Ceritasilat Novel Online

Iblis Dari Gunung Wilis 1

Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat Bagian 1



https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

IBLIS DARI GUNUNG WILIS

( karya : WIDI WIDAYAT )https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

SUARA gaduh terdengar jelas terbawa angin lalu, bersama jerit, tangis, pekik dan

ratap orang dari desa Samakaton. Asap mengepul tinggi, dan suara letusan kecil dari

bambu yang terbakar menambah keadaan desa itu makin geger.

"Tolong. . . .aduuuhhh, . . .tolong . .. ! Rumahku.....aduhh. ....!"

"Ya Tuhan. .

.ampunn.. . . ! Dimana anakku. . . .ya Allah, ... .ampun......."

"Aduhh. . . .mati aku.....Aduhh. . . . hem, jangan engkau mnangis..... ihh .... mana

Warti.....?

"Ibuuu. . . .hu-hu-huu. . . .ibuu. . . .hoa-hoa-hoa ........!"

Derap kuda dalam jumlah banyak meninggalkan desa itu. Dan jalan pegunungan

yang berdebu itu, debu mengepul tinggi diterjang kaki-kaki kuda. Diantara derap kaki

kuda ini, terdengar pula pekik perempuan. "Tolong. . .! Aiuhh. . . .tolong. . . .! Lepaskan

aku.....! Aduhh. . . . hepp. . . .!"

"Ha-ha-ha-ha.....rasakan sekarang engkau!" ejek seorang laki-laki tinggi besar dan

berewok sambil mempererat pelukannya kepada seorang gadis. "Dapatkah engkau

sekarang berteriak lagi?"

Akan tetapi sekalipun mulut gadis itu sudah tersumbat dan tidak dapat berteriak

lagi, namun gadis itu masih berusaha memberontak. Walaupun demikian sesungguhnya

usaha gadis itu sia-sia belaka. Laki-laki itu bertenaga jauh lebih kuat dibanding dirinya.

Usahanya memberontak ini hanya akan menghabiskan tenaganya saja.

"Engkau memang tolol.." ejek kawannya. "Mengapa tidak engkau ikat?

perempuan yang aku tawan ini. Sedikitpun tidak dapat berkutik."

Makin lama suara derap kuda itu makin jauh. Dan tidak lama kemudian lenyap

sudah suara derap kuda itu. Yang masih tampak sekarang hanya asap kebakaran yang

membubung tinggi dalam desa Samakaton. Mayat bergelimpangan di sana sini dalam

keadaan mengerikan. Tak sampai hati pengarang melukiskan keadaan mayat- mayat itu.

Sebab para penduduk yang tewas itu, keadaannya amat menyedihkan.

Agak jauh di sana, di pinggang gunung Slamet. Seekor kuda putih laksana anak

panah lepas dari busur, berlarian cepat sekali mendaki gunung ini. Seakan kuda itu

berlarian tanpa penunggang, karena penunggangnya seorang pemuda yang mengenakan

pakaian putih pula. Makin dekat jaraknya dengan desa Samakaton, makin cepatlah lari

kuda ini.

Sepasang mata pemuda berpakaian putih ini terbelalak menyaksikan mengepulnya

asap kebakaran, dan mayat bergelimpangan di sana sini. Kemudian ia melompat turun

dari punggung kuda, langsung masuk ke dalam pekarangan yang cukup luas berpagar batu

gunung yang bertumpuk. Untuk sejenak sepasang mata pemuda ini menebarkan pandang

mata ke sekitarnya. Dan ketika melihat bekas kaki kuda dalam jumlah banyak di halaman

rumah ini, pemuda itu tampak gugup, kemudian masuk ke dalam rumah.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Ayah.....!" pekik pemuda ini, dan wajahnya berobah pucat. Dan seperti kalap

pemuda ini telah melompat dan menubruk kepada sesosok mayat laki-laki tua, yang

terlentang tidak bergerak di atas tanah.

"Ayah.......mengapa bisa begini....?" ratap pemuda ini dengan bibir yang

gemetaran dan tubuh menggigil.

Jenazah ayahnya yang berlumuran darah kering itu, kemudian diangkat dan

dibaringkan di atas balai. Sepasang mata pemuda itu merah karena marah, akan tetapi

juga berkaca-kaca mau menangis. Tubuh ayahnya yang telah tua itu menderita banyak

luka senjata tajam. Agaknya tadi telah terjadi perkelahian yang hebat dalam rumah ini,

dan ayahnya dikeroyok orang. Tikaman yang melobangi dada dan melanggar jantung

itulah agaknya yang menyebabkan ayahnya tewas.

Timbul pula rasa heran dalam hati pemuda. Siapakah musuh yang membunuh

ayahnya itu, dan apa pulakah sebabnya? Dan adakah ayahnya mempunyai musuh?

Berkecamuk pertanyaan dalam dada pemuda ini, namun tidak dapat dijawabnya sendiri.

Ingin ia menangis! Ingin ia meratapi ayahnya. Akan tetapi ia merasa malu, justru tidak

pantas seorang pemuda harus menangis, berhadapan dengan peristiwa dan keadaan ini.

Betapapun sedih kehilangan ayah tercinta, ia harus pandai pula menahan tangis itu.

Tetapi tiba-tiba pemuda ini berjingkrak seperti baru sadar. Apakah sebabnya

rumah ini sepi dan tidak tampak seorangoun? Di manakah ibunya? Di manakah adik

perempuannya? Dan di manakah pula para pembantu rumah tangganya? Mengapa pula

jenazah ayahnya tadi dibiarkan menggeletak tanpa seorangpun berusaha merawat?

Berdebar tegang jantung pemuda ini. Ia membalikkan tubuh, kemudian meneliti keadaan

dalam rumah. Keadaan rumah ini morat-marit tidak keruan. Sebagian dinding rumah

ambrol, dan darah kering berceceran di sana sini.

"Irma.....! Ibuuu ....!" pemuda ini berteriak memanggil adik perempuan dan

ibunya. Akan tetapi tidak terdengar suara penyahutan. Ia mengulangi dan mengulangi

lagi beberapa kali dan teriakannya itu semakin keras. Namun sungguh sayang, semua

panggilan dan teriakannya itu hanva terbawa angin lalu. Tidak seorangpun menjawab

teriakannya itu.

Tiba-tiba pemuda ini menjadi sadar. Ibu maupun keluarga yang lain tentu

melarikan diri, disaat ayahnya sedang berkelahi dengan musuh itu. Namun pikiran ini

kemudian dibantah sendiri. Kalau toh melarikan diri, ibu dan Irma Sulastri tentu telah

pulang meninjau keadaan. Kemanakah ibu dan adik perempuannya? Mungkinkah diculik

musuh yang telan membunuh ayahnya itu?

Sambil bertanya-tanya dan berpikir ini, kakinya telah melangkah menuju rumah

belaktang. Tetapi ahh .... hampir saja sesosok tubuh yang tergolek melintang di depan

pintu terinjak oleh kakinya. Jenazah seorang perempuan tua, dalam keadaan mandi darah

kering, melintang di depan pintu rumah belakang yang menuju dapur. Pemuda ini

berjingkrak kaget dan pucat wajahnya. Lalu, dengan air mata bercucuran, ia telah menu
bruk sambil menciumi wajah jenazah ini.

Tadi, ia masih kuat menahan cucuran air matanya, ketika menemukan ayahnya

telah menjadi jenazah. Akan tetapi sekarang menemukan ibunya telah mati dibunuhhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

orang pula ini, ia tidak kuasa lagi menahan tangisnya. Dan sekarang sambil menciumi

wajah perempuan ini, ia meratap. "Ibuuu .... mengapa bisa begini? Siapa ....... siapakah

yang sudah membunuhmu? Ibuu .....siapa yang pembunuh biadab ini ... .?"

Hampir saja pemuda ini pingsan oleh goncangan perasaan yang amat sedih.

Beberapa kali pemuda ini meratap, memanggil-manggil nama ibunya, akan tetapi

perempuan yang telah menjadi jenazah ini tidak dapat memberikan jawabannya.

Untung sekali, bahwa bagaimanapun ia seorang pemuda gemblengan. Seorang

pemuda yang sudah terlatih. Walaupun demikian sedih, tidak lama kemudian ia telah

berhasil menguasai perasaan. Teringatlah kembali ia akan adik perempuannya, yang

belum tampak. Ia bangkit berdiri, dan pandangannya mencari-cari. Kemudian

kakinyapun melangkah menjelajah dalam rumah. Namun Irma Sulastri, tak juga dapat

diketemukan.

"Irma . . . .! Irma . . . !" panggilnya. Akan tetapi sepi tiada jawaban.

"Irma . . . .! Irma ....!" ia berteriak lagi, namun orang yang dipanggil tidak juga

menyahut maupun muncul.

Untuk beberapa saat lamanya ia berdiam diri. Jantung pemuda ini bergoncang

keras dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Dalam keadaan sesunyi ini, mendadak

terdengarlah suara isak tangis dari rumah tetangga. Tangis perempuan sambil meratap
ratap amat memilukan.

Mendengar tangis dan ratap dari rumah tetangga itu, barulah sadar pemuda ini

bahwa bukan keluarganya melulu yang dimusuhi orang. Para tetangga pun menjadi

korban pula. Kalau demikian halnya, apakah yang datang kemari dan datang hari itu,

gerombolan perampok yang merampok sambil main bunuh?

Ia berusaha menenangkan perasaan. Jenazah ibunya yang mandi darah kering itu

diangkat, kemudian dibaringkan pula di atas balai, berdampingan dengan jenazah

ayahnya. Setelah beberapa saat lamanya mengamati jenazah ayah bundanya ini dengan

hati yang hancur, pemuda ini melangkahkan kaki keluar rumah. Timbullah niatnya untuk

bertanya kepada tetangga terdekat. Apakah arti dari semua peristiwa ini?

Akan tetapi baru saja ia muncul di jalan desa seorang perempuan setengah tua

mendadak memeluk tubuhnya. Perempuan ini menangis terisak-isak, dan sebelum ia

sempat bertanya, perempuan itu sudah meratap. "Fajar .... ohh, Fajar ....... tolonglah aku.

Ohh.....anakku perempuan .....anakku diculik orang . . . .! Tolong. . . kejarlah mereka ...

.!"

Hati sedang sedih dan risau memikirkan adik perempuannya, sekarang datang

seorang ibu yang meratap-ratap. Hatinya mendongkol juga, namun tetap berusaha

menekan perasaan. Tanyanya kemudian. "Banyakkah musuh yang datang itu....?"

"Banyak sekali . . . . ! Mereka merampok dan membunuh .... ohh, Fajar .....anakku

diculik orang. Anakku .... diculik perampok ..."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Pemuda ini menghela napas sedih, sambil menebarkan pandang-mata ke

sekitarnya. Ia tidak melibat seorangpun. Desa ini seperti kosong. Dan dari rumah tetangga

yang terdekat, masih terdengar tangis perempuan. Ketika meruntuhkan pandang mata ke

tepi jalan, tergoleklah dua sosok mayat laki-laki yang mandi darah dan belum dirawat.

Timbul pertanyaan pemuda ini, apakah semua laki-laki dalam desa ini telah habis dijagal

oleh perampok itu? Kalau tidak dibunuh semua, mengapa tidak tampak seorangpun?

Disaat dalam dadanya timbul aneka macam pertanyaan ini, tiba-tiba perempuan

ini melepaskan pelukannya. Kemudian sambil menatap Fajar Legawa, perempuan ini

berkata lagi. "Fajar ..... para perampok itu sudah melarikan diri. Orang-orang desa ini

tidak kuasa .... melawan dan banyak dibunuh . . . . ! Anakku .... anakku diculik perampok

. . . .. ! Fajar .... mengapa engkau tidak segera mengejar perampok itu .......untuk menolong

anakku . . . .? Fajar ....... tolonglah anakku .... Ohhh .... anakku hanya seorang saja ....

Tolong .... kejarlah para perampok itu .... dan tolonglah anakku . . . "

Jengkel dan mendongkol juga Fajar Legawa mendengar ratap dan tangis

perempuan ini. Dirinya sendiri tertimpa malapetaka. Ayah-bundanya tewas dibunuh

orang, dan adik perempuannya tidak diketemukan. Akan tetapi perempuan ini hanya

memikirkan kepentingan sendiri, meratap-ratap. Untung bahwa pemuda ini cukup sadar.

Sebabnya perempuan ini sedemikian rupa, bukan lain akibat penderitaan.

"Mengapa .... engkau diam saja . ...?"desak perempuan itu.

Dalam usahanya untuk menekan rasa jengkel, marah dan sedih ini, kemudian

Fajar Legawa melompat. Kemudian langsung duduk di atas kuda si putih, dan kuda itu

dipacunya keluar dari desa. Ia sudah bertekat, harus mengejar para perampok ganas yang

berani mengganggu desa dan membunuh keluarganya itu di siang hari. Sebab menurut

dugaannya, perampok itu tentu belum jauh pergi.

Dalam keadaan pikiran kalut, kisruh sekarang ini, Fajar Legawa menjadi lupa

bahwa jenazah ayah-bundanya memerlukan perawatan dan penguburan. Yang terpikir

sekarang, secepatnya harus dapat menolong adik perempuannya dari tangan perampok

itu.

Si Putih kabur, bagai terbang. Sudah cukup jauh ia mengejar, namun tak juga dapat

bertemu dengan rombongan perampok itu. Kemanakah para perampok itu pergi, ia tidak

dapat menentukan. Ia menebarkan pandang-mata ke tempat jauh. Dari tempat yang

cukup tinggi ini, pandang matanya dapat mencapai tempat yang amat jauh. Namun

demikian, tidak juga tampak rombongan orang berkuda.

Untuk beberapa saat lamanya pemuda ini menghentikan kudanya sambil berpikir.

Cukup banyak saat sekarang ini orang yang lupa daratan bergerombol dan menjadi

perampok. Sultan Agung tidak mempunyai kesempatan yang cukup untuk memelihara

keamanan dan memberantas kejahatan. Dan raja Mataram yang ketiga ini, lebih banyak

mencurahkan perhatian kepada urusan yang lebih besar. Tentang berontaknya para

bupati dan adipati yang tak mau tunduk lagi. Juga tentang Kumpeni Belanda yang

secepatnya harus diusir dari bumi Pertiwi.

Namun sungguh sayang bahwa usaha Sultan Agung menyerang Betawi, bertemu

dengan kegagalan. Yang pertama pada tahun 1628 penyerangannya gagal. Yang keduahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

setahun kemudian, pada tahun 1629, akan tetapi juga tertumbuk oleh kegagalan lagi

karena pasukan Mataram berhadapan dengan kekurangan makan.

Dalam keadaan seperti ini, orang-orang tidak bertanggung jawab menggunakan

kesempatan melakukan kejahatan-kejahatan. Memeras dan melakukan perbuatan

sewenang-wenang. Dan sungguh celaka para kawula kecil. Aparat Mataram yang

berkuasa di daerahpun memanfaatkan kesempatan ini. Mereka tidak membela si-kecil,

tetapi malah ikut memeras dan berbuat sewenang wenang untuk mengumpulkan

kekayaan. Orang-orang yang mempunyai kekuasaan walaupun kecil, menggunakan

kekuasaannya untuk kepentingan diri. Dan orang-orang yang berani membuka mulut dan

menentang tindakan penguasa, dengan gampang akan dituduh sebagai pemberontak,

sebagai mata-mata Kumpeni, kemudian ditangkap tanpa pemeriksaan. Dan akibatnya

banyak orang celaka menjadi korban fitnah.

"Kemana aku harus pergi?" desisnya sambil tetap menebarkan pandang-mata ke

sekitarnya.

Cukup banyak ia mengenal gerombolan-gerombolan perampok. Akan tetapi kalau

seorang diri. bagaimanakah dirinya dapat berbuat? Apakah harus lapor kepada gurunya?

Akan tetapi walaupun ragu, kemudian pemuda ini menggerakkan kudanya,

menuruni pinggang gunung Slamet sebelah utara. Di desa Tuwel ia menyelidik dan
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertanya kepada para penduduk desa. Namun sayang sekali, keterangan yang diharapkan

itu tidak juga bisa didapat. Ia menghela napas berat.

Kudanya tampak lelah dan peluh membasahi tubuh. Dilepaskan kuda itu di tepi

sungai Gung, memberi kesempatan kuda itu minum sambil makan rumput yang tumbuh

subur di tepi sungai. Sedang dirinya sendiri, kemudian menjatuhkan diri duduk di atas

sebuah batu sambil menghela napas panjang.

Tetapi pemuda ini menjadi kaget ketika mendengar suara orang ketawa terkekeh. Belum

juga lenyap suara ketawa itu, meniuplah seorang pemuda, melompat turun dari dahan

pohon.

"Ha-ha-ha, sungguh kebetulan sekali, ki sanak. Aku sedang membutuhkan seekor

kuda untuk teman perjalanan!" kata pemuda itu sambil melangkah menghampiri.

"Pinjamkanlah kudamu padaku. Dan berapa saja engkau minta ganti, akan aku bayar

harganya."

Merah wajah Fajar Legawa mendengar kata-kata orang ini, yang nadanya

merendahkan. Apakah dirinyadisangka seorang penjual kuda? Untung sekali Fajar

Legawa kuasa menahan hati. Jawabnya dengan nada ramah. "Maafkanlah aku ki sanak,

aku sendiri amat membutuhkan kuda itu."

"Apa?" tiba-tiba saja pemuda itu membentak. "Engkau berani membantah

kemauanku? Dengar, aku membutuhkan kuda itu. Dan apabila engkau pelit, apakah

engkau menghendaki aku rebut dengan kekerasan?"

Hampir meledak kemarahan Fajar Legawa yang masih berdarah panas ini.

Namun demikian ia masih menekan perasaan dan kesabarannya. Jawabnya halus. "Ki

sanak, kasihanilah aku yang sedang melakukan perjalanan jauh ini. Kuda itu amat penting

bagiku, dan kiranya lebih tepat apabila ki sanak berusaha kepada orang lain.''https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Akan tetapi sikap Fajar Legawa yang mengalah dan tidak ingin berselisih ini,

diterima secara salah oleh pemuda itu. Dia ketawa terkekeh. "Heh, heh-heh, jangan

engkau berusaha membantah kehendakku. Tahukah siapa aku ini?"

"Tuan siapa?"

"Aku?" sahut pemuda itu dengan sikapnya yang makin menjadi sombong.

"Dengar baik-baik. Aku bernama Wanengbaya, murid pertapa sakti Gajah Seta, yang

bermukim di lereng Merbabu."

Terkejut juga Fajar Legawa mendengar disebutnya nama Gajah Seta. Siapa yang

tidak kenal dengan pertapa itu? Tetapi sepanjang berita yang pernah ia dengar. Gajah Seta

seorang pertapa sakti yang gagah perwira dan budiman pula. Mengapa sebabnya murid

Gajah Seta yang bernama Wanengbaya ini, sedemikian congkak dan mau berbuat

sewenang-wenang, merampas milik orang?

Sebelum ia sempat menjawab, tiba-tiba Wanengbaya sudah melompat dan

berusaha menyambar tongkat yang dipegang tangan kiri. Untung Fajar Legawa waspada.

Ia menghindarkan diri, dan sambaran itu luput.

Wanengbaya mendelik sambarannya luput. Bentaknya kemudian. "Berikan tongkat itu

padaku. Tongkatmu bagus sekali, ingin sekali aku memiliki tongkat seperti itu."

Kesabaran manusia ada batasnya. Sejak tadi ia sudah berusaha mengalah dan

menghindari perselisihan, justeru berselisih kurang baik. Akan tetapi mengapa sebabnya

pemuda ini mendesak .sedemikian rupa?

Saat ini dirinya justeru sedang dilanda oleh perasaan gelisah, akibat adik perempuannya

hilang tidak diketahui rimbanya. Sekarang murid Gajah Seta datang untuk menghina.

Siapakah yang dapat berdiam diri dan mengalah? Karena itu sambil mendelik Fajar

Legawa mendengus marah. "Hemm, apakah maksudmu sebenarnya?"

"Heh-heh-heh, maksudku jelas. Aku membutuhkan kuda dan tomgkatmu yang

bagus itu. Kau berikan atau tidak?"

"Kalau aku tak mau menyerahkan?" tantang Fajar Legawa.

"Bagus!" sahut Wanengbaya. "Tanganku sudah gatal, dan sambutlah

seranganku."

Hampir berbareng dengan selesainya ucapan itu, Wanengbaya telah melompat dan

langsung menyerang dengan sepasang golok. Sambaran golok itu cukup cepat disamping

bertenaga.

Heran juga Fajar Legawa mendapat serangan ini. Apakah pemuda yang bernama

Wanengbaya dan murid Gajah Seta ini sedang dalam keadaan mabuk ataukah berobah

menjadi gila? Menurut pantas seseorang akan membuka serangan tidak akan langsung

menggunakan senjata semacam ini. Ataukah Wanengbaya ini memang seorang yang

hanya ingin memperoleh kemenangan tanpa kenal kesopanan lagi?https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Untuk beberapa saat lamanya Fajar Legawa berlompatan ke sana ke mari

menghindarkan diri tanpa membalas. Ia masih berusaha mengalah dan menyabarkan diri,

kemudian teriaknya. "Tahan! Tahan!"

Namun celakanya Wanengbaya tak perduli. Ia tak juga menghentikan

serangannya, malah sambaran sepasang golok itu tambah cepat. Golok pada tangan

kanan menyambar ke arah kepala, sedang golok di tangan kiri menyambar dada. Fajar

Legawa melompat jauh ke belakang, sambil berteriak lagi. "Tahan kisanak, tahan!"

Wanengbaya tidak menyahut dan tidak pula menghentikan serangannya. Teriakan

Fajar Legawa seakan malah merupakan aba-aba agar menyerang lebih ganas.

Serangan yang makin lama menjadi ganas ini, tidak mungkin Fajar Legawa dapat

mengalah terus. Ketika golok di tangan kanan menabas tongkat, dan golok tangan kiri

menyambar pundak, Fajar Legawa surut selangkah, merendahkan tubuh sambil menyabet

kaki lawan. Atas balasan ini Wanengbaya ketawa dingin sambil melenting ke atas.

Makin lama panas juga perut Fajar Legawa, atas serangan Wanengbaya. Tetapi

diam-diam memuji juga akan ketangkasan dan ketangguhan murid Gajah Seta ini. Pantas

saja menjadi congkak, sombong dan suka menghina orang. Pada suatu kesempatan di saat

Wanengbaya lengah, dengan gerakannya tak terduga Fajar Legawa telah menyodok

perut.

Tidak disadari oleh pemuda ini, bahwa bagian yang tidak terjaga itu memang se
ngaja sebagai umpan. Secepat kilat golok Wanengbaya menyambar dengan gerak silang.

Fajar Legawa kaget dan berusaha menarik kembali tongkatnya. Sayang sudah terlambat,

dan terdengarlah suara.

"Krak !" golok Wanengbaya secara tepat, berhasil menghantam tongkat.

"Ahh. . . . !" Wanengbaya berteriak tertahan dan terhuyung mundur dengan mata

terbelalak.

Apa yang terjadi? Bukan tongkat Fajar Legawa yang patah menjadi dua potong.

Tetapi malah sepasang golok Wanengbaya yang tadi menghantam sekuatnya.

Fajar Legawa sendiri berdiri terpaku keheranan. Apakah sebabnya tongkat kayu

pemberian gurunya ini, yang terbikin dari kayu pohon asam sanggup mematahkan senjata

lawan? Ia menggunakan kesempatan memeriksa tongkat itu. Tongkat itu tidak cacat, dan

hanya terdapat bekas goresan. Ajaib! Fajar Legawa sendiri tidak menduga mengapa

sebabnya.

Merah wajah Wanengbaya berhadapan dengan peristiwa ini. Akan tetapi

walaupun kasar, murid Gajah Seta ini telah terdidik kejujuran. Setelah mengamati Fajar

Legawa beberapa saat lamanya, dan pemuda itu tidak ingin bermusuhan. Tiba-tiba saja

timbul rasa sesalnya dalam hati. mengapa ia sudah gegabah mencari perkara.

"Maafkan aku sahabat, aku tidak sengaja merusakkan senjatamu," kata Fajar

Legawa dengan nada yang merendah.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Akulah yang bersalah," sahut Wanengbaya sambil menghela napas. "Siapa

engkau, dan siapa pula gurumu?"

"Aku Fajar Legawa. Sedang guruku, adalah seorang pertapa yang bermukim di

lembah Galunggung."

"Aihh...." Wanengbaya berjingkrak kaget. "Engkau murid pertapa sakti Suria

Kencana?"

"Benar," sahut Fajar Legawa sambil mengangguk. Dan diam-diam heran juga,

mengapa pemuda ini sudah dapat menebak secara tepat hanya dengan menyebut tempat

tinggai gurunya?

Tidak terduga-duga, Wanengbaya telah maju dan memeluk sambil berkata halus.

"Maafkan aku yang kasar dan lancang!"

Fajar Legawa melepaskan pelukan Wanengbaya dengan gerakan yang halus.

Tetapi sesungguhnya, ia curiga dan khawatir kalau Wanengbaya akan menyerang dirinya

secara curang, dengan pura-pura bersikap sebagai seorang sahabat.

"Tidak apa," sahutnya halus. "Aku malah gembira, justeru pertemuan tak sengaja

ini, menjadi sarana kita berkenalan."

"Engkau benar," sahut Wanengbaya. Dan tanpa diminta, kemudian Wanengbaya

telah menceritakan perjalanannya kali ini, untuk mengunjungi calon isterinya yang

bertempat tinggal di desa Margasari, yang bernama Ayu Kedasih. Ia mengatakan bahwa

ia tadi tertarik kepada kuda Fajar Legawa yang berbulu putih bersih bagai kapas. Dan

dengan mengendarai kuda sebagus itu, betapa gembira Ayu Kedasih menyambut kedata
ngannya.

Sekarang setelah berbicara, Fajar Legawa sudah mulai mengenal, bahwa

sesungguhnya Wanengbaya seorang pemuda jujur. Sayang sedikit, mempunyai watak

yang sombong dan tinggi hati. Dari nada bicaranyapun Fajar Legawa segera dapat

menduga maksud hati pemuda ini. Agaknya Wanengbaya dalam kunjungannya kepada

calon isterinya ini, ingin mendapatkan puji sanjung dan tambah gagah, apabila

mengendarai kuda putih miliknya itu.

Di dunia tidak terhitung jumlahnya kuda yang besar dan bagus. Akan tetapi tidak

gampang bisa memperoleh kuda seperti Si Putih ini. Di samping kuat, Si Putih-pun dapat

lari seperti terbang.

Entah mengapa sebabnya, tiba-tiba saja timbul rasa iba dalam hati Fajar Legawa.

Walaupun saat sekarang ini dirinya sendiri membutuhkan kuda itu untuk mencari adik

perempuannya, namun ia merasa tidak enak hati menolak permintaan Wanengbaya.

Katanya kemudian. "Kalau demikian, agaknya engkau memang tergesa kakang. Pakailah

Si Putih untuk meneruskan perjalanan."

"Terima kasih, tidak jadi," sahut Wanengbaya yang merendah. Dan karena Fajar

Legawa telah memanggil kakang, maka kemudian Wanengbaya membalas denganhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

panggilan adi. "Adi Fajar, maafkanlah kekasaranku tadi. Dan kiranya engkau lebih

penting dengan kudamu, dibanding engkau pinjamkan padaku."

"Pakailah. Agar secepatnya engkau dapat bertemu dengan calon isterimu."

Wanengbaya mengamati Si Putih yang besar dan gagah. Diam-diam ia membayangkan

betapa gagahnya apabila dirinya memperoleh kesempatan mengendarai kuda ini. Betapa

gembira calon isterinya, disaat menyambut kedatangannya.

"Tetapi adi, bagaimanakah caraku mengembalikan kudamu ini?"

"Berapa harikah engkau di sana?"

"Mungkin agak lama."

"Aku akan datang ke Margasari, agar aku dapat berkenalan pula dengan mbakyu

Ayu Kedasih."

"Bagus, aku senang sekali apabila engkau sudi berkunjung ke sana, dan berkenalan

dengan Ayu Kedasih. Tetapi....." pemuda ini tampak meragu.

"Pakailah ! Biarkan aku meneruskan perjalanan tanpa kuda."

Akhirnya dengan tertawa gembira sekali, Wanengbaya pergi sambil mengendarai

Si Putih. Fajar Legawa mengamati kepergian pemuda itu dengan hati yang tidak tega. Si

Putih adalah kuda kesayangannya, hadiah yang diperoleh dari ayahnya. Mengapa

sedemikian mudah ia melepaskan kuda itu kepada seseorang yang baru saja ia kenal. Dan

tiba-tiba saja timbul rasanya yang agak khawatir. Apakah pemuda itu tidak menipu?

"Ahhh, sudahlah," desisnya. "Aku sendiri yang meminjamkan kuda itu. Mengapa

aku akan menelan lagi ludah yang sudah aku buang? Kalau toh sudah menjadi takdir

Tuhan bahwa Si Putih harus lepas dari tanganku, siapakah yang dapat menghindar?"

Dan sesudah menghela napas panjang sekali lagi, kemudian Fajar Legawa telah

meneruskan perjalanan, langsung menuju ke arah barat. Tiba-tiba saja timbullah dugaan

pemuda ini, bahwa penjahat yang telah mengganas dan membunuh ayah-bundanya itu,

gerombolan Juru Demung yang bertempat tinggal di pinggang Rogojembangan.

Dugaannya itu erat hubungannya dengan peristiwa yang pernah terjadi, bahwa puluhan

tahun yang lalu ayahnya pernah bermusuhan dengan Juru Demung. Agaknya tidak

meleset dugaannya, bahwa sekarang ini Juru Demung menggunakan kesempatan untuk

membalas dendam lama.

Hari telah senja ketika Fajar Legawa masuk daerah sarang penjahat itu. Namun

timbul juga keheranan dalam hati pemuda ini, mengapakah sebabnya desa-desa

gerombolan penjahat itu nampak sepi? Rumah-rumah tertutup rapat. Dan ia tidak

berjumpa, dengan seorangpun.

Hatinya tercekat. Ia menghentikan langkah, bersembunyi dalam semak sambil

menebarkan pandang-matanya ke sekitarnya. Dalam hatinya timbul dugaan, mungkinkah

keadaan sesepi ini, karena mata-mata perampok itu sudah mengetahui kehadirannya, dan

kemudian sengaja menjebak?https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Mendadak saja timbullah rasa sesalnya. Mengapa ia terlalu berani datang ke sarang

gerombolan perampok ini seorang diri? Gerombolan Juru Demung berjumlah banyak.

Dapatkah seorang diri menolong adiknya?

Akan tetapi disaat timbul keraguan ini, telinganya yang sudah terlatih, mendengar suara

riuh yang sayup-sayup terbawa angin. Riuh suara sorak, kadang terdengar dan kadang

menghilang.
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada apakah mereka bersorak-sorak?" desisnya sambil mempertajam

pendengarannya. "Aku harus kesana?" desisnya lagi, setelah membulatkan tekat. Lalu,

tanpa ragu sedikitpun. Fajar Legawa telah berlarian lewat jalan desa yang sepi itu menuju

ke tempat sorak itu terdengar.

Makin dekat, sorak yang riuh itu terdengar semakin jelas. Kemudian terbelalaklah

sepasang sepasang mata Fajar Legawa, melihat tembok batu yang cukup tinggi dan kokoh

membentang di depannya. Pintu yang lebar dan kokoh itu tertutup rapat. Di dalam

terdengar jelas suara yang riuh orang bersorak, dan berseling dengan suara senjata

berbenturan.

"Ahh.....siapakah yang berkelahi di dalam?" desisnya kaget. Fajar Legawa

menjadi gelisah dan tidak sabar. Di luar tembok yang tinggi itu tidak tampak seorangpun.

Agaknya memang di tempat inilah Juru Demung bertempat tinggal dan sekaligus me
rupakan sarang. Kagum juga hati pemuda ini, bahwa di pinggang gunung dapat dibangun

tembok batu yang kokoh kuat, melindungi sarang.

Tanpa kesulitan sedikitpun Fajar Legawa telah berhusil melompat ke atas tembok,

lewat sebatang pohon yang tumbuh tidak jauh dari tembok. Akan tetapi tiba-tiba saja

jantung pemuda ini bergoocang keras dan darahnya tersirap. Di tengah halaman yang

cukup luas itu, kini sedang berlangsung perkelahian curang. Seorang gadis muda berbaju

biru, hanya seorang diri menghadapi keroyokan belasan laki-laki bersenjata. Dan

gelanggang perkelahian itupun dipagari manusia ketat sekali, agaknya untuk menjaga agar

gadis itu tidak dapat lolos.

Gadis itu gerakannya lincah dan tidak tampak gentar sedikitpun dalam

menghadapi keroyokan banyak penjahat. Pedang gadis itu sudah berlepotan darah, dan

tidak jauh dan tempat itu, tampak pula beberapa orang menggeletak mandi darah.

Agaknya orang-orang itu telah menjadi korban pedang gadis baju biru ini.

Gadis itu disamping wajahnya cantik, usianya masih muda, dan mungkin baru

sembilan belas tahun. Akan tetapi walaupun muda, gadis itu tangkas dan ilmu

kepandaiannya cukup tinggi. Gerakannya cepat disamping gesit, dan sepasang pedang

yang sudah berlepotan darah bergerak-gerakan indah, tampaknya seperti seorang gadis

yang sedang menari dengan pedang.

Diam-diam Fajar Legawa terpesona juga, menonton perkelahian ini.

Tetapi walaupun gagah dan kepandaiannya cukup tinggi, gadis itu hanya seorang diri.

Manakah mungkin ia dapat bertahan menghadapi ratusan orang yang berkumpul di

tempat ini? Sekarang Fajar Legawa dapat menduga mengapa sebabnya desa-desa dalam

wilayah gerombolan Juru Demung tadi nampak sepi. Agaknya setiap laki-laki berkumpul

di tempat ini, dan yang berdiam di dalam rumah tinggal anak-anak dan perempuan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Timbul pertanyaan dalam hati Fajar Legawa, sengajakah gidis ini datang kemari seperti

dirinya? Atau, gadis ini semula menjadi tawanan Juru Demung, namun dapat lolos dan

sekarang mengamuk dalam usahanya mencari kebebasan?

Di saat gadis berbaju biru itu masih mengamuk dengan sepasang pedangnya, dan

benturan senjata terdengar berturut-turut, terdengarlah suara ketawa orang yang terkekeh
kekeh dari dalam rumah yang bangunannya kokoh dan besar itu. Dan belum juga lenyap

gema ketawa yang terkekeh itu. sudah terdengar suara yang parau. "Heh heh-heh, sampai

dimanakah kemampuanmu, gadis liar? Meskipun engkau berkulit tembaga dan bertulang

besi, tidak mungkin engkau mampu melawan kami dan lolos. Heh-heh-heh, sebaiknya

kita berdamai saja. Bukankah orang yang rukun itu baik? Di tempat ini engkau akan

diangkat sebagai seorang ratu. Sebagai permaisuri yang terhormat....."

Fajar Legawa memandang ke arah suara itu terdengar. Tak lama kemudian

muncullah seorang laki laki tinggi besar berkumis tebal, tetapi tidak berjenggot. Pakaian

laki-laki itu dari bahan sutera yang mahal harganya, dan berkembang-kembang indah. Di

belakang laki-laki ini, tujuh orang laki-laki bertubuh tegap dan kuat, kemudian berdiri

berjajar.

"Juru Demung?" tanya Fajar Legawa kepada dirinya sendiri.

Tiba-tiba terdengarlah suara lengking nyaring. Dan berbareng itu, tubuh gadis baju

biru ini telah berkelebat lebih cepat, disusul teriakan kesakitan beberapa orang yang

langsung roboh di atas tanah. Tahu-tahu gadis itu telah menerjang kearah Juru Demung.

Akan tetapi tujuh orang pmguwal itu, dengan serempak segera maju dan mengeroyok.

Kagum sekali Fajar Legawa menyaksikan semua itu. Kecepatan gerak dan

sambaran pedangnya sedemikian hebat, sehingga belasan orang dalam segebrakan

telah kocar-kacir.

Sekarang gadis baju biru ini harus berhadapan dengan tujuh orang pengawal Juru

Demung. Para pengawal ini justeru bukan orang sembarangan. Mereka jauh lebih kuat

apabila dibandingkan dengan para pengeroyok tadi, yang hanya memiliki kepandaian

lumayan. Maka walaupun gagah, gerakannya tertahan juga.

"Heh-heh-heh, engkau cantik bagai bidadari," kata Juru Demung sambil tertawa,

"Jangan engkau nekat sayang, mari kita berdamai dan jadilah engkau isteriku yang

tersayang."

"Tutup mulutmu!" teriak gadis ini, tetapi pedangnya tetap menyambar-nyambar.

"Trang-trang-trang.....!" sambaran sepasang pedang gadis ini tertahan dan tertangkis oleh

senjata pengeroyoknya.

"Ahhh.....!" tanpa sesadarnya Fajar Legawa berseru tertahan ketika melihat,

pedang di tangan kiri gadis itu lepas dari tangan dan terbang ke atas. Namun rasa kagetnya

itu, kemudian berganti dengan rasa kagum. Dengan bersiul nyaring, gadis itu sudah

melenting tinggi, dan sekali sambar pedang telah terpegang di tangan kiri.

Di saat tubuhnya masih terapung di udara ini, tujuh orang itu sudah datang

menyerbu. Akan tetapi sedikitpun gadis ini tidak gentar, dan terdengar lagi suara benturanhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

senjata berturut-turut. Dua orang di antara pengeroyok berteriak kesakitan dan terhuyung.

Ketika Fajar Legawa memperhatikan, ternyata gadis itu sudah berhasil melukai pundak

dan lengan orang, kemudian sekarang dia dapat berdiri dengan bebas.

"Nawang Wulan!" seru Juru Demung. "Tidak lama lagi engkau akan roboh

kehabisan tenaga. Apakah keuntungan yang kau peroleh dengan keliaranmu ini?"

"Nawang Wulan?" desis Fajar Legawa. "Pantas dia cantik seperti bidadari, ibu

pernah bercerita, bahwa bidadari yang bernama Nawang Wulan itu, isteri Ki Ageng

Tarub. Tetapi gadis cantik ini, calon isteri siapakah?"

"Bangsat Juru Demung!" teriak Nawang Wulan. "Jangan engkau biarkan

begundalmu mengeroyok aku. Mari, lawanlah aku dan kita tentukan siapakah yang

lebih unggul antara aku dan engkau!"

"Heh-beh-heh," Juru Demung terkekeh. "Melawan anak-buahku saja engkau tak

mampu, mengapa engkau congkak dan menantang aku? Jika engkau mau mendengar

nasihatku, lebih baik sarungkanlah pedangmu. Kemudian engkau malam ini akan aku

angkat sebagai ratu, dan akan dihormati sekalian orang."

Nawang Wulan tidak sempat menjawab. Tujuh orang pengawal itu telah kembali

menerjang maju dan mengeroyok. Yang seorang telah terluka, lengannya, dan yang

seorang telah terluka pundaknya. Akan tetapi luka itu hanya ringan, maka luka tersebut

tidak mempengaruhi gerakannya. Lebih lagi tujuh orang pengawal kepercayaan Juru

Demung ini bukanlah orang-orang tolol. Setelah dua orang di antara mereka terluka me
reka berhati-hati.

Mereka sekarang tidak berani terlalu mendesak, lebih mempererat kerja-sama,

menyerang dan menangkis. Gadis ini sudah cukup lama menggunakan tenaga dan

berkelahi. Mereka sekarang hanya mengurung secara rapat, tidak memberi kesempatan

gadis itu lolos, tetapi hanya berusaha membuat Nawang Wulan kelelahan dan kehabisan

tenaga.

Melihat perobahan ini, Fajar Legawa terkesiap. Apabila gadis itu sampai kelelahan

dan kemudian tertawan, akan sulitlah dirinya memberi pertolongan. Apapun yang terjadi

ia takkan rela membiarkan gadis cantik itu celaka di tangan para penjahat. Ia sekarang

telah menetapkan hati. Walaupun ia tidak kenal dengan gadis itu, dan tidak tahu ada

kepentingan apa gadis ini masuk ke sarang singa, ia telah memutuskan harus segera

menyerbu dan membantu.

"Nona, aku bantu kerepotanmu!" sambil berteriak nyaring, Fajar Legawa telah

melompat turun dari tembok batu, dengan gerakannya amat indah. Tiga orang datang

menyambut, menyerang dengan senjata masing-rmsing disaat tubuh Fajar Legawa masih

terapung di udara.

"Trang trang trang..... . .plak buk pok.........aughh. . . .!" Sambaran tiga batang

senjata para perampok itu ditangkis dengan tongkat, dan sekali bentur senjata-senjata itu

patah. Sebelum para penjahat itu dapat berbuat sesuatu, tongkat Fajar Legawa telah

menyambar cepat sekali dan terdengar pekik tiga kali berturut-turut, disusul robohnya tiga

orang itu.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Gempar para penjahat ini, melihat munculnya seorang pemuda, yang sekali gebrak

telah berhasil mematahkan senjata-senjata kawannya, disusul robohnya tiga orang itu.

Nawang Wulan menggunakan kesempatan disaat para penjahat itu kaget dan gempar,

memalingkan muka ke arah Fajar Legawa. Tetapi gadis ini merasa heran, karena belum

merasa kenal. Namun demikian, kehadiran pemuda ini, bagaimanapun dapat

mempengaruhi keadaan.

Dan bantuan Fajar Legawa ini, membangkitkan semangat Nawang Wulan. Tanpa

menjawab gadis ini sudah menggerakkan sepasang pedangnya lagi dan mengamuk.

Sementara itu Fajar Legawapun segera diterjang oleh belasan orang penjahat.

Mereka mengeroyok dengan macam-macam senjata. Namun sedikitpun Fajar Legawa

tidak gentar. Hatinya menjadi besar setelah mengetahui tongkatnya bukan senjata

sembarangan. Setiap senjata yang berbenturan dengan tongkatnya akan segera patah. Ma
ka sambil memutarkan tongkat ini, Fajar Legawa sudah mengamuk. Benturan senjata

terdengar berdencingan, diseling oleh pekik kaget dan pekik kesakitan. Dalam Waktu

singkat telah berserakan senjata yang patah dan pemiliknya berloncatan mundur dengan

wajah pucat. Dan yang tidak sempat melompat mundur, akan segera roboh terluka atau

tewas saat itu juga.

Gegerlah para penjahat ini menyaksikan kegagahan pemuda bersenjata tongkat ini.

Tetapi mereka memang bukan manusia-manusia yang mempunyai cadangan nyawa.

Mereka tidak lagi menerjang dan menyerang. Para penjahat itu sekarang hanya berusaha

mengurung, dan apabila salah satu bagian didesak oleh Fajar Legawa, penjahat itu segera

ketakutan dan bergerak mundur. Makin lama jarak Fajar Legawa dengan Nawang Wulan

menjadi semakin dekat. Tidak lama lagir pemuda ini tentu sudah dapat mempersatukan,

kekuatan dengan gadis berbaju biru itu.

Melihat perobahan keadaan yang tidak terduga-duga ini, Juru Demung amat

marah. Kepala penjahat ini menggeram keras, kemudian melompat sambil menyerang

dengan senjatanya.

Ketika itu cuaca sudah menjadi gelap. Melihat pemimpinnya telah turun tangan,

para penjahat ini berbesar hati. Beberapa orang segera lari dan masuk ke dalam sarang

lewat pintu samping. Tidak lama kemudian beberapa orang itu telah kembali lagi sambil

membawa obor-obor kayu. Dan oleh penerangan obor kayu yang belasan jumlahnya ini,

halaman yang luas itu tidak gelap lagi.

Dengan senjata rantai baja berkepala besi bulat sebesar kepala, Juru Demung telah

terlibat perkelahian dengan Fajar Legawa, yang dibantu oleh empat orang pembantunya.

Sambaran senjata Juru Demung yang dapat menjangkau jarak agak jauh ini dahsyat

sekali, sesuai dengan tenaganya yang amat kuat. Namun demikian sedikitpun Fajar

Legawa tidak gentar, lebih-lebih ia tahu bahwa tongkat pemberian gurunya ini,

mempunyai kekuatan yang mujijat dapat mematahkan senjata lawan.

Fajar Legawa tahu, bahwa sekarang ini harus dapat bertindak cepat. Maka sambil

melayani serangan Juru Demung dan empat orang pembantunya ini, ia banyak kali

menghindar sambil bergeser. Tujuan satu-satunya, ia secepatnya harus dapat mendekati

Nawang Wulan, kemudian bekerja-sama menggempur kekuatan para penjahat ini.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Trang trang trang.....aihhh. . . . !!" benturan senjata yang nyaring terdengar tiga

kali berturut-turut, dan disusul oleh pekik tertahan dari pemilik senjata itu. Sekali bentur

senjata mereka telah patah, terpaksa mereka harus melompat mundur, menyambar senjata

anak-buah dan kemudian kembali maju lagi.

Namun ternyata usaha Fajar Legawa ini tidak semudah ia kira. Para penjahat

itupun kiranya dapat menduga kandungan hati pemuda ini. Maka baik Juru Demung dan

pembantunya, berusaha melihat dan menghalangi.

Ketika Nawang Wulan harus mengerahkan kepandaian dan tenaganya, dalam

menghadapi keroyokan tujuh orang pengawal Juru Demung. Gadis berbaju biru ini

memang gagah, berilmu cukup tinggi disamping tabah. Akan tetapi bagaimanapun tenaga

manusia ini hanya terbatas. Maka setelah berkelahi dalam waktu lama menghadapi

keroyokan para penjahat, makin lama tenaga gadis ini semakin berkurang. Tubuhnya

telah mandi peluh dan pakaiannnya telah basah, dan berbareng dengan berkurangnya

tenaga Nawang Wulan, kelincahan dan kecepatan gerak gadis inipun makin menurun.

Para pengeroyoknya tambah gembira dan berbesar hati. Mereka makin hati-hati

dan setiap gerakan maupun serangan, tujuan yang utama hanya ingin membuat gadis itu

habis tenaga kemudian dapat menawan dengan mudah.

Justeru waktu itu, Fajar Legawa sempat memperhatikan keadaan Nawang Wulan.

Melihat gerakan Nawang Wulan yang makin berkurang kegesitannya ini, diam-diam ia

khawatir.

Juru Demung adalah seorang kepala penjahat yang sudah berpengalaman. Disaat

Fajar Legawa sedikit lengah ini, Juru Demung tidak menyia-nyiakan kesempatan. Bola
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besi sebesar kelapa itu akan sanggup meremukkan bagian tubuh manusia yang bisa

dihantam. Malah Juru Demung sudah memastikan bahwa lawan ini tidak mungkin dapat

menyelamatkan diri.

"Mampuslah!" teriaknya nyaring.

Fajar Legawa yang tidak menduga memang kaget. Akan tetapi walaupun kaget pemuda

ini tidak kehilangan kewaspadaan.

"Trang ..." tongkatnya membentur rantai baja itu.

"Ahhh.........!" Fajir Legawa kaget sekali. Ia tadi sudah mematikan, bahwa rantai

baja itu akan segera putus apabila berbenturan dengan tongkatnya.

Namun ternyata dugaannya keliru. Rantai baja itu tidak menjadi putus, malah

sekarang melibat tongkatnya. Justeru disaat tongkatnya terlibat bola rantai baja itu,

sebatang pedang telah menyelonong dari kiri.

"Trang .......!" tendangannya secara tepat berhasil mementalkan pedang lawan.

Akan tetapi dari arah lain, golok sudah menyerampang kaki.

Disaat sedang mempertahankan tongkatnya dari libatan rantai baja itu, memang

tidak gampang menghindari sambaran senjata yang menyerampang kaki. Untung sekali

bahwa Fajar Legawa tetap tenang. Apabila dirinya harus melompat tinggi, kedudukannyahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

akan menjadi rugi dan tongkatnya bisa direbut lawan. Maka jalan yang paling aman,

dengan tangan kiri ia menangkis sambaran pedang yang menyambar punggungnya, dan

berbareng itu ia sudah melompat ke depan satu langkah.

Dan lompatannya ke depan itupun bukan melulu menghindari serangan orang.

Akan tetapi ia menggunakan kesempatan disaat Juru Demung lengah. Lompatannya ke

depan menyebabkan rantai baja itu kendor. Kesempatan ini dipergunakan secara tepat,

untuk menyabet rantai bagian lain dengan tongkatnya.

"Trang . . . .!" dan putuslah rantai baja, senjata yang dibanggakan oleh Juru

Demung.

Juru Demung melompat ke belakang dengan wajah berobah pucat. Sepasang

matanya terbelalak hampir tidak percaya akan pandang-matanya sendiri. Apa sebabnya

hanya terpukul oleh tongkat saja, rantai baja itu sudah putus? Padahal rantai baja

senjatanya ini bukan baja sembarang-an. Rantai ini dibuat dari baja pilihan, dan di
kerjakan oleh seorang ahli yang takkan dapat putus oleh bacokan golok. Dan dengan

senjatanya ini, belasan tahun ia malang-melintang dan berhasil merobohkan belasan

orang musuh. Akan tetapi mengapakah sebabnya sekarang ini, diputuskan orang hanya

dengan tongkat dari kayu?

Akan tetapi Juru Demung adalah seorang yang cerdik dan banyak tipu
muslihatnya. Dan apabila tidak cerdik, manakah ia dapat memimpin gerombolan yang

jumlahnya ratusan orang? Secepat kilat ia sudah mencabut pedangnya. Dan dengan

pedang ini pula, pemimpin penjahat itu menyerang Fajar Legawa. Dan karena sadar

bahwa tongkat lawan itu dapat mematahkan senjata, maka dalam menyerang ini Juru

Demung amat berhati-hati. Ia selalu menghindari benturan senjata, dan mengandalkan

kecepatannya bergerak.

Di saat memperoleh kesempatan, Fajar Legawa melirik lagi ke arah Nawang

Wulan. Gadis itu memang masih dapat bertahan dan sepasang pedangnya masih terus

bersambaran. Tetapi menjadi semakin jelas bahwa gadis itu sudah lelah. Padahal jumlah

pengeroyok tidak makin berkurang, akan tetapi malah bertambah. Sekarang, Nawang

Wulan harus berhadapan dengan sepuluh orang penjahat yang menyerang dari seluruh

penjuru. Diam-diam pemuda ini gelisahjuga. Namun sayang sekali ia dihambat oleh Juru

Demung dan para penjahat yang lain, sehingga belum juga dirinya mendekati gadis itu

dan menggabungkan diri.

"Aihh....!" Nawang Wulan menjerit nyaring. Fajar Legawa kaget sekali sambil

menyambarkan tongkatnya untuk menangkis. Namun kemudian pemuda ini menjadi

heran ketika sempat melihat, gadis itu masih tetap memberikan perlawanan. Mengapa

gadis itu tadi memekik?

Kiranya pekik Nawang Wulan tadi akibat rasa kaget. Secara tak terduga senjata

lawan berhasil mampir pada pundaknya dan merobek baju. Untung tikaman lawan itu

meleset, dan walaupun baju pada pundak itu robek namun pundak itu tidak terluka.

"Trang ....!" dan Nawang Wulan kaget. Pedang pada tangan kanan terjepit oleh

gencetan dua batang golok lawan. Disaat pedang pada tangan kiri akan menolong,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

punggungnya merasa disambar angin dingin. Ia mengurungkan gerakannya, kemudian

memutarkan pedang itu kebelakang.

"Aughh ....!" dua orang penjahat melompat mundur dan kesakitan. Tetapi disaat

itu seorang penjahat menyerampang kaki, sedang lehernyapun disambar angin dingin.

Untung juga bahwa gadis ini seorang perempuan tabah. Dalam kesulitan tidak

lekas menjadi gugup. Pedang pada tangan kanan yang terjepit dilepaskan, berbareng itu

ia sudah meloncat agak tinggi sambil penyabetkan pedang pada tangan kiri.

Ia dapat menolong diri walaupun sekarang harus kehilangan sebatang pedang.

Dalam penasarannya gadis ini melengking nyaring, dan walaupun sekarang hanya

bersenjata sebatang pedang, namun gerakan gadis ini tidak menjadi kendor.

Dalam keadan Nawang Wulan menjadi tambah kesulitan, dan Fajar gelisah

karena belum dapat mendekati Nawang Wulan itu, tiba-tiba terdengarlah suara ketawa

perempuan yang merdu. Belum juga lenyap gema suara ketawa itu, telah disusul oleh

teriakan nyaring yang mengejek.

"Tidak tahu malu! Dua orang muda dikeroyok ratusan orang. Hi-hi-hik, engkau

Juru Demung! Tidak sadarkah engkau bahwa malam ini, ajalmu sudah tiba?!"

Hanya terdengar desiran angin yang halus. Tahu-tahu terdengarlah jerit beberapa

orang. Dan disusul oleh tubuh Juru Demung yang berkelebat melarikan diri. Fajar

Legawa tidak mau melepaskan penjahat itu. Tetapi sayang sekali, beberapa orang

penjahat menghalangi. Walaupun Ffcjar Legawa berhasil merobohkan beben pa orang,

namun pemimpin penjahat itu telah terlanjur dapat melarikan diri.

Larinya Juru Demung merobah keadaan. Para pembantu Juru Demung menjadi

runtuh semangatnya, dan kemudian merekapun berserabutan melarikan diri. Nawang

Wulan yang penasaran masih belum mau berhenti. Pedangnya berkelebat ke-sana ke
mari, sehingga berturut-turut terdengar pekik nyaring. Beberapa orang segera roboh mati.

Dan kemudian, Nawang Wulan sudah melompat untuk masuk ke-dalam rumah.

"Wulan ! Jangan !" teriak perempuan ini, dan ketika tubuhnya bergerak, lengan

Nawang Wulan sudah tertangkap.

"Anak muda, engkau datang dari mana?" tanya perempuan tua ini dengan

suaranya merdu.

"Saya Fajar Legawa, murid bapa Suria Kencana," sahutnya sambil membungkuk

memberi hormat.

"Uahh.....pantas engkau hebat !" puji perempuan itu. Dan tentunya engkau belum

kenal aku maupun muridku ini, bukan? Ini muridku dan juga anakku Nawang Wulan.

Aihhh.....Nawang Wulan, mengapa engkau tidak lekas mengucapkan terimakasihmu,

atas pertolongan dia?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Dan walaupun agak malu, Nawang Wulan menghampiri Fajar Legawa dalam

jarak dekat. Kemudian dengan nada yang agak gemetar, gadis ini berkata. "Terimakasih

atas pertolongan saudara."

"Salah!" sahut Fajar Legawa dengan tersenyum. "Akulah seharusnya yang

mengucapkan terimakasih atas pertolongan nona."

Nawang Wulan dan ibunya terbelalak heran. Kemudian terdengar kata perempuan tua

itu. "Wulan, siapakah yang berkelahi lebih dahulu?"

"Aku berkelahi lebih dulu, dan kemudian ..... aku ditolong," sahut gadis ini sambil

menundukkan muka, tampak malu dan likat.

"Akan tetapi aku datang kemari kalah dahulu dengan nona." bantah Fajar

Legawa. "Padahal dengan perkelahian yang nona mulai, berarti pula meringankan aku."

Wanita tua itu tertawa mendengar perbantahan Fajar Legawa dengan anaknya,

yang saling berebut untuk mengucapkan terima kasih itu. Katanya kemudian. "Sudahlah,

sudah! Agaknya masing-masing mempunyai kepentingan sendiri. O ya, aku tadi belum

menjawab pertanyaanmu. Ketahuilah, bahwa gurumu Suria Kencana itu, dahulu sahabat

suamiku dikala masih hidup. Apakah gurumu tidak pernah menyinggung seorang janda

yang dirundung duka, yang bertempat tinggal di goa Sermin Gunung Kidul?"

Mendengar ini Fajar Legawa terbelalak. Sejenak kemudian pemuda ini dengan

agak gugup berkata. "Apakah.....apakah ibu yang disebut oleh guruku, pertapa sakti

Dewayani?"

Perempuan itu tertawa merdu. Jawabnya kemudian. "Ah, gurumu pandai

berkelakar. Mengapa sebutan dan namaku ditambah dengan pertapa sakti segala?"

Untuk sejenak mereka berdiam diri. Tetapi kemudian Dewayani menegur. "Aihh,

mengapa kalian hanya saling pandang?"

Teguran itu membuat mereka kaget. Nawang Wulan malu dan menundukkan kepalanya.

Dan dua orang muda ini sama-sama tidak tahu bagaimana harus membuka mulut dan

bicara.

Dewayani menghela napas pendek. Kemudian. "Anak muda, anakku Wulan

memang nakal. Aku kelabakan mencari kesana kemari, ternyata diam-diam telah pergi

sampai kemari. Goa Sermin dan tempat ini bukan jarak yang dekat, dan untung juga aku

seperti dituntun tangan Tuhan, sehingga aku dapat menyusul kemari. Kalau tidak apakah

jadinya?"

Setelah terjadi perkelahian tadi, dua orang muda ini merasa sadar. Bahwa apa yang

sudah mereka lakukan memang amat berbahaya. Mereka tadi, bagaimanapun merasakan

kesulitan. Mereka telah mengerahkan tenaga dan kepandaian yaug dimiliki. Namun

mereka tidak juga berhasil mengalahkan lawan yang jumlahnya banyak itu, dan baru Juru

Demung melarikan diri, sesudah Dewayani muncul.

"Ibu selalu melarang aku saja!" protes gadis ini sambil memandang ibunya. "Itulah

sebabnya secara diam-diam aku pergi kemari."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Fajar Legawa kaget mendengar percakapan ibu dan anak ini. Pada mulanya ia

mengira bahwa ibu dan anak ini datang bersama-sama. Ternyata Dewiyani datang ke

tempat ini dalam usahanya mencari anaknya. Dan ternyata pula Nawang Wulan datang

ke sarang penjahat ini hanya seorang diri.

Ketika Fajar Legawa akan membuka mulut untuk bertanya, telah didahului oleh

Dewayani. "Anak muda, demikianlah watak seorang muda. Banyak kali bertindak tanpa

perhitungan dan hanya terdorong oleh keinginan menurutkan hati. Wulan datang ke

tempat yang jauh ini dengan dua maksud. Pertama, dia ingin membalas sakit hati atas

tewasnya ayahnya, tiga tahun yang lalu, akibat perangkap juru Demung yang curang. Dan

yang kedua, Wulan merasa terhina oleh Juru Dcmung yang kurang ajar. Coba engkau

bayangkan, ayahnya mati dibunuh dengan cara licik dan curang.

Tetapi dia masih juga tidak tahu malu, berani melamar Wulan untuk isteri."

"Ibuuu....!" Nawang Wulan berusaha mencegah ibunya menceritakan persoalan

pribadinya. Akan tetapi ibunya hanya tertawa saja.

Usia Dewayani saat sekarang ini sekitar lima-puluh tahun. Akan tetapi Fajar Legawa

dapat menduga, bahwa disaat mudanya Dewayani seorang perempuan cantik jelita bagai

bidadari. Buktinya walaupun sekarang rambut itu sudah campur dengan putih, namun

kulitnya belum juga berkeriput. Dan kalau toh sekarang Dewayani rambutnya cepat

berobah menjadi putih sebagian, bukan lain adalah akibat derita batin setelah suaminya

tewas ditangan orang.

"Anak muda," Dewayani berkata lagi. "Meskipun kurang perlu namun agaknya

patut juga engkau ketahui, bahwa mendiang suamiku termasuk seorang penegak

Mataram. Dulu ia banyak ikut berperang mengikuti Ingkang Sinuhun Sultan Agung."

"Guru juga pernah menceritakan hal itu, ibu, bahwa suami ibu adalah seorang

perwira Mataram yang bernama Tumenggung Yudokenoko," sahut Fajar Legawa.

"Engkau benar. Memang dialah suamiku!" kata Dewayani. "O ya, lalu apakah

sebabnya engkau datang juga kemari?"

Fajar Legawa seperti sadar dari mimpi mendengar pertanyaan ini. Baru ingatlah ia

sekarang akan tujuannya datang kemari. Dengan agak gugup ia segera menceritakan

malapetaka yang telah menimpa keluarga dan para tetangganya. Dan kemudian ia

menduga bahwa Juru Demunglah yang sudah melakukan perbuatan terkutuk itu.

"Perkenankan saya minta diri untuk mencari adik Irma Sulastri," kata pemuda ini

kemudian, dan tanpa menunggu jawaban Fajar Legawa telah masuk ke dalam sarang

penjahat itu.

"Nanti dulu !" tiba-tiba Dewayani menahan. "Mengapa engkau tidak minta diri

kepada anakku?"

Melengak untuk sejenak, atas teguran Dewayani ini. Saat sekarang dirinya sedang

gelisah memikirkan adik perempuannya. Mengapa hanya sekecil ini saja, harus

dipikirkan? Akan tetapi Fajar Legawa memang tidak ingin membuat orang kecewa. Ia

kembali dan mendekati Nawang Wulan sambil berkata. "Nona, ijinkan....."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Nanti dulu!" tukas Dewayani. "Janganlah kamu mempersulit diri dengan macam

sebutan. Wulan lebih muda, maka pantas memanggil kakang. Dan engkau yang lebih tua,

pantas pula menyebut adik."

Terasa malu juga dua orang muda ini mendengar kata-kata Dewayani. Namun

kemudian walaupun agak likat dan canggung, Fajar Legawa segera minta diri dan dengan

gerakannya yang cepat, ia menerobos masuk ke dalam sarang penjahat ini.

Rumah yang luas ini ternyata sepi. Ia tidak menjumpai seorangpun. Ia menduga

bahwa Juru Demung telah sempat mengosongkan rumah ini dalam waktu singkat. Akan
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetapi setelah ia masuk semakin dalam sambil meneliti keadaan, tiba-tiba saja darah

pemuda ini tersirap, ketika melihat tubuh seorang perempuan muda yang menggeletak di

lantai. Hatinya berdebar tegang karena sudah menduga, bahwa perempuan itulah

adiknya.

"Aihh...!" Fajar Legawa berseru tertahan, ketika melihat keadaan perempuan ini.

Wajah perempuan ini telah rusak dan tidak mungkin lagi dapat ia kenal. Darah kering

memenuhi wajah itu, jelas perempuan ini mati akibat siksaan hebat. Hidung teriris, mulut

sobek, telinga hilang dan pada pipi tampak luka yang bersilang. Dan ketika meruntuhkan

pandang-mata ke arah dada, ternyata sebatang pisau belati menancap di sela bukan.

Namun setelah meneliti dengan seksama, pemuda ini menjadi lega. Perempuan

muda yang tewas akibat siksaan ini sekalipun mempunyai potongan tubuh yang mirip

dengan Irma Sulastri, akan tetapi perempuan ini kulitnya hitam, sedang adiknya berkulit

kuning.

Kasihan juga Fajar Legawa melihat keadaan perempuan ini, yang tidak terurus.

Namun saat sekarang ini dirinya sendiri sedang gelisah. Dalam waktu yang cepat, ia harus

segera dapat menemukan adiknya.

Cukup lama Fajar Legawa menggeledah isi rumah dan keluar masuk dalam kamar.

Tetapi walaupun berusaha tidak kenal lelah, adiknya yang dicari tak juga dapat

ketemukan. Dan ketika ia baru saja mau masuk ke-dalam sebuah kamar yang paling besar

dalam rumah itu, tiba-tiba saja pemuda ini memekik tertahan sambil melenting tinggi, dan

kemudian ia bergantungan pada penglari rumah. Di bawahnya sekarang tampak lobang

yang amat gelap, dan sesaat kemudian lobang itu menutup sendiri sambil menimbulkan

suara gemeratak.

Tanpa terasa telah dinihari. Ketika Fajar Legawa keluar dari rumah ini, halaman

yang luas itu telah kosong. Yang masih tampak hanya puluhan mayat yang berserakan

bersama macam-macam senjata, sedang Dewayani maupun Nawang Wulan, juga tidak

tampak lagi, entah kemana.

Dengan langkah yang agak lesu karena kecewa dan letih, ia meninggalkan sarang penjahat

itu. Sambil berjalan mi tiba-tiba ia teringat kepada tongkat yang sanggup mematahkan

senjata orang itu. Ia mengamati dan menimang-nimang. Akan tetapi tak juga pemuda ini

bisa menduga, apakah sebabnya tongkat ini hebat sedemikian rupa.

Terpikir kemudian, bahwa secepatnya ia harus pergi menemui gurunya, untuk

melaporkan malapetaka yang menimpa keluarganya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Perjalanan Fajar Legawa menuju tempat tinggal gurunya ini kurang perlu

diceritakan. Ia telah berhasil menghadap gurunya, dan di depan guru yang bijaksana ini

Fajar Legawa menangis tersedu-sedu.

"Fajar, apa yang sudah terjadi? Dan apa kabar adi Kusen?" tanya gurunya yang

merasa heran melihat muridnya menangis.

Dengan ucapan yang tersendat-sendat, diceritakan apa yang telah terjadi atas

keluarganya. Suria Kencana menghela napas dalam mendengar penuturan ini. Kemudian

katanya halus. "Fajar, tenangkanlah hatimu. Kehendak dan kekuasaan Tuhan tidak

terbantah oleh manusia. Apa yang terjadi atas diri tiap manusia, sudab sesuai dengan garis

yang ditentukan Tuhan. Ya, aku mengerti Fajar, betapa derita hatimu oleh malapetaka

yang menimpa keluargamu itu. Ayah-bundamu tewas dan adikmu hilang. Akan tetapi

juga berbangga hati bahwa engkau mempunyai seorang ayah yang gagah perkasa, sebagai

kesatrya sejati yang sanggup mengorbankan jiwa-raganya demi tugas yang dipikulnya.

Demi sumpah dan demi janji yang pernah diucapkan."

Keheranan Fajar Legawa mendengar kata-kata gurunya ini. Mengapa ayahnya

disebut sebagai seorang gagah-perkasa, sebagai ksatrya sejati yang sanggup

mengorbankan jiwa raga demi tugas?

Tugas apakah itu? Jasa apakah yang telah dilakukan oleh ayahnya, sebagai seorang petani

yang hidup di gunung?

"Bapa," katanya kemudian sambil menyeka air matanya. "Ayah hanya seorang

petani yang hidup di pegunungan. Mengapa bapa menyebut sedemikian tinggi?"

"Kiranya tidak mengherankan apabila engkau kurang percaya," kata Suria

Kencana sambil mengusap-usap jenggotnya yang agak panjang. "Soalnya bukan lain

karena ayahmu selalu merahasiakan dengan tertib, keadaannya yang sebenarnya. Hingga

engkau menjadi buta akan tugas berat yang dipikulkan atas pundak ayahmu. Dan oleh

tugas berat yang dibebankan pada pundaknya itulah, maka ayahmu harus hidup

menderita sebagai petani di pegunungan."

Suria Kencana berhenti, ia mengamati muridnya seperti mencari kesan. Dan

setelah menghela napas pendek, barulah kakek ini meneruskan. "Ayahmu bukanlah

petani seperti dugaanmu. Dan nama Kusen-pun baru dikenal orang sesudah ayahmu

berdiam di tempat itu. Tetapi Fajar, saat sekarang aku belum bersedia membuka rahasia

seluruhnya, siapakah engkau yang sebenarnya. Dan belum tiba saatnya pula, anak

siapakah sesungguhnya engkau ini? Yang jelas orang yang menamakan diri Kusen itu

bukan ayahmu. Kiranya saat itu cukup aku singkapkan sedikit rahasia, bahwa ayahmu

yang bernama Kusen itu seorang petugas yang menyelamatkan sebilah keris pusaka dari

rumah Kadipaten Ukur, yang bernama "Tilam Upih". Keris pusaka itu, dahulu besar

sekali jasanya kepada pemiliknya, yang bernama Dipati Ukur."

Dipati Ukur yang dimaksud oleh Suria Kencana ini, adalah seorang Adipati

Mataram yang berkuasa di wilayah Ukur. Yang sekarang dikenal dengan nama wilayah

Bandung.

Heran Fajar Legawa mendengar penuturan gurunya ini. Apakah sebabnya

gurunya ini menyinggung-nyinggung tentang Dipati Ukur? Dan kalau Kusen bukan ayahhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

kandungnya, lalu siapakah sesungguhnya ayah-bundanya itu? Akan tetapi ia tahu bahwa

gurunya tidak mungkin bersedia menerangkan, diluar kemauannya sendiri.

"Bapa, dimanakah keris pusaka "Tilam Upih" itu sekarang?" tanya Fajar Legawa

tiba-tiba. Sebab mendadak saja timbul kekhawatirannya, keris itu dirampas orang.

"Fajar, sabarlah!" Suria Kencana berusaha menyabarkan muridnya. "Pada

akhirnya engkau akan tahu juga tentang keris itu."

Suria Kencana batuk-batuk kecil, dan kemudian terusnya. "Fajar, pada akhirnya

tentang keris pusaka "Tilam Upih" itu bocor juga. Entah, aku sendiri tidak tahu akan

sebabnya, mengapa sampai rahasia itu bocor. Anakku, orang hanya tahu bahwa Dipati

Ukur dibunuh mati oleh algojo Mataram di Karta. Sedang pusaka keris itu tidak

didapatkan orang. Dengan bukti-bukti itu, akhirnya orang sampai kepada kesimpulan

bahwa keris puska yang amat terkenal itu disembunyikan orang. Dan berita tentang

lenyapnya keris itupun kemudian sampai pula ke te!inga para penjahat. Lalu timbullah

selera orang, untuk mencari di manakah keris pusaka "Tilam Upih" itu sekarang, berada."

Fajar Legawa memandang gurunya, dan dari pandang matanya itu jelas bahwa

pemuda ini tampak tidak sabar.

Suria Kencana kembali batuk-batuk kecil, baru kemudian ia melanjutkan. "Fajar,

untunglah bahwa agaknya ayahmu jauh sebelumnya sudah memperhitungkm persoalan

bocornya masalah ini. Dan itulah sebabnya semenjak engkau masih kecil, engkau telah

dititipkan kepadaku, dengan harapan agar aku dapat mendidikmu sebagai anak. sendiri.

Mengapa demikian? Karena di dalam penyamarannya sebagai petani itu, sulitlah ayahmu

mendidik engkau seperti apa yang telah aku lakukan untukmu. Karena, hal itu akan

menimbulkan kecurigaan orang."

"Fajar," kata gurunya lagi setelah sejenak berhenti, "sesudah tentang keris pusaka

Gusti Adi pati Ukur itu bocor, maka para penjahat berusaha untuk bisa memperoleh keris

yang bertuah itu. Mereka saling berlomba dan dahulu mendahului. Berakibat pula tidak

terhitung jumlahnya korban yang jatuh oleh perbuatan orang-orang yang tidak

bertanggung-jawab. Dan kemudian agaknya, terdapat pula penjahat yang bisa mencium

bahwa sesungguhnya Kusenlah yang menyimpan pusaka itu. Hemmm, ayahmu akhirnya

gugur dalam mengemban tugas berat itu. Dan aku percaya pula, bahwa sebabnya ayahmu

gujur, bukan lain dalam usahanya untuk menyelamatkan keris pusaka itu."

Suria Kencana menghela napas berat. Untuk beberapa saat lamanya kakek ini tidak

membuka mulut, dan menundukkan kepalanya. Tampak sebali Suria Kencana tercekam

oleh rasa haru, sehubungan dengan gugurnya Kusen bersama isterinya. Dan sesudah ia

berhasil menekan perasaan, barulah ia meneruskan. "Sesudah berhasil membunuh

ayahmu, agaknya mereka kemudian berusaha memperoleh rahasia itu dari ibumu. Na
mun ternyata ibumu pun seorang wanita sejati. Ia tak mau membuka rahasia itu, dan

akibatnya ibumu pun dibunuh. Tak juga puas dengan membunuh ayah-bundamu,

kemudian mereka masih juga menculik adikmu, Irma Sulastri."

"Apakah maksudnya menculik Irma?" tanya Fajar Legawa.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Agar kemudian orang berusaha mencari Irma Sulastri." Suria Kencana

menerangkan. "Dan dengan meminjam adikmu itu sebagai jaminan, dengan gampang

penjahat itu akan berhasil menemukan kunci rahasianya."

"Jadi menurut dugaan bapa, Irma takkan diganggu orang?"

"Semua itu kiranya tergantung oleh keadaan. Dan aku sulit menduga, mereka

masih menganggap Irma mempunyai kedudukan menentukan atau tidak. Namun dalam

waktu yang terbatas, keselamatan adikmu tidak perlu dikhawatirkan."

Agak tenteram hati Fajar Legawa mendengar keterangan ini. Dan dengan

demikian berarti masih dapat mengharapkan bertemu dengan adiknya. Akan tetapi

kapankah harapan ini bisa terwujud?

Setelah beberapa saat lamanya orang-tua ini berdiam diri, kemudian terdengar ia

berkata lagi. "Fajar, dengan menawan adikmu itu, diharapkan orang-orang yang

mempunyai hubungan akan dapat dijebak dengan gampang. Oleh sebab itu anakku, di

dalam usaha mencari adikmu itu, bahaya akan selalu mengancam dirimu, dan setiap

kelengahan bisa menimbulkan hal-hal yang tidak kita harapkan. Maka berhati-hatilah eng
kau dalam setiap gerak dan langkahmu, dimanapun juga."

"Bapa, murid menjadi bingung." kata pemuda ini kemudian.

"Apakah yang membuat bingung?" gurunya bertanya.

"Bapa mengatakan bahwa ayah Kusen bukan ayahku yang sebenarnya. Lalu

siapakah diri murid ini? Apakah murid anak jadah?"

"Hemm, jangan engkau merasa diri serendah itu anakku. Bukan, engkau bukan

anak jadah atau anak haram. Akan tetapi maafkan aku, saat sekarang ini belum saatnya

aku menerangkan."

"Tetapi, mengapakah sebabnya keris pusaka "Tilam Upih" milik Adipati Ukur itu,

dititipkan kepada ayah Kusen? Mengapa tidak dititipkan kepada orang lain?"

"Itu jawabannya gampang dan singkat. Sebab ayahmu Kusen itu, disaat Gusti

Adipati Ukur masih hidup dan berkuasa, adalah salah seorang kepercayaannya. Ayahmu

Kusenlah pengurus rumah tangganya."

Fajar Legawa merasakan kepalanya seperti mau meledak, dan dadanya penuh

pertanyaan kemudian. "Dimanakah keris itu sekarang, bapa? Tadi bapa mengatakan

bahwa keris itu tidak di tangan ayah Kusen,"

"Hemm, akhirnya rahasia itu tidak dapat aku tutup lagi, Fajar." Suria Kencana

menyahut sambil menganggukkan kepalanya. "Dan sebenarnya engkaulah yang

membawa keris pusika "Tilam Upih" dan diperebutkan orang itu."

Fajar Legawa berjingkrak saking kaget. Dirinya tidak merasa membawa keris iiu.

Tetapi mengapa sebabnya gurunya ini mengatakan dirinya yang membawa? Oleh sebab

itu pemuda ini mengamati gurunya dengan pandang mata yang curiga. Katanyahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

kemudian. "Bapa. Murid tidak memiliki sebilah kerispun. Mengapa bapa mengatakan

bahwa keris pusaka itu di tangan murid?"

Terdengar Suria Kencana ketawa lembut. Kemudian. "Aku sudah menduga

bahwa engkau tidak merasa menyimpan keris pusaka itu. Akan tetapi anakku, aku tidak

berkelakar. Engkau benar-benar menyimpan keris itu. Apakah engkau tidak merasa,

bahwa di dalam tongkat itulah keris pusaka "Tilam Upih" itu tersimpan? Ya, aku memang

sengaja tidak memberitahukan kepadamu tentang keris itu. Namun sekarang aku telah

berterus-terang."

"Celaka!" seru pemuda itu kaget.

"Mengapa?"

"Karena kecerobohan murid, orang segera dapat menduga-duga bahwa pusaka itu

di tangan murid." Fajar Legawa berusaha memberi penjelasan. "Murid telah

menggunakan tongkat ini untuk mengobrak-abrik sarang penjahat Juru Demung. Setiap

senjata yang berbenturan dengan tongkat murid akan segera patah atau rusak. Dan dengan

kenyataan ini mau tidak mau orang akan segera curiga dan menduga-duga. Bahwa di

dalam tongkat murid, tentu tersimpan senjata pusaka. Ahhh, semula saya keheranan.

Akan tetapi teka-teki itu sekarang sudah terjawab. Bapa murid menjadi khawatir sekali.

Khawatir kalau murid tidak dapat menyelamatkan keris pusaka "Tilam Upih" ini. Maka

murid sekarang mohon agar bapa sudi menyimpan keris ini."

"Ha-ha-ha," Suria Kencana tertawa. "Engkau tidak perlu gelisah, anakku.

Mengapa engkau harus khawatir? Bukankah engkau percaya akan kekuasaan Tuhan dan

takdirnya? Kalau percaya, maka serahkanlah semua itu bulat-bulat kepada Tuhan."

Gurunya berhenti dan memandang Fajar Legawa penuh perhatian. Sejenak

kemudian guru ini meneruskan. "Fajar, engkau menduga bahwa aku lebih pantas

menyimpan keris pusaka itu? Apakah engkau lupa bahwa segala sesuatu terjadi sesuai

dengan garis Tuhan? Setiap orang kenal belaka bahwa aku sahabat ayahmu Kusen. Siapa

tahu kalau kemudian hari orang datang ke mari dan memaksa padaku agar menyerahkan

keris itu? Aku sudah tua, baik tenaga maupun keadaanku sudah banyak menurun. Maka

jalan yang paling tepat apabila keris itu tetap pada tanganmu, dan semuanya serahkan
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bulat-bulat di tangan Tuhan."

Untuk beberapa saat lamanya guru dan murid ini tidak membuka mulut. Masing
masing seperi sedang berpikir.

"Baiklah bapa, murid akan selalu menjaga keselamatan keris ini," kata Fajar

Legawa kemudian. "Akan tetapi setujukah bapa, bahwa keris ini ditempatkan pada benda

lain agar lebih gampang menjaganya?"

Suria Kencana menghela napas pendek. Kemudian. "Fajar, kiranya pada saat

sekarang belum dipandang perlu berbuat demikian. Biarkan keris itu dalam tongkatmu.

Namun demikian juga menuntut padamu untuk lebih berhati-hati. Batasilah engkau

menggunakan tongkat itu, apabila tidak dibutuhkan benar-benar. Sebab dengan sekali

bentur senjata orang patah akan menimbulkan kerigaan orang. Engkau bukan anak kecil

lagi Fajar, aku percaya engkau sudah dapat berpikir mana yang lebih baik."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Kakek ini berhenti dan menundukkan kepalanya seperti sedang berpikir. Dan

kemudian terdengar lagi kata orang tua ini. "Ada sesuatu yang tidak kurang pentingnya

aku beritahukan padamu."

"Tentang apakah bapa?" tanya Fajar Legawa sambil mengambil mengangkat

kepalanya.

"Telah berlangsung belasan tahun lamanya, bahwa didalam pergaulan masyarakat

timbul pendapat tentang pentingnya dapat memiliki pusaka-pusaka yang bertuan. Di

samping orang berlomba ingin memiliki keris pusaka "Tilam Upih", ada pula pusaka lain

yang diincar tiap orang. Pusaka itu bernama pedang pusaka "Sokayana" ."

"Pedang Sokayana?" Fajar Legawa terbelalak. "Milik siapakah pedang itu pada mulanya

bapa?"

"Tidak seorangpun dapat memberi penjelasan. Namun yang terang pedang itu

sudah berpindah-pindah dari satu tangan ke tangan orang lain. Dan perpindahan itupun

menimbulkan korban cukup banyak. Akan tetapi yang jelas, apabila pusaka bertuah itu

jatuh ke tangan orang jahat, akan menimbulkan bencana dalam masyarakat. Ada orang

mengatakan pedang itu merupakan benda peninggalan Maha Patih Gajah Mada. Ada

pula orang yang merasa yakin peninggalan Ronggo Lawe. Tetapi lain pihak ada pula yang

mengatakan pedang itu semula milik Raden Gajah, pahlawan Majapahit. Macam
macamlah kata orang. Sehingga sulit mengetahui mana yang benar. Aku hanya tahu

bahwa pedang itu tajam sekali, dan orang berlomba memiliki."

Banyak pengetahuan yang diberikan oleh guru bijaksana ini untuk muridnya.

Hanya satu persoalan, siapakah dirinya yang sesungguhnya, gurunya tetap belum juga

mau menerangkan, dengan alasan "belum waktunya".

Pemuda ini telah berpisah dengan gurunya lagi. Hilangnya Irma Sulastri

menyebabkan pemuda ini ingin meneruskan lagi penyelidikannya. Namun mengingat

bahwa perjalanan selanjutnya akan banyak membutuhkan tenaga, maka terpikirlah untuk

pergi ke Margasari dahulu, bertemu dengan Wanengbaya, untuk mengambil kudanya.

Ketika itu sudah siang. Matahari hampir di tengah jagad dan memancarkan

cahayanya yang cukup terik. Gunung Pandantelu sudah tidak jauh lagi, dan ia melewati

jalan pedesaan yang berdebu. Akan tetapi Fajar Legawa menjadi kaget dan mengerutkan

alisnya ketika tiba-tiba menangkap teriakan anak kecil. "Lepaskan. . . .lepaskan. . . !

Bangsat. . . .anjing . . ! Lepaskan aku. . ...!"

"Tutup mulutmu. Kupukul engkau jika rewel!" bentak seorang laki-laki yang sedang

mencengkeram lengan bocah itu sambil mendelik.

"Apakah engkau ingin aku tempeleng?" katanya lagi. Dan baru ancaman ini

diucapkan tangannya telah bergerak dan menempeleng. Kontan saja bocah kecil itu

memekik kesakitan, menangis sejadinya dan jatuh tersungkur di atas tanah berdebu.

Mereka itu empat orang. Mereka gembira sekali dapat menyiksa bocah itu dan

ketika bocah itu tersungkur, mereka sambut dengan ketawa mereka yang bergelak-gelak.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tidak seorangpun berusaha menolong anak kecil itu. Malah mereka yang melihat, cepat
cepat pergi dan bersembunyi, agar tidak ikut memikul akibatnya.

Tadi, bocah itu memang menangis sejadinya. Tetapi ketika mendengar

ditertawakan, tiba-tiba saja bocah ini bangkit dan tangisnya berhenti mendadak. Bocah ini

secara tidak terduga telah menubruk. Dan salah seorang berhasil digigit tangannya.

"Aduhh.......... anjing kecil!" teriak yang digigit, "Kau ingin mampus?"

Tangan yang lain menempeleng mulut bocah itu, sehingga gigitannya lepas. Disaat

tubuh ini masih terhuyung, tendangan telah bersarang pada perut. Kontan saja bocah cilik

ini terlempar beberapa meter jauhnya, lalu roboh terguling.

Tetapi begitu jatuh bocah ini sudah bangkit lagi, tidak perduli mulutnya

berdarahan pakaiannya kotor. Mata yang kecil itu berapi-api menyapu kepada mereka.

Agaknya kesakitan yang diderita, menyebabkan bangkit keberanian bocah ini.

Melihat ini Fajar Legawa tertegun. Apakah sebabnya empat orang dewasa

menganiaya bocah cilik? Dan mengapa pula sebabnya orang tidak berusaha menolong

dan menyelamatkan bocah itu.

Salah seorang dari empat orang itu mendelik sambil membentak. "Anjing kecil!

Engkau berani menantang kami? Apakah engkau ingin kupukul biar pecah kepalamu?"

"Biar aku yang menghajar!" sambut salah seorang di antara mereka, kemudian dia

telah melompat dan mengayunkan pukulannya.

Tetapi sebelum pukulannya itu sempat mengenai si bocah, sesosok bayangan yang

gesit telah menyambut. Terdengar pekik kesakitan, kemudian terlemparlah tubuh laki-laki

yang pada mulanya ingin menghajar bocah itu. Laki-laki itu tidak segera bangun, dan dia

merintih-rintih.

"Hai babi!" damprat seorang diantara mereka, "Apakah engkau mencari mampus,

berani mengganggu pekerjaan kami?"

"Tidak tahu malu!" kata Fajar Legawa. "Mengapa kamu menghajar bocah cilik?"

"Apa? Engkau ingin membela?" salah seorang diantara mereka bertolak pinggang.

"Nih, sambutlah pukulanku!"

Orang tersebut sudah menerjang maju. Dan Fajar Legawa tersenyum. Ia tidak

bergerak dari tempatnya berdiri, dan baru menghindar setelah pukulan itu hampir

menyentuh tubuhnya. Namun demikian ia belum membalas, karena ia tahu bahwa

sesungguhnya orang ini hanyalah garang di luar. Sesungguhnya orang ini hanyalah

gentong kosong saja. Dan agaknya serangannya yang luput itu, telah memberi alasan bagi

orang ini untuk mencabut senjatanya. Dan iapun kemuaian memberi isyarat kepada

kawannya untuk maju dan mengeroyok.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Tring tring plak.....!" tiga orang laki-laki itu terbelalak kaget ketika senjata mereka

menyeleweng oleh sentilan pemuda itu. Tetapi hanya sejenak saja, kemudian mereka telah

kembali menyerang secara ganas.

Akan tetapi sayang sekali bahwa mereka itu hanyalah orang-orang kasar yang

pandai menekan, memeras dan berbuat sewenang-wenang kepada penduduk yang lemah.

Sekarang walaupun mereka mengeroyok tiga, dan bersenjata pula, mereka tidak mampu

berbuat apa-apa menghadapi Fajar Legawa.

"Tring tring plak buk hek .....!"dengan sentilan jari tangan senjata mereka dapat

disentil menyeleweng. Belum juga mereka dapat berbuat sesuatu, berturut-turut Fajar

Legawa telah membagi pukulan dan tendangan. Akibatnya tiga orang itu terlempar dan

mengaduh-aduh kesakitan. Kegarangan mereka lenyap, kemudian mereka meratap-ratap

dan minta ampun.

"Horee .... paman hebat sekali. . . ..!" anak kecil itu kagum sekali, lupa rasa sakit

akibat penganiayaan mereka tadi, dan sekarang sudah bersorak.

Fajar Legawa memalingkan muka kepada bocah itu. Hatinya terharu melihat

mukanya berlepotan darah dan pakaiannya kotor di samping robek sana-sini. Dan

agaknya bocah itu menjadi makin berani. Ia sudah menghampiri Fajar Legawa sambil

memegang lengan, katanya. "Paman, bolehkah aku membalas memukul mereka?"

"Engkau berani?" tanyanya sambil tersenyum.

"Mengapa tidak berani?" jawabnya tegas.

"Baiklah anak baik, pukullah mereka. Tetapi masing-masing tidak boleh lebih dua kali

saja."

"Bagus," bocah ini bertepuk tangan gembira sekali. Kemudian, ia telah mendekati si tinggi

besar yang tadi sudah memukul mulutnya.

"Tak dess .... aughh ....!" si tinggi besar kelabakan dan memekik kesakitan. Oleh dupakan

tumit, hidungnya sudah mengeluarkan kecap. Dan di samping itu, dadanya juga terasa

sesak tiba-tiba, oleh dupakan bocah ini pula.

Bocah kecil itu senang dan berjingkrakan. Kemudian ia membagi pukulan kepada

mereka dengan caranya sendiri. Setelah empat orang itu mengaduh-aduh kesakitan oleh

balasannya, bocah ini puas.

Fajar Legawa iba dan kasihan. Dibersihkan noda darah pada muka bocah itu, di

samping obat untuk menyembuhkan luka pada bibir dan dalam mulut.

"Mengapa mereka memusuhi engkau? Apakah engkau nakal?"

"Tidak! Aku tidak bersalah paman. Dan orang-orang tidak berani menolong aku."

Di saat Fajar Legawa sedang bicara dengan bocah itu, maka empat orang tadi

diam-diam telah pergi karena ketakutan,

"Ohh . . . . kak Karni .... kak Karni . . " teriak bocah ini tiba-tiba, setelah ingat akan

keadaan, dan bocah ini berusaha lari.

''Ada apa?" tanya Fajar Legawa sambil memegang lengan bocah itu.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Lepas .... lepaskan aku. Aduhh .... kak Karni .... hu-hu-huuu . . . ."

"Ada apa?" desaknya sambil tetap memegang lengan kecil itu.

"Tadi .... tadi kak Karni diambil orang . ."

"Siapa yang mengambil?"

"Orang orang Singamurda . . . tadi aku .... tidak boleh ikut. Dan aku dipukuli . . ."

Tiba-tiba saja bocah ini menangis terisak-isak. Dan Fajar Legawa tambah iba.

"Apa sebabnya diambil?"

"Tak tahu .... hu-hu-huuu.....tapi kak Karni tadi tidak mau dan melawan . . . .."

"Di manakah rumah dia?" tanya Fajar Legawa dengan hati tegang. Walaupun

keterangan ini kurang jelas, namun ia sudah dapat menduga bahwa kakak-perempuan

bocah ini diambil orang secara paksa.

"Sana....!" bocah itu menunjuk kearah selatan.

"Mari kita ambil," ajak Fajar Legawa kemudian, sambil membimbing bocah itu.

Anak itu menengadahkan kepalanya untuk menatap Fajar Legawa. Lalu, "Tetapi paman

.... tidak seorangpun tetanggaku yang berani menolong .... Apakah paman berani?"

Mendengar pertanyaan bocah ini, tahulah ia mengapa para penduduk lebih senang

bersembunyi dan tidak mau campur-tangan. Agaknya orang yang disebut bernama

Singamurda itu seorang kaya, atau setidak-tidaknya seorang yang ditakuti oleh para

penduduk maupun kepala desa. Dan sebabnya orang-orang desa ini tidak berani membela,

bukan lain karena mereka takut akan akibatnya.

"Ha .... ternyata pamanpun takut juga?" sindir bocah ini.

Tetapi Fajar Legawa tidak marah, malah tersenyum. Jawabnya kemudian. "Siapa

yang takut? Anak baik, aku tidak takut kepada Singamurda, seperti para penduduk desa

ini. Mari, tunjukkan aku di manakah rumah dia."

Wajah bocah ini tiba-tiba berobah berseri gembira. Kemudian ia telah berlari-lari

mendahului Fajar Legawa.

"Jauhkah rumah orang itu?" tanya Fajar Legawa.

"Rumahnya terletak di-ujung sana."

"Mari aku dukung, agar lebih cepat." Dan tanpa menunggu jawaban, bocah ini

sudah didukung.

"Ahh, paman baik sekali."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Apanya yang baik?"

"Paman toh belum kenal aku maupun kakakku. Tetapi paman sudah sedia

menolong. Sebaliknya walaupun para tetanggaku telah kenal, mereka malah tutup pintu."

Fajar Legawa tersenyum. Kemudian tanyanya. "Siapakah namamu?"

"Namaku Sasongko! Dan paman?"

"Aku Fajar Legawa."

"Ahhh .... bagus......"

"Apanya yang bagus?"

"Nama paman."

Tiba-tiba pemuda ini teringat kepada ayah bocah ini. Tanyanya. "Sasongko,

mengapa ayahmu tidak menolong kak Karni?"

"Ayah? Ayahku? Aku dan kak Karni sudah tidak punya ayah dan ibu lagi."

"Sudah meninggal?" ulang Fajar Legawa. Dan tiba-tiba saja ia merasa iba, bahwa

bocah sekecil ini sudah tidak berayah dan ibunda lagi. Bocah yang usianya baru antara

delapan tahun ini sesungguhnya masih amat memerlukan perlindungan orang-tua.

"Paman," kata bocah ini, "aku tadi sedang bermain-main ketika orang-orang

Singamurda itu datang ke rumahku. Dan aku hanya menyaksikan bahwa kakakku

memekik dan menangis di samping berusaha memberontak. Tetapi walaupun kakakku

memberontak, mereka jauh menang kuat. Kakakku tidak berdaya, dan tidak seorangpun

berani menolongnya. Aku mengejar sampai ke rumah Singamurda. Tetapi kemudian aku

ditangkap dan digelandang pulang sambil dicaci dan dipukuli. Nih paman .... bibirku

pecah dan kepalaku benjol-benjol, rasa tubuhku sakit semua."

"Tadi engkau sudah aku beri obat, nanti akan sembuh anak baik."

Bujukan Fajar Legawa ini berhasil. Kemudian dengan tangannya yang kecil

Sasongko telah menunjuk ke depan, ke arah pekarangan itu yang bertembok tinggi. "Tuh,
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tembok tinggi itulah rumah Singamurda, tetapi awas paman, rumahnya selalu dijaga

orang-orang bersenjata."

"Jangan khawatir, anak baik- Aku akan berhati-hati dalam usahaku menolong

kakakmu. Dan kau, tunggu saja di tempat agak jauh."

"Mengapa harus jauh?" bantah bocah ini. "Aku ingin bisa menyaksikan usahamu

merebut kakakku. Aihh, paman, celaka! Perutku lapar sekali. Nih, sudah bunyi. Perut ini

sudah minta isi paman."

Fajar Legawa tersenyum tetapi juga merasa iba. Untung juga bahwa ia masih

menyimpan nasi jagung dan dendeng ikan rusa. Bocah ini diturunkan dari dukungannya,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

diberi sebungkus nasi jagung berikut ikan dendeng bakar, seraya berkata. "Anak,

makanlah nasi jagung dan ikan ini. Tetapi engkau harus tunduk pada perintahku, engkau

harus bersembunyi di tengah rumpun pisang itu, dan tidak boleh pergi. Apakah engkau

mengerti?"

Sasongko memandang dengan matanya yang bening. Kemudian mengangguk

sambil menjawab. "Ya paman, aku akan tunduk perintahmu,"

Pekarangan rumah itu bertembok cukup tinggi dan pada pintu masuk tertutup

rapat. Terdapat pintu kecil terbuka yang biasa dilewati orang dengan membungkuk.

Tetapi pintu itu dijaga dua orang bersenjata tombaks tidak bedanya dengan rumah seorang

bangsawan atau pembesar tinggi.

Namun Fajar Legawa tidak perduli. Ia langsung menghampiri dua orang penjaga

itu. Dengan sikap mengancam dua orang penjaga itu mengacungkan tombak dan salah

seorang sudah membentak. "Hai, apa kerjamu di sini? Mau merampok?"

Fajar Legawa tidak menjawab teguran penjaga itu, hanya tersenyum. Kemudian

dengan gerakan yang seperti kilat cepatnya, dua tangan sudah bekerja. Tombak terlempar,

dan dua orang itu roboh tanpa suara. Serangan yang cepat tidak terduga ini tidak memberi

kesempatan orang membela diri. Secepat kilat ia sudah melompat dan menerobos masuk.

Dua batang tombak menyerang dari kiri dan kanan. Akan tetapi dengan tangkisan,

tombak itu terpental.

"Rampok! Rampok!" teriak si penjaga.

Dalam waktu singkat halaman yang luas itu sudah dikurung puluhan orang

bersenjata. Namun tidak sedikitpun gentar pemuda ini, dan berdiri bersiaga. "Beritahukan

kepada Singamurda. Aku datang dan ingin bicara!"

Beberapa orang menyambut teriakan ini dengan ketawa mengejek. Tak lama

kemudian muncullah seorang laki-laki berusia kira-kira empat puluh tahun, bersikap

gagah dan pakaiannya indah. Pedang bersarung indah tergantung pada pinggang,

gerakannya gesit. Ketika berhadapan dengan Fajar Legawa, laki-laki itu sudah memaki.

"Bangsat! Butakah matamu bahwa di dalam rumah ini terdapat peraturan? Setiap tamu

harus melapor dahulu kepada penjaga dan minta ijin masuk. Tetapi engkau sudah

menerobos masuk seperti maling. Apakah engkau memang datang untuk merampok?"

"Hemm, aku ingin berhadapan dengan Singamurda."

"Heh-heh-heh, jangan engkau membuka mulut sembarangan di sini. Tahu?"

hardik laki-laki ini. "Hari ini beliau tidak menerima tamu! Hah-huh, masuk memang

mudah. Tetapi untuk keluar, tinggalkan dahulu nyawamu."

Terdengar suara sambutan yang mengejek dari beberapa orang. Malah ada pula

yang sudah menganjurkan, agar tamu kurang ajar itu segera di cincang sampai mati.

Fajar Legawa tetap tenang. Kemudian katrnya. "Jika Singamurda tidak sempat

menemui aku di luar, biarlah aku sekarang yang masuk."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sekali melompat dengan gerakan yang gesit, Fajar Legawa telah dapat melampaui laki
laki yang menghadang ini. Akan tetapi sebelum ia sempat masuk kedalam pendapa,

sambaran angin tajam menyentuh punggung, ia melompat kesamping sambil

membalikkan tubuh, dan sekali sambar tombak yang dilemparkan orang sudah dapat ia

tangkap.

Sungguh kebetulan. Ia tidak dapat menggunakan tongkatnya sembarangan dan

membutuhkan senjata. Dengan tombak ini, walaupun tidak biasa akan dapat menahan

terjangan musuh.

Tetapi justeru tertundanya langkah ini, ia kembali terkepung rapat sekali. Mereka

sudah tidak mau bicara lagi, langsung menerjang dengan senjata masing-masing.

Benturan senjata segera terdengar berturut-turut, halaman itu segera terjadi hiruk-pikuk.

Pengeroyokan ini dipimpin oleh laki-laki yang menghadang tadi, bernama Singa Warih.

Dia merupakan pemimpin yang ketiga. Lengkapnya mereka empat orang. Ialah

Singamurda, Singawana, Singawarih dan Lamdahur.

Beruntung tak lama kemudian Fajar Legawa berhasil merampas sebatang pedang.

Dengan senjata pedang ini, gerakannya justeru lebih gesit dan leluasa dibanding dengan

tombak yang tidak biasa.

Dalam waktu singkat Fajar Legawa telah terkurung amat rapat. Dan keroyokan ini

tambah hebat lagi setelah Singawana terjun ke gelanggang. Singawarih bersenjata pedang,

dan Singawana bersenjata golok. Pedang Fajar Legawa menyambar-nyambar dahsyat dan

setiap bergerak menikam atau menbabat, akan terdengarlah pekik kesakitan. Meskipun

demikian yang ia hadapi sekarang ini banyak sekali. Patah tumbuh hilang berganti.

Apa yang terjadi di tempat ini, tidak jauh bedanya dengan ketika dirinya masuk ke

dalam sarang Juru Demung. Walaupun ia berkulit tembaga dan bertulang besi, akhirnya

ia repot juga. Sebab ia tidak berani menggunakan tongkatnya yang ampuh itu, yang dapat

mematahkan senjata lawan dengan sekali bentur.

Di saat perkelahian sedang berlangsung sengit ini, tiba-tiba terdengarlah suara

ketawa bekakakan, dan disusul kata-kata seperti kaleng pecah. "Ha-ha-ha, menangkap

tikus cilik saja, mengapa harus main keroyokan? Kakang Singawana! Kakang Singawarih!

Kalian mundurlah, serahkan tikus itu kepadaku."

Berbareng dengan selesainya ucapan itu, sesosok tubuh telah melayang turun dari

atap. Dia inilah Lamdahur, seorang laki-laki bertubuh tinggi besar bagai raksasa, dan

merupakan orang termuda dalam gerombolan ini. Akan tetapi walaupun paling muda,

tenaganya kuat sekali seperti raksasa. Dan sesuai dengan tenaganya yang kuat itu, maka

penggadanya menyeramkan dan amat besar, dan malah sepasang pula.

Singawana dan Singawarih dan mereka semua yang tadi mengeroyok sudah

melompat mundur. Mereka semua percaya bahwa Lamdahur akan sanggup membereskan

pemuda liar dan sombong ini. Dan tanpa bicara ini dan itu, Lamdahur sudah pula

menerjang ke arah Fajar Legawa. Sepasang penggadanya bergerak cepat menerbitkan

angin menderu-deru. Namun Fajar Legawa menghadapi dengan tenang.

Perkelahian seorang lawan seorang ini dalam waktu singkat telah menjadi sengit.

Pada saat tidak terduga, Fajar Legawa mendapat kesempatan menikamkan pedangnya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tetapi dengan tenang Lamdahur sudah menggerakkan penggadanya secara bersilang.

Fajar Legawa menarik kembali pedangnya cepat-cepat, dan gerakan itu diteruskan untuk

membabat leher. Lamdahur yang tidak menduga kaget, dan menggerakkan penggadanya

untuk menangkis dan membabat kaki. Tetapi dengan loncatan yang ringan, sambaran

sepasang penggada itu luput.

"Bret!" Lamdahur terhuyung ke belakang, dan terdengar seruan tertahan dari mulut

beberapa orang. Baju Lamdahur yang indah terbikin dari sutera mahal itu sudah robek

berikut daging pundaknya terluka.

Lamdahur marah sekali dan menggeram marah sekali, terluka pada pundaknya.

Dengan sepasang penggadanva itu menerjang maju. Tetapi dengan lincahnya Fajar

Legawa selalu berhasil menghindari.

"Kakang Singawana. Kakang Singawarih. Bantulah aku!" akhirnya Lamdahur tak dapat

menahan diri lagi, dan minta bantuan saudaranya.

Tiga orang itu segera mengeroyok Fajar Legawa. Pedang pemuda ini menyambar

kearah Siagawana. Akan tetapi senjata Singawarih menyambar dari arah kiri. Tanpa

menunda gerakan pedangnya, Fajar Legwa menggunakan tangan kiri untuk mementil

senjata lawan. Akan tetapi pada saat itu Lamdahur tidak berdian diri. Penggada pada

tangan kanan menyerampang kaki dan penggada tangan kiri dipergunakan menyontek

pedang. Fajar Legawa tidak berani gegabah, dan terpaksa melompat menghindari.

Di saat perkelahian sedang terjadi dengan sengitnya ini, terdengar seruan beberapa

orang yang gempar. Fajar Legawa melompat mundur, demikian pula tiga orang

pengeroyok itu. Apa yang tampak kemudian ketika Fajar Legawa mengamati ke atas

tembok. Hampir ia tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Mengapa sebabnya

Sasongko Jati yang kecil itu, dapat naik ke tembok setinggi itu?

Akan tetapi kegemparan dan keheranan orang-orang itu hanya sejenak. Sambil

berteriak marah, anak-buah Singamurda ini sudah menghujani sambitan ke arah

Sasongko Jati. Namun walaupun itu seperti hujan, tidak sebutirpun yang dapat

menyentuh tubuh bocah itu.

"Ha-ha-ha. tidak tahu malu!' teriak bocah ini kemudian. "Mengeroyok seorang

saja tidak becus. Paman, engkau jangan khawatir. Aku bantu engkau dari tempat ini,

dengan pukulan "lebur jagad!"

Terkejut Fajar Legawa mendengar ini. Namun demikian, pemuda ini seperti

disadarkan. Mengapa sejak tadi ia hanya mengandalkan kepada senjata pedang, dan tidak

menggunakan Aji "Lebur Jagad"? Namun di samping itu heran pula hati pemuda ini. Dari

siapakah bocah itu tahu tentang aji itu? Hanya saja Fajar Legawa tidak sempat untuk

menduga-duga tentang bocah itu. Sambil menyalurkan tenaga sakti ke tangan kanan,

pedang itu sudah dipindah ke tangan kiri. Sambil membentak keras pemuda ini sudah

meloncat sambil memukul dengan telapak yang dimiringkan ke arah Singawana.

"Brak.....!" dan tubuh Singawana sudah terlempar lebih dua tombak jauhnya,

walaupun pukulan Fajar Legawa tidak menyentuh tubuh lawan. Limdahur dan

Singawarih kaget dan terbelala, menyaksikan saudaranya roboh di atas tanah tidak

berkutik lagi. Belum juga tahu apa yang harus dilakukan, mendadak terdengarlah suarahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

ribut dan pekik kesakitan dari beberapa orang, Dari atas tembok telah terjadi hujan se
rangan dengan batu kerikil, yang disambitkan oleh Sasongko Jati yang kecil. Akan tetapi

walaupun hanya disambitkan oleh bocah cilik, mereka yang terkena sambitan itu gulung

koming.

Saat itu juga terjadilah geger. Bukan saja para anak buah itu, tetapi Lamdahur dan

Singawarih sendiri menjadi hancur semangatnya, melihat akibat dari pukul lawan. Untuk

menyelamatkan diri, dua orang ini sudah melompat dan melarikan diri.

Sayang sekali Fajar Legawa saat ini sudah marah. Pukulan "Lebur Jagad" yang

kedua kalinya menyambar ke arah Singawarih, dan tidak ampun lagi tubuh orang itu

terpental lebih dua meter jauhnya, terguling roboh kemudian tidak berkutik lagi.

Pada saat itu, melayanglah Sasongko Jati dari atas tembok bersama seorang

pemuda gagah, mengenakan ikat kepala berwarna hijau muda.

"Kakang Tumpak!" seru Fajar Legawa yang kegirangan, bertemu dengan kakak
seperguruannya ini.

Tumpak Denta tertawa lebar, sambil menurunkan Sasongko Jati dari

pondongannya. Bocah ini ketawa gembira sekali, kemudian berkata, "Paman Fajar, aku

tadi dapat terbang!"

Semestinya, bocah, sekecil ini akan takut diajak melayang dari tembok setinggi itu.

Namun Sasongko Jati bukan takut, malah merasa bangga. Akan tetapi belum juga Fajar

Legawa sempat berkata, Tumpak Denta sudah mendahului. "Adi, jangan menunda

waktu. Selekasnya kita harus masuk ke dalam."

"Betul!" sambut bocah itu, "Kita tolong kak Karni!"

Bergegas mereka segera masuk ke dalam rumah. Namun rumah itu sepi, dan Singamurda

tidak tampak batang hidungnya. Pengalamannya di sarang Juru Demung menyebabkan

Fajar Legawa tidak berani gegabah dan bergerak sembarangan. Rumah yang tampaknya

kosong ini tentu sudah dilengkapi dengan perangkap dan jebakan. Dengan gerakan yang

hati-hati mereka terus masuk makin dalam.

"Aihhh .... kak Karni . . . .!" teriak Sasongko Jati tiba-tiba.

Tumpak Denta dan Fajar Legawa segera melihat pula, bahwa dalam ruangan rumah yang

cukup luas itu, tampak seorang perempuan duduk pada kursi tidak bergerak. Wajah

perempuan itu tampak pucat, dan kepalanya bersandar.

Tiba-tiba saja Sasongko Jati sudah melompat menghampiri perempuan itu, untuk

kemudian menubruk. Namun di saat tangan kecil itu hampir menyentuh kakaknya, segera

terdengarlah suara gemerisik halus dan mencurigakan. Tumpak Denta dengan

lompatannya yang ringan telah berhasil menyambar tubuh Sasongko Jati. Sebaliknya,

dengan tangan kiri, Fajar Legawa juga sudah berhasil menyambar tubuh perempuan itu.

Namun berbareng dengan itu, segera berdesinglah anak-panah, menyambar dari

seluruh penjuru. Untung juga dua orang muda ini sudah bersiap diri, dan sambil

berloncatan untuk keluar dari ruangan ini, menggunakan senjata untuk menangkis.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Celaka!" seru Fajar Legawa tiba-tiba dan wajah pemuda itu berobah pucat.

Tumpak Denta terkejut. Dan ketika melihat ke arah perempuan itu. tahulah ia sekarang

bahwa perempuan yang ditolong itu sudah tewas. Tampak sekali bahwa perempuan itu

amat menderita oleh siksaan kejam. Baju pada punggung robek-robek, dan kulit yang

kuning itu tampak adanya luka-luka terbakar. Sedang di samping itu masih ada bagian
bagian tubuh lain yang terluka bakar maupun terluka tusukan senjata tajam. Mudah

diduga bahwa perempuan ini menolak bujukan Singamurda, dan karena jengkel

Singamurda tidak segan-segan menurunkan tangan kejam.

Sasongko Jati menangis melo1ong-lolong sambil memeluk tubuh kakaknva.

Melihat ini dua orang pemuda itu iba disamping pilu. Untuk beberapa saat lamanya dua

orang muda ini t:dak tahu apa yang harus dilakukan. Hingga dibiarkan saja bocah itu
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menangis sedih sekali.

Mendadak terdengarlah suara sorak gemuruh di luar di samping suara api, di
susul pula oleh runtuhnya sementara bangunan. Dua orang muda ini kaget. Secepat kilat

dua orang muda ini sudah menyambar jenazah Karni maupun tubuh Sasongko untuk

diselamatkan. Namun ah, terlambat! Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri dari

bahaya api tertutup oleh puluhan orang bersenjata. Lamdahur dan Singamurda memberi

aba dari belakang, agar dua orang muda itu tidak dapat lolos dari api.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Fajar Legawa.

"Tidak bisa tidak kita harus menyerbu!" sahut Tumpak Denta tegas.

"Tetapi. . . .mungkinkah?" Fajar Legawa merasa ragu. Kemudian pemuda ini

meruntuhkan pandang matanya kepada jenazah Karni yang dikepit di bawah ketiaknya.

"Adi, apa boleh buat! Keadaan mendesak dan berbahaya. Tinggalkanlah jenazah

itu agar engkau dapat melawan mereka dengan baik."

Diam-diam pemuda ini mengeluh mendengar pendapat kakak seperguruannya itu.

Akan tetapi karena keadaan memaksa, meskipun merasa tidak tega harus dilakukan juga.

Fajar Legawa masuk kembali ke dalam rumah, dengan maksud agar jenazah Karni

terbakar bersama dengan rumah.

Sasongko Jati memekik dan melarang. Tumpak Denta membujuk. "Diamlah anak

baik, jangan menangis."

"Tapi .... tapi mengapa kak Karni dibakar?"

"Dia akan sempurna dalam menghadap Tuhan. Dia sudah meninggal, dan kita

harus dapat menyelamatkan diri dari bahaya." Tumpak Denta membujuk.

Namun bocah ini tidak mau mengerti. Ia berusaha memberontak. Terpaksa

Tumpak Denta memukul tengkuk bocah itu dengan tenaga yang diperhitungkan. Dan

oleh pukulan ini, Sasongko Jati pingsan.

Demikianlah, dua orang muda ini kemudian berusaha ke luar selekasnya. Fajar

Legawa di-depanf dan Tumpak Denta mengikuti di belakangnya. Sadar akan bahaya,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dalam usahanya membebaskan diri ini, Fajar Legawa langsung menggunakan aji pukulan

"Lebur Jagad". Walaupun dengan aji pukulan ini, akan banyak menggunakan tenaganya.

Pekik ngeri segera terdengar dalam rombongan orang-orang itu, ketika Fajar

Legawa telah memukul dengan aji "Lebur Jagad". Sekali pukul beberapa orang telah

roooh tak berkutik. Dan gegerlah orang-orang yang berusaha membuntu jalan ini.

"Terus maju! Jangan biarkan lolos!" teriak Singamurda memberi perintah kepada

anak-buahnya. Akan tetapi celakanya, walaupun ia berteriak-teriak memerintah, anak
buahnya ketakutan dan tidak berani mendesak maju. Malah kemudian orang-orang ini

berbalik arah, dengan maksud melarikan diri.

"Goblok! Mengapa mundur?? bentak Lamdahur sambil mendorong. Lamdahur

yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa itu memang bertenaga kuat. Akibat dorongan

ini orang yang semula berbalik tertahan. Akan tetapi celakanya bagian depan ketakutan

menghadapi Fajar Legawa, dan berusaha mendesak mudur.

Terjadilah keributan dan pekik kesakitan terdengar di sana-sini akibat gencetan

yang menyesakkan napas. Sementara itu Fejar Legawa terus mengamuk dan melancarkan

pukulan-pukulan yang membinasakan. Memang dalam menghadapi bahaya ini, Fajar

Legawa, tidak tanggung-tanggung lagi. Walaupun sesungguhnya kurang tega, dilakukan

juga. Sebab tanpa menggunakan kekerasan dirinya sendiri akan mati terbakar.

Lamdahur dan Singamurda yang berusaha menahan arus mundurnya anak buah

itu, tidak urung kalah kuat juga. Kemudian, kakak-beradik ini terpaksa mundur dan

selanjutnya melarikan diri.

Akhirnya berhasil juga Fajar Legawa dan Tumpak Denta menghindari bahaya.

Dan setiba di luar, kakak-beradik perguruan ini melihat, bahwa rumah yang semula

megah itu sekarang telah diamuk oleh api yang berkobar. Diam-diam kagum hati dua

orang muda ini. Bahwa dalam usahanya menyelamatkan diri, mereka tidak segan-segan

untuk menghancurkan rumah sendiri yang megah itu.

Kemudian terbelalaklah dua orang muda ini, ketika terjadi pekik dan jerit

perempuan. Ternyata mereka itu keluar dari rumah ketakutan, sambil membawa apa yang

bisa dibawa. Mereka merupakan perempuan-perempuan muda usia. Maka baik Fajar

Legawa maupun Tumpak Denta segera dapat menduga, bahwa kiranya para wanita muda

itu adalah hasil paksaan oleh penjahat ini.

Dua orang muda ini menghela napas jaga. Agak masygul bahwa usaha mereka

memberantas kejahatan, tidak berhasil seluruhnya. Singamurda dan Lamdahur masih

berhasil menyelamatkan diri.

Tak lama kemudian Sasongko Jati yang semula pingsan itu, telah sadar. Bocah ini

menanyakan tentang kakak perempuannya. Dan bocah ini menangis dan meratap-ratap

lagi, setelah memperoleh penjelasan. Fajar Legawa maupun Tumpuk Denta menjadi

sibuk dalam usahanya untuk menghibur bocah ini. Yang akhirnya berhasil juga

mempengaruhi bocah ini.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Aku rela kakakku tewas. Akan tetapi kemudian hari aku akan menuntut balas!"

kata bocah ini kemudian dengan nada sungguh-sungguh.

"Engkau berani menghadapi mereka?" tanya Tumpuk Denta.

"Mengapa tidak? Kalau aku sudah besar, aku-pun akan pandai seperti paman

berdua."

"Siapakah yang akan mengajar engkau?"

"Paman berdua!"

"Ahh, mengapa aku?" Tumpak Denta kaget.

"Baiklah jika paman tidak sedia melindungi aku. Sekarang juga kita berpisah

pamitan dan sampai ketemu lagi."

Bocah itu benar-benar melangkah pergi. Untuk sejenak Fajar Legawa dan Tumpak

Denta berpandangan. Tiba-tiba saja timbullah rasa iba dalam hati Tumpak Denta. setelah

mendapat keterangan dari Fajar Legawa, bahwa bocah yang baru berusia delapan tahun

itu sudah sebatang-kara.

Dengan dua kali melompat, Tumpak Denta telah berhasil menghadang bocah itu

dan berkata. "Engkau mau ke-mana?"

"Kemanapun siapa yang melarang?" sahut bocah ini tegas dan menentang

pandang Tumpak Denta. Agaknya bocah ini menjadi kurang senang ketika dirinya ditolak

oleh Tumpak Denta dan Fajar Legawa. Dan Tumpak Denta menghela napas panjang.

Namun diam-diam dalam hatinya merasa kagum kepada bocah ini, yang menunjukkan

calon seorang pemuda pemberani.

"Aku tadi hanya berkelakar saja Sasongko," bujuk Tumpak Denta kemudian.

"Mari sekarang engkau ikut aku, dan engkau akan aku serahkan kepada guruku agar

kemudian hari engkau menjadi pemuda perkasa, dan dapat membalas sakit hatimu."

"Apa? Benarkah itu, paman? Engkau tidak menipu?"

Tumpak Deta mengangguk. Dan tiba-tiba saja bocah ini berlutut sambil

mengucapkan terima kasih. Tumpak Denta cepat membangunkan bocah ini sambil

tertawa senang dan memuji.

Setelah banyak yang dibicarakan oleh dua pemuda ini, kemudian mereka berpisah.

Tumpak Denta pergi menuju lembah Galunggung untuk menyerahkan Sasongko Jati

kepada gurunya, sedang Fajar Legawa meneruskan perjalanan menuju desa Margasari.

Ketika itu hari telah sore, dan untuk menuju desa Mergosari, Fajar Legawa harus

menyeberang sungai Pemali. Akan tetapi ia menjadi kaget ketika mendengar suara

lengking perempuan dan benturan senjata yang nyaring, tidak jauh. Dan ketika pemuda

ini sudah berhasil menyeberang sungai, maka tampak olehnya pada tepian sungai yang

berpasir itu, sedang terjadi perkelahian antara seorang gadis cantik dengan seorang

pemuda kurus. Gadis itu bersenjata sepasang golok. Golok pada tangan kiri agak pendek,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dan golok pada tangan kanan lebih panjang. Sebaliknya pemuda lawannya itu bersenjata

pedang.

Fajar Legawa mengamati untuk sebentar. Gadis itu bertubuh denok (tubuh tegap,

tidak ramping dan tidak gemuk), berkulit kuning dan berwajah bundar seperti bulan

purnama. Alisnya yang menaungi sepasang mata bintang itu agak tebal, pipinya montok

sedang bibir itu memerah jambu. Gerakan sepasang golok itu cukup cepat dan cukup

tangguh. Namun jelas bahwa gadis itu bukan lawan si pemuda. Perlahan-lahan tetapi

pasti, pada akhirnya gadis itu akan berhasil dikalahkan lawan.

Diam-diam timbul rasa heran dalam hati Fajar Legawa. Mengapa sebabnya, dalam

beberapa hari ini, dirinya selalu dihadapkan kepada manusia-manusia yang saling

bermusuhan? Dan mengapa pula sebabnya, gadis dan si pemuda ini saling labrak seperti

itu? Untuk beberapa saat lamanya ia mengamati perkelahian yang berlangsung itu dengan

hati tegang. Untuk menerjunkan diri dan mencampuri mereka, tentu saja pemuda ini tidak

berani. Salah-salah, akan timbul salah-faham yang menimbulkan runyam!

Ia kemudian menempatkan diri di belakang sebuah batu besar sambil mengintip.

Dan perkelahian antara pemuda kurus dengan gadis bertubuh denok itu, masih terus

berlangsung sengit sekali. Sepasang golok itu menyambar-nyambar dahsyat. Namun

pertahanan pemuda itu kuat sekali sehingga sulit diterobos.

Tiba-tiba terdengarlah suara parau dari balik rumpun ilalang. "Kalau saja aku

tidak terluka oleh kecuranganmu, apakah engkau bisa menjual kesombongan?"

"Ha-ha-ha," pemuda itu ketawa mengejek. "Salahmu sendiri sahabat, mengapa engkau

memiliki bunga secantik ini?"

"Bangsat. Tutup mulutmu!" lengking gadis itu sambil mempercepat serangannya,

"Trang trang.....!" golok perempuan itu terpental menyeleweng oleh tangkisan

pedang. Akan tetapi pemuda itu tak mau menggunakan kcsempatan sebaik itu untuk

menyerang, melainkan menyeringai sambil berusaha menangkap lengan. Ketika golok

gadis itu membacok, pemuda ini melompat mundur sambil terkekeh mengejek.

"Aduhh .... engkau galak sekali!" goda pemuda itu. "Tetapi ahhh, galakpun tak

mengapa......sebab engkau memang cantik menarik! Dan aku .... heh heh-heh, aku jatuh

cinta padamu manis."

Gadis ini melengking nyaring sambil menerjang dengan sepasang goloknya. Tetapi

sayang sekali, dengan gampangnya dihindari pemuda itu.

Mendengar ucapan pemuda ini, jelaslah sekarang persoalannya. Fajar Legawa sekarang

mengerti, bahwa pemuda berpedang ini seorang pemuda hidung belang yang sengaja

menggoda orang. Dan dalam usahanya untuk mendapatkan gadis denok ini, kawan si

gadis telah dilukai dahulu, sehingga tidak dapat membantu lagi.

Dengan gerakan yang hati-hati dan tanpa suara, Fajar Legawa menyelinap untuk

melihat, siapakah pemuda yang sudah terluka itu? Rasanya ia pernah kenal dengan suara

itu. Akan tetapi ia lupa, entah dan di manakah suara itu dikenalnya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Kakang Wanengbaya. Apa yang terjadi?" serunya kaget setelah mengetahui,

bahwa pemuda yang terluka itu, adalah Wanengbaya. Agaknya dia menderita luka

cukup berat. Buktinya ia duduk bersila dan wajahnya nampak pucat.

Orang yang terluka itu memang Wanengbaya. Ia membuka mata dan terbelalak

ketika melihat Fajar Legawa. Bibirnya yang pucat itu tersenyum, kemudian katanya

tergagap: "Adi .... ah kau. Tolonglah usir pemuda jahat itu ... .."

"Kakang, siapa dia?" tanya Fajar Legawa agak ragu.

"Maksudmu, perempuan itu?"

Fajar Legawa mengangguk. Dan Wanengbaya cepat menerangkan. "Dialah Ayu

Kedasih, calon isleri yang aku ceritakan itu ....."

"Akan tetapi engkau menderita luka berat."

"Tolong dahulu dia ....!" ratap Wanengbaya setengah memerintah. Kemudian

teriaknya kepada Ayu Kedasih. "Asih, mundurlah. Adi Fajar telah datang, dan akan

menghajar "pemuda bangsat itu."

Bagaimanapun gadis itu telah mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk

mengusir pemuda kurus ini, namun tidak juga dapat berhasil. Maka tanpa menjawab, Ayu

Kedasih telah melompat mundur.

"Bagus!" seru pemuda ini, kemudian mengejek. "Undanglah sekalian kawan sahabatmu.

Bagus Lantung takkan takut menghadapi kamu!"

Agak kaget juga Fajar Legawa mendengar disebutnya nama Bagus Lantung. Nama


Drama Di Ujung Pisau Bedah Surgeon Trio Detektif 26 Misteri Kuda Tanpa Jodoh Rajawali 12 Pusaka Hantu Jagal

Cari Blog Ini