Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal Bagian 4
apa dengan Milati. Gadis naif. Apa dia kira aku tak
bisa apa-apa tanpa dia? Aku akan segera meminang
Hurin dan menikahinya. Tak ada urusan dengan
Milati atau siapa pun. Dengan menikahi Hurin,
aku bisa melegakan hati Abah dan Umi. Aku
tak akan peduli bagaimana perasaan Milati. Aku
takkan pernah peduli. Akan kulupakan Milati
begitu saja seperti aku melupakan ludah yang
telah aku cecerkan ke tanah," begitulah gejolak
batinnya lantaran kebencian yang dipetiknya dari
kebun cinta yang rindang. Meski begitu geramnya,
di titik hati yang paling kecil, ia meratapi cintanya
yang semakin menjadi-jadi.
Pernikahan
dan Ratapan
Beberapa hari setelah cedera hatinya mereda,
Misas menemui Abah dan Umi untuk meminta
maaf, sekaligus mengikrarkan bahwa ia mau
menerima Hurin dengan sepenuh hati. Yang
paling mengejutkan Abah dan Bu Nyai, Misas
meminta supaya prosesi tukar cincin dan lamaran
itu langsung dilanjutkan dengan walimatul ?ursy,
pesta pernikahan.
Sejenak Abah memikirkan usul putranya itu.
Setelah ia pikir-pikir, tak ada mudaratnya pesta
penikahan itu disegerakan, malah ada beberapa
manfaat, efektif waktu dan efisien biaya. Kesiapan
kedua mempelai tak perlu lagi dibahas.
Abah pun menghubungi Kiai Syafi? untuk
mengutarakan usul putranya itu. Setelah melalui
pertimbangan yang agak lama, Kiai Syafi? pun
sepakat, tentu setelah beliau menanyakan kesiapan
putri beliau terlebih dahulu.
Dalam waktu singkat, kurang lebih satu
bulan, kedua pihak harus bekerja ekstra untuk
mempersiapkan segala sesuatunya, dari menyewa
alat sampai undangan terhemat, dari soal suguhan
sampai khotbah pernikahan, dan pastinya dari
prosesi tukar cincin sampai persandingan di
puadai.
Misas paham betul akan akibat semua itu bagi
hatinya. Jika hatinya sendiri sakit, ia yakin sekali
hati Milati pasti sakit juga. Tapi apa boleh dikata,
haluan jalan di depan sudah sangat jelas. Bersilang
dan berkelok. Jika Milati berani menempuh
haluan satu dan sengaja meninggalkannya se?
orang diri, sebagai lelaki, mengapa ia tak berani
mengambil haluan yang lain seorang diri pula?
Pantang baginya mengejar seorang perempuan
yang memang ingin menempuh bahaya seorang
diri. Sudah berbelakanganlah jalan yang mereka
ambil. Jika kelak Milati diterkam bahaya di
jalan yang sudah ia ambil, itu adalah risiko yang
harus ditanggungnya sendiri, begitu pula dengan
dirinya.
Tak sampai hitungan minggu, sampai juga di
telinga Milati kabar hari pertunangan sekaligus
resepsi pernikahan Misas. Ia sudah mempersiapkan
hati teguh-teguh. Waktu itu pasti akan tiba juga.
Perubahan sikap Misas terhadapnya dirasakannya
juga. Misas mulai bisa membuang diri dan kata
bilamana bertemu muka. Dingin. Dingin sekali.
Seolah tak kenal sebelumnya. Kalau pun berkata,
intonasinya cenderung kasar dan sinis.
Milati benar-benar kehilangan Misas se?
luruhnya. Misas yang ia kenal sebelumnya tidaklah
demikian. Ia ramah, halus, dan penebar senyum.
Setelah ditelusurinya, Milati mulai paham
mengapa Misas memperlakukannya demikian.
Walaupun sikap Misas sedemikian berubah, cinta
dalam hatinya masih utuh, tak berubah sedikit
pun. Itulah yang membuat hatinya semakin me?
radang.
Terkadang Misas sendiri tak sampai hati
me?lihat Milati yang terus ia perlakukan acuh
tak acuh seperti itu. Perasaan iba dan cinta
senantiasa bersemayam di hatinya. Namun, bila
ia ingat-ingat apa yang telah dilakukan Milati
terhadapnya, kebencian itu kembali meraja, meski
sejenak kemudian berlalu. Sering-sering Misas
membuang kebencian itu. Namun, saat perasaan
cinta semakin dalam menusuknya, tanpa diminta
kebencian itu pun menyusup di dalamnya.
Tidak jarang sehabis sujud Misas luruh
dalam istigfar dan permohonan. Mohon ampun
atas segala kekerdilan hatinya yang sering khilaf
dihasut kebencian, terutama pada Milati. Ia juga
tak henti-henti bermunajat agar kelak dalam
hatinya disemaikan benih-benih cinta terhadap
Hurin, calon istrinya, dan di-nasikh26-kan pe?
rasaannya yang sia-sia terhadap Milati. Ia ingin
benar-benar melupakan Milati tanpa sedikit pun
menyakiti hatinya. Tapi bagaimana mungkin? Ia
dan Milati bisa dibilang masih tinggal satu atap.
Bagaimana mungkin bisa melupakan Milati bila
tiap hari mata bertemu rupa, telinga menyimak
26 Hapus.
suara? Mungkinkah? Mendengar namanya saja
hati sudah berdesir, darah terkesiap.
Kata orang Jawa, witing tresno jalaran soko
kulino.27 Kalau dipikir-pikir, pepatah itu memang
cukup masuk logika. Bagaimana mungkin se?
orang pengembara dari gurun tandus bisa me?
lalaikan kehausannya begitu saja, sedangkan di
hadapannya melimpah telaga es segar yang haram
ia sentuh? Yang ada hanya tekanan penderitaan.
Dari sekian kepedihan yang mendampratnya,
Misas bertekad untuk tetap tegak berdiri me?
nantangnya. Ia tak mau kalah dengan kepedihan
yang membuat rutinitas hidupnya berantakan.
Biarlah waktu yang bicara dan mengantarkan
semuanya, sampai pada akhirnya.
Sudah menjadi hukum rasa bahwa masa men?
datang yang menjanjikan keindahan selalu saja
kita tunggu-tunggu dengan tak sabar, waktu pun
menjadi terasa sangat lamban mempermainkan
perasaan kita. Begitu sebaliknya. Masa yang
paling kita cemasi kedatangannya, sekuat hati
kita lupakan, ia akan tetap datang dan waktu
terasa sangat cepat mengantarkannya. Milati telah
membuktikan itu semua. Tanpa ia tunggu, hari
yang paling ia susahkan tibalah juga.
27 Cinta bisa tumbuh karena sering berinteraksi.
Setiap Bu Nyai punya hajat, selalu saja ramai. Para
pengasuh pesantren yang perempuan kompak
satu komando membantu urusan dapur, yang
laki-laki tentu lebih pada urusan laki-laki seperti
memasang tenda, mengait lampu, dan mengatur
soundsystem. Misas sendiri sering turun tangan
membantu mereka.
Milati dengan suasana hati yang tak seorang
pun tahu, mematutkan diri untuk bersikap
sebagaimana yang lainnya, membantu urusan
dapur, mempersiapkan sarapan untuk para
pekerja, dan seterusnya. Acap kali ia bersimpang
muka dengan Misas. Misas tetap menegurnya
sebagaimana menegur orang lain tanpa ada sesuatu
yang istimewa, datar meski tetap tersenyum.
Milati merasakan Misas sudah benar-benar
bisa melupakannya. Itu pedih sekali baginya.
Bagaimana pun hatinya masih belum bisa
berpaling dari Misas yang sebentar lagi menjadi
milik orang lain.
Tenda-tenda biru sudah berdiri megah,
siap menopang panas dan rintik hujan, pilarpilarnya dihias kain lembut warna putih dan
biru muda. Kursi-kursi sudah bersaf-saf dengan
pematang jalan di tengah tiap beberapa barisnya.
Pelaminan sudah diatur sedemikian sempurna
dengan background kain berenda, larik biru dan
putih menjadikannya demikian elegan. Bunga276
bunga asli yang terpajang menghiasi puadai
menjadikannya semakin indah, wangi, dan segar.
Yang paling inti ialah sebuah singgasana panjang
nan empuk yang nantinya akan menjadikan dua
orang anak manusia sebagai ratu dan raja.
Demi melihat semuanya itu, Milati sering tak
kuasa menahan sakit dan sesak di dadanya yang
tak pernah berjeda. Berulang kali ia menyadarkan
diri bahwa itu bukanlah mimpi yang selalu
dicemaskannya, melainkan kenyataan hidup yang
harus dilakoninya.
Di depan Bu Nyai ia bisa sibuk menyumbang
tenaga sebisanya. Namun, di belakang ibu asuhnya
itu, dia sibuk menenangkan hatinya. Di muka
Abah ia bisa tersenyum, berpura-pura merasakan
kebahagiaan seperti yang dirasakan Abah, tapi
di belakang ia akan berwajah seorang ibu yang
ditinggal mati anaknya. Biar raganya bugar, bibir
menebar senyum, tapi hatinya sekarat tak keruan.
Milati tak begitu paham apakah dia sudah benarbenar menjadi munafik. Apakah orang yang rela
mati demi memberi kehidupan pada orang lain
itu layak disebut munafik?
Sungguhlah tiba malam pertautan dua hati
yang diantar kenyataan itu. Milati sengaja
mengurung diri di kamar. Rupanya panas hatinya
sampai juga meneror badannya. Malam itu, Bu
Nyai memintanya untuk ikut serta ke Kediri
mengiringi Misas. Dengan halus ia meminta
maaf pada ibu asuhnya itu lantaran tak bisa ikut
serta dengan alasan tak enak badan, kecapekan.
Bu Nyai bisa memahami. Memang beberapa
hari terakhir Milati memforsir tenaganya untuk
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membantu di dapur.
Sebagian orang telah berangkat mengiringi
Misas untuk mengikrar akad pada sang calon
istri. Mungkin Misas sekarang sedang tersenyum
memandangi wajah calon istrinya. Sedangkan
ia, sebagaimana biasa, hanya meringkuk lesu di
sudut kamar yang gelap.
Milati sudah benar-benar lelah hati dengan
kenyataan. Ia mengambil obat tidur yang selalu
tersedia di kotak obat, lalu menelan dua butir,
satu per satu, dengan harapan bisa lekas lelap
dalam mimpi. Bagi Milati, seburuk-buruk ke?
adaan dalam mimpi adalah seindah-indah ke?
adaan dalam alam nyata, kenyataan. Seindahindahnya alam mimpi tak sanggup diungkapkan
sebagaimana seburuk-buruk kenyataan tak
sanggup pula untuk diungkapkan. Seperti yang
menderanya kini. Dengan air mata yang mulai
mengering, Milati tertidur juga. Terlepas dari
beban yang menindihnya tanpa ampun.
Alunan tarhim menyilet keheningan malam.
Milati terbangun. Misas sudah melamar Ning
Hurin. Itulah yang pertama menghampiri alam
sadarnya. Sesak kembali memenuhi dadanya.
Beberapa saat barulah ia sadar bahwa ia terlambat
bangun. Bergegaslah ia mengambil air wudu.
Azan Subuh sudah berkumandang, kemudian
iqamah. Milati berlari ke musala dengan kepala
berat. Dilihatnya sekilas Misas sudah berjajar di
saf putra paling depan.
Remang sudah lena, terang sudah tiba. Pagi yang
cukup cerah. Beberapa jam lagi akan dilangsungkan
pesta pernikahan Misas dan Hurin. Calon
mempelai wanita akan datang bersama pengiring
dari Kediri. Matahari sudah sepenggalah naik,
para undangan sudah berdatangan satu demi satu.
Tenda-tenda sudah dipenuhi tamu yang hendak
menjadi saksi penyatuan dua hati.
Sebenarnya Milati enggan keluar dari kamar.
Tapi ia tak mau orang curiga kalau dia mengurung
diri lantaran tak kuat hati menyaksikan orang yang
dicintainya duduk di pelaminan dengan orang
lain, dan dengan sah pula orang yang dikasihinya
menjadi milik orang lain.
Milati memantulkan wajahnya di cermin.
Kusut sekali. Matanya mencekung sipit, bekas
tangis. Segeralah ia membasuh diri. Ia tak ingin
orang lain tahu kalau ia menangis agam. Setelah
merasa patut, ia keluar dengan pakaian yang
paling bagus. Di kuat-kuatkanlah hatinya untuk
menghadapi kenyataan. Dilihatnya keadaan di
luar sudah ramai minta ampun. Rupanya calon
mempelai putri juga sudah hadir. Bergegaslah ia
ke kamar rias hendak menyaksikan bagaimana
rupa calon istri Misas itu. Ia berjalan berdesakan
menerobos kerumunan orang-orang.
Di ruang rias ia bisa melihat seorang gadis yang
anggun dengan jilbab dari melati susun. Pertama
melihat wajah gadis itu, Milati bisa merasakan
ada keteduhan yang sejuk di sana. "Itulah Ning
Hurin. Gadis yang sangat beruntung," pikirnya.
Seorang lelaki menerobos masuk. "Sudah siap?
Calon mempelai pria sudah menunggu di depan!"
ujarnya cepat-cepat.
"Iya, sudah," kata si tukang rias.
Milati melihat mempelai wanita berjalan
dituntun seorang perempuan.
Ya Nabi salam ?alaika. Ya Rasul salam
?alaika.
Ya habib salam ?alaika. Shalawatullah
?alaika.
Grup rebana melantunkan kasidah itu dengan
demkian merdunya. Kedua mempelai hendak
dipertemukan.
Milati nyaris tak sadar kalau yang ada di
hadapannya itu memang sebuah kenyataan.
Dilihatnya satu demi satu raut muka orang-orang
yang ada di hadapannya, semua memancarkan
senyum bahagia. Akankah dirinya ikut tersenyum?
Dilihatnya Abah dan Bu Nyai tersenyum pula.
Bisakah ia tersenyum? Kalaupun ia tersenyum,
itu bukanlah sesungguhnya senyum melainkan
senyuman seperti senyum Majnun.28 Ya, dia
sudah serupa Majnun.
Ada sebongkah batu yang mengimpit di dasar
hatiku. Siapakah yang mampu memindahkannya?
Bukan aku! Aku menanggung beban yang
diletakkan di pundakku oleh kenyataan, bahkan
jika aku berusaha dari sekarang, sampai kapan
pun aku takkan pernah bisa menghempaskan
beban ini ke tanah. Engkau bertanya padaku
mengapa aku tidak coba tersenyum. Mungkinkah
seorang ibu tersenyum ketika anaknya sedang
dikuburkan? Apakah sesuai dengan akal sehat jika
seseorang dalam posisiku masih dapat mengulas
senyum?29
Tak kuasa matanya menyudutkan pandangan
pada iringan dua mempelai yang berjalan
diiringi grup rebana. Matanya berkaca-kaca
dan tak seorang pun tahu. Orang-orang sibuk
menyambut pertemuan dua mempelai yang
tengah memancarkan senyum kebahagiaan.
28 Si Gila dalam romantika Laila Majnun.
29 Petikan dari gumaman kepedihan Majnun dalam Romantika Laila Majnun.
Kuasa tak kuasa, matanya mendarat juga pada dua
mempelai yang tersenyum di pelaminan.
Demi tak ingin air matanya dilihat orang, ia
berlari kecil ke belakang, menghindari kerumunan
orang-orang yang mengulas senyum. Ia terus
berjalan menjauh dari keramaian. Ia berjalan
terus ke belakang. Ke kamar mandi. Ia masuk
dan mengunci pintu dari dalam. Ia buka keran
sepenuhnya, tumpahlah air gemerojok mengisi
bak mandi. Di sana ia ledakkan air mata yang
sudah hampir menjebol bendungan hatinya, di
sana ia terisak menggiling batu yang mengimpit
dadanya, mendinginkan api yang membara dalam
relungnya. Masa yang paling ia takutkan dalam
hidupnya ialah ketika ia ditinggalkan oleh orangorang yang dicintainya. Belumlah dingin hatinya
ditinggal sang kakek, kini harus pula ia ditinggal
belahan jiwanya dalam bentuk lain yang lebih
menyakitkan.
Kata sebuah lagu, salah satu rumus dunia ialah
perpisahan. Dunia tidaklah baka. Milati paham
itu. Satu hal yang bisa ia lakukan ialah memohon
supaya hatinya dikuatkan karena ia tak mungkin
menangguhkannya.
Tibalah waktu kini, yang dulu kecemaskan bila
tiba waktu kini
Tibalah waktu kini, saat tingginya asa men?
jumpa bukti patahnya
Tibalah waktu kini, air mata batinku mengalir
Deras sekali diiring remuk bertali-tali
Tibalah waktu kini, dan tanganku sudah ge?
metar hampa
Cawan-cawanku kosong tak ada anggurnya
Tibalah waktu kini, langkahku gontai menapaki
bumi
Karena saraf-saraf cinta tercabut dari akar nasib
Tibalah waktu kini, t?lah kukukut semesta kata
Karena kalimah cinta tengah hancur dengan
mudahnya
Tibalah waktu kini, t?lah kujamu segala hawa
Kularung segala sungai di ceruk mata
Milati menghela napas berat. Tak seorang pun
tahu derita yang dipikulnya kini. Tak seorang
pun. Ia tak memiliki siapa pun di dunia ini
selain Nenek yang usianya mengambang renta.
Haruskah ia membagi bebannya pada Nenek?
Tidak. Ia ingin neneknya bisa hidup tenang tanpa
beban pikiran di masa tua.
Tiba-tiba ia menjadi rindu. Begitu rindu.
Sangat rindu akan belaian seorang ibu, akan
perlindungan seorang ayah. Jika ia punya ibu, tentu
sekarang ibunya akan memeluknya, mengusap air
matanya, dan membesarkan hatinya. Jika ayah
ada di sampingnya, pasti ia bisa menghibur dan
membantu mengangkat bebannya menjadi dua.
Sudah agak lama Milati masih juga menikmati
tangisnya. Air dalam bak yang sudah meluap-luap
tak ia pedulikan sama sekali. Ketukan-ketukan
antrean dari luar tak ia hiraukan. Sebelum ia
benar-benar lega dari tangisnya, ia tak akan keluar
dari tempat terkutuk itu. Dalam deras isaknya,
mendadak Milati seperti mendengar suara-suara
lembut dari dalam dirinya.
"Kau harus sadar, Milati, hari ini Misas sudah
jadi milik istrinya, bukan milikmu atau milik
siapa pun. Kau harus bisa menerimanya. Harus
bisa. Kalau kau masih percaya bahwa jodoh ada di
tangan Tuhan, tentunya kau takkan melarutkan
diri pada hal-hal yang tak berguna semacam ini."
"Tak berguna? Tangisan bukanlah hal yang
tak berguna sebagaimana penyesalan juga bukan
hal tak berguna! Tangisan bukanlah arti bahwa
seseorang tidak menerima atas apa yang diberikan
Tuhan kepadanya. Menangis adalah anugerah.
Jadi, biarkan aku menangis. Dengan tangis,
beban-bebanku akan hilang, mengalir bersama air
mata yang tumpah. Dan lagi, aku adalah manusia.
Apakah tidak wajar jika aku menangis karena luka?
Setelah kucoba menahannya untuk diam, aku
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak bisa juga. Tangisan bagiku bukanlah keluhkesah protes terhadap Tuhan, melainkan sebuah
amal yang akan mengajakku pada perenungan.
Jadi, biarlah aku tetap menangis."
"Apa kaukira dengan menangis Misas bisa kembali? Apakah tidak lebih baik kauberada di depan
sana dan membuka hati bahwa kau bisa meng?
hadapi kepahitan tanpa harus me?nyembunyikan
diri di tempat jorok seperti ini? Lalu, apa bedanya
kau dengan pecundang yang selalu berusaha menghindar dari episode buruk layar kehidupan? Bukankah hidup itu beriringan sebagaimana putaran
roda pedati, susah senang silih berganti."
"Iya, aku paham itu. Tangisanku ini me?
rupakan paket dari putaran roda yang terhenti
karena tersandung kerikil-kerikil tajam dan diam
di bawah dalam keadaan senantiasa tertusuk. Aku
cukup merasa bahwa aku seorang munafik yang
pandai menyimpan kebohongan yang menyiksa
diriku sendiri."
"Milati, kau hamba yang dhaif yang
tak pernah tahu bahwa kepedihan yang me?
ngungkungmu sekarang ini merupakan titik
awal kebahagiaan dan kemuliaanmu kelak.
Sekali lagi, kenyataan pahit diciptakan bukanlah
untuk dihindari, melainkan untuk dihadapi.
Beristigfarlah! Hentikan tangismu yang ber?
kepanjangan ini. Hadapilah semua dengan dada
lapang. Segala sesuatu yang ada di dunia ini bukan
tanpa akhir. Kau masih punya jalan ke depan.
Tuhan masih memberimu kesempatan untuk
berdiri dan beramal yang terbaik bagi dirimu
sendiri dan orang di sekelilingmu. Bangkitlah.
Basuhlah mukamu. Berwudulah, lalu hadapilah
semua dengan senyummu."
"Siapa pun bisa paham bahwa sejak awal hati
tercipta tanpa bisa dikelabui. Sedikit pun tak bisa.
Apa gunanya senyum di bibir kalau hati tak bisa
dirayu supaya tidak terus meratap? Apakah sesuatu
yang sia-sia bila kusatukan lahir dan batin dalam
satu jalan, meratapi kepedihan? Toh, dengan ini
aku tak menzalimi siapa pun."
"Kau menzalimi dirimu, Milati."
Milati semakin erat meremas batok kepalanya.
Kerudungnya yang rapi tergeser sedikit ke
belakang sehingga anak rambut di jidatnya
menyembul.
Milati menggumam istigfar. Parau, suaranya
ditelan gemerojok air keran.
Tinggal Kisah
Duduklah seorang perempuan dalam sebuah
kamar peraduan nan nyaman, berhias bungabunga, berangin segar. Ia duduk di tepian dipan
empuk berkelambu cindai, beralas kain lembut
warna merah muda mengilat, di atasnya bertabur
melati yang menyembulkan keharuman hingga
sudut-sudut rongga. Jika saja ia bisa melihat
keindahan kamar itu dengan mata lahirnya,
tentu rasa syukur dalam hatinya akan semakin
bertambah-tambah. Ia duduk dengan debar
semriwing di hatinya, menunggu sang suami yang
sedang bermunajat menggumam doa.
Hari itu merupakan hari bahagia yang sudah ia
nanti dalam perjalanan hidupnya. Hari ketika ia
menyempurnakan separuh agama, menapaktilasi
sunah Rasul yang mulia. Ia cukup puas dengan
suami yang dipilihkan sang abah untuknya.
Seorang lelaki saleh yang ia harapkan mampu
menerimanya apa adanya, yang mampu ia ajak
berbagi hidup mencurah jiwa, yang mampu
meneduhinya dari seteru-seteru kehidupan, dan
menjadi mata lahir baginya. Dialah gadis salihah
dengan kilauan pesona bagi siapa pun yang
mengetahuinya, hanya saja Tuhan masih setia
menyimpan kilau lirikan matanya. Dialah Hurin
?In, yang dalam bahasa Arab berarti bidadari
bermata jeli.
"Oh, iya, Mas. Apa Mas Misas sudah punya
rencana, kita mau tinggal di mana setelah
berkeluarga ini? Di sini atau di Kediri?" Hurin
memulai percakapan ringan pada malam per?
tamanya itu.
"Kalau menurut kamu bagaimana?"
"Kalau saya, apa kata Mas Misas saja."
"Sebenarnya saya pengin tinggal di sini saja,
supaya bisa dekat dengan Umi. Saya kan anak
terakhir. Tapi" kata-kata Misas melemah,
berlanjut dalam hatinya, "tapi kalau tinggal di sini
saya akan sangat menderita. Bagaimana bisa saya
menahan perasaan pada orang yang saya cintai
apabila setiap hari bertemu muka, sedangkan saya
sudah punya istri? Oh, Milati, masih saja hatiku
kambuh. Aku tak ingin mengingat-ingat kamu.
Tapi kenapa?"
"Mas? Mas Misas melamun?"
"Eh, nggak apa-apa."
"Kalau tinggal di sini bersama Umi,
memangnya kenapa, Mas?"
"Nggak apa-apa, sih, tapi saya nggak sreg."
"Nggak sreg kenapa, Mas?"
"Nggak sreg aja," kata Misas tanpa alasan
yang harus ia jelaskan. Haruskah itu ia jelaskan?
Mungkinkah seorang suami membunuh istrinya
pada malam pertama?
"Kalau Mas Misas nggak mau tinggal di
Nganjuk, kalau nggak keberatan, kita tinggal di
Pare aja sambil ngurus pesantren. Mas Misas kan
bisa berbagi ilmu di sana. Bagaimana?"
Misas terdiam memikirkan segala ke?mung?
kinan bila ia tinggal di Pare bersama Abah Syafi?,
mertuanya.
"Kalau Mas Misas masih nggak mantap, Hurin
punya satu pilihan lagi."
"Di mana?" Misas menatap istrinya dengan
serius.
"Kemarin Mbak Hayya juga sempat tanya ke
Hurin, kita mau tinggal di mana," Hurin berhenti
sejenak.
"Terus?" sahut Misas.
"Saya jawab terserah Mas Misas."
"Lalu?"
"Mbak Hayya punya sebuah rumah di daerah
Tambak Beras, Jombang, sana. Tapi sekarang
kosong, nggak ditempati. Pasalnya, setelah ayah
suami Mbak Hayya wafat, ibu suami Mbak
Hayya minta supaya Mbak Hayya dan keluarga
bisa tinggal bersamanya. Mas Anis, suami
Mbak Hayya, juga tak tega membiarkan ibunya
sendirian di rumah sebesar itu. Sebenarnya Mas
Anis punya adik laki-laki tapi adiknya itu masih
kuliah di Yogya, belum tentu sebulan sekali
pulang. Terpaksalah mereka pindah, tinggal jadi
satu sama ibu Mas Anis. Rumah itu sempat mau
dikontrakkan tapi sama Mbak Hayya tak boleh. Ia
khawatir kalau yang menempati rumahnya bukan
orang yang bisa menjaga. Untuk itu, daripada
rumahnya kosong, kemarin Mbak Hayya ngasih
tahu Hurin, siapa tahu Mas Misas mau. Kalau Mas
Misas mau, Mbak Hayya pasti sangat senang."
Misas tersenyum manggut-manggut men?
dengar cerita istrinya itu. "Iya iya. Alhamdulillah
kalau begitu. Sebenarnya sudah ada di pikiran
saya untuk cari kontrakan di Jombang. Selain
dekat dengan tempat kerja, kita juga bisa dapat
suasana baru. Iya, iya, saya setuju. Saya akan coba
minta pendapat Abah sama Umi nanti."
"Alhamdulillah, ini seperti suatu kebetulan
saja," kata Hurin ceria. Ia tampak senang usulnya
diterima oleh sang suami dengan penuh semangat.
"Tapi Abahmu mengizinkan, tho?"
"Abah sudah memercayakan diri saya se?
penuhnya sama panjenengan."
"Alhamdulillah kalau begitu," sahut Misas.
Dengan manja Hurin menyandarkan kepala
di pundak suaminya. Misas kaget, merasa
Hurin seperti wanita asing tak tahu malu yang
coba menggodanya. Sesaat kemudian, kembali
ia beristigfar, menginsafi bahwa Hurin adalah
istrinya, perempuan yang halal baginya. Segala
Hurin adalah haknya sebagaimana segala dirinya
telah menjadi hak Hurin.
"Dia istriku. Istriku yang sah. Aku harus bersikap selembut mungkin terhadapnya," bisik?nya
dalam hati. Getir. Sejenak kemudian dibalasnya
sandaran istrinya itu dengan pelukan yang ia paksa-paksakan. Memang manusia sering memaksakan diri untuk melakukan suatu kebaikan. Akan
tetapi, hal itu lebih baik daripada tidak sama sekali.
"Mungkinkah malam ini menjadi awal petaka
tersembunyi bagi perempuan salihah di sebelahku
ini? Mungkinkah malam ini menjadi malam awal
akar kebohongan yang akan kusimpan sampai
kebohongan berikutnya menutupi? Ya Allah
berilah aku kekuatan untuk menghapuskan Milati
dari benak kehidupanku. Tumbuhkan pula benihbenih cinta terhadap orang yang seharusnya aku
cintai."
Sementara Hurin mengulum kenyamanan
dalam pelukan suaminya, sang suami justru ter?
sungkur dalam pergulatan pertanyaan-pertanyaan
yang hanya akan dijawab oleh sang waktu, juga
permohonan-permohonan yang ia sendiri senantiasa masygul dengannya.
"Maafkan aku, Hurin," kata Misas dalam hati,
hatta meraih Hurin ke dalam dekapannya.
"Mi, Misas ingin minta pendapat dari Umi," tutur
Misas saat sarapan.
"Pendapat apa, Le?"
"Ini, saya dan Dik Hurin sudah bermufakat
mengenai di mana kami berdua akan tinggal."
"Iya, bagaimana keputusannya? Di sini atau di
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pare?" Bu Nyai antusias hendak tahu.
"Kami sudah sepakat untuk tinggal di
Jombang."
"Jombang?" Bu Nyai sedikit kaget. "Kalian
mau cari kontrakan?"
"Bukan, Mi. Alhamdulillah, kebetulan Mbak
Hayya, mbaknya Dik Hurin punya sebuah
rumah di sana, nggak ditempati. Kan sayang.
Sebelum Dik Hurin ngasih kabar ini, Misas juga
sudah punya pikiran untuk tinggal di Jombang.
Pertama, karena Misas kan kerja di Jombang.
Daripada bolak-balik, ngabisin waktu juga biaya,
kan mendingan Misas mukim di sana. Itungitung belajar mandiri, nggak terus-terusan ber?
gantung sama orangtua. Menurut Abah sama
Umi bagaimana?"
"Ya, Umi, sih, terserah kalian. Yang men?jalani,
kan, kalian."
"Umi nggak nangis, kan, Misas tinggal?" canda
Misas menggoda Umi.
"Ya, mau bagaimana lagi? Yang penting, kamu
jangan lupa tengok-tengok ke sini."
"Iya. Pastilah, Mi. Paling tidak seminggu sekali
Misas pasti nengok Umi ke sini. Umi nggak usah
sedih dan merasa kesepian."
"Umi nggak sedih. Nggak ada kamu juga
rumah ini tiap hari ramai. Ada Syaqib, ada Milati,
juga anak-anak. Mana mungkin Umi kesepian?"
Mendengar nama Milati disebut, Misas
menghentikan rahangnya yang mengunyah nasi.
Sarafnya jadi lemas.
"Iya ya. Ada mereka," kata Misas dengan
senyum mengembang.
Melihat senyum anaknya, hati Bu Nyai seperti
disapa semilir angin pagi. Begitu pun Abah.
Mereka bisa membaca bahwa Misas sedikit demi
sedikit sudah bisa melupakan Milati.
"Assalamualaikum, Bu. Ini sayurnya, tadi baru
matang," sapa Milati yang muncul tiba-tiba di
ruang makan dengan semangkuk besar sup yang
masih mengepulkan asap.
Misas sedikit tersedak. Ia mencoba untuk
bersikap biasa, namun lagi-lagi jantungnya ber?
debar begitu kuat tanpa bisa ia hindari.
"Alhamdulillah, ini yang dari tadi tak tunggu."
Abah langsung menyendok sup yang telah
diletakan di meja makan.
"Oh ya, Mil, kenalkan ini Hurin," kata Bu Nyai
sembari meraih tangan menantunya. "Hurin, ini
Milati. Dia ini anak Umi yang paling sregep30 dan
paling cuantik."
"Ah, Ibu bisa saja," tukas Milati dengan
semburat merah di wajahnya.
Milati menjabat lembut tangan perempuan
yang kini menjadi istri Misas itu. "Kalau Mbak
Hurin butuh apa-apa, silakan panggil saya. Nanti
kalau Mbak Hurin ada waktu, biar saya ajak
main ke kamar saya," kata Milati melambungkan
keakraban.
"Iya, terima kasih. Senang bisa berkenalan
dengan kamu. Mendengar suara kamu saya sudah
bisa mengatakan bahwa yang dikatakan Umi itu
benar sepenuhnya."
"Mbak Hurin bercanda. Nggih sampun, Milati
mau balik ke dapur belakang lagi. Kasian Mbah
Nah sendirian, nggak ada yang bantu."
"Kamu nggak sarapan bareng sini dulu?" tanya
Bu Nyai dengan nada memohon.
"Iya, terima kasih. Saya sarapan di belakang
saja."
Entah mengapa, Milati merasa begitu cang?
gung. Seusai melepas salam, ia segera kembali ke
belakang dengan hati yang berdenyut-denyut.
30 Rajin.
Suatu sore beberapa hari berikutnya, saat Milati
menyapu di halaman bersama anak-anak santri
yang piket, ia diherankan oleh mobil Abah yang
yang terpakir di muka teras. Syaqib dan Misas
terlihat sibuk memasukkan koper dan beberapa
dus barang. Seperti ada orang mau pindahan.
Bisalah dia menebak kalau yang mau boyong itu
adalah Misas. Tanpa disadarinya, hal itu ternyata
mengganggu pikirannya.
Sesaat lamanya dengan sisa-sisa luka yang
masih meradang di hatinya, ia beranjak ke be?
lakang, menuju gedung pesantren bertingkat
yang baru setengah jadi. Ia menaiki anak tangga
demi anak tangga hingga sampailah ia di lantai
puncak berpayung langit senja yang indah.
Seperti dulu-dulu ia menepi, memejamkan mata,
dan menikmati resapan angin.
Ia buka kembali kedua matanya, ia hamparkan
pandangan ke alam yang mahaluas. Meski
keindahan alam merayunya, ia tak juga bisa
menerbangkan sesak di dadanya bersama anginangin yang hanya meniupi air matanya. Tanpa
sengaja pandangannya terlempar ke bawah,
ke sebuah sedan putih yang melaju perlahan
meninggalkan pesantren. Misas dan istrinya
meninggalkan pesantren. Misas meninggalkannya.
Lagi-lagi ia menitikkan air mata. Lukanya selalu
kambuh di sembarang waktu dan tempat.
Bersama air mata yang mengambang, ia
menengadah ke atas, menantang langit lepas.
"Sudahlah jelas bagiku bahwa Mas Misas
telah menjadi milik istrinya. Antara kami sudah
terhijab dinding tebal dengan sebuah pintu yang
terkunci rapat, sedangkan kuncinya telah kubuang
sendiri ke tengah samudra. Tapi mengapa masih
juga hatiku berharap-harap? Aku tak pernah bisa
mengelak dari harapan yang terlarang dan sia-sia
ini."
Milati tercenung dengan perasaannya sendiri.
Satu Tiang
Lain Tali
Telah berbilang hari Misas dan istri menempati
hunian barunya. Rumah itu tidak terlalu besar
namun juga tidak bisa dibilang kecil. Di atas
tanah berukuran 10 x 15 meter, rumah itu berdiri
demikian rapinya. Rumah itu memiliki tiga buah
kamar yang cukup besar. Halamannya luas dengan
kolam hidup 3 x 5 meter di mukanya. Satu pohon
kelengkeng dan dua pohon palem menaungi
halaman rumah itu. Sebagai pelengkap, beberapa
pohon kemboja dan bugenvil memamerkan
bunga-bunganya. Benar, sangat sayang jika rumah
nan asri itu tak dimanfaatkan.
Rasanya tak ada lagi yang kurang bagi Hurin.
Hanya saja, ia sering merasa kesepian saat suami?
nya bekerja. Ia merasa memerlukan seorang
teman, mengingat Misas tak 24 jam ada di rumah.
Di lain sisi, dengan segala kekurangannya,
Hurin sering menanggung perasaan rendah. Ia
tak pernah bisa memasak untuk suaminya se?
bagaimana istri-istri yang lain. Sekadar menyapu
pun ia tak bisa. Yang bisa ia lakukan hanya
mengucek baju dan menyiapkan air hangat.
Untunglah dia punya ceret alumunium khusus
untuk merebus air. Bilamana air telah mendidih,
secara otomatis cerek itu akan memekik-mekik.
Tidak jarang Hurin menepis perasaan-pe?
rasaan minder atas cacat netranya. Ia khawatir jika
perasaan seperti itu dipelihara terus-terusan, lama299
lama akan menjadi kekufuran terhadap nikmat
Tuhan. Dengan memberanikan diri, akhirnya
Hurin mengadukan keluhannya pada sang suami.
"Mas, Hurin mohon maaf yang sebesarbesarnya. Hurin tak bisa sepenuhnya menjadi
seorang istri sebagaimana perempuan-perempuan
lain," tutur Hurin sewaktu istirahat malam.
"Kamu nggak boleh bicara seperti itu. Saya
sudah terima kamu apa adanya. Pekerjaan seorang
istri ialah nurut sama suami. Itu saja. Saya nggak
akan pernah minta kamu melakukan macammacam. Sudah separuh bulan lebih kita tinggal di
sini dan semua berjalan baik-baik saja."
Hurin terdiam sejenak. "Iya, Mas, terima kasih
atas segala pengertian Mas. Tapi Hurin sering
merasa kesepian saat Mas Misas berangkat kerja.
Hurin juga sering merasa waswas tinggal sendirian
di rumah dengan keadaan Hurin yang seperti ini.
Hurin khawatir terjadi hal-hal yang tidak kita
inginkan. Makanya kalau Mas Misas kerja, Hurin
sering menelepon Mbak Hayya untuk ke sini,
kalau pas dia tidak repot."
"Iya. Selama ini, itu juga yang mengganggu
pikiran saya."
"Mas, bagaimana kalau kita cari pembantu
saja?"
"Saya juga berpikir begitu. Tapi mencari
seseorang yang dapat dipercaya bukanlah hal
yang mudah. Apalagi kalau kita belum kenal sama
orangnya. Kamu punya nggak kenalan atau teman
yang kiranya bisa bantu-bantu kita di sini?"
"Nggak ada, Mas."
"Di Pare?"
"Sepertinya juga nggak ada tapi saya akan coba
hubungi Abah. Siapa tahu beliau punya kenalan
yang kerabat atau sahabatnya butuh pekerjaan,
yang bisa dipercaya juga tentunya," kata Hurin
bersemangat.
"Iya. Sementara kamu hubungi Abahmu,
biar saya telepon Umi di Nganjuk. Siapa tahu
beliau punya kenalan atau orang-orang yang bisa
dipercaya untuk menemani kamu di sini."
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Misas memencet tombol-tombol di telepon
rumah dan menyerahkannya ke Hurin, "Ini,
bicaralah sama Abah."
Setelah Hurin menerima gagang telepon
itu, silih Misas yang menelepon keluarganya di
Nganjuk dengan telepon genggamnya sendiri.
"Kami membutuhkan seorang pembantu
untuk menemani Hurin di rumah, Mi, juga untuk
membantu urusan rumah tangga. Mungkin Umi
punya kenalan atau siapa yang mau tinggal sama
kami? Soal gaji, gampang. Yang penting orangnya
jujur, bisa dipercaya. Bagaimana, Mi? Kira-kira
ada nggak?" tanya Misas lewat telepon.
"Pembantu? Siapa, ya? Kayaknya nggak ada,
tapi biar nanti Umi carikan. Kalau sudah ada,
nanti Umi hubungi kamu lagi."
"Nggih, sampun kalau begitu. Terima kasih,
Mi." Misas menutup telepon.
"Gimana, Mas?" tanya Hurin ingin tahu.
"Iya, insya Allah Umi carikan. Kalau ada, nanti
Umi hubungi kita. Bagaimana Abahmu, kira-kira
dapat nggak?"
Hurin hanya menggeleng.
"Ya sudah, biar Umi saja yang carikan. Insya
Allah ada."
Hurin mengamini penuh harap.
"Bah, Misas minta kita nyariin orang buat ne?
mani dan bantu-bantu Hurin di rumah. Kira-kira
tetangga dekat sini ada yang bisa nggak, ya?" Bu
Nyai mencurahkan kecemasannya pada Abah
setelah ditelepon putranya.
"Setahu Abah, anak-anak perempuan sekitar
sini sudah jadi TKW semua. Memang nyari
pembantu itu sulit. Kalau belum kenal sama
orangnya, jangan berani-berani. Sekarang ini sulit
cari orang jujur, yang dapat dipercaya. Kemarin
berita di TV, harta majikan ludes dikeruk orang
yang tidak lain adalah pembantunya sendiri, saat
ditinggal kerja. Padahal dia sudah lama kerja."
"Kok malah cerita berita TV? Ini soal Misas
bagaimana? Kasihan Hurin lho, Bah, kalau sering
ditinggal sendirian di rumah. Abah kan tahu
Hurin itu bagaimana."
"Milati saja suruh ke sana, nemani dan bantubantu Hurin," usul Abah.
"Iya, ya. Tapi Milati kan ada neneknya di sini.
Nenek itu pindah ke sini cuma supaya bisa dekat
sama cucu satu-satunya itu."
"Nenek, kan, bisa diajak serta ke sana."
"Iya kalau mau. Kalau tidak?"
"Kan Milati bisa sering-sering jenguk neneknya
ke sini. Bareng Misas. Misas kan juga sering ke
sini. Saya yakin Nenek bakal mengizinkan."
Bu Nyai masih sedikit ragu. "Nggak ada
Milati, saya pasti kesepian."
"Kan di sini banyak orang. Ada Syaqib, ada
Fida, ada Juwar, ada siapa lagi itu...?"
"Rahma."
"Iya, Rahma. Nggak apa-apalah, Bu. Ini kan
demi anak-anak kita. Hurin pasti senang kalau
Milati yang nemani dia. Kalau Milati, kita tak
perlu ragu atau waswas. Dia itu jujur, dapat
dipercaya."
"Iya, tapi kan Misas itu dulu cinta mati sama
Milati. Saya takut kalau nanti." kata-kata Bu
Nyai terkatung.
Abah segera menyambarnya. "Hus! Misas
kan orang yang tahu agama. Lagian dia sudah
nikah. Abah lihat, setelah menikahi Hurin dia tak
begitu memperhatikan Milati." Abah yakin cinta
putranya itu sudah beralih sepenuhnya kepada
Hurin.
"Kalau begitu, biar nanti saya bicara sama
Milati dan neneknya. Semoga dia mau."
"Dia pasti mau."
Semacam pucuk dicinta ulam tiba. Belumlah
Abah dan Bu Nyai selesai bicara, Milati sudah
datang.
"Itu dia Milati datang. Panjang umur. Baru
saja dibicarakan, sudah nongol," kata Abah girang.
Milati bertanya-tanya ada apa gerangan.
"Mil, Ibu mau bicara sama kamu, tapi tolong
panggilkan nenek kamu juga ke sini," pinta Bu
Nyai.
"Iya, Bu."
Selang beberapa menit, datanglah Milati
bersama neneknya.
"Nek, mohon maaf sebelumnya. Saya pengin
bicara sama Nenek, juga kamu, Milati."
"Inggih. Lha monggo. Panjenengan mau bicara
apa? Semoga saya bisa bantu," kata Nenek pelan.
"Ini, saya mau minta izin sama Nenek."
"Izin apa tho, Bu?"
"Misas tadi nelepon saya, minta dicarikan
teman buat Hurin. Kasihan Hurin. Kalau Misas
berangkat kerja, Hurin sendirian di rumah.
Dengan keadaan Hurin yang demikian, sangat
mengkhawatirkan bila ia tinggal sendirian di
rumah yang tidak bisa dibilang kecil itu. Nah,
Misas minta dicarikan kenalan yang saya kenal
baik, yang orangnya bisa dipercaya. Setelah saya
pikir-pikir, saya ingat-ingat, kayaknya nggak ada
orang yang cocok. Dari itu, saya minta biar Milati
saja yang menemani Hurin di sana. Itu pun kalau
Nenek mengizinkan dan Milatinya mau."
Lepas rasanya jantung Milati saat mendengar
apa yang baru diungkapkan Bu Nyai. Ia harus
menemani Hurin. Tinggal satu atap dengan Misas.
Setelah waktu sedikit demi sedikit mengeringkan
lukanya yang perih, ia harus mencakari lagi luka
itu dengan tinggal serumah bersama orang yang
ia cintai tapi tak bisa ia miliki. Bersama istrinya,
pula.
Sudahlah tergambar dalam bayangnya bahwa
hari-harinya akan menjadi sangat kelam oleh rasa
sakit dan cemburu. Bagaimana tidak? Biarpun
waktu sudah berlalu, tak seorang pun tahu cinta
di hatinya masih berkobar. Cinta yang disemadikan tidak mungkin reda selama sambutan tiada
ber??jeda. Hati yang remuk kembali megah selagi
ke?tenangan dirajuti. Jiwa yang pasrah bertukar
haluan selagi esok masih berjalan. Parut yang
lama pasti akan reda selagi iman terselip di dada.
Milati berharap Nenek tidak mengizinkannya.
"Kalau Nenek boleh-boleh saja, asal Milatinya
mau," kata Nenek dengan tenangnya.
Milati bagai tertendang mendengar sang
Nenek telah memberi izin. "Tapi kalau saya
ikut Mbak Hurin di Jombang, nanti nenek...."
Milati coba mencari dalih yang kiranya dapat
menggagalkan rencana itu.
"Tentu kamu ke sana sekalian sama nenekmu,
Mil. Rumahnya besar, kok. Kamarnya saja ada
tiga," kata Bu Nyai meyakinkan Milati.
"Iya, Mil. Nggak apa-apa. Nenek mengizinkan
kamu ke sana, kok. Tapi maaf, Bu Nyai, biar
Milati saja yang ke sana. Saya sudah tenang tinggal
di sini. Bisa ikut ngaji sama Bu Nyai, bisa shalat
Jemaah tiap hari, Nenek sudah senang."
Mendengar Nenek begitu mantap dengan katakatanya, Milati menjadi surut. Pastilah setelah ini
Bu Nyai menanyakan apakah ia bersedia atau
tidak. Otaknya benar-benar sudah buntu. Atas
alasan apa ia harus menolak permohonan ibu
asuh yang paling disayangi dan dihormatinya
itu? Sudah sedari awal dia menanam benih
ketidakjujuran atas cintanya demi kehormatan
orang yang disayanginya. Apakah semua harus
selesai begitu saja dengan mengatakan bahwa
dirinya dan Misas memang saling mencintai
dan tak mungkin orang yang masih saling cinta
tinggal satu atap sedangkan salah seorang sudah
memasrahkan cinta pada lain orang?
Mungkin dirinya bisa menahan cinta dalam
penjara kepedihan dan telaga air mata. Tapi
bagaimana dengan Misas? Apakah dia juga bisa
menahan perasaan seperti dirinya bila mereka
tinggal seatap? Ia juga terlalu paham bahwa Misas
pindah ke Jombang semata sebuah upaya untuk
melupakan dirinya. Tapi apa boleh buat. Telanjur
perih, biarlah perih sekalian. Dari awal ia sudah
berkorban menahan perasaan, maka pengorbanan
itu haruslah dilanjutkan, tak boleh berhenti di
sembarang jalan. Ia biarkan itu menjadi tantangan
baru bagi pengorbanannya.
Betapa lega hati Misas mendengar kabar dari
Umi bahwa beliau telah menemukan orang yang
cocok sebagai teman istrinya di rumah. Namun,
kelegaan itu beralih menjadi lelehan timah panas
yang mengguyur lapang hatinya ketika sampai di
telinganya bahwa orang yang hendak menemani
Hurin itu adalah Milati. Ia merasa yang hendak
bertamu adalah sebuah petaka. Menerima Milati
tak ubahnya dengan mengangini bara api yang
sudah akan padam untuk membakar kembali hati
dan segala dirinya.
Lagi-lagi, kalau kenyataan sudah bicara, apa
lagi yang perlu dikatakan. Sebagaimana Milati, ia
pun dilabrak sebuah pilihan yang melumat hati.
Seperti Milati juga, ia tak punya alasan yang tepat
untuk menolak, untuk tidak menerima Milati
menjadi penghuni rumahnya.
Yang sangat ia sesalkan dalam ketersembunyian
hatinya ialah sikap kedua orangtuanya yang tak
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pernah peka terhadap hati dan perasaan anak
muda. Walau begitu, Misas tak bisa menyalahkan
Abah dan Umi karena sebelum akad nikah ia
kabarkan dengan teguh hati pada mereka bahwa ia
akan menyerahkan hati dan cintanya bulat-bulat
hanya pada Hurin, istrinya. Jadi, sangat tidak
lucu bilamana ia katakan pada Abah dan Umi
kalau Milati masih ia semayamkan dalam-dalam
di hatinya tanpa bisa ia alihkan. Sebagaimana
Milati, telanjur luka biarlah berdarah sekalian. Ia
bisa menganggap itu sebagai ujian kesetiaannya
terhadap istrinya.
Setelah menutup telepon dari Umi, Misas
terdiam cukup lama.
"Umi, ya, Mas? Bagaimana? Sudah dapat
orang yang cocok apa belum?" tanya Hurin
menghamburkan lamunan getir Misas.
"Sudah," jawab Misas lesu.
"Siapa? Mas Misas kenal?"
"Milati," jawab Misas lagi. Matanya mulai
berkaca-kaca. Ia biarkan itu karena istrinya takkan
tahu, bahkan meski air matanya berurai sekalipun.
"Milati? Alhamdulillah. Milati yang suka
bantu-bantu Umi di rumah?" Hurin bergejolak
senang. Ia tak tahu suaminya sedang sesak berair
mata.
Bagi Misas, sambutan gembira istrinya itu
bagaikan ejekan yang sangat menjengkelkan. "Iya.
Milati siapa lagi?"
"Syukurlah. Sudah lama saya pengin kenal
dekat sama Milati. Entah kenapa. Ada kesejukan
yang menyusup begitu saja ketika saya berbicara
dengan gadis itu. Saya bisa melihat gadis itu adalah
gadis yang istimewa dari suara dan caranya bicara
dan berbahasa. Saya yakin dia seorang teman
yang tepat untuk berbagi," tutur Hurin panjang,
menyanjung gadis yang dikenalnya belum lama
itu.
Demi mendengar semua itu, Misas semakin
sesak menahan geram. Ia seolah dijejali pernyataan
yang menyuruhnya untuk terus menyesal dan
menyesal. Lama-lama ia tak bisa mendiamkan air
matanya untuk tidak tiris. Semakin terasa ngilu
di hatinya karena Milati sudah benar-benar lepas
dan tak bisa ia miliki. "Milati memang sangat
istimewa. Sangat istimewa," bisiknya dalam hati.
"Lalu, kapan Milati datang, Mas?"
"Kalau nggak besok, lusa."
"Sama siapa?"
"Mungkin sama Umi, diantar Syaqib."
"Kalau begitu, kita harus menyiapkan kamar
buat dia."
"Iya. Biar saya siapkan."
"Kamar yang depan saja, Mas, yang ada
lemarinya."
"Iya."
Misas mengayun langkah ke kamar depan
untuk mengeceknya. Hurin berjalan pelan di
belakang. Misas membuka jendela kamar itu
lebar-lebar. Sinar matahari sore menerobos kamar
yang pengap dan menampakkan debu-debu yang
beterbangan dari kasur yang dihantami penebah.
"Biar saya yang bersihkan. Kamu di luar saja.
Di sini banyak debu," kata Misas pada istrinya. Si
istri pun menurut.
"Kamar ini akan menjadi kamar Milati,"
gumam Misas lirih, cukup didengarnya sendiri.
Pandangannya kosong, menerawang menantang
penjuru ruangan. Dinding-dinding hanya diam.
Tulisan-Tulisan
Milati
Tik tok tik tok tik tok tik tok.
Misas melirik jam yang tergantung pasrah
di dinding. Suara detiknya tak jua berhenti. Se?
perti detak jantungnya. Dengan gelisah Misas
menunggu ibunya yang akan datang mem?
bawa Milati. Sejak semalam ia tidak bisa tidur,
sibuk memilih susunan kata yang pantas untuk
menyambut Milati. Ia ingin Milati tak menangkap
ekspresi lain dalam sambutannya. Ia ingin bersikap
sebagaimana biasa. Ceria. Hangat. Layaknya tuan
rumah menyambut tamu. Pun Hurin.
Setelah lama menunggu dalam keheningan,
bel yang sengau itu pun berbunyi. Dengan sigap
Misas berlari membukakan pintu. Benarlah. Bu
Nyai, Milati, dan Syaqib sudah berdiri di depan
pintu.
"Masuk, masuk!" kata Misas mempersilakan
setelah mencium tangan Umi. "Wah Syaqib,
Milati. Bagaimana kabar kalian?" tanya Misas. Ia
berusaha menjaga sikap dan ekspresi wajahnya.
"Alhamdulillah Semua baik-baik, Mas,"
jawab Syaqib.
Hurin yang duduk juga bergegas bangkit dan
mencium tangan mertuanya.
Setelah panjang lebar berbasa-basi, cerita
tentang kabar dan sebagainya, Misas menunjukkan
kamar yang akan ditempati Milati. Orang-orang
ikut di belakang.
"Wah kamarnya besar sekali. Rapi, lagi,"
komentar Milati.
"Yah... semoga kamu senang," Misas me?
nyambut.
"Tentu."
"Itu lemarinya! Pakaian-pakaian kamu ditaruh
di situ saja."
"Oh, iya."
"Ya sudah. Kamu tata sendiri kamar kamu.
Terserah kamu, bagaimana enaknya."
"Iya, Mil. Anggap saja rumah ini rumah kamu
sendiri," kata Hurin menambahi.
"Iya, Mbak, terima kasih."
Misas dan yang lainnya kembali ke depan,
meninggalkan Milati yang sibuk menata pakaian
dan buku-bukunya.
Setelah orang-orang beringsut meninggalkan?
nya, kamar itu terasa mencekamnya. Ia sungguh
tak pernah mengira bahwa perjalanan waktu
mengantarkan hidupnya sampai di sini, di tempat
ia harus tinggal satu atap dengan orang yang ia
cintai. Bagi dua insan yang saling mencintai,
hidup berdekatan dan tinggal seatap merupakan
hal yang sangat dicita-citakan. Namun, ijab kabul
antara Hurin dan Misas telah menentukan hal itu
menjadi sebuah musibah. Cincin yang melekat di
jari manis Hurin telah melingkari Milati dengan
harapan-harapan yang pupus secara menyedihkan.
Sepertiga awal malam, Bu Nyai dan Syaqib
pamit pulang. Tinggallah satu pondok tiga nyawa.
Nuansa mendung di hati dua orang di antaranya
semakin menebal. Misas dan Milati.
Tatkala malam merambat dan semakin kelam,
Misas sulit memejamkan mata. Dipandanginya
dinding di depannya berlama-lama, seorang
gadis tengah terdiam sendiri di balik dinding
itu. Seorang gadis yang sebenarnya belum
mengembalikan hatinya. Seorang gadis yang
masih sangat ia kasihi
"Milati, sedang apakah dia gerangan? Apakah
ia tengah memikirkanku?" tanya Misas dalam
diam. Perasaannya kambuh. Tak disadarinya
dengan begitu ia telah berbuat zalim pada seorang
perempuan yang tertidur lelap di sebelahnya,
istrinya.
Lebih menyedihkan lagi, di balik dinding
itu seorang gadis tengah meringkuk memeluk
dengkul menikmati malam pertama tinggal
satu atap bersebelah bilik dengan orang yang ia
cintai tetapi cuma bisa ia pandang. Air matanya
berurai tak keruan. Isaknya lirih sekali. Ia tak mau
mengganggu suami istri yang sedang beristirahat
menikmati malam di kamar sebelah. Ia biarkan
rasa kantuk menjemputnya di balik selimut
dingin tak ramah yang menghampar dari dua
sudut matanya. Ia yakin ia menangis lantaran rasa
cemburu yang dalam.
Sesekali ia menertawakan dirinya sendiri. Lucu
sekali. Cemburu pada orang yang beristri. Sudah
jelas-jelas tangisnya itu hanya akan membumbui
kepedihan yang ia seduh. Namun begitu, masih
saja ia tak bisa menahan tangis padahal seharusnya
ia bisa. Ia sendiri menganggap tangisan itu sebagai
sebuah nikmat. Belum tentu setiap orang bisa
merasakan nikmat menangis, mencurahkan air
mata. Memang menangis bukanlah keharusan
tapi kalau memang harus menangis, kenapa
tidak menangis? Saat merenungi segala kejadian
pun kita dianjurkan untuk menagis. Dari situ
seseorang bisa melayang bayang, mengukir pikir,
melatih sendiri akan petikan manfaat, mana yang
lebih banyak, di balik air mata atau di balik gelak
tawa?
Sebagaimana biasa Milati selalu berusaha
mengakhiri tangisnya dengan kalimat-kalimat
yang menenteramkan hatinya. Bagai mesin radio,
mulutnya bergerak-gerak mengucap istigfar tanpa
henti, lagi-lagi sampai ia tertidur.
Bersyukurlah Milati banyak-banyak. Setelah ting?
gal satu rumah, dirasakannya bahwa sikap Misas
tak ada yang berlebihan terhadapnya. Tidak sinis,
tidak pula manis.
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selepas Misas berangkat ke kampus untuk
mengajar, Milati disibukkan oleh berbagai pe??
kerjaan, semisal memasak, mencuci dan me?
nyetrika baju, juga membersihkan rumah dari
debu. Padahal, tak sekali pun Hurin atau Misas
meminta Milati mengerjakan ini itu. Itulah yang
sangat berkesan di hati Hurin, Gadis itu begitu
rajin dan bisa menempatkan diri. Kalau tidak
mendesak, jarang sekali Hurin menyuruh-nyuruh
Milati meski Milati sendiri sering mengingatkan
Hurin, kalau butuh apa-apa supaya memanggil
dirinya.
Setelah lama bergaul dan memahami budi
masing-masing, hubungan yang terjalin antara
Hurin dan Milati semakin erat. Tidak lagi
hubungan teman sesama teman, apalagi majikan
dan pembantu, melainkan hubungan yang intim
sebagaimana adik dan kakak. Manakala salah
seorang di antara keduanya merasa gelisah, yang
lain akan mendekat dan bertanya "Ada apa?".
Dari hal semacam itulah mereka berbagi
pengalaman, berhikayat mencurahkan hati. Lebih
dari itu, Milati bisa merasakan bagaimana pe?
rasaan seorang tunanetra sebagaimana Hurin
bisa merasa apa yang ditangkap oleh penglihatan
Milati. Milati merasa sangat bersyukur lelaki yang
dicintainya bisa mendapat seorang wanita hebat
seperti Hurin. Hurin juga sangat bersyukur bisa
memperoleh seseorang saudara yang unik seperti
Milati.
Misas merasa kecut sendiri kalau melihat
keakraban mereka, apalagi bila Hurin sudah
mulai bercerita mengenai perangai orang yang
dianggapnya adik itu. Sudah cukup labil ia
menahan perasaan selama ini, jangan sampai
digoyahkan lagi dengan setumpuk presentasi
pribadi indah yang dikaguminya sejak dulu itu.
Misas dan Hurin memberi kemerdekaan se?
penuh??nya pada Milati untuk mengurus rumah
itu seluruhnya, dari pagar depan sampai tembok
belakang. Mereka juga memperkenankan Milati
memakai segala fasilitas di rumah itu, termasuk
komputer. Misas yang paham akan bakat Milati
dalam hal tulis-menulis sering menyarankan Milati untuk menuangkan bakatnya itu, mum?pung
ada komputer. Milati bisa memakai kom?puter itu
sepuasnya, seperlunya.
Hurin juga mendukung saran suaminya itu
lantaran sepagi sampai siang kalau pekerjaan
habis, tak banyak hal yang ia lakukan selain
ngobrol menemani Hurin atau menonton televisi.
Tak ada salahnya jika waktu sedemikian luang itu
ia gunakan untuk menulis.
Atas saran dan dukungan suami istri itu, Milati
mulai akrab dengan keyboard komputer. Kalau
Hurin tak membutuhkannya, ia akan banyak
menghabiskan waktu di depan layar monitor. Bila
sesekali Hurin butuh sesuatu, ia akan beranjak
mengutamakan keperluan kakak angkatnya
itu. Setelah kelar, ia akan kembali menekuni
tulisannya.
Kata orang, yang namanya mencoba itu tak
pernah ada salahnya. Dengan mencoba, seseorang
akan memperoleh guru berharga; pengalaman.
Hampir semua keberhasilan dimulai dengan
percobaan sebagai langkah awalnya. Setelah
mencoba dan gagal, kita akan tahu satu cara
yang salah. Dengan satu cara yang salah, kita bisa
mencari satu cara lain yang mengantarkan kita
pada cara yang benar. Itu hanya sedikit uraian dari
tokoh-tokoh bijak terdahulu.
Dengan semangat itu pula Milati memulai
tapak awal bakatnya. Hanya dalam hitungan
bulan, sudah banyak tulisan yang ia hasilkan.
Kebanyakan ialah salinan dari catatan pribadinya
selama ini yang ia ubah dan perbaiki sedikit-sedikit.
Berkali-kali ia mengirimkan artikel, resensi buku,
opini, puisi, dan cerpen ke media massa lokal dan
nasional, tapi tak satu pun dimuat.
Bila semangatnya mulai melemah, ia akan
menguliti tulisan-tulisan dan buku-buku karya
penulis-penulis kenamaan. Itu dilakukannya
supaya semangatnya bangkit kembali. Apalagi di
rumah huniannya sekarang, Misas mengoleksi
buku dalam perpustakaan pribadinya. Banyak
sekali buku Misas yang satu aliran dengannya.
Ibarat lalapan ketemu sambal, Milati sangat
senang bisa mengasah hobinya dengan ditopang
fasilitas yang cukup memadai.
Suatu sore, usai mengajar di kampus, Misas
berteriak-teriak memanggil Milati. Tangannya
menenteng surat kabar harian kemarin. "Mil,
Milati!" teriak Misas.
Hurin dan Milati yang asyik di depan teve
terperanjat. Sebelum Milati berdiri dari duduknya,
Misas sudah muncul di hadapan mereka.
"Ada apa, Mas? Kok sepertinya penting
banget?" Milati menoleh keheranan.
"Ada kabar gembira buat kamu."
"Oh, ya? Kabar apa, Mas?"
"Tuh, puisi kamu dimuat," kata Misas sembari
menyerahkan surat kabar minggu yang ada di
tangannya.
"Mas Misas, beneran?" seru Milati. Setengah
tak percaya ia meraih surat kabar dari tangan
Misas. Dilihatnya sebuah halaman yang sudah
dibuka oleh Misas. Di kolom "BUDAYA tertulis
Sajak-Sajak Milati Tamama. Empat puisinya
yang berjudul "Mukim Yatim", "Sujud Kalut",
"Fatwa Cinta", dan "Selimut Dingin" terpajang
indah.
Alangkah senangnya Milati melihat karyakaryanya itu terpajang di sebelah tulisan seorang
sastrawan ternama. Yang paling melegakan
hatinya, tulisannya itu akan dinikmati banyak
orang.
"Alhamdulillah, ya Allah. Puisiku akhirnya
dimuat juga. Terima kasih, Mas, Mbak, semua ini
berkat kalian juga."
"Kalau kamu senang, apalagi kami," kata
Hurin dengan arif.
"Iya, makanya kamu tak boleh berputus asa.
Itu buktinya. Saya yakin masih banyak karya
kamu yang akan menyusul puisi-puisimu itu."
"Amin."
"Kalau honornya keluar, kamu jangan lupa
traktir kami berdua," ucap Hurin bercanda.
"Itu wajib, Mbak Hurin. Jangan khawatir.
Tapi kalau ada, lho!"
"Ya, pasti ada. Kamu sudah cantumkan
alamat, nomor rekening, dan nomor telepon yang
jelas, kan?" tanya Misas.
"Alamat dan nomor telepon sudah. Tapi Milati
nggak punya rekening," kata Milati memelas.
"Ya sudah. Nanti kalau ada waktu luang, saya
antar kamu ke bank buat buka rekening."
"Tapi...." Milati ragu-ragu.
Misas sudah paham maksud Milati "Uang?
Kamu nggak usah khawatir. Uang kamu selama
dua bulan masih ada pada kami."
"Uang saya? Uang saya yang mana, Mas?"
tanya Milati bingung.
"Mil, kamu di sini nggak sama kayak di
pesantren. Di pesantren kamu bisa bekerja atas
nama pengabdian, tapi di sini tidak."
"Maksud Mas Misas, saya di sini digaji?
Nggak, Milati nggak mau. Mana mungkin Milati
digaji karena bekerja di rumah sendiri."
"Ini bukan gaji, Milati," Hurin lembut
menyambut. "Kamu sudah menganggap kami
sebagai kakak. Apakah salah bila seorang kakak
bersedekah pada adiknya, membantu kebutuhan
adiknya?"
"Tapi di sini Milati sudah merasa cukup,
Mbak!"
"Iya. Kalau kamu tidak butuh sekarang, biar
uang itu kamu tabung dulu di bank. Saya yakin
suatu saat kamu pasti butuh. Di lain sisi, kamu
juga harus punya nomor rekening."
"Iya, optimistis sajalah kalau tulisan kamu
itu bakal dimuat dan butuh rekening," Misas
menambahi.
Mendengar penjelasan Misas dan Hurin,
Milati tak bisa berkutik lagi.
"Ya sudah. Besok pagi saya antar kamu ke
bank," kata Misas memutuskan.
"Berdua?" Milati agak kaget.
"Sama mbakmu juga, kok. Tenang saja."
"Iya, Mil. Kebetulan Mbak juga ada keperluan
ke bank," Hurin menjelaskan.
"Memangnya Mas Misas besok libur?" Milati
bertanya.
"Nggak. Tapi kalau ditinggal sebentar buat
ngantar kalian, waktunya ada. Oh, ya, kamu
jangan lupa siapkan identitas kamu yang jelas,
yang lengkap."
"Baiklah."
"Oh iya, Mas, biar saya tanya dulu ke Mbak
Hayya, mobilnya dipakai apa nggak. Semoga
saja nganggur, jadi bisa kita pakai, daripada Mas
pinjem mobil kantor," usul Hurin.
"Iya, soal itu beres," jawab Misas enteng.
Misas merasa cukup bahagia. Selama ini ia bisa
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyimpan perasaannya rapat-rapat di balik katakata dan sikapnya yang bersahaja. Tak ada yang
tahu bila ia bangun di sepertiga akhir malam, ia
sering menangisi kisah rumah tangganya itu. Yang
tidak Misas ketahui, Milati juga acap melakukan
hal yang sama, menangis di dalam simpuhnya, tak
jemu-jemu memohon supaya perasaannya mau
aus dengan sendirinya.
Waktu sepenggalah naik. Milati sudah merapikan
semua pekerjaannya. Setelah mandi dan shalat
Duha, ia duduk di beranda, ngobrol-ngobrol
ringan dengan Hurin sambil menunggu Misas
yang akan mengantarkan mereka ke bank. Tak
lama menunggu, Misas sudah datang dengan
mobil pinjamanya. Setelah masuk ke rumah
sebentar untuk mereguk air dan mencicipi
masakan Milati, mereka berangkat ke bank.
Baru seperempat awal siang, matahari sudah
bersemangat menebar hangat berlebih, memeras
keringat orang-orang yang berlalu-lalang di
bawahnya tanpa pelindung kepala. Asap-asap
jalanan berkeliaran seperti kabut aneh dengan
bau memuakkan. Milati segera menuntun Hurin
untuk masuk ke mobil. Hurin duduk di depan, di
sebelah suaminya.
Milati duduk di jok belakang, seorang diri.
Debar-debar mulai memainkan jantungnya.
Ia sulit sekali memalingkan pandangan. Tatap
matanya terkunci ke muka, ke tempat sepasang
suami istri tengah duduk bersebelahan, saling
bertutur pelan dengan pancaran kebahagiaan
yang membuatnya iri. Pikiran-pikiran yang telah
lama mencair mengental kembali, menggumpal
begitu saja.
Sekali dua kali ia memejamkan mata, mulutnya
bergumul dengan istigfar yang tak putus-putus.
Namun, apa boleh buat. Dadanya masih saja
sesak, hatinya tetap saja nyeri. Ia bertanya-tanya,
kekuatan iblis apa yang begitu kuat memengaruhi
kalbunya. Ataukah iblis yang dulu pernah
menghasut Adam, Adam yang seorang Nabi,
sedangkan dirinya hanya manusia biasa, yang naif
lagi dhaif.
Milati menutup wajahnya dengan kedua
tangan. Tak sedikit pun ia berani melirik sosok
lelaki di hadapannya, lelaki yang telah menjadi
suami orang. Ia telah bisa menundukkan matanya
untuk tidak memandangi rambut hitam mengilat
yang sebagian tertutup kopiah di depannya.
Namun, dadanya kembali sesak ketika tiba-tiba
parfum khas yang melekat di tubuh Misas singgah
di penciumannya. Ia hirup wangi itu dalamdalam. Dadanya semakin perih. Ia tak sadar Amor
sedang bergentayangan.
Setelah beberapa saat, barulah ia sadar mulut?
nya sudah terlepas dari gumam istigfar. Cepatcepat ia kembali beristigfar. Ia pejamkan matanya.
Sebelum air matanya jatuh dan dikipasi angin
dari luar jendela, buru-buru ia hapus dengan
punggung tangannya. Ia tak mau dua malaikat
berwujud manusia di depannya tahu. Biarlah
hanya Tuhan yang tahu.
Sejatinya tetaplah sama antara apa yang
dirasakan Misas dengan yang dirasakan Milati.
Di balik wajahnya yang tenang, Misas juga tak
mampu mengendalikan beduk jantungnya yang
terus bertalu meski sang istri ada di sampingnya.
Sepanjang jalan menjadi sangat sepi. Tak ada
sepatah kata pun keluar dari mulut Milati, Hurin,
ataupun Misas. Beberapa kali Hurin memancing
pembicaraan, namun yang didapatinya lagi-lagi
jawaban pendek lalu sepi. Meski begitu, tak juga
Hurin peka terhadap semuanya. Sepanjang jalan
mereka bisa merasakan nuansa lain yang entah
indah entah musibah. Dalam kebungkaman,
akhirnya mobil mereka berhenti di tempat parkir
sebuah bank.
Lewat kerenggangan waktu yang lalu, sampai
perjalanannya yang sekarang, tak juga kesedihan
dalam hati Milati sembuh seratus persen, malah
sering kumat merajalela. Bilamana dilihatnya
Misas berkelakar mesra dengan istrinya, begitu
saja laskar-laskar setan datang menyerbu dengan
membawa tombak kecemburuan yang tajam,
yang kemudian menghunjam hatinya. Milati
sudah cukup lelah dengan perasaan itu. Milati
merasa Misas memang sengaja ingin membuatnya
cemburu. Entah sengaja ataupun tak sengaja,
bukanlah alamat baik baginya terus memelihara
cemburu pada orang yang sudah punya istri. Tapi
kalau perasaan itu tumbuh dan hidup begitu saja,
manusia bisa apa?
Yang dilakukan Milati bila kesendirian datang,
tak lain adalah terus menyapu dan membersih?kan
hatinya dari Misas dan Misas. Tanpa disadarinya,
ketika pikirannya bergulat kuat-kuat untuk me??
lupakan Misas, sesungguhnya ia tengah me???ma?
s?uk?kan Misas dalam-dalam ke lubuk hatinya.
Adalah sebuah bukti kalau Misas tak pernah bisa
enyah dari hatinya
Nazar
Seorang Penulis
Keistikamahan takkan berkelanjutan kalau tidak
dibubuhi dengan semangat yang kuat. Semangat
pun kan sulit bangkit tanpa harapan yang tinggi
melangit. Upaya pun hanyalah amalan sia-sia
tanpa untaian doa.
Tampaknya begitulah Milati memegang prin?
sip. Berkat keistikamahan, kesabaran, semangat,
dan doa, mulailah namanya dikenal khalayak.
Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media
cetak pun internet. Sudah beberapa kali ia
meraih juara dari berbagai lomba karya tulis, baik
ilmiah maupun fiksi, yang diikutinya. Beberapa
cerpennya diterbitkan dalam Antologi Cerpen
Remaja. Berbagai piagam dan piala menambah
koleksi prestasinya.
Penghargaan paling gemilang yang diterimanya
ialah ketika ia berhasil menjadi juara satu pada
Sayembara Novel Remaja yang digelar oleh
Dewan Kesenian Ibu Kota. Novel pertamanya
itu terinspirasi dari kisah cintanya sendiri yang ia
tambah kurangkan supaya tak satu pun pembaca
tahu bahwa novelnya itu adalah salinan cerita
hidupnya sendiri.
Novelnya yang berjudul Biarkan Cinta Sampai
Pada Akhirnya itu akhirnya diterbitkan oleh
penerbit besar yang biasa menerbitkan karya-karya
penulis hebat. Novel pertamanya itu mendapat
sambutan luar biasa dari khalayak. Dalam waktu
tak lama, novelnya sudah mengalami beberapa
kali cetak ulang. Terteralah gambar bintang emas
di cover novelnya bertuliskan BEST SELLER.
Nama Milati Tamama merambah ke seluruh
penjuru dunia tulis-menulis. Karya dan namanya
sering berdampingan dalam satu buku dengan
penulis-penulis wanita ternama lainnya. Sering
ia diundang dalam acara bedah novel, latihan
kepenulisan, dan sebagainya. Namun, ia tak
pernah pergi sebelum mendapat izin dari Hurin
ataupun Misas. Tak banyak orang yang tahu bahwa
sebelum sukses ia pernah bernazar. Kalau sukses,
ia akan mengabdikan diri pada Bu Nyai dan
mewakafkan sebagian besar hasil kesuksesannya
pada pesantren yang telah menjadi bagian penting
dari sejarah hidupnya.
Meski uang telah berlimpah, nama telah
me?lambung, tak juga Milati mau melepaskan
pekerjaannya sehari-hari sebagaimana ketika
namanya masih kecil dulu. Ia masih setia
melayani Hurin dan Misas. Memasak, mencuci
pakaian, menyapu, mengepel lantai, dan se?
bagainya. Baginya, itu merupakan sebuah peng?
abdian keikhlasan terhadap Bu Nyai yang telah
menganggapnya seperti putri sendiri. Sesuai
nazarnya, Milati mendermakan sebagian besar
penghasilannya dari menulis untuk kepentingan
pesantren.
Bu Nyai sangat bangga dan haru pada putri
asuhnya yang satu itu. Dengan kesuksesannya
sekarang ini, tak banyak orang tahu Milati hanya
seorang gadis yang tak punya ayah dan ibu, yang
semenjak umur di bawah lima tahun sudah
dititipkan ke panti asuhan, yang pendidikannya
sampai Madrasah Aliyah saja, yang pekerjaan
sehari-harinya hanya mengabdikan diri pada
kiai dan anak-anak panti, anak-anak pesantren.
Sebutlah bekal Milati menempuh jurang terjal
kehidupan ini hanya dengan satu hal: keikhlasan.
Berkat wakaf mal dan sedekah dari Milati,
gedung pesantren berlantai tiga yang terkatungkatung diejek kekurangan biaya, kini sudah
berdiri dengan megah. Bila Milati menjenguk
nenek dan pesantrennya, ia selalu teringat bahwa
ia sering menyendiri, makan angin di tempat itu.
Tempat itulah yang melahirkan inspirasi catatan
hatinya, yang memenuhi buku harian dengan
puisi dan curahan hatinya.
Bukan hanya itu, hampir seluruh fasilitas
pesantren yang perlu diperbarui telah diper?
barui. Milati pun mengirimkan beberapa paket
komputer untuk belajar para santri. Dengan
begitu, jargon murahan "santri pasti gaptek"
akan terhapuskan. Usul Milati untuk mendirikan
perpustakaan pesantren disambut Abah dan Bu
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nyai dengan gembira.
Walhasil, siapa yang tahu kehendak Allah.
Pesantren dan panti asuhan yang dulu hanya
dihuni beberapa puluh orang, terpaksa harus
diperbesar demi menampung santri-santri baru
yang masuk berbondong-bondong.
Keberhasilan Milati membius teman-teman
Milati dengan kekaguman yang luar biasa. Karena
jumlah santri bertambah, para pengasuh pun
harus ditambah. Itu pun tidak main-main, harus
lewat seleksi terlebih dahulu. Para pengasuh baru
yang telah banyak menikmati karya-karya Milati
selalu saja berusaha mengorek dan meminta para
pengasuh senior untuk mengisahkan perihal
Milati. Adalah Fida dan Syaqib yang harus
panjang lebar menjelaskan karena di antara para
pengasuh putra dan putri mereka berdualah yang
paling dekat dengan Milati.
Surat Cinta
Alamat Celaka
Mau tak mau, rumah menjadi sangat ramai.
Setiap hari telepon berdering untuk Milati. Tamu
juga tak pernah sepi. Sering kali kumpulan mudamudi berdiskusi tentang kepenulisan di rumah itu
karena Milati sendiri enggan keluar rumah kalau
tak ada hal yang sangat mendesak. Ia tak mau
meninggalkan Hurin sendirian.
Hurin cukup senang rumahnya bisa di?
manfaatkan untuk kegiatan positif semacam
sekolah kepenulisan itu. Lain Hurin, lain Misas.
Misas cenderung gerah bila melihat Milati sibuk
berlama-lama dengan para tamunya, apalagi tamu
laki-laki. Tumbuh begitu saja dalam hatinya rasa
takut dan khawatir bila salah seorang tamunya
itu kemudian menaruh hati pada Milati, lalu
Milati menyambutnya. Misas enggan menyebut
perasaannya itu sebagai cemburu. Namun,
rasa khawatir dan tidak suka bila seseorang
meluangkan perhatian lebih pada orang lain, apa
namanya kalau bukan cemburu? Bila perasaan itu
muncul, Misas lupa kalau dia sudah beristri.
Ketika Misas tengah beristirahat di ruang
depan, mendadak bel berbunyi dua kali. Misas
yang baru sejenak duduk sepulang kerja, terpaksa
bangkit lagi untuk membuka pintu.
"Assalamualaikum," sapa seorang lelaki muda.
"Walaikumsalam," jawab Misas.
"Maaf, Mas. Mbak Milatinya ada?"
"Sebentar saya panggilkan. Silakan duduk
dulu," kata Misas bersungut-sungut. Ia tak suka
kalau Milati menerima tamu laki-laki. "Mil,
tamu, tuh," ujarnya jutek.
"Siapa, Mas?"
"Nggak tahu. Kamu lihat sendiri, tuh!"
"Iya. Terima kasih, Mas," lanjut Milati. Ia
paham Misas suka tak enak hati bila ia menerima
tamu laki-laki.
"Alhamdulillah masya Allah... Mas Ridwan!
Bagaimana kabarnya? Lama nggak ketemu."
Milati kegirangan menyambut lelaki itu. Misas
bisa mendengarnya dari ruangan sebelah.
"Alhamdulillah saya baik-baik saja. Iya, ya...
lama kita nggak ketemu setelah acara launching
bukumu di Malang beberapa bulan lalu. Ngomong-ngomong, kamu tambah cantik aja," kata
Ridwan menggoda.
"Terima kasih, terima kasih. Semua orang juga
tahu itu," balas Milati dengan gurauan pula.
Misas yang diam-diam mendengar percakapan
itu dari ruang sebelah menjadi panas. Namun, ia
tak ingin pergi sebelum mendengar apa saja yang
biasa dibicarakan Milati dengan tamu lelakinya
itu.
"Kalau boleh tahu, dalam rangka apa Mas
Ridwan main ke sini? Nggak biasanya. Apa
mungkin mau kasih undangan pernikahan?"
canda Milati lagi.
"Nikah? Memangnya kamu sudah siap?" balas
Ridwan tak kalah.
Milati malu. Ia tak berkutik oleh kelakarnya
sendiri. Misas yang mendengar percakapan
mereka geram menahan sesak di dada.
"Mas Ridwan suka bercanda."
"Lho, ini beneran," kata Ridwan diiringi
tawanya yang halus. "Begini, Mil," kata Ridwan
mulai serius, "saya ke sini ada dua maksud.
Pertama, saya mau kamu lihat naskah novel saya
ini. Tolong kamu baca sesempatnya, lalu kamu
kritisi isinya. Sebut saja saya minta endorsement
dari kamu. Saya mau novel saya terbit setelah
dapat masukan-masukan dari kamu. Bagaimana?
Semoga kamu nggak keberatan." Ridwan me?
nyodor?kan naskahnya yang tebal ke meja.
Milati meraihnya. "Insya Allah. Tapi saya,
kan, penulis pemula. Kenapa Mas Ridwan nggak
minta masukan dari penulis-penulis senior saja?"
"Nggak, saya maunya kamu soalnya saya suka
tulisan-tulisan kamu. Bagi saya kamu bukan
lagi penulis pemula. Kamu kira saya nggak tau
segudang prestasi kamu?"
Milati tersenyum. "Terus, maksud yang ke?
dua?"
"Maksud yang kedua ini sifatnya lebih pribadi.
Sebelumnya saya mohon maaf kalau menurut
kamu saya terlalu lancang. Tapi..." Ridwan
terhenti. Ia mengambil sebuah buku dalam
tasnya. Ia mengeluarkan selipat kertas dari dalam
buku itu, lalu menyerahkannya kepada Milati.
"Semuanya saya tuliskan di sini, Mil. Terus terang,
saya paling nggak bisa bicara mata ketemu mata."
Milati salah tingkah. Ia tak tahu apa maksud
Ridwan, tapi ia bisa menebak-nebak. Milati
menerima kertas itu dengan sedikit gemetar.
Misas yang mendengar suara Milati dan tamunya
semakin lirih, menjadi semakin penasaran.
"Kalau begitu, cukuplah sampai di sini, Mil.
Saya masih ada perlu. Saya minta kamu tidak
berpikir buruk tentang saya. Maksud saya baik.
Baiklah... novelnya jangan lupa." Ridwan hendak
beranjak.
"Mas Ridwan kok keburu-buru, sih? Saya jadi
nggak enak sendiri."
"Santai saja, Mil. Lain kali kalau ada banyak
waktu, pasti saya bakal lama-lama di sini."
Milati mengantarkan tamunya sampai ke
depan pintu. Ia masuk kembali setelah tamunya
itu hilang dari pandangannya. Milati kaget bukan
main ketika melihat Misas keluar dari kamar
sebelah dengan menutup pintu keras-keras.
Braaak!
Misas dimakan api cemburu. Untunglah
Hurin tak tahu-menahu. Milati juga bungkam
saja.
Ridwan adalah seseorang yang dikenal Milati
beberapa waktu lalu dalam acara launching buku
di Malang. Ia adalah seorang jurnalis, kuli berita,
kuli tinta. Bagi Milati, Ridwan adalah sesosok
pribadi yang cukup menarik, cerdas, perhatian.
Wajahnya juga nggak jelek-jelek amat. Cukup
sering Ridwan menghubungi Milati, entah itu
lewat telepon atau SMS. Namun, Milati tak pernah
menggubrisnya kecuali sekadarnya saja. Menelaah
dari kata-kata dan bahasa Ridwan, Milati sempat
ge-er. Kedatangan Ridwan yang tiba-tiba dari
Malang cukup membuat adrenalinnya melonjak,
Apalagi dengan surat yang ia berikan. Milati
menjadi tambah penasaran bercampur syak.
Cepat-cepat Milati masuk ke kamarnya. Ia
tak sabar untuk membaca surat dari orang yang
dianggapnya teman baik itu. Setelah duduk
dengan nyaman, Milati membuka lipatan surat
itu. Isinya demikian....
Minggu, 26 Maret 2006
Kepada Milati Tamama
Assalamualaikum.
Milati.
Sebelum kaubaca tuntas isi surat ini, kiranya
kumpulkanlah dulu untukku untaian maaf atas
kelancanganku ini.
Masih dalam ingatanmukah saat pertama
kali kita bertemu? Mungkin engkau sudah
melupakannya. Sungguh, aku tak pernah tahu
bagaimana atau karena apa, tiba-tiba saja ada
aliran lembut merasuki hatiku pada pandangan
pertama, saat bertemu engkau. Apakah engkau
paham itu artinya apa?
Berulang kali aku mencoba mengikat tali
pada tiang-tiang hati, tapi berulang kali tali itu
lepas hanya karena tiang-tiang itu sangatlah licin.
Berulang kali aku menanak harapan, tapi harapan
itu selalu saja tumpah meruah hanya karena bejana
limbung. Aku juga tak pernah tahu kenapa sampai
kini tali itu tak mau putus, harapan itu juga masih
kukuh. Untuk itu, aku masih butuh pilar yang
kesat, wadah yang kuat. Semua itu hanya ada
padamu, Milati.
Milati.
Sesungguhnya aku sangat enggan menyebut apa
yang kurasakan ini. Tapi bukankah perasaan itu
bisa singgah pada gubuk hati siapa pun dan kapan
pun? Tentang perasaan, tentang hati, semuanya
adalah anugerah yang sulit dijelaskan dengan katakata biasa. Manis? Pahit? Duka? Bahagia? Tidak.
Perasaan ini tidaklah sesederhana itu. Lantas?
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hanya diri yang bertaut perasaan itulah yang akan
paham dengan sempurna tanpa harus dibisikkan
oleh siapa pun, bahkan orang paling dekat sekalipun.
Di sini aku berbicara tentang diriku, Milati,
tentang perasaanku. Hanya aku yang paham meski
sebenarnya aku sangat ingin engkau memahaminya,
hanya engkau. Pada ujungnya, aku tetap tak bisa
berbuat apa-apa kecuali melempar sebuah tanya,
untukmu: Apakah engkau merasakan seperti apa
yang aku rasakan? Jika kau merasakannya, niscaya
kau akan segera paham.
Milati.
Sekian lama aku menyimpan perasaan yang
tertahan-tahan dalam beberapa larik kata itu, yang
dengan kata itu kau bisa menjelaskan ihwal hatimu
pada hatimu sendiri, seperti aku. Apa pun yang
bergejolak dalam hatiku, semua kutemukan dengan
kata-kata itu. Kumohon, jangan pernah engkau
bertanya kenapa karena aku sendiri juga tak tahu.
Dari sekian cecer kata yang kuobral, tak ada maksud
banyak, kecuali hanya satu. Satu yang menentukan
seutas tali dalam hatiku, harus kupenggal atau
sebaliknya. Satu yang akan membawa harapanku,
bertempat atau terbuang.
Setelah sekian lama perasaan ini terkatungkatung, kini aku menitipkannya padamu untuk
kauurus semaumu. Entahlah, akan kaukembalikan
dalam bentuk apakah kelak atau sama sekali tak
kaukembalikan.
Milati.
Jika waktu ke depan bisa menuntunmu pada
sebuah keputusan, aku akan menunggunya sampai
kau benar-benar datang untuk mengembalikan
perasaanku. Dalam bentuk apa pun itu, aku bisa
mulai belajar menerimanya. Mulai sekarang.
Sampai di sini rasanya tintaku sudah kering,
kata-kataku hening, meski masih banyak sekali halhal yang mengarak bersama awan, menggantung
bersama mendung, tanpa bisa aku raih dan aku
salin dalam lembar kertas berbatas ini.
Akhirnya.
Kebahagiaan dan kedamaian senantiasa me?
naungi?mu.
Dari seseorang yang berlebihan mengagumi?
mu.
Arif Ridwan
Tenggorokan Milati tercekat seusai membaca
isi surat itu. Seperti itukah surat cinta? Sekian
waktu ia dilanda kemasygulan. Awalnya ia
menyangka apa yang keluar dari mulut Ridwan
dulu-dulu itu adalah gurauan semata. Ternyata
salah. Ridwan tidaklah bermain-main dengan
hatinya. Surat itu sudah cukup jadi buktinya.
Tak bisa dimungkiri, Milati cukup menaruh
simpati pada pemuda itu. Hanya simpati, bukan
tertarik, apalagi jatuh hati. Tak pernah hati Milati
condong pada lelaki kecuali Misas. Lalu, jawaban
apa yang hendak ia kembalikan pada Ridwan jika
keadaan hatinya demikian rumit? Milati paham,
ia mendapat satu masalah lagi.
Pukul 09.00 pagi. Keadaan rumah sangatlah sepi.
Misas sudah ke kampus. Milati lebih banyak diam
setelah mendapat surat dari Ridwan. Hurin yang
merasakan kegelisahan Milati, akhirnya tak tahan
juga untuk tidak menanyainya.
"Mil, kamu kenapa? Dua hari ini kamu lebih
banyak diam. Kamu ada masalah?"
"Nggak, Mbak, cuma masalah kecil."
"Sekecil apa pun, yang namanya masalah tetap
membuat kita tidak nyaman. Mbak harap kamu
mau cerita. Siapa tahu Mbak bisa bantu."
Milati diam sejenak, lalu berujar, "Iya. Saya
lagi pusing, Mbak."
"Pusing kenapa?"
"Kemarin teman saya datang dari Malang. Saya
tak pernah mengira kalau maksud kedatangannya
itu ialah untuk.... "
"Untuk apa?"
"Dia suka sama saya, Mbak. Dia bilang itu
lewat surat. Dia juga minta jawaban dari saya."
"Ooo... itu masalahnya. Sekarang saya tanya.
Kamu suka nggak sama dia? Kamu ada perasaan
nggak sama dia?"
"Itu masalahnya, Mbak. Saya tak ada perasaan
apa pun sama dia. Selama berteman, berhubungan,
dia sering mengutarakan gurauan-gurauan yang
menjurus ke situ. Saya kira itu hanya gurauan
biasa, gurauan anak muda. Jadi, saya tak pernah
menanggapinya dengan serius. Tapi kemarin dia
datang sendiri. Dengan surat, pula."
"Ya, kalau kamu nggak ada rasa, bilang saja
nggak. Ngapain repot-repot?"
"Saya nggak tega mau bilang nggak. Takut
kalau dia sakit hati atau bagaimana...."
"Itu namanya risiko, Mil. Kamu kira dengan
kamu gantungkan seperti itu, dia nggak tersiksa?
Kamu kira lelaki itu makhluk bodoh yang nggak
punya feeling buat nebak kalau cewek diminta
jawaban tapi lama nggak ada jawaban, itu artinya
jawabanya tidak. Sama saja, kan? Lebih baik kamu
katakan apa adanya."
"Tapi...."
"Tapi, apa?"
Milati bungkam. Aneka bayangan yang men?
cemaskan berloncatan dalam kepalanya.
Sepulang kerja, Misas melemparkan tubuh ke atas
kasur. Gerah dan lelah. Ia tekan tombol on kipas
angin berdiri yang ada di samping ranjang. Rasa
sejuk mulai menjalar di tubuhnya. Tanpa sengaja
tatapannya jatuh pada selipat kertas biru yang
tergeletak di depan meja rias. Ia penasaran dan
meraihnya. Dibukanya lipatan itu. Pelan-pelan ia
mulai membaca.
Sesak yang sangat tiba-tiba mengganjal di
hatinya ketika dibacanya ada nama Milati di situ.
Sesak di dadanya semakin menjadi-jadi, bahkan
membuatnya susah bernapas, ketika matanya
menangkap untaian-untaian cinta seorang lelaki
pada gadis yang telah ia kungkung di hatinya
seorang itu. Perasaannya benar-benar kambuh.
Lukanya kembali berdarah, api di dadanya
berkobar-kobar seperti diangini. Semilir kipas
angin sama sekali tak bisa menyejukkan hatinya.
Amarah, cemburu, perasaan cinta semua mencuat
kembali. Seperti gumpalan api dalam perut
Merapi.
Ketika Hurin datang menghampirinya, de?
ngan suara bergetar akibat napasnya sesak, Misas
melempar tanya, "Ini surat cinta dari siapa?
Kenapa bisa... bisa ada di kamar kita?"
"Oh, itu dari teman Milati yang datang
beberapa hari lalu. Tadi saya yang membawanya
ke sini. Saya pengin Mas Misas bacakan untuk
saya. Tadi saya mau minta Milati bacakan sendiri
untuk saya tapi dia banyak kerjaan," kata Hurin
dengan tenang. Ia tak tahu sedang berhadapan
dengan naga yang baru bangun.
Begitu saja Misas keluar tanpa sepatah kata.
Hurin ditinggalnya mentah-mentah. Kipas angin
masih berputar-putar dengan suara parau. Pelan
Hurin berjalan bermaksud menyusul suaminya.
Sampai di telinganya suara gebrakan pintu di
depan. Sejurus kemudian, terdengarlah suara
sepeda motor dipacu dengan kasar. Misas pergi
begitu saja, tak seperti biasanya. Itu cukup
membuat Hurin bertanya-tanya tapi tak juga ia
menemukan jawaban yang tepat. Yang ada dalam
sangkanya, Misas sedang kecapekan, mungkin
ingin cari angin di luar.
Malam sehabis Isya, Misas baru pulang.
Masuk rumah tak bersalam pula. Wajahnya kuyu
berkeringat. Ia berjalan cepat ke kamarnya, lalu
ke kamar mandi. Sama sekali tak menghiraukan
Hurin ataupun Milati yang tengah berkumpul di
depan teve.
"Mas Misas dari mana, ya, Mbak? Kok tumben
jam segini baru pulang?"
"Nggak tau, ya. Sebenarnya tadi dia sudah
sampai rumah tapi keluar lagi dan baru pulang
sekarang."
"Nggak biasanya Mas Misas begitu. Biasanya
kalau masuk rumah dia bersalam, juga menegur.
Nggak antipati kayak barusan."
"Mungkin dia kecapekan, Mil."
"Kecapekan kok malah keluyuran?"
"Mungkin dia ada keperluan. Tapi memang
sedari pulang siang tadi dia sudah agak cuek. Saya
mau minta tolong sama Mas Misas buat bacaain
surat kamu dari Ridwan. Eh, nggak dijawab malah
ditinggal ngeloyor dan baru pulang sekarang."
Barulah Milati menyadari kecerobohannya,
membiarkan surat itu di tangan Hurin. Tak perlu
lagi Milati bertanya apa musabab sikap Misas
yang barusan.
"Kenapa, Mil? Kok diam. Kamu ngelamun?"
"Eh, enggak, kok, Mbak. Iya, mungkin Mas
Misas kecapekan."
Setelah lama ditunggu-tunggu, Misas tak
juga keluar kamar untuk makan malam. Hurin
menyusulnya ke kamar.
"Mas, ayo makan dulu. Sedari siang Mas Misas
pasti belum makan."
Misas tak menggubris. Ia masih menekuni
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buku di tangannya. Hurin yang merasa tak
diacuhkan mengulang kata-katanya, "Mas Misas,
ayo kita makan malam dulu. Habis itu Mas bisa
lanjutin kerjaan Mas."
"Saya nggak lapar. Kalian saja yang makan
duluan," jawab Misas kesal.
"Mas Misas sudah makan?"
"Nggak usah banyak tanya. Entah sudah
makan entah belum, yang penting sekarang saya
nggak lapar. Nggak pengin makan. Jadi nggak
perlu dipaksa," kata Misas dengan intonasi
meninggi. Rasa muak yang selama ini ia pendam
meluap juga.
Hurin terkejut bukan kepalang mendengar
bentakan suaminya. Baru sekali itu Misas bicara
agak kasar. Hurin keluar dengan hati terluka. Ia
hampir menangis. Dengan tidak bersemangat
Hurin mengajak Milati untuk makan bersamanya.
"Kenapa, Mbak? Mas Misas sudah makan?"
tanya Milati.
Hurin enggan menjawab. Ia tergugu. Hatinya
sedang lemah. Milati sudah mulai bisa menebak,
apa yang terjadi.
Demi memikirkan keadaan tiga nyawa dalam
satu atap itu, semalaman Milati tak bisa tidur.
Rasa bersalah memenuhi hatinya. Hurin yang
tak tahu apa-apa harus terkena akibatnya. Itu
yang paling mengganggu pikirannya. Milati yakin
itu baru mukadimah dari ketegangan di antara
mereka yang akan berkepanjangan nantinya.
Air matanya mulai meleleh membasahi bantal
putih yang menopang kepalanya. Hal yang
dikiranya sudah lepas bersama masa, ternyata
masih utuh. Tak berubah sama sekali, bahkan
telah menjalar. Dulu cuma dia dan Misas yang
menanggung beban itu, kini mau tak mau Hurin
harus terseret pula. Sudah telanjur. Tidak mungkin
bisa dielakkan sebagaimana tidak mungkinnya
waktu yang sudah lewat bisa kembali.
Hati
Seorang Istri
Sebelum Misas mau dan mampu memadamkan
kebakaran dalam hatinya sendiri, dan sebelum
Milati mencurahkan apa yang sesungguhnya
terjadi; selama itu pula kedamaian dalam rumah
itu tak akan menemukan titik terang.
Sekian hari sudah Misas memendam hati.
Setiap kali Hurin mendekat untuk tahu, untuk
berbagi, maka takkan Hurin kembali kecuali
dalam keadaan lemas dan tergugu. Dari itulah
Hurin angkat tangan. Ia tak tahu mesti berbuat
apa. Apalagi Milati, ia tak bisa berkutik.
Hurin merasa telah benar-benar kehilangan
suaminya. Lama-kelamaan muncul pula syak
wasangka bahwa Misas sama sekali tak mencintai?
nya. Sudah satu minggu Misas tidak menegurn?ya,
apalagi menyentuhnya. Sepanjang hari, sepanjang
doa, Hurin meratapi dirinya. Bilamana rumah
sudah sepi, Hurin duduk di hadapan Milati untuk
membagikan beban kegelisahan hatinya atas sikap
dingin suaminya. Milati hanya bisa menangis dan
beristigfar.
Milati tak habis pikir, sedemikian besar dan
panjang Misas mengumbar amarah perasaannya.
Sesekali ia ingin berbicara empat mata dengan
Misas tapi keadaan tidak pernah memberi waktu.
Bagaimana mungkin Milati mengutarakan ke?
gelisahan?nya pada Misas, sedangkan Hurin tak
pernah lepas dari sampingnya?
Pada titik kegusaran, Milati menuliskan
apa yang ingin ia sampaikan pada Misas di atas
selembar kertas. Rasanya memang agak aneh,
berkirim surat pada orang yang tinggal serumah.
Tapi mesti bagaimana lagi? Hanya dengan begitu
Hurin takkan tahu, apalagi curiga.
Kalimat-kalimat dalam kertas itu isinya begini,
Assalamualaikum.
Langsung saja.
Mas Misas.
Setelah waktu mendudukkan kita dalam sekian
lama, saya kira sejarah keguncangan jiwa yang
seperti dulu-dulu itu takkan terjadi lagi. Saya kira
Mas Misas sudah bisa meludahkan kenangankenangan tak berguna itu. Saya sangat bersyukur.
Meski kita terpuruk dalam duka lara namun
kita telah membuat banyak orang menyungging
senyum. Tapi rasanya pengorbanan, iris tangis yang
saya persembahkan selama ini, seperti tak berarti
apa-apa setelah saya dapati Mas Misas kuat-kuat
meninggikan ego. Maaf.
Mas Misas.
Bukankah seorang Muslim yang saleh, ketika
membangun mahligai rumah tangga, yang menjadi
dambaan dan cita-citanya adalah agar kehidupan
rumah tangganya kelak berjalan dengan baik,
dipenuhi mawadah wa rahmah, sarat dengan
kebahagiaan, adanya saling ta`awun, saling
memahami, dan saling mengerti? Bukankah titik
kebahagiaan bagi seorang Muslim ialah mendapati
istri salihah yang pandai memosisikan diri untuk
menjadi naungan ketenangan bagi suami dan
tempat beristirahat dari ruwetnya kehidupan di
luar?
Dari itu semua.
Bisakah Mas Misas menjelaskan kepada saya
alasan yang manakah yang Mas Misas pakai untuk
mengesahkan sikap Mas Misas yang demikian buruk
terhadap istri, istri Mas Misas sendiri?
Apakah Mbak Hurin pernah bernusyuz? Ataukah
masih kurang pengabdian Mbak Hurin sebagai
seorang istri? Atau adakah sikap Mbak Hurin yang
kurang pantas sehingga Mas Misas menghukumnya
dengan deraan batin seperti ini? Atau mungkin
Mas Misas masih belum bisa mencintai dia? Jikalau
itu jawabanya, tetaplah dalih itu tak bisa Mas
pakai untuk mendinginkan istri seperti itu. Yang
seharusnya Mas lakukan sebagai seorang Muslim
ialah berusaha menumbuhkan benih cinta pada
orang yang jelas-jelas sudah sah dan wajib Mas
cintai.
Ketahuilah, Mas Misas tidak akan mampu
mencintai seseorang atau siapa pun kalau Mas Misas
tidak menghormati mereka. Untuk menghormati
orang lain?dalam hal ini istri Mas?Mas Misas
harus terlebih dahulu menghormati diri Mas Misas
sendiri. Untuk mulai menghormati diri sendiri,
patutlah Mas Misas bertanya pada diri Mas sendiri,
"Apa yang harus aku hormati dalam diriku?". Yang
harus Mas hormati dalam diri Mas tidak lain ialah
posisi Mas Misas sebagai suami.
Dari sekian hak dan kewajiban antara suami
istri, apakah Mas Misas sudah menaatinya atau
setidaknya selalu berusaha untuk menaatinya? Atau
mungkin sebaliknya? Biarlah itu semua Mas Misas
sendiri yang menjawab. Melihat kesetiaan dan cinta
Mbak Hurin terhadap Mas, apakah pantas jika Mas
Misas memperlakukannya demikian? Seharusnya
Mas Misas bersyukur bisa mendapat wanita salihah
seperti Mbak Hurin.
Satu lagi yang terakhir.
Mas Misas harus insaf bahwa Mas Misas sudah
mendapatkan istri salihah yang sah. Itu berarti
sudah tak ada celah untuk menyisipkan harapanharapan atas hubungan kita. Saya takkan pernah
menyia-nyiakan pengorbanan yang selama ini telah
saya lakukan. Jikalau Mas Misas masih belum sadar
juga, Mas Misas telah sengaja memenuhi lembaran
hidup Mas Misas dengan dosa-dosa yang merugikan.
Semoga Mas Misas bisa memetik buah dari
kebun kata-kata ini.
Maaf. Sekian.
WAssalamualaikum.
Milati Tamama
Memang, segala sesuatu yang berhubungan
cinta sulit dipertautkan dengan pertimbanganpertimbangan, apalagi nasihat. Misas yang telah
membaca surat itu bukannya menjadi sadar,
melainkan bertambah geram. Begitulah kalau
api amarah sudah melalap hati, diangini nafsu,
pula. Sebuah nasihat tak ubahnya seciprat air
yang hanya bisa memadamkan nyala lilin tanpa
bisa menyentuh kobaran api yang besar. Yang
dilakukan Misas usai membaca surat itu bukanlah
lantas merenung dan berair mata, melainkan
menyobeknya jadi serpihan-serpihan tak berguna
lalu melemparkanya ke keranjang sampah.
Ihwal prahara yang membadai dalam rumah
tangga putra mereka, Abah dan Bu Nyai tak tahu.
Tidak juga Kiai Syafi? dan keluarga. Misas, Milati,
dan Hurin seperti telah berkomitmen untuk
membungkusnya rapat-rapat di hadapan orangtua
mereka. Mereka tak ingin orang-orangtua mereka
atau siapa pun terhempas topan dari badai
rumah tangga mereka itu. Mereka juga tak tahu
bagaimana kisah rumit seperti itu akan selesai.
Mukadimah
Malapetaka
Milati terhenyak dari duduknya ketika mendengar
sendawa-sendawa aneh dari kamar mandi. Milati
bergegas mendekati muasal suara.
"Mbak, Mbak Hurin baik-baik saja?" Milati
menghadapkan suara ke pintu kamar mandi yang
terkunci dari dalam.
"Iya, saya tidak apa-apa, Mil," jawab Hurin
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari dalam. Beberapa saat kemudian Hurin keluar.
"Mbak Hurin kenapa? Sakit, ya?"
"Nggak tahu. Sedikit pusing dan mual."
"Mbak pasti sakit," kata Milati sambil me?
nyentuh kening Hurin. "Tuh, badan Mbak
panas."
"Saya nggak apa-apa, Mil," tegas Hurin yang
masih berpegangan di kusen pintu kamar mandi.
"Ayo, Mbak saya antar ke kamar."
Milati meraih tangan Hurin dan memapahnya
ke kamar.
"Mil, bagaimana urusan kamu dengan Rid?
wan?" tanya Hurin yang telah terbaring me?
nyandar?kan tubuh di atas kasur.
"Dia masih sering menghubungi saya, Mbak."
"Kamu sudah kasih dia jawaban atau belum?"
"Belum."
"Kenapa kamu nggak lekas-lekas kasih dia
jawaban? Mau nunggu apa?"
"Nggak tahu, Mbak. Pikiran saya juga masih
kacau."
"Ya sudah kalau begitu. Engkau lebih tahu
dan lebih berkuasa atas urusanmu. Mbak percaya
sama kamu."
"Iya," jawab Milati terpekur.
"Mil, kamu tahu mengapa saya sering pusing
dan muntah-muntah?"
"Mungkin Mbak sakit?"
"Bukan. Saya sudah telat dua bulan, Mil."
Milati kaget. "Mbak Hurin hamil?"
"Sepertinya begitu."
"Alhamdulillah. Apa Mas Misas sudah tahu?"
"Belum. Sikapnya masih dingin. Menegurnya
saja saya tak berani, apalagi berbicara dengannya.
Entahlah, Mil. Sungguh saya tak tahu sebab
apa yang membuat Mas Misas jadi seperti itu.
Mungkin dia sudah nggak cinta lagi sama saya."
Masam bercampur pahit. Pedar sekali Milati
mereguk empedu hatinya. Dia tidak tahu harus
bicara apa. Dia begitu lemah hati melihat Hurin
yang terserak-serak oleh ketidaktahuan yang
sangat menyiksanya. Tertatih-tatih dalam keadaan
mengandung muda tanpa perhatian lebih dari
suaminya. Namun, Hurin tak boleh tahu kalau
perubahan sikap Misas itu disebabkan oleh Milati.
"Mbak, Milati ke kamar dulu, ya? Mbak
Hurin istirahat saja."
"Iya."
Sebelum Milati mengangkat kaki, ponsel di
saku jubahnya berdering. Dipandanginya lama
ponsel di tangannya itu, tidak segera diangkatnya.
"Siapa, Mil? Kok nggak diangkat?" tanya
Hurin ingin tahu.
"Ehhh Ridwan lagi, Mbak," kata Milati
seperti orang panik.
"Kamu angkat, dong! Kasihan."
"Iya." Milati mendekatkan ponsel ke daun
telinganya. "Halo. Assalamualaikum."
"Walaikum salam."
"Mas Ridwan?"
"Iya, Mil. Bagaimana kabar kamu?"
"Alhamdulillah, baik. Ada apa lagi, Mas?"
"Ngeganggu, ya?"
"Ng... nggak...."
"Ini, sekarang saya sudah di Jombang."
"Di Jombang?" Milati terkejut. "Memangnya
ada acara apa Mas ke jombang?" Lanjutnya.
"Pingin ketemu kamu. Insya Allah, habis ini
saya jemput kamu. Ini sudah hampir sampai. Saya
mau minta tolong. Saya juga butuh bicara sama
kamu. Saya harap kamu tidak keberatan. Rasanya
saya sudah tidak kuat lagi, Mil."
"Maksud Mas Ridwan?"
"Saya yakin kamu paham maksud saya.
Sudahlah, kamu siap-siap saja. Saya akan jemput
kamu."
"Tapi mau ke mana, Mas?"
"Nanti kamu juga tahu."
"Cuma berdua?"
"Nanti kamu juga tahu."
"Mas, saya serius. Tolong bicara yang jelas.
Jangan cuma ?nanti kamu juga tahu, nanti kamu
juga tahu?."
"Iya, maaf. Jelasinnya nanti saja. Yang penting
kamu siap-siap dulu. Sudah, ya. Sekitar satu jam
lagi insya Allah saya sampai. Assalamualaikum."
"Tapi, Mas."
Tut tut tut.
Telepon terputus.
"Ridwan kenapa, Mil?" tanya Hurin.
"Mas Ridwan mau ke sini. Dia mau ajak saya
keluar."
"Berdua?" tanya Hurin agak terkejut.
"Nggak tahu. Mas Ridwan nggak bilang apaapa. Dia cuma bilang mau jemput saya. Sepertinya
ada hal penting yang mau dia bicarakan sama saya.
Perasaan saya nggak enak, Mbak. Saya takut."
"Sebenarnya kan kalian bisa bicara di sini
dengan tenang, tak harus keluar."
"Iya, Mbak Hurin benar. Tapi tadi Mas Ridwan
sepertinya nggak mau dengerin penjelasan saya.
Dia buru-buru nutup teleponnya."
"Hhh... bagaimana, ya?" Hurin turut berpikir.
Milati terdiam, menggigit ibu jarinya. Panik.
"Yah, kamu tunggu saja Ridwan datang."
"Iya, sebaiknya begitu."
Detik-detik seterusnya, Milati tak bisa me?
nenangkan rasa penasarannya. Sambil merebahkan tubuh di dipan, ia terus bertanya-tanya, apa
sebenarnya hajat Ridwan dan mengapa bersikeras
ingin menemuinya? Milati tak bisa berpikir apaapa lagi. Ketika bel berbunyi, ia enggan beranjak.
"Mil, sepertinya ada tamu. Mungkin Ridwan,"
Hurin mengingatkannya.
Tanpa semangat, Milati menyeret langkah?
nya menuju pintu depan. Dengan pasrah Milati
membuka pintu. Perasaan cemas semakin menggelegak dadanya, cemas kalau-kalau nantinya ia
mengecewakan Ridwan.
Ketika pintu terbuka, tampaklah seorang pe?
muda bergamis biru tebal tersenyum manis di
muka?nya.
"Assalamualaikum," Ridwan menyapanya lem????
b?ut.
"Walaikumsalam, Mas Ridwan. Silakan masuk dulu," balas Milati dengan ramah meski se?
benarnya dadanya sedikit deg-degan.
"Iya, terima kasih. Kamu sudah siap, kan?"
"Memangnya kita mau ke mana? Sama siapa?
Ada keperluan apa? Terus, Mas Ridwan ke sini
naik apa?" Milati menumpahkan pertanyaanpertanyaan yang sejak tadi bercokol dalam
benaknya.
"Tenang... satu-satu saja pertanyaannya. Nanti
saya jelaskan semua di mobil. Itu Mas sama
Mbakku nunggu di mobil."
Mata Milati terpicing melihat van silver
yang terparkir di tepi jalan di depan rumahnya.
Seorang perempuan tersenyum menyapanya dari
balik jendela mobil yang terbuka separuh. "Oh...
jadi sampeyan bawa mobil. Itu kakak sampeyan?"
Ridwan mengangguk. "Jadi, bagaimana? Apa
kamu bisa ikut dengan kami? Sebenarnya kami
mau ke Pondok Tebu Ireng, ngantar adik. Dia
mau mondok di sana. Tapi itulah... kami belum
pernah ke sana. Ini yang pertama kali. Kami sama
sekali tak tahu arahnya. Kebetulan, sengaja saya
mau minta tolong sama kamu. Saya yakin kamu
tahu. Dan...."
"Dan apa?"
"Saya butuh bicara sama kamu. Sekalian saya
kenalkan kamu sama keluarga saya. Bagaimana?"
"Ehhh... bagaimana, ya?" Milati kebingungan,
ia menggigit jari telunjuknya. Ia sempat tersentak
kaget saat Ridwan bilang mau mengenalkannya
pada keluarganya.
"Ya, kalau kamu nggak bisa juga nggak apaapa."
"Bukan begitu, Mas. Tapi tentu Mas Ridwan
tahu bagaimana Mbak Hurin. Saya tak mungkin
meninggalkanya sendirian." Milati bernapas lega.
Ia bisa menemukan alasan yang benar-benar tepat
untuk menolak ajakan Ridwan. Meski begitu, ia
tak pandai mengenyahkan perasaan bersalahnya
karena?mungkin telah mengecewakan Ridwan.
"Pergilah, Milati. Saya nggak apa-apa di rumah
sendirian," ucap Hurin yang tiba-tiba muncul
dan menyentuh lembut pundak Milati. Rupanya
Hurin telah mendengar semuanya.
"Tapi, Mbak...." sanggah Milati.
"Sudahlah. Kamu antar saja mereka. Tebu
Ireng kan nggak jauh dari sini, paling-paling
setengah jam nyampai."
"Nggak apa-apa, Mbak. Kalau memang Milati
nggak bisa, nggak usah dipaksa," celetuk Ridwan
tegas.
Milati yang mendengarnya semakin tidak
enak hati. "Bener nggak apa-apa, Mbak Hurin
saya tinggal?" Milati memastikan.
"Iya. Sebelum kamu tinggal sama Mbak,
Mbak sudah biasa sendirian, kok. Tenang saja,"
jawab Hurin mantap.
"Kalau begitu, saya ambil tas sebentar," ucap
Milati, lalu beringsut ke dalam. Tak lama, muncul
kembali dengan tas kain kecil yang menggelantung
di pundaknya. "Kalau begitu, saya berangkat
dulu, Mbak. Mbak baik-baik, ya, di rumah. Insya
Allah saya segera kembali. Nggak lama-lama kan,
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mas?" Milati menoleh pada lelaki di sebelahnya.
"Iya. Insya Allah nggak lama, kok. Palingpaling cuma ngantar adik sowan ke Kiai, lalu ke
sekretariat. Habis itu kita bisa go home."
"Bener, ya?"
"Iya. Masku Magrib juga sudah harus sudah
sampai di Malang. Kami sebenarnya main kejarkejaran sama waktu. Nanti habis Magrib Mas ada
undangan penting, urusan kampus."
"Kalau begitu, jangan ngulur-ngulur waktu.
Kalian cepat berangkat. Kasian Mas sama Mbak
nunggu lama di mobil," Hurin mengingatkan.
"Kami berangkat dulu, Mbak," ucap Ridwan.
"Ya. Hati-hati, ya! Salam untuk Mas dan
Mbakmu."
"Yups. Kami berangkat. Assalamualaikum,"
Ridwan beranjak.
Milati mengikuti Ridwan setelah menepuk
bahu Hurin, "Kami berangkat dulu, ya, Mbak."
Setelah suara deruman mobil menjauh, Hurin
menutup pintu dan menguncinya dari dalam.
Sementara itu, Milati beramah-tamah dengan
keluarga Ridwan. Ridwan mempersilakannya
duduk di jok tengah, berdampingan dengan
seorang perempuan berwajah ramah. Adapun
Ridwan ada di jok paling depan, sebelah sopir. Di
sampingnya, seorang lelaki setengah baya tengah
memegang kemudi. Wajahnya tak jauh berbeda
dengan Ridwan. Milati yakin itulah kakaknya
Ridwan. Di jok paling belakang duduk tenang
seorang remaja putri, umurnya sekitar lima belas
tahun. Dia adik bungsu Ridwan.
"Mas, Mbak, ini Milati. Mil, ini kakakku, Mas
Miqdar. Yang di sebelah kamu itu Mbak Aina,
istrinya. Itu yang senyam-senyum di belakang
kamu adik bontot saya. Ruwaida, namanya. Dia
itu yang ngeyel pengin mondok ke Tebu Ireng. Dia
baru lulus Tsanawi," tutur Ridwan, mengenalkan
keluarganya pada Milati.
"Ini ternyata gadis yang sering diceritakan
Ridwan. Memang cantik. Auranya bagus. Ridwan
memang pintar milih," ucap Mbak Aina blakblakan.
Ridwan tersipu, tertampar malu. "Nggak usah
didengar itu, Mil. Biasa... Mbak Aina memang
suka ngoceh."
Milati sendiri kikuk. Yang bisa dilakukannya
hanya tersenyum-senyum menanggapi guyonan
Pendekar Rajawali Sakti 93 Bidadari Wiro Sableng 143 Perjanjian Dengan Roh Pendekar Rajawali Sakti 16 Rahasia
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama