Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari Bagian 5
"Ya, garis besarnya saja."
"Nggak mau ah. Kau ini ada-ada saja."
"Begini deh. Menyenangkan, nggak?"
"Biasa-biasa saja."
"Bila dibandingkan dengan kita berdua?"
"Oh, tentu saja nggak bisa dibandingkan. Kita hebat.
Maksudku, kau yang hebat"
Benny merasa harus puas dengan kata-kata itu,
meskipun kurang begitu percaya. Tentunya Erwina tak bisa
berkata lain karena tak ingin mengecewakan-nya.
"Oh... ya, Ben. Besok pagi Arie akan ke rumah sakit
untuk checkup. Dia mengajak aku, tetapi aku nggak mau
ikut. Buat apa ramai-ramai. Toh sudah ada Mama Susan."
"Kau kan istrinya."
"Dia bukan anak kecil, dan dia nggak sakit."
"Bagaimana citramu sebagai istri yang setia?"
"Huh, meledek. Aku sebal saja."
"Biarpun sebal, kau harus berusaha, Win. Ingat! Kita ini
diawasi lho."
"Ada Martin juga."
"Mau apa dia ikut-ikutan?"
"Katanya, dia punya urusan lain. Ingin bertemu Suster
Tiara."271
"Nah, apalagi begitu! Kau perlu tampil di depan Martin
sebagai istri yang setia. Kalau kau nggak ada, dia bisa
menduga macam-macam."
"Ya, deh. Aku ikut. Tadinya aku akan rnemanfaatkan
waktu itu untuk bertemu kau."
Godaan itu besar sekali bagi Benny. Ia menyimpulkan,
tentunya Erwina tidak puas dengan Arie hingga ingin
bertemu dirinya lagi. Pikiran itu membuatnya besar hati,
tetapi ia masih ada kesadaran.
"Jangan, Win! Kita harus bisa mengendalikan diri.
Jangan terlalu sering! Bahaya!"
"Ya, sudah."
"Aku cinta kau, Say."
"Aku juga."
Kecupan dilayangkan lewat telepon.
* * *
Sore itu, Arie sudah ditunggu Susan di paviliun.
"Ada apa sih, Ma? Kayaknya penting dan penting
banget. Perlu empat mata, ya?"
"Ya," sahut Susan tegas hingga Arie tertegun. Tadinya
ia hanya bermaksud bercanda.
Arie segera memasang wajah serius. Susan malah
tertawa.
"Lho, Mama kok tertawa sih. Ayo, Ma, jantungku
berdebar-debar nih."
"Mukamu lucu. Sudah, rileks saja. Kau sudah makan?"
"Belum. Jangan melenceng dong, Ma. Langsung ke
tujuan saja. Aku ingin tahu. Nggak sabar nih."
"Omongnya nanti kalau sudah makan."
Arie menampakkan wajah kecewa. "Ah, Mama mempermainkan perasaanku. Mana enak makannya kalau
begini."272
Susan tidak mempedulikan protes Arie. Ia segera
menyiapkan meja makan. Sayur asam, sambal terasi, empal
gepuk, dan telur balado terhidang di meja. Masih ada nasi
hangat dengan wangi pandan.
Semua itu menggugah selera Arie yang memang sudah
merasa lapar, apalagi ia didudukkan Susan di depan meja
dengan tatapan ke arah hidangan. Ia jadi bertanya-tanya
dalam hati, apa sebenamya maksud ibunya? Bila
mempelajari wajah ibunya yang penuh senyum kelihatannya
tak ada masalah. Apakah ibunya ingin main-main saja?
"Ayo, kita makan dulu, Ar! Baru omong."
"Nggak mau, sebelum Mama kasih tahu dulu apa yang
ingin dibicarakan," Arie mencoba bertahan.
"Kita cuma akan membicarakan fakta kok, Ar. Ribut
amat sih."
"Fakta apa, Ma?"
"Makan dulu."
Perut Arie sudah keruyukan.
Ha... ha... ha...! Makan dulu saja, R?e. Ngotot amat sih
kau! Memang kau lapar juga? Apakah kau bisa ikut makan?
Nggak dong. Kalau aku ikut makan, perutmu nggak
bisa menampung. Nanti buangnya bagaimana?
Kau tahu apa yang akan Mama bicarakan?
Nggak. Memang tahu dari mana?
Kelihatannya aku punya dosa.
Kalau punya dosa, kau sudah dikemplang begitu
masuk.
Jadi, makan dulu saja?
Arie terkejut. Kaki ibunya di kolong meja menggoyangnya.
"Hei, lagi bengong atau berdoa?" tanya Susan.273
"Lagi berpikir, Ma. Sikap Mama aneh. Ingin omong
saja sampai begini."
"Ayo, makan! Semua ini Mama bikin khusus buatmu."
"Bukan soal dosa kan, Ma?"
"Ayo!"
Susan sudah menyendokkan nasi untuk Arie.
Terpaksalah Arie makan. Hidangannya terasa lezat hingga ia
hampir melupakan apa yang ingin dibicarakan ibunya. Baru
setelah perutnya hampir penuh ia teringat lagi.
"Omong saja sambil makan, Ma," ia membujuk.
"Masih banyak waktu untuk itu. Kau nggak perlu cepatcepat pulang, kan? Sudah bilang kepada Wina?"
"Sudah, Ma. Kan nggak apa-apa omong pendahuluannya dulu."
"Nanti tersedak. Makan ya makan, omong ya omong."
Arie menyerah lagi. Ia harus mengikuti irama makan
ibunya. Kalau dia lebih dulu selesai, sedangkan ibunya
belum akan percuma juga.
Akhirnya, acara makan selesai juga. Susan membimbing lengan Arie untuk duduk di sofa berdampingan
dengannya.
"Enak nggak makannya?"
"Enak, Ma. Sekarang..."
Susan tertawa. "Kau tegang amat, Ar. Rileks saja."
"Ma, aku sudah nggak sabar."
"Ya, ya. Mama mau cerita dulu. Ingat waktu kau ke sini
Selasa sore? Kau ketiduran lelap banget sampai menginap di
sini?"
"Ya, ingat, Ma."
"Waktu itu kau sempat omong dalam tidur. Ingat nggak
apa yang kauomongkan itu?"
Arie mengerutkan kening, lalu menggeleng.
"Nggak ingat, Ma. Aku omong apa?"
"Kau bilang, 'Aku Alex, Ma!' Cuma itu, tetapi Mama
jadi kaget."274
Arie tersentak. Seharusnya Alex memberitahunya.
"Sekarang Mama mau tanya," lanjut Susan. "Kau ini
Alex atau Arie?"
"Arie."
"Kalau begitu, omongan dalam tidurmu itu maknanya
apa?"
Arie diam sejenak. Ia sadar, kesengajaan Alex itu
tentulah bertujuan supaya Susan juga tahu.
"Begini, Ma. Dia memang ada dalam diriku. Aku
tahunya juga belakangan. Nggak dari awal. Dia ikut aku
pulang, Ma. Kadang-kadang kami berkomunikasi dalam
pikiran. Dia nggak bilang bahwa dia sudah memberi tahu
Mama dan membuat Mama kaget. Aku sendiri juga kaget
waktu tahu, Ma."
Susan termangu. Jadi, benar dugaannya selama ini. Hal
yang terasa mustahil itu ternyata memang benar adanya.
Arie memeluk Susan. "Ma, maafkan kami berdua, ya?"
"Ini suara siapa?" tanya Susan.
"Arie, Ma."
"Aku sayang kepada Mama."
"Ini suara siapa?"
"Alex, Ma."
Susan tertawa. "Aduh, Mama nggak bisa lagi membedakan suara kalian. Nggak perlu minta maaf. Sebenarnya,
siapa yang menyuruh Alex kembali ikut Arie?"
"Nggak tahu, Ma. Dia nggak mau bilang. Katanya, dia
bukan buronan."
"Mama tahu, ini pasti Arie yang omong."
"Betul, Ma. Katanya, dia nggak bisa omong lagi karena
nggak bisa pinjam mulutku sering-sering."
"Ya, sudah saja. Arie bisa jadi perantara. Hal yang
nggak bisa dikasih tahu, Mama nggak memaksa ingin tahu.
Itu kan rahasia alam, ya. Mama nggak mau tanya lagi,
kecuali satu hal. Apakah kalian akan rukun-rukun saja
karena sekarang harus bersatu begini?"275
"Ya... dong, Ma."
"Mestinya ada faktor pemersatunya, ya? Atau nggak
ada?"
"Ada, Ma. Erwina," sahut Arie terus terang. "Kami
sama-sama mencintainya."
Susan terkejut sekali. Ia sampai tak bisa bicara selama
beberapa saat.
"Ada apa, Ma? Kok Mama mendadak pucat?"
"Nggak apa-apa."
"Kami tentu mencintai Mama juga. Sangat mencintai."
Bagi Susan, kata-kata itu lebih bermakna sebagai
penghiburan.
"Betul, Ma," Arie menegaskan. Ia merasa tak enak
karena lebih mengedepankan Erwina dibandingkan ibunya
sendiri.
"Ya, tentu saja. Mama tahu itu dari dulu," kata Susan,
buru-buru. Ia tak ingin dianggap iri hati.
Susan merangkul Arie. "Mama selalu tahu," ia
menegaskan. "Kalau nggak begitu, mustahil Alex omong
kepada Mama. Apakah Erwina tahu juga?"
"Nggak... eh, belum, Ma."
"Jangan buru-buru kasih tahu. Tunggu waktu yang
tepat."
"Ya, Ma."
"Sekarang omongnya sudah beres, Ar. Cuma itu saja
kok. Pulanglah! Nanti Wina menunggu-nunggu. Kalau dia
bertanya tentang apa yang kita omongkan, kau akan bilang
apa, Ar?"
"Akan aku pikirkan sambil jalan."
"Bilang saja Mama cuma mengajak makan. Sisanya
bawa pulang, ya? Mama Katrin suka telur balado. Kalau
mereka sudah makan, masih bisa buat besok. Tinggal
dihangatkan."
"Boleh, Ma."276
Lama setelah Arie pergi, Susan masih termangu sedih.
Bukan karena kepastian Alex ada dalam diri Arie, tetapi
karena cinta mereka terhadap Erwina.
Bagaimana kalau Erwina tidak lagi mencintai Arie,
berikut Alex dalam dirinya, karena kenyataan dia
berselingkuh dengan Benny?277
15 HARI Jumat pagi.
Pada saat sarapan, Erwina menyampaikan niatnya untuk
ikut serta mengantarkan Arie ke rumah sakit.
"Katanya nggak mau ikut," Arie agak heran. Semalam
mereka tidak membicarakan hal itu. Biarpun merasa heran,
ia juga gembira karena keinginan itu bisa diartikan sebagai
perhatian.
"Aku ingin lihat prosesnya maka aku memutuskan ikut
mengantar. Kau nggak perlu naik taksi," Erwina memberi
alasan.
"Mama?"
"Kita jemput saja."
"Oke. Begitu lebih baik. Butik bagaimana?"
"Aku sudah kirim pesan kepada karyawanku. Bukanya
sesudah pukul dua belas. Pokoknya, mereka menunggu
kabar lagi."
"Masakan Mama Susan memang enak banget," puji
Katrin.
Semalam Katrin dan Erwina sudah makan makanan
kiriman Susan untuk sarapan.
"Betul," Erwina membenarkan. "Enak sekali."
"Mamamu memanggilmu cuma ingin mengajak
makan?" tanya Katrin.
"Betul, Ma."278
"Pasti juga sekalian untuk mengirimi kita. Nggak
mungkin masak begini banyak kalau hanya untuk makan
dua orang," kata Erwina.
"Kayaknya begitu, Win," sahut Arie, senang karena
alasannya bisa diterima Erwina.
"Kukira Mama Susan akan omong sesuatu yang serius,"
kata Erwina lagi.
"Kukira juga begitu."
"Oh... ya, Ma. Ini kan hari Jumat. Nanti mau ke rumah
Mama Susan?" tanya Erwina, berganti topik.
"Belum tahu. Lihat nanti saja."
Jawaban itu membuat Erwina menatap ibunya dengan
heran. Biasanya ibunya antusias untuk berakhir pekan
bersama Susan. Sudah menjadi rutinitas yang tak perlu
ditanya lagi.
"Memang ada apa, Ma?"
"Nggak apa-apa."
Katrin memalingkan muka dari pandangan Erwina. Ia
tahu, Erwina menyangka ada sesuatu, tetapi tak berani
bertanya.
Arie menghubungi Susan untuk memberi tahu bahwa
Erwina ikut serta. Ia heran mendengar nada kurang
bersemangat dalam suara Susan.
"Apakah Mama nggak mau ikut juga? Biar ramai,"
tanya Arie kepada Katrin.
Katrin menggeleng. "Ah, nggak. Kebanyakan, Ar."
Di dalam mobil Arie bertanya, "Mengapa mamamu
Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kelihatan lesu ya, Win? Menurutmu begitu juga nggak?"
"Nggak sih. Biasa saja."
"Ajak mamamu checkup, Win. Perlu untuk orang tua."
"Ya, nanti aku kasih tahu," sahut Erwina.
"Enaknya sih sama-sama ibuku saja. Biar ada teman."
"Ide yang bagus."
Diam-diam Arie melirik Erwina. Jantungnya berdenyutdenyut kencang mengagumi kecantikan Erwma. Tiba-tiba ia279
tersentak oleh pemikiran, "Bagaimana kalau suatu waktu dia
tidak mencintaiku lagi?" Dengan khawatir ia mencoba
menghubungi Alex.
Bagaimana kalau itu terjadi, Lex? Bagaimana kalau
dia tidak mencintai kita lagi?
Kita harus memhuat dia tetap mencintai kita, R?e!
Berapa pun ongkosnya.
Ongkosnya? Ongkos apa, Lex?
Dalam hal itu kita nggak bisa berunding, Rie.
Keputusan di tanganmu. Kau dominan dalam hal itu. Aku
sepakat saja denganmu. Aku ikut kau, Rie. Kita tetap
sehidup semati, dan satu cinta!
Aduh, kau jadi pintar omong, Lex!
Omong? Mana mimgkin aku bisa omong? Kau yang
omong karena mulutmu adalah milikmu.
Kau pernah omong dengan Mama, Lex. Jadi, kau bisa
pinjam mulutku, kan?
Cuma dengan Mama saja. Kalau nggak penting, aku
nggak akan lakukan. Aku nggak mau mengacau. Aku kan
harus tahu diri. Nanti kau bisa dianggap gila. Aku juga
rug?.
Baguslah kalau begitu. Bayangkan kalau kau tiba-tiba
omong tanpa konsultasi dulu denganku.
Ya, ya. Itu nggak akan terjadi, Rie.
Kau juga bisa melihat lewat mataku, dan mendengar
lewat telingaku, ya?
Bisa, Rie.
Kau juga bisa lihat Erwina di sebelahku?
Tentu saja. Dia cantik.
Arie tersenyum. Ia senang bisa bersama Alex. Mereka
berdua pasti akan rukun-rukun saja. Erwina melirik.
"Kok senyum-senyum sendiri sih?"280
"Oh, aku sedang berpikir tentang Martin, yang sebentar
lagi akan kukenalkan dengan Suster Tiara."
"Kau bermaksud menjodohkan mereka juga?"
"Nggak sih. Martin cuma mengejar cerita tentang mati
suri."
Arie bercerita tentang Tiara, yang punya pengalaman
mati suri. Begitu juga Martin, yang juga punya pengalaman
hampir sama, dan karenanya selalu mengejar cerita tentang
itu. "Suster Tiara yang mana sih? Apakah aku pernah
melihat?"
"Kayaknya nggak. Dia jaga malam di hari terakhirku.
Waktu dia datang ke kamar, kau sudah tidur nyenyak. Kami
sempat mengobrol di teras depan kamar. Saat itulah ia cerita
tentang pengalamannya. Kau tahu uniknya?"
"Nggak. Apa?"
Tiba-tiba Arie merasa kebanyakan bicara. Sebenarnya,
ia ingin mengatakan pada saat Tiara mengalami mati suri di
rumah sakit itu, Alex juga mengembuskan napas terakhirnya
di tempat yang sama. Ia tidak ingin menyebut nama Alex
karena takut akan membangkitkan kenangan buruk Erwina.
Tadi ia kesenangan bercerita.
"Ya, pengalamannya itu. Kok sama denganku."
"Mana mungkin sama."
"Wah, Mama sudah menunggu di depan," Arie lega
karena bisa mengalihkan pembicaraan.
Susan wanita yang praktis dan efisien. Begitu melihat
mobil Arie, ia menyambar tasnya, membuka pintu, lalu
menghampiri. Dengan demikian, mereka tak membuang
waktu.
"Mama sudah lama menunggu?" sapa Erwina.
"Belum kok. Mama kira kau nggak mau ikut," kata
Susan manis.
"Mau dong, Ma. Aku ingin beri dukungan buat Arie."281
Susan menahan diri tidak bersikap sinis. Ia hanya
tersenyum. Sedangkan Arie yang senang mengulurkan
tangannya, yang segera disambut Erwina. Mereka saling
menggenggam sejenak. Tak lama-lama karena Erwina membutuhkan tangannya untuk mengemudi, tetapi cukup bagi
Arie untuk merasa senang tak kepalang. Biarlah ibunya di
belakang bisa melihat kedekatannya dengan Erwina.
Susan tak ingin melihat adegan itu berlama-lama. Ia
memalingkan muka memandang ke luar jendela.
Perasaannya sebal. Apakah sebenarnya yang dicari Erwina
dengan mendua seperti itu? Mestinya ada yang dituju.
Bukan semata-mata untuk memuaskan nafsu saja.
Mereka menjumpai Martin di tempat parkir. Martin
mengangguk kepada Susan dan Erwina, lalu saling bertepuk
dengan Arie seperti layaknya dua sahabat.
Pada saat Arie menghubungi Tiara untuk mem-beritahu
bahwa mereka sudah tiba, Martin meng-gandeng lengan
Susan. "Ibu baik-baik saja?" tanya Martin, dengan ramah.
"Baik. Katanya, Anda ingin menemui suster yang
cantik, ya?" goda Susan.
Martin tertawa. Sudut matanya melihat wajah Erwina
yang cemberut. Ia semakin senang. Sengaja ia mengajak
Susan berjalan menuju kantin sambil bercakap-cakap.
"Apakah Pak Arie sudah cerita tentang niat saya
bertemu Suster Tiara?"
"Oh, ya. Kalau nggak, istrinya bisa cemburu," sahut
Susan perlahan.
"Ah, masa?"
"Itulah sebabnya dia ingin ikut. Tadinya nggak mau.
Terus terang, saya juga ingin melihat Suster Tiara," Susan
mengakui.
Tiara tidak menunggu di kantin. Dia menghampiri
mereka setelah mendapat telepon dari Arie. Dari kejauhan
senyumnya sudah terlihat. Dengan pakaian biasa yang282
sederhana dia tampak segar dan cantik. Pipinya yang halus
merona ketika menyalami orang-orang di depannya.
Arie mengenalkan Tiara kepada Erwina lebih dulu, baru
ibunya dan terakhir Martin.
Erwina menatap Tiara, seolah mau menelannya bulatbulat. Hatinya dipenuhi rasa iri seorang perempuan, yang
merasa kecantikannya disaingi. Sesungguhnya, kecantikan
mereka berdua punya kualifikasi berbeda. Erwina gemerlap
dengan segala aksesori yang indah dan serasi, sedangkan
Tiara bercahaya secara alamiah, tanpa polesan dan kepurapuraan. Erwina mengenakan salah satu gaun baru dari
butiknya yang modis dipadu dengan kalung serasi, antinganting cantik yang bergoyang-goyang seperti bel angin,
sepatunya berhak tinggi dan warnanya sama dengan
gaunnya. Sementara itu, Tiara hanya mengenakan celana
jins dengan kaus berwarna merah muda tanpa aksesori sama
sekali. Sepatunya pun berhak rendah. Pakaian yang dikenakannya justru menonjolkan kerampingannya, dan sepatunya
tidak membuat dia lebih pendek dari Erwina karena
posturnya memang tinggi. Dua penampilan yang berbeda,
tetapi hasilnya bernilai sama.
Martin terpesona, tetapi tidak lama-lama. Ia sudah
sering melihat gadis cantik. Erwina pun cantik. Memang tak
ada salahnya terpesona asal jangan sampai mabuk dan lupa
diri.
Susan langsung menyukai Tiara begitu melihatnya,
terutama kesantunan dan kesederhanaannya. Kekesalannya
kepada Erwina karena perselingkuhannya jadi menambah
rasa sukanya kepada Tiara.
Arie baru pernah melihat Tiara berpakaian biasa. la
hampir tak mengenali. Rambutnya yang sedikit melewati
bahu dibiarkan tergerai. Warnanya hitam, pasti tidak
mengenal cat warna-warni. Dalam pakaian seragamnya
yang putih rambut itu disanggul tertutup topi kecil. Bagi283
Arie, baik dalam pakaian seragam maupun pakaian biasa
Tiara tampak sama cantiknya.
Tiba-tiba Arie merasa dahinya berdenyut. Ada sinyal
dari Alex.
Ternyata dia cantik, Rie! Tampak beda.
Nah, benar kan kau pernah melihatnya. Mengapa sih
nggak terus terang saja?
Jadi orang harus sabar.
Apakah kalian sempat berbincang di sana?
Ha... ha... ha!
Percakapan terputus. Mereka berjalan menuju kantin.
Susan sengaja menggandeng lengan Tiara sambil
mengajaknya berbincang. Mereka berjalan di depan. Di
belakang mereka Arie diapit oleh Martin dan Erwina.
Ketiganya mengikuti tanpa berbicara.
Tatapan Erwina tertuju ke punggung Susan dan Tiara,
juga ke tangan Susan yang menggandeng Tiara. Huh, sok
akrab. Dulu Mama Susan siika menggandeng Arie kalau
jalan berdua, bahkan juga bertiga dengan Alex. Sekarang
Mama Susan menggandeng orang lain. Ah, buat apa aku iri?
Masa-bodoh Mama Susan mau menggandeng siapa, yang
penting adalah Arie bukan ibunya.
Tangan Erwina mencari tangan Arie. Keduanya
berpegangan erat. Martin melirik. Erwina sama sekali tidak
mau melihatnya. Sejak bertemu tadi, tak sepatah kata pun
mereka bertegur sapa.
Untunglah kantin agak sepi. Waktunya sudah lewat
sarapan, sementara makan siang belum saatnya. Mereka bisa
mengambil dua meja yang digandeng jadi satu. Itu untuk
sementara karena yang berkepentingan untuk berbincang
hanya dua orang, yatu Martin dan Tiara.284
Mereka memesan kopi dan makanan kecil, Ialu mulai
berbasa-basi. Susan mulai dengan menanyakan perihal
Tiara. Sudah berapa lama ia menjadi perawat, asalnya dari
mana, dan sebagainya.
"Saya baru setahun lulus. Sekarang menjalani ikatan
dinas, Bu. Saya berasal dari Manado. Orangtua tinggal
Ayah. Ibu sudah meninggal lima tahun yang lalu. Saudara
saya ada empat. Saya bungsu."
Erwina tidak mengerti untuk apa Susan mewawancarai
Tiara sampai rinci seperti itu. Ia merasa bosan dan kesal.
Kedua lelaki yang hadir pun menyukai perbincangan itu
karena mendapat tambahan info dari Tiara. Di samping itu,
mereka senang memandangi Tiara saat berbicara. Ternyata,
ada lekuk kecil di salah satu pipinya dekat mulut, yang
muncul kalau ia tertawa. Tak begitu kentara kalau dilihat
dari sisi satunya. Kalau dilihat dari dekat dan langsung
berhadapan maka jelas sekali. Kedua lelaki itu menikmati
pemandangan yang indah.
Setelah Susan mengakhiri wawancaranya, Arie buruburu mengambil alih. Sedangkan Martin tahu diri. Nanti
gilirannya akan tiba, dan dia bisa bicara leluasa.
"Sus, tempo hari waktu kita berbincang Anda bilang
seperti pernah melihat saya. Sementara itu, saya sendiri
belum pernah bertemu Anda sebelumnya. Saya juga sempat
omong bahwa saya punya saudara kembar, tetapi Anda
seolah-olah nggak mendengar."
Tiara tertegun. "Oh, ya? Saya memang nggak
mendengar. Jadi, Bapak punya saudara kembar? Namanya
siapa, Pak?"
"Alex."
"Oh, begitu." Tiara menjadi tenang kembali. "Ya,
mungkin dialah yang pernah saya lihat."
"Dia sudah meninggal. Waktunya bersamaan
dengan tanggal Anda mati suri. Tempatnya juga di rumah
sakit ini."285
Tiara terdiam, kemudian ia berkata dengan nada yang
tenang, "Mungkin saya melihatnya sebelum itu, Pak."
Arie segera menyadari tatapan tegang Erwina dan
Susan. Ia mengerti bahwa Tiara tidak ingin menimbulkan
keresahan oleh cerita yang mengandung sensasi. Dirinyalah
yang terlalu bersemangat.
"Ya, ya. Mungkin begitu," kata Arie, lalu ia berdiri.
"Mending saya ke tempat dokter saja."
Sebenarnya, Arie ingin ikut serta dalam pembicaraan
antara Martin dan Tiara karena merasa ikut berkepentingan,
tetapi situasinya memang tidak cocok.
Tiara dan Martin mengamati sejenak ketiga orang yang
berjalan dalam formasi sama seperti tadi. Baru kemudian
mereka saling memandang dan tersenyum.
"Keluarga yang harmonis," komentar Tiara.
"Oh, ya. Setidaknya, yang terlihat dari luar."
"Maksud Anda?"
"Kalau dari luar semua orang kelihatan baik-baik saja."
"Ya. Dalamnya belum tentu, tetapi yang pasti mereka
senang sekali karena Pak Arie bisa kembali."
"Harusnya memang begitu."
Tiara menatap penuh selidik. "Anda ini omongnya
bernada kontradiktif deh. Ada maksud tertentu di
dalamnya?"
Martin terkejut. Ternyata, dirinya tanpa sadar berbicara
sinis di depan orang yang tidak tahu apa-apa. Berarti Tiara
punya bakat menjadi penyelidik, langsung menyambar
ucapan yang terkesan janggal biarpun tidak kentara. Ia
sendiri hanya melontarkan unek-unek kekesalannya kepada
Erwina.
"Nggak sih. Mungkin saya terbawa profesi saja."
"Kadang-kadang kita memang suka begitu."
"Sayangnya, orang lain nggak bisa memaklumi."286
"Kitalah yang harus introspeksi. Wah, jadi putar-putar
nih, Pak. Nanti yang ingin diomongkan malah nggak
kebagian waktu. Topiknya mati suri, kan?"
Mereka tertawa.
"Ya, ya," Martin membenarkan. "Apakah Pak Arie
sudah cerita tentang saya?"
"Sedikit."
"Tadi saya dengar sesuatu yang baru bahwa Anda
pernah melihat Pak Arie sebelum di rumah sakit, lalu
Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dihubungkan dengan saudara kembarnya yang meninggal
pada hari yang sama dengan mati suri Anda."
"Oh, ya. Tadinya saya bingung juga, siapa yang pernah
saya lihat dulu itu. Kok persis banget. Memang pernah
terpikir, jangan-jangan dia punya saudara."
"Sebaiknya kita sama-sama cerita yang lengkap saja.
Anda nggak keberatan, kan?"
Tiara tersenyum. "Saya sudah ada di sini. Artinya, saya
nggak keberatan. Mestinya kita diskusi bertiga dengan Pak
Arie, ya. Jadinya lebih komplet."
"Mungkin lain waktu bisa diatur lagi."
"Waktu itu saya boleh dibilang mengejar Pak Arie
disebabkan hal yang sama seperti Anda me-ngejar orang
yang pernah senasib. Ingin tahu, dan ingin membandingkan."
Mereka kemudian gantian bercerita. Tiara lebih dulu.
Martin tak bertanya, melainkan langsung bercerita mengenai
pengalamannya sendiri.
"Sebenarnya, pengalaman saya nggak banyak. Cuma
sebatas melihat mata kucing. Itu pun setelah digali lewat
cara hipnotis. Kesimpulannya, saya nggak bisa dibilang mati
suri karena cuma nyaris mati. Namun, toh rasanya sudah
mati."
Tiara geleng-geleng. "Jangan bilang begitu, seolah-olah
Anda ingin mati supaya bisa mengalami mati suri. Kita
mestinya ingin hidup, bukan ingin mati."287
"Memang betul. Saya cuma ingin dapat pengalamannya
saja."
"Kalau itu memang terserah Yang Di Atas. Kita kan
nggak bisa menolak. Sama seperti Pak Arie sampai bersujud
syukur karena diberi hidup kembali, saya pun begitu."
"Sekarang saya ingin tanya, Sus. Anda beda dengan Pak
Arie, yang serbagelap. Anda merasakan dan mengalami.
Bagaimana rasanya mati?"
"Cuma satu perasaan yang dominan. Lainnya nggak
ada."
"Apa itu?"
"Ringan dan bebas bahkan beban berat tubuh kita nggak
ada. Melayang-layang saja ke sana kemari dengan nyaman."
"Ah, itu sesuatu yang wajar. Jelas dong segala beban
hilang. Saya juga nggak lagi dikejar kasus yang belum
terpecahkan, nggak stres menghadapi atasan, nggak ini,
nggak itu. Nyatanya, kita lebih suka hidup daripada mati."
Tiara menggeleng. "Ada orang yang bunuh diri, Pak,"
ia mengingatkan.
"Tentu tergantung dari kualitas hidup yang kita jalani.
Bila kehidupan sudah jelas merupakan neraka maka orang
lebih memilih neraka yang belum jelas. Pokoknya, lari saja
biarpun di depan nggak tahu ada apa. Apakah Anda bertemu
roh-roh selama setengah jam itu?"
"Sebenarnya, saya nggak tahu apakah saya bernama roh
atau bukan. Sosok-sosok yang saya lihat tergolong roh atau
bukan. Wajah-wajah mereka mengesankan kedamaian. Beda
dengan di dunia ini. Ekspresi orang macam-macam. Lihat
orang itu, Pak?! Orang yang lagi menelepon sambil
bersandar di tiang? Mukanya terkesan bengis, biarpun
sedang tertawa. Ada lagi yang sorot matanya licik. Ah,
banyaklah."
"Anda melihat Alex di sana?"288
"Rupanya begitu. Oleh karena itu, saya keliru
mengenali Pak Arie. Sebetulnya, nggak terlalu mirip sih.
Mungkin karena nggak ada ekspresi."
"Kalau nggak ada ekspresi, kosong dong. Seperti
robot."
"Nggak juga. Robot kan nggak memancarkan
kehangatan. Ah, bagaimana menggambarkannya, ya? Saya
cuma melihat sebentar saja. Nggak sempat ada interaksi."
"Terhadap Alex nggak ada interaksi juga?"
"Nggak. Cuma sempat bertatapan. Hangat rasanya.
Kesan itu terbawa sampai saya sadar."
"Siapa yang menyuruh Anda kembali ke kehidupan?"
"Nggak tahu. Mungkin ada yang mengarahkan, tetapi
saya nggak melihat."
"Kelihatannya belum banyak perbincangan Anda
dengan Pak Arie."
"Memang belum. Saya kan belum sempat mengobrol
banyak. Waktu sedang jaga malam itu pun kebetulan saja
ada kesempatan. Istrinya tidur, dan dia sedang termenung di
teras. Coba kalau dia bersama istrinya, mana saya berani?!"
"Mengapa nggak berani? Kan tujuannya baik."
"Memang, tetapi kan orang lain belum tentu mau
mengerti. Cuma diri kita yang tahu. Tadi juga feeling saya
bilang, Bu Erwina nggak suka terhadap saya. Bukan karena
feeling saya tajam, tetapi dia memperlihatkannya dengan
terang-terangan. Saya heran. Mungkin dia pencemburu,
apalagi suaminya baru kembali. Jadi, maklum saja."
Martin menyadari, tadi dia tidak sempat memperhatikan sikap semua orang. Dia terlalu fokus kepada
Tiara. Kalau Tiara benar bahwa Erwina pencemburu, ia tak
mengerti. Masihkan Erwina mencintai Arie?
"Kelihatannya Pak Arie ingin sekali tahu perihal
saudara kembarnya itu. Mengapa tadi Anda nggak cerita
saja bahwa Anda pernah bertemu dengan Alex di sana?
Kesan saya, Anda seperti menghindari topik itu."289
"Saya ingin menyampaikan, tetapi nggak di depan ibu
dan istrinya. Rasanya nggak nyaman. Apalagi bagi ibunya."
"Ya, betul sekali. Anda bijak."
Tiara melihat arlojinya.
"Masih ada waktu?" tanya Martin. "Pukul berapa Anda
mulai bertugas?"
"Masih lama. Saya tugas pukul setengah tiga."
"Sampai malam?"
"Ya, sampai pukul setengah sepuluh."
"Sekarang sudah saatnya makan siang. Kita makan
dulu, ya?"
"Saya bisa makan di asrama, tetapi pukul satu tutup.
Nggak ada makanan lagi. Maksudnya untuk disiplin. Jangan
semau sendiri."
"Kalau begitu, kita makan di sini saja. Bisa lanjut
mengobrolnya. Saya kan nggak bisa ikut makan di asrama."
Tiara tertawa. Ia setuju dan memilih makan nasi rames.
Martin memesan dua piring.
"Mudah-mudahan pemeriksaan Pak Arie masih lama,"
kata Martin.
"Kayaknya begitu," sahut Tiara tertawa. "Dia
dikerubuti dokter-dokter bermacam spesialisasi. Kabarnya
Dokter Akbar, ahli forensik, mau ikutan, padahal dia
tugasnya nggak di sini."
"Dia ahli forensik dari kepolisian. Tentu saja dia ingin
ikut memeriksa. Dia yang memastikan kematian Pak Arie.
Kasus Pak Arie unik banget. Kalau boleh sih semua dokter
dari seluruh dunia ingin ikut juga."
Usai makan mereka kembali berbincang mengenai topik
yang sama. Ternyata, membahas topik itu bisa menghabiskan waktu banyak tanpa menyadarinya.
* * *290
Setelah diambil darahnya untuk berbagai jenis tes, lalu
menjalani pemeriksaan jantung, otak, saraf, dan berbagai
organ penting lainnya Arie dikelilingi dokler-dokter.
Mereka mewawancarainya secara bergiliran.
"Setelah seminggu bagaimana rasanya, Pak? Lebih fit
dan segar?"
"Lebih segar memang, Dok."
"Makannya banyak?"
"Banyak, Dok. Nggak ada alasan kurang gizi."
Mereka tertawa.
"Kelihatan timbangan badannya naik dua kilo. Hatihati, jangan tambah terus. Nanti malah kegendutan. Suka
olahraga?"
"Belum sempat, Dok."
"Harus disempatkan, Pak. Seminggu dua-tiga kali. Atau
jalan kaki sejenak sesudah makan besar. Biar dibakar
kalorinya."
"Ya, Dok."
"Apa keluhan fisik yang dirasakan?"
"Keluhan yang paling jelas terasa daya refleks
berkurang. Juga keseimbangan suka terganggu, misalnya
jalan tak bisa lurus dan sedikit miring. Hal itu saya rasakan
cuma sebentar saja. Saya nggak berani menyetir mobil."
"Bagaimana dengan kepala? Suka pusing, sulit
konsentrasi, sulit mengingat?"
"Nggak ada kesulitan, Dok. Kalau dulu saya suka sakit
kepala berdenyut. Sekarang malah nggak."
Hasil tes darah sudah masuk karena permintaan khusus.
Hasil itu diedarkan dari satu dokter ke dokter yang lain.
Semua manggut-manggut.
"Bagus semuanya, Pak."
Arie tersenyum. Ia senang karena para dokter tak punya
alasan untuk memberi obat atau menyuruh tes yang lain.
Dokter Akbar, yang belum berbicara, mulai dengan
pertanyaannya, "Tadi Anda bilang, tak ada kesulitan291
mengingat? Jadi, memori Anda masih bagus? Semua
ingatan Anda sudah kembali? Bagaimana dengan
pengalaman Anda selama berada di alam sana? Sudah ada
yang diingat?"
Arie tak segera menjawab. Ia menikmati tatapan tegang
para dokter yang tertuju kepadanya. Semakin lama ia
menjawab, tatapan itu semakin tegang. Ia sadar, sebenarnya
jawaban pertanyaan itulah yang paling penting bagi para
dokter. Kalau semua tes fisik bisa dilihat hasilnya secara
gamblang, tidak demikian halnya dengan apa yang ada
dalam pikirannya. Soal itu, yang tahu cuma dirinya sendiri.
Ia kemudian teringat pada pengalaman Martin.
"Saya sudah memikirkan soal itu selama seminggu,
Dok. Tak ada hari tanpa memikirkannya. Saya hanya
bertemu mata kucing!"
Para dokter tersentak.
"Mata kucing?" Mereka berseru ramai-ramai. "Apa
maksudnya?"
"Tadinya yang saya lihat dan alami cuma kegelapan,
kemudian nggak gelap gulita lagi. Ada dua titik cahaya
seperti mata kucing dalam gelap."
"Oooh... begitu. Jadi, cuma itu?" kata Dokter Akbar
kecewa.
"Anda butuh waktu untuk mengingat semuanya, Pak,"
kata dokter lain.
"Saya takut mengerahkan segala kemampuan untuk
mengingatnya, Dok. Takut kepala saya pecah."
"Betul sekali. Biar pelan-pelan saja. Jangan ambil
risiko. Saya yakin nanti juga kembali."
"Ya, Dok."
Para dokter mendukung. Jangan memforsir segala
sesuatu. Terlalu besar risikonya. Arie sangat berharga.
Kalau saja ada dua kasus serupa maka nilainya tak lagi
terlalu besar. Sama seperti kasus mati suri yang pernah
terjadi. Semua menjadi tak terlalu luar biasa. Kasus yang292
pernah terjadi tak ada yang menyamai rekor Arie. Sembilan
jam! "Biarpun tak ada masalah serius yang Anda alami, kita
tetap bertemu seperti ini ya, Pak? Kalau bisa, Anda buat
catatan sendiri mengenai kemajuan atau kemunduran yang
Anda alami. Dalam pertemuan berikutnya kita bisa
bicarakan. Bagaimana, Pak Arie?"
"Baik," sahut Arie, tanpa keberatan.
"Kalau ada masalah, jangan tunggu lama-lama.
Segeralah ke sini!"
"Baik, Dok."
"Apakah polisi masih menyelidiki kasus penganiayaan
yang menimpa Anda? Saya belum dengar ada beritanya,"
kata Dokter Akbar.
"Masih, Dok. Saya terus berhubungan dengan petugas."
"Siapa namanya?"
"Pak Martin."
"Oh, Martin. Saya kenal baik tuh. Dia bagus."
"Ya, Dok. Katanya sudah ada titik terang."
"Katanya, Anda nggak ingat mau pergi ke mana dan
menemui siapa malam itu."
"Betul, Dok. Bagian itu yang masih belum ketemu."
"Anda memang pergi, kan?"
"Tentu, Dok,"sahut Arie, dengan perasaan aneh.
Pertanyaan itu sudah sering ditanyakan, baik oleh Martin,
ibunya, maupun dirinya sendiri. Saksi yang mengatakan
bahwa dia memang pergi adalah Erwina. Erwina tak
mungkin berbohong. Sekarang ditanyakan lagi. Tampaknya
siapa pun akan mengajukan pertanyaan itu, seolah dia
sendiri tak pernah berpikir ke situ.
"Anda begitu yakin, padahal Anda sendiri bilang Anda
nggak ingat."
Melihat wajah Arie yang kebingungan, Dokter Akbar
merasa iba. Ia sadar telah mencecar berlebihan, padahal
materi yang ditanyakannya bukanlah bidangnya.293
"Maaf, Pak," kata Dokter Akbar buru-buru. "Jangan
dipaksakan berpikirnya! Sudahlah! Nanti juga ketemu.
Butuh waktu. Ini kan baru seminggu."
"Ya, Dok," sahut Arie, dengan semangat menurun. Ia
bertekad tidak akan mau lagi diperiksa ramai-ramai seperti
ini. Biarpun dalihnya demi ilmu pengetahuan, di mana dia
merupakan objek yang unik dan fenomenal, ia tidak
menyukainya. Kalau mau melakukan tes-tes fisik, ia
bersedia. Pertanyaan yang seperti itu biarlah menjadi urusan
orang yang menjadi pakarnya, seperti Martin.
"Maukah Anda dihipnosis? Biasanya itu berhasil
membuka yang gelap-gelap," kata salah seorang dokter.
"Saya tidak mau, Dok."
"Sayang sekali."
Karena semua tes sudah selesai maka para dokter
terpaksa melepas Arie pergi. Terpaksa karena mereka masih
ingin menanyainya. Ada rasa ketidakpercayaan mereka
bahwa Arie tidak bisa mengingat pengalamannya. Dia
menyembunyikan sesuatu. Konon ditawari honor besar oleh
Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebuah media pun dia menolak untuk bercerita. Alasannya
hanya satu itu. Gelap.
Arie memang tak bisa dipaksa. Sulit bagi para dokter,
yang selalu berdalih demi ilmu pengetahuan, menerima
penolakan. Bayangkan! Kematian bisa dikalahkan. Mati
sembilan jam bisa hidup lagi. Kacau semua teori yang
diyakini benar. Kelak, mana mungkin lagi ada dokter yang
bisa mengatakan pada pasiennya bahwa hidupnya tinggal
sekian bulan bahkan sekian minggu atau sekian hari lagi?
Dengan berkata begitu, bisa memunculkan perasaan
mahatinggi karena bisa meramalkan mati hidup seseorang.
Bagi mereka, wajah sedih dan putus asa pasien sudah
menjadi hal biasa. Seperti pisau yang keseringan dipakai
lama-lama menjadi tumpul.
Di luar, Susan dan Erwina menyambut Arie. Mereka
sudah kesal menunggu, dan lapar pula.294
"Bagaimana?" tanya Susan dan Erwina hampir berbarengan.
"Semuanya baik," sahut Arie.
"Kok kelihatannya lesu?" tanya Erwina.
"Capek juga ditanya kiri-kanan."
"Ah, yang penting hasilnya baik," hibur Susan.
"Ayo kita ke kantin! Cari makan!" ajak Erwina.
"Mudah-mudahan Martin dan Tiara masih ada di sana."
Ternyata, Martin dan Tiara memang masih ada. Sengaja
menunggu. Keduanya segera menyambut. Arie dan Susan
merasa senang melihat mereka. Erwina tak mau memandang
keduanya. Ia malah memilih makanan dan langsung
memesan.
"Mama dan Arie mau makan apa? Aku sih soto ayam
saja. Mau juga nggak?"
"Nggak ah. Aku mau pilih sendiri. Yuk, Ma?"
Arie menggandeng Susan ke tempat pemesanan,
mencari makanan yang cocok.
"Nasi rames saja," kata Arie. "Mama apa?"
"Sama saja deh. Minumnya jus melon."
"Kau mau jus melon juga, Win?" tanya Arie.
"Nggak. Aku es teh saja."
"Kalian?" tanya Arie, kepada Martin dan Tiara.
Martin mengusap perutnya. Tiara tersenyum. "Sudah
makan, Pak. Kenyang."
"Bagaimana perbincangannya tadi?"
"Wah, menarik sekali, Pak," kata Martin. "Lain kali kita
bicara bertiga. Pasti lebih seru. Bukan begitu, Sus?"
"Betul," sahut Tiara, dengan tersenyum.
Susan manggut-manggut dan ikut tersenyum. Ia
mengamati Tiara dengan senang. Gadis yang manis dan
bersahaja, pintar dan tampaknya baik hati. Cocok sekali
untuk dijadikan calon menantu. Sekejap ia teringat dengan
miris. Sudah ada Erwina. Menantunya itu kelihatan295
mengerikan bila dibandingkan dengan Tiara, apalagi
sekarang dia memasang wajah judes.
Tiara memandang arlojinya.
"Sudah saatnya saya pamit."
Martin buru-buru berdiri. "Mari saya antar."
"Dekat kok. Asrama saya di belakang."
"Nggak apa-apa. Boleh kan mengantar sampai pintu?"
"Boleh,"sahut Tiara, dengan senyum manisnya.
Martin serasa melayang-layang. Dia melangkah dengan
bangga di sisi Tiara.
"Pasangan yang serasi," komentar Arie, sambil
memandangi punggung kedua orang itu.
"Ah, kurang," kata Susan. "Si Martin kayak koboi."
Erwina tertawa, padahal sejak tadi dia cemberut saja.
Kedua orang di dekatnya menoleh dan menatapnya dengan
heran. Erwina mengangkat pundak, lalu melengos tanpa
berkata apa-apa. Tiba-tiba Erwina merasa sendirian. Tak ada
seorang pun yang sehati dengannya, termasuk ibunya.
Ia merasa kangen kepada Benny. Sebegitu kangennya
hingga ia rela menerobos bahaya apa pun untuk menemui
Benny. Ia ingin menangis dalam pelukan Benny, ingin
disayang dan dimesrai. Masa bodohlah kalaupun ia sampai
dihukum mati untuk itu.296
16 MASIH hari Jumat yang sama.
Arie tak sabar lagi. Setelah tiba di showroom
sepulangnya dari rumah sakit, ia segera menelepon Martin.
"Saya nggak minta cerita panjang-panjang, Pak. Tadi
Tiara cerita nggak tentang Alex?"
"Dugaan Anda memang benar. Sebaiknya Anda tanya
langsung saja kepada dia. Sekarang baru pukul setengah
dua. Masih sejam lagi dia bertugas. Kalau omong sebentar
sih pasti keburu."
Buru-buru Arie menghubungi Tiara. Ia merasa
bersyukur sekali ketika teleponnya dijawab. Arie ingat,
Tiara pernah mengatakan bahwa ia tak pernah membawa
ponselnya kalau sedang bertugas. Sebagai gadis yang cantik,
pastilah ia punya banyak penggemar yang tak kenal lelah
meneleponnya.
"Oh, Pak Arie baik-baik saja?"
Arie merasa senang mendengar suara Tiara, yang
terdengar ramah.
"Ya, terima kasih, Sus. Maaf sudah mengganggu. Saya
cuma perlu info sedikit saja..."
"Tentang Alex?" potong Tiara. "Saya tahu Anda
penasaran sekali tadi, tetapi saya nggak mau omong di
depan ibu dan istri Anda. Kurang baik. Tadinya saya
memang mengira pernah melihat Anda di suatu tempat.
Setelah Anda cerita tentang Alex, yang meninggal di rumah297
sakit ini bersamaan dengan saya mati suri maka saya mulai
menghubung-hubungkan ke arah sana. Sudah lama juga sih.
Sekarang, saya bisa memastikan bahwa saya memang
melihat saudara Anda di sana."
"Dia omong apa? Kalian bertegur sapa?"
"Nggak. Cuma berpandangan saja."
"Seperti apa dia?"
"Seperti... ya seperti Anda," Tiara tertawa. "Cuma ada
bedanya sih. Anda manusiawi. Dia nggak. Ah, logis saja
dong, ya. Begitulah. Susah menggambarkannya."
"Selain itu, ada pengalaman Anda lainnya?"
"Kan dulu saya pernah cerita. Nggak ada yang lain."
"Anda cerita semua kepada Martin?"
"Kurang lebih sama, Pak. Kapan-kapan kita bicara lagi,
ya?"
"Ya, terima kasih, Sus."
Pembicaraan singkat itu cukup memuaskan Arie. Hanya
itu yang ingin diketahuinya. Sebuah kepastian tentang Alex.
Ia menghubungi Alex lewat pikirannya.
Lex! Benar kan kau bertemu Tiara di sana. Mengapa
nggak mengaku saja dari awal? Menyuruh sabar-sabar....
Jangan mengomel. Sori deh, Rie. Aku ingin kan omong
sendiri dengan dia.
Apa maksudmu?
Supaya kau tambah teman saja. Eh, Wina cemburu Iho.
Kau nggak lihat?
Nggak sempa?. Eh, apa kau tertarik kepada Tiara?
Heeemmm....
Apa maksudmu?
Tertarik itu punya arti yang berbeda-beda, Rie.
Bukankah kita selalu menyukai yang indah-indah?
Oh, begitu. Aku kira kau jatuh hati kepadanya. Siapa
tahu sejak dari sana kau sudah menyukainya, lalu kau ikut
aku untuk mengejarnya.298
Ha... ha... ha! Itu memang khas pemikiran duniawi.
Mana mungkin di sana ada yang seperti itu?
Duniawi katamu, Lex? Kau ikut aku kan untuk
mengejar Wina. Kau masih mencintai dia. Itu duniawi
banget, kan?
Ya, bagaimana kesimpulanmu sajalah, Rie. Begitu aku
ikut ke sini, aku jadi sama denganmu. Mana mungkin beda?
Nah, kalau begitu kacamata yang kaupakai dalam
menilai Tiara jadi beda juga dong. Di sana dan di sini
nggak sama. Itu menurutmu sendiri Iho.
Ya, jelas beda. Aku kan sudah bilang, aku hanya
mencintai Wina.
Itu komitmen, Lex?
Anggap begitu. Kau juga, kan?
Kau ada dalam diriku. Apakah kau nggak bisa meliha?
pikiran dan perasaanku? Aku sebenarnya bingung.
Jalani saja, Rie. Percayalah! Aku nggak akan
membuatmu menjadi kacau, justru sebaliknya.
Jadi, nggak usah dipikirkan?
Nggak usah. Itu namanya bikin capek percuma.
Ya, sudah. Aku sudah lega. Lagi pula, Martin
tampaknya menyukai Tiara. Kau tahu Martin kan? D?a yang
menyelidiki kasusku.
Ya, aku sudah tahu.
Kau tahu, Lex? Detailnya juga?
Kan aku bisa meminjam mata dan telingamu. Kasusmu
itu dibilang ribet sih nggak Cuma...
Hei, cuma apa?
Lex! Lex! Kok nggak menyahut?
Wah, kau jahat ya, Lex.
Bukan jahat, Rie. Aku nggak mau omong saja. Nggak
ada kewajiban untuk selalu menjawab, kan? Ada saatnya299
omong, ada saa?nya diam. Sekarang, sudah saatnya diam. I
have the right to remain silent.
Aku masih ingin omong.
Omong saja sendiri.
Tadi kau omong nggak selesai. Harus diselesaikan
dong. Cuma apa?
Lex! Lex! Aduh, terlalu kau ini!
Tiba-tiba Arie terkejut. Ada tepukan di pundaknya. Ia
menoleh dan melihat Kadir.
"Maaf, Pak. Saya mengagetkan, ya?"
"Oh, nggak apa-apa, Dir. Ada apa?"
"Ada pembeli yang serius."
Arie berjalan diiringi Kadir. Di belakang Arie, Kadir
geleng-geleng dengan raut muka iba. Majikannya itu
tampaknya belum pulih benar. Melamunnya dalam sekali
sampai dipanggil berulang-ulang tidak sadar. Lain kali ia
tahu apa yang harus dilakukan kalau terjadi seperti itu lagi.
Jangan dipanggil, sekeras apa pun, tetapi cukup disentuh.
* * *
Susan memegang ponselnya erat-erat. Bukan takut dirampas
orang karena toh ia sudah berada di paviliunnya. Ia tegang
antara menelepon Katrin atau tidak.
Menurut Erwina, ibunya baik-baik saja. Katrin sendiri
kepadanya mengatakan dirinya tidak enak badan. Jelas dia
berhohong. Susan sangat tergelitik untuk melihat sendiri
kondisi Katrin. Tentu saja juga sangat ingin tahu. Tak salah
lagi, Katrin ingin menghindar darinya karena khawatir bisa
"terbaca".
Kalau mengikuti suara hatinya sendiri ia ingin segera
mengkonfrontasi Katrin dengan apa yang diketahuinya, lalu
mengajak Katrin membicarakannya dengan baik-baik.300
Namun, ia ingat pesan Martin untuk merahasiakan dulu hal
itu. Ia tidak boleh bertindak sendiri. Ia harus bekerja sama.
Ada kesimpulan menakutkan, yang dikhawatirkan
Katrin bukan cuma soal perselingkuhan, tetapi lebih dari itu.
Susan jadi penasaran, apa kira-kira itu? Sampai kapan
Martin bermaksud merahasiakannya? Kerja sama yang
dimintanya hanyalah kepura-pura-an. Pura-pura tidak tahu,
tetapi justru itu sangat susah baginya. Ia ingin berinisiatif.
Akhirnya, ia memutuskan. Setelah berpesan kepada
pembantu di rumah induk, ia pergi ke rumah Arie untuk
menjumpai Katrin. Tak ada pemberitahuan sebelumnya.
Sengaja supaya Katrin tidak bersiap untuk menolaknya.
Tindakannya benar. Bi Iyah tidak berprasangka. Ia
memang sudah dipesan untuk tidak membukakan pintu bagi
siapa saja, termasuk Susan. Pesan itu diterimanya pagi hari,
bukan siang. Tak ada pesan baru, apalagi Bu Susan sahabat
Bu Katrin, ibu Pak Arie, dan ibu mertua Bu Erwina. Masa
tidak dibukakan pintu.
Katrin sangat terkejut melihat kemunculan Susan secara
tiba-tiba di depannya. Melihat wajah Katrin, Bi Iyah buruburu menghilang.
Susan menjatuhkan dirinya di sofa di samping Katrin.
"Hai, Kat! Aku sudah kangen kepadamu. Lama sekali
kita nggak mengobrol, ya. Jangan bilang kau sudah bosan
datang ke tempatku. Sekarang, kau lebih suka baca majalah
sambil ngemil ya?"
Katrin gelagapan. Ia tak bisa segera menjawab. Terlalu
mendadak untuknya. Ia terlalu bodoh kalau menyangka
Susan akan menyerah begitu saja pada jawabannya.
Sekarang, Susan jadi terlihat menakutkan. Bukan lagi
seorang sahabat, yang penuh sayang dan perhatian.
Susan justru menampakkan keramahan dan perhatian.
"Kau memang kelihatan pucat dan ada bayang-bayang
hitam di bawah mata. Kurang tidur?" kata Susan, sambil
mengamati wajah Katrin.301
Katrin tersipu. "Aku... eh, sori ya," katanya bingung.
"Sori apa? Nggak apa-apa kau nggak ke tempatku.
Kalau lagi nggak enak badan memang inginnya sendiri.
Jadi, nggak direweli, ya? Aku cuma ingin lihat keadaanmu.
Apakah aku mengganggu? Nggak lama kok, Kat."
"Bukan begitu, Sus. Terima kasih untuk perhatianmu."
"Eh, kau mau dibelikan apa? Aku menyesal tadi nggak
mampir ke toko kue."
"Jangan, jangan, Sus. Trims. Lagi nggak enak makan
kok."
"Sayang sekali kau nggak main ke rumah. Tadinya aku
berencana ingin mencoba resep baru."
Katrin menoleh, menatap penuh keinginan. Mencoba
resep baru selalu merupakan saat-saat yang menyenangkan.
Ketika mereka tertawa tergelak karena perasaan geli yang
tak tertahankan saat resep yang sudah jadi ternyata rasanya
aneh. Ketika mereka senang tak kepalang kalau resep yang
dicoba rasanya lezat sekali.
Dalam suasana hati seperti sekarang, bisakah hal-hal itu
Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diraih? Dia sebenarnya bukan hanya takut, tetapi juga
merasa bersalah. Dari tadi ia sudah mengerahkan
pikirannya, menimbang dan memperkirakan segenap untung
ruginya, apa yang akan terjadi kalau ia berterus terang dan
apa pula yang akan terjadi kalau ia tetap menyimpan.
Sebenarnya, apa yang ingin disimpannya itu baru
merupakan dugaan, bukan fakta. Namun, dugaan itu lebih
dari sekadar prasangka belaka. Dugaan itu hampir mengarah pada kebenaran.
Ada pertanyaan besar baginya, apakah Susan menaruh
curiga kepadanya atau tidak? Bila tidak, ia bisa terus
berpura-pura dengan aman. Bila ya, risikonya adalah
malapetaka. Bukan hanya bagi hubungan mereka berdua,
tetapi lebih-lebih bagi Erwina. Ia tahu mengenai keakraban
Susan dengan Martin. Ia juga tahu bahwa Erwina membenci302
Martin. Tak bisa lain hal itu disebabkan karena Martin
mencurigai Erwina, dan Erwina menyadarinya.
Mungkin juga malapetakanya tidak terlalu dahsyat. Arie
tidak mati. Jadi, kasusnya bukan pembunuhan, meskipun
awalnya diniatkan begitu. Perselingkuhan masih bisa
dimaafkan, meskipun dengan perasaan sakit. Susan orang
yang baik dan pemaaf, tetapi Arie yang mencintai Erwina
akan terpukul dengan akibat yang sulit diprediksi.
Bisakah ia terus berpura-pura, biarpun segala
kebusukan nantinya akan terungkap? Mungkinkah ia
sebodoh itu? Tinggal serumah, tetapi tidak melihat
kejanggalan? Ia sadar mata Susan awas sekali, dan juga
pintar. Tak mengherankan kalau Martin suka mendekati
Susan. Ia juga sempat heran mengapa Martin tidak banyak
menanyainya. Awalnya, ia kesal karena merasa tidak
dihargai, tetapi belakangan malah senang. Sekarang ia tidak
yakin lagi. Ada pemikiran yang membuatnya cemas. Martin
sengaja melewatinya karena dia adalah ibu Erwina. Seorang
ibu dipercaya tidak akan mengkhianati anak sendiri. Jadi,
percuma ditanyai.
Setelah berpikir sampai otaknya serasa kering, ia belum
juga bisa memutuskan bahkan sampai Susan berada di
dekatnya. Justru ia diliputi pertanyaan, mengapa Susan
begitu ngotot mengejarnya. Tidak cukupkah dengan
jawaban lewat telepon bahwa ia tidak bisa datang?
Perasaannya mengatakan bahwa Susan bukan semata-mata
ingin menunjukkan perhatiannya, melainkan ingin melihat
sendiri kondisi dan sikapnya. Hal yang terakhir itulah yang
sulit ditutupinya.
Katrin terkejut, menyadari bagaimana Susan met? atap
dan mempelajarinya. Ia terlalu larut dalam pemikirannya
sehingga melupakan kehadiran Susan. Namun, tatapan
Susan tampak ramah.
"Kau lagi banyak pikiran, ya?"303
Katrin sadar, mereka berdua sudah saling mengenal
terlalu lama hingga sangat memahami apa kelebihan dan
kekurangan masing-masing.
Katrin memijit keningnya. "Betul," katanya mengakui.
"Nggak mau curhat? Siapa tahu aku bisa bantu."
Pertanyaan itu menakutkan. Tadi ia salah menjawab.
Satu jawaban akan selalu memancing pertanyaan berikutnya. "Nggak apa-apa, Sus. Aku harus selesaikan sendiri."
Susan manggut-manggut.
"Aku mengerti," jawab Susan singkat.
Katrin heran, mengapa Susan tak bertanya. Dia
mengerti, katanya. Apa yang dimengertinya?
"Oh, ya. Kau mau tahu apa yang terjadi di rumah sakit
tadi?" Susan mengganti topik.
Katrin merasa lega karena topik sudah berganti. Ia
sampai melupakan hal itu.
"Bagaimana Arie?"
"Dia baik. Semua tes hasilnya bagus. Ada hal lain yang
menarik."
Dengan bersemangat Susan bercerita tentang Martin
dan Tiara. Katrin tertarik mendengar kisah itu hingga
melupakan kegalauannya.
"Wah, ada yang seperti itu, ya? Sayang Arie nggak
punya pengalaman apa-apa."
"Kalau aku sih, mendingan begitu. Takut ada yang
seram-seram, Kat."
"Ah, masa sih? Kalau seram itu gambaran neraka
dong."
"Orang baik tentunya nggak masuk neraka. Beda
dengan si pelaku."
Suara Susan terdengar geram. Katrin berdebar, tetapi
cepat menjawab, "Betul."
"Aku pikir, orang yang diberi kesempatan hidup lagi
sebenarnya disuruh untuk memperbaiki kelakuannya yang304
jelek di masa lalu. Betul nggak, Kat? Beda dengan yang
jahatnya kebangetan. Sudah nggak ada ampun lagi."
"Betul."
"Aku juga sering bilang begitu kepada Arie. Jaga
kelakuan!"
"Arie sekarang banyak berubah."
"Bagaimana berubahnya di matamu?" Susan ingin tahu.
"Lebih lembut, sabar, dan santun."
"Hanya itu?" Susan tidak puas.
"Yah, belum banyak yang kulihat sih."
"Dia dermawan," kata Susan, dengan nada bangga.
"Oh, ya?"
"Dia membebaskan Benny dari kewajiban membayar
cicilan mobil, padahal masih banyak jumlahnya. Kuharap
dia nggak sering berbuat seperti itu lagi. Bisa bangkrut.
Orang yang membeli mobil itu kan artinya punya duit."
Katrin terkejut. Ternyata, dia ke?inggalan banyak
informasi. Ia bertanya-tanya, apakah Erwina tahu soal i tu.
"Maksudmu mobil yang dipakainya itu?"
"Ya. Itu mobil bagus, biarpun dibeli bekas."
"Siapa yang bilang? Arie?"
"Arie justru nggak omong. Malah Martin yang cerita."
Katrin lebih kaget lagi. Ada hubungan apa dengan
Martin?
"Kok Martin bisa tahu?" tanya Katrin, dengan bernafsu.
"Nggak tahu juga. Kalau Arie yang cerita kepadanya
kok dia nggak cerita kepada aku. Kalau ada apa-apa, Arie
kan selalu cerita. Maklumlah. Namanya juga detektif, bisa
tahu saja tuh."
"Sampai mana sih penyelidikannya?" tanya Katrin,
dengan perasaan gentar, tetapi memberanikan diri bertanya.
"Katanya, ada titik terang."
"Apa titik terangnya?"
"Nggak tahu. Mana dia mau cerita. Kita tunggu saja."305
Katrin bertanya-tanya sendiri, mengapa Martin bcrcerita
kepada Susan tentang cicilan mobil Benny. Apa urusan
Susan tentang hal itu? Sayangnya, ia tidak berani
menanyakannya langsung.
"Kelihatannya seperti buntu, ya?"
"Ah, nggak mungkin. Kalau ada titik terang, artinya
nggak buntu dong. Kita kan nggak tahu titiknya sebesar apa.
Penyelidik biasa suka omong begitu."
"Kau sering bicara dengan dia, Sus?" Katrin mulai
berani bertanya.
"Sering sih nggak. Sesekali saja. Kalau dengan Arie
sering. Setiap hari mereka bertemu."
"Setiap hari?"
"Ya. Apa kau nggak pernah bicara dengan Arie tentang
kasusnya itu?"
"Nggak."
"Kalau ingin tahu tanya saja."
"Segan, Sus. Aku nggak mau bikin dia pusing."
"Tanya Wina saja. Tentunya Arie suka bicara kepada
Wina soal itu."
"Oke. Aku akan tanya."
Susan berdiri. "Aku pamitan saja, Kat. Sayang banget
kau nggak bisa ikut, ya. Baru kali ini kau absen. Aku
kehilangan."
"Sori, Sus. Aku juga menyesal."
"Nggak apa-apa. Nggak perlu menyesal. Masih ada lain
kali."
Katrin berdiri. Susan mendorong pelan hingga Katrin
terduduk kembali.
"Sudah. Nggak usah mengantar. Aku tahu jalan keluar.
Biar Bi Tyah saja yang mengunci pintu."
Katrin terpaksa duduk saja, sementara Susan berjalan
keluar diiringi Bi Iyah. Ia termenung memikirkan
percakapan tadi. Antara menyesali keputusannya dan tidak.306
Tiba-tiba ia menyadari betapa lamanya Bi lyah masuk
kembali ke dalam. Apakah Bi lyah masuk lewat garasi?
Ingin tahu, ia menguak tirai jendela yang menghadap ke
pagar. Ia tercengang melihat Bi lyah sedang asyik
mengobrol dengan Susan di depan pagar dengan posisi
menghadap ke jalan. Ia merasa jengkel, tetapi ingin tahu.
Begitu Bi lyah masuk, ia segera menghadangnya
dengan pertanyaan.
"Mengobrol tentang apa sih tadi, Bi?"
"Macam-macam, Bu."
"Macam-macam itu apa?"
Raut muka Katrin menimbulkan perasaan waswas di
hati Bi lyah. Mungkin kedua ibu ini lagi marahan atau ada
yang kurang beres, tetapi ia tak mungkin tidak menjawab.
"Ibu Susan tanya, apakah Pak Arie baik-baik saja? Ya,
memang baik, kan?"
"Selain itu, tanya apa lagi? Masa cuma itu."
"Dengan Bu Wina bagaimana, rukun atau nggak? Ya,
rukun, kan?"
"Apa lagi?" suara Katrin meninggi.
"Ibu Susan tanya, apakah Pak Benny sering ke sini?"
Katrin terkejut. Penasaran dan jengkel.
"Bibi jawab apa?"
"Saya jawab sering, tetapi itu dulu sebelum Pak Arie
meninggal. Begitu kan, Bu? Kalau sekarang sih nggak lagi.
Oh... ya, dia pernah ke sini waktu ada Pak Polisi bertamu ke
Bu Wina. Ibu nggak tahu karena ada di rumah sakit."
Katrin terkejut. Itu info yang baru untuknya. Erwina
tidak bercerita kepadanya. Erwina memang tidak pernah
bercerita Iagi.
"Apa lagi? Ayo, omongnya yang lancar dong. Masa
setiap kali mesti ditanya."
"Bu Susan tanya, waktu kejadian yang menimpa Pak
Arie saya pulang kampung atas kemauan sendiri atau307
disuruh? Saya bilang, kemauan sendiri. Memang begitu kan,
Bu?"
"Teruis?"
"Terus apa, ya? Oh... ya, waktu semua orang ada di
rumah sakit dan saya di rumah sendirian, apakah ada yang
aneh nggak? Maksudnya, lain dari biasanya. Saya bilang
ada."
"Apa?"
Suara Katrin mengguntur hingga Bi Iyah terkejut sekali.
Mulutnya membuka menutup tanpa keluar suara. Sikap Bi
Iyah juga mengejutkan Katrin hingga ia menyesal telah
membentaknya.
"Maaf, Bi," kata Katrin. "Sudah, jangan kaget lagi.
Bilang saja, Bi. Apa yang lain dari biasanya?"
"Saya lihat di gudang ada banyak potret ditaruh di
lantai. Disandarkan ke tembok. Ada yang terbalik, ada yang
nggak. Ada yang pecah satu. Saya kenali itu potret
perkawinan Bu Wina dan Pak Arie. Mengapa jadi ada di
situ, saya nggak mengerti. Belakangan Ibu kan mengajak
saya memasang lagi di kamar Bu Wina."
Katrin terlalu terkejut hingga tak punya tenaga lagi
untuk bertanya. la terduduk lemas di sofa.
"Buuu... Buuu... ada apa?" tanya Bi lyah cemas.
Katrin mengibaskan tangannya. Bi lyah tidak bertanya
lagi. Ia menghilang cepat-cepat.
Pada saat itu, Katrin merasa terlilit oleh beragam
penyesalan yang luar biasa. Seakan ia sedang dililit oleh ular
piton yang besar sekali. Sebegitu keras dan erat lilitannya
hingga ia sulit bernapas. Ada pemikiran baru yang
menakutkan. Bila nanti kasusnya terungkap dan dugaannya
ternyata benar maka ia bisa dijadikan tersangka juga karena
ia telah menyembunyikan informasi penting. Bi lyah saja
tahu mana yang aneh dan mana yang tidak. Bi Iyahlah saksi
yang menyatakan bahwa mereka berdualah yang memasang
kembali foto-foto itu. Siapa yang menurunkan dan308
mengeluarkannya dari kamar tidak sulit ditelusuri. Apa
motifnya? Orang yang bisa menjawabnya hanya Erwina.
* * *
Erwina menelepon Benny dari butiknya. Sejak tadi di rumah
sakit ia banyak diam, tak bisa berkomunikasi dengan orang
lain dan memang tak ingin. S-karang, ia ingin bicara. Hanya
dengan Benny ia bisa bicara lepas dan bebas karena dengan
Benny ia bisa berbagi rahasia, yang tak mungkin dibaginya
dengan orang lain. Pada saat keinginan itu demikian
memuncak, ia merasa tak bisa lagi memendamnya karena
tekanannya ?erlalu besar. Bahkan kewaspadaan pun menjadi
tidak penting lagi. Suara Benny terdengar surprise.
"Katanya kita harus hati-hati. Aku masih ingat
ucapanmu, Say. Ada apa? Mendesak atau bagaimana?"
"Nggak sih. Aku ingin mengobrol saja. Ada cerita dari
rumah sakit tadi."
"Oh... ya, bagaimana dia? Baik-baik saja?"
Erwina tersenyum. Harapan Benny tentu kebalikan dari
baik.
"Aku malas bicara di telepon."
"Di mana, dong? Kau bilang, siapa tahu di butik ada
mata-mata."
"Ya, sih. Di mana, ya? Aku ingin bertemu juga."
Benny tertawa. Kedengaran senang.
"Lucu juga, ya. Kita gantian mengingatkan, tetapi
gantian juga melanggamya. Aku menurut saja. Bertemu di
mana dong. Sekalian mau kencan nggak?"
Erwina tidak merasa bergairah saat itu. Ia hanya ingin
bicara.
Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudahlah. Datang saja ke butik. Nanti kusuruh
karyawanku pulang. Cuma satu orang kok. Tadi bukanya
siang. Lagi sepi. Aku jaga sendiri juga bisa."
"Baiklah. Aku ke sana sekarang juga."309
"Nggak sibuk?"
"Nggak sih. Bisa ditinggal sebentar. Menemuimu lebih
penting."
Erwina termenung menunggu kedatangan Benny.
Lama-lama ia jadi merasa jenuh dengan kewaspadaan dan
kekhawatiran, padahal tak ada apa-apa yang terjadi. Tak ada
polisi yang menciduknya bersama Benny bahkan tak ada
lagi yang menanyai mereka. la ingin hidup seperti biasa.
Bukankah Arie tidak mati?
Benny datang, tetapi Erwina mencegahnya memasuki
ruang kantornya.
"Lho, kan di sana lebih nyaman? Toko tutup saja."
"Justru itu. Aku mau tetap buka. Kita mengobrolnya di
depan sambil jaga toko. Jadi, nggak ada alasan untuk
memata-matai. Kalau ada intel..."
"Wah, kau masih khawatir rupanya."
"Jelas dong. Memang kau nggak? Itulah sebabnya, aku
stres. Ingin omong, tetapi mau omong dengan siapa tanpa
takut kelepasan bicara? Dengan Mama juga nggak bisa."
"Ya, ya. Aku mengerti, Say."
Benny ingin meraih Erwina, tetapi Erwina tampak
segan. Duduk pun berseberangan, dibatasi meja. Benny tak
mau memaksa. Diam-diam ia juga merasa khawatir, kalaukalau ada info yang kurang baik.
"Tadi katanya mau cerita."
Erwina segera bercerita tentang pertemuannya dengan
Martin dan Tiara.
Benny tidak tertarik pada kisah mati suri. "Bagaimana
sikap Martin kepadamu?"
"Masih biasa. Sinis."
"Mungkin itu perasaanmu saja, Say. Kau nggak suka
kepadanya. Pikiranmu jadi negatif."
"Entah. Mungkin juga."
"Dia nggak bertanya-tanya kepadamu?"
"Nggak pernah lagi. Kepada kau juga nggak, kan?"310
"Nggak. Bertemu pun juga nggak. Kelihatannya dia
sudah lupa kepada aku."
"Ah, apa ya?" Erwina tidak percaya.
"Waktu Arie masih di rumah sakit, dia masih suka
menguntit. Sekarang, kayaknya nggak lagi. Mungkin dia
nggak mendapatkan bukti. Curiga sih boleh saja, tetapi
kalau buktinya nggak ada dia nggak mungkin mengusik
kita."
"Pantas kau tenang-tenang saja. Aku kok nggak bisa,
ya."
"Apakah Arie bicara sesuatu?"
"Dia termasuk orang yang paling menggelisahkan.
Tempo hari dia bikin rekonstruksi saat terakhirnya sebelum
mati. Tentu saja dia mentok pada saat tertidur setelah
minum. Dia nggak ingat apa-apa lagi setelah itu. Dia hampir
yakin nggak pergi ke mana-mana. Aku tentu saja bersikeras
mengata-kan dia memang pergi. Cuma aku saksinya."
"Itu saat yang paling sulit buatmu," Benny mengakui.
"Dia percaya kepadaku. Jadi, aku harus baik kepadanya.
Nggak bisa lain, kan?"
Benny terpaksa menyetujui.
"Dia memang baik kepadamu, kan?"
"Jauh lebih baik daripada dulu. Dia kelihatan sangat
menyesali perbuatannya dulu."
Benny merasakan kecemburuannya mulai merayap
naik.
"Kau... kau menerima penyesalannya? Kau percaya
dia?"
Erwina menyadari kecemburuan Benny. Ia tahu, ia tak
bisa berterus terang.
"Aku harus percaya, Ben. Kalau nggak, bagaimana?"
"Ya, ya. Sori, Say. Aku terlalu mencintaimu. Aku takut
kehilangan dirimu."
"Aku tahu. Oleh karena itu, aku jadi stres. Aku pikir,
kelihatannya saja Martin tenang-tenang. Di belakang siapa311
tahu? Kau sih enak karena ada di luar. Aku ada di dalam
lingkungan ini. Arie, mertua, dan mama seolah-olah
mengawasi terus."
"Kau harus tabah dan sabar, Say. Justru dengan begitu
mereka nggak akan mendapat apa-apa. Mau menuduh nggak
punya bukti."
Erwina merasa jenuh mendengar ucapan seperti itu.
Selalu sama.
"Jadi, nggak ada yang bisa kita lakukan pada saat ini,
Ben?"
"Nggak ada."
"Berapa lama kita harus begini terus?"
"Sampai kasus ini dihentikan. Kan kita sudah sepakat
tentang hal itu."
"Bagaimana kalau nggak dihentikan? Diselidiki tenis?"
"Aku nggak percaya mereka masih punya energi untuk
itu. Kasus lain kan banyak. Ada pembunuhan, mutilasi, dan
sebagainya. Buat apa bertahan pada kasus ini, yang nggak
ada apa-apanya?"
Erwina termangu. Bukan omongan seperti itu yang ia
harapkan dari Benny. Omongan itu sih sudah sering
diucapkan. Ia ingin yang konkret.
Tatapan Benny berkeliling ruangan. Wajahnya segera
berubah.
"Hei, tokomu sudah penuh lagi, Win!" serunya.
"Ah, belum sih."
"Dia jadi memberimu tambahan modal?"
"Ya," Erwina terpaksa mengakui.
"Kapan dikasihnya?" Benny kecewa karena Erwina
tidak memberi tahu.
"Baru saja."
"Barang-barang ini kayaknya sudah lama di sini."
"Ah, mana kau tahu?"
Benny tidak mempedulikan nada kesal dalam suara
Erwina. Ia lebih ingin memuaskan keingintahu-annya.312
"Dia kasih berapa?"
Erwina sadar, kalau Benny tidak diberi tahu maka
Benny tidak akan merasa puas dan mungkin tersinggung. Ia
pun menyebut jumlah rupiah, hanya setengah dari yang
sesungguhnya diberikan Arie.
"Sedikit, ya?" komentar Benny.
"Ah, lumayan. Daripada nggak ada sama se-kali."
"Mengapa nggak minta lebih?"
"Dikasih saja sudah bagus. Eh, bagaimana dengan
janjimu? Katanya mau bantu juga."
"Jangan khawatir, Say. Aku akan menepati janji, tetapi
nggak bisa sekarang. Kan harus menunggu komisiku
dibayar. Jumlahnya pasti akan lebih banyak daripada yang
dikasih Arie."
Diam-diam Erwina tidak mempercayai hal itu. Ia juga
tidak tahu, apakah Benny percaya jumlah bantuan Arie yang
tadi dikatakannya.
"Kau harus tetap berusaha minta lagi. Jangan puas
hanya dikasih segitu," pesan Benny.
"Ya."
Ketika berpamitan, Benny menarik tangan Erwina
mengajaknya ke tempat yang tidak kelihatan dari pintu, lalu
menciumnya. Mula-mula biasa-biasa saja, tetapi lamakelamaan semakin panas. Posisinya malah menggeser ke
pintu kantor sambil menarik Erwina bersamanya.
Erwina menahan tubuhnya, lalu mendorong Benny.
"Sadar, Ben," bisiknya.
"Kita bisa melakukannya dengan cepat, Say."
Ucapan itu malah membuat Erwina jengkel dan muak
"Nggak ah. Jangan lupa diri! Pergilah!"
"Nanti kita kencan lagi ya, Say?" kata Benny, dengan
wajah memerah. Ia sangat kecewa dengan penolakan
Erwina.313
Erwina tidak menjawab. Ia mendorong Benny ke luar,
lalu mengunci pintu dan memasang tulisan "Tutup" pada
kaca pintu.
Setelah itu, Erwina bersandar ke pintu dengan
memejamkan mata. Benny tak segera berlalu, me-lainkan
berdiri saja sambil memandang ke dalam. Benny mengetuk
pintu pelan sambil memanggil nama Erwina dengan suara
lirih. Berkali-kali panggilan itu Benny ulangi. Erwina tidak
menyahut. Ia cepat berlalu dari pintu, lalu masuk ke dalam
ruang kantornya. Ia tahu apa yang akan terjadi kalau
mematuhi panggilan Benny.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Ia melihat dulu,
meskipun yakin itu pasti Benny. Ternyata, memang benar.
Sesaat ia ragu-ragu, apakah menerimanya atau tidak, tetapi
ia ingin kepastian apa yang ingin dikatakan Benny.
"Halo, ada apa, Ben?" Ia bertanya, dengan suara biasa.
"Aduh, kukira kau marah. Sori, ya. Aku terlalu
memaksa. Janji, lain kali nggak."
"Ya, sudah. Maklumi saja. Aku lagi stres."
"Sebenarnya, aku ingin menghiburmu, tetapi susah ya
posisi kayak begini."
"Sudahlah. Nggak apa-apa."
"Nggak marah, kan?"
"Nggak."
"Trims ya. Sampai nanti. Teleponlah lagi!"
Erwina menarik napas dalam-dalam. Tadi ia begitu
ingin bertemu Benny dan merindukannya. Ia mengira bisa
meredakan stresnya dan melegakan pikirannya. Nyatanya,
tidak begitu. Stresnya malah terasa bertambah. Berat
menekan dadanya. Ia juga kecewa karena menganggap
Benny hanya ingin melampiaskan nafsunya saja.
Sebenarnya, ia sudah punya perkiraan ke situ hingga tak
mau berbincang di ruang kantornya, tetapi ia masih berharap
Benny punya pengertian tentang kondisinya. Ternyata, sebaliknya yang terjadi.314
Mungkin Benny mengira bercinta bisa meredakan atau
menghilangkan stres. Ia tidak yakin akan hal itu. Bercinta
bukan solusi dari permasalahannya. Mungkin cuma bisa
melegakan sebentar karena hanya berfungsi mengalihkan
sementara. Nanti kalau sudah selesai muncul lagi.
Sekarang, ia ingin bertemu Arie. Belum saatnya tutup,
tetapi tampaknya toko sepi. Ia bisa pergi ke showroom dan
menunggu di sana. Ia memang sudah berjanji akan
menjemput Arie.
Sekali lagi ponselnya berbunyi. Melihat nama ibunya di
layar, ia berpikir sejenak. Nalurinya mengatakan, ia perlu
mempersiapkan diri untuk sebuah kejutan. Tak urung
jantungnya berdebar.
"Ya, Ma? Ada apa?"
"Mama baru saja mendapat info dari Susan."
"Oh, Mama sekarang ada di paviliun Mama Susan, ya?
Jadi juga ke sana? Apa infonya, Ma?"
"Mama di rumah kok. Nggak ke sana. Susan yang ke
sini. Mengobrol sebentar. Lebih banyak Susan yang bicara."
"Infonya, Ma?"
"Oh, ya. Katanya, Benny mencicil mobil dari Arie.
Bayarnya seret, lalu dianggap lunas saja oleh Arie."
Erwina terkejut. Ia baru tahu tentang hal itu. Benny
tidak pernah bercerita.
"Mobil yang dia pakai itu, Ma?"
"Ya. Kau baru tahu rupanya, ya? Dia nggak cerita?"
"Nggak. Arie juga nggak omong. Mama Susan
diceritakan Arie, ya?"
"Justru itu yang mengherankan. Arie nggak pernah
omong."
"Siapa yang omong dong kalau begitu?"
"Martin."
Satu kata itu bagai hantaman keras ke kepala Erwina.
"Win! Win! Kau masih di situ?!" teriak ibunya.315
"Ya, Ma," sahut Erwina lesu. "Terus ada info apa lagi,
Ma?"
"Itu saja yang penting. Maksudku supaya kau tahu
orang seperti apa Benny. Aku juga nggak tahu jelas sudah
berapa lama dia menunggak cicilannya. Karena yang omong
Martin, aku nggak mau bertanya. Nanti nggak enak jadinya.
Maksud hati Arie tentunya baik. Katanya, Benny sudah
banyak membantu."
"Ya, Ma."
"Kok lesu? Kaget, ya? Sudah, jangan dipikirkan!"
Ucapan itu terdengar lembut dan menyejukkan. Mampu
meredakan kekagetannya. Penyesalan muncul dalam dirinya. Ia sudah melupakan ibunya.316
17 HARI Sabtu, pagi-pagi sekali.
Arie terbangun dari tidurnya dengan mendadak. Ia
merasa seperti dibangunkan. Ia menoleh ke sisinya, Erwina
masih tidur pulas. Ia sendiri tidur nyenyak. Biarpun ia
terbangun saat hari masih pagi sekali, pukul empat pagi,
seakan-akan ia sudah tidur lama dan puas. Fisiknya terasa
begitu rileks dan santai.
Semalam ia bercinta dengan Erwina. Mereka melakukannya dengan sangat menyenangkan. Berbeda dari
sebelumnya, kali ini Erwina sangat aktif. Mereka berdua
meliuk-liuk dengan pas dan serasi. Bagaikan tarian yang
memerlukan kerja sama, saling mengisi dan penuh harmoni.
Ia sampai takjub kepada Erwina, dan serasa berada di langit
ketujuh. Sangat bahagia.
Mereka melakukannya tak hanya sekali, melainkan dua
kali dengan selang waktu setengah jam.
Permainan kedua diperankan Alex. Kali ini Erwina
sendiri tidak keberatan. Ia tidak merasa terpaksa bahkan
setengah mendorong dengan rangsangan dan ajakan yang
tidak kentara. Tampak jelas Erwina juga menyukai
permainan mereka.
Dalam hal itu, Arie membiarkan fisiknya digunakan
Alex. Pikirannya sendiri tidak ikut menikmati. Fisiknya pun
seakan-akan tidak bisa ia rasakan. Berbeda dengan
pengalaman pertama kali waktu "membagi" tubuhnya317
Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan Alex, kali ini ia mampu memisahkan perasaan dan
pikirannya. Ia menyerahkan tubuhnya sepenuhnya kepada
Alex. Dengan demikian, ia tidak merasa kelelahan seperti
halnya kalau ia yang melakukan sebanyak dua kali dengan
intensitas yang begitu tinggi.
Ada yang masih belum dipahami Arie, yakni Erwina.
Baru sekarang ia menyadari Erwina memiliki libido yang
tinggi. Dulu, ketika Alex masih hidup dan mereka juga
berbagi, ia menganggap reaksi dan aksi Erwina wajar saja
karena mereka melakukannya di hari dan saat yang berbeda.
Kalau dugaannya itu benar maka Erwina tentunya tidak
akan keberatan Alex ikut "nimbrung" seperti sekarang ini.
Dia dan Alex tidak sampai menyiksa Erwina atau membuatnya menderita karena Erwina pun menikmati.
Arie merasa lega oleh pemikiran itu, tetapi ia jadi
bertanya-tanya. Apakah dulu Erwina tidak sampai merasa
"kehausan" ketika untuk jangka waktu yang cukup lama
mereka tidak pernah bercinta.
Dirinya sendiri tidak sampai bermasalah karena punya
sarana untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya. Cukup
sebulan sekali ia melakukannya dengan penjaja seks
langganannya, dan sepenuhnya sadar untuk menggunakan
pengaman. Apakah Erwina juga punya sarana untuk itu?
Sebuah pertanyaan yang mengganggu.
Hei, jangan berpikir begitu, Rie! Negatif banget sih.
Oh, kamu, Lex. Nggak ada salahnya kan berpikir, yang
penting nggak diomong. Antara kita sajalah.
Ya, sudah. Nggak usah dipersoalkan, apalagi curiga.
Perempuan kan lebih mampu menahan diri daripada kitakita.
Kasihan juga. Itulah sebahnya, sekarang dia seperti
kuda binal.
Apa katamu, Rie? Jangan begitu, ah.318
Biar, omong kepada kamu kan nggak bakal disampaikan.
Ha... ha... ha! Biar bisa menyampaikan juga buat apa?
Nggak ada manfaatnya.
Aku cuma bercanda, Lex.
Tentu. Aku tahu. Eh, ada yang lebih penting nih.
Apakah kau nggak perhatikan Mama Katrin? Aku pikir
kelakuannya rada lain belakangan ini.
Wah, kauperhatikann juga, ya? Kukira kau cuma
memperhatikan Erwina saja. Rupanya mamanya juga
menarik perhatianmu, ya.
Serius, Rie. Coba amati! Hubungannya dengan Erwina
kok kelihatan dingin. Marahan barangkali, ya, Ada apa di
antara mereka?
Aku pernah usul kepada Erwina supaya mamanya
diajak check up. Katanya sih ya. Nanti aku ingatkan lagi
Ah, kelihatannya sih dia bukannya sakit, tetapi banyak
pikiran. Lagi makan pan melamun.
Menurutmu baiknya bagaimana? Mestinya yang
mendekati kan Erwina.
Kalau dia marahnya kepada Erwina, atau
kebalikannya, mana bisa. Kamu saja yang coba tanya. Jadi
menantu yang baik, begitu. Jangan cuma mau dengan
anaknya saja dong.
Ya... deh, nanti aku cari waktu yang baik. Pastinya
tanpa setahu Erwina, ya. Nanti dia malah marah kepada
aku. Cari gara-gara lagi.
Ya, begitu. Lebih cepat lebih baik, Rie.
Eh, bukankah dia dekat dengan Mama? Mengapa
bukan Mama saja yang mendekati?
Nyatanya, hari ini dia nggak main ke paviliun Mama.
Artinya, dia mau menghindari Mama. Kalau memang mau
curhat kepada Mama, pasti dia ke sana.319
Ah, kau pintar ya, Lex. Kau cermat seperti Mama.
Kalau kepada Mama saja dia nggak mau curhat, apalagi
kepada aku.
Belum dicoba sudah pesimis.
Ya, deh. Kita keroyok dia.
Ha... ha... ha!
Bantu aku nanti, Lex. Cuma... waktunya kapan, ya?
Kalau ketahuan Wina kan gawat.
Itu terserah kamu. Cari waktunya.
Apa nggak lebih haik tanya Mama dulu? Mungkin
Mama tahu.
Kok jadi surut sih. Segan, ya?
Bukan begitu, tetapi...
Kalau soal seperti itu lebih baik jangan mengulur
waktu. Harus spontan. Mood orang kan bisa berubah.
Kalau menelepan bagaimana? Dari showroom aku bisa
menelepon. Sekarang ada Wina.
Kamu ini kayak orang nggak punya akal saja, Rie.
Aku punya akal, Lex, tetapi akalmu lebih panjang.
Yang penting punya.
Ayo bantu dong, Lex. Carikan akal.
Lex! Lex!
Ah, dasar. Dia yang mulai mengajak omong, dia juga
yang memutus.
Erwina menggeliat. Arie kembali merebahkan diri
pelan-pelan, lalu memandangi Erwina. Matanya terpuaskan. Ia tahu, Alex pun ikut menikmati.
* * *
Tidur Katrin tak nyaman malam itu. Ia terus memikirkan
sikap Erwina saat pulang sore kemarin.
Sikapnya biasa-biasa saja. Sebelumnya, ia sudah
menelepon perihal Benny dan kedengarannya Erwina320
terkejut. Sayangnya, ia tak bisa melihat ekspresi wajah
Erwina saat itu. Sesudahnya, Erwina mengucapkan terima
kasih kepadanya dengan suara yang hangat hingga ia merasa
tersentuh. Setelah bertemu tadi Erwina tidak menyatakan
apa-apa. Mungkinkah karena Arie ada bersamanya? Ia bisa
saja mencari waktu untuk berduaan dengannya. Apakah info
yang diberikannya itu sebenarnya tidak terlalu berharga bagi
Erwina, atau dia sudah tahu tetapi pura-pura tidak tahu?
Sebelumnya, ia tak sabar menunggu pertemuan dengan
Erwina. Ia membayangkan hubungannya dengan Erwina
menjadi baik lagi. Mungkin Erwina bersedia curhat lagi
kepadanya seperti dulu-dulu. Ia juga berharap info yang
diberikannya itu bisa membuat Erwina menjauh dari Benny.
Sekarang, ia tak yakin lagi. Ia menangkap kemesraan dan
perhatian yang diberikan Erwina kepada Arie lebih dari
biasanya. Sebenarnya, ia senang melihatnya, tetapi ia juga
khawatir kalau sikap Erwina itu cuma pura-pura saja. Ia
berharap Erwina hanya membutuhkan waktu. Belum ada
waktu yang tepat. Ia sangat ingin menyampaikan perihal apa
saja yang dilakukan dan dikatakan Susan. Bukan melulu
info perihal Benny.
Pagi-pagi Katrin bangun, lalu berjalan-jalan di halaman.
Sesekali ia melakukan gerakan senam. Setelah merasa lelah,
ia duduk di teras. Udaranya segar dan ia pun merasa segar,
biarpun kurang tidur. Keadaan itu membantu pikirannya
lebih terbuka.
Sekitar seperempat jam ia duduk tiba-tiba seseorang
muncul, lalu duduk di sebelahnya. Ia terkejut melihat Arie.
"Sedang apa Mama di sini?"
"Kebetulan bangun pagi, Mama jalan-jalan dan senam
sedikit. Sudah capek, duduk di sini. Ada apa kau juga
bangun sepagi ini?"
"Aku terbangun begitu saja, Ma. Nggak bisa tidur lagi,
lalu mau cari udara segar."
"Ya, segar banget, Ar. Pergilah jalan-jalan!"321
"Ah, mau duduk saja di sini. Menemani Mama."
"Wina masih tidur?"
"Oh, masih, Ma."
Diam sejenak. Katrin bertanya-tanya dalam hati, apakah
ini suatu kebetulan saja atau Arie memang berniat bicara
dengannya. Ia yakin, yang kedua tidak mungkin. Arie tentu
tidak tahu bahwa ia bangun pagi-pagi, sedangkan Arie pun
tidak biasanya bangun sepagi itu.
"Mama sehat-sehat saja?"
"Sehat. Ada apa?"
"Belakangan ini Mama kelihatan lesu dan banyak
melamun. Mendingan Mama check up saja, ya? Nanti sore,
yuk?"
Katrin tertegun, merasa surprise. Ia juga terharu. Baru
kali ini Arie menunjukkan perhatian khusus kepadanya
secara langsung. Jadi, Arie menyadari dirinya bersikap tidak
biasa. Tadinya ia mengira Arie tak begitu peduli kepadanya.
"Nggak ah, Ar. Mama cuma kurang tidur saja."
"Check up bukan melulu untuk orang sakit, Ma. Kan
bisa mengecek kalau ada yang nggak beres. Jadi, bisa cepat
diatasi. Misalnya saja tekanan darah. Kapan terakhir Mama
periksa tekanan darah?"
Katrin menggeleng. "Sudah lama. Buat apa? Mama
merasa baik-baik saja. Nanti periksa-periksa malah jadi
alasan buat dokter memberi obat ini-itu, padahal nggak
perlu."
"Kita cari dokter yang reputasinya bagus, Ma."
"Sama saja semuanya."
"Bagaimana kalau ke Singapura saja, Ma? Berdua
dengan Mama Susan. Sekalian kita jalan-jalan. Dengan
Erwina juga tentunya. Kita belum pernah jalan-jalan ramairamai, kan?"
Katrin kembali menggeleng. Ide jalan-jalan itu
menyenangkan, tetapi dalam situasi seperti ini tak mungkin
dijalani.322
"Kalau mau jalan-jalan, kau saja berdua Wina. Nggak
usah bawa para mama. Kami berdua nanti cuma
mengganggu saja."
"Baiklah. Soal jalan-jalan itu belakangan. Kembali
kepada Mama saja."
"Kembali kepada Mama?"
"Ya, persoalan Mama."
"Persoalan apa?" Katrin membelalakkan mata.
"Mama nggak sakit, tetapi Mama kurang tidur. Itu
artinya, Mama punya persoalan. Barangkali bisa aku bantu,
Ma?" tanya Arie, dengan lembut.
Tiba-tiba mata Katrin basah, lalu air matanya mengalir.
Sejak tadi rasa haru itu berusaha ditahannya. Buru-buru ia
menyusut matanya dengan lengan bajunya.
Arie merangkul bahu Katrin. Susah payah Katrin
menahan keinginan untuk menangis tersedu-sedu di bahu
Arie. Selama ini tak ada yang menghiburnya bahkan Susan
hanya ingin mengoreknya tanpa memperlihatkan empati.
"Nah... Mama kok menangis? Ayolah cerita, Ma!"
"Mama Susan belum omong apa-apa? Dia nggak
menelepon?"
"Nggak. Untuk apa menunggu Mama Susan. Aku kan
di sini. Siap sedia, Ma."
Katrin termenung. Ia memikirkan motivasi Susan.
Mengapa Susan tidak segera melaporkan kejanggalan yang
ditemukannya kepada Arie? Apakah karena mengkhawatirkan akibatnya? Kalau memang begitu halnya, tentu saja ia
juga tidak berani sembarangan bicara. Bukan semata-mata
karena ingin melindungi Erwina. Ia juga menyayangi Arie,
apa-lagi sekarang ini. Ia tidak rela Arie sampai menanggung akibat buruk dari keinginannya untuk berlaku
jujur.
"Mama nggak berselisih dengan Mama Susan, kan?"
tanya Arie sabar.
"Oh, nggak. Tadi siang mamamu ke sini."323
"Jadi, bukan dengan Mama Susan. Apakah Mama
berselisih dengan Wina?"
Katrin terkejut. Sentakan tubuhnya terasa oleh Arie.
Meskipun Katrin tidak menjawab, Arie segera tahu jawaban
pertanyaannya. Ia mendekatkan mulutnya ke telinga Katrin.
"Benar ada masalah dengan Wina ya, Ma?" bisik Arie.
Katrin tak berani menyahut. Ia takut dicecar. Akibatnya
bisa buruk sekali.
"Ya, biasalah, Ar. Kadang-kadang suka ada perbedaan
paham. Nggak apa-apa sih. Nanti juga kami baikan lagi,"
akhirnya Katrin bisa menjawab.
"Aku omong kepada Wina ya, Ma?"
Katrin terkejut lagi. "Jangan, Ar. Wah, nanti masalahnya malah jadi besar. Dia bisa marah. Biar saja Mama
usahakan sendiri. Terima kasih, Ar. Kau baik sekali."
Arie tak ingin menyerah. Ia bangkit.
"Tunggu sebentar, Ma. Aku ambilkan minum dulu, ya."
Arie bergegas ke dalam. Ia tidak masuk ke dapur untuk
mengambil air minum. Ia pergi ke kamar tidurnya,
membuka pintu pelan-pelan. Tatapannya ke ranjang. Erwina
masih melingkar seperti saat ditinggalkan tadi.
Ia kembali ke teras dengan membawa dua gelas air
putih. Satu diberikannya kepada Katrin.
"Wina masih tidur, Ma," kata Arie.
Waktu sebentar tadi cukup bagi Katrin untuk
memutuskan. Ia menjadi lebih tenang setelah meneguk
minumannya.
"Aku nggak mau mendesak Mama kalau akibatnya
nggak membuat Mama menjadi lebih lega," kata Arie.
"Mama jangan membuat diri Mama sendiri menderita. Aku
yakin, Wina sayang kepada Mama. Mama pastinya juga
begitu. Ingat, aku pun sayang kepada Mama. Kita ini satu
keluarga, kan? Barangkali Mama lebih suka omong kepada
Mama Susan."324
"Betul, Ar. Mama pikir, Mama akan bicara kepada
Susan saja. Bukan berarti Mama nggak percaya kepada kau,
Ar. Kau sangat baik. Omong begini sudah membuat Mama
merasa lega."
"Syukurlah kalau begitu, Ma. Tetapi... apa nggak ada
bocoran sedikit saja?"
Arie menatap wajah Katrin dengan ekspresi memohon
dan merayu. Wajahnya yang tampan terlihat kocak hingga
Katrin tertawa.
"Aduh, bocoran apa? Memang ujian?"
"Bukan ujian, tetapi rahasia. Ya, kan?"
Katrin tertegun lagi. Benar kata Arie, yang disimpannya adalah rahasia. Kalau bocor sedikit, bisa jadi
Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
besar. Wajah Arie itu sungguh menggoda. Bagaimana
mungkin Erwina menyingkirkan Arie untuk seorang Benny?
Pikiran itu membuatnya geram.
"Ma?" desak Arie, dengan ekspresinya yang membujuk.
"Benny," tiba-tiba tercetus dari mulut Katrin, tetapi
terlambat untuk ditarik kembali.
"Ada apa dengan Benny, Ma?"
"Hati-hati dengan dia, Ar. Jangan dekat-dekat orang
itu."
"Memang ada apa? Kan harus ada sebabnya."
"Dia... dia penipu. Sudah, sudah. Tadi katanya minta
sedikit saja. Sekarang, masa mau minta banyak."
Sesudah berkata begitu, Katrin cepat berlalu. Ia takut
diberondong pertanyaan lagi dan tak kuasa menolak. Ia
masuk ke kamar dan mengunci pintunya.
Ditinggalkan sendiri, Arie terenyak di kursinya.
Nah, Iho. Bingung, kan? Tadi dia bilang ada konflik
dengan Wina. Kok yang dia sebut Benny?
Apa kau nggak bingung, Lex? Ayo, pikir.
Ah, nggak tahu, Rie. Nggak berani sembarangan
menyimpulkan.325
Katanya, dia mau omong dengan Mama. Kita mesti
sabar saja deh.
Penipu apa, ya? Mungkin soal mobil itu.
Itu kan aku sendiri yang kasih, Lex. Dia memang
bohong soal pelunasannya, dan pasti dia juga yang
menghapus datanya. Siapa lagi yang punya kepentingan ?
Namun, apa hubungannya dengan Wina?
Apakah Wina tahu soal mobil itu?
Rasanya sih nggak. Kan nggak ada huhungannya. Ah,
Mama Katrin benar-benar membuat bingung.
Mengapa Wina yang jadi marah kepada ibunya, Rie?
Sudahlah. Jangan menyimpulkan apa-apa dulu. Kita
harus mengumpulkan hahan lehih hanyak lagi dari mama
kita.
Aku sepakat, Rie. Kapan kan mau ke rumah Mama?
Kapan, ya? Perginya tentu harus sendiri. Nonti kan
malam Minggu. Mungkin Wina ingin jalan-jalan atau
makan di luar
Aku punya usul. Kan lebih cepat lebih baik. Bagaimana
kalau nanti siang kauluangkan waktu? Tinggalkan kerjaan
sehentar kan nggak apa-apa.
Oke. Ketika Arie masuk ke kamarnya, Erwina tengah duduk
di ranjang. Tampaknya baru saja bangun. Ketika mereka
bertatapan, Arie berdebar melihat senyum Erwina dan
tatapannya yang mesra. Ia segera menghampiri dan
langsung memeluknya. Mereka rebah bersisian.
"Jangan lagi, ah," kata Erwina tertawa.
"Nggak. Aku janji. Kita begini saja rasanya sudah
nyaman banget. Bagaimana tidurmu? Nyenyak?"
"Oh, ya. Tetapi..." Erwina berpikir sejenak. "Rasanya
aku mimpi deh."
"Mimpi apa? Cerita dong."326
"Aku melihat suster itu, Tiara. Dia memperhatikan aku.
Aku balas memperhatikan dia, lalu dia senyum. Aku juga.
Ya, cuma begitu mimpiku."
"Nggak ada dialog?"
"Nggak ada. Itu pasti karena pertemuan kemarin, ya.
Jadi terbawa mimpi."
"Kalian saling tersenyum. Itu kan bagus. Kalau
cemberut, apalagi berantem, pasti jelek artinya."
Erwina mencubit Arie sambil tersenyum.
"Dia cantik ya, Ar?"
"Ya."
"Bagaimana rasanya melihat cewek secantik itu?
Kelihatannya dia pun suka kepada kamu."
"Suka? Sekarang ini banyak yang suka kepada aku
karena kasusku yang unik."
"Aku pikir, suka karena tertarik kasusmu dan suka
karena kamu sebagai pria ada bedanya. Sukanya bagaimana,
begitu."
"Ah, cemburu nih?"
"Memang sih. Itulah sebabnya, kemarin aku sengaja
cemberut terus supaya dia bisa merasakan. Aku punya
feeling dia suka curi-curi memandangi kamu."
"Oh, ya? Aku nggak tahu tuh. Kau nggak usah
khawatir, Win."
Arie memeluk Erwina. "Aku cuma cinta kepada kau
seorang. Percayalah!"
Erwina memejamkan mata, menikmati pelukan.
Perasaannya bergemuruh oleh pertanyaan. Masihkan kau
mencintai aku kalau tahu apa yang telah kuperbuat?
"Kau percaya?" tegas Arie.
"Ya," sahut Erwina lirih.
"Terima kasih, Win. Aku diberi kesempatan hidup
untuk kedua kali. Jadi, aku harus menjalaninya baik-baik."
"Ya. Eh ... badanmu semakin panas rasanya. Kau nggak
demam?"327
"Ah, nggak."
"Aku serasa dipeluk dua orang," kata Erwina, dengan
nada bergurau.
Arie berdebar. Untung Erwina tidak bisa melihat
wajahnya.
Pasti kau ikutan ya, Lex?
Ya. He... he...he...!
Arie melepaskan pelukan, lalu mengecup dahi Erwina.
"Aku mandi dulu, ya?"
Setelah Arie pergi, Erwina kembali merebahkan diri. la
teringat kembali kepada Tiara dalam mimpi-nya. Ekspresi
Tiara jelas. Ramah dan bersahabat. Mungkin ia tidak perlu
cemburu, tetapi masih ada yang terasa mengganggu.
Seperti biasa mereka sarapan bertiga. Sikap Katrin
biasa-biasa saja. Ia tahu dirinya diamati Arie. Pada suatu
kesempatan ketika Arie meninggalkan mereka berdua, ia
segera menghampiri Erwina.
"Kita harus bicara, Win," katanya pelan, tetapi tegas.
"Apa, Ma?"
"Bicara empat mata."
"Kapan dong?"
"Carilah waktu! Harus secepatnya!"
Arie muncul. Erwina pergi ke kamar, sedangkan Katrin
pergi ke dapur. Arie mengikutinya.
"Hari ini Mama berniat pergi ke paviliun Mama Susan,
nggak?"
Katrin tak segera menyahut. Ia menatap heran sejenak.
"Kayaknya sih nggak. Mengapa kautanyakan?"
"Nggak apa-apa. Barangkali ada rencana, begitu."
"Nggak ada, Ar."
Arie merasa perlu menanyakan karena ia tak ingin
bertemu dengan Katrin saat mengunjungi ibunya nanti.
Ketika Erwina menanyakan apa yang dibicarakannya328
dengan Katrin, ia menjawab santai, "Aku menganjurkan
Mama pergi ke dokter berdua Mama Susan. Buat check up."
"Oh, begitu," Erwina sudah cukup puas.
* * *
Tiara membaca SMS dari Martin. Lelaki itu mengajaknya
jalan dan makan bersama nanti malam bila ia bebas tugas. Ia
memang bebas tugas nanti, tetapi masih berpikir untuk
menerima atau menolak. Bila menolak, ia bisa memberi
alasan dengan berbohong. Bila menerima, ia tak ingin
memberi hati untuk sesuatu yang belum pasti.
Kalau berbohong ia segan. Kalau menolak
dengan alasan ia memang tidak mau, ia tidak sampai hati. Ia
tidak ingin melukai hati orang lain. Bila menerima, mungkin
Martin akan merasa mendapat lampu hijau, pertanda jalan
terus. Kadang-kadang ada lelaki yang mengira kalau
ajakannya yang pertama sudah diterima berarti lampunya
hijau untuk seterusnya. Mereka tak akan mau menerima
penolak-an atau merasa dipermainkan. Katanya, kalau
memang tidak mau mengapa dari awal tidak berkata begitu?
Ia sudah berpengalaman dalam hal seperti itu. Pendekatan
kan bukan berarti penerimaan. Pendekatan bisa saja berarti
penjajakan atau hanya ingin bersama karena ada yang ingin
didalami, seperti dirinya bersama Martin.
Tiara menyukai Martin karena dia berbeda dengan
lelaki lain, yang pernah dekat dengannya. Bukan sematamata karena pengalaman mati suri itu. Di matanya, Martin
lelaki yang idealis dengan karier yang ditempuhnya. Itu
kesimpulan dari cerita-cerita Martin yang disampaikannya.
Terutama cerita mengenai Arie. Bagi Tiara, apa yang
dikerjakan Martin melampaui tugas yang dibebankan
kepadanya. Seperti orang kerja lembur sukarela tanpa dibayar.329
Martin tidak termasuk kriteria sebagai lelaki idaman
wanita. Fisiknya biasa-biasa saja. Ganteng tidak, jelek pun
tidak. Sosoknya tidak tinggi, tetapi kekar. Tentu karena
banyak menjalani latihan fisik dan bela diri, yang menjadi
salah satu keharusan sebagai anggota polisi.
Sebenarnya, Tiara tidak mementingkan fisik dalam
memilih lelaki idamannya. Ia sudah cukup sering mengenal
secara dekat para lelaki yang jatuh hati kepadanya. Setelah
beberapa lama jalan bersama, ia menjadi jenuh, lalu apatis.
Sikap seperti itu dianggap sebagai kecerewetan dan pilihpilih tebu oleh sebagian orang. Mentang-mentang cantik.
Martin memang memiliki kelebihan pada awal
hubungan mereka, yaitu cerita dan pengalaman tentang mati
suri, walaupun pengalaman Martin itu sesungguhnya belum
masuk kategori mati suri. Biarpun begitu, ada kedekatannya.
Lain halnya dengan Arie. Dia manusia dan lelaki yang luar
biasa di mata Tiara.
Kalau saja Arie belum menikah, ia pasti sudah
membiarkan dirinya jatuh hati kepadanya. Mereka akan
menjadi sepasang manusia yang bertekad menjalani hidup
lebih baik, bukan melulu bagi diri sendiri tetapi terutama
bagi orang lain. Sebagai orang yang diberi kesempatan
hidup kembali, ia tentu memiliki kesadaran sendiri bahwa ia
harus menjalani hidup barunya dengan memperbaiki
kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya. Dengan
demikian, ia tidak boleh mengganggu rumah tangga orang
karena itu merupakan kesalahan. Apa gunanya memperbaiki
kesalahan lama kalau membuat kesalahan baru?
Pemikiran itu cukup untuk membuatnya sadar diri,
tetapi ia masih tetap tertarik kepada Arie untuk sesuatu yang
lain, yaitu mata Arie! Ia jadi suka mengamati. Meskipun
melakukannya diam-diam, tak urung beberapa kali ia
merasa tepergok Erwina. Sayangnya, pertemuan mereka itu
terlalu singkat.330
Ketika Arie masih berada di rumah sakit, ia tidak
merasakan adanya keistimewaan pada mata Arie. Mungkin
karena saat itu ia tidak begitu memperhatikan. Ia masih
diliputi rasa takjub karena bisa bertemu dan berbicara
dengan Arie sampai-sampai tidak berani menatap matanya.
Setelah menimbang-nimbang, ia memutuskan untuk
memenuhi ajakan Martin. Ia masih ingin berbincang dan
juga membicarakan Arie. Ia percaya Martin tidak seperti
para lelaki yang pernah dikenalnya. Martin tidak akan
marah dan menghujatnya kalau ternyata ia menolak
hubungan yang serius.
Balasan SMS yang dikirimnya kepada Martin adalah
ucapan terima kasih.
Setelah mengantarkan Arie ke showroom, Erwina
mengarahkan mobilnya kembali ke rumah. Ia menelepon
ibunya dulu untuk memberi tahu perihal kepulangannya.
Bi Iyah keheranan saat membukakan pintu.
"Ada yang ketinggalan, Bi."
Ucapan itu cukup untuk melenyapkan keheranan Bi
Iyah.
Setelah itu, Bi Iyah diperintahkan Katrin pergi ke pasar
dengan dibekali daftar belanjaan yang panjang. Dengan
demikian, Katrin dan Erwina bisa bicara leluasa tanpa
khawatir ada yang menguping.
Mereka duduk di teras.
"Ada apa, Ma?"
Katrin menatap tajam. "Kau tidak memahami apa yang
terjadi setelah apa yang kauperbuat?"
Wajah Erwina berubah, tetapi masih berusaha menutupi
kegelisahannya.
"Langsung saja, Ma."
"Baik. Kau jangan menyela, ya. Dengarkan saja sampai
selesai."
Katrin memulai dengan mengungkapkan kecurigaannya
sendiri. Dimulai dari dugaannya tentang hubungan dekat331
Erwina dengan Benny, diturunkannya foto-foto dari kamar
tidur dan waktunya berbarengan dengan hilangnya Arie,
ketakutan Erwina ketika Arie kembali hidup dan sikap
dinginnya kepada Arie di rumah sakit, dan permintaan
tolong Erwina untuk menggantung kembali foto-foto
sebelum Arie pulang ke rumah.
"Kecurigaan Mama, kau sengaja menurunkan foto-foto
itu karena yakin Arie sudah mati. Dia nggak akan kembali
lagi. Kau berbohong dengan mengatakan Arie pergi malam
itu. Dia bukannya nggak ingat sedikit pun tentang hal itu,
tetapi karena dia memang nggak pergi ke mana-mana.
Kejadiannya pun pas pada saat kau cuma berduaan. Mama
dan Bi Iyah nggak ada. Mama menduga kuat, kau dan
Bennylah pelaku kejahatan terhadap Arie. Tunggu dulu!
Jangan sanggah! Selama ini Mama memendam kecurigaan
itu dengan rasa takut. Sementara itu, kau tenang-tenang saja.
Kaupikir nggak ada bukti. Kau salah! Diam-diam Martin
dengan dibantu Susan terus menyelidiki. Mama begitu
ketakutan sampai nggak berani pergi ke tempat Susan.
Kemarin dia datang ke sini. Tahu apa yang dilakukannya?"
Katrin bercerita tentang Susan yang menanyai Bi Iyah,
dan bagaimana Bi Iyah dengan lugunya memberitahu semua
yang diketahuinya.
"Cepat atau lambat, mereka akan mengetahui semuanya. Mama pikir Martin juga sudah tahu, tetapi menunggu
saat yang tepat. Sekarang kau mau apa? Membantah atau
berbohong?"
Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selesai bicara baru Katrin menatap putrinya. Ia terkejut
melihat wajah Erwina yang pucat pasi. Ia segera menarik
Erwina ke dalam pelukan, lalu menepuk-nepuk
punggungnya.
"Tadi pagi Arie bicara kepada Mama. Dia menduga ada
persoalan antara kau dan Mama. Sudah tentu Mama nggak
mau cerita terus terang. Nggak mungkin Mama melakukan
itu, apalagi menyampaikan dugaan Mama, kan? Mama332
khawatir akibatnya bukan cuma buatmu, tetapi juga buat
dia. Apakah dia tabah menerima kenyataan bahwa istri yang
dicintainya ternyata...?"
"Maa!" seru Erwina.
Katrin terdiam. Ia tak lagi bisa berkata-kata ketika
Erwina menangis tersedu-sedu di pundaknya.
Tubuhnya bergoyang-goyang hingga tubuh Katrin pun
terbawa serta.
"Sudah! Diamlah! Masalah nggak bisa diatasi dengan
menangis."
Katrin menunggu sampai tangisan Erwina mereda. Ia
tahu tak mungkin menghentikan tangisan Erwina dalam
sekejap. Erwina punya emosi segunung, yang perlu waktu
untuk dikempiskan.
Akhirnya, waktu itu tiba.
"Jadi, bagaimana?"
"Nggak tahu, Ma. Nggak tahu. Aku nggak mau
dipenjara, Ma. Nggak mau."
Perasaan Katrin bagai tersayat. Diam-diam ia
sebenarnya ingin Erwina membantah dan menimpakan
kesalahan kepada Benny. Perkataan Erwina barusan sudah
merupakan pengakuan.
"Benny yang memukul kepala Arie, kan?" tegas Katrin.
"Ya. Aku yang memberinya obat tidur sebelumnya."
"Oooh...!" keluh Katrin. "Oh... oh... oh...!"
"Kesalahanku sama dengan Benny."
"Dia... dia yang merencanakan dan membujukmu,
kan?"
Erwina diam. Perlukah hal itu dipertanyakan?
"Kau harus mengakuinya kepada Arie dan minta maaf
kepadanya."
"Kalau dia syok bagaimana, Ma? Kalau dia mati lagi
bagaimana?"
Katrin terdiam. Hal itu juga yang ditakutkannya.333
"Kita bicarakan dengan Mama Susan," akhirnya ia
mengusulkan.
"Sekarang, Ma?"
"Lebih cepat lebih baik. Sudah, tenangkan dirimu lebih
dulu! Lebih baik kita naik taksi saja! Jangan bawa mobil!"
Erwina menahan tangan Katrin yang sudah berdiri, lalu
menariknya duduk lagi.
"Ma, sebaiknya jangan terburu-buru. Aku sudah
mengaku salah. Sekarang kita harus pikirkan yang baik,
mana yang lebih dulu mesti kita lakukan," kata Erwina,
dengan lebih tenang.
Katrin mengamati wajah putrinya, yang sudah
berlepotan karena riasannya rusak oleh air mata.
"Betul. Aku juga mesti tahu, apa sebenarnya yang
mendorongmu sampai berbuat begitu?"
"Aku sakit hati kepada Arie, lalu Benny datang.
Tadinya aku ingin cerai saja, tetapi Benny bilang nanti aku
nggak bakal dapat apa-apa. Paling cuma sebagian. Kalau
Arie mati maka aku dapat semuanya."
"Jadi, motifnya harta dan kau setuju?" kata Katrin
berang.
"Ya, soalnya dia pelit," Erwina mengakui, kemudian
cepat memperbaiki, "sekarang sih nggak lagi. Dia sudah
minta maaf untuk kesalahannya yang dulu. Mestinya skor
satu-satu bila dihitung kesalahanku. Toh dia nggak mati,
kan?"
Katrin marah lagi. "Bagaimanapun, kau dan Benny
berniat membunuhnya. Kalau dia nggak sampai mati itu
adalah keajaiban. Bukan karena jasamu."
"Kalau aku mengaku, apakah aku tetap dipenjara, Ma?
Kalau Arie memaafkan aku, apakah aku tetap dianggap
salah?"
"Kau sendiri menyesal atau nggak? Jangan-jangan kau
mau minta maaf hanya karena ketahuan saja. Kalau nggak,
kau masih tetap pura-pura."334
Erwina tertunduk. Katrin merasa sikapnya terlalu keras,
meskipun ia marah. Ia harus membantu mencarikan jalan
keluar. Bukan sekadar memarahi.
"Benny mesti ditangkap."
"Katanya, nggak ada bukti."
"Gampang. Kau saksinya," kata Katrin dingin.
Erwina terkejut.
"Katakan, Win. Kau sebenarnya mencintai siapa? Arie
atau Benny?" tanya Katrin, sambil menatap Erwina
langsung ke rnatanya.
Erwina tidak mengedipkan mata atau berpaling. Ia
membalas tatapan ibunya.
"Jujur, Ma. Dulu waktu Arie menyakiti hatiku, aku
hanya mencintai Benny. Sekarang aku cinta dua-duanya."
"Apa?" seru Katrin. "Kau masih berhubungan dengan
dia belakangan ini?"
"Ya."
"Aduh, aduh!" ratap Katrin, sambil menepuk-nepuk
kepalanya.
"Sudahlah, Ma. Aku pasrah pada keinginan Mama.
Sebelumnya, aku minta waktu dulu satu hari. Besok baru
lakukan apa pun yang Mama mau lakukan."
Katrin ragu-ragu. "Apa lagi yang mau kaulakukan? Apa
bedanya sekarang dan besok? Makin lama kau menunda,
makin besar kesalahanmu. Lebih baik kau mengaku salah
daripada menunggu dituding tanpa bisa mengelak."
"Cuma sehari, Ma," Erwina memohon.
"Jangan hubungi Benny. Jangan sekali-kali kau kasih
tahu dia. Nanti dia kabur. Kau yang menanggung sendiri."
"Nggak, Ma. Aku perlu menghadapi Arie dulu."
"Kau betul mencintai Arie? Nggak pura-pura atau
terpaksa?"
"Betul, Ma. Dia sekarang beda sekali. Dia jadi baik."
Bagi Katrin, pengakuan itu terasa sebagai penghiburan.335
"Oh... ya, Ma. Ada yang mau kukatakan. Bukan untuk
minta keringanan, tetapi memang seperti apa adanya. Benny
menyuruhku memasukkan obat bius ke dalam minuman
Arie. Ada satu peles yang harus kuberikan semuanya. Aku
cuma pakai setengah saja. Sisanya kubuang. Waktu habis
minum Arie jadi cuma tertidur, nggak mati. Kalau dikasih
semua pasti mati."
Meskipun kesal, ada juga rasa senang di hati Katrin
mendengarnya.
"Benny nggak tahu?"
"Nggak. Setelah Arie bangun di rumah sakit, baru aku
beritahu dia."
"Dia marah?"
"Ya, tetapi mau apa lagi?"
"Mengapa dipukul juga kepalanya?"
"Supaya kelihatan seperti korban perampokan. Benny
memukulnya nggak keras karena dipikirnya Arie toh sudah
menelan obat bius."
"Jahat benar orang itu. Tega kepada sahabat sendiri."
Mereka diam sejenak. Merasakan semilirnya angin
yang menyejukkan. Kegalauan dan kecemasan terasa jadi
lebih ringan.
"Begitu saja ya, Ma? Sampai nanti. Aku akan bertanggung jawab."
Ketika Erwina pergi, Katrin merasa seolah melepas
Erwina pergi ke tiang gantungan.
Katrin kemudian melompat dari duduknya. Bagaimana
mungkin ia diam saja menunggu sampai besok?
Perasaannya seperti dikejar-kejar. Seperti Erwina, ia pun
sudah pasrah. Tak ada lagi yang perlu dan boleh disembunyikan. Erwina sudah terbuka kepadanya. Dia pun
harus begitu kepada Susan. Ia akan berpegang pada janji
mereka berdua. Apa pun yang terjadi pada anak-anak kita,
hubungan kita tetap sehagai sahabat.336
18 HARI Sabtu yang sama. Siang.
Susan sangat terkejut ketika Katrin muncul di
paviliunnya tanpa pemberitahuan sebelumnya, lalu tiba-tiba
bersirnpuh di depannya dan memeluk kakinya.
"Ada apa kau, Kat? Ada apa?" tanya Susan, sambil
berusaha menarik Katrin agar berdiri.
Ketika usahanya tidak berhasil karena Katrin memeluk
kedua kakinya erat-erat, Susan menjatuhkan dirinya hingga
mereka sama-sama terduduk di lantai.
"Maafkan aku, Sus! Ampuni aku dan Wina!" kata
Katrin, dengan suara parau menahan tangis. Ia menunduk
saja, tak berani memandang wajah Susan.
Susan memeluk Katrin. Dalam hati sudah menduga apa
yang ingin disampaikan Katrin. Ia senang sekaligus sedih.
"Ayo kita bicara, Kat! Jangan di lantai dong! Ayo!"
Susan menarik tangan Katrin, yang kali ini menurut.
Mereka duduk di tepi tempat tidur. Sengaja Susan
mengambil tempat di sebelah Katrin karena ia tahu Katrin
merasa malu dipandangi.
"Cerita saja, Kat. Jangan segan. Ingat janji kita dulu
bahwa apa pun yang terjadi pada anak-anak, kita tetap
bersahabat?"
"Aku ingat. Oleh karena itu, aku berani datang ke sini.
Tadinya aku mengajak Wina, tetapi dia minta waktu. Dia
ingin menghadapi Arie, katanya. Caranya apa dan bagai-337
mana, aku nggak tahu. Aku malu sekali kepada kau dan
Arie, dan juga keluargamu. Kok bisa seperti ini. Aku baru
dapat pengakuan Wina tadi. Sebenarnya, aku sudah punya
dugaan, tetapi nggak berani omong. Baru setelah kau datang
kemarin dan tanya-tanya kepada Bi Iyah, aku jadi terdorong
untuk bertanya langsung kepada Wina. Lebih baik dia yang
mengaku daripada nanti disudutkan. Aku malu punya anak
seperti dia, Sus. Aku malu sebagai ibunya."
Susan manggut-manggut saja. Ia menunggu dengan
sabar. Ia tahu, cerita Katrin hanya melengkapi dugaan dan
sangkaan yang sudah dibangunnya bersama Martin.
Katrin pun bercerita dengan lancar. Di luar dugaannya
sendiri ternyata ia bisa bercerita tanpa ketakutan bahkan
lama-kelamaan ia bisa bicara dengan menatap wajah Susan.
Sikap Susan pun banyak membantu.
"Nah, begitulah ceritanya, Sus. Sampaikan kepada
Martin. Atau dia perlu mendengar sendiri dari mulutku dan
mulut Wina? Kalau perlu kami bersedia, Sus. Memang
harus begitu, kan?"
"Aku akan mengatur pertemuan, Kat. Dia perlu
mendengar langsung."
"Baik. Kalau nanti Wina harus masuk penjara, aku juga
akan menemani dia, Sus."
"Jangan omong begitu dulu, Kat. Ingat! Wina sudah
berbuat baik. Dia nggak memberi Arie obat bius sebanyak
yang disuruh Benny sehingga akibatnya Arie cuma tidur
saja. Sekarang dia sudah mengaku. Tinggal menangkap
Benny. Aduh, aku gemas sekali kepada dia. Teganya!
Benar-benar nggak menyangka. Aku yakin, Wina kena
pengaruh Benny. Pada saat Wina limbung karena konfliknya
dengan Arie, Benny masuk. Dari sikap Wina yang nggak
menuruti perintah Benny, jelas bahwa dia sebenarnya raguragu. Dia nggak tega. Soal itu kita tanya Martin saja."
"Ya," sahut Katrin lirih.
"Sebenarnya, Erwina mencintai siapa, Kat?"338
"Katanya, dua-duanya."
"Oh!" keluh Susan. Mungkin itu masih lebih baik
daripada hanya mencintai satu, yaitu Benny! Salah satu
ketakutannya, yaitu bagaimana kalau Erwina tidak
mencintai Arie lagi, sudah terjawab.
"Sekarang Wina ke mana?" tanya Susan.
"Tentunya ke butik. Ke mana lagi?"
"Kau yakin?"
"Mengapa kau tanya begitu?" Katrin balas bertanya.
Tiba-tiba ia jadi resah.
"Bagaimana kalau dia menemui Benny?"
"Ah, masa sih. Aku sudah melarangnya. Jangan sampai
Benny kabur."
"Mudah-mudahan saja dia mematuhi laranganmu."
"Aku akan menelepon dia," kata Katrin. Setelah
mencoba menghubungi Erwina beberapa kali, ia menjadi
resah. "HP-nya dimatikan."
Susan ikut resah. "Coba telepon butiknya."
Ternyata, telepon di butik tidak diangkat. Mereka saling
berpandangan. Wajah keduanya sama-sama cemas.
"Aduh, bagaimana, ya?" keluh Katrin. "Perasaanku jadi
nggak enak."
"Aku juga."
Suasana hening sejenak. Tiba-tiba seseorang menerjang
masuk, lalu menjatuhkan dirinya di atas sofa di depan kedua
wanita itu. Mereka sampai menjerit karena terkejut, tetapi
kemudian mengenali Arie. Kejutan lain menerpa mereka.
Ternyata, Arie sudah cukup lama berada di luar. Susan tak
mengunci pintu tadi.
Ekspresi yang diperlihatkan Arie menunjukkan bahwa
ia sudah mendengar banyak. Ia memperlihatkan sikap bagai
orang yang baru saja menyelesaikan lari maraton. Napasnya
pendek-pendek.
Katrin tak menyadari hal itu. Ia melompat bangun, lalu
menjatuhkan diri bersimpuh di depan Arie. Persis seperti339
yang tadi dilakukannya terhadap Susan. Ia memeluk kedua
kaki Arie.
"Maafkan kami berdua, Ar. Maaf karena baru Mama
yang bicara, sedangkan Wina..."
Arie segera mengangkat tubuh Katrin, dengan
memegang kedua pundaknya di kanan dan kiri. Kekuatan
fisiknya bisa membuat tubuh Katrin terangkat sekaligus, dan
mendudukkannya di sisinya. Sementara itu, Susan lebih
memperhatikan perubahan wajah Arie. Ia mengambil tempat
Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di sisi Arie yang satunya lagi, lalu merangkulnya. Ia
menahan bicaranya karena Arie sedang mengamati wajah
Katrin, yang tampak panik dan bersimbah air mata.
"Mama Katrin ini apa-apaan? Masa sampai begitu sih?"
kata Arie, dengan nada menyesali.
"Kau tadi sudah mendengar semuanya, kan?" tegas
Katrin. Jangan-jangan Arie belum mendengar apa-apa.
"Nggak tahu juga, apa memang sudah semuanya atau
belum?" jawab Arie.
Susan mengamati wajah Arie, yang tampaknya cukup
tenang. Napasnya pun sudah mulai normal.
"Katakan saja apa yang sudah kaudengar, Ar!" kata
Susan lembut.
Arie mengulang dengan kata-katanya sendiri apa yang
sudah didengarnya. "Kayaknya aku sudah mendengar dari
awal, Ma. Aku datang di belakang Mama Katrin, tetapi
kalian nggak lihat."
Susan merangkul bahu Arie. "Kaget, Ar?"
"Ya," Arie mengakui.
"Maafkan kami, Ar," buru-buru Katrin menyela.
"Mama nggak perlu minta maaf. Kan Mama nggak
salah."
"Mama salah karena menyembunyikan apa yang Mama
ketahui, padahal Mama sudah curiga dari awal. Benny juga
sudah Mama ingatkan, tetapi dia nggak peduli. Mama
Wiro Sableng 161 Perjodohan Berdarah Pendekar Gila 26 Undangan Maut Ilmu Golok Keramat Bu Tek Sin To Karya Chin Yung
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama