Pemandangan di depan matanya sangat cantik.
Jauh jauh... lebih cantik daripada kerajaan Ishtar.
Sekelebat, pemandangan ini seperti pemandangan yang biasa dilihatnya di buku-buku "weling di bumi. Hanya saja... rumputnya berwarna sangat... sangat hijau. Gunungnya berwarna sangat... sangat biru. Dan, tentu saja tidak ada matahari di atas langit. Aneh lagi. Tidak ada bulan. Bintang-bintang bertaburan di langit yang berwarna ungu. Aneh. janggal. Seperti semua keanehan dan kenyentrikan yang ditemui di Dunia-Atas.
Celia melangkah maju dengan hati-hati. Rumput-rumput tinggi menerpa kakinya. Sentuhan yang nikmat sekali setelah berminggu-minggu tidak pernah melihat tanaman apa pun.
Celia menoleh dan tercengang.
**
Thomas duduk persis di depan rumah besar. Ekornya memukul-mukul tanah. Matanya terpaku tajam, tak berkedip. Pupilnya membulat lebar, melebarkan jalan masuk bagi cahaya. Lalu dengan gerakan gemulai, dia melompat ke atas pagar tinggi yang membatasi rumah dengan jalan raya.
Thomas mengikuti bau pekat di udara yang sudah tidak asing lagi. Seekor kucing lain yang berwarna kuning mengawasi gerak-geriknya. Tapi Thomas tidak memedulikannya. Dia mengikuti bau yang keras itu, menuju rumah melalui genteng.
Dia tiba di dalam rumah melalui langit-langit. Begitu mendarat, Thomas menciumi lantai rumah. Begitu banyak aroma, begitu banyak bau. Dari mulai yang segar sampai aroma yang samar-samar. Ada juga bau dari masa lalu. Telinga Thomas menegak. Ah ya. Ini dia. Bau ini sangat berbeda dengan bau yang dia cium. Begitu tua, begitu lama, bercampur-aduk dengan bau-bau lainnya. Tapi Thomas dapat menciumnya dengan mantap. Seraut wajah terbentuk seketika dalam benak seekor kucing.
Hati Thomas seketika pedih. Otomatis, nalurinya membimbingnya untuk mengeluarkan kepedihan itu. Seekor kucing akan mengeong jika merasa sakit, maka Thomas pun mengeong lirih.
Thomas mengendus ke sana-kemari sambil mengisinya dengan meongan sedih. Dia mulai mengikuti bau itu. Di beberapa tempat bau itu menghilang, ada juga yang memecah ke segala arah. Thomas mengikuti arah hati yang terkuat.
Dia berjalan melewati meja kursi, tangga, dan beberapa perabotan rumah.
Thomas berhenti di depan pintu. Bau itu terputus di sana. Dia berdiri dengan kedua kakinya dan menggarukgaruk pintu. Tidak terjadi apa-apa. Dia menoleh ke belakang. Lampu remang-remang menyala di lorong. Tidak ada seorang pun yang menyadari kehadiran seekor kucing liar di dalam nimah.
Thomas duduk dan mendongak. Dia melihat hendel pintu. Seekor kucing tahu kegunaan hendel pintu. Manusia selalu menekan benda itu sebelum memasuki ruangan yang berada di baliknya. Thomas berkonsentrasi.
Dengan gerakan cepat, dia melompat, menekan hendel pintu dengan kedua kaki depannya. Dia terpeleset.
Gagal.
Coba sekali lagi. Thomas melompat.
Gagal.
Setelah berkali-kali melompat, akhirnya hendel tertekan dan pintu terdorong membuka.
Thomas menyelinap masuk.
Kamar gelap gulita. Pupil mata Thomas membulat sempurna, menyerap cahaya sebanyak-banyaknya agar dapat melihat dalam kegelapan. Imaji ruangan tersebut mulai terbentuk dalam pikiran Thomas.
Bau itu sangat, sangat keras.
Thomas mengeong-ngeong lirih sambil berputar-putar di lantai. Dia tidak dapat menahan diri. Tubuhnya sakit. Hatinya perih. Emosinya membuncah keluar. Thomas tidak dapat melukiskan semuanya dalam kata-kata.
Ya. Bau itu ada di sini. Tajam. Tapi... di mana manusia yang melepaskan baunya? Thomas memanggil-manggil putus asa dengan meongannya.
Tidak ada jawaban.
Pemilik bau tersebut tidak berada di sini.
Dia akan kembali, bukan?
Thoums bersedia menunggu.
Dia mendongak menatap ranjang. Dengan kegemulaian seekor kucing. Thomas melompat ke atas kasur dan menggelung nikmat di salah satu sudut.
Thomas akan menunggu.
Menunggu si pemilik bau ini tiba.
Dan jika saatnya tiba...
Thomas mengeong sedih sebelum memejamkan mata. Dia tertidur.
Dalam mimpi seekor kucing, Thomas tahu dia berada di dalam kamar Celia.
Celia berputar cepat, bersiap lari dengan langkah seribu.
Tampak sosok manusia berdiri di depannya, tersenyum gembira. Thomas.
Celia membelalak lebar. Lelaki itu mengenakan baju berwarna merah darah. Rambutnya ternyata lebih panjang, diikat ke belakang menjadi kucir ekor kuda. Celia mundur tiga langkah, matanya tajam membara.
Celia berusaha tampak tenang, tidak terpancing dengan ucapan Thomas.
.
Celia mendengus.
Celia tidak bereaksi apa-apa melihat pipi Thomas yang ditarik ke sana-kemari oleh tangan lelaki itu sendiri. Air muka Celia kosong.
Celia mengenakkan giginya tanpa menoleh.
Celia menepis bahu Thomas.
Thomas membelalakkan matanya.
Celia bengong.
Air muka Celia mengeras seperti batu.
Celia mengusap-usap kepalanya. Kepalanya serasa pecah, hatinya sakit. Apa yang terjadi pada Thomas? Semoga apa pun yang terjadi padanya, Ea dapat melindungi Thomas. Di depannya,
"Thomas" menandak-nandak.
Gila. Semuanya gila, pikir Celia geram.
Cukup sudah. Makhluk satu ini benar-benar tidak bisa nyambung dengannya. Tanpa banyak kata-kata, Celia berbalik dan melangkah menjauh.
(Eh, mau ke mana lagi? Kok cepat-cepat?>
Celia mengibaskan tangannya.
Alis "Thomas" naik.
Celia berhenti melangkah.
(Tunggu, tunggu! Ya deh. Saya benar-benar sombong sekarang. Saya bisa menghancurkan energi buruk yang ada di antara kamu dan Thomas.>
Celia membeku.
Tubuh Celia seakan terbakar karena terlalu terkejut. Apa kata "Thomas"? bertemu... kembali... dengan... Thomas?
Jantung Celia berdebar seperti sedang berlomba lari.
Celia menarik napas dalam-dalam, berbalik, dan seketika melongo.
Makhluk yang berada di depannya benar-benar membuatnya nyaris memekik. Panjangnya... ya panjangnya... sekitar
tiga meter. Berwajah naga, moncongnya mengembus-embuskan asap tebal seperti sedang merokok. Kadang-kadang lidahnya menjulur keluar. Telinganya ada empat dan matanya juga ada empat. Memandang Celia tajam tapi jenaka. Makhluk ini mempunyai empat kaki. Dua kaki di depan adalah kaki makhluk mamalia biasa. Celia memutar otak, mereka-reka mamalia apa itu. Seperti sepasang kaki anjing. Dua kaki belakangnya mempunyai cakar besar, seperti sepasang kaki naga. Tubuhnya tentu saja tubuh anjing dengan ekor panjang yang bergoyang-goyang heboh. Persis seperti anjing yang sedang bergembira ria.
Celia nyaris tidak berhasil menutup mulutnya. Dia masih terperangah.
Celia menutup mulutnya rapat-rapat.
Celia tidak punya waktu dipermainkan seperti itu. Wajah gadis itu mengeruh. Tanpa banyak cakap, Celia berbalik dan berjalan menjauh.
Tiba-tiba makhluk itu berada persis di depan Celia. Gadis itu tidak tahu bagaimana dia dapat berlari secepat itu dari belakangnya. Kepalanya menunduk. Salah satu kaki depannya diulurkan kepada Celia.
Tatapan Celia kosong. Tidak ada pancaran kagum sama sekai. Marduk mendenguskan asap dengan kecewa.
Celia menggeleng.
Komentar Celia yang asal bunyi membuat Marduk mendengus. Asapnya bergumpal-gumpal keluar dari hidungnya. Celia terbatuk-batuk.
Bagi Celia, ini semakin memusingkan. Dia tidak ingin terlibat percakapan yang tidak jelas dengan Marduk.
katanya, berusaha mengubah topik pembicaraan. (Bagaimana kabar Dewa Ea?>
Senyum Celia menguap.
Ada jeda sesaat.
Marduk menggelengkan kepalanya. (Tentu saja dewa bisa mati jika berada di dunia lain. Dewa Ea berada di bumi. Dia hanya bisa hidup abadi jika berada di DuniaAtas. Bahkan jika dia turun ke Dunia-Bawah pun, dia bisa mati.>
Jantung Celia seperti diremas-remas. Sakitnya tak tertahankan. Mata gadis itu panas terbakar.
Celia membuang muka sambil mengusap air mata yang mengalir deras di pipi. Marduk memandanginya tajamtajam. Empat mata itu benar-benar mengganggu Celia.
Celia tidak ingin mendengarkan apa-apa lagi. Dia ingin mati, ingin mampu merampas jantung kehidupannya dan menghancurkannya seketika.
Sekali lagi Celia mengusap air mata dengan punggung tangannya. Hatinya sangat sedih dan remuk.
Pantas saja...
Seharusnya Celia sudah mengetahuinya...
Sekarang dia sendirian.
Benar-benar sendirian.
Angin dingin menyusup di hatinya yang kosong, melolong penuh kebencian. Dewa Ea tidak kembali padanya. Thomas tidak kembali untuknya. Tahun-tahun berlalu tanpa kesan. Sekarang malah berlalu dengan kecepatan konstan Dunia-Atas. Berarti dia semakin tua di sini, jauh lebih cepat daripada keluarganya, sahabat-sahabatnya, bahkan Thomas. Kesempatan dan harapan untuk kembali di Dunia-Makhluk hidup semakin menipis setiap detik. Celia telah kehilangan semua. Kehilangan segalanya.
Tubuh Celia bergetar.
Mata Celia terbuka lebar. Air matanya telah kering. Apa... Ea menyelamatkan Thomas?
Satu detik berlalu dalam kebisuan... Dua detik... Tiga detik...
<0h? Eh ya...,> Celia tergagap.
Marduk memutar dua bola matanya. Sisa duanya lagi mengedip manja.
Celia berjalan patuh, mengikuti Marduk yang sudah berlalu menuju sungai. Sesampainya di sana. Marduk mengangguk.
Marduk tertawa tergelak-gelak.
Celia tidak mengerti di mana letak lucunya. Jadi dia diam saja.
Marduk menggeleng.
Celia menatap Marduk dengan tatapan hampa.
Celia menutup mata selama tiga detik. Membayangkan wajah Thomas. Apa yang terjadi dengan hidup Celia jika Thomas mendapatkan kesulitan di Dunia-Makhluk-Hidup? Apakah dia dapat menghadapinya? Untuk apa dia hidup jika Thomas... sudah mati?
Celia membuka matanya. Ketenangan menguasai seluruh jiwa-raganya.
Celia melihat.
Air berubah, mengeras menjadi seperti gelas kaca. Cahaya bersinar dan perlahan-lahan imaji terbentuk sempurna di sana...
Celia melihat Thomas sedang menyetir mobil. Di sebelahnya Alya sedang tertawa-tawa. Jantung Celia melompat dalam ketukan yang tidak beraturan. Itu mereka... mereka yang sangat dicintainya. Lelaki itu dan adik tersayangnya. Thomas tampak lebih dewasa, mantap, tenang, tak tergoyahkan. Dia persis sama seperti yang diingat Celia.
Oh. Betapa Celia merindukan Thomas.
<'Thomas...,> bisiknya. Tidak, Celia tidak akan menangis. Dia akan menonton baik-baik.
Thomas berhenti di depan rumahnya. Alya turun. Thomas berlalu. Tiba-tiba seberkas cahaya terang menghantam mobil. Wajah lelaki itu terlihat terkejut dan panik.
Ketika itu Ishtar muncul di samping Thomas.
Celia merasa sesak napas.
Celia bertahan. Menonton Ishtar menyakiti Thomas dan membiarkan tujuh monster Utukki tiba di bumi. Gadis itu terus menonton ketika monster Utukki mencuri jiwa Thomas dan menggantikannya dengan jiwa seekor kucing.
Air matanya mulai turun membasahi pipi. Tanpa suara, dia menangis. Dengan ketegarannya, Celia terus bertahan.
Dia melihat Dewa Ea bertarung dengan Thomas dan membuatnya kembali menjadi normal. Dia juga melihat tujuh monster Utukki menghajar dada dan perut Ea sehingga membuatnya terjatuh ke tanah...
Marduk menyentuh air dengan kakinya dan gambaran mengabur sebelum menjadi jernih kembali.
**
Thomas tampak tidur di ranjang Celia, menggelung nikmat. Dengkurannya terdengar jelas. Bulunya yang berwarna putih susu kelihatan lebih bersih. Pasti kucing itu telah menjilat-jilat semua telah kering dan kotoran yang menempel di sana. Tiba-tiba, Thomas terbangun. Mata
kucmgnya membelalak ke satu arah, menatap tajam. Pupil matanya membesar.
Dia mengeong. Mengeong lagi. Mengeong terus-terusan. Suaranya lirih dan lembut. Seakan-akan hendak mengatakan sesuatu.
Marduk mundur dua langkah. Celia juga. Meongan itu terdengar sangat menyedihkan.
Bayangan mengabur. Marduk menoleh kepada Celia. Pipi gadis itu basah, matanya tergenang air mata, tapi ekspresi wajahnya sangat tenang. Kalem. Dan bertahan...
Marduk nyengir lebar.
sini, Utukki menyimpan erat jiwa Thomas,> kata Marduk menjelaskan perlahan-lahan.
Celia segera mengerti.
Utukki Sayap Para Dewa Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cengiran Marduk bertambah lebar.
Marduk tersenyum lalu dengan kaki depannya, dia mengeluarkan sesuatu secara ajaib.
Celia mengambil benda itu ragu-ragu. Berwarna merah. bentuknya panjang berjurai-jurai ke bawah.
apa? Bagaimana cara pita rambut ini membantu saya memasuki Istana Monster, melawan Utukki, dan menyelamatkan jiwa Thomas?>
Marduk memutar keempat bola matanya.
Celia menggerai dan mengikat rapi rambutnya dengan pita tersebut. Dia menunggu.
Tidak terjadi apa-apa.
Marduk, sekali lagi, nyengir lebar.
Celia menjadi gemas.
Celia berjalan menuju air. Dia menjulurkan tubuhnya.
Marduk terkekeh.
Celia sekali lagi melongok. Dia tidak melihat bayangannya sama sekali di sungai.
lima saya. Percayalah, mereka tidak akan dapat mendeteksi keberadaan dirimu.>
Mata Celia membesar. (Jadi... jadi ,> Oh, please. Coba tolong ulangi lagi rencana megabrilian ini. <...kamu mau saya masuk ke Istana Monster, mengalahkan Utukki, membebaskan jiwa Thnmas. dan menyelinap keluar persis di depan mata mereka?>
Benar-benar gila. Sinting. Tidak waras. Idenya dapat membuat nyawa Celia terancam.
Tapi Celia memang sudah mendekati gila. Terlalu lama di Dunia-Atas memang dapat membuat otak menjadi tidak sehat. Senyum Celia perlahan-lahan mengembang. Dengan penuh percaya diri. gadis itu berkata,
Kabut menipis dan menghilang perlahan. Lenyap. Bulu kuduk Celia meremang. Kegelapan menyelubungi dunia yang terbentang di depan matanya. Sayap-sayap berkeriapan di sana. Lolongan penuh amarah mengisi udara. Langit berwarna merah darah.
Monster berada di mana-mana.
Tidak. Tidak. Tidaaaak!
Kaki depan Marduk bergerak. Sekali lagi. sebuah benda muncul dari udara kosong di depan mereka berdua.
Marduk mengangsurkan benda itu ke depan Celia. Gadis itu ternganga melihatnya.
(Apa ini...?>
Celia mendekap biola itu erat-erat ke dadanya. Percuma, alat musik itu tidak membuat jantungnya berdegup normal kembali. Bagaimana mungkin dia dapat memainkan musik dari hatinya yang paling dalam jika seluruh tubuhnya gemetar tidak keruan?
kamu akan tahu kalau kamu sudah berada di dalam sana.> Marduk mengedipkan matanya. Api mengepuk keluar dari dengusannya.
Celia memejamkan matanya.
Pada hitungan ketiga, tubuh Celia rasanya tersedot udara kencang. Selanjutnya, dalam sepersekian detik, kegelapan menyelimuti. Kegelapan itu hanya sebentar. Tanpa sadar, Celia sudah mendarat di tanah para monster.
Celia mengedipkan matanya berkali-kali sebelum berusaha membuka mata lebar-lebar. Bulu kuduknya seketika merentang.
Celia cemberut. Bahkan dalam keadaan yang genting seperti ini, Marduk bisa-bisanya bercanda seperti itu.
Marduk terkekeh.
Celia berkonsentrasi. Lompat. Minggir. Astaga, ada monster yang sedang mabuk-mabukan di sana. Jangan lihat-lihat. Cepat jalan bergegas. Langkah kecil tapi mantap. Dada tegak. Jangan main-main. Serius. Serius. Serius!!!
Terdengar jeritan mengerikan membelah udara. Sabetan sayap nyaris menghantam Celia.
Sial. Sial. Sial. Tanpa berpikir dua kali, Celia berlari secepat-cepatnya. Dia tidak menoleh ke kiri maupun ke kanan. Gadis itu berlari lurus. Jantungnya berdebur kuat sampai dia kira jantung itu bisa menggelinding keluar.
Celia terengah-engah.
JOGGING? Ya ampun. Celia ingin menepuk dahinya kuat-kuat.
Ob, sial. Tanpa pikir panjang, Celia berlari sekuat tenaga.
engali sambil terus berlari.
Celia melompat setinggi mungkin...
...dia merasa dirinya melayang... melayang tinggi... terbang...
...dan mendarat di tengah-tengah kumpulan monster yang sedang main kartu.
Celia menjerit sekuat tenaga. Mata-mata para monster sedang memandanginya. Sayap-sayap mereka berkembang lebar. Energi hitam menyeruak di tengah-tengah mereka.
hebat dengus Marduk.
Celia menggeram.
Celia berdiri cepat-cepat. Tidak memedulikan mata-mata mengerikan, Celia langsung mengambil langkah seribu. Lari secepat-cepatnya. Angin mengembus, menampar pipi. Tapi Celia tidak peduli. Dia bergerak maju. Kakinya seperti disetel mesin otomatis. Tidak memelan sedikit pun.
Celia memelankan langkahnya. Wajahnya berubah menjadi hijau.
Apa kata saya? Kamu hebat! Nah. Sekarang jalan terus. bentar lagi sampai.>
Celia berjalan selama sepuluh menit kemudian.
Celia terdiam. Diam yang panjang, sedih, dan perih. Dia tahu, dia pantas memperjuangkan Thomas. Thomas pantas menerima semua perjuangan ini. Perasaan yang membuncah di dalam dada Celia membuatnya merasa yakin. Perasaan yang tidak pernah diucapkannya keras-keras kepada Thomas.
Memori runtuh di kepala Celia. Kepingan-kepingannya bertaburan di sana. Thomas... dia sungguh mencintai lelaki itu. Tidak masalah apabila dia baru mengenalnya di bumi selama beberapa jam sebelum dia disedot ke angkasa. Dalam dasar hari Celia yang terdalam. rasa ini bukanlah rasa yang terjadi dalam beberapa jam di bumi. Rasa itu telah berakar
kuat, hidup dalam jiwa Celia lama sekali. Celia tahu hal itu. Dia dapat merasakannya. Walau dia tidak pernah mengatakan kepada Thomas, dia tahu.
Celia masih terjatuh dalam diam. Matanya terpejam erat, mengenang ingatannya.
Wajah Thomas... wajah yang akrab sekali di hati saya. Saya tidak tahu bagaimana bisa terjadi, tapi saya percaya akan jodoh. Dia belahan jiwa saya. Thomas telah hidup di hati saya selama beribu-ribu tahun dan langit tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengubahnya.>
Bibir Celia bergetar.
Jantung Celia berdebar semakin cepat. Air matanya merebak di matanya.
Ya. Celia menyadarinya. Dia telah dewasa. Usianya 35 tahun. Perempuan dewasa yang seharusnya bertindak secara dewasa pula. Rasional. Tidak bertindak di luar akal sehat seperti... hmm, melawan tujuh monster. Bukan hanya satu, tapi tujuh! Bayangkan.
Celia mengembuskan napas berat.
Pertanyaan dan pernyataan lama yang sangat familier di pikiran Celia mengalir keluar dengan mudah dari mulut Marduk. Semuanya tumbuh menjadi satu menuju muara ketakutan dan kebimbangan seorang Celia. Tapi, ketika gadis itu membuka mulut, sebuah jawaban mantap keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam.
Celia tergagap.
Celia mendongak. Di atasnya, terbentang tebing tinggi yang jauh di puncaknya terdapat sebuah gua. Pintu masuknya berbentuk seperti mulut membuka dengan gigi-gigi taring menyembul di sana-sini.
(Siap nggak, Non?>
Celia mengangguk mantap.
bibirnya mengerut naik.
(Sori. Nggak bisa.>
Celia mendesah.
Celia cemberut, berbalik. dan melangkah dengan kaki gemetar. Aura tubuhnya berwarna biru lembut menyala perlahan-lahan, membelah kegelapan. Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah.... Gerakan tubuhnya gemulai. Celia mendekap biola erat-erat di dadanya.
Gua dalam keadaan hening total. Saking heningnya, Celia merasa degup jantungnya bergema ke mana-mana.
Keringat Celia mulai bercucuran di dahinya.
Pada saat itu, Celia merasakan gerakan. Suara bergemerisik. Celia terpaku di tempat. Tidak mampu bergerak. Bibirnya mendadak kering.
Tidak terdengar reaksi apa pun.
Celia berputar perlahan.
Celia menjepit biola di bahunya itu dengan dagunya dan mulai menggesek. Pikirannya kacau. Konsentrasinya pecah ke mana-mana. Jiwanya tidak dapat menyatu dengan lagu. Akibarnya, suara-suara yang keluar sangat tidak harmonis.
Celia berusaha memusatkan perhatian.
Keringat dingin mengalir deras di punggung Celia. Kepalanya mulai terasa sakit akibat celotehan makhluk berkaki empat itu. Celia tepekur dalam keremangan, di antara kekelaman gua yang semakin kelam.
Untunglah Marduk terdiam. Kalau tidak...
Celia menopang biolanya di atas bahunya dengan lebih mantap. Kakinya gemetar, tapi dia menjejak kakinya kuatkuat di tanah. Sepenuh hati, Celia menutup mata. Tangannya teracung ke atas bersama dengan tongkat biola. Ketika senar mulai menyentuh dawai
Terdengar raungan serak mengebas telinga Celia. Membuat tubuhnya langsung gemetaran.
Monster Utukki.
Celia berdiri tegak, bergeming di posisinya. Berusaha melihat tanpa mata. berusaha mendengar tanpa telinga...
Oh, mereka di sana!
Celia berbalik perlahan.
Tujuh pasang mata menyala dalam kegelapan. Berada sekitar lima meter dari tempatnya berdiri. Mata-mata itu berputar liar ke kiri dan kanan. Mencari. Memindai. Memantau. Seketika udara bergasing cepat. Sayap-sayap itu pasti sedang berkepakkan.
Sayap...
Mata merah...
Taring tajam...
Cakar besar...
Celia menelan ludah susah payah, mencoba membasahi tenggorakannya yang tiba tiba kering kerontang. Oke, monster ini memang besar. Bersayap. Bermata merah. Beraura kelam.
Gemetaran, Celia menjepit biola di bahu dengan dagunya dan mencoba menggesek perlahan. Suara lembut mendayu memecah sepi.
Persis dua meter di depan Celia, berdiri monster Utukki. Bentuk tubuhnya sangat besar. Celia dapat melihat cakar raksasa itu. Cakar yang...
Celia menelan ludah.
...cakar yang membunuh Dewa Ea.
Ingatan itu membuatnya terluka.
Air mata mengambang di pelupuk mata Celia mengingat
Mata Celia mulai terbakar. Kemarahan menggelegak. Dia menggesek senar biola membabi buta. Nada-nada yang keluar tidak beraturan. Tidak ada satu lagu pun yang tercantol di kepalanya. Demi Thomas Celia harus... fokus! Fokus! Terdengar lagi suara sayup sayup. Pasti Marduk berbicara kepadanya. Celia harus mampu memainkan nadanada dengan indah. Jika tidak, jiwa Thomas tidak dapat diselamatkan.
Sial. Dahi Celia berkerut. Sekarang, pikirkan dalamdalam. Mengapa monster Utukki sialan mengatakan katakata yang menyakitkan seperti itu?
Tentu saja, Utukki menginginkan Celia kehilangan kontrol terhadap dirinya. Kehilangan konsentrasi. Kehilangan kemampuan untuk menciptakan roh dalam musiknya...
Ya! Itu dia!!!
Utukki Sayap Para Dewa Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Celia mengusap air mata dengan punggung tangannya. Inilah saatnya, saat pembalasan dendam! Dia menutup mata erat-erat, berusaha berkonsentrasi sambil membawa kenangan Thomas bersama jiwanya. Membawa kenangan Dewa Ea bersama pikirannya....
Dewa Ea, bantuin dia.
Celia mulai menggesek dawai biola lembut dengan sepenuh jiwa. Nada-nada indah mengalun bagai kupu-kupu lincah beterbangan di antara taman bunga. Celia terus menggesek, mempersembahkan duka-haru. Dia membuka jiwa selebar-lebarnya, bagai cermin hati yang, memantulkan seluruh rasa. Apakah kau mendengarkan, Dewa Ea? Ini adalah lagu belangsungkawa, kepedihan yang tak dapat teruntai menjadi satu kata untuk diucapkan. Apakah kau mendengarkan, Thomas? Ini tentang jiwa-jiwa kesepian kita. Hanya satu biola mengalunkan satu lagu di gua, tetapi ada sejuta alat musik ikut mengiringi suara biola Celia sehingga menjadi sebuah orkestra besar, simfoni tentang cinta, duka lara, hidup, dan perjuangannya. Seribu alat musik dimainkan sepenuh hati. Bergelora bagai ombak samudra dalam pesta bulan purnama.
Nada-nada musik menyerang dan membunuh setiap inci kekelaman dan keheningan gua. Menjadikan seluruh dinding berpijar dalam cahaya keemasan.
Tujuh monster Utukki menjerit.
**
Alya membuka pintu gerbang. Di depannya berdiri Suhu.
"Siapa Anda?" tanya Alya heran.
"Saya guru spiritual Thomas. Boleh saya masuk untuk bertemu Thomas?" Alya menggelengkan kepalanya.
"Kenapa mencari Thomas
di sini? Rumahnya bukan di sini. Anda rupanya salah informasi."
"Nak," desak Suhu.
"Saya tahu Thomas berada di sini. Berilah saya kesempatan untuk membuktikannya," lanjutnya lagi, masih dengan nada yang sama.
Alya nyaris menutup pintu gerbang secepat-cepatnya. Sudah banyak cerita-cerita seram dari koran dan teman-temannya tentang para penjahat yang menggunakan berbagai trik untuk dapat menipu. Siapa pun orang ini...
"Nak Alya, tolong dengarkan saya baik-baik. Thomas memerlukan bantuan saya. Percayalah."
Mata Alya membelalak. Sesuatu yang hangat mengaliri hatinya. Tatapan mata orang tua itu adalah tatapan tenang, kalem, dan dalam. Dan yang paling penting dari semuanya, bola mata itu memancarkan rasa percaya. Astaga. Apakah ini hipnotis? Alya mengeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak sempat berpikir lagi karena tanpa sadar, tangannya membuka pintu gerbang dan menyilakan Suhu masuk. Entah Siapa yang menggerakkan itu. Rasanya serba-otomatis. Rasanya dia benar-benar pernah mengenai orang tua ini, bertahun-tahun yang silam. Rasa yang tidak asing menggoda Alya.
"Tunjukkan kamar kosong di rumah ini," perintah Suhu tenang.
Alya berjalan naik tangga, membimbing Suhu.
"Di sini." kata Alya, sambil menunjuk pintu yang tertutup.
"Tolong dibuka."
Alya menekan hendel pintu. Suhu melongokkan kepalanya dan menggeleng.
"Bukan. Bukan yang ini." Suhu melangkah keluar dari kamar.
"Apakah ada kamar kosong yang lain?"
"Ada. Ada satu lagi." Alya menutup pintu dan berjalan. Otaknya penuh pikiran yang simpang siur.
"Maaf. Pak, boleh saya tahu? Bapak sedang mencari apa di kamar kosong?" tanyanya bingung.
Suhu meremas kedua tangannya.
"Mencari Thomas," jawabnya kalem.
"Tadi sudah saya katakan, Thomas tidak berada di smi."
"Nak, Thomas berada di sini. Saya dapat merasakan energinya," jawab Suhu penuh percaya diri.
Alya berhenti berbicara. Percuma berdebat dengan lelaki tua itu. Tidak ada gunanya. Dia terus melangkah menuju sebuah kamar lagi. Ditekannya bendel pintu tanpa ragu. Seketika ruangan terbuka di depan matanya.
Alya terlompat ke belakang.
"Astaga! K-kucing!" jerit Alya seketika.
"Lho, masuk dari mana?! Huusss Husss! Keluar" KELUAR KAU-"
Tangan Suhu menekan bahu Alya.
"Tunggu, Alya. Sebentar. Jangan diusir."
"Apa, jangan diusir?! Mana mungkin! Itu kan kucing liar dari luar. Mengotori ruangan sembab"
"Kucing itu adalah...," Suhu menghela napas panjang.
" Thomas."
Alya menoleh cepat. Saking cepatnya, tulang lehernya berbunyi krek.
"Agghh!" Alya mengaduh. memegangi lehernya. Lalu dengan cepat membelalak.
"T"-Thomas."? Thomas adalah... kucing ini??" Suara Alya terbata-hata. Kata-kata tidak dapat muncul dengan mudahnya. Bibirnya tergagap.
Si kucing menggeliat. Tatapan matanya yang tampak ngantuk seketika terlihat tajam. Dia mengawasi gerak-genk Suhu dan Alya dengan awas.
"Thomas...," bisik Suhu sambil berjalan perlahan. Satu langkah. Dua langkah. Tiga, empat... lalu berhenti. Dia membungkukkan tubuhnya di samping ranjang.
"Jangan takut. Saya temanmu, tidak akan menyakitimu."
Thomas berdiri pada keempat kakinya. Seluruh bulunya berdiri tegak. Alya mengawasi, antara percaya dan tidak percaya. Dahinya berkerut dalam.
Tiba-tiba Thomas berdebum jatuh ke ranjang. Kakinya menekuk aneh, seperti tidak bertulang. Dia bernapas berat, satu-satu. Bulunya yang berwarna putih susu perlahan-lahan berubah warna, menggelap menjadi abu-abu pucat. Matanya yang hijau terbelalak tanpa kehidupan. Sekelebat ada sorot kebingungan terpancar di sana.
Suhu berlutut di samping ranjang, membelai punggung Thomas dengan lemah lembut. Thomas mengeong lemah, tapi tidak mengeluarkan dengkuran khas kucing. Tidak bergerak.
"Ada apa?" tanya Alya. Gadis itu akhirnya masuk ke kamar. Sambil menutup pintu di belakang punggungnya, Alya ikut-ikutan berlutut di sebelah Suhu.
"Saya tidak tahu," jawab Suhu.
wajahnya sangat serius. Tangannya terus membelai-belai bulu Thomas.
"Energinya sedang diisap habis."
"Maksudnya?" tanya Alya, tidak mengerti.
"Makhluk gelap," jawab Suhu. Air mukanya sangat prihatin.
"Siapa pun dia... Makhluk yang kuat... Sedang
mengisap energi kehidupan Thomas. Sedikit demi sedikit semenjak dia menjadi kucing. Dan sekarang..."
Alya tidak berani bertanya lagi. Dia terpaku memandangi Thomas.
"...sekarang sedang mengisap sebanyak-banyaknya."
"Lalu bagaimana? Apa jadinya?"
"Kehilangan energi sama saja seperti kehilangan darah. Kehilangan banyak energi, apalagi sampai habis, akan mengakibatkan kematian."
Entah mengapa, tiba tiba Alya merinding. Dia tidak mengerti semua ini. Pertama, bagaimana Suhu dapat mengetahui keberadaan muridnya, Thomas, di sini? Kedua. bagaimana mungkin kucing itu Thomas? Bagaimana bisa Thomas berubah dari manusia menjadi kucing. Ketiga, bagaimana mungkin sekarang Alya memercayai apa yang dikatakan SuhU? Keempat, yang paling hebat dari semuanya, bagaimana mungkin dia tiba-tiba merasakan gelombang kesedihan yang luar biasa menerpa jantungnya?
"Suhu!" teriak Alya. Entah mengapa Alya berteriak, dia tidak mengerti.
"Tolong bantu Thomas!"
Jadi sekarang dia percaya kucing itu Thomas.
Suhu menggelengkan kepalanya frustrasi. Melihat itu, Alya menjadi takut. Wajahnya memucat.
"Saya tidak bisa. Kalau bisa, saya sudah mencoba sedari tadi, Nak."
Suhu menutup matanya, seakan-akan berusaha menghilangkan rasa kekhawatirannya.
Thomas mengeong sekali lagi, mencoba mengangkat kepalanya, dan terkulai lemas. Alya mengulurkan tangan, membelai-belai kepala kucing itu. Dalam hati, Alya berharap semoga orangtuanya tidak masuk ke kamar. Jika hal
itu terjadi, sumpah disambar petir, dia tidak akan dapat menjelaskan kepada orangtuanya kegilaan apa yang sedang terjadi pada dirinya. Membelai-belai kucing kampung yang sedang sekarat sambil menangis-nangis? Hebat sekali.
"Thomas." bisik Alya.
"Lihat aku... Jangan tinggalin aku...," bisiknya, seakan-akan mencoba mengalirkan kekuatan tubuhnya kepada Thomas.
Mata Thomas mencoba fokus sebelum perlahan-lahan menutup, tenggelam dalam ketidaksadaran.
Suhu menekan-nekan beberapa titik di tubuh Thomas, memberikan energi tambahan. Sia-sia. Tubuh kucing itu semakin menciut dan lemah.
"Saya tidak yakin Thomas dapat bertahan." desahnya penuh rasa khawatir.
Alya mulai menangis. Dia terus membelai-belai kaki Thomas.
"Apa lagi yang bisa dilakukan sekarang?" katanya putus asa.
"Berdoa, Nak," kata Suhu. Tatapannya tidak lepas dari Thomas.
"Berdoalah agar monster tidak mengisap seluruh energinya sampai habis."
Suhu tidak perlu menjelaskan panjang-lebar. Alya menutup matanya.
Bersama mereka berdoa.
**
Monster Utukki berdiri tegak, nyaris membatu. Mata merah menyala dalam kegelapan. Raung kemarahan nwnggelegar. Dengan sekali sambar, cakar besar melayang di udara.
tidak bergeser dari bahunya. Tangan kanannya bergerak, menggesek kembali. Simfoni jiwa berhamburan keluar tanpa meredup. Dalam konsentrasinya yang luar biasa terhadap musik, air matanya mencair turun. Celia hanyut di dalam lagu.
Raung kemarahan kembali mencabik-cabik suara musik. Terasa energi hitam melintas di samping Celia. Rasanya seperti berjalan di dalam neraka kegelapan. Celia merasa mual. Tapi dia terus bertahan. Cakar menghajar lagi di sebelah kirinya tanpa sempat menghindar.
Pedih.
Sakit.
Aduh.
Celia berdarah. Cakar itu menancap di paha kirinya, menyalurkan sensasi terbakar di seluruh indranya. Celia ingin menjerit tapi dia menggigit bibirnya kuat-kuat. Tidak, tidak. Dia tidak boleh menjerit. Seluruh jiwa dan hatinya harus mengarah pada musik.
Celia terpincang-pincang berusaha berdiri tegak, terus memainkan simfoni.
Teriakan Marduk. Terdengar timbul-tenggelam di kepala Celia.
Gadis itu menutup matanya. Simfoni terakhir. Harus diselesaikan dengan sempurna. Keberadaan Marduk perlahanlahan menghilang dari kepala Celia.
Cahaya merah yang berasal dari ketujuh mata monster Utukki tampak melemah.
Thomas...
Benarkah apa yang dikatakan Utukki?
Simfoni terakhir. Fokus. Fokus. Celia ingat lagu ini. Lagu yang dimainkan oleh dirinya sendiri ketika dia masih berada di bumi, bertahun-tahun yang lalu. Dikelilingi anak-anak bisu-tuli yang tinggal di rumah penampungan, bernama Yayasan Cinta Tak Butuh Suara. Celia datang bersama teman-teman sekolahnya dan Ibu Caroline dengan tujuan menghibur anak-anak cacat itu. Sekarang kenangan itu kembali lagi, membuai pikiran Celia. Dengarkan lagu ini! Mereka yang tak punya telinga tapi mampu mendengar. Mereka yang tak mampu mendengar tapi dapat menyimak. Bantu dia... Tolonglah semuanya...
Terdengar suara kruk... kruk... kruk
Air mata Celia bercucuran selama dia menggesek biola. Sepasang sayap khayali tumbuh di punggungnya, tampak rapuh tapi lembut, membawanya meluncur terbang menuju samudra cahaya. Di sana, Celia menari, berputar-putar. melenggak-lenggok, menghayati segala rupa dan rasa. Konser simfoni menggema di seluruh indranya.
Bertahan...
Jeritan kesakitan terdengar menyayat dan mengiris kalbu.
Krak... kmh... kmh...
BERTAHAN!!!
O, Dewa Antu, sakitnya nyaris tak tertahankan. Pedih. Nyeri.
Krak... krek... kruk...
Gua runtuh. Terdengar retakan keras dari langit-langitnya.
Sayup-sayup Celia mendengar suara Marduk di kepalanya. Intonasi raungan Utukki perlahan melemah. Menggelincir lenyap.
Celia segera bergerak. Lari keluar. Tanpa pikir panjang, tanpa aba-aba. Di belakangnya terdengar raungan dan suara berderak yang semakin menggila.
Persis ketika Celia berhasil melampaui pintu, seluruh gua hancur lebur dengan suara menggelegar. Rata dengan tanah.
Celia terpaku menatap gua yang berantakan. Napasnya terengah-engah. Bersiap mengambil langkah seribu apabila monster Utukki muncul dari balik reruntuhan gua.
Celia memejamkan matanya. Lega. Bahagia. Lelah.