Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto Bagian 24
- Adik! Pada jaman dahulu terdapat dua orang pendekar yang dihormati dan ditakuti orang. Mereka saudara seperguruan. Kepandaian masing-masing setingkat. Tetapi watak, perangai dan tingkah-lakunya berbeda. Yang tua bernama Brahmantara. Yang muda bernama Punta Dewakarma. Brahmantara seorang ahli pedang yang tiada bandingnya di dunia ini. Punta Dewakarma memiliki tenaga sakti Tantra yang tiada taranya. Punta
Dewakarma bercita-cita ingin menguasai negeri. Ia malang melintang tiada tandingnya. Lalu mempunyai beberapa orang murid yang diharapkan dapat menopang angan-angannya di kemudian hari. Kakak perguruannya menghalang-haianginya. Akhirnya mereka bertempur dan berpisah. Dan kedua raja pendekar itu, pada hari tuanya adalah guruku. Sekar Tanjung terperanjat. Akan tetapi wajahnya nampak cerah. Pandang matanya bercahaya. Entah apa sebabnya. hatinya merasa bersyukur bukan main.
- Karena nama guruku dulu ditakuti orang, Balada ingin menanamkan pengaruhnya dengan menggunakan namanya. Padahal dia seorang asing yang membantu Raja Dharmajaya merebut tahta kerajaan. Untuk memperkuat kedudukan raja, ia diperintahkan mencari atau merampas kembali peta harta kerajaan yang musnah. Peta harta karun itu disimpan di dalam kotak mustika itu. Maka kotak mustika itu perlu diperebutkan, karena kukira ada sandi-sandi tertentu yang terdapat di dalamnya yang berhubungan dengan petanya. Aku sendiri belum pernah melihat. Akan tetapi aku yakin, bahwa kotak mustika itu menyimpan rahasia tertentu. Yang asli kini berada di tangan Aditia Putera. Sedang yang diperebutkan itu adalah tiruan. Mungkin jumlahnya lebih dari dua buah.
- Dan petanya?
Sekar Tanjung minta keterangan dengan berbisik.
-Berada di tangan ayahmu
- Apa?
Sekar Tanjung terperanjat. Untung, Yudapaii sudah dapat menebak reaksinya. Sebelum dan bhiksuni itu berseru karena terperanjat ia sudah menekan mulutnya.
- Tenangkan hatimu! Aku akan menjelaskan.
ujar Yndapati sambil melepaskan tekapannya.
Sekar Tanjung mengangguk. ia merasa bersalah. Lalu memusatkan perhatiannya untuk mendengarkan penjelasan Yudapati. Kata pemuda itu:
- Aku sendiri belum membuktikan. inilah kabar berita yang kudengar. Mula-mula berada di tangan ahli pedang istana bernama Boma Printa Narayana. Tetapi di tengah jalan kena terampas ayahmu. Karena itu, ia penasaran dan mencoba memancing ayahmu dengan membiarkan kotak mustika berada di luaran. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa kotak mustika itu kini berada di tangan Kaum Arnawa. Maka bukan mustahil, Balada memusuhi Kaum Arnawa.
Yudapati menghentikan penjelasannya karena keadaan medan jadi berubah. Sekarang, tidak hanya Palata seorang yang bertempur. Tetapi Tepus Rumput dan Aditia Putera pula. Masing-masing menghadapi dua orang lawan. Sedang Balada yang merasa kedudukannya lebih tinggi dari ketiga lawannya, berada di luar gelanggang.
Anak murid Balada boleh sakti luar biasa, akan tetapi berlawan-lawanan dengan Tepus Rumput, Palata dan Aditia Putera, mereka mati kutu. Rantai maut Tepus Rumput, tongkat raksasa Aditia Putera dan golok Palata sukar sekali dilawan. Kira-kira dalam empat puluh gebrakan, beberapa orang di antara mereka sudah menderita luka. Namun demikian, mereka pantang menyerah. Sebisa-bisanya mereka mencoba bertahan diri. .
Tiba-tiba terdengar Balada Himawat Supaladewa bersiul panjang. Yudapati yang memiliki pendengaran tajam mendengar suatu gerakan langkah. Dan muncullah delapan belas perwira dari empat penjuru. Pada detik
itu pula. Tepus Rumput, Aditia Putera dan Palata mundur berjumpalitan.
- Bangsat! Engkau hendak mengadu jumlah? bentak Tepus Rumput. Balada Himawat Supaladewa tertawa terbahak bahak. Sahutnya:
- Jadi engkau baru tahu? Balada adalah mereka dan mereka adalah aku.
Selagi Tepus Rumput hendak mendampratnya, Punta Sardula dengan kelima saudara seperguruannya mundur ke arah Tepus Rumput, Aditia Putera dan Palata. Mereka nampak beringas. Seru Punta Sardula:
- Guru! Apa artinya ini?
Balada Himawat Supaladewa tidak segera menjawab. lagi-lagi ia tertawa terbahak-bahak. Lalu menyahut:
- Apakah kalian juga baru tahu?
- Kalau begitu engkau bukan orang yang pantas kupanggil dengan guru. teriak Punta Sardula dengan suara penasaran.
- Asal tahu saja. jawab Balada dengan suara datar. .
- Kami adalah anak-murid Punta Dewakanna. Selamanya dididik memusuhi segala macam laskar kerajaan. Kau dulu datang sebagai sahabat guru. Lalu pergi dengan guru beberapa hari lamanya. Sewaktu guru datang kembali, beliau memerintahkan kami untuk memanggilmu- dengan guru, menghormati, menghargai . . . pendek kata sebagai pengganti guru sendiri. Sebenarnya apa yang telah terjadi?
Lagi-lagi Balada Himawat Supaladewa tertawa terhahak-bahak. Ujarnya kemudian:
- Apakah kalian baru tahu? Baiklah kujelaskan agar kalian tidak penasaran sebelum tentara negeri
menumpas jiwa kalian. Sayang. sebenarnya kalian pantas kuajak hidup mulia. Tetapi karena sikapmu ini, membuat sekalian saudaramu seperguruan harus kubunuh mati pula. Tentang gurumu itu? Karena kemaruk kekuasaan dan kemuliaan, dia rela menjual kalian kepada kami. Terus terang saja, gurumu kubawa menghadap raja sekarang. Dia dijanjikan calon Kepala Menteri. Sebagai pernyataan terima kasih, segera ia perlu membuat jasa. Di antaranya membunuh pangeran-pangeran yang memusuhi kami. Waktu itu, raja sekarang masih berkedudukan sebagai Raja Muda. Oleh setauku, maka Yang Mulia meminta kepada gurumu, agar aku ditunjuk gurumu sebagai penggantinya untuk memimpin kalian membantu merobohkan orang-orang pandai dan merampas peta harta kerajaan berikut kotak mustikanya yang memperjelas letak pendamannya. Nah. jelas? Mendengar keterangan Balada Himawat Supaladewa, Yudapati menghela nafas. Pikirnya di dalam hati:
- Sepak terjang guru yang kemaruk kekuasaan memang luar biasa tindakannya. Mungkin sekali guru menerima jabatan calon Perdana Menteri sebagai batu loncatan. Sebab angan-angan guru ingin merampas kekuasaan negara dengan ilmu saktinya yang tinggi. Syukur hal itu tidak usah terjadi akibat kesadarannya. Akan tetapi ibarat penyakit berbahaya, guru meninggalkan kuman-kumannya. Maka secara tidak langsung aku terlibat pula. Maka tak boleh aku tinggal diam saja sebagai penonton.
Oleh pertimbangan itu. kini penglihatannya lain terhadap para pendeta berjubah kuning itu. Apalagi mereka pernah mewariskan sejurus dua jurus ilmu kepandaiannya kepada Tara Jayawardani. Apapun alasannya, mereka termasuk guru-guru Tara Jayawardani. Kalau saja tingkah-laku mereka berkesan liar, adalah akibat
didikan Sang Punta Dewakarma yang menjadi gurunya pula. Dalam pada itu terdengar Punta Pramodha membentak:
-Sekarang dimana guru berada?
Balada Himawat Supaladewa mengangkat pundaknya. sahutnya:
- Dia mempunyai kaki. tangan. mata. pikiran dan hati. Kemana perginya barangkali hanya setan yang tahu.- Terima kasih. Punta Pramodha membungkuk hormat. Tiba-tiba saja ia melompat ke samping dan menendang Pohan Candra Gunawan alias Punta Ngawen yang kehilangan kegesitannya karena kena senjata bidik beracun.
Bres!
Dengan sekali hantam saja, pengikut Balada yang setia itu menemui ajalnya.
- Sayang. sayang! seru Tepus Rumput.
- Matinya terlalu enak. Dia sudah kemasukan racun buatan Tiga Dewa. Tentunya cara matinya harus menderita dulu dan berkaok-kaok seperti burung pemakan bangkai.
Pedas dan menyakitkan hati ucapan si mulut jahil Tepus Rumput. Tetapi di luar dugaan Balada Himawat Supaladewa hanya tertawa haha-hihi. Lalu tertawa panjang seperti geli menyaksikan lawak badut-badut. Setelah puas, barulah ia berkata:
- Terima kasih. Dengan begitu tak usah aku mengotori tanganku. Hm. apakah kau kira aku tidak mengerti apa yang bakal kau lakukan? Kebetulan. malah. Dia memang harus mati. Orang yang tidak berguna lagi. bukankah harus dimusnahkan? Hohooo . . . orang harus siap mengorbankan apa saja demi mencapai tujuan besar. Apa sih harganya bangkai tikus yang toh harus mati? Racun Tiga Dewa memang sudah lama kami kenal. Sekali lagi,..terima kasih!
Sikap dan kata-kata Balada Himawat Supaladewa menggeridikkan bulu roma. Kesannya lebih hebat daripada Mahera yang dijuluki orang, Iblis Besar. Ia tidak hanya licik dan licin saja, akan tetapi kejam pula, Delapan belas perwira Bhayangkara Kerajaan bersikap siap tempur tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Jelas sekali. mereka berada di bawah komando Balada. Benar-benar kedudukan Balada amat tinggi di pemerintahan negara. Dia tak ubah Raja Dharmajaya sendiri yang berkuasa memerintah segenap perwira Bhayangkara melakukan tugas yang dikehendaki.
Aditia Putera yang semenjak tadi berdiam diri, tiba-tiba melepaskan tanda sandi di udara. Yudapati tahu apa arti tanda sandi itu. Bentuknya seperti bola api. Setelah bersuing nyaring di udara lalu pecah bertebaran bagaikan letikan api. Itulah tanda memanggil seluruh laskar Kaum Arnawa karena pemimpinnya dalam marabahaya. Seketika itu juga, terdengarlah suara berisik. Dan dari segenap penjuru muncul panah panah berapi yang menebarkan cahaya warna-warni sebagai jawaban. Menilik kedudukannya, mereka sudah disiapkan sebelum peristiwa itu terjadi.
- Bagaimana? Apakah engkau hendak mengadu jumlah? tantang Aditia Putera.
- Seluruh lembah ini sudah terkepung rapat oleh laskar Kaum Arnawa.
Balada Himawat Supaladewa nampak, gelisah. Namun masih saja ia berusaha mengangkat diri. Jawabnya:
- Aku adalah manusia yang tidak sudi kalah gertak. Apakah kalian kira, kami tidak membawa laskar negeri? Lihatlah, inilah perwira-perwira Bhayangkara Raja. - Bagus!
Tepus Rumput bertepuk tangan.
- Kalau begitu bakal terjadi suatu keramaian yang menarik. Sebentar lagi Pemimpin Agung kita bakal
datang. Bahkan mungkin sekali sudah berada di sini. Bila beliau tiba di sini berarti segenap laskar orangorang gagah di seluruh Kerajaan Sriwijaya sudah siap tempur.
- Begini saja.
Punta Sardula menengahi.
- Selamanya kami tidak menyukai peperangan. Kami jelek-jelek termasuk golongan pendeta yang harus mengutamakan perdamaian daripada pertengkaran. Akan tetapi perselisihan ini harus kami selesaikan, karena menyangkut rumah tangga perguruan. Hai Balada! Apakah kau berani mengadu kepandaian melawan kami?
Balada Himawat Supaladewa tertawa melalui hidungnya. Menyahut:
- Apa untungnya? - Kalau kau bisa mengalahkan kami, kau boleh pergi dengan bebas.
- Eh, enak saja engkau menggoyang lidahmu. Siapa yang menanggung.
- Aku. terdengar suara menyahut. .
Semua orang berpaling ke arah datangnya suara. Dan muncullah seorang pemuda berberewok tipis yang berperawakan gagah perkasa. Dialah Yudapati yang kini perlu muncul di hadapan mereka.
- Tuanku! seru Tepus Rumput dan Aditia Putera dengan berbareng.
Mereka berdua lantas saja menyambut kedatangan pemimpinnya. '
Palata nampak tertegun. Tetapi sejenak kemudian ia ikut menyongsong sambil berkata membungkuk:
- Sekarang aku menjadi bawahanmu.
Yudapati tersenyum. Menyahut:
- Saudara Palata. bagaimana keadaanmu. Aku sangat menyesal, karena tidak dapat memegang janji. Obat penawar itu...
- Tidak usah. potong Palata cepat. .
- Tidak usah bagaimana?
Yudapati heran.
- Memang aku menelan obat pemunahnya. Akan tetapi sebenarnya tidak perlu. Biarlah nanti kujelaskan bila tikus-tikus ini sudah menjadi bangkai semua. -ujarnya.
Pada saat itu terdengar suara Balada bergelora bagaikan ombak samudera menggempur pantai:
- Hoaahaha . . . jadi dia ini yang kalian sebut Pemimpin Agung kalian?
- Benar. sahut Tepus Rumput dan Aditia Putera berbareng.
- Dia anak kemarin sore bisa apa sampai kalian sebut sebagai Pemimpin Agung?
Balada tertawa geli. Lalu berpaling kepada Yudapati:
- Hai! Bukankah engkau kemenakan muridku?
- Jangan kurang ajar! -. bentak Tepus Rumput sambil menyabetkan rantai mautnya.
Balada mengelak sambil menjawab: '
- Kau tanya sendiri, bukankah dia kemenakan muridku?
Yudapati mendehem. Sahutnya:
- Yang kuketahui topengmu pernah terbongkar satu kali. Apakah harus kubelejeti lagi bagaimana sepak terjangmu semenjak di negeri asalmu?
(baca kembali jilid 5).
- Ngacau! bentak Balada.
- Aku memang murid Resi Brahmantara kakak-seperguruan Resi Punta Dewakarma. Tetapi engkau harus tahu pula, bahwa Resi Punta Dewakanna guruku pula. Pada saat ini jasat beliau beristirahat dengan tenang di dalam sebuah goa di atas Gunung Krakatau. Akulah yang merawat beliau sampai beliau pulang ke nirwana.
Sekarang Punta Sardula dengan sekalian adik-seperguruanlah yang ganti terperanjat. Setengah gugup Punta Sardula menghampiri Yudapati. Setelah membungkuk hormat ia menegas dengan suara agak menggeletar:
- Benarkah kata-kata tuanku?
Ia memanggil tuanku pula terhadap Yudapati. setelah melihat Tepus Rumput bertiga menyebut tuanku kepada pemuda itu. Sebaliknya Yudapati membalas membungkuk hormat sambil menyahut:
- Benar. Hitung-hitung paman sekalian termasuk kakak-seperguruanku juga. - Ah! Tetapi bagaimana guru bisa berada di atas gunung Krakatau?
Punta Sardula minta keterangan.
- Panjang ceritanya. Ringkasnya karena mendengarkan saran kakak-seperguruan beliau.
Yudapati memberi keterangan.
Sebenarnya Punta Sardula dan kelima adik-seperguruannya tidak puas mendengarkan keterangan Yudapati sependek itu. Akan tetapi ia pandai melihat gelagat. Keadaan malam itu tidak mengijinkan siapapun berbicara berkepanjangan mengenai sesuatu yang tiada sangkut pautnya dengan medan pertempuran. Maka dengan beringas ia berputar arah menghadapi Balada.
- Nah, bagaimana?
Balada lagi-lagi tertawa haha-hihi. Sahutnya kemudian:
- Perkara itu mudah diputuskan. Apa sih susahnya mencabut jiwa kalian. Aku hanya ingin kepastian dulu. Anak kemarin sore itu diakui tiga bangsat itu sebagai pemimpin agungnya. Hal itu urusan mereka. Aku tidak mempunyai sangkut-paut. Yang perlu kuurus dulu sampai tuntas ialah keberaniannya mengaku diri sebagai murid Punta Dewakarma. Eh. enak saja dia bersilat lidah. Punta Dewakarma adalah seorang maha pendekar dan
mestinya saat ini sudah ikut memegang tampuk pimpinan pemerintahan sebagai Kepala Menteri. Eh. tiba-tiba dikabarkan sudah mampus di atas Gunung Krakatau. Bagaimana dia bisa membuktikan? Hai anak muda. bagaimana caramu membuktikan? - Mudah saja. jawab Yudapati.
Dia memang seorang pemuda yang pandai mengikuti arus. Melihat lawannya pandai bermain lidah, dia pun bisa jadi jahil mulut.
- Kau pun harus kucabut nyawamu untuk menemui guruku.
- Apakah kau bisa? bentak Balada.
- Mengapa tidak?
- Apa sih kepandaianmu? Dulu kau pernah mengadu tenaga denganku. Hm . . . hm . . . tak ada istimewanya. Padahal kalau kau benar-benar murid Punta Dewakarma, tentunya . . .
Di dalam hati Punta Sardula dan kelima adik seperguruannya memang sangsi terhadap keterangan Yudapati.
Benarkah Yudapati murid gurunya yang memiliki kepandaian setinggi langit?
Sekarang Balada ingin mengujinya. Meskipun mereka tidak menyetujui ucapan Balada yang kasar,namun di dalam hati mereka mendukung.
Pada saat itu. tiba-tiba Balada melompat mengayunkan tangannya sambil membentak bagaikan guntur meledak:
- Terimalah!
Semenjak rahasia Balada terbongkar oleh tutur-kata Diatri, di dalam hati Yudapati ingin menghajarnya. Sekarang orang Chaiya itu mendahuluinya. Maka dengan tak segan-segan lagi ia mengerahkan himpunan tenaga sakti delapan bagian. Meskipun hanya delapan bagian, akan tetapi ilmu sakti Tantra adalah semacam ilmu sakti yang tiada bandingnya pada jaman itu. Cukup dengan menggerakkan tangannya. Yudapati menangkis gempuran
Balada yang dahsyat bagaikan tamparan gelombang pasang.
Bres!
Hebat akibatnya. Yudapati sama sekali tidak bergeming di tempatnya. Sebaliknya. Balada terpental balik dan terpaksa berjungkir balik di udara sebelum mendaratkan kakinya di atas bumi.
- Bagaimana? Enak atau sedap? ejek Tepus Rumput.
Balada terlongong-longong, ia tahu. Yudapati masih mengampuni jiwanya. Sebab dia hanya menangkis. Kalau saja ikut memukul balik, dia bakal luka parah.
- Balada. seru Yudapati.
- Kedatanganmu ke mari demi kotak mustika itu. bukan? Nah, kau tadi ditantang anak-murid Punta Dewakarma. Taruhannya bila menang, kau boleh bebas pergi dari sini. Hal itu, aku yang menjamin. Bahkan engkau boleh membawa kotak mustika. Paman Aditia Putera, tolong perlihatkan kotak mustika yang asli!
Aditia Putera mengiakan dan memperlihatkan kotak mustika harta karun dari dalam saku bajunya. Begitu terkena pantulan sinar bulan yang bercahaya penuh, kotak itu nampak cemerlang mengagumkan penglihatan.
- Nah, bagaimana?
Yudapati menegas.
Balada mengatur pernafasannya. Lalu menyahut dengan bersemangat:
- Bagus! Kau sendiri bagaimana?
- Aku berjanji tidak akan mengeroyokmu.
- Baik. ujar Balada.
- Setelah mengadu tenaga, aku percaya engkau seorang pendekar sejati. Karena mereka ini murid-murid Punta Dewakarma pula, maka aku percaya mereka pun tak beda denganmu. Aku akan melayani seorang dari mereka. ini yang dinamakan adu kepandaian sejati. Sebab mereka menyangsikan kebisaanku sehingga kini tidak rela menyebut diriku
sebagai gurunya lagi, kan?
- Monyongmu! -maki Palata.
- Di antara mereka sudah ada yang menderita luka. Sedangkan engkau . . . .- Aku pun baru saja mengadu tenaga dengan pemimpinmu itu. potong Balada.
- Baiklah. Yudapati menengahi.
- Di antara saudara seperguruanku, siapakah yang kau pilih menjadi lawanmu?
- Dia!
Balada menunjuk Punta Pramodha yang sudah menderita luka.
Palata dan Tepus Rumput mengumpat dan memaki maki. Sedang saudara-seperguruan Punta Pramodha kelihatan tidak puas. Akan tetapi Yudapati kemudian berkata:
- Jadi.
Setelah berkata demikian, Yudapati menghampiri Punta Pmmodha dan membisiki sesuatu. Punta Pramodha nampak bersemangat. Pandang wajahnya cerah dan tenang. Itu suatu tanda. bahwa dia memiliki kepercayaan akan bisa memenangkan pertandingan.
Sidi Prasong pernah menyaksikan kepandaian Yudapati mengatur laskar tatkala tentara Kerajaan menyerbu Markas Besar Kaum Arnawa. Karena itu, cepat-cepat ia menghampiri Balada Himawat Supaladewa. Katanya:
- Tuanku, pemuda itu mengisiki sesuatu di telinga lawan tuanku. Hendaklah tuanku hati-hati dan berwaspada. - Serahkan saja soal itu kepadaku. Mana senjataku!
Samaratungga datang mempersembahkan sebatang tongkat besi yang berukir naga-nagaan. Segera Balada menerima angsurannya dan bergerak hendak siap bertempur. Dan kembali lagi Sidi Prasong menyarankan
- Jangan beri kesempatan dia untuk bernafas! Terus gempur dan gempur.
Sementara itu, Punta Sardula menyongsong majunya Balada. Dia merasa tidak puas. karena justru Punta Pramodha yang sudah menderita luka yang harus melayani Balada.
- Kau mau apa? - bentak Balada.
- Kau tahu, siapa aku?
- Kau tikus asing yang tidak mengenal malu. balas Punta Sardula.
Wajah Balada merah padam. Bentaknya:
- Masih belum kasep. Setelah adikmu mampus, kau pun bakal mampus di tanganku.
- Hm, kalau saja tidak terikat perjanjian, ingin aku mengemplang kepalamu tujuh kali. - ejek Punta Sardula.
Sementara itu, Punta Pramodha sudah maju memasuki gelanggang. Ia mempersilakan kakak-seperguruannya untuk menyingkir. Lalu membentak Balada:
- Sudah sekian lama engkau mengingusi kami. Malam ini, kau bakal tidak melihat matahari terbit di hari esok.
Balada Himawat Supaladewa menguasai diri. Dengan menyeringai ia balas membentak:
- Keluarkan senjatamu!
Selagi ia maju selangkah hendak menggempur Punta Pramodha, Sidi Prasong datang menghalangi. Serunya:
- Tunggu dulu!
Balada Himawat Supaladewa mendongkol, karena terpaksa mengurungkan maksudnya hendak segera bertempur. Sahutnya:
- Apa lagi?
- Benarkah tuanku hendak bertempur seorang diri? - Mundur! -ia mendongkol.
- Baik. Tetapi ingat! Tiada lagi hubungan antara Tuanku dan dia. Karena itu. tuanku harus bertindak tegas. - Aku bukan anak kemarin sore. Mundur! Balada Himawat Supaladewa bertambah mendongkol. Lalu berteriak kepada Punta Pramodha:
- Kau sudah siap? Bagus! Dengan begitu, aku tidak akan dikatakan orang mau menang sendiri.
- Hm. terdengar Punta Sardula mendengus di luar gelanggang.
- Asal kau tahu saja. Adikku ini, kepandaiannya sedang saja. Dibandingkan dengan dirimu jauh terpautnya. Akan tetapi dia mempunyai kebiasaan yang aneh. Seringkali dia membandel. Kalau kumat. aku pun dapat dikalahkan. Malam ini mungkin sekali kumat bandelnya. Kau harus berhati-hati!
- Babi! Apakah aku tidak tahu, bahwa kau sedang memanaskan hatiku? Kebetulan, malah. Memang hatiku sedang panas. Ini berarti, bahwa dia bakal mati dalam satu gebrakan.
Tepus Rumput sebenarnya menyangsikan kepandaian Punta Pramodha. Ia tadi sempat bertempur melawan dia dan berhasil melukai. Kepandaiannya berada di bawahnya.
Apakah dia mampu melawan Balada yang nampaknya jauh lebih cerdik. licin. licik dan kejam?
Menang atau kalah, sebenarnya bukan masalahnya. Tetapi pertandingan ini mengangkut soal kotak mustika harta karun. Maka perlu ia menyelamatkan harta yang tidak ternilai itu. Ia pun kenal watak dan budi Yudapati yang luhur. Mungkin sekali pemimpinnya itu akan menyerahkan kotak mustika itu kepada Bdada. Maka pikirnya di dalam hati:
- Kalau memang harus begitu. aku akan membawa kotak mustika lari dari medan ini.
Selanjutnya biar orang-orang kerajaan berurusan denganku seorang.
Memperoleh keputusan demikian, hatinya tenang.
Balada Himawat Supaladewa benar-benar bertempur dengan tidak segan-segan lagi. Dengan mengerahkan segenap tenaganya, ia menggempur-Punta Pramodha dengan tongkat besinya. Tentu saja Punta Pramodha tidak sudi menangkis atau mengadu tenaga. Ia sudah terluka. Karena itu ia mengelak dan membalas menyerang dari samping.
Sebentar saja kedua pihak sudah bertempur dengan sengitnya. Masing-masing tidak sudi mengalah. Dalam beberapa saat saja belasan jurus sudah lewat. Balada yang terlalu percaya kepada kepandaiannya sendiri memutar tongkatnya sehingga terdengar suara angin bergulungan. Jelaslah, bahwa tenaganya menang jauh daripada Punta Pramodha.
Menyaksikan hal itu. Tepus Rumput makin percaya, bahwa Punta Pramodha akan kalah. Maka ia mendekati Aditia Putera. Bisiknya:
- Bagaimana menurut pendapatmu?
Aditia Putera tersenyum. Menyahut dengan berbisik pula:
- Tuanku Yudapati tadi sudah membisiki Punta Pramodha. Tentunya membisiki bagaimana caranya melawan jahanam itu. Kecuali itu, tuanku telah menggempur Balada dalam mengadu tenaga sakti. Meskipun nampaknya tidak apa-apa. tetapi aku yakin Balada sudah menderita luka dalam.
Tepus Rumput terpaksa memanggut membenarkan. Karena itu niatnya membujuk agar kotak mustika diserahkan padanya,diurungkannya. Lalu ia mengamati jalannya pertempuran lagi. Terdengar Palata mengejek Balada:
- Hai tuanku yang mulia Dewakarma palsu! Kau sudah berani menyematkan nama sehebat itu. Mengapa belum juga dapat merobohkan lawanmu? Kau memang manusia kentut!
Mendengar ejekan Palata. wajah Balada merah padam. Segera ia mencecar Punta Pramodha bertubi-tubi. Belasan jurus telah lewat. Tetap saja Punta Pramodha belum dapat dirobohkan. Sekarang semua orang menyaksikan bahwa ilmu kepandaian mereka berdua berbeda jauh. Balada mengandalkan tongkat besinya. Tenaganya pun hebat. Sebaliknya, Punta Pramodha adalah murid Punta Dewakarma. Langkahnya mantap. Kedudukannya kuat. Dan jurusnya aneh-aneh. Namun setiap serangannya membawa ancaman maut.
Pada suatu kali. Balada menggempurkan tongkatnya dengan himpunan tenaga yang dahsyat luar biasa. Menurut ajaran. gempuran demikian tidak boleh ditangkis. Apalagi sampai berani mengadu kekuatan. Sebab jelas sekali bahwa tenaga Balada jauh lebih kuat daripada Punta Pramodha. Akan tetapi Punta Pramodha bertindak bertentangan dengan aturan itu. Dengan mengangkat goloknya ia berseru:
- Bagus!.
Ia berani menangkis. Berarti berani mengadu tenaga. Maka di antara suara bentrokan nyaring dan meletiknya api terdengar ia mengerang:
- Aduh! Dan tangannya berdarah. Senjata goloknya hampir saja terpental dari genggaman. Terpaksa ia mencelat mundur untuk mengurangi tenaga gempuran lawan. Lalu mundur dengan terhuyung-huyung.
Seluruh perwira Bhayangkara bersorak sorai. Jelas sekali, Balada menang dalam jurus itu. Karena itu Sidi Prasong yang berpandangan luas ikut bergembira pula.
Sebaliknya, sekalian saudara-seperguruan Punta Pramodha nampak cemas. Terdengar Punta Sardula memekik:
- Adik!
Ia tidak sempat menyelesaikan ucapannya karena melihat Balada sudah memburu Punta Pramodha yang mundur dengan terhuyung-huyung. Orang Chaiya itu nampak girang. Ia memburu sambil memutar tongkat besinya. Dalam sekejapan saja. Punta Pramodha sudah terkurung gerakan tongkatnya yang rapat,
Punta Pramodha berusaha bertahan sebisa-bisanya. Ia berkelahi dengan susah payah. Selangkah demi selangkah ia mundur berputaran. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya. Beberapa kali ia mencoba membalas. Tetapi nampaknya ia sudah kehilangan tenaga. Serangannya hampir-hampir tidak berarti.
Balada Himawat tahu, dirinya berada di atas angin. Kecongkakannya timbul. Dengan mengobat-abitkan tongkatnya ia menyerang sembilan kali berturut-turut. Ia bermaksud mendesak Punta Pramodha habis-habisan. Wajahnya terang. Mulutnya menyungging senyum.
- Kau mau lari ke mana? bentaknya.
- Balada! -sahut Punta Pramodha dengan nafas memburu.
- Jangan buru-buru berbesar hati. Aku akan mengadu jiwa denganmu. - Hm. apakah bisa? - ejek Balada.
Akan tetapi dalam seribu kerepotannya, Punta Pramodha menjadi nekat. Dengan senjatanya yang istimewa itu, ia membalas menyerang. Senjata setengah golok setengah sabit. Tapi lagi-lagi, tenaganya sudah tidak mendukung kemauannya.
Semua orang menyaksikan betapa Punta Pramodha mendekati saat ajalnya tiba. Wajahnya sudah berlumuran darah. Meskipun nekat, mustahil dapat merebut kemenangan. Desakan lawan terlalu rapat dan tidak sudi memberi ampun.
Yudapati memperhatikan saat-saat yang kritis itu. Tiba-tiba ia mendengar suara lembut di belakangnya:
- Kakak! Engkau mengakui pendeta itu sebagai saudara-seperguruanmu. Dia dalam bahaya. Mengapa kakak tidak segera menolongnya?
Dialah Sekar Tanjung yang diam-diam menghampiri Yudapati. Pada saat itu semua orang menaruh perhatian kepada jalannya pertempuran mati dan hidup. Tiada seorang pun yang menaruh perhatian kepadanya. .
Yudapati tertawa pelahan. Sahutnya:
- Dia belum kalah. Lihatlah dia berusaha membalas.
Tetapi Punta Pramodha benar-benar sudah payah. Balada sebaliknya, masih nampak segar-bugar. Dengan mencecarkan tongkat besinya ia membentak-bentak untuk menciutkan hati lawan.
- lepaskan senjatamu! Dan aku akan mengampuni jiwamu.
- Cuh!
Punta Pramodha meludahi.
Keruan saja. Balada terkejut sewaktu tersemprot ludah. Terus saja ia mengemplangkan tongkatnya dengan sepenuh tenaga. Punta Pramodha terpaksa menangkis.
Trang!
- Celaka! ia mengeluh.
Senjatanya terlepas dari genggamannya dan terpental di udara.
Balada girang bukan kepalang. Pikirnya:
- Kalau bukan sekarang. menunggu kapan lagi?
Lantas saja ia melompat melintangkan tongkatnya menghadang lawannya yang tidak dapat lagi bergerak mundur atau mengelakkan diri. Pada detik itu suatu pikiran menusuk benaknya:
- Biarlah kubunuhnya dengan pukulan tangan. Dengan begitu saudara-saudara seperguruannya akan melihat betapa tinggi kepandaianku.
Terus saja ia mengayunkan tangan kanannya, sedang tangan kirinya tetap menggenggam tongkatnya. Punta Pramodha tidak dapat mundur lagi. Ia mengeluh panjang. Serunya:
- Habislah jiwaku . . .
Ia mengangkat tangannya menangkis gempuran tangan Balada yang tak kalah dahsyatnya dengan kemplangan tongkatnya. Memang Balada bermaksud membunuhnya. Maka ia mengerahkan seluruh himpunan tenaganya.
Bres!
Kedua tangan beradu dengan keras. Punta Pramodha terdengar memekik panjang. Tubuhnya terpental kirakira sepuluh langkah. Maka siapapun dapat mengukur betapa hebat tenaga Balada. Pada saat itu seluruh perwira Bhayangkara bersorak sorai. Banyak di antara mereka yang bertepuk tangan untuk menyatakan rasa girangnya.
- Bagus! seru Sidi Prasong bersemangat.
Hatinya lega, karena sarannya didengarkan.
Sekar Tanjung yang berdiri di belakang Yudapati ikut mengeluh. Suaranya mengandung duka yang dalam. Katanya setengah berbisik:
- Kakak! jiwanya tak tertolong lagi . . .
Bentrokan adu tenaga itu merupakan babak terakhir bagi kedua-duanya. Balada Himawat Supaladewa mengerahkan seluruh himpunan tenaganya untuk menggempur lawannya. Sebaliknya, Punta Pramodha yang sudah tidak berdaya berusaha menolong jiwanya sebisa-bisanya dengan mengerahkan sisa tenaganya. Perbandingan tenaga antara mereka berdua, ibarat sebuah martil menghantam paku. Namun akibatnya membuat setiap orang tercengang cengang. Yang terpental. Punta Pramodha. Tetapi yang roboh tak berkutik. Balada Himawat Supaladewa.
Bagaimana bisa terjadi?
Seketika itu juga. sorak sorai para perwira Bhayangkara sirap.
Sidi Prasong meloncat menghampiri dan menggoyang goyang tubuh Balada. Tetapi orang Chaiya yang sudah semenjak lama mengaku diri sebagai Punta Dewakarma itu tidak bergerak sama sekali. Tubuhnya seperti terpaku di atas bumi. Sebaliknya, Punta Pramodha nampak segar bugar. Meskipun wajahnya bermandikan darah, namun setelah meletik bangun, ia tegak berdiri bagaikan gunung.
- Kakak! Sekar Tanjung minta penjelasan kepada Yudapati.
- Sebenarnya apa yang sudah terjadi?
- Balada terpedaya. Ia termakan dirinya sendiri. jawab Yudapati sederhana.
- Termakan bagaimana? -sekar Tanjung tidak mengerti.
- Balada biasa dihormati orang. Di negeri Kamboja, ia menjadi penasehat raja karena memiliki otak cemerlang. Di Kerajaan Sriwijaya, kedudukannya hampir sejajar dengan Ketua Menteri, karena menjadi orang kepercayaan raja. Di perguruan Punta Sardula, ia disebut sebagai guru. Dihormati dan dihargai tak ubah guruku Punta Dewakarma. Kedoknya pernah terbongkar Diatri. Tak apalah, Diatri adalah orang luar.
- Siapakah dia? potong sekar Tanjung dengan suara hati-hati.
- Maksudmu Diatri? Kelak engkau akan menjadi salah seorang sahabatnya. sahut Yudapati.
- Akan jadi salah seorang sahabatnya?
Sekar Tanjung berkomat-kamit tidak jelas.
- Tetapi kini, ia dibelejeti orang-orang yang sudah terlanjur dianggap sebagai muridnya sendiri. Paling tidak, sudah dianggap sebagai kaki-tangannya sendiri. Keruan saja peristiwa ini sangat menikam kehormatan dirinya.
Yudapati melanjutkan keterangannya.
- Apa lagi yang harus dilakukan di hadapan orang banyak, kalau tidak berusaha mengangkat diri? Maka perlu ia mendongakkan kepala membusungkan dada. Inilah yang dinamakan takabur. Memang, sebenarnya ilmu kepandaiannya dua tingkat lebih tinggi daripada Punta Sardula dan sekalian adik seperguruannya. Justru demikian ia kehilangan pengamatan diri. Katakan saja, ia memandang rendah lawannya. Dan inilah akibatnya. Melihat Senjata Punta Pramodha terpental di udara, ia lupa bahwa Punta Pramodha masih mempunyai senjata andalan lainnya. Itulah senjata bor yang beracun. Sekali mengenai sasaran, racunnya akan segera bekerja. Dalam tiga jam, Balada pasti mati. Kecuali. bila dia mendapat obat penawarnya.
Tak terasa Sekar Tanjung mengamati Balada yang tidak berkutik lagi. Kedua matanya terbelalak dan sama Sekali tidak berkedip. Mulutnya terpentang lebar. Wajahnya merah menyala Kedua tangan dan kakinya tidak bergerak. Hanya nafasnya saja yang turun naik tak menentu.
Sidi Prasong seorang perwira yang berpengalaman. Namun melihat keadaan Balada ia seperti kehilangan akal. Masih mencoba ia memeriksa tangan Balada. Tangan itu bengkak. Yang hebat lagi. tangan kirinya berdarah. Pada telapak tangannya terdapat lubang kecil sebesar butiran pasir.
- Kurangajar! Yang Mulia terkena racun! ia berteriak kalap.
- Cepat angkut! -.
Belasan perwira datang berlari-larian merumuni. Setelah menyaksikan keadaan Balada, mereka saling berbicara mengemukakan pendapatnya masing-masing. Di antaranya ada yang mengutuk dan mengumpat. Mereka menuduh Punta Pramodha berbuat curang dan
keji. Meskipun demikian,mereka tidak tahu bagaimana cara Punta Pramodha melukai Balada.
Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siddi Prasong tidak dapat lagi menguasai diri. Segera ia berlompat bangun dan berdiri dengan gagahnya di tengah gelanggang. Bentaknya:
- Punta Pramodha! Kau curang! Beginikah macam murid murid Punta Dewakarma? Punta Pramodha tidak menjawab. Meskipun menang. gempuran tenaga Balada tadi melukai dirinya. Aliran darahnya kocar-kacir, sehingga dadanya terasa sesak. Namun berkat masa latihannya, luka dalam itu akan dapat disembuhkan dalam waktu sebulan dua bulan. Maka Punta Sardula mewakili dirinya. Sahutnya:
- Dalam pertempuran mati hidup, akal-muslihat memegang peran utama. Apalagi dalam medan perang. Siapa yang dapat menggunakan akal, dialah orang jempolan. Yang tidak, dia bakal mati konyol.
- Akal apa?
Sidi Prasong penasaran.
- Dia dibisiki apa oleh pemuda itu? Dalam hal ini hanya Punta Pramodha seorang yang dapat menjawab dengan tenang. Maka dengan menguatkan diri Punta Pramodha menjawab:
- Orang asing dari mana saja asalnya, mempunyai kebiasaan memandang rendah orang-orang Bumiputera. Sikap batin demikian, harus kugunakan sebaik-baiknya. Maka aku membiarkan dia melukai diriku dengan mudah. Dia makin mabok kemenangan. Apalagi sewaktu aku sengaja melepaskan senjataku terpental di udara. Benar saja. Ia memandang enteng kepadaku. Dengan tangan kosong ia hendak membunuh diriku. Kesempatan itu harus kugunakan setepat mungkin. Dalam keadaan terjepit. aku masih menyimpan bor beracunku. Dan kenalah dia. Umurnya kini tinggal satu jam lagi.
- Bangsat! Babi! maki Sidi Prasong setengah kalap.
- Kau menggunakan akal. Maka pertaruhan ini tidak berlaku bagiku. Pendek kata, kalian harus kutangkap dalam keadaan hidup atau mati. Pukul gembreng!
Perwira-perwira yang lain segera memukul gembreng. Itulah tanda aba-aba penyerbuan. Benar saja. Tak lama kemudian terdengar suara sorak gemuruh. Akan tetapi yang datang menyerbu segera terlibat pertempuran sengit dengan Laskar Kaum Arnawa yang sudah mengepung biara.
Sekalian perwira Bhayangkara berubah wajahnya. Namun selain Sidi Prasong terdapat seorang lagi yang berlaku tenang. Perwira itu berperawakan tinggi tipis; Yudapati kenal siapa perwira itu. Selagi hendak menegornya. terdengar Tepus Rumput membentak sambil menghampiri:
- Siapa kau?Perwira itu sama sekali tidak menggubrisnya. Tetapi yang berada di belakangnya menyahut sambil membusungkan dadanya:
- Dialah Jendral Sanggadewa wakil Panglima Boma Prima Narayana. Jendral Sidi Prasoug termasuk bawahannya.
- Bagus! -seru Tepus Rumput yang tidak pernah mengenal gentar.
- Dia Sanggadewa dan aku Kepala Dewa. Bukankah dia harus bersembah padaku?
- Kurangajar! - bentak perwira yang berdiri di belakang Sanggadewa.
Terus saja ia menyerang dengan pedangnya.
Tepus Rumput pernah bertempur melawan puluhan pendekar-pendekar pilihan yang dulu kena dilagui Mahera. Maka menghadapi serangan seorang perwira
Bhayangkara bukan merupakan suatu masalah baginya. Dengan kecepatannya yang mengagumkan ia berhasil merampas pedang lawan dalam satu gebrakan. Kemudian meloncat mundur sambil membolang-balingkan pedang rampasannya.
- Bagaimana? Apakah Sanggadewa dapat berbuat seperti diriku? ia mengejek dengan bersenyum lebar.
Menyaksikan kecepatan dan ilmu kepandaian Tepus Rumput, semua perwira Bhayangkara kuncup hatinya. Mereka tidak pernah menyangka bahwa kakek-kakek itu bisa merampas pedang rekannya dalam satu gebrakan saja. Memang, yang menyerang Tepus Rumput tadi adalah Tunggawarman. perwira Bhayangkara urutan kesepuluh. Meskipun nomor sepuluh, akan tetapi termasuk perwira pilihan. Kalau tidak, mustahil menjadi salah seorang perwira Bhayangkara. Dan semua orang tahu, perwira Bhayangkara diperlakukan istimewa oleh raja.
- Kembalikan pedang itu! bentak Sidi Prasong.
- Kau sudah berani merampas pedang seorang perwira Bhayangkara. Artinya engkau berani menantang seluruh laskar kerajaan. Maka malam ini kalian harus menebus jiwa. Ancaman Sidi Prasong bukan ancaman kosong belaka. Yudapati menyadari akan hal itu. Sewaktu Sidi Prasong dulu menyerang Markas Besar Kaum Arnawa, perwira tinggi itu pandai menguasai medan. Pada saat itulah, ia kehilangan Tara Jayawardhani. Padahal dia hanya dibantu beberapa perwira. Sekarang dia datang tidak hanya dibantu oleh seluruh perwira Bhayangkara, akan tetapi terdapat atasannya pula. Itulah Sanggadewa. Maka satu-satunya jalan untuk mengalahkan tentara kerajaan. hanyalah bila dapat menawan mereka sebanyak-banyaknya. Memperoleh pikiran demikian. segera ia berseru kepada
Tepus Rumput:
- Kakang Tepus Rumput! Tantanglah dia bertempur selama tiga ratus jurus! Kalau kalah, dia harus menarik seluruh pasukannya.
- Bagaimana kalau dia membandel?
- Kami yang akan membunuhnya. sahut Punta Sardula.
Rupanya murid ketua Punta Dewakanna itu sudah gatal tangannya.
- Bagus! Nah. kau berani? -tantang Tepus Rumput.
Sidi Prasong menggerung. Inilah suatu penghinaan besar baginya. Terus saja ia menarik pedangnya dan siap tempur. Tepus Rumput tertawa pelahan. Lantas saja ia menancapkan pedang rampasannya ke tanah dan maju dengan tangan kosong. Memang ia seorang pendekar yang tidak pernah gentar menghadapi segala ancaman. Bahkan dengan tiba-tiba saja ia mendahului menyerang dengan mengandalkan kecepatannya.
Sidi Prasong tahu, musuhnya seorang pendekar tangguh yang sudah memiliki pengalaman puluhan tahun. Maka tak berani ia memandang rendah. Ia menyambut serangan Tepus Rumput dengan jurus serangan pula. Mula mula menangkis dan diteruskan dengan menyerang. Ujung pedangnya mengancam perut. Tepus Rumput terkejut dan terpaksa menarik ayunan tangannya.
Sidi Prasong tidak sudi kehilangan kesempatan. Terus saja tangan kirinya menghantam dengan membarengi suatu tikaman cepat. Hebat ancaman serangannya yang dilakukannya dengan berbareng. Akan tetapi Tepus Rumput seorang pendekar kenamaan semenjak jaman mudanya. Begitu terancam serangan yang berbahaya, kedua tangannya bekerja. Tangan kirinya maju membangkol tangan kanan lawan dan tangan kanannya maju menyambar tangan kiri Sidi Prasong dan berhasil menyobek ujung
lengan haju luar. Lalu secepat kilat ia melesat mundur.
Perwira Bhayangkara nomor dua itu gagal dalam serangannya. Ia pun melompat mundur secepat-cepatnya lalu berdiri tegak dengan nafas agak memburu. Sadarlah ia. bahwa Tepus Rumput bukan lawan yang enteng. Dalam gebrakan pertama, ia rugi. Meskipun hanya kehilangan sebagian kecil ujung lengan baju luar. tetapi hal itu berarti dia sudah kalah. Tepus Rumput yang berhasil merobek ujung lengan baju luar, insyaf pula bahwa Sidi Prasong seorang perwira tangguh. Pikirnya: - Dibandingkan dengan tuanku Yudapati, kepandaiannya masih terpaut jauh. Meskipun demikian, aku harus berkelahi dengan hati-hati . . . Kedua-duanya kini siap tempur lagi. Akan tetapi kali ini, masing-masing bertindak hati-hati. Sidi Prasong tidak mau mendahului menyerang. Demikian pulalah Tepus Rumput. Pengalamannya tadi sudah cukup memberinya pelajaran pahit. Siapa mengira. bahwa Sidi Prasong masih mampu menangkis berbareng menyerang dalam satu detik saja
Tetapi Tepus Rumput berwatak tidak sabaran. Setelah tersenyum, tiba-tiba ia mendahului menyerang lagi. Tubuhnya bergerak maju. Tangan kirinya terbuka, sedang tangan kanannya mengobat-abitkan robekan ujung lengan baju luar rampasannya untuk menutupi penglihatan pemiliknya. Sidi Prasong tidak sudi terkecoh. Ia melayani dengan waspada. Ia bergerak dengan gesit dan tepat. Tatkala terdesak, masih dapat ia mengelakkan serangan. Bahkan pada saat-saat tertentu ia mempunyai kesempatan untuk balas menyerang.
- Ah, dia hebat!
Tepus Rumput memuji dalam hati, lima kali berturut-turut ia menyerang Dan kelima serangannya dapat dielakkannya dengan selamat. Menyaksikan hal itu,semua perwira Bhayangkara memperdengarkan suara ejekan. Dan mendengar suara ejekan mereka. Tepus Rumput mendongkol.
- Siddhi Prasong! -teriak Tepus Rumput.
- Kau orang asing sudi menghamba di sini. Paling tidak karena rajamu orang asing pula. Tetapi malam hari ini engkau tidak bisa pulang bertemu dengan junjunganmu. Kau percaya tidak?
Hebat ejekan Tepus Rumput itu bagi pendengaran Sidi Prasong. Ia seorang jenderal yang berkedudukan tinggi dalam pemerintahan negara. Tak dapat dirinya direndahkan demikian rupa oleh orang semacam Tepus Rumput. Maka sahutnya dengan hati panas:
- Kau mempunyai kepandaian apa sampai berani bermulut besar di hadapanku! Merobek ujung lengan, siapapun dapat melakukan.
- Oho . . . bagus! Nah cobalah rampas ujung lengan bajumu ini kembali! Tepus Rumput menggoda.
Kali ini Sidi Prasong kena terpancing amarahnya. Terus saja ia melancarkan serangan menggebu-gebu. Dan diserang demikian, tidak berani lagi Tepus Rumput melayani dengan tangan kosong. Dengan sekali gerak, ia menarik rantai mautnya dan menyongsong pedang Sidi Prasong dengan suatu gempuran. Akibatnya kedua-duanya bertempur dengan amat sengitnya.
Sementara itu, Yudapati mengamat-amati Sanggadewa itu. Dia masih muda belia. Sebaya dengan umurnya. Tetapi kedudukannya tinggi. Artinya ia memiliki ilmu kepandaian istimewa. Dulu ia mempermainkan Tara Jayawardhani. Sebenarnya, menilik kepandaiannya. dapatlah ia menangkap Tara Jayawardhani dengan mudah. Tetapi ia tidak berbuat demikian, Mungkin sekali ia mempunyai perhitungan yang jitu. Sayang sebelum
berhasil menangkap Tara Jayawardhani. Resi Dewasana menyerobotnya. Tentunya dia mendongkol setinggi langit.
Selagi Yudapati mengamat-amati. tiba-tiba Sanggadewa berpaling ke arahnya pula. Perwira Bhayangkara nomor dua itu terperanjat sewaktu melihat Sekar Tanjung. Sekar Tanjung memang mirip benar dengan Tara Jayawardhani. Baik perawakan tubuhnya maupun usianya. Seketika itu juga ia datang menghampiri.
- Hai nona! Mana mantelku! -tegurnya dengan tertawa lebar. '
Tentu saja Sekar Tanjung tidak mengerti ujung pangkal teguran itu. Dulu Tara mengenakan mantel pemberian Sanggadewa dan dikenakan dengan paksa. Dan ia berubah bentuknya menjadi seorang bhiksuni yang mirip Sekar Tanjung seperti pinang dibelah dua.
(baca jilid 6 halaman 121)
Sebelum ia bereaksi. tiba-tiba pandang mata Sanggadewa jadi beringas tatkala bertemu muka dengan Yudapati. Sebab pemuda itulah yang menggempurnya sampai menggabruk tenda.
- Ha . . . kau! -tegurnya.
- Hm. Yudapati mendengus.
- Apakah kita lanjutkan?
Sanggadewa mencoba senyum.
- itu pun baik. - Apa taruhannya? - Kau mau apa? - Bagaimana kalau nona itu yang kita pertaruhkan?
Yudapati berbimbang sesaat. Lalu menjawab:
- Baik.
Sekar Tanjung sudah pernah dibuat taruhan antara Palata dan Yudapati. Karena itu ia tidak terkejut. Dengan tenang saja ia mengawaskan gerak-gerik kedua pemuda itu.
- Tangan kosong atau menggunakan pedang?
tantang Sanggadewa.
- Tangan kosong boleh. Berpedang boleh. jawab Yudapati dengan tenang.
Sanggadewa pernah merasakan gempuran Yudapati. Pada saat itu ia merasa dirinya masih kalah setingkat. meskipun Yudapati baru menggunakan Tantra tingkat sembilan. Maka ia ingin mengadu untung dengan menggunakan pedang. Katanya dengan suara hati-hati:
- Kita bermain-main dengan pedang saja.
- Apa taruhannya?
Yudapati balik bertanya.
Sanggadewa terhenyak sejenak. Lalu tersenyum. Sahutnya:
- Kalau aku kalah,seluruh laskar negeri akan kutarik pulang
- Kau maksudkan meninggalkan lembah ini?
- Ya.-- Bagus.
Yudapati setuju.
- Kuulang lagi . . . jika kau menang, nona ini boleh kau bawa pulang. Kalau kau kalah, seluruh laskar negeri akan kau tarik pulang?
- Benar.
- Mari.
Selagi mereka berdua memasuki gelanggang, terdengar suara bergedebukan. Ternyata Sidi Prasong terjungkal di tangan Tepus Rumput. Memang Tepus Rumput seorang pendekar jempolan. Setelah bergebrak belasan jurus. Tepus Rumput yang menang pengalaman segera mengetahui kelemahan lawan. Hal itu bukan berarti, Sidi Prasong tidak mempunyai kepandaian yang berarti. Dulu dia pernah mengadu kepandaian melawan Yudapati di depan Markas Kaum Arnawa. Kedudukannya teguh, pukulannya kuat dan berbahaya. Hanya saja ia agak terburu nafsu melayani Tepus Rumput yang kelihatan sudah kakek-kakek. seperti Balada, sebagai seorang
jenderal ia merasa dirinya diremehkan karenanya berlawan-lawanan dengan orang yang sudah termasuk keropos tulang-belulangnya. Segera ia mencecar dengan berbagai serangan sehingga lupa akan pertahanan diri. Tepus Rumput mundur tiga langkah. Tangan kirinya ditarik. Suatu kekuatan gaib menyeretnya maju. Hampir hampir jenderal itu terhunyuk ke depan. Dan pada saat itu. kaki Tepus Rumput mendupak.
Bluk!
Dan Sidi Prasong mundur terjungkal meskipun tidak sampai mencium tanah.
Wajah Sidi Prasong merah padam. Ia menggerung karena menyesali dirinya sendiri. Dengan angkar ia hendak mengadakan pembalasan. Tetapi SanggadeWa keburu mencegah.
- Beristirahatlah dulu!
Mendengar perintah atasannya, terpaksa ia mengurungkan niatnya. Dengan wajah yang mengesankan rasa tidak puas, ia mundur dari gelanggang. Kini tinggal Sanggadewa dan Yudapati yang saling berhadapan. Kedua-duanya nampak santai. Sama sekali tiada kesan suatu permusuhan. Hal itu menerbitkan rasa heran Punta Sardula dan lima adik-seperguruannya. Dengan berbareng mereka maju. Kata Punta Sardula:
- Biarlah kami dulu yang mencoba-coba.
- Hm. kau merusak aturan yang sudah disetujui. tegur Sanggadewa dengan datar.
- Baiklah. kalian berenam boleh maju berbareng.
- Kita berenam?
Punta Sardula terbelalak. Wajahnya menghijau oleh rasa marahnya. Inilah untuk yang pertama kalinya, ia direndahkan lawan. Padahal anak-murid Punta Dewakarma biasa malang melintang tanpa tandingan.
- Mengapa?
Sanggadewa heran. Pada detik selanjutnya ia seperti memaklumi. Lalu berseru kepada Sidi
Prasong:
- Sidi Prasong coba temani aku bermain-main dengan para pendeta ini.
Semenjak dulu Yudapati tertarik kepada sikap dan gerak-gerik Sanggadewa. Dan sekarang ia merasa kian tertarik. Itulah sikap seorang pemimpin sejati yang bisa membaca dan menghargai perasaan orang lain. Keputusannya memenuhi tuntutan dua pihak yang bertentangan. Sidi Prasong yang merasa rusak pamornya memperoleh kesempatan untuk memperbaiki kecerobohannya. Dan Punta Sardula merasa tidak terlalu diremehkan.
- Pantas, dulu dia tidak mau menangkap Tara dengan sungguh-sungguh. Kiranya, dia justru melindungi Tara dari tindak sewenang-wenang lainnya. -' pikir Yudapati di dalam hati.
- Sebenarnya dia berdiri di pihak mana?
Mendengar perintah Sanggadewa. Sidi Prasong lantas saja melompat masuk ke dalam gelanggang kembali. Sekarang dua orang melawan enam. Kelihatannya tidak adil. Akan tetapi keenam murid Punta Dewakarma terdapat empat orang yang menderita luka. Lebih-lebih Punta Pramodha yang sebentar tadi terpukul Balada Himawat Supaladewa. Dengan demikian, pada hakekatnya dua melawan dua. Benar saja setelah bertempur keempat murid Punta Dewakarma lainnya hanya merupakan tenaga tambahan .Meskipun demikian kedua jenderal itu tidak mudah melepaskan diri dari tenaga gabungan murid murid Punta Dewakarma.
Selama itu. Yudapati memperhatikan gerak-gerik Punta Sardula dengan kelima adik seperguruannya. Di dalam hati ingin ia mengenal ilmu kepandaian apa yang diajarkan gurunya kepada Punta Sardula berlima. Setelah menyaksikan cara mereka berenam menyerang dan bertahan, ia mengerutkan dahinya.
- Bukan main
kejam dan kejinya.
Guru terkenal sebagai momok yang menakutkan. - ia berpikir di dalam hati.
- Memang jurus-jurus ajarannya keji. ganas dan kejam. Untuk memecahkan ilmu gabungan mereka, memaksa orang untuk berlaku keji. ganas dan kejam pula.Karena asyiknya, tak terasa waktu sudah melewati tengah malam. Suara berisiknya pertempuran di bawah tanjakan. tidak mengganggu orang-orang yang menyaksikan adu kepandaian itu. Baik di pihak perwira-perwira Bhayangkara maupun Tepus Rumput bertiga.
Selama itu, Sauggadewa dan Sidi Prasong tetap saja terkurung dengan rapat. Mereka berdua jelas menang tenaga dan menang setingkat dua tingkat dibandingkan dengan Punta Sardula berlima seumpama bertempur secara perorangan. Namun ilmu gabungan tenaga mereka berlima memang istimewa. Setiap kali terdesak, dengan cepat mereka balik menyerang. Kadang satu atau dua orang yang maju. Kadang enam orang berbareng.
- Hebat! - seru Palata.
- Bagaimana pendapatmu Apakah kau mampu memecahkan ilmu gabungan mereka berlima?
Palata minta pendapat Aditia Putera. Ketua Kaum Arnawa itu tidak segera menjawab. Tetapi sejenak kemudian ia menghela nafas panjang.
- Anak-anak murid Punta Dewakarma itu memang tidak boleh dibuat remeh.
- Sudah, sudah berhenti ! seru Yudapati.
- Aku tidak menghendaki kedua belah pihak harus menderita luka.
Yudapati tahu. Mereka yang sedang bertempur adalah tokoh-tokoh yang tergolong memiliki Ilmu kepandaian tinggi. Tentu saja tidak akan menggubris peringatan siapapun. Apalagi baik pihak Sanggadewa maupun Pihak Punta Sardula belum pernah melihat betapa tinggi ilmu kepandaiannya. Maka perlu ia memperlihatkan barang sekejap. Setelah berseru demikian. ia menghantam kedua tangannya dengan tenaga Tantra tingkat sepuluh. Yang kiri mengundurkan pihak Sanggadewa dan tangan sebelah kanan mendorong pihak Punta Sardula. Hebat akibatnya. Kedua pihak tiba-tiba terpental mundur seperti kawanan burung tergebah. Mereka terpaksa berjumpalitan di udara untuk memunahkan tenaga yang membuncangnya. Begitu tiba di atas tanah, wajah mereka semua berubah.
- Saudara! -seru Sanggadewa dengan nafas memburu.
- Bolehkah aku mengenal namamu?
- Aku Yudapati.
- Terima kasih. Tidak omong kosong, engkau diakui sebagai Pemimpin Agung. Ilmu kepandaianmu sepuluh kali lipat di atas kami. Maka kami akan menepati janji. Akan kuperintahkan sekalian tentara kerajaan mundur meninggalkan lembah ini. Untuk sementara kita berpisah.
- Baik. Selamat jalan! - sahut Yudapati.
Oleh perintah Sanggadewa, beberapa perwira menabuh gembreng. Lalu mengiringkan Sanggadewa dan Sidi Prasong meninggalkan halaman biara rusak. Aditia Putera diperintahkan Yudapati agar laskar tidak menghalangi kepergiannya.
- Tuanku! -seru Tepus Rumput tak mengerti.
- Mengapa tuanku melepaskan mereka? Kalau mereka tertangkap. seluruh tentaranya bukankah akan menyerah?
- Kakak Tepus Rumput, kata-katamu separoh benar.
Yudapati menerangkan.
- Silakan kakak mengamati jumlah tentara kerajaan. Kukira mereka membawa ribuan tentara. Kalau setiap perwira membawa seratus orang
saja, sudah berjumlah hampir dua ribu orang .Sebaliknya, kita belum siap. laskar Kaum Arnawa tidak cukup melawan mereka. Selain itu. kita harus memperhitungkan panglimanya yang belum menampakkan batang hidungnya.
- Siapa?
-Boma Printa Narayana.
Yudapati menyahut.
- Dalam mengadu kepandaian, Boma Printa Narayana pernah dikalahkan kakang Goratara. Akan tetapi kedudukannya kini seorang panglima. Kekusaannya melebihi sekalian perwira yang tadi berkumpul di sini. Tepus Rumput mau menerima. Namun masih ia minta kejelasan:
- Bagaimana kalau mereka bertemu dengan Boma Printa Narayana? Bukankah atas perintahnya mereka akan balik kembali?
- Kulihat Sanggadewa seorang satria sejati. Dia pasti akan menepati janji. Namun seumpama dia harus tunduk pada perintah atasan, kita masih mempunyai kesempatan untuk bersiaga lebih sempurna lagi. setelah berkata demikian ia berpaling kepada Aditia Putera:
- Paman Aditia! Peringatan kakak Tepus Rumput pantas mendapat perhatian paman. - Sebenarnya kita sudah siap tempur. Oleh laporan laporan para pengamat, aku memutuskan untuk mengikuti gerak gerik tentara negeri. jawab Aditia Putera.
- Tetapi medan ini masih asing bagi kita semua. Sebaliknya. tentunya tentara kerajaan jauh-jauh sudah mengadakan penyelidikan.
- Benar. itulah sebabnya. timbul keherananku apa sebab tentara kerajaan seperti bergerak hendak mengepung gunung ini.
Teka-teki itu memang tidak mudah dijawab. Masing
masing tercenung untuk mencoba menyingkapkan tabirnya. Gunung ini termasuk wilayah Mahera.
Apa hubungannya antara iblis itu dengan tentara kerajaan?
Apakah karena tentara kerajaan tertarik melihat turunnya para pendekar dari dataran tinggi?
Tiba-tiba berkatalah Tepus Rumput:
- Tentang apa sebab Balada datang kemari adalah tertarik oleh jebakan rekan Aditia Putera. itulah kotak mustika harta karun. Rekan Aditia sempat menceritakan semuanya kepadaku. Maka aku ikut serta mengambil bagian. Karena Tepus Rumput menyinggung nama Balada mereka jadi diingatkan. Bukankah Balada tadi kena senjata bor Punta Pramodha yang beracun?
Mereka semua memalingkan mukanya ke arah beradanya Balada. Ternyata Punta Sardula dengan kelima saudara-seperguruannya lagi sibuk mengerumuni. Menilik kesan sikap mereka, tidak perlu dijelaskan. Orang Chaiya yang mengaku bernama Punta Dewakarma itu menemui ajalnya. Kedua matanya terbelalak. Seluruh kulitnya merah kehitam hitaman. Jelas sekali, ia menderita hebat sebelum jiwanya melayang.
TAMAT
Apa sebab laskar kerajaan tiba-tiba mengepung kembali gunung wilayah Mahera?
Apakah karena perintah Yoni Nandini?
lalu siapakah Yoni Nandini sebenarnya?
Apa sebab Palata muncul pula?
Lalu di mana beradanya Resi Dewasana?
Apa hubungannya antara Tepus Rumput dan Aditia Putera?
Apakah Punta Sardula mau menerima Yudapati sebagai pewaris tunggal llmu Sakti Punta Dewakarma?
BACA "BAYAR JIWA AYAHKU"
lanjutan Seri
"Jalan Simpang di atas Bukit'
Tambahan dari Editor :
Tiada gading yang tak retak.Mohon maaf bila ada kesalahan tulis / eja.
Terimakasih
Sampai jumpa di lain cerita
(Team Kolektor E-Book)
Love Lies Karya Christina Juzwar Ikro Karya Reza Nufa Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama