Ceritasilat Novel Online

Rimba Persilatan Naga Harimau 4

Rimba Persilatan Naga Harimau Karya Chen Wei An Bagian 4


terpilih tapi aku hanya berharap kepada langit. Para putri
bangsawan lain yang ikut didaftar pasti amat banyak dan
mereka juga pasti disukai oleh ibusuri, tentu tidak mudah
untuk memilih seorang permaisuri saja" kata Yao Hao Yin- 254 -
Ketika keempat putrinya sudah keluar dari ruangan, Yao
Hao Yin bergumam sendiri.
"Semoga langit memberkati dinasti Tang"
Dua hari kemudian, pagi-pagi Luo Bin Wang mohon
pamit dari kediaman keluarga Yao sambil membawa surat
pengantar dari Nyonya Besar Yao dan bekal secukupnya.
Luo Bin Wang berjalan dengan langkah lebar menuju
kediaman perdana menteri diantar seorang pelayan keluarga
Yao supaya tidak mendapat masalah lagi di jalan.
Sesampainya di gerbang kediaman perdana menteri,
Luo Bin Wang mengucapkan banyak terima kasih kepada
pelayan yang mengantarnya sebelum saling berpisah. Luo
Bin Wang berhenti sejenak di depan gerbang kediamana
perdana menteri yang megah. Dua patung singa batu berjaga
di kiri kanan pintu. Hari itu pintu gerbang perdana menteri
dibuka lebar-lebar dan meskipun hari masih pagi, para
penjaga berpakaian prajurit istana sudah banyak berjaga-
jaga. Mereka menanyakan surat pengantar resmi kepada
setiap pelajar yang ingin masuk mengikuti ujian.
Luo Bin Wang dengan hormat menyerahkan surat
pengantar dari Nyonya Besar Yao kepada seorang penjaga.
Stempel keluarga Yao yang ada di depan sampul surat
rupanya sudah cukup untuk meyakinkan sang penjaga yang
segera mempersilakan Luo Bin Wang masuk. Dengan wajah
berseri-seri, Luo Bin Wang melangkahkan kaki memasuki
kediaman perdana menteri.- 255 -
Ternyata kediaman perdana menteri benar-benar luar
biasa bagusnya. Jika dari luar, Luo Bin Wang sudah
merasakan kemegahannya, ternyata pemandangan dari
dalam lebih menakjubkan lagi, bahkan lebih megah dari
kediaman keluarga Yao. Di halaman depan yang luas sekali
itu sudah berjejer meja dan bangku yang ditata rapi, tempat
para pelajar nantinya mengikuti ujian. Kain sutra putih
dibentangkan di atas bangku-bangku untuk melindungi para
pelajar dari teriknya matahari musim panas. Tampak
beberapa pelayan mempersiapkan kertas dan tinta yang
nantinya akan dipakai untuk ujian.
Seorang pelayan tua yang terlihat terpelajar
mendekati Luo Bin Wang
"Kung-ce berasal dari manakah? Bolehkah saya
melihat surat pengantar anda?" tanya pelayan itu
"Siao-ti bernama Luo Bin Wang dari daerah Tang
Shan, ini surat pengantar saya" kata Luo Bin Wang sambil
menyerahkan surat pengantarnya.
Pelayan meneliti surat itu dengan seksama. Ia merasa
agak heran mengapa pelajar dari Tang Shan mendapatkan
surat pengantar dari keluarga jenderal Yao. Tapi ia tahu
peraturannya, setiap surat pengantar berhak mendapatkan
satu tempat ujian karena itu ia mempersilakan untuk duduk
di tempat ujian yang telah disediakan.
Luo Bin Wang duduk di meja, mempersiapkan kertas
dan tinta. Hari semakin siang dan semakin banyak peserta- 256 -
ujian yang hadir. Ketika matahari mulai meninggi dan
tempat duduk sudah penuh, seorang pegawai istana maju ke
depan membawa titah kaisar,
"Titah kaisar!!!!" teriak para prajurit
Semua yang hadir segera bersujud dan berkata
"Panjang umur kaisar diberkati langit umur sepuluh ribu
tahun"
Pegawai istana itu membacakan titah kaisar dengan
suara lantang, "Titah kaisar adalah perintah langit, raja
mengeluarkan pernyataan, hari ini semua wakil pelajar dari
daerah akan mengikuti ujian di bawah pengawasan perdana
menteri Chu Sui Liang. Adapun yang terpilih akan diangkat
menjadi pegawai dua tingkat di bawah menteri dan
mendapat hadiah seribu tael emas dan seribu tael perak"
"Panjang umur kaisar diberkati langit umur sepuluh
ribu tahun" jawab semua yang hadir serempak.
Berikutnya perdana menteri Chu Sui Liang maju ke
depan. Ia memakai pakaian menteri dari sutra biru bersulam
naga emas. Topinya terbuat dari kain sutra berwarna hitam
diikat dengan benang emas. Semua yang hadir terdiam
menunggu perdana menteri Chu Sui Liang mengeluarkan
pernyataannya. Chu Sui Liang memulai kata pembukaan
nya.
"Para pelajar semuanya, hari ini kalian sudah
mendengar titah kaisar tentang ujian negara akan dipimpin- 257 -
sendiri oleh aku. Kalian semua akan diberi waktu sampai
matahari terbenam nanti, menulis sebuah pernyataan tentang
dinasti Tang agung. Aku, Chu Sui Liang sendiri yang
nantinya akan menjadi juri. Sekarang kalian semua bisa
mulai menulis pernyataan kalian"
Setelah perdana menteri Chu Sui Liang selesai
menyampaikan kata pembukaan, semua pelajar dipersilakan
untuk mulai menuliskan pernyataan mereka. Sebenarnya
yang dimaksudkan pernyataan itu bukan hanya pernyataan
biasa, tapi lebih merupakan pengertian yang menyeluruh
tentang dinasti Tang dari sudut pandang yang menulis. Juga
yang diperhatikan adalah pemilihan kata-kata dan sajak
yang bagus.
Mereka semua yang hadir giat menulis dengan hati-
hati di atas kertas yang telah disediakan. Tidak semua
langsung dapat menulis, ada juga yang masih merenung
dulu mencari kata-kata yang bagus dan tepat sajaknya. Luo
Bin Wang sendiri mulai menulis dengan lancar, pi (pen
bambu yang dicelupkan ke dalam tinta) mengalir bagaikan
sungai Huang Ho, melantunkan isi pemikiran sang
penulisnya sambil sesekali menggosok tintanya.
Tak terasa siang sudah berganti sore, matahari sudah
berpindah ke barat. Semua pelajar yang mengikuti ujian
masih sibuk menulis dengan tekun. Luo Bin Wang sendiri
akhirnya menyelesaikan tulisannya pada saat sore. Ia
melihat lagi hasil karyanya untuk terakhir kali sebelum
meninggalkan bangkunya. Pengumuman yang terpilih- 258 -
sendiri baru akan diumumkan besok siang jadi ia akan
kembali besok siang.
Luo Bin Wang meninggalkan kediaman perdana
menteri dengan perasaan campur aduk. Senang, bingung,
cemas dan perasaan lainnya memenuhi hatinya. Sakit di
sekujur tubuhnya yang tadi sempat tidak dirasakannya,
sekarang menyerang dengan ganas. Luka memarnya
kambuh kembali. Tapi yang penting ia sudah menyelesaikan
tugasnya yang diembannya jauh-jauh dari Tang Shan,
apapun yang terjadi nantinya ia serahkan sepenuhnya
kepada langit. Ia pergi mencari penginapan yang murah
untuk semalam dan ia tidak ingin tertipu lagi untuk kedua
kalinya. Bekal yang diberikan oleh keluarga Yao lebih dari
cukup untuk tinggal di penginapan yang cukup bagus,
karenanya ia segera menginap di penginapan pertama yang
ia temukan. Besok pagi-pagi ia harus kembali ke kediaman
perdana menteri karenanya istirahat yang cukup amat
diperlukan.
Tidak jauh dari penginapan yang ditempati oleh Luo
Bin Wang, hanya sepelemparan batu saja jaraknya, di balik
tembok rumah yang tinggi dan kuat, tampak sepasang sejoli
sedang duduk bersama di pinggir taman kolam.
Mereka tampak bahagia sekali menikmati
pemandangan kolam di sore hari itu. Puluhan kupu-kupu
berwarna-warni tampak beterbangan hinggap di bunga
teratai kolam, sementara beberapa pasang bebek mandarin
sedang berenang-renang dengan riangnya di tengah kolam.- 259 -
Puluhan ekor ikan mas tampak mendekati tempat
duduk kedua sejoli tadi, berebutan mendapatkan makanan
dari tangan mereka.
Siapakah kedua sejoli yang tengah mabuk asmara
tadi? Tidak lain dan tidak bukan adalah pangeran Huo dan
Wang Mei Lin. Sudah beberapa hari ini mereka begitu
bahagia karena kabar berita yang dibawa pangeran Huo dari
istana Sung Yang. Ibusuri tidak menentang pilihan pangeran
Huo yang mana itu merupakan hal yang sangat bagus karena
dalam pemilihan pasangan para wang-ye, tentunya ibusuri
yang paling berpengaruh.
Wang Mei Lin yang sore itu memakai pakaian merah
dengan sanggul emas, sungguh terlihat amat cantik. Apalagi
wajahnya berseri-seri, membuatnya semakin tampak seperti
bidadari yang turun dari langit. Pangeran Huo sendiri hari
itu memakai jubah kerajaan berwarna perak dengan sulaman
naga emas di dadanya. Rambutnya diikat ke atas dengan
ikatan besi dan mutiara, sungguh menambah gagah dirinya.
Keduanya sedang bercanda sambil memberi makan ikan
mas di kolam.
"Wang-mei, beberapa hari lagi pengumuman para
putri yang akan menjadi permaisuri dan istri para wang-ye
segera diumumkan oleh ibusuri. Aku merasa sangat bahagia
karena ibusuri menyetujui pilihanku. Aku benar-benar tidak
sabar menunggu hari itu" kata pangeran Huo dengan
bersemangat.- 260 -
Mei Lin yang mendengarkan hanya tersenyum malu.
Wajahnya memerah sehingga menambah gemas mereka
yang melihatnya! Pangeran Huo meraih tangan Mei Lin,
membuatnya bertambah merah mukanya. Memang pada
jaman itu, pria dan wanita yang belum menikah dilarang
untuk saling menyentuh, tentu saja sikap pangeran Huo
benar-benar membuat Mei Lin salah tingkah.
"Wang-mei bagaimana perasaanmu sekarang?
Bahagiakah?" tanya pangeran Huo penasaran.
Mei Lin hanya mengangguk pelan sambil tertunduk
malu. Pangeran Huo segera memeluknya erat-erat, membuat
Mei Lin sempat kaget.
"Aku tidak pernah akan mengecewakanmu" bisik
pangeran Huo di telinga Mei Lin.
Sore hari itu mereka lewatkan berdua dengan amat
mesra di tepi kolam teratai. Hari itu adalah hari terindah bagi
mereka berdua yang tak akan terlupa selamanya...- 261 -
8. Burung Hong Terbang ke Langit
Keesokan harinya, pagi-pagi Luo Bin Wang sudah
berangkat ke kediaman perdana menteri Chu Sui Liang. Ia
Rimba Persilatan Naga Harimau Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah membeli pakaian baru yang sengaja dipakainya hari
ini untuk khusus menghadiri pengumuman lulusan ujian
negara. Ia berjalan dengan langkah-langkah lebar menuju ke
arah kediaman perdana menteri tanpa menyadari ada
beberapa pasang mata yang mengawasi kehadirannya.
Luo Bin Wang berjalan dengan amat gembira dan
hatinya berdebar-debar karena senang, ketika ia semakin
mendekati kediaman perdana menteri. Namun hanya
beberapa tombak mendekati gerbang kediaman perdana
menteri, tiba-tiba empat orang berbadan besar sudah
menghadang langkahnya. Mula-mula Luo Bin Wang tidak
begitu memperdulikan dan berniat mengambil jalan
memutari keempat orang itu, tapi tiba-tiba saja bajunya
sudah ditarik dengan kasar oleh keempat orang itu. Luo Bin
Wang ingin berteriak tapi pukulan bertubi-tubi dari keempat
orang itu sudah menghajar mukanya sehingga ia tidak
sempat lagi berteriak. Malah keempat orang itu yang
meneriaki ia sebagai maling dan pemogoran.
Luo Bin Wang diseret keempat orang itu ke pinggiran
kota. Penduduk di sepanjang jalan memperhatikan mereka
tapi tidak berani berbuat apa-apa karena tampang keempat
orang itu kasar dan mereka meneriaki Luo Bin Wang
sebagai maling. Setibanya di pinggiran kota, di sebuah tanah- 262 -
lapang Luo Bin Wang dilemparkan ke tanah dengan keras
sehingga hampir pingsan. Keempat orang itu tertawa-tawa
puas melihat Luo Bin Wang sudah tidak berdaya lagi.
"Nah, bagaimana rasanya maling? Masih tidak
kapokkah dirimu?" tanya seorang yang berjambang lebat
sambil tertawa-tawa Luo Bin Wang berusaha sekuat tenaga
bangkit.
"Keempat tuan kiranya salah paham, siao-ti Luo Bin
Wang tidak pernah men..."
"Bukkkkk!" sebuah tinju yang keras sekali
menghantam wajah Luo Bin Wang sebelum ia sempat
menyelesaikan kalimatnya. Ia roboh ke tanah dan pingsan
tidak bergerak-gerak lagi.
"Cuih" si jambang yang kelihatannya menjadi
pemimpin mereka meludahi Luo Bin Wang "Dasar kutu
buku lemah! Baru dipukul beberapa kali saja sudah tidak
tahan, apalagi merasakan Huen Gu Chuen-ku! Hahahahah!"
"Ketua Hu Kung Ye memang hebat!" puji ketiga anak
buahnya.
"Nah, sekarang gali lubang untuk menguburnya"
perintah Hu Kung Ye.
"Tapi ia masih hidup" kata salah seorang anak
buahnya.
"Bodoh! Memang aku ingin menguburnya hidup-
hidup!" bentak Hu Kung Ye tidak sabaran.- 263 -
Ketiga anak buahnya langsung mengkerut mendengar
bentakan Hu Kung Ye dan tanpa banyak bicara segera
menggali tanah untuk mengubur Luo Bin Wang. Sebentar
saja lubang kuburan itu sudah siap dan dua orang anak buah
Hu Kung Ye menarik Luo Bin Wang dan melemparkannya
ke dalam lubang.
"Sekarang timbun!" bentak Hu Kung Ye sambil
tertawa puas.
"Hu-siung (saudara Hu), ada keramaian tapi tidak
mengundang kami, apakah tidak terlalu menghina?"
Tiba-tiba saja suara yang penuh tenaga dalam
menggema, mengagetkan Hu Kung Ye dan ketiga anak
buahnya.
"Siapa itu? Pengecut, tunjukkan dirimu jika berani!
Aku Hu Kung Ye akan meladenimu sampai puas!" kata Hu
Kung Ye penasaran karena si pemilik suara sama sekali
tidak terlihat batang hidungnya.
"Kami ada di sini" kata si empunya suara
mengejutkan Hu Kung Ye. Tiba-tiba saja sudah berdiri dua
orang pria wanita di belakang mereka. Yang pria berpakaian
sutra hijau bersulamkan burung hong di dada kirinya
sedangkan yang wanita memakai pakaian sutra putih dengan
ikat pinggang merah. Keduanya menyandang pedang hijau
dan merah yang serasi sekali.
"Fu-Ji Cin-Ce Tau?!" kata Hu Kung Ye dengan kaget.- 264 -
Ternyata yang datang adalah suami istri Perampok
Bijak, Tien Jing Fung dan Cen Pai Jao. Dalam hatinya, Hu
Kung Ye sudah sangat ketakutan, tapi di luar ia masih
berusaha tampak beringas. Hu Kung Ye sudah sangat
mengetahui sepak terjang Fu-Ji Cin-Ce Tau yang tegas tanpa
ampun, membunuh tanpa berkedip!
"Aku Hu Kung Ye sedang melaksanakan urusanku,
mengapa
anda berdua ikut campur? Kita tidak pernah
mencampuri urusan masing-masing selama ini bukan?" kata
Hu Kung Ye masih berupaya bersilat lidah
Tien Jing Fung hanya tertawa hambar.
"Semua sudah tahu Hu Kung Ye pemimpin Buaya
Sungai Kuning merampok ke mana-mana, mengapa kami
sepasang suami-istri perampok juga tidak boleh ikut ambil
bagian?"
"Kau..." Hu Kung Ye tidak dapat berkata-kata lagi. Ia
tahu bahwa Tien Jing Fung sengaja mencari gara-gara
dengannya, karena itu ia mencari cara agar dapat lolos. Hu
Kung Ye memberi aba-aba agar ketiga anak buahnya segera
menyerang, sementara ia sendiri mundur ke dekat lubang di
mana Luo Bin Wang tergeletak.
Ketiga anak buah Hu Kung Ye maju serentak
menyerbu dengan ganas, tapi Tien Jing Fung hanya
mendengus meremehkan. Memang ketiga anak buah Hu- 265 -
Kung Ye adalah para kroco rendahan yang tidak mengenal
kehebatan Tien Jing Fung, menganggap Tien Jing Fung
yang kelihatan halus itu sama lemahnya dengan Luo Bin
Wang. Mereka maju bersama dengan tinju terkepal, ingin
menghajar beramai-ramai Tien Jing Fung hingga babak
belur dengan kemampuan Tinju Peremuk Tulang mereka
yang baru seujung kuku.
Tien Jing Fung menarik napas dan dengan satu
hentakan saja, ketiga berandalan itu segera tumbang tidak
bangun lagi untuk selamanya!
Hu Kung Ye yang memang sudah memperkirakan hal
itu, segera menarik tubuh Luo Bin Wang dari dalam lubang
dan melemparkannya ke arah Tien Jing Fung sambil bersiap
melancarkan tinjunya ke punggung Luo Bin Wang.
Sungguh cara yang sangat licik dan pengecut, beruntunglah
Cen Pai Jao yang dari tadi hanya mengamati saja segera
bertindak. Ketika tubuh Luo Bin Wang melayang di udara
ke arah Tien Jing Fung dan Hu Kung Ye ikut menyusul di
belakangnya, Cen Pai Jao segera terbang menghadang Hu
Kung Ye dengan kecepatan ringan tubuh yang
mengagumkan, mencegat Hu Kung Ye di tengah jalan. Mau
tak mau Hu Kung Ye harus meladeni sabetan pedang merah
Pai Jao yang secepat kilat meluncur keluar dari sarungnya
dan membiarkan tubuh Luo Bin Wang melayang ditangkap
oleh Tien Jing Fung.
Permainan pedang Cen Pai Jao sendiri sangat hebat,
berputar-putar dengan amat cepat mengurung Hu Kung Ye- 266 -
yang terus mundur mencari jalan keluar melarikan diri. Ia
memang tidak berniat meladeni permainan pedang Pai Jao
karena sadar masih kalah kelas, apalagi jika sampai Tien
Jing Fung turun tangan, nyawanya bakal melayang dalam
beberapa jurus saja!
Pada satu sabetan yang cepat ke arah dada dan disusul
sabetan ganda ke arah wajah, darah mengucur dari luka-luka
Hu Kung Ye sehingga benar-benar membuat mentalnya
jatuh. Ia segera melompat lari sekencang-kencangnya
meninggalkan tanah lapang itu tanpa mempedulikan lagi
Cen Pai Jao yang masih bersiap dengan jurus selanjutnya.
"Pengecut marga Hu! Kembali ke sini dan akan
kukirim kau menemui Yen-wang (raja neraka)!" bentak Pai
Jao dengan gemas bersiap mengejar Hu Kung Ye.
"Istriku, biarkan ia pergi. Orang pengecut seperti dia
suatu saat pasti akan memperoleh ganjarannya. Lebih baik
kita lihat saja keadaan pemuda ini" kata Tien Jing Fung
mencegah istrinya mengejar.
Cen Pai Jao mendengus kesal sambil menyarungkan
pedangnya. Kalau saja suaminya tidak mencegah, ia pasti
sudah mencacah tubuh Hu Kung Ye menjadi ratusan
potong!
Luo Bin Wang sendiri keadaannya amat payah.
Beberapa hari yang lalu ia dihajar oleh perampok, lukanya
belum sembuh betul Kini ia dihajar habis-habisan oleh
gerombolan Hu Kung Ye, semua luka lamanya terbuka- 267 -
kembali dan berdarah-darah. Napasnya tersengal-sengal dan
mukanya pucat sekali.
"Suamiku, bagaimana keadaannya apakah masih
dapat ditolong kembali?" tanya Cen Pai Jao
"Ia terluka parah dan banyak mengeluarkan darah,
harus segera diobati oleh tabib. Istriku mari kita segera
mencari tabib untuk menolongnya. Aku akan
menggendongnya, kau ikuti aku di belakang" kata Tien Jing
Fung.
Cen Pai Jao mengangguk. Dalam satu hembusan
napas, mereka berdua sudah menghilang dari lapangan itu,
berlari cepat ke arah kota untuk mencari tabib. Ilmu
meringankan tubuh mereka berdua memang termasuk yang
terhebat di dunia persilatan
sehingga sekejap saja mereka sudah memasuki daerah
kotaraja yang ramai. Sanggupkah mereka menolong nyawa
si pelajar Luo Bin Wang?
***
"Luo Bin Wang, wakil dari daerah Tang Shan!!!"
Sudah ketiga kalinya pembaca keputusan perdana
menteri memanggil nama Luo Bin Wang, tapi yang
bersangkutan belum juga maju ke depan.
Para pelajar yang hadir berkumpul, mulai saling ribut
berpandangan dan berkasak-kusuk, karena Luo Bin Wang- 268 -
adalah nama lulusan utama yang dinilai sendiri oleh perdana
menteri tapi malah tidak tampil ke depan.
Pembaca keputusan pun tampaknya sudah mulai tidak
sabar. Ia pun segera undur diri ke dalam kediaman perdana
menteri untuk memberitahukan hal ini. Tentu saja perdana
menteri Chu Sui Liang menjadi sangat heran dan kaget.
Rimba Persilatan Naga Harimau Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benarkah demikian? Ia tidak hadir?" kata Chu Sui
Liang sambil menghela napas panjang.
"Benar Yang Mulia Perdana Menteri" jawab pembaca
keputusan sambil menjura dengan hormat
"Sungguh sangat disesalkan, padahal tulisan
pernyataannya begitu patriotic dan berbakat" kata Chu Sui
Liang lagi.
"Mohon petunjuk Yang Mulia Perdana Menteri" ujar
pembaca keputusan
Chu Sui Liang bangkit dan mengelus-elus jenggotnya
yang tebal. Ia tampak kecewa sekali.
"Jika demikian, umumkan peringkat kedua yang akan
menggantikannya menjadi pegawai menteri tingkat dua,
peringkat ketiga dan keempat akan menjadi hakim daerah."
perintah Chu Sui Liang.
"Hamba siap melaksanakan perintah" jawab pembaca
keputusan itu.- 269 -
Perdana menteri Chu Sui Liang menggelengkan
kepalanya dengan sedih.
"Bakat baik sukar didapat, mengapa setelah didapat
lepas
dari genggaman" gumam Chu Sui Liang sambil
membaca lagi pernyataan yang ditulis Luo Bin Wang.
Chu Shui Liang masuk kembali ke kediamannya
dengan hati sedih. Ia benar-benar terkesan dengan keahlian
dan pikiran Luo Bin Wang yang dituangkan dalam
pernyataannya. Sayang sekali, sayang sekali pikir Chu Sui
Liang.
Chu Sui Liang sama sekali tidak mengetahui bahwa
saat itu Luo Bin Wang tengah dibawa oleh pasangan suami
istri Tien Jing Fung dan Cen Pai Jao menemui tabib.
Beruntunglah ilmu ringan tubuh Tien Jing Fung dan istrinya
hebat, sehingga mereka sampai di tabib tepat pada
waktunya. Mereka membayar tabib itu dua puluh tael perak
dan meminta tabib itu merawatnya sampai sembuh. Tien
Jing Fung dan Cen Pai Jao sendiri masih ada urusan di luar
kotaraja yang harus segera dituntaskan, tidak bisa menunggu
terlalu lama karena menyangkut nyawa manusia.
Mereka berdua berlari dengan ringannya bagaikan
daun gugur tertiup angin menuju ke arah timur laut kotaraja.
Tempat yang mereka tuju tak lain adalah markas besar partai
Tie Tau Hui (Partai Golok Besi) pimpinan Yuan Jin Guan.- 270 -
Ada urusan apakah sehingga mereka begitu tergesa-gesa
menuju ke markas partai Golok Besi?
Kita tinggalkan sejenak Tien Jing Fung dan Cen Pai
Jao yang sedang menuju markas Tie Tau Hui dan mari kita
lihat pengecut Hu Kung Ye yang sedang lari terbirit-birit
setelah dihajar oleh Cen Pai Jao. Darah akibat luka sabetan
pedang merah Cen Pai Jao masih menetes, tapi Hu Kung Ye
sama sekali tidak berhenti untuk mengobati lukanya, takut
kalau-kalau Fu-Ji Cin-Ce Tau masih mengejarnya. Hu Kung
Ye berlari sekuat tenaga ke luar kotaraja, ke arah barat
kotaraja, ke sebuah kuil ni-ku bernama kuil Gan Ye.
Hu Kung Ye tidak berhenti berlari meskipun sudah
sampai di depan kuil. Ia berjalan memutari kuil hingga agak
jauh di dekat hutan kecil. Hari sudah malam ketika ia tiba di
sana. Ternyata di sana ada sebuah pondok pemburu yang
terpencil. Cahaya lilin tampak berpendar-pendar
menandakan ada orang di dalamnya.
Ketika sampai di depan pintu, barulah Hu Kung Ye
berhenti berlari. Napasnya memburu bukan karena berlari
tapi karena
ketakutan. Ia mengetuk pintu pondok kecil itu tiga
kali dengan irama tertentu. Hu Kung Ye melakukannya
beberapa kali sebelum akhirnya ada suara yang menjawab
masuk dari dalam. Hu Kung Ye membuka pintu pondok itu
dan tampaklah dua orang pria wanita sedang bermesraan di
dalamnya. Mungkin hal itu tidaklah seberapa mengagetkan- 271 -
jika yang bermesraan adalah pria dan wanita biasa, tapi yang
wanita di dalam pondok itu adalah seorang ni-ku!
"Lapor ketua Wen Yang, Hu Kung Ye kembali
melapor" kata Hu Kung Ye sambil menjura memberi hormat
kepada sang pria yang ternyata adalah Wen Yang, sang
pengkhianat Shaolin.
"Bagaimana dengan hal yang telah kuperintahkan
padamu?" tanya Wen Yang acuh tak acuh sambil terus
bermesraan dengan sang ni-ku. Tingkahnya benar-benar
menjemukan!
"Eh, emmm..." Hu Kung Ye tergagap-gagap hendak
menjawab
Wen Yang bangkit berdiri dengan marah. Pakaiannya
yang awut-awutan tidak dihiraukannya. Ia menendang Hu
Kung Ye dengan keras hingga terjengkang ke belakang.
"Masalah kecil membunuh seorang kutu buku saja
kau tidak becus! Dasar gentong nasi!" bentak Wen Yang.
Hu Kung Ye yang tergagap masih mencoba membela diri.
"Ketua, sebenarnya kami telah berhasil menculik dan
menghajarnya habis-habisan tapi di saat terakhir muncul
Tien Jing Fung dan Cen Pai Jao, mereka dengan licik
mengeroyok saya sehingga saya tidak berdaya dan"
"Cukup! Aku tidak mau dengar alasanmu lagi. Tien
Jing Fung dan Cen Pai Jao? Fu-Ji Cin-Ce Tau datang ke
kotaraja?" kata Wen Yang setengah tidak percaya.- 272 -
"Baik, sekarang keluar, jangan pernah masuk
sebelum kusuruh!" bentak Wen Yang dengan marah kepada
Hu Kung Ye.
"Baik, Ketua" jawab Hu Kung Ye sambil segera
keluar.
Wen Yang masih memaki-maki sampai Hu Kung Ye
keluar. Sang ni-ku yang bajunya juga awut-awutan datang
menggelayut dengan manja.
"Sudahlah, hanya seorang kutu buku saja, tidak akan
membuat kemesraan kita hilang bukan?" katanya dengan
mesra.
Wen Yang berbalik dan tersenyum kepada sang ni-ku.
"Mei-Tian (Han cantik), tentu saja hal itu tidak akan
mengganggu kemesraan kita" kata Wen Yang dengan genit.
"Tuan Wen, juga jangan lupakan janjimu untuk
mempertemu-kanku kembali dengan kaisar. Aku sudah
tidak sabar lagi untuk meninggalkan kuil Gan Ye yang
membosankan ini. Jika saja aku tidak bertemu tuan Wen,
mungkin aku sudah mati bosan di sini" kata ni-ku yang
dipanggil Mei Tian tadi.
"Jangan khawatir, aku dan kakakku sudah
merencanakannya dengan baik, tapi harus menunggu
pemilihan permaisuri selesai dilakukan, baru dapat
melakukannya. Sekarang kaisar terlalu sibuk dengan
berbagai urusan, tidak bisa diganggu, sabarlah sedikit. Atau- 273 -
kau sudah mulai bosan denganku?" tanya Wen Yang sambil
tersenyum menggoda.
"Mana berani aku meragukan tuan Wen" jawab Mei Tian
"Hehehehe, kau memang cantik. Tidak heran kau
dulu diangkat menjadi Cai ren (tingkatan selir) oleh si tua
bangka Li Shi Ming. Mari sayangku kita habiskan malam ini
bersama-sama sebelum pagi tiba dan para ni-ku bodoh itu
terbangun. Aku bekas he-sang di Shaolin dan kau menjadi
ni-ku karena terpaksa, bukankah ini namanya jodoh
hehehehehehe" kata Wen Yang sambil terbahak-bahak.
Dua manusia tak bermoral itu pun melanjutkan acara
mereka di malam hari itu. Hanya bumi dan langit yang
menjadi saksi perbuatan mereka berdua. Sebenarnya
bagaimanakah ceritanya sehingga bisa hal yang demikian?
Untuk mengetahuinya kita harus kembali dua tahun
yang lampau, ketika Kaisar Tai Zong Li Shi Ming sudah
mendekati akhir hayatnya. Saat itu seorang selirnya
bermarga Wu bernama Ze Tian, dipaksa untuk menjadi
seorang ni-ku karena Li Shi Ming menyadari ancaman
bahaya dari Wu Ze Tian yang pandai, berbakat tapi juga
kejam tanpa belas kasihan akan mengancam kelangsungan
kekaisaran Tang agung.
Yang Li Shi Ming tidak tahu adalah bahwa Wu Ze
Tian ternyata juga menjalin hubungan dengan putra
mahkota, diam-diam berselingkuh di belakangnya saat ia- 274 -
sakit parah. Putra mahkota saat itu berjanji untuk
mencarinya kembali setelah masa
berkabung selesai, membawa Wu Ze Tian kembali ke
kotaraja menjadi selirnya. Inilah mengapa Wu Ze Tian mau
masuk menjadi seorang ni-ku di kuil Ganye di luar kotaraja,
sambil menunggu kesempatan kembali ke kotaraja menjadi
selir.
Siapa nyana watak putra mahkota yang gemar
berpetualang dengan banyak wanita, mendapat yang baru
melupakan yang lama. Sudah hampir dua tahun Wu Ze Tian
menunggu tanpa kabar di kuil Gan Ye menunggu tanpa ada
kabar beritanya. Beberapa bulan yang lalu, ketika sedang
mencari kayu bakar di dekat hutan, Wu Ze Tian bertemu
dengan Wen Yang yang memang mata keranjang dan tidak
bermoral, bahkan tidak melepaskan seorang ni-ku
sekalipun! Sebaliknya Wen Yang sendiri amat terkejut
ketika mengetahui bahwa ni-ku yang diculik dan hendak
diperkosanya itu tidak melawan malah berbalik ikut
menikmatinya!
Setelah tahu cerita dan identitas yang sebenarnya,
Wen Yang menjadi maklum dan menceritakannya kepada
kakaknya Huo Cin. Otak licin Huo Cin segera bekerja,
memanfaatkan situasi ini untuk semakin membenamkan
pengaruhnya di kekaisaran. Ia memberikan arahan kepada
adiknya untuk tetap berhubungan dengan Wu Ze Tian dan
membentuk juga satu gerombolan pengacau untuk dipakai
kemudian hari.- 275 -
Wen Yang berkeliling mencari banyak perampok dan
pemogor-an untuk dijadikan anak buahnya, termasuk
menaklukkan perampok keji Hu Kung Ye untuk dijadikan
anak buahnya. Ilmu sakti Wu Sheng Chuen (Tinju Lima
Hewan) yang didapatnya di kuil Shaolin memang bukan
ilmu sembarangan, tentu saja Hu Kung Ye dan para
perampok kroco langsung bertekuk lutut mengangkat dia
menjadi ketua mereka!
Kemarin, mata-mata yang dipasang Huo Cin di
kediaman perdana menteri Chu Sui Liang mengabarkan
bahwa perdana menteri tertarik kepada pernyataan yang
Rimba Persilatan Naga Harimau Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditulis oleh Luo Bin Wang sementara pelajar yang dijagokan
Huo Cin hanya mendapat nomor keempat. Ini tentu saja
membuat Huo Cin gusar setengah mati. Ia memerintahkan
Wen Yang menghabisi Luo Bin Wang supaya jagonya
mendapat kedudukan di dalam pemerintahan, sekaligus
memperkuat kedudukannya dalam kekaisaran.
Itulah sebabnya Luo Bin Wang dihajar habis-habisan
sampai sekarat oleh gerombolan Hu Kung Ye tanpa tahu
sebabnya. Beruntunglah Tien Jing Fung dan Cen Pai Jao
sedang melewati daerah itu dalam perjalanan menuju Tie
Tau Hui, sehingga selembar nyawa Luo Bin Wang masih
dapat diselamatkan. Namun mengapakah Tien Jing Fung
dan Cen Pai Jao terburu-buru menuju ke Tie Tau Hui? Ada
apakah gerangan?
Tie Tau Hui adalah salah satu partai ternama di
kotaraja. Pendiri partai ini, pendekar Yuan Fang Siao, ayah- 276 -
dari Yuan Jin Guan dulu amat terkenal di dunia persilatan
karena bersama-sama para pendekar lain pernah
menyelamatkan kaisar Tai Zong Li Shi Ming dari kejaran
pasukan Tu Fan di utara, sehingga berjasa besar dan
dianugerahi kaisar tanah di luar kotaraja yang sekarang
menjadi markas besar partai Tie Tau Hui.
Yuan Jin Guan adalah generasi kedua partai Tie Tau
Hui yang dikenal lurus dan selalu membela kebenaran.
Namun sayang sifatnya kerasnya dan pendiriannya bagai
batu karang sehingga banyak berbenturan dengan para
pendekar lainnya, sehingga akhirnya ia lebih senang berapa
di dalam gedung kediamannya sendiri, melatih ilmu Tie Tau
Tao Fa (Ilmu Golok Besi) dan menyempurnakannya.
Tien Jing Fung dan Cen Pai Jao tiba di gedung Tie
Tau Hui ketika matahari sudah terbenam. Penjaga yang
berjaga-jaga di luar gedung tampak siaga menyandang
golok terhunus. Wajah-wajah mereka tampak tegang. Di
antara mereka tampak seorang pemuda berbaju hitam,
berkumis tipis dan memakai topi sutra berhiaskan permata.
Ia tidak lain adalah Fu Pu Cin, murid pertama partai Golok
Besi. Orang yang memandangnya sekilas pasti tahu bahwa
Fu Pu Cin bukanlah orang biasa. Matanya berkilat
menandakan kecerdasan dan bentuk tubuhnya kekar
menandakan ia seorang pendekar terlatih yang tangguh.
Fu Pu Cin langsung datang menyambut begitu
melihat kedatangan Tien Jing Fung dan Cen Pai Jao.- 277 -
"Tien-siung (saudara Tien), Tien-sao (kakak ipar
Tien), saya sudah menantikan kedatangan kalian berdua ke
tempat ini" kata Fu Pu Cin sambil menjura memberi hormat.
"Apa kabar Fu-siung? Apakah utusan dari Tien Lung
Men sudah tiba?" tanya Tien Jing Fung sambil balas
menjura
"Sudah, mereka sekarang sedang berada di dalam
bersama dengan guru. Mari kita segera masuk ke dalam"
kata Fu Pu Cin sambil mempersilakan kedua tamunya
masuk.
Yuan Jin Guan sendiri tidak menikah. Ia mengambil
beberapa murid, yang pertama dan paling berbakat adalah
Fu Pu Cin, sehingga tidak heran jika semua orang
menganggap Fu Pu Cin lah yang suatu saat nanti akan
menggantikan kedudukan gurunya sebagai ketua partai
Golok Besi.
Mereka bertiga berjalan bergegas ke dalam aula
utama yang sudah terang benderang dan penuh sesak dengan
banyak orang. Tampak di tempat duduk utama seorang
berusia lima puluh tahunan, berwajah cekung dengan hidung
mancung. Rambutnya sudah memutih dan pakaiannya
tampak terlalu besar untuk dirinya. Dia adalah Yuan Jin
Guan sang pendekar Golok Besi yang tersohor di dunia
persilatan. Mungkin orang tidak akan menyangka ia
demikian terkenal jika hanya bertemu di jalan karena Yuan
Jin Guan tampak seperti seorang kakek biasa saja.- 278 -
Di aula itu sudah banyak berkumpul murid partai Tie
Tau Hui di satu sisi sedangkan di seberangnya tampak
beberapa orang yang kelihatan luar biasa dengan hanya
melihat penampilannya saja. Ada tiga orang yang duduk di
kursi utama, yang seorang memakai jubah putih dari sutra
dan menyandang pedang putih. Ia adalah Pai Wu Ya (Gagak
Putih) Cen Hui. Di sebelahnya duduk santai seorang yang
memainkan tongkat emas sambil memutar-mutarnya, sama
sekali tidak mempedulikan kejadian di sekelilingnya. Ia tak
lain adalah Cing Hou (Kera Emas) Wang Ding. Yang
terakhir adalah seorang gadis yang tampak masih sangat
muda dan kelihatan cantik sekali, jauh berbeda dengan
wajah-wajah beringas yang ada di sana, ia tak lain adalah
Jien Jing Hui, putri bungsu ketua partai Naga Langit Jien
Wei Cen. Di belakang mereka tampak sepuluh anggota Tien
Lung Men dengan sikap siaga. Apa yang dilakukan dua dari
empat Si Sao Tien Lung beserta Jien Jing Hui di markas
partai Golok Besi?
"Ketua Yuan, jadi anda masih tidak ingin
menyerahkan dia kepada Tien Lung Men? Bahkan anda
sudah tidak memandang muka ketua kami Jien Wei Cen?"
kata Cen Hui bernada mengancam
"Cen Ta-sia (pendekar Cen) jangan salah paham.
Yung Ta-sia adalah saudara jauhku, adalah tugasku untuk
memberinya tempat berteduh, lagipula apa kesalahannya
sehingga ia dicari-cari Tien Lung Men sampai tidak- 279 -
mempunyai tempat berteduh lagi?" jawab Yuan jin Guan
tidak kalah sengitnya.
"Masalah antara aku dan Yung Gai Meng adalah
urusan kami. Pihak lain tidak perlu turut campur, terlebih
partai pinggiran seperti Tie Tau Hui" kata Cen Hui dengan
ketus.
Hampir semua anggota Tie Tau Hui hendak meloncat
menyerbu Cen Hui mendengar perkataan yang menghina ini
tapi Yuan Jin Guan mencegah dengan satu kibasan tangan.
"Cen Ta-sia, anda memang terkenal angkuh di dunia
persilatan, tapi kami Tie Tau Hui tidak akan pernah mau
dipandang rendah oleh siapapun juga termasuk oleh anda!"
kata Yuan Jin Guan.
"Huhhh! Sekarang aku tanyakan untuk terakhir
kalinya, apakah kau akan menyerahkan Yung Gai Meng
atau tidak?" kata Cen Hui mendengus kesal.
"Eitttt, tunggu dulu Cen-siung dan Yuan-siung.
Dengarkanlah dulu pendapat saya yang tidak berharga ini"
tiba-tiba saja Tien Jing Fung sudah berada di tengah-tengah
aula.
"Ketua Yuan maafkan saya yang tiba-tiba ini.
Undangan anda sudah diterima beberapa hari yang lalu,
maaf jika terlambat" Cen Pai Jao ikut menjura hormat
kepada Yuan Jin Guan.- 280 -
"Kedatangan anda berdua memang tepat pada
waktunya. Cen Ta-sia, sekarang sudah ada penengah yang
adil di antara kita, kiranya biarlah Tien Ta-sia yang
memutuskan mana yang benar" kata Yuan Jin Guan
"Seorang perampok dan istrinya mana bisa dijadikan
menjadi penengah? Ketua Yuan, apakah anda ini sedang
bergurau atau bermimpi? Jangan berpikiran jika Fu-Ji Cin-
Ce Tau ada di sini kami akan takut untuk mengambil orang
dengan paksa!" kata Cen Hui yang sudah habis
kesabarannya.
Cen Hui menggebrak meja dengan kuat,
menjadikannya tumpuan untuk melayang masuk ke ruangan
dalam. Tidak heran Pai Wu Ya Cen Hui dapat menjadi salah
satu Si Sao Tien Lung karena ringan tubuhnya sangat hebat,
sekali genjotan saja sudah melayang melewati kepala Yuan
Jin Guan.
Tentu saja semua yang hadir terkejut melihat gerakan
Cen Hui yang begitu tiba-tiba dan nekat! Yuan Jin Guan
yang tidak mau terhina di depan murid-muridnya sendiri,
segera mencabut golok besinya dan melayang menghadang
Cen Hui. Pertempuran pun tak terelakkan lagi di ruangan
tengah. Golok Besi yang berat beradu dengan pedang Gagak
Putih yang lincah, berdesingan mengeluarkan bunga api,
membuat yang memandang terpana melihatnya.
Tien Jing Fung dan istrinya pun sempat terpana
melihat kehebatan jurus-jurus yang jarang terlihat milik- 281 -
Yuan Jin Guan. Meski Golok Besi itu beratnya mungkin
lebih dari dua puluh kati, tapi Yuan Jin Guan dengan tenaga
dalamnya yang hebat bisa membuatnya seperti sepotong
kayu saja!
Fu Pu Cin dengan seksama memperhatikan setiap
gerakan gurunya. Gerakan dasar jurus Golok Besi
sebenarnya hanya ada tiga yaitu menangkis, menahan dan
menebas. Tiap jurus dasar dibagi lagi menjadi tiga yaitu
atas, samping dan bawah, kemudian dibagi lagi menjadi
tenaga dalam, tenaga golok atau perpaduan keduanya.
Mungkin terlihat sederhana tapi pengembangan jurusnya
benar-benar tidak terbatas, tergantung keadaan dan
kepandaian yang memainkan. Fu Pu Cin sendiri baru bisa
mengerti hingga sedikit saja dari seluruh perubahan itu,
karena itu ia memperhatikan benar-benar setiap gerakan
gurunya.
Sebaliknya dengan jurus pedang Gagak Putih yang
menekankan pada kehebatan setiap jurusnya yang begitu
cepat. Gerakan pedang Cen Hui nyaris tidak terlihat,
berputar-putar dengan kecepatan tinggi menekan lawannya.
Ini memang khas ilmu pedang Gagak Putih ciptaan keluarga
Cen, menekan lawan dengan kecepatan pedang, tidak
menyisakan gerakan lawan sama sekali.
Pedang Gagak Putih berkelebat dengan cepat sekali
menusuk ke semua titik penting di tubuh Yuan Jin Guan.
Tangkisan Golok Besi sebenarnya cukup rapat tapi masih
kalah cepat dengan kecepatan pedang keluarga Cen. Setelah- 282 -
beberapa puluh jurus tampak Yuan Jin Guan mulai
berdarah-darah akibat luka terserempet pedang ganas Cen
Hui. Jurus yang dikeluarkan Cen Hui pun semakin hebat
saja, tampaknya ia ingin segera mengakhiri pertempurannya
dengan Yuan Jin Guan. Pedangnya diputar dengan
kecepatan tinggi satu lingkaran penuh, membuat ratusan
bayangan pedang yang memusingkan kepala. Inilah jurus
Heng Yin Cien (Pedang Awan Maut) milik keluarga Cen
yang sudah tersohor di dunia persilatan sejak dinasti Sui.
Yuan Jin Guan tampak kerepotan menangkis seluruh
Rimba Persilatan Naga Harimau Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tusukan pedang yang tampak tidak habis-habis itu.
Genggaman goloknya semakin melemah karena tangannya
mati rasa menahan benturan tenaga dalam dengan pedang
Cen Hui. Ketika akhirnya jurus Heng Yin Cien selesai
dimainkan, Cen Hui melihat Golok Besi di tangan Yuan Jin
Guan sudah amat lemah kuda-kudanya, maka ia
menghentakkan tenaga dalamnya sampai puncak dan
memukul Golok Besi sampai berdengung karena kuatnya.
"Lepas!!!" teriak Cen Hui
Golok Besi Yuan Jin Guan terlepas dan jatuh
menancap di lantai marmer. Yuan Jin Guan sendiri mundur
dengan muka pucat. Tangannya bergetar keras karena
pukulan pedang Cen Hui yang amat kuat. Ia berusaha sekuat
tenaga menyalurkan tenaga dalam ke tangan kanannya
untuk menahan getaran yang menimbulkan rasa sakit luar
biasa itu.- 283 -
"Guru!" teriak murid-murid Tie Tau Hui serentak
Fu Pu Cin maju menghampiri gurunya dengan cemas.
Ia marah sekali sehingga sudah hendak maju menerjang ke
arah Cen Hui tapi dicegah oleh gurunya.
Wang Ding maju dengan santainya sambil memutar-
mutar tongkat emasnya.
"Kalian rupanya belum mengenal kehebatan ilmu
pedang Pai Wu Ya sehingga berani menantangnya" kata
Wang Ding sambil tersenyum mengejek.
"Ilmu pedang paman Cen memang nomor satu" puji
Jien Jing Hui sambil tersenyum lebar.
Tien Jing Fung dan Cen Pai Jao tampak tidak senang
melihat kecongkakan partai Tien Lung Men yang sewenang-
wenang di tempat partai lain. Tien Lung Men memang partai
nomor satu, tapi itu tidak berarti mereka bisa seenaknya saja
di tempat lain.
"Cen-siung, mungkin kau agak keterlaluan. Ijinkan
aku belajar padamu juga beberapa jurus" kata Tien Jing
Fung yang sudah panas hatinya. Ketua Golok Besi Yuan Jin
Guan adalah sahabat baik gurunya, sehingga ia tidak senang
ada orang yang mempermainkannya.
"Kalau ada keramaian, aku Cing Hou tidak akan luput
meramaikannya" kata Wang Ding sambil berjumpalitan bak
seekor kera ke tengah arena.- 284 -
"Suamiku, aku akan menemanimu belajar beberapa
jurus" kata Cen Pai Jao tidak mau kalah seraya menarik
pedang merah dari sarungnya.
Segera saja terjadi pertempuran yang jauh lebih hebat
daripada yang tadi di aula tengah itu. Yuan Jin Guan dan Fu
Pu Cin segera minggir memberi ruangan yang lebih luas
kepada keempat pendekar itu untuk unjuk kebolehan jurus
masing-masing. Pedang dan tongkat emas saling
berbenturan menimbulkan suara gemerincing dan kilatan
bunga api, mempesonakan mereka yang menontonnya.
Jien Jing Hui yang selama ini hanya pernah
mendengar tentang kehebatan ilmu pedang Tien Jang Ti Ciu
(Pedang Kasih Abadi) benar-benar terbuka matanya setelah
melihat dengan mata kepalanya sendiri. Pedang hijau dan
merah seakan menyatu menjadi satu bukannya dua. Pedang
itu bisa saling mengisi kelemahan masing-masing,
mempertahankan diri dengan kuat. Pedang itu juga bisa
menyerang dengan kekuatan gabungan, menjadikannya jauh
lebih hebat daripada menyerang sendiri. Gerakan Tien Jing
Fung dan Cen Pai Jao juga sangat indah, lebih cocok disebut
pasangan kasmaran yang sedang menari daripada pendekar
yang sedang bertanding!
Sebenarnya Cen Hui dan Wang Ding juga bukan
pendekar kelas teri, tapi ilmu mereka adalah ilmu sendiri,
tidak bisa saling digabungkan. Akibatnya, kekuatan dan
kekompakan mereka kalah jauh dibandingkan pasangan
suami istri Tien. Berulangkah tongkat emas Wang Ding dan- 285 -
pedang Gagak Putih Cen Hui hampir mengenai musuh tapi
selalu dapat ditangkis karena gabungan pedang mereka amat
kompak. Wang Ding dengan kelincahannya berusaha
mencari celah untuk diterobos dan Cen Hui dengan ringan
tubuhnya berusaha menyerang dari atas untuk memecah
ilmu pedang Tien Jang Ti Ciu namun semua sia-sia, malah
mereka berdua semakin terdesak dan hanya bisa bertahan
saja setelah lebih dari seratus jurus.
Sebaliknya jurus Tien Jang Ti Ciu semakin hebat
setelah melewati seratus jurus. Pasangan suami istri Tien itu
seolah menikmati benar memainkan jurus-jurus mereka,
seperti tanpa beban saja layaknya. Ketika Wang Ding dan
Cen Hui semakin terdesak ke tembok, pasangan Tien
mengeluarkan jurus Tien Ti Cuo Ceng (Langit Bumi
Menjadi Saksi). Jurus ini merupakan penggabungan pedang
yang menyerang ke atas dan bawah secara bersamaan
sehingga sangat sukar untuk dihindari. Wang Ding meloncat
ke samping, bergulingan sambil memutar tongkat emasnya
melindungi tubuh namun masih saja punggungnya luka
terkena sabetan pedang. Cen Hui sendiri tidak kalah naas,
meski sudah melompat tinggi menghindar tapi kaki kirinya
masih tetap terkena sabetan pedang.
Darah segera mengucur deras, pertanda sabetan tadi
menimbulkan luka yang cukup dalam. Wang Ding dan Cen
Hui mundur bertahan dengan segera. Mereka sadar bahwa
pasangan Tien ini lebih tangguh daripada mereka berdua,
tidak ada gunanya untuk melanjutkan pertarungan.- 286 -
"Cen-siung dan Wang-siung terima kasih telah
mengalah" kata Tien Jing Fung sambil menjura dengan
hormat.
Cen Hui yang terkenal angkuh mendengus kesal dan
langsung meninggalkan partai Golok Besi tanpa pamit lagi
dengan terpincang-pincang. Wang Ding dan Jien Jing Hui
disertai kesepuluh anak buah Tien Lung Men ikut menyusul
di belakangnya.
"Aku akan minta maaf langsung kepada Jien Pang-cu
nanti jika bertemu atas kejadian ini" kata Tien Jing Fung
mengiringi kepergian rombongan Tien Lung Men itu pergi.
Entah kata-kata terakhir itu didengar atau tidak, tapi
Tien Jing Fung kelihatan lega setelah rombongan itu
meninggalkan Tie Tau Hui.
Yuan Jin Guan dan Fu Pu Cin segera menghampiri
pasangan Tien itu dan menjura memberi hormat
"Terimakasih sekali atas bantuannya" kata Yuan Jin
Guan "Ah tidak sama sekali. Kita adalah sesama pendekar
harus saling membantu jika ada kesulitan" jawab Tien Jing
Fung sambil balas menjura
"Ketua Yuan, sebenarnya ada urusan apakah Yung
Gai Meng dengan Tien Lung Men sehingga dikejar sampai
seperti ini?" tanya Cen Pai Jao
Yuan Jin Guan menggeleng-geleng sambil menghela
napas panjang.- 287 -
"Yung Gai Meng sebenarnya tidak mempunyai
masalah dengan Tien Lung Men tapi dengan Cen Hui sang
Gagak Putih. Keluarga Cen dan Yung sudah berselisih lama
sejak kakek mereka tentang siapa pendekar pedang yang
lebih hebat. Perselisihan ini berubah menjadi dendam ketika
salah seorang dari keluarga terbunuh dan hingga sekarang
masih saling mendendam."
"Apakah yang dilakukan Yung Gai Meng sehingga
dikejar Cen Hui sampai kemari?" tanya Cen Pai Jao makin
penasaran.
"Tien Fu-ren (Nyonya Tien), beberapa hari yang lalu,
Yung Gai Meng ditantang oleh salah seorang keluarga Cen
untuk beradu ilmu pedang. Ia adalah Cen Yu Huang, adik
tiri dari Cen Hui. Pertempuran pun terjadi dan pedang tidak
bermata. Cen Yu Huang mari di tangan Yung Gai Meng,
sedangkan Yung Gai Meng sendiri terluka parah ketika
datang kemari bersama anaknya masih tiga tahun. Sekarang
ia sedang ada di kamar tamu dan tabib yag memeriksanya
sudah tidak mampu lagi. Yung Gai Meng mungkin tidak
akan lama lagi hidup di dunia" kata Yuan Jin Guan dengan
sedih.
Tien Jing Fung dan istrinya saling berpandangan. Jadi
pertempuran mereka barusan hanyalah untuk
menyelamatkan orang sekarat! Tapi nasi sudah menjadi
bubur, mereka sudah mencari masalah dengan Tien Lung
Men, harus berani pula bertanggung jawab.- 288 -
Malam itu mereka menginap di Tie Tau Hui dan pagi-
pagi buta mereka sudah berangkat. Tujuan mereka adalah
Tien Lung Men untuk bertemu ketua Jien Wei Cen dan
menjelaskan duduk perkaranya. Sehebat-hebatnya Fu-Ji
Cin-Ce Tau tetap belum dapat mengalahkan kehebatan Tien
Lung Ta Fa! Pasangan suami istri Tien menyadari hal ini dan
lebih memilih tidak memperpanjang perselisihan dengan
Tien Lung Men.
Ketika mereka sedang berjalan dan bercakap-cakap
dengan santainya, tiba-tiba dari jauh terdengar suara pedang
beradu dengan gencar. Segera mereka berlari menuju arah
suara dan betapa terkejutnya mereka melihat mayat-mayat
pengikut Tien Lung Men bergelimpangan di jalan bersama
beberapa mayat lain yang berpakaian dan bertopeng hitam.
Agak jauh di depan tampak Pai Wu Ya Cen Hui sedang
bertarung mati-matian dengan beberapa orang bertopeng.
Tampaknya Cen Hui sudah kepayahan digempur sekitar
sepuluh orang lebih, pakaiannya yang putih sudah basah
oleh keringat dan darah.
Tanpa banyak bicara lagi, Tien Jing Fung dan istrinya
langsung meloncat ikut masuk dalam pertempuran. Sekali
tebas, satu nyawa melayang maka dalam beberapa tebasan
saja, kepungan terhadap Cen Hui sudah bisa dibubarkan.
Tien Jing Fung segera memapah tubuh Cen Hui yang sudah
limbung itu.
"Cen-siung, bertahanlah! Siapa kelompok yang
menyerang kalian?" tanya Tien Jing Fung.- 289 -
Cen Hui yang sudah kepayahan dan nyaris pingsan
hanya bisa berkata-kata lemah.
"Aku juga tidak tahu, tapi mereka licik sekali
meracuni makanan dengan racun Pelemah Otot. Tolong
selamatkan Wang Ding dan nona Jien, mereka lari ke arah
selatan"
Sehabis berkata demikian, Cen Hui ambruk dan
pingsan.
Tien Jing Fung segera bersila dan menyalurkan
Rimba Persilatan Naga Harimau Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenaga dalamnya kepada Cen Hui.
"Istriku, kau susul Wang Ding dan nona Jien. Aku
akan segera menyusul setelah Cen Hui sadar. Berhati-hatilah
istriku, mereka tampaknya licik dan tidak ragu-ragu
menggunakan racun" kata Tien Jing Fung
"Baiklah, jangan khawatir suamiku" kata Cen Pai Jao
sambil segera berlari ke arah selatan.
Sepeninggal istrinya, Tien Jing Fung mengerahkan
segenap tenaganya untuk mengeluarkan racun Pelemah Otot
dari tubuh Cen Hui. Jika saja racun itu bisa dikeluarkan
maka pastilah Cen Hui dapat memulihkan dirinya lebih
cepat, sayang racun itu sudah menyebar ke seluruh tubuh
sehingga butuh tenaga besar dan waktu lama untuk dapat
mengeluarkannya.
Kita tinggalkan dulu Tien Jing Fung yang sedang
menyalurkan tenaga dalamnya kepada Cen Hui, sekarang- 290 -
kita lihat Wang Ding dan Jien Jing Hui yang sedang
melarikan diri dari para pengejarnya. Mereka berdua tidak
bisa mengerahkan ilmu ringan tubuhnya dengan baik karena
racun Pelemah Otot sehingga tidak bisa meninggalkan
pengejarnya terlalu jauh. Apalagi punggung Wang Ding
yang terluka kembali terbuka dan mengeluarkan darah.
Setelah berlari hampir setengah li, Wang Ding tidak
kuat lagi dan ambruk. Wajahnya pucat dan napasnya
tersengal-sengal.
"Paman Wang, bagaimana keadaanmu?
Bertahanlah!" kata Jien Jing Hui dengan cemas.
"Nona Jien, tinggalkan aku. Kembalilah segera ke
Tien Lung Men, aku akan berusaha semampuku untuk
menghadang mereka" kata Wang Ding dengan gagah.
Jien Jing Hui menggeleng keras. Air mata menetes
deras dari kedua matanya yang indah.
"Tidak! Aku tidak akan meninggalkan paman
sendirian. Kita akan pergi bersama-sama" kata Jien Jing Hui
sambil menangis.
Jien Jing Hui berusaha menarik Wang Ding berdiri. Ia
melihat ke kiri dan ke kanan berusaha mencari tempat untuk
bersembunyi.
Ia melihat ada sebuah pondok kecil di kejauhan,
mungkin ada orang yang bisa ia mintai tolong di dalam sana.- 291 -
"Paman, di sana ada pondok kecil. Sementara kita
beristirahat saja di sana" kata Jien Jing Hui sambil memapah
Wang Ding yang sudah kepayahan.
Mereka berjalan dengan lambat dab beberapa kali
berhenti untuk membiarkan Wang Ding mengambil napas.
Akhirnya mereka tiba juga di depan pondok itu yang
tampaknya didiami orang karena ada beberapa pakaian yang
dijemur di depan pondok.
"Ada orangkah?" teriak Jien Jing Hui
Beberapa saat kemudian, muncul seorang ibu tua
yang berpakaian sederhana bersama seorang pemuda.
Tampaknya mereka ibu beranak yang tinggal di sana.
Mereka berdua tampak kaget melihat seorang nona
membopong seorang pendekar yang memegang tongkat
emas dan badannya berlumuran darah.
"Astaga! Apakah kalian diserang binatang buas?"
tanya ibu tua sambil segera menolong Wang Ding dan Jien
Jing Hui. Anaknya pun segera memapah Wang Ding masuk
ke dalam pondok.
"Fang-er, cepat ambilkan air di sumur belakang untuk
mereka membersihkan luka" kata ibu tua itu kepada
anaknya.
Anaknya yang dipanggil Fang-er segera mengangguk
dan keluar ke belakang rumah untuk mengambil air di
sumur.- 292 -
Wang Ding yang sudah nyaris pingsan dibaringkan di
dipan kayu dan dibalut lukanya dengan kain seadanya untuk
menghentikan pendarahan. Jien Jing Hui sendiri yang masih
lemah karena pengaruh racun Pelemah Otot, duduk bersila
di dekatnya sambil berusaha mendesak racun keluar dari
tubuhnya. Tapi baru saja menggunakan tenaga Tien Lung Ta
Fa, ia sudah merasakan sakit di sekujur badannya. Jien Jing
Hui mengeluh dan terbatuk-batuk merasakan sakit di
sekujur badannya. Peluh membasahi keningnya, tampaknya
ia tidak dapat menggunakan tenaga dalamnya sama sekali.
Saat itu pintu pondok didobrak dengan keras hingga
hancur berantakan. Enam orang bertopeng dan berpakaian
hitam masuk sambil menghunus pedang. Mata mereka
berkilat-kilat penuh hawa membunuh.
"Kalian cacing-cacing Tien Lung Men! Masih mau
lari ke mana lagi? Bunuhhh!!!" seru mereka serentak maju
bersamaan.
Jien Jing Hui menghunus pedangnya berusaha maju
menghadang. Sayang sekali, gerakannya lambat dan lemah
karena pengaruh racunsehinggaiamenjadibulan-bulanan
penyerangnya. Tangan dan punggungnya beberapa tersabet
pedang, juga tonjokan dan tendangan lawan. Para
pengeroyoknya menyadari Jien Jing Hui tidak lagi
merepotkan, memecah kelompok menjadi dua. Tiga orang
mengeroyok Jien Jing Hui, tiga orang lagi maju hendak
membunuh Wang Ding yang terkapar pingsan di dipan
kayu.- 293 -
Yang kasihan adalah ibu tua pemilik pondok, belum
sempat ia berkata apa-apa, tiba-tiba saja pedang sudah
menembus dadanya. Ia roboh bermandikan darah dan tidak
bangun lagi. Ketika tiga orang bertopeng itu bersiap
mencacah Wang Ding, tiba-tiba tembok kayu pondok itu
jebol berantakan karena terjangan seseorang. Belum hilang
kekagetan orang-orang bertopeng itu, tiba-tiba saja kilatan
pedang merah sudah membabat leher mereka bertiga hingga
nyaris putus. Mereka bertiga pun roboh tanpa sempat
melihat siapa yang telah menghabisi nyawa mereka.
Tiga orang yang mengeroyok Jien Jing Hui segera
mengalihkan perhatian kepada pembunuh rekan mereka.
Beruntunglah bagi Jien Jing Hui karena ia sendiri sudah
hampir pingsan meladeni mereka bertiga. Ternyata yang
datang adalah Cen Pai Jao. Pedang merahnya terhunus di
samping kepala, bersiap mengeluarkan jurus maut untuk
menebas ketiga pengeroyok bertopeng itu. Benar saja,
begitu ketiga pengeroyok maju bersama-sama, Cen Pai Jao
segera mengeluarkan jurus Tuo Ai Hong Ku (Gadis Merah
Perenggut Cinta) yang amat hebat karena dalam satu tebasan
saja nyawa ketiga pengeroyoknya sudah lepas dari raganya!
Cen Pai Jao segera memeriksa keadaan Wang Ding
dan Jien Jing Hui. Ia lega bahwa luka mereka berdua tidak
membahayakan, hanya saja racun Pelemah Otot di tubuh
mereka harus segera dikeluarkan. Ia memapah Jien Jing Hui
untuk duduk di dipan kayu sambil memulihkan tenaga. Saat
itulah putra ibu tua yang bernama Fang-er masuk ke dalam- 294 -
pondok sambil membawa seember air. Ia langsung menjerit
histeris dan melemparkan ember airnya ketika melihat
ibunya sudah menjadi mayat.
"Oh ibu, mengapa engkau mati mengenaskan begini?
Tidak! Biarkan aku ikut menyusulmu" katanya sambil
menangis dan memukuli dadanya.
Jien Jing Hui dan Cen Pai Jao menjadi tidak tega
mendengar ratapan si anak yang begitu menyayat. Apalagi
anak itu membentur-benturkan kepalanya hingga berdarah
ke lantai. Cen Pai Jao khawatir ia akan bunuh diri mengikuti
jejak ibunya ke alam baka karena itu ia segera membimbing
anak laki-laki itu berdiri.
Meskipun sedang berduka sekali, wajah anak itu
masih terlihat cerdas dan tampan. Usianya sekitar lima belas
tahun,alisnya rata dan tebal, matanya jernih dan bentuk
badannya pun bagus. Jika saja pakaiannya tidak jelek dan
sederhana, pastilah ia bisa layak disebut sebagai anak
seorang bangsawan. Cen Pai Jao bisa melihat bahwa anak
laki-laki ini adalah seorang yang berbakat.
Ia berusaha menenangkannya supaya tidak menangis lagi.
"Seorang laki-laki boleh berdarah tapi tidak
menangis. Janganlah terlalu menangisi kematian ibumu.
Manusia mati tidak bisa hidup kembali, janganlah terlalu
bersedih" kata Cen Pai Jao berusaha menghibur.- 295 -
Ternyata kata-katanya lumayan manjur mengatasi
tangisan anak itu. Ia mengambil sebuah tikar bambu untuk
menutupi mayat ibunya dan kemudian berlutut di depannya
dengan tatapan mata kosong. Jien Jing Hui yang melihatnya
merasa kasihan sekali dan merasa bersalah atas kematian ibu
anak itu. Jika saja ia dan Wang Ding tidak kemari, tentunya
ibu dan anak itu masih hidup dengan bahagia di tempat ini.
"Istriku, ternyata kalian semua selamat di sini!" kata
Tien Jing Fung dengan gembira melihat istrinya dapat tiba
tepat waktu menyelamatkan Wang Ding dan Jien Jing Hui.
Tien Jing Fung datang sambil memapah Cen Hui
yang meskipun kelihatan masih lemah namun wajahnya
sudah tidak sepucat tadi pertanda racunnya sudah keluar dari
tubuh. Cen Hui segera berlutut di depan Wang Ding dan
memeriksanya. Ia lega melihat Jien Jing Hui dan Wang Ding
selamat.
"Pendekar Tien dan nyonya, saya Cen Hui berhutang
tiga nyawa kepada kalian hari ini. Suatu saat nanti saya pasti
membalasnya jika ada kesempatan. Terimalah hormat saya"
kata Cen Hui sambil menjura.
"Ehhh, Cen-siung untuk apa begitu sungkan? Saling
menolong dalam kesusahan adalah keharusan para
pendekar" kata Tien Jing Fung merendah
Saat itu pula perhatian Tien Jing Fung tertuju pada
anak muda yang sedang menatap dengan pandangan kosong.- 296 -
"Istriku, siapakah anak muda ini?" tanya Tien Jing
Fung
Cen Pai Jao menceritakan dengan singkat riwayat
pertemuannya dengan ibu dan anak pemilik pondok kecil
ini. Ia sangat menyesal datang terlambat sehingga ibu anak
muda itu sudah tewas terlebih dulu.
"Anak muda, siapakah namamu?" tanya Tien Jing
Fung
Anak muda itu masih terus mematung dengan
pandangan kosong. Sekali lagi Tien Jing Fung bertanya
siapa namanya, kali ini sambil mengguncangkan bahu anak
muda itu dengan keras. Anak muda itu seperti baru
terbangun dari mimpinya.
Rimba Persilatan Naga Harimau Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Namaku Yang Ren Fang" jawab anak muda itu.
"Apakah engkau masih mempunyai sanak saudara
yang lain?" tanya Tien Jing Fung lagi.
Anak muda bernama Yang Ren Fang itu menggeleng lemah.
"Paman Cen, bagaimana kalau ia kita bawa saja ke
Tien Lung Men?" kata Jien Jing Hui tiba-tiba.
Cen Hui memandang Yang Ren Fang dengan
seksama. Memang Tien Lung Men amat besar, selalu saja
ada tempat untuk menerima anggota baru. Lagipula Yang
Ren Fang ini kehilangan ibunya karena menolong Wang
Ding dan Jien Jing Hui, sepatutnyalah ia diterima sebagai
anggota Tien Lung Men.- 297 -
"Baiklah, aku setuju. Anak muda, mulai hari ini
engkau menjadi anggota Tien Lung Men. Jangan bersedih
lagi, jadilah seorang gagah agar ibumu tenang di alam sana"
kata Cen Hui.
Yang Ren Fang hanya mengangguk lemah. Semangat
hidupnya belum kembali lagi setelah kejadian yang
mengguncangkan jiwanya ini.
Cen Pai Jao bertanya kepada suaminya mengenai
siapakah para pengeroyok bertopeng ini, tapi Tien Jing Fung
dan Cen Hui sama sekali tidak menemukan tanda-tanda dari
partai mana para pengeroyok ini.
"Mungkin hanya perampok biasa yang melihat
kecantikan nona Jien saja sehingga bermaksud jahat." kata
Tien Jing Fung memberi pendapat.
"Semoga saja demikian. Tidak semua orang memiliki
racun Pelemah Otot seperti yang mereka miliki" kata Cen
Hui menimpali.
"Mungkin sekarang yang paling penting adalah
segera kembali ke Tien Lung Men dan mengobati paman
Wang, urusan lainnya bisa diselesaikan nanti" kata Jien Jing
Hui memberikan pendapat.
"Saya setuju, mari kami antar sampai perbatasan
daerah Tien Lung Men sehingga kami bisa tenang
meninggalkan kalian. Siapa tahu nanti masih ada yang- 298 -
mencoba menyerang kalian lagi" kata Tien Jing Fung
menyetujui usulan Jien Jing Hui.
Akhirnya mereka pun meninggalkan pondok kecil itu
bersama-sama, setelah Yang Ren Fang menguburkan
ibunya. Tien Jing Fung dan Cen Pai Jao mengantarkan
mereka sampai ke daerah dekat Wu Han, tempat di mana
banyak anggota Tien Lung Men sudah bisa mengawal
mereka.
"Cen-siung, sampai di sini saja saya dapat menemani
kalian. Sampaikan salam saya kepada Jien Pang-cu, lain kali
saya akan berkunjung sendiri kepada dia" kata Tien Jing
Fung sambil menjura.
"Kita pasti bertemu lagi" balas Cen Hui.
Pasangan suami istri itu pun segera pergi seperti
biasanya, bagaikan daun gugur tertiup angin. Begitu ringan
dan begitu cepat menghilang dari pandangan. Cen Hui
memandangi mereka sampai tidak kelihatan lagi, setelah itu
ia berbalik dan mengikuti rombongan anak buah Tien Lung
Men yang sudah menyiapkan tandu untuknya.
"Sungguh pasangan yang hebat"gumamnya pada diri
sendiri ketika menaiki tandunya kembali ke markas besar
Tien Lung Men.- 299 -
9. Kedukaan
Pada tahun 551, permaisuri Wang diangkat resmi menjadi
permaisuri kaisar dan perayaan besar-besaran dirayakan
selama sebulan penuh. Para wang-ye pun mendapatkan
pilihan istri dari ibusuri dan mendapatkan gelar masing-
masing dan tinggal di daerah dengan tenang. Tahun 552,
Huo Cin dan Wen Yang merancang pertemuan antara Kaisar
dengan Wu Ze Tian di kuil Gan Ye pada saat Kaisar
bersembahyang mengucap syukur atas kedamaian yang
diberikan langit atas dinasti Tang. Mantan kekasih Kaisar itu
akhirnya diboyong kembali ke istana dan mendapat gelar
Cai-ren kembali.
Setahun kemudian, Wu Ze Tian melahirkan anak
pertamanya yang dinamakan Li Hong, yang membuat
dirinya dinaikkan pangkat menjadi selir Zhao-yi, selir
tingkat dua. Tahun 555, Wu Ze Tian melahirkan seorang
putri sebagai anak kedua. Tapi memang keserakahan
manusia tidak terbatas, Wu Ze Tian bekerjasama dengan
Wen Yang dan Huo Cin membunuh putrinya sendiri yang
masih bayi untuk menuduh permaisuri sebagai pelakunya.
Permaisuri Wang pun hendak dijebloskan ke penjara
bawah tanah sebagai ganjarannya tapi Chu Sui Liang dan
Changsun Wu Ji menentang keras mengakibatkan keduanya
difitnah Shi Jing Song dan Li Yi Fu sehingga diusir keluar
istana. Lagi-lagi Wen Yang yang menjadi algojo membunuh- 300 -
kedua menteri setia itu dalam perjalanannya menuju
pengasingan.
Permaisuri Wang pun dimasukkan ke penjara bawah
tanah dan dibuntungi kedua kaki dan tangannya kemudian
direndam dalam air garam sampai meninggal. Kabar resmi
yang beredar adalah permaisuri meninggal karena sakit, tapi
mulut penjaga yang tidak bisa disumpal membocorkan
kekejaman perlakuan Selir Wu terhadap permaisuri ini.
Langit menangis bumi terguncang tapi semua sudah
terlambat, tidak ada lagi yang bisa dilakukan.
Kekuasaan Huo Cin semakin besar di kalangan istana.
Ia mempunyai kawan Shi Jing Song dan Li Yi Fu di
kalangan menteri, selir Wu pun menjadi kaki tangannya dan
Wen Yang sebagai algojo sadis untuk menyelesaikan
pekerjaan kotornya. Apalagi pada musim gugur 655 putra
mahkota Li Chong yang merupakan anak angkat permaisuri
sebelumnya, digantikan oleh Li Hong dan Selir Wu resmi
diangkat menjadi permaisuri. Lengkaplah sudah kekuasaan
Huo Cin atas istana. Dialah sebenarnya yang memegang
kendali dan keputusan atas hal-hal penting tapi tidak ada
seorang pun yang tahu kecuali Wen Yang, adiknya yang
sudah menjadi kepala pengacau bawah tanah Ceng Lu Ciao
(Kelompok Jalan Kebenaran) yang ditakuti di wilayah timur
kotaraja.
Tahun 662, Tang agung mengirimkan seratus ribu
pasukan ke semenanjung Korea, menaklukkan Paekche dan
membuat Kaoli dan Silla bertekuk lutut. Tiga negara di- 301 -
semenanjung Korea itu akhirnya bertekuk lutut setelah
empat kaisar terdahulu selalu gagal mengalahkan mereka.
Tapi sedikit yang tahu bahwa yang merancang strategi
perang untuk penaklukkan itu tak lain tak bukan adalah Wu
Ze Tian dan Huo Cin. Keduanya mempunyai otak cerdas
serta hati yang tegas sehingga bisa menggerakkan ratusan
ribu pasukan tanpa kenal takut. Sungguh orang-orang yang
luar biasa!
Dalam pertempuran yang memakan waktu hampir
setahun itu, Han Kuo Li ikut serta sebagai jenderal sayap
kanan. Sebenarnya Han Kuo Li tidak tega untuk
meninggalkan anak-anak dan kedua istrinya, tapi panggilan
tugas negara tidak dapat dibantah. Akhirnya diiringi tangis
Ye Ing dan Pai Lien, Han Kuo Li dan teman setianya Song
Wei Hao yang juga sudah beranak istri, berangkat bersama
seratus ribu pasukan menuju semenanjung Korea. Pada
masa itu, hubungan ke rumah hanya bisa dilakukan melalui
surat yang kadang baru beberapa bulan kemudian sampai di
kampung halaman. Tidak heran jika perpisahan itu sangat
menyedihkan, tidak tahu kapan lagi bisa bertemu dengan
anak istri tercinta. Tak terkecuali bagi seorang jenderal
gagah seperti Han Kuo Li dan Song Wei Hao yang
berangkat tapi tak tahu bisa atau kapan dapat kembali.
Beberapa bulan berlalu tanpa kabar, membuat hati Pai
Lien amat cemas. Ye Ing meskipun juga cemas tapi maksud
hatinya hanyalah agar tetap bisa menjadi nyonya besar di
keluarga Han. Selama kepergian Han Kuo Li berperang,- 302 -
ialah kepala keluarga Han. Meskipun Han Cia Pao sudah
berusia enam belas tahun, tapi ia selalu menurut saja apa
yang dikatakan bibi yang sudah dianggap ibunya sendiri ini.
Boleh dikatakan selama Han Kuo Li pergi, justru Ye Ing
malah merasakan nikmatnya kekuasaan dan kebebasan!
Tapi ada satu hal yang mengganjal di hatinya bagai
duri dalam daging. Siapa lagi kalau bukan Pai Lien yang
menjadi saingan hatinya. Selama sepuluh tahun lebih
menikah dengan Han Kuo Li, Ye Ing sudah melahirkan tiga
orang anak, tapi semuanya perempuan. Inilah yang
menggusarkan dan mencemaskan Ye Ing karena pada jaman
itu anak laki-laki jauh lebih berharga daripada anak
perempuan karena dianggap membawa nama keluarga.
Padahal jika ingin jujur, ketiga putrinya Han Li Rong, Li
Feng dan Li Sien cantik-cantik dan pandai. Ye Ing
sebenarnya tidak perlu juga merasa cemburu kepada Pai
Lien karena Han Kuo Li sebenarnya selalu berusaha adil
terhadap kedua istrinya, tapi itulah hati seorang manusia
yang gelap mata, selalu membabi buta dalam membenci.
Apalagi setelah mendengar desas-desus dan kabar
burung bahwa permaisuri Wang dicelakai oleh Selir Wu
sehingga mati mengenaskan, hati Ye Ing semakin tidak
tenang. Bahkan dalam tidurnya ia selalu bermimpi akan
dicelakai oleh Pai Lien. Makin hari ia makin benci melihat
Pai Lien dan Han Cia Sing yang sedang belajar membaca
dan berlatih tombak di halaman belakang setiap sore hari.
Tanpa sadar rasa bencinya selama sekian tahun semakin- 303 -
menumpuk, bahkan ia merasa yakin bahwa Pai Lien juga
membencinya dan ingin menyingkirkannya seperti Selir Wu
menyingkirkan permaisuri Wang!
Itulah keanehan manusia, takut akanbayanganny a
send i ri yang belum tentu ada. Manusia adalah mahluk yang
lemah yang selalu tergoda untuk melakukan segala sesuatu
sesuai keinginannya sendiri tanpa mempedulikan akibatnya
nanti. Padahal Ye Ing sebenarnya tidak perlu merasa
khawatir, bukankah ia adalah istri pertama Han Kuo Li yang
tinggal di rumah utama?
Tapi kerendahdiriannya karena tidak mempunyai
seorang putra telah jauh meninggalkan akal sehatnya. Tiap
hari ia duduk tidak tenang, tidur tidak tenang sehingga
seorang pembantu tua yang ia bawa serta dari kediaman
bangsawan Ye bernama Chang, melihat gejala ini dan
bertanya kepadanya,
"Han Fu-ren, adakah sesuatu yang mengganggu
Rimba Persilatan Naga Harimau Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pikiran anda?"
Ye Ing terkejut mendengar pertanyaan ini tapi ia
masih berusaha memberikan jawaban seadanya.
"Chang-sao (kakak Chang), suamiku sudah pergi
berperang berbulan-bulan tanpa kabar, istri manakah yang
tidak gelisah melihat hal ini?"
"Tapi mungkin ada hal lain yang mengganggu Fu-
ren?" selidik Chang-sao- 304 -
"Hal apakah itu?" tanya Ye Ing berpura-pura
"Setiap kali Fu-ren memandang ke rumah belakang,
mata Fu-ren selalu berkilat-kilat penuh amarah. Maafkan
saya yang sudah tua ini, tapi mata tua tidak dapat dibohongi.
Bukankah Chang-sao yang melihatmu tumbuh besar hingga
sekarang" jawab Chang-sao sambil tersenyum penuh arti.
Ye Ing menghela napas, tidak ada gunanya menutupi
dari Chang-sao.
"Chang-sao engkau memang mengerti diriku. Aku
selalu memikirkan keadaanku yang tidak dapat memberikan
anak laki-laki untuk suamiku. Jika aku bisa melahirkan
seorang anak laki-laki, tentu tidak akan kubiarkan si wanita
pelacur itu tinggal sepuluh tahun lebih di rumah belakang!"
kata Ye Ing sambil tidak terasa meremas sapu tangan
sutranya dengan keras.
"Fu-ren tidak perlu khawatir, bukankah Fu-ren sudah
mempunyai kedudukan yang baik" kata Chang-sao
"Pelacur itu benar-benar bagaikan duri dalam
dagingku. Sehari ia masih ada, sehari pula aku tidak bisa
hidup tenang!" kata Ye Ing dengan nada tinggi. Tampaknya
emosinya benar-benar tinggi jika membicarakan Pai Lien.
"Fu-ren, saya mempunyai sebuah rencana. Tidak tahu
apakah cocok dengan kehendak Fu-ren atau tidak?" kata
Chang-sao
"Rencana apakah itu?" tanya Ye Ing ingin tahu.- 305 -
Chang-sao mencondongkan tubuhnya ke arah Ye Ing
dan membisikinya sesuatu. Ye Ing tersenyum-senyum
setuju.
"Baik kerjakan hal itu" kata Ye Ing sambil tersenyum
penuh kemenangan.
Beberapa hari kemudian, Ye Ing jatuh sakit dan tidak
dapat bangun dari tempat tidur. Tiap hari ia merasa
menggigil, tidak mau makan dan tubuhnya semakin lemah.
Semua tabib di kotaraja didatangkan tapi Ye Ing tetap tidak
bisa disembuhkan juga. Para pembantu dan pelayan
keluarga Han mulai panik sampai akhirnya Chang-sao
mengumpulkan semua pelayan di aula utama bersama para
putra-putri keluarga Han.
"Kita semua berkumpul bersama di sini, karena
prihatin dengan kesehatan Fu-ren yang semakin memburuk
saja. Sudah hampir sepuluh hari ia berbaring saja di tempat
tidur dan tidak mau makan. Jika terus dibiarkan seperti ini
aku takut akan terjadi sesuatu yang buruk padanya. Tuan
muda Cia Pao, menurutmu apa yang harus kita lakukan?"
tanya Chang-sao kepada Han Cia Pao.
Han Cia Pao yang kini telah tumbuh menjadi seorang
pemuda gagah mewarisi kegagahan wajah ayahnya.
Tubuhnya tinggi sudah hampir setinggi Han Kuo Li. Kedua
alisnya tebal dan rata, dahinya bersinar dan wajahnya
berseri-seri, sungguh seorang putra jenderal besar! Hari itu
Han Cia Pao memakai baju sutra biru bersulam emas dan- 306 -
topi sutra dengan hiasan mutiara, benar-benar berkesan bagi
yang melihatnya.
Han Cia Pao kelihatan ragu-ragu sejenak menjawab
pertanyaan Chang-sao. Ia buta mengenai ilmu pengobatan
sehingga susah memberikan jawaban.
"Chang-sao, anda lebih tua dan berpengalaman.
Kiranya berikan petunjuk kepada kami" kata Han Cia Pao
merendah.
Chang-sao mengeluh dan menarik napas panjang.
"Tuan muda, sebenarnya aku tidak ingin mengatakan
ini tapi kelihatannya ibu anda..."
"Apa yang terjadi dengan ibu?" tanya Han Cia Pao
tidak sabaran.
Memang selama ini, ia selalu memanggil Ye Ing
dengan sebutan ibu.
"Fu-ren kelihatannya terkena guna-guna" kata
Chang-sao pelan.
Seketika itu juga seluruh aula menjadi heboh oleh
teriakan tertahan yang hadir. Suasana menjadi riuh rendah
dan tidak
terkendali, semua berbicara sendiri-sendiri. Chang-
sao sampai perlu berteriak untuk menenangkan mereka yang
hadir.- 307 -
"Tuan muda, saya usulkan untuk memeriksa setiap
kamar di rumah ini untuk mencari guna-guna yang
digunakan untuk mencelakai Fu-ren" kata Chang-sao
meminta persetujuan Han Cia Pao.
Han Cia Pao menarik napas sebentar sebelum
berpaling kepada Pai Lien.
"Bibi Pai, bagaimana pendapat anda mengenai hal
ini?" tanya Han Cia Pao
"Tuan muda, lakukan apa yang anda anggap baik"
jawab Pai Lien.
Pai Lien selama ini dilarang untuk memanggil nama
kepada semua anak keluarga Han kecuali Han Cia Sing
seorang. Pai Lien tidak merasa hal itu sebagai penghinaan,
ia seorang wanita yang tidak banyak menuntut, asal bisa
bersama suami dan anak yang dicintainya, ia sudah merasa
bahagia.
"Baiklah jika demikian, periksa semua kamar tanpa
terkecuali" kata Han Cia Pao sambil memberi perintah
kepada semua pelayan untuk mulai memeriksa setiap
ruangan.
Pai Lien sendiri tetap di dalam aula utama bersama
Han Cia Sing dan ketiga putri Ye Ing. Sifat Pai Lien yang
lembut dan keibuan, membuatnya bisa dekat dengan ketiga
putri Ye Ing, sayang sekali ketiga putri itu sudah dicekoki- 308 -
pikiran yang tidak-tidak terhadap ibu tirinya sehingga selalu
bersikap acuh tak acuh terhadap Pai Lien.
Han Cia Sing sendiri sekarang sudah berusia dua
belas tahun. Ia sudah tumbuh semakin besar menjadi
seorang remaja tidak bisa lagi disebut anak-anak. Wajahnya
mewarisi kecantikan dan kelembutan ibunya tapi
kegagahannya tidak kalah dibandingkan Han Cia Pao.
Mungkin dua atau tiga tahun lagi ia sudah akan segagah
kakaknya itu. Perbedaan yang mencolok antara Han Cia Pao
dan Han Cia Sing mungkin terletak pada pakaian yang
mereka kenakan. Pakaian Han Cia Sing terbuat dari kain
sederhana dan bukan sutra mahal. Ini juga akibat perlakuan
Ye Ing yang membedakannya dengan anak-anak keluarga
Han yang lain. Belajar pun, Cia Sing tidak mempunyai guru
sendiri
melainkan belajar bersama anak-anak pembantu
keluarga Han yang lain. Han Kuo Li sebenarnya tidak tega
melihat hal seperti ini, tapi setiap kali ia bertengkar dengan
Ye Ing, Pai Lien selalu memohonnya untuk berhenti
bertengkar dengan wajah sendu, membuat Han Kuo Li
benar-benar kehilangan akal.
Satu-satunya yang Han Kuo Li bisa lakukan tanpa
campur tangan Ye Ing adalah mengajari anaknya ilmu silat
Pai Hu Jiang Fa karena ia mengajarkannya sendiri. Setiap
hari jika ada waktu senggang, ia akan mengajarkan ilmu
tombak sakti itu kepada kedua putranya. Cia Sing cerdas dan
berbakat sehingga dalam waktu beberapa bulan sudah mahir- 309 -
memainkan jurus-jurus dasar Pai Hu Jiang Fa, tidak kalah
dari kakaknya yang sudah belajar lebih dulu beberapa tahun.
Han Kuo Li sangat senang memuji bakat anaknya ini,
sehingga malah membuat Ye Ing semakin terbakar api
kebencian dan iri!
Semua pelayan memeriksa dengan teliti masing-
masing kamar. Semua bantal, meja bahkan langit-langit
diperiksa tanpa kecuali. Kediaman keluarga Han merupakan
tempat yang luas sehingga butuh waktu sampai tengah hari
baru semua selesai. Para pelayan kembali berkumpul di aula
utama. Chang-sao menanyakan hasil yang didapat oleh para
pelayan. Semua menggeleng kecuali dua orang yang hanya
diam saja tertunduk. Chang-sao menanyai mereka dengan
teliti dan mereka semakin ketakutan.
"Apakah yang kalian sembunyikan di tangan kalian?"
bentak Chang-sao tidak sabaran. Ia merebut benda yang ada
di tangan kedua pembantu wanita yang ketakutan itu.
Ternyata sebuah bungkusan kain sutra berwarna hitam.
Semua yang hadir menahan napas ketika Chang-sao
membuka bungkusan kain hitam itu yang ternyata berisi
sebuah boneka wanita yang seluruh badannya penuh
tertusuk jarum! Lebih mengejutkan lagi ada secarik kain
bertuliskan nama Ye Ing yang terdapat di dada boneka itu!
Segera terjadi kehebohan di antara semua yang hadir.
Bukti ada di tangan mau bilang apa lagi? Chang-sao
semakin marah dan gemas menekan kedua pembantu wanita
itu untuk mengatakan di mana mereka menemukan- 310 -
bungkusan itu. Kini bahkan Chang-sao menjambak rambut
kedua pelayan itu sampai berteriak minta ampun.
"Kami menemukannya di langit-langit kamar Nyonya
Pai Lien" teriak kedua pembantu itu sambil berteriak
kesakitan.
Seketika itu juga seluruh ruangan menjadi hening.
Semua seakan tidak berani lagi bernapas. Semua mata
memandang ke arah Pai Lien yang hanya bisa tertegun
mendengar kesaksian kedua pembantu tadi.
Tiba-tiba Chen Yi-ma maju ke depan, membentak
dengan suara menggelegar, mengagetkan keheningan yang
ada sebelumnya.
"Diam!! Tutup mulut bau kalian! Berani sekali kalian
menuduh Nyonya Pai Lien melakukan tindakan rendah
seperti ini. Katakan siapa yang membayar kalian untuk
melakukan hal ini"
Kedua pelayan wanita itu benar-benar sial hari ini.
Setelah dijambak dengan kasar oleh Chang-sao, sekarang
dibentak-bentak oleh Chen Yi-ma. Mereka berdua menangis
dengan keras dan gemetaran tidak mampu lagi berdiri tegak.
"Kami memang menemukannya di langit-langit
Rimba Persilatan Naga Harimau Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kamar Nyonya Pai Lien. Kami tidak berani berbohong" kata
keduanya sambil menahan tangis.
Pai Lien yang sedari tadi terdiam, kini mulai berbicara
"Aku tidak pernah melihat benda ini sebelumnya"- 311 -
"Bukti dan saksi ada di sini, bagaimana hendak
mungkir?" kata Chang-sao dengan ketus.
"Chang-sao berani sekali kau menuduh Nyonya Pai
Lien yang tidak-tidak" bentak Chen Yi-ma tidak kalah
sengit.
Kedua pembantu yang sudah sama-sama tua itu pun
terlibat perang mulut yang amat sengit. Keduanya tidak mau
mengalah dan saling meengatai satu sama lain. Han Cia Pao
merasa sudah waktu ia angkat bicara
"Chen Yi-ma, Chang-sao, hentikan!" teriak Han Cia
Pao dengan berwibawa sehingga pertengkaran kedua
pembantu tua itu seketika langsung terhenti.
"Aku akan menyelidiki kejadian ini dengan seksama,
sampai ayah pulang, jangan ada yang mengungkit perkara
ini lagi" kata Han Cia Pao.
"Mengapa engkau membela orang yang hendak
mencelakai ibumu?"
Tiba-tiba terdengar suara parau dari ujung aula.
Kiranya
Nyonya Ye Ing yang berdiri sambil berpegangan ke
tembok. Wajahnya pucat dan rubuhnya kurus karena tidak
makan selama beberapa hari. Chang-sao buru-buru
mendekati Ye Ing untuk memapahnya berjalan.- 312 -
"Ibu, mengapa engkau keluar? Bukankah ibu sedang
sakit?" tanya Han Cia Pao khawatir dengan keadaan ibunya
yang lemah itu.
"Aku keluar karena mendengar kalian ribut-ribut.
Aku sudah mendengar semuanya. Pai Lien tak kusangka
selama ini aku menganggapmu sebagai saudari kandung
ternyata begini perlakuanmu kepadaku. Sungguh tak
kusangka..." Ye Ing tidak bisa meneruskan kalimatnya
karena terbatuk-batuk dengan keras. Chang-sao berusaha
menenangkan Ye Ing dengan mengurut-urut punggungnya.
"Kakak, aku tidak berbuat demikian. Ini pasti ada
salah paham" kata Pai Lien mencoba menjelaskan
"Sudahlah, aku tidak mau mendengarkan kata-
katamu lagi. Kau tidak layak untuk menjadi bagian keluarga
Han. Pelayan usir dia dari tempat ini jangan sampai kembali
lagi ke tempat ini!" perintah Ye Ing kepada para pelayan.
Han Cia Pao masih berusaha menengahi, tapi segera
dibentak oleh Ye Ing
"Kau memilih ibumu meninggal atau dia yang keluar
dari tempat ini!"
Semua pelayan masih terdiam tidak berani bergerak.
Chang-sao segera bergerak diikuti dua orang pelayan yang
setia kepadanya, menyeret Pai Lien keluar dari aula utama.
Chen Yi-ma dan Han Cia Sing berteriak-teriak berusaha
menahan Pai Lien diseret keluar, tapi mereka masih kalah- 313 -
kuat dengan dua pelayan pria yang kekar-kekar. Pai Lien
dilemparkan dengan kasar keluar aula utama ke halaman
depan.
"Nyonya Ye Ing, jangan buang aku dari keluarga
Han! Aku hidup sebagai keluarga Han, mati pun sebagai
setan keluarga Han!" teriak Pai Lien sambil berpegangan
pada pintu aula utama. Kedua pelayan yang mengusir Pai
Lien bertindak semakin kasar, menendang dan menghantam
tangan Pai Lien agar melepaskan pegangannya.
Han Cia Pao yang melihat situasi semakin tidak
terkendali segera meminta agar kedua pelayan
menghentikan sikap kasarnya.
"Ibu, sekarang ayah sedang tidak ada dan masalahnya
pun belum jelas. Saya harap ibu memikirkan hal ini lagi.
Kita bisa menahan bibi Pai di dalam rumah sambil
menunggu kedatangan ayah" kata Han Cia Pao
"Kau berani menentang ibumu?" tanya Ye Ing dengan
gusar.
"Pao-er tidak akan berani, tapi masalah ini
menyangkut nama baik keluarga Han, jangan sampai
membesarkannya sehingga mencoreng nama baik keluarga
kita" kata Han Cia Pao menjelaskan.
Kata-kata Han Cia Pao memang beralasan sehingga
Ye Ing menurut. Kedua pelayan itu menyeret Pai Lien
kembali ke dalam rumah. Han Cia Sing berusaha mencegah- 314 -
ibunya diseret-seret namun tak kuasa. Tak terasa air mata
meleleh di pipinya melihat ibu yang dicintainya
diperlakukan seperti seorang pencuri pasar.
Pai Lien dimasukkan ke dalam gudang jerami dan
dirantai kedua kakinya. Han Cia Pao sebenarnya merasa hal
ini agak keterlaluan tapi Ye Ing belum-belum sudah
memarahinya sehingga ia mengurungkan niatnya. Han Cia
Pao hanya berpesan agar Pai Lien diperlakukan baik-baik
seperti layaknya seorang nyonya sambil menunggu ayahnya
pulang. Han Cia Pao mengeluh mengapa hal seperti ini
terjadi saat ayahnya sedang tidak ada di rumah.
Malam pun akhirnya tiba, cuaca berubah sejuk dan
angin pun berdesir sepoi-sepoi. Tapi cuaca seperti inipun
tidak menenangkan hati Han Cia Sing, ia terus berlutut di
depan gudang tempat ibunya disekap. Hatinya hancur tidak
karuan melihat ibu yang dikasihinya diperlakukan buruk
sekali hari ini. Meskipun masih muda sekali tapi Cia Sing
sudah biasa hidup prihatin sejak kecil. Pai Lien selalu
mengajarkan hidup sederhana dan menghargai orang lain
kepada Cia Sing sehingga ia tumbuh menjadi seorang
remaja yang tahan penderitaan, tapi perlakuan yang diterima
ibunya hari ini benar-benar tidak dapat diterimanya. "Cia
Sing, kau masih ada di depan?" panggil Pai Lien "Ibu, Sing-
er masih di depan." jawab Cia Sing sambil segera menuju ke
arah pintu gudang. Ia bersandar pada pintu gudang berusaha
mendengarkan lebih jelas perkataan ibunya.- 315 -
"Sing-er kembalilah ke kamarmu, udara malam tidak
baik untuk kesehatan. Jangan sampai engkau sakit dan
membuat ibumu khawatir." kata Pai Lien
"Tapi Sing-er ingin bersama ibu selalu" kata Han Cia
Sing.
Tak terasa air mata kembali meleleh di pipinya.
Selama dua belas tahun hidup di dunia, Han Cia Sing selalu
bersama-sama dengan ibunya. Meskipun hidup mereka
sederhana dan selalu dalam tekanan, tapi secara keseluruhan
kehangatan seorang ibu jauh mengalahkan segala
penderitaan. Tapi kini ia terpisah dari ibunya, dipisahkan
oleh tembok dan pintu gudang yang tebal. Siksaan yang
diterima Han Cia Sing ini terus terang jauh lebih berat
daripada siksaan badan seperti dicambuk misalnya.
Sebenarnya Pai Lien juga merasakan hal yang sama, tetapi
Pai Lien jauh lebih dewasa dan makan banyak asam garam
kehidupan dibandingkan Han Cia Sing sehingga lebih bisa
menekan perasaannya. Lagipula Pai Lien berharap Han Kuo
Li segera pulang ke rumah sehingga dapat menuntaskan
kesalahpahaman ini.
"Sing-er jika engkau sayang kepada ibumu,
kembalilah ke kamar dan tidurlah. Ibu tidak akan apa-apa di
tempat ini" kata Pai Lien lagi.
"Tapi ibu, aku masih kata-kata Han Cia Sing tidak
dapat dilanjutkan karena dadanya sesak dan menangis
tersedu-sedu sambil bersandar ke pintu gudang.- 316 -
"Sing-er, jangan menangis. Lupakah engkau akan
ajaran ibu kepadamu selama ini?" tanya Pai Lien dengan
lembut. Sebenarnya ia juga sudah ingin menangis melihat
anaknya menangis sendirian di malam yang dingin di depan
pintu gudang. Pai Lien ingin sekali memeluk anaknya dan
menyanyikan lagu tidur untuk Cia Sing seperti biasanya.
Tapi Pai Lien tahu ia harus tegar, jika tidak siapa lagi yang
bisa membuat Cia Sing tegar menjalani hari-hari seperti ini.
Han Cia Sing mengusap air mata yang membasahi
pipinya. Dengan suara serak menahan tangis ia mengulangi
pelajaran yang selalu diperintahkan oleh ibunya untuk
dihapalkan di luar kepala,
"Seorang pria sejati hants rendah hati, murah hati dan
baik hati Seorang pria sejati tahu keadilan dan kebenaran
Seorang pria sejati menolong orang mengenal dirinya
Seorang pria sejati khazvatir akan kemampuannya bukan
melihat pandangan orang lain akan kemampuannya itu.
Seorang pria sejati tidak pernah menuntut orang lain tetapi
menuntutb dirinya sendiri agar lebih baik dari orang lain
Seorang pria sejati lambat bicara tapi cepat bertindak" Pai
Lien tersenyum gembira ketika mendengar Han Cia Sing
membacakan kata-kata tentang pria sejati itu.
"Siapakah yang menulis kata-kata barusan?" tanya
Pai Lien "Lao Fu Ce" jawab Han Cia Sing- 317 -
"Nah, anakku yang baik sekarang tidurlah. Jadilah
seorang pria sejati, jangan menangis lagi. Besok engkau bisa
menengok ibu lagi" kata Pai Lien.
Dengan berat hati Han Cia Sing menuruti kata ibunya.
Ia bangkit berdiri dan kembali ke kamarnya dengan langkah
gontai. Meskipun tubuhnya sangat lelah tapi ia tetap tidak
bisa tidur meskipun berusaha memejamkan matanya.
Biasanya ibunya akan menemaninya tidur dan menyanyikan
lagu untuknya. Kamar Han Cia Sin mungkin terlalu kecil
dan sederhana untuk ukuran kamar seorang anak jenderal
kotaraja, tapi dengan kehadiran Pai Lien, Han Cia Sing
merasakan kamar itu jauh lebih indah dan luas daripada
istana kaisar sendiri. Sekarang Han Cia Sing merasa sangat
kesepian. Apalagi tadi siang setelah keributan, Chen Yi-ma
diusir keluar oleh Nyonya Ye Ing. Malang sekali nasib
pembantu tua yang setia sejak jaman ayah Han Kuo Li itu.
Ia meraung-raung seharian di depan pintu belakang
kediaman keluarga Han, tapi tetap saja pintu tidak
dibukakan baginya. Akhirnya tidak ada jalan lain kecuali
pergi dari sana dan menunggu Han Kuo Li pulang dari
perang di semenanjung Korea untuk mengadukan nasibnya.
Chen Yi-ma pun memutuskan untuk berteduh di halaman
rumah kediaman keluarga Han sambil menutupi dirinya
dengan jerami untuk menahan angin dan dingin. Entah
tubuh tuanya sampai kapan sanggup menahan penderitaan
seperti ini.- 318 -
Pai Lien sendiri sepeninggal Han Cia Sing, tidak
sanggup lagi lagi menahan kesesakan hatinya. Ia menangis
Rimba Persilatan Naga Harimau Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sejadi-jadinya sambil menutupi mukanya. Pai Lien takut
tangisnya terdengar oleh Cia Sing sehingga ia menutupi
wajahnya agar tidak bersuara. Ketika hatinya telah agak
lega, ia berjalan menyeret kakinya yang dirantai ke arah
jendela satu-satunya di gudang itu. Jendela itu terletak tinggi
di atas karena memang hanya berguna sebagai angin-angin
saja. Pai Lien memandang ke luar ke arah langit malam yang
cerah penuh dengan bintang-bintang. Hatinya sedikit
terhibur melihat bintang-bintang yang berkedip-kedip
dengan indah di angkasa. Pai Lien teringat saat pertemuan
pertamanya dengan Han Kuo Li di Pei An, kampung
halaman Pai Lien.
"Suamiku, aku tidak pernah menyesal menikah
denganmu" gumam Pai Lien pada dirinya sendiri. "Aku
tidak pernah menyesal..."
Di kota terlarang, istana Cui Wei tempat Kaisar Gao
Zong bersemayam, malam itu sedang diadakan pesta besar-
besaran. Kabar baik dari medan pertempuran yang baru tadi
pagi diterima seorang kurir kekaisaran, membuat kaisar Gao
Zong merasa bahagia dan bangga sekali. Kemenangan yang
diraih oleh pasukan Tang agung kali ini tidak saja berhasil
menyatukan semenanjung Korea, tapi juga mencapai apa
yang tidak dapat dicapai oleh kakek dan ayahnya. Kaisar
Gao Zong benar-benar bangga, apalagi semua pejabat yang- 319 -
hadir menyembahnya seperti seorang dewa dan memuji-
muji kehebatannya.
Manusia memang mahluk yang lemah mudah jatuh
pada bujukan dan pujian sehingga lupa diri. Tidak terkecuali
seorang kaisar sekalipun seperti Kaisar Gao Zong ini.
Semua menteri yang berada di bawah kendali Li Yi Fu dan
Shi Jing Song memang merupakan penjilat-penjilat kelas
atas. Kemampuan mereka yang terutama sebenarnya bukan
mengatur negara, karena kebanyakan mereka menjabat
sebagai menteri dan pejabat tinggi bukan didasarkan pada
kemampuan tapi sogokan yang diberikan kepada Li Yi Fu
dan Huo Cin. Bagaimana mungkin menteri dan pejabat
tinggi yang demikian ini bisa mengatur negara dengan baik?
Beberapa menteri senior yang merupakan bekas
bawahan almarhum Chu Sui Liang memang masih lurus dan
setia, tapi sudah kalah pengaruh di hadapan kaisar
dibandingkan Li Yi Fu dan teman-temannya. Omongan
mereka seperti angin lalu saja bagi sang kaisar, yang sudah
mabuk oleh kecantikan permaisuri Wu dan pujian menjilat
dari Huo Cin.
Seperti yang sedang terjadi malam ini, kaisar kembali
mabuk anggur bersama dengan para menteri dan selir-
selirnya. Para penari dan pemain musik membuat suasana
pesta semakin meriah. Bau harum arak yang memabukkan
memenuhi suasana ruang pesta. Semua sajian masakan yang
paling enak disajikan secara berlimpah di atas meja. Benar-
benar sebuah pesta perayaan yang meriah!- 320 -
Menteri Li Yi Fu maju ke depan sambil membaca
cawan emas berisi arak.
"Hormat Yang Mulia Kaisar, hamba Li Yi Fu
mengucapkan selamat atas kemenangan pasukan kita di
medan perang. Semua ini berkat kepemimpinan Yang Mulia
Kaisar seperti matahari yang menerangi kami semua.
Hamba Li Yi Fu bersulang untuk Yang Mulia" kata Li Yi
Fu sambil meneguk habis cawan berisi arak itu.
"Hahahah, Menteri Li, yang engkau katakan itu
memang benar! Selama hampir seratus tahun ini, kita selalu
gagal mengalahkan tiga negara semenanjung tapi kini aku
Kaisar Gao Zong berhasil mematahkan ketiganya sekaligus!
Haahhaahhha, mari kita bersulang untuk kejayaan dinasti
Tang, mari semua yang hadir kita bersulang!" kata kaisar
yang sudah setengah mabuk itu.
Semua yang hadir segera berdiri dan meneguk habis
cawan masing-masing. Pesta pun dilanjutkan hingga hampir
larut malam. Huo Cin yang berdiri di samping kaisar diam-
diam undur diri dan menuju ke ruang aula dalam istana Cui
Wei. Kaisar sendiri sama sekali tidak memperhatikan karena
sudah mabuk bersama selir-selir dan dayang istananya.
Huo Cin berjalan terus melewati halaman belakang
istana Cui Wei menuju kediaman permaisuri di istana Feng
Wu. Hari sudah malam sehingga hanya ada beberapa
prajurit ronda saja yang berjaga-jaga di depan istana.
Beberapa dayang juga tampak- 321 -
masih berdiri di depan pintu kamar kediaman
permaisuri. Mereka membungkuk memberi hormat kepada
Huo Cin tanpa bersuara.
"Bagaimana keadaan permaisuri?" tanya Huo Cin
dengan suara pelan
"Permaisuri sudah tidur, kasim kepala" jawab kedua
dayang dengan suara pelan pula takut membangunkan sang
permaisuri.
Huo Cin mengintip sedikit ke dalam permaisuri
melalui pintu yang dibukanya sedikit saja. Lilin kamar
masih menyala tapi terlihat selambu tempat tidur sudah
ditutup. Huo Cin pun dengan hati-hati kembali menutup
pintu kamar dan pergi meninggalkan istana Feng Wu.
Dalam keremangan malam itu Huo Cin berjalan
begitu ringan dan cepat. Huo Cin sebenarnya selama ini
menyembunyikan kelihaiannya ilmu silatnya. Bahkan kaisar
pun hanya tahu bahwa Huo Cin bisa sedikit ilmu silat, sama
sekali tidak mengetahui bahwa ilmu silat Huo Cin sangat
hebat, bahkan hanya sedikit saja di bawah kehebatan
pendekar Jien Wei Cen, sang Tangan Dewa Kaki Iblis!
Sebentar saja, Huo Cin sudah tiba di kediamannya
yang terletak di belakang kota terlarang. Ia masuk dengan
tanpa suara ke halaman belakang, di mana sudah menunggu
seorang berbaju dan bertopeng hitam. Siapa lagi kalau
bukan Wen Yang sang penjahat besar yang tidak lain adalah
adik kandung Huo Cin sendiri.- 322 -
"Wen Yang adikku, kau sudah kembali ke kotaraja,
apakah tugas yang kuperintahkan padamu sudah
terlaksana?" tanya Huo Cin
Wen Yang mengangguk.
"Semua sudah berjalan sesuai rencana. Tu Fan dan
Nela sudah kuhubungi dan mereka sudah setuju untuk
menunggu tanda dari kita"
"Bagus! Hahahahaha, kita sudah semakin dekat
dengan tahta kita, adikku" kata Huo Cin sambil tertawa
dengan penuh kemenangan.
Wen Yang terlihat agak gelisah sehingga Huo Cin
merasa agak aneh.
"Adikku, apa yang sedang engkau pikirkan?"
"Kakak, selama sepuluh tahun terakhir ini kita
memang berhasil menguasai kalangan istana. Hampir semua
menteri tunduk kepada kita, bahkan permaisuri pun adalah
orang kita. Kakak, kita sudah mendekati cita-cita kita
menjadi penguasa, tapi..." Wen Yang berhenti berkata-kata.
'Tapi mengapa adikku?" tanya Huo Cin penasaran.
"Bukankah saat kita pertama kali bersumpah menjadi
penguasa dunia, kita telah berbagi tugas. Kakak menguasai
kekaisaran dan aku menguasai dunia persilatan. Bersama-
sama kita akan tak terkalahkan, menjadi yang terhebat dan
tercatat dalam sejarah sebagai yang terbesar. Kini kakak
memang telah hampir mencapai cita-cita yang kita impikan,- 323 -
tapi aku sendiri? Aku malah hanya menjadi pemimpin
Cheng Lu Ciao yang kecil dan tidak berarti, pemimpin
gerombolan begal dan pemogoran. Aku merasa gagal,
kakak" kata Wen Yang dengan sedih.
Huo Cin menghela napas panjang. Apa yang
dikatakan Wen Yang memang benar adanya. Selama
sepuluh tahun terakhir ini mereka memang terlalu
memperhatikan penguasaan kekaisaran dan melupakan
rencana mereka menguasai dunia persilatan. Sebenarnya
kata yang tepat bukanlah melupakan. Setelah Huo Cin
dikalahkan oleh Jien Wei Cen dan kembali ke istana,
sebenarnya ia sudah berlatih keras meningkatkan ilmu Pi Si
Cien ke tingkat yang lebih tinggi. Latihan keras itu bukan
tidak ada hasilnya tapi kemajuan itu masih belum mampu
menyamai Jien Wei Cen.
Huo Cin sendiri sudah berusaha keras meneliti semua
catatan mengenai ilmu silat yang ada di perpustakaan istana
tapi hasilnya tidak terlalu bagus. Wen Yang sendiri selama
sepuluh tahun ini ilmu sudah meningkat cukup banyak tapi
jika dibandingkan Jien Wei Cen, masih jauh beberapa
tingkat. Itulah mungkin sebab sebenarnya mereka lebih
menekankan untuk menguasai kekaisaran dan pemerintahan
daripada dunia persilatan. Jien Wei Cen dan Partai Tien
Lung Men masih terlalu kuat untuk ditaklukkan.
"Kakak, apakah sekarang aku bisa menghubungi
dia?" tanya Wen Yang- 324 -
Huo Cin menggelengkan kepalanya.
"Belum saatnya adikku, belum saatnya. Jangan
khawatir, orang gagah tidak akan patah semangat meskipun
harus berusaha sepuluh tahun. Adikku Wen Yang, kita pasti
akan bisa berhasil. Kita tunggu saat yang tepat dan dunia
akan dalam genggaman kita. Adik,percayakah engkau pada
kakakmu ini?" tanya Huo Cin.
"Selama ini rencana kakak selalu berhasil. Langit pun
akan tunduk pada kehendak kakak, bagaimana mungkin aku
tidak percaya?" jawab Wen Yang dengan yakin.
"Hahahahaha, langit pun akan tunduk pada
kehendakku hahahahahha" kata Huo Cin sambil tertawa
seperti orang gila.
"Adik, semua yang kita miliki ini nantinya kau yang
akan mewarisi. Aku dengan keadaanku tidak akan mungkin
lagi mempunyai keturunan. Engkaulah yang akan
mewarisinya, ingatlah itu adikku" kata Huo Cin sambil
menepuk pundak Wen Yang.
"Kakak, jangan berkata demikian. Lautan api dan
gunung pedang telah kita lalui bersama dan kita selamat.
Pastilah kita akan berumur panjang ratusan tahun dan
menikmati semua ini. Percayalah kakak!" kata Wen Yang
"Saudara yang baik" Huo Cin benar-benar terharu.- 325 -
"Kakak, sekarang mari kita berlatih. Kita lihat apakah
ilmu kita dalam sebulan ini telah meningkat lagi atau tidak."
kata Wen Yang bersemangat
Tanpa peringatan lagi, Wen Yang segera maju
Rimba Persilatan Naga Harimau Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyerang dengan kekuatan penuh. Huo Cin sendiri tidak
kaget karena selama sepuluh tahun terakhir ini, setiap bulan
ia selalu bertemu adiknya untuk berlatih ilmu silat bersama.
Serangan Wen Yang yang ganas dan cepat itu dapat
dielakkannya dengan mudah. Tapi serangan itu tidak
berhenti begitu saja, tapi diteruskan Wen Yang dengan
hantaman cakar naga yang mengarah ke ulu hati. Ilmu Wu
Sheng Chuen (Tinju Lima Hewan) milik Wen Yang sudah
hampir sempurna. Jurus cakar naganya ini sanggup
melubangi tembok, apalagi hanya tubuh manusia!
Menyadari serangan mematikan Wen Yang ini, Huo
Cin mau tak mau harus mengeluarkan pedang Yin Ye dari
balik baju sutra putihnya. Ilmu Huo Cin memang lebih
menekankan pada penggunaan pedang, ilmu tangan
kosongnya masih kalah dibandingkan Wen Yang. Kilatan
pedang putih Yin Ye memantulkan sinar bulan, membuat
Wen Yang menarik cakarnya dan bersiaga menghadapi
serbuan Pi Sie Cien yang cepat bagai kilat.
Benar saja, Huo Cin menyerbu dengan kecepatan
kilat, mengirim puluhan tusukan pedang beruntun hanya
dalam satu tarikan napas saja. Wen Yang yang berlatih
tenaga macan tutul, sanggup menghindari serbuan pedang- 326 -
kilat ini dengan bergulingan di tanah, tapi tetap saja lengan
bajunya robek terkena sabetan pedang Yin Ye yang amat
tajam.
Kini Wen Yang ganti menyerbu Huo Cin dengan gaya
bangau, menyerang dari atas, membumbung tinggi dan
mematuk dari atas bagaikan bangau yang mencari ikan di
danau saja layaknya. Sasaran Wen Yang adalah pergelangan
tangan Huo Cin yang memegang pedang. Begitu terpegang
oleh jurus bangau, tangan akan mati rasa karena semua urat
dan otot akan tertekan dengan keras, bagaikan dijepit besi.
Jurus bangau juga lincah mencari celah pada pertahanan
lawan, mematuk-matuk dengan cepat, menyesuaikan diri
dengan perubahan sehingga menyulitkan lawan untuk
menyerang.
Huo Cin yang sudah puluhan kali bertanding dengan
Wen Yang masih saja kesulitan menghadang serangan jurus
bangau yang membumbung mengincar dari atas ini,
sehingga bisa dibayangkan betapa mengagumkan ilmu
ciptaan Rahib Agung Da Mo ini. Tapi Pi Sie Cien juga
bukan ilmu murahan, perubahan jurus dan kekuatannya
amat mematikan. Jurus Bulan Bersembunyi di Balik Awan
dikerahkan Huo Cin untuk membendung serangan Wen
Yang. Pedang Yin Ye membentuk perisai melindungi
seluruh tubuh dari serangan lawan. Kali ini, pedang Huo Cin
berputar jauh lebih cepat dan rapat daripada saat ia
dikalahkan Jien Wei Cen, pertanda ilmunya sudah
meningkat jauh. Hampir tidak ada celah bagi lawan untuk- 327 -
menembus perisai pedang ini, termasuk juga Wen Yang
sehingga ia segera undur meloncat bersalto beberapa kali ke
belakang.
Huo Cin tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini,
segera mengejar tubuh Wen Yang yang belum sempat
mendarat dan menyabetkan pedangnya ke arah kaki Wen
Yang! Jika saja tubuh Wen Yang mendarat tepat saat Huo
Cin membabatkan pedangnya, tentu kedua kaki Wen Yang
sudah putus! Tapi Wen Yang dengan anggun, memutar
tubuhnya bagai kincir angin saat bersalto di udara, berhasil
mengulur waktu satu kedipan mata saja, sehingga Yin Ye
Cien telah melewati tempatnya mendarat saat kakinya
menjejak tanah, sungguh suatu perkiraan yang amat tepat.
Huo Cin dan Wen Yang saling melempar senyum,
memuji kehebatan lawan. Kali ini mereka akan lebih serius
bertanding, adu tenaga dalam, yang tentunya memiliki
bahaya terluka jauh lebih parah daripada tangan kosong dan
senjata. Wen Yang segera mengumpulkan tenaga di titik
Tan Tien, mengumpulkannya hingga terasa panas menjalar
di seluruh tubuh. Tenaga yang sudah penuh terkumpul
kemudian disalurkan ke kedua telapak tangan. Tangan Wen
Yang segera menjadi merah bagaikan terbakar api!
Huo Cin sendiri memakai cara yang berbeda dalam
pengumpulan tenaga. Seluruh tenaga dalam disalurkan ke
jari telunjuk dan tengah, kemudian disalurkan ke dalam
pedang Yin Ye, yang segera berdengung dan bergetar keras
karena kuatnya tenaga yang masuk mengalir. Pedang Yin- 328 -
Ye berkilat dan bersinar semakin terang karena tenaga
dalam Pi Sie Cien.
"Lihat pedang!" teriak Huo Cin sarrul menebaskan
pedangnya ke arah Wen Yang dengan kekuatan penuh.
Lantai batu sungai yang keras di halaman belakang itu
terbelah menjadi dua karena kekuatan hawa pedang Pi Sie
Cien yang terlepas dari pedang Yin Ye. Wen Yang tidak
menghindar, malah menanti datang hawa pedang dengan
kekuatan tenaga dalamnya. Kedua telapak tangan Wen Yang
dipentangkan ke depan dengan kekuatan tenaga penuh
menahan datang tebasan hawa pedang.
"Hiat!!!" teriak Wen Yang ketika hawa pedang itu
beradu dengan telapak tangannya. Seluruh tubuh Wen Yang
tergetar hebat dan terseret mundur sampai hampir satu
tombak jauhnya. Wen Yang mengatur pernapasannya
kembali, kiranya jurusnya belum selesai. Tenaga yang
tersalur ke telapak tangannya belum hilang dan ia
tambahkan lagi dengan kekuatan baru, bersiap menyerang
Huo Cin. Telapak tangannya diputar di udara untuk
menambah kekuatan serangan, membentuk lingkaran penuh
mengumpulkan tenaga hebat harimau, naga, macan
kumbang, ular dan bangau menjadi satu. Hawa panas
berdesir keras ketika Wen Yang mengumpulkan seluruh
kekuatannya ini. Huo Cin sendiri tidak tinggal diam, ia
bersiap diri menghadapi serangan dengan menyilangkan
pedang Yin Ye di dada dan mengatur pernapasan
menghimpun tenaga.- 329 -
Ketika hawa tenaga yang terkumpul semakin
memuncak, Wen Yang berteriak keras menghantamkan
kedua tapak tangannya ke arah Huo Cin. Hawa panas segera
membelah udara malam yang dingin, menerbangkan debu
dan dedaunan kering menyingkir dari halaman belakang itu
beterbangan ke segala penjuru.
Huo Cin menerima serangan itu tanpa minggir barang
seujung rambut pun! Hawa tenaga Wen Yang ini sebenarnya
mampu merobohkan rumah karena kuatnya tapi Huo Cin
berniat menguji tenaga dalamnya sendiri sehingga
menerimanya dengan tenaga dalam pula. Pedang Yin Ye
sampai melengkung seperti busur panah ketika menerima
hawa pukulan Wen Yang, jika saja itu bukan pedang pilihan,
pastilah sudah hancur berkeping-keping. Huo Cin
mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menahan
hantaman tenaga itu dan membalikkannya dengan tenaga Pi
Sie Cien. Pedang Yin Ye diputarnya dengan kekuatan
penuh, menghilangkan hawa tenaga Wu Sheng Chuen dan
membuangnya ke langit. Bunyi desingan pedang memecah
kesunyian malam.
Hasilnya, Huo Cin masih tetap tegak berdiri, tidak
tergeser sedikit pun dari tempatnya berdiri. Kemenangan
tampaknya masih ada di pihak Huo Cin. Sambil tersenyum
bak seorang putri yang menyelesaikan rajutannya, Huo Cin
berkata kepada Wen Yang,
"Adik, ilmumu makin maju saja. Hampir saja aku
tidak tahan tadi"- 330 -
Wen Yang yang menyadari ilmunya masih di bawah
segera menjura memberi selamat kepada Huo Cin,
"Kakak memang hebat. Mungkin sudah saatnya kita
mencoba lagi si tua bangka Jien Wei Cen untuk merasakan
kehebatan Pi Sie Cien!"
"Sabarlah adikku, kita pasti akan menaklukkan si tua
bangka Jien Wei Cen dan Tien Lung Men. Pasti" kata Huo
Cin.
Huo Cin dan Wen Yang tertawa bersama-sama. Suara
tawa mereka membelah angkasa malam bagaikan tawa
sepasang iblis, mengagetkan binatang malam sehingga lari
menyingkir. Sepasang iblis yang ingin menguasai dunia,
jika mereka berhasil, apakah yang akan terjadi pada umat
manusia?
Keesokan harinya, berita kemenangan pasukan Tang
di semenanjung Korea tersebar di seluruh kotaraja. Para
penduduk keluar rumah dan bernyanyi-nyanyi. Beberapa
ada yang menyalakan petasan dan membagikan sedekah
bagi orang miskin. Kemenangan perang selalu disambut
meriah, bukan saja karena membanggakan dinasti Tang, tapi
itu juga berarti semakin besar peluang kembalinya anak atau
suami yang ikut menjadi prajurit perang.
Berita kemenangan itu sampai juga ke kediaman
keluarga Han. Semua keluarga dan para pelayan turut
bergembira, bahkan Han Cia Pao segera menyuruh pelayan
untuk membeli sayur mayur dan daging ke pasar untuk- 331 -
mempersiapkan pesta syukuran atas kemenangan ini. Han
Kuo Li sudah hampir sepuluh bulan pergi meninggalkan
rumah, sehingga kabar kemenangan ini amat melegakan
keluarga Han. Apalagi utusan kaisar yang datang
menyampaikan pesan bahwa dari seratus ribu prajurit yang
dikirim ke medan perang hanya sekitar delapan ribu yang
gugur dan tidak ada jenderal besar yang terbunuh dalam
perang. Betapa melegakan berita ini bagi keluarga Han
karena berarti Han Kuo Li dan Song Wei Hao selamat,
tinggal menunggu kedatangan mereka kembali saja bulan
depan.
Namun berita itu malah menggelisahkan Ye Ing.
Rencananya untuk menyingkirkan Pai Lien dari kediaman
keluarga Han bakal menemui hambatan besar jika Han Kuo
Li keburu pulang sebelum Pai Lien diusirnya.
Chang-sao yang melihatnyonyanya gelisah, segera
menangkap pikirannya.
"Nyonya, apakah nyonya khawatir Tuan Besar akan
menentang anda mengusir Pai Lien dari rumah ini"
"Benar, Chang-sao. Suamiku bukanlah orang yang
percaya ilmu sihir dan takhayul. Ia pasti tidak bisa menerima
tuduhan bahwa Pai Lien hendak mengguna-gunai aku. Aku
khawatir suamiku malah akan memarahiku karena hal ini"
kata Ye Ing sambil menghela napas panjang
"Nyonya tidak perlu khawatir, bukankah Tuan Besar
Rimba Persilatan Naga Harimau Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baru akan kembali sekitar sebulan lagi? Kita masih bisa- 332 -
melakukan banyak hal untuk memaksa Pai Lien keluar dari
rumah ini untuk selamanya" kata Chang-sao
"Oh? Benarkah? Chang-sao, katakan apa lagi usulmu
dalam hal ini" tanya Ye Ing tidak sabaran.
Chang-sao membisikkan sesuatu pada Ye Ing yang
segera disetujuinya sambil manggut-manggut.
"Baiklah, aku ingin lihat apakah ia bisa tahan tetap di
keluarga Han atau tidak setelah ini" kata Ye Ing sambil
memicingkan mata dengan geram.
Ternyata, usulan Chang-sao benar-benar langsung
dilaksanakan, mulai hari itu juga Pai Lien tidak lagi
mendapat jatah makanan, hanya minuman kuah kacang
sedikit saja. Juga semua orang tidak terkecuali tidak boleh
lagi menengok, kecuali yang membawakan makanan.
Sungguh sebuah hukuman yang keji!
Han Cia Sing tentu saja tidak terima dengan
perlakuan ini, tapi ia kalah kuat dan pengaruh dengan ibu
tirinya. Han Cia Sing disekap di dalam kamarnya dan dijaga
dua orang pelayan yang setia kepada Ye Ing supaya tidak
dapat kabur. Han Cia Pao sendiri sebenarnya ingin
menolong tapi selalu kemarahan Ye Ing yang semakin
meninggi membuat Han Cia Pao memilih diam, menunggu
sampai ayahnya kembali. Toh, sekarang sudah ada kepastian
kapan ayahnya akan kembali ke rumah, demikian pikir Han
Cia Pao dalam hatinya.- 333 -
Pai Lien sendiri benar-benar tersiksa, bukan karena
hukuman tanpa makanan, melainkan karena tidak bisa
bertemu anaknya tercinta yang amat disayanginya.
Berulangkah ia memohon
kepada pelayan yang mengirimkan kuah kacang agar
Cia Sing diperbolehkan menengoknya, tapi mana berani
pelayan itu menanggapi permohonan Pai Lien, salah-salah
ia bisa langsung diusir oleh Nyonya Ye Ing pulang ke
kampung halamannya.
Begitulah selama tiga hari berturut-turut, Pai Lien
hanya mendapat makanan kuah kacang saja. Tubuhnya
semakin melemah, ditambah lagi hatinya hancur tidak
karuan oleh rasa rindu kepada anaknya. Pai Lien sekarang
bahkan tidak kuat lagi berjalan, sehingga sebenarnya tanpa
perlu dirantaipun, ia tidak akan bisa melarikan diri lagi.
Subuh hari ketiga, Chang-sao mengendap-endap ke gudang
belakang bersama dua pelayan pria bertubuh besar dan
tegap. Suasana sangat gelap dan sunyi karena memang tidak
seorang pun diperbolehkan menginjak daerah itu oleh Ye
Ing. Chang-sao memberikan isyarat dengan tangan agar
gembok pintu gudang dibuka. Chang-sao sengaja hanya
membawa sebuah lilin kecil saja, supaya tidak ada yang tahu
rencana jahatnya untuk membuang Pai Lien ke kota lain
pada pagi itu juga. Hukuman tidak makan sebenarnya hanya
kedok saja untuk memperlemah tubuh Pai Lien sehingga
tidak bisa banyak melawan jika nantinya diseret keluar- 334 -
rumah dan dibuang ke kota lain. Benar-benar jahat sekali
rencana yang dirancang oleh Chang-sao ini!
Pai Lien terkejut melihat pintu gudang dibuka pada
pagi hari buta begini. Matanya dikerjapkan karena silau
melihat sinar lilin. Ia kaget sekali melihat yang datang
adalah Chang-sao dan dua pelayan pria yang tidak ia kenal.
Memang kedua pelayan itu sebenarnya adalah orang
suruhan Chang-sao, para pemogoran yang memakai pakaian
pelayan saja untuk menyamar.
"Chang-sao, mengapa engkau datang pagi-pagi
begini? Di mana anakku Sing-er? Chang-sao kumohon
pertemukan kami ibu anak, aku sangat merindukan Sing-er"

Pai Lien memohon kepada Chang-sao, tapi yang dimohon
hanya tersenyum sinis.
"Bawa dia!" perintah Chang-sao kepada dua pelayan
gadungan itu.
"Akan dibawa ke mana aku? Mengapa kalian
membawaku subuh begini? Chang-sao, apa yang hendak
kau lakukan?" teriak Pai Lien sambil menjauhkan diri dari
kedua pelayan yang hendak membawanya pergi.
"Hahahhaha! Hendak ke mana? Kami akan
membuangmu ke kota lain yang bahkan kau sendiri pun
tidak pernah mendengar namanya! Jangan banyak macam
jika tidak ingin kami bertindak kasar" kata Chang-sao
dengan lagak penuh kemenangan.- 335 -
"Tidak! Aku tidak mau! Chang-sao mengapa kau
melakukan ini?" kata Pai Lien ketakutan. Kedua pelayan
gadungan yang berbadan kekar itu mencengkeram tangan
Pai Lien dan menariknya berdiri. Seorang dari mereka
berusaha membuka rantai yang mengikat kaki Pai Lien ke
tiang balok gudang, seorang lagi memeganginya dengan
erat. Sekarang Pai Lien benar-benar ketakutan, ia berusaha
meronta dan berteriak, tapi ia sama sekali tidak bertenaga
karena tiga hari tidak makan cukup. Bahkan mungkin jika
makan cukup pun tidak akan berdaya melawan dua orang
pria dewasa yang kekar-kekar itu. Chang-sao yang khawatir
suara teriakan Pai Lien membangunkan orang-orang,
menampar mulut Pai Lien beberapa kali hingga berdarah.
Pai Lien yang sudah lemah itu nyaris pingsan dibuatnya!
Pada saat pergulatan itulah, tanpa sengaja tangan Pai
Lien menyenggol tangan Chang-sao yang memegang lilin.
Chang-sao berusaha mempertahankannya tapi lilin itu
meleset dari pegangan tangannya dan jatuh ke tumpukan
jerami yang menjadi alas tidur Pai Lien selama di gudang.
Api segera berkobar menyulut jerami kering itu dan
membubung tinggi. Kedua pelayan segera menyingkir
ketakutan karena api itu cepat sekali berkobar. Chang-sao
sendiri tanpa pikir panjang segera menyeret Pai Lien keluar
dari gudang tadi. Tapi Chang-sao dan kedua pelayan

Putri Bong Mini 02 Hilangnya Seorang Pendekar Bloon 6 Undangan Maut Hotel Bertram At Bertrams Hotel Karya

Cari Blog Ini