Ceritasilat Novel Online

Pendekar Majapahit 5

Pendekar Majapahit Karya Kusdio Kartodiwirjo Bagian 5


berupa beras, jagung, kedelai dan lain-lain hasil tanaman seperti sayur-sayuran dan sebagainya. Dan
adapula yang membawa ternak seperti ayam, itik dan lain-lain serta bahkan ada yang berjalan sambil
menghalau kerbau sapi dan lain sebagainya, untuk nanti dijual dipasar kota. Ampat orang punggawa
praja sibuk menghadang para pendatang untuk mengumpulkan bea masuk kota yang tidak sedikit
jumlahnya. Yaitu seperempat bagian dari tafsiran harga nilai dagangannya, para pedagang itu harus
menyerahkan pada empat orang punggawa praja itu, yang memang ditugaskan oleh Bupati Kepala
Daerah lndramayu. Mereka diharuskan membayar tunai dengan mata uang ataupun meninggalkanPENDEKAR MAJAPAHIT
barang dagangannya sebanyak seperempat bagiannya. Mungkin hal itu telah menjadi kebiasaan,
sehingga semua pendatang tak ada yang berhasrat menentangnya. Walaupun sesungguhnya dirasakan
berat sekali olehnya. Sebentar saja pedati dipinggir jalan yang tadinya kosong itu kini penuh dengan bermacam-macam barang hasil pungutan dari para pedagang itu, sedangkan kantong goni yang dipentang
oleh dua punggawa praja itu cepat juga penuh berisikan uang perak dan tembaga.
Ada dua tiga orang yang menggerutu, tetapi pada hakekatnya, mereka juga membayar penuh. bea
masuk kota yang ditentukan oleh ampat orang punggawa praja tadi . Tak seorang dapat lolos dari
keharusan membayar bea masuk kota, kecuali pengemis tua, karena memang tak ada yang harus
ditinggalkan. Dengan pakaian yang compang campingr, dan dekil itu, para punggawa praja segan untuk
menggeledahnya.
--- Cepat, serahkanlah kantong kulitmu mmasing-masing itu, untuk kuperiksa dulu isinya, ? seorang
punggawa praja berseru memerintah pada Jaka wulung dan Jaka Rimang yang kini tiba gilirannya untuk
digeledah. Mendengar seruan ini muka Jaka. Rimang seketika menjadi merah padam menahan rasa
marahnya, dan menjawablah dengan bentakan yang tak kalah kerasnya. ? Peraturan manakah yang
mengharuskan orang berlalu digeledah dan meninggalkan seperempat bagian miliknya padamu.?
? Bangsat .. membantah ketentuan ini, sama halnya dengan memberontak terhadap Gustiku
Bupati, tahu. ? Salah scorang punggawa praja yang tinggi besar membentak keras.
? Tak usah di jawab. Tangkap saja dua orang itu.---- perintah seorang punggawa yang berdiri
dibelakang, sambil memperhatikan Jaka Wulung dan Jaka Rimang dengan pandangan mata yang tajam.
Dua orang punggawa yang sedang menghadapi segera merangsang maju hendak menangkap
pergelangan tangan Jaka Wulung dan Jaka Rimang, untuk menyeretnya, akan tetapi kedua punggawa
praja itu segera jatuh terjungkal kebelakang, dan kepalanya babak belur terbentur batu yang berserakan
ditanah.
Punggawa praja yang berdiri dibelakang tadi, cepat menghunus golok panjangnya serta menerjang maju
dengan serangan kilat yang berbahaya. Sedangkan seorang punggawa lainnya yang sedang memegang
kantong goni yang berisi uang itu, cepat pula turut menyerang dengan kelewangnya. Orang-orang
pendatang banyak pula yang tidak mempedulikan atas keributan ini, dan mengambil kesempatan untuk
cepat-cepat berlalu dari tempat itu, dengan tanpa membayar bea masuk. Dari gerakan para penyerang
itu, Jaka Wulung dan Jaka Rimang segera dapat mengukur ketangguhan lawan, yang ternyata jauh
berada dibawah tingkatannya.
? Adi Rimang, biarlah kau melayani mereka sendiri, aku akan membagi bagi rejeki pada para
penonton ? berkata demikian Jaka Wulung melompat kesamping menuju tempat kantong goni yang
beriskan uang. Dengan tangkasnya kantong goni disodok dengan tongkatnya, dan uang dalam goni itu
berkerincingan tersebar dijalanan. Kini tanpa diperintah lagi, orang yang berlalu disitu berebut
memunguti uang yang tersebar dijalanan, sewaktu Jaka Rimang sibuk dengan tongkatnya
mempermainkan dua punggawa praja yang menyerangnya. Dua orang punggawa praja yang jatuh
terjungkal karena tendangan Jaka Wulung dan Jaka Rimang tadi, telah pula merayap-rayap bangun dan
menyerbu kearah Jaka Rimang, untuk membantu teman-temannya.
Kini pertandingan menjadi satu lawan ampat. Tetapi Jaka Wulung masih juga berdiri tenang dengan
bersenyum simpul sambil melihat jalannya pertempuran. Tak lama kemudian senjata mmasing-masing
yang berada ditangan ampat orang punggawa praja itu serentak terpental lepas dari pegangan dan jatuh
ditanah, dengan diiringi suara jeritan dan mengaduhnya dua orang punggawa praja yang jatuh terpental
kebelakang tiga langkah dari tempat pertempuran itu.
Belum juga suara tertawa hilang dari mulut Jaka Rimang, yang merasa girang karena berhasilPENDEKAR MAJAPAHIT
serangannya, tiba-tiba ia sendiri jatuh terjungkal dengan pelipisnya sebelah kiri berdarah. Jaka Wulung
melompat, untuk menolong adiknya, tetapi suara desis jatuhnya batu krikil datang kearahnya terpaksa
ia merobah gerakannya dan dengan tongkatnya Jaka Wulung menangkis datangnya serangan gelap itu.
Batu kerikil sebesar ibu jari tangan terpental jatuh karena terbentur dengan ujung tongkat Jaka
Wulung. Terkejut ia setelah merasakan betapa pedihnya telapak tangan yang memegang tongkat.
Kembali suara desingan terdengar, dan tongkat ditangannya berputaran cepat untuk digunakan sebagai
perisai, sambil merendahkan badannya, dan dua buah kerikil terpental melambung jauh, karena
terbentur dengan tongkat penjalinnya. Kini ia tahu, bahwa penyerang gelap itu adalah orang yang duduk
dalam pedati dipinggir jalan. Orang itu tenang-tenang duduk dalam pedati dipinggir jalan dengan tangan
kirinya memegang cambuk, dan bandringan atau alat pelempar batu ditangan kanannya, dengan ketawa
terkekeh kekeh.
? Hai bedebah, kusir pedati, ? Jaka Wulung berseru dengan lantang. ? Jangan kau menyerang
dengan sembunyi.?
? Ha ..... haaaa .. haaaa .. akan kulihat sampat dimana ketangkasan permainan tongkatmu itu. ?
berkata demikian orang yang duduk dalam pedati segera meloncat keluar dengan cambuk pedatinya
ditangan kiri.
? Sebelum kau hancur kuhajar dengan cambukku ini, siapakah kau, berani berlagak sebagai
peraberontak.?
Pakaian orang itu hitam kumal sebagai kusir pedati biasa dengan topi anyaman bambu sebagai
penutup kepalanya. Bentuk tubuhnya tinggi kurus agak bongkok, namun wajahnya kelihatan bersih
bersinar. Melihat raut mukanya, usianya orang itu tak lebih dari 30 tahun. Matanya juling, menyimpan
silat-sifat kepalsuan. Ketawanyapun di-buat-buat dengan nada penuh ejekan. Ampat orang punggawa
praja tadi cepat mengundurkan diri dan berdiri agak jauh dibelakang orang itu dengan rasa ke-takutan.
---- Akulah Jaka Wulung. Jaka Wulung menyahut cepat. ? Dan maksudku bukan untuk
memberontak, tetapi sekedar memberi hajaran pada punggawa praja yang memeras rakyat dengan semena-mena. Siapakah kau berani turut campur dengan urusanku.?
Belum juga pertanyaan itu terjawab, pecutnya telah menyambar dengan mengeluarkan suara yang
memekakkan telinga, langsung menyambar kearah kepala Jaka Wuiung. Sementara itu Jaka Rimang
telah sadarkan diri kembali dan bangkit berdiri dengan tongkat siap ditangan. Dengan hanya
menundukkan kepalanya dan badan merendah sedikit, Jaka Wulung terhindar dari cambukan. Tetapi
secepat ia terhindar dari cambukan yang pertama, serangan cambuk yang kedua segera menyusul pula
dari arah yang bertentangan ditujukan pada lambung kirinya. Dengan tangkas Jaka Wulung meloncat
tinggi menghindari serangan cambuk sambil menyerang kearah dada lawan. Serangan Jaka Wulung
dahsyat sekali hingga bagi orang yang kurang pengalaman akan merasa sukar terhindar. Tetapi kiranya
lawannya adalah orang yang memiliki ketangkisan yang luar biasa. Sebelum ujung tongkat menyentuh
lehernya, dengan tangkasnya ia memiringkan badannya, dan sekaligus mengirimkan tendangan dengan
kaki kanannya. Serangan yang tak terduga ini sukar sekali untuk dihindarkan, karena saat itu Jaka
Wulung belum berpijak ditanah. Jaka Wulung mengerahkan tenaganya untuk menerima tendangan
lawan dengan tangkisan siku tangannya, dan ia terpental dua langkah kebelakang dengan berjumpalitan.
Ternyata tenaga tendangan lawan tadi dahsyat sekali. Cepat Jaka Wulung bangkit dan membalikan
badannya, siap untuk mengelakkan serangan tusukan dari lawan. Tiba tiba Jaka Rimang telah menerjang
lawan yang sedang melancarkan serangan dengan cambuknya. memukul dengan tongkatnya kearah
pergelangan tangan kiri lawan, yang memegang cambuk itu.PENDEKAR MAJAPAHIT
Cepat serangan cambuk itu ditarik kembali untuk menghindari pukulan cepat tongkat Jaka Rimang,
sambil menangkis dengan cambukan pada tongkat yang menerjang itu serta berseru nyaring ? lepas.
Tak ayal lagi tongkat Jaka Rimang terlepas dari genggaman dan terlempar jatuh dua langkah
kesamping, Jaka Rimang melompat surut kebelakang dengan wajah yang pucat serta berpeluh dingin.
Dalam saat yang sama Jaka Wulung menyerang pula dengan tongkatnya menyapu kaki lawan, tapi tak
kurang tangkasnya lawan meloncat tinggi sambil menggerakkan cambuknya memapak datangnya
serangan tongkat. Tongkat Jaka Wulung kini terlibat oleh cambuk lawan yang kemudian ditariknya
dengan hentakan yang mengejutkan serta tendangan kearah pergelangan tangan: lepaskan tongkat
Ternyata tongkat Jaka Wulung dengan mudahnya lepas dari genggaman dan melambung tinggi untuk
kemudian jatuh ditanah sejauh kurang dari sepuluh langkah. Jaka Wulung meloncat kebelakang dengan
tangannya dirasakan pedih terkena tendangan lawan, tetapi belum juga ia berpijak tanah, cambuk
datang menyapu kearah kakinya dan terdengarlah suara mengaduh dari Jaka Wulung untuk kemudian
jatuh terkulai ditanah. Kakinya sebelah dirasakan lumpuh tak dapat cligerakkan. Melihat keadaan
kakaknya, Jaka Rimang, dengan marahnya menerjang lawan dengan serangan tendangan berangkai.
Kakinya bergerak menendang silih terganu kearah dada dan lambungnya, namun lawannya tangguh dan
lebih tangkas. Pada tendangan yang ketiga kalinya lawan sengaja tak menghindari, tetapi menangkis
dengan pukulan telapak tangan kanan yang tepat mengenai tulang sambungan pergelangan kaki Jaka
Rimang. Jaka Rimang jatuh tersungkur dan tidak berdaya lagi. Ampat punggawa praja yang berdiri
menonton itu, kini lari mendekati dan mengikat tangan dan kaki Jaka Wulung dan Jaka Rimang.
? Kuwu, lekas masukkan dua tawanan itu kedalam pedati, dan bawalah langsung ke Kepatihan, ?
perintah Patih Lingganata ? aku menunggu jemputan kudaku. ? Lingganata adalah patih Kabupaten,
yang baru saja diangkatat sebagai pengganti patih Kabupaten yang namanya juga Lingganata.
Sesubgguhnya nama patih yang baru itu sebelum diangkat terkenal dengan nama Durgawangsa seorang
bekas kepala rampok.
Suara cambuk terdengar sekali lagi dan pedati yang ditarik oleh sepasang sapi mulai bergerak berjalan
pelan-pelan. Jaka Wulung dan Jaka Rimang berbaring berhimpitan dengan dibelenggu kaki dan
tangannya mmasing-masing diatas tumpukan barang-barang yang berada didalam pedati itu dengan
dijaga oleh dua orang punggawa praja, sedangkan dua orang punggawa praja lainnya duduk didepan
memegang tali kemudi. Tak lama kemudian seorang punggawa praja berkuda datang dengan
mengantarkan kudanya Patih Lingganata. Dengan tangkas Patih Lingganata naik kepelana kudanya dan
memacunya memasuki kota Indramayu. Pedati berjalan pelan, dan makin lama makin ketinggalan jauh
dari dua orang yang berkuda. Pada waktu pedati melalui tikungan, tiba-tiba dua orang berpakaian
seperti saudagar kaya, berkelebat meloncat kedalana pedati dan langsung menyerang ampat orang
punggawa praja yang berada dalam pedati. Dalam tempat yang sempit itu mereka bergumul saling
menyerang. Kiranya dua orang penyerang memiliki ketangkasan yang jauh lebih tinggi dari pada para
punggawa praja yang diserangnya.
Dalam waktu yang singkat ampat orang punggawa praja telah terpukul pingsan, bahkan dua
diantaranya terlempar ke luar dari pedati dan tak sadarkan diri. Sementara itu dengan tangkas tali
belenggu Jaka Wulung dan Jaka Rimang di putusnya dengan tebasan golok, dan kedua Jaka bersaudara
itu dipondong oleh kedua orang diatas pundaknya, serta meloncat keluar lari memasuki lorong-lorong
jalan kecil di kampung-kampung. Pedati masih terus berjalan tanpa kusir yang mengemudikan.
? Tuan, turunkanlah, kami berdua dapat berjalan sendiri dengan dibimbing, ? Jaka Wulung mulai
membuka mulutnya dengan bicara pelan. Jaka Wulung dan Jaka Rimang segera diturunkan oleh dua
orang penolong itu, dan kini berjalan pelan dengan dipapah mmasing-masing oleh kedua orang yangPENDEKAR MAJAPAHIT
menolong itu dengan tak mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya. Dengan isyarat ini Jaka Wulung dan
Jaka Rimang menundukkan mukanya dengan terdiam sambil terus berjalan pelan, dengan kaki sebelah
diseret. Kini mereka berampat memasuki sebuah rumah bilik yang cukup luas, tetapi sepi tak kelihatan
penghuninya.
Dengan ber ? hati-hati pintu ditutupnya kembali dari dalam dengan palang pintu kayu yang cukup
kuat. Jaka Wulung dan Jaka Rimang segera dipersilahkan berbaring di-bale-bale yang telah tersedia.
Karena dua orang pcnolong itu belum memulai bidara, Jaka Wulung dan Jaka Rimang juga masih tetap
bungkam dan saling ber-pandang-pandangan dengan penuh pertanyaan.
Seorang diantara dua penolong itu memandang tajam kearah Jaka Wulung dan Jaka Rimang berganti-ganti dan mulai bicara dengan suara pelan: ? Sebagai seorang lurah tamtama penatus, kau
berdua cukup memiliki ketangkasan dan keberanian, tetapi dalam tugasmu sekarang ini, kau berdua
kurang ber-hati-hati. Kecerobohan tindakanmu dapat menggagalkan seluruh rencana Gustimu
Tumenggung Indra, tahukah lurah Wulung dan lurah Rimang? ?
Jaka Wulung serta Jaka Rimang serentak bangkit dan duduk dengan mulut ternganga dengan penuh
rasa heran dan takut, karena tidak menduga bahwa penolongnya itu telah tahu bahwa mcreka berdua
telah diangkat oleh Sang Senapati Muda Adityawardhana sebagai lurah tamtama.
? Memang kejadian ini adalah akibat kebodohan kami berdua, mohon penjelasan siapakah
sebenarnya tuan-tuan berdua ini, ? Jaka Wulung bertanya dengan sangat merendah. Karena ia
menduga bahwa penolongnya tak mungkin orang biasa. Tentulah orang yang dekat hubungannya
dengan para perwira tamtama Kerajaan ? demikian pikirnya.
? ya . . . . memang kita belum saling mengenal. Ketahuilah bahwa aku adalah Bupati tamtama
Cakrawirya dan sebutan pangkatku Tumenggung. Pembantuku ini ialah lurah tamtama Durpada! ?
Cakrawirya menjelaskan.
Jaka Wulung serta Jaka Rimang setelah jelas mendengar kata-kata itu, segera memaksakan duduk
bersila dan menyembah serta berkata. ? Ampunilah, Gusti Tumenggung. Kami berdua tak sengaja
berlaku kurang hormat kepada Gustiku. Dan kami menghaturkan banyak terima kasih atas kemurahan
Gustiku Tumenggung Cakrawirya. ? Jaka Wulung berkata dengan menundukkan mukanya.
? Tak mengapalah, sebagai tamtama baru, kalian berdua cukup menunjukkan kesetiaan. Untuk
selanjutnya se-waktu-waktu kita berjumpa dalam perjalanan jangan sekali kali menyebut dengan Gusti,
tetapi cukup dengan Tuan atau Saudara saudagar saja. Dan sekarang berbaringlah kembali, biar lurah
tamtama Durpada mengobati kakimu yang pecah itu.?
Tanpa diperintah untuk kedua kalinya Durpada segera memeriksa kaki ke-dua-duanya, ternyata
hanya terkilir saja, dan kiranya Jaka Wulung dan Jaka Rimang dapat saling mengurut sendiri, dengan
membobokkan ramuan obat yang dibekalnya. Cakrawirya dan Durpada segera meninggalkan mereka
berdua dalam rumah itu, dengan maksud mencari jejaknya Indra Sambada yang berjalan bersama
dengan Sujud. Jaka Rimang dan Jaka Wulung taat mematuhi perintah Cakrawirja, dimana mereka harus
beristirahat dirumah itu selama satu hari satu malam, hingga kakinya yang terkilir sembuh kembali.
Dirumah itu selain telah disediakan makanan lebih dari cukup juga pakaian bermacam-macam bentuk
dan ber-aneka warnanya telah tersedia. Kedatangan tamtama nara sandi Tumenggung Cakrawirya dan
Lurah Durpada, adalah atas perintah Patih Mangkubumi Gajah Mada untuk memberikan bantuan pada
Tumenggung lndra Sambada yang sedang mengemban tugas dari Sang Senapati Manggala Yudha,
Perintah ini adalah memenuhi usul Sang Senapati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja Gusti
Adityawardhana, setelah mana beliau memberikan laporan selengkapnya tentang hasil peninjauannya
serta rencana selanjutnya untuk memadamkan kerusuhan-kerusuhan yang sedang berkobar itu.PENDEKAR MAJAPAHIT
lndra Sambada dengan Sujud sengaja tak mau melalui jalan besar. Mereka menyusuri tebing kali
Cimanuk mengikuti arusnya air kemuara. Dengan demikian mereka mengambil jalan memutar kearah
utara untuk kemudian kembali ketimur melalui jalan-jalan desa yang ber-liku-liku dan kemudian masuk
kekota dengan tak mendapatkan rintangan sesuatupun. Berdua mereka langsung menuju kepasar Kota
Kabupaten, yang penuh sesak dengan orang-orang berdagang dan orang yang sedang berbelanja. Sujud
berjalan dengan dua ekor burung merpatinya ditangan, sedangkan Indra Sambada berjalan berlenggang
dengan kantong kulit tergantung dipinggangnya. Keris pusakanya tak ketinggalan diselipkan didalam
baju dipinggang sebelah kiri agak kedepan. Berkali kali Sujud mengajak ber-henti untuk melihat barangbarang yang beraneka warna dan bentuknya yang sedang diperdagangkan serta yang menarik
perhatiannya.
Didalam pasar itu Indra Sambada membeli pakaian yang indah untuk Sujud serta untuk dirinya sendiri,
tak ubahnya seperti pakaian seorang saudagar yang kaya raya. Kini mereka keluar dari pasar yang ramai
itu dan menuju ke kali Cimanuk yang tak jauh dari kota Indramayu. Memang letak kota Indramayu
berada disebelah timur kali Cimanuk, yang mana kali ini bermuara dipantai utara laut Jawa dekat kota
Indra-mayu. Kali Cimanuk kini tidak dapat dilalui oleh perahu-perahu layar, karena tidak dalam dan
luasnyapun tidak seluas kali Bengawan.
Perahu-perahu layar hanya dapat memasuki sampai dimuara saja. Setelah sampai dipinggir kali
Ciinanuk, pada tempat yang sepi, Indra Sambada serta Sujud segera mengenakan pakaian barunya, yang
baru saja dibelinya dari pasar tadi. Memang benar apa kata pepatah yang menyatakan, bahwa pakaian
dapat merobah wajah dan bentuk Orang. Dengan pakaian baru itu, lndra Sambada kelihatan tampan
dan gagah, sedangkan Sujud mirip dengan seorang putra bangsawan. Pakaian atasnya dari sutra
berwarna merah muda, dengan celana panjang berwarna biru tua, serta memakai sarang tenun benang,
sutra buatan daerah Garut yang telah terkenal. Ikat kepalanya, pita sutra kuning.
Sujud memakai ikat kepala lehar segitiga dari sutra warna kuning pula, dengan baju sutra betwarna
merah muda, dan memakai sarung tenun benang sutra dilipat sampai diatas lututnya. Celananya
Panjang kepalang sampai dibawah lututnya, berwarna merah tua. Sebentar-sebentar Sujud meraba
halusnya pakaian sutra yang dikenakan itu, dengan ketawa gembira dan wajahnya kelihatan ber-seriseri. Kiranya seingat dia baru kali inilab ia mengenakan pakaian seindah dan samahal ini. Mereka segera
kembali lagi kepasar yang masih sesak dengan pengunjung, dan langsung memasuki sebuah warung
makan.
Memang warung itu hanya khusus disediakan untuk para pedagang-pedagang besar serta para
hartawan yang sedang berbelanja. Masakaanya terkenal lezat dengan pelayan-pelayannya wanita yang
cantik-cantik. Dengan tidak menghiraukan tamu pengunjung yang lain, Indra Samhada dan Sajud
mengambil tempat duduk yang masih kosong, serta memesan makanan dan minuman yang
dikehendaki, Dengan gaya sebagai seorang hartawan, Indra Sambada memerintah pelayan wanita untuk
membelikan sebuah sangkar guna menempatkan merpati yang dipegang oleh Sujud itu.
Uang emas sepotong dilemparkan pada pelayan wanita yang diperintah tadi, yang olehnya segera
diterimanya dengan senyum gairah yang menarik. Uang kembalinya sengaja diberikan semua kepada
pelayan wanita itu, seperti gayanya seorang hartawan muda yang beloboh dan pemboros. Sikap
demikian ini membikin irihatinya tamu-tamu lainnya.
Karena kini semua para pelayan berebut untuk melayaninya dengan sangat sopan dan hormatnya.
Sudah menjadi kebiasaan warung makan itu, sewaktu hari pasaran, buka terus sampai jauh malam, dan
waktu itu senjapun belum tiba. Kira-kira masih tiga jengkal lagi matahari mendekati garis cakrawala
dibagian bumi sebelah barat.PENDEKAR MAJAPAHIT
Tiba-tiba seorang saudagar yang duduk sendiri disudut ruangan, datang mendekati Indra Sambada
dengan bersenyum dan menganggukkan kepalanya, serta langsung mengambil tempat duduk dihadapan
Iridra Sambada, dengan tidak menunggu lagi dipersilahkan.
? Baru kali ini saya melihat Tuan dipasar Indramayu. Dagangan apakah yang Tuan bawa?? saudagar
itu menegor Indra Sambada dengan sopan sekali yang di-buat-buatnya.
? Memang baru kali ini, saya berkunjung kemari?jawab Indra Sambada dengan tersenyum pula. ?
Dan perkenalkanlah, aku adalah Indra dari Banyumas----- Dan saya adalah Saputra, pedagang dari Indramayu sini saja. Dan maafkan, barang2 apakah yang
tuan Indra akan dijualnya disini? ? Kembali saudagar itu mendesak ingin tahu barang dagangan Indra
untuk kedua kalinya. ? Dagangan saya adalah barang-barang permata, yang akan saya tawarkan kepada
Gusti Bupati. Karena me nurut cerita kawan-kawan saya, Gusti Bupati gemar akan barang-barang
permata yang indah-indah. ?
Orang yang mengaku bernama Saputra itu tubuhnya kekar gagah, tingginya sedang dengan pakaian yang
indah pula sebagai lajaknya seorang pedagang besar. Wajahnya bersinar bersih dengan kumis tipis
menambah tampannya. Dibalik wajahnya yang tampan itn tersembunyi sifat-sifat angkuh dan sombong.
Usianya masih muda sebagai usia Indra Sambada. Usianya kurang lebih sekitar dua puluh tiga tahunan.
? Memang benar kata-kata teman-teman Tuan, ? kata Saputra. ? Gusti Bupati gemar sekali
membeli barang-barang permata yang benar indah ataupun permata-permata kuno dari negeri luar. Jika
seandainya Tuan Indra memang bermaksud menawarkan pada Gusti Bupati, saya sanggup menjadi
perantaranya, karena tidak mudah sebagai saudagar yang belum dikenal untuk memasuki lstana
Kabupaten ! Berkata demikian Saputra memandang dengan penuh selidik kepada Indra Sambada,
seakan-akan ia kuatir bahwa barang-barang permata dagangan Indra akan tidak memenuhi syarat-syarat
untuk ditawarkan pada Bupati Indramayu.


Pendekar Majapahit Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Indra Sambada sangat menyetujui tawaran Saputra itu, dan untuk tidak mengecewakan yang akan
menjadi perantaranya, Indra Sambada segera menunjukkan sebuah cincin mas murni bermatakan
jamrut sebesar ibu jari dengan berlian-berlian kecil, dan disamping itu Indra Sambada juga menunjukkan
pula tangkai keris pusakanya yang berada didalam bajunya.
Saputra mengangguk-anggukkan kepalanya serta bersenyum girang serta puas. Dalam hati iapun kagum
akan keindahan barang yang ditunjukkan padanya itu. Mereka berdua telah sepakat untuk besok pagipagi ketemu lagi dirumah makan ni, dan berangkat bersama sama menuju ke Kabupaten Malam nanti.
Indra Sambada dimintanya bermalam dirumah Saputra, tetapi tawaran tersebut ditolak oleh Indra,
dengan alasan bahwa ia masih menunggu kedatangan kawannya yang membawa barang2 berharga
lainnya. Saputra mendahului meninggalkan warung makan, sedangkan Indra Sambada dan Sujud masih
tetap duduk-duduk dengan tenang sambil menikmati hidangan yang dihadapinya. Sewaktu Indra
Sambada dan sujud menikmati hidangan makanan kecil, terdengar suara pelayan membentak bentak
pengemis yang duduk meminta belas kasihan diambang pintu.
? Pergi . pergi .... pergi dan jangan menggangu Tuan-tuan yang sedang makan disini. ?
bentaknya.
Tetapi pengemis tua itu bandel, dan tidak mau mengindahkan bentakan para pelayan. Karena
kejengkelan para pelayan, maka pengemis tua diusirnya dengan disiram air kearah kepalanya. Melihat
pengemis yang basah kepalanya karena diguyur air itu, Sujud segera akan bangkit, tetapi cepat Indra
Sambada menangkap maksud Sujud dan mencegah dengan memegang pergelangan tangan Sujud. Dan
kiranya Sujud juga dapat memahami maksud tujuan Indra Sambada. la kembali duduk tenang sambil
mengawasi pengemis tua yang pelan-pelan meninggalkan warung makan. Waktu itu hari telah mulaiPENDEKAR MAJAPAHIT
gelap samar-samar Sang surya baru saja menyelinap memasuki permukaan samudra. Tak berselang
antara lama, sipengemis meninggalkan rumah makan itu, Indra Sambada dan Sujud, segera bangkit dan
meninggalkan pula rumah makan, setelah membayar semua harga makanan yang telah dipesannya dan
memberi hadiah uang perakan pada para pelayan-pelayan.
Berdua mereka berjalan melalui jalan-jalan kecil dan lorong-lorong yang berliku-liku, mengikuti
pengemis tua yang berjalan didepannya. Ternyata pengemis tua itu bukan lain adalah Wirahadinata
adanya. Kini mereka tiba disebuah desa,yang terpencil dibatas kota. Setelah mereka bertiga
memperhatikan sekelilingnya dengan cermat, dan tak ada hala hal yang mencurigakan mereka segera
memasuki sebuah rumah dinding jang dibuat dari anyaman bambu serta telah kelihatan reyot. Tidak
diduganya sama sekali, bahwa Tumenggung Cakrawirya dan lurah Durpada lelah berada didalam rumah
itu sejak sore tadi. Kedua priyagung tamtama setelah berjumpa segeta saling merangkul dengan amat
akrabnya untuk menyatakan kerinduanaja mmasing-masing yang telah lama dikandungnya. Setelah
mereka mmasing-masing menceritakan pengalaman dalam perjalanan, Indra Sambada menjelaskan pula
rencana tindakan pada hari esok paginya. Setelah jelas tentang pembagian tugas mmasing-masing,
Cakrawirya dan Durpada meninggalkan rumah reyot itu untuk menuju tempat yang telah disewanya,
dimana tadi Jaka Wulung dan Jaka Rimang ditinggalkan.
* * * Dua orang saudagar muda turun dari kudanya mmasing-masing, dan memasuki pintu gerbang
Kabupaten Indramayu dengan disambut oleh dua punggawa praja yang sedang bertugas sebagai
pengawal, untuk kemudian diantar menuju keruang tamu dalam gedung Kabupaten yang luas itu.
Bupati Prajaraimaka dengan didampingi oleh Patih Lingganata serta dua orang punggawa praja
rendahan dang duduk berhadap-hadapan diruang tamu diatas permadani yang indah. Setelah
berkenalan, Indra Sambada segera menunjukkan barang, perhiasan permata, yang beraneka macam dan
jenisnya untuk ditawarkan kepada Bupati Prajaratmaka. Barang-barang perhiasan itu ganti berganti
dilihat dengan telitinya oleh Patih Lingganata dan kemudian pindah lagi ketangan Bupati Prajaratmaka
yang memeriksanya hanya sepintas lalu saja. Kiranya semua ketentuan dalam membeli barang-barang
itu terletak ditangan Patih Lingganata. Hal ini sangat menarik perhatian Indra Sambada namun ia tak
mau menunjukkan rasa herannya, Bupati Prajaratmaka usianya telah setengah lanjut, sekitar
limapuluhan, dan berperangai halus, namun wajahnya kelihatan pucat sayu mengandung rasa sedih, dan
sedikitpun tak nampak kegembiraannya. Sikap ini jauh berbeda dengan Patih Liugganata, bahkan dapat
dikatakan sebaliknya? Patih Lingganata melihat perhiasan-perhiasan dagangan itu dengan penuh nafsu,
sedangkan Bupati Prajaratmaka melihatnya hanya sepintas lalu dengan tidak menunjukkan minatnya
sama sekali. Nada bicaranya tak mengandung semangat sebagaimana layaknya seorang priyagung
narapraja yang menjadi kepala daerah. Segala tindakan dan gerakannya se akan-akan hanya ,sekedar
untuk memenuhi permintaan Patih Lingganata.
-- Hanya yang tuan ajukan itu sangat mahal! Gustiku Bupati hanya bersedia membeli ini semua
dengan harga separo , dari apa yang telah tuan tawarkan tadi, ? Patih Lingganata menawar barangbarang perhiasan Indra Sambada. Kata-kata itu membuat Indra Sambada sangat heran. Lingganata
mengajukan penawaran yang sangat rendah, tanpa mendapatkan persetujuan Bupari Prajaratmaka,
tetapi menyatakan bahwa yang akan membeli adalah Bupati sendiri.
Hal ini menambah rasa curiganya, akan tetapi ketenangan tetap dapat menguasai dirinya. ? Harga
yang saya tawarkan ini merupakan harga pasti, sedikitpun Gusti Patih tak dapat menguranginya, ?PENDEKAR MAJAPAHIT
jawab Indra Sambada. ? Dan jika memang tak ada kecocokan soal harga, saya mohon diri untuk
pulang- dengan membawa barang-barang saya kembali ?
? Nanti dahulu. Bukankah tuan belum pula membayar bea masuk kota? ? Patih Lingganata berseru
dengan senyum mengejek dan melanjutkan bicaranya. ? Ataukah tuan bermaksud meninggalkan
seperempat bagian dari barang-barang milik tuan ini sebagai pelunasan bea masuk? ?
Bupati Prajaratmaka kini kelihatan lebih pucat lagi. setelah Patih Lingganata mengakhiri kata-katanya.
Perobahan wajah itupun tak lepas dari pengamatan Indra Sambada, Kini Indra Sambada telah dapat
menarik kasimpulan yang pasti bahwa Bupati Prajaratmaka adalah seorang yang lemah sekali dan
menjadi boneka, alat para perampok yang mengejar kekayaan.
? Sebagai seorang pedagang saya telah merantau sampai , dikota Raja, tetapi belum pernah
menjumpai peraturan yang mengharuskan meninggalkan seperempat bagian dari miliknya sendiri
sebagai bea masuk kota, ? Indra Sambaka menjawab dengan sinar pandangan tajam menatap wajah
patih Lingganata. Dua pandangan tajam berbenturan dengan perbawa mmasing-masing, namun jelas
bahwa Patih Lingganata cepat memalingkan kepalanya kearah Bupati Prajaratmaka, karena kalah
Perbawa, Bupati Prjaratmaka semakin kelihatan gemetar tangannya dan ia tetap membungkam seribu
bahasa, dengan menundukkan kepalanya.
? Ketahuilah tuan saudagar, bahwa ketentuan pembayaran bea masuk kota ini adalah peraturan
yang dikeluarkan oleh Gusti Bupati sendiri. Siapakah yang tidak mentaati peraturan ini dapat dianggap
sebagai pemberontak, bukankah demikian Gusti Bupati? ? Patih Lingganata menjelaskan dengan
menunggu persetujuan Prajaratmaka, olehnya hanya dijawab dengan anggukkan kepala saja.
? Pemerasan yang tidak pantas, ? Indra Sambada berseru lantang. Mendengar makian Indra
Sambada, Lingganata segera bangkit berdiri dan langsung menyerang dengan tinjunya kearah pelipis
Indra. Dengan hanya menundukkan kepalanya Indra Sambada telah bebas dari serangan tinju. Untuk
kedua kalinya Lingganata menghantam dengan tinjunya, tetapi kembali kepalan tanganya jatuh
ketempat kosong. Pada saat serangan yang kedua kalinya itu, Indra Sambada telah bangkit berdiri.
? Keparat ! Berani kau menentang kekuasaanku ? Lingganata berseru sambil meloncat dan
melancarkan serangan tendangan kearah dada Indra Sambada tetapi tidak mengenai sasarannya. Indra
Sambada, meloncat kesamping untuk menghindari tendangan sambil memilih tempat yang agak luas,
Saputra turut bangait dan melesat menerjang Indra Sambada dengan golok panjang terhunus. Sejak tadi
Indra Sambada, telah menduga bahwa Saputra adalah adik Lingganata, mengingat persamaan perangai
mukanya. Dan ini memang merupakan kenyataan yang tak dapat dielakkan. Akan tetapi Indra Sambada
adalah Manggala Muda Tamtama Pengawal Raja, yang memiliki kesaktian yang hampir mendekati titik
kesempurnaan. Serangan tendangan dan tusukkan golok panjang dibiarkan hingga hampir mengenai
tubuhnya.
Tetapi sebelum menyentuh bajunya, pergelangan tangan Saputra yang sedang menjulur itu tiba-tiba
ditangkapnya dengan cengkeraman remasan yang dasyat. Saputra menjerit kesakitan, beramaan dengan
jeritan itu golok panjangnya telah jatuh gemerincing di lantai. Dengan satu dorongan telapak tangan kiri
Saputra jatuh terguling dilantai. Dalam saat yang sama, Lingganata telah menyerang pula dengan
sabetan klewangnya kearah pinggang.
Dengan tangkas Indra Sambada meloncat tinggi menghindari datangnya klewang yang berkelebat
kearah pinggangnya, dengan berpusingan diatas untuk kemudian jatuh berdiri tepat dibelakang
Lingganata. Pada saat itu pula telapak tangan Indra Sambada memukul jalinan syaraf penggerak tangan
dipundak Lingganata, dengan berseru nyaring ? Lepaskan klewangmu, Lingganata jatuh tertelungkup
dan bergulingan menghindari rangkaian serangan lawan, dengan tangan kanan yang tak dapatPENDEKAR MAJAPAHIT
digerakkan, sedangkan klewangrija terpental lepas dari genggaman dan jatuh dilantai lima langkah
jauhnya. Bahwa dalam satu gerakan, klewangnia telah terlepas dari genggamannya, Lingganata tidak
menduga sama sekali. Mukanya pucat pasi dan peluh dingin berbintik bintik keluar dari dahinya. Belum
pernah ia kehilangan senjata dalam bertanding hanya satu gebrakan saja. Sebagai perampok ulung,
nama Durgawangsa pernah menggetarkan daerah Sumedang sampai Indramayu. Tctapi dalam
menghadapi Indra Sambada, kini ia sama sekali tidak berdaya. Ia masih harus berterima kasih, bahwa
Indra Sambada tidak meneruskan dengan serangan pukulan mautnya. Namun perasaan benci dan
kemarahan kiranya lebih menguasai dirinya,
Cepat Durgawangsa bangkit dan meloncat selangkah kesamping dengan berteriak nyaring. ? Kurung
rapat ! Dan tangkap bangsat pemberontak ini ! Berkata demikian ia melolos cambuk dari pinggangnya
sambil menerjang maju. Tujuh orang berpakaian punggawa praja meloncat datang dari ruang samping
dan mengurung Indra Sambada dengan bersenjatakan klewang dan tombak. Kini Indra Sambada
menghadapi delapan orang bersenjata lengkap menyerang secara serentak kearahnya. Seruan
melengking yang memekakkan telinga terdengar dengan disertai gerak loncatan menghindari serangan
yang datang bertubi-tubi. Ia meloncat kesamping kanan dan kiri dengan membagi-bagikan pukulan pada
penyerangnya dengan telapak tangan dan tendangan kakinya. Tiap kali tangan dan kakinya berkelebat,
scorang penyerang jatuh dengan jeritan yang mengerikan, Tetapi belum pula ada lima orang yang jatuh
tersungkur tak berdaya, telah datang lagi penyerang baru sepuluh orang, dan kesemuanya bersenjata
tajam.
Melihat datangnya penyerang yang bergelombang bertambah lagi. Indra Sambada menjadi sibuk
sekali. Gerakannya bertambah bersemangat laksana banteng mengamuk yang pantang menyerah. Pada
saat yang bersamaan didepan balai pengawalan, terdengar pula suara gaduh, bertempurnya seorang
pengemis tua melawan para pengawal. Pengemis tua yang tidak lain adalah Wirahadinata dengan
bersenjatakan tongkat bertanding lawan enam orang pengawal yang bersenjatakan klewang. Akan
tetapi keenam orang pengawal tersebut ternyata bukanlah tandingannya. Dalam waktu yang singkat
saja tiga pengawal diantaranya telah jatuh dengan kepala mengeluarkan darah karena pukulan tongkat
pengemis sakti. Sedang tiga orang pengawal lainnya terdesak tak dapat membalas menyerang, mereka
hanya berlompatan kesamping dan kebelakang untuk menghindari gerakan tongkat pengemis tua yang
sangat dahsyat, dan memusingkan kepala mereka.
Tongkat dahan kering ditangan Wirahadinata, sama bahayanya. dengan berkelebatnya tombak yang
tajam. Sebentar-sebentar tongkat berputar membuat peningnya kepala. dan sebentar-sebentar berobah
menjadi gerakan sodokkan ataupun sebentar dengan gerakan-gerakan loncatan mengejar lawan yang
sukar dihindari.
Seorang pengeroyoknya jatuh terlentang terkena sodokan tongkat tepat pada ulu hatinya. Dengan
jeritan ngeri tertahan pengawal tadi jatuh terkulai dan tak dapat bergerak lagi. Dengan tidak
menghiraukan dua orang pengawal yang mengeroyoknya yang sedang dihadapinya, Wirahadinata
menerjang langsung masuk dalam gelanggang pertempuran diruang pendapa yang berlangsung dengan
sengitnya. Tetapi belum juga Wirahadinata dapat masuk di-tengah-tengah kalangan, terdengar suara
yang sangat berpengaruh dari lndra Sambada memberikan perintah padanya: ? Kyai Tunggul! Amankan
Bupati Prajaratmaka. Dan biarlah saya sendiri yang akan menghadapi gerombolan perampok ini ! ! ! ! ! .
? Secepat kilat Wirahadinata melesat menuju tempat dimana Bupati Prajaratmaka sedang duduk
gemetar dengan kedua belah tangannya menutupi mukanya.
Dengan tangkasnya Wirahadinata menyambar badan Prajaratmaka dengan tangan kiri dan
membawanya pergi kesebuah kamar dibelakang. Dua orang mengejar dan menyerang Wirahadinata dariPENDEKAR MAJAPAHIT
arah belakang, sebelum ia dapat memasuki kamar.
Dengan tangan kanan memegang tongkat Wirahadinata terpaksa membalikan badannya untuk
melayani dua orang penyerangnya yang bersenjatakan klewang. Tiba - tiba empat orang berpakaian
tamtama Kerajaan berkelebat mendatang, dengan suatu loncatan yang mengagumkan dari tembok
belakang yang menjulang tinggi itu. Mereka adalah Tumenggung Cakrawirya, Lurah Durpada Lurah Jaka
Wulung dan Jaka Rimang. Dengan tidak memberi kesempatan pada kedua penyerang Wirahadinata,
Jaka Wulung mengajunkan tongkatnya yang tepat mengenai tengkuk para penyerang, dan tak ajal
mereka jatuh tersungkur dan tak dapat bergerak lagi. Tumenggung Cakrawirya dan Durpada langsung
menyerbu dengan bersenjatakan pedang tamtamanya membantu Indra Sambada yang sedang
bertempur menghadapi sembilan orang.
Tanpa bantuan Cakrawirya dan Durpada sesungguhnya Indra Sambada dapat menghadapi lawanlawannya dengan tidak terdesak, tetapi karena ia bertangan kosong, maka agak sukar untuk dalam
waktu yang singkat dapat menjatuhkan sembilan lawannya.
Cakrawirya dan Durpada dengan pedang tamtamanya, tak mau membuang-buang waktu lagi. Dalam
segebrakan dua orang penyerang telah berteriak ngeri, dan jatuh bergelimpangan karena tangannya
mmasing-masing terbabat kutung. Melihat gelagat yang tidak menguntungkan ini, para penyerang
menjadi kacau balau, dan berebut untuk melarikan diri, tetapi maksud ini selalu dapat digagalkan karena
berkelebatnya pedang ataupun tendangan yang tak dapat di-duga-duga menghadang dihadapannya.
Sementara itu Jaka Wulung dan Jaka Rimang telah pula menerjang dan menutup jalan keluar. Hanya
Lingganatalah yang masih tetap mengamuk dengan cambuknya yang panjang, sungguhpun, gerakan
cambuknya tak pernah mengenai sasarannya. Lima orang penyerang kini telah bergelimpangan mandi
darah, namun Lingganata masih terus mengamuk tidak mau menyerah. Melihat demikian ini
Tumenggung Cakrawirya semakin meluap marahnya. Dari samping kanan pedang tamtamanya
berkelebat tak mengenal ampun lagi, membabat leher Lingganata hingga putus seketika.
Darah menyembur dan kepalanya jatuh menggelinding dilantai. Indra Sambada yang bergerak untuk
mencegahnya ternyata telah terlambat. Tiga orang lainnya cepat-cepat membuang senjatanya mmasingmasing dan mengangkat tangan dua-duanya keatas, tanda menyerah.
? Terima kasih kangmas Cakrawirya, ? Indra Sambada mulai bicara ? Sayang bahwa Durgawangsa
telah mati?, katanya melanjutkan.
? Maafkan dimas Indra. Saya telah kehilangan kesabaran melihat sikapnya yang kepala batu itu
Cakrawirya menjawab.
Sementara dua orang priyagung itu bercakap-cakap. Jaka Wulung dan Jaka Rimang membelenggu tiga
orang yang menyerah. Sedangkan Lurah Durpada membelenggu orang-orang yang masih pingsan tapi
tak terluka berat.
Kini lndra Sambada, Cakrawirya clan Kiai Tunggul berkumpul memeriksa Bupati Prajaratmaka yang
sedang duduk dengan muka pucat pasi dengan kepala tertunduk. Dari tanya jawab mereka mendapat
penjelasan bahwa, Prajaratmaka sebagai Bupati, sebenarnya telah dikuasai oleh para perampok
dibawah Durgawangsa dan kawan-kawannya selama lima tahun. Demi untuk mencari keselamatan
keluarganya. Prajaratmaka menyerah dalam cengkeraman para perampok tadi. Hal ini memang
beralasan, karena dua putranya yang kecil diculik dan hingga sekarang ini tak tahu bagaimana nasibnya.
Setiap waktu Bupati Prajaratmaka menentang tindakan para perampok, selalu diancamnya dengan akan
dibunuhnya kedua anaknya.
Maka menghadapi keadaan yang demikian ia tak dapat berdaya, dan hanya menyerah dalam
cengkeraman para penjahat. Dengan paksaan dan ancaman bupati Prajaratmaka terpaksa mengangkatPENDEKAR MAJAPAHIT
para rampok menjadi punggawa praja. Sedangkan Patih Kabupaten Lingganata yang aslipun tidak
diketahui pula nasibnya. Mungkin juga ia telah dibunuh oleh para perampok keji yang diketahui oleh
Durgawangsa sendiri.
Dengan hilangnya Patih Lingganata, Durgawangsa memaksakan dirinya untuk diangkat menjadi
pengganti patih Lingganata dan untuk tidak mengeruhkan suasana, maka nama Lingganata dilintirnya
oleh Durgawangsa yang kini telah menjadi mayat.
Peraturan yang bersifat menindas rakyat, dikeluarkan atas desakan Durgawangsa. Para petani
diharuskan menyerahkan hasil panenannya sepertiga bagiannya, sedangkan sisanya yang akan dijualnya
dipasar masih pula dikenakan bea sebanyak seperempat bagian. Hasil dari pemerasan itu, Prajaratmaka
sedikitpun tidak turut mengenyamnya, dan mengalir seluruhnya kegudang-gudang Kepatihan untuk
kemudian dibagi-bagi dengan kawan-kawannya. Ini semua tidak diketahui oleh rakyat, mereka hanya
mengetahui bahwa Bupati Prajaratmaka yang diangkat oleh Kerajaan Majapahit adalah kejam sekali,
dan dikenal sebagai pemeras keringat rakyat yang tidak mengenal belas kasihan.
Dengan menangis tersedu srdu Bupati Praharatmaka minta belas kasihan untuk diampuni
kesalahannya yang hanya dkarenakan sifat-sifat kelemahan pada dirinya. Pun ia mohon dengan sangat,
agar sudi mencarikan kembali anak-anaknya yang diculik dan telah lima tahun berpisah dengan dirinya.
Dengan tidak diduganya menurut keerangan dari Saputra yang kini menjadi tawanan, dapat diketahui
bahwa kedua anaknya Prajaratmaka sebenarnya telah dibunuh oleh Daragawangsa kakaknya, pada
ampat tahun yang telah lalu.
Mendengar keterangan itu, Bupati Prajaratmaka seketika jatuh pingsan dan tak sadarkan diri untuk
beberapa saat lamanya. Cakrawirya dan Indra Sambada meng-geleng-gelengkan kepalanya, tidak akan
mengira bahwa ada manusia yang sedemikian kejamnya, Wirahadinata segera turut merasa duka akan
nasib Prajaratmaka yang tertimpa penuh dengan kemalangan itu. Ia sangat menyesal akan anggapannya
sebelumnya, bahwa ia sampai mengira Prajaratmaka adalah Bupati penggantinya yang kejam dan
menyalah gunakan kekuasaannya untuk menindas rakyat daerahnya. Sambil mengaso dan
merundingkan langkah-langkah selanjutnya, mereka mengaso di gedung Kabupaten Indramayu. Pada
hairi itu juga seekor burung merpati yang bawa oleh Sujud, dengan dikalungi sepucuk surat kecil dilepas
oleh lndra Sambada, sebagai laporan yang tertuju pada ke-hadapan Gusti Senapati Muda
Adityawardana.
Lima hari kemudian Tumenggung Sunata datang dengan dua ratus pasukan tamtama berkuda,
sementara tigaratus tamtama lainnya ditinggalkan di Banyumas sebagai pasukan cadangan.
Kota Indramayu kini bertambah ramai dengan datangnya para tamtama Kerajaan itu. Di-manamana rakyat ber-kelompok-kelompok mempercakapkan penambahan tamtama pemerintahan daerah
dengan bermacam macam tafsiran.
Para Kuwu, Demang ataupun Lurah dipanggilnya semua, untuk menerima penjelasan dari Indra
Sambada, dengan pesan bahwa mereka harus tetap pada tugasnya mmasing-masing, akan tetapi tidak
diperbolehkan memeras rakyat lagi. Peraturan-peraturan yang memberatkan beban kehidupan rakyat
digantinya dengan peraturan yang lazim diperlakukan, dan untuk sementara menunggu ketentuan lain,
bekas Bupati Wirahadinata dengan di dampingi oleh Jaka Wulung ditugaskan sebagai pejabat Kepala
Daerah Kabupaten lndramayu.
Tigapuluh orang tamtama berkuda dikepalai oleh Lurah tamtama Jaka Rimang berangkat menuju ke
Banyumas untuk menyerahkan tawanan, dan kemudian secara berangkaipun tawanan itu supaya
dibawa ke Kota Raja untuk diadili. Bupati Prajaratmaka diperintahkan pula untuk mengikuti rombonganPENDEKAR MAJAPAHIT
tamtama itu untuk menghadap langsung kehadapan Gusti Pangeran Pekik Manggala Nara Praja guna
memberikan laporan yang se-jelas-jelasnya.
Dua pekan lamanya Indra Sambada dan Cakrawirya berserta semua tamtama beristirahat di
Kabupaten Indramayu, sambil mengatur tamtama baru demi kesejahteraan rakyat daerah itu.
Sementara itu Jaka Rimang telah kembali lagi dengan pasukan pengiringnya.
Atas saran Tumenggung Cakrawirya yang mendapat persetujuan pala dari Tumenggung Sunata dan
Bupati Wirahadinata, Indra Sambada bermaksud mengadakan perundingan dengan para bekas Perwira
Pajajaran di Linggarjati sebuah desa yang terletak dilereng kaki Gunung Cerme. Sebagai utusan untuk
menyampaikan undangan itu ditunjuk Bupati Wirahadinata dengan didampingi Lurah tamtama Durpada
dan Lurah tamtama Jaka Rimang. Mereka bertiga segera berangkat berkuda menuju ke Sumedang untuk
menaiki Gunung Nyalindung tempat para bekas perwira Pajajaran bersarang. Jalannya menanjak melalui


Pendekar Majapahit Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tebing-tebing yang terjal dan berliku-liku. Sementara itu Jaka Wulung diserahi memegang tapuk
pemerintahan dengan kekuatan seratus tamtama pilihan.
Tumenggung Bupati Anom Tamtama Sunata dengan seratus orang tamtama lainnya mengantarkan
Indra Sambada dan Sujud serta Tumenggung Cakrawirya menuju ke Linggarjati. Mereka mengambil jalan
mclalui pantai utara menuju ke timur, untuk kemudian setelah tiba di Cerebon membelok kanan lurus
kearah selatan. Dengan meninggalkan sepuluh orang pasukan tamtamanya. Tumenggung Sunata setelah
tiba di Linggarjati meneruskan perjalanannya kembali ke Banyumas.
Linggarjati adalah merupakan dataran dilereng Gunung Cerme sebelah timur. Pemandangan alam
dari Linggarjati itu sangat indahnya. Memandang kesebelah utara tampak lembah luas membentang
yang sangat subur dengan sawah-sawahnya yang sedang menguning, dan lapat-lapat kelihatan pantai
laut utara kesebelah timur tampaklah kali Cisenggarung yang berliku liku dan bermuara dipantai utara
laut Jawa tanjung Losari, sedangkan kearah barat kelihatan tebing-tebing terjal menghijau ialah lerenglereng Gunung Cerme yang menjulang tinggi dan disebelah selatan merupakan tanah pegunungan yang
sambung menyambung membujur ke barat.
Hawanyapun sangat sejuk. Sebagai seorang perwira tamtama nara sandi, Tumenggung Cakrawirya selalu
bertindak sangat hati-hati dengan penuh rasa curiga. la menyarankan agar Indra Sambacla mengundang
para bekas tamtama Pajajaran di Linggarjati, dengan dua pokok pertimbangan.
Pertama adalah mendekati Banyumas, tempat dimana pasukan Sunata yang selalu dalam keadaan
siap siaga. Dan kedua mengkhawatirkan Indra Sambada terjebak ditangan para bekas Perwira tamtama
Pejajaran yang masih mempunyai dendam kesumat, apabila Indra Sambada langsung mendatangi di
Gunung Nyalindung. Sedangkan jika terjadi demikian, maka sulit baginya untuk metnberikan bantuan
dalam waktu singkat.
Setelah menantikan di Linggarjati dengan sabar, sebulan lamanya tiba-tiba dari arah kejauhan nampak
duapuluh ampat orang berkuda mendatangi. Debu mengepul tinggi dan suara ringkikan kuda terdengar
ber-saut-sautan. Mereka memacu kuda-nya dan berebut saling susul menyusul untuk mendahului
sampai ditempat yang dituju.
Indra Sambada dan Tumenggung Cakrawirya berdiri ditempat yang agak tinggi mengawasi
rombongan orang-orang berkuda yang kian mendekat itu. Tetapi alangkah terkejutnya, setelah melihat
dengan saksama bahwa yang datang dalam rombongan itu tidak terdapat para utusannya.
Namun jelas, bahwa mereka adalah orang-orang bekas para perwira tamtama Pajajaran, dengan
melihat dari pakaiannya yang dikenakan. Indra Sambada dan Cakrawirya diam sesaat saling
berpandangan dengan mengerutkan keningnya masing-masing.PENDEKAR MAJAPAHIT
? Melihat para pendatang berkuda itu hatiku merasa was-was, dimas Indra.? Cakrawirya berkata
membuka isi hatinya.
? Sayapun demikian halnya, kangmas Cakrawirya,? jawab Indra Sambada dengan masih
mengerutkan keningnya. ? Sebaiknya kita bersikap tenang dan hati-hati kangmas.?
? Hendaknya para tamtama pengawal cepat bersembunyi disekitar tempat tni, sedangkan kita
berdua menyambut kedatangannya, ? Cakrawirya memberikan saran dengan rasa penuh kecemasan.
Jud.? Indra Sambada memanggil Sujud. dan segera Sujud lari mendatangi. ? Lekas kau panggil
salah seorang tamtama untuk menghadapku.?
Sesaat kemudian Sujud telah kembali dengan bersama salah seorang tamtama.
? Lekas perintahkan kawan-kawanmu semua untuk bersembunyi disekitar tempat ini, jangan jauhjauh, siapkan senjata masing-masing dan menunggu perintahku, nanti jika mendengar seruan dariku
atau dari Gustimu Tumenggung Cakrawirya jangan ragu ragu lagi seranglah para pendatang itu. ? Indra
Sambada memberikan perintah dengan tegas serta sambil menunjuk kearah orang-orang berkuda yang
kian mendekat itu. ? Sujud supaya disembunyikan pula.? perintahnya kemudian.
Tamtama dan Sujud cepat meninggalkan tempat itu, untuk kemudian ber-sama-sama sembilan
tamtama lainnya bersembunyi di-semak-semak sekitar rumah pesanggrahan darurat. Kini orang-orang
berkuda telah tiba didepan pasanggrahan.
Duapuluh orang pendatang itu segera berpencaran mengepung rumah pesanggrahan, sedangkan
empat orang diantaranya turun dari kudanya, dan langsung memasuki pesanggrahan, yang segera
disambutnya oleh Indra Sambada dau Cakrawirya, dengan sikap sopan dan tenang.
Tetapi dibalik ketenangan, kedua perwira itu tidak meninggalkan kewaspadaannya. Keempat orang itu
memakai pakaian seragam hitam dari sutra dengan gambar lukisan kepala harimau didadanya masingmasing tersulam dari benang emas.
Tidak salah lagi bahwa orang yang tinggi besar berjalan didepan sendiri adalah Kertanatakusumah
atau terkenal dengan sebutan Kerta Gembong. Menyusul kemudian dibelakangnya seorang bertubuh
tinggi besar pula dengan berkumis dan berjenggot lebat, bernama Jaksa-kusuma. Kemudian seorang tua
kurus tinggi dengan mukanya yang penuh coretan bekas luka, ialah Elangkusuma dan orang yang
keempat bertubuh pendek kecil, dengan raut mukanya yang bersih dan sinar pandangannya yang tajam.
Ia bernama Gandakusuma. Ke-empat-empatnya ber-senjatakan pedang yang tergantung dipinggang kiri
dan sebuah golok pendek diselipkan dipinggang kanan agak menonjol kedepan. Melihat cara turun dari
pelana kudanya, sudah dapat diketahui bahwa keempat orang itu memiliki ketangkasan yang tak dapat
dipandang ringan. Tiga diantara duapuluh orang yang mengurung rumah pesanggrahan darurat itu
berdiri didepan pmtu dengan memakai jubah sutra berwarna abu-abu. Melihat bentuk tubuhnya dan
warna mukanya, mereka adalah tiga bersaudara, dan terkenal dengan nama gelarnya sebagai
parangjingga dari Gunung Guntur. Hal ini dikarenakan adanya tanda lukisan sebuah golok merah yang
tersulam didada diubahnya, dan memang mereka adalah orang-orang sakti dari Gunurig Guntur yang
waktu itu diminta bantuannya oleh Kartanatakusumah untuk membalas dendam membinasakan para
perwira tamtama yang berada di Linggarjati. Ketiga para berjubah abu-abu itu masing-masing
bersenjata, yang tertua memegang tongkat besi, sepanjang setengah depa dengan sebuah golok
panjang, yang kedua bersenjatakan dua batang golok pendek, sedangkan yang termuda bersenjatakan
kampak dan golok pendek yang terselip dipinggangnya kanan kiri.
? Wahai Tumenggung Indra Pendekar Majapahit. ? Kertanatakusumah mulai bicara dengan
lantangnya: ? Bukankah kita dahulu pernah bertemu dipinggir kali Bengawan?. ? Suaranya terdengar
jelas menggetar, disertai daya kekuatan bathin yang cukup menegakkan bulu roma. Cepat IndraPENDEKAR MAJAPAHIT
Sambada memusatkan tenaga bathinnya dengan menjawab tenang dan sambil bersenyum.
? Daya ingatan Tumenggung Kertanatakusumah memang kuat sekali. Benar dugaanmu. saya adalah
indra Sambada yang pernah bertemu denganmu didesa Trinil dahulu, ? berkata demikian Indra
Sambada sengaja menyalurkan daya tenaganya yang telah terpusat itu melalui suaranya, dan terkejutlah
keempat orang yang berada dihadapannya, karena bajunya bergetar seperti tertiup angin kencang.? Tidak terduga, bahwa gelar Pendekar Majapahit bukan merupakan gelar yang kosong belaka.?
sahut Kertanatakusumah kembali dengan wajah merah padam menahan kemarahan, tetapi cepat ia
dapat menguasai kembali ketenangannya serta melanjutkan bicaranya : ? Ketahuilah, demi untuk berdirinya kembali Kerajaan Pajajaran, Tuan2 supaja menyerah sebagai tawanan kami.?
? Bedebah pemberontak!!. Kamu semua yang harus menyerah menjadi tawanan kami !! ?
Cakrawirya dengan tak sabar membentak lantang, sambil menyerang dengan pedang tamtamanya
kearah leher Kertanatakusumah.
Keempat bekas perwira Pajajaran, serentak menyambut serangan dan sebentar kemudian telah
terjadi pertempuran yang sengit. Ternyata keempat lawannya memiliki pula ketangkasan yang tangguh.
Tiga orang berjubah abu-abu masih tetap berdiri dengan tenang dan mengawasi jalannya pertempuran
dengan acuh tak acuh. Seolah-olah mereka yakin, bahwa keempat orang kawannya segera dapat
merobohkan Indra Sambada dan Cakrawirja. Tetapi dugaan itu semakin lama semakin jauh dari
kenyataan. Kini pertandingan merupakan dua kalangan, Indra Sambada menghadapi Kertanatakusumah
dan Elangkukuma, sedangkan Tumenggung Cakrawirya menghadapi Jaksa-kusuma dengan
Gandakusuma.
Pedang ditangan lndra Sambada bergerak cepat seperti menarinya kup-kupu dan menyilaukan
pandangan mata yang melihatnya. Beradunya senjata sebentar. sebentar mengeluarkan percikan api
yang berpijar dengan diiringi suara gemerincingan nyaring.
Cakrawirapun menunjukkan ketangkasannya yang menakjubkan. Pedangnya dapat berputaran cepat
laksana perisai baja, untuk membatalkan semua serangan senjata yang datang kearahnya. Dan
kemudian dengan tidak ter-duga-duga berobah menjadi gerakan serangan tusukan dan babatan yang
sangat berbahaya.
Tetapi Gandakusuma yang pendek kecil itu memiliki ketangkasan yang tak kalah mengagumkan.
Gerakkannya sangat lincah, dan serangannya disertai tenaga yang dahsyat. Se-akan-akan merupakan
burung bersayap yang menyambar-nyambar mangsanya.
Sungguhpun Indra Sambada dan Tumenggung Cakrawirya mmasing-masing melawan dua orang yang
tangguh, namun kelihatan masih tetap seimbang.
Kertanatakusumah yang telah mengenal kesaktian Indra Sambada, kini bertindak sangat berhati-hati
sekali, Ia tidak berani menyerang dengan tendangan, dan selalu menghindari beradunya gempuran
tenaga.
Tangan kanannya memegang pedang sedangkan yang tangan kiri memegang golok pendek. Sebentar
sebentar berloncatan dengan seruan nyaring yang diiringi dengan gerakan serangan memakai kedua
senjatanya.
Tetapi tiba-tiba Indra Sambada mengikuti berloncatan dengan serangan pedangnya yang lebih cepat
dan memusingkan kepala lawan.
Dengan tidak diketahui bagaimana caranya tiba-tiba Elang-kusuma menjerit ngeri dan melompat
surut kebelakang dengan sebuah lengannya terbabat kutung. Ia melesat lari meninggalkan gelanggang
dan jatuh terkulai dihalaman pesanggrahan dengan mandi darah.
Melihat robohnya Elangkusuma, seorang termuda yang berjubah abu-abu segera menerjang IndraPENDEKAR MAJAPAHIT
Sambada dengan ajunan kampaknya, membantu Kertanatakusumah yang telah terdesak kesudut.
Dengan mengerahkan tenaga dalamnya senjata kampak dipapaknya dengan pedang Indra Sambad,
sambil berseru nyaring ? Lepas senjatamu
Tak ayal lagi kampak terpental jatuh ditanah empat langkah jauhnya. Ternyata sewaktu pedang
berkelebat memapaki datangnya kampak Indra Sambada sempat pula melancarkan tendangan yang
tepat mengenai pergelangan tangan lawan yang memegang kampak.
Dua orang kakaknya yang berjubah abu-abu melihat kagum, bahwa kampak adiknya dalam satu
gebrakan dapat lepas dari genggaman dan terpental jatuh. Kedua-duanya segera ikut menyerbu Indra
Sambada dengan masing-masing senjatanya. Bersamaan dengan itu terdengar suara Cakrawirya
memerintah para tamtama ? Serbu lawan semua ! 1 ! !. Sepuluh orang tamtama yang bersembunyi
berloncatan menerjang orang-orang yang mengurung pesanggrahan.
Kini pertempuran menjadi berkobar sengit seketika. Sungguhpun mereka tahu bahwa lawannya
memang dalam jumlah yang besar, akan tetapi para tamtama Kerajaan dengan gigihnya menerjang
lawan dengan bersembojan pantang menyerah.
Jika para tamtama rata-rata satu orang menghadapi dua orang lawan, demikian pula Tumenggung
Cakrawirya, maka Indra Sambada kini menghadapi empat orang lawan yang sangat tangguh-tangguh.
Kertanatakusumah yang tadi telah terdesak kesudut, kini dapat bergerak leluasa karena bantuan dari
tiga orang saudara parangjingga. Ternyata gerakan serangan keempat orang itu kini merupakan
serangan dengan silih berganti serta saling membantu dalam satu ikatan rasa.
Menghadapi serangan yang rapih itu, Indra Sambada merasa terdesak dan tak ada kesempatan untuk
membalas menyerang.
Dalam hatinya ia kagum akan gerakan lawannya yang ternyata merupakan gerakan persamaan
seirama.
Demi melihat Tumenggung Cakrawirya dapat mendesak dua orang lawannya yang tangguh itu, Indra
Sambada semangat tempurnya menjadi bertambah. Dalam saat yang sangat terdesak itu, Indra
Sambada dengan ketenangannya masih sempat pula menghindari serangan-serangan sambil
melancarkan serangan balasan sekedar untuk mengacau kedudukan lawan.
Diluar pesanggrahan pertempuran tak kalah sengitnya. Suara jeritan mengerikan susul menyusul
terdengar dengan diiringi suara jatuhnya para korban yang bergelimpangan. Seorang tamtama Kerajaan
dengan tangkasnya melesat naik kuda dengan membawa Sujud serta memacu kudanya kearah Timur
dengan tujuan kembali ke Banyumas untuk melapor kepada Tumenggung Sunata.
Sambil memacu kudanya tamtama itu memutar pedangnya dibelakang punggungnya sebagai perisai
untuk menangkis serangan lima batang anak panah yang melesat mendatang. Untunglah bahwa satu
batang anak panahpun tidak melukainya, akan tetapi tetapi karena terkejutnya seekor burung merpati
terlepas dari genggaman Sujud dan terbang tinggi menghilang kearah timur.
Dengan menangis tersedu-sedu, Sujud menyesali akan kecerobohan tindakannya itu. Ia selalu ingat
akan pesan Indra Sambada. bahwa burung merpati itu jangan dilepaskan jika tanpa ijinnya. Tidak hentihentinya si tamtama berkata menghiburnya, bahwa perbualan yang telah terlanjur tidak perlu disesali
lagi. Dan atas kesalahannya itu iapun akan turut bertanggung jawab.
Waktu itu pertempuran masih berlangsung terus dengan serunya. Tiba-tiba empat orang Pajajaran
dapat menerobos masuk dalam pesanggrahan dan langsung menyerang Tumenggung Cakrawirya yang
sedang mendesak kedua lawannya. Serangan gencar yang akan mematikan lawannya itu, segera
ditariknya kembali, untuk menangkis dan menghindari datangnya serangan empat orang yang tiba-tiba.
Tumenggung Cakrawirya menjadi sibuk dan berloncatan kian kemari, untuk menghindari serangan yangPENDEKAR MAJAPAHIT
dahsyat dari enam orang lawan sekaligus. Semakin lama Tumenggung Cakrawirya semakin terdesak, dan
bahkan dalam keadaan yang sangat berbahaya.
Dua senjata pedang menyerang merangsang kearah lehernya, dan tiga golok pendek menyambar
kearah pahanya masih pula disusul berkelebatnya pedang yang langsung menerjang dari atas kearah
kepalanya.
Melihat Tumenggung Cakrawirja dalam keadaan yang sangat berbahaya itu, Indra Sambada
mengerahkan seluruh tenaganya. Dengan berseru nyaring yang memekakkan telinga, ia meloncat tinggi
menghindari serangan yang datang ber-tubi-tubi kearahnya, menerjang para penyerang Tumenggung
Cakrawirya dengan sabetan pedang berangkai.
Serangan maut yang tiba-tiba itu tak diduga sama sekali oleh para penyerang Tumenggung
Cakrawirya. Sebuah pedang dan dua buah batang golok lawan terpental dan jatuh gemerincingan di
tanah, disusul dengan suara jeritan ngeri dari Jaksakusuma yang jatuh terkapar ditanah dengan
pundaknya bermandikan darah, terkena sabetan pedang Indra Sambada.
Akan tetapi sebelum Indra Sambada berpijak ditanah kembali sebatang golok pendek beracun
berkelebat dan menancap dipunggung lndra Sambada. Itulah lemparan dahsyat dari seorang tertua
parangjingga Gunung Guntur yang terkenal memiliki kesaktian tangguh.
Tetapi dengan pengerahan tenaga yang telah terpusat itu, Indra Sambada dengan golok tertancap di
pundak kirinya, masih dapat melancarkan serangan rangkaiannya dengan satu tusukan pedang yang
tepat mengenai dada Gandakusuma, yang kemudian jatuh terkulai ditanah dan tidak dapat berkutik lagi.
Tetapi bersamaan dengan robohnya Gandakusuma, sebuah tongkat besi berkelebat kearah
pinggangnya dengan mengeluarkan angin pukulan yang dahsyat. Indra Sambada berseru melesat tinggi
surut kebelakang menghindari sabetan tongkat besi yang hampir menyentuh pinggangnya itu, sambil
merogoh sebutir pel pemunah racun yang berada dalam kantongnya untuk kemudian ditelannya.
Hal ini dilakukan, karena pundaknya terasa pedih dan tangan kirinya mulai tak dapat digerakkan.
Akan tetapi perbuatan itu justru menghambat gerakannya dalam menghindari serangan yang bertubitubi itu. Kembali Kertanatakusumah merangsang dengan sabetan goloknya yang tepat mengenai paha
kanan Indra Sambada dan susulan sabetan tongkat besi dari parangjingga tertua bersarang dibetisnya.
Dengan suara tertahan, Indra Sambada roboh terguling ditanah.
Waktu itu hari telah mulai gelap remang-remang dan senja baru saja berlalu. Sesaat kemudian
menyusul robohnya Tumenggung Cakrawirya dengan lengan kanan terluka dan pedangnya terpental
jatuh sejauh lima langkah. Bersamaan dengan robohnya Indra Sambada dan Tumenggung Cakrawirya,
tiba-tiba empat bayangan berkelebat terjun dalam kancah pertempuran.
Dua diantaranya dengan tangkas menyambar tubuh Indra Sambada dan Tumenggung Cakrawirya
untuk kemudian menyelinap dikegelapan, sedangkan dua orang lagi dengan bersenjatakan tongkat
penjalin mengamuk menerjang para penyerang yang datang bergelombang silih berganti.
Itulah Watangan dan Landejan yang diperintahkan oleh Kjai Wiku Sepuh untuk menyusul perjalanan
Indra Sambada. Sedangkan dua bayangan yang menyelamatkan lndra Sambada dan Tumenggung
Cakrawirya adalah Waspada Paniling dan Wasangka Pandulu, sesepuh pamong murid dari padepokan
lereng Gunung Sumbing. Kini dihalaman lebih dari sepuluh orang bergelimpangan menjadi mayat, belum
terhitung yang merintih-rintih karena luka berat.
Sewaktu Watangan dan, Landejan bertempur mati-matian untuk menghadapi lawan yang jauh tak
seimbang jumlahnya, kini datang bayangan berloncatan menyerbu membantunya. Ternyata mereka
adalah Wirahadinata, Jaka Rimang Lurah Durpada dan para perwira Pajajaran serta tokoh-tokoh rakyat
Pajajaran yang datang untuk memenuhi undangan Indra Sambada.PENDEKAR MAJAPAHIT
Satu bentakan yang nyaring dan berpengaruh menggema memekakkan telinga, memaksa
berhentinya pertempuran seketika.
? Berhenti ! ! I ! Dan tahan senjata ?
Suara itu demikian dahsyat pengaruhnya, sehingga dengan tidak terasa semua melepaskan senjatanya
mmasing-masing, dan bergemerincingan jatuh ditanah. Syaraf-syaraf yang tadinya tegang dirasakan
lemah dan mengendur. Semua orang yang tadi bertempur dengan sengit kini tidak berdaya, dan hanya
berdiri dengan mulut ternganga memandang kesatu jurusan kearah datangnya suara. Dengan tidak
diketahui datangnya, seorang berjubah kuning keemasan telah berdiri diambang pintu dengan seekor
harimau kumbang yang besar disampingnya.
? Hai Kesatrya-kesatrya Pajadiaran ?. nada suaranya berat dan berpengaruh namun kata demi
kata terdengar jelas dan suaranya mendatangkan rasa ketenangan.
? Demi tergalangnya persatuan se Nuswantara, aku harap para ksatrya Pajajaran segera mentaati
akan perintah-perintah Tumenggung lndra Sambada Pendekar Majapahit yang bijaksana itu. Ketahuilah
hahwa kita semua rakiat Pajajaran ataupun rakyat Majapahit adalith satu ketu-runan. Lenyapkan rasa
permusuhan, dan bersatulah dibawah naungan satu Iambang kebesaran Sang Gula Klapa. Dalam abadabad yang akan datang, aku percaya bahwa para ksatrya Pajajaran akan menurunkan pahlawanpahlawan Nuswantara yang dituliskan dengan tinta emas dalam sejarah . Taatilah pesanku ini
Datangnya Pendekar Majapahit ini adalah lambang tergalangnya persatuan kembali. Sambutlah dia
sebagai pahlawan pengemban amanat penderitaan rakyat. ? Ber-kata demikian beliau menunjuk
kearah datangnya dua orang yang membimbing Indra Sambada dan Tumenggung Cakrawirya. Semua
orang berpaling kearah ,yang ditunjuk olch beliau. Dan pada saat itulah beliau dengan harimau
kumbangnya melesat dikegelapan, lenyap dari pandangan tidak berbekas. Seakan - akan beliau dapat
menghilang dengan kesaktiannya.
Hanya suara mengaumnya harimau terdengar dari kejauhan:
Inilah pendeta tertua dari Pajajaran yang bergelar Ajengan Cahaya Buana, dan bersemayam disebuah
goa di Gunung Tangkubanprahu. Tak seorangpun mengetahui nama aslinya. Harimau kumbang
peliharaannya tak pernah berpisah dengannya, dimanapun beliau berada. Orang banyak hanya
mendengar nama dan mengenyam jasa-jasanya, namun jarang yang pernah melihat wajahnya. Beliau
terkenal sebagai seorang pertapa sakti yang selalu mendatangkan kesejahteraan dan ketenteraman.
Banyak dongengan rakyat tentang Ajengan Cahaya Buana ini dengan tambahan tafsiran yang bermacam-macam coraknya. Ada yang menceritakan, bahwa beliau adalah pertapa sakti yang dapat
menghilang dan ada pula yang menceritakan bahwa Ajengan Cahaya Buana adalah keturunan dewa dan
harimau kumbangnya adalah jelmaan dari seorang pertapa pula. Bahkan ada dongengan rakyat yang
menceritakan bahwa pertapa sakti itu sebenarnya telah wafat, sedangkan sekarang yang masih ada
yalah rohnya saja. Namun semua cerita itu tidak ada yang benar. Kenyataannya adalah bahwa Ajengan
Cahaya Buana adalah pertapa shakti dengan piaraannya harimau kumbang yang setia, dan beliau adalah
pecinta kedamaian serta pencinta kesejahteraan rakyat tanpa pamrih, dan sebagai seorang pertapa yang
menyembah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, mengejar kemulyaan abadi.
Kini mereka semua merasa seperti terhisap tenaganya, dan tanpa diperintah semua membungkukkan
badannya menyambut datangnya Indra Sambada.
Dikala itu malam bulan purnama. Langi t cerah dan bulan memancarkan cahayanya menerangi
remang-remang seluruh alam dan malampun kemudian menjadi pagi.


Pendekar Majapahit Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Para bekas perwira tamtama Pajajaran dan Narapraja serta tokoh-tokoh rakyat Pajajaran barsatu padu
menunggu suara keputusan Indra Sambada.PENDEKAR MAJAPAHIT
Mereka semua duduk berjajar dalam pertemuan yang sangat akrab.
Sementara itu orang-orang yang terluka dirawat dan di obati seperlunya, sedangkan jenazah-jenazah
yang bergelimpangan telah pula dirawat dan dikubur dengan upacara selajaknya. Mereka gugur sebagai
ksatrya semua, dalam mempertahan-kan pendmannyl. Lawan ataupun kawan akan tetap menghargai
kepahlawanan mereka.
? Kini saya telah banyak mengetahui tentang daerah Pajajaran dengan rakyatnya yang sebenarnya,?
Indra Sambada mulai membuka pertemuan.
? Ketahuilah, Tuan2, bahwa tidak ada lagi yang saya salahkan, dan tidak ada lagi yang saya sesalkan
atas kejadian-kejadian yang telah berselang. Semua itu hanya terdorong oleh nafsu mempertahankan
pendirian mmasing-masing yang tak dipertimbangkan lebih jauh. Tapi saya percaya, bahwa Tuan-tuan
semua adalah pencinta tanah tumpah darah. Sebagaimana dijelaskan oleh Ajengan Cahaya Buana, kita
semua adalah satu keturunan dan merupakan satu bangsa. Tanah air kita bukan hanya merupakan
sebidang halaman dan rumah dimana kita mmasing-masing dilahirKan, akan tetapi se Nuswantara, ?
sampai disini Indra Sambada berhenti sejenak dengan memandang tajam, menyapu wajah hadirin
samua. Suaranya tenang, penuh dengan perbawa. Semua menundukkan kepalanya dan mendengarkan
dengan khikmad. ? Tuan-tuan, saya sebagai Manggala Muda Tamtama Kerajaan, menjunjung titah
Gustiku Senapati Manggala Yudha, untuk memadamkan kerusuhan-kerusuhan yang timbul, demi
tercapainya persatuan se Nuswantara. Apabila kita semua bersatu padu, maka ketentraman dan
kesejahteraan rakyat akan terwujud.
Kita dapat bersatu padu, apabila kita semua membuang jauh-jauh sifat ke akuan, dan sifat kesukuan.
Kita semua adalah satu keturunan dalam satu pimipinan Kerajaan ialah Kerajaan Majapahit dibawah
naungan satu lambang keagungan, ialah bendera Gula Klapa. Ketahuilah Tuan-tuan, bahwa apabila kita
terpecah-belah bercerai-berai, maka bangsa kulit kuning akan mudah mencengkeram kita, untuk
kemudian menindas dan memusnahkan kita. Bahaya kulit kuning selalu mengancam, dan menunggu
kelengahan kita. Hanya persatuanlah yang merupakan perisai Negara yang terkuat.
Maka marilah Tuan2 ber-sama-sama kami, mencurahkan jiwa raga kita untuk terwujudnya, persatuan
se Nuswantara sebagai pengabdi Kerajaan Majapahit yang setia. Amalkan kesaktian Tuan-tuan untuk
mempertahankan tanah air yang luas ini dan mempertahankan lambang kebesaran kita Sang Gula Klapa.
Semua hadirin diam tertunduk, dan tidak seorangpun membantah keterangan Indra Sambada
sebagai pengemban titah Kerajaan.
Dengan persetujuan para hadlirin semua, Indra Sambada berdasarkan kekuasaan dan wewenang yang
ada padanya mengangkat Wirahadinata dan para bekas narapraja serta tokoh-tokoh rakyat Pajajaran
yang telah menunjukkan kesetiaannya, serta mengucapkan sumpah setia terhadap kerajaan Agung
Majapahit, menjadi punggawa narapraja ditempat asing-masing. Sedangkan para bekas perwira
tamtama Pajajaran yang menyatakan setianya, akan dihadapkan kehadapan Gusti Senapati Manggala
Yudha Harya Banendra. Dengan demikian, maka bekas Kerajaan Pajajaran menjadi daerah bagian dari
pada Kerajaan Agung Majapahit, dan sejarahnyapun selanjutnya akan mengikuti perkembangan
Kerajaan Majapahit.
Semua merasa puas akan keputusan yang tegas dan bijaksana yang digariskan oleh Indra Sambada.
Dengan membayangkan hidup rukun damai sejahtera di-tengah-tengah keluarga masing-masing yang
segera mendatang, menggerakkan rasa gembira, penuh keharuan. Semua segera bersemadi,
sembahyang dalam pimpinan Indra Sambada, untuk mengucapkan rasa terima kasih kehadapan TuhanPENDEKAR MAJAPAHIT
Yang Maha Kuasa atas kemurahanNya yang dilimpahkan. Dan hari itu dirayakan dengan pesta
sederhana.
Dengan akrabnya mereka ber-cakap-cakap, menceritakan pengalaman asing-masing, sambil
menikmati hidangan pesta yang dihadapi. Suasana menjadi gembira ria. Ternyata Indra Sambada dan
Tumenggung Cakrawirja telah sembuh kembali, karena mujarabnya obat-obat yang diberikan oleh
Waspada Partiling dan Pandulu serta pengobataan dari Wirahadinata. Pun racun yang merangsang pada
tubuh Indra Sambada telah punah semua, karena mujarabnya pel pamunah racun yang dibekalnya
sendiri, hasil pemberian dari Cek Sin Cu yang tinggal sebutir itu, dan kini telah ditelannya sendiri.
Selagi mereka tenggelam dalam bersukaria, dari arah kejauhan kelihatan pasukan tamtama Kerajaan
berkuda mendatang.
Semakin lama semakin dekat, dan kini nampak jelas, bahwa yang berada didepan sendiri adalah
Tumenggung Sunata dengan Sujud, di apit-apit oleh dua tamtama kerkuda dengan membawa panji-panji
kebesaran.
Indra Sambada segera memerintahkan Jaka Rimang dan lima orang tamtama berkuda mcnyambut
kedatangan Tumenggung Sunata berserta pasukannya. Indra Sambada dan Tumenggung Cakrawirya
berdiri diketinggian dengan melambaikan tangannya.
Daerah yang selalu sunyi sepi, kini berubah menjadi sangat ramai, penuh dengan tamtama berserta
para priyagung. Mereka semua segera turut serta berpesta pora. Setelah berjumpa kembali dengan
Indra Sambada, serta diketahui bahwa ia dalam keadaan sehat wal'afiat serta gembira. Sujud menarinari dengan penuh kegembiraan. Ia selalu duduk berdekatan dengan Indra Sambada, seakan-akan tidak
mau berpisah lagi.
Tumenggung Sunata turut pula bersuka ria, dan tidak henti-hentinya ia memuji akan keberanian dan
kebijaksanaan lndra Samhada dan Tumenggung Cakrawirya. Untuk merayakan hari yang bahagia itu
semua akan tinggal di Linggarjati tiga hari lagi, sambil menunggu sembuhnya para tamtama yang
terluka. Belum juga tiga hari berialu, pasukan besar dari Kerajaan yang dipimpin sendiri oleh Gusti
Senapati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja Adityawardhana datang berkunjung ke Linggarjati.
Semua menyambut kedatangannya dengan ter-gopoh-gopoh karena kedatangan beliau berserta
pasukan adalah diluar dugaan.
Kiranya setelah burung merpati yang terlepas dari genggaman tangan Sujud itu tiba di Istana
Senapaten, tanpa membawa berita sedikitpun, Gusti Adityawardhana me-raba-raba dengan penuh
kecemasan akan nasib Indra Sambada ber sama-sama kawan-kawannya. Beliau segera berangkat
dengan membawa pasukan besar dengan panji-panji atas perintah Gusti Senapati Harya Banendra untuk
menghadapi segala kemungkinan. Amanat Gusti Senapati Manggala Yudha Harya Banendra tegas ?
Demi tercapainya persatuan dan ketenteraman es Nuswantara, jika di pandang perlu, ujung pedang
harus turut berbicara. Berdasarkan amanat itulah, beliau membawa pasukan berkuda berkekuatan 1000
orang tamtama, dengan membawa perbekalan yang Iengkap.
Demi melihat hasil Indra Sambada yang gilang gemilang itu, beliau turut ketawa lebar. Dengan
bangga Indra Sambada di sanjung sanjung dan ditepuk tepuk bahunya.
Pesta yang semula hanya dilakukan secara sederhana itu, mendadak sontak berubah menjadi pesta
pora yang besar. Tenda-tenda dipasang, perbekalan-perbekalan diturunkan untuk melengkapi pesta
pora yang besar itu. Panji berkibar diatas perkemahan tenda-tenda dengan megahnya. Dalam pesta pora
itu beliau berdasarkan wewenang penuh, berkenan pula mcngangkat syah para bekas perwira tamtama
Pajajaran menjadi perwira tamtama Kerajaan menurut tingkatan asing-masing dengan disesuaikan
berdasarkan kecakapan dan pengalaman.PENDEKAR MAJAPAHIT
Pesta ditutup. Tenda-tenda dilipat.
Para narapraja yang baru diangkat oleh Sambada menyembah kehadapan Gusti Adityawardhana
Senapati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja, untuk mohon diri dan mohon doa restunya dalam
menunaikan tugasnya asing-masing. Setelah mereka berpamitan dengan para priyagung semua, mereka
berangkat bersimpang jalan menuju arah daerahnya asing-masing.
Kecuali Wirahadinata yang bermaksud akan ke Ngawi terlebih dahulu untuk memboyong istrinya ke
Indramaju, ia diperkenankan turut serta dalam rombongan pasukan besar sampai dikali Bengawan.
Para tatama telah siap duduk dipclana kudanya masing-masing. Tumenggung Tamtama Sunata
memberikan aba-aba. Genderang dipukul bertalu-talu, dan pasukan besar berkuda mulai bergerak
meninggalkan Linggarjati menuju kearah timur. Panji-panji kebesaran tamtama Kerajaan Agung
Majapahit berkibar-kibar dengan megahnya dibawa oleh empat orang tamtama berkuda yang berjalan
didepan sendiri, mengapit-apit Sang Senapati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja Gusti
Adityawardhana. Dibelakangnya menyusul tiga penunggang kuda berjajar, ialah Tumenggung Sunata,
Tumenggung Indra Sambada dengan Sujud dan Tumenggung Cakrawirya. Kemudian menyusul lagi
berjajar berkuda, para perwira tamtama yang baru diangkat. Dan terakhir pasukan besar tamtama
berkuda laksana air bah. Semua mengenakan pakaian kebesaran dengan tanda dan warnanya masing
menurut tingkatan dan kesatuannya.
Rakyat berduyun duyun datang menyambut dengan sorak sorai disepanjang jalan yang dilalui, dengan
rasa bangga akan pasukan besar Kerajaan Agung Majapahit. Mereka melambai-lambaikan tangannya
dan mengawasi dengan penuh kekaguman sampai dikejauhan. Sang Senapati berserta para perwira
tamiama membalas melambaikan tangan pula kepada rakyat yang berjejal-jejal berdiri di-pinggir-pinggir
jalan.
* * * Bertepatan dengan datangnya kembali Gusti Adityawardhana beserta Para Priyagung tamtama kerajaan
Agung Majapahit dengan pasukan pengiringnya, Gusti Patih Mangkubumi Gajah Mada telah mangkat ,
sebagai Pahlawan Kusuma Bangsa se Nuswantara, (th. 1364 ). Nama beliau harum semerbak memenuhi
angkasa se Nuswantara, ya . bahkan menghambar keseluruh dunia, dan dikenang sepanjang masa
sebagai suri tauladan bagi semua umat manusia.
Kerajaan Agung Majapahit kehilangan seorang Putra yang Besar. Namun semua itu adalah kehendak
Tuhan yang Maha Kuasa.
Manusia berhak berkabung dan menyesali, akan tetapi tidak kuasa menentang akan KehendakNya.
Tuhan adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang terhadap semua umatNya.
Kehilangan seorang Putra Nuswantara yang besar tak perlu disesalkan. Patah tumbuh hilang
berganti. Pahlawan-pahlawan Bangsa menyusul akan lahir, seperti tumbuhnya cendawan dimusim
hujan.
Selama seratus hari Kerajaan Agung Majapahit berserta rakyat se Nuswantara dalam suasana
berkabung. Dengan mangkatnya Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada susunan serta pemerintahan
Kerajaan Majapahit, mengalami perobahan dan pergeseran. Gajah Enggon diangkat menjadi Patih
sebagai pengganti Sang Patih Gajah Mada. Gusti Harya Banendra diangkat sebagai penasehat Agung Sri
Baginda Maha Raja, sedangkan Gusti Adityawardhana diangkat menjadi Manggala Yudha Kerajaan
Agung Majapahit menggantikan Gusti Senapati Harya Banendra.PENDEKAR MAJAPAHIT
Indra Sambada diangkat menjadi Senapati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja, menggantikan
kedudukan Gusti Adityawardhana, dengan didampingi oleh Gusti Tumenggung Manggala Muda
Tamtama pengawal Raja Tumenggung Cakrawirya sebagai wakilnya.
* * * Sebagai seorang kesatrya yang selalu ingat akan menepati janjinya, Gusti Senapati Muda Manggala
Tamtama Pengawal Raja, pada suatu hari berkenan berkunjung ke hutan Wonogiri dengan dikawal oleh
Lurah tamtama Jaka Wulung dan Jaka Rimang.
Beliau turun dari kudanya, dikawal oleh kedua lurah tamtama, dengan bersenyum lebar, setelah
melihat penyambutan yang meriah dari Tambakraga berserta anak buahnya yang telah sejak pagi buta
menantikan kedatangannya. Kyai Pandan Gede tak ketinggalan, telah hadir pula dalam penyambutan
itu. Hal itu adalah tepat satu tahun berselang, sewaktu ketiga orang shakti itu bcrtemu dilereng Gunung
Sumbing.
Yang Baskara masih duduk disinggasana dengan tenangnya, ditimur sejauh mata memandang dan
telah naik segalah tingginya diatas permukaan bumi, menunjukkan bahwa hari masih pagi. Langit biru
membentang bersih dan angin berlalu menampar pohon-pohon rindang yang menghamburkan daundaun kering berterbangan untuk kemudian jatuh ketanah. Sinar matahari memancar cerah, dan
membuat bayangan-bayangan hitam ditanah, melukiskan benda-benda yang tertimpa oleh cahayanya.
Hutan Wonogiri adalah lembah hutan lebat, yang luas antara kali Bengawan disebelah timur dan kali
Dengkeng disebelah barat, sedangkan disebelah utara adalah titik perpaduan kedua sungai itu yang
merupakan kali tempuran, mengalir menjadi satu menunjukkan kali Bengawan yang besar.
Disebelah selatan adalah tanah dataran tinggi yang membujur mengikuti mengalirnya kali Oya.
Gunung Lawu nampak berdiri tegak ditimur sebelah utara, laksana Yaksa yang sedang duduk bersila,
menengadah pancaran sinarnya matahari.
Tidak seorangpun akan mengira bahwa di-tengah-tengah hutan belukar itu, terdapat sebuah gua
yang luas tak ubahnya seperti bangunan rumah gedung besar yang berada dibawah tanah.
Dengan diikuti oleh semua anak buahnya, Tambakraga berturut-turut berlutut menyembah sewaktu
menyambut kedatangannya lndra Sambada.
? Kami merasa bahagia akan kunjungan Gustiku Senapati dihutan Wonogiri ini,? berkata demikian
Tambakraga melepaskan sembahnya, sambil mengerahkan tenaga saktinya yang disalurkan ketelapak
tangannya dan mengeluarkan angin dorongan kearah Indra Sambada yang sedang berdiri tegak. Indra
Sambada tertegun sesaat, dan cepat mengerahkan pesatan tenaga dalamnya untuk menghadapi dan
menghisap lenyap datangnya tenaga dorongan tadi, sambil berkata dengan diiringi senyuman lirih.
? Kedatanganku, bermaksud mengunjungi sahabat karibku yang bernama Tambakraga.?
Dengan lenyapnya tenaga dorongan kiranya tenaga penghisap masih bersisa, dan merupakan daya
tarik, sehingga Tambakraga tertunduk sedikit karenanya. Tambakraga terkejut dan bulu tengkuknya
berdiri, setelah menyaksikan sendiri akan kesaktian lndra Sambada yang ternyata lebih tinggi dari
padanya.
? Gustiku Senapati adalah ksatrya sejati, dan pantas menjadi junjungan kami, tetapi Tambakraga
hanya berupa tonggak-tonggak kering di-tengah-tengah hutan belukar tanpa arti,? Tambakraga
menjawab dengan amat merendah.
Kyai Pandan Gede memejamkan matanya sesaat sambil bersenyum, menyaksikan pertemuan keduaPENDEKAR MAJAPAHIT
orang sakti itu. Seakan-akan ia mengucap syukur kehadapan Dewata Yang Maha Agung, bahwa
pertemuan kali ini tidak bersifat permusuhan.
Jaka Wulung dan Jaka Rimang, berlutut pula dihadapan Kyai Pandan Gede, sebagaimana lazimnya
seorang murid yang menghormat gurunya. Tiga orang sakti kini bertemu dalam suasana yang akrab,
saling hormat menghormati, didalam ruangan yang luas serta indah disebuah gua dihutan
? Sekedar memenuhi janji kita setahun yang telah lampau, tentunya Gustiku Senapati dan kakang
Pandan Gede tidak berkeberatan untuk kita saling menghidangkan pertunjukan yang dapat kita nikmati
bersama dalam pertemuan ini.
Tambakraga berkata tenang dengan bersenyum riang, sambil melanjutkan bicaranya. ? Marilah, kita
keluar sebentar, untuk pindah tempat duduk ber-cakap-cakap didepan gua sambil menghirup hawa yang
sejuk, Berkata demikian Tambakraga mendahului bangkit berdiri dan melangkah keluar, ikuti oleh Indra
Sambada, Kyai Pandan Gede dan Jaka Rimang serta Jaka Wulung. Pandan Gede dan Indra Sambada
saling berpandangan dengan mengerutkan keningnya asing-masing karena tidak mengetahui apa yang
dikehendaki oleh Tambakraga namun mereka terus berjalan inengikuti dibelakang Tambakraga.
Ternyata didepan gua telah pula digelari tikar babut permadani diatas tanah yang tak beratap itu,
lengkap dengan hidangan makanan clan minuman seria buah-buahan segar. Tambakraga segera
mempersilahkan para tamunya untuk mengambil tempat duduk masing-masing serta kemudian
memanggil seorang muridnya. ? Suta, ambilkan nampan yang telah berada dikamarku ?
Perintahnya.
Sejenak kemudian Suta datang menghadap dan menyerahkan sebuah nampan yang berisikan enam
buah pisau belati yang sama bentuknya dan besarnya, asing-masing sepanjang satu jengkal. Nampan
diterima oleh Tambakraga dan diletakkan ditengah-tengah para tamu.
? Adi Tambakraga, ? Pandan Gede bertanya dengan tidak sabar ? Apa maksudmu, adi menjamu
kita dengan alat-alat yang tidak menyedapkan. pandangan ini ??
Jangan kakang salah faham, ? Tambakraga menjawab tenang ? Kali Ini aku ingin menghidangkan
suatu pertunjukkan untuk menghormat Gustiku Senapati dan kakang Pandan Gede sendiri, tetapi
setelah itu sayapun ingin melihat pertunjukan dari Gustiku Senapati dan dari kakang PandanPENDEKAR MAJAPAHIT
Gede sendiri sebagai hidangan yang akan kukenang sepanjang masa hidupku ?
Berkata demikian Tambakraga mengambil sebilah pisau belati untuk di timang -timang sambil duduk
bersila. Kemudian pisau belati dilemparkan kearah sebuah batu sebesar padasan yang beradaPENDEKAR MAJAPAHIT
didepannya antara jarak duapuluh langkah. Pisau belati melesat dari tangan Tambakraga dan tertancap
setengah jengkal dalamnya dibatu yang besar itu, dengan tangkainya masih bergetar. Semua yang
menyaksikan tertegun kagum memuji kehebatan Tambakraga dalam mengeluarkan kesaktiannya.
Belum juga lenyap rasa herannya, Tambakraga mengulangi lagi lemparannya dengan sebatang pisau
belati yang kedua. Dan pisau itu menancap tepat dibawah pisau belati yang pertama sedalam setengah
jengkal pula, dan merupakan suatu garis lurus dari atas kebawah. Hanya terdapat retak sedikit karena
kerasnya benda yang menjadi sasaran. Apabila sasarannya itu kayu ataupun pohon, mungkin tidak akan
begitu mengagumkan.
Kyai Pandan Gede dan Indra Sambada ketawa memuji setelah menyaksikan akan pertunjukkan yang
mentakjubkan itu.
? Kakang Pandan Gede jangan mentertawakan pertunjukkanku yang dangkal ini, ? Tambakraga
berkata merendah ?Dan sekarang giliran kakang untuk memulai menyuguh kami. --Ach.. adi Tambakraga, memang benar-benar orang yang berkeras hati. ?
Pandan Gede menjawab dengan ketawa nyaring.
? Bagus, bagus bagus aku tidak akan berani menggurat diatas guratanmu, ? berkata
demikian Kyai Pandan Gede cepat meraih sebuah pisau belati yang dihadapannya, dan dengan
tangkasnya sambil duduk bersila melemparkan pisau belatinya kearah batu besar itu. Dengan cepatnya
pisau belati menancap dibawah pisau belatinya Tambakraga, dan merupakan bentuk garis lurus
menyambung goretan diatasnyapun tangkainya kelihatan serempak dengan kedua tangkainya yang lain.
Pandan Gede melemparkan sekali lagi sebuah pisau belati yang kedua dan tertancap setengah jengkal
dalamnya tepat dibawah pisau yang pertama, tetapi jelas bahwa sedikit keretakan dalam goretan tidak
tampak ada.
? Aku menyerah kalah, kakang Pandan Gede . Tambakraga mengeluarkan kata-kata pujian ?
Benar-benar aku harus meninggalkan hutan Wonogiri, untuk bertapa di Gunung Lawu. Katanya dengan
sungguh-sungguh. ? Hanya sebelum aku meninggalkan gua yang penuh noda ini, ingin aku menyaksikan
pertunjukkan dari Gustiku Senapati sekalipun berupa apa saja. ------ Saudaraku Tambakraga, memang pandai berkelakar, menghibur tamu-tamunya ?
Indra menjawab. ? Hanya sajang sekali aku tidak dapat melemparkan pisau ,Indra melanjutkan
bicaranya dengan ketawa lirih. Dengan tidak diketahui dari mana tangan kanan Indra Sambada kini telah
menggenggam sekuntum bunga kemboja.
? Hanya sekuntum bunga inilah yang akan kupersembahkan kepada saudaraku Tambakraga. ?
Berkata demikian Indra Sambada memegang bunga kemboja itu dengan jepitan ibu jari dengan
telunjuknya, sebagaimana lazimnya seseorang yang memegang sebatang paser, untuk kemudian dengan
pelan dilemparkan kearah batu yang besar itu.
Semua yang menyaksikan segera duduk dengan mulutunya ternganga penuh rasa kekaguman,
setelah melihat dengan nyata, bahwa bunga kemboja itu dapat menancap . sejari dalamnya pada
batu besar itu, tepat diatas pisau belati yang tertancap paling atas sendiri, dan merupakan hiasan yang
indah dipandang.
Tambakraga beserta murid-muridnya melihat sekaligus dari dekat, se-akan-akan tidak percaya apa
yang telah dilihatnya.
? Gustiku Senapati junjungan hamba. ? Tambakraga berkata dengan suara berat. ? Ijinkanlah
hamba, segera meninggalkan hutan Wonogiri ini untuk bertapa Gunung Lawu. Hamba ingin
menghabiskan sisa hidup hamba untuk mencuci semua noda diri hamba dan mengabdi pada Dewata
Yang Maha Agung. Hamba hanya mohon doa restu dari Gusti Senapati dan kakang Pandan Gede sertaPENDEKAR MAJAPAHIT
para pinisepuh sekalian. Tolonglah kakang Pandan Gede menyampaikan berita ini kepada kakang Wiku
Sepuh. Dan mulai saat ini namaku dengan disaksikan oleh Gusti Senapati dan kakang Pandan Gede serta
semua murid-muridku yang hadir disini kuganti dengan nama Tunggakraga.
Mendengar kata-kata Tambakraga itu semua merasa terharu, tidak berdaya untuk mencegahnya.


Pendekar Majapahit Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kehendak hati Tambakraga sekeras baja yang tidak mungkin dapat ditundukkan oleh siapapun.
Pandan Gede berdiri dengan menganggukkan kepalanya, tidak mampu ia mengeluarkan kata-kata
jawabannya, untuk kemudian berlalu meninggalkan hutan Wonogiri menuju lereng Gunung Sumbing.
Sedangkan Tunggakraga meninggalkan hutan Wonogiri tanpa berpaling kembali, langsung menuju ke
Gunung Lawu.
Indira Sambada dengan dikawal oleh Lurah tamtama Jaka Wulung dan Jaka Rimang berkuda, kembali
menuju ke Kota Raja.
Tiga orang sakti bersimpang jalan dengan arahnya masing-masing, namun jelas satu tujuan ialah: ?
pengabdian ?
Sejarah berjalan terus dengan kisah ceritanya yang tidak mengenal ujung, serta tanpa menghiraukan
mengeringnya mata pena ..
T A M A T
Siapakah Sujud dari manakah asalnya?
dan apakah hubungannya dengan perang Bubat.
Bacalah buku " PENDEKAR darah PAJAJARAN?
Lima jilid tamat
Lima Sekawan 01 Petualangan Di Pulau Suram Ayah Kemenangan Abu El Nassr Karya Karl May Pendekar Pulau Neraka 14 Di Balik Caping Bambu

Cari Blog Ini