Ceritasilat Novel Online

Lolos Dari Maut 1

Lolos Dari Maut Karya Widi Widayat Bagian 1


12 DISCLAIMER
Kolektor E-Book adalah sebuah wadah nirlaba bagi
para pecinta Ebook untuk belajar, berdiskusi, berbagi
pengetahuan dan pengalaman.
Ebook ini dibuat sebagai salah satu upaya untuk
melestarikan buku-buku yang sudah sulit didapatkan
dipasaran dari kpunahan, dengan cara mengalih
mediakan dalam bentuk digital.
Proses pemilihan buku yang dijadikan abjek alih
media diklasifikasikan berdasarkan kriteria kelangkaan,
usia,maupun kondisi fisik.
Sumber pustaka dan ketersediaan buku diperoleh
dari kontribusi para donatur dalam bentuk image/citra
objek buku yang bersangkutan, yang selanjutnya
dikonversikan kedalam bentuk teks dan dikompilasi
dalam format digital sesua? kebutuhan.
Tidak ada upaya untuk meraih keuntungan finansial
dari buku-buku yang dialih mediakan dalam bentuk digital
ini. Salam pustaka!
Team Kolektor Ebook3
LOLOS DARI MAUT
LOLOS DARI MAUT
KARYA WIDI WIDAJAT
Sumber buku: ADITYA INDRAJAYA
Kontributor: AWIE DERMAWAN
Editor: BUDI WIBOWO
First In Share KOLEKTOR EBOOK4
I . BUAJA DARAT
Ketika itu tjuatja sudah gelap. Seorang penunggang kuda
mematju kudanja tjepat sekali menerdjang djalan berdebu sebelah
selatan desa Plaosan. Agaknya penunggang kuda itu kuatir tidak
menemukan desa dan mendapatkan tempat menginap malam ini.
Ia masih muda. Tubuhnja tegap, kokoh dan wadjahnya
tampan. Pakaiannya singsat dan pada pinggang kirinja tergantung
sebatang pedang pandjang. Akan tetapi baik wadjah maupun pakaian
pemuda itu tampak kotor, agaknja sepandjang hari ia telah mematju
kudanja pada djalan-djalan berdebu.
Ketika desa Plaosan tampak menghidjau di depannja, wadjah
pemuda itu tampak tjerah. Ia berharap agar di desa ini bisa bertemu
dengan seorang jang baik hati dan sedia memberikan tempat
menginap dan mengaso malam ini. Ia telah merasa penat sepandjang
hari duduk di atas punggung kudanja.
Tak lama kemudian ia mulai masuk ke desa itu lewat djalan
jang sempit. Ia melontjat turun dari punggung kuda, kemudian sambil
menuntun kudanja itu ia berdjalan perlahan-lahan. Ja, apa jang
dilakukannja sekarang ini untuk mendjaga hal-hal jang tak
diharapkan. Agar penduduk desa jang diharapkan bantuan
penginapan malam ini tidak menganggap sebagai pemuda jang tidak
mengenal kesopanan dan kurang bisa menempatkan diri.
Tak djauh di depannja tampak pagar tembok jang tinggi
membatasi pekarangan. Ia tertarik dan timbullah keinginannja untuk
minta belas kasihan pemilik rumah ini, agar suka memberi tempat
penginapan.5
Pagar tembok itu mempunjai pintu gerbang jang lebar, tetapi
tertutup. Tetapi ia melihat seorang laki-laki setengah umur berdiri
dengan sikapnja jang gagah. Sambil berdiri orang laki-laki tersebut
memilin-milin kumisnja jang hitam dan lebat, seakan amat bangga
memiliki kumis jang menambah kegarangannja serta kegagahannja
itu. Sambil membungkuk memberikan hormatnja, pemuda itu
bertanja halus dan sopan. "Paman, saja seorang jang sedang
melakukan perdjalanan. Karena kemalaman, apakah kiranja saja
dapat mohon pertolongan untuk berteduh malam ini?"
Laki-laki itu mengamati dengan pandangan mata jang tjuriga.
Beberapa saat kemudian djawabnja angkuh: "Huh, di sini bukan
rumah penginapan, tahu?! Tjarilah jang lain."
Pemuda itu terkedjut mendapat djawaban jang kasar dan
angkuh itu. Apabila laki-laki itu mau mendjawab dengan sopan, ia
tentu segera pergi mentjari jang lain. Tetapi dengan djawaban jang
kurang adjar ini, menjebabkan hatinja tidak senang, karena merasa
dihinakan. Namun demikian, sekalipun hatinja tersinggung, ia masih
bisa menahan diri dan katanja sabar:
"Paman, sajapun insjaf bahwa rumah ini bukan penginapan.
Akan tetapi mengingat tjuatja sudah gelap dan tak mungkin
meneruskan perdjalanan pada waktu malam, maka sudilah paman
memberikan belas kasihan barang semalam. Atas pertolongan
paman aku jang hina ini amat berterima kasih."
"Huh... huh, djangan banjak mulut!" bentak laki-laki itu.
"Meskipun aku bukan pemilik rumah ini, tetapi aku berhak untuk
menolak permintaanmu itu. Sudah, sudah. Lekaslah pergi!"
Berbareng dengan selesainja bentakannja itu, tiba-tiba ia
mengajunkan tindjunja memukul muka pemuda itu.
"Kurang adjar!" katanja dalam hati.6
Dengan gerakannja jang sebat tangan kanannja bergerak
menjambar, kemudian ditekan ke bawah. Tahu-tahu tubuh laki-laki
berkumis tebal itu sudah terlempar sedjauh dua tombak dan
terbanting. Ia tak tjepat bisa bangun, sedangkan mulutnja
menjeringai seperti menahan sakit. Beberapa saat kemudian si kumis
itu bisa merangkak bangun, lalu dengan mata mendelik berteriak:
"Hai, kau menggunakan ilmu siluman."
Pemuda itu tersenjum. Ia tahu bahwa laki-laki berkumis ini
hanja bentuk lahirnja sadja jang garang, tetapi sebenarnja seorang
laki-laki jang kosong. Karena itu tak mau melajani, lalu katanja:
"Sudahlah paman, jang penting aku membutuhkan penginapan.
Sekarang tolonglah, beritahukanlah kepada tuan rumah."
Bagaimanapun pula, sesudah dengan gampangnja pemuda itu
melemparkan dirinja, ia gentar. Namun demikian ia tidak tjepat pergi,
malah bertanja: "Tuan bisa mengalahkan aku dengan gampang.
Tetapi kalau menghadapi orang jang lebih kuat, apakah tuan
sanggup?"
Pemuda itu agak heran mendengar perubahan sikap orang itu
jang tidak kasar itu. Tetapi jang lebih heran lagi mengapa orang
berkumis itu menjinggung orang jang lebih kuat. Apakah maksudnja?
Karena bingung dan tak bisa menduga maksud orang, pemuda itu
hanja tersenjum dan beberapa saat kemudian djawabnja: "Orang
seperti engkau ini, sekalipun berdjumlah lima puluh orang, bagiku tak
ada artinja. Apakah engkau akan mengundang djagomu?"
Tidak bisa disalahkan kalau pemuda ini mendjadi tersinggung
oleh pertanjaan itu. Karena ia masih amat muda, sehingga setiap jang
meremehkan tjepat membuat hatinja tersinggung. Maka tanpa
sesadarnja sudah menjombongkan diri.
Akan tetapi sebaliknja laki-laki berkumis itu malah tampak
senang. Sesudah mengamati beberapa saat lamanja, katanja: "Djika7
begitu, baiklah. Sekarang tunggulah di sini aku mau melapor kepada
madjikanku."
Mendengar kata-kata itu, baru tahulah bahwa laki-laki ini
bukan pemilik rumah. Ia menunggu di depan pintu gerbang itu sambil
bertanja-tanja dalam hati, untuk menduga maksud kata-katanja
tentang orang jang lebih kuat tadi. Apakah tuan rumah sendiri jang
dimaksudkan? Memperoleh pikiran demikian hatinja berdebardebar. Ia tak ingin menanam permusuhan kepada siapapun, mengapa
tadi sudah lantjang tangan membanting orang? Diam-diam ia
menjesal sudah terlandjur ringan tangan.
"Ah, daripada aku harus berkelahi tanpa alasan di sini, lebih
baik aku pergi sadja!" pikirnja.
Tetapi belum djuga ia beringsut dari tempatnja, laki-laki
berkumis tadi sudah berlarian datang. Kemudian dengan sikapnja
jang menghormat, katanja: "Madjikanku mempersilahkan tuan
masuk. Dan kuda tuan ini, serahkanlah kepadaku. Tuan tak perlu
kuatir, esok pagi kuda tuan tentu lebih segar."
Pemuda itu ragu-ragu. Namun demikian ia menjerahkan
kudanja, kemudian melangkah melewati halaman jang luas. Di
depannja tampak rumah jang besar, dan rumah muka (pendapa) itu
diterangi dengan lampu gantung jang besar.
Diam-diam ia siap siaga menghadapi segala kemungkinan.
Siapa tahu kalau sikap laki-laki berkumis jang berubah ramah itu
merupakan siasat untuk membuatnja lengah.
Ketika hampir tiba di pendapa itu, seorang laki-laki setengah
umur muntjul dari pintu rumah belakang. Kemudian dengan
langkahnja yang agak tergesa ia menjambut dan dengan kata-katanja
jang sopan mempersilahkan: "Mari tuan, silahkan masuk. Tadi Karta
sudah memberitahukan bahwa tuan bermaksud menginap di sini.8
Baik, baik, djika tuan sudi menginap dalam rumahku jang kotor ini,
sungguh menjenangkan."
Pemuda itu mendjadi heran atas sikap tuan rumah jang sopan
ini. Maka dengan gugup ia memberikan hormatnja, lalu djawabnja:
"Terima kasih bapak, terima kasih. Tetapi sebenarnja aku jang hina
tak berani mengganggu bapak. Hanja karena aku kebetulan sampai di
desa ini dan tjuatja sudah gelap, terpaksalah aku memberanikan diri
untuk mohon belas kasihan bapak barang semalam."
"Tidak apa tuan, tidak apa. Mari, mari silahkan duduk."
Dengan ramahnja tuan rumah itu mempersilahkan duduk.
Kemudian katanja lagi: "Namaku Martadirja. Tuan datang dari mana,
mau kemana dan nama Tuan?"
Ia agak gugup. Barulah sadar sekarang, bahwa tadi belum
memperkenalkan namanja. Karena itu djawabnja sopan: "Namaku
Handaka, orang tuaku bertempat tinggal di Tulungagung. Saat
sekarang ini bapa, aku bermaksud menudju Mataram untuk sesuatu
keperluan."
Martadirja tampak terkedjut. Katanja. "Ah... mengapa begitu
djauh? Padahal..."
Martadirja menghentikan katanja sendiri, ketika melihat
sebatang pedang jang tergantung pada pinggang Handaka. Pada
mulanja ia akan berkata bahwa perdjalanan sedjauh itu banjak
bahajanja. Tetapi sekarang melihat pedang itu, terusnja: "Ah, benar
sadja ajah tuan tega melepaskan tuan berdjalan djauh. Tuan seorang
djago muda jang tak akan takut bahaja di djalan."
Melihat muka Martadirja jang mengutjapkan kata-katanja
setjara djudjur, Handaka tersenjum, lalu djawabnja sopan dan
merendah: "Bukan bapa, bukan djago. Hanja karena melakukan
perdjalanan djauh, maka aku membawa sendjata pedang ini. Sebab9
bersedia pajung sebelum hudjan lebih menguntungkan dari pada
tidak sama sekali."
Martadirja tertawa. Katanja lagi: "Tetapi setidak-tidaknja tuan
pertjaja kepada kekuatan sendiri. Kalau tidak, taklah mungkin orang
semuda tuan ini berani pergi djauh."
Ketika itu Karta masuk ke pendapa dengan membawa
penampan berisi air teh dan hidangan ringan. Lalu diatur di muka
Martadirja dan Handaka. Dengan amat ramahnja Martadirja
mempersilahkan Handaka minum dan makan. Tetapi sesudah itu,
untuk beberapa lama Martadirja tak berkata apa-apa. Ia
menundukkan kepalanja, kemudian menghela nafas berat.
Handaka terkedjut. Ia mengamati tuan rumah dan lebih
terkedjut lagi ketika melihat wadjah Martadirja berubah mendjadi
keruh. Perubahan wadjah dan helaan nafas jang berat itu,
memberitahukan kepadanja bahwa sesungguhnja tuan rumah
sedang dalam keadaan gelisah dan kuatir, seakan sedang menunggu
sesuatu jang menakutkan.
Sekalipun umurnja baru sembilan belas tahun, tetapi Handaka
seorang pemuda tjerdik, terdidik dan sedjak masih ketjil sudah dididik
mendjadi seorang ksatria jang ringan hati dan ringan tangan
membela keadilan dan membela si lemah dari tindakan sewenangwenang dari si kuat. Maka taklah mungkin ia berdiam diri
menghadapi orang dalam ketakutan.
Apa pula sekarang ini ia sebagai tamu. Sedang tuan rumah
pun sudah membuka pintu rumah, menjediakan tempat penginapan.
Maka merupakan kewadjibannja pula untuk menolong dan
meringankan beban tuan rumah.
"Bapa," Handaka memetjah kesunyian. "Bersediakan bapa
berterus terang, adakah sesuatu jang bapa tjemaskan? Djika benar,
apa sebabnja?"10
Martadirja mengangkat kepalanja. Ia menatap Handaka
sesaat, lalu menunduk kembali dan menghela nafas. Kemudian
sambil tetap menunduk djawabnja seperti menjesali diri sendiri: "Ah,
memang amat sajang bahwa aku jang tua ini kalah djauh dari tuan.
Njatanja tuan melakukan perdjalanan djauh tanpa rasa takut dan
kuatir. Padahal aku, di rumah sendiri tjemas, kuatir dan takut."
Handaka makin tjuriga menjaksikan sikap tuan rumah dan
mendengar djawabannja itu. Oleh kata-kata tuan rumah itu Handaka
segera menarik kesimpulan, bahwa tuan rumah sedang dalam
kesukaran. Maka tidak bisa tidak ia harus meringankan beban tuan
rumah dengan bekal kemampuannja jang ada.
"Mengapa bapa takut?" desak Handaka.
"Kalau aku seperti tuan, kiranja tak akan takut," djawab
Martadirja sambil mengangkat mukanja, memandang Handaka
dengan muka jang tjemas. "Sajang sekali aku seorang laki-laki bodoh,
lemah dan hanja tahu tangkai patjul dan buntut badjak. Hem...
sajang..."
"Bapa, aku jang rendah ini bersedia berbuat seberapa bisa.
Apakah bapa diantjam musuh?" desak Handaka lagi.
Tiba-tiba terdengar sambung Karta: "Den lurah, tamu kita ini
hebat. Djika den lurah minta bantuannja, kiranja tidak
mengetjewakan."
Handaka berpaling. Ternjata orang berkumis itu duduk pada
sudut pendapa, dan tentunja menjaksikan pula madjikannja jang
dilanda ketakutan dan ketjemasan itu.
Begitu mendengar sambung Karta ini, Handaka segera ingat
akan sikap orang berkumis itu ketika menjambut kedatangannja. Tadi
malah menjebut-njebut orang jang lebih kuat. Djelaslah sekarang
bahwa orang jang dimaksud tadi, tentu orang jang ditakuti tuan
rumah ini.11
Agaknja Martadirja tergerak pula hatinja mendengar
andjuran Karta itu. Sesudah menghela nafas berat lagi, katanja lirih:
"Tuan, malam ini tjalon menantuku akan berkundjung.
Kedatangannja itulah jang membuat aku tjemas dan takut."
Handaka heran. Bukankah aneh tjalon mertua takut akan
kundjungan tjalon menantu? Karena itu Handaka tjepat bertanja:
"Mengapa bapa takut? Apakah tjalon menantu bapa itu mempunjai
seorang musuh, dan musuh itu mengantjam akan datang kesini?"
"Bukan, bukan begitu!" sahut Martadirja. "Jang benar, baik
aku maupun Marni sendiri, tak suka kepada tjalon menantu itu..."
"Mengapa bapa terima djuga?" potong Handaka. "Djika bapa
menolak, siapakah jang akan memaksa dan mengganggu gugat?"
"Ja, begitulah jang berlaku di dalam masjarakat," kata
Martadirja. "Tetapi apa jang terdjadi sekarang ini lain. Ja, lain sekali.
Bukan sadja aku jang tjelaka ini tak berani menolak, malah apapun
jang dikehendaki aku tak berani melawan."


Lolos Dari Maut Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Martadirja berhenti, menghela nafas lagi, dan sesaat
kemudian landjutnja pula: "Ja... tak berani menolak dan melawan
kehendaknja. Malam ini dia akan datang. Dan malam ini pula dia
minta agar Marni menjediakan dirinja sebagai isteri, sekalipun belum
dinikah..."
"Apa?" Handaka terkedjut. "Dimanakah ada aturan sematjam
itu? Seorang wanita baru mendjadi isterinja, kalau laki-laki sudah
menikahinja."
"Ja, itulah jang berlaku di dalam masjarakat. Tetapi dia
membikin aturan sendiri. Dan... dan aku tak mempunjai modal untuk
menolak dan berani melawannja..."
"Bapa!" teriak Handaka marah. "Djika bapa tak berani
melawan, biarlah aku jang hina ini mewakili bapa dan keluarga."12
"Djangan! Di seluruh Magetan ini tak seorangpun berani
melawan Djlamprang. Tuan... bukannja aku tak pertjaja akan
kemampuan tuan. Tetapi... tuan adalah tamuku..."
"Bapa!" teriak Handaka lagi. "Dalam kedudukanku jang
bagaimanapun aku tak akan bisa membiarkan berlangsungnja
kesewenangan dan bertindak liar. Dan djika semua orang tidak
berani, biarlah aku jang mentjobanja."
Sesungguhnja Martadirja merasa ragu dan tidak pertjaja akan
kemampuan tamunja jang masih bocah ini. Karena meragukan itu, ia
tak bersedia menerima bantuannja. Soalnja ialah, kalau Handaka tak
mampu mengalahkan Djlamprang, buntutnja bakal pandjang dan
menjedihkan. Bukan sadja tamunja ini akan mati, tetapi dirinja sendiri
dan keluarganja terantjam maut pula. Padahal ia masih ingin hidup,
maka memilih mengorbankan anaknja, sekalipun sesungguhnja
peristiwa itu tidak dikehendaki.
Akan tetapi sekarang, menjaksikan sikap tamunja jang
bersungguh-sungguh dan mendesak pula itu, semangatnja
terbangun. Ia ingat harga dirinja sebagai laki-laki jang tidak harus
menjerah begitu sadja menghadapi kesukaran. Djika pemuda jang
diharapkan bantuannja ini sampai gagal, iapun akan melawan dan
mati.
Memperoleh semangatnja kembali itu, kata Martadirja:
"Baiklah djika tuan bersedia, dan untuk itu aku hanja bisa
mengutjapkan terima kasih dan mohon perlindungan Tuhan."
"Aku akan datang kesana!" kata Handaka penuh semangat.
"Biarlah paman Karta menjertaiku sebagai penundjuk djalan."
"Djangan! Amat berbahaja! Tuan akan dikerojok dan bisa
tjelaka. Belum lagi si Djlamprang sendiri jang terkenal sebagai
seorang dukdeng."
Jang dimaksud dukdeng itu, seorang jang kebal akan sendjata.13
Mendengar keterangan Martadirja bahwa orang jang
bernama Djlamprang kebal, Handaka terkedjut dan timbullah
kekuatirannja gagal melindungi keselamatan keluarga ini. Ia memutar
otaknja beberapa lama. Tiba-tiba ia mendapatkan suatu akal jang
amat bagus. Kemudian ia berbisik kepada Martadirja. Dan Martadirja
manggut-manggut. Katanja: "Bagus, akal tuan memang amat bagus.
Baiklah aku setudju dengan akal tuan."
Demikanlah mereka segera mempersiapkan diri menunggu
kedatangan Djlamprang. Walaupun hatinja masih agak ragu-ragu,
tetapi Martadirja berusaha menenangkan hati dan mentjoba untuk
membuat wadjahnja berseri-seri agar bisa menarik hati tjalon
menantunja.
Sedang Karta beberapa kali memasang telinga dan
mendjenguk ke pintu gerbang. Sekalipun demikian tak urung hatinja
berdebar djuga. Sebab ia tahu bahwa Djlamprang seorang buaja
darat jang sudah terkenal tanpa tanding di seluruh Magetan. Jang tak
segan-segan membunuh orang dan tak kenal belas kasihan lagi.
Akhirnja apa jang dinantikan dengan hati berdebar itu tiba
djuga saatnja. Terdengarlah suara derap kuda dalam djumlah delapan
ekor. Karta tjepat-tjepat membuka pintu gerbang lebar-lebar
kemudian minggir agar tidak tertabrak. Sedang Martadirja jang duduk
di tengah pendapa menantikan dengan tjemas, buru-buru melontjat
dari tempat duduknja untuk menjambut tjalon menantu jang amat
ditakuti itu.
Rombongan kuda itu terus masuk ke halaman, kemudian
berlontjatan dari punggung kuda di depan pendapa. Dengan sigapnja
mereka segera menambatkan kuda-kuda itu pada pohon-pohon di
halaman. Dari sedjumlah delapan orang itu jang tidak menambatkan
kuda hanja seorang sadja, dan langsung masuk ke pendapa.14
Orang itu bertubuh tinggi besar, gagah, berkumis tebal,
hidungnja besar sedang matanja berkilat-kilat. Dia inilah buaja darat
jang amat ditakuti orang di daerah Magetan. Dialah Djlamprang.
Begitu masuk katanja lantang: "Ha ha, ajah mertua, maafkanlah anak
datang agak terlambat. Dan manakah Marni? Mengapa tidak tampak
menjambut tjalon suaminja?"
Martadirja menggangguk sambil menelan ludah. Lalu
djawabnja: "Maafkan aku anak, kiranja engkau sendiri maklum
bahwa umumnja gadis itu malu-malu menjambut tjalon suaminja.
Mari anakku, silahkan duduk."
Djlamprang ketawa bekakakan, kemudian duduk pada tempat
jang ditundjuk oleh Martadirja. Lalu disusul oleh anak buahnja, jang
duduk berderet di belakang Djlamprang.
Sesaat kemudian Karta tampak datang dengan membawa
penampan berisi hidangan. Martadirja tahu bahwa buaja darat
Magetan ini seorang djagoan minum arak. Maka dengan tangannja
sendiri ia segera menuangkan arak ke dalam sloki, kemudian
diberikan kepada Djlamprang sambil tersenjum dibuat-buat. Katanja:
"Terimalah arak dari ajah mertua untuk tjalon menantu jang mulia."
Djlamprang menjambut sloki arak itu dengan ketawa
bekakakan lagi, merasa gembira sekali mendapat pudjian dan
penghormatan dari tjalon mertuanja: "Terima kasih ajah..."
Sambil mengembalikan sloki arak, katanja: "Ajah, bukan tjalon
mantu! Bukankah sedjak malam ini aku akan menginap dan mulai
memperisterikan Marni? Ha ha ha ha! Di manakah Marni sekarang?"
Martadirja jang takut mendjawab gugup: "O... ja, ajahmu jang
keliru. Ja bukan tjalon menantu... tetapi sudah mendjadi
menantuku..."
"Dimanakah dia sekarang?"
"Oh... oh di dalam kamarnja..."15
"Aku sudah amat rindu. Ha ha ha ha, aku akan menemuinja
sekarang djuga ajah, dimana kamar Marni?"
"Sabarlah anak, marilah kita nikmati dulu suguhan ajah ini
bersama orang-orangmu. Bukankah Marni pasti mendjadi isterimu?
Mengapa tergesa?"
Djlamprang tertawa lagi. Lalu djawabnja: "Ja, ja, tetapi Marni
jang manis itu membuat aku tak bisa tidur dan selalu terkenang sadja.
Ha ha... bukankah itu sudah biasa?"
Kata-kata Djlamprang itu sesungguhnja memuakkan setiap
jang mendengarnja. Martadirja pun muak mendengar kata-kata itu.
Sebaliknja orang-orang Djlamprang tertawa-tawa dan saling berbisik
mengutjapkan kata-kata kotor. Ja, mereka memang buaja-buaja
darat jang buas dan sewenang-wenang, maka taklah mengherankan
apabila kata-kata kotor itu malah sedap bagi telinga mereka.
Hidangan jang disuguhkan untuk orang-orangnja Djlamprang
itu dalam waktu singkat sudah diserbu ludes. Untuk memberikan
kegembiraan kepada pengikut Djlamprang ini, Martadirja segera
memerintahkan kepada Karta untuk mengadjaknja ke rumah
samping. Ternjata di dalam rumah samping itu memang disediakan
sebagai tempat menginap mereka, dan hidanganpun sudah diatur
sedemikian rupa dalam djumlah banjak, sehingga membangunkan
selera mereka.
Sesudah pengikutnja pergi ke rumah samping, Djlamprang
makin merasa leluasa. Ia menggerajangi hidangan itu lahap sekali,
dan di samping itu arakpun makin banjak membasahi
kerongkongannja. Pengaruh arak menjebabkan mulut ringan bitjara,
dan otakpun tidak normal lagi. Karena itu ia segera mendesak lagi,
agar segera diberitahukan dimana Marni tidur. Martadirja jang
tjemas dan takut-takut itu tak lagi mempunjai alasan untuk berdalih
dan menunda-nunda waktu. Karena ia tahu benar, apabila16
memberikan matjam-matjam alasan, buaja darat Magetan ini bisa
marah, dan ia malah tjelaka.
Oleh sebab itu sekalipun dalam hatinja tidak rela anaknja
diperisterikan oleh Djlamprang, ia terpaksa harus menjerah dan
merelakan Marni mendjadi korban. Semua itu bukan lain hanjalah
untuk bisa menjelamatkan keluarganja dari malapetaka.
Ia mengamati Djlamprang jang mukanja sudah merah dan
bitjaranja ringan, pertanda buaja darat ini sudah agak mabuk. Dengan
hati jang berdebar-debar karena menguatirkan keselamatan anaknja,
Martadirja mengidjinkan mengantarkan Djlamprang masuk ke dalam
rumah dan menudju kamar Marni. Kamar itu tertutup dan dari dalam
tidak nampak sinar penerangan sedikitpun. Menjaksikan itu
Djlamprang ketawa berkakakan. Katanja:
"Ajah, ternjata Marni seorang gadis jang benar-benar pemalu,
tetapi djuga pandai benar menundjukkan bakti dan kasihnja terhadap
suami. Ah, tak salah aku memilihnja. Isteri jang demikian tentu
membahagiakan suaminja. Baiklah, aku akan segera masuk dan
menemui Marni, ajah."
"Ja, masuklah!" sahut Martadirja dengan hatinja jang
berdebar-debar. Kemudian tjepat-tjepat menjingkir dan mohon
perlindungan kepada Tuhan, agar anaknja selamat tak kurang suatu
apa, dan berhasillah Handaka jang berusaha menolongnja.
Sedang Djlamprang dengan kasarnja sudah mendorong pintu
kamar. Ja, bagi seorang laki-laki buaja jang mengandalkan kekuatan
dan ditakuti orang ini, tak perlu lagi mematuhi adat dan kesopanan
jang berlaku dalam masjarakat. Jang penting asal kehendaknja
terwudjud.
Begitu masuk di dalam kamar, ia segera menghirup bau jang
harum semerbak, sehingga hidungnja kembang kempis dan nafsu
binatangnja menggelora menjesak dada. Ia membuka matanja lebar-17
lebar dengan maksud bisa membiasakan matanja di tempat gelap,
agar bisa mengetahui di manakah Marni berada.
"Marni, kamarmu harum dan menjenangkan. Engkau
memang seorang gadis pilihan dan pandai memikat suami. Eh eh,
dimana engkau?"
Ia memasang telinga, tetapi tiada djawaban jang terdengar
dan kamar itu sepi.
"Marni," panggilnja lagi. Lalu katanja: "Ah, djika setiap malam
engkau main sembunji begini, aku akan repot. Marni! Marni! Engkau
dimana?"
Tak ada djawaban jang terdengar. Tetapi, ia mendengar suara
halus bergeraknja pembaringan.
Djantung Djlamprang berdegup. Pikirnja: "Ah, ternjata Marni
sudah mendahului di tempat tidur."
Ia membuka matanja lebar-lebar. Karena sudah agak lama di
dalam kamar jang gelap itu, matanja agak bisa meihat sesuatu di
dalam kamar. Samar-samar tampaklah di balik kelambu jang tipis itu,
seseorang duduk.
"Siapa lagi kalau bukan Marni?" pikirnja.
Maka dengan hati berdegup terpengaruh oleh nafsu birahinja,
ia tjepat-tjepat menjingkap selambu dan menubruknja untuk
memeluk gadis manis idamannja itu, sambil tertawa lirih. Katanja:
"Ah, sudah lamakah engkau menunggu aku di sini?"
Akan tetapi pada saat tangannja hampir memeluk Marni, si
gadis itu mengulur tangannja dan dengan dua djarinja telah menotok
djalan darah pada dada. Gerak totokan itu tjepat sekali, dan dalam
gugup dan terkedjut Djlamprang berkelit. Gerakan Djlamprang tjepat,
tetapi gerakan djari perempuan itu lebih tjepat lagi. Akibatnja djalan
darah di bawah iganja tersenggol dan saat itu djuga Djlamprang
kesemutan seperti lumpuh. Untunglah ia seorang djagoan dan18
disegani seluruh orang di Magetan. Dalam terkedjut ia masih dapat
bertindak tjepat, lalu melompat mundur sambil berteriak:
"Hai! Mengapa engkau Marni? Kau..."
Tetapi sebelum kata-katanja selesai, perempuan jang duduk
di atas pembaringan itu sudah menjusul melompat dengan gesit, lalu
dengan djari tangan kirinja sudah menjerang lagi ke arah mata
Djlamprang. Sedang tangan kanannja dengan gerakan kilat sudah
mentjekik leher Djlamprang. Bentaknja: "Rasakan sekarang laki-laki
buaja!"
Djlamprang kaget! Karena suara jang terdengar itu djelas,
suara jang berat, suara laki-laki. Sadarlah Djlamprang bahwa orang
jang duduk di balik kelambu dan disangka Marni itu, seorang laki-laki.
Djlamprang marah sekali dan dadanja hampir meledak. Sebab
dalam hatinja di samping rasa marah, timbul pula rasa tjemburunja.
Ia menduga bahwa Martadirja sudah berbuat tjurang. Telah
menjerahkan Marni kepada laki-laki lain, dan sekarang sudah tidur
bersama Marni.
Hatinja amat gemas berbareng mendongkol. Marah
berbareng panas. Setjepat kilat ia merendahkan tubuhnja
menghindari tubrukan orang, dan berbareng itu kaki kanannja sudah
menjerampang. Bentakannja menggelegar: "Kau siapa?? Engkau tjari
mampus berani kurang adjar kepada Djlamprang?!"
Akan tetapi orang itu tak mendjawab sepatahpun, mundur
selangkah, kemudian dengan gerakan kilat tangannja menjambar
perut Djlamprang.
Tetapi Djlamprang seorang djagoan jang disegani orang di
Magetan. Ia seorang sakti mandraguna, tak gampang-gampang
diserang orang. Sekalipun ia bertubuh tinggi besar, tenaganja kuat,
dapat bergerak tjepat pula. Tetapi sebagai akibat totokan jang tadi
telah diterimanja, gerakannja terpengaruh djuga. Untuk19
memunahkan serangan ini, untuk berkelit tiada waktu lagi. Maka
pilihan satu-satunja tangannja diulurkan untuk menangkap
pergelangan lawan.
Tjelakanja lawan jang dihadapi sekarang ini bukan seorang
jang lemah pula. Ia tahu bahwa Djlamprang akan menangkap
tangannja, maka sebelum tangan buaja itu sempat melaksanakan
maksudnja, sambil tertawa mengedjek sudah bergerak gesit sekali,
dan tahu-tahu sudah berdiri di belakang Djlamprang. Tjepat laksana
kilat tangannja sudah menjambar tengkuk.
Namun demikian Djlamprang tak gampang diselomoti lawan.
Ia tjepat menundukkan kepalanja menghindari pukulan lawan, dan
berbareng itu sudah memutar tubuhnja sambil mendjedjakkan
kakinja ke belakang. Sambaran kaki itu mengarah selangkangan
lawan. Ia bertenaga kuat, maka djedjakannja itu apabila sampai
mengenakan lawan akibatnja akan hebat sekali. Paling sedikit akan
menimbulkan luka jang amat berat. Sebab tempat itu merupakan
bagian tubuh jang lemah.
Tetapi sajang sekali bahwa orang jang dihadapi sekarang ini
seorang jang dapat bertindak gesit dan litjin. Dalam bahaja tidak
mendjadi gugup. Walaupun di belakangnja itu tembok dan untuk
melontjat ke belakang tak mungkin lagi, ia tak kurang akal. Ia
melenting tinggi, sehingga kaki Djlamprang membentur tembok.
Lalu terdengarlah benturan jang keras sekali, dan gentenggenteng rumah tergetar oleh kerasnja djedjakan Djlamprang.
Tembok itu bobol sebagian, tetapi tak urung buaja darat ini njengir
kesakitan.
Sebelum Djlamprang dapat berbuat apa-apa, tangan orang itu
sudah menjambar mukanja. Untung Djlamprang tidak lengah dan


Lolos Dari Maut Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tjepat-tjepat mengangkat tangannja untuk menangkis. Orang itu tak
berani membenturkan tangannja, menghindar ke samping sambil20
berkata mengedjek: "Djika aku mau mengambil djiwamu,
gampangnja seperti membalik tangan. Tetapi engkau tentu akan mati
penasaran. Marilah kita sekarang keluar untuk mengukur tenaga,
siapa jang lebih kuat!"
Sudah tentu tantangan itu menggembirakan Djlamprang.
Djawabnja tjepat: "Bagus! Marilah kita tjoba. Djika engkau berani
menghadapi aku setjara terang-terang, itulah baru djantan."
Orang itu bukan lain Handaka jang menjanggupkan diri untuk
melindungi Martadirja. Ia tjepat melompat keluar lewat djendela
kamar. Gerakannja amat ringan dan gesit sekali.
Diam-diam Djlamprang terkedjut dan kagum menjaksikan
gerakan jang ringan dan gesit itu. Tetapi segera djuga menyusul
melompat keluar untuk menerima tantangan orang. Ketika tiba di
luar, ternjata pada halaman samping jang sempit itu telah terpasang
lampu jang tjukup terang. Oleh sinar lampu itu ia dapat melihat
setjara djelas bahwa lawannja itu seorang pemuda belia jang masih
hidjau.
Menjaksikan seorang pemuda jang berani kurang adjar itu,
semangatnja terbangun. Bentaknya lantang: "Hai! Siapa kau?
Bukalah mata dan telingamu lebar-lebar bahwa Marni tjalon isteriku.
Mengapa engkau berani kurang adjar dan mengganggunja?"
Handaka tertawa. Djawabnya: "Huh! Baru tjalon engkau
sudah akan berbuat seperti suami! Sungguh tak tahu malu!"
"Apa?!" damprat Djlamprang marah. "Engkaulah jang tak
tahu malu! Engkau sendiri masuk di dalam kamar Marni sebelum
menikah. Huh-huh!"
Handaka menjambut dengan ketawanja jang bekakakan.
Katanja: "Huh-huh, engkau mengukur badju sendiri. Sebagai laki-laki
sedjati aku tak akan berbuat serendah itu. Aku Handaka dari
Tulungagung, tak kan dapat membiarkan engkau berbuat sewenang-21
wenang dan mengandalkan kekuatan. Itulah sebabnja malam ini aku
mentjampuri urusanmu."
"Ha ha ha ha!" Djlamprang tertawa berkakakan. "Bagus,
bagus sekali! Ternjata engkau djago undangan tuan rumah. Hem,
engkau berani mendjual lagak di Magetan. Bukalah mata dan
telingamu lebar-lebar, siapakah aku ini? Inilah Djlamprang, seorang
djago tanpa tanding di Magetan. Apakah engkau akan mengantarkan
njawamu botjah sombong?!"
"Ja, akupun sudah mendengarnja. Engkau seorang buaja
darat jang buas melebihi binatang buas!"
Djlamprang tertawa lagi berkakakan. Katanja sombong: "Djika
engkau sudah tahu, mengapa tak segera pergi sebelum njawamu
melajang?"
"Hem, engkau amat sombong sekali. Sesungguhnja aku ingin
mengampuni engkau. Tetapi dosamu sudah bertumpuk-tumpuk dan
banjak menimbulkan keonaran."
Bukan main marahnja Djlamprang mendengar kata-kata
pemuda jang amat merendahkan ini. Ia seorang djago tanpa tanding
di Magetan telah dihina seorang muda. Tanpa banjak mulut lagi ia
menggerakkan tangan kanannja untuk mendjotos muka lawan.
Sebelum pukulannja tiba, angin pukulannja sudah mendahului,
pertanda bahwa tenaganja amat kuat.
Akan tetapi Handaka seorang pemuda gemblengan. Ia
menghadapi serangan itu dengan ketenangan luar biasa. Ia
mengangkat tangan kirinja untuk menangkis dan berbareng itu
menggeser kepalanja ke kiri. Gerakan itu disusul dengan djari tangan
kanannja menjamber setjepat kilat ke arah djalan pernafasan di
bawah tenggorokan.
Serangan itu mengejutkan Djlamprang, karena memang sulit
dihindarkan. Tetapi ia seorang djago tua jang amat terkenal di22
Magetan. Di dalam bahaja ia tidak kekurangan akal. Ia tjepat
merendahkan kepalanja dan berbareng itu membuka mulutnja untuk
menggigit tangan lawan.
Handaka jang tak pernah menduga pembelaan lawan setjara
itu djadi terkedjut dan tjepat menarik kembali tangannja seraja
membentak. "Hai! Kau ini manusia atau binatang?!"
Akan tetapi Djlamprang tidak mendjawab dan tak perduli.
Setjepat kilat ia mengajunkan dua belah tindjunja. Tindju kanan
memukul dada dan tindju kiri memukul kempungan. Baik tjara
membela diri dengan mulut maupun menjerang dengan dua tindju
ini, merupakan ilmu kebanggannja jang diandalkan dan beberap kali
telah mendjatuhkan lawan. Maka sekali inipun ia merasa pasti bahwa
lawan jang masih muda itu akan segera roboh dan mampus.
Kehebatan pukulan Djlamprang ini bukan sadja bertenaga
besar dan angin pukulannja sudah menjentuh lawan sebelum
pukulannja tiba. Dan hebatnja lagi berbareng dengan memukul ia
membentak keras dilambari tenaga sakti dalam tubuhnja.
Menjebabkan genteng-genteng jang tak djauh dari situ tergetar
seperti keterdjang angin ribut.
Sesungguhnja Handaka masih muda dan kurang pengalaman.
Pukulan sematjam itu asing dan belum pernah dilihatnja. Namun
demikian ia tak tjepat mendjadi bingung dan gugup. Ia selalu ingat
akan pesan ajahnja, bahwa setiap menghadapi lawan kuat harus
berlaku tenang.
Demikanlah pertempuran itu tjepat mendjadi sengit. Masingmasing mengerahkan seluruh kepandaiannja untuk mengatasi lawan.
Handaka menang muda, menang gesit dan menang tjerdik. Sebaliknja
Djlamprang jang bertenaga raksasa ini menang kuat dan
berpengalaman. Maka pertempuran itu amat mendebarkan hati dan
menegangkan. Martadirja jang mengintip pertempuran itu diam-23
diam kuatir dan mohon perlindungan Tuhan. Ia insjaf, apabila
Handaka gagal merobohkan buaja ini, tak urung ia sekeluarga
terantjam bahaja maut.
Ia memang seorang desa jang tak mengenal ilmu tata kelahi.
Jang diketahuinja hanjalah buntut badjak dan tangkai patjul. Maka
tidaklah mengherankan kalau amat kuatir menjaksikan perkelahian
jang sengit itu. Padahal apabila ia tahu, tak usah merasa kuatir
menjaksikan perkelahian itu. Sebab sesungguhnja Handaka sekarang
menang di atas angin.
Kalau Martadirja tjemas dan kuatir, sebaliknja Djlamprang
jang terdesak hebat mendjadi bingung. Ia mengandalkan tenaganja
jang kuat seperti raksasa, tetapi tjelakanja lawan selalu
menghindarkan benturan tenaga dan menggunakan kegesitannja.
Sebagai akibatnja napasnja kembang kempis dan tak kuasa mengikuti
gerak lawan.
Karena merasa tak kuasa mengimbangi lawan, ia mendjadi
bingung. Dalam bingung dan kuatir itu tiba-tiba ia teringat kepada
anak buahnja. Lalu teriaknja sambil terus melawan: "Hai Kliwon!
Rebo! Mengapa kamu tak tjepat datang ke sini?! Tjepat. Tjepatlah
datang kemari. Bantulah aku!!"
Akan tetapi begundal-begundal Djlamprang tak seorang pun
jang mendjawab. Ia berteriak lagi dan lagi, tetapi tak djuga terdengar
suara djawaban seorang pun.
Menjaksikan kebingungan Djlamprang itu, Handaka tertawa.
Katanja mengedjek: "Ha ha... tak usah ribut. Begundalmu sedang
enak tidur dan mimpi. Mengapa kau berteriak-teriak?!"
Kata-kata Handaka itu tidak salah. Tadi antara Handaka dan
tuan rumah sudah bersepakat untuk mentjampurkan obat tidur di
dalam arak jang disuguhkan. Oleh sebab itu sesudah mereka minum
mereka segera tidur tak ingat apa-apa lagi. Maka sekalipun24
Djlamprang berteriak-teriak begundalnja tak djuga mau datang
membantunja.
Djlamprang mendjadi bingung dan gugup. Namun demikian ia
tak kurang akal. Ia tjepat merubah tjara berkelahinja dengan ilmu
jang amat diandalkannja. Ia menggunakan ilmu gulat, dan apabila
berhasil membanting lawannja, ia pertjaja lawannja tak akan mampu
lagi berkutik. Tangannja tjepat diulurkan ke depan untuk merenggut
pinggang lawan. Gerakannja tjepat sekali dan tak terduga, maka
pinggang Handaka sudah dapat ditangkapnja.
Akan tetapi pada saat ia akan membanting, setjepat kilat
Handaka mengulurkan tangannja kemudian mementjet urat nadi
pergelangan tangan Djlamprang. Sebagai akibatnja tak ampun lagi ia
merasakan seluruh tubuhnja kesemutan dan hilang tenaga. Lututnja
lemas, kemudian ia roboh terguling.
Betapa gembiranja Handaka tak bisa dilukiskan lagi dapat
menolong tuan rumah. Oleh sebab itu ia tjepat memanggilnja.
Beberapa saat kemudian Martadirja muntjul dari persembunjiannja
dan amat gembira sekali menjaksikan buaja Magetan itu
menggeletak tak berdaja di atas tanah.
Namun demikian Martadirja masih agak menggigil saking
gemetar. Handaka tersenjum, bertanja: "Bapa, harus kita apakan
buaja jang buas ini?"
Martadirja tak tjepat bisa mendjawab. Baru sesudah berhasil
menenangkan hatinja, pudjinja: "Hebat! Tuan hebat sekali. Tuanlah
orang satu-satunja jang bisa menundukkan Djlamprang. Benarlah
kata pepatah bahwa sepandai-pandai tupai melontjat, sekali-kali
akan djatuh djuga."
"Ja Tuhan, engkau telah menolong kami dan seluruh rakjat."
Martadirja meneruskan: "Djlamprang telah malang melintang25
belasan tahun lamanja tanpa tanding, sekarang djatuh dalam tangan
tuan jang masih muda."
"Djika begitu, sebaiknja aku bunuh sadja orang ini!" kata
Handaka.
"Djangan!" Martadirja mentjegah.
Handaka menatap Martadirja dengan perasaan heran.
Kemudian bertanja: "Lalu bagaimana maksud Bapa?"
Beberapa saat lamanja Martadirja baru mendjawab: "Tuan,
djanganlah tuan bunuh. Sebab membunuh sesama manusia tidak
baik."
"Tetapi dosanja sudah bertumpuk dan merupakan manusia
jang berbahaja. Djika orang ini aku bunuh, masjarakat akan lega."
"Kata tuan benar. Tuan bisa membunuh Djlamprang ini
bersama-sama pembantunja. Tetapi djika tuan membunuh orang ini,
kemudian akan tumbuh lagi seratus dan mungkin malah seribu
Djlamprang. Maka menurut pendapatku, sebaiknja tuan ampuni
sadja dan kita tundjukkan djalan jang benar. Apabila ia mau
menginsafi kesalahannja, kembali mendjai orang baik-baik, aku
pertjaja dia akan banjak kegunaannja kemudian hari daripada kita
bunuh. Tuan, pertjajalah bahwa Tuhan Maha Adil."
Mendengar kata-kata orang tua itu Handaka mengerti dan
ternjatalah bahwa Martadirja seorang tua jang bidjaksana. Walaupun
bahaja baru sadja lewat oleh perbuatan Djlamprang namun masih
pula dapat memaakan dan berpandangan djauh. Sungguh, pendapat
Martadirja itu mengenakan tepat lubuk hatinja. Maka tanpa diminta
ia sudah membuka djalan darah Djlamprang, sehingga buaja Magetan
itu dapat bangkit dan duduk. Tampaknja ia amat malu, ternjata ia
menundukkan kepalanja.
Martadirja mengamati Djlamprang beberapa saat lamanja.
Kemudian katanja: "Djlamprang, tentunja engkau menjadari bahwa26
keadilan Tuhan akan berlaku kepada setiap mahluk-Nya. Tak seorang
pun manusia di dunia ini jang bisa menepuk dada dan menganggap
dirinja orang kuat tanpa tanding. Kalau ada orang sakti, tentu ada
pula lain orang jang lebih sakti. Di dunia ini tidak ada keabadian."
Martadirja berhenti mentjari kesan. Sesaat kemudian
landjutnja: "Djlamprang, engkau belum tua. Umurmu baru tiga puluh
lima tahun. Djika engkau mau mendjadi orang baik-baik, pertjajalah
bahwa Tuhan masih berkenan mengampunimu. Berarti engkau masih
mempunjai waktu jang tjukup sebagai manusia jang berguna bagi
masjarakat. Apabila engkau bisa menundjukkan djasamu kepada
masjarakat, aku pertjaja engkau makin disegani dan dihormati orang.
Bagaimana Djlamprang, apakah engkau mendengar apa jang sudah
aku katakan tadi?"
Tetapi Djlamprang tak djuga membuka mulut dan
mendjawab. Kepalanja masih tetap tunduk dan berkali-kali menghela
nafas.
Agaknja Handaka bisa menduga kemasjgulan orang. Maka
katanja halus: "Saudara Djlamprang, sesungguhnja ilmu
kepandaianmu amat tinggi. Soal menang dan kalah itu dalam tiap
perkelahian adalah lumrah. Dan sekarang akupun berharap agar
engkau mau mengerti akan maksud bapa Martadirja. Engkau masih
mempunjai kesempatan jang luas untuk memperbaiki djalan
hidupmu."
Mendengar nasihat dan pengampunan itu, Djlamprang jang
selama ini lupa dairi merasa amat malu berbareng berterima kasih.
Namun demikian ia masih tetap menutup mulut.
Mantadirja berkata lagi: "Djlamprang, aku mengerti bahwa
engkau kuatir tidak mendapat kepertjajaan lagi dari masjarakat.
Djangan! Djika engkau sadar akan djalan sesat jang sudah engkau
lalui, pertjajalah bahwa masjarakat akan menerima dirimu seperti27
manusia jang lain. Tetapi suatu kesalahan haruslah menebusnja. Djika
engkau merasa sudah banjak berbuat salah kepada masjarakat,
kemudian hari engkau harus bisa menundjukkan djasamu dan
kebaikanmu kepada masjarakat. Aku pertjaja bahwa dengan
demikian, masjarakat akan pertjaja kepadamu. Pertjajalah apa jang
sudah aku katakan ini, dan djika engkau menghadapi kesukaran aku
bersedia membantumu."
Kata-kata Martadirja jang penuh nasihat itu tepat
mengenakan hatinja. Ia mengangkat kepalanja dan sesaat kemudian
katanja lirih: "Bapa, djika aku dapat memperbaiki diriku, apakah
kiranja bapa dapat mengabulkan permintaanku?"
"Tentu sadja!" sahut Martadirja sungguh-sungguh.
Djlamprang gembira. Kemudian ia berterus terang, tetap
menginginkan bisa kawin dengan Marni.
Permintaan Djlamprang itu di luar dugaan Martadirja dan
Handaka. Karena terkedjut untuk beberapa saat lamanja orang tua
itu tak bisa membuka mulut. Namun demikian beberapa saat lagi
Martadirja menjatakan kesediaannja mengambil sebagai menantu
apabila Djlamprang benar-benar dapat mendjadi manusia baru.
Bukan main gembiranja Djlamprang mendapat persetudjuan
itu. Tjepat-tjepat ia menubruk dan mencium lutut Martadirja seraja
berkata: "Terima kasih ajah, terima kasih bersedia menerima aku
sebagai menantu."
Tetapi Handaka tjepat mentjampuri: "Nanti dulu!"
Djlamprang mendongkol dan menatap Handaka tidak senang.
Tetapi karena takut ia tak berani berbuat apa-apa.
Handaka hanja tersenjum menjaksikan sikapnja itu. Lalu
katanja: "Saudara Djlamprang, engkau djangan salah sangka.
Menurut pendapatku, dalam hal ini bapa Martadirja harus
mengambil kebidjaksanaan. Saudara Djlamprang, engkau harus28
menjadari setiap kesalahan tentu menerima hukumannja. Untuk itu
maka jogjalah apabila sekarang djuga diadakan perdjandjian jang
mengikat. Sekarang djuga harus diberikan batas waktu sebagai
pengudji sepak terdjangmu. Djika dalam batas waktu jang telah
ditentukan engkau memang mendjadi orang baik maka tidak ada
alasan lagi untuk menolakmu. Akan tetapi sebaliknja apabila engkau
tidak menepati perdjandjian, hem... sewaktu-waktu aku akan datang
untuk menghukum dirimu!"
Martadirja menganggukkan kepalanja setudju. Sambungnja


Lolos Dari Maut Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tjepat: "Baik sekali pendapat tuan Handaka. Begini Djlamprang aku
memberikan batas waktu tiga tahun. Djika engkau benar-benar
berubah mendjadi manusia baik-baik, aku akan segera mengawinkan
Marni dengan engkau."
Sesungguhnja batas waktu tiga tahun itu terlalu lama. Tetapi
ia tak bisa membantahnja, dan bisanja hanja menjetudjui dan
bersumpah akan merubah tjara hidupnja.
Mendengar pernjataan Djlamprang itu baik Martadirja
maupun Handaka gembira sekali.
Pengalaman jang baru sadja terdjadi ini merupakan
pengalaman terbaru bagi Handaka. Sikap dan kebidjaksanaan
Martadirja itu membuka mata dan hatinja, bahwa setiap persoalan
tidak harus diselesaikan dengan kekerasan, tetapi ada kalanja pula
lebih bermanfaat diselesaikan dengan kebidjaksanaan.
Akan tetapi sesudah bisa menolong dan menjelesaikan
keruwetan jang dihadapi Martadirja itu, ia segera menghela nafas
dan mengeluh. Sebab ia segera teringat nasibnja sendiri. Teringat
pada gadis tjantik bernama Pamikatsih. Gadis jang amat ditjintainja,
tetapi gadis itu sendiri tak membalas tjintanja. Saking masjgul dan
sedihnja, hampir sadja ia mendjadi linglung dan akan membunuh diri.29
Masih untung bahwa ajahnja, Prawirasunu, seorang ajah jang
amat bidjaksana. Untuk bisa menghindarkan hal-hal jang tak
diharapkan, ia diperintahkan pergi ke Mataram menemui
Panembahan Rama untuk berguru dan menambah ilmu kesaktiannja.
Maksud ajahnja, dengan tjara itu akan bisa mendapatkan manfaat
rangkap. Di samping ilmu kepandaiannja akan makin mendjadi tinggi,
berdiam di Mataram dan banjak menjaksikan puteri-puteri tjantik
djelita akan menjebabkan ia bisa melupakan kepada Pamikatsih.
Teringat akan hal itu, di depan matanja segera terbajang
kembali gadis jang tjantik djelita Pamikatsih. Bukan sadja
ketjantikannja tanpa tanding, tetapi ilmu kepandaiannja pun amat
tinggi. Ia menghela nafas dan amat masjgul sekali. Mengapa nasibnja
amat buruk, dan kalah beruntung dengan nasib buaja darat si
Djlamprang. Walaupun Djlamprang harus berdjanji selama tiga tahun
lamanja, namun masih mempunjai harapan hari depan jang
gemilang, memperisterikan Marni jang tjantik. Sebaliknja dirinja
sendiri, siapa jang diharapkan?
Sesungguhnja sesudah mendapatkan nasihat ajahnja, ia
sangat ingin dapat melupakan Pamikatsih. Akan tetapi tjintanja jang
sudah terlandjur meresap dalam itu sulit djuga dihapuskan. Wadjah
dan senjum Pamikatsih masih terus menggoda pada pelupuk
matanja.
Esok paginya Handaka minta diri kepada Martadirja untuk
melandjutkan perdjalanannja. Martadirja jang merasa berhutang
budi itu ingin sekali menahan sampai beberapa hari lamanja. Tetapi
Handaka tak bersedia meluluskannja, mengingat perdjalanan jang
harus ditempuh masih djauh.
***30
II PERMUSUHAN BERLARUT
Handaka mematju kudanja tjepat-tjepat menjusuri djalan
berdebu. Keinginan satu-satunja agar tjepat bisa tiba di Mataram.
Karena itu sekalipun ketika itu matahari memantjarkan sinarnja yang
terik, ia tetap melarikan kudanja tanpa berhenti.
Tiba-tiba di depannja melintang sungai. Dalam keadaan jang
sedang kegerahan ini, timbullah seleranja untuk memberikan
kesempatan kepada kudanja mengaso, dan ia sendiri ingin mandi dan
berketjimpung dalam air.
Ia tak tahu sudah sampai di mana, dan tak tahu pula nama
sungai ini. Tetapi sebenarnja ia telah tiba di sebelah selatan Sukawati,
dan sungai jang melintang djalan ini bernama Kedungbang. Meskipun
sungai itu airnja tidak djernih, namun akan tjukup memberi
kesegaran kepada orang jang sedang melakukan perdjalanan djauh
seperti Handaka ini.
Sesudah menambatkan kudanja di dekat rumput jang tumbuh
subur, ia tjepat melepaskan pakaiannja. Kemudian sekali lompat ia
telah merendamkan tubuhnja di dalam air jang segar dan agak dingin.
Pengaruhnja membuat kegerahannja terusir hilang.
Tengah ia menikmati segarnja air sungai itu, tiba-tiba
melajanglah seekor burung elang menjambar pakaiannja. Handaka
gugup dan terkedjut. Setjepat kilat ia meraup segenggam kerikil dari
dasar sungai dan disambitkan. Lalu kerikil yang ketjil itu meluntjur
tjepat sekali seperti sendjata rahasia.31
Tetapi ia mendjadi heran dan terbelalak. Sebab kerikil-kerikil
jang disambitkan itu, dengan gampangnja dipukul djatuh oleh sajap
elang itu. Peristiwa itu sungguh mengherankan dan ia terbelalak.
Sebab dalam hal menjambitkan sendjata rahasia, sekalipun belum
mahir tetapi sudah tjukup pandai. Mengapa sekarang dengan
gampangnja dapat dipukul sajap elang?
Peristiwa itu menjebabkan ia penasaran. Tanpa
memperdulikan dirinja jang telandjang, ia melenting tinggi untuk
memukul elang jang mengganggunja itu. Akan tetapi lagi-lagi gagal,
karena dengan tjerdiknja elang itu melepaskan badjunja dan
melajang djatuh, tepat menutupi mukanja. Sehingga ia gelagapan
dan urunglah pukulannja.
Dalam penasarannja ia lupa bahwa burung jang pandai
membela diri demikian, tentulah burung piaraan seorang berilmu
tinggi. Setjepat kilat ia mengambil sendjata rahasia dari dalam
kantung sendjata. Sendjata rahasia ini terbuat dari kepingan badja
jang bentuknja seperti mata uang. Begitu tangannja terajun, sendjata
rahasia itu meluntjur tjepat sekali mengurung ruang gerak burung itu.
Sesungguhnja burung elang jang sudah terlatih itu sudah
memiliki ketjerdikan. Ia melambung tinggi sambil mengibaskan
sajapnja untuk memukul sendjata rahasia itu. Tetapi tjelakanja dalam
melepaskan sendjata rahasianja kali ini Handaka jang penasaran
sudah menjalurkan tenaga saktinja. Maka kibasan sajap burung itu
tak kuasa memukul djatuh, sebaliknja dua kepingan badja malah
sudah menembus perutnja. Kemudian terdjungkallah burung itu dan
djatuh ke tanah.
Dengan hati jang bangga ia segera melompat untuk
menjambar burung itu. Tetapi sebelum terlaksana, terdengar suara
bentakan njaring suara perempuan. "Hai! Siapa berani kurang adjar
mentjelakakan burungku?"32
Saking kaget dan gugup karena dalam keadaan telandjang itu,
dengan gerakan jang tjukup tjepat ia sudah melompat masuk kembali
ke sungai dan merendamkan tubuhnja.
Sesaat kemudian muntjullah seorang gadis remadja
mengenakan pakaian dari kulit harimau. Pada tangan kirinja
memegang busur, pada punggungnja tampak beberapa batang anak
panah, sedang pada pinggangnja tergantung sebatang golok pendek.
Menjaksikan itu, Handaka tjepat bisa menduga bahwa gadis remadja
ini seorang pemburu.
Gadis itu langsung ke tempat burung elang jang menggelepak
luka parah. Ia berdjongkok dan memeriksanja. Katanja lirih: "Pangkur,
engkau terluka? Huh, kurang adjar sekali. Aku balaskan sakit hatimu
dengan panah-panahku biar kapok dan tidak kurang adjar lagi!"
Kemudian ia berdiri dan menatap Handaka jang merendam di
dalam air dengan sepasang matanja jang menjala. Dampratnja:
"Mengapa engkau mentjelakakan burungku?"
"Burung itu sendiri jang membuat gara-gara," sahut Handaka
sabar. "Pakaianku akan ditjurinja."
"Huh! Berapa harga pakaianmu?" bentak gadis itu. "Burungku
tidak serakus itu mengambil milik orang. Huh huh! Engkau sudah
mentjelakakan burungku. Sekarang rasakan tadjamnja anak panahku
ini."
Setjepat kilat gadis itu mengambil sebatang anak panah dari
punggungnja, dan sesudah dipasang pada busurnja segera lepas dan
meluntjur tjepat sekali ke arah Handaka.
Serangan itu tak pernah diduga Handaka. Tetapi dalam
keadaan bahaja, ia tak tjepat gugup. Ia dapat membedakan manakah
anak panah jang dilepaskan dengan lambaran tenaga sakti dan tidak.
Meskipun anak panah itu meluntjur setjepat kilat namun tak33
menerbitkan suara jang mengaung. Maka Handaka segera mengerti
bahwa sekalipun tjepat anak panah itu tidak berbahaja.
Sebagai seorang muda jang masih berdarah panas pula,
menjaksikan sikap gadis itu jang sudah menjerang setjara ganas itu
timbul pula hasratnja untuk menundjukkan kepandaiannja. Dengan
tenang tangan kanannja bergerak dan tjep, anak panah itu dengan
gampangnja berhasil ditangkap.
Akan tetapi menjaksikan anak panahnja bisa ditangkap itu,
gadis tersebut malah makin mendjadi marah karena hatinja
tersinggung dan merasa diremehkan. Dengan sebatnja ia sudah
melepaskan anak panahnja setjara beruntun menghudjani Handaka.
Agaknja dalam penasarannja gadis itu tak ingat lagi bahwa apa jang
dilakukannja itu keterlaluan.
Karena terpaksa Handaka pun tak bisa berbuat lain ketjuali
menggunakan anak panah jang dapat ditangkap itu untuk menangkis
hudjan anak panah itu. Sehingga tidak sebatangpun anak panah jang
dapat mengenai sasarannja, dan seluruhnja mental.
Kegagalan serangannja itu membuat gadis itu makin marah
dan penasaran. Sajang sekali anak panahnja sudah habis dilepaskan.
Saking gemas ia tjepat mentjabut goloknja dan ditudingkan kepada
Handaka sambil membentak: "Huh! Engkau menjombongkan
kepandaianmu. Djika berani, hajo kita bertanding!"
Menjaksikan sikap gadis jang berandalan itu dalam hatinja
merasa geli djuga. Namun dengan sikapnja jang tenang ia
mendjawab: "Mengapa engkau mendjadi marah? Aku toh tak
mengganggu engkau!"
"Bah! Banjak alasan," damprat gadis itu. "Hajolah lekas
kemari djika engkau memang berani."
"Baiklah djika engkau memaksaku," sahut Handaka tetap
sabar. "Silahkan menjingkir dulu, agar aku bisa berpakaian."34
Agaknja gadis itu mendjadi sadar djuga bahwa orang jang
sedang merendam dalam air itu laki-laki dan tak berpakaian pula.
Mendadak mukanja berubah merah dan agak malu. Kemudian
bentaknja: "Baik! Aku tunggu di bawah pohon randu hutan. Tetapi
engkau djangan mentjoba kabur!"
"Aku tak akan kabur. Silahkan menunggu di sana."
Gadis itu tjepat djuga memutar tubuhnja dan kemudian pergi.
Handaka mengamati beberapa saat lamanja, dan sesudah gadis itu
agak djauh, ia tjepat melompat ke daratan dan mengenakan
pakaiannja setjara tergesa. Namun demikian sesungguhnja ia masjgul
djuga, karena gerahnja belum terobati sudah diganggu orang.
Selesai mengenakan pakaiannja, Handaka tjepat menudju ke
pohon randu hutan. Ketika tiba di bawah pohon randu hutan jang
besar dan tinggi itu ia menjaksikan si gadis sudah menunggunja dan
mempersiapkan sendjata goloknja. Teriaknja: "Pakailah
sendjatamu!"
Tetapi Handaka jang mengerti bahwa kepandaian gadis ini
masih rendah, ia merasa sanggup untuk melajani dengan tangan
kosong. Djawabnja sabar: "Biarlah aku melajani dengan tanganku
sadja."
Djawaban itu diterima setjara salah, dan dianggapnja
meremehkan dan menghina. Tiba-tiba sadja dengan melengking
njaring gadis itu sudah menjerang dengan goloknja.
Sedang Handaka melajani serangan-serangan itu dengan
tenang tanpa rasa gentar sedikitpun. Dalam hatinja memudji djuga
ilmu golok gadis itu jang tjepat, dan pendjagaan dirinja rapat. Hanja
sajang, berhadapan dengan dirinja ilmu golok gadis itu tak kuasa
menembus pertahanannja.
Gadis itu tampak makin gemas dan meluap-luap
kemarahannja atas perlawanan orang jang tak bersendjata, tetapi35
serangannja dapat dihindari setjara baik dan tepat. Saking marah ia
mengerahkan seluruh kepandaiannja untuk dapat merobohkan
lawannja ini.
Kalau mau mentjelakakan gadis ini sesungguhnja tidaklah
sukar. Tetapi menjaksikan ilmu golok jang kuat itu, ia insjaf bahwa
gadis ini tentu murid seorang sakti. Mengingat itu ia merasa perlu
berhati-hati agar tidak menimbulkan ekor pandjang jang bisa
menjulitkan dirinja. Djalan satu-satunja untuk bisa menghindarkan
diri dari hal-hal jang tak diinginkan itu tidak lain harus bisa merebut
sendjata gadis itu tanpa melukainja. Oleh sebab itu ia segera bergerak
gesit untuk menghindari sambaran sendjata lawan.
Pada suatu kesempatan jang amat baik, ia sudah mengulurkan
tangannja untuk menangkap pergelangan tangan lawan. Tetapi
sebelum terlaksana, tiba-tiba gadis itu melompat mundur sambil
berteriak njaring: "Awas!!!"
Mendadak Handaka merasakan sambaran angin jang tadjam
menjentuh kepala dan lehernja. Ia tak tahu siapakah jang sudah
menjerang dari belakang, sedang untuk berpaling melihatnjapun tak
keburu lagi. Maka setjepat kilat ia mendjedjakkan kakinja ke tanah
dan tubuhnja melenting tinggi.
"Oh!" seru Handaka tertahan.
Ternjata penjerang itu seekor harimau loreng sebesar anak
lembu. Harimau itu sesudah luput menerkam Handaka segera
mengalihkan sasarannja untuk menerkam gadis itu.
Handaka kuatir sekali kalau gadis itu tjelaka. Bagaimana pun
ia harus dapat menolong dan menjelamatkannja. Untuk itu ia tjepat
mentjabut pedangnja dan menjabet ke arah kepala radja hutan itu.
Akan tetapi di belakang kepala harimau ini seperti tumbuh
sepasang mata. Dengan gerakannja jang tjukup gesit, harimau itu
melompat ke samping dan luputlah sabetan pedangnja.36
Handaka marah dan gemas. Ia tjepat menikamkan pedangnja
ke arah perut. Tetapi lagi-lagi serangan Handaka itu dapat
dihindarkan, kemudian dengan mulutnja jang terbuka lebar kembali
menerkam sambil mengaum.
Handaka menemukan akal. Berbarengan dengan terdjangan
harimau itu ia merendahkan tubuhnja. Sehingga menjebabkan
terdjangan harimau itu lewat di atas kepalanja. Kesempatan itu
digunakan Handaka sebaik-baiknja. Ia menjalurkan tenaga saktinja ke
lengan, kemudian menjambut dengan pedangnja pada saat harimau
itu menerkam ke bawah. Tikamannja itu tepat sekali sehingga perut
tersebut robek. Akhirnja roboh tergulinglah harimau tersebut dan
mati.
Terdjadinja gangguan harimau itu setjara tiba-tiba sudah
berhasil merubah suasana. Gadis jang tadi marah dan galak itu, tibatiba wadjahnja berseri serta memudji. "Engkau hebat! Djika tak ada
engkau, aku tak akan mampu melawannja."
Handaka mengamati gadis di depannja ini. Dalam djarak jang
dekat ini ia dapat menjaksikan setjara djelas bahwa gadis jang
mengenakan pakaian kulit harimau itu masih amat muda sekali dan
djeliat. Menjaksikan kedjelitaan gadis itu, sebagai seorang muda
diam-diam kagum juga.
"Kini sudah mendjelang magrib, padahal disana akan
menghadang hutan dan djauh dari desa. Engkau akan kesukaran
mendapatkan penginapan!" katanja lagi sedang matanja jang indah
tjemerlang itu menatapnja setjara berani. "Maka sebaiknja engkau
menginap sadja di rumahku."
Atas sikap gadis ini jang tjepat berubah dan atas tawaran
tempat menginap itu, Handaka agak terkedjut djuga. Ia mendjadi
heran mengapa gadis jang tadi memusuhinja itu sekarang sudah


Lolos Dari Maut Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melupakan kemarahannja. Namun demikian ia tjepat bisa menduga37
bahwa gadis ini seorang berwatak terbuka, polos dan periang. Kalau
tadi gadis ini tjepat marah karena menjaksikan burung jang
dikasihinja itu terbunuh mati. Dan sekarang sesudah harimau itu
terbunuh mati, ia kagum dan tertarik.
Atas sikap gadis tjantik jang tiba-tiba menawarkan djasa
baiknja itu ia merasa kikuk. Djawabnja agak bimbang: "Terima kasih
nona, aku akan meneruskan perdjalanan."
"Meneruskan perdjalanan?" gadis itu terbelalak. "Malam
begini? Djangan! Aku pertjaja bahwa ibukupun akan menerima
kehadiranmu dengan senang hati. Marilah."
Tanpa menunggu djawaban Handaka, gadis itu mengeluarkan
tambangnja. Handaka merasa tak enak hati, maka tjepat
menolongnja untuk mengikat kaki harimau jang sudah mati itu.
Gadis itu mendesak. "Bagaimana? Engkau meneruskan
perdjalanan ataukah singgah di rumah kami?"
Mengingat bahwa meneruskan perdjalanan di waktu malam
penuh bahaja dari serangan binatang buas, sedang tanpa meminta
seseorang sudah menawarkan tempat menginap, timbullah
keputusannja untuk mengikuti gadis ini sadja. Djawabnja kemudian:
"Baiklah djika nona sedia menolongku. Djauhkah rumah nona?"
"Ah, panggilan nona itu kurang menjedapkan!" tjela gadis itu.
"Sebaiknja engkau memanggil aku adik. Lengkapnja adik Untari. Atau
boleh memanggil Untari sadja."
Atas sikap Untari jang terbuka itu, Handaka makin djadi kikuk.
Djawabnja: "Terima kasih. Dan aku bernama Handaka."
"Hem, pantas menang dengan harimau."
"Mengapa?"
Untari tertawa merdu. Djawabnja: "Namamu Handaka,
berarti banteng. Hik-hik..."38
Handakapun tertawa. Kemudian ia mempersilahkan Untari
mengendarai kudanja, sedang ia sendiri menjeret harimau tersebut.
Akan tetapi ternjata Untari tak mau naik, kuda itu hanja dituntunnja,
kemudian mereka menudju ke desa Kedawung.
Dengan sikapnja yang terbuka ini, mereka menudju ke desa
Kedawung sambil bitjara asjik. Sikap Untari jang terbuka itu membuat
hubungan mereka tjepat mendjadi akrab seperti sahabat jang sudah
lama kenal.
Sebenarnja Handaka seorang pemuda pendiam dan pemalu.
Tetapi atas sikap Untari ini membuat Handaka amat tertarik dan tidak
kikuk lagi.
Tak lama kemudian tampaklah desa jang menghidjau dikitari
oleh sawah jang menghidjau subur. Untari menundjuk sebuah rumah
tembok pada sudut desa dan berhalaman luas. Katanja: "Itulah
rumahku!"
Di beranda muka itu tampak seorang perempuan setengah
baja sedang duduk seorang diri. Sekalipun masih agak djauh Untari
sudah berteriak memanggilnja: "Ibu! Malam ini kita mendapat
tamu!"
Ibu Untari terbelalak menjaksikan anaknja berdjalan bersama
dengan seorang pemuda jang belum pernah dikenalnja sambil
menjeret bangkai harimau tutul! Ia tak tjepat menjahut, tetapi
memperhatikan roman muka Handaka. Sebagai seorang ibu jang
bidjaksana, sudah tentu lebih dahulu harus menjelidiki dahulu tabiat
pemuda jang belum dikenalnja itu.
Tetapi dari roman mukanja jang menundjukkan
kedjudjurannja, ia segera bisa menduga bahwa pemuda tamunja ini
seorang pemuda baik-baik. Djawabnja kemudian: "Tak ada salahnja
memberikan pertolongan dan tempat menginap kepada seseorang39
jang sedang melakukan perdjalanan djauh. Mari, silakan masuk anak.
Tetapi engkau djangan ketjewa, rumahku djelek dan kotor anak."
Dengan sikapnja jang menghormat, Handaka melangkahkan
kaki masuk ke beranda. Lalu djawabnja sopan: "Ibu, terima kasih. Di
dalam kandang kambing pun kiranja sudah amat tjukup bagi saja."
"Ah, mana bisa engkau merendah begitu?" Untari mentjela.
"Rumahku tjukup luas, sedang penghuninja hanja aku, ibu dan adik
sadja."
Untari memandang ibunja, lalu ia memperkenalkan nama
tamunja, asalnja dan tudjuannya. Kemudian ditjeritakan pula sepak
terdjang Handaka jang mengalahkan radja hutan itu. Ibunja
memberikan pudjiannya pula akan hasil Handaka itu, dan membuat
Handaka tunduk dan kikuk sekali.
"Engkau tak usah takut-takut anak, anggaplah seperti rumah
sendiri," kata ibu Untari lagi. "Untari, antarlah ke kamar belakang
sana. Dan sesudah itu adjaklah bersantap."
"Tapi ibu...," Untari mengamati bangkai harimau itu. "Biarlah
aku dan kakang Handaka mengurus daging harimau ini dahulu."
Ibunja dapat pula mengerti alasan Untari itu, maka mereka
diidjinkan untuk mengurus harimau itu dahulu.
Dengan rukunnja mereka menguliti harimau tersebut,
kemudian dagingnja dipotong-potong. Handaka memotong daging
harimau itu tjekatan sekali, sedang Untarilah kemudian jang
membagikan kepada tetangganja.
Dan malam itu sesudah makan malam, mereka duduk di
ruangan tengah dan asjik bitjara. Pada kesempatan ini banjak kali
Handaka memandang Untari dan Fatimah dengan perasaannja jang
heran. Menjaksikan sikap, tingkah laku, tjaranja bitjara maupun
ketjantikannja, dalam hatinja merasa kurang pertjaja bahwa keluarga
ini merupakan keluarga orang desa. Sebab keadaan ibu dan anak ini40
amat berbeda dengan orang desa pada umumnja. Tetapi karena tak
berani bertanja, perasaannja itu hanja disimpan sadja dalam dadanja.
Namun agaknja Fatimah dapat menduga perasaan tamunja
ini. Tanpa diminta ia segera mentjeritakan, bahwa keluarga itu bukan
penduduk desa Kedawung. Sesungguhnja keluarga ini berasal dari
Ponorogo dan bangsawan pula. Mereka terpaksa meninggalkan
kemewahan hidup sebagai bangsawan dan memilih hidup di desa ini
dalam usaha mereka untuk menjelamatkan diri dari antjaman orangorang jang memusuhinja.
Ajah Untari bernama Raden Mas Mardjaka. Ia seorang
bangsawan jang mendarma baktikan hidupnja untuk keadilan dan
kesedjahteraan manusia. Ia seorang jang paling bentji kepada
kesewenangan dan memusuhi segala kedjahatan. Oleh sepak
terdjangnja membela keadilan dan kebenaran itu, telah berulang kali
menjelamatkan manusia-manusia jang tak bersalah dari antjaman
bahaja, dan membunuh banjak pendjahat.
Akan tetapi dunia ini memang aneh. Orang jang selalu berbuat
baik banjak mempunjai musuh. Jang memusuhinja sudah tentu
orang-orang jang merasa dirugikan, orang-orang jang bergelimang
dengan kedjahatan dan kesewanangan. Karena banjaknja musuh jang
mengantjam keselamatan sekeluarganja itu, akhirnja memaksa
Raden Mas Mardjaka meninggalkan Ponorogo setjara diam-diam,
kemudian menjembunjikan diri di desa Kedawung ini.
Akan tetapi sudah pembawaan watak Mardjaka jang tak bisa
berdiam diri setiap menjaksikan perbuatan djahat. Di tempat jang
baru ini, ia kembali menimbulkan kegemparan-kegemparan. Para
djagoan desa jang biasanja melakukan kedjahatan dan perbuatan
sewenang-wenang banjak dirobohkan dan bertekuk lutut. Sebagai
hasil tindakan Mardjaka jang selalu siap sedia membela si lemah dan
keadilan ini, amat menarik perhatian orang. Sehingga banjaklah41
penduduk desa lain jang berpindah ke desa Kedawung, karena
berdekatan dengan Mardjaka mereka merasa lebih bisa hidup aman
dan djauh dari gangguan para pendjahat.
Kemudian pada suatu hari ketika Mardjaka sedang berburu di
dalam hutan jang tak djauh dari desa itu, ia menemukan seorang lakilaki jang menggeletak di tanah dan mandi darah. Orang laki-laki itu
merintih-rintih sebagai akibat dari lukanja jang amat parah. Melihat
luka-luka jang diderita itu, Mardjaka segera menduga bahwa laki-laki
ini menderita luka parah oleh binatang buas.
Sebagai seorang jang selalu suka menolong orang jang
menderita, ia tjepat menolong dan mendukungnja dibawa pulang.
Setiba di rumah, orang jang menderita luka parah ini dirawatnja
setjara tekun tak ubahnja terhadap keluarga sendiri. Oleh perawatan
jang seksama itu dalam beberapa hari sadja luka-luka orang tersebut
telah mulai baik.
Tetapi pada suatu hari baik Mardjaka maupun Fatimah heran
dan terkedjut, karena setjara tiba-tiba orang itu menangis. Namun
sebagai suami isteri jang wataknja mulia dan selalu kasih kepada
sesamanja, suami isteri itu menduga bahwa orang itu menguatirkan
hidupnja lebih lanjut. Maka baik Mardjaka maupun Fatimah segera
menghiburnja, dan suami isteri ini bersedia ditumpanginja djika
memang menghendaki.
Mendengar kata-kata suami isteri itu, orang tersebut makin
mendjadi-djadi tangisnja. Karena ia makin merasa berslah dan makin
terbuka matanja pula, bahwa Mardjaka dan keluarganja merupakan
manusia-manusia berhati mulia. Mengapa sebabnja?
Ternjata ia bernama Gupito. Ia mengakui setjara terus terang,
bahwa sesungguhnja kedatangannja itu bukanlah bermaksud baik.
Kedatangannja sebagai seorang petugas dan pesuruh musuh
Mardjaka, jang berdiam di Sumoroto bernama Djamingan. Dahulu42
Djamingan pernah dikalahkan oleh Mardjaka. Dalam penasarannja
kemudian Djamingan pergi berguru kepada seorang guru jang pandai.
Dalam beberapa tahun kemudian ilmu kepandaiannja sudah
menandjak tinggi. Sesudah merasa kuat, ia ingin segera bisa
membalas dendamnja.
Tetapi karena Mardjaka tak diketahui dimana sekarang
bertempat tinggal, maka Gupito ditugaskan untuk menjelidiki kabar
jang tersiar bahwa Mardjaka bertempat tinggal di desa Kedawung.
Sedang luka-luka jang dideritanja itu sesungguhnja disengadja
sendiri. Mengingat bahwa Mardjaka terkenal sebagai seorang jang
ringan tangan dan ringan hati menolong sesamanja, Gupito berharap
dengan djalan itu akan ditolong oleh Mardjaka, kemudian dapat
mempermudahkan tugasnja, dan mempermudah Djamingan dalam
usahanja membalas dendam.
Akan tetapi manusia dapat berikhtiar dan berusaha, sedang
ketentuan di tangan Tuhan. Oleh sikap Mardjaka dan Fatimah jang
merawatnja penuh kasih sajang itu, Gupito mendapatkan
kesadarannja dan keinsjafannja. Ia telah merasa diperlakukan setjara
baik sekali. Sehingga ia merasa tidak lajak kalau kebaikan itu harus
dibalas dengan kedjahatan. Akhirnja Gupito tak melakukan tugasnja,
sebaliknja malah bersedia membantu kesulitan Mardjaka.
Demikianlah sedjak saat itu Gupito ikut berdiam di desa
Kedawung, dan hubungannja dengan Mardjaka sekeluarga tidak
bedanja dengan keluarga sendiri. Namun demikian sesudah
mendapat keterangan dari Gupito ini, Mardjaka tak pernah lengah
dan meningkatkan kewaspadaannja menghadapi musuh jang
sewaktu-waktu akan datang dan membalas dendam.
Akhirnja tiba djugalah saat jang dikuatirkan. Malam itu ketika
Mardjaka, Gupito bersama Fatimah sedang bitjara di ruang tengah,
mendadak terdengar suara derap kuda dalam djumlah banjak jang43
makin lama semakin terdengar djelas. Mendengar suara kuda itu
Mardjaka tjuriga dan menduga bahwa Djamingan bersama
begundalnja telah datang untuk menuntut balas. Maka Mardjaka
tjepat menjambar sendjatanja, sambil berpesan agar Fatimah
bersembunji bersama Untari, sedang Gupito disuruh mendjaganja.
Gupito menolak, katanja: "Biarlah aku membantumu
menghadapi para pendjahat itu."
"Djangan!" tjegah Mardjaka. Lindungilah Fatimah dan Untari.
Mereka hanja mentjari aku, apabila aku sudah menjambut, mereka
tentu puas. Di samping itu engkau harus tahu maksudku kakang
Gupito. Kalau aku tak kuasa menahan musuh dan mati, kuserahkan
ke tanganmu Untari kelak. Semoga di bawah asuhanmu Tuhan
mengabulkan, kemudian hari Untari dapat membalas sakit hati ini."
Fatimah jang amat menguatirkan keselamatan suaminja
mengandjurkan: "Kakang, sebaiknja kita pergi dan tinggalkan rumah
ini. Mentjari selamat lebih bidjaksana dari bertindak nekad tanpa
mengingat kekuatan."
Mardjaka tersenjum, djawabnja: "Engkau benar, melarikan
diri merupakan djalan menjelamatkan diri. Tetapi engkau harus
menjadari, bahwa mereka tak akan merasa puas sebelum berhasil
berhadapan dengan aku. Djika terdjadi demikian, tak urung hidup kita
selalu dikedjar oleh bajangan ketjemasan. Aku tak ingin hidup seperti
itu, dan lebih baik aku menundjukkan dada menjambut datangnja
musuh itu. Hidup dan mati di tangan Tuhan sepenuhnja, maka kita
serahkan sadja kepada-Nya. Djika Tuhan belum menghendaki, aku
akan dilindungi-Nja."
Fatimah sudah mengenal akan watak suaminja. Sesudah ia
memutuskan tak mungkin bisa dibantah lagi. Oleh karena itu ia tak
membantah lagi, tjepat menjambar Untari jang sedang tidur pulas,
kemudian didukung dan diadjak bersembunji di dalam lubang44
tersembunji di bawah tempat tidur. Sedang Gupito sendiri jang sudah
menjanggupkan diri sebagai pelindungnja tjepat pula masuk ke dalam
lubang itu untuk mendjaga dan melindungi keselamatan Fatimah dan
Untari.
Tak lama kemudian segera terdengar suara bentakanbentakan dan beradunja sendjata di luar rumah. Hati Fatimah
berdebar dan djantungnja terguntjang keras. Dalam hatinja selalu
berdoa kepada Tuhan agar suaminja mendapat perlindungan
keselamatannja dan berhasil mengusir pendjahat-pendjahat jang
datang mengganggunja.
Gupito pun tegang dan berdebar-debar. Walaupun Mardjaka
seorang berilmu tinggi, tetapi berhadapan dengan Djamingan dan
bergundalnja dalam djumlah tjukup banjak kiranja Mardjaka akan
mendapat kesulitan.
Lebih-lebih lagi Gupito tjukup kenal akan watak Djamingan
dan begundal-begundalnja. Mereka orang-orang djahat jang tak
segan-segan berbuat litjik dan tjurang dalam usaha mereka mentjari
kemenangan. Maka diam-diam ia amat kuatir sekali, bahwa Mardjaka
bakal tjelaka di dalam tangan Djamingan dan orang-orangnja.
Pada saat mereka sedang tegang dan berdebar ini, tiba-tiba
terdengar suara langkah orang dalam djumlah banjak masuk ke
dalam rumah. Orang-orang itu berteriak-teriak ramai sambil
menggeledah kesana kemari, agaknja sedang mentjari sesuatu.
Gupito bersiap siaga dengan sendjatanja untuk menghadapi
segala kemungkinan. Ia tak takut mati dalam usahanja untuk
melindungi keselamatan Fatimah dan anaknja. Sebaliknja Fatimah
mendekap anaknja erat-erat sambil menahan hati dan perasaannja.
Ia mengerti, bahwa dengan masuknja beberapa orang itu ke dalam
rumah, berarti pertahanan Mardjaka telah bobol. Kalau bobol, ia45
sadar bahwa suaminja tentu sudah gugur dalam mempertahankan
diri.
Sesudah Djamingan dan orang-orangnja menggeledah di
dalam rumah beberapa lama, kemudian orang-orang itu pergi.
Gupito memasang telinga untuk menjelidik, apakah orang-orang itu
sudah pergi atau belum. Tak lama kemudian didengarnja suara kaki
kuda berderap pergi dan makin lama semakin djauh.
Gupito tjepat melompat keluar dari tempat persembunjiannja
menudju ke halaman. Di situ terdapat belasan majat menggeletak.
Kemudian djantungnja terguntjang keras ketika menjaksikan
Mardjaka sudah menggeletak mendjadi majat dan pada tubuhnja
menantjap beberapa batang anak panah. Ia segera mengerti bahwa


Lolos Dari Maut Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang-orang Djamingan telah menggunakan ketjurangan dan
kelitjikannja. Bukan sadja mereka mengerojok mengandalkan
djumlah banjak, akan tetapi djuga melepaskan anak-anak panah.
Tak dapat dilukiskan betapa kedukaan Gupito. Lebih-lebih
Fatimah, begitu mengetahui suaminja gugur, ia segera menubruk dan
menangis.
Itulah peristiwa delapan tahun jang lalu. Peristiwa
menjedihkan jang menjebabkan Fatimah hidup sebagai djanda dan
Untari tak berbapa lagi. Gupito jang menganggap Fatimah sebagai
adik perempuannja sendiri, ia selalu membantu kerepotan rumah
tangga Fatimah di samping bertindak sebagai guru Untari dalam
menuntut ilmu tata kelahi.
Mendengar tjerita Fatimah itu hati Handaka amat terharu
berbareng gusar. Namun demikian ia merasa menjesal sekali tidak
mungkin bisa membantu ibu dan anak ini, mengingat keadaannja
sendiri sedang melakukan perdjalanan jang djauh.
Tetapi ketika mau membuka mulut untuk menjatakan
perasaannja, tiba-tiba ia mendengar suara halus di atas genteng. Ia46
tjepat memberi tanda kepada Fatimah dan Untari untuk berdiam diri,
sedang ia sendiri dengan lompatan jang gesit sudah menerobos
keluar lewat djendela. Begitu tiba di luar rumah ia tjepat menjelidik
dengan teliti sekali sekeliling rumah. Akan tetapi ternjata ia tak
menjaksikan bajangan seorangpun.
Ia mendjadi ragu-ragu dan menganggap bahwa dirinja jang
sudah salah tangkap. Karena itu ia segera bermaksud kembali ke
dalam rumah. Namun baru sadja bergerak, tiba-tiba ia merasakan
sambaran angin jang tadjam dari belakang kepalanja. Dengan
gerakan kilat ia menundukkan kepalanja dan menjambarlah sebatang
anak panah kemudian menantjap ke tanah.
Handaka terkedjut dan kagum menjaksikan anak panah jang
hampir amblas seluruhnja ke dalam tanah. Dengan menjaksikan anak
panah jang hampir amblas seluruhnja di dalam tanah itu, ia sadar
bahwa harus berhadapan dengan lawan jang tjukup tangguh. Namun
demikian ia berlaku tenang kemudian memutarkan tubuhnja untuk
menghadapi lawan.
"Siapa kau, berani mengganggu di sini?!" bentak penjerang itu
lantang.
Hampir berbareng dengan bentakannja, melajanglah seorang
dengan gaja jang indah dari dahan pohon dan langsung menjerang
untuk mentjengkeram kepalanja.
Handaka tjepat menundukkan kepalanja dan berbareng itu
menggerakkan tangannja untuk memukul muka lawan. Orang itu
menangkis dan setjepat kilat membalas menjerang.
Pertempuran itu tjepat mendjadi sengit. Masing-masing
bergerak gesit dengan tangan kosong. Akan tetapi sesudah
bertempur beberapa lama, orang itu mendjadi gemas belum djuga
berhasil menundukkan lawannja. Dalam kalapnja ia segera mentjabut
goloknja dan membatjok kepala Handaka. Sajang Handaka bukanlah47
pemuda tempe. Dengan gesitnja ia dapat menghindarkan diri dari
sambaran golok itu, dan setjepat kilat tangannja menjambar untuk
merebut sendjata lawan.
Sesungguhnja pertempuran itu tampak tidak seimbang. Akan
tetapi bagaimanapun pula Handaka menang muda, menang gesit,
menang nafas dan ilmunja pun lebih tinggi. Oleh sebab itu sekalipun
tetap menghadapi dengan tangan kosong, lawannja tak bisa berbuat
banjak dan sambaran goloknja tak pernah berhasil menjentuh udjung
badjunja.
Sesudah pertempuran itu berlangsung hampir seratus djurus,
penjerang tersebut mulai pajah dan nafasnja tersengal-sengal.
Namun demikian orang tersebut masih tetap nekad, dan pada suatu
kesempatan jang baik ia menikamkan goloknja untuk menembus
dada Handaka.
Tikaman itu tjepat sekali dan tidak terduga-duga. Tetapi
Handaka jang selalu dapat bertidak tenang dengan gampangnja
dapat menghindarkan diri, dengan melontjat ke samping.
Tjelakanja orang itu sudah terlandjur menggunakan seluruh
tenaganja. Sehingga ia mendjadi limbung ketika tikamannja
mengenakan tempat kosong. Untung ia masih dapat menguasai
keseimbangan tubuhnja, dan setjepat kilat memutar tubuhnja untuk
menjerang lagi. Namun sajang sekali sebelum maksudnja terwudjud,
Handaka lebih tjepat lagi. Djarinja meluntjur tjepat sekali dan
mengenakan tepat djalan darah pada dada kiri. Oleh totokan itu
goloknja terlempar djatuh sedang tubuhnja sendiri segera roboh tak
berkutik lagi.
"Hem, mengapa engkau menjerang setjara tjurang?" bentak
Handaka. "Mengakulah, apa maksudmu datang kemari?"
Akan tetapi sepatahpun orang tersebut tak mendjawab.
Malah sepasang matanja melotot penuh kemarahan. Handaka48
mengulang dan mengulang lagi, ternjata orang tersebut tetap
bungkam.
Sikap orang jang bandel itu membuat perut Handaka panas.
Setjepat kilat tangannja bergerak untuk menangkap pinggang lawan
dan akan dibantingnja. Namun sebelum sempat berbuat, mendadak
terdengar teriakan Untari: "Tahan!"
Handaka menahan tangannja. Sedang Untari dengan tindakan
gesit sudah menghampiri orang itu, kemudian serunja: "Hai, Paman
Gupito."
Handaka terkedjut. Tadi ibu Untari sudah menjebut-njebut
nama Gupito sebagai guru Untari dan pelindung keluarganja. Karena
itu ia tjepat-tjepat membebaskan totokannja sambil menghormat
dan minta maaf: "Paman, maafkanlah aku jang lantjang."
Walaupun kasar tetapi watak Gupito djudjur. Ia sadar bahwa
kenjataannja telah bisa dirobohkan oleh lawan jang muda ini.
Djawabnja tjepat: "Ha ha, engkau memang hebat anak muda. Aku
memang sengadja memantjingmu keluar, untuk mengudji
kepandaianmu. Tjelakanja sekalipun tua aku seorang goblok,
sehingga maksudnja mengudji malah diudji. Ha ha ha ha... siapakah
namamu?"
Untari mendahului memperkenalkan, kemudian malah
mentjeritakan peristiwa tadi sore jang dengan gampang dapat
mengalahkan harimau. Sehingga membuat Handaka amat kikuk.
Tak lama kemudian Fatimah pun menjusul keluar. Begitu
menjaksikan gara-gara itu ditimbulkan oleh Gupito, ia mendjadi lega.
Kemudian ia mengadjak Gupito dan jang lain masuk ke dalam rumah,
dan kembali duduk di ruang tengah.
Gupito tampak amat tertarik sekali kepada Handaka jang
masih muda tetapi kepandaiannja tjukup tinggi. Ia banjak
menanjakan ini dan itu, sedang Handaka pun mendjawab setjara49
djudjur. Sebab menurut perasaan Handaka, tak ada salahnja berterus
terang kepada orang tua ini.
Karena mereka asjik bitjara mereka lupa waktu. Ketika malam
sudah larut, mereka baru masuk tidur.
Karena letih dan amat mengantuk, Handaka tidur pulas sekali.
Dan ketika ia membuka matanja, ia terkedjut dan malu. Ternjata
matahari sudah tinggi dan sinar peraknja menerobos masuk ke dalam
rumah. Ia tjepat melontjat turun dari pembaringan. Hari ini ia harus
meneruskan perdjalanannja menudju Mataram.
Ketika ia menudju ke sumur untuk mandi, ia berpapasan
dengan Fatimah. Katanja: "Anak, tadi pagi pamanmu Gupito sudah
berpesan agar engkau suka menunda perdjalananmu sehari lagi.
Karena pamanmu Gupito ingin membitjarakan sesuatu jang penting
dengan engkau?"
"Tentang apa?" Handaka heran.
Fatimah menggeleng. Djawabnja: "Aku tak tahu."
"Baiklah ibu."
Ia terpaksa menjanggupkan diri, karena dalam hatinja merasa
tidak enak untuk menolaknja. Mengingat sikap keluarga itu jang
ramah dan amat baik. Tidak mengapa menambah sehari waktu
perdjalanannja, tetapi berarti sudah bisa membikin lega keluarga jang
baik hati ini.
Ternjata Gupito ingin mengadjak Handaka berdjalan-djalan
untuk mengenal wilajah itu setjara baik. Sambil berdjalan Gupito
banjak mentjeritakan matjam-matjam soal jang menarik.
Membuktikan bahwa orang tua itu sudah luas pengalaman dalam
beberapa matjam soal. Sedang Handakapun mendengarkan katakata Gupito itu penuh perhatian.
Sesungguhnja Gupito memang amat tertarik kepada orang
muda jang berilmu tinggi dan dapat mengalahkan dirinja itu. Dalam50
hatinja segera timbul keinginannja untuk memikat pemuda ini agar
bisa didjadikan kawan jang bisa diandalkan dalam melindungi dan
membela keselamatan Untari dan ibunja. Soalnja sedjak ajah Untari
tewas dalam menghadapi Djamingan dan kawan-kawannja, ia selalu
diburu oleh rasa ketakutan dan kekuatiran akan kedatangan orang itu
kembali dan mengganggunja.
Hal itu bukan lain adalah karena ia sudah amat mengenal akan
watak dan tabiat Djamingan. Ia seorang buaja jang selalu
mengandalkan kekuatannja menindas jang lemah. Sedang di samping
itu, dengan ketjantikan Untari sesudah mendjadi gadis remadja, akan
berarti mengundang bahaja jang tak diharapkan.
Pulung Misteri Boneka Gayung Karya Bung Smas Pendekar Bloon 3 Pemikat Iblis Oppa And I Karya Orizuka Dan Lia Indra Andriana

Cari Blog Ini