Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan Bagian 3
Anita mengangguk. Perempuan itu mengulurkan tangan. Anita
menyambutnya, dengan tatapan bertanya. Perempuan itu berkata,
"Aku Mia. Istri Hakim."
Anita baru tahu perempuan itu sekitar sepuluh tahun lebih tua
dari Hakim. Lima belas tahun lebih tua darinya.
Tubuh Hachik? disimpan di Museum Ilmu Pengetahuan Jepang di
Ueno, Tokyo. Tapi patung perunggunya, tetap menunggu Hidesaburo
Ueno dan menemani para pelaju, tepat di muka pintu Stasiun Shibuya.
Hingga hari ini.
Dari perempuan itu, Anita tahu sejak terakhir mereka berjumpa,
Hakim tak pernah meninggalkan Shibuya. Hakim percaya Anita akan
kembali dan menemuinya. Ia sering luntang-lantung di muka stasiun.
Sekali waktu polisi pernah membawanya karena ketahuan tidur di
samping patung Hachik?, sebelum ia kembali ke sana. Para pelaju di
stasiun mulai mengenalinya, dan mereka bicara tentang lelaki aneh
yang menunggu pacarnya. Jika ada yang bertanya siapa namanya, ia
menjawab, "Hachiko." Hingga di hari kedua puluh tiga, mereka menemukannya tergeletak di kolong si patung anjing. Ada yang bilang ia
mati kelaparan. Ada yang bilang ia mati sesederhana karena patah
hati.
"Aku yang membalas e-mailmu," kata Mia. Ia tahu tentang
cinta mereka dari buku harian yang ditemukan polisi di saku mantel
suaminya. "Aku memutuskan untuk bertemu denganmu di sini. Sekalian ingin melihat patung itu. Penunggu yang dungu. Hachik?."
Keduanya menoleh ke patung Hachik?.
Salju pertama mulai jatuh di Tokyo. Mereka menggigil kedinginan.
2010
Karya Eka Kurniawan
Cinta untuk Rere
Erlin Cahyadi
Erlin Cahyadi adalah ibu dari putri kecil yang manis. Erlin sudah
menelurkan 5 novel, di antaranya Bali to Remember (GPU, 2010),
Pacar Selebriti (GPU, 2012), dan Love, Enemy, and Ian (GPU, 2013),
serta 3 kumcer yakni Kumcer Teenlit Bukan Cupid (GPU, 2012),
Before The Last Day (GPU, 2012), dan Tales from The Dark (GPU,
2013). Jika ingin menuangkan saran, kritik, unek-unek, atau apa
pun, silakan kontak Erlin di: E-mail: erlincahyadi86@yahoo.com;
Facebook: Erlin Cahyadiputro; Twitter: ErlinCahyadi; dan Blog:
erlincahyadi.blogspot.com.
Erlin Cahyadi
O mau ikut lomba cerdas cermat?!" Suara menggelegar Shandy
memenuhi kamar Rere. Re?eks, Rere melempar bantal ke
arah sahabatnya.
"Nggak perlu seheboh itu kali, Shan! Lagian memangnya kenapa
kalau gue ikut cerdas cermat? Otak gue mampu kok. Lo lupa ya, nggak
belajar aja gue bisa masuk 10 besar," omel Rere agak tersinggung.
Shandy tertawa melihat kesewotan sahabatnya. "Lo jangan salah
sangka dulu, Re. Gue yakin kok otak lo lebih dari mampu, tapi gue kaget kenapa lo tiba-tiba tertarik sama lomba begituan?"
Rere cemberut mendengar pertanyaan Shandy. Kalau tidak
terpaksa, dia sebetulnya memang malas mengikuti lomba itu. "Ini semua gara-gara Ethan. Kalau bukan karena dia, gue nggak bakal ngerepotin diri gue sendiri untuk lomba macam begini."
"Apa hubungannya sama Ethan, Re?"
"Ethan ngajak gue taruhan. Kalau gue berhasil jadi juara cerdas
cermat, dia bersedia jadi pacar gue. Tapi kalau gue gagal, gue nggak
boleh lagi gangguin dia."
Shandy melongo mendengar penjelasan sahabatnya.
"Kenapa lo mau, Re?"
"Karena Ethan nggak ngasih gue pilihan! Ethan ngancem, kalau
gue nggak mau nerima tantangannya, dia nggak mau lagi ngelihat
muka gue. Gimana gue bisa nolak?"
Shandy menggeleng tak percaya. Kalau sudah menyangkut Ethan,
Rere memang gila. Sahabatnya sejak SD ini bukan cuma suka pada
Ethan, tapi terobsesi! Entah apa yang membuat Rere begitu menyukai
Ethan. Shandy tahu Ethan cakep, tapi banyak yang lebih cakep daripada
Ethan. Dan yang lebih penting, tidak seperti Ethan yang cuek bebek
pada Rere, beberapa cowok yang lebih cakep itu justru menaruh hati
pada Rere.
"Perlu ya lo kayak gini demi Ethan? Yah, maksud gue, ngapain sih
lo buang-buang waktu dan tenaga buat ngejer seseorang yang nggak
suka sama lo?"
"Cinta itu butuh proses, Shandy sayang. Lo lihat aja, suatu saat
kelak Ethan pasti bisa suka sama gue."
Cinta untuk Rere
"Masih banyak cowok yang lebih baik daripada Ethan, Re."
"Tapi gue sukanya Ethan, Shan, bukan yang lain."
"Lo sinting, Re. Obsesi lo ke Ethan itu bener-bener parah."
Rere tercenung sebelum tersenyum tipis. "Mungkin lo bener,
Shan. Tapi kalau lo udah ngerasain yang namanya jatuh cinta, mungkin
lo akan lebih mengerti apa yang gue rasakan sekarang."
Ethan Chandrawinata. Nama itu menjadi nama yang paling diingat
Rere sejak setengah tahun belakangan. Rere sendiri tidak pernah
tahu kenapa dia bisa begitu menyukai Ethan. Tapi yang jelas, sejak
Ethan tidak sengaja melempar bola hingga mengenai kepala Rere lalu
meminta maaf dengan sungguh-sungguh, wajah cowok itu tidak bisa
dihilangkan dari otak Rere.
Selama berminggu-minggu Rere berharap Ethan mengajaknya
berkenalan, tapi nihil. Ethan bahkan sepertinya tidak mengingatnya.
Terpaksa Rere yang giat mendekati Ethan. Berbagai cara dilakukan
Rere agar bisa dekat, atau paling tidak berbicara dengan Ethan. Salah
satunya dengan rajin menunggui Ethan, yang tergabung dalam tim inti
basket sekolah, latihan rutin.
Entah karena bosan atau terganggu, tiba-tiba Ethan mengajukan
taruhan yang susah ditolak Rere. Ethan menyuruhnya mengikuti
lomba cerdas cermat antarsekolah. Walau tak suka, terpaksa Rere menyetujuinya. Sejak itu, Rere rela menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah. Seperti siang itu.
"Wah, wah, jarang-jarang yang namanya Regina Anastasia betah
duduk lama di perpustakaan sepulang sekolah. Sepertinya hari ini
bakal hujan lebat nih."
Rere terlonjak kaget saat suara itu menyapanya. Tanpa perlu melihat, Rere tahu benar pemilik suara itu. Ethan
"Ini semua gara-gara lo, Than. Kalau lo nggak nyuruh gue ikutan
cerdas cermat, gue pasti udah nonton latihan basket lo hari ini."
Ethan mengernyit heran. "Nongkrong di perpustakaan sambil
Erlin Cahyadi
menambah ilmu kayak gini jauh lebih berguna dibandingin nonton gue
main basket, Re."
"Tapi lo juga tahu kan, kenapa gue bela-belain nonton latihan lo
yang membosankan? Coba kalau lo pacaran sama gue, gue juga nggak
bakal nontonin latihan lo. Gue mendingan nunggu di rumah sampai lo
selesai latihan, baru setelah itu kita kencan."
Ethan kembali mengernyit, lalu menggeleng pasrah. "Lo tuh
cewek paling unik yang pernah gue temui, Re."
"Kalau begitu, lo pacaran aja sama gue, sebelum gue akhirnya jatuh
cinta ke orang lain dan ninggalin lo. Lo bisa nyesel seumur hidup lho."
Ethan tertawa kecil. "Yakin bukan lo yang nyesel?"
Bibir Rere langsung manyun mendengar jawaban Ethan. Ah
sial, Ethan tahu benar bahwa Rere sudah jatuh cinta setengah mati
padanya. Bahkan bukan cuma Ethan, rasanya satu sekolah pun tahu.
"Jujur aja, Re, gue masih takjub ada cewek yang begitu vokal
menunjukkan perasaannya ke cowok yang dia suka. Apa lo nggak
malu atau risi? Kayaknya hampir seluruh sekolah tahu deh kalau lo
ngejar gue."
Semburat pink langsung muncul di pipi Rere. Dalam hati ia
mengomel mendengar pertanyaan Ethan. Pertanyaan itu jawabannya sudah jelas. Mana mungkin Rere nggak malu? Rere malu setengah mati!
"Percaya sama gue, gue masih cewek normal yang urat malunya belum putus. Tapi, dalam hidup kita harus memilih. Dan gue memilih
nunjukin perasaan gue terang-terangan daripada menyembunyikannya.
Gue nggak mau nyesel di kemudian hari."
Tawa renyah Ethan kembali terdengar di telinga Rere. "Lo emang
beda, Re. Ya udahlah, lo belajar yang giat ya, biar bisa jadi juara nanti.
Hadiahnya besar lho."
Ethan kembali tertawa sambil berjalan meninggalkan Rere. Rere
cemberut sambil memperhatikan Ethan hingga menghilang dari pandangannya. Sudah semingguan ini, Rere tak pernah lepas dari berbagai
teks book yang menjadi bahan lomba cerdas cermat. Dia benar-benar
bosan. Tapi demi Ethan, dia bertekad akan memenangkan lomba itu
bagaimanapun sulitnya.
Cinta untuk Rere
Kadang, apa yang kita inginkan tidak bisa terwujud begitu saja walaupun kita telah berusaha sekuat tenaga. Dan itulah yang terjadi pada
Rere. Walaupun hampir sebulanan ia berjuang keras melahap semua
pelajaran, tetap saja tak bisa mengantarnya menjadi juara pertama di
lomba cerdas cermat antarsekolah kali itu.
Rere berjalan lesu ke halaman sekolah yang terletak tak jauh dari
auditorium tempat diadakannya lomba. Tanpa semangat, ia duduk di
satu-satunya bangku taman yang ada di sana. Rere melirik piala yang
dipegangnya dengan miris. Juara 2 tercetak jelas di piala tersebut.
Piala itu sebenarnya cukup membanggakan, tapi sama sekali tak berguna sekarang. Rere menarik napas panjang. Susah payah ia menahan
air mata yang hampir membasahi kedua pipinya.
"Lo kenapa, Re, kok kayak habis divonis mati aja?"
Kemunculan Ethan yang tiba-tiba membuyarkan lamunan Rere.
Cepat-cepat ia mengubah ekspresi wajahnya.
"Mau apa lo ke sini?" tanya Rere ketus.
"Wah, galak bener sih? Biasanya lo nggak keberatan deket-deket
gue."
"Nggak usah basa-basi deh, bilang aja lo mau apa. Mau ngingetin
gue tentang janji gue? Tenang aja, gue nggak lupa. Gue juga bakal
nepatin janji gue. Mulai hari ini, gue nggak akan ngejar-ngejar lo lagi."
Ethan tertawa kecil sebelum berjalan mendekati Rere. "Bagus kalau lo inget. Memang sudah saatnya lo berhenti ngejar-ngejar gue..."
Rere menatap Ethan dengan pandangan sakit hati. "Apa sih salah
gue ke lo, Than? Kalaupun lo nggak bisa nerima gue, nggak seharusnya
lo ngomong kayak gitu."
Ethan berdecak tak sabar. "Rere, Rere Lo ini nggak sabaran
amat sih? Gue belum selesai ngomong"
"Gue nggak mau denger! Ngomong saja sendiri, gue mau pergi!"
Tanpa aba-aba, Rere bangkit dari posisinya semula. Namun baru
saja ia akan melangkah, tangan Ethan sudah menahan lengannya.
"Biar gue selesaiin dulu apa yang mau gue bilang," kata Ethan
Erlin Cahyadi
tegas. "Sebelum lo potong tadi, gue mau bilang, memang sudah saatnya lo berhenti ngejar-ngejar gue, karena sekarang saatnya gue yang
ngejar lo."
Mulanya, Rere sudah bersiap-siap menepis tangan Ethan, namun
ucapan cowok itu membuat Rere tiba-tiba mematung. Benarkah apa
yang barusan didengarnya?
"Sebenernya, gue udah suka sama lo bahkan jauh sebelum lo
suka sama gue. Waktu itu gue belum berani ngedeketin lo. Waktu
akhirnya lo sadar gue ada dan mulai ngejar-ngejar gue, gue galau.
Di satu sisi, gue pingin ngaku ke lo kalau gue juga suka sama lo. Di
sisi lain, gue nggak suka dengan sikap lo yang terlalu ngabisin waktu
cuma buat gue, padahal lo punya potensi yang nggak dipunyai semua
orang. Lo udah nyia-nyiain otak lo. Karena itu gue bikin taruhan itu.
Gue tahu lo pasti mampu. Terbukti, kan? Walau lo cuma juara dua, itu
udah prestasi yang bagus. Apa pun hasilnya, nggak ngaruh buat gue.
Gue udah bertekad buat ngejar lo sekarang."
Rere terpaku. Rere takjub. Seluruh tubuhnya mendadak kehilangan fungsinya mendengar pengakuan Ethan.
"Lo kenapa lagi, Re? Kok sekarang jadi kayak patung gini?
Melongo lagi. Jelek ah!"
Rere tersentak dari lamunan. Ditatapnya Ethan dengan sungguhsungguh.
"Semua yang lo omongin barusan, itu beneran?" tanyanya tak
percaya.
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ethan mengangguk penuh senyum.
"Lo beneran suka sama gue, bukan karena kasihan sama gue?"
"Nggak ada yang bisa gue kasihani dari lo, Re."
"Lo suka sama gue bahkan sebelum gue suka sama lo?"
"Gue suka lo waktu kita baru pertama kali masuk SMA. Tepatnya
sejak Masa Orientasi Sekolah. Waktu itu lo telat dateng. Dan saking
takutnya dihukum, lo lari dan nabrak gue tanpa minta maaf. Mulanya
gue jengkel dan jadi ngawasin lo terus-menerus, tapi kebiasaan itu
malah bikin gue jatuh cinta ke lo."
"Sejak MOS?"
Cinta untuk Rere
Ethan mengangguk agak malu. "Yah, sejak MOS. Sedangkan lo
baru tahu kalau gue ada setengah tahun kemudian, pas gue nggak sengaja ngelempar bola ke kepala lo."
"Tapi kenapa lo nggak pernah usaha ngedeketin gue, atau paling
nggak, berusaha kenal gue?"
"Karena gue minder. Lo tahu nggak, Re, temen-temen gue banyak
yang suka sama lo! Belum lagi kata temen gue yang pernah nembak
lo, lo galak banget. Makanya gue jadi ragu. Dan waktu gue baru mau
cari cara ngedeketin lo, eh elo mulai ngejar gue. Gue kayak dapet
durian runtuh."
Rere masih terdiam, mencoba mencerna kenyataan yang tidak
masuk akal ini. Sekali-dua kali Rere memang pernah merasa Ethan
agak perhatian padanya. Tapi kenyataan yang baru dipaparkan cowok
itu melampaui jauh dari apa yang diharapkannya.
"Tapi sekarang, kita nggak perlu membicarakan masa lalu. Mulai
hari ini, mari kita sama-sama merajut masa depan yang lebih indah.
Nggak ada lagi yang gue tutup-tutupi. Lo juga nggak perlu lagi ngikutin
kegiatan gue yang lo nggak suka. Seperti yang lo bilang, lo tinggal di
rumah, dan segera setelah kegiatan gue selesai, kita kencan. Lo mau
kan, Re, jadi pacar gue?"
Ethan mengulurkan tangannya pada Rere. Masih agak linglung,
Rere menatap tangan Ethan.
"Re Kok lo diam?" tanya Ethan cemas.
Rere masih diam. Tak lama kemudian, baru Rere tersenyum
simpul sambil menatap Ethan. "Sori, gue nggak bisa jadi pacar lo sekarang. Seperti yang lo bilang tadi, ini saatnya lo yang ngejar-ngejar gue.
Gue udah malu berat karena dicap cewek agresif gara-gara lo. Kalau
tahu lo juga suka sama gue, gue nggak bakal ngorbanin reputasi gue.
Sekarang saatnya lo yang memperbaiki reputasi gue!"
Tanpa menunggu jawaban Ethan, Rere berlari menjauhi cowok itu.
Ethan terpana. Ia sama sekali tak menyangka Rere akan memberinya
jawaban seperti itu!
"Re, lo jangan bercanda dong!" protes Ethan sambil mengejar Rere.
Rere tertawa puas. Tanpa memperlambat langkahnya, ia menoleh
Erlin Cahyadi
ke arah Ethan dan menjulurkan lidah. Ethan tidak membiarkan Rere
lolos begitu saja. Dengan mudah ia berhasil menyusul Rere. Saat
mereka sejajar, tanpa permisi Ethan langsung menggandeng tangan
Rere erat-erat.
"Gue nyesel ngaku tentang perasaan gue ke lo. Kalau tahu bakal
begini, mendingan gue biarinin aja itu jadi rahasia gue dan Tuhan,"
omel Ethan pura-pura kesal.
Jantung Rere berdegup lebih cepat saat telapak tangannya
bersentuhan dengan telapak tangan Ethan. Tak ingin Ethan tahu bahwa dirinya salah tingkah, Rere kembali menjulurkan lidah.
"Sekarang giliran lo yang usaha!" kata Rere puas.
Ethan tampak kesal. Melihat wajah cowok itu, Rere kembali tertawa. Rasanya bahagia sekali. Ia bisa memastikan hari ini hari paling
membahagiakan sepanjang masa SMA-nya. Walaupun Ethan belum
resmi menjadi pacarnya, Rere tahu bagaimana perasaan cowok itu
padanya. Lagi pula, ini hanya masalah waktu. Hanya masalah waktu.
Karya Erlin Cahyadi
Jerat
Esti Kinasih
Esti Kinasih lahir di Jakarta, 9 September 1971. Sudah
menelurkan 6 novel TeenLit, yaitu Fairish (2004), CEWEK!!! (2005),
STILL (2006), Dia, Tanpa Aku (2008), dan Jingga dan Senja (2010),
dan Jingga dalam Elegi (2011). Mantan karyawan sebuah bank swasta
ini punya prinsip hidup easy going. Obsesinya mendaki puncak
Himalaya. Selain menulis, Esti mengelola perpustakaan pribadi di
rumahnya dan sedang mengembangkan bisnis cokelat kecil-kecilan.
Jerat
EB, dapat salam dari Rizky."
Debby mendengus. "Iya," jawabnya malas.
"Salam balik, nggak?"
"Kamu aja deh."
"Aku?" Vita mengangkat alis. "Yang dapat kan kamu?"
"Malas, ah."
Vita menatapnya sejenak, kemudian menarik kursi ke depan Debby.
"Kayaknya dia marah lho. Kamu sih, tiap hari dikirimin salam
nggak pernah dibalas. Balas dong. Sekali-sekali, gitu."
"Ntar dikiranya aku naksir, lagi."
"Soalnya begini, Deb," Vita memelankan suaranya, tubuhnya beringsut maju sampai menempel di meja. "Kemarin dia cegat aku, dikiranya aku nggak pernah sampaikan salam-salamnya itu ke kamu. Aku
sampai sumpah bahwa aku nggak pernah lupa. Dia kayaknya marah.
Terus dia bilang begini, ?Vit, bilang ya ke Debby. Suatu saat nanti aku
pasti bisa menangkapnya tanpa dia bisa menghindar, apalagi lari
dariku.? Begitu."
"Begitu?!" seru Debby dengan tubuh serentak bangkit. "Menangkap? Ayam, kali! Sembarangan aja kalau ngomong!"
Vita tertawa geli.
"Pokoknya aku sudah sampaikan ya ke kamu. Hati-hati lho. Lagi
pula, kenapa sih nggak mau?"
"Masa kamu nggak dengar storinya? Waktu sekolah kita ngadain
kemping bersama bulan kemarin itu, aku kan pingsan. Habis jalannya jauh
banget. Mana hujan, becek, terus dingin, lagi. Waktu sadar, aku sudah ada
di pelukannya. Kamu tahu nggak, kata pertama yang aku dengar begitu
membuka mata? ?Debby, ternyata kamu lumayan seksi, ya.?"
"Hah?!" Vita terbelalak.
"Iya. Apa itu nggak kurang ajar?"
"Kalian cuma berdua?"
"Nggaklah. Yang pingsan kan bukan cuma aku."
"Berarti"
"Jangan mikir macam-macam!" potong Debby galak. Vita
langsung menutup mulut.
Esti Kinasih
Keesokan harinya, begitu menginjakkan kaki di sekolah, dengan
emosi Debby langsung berkeliling mencari Rizky.
"Hai!" Cowok itu surprise menyambutnya.
"Kamu ngomong apa ke Vita?" Debby berkacak pinggang dan menatapnya tajam.
"Apa? Oh, itu" Rizky tertawa lebar. "Ternyata pemberitahuan
malah ampuh, ya. Satu pun salamku nggak ada yang kamu balas. Tapi
ternyata pemberitahuanku malah bisa membawamu ke depanku."
"Kamu ngancam?"
"Bukan. Aku kan sudah bilang itu pemberitahuan. Suatu saat kamu akan jadi pacarku, Deb,"
Rizky menjawab tenang. Debby ternganga.
"Jangan sok yakin!" semburnya.
"Kita lihat aja."
Entah karena sugesti atau juga karena salamnya yang terhenti, kalimat
Rizky menghantui pikiran Debby. Mata itu tajam menembusnya waktu
mengucapkan ancaman itu.
"Menurutmu apa yang akan dilakukannya?" Debby berjalan hilirmudik di depan Vita. Saat itu mereka ada di kamarnya. "Atau, apa dia
sungguh-sungguh?"
"Iya." Vita mengangguk, membuat Debby tambah patah semangat.
"Dengan bilang ke orang-orang peristiwa waktu aku pingsan itu?"
"Bukan. Dia bukan model cowok begitu. Dia gentle. Dan aku yakin
caranya pun ya cara cowok jantan. Tapi yang jelas dia nggak akan bikin
malu kamu."
Aduh, Tuhan, syukurlah! Debby menghela napas lega.
"Kira-kira apa yang mau dia bikin, ya?"
"Dia menjemputmu tiap pagi?"
"Nggak."
"Terang-terangan merhatiin kamu dengan mata tajamnya itu?"
"Nggak juga." Debby menggeleng.
Jerat
Vita mengerutkan kening dan mencubiti bibirnya. "Maksa ngantar
kamu pulang?"
"Aku malah nggak pernah ngeliat dia tiap bel pulang berbunyi.
Pasti dia langsung sibuk dengan tim basketnya."
"Jadi dengan apa dong?" Vita ikutan bingung.
"Jalan halus!" Debby kaget sendiri dengan dugaannya.
"Pelet? Guna-guna? Masa sih? Jangan ngaco, ah!"
"Terus apa dong? Sekarang coba kamu pikir" Debby meloncat
ke tempat tidur. Mukanya tegang, "tiap ketemu, dia selalu biasa-biasa
aja. Tetap ramah, tetap baik, nggak usil, nggak jail. Pokoknya semua
berjalan seperti biasa. Wajar, tenang, aman. Terus apa?"
"Menunggu marahmu hilang mungkin?"
"Nggak mungkin!" desah Debby sambil kembali mondar-mandir.
Debby bingung memikirkan kemungkinan tindakan yang akan
diambil Rizky. Dia sudah tanya beberapa orang, begitu siuman dari
pingsan itu. Jawabannya, tidak ada hal kurang ajar yang dilakukan
Rizky. Cowok itu memang menggendongnya sepanjang jalan. Membungkus tubuhnya dengan tiga lapis jaket tebal. Menungguinya sampai siuman. Tapi waktu Debby siuman, yang dilihatnya hanya Rizky
seorang, ditambah kalimat kurang ajar itu. Dan itu membuatnya
kesal terhadap Rizky, sampai sekarang. Pasti ada sesuatu yang sudah
dilakukan cowok itu. Karena tiap kali mereka bertemu, sepasang mata
itu selalu merangkumnya hangat. Ditambah senyumnya yang rasanya
mengundang makna tersembunyi.
"Deb!" Sebuah tepukan di bahu membuat Debby terlonjak dan
seketika sadar dari lamunan.
"Kamu! Pelan-pelan dong! Aku kaget, tau!" sungutnya sambil menepuk-nepuk dada. Dikeluarkannya bekal sekolah, berisi nasi goreng
telur ceplok buatan Mama.
"Sori deh. Katanya suruh riset?" Dengan tenang Vita duduk
di depannya. Tak merasa bersalah sudah membuat Debby nyaris
Esti Kinasih
semaput. Saat itu jam istirahat pertama. "Aku sampai ditanyain
macam-macam gara-gara idemu itu."
"Gimana? Gimana?" Debby bergegas menggeser kursi.
"Menurut beberapa orang yang kena pelet, tanda-tandanya begini" Vita diam sejenak, menoleh kiri-kanan untuk memastikan keadaan cukup aman untuk pembicaraan mereka. "Di kamarmu nanti
akan tercium wangi parfumnya Rizky atau bahkan bau badannya selama seminggu penuh."
"Idiiih!" Debby ternganga.
"Ke mana pun kamu pergi, kamu akan ngeliat wajahnya, walaupun
setelah didekati ternyata bukan. Dan ini yang paling penting, Deb. Raba
hatimu. Biasanya ada perubahan drastis. Kamu jadi mikirin dia. Jadi
gelisah kalau nggak ngeliat dia sebentaaar aja. Malah keadaan jadi
berbalik. Kamu yang akan ngejar-ngejar dia!"
Debby tercengang.
"Caranya gimana? Masa tiba-tiba begitu?"
"Cukup sedikit sentuhan. Misalnya dia negur kamu. Kamu dicolek
sedikit, meskipun cuma seujung jari, itu bisa membuatmu tergila-gila
sama dia. Banyak cara sih. Namanya juga ilmu hitam. Tapi aku nggak
mau tanya banyak-banyak. Soalnya semua yang kutanya mengira aku
lagi mau melet seseorang."
"Selalu begitu tanda-tandanya?"
"Aku kan cuma tanya tiga orang. Aku rasa sih tanda-tandanya
pasti juga banyak macamnya karena cara juga macam-macam."
Debby mengempaskan punggung ke sandaran kursi dan menarik
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
napas panjang.
Debby terbangun tergeragap. Wangi melati menyentak hidungnya.
Jantungnya seketika berdegup keras. Pasti ini kiriman dari Rizky! Bergegas
ditekannya sakelar lampu. Sebuah mangkuk mungil penuh berisi melati segar terletak di mejanya. Diambilnya mangkuk itu dan diperhatikannya isinya.
Masih segar, seperti baru dipetik. Dibawanya mangkuk itu keluar kamar.
Jerat
Detti, kakaknya, sedang menonton TV sambil memegang mangkuk
juga, penuh berisi melati segar.
"Ini kerjaanmu, ya?"
"Nggak bisa tidur," jawab Detti tanpa menoleh. "Baunya enak, kan?"
"Kupikir ada hantu," Debby menggerutu, membuat Detti terkekeh.
Bikin kaget aja! Debby misah-misuh dalam hati. Dia melangkah
kembali ke kamar. Sampai sempat ketakutan tadi. Dia menaruh
kembali mangkuk itu ke tempatnya. Tapi dia jadi tak bisa melanjutkan
tidur. Kantuknya lenyap karena terbangun kaget tadi. Iseng dibukanya
album foto yang sudah diseleksi dengan tahapan-tahapan yang amat
sangat ketat, ternyata masih ada juga foto-foto Rizky yang lolos.
Nggak tanggung-tanggung, tiga! Nggak mungkin digunting karena cowok itu ada di tengah, merangkul Saga dan Farid.
Debby mengeluarkan ketiga foto itu dan menjajarkannya di atas
kasur. Lalu sambil tengkurap dan memeluk bantal, dipandangnya satu per satu. Wajah Rizky terekam jelas di salah satunya.
Alisnya bagus. Tebal, hitam, dan bersambung. Matanya kadang
tajam, kadang teduh. Rahangnya kokoh. Debby tersenyum sendiri,
tenggelam dalam khayal.
Ganteng juga, desisnya. Astaga! Dia langsung tersadar. Serentak
bangun sambil menutup bibirnya yang ternganga. Apa yang barusan
diucapkannya? Dia bilang Rizky ganteng!
Ganteng? Ya ampun! Aku kena pelet! Debby terduduk mematung.
Ah, nggak mungkin! Nggak mungkin! Dia menggeleng berkali-kali.
Coba melihat foto itu lagi.
Pasti dia tadi nggak sadar ngomong begitu. Sekali lagi diperhatikannya ketiga foto itu. Dan gadis itu makin tercengang ketika pandangannya ternyata tidak berubah.
Benar, aku kena pelet, desahnya panik. Dulu-dulu Rizky menurutnya biasa-biasa aja. Norak malah, dengan sifat agresifnya yang
nggak tau malu itu. Kenapa sekarang tiba-tiba jadi ganteng? Debby
menatap foto itu sambil menelan ludah.
Esti Kinasih
"Tiba-tiba aja di mataku dia jadi ganteng. Keren! Aku pikir karena aku
baru bangun tidur, masih setengah ngimpi, jadi dia keliatan macho.
Tapi tadi pagi waktu mau berangkat, aku liat lagi fotonya. Kok masih
keliatan ganteng tuh anak, ya?" Debby melapor dengan perasaan
resah. Vita terbahak-bahak mendengarnnya.
"Semua orang bilang dia emang cakep kok. Kamu aja yang
matanya juling."
Debby melotot. "Dia kurang ajar, tau nggak? Makanya sekalisekali kamu pingsan deh di deket dia. Begitu melek, tau-tau sudah
dipeluk, dibilang seksi, lagi," sungut Debby, membuat Vita tambah
tertawa-tawa.
Peristiwa pingsan itu memang sangat membekas dan Debby selalu
dongkol tiap kali teringat. "Aku pasti udah kena pelet," keluhnya memelas.
"Tiba-tiba aja aku sering mikirin dia. Dia pernah titip salam lagi, nggak?"
"Ngapain? Udah banyak yang mubazir."
"Dia marah, ya?"
"Jelaslah. Cecil aja patah hatinya sampai begitu. Cinta nggak
kesampaian. Belum si Retno yang rajin cari perhatian. Kamu yang ditaksir malah kabur-kaburan. Kalau dia marah, terus kamu dipelet, ya
bisa jadi. Kamu kadang keterlaluan sih!"
Debby terdiam. Perlahan dia menjatuhkan diri ke kursi di samping
Vita. Mungkin apa yang dikatakannya itu benar.
Jam istirahat kedua, tiba-tiba Rizky muncul di kelas, membuat
Debby kaget setengah mati. Setelah hampir dua bulan salamnya
terhenti dan perjumpaan mereka yang bisa dihitung dengan jari, Debby
langsung menduga yang bukan-bukan. Tapi ternyata, tanpa menoleh
Rizky langsung menghampiri Iwan, yang memang salah satu anggota
tim basket sekolah. Mereka berbicara dengan suara pelan dan selama
itu pula mata Debby tak berhenti memandang Rizky. Waswas.
Pembicaraan selesai. Rizky berjalan keluar. Ketika melewati
Debby, kedua matanya memandang tajam namun disertai senyum.
"Halo, Seksi," ucapnya pelan disertai jentikan jari dan kedipan
mata. Debby kontan terkesima. Mematung menatap Rizky sampai
cowok itu hilang di balik pintu.
Jerat
"Vita! Kamu denger, nggak?!" Dengan panik diguncang-guncangkannya lengan Vita yang sedang serius berat menyalin PR.
"Ada apa sih?" Vita menoleh kesal.
"Rizky," lapor Debby terengah. "Dia negur aku barusan. Dan dia
masih manggil aku ?Seksi?. Terus tadi dia ngeliatin aku sambil menjetikkan jari. Vit, pasti tadi itu pelet. Iya, kan? Bisa pakai cara begitu,
kan?"
"Mana Rizky?" Vita celingukan.
"Barusan dia ke sini. Ngomong sama Iwan. Kamu ini nyontek melulu sih"
"Terus kamu diapain? Cuma dilihatin? Itu kan wajar."
"Oh, iya? Wah, bisa jadi. Mungkin bukan pelet, tapi hipnotis. Yaaah,
terus gimana dong?" Debby semakin panik. "Kamu bilangin dia deh,
Vit. Suruh pergi jauh-jauh!"
Aduh, ngerepotin aja! Vita menggerutu dalam hati.
"Oke! Aku akan bilang ke Rizky, tapi kamu tolong selesaikan PRku, ya? Gimana? Inggris sama kimia lho."
"Kecil! Mana bukumu?"
"Nah, gitu dong. Jangan nyuruh orang kerja gratisan melulu." Vita
mengulurkan dua buah buku, lalu berjalan keluar. Dasar fobia Rizky,
gerutunya.
Lima belas menit kemudian Vita kembali.
"Apa katanya?" sambut Debby cemas.
"Dia bilang dia nggak akan ganggu kamu. Apalagi pakai pelet.
Dosa, katanya. Dia juga bilang, nanti kamu sendiri yang akan datang
ke dia."
"Hah?!"
"Hei!"
"Eh, gimana?" Rizky bertanya tanpa menoleh pada seseorang
yang barusan menepuk bahunya, lalu berdiri di sampingnya.
"Beres. Tapi sepi banget di sana."
Esti Kinasih
"Jelas aja. Musim ulangan."
"Yakin bakalan dia yang nemuin?"
"Yakin!"
Rizky tersenyum tipis tanpa mengalihkan matanya dari sosok
Debby di kejauhan. Kail sudah dilemparkan!
Pada awalnya, Debby sempat stres dan ketakutan. Tapi perlahan,
perasaan itu menghilang karena ternyata Rizky tidak melakukan apa
pun seperti yang sempat dia bayangkan.
Cowok itu malah menjaga jarak. Tidak tersenyum, apalagi menyapa pada saat mereka kebetulan berpapasan atau berada bersamaan
di suatu tempat.
Debby mulai tenang dan hari-harinya kembali normal. Dia bahkan
mulai berani lalu-lalang dengan santai di depan Rizky. Tak menyadari sepasang mata cowok itu menatapnya dengan kilatan yang
mengandung rencana tersembunyi.
"Rizky itu baik lho, Deb. Kamunya aja yang terlalu paranoid."
"Jaga-jaga boleh dong?"
"Iya, tapi aku yang jadi malu. Dia"
"Alaaah, udah deh, Vit. Sori. Namanya aja orang lagi panik." Debby
meringis. "Eh, aku nemu undangan, di Sekretariat OSIS."
"Pernikahan Adrianto, SE dengan Astuti K. Siapa nih?"
"Mana aku tau. Aku temuin menggeletak di ruang OSIS. Comot
aja. Kita bakalan makan enak dan gratis."
"Undangannya keren bener." Vita membalik-balik benda di
tangannya. "Kita juga mesti dandan keren dong?"
"Sekali-sekalilah."
Sabtu sore, keduanya yang memang hobi gerilya cari makanan gratis,
sudah rapi jali sejak pukul setengah tujuh.
Jerat
"Seksi amat?" Vita terbelalak memandang penampilan Debby.
"Pingin aja." Debby meringis lucu. "Nggak ada yang kenal ini."
Acara resepsi baru saja dimulai ketika keduanya tiba.
"Salaman dulu, nggak?" tanya Vita dan langsung disambut cibiran
bibir Debby.
"Sok sopan!"
Vita terkekeh dan mengikuti Debby menuju gubuk-gubuk makanan.
"Kambing guling!" pekik Debby tertahan. "Ini dia!"
"Asyiiik!" Vita menyambut senang. Detik berikutnya kedua gadis
itu benar-benar tenggelam dalam kesibukan berburu makanan gratis.
Tengah asyik-asyiknya mereka menikmati hidangan, tiga cowok
berbusana Jawa mendekati mereka.
"Halo Kalian teman Mbak As atau Mas Adri?" salah satu cowok
itu bertanya.
Debby dan Vita langsung gelagapan, membuat ketiga cowok itu
curiga.
"Ada tamu nggak diundang." Salah satu cowok memandang
teman di sebelahnya.
"Sembarangan! Kata siapa kami nggak diundang?" Debby
langsung menukas. "Undangannya di rumah karena nggak harus
dibawa, kan? Kami teman Astuti!" jawabnya nekat.
"Begitu?" Cowok itu tersenyum. "Kalian belum kasih selamat,
kan?" Dia langsung meraih pergelangan tangan Debby dan menggenggamnya. Seorang temannya mengikuti, meraih tangan Vita. Tanpa
daya, keduanya pasrah digiring ke pelataran berkarpet merah dadu
itu. Debby nyaris saja pingsan begitu melihat pasangan mempelai itu.
Keduanya ternyata sudah cukup berumur. Entah karena telat kawin,
atau mungkin ini bukan lagi perkawinan mereka yang pertama.
"Rizky?" Debby tertegun ketika mengenali cowok yang berdiri tak
jauh dari mempelai wanita, yang rupanya juga kaget melihatnya. "Ky,
dia bilang aku nggak diundang." Debby melotot tajam ke arah cowok
yang menggiringnya lalu berjalan menghampiri Rizky dan memeluk
lengannya.
"Oh, pacarmu, Ky? Bilang-bilang dong! Aku pikir penyelundup."
Esti Kinasih
Si cowok berbaju Jawa mengangkat kedua tangannya dan tersenyum
meminta maaf. Kemudian cowok itu berteriak ke arah para tamu, "Woi
ini pacarnya Rizky!" lalu turun dari pelaminan sambil cengengesan.
Debby tersadar dan seketika menoleh.
"Terlambat!" bisik Rizky demi melihat keterkejutan itu.
Debby berbalik dan memucat ketika mendapati dirinya sendirian.
Vita menghilang entah ke mana, begitu juga cowok-cowok berbusana
Jawa tadi.
Disibaknya uraian rambutnya dengan panik. Tidak mungkin
berlari turun dari panggung, malah akan mengundang pertanyaan.
Sekian puluh mata, bahkan mungkin lebih dari seratus, kini tengah
memandangnya.
Debby berbalik. Rizky tengah menunggu dan memandangnya dengan sorot mata yang tak bisa menyembunyikan kekagumannya.
"Ayo,
salami
mereka."
meraih
tangan
Debby
menggenggamnya lembut. "Tanteku"
"Eh, se selamat ya, Tante," gugup Debby mengulurkan tangan.
Tiba-tiba berkumandanglah sebuah pengumuman yang mahadahsyat.
"Para hadirin yang terhormat," ucap MC ayu berkebaya merah
jambu lengkap dengan senyum manisnya. "Pada saat ini, berdiri di sisi
kiri mempelai adalah salah seorang keponakan dari mempelai wanita.
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kiranya para hadirin yang terhormat sudi memberikan selamat,
karena keduanya akan segera menyusul ke pelaminan dalam waktu
dekat."
Debby terenyak. Suara tepuk tangan bergemuruh dan berebutlah
"para hadirin yang terhormat" itu naik panggung dan menyalami mereka.
"Terima kasih terima kasih" Rizky menyahut ramah sambil
mati-matian menahan tawa. Lengan kirinya menyangga tubuh Debby
yang sudah setengah sadar.
*Pernah dimuat di majalah Anita Cemerlang
Karya Esti Kinasih
Suatu Siang di
Bandara
Gol A Gong
Gol A Gong (Heri Hendrayana Harris) lahir di Purwakarta, 15 Agustus
1963, pernah kuliah di Fakultas Sastra Universitas Padjajaran. Novelnovelnya yang diterbitkan GPU antara lain serial Balada si Roy (1989),
Happy Valentine (1991), Bangkok Love Story (1994), Surat (1994), dan
buku tentang parenting Mother Bukan Monster (2011). Ia pernah
menjadi wartawan tabloid, reporter freelance, lalu terjun ke dunia
televisi menjadi penulis skenario. Beberapa novelnya disinetronkan,
di antaranya Balada si Roy dengan judul Petualangan si Roy. Pada
1998 ia mendirikan komunitas kesenian Rumah Dunia.
Suatu Siang di Bandara
ENIE beberapa kali melihat arloji hadiah ulang tahun dari Tina,
mahasiswa yang sedang dia orbitkan jadi model. Hmm lima
puluh menit lagi. Taksi bagai siput. Kendaraan-kendaraan ber
jejalan. Siapa pun gubernurnya, tak akan ada yang mampu mengurai
kemacetan di Jakarta. Bahkan di bandara kebanggaan negeri ini. Dari
tempatnya bekerja di Sudirman, dibutuhkan waktu dua jam untuk
sampai di bandara.
Taksi menepi ke kiri, cenderung saling berebut. Matahari di kepala
semakin membuat suhu emosi orang-orang meningkat. Terminal 2F,
tempat orang-orang hendak berangkat menuju sebuah tempat untuk pertama kali atau beberapa kali, dengan berbagai kepentingan,
membuat hatinya jengkel. Semua kendaraan mewah berbagai merek,
yang seharusnya mencerminkan kepribadian mewah si pemiliknya,
diparkir sesuka hati. Berebut mencari tempat dan waktu seolah
hendak menikam karena batas check in sudah terlewati.
"Stop, stop!" Denie melihat ke argo dan merogoh saku kemeja
denimnya. Dia sudah menyiapkan, selalu, uang kertas berwarna merah di saku kemejanya jika ke bandara. Dia sudah hafal tarifnya; dari
Sudirman ke bandara pasti seratus ribu rupiah, lebih-kurang.
"Ada uang pas?"
Dan Denie pasti menjawab, "Ambil saja!"
Denie menyandang tas punggung hitam dan meraih tas kameranya serta membuka pintu taksi. Tiba-tiba saja udara panas ibarat api
dari kompor, langsung menerjang tubuhnya. Seperti biasa Denie berlari kecil di sela-sela mobil yang sedang menurunkan penumpang dan
parkir seenaknya, agar segera mendapatkan kembali udara sejuk dari
pendingin di lobi bandara. Seorang porter yang mendorong troli penuh
barang ditabraknya. Denie hampir terjatuh dan memegangi barangbarang di troli agar tidak tumpah ke lantai.
"Ups, sori!" Tubuhnya yang mulai terpanggang memakan korban.
Porter itu hanya geleng-geleng.
Denie mencoba tersenyum melawan hawa api, ketika barangbarang aman kembali di tempatnya. Bergegas dia menuju lobi.
Waktu keberangkatan pesawat Garuda yang akan membawanya ke
Gol A Gong
Singapura tinggal tiga puluh menit lagi. Tapi, sebuah bola seukuran
bola tenis meluncur ke kakinya ketika baru saja berada di lobi. Kaki
kanannya menahan laju bola. Dia merasa tertarik memungut bola itu,
karena warnanya seperti pelangi. Dia mengitarkan pandang. Siapakah
gerangan pemilik bola ini?
Denie melihat anak kecil berambut ikal berlari ke arahnya. Tangan
Denie gemetar. Bola hendak jatuh dari tangannya.
"Bola Reno, Om"
Denie membungkuk dan meraih kepala anak itu. Dia mengusap
rambut ikalnya. "Namamu Reno?" suaranya tersumbat di tenggorokan.
Dia memperhatikan sekujur tubuh anak itu.
"Reno, Om!"
"Umur Reno berapa?"
"Hmmm Kasih tahu jangan ya?" Reno menempelkan jari telunjuk ke kepalanya.
Denie tertawa kecut. TV sudah memakan anak ini. "Om tebak.
Umur Reno segini, ya?" Denie mengacungkan lima jari.
Reno menggeleng.
"Empat!"
"Salah!"
"Tiga tahun!"
Reno mengangguk senang.
Denie menatap Reno dengan mata berbinar. Pintar sekali anak
ini. Baru umur tiga tahun tubuhnya tinggi dan besar.
"Reno dengan siapa ke sini?"
Reno terdiam. "Kata Mama, dilarang bicara sama orang asing" Kedua
bola mata Reno yang hitam bening melihat ke arah belakang Denie.
Denie tersenyum dan memutar kepala. Saat itu juga Denie langsung berdiri. Reno berlari menuju perempuan itu sambil merebut
bola dari tangan Denie. Kini di depannya berdiri seorang perempuan
yang tak akan pernah bisa dia lupakan. Walaupun tubuhnya tertutup
rapat, Denie masih tetap mengenalinya. Denie jadi teringat aktris kondang Inneke Koesherawati ketika melihat tubuh Wulan tertutup rapat
seperti ini. Betapa cantik dan megah Wulan kini.
Suatu Siang di Bandara
"Wulan" Denie merasa ada jarak menganga di antara mereka.
"Apa kabar, Denie?"
"Oh"
"Kamu seperti baru melihat perempuan saja!"
Mulut Denie memang seperti ditempeli lakban.
"Masih mengejar perempuan idealmu?"
"Oh, Wulan, jangan bicara begitu." Gugup sekali Denie.
"Selamat ulang tahun. Seingat aku, yang ke-33 tahun hari ini."
"Kamu masih mengingat ulang tahunku."
"Kamu mau merayakannya dengan seorang perempuan di
Singapura?" Wulan menuntun Reno menuju sebuah kafe.
"Aku ke Singapura bukan hendak mengejar perempuan. Sejak
hubungan kita berakhir, aku menyibukkan diri bekerja" Denie
membuntuti sambil pasrah melihat arlojinya.
"Oh, begitu. Aku senang mendengarnya"
"Apakah Reno?" cemas suara Denie.
"Menurut kamu?"
"Ngg Bola matanya sepertiku."
"Apa rambutnya yang ikal panjang tidak mirip denganmu?"
"Ya, ya, ya"
Wulan sudah duduk. Reno juga duduk sambil menggelindingkan
bolanya di meja; dari tangan kiri ke kanannya
"Maafkan aku, Wulan"
"Barangkali itu pesawatmu," Wulan mengingatkan Denie ketika
di pengeras suara terdengar suara petugas maskapai penerbangan
mengumumkan panggilan terakhir menuju Singapura.
Denie merogoh kantong depan tas punggungnya. Dia menunjukkan
tiketnya dan menyobeknya hingga banyak kepingan. "Aku menunggu
momen ini sejak kamu hilang ditelan bumi tiga tahun lalu. Kamu
menutup segala akses. FB dan Twitter-mu kamu tutup. Handphone
dan telepon di rumahmu diganti. Teman-temanmu tutup mulut. Setiap
aku datang ke rumahmu, papa dan mamamu selalu menutup pintu"
"Aku tidak ingin membicarakan itu, Denie!"
"Tidak mungkin kamu tidak akan membicarakannya, Wulan. Ini
tentang kita. Tentang Reno"
Gol A Gong
Wulan menatap Denie dengan tikaman. Wajahnya melunak ketika
melihat Reno berdiri. "Reno, kamu boleh main. Tapi tidak boleh jauh
dari Ummi ya. Di sekitar sana saja," Wulan menunjuk area koridor di
depannya.
"Boleh Reno beli minuman di mesin itu?" tunjuk Reno ke kotak
mesin.
Wulan mengangguk dan membuka dompetnya. Dia menyerahkan
selembar sepuluh ribuan yang masih bagus. "Kamu masih ingat cara
menggunakannya, kan?"
Reno mengangguk dan tersenyum senang ketika menerima uang
itu.
"Oke. Bismillah dulu ya"
Reno mengangguk lagi dan membalik, berlari menuju kotak mesin minuman. Denie menatap Wulan dan Reno secara bergantian.
Wajah Denie takjub sekaligus iri, karena tidak memiliki kesempatan
berada di antara mereka.
"Mungkin Allah mempertemukan kita di sini agar segala urusan
yang mengganjal diselesaikan," Wulan tegas menatap Denie.
"Aku sudah berusaha. Hingga kini, aku masih memendam itu.
Hanya saja, aku masih dianggap lelaki yang tidak pantas oleh keluarga
besarmu."
"Astagh?rullahaladzim itu tiga tahun yang lalu. Di mana aku
masih perempuan bodoh. Seorang anak lulusan SMA yang ingin jadi
model terkenal. Jatuh ke jebakan fotografer brengsek seperti kamu."
Kedua mata Denie mendelik. "Sungguh, aku melakukannya kepadamu karena aku mencintaimu. Aku terpaksa mengambil jalan
pintas"
"Kamu harus bersyukur bahwa papa dan mamaku tidak
melaporkan kamu ke polisi!"
"Tapi, bukankah kita melakukannnya karena suka?"
"Istighfar, Denie!"
"Buktinya memang begitu!"
"Untuk yang pertama tidak. Itu karena minumanku sudah kamu
campur dengan obat. Untuk yang selanjutnya, aku tidak punya pilihan.
Suatu Siang di Bandara
Aku rasa, itulah caranya kamu merusak masa depan para model yang
kamu orbitkan."
"Aku mengaku salah. Aku ingin bertanggung jawab. Setelah
mendengar kamu hamil, aku hanya ingin mengatakan kepada kamu
saat itu bahwa aku siap bertanggung jawab jika aborsi bukan suatu
jawaban. Tapi, papa dan mamamu lebih menyukai memisahkan kita."
"Sekarang harus kita tegaskan, bahwa aku tidak mencintaimu.
Peristiwa yang terjadi kepada kita, aku rasa itulah cara Allah mengajari
kita agar berubah. Terutama kamu. Aku senang kalau kamu sudah
bukan lagi fotografer yang brengsek," suara Wulan tegas, tapi dipelankan karena ada beberapa orang sedang makan siang di kafe.
Denie merebahkan punggungnya di sandaran kursi.
"Ini pertemuan terakhir kita. Aku sudah punya suami, yang sangat
mengerti aku, walaupun aku bukan istri yang pertama. Dia malaikat
penyelamat bagiku. Alhamdulillah, aku bahagia."
Wulan bangkit. "Aku akan mengenalkan suamiku kepadamu." Wulan
melebarkan lengan kanannya, mengarah kepada Reno dan seorang lelaki
yang memakai baju koko, berjenggot, dan berkopiah putih.
Denie sangat gugup. Apalagi ketika lelaki yang disebut "suami"
itu mendekatinya. Kedua lengan lelaki itu mengembang seperti sayap
garuda dan senyumnya semerbak menerkamnya.
"Assalamualaikum, Akhi" Lelaki itu tanpa ragu memeluknya.
Denie membalas salam lelaki itu dan dengan ragu balas memeluk.
"Wulan sudah menceritakan semuanya. Terimalah ini sebagai
ujian, Akhi. Bertobatlah kepada Allah Subhanawataala"
Denie merasa kupingnya panas.
"Jika kangen, datanglah sekali-sekali ke Pondok Pesantren Al
Hikmah di Bogor untuk menjenguk Reno."
Denie hanya mengangguk. Tubuhnya kaku dipaku ke lantai
koridor. Dia tak bisa berbuat apa-apa lagi, ketika lelaki yang disebut
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"suami" itu membawa Wulan dan Reno check in. Dia hanya merasakan
getaran-getaran aneh ketika Reno menoleh dan tersenyum kepadanya.
Tangan kanan Reno melemparkan bola kecil kepadanya. Bola itu
Gol A Gong
menggelinding dan dengan serbasalah kaki kanannya menahan laju
bola itu
"Mas Denie, Mas Denie!" terdengar suara renyah perempuan.
Denie melihat Tante Mira berlari ke arahnya. Di samping Tante
Mira berjalan seorang perempuan cantik yang masih tidak ber-make
up, menunduk menekuri lantai. Denie kembali melihat ke arah pintu
masuk check in, Wulan, Reno, dan lelaki yang disebut "suami" itu sudah tidak ada, larut dalam riuh penumpang yang hendak berangkat ke
luar negeri.
"Mau ke mana, Mas Denie?" Tante Mira sudah meraih lengannya
dan memeluknya, menyerahkan pipinya untuk di-cipika-cipiki.
"Nggak ke mana-mana. Cuma nganter temen"
"Kebetulan sekali. Tante juga tadi nganter Om ke Singapura.
Biasa, ada urusan dinas."
"Makasih, Tante Saya buru-buru, mau balik ke kantor" Denie
menarik tubuhnya, karena Tante Mira terus saja merapatkan tubuhnya.
"Eh, sebentar." Tante Mira menarik perempuan cantik itu ke dekatnya. "Ini lho, namanya Anggun. Baru lulus SMA. Dia anak tetangga
Tante di Malang. Mamanya menitipkan Anggun kepada Tante. Katanya,
terserah mau diapakan. Yang penting bisa terkenal di Jakarta."
Denie menjabat tangan Anggun. Tapi, Deni merasa bersalah
ketika Anggun menunduk dan meneteskan air mata.
Rumah Dunia, Serang, Banten, 4 Juli 2013
Karya Gol A Gong
Muse
Ika Natassa
Ika Natassa adalah banker dengan hobi menulis, menggambar, dan
fotogra?. Novel-novelnya yang telah terbit: A Very Yuppy Wedding
(2007, GPU) menjadi Editor?s Choice majalah Cosmopolitan Indonesia
2008, Divortiare (2008, GPU), Underground (2010, self-published
di nulisbuku.com), Antologi Rasa (2011, GPU) yang akan segera
di?lmkan, dan Twivortiare (2012, GPU). Ia juga dinominasikan
sebagai Talented Young Writer dalam Khatulistiwa Literary Award
2008. Tahun 2004 dia menjadi salah satu ?nalis Fun Fearless Female
majalah Cosmopolitan Indonesia, dan tahun 2010 memperoleh
penghargaan Women Icon dari The Marketeers. Tahun 2013 dia
mendirikan LitBox, layanan berlangganan surprise box berisi bukubuku ?ksi terpilih yang pertama di Indonesia.
Muse
UJUR, aku sebenarnya tidak pernah bercita-cita jadi penulis.
Penulis itu penipu massal. Penulis ?ksi maksudnya, seperti aku
sekarang. Kerjanya menjual mimpi-mimpi yang jadi penyebab
utama banyaknya perempuan zaman sekarang yang delusional, berharap akan bertemu laki-laki sempurna seperti di novel-novel tulisan
penulis sepertiku. Membangun ekspektasi mustahil tentang kualitas
pasangan. Ujung-ujungnya, pasangan sendiri saja sampai dibandingbandingkan dengan tokoh idola ?ksi mereka.
Tokoh rekaanku. Yang cuma ada di khayalan. Hasil percampuran
sestoples kaastengels dan belasan cangkir kafein cair.
Terkadang aku juga sering dituduh bahwa cerita-cerita yang kutulis adalah kisah nyata. "Kenalin dong, Mbak, sama si (isi nama tokoh ?ksi laki-laki idola sejagat raya hasil khayalanku yang paling mutakhir). Pasti ada orang benerannya, kan? Ada, kan? Ada, kan? Mau
dong ketemu aslinya."
Girls, please, if guys like that exist, I would be too busy fucking
them than write about them, don?t you think?
Anyway, terkait pertanyaan-pertanyaan tentang tokoh nyata itu,
aku harus akui bahwa setiap seniman?penulis tergolong seniman
juga, kan??pasti punya muse. Apa ya bahasa Indonesia-nya muse?
Sumber inspirasi? Ya gitulah pokoknya.
Dalam mitologi Yunani, muse ini merupakan dewi-dewi yang
menjadi inspirasi terciptanya karya seni, sains, dan sastra. Ada sembilan muse, yaitu Clio, Thalia, Erato, Euterpe, Polyhimnia, Calliope,
Terpsichore, Urania, dan Melpmene. Mereka semua anak perempuan
Zeus dan Mnemosyne. Dalam kehidupan sekarang, yang menjadi
muse seorang seniman tentu bukan lagi dewi-dewi ini?aku saja baru
tahu nama-nama dewi-dewi itu setelah meng-Google?melainkan
orang yang bikin inspirasi mengalir. Bisa satu orang, bisa juga semua
orang yang kami temui sehari-hari.
Biasanya fashion designer yang paling kelihatan, siapa yang
menjadi muse mereka. Kate Moss sering disebut-sebut sebagai muse
Marc Jacobs. Audrey Hepburn menjadi muse Hubert de Givenchy
sehingga lahir gaun hitam legendaris yang dipakai Hepburn di ?lm
Ika Natassa
Breakfast at Tiffany?s. Madonna, yes, the singer, juga punya peran
sebagai muse Jean Paul Gaultier. Christian Louboutin mengakui Dita
von Teese sebagai muse-nya.
Di dunia ?lm ada Tim Burton yang sepertinya tidak bisa lepas dari
Johnny Depp dan Helena Bonham Carter. Di dunia seni lukis, Pablo
Picasso menghasilkan karya-karya terbaiknya terinspirasi perempuan
simpanannya, Marie Th?r?se Walter.
Tetapi, penulis jarang sekali menyatakan jelas-jelas siapa musenya. Contohnya Stephen King, di bukunya On Writing, cuma bilang,
"Traditionally, the muses were women, but mine?s a guy; I?m afraid
we?ll just have to live with that." Siapa laki-laki yang dia maksud, tidak pernah diungkapkan. Dan setahuku, penulis-penulis terkenal
lainnya, dari berbagai interviu atau artikel yang pernah kubaca, juga
tidak pernah membahas muse-nya siapa. Biasanya yang mereka
ceritakan adalah kebiasaan menulis. James Joyce menulis sambil
tengkurap dengan menggunakan pensil berwarna biru. Virginia Woolf
menyisihkan dua setengah jam setiap pagi untuk menulis, di atas
meja yang dirancang khusus sehingga dia bisa "melihat" karyanya dari dekat dan dari jauh. Hemingway suka mengetik naskahnya sambil
berdiri. Agatha Christie mengunyah apel di dalam bak mandi sambil
mengkhayalkan plot pembunuhan yang akan ia tulis. Dewi Lestari pernah menyewa kamar kos dan menulis di situ dari pagi sampai sore
saat menyelesaikan Perahu Kertas.
Most writers talk about their writing habits, but rarely?if never?
about their muse.
Me? Aku tidak punya meja yang dirancang khusus, tidak menulis
sambil berdiri karena pegal, tidak juga mengunyah apel di bak mandi
(mending mengunyah yang lain), atau sampai menyewa kamar kos.
Tidak ada yang unik tentang ritual menulisku. Raia Risjad cuma bangun pukul tujuh setiap Sabtu pagi, ada yang membuatkan kopi dan
toast, kemudian sarapan di atas tempat tidur sambil menuangkan apa
pun ide yang di kepala ke laptop. That?s it. Bahkan sebelum mandi, aku
bisa melahirkan belasan halaman.
But here I am, pukul sebelas siang, hampir setengah dua belas
Muse
sebenarnya, duduk di depan laptop, dan halaman Word ini masih putih
bersih. Sejak tadi cuma ada kursor yang berkedip-kedip menunggu
digerakkan. Sejak jam tujuh pagi tadi.
Lebih tepatnya, sejak 24 bulan yang lalu. Waktu si mas-mas pembuat kopi dan toast itu meninggalkan rumah ini.
Aku bisa membayangkan sebalnya wajah Alam jika mendengar
aku menyebutnya mas-mas.
Sebenarnya, Alam jauh dari image seorang "mas-mas". Tubuhnya
tinggi, bahkan saat aku mengenakan sepatu berhak tujuh sentimeter,
kepalaku hanya sampai di ujung bibirnya. Kulitnya cerah, cenderung
putih, yang membuat pipinya selalu kelihatan sangat memerah setiap
dia kepanasan di luar, dan wajahnya selalu kesal setiap aku meledeknya, "Mbak, blush on-nya bagus, mereknya apa?" Rambutnya ikal,
selalu dipotong pendek sempurna. Sempurna buat diacak-acak dan
dijambak sedikit tiap aku sedang gemas. Dan bibir tipisnya selalu
mencetus pelan dengan suaranya yang dalam, "Raia, aku ini laki-laki,
bukan kucing peliharaan. Senang banget sih ngacak-ngacak rambutku."
Hobi Alam, selain menggambar bangunan?dia arsitek?dan
traveling, adalah membuatkanku sarapan. Secangkir kopi hitam dan
dua lembar roti bakar agak gosong diolesi Nutella. And he made a
mean cup of coffee. Kepekatannya selalu pas, bahkan suhunya juga
pas. Saat aku bertanya apa takarannya, dia cuma bilang, "Bukan masalah resepnya, Raia, tapi siapa yang buat." Nyebelin, kan?
Aku menikah dengan Alam selama empat tahun enam bulan,
sampai dia meninggalkan rumah dua puluh empat bulan yang lalu,
dan kami bercerai dua bulan setelah itu.
Empat tahun enam bulan yang juga jadi masa paling produktif dalam karier kepenulisanku. Lima novel best-seller, tujuh cerita pendek,
dan empat tokoh ?ksi laki-laki yang digila-gilai pembaca setiaku: Bara,
Maha, Nico, dan Angga. Media mulai menjulukiku Sophie Kinsella-nya
Indonesia. Book tour dan book signing-ku selalu ramai, satu bukuku
bahkan diadaptasi menjadi ?lm dan berhasil meraih sekitar dua ratus
ribu penonton?angka yang luar biasa untuk sebuah ?lm Indonesia.
Ika Natassa
Dan itu menjadi satu catatan cemerlang di karier kepenulisanku,
sekaligus menjadi pemicu retaknya hubunganku dengan Alam.
Alam is a very private person. Dia tidak suka keramaian, tidak suka
media, tidak pernah mau hadir di acara book launching atau apa pun
yang terkait duniaku sebagai penulis. Dia bahkan tidak suka membaca
?ksi. Aku tertawa saat Alam mengakui bahwa buku ?ksi terakhir yang
dia baca adalah komik Asterix waktu SMP.Tapi Alam menunjukkan
dukungannya terhadap profesiku dengan caranya sendiri: setiap pagi
dia selalu bangun duluan, membuatkan kopi dan sarapan buatku, dan
dia menemaniku menulis di tempat tidur. Aku berkutat dengan laptop
di sisi kanan tempat tidur, dan dia menemaniku di sisi kiri sambil
membaca atau doodling gambar-gambar bangunan di buku sketsa
kecilnya. Sesekali dia mengelus rambutku, hanya dua sampai lima detik, lalu aku menoleh, dia tersenyum tanpa berkata apa-apa, dan kami
kembali ke aktivitas masing-masing. Satu hal yang dulu selalu aku
banggakan akan hubungan kami berdua: dia dengan dunianya, aku
dengan duniaku, tapi kami tetap bisa "hidup" di satu dunia.
Sore itu, aku sedang berdandan siap-siap ke acara gala premier
?lm Rindu yang diangkat dari salah satu novelku berjudul sama. Aku
juga yang menulis skenarionya. Saat itu Alam muncul di kamar dan
mencetus, "Cantik." Aku menoleh tersenyum, dia mendekat, dan kami
akhirnya menghabiskan sore itu dengan bercinta. Yang membuat sore
itu makin sempurna, Alam akhirnya mau kugeret menemaniku ke gala
premier itu.
Alam tetaplah Alam. Begitu tiba di acara yang penuh wartawan,
undangan artis-artis Indonesia, dan aku sibuk melayani beberapa
permintaan wawancara bersama-sama dengan sutradara, aktor, dan
aktris Rindu, Alam minggir. Dia memilih berdiri di sudut, sibuk dengan
segelas coke dan iPad-nya. Sesekali mataku berkelana mencari Alam,
dan aku menemukan dia sedang berdiri di area outdoor bioskop Epicentrum Walk ini, merokok. Alam baru bergabung denganku saat sudah saatnya masuk bioskop.
"Aku takut terkenal, Yang, makanya mending aku minggir-minggir
aja," candanya.
Muse
"Iya, ngerti," aku tertawa. "Kalau kamu bosan sama ?lmnya, tidur
juga nggak apa-apa kok. Makasih sudah mau nemenin ya." Buatku,
berhasil mendatangkan Alam ke sini saja sudah prestasi. I didn?t really
care if Alam fell asleep in the cinema.
Tapi Alam terjaga. Saat aku menoleh untuk mengecek apakah dia
ketiduran atau tidak, wajahnya justru serius dengan kedua mata yang
lekat ke layar, dahinya berkerut.
Alam was very quiet the rest of the night. Saat aku menanggapi
tanggapan positif banyak orang setelah gala premier, Alam tetap
diam, bahkan saat kami berdua sudah berdua di mobil menuju rumah.
Awalnya aku tidak sadar karena sibuk membaca mentions di Twitter
dan membalas serta me-retweet beberapa reviu positif, sampai aku
bertanya, "Jadi, gimana menurut kamu ?lmnya, hon? Tadi serius
banget gitu nontonnya. Suka?"
Alam cuma menjawab datar, "Bagus."
Aku baru mau bertanya lebih jauh lagi saat ponselku berdering,
dan ketika percakapan di telepon selesai, aku dan Alam telah tiba di
rumah. Alam masuk, tetap membisu, aku mengikuti di belakangnya.
Aku masih belum sadar sepenuhnya tentang perubahan gelagat Alam
malam itu karena aku sendiri masih melayang-layang di atas awan
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menikmati pujian orang-orang atas ?lm tersebut.
"Film itu tentang kita ya, Raia?"
Aku baru keluar dari kamar mandi, Alam sedang duduk di tempat
tidur, dan itu kalimat pertama yang dia cetuskan sejak kami pulang
dari bioskop. Dingin.
Saat aku cuma bisa terdiam, Alam kembali berujar, "Sepasang suami-istri, bertahun-tahun menikah belum dikaruniai anak walau sudah
berusaha jungkir balik, menghabiskan ratusan juta untuk inseminasi
berkali-kali yang selalu gagal, sampai akhirnya menerima takdir dan
memutuskan menikmati hidup dengan traveling. Itu tentang kita, kan?"
Aku tertegun.
"Mungkin aku harus mulai baca semua buku yang kamu tulis
untuk tahu seberapa banyak lagi kehidupan pribadi kita yang kamu
ceritakan ke orang-orang."
Ika Natassa
"Nggak gitu juga, Lam," aku mulai membela diri. "Aku ini penulis,
wajar kalau aku terinspirasi dari banyak hal yang aku lihat sehari-hari,
termasuk pengalaman kita. Tidak ada yang tahu juga itu berasal dari
cerita kita berdua, kan?"
"Tapi aku tahu, Raia. Aku tahu. Dan aku tidak suka."
Alam menggelegar.
Aku terduduk di sebelahnya. Aku dan dia cuma duduk, diam, tapi
aku bisa mendengar napasnya yang memburu.
Lalu dia beranjak pergi. Aku baru melihat Alam lagi keesokan
paginya, ketika dia pulang dengan wajah kusut.
Hubunganku dengan Alam mulai renggang sejak malam itu. Kami
berbaikan beberapa hari kemudian, tapi aku selalu merasa ada sesuatu yang beda. Alam jadi "jauh". Dia tidak pernah lagi bercerita panjang lebar tentang perasaannya, tentang passion-nya. Alam masih
membuatkanku kopi dan roti bakar setiap Sabtu pagi, tapi tidak pernah
lagi menemaniku menulis. Dia memilih menyendiri di teras belakang,
menggambar, membaca, mengerjakan apa pun asal tidak dekat-dekat
denganku saat aku sedang bergelut dengan laptop.
Alam berhasil membuatku merasa dicintai sebagai seorang istri,
tapi dibenci sebagai seorang penulis.
Sampai akhirnya Alam mengungkapkan keinginannya untuk bercerai dan ia meninggalkan rumah. Over a 3-minute conversation.
Ada yang bilang bahwa seorang penulis hanya bisa lancar menulis
saat ia sedang jatuh cinta atau sedang membenci seseorang. I guess
that explains why I can?t write since Alam left. Aku yang tidak jelas
apakah sedang dalam keadaan jatuh cinta atau sedang membenci ini.
Muse-ku pergi.
Dulu ada tawa Alam di Bara, senyum Alam dengan bibir tipisnya
di Maha, kalemnya Alam di Nico, dan cara berbicaranya yang selalu
pendek-pendek namun dalam di Angga.
What am I left now? Blog post panjang ini yang bahkan tidak akan
pernah berani ku-publish.
Harris, sepupuku yang sering menghibur sejak Alam pergi, pernah
bilang begini di awal-awal perpisahanku dengan Alam, "Gue tuh ya,
Muse
kalau mau bikin presentasi buat kantor aja harus bayangin Keara
dulu." Dia menyebut nama perempuan yang dia kejar sejak dulu. "Gue
bayangin yang akan dengerin gue presentasi itu dia, baru ide-ide gue
keluar. Raia, mungkin lo harus begitu juga."
"Maksud lo, waktu cari ide menulis, gue harus membayangkan
orang yang gue kejar tapi hampir mustahil, gitu?"
"Ngeledek!"
Well, it?s been twenty-four months and I still haven?t written shit.
Blog ini adalah tulisan pertamaku sejak itu. Cuma blog ini, yang ujungujungnya paling hanya berani kuparkirkan di folder draft.
Pintu kamarku tiba-tiba diketuk, ibuku yang muncul.
"Raia, kok belum siap-siap? Katanya janji spa jam dua belas. Calon pengantin harus perawatan yang rajin biar nanti waktu pesta dua
hari lagi kamu makin cantik, Nduk. Ayo siap-siap."
Aku tersenyum mengangguk. Ibu menutup pintu dan berlalu.
Aku menutup laptop, menghela napas.
Entah apa kata calon suamiku jika ia tahu bahwa calon istrinya ini
baru bisa menulis lagi saat kembali mengingat mantan suaminya yang
sudah dua puluh empat bulan berusaha dilupakannya.
Karya Ika Natassa
Ojek
Iwok Abqary
Iwok Abqary tinggal di Tasikmalaya. Selain novelis, dia juga seorang
blogger. Novel-novelnya terbitan Gramedia Pustaka Utama yaitu
Ganteng is Dumb (2008), Dog?s Love (2010), dan Laguna (2013). Mau
kenalan? Add Facebook-nya saja
di http://www.facebook.com/iwok.abqary
Iwok Abqary
ERKENALKAN, nama gue Tonny. Gue tukang ojek. Yup, ojek
motor, bukan ojek payung, apalagi ojek onta. Nggak ada tukang
jualan onta sih, jadi gue nggak bisa beli ontanya buat diojekin.
Padahal lucu ya kalo beneran ada ojek onta, penumpang yang lagi gue
boncengin bisa jalan endut-endutan sambil ngayal lagi naik haji. Pasti
ojek onta gue laku.
Kok tukang ojek namanya keren? Yeee biarin aja napa? Lagian, lo
pasti bakalan lebih kaget lagi kalo tahu nama asli gue. Nama lengkap
gue HAKASA TONNY. Cihuy, kan? Suer, gue aja sering nggak enak
sendiri dengan nama keren gue ini. Buat anak kampung kayak gue,
nama itu terlalu kota. Tapi kita harus menghormati nama pemberian
orangtua, kan? Pastinya mereka udah mikir luar-dalam, atas-bawah,
buat bikin nama anaknya. Apalagi pas akhirnya gue tahu arti nama gue
adalah: HAsil KAsih SAyang TOtong dan eNNY. Duh, so sweet nggak sih?
Meski nggak bercita-cita jadi ojeker, akhirnya sekarang gue jadi
tukang ojek motor. Itu pun nggak nyangka banget sebenernya. Siapa
sih yang pengen jadi tukang ojek? Dari awal kan gue pengen banget
jadi artis. Sayangnya tiap kali gue ikutan kasting sinetron, selalu aja
orang-orang salah sangka. Bukan nyangkain gue ini Teuku Wisnu, tapi
nyangkain gue tukang jualan nyasar masuk ruang kasting!
"Bang, ketoprak saya mana? Saya kan udah pesen dari tadi?"
Hiks! Gue malah disangka kembaran sama tukang ketoprak.
Akhirnya gue nggak nafsu lagi jadi artis. Bikin bete.
Gue jadi tukang ojek, semuanya gara-gara minum kopi. Udah pada
tahulah ya kalo sekarang ini banyak produk makanan yang berhadiah
ini-itu. Cukup beli produknya, buka bungkusnya, dan taraaaa! Anda
memenangkan sebuah mobil roda tiga! Atau motor full AC! Enak bener
ya yang dapet, gitu pikir gue.
Eh, tapi ada juga sih promosi produk yang aneh. Masa ada iklan
permen lolipop yang hadiahnya sepasang anjing edan! Beuh! Sekalian
aja dengan bonus anti rabiesnya. Eh, tapi yang penasaran pengen dapet hadiahnya banyak lho, termasuk adik gue.
"Bang, ayo kita beli lolipop lagi, siapa tahu sekarang kita dapet
hadiah anjing edan," katanya.
Ojek
"Heh, buat apa?" gue kaget. "Makanan buaya? Kita kan nggak miara buaya?"
"Yee kok buaya? Biar ojek abang laku! Kalo ada orang lewat,
sodorin aja anjingnya sambil ngancem, ?Naik ojek gue atau mau digigit
anjing edan gue??"
Gue bingung, mesti kesel apa malah terharu sama ide aneh adik
gue?
Balik lagi ke masalah awal-muasal gue ngojek. Semua memang
gara-gara minum kopi. Gue emang doyan banget ngopi. Nah, suatu
waktu pas gue lagi nyeduh kopi, iseng gue buka bungkusnya. Di dalam bungkus kopi itu ada tulisannya: SELAMAT, ANDA LAYAK JADI
TUKANG OJEK!
Gubrags!
Pelecehan!
Awalnya gue ngamuk-ngamuk. Tapi lama-lama gue penasaran
juga, maksudnya apa nih? Masa iya gara-gara gue demen minum kopi
terus dianggap layak jadi tukang ojek? Emangnya semua tukang ojek
doyan ngopi? Akhirnya gue telepon ke nomor yang ada di bungkusnya,
soalnya kalo nelepon ke nomor Pak Lurah malah bingung juga ntar
mau ngomong apa.
"Selamat, Dik, Anda berhak dapat motor!" begitu kata customer
service perusahaan kopi yang gue telepon. Nadanya cerah ceria, seolah gembira menyambut satu lagi tukang ojek yang akan muncul di
muka bumi.
HAH, MOTOR? Gue langsung deg-degan.
"Tapi motornya harus buat ngojek, Dik."
HAH? Kok gitu aturannya?
"Kopi berhadiah motor ojek ini memang hasil kerja sama
perusahaan kami dengan Dinas Tenaga Kerja, dalam rangka membasmi pengangguran di Indonesia. Jadi, para pemenang hadiah motor ini harus menandatangani kesepakatan bahwa motor yang dimenangkannya harus digunakan untuk ngojek."
Jungkel!
"Terima aja, Ton, lumayan motornya," kata bokap gue dengan se168
Iwok Abqary
mangat. Gue ngerti kegirangan Bokap, siapa sih nggak seneng dapet
motor gratis?
"Tapi buat ngojek, Beh," kata gue lemes. "Emang Babeh nggak
malu, anak Babeh jadi tukang ojek?"
"Eh, Ton, ngojek itu lebih bermanfaat daripada kagak ngojek,"
kata Bokap, bikin gue bingung. Maksudnya apa coba? Tapi akhirnya
gue nurut juga. Gue akhirnya terima juga tuh hadiah motor dengan
konsekuensi jadi tukang ojek minimal lima tahun. Setelah itu gue mau
terus ngojek atau jadi selebriti nggak ada urusannya sama pabrik kopi.
Daripada gue nganggur, emang mendingan ngojek aja. Lumayan dapet
duit buat beli kopi lagi. Siapa tahu kali ini dapet mobil, meski kalo nanti
ada kesepakatan mobilnya harus dijadiin angkot. Yang penting kan ada
peningkatan status? Amiiin.
Jadi begitulah, Saudara-saudara, akhirnya gue jadi ojeker sejati.
Sayangnya, sekarang gue lagi mangkel berat. Udah beberapa hari ini
ojek gue sepi penumpang. Biasanya sehari ada aja penumpang yang
minta gue anterin. Urusan nganter-menganter sih gue emang jagonya.
Lo mau dianter ke mana? Sini sama gue, asal jelas aja bayarannya.
Hah, ke neraka? Sono lo pergi sendiri, tinggal nyemplung ke sumur
aja kagak perlu naik ojek!
Di kampung gue, ojek memang dibutuhkan. Apalagi, kampung
gue kan jauh dari jalan raya tuh, makanya fungsi ojek penting banget,
apalagi buat yang nggak punya kendaraan. Jalan kaki? Silakan kalo
pengen pegel. Jalan kaki sekilo-dua kilo kan mana tahan? Apalagi kalo
malem, jalanan masuk ke kampung gue harus lewat sawah dan kebon.
Gelap, tau! Jadinya, tukang ojek di kampung gue laris manis. Asalnya
sih gitu, sebelum akhirnya ojeker harus pada gigit jari belakangan ini.
Semuanya gara-gara lurah baru. Suer, tahu begini gue nggak
bakalan milih dia pas pilkades kemarin. Asalnya gue milih Pak Somad
jadi lurah gara-gara dia ngejanjiin mau ngaspal jalan dari kampung
sampe ke jalan raya. Bakalan asyik tuh kalo jalanannya mulus
beraspal. Sesekali gue bisa kebut-kebutan biar kayak Irfan Bachdim
(eh, Irfan Bachdim itu pembalap, kan?).
Bener aja. Pas Pak Somad kepilih, jalanan di kampung gue
Ojek
langsung diaspal. Nggak tanggung-tanggung, dia nawarin warga
kampung mau diaspal pake rasa stroberi atau rasa melon. Tapi demi masa depan anak-anak kecil penerus bangsa, akhirnya aspal
yang dipilih tetep yang rasa orisinal. Bukannya kenapa-kenapa, kalo
pake rasa stroberi, warga takut kalo banyak anak kecil yang nantinya
bakalan jilatin jalanan gara-gara dikira permen!
Beres ngaspal jalan, Pak Lurah langsung ngasih instruksi sadis:
Seluruh ojek dilarang operasi! Terang aja seluruh ojeker langsung
melolong pilu. Ini pelecehan! Tidak berperikeojekan! Penyalahgunaan
wewenang! Otoriter! Semua ojeker ngamuk-ngamuk, bahkan sampe
ada yang mau kawin lagi (entahlah, gue juga bingung dengan alasan
yang ini). Apa dasarnya coba Pak Lurah ngasih larangan itu? Apa
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena dia pengen aspalnya nggak lecet-lecet? Dilaminating aja
sekalian!
Pengumuman itu disampaikan di Balai Desa.
"Saudara-saudara semua, marilah kita bersama-sama membangun desa kita tercinta ini. Siapa lagi yang akan membangun desa ini
kalau bukan kita bersama-sama? Kitalah yang harus membangun desa ini agar desa ini bisa dibangun bersama-sama," kata Pak Lurah
sambil ngomong muter-muter bikin sebel. Kreatif dikit kek bikin
kalimat, jangan itu aja yang dibolak-balik.
"Karena itu, kita membutuhkan warga yang sehat dan kuat.
Di dalam desa yang sehat terdapat warga yang kuat. Mensana in
corporesano!" Pak Lurah masih berapi-api. Ngomongnya aja sambil
muncrat-muncrat saking semangatnya. "Kita tidak boleh malas. Kita
harus rajin berolahraga!"
"Pak Lurah ngomong apa sih, Ton? Suer, gue pusing banget
dengernya," kata Juned yang sedari tadi cengo liatin pidato Pak Lurah.
"Pak Lurah lagi latihan baca puisi, Jun," jawab gue ngasal. "Katanya bakalan ada lomba baca puisi antar-lurah sekecamatan."
"Oooh..." Juned manggut-manggut.
"Agar setiap warga sehat dan kuat, saya memerintahkan agar semua warga tidak lagi menjadi manja. Mulai sekarang, semua harus
rajin berolahraga setiap hari. Saya lihat warga desa ini malas sekali
Iwok Abqary
berolahraga. Olahraga itu tidak perlu golf, panjat tebing, atau polo air,
Saudara-saudara, tapi cukup dengan joging alias berjalan kaki."
"Polo air apaan sih, Ton?" Juned noleh ke gue.
"Oh, itu permainan perosotan buat anak-anak, tapi di dalem air."
Juned bengong. Bodo ah.
Pak Lurah melanjutkan, "Untuk menyukseskan program hidup
sehat ini, juga untuk mencegah polusi udara di desa kita akibat asap
kendaraan yang ujungnya berdampak terhadap global warming, saya
mencanangkan gerakan bebas kendaraan bermotor di desa ini. Tidak
ada seorang pun yang boleh menggunakan kendaraan bermotor, baik
itu mobil ataupun motor, termasuk ojek!"
HAH?! Gue melongo. Bukan karena mikirin apa arti global warming, tapi karena ojek tidak boleh digunakan. Nggak salah tuh? Gue
kagak makan dong?
"Kalau hanya jarak dekat, tidak perlu naik kendaraan. Timbang jalan kaki ke jalan raya aja nggak usah naik ojek, lebih baik jalan kaki
biar sehat."
"Tapi kalo saya mau ke kota gimana, Pak? Atau kalo saya mau ke
Surabaya? Kalo jalan kaki kan bisa gempor duluan sebelum nyampe,"
keluh seorang warga.
Ternyata aturan itu cuma berlaku selama kita berada di wilayah
desa. Keluar dari batas desa, kendaraan boleh dihidupkan dan dipakai
lagi. Alhasil, setiap saat selalu terlihat beberapa warga desa yang
keringetan mendorong-dorong motor di jalanan desa. Kalo bukan
baru pulang dari kota, pasti mereka yang mau pergi ke kota.
Yang kasihan Haji Slamet. Dia punya pabrik pemotongan kayu.
Buat ngangkut kayu-kayunya ke kota, dia menggunakan truk. Sudah
dua hari ini dia mendorong-dorong truknya biar nyampe ke jalan raya,
tapi nggak maju-maju! Tobaaat!
Pokoknya tidak dibenarkan menghidupkan kendaraan di wilayah
desa. Titik! Nggak pake koma lagi. Aturan yang luar biasa menyengsarakan. Tapi nggak ada warga desa yang berani melanggar aturan ini,
soalnya barang siapa yang melanggar bakalan dikutuk jadi korek kuping.
Yang nasibnya paling apes pastinya tukang ojek. Warga desa nggak
22:50 PM
Ojek
ada yang berani lagi naik ojek. Paling ojek gue jalan kalo ada yang
minta dianterin ke kota doang. Itu pun berangkatnya dari perbatasan
desa. Urusan keluar-masuk desa, nggak ada lagi yang mau make ojek.
"Nggak mau ah, Bang. Saya takut dengan kutukan Pak Lurah,"
tolak Neng Entin pas gue tawarin naik ojek diem-diem waktu dia
pulang kerja di pabrik gayung. "Emang Bang Toni nggak takut gitu
motornya disulap jadi otopet?"
"Tapi betis Neng Entin bakalan gede kayak talas bogor lho kalo
kebanyakan jalan," rayu gue, tetep usaha. Gue udah nggak peduli motor gue disulap jadi otopet atau becak. Gue butuh makan!
"Nggak pa-pa, Bang. Talas bogor kan enak. Bisa digoreng, bisa
juga dikukus. Eh, sekarang talas bisa dibikin bolu juga lho. Bang Tonny
pernah nyobain? Enak lho."
Gue mingkem. Kok malah jadi ngebahas talas sih? Hih!
Akhirnya ojek gue nggak laku lagi, ditolak penumpang untuk
kesekian kalinya. Orang-orang lebih milih pegel-pegel daripada
terkena kutukan. Kabarnya, selain dijadiin korek kuping, yang melanggar aturan pun bakalan disulap jadi panci atau tutup gelas, tinggal
milih aja. (Heran, nih lurah apa ahli nujum sih?)
Gue nggak bisa kalo begini terus. Gimana gue bisa makan kalo
ojek gue nggak jalan? Akhirnya gue bisikin Juned dan beberapa ojeker
lain. Semuanya ngangguk-ngangguk.
Tiba-tiba puskesmas jadi laku keras keesokan harinya. Banyak
warga yang tiba-tiba menyerbu untuk berobat tiap hari. Semua ngantre sampe menuh-menuhin bungkusnya, eh, menuh-menuhin halaman puskesmas maksudnya. Sampe akhirnya dokter praktek dan
perawatnya kewalahan.
"Saya tidak tahan, Pak Lurah! Tidak sanggup lagi. Huhuhu!"
Dokter wanita yang masih muda itu terisak-isak sambil mengadu
domba, eh, mengadu di hadapan Pak Lurah. "Setiap hari jumlah orang
yang sakit semakin banyak. Ya encok lah, pegal linu lah, keseleo lah,
kesemutan, patah hati, masuk angin, serangan jantung, dan lainlain. Gimana dengan nasib saya? Dinas Kesehatan menganggap saya
tidak becus menangani kesehatan warga desa ini. Apalagi mereka
22:50 PM
Iwok Abqary
mempertanyakan, kenapa puskesmas ini sering sekali meminta pasokan balsem?"
"Lho, bukannya warga kita tambah sehat? Saya sudah menggalakkan program olahraga tiap hari. Tidak mungkin kalau yang sakit
tambah banyak. Olahraga itu menyehatkan!" Pak Lurah mendelik.
"Buktinya program jalan sehat yang Bapak ciptakan malah
membuat seluruh warga sakit tiap hari. Kaki mereka tidak kuat
menanggung beban bergerak ke sana kemari, Pak! Saya juga sebenernya capek harus jalan kaki dari jalan raya sampai ke desa ini. Jauuuh
mana tiap hari pula. Huwaaa!" raung dokter itu sekalian curcol.
Pak Lurah terdiam. Dia sama sekali nggak nyangka programnya
berakibat buruk bagi warganya. Kalo Pak Camat sampe tahu keadaan
warga desanya seperti itu, pasti Pak Lurah akan ditegur habis-habisan.
Akhirnya Pak Lurah segera membuat pengumuman.
"Demi stabilitas dan kesehatan warga desa, dengan ini saya
nyatakan bahwa aturan tidak boleh menggunakan kendaraan bermotor
di wilayah desa dengan resmi saya cabut. Seluruh warga dipersilakan
untuk mempergunakan kendaraannya. Oya, tapi jangan lupa untuk
terus berolahraga, ya!"
Pengumuman
langsung
disambut
dengan
sukacita.
Puskesmas langsung kosong hari itu juga. Seluruh warga langsung
sembuh dengan tiba-tiba. Gue lirik Juned sambil ngikik. Ide untuk
mengerahkan warga menyerang puskesmas ternyata manjur juga.
Terbukti Pak Lurah panik melihat warganya tepar semua.
"Akhirnya kita bisa nyari duit lagi, Jun." Gue nyengir.
"Hidup ojek!" Juned jungkir balik.
*Pernah dimuat di www.annida-online.com
22:51 PM
Karya Iwok Abqary
22:53 PM
Dua Garis
Jessica Huwae
Jessica Huwae lahir di Jakarta, 17 Juli 1979. Lulusan Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Indonesia dan sempat bekerja di beberapa media
nasional?Femina Group, MRA Media, dan Media Indonesia. Pernah
juga menjadi juri Khatulistiwa Literary Award 2007. Selain menulis
dan mengajar tentang penulisan kreatif dan media, saat ini ia juga
mengelola website khusus wanita karier Indonesia, www.dailysylvia.
com. Semua bukunya diterbitkan GPU: Soulmate.com (2006),
Skenario Remang-Remang (2013), dan Galila (2014).
22:55 PM
Dua Garis
AU tahu hal yang paling menyebalkan di dunia? Orang yang banyak
bertanya. Mereka seperti monster yang tidak pernah terpuaskan
rasa keingintahuannya. Lihat saja bagaimana mereka dengan begitu
percaya diri menerabas batas-batas privasi, membuka mulut mereka
sesuka hati. Sialnya, mereka mewujud dalam bentuk-bentuk yang tidak
bisa kauhindari sehari-hari. Mulai dari ibumu, atasanmu di kantor, atau
bahkan kelak, saat kau dewasa, adalah pasangan hidupmu.
Pertanyaan pertama adalah soal pekerjaan. Pilihan pekerjaanku
ternyata lumayan cukup membuat kecewa ibuku. Aku memilih menjadi
reporter sebuah koran politik dengan gaji pas-pasan ketimbang membangun karierku sebagai pengacara?hal yang dulu diidam-idamkan
kedua orangtuaku. Aku bilang, aku pusing melihat orang debat panjang, adu bacot dan tarik urat di pengadilan. "Tuh lihat," ujarku menunjuk acara bincang-bincang para pengacara di salah satu televisi
swasta. "Mama mau lihat aku seperti itu? Berteriak-teriak dan saling
menunjuk seperti orang kesetanan. Bagiku, mereka lebih mirip hewan
sirkus yang kelaparan ketimbang kaum intelektual." Kupikir, yang
penting janjiku untuk menyelesaikan sekolah hukum sudah kutepati.
Mama melengos dan masuk kamar, meninggalkanku duduk di depan
televisi?diam-diam berterima kasih pada pasukan sirkus berdasi di
televisi yang membuatku lolos dari pertanyaan ibuku.
Pertanyaan berikutnya adalah soal calon suamiku yang berbeda
suku denganku, Pandu. Namun pada waktu itu aku masih punya cukup
kekuatan dan keberanian untuk melawan pendapat para bou1-ku.
"Kenapa sih harus dengan pria Batak? Kalau pria Batak lebih baik,
Tuhan seharusnya menciptakan pria Batak aja dong semua. Ngapain
menciptakan suku-suku lain?cuma buat peran ?guran?"
"Ah, kau belum pernah sih pacaran dengan pria Batak. Mereka
yang terbaik."
"Memangnya Bou pernah pacaran dengan pria non-Batak? Kok
bisa bilang begitu?"
Bou-bou-ku kembali melengos dan melanjutkan bercakap-cakap
dengan bahasa asing yang tak kumengerti.
1 Adik perempuan ayah
22:56 PM
Jessica Huwae
Pernikahan
Pandu
akhirnya
digelar.
berhasil
membungkam pertanyaan-pertanyaan dengan kompromi yang merepotkan. Siraman adat Jawa, martupol2 di gereja, pemberkatan dengan kebaya Jawa, lantas disambung dengan pesta adat Batak. Satusatunya yang bisa kami kompromikan tanpa harus tarik-menarik
adalah saat resepsi. Di acara itu kami menggunakan baju pengantin
internasional. Kompromi yang memakan banyak biaya, juga menguras
kesabaran. Sungguh benar bila ada yang mengatakan bahwa saat
kau menikah dengan seseorang, maka kau menikah dengan seluruh
anggota keluarganya. Ya, tentu saja lengkap dengan sifat-sifat mereka
yang kian hari kian terang di matamu.
Lantas pertanyaan-pertanyaan lain mulai datang dari ibuku dan
ibu mertuaku. Tidak terlalu lama jaraknya dari pesta pernikahan kami.
Rasanya menyesakkan, karena kali ini aku tidak punya jawaban yang
tepat atau kapan benar-benar bisa memprediksi munculnya jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pertanyaan yang sifatnya repetisi bisa membuatmu mati rasa atau jadi setengah gila. Seakan kau
melakukan kesalahan tak terampuni dan sebagai gantinya mereka
merasa berhak mencecarmu seperti polisi. Sudah benar belum
caranya? Tahu kan caranya menghitung masa subur? Duh, perhatikan
dong makanan suamimu. Suruh makan seafood yang banyak. Kau juga
sih, jangan banyak makan buah-buah asam dong, gimana mau jadi?
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku menahan kupingku. Toh ini hanya acara arisan atau jadwal
pulang menengok mingguan. Sabar, sabar, aku merapal dalam hati.
Badai pertanyaan pasti berlalu.
Aku segera bernapas lega saat mobil yang dikemudikan Pandu
melaju ke luar kompleks, meninggalkan ibu atau ibu mertuaku yang
sedang melambai-lambai di belakang kami. Lega, walau hanya
sesaat, karena pertanyaan akan terus berlanjut, mewujud melalui
telepon, SMS, atau titipan pesan melalui Pandu, dan datang di hari
2 Tunangan adat Batak
22:56 PM
Dua Garis
hari kerja?di saat emosiku begitu gampang tersulut. "Kata Ibu jangan
kecapekan, Sayang. Nggak usah sering-sering lembur." Aku yang baru
mencopot sepatu dan meletakkan tas laptopku di ruang tengah, sontak
mendidih. Satu kasus korupsi yang melibatkan pejabat penting negara
membuatku harus rela duduk mengemper berjam-berjam di halaman
gedung KPK seharian tadi. Wajahku berminyak, kedua tungkaiku rasanya lemas sampai ke pinggang?dan aku pulang hanya untuk menerima cecaran seperti ini? Aku menatap Pandu dengan garang sebelum menyemprotnya?hal yang hampir tak pernah kulakukan?dan
menuduhnya bersekutu dengan ibu-ibu kami.
"Kamu pikir kamu doang yang ingin aku hamil? Aku juga. Dengar, aku juga! Tapi caranya gimana? Kamu pikir aku bisa meniupkan roh itu dengan sendirinya ke perutku? Kenapa cuma aku
yang harus menanggung semuanya? Coba kamu jelaskan!" ujarku
setengah berteriak, berang. Aku masih ingat tatapan terkejut yang
segera berganti menjadi ekspresi duka di wajah Pandu. Sesaat
kemudia ia meminta maaf dan pamit untuk masuk ke kamar lebih
dulu. Aku membalikkan badan dan mendengarnya menutup pelan
pintu di belakangku.
Aku duduk di ruang makan yang gelap, menyelonjorkan kakiku
yang lelah, dan berpikir. Tujuh miliar penduduk bumi ini?setiap hari
semua bersaing mencari makan, membunuh hewan, menebang
pohon, menggerogoti hutan, merampas isi laut, menimba sumursumur air, sikut-sikutan di kantor, mempertaruhkan kewarasan di
kemacetan yang menggila?dan dengan kompetisi yang begitu sibuk
ini, mengapa mereka masih mengharapkan partisipan baru lagi dari
rahimku? Mengapa manusia harus menghadirkan manusia-manusia
baru saat isu mereka sendiri belum selesai?
Tapi dunia memang persekutuan yang kadang menakutkan. Mereka bukan hanya membelah diri, tapi juga menggurita seperti para
agen multilevel marketing yang terus memburumu di pusat-pusat
keramaian Ibukota. Mengerikan.
"Sudah isi belum?"
"Jangan kelamaan menunda, nanti malah susah lho."
22:56 PM
Jessica Huwae
"Mau coba program dokter anu nggak? Katanya manjur lho. Banyak artis langganan sama dia."
"Menjelang subuh adalah jam yang terbaik. Coba deh."
Kalau kau tak kunjung hamil, pada satu titik kau akan mulai
mempertanyakan dirimu sendiri. Mencari tahu apa yang salah dengan
dirimu. Apakah caramu, penghitunganmu, gizimu, atau dosa-dosa nenek moyang yang menurun kepadamu. Lantas di satu titik kau mulai
mempertanyakan apakah Tuhan benar-benar menginginkanmu untuk
memiliki anak. Bagi perempuan, pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab ini membuatmu merasa seperti dihukum. Kau bisa memiliki
karier yang sukses, to do list yang panjang dan hendak kaupenuhi
selama kau hidup?namun kau tidak pernah memiliki kuasa atas
tubuhmu sendiri. Kau tak punya kuasa untuk meletakkan satu janin
kehidupan ke dalam kandunganmu sendiri. Dan tentu saja, ini sebagian
besar karena salahmu. Perempuan adalah yang menanggung semua
itu. Sesuatu yang tidak bisa kaukejar, kaurencanakan, kautabung?
karena semua benar-benar berlangsung di semesta yang berada di
luar kuasamu.
Topik mengenai kehamilan dan punya anak tidak pernah hadir
lagi dalam pembicaraan kami. Kecuali saat-saat kami berkunjung ke
rumah ibu-ibu kami. Aku memasang wajah masam, dan ibu-ibu kami
tetap membisikkan desakan serta harapan mereka tentang calon
anak kami secara berganti-ganti.
"Satu garis atau dua garis?" tanya Pandu penuh harap.
Aku berdecak kesal. Pertanyaan itu lagi. Aku baru saja ke luar
dari kamar mandi dan mengikat jubah mandiku yang sudah berwarna
cokelat kusam. Persis seperti suasana hatiku. Kantuk masih bergelayut
di matanya, tetapi sebulan sekali, empat belas hari sesudah menstruasi
pertama dan kami bercinta, tanpa jemu Pandu akan menyodorkan stik
pengetes kehamilan. Ia akan menunggu dengan harap-harap cemas
di depan pintu kamar mandi.
22:57 PM
Dua Garis
Aku berjanji inilah terakhir kali seseorang melemparkan pertanyaan yang membuatku tertekan. Pertanyaan-pertanyaan suamiku,
ibuku, dan ibu mertuaku adalah api-api kecil yang menghanguskanku,
perlahan tapi pasti. Tidak akan ada lagi. Aku mengembuskan napas
kuat-kuat.
"Katya?"
Aku menyodorkan stik mungil itu dan menyaksikan mata Pandu
yang mengilat sebelum beningnya pecah, mengumpulkan genangan di
pelupuk matanya. Ia segera menarikku ke dalam pelukannya, hal yang
sudah lama tidak dilakukannya?dan menghujaniku dengan kecupankecupan kecil bertubi-tubi, yang juga sudah terlalu lama alpa dalam
kehidupan kami. Oh, ini sungguh menyenangkan. Kadang saat kau begitu lelah dan babak belur oleh kenyataan hidup, yang kaubutuhkan
hanya pelukan yang nyaman dan panjang untuk membebat dan menyembuhkan lukamu.
"Sebentar ya." Pandu melepaskan pelukannya. Aku melihatnya meraih telepon dan berbicara dengan napas tidak beraturan karena euforia.
Sayang, tidak bisakah kau bersabar dan membiarkan ini menjadi
perayaan kita berdua?sejenak saja?
Aku memanggilnya.
"Sebentar, Sayang," ujarnya sambil terus berbicara di telepon.
Aku segera berbalik ke kamar mandi dan menyelesaikan urusanku di
sana. Usai membasuh tanganku di depan wastafel, Pandu mendekat
dan memelukku dari belakang. Aku bisa merasakan napasnya yang
hangat bertiup di belakang telingaku.
"Ibu tanya kapan kita mau main ke rumah. Dia mau menyiapkan
sesuatu buat kita. Kejutan, katanya. Kamu nggak keberatan, kan?"
tanya Pandu. "Tadi Mama sempat mengusulkan beberapa nama, baik
laki-laki maupun perempuan. Ah, aku lupa mencatatnya. Besok kita
tanyakan saat kita ke rumah Mama ya. Tidak mengapa ya, Sayang, bila
nama pertama dari mereka?" Ibu adalah panggilan untuk ibunya, dan
Mama untuk ibuku.
Selalu tentang orang-orang di luar kami, di luar aku. Tidakkah dia
ingin berbincang dan menanyakan perasaanku?sejenak saja?
22:57 PM
Jessica Huwae
"Oh, aku tak sabar menyampaikan berita ini pada dunia. Mereka
tak akan bisa meremehkan aku lagi, Sayang. Kita bukan pasangan
mandul seperti yang mereka perbincangkan di belakang kita."
Aku merasa senyum Pandu menempel di tengkukku. Meskipun
tak bisa melihat matanya, aku merasakan kebahagiaan begitu nyata
pada suaranya. Selama sepersekian detik, kami terdiam dalam pelukan. Tenggelam dalam kegaduhan pikiran kami masing-masing.
Anak ini akan jadi summer baby. Kuprediksikan ia lahir di bulan
Juli. Bulan favoritku. Dan batu kelahirannya adalah ruby, juga batu
favoritku. Kurasa ia akan tumbuh jadi anak yang sensitif, tapi pasti
penyayang. Tidakkah kau ingin berbincang tentang bakal anak kita?
sejenak saja?
Sesuatu yang mengalir dingin di antara kami membuat Pandu
melonggarkan pelukannya. Awalnya setitik, lalu membanjir menggenangi lantai kamar mandi dan meninggalkan bau anyir yang memusingkan.
"Kat-Katya?" Pandu membalik badanku dan mengguncangguncangkannya dengan panik. "Kenapa?!" jeritnya parau.
Aku bosan dengan pertanyaan-pertanyaan kalian. Oh Tuhan,
kalian begitu menjemukan.
Lantas aku tertawa keras. Teramat keras. Yang kulihat hanya mata Pandu yang kemudian basah dan harapannya yang luruh satu per
satu jatuh ke lantai.
Cimanggis, 18 November 2013
22:58 PM
Karya Jessica Huwae
23:00 PM
Gelas di Pinggir
Meja
Ken Terate
Sudah lebih dari sepuluh buku teenlit ditulisnya. Hobinya adalah minum
teh dan tidur siang. Ia tak pernah lelah mengingatkan teman-temannya
untuk menyayangi lingkungan dan merawat Bumi. Ia membawa tasnya
sendiri saat belanja ke pasar dan memilah sampah di rumahnya. Saat ini
ia tinggal bersama keluarga besarnya di Yogyakarta. Ia punya seorang
anak laki-laki tiga tahun yang sering merecokinya saat menulis, tapi
sekaligus membuatnya bersemangat untuk terus berkarya. Lebih jauh
tentangnya bisa dilihat di blog-nya (www.kenterate.multiply.com) atau
laman Facebook-nya.
23:02 PM
Gelas di Pinggir Meja
EGITU aku meletakkan gelas itu, Ibu segera menggesernya.
"Kalau kau meletakkan gelas di pinggir meja, hidupmu akan
selalu dalam bahaya."
Aku tertawa. "Bahaya karena harga gelasku mahal semua. Aku
bisa bangkrut."
Ibu mengernyit, "Kamu selalu tertawa terlalu keras, Yas. Hati-hati, nanti semua rezekimu tertiup keluar."
Aku terdiam, menghela napas. Serbasalah. Di mata ibuku semuanya jadi pertanda bahaya. Duduk di depan pintu menghalangi
jodoh, makan dengan piring disangga membuat hidup penuh beban,
menyapu serampangan menyebabkan suamiku kelak brewokan. Hah!
Brad Pitt jauh lebih seksi waktu brewokan.
Aku bilang Ibu hidup di alam takhayul. Ibu bilang alam tanda. Apa
bedanya? Waktu aku kecil, Ibu biasa menggunakan tetek-bengek
takhayul untuk membuatku patuh. "Jangan makan sambil tiduran,
nanti kamu jadi ulat." Aku ketakutan dan segera duduk tegak.
"Habiskan nasimu, nanti ayam-ayam mati."
"Kita tak punya ayam."
"Kamu anak bandel. Anak bandel akan dimakan Bathara Kala."
Bathara Kala! Aku pernah melihat gambarnya. Mengerikan.
Setelah aku dewasa, takhayul ayam mati itu kujadikan lelucon
ketika Ibu mengatakan hal-hal yang sama pada ponakan-ponakanku.
"Tentu saja itu benar," kataku. "Nasi yang kalian sisakan akan diberikan
pada ayam. Jadi ayam itu bertambah gemuk. Kalau gemuk, ayam itu
akan disembelih, mati. Ya, kan? Bahkan kalau tidak disembelih pun,
suatu saat dia akan mati juga."
Aku mulai berani mendebat ibuku. Kadang aku berusaha bersikap
"baik" dengan mengatakan bahwa semua takhayul ibuku logis. "Tentu
saja hidupku akan berat kalau aku makan dengan menyangga piring.
Piringnya sendiri sudah berat, belum lagi kalau tersenggol jatuh.
Nasinya tumpah, piringnya pecah, harus membersihkan lantai, lagi."
Kukira itu akan membuat ibuku senang karena kepercayaannya
menjadi kebenaran ilmiah, bukan lagi sekadar takhayul. Tapi dia justru marah. Ibu bilang ilmunya melebihi logika, melibatkan dimensi
23:02 PM
Ken Terate
hakikat, spiritual, bukan sekadar utak-atik pemikiran yang sempit.
Tidak seharusnya aku membuatnya jadi olok-olok.
Ketika aku melucu dengan sepupu-sepupuku dan berkata bahwa
cewek yang gemar duduk di depan pintu memang akan sulit jodoh?
karena cowok tak suka melihat cewek di depan pintu, mereka lebih
suka melihat cewek di tempat tidur?ibuku marah besar. "Kamu takkan
tertawa kalau tahu keagungan ilmu leluhur kita." Keagungan katanya,
seolah-olah ia membicarakan kitab-kitab luhur para pujangga dan
bukannya remeh-temeh hantu Bathara Kala.
"Kamu tahu, ilmu orang Jawa itu berbeda dengan ilmu sekarang.
Ilmu mereka adalah ilmu niteni."
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Niteni, mengamati, memperhatikan dari waktu ke waktu.
"Dari situ mereka bisa tahu watak seseoarang, bahaya apa yang
mengancamnya, bagaimana nasibnya," kata Ibu lagi.
Fiuh!
"Seperti kamu, Tyas. Kamu lahir di mangsa kasadasa, kesepuluh,"
Ibu mulai lagi. "Jadi kamu anak musim panen, waktu padi berlimpah.
Rezekimu akan mengalir lancar, kamu tak bakal kekurangan. Bulan lahirmu Sura, bulan keramat, bulannya orang-orang linuwih. Itu artinya
kamu cerdas dan berbakat. Tapi hari lahirmu hari Jumat, hari penuh
bahaya. Maka kamu harus selalu waspada. Bencana bisa datang tibatiba padamu, menebas semua rezekimu. Apalagi kalau kamu sering
tertawa terlalu keras."
Ya, ya, ya. Aku sudah bosan mendengarnya. Bencana tiba-tiba,
puah, semua juga bisa mengalaminya. Orang Aceh tergulung tsunami
ketika mereka makan pagi. Orang Amerika mati ditabrak pesawat ketika sedang ngobrol di WTC.
"Pasaran wetonmu wage, itu artinya kamu berhati baik dan lurus."
Yah, aku tahu kelanjutan kalimat itu.
"Tapi ingat, jangan menikah dengan lelaki dengan weton Pahing.
Wage dan Pahing, geing, itu bencana."
Jadi bisa dimaklumi betapa paniknya aku, waktu ibuku ingin
"mengundang" Arnold, pacarku untuk "makan malam". Aku tahu benar sikap Ibu terhadap teman-temanku. Bahkan dari cara batuk dan
23:03 PM
Gelas di Pinggir Meja
kentut mereka, Ibu bisa tahu apakah mereka kleptomania atau akan
bernasib sial selama-lamanya.
"Jangan berkecap atau bersendawa," kataku.
"Ambil lauk dari yang paling dekat," timpal Arnold. "Tenanglah, aku
sudah pernah ikut table manner course di Hyatt."
Uh, Arnold tak mengerti. Bukan tata cara makan semacam itu yang
akan dilihat ibuku.
"Jangan menambah apa pun, kecap, saus, garam, sebelum mencicipi hidanganmu. Itu artinya kamu tidak percaya pada masakan tuan
rumah. Juga teh, jangan diaduk sebelum kamu minum, karena itu artinya kamu lelaki yang maunya ?langsung dapat yang manis?."
Arnold tertawa. "Ya, Raden Rara. Kalau boleh, aku memang
pengin yang langsung enak dan manis sama kamu."
"Aku serius nih," kataku nervous, tak punya mood untuk bercanda.
" Hamba juga serius. Hamba juga tidak akan makan sambil tiduran supaya panjenengan tidak punya suami ulat."
Aku pernah memberitahu Arnold tentang ulat malang yang digunakan Ibu untuk menakutiku waktu kecil.
"Apa ibumu tidak bilang kalau makan sambil berdiri kamu akan
jadi burung unta, dan kalau makan sambil duduk akan jadi monyet?"
Tidak lucu.
"Oh iya, weton-mu bukan Pahing, kan?" tanyaku.
Arnold terdiam, kemudian tertawa. "Apa lagi itu weton?"
Aku panik. Dia tak tahu apa itu weton. Jelas, Arnold lahir di Amerika, galaksi lain, yang cuma punya vampir, Halloween, dan Friday the
13th, bukannya wuku dan pranata mangsa. Arnold besar di Jakarta.
Ayahnya Menado, ibunya Cina. Tak ada setitik pun darah Jawa mengalir di nadinya. Itu artinya dia tak punya pasaran weton. Dan itu sama
buruknya dengan ber-weton Pahing.
"Weton itu semacam hari lahir. Di Jawa, kami punya pasaran, sama seperti hari. Sama-sama bisa untuk meramal nasib. Tapi hanya
ada lima hari satu putaran, bukan tujuh. Legi, Pahing, Pon, Wage, dan
Kliwon."
"Jadi itu maksudnya Jumat Kliwon?"
23:03 PM
Ken Terate
Oh, yang dia tahu hanya Jumat Kliwon. Pasti dari acara hantuhantuan di TV.
Makan malam itu sudah terjadi lima tahun yang lalu. Aku tersentak,
kenapa tiba-tiba aku mengingatnya kini. Justru ketika aku terduduk
lemas, merasa sangat muak dan dipenuhi dendam kesumat, berharap
bisa membunuh Arnold dan wanita jalang yang kini tengah mengandung
anaknya. Kupandangi surat cerai yang bergetar di tanganku dengan
pandangan nanar. Dasar bejat! Dia bahkan mem-booking hotel
mesumnya dengan kartu kreditku!
Seharusnya aku tahu. Seharusnya aku tidak bersikap dewasa
dan memahami pekerjaannya ketika si brengsek itu keluar kota.
Seharusnya aku bilang tidak ketika mobil kami yang dibeli dengan
uangku didaftarkan atas namanya. Seharusnya aku curiga melihat
nomor-nomor asing di tagihan telepon, bukannya menyepelekan dengan menyangka itu hanya sekadar nomor telepon famili luar kota.
Brengsek! Seharusnya aku tidak menikah dengannya! Seharusnya aku
mendengarkan takhayul ibuku.
Takhayul? Gumpalan pekat pahit terasa bergumpal-gumpal di
lambungku, naik ke kerongkongan, menguarkan rasa getir dan asam.
"Dia bukan lelaki yang pantas jadi suamimu," kata Ibu setelah
makan malam itu. "Dia memang manis, tapi itu hanya kulitnya saja,"
katanya lagi. "Kamu lihat cara makannya?"
Ya, Arnold makan dengan sangat elegan dan sempurna. Sangat
sopan, bersih, tak setitik pun nasi tertinggal di piringnya. Tehnya pun
diminum dengan sangat Jawa, nyaris habis, sesuai pesanku, "Habiskan, tapi sisakan sedikit untuk menunjukkan kamu orang yang
menghargai rezeki namun tidak rakus."
Arnold bahkan berterima kasih dan memuji masakan ibuku yang
saking tak keruannya bisa membuat super chef Sheraton mati karena
terhina. Ibuku begitu tersipu-sipu bahagia seperti anak TK yang dibilang hebat karena bisa menalikan sepatu.
23:04 PM
Gelas di Pinggir Meja
"Dia hanya banyak mengambil daging, sayurnya sedikit sekali,"
ibuku berkata seolah perbuatan Arnold sangat tak beradab.
"Dia hanya ingin menikmati yang enak-enak saja, Tyas, tak mau
bersusah payah. Kamu lihat tadi, dia langsung menyantap dagingnya.
Dagingnya habis sebelum nasinya. Dia suka berfoya-foya, tidak bisa
menghargai uang, tak bisa memperhitungkan risiko."
Aku terperangah. Sewaktu kecil, aku menyisihkan makanan
yang paling enak untuk kunikmati di akhir. Kalau makan nasi dengan
ayam, aku sisihkan ayamnya supaya aku bisa memakannya di suapan
terakhir, sebagai "gong" kami menyebutnya. Tapi itu dulu, ketika aku
belum punya uang sendiri untuk membeli semua makanan yang
kuinginkan. Setelah aku bergaji jutaan sebagai konsultan keuangan di
perusahaan sekuritas, aku bahkan tak merasa menyesal bila aku tidak
menghabiskan lobster mahal kesukaanku.
"Dan dia pembohong, Tyas! Dikiranya Ibu bakal terpesona dengan
mulut manisnya. Enak sekali katanya, masakan Ibu lebih enak daripada
masakah hotel. Huah, daging asin alot seperti itu."
Aku tak ingat apa yang terjadi setelah itu, mungkin aku marahmarah karena ibuku sengaja menjebak Arnold dengan memasak daun pepaya pahit dan daging alot yang sengaja dimasak terlalu asin.
Serbasusah, kan? Jujur salah, bohong lebih salah. Mungkin aku hanya
tertawa-tawa seperti aku menertawakan semua pikiran konyol Ibu.
Yang jelas, aku ingat betul waktu aku memutuskan untuk menerima
lamaran Arnold, Ibu membuat sesajen, memohon supaya nyai among
dan kiai among?roh pelindungku?senantiasa menjagaku. Ibu juga
memutuskan untuk melaksanakan ruwatan agar aku terhindar dari
marabahaya. Ia pergi ke orang pintar untuk menghitung hari baik pernikahanku. Ia berikan kalung emas berbandul batu kecubung yang
katanya telah lama disimpannya. "Untuk mengingat bahwa wanita harus pandai menjaga harta keluarga. Batu kecubung adalah batu untuk anak musim panen sepertimu, agar tegar, pintar mengambil
keputusan, siap menghadapi apa pun, tidak jatuh karena hal buruk,
tidak terlena karena hal yang indah." Aneh sekali, aku mengingatnya
dengan jelas lebih daripada yang kusadari.
23:04 PM
Ken Terate
Suara pintu dibuka menyentakkanku dari kehampaan yang makin
terasa menyakitkan. Suara langkah-langkah yang mendekat membuatku terkesiap. Ibu. Kecemasan mencekamku. Rasa kalah, tak
berdaya, malu, sekaligus penolakan menerpaku. Ibu akan melihatku
dalam kondisi yang paling menyedihkan. Perempuan yang ditinggal
suaminya dan kecanduan minuman beralkohol.
"Suamimu tak pulang, ya?" mungkin Ibu hanya bertanya, seperti
halnya menanyakan apa yang kumasak malam ini. Tapi pertanyaan itu
terdengar sangat mencemooh. Ia pasti melihat mataku yang merah,
rambutku yang awut-awutan, dapurku yang semrawut.
"Rumah ini atas namamu, kan?" tanya ibuku lagi, membuatku terkejut.
"Ya," jawabku lemah. "Kenapa?"
"Arahnya tidak benar, menghadap ke barat. Memunggungi matahari terbit, membawa kegelapan di hati. Membuat keluargamu tak
harmonis."
Tak dapat kutahan lagi, tangisku meledak, "Buat apa? Kami toh
memang sudah akan bercerai!" jeritanku mengguntur. Kulihat Ibu bergeming, tidak ada kekagetan di sana. Ia seperti sudah tahu, sepertinya
semua telah tersurat di gurat-gurat wajahku.
Pelan-pelan ibuku beranjak, mendekatiku, tangan kanannya
nyaris menyentuh wajahku ketika "prang!", suara gelas pecah memecah keheningan. Bau anggur yang manis dan tajam melayang di udara.
"Maaf, gelas ini pasti mahal," Ibu berkata penuh penyesalan. Ia
mulai membungkuk untuk memunguti pecahan gelas. Aku terkejut.
Ibuku jarang, seingatku hampir tak pernah, minta maaf kecuali di hari
Lebaran dan bukankah gelas benar-benar tak penting saat ini.
"Ibu sama sekali tak menyentuhnya. Meja ini..."
"Sudahlah, Bu. Aku tahu, gelas ini memang terlalu ke tepi..."
Ibuku berhenti, memandangku tajam dan bertanya dengan sangat
dalam, "Lalu, mengapa tidak kaupindahkan ke tengah?"
Leherku tercekat. Aku tak bisa menjawab pertanyaan sesederhana
itu.
Terinspirasi dari novel Amy Tan, The Joy Luck Club
23:05 PM
Karya Ken Terate
23:07 PM
Dear Audrey
Lea Agustina Citra
Lea Agustina Citra tinggal di Jakarta. Selain menjadi penulis, Lea
juga psikolog, istri, ibu, dan penyanyi. Buku yang pernah ditulis:
Flavia de Angela (2011, GPU), Relung Rasa Raisa (2014, Plot Point),
dan Flavia Fights Back (2014, GPU). Facebook: Lea Citra. Twitter:
@cietsz.
23:09 PM
Dear Audrey
ear Audrey,
Gue tahu, dibandingin Tristan, gue nggak ada apa-apanya.
Muka gue busuk, kelakuan gue apalagi. Paling satu-satunya
yang bikin gue bangga cuma karena kadang-kadang gue bisa bikin elo
ketawa ngakak. Yah, kalau itu bisa menghibur elo, gue udah senang
banget. Thanks ya, Drey. Kalau nggak ada elo, mungkin sekarang
gue udah menggelandang di emperan Cosmic Bar. Menggelandang
Pendekar Slebor 47 Malaikat Bukit Pasir Seri Horor Tamu Yg Mengerikan Dan Kisah Roro Centil 20 Kemelut Di Negara Siluman
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama