Ceritasilat Novel Online

Di Hatimu Kutitip Cinta 1

Di Hatimu Kutitip Cinta Karya Fredy S Bagian 1


Kolektor E-Book
Awie Dermawan
DJVU Ozan
PDF D.A.S 3
Freddy S.
DI HATIMU
KUTITIP
CINTA
Sinar Matahari
Jakarta 4 5
DI HATIMU KUTITIP CINTA
oleh Fredy S.
Cetakan pertama
Gambar sampul oleh Fan Sardy
Penerbit Sinar Matahari, Jakarta
Hak cipta dilindungi oleh
Undang-undang
All rights reserved 6
1 Tanah pemakaman sudah sepi. Satu persatu
para pelayat meninggalkan tempat. Namun di
tempatnya, Elsa masih bersimpuh dengan hati pilu.
Matanya yang sembab tak dapat menyembunyikan
betapa lara dan sedihnya hati wanita itu.
"Mas Pri...," panggilnya lirih, kembali ia
menangis tersedu-sedu. Tak pernah dibayangkan
nya kalau orang yang amat dikasihi dan dicintainya
akan pergi begitu cepat.
"Sudahlah, El. Relakan kepergiannya," bisik
Noni, teman dekatnya yang sejak tadi berada di
sisinya.
"Mas...," desahnya lagi dengan suara parau.
"Mengapa secepat ini kau meninggalkan kami?"
"Sudahlah, El. Tabahkan hatimu. Tuhan telah
memanggilnya untuk kembali...!" kembali Noni 7
berbisik lirih di telinganya. Direngkuhnya, tubuh
wanita itu untuk diajaknya berdiri.
Dengan tubuh lemas Elsa mencoba untuk
tegak berdiri. Dipandangnya sekali lagi gundukan
tanah tempat jasad suaminya dimakamkan sebelum
Noni membawanya berlalu. Dengan tangis
tersendat-sendat diikuti langkah Noni yang
memapahnya menuju mobil. Betapa nelangsa
hatinya saat ini. Kematian suaminya benar-benar
memukul batinnya dan membuatnya begitu rapuh.
"Mana anak-anak, Non?" tanyanya kemudian
begitu melihat tak ada seorang anaknya pun yang
berada di sana.
"Mereka sudah dibawa Tanti pulang lebih
dulu," sahut Noni menenangkan hatinya.
Kembali Elsa mengalihkan pandangannya ke
arah areal pemakaman di sisi kirinya. Tinggal
beberapa orang saja yang masih berdiam di sana,
itu pun tak lain dari beberapa orang penjaga
pemakaman yang masih asyik membabat rumput
dan membersihkan tempat pemakaman itu.
Selamat tinggal, Mas. Semoga kau damai di
alam sana, bisik hatinya pedih. Dengan mata 8
berkaca-kaca dipandangnya tanah pemakaman
suaminya yang masih penuh bunga dengan
tanahnya yang masih merah.
Ah, rupanya hanya sampai di sini kehidupan
nya yang bahagia bersama Mas Pri. Kini suaminya
yang baik dan penuh pengertian itu sudah pergi
dipanggil Tuhan. Semoga Tuhan mau melapangkan
jalannya dan memberi ketabahan bagi yang
ditinggalkannya.
Begitu mobil yang dikendarai Noni berlalu
meninggalkan tanah pemakaman yang sunyi itu,
Elsa pun merasa ada sisi hati lainnya yang tertinggal
di sana. Sisi hati yang mengawang seakan tak rela
dengan perpisahan yang terasa begitu berat itu.
Elsa menelan ludahnya yang terasa getir.
Dibiarkan air matanya mengalir membasahi pipinya. Sementara kedua bahunya berguncang
menahan kesedihan hatinya.
"Kamu harus tabah, El," suara Noni kembali
memecah kebisuan yang terjadi antara mereka.
"Relakan kepergian Mas Pri dengan hati lapang dan
jangan biarkan dirimu terus berkubang dalam
kesedihan. Ingatlah, masih ada dua anakmu yang
membutuhkan perhatian dan kasih sayangmu...." 9
"Apa yang akan kukatakan kalau suatu saat
nanti mereka menanyakan kenapa papanya tak
pulang-pulang, Non?" desahnya pedih.
"Mereka masih terlalu kecil untuk kujelaskan
apa yang telah terjadi."
Noni menghembuskan napasnya yang terasa
berat, la begitu memahami apa yang menjadi
kekhawatiran sahabatnya saat ini. Perpisahan ini
memang terlalu menyakitkan bagi Elsa dan anakanaknya. Priantono, suami sahabatnya itu, pergi
begitu saja tanpa pesan dan kesan.
Seminggu yang lalu, Noni memang sering
mendengar dari Elsa ketika ia bertandang ke
rumahnya, yang mengatakan bahwa Pri baru saja
sembuh dari sakitnya. Setelah sembuh itu pula, Pri
kembali bekerja seperti biasanya. Namun siapa
yang sangka, kalau lima hari ke mudian penyakit itu
kambuh dan menghilang kan nyawa Pri.
"Berikan mereka pengertian yang baik yang
bisa mereka terima, El. Kedua anakmu begitu
manis-manis, aku percaya mereka mau mengerti
dan menerima kepergian papanya," ujar Noni
kemudian setelah sekian lama tercenung. 10
Mendengar ucapan itu kembali Elsa meng
hembuskan napasnya yang terasa berat. Kepergian
suaminya memang sungguh di luar dugaannya.
Minggu kemarin dokter sudah menyatakan bahwa,
ppnyakit Pri benar-benar sudah sembuh total. Oleh
sebab itu Elsa tak merasa khawatir begitu Mas Pri,
suaminya yang tak pernah betah duduk diam itu
kembali bekerja seperti biasanya. Namun, siapa
yang sangka kemudian, kalau kemarin sore begitu
suaminya kembali dari tugasnya ia terlihat pucat
dan beberapa kali memuntahkan darah. Dengan
panik Elsa pun segera membawa suaminya ke
rumah sakit. Namun, malang tak dapat ditolak.
Dalam perjalanan suaminya menghembuskan
napas terakhir di pangkuannya. Tak ada pesan yang
terucap. Tak ada kesan yang terlintas. Dan Elsa pun
merasa menyesali, mengapa Tuhan memanggil
suaminya setragis itu. Tanpa ia sempat berpikir
apalagi menduga sebelumnya.
Ah, apakah kepergian suaminya itu karena ia
terlalu lelah bekerja, mencari nafkah untuk istri dan
anak-anaknya? Mengapa dia tidak segera tanggap
untuk membiarkan suaminya beristirahat beberapa
hari walaupun dokter menyatakan suaminya sudah
sembuh benar? 11
Sekarang semuanya sudah terlambat. Tak
ada hal apa pun yang bisa mengembalikan
suaminya ke pangkuannya.
Teringat itu air mata Elsa kembali mengalir
deras. Begitu banyak kenangan manis di antara
mereka yang takkan pernah dapat dilupakan. Pri
yang lembut, Pri yang penuh perhatian, Pria yang
amat mencintai dirinya serta-anak-anaknya Ah,
begitu cepatnya waktu memisahkan mereka. Begitu
cepatnya kisah manis itu terlewati dan takkan
mungkin terulang lagi.
Elsa masih terisak begitu mobil yang
dikendarai Noni berhenti di pekarangan rumahnya
Tanti yang sudah lebih dulu tiba segeraJkeluar dan
memapahnya berdua Noni masuk'ke dalam rumah.
"Sudahlah, El." Jangan nangis terus. Lihat,
Koko dan Kiki ikut sedih melihat mamanya
menangis...," ujar Noni kemudian setelah
mendudukannya ke atas sofa.
Elsa segera menghapus air matanya begitu
melihat dua anak-anaknya datang menghampiri. 12
"Mama... kenapa Mama nangis terus?" tanya
si bungsu Kiki yang baru berusia dua setengah tahun
dengan suara kanak-kanaknya
Dengan manjanya gadis kecil itu pun segera
menyandarkan tubuhnya ke tubuh mamanya.
"Jangan sedih, Ma...," suara lirih Koko
menguatkan batinnya untuk tidak larut dalam
kesedihan terus-menerus. Dipandangnya putra
sulungnya yang masih berusia empat tahun itu
dengan tatapan iba. Kepolosan terpancar di mata
Koko yang kini juga ikut memeluk dirinya dengan
haru. Ah, anak seusia Koko dapatkah menyelami
perasaannya saat ini?
Tampaknya anak lelaki itu terlihat tegar. Tapi,
benarkah hatinya tegar karena ia sudah merelakan
kepergian papanya tercinta? atau sesungguhnya ia
belum mengerti apa yang telah terjadi dan
menimpa keluarganya? Tidakkah ia tahu kalau Papa
yang dicintainya yang setiap sore, selalu dinanti
kepulangannya, kini telah berpulang dan tak akan
pernah kembali lagi?
Dengan hati hancur Elsa memeluk kedua
anaknya erat-erat Noni dan Tanti yang memandang 13
mereka pun jadi trenyuh. Tanpa sadar setitik air
mata juga mengambang di pelupuk mata mereka.
"Mama nggak usah sedih...," kembali
terdengar suara Koko yang begitu dekat dengan
telinganya.
"Tidak anakku Mama tidak akan sedih lagi.
Setelah kepergian Papa, Mama akan merawat
kalian sepenuh hati," ucapnya parau. Ditekannya
debur hatinya yang makin menjadi-jadi antara rasa
sedih, haru, dan trenyuh memikirkan nasib dua
anaknya kelak.
Kepala keluarga yang biasa mencari nafkah
buat mereka kini telah pergi, apa yang dapat
diperbuatnya nanti? Dapatkah ia menggantikan
posisi suamirya dalam hal mencari nafkah juga
memberikan perhatian dan kasih sayang? Kalau
memang ia terpaksa bekerja, siapa yanq akan
merawat dua anaknya yang masih kecil-kecil itu?
Padahal di Jakarta ini, ia tidak punya saudara.
Begitupun juga suaminya.
"Elsa, sudahlah. Bawa anak-anakmu tidur.
Kasihan, mereka kelihatan begitu lelah. Begitupun
Juga dengan kamu," ujar Noni kemudian memecah
keharuan yang terjadi antara mereka. 14
"Tadi aku sudah menyuruh mereka tidur, El.
Tapi mereka tidak mau dan ingin menunggumu
pulang," kata Tanti menambahi
Elsa menggigit bibirnya k^ms. Koko dan Kiki
memang kerap bersamanya setiap har. jadi mana
mungkin mereka mau tidur bersama orang lain.
Kalau tadi Tanti berhasil mengajak mereka pulang,
karena ia tak tega melihat kedua anaknya berpanaspanas dengan raut wajah lelah. Untung saja dengan
bujukan, Tanti berhasil membawa mereka kembali
ke rumah. Walaupun pada akhirnya Tanti tak
berdaya untuk mengajak kedua anak itu untuk
tidur, karena mereka ngotot menunggu mamanya
pulang.
"Tidurlah, El," ucap Tanti kemudian dengan
suara lembut. "Bawalah anak-anakmu tidur.
Kasihan mereka. Aku dan Noni akan menjaga di sini
sampai kamu kembali bangun."
"Kalian bersedia?" Elsa terpana mendengar
ucapan itu.
"Tentu saja," Noni dan Tanti mengangguk
berbarengan. 15
"Terima kasih," Elsa menyahut haru. "Aku
bahagia mempunyai teman sebaik kalian...."
"Sudahlah," Noni cepat menepis. Elsa pun
segera beranjak dan membimbing kedua anaknya
menuju kamar. Sebelum masuk kamar, kembali ia
memandang kedua sahabatnya berganti-ganti
dengan hati terharu.
"Terima kasih sebelumnya nih" ucapnya lagi.
Maaf aku sudah merepotkan kalian berdua."
"Siapa bilang merepotkan, El? Untuk seorang
teman baik, kami pasti akan membantu sebisa dan
sekuat tenaga yang ada," sahut Tanti cepat
Elsa tersenyum. Kemudian ditutupnya piatu
kamarnya. Ada perasaan lega menaungi hatinya
yang sedih. Elsa dan Tanti memang dua sahabatnya
yang baikkan bisa dipercaya. Kalau saja tidak ada
mereka, entah apa yang akan terjadi.
Sungguh Elsa tak dapat membayangkan
bagaimana seandainya di saat begini, ia tak
mempunyai dua sahabat baik itu. Ayah dan ibunya
berada di desa dan sudah sekian tahun tak
dijenguknya. Sementara keluarga suaminya sendiri
tak ada yang dikenalnya, karena mereka menikah 16
tanpa persetujuan dari kedua orangtua suaminya
itu. Elsa merebahkan tubuhnya yang terasa penat
di samping tubuh kedua anaknya, yang dalam
waktu sebentar saia sudah terlelap. Ah, betapa
lelah sekali tubuhnya belum lagi semalam ia harus


Di Hatimu Kutitip Cinta Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begadang menunggui jasad suaminya di rumah
sakit. Kesesakan dan keperihan terasa memukul
batinnya.
Sungguh ia tak menyangka sampai di sinilah
akhirnya kisah cinta dan kehidupannya bersama Pri,
suaminya.
Perlahan Elsa memejamkan matanya untuk
memenuhi kantuknya yang tak tertahankan. Tak
lama kemudian ia pun sudah terlelap dengan
membawa mimpi masa lalunya.
*** Elsa tak pernah lupa awal pertama kepergiannya ke Jakarta waktu itu. Masih terlintas di
kepalanya betapa ia membenci sikap kolot ayahnya
yang hendak menjodohkannya dengan Pak Parlin,
juragan kaya yang tersohor di kampungnya itu. 17
"Pokoknya Elsa tidak mau, Yah!" tandasnya
waktu itu ketika ayahnya mengemukakan pendapat
nya akan menjodohkan dan mengawinkan dirinya
dengan juragan yang punya istri lebih dari seorang
itu. "Tidak mau bagaimana, Elsa?" Sang ayah
memandangnya dalam. "Kamu tahu. Ayah kan
sudah menerima lamaran Juragan Parlin. Jangan
bikin malu dengan penolakanmu, Nak."
"Ayah!" pekiknya kaget. "Kenapa Ayah tak
mengkompromikan hal itu lebih dulu pada Elsa?
Kenapa Ayah sembarang menerima lamaran itu?"
"Elsa," ibunya ikut menengahi. "Pak Parlin
begitu memaksa ingin memperistrimu. Maka itu
tanpa tenggang waktu lagi, dia pun segera
memutuskan untuk melamarmu dan
memperistrimu, Nak..."
"Tidak!" serunya tegas ketika itu. "Elsa tak
sudi dijadikan istri keempat olehnya. Kalau boleh
memilih, mending Elsa kawin dengan pemuda
miskin sekalian daripada menerima lamaran dari
orang kaya yang tak pernah puas mengoleksi istri!" 18
"Elsa," ibunya kembali memanggil dengan
lembut. "Sengaja kami memilihkan Pak Parlin
sebagai suamimu, karena bukan apa-apa, Nak. Kami
tak ingin hidupmu susah. Kami ingin melihat kamu
hidup bahagia dan tidak kekurangan seperti kami..."
"Pikiran kuno! Kolot!" sergahnya cepat.
"Apa ibu pikir kebahagiaan itu bisa dibeli
dengan harta? Apa Ibu pikir dengan harta kita bisa
hidup bahagia dan saling mencintai?"
"Cinta itu dapat tumbuh di kemudian hari,
Elsa," ayahnya yang sejak tadi diam kini membuka
suaranya. "Lihatlah kami. Ayah dan ibumu, Nak.
Dulu, ketika kami menikah juga tak ada cinta di hati
masing-masing. Namun, waktu jualah yang
menghadirkan cinta itu perlahan-lahan."
"Elsa mengerti hal itu, Ayah," bantahnya lagi.
Tapi, tidakkah Ayah melihat dan merasakan kalau
Ayah dan Ibu sama-sama belum pernah menikah
ketika dijodohkan dulu? Tidakkah Ayah merasakan
betapa Ayah dan Ibu masih sama-sama remaja
ketika menikah dulu? Lantas, bagaimana dengan
Elsa?" 19
Kedua orangtuanya hanya menarik napas
mendengar ucapan yang dilontarkan anaknya Ku.
Memang, apa yang dikatakan Elsa tidak bertolak
belakang dan benar adanya. Mereka memang
masih sama-sama muda ketika dijodohkan dulu.
Mungkin itu sebabnya mereka bisa membina dan
menjalin tali kasih sampai sekarang ini. Tapi
bagaimana dengan Elsa? Sungguh tak terlintas
dalam pikiran mereka kalau Elsa akan memprotes
tindakan mereka yang telah dengan begitu saja
menerima lamaran Juragan Parlin yang sudah tak
muda lagi itu, bahkan telah mempunyai tiga orang
istri.
Ah, bagaimana mereka bisa lebih
mementingkan materi yang terlihat daripada
keadaan yang sebenarnya? Mengapa mereka tak
pernah berpikir bahwa Juragan Parlin lebih pantas
menjadi paman Elsa ketimbang suami putrinya itu?
Apakah keadaan mereka yang miskin dan untuk
mencari nafkah sehari-hari saja susah, yang telah
mengilhami pikiran mereka dengan menerima
lamaran juragan itu begitu saja tanpa
mempertimbangkannya lebih dulu? 20
Kini, kedua orangtua itu membisu seribu
bahasa dengan pikiran kalut. Bagaimana sebaiknya?
Jalan apa yang harus diambil?
"Pokoknya Elsa tetap tidak mau dijodohkan
dengan Pak Parlin, apa pun alasannya, Yah!" ucap
Elsa kemudian, menggelegar.
Dan kedua orangtua itu pun cuma terpaku
begitu putri sulung mereka melangkah pergi
meninggalkannya.
Di kamarnya, Elsa menangis tersedu-sedu.
Sedih hatinya memikirkan apa yang akan terjadi
nanti Juragan Parlin memang kaya raya.
Dan Elsa percaya kalau ia jadi menikah
dengan lelaki tua yang lebih pantas menjadi
pamannya itu hidupnya tidak akan kekurangan.
Mungkin ia akan dapat merasakan bagaimana hidup
dengan harta melimpah.
Tapi, di manakah hati dan perasaannya kalau
ia nekat menerima lamaran lelaki tua itu?
Bagaimana pula dengan ketiga istri Juragan Parlin
yang lainnya? Tidakkah mereka juga akan merasa
sedih dan tersisih? 21
Semua pikiran itu memang sempat singgah
dalam kepala Elsa. Namun yang lebih mendominan
perasaannya, bagaimana perasaan Hardi?
Marahkah dia mengetahui kekasihnya akan
dinikahkan dengan lelaki lain? Tidakkah dia akan
tersinggung, mengetahui pujaan hatinya akan
dijodohkan dengan lelaki tua yang mempunyai
harta berlimpah?
Berbagai perasaan berkecamuk dalam hati
Elsa. Ia sungguh-sungguh bingung, haruskah ia
menceritakan perihal ini pada Hardi atau
menyembunyikannya saja?
Keputusan akhirnya diambil Elsa dengan
menceritakan semuanya pada Hardi. Ketimbang
berita itu datang dari mulut lain yang belum tentu
semuanya benar, toh lebih baik Ia yang
mengemukakannya lebih dulu. Biar bagaimana,
cepat atau lambat toh Hardi akan mengetahuinya
juga.
Malam itu dengan berdusta pada orang
tuanya dan mengatakan bahwa ia akan
mengunjungi rumah teman baiknya Rosi, Elsa pun
mengendap-endap menemui Hardi di tempat
mereka biasa bertemu. 22
"Ada kabar buruk buat hubungan kita, Har,"
desahnya dengan raut wajah suram. Diperhatikan
nya paras wajah cowok di hadapannya yang
nampak tenang, namun dari sinar matanya Elsa
dapat menangkap keresahan yang menggayuti.
"Berita buruk apa, El? Soal juragan itu kah?"
tanya Hardi pelan.
"Benar, Har." Elsa menganggukkan kepala
nya. "Semalam orangtuaku memberi tahu bahwa
mereka sudah menerima lamaran lelaki tua itu..."
"Hah?! Jadi...," Hardi terkesiap. Dibalasnya
tatapan Elsa dalam-dalam.
"Aku menyesali keputusan ini, Har Tanpa
sepengetahuanku, mereka begitu saja menerima
lamaran itu...," desahnya lirih.
Beberapa saat mereka terdiam, sibuk dengan
pikiran masing-masing. Bukan Hardi tak tahu kalau
Juragan Parlin memang mengincar Elsa dan begitu
bernafsu untuk menjadikan gadis itu sebagai
istrinya. Di kampung mereka, Juragan Parlin
memang terkenal sebagai seorang yang kaya raya.
Sawahnya berhektar-hektar, kebunnya luas, bahkan
rumah yang ditinggalinya pun begitu mewah dan 23
mentereng. Bukan saja rumah istri pertamanya
yang dibangun begitu megah dan mentereng,
rumah istri kedua dan ketiga pun tidak kalah
bagusnya. Dengan ketiga istrinya itu Juragan Parlin
mendapatkan enam orang anak.
Dalam diam Hardi cuma bisa mendesah.
Diremasnya kepalanya dengan pikiran kalut. Apa
yang kurang pada Juragan Parlin? Harta berlimpah,
istri yang lebih dari satu serta anak-anak yang
hampir selusin, apakah itu belum cukup
memuaskan hatinya? Kini, lelaki tua yang usianya
sudah empat puluh tahun lebih itu telah
mempersunting kekasih hatinya dengan diam-diam.
Apa yang harus diperbuatnya? Haruskah ia
mempertahankan Elsa, gadis yang begitu
dicintainya, atau membiarkan Elsa , jatuh begitu
saja ke dalam pelukan lelaki yang lebih pantas
menjadi pamannya itu?
Hardi menelan ludahnya yang terasa getir.
Mampukah ia mempertahankan kekasih hatinya?
Mampukah ia bersaing dengan Juragan Parlin dalam
memperebutkan diri gadis cantik itu?
"Har...," panggilan lembut Elsa kembali
menyadarkan cowok itu dari terawangannya. 24
Dengan segera Hardi membetulkan letak duduknya
dan memandang wajah gadis di hadapannya dalamdalam.
"Apa yang harus kita perbuat, Har? Sungguh,
aku tak sudi dinikahkan dengan lelaki yang telah
beristri," ujar Elsa kemudian dengan suara bergetar.
Kembali Hardi termangu mendengar ucapan
yang dilontarkan Elsa. Yah, apa yang harus
diperbuatnya? Mempertahankan gadis itu atau...
"Hardi...," desah Elsa lagi. hampir tak
terdengar. "Apa yang mesti kita perbuat dong?
Bantulah aku... Aku... tak ingin berpisah darimu,
Har."
"Begitupun aku, El," Hardi segera merengkuh
bahu gadis itu dan membawanya ke dalam
pelukannya. "Tapi... aku bingung, apa yang mesti
kulakukan menghadapi kasus ini"
"Kamu harus punya pendirian, Har," Elsa
cepat menyahut.
"Yah," Hardi mengangguk lemah. "Tapi,
bagaimana mungkin aku dapat bersaing dengan
Juragan Parlin? Kau tahu, keluargaku hanyalah
keluarga miskin yang tak ada apa-apanya 25
dibandingkan dengan lelaki itu. Mana mungkin
orangtuamu mau menerima diriku?"
Kembali mereka terdiam. Elsa tahu apa yang
dikatakan Hardi memang ada benarnya. Keluarga
cowok itu memang keluarga miskin, namun
mungkin kedua orangtuanya yang mendambakan
nya hidup berkecukupan mau menerima dirinya
sebagai menantu?
Keduanya terhanyut dengan pikiran masingmasing. Elsa mencoba berpikir dalam untuk
mencari jalan keluarnya. Tak lama kemudian ia
memandang cowok di sisinya dengan wajah berseriseri.
"Aku punya ide, Har," cetusnya gembira.
"Bagaimana kalau kita kawin lari saja?"
"Kawin lari?" Hardi terbeliak.
"Ya," angguk Elsa mantap. "Kenapa kita tidak
kawin lari saja agar terhindari dari hal yang bikin
pusing ini?"
Hardi melayangkan pandangannya ke arah
pohon tinggi yang berada tidak jauh dari tempat
mereka. Suasana yang tidak begitu tenang, malah
nyaris gelap membuat pohon itu bagaikan sebuah 26
bayangan raksasa yang mencari mangsa. Apalagi
saat angin mempermainkan daun-daunnya yang
rimbun. Dan Hardi pun menarik napasnya melihat
itu. Haruskah ia mengikuti saran Elsa untuk kawin
lari? Haruskah ia meninggalkan ibunya yang sudah
menjanda dengan tiga adiknya yang masih kecil?
Kalau ya, siapa yang akan membantu keluarganya
mencari nafkah? Sejak ayahnya meninggal tiga
tahun lalu, otomatis beban keluarga pun jatuh di
pundaknya, la harus bekerja setiap harinya untuk
mendapatkan uang dalam memenuhi kebutuhan
keluarga. Ibunya yang sudah tua pun tak mau
tinggal diam melihat putra sulungnya bekerja
membanting tulang untuk biaya hidup mereka
sehari-hari, maka ia pun ikut membantu dengan
berjualan nasi uduk setiap paginya di depan
rumahnya.
Dan sekarang Elsa, gadis yang dicintainya
mengajaknya untuk kawin lari, itu kan sama saja
dengan menyuruhnya melepaskan tanggung
jawabnya terhadap ibu dan adik-adiknya. Ah,
tegakah ia melakukan itu? 27
"Bagaimana, Har?" pertanyaan Elsa kembali
mengusik lamunannya. Dilihatnya betapa gadis itu
menatapnya penuh harap.
"Rasanya... aku tak berani, El," desisnya
kemudian, hampir tak terdengar. Dibuangnya


Di Hatimu Kutitip Cinta Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pandangannya ke arah lain agar ia tak melihat kalau
gadis itu memandangnya dengan kecewa.
"Hardi!" Elsa terperangah mendengar
jawaban yang sungguh tak diduganya itu. "Kamu...
kamu sudah tak mencintaiku lagi?"
"Bukan masalah itu, El," ucap Hardi kemudian
dengan suara yang tercekat di tenggorokan. "Aku
tidak tega kalau sampai meninggalkan keluargaku.
Kamu tahu kan, selama ini aku yang menjadi tulang
punggung bagi kehidupan keluarga kami? Bahkan
hasil kerjaku saja tidak mencukupi untuk kebutuhan
sehari-hari dan biaya lainnya, sampai ibuku pun kut
membantu mencari uang. Bagaimana mungkin aku
meninggalkan mereka?"
Seketika bibir Elsa terkatup mendengar
alasan yang diberikan Hardi padanya. Kalimat itu
memang tidak berlebihan. Selama ini Hardi-lah yang
bekerja membanting tulang untuk kehidupan
keluarganya, bagaimana mungkin ia tega meninggal 28
kan keluarganya begitu saja? Tapi, tidakkah Hardi
memikirkan kesulitannya saat ini? Tidakkah Hardi
memikirkan betapa kalutnya perasaannya saat ini?
Apakah ada hal lain yang dapat memberikan jalan
keluar hingga ia terbebas dari perkawinan paksa
itu? "Aku mengerti dengan keadaan keluargamu,
Har," sahut Elsa kemudian setelah beberapa saat
terdiam. "Selama ini kamulah yang menjadi
harapan dan tumpuan mereka. Tapi, tidakkah kau
kasihan padaku? Relakah kau melepaskanku ke
pelukan lelaki lain yang sesungguhnya tak kucintai?
Kalau saja kau tahu, betapa cintaku hanya untukmu
seorang, Har. Betapa kaukah yang telah mencuri
cinta pertamaku dan membuatku beranggapan
hanya kaulah lelaki yang pantas menjadi suamiku."
"Elsa," Hardi segera memeluknya erat-erat.
Betapa tersentuh hatinya mendengar pengakuan
dari gadis yang dicintainya barusan. Diciumnya
rambut harum Elsa. "Maafkan aku, El. Maafkan aku.
Aku mengerti kalau kau mencintaiku dengan setulus
hati. Tapi, aku benar-benar tak dapat mengambil
keputusan saat sekarang ini, El." 29
Elsa membalikkan tubuhnya dan memandang
wajah Hardi dengan mata menyipit.
"Ucapanmu mencerminkan bahwa kau tidak
mau peduli pada kesusahanku. Kau lebih
mementingkan keluargamu daripada aku,"
cetusnya dengan nada sinis.
"Elsa!" tukas Hardi cepat. Tak menyangka
kalau kekasihnya akan menuduh seperti itu
padanya, "Jangan kau berkata begitu! Mengertilah
akan keadaanku,..."
"Sudahlah," gadis itu menepiskan tangannya.
"Aku tahu hatimu sekarang. Kau lebih mementing
kan dan mendahului keluargamu ketimbang aku.
Tidak layak rasanya aku mengharapkanmu."
"Jangan bicara begitu, Elsa," Hardi mulai
panik. "Biar kupikirkan matang-matang dulu apa
yang harus kita perbuat nanti."
"Waktuku tidak banyak, Hardi. Sebaiknya
putuskanlah sekarang apakah kau menyetujui
usulku atau tidak," ucapnya tegas.
"Beri aku waktu untuk berpikir, Elsa. Aku tak
dapat memutuskan secepat ini," sahut Hardi
memelas. 30
Elsa menggigit bibirnya. Rasanya punah
sudah harapannya untuk terus bersandar pada
Hardi. Kelihatannya cowok itu lebih cenderung
memilih keluarga ketimbang dirinya.
"Rasanya tak ada lagi yang dapat kuharapkan
darimu, Har," ujarnya kemudian lemah. Ditahannya
air mata agar jangan sampai jatuh di pipinya. "Aku
tahu, kamu lebih berat meninggalkan Ibu dan
adikmu..."
"Sabarlah, El, aku akan membantumu
mencarikan jalan keluar yang terbaik," ujar Hardi
lagi berusaha meyakinkan.
"Tidak perlu, Har," Elsa menggelengkan
kepalanya. "Aku tak ingin merepotkan dirimu.
Biarlah kucari jalanku sendiri. Selamat tinggal."
tanpa berkata apa-apa lagi Elsa pun segera berlari
meninggalkan Hardi yang sempat terperangah
melihat sikapnya.
"Elsa, tunggu," pekiknya. Tapi terlambat. Elsa
sudah semakin jauh dan bergegas naik ke sebuah
kendaran umum yang kebetulan berhenti di
dekatnya. 31
Cowok itu cuma bisa termangu dengan hati
kalut. Kenyataan yang diterimanya itu benar-benar
memusingkan pikirannya. Dalam hatinya yang
paling dalam ia amat menyayangi dan mencintai
gadis itu, namun dia juga tak dapat meninggalkan
keluarganya begitu saja. Dalam keheningan kembali
Hardi menghempaskan napasnya yang terasa berat.
Dua hari kemudian kembali terdengar kabar
yang cukup menyentakkan hatinya. Elsa pergi
meninggalkan rumah! Dari jauh Hardi cuma dapat
melihat betapa orang tua gadis itu kelabakan
mencari anak gadisnya yang hilang. Namun tak ada
seorang pun yang tahu ke mana perginya Elsa. Tidak
juga dirinya. Karena sebelumnya gadis itu memang
tak pernah mengungkapkan akan pergi ke mana.
Sungguh Hardi tak menyangka kalau Elsa
akan senekat itu. Begitu kuatnya pendirian gadis itu,
hingga ia berani meninggalkan kampung halaman
nya seorang diri untuk mempertahankan niatnya
yang tak sudi dijodohkan dengan laki-laki yang tak
dicintainya.
Dan Hardi pun harus menerima kenyataan
yang terjadi kemudian. Sejak pertemuan terakhir
itu ia tak pernah berjumpa lagi dengan Elsa. Gadis 32
yang dicintainya itu seperti raib ditelan bumi. Bukan
hanya dirinya saja yang kehilangan gadis bermata
indah itu, tapi orangtua Elsa.
Dan itu terjadi sampai bertahun-tahun
lamanya... 33
2 Pagi sudah menjelang. Sinar matahari yang
mulai meninggi menerpa wajah Elsa begitu ia
menyibakkan gorden kamarnya.
Sesaat dipandangi kedua anaknya yang masih
tertidur pulas. Kesedihan seketika menggayuti
hatinya. Ini adalah hari kedua sepeninggal
suaminya. Belum, belum ada yang ditanyakan anakanaknya tentang papa mereka yang tidak pernah
kembali itu. Tapi Elsa yakin suatu saat nanti anakanak akan menanyakan hal itu juga padanya. Dan ia
tak tahu jawaban apa yang pantas diberikan pada
mereka.
Sesaat wanita itu menarik napasnya.
Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan
pukul enam kurang sepuluh menit. Ah, biasanya di
saat-saat begini dia tengah sibuk menyediakan
sarapan untuk Mas Pri. Kemudian suaminya pun
akan menikmati nasi goreng sebagai sarapan
paginya sambil sesekali mengomentari bagaimana
rasa masakan yang dimasakan hari itu. Dan
biasanya pula hati Elsa berbunga-bunga karena Mas 34
Pri lebih banyak memuji betapa lezatnya masakan
buatannya ketimbang mencela.
Lalu setelah selesai makan, Mas Pri pun akan
bersiap-siap berangkat ke kantornya. Dan sebelum
meninggalkan rumah, ia menyempatkan diri lebih
dulu untuk mencium kedua anaknya yang biasanya
masih tertidur pulas. Tak lupa pula ia mencium pipi
istrinya tercinta yang menjadi tak sabar menanti
waktu berlalu hingga sore pun datang menjelang, di
mana mereka dapat berkumpul dan bersenda gurau
kembali.
Elsa menelan ludahnya yang terasa pahit saat
bayangan kejadian sehari-hari mereka bermain lagi
di benaknya. Kebahagiaan mereka selama ini adalah
kebahagiaan murni yang terpancar dari lubuk hati
masing-masing. Rumah tangga yang telah mereka
bina lebih dari lima tahun itu telah menjadi mahligai
bahagia dan tali kasih yang tak akan pernah
terputuskan. Hingga kemudian lahirlah anak-anak
manis yang menjadi buah cinta kasih mereka.
Tak pernah Elsa bisa melupakan betapa
teguhnya pendirian Priantono yang lebih rela
meninggalkan kehidupan, keluarganya yang
berlimpahkemewahan hanya untuk menikahi 35
dirinya yang tak punya apa-apa. Bila pikirannya
sampai ke pokok ini Elsa pun tak dapat lagi
membendung air matanya. Haru dan bahagia terasa
melingkupi hatinya mengenangkan betapa Mas Pri
lebih memilih untuk hidup bersamanya dan
memulai semua lagi dari bawah. Mereka
mengontrak, sebuah rumah mungil dengan harga
yang tidak begitu mahal. Lalu untuk memenuhi
kebutuhan mereka setiap harinya Mas Pri pun
mencoba melamar pekerjaan di perusahaan lain,
setelah ditinggalkannya perusahaan ayahnya yang
selama ini ditanganinya.
Kembali Elsa membaringkan tubuhnya di
sebelah kedua anaknya yang masih tertidur lelap.
Rasa malas begitu menghantuinya. Di pagi hari
begini apa yang mesti dilakukannya? Sementara
orang yang biasa dilayaninya telah berpulang ke
pangkuan-Nya.
Rasanya pagi ini Elsa ingin bermalas-malasan.
Dibiarkannya pikirannya menerawang jauh
mengenang kembali saat pertama kali berjumpa
dengan Priantono, yang kini telah tiada.
Sore itu ia baru saja keluar dari pabrik
tempatnya bekerja. Hawa Bandung yang dingin 36
serta hujan yang turun rintik-rintik membuat Elsa
mempercepat langkahnya menuju terminal untuk
mencari bus yang akan membawanya pulang ke
tempat kostnya.
Sejak ditinggalkannya kampung halamannya
sebulan lalu, ia memilih Bandung untuk menjadi
tempat persinggahannya. Entahlah karena alasan
apa. Elsa cuma merasa Bandunglah tempat yang
sreg untuk menghilangkan sedih, emosi dan rasa
sakit hatinya terhadap apa yang telah menimpanya
waktu di desa dulu.
Beruntung baru beberapa hari ia tinggal di
kota kembang itu, Elsa sempat berkenalan secara
tak sengaja dengan Noni di sebuah warung nasi.
Perkenalan tak sengaja itu telah membuat
rasa simpatik di hati Noni yang bekerja sebagai
tenaga akuntansi di sebuah perusahaan sepatu
yang lumayan besar. Merasa kasihan mendengar
nasib Elsa yang tiada mempunyai sanak saudara di
kota itu, Noni pun segera memasukkan Elsa untuk
bekerja di tempatnya.
Dan Elsa cukup berterima kasih atas bantuan
Noni yang telah menjadi koneksinya untuk bekerja
di perusahaan itu walaupun ia harus puas bekerja di 37
bagian produksi bersama buruh kasar lainnya,
karena ia memang hanya lulusan SMP. Sudah bagus
Noni, sahabat barunya mau menjadi referensinya
hingga ia bisa bekerja dengan cepat beberapa hari
setelah kedatangannya ke kota itu.
Kebaikan Noni bukan cuma sampai di situ. Ia
pun menawarkan rumahnya untuk tempat tinggal
Elsa selama dia belum mendapatkan gaji. Elsa pun
cukup tahu diri dengan tidak berlama-lama
menumpang di rumah mungil yang cukup rapi milik
orangtua Noni. Begitu ia mendapatkan gaji pada
akhir bukan, Elsa pun segera mencari tempat kost
dengan biaya yang cukup terjangkau. Walaupun
dengan berat hati, Noni tak dapat menahan
kemauan gadis itu untuk tinggal di tempat lain.
Dalam bus yang membawanya pulang, Elsa
sempat merenungkan betapa baiknya Noni. Karena
gadis itulah ia bisa bekerja seperti sekarang ini.
Sementara itu ia tak mau peduli lagi apa yang terjadi
di desanya sepeninggalnya ia dari sana. Sungguh ia
tak pernah menyesali kepergiannya yang tanpa
pamit itu. Malah kini merasa mulai kerasan hidup
sendiri di kota yang baru ini. Apalagi sudah cukup
banyak teman-teman yang dikenalnya di tempatnya
bekerja. Dalam kesendirian Elsa cuma bisa 38
melamun jauh. Hingga tanpa terasa bus yang
dinaikinya telah melewati jalan menuju rumahnya.
"Stop pinggir, Bang!" serunya tiba-tiba begitu
tersadarkan. Cepat-cepat ia beranjak dari tempat
yang didudukinya. Hujan yang turun rintik-rintik
segera menerpa tubuhnya begitu ia turun dari bus
yang membawanya.
Setengah tergesa Elsa pun berbalik arah
menuju gang rumah kostnya yang telah terlewati.
Lumayan jauh juga. Kalau dia tidak cepat-cepat
sampai di sana, tubuhnya pasti akan basah
kehujanan. Dan ia tak ingin itu terjadi.
Setengah berlari Elsa terus melangkah.
Ditatapnya langit yang sudah menggantung hitam.
Sebentar lagi pasti hujan akan turun dengan deras.


Di Hatimu Kutitip Cinta Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun baru beberapa meter ia berlari, tibatiba saja Elsa merasa sebuah benda keras
menghantam pinggulnya. Seketika ia pun ambruk
ke aspal jalanan. Rasa nyeri yang menghantam
pinggangnya membuat ia merintih dan tak cepatcepat bangkit berdiri. Untung saja ia tak pingsan di
tempat itu juga. 39
Belum sempat Elsa berpikir lebih dalam lagi
siapa yang telah menabraknya dari belakang itu,
seorang lelaki muda tergesa-gesa membuka pintu
mobilnya dan berlari menghampirinya yang masih
duduk terkulai.
"Mari saya antar ke rumah sakit, Nona," ujar
lelaki itu kemudian di telinganya. Dan sebelum
massa sempat mengerumuni mereka, lelaki muda
yang ternyata telah menabrak Elsa itu segera
memapahnya dan memasukkannya ke dalam
mobilnya. Lalu mobil itu pun kembali melesat
menuju rumah sakit terdekat.
Di dalam mobil Elsa cuma bisa mengeluh
pelan sambil sesekali meringis kesakitan. Hantaman
bagian depan mobil sedan itu terasa merontokkan
tulang-tulangnya.
Begitu tiba di rumah sakit, dengan tergesa
pula lelaki itu segera memanggil perawat yang
segera mendatanginya dengan kursi dorong. Lalu
Elsa pun dibawa ke rumah perawatan untuk
diperiksa.
Tak sempat Elsa memperhatikan berapa lama
ia diperiksa di ruang itu, yang ia tahu begitu suster
membawanya keluar untuk dipindahkan ke bagian 40
perawatan Elsa melihat lelaki itu segera mengikuti
di belakangnya dengan wajah panik.
Gadis itu juga tak sempat memperhatikan
apa yang dibicarakan dokter yang memeriksanya
dengan lelaki muda itu yang hanya menganggukanggukkan kepalanya saja.
"Saya sudah boleh pulang kan, Suster?"
tanyanya kemudian pada suster yang mendorong
kursi roda yang dinaikinya.
"Belum, Nona. Anda harus dirawat di rumah
sakit kurang lebih tiga hari untuk menyembuhkan
luka dalam Anda," sahut sang suster padanya.
"Tapi Suster...," kalimat Elsa terhenti begitu
suster yang membawanya segera menghentikan
kursi roda yang didorongnya di depan sebuah pintu
kamar. Setelah membuka pintu kamar itu, kembali
suster itu mendorongnya menuju sebuah ranjang
kosong.
Elsa merasa tenggorokannya tercekat begitu
dengan hati-hati suster itu segera memindahkan
nya ke ranjang yang kosong itu. 41
"Suster...," kembali ditatapnya suster
berpakaian putih yang nampak manis dan anggun
dengan seragamnya itu.
"Apa yang Anda pikirkan, Nona?" sang suster
balas memandangnya. Lantas seperti tahu apa yang
bergulat dalam batinnya. Suster itu kembali
berkata, "Anda tak perlu khawatir mengenai biaya
perawatannya, Nona. Pemuda tadi yang akan
mengurusnya."
Elsa tertegun diam. Pemuda yang telah
menabraknyalah yang akan menanggung
semuanya? Ah, cukup bertanggung jawab juga dia.
Tapi, apakah sakit yang dialaminya begitu parah
sehingga ia harus dirawat di sana selama lebih dari
dua hari?
Tak sempat lagi Elsa berpikir lebih jauh ketika
pemuda yang baru saja dipikirkannya itu tiba-tiba
saja membuka pintu dan menghampirinya,
sementara suster yang membawanya tadi segera
berlalu meninggalkannya.
"Maafkan saya, Nona. Sayalah yang telah
menyebabkan Anda menderita begini," Ujar
pemuda itu sambil memancangnya dalam. 42
Elsa tak berkomentar. Diperhatikannya lecetlecet kecil yang telah diberi obat dan diperban oleh
ddkter. Cuma lecet biasa, tapi bagaimana dengan
luka dalamnya?
Diam-diam dalam hatinya ia memaki pemuda
yang berdiri di hadapannya yang masih memandang
nya penuh penyesalan. Ah, gara-gara dia kini ia
harus terbaring di rumah sakit ini. Dan kalau dia
sampai tidak diperbolehkan pulang selama empat
hari, itu berarti dia akan bolos bekerja. Betapa tak
enak rasa hatinya. Apa yang akan dikatakan pada
kepala personalia tempatnya bekerja nanti? Dia kan
belum sebulan bekerja di tempat itu? Bagaimana
kalau kepala bagiannya marah lantas memecatnya?
"Maaf, bolehkah saya mengetahui nama
Anda?" tanya pemuda itu lagi memecah
keheningan yang terjadi di antara mereka.
"Elsa," sahutnya singkat.
"Oya Elsa, kamu tak perlu banyak berpikir,
nanti saya akan memintakan surat izin dokter untuk
diserahkan pada perusahaan tempatmu bekerja,"
kata pemuda itu kemudian mengejutkannya. Hei,
dalam juga perhatiannya? 43
"Terima kasih," Elsa mencoba mengulaskan
senyumnya walau terasa hambar. Kemudian
pemuda itu juga menanyakan di mana dia bekerja
yang segera disebutkan oleh Elsa dan dicatat
pemuda itu.
"Oiya, nama saya Priantono. Tapi kamu bisa
memanggil Pri saja," ujar pemuda itu kemudian
seperti tersadarkan. "Kata dokter kamu harus
dirawat di sini selama kurang lebih empat hari
untuk menyembuhkan luka dalam mu itu. Jangan
khawatir, carilah saya kalau kamu memerlukan apaapa ya?" tambahnya lagi dengan suara lembut.
Sungguh, Elsa begitu terpana melihat
kelembutan dan perhatian dalam yang
diperlihatkan cowok itu padanya. Ternyata ucapan
pemuda yang usianya diperkirakan tidak lebih dari
tiga puluh tahun itu tidak hanya ucapan di bibir saja.
la benar-benar menjalankan apa yang telah
diucapkan dan dijanjikannya pada Elsa. Setiap hari
tak lupa pula pemuda yang bernama Pri itu datang
menjenguknya dan membawakannya makanmakanan kecil atau buah-buahan.
Kalau saja tak ada pemuda itu, Elsa tak tahu
siapa lagi yang akan menjenguk dan 44
memperhatikannya. Memang sih Elsa sempat
meminta pada Pri untuk menghubungi Noni agar
menjenguknya. Namun waktu Noni yang padat
dengan tugas kantornya membuat gadis itu hanya
bisa menjenguknya pada sore hari saja. Tak ada niat
di hati Elsa untuk menyuruh Pri menghubungi
orangtuanya. Yang lalu biarlah berlalu. Dan ia tidak
ingin orangtuanya merasa cemas untuk kedua
kalinya mendengar berita yang menimpanya.
Waktu yang terasa berjalan begitu lambat
bagi.Elsa itu pun akhirnya berakhir juga. Pada hari
keempat itu, sesuai dengan janji dokter yang.
merawatnya, Elsa pun diperbolehkan pulang. Dan
gadis itu baru saja membereskan baju-bajunya
untuk dimasukkan ke dalam tas, ketika Pri muncul
di ambang pintu dan langsung menghampirinya.
"Sudah beres, Elsa?" tanyanya kemudian
dengan sinar mata teduh. Baru kali ini Elsa berani
balas menatap pemuda yang telah mengisi harinya
akhir-akhir ini.
Ah, selain lembut, penuh perhatian dan
simpatik, ternyata Pri pun cukup tampan.
Hidungnya mancung, sinar matanya terkesan
teduh, belum lagi bentuk bibirnya yang bagus dan 45
tidak kelihatan menghitam seperti cowok-cowok
perokok lainnya.
"Tidak ada yang ketinggalan?" tanya cowok
itu lagi begitu Elsa beranjak menuju pintu.
"Tidak." gadis itu menggeleng dan berusaha
mengulaskan senyum termanis buat cowok yang
telah begitu banyak menolongnya itu.
Setelah pamit pada dokter dan suster yang
merawatnya. Priantono pun kembali menawarkan
jasanya untuk mengantar gadis itu pulang. Dan Elsa
tak dapat menolak kebaikan cowok itu lagi. Diamdiam dalam hatinya mulai tumbuh perasaan lain
yang membuatnya senang berada di dekat cowok
itu. Ah, Elsa sendiri tak tahu mengapa begitu
cepat perasaan cinta datang padanya. Kedekatan
Pri yang telah beberapa hari ini menemani
kesendiriannya telah mampu menggeser
kedudukan Hardi di hatinya, cowok yang telah
mencuri cinta pertamanya namun akhirnya
membuatnya kecewa karena tak dapat memberi
keputusan di saat dirinya mengalami persoalan. 46
Tak lupa Elsa pun mengucapkan terima kasih
yang sedalam-dalamnya atas kebaikan hati pemuda
itu yang telah mengeluarkan biaya baik moril
maupun materi selama perawatannya selama ini.
Dan Elsa harus menekan rasa sedihnya dalamdalam begitu Pri berlalu meninggalkan tempat
kostnya. Dibuangnya rasa simpatinya yang telanjur
tumbuh menyadari kalau cowok itu tentu akan
segera melupakannya setelah peristiwa ini.
Mungkin Pri tak kan lagi mengingatnya setelah ini.
Kebaikan dan perhatian yang telah diberikannya tak
lain adalah karena rasa bersalah yang Lelah
dilakukannya.
Lagi pula terlalu naif rasanya kalau dia
mengharapkan cowok yang telah menolongnya itu
mau mencintainya seperti apa yang terjadi di
hatinya baru-baru ini. Elsa menyadari apalah arti
dirinya yang hinakan miskin bagi pemuda gagah dan
berpendidikan macam Priantono. Tentu cowok itu
akan balik membencinya dan memandangnya
rendah jika ia tahu bahwa ada cinta yang tumbuh
darf hatinya setelah itu. Ah, betapa memalukannya
bila hal itu sampai terjadi.
Hari-hari pun kembali berlalu. Eisa kembali
masuk bekerja seperti biasanya. Luka dalamnya 47
tidak begitu dirasakannya lagi karena ia rajin
meminum obat yang disarankan oleh dokter.
Hingga pada suatu hari Elsa merasa terkejut
tak terkira begitu keluar dari pabrik tempatnya
bekerja, di tepi jalan raya Pri sudah menantinya di
sebelah Civic Genio biru malam miliknya yang
pernah menabraknya beberapa hari lalu.
Dan ia begitu termangu dan tak berdaya
untuk menolak begitu Pri menyatakan kesediaan
nya untuk mengantarnya pulang. Hati Elsa pun
bersenandung indah. Tak pernah disangkanya kalau
cowok yang diam-diam didambakannya itu akhirnya
kembali menemuinya.
Waktu pun terus berlalu, idan Elsa patut
merasa bersyukur pada Tuhan ternyata cinta yang
ada dalam hatinya tidak bertepuk sebelah tangan.
Pada suatu malam Minggu yang indah ketika Pri
kembali mengunjunginya dari membawanya ke tepi
pantai yang indah, cowok itu pun mengungkapkan
isi hatinya betapa ia amat merindukan gadis itu
setelah perpisahan yang terjadi sekembalinya ia
dari rumah sakit.
Dengan hati berbunga-bunga Elsa pun
menerima perasaan hati yang disampaikan Pri 48
padanya. Sungguh Elsa tak menyangka kalau
cintanya yang telanjur tumbuh namun belum
sempat diperlihatkan itu, akan mendapatkan alasan
yang serupa. Hubungan cinta pun terjalin manis di
antara mereka. Dan Elsa dapat merasakan betapa
cintanya kali ini lebih berkembang dan
membuatnya melambung bagai di awang-awang.
Melihat dan merasakan betapa dalam perhatian
dan kasih sayang, yang ditunjukkan Pri padanya,
semakin yakinlah Elsa bahwa cowok itu begitu tulus
mencintainya dan tidak memandangnya hanya
sebagai seorang gadis miskin yang berpendidikan
rendah. Pri benar-benar tulus mencintainya tanpa
peduli bahwa ia adalah gadis desa yang miskin yang
mela-nkan diri dari kampung halamannya Karena
tak sudi dijadikan istri keempat.
Jalinan manis yang terjadi di antara mereka
mungkin akan berlanjut bahagia kalau tidak pada
suatu hari seorang perempuan separuh baya
dengan tubuh lumayan gemuk dan berpenampilan
keren seperti tante-tante datang ke tempat
kostnya.
"Kamu yang bernama Elsa?" tanya
perempuan itu tanpa basa-basi lagi begitu ia
membuka pintu. 49
"Benar, Tante," angguknya hormat "Silakan
masuk."
'Tidak perlu!" Ketus sekali suara itu
terdengar. "Kedatanganku kamari cuma ingin
memperingatkan padamu, sebaiknya jauhilah Pri."
"Jadi... jadi Tante ibunya Mas Pri?" Elsa
terkesiap, dan buru-buru membungkuk hormat.
Sungguh, baru kali inilah ia melihat dengan


Di Hatimu Kutitip Cinta Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langsung orangtua yang telah melahirkan kekasih
hatinya. Karena selama menjalin hubungan
beberapa bulan ini belum sekali pun Pri
mengajaknya ke rumahnya untuk diperkenalkan
dengan keluarganya.
'"Benar!" Perempuan separuh baya itu
mengangguk tegas. "Kau tahu, Priantono adalah
putra kami satu-satunya. Dialah pewaris kekayaan
yang kami miliki. Oleh sebab itu, jauhilah dia. Kami
tak sudi mempunyai menantu miskin seperti kau!"
Seketika Elsa merasa hatinya bagai direjam
sembilu mendengar kalimat yang terasa menusuk
perasaannya itu.
"Silakan masuk dulu Tante," ujarnya lagi coba
menekan gejolak yang seketika muncul di hatinya. 50
"Sudah kubilang, tak perlu!" bentak
perempuan separuh baya itu kemudian, "Dengar
kataku Ya, jangan lagi mencoba-coba untuk
mendekati Pri! Perempuan miskin sepertimu tidak
pantas menjadi menantuku!"
Kemudian tanpa berpaling lagi, perempuan
bertubuh gemuk itu membalikkan badannya
meninggalkan Elsa yang masih terpaku diam. Begitu
perempuan tadi berlalu dengan mobilnya, Elsa pun
seperti tersadarkan. Cepat-cepat ia masuk ke dalam
kamarnya dan menghempaskan tubuhnya di atas
pembaringan.
Di atas bantalnya Elsa cuma bisa menangis
tersedu-sedu. Tak pernah dibayangkannya kalau
akan begitu menyakitkan tanggapan yang diterima
nya dari orang yang mengaku ibu kekasihnya itu.
Apa yang harus dilakukan kini? Haruskah ia
kembali meninggalkan orang yang dicintainya untuk
kedua kalinya? Haruskah ia kembali mengorbankan
dirinya untuk kebahagiaan Pri dan keinginan
ibunya?
Mengingat itu kembali air mata Elsa tumpah
dengan derasnya. Kenangan masa lalu waktu ia
masih tinggal di kampungnya kembali melintas di 51
benaknya. Saat itu, orangtuanyalah yang melarang
hubungannya dengan Hardi karena pemuda itu
berasal dari keluarga miskin dan tidak cocok
menurut anggapan keluarganya untuk menjadi
suami yang bertanggung jawab dan dapat
memberikan kebahagiaan materi padanya.
Bukan Elsa tak tahu akan keadaan dirinya
yang juga miskin di mata Pri yang lebih segalagalanya. Namun kebaikan dan perhatian dalam
cowok itu yang tak sedikit pun memandangnya dari
sudut itu telah membuatnya berani menerima cinta
cowok itu. Tapi sayang rupanya hubungannya kali
ini akan kembali kandas di tengah jalan. Dan
halangan itu datang dari pihak keluarga Pri yang tak
menyetujui hubungan keduanya.
Elsa merasa hatinya seketika hancur
berkeping-keping membayangkan perpisahan yang
akan terjadi di antara dirinya dengan Pri. Ah,
haruskah ia merasakan sakit hati yang tak ierkirakan
untuk kedua kalinya?
Tak ada keputusan tepat yang diambil Elsa
saat ini. Berat rasanya untuk meninggalkan Pri yang
telah berhasil membuat ceria kembali hari-harinya
belakangan ini. 52
Ah. haruskah ia mengadukan dan menceritakan kedatangan orangtua Pri tadi pada cowok itu
atau dengan diam-diam meninggalkannya?
Tidakkah Pri akan merasa gelisah dan penasaran
kalau ia kembali meninggalkannya tanpa kabar
berita? Tapi, bijakkah kalau ia mengeluhkan pada
cowok itu apa yang telah diucapkan ibunya
barusan?
Mas Pri... Rintih gadis itu kembali dengan air
mata berlinang. Sungguh aku tak ingin berpisah
darimu apalagi sampai meninggalkanmu seperti
yang telah kulakukan pada Hardi. Tapi apa yang
harus kita perbuat untuk mengatasi masalah ini?
Dorongan emosi dan perasaan yang tak
terbendung akhirnya membuat Elsa mengambil
langkah yang terakhir. Begitu Priantono datang
kembali tiga hari kemudian, Elsa pun mencurahkan
seluruh perasaan hatinya pada cowok itu.
"Mas," Elsa pun segera menghambur
memeluk kekasih hatinya yang balas memeluknya
dengan hati resah. "Sungguh, sebenarnya aku tak
ingin berpisah darimu. Tapi aku tak dapat
menentang keinginan ibumu yang menginginkan
kita berpisah..." 53
Pri tercenung. Diremasnya bahu gadis dalam
rengkuhannya dengan hati kacau. Beberapa minggu
lalu ibunya memang pernah memergoki saat ia
mengantar gadis itu pulang dari acara makan
malam. Pernah pula ibunya menanyakan dengan
gadis mana ia berhubungan yang segera dijawabnya
dengan jujur siapa Elsa sebenarnya. Hingga
akhirnya kemudian Pri tak menyangka kalau ibunya
bakal menentang keras hubungan mereka.
"Mas...," Elsa mengangkat wajahnya dan
memandang wajah di hadapannya dalam-dalam.
"Ibumu benar, Mas. Aku hanyalah seorang gadis
miskin yang tak berarti apa-apa. Sebaiknya,
kembalilah kau pada keluargamu. Lupakanlah
aku..."
"Tidak, El," Pri menggeleng tegas. "Kau tahu,
sudah sejak lama orangtuaku memang berniat
menjodohkanku dengan putri seorang relasi
mereka. Tapi aku menolak. Sungguh aku tak suka
dengan cara kolot begitu. Aku ingin memilih sendiri
siapa gadis yang kelak akan menjadi istriku. Aku tak
suka dipaksa-paksa begitu!" 54
"Tapi, Mas... kamu berasal dari keluarga
berada. Orangtuamu pasti akan murka bila
mengetahui kau tidak menuruti anjuran mereka."
"Aku tak peduli, Elsa," kembali Pri
menggelengkan kepalanya.
"Kemarin ibumu sempat bilang bahwa kau
adalah putra satu-satunya pewaris kekayaan yang
mereka miliki. Tidakkah kau akan menyesal bila
mereka tak jadi mewariskan semua hartanya kalau
kau tak menuruti apa kata mereka?"
Pri cuma menarik napas berat sambil berkata,
"Kau tahu, El, semua kemewahan itu akan
kutinggalkan bila aku telah mendapatkan seorang
gadis yang mampu membuat hari-hariku menjadi
ceria. Walau mereka tidak menyetujui pilihanku
itu...."
"Mas," kembali Elsa menjatuhkan dirinya
dalam pelukan Priantono. Disusupkan wajahnya di
dada bidang pemuda yang telah membuatnya
terharu dengan keputusan yang diambilnya itu.
"Aku mencintaimu, Elsa. Dan akan
kutinggalkan segala yang ada demi dirimu," bisik Pri
lembut. 55
Dengan hati terharu, Elsa pun rnemeluk
pemuda dambaan hatinya itu erat-erat. Sungguh ia
tak menyangka kalau Pri akan mengambil
keputusan seperti itu. Ah, sesungguhnya cowok
seperti Pri-lah yang didambakannya menjadi
suaminya dan ayah yang baik bagi anak-anaknya
nanti.
"Sungguhkah ucapanmu itu, Mas?" lirih
sekali suara itu terdengar dari bibir Elsa.
"Percayalah padaku," Pri menatapnya penuh
kesungguhan. "Kalau perlu kita tinggalkan kota ini
untuk memulai hidup baru yang jauh dari bayangbayang menyakitkan ini."
"Mas Pri," desisnya tak tertahankan. Dengan
bola mata berbinar ceria dibalasnya tatapan cowok
di hadapannya. "Bawalah aku ke mana kau pergi,
Mas..."
"Sudah pasti, Sayangku," Pri pun mengecup
dahinya lembut. "Asal saja kau tidak menyesal jika
nanti aku tidak seperti sekarang ini."
"Jangan ucapkan itu, Mas. Aku akan
menerima dan mencintaimu setulus hatiku. Marilah 56
kita bina hidup baru walaupun itu harus kita mulai
dari bawah," ucap Elsa haru.
"Tentu sayangku," bisik Pri lirih. Lalu mereka
pun saling berkecupan menuntaskan gejolak
perasaan yang ada dalam hati mereka.
Tak ada kebahagiaan lain yang dirasakan Elsa
selain kebahagiaan kali ini saat Pri menyatakan
kesanggupan untuk meninggalkan keluarganya dan
memilih untuk hidup bersamanya.
Begitulah, dua minggu kemudian secara di
diam-diam Pri pun menikahi Elsa dan memboyong
gadis itu menuju Jakarta untuk melepas segala
kenangan pahit yang pernah ada di hati mereka
tentang kota yang ditinggalkan itu.
*** 57
3 "Kamu melamun, El?" tepukan lembut di
bahu Eisa menyadarkan wanita itu dari keterdiaman
nya yang berlangsung cukup lama. Dibalikkannya
tubuhnya memandang Noni yang sudah berdiri di
hadapannya.
"Masih memikirkan Mas Pri? My God, sampai
kapan kamu akan seperti ini?" Noni memukul
dahinya pelan.
"Aku tak pernah bisa melupakannya, Non,"
desah Elsa dengan nada keluh.
"Aku paham itu, El," Noni segera mengambil
tempat di hadapan Elsai "Tapi, orang yang kau cintai
itu telah pergi dan tak akan pernah kembali lagi.
Sadarlah, El. Jangan biarkan dirimu terus berkubang
dalam duka. Ingat, kamu tidak hidup sendiri. Masih
ada dua anakmu yang membutuhkan perhatianmu.
Kalau kau masih begini terus, bagaimana kau bisa
mencurahkan kasih sayangmu pada mereka?"
Elsa mengangkat kepalanya yang tertunduk.
Digigitnya bibirnya dengan perasaan sedih. Apa 58
yang dikatakan Noni benar, Pri sudah pergi dan tak
akan pernah kembali lagi, jadi untuk apa terus
meratapi kepergiannya?
"Yang lalu biarkanlah berlalu. Kamu masih
muda, El. Masih punya harapan untuk kembali
meraih hidup bahagia. Jangan sia-siakan
kesempatan itu. Kau tahu, Mas Pri di alam sana juga
tak menginginkan hidupmu terus begini," suara
Noni kembali berkumandang menjegal angannya
yang sempat melayang. Ah, memang cuma Noni
sahabat yang mau mengerti isi hatinya.
Tiga tahun ia tinggal di Jakarta, tanpa
disangka-sangka Noni menyusulnya. Persahabatan
mereka yang sempat terputus itu pun akhirnya
berlanjut kembali. Tak terkirakan kebahagiaan Elsa
bisa bertemu kembali dengan sahabat lamanya
yang telah banyak menolongnya. Sama seperti
dirinya, Noni pun mengontrak sebuah rumah
mungil untuk tempat tinggalnya, di Jakarta ini.
"Kau tahu, Non. Mas Pri sudah meninggalkan
kami hampir sebulan lamanya. Mungkin saat ini aku
masih mempunyai persediaan cukup untuk
menghidupi anak-anakku. Tapi bagaimana nanti,
kalau persediaan yang sempat ditinggalkan Mas Pri 59
mulai habis?" keluhnya kemudian tanpa canggungcanggung lagi. Dengan Noni ia memang biasa
terbuka dalam mencurahkan uneg-uneg yang ada di
hatinya.
"Kau kan bisa bekerja, El?" ujar Noni
menenangkannya.
Bekerja? Bekerja di mana, Non? Kau kan tahu
aku cuma lulusan SMP. Apakah Jakarta yang
terkenal kejam ini membutuhkan tenaga lulusan
rendah seperti diriku?"
"Kamu jangan pesimis begitu, Elsa. Banyak
jalan menuju Roma," Noni masih berusaha
meyakinkannya.
"Yah, taruh seandainya aku bisa bekerja
kembali, siapakah yang akan menjaga anak-anakku?
Mereka masih terlalu kecil untuk kutinggalkan,"
desah Elsa lagi, pahit.
"Aduh, pikiranmu jangan sempit begitu dong,
El. Kalau kamu bekerja, kamu kan bisa memelihara
pembantu yang akan menjaga anak-anakmu."
Pembantu? Ah, apakah gajiku mencukupi
untuk membayar pembantu, Noni? Lagi, dapatkah
aku mempercayai pembantu baru begitu saja? 60
Bagaimana kalau dia malah melari-n anak-anakku di
saat aku bekerja?" ucapnya cemas.
"Ah, di saat seperti ini janganlah terlalu
banyak pertimbangan, El. Jalanilah dulu apa
adanya," Noni tersenyum kecil mengetahui apa
yang dipikirkan sahabatnya. "Sebab, kalau kamu
terus berpikiran seperti ini, jangan-jangan kamu
malah stress nanti."
"Sungguh, aku bingung dengan masa depan
yang akan kuhadapi nanti, Non. Tak pernah terlintas
di pikiranku untuk membawa Koko dan Kiki pulang
ke rumah orangtuaku atau ke rumah orangtua Mas
Pri yang telah menghinaku. "


Di Hatimu Kutitip Cinta Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sabarlah, El. Tenanglah, aku akan
mencarikan jalan keluar yang terbaik untukmu.
Pikiranmu sudah sedemikian ruwet. Kamu perlu
suasana baru untuk menyegarkan kembali jalan
pikiranmu itu," ujar Noni lagi menawarkan.
Sesaat Elsa menarik napasnya perlahan lalu
menghembuskannya kembali. Noni benar. Sejak
kepergian Mas Pri pikirannya seolah menjadi buntu.
Perasaan malas dan enggan begitu menguasai
dirinya, ia bagaikan anak ayam yang kehilangan
induknya. Padahal semestinya ia tidak boleh 61
bersikap seperti ini Karena bukan hanya dirinya saja
yang patut dipikirkan, masih ada dua anak buah
cinta kasihnya dengan Mas Pri yang amat
membutuhkan dirinya.
"Ikutilah saranku, El. Kamu harus refresh-ing
untuk menghilangkan beban berat yang membelenggu dirimu. Kali saja setelah itu, pikiranmu
akan jernih kembali dan kamu siap menghadapi
masa depan yang masih panjang."
"Mungkin apa yang kamu katakan benar,
Non," Elsa mengangguk pelan.
"Oya, malam Minggu nanti aku dan Tanti mau
ke pesta perjamuan makan malam. Kamu mau
ikut?" tanya Noni lagi menawarkan.
"Kalau kalian tidak keberatan mengajakku,
aku sih mau saja ikut, tapi bagaimana dengan Koko
dan Kiki?"
"Ajak saja mereka, tidak apa-apa kok."
"Apa tidak merepotkan?"
"Kamu tak perlu khawatir. El. Yang
mengadakan resepsi ini kebetulan teman baikku
dan ia juga menyediakan tempat bermain khusus
untuk para tamu yang membawa anak." 62
"Sungguhkah itu, Non?" Bola mata Elsa
berbinar ceria.
"Tentu, El. Sebelum mengadakan acara ini,
dia kan sempat kompromi dulu padaku," ucap Noni
separuh menyombong.
"Ceilah, kayak orang penting saja, pakai
kompromi dulu," Elsa tersenyum simpul.
"Lho, gimana tidak mau dibilang orang
penting. Wong yang mau bikin acara itu kan masih
ada hubungan saudara dengan istri kakakku," Noni
mengerjab nakal.
"Pantesan," Elsa tersenyum lebar.
*** Pesta perjamuan makan malam yang
diadakan di sebuah rumah megah dengai halaman
yang cukup luas itu lumayan rneriah. Elsa sempat
berdecak kagum melihat penampilan tamu-tamu
yang datang. Semuanya serba eksklusif dan
glamour. Untung saja sebelum pergi tadi ia sempat
menyetujui saran Tanti yang menyuruhnya untuk
mengenakan gaun pesta kepunyaan gadis itu. Kalau
tidak, tentu Elsa akan merasa minder 63
membandingkan penampilannya dengan tamutamu yang lain
Sejak Priantono menikahinya lima tahun lalu,
belum pernah memang suaminya itu membelikan
nya gaun pesta yang sudah pasti mahal harganya.
Karena Pri sendiri juga tak pernah mendapat
undangan untuk pergi ke pesta-pesta macam ini.
Apalagi kedatangan mereka ke Jakarta waktu itu
tanpa membawa bekal yang cukup berarti. Pri
benar-benar meninggalkan semua kekayaan
orangtuanya yang akan diwariskan padanya dan
lebih suka-memulai segala, sesuatunya dari bawah
lagi.
Dan Elsa pun cukup merasa bersyukur, walau
hidupnya serba pas-pasan tapi mereka selalu rukun
dan tidak pernah ribut besar. Apalagi sejak
kelahiran kedua anak mereka, Pri makin sayang
padanya dan memutuskan untuk bekerja lebih giat
lagi dalam mencari nafkah. Mungkin karena ia
bekerja tanpa mengenal lelah itulah yang akhirnya
membuatnya menderita sakit lalu akhirnya
meninggal dunia.
Kini Elsa cuma bisa pasrah menghadapi derita
yang menimpanya. Ditambah lagi dua sahabat 64
baiknya, Noni dan Tanti, tak henti-hentinya
menasehatinya untuk melupakan kenangan manis
yang telah berlalu. Toh hidup bukan hanya untuk
hari ini saja.
Sekali lagi Elsa memperhatikan penampilan
dirinya yang memanjg nampak lain dar biasanya.
Gaun pesta berwarna htfam dipadu rompi merah
hati membuatnya Kelihatan manis dan sedap
dipandang. Wajahnya yang cantik dengan make up
yang tidak terlalu menor membuat Elsa begitu
menarik dan tidak membosankan bila dipandang
terus-menerus. Sebenarnya tanpa berdandan pun
dia memang sudah cantik alamiah. Bukankah di
kampungnya dulu ia memang terkenal karena
kecantikannya yarig akhirnya membuat Juragan
Parlin yang telah beristri tergila-gita padanya?
Apa yang dikatakan Noni tentang tempat
bermain yang khusus disediakan untuk anak-anak
pun ternyata memang ada. Dan Elsa cukup merasa
lega karena Koko dan Kiki kerasan bermain di sana
dengan anak-anak sebaya, dengannya, hingga ia tak
begitu rruyrjsaukah mereka. Dan Elsa pun cukup
merasa lego meninggalkan mereka walaupun
tempatnya Udals terlalu jauh, karena pihak tuan
rumah juga menyediakan empat baby sitter yang 65
akan mengawasi anak-anak yang sedang asyik
bermain.
"Acara dansa hampir dimulai. El, Mau
turun?" tanya Noni kemudian yang baru saja
kembali dari ruang dalam dengan membawa dua
minuman yang segera disodorkan padanya
Noni Cuma tersenyum mendengar
keterangan-keterangan yang diungkapkan Elsa.
"Sekali-kali mencoba kan tidak apa-apa. Siapa
tahu saja bisa," katanya kemudian.
"Sana kamu aja deh," tolak Elsa halus. "Kamu
dan Tanti kan masih single, masih pantas untuk
berlaku yang bagaimanapun."
"Lho, memang kalau kamu tidak pantas?"
Noni memandangnya tanpa berkedip.
"Walaupun Mas Pri sudah tiada, tapi aku
sudah berkeluarga, Non. Malu dong sama anakanak kalau aku bertingkah yang berlebihan,"
kilahnya kemudian.
"Tapi, kamu kan masih muda, El? Usiamu pun
malah sebaya dengan usiaku." 66
"Memang betul," Elsa mengangguk. "Tapi
statusku yang sudah menjanda membuatku harus
hati-hati bertingkah laku kalau tidak mau dicemooh
orang."
"Aku kan cuma mengajakmu turun melantai,
El. Apa itu jelek?" Noni memprotes.
"Sudahlah, Non," Elsa kembali menggelengkan kepalanya. "Tidak enak rasanya kalau kita
berdebat soal itu. Kalau memang kamu mau
berdansa, turunlah. Nggak apa-apa kok aku
sendirian di sini," ucapnya lagi menenangkan.
"Suer?"
"Suer," Elsa mengangguk. "Masuklah sana.
Kasihan, Anton pasti mencari-carirriu."
Noni cuma bisa meringis dan tersipu malu
sambjl mencubit lengannya perlahan begitu ia
menyebutkan nama cowok yang akhir-akhir ini
diketahuinya dekat dengan Noni.
"Oke deh, aku masuk dulu ya? Nggak apa-apa
kan kamu sendirian di sini?" kata Noni kemudian
sambil beranjak berdiri. 67
"Ya ampun, kamu pikir aku anak kecil yang
takut ditinggal sendirian?" Elsa membelalakkan
matanya yang indah.
"'Ya sudah deh, aku ke Salam dulu ya," Noni
mengulaskan senyum manis sebelum ^berlalu.
Elsa pun balas tersenyum dan memandangi
kepergian gadis itu. Noni memang begitu baik dan
penuh perhatian padanya. Bahkan untuk acara
melantai pun dia berkesempatan pengajaknya agar
dia tidak tinggal sendirian di taman yang indah itu.
Lain dengan Tanti, yang sejak mereka datang tadi
telah menghilang entah ke mana. Mungkin lagi asyik
mojok sama pacarnya.
Sepeninggal Noni, Elsa menghembuskan
napasnya pelan. Suasana ramai namun cukup tertib
itu memang menyegarkan suasana hatinya. Apalagi
dari tempatnya duduk ia jugabisa memperhatikan
betapa anak-anaknya bisa bermain dengan
gembira." Tidak harus terkurung kesedihan dengan
berdiam di rumah terus menerus.
"Sendirian, Non?" Seorang lelaki mengenakan jas berwarna abu-abu dengan penampilannya
yang eksklusif datang menghampirinya dan
bertanya dengan lembut. 68
"Oh, eh, ii... iya...," sahutnya tergagap, tak
mengira akan mendapat pertanyaan seperti itu.
"Boleh aku duduk di sini?" Lelaki itu
menunjuk bangku yang tadi diduduki Noni.
"Silakan," mau tak mau Elsa mengangguk
juga. Tidak ada hak baginya untuk melarang lelaki
itu duduk di sana. Toh dia sendiri juga tamu di
rumah itu.
"Sudah makan belum?" tanya lelaki itu lagi
memecah kebisuan yang sempat terjadi di antara
mereka.
"Sudah," Elsa mengangguk pelan
"Tidak turun melantai?" kembali lelaki itu
bertanya, seakan tak ingin terjadi kebisuan di antara
mereka.
"Tidak," singkat saja Elsa menyahut.
Lelaki itu mengangguk-anggukkan kepalanya
mendengar jawaban yang diberikan Elsa. Diamdiam diperhatikannya, lebih dalam lagi wanita yang
duduk tidak jauh di hadapannya. Wajahnya cantik
sekali. Penampilannya pun begitu anggun dan
memikat. Tapi kenapa dia hanya seorang diri di sini? 69
Tidak adakah teman pendamping yang kebanyakan
menyertai pasangan-pasangan lainnya?
Elsa cuma menundukkan wajahnya begitu
tahu lelaki itu begitu teliti memperhatikannya.
Ditekannya debar jantungnya yang tiba-tiba saja
berdetak kencang. Ah, mau apa laki-laki ini?
Mengapa dia memandangku sebegitu rupa?
Tanyanya dalam hati.
"Oya, kita belum kenalan. Nama saya Feri,
Anda siapa?" sekonyong-konyong lelaki itu
mengulurkan tangannya, yang seketika disambut
Elsa yang juga segera menyebutkan namanya,
karena ia tak ingin dibilang sombong atau
kampungan bila menolak perkenalan itu.
"Kamu datang sendiri?" tanya Feri tak dapat
lagi menahan keingintahuannya.
"Ramai-ramai, Mas," sahut Elsa kemudian
terus terang. Sengaja ia memanggil Feri dengan
ucapan 'Mas?, karena berpikir usia mereka cukup
terpaut jauh. Riskan rasanya bila memanggil lelaki
itu dengan sebutan nama saja, menilai usia Feri
diperkirakannya tidak lebih dari empat puluh
tahunan. 70
"Ramai-ramai?" Feri memandangnya
separuh heran. "Mana teman-temanmu lainnya?"
"Ada di dalam. Mungkin lagi melantai."
"Kenapa kamu tidak ikut dengan mereka?"
"Tidak ah. Lebih enak di sini, banyak
pemandangannya," kembali ia melayangkan
pandangannya ke arah tempat anak-anaknya
bermain.
"Sejak tadi kulihat, pandanganmu selalu
mengarah ke sana terus. Kamu bawa keponakan?"
tanya Feri lagi setelah menarik napas sesaat.
"Bukan keponakan, Mas, tapi anak," ungkap
Elsa lagi, jujur.
"Oya?" Kali ini Feri tak dapat menyembunyikan kekagetannya lagi. "Kamu... kamu bawa anak?"
"'Benar, Mas," angguknya.
"Berapa orang anakmu?"
"Dua," diam-diam Elsa menggerutu dalam
hati. Sejak tadi hanya pertanyaan-pertanyaan terus
yang dilontarkan lelaki di hadapannya. Mau apa sih
dia sebenarnya? 71
"Kalau kedua anakmu dibawa, pasti papanya
ikut dong?" tanya Feri lagi membuat hati Elsa
berdebur kencang.
"Mm.... Papa mereka sudah meninggal
sebulan yang lalu," ucapnya kemudian, polos.
"Oh, eh, maaf, aku telah membangkitkan
kenangan pahitmu," Feri terperangah namun
dengan cepat ia membenahi reaksinya kembali.
"Tidak apa-apa," Elsa menelan ludahnya yang
terasa getir.
Beberapa saat mereka kembali terdiam,
seakan sibuk dengan pikiran masing-masing. Di
tempatnya Feri termangu rikuh. Pengakuan yang


Di Hatimu Kutitip Cinta Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah diungkapkan wanita di hadapanya benarbenar membuatnya terkesiap. Mulanya, kalau Elsa
tidak menyebutkan sendiri, mungkin dia tidak akan
mempercaya kalau wanita muda dan secantik Elsa
telah dikarunia dua orang anak, bahkan baru saja
ditinggal mati suaminya. Oh, betapa malangnya
nasib mereka.
"Kalau boleh kutahu, kamu tinggal di mana,
Elsa?" tanya Feri lagi memecah keheningan. 72
Sesaat Elsa tercekung mendengar per-anyaan
itu. Ah, untuk apa Feri ingin mengetahui alamat
rumahnya? Haruskah dia memberi tahu alamat
rumah kontrakannya yang kecil pada lelaki yang
cukup perlente ini yang dari penampilannya Elsa
bisa menilai kalau Feri termasuk orang berada?"
Dibuangnya pikiran buruknya jauh-jauh dengan
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 15 Pendekar Mata Keranjang 5 Ratu Petaka Hijau Golok Maut 10

Cari Blog Ini