Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat Bagian 21
"Wut-wut-siuutt......!"
Prembun yang sudah terbakar kemarahannya, melancarkan pukulannya bertubi-tubi. memilih jurus-jurus yang paling berbahaya, dari Ilmu Tangan Kosong Babakan Sanga, ajaran Kirtaji. Gerak serangannya cepat dan arah serangannya amat berbahaya. Selalu memilih bagian tubuh lawan yang terdapat lobangnya.Antara lain ubun ubun, mata, hidung, mulut, teliga, pusar dan kemaluan.
Namun ternyata semua serangannya itu tak pernah berhasil. Seakan menyerang bayangan yang gerakannya lebih cepat lagi. Prembun yang kalap tak sadar akan keadaan. Tak ingat bahwa kakek kasar ini bukan lawannya. Ia terus menerjang dengan serangan serangan yang lebih dahsyat.
"Plak-plak..... dess.....;.!"
Prembun terhuyung huyung seperti layang layang putus talinya Akan tetapi pemuda ini tidak roboh, dan hanya dari mulutnya meyembur darah segar.
Akan tetapi Prembun seperti tidak merasakan akibat dari pukulan lawan yang mengenakan dadanya, yang
membuat mulutnya menyemburkan darah segar dan terluka dalam. Tiba-tiba
'sring..."
Sebatang pedang yang mengkilap tajam telah terpegang di tangan kanan.
"Mampuslah!"
lengking Prembun sambil melompat ke depan, sambil menyambarkan pedangnya. Begitu bergerak pedang itu menggetar, sehingga tampaknya menjadi beberapa batang, dan arah serangannya sulit diduga. Prembun menggunakan ilmu Pedang Pancasari. ilmu Perguruan Semeru yang terkenal cepat dan berbahaya.
"Siut-wut-wut...."
sinar yang putih panjang tak pernah putus sudah menyambar ke arah lawan, pada bagian tubuh berbahaya.
Kakek itu berloncatan menghindar sambil berkata,
"Hai! Engkau murid Semeru?"
Prembun tidak membuka mulut dan terus melancarkan serangan serangannya.
Ia memilih jurus jurus terhebat maksudnya untuk menebus kekalahannya, ketika bertangan kosong tadi. Sama sekali pemuda ini tak mau sadar, bahwa begitu dirinya bergerak kakek itu sudah mengenal ilmu pedangnya, membuktikan bahwa kakek Itu sudah luas pengalaman dan sakti mandraguna.
"Tring-tring-tring....!"
terdengar beberapa kali suara nyaring.
Sambaran pedang Prembun ditangkis oleh sentilan jari tangan yang kuat, dan pedangnya menyeleweng. Prembun merasa lengannya kesemutan, dan dadanya terasa semakin sesak. Namun pemuda ini sudah kalap dan terus menghujani serangan.
"Orang muda bandel. Huh.... mampuslah!"
bentak kakek itu, dan menyusul,
"Tring...... plak... des......"
Tubuh Prembun terlempar lebih dua meter. Jatuh pingsan dan tidak bangun lagi. Dari mulutnya mengalir darah merah, berkelojotan sebentar, kemudian tak bergerak lagi. Prembun tewas oleh kesembronoannya sendiri, membentur gunung.
Kirtaji yang sejak tadi memperhatikan, segera sadar apa bila dirinya nekad melawan, sekalipun dapat mengimbangi cukup lama, tetapi tak mungkin bisa menang .Lebih lagi yang dihadapi dua orang.
Kalau dua orang kakek itu kemudian maju berbareng, manakah mungkin dirinya bisa menang?
Nekad melawan berarti hanya menyongsong maut. Tetapi iapun tak mau terhina di depan mata ratusan anak buahnya. Maka ia menggunakan kecerdikannya bersikap.
"Hemm, salahmu sendiri adi Prembun, tanpa minta ijinku engkau sudah sengaja membentur gunung."
Kirtaji kemudian membungkuk ke arah dua orang kakek itu sambil berkata halus,
"Paman, saya menyesal akan Sikap pembantu saya yang tidak pandai menghormati orang tua. Bagi saya, semua persoalan tak sulit diselesaikan tanpa lewat Sikap yang kurang menghormat paman berdua. Sebab bagi saya. kalau memang paman berdua menghendaki, tiada keberatannya bagi saya untuk menyerahkan kedudukan pimpinan di sini, kepada paman berdua. Akan tetapi sekalipun demikian, saya mohon agar paman berdua sudi menolong muka saya dari pandangan semua anak buah."
Mendengar ucapan yang ramah dan menghormat itu, kakek kasar yang baru selesai merobohkan Prembun tertarik. Ia menatap Kirtaji, dan bertanya, nadanya agak halus,
"Apa maksudmu? Jangan engkau menggunakan sikap pengecut menggunakan manisnya mulut."
Kirtaji tersenyum. Sahutnya,
"Manakah saya berani kurang ajar kepada paman? Menghargai orang tua bukanlah sikap pengecut, akan tetapi membuktikan seorang muda yang dapat menempatkan diri."
"Hem, bagus. Katakan apa maksudmu?"
sikap kakek kasar itu sudah berubah.
Agaknya mulai tertarik akan sikap Kirtaji yang halus.
"Paman, terus terang saya katakan, bahwa aku bukan seorang pengecut. Itulah sebabnya aku ingin berterus terang di depan paman berdua. Begini paman, sebagai seorang pemimpin, tentu saja aku mempunyai harga diri. Maka yang tepat harus ditempuh jalan paling baik, yang saling menguntungkan."
Kirtaji berhenti dan memandang dua orang kakek itu mencari kesan. Lalu terusnya,
"Aku mohon kepada paman berdua, agar sudi mengangkat diriku sebagai murid........"
"Kurang ajar. Siapa sudi?"
bentak kakek yang kasar.
Tetapi kakek yang seorang berkata halus,
"Adi! Biarkan dulu dia bicara. Setelah mendengar alasannya, kita bisa mempertimbangkan."
Kemudian kepada Kirtaji, katanya,
"Katakan orang muda, apa maksudmu minta menjadi murid kami?"
"Maksud saya agar bisa diterima sebagai murid, dengan demikian berarti tidak terjadi sesuatu di sini,"
sahut Kirtaji dengan mantap.
"Perubahan pimpinan yang terjadi, karena dalam kedudukanku sebagai murid, ingin menempatkan guru dalam kedudukan yang tinggi, maka saya menyerahkan pimpinan di Kendeng ini. Dengan jalan demikian, berarti paman berdua tidak, bertindak sewenang-wenang menindas yang lemah untuk mencari kedudukan di sini. Akan tetapi memang sudah sewajarnya harus memimpin."
, Kirtaji berhenti, melirik dan mencari kesan. Ia melihat bahwa si kakek kasar mengerutkan alis. Tetapi kakek yang seorang mengangguk-angguk.
Kirtaji meneruskan,
"Paman, jelas sudah bahwa merupakan kewajiban seorang murid menempatkan guru dalam kedudukan yang mulia."
"Kalau kami tak sudi?"
bentak kakek kasar.
Tiba-tiba sikap Kirtaji berubah. Ia sekarang berdiri tegak. Dada membusung. Lalu terdengar katanya tegas.
"Kalau paman berdua akan memaksakan kehendak di sini, tentu saja akan terjadi lain. Aku yang muda dan rendah ini, tanpa mengukur diri terpaksa harus mempertahankan harga diri. Dalam kedudukan saya sebagai pemimpin, lebih baik mati membela harga diri,, dari pada harus hidup sebagai pengecut."
"Bagus, mampuslah!"
bentuk kakek kasar sambil bergerak.
"Plak!"
kakek kasar itu terhuyung mundur dengan Wajah merah.
Ternyata terjangannya telah disambut oleh kawan sendiri.
"Kakang, apa maksudmu?"
protesnya.
"Adi, sabar bakal subur. Jangan engkau hanya membawa kemauanmu sendiri. tanpa mau memperhatikan
aku!"
sahut kakek yang sabar ini halus, tetapi bernada menegur juga.
"Dengar, aku menghargai sikap orang muda ini. Sikap seorang pemimpin yang baik, tetapi juga pandai mempertahankan harga diri. Kita angkat dia menjadi murid. Apa salahnya? Kita sudah tua dan belum-punya murid. Melihat keadaannya, dia seorang calon murid berbakat, cerdas dan perwira. Bukankah ini kesempatan bagus?"
Kakek kasar itu tak cepat menjawab, akan tetapi menatap Kirtaji penuh perhatian seakan sedang menaksir. Akan tetapi beberapa saat kemudian, terdengarlah katanya,
"Hem, kalau memang kakang menghendaki begitu, aku tak dapat berbuat apa-apa. Sebagai adik seperguruanmu, sudah tentu aku yang muda harus patuh."
"Bagus, heh-heh-heh, engkau memang adik seperguruan yang patuh kepada saudara tua!"
kakek itu terkekeh gembira.
Betapa gembira Kirtaji mendengar pembicaraan dua orang kakek itu. Dengan demikian berarti siasatnya berhasil. Maka serta merta Kirtaji segera menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang kakek itu sambil berkata,
"Murid Kirtaji mohon maaf sebesar besarnya atas kurang hormatnya murid, dalam menyambut kehadiran guru berdua di sini. Murid Kirtaji mohon kepada guru berdua, agar berkenan masuk ke pendapa. Murid akan segera mengumpulkan semua anak buah, dan sekaligus mengumumkan penyerahan murid kepada guru berdua."
"Bagus, heh-heh-heh! Muridku yang baik, bangkitlah. Lekas kumpulkan anak buahmu!"
kata kakek yang sabar itu sambil mengebutkan tangan kanannya.
Tak tercegah lagi, Kirtaji terangkat bangun. Membuat Kirtaji kagum di samping gembira. Di bawah bimbingan dua
orang kakek ini, ia percaya bahwa dirinya bakal maju pesat. Kemudian hari setelah tak butuh, dirinya bisa membalas kebaikan dua orang guru ini dengan membunuhnya. '
Dengan kepandaian siasat Kirtaji, ia menyerahkan pimpinan Kendeng tanpa harga dirinya merosot di mata anak buah. Demikian pula terhadap pandangan sahabat sahabatnya.
Siapakah dua orang kakek ini?
Para pembaca sudah kenal. Dua orang kakek ini bukan lain adalah Reksogati dan Sawungrana. Dua orang kakak seperguruan Sindu. Sejak mereka dikalahkan oleh Sindu, dua orang ini amat prihatin. Mereka memutuskan tidak kembali ke Mataram, dan berusaha mencari tempat untuk menggembleng diri, agar kemudian hari dapat membalas kekalahannya melawan Sindu.
Semula mereka akan mencari tempat terasing dan sepi. Tetapi kemudian mereka menjadi khawatir, bahwa kebutuhan makan mereka tak terjamin. Sebagai orang yang biasa hidup mulia dan penuh hormat di Mataram, mereka merasa perlunya ada orang yang harus melayani dan mencukupi kebutuhan mereka hidup. Maka mereka harus memperoleh tempat yang tepat.
Dalam pengembaraannya mencari tempat, akhirnya dua orang kakek ini sampai di tempat ini.
Itulah sebabnya Reksogati dan Sawungrana merebut kekuasaan Kendeng dari tangan Kirtaji. Setelah mereka menjadi pemimpin Kendeng, teringatlah kemudian Sawungrana akan kemuliaan Sultan Agung. Maka dibujuklah Reksogati agar sekarang Kendeng dijadikan semacam kerajaan. Sebagai raja, mereka berdua, dan untuk memenuhi tata cara maupun perlengkapan upacara raja, perlu dikumpulkan orang-orang yang dibutuhkan.
Atas bujukan Sawungrana ini Reksogati menurut dan setuju. Lalu diperintahkan kepada Kirtaji, agar mencari gadis-gadis dari desa sekitarnya, untuk dijadikan dayang dayang dan pelayan. Kemudian diperintahkan orang untuk membuat perlengkapan upacara raja, berujud banyak dalang Sawung galing, lar badak wulu merak. Kalau dalam keraton Mataram banyak dalang sawung galing terbuat dari emas murni, Kerajaan Kendeng ini tak mau kalah. Dibuat pula dari bahan emas murni.
Keadaan di Kendeng dari sedikit disesuaikan dengan segala sesuatu yang berlaku di keraton. Semua anak buah Kendeng merupakan hamba sahaya. Maka mereka harus menyebut ingkang Sinuhun. Lalu diangkat pula beberapa orang tumenggung, adipati,senopati dan sebagainya. Sedang Kirtaji diangkat sebagai putera mahkota, merangkap sebagai patih.
Begitulah yang telah terjadi di Kendeng ini. Reksogati dan Sawungrana sekarang hidup mulia dan dihormati sebagai raja. Namun mereka tidak lupa akan tujuan semula. Tujuan untuk menggembleng diri, agar kelak kemudian hari dapat menuntut balas kepada Sindu, di samping pula mendidik Kirtaji dengan tekun penuh disiphn. Menurut rencana mereka, Kirtajilah kemudian hari yang harus berhadapan dengan murid Sindu.
Tiga orang gadis itu masih berdiri di tengah halaman. Kemudian tampak oleh mereka seorang perempuan yang laku dodok (berjalan dengan lutut) meninggalkan tempat duduk raja, menuju ke samping. Kemudian memberi perintah kepada Kirtaji yang kedudukannya sebagai patih,
"Atas perintah ingkang Sinuhun, tuan diperintahkan untuk bertanya kepada tiga orang perempuan yang berdiri di halaman itu. Apakah maksud kedatangannya?"
Petugas wanita yang menghubungi patih ini. dalam tata keraton, seorang tumenggung wanita sebagai utusan pribadi raja. Perintah tersebut segera diterima oleh Kirtaji dengan lebih dahulu memberikan sembahnya. Lalu Kirtaji melaksanakan tugas. Ia melangkah meninggalkan tempat duduknya, menuju ke halaman. Menghadapi tiga orang perempuan itu, wajah Kirtaji nampak tenang. akan tetapi sesungguhnya dalam hati timbul rasa khawatir. ia tahu apa arti kehadiran tiga orang gadis ini, yang salah seorang adalah bekas tawanannya, Mulatsih. Dan juga melihat salah seorang berbaju kuning, ia juga lekas tahu bahwa tentu inilah perempuan baju kuning yang disebut-sebut oleh anak buahnya ketika itu.
Mulatsih mengamati Kirtaji dengan mata yang menyala marah. Namun demikian ia belum membuka mulut. Hanya diam-diam tangan gadis ini terasa gatal ingin sekali segera memperoleh kesempatan untuk menghajar laki-laki ini.
"Hai tiga orang perempuan,"
kata Kirtaji dengan sikap angkuh, sesuai dengan kedudukannya sebagai patih (perdana menteri) dan putra mahkota.
"Apakah maksud kedatanganmu ke mari ?"
Mendengar pertanyaan itu, mendadak saja Mulatsih ketawa terkekeh nyaring. Suara ketawa yang mengandung rasa marah. Lalu terdengarlah suara Mulatsih yang lantang, nyaring, dan terdengar dari dalam pendapa dengan jelas,
"Hi-hi-hik, apakah kamu sudah berobah menjadi gila, merobah Kendeng macam ini? Hai .Kirtaji! Apakah engkau telah lupa akan sepak terjangmu beberapa waktu yang lalu, merampas kekuasaan di tempat ini dan secara curang menawan aku? Sekarang aku datang. Engkau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu."
Bukanlah Kirtaji apabila laki-laki ini tidak pandai bersikap dan bersiasat. Mendengar itu Kirtaji tersenyum. Jawabnya halus,
"Nona Mulatsih, Kendeng sekarang berbeda dengan Kendeng waktu dahulu. Sudah lama aku menjadi orang taklukan. Sudah lama Kendeng ini menjadi kerajaan, dan beliau berdualah merupakan raja dan yang berkuasa penuh dalam Kerajaan Kendeng ini. Oleh karena itu, aku berhadapan dengan nona hanya sebagai utusan raja. Paduka ingkang sinuhun memerintahkan aku bertanya, apa maksud kedatanganmu ke mari. Terangkan yang jelas, dan semua akan segera aku langsungkan kepada paduka raja."
Mendengar jawaban itu. bukan main marahnya Mulatsih. Ia mendelik. Lalu bentaknya lantang,
"Kirtaji! Jika engkau memang sudah menjadi pengecut, tak ada perlunya aku bicara dengan engkau. Lekas katakanlah kepada rajamu untuk keluar dan menyambut kedatanganku."
"Paduka raja takkan keluar dan menyambut setiap tamu,"
sahut Kirtaji dengan halus.
"Katakan saja keperluan nona. Saya akan datang menghadap kepada raja untuk keperluan nona itu."
Mendengar jawaban Kirtaji itu. Titiek Sariningsih menjadi geli dan tak kuasa menahan sabarnya lagi. Ia ketawa nyaring, lalu terdengar katanya lantang,
"Hi-hihik, baru sekarang ini sajalah aku melihat raja yang membuat aku geli. Siapakah nama rajamu itu? Raja kera ataukah raja setan? Hi-hi-hik, yang tepat kiranya raja badut. Wan benar, memang pakaian dan lagaknya mirip sekali dengan badut yang tidak lucu!"
Mau tak mau meledak ketawa Damayanti dan Mulatsih mendengar olok-oloknya itu. Olok-olok yang lucu itu, tentu akan berhasil memancing rasa marah kakek
yang mengangkat diri sebagai raja itu. Kedatangan mereka saat sekarang ini memang tidak membutuhkan suasana yang akrab. Mereka datang memang sengaja menggunakan kekerasan, guna merebut kembali kekuasaan Kendeng. Maka apa bila raja yang disebut sebagai raja kera, setan dan badut itu marah, justeru amat kebetulan. Pendeknya tiga orang gadis ini sejak berangkat dari Wilis memang sudah bersepakat. Mereka akan bersatu padu untuk bahu membahu menghadapi segala kemungkinan.
Dan Kirtaji diam-diam gembira mendengar olok-olok gadis itu. Ia percaya bahwa olok-olok yang menghina itu tentu memancing Sawungrana. Biarlah mereka berkelahi dan menyabung nyawa. Dirinya akan menonton dan melihat gelagat lebih dulu.
Ia ingin melihat sampai di manakah kesaktian Gadis Baju Kuning yang amat terkenal itu?
Sekalipun demikian ia seorang cerdik. Ia pura-pura marah dan membentak.
"Kurang ajar kau! Orang muda yang lancang mulut macam kau ini. apakah memang ingin dihajar biar mulutmu perot? Huh-huh, rasakan nanti jika guruku menjadi marah!"
Kata-kata itu diucapkan keras keras. Ucapan yang sengaja, supaya dapat didengar oleh Sawungrana dan para hamba sahaya Kendeng. Dengan demikian Raja Kendeng itu akan menjadi tersinggung, terhina dan marah.
Apa yang diharapkan Kirtaji ternyata benar. Sawungrana yang memang wataknya tidak sabaran dan mengandalkan kesaktiannya itu, sudah menjadi amat marah sekali. Ia menjadi lupa akan keadaan. Lupa bahwa dirinya yang mengangkat diri "
sebagai raja"
itu, tidak pantas melayani sembarang tamu. Yang mestinya cukup menyerahkan kepada salah seorang hamba sahayanya.
Akan tetapi memang sayang, bahWa di antara orang orang Kendeng ini, hanya Kirtaji seorang saja yang bisa dikatakan cukup berisi. Dan bisa dikatakan bahwa hampir semua persoalan selama ini, ditangani oleh Sawungrana sendiri. Mereka memang tidak memerlukan pembantu untuk menguasai Kendeng. Sebab kakak beradik seperguruan ini, merasa mampu untuk mengatasi semua persoalan tanpa bantuan orang lain.
Sawungrana telah berdiri dari tempat duduknya dan membentak,
"Bocah kurang ajar! Engkau datang sengaja menghina kami? Huh, apakah kamu memang sudah bosan hidup?"
. Belum juga lenyap bentakannya itu, telah melayang tubuh Sawungrana dengan ringan keluar dari pendapa yang luas itu. Hanya beberapa kali loncatan saja, Sawungrana telah berhadapan dengan tiga orang gadis itu. Matanya mendelik dan menyinarkan api. Dan alisnya yang sudah mulai memutih itu terangkat. Seakan Sawungrana ingin menelan mentah-mentah kepada tiga orang gadis muda di depannya ini, yang sikapnya amat kurang ajar.
Titiek Sariningsih mengamati Sawungrana dengan mata terbelalak. Tidak salah lagi, inilah kakek yang amat dibencinya. Kakak seperguruan gurunya, yang dahulu pernah dihajar oleh Sindu dan terluka parah. Yang dahulu hendak memaksakan kehendak sendiri. Kakek yang galak dan mau menang sendiri.
Kalau saja dahulu Sindu tak berhasil mengalahkan Sawungrana dan Reksogati, manakah mungkin dirinya sampai sekarang masih hidup?
Tentu dirinya bersama Sindu telah dibunuh mati.
Teringat akan peristiwa itu, hati gadis ini gemas dan penasaran. Kemudian terdengar katanya yang mengejek diiringi ketawanya,
"Hi-hi-hik, selamat bertemu kakek Sawungrana yang galak. Sungguh tepat sekali kataku tadi, bahwa engkau adalah raja badut!"
"Siapa kau, sembarangan membuka mulut di depanku?"
bentak Sawungrana menggeledek dan matanya menyala.
Tetapi Titiek Sarinihgsih sama sekali tidak gentar.
"Hi-hi-hik, siapa yang bisa melarang? Buktinya engkau memang raja badut. Di Mataram kedudukanmu hanyalah seorang pengawal, tahu-tahu sekarang engkau mengangkat diri sebagai raja. Hi-hi hiik, apakah ini bukan perbuatan badut? Hi-hik, apakah engkau tidak takut jika apa yang kaulakukan ini didengar Sultan Agung? Lagakmu yang tengik ini kiranya baru setimpal jika engkau dihukum gantung di atas dahan yang tinggi."
Damayanti dan Mulatsih yang belum kenal dengan Sawungrana hanya berdiam diri. Tetapi diam-diam dua orang gadis ini kagum dan heran atas keberanian Titiek Sariningsih, yang menghina orang terang-terangan.
Dan Kirtaji kaget mendengar disebutnya Sawungrana sebagai bekas pengawal Mataram. Selama ini ia memang tidak tahu riwayat hidup dua orang kakek itu. Dahulu dua orang kakek itu tiba-tiba muncul, kemudian mereka merebut kekuasaan dari tangannya. Diam-diam ia menjadi sibuk. Dua-duanya bagi dirinya tidak ada yang menguntungkan. Namun kalau saat sekarang, bagaimanapun dua orang kakek inilah yang menguntungkan dirinya. Sebab di samping dirinya memperoleh gemblengan ilmu sakti, kedudukannya di Kendeng masih cukup tinggi, dan mempunyai pula kebebasan yang cukup. Sebaliknya apa bila tiga orang gadis itu yang dapat menguasai keadaan. tidak urung dirinya tentu mampus. Sebab Mulatsih yang amat dendam kepadanya tentu berusaha membalas.
Dan Sawungrana Sendiri agak kaget.
Dari manakah bocah yang masih amat muda ini memperoleh pengetahuan bahwa dirinya bekas pengawal Mataram?
Dengan mata yang menyala merah Sawungrana membentak lancang.
"Bocah kurang ajar! Apakah engkau sudah bosan hidup berani berlagak di depanku? Huh, lekas katakan siapakah gurumu?"
Titiek Sariningsih yang pandai bicara dan berolok itu cepat menyahut,
"Hi-hik, engkau ingin tahu siapakah guruku? Hem. jika engkau mendengar siapakah guruku, tentu engkau terkencing kencing. Huh, engkau tidak cepat berlutut di depanku dan mohon ampun. apakah ingin kuhajar dan aku laporkan kepada guruku? Dengar baik. baik, namaku Bandara Raden Ajeng Kusumaningrum, puteri rama Sultan Agung. Dan engkau ingin mendengar siapakah guruku? Guruku adalah, bibi Ratu Wandansari."
Betapa kaget Damayanti dan Mulatsih, mendengar pengakuan Titiek Sariningsih yang tidak tanggung-tanggung itu. Mengaku sebagai salah seorang puteri Sultan Agung dan mengaku pula sebagai murid Ratu Wandansari. Tetapi sekalipun demikian, dua orang gadis ini masih berdiam diri dan tidak ikut bicara. Ia ingin tahu dan mendengar apa yang akan dilakukan oleh bocah ini selanjutnya.
Dan ternyata isapan jempol Titiek Sariningsih itu berpengaruh pula. Wajah Sawungrana berobah mendengar disebutnya nama Sultan Agung dan Ratu Wandansari itu. Memang putera dan puteri Sultan Agung tidak sedikit jumlahnya. Maka walaupun Sawungrana cukup lama mengabdi di Mataram Sebagai seorang pengawal rahasia, ia tidak tahu pasti jumlah putera puterinya, juga tentang namanya. Lebih-lebih bagi seorang puteri, yang pergaulannya terbatas. Karena itu untuk sesaat kakek ini. terbelalak dan mengamati penuh perhatian, meneliti dari ujung jari sampai ke ujung rambut. Gadis muda ini memang cantik jelita. Dan bentuk wajah maupun bentuk dari matanya, memang menunjukkan ciri khas bagi seorang puteri bangsawan.
"Hai, Sawungrana!"
bentak Titiek Sariningsih angkuh.
Lagaknya dan suara katanya serupa benar dengan lagak para puteri bangsawan.
"Engkau tak lekas berlutut di depanku dan mohon ampun atas kekurangajaranmu terhadap aku? Huh, lagakmu yang tengik mengangkat diri sebagai raja ini, terang engkau sudah memberontak. Rama Sultan Agung maupun bibi Ratu Wandansari tentu marah mendengar laporanku tentang sepak terjangmu yang kurang ajar ini !"
"Aku...... aku.."
Sawungrana yang terpengaruh tergagap dan bingung. Pengaruh nama Ratu Wandansari, bagaimanapun bagi dirinya amat kuat sekali. Tentang Ratu Wandansari sendiri, walaupun terkenal cerdik dan sakti, tingkat kesaktiannya masih berada di bawah tingkatannya. Kalau berhadapan seorang lawan seorang, dirinya masih sanggup untuk mengatasi. Akan tetapi pengaruh dari puteri tersebut, tak dapat diabaikan begitu saja.
Titiek Sariningsih diam-diam geli melihat perubahan Sawungrana itu. Guna membuat orang makin mati kutu, ia sudah membuka mulut lagi,
"Hai, Sawungrana! Tahukah engkau bahwa kesalahanmu bertumpuk tumpuk? Yang pertama, engkau sebagai pengawal Mataram lari
dari tugas yang diperintahkan oleh bibi Wandansari. Hayo cepat katakan manakah hasilmu memanggil Sindu? Orang yang kaupanggil tak juga kembali ke Mataram, dan kau sendiri bersama Reksogati malah melarikan diri. Yang kedua, engkau sengaja memberontak, karena engkau bersama Reksogati telah mengangkat diri sebagai raja di Kendeng ini. Dan yang ke tiga, engkau tak pandai menghargai aku sebagai puteri rama Sultan Agung."
Tiba-tiba terdengar suara nyaring dari pendapa,
"Sawungrana! Siapa dia?"
Belum juga lenyap suara teriakannya, ternyata dengan gerak yang gesit Reksogati telah _keluar dari pendapa. Begitu tiba dan berdiri di samping Sawungrana, kakek ini mengamati Titiek Sariningsih penuh perhatian. Kemudian katanya,
"Engkau mengaku puteri Ingkang Sinuhun Sultan Agung? Dan siapakah namamu?"
. "Reksogati! Engkau berani menyebut aku dengan sebutan "engkau"? Huh; kurang ajar !"
bentak Titiek Sariningsih masih berlagak sebagai puteri Sultan Agung.
"Engkau seorang tua yang tak pandai membalas budi. Awas, setelah aku kembali ke Mataram, akan aku laporkan kebusukanmu ini. Pasukan Mataram akan segera datang menyerbu ke mari menangkap engkau."
Sikap Reksogati berbeda dengan Sawungrana. Kakek ini mengamati dan meneliti Titiek Sariningsih. Tiba-tiba terkekeh. Katanya dingin,
"Hemm, engkau mengaku sebagai puteri Ingkang Sinuhun Sultan Agung dan murid Gusti Ratu Wandansari? Kurang ajar! Janganlah engkau main-main di depanku. Hayo lekas suruhlah gurumu Sindu keluar dan menghadapi aku. Apakah gurumu sudah menjadi pengecut dan tidak berani berhadapan dengan aku?"
Titiek Sariningsih kaget, begitu mendengar Reksogati mengenal dirinya.
Mengapa begitu berhadapan, Reksogati sudah cepat ingat bahwa dirinya adalah murid Sindu?
Soalnya Reksogati adalah lebih sabar dibanding dengan Sawungrana. Waktu itu, ketika menghadapi Sindu, Sawungrana dilanda oleh kemarahan, sehingga tidak sempat memperhatikan Titiek Sariningsih. Maka begitu berhadapan, Sawungrana tidak mengenal lagi. Sebaliknya ketika itu Rekaogati memperoleh banyak kesempatan mengenal Titiek Sariningsih.
Merasa ditipu mentah-mentah ini, betapa marah Sawungrana tak dapat dilukiskan lagi. Ia sudah membentak sambil menerjang maju, mengayunkan pukulannya.
"Kurang ajar! Engkau harus mampus dalam tanganku!"
Terjangan Sawungrana ini bukan main cepatnya dan mengandung tenaga dahsyat pula. Pukulan yang amat berbahaya, justeru dalam waktu satu setengah tahun terakhir ini, Sawungrana dan Reksogati bersama-sama menggembleng diri dan tujuan yang terutama untuk membalas dendam kepada Sindu. Sekarang dirinya belum berhasil bertemu dan mencoba kekuatannya melawan Sindu, akan tetapi berhadapan dengan muridnya. Bagaimanapun dapat dijadikan sekadar usaha mengurangi rasa penasarannya. Dan lebih dari itu, apa bila dapat membunuh bocah ini, tentu akan dapat memancing Sindu ke luar dari persembunyiannya.
Akan tetapi Sawungrana terbelalak kaget ketika terjangannya mengenakan tempat kosong. Pukulannya cepat, akan tetapi Titiek Sariningsih dapat bergerak lebih cepat lagi. Malah bocah itu dalam menghindarkan diri masih dapat membalas dengan serangan tak terduga. Kalau Sawungrana tadi tidak merendahkan tubuh mungkin kepalanya menjadi sasaran kaki Titiek Sariningsih.
Reksogati mundur, tidak mencegah adik seperguruannya melawan Titiek Sariningsih. Adapun Damayanti dan Mulatsih juga tidak mengganggu, hanya diam-diam siap siaga melindungi keselamatan Titiek Sariningsih bila perlu. Tujuan mereka ke Kendeng ini justeru ingin merebut kembali hak milik orang tua Mulatsih. Barang tentu kekerasan sulit dihindarkan.
Apa yang terjadi di halaman itu sungguh lucu. Tampaknya seperti seorang kakek sedang berusaha menghajar cucunya. Akan tetapi cucunya terlalu bandel dan dapat bergerak cepat, sehingga hajaran kakeknya itu selalu mengenakan tempat kosong.
Diam-diam Sawungrana kaget. Murid Sindu yang masih amat muda ini, sungguh di luar dugaannya. Gerakannya cepat luar biasa di samping aneh. Walaupun dirinya termasuk seorang yang sudah luas pengalaman, namun ia bingung dan sama sekali belum mengenal ilmu tata kelahi bocah ini.
Sungguh mengherankan, mengapa Sindu mengajarkan kepada muridnya ilmu tata kelahi yang lain?
Dari heran Sawungrana menjadi amat penasaran.
Manakah mungkin dirinya sebagai bekas tokoh pengawal rahasia Mataram, berhadapan dengan bocah ingusan saja harus Sibuk?
Dan bagaimana pula dirinya dapat membalas sakit hati terhadap Sindu, kalau baru berhadapan dengan muridnya saja, pukulan-pukulannya selalu mengenakan tempat kosong?
Di luar tahu Sawungrana bahwa sekalipun bisa disebut sebagai murid, akan tetapi Titiek Sariningsih juga saudara seperguruan Sindu. Sebab antara Titiek Sariningsih dan Sindu sama-sama mempelajari ilmu warisan Ki Ageng Kebo Kanigoro atau juga disebut Ki Ageng Purwoto Sidik. Dalam pada itu kalau saja Titiek SariningSih hanya memperoleh bimbingan Sindu melulu, kiranya
Titiek Sariningsih masih bukan lawan Sawungrana yang seimbang. Tetapi karena selama satu setengah tahun Titiek Sariningsih memperoleh gemblengan Ki Ageng Lumbungkerep yang justeru ahli dalam Ilmu Tangan Kosong Cleret Tahun maupun Ilmu Pedang Mahesa Kurda, maka Titiek Sariningsih sekarang menjadi manusia baru Dan dalam hal ilmu kesaktian warisan Ki Ageng Kebo Kanigoro, belum tentu Titiek Sariningsih kalah ahli dengan Sindu. Jadi keadaan Titiek Sariningsih sekarang, hanya dalam sebutan saja merupakan murid Sindu, tetapi keahliannya menggunakan ilmu warisan Ki Ageng Kebo Kanigoro, mungkin melebihi tingkat Sindu.
Itulah sebabnya gerak Titiek Sariningsih amat cepat sekali dan tidak terduga. Sering kali juga Sawungrana yang berusaha mendesak dengan pukulan pukulan yang berbahaya, malah berbalik memperoleh serangan Titiek Sariningsih yang bertubi-tubi dan berbahaya.
Reksogati yang berdiri di pinggir dan menonton merasa heran juga.
Mengapa bisa terjadi suatu keanehan macam ini?
Ia bersama Sawungrana, sejak dikalahkan oleh Sindu telah berusaha mengejar kekurangannya dengan melatih diri secara tekun tanpa mengenal lelah. Dalam Waktu satu setengah tahun ini, ia dan Sawungrana merasa sudah memperoleh kemajuan yang cukup meyakinkan.
Akan tetapi mengapa sekarang baru berhadapan dengan seorang bocah ingusan saja Sawungrana tak lekas dapat menundukkannya?
"Sawungrana!"
teriak Reksogati.
"Jangan banyak membuang waktu muspra (sia'sia). Tekanlah dengan Dahana Muncar."
Yang dimaksud Dahana Muncar itu adalah aji kesaktian yang amat mereka andalkan. Apa bila aji kesaktian Dahana Muncar itu telah dipergunakan, maka setiap pukulan yang dilancarkan akan segera mengandung hawa yang panas luar biasa. Tekanan hawa _panas itu, pasti akan membuat lawan kesulitan. Sebab di sekitar gelanggang dipenuhi oleh hawa panas yang membuat napas sesak dan lawan seperti dibakar oleh api. Kemudian lawan tentu tidak kuasa lagi menahan, dan tidak sulit dirobohkan.
Tanpa menjawab, Sawungranapun segera menggunakan Aji Dahana Muncar itu untuk menggempur Titiek Sariningsih dengan pukulan-pukulan bertubi-tubi dan dahsyat. Angin yang amat panas luar biasa segera pula menyambar nyambar di sekitar tubuh Titiek Sariningsih. Hebatnya hawa dari pukulan yang dilambari oleh Aji Dahana Muncar ini, walaupun pukulan pukulannya tidak menyentuh tubuh lawan, akan tetapi hawa panas yang keluar dari pukulan-pukulan itu sudah kuasa membuat lawan roboh dalam keadaan tubuh hangus seperti terbakar.
Akan tetapi berhadapan dengan pewaris Ki Ageng Kebo Kanigoro ini, akan keceliklah Sawungrana apa bila pukulan-pukulannya dapat merobohkan Titiek Sariningsih. Kehebatan Ilmu Tangan Kosong Cleret Taun, bukan saja gerakannya cepat, aneh, bertenaga, tetapi juga kuasa menahan pengaruh dari lawan. Gadis ini gerakannya masih tetap lincah, gesit dan semua pukulan Sawungrana tak pernah berhasil menyentuh ujung bajunya. Dan sebaliknya pukulan pukulan Titiek Sariningsih yang dilancarkan bertubi tubi itu, belum juga berhasil menyentuh tubuh Sawungrana. Sebabnya adalah, walaupun gerakan Titiek Sariningsih cepat luar biasa dan aneh, namun dalam hal tenaga sakti maSih belum mampu menandingi tenaga sakti Sawungrana. Kibasan tangan maupun dorongan Sawungrana kuasa membuat pukulan-pukulan gadis itu menyeleweng.
Perkelahian antara Titiek Sariningsih dengan Sawungrana ini terjadi amat sengit, cepat dan ratusan jurus telah dilalui. Namun gadis muda itu masih tetap dapat memberikan perlawanan hebat sekali, dan tidak menjadi kendor perlawanannya. Keadaan ini di samping membuat Reksogati yang menonton heran dan kagum. juga SaWungrana menjadi amat penasaran. Tiba-tiba kakek ini membentak nyaring sambil melompat, tangan kiri dengan jari terbuka membentuk cakar untuk mencengkeram ubun ubun lawan, sedang tangan kanan terkepal untuk meninju dada lawan. '
Namun Titiek Sariningsih tak takut menghadapi. Iapun meloncat tinggi menerjang ke depan, sambil melengking nyaring pula,
"Hiaaaaattt.....!"
Reksogati gembira melihat itu. Ia merasa pasti bahwa sekali ini bocah itu akan rebah. Sebab pukulan Aji Dahana Muncar itu tak mungkin dapat ditahan oleh bocah yang masih amat muda usia itu.
"Plak-plak !"
. Sawungrana terhuyung selangkah ke belakang. kemudian berdiri tegak di atas tanah dengan wajah yang tidak berobah. Adapun Titiek Sariningsih berjungkir balik dua kali di udara. kemudian berdiri tegak di atas tanah dengan wajah yang agak merah, tetapi tidak apa-apa.
Titiek Sariningsih seorang gadis muda yang tabah tetapi tidak sembrono. Ia sadar bahwa dalam hal tenaga sakti dirinya masih di bawah tingkat lawan. Oleh karena itu ia tidak berani memaksa diri, tetapi juga tidak mau mengalah begitu saja. Sengaja ia tadi mencoba beradu tangan dengan lawan. Untuk memberi bukti kepada lawan bahwa dirinya bukan seorang lemah. Begitu beradu tangan dan merasakan dorongan tenaga lawan yang amat kuat. ia tidak mau memaksa diri. Ia berjungkir balik di udara untuk mematahkan dorongan tenaga lawan. inilah sebabnya walaupun dirinya seperti terlempar dan berjungkir balik, namun bocah ini tidak menderita apa apa. '
Sawungrana menggeram marah sekali. Ia kembali menerjang maju dan melancarkan pukulan-pukulan yang dilambari oleh Aji Dahana Muncar. Ia berusaha menekan lawan dengan pengaruh hawa panas. Sehingga gelanggang perkelahian itu dipenuhi oleh hawa panas yang luar biasa. Namun ternyata kegesitan Titiek Sariningsih bergerak tak juga berkurang, sambaran hawa panas dari Aji Dahana Muncar itu seperti, tak berguna menghadapi gadis ini.
Reksogati yang melihat perkelahian itu sudah membutuhkan waktu panjang tak juga selesai menjadi amat masygul dan menyesal sekali. Sesungguhnya baru melawan seorang muda saja sudah amat memalukan. Karena hal itu berarti menurunkan derajat dan martabat sebagai seorang tua. Apa pula kalau sampai harus menderita kekalahan, hal ini akan menjadi buah tertawaan dunia dan akan hancurlah namanya. Jalan yang aman dan terbaik. ialah kalau perkelahian ini segera selesai. Terpikir demikian, Reksogati berteriak,
"Adi! Janganlah engkau mengulur waktu dan memberi hati kepada orang muda. Engkau sudah cukup mengalah, tetapi yang muda tak tahu diri. Untuk itu sebagai hajaran dan hukuman yang setimpal, engkau harus menggunakan tangan maut. Sebab apa bila bocah itu diberi ampun, tak urung akan menyebarkan berita busuk bagi kita."
Cerdik juga Reksogati dalam menolong muka adik seperguruannya. Walaupun semua orang tahu, bahwa Sawungrana bukan bermain-main dalam menghadapi Titiek Sariningsih ini, namun Reksogati berkata bahwa Sawungrana mengalah. Di samping itu, guna mencegah agar peristiwa ini tidak tersebar luas dan diketahui orang, yang dapat menjatuhkan namanya, maka jalan yang terbaik adalah bahwa lawan harus dibunuh mati.
Sawungranapun cepat bisa menangkap maksud kakak seperguruannya, dan diam-diam ia berterima kasih sekali, bahwa kakak seperguruannya sudah berusaha menutupi keadaan. Untuk itu terdengarlah kemudian bentaknya,
' Bocah kurang ajar dan tak tahu diri! Sambatlah kepada ayah bundamu, bahwa hari ini engkau harus mampus dalam tanganku!"
Titiek Sariningsih cekikikan dan membalas,
"Kakek yang galak dan kurang ajar! Sambatlah kepada anak dan cucumu, bahwa hari ini engkau harus mampus dalam tangan seorang bocah ingusan."
Merahlah wajah Sawungrana sampai ke leher, mendengar ucapan bocah itu yang terang sengaja menghina dan merendahkan. Saking marah dan penasarannya, kakek ini menjadi tak segan-segan lagi. Untuk menolong dirinya, dan juga untuk membatasi agar peristiwa ini tidak tersebar luas, maka ia sudah memutuskan harus membunuhnya. Bukan saja pembunuhan ini untuk menolong muka, tetapi akan berarti juga memancing Sindu.
'Mampuslah!"
teriak Sawungrana sambil melompat maju, menerjang lawannya.
"Siut...... wut... hayaaa..... luput!"
Titiek Sariningsih melenting tinggi di udara, kemudian sambil berjungkir balik, gadis ini mendorongkan tangannya.
Namun sesungguhnya Titiek Sariningsih terkejut Juga sekalipun dapat menghindarkan diri dari serangan Sawungrana. Gerakan Sawungrana yang menerjang ke depan sambil menghunus senjata, sungguh cepat luar biasa. Tahu tahu senjata kakek itu sudah menyambar ke arah dirinya. Sedikit saja lambat gerakannya tentu Titiek Sariningsih telah menjadi korban senjata Sawungrana yang menyeramkan. Senjata Sawungrana itu, adalah seutas rantai baja sebesar ibu jari kaki. Pada ujungnya terdaPat bola baja berduri tajam. Senjata ini bernama Bandil Eri, dan selama ini sudah tak terhitung lagi berapa Jumlah lawan yang mati terbunuh oleh senjatanya.
Sambaran senjata yang digerakkan oleh seorang sakti seperti Sawungrana ini sungguh dahsyat luar biasa. Lebih-lebih dalam menggerakkan senjatanya ini, Sawungrana masih merangkapi dengan saluran Aji Dahana Muncar, Maka di samping bersiutan angin menyambar, juga hawa panas melanda sekitarnya. Sekali ini Sawungrana justeru mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menolong diri, dan agar lekas dapat menyelesaikan perkelahiannya. Sejak dahulu, Sawungrana adalah seorang pengawal Mataram yang terkenal galak dan tidak segan segan membunuh lawan dengan senjatanya ini. Maka sekali inipun ia bertekad harus membunuh bocah ini.
Namun sebaliknya Titiek Sariningsih juga bukan lawan yang empuk. Muda usianya, tetapi dalam hal ilmu belum tentu kalah dengan yang tua. Masih di udara, dengan gerakan yang cepat luar biasa tangan_kanannya sudah meraba pinggang. Seleret sinar yang panjang menyilaukan mata menyambar ke arah Sawungrana. Akan tetapi Sawqurana telah menarik senjatanya sambil melompat mundur menghindari sambaran senjata lawan.
Ketika Titiek Siriningsih berdiri di atas tanah, tangan kiri sudah memegang sarung pedang yang berkembang indah, sedang tangan kanan sudah memegang sebatang pedang yang tipis dan bersinar kemilauan. inilah pedang Si Buntung. Pedang pusaka yang tajam luar biasa, akan tetapi pada ujungnya buntung dan tumpul.
"Hi-hi-hik, sangkamu hanya engkau sendiri yang punya senjata? Lebih baik engkau segera berlutut di depanku dan minta ampun, sebelum pedangku ini marah dan menenggal lehermu!"
ejek Titiek Sariningsih dengan angkuh, ketus dan merendahkan.
Damayanti menggelengkan kepalanya. Bukan main bocah ini, pikirnya. Dalam segala kesempatan, selalu dapat mengejek dan memanaskan perut lawan.
Sawungrana mendelik dan sepasang matanya menyala saking marahnya. Sawungrana tak kuasa lagi membuka mulut, hanya menggeram keras sambil menerjang maju menyabatkan senjata Bandil Eri. Sambil menyabatkan senjatanya Ini, Sawungrana menggerakkan tangan kiri dengan gerakan mendorong, menyalurkan Aji Dahana Muncar, maksudnya sekali serang akan dapat merobohkan lawan muda ini.
"Hayaaaaa.......!"
terdengar lengking Titiek Sariningsih.
Lengking yang nadanya mengejek, dan tubuh gadis Itu sudah melenting ke atas dengan kecepatan yang luar biasa. Sawungrana mengejar lawan yang di udara itu, dengan senjata Bandil Erinya. Senjata itu diputarkan cepat sekali, maksudnya agar lawan tidak mendapat kesempatan untuk melayang turun ke bumi tanpa menderita luka atau mati.
Akan tetapi Titiek Sariningsih tenang saja di udara. Ia berjungkir balik, kemudian pedangnya menyambar
ke bawah. Walaupun ia disambut oleh senjata, ia tidak takut. Pedang Si Buntung yang tajam luar biasa itu, tentu dapat membabat senjata lawan.
"Trang..."
cratt! Aduhhh..!"
Sawungrana terhuyung hampir roboh dengan wajah pucat. Darah merah mengucur dari lengannya yang terbabat buntung sebatas siku.
Ternyata bukan saja pedang Titiek Sariningsih sekali sabat sudah dapat memutuskan rantai baja itu tetapi juga sekaligus telah menyambar lengan kanan Sawungrana sehingga kakek itu buntung lengan kanannya. Untung bahwa gadis ini patuh akan pesan Ki Ageng Purwoto Sidik, yang melarang Titiek Sariningsih melakukan pembunuhan. Maka pedangnya bukan menyambar ke bagian tubuh yang dapat menyebabkan orang mati, tetapi menyambar lengan kanan.
Akan tetapi setelah ia dapat membuntungkan lengan lawan, ia menjadi ngeri sendiri. Sebab lengan Sawungrana yang putus dan menggeletak diatas tanah itu, masih tetap menggenggam hulu senjata.
Untung juga bagi Sawungrana, bahwa gadis yang belum pernah mencelakakan orang ini, menjadi ngeri setelah dapat membuntungkan lengan lawan. Kalau saja hati gadis ini tidak dipengaruhi keadaan itu, bisa jadi Sawungrana akan menderita lebih hebat lagi. Soalnya ialah, bahwa Titiek Sariningsih amat membenci Sawungrana. Benci karena sikap Sawungrana ketika berhadapan dengan Sindu. Orang ini dahulu pernah memukul Sindu hingga muntah darah. Maka sekalipun dirinya dilarang membunuh orang, tetapi tidak dilarang untuk melukai lawan dalam usahanya mencari kemenangan. Mungkin sekali setelah membuntungkan lengan Sawungrana. gadis
ini masih menyabatkan pedangnya ke bagian tubuh yang lain.
Betapa kaget Reksogati melihat peristiwa tak terduga itu. Kakek ini membentak nyaring dan melompat maju, untuk melindungi keselamatan Sawungrana.
'Plakk.....! Aihhh.....!"
Reksogati berteriak kaget dan terhuyung mundur.
"Hiiii-hik, akulah lawanmu!"
Reksogati terbelalak memandang Damayanti seperti tidak percaya.
Benarkah perempuan ini yang tadi telah menyambut serangannya?
Dan mengapa pula perempuan ini tidak menderita sesuatu?
Padahal ia pernah melakukan percobaan. Kekuatan dan kedahsyatan pukulannya sanggup menghancurkan batu sebesar kambing, dan sanggup pula merobohkan sebatang pohon yang cukup besar.
Tetapi mengapa bocah ini bibirnya masih tersenyum senyum?
Reksogati heran bukan main. Ia tadi sudah merasa kagum, bahwa seorang gadis muda sanggup menghadapi Sawungrana, dan malah dapat membuntungkan lengannya. Ternyata sekarang Gadis Berbaju Kuning ini lebih lagi. Malah sanggup menyambut pukulannya.
Jelaslah bahwa sekarang ini, di dunia muncul orang orang muda perkasa, yang akan mendesak angkatan tua.
Apakah keadaan ini begitu saja diterima?
Mau saja angkatan tua didesak dan disingkirkan?
Dibuang seperti sampah dan tidak mempunyai harga lagi?
Tentu saja ia tak gampang mau menerima. Ia memberontak. Desakan orang-orang muda ini harus dilawan dengan kekuatan yang ada.
Reksogati melirik ke arah Sawungrana. Adik seperguruannya itu, walaupun wajahnya agak pucat, namun keadaannya tidak buruk. Dan Sawungrana juga sudah selesai mengobati dan membalut lengannya yang buntung.
Hanya yang diam-diam membuat hatinya menyesal, untuk selanjutnya adik seperguruannya ini harus menderita cacad buntung. Dan oleh buntungnya lengan kanan itu, tentu saja Sawungrana takkan dapat segarang sebelumnya. Dan dia akan membutuhkan waktu yang amat lama untuk melatih tangan kirinya menggantikan tangan kanan yang telah buntung.
Ketika Reksogati melirik ke arah Titiek Sariningsih ternyata gadis itu sekarang telah menyimpan kembali pedangnya. Diam-diam kakek ini heran dan mengilar menyaksikan ketajaman pedang itu, di samping lemas dan dapat disimpan seperti ikat pinggang.
Setelah itu Reksogati mengamati Damayanti penuh perhatian. Katanya,
"Katakan siapa namamu dan siapa pula gurumu? Aku seorang tua, tidak ingin kesalahan tangan membunuh seorang muda yang tak berdosa."
Damayanti tersenyum. Sahutnya,
"Namaku dan siapa pula guruku, tak perlu engkau ketahui. Orang hanya mengenal aku dengan julukan Gadis Berbaju Kuning. Nah, jika engkau suka, boleh juga menyebut aku Baju Kuning."
"Hemm,"
Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Reksogati mendengus dingin.
"Engkau terlalu sombong orang muda."
"Maafkan aku, jangan engkau cepat salah sangka!"
sahut Damayanti dengan sikapnya yang masih sabar.
"Aku harus tunduk kepada larangan perguruan, yang tak dibenarkan memperkenalkan nama sendiri maupun nama guru. Engkau boleh menganggap aku sombong, tetapi semua ini tak mungkin bisa kulanggar."
"Huh! Lekas katakan, apakah maksud kedatanganmu?"
"Maksud kedatangan kami kemari adalah jelas. Kami datang untuk mengusir orang-orang yang tak berhak atas daerah ini."
Mendadak saja terdengarlah suara ketawa Reksogati yang terkekeh.
"Bagus, heh-heh-heh! Kamu orang-orang muda sombong dan tak kenal dalamnya lautan. Hanya bertiga berani masuk ke sarang singa. Apakah kamu sudah bosan _hidup? Huh, aku tidak mempunyai banyak waktu. Majulah berbareng, sekalipun aku sudah tua masih cukup alot !"
"ahhh... sombongnya!" teriak Titiek Sariningsih mengejek.
Damayanti tersenyum. Jawabnya,
"Mari kita coba dulu. Kalau benar aku seorang diri tak sanggup menghadapimu, tak urung dua orang saudaraku akan maju membantu dan mengeroyokmu."
Reksogati mengangkat alisnya yang sudah memutih.
"Hemm. engkau sendiri yang bandel dan tak kenal gelagat. Jangan salahkan aku, jika hari ini harus membunuhmu!"
. "Hemm, tentu saja takkan ada yang menyalahkan. Tetapi sebaliknya apa bila engkau mampus, juga jangan penasaran!"
ejek Titiek Sariningsih.
"Hayo, mulailah!"
kata Reksogati.
Sebagai seorang tua yang masih ingat akan kedudukannya, tentu saja ia merasa malu untuk memulai dan menyerang lebih dahulu.
"Baik !' sambut Damayanti.
"Jaga seranganku !"
Dengan ringan tubuh Damayanti telah menerjang ke depan. Dua tangannya bergerak mendahului, dan angin halus menyambar ke arah lawan. Tangan kiri Damayanti sudah membacok dengan telapak miring ke bahu Reksogati. Kakek itu kaget oleh kecepatan gerak tangan lawan. Namun demikian ia dapat menghindari dengan baik. Akan tetapi kakek ini cepat cepat miringkan tubuh untuk menghindarkan serangan susulan tangan kanan yang mengarah dadanya. Berbareng itu tangannya bergerak seperti kilat cepatnya, untuk mencengkeram lengan.
"Plak......!"
tubuh dua orang itu terhuyung mundur.
Benturan tenaga yang kuat dari laWan membuat Reksogati kaget.
Diam diam kakek ini heran, murid siapakah perempuan ini?
Walaupun muda dan perempuan pula, namun tenaganya hebat sekali tak kalah dengan laki-laki. Kalau saja dirinya tak mengalami, tentu ia takkan percaya.
Dua orang itu setelah terhuyung mundur, untuk beberapa saat berdiam diri, hanya mata masing-masing saling pandang. Lagak mereka seperti dua ekor jago yang sedang berlaga. Masmg-masing mencari kelengahan lawan untuk menyerang.
"Mampuslah!"
teriak Reksogati keras sambil melompat maju.
Dua belah tangannya bergerak cepat. Jari tangannya membentuk semacam cakar burung, menyambar dahsyat ke arah lawan.
Reksogati memang tidak berani sembrono, sekalipun berhadapan dengan lawan muda. Tadi ketika menyaksikan perkelahian antara Sawungrana dan Titiek Sariningsih, kakek ini merasa heran melihat keanehan gerak tangan dan ilmu tata kelahi gadis itu. Gerakannya yang asing dan sulit diduga, membuat Sawungrana beberapa kali terjebak. Maka sekarang dirinya tidak ayal lagi, begitu bergerak sudah menggunakan ilmu simpanannya, ilmu tangan kosong yang bernama Garuda Sakti. Dua tangannya yang membentuk seperti cakar burung itu, sudah bergerak seperti kilat cepatnya, menusuk dan mencakar bagian tubuh lawan yang berbahaya. Namun ternyata semua
serangannya mengenakan tempat kosong, gerakan gadis itu cepat luar biasa tak terduga.
Dalam waktu singkat terjadilah perkelahian yang sengit sekali. Angin dahsyat menyambar sekeliling.
"Plak-plak. ...!"
dua -duanya kembali terhuyung mundur.
Namun sedetik kemudian sudah saling terjang lagi dengan hebat.
Reksogati kaget. Ketika terjadi perkelahian antara Sawungrana dan Titiek Sariningsih tadi, diam diam ia sudah mencatat dalam hati untuk mempelajari. Namun betapa kaget hatinya, bahwa semua serangan lawannya sekarang ini. tiada miripnya dengan ilmu tata kelahi Titiek Sariningsih. Malah ilmu lawannya sekarang ini, bisa dikatakan lebih aneh dan tidak terduga arah serangannya. ,
Mulatsih yang sejak tadi hanya menonton saja, menjadi gatal tangannya. Lebih-lebih apa bila diingat bahwa di antara mereka, dirinyalah yang paling berkepentingan.
Mengapa orang lain sibuk, sedang dirinya sendiri malah berpangku tangan?
Gadis yang kulitnya hitam dan wajahnya jelek ini, kemudian melirik ke arah Kirtaji. Pemuda itu berdiam diri dan asyik menonton perkelahian sengit yang sedang berlangsung.
Mendadak saja meledaklah kemarahan Mulatsih. Ia teringat peristiwa hampir dua tahun yang lalu. Tanpa berdaya, dirinya ditawan, Setelah semua orang kepercayaannya dan para pembantunya gugur dalam perkelahian melawan KirtaJi dan para pembantunya. Masih terbayang akan sikap pembantu Kirtaji yang bernama Prembun yang amat menghina. Dalam keadaan tak berdaya, tangan dan kaki terikat, tangan Prembun amat kurang ajar. Meraba-raba dada dan pahanya. Untung sekali
bahwa wajahnya jelek. Dan ternyata wajahnya yang jelek itulah yang menolong dirinya, yang menyelamatkannya dari kebuasan pembantu Kirtaji menghadapi perempuan. Tiba-tiba Prembun meludahi mukanya sambil mencaci,
"Huh, perempuan jelek macam kau, manakah aku sudi? Di dunia ini tidak terhitung jumlahnya perempuan cantik. Engkau akan aku serahkan kepada anak buahku, untuk permainan."
Kemudian ia dilemparkan ke dalam kamar penjara di bawah tanah. Namun kembali wajahnya yang jelek telah menolong. Sampai dirinya dapat ditolong oleh Damayanti, tidak seorangpun laki-laki berusaha mengganggu dirinya. Diamn diam ia amat berterima kasih kepada Tuhan yang telah menakdirkan wajahnya jelek.
Tetapi kadang pula ia juga menyesal mengapa dirinya tidak diberi wajah cantik?
Kalau tidak seorangpun laki-laki tertarik kepada dirinya, bagaimanakah nasibnya kemudian hari?
Apakah selama hidupnya akan menjadi perawan?
Mulatsih menebarkan pandang matanya ke sekeliling. Ratusan anak buah Kendeng maSih tetap setia, mengurung halaman itu dengan senjata siap di tangan. Akan tetapi ia tidak melihat Prembun yang pernah menghina dirinya.
Karena Prembun yang dicari tidak nampak batang hidungnya, maka tak ada sasaran untuk membalas sakit hatinya lagi, kecuali Kirtaji.
"Sring.......!"
pedangnya telah tercabut dari sarung.
Kemudian sambil melengking nyaring, Mulatsih telah melompat panjang dan menerjang Kirtaji.
Kirtaji kaget dan cepat melompat ke samping menghindari sambaran pedang gadis itu.
"Kurang ajar!"
bentak Kirtaji sambil mendelik.
"Apakah engkau sudah bosan hidup berani menyerang aku? Huh, lupakah engkau, sekali gebrak engkau roboh di tanganku?"
"Tak perlu Banyak mulut!"
bentak Mulatsih.
"Nih, makanlah pedangku!"
Pedang Mulatsih kembali menyambar. Belum juga pedangnya tiba, angin yang tajam telah menyentuh tubuhnya. Diam-diam Kirtaji kaget. Sambaran angin pedang yang kuat itu, membuktikan bahwa gadis wajah jelek ini memang sudah memperoleh kemajuan dalam ilmunya. Sebagai seorang pemuda yang licin dan cerdik, ia selalu berhati-hati. Ia tidak berani gegabah. Maka,
"Sring..!"
Sebatang pedang telah tercabut dari sarung, dan sudah tergenggam dalam tangan kanan.
"Trang-trang......!"
dua batang pedang bertemu dan berbenturan.
Kirtaji kaget ketika dirinya harus terbuyung mundur, sedang pedang di tangan Mulatsih tidak lepas dari tangan. Malah kemudian ia terpaksa harus menggunakan kecepatannya bergerak, ketika tiba-tiba pedang Mulatsih sudah menyambar ke lehernya.
Kirtaji penasaran. Setelah berhasil menghindarkan diri, ia cepat membalas. Pedangnya menyambar dahsyat, dibantu pula oleh tangan kiri yang menggunakan pukulan jarak jauh, yang dilambari Aji Dahana Muncar, ajaran Reksogati.
"Wutt...... trang...... tak......!"
dua-duanya kembali terhuyung mundur.
Namun hanya sedetik terjadi, kemudian mereka sudah saling terjang dengan dahsyat.
Titiek Sariningsih mengamati perkelahian antara Mulatsih dan Kirtaji penuh perhatian. Ternyata walaupun
Mulatsih seperti dirinya yang belum memiliki pengalaman luas, namun gerak serangan maupun perlawanannya mantap dan meyakinkan. Sambaran pedangnya menerbitkan angin yang berkesiutan tajam. Gesit di samping memiliki gerak ilmu tata kelahi yang indah.
Kirtaji yang semula merendahkan Mulatsih menjadi kaget sendiri. Mimpipun tidak, bahwa gadis yang dua tahun yang lalu dengan amat gampang dirobohkan oleh Prembun itu, sekarang sambaran pedangnya amat berbahaya. Bukan hanya sambaran pedangnya yang cepat dan berbahaya, tetapi juga mengandung tenaga yang amat kuat di samping sambaran pedangnya cepat tak terduga dan aneh. Gulungan sinar pedang yang panjang, melingkar-lingkar dan tak pernah putus itu, mengandung semacam tenaga tak nampak yang hebat luar biasa. Mengandung tenaga mujijat yang tak dapat ditembus oleh pedangnya .Seakan merupakan benteng baja yang kokoh kuat dan apa bila menyerang, pedang itu seperti berobah menjadi beberapa batang banyaknya.
Akan tetapi Kirtaji juga bukan seorang lemah. Ia bekas pemimpin Kendeng. Juga ia telah memperoleh gemblengan bersama antara Reksogati dan Sawungrana. Dirinya sudah memperoleh kemajuan yang hebat sekali. Tingkatnya sudah jauh maju. Maka sambaran pedangnyapun bertenaga, bersiutan dengan kecepatan yang luar biasa. Malah tangan yang kiripun tidak tinggal diam. Selalu
membantu gerakan pedangnya dengan pukulan pukulan dahsyat yang mengandung Aji Dahana Muncar yang panas luar biasa.
Dalam waktu yang singkat sudah terjadi perkelahian yang sengit sekali. Dua batang pedang saling menyambar dahsyat. Diseling pula oleh suara berdencing dencing beradunya pedang. Mulatsih yang dilanda oleh dendam kesumat, menggunakan Ilmu Pedang Samber Nyawa secara luar biasa sekali. Setiap sambaran pedangnya tidak tanggung-tanggung, mengarah kepada bagian tubuh yang berbahaya dan dapat mematikan.
"Trang-tring.... Aihhh.....!"
tubuh Kirtaji melompat ke belakang setelah berteriak nyaring saking kaget.
Mimpipun tidak, bahwa sambaran pedang gadis itu yang ia tangkis dengan tenaga kuat, dibantu oleh tekanan pukulan yang mengandung Aji Dahana Muncar, sekalipun berhasil ia tangkis dan menyeleweng, maSih pula dapat menyambar ke arah lehernya. Dan saking tidak pernah menduga datangnya serangan inilah, maka Kirtaji berteriak nyaring sambil melompat mundur.
Akan tetapi gadis berwajah jelek ini sudah dilanda oleh dendam. Ia tak mau menberi hati dan kesempatan kepada lawan bernapas. Ia menghujani serangan-serangan yang amat berbahaya, cepat dan tidak terduga. Kirtaji kaget sekali. Ia terpaksa harus menggunakan kecepatannya bergerak dan mengerahkan seluruh kepandaiannya, barulah ia berhasil menyelamatkan diri dari ancaman pedang Mulatsih yang amat berbahaya. Akan tetapi sekalipun ia dapat menghindarkan sambaran-sambaran pedang lawan yang cepat luar biasa itu, dirinya masih terus ditekan dan didesak oleh sambaran pedang lawan, sehingga ia harus mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mematahkan sambaran pedang yang luar biasa itu,
Ilmu Pedang Samber Nyawa peninggalan dan ciptaan Ki Ageng Selokaton memang amat luar biasa. Sambarannya amat kuat, berbahaya, tetapi juga indah dipandang. Setiap gerak dapat mendesak lawan, sambaran pedang itu sulit sekali dilawan dan dihindari. Makin mendesak
seakan pedang yang hanya sebatang itu, segera berubah menjadi beberapa batang banyaknya, menghujani serangan dari segala penjuru secara tak terduga.
Melihat Kirtaji didesak sedemikian rupa oleh Mulatsih itu,
Titiek Sariningsih yang menonton tersenyum senyum senang di samping bangga. Nyata bahwa gemblengan ayah dan ibu Damayanti tidak sia-sia. Dan ia yakin pula bahwa Mulatsih akan dapat menolong dirinya sendiri mengalahkan orang yang bersalah. Orang yang dahulu telah merebut kekuasaan di Kendeng, dan menjebloskan Mulatsih ke dalam penjara.
Kemudian Titiek Sariningsih mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Ke arah perkelahian seorang lawan seorang antara Reksogati melawan Damayanti. Perkelahian itu walaupun masih bertangan kosong, namun seru dan hebatnya tak kalah dengan perkelahian antara Mulatsih dengan Kirtaji. Angin pukulan dari dua orang itu menyambar-nyamar dahsyat. Tubuh mereka berkelebatan cepat, lenyap bentuknya dan menjadi gulungan sinar pakaian masing masing.
"Plak-plak......!"
Tiba tiba terdengar benturan tangan yang cukup nyaring. Tubuh dua orang itu terhuyung mundur. Namun sesaat kemudian dua orang itu sudah kembali saling serang lebih dahsyat dan lebih berbahaya.
Tegang dan berdebar hati Titiek Sariningsih melihat itu, sekalipun ia percaya akan ketinggian ilmu Damayanti.
Sawungrana yang telah cacad buntung lengan kanannya, juga memperhatikan perkelahian itu dengan jantung berdebar tegang. Ia menjadi heran sekali.
Mengapa hari ini muncul tiga gadis muda hebat luar biasa?
Dirinya sendiri, yang telah puluhan tahun lamanya menyabung nyawa menghadapi lawan berat, hari ini terpaksa harus
menderita cacad buntung lengannya. .Kalau ia menderita begini menghadapi lawan sakti mandraguna adalah masih tidak mengapa. Akan tetapi hanya berhadapan dengan seorang gadis muda, sungguh membuat ia menyesal sekali di samping amat penasaran.
Pada mulanya, ia masih berharap Reksogati dapat mengatasi keadaan, dan dapat pula membalaskan sakit hatinya. Ia bercita-cita, ingin membalas membuntungi lengan gadis cilik itu. Bukan hanya sebelah, akan tetapi dua-duanya.Agar gadis itu menjadi seorang buntung yang tak ada gunanya lagi. Agar gadis itu lebih menderita dari pada dirinya. Akan tetapi sekarang, setelah melihat apa yang terjadi antara Reksogati dengan gadis itu, diam-diam ia menjadi khawatir, kalau hari ini namanya dan nama kakak seperguruannya akan hanCur di tangan orang-orang muda. .
(Bersambung jilid ke 21 ).
*****
NAMUN sesungguhnya bukanlah Sawungrana sendiri yang heran dan khawatir. Reksogati sendiri yang sekarang sibuk melancarkan serangan-serangan dahsyat dan menangkis serangan lawan pula, menjadi heran, marah dan penasaran. Dalam setiap pukulannya, telah dilambari dengan tenaga Aji Dahana Muncar yang mengeluarkan hawa panas luar biasa. Maksudnya adalah untuk menekan lawan yang masih muda ini, agar tidak mampu lagi melakukan perlawanan. Tetapi sungguh di luar dugaan. Hawa panas dari Aji Dahana Muncar itu, seakan punah keampuhannya berhadapan dengan gadis ini. Lawannya yang masih muda itu masih tetap segar, dan tidak menunjukkan tanda-tanda kepayahan. Sambaran tenaga pukulannya juga tidak berkurang, dan seakan hawa panas dari setiap pukulannya malah membalik menyerang dirinya sendiri.
"Hiaaat..."
tiba-tiba terdengarlah lengking nyaring Reksogati.
Dua belah tangannya dibentangkan seperti sepasang sayap burung. Kemudian dengan gerakan yang cepat luar biasa, telah menggunakan jari telunjuk dan jari tengahnya untuk menusuk perut Damayanti. Walaupun tampaknya hanya sambaran jari tangan, namun bahayanya tak dapat diremehkan. Jangan lagi perut manusia yang hanya terdiri dari kulit dan daging,
sekalipun batu yang keras dan batang pohon yang atos, akan dapat ditusuk dengan gampang.
Namun sambaran jari tangan Reksogati itu, hanya disambut oleh senyum Damayanti yang memandang rendah. Dengan kecepatan luar biasa sehingga tidak tampak gerakannya, kaki Damayanti telah menendang. Reksogati kaget sekali dan berusaha untuk menarik kembali tangannya. Akan tetapi walaupun gerakan Reksogati sudah cepat, sambaran kaki Damayanti lebih cepat lagi. Tangan kanan Reksogati masih tersambar juga oleh tendangan kilat gadis itu. Dan hanya berkat kuatnya hawa sakti yang melindungi, lengan itu tidak menjadi patah tulangnya. Meskipun demikiah, peristiwa yang tidak terduga ini membuat Reksogati tambah penasaran. '
Tiba -tiba terdengarlah bentakannya yang menggeledek. Lalu menyambarlah angin pukulan yang dahsyat sekali dari dua tangannya yang menyambar bertubi-tubi. Dan Damayanti terpaksa harus menghindar ke samping guna mematahkan serangan lawan.
"Srat.. wut...!"
Reksogati menggunakan kesempatan di saat lawan menghindar, telah mencabut senjatanya. Sebatang tongkat hitam dan ujungnya dilengkapi dengan kaitan tajam seperti pisau belati yang melengkung. Gerakannya sungguh cepat. Mencabut dan melancarkan serangannya yang pertama seperti bersamaan.
"Trang......!"
sambaran tongkat hitam itu telah disambut oleh pedang yang tiba-tiba saja sudah di tangan Damayanti.
Dua-duanya terhuyung selangkah mundur. Namun sesaat kemudian dua orang itu telah saling serang dengan hebat. Sambaran tongkat yang bertenaga itu bersiutan. Sebaliknya pedang tipis di tangan Damayanti gerakannya juga cepat dan menimbulkan angin yang halus ke arah lawan.
Damayanti insyaf bahwa dalam menghadapi lawan ini tak ia boleh sembrono. Maka gerakan pedangnya dahsyat dan tak kenal ampun lagi. Ujung pedangnya selalu mengarah kepada bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan, sekalipun sesungguhnya ia bukan seorang yang kejam dan suka melakukan pembunuhan.
Sebaliknya sambaran tongkat yang berujung tajam itupun hebat bukan main. Gerakan Reksogati ganas. Sebab Reksogati memang menghendaki, agar cepat dapat membunuh lawan ini, kemudian menyelesaikan lawan yang lain. Pendeknya ia ingin membalaskan apa yang telah diderita oleh Sawungrana, di samping ingin mempertahankan kekuasaannya di Kendeng ini. Ia sudah merasa kerasan dan senang. Ia dapat hidup mulia dan dihormati oleh semua orang di samping ia tidak pernah memikirkan kebutuhan hidupnya sehari-hari. Semua kebutuhannya telah dicukupi oleh anak buahnya. Tidak perduli dengan cara apa mereka mencukupi apa yang ia butuhkan.
Masih untung bahwa baik Reksogati maupun Sawungrana sudah merasa tua. Sehingga sekalipun dirinya dikelilingi oleh wanita,-wanita muda dan cantik, sudah tiada selera lagi melakukan perbuatan maksiat. Yang untung adalah Kirtaji dan para pembantu lainnya. Merekalah yang memanfaatkan perempuan-perempuan yang dipaksa hidup di tempat ini.
"Trang-trang... plak.......!"
terjadi lagi benturan senjata yang cukup nyaring, disusul oleh beradunya dua tangan.
Dua-duanya terhuyung mundur. Reksogati merasa heran sekali. Pukulannya mengandung tenaga dari Aji Dahana Muncar. Mengandung tenaga panas luar biasa. Namun ternyata lawannya tenang-tenang saja, seperti tidak merasakan. Malah diam-diam Reksogati
kaget. Ia merasakan tenaganya sendiri seperti membalik. Dadanya terasa agak sesak. Maka dengan melenking nyaring sekali, ia sudah menyerang lagi dengan tongkatnya. Serangan itu disambut oleh Damayanti dengan perlawanan yang sengit pula, justeru gadis inipun ingin lekas menyelesaikan perkelahian ini.
Di saat dua orang ini kembali berkelahi sengit, terdengarlah pekik Kirtaji yang sangat nyaring. Hampir berbareng Titiek Sariningsih dan Sawungrana berpaling. Titiek Sariningsih terbelalak kaget dan agak pucat. Sedang Sawungrana terbelalak kaget pula, dan wajahnya lebih pucat lagi. Ternyata Kirtaji telah roboh di atas tanah menderita luka yang amat hebat. Lambungnya terluka oleh tikaman pedang, sedang kaki yang kiri telah buntung sebatas paha. Luka itu sangat parah. Sehingga Sawungrana dapat memastikan, bahwa nyawa Kirtaji tidak mungkin tertolong lagi.
Namun ternyata, Mulatsih yang amat mendendam kepada Kirtaji belum juga puas telah berhasil merobohkan lawannya. Gadis berwajah jelek itu melengking nyaring sambil melompat.
"Craak"
aihhh......!"
Pedang Mulatsih secara tepat sekali telah menghunjam dada menembus jantung, dan Kirtaji terbebas dari derita. Nyawanya telah melayang saat itu juga, tanpa sambat lagi.
Kalau Kirtaji menghadapi kematiannya tanpa sambat, sebaliknya Titiek Sariningsih malah memekik tertahan. Ia begitu ngeri melihat akibat dari tikaman pedang Mulatsih. Begitu dada itu tertikam, menyemburlah darah merah seperti pancuran air.
Adapun Sawungrana yang membuat terjadinya peristiwa itu, wajahnya makin tampak pucat lagi dan tubuhnya gemetaran. Habislah harapannya. Dirinya sendiri telah terluka, dan teman tewas.
Mungkinkah kakak seperguruannya, Reksogati dapat mengatasi tiga orang lawan sekaligus?
Walaupun Reksogati sedang bertempur sengit dengan Damayanti, ia sempat pula mendengar pekik Kirtaji tadi, dan dapat menduga pula apa yang terjadi. Akan tetapi dirinya sedang terlibat dalam perkelahian yang amat sengit dengan Damayanti. Ia tak dapat membagi perhatian maupun melirik. Sedikit saja lengah, pasti dirinya celaka.
Tiba-tiba terdengar bentakan Reksogati yang amat nyaring. Berbareng tongkatnya menyambar ganas sekali
"Trang-trang-tring-tring...... !"
Berturut-turut terjadilah benturan pedang dengan tongkat itu. ReksOgati mengerahkan seluruh kepandaiannya. Kakek ini berusaha menekan lawan kuat-kuat, namun usahanya selalu gagal. Perlawanan Damayanti luar biasa. Sambaran pedangnya tetap saja kuat dan bertenaga, seakan tenaga gadis itu tak juga berkurang.
Di saat dua orang ini sedang terlibat perkelahian yang amat sengit, terdengar teriakan Sawungrana yang kaget. Menyusul terdengar teriakan Titiek Sariningsih.
"Jangan!"
Ternyata dalam penasarannya ini, Mulatsih masih belum merasa puas sekalipun telah dapat membunuh mati Kirtaji. Dengan menggunakan pedang yang bernoda darah itu, Mulatsih menerjang ke arah Sawungrana.Untung Sawungrana waspada berteriak kaget sambil melompat jauh. Melihat kekalapan Mulatsih, maka Titiek Sariningsih segera berusaha mencegah sambil menghadang
di depan Mutatsih. Akibatnya sekalipun mendongkol, Mulatsih tak jadi membunuh Sawungrana.
Akan tetapi pengaruh teriakan Sawungrana itu, ternyata menimbulkan kerugian Reksogati. Kakek ini ketika mendengar teriakan Sawungrana lalu berpaling. Hanya sedetik ia memalingkan muka, dan hatinya merasa lega setelah melihat adik seperguruannya itu tidak apa apa. Tetapi sekalipun hanya sedetik, di dalam perkelahian sengit, mempunyai arti yang besar sekali. Gerakan tongkat Reksogati sedikit lambat. Kesempatan ini tak disia siakan oleh Damayanti. Ia cepat menggerakkan pedangnya masuk ke dalam bagian yang tak terjaga. Reksogati kaget, tetapi tidak menjadi gugup.
"Trang ....... brett ..... .!"
Reksogati masih berhasil menangkis sambaran pedang ke arah dadanya. Dan tangan kirinya berusaha mendorong. Namun sebaliknya pedang Damayanti berobah seperti ular hidup. Tangkisan tongkat Reksogati itu benar membuat pedang gadis tersebut menyeleweng. Namun, tidak terduga, ujung pedang Damayanti masih berhasil merobek lengan baju berikut luka memanjang.
Luka tersebut tidak mempunyai arti apa-apa, sekalipun darah merah mengucur dari luka. Namun bagi Reksogati, luka ini merupakan tamparan dan amat memalukan. Reksogati jadi beringas. Mendadak kakek ini melengking nyaring. Gerak tongkatnya sudah berobah, menyambar dahsyat ke beberapa bagian tubuh yang berbahaya. Serangan tongkat Reksogati ini cepat luar biasa di samping menerbitkan angin yang dahsyat.
Tetapi sayang sekali, gerakan Damayanti lebih cepat lagi. Gadis ini sudah melenting tinggi di udara, kemudian berjungkir balik dan pedangnya menyambar.
'Srat.. srat... aduhh... . . _ . ' teriakan nyaring Reksogati, lalu roboh terguling di atas tanah.
Namun kakek ini cepat melompat berdiri lagi dan tongkatnya melintang di depan dada. Wajah kakek ini agak pucat dan pakaiannya bernoda darah merah.
Ternyata sambaran pedang dari udara yang dilakukan oleh Damayanti itu hebat luar biasa dan tidak terduga. Walaupun kakek ini sudah berusaha menangkis dengan tongkatnya, namun tangkisannya luput. Pedang Damayanti meluncur seperti kilat ke bawah. Pundak Reksogati tirtikam oleh pedang secara tepat, sehingga sambungan tulang pundaknya lepas dan patah. Segumpal daging lepas dari induknya, dan darah merah membanjir ke luar dari luka. Masih untung bahwa pundak yang patah tulangnya itu, adalah pundak kiri. Maka setelah dapat berdiri, ia melintangkan tongkatnya guna melindungi diri. Pundaknya terasa amat pedih dan sakit. Namun ia menahan rasa sakit itu dengan menggigit bibir.
Damayanti yang telah berdiri tegak di atas tanah tersenyum memandang Reksogati. Gadis ini tidak melancarkan serangannya lagi. Katanya,
"Sesungguhnya aku tidak mempunyai urusan apa-apa dengan kalian, lebih lebih rasa permusuhan. Akan tetapi karena kalian sudah mencoba untuk mempertahankan kekuasaan tidak syah di sini, terpaksalah aku dan saudara saudaraku menggunakan kekerasan. Hemm, untung bahWa orang yang bertanggung jawab sekarang sudah menebus dosanya sendiri, dan mati terbunuh oleh orang yang paling berkepentingan. Seiring dengan terbunuh matinya orang yang bertanggung jawab ini. maka aku beranggapan bahwa semua urusan sudah selesai. Maka untuk menghindarkan hal-hal yang tidak kami inginkan, aku mengharap agar kalian secepatnya pergi meninggalkan tempat ini."
Halus dan teratur ucapan Damayanti. Namun bagi telinga Reksogati dan Sawungrana, ucapan itu menyinggung perasaan dan menyakitkan hati. Mereka adalah orang tua, sudah kakek-kakek, namun sekarang diusir oleh orang-orang muda. Akan tetapi sebaliknya untuk bersikeras mempertahankan harga diri, juga tidak mungkin. Dalam perkelahian secara jujur dan secara ksatrya mereka sudah dikalahkan.
Dan kalau orang-orang muda ini berwatak ganas, manakah mungkin mereka masih dapat mempertahankan nyawanya lagi?
Dalam keadaan terluka semacam ini, tiada pilihan yang lebih tepat dari pada mengalah. Walaupun sayang akan tempat yang membuat mereka penuh kemuliaan ini harus ditinggalkan sekarang juga. Tetapi sesuai dengan kedudukan mereka sebagai orang tua, yang merasa mempunyai tingkat yang lebih tinggi, tentu saja merasa malu kalau harus meninggalkan tempat ini sebagai orang-orang yang dikalahkan. Maka terdengarlah kata Reksogati yang dingin,
"Hem. sebelum aku dan adikku meninggalkan tempat ini, kenalkanlah namamu dan nama gurumu. Agar kelak kemudian hari. kami tidak dipersalahkan apa bila datang saatnya untuk melakukan pembalasan!"
Damayanti tersenyum. Jawabnya,
"Tentang diriku cukup kalian mengenal dengan Baju Kuning. Sebab selama hidup aku tak pernah mengganti warna baju. Kapan saja kalian menghendaki dan merasa tidak puas dengan yang terjadi hari ini, silahkan kalian datang ke Gunung Wilis. Di sama aku akan menunggu kehadiran kalian. Adapun dua orang adikku ini, yang seorang bernama Titiek Sariningsih, dan mungkin kalian sudah lebih dulu kenal dibanding aku. Sebab Titiek Sariningsih adalah murid adik seperguruan kalian sendiri yang bernama Sindu. Adapun adikku yang seorang ini namanya Mulatsih. Dialah yang mempunyai hak atas bumi Kendeng ini, sebagai warisan dari ayah bundanya."
Mendengar jawaban Damayanti itu, Reksogati hanya mendengus, ia tidak membuka mulut, kemudian mulai melangkahkan kaki dengan kepala tunduk, diikuti oleh Sawungrana.
Sementara itu. semua anak buah Kendeng yang masih tetap mengurung dan membentengi halaman markas besar ini, sadar akan keadaan. Para pemimpinnya sudah dikalahkan orang. Maka tiada pilihan yang lebih tepat lagi, kecuali harus menyerah dan mohon ampun. Maka tanpa diberi aba-aba, mendadak saja anak buah Kendeng itu menjatuhkan diri dan berlutut.
Mulatsih terharu melihat Sikap orang-orang itu. Ia memang tahu, bahwa sebenarnya semua anak buah itu tidak ikut bertanggung jawab. Mereka tunduk kepada Kirtaji oleh karena terpaksa. Sebab apa bila tidak tunduk, niscaya akan dibunuh. Hanya memang di antara anak buah Kendeng itu ada pula yang memang mempunyai watak jahat. Bagi mereka yang benar-benar jahat ini, kemudian hari ia akan bertindak.
"Hai semua orang Kendeng!"
teriak Mulatsih nyaring.
"Jika benar kamu memang setia padaku, lakukanlah kewajibanmu! Aku tahu bahwa tempat ini sekarang banyak dipasang jebakan dan perangkap. Lekas singkirkanlah semua itu!"
Tiba-tiba seorang laki-laki setengah tua, wajahnya berewok, bangkit dan berlarian ke tengah halaman, menghampiri Mulatsih. Begitu tiba di depan Mulatsih, lakilaki itu menjatuhkan diri berlutut. Ketika laki-laki itu mengangkat wajahnya, ternyata berewok pada mukanya telah lenyap. Mulatsih berseru tertahan. Demikian pula Damayanti maupun Titiek Sariningsih. Ternyata muka
berewok tadi hanyalah palsu. Akan tetapi Walaupun sama-sama berseru tertahan, seruan Mulatsih berbeda dengan seruan Damayanti dan Titiek Sariningsih. Sebab Damayanti dan Titiek Sariningsih hanya berseru tertahan karena orang itu memasang kumis dan jenggot palsu, sebaliknya Mulatsih ada hal lain lagi. Setelah laki-laki ini tidak berewok lagi,Mulatsih segera mengenal lagi orang itu.
"Ah kau paman MartaWi!"
seru Mulatsih.
"Bangkitlah!"
"Nona,"
sahut orang yang disebut Martawi ini sambil bangkit berdiri.
'Saya manusia tiada guna. Saya tak dapat melindungi nona, dan malah saya terpaksa harus menyamar dengan kumis dan jenggot palsu. Untuk itu maka saya datang menghadap nona, untuk mendapat hukuman yang setimpal."
Mendengar itu Mulatsih tersenyum. Kemudian katanya,
"Orang yang bersalah tentu memperoleh hukuman yang setimpal. Tetapi sekarang, bangkitlah dan dengarlah perintahku."
Martawi segera pula bangkit berdiri. Kepalanya menunduk tak berani menatap pandang Mulatsih. Namun mulutnya bertanya juga,
"Nona akan memerintahkan apa kepada MartaWi'? "
"Sekarang pimpinlah semua orang untuk melakukan perintahku. Pertama, bersihkan semua alat jebakan dan perangkap. Kedua, bebaskanlah orang-orang yang tak bersalah, dan menderita oleh paksaan Kirtaji. Ketiga, hukumlah mereka yang selama Kirtaji berkuasa, membonceng kekuasaan Kirtaji dengan perbuatan-perbuatan tidak patut."
. "Semua perintah nona akan saya kerjakan."
"Terima kasih. Aku akan masuk ke pendapa dan aku tunggu laporanmu."
Martawi membungkukkan badannya lalu pergi. Mulatsih mengajak Damayanti dan Titiek Sariningsih menuju pendapa. Para perempuan yang masih duduk di tempat, mendadak memberikan sembahnya. Mulatsih tersenyum dan mengangguk. Katanya halus,
"Janganlah kalian takut. Aku datang. adalah sesuai dengan hakku untuk merebut kembali Kendeng ini dari tangan orang yang tidak berhak. Di samping itu akupun akan membebaskan kalian. kalau memang kedatangan kalian di Sini akibat dipaksa. Namun demikian aku akan menerima dengan senang hati kepada kalian yang sudah kerasan di sini. Akan tetapi perlu kalian ketahui, bahwa setelah aku memimpin Kendeng ini, akan segera terjadi perobahan perobahan."
"Baik nona. kami akan patuh,"
sahut salah seorang wanita mewakili teman-temannya.
Tak lama kemudian datanglah tiga Orang wanita yang membawa tiga buah kursi.Kemudian tiga orang gadis ini duduk pada kursi, sambil menunggu hasil kerja Martawi.
"Engkau cerdik juga,"
kata Damayanti perlahan kepada Mulatsih.
"Apa maksudmu ?"
tanya Mulatsih.
"Dengan perintahmu untuk membersihkan semua jebakan dan perangkap. engkau dapat menghindarkan diri dari kecelakaan. Dalam pada itu dengan sikapmu, mempercayakan kepada seorang yang kenal betul akan keadaan di sini akan membuat mereka yang merasa bersalah mati kutu. Mereka yang merasa bersalah dengan sendirinya akan menyingkir. Dan dengan sikapmu ini, sekaligus semua orang akan terpikat karena engkau sudah menunjukkan sikapmu yang bijaksana."
Mulatsih tersenyum. Kenyataannya memang demikian. Ia menginginkan semua orang Kendeng tunduk suka
membantu, justeru dirinya tak mungkin bisa memimpin Kendeng ini tanpa pembantu yang bisa dipercaya_
Hari telah sore namun semua orang Kendeng mengerjakan perintah Mulatsih penuh semangat. Hanya orang-orang baru, yang datang di tempat ini sebagai anak buah Kirtaji dan Prembun, diam-diam mencari kesempatan untuk menyelamatkan diri.
Hanya semalam Titiek Sariningsih menginap di Kendeng. Esok paginya ia sudah minta diri untuk melaksanakan cita-citanya, bertemu dengan orang tuanya sambil mencari gurunya. Mulatsih dan Damayanti berusaha menahan, dan minta agar Titiek Sariningsih lebih lama di Kendeng. Akan tetapi Titiek Sariningsih tak bisa ditahan lagi, sudah terlalu rindu kepada orang tuanya. Penundaan satu setengah tahun lamanya, sudah terlalu lama bagi seorang anak yang rindu kepada ayah bundanya.
Banyak nasihat yang diberikan oleh Damayanti sebelum Titiek Sariningsih pergi. NaSihat ini perlu diberikan, mengingat usia Titiek Sariningsih belum cukup. Hal itu akan dapat membahayakan dirinya pula, sekalipun termasuk seorang dara perkasa. Orang yang bermaksud jahat, bukan ilmunya yang membahayakan, akan tetapi Siasat dan tipu muslihatnya. Atas naSihat-nasihat itu, Titiek Sarininingsih menghaturkan terima kasihnya. Sebab bekal nasihat itu amat berguna bagi dirinya.
Titiek Sariningsih meninggalkan markas Kendeng dengan wajah berseri dan hati gembira. Ia seakan-akan seekor burung muda yang baru bebas dari sarang. Seekor burung yang memperoleh kepercayaan dari induknya untuk mencoba bermain dengan naSib. Hatinya terasa lapang setelah ia menyaksikan keindahan alam bebas. Namun hatinya terasa agak canggung pula. menghadapi hari depan.
Dengan lincah ia berloncatan mendaki dan menuruni perbukitan Kendeng dan menerobos hutan belantara. Tiada sedikitpun kekhawatiran berhadapan dengan bahaya. Ia amat percaya akan kekuatan dirinya sekarang. Yang sanggup menyelesaikan Segala urusan dengan kekuatan sendiri. Diam diam ia membayangkan betapa gembira ayah bundanya nanti setelah dapat bertemu. Dan betapa takjub ayah bundanya apa bila ia telah menceritakan pengalamannya selama ini. Dan ibunya tentu akan merasa heran, mengapa dirinya seorang gadis berani melakukan perjalanan jauh menerobos hutan belantara. mendaki dan menuruni perbukitan sepi.
Tentu ibunya membayangkan, bagaimana mungkin kalau menghadapi seekor harimau yang buas?
Dan untuk membuat ibunya lega ia akan menceritakan sesuatu yang menyenangkan. sesuatu yang menarik, tanpa menyebut tentang perkelahian dan permusuhan. '
Tak lama kemudian tibalah Titiek Sariningsih pada tanah ngarai yang subur. Yang penuh oleh desa menghijau dan sawah berisi tanaman padi. Kadang pula ia harus menyeberangi sungai kecil yang airnya jernih. Ia melihat wajah para bapak dan embok tani mengerjakan sawah dengan wajah berseri. Ia melihat pula puluhan kerbau, kambing dan lembu digembalakan orang pada rerumputan yang menghijau subur. Gembira juga gadis ini melihat semua itu.
Untung bahwa ketika itu, sesuai dengan nasihat Damayanti, ia menggunakan pakaian seperti gadis desa. Hingga perjalanannya seorang diri ini tidak begitu menarik perhatian orang. Sekalipun begitu, karena wajah Titiek Sariningsih terlalu cantik apa bila dibandingkan dengan gadis desa pada umumnya, maka sering pula mata pemuda mengamati penuh perhatian. Akan tetapi gadis ini
tak Perduli
dan terus melangkah tanpa berpaling. Pendeknya apa bila orang tak mengganggu. Dirinyapun takkan mencari keributan. Ia memang cerdik. DI kala sedang lewat di desa atau sawah maupun ladang dan ada orang, ia melangkah biasa saja. Akan tetapi di saat ia menerobos hutan atau jauh dari desa dan orang, ia segera berlarian cepat seperti terbang.
Keinginannya untuk cepat sampai di Tuban, membuat gadis ini tiada selera untuk berseleWengan ke manapun. Tujuan perjalanannya langsung menuju Tuban.
Matahari telah berada di tengah ketika Titiek Sariningsih meninggalkan tanah ngarai, di depannya kembali membentang hutan yang menghijau, dan perbukitan yang sambung-menyambung. Hatinya gembira. Sesuai dengan petunjuk Damayanti apa bila dirinya telah melewati perbukitan ini dirinya akan segera tiba di Tuban, karena tempat itu tak jauh lagi.
Akan tetapi baru saja ia mulai menerobos perbukitan yang penuh hutan belantara itu, Titiek Sariningsih kaget mendengar suara yang mencurigakan. Suara bentakan bentakan nyaring dan terdengar pula dencing senjata. Gadis ini mengerutkan alis sambil memasang telinga.
Benarkah yang didengarnya?
Dari bentakan dan dencing senjata itu, jelas bahwa dalam hutan ini sedang terjadi perkelahian.
Siapakah yang berkelahi?
Mungkinkah di dalam hutan ini terjadi percobaan orang jahat untuk merampok orang lewat?
"Akan kulihat apa yang terjadi!"
desisnya, dan gadis ini sudah melompat menerobos hutan.
Tak lama ia menerobos hutan ini. Tampak olehnya dua orang laki-laki muda dan seorang perempuan sedang mengeroyok seorang laki-laki. Tetapi walaupun dua orang laki-laki dan seorang perempuan itu mengeroyok, namun yang dikeroyok masih tetap garang, sedang tiga orang yang mengeroyok malah menderita kesulitan. Ketika ia memperhatikan, gadis ini kaget berbareng marah. Ia kaget karena mengenal bahwa tiga orang yang mengeroyok itu, adalah Danardono, Danang dan Nuryanti, yang telah dikenalnya. Dan ia menjadi marah karena ia mengenal bahwa laki-laki yang sedang dikeroyok itu adalah Sungsang. Telah dua kali Sungsang mencelakakan dirinya. Pertama ketika dirinya masih berdiam di Banyubiru, dan yang ke dua ketika ia berusaha membebaskan orang-orang yang dikerjapaksakan oleh Gerombolan Kendeng. Entah apa yang diderita, kalau saja ketika itu Damayanti tidak menolongnya. Maka pertemuannya yang tak terduga ini sungguh menguntungkan, dengan demikian ia akan dapat menuntut balas kepada Sungsang.
Ketika itu, masing-masing sudah menggunakan senjata. Sungsang bersenJata pedang melayani sambaran senjata pengeroyoknya. Sedang tiga orang murid Perguruan Sumbing itupun bersenjata pedang. Pedang Sungsang menguasai gelanggang, menyambar-nyambar dahsyat dan ganas.
Hanya setiap menghadapi sambaran pedang Nuryanti saja, gerakannya tidak ganas, malah berusaha menghindarkan pedang tersebut, seakan tak menghendaki gadis itu terluka.
Melihat bahwa tiga orang saudara seperguruan itu kesulitan menghadapi Sungsang, Titiek Sariningsih merasa tidak tega. Ia segera mencabut pedang Si Buntung. Sarung pedang di lengan kiri dan pedang pusaka itu ditangan kanan. Titiek Sariningsih justeru menyadari, bahwa Sungsang itu seorang laki-laki berilmu tinggi karena orang itu bersenjata pedang, maka iapun tidak berani gegabah dalam menolong tiga orang saudara seperguruan itu. Di saat itu justeru pedang Sungsang sedang berusaha mendesak Danardono dan Danang. Sambaran pedangnya amat ganas. Nuryanti berusaha menolong dengan serangan pedang, tetapi pedang itu selalu menyeleweng oleh kebutan tangan kiri Sungsang.
"Trang-trang."... aihh......!"
terdengar dua kali dencingan pedang.
Ternyata pedang Danardono dan pedang Danang telah lepas dari tangan, terbang cukup jauh oleh tangkisan pedang Sungsang yang bertenaga. Danang dan Danardono hanya melompat mundur dengan wajah pucat. Sebaliknya Nuryanti yang khawatir berteriak nyaring.
Melihat gerakannya berhasil, Sungsang terkekeh mengejek,
"Heh-heh-heh, dengan kepandaianmu yang seperti ini, berani melawan aku? Huh, jika tidak ingat kepada gadis cantik ini, tentu aku tak dapat memberi ampun lagi, dan pedangku akan memenggal kepalamu berdua. Tetapi, hem, aku tak mau mengotorkan pedangku dengan darahmu. Yang penting gadis temanmu ini harus menjadi milikku."
Sambil mengucapkan kata-katanya yang terakhir, Sungsang menggerakkan tangan kiri. Beberapa sinar berkeredep menyambar ke arah Danardono dan Danang. Ternyata Sungsang telah menyerang dua orang pemuda itu dengan senjata rahasia pisau terbang yang kecil dan beracun. Danardono dan Danang melompat ke samping dalam usahanya menghindarkan diri dari sambaran pisau terbang itu. Di saat dua orang pemuda itu sibuk menghindari sambaran pisau terbangnya maka Sungsang memutarkan tubuhnya menghadapi Nuryanti.
"Trang... aih......!"
Nuryanti kaget dan pucat wajahnya ketika pedang di tangannya terpental oleh sambaran pedang Sungsang. Maka tak tercegah lagi, saking kagetnya gadis ini menjerit nyaring.
"Heh-hehheh, cah ayu kau harus menurut padaku!"
kata Sungsang sambil terkekeh.
Nuryanti amat ketakutan melihat sinar mata Sungsang yang begitu mengerikan, seperti iblis kelaparan. Namun demikian, sudah tentu Nuryanti dan saudara seperguruannya tidak mau menyerah begitu saja. Cepat cepat Danardono dan Danang melompat dan menyambar pedangnya yang tadi terbang. Adapun Nuryanti menggunakan kecepatannya, berusaha menghindar dari cengkeraman Sungsang yang berusaha menangkapnya.
"Heh-heh-heh!"
Sungsang terkekeh dan makin beringas ketika menyaksikan Danardono dan Danang telah berpedang lagi, berusaha melindungi Nuryanti.
"Huh-huh, agaknya kamu memang sudah bosan hidup. Aku telah berlaku murah. namun kamu tidak mengerti. Nih, makanlah pedangku!"
"Trang-trang...... aihhh.....!"
sambaran pedang Danardono dan Danang yang menerjang maju, dengan gampang telah ditangkis oleh Sungsang.
Dan kali ini Sungsang memang tidak segan-segan lagi. Ia telah mengerahkan tenaganya. Hingga bukan saja pedang Danardono dan Danang terpental terbang. tetapi pedang itu sekarang telah patah menjadi dua potong dan terpental lebih tiga tombak jauhnya. Berbareng dengan patahnya pedang dua orang pemuda itu, terdengarlah pekik Nuryanti yang amat kaget. Diam diam gadis ini menjadi sangat khawatir sekali.
Kalau tadi menggunakan pedang saja mereka' tak juga dapat mengatasi pemuda liar ini, sekarang manakah bisa melawan tanpa senjata?
Menurut wataknya yang ganas, begitu berhasil mematahkan dan mementalkan pedang lawan, Sungsang tentu sudah menggunakan pedangnya untuk membunuh Danardono dan Danang. Akan tetapi tidak lekas dibunuhnya Danardono dan Danang ini, bukan berarti pemuda kejam yang bernama Sungsang itu, sekarang sudah menjadi seorang pemuda baik. Ia sudah mempunyai rencana lain. Ia tidak akan membunuh Danardono dan Danang saat ini juga akan tetapi akan menggunakan jalan yang lebih ganas dan kejam lagi, ia bermaksud membunuh dua orang pemuda itu perlahan-lahan, menggunakan Aji Wisa Naga. Seperti diketahui, setiap orang yang terkena pukulan Aji Wisa Naga, akan menderita keracunan. Si korban akan selalu menderita kedinginan, sekalipun hari panas terik. Dari sedikit, pengaruh dari racun dingin Aji Wisa Naga ini akan membunuh si korban.
Kiranya pembaca masih ingat akan peristiwa menyedihkan, yang menimpa diri Jaka Pekik dan telah diceritakan dalam buku "
JAKA PEKIK". yang memulai cerita "Kisah Si Pedang Buntung"
ini. Waktu itu, Jaka Pekik yang baru berumur 10 tahun, telah diculik oleh Patra Jaya (guru Sungsang), yang telah disiksa dengan pukulan Aji Wisa Naga .Akibatnya Jaka Pekik harus menderita bertahun-tahun, dan hanya oleh keberuntungannya saja dan oleh kehendak Tuhan maka Jaka Pekik tidak mati sebagai korban racun dingin itu. Malah dalam penderitaannya ini, Jaka Pekik secara aneh memperoleh macam-macam ilmu sakti, yang kemudian hari membuat Jaka Pekik menjelma sebagai seorang pemuda sakti mandraguna. . ,
Sungsang sekarang akan meniru gurunya. Ia akan membuat Danardono dan Danang yang ia anggap menjadi penghalang ini, menjadi korban racun dingin Aji Wisa Naga. Ia menginginkan, agar dua orang muda ini mati perlahan-lahan dan tersiksa. Sungsang sudah menyarungkan pedangnya. Lalu berdiri tegak menghadapi tiga orang lawan itu dengan bibir tersenyum mengejek tetapi sepasang matanya menyinarkan keganasan. Hanya setiap ia melihat ke arah Nuryanti saja sinar mata Sungsang berubah menjadi lain. Mata itu bersinar-sinar aneh, yang membuat Nuryanti ngeri.
"Apakah kamu tak juga mau menyerah secara baik baik?"
ejek Sungsang. .
"Huh, manusia busuk!"
bentak Danardono.
"Siapa yang takut padamu!"
"Bagus, heh-heh-heh! Karena kamu tidak bersenjata. lagi, ingin aku lihat sampai di mana kemampuanmu. Lihat. akupun tidak bersenjata!"
Titiek Sariningsih yang menyembunyikan diri tak jauh dari tempat mereka, menjadi khawatir sekali setelah Sungsang menyarangkan pedangnya. Gadis ini sudah tahu sampai di manakah bahayanya kalau Sungsang menggunakan tangan kOsong. Karena pengaruh racun dingin dari Aji Wina Nagajtu, akan membuat korban mati perlahan-lahan dan tersiksa. Berbeda kalau pemuda itu menggunakan pedangnya korban akan segera mati seketika tanpa penderitaan terlalu lama.
Melihat bahaya mengancam itu. ia menyarungkan pedangnya kembali, lalu ia melompat ke luar dari persembunyiannya dan membentak nyaring,
"Hai, tahan!"
Belum juga lenyap suara bentakannya itu, dengan gerakannya yang amat ringan, Titiek Sariningsih telah berkelebat. Kemudian berdiri di depan tiga orang muda Yana terancam bahaya itu, dengan sikapnya yang amat
tenang. Setelah menatap sejenak kepada Sungsang, ia
membalikkan tubuh. Katanya halus,
"Mundurlah kalian.
Biarlah aku yang membereskan manusia busuk ini."
"Kau... adik Titiek......?"
seru Danang agak meragu.
Adapun Nuryanti, begitu mengenal Titiek Sariningsih segera maju untuk memeluk, sambil berkata penuh rasa haru,
"Adik Titiek, biarlah kami membantumu mengeroyok."
Dengan halus Titiek Sariningsih menolak lengan Nuryanti yang akan memeluk. Katanya sambil tersenyum,
"Mbakyu.. sudahlah, kau mundurlah. Nanti setelah aku bereskan manusia busuk ini, kita bisa bicara banyak."
Tanpa menunggu jawaban, gadis ini sudah membalikkan tubuh dan menghadapi Sungsang. Katanya,
"Sungsang! Mengapa engkau tak juga sadar akan kesesatanmu?"
Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar ucapan Titiek Sariningsih yang telah mengenal Sungsang ini, Danardono, Danang maupun Nuryanti heran. Akan tetapi karena Titiek Sariningsih telah memerintahkan supaya mundur, merekapun tidak membantah lagi. Bagaimanapun pula telah terbukti, bahwa sekalipun mengeroyok bertiga, tak juga dapat mereka mengatasi Sungsang. Maka mereka sekarang berharap, mudah-mudahan Titiek Sariningsih dapat mengusir dan mengalahkan pemuda itu. Namun sekalipun mereka telah mundur agak jauh, diam-diam mereka tegang dan khawatir juga.
Mungkinkah gadis muda itu bisa menandingi pemuda sakti mandraguna ini?
Adapun Sungsang terbelalak sejenak, ketika mendengar gadis muda ini sudah mengenal namanya. Dengan Sepasang mata yang bersinar sinar aneh dan jantung berdebar. .Sungsang mengamati Titiek Sariningsih amat
teliti, dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Tiba tiba Sungsang terkekeh gembira. Sepasang matanya tambah aneh sinarnya.
"Heh-heh-heh, sungguh beruntung aku hari ini. Tanpa aku cari engkau telah datang . sendiri, cah. ayu. Ya, aku tahu sayang, tentu engkau tidak pernah melupakan peristiwa itu. Di saat aku akan menolongmu karena luka dalam perkelahian melawan aku. datanglah perempuan pengacau. Uah, adik manis, maafkan kesalahanku waktu itu. Tiada maksudku akan membuatmu menderita. Bukankah aku juga sudah berterus terang ingin mengajak engkau bersenang -senang......?"
"Tutup mulutmu yang busuk!"
bentak Titiek Sariningsih lantang.
Pada mulanya gadis ini memang membiarkan Sungsang membuka mulut. Akan tetapi setelah ucapan Sungsang semakin tanpa aturan, Titiek Sariningsih tidak dapat menahan diri lagi.
"Heh-heh heh, mengapa engkau marah, cah ayu ?"
Sungsang tanpa memperdulikan Titiek Sariningsih yang tersinggung, masih berusaha membujuk gadis cantik inii
"Cah ayu... percayalah padaku, bahwa aku amat mencintaimu. Dan percayalah pula bahwa engkau akan bahagia di sampingku dan menjadi kekasihku. Heh-hehheh, lebih-lebih kalau engkau bersama Nuryanti, sedia menjadi kekasihku......"
"Jahanam busuk !"
teriak Nuryanti yang menjadi marah.
"Siapa yang sudi kepada muka iblismu?"
Namun sebaliknya Titiek Sariningsih tenang-tenang saja. ia ketawa lirih, lalu jawabnya,
"Nah, engkau sudah dengar? Mbakyu Nuryanti sudah berterus terang, siapa yang sudi kepada muka iblismu? Hi-hi-hik, bagimu hanya pantas kalau mencari iblis betina atau wewe gombel."
Mendengar kata-kata Titiek Sariningsih yang begitu meremehkan Sungsang itu, Danang kaget berbareng khawatir. kalau pemuda itu menjadi penasaran.
Mungkinkah Titiek Sariningsih yang masih amat muda itu, sanggup mengatasi?
Karena khawatir, Danang sudah berteriak,
"Adik Titiek, ijinkanlah aku membantu engkau, menghadapi manusia iblis itu."
Titiek Sariningsih memalingkan mukanya. Sahutnya,
"Kakang Danang, jangan engkau khawatir. Jangan lagi hanya seorang iblis macam dia, walaupun ada sepuluh iblis, aku akan sanggup mengusirnya."
' "Bagus, heh-heh-heh! Aku ingin melihat sampai di mana ketinggian ilmunya, berani menantang Sungsang yang sakti mandraguna."
Tidak mengherankan kalau Sungsang mengucapkan kata-kata seperti ini. Satu setengah tahun yang lalu dengan gampang ia telah mengalahkan gadis ini. Maka sekarangpun ia merasa pasti, dengan gampang pula akan dapat menangkap Titiek Sariningsih hidup-hidup. Kalau saja dalam waktu satu setengah tahun Titiek Sariningsih memperoleh kemajuan, dirinyapun memperoleh kemajuan cukup hebat. Setelah ia ditinggal mati oleh gurunya ia merasa tanpa pelindung lagi. Maka pemuda ini tak pernah mengabaikan nasihat gurunya di kala masih hidup, agar selalu melatih diri secara tekun.
Tentunya para pembaca maSih ingat, bahwa Sungsang waktu itu ikut dalam persekutuan Rara Inten, Wongso Dipo dan yang lain, untuk menghadang rombongan perahu Ratu Wandansari yang diboyong ke Surabaya, setelah kawin dengan Pangeran Pekik. Akan tetapi di Tuban pemuda ini tak kuasa menahan hatinya, begitu melihat banyaknya murid Perguruan Tuban yang cantik.
Sungsang berhasil menculik dua anak murid Perguruan Tuban, bernama Ratmi dan Sukarni. Tanpa kesulitan ia berhasil memikat Ratmi sehingga menyerah. Namun Sukarni tetap menolak sekalipun ia sudah menggunakan berbagai macam ancaman. Dan celakanya pula, kemudian muncullah Sindu yang mengganggu, melarikan Sukarni. Maka tanpa dapat berkutik. Sungsang terpaksa harus puas hanya memperoleh Ratmi saja.
Akan tetapi dasar watak Sungsang memang ketularan gurunya. Ia merupakan seorang laki-laki mata keranjang, dan yang ganas terhadap wanita, di samping gampang sekali bosan. Oleh sebab itu taklah mengherankan apa bila Ratmi hanya memperoleh kebahagiaan selama dua bulan saja, sebagai kekasih Sungsang. Selewat waktu itu, Sungsang sudah tidak tertarik lagi kepada Ratmi. Masih untnug bagi Ratmi, bahwa Sungsang tidak mengakhiri hubungan kasihnya itu melalui jalan pembunuhan seperti yang biasa dilakukan. Entah mengapa sebabnya, ketika itu Sungsang tidak tega membunuh Ratmi. Hanya secara licik, ia telah meninggalkan Ratmi dalam salah sebuah hutan.
Setelah berpisah dengan Ratmi, pemuda ini ingat akan keadaan dirinya. Ia harus mencari tempat yang baik, guna melatih diri dan mematangkan ilmunya. Akan tetapi celakanya ia seorang pemuda yang telah terlanjur bejat moral. Dalam mengasingkan diri untuk melatih ilmu ini, ia selalu digoda oleh bayangan wajah cantik. Membuat ia tidak bisa berlatih secara tekun. Ia banyak pergi guna menuruti nafsu berahinya yang sesat, mencari mangsa baru. Sebagai akibatnya, dalam waktu satu setengah tahun ini, ia tidak banyak memperoleh kemajuan.
Namun karena satu setengah tahun yang lalu ia merobohkan Titiek Sariningsih dengan gampang, maka sekarang inipun ia percaya, takkan sulit mengalahkan Titiek Sariningsih.
Titiek Sariningsih tersenyum. Sikapnya tetap tenang.
"Sungsang. Engkau menghendaki berkelahi dengan tangan kosong ataukah menggunakan senjata?"
"Uah...
sombongnya!"
tak tereegah lagi Sungsang
yang terhina, sudah mencela.
Tetapi walaupun mulutnya berkata begitu, hatinya sangat gembira. Tantangan ini justeru menguntungkan dirinya.
Manakah mungkin gadis semuda ini akan bisa menandingi tenaganya?
Maka sambil menyeringai, Sungsang menyahut,
"Bagus, mari kita coba bermain-main dengan tangan kosong."
Titiek Sariningsih tetap tenang sikapnya.
"Hi-hi-hik, aku tahu sebabnya engkau mengajak berkelahi dengan tangan kosong. Bukankah engkau mengandalkan akan kekuatan tenaga dan ampuhnya Aji Wisa Naga?"
Kaget juga Sungsang mendengar ucapan Titiek Sariningsih ini.
Mengapa gadis ini tahu dirinya memiliki Aji Wisa Naga yang ampuh itu?
Akan tetapi Sungsang segera ingat bahwa gadis muda ini adalah murid Sindu. Tentu saja sebagai murid Sindu, sudah diberi bekal pengetahuan tentang Aji Wisa Naga. Dari kaget Sungsang menjadi gembira. Ia menyeringai. Kemudian jawabnya mengejek,
"Heh-heh-heh, engkau takut kepada Aji Wisa Naga? Hemm, Aji Wisa Naga memang amat berbahaya bagi lawan yang aku benci. Akan tetapi untuk melawan engkau, manakah tega aku menggunakan aji itu ?"
"Hihi-hik, sombongnya! Jangan lagi hanya Aji Wisa Naga. Walaupun engkau maSih memiliki Aji Kentut Busuk, manakah mungkin ada gunanya melawan aku ?"
Sungsang mengangkat alisnya, dan sepasang,mata
yang liar itu menyinarkan api kemarahan. Bentaknya.
"Kurang ajar! Janganlah engkau memancing kemarahanku!"
"Marahlah! Siapa takut ? Gunakan semua ajimu. Aku takkan mundur setapakpun!"
Kalau Sungsang seorang pemuda licik, licin dan penuh tipu muslihat, sebaliknya Titiek Sariningsih adalah seorang gadis yang cerdik. Gadis ini dapat menduga apa yang terpikir oleh Sungsang. Pemuda bejat moral ini tentu berusaha menahan diri, untuk tidak menggunakan Aji Wisa Naga. Sebab takut kalau membuat lawan tak mampu menahannya. Padahal Sungsang seorang pemuda yang tak sanggup melihat wajah cantik. Maka tentu berusaha dapat mengalahkan lawan tanpa terluka sedikitpun. Kalau sampai terjadi demikian, ia harus banyak membuang waktu berkelahi dengan pemuda ganas ini. Sebaliknya kalau ia mengejek dan memancing, Sungsang yang ganas itu takkan tahan. Kemudian tanpa ragu-ragu lagi, menggunakan Aji Wisa Naga yang amat dibanggakan keampuhannya itu.
Ternyata Sungsang yang ganas ini, tak tahan oleh ejekan orang. Walaupun sesungguhnya ia amat tertarik akan kecantikan Titiek SariningSih, namun dirinya takkan berdiam diri direndahkan orang.
Sungsang menyeringai.
Hatinya memutuskan, biarlah gadis cantik ini tahu bahwa Aji Wisa Naga tak dapat dibuat main-main. Dengan menggUnakan Aji WiSa Naga ini, akan berarti pula mempercepat robohnya Titiek Sariningsih.
Apakah pengaruh dari Aji Wisa Naga tidak akan membahayakan jiwa gadis ini?
Bagi orang lain memang berbahaya. Tetapi dirinya telah diberi bekal pengetahuan dan latihan yang cukup untuk memunahkan pengaruh Aji Wisa Naga itu. Jadi kalau menghendaki, dirinya dapat mengobati korban Aji Wisa Naga.
"Hemm, engkau menantang aku dengan Aji Wisa Naga? Bagus! Mari kita
mulai main-main, adikku sayang! Dan engkau akan segera merasakan sampai di mana keampuhan Aji Wisa Naga."
"Mulailah!"
tantang Titiek Sariningsih tanpa gentar sedikitpun.
"Hati-hatilah, adikku sayang. Sekali tersentuh tanganku, engkau tentu menderita kedinginan. Tetapi, hehheh-heh, jangan engkau khawatir, manisku. Asal saja engkau menyerah baik-baik. aku akan segera mengobati dan memunahkan pengaruh Aji Wisa Naga."
"Hi-hi-hik, tak usah menyombongkan diri. Lihat saja, apakah Aji Wisa Naga yang engkau banggakan itu ada faedahnya menghadapi aku?"
"Awas pukulan!"
Sungsang yang tersinggung dan penasaran, tak kuasa lagi menahan rasa penasarannya, ia sudah menerjang maju dan langsung menggunakan Aji Wisa Naga.
"Plak.... plakk..!"
Dua telapak tangan bertemu di udara. Ternyata begitu Sungsang melompat ke depan sambil memukulkan tangan kanan dan kiri berturut-turut, Titiek Sariningsih segera pula melompat maju untuk menyambut pukulan itu.
Nuryanti yang khawatir sekali menekap mulutnya agar tidak mengeluarkan jeritannya. Adapun Danang dan Danardono hanya dapat memandang dengan mata terbelalak penuh kekhawatiran.
Mengapa Titiek Sariningsih begitu gegabah berani menyambut serangan Sungsang?
Akan tetapi ternyata kekhawatiran mereka itu tidak beralasan. Begitu terjadi benturan dua telapak tangan, terdengar seruan tertahan dari mulut Sungsang. Dan tubuh pemuda itu terhuyung buyung sampai lebih lima
langkah ke belakang. Wajah pemuda itu tiba -tiba berubah agak pucat, dan pada ujung bibirnya tampak darah merah yang mengalir.
Titiek Sariningsihpun terhuyung mundur. Akan tetapi hanya dua langkah ke belakang, dan hal inipun terjadi untuk memunahkan sebagian tenaganya sendiri yang membalik. Kalau ia memaksa diri, tenaga yang membalik itu akan membahayakan diri sendiri. Setelah berdiri tegak, wajah gadis ini tidak mengalami perubahan. Wajahnya tetap tenang seperti sebelum terjadi benturan
tenaga. sedang dada gadis inipun bernapas seperti biasa.
Kecil tubuh dan lengan Titiek Sariningsih, dan halus pula telapak tangan gadis itu. Namun bentuk tubuh dan kehalusan kulit bukanlah menjadi ukuran kekuatan tenaga seseorang. Titiek Sariningsih sekarang jauh bedanya dengan satu setengah tahun yang lalu. Semua ini terjadi, berkat bimbingan dan petunjuk Ki Ageng Lumbungkerep. Bukan saja ilmu tangan kosong yang bernama Cleret Taun menjadi matang akan tetapi Ilmu Pedang Mahesa Kurda, Sudah menjiwai gadis ini.
Dalam hal tenaga saktipun, Titiek Sariningsih memperoleh kemajuan pesat. Sebab ia dibimbing dan digembleng oleh seorang yang benar benar ahli tentang ilmu warisan Ki Ageng Purwoto Sidik. Sesuai dengan keadaan Titiek Sariningsih sebagai seorang gadis yang serba halus, maka tenaga sakti yang telah manunggal dengan Titiek Sariningsih, adalah tenaga lunak. Tenaga yang memiliki sifat dingin. Akan tetapi di samping Titiek Sariningsih telah berhasil mengendalikan tenaga sakti yang sifatnya dingin ini, iapun memiliki tenaga keras yang sifatnya panas. Ialah tenaga sakti dari Aji Dahana Muncar. sebagai murid tunggal Sindu.
Tadi ketika telapak tangan yang kiri berbenturan dengan telapak tangan Sungsang, maka dari telapak tangan gadis itu menyambarlah hawa sakti yang amat dingin. Sungsang kaget ketika tenaga pukulannya seperti hilang lenyap, dan telapak tangan gadis itu sangat lunak. Tenaganya sendiri yang sifatnya dingin itu membalik, membuat Sungsang agak kaget. Tenaga dingin yang membalik itu amat kuat, sehingga rasa amat dingin meratai sekujur tubuhnya. Di saat Sungsang agak kaget ini, telapak tangannya yang kanan memukul. Pukulannya disambut oleh lawan. Akan tetapi Sungsang menjadi kaget sekali.
Dugaannya keliru!
Sekarang telapak tangan kanan gadis itu bukan lunak seperti telapak tangannya yang kiri. Telapak tangan itu keras sekali seperti baja, dan hawa yang sangat panas menyambar dahsyat.
Padahal tenaga pukulan Sungsang sifatnya dingin. Maka sambaran hawa yang amat panas ini, di samping mengejutkan juga membuat Sungsang menderita. Sudah dirinya terpental oleh kekuatan yang dahsyat, masih ditambah hawa yang amat panas itu mendesak tenaganya yang dingin, sehingga membuat dadanya terguncang, sesak dan darahnya bergolak. Sungsang sudah berusaha menahan pergolakan darahnya dengan berusaha menelannya. Namun usahanya kurang dapat berhasil. Masih tampak pula darah merah mengalir ke sudut bibir.
Melihat Sungsang menderita luka, Titiek Sariningsih tidak menginginkan pemuda ini terlalu menderita. Ia tidak mau melancarkan serangannya lagi, melainkan berdiri tegak sambil tersenyum. Pantangan dari Ki Ageng Purwoto Sidik tak pernah diabaikannya. Dengan macam alasan apapun, dirinya tidak boleh melakukan pembunuhan. Maka Titiek Sariningsih merasa sudah cukup apabila dapat mengusir pemuda ini, dan tidak mengganggu tiga orang murid Perguruan Sumbing itu.
Melihat apa yang baru terjadi, tiga orang saudara seperguruan itu ternganga keheranan. Mereka hampir tidak percaya akan pandang mata mereka sendiri. Seakan mereka dalam mimpi.
Mengapa Titiek Sariningsih sanggup beradu tenaga dengan Sungsang?
"Sungsang."
kata Titiek Sariningsih dengan tetap halus,
"dengarlah nasihatku. Lekaslah enyah dari sini, dan hentikanlah perbuatanmu yang sesat!"
Apa yang diucapkan oleh Titiek Sariningsih ini, sesungguhnya keluar dari hati yang suci. Muda usianya Titiek Sariningsih, akan tetapi gadis ini jiwanya telah matang setelah mendapat pendidikan Ki Ageng Lumbungkerep. Ia menjadi seorang gadis yang cukup memiliki kesabaran dan pandangan luas dalam menghadapi setiap persoalan.
Akan tetapi kalau Titiek Sariningsih tahu, bahwa Sungsang inilah pemuda ganas yang sudah membunuh ibunya secara kejam. sehingga membuat dirinya yatim piatu, mungkinkah Titiek Sariningsih masih dapat menyabarkan diri dan dapat mengampuni Sungsang?
Adakah gadis ini dapat mematuhi pantangan Ki Ageng Purwoto Sidik yang melarang kepada muridnya melakukan pembunuhan?
Titiek Sariningsih justeru merupakan manusia seperti yang lain. Manusia yang biasanya mementingkan diri sendiri. Yang selalu mendekatkan kepada "aku"
dan "iba diri". Yang akibatnya pula, segala sesuatu Selalu diukur dengan kepentingan dan keuntungan diri. Dan sebagai akibat ke-aku-an dan iba diri ini pula, kemudian manusia di dunia saling berlomba mengumpulkan harta benda dan kekayaan, tanpa perduli menindas dan memeras orang lain. Manusia menjadi lupa, bahwa hidupnya didunia ini ibarat hanya Singgah (mampir) untuk minum, lupa bahwa perjalanan manusia maSih amat jauh dengan tujuannya. Lupa bahwa setelah mampir minum di dunia ini, bakal hidup lebih lama lagi "di sana".
Kalau demikian, mengapa manusia tidak memupuk bekal menuju ke tempat tujuan itu dengan "amal guna lain manusia?
Mengapa mengotori hidupnya dengan macam perbuatan yang tidak baik!
Begitulah, maka Sungsang sekarang inipun, yang merasa dirugikan oleh Titiek Sariningsih, menjadi marah dan penasaran. Ia bukannya menjadi sadar oleh nasehat Titiek Sariningsih, tetapi malah merasa terhina dan direndahkan. Satu setengah tahun yang lalu, dirinya dengan gampang mengalahkan Titiek Sariningsih.
Apakah sekarang dirinya tak mampu mengalahkan gadis muda ini?
Sungsang sekarang berpendapat, bahwa apa yang dideritanya sekarang ini, bukan lain'karena kurang hati hatinya sendiri. Ia tadi terlalu memandang rendah kepada Titiek Sariningsih. Sehingga ketika memukul, ia tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Dan berakibat, dirinya harus terluka dalam. Sama sekali tidak disadari oleh Sungsang, bahwa ia beruntung tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Kalau saja ia tadi berbuat begitu, mungkin dirinya akan menderita luka parah, atau mungkin jiwanya sudah melayang. Sebab semakin ia mengerahkan seluruh tenaganya, tenaga yang membalik dan menyerang dirinya akan menjadi lebih kuat lagi.
The Heroes Of Olympus 5 Darah Olympus Blood Of Olympus Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Wiro Sableng 147 Api Di Puncak Merapi
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama