Ceritasilat Novel Online

Burungpun Pulang Ke Sarangnya 3

Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal Bagian 3

"Ini sama ini sama ini ini juga sama

ini," tutur Misas sambil mencomoti satu demi

satu barang di depannya. Ia mengambil sebuah

sarung, baju koko, kopiah, sepotong siwak, dan

sebotol minyak wangi.

"Sudah, borong saja semua," seloroh Abah.

"Bagaimana, Bah, jadi ke Kiai Syafi? kapan?"

Mas Misbah mengalihkan pembicaraan.

Misas langsung masam mendengar nama Kiai

Syafi? disebut. Ia teringat kembali keputusan

Abah yang menerima tawaran Kiai Syafi? untuk

me?minang putri beliau. Bersamaan dengan itu,

terlukis pula wajah Milati yang sayu. Sesak kembali

menyebar, mengganggu sistem pernapasannya. Ia

terdiam.

"Besok sore, insya Allah. Hari ini kamu

istirahat saja dulu. Besok kita ke sana barengbareng."

"Iya."

Misas masih utuh dalam diamnya yang kecut.

Besok sore! Hatinya kembali meratap-ratap.

Ia berharap hari ini sudah pulang ke pesantren

dan meneguk penawar dari kerinduannya

selama seminggu. Apa boleh buat. Semuanya

malah berbalik. Hari-hari yang ia tunggu kini

menjadi hari-hari yang ia benci. Ibarat orang

yang terkena penyakit dan sudah divonis mati

sebelum menemukan penawar. Ketika penawar

sudah tersodor di muka, mobil keranda telanjur

membawanya.

Besok sore! Misas tak pernah sedemikian ngeri

pada hari-hari ke depan yang akan dia lalui. Kali

ini dia merasa begitu canggung untuk menerima

kenyataan bahwa hari esok adalah hari yang harus

ia lalui sebagaimana hari-hari biasa. Kecuali napas

terlepas dari badan. Begitu konyol perilakunya

yang mengharapkan hari esok tetap menjadi hari

esok sehingga tak pernah menjadi hari ini atau

kemarin.

Besok sore! Kini tak ada lagi besok sore karena

besok sore telah menjelma hari ini. Hari ketika

seorang Abah berpetualang mencari sebentuk batu

pijakan yang mengantarkan seorang anak pada

lingkaran kemawadahan dalam sebuah ikatan

tanpa membelenggunya. Hari ketika seorang

kakak melihat adiknya memasang sayap-sayap

untuk terbang mengarungi angkasa kehidupan

tanpa badai yang berkepanjangan. Juga sebuah

hari ketika seorang anak manusia yang baru

duduk tenang menikmati manisnya gula-gula

harus diseret untuk dicekoki tuba. Tak ada lagi

gula-gula ataupun duduk tenang untuknya.

Begitu berbeda penafsiran seseorang atas

kebahagiaan seseorang yang lain meskipun itu

orang terdekat. Kepala Misas mendidih diolah

pilihan antara kepatuhan pada orangtua ataukah

kebahagiaannya sendiri. Ia memantapkan hatinya.

Tak mungkin ia mencari seorang Abah dan

Umi yang lain untuknya. Tapi apakah mungkin

mencari seorang Milati yang lain?

Mobil terus bergerak melata dari jalan satu ke

jalan selanjutnya. Misas menyetir di depan tetapi

ia tak pernah bisa menyetir pikirannya. Abah

duduk di sampingnya, sedangkan Mas Misbah di

belakang. Sepanjang mobil merayap dan menderuderu, Misas sama sekali tak mengeluarkan suara.

Ketika Abah atau kakaknya mengajak bicara, ia

tanggapi sekenanya saja. Misas merasa semakin

jauh mobilnya merayap, semakin dekat ia menuju

tiang gantungan. Sekali lagi ia mantap-mantapkan

hatinya.

Ia persiapkan sepenuh batinnya untuk me?

nanggapi Kiai Syafi? dengan tanggapan yang

terbaik. Ia adalah lelaki. Bukan seorang pengecut

yang mengkerut oleh vonis-vonis kehidupan

ke depan yang belum jelas juntrungannya. Ia

insafkan pikiran bahwa kini ia sedang takut

menghadapi masa depan yang belum tentu benarbenar ia jalani. Artinya, ia begitu takut dengan

apa yang hendak diberikan Tuhan untuknya,

sedangkan sewaktu-waktu Tuhan bisa memotong

perjalanannya sehingga masa depan yang ia

suramkan sama sekali takkan pernah ia jalani.

Sesekali Abah menghubungi Kiai Syafi? untuk

mengabarkan bahwa mereka sudah sampai di

jalan anu. Sekarang di daerah anu. Sekian menit

lagi sampai.

Benarlah. Tak lama, mobil yang dikendarai

Misas masuk ke sebuah kompleks berpagar tembok

tebal setengah badan. Kompleks Pesantren Nurul

Huda Pare.

Misas dirajut kejut. Beberapa tahun lalu,

ketika ia tamat Aliyah, pesantren itu tak begitu

besar, santrinya hanya beberapa puluh orang.

Kini semuanya benar-benar sudah berubah.

Bangunan bilik-bilik santri terlihat lebih rapi dan

bernuansa kekinian. Melihat santri bersarung

yang berkeliaran di mana-mana, ia mengira santri

di pesantren itu melebihi seratus orang. Musala

yang dulu terletak di samping ndalem sudah

tumbuh menjadi masjid.

Diam-diam Misas merasa kagum. Dari situ

ia bisa merasakan rindunya terhadap Kiai Syafi?,

gurunya. Meski Kiai Syafi? tinggal di Pare, beliau

merupakan salah seorang dewan kiai di Madrasah

Tri Bhakti Lirboyo, tempat Misas dulu menimba

ilmu. Beliau pulang pergi dari Pare ke Lirboyo

karena beliau juga harus mengisi pengajian untuk

santri-santri beliau sendiri.

Mobil diparkir di bawah pohon kenitu yang

rindang. Dari bawah, pohon itu tampak gagah

dengan daun yang warnanya sulit disebutkan,

cokelat yang dicampur kuning, merah, serta

keemasan mengilat. Begitulah pohon kenitu. Jika

dipandang dari kejauhan, daunnya akan berkibaskibas hijau dan cokelat karena daun tersebut

memiliki warna yang berbeda di tiap sisinya.

Jika dibolak-balik, akan ditemukan warna hijau

mengilat di sisi yang satu dan warna yang sulit

disebutkan namanya itu di sisi yang lain.

Pohon kenitu banyak dijumpai di pesantrenpesantren atau masjid-masjid. Konon, pohon

tersebut memiliki aura tersendiri dengan tegak

kokohnya. Ada pula yang berdesas-desus pohon

itu adalah pohon keramat yang serumpun dengan

beringin, tanpa perlu dijabarkan kekeramatannya

terletak di mana. Kenapa pohon-pohon kenitu

banyak tumbuh di pesantren-pesantren atau

masjid-masjid, juga tak ada yang tahu.

Mereka turun dari mobil, lantas menuju

sebuah rumah yang berhalaman luas, dipenuhi

dengan tanaman hias. Rumah itu terlihat unik.

Dindingnya terbuat dari jati pelituran yang

antik artistik, dipadu dengan keramik bercorak

awan lembut berwarna merah tua. Terlihat

seorang lelaki seumuran Abah, ia sedikit gemuk,

mengenakan gamis panjang, dan menenteng

serban. Dialah Kiai Syafi?. Abah dan rombongan

melepas alas kaki, lalu menaiki trap-trap mini.

Mereka mengucap salam bersamaan.

Misas terlebih dulu mencium tangan kiainya

itu. Kiai Syafi? menyambut mereka dengan hangat.

Rumah itu agak menjorok ke atas dari tanah,

tangganya rapi seperti tangga singgasana raja di

keraton Yogya. Beraneka anggrek tergantung di

sisi-sisi atap paling depan. Melati air mengapung

segar di sebuah pot besar yang penuh berisi air

di puncak tangga. Euphorbia yang anggun dengan

pot plastik hitam terpajang sepanjang baduk14

setinggi pinggul. Seperangkat kursi meja dari

bambu tertata rapi di teras sebelah kiri dan kanan.

Kiai Syafi? mempersilakan mereka masuk.

"Subhanallah, nggak nyangka kita bisa ketemu

lagi. Bagaimana ini kabarnya?" kata Kiai Syafi?.

"Alhamdulillah, Yai, semua baik-baik saja,"

balas Abah.

"Masya Allah, Misas, kamu tambah gagah

saja," kata Kiai Syafi? sambil mengelus-elus

pundak pemuda itu.

"Ah, Yai bisa saja."

"Bagaimana studimu di Yaman? Lancar?"

"Alhamdulillah, semua berkat doa Yai juga.

Bagaimana kabar Lirboyo, Yai?"

"Saya sekarang sudah nggak ngajar di sana

lagi."

"Kenapa, Yai?"

14 Pagar dari beton.

"Kalau bolak-balik Lirboyo terus, nanti anakanak saya keteteran. Sekarang yang ngaji di sini

banyak, lho. Waktu kamu terakhir ke sini, yang

ikut ngaji cuma 30 orang, jadi saya bisa nyambi

ngajar anak-anak di Lirboyo. Nah, sekarang

santrinya sudah hampir 500 orang. Kasihan

kalau tak tinggal wira-wiri.. Di sini saja dewan

asatidznya masih kurang."

"Yai kan bisa mengangkat guru dari luar."

"Saya nggak mau merekrut sembarang orang

untuk menjadi ustaz. Sebenarnya pesantren ini

butuh orang-orang seperti kamu, Sas."

"Iya. Jadi mantu Kiai Syafi? itu enak, lho," Mas

Misbah mulai berkelakar. Yang diajak bercanda

tersenyum datar.

Seorang perempuan muda berwajah bersih

nan anggun keluar membawa senampan minum?

an dan kue kering. Perempuan itu adalah

anak pertama dari tiga bersaudara, putri Kiai

Syafi?. Beliau memang tak memiliki anak lakilaki. Kiai Syafi? merupakan lelaki satu-satunya

dalam keluarganya. Beliau merupakan seorang
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepala keluarga yang hebat. Beliau mengurus

ketiga putri beliau seorang diri karena sang istri

sudah dipanggil terlebih dulu ketika melahirkan

putrinya yang terakhir.

Tiga putri beliau merupakan perempuanperempuan yang hebat dan mandiri. Putri pertama

beliau bernama Nurillah Syifa?ah. Dengan nama

itu Kiai Syafi? berdoa semoga anak pertamanya itu

bisa menjadi cahaya dari setiap pekat dan penawar

dari setiap penyakit yang akan menguji keluarga

mereka. Beliau dan istri mengasuh anak pertama

mereka dalam keadaan yang serbasulit. Waktu

itu merupakan awal-awal Kiai Syafi? mengarungi

samudra rumah tangga. Usia beliau masih 25

tahun dan istri beliau 19 tahun. Kiai Syafi? masih

merintis perjalanan hidup dengan mengabdikan

diri di pesantren tempatnya mondok dulu.

Beliau juga nyambi sebagai tukang sablon. Dari

situlah beliau mengumpulkan rezeki sedikit demi

sedikit untuk menghidupi keluarga. Meski begitu,

beliau masih sempat mengabdikan diri dan ilmu

beliau kepada warga sekitar yang memiliki niat

menuntut ilmu tetapi tak memiliki biaya untuk

memondokkan anak mereka.

Tanpa dinyana, itulah sejarah mula pesantren

besar "Nurul Huda" yang berada di bawah asuhan

beliau. Artinya, beliaulah pendirinya.

Kalau menceritakan sejarah pesantren Kiai

Syafi? pasti akan lama selesainya. Bayangkan

saja, dari satu dua orang privat mengaji, kini jadi

ratusan. Tentu semua itu bukan tanpa perjuangan

dan pengorbanan. Untuk mengisahkan per?

jalanan, perjuangan, dan pengorbanan Kiai

Syafi? dari awal berdirinya pesantren hingga kini

mungkin perlu dibuatkan sebuah buku berjudul

Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Nurul Huda

Pare.

Beliau memiliki putri kedua setelah putri

pertama berumur delapan tahun. Beliau memberi

nama Hayya Mardliya. Dengan itu beliau

berharap sang putri kedua mampu membawa diri

dan keluarga pada kehidupan yang diridai Allah.

Setamat ibtida?iyah, putri kedua itu dititipkan di

Pesantren Tambak Beras Jombang.

Tak berselang lama, Kiai Syafi? mendapat

anugerah sekaligus cobaan berat dari Allah.

Bu Nyai, istri beliau, mengembuskan napas

terakhir saat putri ketiga mereka menghirup

napas pertama. Anehnya, putri ketiga Kiai Syafi?

ini tak seperti bayi pada umumnya. Kalau bayi

pada umumnya menangis saat hijrah dari rahim

sang ibu, bayi Kiai Syafi? ini justru tertawa-tawa.

Belumlah tahu dia kalau seisi rumah terisak-isak.

Bayi ketiga Kiai Syafi? ini memiliki wajah

yang benar-benar jernih dengan rambut hitam

mengilat. Ada sesuatu yang lain pada mata

putri ketiga beliau ini. Beliau memberi nama

putri ketiganya itu Hurin ?In. Melihat keadaan

si bayi, Kiai Syafi? terkulai, sehingga sepenuh

hati memanjatkan doa supaya si putri ketiga

itu bisa menjadi bidadari surga di balik segala

kekurangannya. Kiai Syafi? sangat menyayangi

Hurin karena Hurin memang butuh perhatian

lebih dibandingkan kedua kakaknya.

Kecerdasan Hurin melebihi gadis-gadis

seusianya. Kelemahan yang ada pada dirinya

ia jadikan motivasi untuk selalu menjadi yang

terbaik. Saat usia Hurin mencapai 13 tahun, ia

sudah hafal lima juz terakhir dalam Al-Qur`an.

Untuk itu, ia memohon pada abahnya supaya

diperkenankan memupuk ilmu di PIQ, Pesantren

Ilmu Al-Qur?an, Malang. Selain untuk menjaga

hafalannya, ia juga ingin belajar mandiri. Ia akan

membuktikan bahwa ia bisa mandiri. Kiai Syafi?

sebenarnya tak tega melepaskan putri ketiganya

itu mengarungi dunia luar. Namun, apa boleh

buat, Hurin memaksa dengan dalil-dalil akal yang

entah ia pelajari dari mana. Hati Kiai Syafi? pun

luluh.

Dari ketiga putri beliau, yang belum menikah

hanya satu orang. Si bungsu, Hurin. Kakak

pertama Hurin menikah dengan putra seorang

kiai di Bandar. Sekarang ia dan suaminya tinggal

di Pare untuk membantu Kiai Syafi? mengurus

pesantren. Kakak kedua Hurin dipinang oleh

gurunya sendiri di Pesantren Tambak Beras

Jombang dan sekarang menetap di sana.

Hurin ?In

Untuk kesekian kali Kiai Syafi? mempersilakan

Abah, Misas, serta Mas Misbah untuk menyeruput

sirop buatan putrinya, juga mencicipi kue-kue

kering yang tertutup dalam stoples-stoples plastik.

Udara agak panas. Kiai Syafi? menarik tambang

kecil yang menggelantung di atas halaqah mereka.

Kipas angin gantung mulai berputar. Udara mulai

sejuk. Mereka berempat ngobrol ngalor-ngidul.

Tentang kenangan-kenangan masa lalu, tentang

pesantren yang berubah pesat, tentang santrisantri, tentang panti asuhan, tentang Bu Nyai

yang tak bisa ikut serta, tentang putri-putri Kiai

Syafi?, juga tentang Hurin dan Misas.

"Ngomong-ngomong, Misas ini sama sekali

belum kenal, ya, sama Hurin?" selidik Kiai Syafi?.

"Ya belum, Yai. Melihat wajahnya juga belum,"

sahut Abah.

"Masa iya?"

"Iya. Misas saya masukkan ke Ar-Risalah

Lirboyo kalau tidak salah mulai umur 8 tahun.

Sewaktu Misas lulus dari Aliyah, si Hurin sudah di

PIQ Malang. Sebaliknya, Hurin selesai dari PIQ,

Misas sudah jadi penduduk Yaman dua tahun."

"Mmm... iya, ya." gumam Kiai Syafi? sambil

manggut-manggut. "Nur!" teriak Kiai Syafi?

kemudian.

"Dalem, Bah," jawab seorang perempuan dari

balik tirai yang menutupi ruang tamu dan ruang

tengah.

"Mreneo, Nduk!"15

Putri pertama Kiai Syafi? itu pun menghampiri

abahnya. "Dalem. Ada apa, Bah?"

"Adikmu si Hurin mana?"

"Ada di kamarnya. Lagi duhaan.16"

"Kalau sudah selesai, ajak kemari!"

"Inggih."

Misas semakin berdebar-debar saja meski

debaran itu terimpit sesak. Sesekali ia lemparkan

pandangan pada tirai merah muda yang terkesiapsiap dipermainkan tiupan kipas angin. Ia begitu

dibuai penasaran oleh sosok Hurin yang sering

disebut-sebut Kiai Syafi?, juga Abah.

Sedikit waktu berlalu dalam hambar. Kiai

Syafi? agaknya gusar. Ia bergumam lirih, "Kok

lama, ya?"

Berkali-kali Misas menyeruput teh yang tak

habis-habis.

"Itu dia," ujar Kiai Syafi?, pandangannya ter?

tuju pada dua orang wanita yang berjalan men?

dekatinya.

Yang seorang ialah Mbak Nur, putri Kiai Syafi?

yang pertama tadi. Yang dituntun pelan ialah

15 Ke sinilah, Nak!

16 Shalat Duha.

seorang gadis mahaanggun berpakaian panjang

hijau muda dengan motif bunga warna jeruk.

Kerudungnya yang senada membuatnya tampak

seperti dewi senja yang memukau. Wajahnya

mencorong, dagunya sedikit berbelah, alisnya tipis

seperti penghabisan bulan sabit, binar matanya

terang dan mengesankan sesuatu yang tak biasa

di sana. Misas dapat merasakan kejanggalan itu.

Meski begitu, energi dan aura positif memancar

terus dari gadis itu, dan itu bisa dirasakan oleh

Misas, juga yang lainnya.

Dengan jujur Misas mengakui kecantikan

gadis itu tak kalah dengan kecantikan gadis yang

ia elu-elukan di pesantren sana. Dengan jujur

pula ia menegaskan bahwa dirinya tetap tak bisa.

Ia teringat pada sebuah pepatah ?Bukanlah cantik

yang membuat cinta tapi cintalah yang membuat

cantik?. Berkaitan dengan Milati, hatinya bisa

berkilah ia jatuh hati bukan karena wajah semata.

Mbak Nur dan Hurin lantas duduk mantap di

sebelah abahnya.

"Nduk, ini keluarga Kiai Rahman yang dari

Nganjuk, di sini juga ada putra-putra beliau. Ada

Misas, juga Masnya, Misbah."

"Assalamualaikum," sapa Hurin seraya

menyatukan kedua telapak tangannya dan

mengangkatnya ke depan mulut.

"Walaikumsalam," jawab satu keluarga kom?

pak.

Sebelum mereka berkata-kata banyak, Kiai

Syafi? mengisyaratkan rekannya itu untuk mem?

biarkan anak-anak mereka ta?aruf lebih dekat.

"Hurin, Misas, kami ke depan dulu. Abahmu

pengin lihat-lihat gothakan17 yang baru."

"Tapi Mbak Nur biar tetap di sini menemani

Hurin," pinta si bungsu.

"Yo wis... kami ke depan dulu. Ngobrol saja

yang enak!" ujar Kiai Syafi? sambil melangkah ke

luar. Abah dan Mas Misbah mengikuti.

Misas menjadi kikuk. Gagap dan bisu.

Ruangan menjadi senyap seperti masjid di waktu

duha. Tak seorang pun dari mereka berinisiatif
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memulai pembicaraan sehingga Mbak Nur

menjadi gerah dan melempar sindiran.

"Sepi."

"Iya, sepi." jawab Misas konyol.

Misas semakin waswas. Ia bisa merasakan

ketidaknyamanan itu. Otaknya berkeliling meng?

orek kata-kata yang kiranya pantas sebagi bahan

basa-basi.

"Dengar-dengar Mas Misas ini lulusan

Hadramaut, ya?" suara Hurin terangkat. Ia ter?

lebih dulu menemukan bahan basa-basi yang

cukup bagus.

17 Istilah untuk menyebut bilik atau kamar di pesantren.

Misas kembali mengilaskan pandangan pada

gadis itu. Ia kembali menemukan keanehan pada

kedua netra gadis itu yang enggan sekali berkedip,

bahkan hampir tidak. "Alhamdulillah," jawabnya

sedikit lesu.

"Di Al-Ahqaaf, ya?"

"Iya, di Al-Ahqaaf."

Sementara Hurin dan Misas ngobrol, Mbak

Nur berakting seolah tidak memperhatikan

ta?aruf dua orang di hadapannya. Ia meraih salah

satu majalah yang bertumpuk di rak bawah meja,

lalu berpura-pura asyik membaca. Sesekali ia

tersenyum dan berdeham. Mulai merasa cocok

dengan obrolan mereka, Hurin dan Misas tak

sadar wanita yang membaca majalah di samping

mereka, telah menjadi pengawal sekaligus

penguping setia.

"Wah, bahasa Arab dan balaghah-nya ngewes,

dong?" incar Hurin.

"Sedikit-sedikit. Saya yakin Dik Hurin sendiri

sudah tak dapat diragukan lagi nahwu sharafnya," jawab Misas malu-malu.

"Yah, sama. Sedikit-sedikit."

"Sesuatu yang banyak tentu dari sedikit demi

sedikit. Bukankah begitu?"

"Ya, saya setuju. Ngomong-ngomong, se?

karang kegiatan Mas Misas apa aja?"

"Apa, ya? Paling cuma nulis-nulis buat media

lokal. Ngurusin anak-anak panti. Bantu-bantu

Abah di sawah. Dan tentunya belajar." Misas

mencoba tersenyum meski pandangannya terus

menunduk ke meja."Belajar apaan?" Tanya Hurin

kemudian.

"Belajar berbagi ilmu."

"Di mana?"

"IKAHA." Jawab Misas mantap.

"Dosen, dong?" Hurin menekankan katakata?nya.

"Ya, begitulah."

Pembicaraan mereka terus mengalir. Malumalu. Misas tak menyadari kalau ia menyambut

gadis itu sedemikian ramah. Namun, hatinya

kembali kacau bila sosok Milati hadir kembali

di benaknya. Kerinduan, perasaan bersalah, dan

kasihan berbaur menyatu. Tiba-tiba mulutnya

melemah kalah ketika ruang kepalanya menangkap

wajah Milati yang sayu payu menangis dalam

kesendirian. Tanpa sadar mulutnya bergerak me?

nyebut sebuah nama, "Milati."

Keadaan menjadi mati.

Hurin pun dapat merasakan perubahan yang

tiba-tiba itu tetapi ia bisa menempatkan diri.

Cukup lama mereka membisu. Bermain dengan

isi kepala masing-masing, sibuk menuruti neuron

masing-masing.

Kebungkaman takkan pecah kalau saja mereka

tak mendengar sayup suara Kiai Syafi?, Abah,

dan Mas Misbah yang semakin dekat, berjalan

menaiki anak tangga teras depan.

"Bagaimana ta?arufnya?" tanya Kiai Syafi? tibatiba.

Misas hanya bisa tersenyum. Senyuman yang

kira-kira berarti "ya, begitulah!".

Sehabis shalat Isya berjemaah, Milati meng?

hempaskan tubuh di kasur tipis di kamarnya.

Matanya hambar menatapi langit-langit kamar

yang berhias benang-benang laba-laba. "Milati,

Milati kenapa kamu nggak bisa berhenti me?

mikir?kan Misas?"

Untuk menepis perasaan yang macam-ma?

cam, ia beringsut keluar kamar, melangkah me?

nuju ndalem. Ketika hendak membuka pintu, ia

kembali sadar bahwa Misas masih di Kediri. Ia

membuka pintu, mengucap salam, dan mendekati

Bu Nyai yang sibuk mengareti es lilin. Di sana

juga ada Syaqib yang membantunya.

"Nah, kebetulan. Ayo sini bantu, daripada

ngelamun sendiri di kamar," Bu Nyai me?

nyungging senyum.

"Inggih, Bu. Niat saya ke sini memang mau

menemeni Ibu."

"Oh, iya, itu di meja makan ada pisang goreng.

Tadi habis yasinan rutin di tempat Bu Shodiq."

Syaqib melangkah ke belakang dan kembali

dengan sepiring pisang goreng yang sudah layu.

"Ayo, sambil dimakan," tawar Bu Nyai.

Sambil menonton sinetron yang tak berujung,

mereka membungkus air gula di plastik-plastik

kecil yang nantinya akan dibekukan dan menjadi

es lilin. Sesekali mereka mencomot pisang goreng

lalu mengelap tangan yang berlumur minyak

dengan serbet, kemudian kembali menyentuh

plastik es.

"Mil, kamu kenapa, sih? Akhir-akhir ini

kelihatan murung terus dan jarang keluar kamar?"

tanya Syaqib tanpa sebab.

"Iya. Kalau ada apa-apa, kamu ngomong.

Siapa tahu Ibu atau Syaqib bisa bantu. Masa sama

keluarga sendiri tidak percaya?" sambung Bu

Nyai.

Alis Milati bertaut. "Nggak ada apa apa, kok,

Bu. Milati cuma kangen sama kakek nenek di

rumah." Terpaksa ia berbohong karena sangat

tidak mungkin mengatakan bahwa semua karena

Misas.

"Ooo begitu. Tak kira ada apa. Nanti kalau

Misas sudah pulang dari Kediri, kamu pulang

jenguk kakek nenekmu nggak apa-apa. Kalau

sekarang jangan. Masa kamu tega ninggalin Ibu

sendirian?"

Mendengar nama Misas, hati Milati kembali

berdetak kencang. Namun, ia tetap berusaha

untuk bersikap biasa-biasa saja. "Kan ada Syaqib."

"Syaqib itu suka ngeluyur. Nggak tahu,

tumben ini nggak ke mana-mana," sindir Bu Nyai

sambil melirik Syaqib yang tersenyum-senyum,

menulikan diri di sebelahnya.

Inilah kesempatan Milati untuk menanyakan

keberadaan Misas yang sebenarnya.

"Memangnya Mas Misas kapan balik, Bu?

Katanya cuma seminggu," kata Milati dalam

kepura-puraan yang mengiringi debar jantungnya.

"Insya Allah besok sudah bisa balik. Sekarang

dia sama Abah ke Pare."

"Ke Pare?"

"Iya, ke Kiai Syafi?."

"Acara apa?" tanya Milati mulai gemetar.

"Mempertemukan Misas dengan putri beliau.

Ta?aruf."

Sampai di sini detak jantung Milati menjadi

berat. Ia berkata-kata dalam gemetar yang sulit

disembunyikannya. "Mm... maksud njenengan?"

"Hubungan Kiai Syafi? dengan Abah kan sangat

dekat. Untuk semakin mempererat hubungan

itu, Kiai Syafi? dan kami sudah bersepakat

untuk menyatukan Misas dan Ning Hurin,

putri beliau. Sudah lama sekali, semenjak Misas

hendak mengambil kuliah di Yaman, Kiai Syafi?

sudah mengincar Misas untuk dijadikan mantu

beliau. Kiai Syafi? itu nggak mau nyari mantu

sembarangan. Beliau dulu kan salah seorang

anggota Dewan Kiai di Lirboyo. Beliau sudah tau

Misas luar dalam, makanya beliau berani meminta

Misas untuk menjadi anggota keluarga beliau.

Kami juga nggak keberatan, soalnya kami tahu

Ning Hurin itu orangnya seperti apa. Kalau Ibu

bilang, Ning Hurin itu ibarat bidadari. Salihah,

lemah lembut, santun, cerdas, cantik, hafal AlQur`an lagi. Cuma, Allah mengambil sinar

matanya. Dia mengalami kebutaan sejak lahir.

Bagi kami itu bukanlah masalah besar. Meski

matanya buta, hatinya berbinar-binar. Itulah yang

kami suka."

Mendengar segala penjelasan Bu Nyai, Milati

bagaikan dikutuki Agni. Wajah dan telinganya

terasa sangat panas. Kutukan itu seperti menekannekan kelenjar air matanya. Dengan sekuat tenaga

ia mencoba tetap bersikap wajar. Tapi dia benarbenar menjadi lumpuh, sarafnya seakan melemah

kalah, persendiannya karam, mulutnya bergetargetar hebat meski cuma diam bungkam.

Dengan sisa-sisa kekuatan, ia paksakan untuk

bersikap biasa di depan Bu Nyai meski akhirnya

suara itu serak merendah. "Alhamdulillah. Mas

Misas suka nggak sama Ning Hurin?"

"Insya Allah. Memang demikian kriteria istri

yang dicari Misas."

"Syukurlah kalau Mas Misas telah menemukan

jodohnya."

"Iya, Mil. Kamu doakan saja semoga semuanya

lancar."

"Pasti, Bu."

Ada air tipis nan bening mengembangi pelupuk

mata Milati. Ia sudah tak kuasa menahannya.

Sebelum matanya benar-benar basah, ia berlari

keluar. Dengan sepatah maaf dan alasan yang
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cukup masuk akal, dia memohon diri pada Bu

Nyai lalu berlari menuju kamarnya.

Bu Nyai sendiri tak menyadari apa pun. Tak

sempat Bu Nyai menangkap mata Milati yang

berkaca-kaca. Hanya Syaqib yang merasa sedikit

aneh tapi tak mungkin ia mengejar Milati untuk

bertanya, "Ada apa?".

Sampai di kamar ia kunci pintu rapat-rapat,

ia bantingkan tubuh lemahnya di atas kasur yang

seprai-nya tak keruan. Ia peluk bantalnya eraterat. Air matanya memuara, mengalir seperti

bendungan yang tak kuat lagi menahat debit air

yang terlalu banyak. Begitu lama ia menenangnenangkan diri, namun tetap tak bisa. Kembali

ia teringat saat-saat bersama Misas. Kembali ia

teringat surat, SMS, kata-kata, dan semua yang

pernah dicurahkan Misas untuknya. Tiba-tiba

saja kerinduan yang ia simpan selama seminggu

meluap jadi kebencian. Untunglah ia gadis yang

pernah mengenyam pendidikan akidah dan

akhlak sehingga ia tahu bagaimana menempatkan

kekecewaan tanpa merugikan siapa pun.

Yang membuatnya lukanya meradang dan

sangat sakit ialah karena Misas sempat melantun

puisi-puisi cinta untuknya, sedangkan Abah

dan Umi sudah mengikatnya dengan putri Kiai

Syafi?. Kenapa Misas tak pernah menceritakan

itu sebelumnya? Apakah ia tak tahu atau sengaja

menyembunyikannya? Apakah syair-syair cinta

yang Misas cipta merupakan pedang yang dengan

sengaja ia hunus dari bibir manisnya, untuk

menghunjami setiap sel saraf yang menari girang

di jantungnya?

Sampai malam benar-benar larut dimakan

hitam, Milati belum juga bisa memejamkan mata.

Satu-satunya amal yang bisa ia lakukan ialah

menginsafkan diri siapa dia dan siapa Misas. Ia

pejam-pejamkan mata, namun tak jua tertidur. Ia

menunggu sepertiga malam dengan tidak sabar.

Hendak ia curahkan segala yang kini ia tanggung,

ia hendak menangis manja di sela-sela sujudnya,

hendak ia mantapkan bahwa sekarang ia hanya

bersandiwara di panggung mayapada, hendak

ia kukuhkan bahwa sebenarnya cinta ialah pada

genggaman Sang Mahacinta. Misas bukanlah

siapa-siapa, bukan pula seseorang yang mampu

mengendalikan dirinya. Dialah yang lebih ber?

kuasa atas dirinya, takkan ia biarkan dirinya

dijamah duka rana tiada akhir. Jika tiba sepertiga

malam, ia akan bersimpuh seperti biasa, hanya

saja ia akan lebih memperpanjang doanya.

Bersama hatinya yang dilanda abrasi, ia

raih sebuah buku yang sudah menjadi antologi

hatinya, ia raih pula sepotong pena multiwarna.

Dengan perasaan pedar, ia alirkan pena biru tua.

Warna kepedihan.

Di tamanku tumbuh bunga berduri tajam

Pencipta luka sempurna. Tamanku suram

Dalam paksa tetap kusiraminya.

Tak peduli urat sarafku keram

Kutertusuk, berdarah lagi. Perih

Telanjur di taman. Telanjur tertanam

Kurajut kesemuan sepanjang malam

Kulewati diam seribu alam

Kutertusuk, berdarah lagi. Perih

Taman pun subur tersiram

Tubuh pun hancur tertikam

Sisa-sisa asa pun tenggelam

Kutertusuk, berdarah lagi. Perih

Luka-luka yang masih terekam

Jeritan-jeritan yang senantiasa terpendam

Keadaan membuat mulutku terbungkam

Kutertusuk, berdarah lagi. Perih

Begitulah, dengan mudah perasaannya meng?

alir dan beriak-riak tertuang di lembaran-lembar?

an kosong dalam puisi sendu syahdu. Memenuhi

lembar putih dengan ukiran biru legam, memenuhi hatinya yang polos dengan pengalaman yang

haru dalam. Dan ia sendiri. Ia biarkan semua

mengalir sehingga kantuk mengajaknya singgah

ke ruang bawah sadar.

Hidupnya tambah sepi, tambah hampa.

Malam apalagi.

Ia memekik ngeri

dicekik kesunyian kamarnya.

Bahaya dari tiap sudut mendekat juga.

Dalam ketakutan menanti ia menyebut satu

nama.

Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?

Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!18

18 Petikan puisi Chairil Anwar, "Sendiri".

Pulang

Pagi-pagi melata, sehabis shalat Subuh, Milati

bergegas ke ndalem. Ia ingin sesegera mungkin

pamit pada Bu Nyai. Ia harus pulang, pagi itu juga,

tidak boleh tidak. Entah mengapa ia memutuskan

begitu, perasaannya tiba-tiba saja tidak enak.

Milati beruluk salam, Bu Nyai memintanya

masuk.

"Ada apa, Nduk?" ujar Bu Nyai sembari

me?noleh ke arahnya. Bu Nyai masih duduk

bersimpuh menghadap kiblat dengan tasbih yang

terus berputar di jemarinya. Seperti sehabis Subuh

yang lain, Bu Nyai selalu meneruskan wirid di

kamar.

Milati luluh memandang wajah Bu Nyai yang

jernih dan teduh itu. Sungguh takkan sampai

hati ia menyakiti perasaan perempuan salihah

yang mengasuhnya sejak kecil itu. Mendadak ia

membatin bahwa ia bisa melepaskan seribu Misas

untuk seorang ibu seperti Bu Nyai.

"Ada apa?" ulang Bu Nyai karena Milati belum

menjawab.

Dengan berat hati Milati mengutarakan

maksudnya, "Mohon maaf sebelumnya, Bu."

"Iya, ada apa?"

"Saya mau minta izin sama Bu Nyai, saya

pengin pulang pagi ini juga."

"Lho? Kenapa kok jadi keburu-buru? Nggak

nunggu Abah dulu? Abah sama Misas pulang hari

ini, lho."

"Iya, nggak apa apa, Bu. Salam saja buat Abah,

Mas Misas, juga Syaqib. Sekali lagi saya mohon

maaf. Entah kenapa, perasaan saya nggak enak,

pengin cepat-cepat pulang, sampai rumah."

"Yo wis, kalau memang begitu nggak apa-apa,

kok. Tunggu sebentar!" Bu Nyai beranjak dari

bersimpuhnya, mengambil selembar uang dari tas

tangan yang tergeletak di meja rias. "Ini buat naik

bus."

"Terima kasih, Bu," Milati menerimanya. Ia

tahu, jika ia menolaknya, Bu Nyai akan marah.

"Ya sudah, kamu hati-hati di jalan. Salam buat

kakek nenekmu."

"Inggih, Bu. Assalamualaikum."

"Walaikumsalam."

Dengan langkah berat Milati meninggalkan

Bu Nyai yang kembali bersimpuh melanjutkan

wirdullathif-nya.

Agak jauh di muka pesantren, Milati menoleh

ke belakang. Lampu-lampu redup di teras

pesantren dan ndalem masih menyala. Langit

masih meremang pucat. Dingin kodrati pagi tak

ia gubris. Ia terus melangkah gamang. Matanya

yang merah karena menangis semalam kembali

berlayar bening. Ia berdiri menunggu becak

untuk mengantarkannya ke terminal. Ia tahu sulit

menemukan tukang becak di pagi buta seperti itu

tapi kadang ada juga satu dua. Itulah mereka yang

paham tentang konsep al barakati fi bukuriha.19

Thek thek... thek thek.

"Alhamdulillah," gumam Milati, telinganya

sudah cukup akrab dengan suara bel becak. Ia

lambaikan tangan, "Terminal, Pak!"

Sampai terminal, langit sudah cerah meski

matahari belum terlalu tampak. Milati menapaki

tangga sebuah bus dengan kaki gontai. Meski

hari baru dimulai, bus sudah berjubel dengan

makhluk-makhluk berkeringat dan beku. Ia

duduk paling belakang. Bus mulai melaju. Dari

kaca usang belakang bus tampaklah semburat

jingga mengapung. Mentari pagi sudah tak tahan

untuk memamerkan selimut hangatnya yang akan

menyaput tubuh-tubuh dingin yang meringkuk

dan berdengkul di emper-emper toko, trotoartrotoar, bahkan di tepi selokan.

Perjalanan selama hampir enam setengah

jam ia gunakan untuk berzikir. Jika kepalanya

mulai terasa pening, segera ia sandarkan kepala

di ujung jok dan memejamkan mata. Kepalanya

pusing, perutnya mual, dan matanya berat

seperti berkarat. Semua ia tahan hingga tertidur.

Bus masih melaju dengan kencang, mendahului

19 Barakah selalu ada di awal (waktu).

kendaraan-kendaraan kecil yang tak ada apaapanya.

Milati terbangun sebelum raja jalanan itu

berhenti di tempat yang ia tuju. Ia segera beranjak

sebab tempat yang ia maksud sudah dekat.

"Depan, Pak!" teriaknya.

Di dekat pintu keluar, ia meloncat turun

setelah sebelumnya si kondektur menyarankan

"hati-hati, kaki kiri dulu".

"Alhamdulillah sampai," gumamnya dengan

helaan napas lega.

Ia merogoh ponsel di sakunya untuk melihat
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

waktu. Pukul 11.30. Ia pandangi ponsel di

genggamannya. Ah, hadiah ulang tahun dari

Misas. Hatinya kecut.

Untuk sampai ke rumah, ia cukup berjalan

kaki sekitar setengah jam. Tak ada becak, apalagi

angdes. Yang ada hanya ojek. Ongkosnya jangan

ditanya. Makanya ia lebih suka berjalan kaki

daripada menghamburkan uang. Wajahnya sudah

agak cerah. Tebersit dalam benaknya, pasti kakek

dan nenek akan terkejut dengan kedatangannya

yang tiba-tiba. Ah, ia rindu sekali pada mereka.

Pada tiwul buatan nenek, juga pada nasihatnasihat bijak kakek.

Milati berjalan dengan bersemangat, wajahnya

ditampari debu. Ia berbelok mengambil jalan

pintas, melewati pematang sawah yang panjang

berkelok. Hatinya cukup damai. Ia bawakan

segelundung semangka dan segerombol rambutan

untuk kakek nenek serta anak-anak kecil tetangga

mereka. Dapat ia bayangkan kembangan senyum

kakek dan nenek lepas menyambutnya.

Ketika kakinya sudah menapaki jalanan tepi

sawah yang berumput dan berembun, hatinya

mulai berdebar penuh rajut. Beberapa meter lagi

ia sampai. "Kakek Nenek Milati datang."

Alangkah terkejutnya Milati ketika mendapati

rumahnya sepi tertutup. Namun, sayup-sayup

Milati mendengar ada orang membaca ayat-ayat

suci di dalam rumah itu. Dengan rasa ingin tahu

Milati berlari dan membuka pelan pintu reyot itu.

"Assalamualaikum."

"Walaikumsalam." seisi rumah me?nyambut?

nya.

Sang nenek berlari mendekat dan me?rangkul?

nya erat "Nduk, Milati. Kakekmu, Nduk...."

Milati melihat kakeknya terbujur lemas

di tikar, diam tak ada daya. Tubuhnya tinggal

ulit membajui tulang. Beberapa orang me?

ngerumuninya dan membawa mushaf kecil.

Milati tahu neneknya menangis. Tiba-tiba air

matanya pun tiris. Ia lepaskan rangkulan sang

nenek, lalu ia kecup tangannya.

"Kakek kenapa, Nek?" tanyanya sambil meng?

hapus air yang merembes dari kedua matanya.

"Kakekmu sakit, Nduk sudah seminggu,"

ujar Nenek dalam senggukan lembut.

"Kenapa Nenek nggak ngasih kabar ke Milati,

Nek?" balas Milati kesal, juga sesal.

"Maaf, Nduk. Baru tadi Nenek minta tolong

sama Mas Aan untuk nelepon kamu ke pondok.

Tapi sekarang kamu sudah datang."

"Pantesan, Nek, beberapa hari terakhir ini

perasaan Milati nggak enak."

"Yo wis, kamu istirahat dulu."

Milati mengangguk meski batinnya berkata,

"Bagaimana mungkin aku bisa istirahat, sedang?

kan nenek panik dan kakek tersengal-sengal

seakan menahan cekik?"

Milati melangkah mendekati kakeknya yang

kaku. Hatinya menjadi pilu gemilu. Ia tatap

wajah sang kakek. Keriput di wajahnya tak begitu

terlihat saking kurusnya. Kakek benar-benar diam

beku, hanya bola matanya yang sesekali masih

bergerak. Napasnya kejar-mengejar usia.

"Astagfirullah, Allah Allah, nyebut,

Kek," bisik Milati di telinga kanan sang kakek.

Napas Kakek mulai teratur. Nenek datang

dengan secawan bubur, juga segelas air putih dan

obat gerus.

"Kakek makan, ya? Biar perut Kakek nggak

kosong," bisik Milati lagi.

Dengan perlahan Nenek menyuapi Kakek,

yang untuk menelan bubur lunak pun kesulitan.

Milati mengambil buku kecil. Yasin dan Tahlil.

Berulang-ulang ia baca sebagai doa. Tak terasa

azan Zuhur sudah sayup menggema dari corongcorong di ujung kubah. Tetangga sudah pulang.

Milati menyelesaikan bacaannya, lalu mengambil

air wudu. Usai shalat, Milati ganti menunggui

Kakek, sementara Nenek shalat. Milati melihat

mata Kakek berkedip dengan irama tertentu. Ia

shalat dengan rukhsoh20 yang ada.

Malam sudah kembali utuh. Rembulan redup

malu-malu memayungi rumah reyot berdinding

anyaman bambu rapuh. Rumah itu sepi. Kalau tak

ada lampu 5 watt yang tersalur dari kemurahan

tetangga sebelah, mungkin rumah itu sudah

bertanda mati. Dua orang di dalamnya duduk

termangu, sayu. Seorang lagi tergeletak layu.

Diam. Sepi. Hanya gemerisik dedaunan bambu yang terdengar ngeri, bergesekan diombangambing angin.

"Nek, Nenek makan dulu, nggih! Dari pagi

kan belum makan," ucap Milati menembus sepi.

"Sudah kok, Nduk. Tadi bubur kakekmu yang

nggak habis sudah Nenek habiskan."

20 Keringanan.

"Itu kan cuma sedikit, Nek."

"Sudah, kok. Nenek sudah kenyang."

Diam lagi. Sepi lagi.

Siang melata, panas membara. Bu Nyai terperanjat

dari istirahat siangnya demi mendengar suara

pintu garasi dibuka. Abah dan Misas sudah

datang. Bu Nyai menyambut keluar. Wajah Abah

dan Misas berkilat, kepanasan. Mereka berdua

masuk dan Bu Nyai mengekor di belakang.

"Bagaimana Kiai Syafi?, Bah?"

"Alhamdulillah. Semua lancar."

"Misas suka?"

"Iya," jawab Abah mengalir.

Misas sendiri beringsut ke dalam dengan wajah

tak bersahabat. Tak lama berganti kaus, ia keluar

lewat pintu samping. Dari jauh ia pandangi kamar

Milati. Sepi. Mungkin ia di dapur, pikirnya.

Berjalanlah ia menuju dapur. Detak jantungnya

semakin kencang. Sampai di depan dapur, ia tidak

masuk, hanya melirik ke dalam. Tak ada Milati.

Hatinya mulai cemas. Mungkin Milati sedang

istirahat siang di kamarnya, pikirnya lagi. Dengan

sedikit tenang ia kembali ke ndalem mendekati

Abah dan Umi yang sedang berbincang entah apa.

"Kok sepi, Mi? Anak-anak ke mana?" basabasinya, padahal pertanyaan intinya ialah "Milati

di mana?"

"Sekarang kan sedang libur, anak-anak ya

pulang," balas Bu Nyai.

"Syaqib juga pulang?"

"Ada. Mungkin di kamarnya. Memang ada

apa?"

"Nggak apa apa. Kok sepi aja."

"Milati yang pulang," ujar Bu Nyai kemudian.

Misas terperanjat. Sesak dan berat jantungnya.

Tapi ia tak mau Umi tahu. Ia pasang muka

wajarnya.

"Milati pulang?"

"Iya."

"Tumben. Memangnya ada apa?" tanyanya

men?cari tahu.

"Katanya perasaannya nggak enak. Dia pengin

cepet pulang, kangen sama kakek nenek, katanya."

"Ooo."

Misas melangkah masuk ke kamar dan

menguncinya. Ia duduk termangu di bibir kasur.

Mulutnya bergerak-gerak, Milati... kenapa?

Waktu terus melaju tak memedulikan ke?

hidupan. Sehari, dua hari, tiga hari, dan seterusnya

Misas disiksa oleh kerinduan dan rasa penasaran

akan cintanya. Ia SMS tak pernah dibalas, ia

telepon tak pernah diangkat. Hatinya semakin

tak tenang, semakin bimbang, semakin rawan

dan meregang. Otaknya ditusuki oleh sekian

pertanyaan, ada apa dengan Milati? Apakah dia

sudah tahu? Mengapa Milati tega menyiksanya

seperti ini? Hendak ia menyusul Milati tapi

ia belum mempunyai alasan yang tepat untuk

menjelaskan pada Abah dan Umi. Selain itu, ia

juga belum punya alamat Milati di Yogya. Jauh,

pula. Haruskah ia minta tolong kepada Syaqib?

Lalu bagaimana pula dengan Abah, Umi, Kiai

Syafi?, dan Hurin? Tiba-tiba kepalanya sakit.

Milati tak bisa diam sepanjang pagi merambat

siang, ia harus membantu Nenek memasak,

membersihkan rumah, juga berangkat ke tempat

gadai untuk mengagunkan ponsel satu-satunya.

Apa boleh buat, ia butuh uang. Ia harus pergi

ke apotek untuk segepok tablet dan kapsul

untuk Kakek. Bagaimana pun manusia tak boleh

berhenti berupaya mencari kesembuhan sebelum

tangan Tuhan benar-benar turun.

Setelah sedari pagi melakukan hal-hal yang

cukup melelahkan, Milati kembali duduk payah

di sebelah Kakek dan Nenek. Tubuhnya pegal

semua, matanya diserang kantuk.

"Kalau ngantuk, kamu istirahat di kamar saja,"

saran si Nenek.

Belum lama Milati terlelap dalam tidurnya,

ia terbangun oleh suara ribut yang berasal dari

ruang depan. Dengan tergopoh-gopoh ia keluar

dari kamarnya, memastikan apa yang terjadi di

sana. Dilihatnya orang mengerumuni kakeknya,

juga ada Pak Kiai Anwar, imam masjid di desanya.

Milati mendekat. Pak Kiai bersila membungkuk,

ia bisikkan kalimat-kalimat tayibah di telinga

Kakek. Semua orang yang berkerumun me?

lantun?kan Yasiin, kecuali Nenek. Nenek hanya

menuntun Kakek untuk terus mengucap Allah,
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Allah....

Milati mendekat.

"Astagfirullah.... Kek... Allah, Kek... Allah...

Allah...!" Milati terisak di dekat kepala kakeknya.

"Sebut Allah... Allah, Kek!"

Nenek tak bisa membendung air matanya

sambil terus berzikir. Pak Kiai terus menalkin21.

Napas Kakek naik turun dan berat. Ngrhk...

ngrhk....

Allahumma hawwien alaina fi sakaratil maut22

....

"Allah... Allah...." kamit sang kakek, kemudian

mengembuskan napas penghabisan.

21 Membisikkan kalimat-kalimat tauhid pada orang yang

tengah mengalami sakaratul maut, meregang nyawa.

22 Ya Allah, mudahkanlah kami dalam menghadapi sakaratul maut.

Innalillahi wa inna ilaihi raaji?un... Semua

milik-Nya dan pada-Nya-lah semua kembali.

Kakek sudah benar-benar tak bergerak. Milati

dan Nenek mengatupkan mata Kakek dalam

timangan duka. Belumlah air mata Milati kering

dicampakkan mimpi-mimpi, kini harus meluap

lagi diguyur kenyataan. Kenyataan bahwa sang

Kakek sudah menemui waktunya yang tidak bisa

tidak.

Ia pandangi wajah kakeknya dalam-dalam

untuk yang terakhir kali, sebelum ia dibenamkan

di perut bumi. Ia pandangi pula pakaian-pakaian

kakek yang teronggok di lemari tanpa pintu,

juga kopiah hitam yang menggantung di sebuah

tiang kayu. Semua ditinggal dan akan menjadi

kenangan untuk selama-lamanya.

Air mata Nenek masih deras menghampiri

kekeriputan di pipinya. Mereka benar-benar sadar

dan ikhlas bahwa perpisahan adalah salah satu

rumus dunia. Pertemuan dan perpisahan ibarat

sepasang mempelai yang tak bisa dipisahkan

kecuali oleh perpisahan itu sendiri.

Mereka insaf, tak seharusnya mereka me?

nenggelamkan diri dalam duka berkepanjangan.

Dalam sebuah riwayat pernah diterangkan bahwa

air mata yang berlebihan tidak terlalu baik,

bahkan buruk bagi si mati. Biarlah semua berjalan

sesuai ketentuan Yang Di Atas.

Melawat

Libur telah usai. Panti asuhan dan pesantren

kembali ramai. Hanya saja, semua merasa ada

yang hilang dari sana. Tak hanya Bu Nyai, anakanak juga merasakannya, apalagi Misas. Semenjak

Milati pulang dan belum kembali ke pesantren,

sepanjang hari ia lalui dengan murung.

"Milati ngapain ya, Mi, di rumah? Kok nggak

balik-balik? Kan kasihan anak-anak," ujar Misas

pada Umi saat sarapan.

"Iya, ya. Nggak biasanya Milati berlama-lama

di rumah. Jangan-jangan ada apa-apa."

"Bagaimana kalau kita susul ke rumahnya saja,

Mi?" usul Misas.

"Tapi rumahnya jauh, Sas. Di Bantul sana."

"Bantul itu daerah mana, sih, Mi?"

"Itu nama kabupaten di Yogya sana. Ada apa,

ya? Sudah hampir sebulan, lho, dia pulang. Dia

juga nggak nelepon ke sini. Coba kamu hubungi

nomor hapenya saja!"

"Sudah, Mi. Minggu-minggu kemarin sudah

saya SMS tapi nggak dibalas, saya telepon juga

nggak diangkat. Kemarin saya hubungi lagi,

nomornya sudah nggak aktif."

"Kamu hubungi lagi sekarang, coba!"

Misas meraih ponselnya, mencari nomor

kontak Milati. Ia pencet tombol dial.

Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau

berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat

lagi. Tut tut tut.

"Tuh, kan, nggak aktif," kata Misas. Kesal.

Kring kring kring. Telepon rumah

memekik.

"Sas, angkat tuh!" pinta Bu Nyai.

"Iya, Mi. Halo Assalamualaikum."

"Walaikumsalam." terdengar suara lembut

di sana.

Misas sangat kenal dengan suara itu. "Halo?

Ini Milati, ya?" Agak lama tak ada jawaban.

"Halo, ini siapa? Halo?"

"Siapa, Sas?" Bu Nyai mendekat dan meminta

gagang telepon yang digenggam Misas.

"Assalamualaikum. Ini siapa?" tanya Bu Nyai.

Lembut.

"Walaikumsalam. Ini Milati, Bu."

"Milati!" seru Bu Nyai.

Misas deg-degan memperhatikan Umi yang

mulai berbicara dengan gadis yang selalu membuat

jantung?nya berdebar kencang itu.

"Iya, Bu. Ini Milati. Bu Nyai bagaimana

kabarnya?"

"Alhamdulillah, baik."

"Anak-anak?"

"Alhamdulillah, semua baik-baik saja. Kamu kok

nggak balik-balik? Anak-anak sudah bingung,

nanyain kamu melulu."

"Maaf, Bu Nyai, Milati nggak sempat kasih

kabar."

"Oh iya, bagaimana kabar kakek nenekmu?"

"Kakek Kakek meninggal, Bu," Milati

terdengar mulai terisak.

"Innalillahi wa inna ilaihi raaji?un." ujar Bu

Nyai spontan.

Misas kaget. "Siapa yang ninggal, Mi?"

tanyanya ingin tahu.

"Kakek Milati."

"Innalillahi wa inna ilaihi raaji?un." kata

Misas pula.

"Bu."

"Iya, Nduk. Kamu yang sabar aja, ya. Semua

itu kehendak Allah."

"Inggih, Bu. Milati minta maaf sebelumnya.

Milati masih belum bisa balik ke pesantren."

"Iya. Nggak apa-apa. Kamu yang sabar, ya."

"Iya. Terima kasih, Bu. Salam buat anak-anak.

Assalamualaikum."

"Walaikumsalam."

Bu Nyai menutup telepon dengan wajah

berbelasungkawa. Misas larut juga dalam ke?

sedihan. Itulah jawaban yang ia cari selama ini.

Rasa dukacita dan kerinduan semakin dalam

bersemayam di lubuk jiwanya. Sebentar lagi ia

bertemu dengan sang kekasih yang kini sedang

didera gulana lantaran orang-orang yang ia cintai

hilang direnggut tangan kenyataan.

Kehilangan pertama, Misas yang harus le?

pas lantaran Tuhan telah mengirim Hurin se?

bagai jodohnya, bukan dia. Hal itu cukup meng?

endapkan lara yang keruh di dasar hati sehingga

ia harus menghamburkannya dengan sungai

kecil yang setia mengalir di matanya. Belum

kering cucuran air mata itu, ia harus lembap

dalam kedukaan kedua. Seseorang yang menjadi

bagian dari dirinya harus melepas napas untuk

menghadap Tuhan di langit lepas.

"Mi, kapan kita ke Milati? Kasihan dia," desis

Misas.

"Kalau bisa secepatnya, nanti sore. Abah kita

beri tahu dulu, juga warga pesantren supaya nanti

bisa shalat Gaib bersama. Kita ajak beberapa

perwakilan dari pengasuh untuk ke rumah Milati."

"Iya."

Air duka masih tampak mengemas rumah kecil

berdinding buluh itu. Rumah itu lengang meski

pintu terbuka lebar. Bangku-bangku panjang dan

meja-meja kayu tertata rapat di teras berlantai

tanah. Terlihat asap mengepul menyeruak dari

genting-genting hitam yang terpasang dengan

celah longgar di sayap kiri rumah itu.

Di halaman rumah itu terhampar rumputrumput yang tumbuh renggang tanpa ditanam.

Satu dua ayam berkeliaran mengaduk-aduk batu

kerikil bercampur tanah dengan cakarnya. Sesekali

ayam-ayam itu mematuk-matukkan paruh mereka

pada kerikil-kerikil tanpa menelannya. Ayamayam itu berhamburan ketika sebuah sedan putih

diikuti carry merah melaju lambat dan berhenti di

halaman rumah itu.

"Alhamdulillah, kita sudah sampai," ujar Bu

Nyai lega.

Milati yang mendengar suara mobil berhenti

langsung keluar, memastikan siapa yang datang.

Serombongan orang pesantren turun dari mobil.

Ada Abah, Bu Nyai, Syaqib, Fida, Bu Juwar, dan

yang lainnya. Yang membuat darahnya mengalir

deras ialah Misas yang masih duduk diam di

jok depan sedan putih itu. Mata mereka sempat

bertemu.

"Assalamualaikum," rombongan tamu meng?

ucapkan salam bersama-sama.

"Walaikumsalam," jawab Milati.

"Siapa, Mil?" tanya Nenek yang baru me?yusul?

nya dari dapur.

"Bu Nyai sama rombongan."

Nenek menyambut dan menyalami mereka

satu per satu. Yang putri berjabat tangan dan yang

putra cukup mengangkat kedua tangan serupa

berjabatan tanpa bersentuhan.

"Mil, bagaimana keadaanmu?" tutur Misas

ketika mereka berhadapan. Keadaan hatinya sulit
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

digambarkan. Hanya bahasa tubuh yang bisa

mewakilkan. Misas merasakan itu.

"Baik, alhamdulillah," jawab Milati singkat. Ia

enggan menatap wajah bersih itu. Takut tersiksa.

"Yang tabah, ya, Mil," kata Syaqib, setelah

Misas.

"Iya. Terima kasih, Qib," jawab Milati,

memperhatikan wajah sahabatnya yang tampak

berduka sebagaimana dirinya.

"Oh iya, Mil, tikarnya belum digelar," seru

Nenek.

Milati berlari pelan, mengambil tikar yang

tergulung panjang di pojok ruangan dan meng?

gelarnya. Syaqib membantunya.

Para pelayat duduk lesehan di tikar pandan

yang adem. Milati menyiapkan teh. Nenek dan

para pelayat berbincang perihal Kakek, dari

sehatnya hingga sakit dan menemui ajalnya.

Syaqib beranjak ke dapur.

"Mau ke mana, Qib?" tanya Bu Nyai.

"Bantu Milati di belakang, Bu. Kasihan,

sendirian."

Misas yang melihat Syaqib ke ruang dapur

segera menyusul.

"Ada yang bisa dibantu, Mil?" tanya Syaqib.

Milati menggeleng. "Nggak usah repot-repot."

"Nggak apa-apa. Biar kami yang bawakan

ke depan," sela Misas yang muncul di belakang

Syaqib.

"Biar saya saja, Mas. Njenengan duduk saja

di sana. Biar saya saja yang bantu Milati," balas

Syaqib.

"Nggak apa-apa, Qib. Kamu boleh bantu,

masa saya tidak."

Milati masih menuang teh ke dalam puluhan

gelas yang tertata rapi di atas nampan. Setelah

minuman siap, Misas menyambarnya dan mem?

bawanya ke depan. Syaqib membawa dua piring

gemblong ketan hitam. Milati membawa dua

piring pisang goreng.

"Monggo. Di desa adanya cuma beginian,"

Nenek mengacungkan ibu jari, mempersilakan

para tamu menikmati minuman dan makanan

yang ada.

"Memangnya kakek Milati sakitnya sudah

lama, Nek?" tanya Bu Nyai.

"Ya, sudah hampir satu bulan, " jawab Nenek.

"Tapi sudah dibawa ke dokter, ya, sebelumnya?"

"Iya, sudah."

"Kata dokter sakit apa?"

"Cuma asma. Sama dokter juga sudah diberi

resep. Tiap hari saya minumkan tapi tetap nggak

ada perubahan. Saya kira penyakit Kakek memang

penyakit wajar yang biasa diderita orang lanjut

usia. Makanya sekali saya bawa ke dokter, nggak

saya bawa lagi," jelas Nenek.

"Yah, semua sudah terjadi. Nenek harus sabar."

"Inggih, Bu. Untung ada Milati."

"Iya. Pantesan Milati pengin buru-buru

pulang. Rupanya dia punya firasat."

"Ya, itu. Baru kami mau hubungi pesantren,

Milati sudah ada di depan pintu."

"Semua sudah ketentuan yang di atas, Nek.

Sekali lagi kita harus tetap sabar."

Begitulah seterusnya percakapan Bu Nyai dan

Nenek. Yang lain hanya menjadi penyimak setia.

Tanpa terasa, azan Zuhur melengking di

puncak kubah. Para tamu melaksanakan shalat

Zuhur berjemaah di masjid terdekat. Milati

mengeluarkan semua mukena yang ada. Usai

shalat berjemaah, mereka memohon diri pada

Nenek. Kecuali Syaqib. Ia sudah izin pada Bu

Nyai untuk tinggal beberapa hari di rumah

sahabatnya itu.

Melihat yang demikian, muka Misas menjadi

muram temaram. Banyak sekali kalimat hati dan

kerinduan yang hendak ia curahkan pada gadis

pujaannya itu tapi keadaan sangat mengungkung.

Bagaimana mungkin ia mendahulukan keperluan

dirinya sendiri sedangkan sang kekasih masih

dalam suasana belasungkawa. Sayanglah ia tidak

tahu bahwa separuh kepedihan gadis itu juga

musabab dia.

Ketika salam penutup sudah terlontar dari

bibir para pelayat, Misas berbalik dengan suasana

hati tidak keruan. Ditolehkan lagi mukanya ke

belakang. Ada Milati, Nenek, juga Syaqib.

Milati pun juga merasakan hal yang sama.

Namun, apa boleh buat. Dia juga tak bisa berlaku

apa-apa. Ingin rasanya ia berlari mengejar lelaki

bening itu lalu merangkulnya lekat-lekat. Ah,

tapi itu tak tak mungkin. Itu hal haram yang

ia sendiri sebenarnya canggung meski sekadar

membayangkannya. Toh, hidungnya terasa ke?

masu?kan air, matanya berkaca-kaca.

"Kamu kenapa, Mil?" telisik Syaqib yang

sedari tadi memperhatikannya.

"Nggak apa-apa. Aku cuma ingat Kakek,"

jawab Milati singkat.

Dengan hati dongkol Syaqib bergumam,

"Ingat Kakek, apa ingat Kakek?"

Milati sendiri tak tahu apa sebenarnya yang

membuat hatinya sedih, cemas, dan tak tenang.

Kepergian sang Kakek atau kepergian Misas? Atau

keduanya? Milati tak pernah segamang itu dengan

hatinya sendiri.

Kebenaran

yang Getir

Sepanjang perjalanan pulang, Misas benar-benar

menyamarkan senyum. Tak ia tanggapi orangorang yang mengajaknya berkelakar-kelakar kecil.

Ia memilih diam. Tak ia gubris orang yang meng?

ajaknya bicara, termasuk Abah dan Umi.

Bu Nyai mulai peka. "Sas, kamu kenapa? Kok

masam begitu? Kayak orang jengkel."

Misas tak menjawab sama sekali.

"Sas!"

"Apa, Mi?" ia menjawab juga.

"Kamu kenapa?"

"Nggak apa-apa, Mi. Sopir kan dilarang

bicara," terpaksa ia berkelakar.

"Tadi berangkat kamu ngecipris, pulang kok

jadi apatis."

Misas bungkam lagi. Bu Nyai mulai bosan.

Cittt!

Misas menginjak tekan rem sekonyong koder.

Di depannya ada truk pasir berhenti tiba-tiba,

seenaknya. Semua terperanjat dan beristigfar.

"Pelan-pelan, Sas! Kamu ngantuk, ya?" tanya

Abah yang duduk di jok belakang.

"Iya, ati-ati," tambah Bu Nyai.

"Nggak, Misas nggak ngantuk. Umi, sih,

ngajak ngomong terus. Konsentrasi nyopir jadi

hilang. Sudah dibilang, dilarang berbicara dengan

sopir!" balas Misas.

"Iya iya, Umi diam. Kamu juga ati-ati.

Jangan ngantuk!"

"Inggih!"

Menjelang Magrib, mobil rombongan sudah

sampai di depan pesantren. Para penumpang

berebut turun. Ngaji sore terpaksa diliburkan.

Sebagian besar pengajar kuyu-layu kecapaian

sehabis perjalanan jauh. Anak-anak bersorak

riang. Sebagian lagi berkesah, "aduh libur."

Hari berembang petang

Langit pucat mengkerut

Hati semakin bimbang

Kasih tiada bersambut

Gelap malam mencuat

Kilat gemerlap padang

Hati menjadi pucat

Ingat wajah di seberang

Kata para penyair, cinta itu memainkan

perasaan. Rasa lapar dimain kenyang. Rasa

kantuk dimain jaga. Rasa giat dimain payah. Dan

seterusnya.

Memang benarlah adanya. Sepulang dari melawat, perut Misas belumlah terisi sama sekali,

namun ia mengabaikannya begitu saja. Hatinya

bergelut. Ia memutar pikiran untuk menjelaskan

pada Abah dan Umi tentang apa yang sebenarnya

terjadi antara dia dan Milati. Nyalinya belumlah

penuh, ia masih ragu. Namun, ia tak tahan menyembunyikan perasaannya lama-lama. Sebelum

akad nikah antara dia dan Hurin terjadi, ia ingin

segera mengutarakan kebenaran yang ia katupkan

selama ini. Ia berharap Abah bisa membatalkan

pertunangannya dengan anak gadis Kiai Syafi? itu.

Misas seperti orang yang sedang kebingungan.

Kadang merebahkan diri memeluk bantal. Ka?

dang duduk diam menerawang. Kadang berdiri di

depan cermin.

"Kau harus berani mengungkapkan semuanya

pada Abah, juga Umi. Kau bukan laki-laki yang

lemah. Kau harus berani!" katanya pada sosok di

cermin.

Sesaat kemudian tubuhnya melemas. Ia lem?

parkan kembali tubuhnya di pangkuan tilam.

"Tidak. Aku tak mau melukai hati Abah,

apalagi Umi. Tidak. Tapi aku harus bagaimana?"

Ia remas kepalanya, lalu telapaknya ia tarik ke

belakang. Dalam. Rambutnya yang mengilat

tersibak.

Wajah Milati kembali berkelebat.
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku harus bilang," katanya lagi.

Ia buka pintu kamarnya perlahan. Ia keluar.

Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Abah

dan Bu Nyai masih terjaga di ruang tengah.

"Bah, Mi," ia memulai perkataannya. "Misas

mau bicara sama Abah, sama Umi."

"Soal apa? Kok kayaknya serius betul?" sambut

Bu Nyai.

Abah sibuk membaca koran tadi pagi.

"Abah dan Umi boleh marah sama Misas."

"Memangnya apa yang mau kamu omongin?

Kalau nggak yang macam-macam, Abah sama

Umi mana mungkin marah," kata Abah.

Misas mulai gemetar. Beberapa jenak ia diam.

Dengan hati masygul ia mengangkat suara lagi.

"Misas pengin petunangan Misas sama Hurin

dibatalkan."

"Heh? Apa?" Abah melongo. Kaget. Bu Nyai

juga. "Kamu itu ngomong apa? Jangan bercanda!"

tandas Abah.

"Misas serius, Bah. Misas nggak ada perasaan

apa-apa sama Hurin."

"Nggak!" kata Abah tegas. "Wis, kamu

nggak usah macam-macam. Semua sudah diatur

matang-matang! Kamu mau merusak hubungan

baik Abah sama Kiai Syafi??" cecar Abah.

"Kamu itu juga aneh. Waktu pertama

dipertemukan sama Hurin, kamu setuju, diam

saja. Apa alasan kamu nggak suka sama Hurin.

Apa karena dia tunanetra?" sambung Umi.

Debaran kencang jantung Misas terasa berhenti

begitu saja saking terkejutnya. Ia setengah percaya

setengah tidak pada kata-kata Umi. Barulah

dia sadar. Barulah ia yakin. Ternyata putri Kiai

Syafi? itu memang tunanetra. Semakin yakinlah

ia bahwa keputusannya untuk membatalkan

pertunangan itu memanglah tepat.

"Bukan begitu, Bah, Mi," kilahnya.

"Lalu apa lagi? Pokoknya Abah nggak mau

kamu merusak semua. Abah itu sudah carikan

yang terbaik buat kamu, Sas. Apa kamu kurang

yakin? Memang Hurin itu buta. Tapi hanya

fisiknya yang buta! Hatinya sama sekali tidak

buta. Dia gadis yang salihah, Sas. Cantik. Pintar.

Hafal Qur`an. Kurang apa? Bukankah dulu kamu

sendiri yang bilang pada Abah, juga pada Kiai

Syafi?, kalau kamu dewasa nanti, kriteria istri yang

kamu cari ialah salihah, seperti putri-putri Kiai

Syafi? itu. Urusan fisik nomor sekian."

"Iya, Misas paham. Misas ngerti. Tapi itu

cuma omongan anak ingusan yang belum pernah

menyelami apa itu cinta, apa itu lautan rumah

tangga, dan seterusnya. Salah kalau Abah dan Kiai

Syafi? menafsirkan itu sebagai janji bahwa Misas

akan memperistri Hurin. Siapa pun orangnya

pasti ingin mendapat istri yang salihah, Bah.

Misas juga. Tapi haruskah Hurin? Misas nggak

cinta sama Hurin, Bah! Nggak cinta!"

"Kalau kamu nggak suka, kenapa dulu kamu

diam saja?"

Misas tak bisa menjawab. Hanya menunduk.

"Kenapa diam? Cinta nggak cinta itu bukan

alasan. Kamu kira Abah sama Umi dulu menikah

karena cinta? Bukan. Abah sama Umi baru kenal

saat di pelaminan. Toh, pada akhirnya cinta

tumbuh dengan sendirinya. Yang paling penting

itu adalah keikhlasan, Sas. Abahmu dulu menikah

juga demi bakti pada kakek nenekmu. Sami?na

wa atha?na. Abah yakin mereka mencarikan jalan

yang terbaik buat Abah. Nggak ada orangtua

yang menjerumuskan anaknya, Le! Buktinya,

Abah bahagia sama Umi. Sakinah mawaddah wa

rahmah. Sampai sekarang. Tanya sendiri sama

Umi. Apa pernah Abah cekcok, tukar padu23 sama

Umi? Nggak pernah. Sama sekali nggak pernah.

Semua itu karena apa coba kalau bukan berkah?

Berkahnya orang manut sama wong tuwo. Rida

orangtua itu ridanya Gusti Allah. Yang penting

kamu ikhlas. Sudahlah, jangan macem-macem,"

nasihat Abah panjang lebar.

"Abahmu benar, Le!" Bu Nyai meyakinkan

Misas.

Sepi.

23 Bertengkar.

Mata Misas mengilat. Lirih ia bersuara lagi.

"Tapi Bah...." katanya terkatung.

"Tapi apa?"

"Misas sudah lama ada perasaan sama Milati."

Abah dan Bu Nyai seperti dihantam raket

raksasa dengan sekencang-kencangnya. Mereka

coba memutar ulang apa yang barusan dikatakan

Misas. Antara yakin dan mungkir. Abah me?

ngerutkan alis dalam-dalam.

"Misas yakin Milati juga punya perasaan

yang sama," lanjut Misas. "Abah sama Umi

cuma nggak peka terhadap kami. Apa Abah dan

Umi tega menghancurkan hati kami berdua?

Apa salah kalau Misas jatuh cinta sama Milati?

Abah dan Umi juga tahu sendiri apakah Milati

itu gadis baik atau bukan. Salihah atau tidak.

Kalau boleh memilih, tentu Misas akan memilih

sebagaimana Abah dan Umi memilih. Misas juga

tak mau melukai hati Abah dan Umi. Tapi kalau

sudah begini Misas nggak bisa apa-apa lagi," kata

Misas berapi-api, seolah-olah naga telah merasuki

tubuhnya. Wajahnya memerah marah.

Abah dan Bu Nyai masih bengong. Mengatur

hati memilih kata.

"Kenapa kamu nggak pernah bilang, Sas?"

tanya Bu Nyai dengan nada rendah.

"Abah sama Umi nggak pernah kasih ke?

sempatan Misas untuk bicara. Langsung saja

membawa Misas ke Kiai Syafi tanpa Misas tahu

untuk apa. Ternyata."

"Kamu kan bisa bicara sama Umi sebelum

itu."

"Seharusnya Abah sama Umi bilang kalau

Misas diajak ke Pare itu untuk membicarakan soal

pertunangan."

"Wis terserah kamu! Urusanmu! Kalau

kamu nggak bisa ditata, yo wis. Terserah kamu

mau nikah sama siapa. Itu urusanmu," kata Abah

kasar.

Dengan tertatih Abah beringsut masuk ke

kamar. Dadanya sesak. Misas tahu Abah marah

besar. Bu Nyai beranjak menyusul Abah tanpa

sepatah kata. Tinggal Misas sendiri. Air matanya

jatuh juga. Masuklah dia ke kamar dengan hati

kacau. Marah, menyesal, kecewa, kasihan, semua

memblender perasaannya.

"Kenapa Milati juga nggak bilang?" keluh Bu

Nyai pada Abah yang bersandar di bantal tebal

dalam kamarnya.

"Nggak tau, Bu. Abah juga bingung sendiri."

"Kalau mereka memang sudah saling cinta,

kasihan juga."

"Abah nggak yakin Milati juga suka sama

Misas. Selama ini kan Milati cuma dekat sama

Syaqib. "

"Iya juga. Lalu bagaimana?"

"Apanya yang bagaimana?"

"Pertunangan Misas sama Hurin."

"Ya harus tetap dilanjutkan. Nggak bisa putus

di tengah jalan sembarangan seperti itu."

"Tapi kalau Misas dan Milati memang saling

mencintai bagaimana?"

"Yah, mesti bagaimana lagi, Bu? Aku pusing!

Coba Ibu bicara sana Milati!"

Setelah kejadian itu, seperti ada dinding kaca

tebal yang menghalangi Misas dan Abah. Enggan

sekali mereka bertegur sapa kecuali dalam hal-hal

yang perlu saja. Meski begitu, Misas tak pernah

menghilangkan sikap sopan dan hormat pada

Abah.

Misas sendiri semakin kacau. Abahnya dingin

dan keras seperti es batu. Tak perlu lagi ia menghadap Abah untuk yang kedua kali kalau tak ingin

hatinya tercabik lagi. Semua sudah jelas. Jika ia

tak menuruti Abah, tentu saja sang Abah praktis

apatis terhadapnya. Jika ia meninggalkan Milati,

hatinya sendiri yang akan memusuhinya. Serbasulit. Sadarlah ia bahwa ia tengah mengunyah buah

simalakama.

Menitis Majnun

Seminggu sudah berlalu. Milati belum juga

kembali ke pesantren. Bu Nyai semakin waswas.

Jangan-jangan apa yang dikatakan Misas benar

adanya. Barulah ia sadar ketika mengingat-ingat

sikap Milati yang tiba-tiba menjadi murung

setelah ia bercerita bahwa Misas ke Kediri untuk

membicarakan pertunangannya dengan Hurin.

Tapi entahlah.

Syaqib yang sempat beberapa hari terakhir

tinggal bersama Milati juga ikut cemas. Syaqib

mendengar sendiri dari mulut Milati bahwa

seminggu lagi ia akan menyusul balik ke

pesantren. Kenyataannya, sudah seminggu lebih

ia belum juga datang.

Di antara orang-orang yang cemas, Misas

adalah orang yang paling cemas. Hatinya yang

terbakar tak jua padam oleh hari-hari yang

pergi. Sesekali ia mengutuki Milati yang tega

menyiksanya demikian rupa. Di lain kali,
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kerinduannya pada Milati mencuat tinggi.

Sementara itu, Abah dan Umi masih gencar

menegaskan hari pertunangannya dengan Hurin.

Hari-harinya terasa panas dan sesak.

Terlintaslah dalam pikiran Misas untuk

minggat, menyusul Milati ke Yogya. Akan segera

ia lepaskan beban kerinduan yang menumpuk di

dadanya. Akan ia jelaskan pula bahwa antara dia

dan Hurin tak ada apa-apa. Ia begitu yakin Milati

pun pasti tengah gelisah memikirkannya. Pagi

buta, selepas Subuh, tanpa sepengetahuan Abah

dan Umi ia berangkat, hendak menyusul Milati.

Ia masukkan beberapa pakaian ke dalam ransel

tanggung, kemudian berangkat.

Di perjalanan, tak ada yang menjadi buah

pikirannya selain waktu-waktu indah bersama

Milati. Ia putar ulang di memorinya rekaman

saat pertama bertemu Milati di bandara. Rupanya

pandangan pertama itulah yang menjadi akar

guncangan di jiwanya kini. Ia kenang pula saat

pertemuannya dengan Milati di swalayan kota,

ketika Milati merangkul tangannya dengan panik.

Di sana pula ia membelikan sepasang jubah dan

jilbab untuk gadis polos itu. Semua keindahan itu

begitu saja buyar ketika tiba-tiba terlintas wajah

Abah, Umi, Kiai Syafi?, juga si gadis buta.

"Malang sekali," gumamnya dalam hati,

"kenapa aku harus menikah dengan gadis yang

tidak aku cintai? Buta, pula. Apakah aku terlalu

naif sehingga sulit sekali bagiku mendapatkan

gadis yang kucintai? Apakah aku terlalu dina

sehingga harus memperistri seorang gadis buta?

Hhh." sumpah serapahnya keluar, entah

melaknati siapa.

"Tapi tak masalah, semuanya akan segera

berakhir. Sebentar lagi aku akan menemui

Milati. Akan aku lepaskan segenap kerinduan

ini. Akan kujelaskan pula padanya apa yang

sebenarnya terjadi. Pastilah Milati paham dan

mau menjelaskan semuanya pada Abah dan Umi,"

begitulah pikirnya kemudian.

Setelah perjalanan yang sangat lama, hampir

enam jam, sampailah ia di pemberhentian

bus tempat Milati juga berhenti kalau hendak

pulang. Hatinya bedetak-detak saat turun dari

bus. Ia telusuri jalan-jalan yang pernah ia lalui,

dan tentunya pernah dilalui Milati. Ia masih

ingat letak rumah kekasihnya itu. Semakin dekat

ia melangkah mendekati rumah sang kekasih,

semakin kencang jantungnya berdetak. Semakin

dekat, semakin kencang. Semakin dekat dan

semakin kencang lagi. Hingga sampailah ia di

rumah reyot itu dengan tubuh bergetar lantaran

detak jantungnya yang tak terkendali.

Harapnya menjadi karam berserakan setelah

dilihatnya pintu rumah itu tergembok dari luar.

Tok tok.

"Assalamualaikum." Ia mengetuk daun

pintu dengan tangan gemetaran akibat rasa cemas

yang memberondong hatinya.

Tok tok.

Ia ulang lagi ketukan itu.

Tak ada jawaban.

Tok tok.

Sepi.

Dengan pikiran galau ia mencari alternatifalternatif bahwa Milati sedang pergi sejenak dan

segera kembali.

Ia duduk dengan lemas di sebuah bangku

panjang yang terbuat dari buluh. Ia pandangi lagi

daun pintu rumah itu. Diam. Mematung. Entah

mengapa tiba-tiba ia ingin menangis. Di sela

tubuhnya yang terantuk lunglai, ia tertidur.

Tak berapa lama ia gelagap terbangun. Ia

tengok arloji di tangannya. Pukul 14.00 terik hari.

Dilihatnya daun pintu masih mematung dengan

gembok yang masih menggantung.

Kepada seorang ibu yang sedang duduk-duduk

di halaman rumah sebelah, ia memberanikan diri

untuk bertanya. "Maaf, Bu, numpang tanya.

Milati sama neneknya ke mana, ya?"

"Ooo, kemarin mereka berangkat ke Solo,

Mas. Ke kerabat mereka."

"Kira-kira pulang kapan, ya, Bu?"

"Wah, ya nggak tahu, Mas. Biasanya kalau

main ke kerabat mereka, seminggu baru pulang,

cepat-cepatnya tiga hari."

Misas tercenung dan melangkah pergi dengan

pedar tak terlukiskan. Ia berjalan menuju masjid

untuk shalat Zuhur. Kakinya diseret seperti

binatang terluka. Di dalam masjid ia berdoa

seraya menahan tangis. Pikirannya berkecamuk

liar. Mana mungkin ia berani pulang, sedangkan

ia pergi dari rumah begitu saja tanpa sepatah

kata? Pengharapannya hanya satu, ketenangannya

takkan pernah bermuara kecuali pada satu hal:

Milati, yang kini entah di mana. Ia tak tahu lagi

ke mana langkah kakinya hendak diayun. Ke

mana lagi gelisah hatinya hendak dijunjung.

Dengan pertimbangan dan pikiran yang

panjang ia memutuskan untuk pergi ke Lirboyo,

Kediri. Ia yakin satu dua temannya masih ada di

sana. Sepanjang kakinya menapak, pikirannya tak

pernah berhenti menyalak asa-asa yang terbentuk

kemudian retak lagi. Terbentuk lagi dan retak lagi.

Misas berdiri kering di trotoar berdebu,

umpama kelaras yang masih menggantung

pada pohon pisang padahal ia sudah terbuang.

Matanya bergerak ke kanan dan ke kiri, mencari

bus tujuan Surabaya, berhenti di Nganjuk untuk

oper ke Kediri. Dengan pikiran tak terarah, ia

mulai melihat kanan kiri dan menyeberangi jalan

besar. Matanya sakit oleh debu-debu beterbangan

yang dihempas kendaraan-kendaraan besar. Se?

buah bus berhenti di tepian jalan, menghalangi

jarak pandangnya ke kanan depan. Pikirannya

yang kalut membuatnya sembrono. Ia coba

menyeberangi jalan ramai itu tanpa peduli.

Ayunan langkahnya terhenti ketika terdengar

pekikan klakson sebuah sedan yang melaju

kencang dari arah kanan. Ia bergerak gesit ke

belakang, menghindar. Tanpa terelakkan, sepeda

motor yang melaju tak kalah kencang dari arah

berlawanan menghantam tubuhnya dari belakang.

Ia terpental kasar dan terseret oleh beban

tubuhnya sendiri, beberapa meter ke tengah jalan,

menanti minibus yang segera melahap, meremuk

tubuhnya.

Tin tin!

Cittt cittt!

Suara klakson dan gesekan roda dengan aspal

terdengar riuh. Minibus berhenti beberapa meter

di depan tubuh Misas yang tergeletak layu. Darah

segar mengucur dari keningnya akibat terbentur

aspal kasar. Lengan bajunya geripis merembes

darah. Betis kakinya juga berlumur darah,

celananya sobek akibat gesekan panjang dengan

kerikil-kerikil.

Jalanan jadi macet. Kerumunan orang tak

terhindarkan. Beberapa orang segera mengangkat

Misas ke tepi. Salah seorang yang membawa mobil

segera membawanya ke rumah sakit terdekat.

Sebuah Coba

Hari sudah rembang petang. Magrib. Bu Nyai

resah gelisah memikirkan putra bungsunya yang

sedari pagi tak ia jumpai. Tak biasanya Misas

pergi-pergi, kecuali setelah mendapat izin dari

Abah dan Umi. Bu Nyai sangat khawatir kalau

terjadi apa-apa pada Misas. Sudah ia telepon

kakaknya di Kediri, tapi Misas tak ada. Ia telepon

juga beberapa teman dekat Misas di Jombang,

Misas juga tak ada di sana. Bu Nyai semakin

khawatir.

"Misas ke mana, ya, Bah?" tanya Bu Nyai gu?

sar.

"Paling-paling ke temannya yang lain atau

mungkin ke Lirboyo. Misas kan sudah gede,

nggak usah disusahin. Dia bisa jaga diri," tukas

Abah dengan santainya.

"Jangan-jangan ke Yogya."

"Nggak mungkin. Ngapain dia pergi jauhjauh ke sana? Nyari Milati?"

"Mungkin saja."

Azan Magrib sudah kumandang.

"Magrib, Magrib. Sudah, nggak usah di?pikirin.

Nanti kalau capek dia juga pulang sendiri," kata

Abah sambil ngeloyor ke tempat wudu.

Kring Kring.

Bu Nyai yang siap-siap berangkat ke musala

dikagetkan oleh pekikan telepon yang memburu,

seolah-olah ada hal penting yang harus segera

disampaikan.

"Siapa, sih? Nelepon, kok, Magrib-Magrib

begini," gumam Bu Nyai yang sudah menenteng

sajadah dan mukena, siap berangkat ke musala.

"Maaf, apa benar ini rumah Saudara Misas?"

sapa suara dari seberang.

"Iya, benar. Saya ibunya. Ini dari siapa?"

"Kami dari Rumah Sakit Muhammadiyah,

Yogyakarta. Maaf, tadi sore anak Ibu, Saudara

Misas, mengalami kecelakaan."

"Innalillahi." tubuh Bu Nyai lunglai

bersandar di kursi. Seperti ada jutaan lebah hitam
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyengat tubuhnya bersamaan. Air di matanya

menyembul dengan cepat, spontan. Apa yang

paling ia khawatirkan terwujud. "Bagaimana

keadaannya sekarang, Pak?"

"Kami tak bisa menjelaskan banyak. Lebih

baik Ibu segera kemari."

"Iya, Pak. Di mana alamat rumah sakitnya?"

"Jalan KH. A. Dahlan No. 20 Yogyakarta."

"Kamarnya?"

"Kamar kelas III, No.24."

"Baiklah, Pak. Terima kasih atas pem?

beritahuannya."

"Sama-sama."

Bu Nyai kebingungan. Iqamah sudah ber?

kumandang. Bu Nyai berlari kecil ke musala.

Pikirannya tak tenang. Dalam shalat pun tak

tenang. Usai shalat dan wirid, segera Bu Nyai

menyampaikan kabar yang baru ia terima kepada

Abah. Abah tak kalah kaget. Segeralah Abah

memanggil Syaqib untuk mengantarkannya ke

Yogya, saat itu juga. Beberapa pengasuh diminta

untuk menjaga rumah. Syaqib pun kaget. Ia

bertanya-tanya di dalam hati kenapa hal tersebut

bisa terjadi.

Sesampai di rumah sakit, mereka bertiga segera

mencari kamar yang dimaksud. Tangis Bu Nyai

meledak begitu melihat putranya terbaring tanpa

daya dengan mata terpejam. Keningnya penuh

goresan, dalam. Darahnya belum kering.

"Masya Allah, Le kenapa ini bisa terjadi?"

isak Bu Nyai seraya mengusap-usap tubuh

putranya itu. Abah yang melihatnya juga menjadi

lemah hati. Pada salah seorang dokter, Bu Nyai

meminta supaya anaknya itu dipindahkan ke

kamar kelas I.

Sampai pagi menjelang pun mata mereka

tidak dapat terpejam. Rasa khawatir membaluti

perasaan mereka, Misas belum juga siuman. Bu

Nyai terus memandangi putranya itu dengan doa

yang menderas dari mulutnya. Abah dan Syaqib

pun menunggu dengan cemas hati.

Milati yang baru pulang dari tempat kerabatnya

di Solo sudah punya firasat. Sedari kemarin

pikirannya sudah tidak nyaman. Seorang ibu di

sebelah rumah menghampirinya ketika ia berucap

salam dan hendak membuka kunci gembok

rumahnya.

"Mil, kemarin ada teman kamu nyariin ke

sini, lho!"

"Laki-laki apa perempuan, Bulik?"

"Laki-laki."

Milati coba menebak siapa lelaki itu. "Orang?

nya bagaimana?"

"Orangnya ganteng, putih, rambutnya ngan?

dan-andan24. Kalau nggak salah dia pernah ke

sini, kok!"

Semakin jelas syak waduganya. "Orangnya ke

sini naik apa?"

"Kayaknya jalan kaki. Mungkin naik bus,

terus ke sininya jalan kaki."

Milati semakin yakin.

"Siapa, Nduk?" tanya Nenek yang sedari tadi

tak paham.

"Mungkin Mas Misas," katanya datar, padahal

hatinya sudah berdebaran dari semula.

"Putra Bu Nyai itu?"

"Iya."

24 Bergelombang.

"Ada apa ya, Nduk, kira-kira? Jangan-jangan

penting. Coba kamu telepon ke sana. Siapa tahu

ada yang penting. Kalau nggak ada yang penting,

masa putra Bu Nyai mau jauh-jauh datang

kemari."

Setelah meletakkan tasnya, Milati bergegas ke

wartel terdekat. Ia paham sekali kenapa jantungnya

berdebar semakin kencang saat mendekati wartel.

Semakin dekat, semakin kencang, apalagi saat ia

memegang gagang telepon dan jari telunjuknya

memencet nomor yang sangat ia hafal.

Tut.

Tut.

Tut.

Tak ada yang mengangkat. Ia tutup, lalu ia

tekan tombol redial.

Tut.

"Assalamualaikum. Siapa?"

"Ini Milati. Ini Mbak Juwar, ya?"

"Iya, benar."

"Bu Nyai ada?"

"Oalah, Mil, kamu belum tahu, ya? Mas Misas

kecelakaan. Sekarang keluarga ndalem ke rumah

sakit semua."

Milati tak menjawab. Kabar dari seberang

sana membuat jantungnya berderak-derak.

Air matanya mengembang. Bibirnya bergetar

menyebut nama Misas. Tak perlu ia ragukan berita

itu. Itulah rupanya yang mengusik pikirannya,

menguak firasatnya.

"Rumah sakit mana, Mbak?"

"Kalau nggak salah, Rumah Sakit PKU

Muhammadiyah Yogya."

Alangkah kagetnya Milati mendengar kelanjut?

an kabar itu. Rumah Sakit PKU Muhammadiyah

Yogya.

"Kecelakaannya di mana, Mbak?"

"Saya kurang tahu, Mil. Ngomong-ngomong,

kenapa kamu nggak balik-balik ke pesantren?"

"Sibuk," jawab Milati sekenanya. Pikirannya

sedang melanglang dibuai pedih. "Ya sudah,

Mbak. Biar saya langsung nyusul ke rumah sakit

aja."

"Iya. Hati-hati."

"Wassalamualaikum."

Pengorbanan

Siang menjalar, saat matahari bertengger di

puncak semangatnya untuk menjemur bumi.

Milati membawa neneknya serta ke rumah sakit.

Sebenarnya ia meminta Nenek untuk beristirahat

saja di rumah, tapi Nenek bersikeras ingin tahu

keadaan Misas.

Sampai di meja resepsionis, Milati mencari

tahu keberadaan pasien yang bernama Misas.

Setelah dapat, ia berjalan mengayun langkah di

lantai keramik yang licin. Nenek dituntunnya

hati-hati meski tidak perlahan.

Sampai di kamar yang dituju, Milati tidak

menemukan Misas. Ia lantas bertanya pada seorang

perawat yang kebetulan ada di sana. Perawat itu

menjelaskan bahwa pasien yang bernama Misas

barusan dipindah ke kamar kelas I No.07.

Milati bergegas mencarinya, kamar kelas I.

Ia cermati kamar per kamar. Pada papan-papan

imut bertuliskan angka-angka yang melekat di

atas kusen pintu, ia menetapkan pandangannya,

03, 04, 05, 06, dan 07.

"Ini dia," ujarnya.

Milati mengetuk pelan daun pintu yang sedikit

terbuka. Misas, kekasihnya, ada di dalam. Debar

jantungnya terasa dipompa lagi. Selalu begitu

setiap mau bertemu Misas. Ia tak pernah kuasa

menghindarinya.

"Milati!" seru Syaqib.

Bu Nyai yang mendengar seruan itu segera

menoleh, lalu memeluk Milati. Matanya cekung,

melukiskan kesedihannya. Milati terbawa, apalagi

ketika tatapannya jatuh pada seonggok tubuh

yang tergeletak tenang di atas tilam putih. Ia tak

bisa membendung air mata. Ia takut sekali kalau

terjadi apa-apa pada lelaki itu.

"Kenapa ini bisa terjadi, Bu? Kronologisnya

bagaimana?" tanya Milati dengan suara rendah,

tak pada tempatnya jika ia berisik.

"Ibu juga nggak tahu. Minggu kemarin,

sehabis Subuh ia pergi tanpa pamit. Sorenya kami

dapat telepon kalau Misas dirawat di rumah sakit

ini karena mengalami kecelakaan."

"Kejadiannya di mana, Bu?"

"Kata orang yang menolongnya, yang me?

nelepon Ibu, Misas kecelakaan di daerah Bantul.

Dekat tempatmu. Ibu sendiri juga bingung, apa

dia mau ke rumah kamu atau ke mana. Yang

Ibu tahu, dia tak punya teman di Bantul, kecuali

kamu. Sebenarnya Ibu mau nyusul kamu, kan

dekat dari sini. Tapi itulah, sampai sekarang Misas

belum sadar."

Ada yang mendetak lebih kencang di dada

Milati. Ia yakin seratus persen Misas mengalami

kecelakaan seusai dari rumahnya. Ia merasa sangat

bersalah, seolah dialah penyebab semua itu.

"Maafkan Milati, Bu Nyai," kata Milati tibatiba. "Kata tetangga saya memang ada seorang

laki-laki ke rumah, tapi saya tidak tahu karena

saya ke Solo. Setelah saya tanya tetangga saya itu,

yakinlah saya bahwa yang mencari saya itu Mas

Misas."

Bu Nyai tergugu, dugaannya tidak meleset.

Tahulah ia bahwa perasaan putranya terhadap

Milati teramat kuat dan bukan main-main.

"Mil, kalau kamu tidak keberatan, Ibu ingin

bicara empat mata sama kamu," kata Bu Nyai.

Melihat Bu Nyai yang semakin serius, Milati

cemas menduga-duga. Jangan-jangan Abah dan
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bu Nyai sudah tahu bahwa antara dia dan Misas

telah terjadi sesuatu.

Bu Nyai mengajak Milati keluar ruangan.

Milati menurut. Usai shalat, di serambi musala,

Bu Nyai meminta Milati untuk duduk tenang.

"Mil, sebelumnya maafkan Ibu, kalau secara

tidak sadar kami sekeluarga telah menzalimi

kamu."

"Maksud Bu Nyai?" Milati mengerutkan alis.

"Mil, Misas sudah menceritakan semua.

Tentang kalian."

Milati mulai merasakan ketegangan itu. Benar?

lah praduganya.

"Mil," Bu Nyai meneruskan ucapnya, "Ibu

minta kamu jujur. Apa benar kalian berdua

sudah menjalin hubungan diam-diam dan saling

mencintai?"

Milati bungkam. Pertanyaan itu seumpama

bongkahan salju yang mengimpit tubuhnya,

membekukan tuturnya.

"Milati, tolong kamu jawab, Milati. Kalau

kalian memang saling mencintai, bisa saja kami

membatalkan pertunangan Misas dan Hurin

meski kami harus menelan muntahan kami

lagi. Itu tidaklah masalah daripada kami harus

menancapkan paku berkarat di jantung kalian.

Kamu sudah kenal Abah dan Umi sejak kamu

kecil. Kamu tak perlu takut."

Milati masih bungkam seribu bahasa. Ia tak

menentang mata Bu Nyai yang menghunjamnya

meminta jawaban, tak juga menunduk.

Sebelum ia mendobrak hatinya dan me?

ngeluarkan apa yang ada di dalamnya, ia haruslah

tenang. Pikirannya tengah bertarung. Haruskah ia

mengatakan yang sesungguhnya? Apa yang akan

diputuskan Abah dan Bu Nyai jika ia mengatakan

kebenaran hatinya? Sungguh jauh dari bayang

benaknya. Betapa banyak mudharat mengintai

bila ia mengatakan kebenaran itu. Kebenaran

hatinya sebenarnya bukanlah kebenaran yang

pahit baginya. Akan tetapi, bila ia utarakan

juga, alangkah banyak orang yang akan terimbas

bisanya. Pertunangan Misas dan Hurin tentulah

sudah matang direncanakan oleh Abah, Bu Nyai,

dan Kiai Syafi?.

Milati tak mau melihat ayah ibu asuhnya itu

didera aib yang akan tertinggal di mata Kiai Pare.

Meski Kiai Syafi? seorang kiai, ia tetaplah manusia

yang akan menaruh kecewa bila dikecewakan,

yang akan menanggung luka bila nadi batinnya

diiris-iris. Demi kebahagiaan diri, haruskah ia

memenggal hubungan baik dua keluarga yang

terjalin sejak lama? Belum lagi perasaan seorang

gadis salihah yang harus ia rebus hidup-hidup di

dalam bejana egonya. Tidakkah seseorang yang

berkorban itu selalu lebih mulia dibandingkan

dengan orang yang mengorbankan orang lain?

"Mil, jangan mendiamkan Ibu seperti itu.

Tolong kamu bicara!"

Milati tersentak dari dinding hatinya yang

beku dan retak. "Ah, Mas Misas pasti bercanda.

Bu Nyai jangan dengarkan dia. Nggak ada

apa-apa kok antara kami berdua. Kami cuma

berteman biasa. Saya kira Ibu sendiri juga sudah

tahu," kilahnya, sedangkan hatinya getir.

"Mil, kamu belum menjawab pertanyaan Ibu.

Apa kalian berdua saling mencintai? Jawabannya

cuma iya dan tidak."

Menyimak ketegasan Bu Nyai, Milati menjadi

semakin nyanyuk. "Ss... saya... saya sendiri

kurang tahu bagaimana perasaan Mas Misas. Tapi

kalau Ibu tanya perasaan saya, saya tak punya

perasaan apa pun pada Mas Misas. Saya sangat

menghormatinya."

Bu Nyai merangkul Milati dengan seulas

senyum. Milati pun tersenyum, sedangkan

hatinya tak usah ditanya.

Ruangan sepi. Abah tertidur di sisi Misas. Syaqib

dan nenek Milati berbincang sangat pelan,

berbisik di kejauhan. Mereka menghentikan suara

ketika mendengar erangan-erangan halus dari

bibir Misas. Matanya yang sayu mulai tersingkap

sedikit.

"Bah, Abah Mas Misas siuman," ujar Syaqib

sambil menepuk halus pundak Abah.

Abah terbangun. "Qib, tolong panggilkan

dokter. Katakan kalau pasiennya sudah sadar."

"Inggih, Bah." Syaqib segera berlari keluar.

"Alhamdulillah, Le, kamu sadar. Sekarang apa

yang kamu rasakan, Le? Sudah, kamu nggak usah

banyak bergerak. Kamu diam saja. Sudah hampir

dua hari kamu cuma makan infus."

"Misas sakit apa, Bah?" suara Misas serak

lemah. Ia mulai mengembalikan memori-memori

yang berserakan dari kepalanya. Barulah sampai

ingatannya pada kejadian kemarin lusa itu.

Pikirannya merangkai kembali perasaan yang

lepas selama dua hari itu. Milati lagi. Dengan

lemah ia mengarahkan matanya ke seluruh

penjuru ruangan dengan harapan Milati ada di

sana. Kecut. Milati tak mungkin ada di sana. Yang

tampak di matanya hanyalah Abah, Syaqib, dan

seorang nenek yang sepertinya ia kenal.

Degup jantung Misas mengencang demi

menyadari bahwa nenek itu adalah nenek Milati.

Tentu Milati juga bersamanya. "Milati... Milati...

ke sini, Bah?" tanyanya agak tersendat.

"Iya, Masih di luar sama Umi."

Alangkah bahagianya Misas mendengar kata

Abahnya itu. Ia harap hari ini ia bisa mencairkan

perasaan yang kini dibawanya sakit itu.

Ketika Bu Nyai dan Milati kembali ke bilik,

Misas sudah duduk setengah rebah, bersandar di

bantal putih. Tak henti Bu Nyai mengucap syukur

sembari memeluk lutut putranya itu.

Misas menyentuh pundak ibunya. "Misas

tidak apa-apa, Mi." Ia menatap Milati dalamdalam, seolah mengabarkan pada Milati bahwa

kerinduan dan harapan yang terabaikanlah yang

membuatnya seperti ini.

Milati sendiri tak bisa menghindar dari ta?

tapan Misas yang enggan lepas darinya. Namun,

ia sama sekali tak sanggup membalas tatapan itu.

Ia menjadi serbasalah.

Sudah dua hari Abah dan Bu Nyai me?

ninggalkan pesantren. Sebenarnya mereka sedikit

khawatir, tapi apa boleh buat. Sempat terpikirkan

oleh Abah untuk memindahkan Misas ke rumah

sakit di Nganjuk. Tapi Bu Nyai melarang. Ia ingin

Misas tenang dulu. Tubuhnya masih terlampau

lemah. Tak masalah mereka harus pulang pergi

jarak jauh, lima sampai enam jam perjalanan.

Yang penting Misas bisa tenang dan lekas sembuh.

Setelah membicarakan bagaimana baiknya,

Abah dan Syaqib segera kembali ke Nganjuk,

sedangkan Bu Nyai, Milati, dan neneknya

menemani Misas. Abah juga sudah menghubungi

Kiai Syafi?. Insya Allah, kalau sudah luang beliau

dan keluarga segera menjenguk ke Yogya.

Tinggallah berempat di kamar kelas satu itu, si

sakit, Bu Nyai, Milati, dan Nenek. Bu Nyai cukup

bersyukur, luka-luka Misas sudah berangsur

kering. Misas juga sudah banyak makan. Ia pun

sudah bisa duduk mengayun kaki.

Misas tak lagi merasakan kecemasan berlebih.

Hatinya cukup senang berada di samping

kekasihnya. Wajahnya tampak cerah meski luka

kering masih menutupi keningnya.

Seperti satu komando, Misas dan Milati lebih

banyak diam. Mulut mereka tak banyak berkatakata, hanya hati yang saling bicara. Hanya sesekali

Misas meminta Milati untuk mengambilkan air

putih.

Bila malam tiba dan sepi, Milati tetap terjaga.

Bila Misas pulas tertidur, Milati akan mendekat

dan membenarkan letak selimutnya. Sering di

ujung malam Misas menyaksikan perempuan

muda itu bersimpuh dengan mukena yang ber?

sinar di sebelah dipannya sambil berlama-lama

menggumam doa. Bu Nyai, ibunya, ada di sebelahnya. Wirid dan doa Bu Nyai bahkan lebih

panjang. Misas merasa sangat bersyukur karena

hidupnya dikelilingi perempuan-perempuan salihah.

Sembuh

Tak Kunjung

Menilik wajah putranya yang teduh, sebenarnya

Bu Nyai tak sampai hati menjamukan hati

putranya itu pada gadis yang tidak ia cintai. Tapi

mesti bagaimana lagi? Meski Misas cinta mati

pada Milati tapi Milati tak punya hati untuknya.

Takkan mungkin ia memaksa Milati untuk

mencintai Misas. Ia juga sudah menganggap

Milati seperti anak sendiri.

Bu Nyai dihadapkan pada dua pilihan yang

sulit: menikam jantung putranya sendiri atau

mengisap darah anak asuhnya sendiri. Di sisi lain,

ia harus menepati janji pada Kiai Syafi?. Begitulah

gejolak pikiran yang membadai di kepala Bu Nyai.

Tak jauh dengan Bu Nyai, Milati pun dalam

posisi yang tidak nyaman. Ada tuba yang masih

menggenang di lubuk hatinya, yang mau tak

mau harus ia minumkan pada Misas, orang yang

dicintainya. Baginya hanya menunggu waktu.

Dia tidak ingin pikiran Misas terganggu. Biarkan
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Misas sembuh total, barulah setelah itu ia akan

menjelaskan semuanya. Begitulah janjinya kepada

Bu Nyai. Selama Misas belum membaik total, ia

usahakan supaya tak sedikit pun menjejali Misas

dengan ihwal yang mengusik pikirannya. Itu bisa

memperlambat kesembuhannya.

Dua hari kemudian Abah bersama rombongan

dari pesantren datang, juga Mas Misbah yang

langsung dari Kediri mengendarai sepeda motor.

Rumah sakit sedikit riuh. Beberapa kali Bu Nyai

mengisyaratkan dengan telunjuk supaya tidak

berisik, yang sakit bukan cuma Misas.

Lebih dari dua jam kamar Misas sesak dengan

penjenguk yang bergantian. Ada teman-temannya

pengajar dari Jombang. Ada juga para pengasuh

pondok. Semua menyabar-nyabarkan Misas lalu

berdoa supaya Misas lekas sembuh. Hanya Kiai

Syafi? yang belum datang. Beliau punya urusan

yang tidak bisa ditinggalkan sama sekali. Meski

begitu, nyaris tiap hari Kiai Syafi? menghubungi

Abah atau Bu Nyai untuk menanyakan per?

kembangan Misas. Doa-doa pun teriring setiap

beliau hendak menutup teleponnya.

Meski hanya lewat telepon, Abah dan Kiai

Syafi? cukup bisa bermufakat bahwa pertunangan

anak-anal mereka mau tak mau harus diundur

dua sampai tiga bulan ke depan. Kiai Syafi? tentu

sudah membicarakan itu dengan putrinya.

Rombongan dari pesantren sudah hendak

pulang. Bu Nyai ikut pulang bersama rombongan.

Milati dan Nenek dipaksa pula untuk ikut ke

Nganjuk. Mereka tak bisa mengelak. Hanya

Abah, Mas Misbah, dan seorang santri pondok

yang tinggal, gantian menemani Misas.

Sudah hampir satu bulan Misas dirawat di rumah

sakit. Orang-orang pesantren menjadi terbiasa

wira-wiri antarprovinsi Nganjuk?Yogya, Yogya?

Nganjuk. Sudah hampir satu bulan pula Milati dan

Syaqib memiliki tugas paruh Minggu menemani

Misas di rumah sakit, tentunya bersama Abah dan

Bu Nyai.

Adapun nenek Milati, ia kini tinggal di

pesantren. Bu Nyai sudah menyiapkan kamar

khusus untuk Nenek. Sepeninggal Kakek, Milati

mengutarakan maksudnya untuk boyong ke

Bantul dengan dalih menemani Nenek di rumah.

Akan tetapi, Bu Nyai yang enggan kehilangan

Milati mengusulkan supaya neneknya saja yang

dibawa ke pesantren karena di ndalem ada dua

kamar untuk tamu yang sering kosong. Salah

satunya bisa ditempati Nenek. Nenek pun

menerima baik tawaran itu. Jadilah keinginan

Milati untuk boyong batal.

Akhirnya terucap juga dari bibir dokter yang

menangani Misas bahwa Misas sudah boleh

pulang. Keadaannya sudah pulih, luka-luka di

tubuhnya hanya tinggal sisa, ia juga sudah bisa

berjalan meski memakai kruk.

Bu Nyai menyambut kabar itu dengan mem?

perpanjang sujud usai wiridnya. Misas sendiri

sebenarnya sudah kangen dengan pesantren,

dengan tawa renyah anak-anak, juga dengan

tulisan-tulisannya yang keteteran bermingguminggu. Soal pertunangannya dengan Hurin,

Abah dan Umi sudah tidak membicarakannya.

Pikirnya, jangan-jangan semenjak kecelakaan itu

Abah dan Umi sudah mulai insaf dan tak lagi

memaksanya. Buktinya, kalau sesuai rencana,

seharusnya pertunangannya dengan Hurin ber?

langsung minggu ini. Namun, Abah dan Umi

tenang-tenang saja, seperti tak akan ada hajat apaapa. Hati Misas sungguh lega, apalagi Milati juga

sudah kembali ke pesantren. Lengkap sudah.

Misas merasa bahwa kecelakaan yang me?

nimpanya tak lain merupakan sakit yang meng?

antarkannya pada sebuah kesembuhan dari sakit

yang mahasakit. Ia tak tahu bahwa kesembuhan

sakitnya itu tak ubahnya kereta yang akan

mengusungnya pada seutas tali yang disiapkan

Abah dan Umi untuk menggantung lehernya,

juga secawan tuba dalam genggaman Milati yang

akan dituangkan ke kerongkongannya, kemudian

menyebar meracuni alur napasnya.

Semenjak kepulangannya dari rumah sakit,

lambat laun Misas merasakan juga perubahan

sikap Milati. Itu pasti ada sebabnya. Bukan tanpa

apa-apa pula di balik sikap Abah dan Umi yang

tenang seperti itu. Berpikir juga ia akhirnya.

Bagaimana mungkin rencana pertunangan yang

direncanakan sedemikian menggebu aus begitu

saja tanpa kabar konfirmasi.

Hatinya menjadi waswas. Pikirannya melayang

terbang mencari jawaban dari persoalan yang

menikam otaknya. Misas bukanlah orang bodoh

yang tak menyadari bahwa tak seorang pun akan

mengungkapkan sesuatu yang menyakitkan hati,

sedangkan orang yang hendak menanggungnya

masih menanggung sakit yang lain. Dengan syak

wasangka yang mendakwa, ia pun mempersiapkan

diri untuk menyerahkan hatinya bulat-bulat pada

kenyataan yang akan membuinya dalam sekarat.

Gara-gara Misas kecelakaan, hari pertunangan

diundur dua bulan. Sekarang satu bulan sudah

berlalu. Artinya, Abah dan Bu Nyai tak punya

waktu lagi untuk mengulur-ulur menjelaskannya

pada Misas. Abah dan Bu Nyai sendiri masih

memecah batu, memilih waktu yang tepat untuk

menyalakan kembali api yang sudah padam di hati

putranya. Apa pun yang terjadi, hari pertunangan

yang telah diundur tak mungkin diundur lagi.

Untuk itu, Misas harus tahu jauh-jauh hari bahwa

pertunangannya dengan Hurin akan sampai pada

episode berikutnya, semakin hari semakin dekat.

Kiai Syafi? juga sering menghubungi Abah,

membicarakan kesiapan mereka. Melihat hitungan

waktu yang tersisa dan keadaan Misas sekarang,

rasa-rasanya Bu Nyai sudah menemukan waktu

yang cukup baik. Jadi, tak perlu nanti-nanti.

Suatu malam, sehabis Isya, Bu Nyai mendudukkan

putranya di ruang tamu. Sang Abah sudah

menunggu di sana.

Dari debar kekhawatiran yang mengoyak

jantungnya, Misas bisa merasakan ada sesuatu

yang baru, yang sekarang masih tertahan di

bibir abahnya. Akan segera ia ketahui benih

perasaan tidak enak yang tertanam di dadanya

semenjak perubahan sikap Milati, juga sikap

aneh Abah Umi. Misas punya sesuatu yang kuat

ia rasakan, entah firasat entah bukan, yang jelas

ia merasa seperti tawanan yang sedang digiring

ke persidangan. Sang hakim diktator akan segera

menjatuhkan vonis untuknya, vonis yang tidak

ia inginkan. Hal itu membuat wajahnya mulai

panas. Hatinya sudah deg-degan.

"Sebelumnya Abah mau minta maaf sama

kamu," kata Abah memulai. "Abah dan Umi

sayang sayang sekali sama kamu. Untuk itu,

Abah benar-benar minta pengertian kamu.

Kamu sudah bukan anak-anak lagi. Kamu sudah

jadi orang, orang yang bisa menahan hati dan

menimbang diri."

Dari sini Misas sudah paham ke mana

pembicaraan Abah mengujung. Namun, ia tak

mau menyela. Ia biarkan pembicaraan Abah

mengalir sampai surut. Ia masih bisa menahan

kata, menyambungkan benang merah yang

tercecer dari kata demi kata yang keluar dari

Abahnya.

"Abah rasa kamu sudah tahu maksud pem?

bicaraan Abah. Tapi Abah akan menceritakan

semuanya agar hati Abah dan Umi jadi lega. Ini

soal pertunanganmu dengan Hurin."

Misas menghela napas berat, namun te?

tap berusaha diam. Soal hatinya, sudah bisa di?

bayangkan.

"Kami benar-benar tak tahu kenapa waktu

itu kamu pergi tanpa pamit, tanpa pesan. Kami

berdua benar-benar khawatir dan kekhawatiran

kami terbukti. Kamu kecelakaan. Abah bukan

minta penjelasan dari kamu mengapa waktu

itu kamu minggat. Abah tak mau mengungkit.

Biar kamu sendiri yang tahu. Yang penting,

yang hendak Abah sampaikan pada kamu ialah

soal pertunanganmu dengan Hurin. Setelah

kamu mengalami kecelakaan, kami dan Kiai

Syafi? terpaksa mengambil kesepakatan bahwa

pertunanganmu dengan Hurin diundur. Tepatnya

tanggal 20 bulan depan, sekitar sebulan lagi."

Bulan depan? Misas tercengang dalam diam

yang sangat membingungkan. Kecemasannya

tidak meleset.

"Semua kami putuskan tanpa sepengetahuan

kamu. Kami sengaja menyamarkannya supaya

kamu bisa beristirahat dengan tenang tanpa

pikiran apa pun. Kami ingin kamu lekas sembuh,

tidak lama-lama menjadi penduduk rumah

sakit. Bagaimana pun, apa yang telah kami

sembunyikan harus kami ungkapkan karena

semua ini menyangkut hidup kamu ke depan.

Bagaimana, Sas?"

"Keputusan sudah Abah jatuhkan. Apa

maksud Abah tanya bagaimana. Apanya yang

bagaimana? Kalau Misas menjawab keberatan,
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa lantas pertunangan dibatalkan?" kata Misas

gemetar. Kedua matanya mulai berkaca-kaca. Ia

sedang berdiri di puncak kekecewaan terhadap

Abah.

Abah dan Bu Nyai saling pandang.

"Bukan begitu maksud kami, Le...," Bu Nyai

yang sedari tadi diam ikut bicara juga. "Bagaimana

pun pertunangan itu sudah disepakati dan tak

bisa dibatalkan. Coba, Sas, tolong terangkan pada

kami alasan yang tepat mengapa pertunangan

itu harus dibatalkan. Apa alasan tidak cinta itu

mencukupi? Tidak. Itu terlalu kekanak-kanakkan.

Sekali lagi Umi jelaskan, para alim, orang266

orang bijak, selalu memegang prinsip mencintai

orang yang dinikahi karena kenyataan tak selalu

mengizinkan kita untuk menikahi orang yang kita

cintai. Maksud Umi, kamu bisa coba mencintai

Hurin sebagaimana Abah dan Umi dulu mencoba

saling mencintai. Cinta Umi dengan Abah ini

bukanlah cinta yang tumbuh sebelum akad

nikah, tetapi cinta yang bersemi setelah ikatan

sah mengikat kami. Kenyataannya, cinta yang

demikian ini lebih subur dan lebat. Apa masih

kurang lagi kiasan yang Umi berikan ini? Sas,

apa kamu kira kami sama sekali tak mendengar

suara hati kamu? Kami paham. Sangat paham.

Kami tahu, kamu boleh saja mencintai siapa pun,

termasuk Milati. Tapi sekali-kali kamu tak bisa

memaksa Milati untuk mencintai kamu. Milati

bilang sendiri pada Umi kalau dia sama sekali tak

punya hati untuk kamu...."

"Milati bohong, Mi itu bohong! Milati

bohong. Kami tahu kalau kami saling mencintai.

Sekarang saya akan panggil Milati ke sini." kata

Misas meluap-luap seperti terpidana mati yang

tak terima dengan putusan hakim. Air matanya

meleleh, mengalirkan kekecewaan yang dalam

dan tak bisa ditahan. Ia berdiri dan berusaha

beranjak pincang dengan tongkatnya. Badannya

gemetar dan nyaris jatuh. Abah segera merangkul

dan mendudukkan putranya itu kembali.

"Misas," lanjut Bu Nyai lembut, "Istigfar.

Tenang. Kamu harus coba menerima semuanya.

Umi yakin Milati mengatakan apa adanya. Biarkan

Milati menyulam kebahagiaannya sendiri. Kamu

tak boleh mengoyaknya. Untuk itulah Abah

dan Umi memutuskan tetap melangsungkan

pertunanganmu dengan Hurin. Umi rasa itu

jalan yang paling baik bagi kamu agar tidak terusterusan mengusik Milati. Kamu bisa mencoba

untuk mencintai Hurin dan melupakan Milati.

"Umi yakin kamu bisa. Bukankan kamu

berkehendak mencari istri seperti Hurin itu?

Meski ia tak punya penglihatan secara fisik, dia

punya sinar mata yang terang. Itu bisa Umi lihat

dari kesalihahnya, kecerdasannya, juga parasnya

yang putih mencorong. Coba kamu bermain

logika, bagaimana mungkin seorang gadis buta

bisa hafal Al-Qur`an di luar kepala, kalau bukan

karomah25 dari Allah? Itulah, Sas, yang membuat

kami benar-benar tertarik pada Hurin. Dia

itu istimewa. Umi yakin dia itu bidadari yang

kamu cari. Hanya kamu belum menginsafinya,"

tutur Bu Nyai panjang lebar, membesarkan hati

anaknya yang terisak menutup muka.

Tanpa sepatah kata pun Misas beranjak

meninggalkan Abah dan Umi yang terpaku di

25 Anugerah, keajaiban yang diberikan Allah pada orangorang tertentu.

ruang tamu. Misas berjalan pincang menuju

kamarnya, persis seekor rusa yang baru terkena

tembak.

Misas masuk kamar dan membanting daun

pintu dengan kasar. Seumur-umur ia tak biasa

berlaku begitu. Abah dan Bu Nyai sudah cukup

paham dengan emosi putranya itu. Cinta memang

bisa membutakan siapa pun. Menghitamkan

yang putih dan memutihkan yang hitam.

Membengkokkan yang lurus dan meluruskan

yang timpang. Begitulah. Abah dan Bu Nyai

hanya bisa saling tatap tanpa arti yang pasti.

Misas mengunci pintu kamar dari dalam,

melemparkan tongkatnya ke lantai, dan meng?

hempaskan tubuh ke dipan. Hatinya mengerang

tak keruan. Tiba-tiba ia merasa sangat membenci

gadis yang semula dicintainya itu. Gadis yang

begitu munafik dengan perasaannya sendiri.

Gadis yang pekerjaannya menanam mawar

berduri di taman-taman tenang. Setelah mawar

itu tumbuh dan berbunga dengan indahnya,

ia babat begitu saja dan mencampakkannya ke

perapian. Sebelumnya, ia mengutipi duri-durinya

untuk ditikamkan ke ulu hatinya sendiri.

"Milati." Misas berbisik geram. Ia lem?

parkan jauh-jauh cinta dan kerinduan yang

masih menyala-nyala di dadanya. Ia ganti dengan

kebencian yang membara.

"Baiklah, aku akan menuruti kata Umi. Peduli


Kemelut Di Cakrabuana Karya Merdeka Pendekar Rajawali Sakti 79 Penyamaran Trio Detektif 28 Misteri Kemelut Kembar

Cari Blog Ini