Biru Darah Gadisku Karya Darto Singo Bagian 2
tidak bersediakah kau berbuat demikian?"
Setelah semuanya tertumpah sudah, aku merenung
membaya ngkan Ya pti yang bara ngkali menangis sepanja ng hari
karena kawin paksa yang ditolak nuraninya tak ubahnya duka
agung yang harus disandangnya. Kejamnya. Kejamnya! Dan aku
tahu, bukan karena manusia sudah tak berperikemanusiaan lagi,
melainkan karena sistem yang melaruti keping-keping darah
merahnya. Dan Bagas ini tahu betul, kawin paksa merupakan
bagian dari gerak akhir feodalisme dalam sekaratnya.
Tiba-tiba kurasakan sesuatu mendenyar dalam dada,
membelai batin begitu mesra, naik ke kepala dan otakku tak
menolaknya. Cepatjari-jariku menulis:
pisau lama
men usul: dada mengancam dirimu
men gucurkan darah dari mataku;
Aku tersenyum. Ada rasa bangga seakan saja dalam sekejap
Bagastelah menjadiseora ng penyair. Dan ba rangkali oleh karena
bangga itulah, gairah membuncah dalam diri, menggerakkan
jari?jariku kembali:
yar - di hatimu
yd - di hatiku
yd ? Tuhan punyakuasa
yar ? mu
yar - ku
yar - yangsama
ya - yangsatu
yd ? yangidri ke tempattuju
Bagas ini hera n, dengan apa yang telah ditulisnya sendiri. Aku
bingung memikirkannya kemudian, dan akhirnya kuputuskan
untuk tidak meneruskan apa yang sesungguhnya masih ingin
kutuliskan.
Aku pergi ke pinggirjalan mencari kopi dan rokokyang habis
terba kar dalam kamar. Dan su ngguh, taksetitik kantuk menusuk
mataku. Keriangan hati ditimang harapan yang melambungkan
membuat aku seakan sanggup terjaga sampai kapan pun jua.
Dan tanpa sedikit pun kantuk yang menggigit pelupuk mata,
Bagas ini meninggalkan penginapan dengan sebuah becak. 'l'iba
di depan Kantor Pos, kutemui seorang supir yang duduk
mencangku ng di atas lampu mobilnya. Sejenak kami berunding.
Ketika dengan mudahnya kami sepakat tentang ongkos,
kulemparkan kopor ke dalam bagasi, dan kemudian aku
menyandarkan punggung pada jok belakang mobil Fiat tahun
1962. Sang supir menghidupkan mesinnya, memasukkan gigi
persneling dan melajukan ke arah timur. Mobil membelok ke
kanan menyusuriJalan Gondomanan. Diseberang pojok benteng
mobil dihentikan, dan kami saling membeku mempermainkan
rokok masing?masing, sekedar menghangatkan tubuh yang
digigit angin dini hari.
Waktu seperti merambat dengan amat lambat. Kiranya baru
lima menit mobil dihentikan di pinggir jalan waktu untuk kedua
kalinya aku melirik arlojiku. Menanti! Siapakah yang tak pernah
melakukan pekerjaan yang paling membosankan ini? Menanti;
siapakah yang tidak resah karenanya? Dan aku benar-benar
gelisah dibuatnya. Setiap saat yang lewat adalah perang antara
harapan dan cemas. Selalu kurasakan seakan semuanya pasti
berjalan sebagaimana yang telah ditetapkan. Namun sekaligus
merasa bahwa bisa jadi rencana gagal, karena hidup tak
selamanya bisa berjalan di atas garis rencana yang dicanangkan.
Dan perasaan yang mencemaskan ini mengundang cemas yang
baru, demi kuingat Bagas menanti di pinggir jalan merupakan
satu pelanggaran dari rencana yang telah diteta pkan. Walaupun
aku memiliki alasan yang masuk akal.
"Pak," kataku memanggil supir yang baru saja melemparkan
puntung rokoknya, "kenal nggak dengan Mimi? Sumi?"
"Kenal sih endak, cuma ya tahu saja. Dia penyanyi terkenal
kok!"
Aku mengedipkan mata. Karena tersadar kemudian bahwa
perta nyaan yang ku ajukansemata disebabkan suasana sepiya ng
menjemukan. Dan aku merasa geli kenapa Bagas ini tiba-tiba
?D saja menanyakan seorang penyanyi kepada seorang supirtaksi.
Namun karena rasa sepi yang merejam hati dan menggelisahkan
seyogyanya diusir, maka aku mengusirnya dengan berta nya
pada supir itu lagi, "Pernah melihat dia nya nyi nggak, Pak?"
"O, sering sekali! Kenapa sih, Mas?"
"Nggak apa -a pa. Semalam aku melihat dia menyanyi," kataku
asalmenjawab.Namun karenajawabankuitu,sebuah pertanyaan
yang cukup membingungkan diajukan sang Supir kepadaku
kemudian, "Di mana, Mas?" tanyanya.
Di kamar mandi? Di pinggir sawah atau pinggir kali? Di
ru mahnya? Mampus kau Bagas. Mampus kaulKata hatiku sendiri
memaki kebingungan.
"Di acara ulang tahun temanku!"
Nah, aku terbebas dari kebingu ngan sekara ng , pikirku.
Supir itu tidak bertanya lagi. Tapi andai ia bertanya siapakah
temanku ya ngsemalam berulangtahun itu,tentu kujawabYa pti!
Sebabnya saat itu aku sedang mengenangkannya, melihat ke
sebuah rumah dijalan Timuran yang pernah ku kunjungiseba nyak
tiga kali.
Dan dadaku berdebar-debar kemudian karena dari samping
ru mah itu kulihat sesosok tubuh sedang bergerak-gerak.
Kutajamkan mata yang belum tidur sekejap pun. Dan hatiku
yakin, Ya pti sedang berolah raga di samping rumahnya. Kusuruh
supir taksi menghidupkan mobilnya. Namun tiga kali sudah Fiat
1800 itu distartertakjua mau hidup.
"Kok?" cemasku meletus.
"Memangsering begini, Mas. Kalau terlalu dingin!" jawabnya
tanpa sedikit pun menghiraukan kecemasanku. Dan aku tahu ia
berbohong. Bukan itu alasannya. Mobil baru berhenti dan tidak
mungkin secepat ini mesinnya menjadi dingin, pikirku. Dan aku
tahu penyakit yang sering menghinggapi mobil jenis ini. Dan aku
cemassekali andai benar dinamo strarternya yang rusak.
Namun akhirnya kecemasanku sirna karena mesin mobil
berhasil dihidupkan. Kulihat Yapti menyembul di jalan di depan
rumahnya. Aku membuka pintu dan berdiri di dekatnya
menunggu gadis yang sedang berlari. Ia memakai sepatu basket
tanpa kaos kaki.
"Yapti ...!" Seruku mema nggil.
1_1'l_;ll_)
_" 53, 71
Yapti berhenti tiba-tiba. Cemas menyambar wajahnya.
Namun hanya sekejap. Sekejap kemudian ia mengedipkan mata
diiringi senyum yang kembang di bibirnya yang manis itu.
"Bagas ...?!" ia menyerukan namaku penuh keheranan.
"Cepat masuk!" perintahku dan kuperintahkan juga agar
supir secepatnya memasukkan gigi persn eling mobilnya.
Yapti melompat masuk. Aku menyusul sambil membanting
pintu, dan sang supir memperbesar gas melarikan mobilnya
menyusuri Jalan Gondomanan yang sepi.
"Ya pti!" kata ku sambil memeluknya ketat-ketat.
"Sri! Sri, Gas!" uja rnya sambil melepaskan diri dari pelukanku,
ketika mobil melewati rumahsahabatnya.
"Jangan buang-buang kesempatan. Sengaja kujemput kau di
sana tadi, agar lebih aman."
"Bagaimana dengan dia nanti? Dari mana dia tahu ...?"
"Ibumu akan datang ke rumahnya dan menanyakanmu! Itu
berarti mereka tahu kau sudah melarikan diri. Dan Sri bisa
dengan sunggu h?-sungguh menjawab bahwa kau tidak datang ke
rumahnya. Bahkan dia berani angkat sumpah karena merasa
benar."
"Hanya karena aku dicari maka Sritahu kita sudah pergi?"
"Tentu dia akan menelepon ke penginapanku. Dan dari
Semarang nanti kita hubungi dia lewat telepon."
Yapti tersenyum sambil meremas-remas jari-jari tanganku
yang erat bergenggaman dengan jari-jari tangannya. Tak putus
senyum dan tatapanku kepadanya. Bahkan hingga Yapti
melendotkan kepala di dada ini kemudian.
Sejenak Yapti tampak seperti merenung. Ketika ia menoleh
ke arahku, kulihat cairan menggenangi biji matanya, lalu
melimbah membasahi pipi. Aku mengecup matanya yang basah,
mengecup pipinya yang basah, dan kudengar isaknya
berlompatan dan helaan napasyang tersendat-sendat.
"Yapti? Kenapa Yapti?"
"Aku membuang duka penghabisanku, Bagas! Sekarang ini,
aku merasa bahagia dan duka sedang berperang. Biarkan aku.
Biar habisair dukaku!"
Aku membelainya lembut.
?2 Yapti menoleh dan menerawangkan mata nya yang melimbah
penuh air duka. Aku mengecup mengeringkannya. Dengan
tiba-tiba, ia memelukku erat sekali, tanpa menghiraukan supir
yang berada di depan kami. Tangisnya menderai dan isaknya
berguguran di dadaku. "Kenapa kau menangis?" tanyaku tak
mengerti.
"Karena bahagia, Bagas. Bahagia dicintai orang yang kucintai.
Oh, kenapa tidaksejak dulu kita bertemu, Bagas?"
"Ya ng penting, kita tak boleh berpisah lagi!"
"Ya, kita tak boleh berpisah lagi, Bagas!"
"Sed etik pun jangan sempat menginginkannya!"
"Ya, sedetik pun kita tak boleh punya keinginan berpisah.
l.l'lialaupun dengan dalih apa saja."
"Walaupun dengan dalih apa saja!" kataku.
Yaptiterisa k-isa k. Dan isa knya itu, seperti ma mpu menambah
arti pernyataan tekad hati ka mi.
Mobil Fiat dengan 6 silender melaju kencang mendahului
beberapa mobil yang sedang menyusuri Jalan Magelang. Dan
sepanjang jalan pelarian kami saling bergenggaman tangan,
menoleh dan berpandangan, tersenyum dan berpeluka n, karena
bagi hati yang kasmaran alangkah mudahnya melupakan supir
taksi yang mengejar pembayaran.
Matahari pagi belum lagitinggi di celah-celah pucuk Gunung
Merbabu dan Merapi di arah timur, manakala taksi memasuki
kota Magelang. Di Jalan Bayeman kami berhenti dan supir
menerima ongkos jasanya. Kusuruh ia melajukan mobilnya
jauh-jauh, karena ada rasa takut di hatiku kalau-kalau ia
mengikuti ke mana ka mi hendak sembunyi.
Kura ngkul pinggang Yaptisambil menjinjing kopor melangkah
menuruni jalan di samping taman penuh tanaman gradiul. Dan
kami menjaditamu keluarga di mana aku indekoswaktu di SMA
dulu.
2% Sia ng hari kuajak Yapti pergi ke toko untuk membeli sepatu,
sandal, dan beberapa potong pakaian. Mula-mula ia menolak
dengan alasantakut kalau?kalau ketahuansebab kami berada di
kota yang masih dekat dengan Yogya. Tapi aku bisa
meyakinkannya kemudian. Bila Tuhan menghendaki apakah
sesungguhnya ya ngtidak bisa terjadi di dunia ini? Kami bertemu,
jatuh cinta, mendapat kesulitan, dan berhasil melarikan diri,
karena Tuhan menghendakisemuanya initerjadi. Dan sebaiknya,
andaipun kami sembunyi dalam lubang semut sekalipun, bila
Tuhan menghendaki, maka akan muncul dengan tiba-tiba orang
yang sed ang mencari kami itu.
"Kiranya inilah yang membuatmu tidak pernah ragu
melakukan sesuatu, Bagas?" ujarnya bertanya membuatku
teringat uca pan Sumi waktu datang ke penginapanku.
Aku mengangguk dan tersenyum ceria menatap mata nya.
Di tengah jalan Yapti menceritakan dan menunju kkan semua
perhiasan miliknya yang dibawa serta: dua buah kalung dan
sebuah di antaranya memakai bandul bermata berlian, gelang,
cincin, dan subang yang semuanya bermata berlian juga. Ia
punya rencana hendak menjual semua miliknya itu untuk
kebutuhan hidup dan kuliahnya nanti.
"Itu soal nanti dan kita pikirkan kembalisetelahtiba diJaka rta.
Sekarangjangan kau kutik-kutik dulu barang-barang itu. Simpan
saja baik-baik," kataku yang tiba-tiba tersadar akan beratnya
membawa larigadis orang.
"Dengan apa aku menghidupinya nanti bila kakakku menolak
kehadirannya?" tanya hatiku di dalam. Dan pertanyaan initerus
melingkar?lingkar dalam batinku.
Di sebuah toko, kami bertemu dengan Sugeng.
"Hei, Mbeling! Apa kabar?" tegurnya lalu matanya merayap
memperhatikan Yapti. Kuperkenalkan mereka. Kepada Yapti
?4 kuterangkan kemudian bahwa Sugeng seorang pelawak yang
sudah sering melawak ke kota lain; dan sahabatku yang baik.
"Oh ya, aku ingin sekali mendengar masa lalumu, Bagas! Sumi
sudah menceritakannya sebagian. Boleh 'kan?" ta nyanya setelah
kami berpisah dengan Sugeng.
Aku tersenyum dan mengedip ragu. Khawatir kalau-kalau
Sumi pun menceritakan sebabnya aku digelari 'pemburu'.
Namun kepada Yapti aku berkata pasti, "Kenangan masa silam
memang bukan milik yang harus disimpan, bukan? Kita perlu
berkaca atasnya, sehingga kesalahan yang telah terjadi bisa
diperbaiki dalam langkah selanjutnya."
Dan aku teringat surat Sumi. Tentulah tidak salah kalau
kubuka nanti, pikirku.
Tiba di rumah bekas kosku dulu, sampul panjang dari Sumi
kami buka bersama-sama. Aku kaget dan darahku tersirap
melihat lembaran uang baru terlempar keluar dan jatuh ke
lantai. Yapti pun tampak kaget sekali. Selembar kertas polos
berisi tulisan tangannya yang kuhafal segera membentang di
depan mataku.
"Bagas yang baik.I
Dengan cara begini Raja Mbeiing yang sombong baru akan
bisa menerima aiuran tangan sahabatnya. Maafkanian caraku
ini kaiau memang kau kaget karenanya, atau bahkan merasa
tidak senang. Dan an a'ai kau tersinggung dan hendak
mengembaiiican semuanya ini kembaii, nan kembaiiicanian
pada saat kau teian menjadi Menteri Luar Negeri. "
"Kaiaaicau ingin tahu ini aang apa, tentu saja aangpeiunasan
pada hari Rabu iima hari yang iaiu, untuk menyanyi nanti
maiam. Seperti kaukatan ai, uang makanya sudah kita habiskan
a'i Maiioboro hari itu juga: Dan sebagian iagi, uang dari tamu
kemarin yang mengantraicica iceiiiing Jawa Tengah. Kaiaa icaa
ingin tahujuga sebabnya, biasanya Raja Mbeiing seiaiu ingin
tahu dan teras bertanya seperti paiisi menanyai pesakitan,
semata-mata karen a aku ingin seiaiu berbuat baik padamu, dan
ini sungguh ikias a'ari hatiku. Secara niiai tentu saja kurang
berarti a'iban a'ing ucapanmu ten tang kekurangan dan keiebin an
Biru Darah Gadisku Karya Darto Singo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang kamiiiici sebagai penyanyi, yang kau katakan di depanku
dan pernah juga kaukatakan pada Dik Sri. Sungguh, Bagas,
waktu itu aku ingin menangis karena terharu. Ketikakukatakan
pengakuanmu ini di depan rekan-rekan pemain band, mereka
memang merasakan dan membenarkannya, namun mereka
tidak tahu dan tak bisa menyebutkannya. Kiranya kau iebii'i
pana'ai mengungkapkan perasaan daripada mereka. (Tapi
harap kepaiajan gan membesar ina!) "
"Mbeiing, orang Jawa biiang, 'Sanabat yang baik iaian
mereka yang bisa memberi 'tutur', 'sembur', a'an r-.-1.r'u-.-1.?'ur'. Tutur
aaaian nasihat?nasinat yang membangun, sedangkan sembur
maksudnya doa yang tuius diberikan, serta wuwur iaian
pemberian yang ikhias. Nasihatmu untuk karierku teian banyak
yang kuterima, sampai ke soai pacar. Dan kau berkata akan
seiaiu berdoa untuk keberhasiianku. Nah, doamu memang
senantiasa kuharapkan, seperti aku seiaiu berdoa untukmu,
agar apa pun yang kuiakukan bisa menaatan gkan buah yang
baikkemua'ian. Nan, kupikirkitamemang teian menjadisanabat
yang baik. Dan kupikir, in i justru i epin memb ahagi akan daripada
waktu kita pacaran a'uiu. Toiong ya, supaya Roro Mendutmu
bisa turut membaca surat ini agar mengetahui persaaian
antara kita yang tentunya sedikit meragukan hatinya. Saiamku
untuk Dik Yaptij juga a'oa semoga kaiian tetap rukun seperti
jamur dan hujan. Dan pesanku agar dia tetap tabah dan berani
menghadapi apa pun bersamamu.
Samp ai di sini saia, Bag as.
San abatmu seiaiu,
Sumi "Kau diberi gelar Mbeling oleh gurumu?" tanya Yapti
tersenyu m. Aku mengangguk.
"Baik sekali Mbak Mimi itu, ya?"
Aku mengangguk lagi.
"Kenapa terdiam, Gas?" tanyanya lagi dan aku tersenyum
mencubit dagunya yang mengga ntu ng runcing.
"Aku terharu sekali!"
"Aku juga!" katanya menjaja ri perasaanku.
"Sebelum kami pacaran dulu itu, aku dan Sumisudah menjadi
sahabat baik."
?6 Yapti tersenyum, lalu menggigit bibirnya dan kulihat deretan
gigi yang rapi dan bersih, seperti biji mentimun yang disusun.
Surat dan uang sebanyak Rp 150,00 kumasukkan ke dalam
amplop lagi, untuk digun akan ka pan saja nanti.
Sore hari kuajak Yapti jalan-jalan. Kami pergi ke belakang
kantor karesidenan, duduk-duduk di bawah pohon ketapang
memandang kea rah lembah Bandongan di kaki Gunung Sumbing
dan di seberang Sungai Progo. Bentangan sawah yang luas
berada jauh di bawah tempat kami duduk. Padi sedang
menguning kemilau memantulkan sinar emas matahari yang
seperti bulatan cahaya menempel di pipi Gunung Sumbing yang
menjulang tinggi. Sungai Progo berkelok-kelok seperti ular yang
sedang menjalar mengejar mangsanya. Air berwarna putih
membuih,darijauh sepertimembelah hamparan kuningtebaran
padidengantidakseimbang.
Angin leluasa menya pu wajah kami dari arah depan. Seberkas
angin yang keras membuah Yapti meriapkan matanya, lalu
menempelkan dagu ke pundak kiri Bagas ini.
"Bagas...!" serunya memanggil namaku dengan lirih.
"Heeemmm...?" sahutku menoleh.
Mata Yapti tak bergerak memandang ke arah Bandongan,
lembah penghasil kelembak yang terbaik. Tapi apa yang
dillihatnya di sana, aku sa ma sekali tidak mengerti.
"Bagaimana kalau nanti kedatanganku tidak disetujui
keluargamu?"
"Kutinggalkan rumah kakakku. Kita hidup mandiri!" jawabku
tegas.
"Kita terpaksa menikah secepatnya?"
"Kita secepatnya menikah! Dan perkawinan bukan berarti
pengguguran cita-cita, bukan? Aku dan kau tetap bisa kuliah.
Karena masa depan remaja seperti kaburtanpa bekal ilmu yang
lumayan!"
"Bekerja sambil kuliah?"
"Ya, bekerja sambil kuliah! Seperti yang pernah kuceritakan
padamu lewat Sumi dan Sri. Aku percaya akan selalu bisa
menerobos apa pun bila bersamamu."
Yapti memelukku erat sekali. Ujung napasnya menyengat
hangat ke kulit leher ini. Dan kami pun lupa keindahan yang
sedang kami nikmati. Kami pun merasa seakan hanya berdua di
dunia ini, saling menatapkan mata, saling tersenyu m, dan saling
meremaskan jari-ja ri tangan.
"Alangkah bahagiaku bisa bertemu dengan kau, Bagas!
Pemuda yang lincah, penuh daya dan semangat hidup; tak
pernah ragu dan melakukan segala sesuatu sebulat keberanian
hati, adalah tipe pemuda yang kunantikan. Karena hanya
pemuda seperti engkaulah yang tidak gentar menghadapi
halangan!"
Aku membelai-belai pipinya tanpa berkata sepatah kata pun.
Hatiku berdetak ragu, dan rasa kuatir tiba-tiba mengusap kalbu.
Bagaimana kalau Yapti tahu bahwa Bagas ini bukan tipe pemuda
seperti yang disebutkannya? Bukankah Sumi mencemaskan
keraguanku? Bukankah Sumi berpesan agar aku meninggalkan
sifat manja, cengeng, dan kekanak-kanakan yang masih melekat
dalam diri ini? Ya, ya, bukankah aku sendiri pun merasa sebagai
pemuda pembosan? Oh, oh!
Ketika senja hampir sirna, karena malam datang seperti
terburu-buru, aku dan Yapti meninggalkan pohon ketapang di
belakang kantor karesidenan. Aku menunjuksebuah kamar yang
tertutup rapat. Kuceritakan kepada Yapti bahwa di kamar itulah
dulu Pangeran Diponegoro terjerat oleh perangkap Jenderal De
Kock, dalam perundingan palsu yang licikya ng dilancarkan pihak
penjajah Belanda.
Kami berjalan menyusuri jalan menanjak yang bersentuhan
dengan ujung Jalan Pandawa. Kami membelok ke kanan, dan
sekeping haru mengusap kalbu melih at gedung sekolahku dulu.
Pohon kenari tumbuh meninggi, berjaja r-jajar di pinggiran jalan.
Sebuah pohon beringin yang rindang tegak di tengah pelataran
sekolah itu. Dan memburailah kenangan lama, meredupkan
mataku.
Hanya sehari semalam kami berada di rumah Pak Santoso.
Aku tidur di kamarku dulu, yang dihuni oleh murid SMA Negeri.
Sedangkan Ya pti tidur berdua Hartati, putri sulung Pak Santoso.
Kutinggalkan Magelang dengan naik bis menuju Semarang.
Sepanjang jalan kami duduk rapat seakan tak rela ada rongga
?8 menjarakinya. Hujan tidak turun namun udara dingin di hari
bermendung itu. Meski demikian, kami hanya terkantuk-ka ntuk
saja dalam perjalanan. Tidur tak ma mpu menjajah mata. Tiba di
Semarang kami mencari penginapan. Aku dan Ya pti tidur dalam
satu kamar.
Di luar renyai-renyai hujan belum usai ketika kami terkapar
memandangi langit-langit ka mar. Selembar demi selembar angin
datang menghantar dingin menyejuki badan kami yang semula
kegerahan. Lewat jendela yang terbuka aku melihat sepenggal
pelangi yang melengku ng di langit. Hatiku bergetar menyaksikan
penggalan pelangi yang memudar dan kian memudar dan kian
bertambah pudar hingga akhirnya sirna. Perlahan-lahan sekali,
namun pasti. Dan aku tiba-tiba amat terkejut, menoleh
memandang Yapti.
Mata Yapti mengedip satu-satu, seperti ada yang merasuk ke
dalam benaknya dan sedang dipikirkan. Ia menoleh kepadaku
kemudian.
"Tenggorokanku kering dan pahit, Bagas!" ujarnya dan aku
melompat dengan cepat mengambil gelas minum dan
menyodorkannya. Ia meneguk isinya sedikit sekali. Dan aku
meneguk hingga air teh manis tinggal seperempat tinggi
gelasnya.
Aku terguling di sampingnya menatap matanya dan berkata,
"Katakansesuatu padaku,Yapti. Katakanlah! Apa saja!"
"Kesucian dan kelembutan cinta, juga mampu melahirkan
dosa, Bagas!"
Aku terkesima mendengarnya. Yapti benar?benar gadis yang
pandai menggunakan otaknya. Dengan cepat dan tepat ia telah
menyimpulkan apayang ba ru saja dialami. "Alangkah berbedanya
gadis ini dengan gadis-gadis yang pernah ku kenal dulu !" pikirku.
"Maksudmu, kita berdosa karena melanggar norma
perkawinan?"
"Kita melanggar norma perkawinan! Sedang perkawinan itu
tuntutan dari agama yang bersumber kepada Tuhan. Jadi, kita
pun berdosa kepada Tuhan, Gas!"
"Ya,ya, dan kita yang telah mencoba bertahan,gugur dalam
seketika. Kita seperti terbius dan mabok. Sungguh, aku tidak
tahu bagaimana permulaan dosa ini. Aku hanya merasa ikhlas
melakukannya."
;; 5P ?9
"Itulah yang sedang kupikirkan!!" sahutnya dan matanya
mengedip memperhatikan mataku.
"Pernikahan," sambungnya, "adalah peresmian dari tindak
lanjut dua manusia secara intim begini. Apakah hanya karena
belum resmi maka yang kita lakukan menjadi dosa? Dan
bagaimana kalau aku dikawinkan dengan Darmo? Apakah
perbuatan yang terjadi dengan paksaan bukan dosa namanya?
Cobalah bandingkan bila perbuatan demikian terjadi antara
diriku dan Darmomh, kenapa mesti batinku menderita padahal
yang kulakukan dengan Darmotelah diresmikan, telah dii1inkan.
Tapi alangkah bahagianya aku bisa melakukannya denganmu.
Kenapa dosa memberi bahagia; sedang yang bukan dosa malah
sebaliknya memberi duka?"
"Aku pun bingungjadinya. Dosa atau bukan, ku pikirTuhanlah
yang tahu dan menentukannya kemudian. Andai pun ini dosa,
sungguh karena kita melanggar norma yang sengaja diadakan
untuk menertibkan dunia ini. Bayangkanlah olehmu, bila belum
ada norma-norma yang demikian, bukankah manusia tak
ubahnya seperti hewan?Tidak ada perasaan bersalah menggauli
sia pa saja ?"
"Ya, ya," ucapnya mengangguk-anggukkan kepala, "orang
lain akan iri melihat kita melakukan ini, lalu menirunya, tanpa
segan?segan dan malu atau merasa bersalah, sehingga dunia
pun kian lama kian bertambah kacau saja."
"Tepat. Yapti!" seruku cepat. "Kita tak boleh menolak bahwa
yang baru terjadi adalah sebuah dosa. Dan dosa ini bagaimana,
ya?"
Yapti tersenyum melihat kebingunganku.
Lalu, "Kita sebut saja dosa yang manis, dosa yang indah, dosa
yang tulus, sebab kita melakukannya dengan perasaan yang
ikhlas." "Ya, ya, dosa yang manis dan indah !"
Menanti malam tiba kami rebah di kasur mengobrolkan
hal?hal sepele, namun terasa memiliki kesan dan keindahan
tersendiriyang membuathati kami penuh bunga-bunga bahagia.
"Aku merasa kau sedang menunggu kedatanganku waktu
duduk di teras itu!" kataku.
"Memang!" sahutnya cepat dan jujur. "Sejak kita jumpa di
Kampus Pagelaran, aku selalu diliputi perasaan bahwa kau akan
80 datang ke rumahku. Siang hari aku ke rumah Sri, dan dalam
batinku ada perasaan akan bertemu dengan kau ditengah jalan.
Aku kecewa karena ternyata tidak. Duduk di rumah Sri aku tidak
tenang jadinya. Aku merasa seakan pasti bahwa saat itu kau
datang ke rumahku sehingga kita tidak ketemu. Aku hanya
sebentar di rumah Sri, walaupun masih ingin mengobrolkan
tentang kau. Waktu dalam perjalanan pulang ku rasakan hal yang
sama; seakan kau dan aku akan tertemu di tengah jalan! Akan
tetapi ketika saat itu ternyata kita belum juga bertemu lagi, aku
merasa amat kecewa. Tapi waktu aku mandi, perasaan itu
muncul lagi. Kali itu aku merasa yakin sekali. Dan aku pun mandi
lama sekali, dan berulang-ulang menggosok-gosok kulitku ini.
Waktu berdandan di depan lemari kaca, aku sungguh-sungguh
linglung. Bingung memilih pakaian yang mana, bingung apakah
cincin itu harus kupakai atau tidak, dan lain-lain. Aku duduk di
teras benar-benar menantimu, Bagas! Dan aku gembira sekali
sebab kau sungguh?sungguh datang. Waktu kau pulang, di
punggungmu seperti tertempel plakat bertuliskan 'Aku datang
iagiesokpagii'Ya, aku merasa kau akan data nglagi keesokannya.
Dan aku duduk di ruang depan dengan mata terus mengawasi ke
arah jalanan lewat kaca jendela itu. Aku memakai cincin waktu
itu. Dan aku kebingungan ketika melihat kau melangkah menuju
rumahku. Aku ingin lari ke dalam menyembunyikan cincinku
terlebih dulu. Tapi hatiku menolak. Tak tega rasanya untuk
menutupi diri di depan kau yang kucintai"
Yapti berhenti berkata, karena kisah yang dituturkan usai
sudah.!a meraba pipiku dengan carayanglembutmempesonakan
hati. Wajahnya berseri-seri. Matanya menyorotkan sinar yang
berpendar?pendar. Lalu kudengar suaraku sendiri, "Aku juga
merasakan apa yang kaurasakan itu,"!apti!"
"Dh,ya?" serunya seperti meminta penjelasan lebih lanjut.
"Setiap saat dalam sendiri dan merindukanmu, aku selalu
merasa seakan sebentar lagi bakal bertemu dengan kau!"
"Ah, pandai betul kau memilih kalimat yang tepat, Bagas!"
pujinya.
"Ya, setiap saat yang hendak lewat seperti menjanjikan
pertemuan denganmu, Ya pti. Ka rena hati merasa sepi sekalipun
ditengah keramaian. Dan setelah perasaan itu data ng, aku selalu
;; 5P 81
membayang?bayangkan apa saja yang akan kita percakapkan.
Lalu aku membayangkan kau bertanya begini, aku menjawab
begitu, kau tanya lagi begitu dan aku menjawab lagi begini.
Kubayangkan juga gerak?gerikku dalam mengatakan sesuatu
itu, dan kubayangkan pula gerak?gerik dalam menjawab atau
mengatakansesuatu kepadamu ..."
"Bagas ...!" pekiknya lembut sambil mendekapku kuat-kuat.
"Aku pun sering melamunkan yang demikian. Persissepertiyang
kauuraikan tadi. Oh, oh, perasaan kita selalu sama selama kita
berpisah dan sendiri?sendiri, bukan?"
"Karena kita sudah dita kdirkan Tuhan untuk selalu bersama!"
"Kau yakin betul kelihatannya?"
"Kenapa tidak?" kataku balik bertanya. "Kita tidak akan
berpisah kecuali dijemput kemati ...!"
"Jangan teruskan!" tukasnya. "Pantangan, Bagas! Jangan
sebutkan hal-hal yang buruk yang seakan hendak menimpa kita.
Bisa terjadi sungguh-sungguh!"
Aku tersenyum lebar karena teringat Sri yang pernah
Biru Darah Gadisku Karya Darto Singo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melarangku mengatakan sesuatu yang buruk menyangkut diri
sendiri atau orang lain.
"Supaya kau tahu saja, Yapti, kematian itu satu kepastian
dalam kehidupan, karena hanya kuasa Tuhan dan cinta
kasih-Nya saja yang langgeng abadi!"
"Filosotis sekali ucapanmu, Bagas!" ujarnya dan aku tidak
tahu apakah ia menyindirku atau memuji.
"Aku sudah lama merenung-renungkan ini, Yapti. Kematian
itu satu peristiwa yang tidak bisa ditolak dan dihindari. la data ng
selalu tepat pada waktunya! Tidak peduli apakah orang yang
harus dijemputnya itu masih sehat walafiat, atau sudah sakit
parah dan berhari-haritak sadarkan diri."
"Kau bisa menjadi seorang pemikir nantinya, Gas! Ada
minatmu, bukan?"
"Indonesia bukan hanya butuh pemikir-pemikir yang brilian,
Yapti. Tapi juga pejuang?pejuang yang militan! Dan kita sebagai
generasi muda, sudah seharusnya menyiapkan diri ke arah itu.
Menjadi pemikirya ng sekaligus pejuang!"
Mata Ya pti mengedip di depan mata ku. Ia tidak berta nya dan
berkata apa-apa. Kami membisu untuk beberapa saat lamanya.
f; ":: _
66 ::.. fs
:uu-i namun.? B:.lli Pusuk:
Hanya saling memandang saja. Dengan mataku kujilati pelosok
wajahnya. Hatiku di dalam membanggakan kecantikannya yang
alami. Dan bunga?bunga mesra berkembang di batik dada ini.
Aku tersenyum. Yapti tersenyu m. Senyumku kian berta mbah
lebar.
Senyum Yapti pun kian bertambah lebar. Seperti ia mengerti
apa yang membuatku tersenyu m.
Tiba?tiba Bagas ingin mencium keningnya. Cium lembuttanpa
napsu. Seperti ciuman seorang ibu yang amat menyayangi
anaknya. Lama sekali aku mencium keningnya itu. Dan tiba-tiba
aku tersadar, bahwa Bagas ini harus mampu bertindak sebagai
ibunya, ayahnya, kaka knya, dan bukan semata sebagai kekasih!
Dan Bagas pun tersadar kemudian, bahwa anak?anak muda
sering membangkang tindakan orang tua yang dianggapnya
otoriter, namun sering memaksakan kehendaknya sendiri. Dan
benturan dari dua kehendak yang berlawanan ini dan saling
dipaksakan ini sesungguhnya amat merugikan kedua belah
pihak. Ya, aku sadar akan hal itu meskipun dengan tiba-tiba saja.
Akan teta pi kami, aku dan Yapti, mema ng merasa tidak memiliki
kesempatan dan pilihan lain kecuali memaksakan kehendak
dengan lari menjauhinya.,ilindaijalan damai masih bisa ditempuh,
tentulah menentukan nasib sendiri dengan lari beginitidak akan
terjadi.
"Bagas ...!"
"Hem ...?!"
"Ciumanmu mengingatkanku kepada masa kecil. Romosering
menciumku seperti ini"
Aku melepaskan ciu man di keningnya. Kutatap matanya yang
meredup sayu itu. Aku tersenyum dan berkata, "Sudah
seharusnya aku bisa mengganti peranan Romo. Aku akan
mencoba nya, Yapti! Sebab kau telah kehilangan Romo, Ibu, dan
kakak-kakakmu!"
"Aku merasa kau akan bisa, Bagas!" ujarnya dan ia
menyembunyikan wajahnya ke dadaku.
Kucium mata Yapti, lalu pelipisnya, lalu telinganya, lalu
pipinya, lalu dagunya, lalu telinganya yang satu lagi, lalu pipinya
yang satu lagi, lalu matanya yang satu lagi, lalu hidungnya, dan
terakhir sekali, bibirnya.
Dini hari aku terbangun digigit angin yang menyungsum. Yapti
tampak tenang dalam tidurnya. Ada damai yang memancar di
wajahnya, dicerahi senyum yang enggan memudar.
Wajah langityang muru ngtampak darijendela ka marku yang
terbuka. Aku ingin melompat menutup jendela itu. Namun aku
tak mau Yapti terbangun karena suara yang mengagetkannya.
Rintik-rintik gerimis belum juga mereda. Aku tidak tahu kenapa
langit berduka sedang hati ka mi dilambungkan ke langit bahagia.
Kuisi kesendirianku dengan memandangi wajah Yapti yang
tenang dibuai tidurnya. Ada yang merasuk ke dalam benak dan
meminta kupikirkan benar-benar. Setelah merenung beberapa
saat, aku pun menyadari hahwa Yapti telah menjadi bagian dari
diri dan hidupku. Perpisahan berarti penghancuran keduanya.
Dan kebersamaan memberiku kewajiban-kewajiban baru
sebagai tanggung jawab. Ya, ya, aku harus bertanggung jawab
penuh atas diri, hidup dan bahkan cita?citanya. Dan itu bukan
dimulai setelah ia berada dalamtaksi berdua denganku pagi itu,
melainkan pada hakikatnya sejakaku mengajaknya lari. Dan aku
pun jaditahu kemudian bahwa tanggungjawabseseora ng bukan
hanya dituntut dari apa yang dikerjakannya, melainkan juga dari
apa yang telah direncanakan!
Akhirnya aku sampai pada pojok sempit yang menyudutkan
pikiranku; bahwa bila kurang cermatdan hati-hati, bukan hanya
hidup dan cita-citaku diberati Yapti sebagai beban, pun bahkan
bisa terhancurkan karenanya! Dan perasaan takut seperti
tumpah dari kepala ini menyiram dada dan menggenangi
sanuba ri. Ada semacam sesal mengusap kalbu. Namun aku tahu
sesal tidak cukup unluk mengatasi tanta ngan yang menghadang
hidupku. Mulai detik ini aku harus bertanggung jawab atas hidup
seseorang. Padahal aku menyadari hidupku masih menjadi
tanggungjawabkakakku.
f; ":: _
66 ::.. fs
:uu-i namun.? B:.lli Pusuk:
Seharusnya aku tabah menghadapi rintangan yang
menghadang langkah cinta kami. Seharusnya aku mengikuti
testing masuk Sospol Gama dan kuliah di Jogya kemudian, dan
dengan sembunyi-sembunyi memelihara cinta berdua Yapti.Ya,
ya, seharusnya aku dan Yapti bisa bersabar dulu. Tidak
terburu-buru seperti yang telah terjadi ini. Tapi oh, Yapti
sesungguhnya telah memintaku agar mau bersabar sedikit.
Akulah yang salah, karena menginginkan kemenangan cinta
seperti bayi yang menangis meminta tetek ibu nya. Akulah yang
salah! Aku ! Dan Ya pti menggadaikan nasibnya di atas kesalahan
itu. Duh. Duh! rtulah sifat kekanak-kanakanmu yang dimaksud
Sumi, Bagas! ltulah!
Pelan tapi pasti, kupererat pelukanku kemudian. Ada
perasaan cemas yang pecah di balik dada ini. Dan aku lebih
cemas lagi, bila mengingat kemungkinan jatuh cinta pada Gadis
lain, bukansatu hal yang mokal bagi Bagasini.
Tapi senyampang aku terkenang janjiku sendiri, kembali
mengucapkannya dalam hati, "Aku akan setia pada Yaptiselalu!"
Kutekankan hidungku ke pipinya. Yapti ini, telah berkorban
banyak untuk percintaan kami. Banyaksekali! Menjauhkan dan
melepaskan diri dari orang tua dan keluarga bukankah
mengundang perasaan bersalah yang tak kunjung henti, yang
setiapwaktu memburu hati dalam kalbu?
Yapti mengerang lirih dalam tidurnya. Hatiku tersentuh
mendengarnya. Adakah duka di hatinya yang berhasil ditekan
dalamjaga,lalumunculdalamtidurnya? Duh,duh,engkau Yapti!
Aku berjanji tidak akan mengkhianati! Aku berjanji akan setia
selalu! Tuhan, desisku hampir-hampir terdengar, berilah aku
kekuatan untuk mewujudkan janji dalam bukti!
Erang Yapti terdengar lagi. Bukan hanya sekali dan pendek
seperti sebelumnya, namun sambung-menyambung panjang,
dan akhirnya merintih-rintih sambil tubuhnya menggigil. Hatiku
tersepih-sepih, seperti dirujit-rujit jemari yang berkuku runcing
dan tajam.
Lalu dengan tiba-tiba ia membuka mata dan tergagap
menatapku.
"Bagaaas ...!" desisnya seperti merintih.
"Ada yang mengganggu tidurmu, Ya pti?"
;; 5P 35
"Kau tahu itu?" ta nyanya menga ngkat mata mencari mataku.
Aku mengangguk pelan tapi pasti.
"Ba ru saja, aku terbangun karena mimpi!" ujarnya.
Ia menghembuskan napas dengan sekali hempas.
"Kalau mimpimu bisa kugenggam, pasti kuhancurkan
kemudian!"
"Oh ..!" ucapnya tersenyum lega.
"Akutaksuka pada mimpiyangmembuat tidurmuterganggu!"
"Terima kasih, Bagas! Kau akan selalu melindungiku, bukan?"
"Tentu! Tentu, Yapti!"
"Oh, Bagas. Aku selalu merasa tenang bila berada di dekatmu.
Tak pernah takut menghadapi apa pun"
"Tapi kenapa kau mengerang dan merintih-rintih tadi?"
tanyaku.
"Begitu? Kau mendengarnya?"
"Aku sudah lama terjaga."
"Mimpi buruk yang menggangguku Bagas. Seolah?olah aku
benar?benar jadi Roro Mendut dan kau yang menjadi
Pranacitranya. Tapi dalam mimpi itu, kau tak ada ketika aku
dicegat Tumenggung Wiroguno di tengah jalan. Aku
menjerit-jerit memanggil namamu. Wiroguno hendak
menyakitiku. Dan ia menghunus keris. Tapi sebelum sempat
ditusukkan padaku, aku menangis dan terkulai jatuh."
Aku tersenyum.Yaptitahu artisenyumku. la mencubit pipiku
dan berkata, "Sungguh, Gas! Sungguh begitu mimpiku!"
"Bukan aku tidak percaya, Yapti."
"Senyummu ...!"
"Itu toh hanya senyum!"
"Menuduh!"
"Ya, benar. Tapi aku gembira juga. Sebab, kau jadi Mendut
hanya dalam mimpi saja. Mudah?mudahan besok malam
giliranku mimpi menjadi Pranacitra ! Tapi ..."
"Teruska n, Gas!" pintanya.
"Tapi khusus dalam adegan sembunyi yang aman berdua
kau!"
"Iiiih ...!"Yapti mencubit dadaku, dengan kedua tangannya.
f; ":: _
66 ::.. fs
:uu-i namun.? B:.lli Pusuk:
"Jangan ulangi lagi, Bagas. Sa kit!"
"Enggak!" kataku berjanji.
Dan aku mengulangijanjiku sendiri dalam hati ketika melihat
bagaimana Yapti melangkahkan kaki menuju kamar mandi.
Dengan hati penuh aku percaya, Yapti benar-benar berkorban
banyak untukkami.
"Kita benar-benar harus berterima kasih pada Sri!" ujarnya.
"Oh ya, kau belum hubungi dia 'kan?"
"Besok saja. Tapi supaya kau tahu, Gas, tanpa lari-lari tak
mungkin kita berada di sini bukan? Nah, ide su paya aku olahraga
pagi dan lari-lari datang dari Sri. Ibuku setuju karena Romo
sendiri sering berjalan-jalan setiap subuh. Disangkanya aku
bukan mencarijalan untuk lari!"
Kupaksakan diriku mandi meskipun dingin masih terasa
menggigit-gigit. Langit putih masih menitik?nitikkan gerimisnya.
Hari-hari datang silih berganti. Kami sambut hari-hari itu
dengan penuh bahagia dan bunga-bunga di hati. Buku pelajaran
yang kubawa dari Jakarta tak sempat kubaca. Bukan karena
Bagas membanggakan ijazah dengan predikat 'Baik', melainkan
waktu yang semakin berarti buat berdua-dua dengan Yapti,
bercakap?ca kap apa saja, bercanda dan memadu cinta.
Yapti telah berbicara pada Sri lewat telepon. Sri menduga
bahwa sesuatu telah terjadi antara diriku dan diri Yapti.
Selanjutnya ia mendoakan kami agar senantiasa berdua dan
bahagia. Sri menerangkan bahwa pagi itu ibu Yapti datang
mencarinya. Sri bingu ng dan menjawab tidak mengerti apa-apa.
Ia bingung karena rencana tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Dan ia tertawa mema ki-maki Bagas ini ketika Yapti menera ngkan
apa yang kulakukan. Sri juga mengatakan tentang ibu Ya pti yang
kalang-kabut. Terakhir, Yapti menitipkan salam untuk Mimi.
Ketika aku mengikuti testing masuk Sospol Undip yang
dia da kan, kuberikan surat yang kutulis hampir sesu ntuk malam
dalam ka mar penginapan diYogya. Dan ketika aku kembali siang
hari, Yapti menyambutku dengan sebuah pelukan yang erat
sekali di balik pintu kamar.
"Pandai sekali kau menuliskan perasaan hatimu, Bagas!
Berkali-kali kubaca suratmu itu."
;; 5P 8?
Aku hanya tersenyum-senyum saja.
"Bagaimana dengan testingmu barusan?" tanyanya
menyambung kemudian.
"Aku merasa tidak ada kesulitan apa-apa. Tinggal sehari
besok 'kan?"
Dan testing hari terakhir pun tidak membuatku rusuh. Bagas
merasa bisa mengerjakan semua soal yang disuguhkan. Dan
kepada Endang Pertiwi, yang kukenal selama testing, Bagas ini
memberikan sehelai warkat pos dengan perangko kilat. Kusuruh
ia menulisalamatku dijakarta pada sampul muka warkat pos itu,
dan alamatnya sendiri di sebaliknya. Kuminta agar ia mau
mengabarkan hasil testingku bila pengumuman tiba nanti.
Dengan sungguh-sungguh ia berjanji akan mengirimkan kabar
itu. Tiba di kamar penginapan, kutemukan Yapti sedang asyik
menulis. Kupeluk pinggangnya dari belakang kucium tengkuk
dan pipinya. la mengerang dan kemudian mengatakan bahwa
segala sesuatunya telah diselesaikan. Aku mengedarkan mata ke
sekeliling. Sebuah kopor besar tertutup rapih, menggeletak di
dekat tastangannya dan tas kecil milikku. Sewa penginapan pun
sudah dibayar dan ia menulissurat untuk orang tuanya di Yogya.
"Bacalah!" ujarnya, sambil memberikan kepadaku selembar
kertas yang telah ditulisnya. Kubaca dengan suara cukup jelas
untuktelinga kami berdua.
"ibu dan Rama yang kucintai.I
Jangan teriaiu sedih karena Yapti pergi tanpa pamit, Rarn a.
Anggap saja Vapti berada di rumah Eyang, a'an a'iiaga dengan
ketat, karena ibumerasa amatkhawatirmeiin at Vaptimenerima
tamu seorang pemuda. Jangan risau dan jangan sediri, sebab
Yapti tetap a'aiam keadaan sehat waiafiat, meskipun jauh dari
ibu dan Romo di sini.
ibu dan Rama yang kusayan gi Yapti iari bersama Bagas,
karena menurut kami iari aa'aian iebin baik daripada tetap
berada di sini. Yapti tidak tahan menerima
'kei'iarusan-keharusan' yang dipaksakan a'an seaiai'i disengaja
untuk mengniian gkan kebahagiaan. Yapti iari bersama Bagas,
karena hanya a'en gan i ari kami merasasebagai man usia iumran,
88 yang wajar bercinta. Percayaian, ibu dan Rama, kaiau Yapti
Biru Darah Gadisku Karya Darto Singo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tetap di sini dan tetap dipaksa agar menjadi istri Mas Darmo,
bunuh diri adaian satu-satunya jaian penyeiesaian. Dan Yapti
tahu, ibu dan Romo tidak menghendaki musibah itu. ibu dan
Roma menghendaki Yapti bahagia. Dan sungguh, Yapti
merasa bahagia bersama Bagas.
ibu dan Rama tresnakusayang, sayangi
Jangan risaukan Yapti karena keadaan ananda akan
seiaiu baik dan bahagia. Surat-surat Yapti akari berdatangan
dan tidak periu dibaias un tuk sementara waktu ini. Sebab yang
penting nanyaian mengabarkan keadaan ananda agar Roma
dan ibu tidak cemas. Seteian semuanya beres nanti, baruian
Roma dan ibu akan mengetahui di mana Vapti, bahkan kami
berdua akan datang sowan ke hadapan Romo dan ibu di sini.
Apa pun yang diberikan Roma dari ibu kepada kami berdua,
akan kami terima dengan hati yang iki'iias, aien karena
kemungkinan terpanit pun teian kami bayangkan dan hati kami
reia menerimanya.
Rama dan ibu tresnakusayang, sayang.I
Maafkaniai'l kaiau semua perhiasan miiik Yapti teiai'l
kubawa serta. Maafkanian juga andai semua perhiasan itu
nanti terjuai untuk biaya kuiiai'i dan hidupku di tempat yang
jauh dari ibu dan Rama.
Sampai di sini saia duiu, Roma dan ibu.! Surat iain segera
datang tentui
Sembah sujud si Ragii,
Raden Ajeng Siti Diyapti
Aku tersenyum dan sambil tetap tersenyum membaca
kembali namanya yang dilengkapi dengan gelar
kebangsawanannya. Karena cara menuliskannya yang penuh
makna, aku membaca keras?keras gelar kebangsawanannya
yang kusambung dengan menyebutkan namanya dengan suara
yang lirih sekali.
"Gelarku itu kutulis tiga kali berulang-ulang, Bagas. Hitam
sekali bukan?" Aku mengangguk.
Surat itu dimasukkan ke dalam bis surat yang tegak di luar
gedung Stasiun Tawang manakala kami hendak meninggalkan
;; 5P 89
Semarang dan menempuh perjalanan ke Jakarta. Aku sendiri
teringat surat yang kukirimkan pada orang tuaku di kampung,
ketika kami masih di Magelang.
Selamat tinggal Semarang! Kau jadi saksi cinta yang dipateri
dengan janji dan dosa manis kami. Kau menjadi saksi harapan
kami yang menjulang. "Semoga yang kami angankan, teraih
tangan!" kataku dalam hati manakala Kereta Senja melonjak
pada tarikan pertama diikuti surat berdentang dari sambungan
gerbong yang beradu.
":." If! _
QM Fajarmenyingsing dihalangimendung hitamyangtebalsekali,
ketika becak melaju di pinggiran By Pass menuju rumahku.Tiba
di mulut ga ng kami berpapasan dengan beberapa orangteta ngga
yang sedang menunggu jemputan menuju ke kantornya. Kepada
mereka Bagas ini mengangguk, menjawab pertanyaan dan
bertanya sekedar basa-basi.
Becak berhenti tepat di depan pintu pekarangan rumahku.
Aku melompat turun, menanting tangan Yapti dan kemudian
menurunkan kopor. Waktu Yapti sedang membayar ongkos
becak dari stasiun, kulihat para tetangga menyembulkan muka
dengan mata mengawasi kami.Tentulah mereka berta nya-ta nya,
sia pakah gadis manis ya ng berdua Bagas ini! Dan seleret ba ngga
mengusap kalbu.
Adikku yang sedang mengepel, membuka pintu dan berdiri
menyambut kami. Darsih membersihkan telapak tangannya
dengan mengelapkan pada bajunya sendiri, ketika kusuruh
berkenalan dengan Yapti.
Aku menjinjing kopor masuk ke kamar, membuka dan
memakai sandal. Sandal Yapti kukeluarkan dan kuberikan
padanya di ruang tengah. Darsih membawa sepatu Yapti ke
dalam kamarku. Pintu kamar Darsih mengembang dan kulihat
ibu muncul.
"lho, kapan datang, Bu?" tanyaku.
"Tiga hari setelah kamu pergi!" sahutnya sambil
memperhatikan Yapti.
"Kenalkan, Bu!" kataku menggamit bahu Yapti dan
menghelanya lembut ke hadapannya. "Ini calon menantu Ibu!"
Seperti menyembah, Yapti mencium tangan ibuku. Ibuku
tampakgugupsekali.Tapidengantenang aku berkata, "Namanya
Raden Ajeng Siti Diyapti!"
Ibuku tersenyum. Lalu, "Masih kelihatan sekali 'darah
ndoronya'!"
;; 5P 91
"Karena dialah, maka aku tidak mengikuti testing di Gama.
Tapi di Undip sih, bereees !"
Untuk kedua kalinya ibu tampak kaget.
Darsih muncul membawa dua gelas teh manis. Ia mengajak
Yapti ke belakang.
"Dari Magelang aku menulis surat ke rumah, meminta agar
ayah dan Ibu datang secepatnya ke Jakarta. Perlu penting!
Persoalan Yapti!" kataku menga ngkat dagu menunjuk punggung
Yapti yang bergerak menjauh.
"Ada apa sebenarnya, Gas?" tanyanya sambil mengernyitkan
kening. "Ibu memimpikan kau mengejar kereta pengantin!"
"Wah, bagus itu !" seruku gembira.
"Apa yang bagus? Justru sebaliknya! Kereta pengantin dalam
mimpi adalah simbol kematian."
"Buktinya, Bagas masih gagah begini? Yapti juga! Mungkin
mimpi Ibu itu berarti aku dan Yapti akan segera menjadi
pengantin."
Yapti muncul dan tersenyum mendengar ucapanku yang
terakhir.
"Ada apa sebenarnya, sih? Cobalah ceritakan! Oh ya, cuci
muka dulu sana!" katanya padaku, dan pada Yapti ibu bertanya,
"DariJogya, Nak?"
"lnggih, Bu!"jawabnya santundalam bahasa Jawa yang halus.
Di kamar mandi aku mencuci muka dan menggosok gigiku.
Lalu cepat-cepat mengeringkannya dengan handuk yang
dianginkan di kawat jemuran. Bibi Mirah yang sudah setahun
lamanya membantu dirumahku bertanya tentang Yapti. Kujawab
bahwa ia istriku. Bibi Mirah tertawa. Dan ia memuji kecantikan
Yapti, yang katanya seperti Ratu Kencana lNungu dalam lakon
ketoprak.
Yaptisedang menceritakan keluarganya ketika aku muncul di
ruang tengah. Kemudian ibu bertanya padaku tentang Yapti
yang akhirnya berada di rumah kami itu.
Bagas pun berkisah tentang duka nesta pa Yapti di rumahnya
yang masih menganut paham lapuk itu. Tentu saja kubumbui
untuk menarik simpati ibu. Kemudian bagaimana kami saling
bercinta dan akhirnya sepakat untuk lari.
92 Selesai aku bercerita, tiba?tiba sekali Yapti berjongkok
mencium lutut ibuku yang duduk di kursi. Kudengar suaranya
mengalun gemetar, memelas sekali, "Saya memohon
perlindungan, Ibu! Saya lari mencari perlindungan, karena di
rumah sendiri tersiksa, tidakterlindungi!"
Wajah ibu berubah seketika. Haru tebal melapisinya. Bibirnya
tiba-tiba gemetar seiring matanya yang rerembikan seperti
hendak menangis. Dan dengan gemetar, jari-jari tangannya
mengusap-usap rambut kepala Yapti. Kudengar suaranya sendu
dan terharu sekali.
"Kewajibanku sebagai ibu adalah melindungimu, Nak. Ibu
akan tetap memberi perlindungan walaupun bu kan Bagas yang
telah melarikanmu. Ibu tahu, anak-anak muda zaman sekarang
kurang bisa menerima adat kebiasaan lama."
Ibu berhenti sejenak mengatur suara dan napasnya. la
mengangkat Yapti mendudukkannya ke kursi kembali sambil
berkata, "Anggaplah ini rumahmu, NakYapti! Mudah?mudahan
kau betah dengan keadaan yang sederhana ini. Dan untuk
sementara,soal yang lain terpa ksa kita tunda dulu.Tapiyakinlah,
ibu akan turut bertanggung jawab! Kita pikirkan bersama
matang-matang nanti, agar bisa diperoleh jalan yang sebaik
mungkin!"
"Ibu akan menunggu ayah?" tanyaku.
"Tentu ayahmu akan datang ke sini. Kakakmu sendiri harus
kau beri tahu hal ini, Bagas! Ibu memerlukan saran-sarannya.
Saya ng dia sedang berada di Jepang!"
"Kita menulis surat saja. Sebelum dua bulan kita akan
menerima balasannya !" kataku.
Ibu mengangguk-anggukkan kepala. Yapti diamsaja. Aku tak
berkata-kata lagi. Kusuruh Yapti meneguk isi gelasnya. Kuminum
teh manis dalam gelas di depanku. Ibu turut menyilakan agar
Yaptisegera meminumnyaYapti pun mengangkat gelasnya dan
menegu k isinya.
"Kenapa tidak mau menerima pilihan orang tuamu? Tidak
senang?" tanya ibu tersenyum.
"Tidak senang Bu!" jawa bnya.
Ibu menyuruh Yapti istirahat di kamar Darsih. Tapi ketika
Darsih hendak pergi ke pasar, ia memaksa mau ikut. Maka
;; 5P 93
pergilah mereka berdua. Bibi Mirah sedang menjemur
pa kaian-pa kaian yang telah dicucinya. Aku dan ibu duduk berdua
di ruang tengah.
"Bisa tidak karuan kuliahmu, Bagas! Kamu memang tukang
nekad !" ujar ibu menyalahkan.
"Akujustru merasa sebaliknya, Bu! Kalau Ya ptitidakkularikan
bisa ia di kuliahku beranta kan."
"Tapi bagaimana mungkin, kalian menetap di bawah satu
atap? Masyarakat pasti akan menganggap jelek. Dan hal-hal
yang buruk memang bisa saja terjadi sebagai akibatnya !"
"Kupikir, sebaiknya kami bertunangan dulu. Sederhana saja
asal para tetangga tahu.Yaptijuga ingin kuliah disini."
"Sebaiknya kalian berpisahkota. Yapti biar di sini. Dan kau
kuliah di kota lain saja. Dengan begitu, persoalan akan mudah
diatasi dengan ca ra yang baik dan aman."
"Daripada repot-repot, biarlah kami kawin saja. Toh kami
akan tetap kuliah."
"Kau kira hidup initambah mudah bila kalian sudah menikah?
Ada-ada saja kamu ini. Ah, ibu khawatir jadinya. Ibu datang ke
sini karena bermimpi buruk. Ternyata kamu membuat persoalan
yangsulit begini!"
"Yah, bagaimana ayah dan MasJon saja. Tapi kalau sekiranya
memberatkan kami, aku akan nekad mengawini Yapti dan bila
perlu hidupsendiri!"
"Eh, eh ...! Belum?belum sudah mau nekad?"
"Ayah sudahtahu rencanaku bilaMasJontidakmau menerima
kehadiran Yapti!"
"Soal kuliah Yapti, biarlah ibu sendiri yang menanggungnya.
Seandainya kakakmu tidak mau membiayai! Tapi bagaimana
menyelamatkan kuliah kalian ini? Itulah yang harus dicarikan
jalan keluarsebaik-baiknya dan seaman-amannya!"
Aku diam saja sambil menghisap rokok mengusir gelisah
lembut yang memagut-magut hatiku.
"Kenapa kau mempunyai rencana nekad hendak kawin
segala, Bagas? Seharusnya kau bisa meniru kakakmu. Dia tidak
akan kawin sebelum adik-adiknya bisa mentas atau mencapai
tingkat pendidikan yang baik. Kau jago yang diharapkan. Karena
f; I:: _
66 ::.. fs
:uu-i namun.? B:.lli Pusuk:
memikirkan kamu maka Jojon terpaksa masuk akademi
pelayaran, yang tidak memerlukan biaya. Supaya ibu bisa
membiayaimu. Padahal kakakmu sudah diterima di kedokteran."
Aku diam saja dan menghisap-hisap rokok sambil
mempermainkannya. Aku tahu kakakku memang berjanji tidak
akan menikah terlebih dulu sebelum adik-adiknya yang tidak
sedikit ini bisa mendapat pendidik yang baik. Dulu ia memang
diterima menjadi mahasiswa Faklutas Kedokteran Universitas
lndonesia.Tapiia sadar biaya yang dibutuhkanuntuk cita-citanya
itu tidak sedikit. Karenanya ia memilih masuk Akademi Ilmu
Pelayaran di mana ia memperoleh ikatan dinas. Tamat dari
pendidikannya ia langsung menjadiseorang pelaut. Semua hasil
jerih payahnya ditumpahkan untuk kepentingan adik-adiknya. Ia
membeli rumah di Jakarta agar aku dan adik?adikku bisa
berkumpul di kota yang sering disinggahi kapalnya. Dengan
demikian biaya yang kami butuhkan akan mudah diberikan. Dan
setiapbulan kami menerima uanggajih daripadanya.
Memikirkan itu, Bagas merasa menjadi adikya ng kurang baik
bagi MasJojon. Sendu yang tipis mengambang dalam kalbu.
Aku permisi untuk istirahat di kamar saja. Aku merebahkan
tubuhku menentang langit-langit kelambu yang bergoyang di
atas mataku. Tak lama kemudian Ya pti pun datang.
Darsih memanggilku dan menyuruh makan pagi. Aku dan
Yapti serta ibu duduk mengelilingi meja makan. Sekali lagi ibu
menyuruh agar kami istirahat, karena tentulah lelah setelah
menempuh perjalanan jauh.
Selesai makan pagi, aku duduk-duduk sebentar berdua Yapti.
Ia mengemukakan kesannya tentang keluargaku yang
demokratis, hangat dan mesra. Kemudian ia bertanya tentang
Narti. Aku tersenyum mengerti, tentulah Darsih yang telah
menceritakannya.
"Jadi kau pacaran dengan mahasiswa tingkat III?" ta nya Yapti
seperti tidak percaya. Aku menga ngguk dan ia meminta agar aku
memperl ihatka n toto-fotonya.
"lstirahat saja dulu. Nantisiang, atau sore 'kan bisa?" ujarku
menggamit pundak menghelanya lembut ke kamar Darsih. Tapi
ia memberontak dan lari ke dapur mencari Darsih. Ada yang
dibisikkannya di telinga adikku. Aku tidak tahu apakah itu. Tapi
akhirnya kulih at ia menjulurkan lidah sambil masukke kamarnya.
Aku merebahkan diri di kasurku kembali dan akhirnya tertidur
hingga siang hari. Darsihlah yang membangunkanku. Kulihat
Yapti sudah lama terbangun. Ia sedang asyik memperhatikan
foto-toto dalam album. Darahkutersirap.Aku khawatir ia merasa
sedih mengetahui bahwa hampir semua gadis yang fotonya
tertempel dalam album adalah bekas kekasihku. Tak sedikit
jumlahnya. Inilah yang mencemaskanku. Apakah Darsih telah
menceritakan seluruhnya? Cemas kian meliputi dan
menghempas-hempas dadaku.
Namun Yapti tampak tenang-tenang saja. Ia tersenyum
sambil sebentar-sebentar melirikku. Dan tangannya tidak
henti?hentinya membolak-balikhalaman album.
Kamimakansiangbersama.Hanya BibiMirahsaja yangduduk
Biru Darah Gadisku Karya Darto Singo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyendiri di dapur menunggu kami selesai, walaupun ibu telah
berkali?kali meminta agarturut makan bersama.
"Dalam keluargamu seperti tidak ada perbedaan antara
pembantu dan majikan saja, Gas!" ujar Yaptiselesai makan.
"Bibi Mirah seorang janda yang tidak punya apa-apa lagi. Di
kampu ng ia membantu ibuku dan tinggal di rumahku. Tak punya
anak, tak punya rumah. Kasihan bukan? Padahal kerja apa saja
dilakukannya!"
Dan pada malam hari Ya pti mengungkapkan hal ini kembali di
depanku dan di depan ibu serta Darsih. la menghormati cara
kami memperlakukan manusia sekalipun kepada mereka yang
berkedudukan sebagai pembantu. Dan sebaliknya, ibu banyak
bertanya tentang keadaan keluarganya. Yapti menceritakan
perbedaan-perbedaan yang ada antara keluargaku dan
keluarganya. Dan baginya kebahagiaan yang pernah dialaminya
hanya ketika kecil saja. Sebab, makin besar makin banyak
kewajiban-kewajibanyang harus diterimanya sesuaidengan tata
cara kaum ningrat; tertawa yang tak boleh keras dan semaunya
meskipun hatinya amat geli dan tidak mampu menahannya;
berjalan pun tidak boleh sesuka hatinya dan harus diatur
sedemikian rupa baik di jalanan ataupun di rumah dan
mengemukakan pen dapat di depan orang tu a, apalagi pendapat
yang berbeda, tidak bisa dikemukakan kapan saja dan di mana
f; I:: _
66 ::.. fs
:uu-i namun.? B:.lli Pusuk:
mau, dan amat tercela bila langsung dikemukakansebagaimana
terjadi dalam sebuah diskusi. Masih banyak lagi yang
diceritakannya. Dan tiap sebentar adikku terbengong- bengong
heran.
Ketika kami sedang duduk menghadapi pesawat TV dan
penyanyi terkenal Henny Purwonegoro sedang beraksi, Yapti
mencubit lenganku. Ketika aku menoleh, ia berbisik pada Darsih
bahwa di Yogya aku ketemu dengan bekas kekasihku yang
menjadi penyanyi terkenal.
"Siapa sih?"
"Mimi! Su miati namanya !" sahutnya.
"Kok aku nggak kenal?" ujar Darsih. Aku melarang mereka
berbicara karena mengganggu lagu yang sedang kami nikmati.
Tentu saja aku melarang sambil tersenyum dan bukan dengan
maksud yang sungguh-sungguh. Bahkan sebenarnya aku ingin
agar percaka pan mereka terus berlangsu ng.
Siang dan malam datang silih berganti dan Yapti tampak
kerasan tinggal di rumahku. Dan yang menggembirakanku ialah
sikap ibu yang memperlakukan Yapti sebagai anaknya sendiri.
Bahkan kadang ada perbedaan yang membuat ka mi bisa iri hati.
Ibuku tampak lebih menyayangi dia daripada kami sendiri. Dan
dari caranya memandang Yapti, aku tahu ibu amat terpesona
akan kecantikan calon menantunya itu. Yapti sering duduk
berdua ibu dan mengobrol tentang banyak hal. Ia pun tahu
bahwa ibu tidak pernah turut campur dalam hal jodoh
anak-anaknya. Seterusnya ibu menceritakan bahwa ketiga kakak
perempuanku menikah dengan pilihannya sendiri.
Satu malam, ketika Yapti telah tidur, ibu memanggilku ke
ruang tengah. Sejenak ia mengawasiku, mengedip beberapa kali
dan akhirnya kudengarsuaranya berbicara. "Ibu merasa khawatir
kalau kalian serumah Bagas! Kalau kau diterima di Undip
Sema rang maukah kau kuliah di sana?"
"Ta pi MasJon menginginkan aku kuliah di Jakarta saja !"
"Ya, itu sebelum ia mengetahui bahwa kau membawa lari
gadisorang! Sekarangtentu akan berbeda pendapatnya. Cobalah
nanti, kalau suratnya datang! "ujarnya.
Demikianlah memang kemungkinan paling besar. Kakakku
cukup ketat memberi peraturan. Seandainya tahun ini aku tidak
;; 5P 9?
berhasil naik tingkat sudah menjadi perjanjian kami: aku harus
bekerja, apa saja, atau kuliah atas biaya sendiri. Seperti juga ibu,
ia pun tak ingin kuliahku terganggu.
"Sebabnya begini, Bagas!" ujar ibu sambil mengingsutkan
duduknya dan mendekatkan mukanya ke arahku. la berbisik,
"Kalau kaliah serumah, mau tidak mau ibu terpaksa menetap di
sini. Untuk mengawasi! Lalu bagaimana dengan adik-adikmu di
kampung?"
Aku diam tak menyahut.
"Mau tidak, Gas?" desaknya. Lalu, "Kalian bertunangan saja
dulu. Berpisah kota tidak apa 'kan ?"
"Kasihan Ya pti, Bu !" uca pku.
"lbu juga merasa kasihan. Karena itu, biarlah dia yang kuliah
di sini. Ibu yang membiayai. Perhiasannya jangan sampai dijual.
Nasihati dia!"
"Ibu takut kuliahku terganggu, 'kan?" tanyaku dan ibu
mengangguk. "Aku juga tidak ingin kuliahku terganggu. Tapi
kalau harus berpisah dengan Yapti, percayalah, pasti terganggu
nantinya!"
"lho, kok malah kebalikkannya? Bukan kalau kalian sekota
justru malah terganggu?" tanyanya dan aku tahu ibu tidak
menunggu jawaban. Aku tahu ibu lebih cenderung meyakinkan
pendapatnya sendiri.
"Seandainya bisa, kalian kunikahkan saja sekaligus!" katanya
kemudian. "Gantung nikah, misalnya! Tapi keluarga kita tidak
boleh begitu. Pantangan sekali! Akibatnya, ada saja nanti! Dan
ibu sendiri memang tidak hendak melakukannya!"
"lbu terlalu mempercayai pantangan-panta ngan begitu sih!"
"Tapi tunangan dan gantung nikah sama kuatnya, Gas!
Misalnya kalian gantung nikah, ibu tetaptidaksetuju bercampur
dulu. Harus tunggu paling sedikit kuliah kalian sudah setengah
dilewati!"
Aku diam lagi. Ibu juga. Sepi suasana ruangan jadinya.
Sayup-sayup kudengar suara radio mengalunkan gending Jawa.
"Seharusnya Ibu dapat percaya kuliahku tidak akan terganggu
bila kami tidak berpisah. Sebaiknya kiia tunggu ayah dan bila
perlu surat dari Mas Jojon!" kataku lalu bangkit menuju ke
kamar.
f; I:: _
66 ::.. fs
:uu-i namun.? B:.lli Pusuk:
Aku ta kut kehilangan Yapti!
Alangkah kasihannya kalau harus berpisah kola nanti. Untuk
bisa bertemu dan selalu dekat dengan akulah Yapti lari
meninggalkan orang tuanya. Mengapa aku mesti menjauh
kemudian? Duh, Duh! Dan akhirnya satu tekad membulat di
dadaku; menikah secepatnya dengan Yapti kalau ibu tetap
menghendaki berpisah kota.
Sejak ibu mengajakku berunding sendiri, Bagas ini menjadi
pendiam. Kegemaranku bercanda hilang sama sekali. Dan
sebaliknya aku sering sengaja memamerkan kebisuanku di
depan seisi ru mah kecuali Yapti. Tentu saja Yapti ingin mengerti
apa yang menyebabkan kekasihnya ini mendadakjadi pendiam
dan tampak mu rung. Dan kepadanya kujelaskan tentang rencana
ibu agar supaya kuliahku tidak terganggu, maka kami baru
diizinkan menikah setelah kami melalui setengah masa kuliah
kami.
"Aku justru merasa kebalikannya, Bagas! Setuju atau tidak,
aku percaya kita akan menikah secepatnya! Aku punya firasat
dosa manistelah menjadi putik bunga dalam perutku."
"Dari mana kau yakin tentang hal itu?." tanyaku gembira
namun kaget dan bingungjuga.
"Kau berasal dari keluarga yang subur! Dua belas orang
jumlah saudaramu, bukan? Dan aku? Sepuluh orang tapi hanya
lima yang hidup."
"Jadi, bagaimana menurut pendapatmu?"
"Terima saja usul ibumu. Toh walaupun terpaksa kita akan
menikah juga nanti. Ibu begitu baik padaku. Lebih baik daripada
ibuku sendiri. Hubungan dengan anak-anaknya mesra dan
hangat. Aku sungguh senang dan hormat!"
"Tapi kalau aku harus kuliah di Semarang dan kau di sini,
bagaimana?"
"Itu termasuk usul ibu?" tanyanya cemas.
Aku mengangguk.
Sejenak Yapti menatapku dengan mata tanpa berkedip. Lalu
menundukkan wajahnya dengan amat perlahan, sambil
menggigit?gigit bibir dan meremas?remas jari.
Aku terdiam bisu. Bingung menggulung isi dadaku. Yapti
merunduk dalam-dalam. Matanya makin sering berkedip.
;; 5P 99
Kuangkat dagu nya. Biji mata yang digenangi cairan menjatuhkan
pandangan ke lantai. Air di kelopak matanya melimbak, bulu
mata yang lentik panja ng kuyup, dan sisa air itu menggelinding di
pipinya membuat garis basah di kanan-kiri batang hidungnya
yang tinggi. Kukeringkan matanya dengan hati pecah
dicabik-cabik kedipnya yang beruntun. Ia tidak mengisak-isak,
atau menangis seperti dalamtaksi dulu. Namun aku tahu hatinya
berduka.
"Maksud ibu, aku kuliah di Semarang kau kuliah di sini atas
biaya ibu. Jadi hanya sekali?sekali saja kita bertemu. Oh ya, kita
boleh bertunangan dulu. Setelah kuliah setengah jalan, barulah
kita boleh menikah!"
"Maksud Ibu memang baik. Aku tahu."
Kupeluk Yapti dengan tiba-tiba. Kudekap hangat-hangat.
Napasku menggigil menyentil-nyentil kulit lehernya. Bahagia
yang menyelinap masuk ke dalam sanubari seperti dihadang
oleh segumpal bimbang. Hatiku bergoyang ditimangnya. Dan
hatiku makin terguncang bila kukenang
pengorbanan?pengorbanan yang telah dilaku kan Yapti.
"Yapti! Aku akan tetap bertahan. Kita harus bersama?sama
selalu. Tak berpisah walaupun untuk sementara! Pepisahan
adalah penghancuran bagi kita berdua. Percayalah!" kataku
kemudian. Kulepaskan pelukanku.Yapti duduk di dipan dan aku
duduk di kursiku kembali.
"Tapi aku jadi bingung, Bagas. Bahagia ku dililit duka. Dulu aku
bahagia dalam sedihku. Sekarang sebaliknya !"
"Tidak boleh ada duka, Yapti. Tidak boleh ada sedih
mengganggu bahagiamu. Aku bertekad! Toh kita sudah siap
meninggalkan rumah ini untuk hidup mandiri? Hidup sendiri,
hidup merdeka, jauh lebih enak. Bila perlu, mari kita hidup
berdua, tanpa menghiraukan saudara, orang tua, dan !"
Yapti melompat dan menutupkan telapak tangannya ke
mulutku. la menggeleng pelan. Ada senyum yang hendak
dikembangkan di bibirnya. Tapi gagal di tingkat permulaan. Ia
berkata lirih namun sungguh, "Tidak baik itu, Bagas!"
"Tapi ....?"
"Tunggu!" tukasnya lembut."5edangkan aku sendiri
mempunyai keyakinan orang tuaku bakal bisa menerima kita
f; I:: _
6.6. :uu-i namun.? B:.lli Pusuk:
nanti. Setelah semuanya selesai. Srijuga punya pendapat begitu.
Demikian pula Mimi. Orangtua adalah samudra ampun dan doa
serta kasih sayang! Takkan habis untuk semua anaknya, betapa
pun si anakterlalu kurangajar. Dan kita? Aku melakukan pelarian
hanya sebagai taktik, agar maksudku tercapai. Setelah itu, kita
tidak perlu menjauhkan diri. Kita tidak boleh memusuhi orang
tua. Dan kita berbaikan kembali dengan mereka.]adi, rencanamu
tadi, terlalu egoistis. Kita manusia Indonesia bukan? Manusia
gotong-royong, bukan individualis sejati, walaupun kita memiliki
kemerdekaan indiyidu!"
Aku tersenyum. Kurasakan sendiri, indah sekali senyum
Bagas ini. Benar?benar indah dan sungguh?sungguh indah.
Bangga beraja dalam dada.
"Jadi bagaimana maksudmu? Sekarang kau sudah tidak
bingung lagi?" ta nya ku.
"Bingungku lari karena kaget mendengartekadmu yang tidak
masuk akalku!" senyumnya mengembang mengiringi sinar
matanya yang diterawangkan ke mataku. "Kita tunggu sampai
musyawarah diadakan. Aku toh punya hak untuk bersuara,
demikian kata Ibu? Nah, mudah-mudahan otakku jernih nanti
dan bisa mengemukakan tuntutanku dengan baik dan masuk
akal. Yangjelas, kalau kita harushidup mandiri, ah seratus persen
aku setuju!Tapi kita bukan harus memusuhikeluarga mana pun.
Apalagi keluarga dan orang tuamu yang baik ini! Sedangkan
dengan orangtuaku kita harustetap mengadakan pendekatan!"
Aku mengangguk?anggukkan kepala dengan hati lega.
"Kau harus ingat, Bagas! Kau keturunan Ki Ageng Mangir.
Dulu Ki Ageng Mangir dengan tabah dan ikhlas menghadap
Panembahan Senapati berdua istrinya. Bahkan ia tidak
mengadakan perlawanan waktu dibunuh!"
"Tapi aku tidak akan mau dibunuh mertuaku sendiri!" kata ku
tersenyum.
"Edaan ...! Siapa yang mau membunuhmu? Orang tuaku
bukan seorang raja! Drang tuaku tidak memiliki kekuasaan dan
kekuatan untuk membunuhmu. Dan kau tentu tidak akan diam
saja bila dibunuh nanti?"
"Tentu saja tidak!" sahutku. "Kalau dulu, Ki Ageng terpaksa
mati, sedang aku harus hidup. Dengan demikian anakmu dan
;; 5P 101
anakku, bisa kita rawat baik?baik. Tidak seperti anak Ki Ageng
yang terpaksa diselamatkan dengan jalan dibawa jauh ke daerah
Banyumas atas saran Sunan Kalijaga!"
"Kenapa kau tertarik sekali dengan cerita itu?" tanyanya
tersenyum.
"Entahlah! Menurut kisah lama itu, Ki Ageng memberontak
pada Panembahan Senapati. Padahal, kemungkinan besar Ki
Ageng melawan untuk mempertahankan wilayah kekuasaannya,
yang hendakdimasukkan ke dalamwilayahly'lataramyang ketika
itu sedang mengembangkan sayapnya. Mungkin karena
perlawanannya yang lama dan tidak mudah dipadamkan,
sehingga ia dicapsebagai pemberontak."
"Menurut hematku," kata Yapti, "Mungkin Ki Ageng merasa
akan menjadi raja terkuat di Pulau Jawa, atau setidaknya
anak-anaknya. Sebab, ia memiliki senjata keramat Tombak
Baruklinting itu, yang konon akan menjadi pusaka seorang raja
terkuat di Pulau Jawa ini. Itu sebabnya ia melawan Panembahan
Senapati, dan tidak mudah dikalahkan!"
"Ya, ya, bila Ki Ageng memang seorang pemberontak, aku
pun termasuk salah seorang memiliki darah pemberontak itu !"
"Akulah yang akan merubah semangat pemberontakanmu
atau daerah pemberontakanmu menjadi semangat berjuang
dan darah pejuang. Mau?
"Tentu saja maul"
Ia tersenyum. Dan akutersenyum. Ia menatapku. Dan kutatap
Biru Darah Gadisku Karya Darto Singo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
matanya.
"Nah, mulai sekara ng, belajarlah memikirkan segala sesuatu.
Jangan hanya murung, membisu saja. Berpikir tidak perlu
murung dan membisu! Dulu aku lebih bingung memikirkan
nasibku. Tapi aku tak mau jadi gadis pemurung. Aku
memikirkannya sungguh-sungguh untuk mengatasinya!"
"Ah, kau pun sering mengatasi keruwetan dengan menangis!"
kataku.
"Soalnya, ada kau, Bagas!" ujarnya sambil menepuk pipiku
dengan lembut. "Sejak ada kau, sedikit-sedikit aku ingin nangis.
Mungkin karena manja dan perasaan ingin selalu dilindungi
olehmu!"
102 "Baiklah, sayang! Kita tunggu saja musyawarah yang akan
datang nanti. Tapi kau harus slap menerima kenyataan yang
paling pahit; lari dari rumah ini dan hidup mandiri!"
"Oh, hidup mandiri itu bukan satu kenyataan yang pahit,
Bagas! Hidup mandiri, atau lengkapnya dalam bahasa Jawa
'man direngprilaadir adalah hidupyang paling baik! Berdiri di atas
kaki sendiri, bukan tegak karena topangan, bukankah itu baik?
Hanya saja, kita masih terlalu muda, masih belum saatnya!"
"Eh, kau luar biasa sekali sejak menangis tadi!" kataku
bercanda.
"Iiiih siapa yang nangis? Wow!" ia mencubit dan
menjulurkan lidahnya. Ya pti mema ng bertambah lincah menurut
penglihatanku. Namun tetap gadis ya ng lembut.
Tiba-tiba muncul Darsih dan ibu. Mereka tersenyum
memandang kami berganti-ganti. Aku merasa pasti bahwa
mereka telah lama mendengarkan percakapan kami.
"Kapan pengumuman di UI, Gas?" tanya ibu.
"Besok, Bu!"
"Pasti mlenyok, deh !" ujar Da rsih.
"Taruhan? Kalau tidak diterima kukasih kau uang 50 perak.
Tapi kalau diterima, kau harus bayar 100 perak. Mau?"
"Mana ada tampang penjudi di sini?" tanya Darsih sambil
menunjukmukanya.
Aku tertawa. Yapti tersenyum. Ibu tertawa. Matanya
memejam dan pundaknya terguncang?guncangsedangsuaranya
tidak begitu keras. Demikianlah memang kalau ibu tertawa.
;; 513, 103
&
Aku diterima di Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan
Uniyersitas lndonesia.
Sehari kemudian ayah data ng dari kampung.
Aku merasa gembira. Dalam banyak hal, Bagas sering
sependapat dengan ayah. Maka, aku segera mengadakan
pendekatan. Kusinggung tentang tokoh wayang bernama Sri
Kresna titisan Dewa Wisnu itu. Bagas ini mengerti ayah gemar
akan cerita wayang. Kutanyakan apakah ayah pernah menonton
wayang kulit dalam membawakan cerita 'Noroyono Ja di Maling'.
Ia tersenyum melirikku. Aku diam tak segera meneruskan
bicara. Dan ayah masih terus tersenyum-senyum saja. Akhirnya
kukatakan bahwa Bagas ini sedang menjadi Kresna muda yang
bernama Noroyono itu. Kalau Noroyono mencuri Dewi Rukmini,
ma ka Bagas ini melarikan Yapti.
Ayahku masih terus tersenyum-senyum sambil melirik dan
sekali-sekali memandangku lurus-lurus.
Akhirnya aku berkata, "Setelah Noroyono melarikan Rukmini,
terjadilah perang besa r, bukan Yah? Pera ng itu, antara Noroyono
dan musuh-musuhnya. Tapi aku? Kenapa aku harus berperang
melawan Ibu, atau Ayah, atau saudaraku sendiri?"
"lbu mengajakmu perang?"tanyanya tetaptersenyum.
"Kira-kira memang begitu!" jawabku cepat. "Tapi percayalah,
Yah! Kalau terjadi perang juga antara aku dengan siapa saja,
pastiaku yang menang!Dalamcerita wayang,Noroyonolah yang
menang. Malah akhirnya ia menjadi raja. Kalau aku harus
berperang juga, pasti menangjuga, dan mungkin kemenanganku
kuperoleh dengan jalan nekad! Nekad meninggalkan rumah ini
dan kawin dengan Yapti! Sebabnya, aku tidak mau disebut
laki?lakitidakbertanggungjawab.
Yah, masa dia sudah lari dari orang tuanya, aku harus pergi
darisini? Kalau akutidakditerima di UI tidakapa. Karena terpaksa
104 harus kuliah di Undip misalnya. Tapi, aku kan diterima di UI? Ul
kan universitas yang terkenal?"
"Kuliah di mana-mana sama saja."
"Baiklah! Misalnya aku kuliah di Undip Semarang. Di sana
kerjanya tiap hari melamun, tentu saja melamunkan Yapti.
Bagaimana?"
"Ya, jangan begitu! Mahasiswa kan punya kewajiban belajar
dengan baik?"
"Supaya bisa belajar dengan baik, jangan jauhkan aku dari
Yapti!"Ayah diam.Aku mengamatinya.
"Bagaimana,Yah?"tanyaku mendesak.
"Bingung! Pusing aku, Bagas! Soalnya kamu memang mau
menangnya sendiri saja! Dan ini sudah terlanjur terjadi. Kamu
kokada-ada saja?"
Kiranya masih sulit juga ayah diajak bersekongkol. Apalagi
kemudian muncul ibu dan Yapti.Tentu saja ia makin tertambah
bingung. Tapi akhirnya kami berunding berempat. Kami pindah
ke ruang tengah yang lebih luas, dan ayah bisa berba ring di atas
dipan. Demikianlah kebiasaan ayah, mengobrol dengan anaknya
sambil berba ring.
Ibu mengemukakan pendapatnya. Ia tidak mau kuliahku dan
kuliah Yapti terganggu. Untuk itu, pernikahan harus ditunda
dulu. Tapi bertunangan boleh. Dan demi keamanan dan demi
kebaikan kita bersama, aku dan Yapti harus berpisah kota.Yapti
kuliah di Jakarta, dan aku kuliah di Undip. Sebab, kalau kami
berada dalam satu ruma h, perlu ada orangtua yang mengawasi.
"Dulu Ibu bilang kalau kami satu rumah, masyarakat
menganggap kura ng baik. Setelah aku menghubungi Pak RT dan
menceritakan apa adanya, dan Pak RT memaklumi dan tidak
menolak. Ibu mengajukan alasan lain!" kataku membantah.
"Kamu toh tidak akan selalu bisa menjaga dirimu sendiri,
Bagas!" seru ayah. Lalu, "Namanya juga manusia. Dan setan,
setiap saat menggoda! Pikiran Ibu baik juga. Demi keamanan
dan kebaikan kita bersama. Juga demi kelangsungan kuliah
kalian berdua. Sebagai calonmu, ayah setuju sekali dengan Yapti.
Demi Allah! Ayah setuju sekali.
Bukan tak suka!"
;; 5P 105
"Aku sendiri juga setuju sekali. Demi Tuhan! Apakah selama
inisikapibu hanya pura-pura, Yapti?"
"Tidak, Bu! Saya percaya kepada Bapak dan Ibu. Tapi saya
sendiri lalu menjadi bingung!" katanya.
"Bingung bagaimana?" tanya ayah. "Katakan saja supaya
kamitahu!"
"Katakan, Yapti. Apa yang membuatmu bingu ng?" sela ibu.
Aku direjam gelisah yang sangat. Bingung datang
bergulung-gulung ke dadaku. Aku yakin, tentulah yang
membingungkan Ya pti karena dosa manis yang menjadi putik di
rahimnya itu.
Yapti melirikku. Hatiku tercabik. la memandangku seperti
meminta persetujuan. Dan dalam keadaan demikian, apakah
kuasaku untuk menahannya? Aku pun mengangguk dengan hati
bersuara remuk sambil berkata, "Katakan saja! Kau punya hak
bersuara disini."
"Begini, Bu, Pak!" katanya mulai bicara.
Dengan dada berdebar?debar aku mencoba menenangkan
diri untuk mendengar ucapannya dengan jelas. Namun
kendang-kendang telingaku seperti terganggu. Seperti ada yang
menendang-nendang dari arah dalam. Namun akhirnya aku
mendengar suara Yapti melulur dengan jujur, "Di rumah, saya
merasa tersiksa. Gusti Allah pasti tahu perasaan saya itu. Karena
saya mencintai Bagas dan Bagas pun mencintai saya, saya setuju
untuk lari. Saya merasa aman selama dalam perlindungannya.
'l'iba disini, saya merasa lebih aman, tenang dan bahagia karena
Ibu juga memberi perlindungan. Tapi seandainya kami harus
berpisah lagi, terus-terang saja, saya merasa tidak akan bisa
tenang," Yapti berhentisesaat. Dengan manisnya ia memandang
wajah ibuku dan ayahku berganti-ganti. Ibu dan ayah dua kali
berpandangan dalam sejenak itu. Aku tersenyum dalam hati.
"Tapi bukan berarti kami harus serumah!" sambungnya
membuat aku kaget sekali, dan memaksa ayah serta ibu
berpandangan lagi. "Tapi izinkanlah kami berada dalam satu
kota saja!"
"Maksudmu bagaimana, Yapti?" ta nya ibu kura ng paham.
"Sejak dulu, sejak sebelum lari meninggalkan rumah, saya
sudah memikirkannya. Bagas masih menumpang di rumah
106 kakaknya. Padahal dialah yang menjadi pelindung saya.
Bagaimana nanti kalau kakaknya menolak saya atau bahkan
marah akan tindakan Bagas? Akhirnya saya memperoleh jalan
tengah yang baik. Saya sudah berjanji kepada Bagas untuk tidak
memberatinya, tidak mau jadi bebannya. Supaya Bagas bisa
tetap tinggal di rumah ini, biarlah saya indekos di tempat lain.
Dari rumah saya membawa perhiasan yang kugunakan sebagai
biaya hidup secara sederhana selama beberapa waktu. Dengan
demikia n,saya tidakmemberati Bagas, dan Bagas pun bisa kuliah
dengan tenang." Ibu dan ayah terpukau mendengar penuturan
Ya pti ya ng ga mbl ang itu.
"lbu tidak setuju kau menjual perhiasanmu, Yapti. Tapi
usulmu, ada baiknya!"
"Itulah jalan tengah yang terbaik!" ujar ayah. "Tapi karena
kamu sampai di sini dilarikan Bagas, maka segala sesuatunya
menjadi tanggung jawab Bagas dan juga tanggung jawab ayah
dan ibu."
"Kau benar-benar hebat, Yapti!" kataku memuji sambil
menampar pipinya dengan lembut. "Pantas kau kelihatan
tenang-tenangsaja selama ini."
"Mulai sekarang," ujar ayah, "ca rilah kamar untuk dikontrak.
Bila perlu, dengan makan dan cuci pa kaian sekaligus. Tapi pilihlah
yang lingkungannya baik dan baik pula keadaan keluarga yang
ditumpangi itu. Dan perhiasanmu, simpan saja baik-baik. Atau
kembalikan saja! Asal hidup sederhana, kamu tidak akan
merepotkan ka mi, Yapti!"
"Ya, kupikir memang harus begitu!" Ibu mendukung ayah.
"Baik, Bu! Saya menurut pendapat Bapak dan Ibu saja. Tapi,
mungkin sekali saya akan sangat membutuhkan perhiasan ini.
Dalam keadaan terpaksa, tentunya tidak mengapa bila dijual."
"Ya, kalau terpaksa saja!" kata ibu menandaskan.
Ayah hanya dua hari berada dijakarta. Ia kembali ke kampung
sehari setelah telegram dari Yogya datang. Dari Sri, yang
mengabarkan bahwa Romo sakit keras dan meminta agarYapti
pulang dulu.
Gusar sekali Yapti menerima kabar itu. Aku tahu sebabnya.
Andai ibunya yang sakit keras dan bukan ayahnya,tidak akan ia
segusar itu. Romo termasuk orang yang paling disayang dan
;; 5P 10?
menyayanginya. Ada keraguanku terhadap telegram itu, Yapti
pun demikian. Tapi ia tidak sanggup memastikan bahwa berita
itu bohong. Akhirnya kami meminjam telepon tetangga dengan
kesediaan membayar rekeningnya. Untuk menjebak agar Romo
yang menerima, Yapti menggunakan nama kakaknya yang
tinggal di Banjarmasin, yang perkawinannya dengan gadis dayak
tidak disetujui ibu. Dan akhirnya Yapti benar-benar berhasil
berbicara dengan ayahnya.
"Bagaimana keadaan Romo?Baik-baiksaja? Oh, bukan Romo.
Ini Yapti. Soalnya takut kalau Ibu yang menerimanya! Ragil
juga kangen Romo. Kangen sekali! Nanti kalau semuanya
sudah beres, Ragil pasti pulang Romo! Orang tua Bagas baik,
baik sekali!
Tidak, Romo. Ragil sudah dia nggap anaknya sendiri! Tidak
boleh, Romo. Semua ditanggung orang tua Bagas. Bagas diterima
di UI Jakarta! Baru mendaftar, Romo. Di perguruan tinggi
swasta! Boleh saja, Romo.Terima kasih sekali! ...Ragil bertekad
akan terus kuliah, Romo, walaupun nanti sudah menikah!
Tentu, tentu Ragil ke sini nanti. Ibu Bagas hendak melamar; kalau
memang sudah dekat, Ragil akan kirim surat! Pokoknya Romo
jangan seperti Ibu, jangan turut memaksa Ragil. Mau menerima
Bagas bukan, Romo? Dia lulus dengan predikat 'BAIK', tahun
lalu sudah diterima di Sospol Gama dan Undip di Semarang,tapi
kakaknya minta supaya kuliah di Jakarta saja! Besok saya
kirimkan fotonya, Romo. Di keturunan Ki Ageng Mangir.
Keturunan XIII! Pokoknya Ragil baik?baik saja. Jangan
cemaskan, Romo! Ya, tentu, tentu! ya, ya! Sudah Romo
...? Doa restu Romo untuk Ragil, Romo! Sungkem Ragil buat
Romo dan Ibu!
Yapti mengakhiri pembicaraannya. Ternyata ayahnya tidak
tahu apa -a pa tentang telegram itu.
"Romo mengagumi keberanianmu, Bagas! Katanya, kau
pa ntas sekali sebagai keturunan Ki Ageng yang pemberani itu."
"Tentu dengan maksud menyindir" tanyaku.
"Tidak!" bantahnya. "Romo terkenal seorang yang sedikit
bicara dan selalu yang ada dalam hatinya; jujur! Oh ya, Romo
mau mengirimkan uanguntukku tanpa setahu ibu," katanya lagi.
Danweselitudatangketika akubarupulangdarimendat'tarkan
108 diri untuk mengikuti Masa Prabakti Mahasiswa. Aku membaca
suratya ng ditulis ayahnya pada kolom berita: "Dengan cara yang
manis dan jangan sampai menyinggung perasaan, berikanlah
uang ini kepada ibu Bagas. Dan untuk kepentinganmu sendiri
ambillah seperlunya. Romo menunggu kabarmu. Baik-baiklah di
sini!"
Barangkali pada hari itu pula ayahnya menerima surat Yapti.
Ibuku menolakuang dari Yapti dan menyuruh agar disimpannya
saja. Beberapa hari kemudian kami pergi ke dokter.Tapi dokter
belum bisa memastikan apa kah Yaptihamil. Dan di depan dokter,
Yapti mengakui bahwa ia sering terlambat mendapat 'mens'
sampaisetengah bulan. Dokter hendak menginjeksi. Maksudnya,
agar Yapti bisa segera mendapat "haid" bila memang hanya
terlambat dan belum mengandung. Namun Yapti menolak. la
mengira itu satu usaha pengguguran. Aku turut menjelaskan
supaya ia bisa menerima. Namun Ya ptitetap menolak dan hanya
berjanji untuk datang lagi kapan-kapan saja. Dokter hanya
tersenyum dan mengangkat bahunya.
"lngin lekas punya anak?" tanyanya.
"Benar, Dokter!" sahutYapti tersenyum.
62515.
'j"+ . 513, 109
Biru Darah Gadisku Karya Darto Singo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
&&
DariSemarangEndangPertiwimengirimkansuratmengatakan
aku diterima di Sospol Undip. Berita gembira itu kusambut
dengan hati biasa. Kubalas suratnya, kukatakan bahwa aku
sedang mengikuti Mapram di IPK UI, dan sangat berterima kasih
atas kesediaannya mengirimkan surat itu.
Dengan naik sepeda aku memboncengkan 'kekasih'
pemberian panitya Mapram. Namanya Eko dan tinggal tidak
jauh dari rumahku. Setiap siang ia datang menjemput dengan
sepedanya. Dan setiap malam aku mengantarkan ke rumahnya,
lalu menjemputnya lagi dini hari untuk berangkat ke kampus
kembali. Yapti tampak kurang senang dengan kedatangan Eko
itu,walaupun aku telah menjelaskan bahwa ia adalah pemberian
yangharusditerima,karenadalamMapram akutidakmempunyai
hak untuk mengatakan kemauan hati yang sebenarnya. Kalimat
apa pun yang ingkar bentuknya, pantang diucapkan karena
kata?kata 'tidak' mengundanghukuman bagiyangmengucapkan.
Kukatakan pada Yapti bahwa sejak tahun lalu pelaksanaan
Mapram jadi konyol sekali! Aku mengerti acara ini tidak ada
hubungannya dengan kuliah nantinya.
Setiap malam, Yaptilah yang membukakan pintu bila aku
datang.la menyuruh aku mandidenganairpanasyangdirebusnya
selama berseorang diri menantiku, karena ditinggal tidur seisi
rumah yang lain. Dan Yapti lebih suka membiarkan Bibi Mirah
tidur pulas. Anehnya, segala rasa dongkol dan lelah yang kubawa
pulang, hilang seketika setiap pintu mengembang dan Yapti
muncul tersenyum menyambutku.
Suatu malam kutemui keadaan rumah belum sepi. Yapti
berlari menjemputku dan berbisik, "Ibuku datang berdua
saudara sepupuku!"
Dan malam itu kutemui keramahan ibu Yapti, yang tentu saja
kubalas dengan sikapsa ntun dan hormat. Yapti merasa gembira
110 karena kenekadannya dimaafkan dan hubungan kami disetujui.
Tentu saja
Bagas ini pun merasa gembira sekali.
Tidak lama ibu Ya pti dan MbakHar berada di rumahku. Hanya
satu hari satu malamsaja. Dan katanya, "Hanya ingin menengok
keadaan Yapti." Aku sendiri tidak bisa mengantarkan mereka ke
stasiun kereta api karena sibuk mengikuti Mapra m.
Ada perbedaan yang kurasakan sejak ibunya pulang. Yapti
jadi sering mengajakku bercerita tentang Yogya. Dan ayahnya
adalah topik pembicaraan yangtak pernah usai.
Suatu sore aku merasa kurang enak badan. Eko menjemput
dan mengajakku pergi. Tapi aku menolak dengan alasan sakit.
Dengan serta merta Eko pun mengurungkan niatnya mengikuti
acara Mapram hari itu. Dan cukup lama ia berada di rumahku,
bercakap-cakap dengan Yapti, aku, dan sekali-sekali ibu datang
mencampurinya. Ketika Eko pulang, aku dan Yapti duduk berdua
di ruang depan. Lama sekali ia mengamatiku dengan wajah
seperti melamun. Aku menduga tentulah Yapti cemburu pada
Eko. "Kau cemburu, Mendut?" tegurku dan ia tampak kaget.
"Heemmm ...?" ujarnya.
"Buang cemburumu jauh-jauh, Mendut! Tak ada arti
kehadiran gadis lain bagiku. Percayalah, hanya kau saja seorang!"
"Syukurlah!Tapi ...!"
Yapti tidak meneruskan ucapannya. la menekurkan kepala
seperti sedang berpikir dengan amat kerasnya. Aku menduga
tentang datang bulan yang terlambat itu.
"Kita ke dokter memeriksa kan perutmu lagi, sayang?" kataku.
Ya pti menggeleng.
"Jangan kaupikirkan ini, Bagas! Jadi atau tidak, biar Tuhanlah
yang menentukan. Dan segala yang datang dari-Nya, bukankah
sebaiknya kita sambut dengan hati tulus?"
"Jadi, apa yang kaupikirkan?" tanyaku.
"Aku rindu rumah! Aku ingin pulang sebentar saja, Bagas!"
Mataku berkedip memandangnya. Bingung datang bergulung.
Kenapa Yapti justru memikirkan rumahnya sekarang? Kenapa
tidak dipikirkan apakah dosa manis di Semarang menjadi putik
atau tidak? Bukankah kepastian tentang hal ini amat penting
artinya?
"Boleh aku pulangsebentar, bukan?"tanyanya.
Aku diam. Tak berkata apa-apa. Tak bisa menjawab. Aku
terpaksa memikirkannya dengan sungguh-sungguh. Dan kupikir
Yapti sedang merajukkarena cemburu pada Eko.Ya, pasti karena
cemburu!
Bagas tidak mengikuti Mapram selama tiga hari. Tapi setiap
siang Eko datang. Selalu saja ia bertanya apakah aku hendak
mengikuti Mapram atau tidak. Dan setelah kujawabtidak, ia pun
meminta diri untuk berangkat sendiri. Sebenarnya aku ingin
menolak kemunculannya di rumahku. Tapi bagaimana caranya?
Aku merasa pasti bahwa kemunculan Eko itulah yang membuat
Yapti selalu mendesakku agar mengizinkan ia pulang ke Yogya.
Akhirnya karena kesal, Bagas berkata kepada Eko bahwa sampai
Mapram berakhir aku tidak akan mengikutinya lagi!
"Kalau Mapram tidak ada hubungannya sama sekali dengan
kuliah kita, aku tidak akan mengikutinya juga! Untuk apa! Iya,
'kan?"
Suara Eko kubiarkan dan aku hanya mengangguk saja waktu
ia pamit hendak pulang dan berjanji tidak akan mengikuti
Mapram lagi.
"Kau bisa merasakannya, Bagas? Secara tidak langsung Eko
telah terpengaruh ucapan dan sikapmu! Bukan mustahil ada
apa-apanya nanti!" ujar Yaptimembuatku berang.
Tapi aku tak hendak membentaknya. Tak hendak
memarahinya. Tak ingin melukai perasaannya. Sedikit pun tidak!
Dari Yogya, ibunya mengirim wesel untuk Yapti. Ditulisnya
dalam kolom bahwa Romosedikit kurang seh at. Dan ia meminta
agar Yapti pulang sebentar untuk menengoknya!
Bagas bertambah pusing memikirkannya, karena Yapti
merasa tidak tahan lagi menanggung rindu kepada rumah dan
Romo. Dan aku dengan mudahnya jatuh sakit. Aku pergi ke
dokter dan meminum obat untuk menyembuhkan penyakitku.
Namun selama tiga hari tiga malam panas dan dingin terus
menyerang. Terkadang aku menggigil di larut malam. Yapti
membawaku ke dokter lagi. Dokter mengatakan dengan pasti
bahwa aku terserang malaria. Di depan dokter kuakui bahwa
f; ?:: _
6.6. :uu-i namun.? B:.lli Pusuk:
satu-satunya penyakit yang sering mengunjungiku ialah malaria.
Ia tersenyum dan menulis resep. Obat kutebus dan kuminum
sesuai dengan aturan yang ditentukan. Namun penyakitku
belumjuga hilang.
Dan Yapti yang tidak lagi meminta izinku untuk pulang ke
Yogya, jadi sering melamun. Ibuku dan adikku sering
memergokinya. Dan aku sendiri juga sering menangkap basah
Yapti sedang merenung seperti mendekatkan sesuatu yang nun
jauh di sana. Anehnya, Yaptitidak merasa sedang melamun.
Malam ketujuh dalam sakitku, Yapti datang ke kamarku.
Telapak tangannya memijit-mijit betisku, sekali-sekali berhenti
untuk mengelus-elus tangan dan jari?jariku yang tampak
menonjol tulang-tulangnya. Dan akhirnya kudengar ia berkata
kepadaku, "Ragukah hatimu mengizinkan aku pulang sebentar
saja, saya ng?"
"Aku sedang sakit, Yapti! Aku butuh kehadiranmu. Dan kita
sudah terlanjur berjanji tidak akan berpisah walaupun untuk
sementara. Tunggulah sampai sakitku sembuh. Kita ke Yogya
bersama?sama!"
Yapti menundukkan kepala denganwajah dilapis kerawanan.
"Kau cemburu dengan Eko? Masih juga cemburu, Yapti?"
"Tidak! Bukan karena cemburu, Bagas! Dia baik. Dia mau
mencatatkan untukmu kuliah yang diberikan."
Aku memejamkan mata.Terasa pening kepalaku. Seperti ada
jarum-jarum kecil yang mencocok-cocok pelipisku; sakit dan
ngilu!
Akhirnya sakitku sembuh juga. Rasa pusing tak pernah lagi
datang. Rasa panas dan dingin pun seperti telah sirna. Namun
terkadang keringat mengalir teramat deras dan tenagaku masih
jauh daritingkatnormal.
Lalumunculibu denganYapti.Mereka dudukditepiranjangku.
Ibu mengatakan bahwa Yapti ingin pulang. Dikatakannya pula
kerinduan itulah yang membuatYaptisering kelih atan melamun.
"Dan ibu sendiri ingin menengok kampung. Sebaiknya biarlah
ibu dan Yapti berangkat. Aku akan mengantarkannya dahulu,
kemudian baru pulang ke kampung. Tapi setelah engkau kuat,
jemputlah dia ke Yogya! Minta tolonglah kepada Eko untuk terus
'Dan ibu sendiri ingin menengok kampung. Sebaiknya hiarian ibu dan Yanti
bemngkat......."
114 ""M"" &
mencatatkan pelajaran yang diberikan waktu kuliah. Dengan
begitu, kau tidak akan tertinggal jauh nantinya."
Akhirnya ku biarkan ibu mengantarkan Yapti ke Yogya. Yapti
tampak gembira. Berkali-kali ia mengingatkan agar aku segera
menyusul
"Jangan sampaisatu minggu, Bagas! Cukup4 hari aku disana.
Tapi hari keberangkatanku besok, jangan kau hitung. Hitunglah
mulai lusa !" kata nya dengan wajah berseri-seri.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum memandangnya.
Sejak pagisampai mereka berangkat menuju ke stasiun, aku
selalu berdua dengan Yapti. Aku merasa seakan-akan tidak
bertemu lagi.5emua yangtelahterjadidan merupakan kenangan,
kuungkapkan kembali bersama harapan-harapan yang sedang
kami damba kan.
Kami berpisah di depan rumah. Yapti dan ibu naik becak.
Yapti melambaikan tangan kepadaku dan kubalas dengan
lambaian tanganku. Entah karena apa, aku merasa lambaian
jari-jarinya itu seperti mengejek aku yang ditinggalkan gadis
pujaannya. Dan aku merasa pasti, kepergian Yapti memusnakan
sejumlah gairah yang kumiliki, meninggalkan bayangan yang
menghantui, mengejar dan terus mengikuti diriku, seperti
hendak memojokkan ke lembah kesunyian yang benar?benar
sepi dan membiarkan diriku diharu rindu yang menggebu dalam
kalbu.
Malam hari ketika Yapti dan ibu dalam perjalanan adalah
malam ngapa aku mengganti namaku dengan Ki Ageng yang
mengalami salam. Terdengar pula langkah bibi yang
tergesa-gesa, kemudian suara pun jua.
Badanku terasa kaku dan di mana?mana ngilu mengguritkan
pedih.
Jam sepuluh pagi aku memaksakan diri memejamkan mata
untuk tidur. Namun alangkah sulitnya tidur yang kuinginkan itu
datang. Keletihan jiwa membuat kantuk sirna. Hanya sekejap
saja mataku sempat terpejam tak teringat apa-apa lagi, untuk
kemudian tersentak bangun seperti ada yang melara ngku tidur.
Hingga sore hari aku taksanggup memejamkan mata lagi.
Eko datang menjengukku. la bercerita tentang kuliah yang
telah diterimanya. Aku mendengarkan dengan mata perih, dan
sakit yang menggigit-gigit di sekujur tubuh ini. Tak lama Eko
berada di rumahku. Aku berjanji akan segera mengikuti kuliah
bila telah sehat.
Namun ketika Eko muncul lagi suatu hari ia kaget melihat
Bagas ini benar-benar sakit kembali. Dengan serta merta
tangannya terjulur memegang pergelangan tanganku,
menggenggam dan mengusap-usa pnya sambil berkata, "Begini
kurus kamu ?"
Hatiku di dalam tersentuh mendengarnya. Geram yang
pernah kumiliki dan tumbuh karena dirinya, tiba-tiba sirna. Aku
tiba-tiba saja terisak, menerima kelembutannya yang melulur
dengan derastanpa dipaksa dan dibuat-buat.
Eko mengajak Darsih untuk bersama-sama mengantarku ke
dokter kembali. Dokter itu menggelengkan kepala. Diberinya
aku nasihat agar benar-benar beristirahat, jangan memikirkan
sesuatu dan jangan melakukan apa-apa. Ketika perasaan sedikit
sehat data ng, aku menulissurat yang panjang untukYa pti.
Kutumpahkan kerinduanku, perasaanku sejak ditinggalkan
dan sakitku yang kambuh kembali. Kulukiskan betapa sedihnya
hati Bagas ini manakala interlokal yang kutunggu dengan segala
ketidaksabaran hanya menghasilkan percakapan dengan Romo
yang mengata kan bahwa Ya pti berada di rumah neneknya. Tentu
saja aku meminta maaf walaupun ketidakmunculanku bukan
salah ku, melainkan keadaan yang memaksa demikian.
Dan aku menutup suratku dengan kalimat:
"Tiga kaii aku berhenti untuk menuiis surat ini, Yapti. Semata
iantara pening mendenyut?denyut terus, hingga kepaia serasa
berputar?putarseiaiu. Semoga tidak iama iagi aku dapatmuncui
untuk meniemputmui Sembah sujud untuk Roma dan ibu di sini.!
Saiam hatiku untukmu seoran gi
'Suamimu' rindu; Ki Agen g
Aku tersentak setelah sadar dengan apa yang kutuliskan itu.
Mengapa aku mengganti namaku dengan Ki Ageng yang
mengalami nasib tragis itu? Duh, duh! Dan suatu ketakutan
mendenyut deras seperti memutus tali hati ini. Entah karena
apa, aku jadi merasa seolah sedang menyusuri jejak Ki Ageng
116 yang tragis itu. Dan sakitku adalah awal menuju puncak
ketragisannya yang bakal kusandang.
Dengan hati ragu kulipat surat itu dan kumasukkan ke dalam
amplop. Kupanggil Darsih dan kusuruh ia ke kantor pos
mengirimkan suratku dengan pos kilat! Dengan patuhnya adikku
berangkat.
Kembali aku terka par dipeluksakit ya ngsepertitelah melolosi
seluruh tenagaku. Surat yang kutulis untuk Yapti seolah
menyedottenaga dan emosiku secara tuntas dan karenanya aku
merasa amatlemas kemudian.
Kupanggil Bibi Mirah dan kusuruh membuatkan segelas teh
manisyang kental sekali. Da ri ruangtengah Bibi Mirah menjawab
mengiyakanku. Kudengar suara ketukan pintu dan seorang
mengucapkan salam. Terdengar pula langkah bibi yang
tergesa-gesa, kemudian suara pintu yang dibuka dan kudengar
percakapan lirih, lalusayup-sayup suara langkahyang mendekat
ke kamarku.
Eko menyembul di ambang pintu kamarku. Aku
memandangnya dengan mata lunak dan mengangguk
menyilakannya masuk. Eko duduk di tepi ranjangku, meraba
kening dan menggenggam pergelangan kedua ta nganku.
"Kelihatan agak segar!" ujarnya tersenyum. "Tak lama lagi
kau tentu sembuh, Bagas!"
Ia tersenyum lagi dan indah sekali senyum itu di mataku. Aku
Biru Darah Gadisku Karya Darto Singo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tersenyum membalas dan mataku masih terus memandang
bibirnya yang diukirsenyum itu. Dan senyum itu kian memudar
dan kabur kemudian, akhirnya jelas membayang bibir Yapti yang
tipis artistik dan merah alami.
"Wajahmu sudah memancarkan sinar hidup yang deras,
Bagas!" kata Eko.
Aku tergagap. Sekilas mataku masih mengamati bibirnya
yang padat berisi dipoles dengan warna merah menyala. Lalu
kucari matanya dengan mataku dan sekilas aku menoleh rasa
malu melintas di biji mata Eko.
"Berdoalah supaya aku cepat sembuh, Ek!" kataku tiba-tiba.
Ia mengangguk.
"Teman?teman satu rayon banyak yang menanyakanmu,
Gas!"
"Oh ya?"
"Mereka ingin menjengukmu ke sini. Boleh? Boleh, 'kan?"
Ekotersenyum.Aku tersenyu m. Mata Ekomenatapku dengan
wajah yang dimanis-maniskan. Aku menarik napas dan berkata,
"Kapan-ka pan saja, bila aku tidak seperti mayat begini!"
"Kapan kalau begitu?"
"Kupikirtiga hari lagi mungkin sudah jauh lebih baik, bukan?"
"Tentu, tentu, Gas! Hidupkan semangat, agar secepatnya
penya kit menyingkir jauh-jauh!" ujarnya tersenyum.
"Kau baik sekali, Eko!" kataku tiba-tiba dan aku menyesal
mengucapkannya. Namun kata-kata itu begitu saja meluncur
dari mulutku. Tak sempat kutahan karena begitu tiba-tiba dan
seakan?akan terjadi di luar sadarku.
"Aku takut Yapti pulang karena cemburu padaku, Bagas!"
djarnya.
"Oh tidak! Tidak. Sudah kujelaskan dengan gamblang siapa
kau!"
"Ta pi aku tahu ada perasaan kurang senang kepadaku."
"Itu hanya prasangkamu saja, Ek! Dia baik. Kau baik! Mengapa
mesti ada perasaan saling tidak senang?"
"Yapti bukan hanya baik hati. Bahkan kupikir sulit mencari
duanya dijakarta ini, Bagas!"
Bibi Mirah muncul membawa teh manis yang kental untukku
dan sebuah gelas berisi teh manis biasa. Eko menyingkirkan buku
yang terletak di meja dekat ranjangku. Bibi Mirah meletakkan
gelas itu dan melintas ke luar kemudian.
"Darsih ke mana?"
"Ke kantorpos!"
"Surat untukYapti tentu?"
Aku mengangguk. "Seharusnya kemarin aku berangkat
menjemputnya, tetapi terpaksa aku menunggu sampai sehat
kembali!"
"Bersabarlah sebentar. Kau pasti akan segera sembuh!"
katanya lagi lalu menawariku untuk minum. Aku mengangguk.
Dan dengan lembut Eko menolong mendekatkan gelas ke bibirku
sambil menyangga tengkukku dengan sebelah tangannya. Dan
Eko pun kemudian meminum isi gelasnya sendiri.
118 Kami terus mengobrol. Tak lama kemudian Eko pulang.
Beberapa saat setelah ia lenyap, muncul Darsih dan mengatakan
bahwa surat sudah dikirimkan.
"Hari ini hari keempat kau diYogya, Yapti!" kata ku dalam hati
dan aku teringat pesanannya sebelum pergi, "Jangan sampai
satu minggu Bagas. Cukup 4 hari saja aku di sana, tapi hari
keberangkatanku besokjangan dihitung. Hitunglah mulai lusa!"
Meskipun Bagas ini sakit, namun tak mungkin akan salah
menghitung kepergian Yapti. Hari keenam sudah tertinggal dan
aku masih juga sering dema m. Kuharap suratku sudah sampai ke
tangannya. Kuharap ia mengerti mengapa aku belum juga
muncul menjemputnya.
;; 513, 119
&&
Hari ini, hari ketujuh Yapti meninggalkan rumahku.
Jam setengah sepuluh pagi, Eko datang dengan Uli, Tinah,
Bambang, dan Fuad. Semua teman-temanku satu rayon waktu
Mapram. Meskipun hanya beberapa hariaku mengikuti Mapram,
namun hubunganku dengan mereka sudah cukup intim. Karena
itu mereka tidak segan-segan menggoda Bagas yang terkapar
menerima mereka di atas dipan di ruang tengah. Ekolah yang
menjemputku ke kamar dan membimbing aku ke dipan ini. Ia
berlaku mesra sekali kepadaku, bahkan Eko-lahyang melangkah
ke belakang untuk muncul kembali dengan baki berisigelas-gelas
minum untuk tamuku.
Ketika hendak pulang, satu demi satu mereka mengulurkan
tangannya kepadaku. Aku menyambutnya dengan perasaan
gembira. Ada perasaan mesra yang hangat menyengat-nyengat
hati Bagas ini. Dan harus terus melulur dalam kalbuku.
Meskipun Lili duduk di kursi dekat dipanku, namun agaknya
sengaja ia mengulurkan tangannya terakhir. Kugenggam telapak
tangan gadis Cina yang lembut itu dengan perasaan tersendiri
menggelinjang-gelinjang dalam hati.
"Lekassembuh dong Gas!" ujarnya lirih dan lembut sekali.
Kutangkap nada doa dalam permintaannya itu. Hatiku
semakin terharu dibuatnya.
"Mudah?mudahan aku lekas sembuh, 0"! Terima kasih atas
kunjunganmu!" kataku, dan Uli mengangguk lembut dengan
mata tak bergerak menatap mataku, sehingga bundaran hitam
biji matanya tampak seolah menggantung di tengah putihnya
yangjernih. Bibirnya yang memucat tersenyu m.
Eko mengantarkan mereka hingga di pinggir jalan. Aku tahu
kenapa Ekotidak menjabattelapaktanganku. Tentulah karena ia
masih ingin berada di rumahku, pikirku.
Dan tebakanku tepat. Eko muncul lagi; ia membawa
gelas-gelas bekasminumtamuku ke belakang, lalu duduk di ku rsi
120 dan memandangku dengan senyum terlukis tipis pada bibirnya
yang kenyal dipoles dengan warna merah menyala.
"Ini hanya sekedar sandiwara, Bagas!" ujarnya membuat aku
merasa ia hendak mengajakku berbicara tentang satu persoalan
yang takkuketahuisebelumnya.
Darisikapnyaakutahu bahwa persoalantersebutdianggapnya
serius.
"Sandiwara?" tanyaku tak mengerti dan sekaligus menuntut
penjelasan.
"Kuharap kau mengerti keadaanku dan bisa memaafkanku!"
ucapnya lalu disambung dengan, "kepada Bambang aku
mengatakan bahwa kau pacarku."
"Dh,ya?"ujarku kaget, namun aku mampu menekan
perasaanku.
"Sejak di es em a, Bambang selalu mengejarku. Untuk
menolaknya aku tak mampu berbuat kasar. Jadi, satu-satunya
jalan ialah membohonginya bahwa aku dan kau sudah
berpacaran. Kuharap kau mengerti dan bisa memaalkanku,
Gas!"
Aku mengangguk-anggukkan kepala.
"Tidak ada hakku untuk marah kepadamu, kalau memang
demikian persoalannya. Mudah-mudahan kau bisa mengelak
dari kejarannya!" kataku tersenyum yang dibalasnya dengan
senyuman pula.
Diam?diam aku memperhatikan Eko dengan saksama. Ia
memang gadis yang cantik dan menggairahkan. Setiap pemuda
yang melihatnya selalu membayangkan adegan mesra
dengannya. Bibirnya yang kenyal padat dan merekah setengah
terbuka seperti memanggil dan mengundang setiap lelaki yang
memandangnya. Terlebih-lebih lagi matanya yang bersinarsayu
penuh ajakan.
Eko pamit pulang. Aku mengangguk dan memperingatkan
agar berhati?hati di jalan, sebab siapa tahu Bambang muncul
mencegatnya. la tertawa lalu memanggil Darsih untuk pamit.
Narti datang sepertijanjinya ketika bertemu Darsih di kantor
pos. Hanya beberapa menitsaja setelah Eko berlalu. la memekik
gembira sambil memeluk dan mencium pipi adikku, tapi
terbelalak kaget melihat aku terbaring di dipan.
"Gas ...!" serunya setengah berlari menuju dipanku.
Ia menggeleng-gelengkan kepala dengan mata terharu
mengamati wajahku. Tangannya menggenggam dan
memijit-mijit tanganku. Sedih yang tipis merona di wajahnya.
Hatiku kiansendu dan seperti luluh karena haru.
"Sudah berapa hari?"tanyanya tersendat.
"Sudah lama!Hampirsetengah bulan."
Narti menggelengkan kepala.
Kepada Darsihya ng duduk di kursi di ruang tengah ia berta nya
tentang ibu. Darsih menjawab bahwa ibu sudah pulang, tapi
akan segera datang lagi.
Darsih melompat ketika mendengar bel sepeda pengantar
pos. la menghambur ke luar dan muncul kembali dengan sebuah
amplop panja ng di tangannya.
"Surat dari siapa, Dik?" ta nya Narti.
"Dari MbakYapti ...! jawa bnya.
Kuulurkan lenganku menerima amplop itu. Melihat
kegembiraanku, Narti tersenyum mengerti.
Aku tersenyum?senyum. Gembira menerima surat yang lama
kutu nggu sudah. Dengan ta ngan gemetar aku membuka amplop
dan mengeluarkan isinya. Dua lembar kertas folio bergaris penuh
berisi tulisan tangan Yapti. Kuamati tanggal surat dikirimkan.
Ternyata stempel pos mencantumkan tanggal hari kema rin.
"Bacalah, Gas! Pasti kau akan cepat sembuh!" tutur Narti
tersenyum penuh arti.
Aku mulai membacanya.
"Bagas 'suamikur seorang.I "
Akumen ge dip gembiramem baeakaiim atp em bukasuratn ya.
Dan mataku terus meniti baris-baris seianjutnya, dengan debar
menyam bar?n yambar di dada.
"Kutuiis surat ini dengan menangis, sayangi Menangis
berurai air mata dan menangis dengan jiwa yang teriuka,
karena sedih dan sesai bergaiau dengan perasaan bersaian
ternadapmu merejam hatiku di daiam. Aku tak membaca
suratmu karena ibu yang menerimanya. Dan aku menangis
meioion g?ioiong ketika men gerti Roma yang menerima teiepon
darimu. Kenapa semuanya masih saja hendak
122 menyen gsarakanku? Kenapa? Dan aku terus menan gis,
mengurung diri dan mengancam akan bunuh diri, biia ada yang
berani menggangguku .... "
Aku berhenti membaca. Mataku berkunang-kunang dengan
tibaatiba. Dan pening mendenyut?denyut kembaii di peiipisku.
Kuiibat Narti tidak tersenyum menggodaku iagi. ia bahkan
tampak cemas seperti dijangkiti cemas dari batiku.
"Kubacakan untukmu, Bagas?"ujar Narti menawarkan jasa.
Aku setuju. Mataku tak bisa meiibat dengan sempurna,
kuuiurkan kertas surat itu kepadanya. Narti membaca dari
aiinia pertama. Aku menggeiengkan kepaia. Tapi Narti tetap
membaca kaiimat?kaiimat yang sudah kubaca. Akhirnya Narti
membaca bagian yang beium kubaca dan aku mendengarkan
dengan saksama.
"Sem ua ini kuketab ui dari Bibi pem ban tu di rum abku. Diaiab
yang tidak tahan meiii'lat diriku menjadi buian-buianan keiuarga
seteian ibumu puiang. Di depan ibumu, keiuargaku bersikap
baik semua. Tapi tahukan kau apa yang sesungguhnya teiab
terjadi?
ibukuiab yang men girim teiegram atas nama Sri Marhaeni.
Dan kedatangannya duiu di Jakarta itu bukan tanpa maksud
jab at. Sesuatu teiai'i ditanam di pekarangan rumahmu dan
ituiai'i yang membuatmu jatuh sakit. Deri gan bari tuan Sri dan
Sumi, aku dibawa kepada seorang tokoh kebatinan. Diaiab yang
menebak bahwa sakitmu buatan ibuku. Cobaiab cari di baiaman
rumahmu dan biia kautemukan sesuatu, buangiab K e sun gai
atau ke iaut, agarpenyakitmu segera sembuh. Kau akan sembuh
sebagaimana sediakaia biia terus meiakukan sembahyang
dengan baik. Dan jan gari iupa, sembahyang ri'iajat' di tengah
maiam, Bagas.
Bagas 'suarriikur tersayang, sayang, sayan gi
Hari ketiga aku berada di rumah, sanak keiuargaku
berdatangan. Hampir semua jamiii hadir juga, Darmo dan
orang tuanya. Turut hadir bersama mereka seorang pengb uiu
dan dua orang pembantunya. Dan hari itu aku diresmikan
sebagai istri Darmo "
Aku melonjak karena kaget sekali. Bagas, seperti linglung.
Geram memuncak di dada, mengentalkan segala duka. Aku
tidaktahu apa yang harus kulakukan. Narti berhenti membaca
surat Yapti. Darsih pun tak tahu apa yang harus dilakukannya. la
memanggil Bibi Mirah dan memerintahkan sesuatu.
"Yaptitelah dikawinkan dengan Darmo?" tanyaku dan itulah
jeritterpanjang dari hatiku yang tidak ba kal berhenti.
"Bacalah!" ujarku dan Narti meneruskan membaca
kemudian.
Kudengar suaranya, "Kau boieh tidak percaya kaiau
pernikahan itu demikian tiba-tiba dan di tengah keiingiunganku
yang aneh. Menurut tokoh kebatinan itu, aku dan kau teiah
terkena guna-guna. Sesungguhnya aku bisa saja iari ke sini
seteiah disembuhkan oieh tokoh kebatin an itu. Tapi ada
keraguan daiam hatiku sendiri. Maukah kau menerima aku
kembaii seperti duiu, 'suamiku'? Yapti sekarang bukaniah Yapti
duiu. Yapti sekarang sudah menjadi istri Darmo. Dan Darmo
sempat menyusuri jejak dosa manis yang kita iakukan di
Semarang. Namun hanya sekaii. Karena seianjutnya aku
mengan cam akan membunuh diri biia ia memaksaku iagi.
Namun meskipun hanya sekaii, aku merasa iegam diiumuri
dosa terhadapmu. iniiah yang meragukanku untuk kembaii
padamu, tresnakui Dosamanis, dosa tuius kita itu teiah dinodai
orang.I Padahai tak ada artinya oran giain bagi hati dan hidupku,
karena hanya kau seorang yang kutresn ani. Secepatnya
datangiah kau ke Yogya, biia memang kau bersedia menerima
Yapti sebagaimana yang ada sekarang. Nanun biia tidak teiah
buiat tekad di hatiku, untuk men gakhiri semuanya ini dengan
membunuh dirii'r
"Bagas, kau masih mendengar aku membaca?" tanya Narti
dan aku mengangguk.
"Dengarlah,tinggalsedikit saja," ujarnya lalu kudengarsuara
kertas bergerak dan kudengar suaranya membaca surat Yapti
lagi.
"Suamiku, tresnaku sayang, sayan gi
Secepatnya beri aku kepastian agar jaian yang kutempuh
kemudian tidak diberati keraguan daiam hati. Aku bersedia
kembaii kepadamu dengan mendengarjanjimu yan g tidak akan
menyesaikan diriku ini. Akan kuakhiri hidup ini biia kau tak bisa
Biru Darah Gadisku Karya Darto Singo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menerimaku atau bahkan bimbang dan ragu memberiku
f; ?:: _
6.6. :uu-i namun.? B:.lli Pusuk:
kepastian. Nah, teiah kauketahui semua rencanaku, sayang.
Berbuatiah cepat agar kau tidak teriambat; karena
sesungguhnya ada perasaan putus asa daiam hatiku untuk
tetap hidup membawa nasib, mengabadikan noda ini.
Sampai di sini tresnaku sayang, sungkem untuk ibu dan
saiam buat Dik Darsih. Tak iupa terimaiah sedada rinduku
untukmu.!"
5 eiaiu; Yap ti
Bibi Mirah muncul. Dari langkahnya yang tergesa-gesa aku
tahu kehadirannya. Kudengar suara kursi yang berderit dan
kudengar pekik Darsih berkata, "Mas ...! Kau kena guna-guna !"
Aku mengangkat muka ku dan kulihatsebuah bungkusan kecil
yang dikotoritanah.
"Di pojok luar ka mar mandi!" ujar Bibi Mirah menjelaskan.
"Buanglah ke kali atau ke laut, Dik Darsih! Bisa 'kan?" ujar
Narti.
"Aku mau berangkat ke sekolah, Mbak! Tapi, baiklah!"
Narti mengangkat dadaku untuk kemudian merebahkan
kepala ini di atas bantal. Tubuhku serasa telah luluh. Kurasakan
badanku melayang-layang dengan ringan, sesekali miring dan
memutar?mutar dengan cepat hingga pusing di kepala seperti
tak hendakberhenti.
Tuhan, desisku, lakon apakah ini namanya?
Haruskah kami berpisah darijaraksejauh ini? Tanpa sejumput
senyum,sekejap tatap? Tanpa sepagut peluk dan sekecup cium?
Aku tak mau berpisah dengannya! Aku akan segera
menjemputnya!Aku harus berhasil membawanya lari lagi. Aku
tak peduli ia telah menjadi istri Da rmo. Kupertaruhkan nyawa ku
untuk merebutnya!
Darsih muncul dalam pa kaian seragam sekolahnya. Tiba-tiba
Narti ba ngkit, "Mari kita buang bersama, Dik Dar!" kata Narti dan
ia pamit padaku untuk mengantarkan Darsih.
Aku hanya mengangguk saja. Darsih berpesan kepada Bibi
Mirah, agar ia menjagaku. Tapi aku menolak dan kusuruh dia
melakukan apa yang menjadi pekerjaannya.
Terkapar seorang diri aku merasakan beban yang berat
menindih dadaku, menghancurkanjiwa di dalamnya.
Kau tidaklegam,Yapti!Tidakada dosa selain dosa manisyang
kita ciptakan berdua dulu. Perbuatan Darmo hanyalah
kecelakaan. Dan kau tidak ternoda karenanya. Kau menolak itu!
Karena kau memiliki jiwa yang bersih. Tak ada yang sanggup
menodai kemurnianmu itu kecuali tindakan yang kaulakukan
dengan sengaja. Tapi aku tahu kau bukan sengaja menyerahkan
diri pada Darmo, meskipun ia, menurut hukum telah menjadi
suamimu. Aku percaya pada kesucian cintamu, sayang! sayang!
Aku percaya penuh dan sungguh!
Aku ta kut tiba-tiba! Takut kalau-kalau terlambat menjemput
Yapti. Dan dari ketakutan ini kurasakan gairah yang menjamah
dan kian lama kian membuncah dalam dada. Lalu entah dari
mana datangnya kurasakan kekuatan yang menyelinap ke tubuh
ini. Aku bangkit. Dan Bagas benar-benar bisa bangkit, berdiri
tegak dan melangkah ke ka ma r. Di depan lemari kaca aku berdiri
memandangiwajahku sendiri.Alangkah panglingnya aku! Inikah
Bagas yang lincah penuh daya dan semangat hidup itu? Bagas
yang kulihat dalam kaca seperti mayat! Sepertitinggal kulit dan
tulangsaja yang ku miliki. Dan wajahku, duh, duh begitu layu!
Dan tiba-tiba lungkrah menjamah seluruh sendi tubuhku.
Seperti juga datangnya, kekuatanku hilang kembali dengan
tiba-tiba sekali. Aku terkulai hendakjatuh ke lantai. Hampa yang
benar-benar kosong melanda dada. Tapi aku ingat kembali akan
ketakutanku kehilangan Yapti. Takut terlambat menjemput dan
merebutnya dari pelukan suaminya yang resmi. Dan aku
suaminya yang belum resmi ini bangkit kembali. Aku merasa
memiliki kekuatan kembali. Dan Bagas bangkit berdiri di depan
lemari lagi, dengan kaki tumit berjingkat berjinjit, meraih kopor
di atas lemari, lalu menjinjingnya ke ranjang. Bagas melangkah
ke lemari, membuka daun pintunya dan mengeluarkan
pakaian-pakaian yang ada. Semuanya kumasukkan ke dalam
kopor. Selembar potret melompat dari sela-sela tumpukan
pakaianku itu. Kuambil dan kuamati. Close up wajah Yapti
berukuran kartu pos terus kuamati dengan saksama. Rambut
yang hendak menjejak pundak diikat menjadi dua. Mulutku
mendesis memanggil namanya.
f; ?:: _
Mataku terus menatap dan menatap terus wajah bulat telur
dimana indra-indra indah memahatinya. Sebatang leherjenjang
menyangganya dengan anggun. Tiga buah garis lekukan seperti
disusun rapih melengkungi bagian depan leher berkulit resikitu.
Aku berbisik memanggil namanya. Wajah itu diam tak
bergerak. Kupanggil lagi dan kupanggil kembali. Namun wajah
itu tetap diam, tetap tenang membeku tak sedikit pun mau
bergerak.
"Mungkinkah ia sudah mati?" tanyaku membatin. Seberkas
cemas menghempas di hati, mengendapkan pedih dengan amat
perlahan Duh, duh!
Aku ingin melihat matanya itu melimbak penuh air duka
seperti dulu. Aku ingin menyaksikan kembali tatapnya yang
redup men erawang mataku seperti dulu.
Dan sungguh ingin aku mendengar lagi isaktangis di sela-sela
ungka pan hati perawannya yang kasmaran. Bisakah keinginanku
terkabul? Mungkinkah ia bisa kembali menjadi milikku seperti
dulu lagi? Atausudah matikah ...?
Narti memanggil-manggil dan menyembul di ambang pintu
kamarku. Sejenak ia tertegun melihat kopor yang sedang
kukemasi. Ia melangkah mendekatiku dan mengambil potret
Yapti dari ta nganku.
"Kau mau menjemputnya sekarang?"
Aku mengangguk.
"Tidak menunggu sembuh dulu?" tanyanya lagi dan aku
menggelengkan kepala.
Narti diam. la mengamati potret Yapti. Aku mengemasi
pakaianku.
"Cantik sekali, dia Bagas! Kudengarhatinya pun amat lembut
dan memikat!" kata Narti dan aku diam saja membenahi
pakaianku.
"Dik Darsih telah menceritakannya. Tapi aku khawatir kalau
kau akan berangkatjuga, walau belum sembuh!" ujarnya penuh
nada kesungguhan.
Aku menoleh dan mencari matanya.
Cemas menghempas kembali ke lembah hatiku
mengendapkan pedih dengan amat perlahan. Dan tiba-tiba aku
ingat kisah Roro Mendut dan Pranacitra yang tragis. Juga kisah
lama Ki Ageng Mangir yang mati dibunuh mertuanya sendiri.
Dan apakah teluh yang dikirimkan ibu Yapti bukan hendak
membunuhku pula? Oh, oh, apakah aku benar-benar menyusuri
jeja k Ki Ageng ya ng tragis itu?
Aku ingat, dokter mengatakan penyakitku adalah malaria.
Dan malaria memang satu-satunya penyakit yang sering
mengunjungiku. Tapi benarkah aku sakit malaria? Atau sakit
karena teluh ibu Yapti itu?Duh, duh ...!
Dan Yapti membawa teka-teki dalam perutnya. Hamilkah ia
atautidak?
Pendekar Rajawali Sakti 174 Sepasang Taji Iblis Pendekar Perisai Naga 5 Siluman Kera Sakti Tusuk Jaelangkung Karya Rudi Gunawan Dan Upi
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama