Nirwana Di Balik Petaka Karya Mira W Bagian 2
tadi."
Cepat-cepat Aris mengikuti Suster Aida ke bangsal.
Sambil berjalan cepat-cepat, dia masih sempat menikmati
goyang pinggul Suster Aida.
Perawat yang satu ini memang favorit para koas.
Wajahnya cantik seperti bintang film sehingga kalau ada
shooting film di rumah sakit ini, pasti dia yang terpilih jadi
figuran.
Penampilan Suster Aida tetap rapi sekalipun ada seratus
pasien gawat menyerbu bangsalnya dalam satu malam, dan
sikapnya kepada para dokter dan koas tetap memikat biarpun
dia sudah letih.
Ah, kalau belum punya istri, rasanya Aris juga ingin
antre seperti teman-temannya.... Apalagi tampaknya Suster
Aida juga menyenanginya, tidak peduli dia sudah menikah
atau belum....56
*** Bangsal sudah riuh oleh isak tangis ibu yang anaknya baru
meninggal itu. Dokter Bahar yang tiba hanya beberapa menit
setelah Aris sampai di sana, langsung memeriksa dan
memastikan anak itu memang telah meninggal.
"Anak saya bagaimana, Dok?" tanya ibu di ranjang
sebelah. Ikut cemas melihat nasib anak yang baru meninggal
itu. Khawatir nasib buruk anak itu akan mcnimpa putranya
juga.
Aris menoleh dan melihat anak laki-laki berumur empat
tahun yang tengah terlelap itu. Aris menyentuh dahinya.
Pura-pura memeriksa infusnya. Hanya untuk menenangkan
sang ibu. Padahal, dia tahu tak ada lagi yang dapat
dilakukannya kecuali menunggu.
"Kita lihat besok pagi ya, Bu," kata Aris sambil
berpaling ke arah si ibu. "Mudah-mudahan...."
Tiba-tiba matanya bertemu dengan mata perempuan itu.
Bukan ibu anak ini. Bukan, tetapi ibu yang duduk di seberang
sana....
Sesaat jantung Aris seperti berhenti berdetak. Ibu itu
sedang menatapnya pula dengan tatapan yang serasa
dikenalnya...
Aris tidak tahu lagi apa yang dikatakannya kepada ibu
anak berumur empat tahun itu. Dia sudah langsung
melangkah menghampiri ranjang yang lain. Hanya supaya
dapat melihat lebih jelas ....
"Nila...?" desahnya antara heran dan tidak per-caya.
Mata ibu muda yang sedang menatap bengong itu tibatiba basah berlinang air mata. Melihat mata yang merah
berair itu, tiba-tiba saja Aris teringat pada suatu hari sembilan
tahun yang lalu, ketika mata Nila yang merah berair itu
menatapnya dengan getir.57
"Jangan pergi, Ris," pintanya lirih. "Jangan tinggalkan
aku...."
Aris memalingkan wajahnya. Tidak tahan membalas
tatapan yang menyakitkan hatinya itu, lalu tatapannya beralih
pada makhluk kecil di tempat tidur... gadis mungil berumur
delapan tahun yang sedang diinfus... jarum infus yang
barusan dimasukkannya masih terlancap di pembuluh darah
di dekat mata kakinya....
"Anakmu...?" gumam Aris tak pcrcaya. "Sudah sebesar
ini?"
"Diusir bapaknya." Terngiang lagi di telinga Aris suara
ibunya. "Bunting."
Inikah anak haram Nila? Anaknya dengan... laki laki itu?
Delapan tahun yang lalu, mungkin Aris akan merasa
muak melihat anak ini, tetapi sekarang, yang tersisa di
hatinya cuma rasa heran.
Ditatapnya kembali paras Nila. Perempuan itu baru
berumur dua puluh tiga tahun. Namun wajahnya sudah
seperti perempuan berumur tiga puluhan. Lusuh. Lesu. Letih.
Dengan rambut tak terurus dan pakaian kumal.... Persis si Ani
kalau habis mencuci pakaian ....
"Di mana bapaknya?" Ketika menyadari pertanyaan itu
tak pantas lagi ditanyakan, apalagi di depan umum, buru-buru
Aris meralat, "Di mana kamu tinggal?"
Namun jawaban Nila hanya air mata yang meleleh makin
deras ke pipinya. Aris jadi serba salah. Dia menoleh ke
samping dan melihat ibu yang tengah mengawasinya itu.
"Ada apa, Bu?" tanya Aris agak rikuh. "Anaknya sudah
baikan ?"
Dia berbalik dan pura-pura memeriksa anak di ranjang
sebelah. Si ibu yang kegirangan karena ada dokter yang
malam-malam datang memeriksa anaknya, langsung
memberi laporan lengkap yang menyibukkan Aris.58
"Besok pagi darahnya diperiksa lagi, Bu," kata Aris asal
saja.
Dia menoleh kembali ke arah Nila. Namun ia tidak
keburu membuka mulut karena ibu-ibu yang lain keburu
berlomba-lomba memanggilnya.59
8 ARIS datang pagi-pagi sekali ke bangsal. Lama sebelum
visite. Khusus untuk melihat keadaan anak Nila.
Dalam keadaan biasa, Nila pasti gugup setengah mati.
Bertemu kembali dengan bekas kekasihnya. Bapak anaknya.
Dalam keadaan yang sangat tak terduga.
Pada saat anaknya menjadi pasien dan kekasihnya
menjadi dokter muda yang menolong anaknya.... Tetapi saat
Nanda sakit berat begini, yang ada di kepala Nila cuma
keadaan anak itu. Itu yang menyita habis perhatian Nila.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Nila cemas selesai Aris
memeriksa.
"Baik," sahut Aris lega. "Sebentar lagi dia akan sadar
penuh."
"Oh, Tuhan! Terima kasih!" Nila memeluk anaknya
sambil menangis, tetapi kali ini tang?s kebahagiaan.
"Dia kena demam berdarah. Sudah masuk dalam tahap
shock. Sudah berapa lama dia sakit? Kenapa baru dibawa
sekarang?"
Nila cuma menggelengkan kepalanya. Terus terang, dia
juga tidak tahu kapan Nanda mulai sakit.
Nanda masih tinggal di tempat penampungan Pak
Wendo. Nila baru disusuli dan diberitahu anaknya sakit keras
pukul sembilan malam.
Nila langsung meninggalkan rumah majikannya saat itu
juga, lalu menemui anaknya. Trenyuh hatinya ketika melihat
keadaan anak perempuannya. Nanda terbaring lemah di60
ranjang butut di kamar sempit bersama beberapa orang
pembantu yang belum mendapatkan pekerjaan. Seprainya
yang kotor dan kumal oleh bercak-bercak coklat bekas
ompol, tam-pak lebih kotor dinodai bekas muntahan.
Sejak lahir Nanda tinggal di sana. Mulai umur sepuluh
bulan, hanya sebulan sekali dia dapat bertemu dengan ibunya.
Kalau kebetulan ibunya mendapat cuti.
Nila memang masih bekerja pada majikannya yang lama.
Begitu tahu Nila sudah dapat bekerja lagi, Bu Nining
langsung mengambilnya kembali. Ipah diberikannya pada
adiknya.
Bu Nining memang amat menyukai Nila. Bukan saja
pekerjaannya selalu beres, sifatnya pun terpuji. Dia rajin.
Tidak banyak mulut dan tidak bakal berhenti diam-diam
biarpun dibujuk pembantu sebelah dengan iming-iming
gajinya lebih besar.
Pak Wendo bersedia merawat Nanda, asal Nila
membayar uang perawatan setiap bulan. Tampaknya dia juga
kasihan pada Nila dan sudah jatuh hati pada bayi mungil
yang malang itu.
Nanda tidak punya kamar khusus. Dia dicampurkan
bersama calon-calon pembantu yang baru datang dari daerah.
Karena kelucuannya, mereka semua menyukai Nanda dan
re?a bergantian merawatnya.
Selama itu Nanda jarang sakit, walaupun perempuanperempuan dari segala pelosok Pulau Jawa yang tidak
ketahuan sakit atau sehat tidur sekamar dengannya. Makan
bersamanya. Bahkan, kadang-kadang menciuminya dengan
gemas.
Tidak heran kalau mereka tidak menduga, sakitnya kali
ini hampir membawa maut. Mereka mengira Nanda hanya
masuk angin. Panas dan pilek sedikit sudah biasa baginya.61
Kadang-kadang tanpa minum obat pun sudah sembuh
sendiri. Kalau panas sedikit, minum obat yang dibelikan Pak
Wendo di warung pun Nanda sudah sehat lagi.
Fisiknya memang tergolong kuat dan dia tidak cengeng.
Hidup yang sulit sejak masih dalam kandungan, menempanya
menjadi anak yang tahan ban-tingan dan kebal penyakit.
Pak Wendo baru panik ketika mendapat laporan dari
pembantu-pembantu yang sekamar dengan Nanda, anak itu
mimisan dan muntah-muntah. Muntahannya berwarna
kehitam-hitaman.
"Jangan-jangan demam berdarah, Pak," kata salah
seorang pembantu yang lulusan SD. "Badannya panas
sekali."
Pak Wendo langsung menyusul Nila di rurnah majikannya. Nila mendapat izin untuk menengok anaknya.
Mula-mula Nila membawa Nanda ke praktek dokter 24
jam di dekat sana, tetapi dokter langsung menyuruhnya ke
rumah sakit. Jadi, kalau ditanya mulai kapan Nanda sakit,
Nila sendiri tidak tahu!
* * *
Ketika Nanda membuka matanya, Nila merasa seperti
dibangunkan dari kematian. Dipeluknya anaknya dengan
penuh kasih sayang.
Pada saat anak itu seperti dikembalikan Tuhan
kepadanya, Nila baru insaf, betapa sedikit perha?ian yang
diberikannya kepada Nanda selama ini.
Ketika maut hampir memisahkan mereka, Nila baru
sadar, dia harus lebih banyak berada bersama anaknya.
Namun selama dia masih bekerja sebagai pembantu, tak
mungkin dia dapat tinggal bersama anaknya!
Majikannya pasti keberatan kalau dia membawa anaknya
ke tempat bekerja. Satu-satunya jalan, dia harus berhenti62
bekerja sebagai pembantu dan mencari kerja di tempat lain.
Di toko. Di pabrik. Di mana saja. Asal dia bisa pulang ke
rumah dan tinggal bersama Nanda. Namun... siapa yang
dapat memberinya pekerjaan seperti itu?
* * *
Nila mengangkat mukanya. la melihat Aris memasuki
bangsal anak. Rambutnya tersisir rapi. Wajahnya bersih.
Walaupun tampak letih, dia masih tetap rupawan. Masih tetap
gesit. Masih tetap... menarik.
Baju dokternya yang putih bersih mendadak
menyentakkan kesadaran Nila. Kekasihnya sudah hampir
menjadi dokter. Kelihatannya dia cukup berada. Cukup
mapan. Tidak dapatkah dia menolong?
Demi anaknya! Anak yang tak pernah dilihatnya sampai
saat ini!
Tidak pantaskah Aris berbuat sesuatu demi anaknya?
Bukankah selama ini dia tidak pernah berbuat apa-apa untuk
Nanda?
"Hai," sapa Aris, yang tanpa mengacuhkan pasien lain
langsung menghampiri Nila. "Bagaimana Nanda?"
"Sudah sadar," sahut Nila sambil menyadari untuk
pertama kalinya betapa kotor bajunya. Betapa lusuh
penampilannya. Betapa semrawut rambutnya.
"Halo, Nanda!" Aris menyapa anaknya sambil tersenyum
ramah.
Berdebar dada Nila ketika melihat pertemuan itu.
Tahukah Aris siapa Nanda? Tidak merasakah dia?
Dan Nanda! Tahukah dia siapa dokter yang gagah itu?
Ah, kalau saja dia tahu! Dia pasti merasa bahagia! Sejak kecil
dia tak pernah memiliki apa pun yang dapat dibanggakan ....63
Nila tidak tahu apa yang dikatakan Aris pada anaknya.
Dia hanya melihat laki-laki itu mengambil stetoskop yang
sejak tadi dikantonginya. Lalu mulai memeriksa Nanda.
"Bagus," katanya selesai memeriksa. Disentuhnya pipi
anaknya dengan lembut. "Beberapa hari lagi Nanda boleh
pulang!"
Lalu kepada Nila, katanya sambil mengalungkan
stetoskopnya ke leher. "Dokter Bahar minta tranfusi darah.
Nanda mengalami perdarahan cukup banyak. Mungkin pula
sebelumnya memang sudah anemis. Dia kekurangan darah.
Hb-nya sangat rendah...."
Melihat paras Nila memucat, cepat-cepat dilanjutkannya. "Jangan khawatir. Rumah sakit akan menyiapkan
darahnya. Paling-paling satu kolf. Kamu nggak usah
khawatir."
"Dokter!" panggil ibu bawel di ranjang sebelah.
Tunggu sebentar ya, Bu!" sahut Aris sabar.
"Boleh bicara denganmu?" sela Nila cepat. Takut Aris
keburu pergi lagi.
"Tentu. Tanya saja apa yang mau kamu tanyakan."
"Boleh bicara di tempat lain?"
Aris menatap Nila dengan heran. Melihat keresahan
perempuan muda itu, tiba-tiba saja dia sadar, Nila ingin
membicarakan sesuatu yang amat penting.
"Boleh," sahut Aris agak gugup. "Jam setengah dua nanti
kutemui kamu di kamar kerja Dokter Bahar."
* * * T
Pukul setengah dua kurang lima menit, Nila telah menunggu
di depan pintu kamar kerja Dokter Bahar. Kamar itu kosong.
Dokter Bahar sudah pulang selesai mempresentasikan kasus
bersama para koasistennya. Namun sampai pukul dua kurang
seperempat, Aris belum muncul juga.64
"Tunggu siapa, Bu ?" tanya Suster Aida yang kebetulan
lewat. "Dokter Bahar sudah pulang."
"Dokter Aris," sahut Nila gelisah.
"Oh, masih di Gawat Darurat. Tunggu saja di zaal, Bu.
Nanti saya panggil kalau Dokter Aris datang."
Terpaksa Nila menurut. Dia baru tiga langkah
meninggalkan tempat itu ketika Aris muncul dengan tergesagesa.
"Maaf terlambat!" katanya sambil mendahului Nila
masuk ke kamar kerja Dokter Bahar. "Mari, silakan masuk!"
Nirwana Di Balik Petaka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
* * *
Dengan rikuh Nila duduk di depan meja tulis. Aris duduk di
hadapannya. Di kursi Dokter Bahar. "Nah, mau tanya apa?"
tanya Aris sambil tersenyum santai.
Tetapi selama dua menit Nila diam saja, tidak tahu dari
mana harus mulai.
"Tentang Nanda?" pancing Aris sabar. "Jangan khawatir.
Dia akan sembuh!"
Nila bukan perempuan bodoh. Ketika masih sekolah, dia
termasuk murid yang cerdas. Pendidikannya pun sampai
kelas dua SMP. Tidak sulit baginya menuturkan maksudnya
dengan kata-kata, tetapi ketika harus mengatakan siapa
Nanda, dia tidak tahu harus mulai dari mana....
Aris mengawasi Nila dengan cermat. Dilihatnya dahi
perempuan itu berkerut. Wajahnya sebentar memerah.
Sebentar lagi memucat, dan matanya tidak berani membalas
tatapan Aris.
"Ada apa?" Aris menurunkan volume suaran-ya dan
membungkuk agak ke depan. "Apakah soal uang? Jangan
khawatir...."
Nila menggeleng. Kalau cuma soal uang, dia masih bisa
pinjam pada majikannya....65
Matanya berkeliaran dengan gelisah. Menatap ke seluruh
ruangan. Seolah-olah takut ada orang yang mendengar katakatanya.
Ketika akhirnya tatapannya herhenti di wajah Aris,
matanya terlihat begitu tegang.
"Nanda anakmu." Cuma itu yang mampu diucapkannya.
Sekarang, Aris-lah yang tidak mampu mengucapkan
sepatah kata pun.66
9 "TIDAK mungkin!" Aris ingin mengucapkannya seratus kali.
Meneriakkannya seribu kali.
Tidak mungkin Nanda anaknya! Tidak mungkin!
Bukankah dia sudah berangkat ke Jakarta ketika Nila hamil?
Namun, mungkinkah?
Ingatan Aris melayang ke senja yang mendung itu...
ketika mereka pulang terlambat... dan dimarahi ayah Nila....
Mungkinkah akibat... pergaulan bebas mereka saat itu?
Nila melihat ketidakpercayaan di mata Aris.
Kebimbangan di wajahnya. Meskipun laki-laki itu tidak
mengucapkan sepatah kata pun, Nila merasa amat sedih. Aris
tidak percaya! Padahal dialah satu-satunya orang yang
diharapkannya akan percaya! Kalau bukan Aris, siapa lagi
yang percaya?
"Kamu tidak percaya," keluhnya putus asa. Pahit. Getir.
Sejenak Aris tertegun. Diam termangu. Tak mampu
membuka mulutnya. Ketika lidahnya sudah mau digerakkan
lagi, hanya sebuah pertanyaan yang meluncur dari celahcelah bibirnya.
"Mengapa, Nila?"
Nila bertambah terpukul. Sungguhpun Aris mengucapkannya tanpa nada marah. Justru nada iba dalam suara
laki-laki itu melecut kegusarannya. Dia ingin meledak.
Menumpahkan kesedihan yang menyiksanya selama
sembilan tahun.
Aris bukan hanya tidak percaya Nanda anaknya! Dia
malah menuduh Nila, menimpakan kesalahan ke pundaknya,67
dan dia tega bertanya mengapa Nila melakukannya! Ya
Tuhan!
Aris pergi begitu saja meninggalkannya. Setelah
menitipkan benih Nanda di rahimnya. Dia menghilang. Nilalah yang harus menanggung akibatnya... seorang diri!
Sembilan tahun Nila menanggung derita akibat
perbuatan mereka. Dihina, Dicemooh. Diusir. Mengapa dia
harus dihukum seorang diri untuk kesalahan yang mereka
lakukan berdua? Sungguh tidak adil!
Nila tidak mampu menumpahkan unek-uneknya. Sambil
menggigit bibir menahan tang?s, ditinggalkannya Aris
termenung seorang diri.
* * *
Nila memang tidak menuntut tanggung jawabnya. Tidak
mendesak untuk mengakui Nanda. Tetapi sekarang, setiap
kali Aris datang memeriksa Nanda, pertanyaan itu selalu
mengusik sanubarinya... benarkah Nanda anaknya? Kalau
bukan... mengapa Nila berdusta?
Aris kenal sekali sifat Nila. Mereka bersahabat sejak
kecil. Nila tidak pernah berdusta. Mungkinkah tekanan
ekonomi mengubah sifatnya?
Kini dia seorang pembantu. Aris calon dokter. Itukah
yang mendorongnya mengarang dusta?
Bapak anak itu pasti telah menghilang. Oleh karena
itukah, Nila mencari kambing hi?am? Kebetulan mereka
bertemu... dan Nila terpaksa menumpahkan kesalahan ke
pundak Aris....
Semuanya memang mungkin. Senja itu mereka bergaul
melampaui batas. Mungkin saja Nila sudah hamil sebelum
Aris pergi, tetapi dia tidak tahu. Nila baru menyadarinya
setelah Aris pergi....68
Namun, kemungkinan lain juga ada. Nila berhubungan
dengan pemuda lain setelah Aris berangkat ke Jakarta dan dia
tidak tahu siapa ayah Nanda....
Terus terang Aris memang sudah hampir melupakan
Nila. Lebih-lebih setelah dia menikah. Mempunyai anak. Aris
merasa hidupnya bahagia, walaupun dia belum mencintai
Pratiwi.
Ketika bertemu kembali dengan Nila, Aris menyadari
masih ada benang halus yang menghubungkan batin mereka.
Tidak sulit membangkitkan kembali cinta pertamanya,
tetapi... untuk apa?
Aris telah menikah. Nila sudah punya anak.... Anak
siapa? Persoalannya menjadi lain kalau Nanda anak Aris. Dia
memang harus bertanggung jawab!
Rasa ingin tahu yang menggebu-gebu memaksa Aris
melakukan tes darah. Nanda memang membutuhkan transfusi
darah. Contoh darahnya diambil untuk mengetahui golongan
darahnya.
Tidak sulit meminta Nila untuk memeriksakan darahnya
pula. Dia pasti bersedia menjadi donor bagi anaknya kalau
golongan darah mereka cocok.
Aris tinggal mencocokkan darah mereka bertiga. Hasil
tes itu membuat Aris tambah bingung.
Darah Nila golongan O. Darah Aris dan Nanda golongan
A. Itu berarti ada kemungkinan Nanda memang anaknya.
Meskipun tidak memastikan Aris adalah ayah Nanda.
Mungkin saja ayah Nanda bukan Aris dan laki-laki itu
mempunyai golongan darah A pula.
Aris butuh pemeriksaan yang lebih spesifik. Pemeriksaan
genetik. Namun tes itu pasti menarik perhatian dokterdokternya, dan gosip bakal tersebar....
* * *69
Nanda cepat sekali akrab dengan semua orang di rumah sakit.
Perawat-perawat menyukainya. Ibu-ibu yang lain suka
mengobrol dengan dia. Bahkan dia dengan cepat sudah
menjadi favorit para dokter dan koas-nya.
Mungkin akibat pengaruh lingkungannya sejak kecil.
Nanda adalah anak semua orang. Semua orang boleh
menggendongnya. Boleh menciumnya. Dia menjadi mudah
bergaul. Pintar ngomong dan pandai menyesuaikan din.
Tetapi lebih dari semua itu, Nanda paling akrab dengan
Aris. Dengan dokter muda yang satu ini, dia punya hubungan
istimewa. Aris cepat sekali jatuh hati padanya dan Nanda
amat manja pada Aris.
Ketika Dokter Bahar memutuskan Nanda boleh pulang
satu-dua hari lagi, Aris benar-benar merasa kehilangan. Dia
tahu alamat Nanda, tetapi bagaimana dia dapat
mengunjunginya tiap hari? Bagaimana dia dapat
memanjakannya seperti sekarang? Mengobrol dan bercanda
setiap saat?
Sejak pertemuan di kamar kerja Dokter Bahar itu, Nila
tidak pernah lagi mencoba menemui Aris. Tidak pernah lagi
menyinggung soal ayah Nanda.
Yang ditanyakannya cuma keadaan Nanda. Itu pun di
bangsal. Kalau Aris kebetulan datang ke sana.
Tampaknya Nila tidak minta diistimewakan. Tidak ingin
membicarakannya lagi. Dia sudah pasrah menerima nasibnya.
Justru sekarang Aris-lah yang penasaran. Semakin akrab
hubungannya dengan Nanda, semakin besar pula hasratnya
untuk mengetahui siapa ayah Nanda!
"Mau menemaniku makan di kantin, Nila?" sapa Aris
ketika siang itu mereka berpapasan di pintu gerbang rumah
sakit.
Aris hendak pulang. Tampaknya Nila pun demikian.
Waktu kunjungan baru saja berakhir.70
"Terima kasih," sahut Nila tawar. "Tidak pantas dilihat
orang, dokter makan bersama keluarga pasien."
"Bagaimana kalau kita makan di luar?"
"Lebih baik tidak usah."
"Aku ingin bicara denganmu."
"Soal apa?"
"Kita."
"Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan."
"Jangan marah padaku, Nila!" sergah Aris kesal. "Aku
tidak tahu kamu hamil!"
"Lalu setelah tahu kamu tidak percaya!"
"Sembilan tahun kita berpisah, Nila! Kebetulan kita
bertemu di rumah sakit. Tiba-tiba kamu bilang Nanda
anakku. Tidak pantaskah aku bingung?"
"Pantas," sahut Nila sambil mengangkat jarinya
menghentikan bajaj yang kebetulan lewat. "Selamat siang,
Dokter."
Pengemudi bajaj membukakan pintu. Nila menyebutkan
alamat rumah majikannya. la langsung naik tanpa menawar
lagi.
Tanpa berpikir dua kali, Aris ikut menyerobot naik.
Terpaksa Nila menggeser duduknya ke tengah. "Tidak malu
kalau kebetulan ada pasien yang lewat?" gerutunya kesal.
"Apa salahnya? Kamu temanku."
Dan ayah anakku, bisik Nila pedih.
* * *
"Ceritakan semuanya, Nila," pinta Aris ketika mereka sudah
duduk berdua di warung soto di pinggir jalan.
"Apa yang mesti diceritakan?" sahut Nila kesal. "Kamu
nggak percaya kan, Nanda anakmu? Ya sudah!"
"Bagaimana aku bisa percaya? Sebelum aku berangkat
ke Jakarta, kamu nggak pernah bilang apa-apa!"71
"Dua bulan sesudah kamu pergi, aku sendiri baru
tahu...."
"Bagaimana aku tahu tidak ada orang lain selain aku?
Sesudah aku pergi, kamu kan bebas bergaul dengan siapa
pun!"
Nila memandang Aris antara marah dan sakit hati.
"Aku tidak menuntut tanggung jawabmu," katanya getir.
"Tetapi jangan tuduh aku sekotor itu!"
Aris menghela napas berat. Terus terang, dia masih
mempercayai Nila. Dia selalu jujur. Namun... tidak
mungkinkah dia berdusta, sekali saja dalam hidupnya?
Seorang ibu akan melakukan apa saja demi anaknya!
Nila butuh status untuk Nanda, dan kini di hadapannya tegak
seorang laki-laki yang sanggup mengangkat derajat anaknya
dari lumpur kenistaan....
"Sudahlah. Percuma ngomong panjang-lebar. Toh kamu
nggak bakal percaya!" Sambil mengeluh Nila bangkit dari
bangkunya. "Barangkali memang sudah nasib Nanda...."
"Tunggu sebentar, Nila!" Aris memegang tangan wanita
itu dan memaksanya duduk kembali. "Sekarang semua sudah
terjadi. Tak mungkin diubah lagi. Kamu sudah punya Nanda.
Aku sudah punya istri dan anak. Percaya atau tidak Nanda
anakku, aku tetap tidak dapat mengakuinya...."
"Aku tidak ingin merusak rumah tanggamu," potong
Nila lirih. "Aku hanya ingin jaminan bagi Nanda. Untukku
sendiri, aku tidak perlu apa-apa lagi. Sembilan tahun aku
telah dicerca orang. Punya anak tanpa suami. Apa bedanya
lagi bagiku sekarang? Namun, Nanda berhak mendapat
tunjangan dari ayahnya, biarpun tidak memperoleh seluruh
haknya."
"Aku bersedia mengangkatnya sebagai anak!"
"Tetapi aku tidak bisa berpisah dengan Nanda!"
* * *72
Akhirnya Aris menemukan jalan keluarnya. Setelah dua
malam tidak dapat tidur lelap memikirkannya. Dia
mengambil Nila sebagai pembantu rumah tangganya dan Nila
boleh membawa Nanda.
Memang mula-mula sulit meyakinkan Pratiwi, mereka
hanya berjumpa di rumah sakit dan Aris tertarik untuk
mengadopsi Nanda, pasien kecilnya yang hampir meninggal.
Selama ini Aris tidak pernah mencampuri urusan Pratiwi
mencari pembantu. Sekarang tiba-tiba dia membawa pulang
seorang pembantu muda.
"Manis," komentar Ani, pembantunya yang satu lagi.
"Masih muda, lagi!"
Kecemburuan Pratiwi langsung meletup, tetapi kali ini
tampaknya Aris tidak mau dibantah.
"Kuizinkan Nanda tinggal di sini," kata Aris tegas. "Dia
tidak bisa berpisah dari ibunya. Jadi apa salahnya Nila
bekerja di sini sebagai pembantu?"
"Aku tidak butuh pembantu baru!" bantah Pratiwi kesal.
"Apa yang mau dikerjakannya di sini? Mengasuh anaknya
sendiri?"
"Pokoknya beri dia pekerjaan," sahut Aris acuh tak acuh.
"Kalau di rumah tidak ada pekerjaan, akan kubawa dia ke
klinik. Di sana banyak yang bisa dikerjakannya."
Aris memang sedang mengusahakan klinik 24 jam
bersama teman-temannya yang sudah lulus menjadi dokter.
Namun izin klinik itu belum keluar. Bangunan itu masih
kosong.
Perempuan muda ini bisa ditaruh di sana untuk
membersihkan ruangan. Sekaligus menjaganya. Namun
bukankah itu berarti lebih berbahaya? Ada seorang wanita
muda, apapun statusnya, seorang diri di sebuah bangunan
Nirwana Di Balik Petaka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kosong!73
Bukankah lebih baik dia di sini saja supaya Pra-tiwi
dapat mengawasinya? Dia memang buta, tetapi menjaga
suami di rumah lebih mudah daripada di tempat kosong itu!74
10 NILA menerima tawaran Aris itu seperti suatu anugerah.
Bukan untuk dirinya, tetapi untuk Nanda.
Bagi Nila sendiri, statusnya tetap tak ada perubahan.
Seorang pembantu. Ibu tanpa suami. Tetapi bagi Nanda,
berada serumah dengan ayah dan ibunya merupakan berkat
terbesar dalam hidupnya. Walau pun dia tidak tahu siapa Aris
sebenarnya.
Nila langsung menerima tawaran Aris untuk bekerja di
rumahnya. Dia tidak berani menyebutkan apa pekerjaan yang
ditawarkannya itu. Memang tidak perlu lagi. Nila sudah tahu.
Menjadi pembantu. Apa lagi?
Memang muia-mula terasa perih di dalam sini. Setelah
sembilan tahun berpisah, dia harus bekerja sebagai pembantu
di rumah bekas kekasihnya. Namun, demi Nanda, Nila tidak
menolak. Dia malah berterima kasih.
Memang tidak mungkin bagi Aris untuk mengawini Nila
dan mengakui Nanda sebagai anaknya. Dia sudah menikah.
Sudah punya anak. Punya kedudukan sebagai mahasiswa
kedokteran. Hidupnya bahagia. Istrinya kaya. Mau apa lagi?
Nila dapat memahami keadaan Aris. Dulu mereka
memang saling mencintai, tetapi dengan cinta remaja yang
masih polos. Kini mereka bertemu kembali dalam situasi
berbeda. Keadaan sudah berubah. Tidak mungkin lagi
menyambung cinta masa lalu mereka.
Jadi Nila terpaksa menerima suratan takdirnya. Dia
pasrah bekerja sebagai pembantu di rumah Aris. Yang75
menjadi ganjalan bukan beratnya pekerjaan di sana, tetapi
sikap majikan perempuannya.
Perlakuan Pratiwi sangat tidak ramah. Kata-katanya
cenderung menyakitkan. Sikapnya kepada Nila dan Nanda
amat judes. Kadang-kadang malah galak.
Rekan sekerjanya yang baru berumur dua puluh tahun itu
juga tidak bersahabat. Seperti majikannya, Ani juga mencurigainya.
Nila masuk ke rumah itu atas kemauan tuan rumah.
Kalau Aris ada di rumah, Nila dan Nanda merasa seperti di
Nirwana. Namun, begitu Aris pergi, Surga berubah menjadi
Neraka.
Pada hari-hari pertama, Nila hampir tidak sanggup
menahan diri. Dia sudah memutuskan untuk kembali saja
bekerja pada majikannya yang lama, atau minta Aris
mencarikan pekerjaan sebagai pelayan toko, buruh pabrik,
atau apa saja. Asal bisa tinggal bersama Nanda dan tidak usah
tinggal bersama perempuan buta yang galak itu!
Namun kebahagiaan Nanda menahan niat Nila. Aris
memasukkannya ke sekolah. Membelikan buku yang bagusbagus. Membawakan baju baru yang belum pernah dimiliki
Nanda.
Aris sangat memanjakannya. Selama tinggal di rumah
ayahnya, Nanda tidak pernah kekurangan makanan dan
minuman. Hari kedua, dia malah muntah-muntah karena
terlalu banyak makan kue tar.
Aris mencukupi semua kebutuhannya. Kalau dia sedang
bermain-main dengan anaknya yang baru berumur dua tahun,
Nanda selalu diajaknya ikut serta.
Bagi Nanda, ketidakramahan Pratiwi bukan permasalahan yang terlalu serius. Sejak kecil dia sudah terbiasa
menghadapi kesulitan.76
Orang-orang yang bersikap tidak ramah, menyepelekan,
bahkan menghina dirinya sudah merupakan pemandangan
sehari-hari. Jadi dia tidak begitu mengacuhkannya.
Bagaimanapun dia lebih suka tinggal di rumah ini
daripada di tempat Pak Wendo. Apalagi sekarang setiap
malam dia bisa tidur bersama ibunya!
Nanda tidak pernah menduga, untuk memberi
kebahagiaan semacam itu untuknya, ibunya harus membayar
amat mahal. Bekerja keras sepanjang hari. Dicurigai dan
dimaki-maki oleh majikannya yang buta itu.
Malam hari, ketika tengah berbaring dengan sisa-sisa
keletihannya, ibunya masih harus menahan perasaan
membayangkan kekasihnya bersama wanita lain....
Pratiwi memang manja. Sepeninggal ayahnya, Aris-lah
yang menjadi tumpuan kemanjaannya. Namun semenjak
kedatangan Nila kemanjaan Pratiwi meningkat dua kali lipat.
Barangkali nalurinya membisikkan, telah datang
ancaman yang mengkhawatirkan. Dia harus lebih lengket
kalau mau mempertahankan suaminya.
Walaupun tidak melihat, Pratiwi seperti dapat merasakan
kecemburuan Nila kalau dia sedang bermesraan dengan
suaminya. Akibatnya Pratiwi jadi tambah agresif sampai
kadang-kadang Aris kewalahan membendungnya.
"Jangan di sini, Tiwi," bisik Aris rikuh ketika dengan
amat manja, Pratiwi menyambutnya sepulangnya dari rumah
sakit. "Ada pembantu tuh! Malu ah!"
"Sebodo amat!" berungut Pratiwi acuh tak acuh.
"Kolokan sama suami sendiri kok!"
Terpaksa Aris menerima istrinya dalam pelukannya dan
membiarkan menciuminya dengan mesra.
Sementara dengan ekor matanya, Aris melirik Nila yang
sedang mengundurkan diri dengan tersipu-sipu. Melihat sikap
Nila, melihat air mukanya saat itu, tiba-tiba saja Aris merasa
dadanya sakit.77
Aris ingin minta maaf. Dia tahu betapa dia telah
menyakiti hati kekasihnya, tetapi di mana dia harus minta
maaf?
Kamar Nila bersebelahan dengan kamar Ani dan
pembantu yang satu ini punya rasa ingin tahu yang hampir
sama besarnya dengan kepalanya.
Di ruang dalam, lebih tidak mungkin lagi. Tidak ada
kesempatan. Pratiwi hampir tidak pernah meninggalkan
rumah, dan di rumah dia menjaga suaminya dengan ketat.
Pratiwi tidak pernah mengizinkan pembantu masuk ke
kamar tidur mereka. Sekarang dia malah melarang Nila
melayani suaminya makan.
Jika Aris membutuhkan sesuatu, dia harus menyuruh
pembantunya melalui Pratiwi. Tentu saja Aris mulai merasa
resah. Kebebasannya dibatasi dan dia mulai bosan
dicemburui terus.
Ketidakbahagiaannya bertambah setiap kali melihat
penderitaan Nila. Dia merasa telah bersikap tidak adil
terhadap bekas kekasihnya.
Kalau benar dia ibu anakku, pikir Aris dengan perasaan
bersalah. Pantaskah aku menjadikannya pembantu di
rumahku? Sampai kapan dia harus menanggung penderitaan
yang kutimpakan padanya karena mengandung dan
melahirkan anakku?
Aris pernah memergoki Nila tengah memandangnya
dengan air mata berlinang ketika dia membelai-belai kepala
Nanda. Ketika menatap matanya saat itu, kecurigaan di hati
Aris langsung sima.
Tiba-tiba saja keyakinan itu muncul di hatinya. Nanda
memang anaknya! Nila tidak mungkin berdusta!
Nila sangat mengasihi Nanda dan dia tengah membayangkan, seandainya Nanda tahu siapa lelaki yang sedang
mengusap-usap kepalanya!78
Tetapi sekarang, apa yang dapat dilakukan Aris? Dia
memang dapat mengangkat Nanda sebagai anak walaupun
Pratiwi pasti menentangnya habis-habisan. Namun
mengangkat Nila sebagai istri? Tidak mungkin sama sekali!
Pernah timbul keinginan Aris untuk berterus terang pada
istrinya. Barangkali Tiwi tergugah rasa ibanya bila
mengetahui nasib buruk Nila, tetapi bagaimana kalau rasa
cemburunya tambah hebat sampai dia berkeras untuk
menyingkirkan saingannya?
Wanita dapat baik pada semua orang. Kecuali pada
perempuan yang dicurigainya akan merebut suaminya!
* * *
"Sabarlah, Nila," Aris pernah kelepasan bicara ketika
memergoki Nila sedang menangis.
Pratiwi memarahinya habis-habisan. Vina jatuh.
Kebetulan cuma Nila yang berada di dekatnya, tetapi dia
tidak keburu menangkap tubuh bocah kecil itu.
Kemarahan Pratiwi meledak melampaui batas. Seolaholah dia sengaja hendak menumpahkan ke-mengkalannya
kepada pembantu barunya. Aris merasa iba pada Nila.
"Tunggulah beberapa saat lagi, Nila. Pasti ada
perubahan."
Sesudah mengucapkan kata-kata itu baru Aris menyesal.
Bukan hanya karena dia telah memberi harapan kosong pada
Nila, tetapi juga karena dengan ekor matanya dia melihat Ani
tengah mengawasi mereka.
Jarak pembantu itu dengan tempat mereka cukup dekat.
Ani bisa mendengar dengan jelas kata-kata Aris. Kalau dia
sampai mengadu pada Pratiwi untuk mengambil hatinya,
habislah Nila! Dia bisa celaka. Hidupnya di rumah ini pasti
lebih tersiksa lagi!79
* * *
"Kenapa sih kamu jahat sekali sama Nila?" gerutu Aris kesal.
"Kasihan kan pembantu dimarahi sampai begitu sadis!"
"Jahat bagaimana?" balas Pratiwi sama jengkelnya.
Kesal karena suaminya berpihak pada Nila. Sejak kapan Aris
ikut campur membela pembantu? "Babu kan kalau salah
memang mesti dimarahi!"
"Iya, tetapi apa periu sampai begitu dahsyatnya
kemarahanmu?"
"Vina jatuh, tahu nggak?!"
"Tapi kan bukan salah Nila!"
"Kalau dia lebih gesit, lebih mempcrhatikan nggak
melamun melulu, pasti Vina nggak sampai jatuh."
"Maksudmu, dia harus seperti Superman, terbang
menyambar Vina supaya nggak jatuh?"
"Ah, kamu memang selalu begitu!"
"Begitu bagaimana?"
"Membela babu baru itu! Sebenarnya apa sih
hubunganmu dengan dia?"
"Nggak ada hubungan apa-apa! Aku cuma kasihan."
"Kasihan saja kan nggak perlu sampai dibawa ke
rumah!"
"Nanda bekas pasienku. Aku pernah menyelamatkan
nyawanya. Sekarang aku ingin menyelamatkan masa
depannya!"
"Untung tidak kau bawa pulang semua pasienmu di
rumah sakit! Bisa berubah rumahku jadi rumah yatim!"
"Kenapa sih kamu jadi begini? Biasanya kamu baik.
Masa menolong anak melarat seperti Nanda saja kamu
keberatan?"
"Kamu kelewat menyayanginya sampai Vina merasa
iri!"80
"Bukan Vina kok yang iri! Kamu! Vina masih terlalu
kecil untuk merasa iri!"
"Siapa bilang? Anak kecil juga punya insting! Dia
merasa kok kalau ayahnya diambil!"
"Diambil siapa?"
"Siapa lagi? Tuh, anak babu!"
"Aku kan tidak diambil. Cuma harus membagi diriku
dengan anak lain. Semacam latihan agar Vina tidak terlalu
manja dan egois kalau sudah besar nanti!"
"Nyindir, ya?"
"Lho, kok nyindir?"
"Kamu kan mau bilang aku yang manja dan ego-is!"
"Bukan aku kok! Kamu yang bilang begitu!"
"Ah, kamu memang pintar ngomong! Pokoknya aku
tidak sudi kamu membagi cintamu sama anak babu itu!"
"Tiwi! Jangan ngomong begitu dong! Kayak bukan
kamu yang bicara!"
"Biar!" sahut Pratiwi ketus. "Pokoknya aku merasa
tersisih sejak mereka datang! Bukan cuma aku, Vina juga!"
"Tapi Vina senang kok punya teman main!"
"Kalau dia perlu teman, aku akan cari anak lain! Yang
jelas asal-usulnya!"
"Eh, jangan ngomong begitu!" bentak Aris tersinggung.
"Nanda jelas anak Nila!"
"Siapa bapaknya?"
"Apa bedanya?"
"Kalau bapaknya orang jahat, mereka pasti bukan orang
baik-baik!"
"Astaga!" cetus Aris kaget. "Bagaimana perempuan
sepintar kamu bisa punya konklusi yang begitu picik?!"
Memang kadang-kadang Pratiwi sendiri merasa dia
sudah keterlaluan menekan Nila dan anaknya. Apa salah
mereka sebenarnya? Hanya karena Aris terlalu memperhatikan Nanda?81
Sering Pratiwi berada di dekat mereka kalau Aris sedang
bermain-main dengan Nanda dan Vina. Mendengar tawa
bahagia Nanda, kadang-kadang Tiwi merasa tergugah juga.
Tawa anak itu amat polos. Persis tawa anak-anak lain.
Berapa seringnya dalam hidupnya yang sulit dia bisa tertawa
selepas itu?
Nanda memang pintar. Pandai bicara. Kritis. Pertanyaanpertanyaannya banyak. Kadang-kadang menggelitik. Sampai
membuat Aris tertawa terba-hak-bahak.
Pengetahuannya terlalu l?as untuk anak seumurnya.
Kadang-kadang terlalu dewasa sampai Aris terenyak.
Kewalahan mengatasinya. Mungkin akibat pergaulannya
dengan pembantu-pembantu segala umur.
"Anak siapa sih kamu!" geram Aris kalau dia sudah tak
mampu menjawab pertanyaan Nanda. Dipeluknya Nanda
sambil tersenyum. Digelitikinya perutnya sampai anak itu
tertawa terpingkal-pingkal. "Kok pintar amat sih!"
"Anak Bu Nila!" sahut Nanda sambil menggeliat-geliat
kegelian dalam pelukan ayahnya. "Sama bayangan!"
"Bayangan?"
"Iya. Ayah Nanda kan cuma bayangan!"
"Hus! Nggak boleh ngomong begitu!"
"Tapi orang-orang bilang begitu!"
Nirwana Di Balik Petaka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aris belum sempat membuka mulutnya lagi ketika tibatiba Vina menjatuhkan dirinya ke dalam pelu-kannya. Namun
karena dia sedang memeluk Nanda, Vina jatuh ke atas
perutnya.
Nanda berteriak kesakitan. Aris dengan gerak re-fleks
menyingkirkan tubuh Vina. Agak terlalu keras sampai Aris
mesti buru-buru menangkapnya.
Ingat Tiwi ada di dekatnya, cepat-cepat Aris merangkul
kedua anaknya dan mengajak mereka berguling-guling di
lantai sambil tertawa. Kedua anak itu ikut tertawa terpingkalpingkal.82
"Sudah, jangan tertawa tenis!" Pratiwi langsung
menghampiri anaknya, lalu meraihnya ke dalam
gendongannya. "Nanti nangis!"
Nanda berhenti tertawa. Dia menengadah, mengawasi
perempuan buta yang judes itu.
"Kenapa kalau ketawa terus bisa nangis, Bu?"
Pratiwi tidak menjawab. Tidak mau dan tidak bisa.
Tanpa berkata apa-apa ditinggalkannya mereka. la
merasakan tatapan kecewa suaminya di belakang kepalanya.
Mengapa kamu tidak bisa sedikit saja bersikap ramah
pada Nanda? Begitu kata mata Aris, seandainya saja mata itu
dapat bertanya.
Namun Pratiwi tidak peduli. Dia sudah langsung
menggendong anaknya masuk ke kamar. Meskipun Vina
merengek-rengek, memprotes tindakan ibunya. Dia masih
ingin bermain bersama ayahnya dan Nanda. Bagi Vina,
kehadiran Nanda malah menambah kegembiraannya. Makin
ramai makin asyik, kan?83
11 SEMAKIN hari Aris semakin lengket pada Nanda. Anak itu
memang lucu. Manja menggemaskan. Haus kasih sayang dan
perhatian.
Nanda seperti menemukan figur bapak yang sudah lama
didambakannya dalam diri Aris. Dia mengerahkan segenap
kemampuannya untuk memikat hati ayahnya, walaupun dia
tidak tahu siapa lelaki itu sebenarnya.
Begitu Aris pulang dari rumah sakit, Nanda sudah siap
dengan sepasang sandal. Walaupun Pratiwi melarang keras
orang lain melayani suaminya, Nanda selalu berhasil
mencuri-curi kesempatan. Dia selalu selangkah lebih dulu
dari majikannya yang galak itu, karena dia gesit dan tidak
buta.
Minumannya, walaupun cuma segelas air es yang
diamdiam diambilnya dari kulkas, sudah siap disodorkannya
pada Aris. Saat itu, Tiwi bahkan belum sempat menyuguhkan
kopi kegemaran suaminya.
Aris menghabiskan kedua minuman itu sekaligus karena
tidak mau mengecewakan keduanya. Tentu saja minuman
Nanda diteguknya lebih dulu karena Nanda sampai lebih
cepat.
Dengan tingkahnya yang masih lucu, Nanda
menyodorkan gelas sambil melekatkan jari telunjuknya di
bibir dan melirik ke belakang ke arah Pratiwi.
Aris yang mengerti maksud Nanda, buru-buru meneguk
minuman itu dengan diam-diam. Setelah itu, ia menyerahkan84
kembali gelasnya sambil mengecup pipi anak itu sebagai
ucapan terima kasih.
Sesaat mereka saling pandang sambil tersenyum. Nanda
dengan senyum kebocahannya yang polos dan gembira
karena berhasil mendahului majikannya yang galak itu dan
Aris dengan seuntai senyum terima kasih.
Namun suatu hari Aris tersedak karena terlalu terburuburu menghabiskan air esnya. Pratiwi yang tiba di dekatnya
dengan secangkir kopi panas di tangannya, langsung
menyadari apa yang terjadi.
Dia membanting cangkirnya dengan gemas. Nanda kabur
ketakutan ke belakang. Nila tergopoh-gopoh datang dengan
sehelai kain pe?. Sementara Pratiwi sudah masuk ke kamar
sambil membanting pintu.
"Maaf, Nila," desah Aris setelah batuknya reda. "Mana
Nanda?"
"Ke belakang," sahut Nila tanpa mengangkat wajahnya.
Dia sedang membersihkan bekas tumpahan kopi di lantai.
Dengan perasaan tidak enak Aris ikut berjongkok
memunguti pecahan cangkir.
"Nggak usah," Nila mengambil serpihan cangkir dari
tangan Aris. "Tinggalkan saja. Nanti Ibu marah lagi."
"Panggil Nanda. Aku ingin bicara."
"Nanti saja. Dia nggak apa-apa kok."
"Dia pasti ketakutan. Kasihan."
"Oh, dia sudah biasa. Jangan khawatir. Sejak kecil dia
sudah biasa dimarahi orang. Dimusuhi. Disingkirkan...."
"Maafkan aku, Nila...," gumam Aris dengan perasaan
bersalah.
"Bukan salahmu. Memang sudah nasibnya."
Aris tidak tahan melihat air muka Nila saat itu. Tanpa
berkata apa-apa dia bangkit. Lalu mencari Nanda ke
belakang.85
Anak itu sedang bersembunyi di dapur. Begitu
mendengar langkah-langkah kaki mendekat, dia sudah siap
kabur.
"Nanda!" panggil Aris segera.
Nanda menghentikan langkahnya dan berbalik. Ketika
matanya bertemu dengan mata Aris, segurat perasaan yang
tidak dikenalnya menoreh hati Aris. Inikah perasaan seorang
ayah yang ingin melindungi anaknya?
Aris membuka lengannya dan Nanda segera melemparkan tubuhnya ke pelukan ayahnya. Lama mereka saling
rangkui tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun.
* * *
"Kenapa sih kamu marah-marah begitu?" gerutu Aris sambil
menukar bajunya di kamar. Dilemparkannya pakaian
kotornya begitu saja ke lantai.
"Siapa yang nggak marah?!" geram Pratiwi sengit.
"Punya hak apa anak itu memberimu minum? Overact!
Kolokan! Supaya makin disayang, ya?!"
"Dia kan masih kecil. Tidak punya bapak. Jiwa anakanaknya membutuhkan perhatian seorang ayah!"
"Tapi kamu kan bukan ayahnya!"
"Apa salahnya menjadi ayah seorang anak yatim? Tidak
ada yang rugi kok!"
Di luar, Nila yang sedang lewat kebetulan mendengar
pertengkaran mereka dari dalam kamar. Hatinya pilu tersayat.
Cuma dia yang tahu, Nanda berhak memperoleh perhatian
ayah kandungnya! Perempuan itu tidak berhak melarangnya,
siapa pun dia!
"Kenapa Nanda nggak punya bapak, Bu?" tanya Nanda
ketika Nila masuk ke dapur membawa piring.
"Kamu punya bapak," sahut Nila sambil menggigit bibir.
"Semua anak punya bapak."86
"Ke mana bapak Nanda?"
"Pergi jauh."
"Mati?"
"Sudahlah. Jangan bertanya terus."
"Nanda kepingin punya bapak seperti Vina."
"Tidak semua anak seberuntung Vina. Punya semua
yang dikehendakinya, tetapi kamu harus bersyukur ada orang
seperti Pak Aris."
"Pak Aris baik ya, Bu. Tadi dia tanya ulang tahun Nanda.
Katanya Pak Aris mau bikin pesta ulang tahun buat Nanda!"
Seumur hidup Nanda belum pernah membuat pesta ulang
tahun. Ibunya memang datang membawa hadiah, tetapi
pesta? Wah, benar-benar asing baginya!
"Katanya Nanda boleh ngundang teman-teman, Bu!
Nanda mau ngundang Pak Wendo juga! Mau ngundang
Mbak Inem, Bi Ipah, Mbok Icih...."
Celaka! Bisa ngamuk Pratiwi kalau Nanda mengundang
semua pembantu di tempat Pak Wendo datang ke rumahnya!
Namun bagaimana melarangnya. Bukankah mereka semua
memang temannya?
Ternyata Aris bukan hanya membuat pesta ulang tahun
seperti yang dijanjikannya pada Nanda. Dia memberikan
bocah itu hadiah ulang tahun yang benar-benar di luar dugaan
siapa pun.
Ketika Pratiwi tahu harga sepeda Nanda mencapai tiga
ratus ribu rupiah, kesabarannya benar-benar terkuras habis.
Ambang kesabarannya terlampaui sebelas digit.
Siapa anak itu sampai Aris berani memakai uang istrinya
untuk menghadiahinya sepeda seharga tiga ratus ribu rupiah?!
"Anakmu saja tidak pernah kamu berikan hadiah
semahal itu!" geram Pratiwi sengit.
"Vina belum perlu sepeda. Lagi pula dia punya semua
yang diinginkannya. Nanda tidak punya apa-apa," sahut Aris
sabar. "Sepeda itu adalah miliknya yang paling berharga!"87
"Tapi seharusnya kamu bicarakan dulu denganku!"
"Aku kan cuma beli sepeda. Bukan mobil!"
"Apa pun yang kamu beli bukan dengan uangmu sendiri,
harus kamu konsultasikan dulu dengan istrimu!"
Sesudah mengucapkan kata-kata itu, baru Pratiwi
menyesal. Dia telah kelepasan bicara. Merasakan perubahan
air muka Aris, dia sadar, dia telah menyinggung harga diri
suaminya.
"Bukan maksudku menyinggung perasaanmu," gumam
Pratiwi dengan nada menyesal. "Kamu suamiku. Kamu
berhak memakai uangku seperti memakai uangmu sendiri.
Namun untuk membelikan hadiah semahal itu buat orang
lain, mestinya kamu rundingkan dulu denganku...."
"Cukup!" potong Aris tawar. Suaranya tidak
mencerminkan sakit hatinya. Tetapi tatapannya menyiratkan
harga diri yang terlukai. "Tidak perlu pidato panjang-lebar
seperti itu. Dari dulu aku tahu, aku bukan suamimu! Aku
cuma lelaki yang dibeli oleh ayahmu untuk menggantikan
dirinya menjagamu!"
"Jangan bawa-bawa ayahku! sambar Pratiwi geram.
"Papa lelaki paling hebat yang tidak bisa digantikan oleh
siapa pun! Apalagi yang bisa dibeli dengan uang!"
Hari itu mereka bertengkar hebat. Pertengkaran paling
panas selama masa perkawinan mereka. Semua itu terjadi
hanya gara-gara Aris terlampau memanjakan Nanda!
Dia cuma seorang anak babu, pikir Pratiwi gemas. Punya
hak apa dia mengacaukan rumah-tanggaku?
"Aku sudah tidak tahan lagi," desis Pratiwi selesai
bertengkar. "Anak itu membawa racun ke dalam rumah kita!"
"Racun itu ada di dalam hatimu!" bantah Aris jengkel.
"Karena kamu cemburu buta!"
"Sejak mereka datang, kita ribut terus. Lebih baik kamu
usir mereka!"
"Kalau Nanda pergi, aku juga pergi," sahut Aris tegas.88
Sekarang Pratiwi meledak lagi.
"Apamu sih sebenarnya dia? Sampai kamu re?a
meninggalkan anak-istrimu demi anak babu itu?J"
"Kamu tidak adil! Kalau mereka diusir, aku juga pergi."
"Meninggalkan rumahmu demi anak orang lain?"
"Ini rumahmu," sahut Aris dingin. "Bukan rumahku!"
"Lalu Vina? Kamu tega meninggalkan anakmu sendiri?"
"Dia sehat dan kuat. Punya ibu yang kaya raya. Vina
tidak kurang suatu apa, tetapi Nanda? Dia tidak punya-apaapa!"
"Tapi dia bukan anakmu!"
Aris tidak menjawab. Dia menutup mulutnya rapat-rapat
agar tidak kelepasan bicara.
Pratiwi memang tidak berani mengusir Nila dan
anaknya, tetapi sikapnya tidak menjadi lebih ramah. Malah
dua kali lebih keras. Seolah-olah dia sengaja melampiaskan
kekesalannya kepada mereka.
Sekarang Pratiwi bukan hanya menunjukkan
kemarahannya kepada Nila. Kepada Nanda juga. Apa pun
yang dilakukannya pasti salah dan dia dimarahi habishabisan.
Nila bertambah sakit hati. Siksaan terhadap dirinya dapat
ditahannya, tetapi derita Nanda mengusik kesabarannya.
Lebih-lebih ketika dua hari kemudian, Pratiwi menampar
Nanda.
Vina sedang bermain-main dengan Nanda ketika dia
jatuh terguling-guling. Pratiwi langsung menyalahkan Nanda.
Dia menggendong Vina yang sedang menangis dan
menampar Nanda yang sedang mencoba menolong Vina.
Saking kerasnya tamparan itu, Nanda sampai jatuh
terduduk. Tergopoh-gopoh Nila lari memburu anaknya.
"Vina jatuh sendiri kok, Bu!" sergah Nanda menahan
tangis. Air matanya berlinang merasakan nyeri yang89
menggigit pipinya. "Bukan Nanda yang dorong! Bu Tiwi kan
buta. Mana bisa lihat?"
"Kurang ajar!" geram Pratiwi sengit. "Kau kira karena
buta aku tidak bisa lihat bagaimana nakalnya kamu?! Dasar
anak babu, tidak tahu diri!"
Sakit hati Nila mendengarnya.
Tahukah kamu anak siapa sebenarnya Nanda, geramnya
dalam hati.
Dia sudah hampir mengucapkan kata-kata itu. Namun
pada saat terakhir ditahannya kembali niatnya. Demi Nanda.
Dia hanya menggendong anaknya sambil menyusut air
matanya. Tanpa berkata sepatah pun, dia masuk ke kamar.
Tidak dihiraukannya seruan-seruan Ani yang minta dia
membantunya di dapur.
Nila sudah bertekad meninggalkan rumah itu, tetapi
ketika dia sedang membenahi pakaian mereka, Nanda
menangis. Dia memang benci kepada perempuan galak itu,
tetapi meninggalkan rumah ini? Meninggalkan Bapak Aris?
Berhenti sekolah?
"Jangan pergi, Bu!" tangis Nanda separuh meratap.
"Nanda kepingin sekolah! Kepingin tinggal di sini sama Ibu!
Sama Bapak Aris!"90
12 BEGITU Aris pulang, dia sudah tahu ada yang tidak beres di
rumahnya. Nanda tidak datang membawakan air es dan
Pratiwi sudah menunggu di depan. Tanpa berniat
membuatkan kopi.
Wajahnya cemberut. Sikapnya garang. Dia sudah men
Nirwana Di Balik Petaka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dahului mengadukan kenakalan-kenakalan Nanda sebelum
Aris sempat bertanya.
"Vina sampai jatuh! Mulutnya berdarah, bibirnya pecah!
Untung tidak sampai dijahit. Kalau cacat bagaimana?"
Aris buru-buru menengok anaknya. Vina sudah tidur,
tetapi bibirnya masih bengkak. Aris memeriksanya sebentar
untuk memastikan anaknya tidak apa-apa.
"Bagaimana jatuhnya?" katanya sambil meraba-raba
kepala Vina. "Kena belakang kepalanya tidak?"
"Mana aku tahu?" Suara Pratiwi meninggi. Nadanya
makin seru. Supaya makin mendramatisir suasana. "Tahutahu kudengar dia menjerit. Menangis keras sekali. Dia pasti
sangat kesakitan!"
"Kenapa bisa jatuh?"
"Didorong Nanda!"
"Ah masa! Mana mungkin Nanda senakal itu!"
"Kamu kan baru pulang! Mana tahu sih?"
"Kamu juga tidak lihat, kan?"
"Karena aku buta, begitu maksudmu?!" potong Pratiwi
sengit.91
"Maksudku, jangan menyalahkan orang kalau tidak
pasti."
"Jadi, aku tidak tahu apa-apa karena buta?"
"Kamu kan tidak melihat kejadian itu!"
"Nggak ada orang lain di sana! Mereka lagi main
berdua!"
"Bukan berarti Nanda yang mendorongnya! Mungkin
saja Vina jatuh sendiri, kan? Dia masih kecil...."
"Ala, kamu memang selalu membela anak itu!"
"Aku cuma melindungi yang lemah! Yang tidak dapat
membela diri sendiri?"
"Jadi, Vina tidak perlu dibela karena sudah pandai
membela diri sendiri?"
"Nanti aku tanya Vina kalau sudah bangun. Sekarang
aku mau tanya Nanda dulu. Kamu jangan buru-buru
menghukumnya. Namanya juga anak-anak. Nakal sedikit kan
biasa."
"Biasa katamu?" Pratiwi hampir memekik. "Bibir
anakmu sampai pecah biasa katamu?!"
"Mengapa kamu begitu benci pada Nanda? Kan belum
tentu dia yang salah!"
"Mengapa kamu begitu sayang padanya?"
"Aku cuma kasihan."
"Tidak kasihan pada Vina?"
"Vina tidak perlu dikasihani!"
"Biar bibirnya pecah dan dia menangis menjerit-jerit
sekalipun?!" Pratiwi membanting cangkir kopi yang baru saja
disodorkan Ani. Tentu saja maksudnya buat Aris karena hari
ini dia tidak sempat membuat kopi. Takut keduluan Nanda
mengadu pada Aris. "Bapak apa sih kamu ini! Anak orang
lain di-bela, anak sendiri disia-sia!"
Ani yang baru beberapa langkah meninggalkan
majikannya tersentak kaget mendengar suara cangkir pecah.
Bergegas dia ke belakang mengambil kain pel.92
"Kata siapa aku menyia-nyiakan Vina?" Kemarahan Aris
mulai meletup. Siapa pun istrinya, dia tidak suka dibantingi
gelas seperti itu, apalagi di depan pembantu.
"Kamu lebih sayang anak babu!"
"Hati-hati mulutmu, Tiwi!"
"Kamu memang lebih sayang padanya!"
Dengan jengkel Pratiwi menghambur meninggalkan
suaminya. Napasnya mulai terasa sesak. Dia harus buru-buru
mengambil obat asmanya.
Pratiwi memang punya penyakit asma. Sejak kecil.
Tetapi selama ini baru dua kali dia mendapat serangan berat.
Sekali ketika matanya buta. Sekali lagi ketika ayahnya
meninggal.
Namun beberapa minggu ini sejak kedatangan Nanda
dan ibunya, asmanya kambuh terus. Memang belum seberat
dulu, tetapi dia harus selalu buru-buru minum obat.
Tentu saja Aris juga tahu, tetapi mengapa dia tidak mau
mengusir pembantunya demi menolong istrinya? Bukankah
dia juga tahu serangan asma Pratiwi eral kaitannya dengan
stres emosi?
"Vina jatuh sendiri, Pak!" desah Nanda ketakutan
sebelum Aris sempat bertanya. "Jangan usir Nanda! Nanda
kepingin sekolah! Kepingin di sini terus!"
"Siapa yang mengusirmu?" sergah Aris kesal. "Bapak
cuma mau tanya, kamu nakal nggak tadi?"
"Nggak, Pak! Nggak! Vina jatuh sendiri...."
"Kalau begitu tidak ada yang akan mengusirmu!"
"Tapi ibu mau pergi...."
Aris menoleh dengan kaget. Ia melihat Nila sudah siap
dengan kopor kecilnya.
"Ke mana pikirmu kamu mau pergi?" geram Aris
menahan marah.
"Kami sudah tidak tahan lagi," gumam Nila dengan air
mata berlinang.93
"Tapi Nanda tidak mau pergi! Kamu tidak bisa
membawanya kalau dia tidak mau ikut!"
"Nanda anak saya." cara Nila mengucapkan kata kata itu
membangkitkan kemarahan Aris. "Dia harus ikut ke mana
ibunya pergi."
"Kalau kalian melewati pintu itu tanpa izinku, jangan
harap bisa kembali ke rumah ini!"
"Jangan pergi, Bu!" pinta Nanda panik sambil merangkul
kaki ibunya. "Nanda kepingin di sini!"
"Taruh kembali kopormu!" perintah Aris tegas. "Kalian
tidak boleh pergi."
* * *
"Mengapa mereka tidak boleh pergi?" sergah Pratiwi
penasaran. "Sejak kapan kamu melarang babu yang mau
berhenti?!"
"Nanda tidak mau pergi. Nila tidak boleh memaksanya."
"Tapi aku mau mereka pergi!"
"Mereka tidak punya salah apa-apa. Kamu tidak berhak
mengusir mereka."
"Aku berhak mengusir siapa saja dari rumahku!"
Rumahku. Gres. Teriris hati Aris. Ini rumah Pratiwi.
Rumah ayahnya, tetapi pantaskah dia berkata demikian di
depan suaminya? Ini bukan pertama kali Pratiwi mengatakannya! "Kalau kamu berani mengusir mereka, aku juga akan
pergi meninggalkan rumahmu!"
"Jadi kamu memilih pergi bersama mereka daripada
tinggal dengan anak-istrimu sendiri?"
"Kata siapa aku akan pergi bersama mereka? Aku cuma
pergi meninggalkan rumah istriku karena aku tidak punya
hak apa-apa di sini!"94
"Ini rumahmu juga! Rumah kita! Namun aku berhak
mengusir orang yang tidak kusukai dari rumah kita, kan?
Apalagi cuma seorang babu!"
"Nanda tidak mau pergi. Aku juga ingin dia tetap di sini.
Kalau kamu masih menghormati suamimu, hargai haknya!"
"Bagaimana dengan hakku?"
"Hak mengusir orang yang tidak bersalah?"
"Hak mengusir mereka yang tidak kusukai!"
"Aku tidak ingin berdebat lagi," suara Aris terdengar
dingin berwibawa. "Aku ingin mereka tetap tinggal di sini."
Sesudah itu Aris tidak berkata apa-apa lagi. Namun
mendengar tegasnya suara suaminya, Pratiwi mengerti itu
suatu perintah.
Jika dia masih berkeras mengusir Nila dan anak-nya,
Aris pasti menepali ancamannya. Pergi dari rumah ini. Jadi
untuk kesekian kalinya, Pratiwi terpaksa mengalah.
Meskipun dengan hati marah dan penasaran.
* * *
"Ada apa?" tanya kakak laki-lakinya ketika dia membawa ibu
mereka mengunjungi rumah adiknya. "Belum pernah kulihat
mukamu sekusut ini sejak Papa meninggal. Di mana Aris?
Kamu bertengkar dengan suamimu?"
Di depan ibunya, Pratiwi tidak ingin mengadu. Dia tahu,
gula darah Mama bisa naik kaiau pikirannya kusut dan
hatinya kesal.
Namun dia butuh tempat pelampiasan, dan Pramono
memang orang yang paling tepat.
Sejak kecil Pratiwi selalu mengadukan kesulitankesulitannya kepada abangnya. Mas Pram selalu sedia
membantu.
"Barangkali kamu yang cemburu buta," kata Pramono
setelah mendengar cerita adiknya. "Aku tidak melihat di95
mana letak kesalahan Aris. Masa gara-gara anakmu jatuh saja
kamu sampai mengusir pembantu? Sadis amat!"
"Ah, Mas Pram sama saja! Tidak mau mengerti
perasaanku!"
"Perasaan apa? Perasaan cemburu pada seorang
pembantu?" Pramono menyeringai geli. "Aneh kamu ini,
Tiwi. Marah-marah tidak keruan! Kamu hamil lagi, ya?"
"Mas!" teriak Pratiwi gusar. "Yang serius dong! Aku lagi
nggak kepingin bercanda."
"Coba jawab pertanyaanku dengan kepala dingin, Tiwi,"
kata Pramono sabar. "Kamu pernah lihat suamimu masuk ke
kamar pembantu itu?"
"Tentu saja tidak! Aku kan buta!"
"Maksudku, dengar dari orang lain! Vina, atau si Ani
barangkali. Dia kan mata-matamu."
"Tidak!"
"Mereka pernah pergi berdua?"
"Pertanyaan apa itu!" gerutu Pratiwi jengkel.
"Aris pernah kepergok sedang memegang-megang
pembantumu?"
"Suamiku bukan lelaki seperti itu!" potong Pratiwi
sengit.
"Kamu memang tidak dapat melihat, tetapi aku yakin
perasaan dan telingamu lebih tajam daripada orang yang
tidak buta. Nah, apa gerak-gerik suamimu mencungakan
sampai kamu cemburui dia main gila dengan percmpuan
itu?"
"Aris tidak serendah itu!" geram Pratiwi berang.
"Lalu, apa yang kamu cemburui ?" Pramono menahan
senyumnya.
"Bukan cemburu!" sergah Pratiwi gemas. "Aku cuma
jengkel karena Aris terlalu dekat dengan mereka!"
"Itu kan hanya karena dia sayang dan kasihan pada anak
itu!"96
"Anak itu bukan apa-apanya! Cuma bekas pasien!"
"Antara dokter dan pasien kan memang sering terjalin
hubungan batin yang kadang-kadang tidak dapat dimengerti
oleh orang awam. Jadi jangan cepat-cepat ngambek dulu ah!
Nanti asmamu kambuh!"
* * *
Benarkah aku yang terlalu cepat marah, pikir Pratiwi resah
sepeninggal abang dan ibunya. Benarkah aku yang cemburu
buta?
Kalau ada orang yang dapat meredakan kemarahannya
dengan cepat, orang itu adalah ayah dan abangnya. Kepada
merekalah Pratiwi menaruh kepercayaan terbesar. Saat ini,
Pramono merupakan orang terakhir yang dapat menggugah
kesadarannya. Yang dapat memaksa Pratiwi merenungkan
kembali tindakan-tindakannya.
Dia mengakui, selama ini dia terlampau kejam pada Nila
dan anaknya. Apa sebenarnya kesalahan mereka? Hanya
karena Nila muda dan cantik dan karena dia dibawa begitu
saja oleh Aris, dari rumah sakit?
Atau karena Aris terlampau dekat pada Nanda? Namun,
apa salahnya menyayangi seorang anak yatim? Aris tidak
sampai menelantarkan Vina. Perhatian dan kasih sayangnya
pada anaknya sendiri tidak berkurang sekalipun dia mulai
menyayangi anak orang lain.
"Kasih sayang bukan seperti barang," kata Aris ketika
Pratiwi menuduh kasih sayangnya pada Vina berkurang.
"Tidak akan berkurang sekalipun kamu memberikannya pada
anak lain."
* * *97
"Aku ingin bicara," kata Pratiwi dingin ketika Nila datang
menghadap.
Begitu Aris pergi keesokan harinya, Pratiwi langsung
menyuruh Ani memanggil Nila. Dengan dada berdebar-debar
Nila menghadap majikannya.
Nanda yang mendengar ibunya dipanggil, langsung
mengerut ketakutan. Pasti Ibu dimarahi lagi! Dengan wajah
pucat, dia mengintai dari balik pintu.
Nila duduk bersimpuh di lantai. Memandang perempuan
buta yang tengah duduk dengan angkuhnya di atas kursi itu.
Seharusnya akulah yang duduk di kursi itu, pikir Nila
sedih. Kalau kamu tidak datang merebut Aris!
"Dengar baik-baik," suara Pratiwi terdengar dingin dan
bengis. "Bapak tidak menginginkan kalian pergi dari rumah
ini. Namun bukan berarti aku tidak berhak mengusirmu!
Ingat, kalau kamu atau anakmu berani kurang ajar lagi, tidak
ada yang dapat melindungi kalian! Tidak peduli Bapak
melarang, aku tetap akan mengusir kalian! Mengerti?"
"Mengerti, Bu," sahut Nila dengan suara tertekan.
Pikirmu dirimu ini siapa, pikir Nila pahit. Bisa
mengusirku dan Nanda dari kehidupan Aris? Kami datang
lebih dulu daripadamu!
Suaranya begitu lembut, pikir Pratiwi setelah Nila
mengundurkan diri ke belakang. Secantik apa sih dia?
Benarkah Aris tidak tertarik padanya?
"Masih muda," terngiang lagi di telinganya suara Ani.
"Mulus. Ayu, lagi."
Bukankah memang cuma itu yang membuat Pratiwi
cemburu? Apa kesalahan Nila sebenarnya? Dia rajin. Patuh.
Semua pekerjaannya beres.
Dia hanya ingin menyekolahkan anaknya. Ingin tinggal
bersama Nanda. Salahkah seorang ibu yang menginginkan
hal itu?98
Begitu juga Nanda. Apa pula kesalahannya? Dia tidak
terlalu merepotkan kecuali terlalu dekat dengan Aris!
Mengapa Pratiwi begitu benci kepadanya?99
Nirwana Di Balik Petaka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
13 "KENAPA Bu Tiwi benci kita, Bu?" tanya Nanda ketika
malam itu dia sedang berbaring di samping ibunya. "Padahal
Pak Aris baik banget! Kalau nggak ada Bu Tiwi, kita enak ya,
Bu?"
"Hus, jangan ngomong begitu!" bentak Nila kaget. Kalau
kedengaran perempuan jahat itu....
Namun, lama sesudah Nanda terlelap, kata-katanya
masih berdengung di telinga Nila.
"Kalau nggak ada Bu Tiwi...."
Ya, kalau tidak ada perempuan buta itu, betapa
bahagianya mereka! Betapa senangnya Nanda! Dia bisa
bermain sepuas-puasnya dengan ayahnya... punya rumah
bagus, punya ayah dokter... tidak ada yang ditakuti... tidak
ada yang memarahi.... Ya, kalau perempuan buta itu tidak
ada! Untuk pertama kalinya malam itu, Nila tidur dengan
membayangkan rumah ini tanpa kehadiran Pra-tiwi...
Seandainya saja.... Ya, seandainya saja Pratiwi sakit keras
kemudian.... Ah, Nila terkejut sendiri. Pikiran macam apa itu!
Dia merasa malu pernah memikirkan harapan seperti itu!
Betapa rendah budinya! Aris menolongnya. Nila malah
mengharapkan istrinya meninggal? Oh, tetapi... pikiran itu
seperti candu yang menggodanya terus. Tidak bolehkah dia
berharap demi Nanda? Tidak pantaskah dia memikirkan diri
sendiri?100
Bertahun-tahun dia memendam cintanya kepada Aris.
Ketika mereka bertemu kembali, Nanda sedang sakit keras.
Nila tidak sempat memikirkan hubungan mereka. Namun,
kini, semua berbeda. Mereka tinggal serumah. Tiap hari
bertemu. Seperti dulu....
Aris memang tak pernah memperlihatkan kemesraan,
tetapi dia selalu baik. Sikapnya ramah. Tatapannya lembut
dan senyumnya masih tetap sehangat dulu....
Masih membarakah cinta di hatinya? Masih inginkah
Aris menyambung kembali hubungan mereka? Atau...
seluruh kasih sayangnya telah diberikannya pada istrinya
yang buta itu?
Kalau benar demikian, apa arti kata-katanya saat itu?
"Sabarlah, Nila," Suaranya begitu lembut. "Tunggulah
beberapa saat lagi. Pasti ada perubahan."
Perubahan? Perubahan apa? Sikap Pratiwi? Atau....
* * *
Sejak peristiwa itu, Nanda tidak berani lagi bermain berdua
saja dengan Vina. Namun bukan berarti dia tidak mau
mendekati bocah kecil itu. Tentu saja kalau ibunya yang
galak itu tidak ada di dekatnya.
Sering diam-diam Nanda menghampiri Vina dari
belakang. Menoleh ke kanan ke kiri lebih dulu untuk
memastikan tidak ada yang melihat mereka. Lalu begitu ada
kesempatan, mendorong Vina sampai jatuh tersungkur.
Sesudah itu, Nanda akan kabur secepat-cepatnya. Dari
tempat persembunyiannya, dia mengintip bagaimana Vina
menangis kesakitan. Ibunya akan datang tergopoh-gopoh.
Nanda tersenyum puas melihat hasil perbuatan tangannya.
Vina masih terlalu kecil untuk mengetahui siapa yang
mendorongnya dari belakang dan masih terlalu kecil pula
untuk mengadu.101
Biar rasa, pikir Nanda p?as. Siapa suruh ibunya galak
sama aku dan Ibu! Lain kali, awas! Kalau bibirmu belum
berdarah seperti dulu... hhh, aku belum puas!
* * *
"Ngelamun terus, Ris!" Didit memukul bahunya. Lumayan
kerasnya, seolah-olah ingin menggebah kembali kesadaran
Aris ke dunia nyata. "Salah suntik, lewat tu pasien!"
Aris cuma menghela napas berat. Dari pagi dia memang
uring-uringan terus. Pusing memikirkan rumah tangganya.
Pekerjaannya tidak ada yang benar. Sejak masuk ke
bangsal dia sudah jadi bulan-bulanan kemarahan dosen
pembimbing dan asisten-asistennya.
"Kalau sakit pulang saja dulu," suara Dokter Bahar
terdengar keras dan bengis. "Tidur. Daripada bikin celaka
anak orang!"
Dokter Bahar memang pantas marah. Aris hampir saja
membuat kesalahan melakukan punksi lumbal untuk
menyedot cairan otak seorang anak. Padahal yang
seharusnya disedot cairan pleura dari paru-parunya.
Semuanya gara-gara kehadiran Nila dan anaknya di
rumahnya. Sebelum mereka datang, rumah tangganya aman
tenteram. Pratiwi selalu bersikap manis. Jarang marah-marah
seperti sekarang.
Tetapi sejak kedatangan Nila, hampir tiap hari dia
meledak. Hampir tiap malam mereka bertengkar. Soalnya
cuma satu. Nila.
Mengapa Pratiwi begitu kejam pada Nila dan Nanda?
Tahukah dia siapa Nila? Siapa Nanda? Atau hanya nalurinya
sebagai seorang istri yang membisikkan siapa mereka?
Pratiwi memang mengalah. Tidak jadi mengusir Nila,
tetapi itu bukan berarti dia akan mengubah sikapnya!102
Jadi, tepatkah tindakannya menahan Nila di rumahnya?
Bukankah itu berarti memperpanjang penderitaan Nila dan
anaknya?
"Saya sudah tidak tahan lagi." Masih terngiang di
telinga Aris suara Nila. Masih terbayang jelas di matanya
wajah wanita itu.
Paras yang pucat. Kusut. Basah bersimbah air mata.
Paras yang suatu waktu dulu pernah menjadi miliknya....
Kini paras itu layu dan muram. Paras yang tak pernah
disentuh kebahagiaan. Jauh lebih tua dari umur sebenarnya
karena sarat digurat penderitaan....
Akulah yang menyebabkan penderitaan itu, keluh Aris
dengan perasaan bersalah. Masih belum cukupkah
kesengsaraan yang kutimpakan padanya karena mengandung
dan melahirkan anakku? Sampai kupaksa dia tinggal di
rumahku, supaya tiap hari dia dapat dicerca dan dihina oleh
istriku!
O, lelaki apa aku ini! Inikah bentuk tanggung jawabku
sebagai seorang ayah bagi Nanda? Mengurungnya di
rumahku supaya aku dapat setiap hari melihatnya? Tidak
peduli dia menderita ketakutan setiap hari asal tidak seorang
pun tahu akulah ayahnya?
Aku memang telah memberinya rumah. Sekolah. Kasih
sayang. Namun Nanda berhak memperoleh lebih daripada
itu! Dia berhak mendapat seorang ayah dan ketenangan
sebuah rumah!
Demikian pula Nila... dia berhak mendapat kehidupan
yang lebih baik... dia tidak usah seumur hidup menjadi babu
ayah anaknya!
"Aku pusing, Dit," keluh Aris pengap setelah tak mampu
lagi menanggung beban pikiran itu seorang diri. "Tiwi
marah-marah terus sejak aku membawa Nanda ke rumahku."103
"Kontrakkan rumah saja, Ris," usul Didit, mulai serius
melihat kemurungan temannya. "Mereka lebih senang. Kamu
lebih tenang!"
* * *
Barangkali itu ide yang baik, pikir Aris sepanjang perjalanan
pulang. Pratiwi pasti gembira kalau Nila dan Nanda
menyingkir dari rumahnya. Asal dia tidak tahu saja,
suaminya mengontrakkan pembantunya sebuah rumah!
Nila pun pasti lebih bahagia. Tinggal berdua saja dengan
anaknya. Tidak usah menerima makian Pratiwi tiap hari dan
tidak usah menjadi pembantu lagi. Aris yang akan membiayai
hidup mereka, tetapi... maukah Nila hidup seperti itu? Hidup
bersama anaknya dibiayai oleh Aris dengan uang istrinya?
Dan kalau Tiwi sampai tahu... dia akan menganggap Aris
memelihara Nila! Babunya kini menjadi perempuan
simpanan suaminya!
Ah, Aris benar-benar bingung. Mengapa susah sekali
untuk membahagiakan semua orang? Mengapa sulit sekali
menjadi lelaki yang baik dan penuh tanggungjawab?
Kesulitan tidak pernah menyapanya ketika dia masih
menjadi pemuda berandal. Namun begitu dia ingin menjadi
pemuda yang baik dan bertanggung jawab, kesulitan seperti
berbondong-bondong menghampirinya!
Mula-mula Pratiwi. Dia tidak pernah mencintainya.
Mengapa harus menikahinya hanya karena dia merasa
bertanggung jawab telah membutakan matanya? Tidak ada
yang tahu dia yang melempar batu itu!
Lalu Nila. Dia tidak dapat membuktikan Aris-lah ayah
Nanda. Mengapa Aris percaya saja dan melibatkan diri dalam
kesulitan dengan mengambil anak itu dan membawa mereka
ke rumahnya? Kalau Aris tidak mau mengakui Nanda, siapa
yang dapat memaksanya bertanggung jawab?104
Namun... soalnya memang tidak sesederhana itu. Siapa
pun Nanda, Aris sudah telanjur sayang padanya.
Vina lain lagi. Biarpun Aris tidak mengasihi ibunya,
Vina tetap anaknya. Dia mengasihi anak itu melebihi dirinya
sendiri.
Lalu Nila... benarkah cinta pertama mereka sudah pupus
sama sekali? Aris sendiri sering meragukannya.
Ketika pertama kali melihat Nila lagi, tidak ada perasaan
apa-apa di hati Aris, kecuali kenangan masa lalu. Dia hanya
seperti bertemu seorang sahabat lama. Bukankah Nila sudah
punya anak dengan lelaki lain?
Ketika mengetahui nasib Nila, terbit rasa iba di hatinya.
Namun lama kelamaan cinta yang sudah terkubur itu seperti
bangkit kembali. Makin lama makin menjelma menjadi
sosoknya yang asli. Lebih-lebih ketika Aris diberitahu siapa
Nanda.
Aris berusaha meredam gairah cintanya yang mulai
berkobar kembali karena ia tidak mau mengkhianati Pratiwi.
Tampaknya Nila pun selalu berusaha menjauhkan diri. Tetapi
dari jauh pun, mereka tak dapat menghindari kontak batin
yang terjalin di antara mereka. Rupanya kontak inilah yang
mengguncang ketenangan Pratiwi. Walaupun buta, nalurinya
sangat tajam....
"Buat apa kontrak rumah, Ris?" tanya Haryo heran.
"Apa rumahmu kurang besar?"
"Bukan buatku," sahut Aris sambil memijatmijat
keningnya untuk menghilangkan sakit kepalanya. "Buat
teman."
"Rumah kayak apa yang dibutuhkannya? Berapa
besarnya? Terletak di daerah mana?"
Haryo adalah teman Aris semasa SMA. Kini dia bekerja
di sebuah perusahaan swasta, tetapi punya usaha sampingan
mengon?rakkan rumah. Kadang-kadang rumahnya sendiri.
Kadang-kadang dia hanya perantara.105
"Yang kecil saja. Sederhana. Buat temanku berdua
dengan anaknya. Kalau bisa dekat sekolah anaknya."
"Janda ya, Ris?" goda Haryo. "Cakep?"
"Apa bedanya dia janda atau bukan? Ada potongan harga
kalau dia cantik?" balas Aris pura-pura bodoh.
"Kok kamu yang repot?"
"Menolong teman. Masa nggak boleh?"
"Kapan dia mau datang lihat? Kebetulan salah satu
rumahku baru habis masa kontraknya."
"Biar aku saja yang lihat."
"Lha, kok aneh! Kalau dia nggak suka?"
"Dia sudah menyerahkan segalanya padaku."
"Menyerahkan segalanya padamu, Ris?"
"Pikiranmu kotor, Yo!"
"Apa aku salah dengar?"
"Maksudku, dia menyerahkan semua urusan sewamenyewa rumah ini padaku!"
"Aku sudah pengalaman lho, Ris!"
"Kau tidak percaya dia bukan perempuan simpananku?"
"Aku takut dia nggak suka kalau orang lain yang
mencarikan rumahnya! Selera kan bisa berbeda!"
"Orangnya nggak cerewet kok, Yo. Nah, kapan aku bisa
lihat rumah itu?"
"Kenapa tidak sekarang saja?"106
14 "KONTRAK rumahnya beres, Ris?" tanya Didit beberapa
hari kemudian, ketika mereka bertemu di ruang obat.
"Beres," sahut Aris sambil memasukkan sebotol kecil
obat tidur ke saku kemejanya. "Aku minta tolong Haryo."
"Buat apa obat tidur sebanyak itu?" Didit mengerutkan
dahinya dengan heran. "Pasien mana yang mau kau
singkirkan nanti malam?"
"Hus! Ini kan untukku sendiri! Malam ini aku ingin tidur
nyenyak."
"Jangan kebanyakan!" gurau Didit. "Nanti kamu tidur
terus. Nggak bisa dibangunin lagi!"
"Biar. Mumpung besok hari Minggu. Aku mau tidur
sampai siang."
"Mudah-mudahan Senin sudah segar kembali. Aku ingin
mengajakmu nonton bola!"
Nonton bola. Aris mengeluh panjang. Enaknya jadi
bujangan seperti Didit! Tidak ada yang dipikirkan kecuali
belajar dan nonton sepak bola! Malang benar nasibku, harus
kawin muda dan mengalami problem rumah tangga yang
begini memusingkan kepala!
Mula-mula Aris sendiri heran. Dia mengira akan
disambut istrinya dengan wajah cemberut. Seperti kemarin
dan kemarinnya lagi.
Sejak pertengkaran hebat mereka yang terakhir minggu
lalu, mereka seperti sedang mengalami perang dingin. Pratiwi
tidak pernah menyambutnya lagi sepulangnya dari rumah107
sakit. Tidak menemaninya di meja makan dan tidak mau
melayaninya di tempat tidur.
Mukanya cemberut saja. Dia seperti kena penyakit bisu.
Tidak mau bicara kalau tidak perlu. Tentu saja kepada Aris.
Kepada Nila dan Nanda, makiannya tetap selancar tembakan
senapan mesin.
Namun malam ini terjadi mukjizat. Pratiwi tidak
ditemuinya dalam keadaan cemberut. Atau memakai daster
kumal sambil membaca majalah.
Pratiwi menyambutnya di depan pintu. Seperti dulu.
Tangannya memegang secangkir kopi panas.
Bukan cuma itu yang membuat Aris tertegun bengong
Nirwana Di Balik Petaka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti orang linglung. Pratiwi mengenakan baju tidur baru,
dari bahan sutra tipis yang tembus pandang berwarna biru
muda. Dia memang masih mengenakan kimono penutup dari
bahan dan warna yang sama, tetapi kimono itu tak mampu
menahan mata Aris yang sudah mengembara lebih jauh ke
baliknya. Gairah yang terpendam di dadanya langsung
memuntahkan magma yang lebih panas dari kopi di dalam
cangkir yang disodorkan Pratiwi.
Aris benar-benar merasa heran bagaimana perempuan
buta seperti Pratiwi dapat memilih gaun tidur yang begitu
indah merangsang. Pasti pelayan took yang membantunya
memilih, baju ini punya selera yang sangat baik.
Pinggang Pratiwi memang masih selangsing dulu.
Sesudah melahirkan Vina, tubuhnya malah bertambah padat
dan elok. Kalau Aris tidak sedang sakit kepala....
Pratiwi mengecup pipi suaminya yang masih kebingungan, lalu menyodorkan cangkir kopi. Biarpun
panasnya kopi itu dapat merebus lidahnya, Aris meneguknya
Pendekar Rajawali Sakti 45 Satria Baja Hitam Si Racun Dari Barat See Tok Ouw Yang Hong Tay Toan Karya Jin Yong Fear Street - Confession
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama