Ceritasilat Novel Online

Hancurnya Pemujaan Sesat 2

Ratu Ayu 04 Hancurnya Pemujaan Sesat Bagian 2


menantikan tanggapan pemuda perkasa itu. Tetapi setelah tiada terdengar jawabannya,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
macan betina itu berkata lagi, "Jika kau kurangajar akan kukelupaskan mukamu.
Bukankah kau tadi diperintahkan untuk membuntutiku? Mengakulah agar aku tidak
menghajarmu."
"Benar-benar aku tidak merasa diperintah tuan putri."
"Kau sudah mulai berkhianat kepada Lurahmu."
"Kau masih ingat semasa kau kemari?Masih ingat!!" Bentak macan betina itu.
Pemuda perkasa itu mana bisa mendapat perlakuan demikian di depan temantemannya apalagi di hadapan pemuda yang berdada bidang itu. Cepat-cepat ia
menghindari persoalan kepada Nyi Singalangu, dan mencari perkara kepada pemuda
berdada bidang.
"Aku akan menemui dia tuanku putri, bukan menemuimu."
"Apa perlumu dengan dia?" Tanya macan betina itu
"Dia akan mencuri kuda tamu-tamu kita."
Semula pemuda berdada bidang itu terperanjat. Dari mana pemuda perkasa itu
mengerti maksudnya padahal tak pernah ia mengutarakan kehendaknya itu.
"Ia akan melarikan diri karena berbuat curang." Kembali pemuda berdada bidang
itu tercekat.
Tetapi ia masih dapat menahan diri, pemuda berdada bidang itu mengerti bahwa
pemuda perkasa itu memang suka menjilat dan mencari perkara, bahan tidak segan-segan
memfitnah.
"Benar apa yang dikatakan?" Tanya macan betina.
Pemuda berdada bidang itu menggelengkan kepala dengan pandangan tajam ia
mengawasi pemuda perkasa itu mulai dari ujung rambut sampai ke ujung kakinya.
"Mengapa kau mengawasi aku demikian?"
"Karena kau memfitnah aku."
Pemuda perkasa itu meneguk liurnya, sedang yang berdada bidang masih saja
memandang tanpa berkedip. Hatinya terbakar.
"Kau tetap pada tuduhanmu?" Tanya macan betina. Pemuda perkasa
mengangguk.
"Kau tetap membantah tuduhan itu?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Aku tidak merasa berbuat."
"Baik." Macan betina itu mengangguk berkali-kali. Tampaknya ia berlega hati, lalu
menyambung, "Yang satu tetap menuduh, sedang yang lain tetap menolak, pertahankan
sebagai seorang jantan apa yang kalian katakan."
"Tentu." Jawab pemuda perkasa merasa tubuhnya lebih besar daripada lawannya.
"Kalian harus mengadu otot."
Pemuda perkasa itu berjingkrakan, merasa berhasil usahanya, sedang pemuda
yang berdada bidang tampak ogah-ogahan, bahkan acuh tak acuh.
Macan betina itu memberi isyarat agar kedua pemuda itu mengikutinya. Semua
yang sedang beristirahat mengikuti kejadian itu dengan pandangan masing-masing.
Mereka menduga-duga apa yang akan dikerjakan oleh macan betina terhadap kedua
pemuda bawahannya.
Bagi pemuda berdada bidang kejadian itu adalah suatu kebetulan. Mereka
melewati ruangan pemujaan. Suatu ruangan yang mengerikan. Di dalam ruangan itu
terdapat beberapa peti dan beberapa tulang kerangka yang bergantungan di atas peti itu.
Mengelilingi tempat itu terdapat tempat duduk dan perdupaan.
Pemuda berdada bidang itu ingin lebih lama memperhatikan ruangan itu, tetapi ia
tidak mau dicurigai oleh orang lain. Karena itu ia cepat-cepat mengikuti langkah macan
betina yang di depannya beberapa langkah mendahului.
Sampailah mereka pada sebuah dataran di belakang gua.,
"Di sinilah jalan itu." Pikir pemuda berdada bidang.
"Nah. Sampailah kita. Ratri pasang batas-batasnya. "Perintah macan betina itu
lantang.
"Baik ayunda."
Sebenarnya kedua perempuan itu jatuh hati kepada pemuda berdada bidang yang
tidak banyak bicara itu.
"Yunda bagaimana kalau dia kalah?"
"Mengapa kau mengkhawatirkannya?" Tanya macan betina.
"Tidak apa-apa, aku hanya kasihan bukankah tubuhnya kalah besar dengan yang
satu." Bantah Ratri dengan menghela napas.
"Aku khawatir kalau kau jatuh cinta."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Ah." Hanya itu yang terlontar terakhir.
"Berkelahilah kau berdua."
"Apa peraturannya tuanku putri?" Tanya pemuda perkasa.
"Tanpa senjata, Tidak boleh melukai. Berkelahi sampai salah satu menyerah
kalah."
Kembali pemuda perkasa itu berjingkrakan tak ubahnya anak kecil yang diberi
oleh-oleh ibunya. Sedang pemuda berdada bidang seperti seekor ayam jantan yang lari
dari gelanggang,
"Kau berdiri di sudut sana. Kau di sudut sana. Kau Ratri menjadi saksi siapa
diantara mereka yang curang."
"Bagaimana kalau tanganku memukul dadanya, atau siku lenganku menyodok ulu
hatinya tuanku putri." Tanya pemuda perkasa itu dengan meremehkan lawannya.
"Boleh saja. Asal kau lakukan dengan jujur." Pemuda perkasa itu membungkuk
hormat.
"Mulai." Teriak macan betina.
Pemuda perkasa itu menyerang dengan mengirimkan jurus tangan dengan tinju
mengarah ulu hati. Pemuda berdada bidang itu memiringkan tubuhnya dan memukul
lengan lawannya dengan sisi telapak tangannya sambil meloncat mundur. Bersamaan
dengan itu menghajar punggung, disertai kaitan kaki. Tak dapat lagi pemuda perkasa itu
menahan tubuhnya, ia kehilangan keseimbangan dan tertiarap di tanah.
"Hai, mengapa tubuhmu seringan kapok randu." Bentak macan betina dengan
tertawa cekakakan. Sedang Ratri tidak kuat lagi menahan geli, dan meledaklah tawanya
yang renyah.
Pemuda perkasa itu cepat berbalik. Tetapi belum lagi dapat berdiri, cepat pemuda
berdada bidang itu meloncat dan melekatkan kakinya pada pelipis, pemuda perkasa
mencoba membabat kaki lawannya. Tetapi belum lagi tangannya dapat meraba pemuda
berdada bidang itu meloncat mundur dan dengan kecepatan yang luar biasa kakinya
melayang membabat lengan lawannya.
Keruan saja pemuda bertubuh perkasa itu menjerit setengah mati. Untunglah
pemuda berdada bidang hanya menggunakan sepersepuluh tenaganya, dan lengan
perkasa itu masih dapat bertahan, tetapi rasa nyeri terasa seluruh tubuhnya.
Sebenarnya pemuda perkasa itu hanya dapat menjaga diri dengan menggulat.
Karena itu bagi pemuda berdada bidang tidak ada pilihan lain, ia harus menghancurkanhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
kaki dan kedua tangan lawannya, setidaknya anggota tubuh utama dalam pergulatan itu
sudah dilumpuhkannya.
"Bagaimana, adakah kau masih dapat berdiri?"
"Maafkan aku tuanku putri." Kata pemuda berdada bidang.
"Mengapa tidak kau reotkan sekali,"
"Aku tidak sampai hati."
"Bukankah ia belum menyerah." Kata macan betina. Ia diam sejenak memandang
pemuda berdada bidang, kemudian berkata melanjutkan, "Bukankah ucapan kalah
sebagai tanda diakhirinya pertarungan ini? Adakah sudah diucapkannya?"
Pemuda bertubuh perkasa yang tadi merendahkan mana bisa mendapat perlakuan
demikian. Kalau ia mengaku kalah, dimana diletakkan mukanya. Kalau tidak mengaku,
bagaimana ia menghindari kalau lawannya menyerang. Tengah ia berfikir demikian,
sebuah gerakan yang hampir tidak dapat ditangkap mata biasa, sebuah kaki melekat pada
lehernya dan terasa ibu jari kakinya menekan buah lehernya. Tak dapat digambarkan
bagaimana pemuda bertubuh perkasa menggeliat-geliat. Napasnya tersumbat. Akan
berbicara tidak dapat. Sebaliknya kedua perempuan yang melihat kejadian itu terlongohlongoh kagum akan kecekatan pemuda yang disangkanya pemalas.
"A......a. . . .aku. . ."
"Katakan yang benar." Bentak macan betina dengan masih heran. Dengan
menggunakan apa maka pemuda itu tidak dapat berbicara seperti biasa. Apabila
menggunakan telapak kaki masih dengan mudah berbicara. Tidak terpikir oleh macan
betina bahwa pemuda yang tampaknya pemalas itu mempunyai ketrampilan yang luar
biasa.
Pemuda berdada bidang menghindari injakannya. Kemudian ia berjongkok dan
membimbing lawannya. Mendudukkannya di atas sebuah tempat duduk dari batu. Tetapi
baru saja tubuh perkasa itu diletakkan, tak ubahnya karung yang basah, tubuh itu jatuh
dan melingkar di atas tanah, ternyata kakinya tidak kuat berdiri.
Tiada terasa pemuda berdada bidang itu tersentuh hatinya, cepat ia berjongkok dan
mengurut kaki lawannya. Urat-urat darah yang melekat karena pukulan dipulihkannya
Sehingga darah itu berjalan lancar kembali.
"Terima kasih." Kata pemuda perkasa itu.
Pemuda berdada bidang masih curiga terhadap lawannya. Demikian ia
mengetahui lawannya sudah dapat berdiri dengan tegak dan menggunakan tangannya
dengan baik, ia meloncat mundur beberapa langkah.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Tidakkah seperti yang diduganya. Pemuda perkasa itu membungkuk hormat, dan
saat melengakkan kepalanya ia berkata, "Aku mengaku kalah. Dan mulai saat ini aku
memanggilmu dengan sebutan kakang."
"Terima kasih adikku." Jawab pemuda berdada bidang.
"Bagus itulah namanya satria. Mengakui dengan jujur segala kekurangan dan
kelebihannya. Dan selesailah persoalan yang dituduhkan. Ternyata lawanmu tidak
bersalah. Bukankah demikian?" Kata macan betina.
"Tentu tuanku puteri."
"Bagus. Persoalan selesai. Kalian boleh meninggalkan tempat ini." Perintah
macan betina dengan mengerling Ratri yang berdiri tidak jauh dari padanya.
Baru saja beberapa langkah meninggalkan tempat itu, tiba-tiba sebuah belati
melayang dengan cepat mengarah punggung pemuda perkasa itu. Cepat pemuda berdada
bidang mendorongnya dan pemuda perkasa jatuh tersungkur. Betapa terkejutnya, tetapi
sewaktu ia mendongakkan kepala dilihatnya sebuah belati terpasak pada dinding padas
hampir seluruh matanya. Pemuda perkasa itu berdiri dan menarik napas dalam, ia
menoleh dan melihat macan betina itu dalam sikap siaga.
"Terima kasih kakang." Katanya dengan menghormat.
"Hati-hati macan betina itu merasa tersinggung."
"Hai, jangan kau meninggalkan tempat ini. Ambilkan pisauku yang terpasak itu."
Pemuda yang bertubuh perkasa itu akan mengambil belati tetapi cepat macan
betina itu berteriak, "Bukan kau yang kuperintah!!"
"Ia marah kepadaku." Kata pemuda berdada bidang setengah berbisik. Ia
mengambil belati, kemudian dengan lunglai menyerahkan kepada macan betina.
"Duduklah di tempat yang rindang itu. Dan tinggalkan tempat ini. Masuk dalam
ruangan di depanmu," Perintah itu dikerjakan oleh kedua pemuda tanpa membantah.
Pemuda berdada bidang duduk di bawah pohon rindang, sedang pemuda yang bertubuh
perkasa masuk ke dalam ruangan
"Ratri tutup pintunya!" Perintah macan betina. Ratri segera pergi dan menutup
ruangan itu.
"Ratri mari kita ke pohon yang rindang itu." Kedua perempuan itu menuju tempat
pemuda berdada bidang.
"Siapa sebenarnya kau." Tanya macan betina waktu tiba di dekat pemuda berdada
bidang.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Seperti tuanku putri mengetahui, aku adalah anak buah Lurah Singalangu."
Jawabnya dengan menggigil.
"Tak usah kau takut kepadaku. Sebab ternyata kau memiliki ilmu yang lumayan."
Macan betina itu memandang dengan nafsu.
"Aku tidak sengaja berbuat demikian tuanku putri," Macan betina itu tidak berkata
lagi, tetapi langsung menampar muka pemuda berdada bidang. Sengaja pemuda ini tidak
membalas untuk memberi hati, sebab kalau macan itu kalap dan mengadukan kepada
Singalangu. nasibnya akan berbahaya.
"Oh." Kata pemuda itu dengan heran. Sedang darah segar meleleh dari mulutnya.
Dengan memandang ia akan menyapu mulutnya. Tetapi dengan cepat macan betina itu
menendang, sehingga tangan pemuda tergapai.
"Gila benar perempuan setan ini." Pikirnya.
Tiba-tiba saja macan betina itu berjongkok, kemudian dengan pandang sayu ia
menyapu mulut pemuda berdada bidang itu dengan kasihnya, sedang Ratri menempelkan
tubuhnya yang montok itu pada punggung pemuda berdada bidang itu. Perbuatan
demikian sama sekali tidak diduganya. ia menghela napas panjang, benaknya menjadi tak
keruan. Sebagai laki-laki dewasa terselip rasa gairah, perlakuan itu membangkitkan
semangat dan membangun perasaan yang terpendam. Tetapi ia tidak ubahnya bagaikan
berpijak di atas duri yang berbisa, yang sewaktu-waktu dapat menggores tubuhnya.
"Jangan tuanku putri berbuat demikian."
"Siapa yang melarang aku?"
"Ki Lurah."
"Salahmu mengapa kau mendorong si tukang kuntit itu."
"Aku tidak sengaja tuan putri."
"Akupun tidak sengaja. Kalau kau menolak aku akan berteriak dan kalau kakang
Singalangu kemari akan kukatakan bahwa kau menggodaku."
Hati pemuda itu berontak karena mendapat perlakuan yang tidak pantas. Baginya
perbuatan demikian adalah pengkhianatan. Tetapi ia dalam keadaan serba sulit, kalau ia
mau diperlakukan sebagai gula-gula hal itu adalah suatu dosa, lebih-lebih kalau
Singalangu sampai mengetahui tentu saja ia akan mendapat hukuman, sebaliknya kalau
ia menolak permintaan macan betina itu salah-salah ia akan mengalami nasib yang lebih
buruk. Ia mengetahui mulut perempuan itu adalah selalu dipercaya oleh Lurahnya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Macan betina adalah seorang yang cukup mempunyai pengalaman pada jaman
jayanya. Melihat tanggapan yang serba sulit itu, ia tersenyum mengulum sambil membelai
rambut pemuda itu.
"Kau tidak usah takut, dan tidak perlu mempersulit diri."
Pemuda berdada bidang tidak menjawab. Ia telah menumpahkan segala cinta dan
janjinya kepada seorang gadis, mana mungkin dapat menerima permintaan yang baginya
adalah tabu.
"Aku tidak akan memilikimu untuk selamanya. Hanya saja selama aku
membutuhkan seperti petunjuk yang diberikan oleh sesembahan kepercayaanku."
"Dan kali ini sesembahan tuan putri memerintahkan?"
"Tanyakan kepada adikku Ratri."
Pemuda berdada bidang itu menoleh kepada perempuan yang masih saja
menempelkan tubuhnya, seperti menempelkan sebuah patung pada dinding tembok
dimana patung itu akan didirikan. Perempuan itu mengangguk dengan senyum dan
menyipitkan matanya.
"Benar-benar sudah gila." Pikir pemuda itu.
"Bagaimana kau masih berkeberatan?"
"Adakah pemujaan tuan putri sudah membisikkan?" Pemuda itu kembali
bertanya.
"Malam nanti ia akan membisikkan demikian kekasih."
"Baiklah esok pagi aku melayani tuan putri."
"Nah. Demikian itu laki-laki namanya." Habis berkata demikian kembali macan
betina itu menyapu bibir pemuda berdada bidang yang terlekat bekas darah. Ia
merundukkan kepalanya. Demikian kira-kira setengah jengkal dari pipi pemuda ku.
Pemuda itu berusaha mengelak, karena ia mengetahui jalan napas macan betina
itu bergolak keras menekan.
"Bagus!! Bagus Jangan layani dia anak muda. Kau akan disengatnya." Sebuah
ucapan dari balik dinding. Perempuan itu terperanjat waktu ia menoleh dilihatnya Uling
Bangah dan Welut Kuning membungkukkan badannya menghormat.
"Maafkan aku tuan putri." Kata Uling Bangah. Kepada Uling Bangah, macan
betina itu agak segan-segan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Apa maksudmu tuan-tuan??" Tanya macan betina.
"Dari ruang pemujaan aku kemari, karena terasa panas. Ampuni kalau aku
mengganggu."
"Tidak! Sama sekali tidak, aku hanya menyapu darah yang mengalir dari mulutnya
karena kukemplang tadi."
"Ooooh kusangka ....."
"Main gila maksudmu?" Bentak macan betina geram. Kedua tamu itu tidak
menjawab, tetapi memberi hormat.
"Tidak usah kau berlagak menghormati aku, sedang hatimu menyumpahi."
Macan betina itu diam sejenak. Keningnya berkerut, kemudian sambungnya, "Di sini
hanya ada kita."
"Baik. Asal kita saling mengerti." Jawab Uling cepat.
"Kau akan memeras."
Uling Bangah menggelengkan kepala. Sedang Welut Kuning mengerlingkan
matanya kepada Ratri yang hatinya agak tersentuh dan merenggangkan tubuhnya.
"Yunda sebaiknya kita melanjutkan pekerjaan."


Ratu Ayu 04 Hancurnya Pemujaan Sesat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebaiknya begitu, dari pada menghadapi kedua tamu kita."
Habis berkata demikian, kedua macan betina itu pergi melewati jalan di dekat
kedua tamunya. Waktu berpapasan kedua tamu itu membungkuk hormat, sebaliknya
perempuan itu mengayunkan tangannya menggebug punggung.
Pukulan itu hanyalah suatu permainan, sebagai pernyataan saling bersetuju timbal
balik. Dan kedua tamunya sudah mengerti maksudnya, karena sejak macan betina itu
menjadi pimpinan berandal sudah selalu bertemu. Keduanya sudah saling mengerti
kebiasaan masing-masing.
"Terima kasih tuanku puteri." Kata Uling Bangah dengan mengangguk, sedang
macan betina itu mendekat lalu menggaplok.
"Ini hadiah."
Pemuda itu dapat meraba apa yang terjalin dalam permainan itu. Ia menarik napas
panjang, untuk melonggarkan sesak napasnya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Setelah dua macan betina itu menghilang, cepat-cepat pemuda berdada bidang itu
mendekat dengan menghaturkan sembah, sambil berkata, "Terima kasih atas pertolongan
tuan-tuan."
"Kau kena gaplok?"
Pemuda berdada bidang itu mengangguk.
"Hati-hati. Kau masih terlalu muda untuk mengenal berandal itu. Kau bisa
dimakannya sampai ke tulangmu."
"Terima kasih atas nasehat tuan-tuan."
"Hem." Habis berkata demikian kedua tamu itu meninggalkan tempat itu. Cekatan
luar biasa mereka tidak tampak lagi.
Sekarang pemuda berdada bidang yang benaknya masih diricuhi permainan
mesum, segera mendekati ruang diinana pemuda perkasa ditutup. Cepat dibuka pintunya.
Ternyata ruangan itu gelap dan tertutup rapat. Pemuda perkasa itu tersandar pada dinding
dan tubuhnya lemas. Waktu pintu dibuka, ia tampak menggeliat, tangannya berusaha
mencari pegangan.
Pemuda berdada bidang itu mendukungnya, dibawa keluar.
"Tariklah napas panjang-panjang, dan hempaskan keluar." Pemuda perkasa itu
menurutkan petunjuk, wajahnya yang pucat lambat laun berwarna merah.
"Tempat itu untuk menyiksa." Kata pemuda perkasa. Pemuda berdada bidang itu
mengangguk.
"Telah dua kali kau menolong jiwaku"
"Sudahlah tak usah kau membicarakan hal itu."
"Kau suka memaafkan kesalahanku kakang." Pemuda berdada bidang itu
mengangguk.
"Sebaiknya kita menghadap ki lurah." Kata pemuda berdada bidang. Tetapi
pemuda perkasa menggelengkan kepala. Ia lalu menceriterakan keadaan yang sebenarnya
mengapa ia sampai menguntit dan menantangnya berkelahi.
"Syukurlah! Kita masih mendapat perlindungan." Mereka pergi meninggalkan
tempat itu
Waktu keduanya melewati ruang pemujaan, pemuda berdada bidang itu
menanyakan sesuatu tentang ruangan itu.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Kakang. Ruang pemujaan itu terdiri dari banyak peti, di dalamnya terdapat
kerangka-kerangka orang perkasa yang sudah meninggal dunia yang dapat mereka curi.
Di atas peti kakang lihat ada kerangka yang kering. Kerangka tergantung itu adalah
kerangka anak buahnya yang dianggap bersalah, dibunuhnya di atas peti itu dan darahnya
bercucuran jatuh ke dalam peti. Saat demikian mereka lakukan setahun sekali." Pemuda
perkasa diam sejenak.
Pemuda berdada bidang itu menghela napas panjang. Bulu tengkuknya berdiri.
"Setahun sekali." Gumam pemudi berdada bidang.
"Ya kerangka itu yang mereka sembah. Dan setiap tahunnya mereka asung
pasungsung agar pemujaan itu memberi kekuatan."
"Kapan saat pemberian pasungsung itu?"
"Lurah Singalangu yang menentukan."
"Hem."
"Nanti kita melewati ruang lain tempat di mana korban-korban disimpan. Mereka
diberi makan enak, agar menjadi gemuk."
Demikian mereka melewati ruangan lain itu. mereka melihat dari sebuah lubang.
Dalam ruangan itu kelihatan beberapa orang sedang bergembira.
"Mereka tidak mengetahui?" Pemuda perkasa itu menggelengkan kepala.
"Mengapa?"
"Mereka malah menganggap anakmas yang berjasa."
"Kalau demikian sukar untuk diberi pertolongan?"
"Ya. Karena mereka tidak mengerti."
"Itulah sebabnya."
"Hai, pergi mengapa mengintip?" Suara dari dalam ruangan.
Cepat-cepat keduanya pergi dari tempat itu. Kalau mereka sampai ketahuan
dianggap melanggar peraturan.
"Kau mengetahui semuanya adikku?"
"Aku telah lama di sini kakang. Sejak kecil."
"Berbahagialah kau yang dapat menyesuaikan diri."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Berbahagia? Tidak kakang. Sekarang terbuka mataku bahwa di sini tiada yang
sebenarnya dinamakan hidup. Di sini hanya terdiri mesin-mesin yang bernyawa, yang
satu sama lain saling ingin menguasai dan berkuasa. Kemudian menggunakan kekuasaan
itu secara mutlak dalam tangannya."
"Tetapi kau sudah sejak kecil di sini." Pemuda perkasa itu memandang jauh.
"Mereka yang memberi aku makan dan memelihara." Pemuda berdada bidang itu
tidak melanjutkan kata-katanya
Ia tidak mau menyinggung orang lain yang saat itu perasaannya ingin berkembang
menuntut kebebasan berfikir dan berbuat.
"Bukankah semua orang di kolong langit ini tidak mau ditekan kakang?" tanya
pemuda perkasa itu.
"Demikianlah. Tetapi bukan pula kebebasan yang tidak teratur. Bukan pula
kebebaan yang tidak mau mematuhi angger-angger yang sudah saling disetujui adikku."
Mereka telah sampai di halaman gua, dan di sana tampak berkumpul, Singalangu
dengan si macan betina, Simo Barung Muda, Wadas Lumut, Banyaksanggar, Uling
Bangah dan Welut Kuning yang berdiri bersandar dinding gua. Mereka itu minum dan
tertawa, mereka sudah saling menemukan persetujuan.
"Untuk tercapainya cita-cita." Kata Simo Barung Muda.
Semuanya lalu minum tuak dengan lahapnya. Sedang Singalangu memandang
Luh Sari macan betina yang agak tergegap ketika melihat pemuda berdada bidang jalan
bersama-sama dengan pemuda perkasa. Tetapi cepat macan betina itu menghilangkan
kebyasan, wajahnya dipalingkan memandang arah lain.
"Kau tidak senang melihat pemuda itu?" Bisik Singalangu.
Macan betina hanya memandang tajam.
"Mana yang tidak kau sukai?" Macan itu belum juga menjawab.
"Menyingkirkan mereka dimana susahnya"
"Bukan semuanya berhati buruk."
"Pemuda perkasa itu aku yang menyuruhnya mengawasi."
"Hem. Rupa-rupanya kau cemburu!" Singalangu menggelengkan kepala.
Terasa dalam dada kedua pemuda itu apa yang sedang dibicarakan oleh kedua
macan yang sedang memegang kekuasaan. Lebih-lebih pemuda berdada bidang itu,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
dengan menajamkan pancaindranya ia dapat menangkap segala pembicaraan. Ia harus
berhati-hati dan segera pergi dari daerah watu gong, dimana tersembunyi sebuah
pemujaan sesat yang dilakukan oleh orang-orang yang tersesat pula.
Untuk menghilangkan kecurigaan, kedua pemuda itu lalu mengambil jerami, dan
dibawanya pergi ke belakang.
Malam tiba, kedua pemuda bersama beberapa orang temannya sudah memasang
obor untuk menerangi daerah-daerah yang dianggap berbahaya. Malam itu mendung
tebal, agaknya hujan akan turun dengan lebatnya.
Para tamu sudah tidak lagi dapat pulang, mereka menginap di tempat itu. Dan
penjagain diperkuat. Bagi mereka tamu itu adalah orang-orang yang menghidupinja.
Jalan-jalan sudah sepi beberapa penjaga tampak mulai menyandar di dinding batu
padas.
"Kakang, andaikata kita lari malam ini bagaimana?"
Pemuda berdada bidang itu tidak menyahut. Dipandangnya pemuda perkasa itu.
Tentu saja sangat ber-hati-hati menghadapi seseorang yang telah lama bergaul dengan
berandal. Pemuda berdada bidang itu dapat merasakan penderitaan temannya pada masamasa belakangan ini. Tetapi mempercayainya, belumlah dipandang perlu untuk
melepaskan sesuatu yang diketahuinya.
"Mengapa kau mengkhianati adikku?" Tanya pemuda itu.
"Jangan kakang berkata demikian. Akupun masih menginginkan hidup seperti
kebanyakan orangnya."
"Bukankah kehidupan di sini juga banyak orangnya."
"Hem. Adakah hati kakang juga berkata demikian."
"Aku baru saja diantara mereka, mungkin aku belum dapat benar-benar
menyesuaikan diri."
Pemuda itu menghela napas panjang.
Tiba-tiba saja sesosok bayangan berkelebat. Pemuda berdada bidang itu
menggamit temannya, dengan menunjuk arah bayangan itu.
"Ki Lurah." Katanya pelahan.
"Benar aku." Terdengar suara berkumandang memenuhi ruang.
"Mengapa Ki Lurah, adakah memerlukan aku."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Tidak, kau berdua bukan?"
"Benar Ki Lurah."
"Adakah aman di sini?." Kedua pemuda itu tidak menjawab.
"Aku kuatir kalau-kalau ada yang melarikan diri." Kata Singalangu dengan suara
serak menahan gelora hatinya sesak.
Yang terperanjat bukan saja pemuda perkasa itu, tetapi pemuda yang berdada
bidang seperti disambar petir dUiang bolong. Jantungnya berdetak keras memukul dada.
Napasnya.
Singalangu tidak mendekati mereka, tetapi berjalan cepat ke ruangan belakang.
Langkahnya menyibakkan dan membawa kesiur angin.
"Adakah ia mendengar pembicaraan kita?" Pemuda perkasa itu menundukkan
kepala. Wajahnya tampak menyesali ucapannya. Matanya sayu dan menghempaskan
napasnya.
"Apapun yang terjadi, aku merelakannya."
"Kau telah bertekat bulat begitu?"
"Tidak ada jalan lain. Kalau benar-benar Ki Lurah Singalangu mendengar, aku
melarikan diri atau tinggal di sini sama saja akibatnya. Tidak ada ampun."
"Kau harus bisa menentukan pilihan. Jangan ragu-ragu."
"Aku telah memilih yang pertama. Kalau aku bisa selamat masih pula dapat
melihat terbitnya matahari."
"Kau mengenal jalan liku-liku di belakang bukan?"
Pemuda itu mengangguk.
"Adakah kakang juga akan melarikan diri?"
Sebentar pemuda berdada bidang itu berfikir. Ingin ia berterus terang, tetapi masih
belum juga hatinya mau berkata demikian. Pemuda perkasa yang bertubuh besar itu
memandangnya dengan mata berlinang.
"Kakang telah menolong aku dua kali. Kalau kali ini kakang akan mengadukan
diriku kepada Ki Lurah Singalangu, rasanya aku lebih rela daripada Lurah itu mengetahui
sendiri."
"Apapula perlunya aku berbuat demikian adikku." Kembali pemuda perkasa itu
memandang dengan penuh harapan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Malam semakin merangkak. Belum juga Ki Lurah Singalangu kembali. Kedua
pemuda itu menaruh curiga. Mereka menuju ke halaman belakang pula mengikuti jejak
lurahnya
Betapa terkejutnya mereka itu, sampai di halaman belalang, mereka melihat
lurahnya jatuh tertiarap dengan melontakkan darah segar tak sadarkan diri.
"Cepat kakang, mari kita tinggalkan tempat ini." Pemuda berdada bidang itu
sebentar mengamati tubuh lurah Singalangu. Tiada luka yang terdapat pada tubuhnya.
Tetapi dalamnya luka parah. Pemuda itu tersenyum, ia menduga lawan Singalangu
bukanlah sembarangan.
"Di sana kandang kuda."
Keduanya pergi ke kandang kuda. Penjaganya mengantuk kena hajar
punggungnya. Seketika itu jatuh tersungkur. Pingsan. Cepat kedua itu dengan
mengendarai kudanya melewati liku-liku jalan menuju ke sebuah hutan tidak berapa jauh
di bawah pegunungan batu yang mengerikan. Bagi kedua pemuda itu mengendarai kuda
adalah permainannya masa kanak-kanak.
"Kemana kita pergi kakang?"
"Ke rumahku."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
BAGIAN III
"GILA, benar-benar gila." Pikir Singalangu. Ia mulai mengingat-ingat kejadian
sepasar yang lalu ............
Mula-mula penglihatannya yang tajam menangkap sesosok bayangan memasuki
ruangan belakang, pada saat ia mengintip perbuatan pemuda perkasa dan pemuda
berdada bidang. Ia penasaran terhadap bayangan yang berani menghinanya itu. Segera
Singalangu meloncat dan mengejar bayangan itu. Tetapi ia menjadi melongoh, bayangan
itu seperti lari tanpa menginjak tanah. Dan setelah sampai di bagian belakang guanya,
bayangan yang dikejarnya malah menantinya dengan berdiri tegak dan tangan di
pinggang.
"Singalangu bukan kau laki-laki seorang diri di jagat ini."
"Bangsat! Siapa berani menghinaku. Adakah kulitmu sudah setebal dinding guaku
ini."
"Kulitku hanya setipis kulit bawang merah. Tetapi kalau hanya melayanimu,
cukuplah dengan sebilah tangan."
Mana bisa Singalangu menerirra penghinaan demikian. Matanya membara,
giginya gemertak, ia meloncat menyerang menghantam tengkuk. Bayangan itu meloncat
dengan cepat, tubuhnya sangat ringan, kepada Singalangu ia membungkuk hormat setelah
menjejakkan kakinya kembali pada sebuah tempat duduk.
Singalangu marah. Direntangkan tangannya dan dikibarkannya dengan lontaran
tenaga dalam. Terjadilah gumpalan-gumapal angin tajam menyerang bayangan itu.
Bayangan itu seperti sudah mengenal watak Singalangu. Dengan cepat bergulingan
tubuhnya rapat di atas tanah, sehingga angin tajam itu lalu hanya beberapa jari di atas
kepala.
Singalangu yang mengandalkan pukulannya, bahwa setiap orang yang terlanda
pastilah terlontar dan runyam menumbuk dinding padas. Tetapi kali ini ia melihat
lawannya tiarap. Setelah angin tajam itu menumbuk padas terdengarlah suara gemuruh.
Dinding itu terbelah. Bayangan yang tiarap itu segera melenting, dan membalas
menyerang.
Singalangu yang masih termangu-mangu memandang lawannya kurang
mengamati serangan lawan. Tiada dapat menghindar lagi, dadanya seperti terlanda batu
sebesar kerbau. Singalangu sempoyongan kehilangan keseimbangan, dadanya terasa
berat. Belum lagi ia dapat menguasai diri, lawannya memutar tubuh dan melontarkan
pukulan punggung. Serangan ini dilakukan dalam waktu yang hampir bersamaan. Macan
gua Watu Gong itu pandangannya berkunang-kunang, dan jatuh mencium tanah.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Selamat tinggal laki-laki sejati." Lamat-lamat Singalangu masih mendengar
ucapan lawannya.
Dengan tenaga yang ada ia mencoba duduk, tetapi kemudian melontakkan darah
segar. Pandangannya semakin gelap, ia mencoba mengendapkan segala kemarahannya,
pandangannya menjadi berkunang-kunang Samar-samar ia melihat sesosok tubuh sebaya
dirinya berdiri dengan siaga menantikan balasan lawan
"Bunuhlah aku ........." Pinta Singalangu hampir tak terdengar.
"Apa perlunya aku membunuh orang yang sedang sekarat." Jawab bayangan itu
dengan memukul punggung Singalangu dengan seperempat kekuatan. Singalangu yang
dalam keadaan luka parah itu kembali terhentak ke tanah dan darah segar menyembur
dari mulutnya.
"Ketahuilah, di kolong langit bukan kau seorang yang perkasa."Habis ber kata
demikian bayangan itu meloncat meninggalkan lawannya dalam keadaan tak sadarkan
diri.
Sebenarnya Singalangu bukanlah lawan yang ringan, ia mempunyai kekuatan
penghancur yang dahsyat. Kalau saja dinding padas dapat dihancurkannya, masakan
manusia yang hanya terdiri dari susunan tubuh daging dan tulang belulang tidak akan
lumat. Sebaliknya lawannya mengetahui kelemahan pukulan lawannya.
Sesaat Singalangu masih termangu dan menyangka lawannya sudah hancur, ia
masih melihat lawannya bertiup merapatkan diri pada tanah dan tidak terlontar. Saat itu
adalah saat Singalangu dalam keadaan tidak' siaga. Dirinya kosong tanpa kesiagaan dan
saat demikianlah yang dinantikan oleh lawannya. Kesempatan itu dipergunakan sebaikbaiknya. Singalangu yang tengah termangu tidak dapat menghindari. Untunglah ia bukan
pula orang sembarangan, seorang berandal yang cukup makan pahit getirnya dalam


Ratu Ayu 04 Hancurnya Pemujaan Sesat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perlombaan hidup.
Ia terperanjat, berusaha menghindar tetapi terlambat badannya seperti terlanda
batu sebesar kerbau.
Demikian kejadian yang dialami Singalangu sepasar yang lalu. Dan
selanjutnya........
Pada hari yang ketujuh Singalangu sudah dapat duduk walaupun belum benarbenar sembuh ia mengingat-ingat siapa lawannya, siapa deretan nama yang termasuk
pendekar-pendekar sebayanya.
"Gila, benar-benar gila." Gumam Singalangu sendirian.
"Apanya yang gila kakang." tanya Luh Sari yang mendampingi.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Siapa kira-kira lawanku itu Nyai?"
"Tidak lebih dari sepuluh orang kakang."
"Ya. Tidak lebih sepuluh orang." Singalangu mengulangi
"Jangan kakang pikirkan sekarang, akan lebih memberatkan."
"Kau benar Nyai." Jawab Singalangu dengan pandangan cemerlang.
Macan betina itu kemudian memandang kelain tempat dengan memegang bahu Ki
Singalangu.
"Kemana kedua kelinci itu?"
"Aku tidak mengetahuinya kakang."
"Seharusnya kau mengetahui Nyai."
"Mengapa harus kakang?" Tanya macan betina itu ia diam sejenak melihat
tanggapan Singalangu. Macan betina itu melanjutkan berkata, "Kakang pergi ke belakang
seorang diri."
"Aku khawatir kalau kedua kelinci itu kena bujuk."
"Simo Barung Muda dengan setan Kecil, Uling dan Welut Kuning,
Banyaksanggar, semuanya masih di sini. Masakan mereka membujuk."
Singalangu tidak menjawab.
"Adakah kakang mengira mereka yang membujuk?" Singalangu masih juga belum
menjawab.
"Atau bayangan yang menghantam kakang"
"Aku belum tahu Nyai."
Tiba-tiba bermunculanlah, Uling Bangah, Welut Kuning, Banyaksangar,
kemudian disusul Simo Barung Muda yang diikuti Wadas Lumut.
"Ah, mesra sekali, di pagi yang indah ini." Kata Welut Kuning yang mulutnya
usilan.
"Aku lagi merasakan hidupku adik-adikku. Dan aku agak kurang enak badan."
Kata Singalangu dengan menarik napas panjang. Singalangu tidak mungkin
memberitakan tentang lukanya. Memang pada malam itu Singalangu hanya seorang diri.
Dan ia siuman pada pagi hari saat embun menetesi tubuhnya. Bahkan kepada Luh Sari
yang setiap malam, ia mengatakan setelah beberapa hari berselang.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Beristirahatlah kakang." Kata Banyaksangar.
"Kakang agak pucat tampaknya." Sambung Sirna Barung Muda yang berwajah
tampan dan masih berdarah bangsawan itu. Ia tidak berani sembrana di hadapan
Singalangu, sebaliknya Singalangu selalu menghormati tamunya yang masih muda belia
ini. Bukan ia takut, tetapi kepada orang tuanya Simo Barung Sepuh yang juga mendapat
penghargaan sebagai Naga Laut, ia mempunyai ikatan perasaan tersendiri. Karena
ucapan Simo Barung Muda diterimanya dengan menahan marah.
Di tempat lain mereka yang pulang ke rumah telah sampai pada jalan yang menuju
ke Padepokannya. Kedua pemuda yang seorang berdada bidang dan yang lain bertubuh
perkasa dengan mengendarai kudanya memasuki telatah padepokan Pudak Kuning.
Waktu matahari sedang merangkak ke arah barat, suasana sudah tidak lagi panas,
mereka memasuki gapura padepokan dan langsung membawa kudanya ke belakang.
"Ini rumahmu kakang?"
Pemuda berdada bidang itu mengangguk. Ia meloncat turun dari pelana kudanya
dan menuntunnya kekandang.
Keduanya membasuh kaki, lalu menuju pendapa dan langsung masuk ke ruang
tengah. Tampak Ki Pudak Kuning, Karang Seta yang duduk di dekat Pandansari, di
sebelahnya Dyah Tantri duduk dengan pandangan gelisah.
Di sebelah dalam tampak beberapa cantrik sedang menyelesaikan pekerjaannya,
sedang beberapa murid-murid lainnya berlatih di halaman belakang.
Ki Pudak Kuning, setelah berakhir tugasnya sebagai perwira sandi dalam
menyelesaikan Sadeng dan berandal Alas Purwa, karena usianya, ia mengundurkan diri
dari pekerjaannya. Dan setelah itu ia bermukim di sebuah padepokan yang diberinya
nama sesuai dengan namanya. Padepokan Pudak Kuning.
Ia merasa bersyukur dapat mengambil mayat adiknya Wukirpati dan dikuburnya
dengan baik-baik menurut tata cara yang sewajarnya dilakukan dalam kepercayaan yang
dianutnya. Ia. sendiri yang menangani keakhiran hidup adiknya atas pesan gurunya pada
saat-saat akan mengakhiri hayatnya. Karena itu pulalah perasaannya berguncang. Adakah
dia dapat menyelesaikan pesan permintaan gurunya ini. Ia berusaha melakukannya.
Lebih-lebih adiknya menyebarkan ajaran sesat, ilmu yang dimilikinya untuk perbuatan
kemaksiatan. Itulah yang memperingan perasaannya, dia tidak naenghancurkan adiknya,
tetapa menghancurkan kesesatan.
Keadaan sangat hening. Mereka menuruti pikiran masing-masing.
Waktu pemuda berdada bidang itu masih berdiri di luar ruangan ia melihat
keheningan itu, sudah menduga pasti ada sesuatu yang terjadi. Dengan tumit di ataskanhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
ia mendekati ruangan. Semenjak ia menjadi murid Ki Pudak Kuning, belum pernah ia
melihat gurunya terharu seperti sekarang. Biasanya gurunya selalu tenang dan tidak
pernah berkata dengan serak. Tetapi kali ini, demikian ia menginjakkan kakinya kembali
ke padepokannya, ia melihat gurunya cemas. Tahulan ia bahwa gurunya hampir dapat
dipastikan kehilangan sesuatu yang menyengat lubuk hatinya.
Demikian pula pemuda perkasa yang berjalan di belakang pemuda berdada bidang
itu, ia berjalan dengan pikirannya sendiri, sambil mengingat jalan-jalan yang dilaluinya
tadi.
"Kakang pada tikungan sebelah sana tadi, seperti pernah kulalui, untuk suatu
pekerjaan yang tidak pantas." Bisiknya sangat pelan.
"Pekerjaan apa itu?" Tanya pemuda berdada bidang. Belum lagi ia mendapat
jawaban, tiba-tiba ia mendengar seseorang menyapanya dari dalam, "Masuklah." Mereka
mengetahui bahwa suara itu suara gurunya.
"Aku Danang Seta, guru." Jawab pemuda berdada bidang.
"Ada yang lain bersamamu?"
"Seorang temanku guru. Bersama-sama dari perjalanan."
"Hemm. Masuklah!!"
"Gurumu tidak senang atas kedatanganku?" Bisik pemuda perkasa.
"Guru tidak pernah membenci seorang tamu." Kedua pemuda itu melangkah
masuk. Danang Seta cepat bersujud kepada gurunya. Kepada Karang Seta keduanya
saling berpelukan. Lain pula halnya kepada Dyah Tantri hanya matanya yang berkata
dengan Pandansari ia mengangguk tersenyum
"Selamat datang di rumahku anakku." Kata K i Pudak Kuning.
Pemuda perkasa itu membungkuk hormat dengan berkata.
"Terasa aku mendapat kehormatan. Nama bapak telah lama kukagumi tetapi baru
sekarang aku dapat berhadapan. Mati, relalah rasanya." Guru Danang Seta
mempersilahkan tamunya duduk.
"Anakku! Tiada manusia yang terhindar dari mati. Tetapi mati yang baik adalah
mati di tangan Yang Maha Kuasa. Jangan hanya sekedar bertemu seseorang kemudian
bersedia untuk mati."
"Hanya perumpamaan Bapak." Berkata dengan memilih tempat duduk.
"Syukurlah jika hanya perumpamaan."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Aku bersamanya hidup di Watu Gong."
"Hemm. Tak mengapa hidup di sanapun tiada bedanya dengan di sini. Hanya
tempatnya yang berlainan."
"Bapak benarkah di sini rumah kakang ini. Eh Maksudmu kakang Danang Seta.
Benar namamu Danang Seta kakang?" Pemuda perkasa itu memandang yang ada di situ
saling berganti.
"Kau belum mengenal namanya sejak bertemu dan hidup bersama itu?"
"Ia selalu menghindari bapak. Dan kebetulan kami hidup bermusuhan dalam
hati." Pemuda perkasa itu berterus terang.
"Hemmm." Guru itu seorang yang cukup berpengalaman. Ia telah dapat menduga
sebagian, mengapa pemuda perkasa itu sampai mengikuti Danang Seta.
"Adakah kau berselisih dengan lurahmu?" Tanya guru itu. Pemuda perkasa itu
memandang Danang Seta.
"Berceriteralah kepada guru."
Pemuda perkasa itu tampak masih ragu-ragu, matanya meminta pertimbangan
kepada Danang Seta. Danang Seta tersenyum.
"Adikku, berceriteralah. Guru akan senang."
"Benar. Dan demikian sebaiknya sehingga kita saling mengenal lebih banyak dan
dekat."
"Bukankah bapak telah mengerti Singalangu?"
"Lurah anakku Danang Seta bukan?"
"Ya, tetapi aku mengikutinya sejak kecil." Demikianlah, pemuda perkasa itu lalu
berceritera, mulai ia kecil mengikuti Singalangu, diangkat sebagai anak angkatnya.
Kemudian ia bertemu dengan Danang Seta yang sakit, ditolong berandal Singalangu
kemudian menjadi anak buahnya.
Danang Seta sendiri lalu berceritera tentang pengalamannya selama hidup dalam
lingkungan berandal gua Watu Gong, sampai mereka melarikan diri dan pulang ke
Padepokan Pudak Kuning.
"Hebat kepercayaan mereka."
"Mengerikan bapak."
"Mengapa?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Seorang yang ternama masa hidupnya, pendekar yang berilmu tinggi selalu
dicarinya pada saat matinya. Kubur pendekar itu dibongkarnya, mayatnya diambil
kemudian diawetkan, kalau mereka menemukan baru saja penguburannya. Kalau berita
kematian itu lama sampai padanya, biasanya mayat itu dibongkar, kemudian dikuliti,
kerangkanya ditaruh pada sebuah peti." Pemuda itu berhenti berceritera tampak ia
mengingat-ingat sesuatu, kemudian melanjutkan katanya, "Makan kerangka itu adalah
darah."
Mendengar kata-kata pemuda perkasa Ki Pudak Kuning terhenyak dengan
menarik napas panjang. Pemuda perkasa itupun mengerti apa yang sedang dirasakan oleh
Ki Pudak Kuning karena itu ia cepat berkata, "Maafkan aku bapak, jika ceriteraku ini
tidak berkenan di hati bapak."
"Oh tidak anakku. Sama Sekali tidak. Aku senang mendengarnya." Jawab Ki
Pudak Kuning dengan senyum.
Memang dalam Padepokan Ki Pudak Kuning masa itu sebenarnya sedang
mengalami penderitaan yang luar biasa, selama hidupnya belum pernah ia mengalami
malapetaka seberat itu, keji dan merendahkan martabat hidup manusia. Tetapi di hadapan
tamunya apalagi tamu itu seorang anak angkat Singalangu seorang penganut ajaran
kepercayaan sesat. Tentu saja belum sepenuhnya secara terbuka membicarakan persoalan
Padepokannya di depan orang yang baru saja dikenal.
"Bapak, jika bapak memperkenankan aku akan turut bapak selama hidupku." Kata
pemuda perkasa.
"Mengapa demikian Danang Seta sendiri akan kembali kepada Lurahnya
Singalangu."
"Jika kakang Danang Seta kembali, biarlah."
"Dan kau?"
"Jika bapak menaruh keberatan, aku akan hidup mengembara asalkan tidak
kembali ke tlatah gua Watu Gong itu."
"Kau telah bertekad demikian?"
"Benar bapak."
"Menyingkir dari kesesatan adalah baik. Tetapi akan lebih baik jika kita sanggup
memberantas kemaksiatan itu."
"Mengapa tidak bapak." Pemuda perkasa diam sejenak, kemudian seperti berkata
sendiri, "Dalam pengembaraanku yang terakhir, aku ingin berjalan pada tonggak-tonggak
yang lurus."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Ki Pudak Kuning terharu atas ucapan anak muda itu. Ia memandang Danang Seta.
Muridnya memberi isyarat bahwa ucapan pemuda itu benar.
Malam telah tiba, pendapa padepokan telah terpasang obor-obor yang menerangi
halaman. Langit sangat bersih, sehingga sangat terasa dingin angin pegunungan menusuk
di badan.
"Danang, ajaklah temanmu makan." Kata Ki Pudak Kuning.
Danang Seta mengajaknya. Iapun agak kaku karena tidak mengerti namanya,
panggilan adikku dapat mengakibatkan beberapa orang menoleh kepadanya.
Pemuda perkasa itupun dapat menangkap perasaan yang tersimpan dalam hati
penghuni padepokan Pudak Kuning. Sejenak ia diam lalu berkata,
"Bapak, namaku Malangyuda kalau bapak sudi memanggilnya."
"Nama itu bagus dan perkasa."
"Terima kasih bapak." Jawab Malangyuda berdiri lalu mengikuti Danang Seta.
"Beristirahatlah, barangkali kau lelah setelah beberapa hari dalam perjalanan."
"Terima kasih bapak." Mereka menjawab berbareng kemudian pergi ke bagian
belakang Padepokan. Mereka pergi ke sumur untuk sekedar membersihkan badan. Tetapi
baru saja menginjakkan kaki pada mulut sumur, tidak setahunya seseorang menyerangnya
dari arah punggung. Untunglah pemuda perkasa itu mempunyai kekuatan jasmani yang
luar biasa dan mengantongi sedikit pengetahuan ilmu silat, terjadilah pertarungan.
Malangyuda menyangka bahwa hal itu seperti kebiasaan di gua Watu Gong,
sebagai ucapan terima kasih dan selamat datang. Mula-mula ia melayani dengan
seenaknya Tetapi tiba-tiba saja lawannya mencabut pedang, terhunus dan mengarah dada.
"Tolong........." Teriak Malangyuda.
Mereka yang berada dalam ruangan yang sejak tadi telah merasakan sesuatu yang
tidak beres, segera berloncatan keluar dengan bersiaga. Danang Seta segera masuk
gelanggang menimpuk pedang lawannya dengan sebuah penggada. Demikian kuat
timpukan itu, sehingga pedang yang berukuran besar itu terlontar ke belakang.
Lawannya terhentak, meloncat mundur kemudian menghilang di balik semak.
Cepat mereka menolong Malangyuda yang tersandar pada bibir sumur.
"Adakah kau terluka?" Tanya Danang Seta.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Tidak kakang, hanya dadaku terasa sesak." Malangyjuda akan berjalan, ia
sempoyongan hanya beberapa langkah, kemudian berjongkok dan melontakkan darah
segar.
Ki Pudak Kuning terhenjak melihat kejadian itu. Pemukulnya pastilah seorang
yang cukup berilmu, sehingga seorang yang bertubuh perkasa sudah menghindari
pukulan, masih pula luka parah bagian dalam.
Karang Seta diperintahkan untuk segera masuk mengambil ramuan obat sebagai
penawarnya. Untunglah setelah diperiksa pukulan itu tidak mengandung racun. Segera
obat diberikan dan ramuan itu ditelannya. Wajah Malangyuda berangsur tampak cerah.
Ia menarik napas panjang.
"Bagaimana?" Tanya Ki Pudak Kunmg.
"Terima kasih bapak. Sudah terasa lega." Malangyuda mencoba mengingat-ingat
siapa yang menyerangnya dengan tiba-tiba itu dan siapa pula yang mengetahui bahwa ia
berada di tempat itu.
"Adakah kau merasa bermusuhan kepada seseorang?"
"Aku hanya melarikan diri. Hanya itu bapak."
"Selain itu?"
Malangyuda mencoba mengingat-ingat, lalu menggelengkan kepala.
"Adakah ia dari Watu Gong?" Tanya Danang Seta.
"Aku kurang pasti kakang. Gelap, sehingga aku tak dapat melihat wajahnya."
Jawab Malangyuda.
"Sudahlah, mari masuk. Esok, kita mempunyai pekerjaan lain yang barangkali
lebih penting daripada sekarang." Kata gurunya kemudian meieka masuk rumah.
Beberapa orang muridnya diperintahkan untuk berjaga-jaga.
"Makanlah sekarang."
Danang Seta bersama Malangyuda pergi ke gandok lalu makan dengan lahapnya.
Ikan lele dibakar dengan sambal, nasinya masih mengepul panas.
"Kakang. Betapa nikmatnya makan malam ini."
"Ah. Beginilah makan kami. Seadanya hasil panen sendiri dan tambak ikan yang
kami buat."
"Betapa berbahagianna kakang."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Kurnia itu harus diterima adikku." Malangyuda menghela napas panjang.
Mereka selesai makan. Sebagaimina biasa Danang Seia mengucap syukur ke
hadapan Yang Maha Kuasa, barulah meninggalkan tempat itu. Malangyuda yang baru
kali itu melakukan demikian merasa kaku. Tetapi dalam hatinya terpercik, bahwa di alam
luas ini ada kekuasaan diluar kemampuan manusia.
"Tiga kali nyawaku akan dihabisi." Pikir Malangyuda. Terpecik sesuatu yang
selama hidupnya belum dikenalnya.
Ia merasakan sesuatu kenikmatan dalam hidup ini, setelah mencoba mendekatkan
diri kepada Yang Maha Kuasa. Sejak kecil ia hidup dalam lingkungan liar, saling


Ratu Ayu 04 Hancurnya Pemujaan Sesat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bermusuhan, pertarungan dan mempertahankan nyawa. Tetapi kali ini ia merasakan
mendapat kedamaian setelah beberapa saat bergaul di padepokan Pudak Kuning. Ia tidak
dapat mengutarakan isi hatinya, tetapi dirasakannya dengan kelembutan. Tiada terasa
matanya berlinang. Malangyuda menarik napas panjang.
"Terima kasih, terima kasih kakang." Ia berkata sendiri.
Sebaliknya Danang Seta sebentar heran. Tetapi setelah memandang mata
Malangyuda yang berlinang, ia dapat menebak isi hati pemuda perkasa itu. Dibiarkannya
Malangyuda memuaskan perasaan yang bergumul dalam dirinya, Danang Seta merasa
terharu.
"Adikku, marilah kita keluar sebentar." Ajak Danang Seta.
Kedua pemuda itu melangkahkan kakinya, melewati jalan tengah menuju
pendapa, kemudian menuruni undak-undakan. Dan duduklah kedua pemuda itu pada
sebuah kolam yang tidak berapa jauh dari halaman padepokan. Tidak sepatah katapun
terlintas dari mulutnya tetapi keduanya memperhatikan gunung berapi yang tinggi
menjulang, melihat bintang-bintang yang berserakan di langit yang bersih dan kemudian
melihat bumi kenyataan dimana ia berpijak.
"Aku tidak mengerti kakang,"
"Apa yang tidak kau mengerti adikku?"
"Hidup ini."
"Kau lihat, gunung itu megah dan kokoh. Bintang yang berkelipan. Semua sudah
sedemikian sejak lama, sejak beribu ribu abad. Itulah kekuasaan Yang Menciptanya."
"Ya, seperti juga aku." Kata Malangyuda.
"Ada yang memberi hidup dan menghidupi." Malangyuda menganggukhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Malam semakin merangkak. Tidak banyak yang dibicarakan kedua pemuda itu.
Tetapi hati masing-masing telah penuh dengan ceritera hidup dan masa datang.
"Adikku siapa yang menganiayamu menurut perkiraanmu."
Malangyuda menggelengkan kepala.
"Adakah mereka dari Watu Gong."
"Masa mereka mengetahui kita ada di sini."
"Setiap nama padepokan ada pada tangan mereka."
"Kalau demikian, aku menyusahkan bapak." Danang Seta tidak menjawab.
"Tidakkah sebaiknya aku menyingkir dari sini kakang?" Danang Seta
menggelengkan kepala. Baginya tidak ada artinya.
Ki Pudak Kuning, Karang Seta dan kedua gadisnya mengawasi apa yang sedang
dilakukan Danang Seta terhadap Malangyuda. Mereka terharu.
"Adikku marilah." Ajak Danang Seta. Seperti seorang anak kecil, Malangyuda
berdiri dan menuruti Danang Seta pergi. Kedua pemuda itu menuju persamadian.
"Ia telah kembali dari kesesatan." Kata Ki Pudak Kuning. Guru itu memejamkan
matanya, ia bersyukur. Waktu matanya membuka kembali, katanya, "Hanya pada Yang
Maha Kuasa satu-satunyalah sembah kita sampaikan."
Kokok ayam jantan mulai terdengar. Obor-obor di halaman padepokan semakin
menyala terang, sedang embun sudah terasa membasahi daun talas. Kapok randu mulai
pecah kelopak pembungkusnya. Masa dingin amat sangat, lebih-lebih di daerah
pegunungan.
Waktu fajar menyingsing, kedua pemuda itu baru keluar dari tempat samadi.
Cepat-cepat mereka pergi ke sungai membersihkan badan. Keadaan sepi, keduanya
menyangka tidak seorang yang mengetahui apa yang mereka lakukan semalam panjang
itu. Bersamaan dengan kicau burung menyambut munculnya matahari pagi, mereka
pulang menuju padepokan. Di pendapa telah tersedia wedang jahe dengan ketela. Di sana
duduk Ki Pudak Kuning dan Karang Seta menunggu kedatangan mereka.
"Rupa-rupanya semalam suntuk kalian menikmati alam luas." Kata Ki Pudak
Kuning, setelah melihat kedua pemuda itu memasuki pendapa.
"Tidak bapak, pagi ini kami dari kali."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Cukup istirahat kalian? Sudah pulih kepenatan kalian." Kedua pemuda itu
tersenyum. Malangyuda tersenyum dengan berkata, "Sudah lebih dari pada cukup
bapak."
Setelah mereka duduk, semangkuk wedang jahe dan beberapa potong ketela telah
masuk ke perut, barulah mereka mulai membicarakan sesuatu.
"Adakah kalian mendapatkan tanda-tanda tamu kita malam tadi?"
Semuanya tunduk.
"Mereka telah memulai dengan membuntuti perjalanan kalian. Atau barangkali
mereka sedang menyebar anak buahnya untuk menyelidiki kemana pergi kalian. Di
samping itu mereka pasti mendakwa, bahwa Singalangu dalam luka parah karena tangan
beberapa orang saja. Pendapat ini wajar, sebab untuk menandingi Singalangu memang
hanya beberapa orang. Tidak lebih dari selusin." Kata Ki Pudak Kuning memulai
pembicaraannya.
"Kau merasakan tangan Welut Kuning, atau Wadas Lumut?"
Malangyuda tertegun.
"Di Watu Gong, hanya tinggal Singalangu dalam luka parah. Simo Barung Muda
dan barangkali Banyaksangar. Sebenarnya mereka belum dapat dikatakan menyatukan
diri kalau tidak ada kepentingan masing-masing. Simo Barung itu meminta pertolongan
Singalangu untuk mengacaukan keadaan. Sebaliknya kalau Singalangu dapat
dihancurkan, ia akan kehilangan seorang lawan-lawannya dalam menguasai
keberandalannya berkurang seorang lagi."
"Apa yang harus kita lakukan bapak?" Tanya Malangyuda.
"Kepercayaan yang sesat itu harus dihancurkan."
"Aku bersedia menjadi bantennya bapak." Sambung Malangyuda.
"Dan ketahuilah. Kubur pamanmu Wukirpati terbongkar."
Semua yang ada di tempat itu seperti disambar petir di siang bolong. Tak
seorangpun yang mengetahui gurunya sedang menyimpan suatu rahasia.
"Kapan hal itu terjadi guru?" Tanya Danang Seta.
"Dua pasar yang lalu."
"Gila. Penghinaan." Gumam Danang Seta.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Sebaliknya Malangyuda menggigil. Keringat dingin membasahi tubuhnya.
Mulutnya komat kamit, tetapi tidak sepatah katapun terucapkan. Tangannya menyapu
muka.
"Bapak pastilah lurah Singilangu yang membongkarnya"
"Kau mengetahuinya anakku?"
Dua pasar yang lalu, sebuah kerangka dibawanya naik ke gua Watu Gong
menjelang dini hari. Kebetulan aku terbangun dari tidur dan melihat hal itu aku berpurapura tidur pulas. Sebab kalau mereka mengetahui aku melihatnya, aku dibunuhnya
dengan siksa."
"Dilakukan seorang diri?"
"Tidak. Ki Singalangu, Banyaksangar dan macan betina."
"Luh Sari maksudmu?" Malangyuda mengangguk.
"Baiklah. Malam nanti kita mengambilnya kembali."
"Penjagaan mereka diperkuat bapak."
"Kita pergi dengan bantuan beberapa pendekar aliran putih."
Matahari sudah sepenggalah, mereka menyelesaikan pekerjaan sendiri-sendiri.
Yang mencangkul pergilah mereka ke ladang. Yang menangkap ikan untuk dijual pergilah
mereka ke tambak. Sedang beberapa orang gadis pergi menjemur padi. Danang Seta dan
Malangyuda pergi memanjat kapok randu yang pecah pecah.
Demikian pada sore hari mereka mempersiapkan diri untuk perjalanan yang agak
jauh itu. Kuda-kuda tunggangan dan perbekalan. Perjalanan itu dipimpin oleh Ki Pudak
Kuning sendiri. Dan dibagi dalam dua rombongan yang sudah saling bersetuju.
Hari berganti malam. Dan pada menjelang matahari menyembunyikan diri mereka
telah sampai di telatah Watu Gong.
Mereka dengan cara-cara yang telah ditentukan, ada yang menjadi seorang
pedagang, ada yang mencari pekerjaan, ada pula yang menjadi seorang kuli angkutan
memenuhi kesibukan pasar di telatah Watu Gong.
Baru saja mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing, tiba-tiba beberapa orang
berkuda melanda tengah pasar. Cepat orang-orang menyibakkan diri. Bahkan ada
beberapa yang meninggalkan dagangannya menghindari tendangan kaki kuda.
"Hai, adakah hari ini pasaran?" Tanya penunggang kuda.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Benar tuan. Bukankah hari ini wage."
"Hem. Kalau begitu aku salah hitung." Berkata demikian dengan meloncat turun,
Yang lainnya mengikuti pula.
Mereka kemudian menariki sebagian barang dagangan yang ada di tempat itu.
Seorang yang mengangkat barang secara tidak sengaja menumbuk penarik barang-barang
itu. Ia telah berusaha menghindari, bahkan pemikul itu telah diam berhenti. Tetapi
penarik barang itu kalap karena melihat banyak barang-barang memenuhi pasarnya dan
keserakahan telah menguasai diri, sehingga ia tidak melihat bahwa di depannya berhenti
seorang yang memikul barang.
"Bangsat! Dimana matamu?" Bentak penarik barang-barang itu.
"Ampun tuan, aku telah berhenti."
"Kau tidak bisa menyingkir?"
"Ampun. Yang kupikul terlampau berat tuan."
"Aku tidak perduli. Pasar ini kekuasaanku, bangsat!" Habis berkata demikian,
segera ia menarik cambuknya dan menghajar orang itu.
Malangyuda yang sudah berubah muka karena dihitamkan akan segera menghajar
penarik barang-barang itu. Tetapi dengan cepat Danang Seta menggamit melarangnya.
Malangyuda terperanjat. Cepat Danang Seta membisiki, "Tak usah kau membantunya."
"Tubuhnya babak belur kakang."
"Kau lihat saja."
Orang yang dicambuk semakin maju mendekati pencambuk itu, demikian
selangkah di depannya dengan satu loncatan orang itu memukul bawah perutnya.
Pencambuk itu menjerit lalu jatuh tersungkur tak sadarkan diri. Beberapa pengendara
kuda lainnya akan lari meninggalkan tempat itu. Dengan cepat seorang demi seorang
dirangsang dan dirobohkan. Tinggal lagi dua orang. Waktu akan menghentakkan kekang
kudanya, sebuah tali direntangkan.. Keduanya jatuh tersungkur sedang kudanya
meringkik ringkik.
Semuanya yang berjumlah delapan orang itu diikat. Sedang kuda-kudanya
disembunyikan pada suatu tempat.
"Gila, siapa kalian sebenarnya?"Tanya salah seorang.
"Apa perlumu bertanya?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Semuanya menjadi terpaku. Mereka jadi mengerti bahwa pasar yang tiba-tiba saja
menjadi ramai pada sore hari itu adalah jebakan untuk mereka.
"Kalian akan dihancurkan oleh ki Lurah Singalangu."
"Lurahmu hampir mampus."
Betapa marahnya delapan orang itu. Tetapi mereka sudah tidak dapat berbuat lain,
kecuali menuruti perintah yang mengikatnya menjadi satu. Bahkan bergerakpun mereka
merasa sakit.
Menjelang tengah malam, dua rombongan penyerang itu segera menjalankan
tugasnya.
Sesampainya di dataran yang luas dan harus menyeberanginya, mereka mencari
jalan sambil melekatkan tubuhnya pada dinding padas, sebab di dekat pintu gerbang ada
beberapa orang yang menjaga. Pintu itu dapat mereka lalui dengan selamat. Waktu itu
rombongan yang dipimpin oleh Danang Seta telah sampai di halaman belakang, sedang
yang dipimpin oleh Ki Pudak Kuning sudah melintasi dataran luas. Demikian mereka
sampai di halaman gua segera membakar pintu gua itu dengan mempergunakan jeramijerami yang banyak bertumpuk di situ.
Api telah menjilat keudara. Yang dipimpin oleh Danang Seta segera masuk ke
ruang pemujaan, dan mengambil peti yang baru dua pasar masuk di tempat itu. Bahkan
di atas peti masih kelihatan bekas darah makin mengering. Peti itu dibawa keluar pada
saat di depan sedang hiruk pikuk karena terbakar.
Simo Barung Muda bersama Wadas Lumut meloncat melalui pintu belakang dan
sampai pada halaman.
"Cepat. Apa perlunya membantu mereka. Kita pulang."
"Bagaimana perjanjian kita angger?"
"Hmm. Tak usah diricuhkan. Masih banyak orang seperti Singalangu. Kita
menanti mereka diluar kejadian ini."
Habis berkata demikian mereka meloncat lari dan menghilang.
Danang Seta dan Malangyuda tak mengejarnya. Peti tempat kerangka pamannya
harus disembunyikan terlebih dahulu. Mereka telah mengetahui kelicikan yang
tersembunyi di balik wajah yang ganteng itu.
Cepat Danang Seta meloncat menuju halaman gua sebelah depan. Malangyuda
mengikuti di belakangnya. Ternyata terjadi pertarungan beberapa lingkaran. Malangyuda
segera masuk gelanggang. Hatinya sedang terbakar pada saat ia menemukan dirinya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Pudak Kuning, apa urusanmu dengan aku." Kata Singalangu.
"Aku mengambil kembali hakku yang kau curi."
"Ini!" Habis berkata demikian Singalangu menyerang.
"Pedangmu tidak setajam mulutmu yang usilan itu." Singalangu menyerang
dengan menggunakan pedang yang berukuran besar. Di pinggangnya masih terselip belati
panjang berhulu singa yang menganga dengan kedua taringnya. Itulah tanda kebesaran
yang diandalkannya.
"Hai, Pudak Kuning kau berani mendaki gua Watu Gong, adakah mempunyai
nyawa rangkap?"
"Rangkap atau tidak bukan urusanmu."
"Akupun bukan manusia yang mengenakan kemben."
"Tetapi watak dan tabiatmu tidak berbeda." Kata Pudak Kuning.
Mana mungkin Singalangu menerima hinaan demikian. Cepat ia melontarkan,
pedangnya mengarah kepala. Pudak Kuning cepat meloncat, kemudian bersiaga serta
menyerang lambung.
"Kau ternyata bukan laki-laki Singalangu. Kepada macan betinamu kau berada di
telapak kakinya."
"Bangsat!" Berkata demikian dengan menusukkan pedangnya. Cepat pula Ki
Pudak Kuning melenting tinggi. Di atas kepala ia berjumpalitan kemudian menghantam
kepala. Singalangu yang masih luka parah mana mungkin melawan dengan mengejar,
yang seorang seperti burung sikatan sedang yang lain seperti burung rajawali yang
tangguh, namun akhirnya tampak Singalangu batuk-batuk dan makin terdorong ke sudut.
Macan betina mengkhawatirkan keadaan suaminya, cepat ia meloncat dengan
membabatkan pedangnya. Ki Pudak Kuning yang mempunyai ketajaman indera, cepat
membungkukkan tubuhnya. Sebaliknya Singalangu menyangka akan mendapat serangan
bawah dari Ki Pudak Kuning segera meloncat tinggi. Gerakan ini dilakukan hampir
bersamaan, waktunya pedang macan betina membabat perut Singalangu. Darah menyembur disertai jerit yang mengerikan.
"Mengapa kau tidak memberitahukan Nyai?"
"Oh. Kau kakang. Aku tidak sengaja." Singalangu dengan pandang tajam sambil
menelan ludahnya, ia sempoyongan mencari pegangan, kemudian jatuh tersungkur tidak
bernyawa lagi. Macan betina itu melayangkan pandang. Ki Pudak Kuning masih berdiri
dengan siaga.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Kau yang menyebabkan. Aku minta gantinya." Bentak macan betina dengan
langsung menyerang.
"Karang Seta layani dia!" Panggil Ki Pudak Kuning. Perkelahian itu tidak
memakan waktu lama, sebab sewaktu macan betina itu jatuh tertiarap di atas mayat Singalangu, terdengar jerit panjang. Rupa-rupanya waktu Singalangu hampir menghembuskan
napasnya yang terakhir masih sempat menancapkan belati panjangnya dengan mata ke
atas. Sebab sewaktu diteliti ternyata tubuh macan betina itu terpasak belati tembus sampai
ke punggung.
Terdengar sorak sorai kemenangan. Tetapi juga terdengar rintih yang terluka,
mengharukan. Itulah jamak yang terjadi di dalam pertarungan. Ada yang melukai dan
dilukai untuk saling bertahan.
Di mulut gua, Uling Bangah tersandar dengan tidak bernyawa, sedang Welut
Kuning tertiarap dengan berlumuran darah.
Malangyuda membalikkan tubuh Welut Kuning.
"Gila." Suaranya pelan.
"Siapa yang gila?"
"Kakang Banyaksangar. Ia menusuk dari belakang."
"Hem."
"Awas adikku!" Teriak Danang Seta. Malangyuda cepat meloncat ke samping.
Meluncur sebuah tombak yang seharusnya mengarah punggung Malangyuda mengenai
perut Welut Kuning. Terdengar jerit mengerikan.
Waktu Malangyuda menoleh, ia melihat seseorang dengan tangan di pinggang
meloncat dari batu satu ke batu yang lain. Tetapi ia terperosok, batu yang diinjaknya
pecah. Demikian ia masih dapat mencapai batu yang lain di mulut gua. Malang baginya
rupa-rupanya ia kehilangan keseimbangan dan tergelincir masuk ke dalam api, dibarengi
suara jerit panjang.
Api semakin menjilat memenuhi seluruh jalan-jalan gua.
Ki Pudak Kuning, Karang Seta, Danang Seta dan Malangyuda melihat nyala api
yang masih berkobar-kobar.
"Beberapa orang dapat melarikan diri."
"Siapa?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/


Ratu Ayu 04 Hancurnya Pemujaan Sesat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mukhdan
"Simo Barung Muda, Wadas Lumut dan beberapa anak buah Singalangu." Kata
Danang Seta.
"Mereka ke selatan. Ke laut." Keadaan menjadi hening. Mereka semua bersyukur
atas kemenangan dipihak kebenaran.
"Hancurnya pemujaan sesat." Kata Ki Pudak Kuning hampir berbisik. Api terus
menjilat. Membakar semangat. Malangyuda makin mengerti hakekat hidup yang
sebenarnya.
Kokok ayam, makin ramai. Siang akan tiba.
TAMAT
Gajah Kencana 13 Rose At The Second Sight Karya Ky Racun Kelabang Merah 1

Cari Blog Ini