Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat Bagian 12
Tanda bahaya yang dipukul itu, dalam waktu singkat telah berhasil mengundang semua murid Tuban. Mereka segera membentuk barisan di halaman. Murid murid itu terbagi dalam kelompok yang jumlahnya masing masing tujuhbelas orang. Deretan terdepan enam orang, tengah lima orang dan belakang enam orang pula. Barisan barisan seperti ini disebut "Lawang Seketeng'. Merupakan barisan yang tak mudah diatasi oleh setiap orang yang dikurung.
Barisan murid Tuban yang tiap kelompok sebanyak tujuhbelas orang itu, jumlahnya amat banyak.Bersap sap, berderet-deret dan semuanya memegang pedang terhunus. Sikap mereka angker. Mata mereka menjurus ke satu pusat. Kepada siapa yang dianggap lawan.
Diam -diam Kedasih khawatir sekali. Kalau harus berhadapan dengan barisan macam ini, sulitlah dia dan Salindri mengatasinya. Maka cepat cepat ia menyentuh Salindri dan berbisik, agar tidak gegabah bertindak.
"Adikku yang baik, bukankah musuh kita hanya Subinem, dan bukan semua murid Tuban?"
"Benar!"
Salindri mengangguk.
"Nah, kalau begitu kita tak harus bertempur melawan mereka. Tak ada artinya kita berpayah-payah saling bunuh dengan saudara-saudaraku yang tak berdosa."
Salindri mengangguk lagi. Kedasih lega. Ia tersenyum, kemudian mengamati semua murid Tuban yang telah mengurung dengan bentuk barisan "Lawang Seketeng" yang bersap-sap dan angker itu.
Salindri sekalipun galak dan ringan tangan, bukanlah perempuan tolol sekalipun otaknya agak terganggu. Begitu melihat barisan murid Tuban yang mengurung ini, Salindri tak berani gegabah. Maka sekarang ia berdiam diri dan menunggu apa yang akan dilakukan oleh Kedasih.
"Saudara-saudaraku semua," kata Kedasih dengan suara nyaring,
"Dengarlah kalian, aku dan adikku ini datang kemari bukan memusuhi kalian dan bukan memusuhi Perguruan Tuban. Kami datang untuk membersihkan Perguruan Tuban dari tangan-tangan kotor, bangsat Subinem dan pembantu-pembantunya yang khianat. Maka, laporkan kepada perempuan itu, dan suruh keluar. Aku ingin bicara dengan dia!"
"Hi-hik, sombongnya !" terdengar suara nyaring menyambut. diiringi suara ketawa.
"Ketua takkan mau bertemu dengan sembarang orang. Lebih-lebih murid murtad seperti kau ini. Lebih baik lekaslah berlutut dan menyerah, sebelum kami bertindak dengan kekuatan."
Orang yang menyahut ini, perempuan bertubuh tinggi besar mirip dengan tubuh laki-laki. Kulitnya hitam, bibirnya tebal, dan suaranya agak besar. Dialah murid Tuban yang bernama Kanastren. Namanya begitu bagus, tetapi wajahnya tak begitu manis, malah bisa digolongkan kepada wajah wanita yang jelek. Padahal nama Kanastren ini kalau dalam cerita wayang, adalah salah seorang bidadari, dan disebut sebagai bidadari yang cantik. Bidadari Kanastren ini isteri Semar. Tetapi walaupun kedudukannya hanya punakawan, Semar disebut pula Batara Ismaya.
Salindri tak kuasa menahan mulutnya untuk tertawa, melihat Kanastren yang berdiri bertolak pinggang dengan sikap angkuh, tetapi berlindung di belakang barisan murid Tuban. Sesuai dengan tabiatnya.Salindri segera mengejek.
"Hi-hi-hik, engkau ini perempuan ataukah lakilaki? Kalau perempuan, tubuhmu terlalu tinggi dan terlalu besar. Dan lehermu itu, mengapa punya jakun (kala menjing) seperti laki-laki? Hi-hi-hik,....apakah kau ini bukan perempuan dan bukan laki-laki. tetapi seorang wandu (banci)?"
Walaupun keadaan di waktu itu tegang, Kedasih tak kuasa menahan mulutnya, ketawa terkekeh. Malah kemudian banyak murid Tuban yang tak kuasa menahan mulutnya pula. ikut tertawa merasa geli mendengar kata-kata Salindri.
Otomatis Kanastren meraba lehernya. Tetapi jari tangannya tidak menemukan jakun seperti yang disebut Salindri. Kenyataannya Salindri tadi hanya bermaksud mengejek saja. Melihat tubuh Kanastren yang tinggi besar; seperti laki-laki maka ia memperoleh kesempatan untuk mempermainkan.
Tentu saja Kanastren' yang kedudukannya merupakan pembantu Subinem pula, menjadi marah besar. Ia membanting-bantingkan kakinya, menuding-nuding Salindri, dan membentak kepada para murid Tuban.
"Diam kau semua, goblok! Apa kamu semua sudah ketularan gila perempuan berkedok itu? kalau bukan gila masakan wajah ditutupi dengan kain ."
Dalam usahanya membalas Kanastren mencari-cari. Tetapi balasan itu hanya ditertawakan saja oleh Salindri. Malah Salindri memperoleh kesempatan untuk mempermainkan lagi.
"Hi, hi, hik, perempuan bukan dan laki laki bukan. masih sempat bersanggul rapi dan menghaluskan rambut. Hi, hi, hik, agaknya engkau tadi keliru menggunakan minyak. Bekas untuk menggoreng ikan asin kaupergunakan membasahi rambut. Lihat! Tuh, rambutmu dikerumuni lalat."
Sebenarnya sadar juga Kanastren bahwa orang itu hanya mempermainkan. Namun tangannya diangkat pula untuk mengusap rambut, karena seperti merasa banyak lalat mengerumuni kepala. Melihat itu Salindri terkekeh dan Kedasih terpingkal-pingkal. Lebih-lebih bagi para murid Tuban yang telah bersepakat membantu Kedasih. Saking perutnya menjadi keras terpingkal-pingkal, tanpa disadari sudah terkencing-kencing di tempatnya sendiri.
Kanastren menjadi marah sekali. ia meloncat ke depan lewat di atas kepala beberapa orang murid Tuban. Sungguh hebat gerakan Kanastren ini. Walaupun tububnya tinggi besar, namun gerakannya ringan. Kanastren turun dan berdiri di atas tanah tanpa bersuara. Wajahnya merah padam saking marahnya. Kemudian ia menuding Salindri sambl membentak,
'Kunyuk tak tahu aturan. Hayo. katakanlah dahulu siapa namamu dan dari perguruan mana, kau berani mengacau perguruan kami?"
Memang didalam Perguruan Tuban, Kanastren ini tingkatnya cukup tinggi. Ia seperti juga Sarni. Mirah, Kedasih, Suhinem dan Rara Inten. merupakan murid angkatan pertama. Merupakan murid langsung Nenek Anjani. Kepandaiannya cukup tinggi, dan kalau dengan Kedasih tingkatnya sejajar. Sudah tentu sebagai orang yang kedudukannya cukup tinggi. diejek seperti ini akan segera mencak-mencak. Ia malu sekali kepada adik-adik perguruan dan kemenakan perguruan yang menyaksikan.
Salindri terkekeh,
'Hi-hi-hik, engkau tak ada harganya bagiku. Untuk apa menyebut nama dan asal usulku.
Lekas panggil subinem kemari untuk menentukan siapa yang lebih unggul!"
Ketika itu sebenarnya Subinem sudah memperoleh laporan juga tentang datangnya Kedasih dengan seorang perempuan yang ingin bertemu. Akan tetapi karena Subinem mengira yang datang Rara Inten maka ia cepat memerintahkan Kanastren supaya menyambut dengan barisan "Lawang Seketeng". Namun diam-diam iapun mengintai dari pendapa untuk melihat siapakah orang perempuan berkedok kain hitam itu.
Secara diam diam Subinem tadi telah mengutus dua orang murid Tuban, supaya pergi ke rumah kadipaten Untuk minta bala bantuan. Akan tetapi sekarang Subinem menjadi lega. ketika melihat bahwa perempuan berkedok itu bukan Rara Inten. Kalau bukan Rara Inten, tiada alasan takut. Maka Subinem segera keluar dari tempatnya mengintai. lalu memerintahkan beberapa orang murid supaya mengusung kursi kebesaran Ketua Perguruan Tuban, dibawa ke pendapa.
Ia duduk di atas kursi dengan sikapnya yang agung, meniru lagak puteri bangsawan tinggi. Ia mengangguk angguk ketika melihat Kanestren meloncat ini, lalu berhadapan dengan perempuan berkedok itu. Ia ingin melihat dulu sebelum turun tangan sendiri.
Apakah perempuan berkedok ini cukup berharga berhadapan dengan seorang ketua perguruan besar seperter dirinya?
ia tersenyum mengejek ketika mendengar orang berkedok itu menantang dirinya. Katanya lirih ditujukan kepada delapan murid yang mengawal di dekatnya,
"Kamu dengar? Huhhuh, betapa sombongnya perempuan ini. Berani menantang Ketua Perguruan Tuban yang besar-_? Lihat saja nanti, jika aku turun tangan sendiri, dalam
tiga gebrakan saja bangsat itu tentu sudah kubikin terjungkal!"
Murid-murid Tuban itu mengangguk-angguk seperti burung onta, sekalipun dalam hati kurang percaya.
Benarkah Subinem dapat merobohkan orang itu hanya dalam tiga gebrakan saja?
Mereka semua tahu bahwa tingkat Subinem memang cukup tinggi. Buktinya Telasih dahulu roboh tewas di tangan Subinem.
Akan tetapi, mungkinkah perempuan berkedok itu tingkatnya hanya seperti Telasih?
Kalau melihat ketabahan dan ketenangannya, tentunya bukan wanita sembarangan.
Semua mata tertuju kepada Kanastren dan perempuan berkedok itu dengan hati tegang. Lalu terdengar kata Kanastren yang angkuh,
"Hem, perempuan sombong. Sampai di mana ketinggian ilmumu berani kurang ajar di sini?"
"Kau ingin mencoba aku? Terimalah! "
"Plak!"
Seperti yang terjadi atas diri Mirah tadi. tahu-tahu pipi Kanastren telah biru dan bengkak terpukul tinju Salindri. Gerakan Salindri tadi gesit sekali. Dan Kanastren juga tidak mau begitu saja menyerah untuk dipukul. Namun ternyata usahanya sia-sia. Walaupun ia sudah cukup tangkas menghindarkan diri, namun pipi kirinya menjadi makanan tinju Salindri. Gerakan Salindri cukup aneh. Maka kanastren yang tak pernah menduga, sudah memperoleh hadiah bogem mentah.
Murid-murid Tuban yang menyaksikan berseru tertahan saking heran.
Mengapa sekali gebrak telah terpukul?
Hampir mereka tak mau percaya. Demikian pula Subinem yang duduk di kursi kebesarannya di pendapa, terbelalak kaget.
Benarkah yang dilihat?
Sekali gebuk Kanestren sudah terpukul?
Tentu saja Kanastren menjadi amat marah sekali.
Sring!
Tahu-tahu pedangnya sudah tercabut dan terpegang tangan kanan. Pedang itu diangkat mencuat ke atas, sedang punggung pedangnya menyentuh hidung. Inilah sikap murid Tuban setiap akan memulai menggunakan Ilmu Pedang "Janur Kuning". Sambil bersikap demikian, Kanastren sudah menantang,
"Cabutlah pedangmu! Hayo kita tentukan lebih dulu, siapa diantara kita yang lebih kuat?!"
Salindri terkekeh. Ia belum mencabut senjatanya, dan mengejek.
"Benarkah engkau berani melawan aku? Hem, aku khawatir kalau pedangku mencium darahmu. Maka lebih baik suruhlah Subinem melawan aku."
Melihat sekali gebrak Kanastren terpukul, sesungguhnya Subinem khawatir kalau Kanastren kalah. Kekalahan itu bisa menurunkan martabat Perguruan Tuban yang besar. Memikir demikian, ia cepat mengutus seorang murid Tuban,
"Perintahkan Kanastren mundur!"
Murid itu segera berlarian. Di depan pendapa Ia sudah berteriak nyaring, memerintahkan Kanastren mundur. Mendengar perintah ketua itu, dengan bersungut-sungut Kanastren terpaksa menyarungkan pedangnya lagi, lalu mundur dengan kepala tunduk.
Sesaat kemudian terdengar suara nyaring. langsung dari dalam pendapa. Ternyata suara nyaring itu, suara Subinem sendiri.
"Siapa berani jual lagak di tempat ini? Lebih baik cepatlah enyah dari sini. Kasihan kalau kedatanganmu hanya mengantarkan nyawa."
Salindri dan Kedasih mengangkat muka memandang ke pendapa. Tampak oleh mereka Subinem duduk pada kursi kebesaran dengan sikapnya yang agung. Sebelum Kedasih maupun Salindri membuka mulut, sudah terdengar lagi suara subinem yang nyaring,
'Hai murid Tuban. Tangkaplah perempuan khianat itu. Kemudian jeboskanlah ke dalam penjara bawah tanah "
Mendengar perintah Subinem itu, murid-murid Tuban berbisik. Bagi yang tidak suka kepada Subinem, hal itu bertentangan dengan perasaan hatinya. Sedang bagi yang setia kepada Subinem, mereka menjadi ragu-ragu. Sebaliknya, Salindri dan Kedasih telah meraba hulu pedangnya, Kalau memang terpaksa harus bentrok dengan para murid Tuban, apa boleh buat. Mereka hanya membela diri, dan tidak menghendaki saling bunuh antara saudara sendiri
Pada saat yang menegangkan dan mendebarkan hati itu. mendadak terdengar suara nyaring dari atas tembok
"Tahan!" _
Suara itu nyaring sekali, dan mereka yang mendengar otomatis mengarahkan pandang mata mereka ke arah suara.
Semua mata terbelalak ketika melihat, bahwa yang muncul dan berteriak itu Rara Inten. Betapa gembira Kedasih tak terlukiskan lagi melihat munculnya Rara Inten pada saat yang amat tepat. Tiba-tiba saja ia berteriak.
"Hai para murid Tuban, siapa yang masih setia kepada perguruan, ibu Anjani dan adi Rara Inten, cepat berlututlah!"
Perintah kedasih itu pengaruhnya amat besar sekali. Mereka segera membalikkan diri, menghadap ke arah Rara Inten yang masih berdiri di atas tembok, lalu berlutut. Tak terkecuali Kedasih serdiri. Yang berlutut itu bukan hanya mereka yang selalu setia saja. Mereka yang semula sudah membantu Subinempun menjadi takut dan berlutut. Salindri bukan murid Tuban. Maka tidak berkewajiban untuk ikut berlutut. Namun demikian, ia membungkuk memberi hormat. Namun sambil membungkuk menghormat, matanya melirik ke kanan dan kekiri. Ketika dilihatnya Kanastren merah padam wajahnya dan tak mau berlutut. dan di sebelah timur juga terdapat beberapa orang lagi. Panas perut Salindri. Ia meloncat ringan sekali. Bentaknya,
"Mengapa kau tak mau berlutut ?"
Sambil membentak ia menyerang dengan kaki untuk menyerampang Kanastren. Untung Kanastren cukup waspada. Ia meloncat sambil menggerakkan tangan kanan untuk memukul kepala Salindri.
"Bagus, hi-hi-hik '."
Salindri melancarkan serangannya lagi dengan cepat luar biasa. Sebaliknya Kanastren yang tak mau menyerah begitu saja, melawan dengan tangan kosong. Gerakan masing-masing cukup cepat. Beberapa orang murid Tuban yang tadi berlutut, terpaksa beralih tempat menghindari tendangan dan pukulan yang meleset.
"Tahan!" terdengar hentakan nyaring Rara Inten, lalu gadis ini melayang turun dari tembok.
Salindri menahan gerakan kaki dan tangannya yang sudah akan dilancarkan. Kemudian ia sambil sambil terkekeh. Kanastren yang merasa serba salah, negera meloncat panjang. lalu berkumpul dengan murid murid yang membela Subinem. Sementara itu Subinem sendiri sudah keluar dari pendapa dengan wajahnya yang seram. Sebentar merah dan sebentar pucat. Ia memandang ke arah Rara Inten dengan tajam. Sebaliknya Rara Inten yang berdiri di halamanpun memandang Subinem dengan mata yang menyala.
Sekarang. murid Tuban terbagi menjadi dua kelompok. Mereka yang setia kepada Subinem segera membentuk kelompok di bagian timur, dipimpin oleh Kanastren.
Sedang murid yang setia kepada Rara Intan segera berkumpul di bagian barat, dipimpin oleh Kedasih. Sementara itu diam-diam Kedasih telah memerintahkan beberapa orang murid Tuban, agar menggunakan kesempatan untuk membebaskan Sarni yang sudah lama dalam tahanan.
Melihat dua kekuatan sudah hampir saling gebrak itu. Salindri tarkekeh.
"Hi-hi-hik. antara saudara perguruan sendiri saling bermusuhan. Wah, bakal ramai. Rara Inten ketua lama. akan segera mengukur kekuatan dengan Subinem, ketua boneka. Hi-hi-hik. .."
Subinem mengerutkan alis dan memandang Salindri tajam. Ia tersinggung. karena kata-kata Salindri itu tepat sekali. Bentaknya.
"Jahanam! Buka kedokmu dan jangan berlaku pengecut. Siapa kau berani mencampuri urusan perguruan kami ?"
"Hi -hi-hik, siapa yang gatal tangan mau mencampuri urusan Perguruan Tuban? Pada mulanya memang aku memenuhi ajakan mbakyu Kedasih datang ke tempat ini, untuk mencegah kejahatanmu. Hi-hi-hik! Akan tetapi sekarang, orang yang berhak telah datang. Mana aku berani ikut campur? Biarlah aku sekarang menjadi penonton dan menjadi saksi hidup. Aku ingin melihat, apakah engkau berani bertingkah dan bertanggungjawab di depan nona Inten, ketua yang syah dan berhak penuh? Tetapi yang jelas, kau hanya boneka!"
Jawaban Salindri itu sekaligus telah menelanjangi kecurangan dan kejahatan Subinem, dan kedudukannya yang hanya sebagai boneka belaka. Kalau ia berkata demikian bukannya ngawur belaka. Apabila keadaannya waras, artinya gangguan jiwanya tidak datang, otaknya kembali cerdik dan watak periangnya bangkit. Maka ia sudah dapat menduga kedudukan Subinem saat sekarang ini. Dari pengalamannya tadi ketika masuk ke kota Tuban, dan berdasar keterangan Kedasih, dimana Subinem dibantu oleh tiga orang tokoh sakti, tahulah Ia latar belakangnya. Kiranya Subinem dibantu oleh tokoh rahasia Mataram. Dengan demikian kedudukan Subinem hanyalah semacam boneka saja.
Wajah Subinem marah saking marah dan malu. Matanya berkilat memancarkan api kemarahan,, memandang Salindri. Bentaknya,
'Jahanam bermulut lancang. Apakah kau sudah bosan hidup berani membuka mulut sembarangan di depanku? Cepat enyahlah dari sini sebelum aku turun tangan membunuhmu!"
"Hi-hi-hik, gampang saja kau membuka mulut!" ejek Salindri sambil terkekeh.
"Di depan nona Inten, kau masih berani berlagak? Hi, hi, hik, aku berani bertaruh. Dalam seratus gebrakan paling lama, kau sudah terjungkal mampus."
Rara Inten masih berdiri dan berdiam diri. Sikapnya tenang, seperti memberi kesempatan kepada Salindri untuk memperolok Subinem. Dirinya sendiri memang tak sudi banyak bicara dengan Subinem. Sudah cukup banyak Rara Inten menghadapi kesulitan oleh perbuatan Subinem. Dahulu, ketika dirinya dipilih oleh nenek Anjani menduduki ketua Perguruan Tuban. Subinem menentang mati-matian. Subinem mempengaruhi para murid Tuban, dengan menggunakan macam-macam dalih dan fitnah, dalam hubungannya dengan Jaka Pekik (baca "Ratu Wandansari"). Dan ia ingat pula akan nasib Endang Bratajaya, yang menemui ajalnya di tangan gurunya sendiri, sebagai akibat mulut Subinem yang gatal. Maka apabila berhadapan dengan perempuan wajah jelek ini. ia tidak sudi banyak membuka mulut.
sebaliknya, Subinem seorang perempuan cerdik dan licin. Kesempatan ini malah dipergunakan sebaik-baiknya untuk mengulur waktu. Ia tadi secara diam-diam telah mengutus beberapa orang murid Tuban pergi ke kadipaten. Maksudnya untuk minta bala bantuan. Kalau Ratu Wandansari dan pengawalnya masih di rumah kedipaten, kiranya akan bisa menolong kesulitannya. Akan tetapi ternyata yang ditunggu itu belum juga datang. Maka mengulur waktu adalah lebih baik.
"Hemm," '
Subinem mendengus dingin.
"Jangan kau membuka mulut sembarangan, dan memutarbalikkan bukti dan kenyataan. Aku ingin bertanya, siapakah yang tak setia kepada perguruan? Aku ataukah Inten? Hi, hi. hik, para murid Tuban, dengarlah baik-baik. Kita tentunya masih ingat bahwa sudah berpuluh-puluh tahun yang lalu, Perguruan Tuban merupakan musuh bebuyutan siluman Gagak Rimang. Sejak dulu, aku sudah tak percaya akan iktikad baik Inten. Dan kemudian ternyata dugaanku benar belaka. Hi, hi, hik, mengapa Inten yang mestinya meneruskan perjuangan ibu Anjani. malah berkhianat? Bukan saja bersahabat dengan iblis Pekik sebagai Raja Gagak Rimang. malah menyerahkan kedudukan ketua Perguruan Tuban kepada iblis itu. Hayo, katakanlah! Siapa yang setia dan siapa yang khianat? Aku menyelamatkan Perguruan Tuban dari pengaruh iblis Gagak Rimang."
"Hi-hi-hik, engkau memang berbakat menjadi pokrol bambu," ejek Salindri.
"Engkau bilang membela perguruan, tetapi hatimu yang busuk berbau sampai di sini, Kau hanya boneka yang berkedok pahlawan. Hi-hi-hik, tak tahu malu. Kaubilang membela Perguruan Tuban supaya bersih dari pengaruh Gagak Rimang? Hi-hi-hik.
bagus! Apakah Gagak Rimang itu jahat? Apakah Gagak Rimang gerombolan siluman seperti tuduhanmu? Hayo bantahlah, siapa yang telah menyelamatkan puluhan tokoh sakti dari penjara Mataram? Katakanlah, siapa ? Bukan lain Pekik, Raja Gagak Rimang. Engkau biaa saja menuduh Gagak Rimang jahat. Namun buktinya, beberapa perguruan mengakui kegagahan Pekik dan Gagak Rimang. Hi-hi-hik, malah Pondok Bligo sendiri tak malu-malu menempatkan diri di bawah pengaruhnya. Apakah para tokoh Islam di Pondok Bligo itu sudah tolol, jika menurut tuduhanmu ?"
Salindri mendelik ke arah Subinem. Kemudian terusnya.
"Diakui atau tidak, Pekik dan Gagak Rimangnya yang telah besar sekali jasanya. Maka Sudah pantas dan tepat pula apabila Nona Inten menyerahkan kedudukan Ketua Perguruan Tuban kepada Pekik. Sebaliknya engkau yang berlagak pahlawan itu hanyalah boneka. Kau boneka Mataram !"
Merah wajah Subinem dikerutuk kata-kata Salindri yang seperti burung betet itu. Tiba-tiba terdengar lengking nyaring, dan muncullah seorang wanita yang kurus pucat, rambutnya riap riapan, berlarian ke arah Rara Intan dan Subinem. Terdengar suara dari mulut perempuan itu, caci maki yang ditujukan Subinem.
"Bangsat jahanam Subinem. Kau manusia jahat, khianat dan busuk. Kau harus mampus di tanganku. Hihi-hik!"
Perempuan berambut riap-riapan yang datang ini adalah Sarni. yang baru dibebaskan oleh murid Tuban atas perintah Kedasih. Perempuan itu tampak amat marah sekali, berlarian cepat. Keadaan Sarni ini menyeramkan. Kecuali rambutnya riap-riapan, pakaiannya kusut dan robek di sana sini. Matanya cekung sekali, pipinya tinggal tulang dibungkus kulit menonjol seperti mayat hidup,
Memang selama dalam tawanan Subinem, Sarni. jarang sekali mau makan. Di samping itu, ia tak pernah lagi mau mengurus dirinya, rambutnya dibiarkan terurai tak pernah disisir. sehingga rambut itu menjadi gimbal. Pakaiannya pun menjadi kian kotor dan koyak di sana sini, karena selama ini tak pernah mau ganti. Kadang di tempat tahanan itu Sarni ketawa-ketawa sendiri. tetapi juga menangis terisak-isak. Sarni terganggu jiwanya sebagai akibat tekanan batin.
Melihat Sarni. Rara Inten kaget dan amat terharu.
Mengapa Sarni yang semula bertubuh denok. cukup cantik, sekarang seperti mayat hidup?
Ia melangkah maju sambil menegur,
"Mbakyu Sarni... ahh.. mengapa kau jadi begini?"
Sarni menghentikan langkahnya, terbelalak memandang Rara Inten. Tiba-tiba Sarni berteriak nyaring,
"Aduh adi Inten.,. kau kau datang? Hi. hi, hik ..... hu. hu. huukk ..... ha, ha, ha...,.. hah. hah, hah ."
Sarni memeluk Rara Inten sambil menangis campur dengan ketawanya. Rara Intenpun memeluk Sarni dengan mesra. Hatinya amat terharu sekali, menyaksikan perubahan Sami. Rara Inten seperti tidak mencium bau yang tidak enak dari rambut. pakaian dan bau keringat Sarni yang telah berbulan bulan tidak mandi. Ia membiarkan Sarni menangis sambil tertawa-tawa, menyembunyikan wajahnya di dada.
"Mbakyu, sudahlah."
Rara Inten menghibur.
"Aku sudah datang, kau tak perlu khawatir lagi."
Sarni mengangkat mukanya, menatap Rara Inten sambil terkekeh di tengah-tengah isaknya.
"Adi... adi Inten...... mengapa kau baru datang........? Ohh, subinem khianat. Aku ditawan. Hi, hi, hik hi, hi, hik...... Kurang ajar dia! Kejam dan tak tahu malu. Dia..... pernah memaksa aku.. ditelanjangi dan dibuat tontonan murid laki-laki..." hi, hi, hik..... he, he, huh....."
Mendengar cara bicara Sarni ini, tahulah Rara Inten bahwa perempuan ini terganggu jiwanya. Akan tetapi yang membuat ia kaget kata kata terakhir itu.
Benarkah subinem sanggup melakukan perbuatan itu?
Menelanjangi Sarni dan dibuat tontonan murid laki-laki?
Perbuatan ini sungguh menusuk perasaan Rara Inten. Ia menatap Subinem dengan mata berapi-api.
"Subinem! Benarkah apa yang telah dikatakan mbakyu Sami ini? Kau sanggup berbuat seperti itu?"
Rara Inten tak sanggup mengulang kata kata Sarni tadi. Maka ia hanya mengatakan begitu. Subinem terkekeh. Sahutnya dingin,
"Hemm..... orang gila itu? Mulut orang gila bisa saja mengucapkan fitnah !"
Walaupun jiwanya terganggu, Sarni masih bisa menangkap kata-kata Subinem. Ia memalingkan muka. kemudian menghadapi Suhinem dengan jari tangan tergenggam dan mata berapi.
"Jahanam..... hi, hi, hik, kau bilang apa? Aku memfitnah... hi, hi, hik..... kau mungkir? Kubunuh, kau ..,. !"
"Uahh..... jahat sekali!"
Salindri yang sejak tadi berdiam diri membuka mulut.
"Untung aku bukan nona Inten. Kalau aku, hem..... orang jahat begitu tentu kubalas. Kutelanjangi biar kapok. Hi, hi, hik.......
"
Rara Inten mendelik ke arah Salindri. Tetapi tak membuka mulut. Setelah ia menebarkan pandang matanya kepada para murid Tuban yang berdiri di belakang Subinem. katanya perlahan. tetapi bersungguh-sungguh,
"Hai, para murid Tuban yang berdiri di belakang subinem. Pilihlah dan tentukan dirimu sebelum terlanjur. Kalian berdiri di belakang pengkhianat, atau berdiri di belakangku?"
Kata-kata Rara Inten itu berwibawa dan berpengaruh besar. Untuk beberapa saat keadaan menjadi sepi dan lengang, tiada suara terdengar. Keadaan menegangkan. dan para murid Tuban yang berdiri di belakang Rara Inten mengamati saudara-saudaranya itu dengan hati yang berdebar.
Setelah keadaan sunyi beberapa saat, terjadilah kesibukan dan berisik. Pada mulanya hanya satu dua orang saja yang cepat meninggalkan tempat itu, berpindah tempat di belakang Rara Inten. Namun kemudian mereka berbondong, bergegas, dan dalam waktu tak lama di belakang Subinem hanya tinggal sembilan orang saja yang masih tetap, termasuk Kanastren.
Subinem yang kehabisan anak buah itu. masih mencoba menenangkan hatinya sambil tetap mengharap datangnya bantuan dari rumah kadipaten. Sedang Kanastren yang berdiri dekat dengan Subinem, wajahnya sebentar merah sebentar pucat. Perempuan ini hatinya berdebar gelisah. Kalau saja tidak malu. sebenarnya ia ingin menyeberang dan berbalik kepada Rara Inten. Demikian pula delapan orang murid yang lain mempunyai pikiran yang sama dengan Kanastren ini. Akan tetapi apabila ingat akan sikap-sikap mereka selama ini, sesudah menjadi orang-orang kepercayaan Subinem. mereka khawatir sendiri. Khawatir kalau saudara saudaranya yang dulu pernah dipukul dan disakitkan hatinya, membalas pada kesempatan ini.
salindri tak dapat menahan mulutnya
'Hi-hi-hik, siapa salah mesti seleh (siapa salah tentu kalah). Hampir tiba saatnya kau, Subinem, memetik buah dari tanamanmu sendiri."
Di antara murid Tuban itu ada yang tertawa tawa kecil dan senang sekali, mendengar kata-kata Salindri yang selalu membuat Subinem mati kutu. Sedang Kedasih sendiri, diam-diam makin senang kepada adik angkatnya ini yang benar-benar membantu usahanya merebut kembali Perguruan Tuban dari pengkhianatan Subinem.
Keadaan Subinem sekarang telah terjepit. Ia hampir kehilangan semua pengikut, dan di samping itu bantuan yang ditunggu belum juga tiba.
Setelah semua orang selesai menempatkan diri dan kembali tenang, Rara Inten menatap Subinem dengan sikap yang angkuh dan agung.
"Subinem! Lekas berlututlah, dan mintalah ampun kepada sekalian saudara. Mungkin aku masih bisa mempertimbangkan hukuman yang jatuh atas dirimu."
Tetapi sungguh di luar dugaan, tiba-tiba saja Subinem ketawa terkekeh .Ia mengangkat lengan kirinya dengan jari di atas sambil berkata,
"Sungguh lucu! Tanda kekuasaan ketua, yang berujud cincin ini di tanganku. Mengapa ada orang memerintah aku supaya berlutut? Hai, murid Tuban. Apakah kau lupa kepada cincin tanda ketua perguruan ini?"
Semua orang terdiam. Dan wajah Rara Inten mendadak pucat. Kenyataannya dirinya sekarang tidak mengenakan cincin tanda jabatan ketua tersebut.
Manakah mungkin ia berhak memerintah anak murid?
Dan para murid Tuban yang hadir menjadi ragu-ragu. Kalau menghadapi persoalan macam ini,
Siapakah sesungguhnya yang berhak?
Subinem ataukah Rara Inten ?
Untunglah Salindri berada di tempat ini. Gadis yang masih mengenakan kedok ini ketawa terkekeh. Katanya.
'Uahhh, Subinem mau menggunakan cincin tanda ketua, guna mencari keuntungan. Hi-hi hik, badut yang tidak lucu. Dengarlah jika kau ingin tahu, hai badut! Cincin itu hanya merupakan simbol, guna tanda! Tanda. tahu? Bukan pemegang kekuasaan. Sebab pemegang kekuasaan bukanlah benda, tetapi orangnya. Hi-hi-hik. cincin itu takkan menolong dirimu, tahu?"
"Tetapi, hanya orang yang mengenakan cincin ini saja yang diakui syah sebagai ketua menurut sejarah."
Bantah Subinem.
'Hi hi-hik, siapa yang tahu kalau benda cincin yang kaujadikan pelindung itu bukan palsu? Kalau orang hanya mendasarkan kepada benda tersebut, akan timbul hal-hal menggelikan. Hai Subinem, coba jawablah pertanyaanku. Andaikata, pada suatu malam cincin itu dicuri orang. Kemudian cincin tersebut dipakai si maling. Apakah si maling berhak mengaku sebagai ketua?"
"Itu lain!" bentak Subinem marah,
"Aku bukan maling, tetapi memiliki tanda jabatan ini secara syah."
"Syah katamu? Dengan berkhianat. kauanggap perbuatan syah? Dengan paksa engkau merebut cincin tanda ketua itu kan berkukuh, menganggap syah? Hi-hi-hik.. hanya orang gila saja yang dapat mengikuti pendapatmu. Sekarang dengarkan kataku. Cincin tanda ketua itu tak akan ada gunanya tanpa pengakuan dari anggauta. Katakanlah sekarang, anggauta yang berpihak kepada Nona Inten jauh lebih banyak. Apakah engkau tidak malu menyatakan diri sebagai ketua ?"
"Betul! Kita mengakui adi Inten sebagai ketua."
Terdengar suara menyambut dari sudut. Kemudian menyusul suara yang riuh, menyatakan memilih Inten
kembali sebagai ketua. Riuh suara itu, saling sahut dengan nada sama. Mendengar itu bangkit kembali semangat Rara Inten,
"Nah, engkau mendengar? Yang penting bukanlah cincin itu. Tetapi pengakuan anak murid. Apakah engkau masih akan membandel? Subinem. Insyaflah sebelum terlambat!"
Pada saat Subinem dalam keadaan terpojok ini tiba tiba terdengar suara ketawa terkekeh dari atas tembok pekarangan. Lalu terdengar orang berkata,
"Anak Subinem, jangan takut! Kedudukan Ketua Perguruan Tuban hanya bisa diakui syah kedudukannya dengan mengadu kepandaian. Siapa menang, dialah yang kuasa."
Belum juga lenyap suara itu, telah melayang tiga sosok tubuh yang amat ringan, kemudian berdiri di samping Subinem. Semua orang kaget, kemudian berisik. Semua murid Tuban mengenal siapakah tiga orang yang datang ini. Hesti Wiro. Sawungrana dan Reksogati. Tiga orang tokoh rahasia Mataram, pengawal setia Ratu Wandansari.
Kedasih yang tadi sudah merasa pasti usahanya berhasil, mendadak menjadi amat khawatir sekali dan wajahnya pucat. Ia sudah tahu sampai di mana kesaktian tiga tokoh Mataram ini.
Manakah mungkin Rara Inten dan Salindri sanggup melayani?
Rara Inten pun berdebar. Namun ia masih tetap bersikap tenang. Ia menyapu dengan pandang matanya kearah tiga orang yang datang itu. Kemudian tegurnya,
"Siapakah kalian ini? Urusan Perguruan Tuban, adalah urusan rumah tangga sendiri. Mengapa kalian orang luar lancang tangan mencampuri?" '
Kalau Rara Inten tidak mengenal lagi tiga orang tokoh ini, sebaliknya tiga orang hamba Mataram itu belum lupa. Kata Reksogati.
'Heh-heh-heh, bukankah nona ini Rara Inten? Uah, telah amat lama kita tak barjumpa. Pantas nona sudah lupa kepada kami."
Rara Inten mengerutkan alis berusaha mengingat-' ingat. Dan Reksogati masih menolong memperkenalkan diri.
"Hebat."
Rara Inten mendengus dingin.
"Jadi kalian mengandalkan kebesaran Mataram, mau memaksakan kehendak sendiri kepada rumah tangga orang lain ? Hemm. selama Rara Inten masih hidup, jangan harap engkau dapat berbuat sesuka hatimu di sini."
'Heh-heh-heh,"
Sawungrana terkekeh,
"Jangan engkau bicara sembarangan. nona. Apakah engkau tak mau tahu bahwa Tuban ini, merupakan Wilayah Mataram? Dan di sini Kangjeng Sultan Agung mempercayakan kepada Kangjeng Adipati? Nah, jika engkau tidak membuta tuli, para kawula harus tunduk dan patuh kepada penguasa yang syah. Apakah engkau memang sengaja tak mau tunduk dan mau memberontak kepada Mataram? Gusti Kangjeng Ratu Wandansari telah mempercayai Subinem memimpin Perguruan Tuban. Siapakah yang dapat menentang dan melawan? Siapa yang menentang dan melawan berarti memberontak kepada Mataram."
Mendengar disebutnya nama Ratu Wandansari itu, mengertilah Rara Inten sekarang akan sebabnya Subinem dapat merebut kedudukan di sini. Maka tidak aneh pula, sekarang tiga orang tokoh rahasia Mataram ini berusaha melindungi. Tiba-tiba saja Rara Inten terkekeh.
"Hihi-hik, hebat, hebat! Ternyata Subinem tidak berdiri sendiri. Ternyata benar Subinem hanyalah boneka Mataram. Hemm, urusan ini adalah urusan rumahtangga perguruan yang tak boleh dilanggar semau-maunya. Tak perduli siapa yang berdiri di belakang Subinem. Pendeknya aku merasa berhak mengadili Subinem. Kami tidak mempunyai maksud melawan Mataram, apalagi memberontak. Namun sebaliknya kami takkan begitu saja menyerah apabila kedaulatan kami dilanggar orang. Pendeknya kami tiada urusan dengan Mataram. Di sini kami bicara urusan rumah tangga antara saudara sendiri. Mengapa kalian mau memaksakan kehendak sendiri ?"
Tiba tiba Salindri terkekeh nyaring,
"Hi-hi-hik, benar dugaanku puteri siluman itulah yang menjadi biang keladi. Uahh.. hebat! Akal bulus! Tepat dugaanku, bahwa Perguruan Tuban dijadikan alat guna menaklukkan Tuban."
Sawungrana mendelik marah.
"Hai, siapa kau berani lancang mulut di depan kami? Kau berani mencaci junjunganku. Buka kedokmu. Jangan kau menyembunyikan muka seperti pengecut."
"Hi. hi, hik, sangkamu kalau dia ada, aku takut bilang dia seperti siluman ?" ejek Salindri.
"Tahukah kau, bahwa aku sudah kenal lama dengan dia? Dan tentang kedokku ini, ada hubungan apakah dengan kau? Kalau aku lebih senang mengenakan kedok seperti ini, kau mau apa ?"
'Kurang ajar. Kau tak mau membuka kedokmu? Akulah yang akan membuka!"
Begitu selesai berkata, tubuh Sawungrana menyambar ke arah kedok kain hitam penutup muka Salindri. Kedasih yang menyaksikan cepatnya gerakan Sawungrana itu sampai memekik tertahan. Khawatir kalau adik angkatnya celaka di tangan tokoh Mataram itu.
Namun walaupun Salindri ceriwis, tampaknya sembrono, pandai mengejek, liar, tetapi juga tak gampang dipedayakan orang. Seperti kapas ringannya ia sudah melesat Kesamping sambil mengejek
"kau mau apa?"
Sambil menghindar ke samping dan mengapung di udara pula, kakinya bergerak membalas serangan orang dengan tendangan kilat. Untung yang diserang seorang tokoh sakti. Tangannya diangkat menangkis dan sekaligus mencengkeram. Terpaksa Salindri menarik kembali kakinya, dan berdiri beberapa meter jauhnya dengan SaWungrana.
Sawungrana melengak heran. Sungguh tak pernah diduganya, bahwa perempuan berkedok ini dapat bergerak secepat itu. Akan tetapi dari heran ia menjadi penasaran dan marah, begitu mendengar suara ketawa beberapa orang murid Tuban. Jelas bahwa suara ketawa yang riuh itu mentertawakan dirinya, yang luput menyambar kedok Salindri. Terdorong marah dan penasaran. Sawungrana yang masih berangasan ini menjadi lupa. Lupa bahwa dirinya seorang tua, seorang tokoh yang namanya sudah tenar. telah mendahului menyerang seorang muda_
Seperti kilat cepatnya ia kembali menerjang Sallndri. Terjangan itu menerbitkan angin yang kuat, menyambar beberapa orang murid Tuban di situ. Beberapa orang memekik dan roboh pingsan. Lalu terjadilah keributan dan beberapa orang murid Tuban itu ketakutan menyingkir. Di tempat itu segera terbuka gelanggang yang cukup luas.
Reksogati dan Hesti Wiro tidak mencegah apa yang dilakukan Sawungrana. Apa yang telah dimulai Sawungrana, diam-diam malah mereka mendukung. Memang keributan itu yang mereka kehendaki.
Di pihak lain, Kedasih dan beberapa orang murid Tuban menyesalkan kesembronoan Salindri, berani berhadapan dengan tokoh sakti itu. Hanya Rara Inten yang tenang --tenang saja. Soalnya Rara Inten tidak mempunyai ikatan apa-apa dengan Salindri. Malah dibalik sikapnya yang baik itu. sebenarnya masih menyimpan perasaan malu, jika ia teringat perbuatannya dulu berusaha membunuh Salindri. Maka melihat Salindri telah bergebrak dengan Sawungrana, ia tidak perduli. Mati dan hidup, kalah dan menang, bukanlah urusan dan tanggungjawabnya.
Tetapi Salindri adalah seorang gadis yang tabah, berani dan tak pernah mengenal takut. Sekalipun ia sadar tidak boleh sembrono, ia tetap tenang. Dengan kelincahan dan kecepatannya bergerak, Ia menghindar sambil membalas menyerang setiap memperoleh kesempatan.
"Plak-plak........ aihh........!"
Salindri memekik kaget dan tubuhnya terpental mundur, ketika telapak tangannya bertemu dua kali dengan telapak tangan Sawangrana. Salindri berjungkir balik dua kali, kemudian dapat berdiri di atas tanah tanpa suara.
Sawungrana terkekeh.
"Heh-heh-heh, bukan salahku. Engkau yang keras kepala. Hayo, sekarang jangan bandel lagi. Buka kedokmu, dan aku takkan mendesak."
Akan tetapi manakah mungkin Salindri mau mengalah?
Ia tidak merasa bersalah.
Kalau ia mengenakan kedok, siapa melarang?
Mengapa orang usil dan mau main paksa?
Salindri seorang gadis yang gampang marah apabila memperoleh sikap keras. Makin keras orang menggunakan kekerasan, makin keras kepalanya dan takkan sudi tunduk. Maka iapun menjadi penasaran dan marah. Ia membusungkan dadanya dan sikapnya angkuh. Apapun yang terjadi ia akan mempertahankan kedok yang menutupi mukanya. Dan sekalipun ia sadar pula, bahwa
dalam hal tenaga sakti takkan menang, tetapi dalam hal ilmu tata kelahi belum tentu.
"Hemm,"
Salindri mendengus dingin.
'Mendesakpun boleh. Siapa takut? Adakah hakmu main paksa terhadap orang lain? Huh, aturan manakah itu? Sangkamu, aku ini budakmu? Hi-hi hik. tak tahu malu!"
"Huh huh, aku ingin melihat apakah engkau bisa mempertahankan kedokmu?" bentak Sawungrana dan secepat tatit. ia telah melesat ke depan menyerang Salindri.
Tetapi sungguh Sawungrana kecelik dan amat penasaran. Tak pernah diduganya, bahwa perempuan muda berkedok ini dapat bergerak secepat itu, seakan ia memburu bayangan. Sungguh, kecepatan gerak lawan ini membuat ia kagum, tetapi juga membuat dia makin penasaran. Maka kalau semula semua gerakannya hanya ditujukan untuk menjambret kedok kain hitam penutup muka itu, sekarang juga ditujukan ke bagian lain.
"AH.... aii.. nanti dulu !'
Salindri melesat jauh kemudian memandang Sawungrana dengan mata merah.
"Kau ini sebenarnya mau apa?"
"Ingin membunuhmu!"
Sawungrana yang menjadi penasaran itu tak kuasa menahan kemarahannya.
Salindri membelalakkan matanya.
"Uahh, apa salahku? Apakah orang bebas main bunuh orang?" ,
"Tak usah banyak mulut. Pendeknya hari ini kau harus mampus di tanganku!"
Tanpa perduli lagi. Sawungrana sudah kembali bergerak melancarkan serangannya yang dahsyat. Sekaligus ke arah empat bagian tubuh yang berbahaya.
Salindri menyadari, dalam hal tenaga sakti takkan dapat mengatasi lawan. Karena itu ia menggunakan kecepatannya bergerak. dan selalu menghindarkan pertemuan tangan. Akan tetapi, makin lama Salindri menjadi repot. Baru sambaran angin pukulannya saja sudah membuat dadanya sesak.
Taklah mengherankan apabila sambaran angin pukulan Sawungrana mengandung hawa yang panas. Dalam penasarannya Sawungrana menjadi lupa daratan. Ia sudah menggunakan pukulan-pukulan yang mengandung Aji "Dahana Muncar".
Dalam usahanya menolong diri, Salindri segera mencabut pedangnya. Dengan bantuan pedangnya ini, walaupun ia terdesak, namun masih memperoleh kesempatan menolong diri. Sawungrana terkekeh-kekeh mengejek dan mendesak terus. Gelanggang pertempuran yang tak seimbang ini makin bergeser agak jauh dengan tempat semula. Namun karena banyak di antara para anak murid Tuban dan Kedasih khawatir akan keselamatan Salindri, banyak di antara mereka yang memburu mendekati.
Di saat Salindri terus dipaksa dan didesak ini, mendadak terdengarlah suara ketawa terkekeh,
"Heh. heh, heh, tak tahu malu! Orang tua memaksa anak kecil. Apakah sekarang Sawungrana sudah berubah kiblatnya, menjadi seorang pengecut dan suka menghina orang muda?"
Sawungrana kaget dan menghentikan gerakannya. Tampak olehnya kemudian munculnya dua orang kakek di atas tembok pekarangan. Dua orang itu kemudian meniup turun tangan dengan gerakannya yang ringan.
"Kau. . . . . . . !" seru Sawuugrana tertahan.
"Ya, aku. Mengapa, heh heh-heh!" sahut salah seorang di antara dua orang kakek itu.
Tiba-tiba terdengar sorak yang riuh dari para murid Tuban.
"Hore, hore! Bantuan datang."
Para murid Tuban itu berbesar'hati, setelah melihat bahwa yang muncul itu dua orang tokoh sakti Gagak Rimang, Yoga Swara dan Madu Bala.
Munculnya dua orang tokoh Gagak Rimang ini, tentu saja menimbulkan kegemparan. Subinem yang semula bibirnya selalu tersenyum mengejek kepada Rara Inten, sekarang senyum itu hilang. Wajah Subinem sebentar pucat dan sebentar merah. Hatinya merasa tegang sekali.
Apa yang bakal terjadi, kalau terjadi perkelahian?
Sesungguhnya Yoga Swara dan Madu Bala takkan muncul begitu saja, apabila tidak melihat Salindri dalam bahaya. Tetapi kehadirannya sekarang sudah terlanjur di ketahui orang. Maka dengan sikap yang tenang, dua orang tokoh Gagak Rimang ini segera melangkah menuju ke tempat di mana Rara Inten dan murid Tuban, berhadapan dengan Subinem dan pembantunya. Sementara itu, Salindri sudah menyarungkan kembali pedangnya. Ia mendekati Yoga Swara, kemudian bertanya,
"Paman Swara. Kau datang bersama siapa? Mana Pekik?"
Yoga Swara yang telah mengenal bahwa gadis ini puteri Indrajid, salah seorang tokoh Gagak Rimang pula, tersenyum. Jawabnya,
"Aku tak datang bersama dia."
'Mengapa tak kauajak paman?"
"Mana berani aku mengajak? Dia pemimpinku. Sudahlah, Indri, mengasolah. Mengapa kau tadi berkelahi melawan dia ?"
"Untung kau tertolong oleh pamanmu Madu Bala."
'Sangkamu aku takut mati, paman? Huh, kau merendahkan aku."
Salindri mendelik marah.
Yoga Swara tertawa.
"Bukan itu soalnya, Indri! Kau masih muda, tak boleh begitu saja mati."
Yoga Swara menghentikan percakapannya dengan Salindri ketika ia mendengar Madu Bala sudah mulai bicara
"Hemm, kalau tahu kalian yang main rusuh di sini, tentu tidak berlarut-larut seperti ini, sampai berbulan bulan."
Madu Bala berkata ditujukan kepada para bekas teman sekerjanya, ketika Madu Bala masih mengabdikan diri pada Mataram.
"Tapi hem, aku tahu. Kalian ini hanya alat saja, bukan? Sekedar melakukan tugas dan perintah junjunganmu. bukan?"
'Heh-heh-heh, kalau benar kau mau apa?"
Hesti Wiro mengejek,
"Kalau Gagak Rimang sudah main rusuh, mengapa kami tidak? Bicara tentang Perguruan Tuban, kami yang lebih berhak daripada pihakmu. Tuban telah dikalahkan Mataram. Setiap daerah yang sudah takluk. penghuninya harus tunduk kepada kami.Maka Perguruan Tubanpun kami yang berhak mengurusi dan mengaturnya."
"Uah-uah, sombongmu, Hesti Wiro! Sejak kapan ada peraturan seperti ini? Yang main paksa dan main menang-menangan? Pendeknya begini. Kita selesaikan soal Perguruan Tuban ini secara baik. Artinya begini. Kita adalah orang-orang luar. Yang berhak berurusan adalah orang dalam sendiri. Kita cukup menjadi saksi saja."
"Heh-heh-heh, kau pengecut!" ejek Hesti Wiro.
Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau main lidah tak bertulang. Sudah aku katakan tadi. bahwa dengan jatuhnya Tuban, kami berhak mengatur penghuni Tuban menurut cara kami sendiri. Dan karena kami menganggap bahwa Perguruan Tuban ini lebih tepat dipimpin oleh anak Subinem, maka dialah yang kami tetapkan sebagai ketua. Ini urusan kami, tak seorang pun berhak menghalangi. Barang siapa melawan berarti terang-terangan telah memberontak."
Rara Inten ketawa terkekeh. Nyaring dan panjang. Beberapa orang murid Tuban kaget dan terpelanting jatuh terguling. Ketawa Rara Inten memang bukan ketawa sewajarnya. Akan tetapi mengandung tenaga sakti tingkat tinggi. Saking marahnya perempuan ini menjadi lupa. Dan baru sadar dan menghentikan suara ketawanya setelah melihat beberapa saudara perguruannya roboh terguling.
"Siapa takut dicap pemberontak? Siapa takut kepada Mataram? Kalau kalian menuduh kami berontak, baik! Kami pemberontak. Mau apa? Jangan kalian menggoyang lidah seenaknya sendiri. Siapa yang tak mendengar dan tak tahu. bahwa setiap urusan perguruan, merupakan urusan rumah tangga ? Mengapa hendak bersikeras mau mencampuri? Aku adalah ketua perguruan Tuban yang syah, sesuai dengan amanat terakhir ibu guru Anjani. Siapa yang tak tahu? Bukti nyata kalian lihat sendiri. Beberapa jumlah anak murid Tuban yang berpihak kepadaku, dan berapa yang berpihak ke pada Subinem? Adakah ketua tanpa anggauta, dan bisakah orang disebut panglima tanpa perajurit?"
Mendengar kata-kata Rara Inten ini, untuk sesaat para tokoh rahasia Mataram ini tertegun dan tercengang. Namun kemudian menjadi marah, karena terang-terangan Rara Inten tak takut disebut pemberontak. Mereka adalah pembela Mataram yang setia. Pengabdian mereka telah dibuktikan dengan jasa jasa yang telah mereka perbuat.
Manakah mungkin mau mengalah begitu saja mendengar orang setengah menantang?
"Bagus, heh-heh-heh!"
Reksogati terkekeh.
"Kalau begini keadaannya, urusan ini takkan selesai tanpa keputusan yang jelas. Hemm, baik. Kalian bertahan dan merasa berhak, sebaliknya kamipun lebih berhak. Baik, kita tentukan sekarang soal ini di ujung senjata. Mana yang menang, yang berhak atas Perguruan Tuban. Mana yang kalah tak boleh rewel lagi. harus enyah dari sini."
"Siapa takut? " tantang Rara Inten dengan angkuh.
"Guna membela perguruan kami, nyawa sebagai taruhan bukan apa-apa."
Rara Inten memandang para murid Tuban, katanya,
"Mundurlah kalian. Berilah tempat yang cukup luas. Biarlah orang tahu, bahwa Perguruan Tuban tak boleh dihina begitu saja."
Para murid Tuban itu dengan hati yang tegang cepat pula mengatur diri membentuk lingkaran yang merupakan gelanggang cukup luas. Tiba-tiba melesatlah Rara Inten ke tengah gelanggang. Cambuk yang tersimpan di balik bajunya telah dihunus. Cambuk itu diputarkan di atas kepalanya dan meledak-ledak. Kemudian terdengar tantangnya nyaring,
"Hayo, siapa yang akan maju menghadapi Rara Inten?"
"Aku!"
Sawungrana yang lebih berangasan sudah menyahut dan melesat maju. Tahu-tahu Sawungrana juga sudah bersenjata "Bandil Eri" yang bentuknya menyeramkan.
Dua orang yang berhadapan ini masing-masing bersenjata panjang dan lemas. Akan tetapi sekalipun lemas. senjata Sawungrana tampak lebih berbahaya karena berujud rantai baja, dan pada ujungnya terdapat roda yang bergigi tajam.
"Tahan!" tiba-tiba Madu Bala berteriak nyaring mencegah.
Rara Inten menghentikan gerakan cambuknya memandang Madu Bala sambil mengerutkan alis. Sawungrana merasa tidak senang diganggu. Bentaknya,
"Apa maksudmu?"
"Apakah penentuan ini tak perlu diatur? Artinya, ketentuan yang kalah tidak harus diakhiri dengan jatuhnya korban?" sahut Madu Bala,
"Sebaiknya, siapa yang sudah roboh terluka, itulah yang dianggap kalah."
"Sampai mampus!" teriak Rara Inten penasaran,
"Siapa yang takut mati? Kalau aku kalah biarlah mampus. Tetapi kalau aku menang. takkan membiarkan orang masih hidup."
"Bagus! Siapa yang kalah harus mampus !" sambut Sawungrana tak kalah semangatnya.
"Ahhh!" terdengar seruan tertahan dari mulut Reksogati dan Yoga Swara.
Dua orang ini mempunyai perasaan yang sama.
Mengapa harus diakhiri dengan cara itu?
Mereka sebenarnya tak setuju.
Tetapi apa harus dikata kalau masing-masing pihak yang berhadapan sudah saling berjanji begitu?
Mereka tak dapat membatalkan. Maka yang dapat mereka lakukan tinggal menghela napas panjang.
"Sambutlah !"
Rara Inten yang sudah marah, tak mau memberi kesempatan musuh berpikir. Cambuknya sudah meledak diudara. Kemudian menyambar kearah Sawungrana, dan berubah menjadi segulung sinar hitam yang menerbitkan angin dahsyat.
"Siut-wut-wut........ cring-tring........!"
Dalam segebrakan saja dua orang ini telah saling serang dan senjata mereka berbenturan. Rara Inten tak ingin berlambat. Maka begitu bergerak, ia sudah menggunakan jurus-jurus ampuh dari Ilmu Cambuk 'Samber Nyawa". Sebaliknya Sawungrana juga memutarkan senjaranya, sehingga berubah menjadi gulungan sinar yang putih mengkilap. Dua gulung sinar hitam dan putih itu kemudian saling libat, berebut kemenangan dan saling berusaha mencari lowongan.
Dalam waktu singkat telah terjadi perkelahian yang sengit sekali. Tigapuluh jurus telah dilalui, namun dua sinar yang bergulung-gulung itu masih terus saling kejar dan saling libat. Gerakan mereka makin lama semakin menjadi cepat. Yang masih dapat mengikuti gerakan dua orang ini tinggal Hesti Wiro. Reksogati, Yoga Swara dan Madu Bala. Dan walaupun Salindri sudah cukup tinggi ilmunya namun ia masih merasa agak pening mengikuti perkelahian itu. Diam -diam empat orang ini kagum melihat sambaran cambuk Rari Inten yang menerbitkan angin dahsyat. Bukan hanya itu. Tetapi gerak perubahannya juga amat aneh. Mereka adalah orang orang yang telah luas pengalaman. Namun mereka heran karena tak mengenal ilmu cambuk Rara Inten yang hebat itu.
Seratus jurus telah dilalui. Namun senjata masing masing masih tetap saling libat cepat seperti kilat menyambar. Ketangkasan mereka seimbang. Sawungrana menang pengalaman dan menang latihan. Sebaliknya Rara Inten menang oleh bantuan ilmu sakti yang ditemukan dari dalam pedang Jati Sari. Ilmu rahasia yang telah lama diperebutkan beberapa ribu tokoh sakti.
Para murid Tuban yang tak lagi dapat mengikuti gerakan mereka itu, hatinya makin tegang dan berdebar. Diam-diam mereka semua mengkhawatirkan keselamatan Rara Inten. Kenyataannya memang demikian. Bukan hanya para murid Tuban yang menjadi khawatir. Tetapi juga Madu Bala dan Yoga Swara. Dua orang tokoh Gagak Rimang ini dapat mengikuti dengan jelas. Sekalipun tampaknya Rara Inten dapat melayani Sawungrana dengan amat baik, namun sinar hitam dari cambuknya selalu tertindih oleh sinar putih senjata Sawungrana.
Kenyataan ini memang tidak mengherankan. Sawungrana memang mempunyai keunggulan dalam hal tenaga sakti dan menang dalam latihan. Senjatanya seperti
bagian tubuhnya sendiri, sehingga dapat bergerak selaras dengan kemauan hatinya. Sebaliknya walaupun Rara Inten menggunakan ilmu sakti tiada taranya, akan tetapi belum cukup waktu dalam melatihnya. Tentang gerakan cambuknya memang sudah cukup matang dan bisa dikuasai dengan baik. Akan tetapi gerakan yang cepat laksana tatit itu, hanya kulitnya saja. Isi dari ilmu sakti itu belum dapat dikuasai benar, yang harus digerakkan oleh tenaga sakti dari dalam tubuh, sehingga pengaruh dari gerakan yang cepat itu cukup kuat merobohkan lawan.
Memang pada kenyataannya, sekalipun Rara Inten sekarang sudah jauh maju, tetapi apabila berhadapan dengan orang setingkat, masih belum meyakinkan. Sedikit demi sedikit tetapi pasti, lingkaran cambuk Rara Inten terkurung oleh gulungan senjata Sawungrana.
Di saat yang amat menegangkan dan Rara Inten mulai didesak itu, tiba-tiba terdengarlah suara yang amat nyaring dan berpengaruh,
"Haii, berhenti !"
Teriakan nyaring dan amat berpengaruh itu tak terbantah. Rara Inten dan Sawungrana yang sedang berkelahi sengit, tiba-tiba mencelat berjauhan, menghentikan gerakannya. Meskipun demikian senjata masing-masing belum disimpan. Dan dua orang ini masih tetap dalam keadaan siaga.
Hesti Wiro, Reksogati, Madu Bala dan Yoga Swara. tak ketinggalan pula para murid Tuban segera berpaling ke arah suara. Semua terbelalak dan heran ketika melihat Ratu Wandansari sudah bersama Jaka Pekik.
Lebih-lebih bagi Hesti Wiro dan Raksogati, munculnya putera Adipati Surabaya di Tuban ini, sungguh sulit dipercaya. Tadi sebenarnya ketika melihat munculnya Yoga Swara dan Madu Bala, mereka sudah keheranan setengah tak percaya.
Bagaimana bisa terjadi?
Bukankah Surabaya sendiri sedang terancam penyerbuan Mataram?
Tetapi mengapa tiga orang tokoh Surabaya Ini masih berani meninggalkan Surabaya, dan sekarang berada di Tuban?
Tak aneh kalau dua orang tokoh Mataram ini heran. Sebab mereka beranggapan, bahwa penyerbuan ke Surabaya dapat berjalan lancar seperti penyerbuan ke Tuban ini. Tidak tahunya bahwa pasukan Mataram terhalang oleh benteng alam Surabaya yang sulit ditundukkan. ialah Sungai Mas dan Porong.
Di samping merasa heran Jaka Pekik bisa muncul di tempat ini, merekapun curiga.
Mengapa sebabnya Ratu Wandansari datang bersama Jaka Pekik?
Bagaimana bisa terjadi?
Dua orang itu adalah tokoh-tokoh yang saling bermusuhan.
Tetapi mengapa bisa datang bersama seperti bukan merupakan musuh?
Apa yang terjadi memang sulit diduga, kecuali Yoga Swara dan Madu Bala. Mereka tadi datang bertiga dengan Jaka Pekik. Akan tetapi begitu tiba di luar tembok rumah Perguruan Tuban dan melihat hadirnya Rara Inten sedang berhadapan dengan tiga orang kakek, Jaka Pekik tak jadi muncul.
Lebih dulu Jaka Pekik bertanya kepada Madu Bala, siapakah tiga orang kakek itu?
Setelah memperoleh keterangan dari Madu Bala. bahwa tiga orang itu termasuk tokoh pengawal rahasia Mataram, Jaka Pekik segera memerintahkan kepada Yoga Swara dan Madu Bala menampakkan diri dan membantu Rara Inten. sedang dirinya sendiri segera pergi. Jaka Pekik tidak memberitahukan ke mana mau pergi. Meskipun demikian, dua orang ini percaya bahwa Sang raja itu melakukan tugas lain yang lebih penting.
( Bersambung jilid 12)
Kisah Si Pedang Buntung
Lanjutan Ratu Wandansari
Karya : Widi Widayat
Jilid : 12
Pelukis : Janes
Penerbit "GEMA"
Metrokusuman 761 Rt 17
SOLO Ijin Penerbitan
Ijin : No Pol /3/26 aa-54/0-73
Surakarta tanggal 17 januari 1973
Cetakan Pertama 1973
**** Buku koleksi ; Aditya Indra Jaya
Juru Potret : Awie Dermawan
Edit teks & pdf : Saiful Bahri Situbondo
(KOLEKTOR E-BOOK)
******
SEKARANG begitu Jaka Pekik muncul bersama Ratu Wandansari barulah mereka tahu maksud raja itu sebenarnya. Mereka sekarang bisa menduga kepergian Jaka Pekik tadi. Agaknya begitu melihat adanya tiga orang tokoh pengawal Mataram itu, Jaka Pekik segera bisa menduga, apabila tiga orang tokoh rahasia itu di sini, orang yang selalu dikawal dan dilindungipun di sini pula. Ternyata dugaan Jaka Pekik benar. Ratu Wandansari sedang berada di dalam rumah Kadipaten Tuban. Dengan kepandaiannya yang tak lumrah manusia itu, tidakiah sulit bagi Jaka Pekik menyelidik ke dalam rumah kadipaten yang luas itu, sekalipun pada waktu siang hari. Jaka Pekik menemukan Ratu Wandansari sedang di dalam taman seorang diri.
Ketika itu Ratu Wandansari sedang tertawa tawa kecil seorang diri, sambil mengamati pohon bunga yang tadi amat menarik hatinya. Tadi dari tempat yang agak jauh. Ratu Wandansari keheranan melihat sebatang pohon bunga yang daun dan bunganya aneka macam. Batang pohon yang hanya sebuah itu berdaun dan berbunga mawar, ceplok piring, seruni, gambir dan manda kaki. Sungguh menarik sebatang pohon yang dapat berbunga lima macam sekaligus itu.
Akan tetapi setelah mendekati, ia menjadi geli dan tertawa tawa sendiri. Ternyata yang dari jauh amat menarik itu, hanya merupakan akalan tangan manusia saja. Lima batang pohon bunga itu ditanam pada satu tempat. Kemudian batang pohon tersebut dibikin saling membelit, dan makin besar batangnya bisa menjadi satu. Namun walaupun akalan itu sederhana hasilnya sungguh menarik. Pohon yang lima macam bunganya itu, sedap pula dipandang.
Tetapi Ratu Wandansari kaget dan cepat membalikkan tubuh, ketika telinganya yang peka mendengar gerakan manusia yang halus. Tetapi begitu mengenal siapa yang datang, Ratu Wandansari terbelalak.
"Kau.....!"
"Ya, aku... Kedatanganku kemari, guna mohon pertolonganmu.." kata Jaka Pekik dengan halus.
"Pekik! Apakah engkau tidak sadar bahwa saat sekarang. aku dan engkau adalah musuh?"
Ratu Wandansari memperingatkan sambil mundur.
"Gusti Wandansari. sudilah paduka menolong aku."
Jaka Pekik membungkuk penuh hormat.
"Mana bisa jadi, pihak yang sedang bermusuhan bisa saling tolong ?"
Jaka Pekik menghela napas.
'Ahhh. gusti benarkah sudah berubah sekarang? Engkau menempatkan dirimu sebagai puteri Mataram, dan menyudutkan aku sebagai orang Surabaya.Begitukah? Apakah gusti tak ingat lagi akan hubungan kita dahulu "
Diingatkan hubungannya yang lalu, mau tak mau pipi Ratu Wandansari berubah merah. Ia memalingkan mukanya ke tempat lain. Setelah dapat menenangkan hatinya, ia mengamati Jaka Pekik dan bertanya.
"Hemm, apa saja maksudmu ?"
Jaka Pekik tersenyum. Tetapi diam-diam jantungnya berdetak keras. Puteri yang cantik jelita ini menjadi impian dalam tidurnya. Seorang gadis yang selalu dikenang dan diharapkan menjadi teman hidupnya. Namun apabila ingat akan kedudukannya yang berseberangan, sesungguhnya Jaka Pekik merasa harapannya amet tipis.
"Aku datang kemari hendak bicara soal Perguruan Tuban."
Jaka Pekik berterus-terang.
"Hemm, begitukah cara seorang pemuda yang sopan? Ingin mengajak bicara orang, menggunakan cara seperti maling? Bagaimanakah jadinya nanti kalau orang tahu? Huh........ engkau membuat aku malu saja. Orang bisa menduga yang tidak baik, menganggap aku menerima tamu secara sembunyi."
Ratu Wandansari menjawab dengan sikap yang agung dan angkuh, sesuai dengan kedudukannya sebagai rayi dalem Sultan Agung.
Mendengar pertanyaan itu, Jaka Pekik menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia memang seorang yang kurang pandai bicara. Tetapi ia seorang pemuda yang jujur polos. Maka atas pertanyaan itu. ia merasa terpukul. Ia memang berlaku seperti maling. Bertamu menggunakan cara yang tak wajar. Dan perbuatan ini, bagi seorang puteri bangsawan seperti Ratu Wandansari adalah kurang sopan. Namun ia juga merasa, bahwa tak mungkin dapat selekasnya bertemu dengan puteri ini, kalau harus melapor. Malah bisa jadi ia ditolak oleh penjaga atau penguasa rumah kadipaten, karena dirinya seorang laki-laki. Tak gampang seorang laki-laki lebih lebih masih muda bertemu dengan puteri bangsawan tinggi.
Akibatnya ia menjadi bingung sendiri. Lalu ia mengembalikan tuduhan Ratu Wandansari itu, kepada puteri itu sendiri.
"Habis, bagaimana aku dapat bertemu dengan gusti secepatnya. tanpa cara begini ?"
'Huh, engkau memang seorang total. Otakmu kau tempatkan di mana ?" ejek Ratu Wandansari.
Ia tak sakit hati oleh kata-kata tajam ini . Hanya ia meringis seperti kera kena terasi, sambil menggaruk kepalanya.
"Ya, aku memang menjadi tolol jika berhadapan dengan gusti....."
Ratu Wandansari tersenyum kecil mendengar jawaban itu dan menyembunyikan senyum tersebut dengan menunduk. Entahlah, ia sendiri memang tidak tahu.
Mengapa hatinya ini tak bisa membenci Jaka Pekik yang kedudukannya sebagai musuh?
Terdengar puteri ini menghela napas pendek.
"Hemm. ...sudahlah. semuanya sudah terlanjur. Kau sudah masuk ke taman ini. Sekarang katakan lekas apa maksudmu menemui aku?"
"Aku mohon pertolongan."
"Ya. Pertolongan apa? Berkali-kali kau hanya mohon tolong. mohon tolong.....huh. sebal aku....."
Ratu Wandansari cemberut. Namun walaupun cemberut dalam pandangan Jaka Pekik makin menjadi cantik saja.
"Gusti. bukankah sudah diketahui umum bahwa oleh Rara Inten, Perguruan Tuban diserahkan ke tanganku. Tetapi, paduka telah merobah keadaan sehingga Subinem menguasai Perguruan Tuban."
"Salahmu sendiri. Kau toh seorang ketua. Mengapa perguruan itu kauwakilkan kepada orang lain?"
"Ya, aku memang mengaku salah. Sudahlah, yang sudah terlanjur kurang perlu dibicarakan. Yang penting sekarang, hemm..aku minta pertolongan gusti. Hanya gusti sendirilah yang dapat menyelesaikan soal ini."
"Soal apa? Huh, engkau ini seorang Raja Gagak Rimang dan Raja Surabaya pula. Mengapa bicara tidak terang?"
Cela Ratu Wandansari,
"Cepat katakan soal apa itu? Aku tidak mempunyai waktu."
"Gusti .. . Hanya paduka seorang yang dapat mencegah mengalirnya darah dan timbulnya korban manusia."
Jaka Pekik mulai dapat menenangkan hatinya, dan dapat bicara lancar.
"Aku tadi melihat, di halaman Perguruan Tuban telah berhadapan dua kekuatan yang saling kukuh pada pendirian masing-masing. setelah antara orang orangmu dengan orang-orangku dan Rara Inten..."
"Apa? Rara Inten?"
Ratu Wandansari agak kaget mendengar disebutnya nama itu. Ia menjadi tertarik. Katanya kemudian.
"Marilah kita duduk di sana. Kita bisa bicara secara baik."
Jaka Pekik tak membantah ketika diajak duduk pada kursi batu, yang terlindung oleh rumpun bunga. Mereka berhadapan terpisah oleh meja batu. Lalu Ratu Wandansari memulai.
"Terangkanlah, apa yang terjadi? "
Jaka Pekik segera menceritakan apa yang tadi dilihat di halaman Perguruan Tuban. Ratu Wandansari agak kaget, ketika Jaka Pekik mengatakan, datang bersama dengan Madu Bala dan Yoga Swara. Sebagai seorang yang berotak cerdas dapat memperhitungkan. Kalau benar-benar sampai terjadi bentrokan pihaknyalah yang akan menderita kerugian. Mungkin malah tiga orang pengawal yang maSih dibutuhkan tenaganya itu menjadi korban. Ratu Wandansari tahu. Tak seorangpun dari pihaknya yang bisa menang melawan Jaka Pekik. Dan kalau toh harus menggunakan kekuatan pasukan Tuban. keadaannya akan bisa menjadi runyam. Tentu akan terjadi pertempuran antara pasukan Tuban dengan anak murid Tuban. Hal ini bisa menjatuhkan martabat Mataram dalam pandangan mata kawula Tuban. Para kawula bisa menuduh bahwa datangnya pasukan Mataram di Tuban hanya akan menimbulkan perpecahan.
'Lalu bagaimana maksudmu ?" pancing Ratu Wandansari.
"Paduka harus mencegah pertumpahan darah."
"Hemm, mudah saja pertumpahan darah itu dicegah. 'Asal pihakmu dan Rara Inten mengalah, tak mungkin terjadi."
"Mana bisa?"
Jaka Pekik mengerutkan alis, menatap Ratu Wandansari. karena mulai kurang senang.
' Apakah paduka ingin mencari menang sendiri saja? Gusti tidak berhak mencampuri perguruan itu. Begitu pula aku juga akan lepas tangan. Biarlah orang yang berhak, Rara Inten menyelesaikan sendiri dengan Subinem."
"Hemm, engkau mencari enakmu sendiri. Subinem sebagai Ketua Perguruan Tuban, akulah yang mengangkat," sahut Ratu Wandansari angkuh.
"Mana mungkin aku bisa lepas tangan dari persoalan itu? Pekik, sudahlah. Sekarang aku yang minta kepada engkau. Ajaklah Rara Inten agar mau mengalah dan membiarkan Subinem tetap berkuasa."
'Tak mungkin! Jika terjadi begitu, paduka hanya membuat aku malu saja. Rara Inten menyerahkan kepadaku. Kemudian gusti rebut. Sekarang, paduka sendiri yang harus membikin semua ini beres."
"Kalau aku tak mau?" tantang Ratu Wandansari sambil mencibirkan bibir mengejek.
"Terpaksa aku harus menggunakan kekerasan memaksamu. Begitu keputusanku !"
"Pengecut! Kau hanya berani kepada perempuan."
Wajah Jaka Pekik berubah merah Malu, tetapi juga penasaran.
"Mengapa kaukatakan aku pengecut?"
"Pengecut ya pengecut! Berapa kali engkau minta bantuan pikiranku? Tetapi apa balasanmu? Malah sekarang kau ingin main paksa? Kalau aku menjerit, apakah kau bisa membersihkan namamu ?"
Jaka Pekik menggaruk-gerak kepalanya lagi yang tidak gatal. Setiap berhadapan dengan puteri ini, segala kesaktiannya tiada gunanya. Akhirnya ia berkata,
'Gusti, sudilah paduka menolong kesulitanku. Gusti, hanya kaulah yang bisa menyelesaikan soal yang aku hadapi sekarang ini Gusti Wandansari, apakah kau tak kasihan padaku?"
Ratu Wandansari tersenyum kecil. Ia merasa geli, tetapi juga kasihan terhadap pemuda ini. Ia kagum akan kejujuran dan kelapangan hatinya. Ia takkan mungkin bisa menemukan orang seperti Jaka Pekik ini.
Bukankah kalau Jaka Pekik menggunakan kekerasan terhadap dirinya, akan bisa dilakukan tanpa orang dapat mencegah?
Walaupun ia melawan, perlawanannya takkan berarti. Paling banter dalam beberapa gebrakan saja sudah akan roboh di tangan pemuda ini. Namun pemuda ini tak mau melakukannya, malah sekarang tanpa malu-malu merengek-rengek memohon pertolongan.
Bukankah ini aneh?
Pribadi dan watak pemuda inilah yang membuat ia tak bisa marah, sekalipun merupakan musuh.
"Hemm, enak saja kauminta pertolonganku. Tetapi. andaikata aku sedia menolong. apakah balas jasamu?' tanya Ratu Wandansari dengan Sikap yang angkuh.
Akan tetapi sesungguhnya, hatinya lain.
"Engkau minta balas jasa apa?"
Jaka Pekik balas bertanya.
"Asal saja tidak melanggar kesopanan..."
Ratu Wandansari memotong,
".....tidak melanggar kegagahan, dan tidak merugikan nama baik.....hi-hi-hik... kau masih hafal?"
Ratu Wandansari tak kuasa menahan geli dan ketawanya. dan mulut itu ditutup dengan telapak tangan. Jaka Pekik sendiri tertawa. Ia geli. Teringatlah ia ketika dahulu. Ketika Ratu Wandansari minta agar dirinya melakukan tiga macam permintaannya.
Namun Jaka Pekik segera ingat akan keadaan yang mendesak. Ia khawatir kalau disana telah pecah perkelahian dan khawatir pula telah jatuh korban. Maka ia mendesak.
"Gusti, sudilah kau menolong. Lekas, marilah kiia ke sana!"
"Enak saja' kau mengajak. Huh, apakah kau ingin membuat aku malu, dilihat oleh banyak orang ?" hardik Ratu. Wandansari.
Jaka Pekik terbelalak kaget. Akan tetapi cepat sadar berbareng gembira. Walaupun Ratu Wandansari belum menyatakan kesanggupannya, ia tahu bahwa puteri ini mengabulkan permintaannya.
"Gusti, terima kasih. Jika engkau menghendaki. sebagai membalas jasa aku sanggup melakukan perintahmu."
"Siapa yang sudah mengabulkan?"
Jaka Pekik terbelalak kaget memandang Ratu Wandansari. Akan tetapi ketika melihat bahwa wajah cantik itu tidak menunjukkan. kemarahan, ia tahu puteri itu hanya menggoda. Katanya kemudian,
"Gusti. aku tunggu di luar tembok Perguruan Tuban. Aku percaya engkau akan datang ke sana.. Tetapi kalau Gusti tak datang, bukan salahku."
Tanpa menunggu jawaban, Jaka Pekik telah melesat pergi melompati tembok taman dan lenyap.
Ratu Wandansari menghela napas panjang dan memandang ke arah di mana tadi Jaka Pekik menghilang. Ia tahu apa maksud ucapan pemuda tadi. Kalau ia tak turun tangan menyelesaikan persoalan Perguruan Tuban, tentu Jaka Pekik bertindak sendiri. Diam diam puteri mataram ini mengeluh juga, menghadapi soal ini. Kalau mau membandel, bertahan pada pendiriannya, akan jatuhlah korban manusia. Kalau Subinem yang mati, bukanlah soal.
Tetapi kalau pengawal-pengawal setia itu?
Tetapi bagaimanakah caranya mengatasi?
Mendadak wajah yang cantik ini kembali cerah. Ia telah memperoleh, keputusan yang tepat. Satu-satunya jalan yang dianggap paling baik.
Dengan gerakannya yang tangkas Ratu Wandansari segera meninggalkan taman itu, masuk ke rumah yang dijadikan tempat tinggal. Ia berganti pakaian ringkas dan tak lupa menyambar pedangnya, lalu digantungkan pada pinggangnya. Tak lama kemudian puteri cantik seperti bidadari ini telah duduk di atas kuda, dipacu cepat menuju rumah Perguruan Tuban.
Demikianlah sebabnya Jaka Pekik tiba-tiba muncul bersama Ratu Wandansari, dan berteriak menghentikan mereka yang sedang bertempur.
Melihat munculnya Jaka Pekik dan Ratu Wandansari ini Salindri cepat memburu. Kemudian jarinya yang kecil runcing menuding ke arah hidung Jaka Pekik,
"Hai. Tolol! Mengapa sebabnya engkau muncul di sini? Dan mengapa kau datang bersama dia ?"
Jaka Pekik gelagapan bertemu dengan Salindri. Ia tak pernah menduga Salindri hadir pula di sini. Untung di dekatnya ada Ratu Wandansari yang cepat berkata,
"Ah ..... mbakyu Salindri. Syukur kita masih bertemu dalam keadaan sehat walafiat seperti sekarang. Kemana sajakah kau selama ini?"
"Hi. hi, hik ..... masih ingat padaku?"
Salindri terkekeh.
"Tentu saja aku selamat. Kalau sudah mati mana mungkin aku masih bisa bicara? O ya, aku tahu sekarang.
Bukankah kau datang kemari. untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu? Kau ini bagaimana? Bukan urusannya kok turut campur?"
"Indri! Jangan kau bersikap begitu."
Jaka Pekik memperingatkan Salindri.
'Kau sendiri, apa hubunganmu campur tangan ?"
Jaka Pekik khawatir kalau Ratu Wandansari menjadi marah karena tersinggung. Namun ternyata dugaan Jaka Pekik keliru. Ratu Wandansari hanya tersenyum saja. Soalnya Ratu Wandansari tahu, bahwa jiwa Salindri agak terganggu. Maka putri ini hanya menyambar lengan Salindri, kemudian katanya halus.
"Biarlah sekarang kita selesaikan baik-baik urusan ini."
Salindri tak merenggut tangannya. Menurut saja ia digandeng Ratu Wandansari. Tiga orang pengawal rahasia itu memandang heran. Baru percayalah sekarang, bahwa gadis berkedok hitam itu, merupakan kenalan lama junjungannya.
"Sawungrana, mundurlah."
Perintah Ratu Wandansari kepada Sawungrana yang masih tetap berdiri berhadapan dengan Rara Inten. Tanpa berani membantah lagi, Sawungrana menyimpan senjatanya, lalu mundur.
Kemudian Ratu Wandansari menghadapi Rara Inten sambil berkata,
"Sudilah mbakyu Inten bersabar dulu dan menyimpan senjatamu."
"Hemm... kau selalu mengacau saja!" sahut Rara Inten dingin.
Namun begitu, ia menyimpan senjatanya. Ia lalu mengamati Ratu Wandansari dengan pandang mata yang tak senang. Katanya lagi,
"Aku ingin bertanya padamu. Apa sebabnya Perguruan Tuban yang tak berdosa padamu, kaubuat seperti ini? Huh, sebenarnya aku sudah tak mau campur tangan lagi, sesudah perguruan Tuban aku serahkan kepada kakang........eh, Raja Pekik. Tetapi ternyata Raja Pekik yang terhormat itu kurang bertanggung jawab......."
"Hai, nona manis!" teriak Madu Bala tersinggung. mendengar Jaka Pektk disindir.
"Hati-hatilah kau bicara. Semua ini kau sendiri biang keladinya. Kalau di Kemuning itu kau tak memaksa, apakah paduka raja pernah berpikir tentang perguruan ini? Huh, tahukah engkau bahwa gara-gara membela perguruanmu ini. aku kehilangan tiga orang saudara ?"
"Salahnya sendiri, hi-hik! Orang yang mati tentu kalah dalam bertanding!" ejek Rara Inten.
Sebelum Madu Bala sempat membuka mulut, Jaka Pekik telah memberi isyarat. Terpaksa Madu Bala tak bicara lagi. Jaka Pekik memang khawatir, jika Madu Bala ikut bicara keadaan takkan jadi lebih baik. Sebab ia mengenal watak Madu Bala yang suka membawa kemauannya sendiri.
"Yang telah lalu. biarlah berlalu jangan dipersoalkan sekarang. Aku sudah minta Gusti Wandansari menyelesaikan persoalan ini. Mari kita dengarkan bagaimana pendapatnya."
Ratu Wandansari mengerling ke arah Jaka Pekik. Tetapi sebelum Ratu Wandansari sempat membuka mulut. terdengar Salindri yang kurang waras itu mencela Jaka Pekik,
'Pekik, huh! Dulu dan sekarang kau belum berubah. Tetap saja tolol dan dungu! Mengapa kauminta dia menyelesaikan persoalan ini? Tentu saja dia akan menguntungkan pihaknya sendiri."
'Indri!" bentak Jaka Pekik kurang senang.
"Apakah kau tak bisa diam?"
Karena pentingnya persoalan yang dihadapi. Jaka Pekik sampai lupa akan keadaan Salindri yang kurang waras. Tetapi setelah terlanjur membentak, ia menyesal sendiri.
Salindri cemberut ketika dibentak. Ia membantingkan kakinya. Kemudian sambil terisak, ia melangkah pergi dan menggerutu.
"Huh-huh, baik! Kau memang selalu membela dia..!"
Jaka Pekik terharu. Ingatlah ia akan hubungannya selama ini dengan Salindri. Apa pula, ia telah menganggap bahwa Salindri saudara sepupunya, karena puteri adik dari ibu angkatnya. Cepat ia melompat dan menghadang di depan Salindri. Katanya halus,
"indri, mau ke mana kau?"
"Mau ke mana, bukan urusanmu....Hu-hu-huukkk... .... kau..... kau..... kejam ....hu-hu-huuukk..."
Salindri tak kuasa menahan tangisnya. Ia menjadi cengeng apabila berdekatan dengan Jaka Pekik.
Jaka Pekik cepat menyambar pundak Salindri, dipeluk dan dibujuk,
"Indri, jangan kau pergi....."
'Ihhh!"
Salindri cepat melepaskan pelukan Jaka Pekik.
"Apa kau tak malu dipandang orang?"
Jaka Pekik menjadi malu sendiri. Ia tadi tak mempunyai perasaan apa-apa, justeru menganggap kepada adiknya sendiri. Akan tetapi setelah mendengar kata-kata Salindri, wajahnya berubah merah.
Tetapi oleh sikap Jaka Pekik yang halus, redalah kemarahan Salindri. Lalu ketika ia dipeluk dan dibujuk oleh Kedasih ia menurut. Ia kemudian duduk berjajar dengan mbakyu angkatnya itu.
'Hemm, sekarang bagaimana maksudmu?" tanya Rara Inten dingin.
Memang terhadap Ratu Wandansari, gadis ini tidak mempunyai kesan baik. Tak mengherankan,
Gagalnya hubungan cintanya dengan Jaka Pekik. menurut pendapat Rara Inten, karena Ratu Wandansari.
Ratu Wandansari tertawa lirih. Katanya kemudian.
"Dahulu, waktu Subinem merebut Perguruan Tuban melalui ilmu kepandaian. Tentu saja sekarang. orang yang ingin merampas kembali, harus pula melalui adu kepandaian juga. Bukankah ini adil?"
Ratu Wandansari mengerling ke arah tiga orang pengawalnya. Dan ia melihat tiga orang jagonya itu mengangguk tanda setuju. Mendengar itu Rara Inten mendelik.
'Bagus! Apakah kaukira aku takut?!"
Diam-diam Jaka Pekik menghela napas melihat sikap Rara Inten. Ia sedih melihat perubahan gadis ini.
Gadis yang dahulu lemah lembut itu, mengapa sekarang menjadi pemarah dan mudah tersinggung?
"Tetapi aku tak menghendaki jatuhnya korban,"
Ratu Wandansari meneruskan kata-katanya, tanpa perduli sikap Rara Inten.
"Kita atur pertandingan ilmu kepandaian ini. Masing-masing pihak harus sama setuju."
Ratu Wandansari berhenti dan mengamati semua yang hadir mencari kesan. Setelah melihat semua orang memperhatikan. ia senang .Tetapi diam-diam Jaka Pekik tegang.
Apa saja maksud puteri yang cerdik dan digandrungi ini?
Diam-diam ia telah bertekad akan mencegah apabila Ratu Wandansari memutuskan hal-hal yang bisa menimbulkan permusuhan.
"Lekas katakan apa maksudmu?"
Rara Inten tidak sabar lagi.
"Banyak macam ilmu kepandaian di dunia ini."
Ratu Wandansari berkata lagi.
"Tetapi aku tak menghendaki terjadinya korban jatuh. Apakah kalian setuju kalau pertandingan ini dibagi menjadi tiga tingkat? Nanti pihak
mana yang dapat memperoleh nilai dua, itulah yang menang.'
"Hemm.......... jangan coba-coba menipu aku !"
Rara Inten berkata dingin.
"Siapa yang belum kenal bahwa puteri Mataram seorang cerdik, dan banyak macam akalnya ?"
"Tutup mulutmu!" bentak Sawungrana marah.
"Jangan sembarangan engkau membuka mulut. Beliau adalah junjunganku. Siapapun yang berani menghina, akan berhadapan dengan kami bertiga."
'Siapa takut?"
Rara Inten membalas dengan angkuh.
Ratu Wandansari sendiri tidak marah. Ia malah tersenyum manis, dan memberi tanda kepada Sawungrana agar berdiam diri. Kesabaran Ratu Wandansari ini, lebih membuktikan lagi bahwa dia seorang wanita berjiwa besar. Seorang wanita yang pandai memimpin .Setelah mereka semua berdiam diri lagi, Ratu Wandansari meneruskan.
"Dalam hal ini aku takkan memihak siapapun. Aku hanya ingin mengatur pertandingan ilmu ini sebaik baiknya. Maka apabila kalian setuju, aku ingin mengajukan usul begini. Pada pihak Subinem, yang membantu hanyalah Sawungrana. Hesti Wiro dan Reksogati. Sedang pihak kalian, terserah apa yang kalian kehendaki. Dan aku? Aku sendiri berdiri sebagai pihak ke tiga yang tak akan berpihak siapapun. Apakah kalian setuju ?"
"Bagus, itulah adil !" sambut Madu Bala cepat.
Ia bekas seorang hamba Mataram pula. Ia telah mengenal baik watak dan pribadi Ratu Wandansari. Malah dirinya dahulu ketika masih di Mataram, oleh Ratu Wandansari disebut dan diakui sebagai guru puteri itu. '
Ratu Wandansari tersenyum manis.
"Terima kasih bahwa kalian percaya akan maksud baikku. Sekarang, dengarkan cara bertanding yang aku rencanakan. Pertama, masing-masing menggunakan kecerdasan otak. Yang kedua, masing-masing pihak memilih seorang juga untuk mewakili pihaknya. Tetapi jago yang terpilih itu tidak berhadapan dan berkelahi secara langsung. Aku sudah mempersiapkan sebuah busur. Tetapi anak panahnya hanya dua batang. Pihak masing-masing nanti membidik sasaran yang kita tentukan. Mana yang lebih tepat, itulah yang dianggap menang."
Mendengar pertandingan kedua dengan adu kepandaian memanah ini, Hesti Wiro mengangguk-angguk sambil tersenyum. Diam diam ia gembira sekali. Dirinya adalah seorang ahli tanpa tanding di Mataram. Maka diam-diam pertandingan kedua ini, pihaknya yang akan menang. Hanya pertandingan pertama, karena belum dijelaskan oleh Ratu Wandansari, ia belum tahu apa maksud puteri ini.
Rara Inten yang mendengarkan agak curiga. Meskipun demikian ia tidak mencela dan mendesak,
Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lekas terangkan cara bertanding yang ketiga."
"Pertandingan yang ketiga ini bersyarat. Artinya bisa diurungkan, apabila salah satu pihak telah memperoleh kemenangan dua kali. Sebab sudah menang mutlak."
Ratu Wandansari memberi penjelasan.
"Pertandingan ketiga yang aku usulkan. ialah pertandingan menyelam di dalam air. Mana yang lebih lama tahan di dalam air, dialah yang menang. Bagaimanakah menurut pendapat kalian? Apakah pertandingan ini dapat disetujui?"
"Aku bisa menerima," sahut Jaka Pekik mantap mendahului yang lain.
Kalau Jaka Pekik cepat memberi persetujuan adalah didorong bahWa cara pertandingan yang diusulkan Ratu Wandansari ini baik sekali!
Berarti yang kalah tidak akan menderita luka atau berkorban nyawa.
Diam-diam Jaka Pekik memuji kecerdikan puteri yang dicintai itu. Meskipun demikian ia tidak berani menetapkan sendiri. Ia menoleh ke arah Rara Inten dan bertanya,
"Bagaimanakah menurut pendapatmu,diajeng Inten?"
Sesungguhnya Rara Inten yang tak mempunyai kesan baik kepada Ratu Wandansari itu'diam-diam curiga.
Mengapa Ratu Wandansari mengusulkan pertandingan macam itu?
Bisa jadi Ratu Wandansari bermaksud membela Subinem. Tetapi di balik kecurigaannya, Rara Inten tahu, bahwa Jaka Pekik seorang pemuda sakti mandraguna pilih tanding. Ia bisa menduga, baik perlombaan memanah maupun menyelam dalam air, Jaka Pekiklah yang akan menang. Kalau sekarang pemuda itu sudah menyetujui, tentunya sudah ada pegangan yang cukup kuat. Ia mengangguk dan menjawab.
"Akupun setuju!"
Berseri wajah puteri Mataram ini, bahwa usulnya dapat diterima. Dengan demikian usahanya menghindarkan jatuhnya korban tercapai. Akan tetapi pihak yang kalah takkan penasaran justeru kekalahannya itu melalui pertandingan yang cukup adil. Dengan begitu tidak memalukan sekalipun terpaksa harus melepaskan Perguruan Tuban. Sejak tadi Subinem hanya berdiam diri. Ia seorang perempuan cerdik dan banyak tipu muslihatnya pula. Ia sadar bahwa saat sekarang ini dirinya tak dapat berdiri sendiri. Jelas ia menggantungkan bantuan Ratu Wandansari. Sebaliknya Reksogati. walaupun sejak tadi juga diam, hatinya gembira sekali. Dirinya sejak kecil telah berlatih menyelam dalam air.
Apakah sulitnya memenangkan pertandingan ini?
Maka diam-diam ia telah menduga, bahwa Ratu Wandansari sengaja membantu pihak sendiri menggunakan akal dan kecerdikan. Setelah semua setuju, Ratu Wandansari wajahnya makin cerah, cantik dan menarik. Ia segera mengambil sebatang tongkat pendek dari dalam bajunya. Orang yang melihat heran dan bertanya tanya.
Untuk apakah tongkat pendek yang bentuknya sama dan dipelitur mengkilap itu?
Namun Ratu Wandansari seperti tidak memperhatikan mereka. Ia mengangkat tongkat pendek itu tinggi tinggi.
"Tongkat pendek inilah alat untuk bertanding mengadu kecerdasan."
Ratu Wandansari berkata nyaring,
"TOngkat ini kupegang melintang. Aku ingin bertanya., manakah bagian tongkat ini, yang pangkal dan yang ujung? Sebelah kanan ataukah sebelah kiri? Untuk memberi jawaban pertanyaan ini tidak boleh secara lisan. Harap kalian tulis pada kain putih ini."
Tangan kiri Ratu Wandansari mengambil dua lembar kain putih sebesar saputangan dari balik bajunya.
"Mengapa harus ditulis pada kain ini? Agar jawaban itu rahasia, tidak diketahui pihak lain sebelum diumumkan. Nah. jawablah sekarang pertanyaanku ini."
Ratu Wandansari melemparkan dua lembar kain putih itu. selembar kepada Hesti Wiro dan selembar ke arah Rara Inten dan rombongannya. Pihak Hesti Wiro tampak sibuk berbisik, saling memberikan pendapatnya. Mereka mencoba mengasah otak, sambil sebentar-sebentar melirik ke arah batang tongkat pendek yang dipegang Ratu Wandansari melintang.
Mana yang ujung dan mana pangkal?
Tak lama kemudian dua lembar kain putih selebar saputangan itu telah diserahkan kembali kepada Ratu Wandansari. Jawaban dari pihak Hesti Wiro dibaca lebih dahulu olah Ratu Wandansari dengan nyaring,
"Bagian tongkat yang ujung sebelah kiri. Dan yang pangkal sebelah kanan."
Semua orang berdiam diri dan berdiri tegang.
Betulkah jawaban itu?
Kemudian jawaban dari pihak Rara Inten, yang tadi ditulis oleh Madu Bala, berbunyi,
"Untuk menentukan mana pangkal dan mana ujung. harus dipergunakan benang yang kuat. Benang itu ditalikan tepat di tengah-tengah. Benang dipegang, dan tongkat digantungkan. Bagian yang lebih berat itu merupakan pangkal, sedang bagian yang lebih ringan merupakan ujung."
Terbelalak pihak Subinem mendengar jawaban lawan itu.
Mereka bertanya, mengapa harus demikian?
Mereka semua menunggu dengan tegang, bagaimanakah keputusan Ratu Wandansari sebagai juri?
Ratu Wandansari sendiri dengan sikap yang tenang mengamati mereka yang hadir. Kemudian terdengar katanya.
"Jawaban yang benar, yang menggunakan alat benang itu. Dengan alat benang yang ditalikan tepat di tengah -tengah, barulah orang bisa menentukan mana pangkal dan mana ujung. Caranya begini."
Ratu Wandansari mengambil benang merah dari saku bajunya. Benang itu diukur sama panjangnya dengan tongkat. Kemudian ditekuk menjadi dua. Dengan ukuran separo benang ini berarti tongkat tersebut sudah diketahui mana bagian tengahnya. Benang itu kemudian ditalikan di tengah tengah tongkat. Setelah tongkat dilepas dan yang dipegang benangnya, ternyata berat batang itu tidak sama.
Miring!
Meledaklah sorak para murid Tuban. Sebab pihak Rara Intenlah yang berhasil memenangkan pertandingan pertama ini. Para murid Tuban menyatakan kagum dan memuji kecerdikan Madu Bala yang tepat dapat menemukan jawaban itu. Dan walaupun wajah Rara Inten tidak menampakkan perubahan, namun dalam hati mengakui. Tanpa bantuan Madu Bala. ia takkan bisa memberi jawaban itu. Ia tadi telah mengamati penuh perhatian tongkat itu. Malah ia sudah meminjam dan menimang nimang. Akan tetapi bentuk tongkat itu sama besar dan sama bulat. tidak bisa dibedakan mana ujung dan mana pangkal.
"Sekarang mari kita mulai pertandingan yang ke dua." kata Ratu Wandantari.
Kemudian ia melesat dan berlarian cepat menuju ke timur. Puteri itu kemudian menghampiri sebatang pohon sebesar ibu jari tangan. Batang pohon itu tidak tinggi tetapi daunnya lebat. Ia memasang tanda pada batang itu, dengan guratan kuku. Lalu ia mengukur jarak dari batang pohon tersebut, enampuluh langkah. Dari titik enampuluh langkah itulah orang membidikkan anak panahnya. Orang yang melihat merasa heran.
Jarak sependek itu apakah sulitnya orang membidik sasaran secara tepat?
Malah diam-diam Hesti Wiro berkata dalam hati,
"Huh, apakah sulitnya aku melepaskan, anak panah sedekat itu?"
Namun ternyata Ratu Wandansari bukan hanya mengukur jarak melulu. Ia masih menetapkan syarat lain. Katanya,
"Jarak sasaran yang sependak ini mudah sekali orang membidik secara tepat. Akan tetapi bukan itu melulu syaratnya. Di samping orang harus bisa membidik secara tepat, anak panah itu harus bisa menembus batang. Akan tetapi, batang tak boleh bergerak dan tidak selembar daunpun yang rontok. Nah. mulailah!" ,
Semua orang melongo. Baru semua orang mengakui sekarang kepandaian Ratu Wandansari berpikir. Membidik sasaran tepat bukanlah hal yang sulit. Akan tetapi kalau anak panah itu harus menembus batang, tetapi tak boleh bergerak dan rontok daunnya, tidaklah gampang. Pohon itu hanya kecil.
Manakah mungkin tak bergerak tertembus anak panah?
Rara Inten sendiri merasa tak sanggup untuk melepaskan anak panah dengan syarat seperti itu. Ia mengamati Jaka Pekik. Walaupun tak membuka mulut. tetapi jelas sekali, amat mengharapkan bantuan pemuda ini. Agaknya Jaka Pekik juga dapat menangkap sinar mata yang meminta itu. Maka katanya,
"Pihak kami, aku sendiri yang akan bertanding."
Di pihak lain, terdengar kata Hesti Wiro,
"Gusti, apabila Gusti mengijinkan, hamba yang akan maju membidikkan anak panah itu."
Ratu Wandansari tersenyum. Sahutnya,
"Aku berdiri sebagai saksi dan tak berpihak kepada yang manapun. Tentukanlah di antara kalian sendiri."
Setelah berkata demikian Ratu Wnndansari segera menuju ke tempat kudanya yang ditambatkan oleh seorang murid Tuban pada sebatang pohon. Busur yang dibawa Ratu Wandansari dibungkus oleh kain kuning. Ketika dibuka bungkusnya, tampaklah sebuah busur yang amat halus buatannya, terbikin dari kayu besi atau kayu berlian yang dipelitur mengkilap. Di samping indah dan menyedapkan dipandang, busur itu juga kuat. Sedang dua batang anak panah yang hanya dua batang itu. bulunya dari bulu burung merak berkembang kembang indah. Kemudian sebatang diserahkan kepada Jaka Pekik dan yang sebatang diserahkan kepada Hesti Wiro.
"Siapa yang akan mulai lebih dulu ?" tanya Ratu Wandansari.
"Hamba!" sahut Hesti Wiro cepat.
"Mari kita mulai dan kita saksikan baik-baik," ajak Ratu Wandansari.
Berduyun-duyun para murid Tuban mencari tempat yang dianggap bisa menonton dengan enak. Mereka saling dorong dan saling berebut sehingga agak ribut sedikit. Tak lama kemudian keadaan tenang kembali, Ratu Wandansari yang bertindak sebagai orang bebas segera memberi aba supaya Hesti Wiro memulai membidikkan anak panahnya.
"Siuttt.....!"
Demikianlah suara anak panah yang dilepaskan oleh Hesti Wiro ketika lepas dari busur. Anak panah itu hampir tak tampak saking cepatnya.
"Capp!"
Gemuruhlah antara tepuk tangan orang yang menonton, ketika melihat anak panah Hesti Wiro menancap pada sasaran secara tepat. Anak panah itu menembus hampir separo. Akan tetapi tidak bergoyang, dan tidak pula selembarpun daun yang runtuh.
Diam-diam Subinem bersorak kegirangan melihat hasil itu. Sebab apabila dirinya yang harus membidikkan anak panah itu, tak mungkin bisa seperti Hesti Wiro, ia sudah merasa pasti bahwa sekarang pihaknya yang bakal menjadi pemenang. Berarti kedudukan bakal satu lawan satu.
Memang bukan sembarang saja melepaskan anak panah untuk bisa tepat pada sasaran tak bergerak sedikitpun. Kecuali membutuhkan kepandaian membidik juga harus memperhitungkan tenaga. Yang bersangkutan harus menggunakan tenaga lemas. Tenaga yang keluar oleh pancaran tenaga sakti dalam tubuh yang dikendalikan setepatnya. Sudah tentu orang yang bisa melakukan bdikan seperti ini haruslah orang yang sudah mencapai tataran begitu tinggi.
Melihat hasil Hesti Wiro itu, diam-diam Yoga Swara dan Madu Bala agak khawatir juga. Dalam hal tenaga sakti, dua orang ini percaya bahwa tingkat Jaka Pekiki sudah sempurna. Akan tetapi yang menimbulkan khawatir, kalau Jaka Pekik kurang tepat dalam mengendalikan tenaga itu. Namun Jaka Pekik hanya tersenyum saja. Ia seorang yang tak pernah khawatir menghadapi segala sesuatu. Dengan sikapnya yang tenang, dipeganglah busur tersebut. Ditarik lambat-lambai, ujung anak panah terarah pada sasaran.
'Siuuu........!"
Suara anak panah yang lepas dari busur hampir tak tampak, lebih cepat dari lepasnya anak panah Hesti Wiro tadi. Akan tetapi suaranya lebih halus dan hampir tak terdengar.
"Capp!"
Sorak yang menonton lebih gemuruh dan membelah angkasa, ketika mereka mengetahui hasil bidikan Jaka Pekik. Sebab bukan saja batang pohon itu tak bergerak. Bukan saja selembarpun daun tidak rontok. Tetapi yang membuat kagum Yoga Swara, Madu Bala, Reksogati, Sawungrana. Ratu Wandansari dan Hesti Wiro sendiri, adalah anak panah yang menancap pada batang itu sendiri.
Batang pohon yang kecil itu, telah berlubang oleh anak panah Hesti Wiro yang menancap hampir separoh. Berarti keadaan batang pohon itu sendiri sudah ringkih, dan tidak menguntungkan bagi pihak yang membidik belakangan. Namun ternyata Jaka Pekik dapat mengatasi segalanya. Ujung anak panah itu tepat menancap pada pangkal anak panah yang tadi dilepaskan Hesti Wiro. Anak panah Hesti Wiro terdorong menembus batang pohon. Anak panah tersebut seperti tersamhung menjadi satu. Sungguh merupakan pertunjukan tenaga sakti tingkat tinggi. Dan sebagai seorang yang pandai menempatkan diri. Hesti Wiro mengakui keunggulan Jaka Pekik. Ia membungkuk ke arah Jaka Pekik. Katanya salut,
"Tuan lebih hebat. Aku mengaku kalah."
Tetapi seperti diketahui, Jaka Pekik adalah seorang yang rendah hati. Ia bukannya menjadi bangga, jawabnya merendah,
"Ah. paman, apa yang terjadi hanya kebetulan saja. Sesungguhnya aku tadi sudah khawatir sekali."
Karena dua macam pertandingan telah dimenangkan oleh pihak Rara Inten, maka pertandingan yang ketiga dibatalkan.
Wajah Subinem sebentar pucat sebentar merah saking marahnya. Tiba-tiba perempuan ini tertawa terkekeh. Lalu terdengar katanya lantang.
"Aku tidak puas! Hehheh-heh, aku tidak puas!"
Semua orang kaget. Dan Rara Inten yang amat benci kepada Subinem mendelik. Bentaknya,
"Tutup mulutmu! Apakah kau ingkar dari perjanjian yang telah ditetapkan oleh Ratu Wandansari? Jika kau tidak puas dengan hasil pertandingan ini, kau bila memuaskan hatimu di ujung cambukku."
"Hi-hi-hik, permainan yang tak lucu dan menyebalkan."
"Hai. Subinem!"
Bentak Rara Inten marah,
"Jangan sembarangan kau membuka mulut."
"Hi-hi-hik, aku membuka mulutku sendiri, mengapa kau melarang?" ejek Subinem.
Perempuan ini memandang ke arah Ratu Wandansari. Kemudian berkata lagi.
"Mengapa kau menjadi pengecut dan ingkar tanggungjaWab? Dahulu atas anjuran dan bantuanmu, aku merebut kedudukan ketua Perguruan Tuban. Tetapi mengapa sekarang menyia-nyiakan aku ?"
Hesti Wiro, Reksogati dan Sawungrana saling pandang. Namun sinar mata mereka berapi, agaknya tidak senang mendengar kata-kata Subinem yang kurang menghormati junjungan mereka.
Mengapa prempuan itu tidak mengucapkan terima kasih atas bantuan mereka, malah sekarang bicara seenaknya sendiri?
Tadi semuanya telah di atur dan ditawarkan oleh Ratu Wandansari. Dan semua setuju.
Mengapa sekarang perempuan itu menuduh Ratu Wandansari tidak bertanggung-jawab dan menuduh pengecut?
Akhirnya Sawungrana tak kuasa menahan mulutnya.
"Hai, perempuan yang tak kenal budi! Hati-hatilah kau bicara. Jangan sembarangan menuduh Gusti Kangjeng Ratu Wandansari itu!"
Akan tetapi Ratu Wandansari sendiri yang langsung bersangkutan tidak berubah wajahnya. ia malah memberi isyarat kepada Sawungrana supaya berdiam diri. Kemudian dengan bibir menyungging senyum, Ratu Wandansari bertanya kepada Subinem,
"Apa alasanmu menuduh aku seperti itu?"
"Kau masih bertanya? Huh. huh. nyatalah kan hanya menggunakan aku sebagai alat. Habis manis sepah dibuang. Huh, huh, di mana kegagahanmu? Mengapa tak bisa melindungi kedudukanku yang semula kaubantu?"
Subinem mendelik.
"Hem, engkau mencampur-adukkan antara urusan negara dengan urusan pribadi," sahut Ratu Wandansari dingin.
"Guna kepentingan negara, aku bisa menggunakan segala macam cara untuk mencapai kemenangan. Untuk kepentingan itu,benar aku menggunakan engkau sebagai alat. Alat tetap alat, tergantung masih dibutuhkan atau tidak. Meskipun begitu, aku tak ingkar dari tanggungjawab sebagai manusia. Telah aku pergunakan cara yang adil dan jujur dalam urusan Perguruan Tuban ini. Apa harus dikata kalau pada akhirnya pihakmu kalah? Mangapa tidak puas? Bukankah Hesti Wiro sudah menunjukkan kepandaiannya guna membelamu?"
"Huh-huh, jangan kau mencari menang sendiri.Dibelakangmu ada kekuatan yang maha besar. Mengapa tak kaugunakan kekuatan itu untuk mempertahankan Perguruan Tuban?" bantah Subinem dengan mata berapi.
Ratu Wandansari tersenyum.
"Hemm, engkau membabi buta dan gelap mata. tanpa mau menggunakan akal dan pikiran sehat. Terpengaruh oleh ketamakanmu. Apakah kau lupa bahwa aku tadi sudah mengatakan bahwa apa yang terjadi tadi, guna menghindari jatuhnya korban manusia? Hemm, engkau mencari alasan, menuduh aku tak mau menggunakan kekuatan pasukan Mataram. Baik, itu alasanmu! Tetapi kau harus mengerti bahwa urusan negara tak bisa dicampuradukkan dengan urusan lain. Sudahlah, pendeknya segala sesuatu yang terjadi sesudah selesai pertandingan yang adil tadi, bukan urusanku lagi. Engkau mempunyai hak tidak puas. Dan kalau kau ingin berkelahi, silahkan! Aku sebagai penguasa di Tuban sekarang memberi kesempatan padamu untuk berkelahi mempertahankan pendirianmu dalam batas batas tertentu. Tetapi apabila kau mengganggu ketenteraman negara dan rakyat, engkau akan berhadapan dengan aku sebagai penguasa."
Subinem membanting-bantingkan kaki saking marahnya. Tiba tiba Rara Inten meloncat ke depan sambil berkata,
"Biarlah aku sendiri yang akan menghukum kepada murid pengkhianat ini!"
"Terserah kehendakmu," sahut Ratu Wandansari sambil mundur.
"Urusan rumah tangga perguruanmu, aku tak kuasa mencampuri."
"Tahan!" tiba-tiba Jaka Pekik melesat ke depan Rara Inten dan mencegah.
"Diajeng Inten, aku mohonkan pengampunan bagi dia. Berilah kesempatan dia memperbaiki diri dan insyaf. Tetapi kalau ternyata kemudian hari dia tak mau insyaf, itu terserah padamu."
'Huh, terlalu enak bagi dia yang sudah berbuat sewenang-wenang selama berkuasa!" bantah Rara Inten marah.
'Akibat perbuatannya yang sewenang-wenang, mbakyu Sarni menjadi terganggu jiwanya. Apakah kekejaman itu harus dibiarkan tanpa hukuman?"
"Kali ini biarlah dosa itu kauampuni,
" bujuk Jaka Pekik.
"Tentang perbuatannya yang telah lalu, biarlah lalu. Akan tetapi kalau ternyata kemudian hari dia masih belum insyaf, belum terlambat kau memberi hukuman yang setimpal."
Mendengar kata-kata Jaka Pekik ini, Reksogati, Hesti Wiro dan Sawungrana kagum. Tiga orang tokoh pengawal rahasia Mataram ini, memang baru kali ini sajalah bertemu muka dengan Jaka Pekik. Semula mereka hanya mendengar tentang kesaktian dan kebesaran jiwa pamuda ini. Ternyata kabar itu bukan isapan jempol. Maka tak tercegah lagi Hesti Wiro memuji,
"Sungguh sikap yang amat lapang dan membuktikan kebesaran jiwa. Bahagialah umat manusia di dunia ini, apabila terdapat seratus saja orang seperti tuan Pekik."
Jaka Pekik mengangguk ke arah Hesti Wiro memberikan hormatnya dengan mengangguk. Kemudian katanya kepada Subinem,
"Pergilah cepat dari sini. Aku yang tanggung. takkan ada orang mengganggu dan mencegah kepergianmu. Akan tetapi sekali lagi aku peringatkan kepadamu. Insyaflah dan perbaikilah sepak terjangmu dan berguna bagi masyarakat banyak."
Subinem ketawa terkekeh-kekeh. Tetapi jelas bahwa hatinya amat penasaran tak dapat berbuat apa-apa di depan orang orang sakti ini. Rara Inten hanya memandang kepergian Subinem dengan sinar mata penuh rasa benci. Ia menghela napas panjang. Sesungguhnya ia menyesal dengan keputusan Jaka Pekik, Rara Inten sekarang mengamati delapan murid Tuban yang tadi terang-terangan berpihak kepada Subinem. Bentaknya,
"Mengapa kamu tak lekas enyah dari sini?"
Delapan orang murid itu memandang Rara Inten dengan ragu-ragu. Namun sesaat kemudian mereka semua telah menjatuhkan diri berlutut. Dan mereka mohon ampun, agar masih tetap bisa diterima sebagai murid Tuban. Rara Inten tidak cepat membuka mulut. Melihat itu Madu Bala tertawa dan berkata,
"Ha-ha-he, sekali sudah melangkah mengapa kepalang tanggung dan ragu-ragu? Kalau orang memang insyaf dan sedia merubah kesalahannya, apa salahnya diampuni?"
Rara Inten mendelik ke arah Madu Bala. Namun sekalipun begitu, Rara Inten sudah memberi perintahnya.
'Bangunlah!"
Dengan cepat mereka telah bangun, lalu tanpa sungkan-sungkan lagi sudah berkumpul dengan murid Tuban yang lain. .
Ratu Wandansari mengamati tiga orang pengawalnya. Kemudian katanya,
"Semua urusan sudah seleeai. Marilah kita pergi."
Namun sebelum Ratu Wandansari beranjak dari tempatnya dan para pengawal itu menyanggupkan diri, terdengar suara Salindri,
"Tunggu!"
Ratu Wandansari tersenyum. Ia mengamati Salindri yang masih mengenakan kedok kain hitam itu, penuh perhatian. Kemudian ia bertanya.
"Kau akan bicara apa? '
Salindri melangkah menghampiri. Katanya.
"Apakah engkau pernah mimpi, bahwa kita akan bertemu seperti sekarang ini?"
Ratu Wandansari menggeleng,
"Tidak. Tetapi mengapa sebabnya engkau bertanya begitu ?"
"Hi-hi-hik. tentu saja !" sahut Salindri sambil terkekeh.
"Apakah engkau telah lupa akan semua peristiwa yang telah lama lalu ?"
"Peristiwa mana ?"
Ratu Wandansari heran.
"Rusaknya wajahku seperti ini !" sahut Salindri sambil membuka kedoknya.
Terdengar seruan-seruan kaget dari para murid Tuban. Tak terkecuali tiga orang pengawal Mataram itu. Lebih-lebih Sawungrana yang tadi ingin memaksa membuka kedok Salindri. Ia menghela napas dan menyesal.
Hem, kiranya kedok kain hitam itu guna menutupi wajahnya yang rusak. Sayang, wanita secantik itu, sekarang wajahnya penuh bekas luka.
Ratu Wandansari mengerti sekarang. Ia menggelengkan kepalanya.
"Tidak!"
"Juga fitnah orang yang pernah dilemparkan padamu ?"
Ratu Wandansari mengangguk. Salindri terkikik. Kemudian terdengar katanya dengan nada menyesal,
"Hemm. sayang. Aku tadi sesungguhnya amat mengharapkan. agar Rara Inten kukuh pada pendiriannya akan menghukum Subinem. Hi-hi-hik, kalau terjadi begitu, ada alasan bagiku untuk menuntut ganti rugi atas dosa Rara Inten padaku Juga, tentu kaupun menuntut ganti rugi tentang fitnahannya ketika itu !"
Tiga orang tokoh Mataram itu kaget, dan berubah wajahnya. Akan tetapi para murid Tuban yang sudah tahu akan peristiwa itu tidak memberikan reaksi apa-apa. Hanya Rara inten yang merasa disindir mukanya menjadi merah. Gadis ini memandang Salindri dengan mata berkilat. Melihat itu Jaka Pekik khawatir kalau pecah keributan lagi. Katanya,
"Indri, mengapa kau mengangkat peristiwa yang telah lama berlalu? Sudahlah adikku, urusan di sini telah selesai. Marilah pergi bersama aku."
"Hi, hi, hik."
Salindri terkikik.
"Engkau laki-laki tolol, masih saja berusaha membujuk dan merayu aku. Lupakah kau bahwa aku sudah berkata, hanya ingat kepada seorang saja, si Pekik kecil? Hi, hi, hik, sudahlah, jangan kau mengganggu aku yang sedang bicara. Jika kau pergi, pergilah sendiri."'
Jaka Pekik amat terharu. Ternyata gangguan jiwa Salindri ini belum juga berkurang.
"Indri. janganlah kau menurutkan kehendakmu sendiri."
"Siapa yang tak menurutkan kehendaknya sendiri? Hi, hi, hik, apakah kau menurutkan kehendak hati orang lain?"
Salindri terkekeh.
"Dan siapa bilang urusan di sini telah selesai? Hayo aku ingin tanya padamu. Siapa Ketua Perguruan Tuban sekarang?"
"Tentu naja diajeng Rara Inten," sahut Jaka Pekik.
"Hi, hi. hik. apakah kau nglindur?" ejek Salindri.
"Sejak kapan kau melepaskan jabatanmu sebagai Ketua Perguruan Tuban?" .
Seperti diberi kesempatan, Madu Bala cepat menyambung,
"Benar! Paduka tak boleh meninggalkan tempat ini, sebelum urusan selesai. Bukankah paduka Ketua Perguruan Tuban? Maka padukalah yang berhak mengatur segalanya."
Mendengar itu Rara Inten wajahnya merah padam. Telinganya panas dan ingin marah. Akan tetapi ia sudah membuktikan sendiri, baru berhadapan dengan Sawungrana saja ia sudah tidak bisa menang. Benar, apakah untungku mengurusi Perguruan Tuban. pikirnya. Lebih untung aku hidup bebas mengurusi diri sendiri. namun, rasakan kelak kemudian hari sesudah aku bisa meyakinkan ilmuku. Kubalas semua kebaikanmu ini.
Memperoleh keputusan demikian. mendadak saja Rara Intan terkekeh. Ia mencelat jauh, dan sesaat kemudian ia telah berdiri di atas tembok pekarangan. Jaka Pekik kaget dan berteriak mencegah. Namun suara jawaban yang terdengar sudah cukup jauh.
"Tunggu saja beberapa tahun lagi. Aku datang kepada kalian. Satu persatu akan kutantang dan aku tundukkan!"
Jaka Pekik menghela napas amat sedih. Tak pernah diharapkan sama sekali, bahwa keadaan akan terjadi demikiin. Ia jadi mendongkol kepada Salindri. Tegurnya,
"Indri! Semua ini gara-garamu. Kau lancang mulut....'
"Plak!" tahu-tahu Salindri telah menampar pipi Jaka Pekik.
Akan tetapi yang ditampar tidak membalas, hanya menguaap-usap pipinya.
"Kau memang tolol! Aku sengaja membuat dia marah dan malu. Nah, buktinya sekarang dia telah pergi. Memang dia tak berhak mengatur dan mencampuri urusan perguruan ini, setelah dahulu menyerahkan kepadamu."
Semua yang mendengar terbelalak. Tak pernah mereka duga, bahwa kata-kata gadis yang terganggu jiwanya ini mempunyai maksud yang dalam. Dan diam-diam Ratu Wandansaripun gembira. ia memang agak khawatir juga, kalau Rara Inten kembali mengusai Perguruan Tuban akan merugikan Mataram.
Salindri ketawa terkekeh senang. Ia melayangkan pandang matanya kepada mereka semua dengan lagak yang ketus.
"Hi-hi-hik, sekarang Rara Inten telah pergi. Sekarang dengarkanlah kalian semua." ia berhenti sebentar.
Sesaat kemudian sambungnya,
"Mengingat bahwa Kadipaten Tuban merupakan wilayah kekuasaan Mataram, maka Ratu Wandansari yang berhak mengangkat dan memberi persetujuannya. Namun begtu, aku mengusulkan agar Sarni diangkat menjadi ketua dan mbakyu Kedasih sebagai wakilnya. Hi-hi-hik..... aku puas.....heh-heh-heh.... hu-hu-huuukkkk...... Pekik.,.... Pekik Cilik.....kau di mana.....?'
Tiba-tiba Salindri meloncat dan berlarian pergi cepat sekali. Jaka Pekik mau mengejar tetapi cepat dicegah oleh Yoga Swara. Kedasih berteriak teriak sambil mengejar, tetapi yang diburu bayangannya sudah lenyap.
Semua orang menghela napas dengan hati terharu. Mereka semua bisa menduga, bahwa Salindri yang' tadi bicara tak bedanya orang yang waras, mendadak kumat. Mereka semua merasa kasihan. Lebih-lebih Jaka Pekik yang mengakui bahwa Salindri adik sepupunya,
"Pekik!" tiba tiba terdengar Ratu Wandansari berkata.
"Aku setuju dengan usul Salindri tadi. Sekarang aturlah baik-baik. Aku tiada waktu, maka ijinkan sekarang juga aku pergi."
Tanpa menunggu jawaban, ia sudah memberi isyarat kepada tiga orang pengawalnya. Jaka Pekik tak kuasa membuka mulut. Hanya pandang matanya mengikuti gerakan Ratu Wandansari. Hati pemuda ini tak keruan rasanya, ingin mencegah gadis itu pergi, dan inginlah ia selalu dapat berdekatan.
Yoga Swara menghela napas. Ia tahu bagaimanakah rasa hati Jaka Pekik. Guna mencegah hal-hal yang tak diharapkan, ia cepat berkata.
"Anak Pekik, paduka adalah orang penting bagi Surabaya. Bagaimanapun baiknya hubungan paduka dengan Ratu Wandansari, dia tetap musuh Surabaya. Tuban telah ditaklukkan Mataram. Terlalu lama di tempat ini bisa menimbulkan hal-hal yang kurang baik."
Peringatan itu menyadarkan Jaka Pekik.
"Paman benar! Orang seperti Ratu Wandansari sulit diterka perasaan hatinya. Siapa tahu di depanku dia bersikap baik. tetapi diam-diam telah mengatur rencana guna mencelakakan aku. Baiklah, lekas umumkan kepada semua anak murid Tuban. Sejak saat sekarang ini yang aku percaya untuk memimpin dan mengemudikan Perguruan Tuban adalah Sarni dan Kedasih."
Semua murid Tuban menjadi sibuk. Tidak seorangpun murid Tuban yang membantah maupun menentang apa yang telah diputuskan Jaka Pekik. Upacara pengangkatan ketua dan wakilnya itu, diselenggarakan secara sederhana. Tetapi mengingat gangguan jiwa Sarni, akibat deritanya ketika ditawan oleh Subinem, Jaka Pekik sebagai ahli pengobatan segera memberi petunjuk petunjuk untuk penyembuhannya. Di samping itu, Juga ramuan obat yang harus dicari atau dibeli yang harus diminum Sarni setiap hari tiga kali.
Singkatnya, semuanya sudah beres. Jaka Pekik, Yoga Swara dan Madu Bala meninggalkan Tuban dengan hati yang lega dan dada yang lapang. Tujuan kepergian mereka ini, justeru melulu mengurus dan menyelesaikan Perguruan Tuban yang menjadi wewenangnya.
Akan tetapi dalam perjalanan itu, terdengarlah Yoga Swara bertanya kepada Madu Bala.
"Aku agak heran padamu, kakang. Apa sebabnya engkau tadi bisa menerka secara tepat sekali. tentang tongkat tadi ?"
Madu Bala terkekeh.
"Heh-heh-heh, bukan aku yang cerdik, tetapi Ratu Wandansari."
Jaka Pekik dan Yoga Swara memandang heran. Kemudian Jaka Pekik bertanya,
"Apakah maksudmu?"
'Hemm, sesungguhnya jelas sekali bahwa Ratu Wandansari berpihak pada paduka dalam urusan Perguruan Tuban."
Madu Bala menjawab masih sambil terkekeh.
"Eh. apa maksudmu?"
Jaka Pekik makin heran.
"Orang yang cerdik seperti Ratu Wandansari, tentu saja ada cara yang tak kentara guna menutupi maksud yang sebenarnya."
Madu Bala menerangkan,
"Tidak terlalu sulit diduga soal ini. Kalau toh Ratu Wandansari tidak berhadapan dengan paduka, kiranya persoalan tak cepat selesai seperti ini. Tentu Ratu Wandansari akan mempertahankan Perguruan Tuban dengan kekuatan, dan kalau perlu dengan kekerasan. Apakah sulitnya menindas kalau perlu membubarkan dan melarang? Bukankah Ratu Wandansari berkuasa penuh di wilayah Tuban sekarang?"
Yoga Swara dan Jaka Pekik mengangguk angguk. Namun masih juga merasa ragu-ragu. Kata Jaka Pekik,
"Masih belum jelas maksudmu, paman. Coba terangkan sejelasnya."
Madu Bala terkekeh. Kemudian sahutnya,
"Paduka masih ingat kiranya bahwa Ratu Wandansari mempunyai kesan kurang baik terhadap Rara Inten. Bukankah dahulu Rara Inten telah memfitnah Ratu Wandansari mencuri pedang Jati Ngarang dan Jati Sari, di samping dituduh telah membunuh Salindri?"
"Ya, benar. Tetapi ternyata Rara Inten sendirilah pelakunya."
Jaka Pekik mengangguk-angguk.
"Karena berkesan tidak baik itu, walaupun dia tak ingin mempertahankan Perguruan Tuban, tidak begitu saja melepaskannya. Hal itu di samping berpegangan kepada kehormatan. juga untuk menyudutkan Rara Inten. Buktinya, dalam segala hal, Rara Inten tak dapat berdiri di atas kaki sendiri. Tadi berhadapan secara kekerasan melawan sawungrana saja sudah hampir keok."
Madu Bala berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian.
"Maksud tersembunyi Ratu Wandansari itu terbukti pula dengan caranya menyelenggarakan pertandingan. Dalam segala bentuk ilmu kesaktian, tiga orang pengawalnya tadi tak mungkin bisa menang melawan paduka. Tetapi mengapa justeru memilih pertandingan memanah? Sedang pertandingan yang pertama tadi, mengapa Ratu Wandansari justeru memilih tongkat itu yang dijadikan alat pertandingan? Pada hal tentang tongkat itu, ketika aku masih di Mataram, sudah pernah dijadikan alat berteka-teki dengan aku. Dahulu aku sampai pusing tak dapat menemukan jawabannya. Baru tahu, setelah Ratu Wandansari memberitahukan jawabannya."
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko Mahesa Kelud - Serigala Berbulu Domba Goosebumps - Si Raja Cacing
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama