Badai Di Usia Remaja Karya Marissa Bagian 1
Kolektor E-Book
Awie Dermawan
REPO Yons
DJVU Syauqy_Arr
PDF D.A.S 3
Marissa
BADAI
DI USIA REMAJA
Sinar Matahari
Jakarta 4
BADAI DI USIA REMAJA
oleh Marissa
Cetakan pertama
Gambar sampul oleh Fan Sardy
Penerbit Sinar Matahari, Jakarta
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
All rights reserved 5
1 "Dari mana kamu?!"
Raka selalu membentak Ully dengan garang
tiap kali Ully pulang ke rumah diantar Sandy.
"Dari mana, Ully?" kian keras dan gemas
suara Raka terdengar.
Ully menghindari tatapan dingin Raka dengan
tertunduk.
"Heh! Punya mulut kan, kamu?"
Ully kian tertunduk.
"Ully!"
Dengan takut dan gemetar Ully mengangkat
wajahnya. Dipandangnya ngeri wajah Raka.
"Pergi dengan Sandy, kan?"
"Cuma beli buku, Mas Raka," sahutnya
akhirnya, gemetar.
"Tapi dengan Sandy, kan?" 6
"I... iya"
"Sekali lagi kamu pergi dengan Sandy, tangan
saya melayang ke pipimu!"
"Kamu pikir kamu berhak melakukan itu?"
terdengar keras suara Mama.
Ully sedikit merasa tenang dan aman. Ia suka
Mama berpihak padanya.
"Tiap hari bertengkar!"
"Ully yang memulai, Ma," suara Raka
merendah, tidak sekeras ketika menghadapi Ully
tadi. Mama memandang Ully. Ully menggeleng,
berusaha membela diri.
"Mas Raka nggak benar, dari tadi Ully malah
nggak ngomong apa-apa, Ma. Ully cuma diam. Mas
Raka yang bernafsu."
"Tapi kan kamu yang mengundang
kemarahanku!" sentak Raka lebih keras. Lupa kalau
di hadapan mereka ada Mama.
"Tapi Ully nggak ngerti, Ma. Tiap kali Sandy ke
sini, tiap Sandy ajak Ully keluar, dan tiap kali Mas
Raka memergoki Ully diantar Sandy, Mas Raka pasti
bentak Ully. Mama nggak tahu sih, Mama kan kerja. 7
Tapi Ully benar-benar nggak ngerti apa maunya Mas
Raka, Ma," cerita Ully panjang, dengan nada sedih
dan mengadu.
"Bibik juga bilang begitu, tiap kali kalian
bertengkar, topik permasalahannya pasti Sandy!"
"Tentu saja. Karena memang Sandy yang
selalu bikin masalah."
"Sandy bikin masalah apa?" Ully menukas
tidak senang.
"Yang Mama tahu pun, Sandy anak baik,"
Mama menimpali.
"Baik apanya? Mama kan nggak tahu siapa
Sandy."
"Siapa Sandy menurutmu?" Raka tidak
langsung menjawab. Ia berpikir dulu untuk mencari
dan menyusun daftar kejelekan Sandy guna
dibeberkannya pada Mama. Tetapi apa, ya? Raka
sendiri tidak menemukannya. Yang diketahuinya
pun tentang Sandy, sama seperti yang Mama dan
Ully ketahui, Sandy anak baik.
Dan kalau saat ini Raka membencinya, itu
tidak lebih karena Raka pernah kalah bersaing 8
dengannya dalam memperebutkan cinta Audri.
Sebenarnya, Raka tidak akan begitu marah, kalau
saja Sandy bersaing secara sportif. Tapi Sandy
konyol, ia sering menjelek-jelekkan Raka di depan
Audri, hingga Audri berpaling dari Raka. Dan
menerima cinta Sandy. Dan lebih konyol lagi,
setelah mendapatkan Audri, Sandy pergi. Dan
dengan telinga panas Raka mendengar Sandy
berkata begini, "Sebenarnya, saya nggak cinta sama
Audri, saya cuma pengen tahu, hebat mana sih saya
sama Raka. Dan ternyata, aku lebih hebat, kan?
Malah aku yang menang dapatkan Audri."
Dan sebulan kemudian, Raka mendapatkan
Sandy di rumahnya.
"Ully adikmu?" tanya Sandy agak pucat.
"Ya," sahut Raka dingin. "Kenapa? Mau
menguji kehebatanmu lagi?"
Sandy menggeleng. "Nggak, Ka, aku berniat
baik. Aku bersungguh-sungguh pada Ully."
Raka percaya. Tapi Raka sudah telanjur benci
Sandy. Sandy bukan saja telah merintanginya untuk
mendapatkan Audri, tapi juga melecehkannya. Dan
Raka benci itu semua! 9
"Kamu nggak jawab pertanyaan Mama."
suara Mama mengusik Raka.
"Tentang Sandy?" tanya Raka sedikit kaget.
"Tentu saja. Dia yang sedang kita bicarakan,
bukan?" tukas Mama gemas.
"Mama ingin tahu kejelekan Sandy, kan?"
"Ya. Tapi kamu bingung, kan? Semua orang
tahu Sandy anak baik."
"Tapi nggak semua orang tahu, dari keluarga
macam apa Sandy dibesarkan!" Raka hampir
bersorak riang, ia mendadak ingat, kemelut di
rumah Sandy.
Mama mengerutkan keningnya.
"Apa maksudmu?"
Raka melirik wajah Ully yang diselimuti
keresahan.
"Keluarga mereka berantakan. Orangtuanya
cerai. Sekarang, kabarnya papa Sandy sudah
menikah lagi. Mama bisa pikirkan sekarang, kan?
Dari keluarga kacau begitu, nggak bakal tumbuh
seorang anak yang baik." 10
"Itu bukan alasan untuk membencinya,"
sergah Ully marah.
"Tapi Raka ada benarnya Ully. Lagi pula, Raka
lebih lama kenal Sandy daripada kamu, kan?" Kini
Mama malah berpihak pada Raka.
Ully memandang Mama kecewa. "Tapi Sandy
anak baik, Ma," Ully masih berusaha membela
Sandy.
"Nggak," Raka menggeleng. "Sandy tuh
orangnya usil, senang bikin kacau cinta orang lain,
mungkin dendam pada peristiwa yang dialami
orangtuanya. Hubungan baikku dengan Audri pun
dia yang kacaukan. Dan sekarang, mungkin dia ingin
mengacaukan persaudaraan kita."
"Itu nggak masuk akal," tukas Ully.
"Tentu saja masuk. Dia kan pisah dengan
adiknya. Dia ikut mamanya, sementara adiknya ikut
papanya. Dan barangkah saja, dia pun ingin aku dan
kamu terpisah, walaupun nggak pisah rumah, paling
tidak kita bermusuhan."
"Tuduhan kamu berlebihan!"
"Kurasa tidak." 11
Ully kembali memandang Mama, ia begitu
berharap Mama sudi membela dan berpihak
padanya.
"Ully benar, kamu berlebihan," komentar
Mama.
Ully lega.
"Nggak, Raka nggak berlebihan, Ma," Raka
bersikeras mempertahankan pendapatnya.
"Sebenarnya, Mas Raka memampan dendam
pribadi, Ma. Dan itu dikaitkannya dengan Ully. Mas
Raka salah, kenapa Mas Raka harus nyakitin Ully
setelah hati Mas Raka sendiri sakit."
"Apa yang kau bicarakan?" Raka memandang
adiknya bingung.
"Mas Raka dendam pada Sandy karena Sandy
pernah menyakiti hati Mas Raka ketika rebutan
Audri. Dan sekarang, Mas Raka menyakitiku dengan
membenci dan memusuhinya. Ngerti kan Mas
Raka?"
Raka menggeleng. "Aku sama sekali tidak
bermaksud menyakitimu, saya cuma nggak kepengen, kamu dipermainkan seperti Audri." 12
"Sandy tidak pernah punya niat sejahat itu
padaku."
"Siapa bilang, kamu kan tidak tahu apa yang
ada di hati Sandy."
"Tapi saya dapat membaca dari sikapnya
terhadapku."
Raka putus asa mempengaruhi Ully untuk
membenci Sandy, tapi ia belum putus asa untuk
mempengaruhi Mama.
"Mama boleh percaya pada Ully. Tapi Mama
harus pikirkan, bagaimana Ully bisa hidup tenang
dengan cowok seperti Sandy. Keluarganya kacau,
kuliahnya berantakan, tingkahnya pun nggak benar.
Kalau otaknya lagi mumet, dia lari ke minuman,
malah kadang-kadang nggak pulang ke rumah
berminggu-minggu. Dan mamanya yang janda genit
itu, lebih peduli pada salonnya daripada anaknya.
Memang hebat, salonnya semakin besar dan
banyak pengunjung, tapi anaknya tidak terdidik
karena ia lebih suka merias wajah orang daripada
merias hati anaknya sendiri."
"Raka nggak asal ngomong kan?" Mama
menatap dalam wajah Raka. 13
Raka menggeleng.
"Mama nggak pernah ngajarin Raka untuk
jadi pembohong kan, Ma?
"Kamu juga tahu tentang itu, Ully?"
pertanyaan Mama pindah ke Ully.
Ully mengangguk. Dia tidak dapat
menyangkal, karena Sandy memang begitu.
"Dan tugas Ully sebagai temannya yang
terdekat, adalah berusaha mengembalikan Sandy
seperti dulu. Dan memperbaiki sikapnya. Mama
setuju, kan?" ucap Ully memelas.
Mama menggeleng. "Kalau orangtuanya saja
tidak becus mendidiknya dengan baik, apalagi
kamu," cetus Mama.
"Jadi...."
"Mama sependapat dengan Raka, kamu
harus tinggalkan Sandy!"
Raka tersenyum puas dan menang.
"Kamu boleh tertawa, Raka, tapi kamu tidak
akan pernah dapat memisahkan cinta kami," bisik
Ully di telinga Raka. 14
"Apa yang kamu bicarakan, Ully?" Mama
menudingnya ingin tahu.
Ully tidak menyahut, tetapi berlari ke
kamarnya.
"Semua ingin memilihkan yang terbaik untuk
kamu, Ully!" teriak Raka berlagak menjadi kakak
yang baik.
"Mas Raka bohong! Mas Raka hanya ingin
melampiaskan dendam pribadi Mas!"
"Hentikan pertengkaran kalian!" seru Mama
tegang.
Raka pun melangkah ke kamarnya. Mama
membanting tubuhnya ke sofa. Pusing memikirkan
anak-anaknya yang mulai beranjak dewasa. Masih
untung kalau mereka kompak dan saling mengerti.
Tapi sejak beberapa hari ini, mereka selalu
bertengkar. Terdengar klakson di luar.
"Bapak, Biiik! Tolong bukakan pintu!"
teriaknya pada bibik.
Wanita itu kembali duduk tercenung, kembali
dilanda bingung memikirkan anak-anaknya. Ketika
masih kecil, mereka manis-manis sekali. Jarak usia 15
mereka yang hanya dua tahun, membuat keduanya
begitu dekat dan saling menyayangi. Mereka selalu
bermain bersama. Dan dulu, Raka selalu mengalah
tiap kali mereka bertengkar. Tapi tadi, Raka begitu
keras. Ully pun tidak mau mengalah dengan
pendapatnya.
Mama menyesal, dulu Papa pernah
mengusulkan, agar mereka memberi jarak sekitar
empat atau lima tahun setelah Raka lahir, lalu Ully.
Dengan jarak yang jauh begitu, Papa pikir, Raka
akan menjadi kakak yang baik dan bisa
membimbing adiknya. Dan yang jadi adik, karena
merasa lebih muda, tentu akan suka mendengar
nasihat kakaknya dan mengalah. Tapi dengan usia
yang terpaut hanya dua tahun, mereka jadi saling
keras dan merasa tidak harus mendengar suara
kakaknya yang dirasakannya sebaya dengannya.
Badai Di Usia Remaja Karya Marissa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia mendesah berat, mengakhiri lamunannya
ketika langkah-langkah suaminya telah terdengar
jelas di belakangnya.
"Kok sepi, Ma? Apa anak-anak nggak ada di
rumah? Ully belum pulang kuliah?" 16
"Semuanya ada," Mama mencoba
tersenyum, berusaha menghapus keresahannya
agar tidak terlihat oleh suaminya yang masih
kecapekan setelah seharian berkutat dengan
setumpuk pekerjaannya.
Dia bangkit, menyongsong suaminya, meraih
tasnya lalu membawanya ke kamar. Beriringan
mereka ke kamar.
"Mau minum?" tanya Mama sesampai
mereka di sana.
"Nggak usah deh, Ma. Nggak haus, kok," tolak
Papa halus, seraya mengendurkan dasi di lehernya.
"Mau mandi sekarang?"
"Ya, deh, biar segar."
Mama menyiapkan handuk dan baju rumah.
Papa sibuk membuka baju kerjanya. "Apa anakanak juga sudah mandi?"
"Mereka sudah besar-besar."
"Saya tahu, tapi heran, sore-sore begini,
biasanya mereka duduk-duduk di teras, kalau tidak
catur, mereka nyanyi sambil memetik gitar." 17
"Mereka sedang perang," Mama lupa untuk
merahasiakan dulu hal itu sampai usai makan
malam nanti.
"Perang?" Papa mengerutkan keningnya.
"Cuma masalah kecil, Pa," Mama berusaha
menenangkan kembali hati Papa.
"Sekecil apa pun, perlu diselesaikan
secepatnya, kan? Mereka sudah dewasa, masalah
sepele bisa jadi besar kalau dibiarkan berlarutlarut."
"Mungkin."
"Mereka bertengkar?"
Mama mengangguk.
"Seru?"
"Nyesal nggak nonton?"
"Jangan melawak, Ma, Papa serius. Masalah
mereka apa, sih? Mama juga terlibat? Lalu Mama
berpihak pada salah satu dari mereka? Mama tidak
boleh begitu, Ma, Mama harus bertindak adil."
Mama diam, bingung harus berkata apa,
"Papa terlalu banyak bicara, saya jadi bingung." 18
"Oh, maaf, Papa panik," sahutnya dengan
tersenyum karena segera menyadari kekeliruannya.
"Sekarang Papa mandi saja dulu, kalau sudah
segar dan istirahat sebentar, kita panggil anak-anak
lalu kita bicara. Ada sedikit masalah dengan Ully,"
kata Mama akhirnya.
Papa mengangguk setuju.
"Ini handuknya," Mama menyodorkan
handuk ke tangan Papa. Papa meraihnya, setelah
itu ia bergegas ke kamar mandi.
Ketika Mama memanggil, Raka bersemangat
ke ruang tengah. Ia tahu mereka akan bicara
tentang Sandy. Dan Raka telah menyiapkan diri
untuk memojokkan Sandy di hadapan Papa. Ia
sadar, pada dasarnya, dendam pribadi yang ada di
kepalanya, bukan semata karena Ully. Ia cuma ingin,
Sandy tahu, betapa tidak enaknya dirintangi bila
sedang mendambakan sesuatu, apalagi sesuatu itu
seorang gadis semanis Audri. Tapi, rasanya Raka
memang tidak adil bila harus melibatkan adiknya
sendiri. Ah, dia sendiri pun menyesal, kenapa harus
Ully yang kini sedang Sandy incar, kenapa tidak 19
gadis lain supaya Raka membalaskan sakit hatinya
pada Sandy tanpa beban.
"Ully-nya mana, Ka?" tegur Papa ketika Raka
muncul sendiri.
Raka angkat bahu. "Bibik dong yang panggil,
mana mau dia nyamperin kalau yang panggil Raka."
"Biar Mama aja, deh," Mama berdiri, lalu
melangkah meninggalkan mereka.
Dia masuk ke kamar Ully yang tidak terkunci.
Ully tidak bergeming, ia tetap tertelungkup
walaupun mendengar langkah Mama memasuki
kamarnya.
"Ully," Mama duduk di sisi tempat tidurnya.
Ully tetap tidak bergeming sedikit pun. "Ully marah
sama Mama, ya?" dengan lembut dan hati-hati,
Mama membelai sayang rambut Ully.
Ully masih diam.
"Papa ingin bicara, Ully. Kita harus bicara.
Sejak dulu, bukankah kita selalu bersama
menyelesaikan setiap ada masalah di antara kita?"
Ully menggeleng. 20
"Kalian hanya akan memojokkan Ully."
"Nggak, kita akan bicara baik-baik, Sayang."
Ully kembali menggeleng.
"Ully nggak percaya lagi pada Mama?"
"Untuk apa? Tadi sore pun Mama cuma
menyalahkan Ully, kan?" kata Ully serak dan hampir
menangis.
"Maafkan Mama, tadi sore Mama masih
capek. Tapi sekarang Mama sudah istirahat dan
sudah kembali tenang, dan Mama yakin, kita bisa
bicara lebih baik. Ayolah, Papa menunggu."
"Papa?"
"Ya, yuk, bangun, ya? Setelah itu kita makan,
nggak enak makan dengan persoalan menumpuk di
kepala, kan?"
Ully punya harapan, siapa tahu Papa akan
berpihak padanya, paling tidak, Papa akan
mengerti, dan tidak akan melarang dirinya bergaul
dengan Sandy yang sangat dikaguminya.
Dengan sedikit semangat yang tiba-tiba
muncul, Ully bergerak bangkit. 21
"Nggak mandi, ya?" tanya Mama penuh
perhatian.
Ully menggeleng.
"Yuk."
"Mama duluan deh, entar Ully nyusul."
"Tapi Ully jangan bohong, ya?"
"Nggak, Ully janji. Tapi Mama janji juga mau
belain Ully, kan?"
Mama menggeleng.
"Nggak mau?"
"Kita akan bicara, bukan akan mengadili.
Ngerti?"
Dengan cemberut, Ully mengangguk. Mama
meninggalkannya, Ully menyusul di belakangnya.
Di ruang tengah, Raka sudah menghadangnya.
"Nggak baik bila kalian bermusuhan," Papa
memulai pembicaraan, begitu mereka sudah duduk
berkumpul.
"Kalian kan cuma berdua. Dan sudah bukan
anak kecil lagi. Ully sudah mahasiswi, walaupun 22
baru semester pertama. Dan kamu, Ka, sudah dua
puluh satu. Jadi, kalian sudah sama-sama dewasa,
kan? Dan itu artinya, tiap ada persoalan, selesaikan
secara dewasa pula, tidak dengan bertengkar setiap
hari seperti laporan Mama."
"Mas Raka yang mulai sih, Pa, dendam
pribadinya dengan Sandy, dia masukkan ke rumah,"
Ully buru-buru menyela begitu Papa selesai.
"Ully nggak benar, Pa, saya cuma ingin
melindungi Ully, dari cengkeraman Sandy."
"Semua mengaku benar. Tapi sekarang, Papa
ingin dengar dulu dari kamu, Ka, dendam apa yang
kamu simpan terhadap Sandy hingga adikmu
dilarang bergaul dengannya."
"Masalah dendam, itu urusan pribadi saya,
saya tidak ingin membawanya ke sini, dan tidak
berniat mengaitkannya dengan masalah Ully," ucap
Raka sok dewasa dan sok bijaksana.
"Mas Raka bo...."
"Ully! Papa belum menyuruhmu bicara!"
bentak Papa kesal.
Ully tertunduk sedih. 23
"Teruskan, Raka," perintah Papa. "Papa ingin
tahu, kalau bukan karena dendam seperti kata Ully
tadi, lalu apa alasanmu melarang Sandy bergaul
akrab dengan adikmu?"
"Gini, Pa, Sandy tuh bukan berasal dari
keluarga seperti kita. Orangtuanya cerai. Coba aja
Papa pikir, papanya aja kayak gitu, apalagi anaknya.
Dan dari keluarga yang kacau begitu, nggak akan
ada anak baik. Jadi saya punya alasan kuat untuk
melarang mereka bergaul rapat, kan? Belum lagi
mamanya, janda genit yang cuma bisa berdandan."
"Kamu tidak boleh menjelek-jelekan orangtua Sandy!" teriak Ully.
"Tidak, Ully, kita tidak sedang menjelekkan
keluarga Sandy," tukas Papa. "Tidak juga mencari
kejelekan mereka, kita cuma ingin, kamu dapat
bergaul dengan anak baik dan berasal dari keluarga
baik-baik pula."
"Sandy berasal dari keluarga yang baik, Pa,
dan orangtuanya cerai karena tidak ada kecocokan,
tidak ada salah apa pun."
"Tidak cocok setelah menikah belasan tahun
bahkan puluhan?" ejek Raka. "Papa Sandy mulai 24
genit, tahu? Dia kawin dengan perempuan muda
yang sebaya Renita, adiknya Sandy yang kelas satu
SMA."
"Kita tidak mencari penyelesaian, tapi
memojokkan aku dan menjelek-jelekkan keluarga
Sandy."
"Nggak, Ully," Mama yang sejak tadi cuma
diam, kini bicara.
"Apanya yang nggak, Ma? Udah jelas dari tadi
Raka cuma jelek-jelekin Sandy masih nyangkal."
"Jangan bicara kasar pada orangtua, Ully!"
Papa mengingatkannya dengan keras. Ully diam
lagi.
"Semuanya sudah jelas sekarang," Papa
kembali bicara. "Kamu, UI, mulai saat ini, nggak
Papa izinkan bergaul dengan Sandy."
"Pa..."
Papa menggeleng. "Nggak boleh protes, ini
keputusan kita. Keputusan Papa, Mama, dan
kakakmu."
"Nggak adil!" 25
"Ini untuk kebaikan kamu."
Ully menatap sinis wajah Raka. Dia menang!
Ah! Tentu saja dia menang, Raka telah
menghimpun kekuatan dengan mempengaruhi
Papa dan Mama. Dan tiga orang melawan satu,
tentu akan menang!
*** 26
2 Rumah sepi. Seperti biasa, Raka duduk di
teras samping dengan gitar di tangannya.
"Mas Raka keterlaluan!" teriak Ully yang tibatiba muncul di hadapannya.
"Apa-apaan sih kamu?" tukas Raka. "Pulang
kuliah bukannya mandi, malah teriak-teriak di sini,
ganggu orang senang aja."
"Jangan pura-pura nggak ngerti, Mas Raka."
"Kamu mandi sana, sebentar lagi Mama
pulang, masa sih tiap hari kamu sambut Mama
dengan wajah kusut, nggak kasihan kamu ngeliat
Mama kecapekan disambut kayak gitu."
"Aku nggak ngajak Mas Raka ngomongi
Mama! Tapi Sandy!"
"Bosen!" teriak Raka seraya menghentikan
petikan pada gitarnya.
"Mas Raka kelewatan! Mas Raka tega
nyakitin hati saya cuma karena Audri!" 27
"Ully! Jangan hubungkan ini dengan Audri,
sudah sejak dulu kulupakan Audri. Sudah sejak lama
kukeluarkan dia dari hatiku, dan dari kehidupanku!"
"Kalau begitu, kenapa kamu halangi cinta kami?"
"Karena Sandy berasal dari keluarga yang
berantakan!"
"Mas Raka jahat! Mas Raka memperlakukannya tidak adil. Tahukan Mas Raka? Kalau selama ini
Sandy sudah cukup terpukul dengan perceraian
orangtuanya? Lalu mengapa Mas Raka menambah
kan beban pada dirinya? Bukannya bantu
meringankan."
"Diam kamu! Diatur bukannya diam dan
patuh, malah balik ngatur! Dengar, Ully, kalau kamu
tetap berkeras untuk terus berhubungan dengan
Sandy, saya akan bertindak lebih keras padamu juga
pada Sandy!"
Ully mundur selangkah, belum pernah Raka
semarah ini sebelumnya.
"Jangan coba kaitkan kemarahanku kali ini
dengan Audri, sedikit pun masalahmu tidak ada
kaitannya, saya cuma tidak ingin kamu bergaul 28
dengan Sandy karena Sandy memang tidak layak
untuk kamu!"
"Mas Raka benar-benar keterlaluan!"
"Diam!"
Ully bungkam dan menggigit bibir bawahnya
Badai Di Usia Remaja Karya Marissa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuat-kuat hingga terasa perih.
"Masuk! Dan jangan coba lagi bicara kasar
padaku kalau mulutmu tidak ingin aku tampar!"
Mata Ully mendadak basah. Raka berkata
seperti itu padmiya? Ully hampir tidak percaya.
"Ngapain berdiri aja di situ? Masuk!" sekali
lagi Raka membentaknya.
Kian terasa goyah kaki Ully, tapi kian sulit pula
ia tinggalkan tempat itu.
"Jangan cengeng, Ully! Ngapain nangis? Aku
nggak bakal berubah cuma karena melihat air
matamu, tahu?"
Oh! Begitu bencikah Raka pada Sandy? Begitu
pekatkah kebencian itu?
"Kamu tega, Mas Raka," rintih Ully pilu. 29
"Sandy yang tega, Sandy mau mainin kamu
seperti dia pernah mempermainkan Audri dulu,
ngerti?"
"Mas Raka nggak benar. Sandy nggak sejahat itu."
"Dia sudah membuktikannya pada Audri."
"Tapi dia tidak akan melakukannya padaku."
"Pasti, Goblok!"
Ully memutar tubuhnya, lalu berlari
meninggalkan Raka.
*** "Kamu tahu nggak, Mil? Di sepanjang hidup
saya, belum pernah saya temui cowok sebaik dia,"
adu Ully pada Emil, sahabatnya.
"Aku ngerti," sahut Emil seraya menggeser
duduknya lebih dekat di sisi Ully.
Ully memandang lurus ke depan, ke arah
jalanan yang remang-remang. 30
"Dia lembut," katanya menerawang, "Dia
penuh perhatian, dia juga selalu mengerti aku,"
suara Ully hampir berisi tangis. "Tapi kenapa Mas
Raka memusuhinya. Bahkan Mas Raka pun telah
mengajak Mama dan Papa untuk ikut membencinya
pula. Kalau saja alasan mereka bisa aku terima, Mil,
mungkin aku bisa maklum."
"Aku sendiri bingung, bagaimana Raka tega
berbuat begitu. Dan orangtuamu, kenapa harus
begitu mudah terpengaruh."
"Mereka memang selalu menganggap Raka
yang paling benar, Mil."
Emil mendesah. Dia sama sekali tidak dapat
membantu Ully memecahkan masalah ini.
"Kalau apa yang kualami ini menimpa kamu,
apa yang akan kamu lakukan?"
Emil berpikir sesaat sebelum menjawab
"Susah juga ya ngejawabnya, soalnya aku nggak
ngalamin, sih, cintaku dengan Royke baik-baik saja,
Mama dan Papa nanggapinya oke-oke aia. Tapi, bila
aku mengalami apa yang sedang kami alami saat ini,
kayaknya, aku bakalan nekat deh."
"Nekat?" 31
"He-eh."
"Maksudmu?"
"Minggat dari rumah."
"Bersama cowok kamu?"
"Daripada tersiksa."
Ully menggeleng ngeri. "Itu nggak akan aku
lakukan."
"Aku tahu, kamu anak baik. Dan aku pun
nggak ngajarin kamu begitu."
"Tapi kamu memberiku ide."
"Itu pun kalau tidak terlalu menakutkan
buatmu dan kamu berani melakukannya."
"Entah kalau aku sudah benar-benar nekat."
"Tapi kuharap kamu nggak begitu. Kamu
harus tetap jadi anak manis."
Ully tersenyum getir.
"Sudah malam, aku pulang, ya?" pamit Emil
kemudian. "O, ya, datanglah kapan pun tiap kali
kamu butuh aku, atau teleponlah ke rumah, aku
pasti datang." 32
"Terima kasih."
"Yuk." Emil menepuk halus pipi Ully sebelum
berbalik dan melangkah pergi.
*** Malam Minggu ini, seperti malam Minggu
kemarin dan kemarinnya lagi, Raka tidak pergi ke
mana-mana. Dia jaga rumah, menghadang
kehadiran Sandy.
Dan karena khawatir terjadi apa-apa pada
cowok terkasihnya, Ully telah memperingatkan
Sandy siang tadi, untuk tidak datang ke sini.
"Kenapa sih, UI?" tanya Sandy kecewa.
"Nggak apa-apa, nggak enak sama Mas Raka
aja, kamu masih musuhan sama dia, kan?"
"Nggak. Dari dulu juga nggak. Cuma waktu itu
kami pernah punya masalah, tapi sekarang kami
sudah melupakannya, UI. Itu masa lalu, maksudku,
peristiwa yang pernah terjadi antara aku dan Raka
tentang Audri, itu sudah lama berlalu." 33
"Tapi Mas Raka masih belum dapat
melupakannya."
"Kalau begitu, biarkan saya datang nanti
malam untuk meminta maaf padanya."
"Jangan, Sandy."
"Kenapa? Apa kamu ingin masalah ini jadi
berlarut-larut? Dan hubungan kita tidak pernah
baik?"
"Terserah, deh," kata Ully akhirnya,
mengalah. Hanya saja ia tidak yakin, mungkinkah
Raka akan menyambutnya baik? Lalu Mama dan
Papa, yang sudah telanjur tahu dan tidak menyukai
keluarga Sandy, apa mungkin dapat berdamai
dengannya cuma karena Raka memaafkan
kesalahan Sandy?
Malam ini Ully gelisah di kamarnya. Ia ingin
Sandy datang, ia ingin menikmati malam Minggu
seperti teman-temannya yang lain. Tapi dapatkah
Sandy masuk ke rumah ini dengan aman?
Ully tidak tahu, kalau cowok yang sedang
dipikirkannya, sudah ada di rumah ini. Sudah
berada di pintu depan, bahkan telah berhadapan
dengan Raka. 34
"Muka tembok juga kamu, San," ucapnya
sinis pada Sandy.
Sandy tidak menyahut, ia tergugu dengan
pikiran kacau.
"Nggak tahu malu, udah berkali-kali diusir
masih juga berani datang," lalu lanjutnya
mengerling ke arah Ully, "Hebat Romeo-mu, UI,
gentleman juga"
Ully pun diam.
Raka meraih gelas di hadapan Sandy, dan
tanpa mereka duga sama sekali, air jeruk dingin
dalam gelas itu Raka siramkan ke wajah Sandy
dengan cepat sambil berkata, "Tapi kelewat nekat
tahu?!"
"Mas Raka!" seru Ully kaget. Raka tersenyum
dingin. "Biar dia tahu kalau aku nggak main-main,
dan dia nggak bandel melanggar aturanku untuk
tidak datang ke sini."
Sandy tertunduk setelah menyeka wajahnya
dengan telapak tangannya.
"Kamu boleh pulang sekarang, San." Sandy
masih tertunduk. Malu dan marah berbaur di 35
dadanya. Tapi ia sadar benar akan posisinya. Dia
tahu dia harus diam.
Ully menangis. Dikeluarkannya saputangan
dari saku roknya lalu diserahkannya pada Sandy.
"Terima kasih," ucap Sandy seraya menerima
saputangan dari tangan Ully. Dibersihkannya
wajahnya.
"Saya pulang dulu ya, UI," pamitnya sambil
memasukkan saputangan Ully ke saku kemejanya.
"Yuk, Ka."
"Awas kalau nekat datang lagi!" ancam Raka
marah.
Ully masuk ke dalam sebelum Sandy keluar,
dia tidak tega melihat Sandy diperlakukan seperti
itu oleh Raka. Dia juga tidak tega melihat Sandy
begitu mengalah. Padahal kalau saja Sandy mau
melawan, Raka pasti kalah. Tubuh Sandy lebih
besar.
*** 36
3 Ketika Mama dan Papa pergi kerja dan Raka
berangkat kuliah, Ully yang kuliah siang pun ikut
pergi. Tujuannya, tentu saja rumah Sandy.
"Untuk apa kamu datang ke sini?" sambut
Sandy tak seramah harapan Ully.
"Kamu tidak suka?"
Sandy mendesah berat, "Aku cuma nggak
mau, cuma karena aku, kamu harus bermusuhan
dengan Raka, dan tidak disukai orangtuamu."
"Hanya itu, lebih dari itu pun aku akan tetap
mempertahankanmu. Aku tidak mau kehilangan
kamu, Sandy."
Sandy menyentuh lembut rambut Ully,
membekunya perlahan, lalu merengkuh tubuh
gadis itu ke dalam pelukannya.
"Bukan salahmu kalau mereka memusuhi
kita, mereka yang salah, mereka yang tidak mau
mengerti cinta kita." 37
"Dan aku letih, Ully," bisik Sandy seraya
menjauhkan tubuh Ully dari dadanya.
"Apa maksudmu?"
Sandy mulai menghempaskan napasnya.
"Aku nggak cukup kuat untuk bertahan."
"Sandy...," desis Ully kecewa. "Hanya sampai
sini? Begitu dangkal cintamu?"
Sandy berdiri, ia melangkah ke jendela, lalu
melemparkan pandangannya keluar.
"Aku nggak cukup kuat untuk melawan
mereka, Ully. Aku sadar, aku memang tidak pantas
untuk kamu."
Ully menggigit bibirnya kuat-kuat.
"Maafkan aku kalau aku tidak bisa setegar
harapanmu," desah Sandy masih memunggungi
Ully.
Ully memandangi punggung kekar itu,
menatap lekat tubuh jangkungnya yang menjulang.
"Aku nggak percaya kalau kamu begitu rapuh,
Sandy. Kecuali kalau kamu tidak mencintaiku
dengan tulus." 38
"Kamu ragu padaku?" Sandy berbalik.
Ully mengangguk sedih.
"Setelah aku dimaki-maki Raka dan disir
dengan sirup di hadapanmu?"
"Tapi kamu berniat mundur, kan? Lalu
haruskah aku percaya bahwa cintamu padaku
begitu besar dan dalam?"
"Aku mundur karena aku tidak suka kamu
dimusuhi oleh keluargamu sendiri. Aku ingin kamu
bisa hidup tenang di rumahmu sendiri."
"Ketenanganku adalah, bila aku berada di
dekatmu, Sandy. Hanya itu. Tidakkah kamu
percaya?" ucap Ully dengan suara parau.
Sandy bergerak mendekat. Dan sekali lagi
dipeluknya erat tubuh mungil gadis itu. Kemudian
Sandy merenggangkan tubuh Ully dari pelukannya.
"Aku tidak ingin kehilangan kamu, Ully,"
bisiknya lembut, kemudian didekatkannya
wajahnya ke wajah Ully, dipagutnya lembut bibir
Ully.
Ully melingkarkan lengannya ke tubuh kekar
Sandy. Dibalasnya ciuman Sandy lebih hangat. 39
Untuk beberapa saat mereka terhanyut dalam
kemesraan.
*** Raka curiga, walau Sandy jarang bahkan tidak
pernah lagi datang ke rumah ini, tapi tak pernah
dilihatnya Ully gelisah.
"Bik, apa Bibik sering melihat Sandy datang
ke sini tiap pagi?"
Bibik yang sedang sibuk dengan masakannya
menggeleng.
"Non Ully di rumah aja tiap pagi?"
"Ng... he-eh, Den."
Melihat wajah Bibik yang gemetar, Raka tahu
Bibik bohong.
"Jawab yang betul, Bik!" sentak Raka marah.
"Benar, Den. Non di rumah terus."
"Pasti bohong! Dia pergi tiap hari, kan?"
"I... iya, tapi kan ke kampus." 40
"Ke kampus kan siang, yang saya tanya tuh
paginya, ke mana aja dia?"
"Sa... saya tidak tahu, Den," Bibik semakin
gemetar.
"Tidak tahu?!" suara Raka mengeras.
"Ya, Den. Tidak tahu," Bibik mundur saking
takutnya.
"Tidak tahu ke mana dia pergi, kan?"
"I... iya."
"Jadi itu artinya dia benar-benar pergi, kan?
Cuma kamu tidak tahu ke mana tujuannya,
begitu?!"
Badai Di Usia Remaja Karya Marissa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Oh. Tuhan, Bibik benar-benar telah salah
bicara. Padahal Ully sudah memperingatkannya
berkali-kali, bila siapa pun bertanya ke mana saja
Ully tiap pagi, Bibik harus jawab Ully ada di rumah.
Tapi Bibik gugup tadi. Suara Raka terlalu keras.
Raka memutar tubuhnya, lalu melangkahi
panjang-panjang meninggalkannya.
Bibik mengelus dadanya yang bergetar. 41
"Kamu ke rumah Sandy tiap pagi, kan?" suara Raka kembali menggelegar, kali ini di hadapan
Ully.
"Itu hakku! Ke mana pun aku pergi bila itu
keinginanku, kamu tidak berhak mencegah!"
"Oh! Bagus sekali, kamu sudah berani mem
bentakku sekarang!"
"Mas Raka yang mengajariku! Mas Raka
selalu mengajariku hingga aku terpaksa harus kasar
pula."
"Sandy yang menyuruhmu begitu?"
"Jangan bawa-bawa Sandy!"
"Kenapa tidak? Sandy-lah sumber kekacauan
di rumah ini."
Ully membanting tubuhnya ke tempat tidur,
lalu menutup telinganya dengan bantal. Tidak ingin
didengarnya lagi suara Raka. Ia bosan!
"Heh!" Raka menarik bantal di tangan Ully.
"Dengarkan dulu, sekali lagi kamu datang ke rumah
Sandy, saya tidak akan ragu-ragu menghajarnya!
Pikirin harga diri dong, UI, masa' sih cewek
nyamperin cowok tiap hari begitu!" 42
"Lagian dari mana sih Mas Raka mendapatkan keyakinan kalau saya ke rumah Sandy tiap
hari?"
"Naluriku yang bicara, aku nggak melihat
kamu gelisah menanti Sandy padahal Sandy tidak
pernah muncul di sini. Dan tiap sore, tiap aku
jemput kamu ke kampus, kamu selalu ada, dan aku
tidak pernah memergoki Sandy di sana, jadi itu
artinya kamu yang tiap pagi ke sana ngapelin dia,
kan? Murahan!"
"Terserah Mas Raka mau bilang aku apa aja.
Apalagi cuma dicap murahan. Lebih dari itu pun aku
rela mendengarnya demi Sandy!"
"Kamu benar-benar mabuk pada pemuda
konyol itu!"
"Masa bodoh! Aku nggak peduli Mas Raka
lagi. Aku nggak mau peduli siapa pun."
Raka melempar wajah Ully dengan bantal.
Lalu segera ia minggat dari kamar adiknya.
*** 43
Ketika Ully bangun esok harinya, ia kaget,
rumah tidak sesepi biasanya. Dia memang biasa
bangun agak siang. Dan biasanya, jam segini, rumah
sudah sepi. Mama, Papa, dan Raka sudah berangkat
dari rumah. Tapi pagi ini, ia menemukan Raka di
depan televisi.
Ully bengong.
Raka tersenyum menantang. "Nggak ada
kuliah pagi ini, Mas?"
"Aku harus jaga rumah, juga jaga kamu
supaya nggak minggat."
"Jaga rumah, Bang Arga sudah empat tahun
kerja di sini buat jaga rumah. Dan nyatanya amanaman saja."
"Tapi dia nggak becus jaga kamu agar tidak
minggat tiap pagi dari sini."
"Dia bukan nggak becus, tapi dia tahu
bagaimana menghargai perasaan orang lain."
Raka menyeringai sinis. "Semakin hari kamu
semakin berani melawanku. Dulu, baru aku bentak
saja sudah mengkeret, sekarang, malah lebih galak
dari aku." 44
Ully bergegas ke kamar mandi.
Bel berdering.
Raka bangkit, ia melangkah ke pintu. Dan
betapa ia tercengang ketika menemukan Sandy di
sana.
"Gila! Kamu benar-benar nekat, Sandy!"
desis Raka marah. Ini rupanya yang kalian lakukan
tiap pagi, ya? Kamu datang ke sini, atau Ully yang ke
rumahmu! Konyol! Kalian memanfaatkan rumah
ketika sepi."
"Apa salah? Kami saling cinta, dan kami butuh
untuk saling bertemu dan menumpahkan rindu
yang bergelora di dada kami," sahut Sandy berani.
"O, ya?" tukas Raka sinis. "Romantis sekali."
"Dan indah," timpal Sandy sedikit mengejek.
Raka menyeringai. "Rumah sepi. Kalian cuma
berdua. Dan dalam suasana seperti ini, apa pun bisa
kamu lakukan. Banyak hal bisa terjadi. Kamu gila,
Sandy! Kamu memanfaatkan adikku untuk
melampiaskan nafsumu! Kamu bajingan, Sandy!"
"Jangan berlagak jadi kakak yang baik dan
melindungi, aku tahu, ini semua kamu lakukan 45
padaku karena Audri! Dan adikmu kamu jadikan
dalih, sekaligus korban!"
"Tutup mulutmu, Sandy! Atau aku yang
melakukannya!" Dan seiring dengan ucapan itu,
tanpa Sandy duga, tinju Raka melayang langsung
menghantam mulutnya.
Rasa hangat dan asin meleleh dari sela-sela
bibirnya. Sandy mengusap cairan merah itu dengan
punggung tangannya.
"Pergi! Atau kita bertarung!" tantang Raka
dengan napas memburu. Sandy tersenyum sinis.
"Aku tahu aku harus melawan, aku tidak suka
penghinaanmu yang tanpa henti ini, Raka," ucap
Sandy seraya mengepalkan tinjunya.
Dan satu pukulan menghantam lagi mulut
Sandy sebelum Sandy dapat berbuat apa-apa.
Mendidih darah Sandy. Dan keluar keluh
kesakitan disertai darah yang mengucur dari
bibirnya yang pecah.
Kaki kanannya mencari sasaran, menendang
perut Raka, tapi Raka yang bersabuk hitam itu
dengan mudah berkelit. 46
"Kamu tidak ingin mati konyol untuk Ully,
kan? Pulanglah, dan jangan coba injakkan kakimu di
sini sejak saat ini. Atau kamu ingin mencoba
pukulanku sekali lagi?"
"Kamu sombong, Raka! Sama seperti orangtuamu!"
"Kamu juga sama seperti orangtuamu! Doyan
perempuan!"
Tinju yang sudah terkepal sejak tadi, Sandy
hantamkan ke dada Raka. Tapi Raka malah tertawa,
"Elusanmu lembut, pantas Ully terbuai tiap kali
berada di dekatmu," ledek Raka dengan tawa.
Bila hanya melihat postur tubuh mereka,
kelihatannya Sandy lebih kuat karena lebih tinggi
dan atletis. Tapi nyatanya, Sandy yang hanya suka
joging dan basket itu tidak ada apa-apanya
dibanding Raka yang karateka.
Keluar dari kamar mandi, Ully mendengar
tawa Raka dan erangan Sandy. Dan betapa ia
terkejut menemukan mereka sedang berhadapan
dengan darah di mulut Sandy.
'Ya, Allah, Sandy, apa yang telah terjadi?" ia
berlari ke arah mereka. 47
"Cuma segitu kekuatan jagoanmu. Suruh dia
berguru dulu, dan dia boleh datang lagi untuk
mengalahkan aku, setelah itu, baru kuizinkan dia
membawamu ke mana pun dia suka."
"Tidak lucu! Aku benci kamu, Mas Raka!"
Raka menyambar lengan Ully ketika Ully berniat
mendekat Sandy.
"Suruh dia menolong dirinya sendiri!"
"Lepaskan, Mas Raka, aku harus menolong
Sandy!"
Raka menyeret Ully masuk. Sandy yang
merasa mulut dan hatinya sakit, beranjak pergi
meninggalkan rumah itu.
"Lepaskan, Mas Raka! Lepaskaaan!" Ully
berteriak keras. Suaranya membahana ke setiap
sudut ruangan di rumah itu. Bibik, si lyem, Bang
Arga, semuanya cuma diam.
Raka memeluk kian erat, Ully meronta.
"Aku akan keluar dari rumah ini bila Mas Raka
terus memperlakukan aku seperti ini!" ancam Ully
sambil meraung. 48
"Aku tidak peduli! Kamu harus mengerti, UI,
aku ingin menjagamu! Kamu tahu apa yang akan
terjadi bila aku tidak mencegah Sandy dan tidak ada
di rumah pagi ini. Di rumah besar dan lengang ini,
bila kalian cuma berdua, apa pun bisa terjadi karena
kalian mabuk cinta. Jadi kamu tahu, kan? Betapa
aku sayang kamu dan ingin selalu menjagamu!"
"Tapi tidak harus begini caranya, kan?"
"Tanpa kekerasan, aku tidak akan berhasil!"
"Aku bukan binatang! Bahkan orang
memperlakukan binatang pun dengan
kelembutan."
Raka tetap memeluk dengan kasar tubuh
Ully. Sampai akhirnya Ully keletihan karena terus
meronta dan mengadu tenaganya yang lemah
dengan Raka yang kuat.
*** 49
4 Raka menerobos masuk ke kamar Danny. Si
macho berambut gondrong dan senang pamer
tubuhnya yang kekar dengan selalu mengenakan
kaos buntung itu terkejut melihat kedatangan Raka
yang tiba-tiba.
"Tumben, Ka. Ngapain?" tanya Danny yang
sudah lama naksir adik Raka yang memang manis
banget.
"Di rumah lagi suntuk, Dan."
"O, ya?"
"He-eh."
"Eh, kok nggak ajak Ully, sih?"
Raka senyum. Inilah maksud kedatangannya,
memancing kembali minat Danny untuk memiliki
adiknya.
"Masih ingat?"
"Pada Ully? Tiap saat, Cing," tawanya
berderai.
"Kalau begitu... ng...," Raka ragu. "Kenapa?" 50
"Aku ada ide untuk kamu."
"Maksudmu untuk dapetin Ully?" Raka
mengangguk mantap. "Kamu dukung sekalipun, bila
Ully-nya nggak suka aku, nggak mungkin aku
berhasil dapetin dia."
"Bisa, Dan, tapi satu syarat harus kau
penuhi."
"Apa?"
"Singkirkan Sandy dari sisinya."
"Caranya?" Danny mulai berminat.
"Terserah, pokoknya, buat Sandy menjauhi
Ully."
"Dengan kekerasan?" Danny yang hobi
berantem kian berminat.
"Ya, gebukin aja biar jera, mau?"
"Wah, tangan saya emang udah gatel, kok,"
komentarnya senang.
"Jadi mau, kan?"
"Cuma pasti nggak nih aku bisa dapetin Ully?" 51
"Namanya aja usaha, kalau udah usaha, gagal
atau berhasil, itu risiko, yang penting udah usa ha,
kan nggak penasaran, Dan. Ya nggak?"
"Sip deh."
"Hari ini nggak ke mana-mana? Danny
menggeleng.
"Kalau begitu, kenapa nggak secepatnya aja
jalankan tugasmu."
"Gimana caranya?"
"O, ya gini aja, deh. Tiap rumah sepi, kalau
nggak Ully-nya yang ke rumah Sandy, pasti Sandynya yang ke rumah kami, jadi besok, awasi
rumahku, ikuti Ully kalau dia keluar atau kamu ikut
masuk kalau Sandy datang dan masuk ke rumahku."
"Terus?"
"Bilang saja kamu dapat pesan dariku untuk
merusak pertemuan mereka. Kalau Sandy bandel,
bikin babak belur, beres, kan?"
"Itu ide konyol, tahu?"
"Konyol?" Raka bertanya tak mengerti. 52
"Terang, dong, mereka belum tentu putus,
dan Ully membenci aku. Jadi bukannya aku dicintai
Ully, malah disebelin, gimana aku bisa dapetin Ully,
Goblok?"
"O, ya, ya."
"Gini aje, deh."
"Ada ide?"
"He-eh, mudah-mudahan bagus."
"Gimana?"
"Gini, Ka, aku pura-pura jadi pahlawan untuk
mereka. Misalnya, yang tugas ngawasin mereka
Tomy dan Andra. Mereka pura-pura dapat tugas
dari kamu untuk melarang Sandy ke rumah Ully atau
melarang mereka bertemu, tentu dengan
Badai Di Usia Remaja Karya Marissa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kekerasan. Nah pada saat itulah aku muncul di
hadapan mereka, maksudku Sandy dan Ully,
sebagai pahlawan. Aku berpura-pura berpihak pada
mereka walaupun aku sahabat kamu, Ka."
"Terus?" Raka nggak sabar.
"Terus begini, aku dekati mereka dengan
baik. Bahkan, kalau mereka ingin keluar berdua, aku
yang bantu. Aku yang jemput Ully supaya nggak 53
dicurigai. Sekali dua kali, boleh juga tiga kali, nggak
apa-apa aku temukan mereka, maksudnya biar
mereka percaya kalau aku berada di pihak mereka.
Tapi setelah itu, aku tipu mereka. Aku jemput Ully,
tapi nggak hubungi Sandy. Aku ajak Ully nonton,
jalan, makan, pokoknya apa aja. Kubuat dia suka
padaku, dan bersikap seolah Sandy ingkar janji
padahal aku memang berusaha agar Sandy tidak
tahu atau memang menjegal Sandy di jalan.
Pokoknya, Ully harus bisa jalan denganku tanpa
sepengetahuan Sandy. Di hadapan Ully, aku akan
pura-pura menjadi kakak yang baik menggantikanmu. Dan pelan-pelan akan kupengaruhi dia agar
tidak terlalu memikirkan Sandy-nya yang banci.
Akan kubilang padanya, kalau dia butuh cowok yang
nggak cuma dapat mencintainya, tapi juga
melindunginya. Dan seterusnya... terserah apa yang
akan terjadi nanti. Gimana menurutmu, Ka? Bagus
ideku?"
"Bolehlah."
"Eh, ngomong bolehnya kok nggak
semangat? Kenapa, sih?"
Raka menggeleng. Sebenarnya, akan lebih
berbahaya bila Ully jatuh ke Danny. Tapi ia tidak 54
punya cara apa pun untuk memisahkan Ully dari
Sandy.
"Nggak apa-apa." kata Raka akhirnya. "Aku
cuma tidak ingin terlalu memuji kamu."
"Tapi ideku bisa kamu terima, kan?"
"Tentu."
*** Benar dugaan Raka, Sandy memang tegar,
Sandy benar-benar memperjuangkan Ully untuk
terus berada di dekatnya, pagi itu Sandy muncul
lagi. Barangkali sudah kepalang babak belur, jadi
rugi kalau tidak meneruskan.
Ully benar-benar tersentuh atas ketulusannya. Padahal sebelum Raka memukulinya dulu, ia
sempat berpikir untuk meninggalkan Ully.
"Raka nggak di rumah?" tanyanya pelan.
Masih ada rasa perih di mulutnya.
Ully menggeleng. "Mungkin dia sudah puas
setelah memukuli kamu tempo hari." 55
"UI, kedatanganku hari ini, mungkin yang
terakhir kalinya," ucap Sandy lirih.
Ully terkesiap. "Apa maksudmu?"
"Aku nggak tahan,"
"Sandy...," mata Ully basah.
"Maafkan aku, UI, aku benar-benar nggak
tahan."
"Kalau begitu, kita pergi saja, ya?"
"Pergi?"
"Ya, kita pergi berdua. Kita pergi jauh dari
kota ini. Kita tinggalkan orang-orang yang tidak
menyukai cinta kita. Dan di tempai jauh itu, kita
nikmati berdua cinta kita sepuasnya. Kamu mau,
Sandy?"
Sandy menggeleng.
"Kau menolak untuk hidup bersamaku?"
"Itu kelewat nekat, Ully, aku tidak ingin
melakukannya. Aku ingin hidup tenang."
"Jadi selama ini aku menganggu ketenanganmu?" tukas Ully tersinggung. 56
"Kamu malah memberiku ketenangan, tapi
tidak bila harus nekat membawamu lari dari rumah.
Kita akan selalu waswas, itukah ketenangan yang
kau maksud Ully? Tiap saat kita akan dikejar-kejar
rasa bersalah dan takut."
"Dalam keadaan seperti ini kamu masih bisa
berpikir begitu, Sandy?"
"Kita harus selalu berpikir jernih dan luas
walau kita tengah terperangkap dalam keadaan I
bagaimanapun."
Ully gemas, Sandy masih saja tenang, padahal
dirinya begitu kalut dan kacau. Sandy meraih
lembut kepala Ully, lalu merengkuhnya ke dalam
pelukannya.
"Sudah kupikirkan sejak kemarin, Ully, aku
harus meninggalkanmu. Tapi percayalah, aku akan
terus mencintaimu. Aku akan terus mengingatmu.
Aku berjanji, aku tidak akan pernah berhenti
mencintai dan menyayangimu."
"Kalau begitu, kenapa harus tinggalkan aku,
Sandy?"
"Karena tidak ada jalan lain, Sayang. Kamu 1
harus mengerti, aku baru saja dapat mengikhlaskan 57
kepergian Papa dan Renita, aku baru saja
mendapatkan kekuatan untuk mengikhlaskan Papa
menikah dengan perempuan lain dan membawa
adikku satu-satunya dari sisiku. Sekarang, aku
kembali dibelit persoalan pelik denganmu. Dan
rasanya kali ini aku ingin mengalah, aku ingin lepas
dari masalah ini, aku ingin meninggalkanmu, dan
mencoba mengikhlaskanmu, seperti aku pernah
mengikhlaskan Papa untuk memiliki Tante Lita dan
membiarkan Renita yang kusayangi ikut bersama
mereka."
"Sama sekali nggak ada kaitannya urusan
keluargamu denganku."
"Ada, UI, mama dan papamu tidak menerima
aku karena perpecahan keluargaku. Dan bila aku
terus bertahan dan berusaha memilikimu, bahkan
aku akan kembali didera rasa sakit atas perceraian
mereka. Padahal selama ini aku telah mencoba
menerima."
"Sebenarnya, ini ulah Raka, ia terlalu
membesar-besarkan masalahmu, padahal sesungguhnya, ia dendam padamu karena Audri." 58
"Tapi sekarang aku tidak peduli lagi apa
alasannya, yang penting sekarang, aku harus pergi
dan menyingkir dari sisimu agar aku dapat hidup
tenang."
"Bila memang itu yang terpikir olehmu,
baiklah, San, aku tahu aku tidak berhak mencegah
mu. Tapi aku pasti akan sakit sekali. Kita telah
melalui banyak kesulitan, tapi kenapa haru berakhir
kalah seperti ini?"
"Maafkan aku, UI," ucap Sandy giris.
"Tak ada yang perlu dimaafkan,"
"Tapi boleh aku menciummu untuk yang
terakhir kalinya kan, UI?"
Ully mengangguk.
Sandy mengecup lembut keningnya. Tapi
tidak ingin berhenti sampai di situ. Kalau ini hari
terakhir pertemuan mereka sebagai kekasih, Sandy
ingin menjadikan hari ini hari paling indah selama
hidupnya. Dan ia akan membuat hari ini sempurna
dan penuh kesan.
Bibir mungil gadis itu diciumnya hangat "Aku
sangat mencintaimu, Ully, tapi aku tidak setegar 59
harapanmu, maafkan aku," bisiknya di sela-sela
ciumannya.
"Aku mengerti, Sandy. Aku mengerti," sahut
Ully dengan pipi basah.
Sandy mencium air mata gadis itu. Dan pada
saat itulah, dua cowok bertubuh kekar mendobrak
pintu yang berada di ruang tamu di mana mereka
berada.
"Andra! Tomy!" Ully berteriak kaget. Dan
seketika dilepaskannya pelukannya.
"Indah dan romantis sekali, UI." ejek mereka
"Ada apa kalian? Masuk ke rumah orang
tanpa permisi! Nggak tahu sopan santun!"
"Aku datang ke sini karena mendapat tugas
dari Raka," Andra yang menyahut.
"Tugas dari Raka?" tanya Ully penuh benci.
"Ya, mengawasimu."
"Kamu pikir apa aku ini? Aku bukan
tawanan."
"Tapi aku perlu mengawasimu dari dia,"
sahutnya lagi seraya menunjuk Sandy dengan kasar. 60
"Kami teman Raka, jadi wajar bila aku dan
Andra harus melibatkan diri dalam hal ini, bukan?''
ucap Tomy sombong.
"Nggak tahu malu! Mencampuri urusan
keluarga orang!"
"Harusnya Raka dong yang malu, urusan
keluarga melibatkan orang lain. Tapi di sini kita tidak
bicara soal malu atau tidak, yang sedang kami
pikirkan adalah solidaritas antara teman. Kalau
Raka yang harus terus mengawasimu, dia tentu
harus meninggalkan kuliahnya. Jadi, untuk
menolongnya, aku ditugaskannya untuk
menjagamu," Tomy berhenti setelah bicara
panjang. Lalu diliriknya Andra.
"Nah, Sandy! Tinggalkan rumah ini, atau
kamu ingin bibirmu pecah lagi agar tidak dapat
mencium kekasihmu yang cantik ini?"
"Aku tidak akan meninggalkannya di tengahtengah kalian," sahut Sandy marah.
"Jadi kamu ingin kami mengusirmu dengan
kasar? Rupanya kamu menyukai kekerasan Sandy!"
Tomy mengepalkan tinjunya. 61
Ya, Tuhan, selalu kekerasan yang aku hadapi
sejak berada dekat dengan Ully. Kenapa begini?
Sandy mengeluh dalam hati. Dan tiba-tiba saja ia
punya semangat lagi untuk terus bertahan.
Meskipun dia harus mati konyol.
"Pergilah, Sandy," bisik Ully mengerti apa
yang Sandy pikirkan.
"Meninggalkanmu di antara mereka?" Sandy
menggeleng. "Aku nggak akan bisa."
"Memang sepantasnya kamu pertaruhkan
nyawamu untuk kekasih hatimu, Sandy," lagi-lagi
Tomy mengejeknya.
Mendidih darah Sandy. Ia merasa benarbenar ditantang. Dan patutkah ia mundur? Tidak!
Dia tidak boleh mundur!
"Aku memang harus mempertaruhkan nyawaku!"
"Hebat!"
"Tidak, Sandy, jangan, mereka tidak akan
berbuat apa-apa padaku. Mereka kenal baik
keluarga kami. Mereka sahabat-sahabat Raka," kata
Ully. "Jadi pergilah, percayalah, aku akan baik-baik
saja bersama mereka." 62
"Tidak, aku akan di sini, bukan aku yang harus
pergi, tapi mereka."
Tomy maju. "Jangan nekat kamu, Sandy!"
bentaknya seraya mencengkeram krah kemeja
Sandy.
"Hentikan! Aku tidak suka kalian begini cuma
karena aku! Aku juga nggak suka keterlibatan
kalian!" teriak Ully marah.
Bel berdering.
"Buka, Dra," perintah Tomy.
Andra berlari ke pintu. Danny berdiri dengan
gagah di sana.
"Rame banget, Raka-nya mana?" tanya
Danny tenang. Ia berlaku seolah tidak ada apa-apa
di hadapannya.
"Bajingan ini, Dan! Raka menugaskan kami
untuk menyingkirkannya dari rumah ini!" Tomy
kembali membentak Sandy.
"Lepaskan! Kamu tidak boleh berbuat
sekasar itu, Tom!" Danny memulai sandiwaranya. 63
"Kamu bisa berkata begitu karena tidak tahu
permasalahannya," Andra yang menyahut.
"Lalu kenapa harus bersitegang, bicara yang
tenang kan bisa. Ada apa, Ully?"
Ully memandang lama wajah Danny tanpa
menjawab pertanyaan cowok itu.
"Hei! Kenapa memandangiku seperti itu?"
tanya Danny.
"Kamu berada di pihak mana?"
Danny menggeleng, pura-pura bingung.
"Berada di pihak mana? Persoalannya pun aku
nggak jelas."
"Raka tidak pernah cerita tentang Sandy
padamu?"
"Tentu, dia banyak bercerita, sejak dulu kami
selalu saling terbuka."
"Kalau begitu, kamu berada di pihaknya,
bukan?"
Danny menggeleng lagi. "Aku malah prihatin
atas kebodohannya menghalangi cinta kalian. Aku
nggak setuju jalan pikirannya kali ini." 64
"Dapatkah kata-katamu kupercaya, Dan?"
"Kenapa tidak?"
Ully melirik Sandy.
Danny pun melakukan hal sama. "Sandy, kita
bisa bicara baik-baik."
"Tunggu dulu, mereka menantangku," sahut
Badai Di Usia Remaja Karya Marissa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sandy.
"Tomy, Andra, persoalan Sandy, Ully, dan
Raka, biar aku yang atasi, kalian boleh tinggalkan
rumah ini," kata Danny pada kedua temannya itu.
"Tapi tanggung jawab kami pada Raka?"
"Aku yang akan urus."
"Baiklah kalau begitu. Sorry tadi ya, San, kami
cuma menjalankan tugas," Tomy menepuk halus
bahu Sandy.
Sandy tidak menyahut, tetapi menyeringai sinis.
"Yuk, Dra, cabut. Kita pergi, ya," Tomy pamit
pada mereka. 65
"Mari duduk. Dan," kata Ully mempersilakan,
ketika Andra dan Tomy telah keluar. "Kok kamu bisa
kebetulan ke sini, sih?"
"Raka sudah bicara tentang hal ini, dia udah
cerita tentang ini semua, juga tentang Andra dan
Tomy. Makanya aku ke sini, tapi aku nggak nyangka,
kalau ini benar-benar terjadi, tadinya kupikir, Tomy
nggak setuju usul Raka untuk mengeroyok Sandy."
"Mas Raka sudah benar-benar gila, Danny."
"Aku pun sudah berkali-kali menasihatinya,
tapi dia tetap saja tidak mau berhenti memusuhi
Sandy," Danny memandang Sandy pura-pura
simpatik.
"Sebenarnya aku ngerti, dia dendam padaku
karena Audri. Cuma aku nggak habis pikir, kenapa
kesalahanku itu sepertinya tidak terampunkan."
"Sudahlah, lupakan persoalanmu dengan
Raka, sekarang, bolehkah aku membantu kalian?"
tanya Danny.
Sandy memandangnya diam.
"Begini, San, kamu ingin terus jalan bareng
Ully, kan?" 66
Sandy tidak menyahut. Dia bingung, dia ingin
mundur, tapi....
"Masih ingin melanjutkan hubungan kalian,
bukan?"
"Aku memang sempat berpikir untuk me
ninggalkan Ully, tapi tiba-tiba saja aku semakin
tertantang...."
"Jadi kamu tidak akan meninggalkan aku
Sandy?" Ully hampir berteriak karena senang.
"Sudah banyak kesulitan yang kutemui.
Betapa sulit menembus dinding untuk dapat
menggapaimu, haruskah sekarang kutinggalkan?"
"Oh, Sandy...," tak peduli ada Danny di situ
Ully memeluk Sandy.
Danny berpaling tidak senang. Tapi tidak apaapa, aku harus bersabar, bisik hatinya membujuk.
"Kalian ingin selalu menikmati kebahagia
seperti yang tengah kalian rasakan saat ini, kan?"
tanya Danny begitu pelukan sepasang kekasih di
hadapannya saling terlepas.
"Jangan tanyakan itu, Danny," sahut Ully
sedih. 67
"Aku bisa bantu kalian. Sungguh, aku sangat
prihatin atas apa yang menimpa kalian."
"Tuluskah ucapanmu, Dan?"
Danny hampir tersedak mendengar
pertanyaan itu.
"Te... tentu saja," sahutnya tergagap.
"Kenapa harus ragu?"
"Kamu kan sahabat Mas Raka, malah
sahabatnya yang terdekat."
"Tapi ini nggak berarti pikiran kami selalu
sejalan, UI," kilah Danny.
"Kalau begitu, katakan, apa yang ingin kamu
lakukan untuk kami?"
"Begini, UI, mulai hari ini, kalian akan selalu
dapat bertemu dengan tenang dan aman, aku yang
akan atur."
"Caranya?" Ully bersemangat.
"Kalau kalian ingin nonton, Sandy bisa tunggu
Ully di suatu tempat, sementara, aku jemput Ully ke
sini."
"Ide bagus, kamu setuju, San?" 68
Sandy tidak menyahut. Ia tidak percaya
begitu saja akan usul Danny.
"Tapi kamunya ikut nonton nggak?"
"Terserah kalian, dong, kalau diajak mau,
kalau nggak, nggak apa-apa, aku bisa tunggu di
suatu tempat, juga untuk mengantarkanmu
pulang."
"Sungguh kamu akan melakukan itu untuk
kami?" Ully hampir tidak percaya.
"Kenapa ragu? Saya menyayangimu sejak
dulu, bukan? Aku telah menganggapmu sebagai
adik."
"Tapi apa kamu tidak merasa mengkhianati
Raka, Dan?" tanya Sandy kemudian. Danny
menggeleng.
"Kalau ketangkap basah?"
"Kita tanggung bersama, setuju?"
"Kamu baik sekali, Dan," ucap Ully haru.
"Ya, kamu baik sekali," timpal Sandy. Danny
tersenyum. "Aku suka kalian, aku simpatik dan aku
ingin membantu kalian." 69
"Terima kasih, Danny." Danny mengangguk.
Danny tersenyum lagi. Sayang Sandy dan Ully tidak
tahu apa arti senyum itu yang sebenarnya.
*** 70
5 Danny benar-benar menjalankan rencananya. Tiap malam Minggu, dijemputnya Ully. Mereka
lalu jalan bertiga, Ully, Sandy, dan Danny sendiri.
Mereka kelihatan begitu akrab. Sebenarnya, Danny
merasa sakit tiap kali melihat Sandy dan Ully
bermesraan di hadapannya. Ia dibakar rasa
cemburu.
"Lagian konyol," damprat Raka marah.
"Ngapain kasih mereka kesempatan untuk
bermanis-manis seperti itu, di depan kamu lagi,
kenapa nggak serobot langsung aja, sih? Tendang
Sandy, nggak perlu pura-pura ngebantu segala."
"Aku nggak mau begitu, Ka, yang kuinginkan
adalah, Ully cinta padaku. Aku ingin merebut hati
Ully tanpa Ully merasa dipaksa. Aku ingin, Ully
bosan dengan pacaran ditungguin begini, atau
Sandy-nya yang merasa nggak enak lalu kabur. Dan
kalau di antara mereka sudah timbul perselisihan,
aku masuk pelan-pelan," Danny memberi alasan.
"Itu butuh waktu lama, Dan. Emangnya kamu
mau bersabar?" tanya Raka kesal. 71
"Untuk cinta."
"Gombal!" sewot Raka marah. "Yang
kuinginkan sebenarnya bukan itu, tapi meneror
Sandy supaya pergi dari Ully dengan hati sakit."
"Kalau begitu kenapa pilih aku? Aku kan
serius mencintai Ully, jadi aku nggak mungkin dong
memakai kekerasan, karena aku khawatir Ully akan
membenciku."
Sialan! Maki Raka dalam hati. Aku telah
memilih orang yang salah....
"Kalau begitu, udah deh, Dan, kamu nggak
usah terusin rencanaku, aku mau cari yang lain."
"Jangan gila kamu, Ka!"
"Kenapa marah?"
"Tentu saja aku marah, kamu sudah
memberiku jalan dan harapan untuk dapat memiliki
Ully, tapi ketika aku sedang memulai, kamu
seenaknya saja menghentikan aku."
"Bukan begitu masalahnya, tapi caramu kelewat halus. Jangan-jangan, mereka kian rapat dan
usahaku menyakiti hati Sandy jadi gagal." 72
"Kamu harus bersabar, suatu saat, Sandy
akan gigit jari seperti kamu ketika dia berhasil
merampas Audri darimu."
"Cepat lakukan itu, Danny! Kalau tidak, aku
akan melarangmu mendekati Ully!" ancam Raka.
"Sabar dong, Ka, cuma masalahnya, apa
kamu setuju bila aku nanti harus menjadi pacar
Ully?"
"Jangan tanyakan itu, yang penting bagiku
saat ini, Sandy pergi dari kehidupan Ully."
"Itu pasti akan terjadi!" kata Danny
bersemangat. "Tapi kalau setelah itu kamu larang
aku dekati Ully, kurusak adikmu." Raka tersentak.
Danny tersenyum dingin. Ah! Raka benar-benar
telah memilih orang yang salah!
*** "Malam ini, mau kau jalan denganku tanpa
Sandy?" tanya Danny ketika malam itu ia datang ke
rumah Ully. 73
"Kamu menginginkan imbalan atas jasajasamu?"
"Jangan berkata begitu, UI."
"Lalu, untuk apa kita pergi tanpa Sandy?"
"Hanya untuk menghilangkan kecurigaan
Raka. Siapa tahu ada yang melihat kita jalan bertiga
lalu melaporkannya pada Raka."
"Lalu Sandy?"
"Kita telepon dia, aku harus minta izin dia
untuk mengajakmu malam ini, kan?"
"Ya."
"Oke, kita pergi sekarang?"
"Tapi cuma kali ini aja ya kita pergi berdua?"
"Kelihatannya kamu keberatan, UI," kata
Danny tersinggung.
"Ng... ah, nggak, kok."
"Benar?"
"He-eh," angguk Ully malas.
"Bilang Mas Raka dulu, ya?" 74
"Ya."
Ully ke dalam, minta izin pada orangtuanya
dan Raka, untuk pergi dengan Danny. Mereka
mengizinkan, seperti biasanya.
"Tapi hati-hati dan jangan pulang terlalu
malam," pesan Mama.
Ully mengangguk sedih. Kenapa mereka lebih
percaya Danny daripada Sandy?
"Yuk, Ka, kami berangkat," pamit Danny pada
Raka yang mengantar mereka sampai halaman.
Raka menghampiri Danny. "Dengan Sandy?"
tanyanya berbisik.
Danny menggeleng.
"Awas ya, Dan, kalau kamu macam-macam
pada adikku, aku nggak bakal kasih ampun kamu,"
ancamnya masih berbisik.
"Sayang juga rupanya kamu pada adikmu,"
ejek Danny.
"Ayo dong berangkat," Ully menyeret lengan
Danny mendekati mobil Danny. 75
"Yuk, Ka, jangan khawatir, Ully aman
bersamaku," Danny meninju ringan bahu Raka.
Raka cuma tersenyum hambar.
Danny pun membukakan pintu Jeep-nya
untuk Ully. Gadis itu melompat naik. Dan sekali lagi
mereka melambai pada Raka sebelum mobil itu
meninggalkan halaman.
"Ke mana kita?" tanya Danny begitu mobil
telah meluncur di atas aspal.
"Maumu?"
"Terserah kamu, dong."
"Nonton aja, ya?"
"He-eh, deh."
"Coba kamu dengan Sandy seaman ini ya, UI,
pasti asyik," kata Danny kemudian.
Ully diam, dia mendadak murung.
"Nggak capek pacaran kayak kamu, UI?"
"Capek, Dan," keluh Ully.
"Terus, rencana kalian gimana? Terus
bertahan dengan bergantung padaku seperti ini? 76
Atau punya rencana lain? Nekat misalnya? Atau
berusaha menyadarkan keluargamu untuk
menerima Sandy?"
Ully menggeleng, "Masih bingung, Dan, aku
kan masih sekolah, masih butuh orangtua saya,
kalau udah selesai kuliah nanti, aku mungkin mau
kabur aja sama Sandy kalau mereka nggak juga mau
mengerti kami."
"Lama dong, UI, kalau keburu bosan
gimana?"
"Ya nggak apa-apa, makanya aku nggak mau
ngambil keputusan apa pun sekarang, takut nyesel.
Nggak apa-apa kalau bosannya sekarang, coba
kalau udah telanjur kabur lalu merasa bosan dan
kesal pada Sandy, kan rugi. Sekolah nggak selesai,
ortu udah nggak nerima, Sandy pergi dariku. Repot,
kan? Makanya aku nggak mau gerasak-gerusuk.
Sebesar apa pun cintaku pada Sandy saat ini, aku
percaya, cinta Mama, Papa, dan Mas Raka lebih
besar dan lebih suci lagi."
"Kalau begitu, tinggalkan saja Sandy, lalu
pacaran denganku, rasanya aku nggak kalah cakep,
UI," canda Danny dengan tawa 77
"Jangan konyol kamu!" Ully mencubit
lengannya.
Danny berteriak senang. "Lagi dong, UI."
Ully cemberut.
Badai Di Usia Remaja Karya Marissa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mau kan pacaran denganku?"
"Kamu lebih parah daripada Sandy, tahu?
Dan Raka pun tahu itu."
"Kalau untuk nyari pacar meski sempurna
mata kamu sekaligus di mata keluargamu, ngga
bakal kamu dapetin, UI."
"Kamu benar."
"Kalau aku benar, terus gimana?"
"Apanya?"
"Usulku tadi?"
"Jangan ngaco kamu!"
Danny diam. Tapi ia tidak putus asa, suatu
saat nanti, Ully harus dapat dimilikinya.
*** 78
Ully kaget mendapatkan Sandy di depan
pintu rumahnya pagi itu.
"Kenapa datang, San?"
"Nggak suka?" tanya Sandy dingin. Ully
menggeleng.
"Cuma, kamu tahu apa akibatnya, kan?"
"Aku nggak takut."
"Tapi kamu nggak pernah menang berkelahi
dengannya, kan?" teriak Ully.
"Jadi maumu aku terus bergantung pada
Danny?!" Sandy berteriak lebih keras. "Aku bosan,
UI! Aku bosan pacaran ditungguin! Aku juga bosan
tidak pernah punya kesempatan banyak untuk lebih
dekat dengan kamu karena selalu ada Danny!"
"Tapi Danny kan bantu kita, bukan
menghalangi!"
"Tapi Danny mencintaimu, tidakkah kamu
sadari itu?"
"Kamu terlalu pencemburu! Kalau Danny
cinta aku, ngapain dia bantu kita?" 79
"Ngambil hati kamu, dong! Ngapain lagi?
Cuma merendahkan harga diriku! Dan sepertinya
dia ingin bilang, kalau aku cuma seorang pengecut!
Dan tanpa bantuannya, seolah aku nggak bisa
dekatin kamu! Jadi tolol aku di depannya, kan?!"
"Itu cuma perasaan kamu aja! Dia bantu kita!
Dia nggak bermaksud meremehkanmu!"
"Dia bukan temanku, tapi sahabat Raka!"
"Tapi dia memihak pada kita!"
"Padamu! Dia cinta kamu, aku dapat
merasakan itu dari caranya memandangmu."
"Kenapa kamu begitu, Sandy? Ditolong
bukannya berterima kasih, malah berkata seperti
itu, malah seenaknya mencurigai dia. Kamu nggak
tahu diri, Sandy! Kamu sombong! Padahal kamu
nggak punya nyali sedikit pun menghadapi Raka.
Bahkan telah berkali-kali kamu menyatakan untuk
segera menjauhiku. Kalau pikiran itu sekarang
kembali terlintas di kepalamu, pergilah! Aku pun
mulai bosan padamu!"
"Baik! Kalau memang itu maumu!" Sandy
memutar tubuh, lalu melangkah panjang-panjang
meninggalkannya. Ully memandang punggungnya 80
dengan mata basah. Dia terlalu keras bicara tadi.
Ully menyesal, tapi Ully terlalu angkuh untuk
memanggilnya kembali.
Ully berbalik, berlari ke kamarnya dan
menumpahkan tangisnya di sana.
Bila ini memang harus berakhir, Ully ikhlas,
tapi mengapa harus dengan cara seperti ini?
*** "Mulai hari ini, kamu nggak perlu hubungi
Sandy lagi, Dan," kata Ully pada Danny ketika hari
itu Danny ke rumahnya.
"Kenapa?" tanya Danny heran campur
senang.
Ully menggeleng pelan. Wajahnya tersaput
kabut, sedih, dan murung.
"Mau mengatakannya padaku?" bujuk Danny
lembut.
"Kami bubar," jelas Ully makin murung. 81
"Kenapa harus begitu?" tanya Danny purapura ikut sedih.
"Dia bosan bila tiap ketemu harus ditungguin
kamu, aku juga bosan, kenapa dia pencemburu,
cengeng, dan rapuh."
"Tapi kalian saling cinta, bukan?"
"Tapi mestikah aku pertahankan cinta yang
seperti ini, Dan?" tanyanya hampir menangis.
Danny menyentuh jemarinya. "Aku telah
berusaha membantu sebisaku, bahkan rela
kukhianati Raka, tapi kalau memang Sandy tidak
suka dan kalian memilih putus, aku nggak bisa lagi
berbuat apa pun."
"Memang tidak ada lagi yang harus kamu
perbuat."
"Tapi aku masih boleh datang ke rumah ini
untukmu, kan?"
Ully mengangguk. Saat-saat seperti ini, saat
hatinya sedang merasa sepi dan kehilangan, Ully
memang butuh seseorang. Seseorang yang mau
mengerti dirinya. Seseorang yang baik, yang tegar
dan seseorang yang sudi menyediakan bahunya 82
untuk dia tumpahi air mata. Dan bila Danny
menyediakan dirinya untuk itu semua, Ully tentu
akan menerimanya dengan senang.
"Kalau kamu butuh aku, kalau kamu ingin
bercerita atau menangis, aku selalu siap
menemanimu, UI."
"Sungguh?"
Danny mengangguk.
"Terima kasih, Dan."
Danny menggenggam erat jemari Ully.
"Apa kamu tidak bosan selalu aku repotkan?"
"Aku menyayangimu, kamu adik Raka, dan
kamu tahu aku anak tunggal, kan? Aku nggak punya
siapa-siapa untuk kutumpahkan kasih sayang, UI.
Jadi aku boleh menjadikanmu seseorang yang
tersayang untukku, kan?"
Ully mencoba tersenyum dalam kesedihannya. Dan ia mengangguk terharu.
Danny tersenyum lebar. "Raka pasti cemburu
adiknya kurebut," katanya dengan tawanya yang
enak didengar. 83
"Sandy yang cemburu."
"Jangan sebut namanya bila itu hanya akan
membuat hatimu jadi sakit."
"Tapi aku belum dapat melupakannya, Dan."
"Aku tahu, tapi kamu telah bertekad untuk
itu, kan?" tanya Danny berharap kepala mungil di
hadapannya mengangguk.
Dan Danny tidak kecewa, karena Ully benarbenar mengangguk.
"Nggak ada gunanya melanjutkan cinta
seperti ini, kan. Dan?"
"Ya, kupikir juga begitu," sahut Danny
berusaha tenang, padahal hatinya bersorak riang.
"Saya sadar, Dan, melupakan Sandy. adalah
sesuatu yang amat berat. Terlalu banyak kenangan,
dan segalanya terlalu manis. Bahkan aku merasa, di
sepanjang hidup saya, dialah cowok terbaik yang
pernah saya kenal. Sungguh, Dan, sebenarnya aku
menyesal mengapa ini harus terjadi, mengapa
kutanggapi dengan emosi kerapuhan jiwanya
menghadapi Raka dan keikutcampuranmu. Tapi aku
memang nggak punya cara lain, daripada kami 84
harus bertengkar sementara persoalan semakin
pelik menjerat kami, bukankah lebih baik kami
memilih pisah, kan?"
"Kamu sudah cukup dewasa untuk
mengambil keputusan sendiri."
"Tapi kuambil keputusanku dalam keadaan
emosi, aku tahu pada akhirnya aku akan menyesal,
tapi aku harus bagaimana?"
"Tentu saja melupakannya. Apa kamu mulai
goyah dan berkeinginan untuk kembali lagi pada
Sandy?"
Ully menggeleng sedih.
Danny mendesah. "Oke, daripada terus
murung dan sedih, bagaimana kalau kita mancing?
Saya punya kolam yang penuh dengan berbagai
jenis ikan."
"Tentu menyenangkan."
"Mau ikut aku, kan?"
"Ya."
"Kita ke rumahku sekarang, ya?"
Sekali lagi Ully mengangguk. 85
Mereka segera keluar. Dan segera pula Danny
meluncurkan Jeep-nya untuk pulang. Bahagia
rasanya hati Danny. Usahanya telah mendekati
keberhasilan. Dan ia tidak merasa telah berbuat
curang, walaupun ia akui, ia tengah memancing di
air keruh. Tapi tidak apa, yang penting ia tidak
pernah merasa telah memaksa Ully. Tidak juga
merampasnya dari Sandy dengan kasar.
Danny menyukai Ully sudah sejak lama. Tapi
ia tidak pernah memiliki kesempatan untuk
mendekatinya, karena Raka selalu mencegahnya.
Raka tahu siapa Sandy. Danny play boy, Danny suka
mempermainkan banyak gadis. Tapi sebenarnya,
Danny pun punya cinta suci. Dan cinta itu, telah
dipersembahkannya pada Ully. Dia telah bertekad,
Ully adalah gadis terakhirnya, bila Ully sudi
membalas cintany a. Dan dia memang berharap
banyak pada gadis itu. Dan tentang Raka, dia tidak
secengeng Sandy, dia akan singkirkan dan taklukkan
Raka, asal Ully sanggup mempercayai dan
menggantikan Sandy di hatinya dengan dirinya.
Danny berhenti di depan rumahnya.
Bergegas ia turun dan membawa Ully masuk.
Rasanya, ini hari paling menyenangkan untuknya. Ia 86
senang Ully mau diajaknya tanpa menyertakan
Sandy dan bukan karena Sandy.
"Ma, ini Ully, manis, ya?" katanya
memperkenalkan gadis itu pada mamanya.
Wanita setengah tua yang masih kelihatan
cantik itu tersenyum lembut pada Ully.
"Dia adik Raka, Ma," kata Danny lagi.
"O, ya?"
"Ya, Tante."
"Pantes cantik, Raka-nya juga kan ganteng,"
puji mama Danny.
Ully cuma tersenyum.
"Kami mau mancing di belakang, Ma, boleh kan?"
"Silakan. Tapi kok cuma berdua aja?"
"Ya nih, Ma, lagi kepengen berdua aja," sahut
Danny disertai tawa.
Ully senang melihat keakraban mereka. Tapi
Ully sedih bahkan iri ketika membandingkan
mereka dengan dirinya. Mama tidak semanis itu 87
sekarang. Mama berubah, dan itu semua karena
Raka dan Sandy.
Danny menyeret lengannya ke belakang.
Ully mengikuti langkah lebar cowok itu.
Dan setelah mengambil alat-alat pancingnya,
mereka pun menuju kolam. Kolam itu luas, tenang,
dan berair jernih. Di tepinya, rimbun pepohonan.
"Sejuk dan indah," komentar Ully kagum.
"Gimana? Mau mancing atau cuma dudukduduk aja di bawah pohon?"
"Mancing sambil duduk di bawah pohon,
dong," jawab Ully tersenyum manis.
"Ayo," Danny membimbing mendekati
kolam.
"Tapi pancingnya satu aja ya, Dan, kita
pegang bareng," usul Ully.
"Oke,"
Danny mempersiapkan pancingnya, memasukkan umpan ke mata kail. Dan setelah selesai,
ia melemparkan tali pancingnya ke kolam. 88
"Kalau dapatnya ikan yang gede, kita bakar,
ya. Siang ini, kita nikmati ikan bakar berdua,
sebanyak-banyaknya, oke?"
"Wah, menyenangkan sekali, aku udah nggak
sabar ingin segera menikmatinya."
Dan siang itu, menjadi siang yang indah dan
penuh kesan untuk mereka berdua. Ully merasa
begitu dekat dengan Danny, merasa aman dan
terlindungi di sisinya. Dan dari Danny, ia dapati
keceriaan yang sama sekali tidak pernah
dipikirkannya sebelumnya.
Mereka menarik pancing bersama ketika
umpan termakan ikan, lalu berteriak dan tertawa
bersama tiap kali mendapat ikan besar seperti
harapan mereka. Dan mereka pun melepaskan
bersama pula mulut ikan yang menelan kawat
pancing. Tapi bila ikan yang mereka dapati kecil,
mereka melemparkannya kembali ke kolam. 89
6 Raka sedang mengaduk-aduk kaos di couti
ternya ketika tiba-tiba saja punggungnya ditepuk
seseorang. Raka menoleh, dan di belakangnya, Airin
berdiri dengan senyumnya yang manis.
"Kamu, Ai, kirain siapa," kata Raka tertawa
"Ngeborong nih, Ka?" tanya Airin.
"Nggak, cuma nyari T-shirt warna hitam.
Badai Di Usia Remaja Karya Marissa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bantuin dong. Kamu sama siapa?"
"Sendiri."
"Sama. Kalau gitu, gabung denganku, deh."
"Boleh."
"Kamu belanja apa, sih?"
"Cari baju untuk ke ultahnya Risa nanti
malam. Kamu juga datang, kan?"
Raka menggeleng. "Nggak kali, Ai, males
kayaknya, aku paling nggak suka pesta, berisik,
bising."
Airin tertawa. "Norak kamu." 90
"Nggak tahu deh, Ai, kayaknya males aja tu."
"Tapi kalau nganter aku mau, kan?"
"Emang kamu nggak punya teman? Didit?"
"Didit pulang ke Garut, nunggu wesel ortunya
nggak muncul-muncul, sementara dia perlu uang
banyak untuk beli buku dan bayar kost, jadi pulang."
"Ooo, tapi ntar Didit-nya marah kalau dia
tahu kamu aku yang nganter ke pesta Risa"
"Nggak mungkin, dia malah pasti akan
berterima kasih, karena aku ada yang jaga."
"Oke, deh, tapi Ai...."
"Apa?"
"Cariin saya cewek, dong, masih kosong, nih."
"Boleh, tapi benar kamu mau anter aku,kan?"
Raka mengangguk.
"Tapi sekarang bantu aku nyari T-shirt dong,
Ai, yang hitam. O ya, kamu sendiri udah dapat baju
yang kamu cari?"
"Udah, nih." katanya seraya menunjukkan
kantong plastik di tangannya." 91
"Kadonya?"
"Udah siap dari kemarin."
"O, ya?"
"He-eh."
Mereka kemudian sibuk mencari kaos yang
Raka inginkan. Dan setelah lama memilih, Raka pun
mendapatkan kaos warna hitam yang diinginkan
nya. "Cuma ini? Nggak perlu apa-apa lagi?" tanya Airin.
"Kayaknya nggak ada, tuh."
"Baju untuk ke pesta?"
"Ada. Biarpun aku nggak suka pesta, aku lalu
siapkan pakaian yang pantas aku pakai untuk acaraacara macam itu. Biasanya Ully yang pilihkan."
"O, ya, gimana kabar Ully?"
"Baik."
"Masih dengan Sandy?"
"Entahlah, o ya, apa kamu pernah
mendengar cerita tentang mereka?"
Airin menggeleng. 92
"Kamu ingin mendengarnya?"
"Kalau kamu tidak keberatan menceritakannya."
"Aku tidak restui cinta mereka, aku benci
Sandy, dia pernah merampas Audri dariku,
walaupun saat itu Audri memang belum resmi jadi
pacarku, tapi kemungkinan itu ada kalau saja di
tidak menghalangi jalanku. Dan sekarang, kubalas
sakit hatiku dengan menghalangi cintanya pada
Ully."
"Jahat sekali kamu. Itu kan sama artinya
kamu melukai hati adikmu. Padahal aku tahu, Ully
sangat mencintai Sandy. Belum lama ini aku ketemu
mereka, kayaknya mereka mesra sekali kupikir cinta
mereka berjalan mulus, nggak tahunya, kamu
malah tega menghalangi mereka. Terus orangtuamu gimana?"
"Sependapat denganku, tapi bukan karena
Audri. Mereka nggak suka Sandy, karena berasal
dari keluarga yang kacau. Papanya kawin lagi dan
mamanya janda sekarang. Mamanya sibuk di salon
dan genit."
"Kamu tahu kalau kamu sudah keterlaluan
dan tidak adil memperlakukannya?" 93
"Aku nggak peduli. Eh! Gimana nih kaosku?
Bagus kan yang ini?" Buru-buru Raka mengalihkan
pembicaraan mereka. Raka segera sadar, ia bicara
terlalu jauh. Dan lagi, ini departmen store, bukan
restoran. Dan sama sekali bukan tempat yang
nyaman dan layak untuk bicara panjang seperti ini.
"Kaos ini bagus," komentar Airin. "Keren."
Raka kemudian meminta bon pada mbak yang jaga.
"Setelah ini kita ke mana?" tanva Airin sambil
melangkah ke kassa.
"Tentu saja pulang, atau kamu punya ide lain?"
"Nggak, aku ingin segera sampai rumah."
"Ingin segera mencoba bajumu, kan?"
Airin tersenyum. "Tahu aja kamu, Ka."
*** Ketika malam itu Raka dandan rapi, Ully diam
saja. Tidak memberi komentar, apalagi mengolokolokinya, padahal jarang sekali Raka dandan begitu. 94
Selama ini. Raka lebih suka memakai jeans dengan
kaos hitam. Penampilannya pun selalu urakan. Tapi
malam ini, rapi dengan hem lengan panjang dan
pantalon warna hitamnya.
Setelah ia merasa yakin dengan dandanannya, ia segera ke rumah Airin.
Gadis itu sudah siap dan sudah menunggunya
di teras.
"Lama nunggu, ya?" tanya Raka seraya
membukakan pintu mobilnya untuk Airin.
"Nggak, kok," sahut Airin.
"Wah, penampilanmu oke banget, Ka," lanjut
Airin memuji.
"Kamu juga, kamu cantik sekali."
"Terima kasih."
Airin masuk. Raka menyusulnya. Dan
sebentar kemudian, mobil itu pun meluncur ke
rumah Risa.
Pesta sudah hampir diumulai ketika mereka
datang. Risa bahkan sudah meniup lilin dan
memotong tart ultahnya. 95
"Ini karena aku, aku dandan lama sekali, Ully
nggak bantuin, sih," sesal Raka.
"Nggak apa-apa," sahut Airin.
Mereka berjalan menghampiri Risa.
"Selamat ya, Ris," ucap Airin seraya mencium
kedua belah pipi Risa. "Maaf kami datang
terlambat."
"Nggak apa-apa, kamu sudi datang saja sudah
cukup menyenangkan aku," kata Risa.
"Selamat ya, Ris," gantian Raka yang
memberinya ucapan.
"Terima kasih. Kok datang bersama, ada apaapanya. nih?" goda Risa.
"Cuma gantiin Didit, boleh dong," sahut Raka.
"Jadi kalau ada Didit kamu nggak datang
dong, Ka," rajuk Risa. Raka tersenyum.
"Kamu jahat memang, Ka, nggak pernah
menghargai undangan teman."
"Tapi malam ini aku datang, kan?" 96
"Tapi pasti bukan keinginanmu, Airin yang
paksa, kan?" kata Risa lagi.
"Tapi yang penting kan datang. Atau kamu
mau aku pulang lagi?"
Risa tertawa. "Jangan konyol kamu. Ayo dong
ambil minumnya."
Airin membimbingnya, mengambil minum,
lalu duduk di antara tamu yang lain.
"Cariin cewek cakep dong. Ai," kata Raka.
"Sabar, dong."
Ace of Base dengan The Sign-nya
menghentak, mengisi ruangan, dan mengundang
mereka untuk menggoyangkan badan.
"Turun, yuk," Airin mengulurkan tangannya.
Raka menggeleng. "Lagi nggak mood, Ai,"
tolak Raka. "Ajak yang lain aja, deh, lagian nggak
enak sama Didit, ah."
"Nggak mau nggak mau aja, ngapain bawabawa Didit, sih. Didit kan jauh." 97
"Tapi kan tetap nggak enak. Nanti kalau ada
yang cerita macam-macam gimana? Emangnya
kamu siap pisah sama Didit cuma karena aku?"
"Nggak, dong, Didit tuh jauh lebih berarti dari
kamu, tahu?!"
"Makanya jangan cari-cari masalah."
Airin cemberut.
Musik kian menghentak, suasana pun terasa
kian semarak, hampir semua tamu sudah turun
untuk jojing. Tapi Raka masih tetap duduk dengan
gelas di tangannya.
"Kalau yang itu gimana, Ai?" Raka menepuk
tangan Airin, lalu ditunjuknya seorang gadis yang
duduk sendiri di seberang sana.
"Jangan nunjuk-nunjuk gitu dong, Ka, kalau
dia nengok nanti kita disangka yang nggak-nggak
aja."
"Tapi cewek itu manis sekali, Ai. Kamu kenal
dia?" Airin menggeleng.
"Yaaa," Raka mengeluh. 98
"Tenang, aku tanya Risa, kamu tunggu aku di
sini, ya?" Airin berdiri, lalu melangkah pergi
meninggalkannya. Beberapa saat kemudian ia
kembali bersama Risa.
"Kata Airin kamu perlu aku? Ada apa?" tanya
Risa.
"Nggak, kok, aku cuma mau kenal dengan
gadis itu, siapa sih?" Raka menunjuk ke arah gadis
cantik yang sejak tadi diperhatikannya."
"Dia sepupuku, kenalan sendiri dong,"
tantang Risa.
"Dia datang sendirian ke sini, kan?"
"He-eh."
"Boleh kan aku deketin dia?"
"Kalau cuma berteman, boleh, tapi jangan
lebih dari itu, ya? Kamu akan kecewa," Risa
memberinya peringatan.
"Kok gitu, Ris?"
"Udah deh, nggak usah banyak nanya, kalau
ingin tahu lebih jelas tentang dia dan kenapa aku
melarangmu melangkah terlalu jauh untuk 99
mendekatinya, tanyakan saja langsung pada
orangnya, tapi maaf, saya nggak bisa kenalkan
kalian, kamu aja yang maju ke sana."
"Nantang, nih?"
Risa senyum.
Raka bangkit, ia berjalan ke arah gadis itu.
Sesampai di dekatnya, diulurkannya tangannya
tanpa bicara. Lama tangannya mengambang di
udara tanpa sambutan. Hingga akhirnya, gadis itu
mengangkat wajahnya dan memandang pada Raka.
Raka tersenyum manis padanya. Dan gadis
itu membalasnya tak kalah manis. Lalu dengan
manis pula, disambutnya uluran tangan Raka, dia
berdiri. Kemudian dengan anggun, ia melangkah ke
sisi Raka.
Sebentar kemudian, keduanya telah berbaur
di lantai dansa, menari lincah seperti yang lain.
"Aku belum tahu namamu," kata Raka sambil
menggoyangkan tubuhnya.
"Kamu ingin tahu?" tanya gadis itu ramah.
"Itu pasti." 100
"Panggil saja aku Tasya. Kamu?"
"Raka," sahut Raka.
"Kamu teman Risa?"
"Ya, dan kamu sepupunya, kan?"
"Kok tahu?"
"Risa yang kasih tahu."
"Yang datang denganmu tadi, pacarmu?"
Raka menggeleng. "Temanku."
"Ooo."
"Senang rasanya dapat kenal kamu dan dapat
bersama-sama malam ini. Apa kita dapat bertemu
lagi kapan-kapan?"
Wajah cantik itu mendadak murung. Dan di
menggeleng. Ia bahkan menghentikan gerakan nya.
Ia diam. Diam dan benar-benar kelihatannya
bersedih. Raka juga berhenti. Ia melangkah lebih
dekat pada Tasya.
"Apa aku menyinggung perasaanmu, Tasya?"
tanya Raka hati-hati. 101
Tasya menggeleng dan mencoba tersenyum
Tapi Raka tahu, senyum itu begitu dipaksakan.
"Kita duduk?" kata Raka kemudian. Gadis itu
mengangguk Mereka lalu menghampiri kursi
kosong dan duduk di sana.
"Rasanya, saya langsung suka padamu, Raka," Aku Tasya jujur. "Ah, kelewat polos dan jujur
bila kuungkapkan ini sekarang, tapi aku memang
suka perkenalan ini, suka pada keramahanmu. Dan
rasanya, aku akan semakin suka andai kita bisa
berteman. Tapi aku tahu itu tidak mungkin."
"Kenapa?" tanya Raka ingin tahu.
"Minggu depan, aku harus menikah."
Tersentak Raka mendengar itu. Ah, mestinya
Raka tak perlu kaget, tidak perlu merasakan apa
pun, bukankah ia baru saja kenal dengannya? Tapi
entahlah, pertemuan pertama ini telah memberi
arti lain di hati Raka. Walau pertemuan mereka baru
Badai Di Usia Remaja Karya Marissa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekejap, Raka sempat membangun harapanharapan manis di hatinya. Hadapan untuk
melangkah lebih jauh di sisi gadis yang baru
dikenalnya itu. Tapi bangunan yang belum terwujud
itu harus hancur seketika. 102
"Kamu percaya aku suka kamu, Raka?"
Ini konyol, tapi tak ada yang Raka perbuat
kecuali mengangguk.
Tasya tersenyum getir.
"Aku memang tidak tahu diri, padahal kita
baru saja kenal" Dia berdiri, lalu melangkah cepat
meninggalkannya.
"Tasya!" Raka berseru memanggilnya. Tasya
mempercepat langkahnya, menyelinap di antara
tamu-tamu yang lain, lalu mengilang dari
pandangan Raka.
Raka memutar kembali tubuhnya, lalu di
hempaskannya tubuhnya ke kursi. Airin
menghampirinya.
"Ada masalah?"
"Konyol, baru kenal udah ngerepotin, pulang
yuk, Ai," katanya kesal.
"Kamu kenapa, sih? Dia ngomong apa?" Raka
menggeleng,
"Pulang, yuk." 103
Karena dilihatnya Raka pusing sekali, Airin
pun mengangguk.
*** 104
7 Walaupun pertemuannya dengan Tasya
sudah dua hari berlalu, Raka masih mengingatnya.
Raka bahkan terus saja dibayangi wajah
melankolisnya. Dan karena keinginannya untuk
bertemu Tasya terus mendesak-desak di rongga
dadanya, Raka pun nekat ke rumah Risa malam itu.
Ia berharap, melalui dia Raka dapat bertemu dan
kembali bicara panjang dengannya.
"Aku heran, kenapa aku merasa telah
mengenalnya berabad-abad," kata Raka pada Risa.
"Aku merasa dia begitu dekat dengan kehidupanku.
Apa jatuh cinta ya, Ris? Atau cuma kasihan dengan
nasibnya?"
"Aku tidak tahu, tapi paling tidak, kamu
sangat memperhatikan dan mengkhawatirkannya.
Dan itu artinya, kamu sayang padanya."
"Lalu, kamu pikir apa yang harus aku
perbuat?"
"Kukira tidak ada. Dia akan segera menikah." 105
Raka menghembuskan napasnya keras. Dan
ganjalan di dadanya terbang walau tidak
seluruhnya. Dia meraih gelas di atas meja, lalu
diteguknya isinya sedikit.
"Aku ingin ke rumahnya, kamu mau
mengantarku?" cetus Raka tiba-tiba.
"Kamu mau ke rumahnya? Apa itu tak terlalu
nekat?"
"Aku tidak akan melakukan apa pun di sana,
aku cuma ingin ketemu."
"Pasti sulit, dia kan harus mempersiapkan diri
untuk pernikahannya yang tinggal beberapa hari
lagi."
"Gila, bagaimana mungkin aku harus terlibat
ke dalam permasalahannya ya, Ris?" keluh Raka
galau.
"Aku sendiri pun sama sekali tidak menduga.
Tapi sudahlah, kupikir, sebaiknya kamu lupakan saja
Tasya. O, ya ada adiknya kalau kamu mau. Lebih
cantik, aku yakin kamu akan suka, cuma saja, aku
nggak percaya kalau jalanmu mulus mendekatinya.
Keluarga itu termasuk materialistis. Kekayaan
orangtuamu, masih belum berarti apa-apa untuk 106
bisa masuk ke dalam keluarga itu, tapi kamu boleh
coba."
Raka memperhatikan Risa penuh minat.
"Mau kan coba-coba? Kukira Alysa, adik
Tasya masih sendiri, kok."
"Oke deh, tapi kamu mau antar aku ke sana,
kan?"
"Tentu. Sekarang?"
"Boleh."
Raka berdiri setelah meneguk kembali isi
gelasnya hingga tinggal separo.
*** Sambutan lelaki itu sama sekali tidak ramah.
Tidak seperti ketika Raka datang dengan Risa
sebulan yang lalu,
"Cari siapa? Kamu teman Tasya, kan? Dan
kamu tahu Tasya sudah menikah, kan?" Lelaki itu
memberondongnya dengan pertanyaan- 107
pertanyaan yang sama sekali tidak enak di telinga
Raka.
"Saya teman Alysa, Oom," Raka berusaha
untuk tetap tenang dan sopan.
"Ooo, jadi kamu mau pindah ke Alysa setelah
gagal mendekati Tasya?" Tajam sekali suara itu.
"Aku... aku cuma berteman, apa tidak boleh.
Oom?"
"Alysa hanya boleh bergaul dengan teman
kuliahnya, itu pun bila ada urusan seputar kampus,
di luar itu, tidak!"
Gila! Sombong!
"Dan cowok seperti kamu ini, sama sekali
bukan tipe Alysa." Ditelusurinya tubuh Raka dari
atas sampai bawah. T-shirt hitamnya, jeans
belelnya, dan sepatunya tidak menarik di mata
lelaki itu, kesannya kacau.
Melayang pikiran Raka ke Sandy. Seterhina
inikah perasaan Sandy ketika Mama melarangnya
menemui Ully? Sesakit inikah hatinya? Dan
setumpuk sesal tiba-tiba saja menghantam dada
Raka. Sakit. Sakit sekali. 108
"Baiklah, kukira aku tidak punya banyak
waktu untuk menemanimu di sini. Jadi kamu boleh
pulang Jangan datang lagi, karena untuk bertemu
pun, Alysa harus dapat memilih yang terbaik."
Raka mengangkat tubuhnya dengan lemas.
Lalu ditinggalkannya rumah itu dengan dada sakit.
Belum pernah ia merasa begitu terhina seperti saat
ini. Diluncurkannya mobilnya dengan kecepatan
tinggi supaya segera sampai rumah. Ingin cepat
ditemuinya Ully, dan ingin ia katakan pada Ully,
bahwa mulai saat ini, ia boleh bergaul akrab dengan
Sandy. Dan tentang Papa dan Mama, Raka akan
urus.
Raka melompat turun begitu sampai rumah.
"Ully!" Dia berlari-lari di dalam rumahnya mencari
Ully. "UI!" Didapatinya adiknya di kamar, sedang
melamun seorang diri,
"Nggak ke mana-mana malam ini?" tanya
Raka lembut. Ully tersentak. Sejak dia akrab dengan
Sandy, tidak pernah lagi ditemuinya kelembutan
seperti itu dari Raka. 109
Raka melangkah lebih dekat, lalu duduk di sisi
tempat tidur adiknya.
"Nggak ke mana-mana?"
Ully menggeleng pelan, ia masih bingung,
bagaimana bisa Raka memperlakukannya semanis
ini? Ada apa dengannya? Ully menatap kakaknya
bingung.
"Mas Raka baik-baik saja?" tanya Ully
kemudian.
Raka menyentuh sayang rambut adiknya.
"Maafkan Mas Raka ya, UI, maafkan atas kekasaran
Mas pada Ully selama ini," bisik Raka parau.
Ully merebahkan kepalanya ke dada Raka
ketika pemuda itu memeluknya.
"Sekarang Mas Raka dapat merasakan,
betapa sakit hati kamu, dan betapa terhinanya
Sandy."
"Sungguh Mas Raka merasakan itu?"
Raka mengangguk. "He-eh."
"Kenapa begitu tiba-tiba, Mas." 110
Raka menggeleng. "Mas Raka boleh
mengantarmu ke rumah Sandy sekarang, kan?"
Sekarang giliran Ully yang menggeleng.
"Kenapa? Karena kamu ingin mendengar
dulu alasan Mas Raka menyadari kekeliruan ini?"
"Tidak perlu, dan tidak perlu juga kita ke
rumah Sandy, semuanya sudah terlambat."
"Terlambat?"
"Ya, terlambat, kami sudah putus."
"Putus?"
"Ya, karena aku rindu kedamaian di rumah
kita. Untuk Mas Raka, Mama, dan Papa, Sandy
memilih pergi, dan Ully tidak mencegahnya, karena
Ully sadar, hidup Ully masih bergantung pada
keluarga."
"Tapi kamu menderita sekarang, kan?"
"Ada Danny, Mas. Danny bisa memberiku
ketenteraman yang kudambakan."
"Tapi Danny tidak mencintaimu seperti
Sandy. Dan kamu pun hanya dapat mencintai 111
Sandy, kan? Jadi kembalilah padanya. Dan katakan,
kami menerimanya di rumah ini."
"Aku bahagia mendengar ini, Mas."
"Dan sampaikan pula kebahagiaanmu pada
Sandy, ya?"
Ully mengangguk.
Raka kian mempererat dekapannya.
*** Sandy memang kelihatan terkejut ketika Ully
datang. Tapi tidak Ully temukan kebahagiaan di
matanya. Dia bahkan menerima kedatangan Ully
dingin-dingin saja.
"Kamu tidak rindu padaku, San?" tanya Ully
pelan. Ia tidak tahu, apa ada gunanya ia tanyakan
itu. Tapi ia ingin tahu, masihkah Sandy
menyayanginya?
"Tentu saja aku rindu, tapi aku tidak berhak
untuk datang ke rumahmu lagi, kan?" sahut Sandy
lirih, tanpa gairah. 112
"Kenapa tidak?"
Sandy tersenyum getir. "Aku sadar siapa aku
dan siapa kamu. Dan lagi, di antara kita sudah tidak
ada apa-apa."
"Sandy, kalau aku menginginkan kita
menjalin kembali tali kasih kita yang terputus,
maukah kau menerimaku?" tanya Ully gelisah
namun penuh harap.
Sandy memandangnya tidak percaya.
"Aku bersungguh-sungguh, San."
"Maafkan kalau dulu aku sempat bicara
kasar. Sebenarnya kekasaranku waktu itu, hanyalah
sebagai kompensasi dari kemarahanku pada Mas
Raka dan Mama serta Papa, dan itu kulam-piaskan
padamu. Tapi aku sadari sekarang, sesungguhnya
aku butuh kamu. Dan Raka...."
"Kau akan menentang Raka?" sela Sandy. Ully
menggeleng.
"Raka pun telah menginsyafi kesalahannya.
Kami semua sudah dapat menerimamu di rumah
kami, San." 113
"Karena aku sudah kembali kuliah?" suara itu
sinis.
Ully menggeleng. "Tidak, San, kami bahkan
tidak tahu kalau kamu sudah kuliah lagi. Raka
menerimamu, karena ia sadar, bahwa cinta tidak
boleh dipisahkan."
Sandy menanggapinya dengan diam.
"Maukah kau kembali padaku, San?"
"Bukankah sudah ada Danny?" kata Sandy.
"Kami hanya bersahabat."
"Tapi dia mencintaimu."
"Berhentilah mencemburuinya, Sandy. Tak
seorang pun dapat menggantikan tempatmu di
hatiku. Tak seorang pun, Sandy," Ully berusaha
meyakinkan.
Dengan hati yang masih sakit. Dan masih
mengingat betapa kasarnya keluarga Ully, serta
kekasaran gadis itu ketika memilih putus, Sandy
membawa tubuh Ully ke dalam pelukannya tanpa
mengucap sepatah pun kata.
"Kau pun masih mencintaiku, San?" 114
"Jangan tanyakan itu sekarang, dulu aku
pernah mengorbankan tubuhku bahkan harga
diriku untuk itu," ucap Sandy perih.
Lalu dengan sedikit kasar dan tidak selembut
biasanya, diciumnya bibir Ully.
Ully menjadi sukar bernapas, "Aku
mencintaimu, San. Aku mencintaimu...."
Sandy kian merapatkan bibirnya ke bibir Ully.
Dipagutnya mesra. Dan dipeluknya gadis itu kuatkuat.
Ully menunggu, Ully berharap Sandy pun
mengucapkan kata sama seperti yang barusan
diucapkannya. Tapi yang didengarnya hanya desah
napas Sandy.
Dan Ully merasa, Sandy berubah. Sandy
berbeda, Sandy tidak selembut dulu.
Badai Di Usia Remaja Karya Marissa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sandy, kau cium aku seperti ini hanya untuk
melampiaskan nafsumu, kan?"
"Jangan sejahat itu menuduhku," sahut
Sandy dan kembali ia melanjutkan cumbuannya.
Tapi benar-benar tidak selembut dulu. Mungkinkah 115
karena lama tidak bertemu lalu Sandy rasa harus
menuntaskan seluruh kerinduannya.
*** "Semalam Ully ke rumah, ia ingin aku
kembali," cerita Sandy pada Rafli, di coffee shop
malam itu.
"Kamu tentu bahagia, San," komentar Rafli
Iblis Dunia Persilatan Karya Aone Pendekar Mata Keranjang 26 Lembaran Kulit Naga Pertala Fear Street - Cheerleaders Musibah Pertama The First Evil
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama