Ceritasilat Novel Online

Terculik Pemuda Jahanam 2

Terculik Pemuda Jahanam Karya Widi Widayat Bagian 2


kau rindu dan terkenang terus kepada yang dirumah. Berbeda dengan aku,
ha-ha-ha-ha. Sekalipun aku pegi lima tahun malah lebih senang. Orang
rumah tak akan tahu apa-apa yang aku perbuat." 41
Kawan-kawannya menyambut dengan gelak ketawa sedang orang ping
dikatakan banci dan penakut itu memaki kalang kabut.
"Keparat kau! Dengan watakmu yang tidak setia kepada isteri itu
bukannya merasa malu malah merasa gagah. Huh, kau laki-laki
sewenang-wenang. ayah yang durhaka. Ayah yang tidak memberi ccntoh
baik kepada anak. Huh! Jaka aku isterimu, kau sudah akupultul mampus.
"Tetapi kata-kata orang itu hanya disambut oleh gelak ketawa kawankawannya. dan orang itu menjadi sergit : "Huh, kalian ini laki-laki
keparat, jahanam, tidak tahu adat. Hayo, jawablah pertanyaanku.
Bagaimanakah perasaanmu jlka isterimu membalas dengan perbuatan
yang sama?"
Atas pertanyaan itu mereka tardiam. Mereka tidak dapat mem. bantah
bahwa apabila isterinya melakukan penyelewengan, tentu akan marah.
Perempuan hanyalah disuruh kalah saja dalam segala hal oleh laki-laki.
Namun demikian orang yang tadi menuduh banci, berkata lagi : "Huh,
kau berlagak suci. Tetapi nyatanya kau sekarang berkedudukan sebagai
perampok."
"Tapi aku perampok kesatrya," jawab orang itu. "Bukankah apa yang
kita lakukan sekarang ini adalah tugas yang dibebankan kepada kita untuk
kejajaan Ponorogo?"
Mendengar jawaban orang itu yang membuka keadaan mereka sendiri,
Jaka Temon tidak lagi kuasa menahan hatinya. Merupakan kewajibannya
pula untuk membela Mataram dan rakyatnya atas gangguan perusuh dari
Ponorogo yang berusaha merongrong Mataram,ini.
Tanpa menghitungkan kemungkinan akan kekuatan diri sendiri, ia
segera meloncat turun dan membentak : "Bangsat! Kamu sangka tiada
rakyat Mataram yang tahu harga diri? Hayo, buanglah senjatamu dan
angkat tangan."
Delapan orang itu terkejut. Mereka menghentikan kuda secara
mendadak. Mereka mengira bahwa telah terkurung oleh pasukan Mataram
yang tadi mengejarnya. Mereka menjadi agak gemetaran dan kecut.
Namun demikian sebagai prajurit-prajurit Ponorogo yang terpilih, mereka 42
cepat menebar sambil menyelidiki keadaan sekeliling. Tetapi hasil
penyelidikan mereka menunjukkan tiada seorangpun manusia lain yang
berada disekitar ini. Keberanian mereka kembali timbul. Penghadang ini
hanya seorang, apakah dapat melawan delapan orang? Dengan
mengandalkan jumlah mereka pasti dapat membekuk lawan dalam waktu
yang tidak lama.
Salah seorang d iantara mereka segera tertawa seraya mengejek: "Haha-ha ha, kau tikus kecil yang bermulut besar. Apakah yang kau andalkan
seorang din melawan kami?"
Jaka Temon tidak mengira bahwa kata2 ?rang Ponorogo ini merupakan
umpan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Ka-rena Jaka Temon
tidak menduga, menyiwab secara jujur : Meskipun aku hanya seorang diri,
tetapi taklah sulit untuk menghancurkan kepalamu."
Orang-orang itu tertawa bergelak-gelak gembira. Tahulah sekarang
bahwa pengadang ini hanya seorang dari. Tiga orang yang tidak
membawa parempuan itu cepat mencabut senjata masing-masing dan
cepat menggempur, dari tiga jurusan. Tetapi Jaka Temon sudah bersiap
diri. Dengan cepatnya ia berhasil menghindari serangan itu seraya
memukulkan pedangnya. Terdengar suara berdencing dan pijar api
menebar. Joko Temon amat terkejut karena benturan senjata itu membuat
telapak tangannya panas seperti lecet.
Dengan percobaan ini, Jaka Temon segera dapat mengukur ketinggian
ilmu dan kekuatan tenaga lawan. Ia tidak lagi berani gegabah. Ternyata
prajurit-prajurit Ponorogo yang beriugas sebagzi perusuh diwilajah
Mataram bukanlah prajurit-prajurit murahan. Dengan dikeroyok tiga,
apabila tidak berhati-hati, dirinya akan celaka. Ia cepat menggerakkan
pedangnya menyerang sambil melindungi dirinya. Namun tiga orang
pengeroyoknya dapat melayani dengan baik, sehingga pedang Jaka
Temon sulit dapat menembus pertahanan gabungan lawannya.
Jurus demi jurus susul menyusul cepat sekali. Namun baik Jaka Temon
maupun pengeroknya belum juga dapat menyentuh tubuh lawan.
Pertempuran itu cepat menjadi sengit. Namun demikian Jaka Temon
mengeluh dalam hati. Tiga orang lawannya duduk diatas kuda, berarti 43
dapat leluasa bergerak tanpa mangeluarkan tenaga. Disamping itu ia harus
berhati-hati untuk manghindari gasakan kuda dan senjata lawan. Sungguh,
tidaklah menguntungkan dikeroyok oleh orang-orang berkuda. Lawannya
bertenaga rangkap. Apabila pertempuran berlangsung Iebih lama, ia
sendiri akan kepayahan. Padahal lawan masih ada tenaga serangan lima
orang yang belum mengeroyok. Jika yang lima orang itu sudah ikut
mengeroyok Pula, keadaan akan semakin sulit.
Namun semangat Jaka Temon tidak menjadi luntur dan gentar. Ia telah
berjannji akan berdharma-bakti kepada Mataram. Meski harus
mempertaruhkan nyawanyapun tidak mahal. Kemudian timbullah akal.
Kuda-kuda lawan itu harus dirobohkan dulu. Sesungguhnya tidak sampai
hati untuk membunuh hewan yang tak berdosa. Tetapi apa yang diperbuat
demi keselamatan diri sendiri. Mau tidak mau harus dilakukan pula.
Ia cepat menggunakan jurus "kecubung wulung". Padangnya segera
berkelebat cepat mambagi serangan. Menyusul ringkik kuda kesakitan,
dan prajurit-prajurit ponorogo terkejut. Mereka cepat meloncat dari kuda
dan kemba!i mengeroyok lima orang yang lain menjadi geram
menyaksikan kawan mereka tidak cepat merobohkan lawan yang hanya
seorang. Maka, lima orang itu masing-masing meloncat dari kuda.
Perempuan-perempuan yang mereka bawa segera mereka ikat, kemudian
ditaruh diatas rumput. Dengan senjata-senjata masing-masing, mereka
segera melompat maju membantu kawan mereka. Jaka Temon menjadi
sibuk. Melawan tiga orang saja tidak segera dapat merobohkan, sekarang
lawan bertambah lima lagi. lenaganya tak akan cukup mampu untuk
melawan delapan orang sekaligus.
Meskipun demikian ia tidak juga gentar. Biarlah malam ini tewas
dalam pertempuran ini dan menyusul Denok Kinasih yang mendahului.
Dengan bekal tekad dan ketetapan hati ini pedangnya kembali berkelebat
cepat sekaii menangkis dan membagi tusukan. Jaka Temon mengamuk
seperti banteng ketaton. Ia tidak takut mati, dan dalam hatinya berjanji
nyawanya harus diganti dengan dua nyawa lawan sedikitnya.
Prajurit Ponorogo yang mengeroyok itu semakin menjadi geram
menyaksikan kebandelan lawan. Sekalipun bertulang besi dan berkulit
tembaga, lawan yang bandel ini akan mati kehabisan tenaga. Maka 44
mereka semakin menggencet dan tidak memberi kesempatan bernafas
kepada Jaka Temon. Senjata mereka selalu mengururg dari segala jurusan,
dan membuat Jaka Temon semakin sibuk.
Jaka Temon mencecar serangan kepada lawan bersenjata tombak. Oleh
pukulan yang tepat, gagang tombak itu patah dan gerak pedangnya
diteruskan menusuk dada lawan. Tetapi pada saat itu pula berdesir-desir
angin tajam menyentuh punggung, lambung dan pundak. Tetapi Jaka
Temon sudah nekat. Ia tidak perduli ancaman lawan, pedangnya tetap
menusuk dan berbareng itu ia meloncat kedepan menghiudari serangan
lawan dari samping dan belakang. Tetapi meskipun gerakakannya cepat,
tidak urung lambungnya tergores ujung tombak lawan. Untung luka tidak
begitu dalam, tetapi darah mengucur deras dan terasa pedih pula.
**** BAB V
KI LANANG JATI
Luka yang dideritanya itu semakin membuat Jaka Temon marah dan
kalap. Ia tidak perduli lagi kepada dirinya sendiri. Ia bersedia mati asal
dapat membunuh dua orang lawan. Namun sesungguhnya apa yang
diperbuat oleh Jaka Temon ini meru-gikan did sendiri. Dalam setiap
pertempuran orang harus dapat menguasai ketenangan dan kesabaran.
Untuk tidak kehilangan pengamatan diri.
Akibat terpengaruh oleh tekad yang demikian, maka pada sua-tu saat
Jaka Temon membiarkan ujung pedang lawan menusuk pundaknya.
Tetap; bersamaan dengan itu pedangnya bergerak cepat menusuk dada
lawan. Pada itu pula punggungnya terhunyam oleh tombak. Untug sekali
tusukan itu tidak tepar, sehingga tulang pnug gungnya tidak menjadi
patah. Namun demikian oleh darah yang me-ngucur dari lukanya
membuat teraganya habis dan roboh terguling. repat seperti yang
diharapkan, ia bersedia menderita dan mati sekalipun, asal dapat
membunuh dua orang lawan. Dengan menggeram marah sekali enam 45
prajurit Ponorogo yang lain cepat menggerakkan senjata masing-masing
untuk menghancur lu-matkan tubuh Jaka Temon.
Tetapi Tuhan belum menghendaki Jaka Temon pulang sekarang Pada
saat senjata-senjata itu sudah bergerak mengancam keselamatan Jaka
Temon, serangkum angin yang kuat sekali telah memukul enam orang
tersebut. Akibatnya amat hebat. Enam orang itu segera terpental lebih tiga
tombak kemudian roboh tidak berkutik. Enam orang itu telah tewas
seluruhnya,
Seperti jatuh dari Iangit. Hadirlah sekarang seorang tua sudah bongkok
mendekati Jaka Temon yang menggeletak tak bergerak. lalu terdengar
kata orang itu agak menyesal. "Hem, seorang diri melawan delapan
orang. Kepadaianmu masih rendah, dapat menang dari mana? Tapi kau
seorang pemuda baik. Kau bersaja mengor-bankan segala-galanya untuk
Mataram. Aku tak dapat tega kepadamu bocah, kau jangan mati muda."
Tangan orang tua itu bergerak memijat untuk menghentikan pengaliran
darah. Dengan maksud agar Jaka Temon tidak kehabisan tenaga.
Kemudian dengan amat ringannya orang tua itu telah mengangkat Jaka
Temon dan dibopong pergi secepat terbang menerobos semak belukar.
Bersamaan dengan perginya orang tua itu yang membawa Jaka Temon
segera terdengar suara derap kuda yang banyak. Mereka pra jurit-prajurit
berkuda Mataram yang melakukan pengejaran kepada perampokperampok yang te!ah mengganas didesa Slogohimo. Prajuritt Mataram itu
terkejut dan cepat mengekang kendali kuda masing-masing, ketika
menyaksikan beberapa orang roboh tak berkutik memenuhi jalan. Wajah
prajurit-prajurit itu menjadi cerah sesudah mengenal kembali kembaii
kepada para perampok yang sedang dikejar.-kejar.
Namun dalam hati para prajurit itu timbul perasaan yang heran,
mengapa para perampok itu seluruhnya mati, tetapi yang membunuhnya
tidak nampak.
Tetapi keheranannya hanya sebentar. Mereka segera menolong
perempuan-perempuan yang terikat disumbat mulutnya, disamping yang
lain Mengumpulkan mayat-mayat yang dianggapnya sebagai perampokperampok yang ganas itu. 46
Disaat sapasukan prajurit Mataram itu sibuk, orang tua bongkok yang
menolong Jaka Temon pun sibuk. Ia membawa Jaka Temon pada sebuah
goa yang tidak jauh dari tempat pertempuran, dan sesudah ia meletakkan
Jaka Temon, orang tua itu sibuk membuat api. Gua yang semula gelap itu
kemudian menjadi terang oleh api unggum kecil yang menyala.
Orang tua bongkok itu nampak terkejut ketika menyaksikan luka-lika
Jaka Temon cukup parah. Dengan cekatan sekali orang tua bongkok itu
segera menyeka darah pada luka itu, kemudian membubuhkan obat seperti
tepung.
Tak lama kemudian pengobatan selesai dilakukan. Tetapi ia belum
dapat beiatirahat. Ia masih harus menyalurkan tenaga muminya untuk
menambah tenaga Jaka Temon dan mempercepat penyembuhan lukanya.
Karena luka Jaka Temon cukup parah dan berbahaya.
Berkat ketekunan orang tua bongkok itu, wajah Jaka Temon yang
semula pucat seperti kertas, berangsur bersemu merah. Orang tua bongkok
itu tampak lega sesudah menyaksikan pekerjaan. Kemudlan ia ma:nyeka
keringat yang membasahi dahinya, dan sesudah itu berdiam did seraya
mengamati keadaan Jaka Temon.
Beberapa lama kemudian terdengar Jaka Temon mengaduh. Agaknya
ia telah sadar dari pingsannya dan merasakan kesakitan luar biasa akibat
luka-luka yang diderita.
"Anak, tabahkan hatimu. Mudah-mudahan Tuhan memberi ampun
kepadamu!" kata orang tua bongkok itu menghibur.
Telinga Jaka Temon sudah dapat bekerja seperti biasa. Demi
mendengar suara orang yang halus itu, n-latanya segera terbuka. Pertama2 Jaka Temon terkejut telah berada didalam sebuah goa dan ditunggu
orang tua yang belum dikenalnya. Terapi sesudah ia merasakan kesakitan
luar biasa pada bebarapa bagian tubuhnya. Ingatannya segera kembali
pada saat ia bertempur dikeroyok delapan orang. Sadarlah ia sekarang
bahwa orang tua ini telah menolong dan menyelamatkan. 47
"Anak, untuk penyembuhan lukamu kau harus istirahat beberapa hari.
Jika kau telaten, paling lama satu minggu luka-lukamu akan segera pulih."
nasihat orang tua itu.
"Bapa, terimakasih," jawab Jaka Temon seraya memandang orang tua
itu. "Tetapi bapa, sesungguhnya aku seorang durhaka dan banyak dosa.
Apakah aku masih patut mendapatkan perto!ongan?"
Orang tua itu ketawa sajuk, kemudian jawabnya : "Kiranya manusia
yang hidup didunia ini tiada seorangoun yang selalu benar dan tidak
pernah berbuat dosa. Dan kejujuranmu adalah baik Ketanuilah anak,
bahwa banyak manusia didunia ini yang suka menunjuk kesalahan orang
lain, tetapi berusaha menyembunyikan dosa sendiri yang bertumpuk."
Agak dingin hati Jaka Temon mendengar jawaban orang tua itu.
Kamudian timbullah niatnya untuk menceritakan kedurhakaannya yang
telah membunuh ayah angkat dan gurunya. Namun kemudian niat itu
diurungkan karena timbul khawatir apabila orang tua itu menjadi kurang
senang.
Namun orang tua itu agaknya cerdik dan mergerti apa yang dipikirkan
Jaka Temon. Katanya: "Kau tak usah mengatakan segala sesuatu. Segala
yang telah kau lewati tidak usah kau ungkat kembali Orang yang masih
mau bertaubat kepada Tuhan, maka orang itu akan diampuni dan
ditunjukkan jalan kebenaran. Jadikan pengalaman apa yang sudah pernah
kau perbuat, dan jauhilah agar tidak terulang kembali!"
Terharu hati Jaka Temon mendengar kata-kata orang tua itu. Jawabnya
: "Bapa, terimakasih. Disamping itu berkenankah bapa memperkenalkan
julukan bapa Adapun aku, bemama Jaka Temon."
Terdengar orang tua itu tertawa merdu. Beberapa saat kemudian
barulah berkata, "Bagus, namamu tepat. Aku menemukan kau dalam
keadaan bahaya. Dan kau ingin tahu namaku? Orang menyebut aku
Lanang Jati."
"Oh .. oh, ampunilah aku bapa, sebagai seorang muda yang kurang
dapat menyatakan hormat kepada bapa." pintanya gugup. 48
"Mengaaa kau cepat merasa bersalah? Apa kesalahanmu?" kata
Lanang Jati. "Hem, aku tahu maksudmu. Agaknya kau termasuk salah
seorang yang terpengaruh oleh cerita orang yang salah."
Sudah tentu Jaka Temon cepat gugup. Orang tua yang beanama
Lanang Jati adalah seorang tokoh sakti angkatan tua yang amat dihormati
orang ia bekas seorang pejuang Mataram yang kemudian lenyap dari
pergaulan masyarakat, dan seorangpun tidak pernah berjumpa lagi.
Ki Lanang Jati terkemal sebagai seorang sakti yang berbudi, banyak
jasa yang diperbuat baik terhadap masyarakat dan negara. Maka Jaka
Temon merasa amat beruntung dapat ditolong dan ber-temu dengan orang
tua ini.
Jaka Temon menjadi lupa kepada derita yang menimpanya, Karena ia
amat percaya bahwa oleh asuhan orang tua ini luka-luka yang dideritanya
diharapkan dapat sembuh kembali.
"Anak, aku amat menghargai keberaniarmu," kata Ki Lanang Jati
seraya memandang Jaka Temon. "Kau tidak takut akan bahaya dalam
usahamu melawan kejahatan.. ltulah ciri-ciri budi ksatrya. Apa yang
dilakukannya tidaklah didorong oleh pamrih pribadi, namun untuk itu
bersedia mengorbankan segala-galanya. Tuhan Maha Mengetahui dan
Maha Mendengar. Hanya seorang gila yang merasa dapat menipu Tuhan.
Banyaklah nasihat-nasihat Ki Lanang Jati kepada Jaka Temon Membuat Jaka Temon semakin terbuka matanya dan semakin menyadari akan
kedudukannya sebagai manusia yang tidak dapat melepaskan dari dari


Terculik Pemuda Jahanam Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

takdir Tuhan.
Ternyata Ki Lanang Jati amat baik hati. Bukan saja Ki Lanang Jati
dengan tekun mengobati luka-luka Jaka Temon, tetapi ia jugalah yang
mengusahakan makan untuk Jaka Temon. Oleh ketekunan Ki Lanang Jati
dan juga kemanjuran obat-obat yang diberikan, maka belum satu minggu
luka-luka Jaka Temon telah mulai kering. Namun untuk menyaga agar
luka itu tidak kambuh, maka oleh Ki Lanang Jati masih dilarang pergi
meninggalkan goa itu. 49
Sesungguhnya semenjak Jaka Temon bertemu dengan Ki Lanang Jati
ini, amat mendesak-desaklah keinginannya untuk meminta menjadi murid
orang tua ini. Namun karena ia takut maka hal tersebut tidak pernah
dikemukakan.
Sesudah sepuluh hari mereka berdiam didalam goa ini, diajaklah Jaka
Temon meninggalkan goa ini dengan tak tahu ke mana tujuannya. Namun
ia juga tidak mau bertanya dan menurut saja kehendak orang tun itu.
Ternyata kemudian ia diajak pergi terus ketimur, masuk dalam wilajah
kekuasaan Ponorogo. Terdengar kemudian pertanyaan Ki Lanang Jati:
"Tahukah kau akan maksudku mengejak kemari?"
"Agaknya bapak ingin mengejak aku meyakini keadaan Pono-rogo
sekarang ini," sahut Taka Temon.
"Ternyata kau cerdik," kata orang bongkok itu. "Dan tahukah siapa
delapan orang yang mengeroyokmu hingga kau luka parah?"
Jaka Temon kembali teringat akan pembicaraan mereka sebelum
bertempur. Jawabnya. "Aku mendengar pembicaraan diantara mereka
yang menyatakan bahwa mereka orang Ponorogo."
"Begitulah sebenarnya. Dan sebentar kau akan tahu opa yang terjadi di
Ponorogo."
Mereka berjalan terus dengan seenaknya untuk tidak menarik perhatian
orang. Ketika mereka tiba di alun-alun Ponorogo, Jaka Temon terbelalak.
Ditengah alun-alun itu berkelompok-kelompok prajurit sadang
menyelenggarakan latihan-latihan berat dalam hal ilmu senjata. Mereka
menggunakan macam-macam senjata, tombak, pedang, penggada dan
telempak. Rakyat berjubel dipinggiran menonton latihan itu menyaksikan
itu dengan seksama. Dalam dadanya segera bergolak Agaknya mereka
mengerti pula bahwa Ponorogo mempersiapkan diri untuk melakukan
perlawanan. Dalam hati mereka berharap pada saatnya dapat menang.
Bagi orange tua masih terbayang dan teringat secara jelas peristiwa
penyerbuan Mataram yang lalu. Dalam waktu yang antat singkat
Ponorogo telah kalah tanpa persiapan. Direbut dan diduduki Mataram. 50
Jaka Temon menyaksikan semua itu dengan seksama. Dalam dadanya
segera bergolak semangat untuk membela Mataram dari rongrongan orang
Ponorogo. Bagi Jaka Temon bersedia menyerahkan jiwa raganya untuk
kejajaan Mataram.
Tetapi ketika ia marasa lengannya digamit orang. Ia segera mengikuti
Ki Lanang Jati meninggalkan tempat itu. Agaknya orang tua itu cukup
mengerti gejelak hati Jaka Temon. Gerak-gerikn;a akan mudah ditangkap
orang yang cerdik, dan berbahaya bagi keselamatan mereka.
Sekalipun Ki Lanang Jati cukup waspada. Tetapi seseorang telah dapat
menangkap gerak-gerik mereka. Orang itu jadi curiga dan segera
menguntit Jaka Temon dan Ki Lanang Jati. Orang tua bengkok inipun
tahu keadaan itu. Tetapi ia pura-pura tidak tahu, berjalan terus tanpa
berpaling. Dan orang itupun tidak mengganggu. Ia terus menguntit dengan
waspada.
Saat itu mereka sudah tiba diluar kota. Mendadak terdengar orang yang
menguntit itu berteriak, "Hai, berhentilah dahulu. Mengapa kalian
berjalan dengan tergesa.?"
Jaka Temon berdebar. Tahulah seseorang mencurigainya. Namun
semuanya telah terjadi. Mereka barhenti, dan bertanyalah Ki Lanang Jati:
"Mengapa saudara merighentikan aku?"
Orang itu tertawa. Sepasang matanya menyelidik.
https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Sumber Pustaka : Gunawan Aj
Photo Image : Awie Dermawan, Kurir : Yons
kemudian berkata,
"Kalian tak dapat mengelabui aku. Mengakulah bahwa kamu mata-mata
Mataram."
"Oh," Ki Lanang Jati nampak gugup, "Bukan. Aku dan anakku bukan
orang Mataram."
Orang itu kembali tertawa. Sepasang matanya yang berkilat-kilat itu
tidak lepas kepada Ki Lanang Jati dan Jaka Temon. Beberapa saat
kemudian terdengar katanya : "Kamu dapat mungkir kepada orang lain.
Tetapi kepada aku jangan mengharap. Pakailan yang menempel tubuhmu
merupakan ciri yang tak dapat kamu pungkiri lagi. Dengan penjelasanku
ini, apakah kamu masih berusaha menutupi keadaanmu?" 51
Jaka Temon terkejut. Diluar kemauannya sendiri matanya mengamati
pakaian yang menempel ditubuhnya. Ia baru sadar bahwa pakaian yang
menempel tubuhnya merupakan ciri khusus Mataram. Orang Ponorogotidak mengenakan pakaian seperti yang dipakainya sekarang ini. Tetapi
tanggapan Ki Lanang Jati berbeda, Ia tersenyum, jawabnya tenang : "Aku
dan anakku adalah pengungsi baru dari Mataram. Kami dalam keadaan
melarat, maka belum sempat membikin pakaian baru. Itulah sebabnya
pakaian kami berciri Mataram."
https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Sumber Pustaka : Gunawan Aj
Photo Image : Awie Dermawan, Kurir : Yons
"Bagus!" kata orang itu. "Tetapi aku baru mau percaya kepadamu
sesudah anakmu bersedia menyerahkan senjata pedangnya."
Jaka Temon terkejut. Senjata sama Pula harganya dengan nyawa dalam
setiap bahaya. Sekarang orang in ingin meminta pedangnya. Sulitlah
baginya untuk dapat melepaskan senjatanya. Tetapi diluar dugaan Jaka
Temon, segera terdengar kata Ki Lanang Jati : "Anak, berikanlah
pedingmu."
Jaka Temon terkejut. Ia ingin mem ba ntah. Tetapi segera ter lintas
suatu pertimbangan lain dalam benaknya. Ia percaya orang tua itu tentu
mempunyai alasan yang kuat. Maka ia tidak ayal lagi segera membuka
ikat pinggang beserta pedang dengan sarungnya. Diberikannya semua itu
kepada Ki Lanang Jati, sekalipun dalam hati kurang rela.
Tetapi Ki Lanang Jati lain lagi tanggpannya. Ia menerima pedang
dengan sarungnya itu, dan segera melangkah maju menyerahkan kepada
orang itu.
Orang tersebut nampaknya seperti akan menerima pedang itu. Tetapi
cepat luar biasa mercbah tenaganya menyzdi pukulan yang tak terdugaduga mengarah dada Ki Lanang Jati. Sudah tentu Ki Lanang Jati tak mau
dipukul orang. Begitu menyaksikan gerakan orang ingin memukul, orang
tua yang bongkok itu pura-pura terhuyung seperti akan jatuh. Pukulan
mengenai tempat kosong, sedang Ki Lanang Jati pura-pura ketakutan :
"Oh ..... oh! Mengapa saudara memukul?"
Tatat:i sebaliknya orang tersebut menjadi marah. Namun ia kuasa
menahan hati. Ia akan bertindak sesudah lawan tiada senjata. Maka 52
dengan agak tersipu orang terse but berkata : "Kau salah duga. Aku
bukannya memukul. Tetapi ingin melemaskan ototku yang kaku."
Alasan itu terang tidak masuk akal. Tetapi Ki Lanang Jati seakan tidak
mengerti dan mendengar. Ia mengulurkan tangannya menyerahkan pedang
Jaka Temon yang diminta. Dengan gagahnya pedang bersarung itu segera
diterima orang tersebut. Jaka Temon menyaksikan dengan berdesir
hatinya, ketika melihat orang itu man-cabut pedangnya. Baru sekarangiah
pedang pemberian gurunya itu lepas dari tangannya. Itupun taklah
mungkin terjadi apabila Ki Lanang Jati tidak memintanya. tentu ia akan
mempertahankan kepada siapapun yang memintanya. Tetapi terhadap Ki
Lanang Jati ia telah merasa berhutang budi. Ia telah dlselamatkan dalam
keadaan luka parah.
Sebenarnya orang ini bukan seorang lemah. Mungkin ilmunya Iebih
tinggi daripada Jaka Temon. Ia seorang perwira prajurir Ponorogo. Ia
bamama Tanudirjo. Para Warok sendirirun banyak yang menghormati
kepadanya. Maka alangkah marahnya ketika pukulannya dengan gampang
dihindari orang. Begitu ia menerima pedang itu, tangannya capat
mencabut pethng. Kemudian dengan gerakan tak terduga sudah
menyerang kepada Ki Lanang Jati mengarah dada dan pusar.
Jaka Temon amat terkejut dan hampir memekik. Sejak tadi ia telah
curiga kepadinya. Sekarang kecurigaannya itu terbukti. Tadi Ia ingin
membantah, tetapi takut kepada Ki Lanang Jati. Maka ia menjadi sibuk.
Sebenarnya Ki Lanang Jatipun terkejut mendadak diserang orang.
Akan tetapi orang tua bongkok itu bukan orang sembarangan. Ilmunya
sudah cukup tinggi. Ia seorang tokoh pada jaman Penembahan Senopati.
Didaerah tempat tinggalny, Ponolojo, dianggap orang sakti setengah
dawa. Dan nama Lanang itu sendiri diperoleh kaena ia bartempat tinggal
dibawah pahon Jati lanang. Orarg tidak tahu lagi nama yang sebanarnya,
sedang orang bongkok itu sendiri tidak pernah mencaritakan sejarah
hidupnya. Dan sebenarnya Ki Lanang Tidak ingin berbentrok dengan
siapapun. Maka tadi ia menganyurkan kepada Jaka Temon. Maksudnya
ingin mengalah. Tatapi sekarang orang sudah memulai dan mengalahpun
tidak berguna lagi. Sebat luar biasa Ki Lanang Jati menggerakkm
tangannya memukul punggung pedang. Samberan tangan Ki Lanang Jati 53
mengejutkan Tanudirjo. Ia menggerakkan balik menggerakkan balik
pedang itu untuk memapak tangan lawan.
Tanudirjo merasa pasti bahwa tangan lawan akan segera putus oleh
pedang. Tetapi sayang. Ki Lanang Jati hanya menipu. Begitu melihat
gerakan tangan. Orang bongkok ini cepat menarik tangan kemudian
mendorong. Tanudirjo terkejut ketika mendadak angin yang kuat
memukul dadanya. Ia cepat menggempur dengan tangan kiri. Bentrokan
tak lagi dapat dihindari.
Terjadilah kemudian ledakan kecil akibat benturan tenaga. Tanudirjo
terjengkang mundur lebih tiga langkah dan pedangnya terpental.
Kemudian terhuyung-huyung dan muntah darah. Sebaliknya Ki Lanang
Jati tetap pada tempatnya, dan badannya hanya tergetar seperti pohon
tertiup angin.
Dengan pengalaman ini agaknya Tanudirjo jadi sadar kekuatan lawan.
Tetapi ia merasa malu untuk mengakui kekurangannya. Ke-mudian
dengan gerakan yang cepat ia sudah mencabut senjata tongkat andalannya.
Pada ujung tongkat itu terdapat duri tajam terbuat dari baja. Dengan
menggerung keras Tanudirjo sudah me-lontarkan serangan-serangan
dahsjat.
Ki Lanang Jati tidak berani gegabah. Ia bergerak cepat melayani
serangar lawan dengan tangan kosong. Tubuhnya bongkok tetapi ternyata
gerakannya Lincah dan gesit. Tangan dan kakinya bergerak mencari
lubang-lubang kelemahan lawan.
Jaka Temon heran. Ternyata tubuh yang bongkok itu dapat bergerak
cepat seperti bunrung sriti. Pantas ia dapat menolong dirinya yang pingsan
dan luka parah dari lawan yang mengeroyoknya. Agaknya Ki Lanang Jati
seorang pandekar terpendam yang berilmu tinggi. Mungkin gurunya
sendiri belum tentu mampu menandingi. Teringat akan gurunya Jaka
Temon jadi menyesal. Ia selalu dilekati dosa yang tak mungkin dapat
terhapus selama hidupnya.
Tanudirjo tak pernah menyangka bahwa orang tua bongkok ini dapat
melayani dengan baik. Sermila ia belum percaya bahwa lawan dapat
bartahan lebih lima jurus sesudah ia menggunakan senjata andalannya. 54
Karenanya Tanudirjo menjadi marah. Ia tidak sangsi lagi untuk menghajar
orang bongkok ini biar kapok. Tongkat andalannya itu bukan tongkat
biasa. Dalam tongkat ini terdapat ruangan yang barisi senjata rahasia
berujud paku-paku pendek Deegan menekan alat pada ujung yang
dipegang, paku-paku pendek itu akan segera menyebar menghujani lawan.
Maka sesudah ia meman-ging dengan gerakan tongkat yang cepat sekali.
Tanudirjo segera menekan alat penjepret. Mendadak menyebarlah
paku-paku pendek tang menyerang Ki Lanang dari segala jurusan.
Jaka Temon yang menyaksikan menyemburnya paku-paku kecil dari
dalam tongkat itu amat terkejut. Tak salah lagi bahwa orang tua bongkok
itu akan segera roboh terhunjam paku-paku yang menyembur dari segala
jurusan.
Tetapi Ki Lanang Jati seorang pendekar tua yang sudah banyak makan
asam garam. Meskipun ia terkejut dengan menyambarnya paku-paku dari
tongkat itu. Ia tidak segera gugup dan kehilangan akal. Mendadak dua
belah cangitnnya bergerak mendorong. Pusaran angin yang kuat sekali
keluar dari telapak tangan. Lalu menyapu paku-paku pendek yang
menyerang dirinya. Paku-paku itu terbuncang pergi dan sebuahpun tak
ada yang berhasil mendekati.
Sebenarnya Ki Lanang Jati sudah berlaku murah terhadap la-wan. Ia
hanya melayani dalam keadaan wajar. Tetapi dengan perbuatan lawan
yang curang. Ia menjadi amat marah. Telapak tangannya memukul
kedepan dan tiba-tiba tubuh Tanudirjo sudah terguncang sepeiti daun
tertiup angin yang dahsyat. Tanudirjo berusaha memelihara keseimbangan
tubuhnya urtuk tidak jatuh sungsang balik Tetapi celaka. tenaga dorongan
lawan kuat sekali. Ia tak dapat jatuh berdiri. melainkan terguling-guling
agak jauh. Baru sesudah kekuatan dorongan lawan jadi lemah ia dapat
menguasai diri. Lalu meloncat dan lari terbirit-birit.
Masih untung bahwa Ki Lanang Jati tidak bermaksud membunuhnya.
Kalau mau, Tanudirjo akan sudah terpukul mampus Ki Lanang Jati hanya
mendorong saja, maka Tanudirjo tidak mengalami cidera. Ki Lanang Jati
telah menggunakan aji "sindung riwut ". Puku'an topan dahsyat yang
dapat menumbangkan pohon besar. Dengan menghela napas lega Ki 55
Lanang Jati menjemput pedang dan sarungnya, kemudian dikembalikan
kepada Jaka Temon. Kemudian mereka cepat-cepat meninggalkan tempat
itu. Dikhawatitkan apabila orang tersebut mengundang bala bantuan.
**** BAB VI
MUSUH BEBUYUTAN
Pada saat Ki Lanang Jati dan Jaka Temon menyusuri perbukitan tapal
betas antara Mataram dan Ponorogo. Terdengarlah suara ketawa orang
berderai menyibak kesepian hutan. Suara ketawa itu menusuk-nusuk anak
telinga Jaka Temon. Makin lama semakin membuat jantung Jaka Temon
seperti ditusuk oleh jarum. Ia amat kesakitan, menyebabkan tidak lagi
kuat berdiri.
Ki Lanang Jati nampak terkejut. Sebagai seorang tua yang banyak
pengalaman segera dapat menebak dengan jitu bahwa seseorang telah
menggunakan aji "panggendaman ". Ia amat merasa kasihan terhadap Jaka
'Temon yang tidak kuasa melawan pengaruh panggendaman tersebut.
Orang tua bongkok itu kemudian berdiri dan bersedakep. Ia mengetrapkan
aj i "sapu angin" untuk melawan dan menolong Jaka Temon. Entah dari
mana datangnya. Mendadak angin jang amat kencang celah bertiup.
Suara ketawa orang yang menyebarkan aji penggendaman itu segera
tersapu oleh angin kencang. Jaka Temon yang tadi sudah lumpuh dan
jantungnya sakit luar biasa, demi sedikit kembali mendapat kekuatan.
Kesakitan jantungnya semakin berkurang, dan dapat kambali bekerja
seperti biasa.
Perlawanan Ki Lanang Jati itu, kuasa menghentikan suara ketawa
tersebut secara mendadak. Tersusul dengan meloncatnya seorang laki-laki
tua dari dalam jurang dalam. 56
Jayeng Budi menyerang dengan cepat. Ki Lanang Jati berkelit
sambil memukul. Pertempuran itu cepat, sengit dan mendebarkan. 57
Laki-laki itu kurus dan pucat. Seluruh rambutnya telah putih seperti
kapas. Ia berdiri didepan Ki Lanang Jati pada jarak lebih kurang lima
langkah seraya tertawa terkekeh.
"Heh-heh-heh-heh! Kau hebat Lanang Jati." kata orang tersebut
bernada mengejek. Tidak pernah aku kira bahwa aku masih dapat
berhadapan dengan kau, sesudah lebih sepuluh tahun tak bertemu.
Ki Lanang Jati juga ketawa terkekeh. Ia belum lupa bahwa orang yang
berdiri didepannya sekarang ini adalah musuhnya bebuyutan. Pada. saat
Ki Lanang Jati bersama pasukan Mataram meng-gempur Ponorogo.
Ketika Itu mereka telah bertempur. Tetapi ketika itu Jayeng Bumi ini lari
sesudah mengetahui pasukan Ponorogo tak kuasa bertahan.


Terculik Pemuda Jahanam Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jayeng! Aha, selamat bertemu kembali." Ki Lanang Jati membalas.
"Suatu pertemuan yang amat menggembirakan."
"Ya,.... memang amat menggembirakan. Karena kau telah melakukan
penghinaan terhadap seorang muda." Jayeng Bumi me-nyindir.
Ki Lanang Jati mengerinyitkan dahinya yang telah berkeriput.
Kemudian bertanya; "Apa maksudmu?"
"Aha, kau berlagak bodoh. Kau dapat mengelabuhi orang lain, tetapi
dengan aku tidak mungkin. Kau sengaja menyelidiki Ponorogo. Aku
masih dapat memaafkan kesombonganmu. Karena kau akan dapat berbuat
apa terhadap Ponorogo. Tetapi penghinaanmu terhadap muridku, huh !
Aku tak dapat berdiam diri. Musuh lama. Musuh bebujutan. Marilah kita
lanjutkan peristiwa yang telah lalu!"
Ki Lanang Jati maklum sekarang, kiranya Tanudirjo salah seorang
murid Jayeng Bumi. Sekalipun begitu ia masih bersabar diri, lalu memberi
penjelasan : "Hem, kau jangan salah paham sahabat. Apa yang sudah
terjadi diluar kemauanku. Aku telah memberikan apa yang diminta. Tetapi
muridmu bukannya mengerti, malahan memukul aku. Aku telah berlaku
mengalah dan sabar, tetapi muridmu semakin kalap." 58
"Ha-ha-ha-ha. Kau mencari-cari dalih yang menggelikan Tanudirjo tak
dapat kau kelabui Tanudirjo tahu benar bahwa kau datang di Ponorogo
untuk memata-matai keadaan. Salahkah Tanudirjo bertindak?"
"Hwaduhhh, kau cari menang sendiri. Orang berusaha membela diri,
kau cepat menuduh sudah menghina. Kau menuduh aku mata-mata
Mataram. Apakah kau dapat menunjukkan pembuktian atas tuduhamu
itu.?"
Jayeng Bumi ketawa bergelak-gelak. Jawaban Ki Lanang Jati dianggap
amat menggelikan. Adakah mata-mata berani melakukan perbuatan
dengan terang-terangan? Maka katanya lantang : "Lanang Jati. Kau
sangka aku bayi kemarin sore? Meskipun kau seribu kali mungkir
terhadap aku tiada gunanya. Hanya ada dua pilihan Menyerah atau
melawan!"
"Tdak!" Lanang Jati menggeleng. "Tuduhanmu salah dan mencaricari."
"Aku tidak membutuhkan dalihmu." Jayeng Bumi menggetak. Aku
tidak ingin bersoal-jawab terlalu panjang. Karena apapun alasanmu aku
tak mungkin mau mendengar. Pilihlah satu diantara dua. Menyerah
ataukah melawan!"
Mendengar tantangan orang, Ki Lanang Jati menyesal ia telah bersabar
diri dan mengalah, untuk menghindari bentrokan. Tetapi ternyata Jayeng
Bumi telah menempatkan kepojok. Ia seorang yang mempunyai harga
diri, maka tidaklah murgkin bersedia dihina orang. Terdengar kenudian
ketawanya yang terkekeh, katanya, "Apa boteh buat. Kau sendiri yang
sengaja mencari penyakit. Baiklah, mari kita teruskan pertempuran yang
belum selesai sepuluh tahun yang lalu!"
Jayeng Bumi ketawa bergelak. Tampak gembira sekali atas kesediaan
orang. Ia justru sengaja memancing oleh rasa penasarannya. Dalam
sepuluh tahun ini ia telah melatih diri dengan tekun. Sekarang ia ingin
mencoba sampai dimanakah hasil yang telah dicapai?.
"Bagus!" serunya kemudian. "Bersiaplah sekarang!" 59
Belum juga selesai ucapannya, Jayeng Bumi telah melompat seraya
menyerang. Geraknya cepat seperti kilat. Jari pada tangan kiri
mengembang dengan gerak mencengkeram, sedang tangan kanan
mengepal untuk memukul. Angin berdesir keras sekali mendahului
pukulannya.
Ki Lanang Jati terkejut. Ia tidak menduga bahwa lawan secepat itu
melakukan gerakan panyerangan. Tetapi ia segera pula berkelit sambil
menggerakkan tangan untuk membalas memukul. Jayeng Bumi ketawa
mengejak seraya menghindar.
Jaka Temon yang menyaksikan dituar gelanggang hatinya berdebar.
Dun orang tua telah bertempur. Kesudahan dari pertempuran yang
demikian, banyak kemungkinan' diakhiri dengan jiwa. Sebenarnya ia tidak
menghendaki. Sejak pertemuannya dengan orang tua bongkok ini, ia amat
tertarik dan berkeinginan diterima sebagat murid. Tetapi kalau dalam
pertempuran ini barakir dengan kekalahan Ki Lanang Jati, berarti apa
yang dinginkan itu tak akan terwujud. Maka didalam ketegangannya
mengikuti percempuran ini, dalam hati selalu berdoa agar Tuhan berkenan
melindungi keselamatan Ki Lanang Jati.
Ia mengikuti penuh perhatian. Meskipun Ki Lanang Jati bertubuh
bongkok, namun ternyata dapat bergerak cepat sekali Tubuhnya yang
bongkok meluncur ber-sama-sama dengan pukulannya. Menggempur
kepada lawan yang dapat pula bergrak seperti bayangan setan.
Dua orang tua itu telah terlibat dalam pertempuran yang amat sengit.
Angin pukulan mereka membadai dan melanda sekitarnya. Pohon-pohon
yang kecil segera roboh bosah-basih, sed ,ng pohon-pohon besar
bergojang-goyang seperti akan roboh. Debu mengepul tinggi, dan tanah
yang semula rata itu sekarang seperti terbajak.
Kadang-kadang mereka berkitaran seperti kejar-mengejar. Kadang
mereka berpencaran dan saling mengirimkan pukulan jarak jauh. Tetapi
kedudukan itu cepat berobah merapat dan saling berkelit.
Mendadak rerdengar suara ledakan yang cukup keras. Disusul dengan
terlontarnya tubuh mereka masing-masing kebelakang. Ki Lanang Jati
terlonter tiga langkah kebelakang, sedang Jayeng Bumi pun terlontar pada 60
jarak yang sama. Dengan benturan tenaga itu terbukti bahwa kekuatan
mereka seimbang. Sama-sama tangguh dan sama-sama kuat.
Dengan menggeram keras Jayeng Bumi telah melompat kembali me
ancarkan seranganma. Ki Lanang Jatipun segera pula bergerak
mengimbangi lawan Mereka kembali bertempur hebat dan tubuh mereka
saling berkelebat.
Jayeng Bumi marah sekali menyaksikan ketangguhan lawan. Tiba-tiba
ia merobah gerak serangannya. Tangannya memukul tanah ciao debu tebal
mengepul menabiri ke arena pertempuran. Tetapi pada saat itu pula dari
telapak tangan Jayeng Bumi mengepul asap hitam. Asap beracun yang
akan dapat membunuh lawan tanpa ampun lagi. Kemudian asap beracun
itu menyebar bercampur dengan debu yang berterbangan dan tidak
kentara.
Apa yang dilakukan Jayeng Bumi untuk membuat debu, bukan lain
untuk tabir apa yang akan diperbuat. Agar lawan tidak menduga bahwa
pada saat itu telah melepaskan asap beracun.
Asap beracun yang disebarkan oleh Jayeng Bumi ini amat berbahaya.
Orang yang menghirup asap beracun itu tanpa ampun lagi akan segera
mati. Ki Lanang Jati juga sadar akibat asap beracun itu. Maka teriaknya
lantang: "Anak, cepatlah menyingkir agak jauh. Cepat anak ! Kau bisa
mati."
Jaka Temon terkejut. Tak ajal lagi ia segera melompat dan menyauhi
tempat pertempuran. Tetapi tidak urung ia khawatir akan keselamatan Ki
Lanang Jati. Mendadak saja Ki Lanang Jati berteriak meiengking tinggi.
Kemudian tubuhnya berputar seperti gasing seraya menggerakkan dua
belah tangannya berserabutan. Tubuh yang sudah bongkok itu jadi lucu
sekali, tak ubahnya seekor ajam yang kena gebug.
Namun kemudian yang terjadi membuat Jaka Temon terbelalak heran
dan kagum. Karena tubuh Ki Lanang Jati itu segera terlindung oleh asap
putih yang keluar dari telapak tangan dan ubun-ubun. Makin lama asap itu
semakin tebal. Mendadak saja Ki Lanang Jati berhenti bergerak dan dua
belah telapak tangannya memukul kedepan. Serangkum angin yang amat
kuat menyambar asap putih tersebut dan menindas asap hitan yang 61
disebarkan Jayeng Bumi. Dan tak ampun lagi. Tubuh Jayeng Bumi
tersambar oleh angin dan terpental lebih empat tombak.
Namun demikian Jayeng Bumi memang seorang yang amat tangguh. Ia
tidak terguling dan roboh oleh serangan angin ia kuat itu. Ia masih dapat
tegak berdiri. Hanya saja kemudian Jayeng Bumi segera batuk-batuk, dan
diikuti oleh segumpal daran yang meloncat dari mulutnya. Jayeng Bumi
mandapatkan luka dalam akibat pakulan Ki Lanang Jati. Hebatnya Jayeng
Bumi masih dapat ketawa bergelak-gelak. Katanya kemudian: "Lanang
Jati! Tarnyata kau memang hebat. Pertemuan kita ini sungguh
menyenangkan. Kau sudah maju banyak. Kau sudah berhasil meyakini
ilmumu ?guntur-jimat?. Bagus!"
Ki Lanang Jatipun ketawa keras-keras. Jiwabnya: "Kau tidak usah
merendah Jayeng Bumi Ilmu ?baju-wisa? yang kau pamerkan tadi hebat
keliwat-liwat. Hanya saja ilmumu itu cukup garas. Apakah kau bermaksud
melebur jagad? Kau ingin membunuh semua orang dan ingin hidup
sendiri?"
"Ha ha ha ha! Apa pedulimu? Siapa yang melarang aku? Tahukah kau
bahwa siapa yang kuat akan menang? Lanang Jati! Ponorogo sekarang
sudah bersiap diri. Dan kau sudah melihat pula. Tetapi kau dapat berbuat
apa dengan hasil penyelidikanmu ? Rakyat Ponorogo akan membela
setiap jengkel tanahnya dari keangkara-murkaan Mataram. Sangkamu
orang Ponorogo hanya terdiri orang-orang perempuan dan kepada banci?
Laporkanlah kepada junjunganmu. Laporkanlah orang Panembahan
Anyakrawati. Ponorogo akan menghadapi dengan ticik darah yang
penghabisan. Akan tetapi Mataram jangan mimpi dapat menipu dengan
akal licik seperti jaman Senopati."
"Menipu apa?" tanya Ki Lanang Jati.
"Hwaduhhh Kau pura-pura pilon Lanang Jati. Sangkamu Ponorogo
pernah dikalahkan oleh Mataram dengan cara jantan? Ha ha ha ha!
Ketika itu Panembahan Senopati mengutus seorang selirnya yang bemama
Adisari ke Ponorogo dan Madiun. Kedatangannya Adisari memembawa
panji-panji perdamaian dengan membawa barang-barang hadiah. Utusan
itu diterima dengan lapang hati oleh Ponorogo dan Madiun. Penerimaan 62
sebagai sahabat tanpa prasangka buruk dan curiga. Lanang Jati! Kaupun
tahu bahwa saat itu Ponorogo dan Madiun sudah bersiap diri seperti
sekarang ini. Dengan iktikad baik Ponorogo dan Madiun segera
membubarkan pasukan-pasukan yang sudah dipersiapkan menghadapi
penyerbuan Mataram. Namun apa yang terjadi Lanang Jati?"
"Apa yang terjadi?" Ki Lanang Jati bertanya.
"Heh heh heh heh! Kau pura-pura pilon lagi Lanang Jati. Sesudah
Ponorogo dan Madiun tidak dalam kesiap-siagaan tempur lagi. Mendadak
saja Mataram telah menggunakan kesempatan itu menyerbu Ponorogo dan
Madiun. Akhirnya dengan bangga Mataram menepuk dada menang. Tidak
aneh bisa menang, karena Ponorogo dan Madiun sudah tertipu. Tetapi
sekarang Ponorogo sudah bangkit. Kapanpun penyerbuan Mataram akan
dihadapi dengan tetesan darah yang penghabisan."
Sesungguhnya Ki Lanang Jati sudah mongar pula akan soal itu. Namun
ia memang sengaja pura-pura tidak tahu. Dan begitu Jajeng Bumi
memburuk-burukkan Mataram, mendadak saja Ki Lanang Jati meledak :
"Jayeng Bumi! Setiap peperangan dan pertempuran orang berhak
menggunakan otak dan siasat. Kau menuduh Mataram sudah
menggunakan tipu. Siapakah yang bersalah? Mengapa Ponorogo dan
Madiun mau saja ditipu? Ha ha ha ha. Kata-katamu itu mambuat aku
kecewa. Jawablah Jayeng Bumi, mengapa mau ditipu? Dan jawablah pula
perianyaanku, Ponorogo dan Madiun punya otak tidak?"
Panas sekali perut Jayeng Bumi dan hampir meledak atas jawaban Ki
Lanang Jati itu. Lantas saja dampratnya marah: "Bagus! Jadi Mataram
hanya terdiri dari orang-orang penipu dan tak heran, secara jantan. Hajo,
jawablah! Apakah siasat yang kau katakan itu tidak menunjukkan jiwa
orang-orang Mataram yang nyata koror?!"
Tetapi Ki Lanang Jati malah ketawa gelak-gelak. Katanya : "Kau
seperti beo baru belajar ngomong saja. Urusan negara tidak ada jantan dan
betina. Urusan negara mempertanggung-jawabkan ribuan manusia
didalamnya. Tidak perduli apakah menipu, apakah licik, yang penting cari
menang. Berusaha kemenangan adalah mutlak. Dan itulah sebabnya kau
mengenal gelar-gelar perang ?emprit neba?, ?gajah meta? ?sapit urang?, 63
?garuda nglajang? ?cakra byuya? dan gelar-gelar lain. Apakah gunanya
gelar perang itu? Dan bukankah gelar-gelar itu juga merupakan siasat dan
tipuan kepada lawan? Dengan tipu dan gelar itu untuk menghancurkan
musuh. Dan sekarang apakah salahnya kalau almarhum Panembahan
Sanopati melakukan siasat dengan mengirim utusan itu?!"
"Bagus!... Bagus! Kau pintar berdalih dan pidato. Aku tidak bu-tuh
obrolamu lagi. Lanang Jati. Jika kau jantan. Jangan kau bersembunyi pada
peperangan nanti. Kau dan aku menentukan saat terakhir pada peperangan
itu. Aku atau kau yang harus tewas. Ba-gaimana Lanang Jati?"
"Ha ha ha, kau masih penasaran Jayeng Bumi?" Jika kau masih
penasaran mengapa harus tunggu lain waktu Apakah sekarang tidak
dapat?!" sindir Ki Lanang Jati.
Merah padam wajah Jayeng Bumi atas sindiran musuh kawakan ini.
Rasa dadanya ingin meledak saja. Tetapi Jayeng Bumi bukan orang
bodoh. Ia merasa sudah mendapat luka sedikit parah. Jika pertempuran
sekarang ini harus diteruskan, pihaknya sendiri yang akan rugi. Ia tidak
mau mati konyol dan menurutkan hati. Dergan menghentikan
pertempurannya sekarang, akan berarti mendapat waktu untuk
menggembleng did. Rasanya masih belum cerlambat mengejar
kekurargannya dengan Ki Lanang Jati.
Memperoleh pikiran demikian, maka ia hanya tertawa panjang,
kemudlan berkata, "Masih belum terlambat menunggu pecah perang.
Lanang Jati. Mati sekarang hanya akan mati konyol. Tetapi mati dalam
peperangan, kau dan aku akan dihargai sebagai seorang pahlawan. Kau
dan aku akan dihormati orang dan kuburnyapun diziarahi orang. Ha ha ha
ha !"
Jayeng Bumi berhenti, memandang Ki Lanang Jati dan mengesahkan.
Kemudian sambungnya lagi : "Lanang Jati! Apakah kau tidak puas
dihargai sebagai pahiawan? Itulah alasanku dan demi untukmu sendiri."
Ki Lanang Jati menyindir : "Kau memang pintar Jayeng Bumi. Orang
tua yang masih gila akan kehormatan diri. Itu pendapatmu sendiri, dan
bukan pendapatku tidak butuh dihargai atau tidak. Sesudah aku mati,
mana dapat aku merasakan?!" 64
Akantetapi Jayeng Bumi tak menjawab. Ia hanya tertawa panjang,
kemudian melesat pergi.
Jaka Temon memandang dari kejauhan dengan rasa kagum. Gerak
Jayeng Bumi cukup cepat dan cukup tangkas. Namun begitu nyatanya dia
masih dikalahkan oleh Ki Lanang Jati. Dengan pertimbangan ini, semakin
mengertilah ia bahwa orang tua bongkok ini bukan orang sembarangan.
Baginya amatlah untung bilamana dapat diberi kesempatan untuk menjadi
murid.
Jaka Temon merenung-renung. Lantas saja ingatannya kembali kepada
guru yang sudah dibunuhnya. Teringat akan gurunya, ia jadi kembali
merasa akan dosa dan kedurhakaannya. Ia amat menyesal sekali mengapa
telah lupa dan melakukan itu.
Tetapi ia jadi geragapan. Ternyata Ki Lanang Jati sudah berdiri
didekatnya dan menyawilnya. "Apa yang kau renungkan nak? Mari, kita
pulang!" Ajak Ki Lanang Jati.
Dengan agak malu Jaka Temon segera mengikuti orang tua bongkok
ini meninggalkan tempat itu.
**** BAB VII
MENEBUS DOSA
DENGAN tak terasa, waktu sudah berjalan cepat. Dua tahun telah
lewat. Peperangan antara Mataram dengan Ponorogo sudah terjadi.
Ponorogo terpaksa harus tunduk kepada Mataram karena kalah. Tidak saja
Ponorogo, tetapi juga Bupati didaerah lain yang melawan kepada
Mataram, dipukul satu persatu.
Selama dua tahun itu, Jaka Temon berdiam dan menetap bersama K i
Lanang Jati. Orang tua bongkok ini memang tertarik kepada bakat Jaka
Temon. Hingga bersedia mendidiknya dengan tekun dan penuh kasih.
Oleh tambahan ilmu Ki Lanang Jati ini maka ilmu Jaka Temon tambah 65
maju pesat. Kemajuan yang diperoleh ini membuat pula Ki Lanang Jati
gembira dan memuji.
Ketika itu hari masih pagi. Jaka Temon duduk bersimpuh didepan
gurunya dengan kepala tunduk. Ki Lanang Jati menatap ke padanya
dengan sorot mata penuh kasih. Namun sorot matanya itu berbeda dengan
kata-kata yang maluncur dari m lutnya yang sudah tua. Katanya tajam :
"Jaka Temon! Kau jangan berpikir seperti bayi. Segala pertemuan selalu


Terculik Pemuda Jahanam Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditutup dengan perpisahan. Itu sudah merupakan hukum alam. Kau tahu,
manusia hidup ini pada masanya akan mati dan kembali ketempat asal.
Bukankah itu suatu pertanda pula perpisahannya dengan dunia ramai ini?
Anakku, kau dan akupun tidak harus selalu berkumpul. Kau harus pergi.
Kau harus dapat mengamaIkan ilmumu untuk kesejahtaraan masyarakat.
Ah betapa bangga hatiku manakala aku mendengar kau dipuji orang.
Tetapi sebaliknya aku akan jadi sedih manakala kau dicaci orang. Karena
itu anakku, pergilah sekarang. Berbuatlah dan berbuatlah untuk
sesamamu!"
Kepala Jaka Temon makin tunduk. Ia tak berani menentang wajah
gurunya. Namun seluruh kata-kata gurunya itu diresapkan dalam
sanubarinya. Hatinya memang terasa amat berat untuk berpisahan dengan
gurunya ini. Karena itu tads ia membantah perintah gurunya untuk
kembali ke masyarakat, ia baralasan sudah merasa kerasan mengikuti
gurunya. Dan ia menyatakan pula akan menunggui gurunya sampai
kemudian hari gurunya kembali ketempat asal. Ia sudah banyak berhutang
budi kepada gurunya yang sudah tua ini. Maka ia ingin dapat membalas
budi.
Pengalamannya yang sudah lalu amat menggores dalam hatinya benarbenar yang sudah lancang tangan membunuh Ki Menang Langse. Untuk
menebus dosa yang sudah diperbuatnya itu maka Jaka Temon tak pergi.
Namun ternyata sekarang, gurunya menghendaki lain. Gurunya ingin
menyaksikan hasil jerih payahnya mendidik selama dua tahun.
Maka sekarang ia merasa tidak lagi mendapat alasan untuk tetap
menyertai gurunya di Donolojo ini. Katanya kemudian, "Baiklah bapa,
segala perintah bapa akan aku laksanakan." 66
"Bagus!" puji Ki Lanang Jati. "Itulah pernyataan murid baik. Hajo,
sekarang berkemaslah. Pergilah kau menunaikan dharma baktimu. Tetapi
anakku, jagalah dirimu baik-baik. Berbuatlah baik dan berbuatlah untuk
sesamamu. Aku akan mati dengan puas mana-kala kau mematuhi
nasihatku."
"Terimakasih bapa." Jaka Temon mengiakan.
Tak ada alasan lagi membuang buang waktu. Ia segera berkemas, dan
sesudah selesai kembali menghadap gurunya.
Ki Lanang Jati ketawa sejuk, katanya "Anakku, tak ada bekal lain
yang kusertakan kepergianmu. Selain, selamatlah dan semoga Tuhan
selalu malindungimu!"
Jaka Temon tersekat. Ia tidak dapat mengucapkan kata. Mendadak saja
baberapa butir air mata meloncat dari matanya. Gugup ia menyeka dengan
tangan dan terdangar gurunya tertawa dan berkata, "Aku tahu anakku,
betapa berat hatimu meninggalkan aku. Karena sesungguhnya akupan
demikian pula. Tapi kau harus pergi. Segala perasaanmu harus kau tindas
dan kau buang. Tegakkanlah dadamu dan hadapilah segala tantangan jalan
hidupmu dalam mengemban tugas kemanusiaanmu. Cukup anakku,
sekarang, pergilah!"
Hati Jaka Temon amat haru. Dan membuat mulutnya makin seperti
terkunci.
Maksud hatinya ia ingin berkata banyak. Tetapi nyatanya tak mau. Dan
yang dapat keluar dari mulutnya hanya: "Bapa, aku mohon diri."
Kemudian Jaka Temon mencium lutut gurunya, dan Ki Lanang Jati
mengusap rambutnya penuh kasih.
Jaka Temon meninggalkan tempat tinggal gurunya dengan hati berat.
Dua tahun ia telah berkumpul dan selama itu mendapatkan kasih sayang
tak bedanya anak sendlri. Namun demikian sekarang ia harus tunduk pada
kenyataan. Bahwa ia tidak dapat terus menunggui gurunya.
https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Sumber Pustaka : Gunawan Aj
Photo Image : Awie Dermawan, Kurir : Yons
Gerak -gerik Jaka Temon sekarang ini jauh lebih gesit dari dua tahun
yang lalu. Ia melangkahkan kaki menuju barat dengan langkah lesu.
Meskipun lambat tapi tetap, akhirnya sudah jauh meninggalkan Donolojo. 67
Ia terkejut ketika tiba didesa Ngadiraja, menyaksikan seorang nenek
renta duduk pinggir jalan. Begitu ia menyaksikan perempuan itu lantas
saja terbayang dalam benaknya ibu Menang Langse. Mung-kin sekali steri
gurunya itu sekarang sudah seperti orang tua ini. Karena derita batin atas
meninggalnya sisuami dan hilangnya Denok Kinasih.
Ingat kembali kepada isteri gurunya, segera saja rasa sesal kembali
menyesak relng dada. Maka segera timbullah niatnya pergi menemui Nyai
Menang Langse. Dan sesudah dari sana ia segera akan menuju Karca. Ia
akan menemui Puji Diatmiko, untuk menebus dosa. Didepan pemuda itu
ia akan berterus terang bahwa Denok Kinasih telah tewas oleh tangannya
Meskipun benar Denok Kinasih mati membunuh diri. Namun sama pula ia
yang membunuh. Karena gadis itu tak mungkin membunuh diri kalau saja
ia tidak menculiknya.
Memperoleh pikiran demikian, lantas saja ia berlarian. Ia akan menuju
desa Taji. Ia tidak kenal lelah. Ia hanya berhenti setiap merasa lapar
Perjalanannya dipercepat agar dapat cepat bertemu dengan Nyai Menang
Langse.
Tapi kemudian teringatlah ia bahwa soal pembunuhan yang dilakukan
itu tentu sudah diketahui oleh seluruh orang. Kalau saja ia berterangterang muncul didesa Tak urung ia akan ketahuan dan ditangkap orang.
Bukannya ia takut dihukum. Tidak! Tetapi ia tidak sudi diringkus orang
sebelum dapat berhadapan dengan Puji Jatmiko dan menyerahkan diri
untuk diberi hukuman pemuda itu.
Teringat akan hal ltu ia cepat merubah rencananya. Ia tidak akan
muncul dengan terang-terangan. Ia akan secara sembunyi dalam usahanya
menemui isteri gurunya.
Akan tetapi, apa yang dihadapi kemudian? Jaka Temon jadi amat
sedih. Nyai Menang Langse sudah tidak ada lagi. Nyai Menang Langse
sudah menyusul suaminya kealam baka. Karena semenjak kematian
suaminya yang amat mengenaskan itu perempuan ini jadi amat berduka
hati, dan tiga bulan kemudian meninggal dunia. Hati Jaka Temon hancur.
Dan sekarang ia baru radar sesudah mengha-dapi kenyataan, bahwa akibat
perbuatannya telah mengorbankan tiga nyawa. Ia semakin amat berdosa 68
dan amat menyesal. Didepan kubur Ki Menang Langse dan isterinya ini
Jaka Temon menangis amat sedih dan raemukuli dirinya sendiri.
Hampir ia jadi gila atas penyesalan perbuatannya. Jaka Temon
meninggalkan makam gurunya ini dengan hati hancur dan kepala tunduk.
Tetapi sesudah ingat maksudnya menemui Puji Jatmiko, lantas saja ia lari
cepat sekali menuju Karta. Tetapi belum juga ia lama berlari, mendadak
saja menangkap suara mencurigakan. Sayup-sayup terbawa angin suara
senjata tajam berdencingan. Sekali dengar ia cepat dapat menduga
terjadinya suatu pertempuran tidak jauh dari sini.
Oleh panggilan jiwanya yang tak segan turun tangan membela
kebenaran. Segera terlintas ingin menyaksikan apa yang terjadi. Namun
demikian kewaspadaan tak pernah dilupakan. Maka ia tidak akan cepat
muncul sebelum melihat keadaan.
Tidak lama kemudian nampaklah ditengah jalan yang menghubungkan
Pajang dan Karta, suatu pertempuran yang cukup sengit. Terdiri lebih
limapuluh orang, tarung awut-awutan.
Tidak jauh dari tempat pertempuran tampak oleh Jaka Temon sebuah
kereta, berkuda empat. Dan disamping itu terdapat empat buah gerobak
ditarik kuda. Baik kereta maupun gerobak itu tertutup rapat, maka ia tidak
tahu entah isinya. Namun melihat gelagatnya, Jaka Temon tahu bahwa
baik kereta maupun gerobak itu berisi barang-barang berharga.
Menyaksikan kereta dan gerobak itu, segera ia dapat menghubungkan
dengan pertempuran ini. Agaknya segerombolan penjahat sedang
berusaha merampok barang itu.
Jaka demon kembali menyaksikan keadaan pertempuran. Agak
terpisah dengan mereka yang bertempur awut-awutan, tampak olehnya
dua orang priyayi sedang bertempur.
Dengan melihat pakaiannya, Jaka Temon dapat memperkirakan
pangkat dua orang itu. Agaknya paling tidak mereka barpangkat Kliwon.
(Kliwon, setingkat dibawah Bupati)
Dua orang priyayi itu dengan gagah menggerakkan senjatanya,
melawan keroyokan lawan. Seorang yang sudah agak tua dikeroyok oleh 69
tiga orang sedang seorang yang masih muda menghadapi lawan seorang.
Akan tecapi sekalipun hanya seorang, penjahat yang dihadapi priyayi
muda itu amat tangguh! Imunya cukup tinggi dan geraknya amat gesit.
Dari tempt persembunyiannya, ia meneliti secara seksama keadaan. Ia
tidak akan mau turun tangan sebelum priyayi dan prajuritnya itu
memerlukan pertolongan. Soalnya ia belum kenal kepada mereka, dan
belum tentu para priyayi itu membutuhkan pertolongan. Sebab, priyayi itu
bisa tersinggung hati dan perasaannya. Akan tetapi jumlah penjahat itu
justru lebih banyak. Mereka bergerak dengan ganas tak segan-segan
melakukan pembunuhan. Lebih banyak membunuh lawan, akan bararti
mempercepat selesainya pertempuran.
Waktu itu matabari sudah agak condong kebarat Akan tetapi sinarnya
tak begitu terik, teraling oleh mendung tipis.
Ia tak pernah lepas menjelajahkan pandangannya ketempat
pertempuran. Ia terus menilai kekuatan masing-masing pihak. Beberapa
saat kemudian mulailah timbul korban-korban jatuh. Darah manusia mulai
mengucur membasahi bumi Pertiwi. Bertambah waktu bertambah pula
korban jatuh satu persatu.
Tiba seperti sadar dari mimpi. Rasa-rasanya Jaka Temon sudah pernah
kenal kepada wajah priyayi muda itu. Tetapi siapa, dimana dan kapan
sudah tidak ingat lagi. Makin diingat bukannya makin jelas, cetapi malah
makin lupa. Hanya saja priyayi muda itu seka-rang agak payah.
Perlawanannya sudah tidak segarang tadi, dan ge-rakannya agak lemah.
Sebaliknya lawannya sekarang makin gerang dan gerakannya tetap gesit.
"Hai!" seruan tertahan. "Pantas saja ia payah. Bajunya sudah banoda
merah. Oh, pundaknya sudah luka.
Baru saja Jaka Temon menucup mulut, ia terkejut sangat. Lukanya
tambah lagi, pada lengan kiri. Menhat itu Jaka Temon tak tega lagi.
Kakinya cepat bergerak dan melesat masuk gelanggang pertempuran cepat
sekali. Penjahat yang tak sengaja menghalangi bernasib buruk.
Ada yang jungkir balik dan ada yang terpental. Saking tergesa enam
orang sudah kena hantamannya, lantas saja dikeroyok senjata oleh lawan. 70
"Trang ......!" pedang Jaka Temon sudah bertemu dengan golok
penjahat itu. Kemunculannya tepat sekali. Waktu itu golok si penjahat
sudah akan memancung leher priyayi muda itu yang sudah roboh. Dan
sekarang setamatlah jiwa priyayi muda itu, dan merangkak-rangkak cari
selamat.
Tangkisan pedang Jaka Temon cukup bertenaga. Dan membuat si
penjahat terhuyung tiga langkah sambil meringis. Tangannya merasa
kesemutan, dan goloknya hampir lepas. Namun begitu ia jadi geram.
Goloknya kembali bergerak menyerang dengan ganas, sambil membentak:
"Siapa kau?!"
"Siapa kau?! balas Jaka Temon.
Penjahat mendelik geram, makinya, "Bangsat! Mengapa menirukan
orang."
Dan Jaka Temon pun kembali menirukan : "Bangsat! Mengapa
menirukan orang."
Dengan geramnya si penjahat menggerakkan goloknya seperti
Mulutnya tertutup rapat, tak sudi lagi bertanya. Tenaganya memang hebat,
menyibak udara menderu-deru. Agaknya si penjahat mau mengalahkan
orang sekali gebrak.
Akan tetapi ia ketumbuk batu. Jaka Temon sekarang bukan dua tahun
yang lalu. Ia sudah memiliki ilmu cukup tinggi berkat jasa Ki Lanang Jati,
Maka begitu melihat gerakan golok lawan itu, ia segera tersenyum.
Tenaganya memang kuat, tetapi gerakannya masih lambat. Maka
pedangnya segera bergerak menusuk muka, dada dan perut selaras dengan
lowongan gerak golok.
Terkejut juga si penjahat oleh gerakan pedang lawan yang cukup cepat
itu, yang dapat menerobos benteng golok. Untuk menghindari serangan
lawan tak ada yang lebih tepat membentur pedang lawan.
"Trang..... auw..!" penjahat itu terkejut setengah mati. Tangkisannya
memang tepat, dapat membuat ujung pedang Jaka Temon melenceng.
Akan tetapi begitu melenceng, ujung pedang kembali mengancam cepat
sekali. Saking terkejutnya tak terasa ia memekik dan melompat. 71
Menyaksikan ketangguhan lawan baru jauh hebat dari lawan lama,
penjahat yang sudah berpengalaman ini bertindak hati-hati. Ia tidak lagi
gegabah menggerakkan senjata, agar tidak menderita rugi dirobohkan oleh
lawan.
Priyayi muda yang nyaris terbunuh itu sekarang duduk sambil
membebat lengan dan pundaknya yang terluka, untuk mencegah
keluarnya darah. Namun demikian, sekali-sekali ia melihat pula jalannya
pertempuran penolongnya dengan penjahat itu. Tetapi mendadak sa dia
matanya berkedip-kedip, memperhatikan Jaka Temon. Priyayi muda ini
berparasaan seperti Jaka Temon tadi, merasa sudah mengenal wajah itu.
Namun siapa, dimana dan kapan juga sudah lupa. Sambil mengingat siapa
orang yang menolong ini, ia kembali meneruskan membebat lengan dan
pundaknya.
Terdengar jerit si penjahat. Priyayi muda itu cepat mengangkat kepala
untuk melihatnya. Ia terbelalak. Tangan kiri penjahat itu sudah kehilangan
dua jari. Darah meagucur deras, namun masih nekat melawan. Diam-diam
ia merasa kagum. Tadi ia sudah melawan cukup lama. Segala usahanya
untuk melukai lawan tak berhasil. Tetapi ternyara sekarang dalam waktu
tidak lama penolongnya itu sudah dapat melukai.
Penjahat inl menggeram makin marah dengan luka yang diderita.
Goloknya berkelebat cepat menuntut balas. Akan tetapi mana bisa ia
menuntut balas. Beium juga tiga jurus goloknya sendiri marah sudah
dapat dipentalkan Jaka Temon. Dan celakanya belum juga dapat
menemukan kedudukannya, pedang Jaka Temon sudah cepat
menyambarnya. Tidak ampun lagi pundak kirinya sudah terhajar dan
terluka berat.
Akan tetapi penjahat itu tidak juga mau menyerah. Ia marah merogoh
kancing baju. Begitu tangannya bergerak menyambarlah beberapa sinar
putih yang mengkilap dan menyerang Jaka Temon. Sambaran pisau kecil
itu cepat sekali. Namun Jaka Temon tak kalah cepatnya. Pedangnya
barputaran cepat, dan membuat pisau-pisau kecil itu sudah runtuh
berdencingan diatas tanah. 72
Perbuatan penjahat itu membuat Jaka Temon amat marah. Pedangna
cepat bergerak menyerangnya secara berantai. Serangan ini membuat si
penjahat kelabakan ia sudah terluka agak parah dan sudah tidak
barsenjata. Maka tanpa ampun lagi dadanya sudah terhajar tertembus
pedang. Penjahat itu memekik roboh tak berkutik lagi. Begitu Jaka Temon
berhasil merobohkan penjahat ini, ia cepat melompat dan menolong
priyayi agak tua yang masih bartahan dikeroyok tiga orang. Tetapi
kepandaian tiga orang penjahat ini hanya rendah Singkat saja mereka
sudah roboh.
Penjahat-penjahat yang sudah terbunuh oleh Jaka Temon ini
sebenarnya pemimpin-pemimpinnya Maka begitu para panjahat kecil itu
menyaksikan pimpinannya telah roboh tewas, jadi ketakutan dan lari
serabutan. Para prajurit itu cepat memburunya, sedang Jaka Temon cepat
menyarungkan pedangnya.
Akan tetapi ketika Jaka Temon menoleh kepada priyayi muda itu. Ia
terkejut. Namun hanya sekilas. Dan terkejut jadi girang Cepat saja ia
menghampiri dan katanya, "Kau ..... kau ..... benarkah kau Puji Jatmiko?"
"Oh kau ..... . " seru priyayi muda itu, dan mendadak pucat.
Jaka Temon tersenyum. Ia mendekati, dan katanya menatap: "Adi Puji
Jatmiko. Kau jangan kaget. Sebenarnya aku memang ingin menuju Karta."
Priyayi muda itu yang bukan lain Puji Jatmiko sekarang tertatih
bangun. Ia sekarang sudah berdiri menatap Jaka Temon dengan tajam. Ia
sudah mendapat kedudukan cukup baik. Berkat jasanya kepada Mataram,
pangkatnya cepat menanyak. Meskipun masih muda, ia sudah berpangkat
Kliwon.
"Ke Karta bermaksud apa?" tanya Puji Jatmiko tajam. "Mau mencari
aku?"
"Benar!" jawab Jaka Temon diiring senyum.


Terculik Pemuda Jahanam Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendadak saja Kliwon Puji Jatmiko mencabut keris. Katanya lantang :
"Bagus! Kau masih ingin melanjutkan peristiwa lama? Kau ingin
menantang aku?" 73
Jaka Temon tersenyum getir. Ia dapat memaklumi bahwa Puji Jatmiko
masih juga dendam kepadanya. Akan tetapi kedatang-annya memang
bermaksud menebus dosa. Begitu menyaksikan Puji Jatmiko manarik
keris itu. Cepat-cepat Jaka Temon membuang pedangnya. Katanya lirih :
"Adi Puji Jatmiko. Aku maklum kau masih marah kepadaku. Bunuhlah
aku. Bunuhlah sekarang. Adi, aku datang justru ingin menebus dosa.
Maka hunjamkanlah sekarang kerismu itu kedadaku."
Wajah Puji Jatmiko merah padam. Matanya bersinar merah, tanda
amat marah. Akan tetapi pemuda itu tidak cepat bergerak dan menusukan
kerisnya, melainkan masih berdiri dengan keris terhunus didepan dadanya
sendiri. Jaka Temon tak perduli. Ia memang sudah bulat, akan
menyerahkan nyawanya kepada pemuda ini. Maka begitu menyaksikan
keraguan si pemuda, ia maju selangkah seraya berkata: "Bunuhlah aku
adi. Aku ..... . sudah banyak dosa!"
Tetapi Puji Jatmiko tak menjawab dan tidak bergerak. Ia masih tetap
berdiam dan menatap tajam. Semua yang menyaksikan heran dan
berdebar-debar. Seorangaun dari mereka itu tidak tahu persoalan yang
tarjadi. Tetapi mereka tak bertanya dan tak berusaha untuk melerai.
Akan tetapi peristiwa yang tak terduga segera terjadi. Keris Puji
Jatmiko di buang mendadak dan kemudian pemuda ini menubruk Jaka
Temon dan memeluknya.
Dua orang itu kemdian berpelukan erat sekali. Butiran-butiran air mata
cepat mangalir dari palupuk mata masing-masing, dan menangis entah apa
sebabnya, pemuda-pemuda gagah itu berbuat seperti perempuan cengeng.
Perubahan yang mendadak itu semakin membuat semua orang tak habis
mengerti.
"Kakang," kata Puji Jatmiko lirih. "Batapa marahku ketika mendadak
aku bartemu dengan kau. Tapi kakang, sesudah aku mendengar
pernyataanmu dan menyaksikan sikapmu yang menyerah itu. Marahku
berangsur hilang berganti kagum. Kau seorang jantan kakang, Kau tak
ragu-ragu lagi mengakui kesalahanmu. Dan yang lebih membuat aku haru
kakang, apa yang sudah aku saksikan tadi. Membuktikan ilmumu jauh
lebih tinggi dari aku. Akan cetapi bukannya kau berusaha menghindar, 74
malah minta sapaya aku membunuh mu. Ah kakang. lupakanlah peristiwa
lama."
Jaka Temon terharu banar. Dari mati kembali hidup. Bukankah jika
Puji Jatmiko tadi mau menusuk dadanya akan segera tembus dan mati?
Oleh keharuan menyebabkan ia tersekat dan mulutnya terkunti!.
"Kakang, marilah kita menjalin persahabatan baru." Kara Puji Jatmiko
lagi. "Aku bangga kakang dengan keperwiraan hatimu. Apa pula sekarang
kakang, bukan saja kau jantan dan perwita. Kau sudah menolong aku.
Sudah menolong kehancuran pasukan kecil ini dari para rampok. Oh, aku
dan seluruh orang ini berhutang budi amat besar. Kau sudah menyambung
hidupku dan menyambung hidup sekaiian orang ..... . "
"Adi, kau jangan terlalu memuji!" putus Jaka Temon.
"Aku berkata sebenarnya kakang. Tidak lebih dan tidak kurang. Puji
Jatmiko bertahan. "Bukankah aku tadi sudah tak berdaya? Bukankah
seluruh orang ini tadi akan mati terbunuh oleh rampok itu? Dan tahukah
kau akan kereta dan gerobak itu? Isinya amat berharga. Kalau saja barangbarang itu lepas dari tanganku, tiada harapan pengampunan lagi."
"Apa isinya?" tanya Jaka Temon.
"Empat gerobak itu berisi emas dan berlian upeti dari Bupati Pajang.
Dan siapa yang berada dalam kereta? Dua gadis calon garwa ampil Gusti
Panembahan."
Atas keterangan Puji Jatmika sekarang ini, barulah ia tahu sudah
berhasil menyelamatkan barang berharga dari tangan perampokan.
Mendadak saja ia merasa girang.
"Kakang," kata Puji Jatmiko lagi. "Kau sekarang dimana? Dan sehatsehat sajakah isterimu?"
Pertanyaan yang tak terduga itu mendadak saja membuat hati Jaka
Temon amat pedih. Tubuhnya gemetar dan tak dapat berkata kata. Puji
Jatmiko jadi heran dan terkejut. Ia memandang Jaka Temon, tapi tak
mendesak. 75
Beberapa saat kemudian terdengar suara Jaka Temon menggeletar :
"Adi, peristiwa pertemuan kita ini tak akan terhapus selama hidupku. Tapi
adi ..... . aku tak dapat lama disini. Dan kau harus cepat ke Mataram. Kita
sambung lain waktu, aku tentu menjengukmu ke Karta."
"Kau mau kemana?" tanya Puji Jatmiko heran.
"Ada urusan penting." Selesai menjawab Jaka Temon segera
memungut pedangnya kembali, kemudian melesat pergi cepat sekali tanpa
menoleh lagi.
Mereka yang menyaksikan heran berbareng kagum. Sedang Puji
Jatmiko sendiri terkesima. Kemana Jaka Temon? Pertanyaan Puji Jatmiko
mengingatkan hatinya kepada Denok Kinasih. Kesanalah tujuannya
sekarang ini, ingin menjenguk kuburnya. Begitu Jaka Temon tiba
ditempat kubur Denok Kinasih, segera saja ia menelungkupi gundukan
tanah itu dan tersedu. Ia menangis benar-benar, dan hatinya amat pilu
penuh sesal.
TAMAT 76
https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Sumber Pustaka : Gunawan Aj
Photo Image : Awie Dermawan, Kurir : Yons
Kamar Gas The Chamber Karya John Grisham Student Hidjo Karya Marco Kartodikromo Rahasia The Secret Karya Rhonda Byrne

Cari Blog Ini