terangkat. Meraba
tulang pipiku yang agak menganga oleh goresan
luka.
"Sudah menutupkah hatimu yang terkoyak
itu?" tanyaku mengajuk.
Lily tersenyum. Menjawab:
"Tidak. Selama lukamu juga tidak menutup."
"Luka ini akan terus menganga, Lily."
"...Maka, hati ini akan terus pula terkoyak."
"Sakit dong."
"Pasti. Bila kau khianati cintaku, kekasih.
Pasti akan sakit sekali, dan aku benar-benar akan
bunuh diri seperti gadis dalam dongeng itu!"
"Kau mau jadi batu?" aku tercengang.
"Tidak," katanya, tertawa.Hal. 255
Dan mesin boat tiba-tiba menderum. Seolaholah ikut tertawa bersama kami. Bahagia.
Boat melaju. Perlahan. Ombak beriak. Perlahan.
"Kita teruskan saja, bang?" tanya pemilik
boat dengan wajah semakin kuyup oleh keringat.
Aku menatap ke ufuk barat. Matahari sudah
lama bersembunyi. Dan kegelapan mulai merayapi
danau.
"Kembali saja ke tepi," sahutku.
Chairudin dan Sahara berlari-larian
menyongsong kami waktu mendarat di tepian. Lily
memeluk Sahara seraya tertawa, sementara
Chairudin geleng-geleng kepala.
"Kukira kalian mau membangun mahligai di
tengah danau sana," ejeknya.
"Dan kau?" balasku. "Mengapa tak
membangun rumah dengan pasir bersama Sahara?"
Chairudin angkat bahu.
"Ia lebih memikirkan keponakannya
ketimbang aku."
Sahara mengerling.Hal. 256
"Belum juga kawin, sudah minta
diperhatikan," katanya tertawa.
"Apa? Si bujang lapuk ini..."
Belum habis ucapanku, Chairudin sudah
menukas:
"Kau senang aku bulukan ya? Tega benar!"
Seraya berjalan ke mobil, kupikir niat mereka
itu memang sudah pada tempatnya. Sahara tidak
bakal punya anak sehingga kehadiran Chairudin di
rumah mereka akan memeriahkan dunia si
perempuan yang selama ini sepi mencekam itu.
Chairudin tak pula harus bingung memikirkan
bagaimana caranya menghidupi dua keluarga,
karena bukankah sampai ia mampu berdiri sendiri,
Sahara tidak akan diabaikan oleh bekas suaminya?
Dalam perjalanan pulang ke Medan,
Chairudin lagi-lagi memborong pembicaraan
tentang rencana-rencananya dengan Sahara. Sekali
aku menukas:
"Rencanamu dulu jadi duta besar. Nyatanya,
kau tak lebih dari gelandangan tingkat tinggi. Jadi,
tak usahlah berencana muluk-muluk dulu sebelum
jadi!"Hal. 257
Chairudin tampak marah.
Tetapi Sahara membujuknya dengan kata-kata:
"Dulu kan ia masih anak-anak..."
"Iya deh," sindirku. "Tetapi aku berani
bertaruh, kau menyesal ia telah terbiasa dengan
celana panjang?"
"Apa anehnya?"
"Anehnya? Lonceng itu sudah bersembunyi
dengan aman!"
"Wah, nanti juga keluar pada waktunya!"
memberengut Sahara.
Aku tak mau kalah. Ujarku:
"Bagaimana kalau sudah bulukan?"
Lily mencubit pahaku. Keras.
Aku terpekik.
Lampu-lampu kota Medan di depan kami,
bersorak sorai. Kota bermandi cahaya warna-warni.
Dan-diam-diam aku merasa, kota ini toh masih
tetap menyukai kehadiranku.Hal. 258
Lily memparkir mobil di sudut jalan Canton.
Dari sebuah restoran yang masih buka ia memesan
goreng burung punai, ayam panggang dengan
serbuk merica serta rebus udang galah dengan saos
tomat. Hanya dalam sekejap hidangan itu telah
tandas sehingga sehabis makan Chairudin
menepuk-nepuk perutnya seraya nyeletuk:
"Pelayan pasti menyangka kita-kita ini orangorang rakus yang sudah berhari-hari tidak melihat
makanan."
Pelayan yang kemudian datang setelah
dilambai oleh Lily menunjuk ke pojok waktu gadis
itu bertanya apakah ia bisa memakai telephone. la
kemudian berdiri seraya menyeret Sahara.
"Ayah harus diyakinkan bahwa kau terus
mendampingiku," katanya.
"Orangtuamu tak panik?" tanyaku setelah
mereka kembali.
"Wah, mereka sudah membongkar seluruh
kota karena kehilangan harta mereka yang paling
berharga," menjawabkan Sahara seraya tertawa.
Kami kemudian berjalan ke mobil yang kami kebut
menuju Putri Hijau. Kota telah tertidur waktu kamiHal. 259
sampai di rumah Sahara. Setelah berhela-hela
sejenak di depan televisi yang channel-nya diputar
Sahara ke studio Malaysia, Chairudin bangkit dari
tempat duduknya.
"Kau mau ngendon di sini?" sindirnya padaku.
Lily mengantar kami sampai di pintu. Tatapan
matanya yang lembut dan mesra terus menyertai
mataku selama duduk di boncengan Honda yang
dilarikan Chairudin tanpa tergesa-gesa ke jalan
Pimpinan. Cepat sekali rasanya Chairudin telah
berhenti di depan rumah. Butet membukakan pintu
untukku. Aku tidak melihat ibu. Butet menjelaskan
tanpa kuminta.
"Nenek masih di kampung Teladan."
"Hah?"
"Tadi Uwa ke sini mencari Uda. Mungkin
nenek akan tidur di jalan Puri, begitu kata Uwa.
Beliau berpesan agar Uda tenang-tenang saja di
rumah..."
"Oh!"
Pesan itu kedengaran biasa saja. Tetapi aku
maklum makna yang tersembunyi di belakangnya.Hal. 260
Tigor, suami kak Ros dan ibu malam ini tentu telah
menimbulkan geger besar di Kampung Teladan, di
mana Marianna dan keluarganya tinggal. Ratap
tangis pasti memenuhi rumah keluarga itu. Umpat
caci akan menyelingi kata-kata puitis yang bersifat
menyabarkan dan bertujuan mohon maaf sebesarbesarnya. Mungkin ada yang jatuh pingsan.
Mungkin pula ada yang tidak bisa menahan darah
yang mendidih, lantas terjadi kekerasan. Bagaimana
pun, menolak keinginan berbesan di kota ini adalah
merupakan penghinaan. Ayah Ros masih adik
kandung ibu, tetapi firasatku mengatakan pertalian
yang erat itu telah diputuskan oleh irisan sembilu
yang menyakitkan hati, malam ini. Dan Tigor
berkata, agar aku tenang-tenang saja di rumah,
sementara mereka sendiri...Hal. 261
12 PAGI-PAGI benar, Tigor muncul.
Matanya merah karena kurang tidur.
"Bagaimana...," sapaku gugup begitu ia
duduk.
la menatapku. Tajam, dan tampak sangat
kecewa.
"Bagaimana lagi?" sahutnya, lantas angkat
bahu. "Ayah Anna ngamuk-ngamuk!"
"Oh..."
"Yah. Bagi kau cuma sampai di situ saja. Oh!
Selesailah sudah. Bah!" ia mencemooh. Lantas
meludah.
Aku terhina.
Namun sebisa-bisanya kutahan kemarahan
dalam teti. Dengan apa yang telah mereka lakukanHal. 262
demi untukku di Kampung Teladan, Tigor memang
berhak menghina diriku. Masih juga dadaku megapmegap saudara tuaku itu sudah bangkit berdiri.
"Kau tak ikut ke jalan Puri?" ajaknya.
Aku terpaku diam di kursi yang kududuki.
Tigor tertawa. Mengejek.
"Hem. Sudah kuduga. Tak berani kau
memperlihatkan muka di depan ibu!" Lantas ia
berjalan keluar.
Butet yang sedang memasak di dapur buru-buru,
menyusul.
"Tak makan dulu Wak?"
Tanpa menjawab Tigor menggenjot Honda
kijangnya, meluncur ke jalan yang disiram matahari
pagi. Butet terbengong. Aku termangu. Gadis kecil
itu berjalan masuk kembali ke dalam, seraya
menatapku penuh tanda tanya. Kucoba tersenyum
untuk menghibur hatinya. Ujarku:
"Kok belum dandan, Butet?"
"Emangnya mau ke mana Uda?" balasnya
semakin dipenuhi tanda tanya.Hal. 263
"Lho. Kau tak ke sekolah."
Gadis kecil itu tersenyum lucu.
"Sekarang hari Minggu, Uda," katanya, lantas
menghilang di pintu dapur. Baru saja aku mau
beranjak ke kamar mandi waktu Kak Ros tergopoh
Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gopoh datang dengan naik becak mesin. Aku
tercengang.
"Kalian kompromi ya, sepagi ini gantian
mendatangiku!"
"Hem!" sungutnya, lantas berjalan terus
melewatiku seraya memanggil: "Butet? Buteeet!"
Si gadis buru-buru keluar.
"Ya mak?"
"Cepat ganti pakaian kau!"
"Mak..."
"Jangan banyak omong. Cepat ganti pakaian.
Pulang!"
Dan sementara anaknya sibuk berganti
pakaian di kamar Rosmala ngomel panjang pendek
ditujukan pada si Butet tetapi aku rasa lebih di
arahkan ke alamatku:Hal. 264
"Cepat! Lebih baik kau ngurus adik-adikmu di
rumah daripada ngurus orang lain yang tak patut
diberi hati!"
Dari kamarnya Butet nyeletuk:
"Maksud mak, nenek tak patut..."
"Diam kau!" senggak Rosmala. "Bodoh!"
Keluar dari kamar Butet mengangguk kaku
dan mau mengatakan sesuatu padaku, tetapi
lengannya buru-buru ditarik oleh ibunya, la
terseret-seret mengikuti Ros yang naik ke dalam
becak, tanpa pamit bahkan tanpa menoleh
sedikitpun padaku. Jadi, ia benar-benar tidak
memaafkan diriku.
Bah! Jengkel, aku bermaksud minggat dari rumah itu.
Toh mereka semua telah membenciku
sekarang. Benar-benar membenci diriku. Kalau aku
pergi, kebencian mereka mungkin berkurang.
Biarlah mereka puas. Tak perlu kutulis surat berisi
selamat tinggal Segala. Buat apa! Pasti akan mereka
sobek sebelum dibaca!
Kubereskan pakaian-pakaianku di kamar.Hal. 265
Kumasukkan dalam koper. Kudedet. Tak
muat. Kubongkar lagi. Berkali-kali. Sekali koper itu
kubantingkan. Tak ada barang-barangku yang
bertambah, kok sekarang koper ini jadi bertingkah.
Rasanya menyempit. Setelah kususun dengan rapih
berkat menyabar-nyabarkan diri, barulah pakaianpakaianku bisa muat dalam koper. Namun tak
urung kemejaku basah oleh peluh. Aku terjengah
kelelahan di tempat tidur. Di luar, terdengar bunyi
klakson menyentak-nyentak. Lalu suara mesin
mobil berhenti. Mungkin punya tetangga. Mataku
liar mencari-cari kalau masih ada barang-barangku
yang tertinggal.
Sepatu cadangan, sandal, saputangan,
pomade, ball point bahkan sisir kujejelkan saja ke
dalam travelling-bag kecil Bahkan ingin rasanya
jejak-jejak kaki sampai sidik-sidik jariku yang
tertinggal ?kalau bisa!? kuangkut juga. Biar tak
ada bekas-bekas aku datang ke rumah yang telah
mempersona non gratakan diriku ini. Dari toilet
kusambar blok note setengah kosong setengah
berisi dengan kertas-kertas nota-berkepala "FHPM
UNIVERSITAS PAJAJARAN," lengkap dengan alamat:
Jl. Dipati Ukur, Bandung. Iseng-iseng kubuka
lembaran-lembarannya. Di halaman sampulHal. 266
belakang bagian dalam tertulis jadwal1 ujian
semester terakhir yang harus kutempuh sebelum
mempertahan thesis untuk merebut gelar Sarjana
Hukum.
Ujian-ujian itu berakhir tepat pada hari blok
note itu kubuka sekarang!
"Bah!" rungutku.
Lantas mau memasukkan bloknote ke koper
waktu pintu depan diketuk orang dari luar.
Malas, kulongokkan kepala lewat jendela.
Sebuah mobil yang asing bagiku, berhenti di
depan rumah.
Ketokan lagi di pintu. Lebih keras.
Disertai seruan:
"Assalamualaikum..,.!"
"Kum salam!" jawabku tergesa-gesa lantas
keluar, kamar untuk membuka pintu. Tamuku ?
yang ketiga pagi itu, dan mudah-mudahan tidak
memperlihatkan wajah kebencian padaku? adalah
seorang laki-laki setengah baya, berwajah
menyenangkan dengan tatapan mata yang tajamHal. 267
dan berhati-hati. la memandangku sejurus, lalu
bertanya dengan hati-hati. " saudara Bonar ada?"
Aku nyeletuk:
"Ya. Saya sendiri."
"Oh. Syukurlah. Saya dipesan untuk
menyampaikan langsung ke tangan yang berhak...
Ini. Harap diterima'"
"Dari siapa?"
"Bacalah."
Di amplop depan tertulis:
"Pro: Dear Bonar di tempat."
Tulisan tangan yang tidak kukenal, tetapi
pasti perempuan. Amplop belakang kosong. Isinya
kukeluarkan. Secarik kertas kecil berwarna merah
muda, dengan tulisan tangan yang sama. Isinya:
"Ditunggu makan siang di rumah. Kau tak
akan mengecewakan aku untuk kedua kalinya,
bukan? Dengan segenap cinta. Kekasihmu. Ttd.
LILY."
***Hal. 268
Segala kejengkelan, kebencian, kemarahan
lenyaplah seketika. Tak ubahnya api yang
mendadak padam karena tiba-tiba disiram oleh
curah air hujan. Dada ini bergetar. Jantung ini
berdebar. Wajah ini memerah. nafas ini terengah.
Mata ini terpejam. Sampai:
"Saya dapat perintah untuk menunggu jawaban."
Mataku terbuka lagi.
Orang itu tersenyum.
Dan aku malu.
"Lisan?"
"... tertulis!"
Kusobek secarik nota ber-kop "FHPMUNPAD" yang belum sempat kumasukkan ke dalam
koper. Ku ambil ball-point, lantas kutulis:
"Lebih baik aku mati, daripada kau kecewa.
Sayangmu. Ttd. BONAR."
Aku ribut mencari amplop. Tak ada. Laki-laki
tadi memberi saran:
"Masukkan saja di amplop yang sama.Hal. 269
Kukira benar juga. Di bawah tulisan di depan
amplop kububuhi kalimat:
"Kembali ke alamat pengirim."
Sebelum surat kumasukkan, kutambah dengan:
"N B. Sorry, amplopnya dipinjam. Punyamu,
punyaku."
Ketika mesin mobil sudah dihidupkan, aku
baru teringat mengapa tidak ikut saja sekarang.
Daripada menunggu di rumah yang... Aku mau
berseru memanggil. Tetapi aku tak tahu nama lelaki
itu. Bahkan tak tahu siapa dia. Mungkin supir. Baru
saja kuputuskan untuk memanggilnya dengan
"Hei!" mobil itu sudah melesat jauh. Aku kecewa.
Tetapi waktu kubaringkan tubuh di tempat tidur,
terasa dada ini betapa lapang. Rasanya cukup
lapang untuk tempat bermain sepakbola.
Karena lupa route kendaraan umum, aku
kesasar naik oplet jurusan Medan Baru. Tapi
kepalang sudah. Turun di terminal Medan Baru aku
tanya oplet jurusan Sisingamangaraja. Turun di
Mesjid Raya, bingung lagi. Malu bertanya sesat di
jalan kata orang. Aku tak ingin sesat di jalan, tetapi
juga tidak ingin bertanya karena aku malu pada diriHal. 270
sendiri tidak tahu jalan-jalan di kota di mana aku
lahir dibesarkan. Bagaimana tidak. Anak
kesayangan orang lain dilepaskan ke mana suka,
asal si anak senang. Orangtuaku lain. Dulu aku
dipingit. Tak ubahnya seorang perawan yang
dipersiapkan naik pelaminan. Mana kota ini telah
berkembang pesat, banyak terjadi perubahan.
Kalau di Bandung apalagi Jakarta, gampang.
Acungkan saja lengan. Dan sebuah taxi akan
berhenti di depanmu.
Tetapi waktu tanganku teracung, yang
berhenti di depanku adalah sebuah becak dayung!
"Daripada awak terpanggang matahari,"
pikirku lantas naik tanpa tawar-tawar lagi.
Lama juga baru becak itu memasuki jalan
yang kutuju. Waktu kutinggalkan, kawasan jalan
Bhakti merupakan sudut kota terpencil dan tidak
terpelihara. Kini termasuk daerah elite. Banyak
rumah-rumah permanen yang konstruksinya satu
dua mulai mengikuti jejak konstruksi-konstruksi
bangunan di Jakarta maupun Bandung. Halaman
yang luas, pohon-pohon cemara gundul dan cemara
jarum, patung-patung pualam, dan di bawah atapHal. 271
sirap, jendela-jendela yang lebar berkaca reyben
lengkap dengan kaca naco. Aku sampai agak gugup
waktu berhenti di depan rumah yang kutuju.
Kakiku gontai melangkahi jalan halaman yang
di aspal. Ada taman bunga anggrek di depan,
patung marmer menggambarkan sepasang nelayan
sedang bercengkerama, dan kolam ikan hias di
bawah patung dengan air jernih mengalir dari selasela batu karang bersusun. Di depan terras berlantai
taraso, terbaring diam Mercedez 280. Mobil yang
tadi muncul di rumah. Di samping rumah terletak
sebuah garasi besar di dalam mana kulihat Copella
kesayangan Lily yang pernah menerbangkan
tubuhku ke udara tetapi kemudian dengan
bersahabat sudah beberapa kali mempersilahkan
aku duduk di atas joknya yang tebal dan empuk.
Pantai Hantu 1 Wiro Sableng 139 Api Cinta Sang Pendekar Godfather Terakhir 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama