Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal Bagian 5
yang baginya mengambang antara benar-benar
guyonan dan serius.
"Sudah... kasian Milati, tuh. Jadi dia yang
nggak enak sendiri," bela Ridwan.
Kendaraan terus melaju, mesin terus ber?
pacu. Setiap menjelang jalan simpang, Milati
mengomando tanpa disuruh. Beberapa kali ia
mengarahkan: kiri, kanan, lurus. Setelah setengah
jam, sampailah mereka di sebuah kompleks yang
berpagar tembok agak tinggi. Sebuah kanal berair
bening memotong jalan besar dan kompleks itu.
Tampaklah jembatan menukik di setiap gerbang.
Di sisi kiri dan kanan gerbang berdiri kokoh
dua buah tugu. Di atas, di antara dua tugu
itu, terpampang tulisan besar: PONDOK
PESANTREN TEBU IRENG JOMBANG.
Tulisan itu terbentuk dari timah kuning. Pantulan
sinar matahari pada tulisan itu membuatnya
tampak seperti bintang yang menyendiri di bilik
mendung, sungkan pada surya yang lebih raya.
Mereka segera sowan ke kiai, pengasuh pe?
santren. Hampir dua jam mereka mendapat
wejangan macam-macan dari sang kiai. Setelah
itu, mereka mengantar adik bungsu Ridwan ke
kompleks asrama santri putri. Tak kurang dari satu
jam mereka mengurusi administrasi di sekretariat
asrama santri putri.
Tak ada yang menyangka, waktu Asar sudah
di pelupuk mata. Setelah azan, segeralah mereka
mengambil wudu dan shalat berjemaah. Milati
sudah mulai waswas, ia mengkhawatirkan Hurin
yang sendirian di rumah. Ia juga khawatir Misas
telah sampai di rumah sebelum dia.
"Setelah ini kita langsung pulang kan, Mas?"
tanya Milati pada Ridwan. Kegelisahan mem?
berkas di wajahnya.
"Iya. Kita segera pulang. Tapi kamu tak
keberatan kan kalau kita mampir ke alunalun sebentar? Makan siang, eh... makan sore!
Sepertinya sudah pada lapar, nih. Nggak apaapa, kan? Mas sama mbakku pengin ngomongngomong banyak sama kamu. Plis," pinta ridwan
memelas.
Sekali lagi, Milati tak bisa menolak. Dengan
komando Ridwan, mobil berhenti di sebuah
tempat di pusat kota. Setelah mobil diparkir,
Ridwan mengajak Milati dan kedua kakaknya
untuk berjalan kaki beberapa meter. Sampailah
mereka di sebuah kompleks perbelanjaan. Lengkap
sekali di sana. Ada semacam pasar tradisional,
ada pula pasar swalayan bertingkat. Beraneka
permainan anak-anak tersebar di seantero taman
kota.
Meski hari menjelang sore, tempat itu malah
semakin ramai. Ridwan terus memimpin rom?
bongan hingga mereka sampai di sebuah rumah
makan apung. Di sana ada banyak gubuk yang
menjulang di atas kolam besar. Nuansanya ke?
desa-desaan, dihiasi rindang pepohonan dan
bunga-bunga. Asri sekali. Beberapa gubuk sudah
dipenuhi pelanggan. Dari atas gubuk, sambil
makan dan bersantai, para pelanggan bisa menikmati ke?indahan kolam yang dipenuhi ikan. Seroja
berwarna-warni menambah keindahan kolam itu.
Milati dan kakak-kakak Ridwan terkagumkagum melihatnya.
"Tempatnya bagus ya, sejuk," puji Mbak Aina.
"Iya. Cocok ini untuk muda-mudi," celetuk
Mas Miqdar.
"Mas Ridwan sering ke sini, ya?" ganti Milati
bertanya.
"Nggak sering, sih, cuma pernah. Kenapa?
Kamu nggak pernah ke sini?"
Milati menggeleng.
"Aneh, tuan rumah sendiri malah nggak tahu.
Tapi kamu suka kan tempatnya?"
"Iya. Suka banget."
"Ayo," Ridwan mengajak Milati dan kakaknya
untuk duduk.
Tak seberapa lama, seorang pelayan datang
dengan daftar menu.
"Mas sama Mbak mau pesan apa?" Ridwan
menawarkan.
"Terserah kamu, deh, yang penting ada
nasinya," jawab Mas Miqdar.
"Mbak Aina?"
"Saya ngikut aja."
"Kalau kamu, Mil? Ngikut juga?"
"Terserah Mas Ridwan saja."
"Oke. Awas, ya, kalau ada yang protes
dengan yang saya pesan!" Ridwan pun memesan
menu yang paling istimewa. Selagi menunggu
menu datang, Ridwan terus menghunjamkan
pandangan pada gadis yang ada di hadapannya,
seakan tak peduli pada kakaknya yang sesekali
menyindir dengan berdeham keras-keras.
"Saya mohon, Mas Ridwan jangan lihat saya
seperti itu," ujar Milati yang salah tingkah.
"Jatuh cinta boleh, tapi pandangan harus tetap
dijaga," sindir Mbak Aina sambil tersenyumsenyum.
"Iya. Mas juga pengin tahu. Bagaimana se?
benarnya hubungan kalian?" Mas Miqdar angkat
bicara. "Kamu juga sudah cukup umur. Kalau
memang kalian sudah cocok, tak ada lagi yang
perlu ditunggu."
Mendengar ucapan Mas Miqdar yang tanpa
basa-basi, Milati jadi mengkerut. Ia tak pernah
mengira hal itu sebelumnya.
"Ah, Mas Miqdar ini. Rasanya belum sejauh
itu. Kami cuma teman, kok. Tanyakan saja
sama Mas Ridwan," sahut Milati tenang setelah
mengatur napas. "Iya kan, Mas?" sambungnya,
melihat Ridwan yang masih terpaku dalam
duduknya.
Setelah beberapa detik, Ridwan mengangguk.
Bibirnya menyungging senyum, tetapi hatinya
getir. Secara tidak langsung, itulah jawaban Milati
yang ditunggu-tunggunya. Rupanya apa yang ia
khawatirkan terwujud. Milati masih belum bisa
membuka hati untuknya.
"Yah... Milati benar, Mas. Dari sisi saya, jujur,
saya memang menyukai Milati sepenuh hati.
Tapi kalau Milatinya belum siap, saya bisa apa?
Tak mungkin saya memaksa. Ya kan, Mil?" tutur
Ridwan kemudian.
Milati menunduk. Tak berkutik. Perasaan
tak enak menyeruak ke palung dadanya. Sepi
memagut beberapa detik sebelum akhirnya Rid?
wan memohon diri untuk ke kamar kecil. Itulah
kesempatan bagi Mas Miqdar untuk menanyakan
dan mendengar sendiri dari mulut Milati me?
ngenai bagaimana keseriusannya terhadap adik?
nya, Ridwan.
"Mil, sebelumnya kami sekeluarga mohon maaf
kalau kedatangan kami ini mengusik ketenangan
kamu. Tujuan kami datang ke Jombang, selain
mengantar adik kami ke pesantren, adalah
meminta kepastian dari kamu. Sepeninggal
Bapak, saya sebagai anak pertama punya tanggung
jawab besar terhadap Ridwan dan Ruwaida.
Alangkah bahagianya saya ketika Ridwan sudah
yakin menemukan gadis pilihannya. Ridwan itu
berharap banyak sama kamu, Mil. Dia itu di
rumah sudah seperti orang stres, mikirin kamu
terus," jelas Mas Miqdar serius.
"Maaf beribu-ribu maaf, Mas. Saya sangat
yakin Mas Ridwan itu pemuda yang baik, saleh,
lagi alim. Saya juga yakin masih banyak gadis
yang lebih baik daripada saya."
"Masalahnya bukan itu, Mil. Ini urusan cinta,
urusan hati."
"Karena itulah, Mas, ini urusan hati dan saya
masih belum bisa. Sekuat apa pun saya berusaha
mencintai seseorang, kalau hati belum bicara,
cinta juga nggak bakal datang. Sekali lagi maaf.
Tak satu hal pun yang bisa saya pakai sebagai
alasan untuk menolak maksud baik Mas Ridwan
tapi itulah, kalau hati belum terbuka, mesti
bagaimana lagi. Cinta itu seperti hidayah, takkan
datang sebelum dikehendaki. Ini rahasia Tuhan
dan saya cuma manusia yang lemah, yang tak tahu
banyak hal. Saya mohon Mas Miqdar mengerti,"
balas Milati yakin. Seiring kata-katanya yang
mengalir, perlahan ketegangan di hatinya turut
mencair.
"Kamu memang gadis idaman kaum Adam,"
tukas Mbak Aina, datar namun dalam.
Milati tersenyum. Wajah-wajah serius mereka
mencair ketika dua orang pelayan menghampiri
mereka dengan menu-menu yang telah dipesan
Ridwan. Keadaan sudah seperti semula saat
Ridwan kembali, seolah tak ada pembicaraan
penting apa pun.
Setelah hajat tepenuhi semua, mereka segera
pulang. Tanpa terasa waktu sudah di ambang
sore. Kekhawatiran menyeruak begitu saja di diri
Milati. Lagi-lagi ia khawatir Misas pulang terlebih
dahulu dan tahu dirinya pergi meninggalkan
Hurin seorang diri di rumah.
Sore semakin sore. Terang semakin petang.
Mobil Ridwan yang melaju berlebihan berhenti
di tepian jalan, di depan rumah Misas. Alangkah
terkejutnya Milati saat matanya menangkap sosok
Misas yang memperhatikannya dari teras depan.
Misas masih mengenakan pakaian kerja. Tasnya
juga masih ada di luar. Pastilah ia terkunci dan tak
bisa masuk.
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ridwan turun terlebih dahulu dari jok depan.
Ia berlari dan membukakan pintu untuk Milati.
Segeralah Milati mendekat menghampiri Misas,
Ridwan mengekor di belakangnya.
"Lho, Mbak Hurin mana, Mas?" tanya Milati
gugup.
"Ya, mana saya tahu. Sedari pulang kerja saya
belum masuk. Rumah terkunci dari dalam. Saya
kira Hurin keluar sama kamu," kata Misas dengan
intonasi jutek.
Ridwan yang merasakan gelagat tidak me?
nyenangkan segera memohon diri dengan sesopan
mungkin. "Maaf, Mas. Tadi saya ada perlu sedikit
dengan Milati," tutur Ridwan dengan hati tak
nyaman. "Mari, saya pamit, Mas. Mil, saya pulang
dulu. Assalamualaikum," sambung Ridwan.
"Wa?alaikum salam. Hati-hati!" balas Milati.
Misas menggeletukkan gerahamnya kuat-kuat.
Hatinya berkobar bukan main.
Milati bisa melihat keluarga Ridwan melambailambaikan tangan ke arahnya. Adapun Misas, ia
terdiam seribu bahasa. Wajahnya tampak tegang,
merah, dan marah.
Milati menjadi serbasalah. Dengan cepat ia
membuka pintu dengan kunci duplikat yang ia
bawa. Rasa khawatir meletup tiba-tiba. Tidak
mungkin Hurin tak mendengar bel dibunyikan
kalau tidak ada apa-apa. Milati berlari ke dalam
sembari memanggil-manggil Hurin. Rasa kha?
watir benar-benar menyepaknya ketika ia lihat
seonggok tubuh tergeletak tak berdaya di depan
kamar mandi.
"Masya Allah...! Mbak Hurin kenapa?" Milati
mulai terisak-isak.
Misas yang ada di belakangnya segera mem?
bopong Hurin dan merebahkannya di kamar.
Hurin lemas tak sadarkan diri.
"Mil, saya mau bicara sama kamu," ucap Misas
tegang, kemudian berlalu dari kamar.
Milati kaget. Ia mengusap air mata, lalu me?ng?
ikuti Misas. Entahlah, seperti ada kekuatan yang
memprovokasi hati mereka. Waktu bicara yang
tepat. Semua mulai mengalir, iblis memanfaatkan
kekalutan hati mereka. Misas dan Milati telah
diseret iblis untuk bersarang di ruang bawah sadar
mereka yang pekat berbau laknat.
Di ruang tengah, Misas duduk di sudut sebuah
sofa, Milati duduk di ujung sofa yang lainnya.
Lama sekali mereka hanya terdiam. Wajah Misas
merah. Ia menutup muka dengan kedua telapak
tangannya. Milati hanya menunduk tak berkutik.
Hati mereka berdesir. Tapi getir.
Milati menunggu apa yang hendak diucapkan
Misas. Apa pun itu, ia akan mendengarnya. Ia
siap menerima cacian terburuk sekalipun karena
telah meninggalkan Hurin seorang diri. Namun,
sungguh di luar dugaan siapa pun, berkat hasutan
iblis, Misas tak tahan lagi untuk tidak meluapkan
perasaan ngilu yang selama ini ia tahan-tahan.
Itulah mukadimah malapetaka bagi mereka.
"Mil beratus-ratus hari lebih dada saya sesak
memendam sakit," Misas mulai bicara. "Sejak saya
diseret Abah untuk mencelakakan diri, meminang
gadis yang sama sekali tidak saya cintai, sampai
saya hampir gila menyusul kamu ke Yogya lalu
kecelakaan, sampai kau berbohong pada Umi
sehingga saya harus benar-benar membunuh
diri dengan menikahi orang yang sama sekali tak
bertempat di hati saya. Jika kamu tahu, Milati,
hatiku masih utuh, bergeming darimu. Hari-hari
kulalui dengan perasaan cinta yang terus menyalanyala. Setiap kali kutiupi dengan harapan supaya
lekas padam, cinta itu malah semakin besar,
semakin berkobar. Kalau hatiku bisa kamu lihat,
mungkin ia sudah menjadi abu sejak dulu lantaran
panasnya."
Tatapan Misas menghunjam ke ulu hati Milati.
Air matanya mulai meleleh. "Milati, jelaskan
pada saya, apa dosa saya terhadap kamu sehingga
kamu menjatuhkan vonis demikian mematikan
terhadap saya? Jelaskan pada saya, alasan apa yang
membuat saya pantas mendapatkan yang seperti
ini?"
Milati yang telah lama membui hati me?
nunggu waktu, akhirnya bicara juga, "Mas, saya
meng?ambil pati dari kata-kata Mas yang pada
intinya mengutuki ketetapan, ketetapan Tuhan,
ketetapan jodoh, ketetapan cinta. Ya, Mas Misas
suka mengagungkan cinta sambil melaknatnya.
Cinta. Mas Misas berbicara pada saya tentang
cinta. Lagi-lagi cinta. Saya sendiri tak begitu
paham. Bagi Mas, apa sebenarnya cinta itu?
Biarlah Mas tahu apa itu cinta bagi saya. Cinta
itu ialah ibu bagi anaknya. Cinta itu ialah kata
metafora bagi para penyair. Cinta itu ialah lagu
bagi para penyanyi. Cinta itu ialah ilmu bagi
para alim. Cinta bagi orang seperti saya yang
tak memiliki apa-apa ini, apalagi kalau bukan
sebentuk pengabdian dan pengabdian itu amatlah
dekat dengan pengorbanan, Mas. Biarpun saya
dirajut pintalan lara, ditindih bongkahan nestapa
yang menjadikan hatiku hancur menjadi keping
dan ragaku lantak tinggallah puing, bagi saya
itu lebih mulia daripada harus menyerahkan diri
sebagai orang yang tak tahu diri.
"Berbicara soal perasaan, Mas Misas bolehlah
tahu perasaan saya. Kepada Mas Misas diri saya ini
tak ubahnya seorang anak yang butuh ibu, seorang
pujangga yang rindu kata, seorang penyanyi yang
girang lagu, seorang alim yang mencandu ilmu,
dan tentunya seorang abdi yang harus berkorban
untuk pengabdiannya. Seperti yang telah saya
lakukan selama ini. Saya tak mau semuanya ini
menjadi sia-sia. Saya tak rela jika Mas Misas
menyia-nyiakan Mbak Hurin. Itu zalim, Mas,
tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Saya mohon, kita harus segera mengakhiri semua
bencana ini," kata Milati berapi, wajahnya masih
juga tertunduk. Ia takkan sanggup menatap wajah
suami orang.
"Tidak, Milati. Tidak. Kamu jangan banyak
beribarat seperti itu. Cinta tetaplah cinta. Engkau
mencintai dan kucintai. Tak seharusnya kita
memasukkan diri ke jurang terjal mematikan
seperti ini. Kita harus mendapatkan apa-apa
yang bisa membuat kita tetap hidup. Kita harus
mendapatkan apa yang kita butuhkan, Milati. Kita
tak harus ingkar, kamu butuh aku sebagaimana
aku butuh kamu."
"Tidak, Mas. Sungguhlah berlebihan jika kita
selalu mendapatkan apa yang kita butuhkan,
apa yang kita inginkan. Terkadang sesuatu yang
terindah itu bukanlah yang terbaik. Tetapi,
sesuatu yang terbaik pastilah akan membawa kita
pada kemuliaan dan kebahagiaan."
"Mulia? Bahagia? Dengan keadaan kita yang
sekarang, kamu masih bisa berbicara tentang
kemuliaan, tentang kebahagiaan? Apakah se?
seorang pendusta itu mulia? Bagi Abah, Umi,
dan Hurin, kita adalah seorang pendusta. Di
depan Abah, di muka Umi, kita harus mengulum
senyum, padahal di belakang mereka kita ber?
masam muka. Di depan Hurin aku harus me?
majang muka manis sedangkan hati sempit
dan pahit. Apa itu kemuliaan? Setiap hari kita
bertemu, setiap hari pula kita harus berusaha
meredam cinta dan kerinduan di balik dinding
kamar kita yang bersebelahan, di balik tangis
kita yang terbata. Apakah itu yang kamu sebut
kebahagiaan?"
"Mas, kemuliaan terkadang memang ter?
sembunyi di balik hal-hal yang makruh. Pernahkah
Mas Misas mendengar kisah Kanjeng Sunan
Kalijaga yang rela mencuri demi menghidupi
nyawa orang lain, meski kemudian ia harus didera
hukuman yang menyakitkan dari romonya sendiri?
Sebagai manusia yang bermenung, yang bisa
menimbang maslahat dan laknat, bukankah kita
seharusnya selalu mengupayakan kemaslahatan
meski kita harus mengorbankan diri kita sendiri?
Tentang kebahagiaan, gelak senyum bukanlah
selalu buah dari kebahagiaan sebagaimana tangis
tak selalu satu dengan kedukaan. Kebahagiaan
teramat sulit diraih lewat kebahagiaan. Melalui
tamsil, kepedihan lebih banyak ditanggung akibat
tawa bahagia pada awal mula."
Begitulah, kalimat mereka sambut-menyambut
seperti puisi yang tak akan pernah selesai.
Kalimat-kalimat yang sejatinya hanya menambah
goresan-goresan semakin dalam. Mereka bicara
seperti dua orang karib yang terpisah lama oleh
tragedi-tragedi. Kata-kata mereka terus mengalir
seumpama hujan.
Dalam kata-kata yang tersembur di antara
keasyikan dan kepiluan, tak terpikirkan sama sekali oleh mereka bahwa sedari tadi seorang perem376
puan lemah tengah bersimpuh menyedihkan di
balik dinding pintu. Ia menyimak sendiri dengan
pendengarannya, menyaksikan sendiri dengan hatinya, lentik-lentik api yang terciprat dari mulutmulut hati dua orang yang saling memendam cinta yang teramat dalam.
Meski pengelihatannya buntu, cairan hangat
masih bisa mengalir deras dari dua sudut matanya.
Rasa sesal dan bersalah menukik hatinya. Sadarlah
ia bahwa ia hanyalah setegak dinding kejam yang
menyekat pertemuan dua hati yang murni. Di
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
celah perasaan biru itu terselip sebuah tanya,
bagaimana kemudian kelanjutan nyawa cintanya
sendiri terhadap Misas yang telah berbaur menjadi
darah dan merasuk ke dalam daging, bahkan
seolah dibawa mati.
Berkali-kali Hurin menyeka air matanya.
Menyelami kekalutan hatinya. Rasanya habis
sudah kata-kata dari bahasa manusia untuk
mengungkapkan kepedihan yang menggempa
dahsyat ke kalbunya. Hanya bah air mata yang
bisa mewakilkannya. Akibat hati yang rawan,
tubuhnya gemetar tak bisa menyeimbangkan.
Hurin tersungkur kembali. Pingsan.
Misas dan Milati yang mendengar sebuah
benturan segera berlari mendekat ke muasal suara.
Kejut dan kekhawatiran menggelayuti langit hati
mereka saat mendapati Hurin tergeletak tak
sadarkan diri di depan pintu kamar.
"Masya Allah, Mbak Hurin...." kata Milati.
Segera mereka memapah Hurin dan me?rebahkan?
nya kembali di kasur.
"Mas, apa Mbak Hurin mendengar semuanya?"
ujar Milati cemas tidak keruan.
Misas tak menjawab.
Sepi perlahan merambat. Ruang kosong,
dinding-dinding, langit-langit, lantai yang dingin
seolah penonton yang tengah khusyuk menikmati
drama yang diperankan tiga nyawa.
Urusan Hati
Di sisi dipan, Misas menunduk menopang
kepalanya dengan kedua tangannya yang tersandar
di bibir dipan. Perasaannya kalut malut.
"Mas," suara Hurin lemah.
Misas bangkit dari ketertundukannya. "Kamu
tidak apa-apa, Rin?" Misas matanya menatap
Hurin hendak jadi hendak tidak.
"Saya tidak apa-apa, Mas," jawab Hurin.
"Syukurlah kalau begitu," Misas menunduk
kembali.
Hurin terdiam untuk beberapa saat, kemudian
suaranya yang lemah terdengar lagi, "Mas, saya sudah tahu semuanya. Tak ada lagi yang perlu Mas
ataupun Milati sembunyikan dari saya. Meski
pandangan saya gelap tapi telinga saya tidak cacat. Hati saya juga masih utuh, bisa menyaksikan
sekaligus merasakan. Jadi, Mas Misas ataupun
Milati tak perlu lagi mengulum racun berlamalama. Sebagai orang yang sudah mengenyam cinta, tidaklah mungkin saya mampu menanggung
agunan sebagaimana yang ditanggung Mas ataupun Milati. Jikalau saya tahu hati kalian telah bertalian sejak mula, tentulah saya tak akan menjadi
pengganggu seperti ini. Bisa saya tafsirkan bahwa
cinta Mas terhadap Milati sudah sebesar cinta saya
terhadap Mas atau bahkan lebih.
"Dulu, dulu sekali sebelum saya mengenal
Mas Misas, saya sama sekali tak paham ihwal jatuh
cinta. Tebersit pula perasaan, apakah orang cacat
seperti saya ini patut mencinta ataupun dicinta?
Setelah saya mendapat kabar dari Abah bahwa
beliau telah memilihkan seorang saleh yang mau
meminang saya, saya merasa seperti lahir kembali
dengan binar bola mata baru. Ketika akad telah
Mas ikatkan dan puadai menaungi kita, benarlah
bahwa Allah telah menuliskan episode bahagia
dalam catatan gelap gadis buta seperti saya ini.
Benarlah nikmat Tuhan ketika saya menyimak
suara Mas, merasakan kelembutan sentuhan Mas,
meresapi wangi napas Mas. Di balik buaian
kenikmatan itu, bukan hanya mata saya yang buta
tapi hati juga. Sama sekali tak ada peka rasa pada
diri saya bahwa kenikamatan saya ini ternyata
adalah buah air mata yang berbaur dengan darah
orang yang saya kasihi selama ini, orang yang saya
kagumi.
"Tapi sudahlah, Mas. Tak ada manfaat me?
nukik gumpalan batu yang sudah tertanam dan
berkarat di tanah. Saya terlalu paham kalau cinta
diciptakan bukan untuk dibagi berporsi-porsi.
Tak mungkin pula seutas tali bisa buat bergantung
lebih dari satu hati. Kalaupun bisa, ia akan ciut
dan putus. Sungguh sulit saya bayangkan dua
orang yang saling mencintai hidup serumah dalam
ikatan lain. Ibarat musafir, kalian menderita sakit
dahaga dan dilarang meminum air meski telaga
terhampar segar di muka. Derita hati kalian sudah
panjang dan tak usah lagi dikatakan. Sungguh,
demi kebesaran cinta saya terhadap Mas, demi
ketulusan kasih saya terhadap Milati, saya mohon
Mas Misas tidak lagi menelantarkan Milati."
Misas mengangkat wajah. Ia pandangi wajah
Hurin. Mata Hurin seperti kelereng, sama sekali
tak bergerak meski seluruh wajahnya basah oleh
air mata. Dari lubuk hatinya yang terdalam,
menyembul rasa kasih yang amat sangat,
tapi itu bukan cinta melainkan iba semata.
Bagaimana pun belas hatinya, tak sedikit pun ia
bisa menyelami perasaan perempuan buta yang
menangis lemas di hadapannya itu. Tangannya
bergerak menggenggam tangan istrinya itu untuk
mengucap maaf.
"Maafkan saya, Hurin maafkan saya.
Sungguh, sama sekali saya tak bermaksud me?
nyakiti hati siapa pun. Saya mohon pengertian
kamu, Hurin, sekarang saya sedang berurusan
dengan hati. Tapi bisakah kamu jelaskan apa
maksud kamu dengan tidak menelantarkan
Milati?"
"Mas, sebagai istri Mas saya mengizinkan
bahkan memohon supaya Mas Misas mau
mengambil Milati sebagai istri Mas juga."
Misas tercengang tak percaya.
"Pada hakikatnya Mas Misas ialah miliknya
meski pada syariatnya Mas Misas sah milik
saya. Saya pun tak ingin Milati terus tenggelam
dalam kenestapaan seperti yang sudah-sudah.
Biarlah Milati memetik cintanya. Biarlah ia
mengembangkan senyumnya yang tersembunyi.
Saya yakin Mas Misas bisa menempatkan diri.
Biarlah saya yang nanti berbicara pada Abah,
Umi, dan yang lainnya. Saya yakin mereka bisa
paham," lanjut Hurin yakin, sedangkan isaknya
semakin meninggi.
"Maaf, Hurin, aku tak bisa."
"Kenapa, Mas? Bukankah menikah dengan
seorang yang dicintai adalah cita-cita?"
"Itu benar. Bila saya menikahi Milati, saya tak
lagi menikahi seorang, tapi dua orang."
"Beristri dua orang bukanlah larangan, Mas.
Yang penting Mas harus berusaha untuk berlaku
adil."
"Itulah, Hurin saya tahu saya tak mungkin
bisa adil."
"Memang tak ada yang bisa berlaku adil,
kecuali Allah. Tapi sebagai manusia kita harus
selalu berupaya sekuat tenaga untuk mewujudkan
yang namanya adil."
"Tidak, Hurin. Menikahi Milati sama artinya
dengan mengurung kamu dalam peti sempit yang
menyiksa."
Hurin terpekur. Dapatlah dia ambil kesimpulan
dari penjelasan suaminya. Jika ia mengizinkan
Misas menikahi Milati, ia juga harus siap untuk
mengundurkan diri. Secara halus, itulah maksud
kata-kata Misas.
"Baiklah, Mas, bisa saya tangkap maksud
Mas. Jika Mas Misas mengambil Milati memadu
saya, sama saja dengan membiarkan anak panah
terus menancap dan berkarat di tubuh saya, dan
luka tak akan sembuh. Jika Mas melepas saya,
mencabut anak panah itu, lama-kelamaan luka itu
pasti kering juga meski ketika Mas mencabutnya
saya akan menanggung sakit tak terperikan.
Saya terima bila Mas menjatuhkan talak pada
saya," kata Hurin dengan bias hati yang sulit
diungkapkan.
Misas kaget, menatap istrinya. "Kata itu
memang mudah diucapkan, Rin. Meski saya
akui saya benar-benar cinta mati sama Milati,
untuk menjatuhkan kata talak saya harus berpikir
panjang."
Kembali hati Hurin bagai tertusuk-tusuk
sembilu saat Misas mengatakan bahwa ia cinta
mati kepada Milati. Namun, ia hanya menyimpan
empedu itu dalam hatinya. "Saya tahu, Mas,
talak ialah perbuatan paling dibenci Allah, tapi
itulah jalan Mas. Apakah Mas Misas suka dengan
keadaan kita yang berantakan seperti ini? Lagi
pula kasihan Milati. Ia tak pernah mendapatkan
kebahagiaannya. Biarlah ia tersenyum, Mas. Saya
benar-benar rela. Sungguh tak bisa saya bayangkan
seandainya saya yang menjadi Milati."
"Tapi, Hurin...."
"Sudahlah, Mas. Sekali lagi saya mohon. Saya
yakin saya bisa menjelaskan semua pada Abah
saya, Abah, dan Umi. Memang..., ini memang
sangat berat dan pahit bagi saya. Saya tak mau
menelan pahit ini berlama-lama. Lebih tak mau
lagi apabila Milati yang telah lama menelan racun
ini, harus terus menelannya tak kunjung sudah.
Saya sayang pada Milati seperti sayang pada diri
saya sendiri. Saya benar-benar ingin melihat
Milati bahagia. Saya ingin diri saya bahagia,
Mas...." kata Hurin tersengal. Basah di matanya
sudah mulai kering.
Misas menajamkan matanya pada Hurin.
Perempuan mulia dengan wajah yang teduh.
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kelebihan-kelebihan yang dianugerahkan Allah
pada perempuan itu bisa dengan mudah menutupi
kekurangan fisik yang diujikan Allah padanya.
Pastilah banyak lelaki yang tertarik dengan pribadi
seperti Hurin. Seandainya ia tidak mengenal
Milati sebelumnya, bisa jadi benih-benih cinta
akan mudah tumbuh dan subur. Namun, semua
sudah ketetapan suratan. Betapapun ia tanam
benih cinta pada perempuan itu, sekian lama, tak
juga dapat tumbuh.
Untuk jatuh cinta, seseorang memang tidak
butuh waktu yang lama. Dalam hitungan detik
seseorang bisa jatuh cinta. Untuk menyukai
seseorang butuh waktu yang sedikit lama, perlu
pembiasaan, sehari dua hari, seminggu dua
minggu, seseorang bisa menyukai seseorang
yang lain. Tapi untuk mencintai dan melupakan
seseorang butuh waktu yang cukup lama. Meski
dipaksa-paksa, ditawar imbal, ataupun dibayang
ancaman, tetaplah takkan bisa. Waktu seumur
hidup pun belum tentu bisa.
Selamat Jauh
Masih seperti masa-masa sebelumnya, manakala
Misas sudah berangkat kerja dan rumah menjadi
sepi, dua orang perempuan sepenanggungan itu
akan saling berdekatan menukar kata, serapmenyerap perasaan. Namun, kali ini nuansanya
agak lain.
"Mil," tutur Hurin mengawali, "saya ingin
berbicara sama kamu sebagai sesama perempuan.
Perempuan yang sama-sama lemah, sama-sama
kaya akan air mata. Sudah cukup jauh rasanya
saya mendalami perasaan kamu. Saya minta kamu
tak lagi menyamarkan diri untuk menjunjung
perasaan kamu yang apa adanya itu. Saya sungguh
menyayangi kamu sebagaimana saudara sendiri,
bahkan lebih. Kita sudah seumpama satu jiwa
dua jasad. Jadi, tak mungkin terus-menerus saya
melukai diri saya sendiri. Untuk yang sudahsudah, saya memang tak mampu berbuat apa-apa.
Barulah kini saya rasakan sakitnya. Kalaulah sejak
semula saya tahu bahwa Mas dan kamu sudah
saling mencintai, tak akan mungkin semua ini
berlakon. Takkan bisa dimungkiri bahwa bagi
hati kalian saya adalah akar duri, penyebab sakit
yang selama ini menggerogoti kalian. Mengenai
kesalahan saya ini, adakah ungkapan kata selain
maaf yang bisa benar-benar membersihkan
kesalahan dan penyesalan yang saya tahan ini?"
Milati nyaris tertunduk. "Mbak Hurin tak
seharusnya bicara seperti itu. Sama sekali tak
ada yang harus dan perlu disalahkan atas segala
sesuatu yang sudah berlalu pergi. Saya tak suka
mendengar Mbak Hurin bicara seperti itu. Jika
Mbak Hurin masih percaya akan konsep jodoh,
jodoh itu ada di tangan Tuhan. Setiap orang
punya jodohnya masing-masing. Lalu, kapankah
jodoh akan benar-benar menjadi jodoh? Tentunya
setelah akad sebagaimana yang diamalkan Mas
Misas dan Mbak Hurin. Artinya, kalian telah
meraup separuh pengabdian dengan jodoh
kalian."
"Mil, jika kamu berbicara tentang jodoh, jodoh itu ialah keikhlasan. Jodoh itu kesamaan.
Kesamaan hati, kesamaan maksud, kesamaan tujuan. Adakah kamu melihat kesamaan itu antara
aku dan Mas Misas? Kamu tahu, Tuhan men?
ciptakan anggota tubuh manusia hampir semua?
nya berdua-dua. Mengapa Tuhan menciptakan
hati cuma satu?"
Keadaan lengang sejenak.
"Karena hati kita yang satu lagi ada pada jasad
orang yang kita cintai. Hati yang sama. Kamu
tak bisa ingkar kalau hatimu dan hati Mas Misas
adalah hati yang sama, hati yang satu."
Sepi memagut. Detik jarum jam terus berputar
seiring detak jantung dua perempuan yang
tersengal mengangkat beban perasaan masingmasing. Hurin merasakan kepedihan di hatinya
demi merelakan sang suami kembali kepada orang
yang dicintainya. Adalah Milati yang terimpit rasa
khawatir jika pertautan sakral antara Hurin dan
Misas terpenggal begitu saja tanpa makna.
"Mil?"
"Ya, Mbak?"
"Hari ini saya hendak balik ke Kediri. Sebentar
lagi Mbak Hayya akan kemari untuk menjemput
saya. Sebelum saya pergi, ada beberapa hal yang
ingin saya sampaikan pada kamu."
Milati terhenyak tanpa tahu harus berkata apa.
"Mil, saya sudah bicara banyak sama Mas
Misas. Bila suatu nanti Mas Misas memutuskan
sesuatu terhadap saya, terhadap kamu, saya harap
kamu mau menerimanya. Apa pun keputusan itu.
Biarlah milikmu tetap menjadi milikmu."
"Maksud Mbak Hurin?"
"Saya tak akan mampu menjelaskan semua ini
pada kamu. Biarlah Mas Misas yang menjelaskan
semuanya. Untuk sementara ini, biarlah saya sendiri. Bermuhasabah, menenangkan diri. Tolong
sampaikan maaf saya pada Mas Misas kalau saya
pulang tanpa izin dulu padanya. Dan lagi bila
Abah, Umi, atau siapa pun menelepon dan menanyakan saya, tolong katakan pada mereka saya
ke Kediri. Katakan saja saya kangen sama rumah."
"Tapi, Mbak...."
Sebelum Milati meneruskan kata-katanya,
terdengarlah deru mobil, meraung dan berhenti
di muka rumah.
"Itu pasti Mbak Hayya," ujar Hurin beralih,
seolah enggan memberi penjelasan lebih pada
Milati. Dengan tongkatnya, Hurin berjalan ke
depan.
Milati segera menuntunnya. "Mbak...." ujar
Milati merajuk, seolah tak mau ditinggal sen?
dirian.
"Maafkan saya, Mil," kata Hurin lagi.
Rasanya, banyak nian keputusan yang
diambil terlalu cepat. Milati masih tak percaya
bahwa perempuan berhati lembut itu pergi
meninggalkannya di rumah celaka ini sendiri.
Setelah Hurin masuk ke mobil, mobil pun meraung sebentar dan hilang dalam sekejap. Milati
masuk ke rumah dan menutup pintu. Pantulan
cahaya matahari yang tadi menerobos cerah ke ruang tamu perlahan remang dan semakin remang.
Tiba-tiba saja semua menjadi senyap. Sangat senyap. Kembalilah bayangan-bayangan seram bergentayangan menabraki dinding-dinding dalam
angkasa dadanya. Ia terngiang-ngiang kata-kata
Kahlil Gibran yang kini mewakili hatinya.
Telah kunyanyikan melodi cinta yang sangat
asing yang tak kuketahui sebelumnya. Namun
begitu aku terjamah menyimaknya, syair-syairnya
telah menjadi bisikan-bisikan yang sia-sia pada
ucapku, dan nada-nada dalam dadaku menjadi
sangat senyap.
Di kesunyian kamarnya ia duduk memeluk
lutut, pandangannya menerawang ke atas. Saat
mata ia pejamkan, ia merasa tengah duduk
seorang diri dalam gua yang amat luas dan sepi,
jauh sekali dari melodi-melodi cinta.
Dalam kesunyian kamarnya, pikirannya me?
nampar buana, meraih-raih sesuatu yang sangat
tinggi, yang mengawang. Bukan untuk apa-apa,
tetapi untuk ia buang kembali.
Pikiranya menerawang lagi. Hurin pulang.
Tinggal ia dan Misas di dalam rumah ini. Ah,
Misas. Wajah lelaki itu kembali memenuhi
kepalanya. Membuat dada dan kepalanya hanyut
berdenyut-denyut. Tak terasa matanya berair lagi.
Beberapa jenak, wajah Hurin yang muncul. Ia
teringat lagi kata-kata Hurin, "Biarlah milikmu
tetap menjadi milikmu."
Ia memejamkan mata, menghayati lagi katakata itu. Terasa dekat di telinganya Hurin tengah
berkata, "Milikmu tak lain ialah cinta dan cintamu
tak lain ialah Misas. Biarlah cintamu tetap jadi
milikmu, biarlah Misas tetap jadi milikmu."
Masih dengan mata cekung ia berdiri dari
duduknya. Ia mendekat ke meja tulis. Ia tarik
pelan buku harian yang terselip di antara bukubuku lainnya. Dengan tinta berwarna biru gelap
ia mulai menulis. Ia menulis dengan air mata yang
jatuh begitu saja. Jatuh menggenang di lembaran
kertas yang kemudian mengisapnya menjadi
kering, meninggalkan sisa-sisa noda aneh,
semacam percik dalam bulatan-bulatan kebirubiruan akibat tinta yang luntur. Meski begitu,
tulisan tangannya masih berbentuk indah dan
jelas bila dibaca. Setelah agak lama, ia terdiam dan
kehabisan kata. Disobeklah lembar kertas itu dan
dilipatnya rapi. Seperti ia biasa melipat hatinya
yang kumal akibat diaduk perasaan.
Dengan tangannya yang cekatan, dalam
sekejap seisi rumah telah ia bersihkan dan ia tata
dengan rapi. Jendela-jendela dan pintu ia tengok
satu per satu, kalau-kalau masih ada yang belum
terkunci. Buku-buku ia ringkas, ia masukkan ke
kardus besar. Beberapa pakaian yang paling sering
ia pakai ia masukkan ke tas. Barang-barang yang
sekiranya penting juga ia simpan di dalam tas.
Milati tak begitu peduli dengan keputusan
yang ia ambil. Ia hanya ingin rumah tangga
Misas dan Hurin tetap utuh. Jika kini mahligai
rumah tangga itu goyah, dialah guncangan
yang menggoyahkannya. Jika akad antara
Misas dan Hurin renggang, dialah sekat yang
merenggangkannya. Guncangan harus segera usai
dan tembok-tembok haruslah hancur. Biarlah
jalinan suci mereka berlanjut tanpa adanya
kemasygulan.
Sebelum benar-benar melangkah meninggal?
kan rumah, ia letakkan sobekan kertas yang
telah ia tulis di atas meja tulis di kamarnya.
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan hati pias dan wajah memelas ia beranjak
meninggalkan rumah. Menguncinya dari luar.
Sebelum hilang dari muka rumah itu, Milati
menoleh sejenak, menetap rumah itu lekat-lekat,
setelah memantapkan hati sekali lagi, ia mulai
mengayunkan langkahnya yang berat.
Selamat tinggal kenangan binal
Selamat pergi bilik merugi
Selamat jauh luka bersauh
Selamat pulang kisahku malang
Firasat
Dalam Surat
Milati terus menata hati seiring langkahlangkahnya yang berat. Kakinya mulai gontai
saat menapaki tangga sebuah bus. Yang sedang
menjalar dalam kepalanya ialah kecemasan
tentang bagaimana ia menjelaskan semua pada Bu
Nyai. Itulah sebabnya Milati lebih memilih untuk
pulang ke Yogya. Di samping meluangkan waktu
untuk menyiapkan hati dan menyusun kata yang
tepat untuk menjelaskan semua pada Bu Nyai,
Milati juga ingin melepaskan kerinduannya
terhadap kampung halaman. Entah sebab apa,
begitu saja ia sangat rindu berziarah ke makam
ayah ibunya. Seolah ayah dan ibunya sedang
menantinya untuk berkumpul bersama.
Untuk mengelabui kegelisahan hatinya, se?
panjang perjalanan ia memperbanyak zikir. Se?
iring hatinya yang remuk, menyeruak pula
sebuah dimensi aneh dalam kepalanya. Semacam
rasa lelah yang berlebih dalam ayunan langkah
yang malas, ia berhenti menapaki etape demi
etape kehidupan yang dirasanya sangat dramatis.
"Mungkin kematian lebih menyenangkan," begitu
pikirnya.
Bersama mulutnya yang berkomat-kamit, pikirannya melayang jauh. Mengumpulkan ingat?
an akan perjalanan hidupnya sedari kecil sampai
kini, detik ketika ia meninjau kembali perjalanan
hidupnya. Terbayang lamat-lamat masa kecilnya
ketika tiba-tiba ia sudah berada dan hidup dalam sebuah panti asuhan yang penuh kisah dan
kenangan. Perjalanannya terus melaju pada masa
awal remaja sehingga ia mengenal Misas dan mengenal cinta, lalu ia harus mematahkan harapannya
sendiri. Misas menikah dengan Hurin. Sampai
tinggal satu atap. Sampai Hurin tahu semuanya.
Sampai keutuhan sebuah keluarga terancam musnah. Sampai kini. Sampai kini.
Semua terlihat jelas dalam pejaman matanya.
Ia seperti sedang menonton sebuah film drama
atau tragedi dalam layar lebar yang terjabar di
kepalanya. Memanglah dunia ini layar lebar. Ia
hanya satu tokoh di antara sekian tokoh dengan
peran masing-masing. Ya, perjalanan hidupnya
itu tersusun rapi dalam kepalanya. Adegan demi
adegan telah ia perankan, hanya adegan pedih satu
lagi yang belum ia jalani, yaitu saat Bu Nyai tahu
semua yang sejak dulu ia sembunyikan. Semua itu
bisa ia bayangkan dengan mudah dan gundah.
Misas yang baru pulang kerja merasakan hatinya
tidak nyaman saat mendapati rumahnya terkunci
dan sepi. Beberapa kali bel ia tekan, tak juga ada
jawaban. Dengan kunci duplikat yang ia bawa, ia
bukalah pintu itu. Senyap.
"Rin? Mil?" Misas memanggil-manggil.
Sepi. Tak ada tanda-tanda orang dalam rumah
itu.
Ditengoknya kamar demi kamar, ruang demi
ruang. Benarlah, hanya ada sepi. Hanya saja. Di
kamar Milati, ia menemukan selembar kertas
terlipat di meja tulis. Segera Misas mengambilnya
dan mencari tempat yang nyaman untuk
membacanya.
Teruntuk Mas Misas.
Jumat, 26 Mei 2006
Assalamualaikum Wr. Wb.
Mas, saat Mas Misas membaca surat ini, mungkin
saya tengah menerbangkan hati, menikmati debu
jalanan dalam sebuah bus usang yang membawa
saya ke Yogya, ke kampung halaman yang tiba-tiba
saja saya rindukan.
Mas, maafkan saya jika selama ini kehadiran
saya dalam rumah tangga Mas tak ubahnya benalu
pengganggu pandangan dan perusak hubungan.
Mbak Hurin telah sampai habis menceritakan apaapa yang telah kalian berdua mufakatkan. Saya
tak tahu apa itu dan tak perlu tahu. Apa pun itu,
saya mohon dengan sangat supaya Mas Misas tidak
sekali-kali mengucapkan kata talak, pisah, atau apa
pun yang makruh. Mbak Hurin sama sekali tak
pantas mendapatkan itu.
Mas, pernikahan yang telah dibangun dengan
jerih payah, bahkan tangis darah, haruskah
selesai begitu saja tanpa arti apa-apa? Alangkah
menyakitkan bila sebuah pengorbanan menjadi
sesuatu yang kosong tanpa hasil apa-apa. Satu lagi
yang harus Mas Misas ketahui, kini Mbak Hurin
tengah mengandung. Berita gembira itu menjadi
sangat menyeramkan ketika Mbak Hurin mendapati
sikap Mas yang demikian ini.
Sampai di sini Misas menghentikan bacaannya.
Sebagai seseorang yang akan menjadi seorang
ayah, ia sangat bahagia mendengar berita itu.
Sebagai seorang suami, rasa sesal akan sikapnya
terhadap istri mulai tebersit. Sebagai seorang
lelaki yang tak bisa melupakan cinta pertamanya,
hal itu menjadi sangat pedih.
Dengan air mata yang mulai merembes ia
kembali menekurkan mata pada lembar kertas di
tangannya, dan kembali membacanya.
Maka dengan segala kekhilafan yang beriring
kata maaf, biarlah saya pergi dari kehidupan
kalian. Inilah cara mengakhiri bencana ini dengan
benar. Dengan begini saya yakin Mas Misas bisa
melepaskan saya seiring waktu, demi waktu, seperti
yang dulu. Untuk kesekian kali saya teguhkan
bahwa Mbak Hurin ialah istri Mas yang sah yang
wajib Mas cintai, Mas lindungi. Sebentar lagi Mbak
Hurin juga akan menjadi ibu dari anak-anak Mas.
Demi saya, saya mohon Mas mau menyusul
Mbak Hurin ke Kediri dan membawanya kembali
ke rumah damai kalian.
Tentang saya...
Anggaplah saya sehelai kapuk tak berarti apapun
yang bisa terbang ke mana pun tanpa ter?ikat apa
pun.
Anggaplah saya seperti debu yang hanya
membawa kotor dan menyesakkan napas.
Anggaplah saya sudah mati... itu rasanya lebih
baik.
Jadi, sudahlah. Saya benar-benar ingin lepas
dan melepaskan.
Yang paling akhir di antara yang terakhir
ialah kata maaf dari Mas Misas juga Mbak Hurin.
Maaf itu bagi saya seperti angin atau matahari,
yang tanpanya entahlah bagaimana kelangsungan
hidup saya.
Maka
Berilah saya maaf yang tulus setulus maaf di
malam takbiran seusai melepas Ramadhan dan di
pagi fitri.
Berilah saya maaf yang ihklas seikhlas maaf
seorang ibu pada anaknya yang telah durhaka.
Berilah saya maaf yang haru seharu maaf
seorang sahabat pada sahabatnya yang hendak
bepergian jauh.
Dan berilah saya maaf yang penghabisan
seperti maafnya seorang manusia pada manusia
lainnya yang hendak mangkat menghadap Tuhan.
Entahlah pikiran saya banyak berkhayal
tentang kematian. Memang kematian adalah misteri
Tuhan yang paling aneh. Tak bisa dihalang oleh
waktu dan ruang, tak bisa dicegah oleh lambung
langit ataupun ranah tanah.
Dari itulah, selama hayat masih dikandung
badan, selama dosa masih bebas berkeliaran, selama
itu pula kata maaf terus saya alirkan. Karena urusan
sesama manusia, Tuhan enggan bercampur tangan.
Itulah kata-kata terakhir saya.
Sekian.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Milati Tamama
Usai membaca surat itu, lama Misas me?
nundukkan wajah. Mengangkatnya lagi dan
menundukkannya lagi. Seperti dihayatinya
surat itu dalam-dalam. Milati dan Hurin pergi
dari sisinya. Yang tinggal hanyalah sepi. Ia ingin
menangis tapi air mata tak keluar juga.
Sebentar kemudian, ia melangkah. Di depan
pintu kamar Milati, ia tegak terdiam, menyandar?
kan bahu di rangka pintu. Dipandanginya kamar
itu dari setiap sudut sampai langit-langit. Kosong
tanpa roh. Ia melangkah lagi mendekati sebuah
lemari. Ada beberapa baju Milati yang tertinggal.
Ia raih salah satu baju yang terlipat rapi di lemari,
lalu dibawanya ke pelukannya. Dalam sekali
baju itu dipeluknya. Mulutnya terus bergumam,
"Milati." Matanya mulai basah.
Cinta. Ada kerinduan, ada debar hati, ada rasa
cemas yang berlebihan, ada pula remuk redam.
Cinta. Begitulah kalau sudah menyedihkan.
Sangat menyedihkan.
Entah rayuan apakah yang membuatnya begitu
sendu. Tidaklah sempat tebersit di pikirannya
bahwa ia telah meratapi orang yang salah. Bukan
kepergian istrinya yang ia sesali jauh, melainkan
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepergian Milati. Barulah ia sadar bahwa yang
membuat rumahnya selalu hidup bukanlah selain
cinta. Hanya cinta. Meskipun cinta itu berada di
lajur yang dekat tetapi jauh.
Catatan Hati
yang Mendung
Hari itu, Sabtu pagi, tanggal 27 Mei 2006, langit
dipenuhi oleh mendung. Namun, hujan tak juga
turun. Alam tampak seperti gedung pertunjukan
yang kematian listrik. Gelap dan lengang. Udara
di luar masih dingin dan akan semakin dingin.
Dalam kemurungannya, Misas lebih memilih
menenggelamkan diri dalam rumahnya yang juga
sepi. Tubuhnya lemas dan malas lantaran hatinya
yang nahas. Ia hanya duduk berlama-lama di depan
komputer. Dengan hati yang masih membara, ia
menyiangi tulisan-tulisan Milati yang tersimpan
dalam sebuah folder tersendiri. Dari puisi sampai
catatan hati, ia baca sekilas demi sekilas.
Dahsyatnya ombang-ambing ini
Meluluhlantakkan hayat
Gemuruh gejolak jiwakah?
Coba tanyakan musababnya
Pasti jawabnya bukan selain cinta
Namun, haruskah selalu begini?
Jika iya, tentu cinta itu di atas biasa
Namun, di dunia ini apa yang takkan usai
Biarlah ia mengalir saja
Nanti juga akan temu titiknya
Alirkan saja air dari matamu, itu maklum
Hei hidup bukan untuk itu saja
Itu harus selalu diingat bukan cuma tahu
Agar engkau tidak dilamun beban
Sepedih-pedihnya senyum pasti ada
Dan sesukacitanyatangis tetap sedia
Mungkin kadang wajah harus tengadah
Agar terlihat bahwa langit masih sama
Mahaluasnya, juga awan kabutnya
Adakah keluh kesah di sana?
Jika tidak, maka beribaratlah!
Hidup ini terlalu disayang
Jika hanya untuk lelap dalam pekat
Dengan ibarat akan tersaksikan
Bahwa hidup bukan cuma bermain
Jika ayat sulit dipaham
Maka lagi-lagi Bermainlah dengan ibarat!
Hitam memanglah bagiannya
Tanpanya tak ada awan putih itu
Tak disangsi semua itu bergulir
Tentu saja menuju titik akhir
Napas itu terlalu disayang
Jika hanya kaucetak dalam isak
Maka embuskanlah dari Hadi?ah
Yang terpakai indah sajalah!
Inginkah riwayatmu dianggap alpa?
Tentu jawabnya tidak
Sebenarnya semua itu benar
Gejolak hati juga benar
Apalagi air mata... tak perlu ditanya
Keseringan memang membiasakan
Ah, begitu mudah sudah
Kebiasaan memudahkannya
Sehingga pedih dan tangis juga biasa
Jadi beribaratlah!
Berjalanlah!
Nganjuk, Agustus 2005
Setelah membaca berlarik panjang arus katakata itu, Misas semakin penasaran dengan perasaan
Milati yang menjelma jadi kata-kata. Tidak tahan
ia untuk tidak membaca yang lainnya.
Kaubuka kembali lembaran kusam
Dan sejenak matamu terpejam
Kaurasai satu demi satu, hunjam demi hunjam
Air matamu mengembang luruh dan karam
Kaubuka mata dan kaubilang: "Ini dunia"
Kembali kaupunguti serpihan-serpihan lara
Kaususun kembali. Rapi
Kaubilang lagi: "Ini memang lara!"
Kauterawang-awang harap yang terbang
Kaukais-kais asa yang kikis
Tak jua kaudapati
Kaupun duduk lemas, bersimpuh pasrah
Air matamu kian menderas. Kau menggigil
Kautatap setiap sudut, setiap ruang. Semua
tertawa
Kaulemas. Kausungkurkan kepala ke depan
Duk terbentur dinding
Sedikit luka. Sakit
Kauberkata lagi: "Ini dunia!"
Walau begitu rasanya sakit juga
Kau masih bilang: "Ini dunia!"
Air matamu mulai mengering
Dan kaubilang: "Ini hidup!"
Bantul, Oktober 2005
Catatan tertanggal berikutnya:
Mungkin pernah sampai padamu
berlembar elegi
Yang semuanya bertalu dalam dramatika
yang dalam
Yang tanpa diselam pun akan basah oleh
air mata
Yang tanpa digilas pun akan pecah oleh
beban rana
Jika saja pendar mata ini sekering matahari
Biarlah air mata ini diisapnya
Jika pula cair darah ini sejernih sendang
Maka biarlah luka ini kan dibasuhnya
Jika juga jiwa ini setegak pilar-pilar baja
Biarlah beban lara ini kan dijunjungnya
Namun aku ini siapa?
Dan jiwa raga ini juga apa?
Bukan siapa atau pula apa
Hendaknya aku insaf akan harap-harap
yang khilaf
Aku memanglah dilahirkan untuk
bergelang rantai-rantai berat
Yang akan menindihku,
melukaiku, menghancurkanku
Ah, kenapa? Tidak saja aku tersenyum,
apa pun itu
Namun bukankah sejak lama tangisku
dan senyumku itu satu
Senyumku rupa tangisku
Dan kadang tangisku wujud senyumku
Janganlah dipikir senyum dan tangis
selalu bermusuhan
Nganjuk, Desember 2005
Catatan tertanggal yang lainnya:
Bersenandung irama keramat
Megatruh tentang kepunahan
Hilangnya siksa yang membahana
Adalah cita-cita pengantar luka
Tinggallah puing-puing imajinasi
Hancur lagi tersentak sadar
Ingar bingar mengabur maya
Nyata benar hadaplah tegar
Jangan pintal lagi benang citamu
Karena tentu kau tak ingin gila
Biarkan terbakar asal suci mulia
Daripada kekal menghina dina
Mana yakinmu yang kautabur?
Tidak tumbuhkan keberanian itu
Kau harus tegas bukan memelas
Karena kau bukanlah sampah
Tetapilah bendera yakinmu
Jangan kauganti kehebatannya
Percayalah semua kan baik-baik saja
Tiada aniaya angkara
Itu janji-Nya
Jombang, Maret 2006
Pada catatan tertanggal yang paling akhir,
bulan ini, ia baca pula:
Pernah dalam pikiranmukah?
Ketika jantung terpisah dari detak
Mungkin sejenak jiwa ragamu tersentak
Lalu menangis berserak-serak
Dalam pengap gelap kau akan singgah
Di mana kau akan merindu gerak
Bukan hanya sekadar rupa atau suara
Di situ kau bisa betah juga tidak
Kau pasti merindukan
Selalu kaubertanya: kapan?
Namun yang menjawabmu hanya geliat sindat
Kau pun akan menangis lagi
Sudut-sudut penuh sudut
Kau hanya bisa memandangi
Dan yang ada cuma hitam, kelam
Pengap lembah sempit
Kamarmu paling bersejarah
Tak pernah terbayangkan olehmu
Itu nyata bukan mimpi
Walau kauberharap supaya itu hanya mimpi
Buang sudah jauh sesalmu
Hendakkah kautambah deritamu?
Kembalikan saja! Serahkan saja!
Dia tak pernah angkara
Jombang, Mei 2006
Hati Misas menjadi ngilu. Dari sekian catatan
hati Milati, semuanya tidak jauh dari katakata air mata, luka, lara, sakit, pedih, pasrah,
dan seterusnya yang merupakan kata-kata dari
kamus elegi, kamus kesedihan. Barulah tergerak
hatinya yang menyangka-nyangka bahwa Milati
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah banyak berbuat jahat kepadanya. Tentang
pengabdian, pengorbanan, yang semua Milati
katakan adalah benar adanya.
Wajah Milati berkelebat lekat dalam setiap
kedipan mata. Misas mengeluh dalam hati,
mengapa gadis sebaik dia harus menjalani akting
hidup yang demikian mengeringkan air mata.
Atau barangkali kepedihan itu sendiri yang
menjadikan gadis itu semakin istimewa.
Pet!
Misas terbangun dari lamunnya.
Komputer tiba-tiba mati. Listrik mati. Rumah
yang rapat itu tambah gelap. Seperti itulah keadaan
hati Misas. Gelap lagi sepi. Tak ada hal nyaman
yang bisa ia lakukan, kecuali membenamkan diri
di atas tilam dan menutup muka dengan bantal,
lalu mengingat-ingat kenangan-kenangan yang
menyedihkan.
Deg!
Misas terperanjat dari rebahnya. Dirasakannya
dipan yang menyangga tubuhnya bergerak-gerak.
Lampu gantung di atas juga berayun-ayun.
Hiasan-hiasan dinding juga terseok-seok.
Tanah yang dipijaknya berguncang hebat.
Misas berlari ke luar kamar. Ke luar rumah.
Sejenak berlalu. Tenang kembali. Misas masuk
kembali ke rumah. Ke dalam kamarnya.
Misas masih tercengang kagum pada bukti
Tuhan yang barusan ia saksikan. Matanya masih
nyalang menatap lampu-lampu gantung dan
baju-baju di hanger yang masih berayun-ayun.
Sesuatu yang berat menyusup halus ke
rongga dadanya. Perasaannya tiba-tiba tidak
enak. Dadanya berguncang seperti hamparan
bumi yang berguncang, apa-apa dari dalamnya
akan tersentak keluar. Rasa haru, takut, cemas,
tidak tenang... semuanya muncul. Selayaknyalah
seorang hamba yang menyaksikan kebesaran
Tuhannya dengan mata kepalanya, hatinya
akan bergetar bahkan berguncang. Sebagaimana
seseorang yang menyaksikan kebesaran cinta,
pastilah hatinya didera zalzalah.
Guncangan barusan menyeret ingatannya
kepada surat Milati. Misas tersungkur di atas
dipan yang sepi. Ruang pikirnya melanglang jauh.
Masih lekat di batok kepalanya semua perilaku
buruknya terhadap Hurin. Yang membuat
haru hatinya semakin dalam ialah sikap istrinya
yang senantiasa lembut dan memaafkan semua
perilakunya yang kelewat batas itu. Betapa Abah
dan Umi sama sekali tak salah telah memilihkan
Hurin untuknya.
Di lain sisi, teringat pula ia pada Milati, gadis
malang itu. Di sela perasaan cinta yang sebenarnya
masih menyala, ia merasakan keharuan yang
luar biasa. Sebuah dimensi keharuan yang sulit
ia biaskan dalam bentuk apa pun kecuali dalam
tangisan.
Begitulah, semua bercampur menjadi satu.
Berkali-kali ia menyeru nama Tuhan sambil
tersedu. Beberapa jam menangis telah membuat
kedua mata Misas mencekung dan sipit.
"Aku akan menyusul Hurin ke Pare dan
bersimpuh meminta maaf padanya," gumamnya
kemudian.
Mengawal Sesal
Misas masih juga sulit menahan sesak di dadanya,
sesak yang terus-terusan menekan kelenjar air
matanya. Dalam perjalanan, ia tak henti-hentinya
beristigfar. Ia sembunyikan lebam lembap
matanya di balik helm besar yang menutup
penuh kepalanya. Matahari yang garang terasa
terus mengejarnya tak kenal lelah. Panas mulai
menjalari tubuh dan tenggorokannya, tetapi ia
bergeming. Ia menambah kecepatan motor, tak
sabar untuk bertemu sang istri dan bersimpuh di
hadapannya, memohon maaf dan menyerahkan
diri sepenuh hati.
Sebelum azan Asar berkumandang, Misas
telah sampai di kompleks Pesantren Nurul
Hu?da Pare. Segera ia memarkirkan sepeda
motor. Penglihatannya menangkap Kiai Syafi?,
mertuanya, yang tengah sibuk dengan tanaman
hiasnya. Dadanya berdebar. Ia merasa tidak enak
terhadap mertuanya. Segeralah Misas mengecup
tangan mertuanya itu. Kiai Syafi? pun menyambut
Misas dengan senyum hangat.
"Hurin di dalam. Masuk saja, Abah masih
sibuk ini," kata Kiai Syafi?.
Misas menuruti kata mertuanya dan masuk.
Rumah terasa senyap. Di ruang tamu ada segelas
kopi yang tinggal separuh, pasti kopi Abah.
Tanpa banyak tingkah, Misas segera mengarahkan
langkah menuju kamar Hurin.
"Assalamualaikum...." ucap Misas sambil
mengetuk pintu.
Hurin yang mendengar ulukan salam itu
seolah tak percaya, jantungnya berdesir. Ia sangat
hafal dengan suara itu. "Mas Misas," pikirnya.
"Masuk, nggak dikunci," suara Hurin ter?
dengar bergetar dari dalam.
Misas segera masuk dan menutup kembali
pintu kamar. Dilihatnya sang istri duduk tenang
di atas tilam. Ia tahu istrinya pasti usai mengulang
hafalannya.
"Hurin," kata Misas, ia duduk tersungkur
di tepi dipan. Tangannya meraih kedua tangan
istrinya, "Maafkan saya." Cuma itu kata-kata yang
keluar dari mulutnya, sementara punggungnya
terus berguncang menahan ratapan.
Tangan lembut Hurin mengusap rambut
suaminya. "Mas, sejak semula saya telah
memaafkan Mas Misas. Sungguh, bisa saya
rasakan dan bisa saya pahami apa yang Mas
rasakan. Sudahlah, Mas. Lupakanlah semua.
Bagaimana dengan Milati?"
Misas terdiam seribu kata. Kepalanya masih
menunduk di lutut istrinya.
"Bagaimana Milati, Mas? Sekarang dia di
mana?" Hurin mengulang pertanyaannya dengan
tegas.
Misas mengangkat kepala. "Milati balik ke
Yogya dan meninggalkan sebuah surat."
Hurin terdiam dalam adukan perasaan yang
hanya dia sendiri yang tahu. "Milati pulang ke
Yogya...." katanya lemah mengulang perkataan
suaminya. "Kenapa?" lanjutnya.
"Sungguh, saya sendiri tak begitu paham. Saya
juga tak tahu harus bagaimana."
"Tolong bacakan surat itu, Mas!" pinta Hurin.
Dengan sigap Misas mengambil lembaran
surat terakhir Milati dari saku celananya. Untuk
yang kedua kalinya Misas membaca surat itu,
kali ini untuk istrinya, dengan tangan bergetar,
dengan suara gentar.
Hurin tak bisa menahan tangis usai surat itu
dibacakan untuknya. Jadilah sepasang suami istri
itu bertangisan lirih.
"Mungkin itu sudah menjadi kehendak Milati,
Rin."
"Kasihan dia, Mas. Saya paham perasaan
seorang perempuan yang berada dalam posisi
seperti dia. Sungguh, saat ini pikirannya pasti
sedang kacau dan hatinya pasti sangat sedih. Mas,
mengapa Mas tidak melakukan permintaan saya
untuk segera mengatakan semua pada Milati dan
meminangnya?"
Misas terdiam untuk kesekian kalinya. Hati?
n?ya terasa teraduk-aduk dan bingung. "Saat
saya pulang dari kampus, saya sudah tidak
menemukan Milati, Rin. Saya hanya mendapati
suratnya. Surat itu telah membuat saya insaf
bahwa pernikahan ataupun talak bukanlah suatu
permainan seperti dalam sinetron-sinetron. Ikatan
itu sakral, bahkan lebih sakral daripada cinta itu
sendiri. Kini saya akan coba melupakan Milati.
Milati bukanlah perempuan yang halal bagi saya.
Cuma kamu, Rin... satu-satunya cuma kamu.
Saya akan memberikan cinta dan sepenuh diri
saya hanya pada kamu, bukan pada Milati atau
pada siapa pun. Mohon mengertilah, Rin. Saat
keinsafan menaungi diri saya, saya mohon kamu
tidak menggoyahkannya lagi."
"Mas, saya tahu dan Mas harus jujur bahwa
Mas masih mencintai Milati. Saya juga bisa
merasakan bahwa Milati juga masih belum bisa
menghapuskan cinta pertamanya."
"Milati telah menjelaskan semuanya pada saya.
Kata-kata dan nasihatnya untuk saya, semua itu
adalah benar. Dia sudah begitu banyak berkorban
demi kita, demi Abah, demi Umi. Haruskah saya
mengacungkan ego dan menghancurkan semua
pengorbanan yang telah dilakukannya? Baiklah,
jujur saya katakan, melupakan cinta pertama
memang bukanlah hal yang mudah. Jujur pula
saya katakan bahwa Milati masih membawa
sebagian hati saya. Maaf, Rin, saya harap kamu
tidak kecewa ataupun cemburu. Meskipun begitu,
mulai detik ini saya berjanji akan menghapus
Milati dari hati saya karena hanya kamu seorang
yang pantas dan harus menghuni hati saya. Saya
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
benar-benar ingin menghapus Milati dari dalam
hati saya. Saya tak mau terus menanggung dosa
dengan terus-terusan memikirkannya. Berilah
saya kepercayaan dan kesempatan, Rin."
Ganti Hurin yang terdiam. Sedikit isaknya
masih tersisa, sedangkan mulutnya menyebut
nama Milati. "Milati... semoga dia selalu
mendapatkan yang terbaik."
"Ya, gadis seperti dia seharusnya selalu men?
dapatkan yang terbaik."
Guncangan
Besoknya, Minggu tanggal 28 Mei 2006. Langit
masih agak suram, menyisakan mendung yang
masih menggantung di langit lepas. Misas dan
Abah tengah berbincang-bincang ringan di be?
r?anda depan ditemani secangkir kopi dan surat
kabar pagi.
"Masih pagi kok kayak sudah sore ya, Bah.
Gelap," keluh Misas.
"Iya, aneh. Dari kemarin rasanya mendung
nggak habis-habis. Hujan juga nggak turun sama
sekali."
"Yah, semoga nggak ada apa-apa, Bah."
"Semoga semua baik-baik saja."
"Koran baru ya, Bah?" tanya Misas sambil
meraih surat kabar pagi yang tergeletak di atas
meja.
Alangkah terkejutnya Misas ketika matanya
menangkap sebuah tulisan di halaman paling
depan surat kabar pagi.
Gempa Dahsyat Melanda Yogyakarta
Peristiwa gempa bumi tektonik mahadah?syat te?
lah mengguncang dan meluluhlantakkan daerah
Istimewa Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah
pada 27 Mei 2006 kemarin. Gempa terjadi sekitar
pukul 05.55 WIB selama 57 detik.
Gempa susulan terjadi beberapa kali seperti
pada pukul 06.10 WIB, 08.15 WIB, dan 11.22
WIB Gempa bumi tersebut berkekuatan 5,9 pada
skala Richter. United states Geological Survey
melaporkan 6,2 pada skala Richter.
Korban tewas menurut laporan sementara
dari Departemen Sosial Republik Indonesia pada
hari ini berjumlah 3.000 orang. Diperkirakan
korban tewas akan semakin bertambah melihat
kondisi gempa yang menjadikan hampir semua
perumahan warga rata dengan tanah.
Korban dan kerusakan terparah dialami
oleh Kabupaten Bantul. Presiden Susilo Bam?
bang Yudhoyono segera memerintahkan Pang?
lima TNI, Marsekal TNI Djoko Soeyanto, me?
ngerahkan pasukan di sekitar Yogyakarta dan
sekitarnya untuk melakukan langkah tanggap
darurat. Rombongan presiden sendiri langsung
terbang pada sorenya dan menginap malam itu
juga di Yogyakarta.
Dari dalam negeri, Palang Merah Indonesia
memberikan respons yang cepat melalui ca?
bang-cabangnya di tingkat kota dan kabupaten
ter?dekat. Mereka melakukan tindakan-tindakan
pertolongan darurat, salah satunya dengan
mendirikan Rumah Sakit Lapangan di Lapangan
Dwi Windu, Bantul.
Sebelum tulisan itu tuntas dibacanya, tubuh
Misas sudah gemetar. Sendi-sendinya terasa lung?
lai. Mulutnya berkomat-kamit menyebut nama
Tuhan dan Milati. Perasaannya sudah jauh dari
rasa enak. Sesak.
"Kenapa, Sas?" tanya Kiai Syafi?, kaget melihat
perubahan air muka Misas.
"Milati, Bah!"
"Milati yang penulis itu? Yang bantu-bantu di
rumah kamu? Kenapa?"
Misas menyerahkan surat kabar yang tadi
dibacanya pada Kiai Syafi?. "Baca ini, Bah! Saya
ke dalam dulu." Misas beranjak menemui istrinya
yang tengah asyik menyimak berita pagi.
"Hurin!" serunya agak tegang.
"Kemarin Yogya dilanda gempa dahsyat, Mas,"
kata Hurin tak kalah tegang. Rupanya berita
gempa bumi dahsyat yang melanda Yogya pada
tanggal 27 Mei 2006 itu telah menyebar ke semua
media massa.
"Milati, Mas. Milati Milati tidak benarbenar ke Yogya, kan?" tanya Hurin, seolah tak
mau percaya.
Misas tak menyahut. Pikirannya kembali pada
surat terakhir Milati. "Itukah yang Milati katakan
tentang kematian, tentang, ajal, tentang misteri
kuasa Tuhan?" batinnya."Ini kuasa Tuhan, Rin.
Kita harus tenang. Insya Allah Milati baik-baik
saja di sana."
"Iya, tapi bukankah rumah Milati itu terletak
di Bantul? Daerah itu paling parah diguncang
gempa. Korbannya juga paling banyak."
"Percayalah, Rin, tenang.... Milati akan baikbaik saja. Milati tidak termasuk sekian ribu
korban itu. Saya yakin Milati masih hidup, Rin.
Milati baik-baik saja," ucap Misas dengan hati
yang sebenarnya guncang.
"Kita harus segera ke sana, Mas. Harus. Mari
kita ke sana...."
"Iya, tapi Yogya itu jauh dan keadaannya pasti
masih sangat kacau...."
"Saya mohon, Mas... perasaan saya tidak enak.
Saya mohon, Mas. Tolong antarkan saya ke sana.
Kita harus bertemu Milati, Mas. Saya mohon,
Mas..." pinta Hurin yakin. Matanya sudah basah.
Misas pun terbawa perasaan. Terbayang
olehnya wajah gadis yang sebenarnya masih
terlukis di hatinya itu.
"Iya, tapi haruskah sekarang?" elak Misas.
"Kapan lagi, Mas? Saya tak mau mengulur
waktu. Sungguh, perasaan saya tidak enak, Mas.
Sekarang kita harus ke sana," desak Hurin tak
mau kalah.
"Baik, baik. Sekarang kamu bersiap-siap. Saya
akan coba meminta izin pada Abah."
"Iya," ucap Hurin lega. Namun, ia masih
belum bisa menenangkan hatinya. Suara Milati
yang terngiang di telinganya dan memanggilmanggilnya, terasa terus mengusiknya. Mem?
buatnya semakin cemas dan sedih.
Pagi itu juga, setelah memohon izin pada
Kiai Syafi?, suami istri itu berangkat ke Yogya
ditemani Kang Husen, santri Kiai Syafi? yang
biasa mengabdikan diri sebagi sopir pribadi Kiai.
"Kang, sebelumnya maaf kalau kami merepot?
kan Kang Husen. Nanti kalau Kang Husen
ngantuk, gantian sama saya. Tenang saja."
"Waduh, Gus Misas ini. Saya toh sudah biasa,
Gus. Kalau Gus Misas bilang begitu, saya yang
jadi sungkan sendiri."
"Ya sudah kalau begitu. Ayo kita lekas be?
rangkat."
"Inggih."
Seiring mobil yang mulai berjalan, pikiran
Misas juga berjalan memikirkan segala kemung?
kinan yang bisa saja menimpa Milati. Sejatinya
rasa cemas di hatinya amatlah besar. Sekuat tenaga
ia menahan hati dan air mata karena memikirkan
kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi
pada seorang Milati. Tidaklah jauh beda apa yang
dirasakan Hurin. Mulai awal perjalanan, hatinya
telah penuh dengan rasa cemas, takut, dan iba
yang berlebihan.
Dari Pare, Kediri, mobil mulai merangkak
ke Kertosono. Dari Kertosono ke Nganjuk, ke
Madiun, kemudian melewati Magetan, berlanjut
ke Ngawi, lalu ke Sragen, dan sampailah di
Surakarta. Dari Surakarta mereka menuju Klaten
sampai masuk ke perbatasan timur Yogyakarta.
Semakin masuk ke area pusat gempa, semakin
terlihat bangunan-bangunan yang tumbang.
Semakin banyak dan semakin parah. Sepanjang
perjalanan menuju ujung timur paling barat dari
Jawa Tengah, mereka mendapati puing-puing di
mana-mana. Yang paling banyak ialah puingpuing air mata.
"Mas, apa kita belum sampai? Rasanya sudah
lima jam lebih perjalanan kita ini," tanya Hurin
penasaran. Matanya telah kering tertabrak kantuk
berkali-kali.
"Alhamdulillah, kita sudah hampir sampai.
Kita sudah masuk perbatasan timur Yogya," Misas
mengabarkan.
"Gus, ini sepertinya semakin masuk ke Yogya,
jalanan semakin sulit dilewati," tutur Kang Husen.
"Kita masih bisa lewat, kan?"
"Iya, masih bisa, tapi kita harus pelan dan hatihati."
"Tapi kita masih bisa kan ke daerah Milati?
Kita harus menemukan Milati, Mas! Dalam
keadaan apa pun," ungkap Hurin gusar.
"Tenang, Rin. Kita pasti akan menemukan
Milati."
Tepat sekali dugaan Kang Husen. Semakin
mendekati daerah Milati, semakin sulit ia me?
lajukan mobilnya, terutama ketika melalui jem?
batan-jembatan. Banyaknya kendaraan yang
ber?lalu-lalang membuat jalan penuh sesak. Ke?
mungkinan mereka adalah para perantau yang
pulang karena ingin mengetahui nasib keluarga
mereka di Yogya. Hal ini terlihat dari pelat mobil
mereka yang bermacam-macam.
Sirene ambulans terdengar meraung-raung
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari semenjak mereka memasuki provinsi ini.
Tak kurang dari delapan ambulans sudah me?
reka temui. Warga yang berinisiatif meminta
sumbangan kepada para pelintas pun turut
berkontribusi memperparah kemacetan ini.
Di sana sini banyak rumah banyak yang tinggal
puing. Tidak sedikit pula yang tinggal menunggu
roboh dengan sedikit getaran saja. Di sepanjang
jalan, di tanah-tanah yang lapang berdiri tendatenda didirikan meski hanya seadanya. Hujan yang
turun tak henti-hentinya seakan memperparah
kesedihan mereka.
Dengan hati cemas dan bingung, Misas
mencari-cari letak kampung Milati dari beberapa
tanda yang masih bisa dia ingat. Tanda-tanda
yang masih dapat dibacanya itulah yang akan
mengantarkannya ke sana, ke tempat Milati.
Mobil terus berjalan. Mata Misas mengawasi
setiap penjuru dengan tangis tertahan. Melihat
apa-apa yang ada. Semua rata dengan tanah.
Semakin ciutlah perasaannya.
Karena mobil tak dapat lewat lebih jauh lagi,
Misas membuka pintu mobil dan keluar. "Hurin,
kamu di dalam mobil saja dulu sama Kang Husen.
Biar saya yang berkeliling mencari Milati. Nanti
kalau saya temukan dia, akan saya bawa kamu ke
sana."
"Apa saya benar-benar tak bisa ikut?" rajuk
Hurin cemas, wajahnya penuh keringat.
"Di sini banyak sekali bongkahan tajam
bekas reruntuhan bangunan. Saya mohon, kamu
bersabar dulu dan tenang. Biar Kang Husen
menemani kamu."
"Baiklah. Hati-hati, Mas."
"Iya. Kang, titip Hurin dulu," ucap Misas
pada Kang Husen.
"Inggih, Gus. Biar Ning Hurin di sini sama
saya."
Misas menepuk halus tangan istrinya, ber?
maksud menenangkannya. Setelah meng?ucapkan
salam, Misas berjalan meninggalkan Hurin dan
Kang Husen.
Setelah pagi tadi mendung, siang menjadi
sangat garang. Matahari bertengger gagah dan
silau di tengah langit. Panasnya menyiram kulitkulit legam dan wajah-wajah kuyu para manusia
yang gelisah.
Misas berjalan limbung di antara reruntuhan
dan puing-puing berserakan, juga mayat-mayat
yang berjajar rapi di sembarang tempat. Ia
menerobos lalu-lalang manusia yang tengah
menjalankan kisah mereka sendiri-sendiri, seperti
dirinya juga. Satu yang ada dalam pikirannya
ialah Milati. Di mana Milati?
Ia berhenti di setiap posko rumah sakit
darurat, mencari-cari. Wajah demi wajah manusia
yang tergeletak lemah ia perhatikan. Kain-kain
penutup mayat pun ia singkap satu per satu.
Hampir semua dalam keadaan menyedihkan.
Kalau yang didapatinya adalah orang yang tak
dikenalnya, ia hanya meninggalkan doa.
Sesak dadanya semakin membuncah karena
tidak kunjung menemukan Milati. Setiap orang
yang ia tanyai selalu saja menjawab tidak tahu.
Hatinya semakin cemas oleh tangis-tangis orang
yang terus-menerus bergurindam tanpa henti
seperti kawanan kumbang madu. Hatinya cemas
dengan kecemasan itu sendiri. Ia menjadi gamang
akan arti tangisan itu. Sekadar rasa iba, kasih
sesama manusia, atau yang lainnya. Ia mulai
khawatir dengan kecemasannya.
Hawa kematian masih begitu lekat. "Inikah
kiamat?" pikirnya. Ya, kiamat kecil. Mungkin
Tuhan sedang memberi peringatan kepada manusia
agar segera bangun, bangkit dari krisis. Krisis
jasad, krisis ruh. Jangan terlena terlalu lama. Kita
tak ubahnya gelandangan yang tidur di emperan
toko. Pemilik toko tentu akan membangunkan si
gelandangan dengan mengguyur air atau menarik
alas tidurnya dengan guncangan-guncangan.
Tubuh Misas sudah lemas, wajahnya basah
berkeringat dan merah. Namun, ia sama sekali
tak merasakan kepayahan dirinya karena sepenuh
dirinya tercurah pada keyakinan bahwa Milati
masih hidup dan dia pasti akan menemukannya.
Ia harus menemukan Milati demi dirinya, demi
Hurin, dan demi Milati sendiri. Sesekali ia duduk
di atas bongkahan reruntuhan dan mengusap
wajahnya yang penuh peluh sambari menyebutnyebut nama Milati.
Milati, Milati... di mana kamu sekarang? Apa
yang sekarang kamu rasakan? Milati, Milati... siapa
yang paham akan kecemasan ini? Milati di mana
kamu? Mungkinkah Milati tak ada di sini? Tanah
ini begitu luas. Kehancuran ini juga begitu luas.
Dan Milati di mana? Aku harus tetap mencarinya.
Mulailah ia kembali berjalan dan mencari.
Keadaan hatinya sudah tak bisa dibiaskannya lagi.
Sekian posko dan rumah sakit darurat telah ia
lewati, beratus-ratus orang telah ia jumpai, tetapi
Milati tak ada di antara mereka. Di posko rumah
sakit darurat yang kesekian, ia singgah. Dilihatnya
tenda-tenda ala kadarnya dengan suara rintihan
memprihatinkan di dalamnya. Ia lihat pula
nenek-nenek yang duduk seorang diri dengan
darah kering di kepalanya. Juga seorang bayi yang
menangis tak henti-henti di gendongan seorang
ibu tua. Juga seorang anak kecil belasan tahun
dengan mata yang biru lebam. Demi melihat itu
semua, air matanya mengembang juga. Beralih
pula pikirannya pada seorang gadis yatim piatu
yang belum ia temukan.
Setiap kedipan mata ia mendapati ke?
pedihan dan kepedihan. Matanya memicing,
meng?arah pada apa-apa yang ada di sekitarnya.
Pandangannya terhenti pada seonggok sosok
yang tergeletak lemah di bawah atap terpal yang
tertembus panas. Hatinya kembali berdegup
di antara ratapan. Ia kenal betul pakaian yang
mem?balut tubuh tergeletak itu. Hatinya tergerak
untuk mendekati. Dari kejauhan, tampak wajah
itu, wajah yang sangat lekat di hatinya. Semakin
dekat, ia semakin berlari. Berkejar-kejaran antara
desau napas dan degup jantungnya.
"Milati!" teriaknya serak. Ia berlari semakin
mendekat.
Ketika sampai di depan wajah itu, air matanya
berurai lagi, semakin deras. Berbaur keringat.
Ditatapnya wajah penuh luka berjilbab perban
itu. "Milati, kau Milati...." Misas terbata, lalu
tersedu dalam-dalam.
Terpancar keterkejutan dari mata Milati.
"Mas Mas Misas...." seperti berbisik, lemah,
Milati mengeluarkan suara. Dalam keadaan
di antara sadar dan tidak, Milati masih bisa
merasakan debar yang menggempa di dadanya.
Selalu saja begitu bila Misas ada di dekatnya.
Ia tak pernah berharap begitu, tapi debaran itu
datang begitu saja.
"Mbak Hurin mana, Mas?" tutur Milati lagi,
masih seperti orang berbisik.
"Hurin... Hurin.... Iya, Hurin... aku akan
segera membawanya kemari, Mil. Tenanglah
dulu... nyamankan dirimu dulu!"
Misas panik, tak tahu harus berbuat apa dan
memulainya dari mana.
"Suster, tolong jagakan saudara saya ini. Saya
akan memanggil kakaknya," pinta Misas pada
seorang sukarelawan.
Dengan langkah berat, Misas beranjak. Ia
terhuyung menjauh sambil terus-menerus menoleh
ke belakang, ke arah Milati yang terbaring lemah
dan terus menatapnya. Misas tersenyum tipis.
Ia sendiri tak tahu mengapa tersenyum, apakah
karena ia bahagia telah menemukan Milati? Atau
mungkin ia tersenyum atas apa yang dilakoninya
pada detik itu: persis seperti sebuah adegan dalam
melodrama yang mendayu.
Misas masih tersenyum, sedikit getir ternyata.
Air matanya masih begitu meruah, seperti banjir
yang tak dapat ia cegah.
Dan BurungBurung Pun
Pulang
ke Sarangnya
Lama. Beberapa jam berlalu dan Misas belum
juga muncul memberi kabar. Hurin semakin
gelisah. Terus-terusan ia menangis. Ia dapat
merasakan aroma kematian yang sangat dekat.
Sangat lekat. Sangat pekat. Nuansa yang begitu
lain dan tak pernah ia rasakan selama ini. Seperti
hawa haru yang bercampur misteri. Tubuh Hurin
lemas akibat menangis. Berkali-kali Kang Husen
menyabarkan Ningnya itu. Namun, usahanya siasia belaka.
"Ning, sebaiknya Ning Hurin minum dulu
agar tidak lemas. Ning Hurin terlalu banyak
menangis dan cemas berlebihan. Pasti semua
akan baik-baik saja," begitulah Kang Husen
menyabarkan Hurin.
Hurin hanya mengangguk lemas. "Saya juga
berharap bisa melakukannya, Kang, tapi saya tak
bisa. Seperti ada kekuatan yang menyuruh saya
untuk terus menangis dan terus cemas," sahut
Hurin lirih.
Kang Husen terdiam dan memandangi Ning?
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nya dengan hati pedih.
"Mas Misas mana, Kang? Kenapa dia belum
datang? Apa dia tidak menemukan Milati?" tanya
Hurin lirih, hampir tak terdengar.
"Hurin...! Saya menemukan Milati!" Misas
berlari kecil menuju mobil tempat istrinya
tergeletak lemah.
Hurin yang mendengar teriakan itu langsung
bangkit. "Bagaimana kondisi Milati, Mas? Kata?
kan, Mas! Milati baik-baik saja, kan?"
"Milati baik-baik saja. Mari kita ke sana!"
tutur Misas.
"Sepertinya Ning Hurin terlalu lemas, Gus,"
Kang Husen memberi tahu Misas.
"Saya akan papah kamu pelan-pelan. Ayo...."
Misas membuka pintu mobil yang panas
mengilat, lantas meraih istrinya. Ia menyandarkan
tangan istrinya di pundaknya, kemudian me?
mapahnya perlahan.
"Maaf, Kang. Kang Husen di sini dulu, ya."
"Inggih, Gus, nggak apa-apa. Monggo...
silakan."
Misas memapah istrinya pelan-pelan. Perasaan
Hurin masih seperti semula, tidak nyaman.
Setengah jalan sebelum sampai ke tenda Milati,
tubuh Hurin semakin lemah. Tanpa banyak pikir
Misas segera membopong istrinya.
Dari jarak jauh, Milati yang setengah sadar
bisa menyaksikan Misas membopong seorang
perempuan.
"Mbak Hurin," Milati berkamit lirih.
Misas menurunkan istrinya tepat di hadapan
Milati yang tergeletak tanpa daya apa pun.
"Mbak Hurin," suara Milati melemah.
"Milati... hiks... hiks...," Hurin masih dapat
mendengar suara itu dengan jelas. Segera ia
memeluk Milati. Bendungan di matanya jebol
kembali. "Hiks... hiks... Milati... apa yang kamu
rasakan sekarang, Milati? Ini Mbak, Milati...."
ujar Hurin. Kata-katanya itu hampir tak jelas,
bergetar bercampur isaknya yang dalam.
"Mbak Hurin... maafkan saya, Mbak...
maafkan saya...," ucap Milati lemah.
Misas yang memperhatikan kedua perempuan
yang sudah bertalian hati itu pun ikut terharu.
Matanya yang basah semakin basah.
"Mil...," Misas tidak bisa menahan tangis.
"Mil... katakan pada kami, apa yang kamu
rasakan sekarang? Apa yang bisa kami lakukan
buat kamu?" Misas menatap gadis itu dengan
mata resah.
"Saya tidak apa-apa, Mas. Saya hanya merasa
senang, sangat senang, ada kalian di sini," kata
Milati dengan mata setengah terkatup dan lengket
oleh air mata yang lekat hampir kering. Milati
ingin sekali menatap wajah Misas, mungkin
untuk yang terakhir kalinya. Tapi entah mengapa
ia masih enggan. Ia tak mau melakukan itu meski
kerinduan di hatinya menjadi-jadi.
Dalam keadaan seperti itu, perasaan cinta
dalam hati Milati masih belum juga padam.
Mungkin hampir. Ia sudah cukup lega melihat
Misas dan Hurin yang kembali seperti semula.
Milati yakin masalah antara mereka berdua telah
tuntas. Tapi lagi-lagi entah mengapa, ia masih
juga merasakan rasa sakit yang aneh di dadanya.
Hurin melepaskan pelukannya, lantas men?
ciumi tangan yang kuyu itu dengan perasaan yang
bagai lebam membiru. "Milati... tenanglah, kamu
akan baik-baik saja. Kami berdua akan menjaga
dan menemanimu. Para dokter, juga para relawan
yang baik hati itu akan membantu kita. Kamu
akan baik-baik saja dan sehat seperti semula,"
desisnya kejar-mengejar.
"Mbak semua ini kehendak Allah. Se?
mua milik Allah, saya juga. Dia berkehendak
mengambil saya kapan pun Dia mau," Milati
tersenyum, seperti tak sadar dengan kata-kata
yang diucapkannya.
"Tidak, Milati... kamu tidak apa-apa. Semua?
nya akan baik-baik saja, Mil... percayalah...." kata
Misas dengan air mata tak berhenti mengalir.
Tangannya meraih tangan Milati yang lemah
berbalut perban.
"Mas Mbak... sebelum saya pergi jauh,
berilah saya kelegaan maaf atas semuanya...."
"Kamu takan pergi ke mana pun, Milati. Kami
ke sini hanya untuk menemani kamu. Kamu
takkan kesepian lagi. Kamu tak boleh pergi. Kami
akan di sini bersamamu, Milati. Demi Allah
kami berdua sangat menyayangi kamu, Milati,"
kata-kata Hurin bergetar tak seimbang, beradu
dengan tangisnya.
Misas tak melakukan hal lain kecuali tergugu
menggenggam erat tangan Milati yang rapat oleh
perban putih kecokelat-cokelatan bercampur
darah yang mulai mengering.
"Mbak... izinkanlah saya untuk berkata-kata...
saya takut kalau saya tak punya kesempatan
lagi."
"Apa maksud kamu? Percayalah, kamu akan
sehat seperti semula dan kita akan berkumpul
bersama-sama lagi. Bu Nyai pasti sangat
merindukanmu."
Milati tersenyum. "Mungkin seperti ini rasanya
seseorang yang mau pergi. Saya punya firasat.
dan untuk itu saya merasa perlu menyampaikan
beberapa kata, atau mungkin wasiat."
"Tidak, Milati, tidak... wasiat hanya untuk
orang yang hendak pergi bertemu Allah,
sedangkan kamu tidak apa-apa. Semua akan baikbaik saja, Milati. Kamu akan sehat akan sembuh
kembali. Perihal hidup dan mati, itu urusan Yang
Di Atas. Sekarang, dari caramu bicara, kamu
tampak tak apa-apa, kamu akan sehat akan
sembuh seperti sediakala. Berapa kali lagi aku
harus mengatakannya?"
"Mbak Hurin benar. Selagi saya bisa, biarlah
saya berkata-kata, menyampaikan pesan. Hidup
dan mati memang urusan Yang Di Atas. Jika Yang
Di Atas masih memberi saya kesempatan untuk
menapaki kefanaan, biarlah wasiat ini berlalu dan
berganti cerita yang baru. Namun, bila takdir
berkehendak lain, maka saya bisa pergi dengan
tenang."
"Sudah, Milati... cukup...."
"Mas Mbak... tolonglah kalian menyimak
pesan saya ini," kata Milati dengan napas semakin
berat.
Sepasang suami istri itu benar-benar mencuci
muka dengan air mata melihat Milati yang kem?
bali tersungkur dan tak sadarkan diri. Misas
berteriak memanggil seorang dokter sukarelawan.
Misas merenung dalam tangis. Kepada se?
orang relawan, Misas meminjam telepon untuk
menelepon Bu Nyai.
"Assalamualaikum, Umi. Umi sudah dengar
berita gempa Yogya?" kata Misas, masih tersisa
isaknya.
"Iya, Nenek di sini menangis tak keruan.
Desa yang dulu pernah kita datangi kini tinggal
sejarah. Tangis Nenek semakin kencang saat
berita di televisi menayangkan kondisi di sana
yang hancur rata dengan tanah," sahut Bu Nyai.
"Milati bagaimana?"
Misas tak menjawab.
"Sas beberapa hari ini kenapa telepon Umi
tak pernah diangkat?"
"Saya di Yogya, Mi."
"Masya Allah!" Bu Nyai tersentak kaget.
"Kamu bercanda atau beneran?"
"Beneran, Mi. Ini saya di Yogya."
"Lha ngapain kamu di Yogya? Sama siapa?"
Pertanyaan itu tak juga dijawab oleh Misas.
"Sas."
"Saya di sini bersama Hurin, Mi, juga Kang
Husen, santri Abah Syafi?. Mi sebelumnya saya
minta Umi untuk meneguhkan hati. Semuanya
butuh penjelasan panjang. Sekarang saya minta
Umi dan Abah berangkat ke Yogya. Nenek Milati
juga."
"Ke Yogya?"
"Iya, ke Yogya. Di sini ada Milati yang sedang
terbaring lemas."
"Milati kenapa?"
"Milati pulang ke Yogya sehari sebelum gempa.
Saya tak bisa mencegahnya."
Bu Nyai terhenyak. " Innalillahi...." suara Bu
Nyai mulai melemah, seperti hendak mengumbar
air matanya. "Lalu, bagaimana keadaan Milati?
Kok bisa begitu? Ceritanya bagaimana? Kamu
bener-bener bikin Umi bingung!" pekik Bu Nyai.
"Alhamdulillah Milati masih bisa bertahan.
Tadi sempat ngobrol, tapi sekarang Milati
sedang tak sadarkan diri. Ia masih sangat lemas.
Seharusnya kami tak mengajaknya ngobrol dulu,"
balas Misas dengan suara penuh sesal, "Milati
adalah salah satu korban yang terluka parah,
Mi. Badannya penuh perban. Itu sebabnya saya
minta Umi dan rombongan segera ke sini. Jangan
katakan apa pun pada nenek Milati. Katakan saja
Umi hendak berkunjung untuk membantu para
Dan Burung Burungpun Pulang Ke Sarangnya Karya Mashdar Zainal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
korban atau apa...."
"Iya, iya," suara Bu Nyai tersendat-sendat.
Beberapa saat kemudian, Milati siuman
kembali. Misas menyudahi teleponnya.
"Mas? Milati.... " ujar Hurin lemas.
Mata Milati bergerak, mulutnya juga hendak
bergerak tapi sangat berat.
"Milati... katakanlah, Milati. Apa yang kini
kau rasakan? Apa? Kau ingin mengatakan apa,
Milati? Katakanlah, Milati... katakan...." suara
Hurin seperti mencecar.
"Mungkin ini bukan waktu yang tepat, Rin.
Biarkan Milati beristirahat dengan tenang. Setelah
dia membaik, kita obrolkan apa yang perlu kita
obrolkan," Misas coba menyela.
Hurin terdiam, mengangguk pelan.
Misas menatap perempuan luka itu dengan
perasaan haru yang semakin dalam. Desiran di
dadanya mulai hidup lagi.
Milati seperti tak memedulikan tuturan dua
orang suami istri itu. Dengan tenaga yang seperti
tinggal sisa, Milati berbisik, "Mas dan Mbak...
sebelum saya benar-benar pergi saya ingin
menyampaikan beberapa pesan."
Mendadak Misas menggenggam tangan istri?
nya erat-erat.
Milati melanjutkan kata-katanya dengan
perlahan, "Yang pertama, tolong pindahkan
seluruh sisa uang saya ke kas panti asuhan dan
pesantren. Yang kedua, tolong jagakan nenek saya
bila saya nanti tak lagi bisa menjaganya. Ketiga,
jangan pernah Mas Misas menyia-nyiakan Mbak
Hurin. Cintai dia sebagaimana Mas mencintai
saya sepanjang kekeliruan ini."
Misas semakin menangis, begitu pun Hurin.
Milati menyambung kata-katanya lagi, "Yang
terakhir, bilamana nanti Tuhan benar-benar memanggil saya dan tubuh saya sudah tak berarti,
biarlah sesuatu yang ada dalam diri saya ini meninggalkan manfaat. Saya pernah mendengar,
teknologi zaman sekarang sangat hebat sehingga
anggota tubuh seseorang bisa ditukar dan diperjualbelikan untuk dipakai di tubuh orang lain.
Saya tak tahu namanya dan saya tak tahu apakah
hal seperti itu benar adanya. Jika hal seperti itu
memang ada, dengan bersih hati... kedua penglihatan saya ini akan saya serahkan untuk Mbak
Hurin," Milati tersenyum tipis. Ia seperti baru
saja mengigau.
Misas tercengang. Tangisnya semakin matang.
Hurin menjadi lemas dan tak sadarkan diri.
Misas segera membaringkan kepala istrinya di
pundaknya.
Setelah berkata-kata demikian, napas Milati
semakin pelan. Misas tertegun dalam isak-isak
pelan dan dalam. Ia tak tahu harus berbuat apa.
Di sisinya sang istri tengah tak sadarkan diri.
Sementara itu, di hadapannya, keadaan Milati
membuatnya semakin takut dan cemas. Misas
memanggil seorang suster yang berjaga tak jauh
dari tempatnya bertelimpuh.
"Dia pingsan lagi. Kondisi tubuhnya ter?
lampau lemah. Sebentar, aku akan memanggil
dokter," ujar sang suster setelah memeriksa denyut
nadi Milati. Beberapa detik kemudian, sang suster
berlalu tanpa mengatakan apa pun tapi raut
wajahnya kelewat cemas.
Waktu segera menjadi batu. Terasa diam,
keras, dan dingin. Misas juga merasa dirinya
turut menjadi batu. Suster yang pergi memanggil
dokter tak juga kembali.
Setelah waktu yang beku itu berlalu dengan
sangat dingin, Misas mendapati mata Milati yang
lengket bergerak-gerak serupa kerjapan yang
sangat pelan. Bibirnya juga terkatup-katup, liris,
seperti menggumamkan sesuatu. Tanpa suara.
Misas semakin cemas.
Beberapa jenak kemudian, sang suster datang
dengan seorang lelaki paruh baya berpakaian
serbaputih yang membawa aneka alat medis.
Lelaki itu memeriksa Milati dengan tenang,
menggunakan alat-alatnya sang suster hanya
terdiam menatap lelaki paruh baya itu berjibaku
dengan pasiennya, lelaki paruh baya itu menghela
napas berat, beberapa jenak kemudian ia silih
terdiam cukup lama, dengan tatapan kosong ke
wajah Milati. Ia seperti tak tahu harus berkata apa.
"Dia sudah pergi," ujar lelaki paruh baya itu
seperti menggumam. Ia menatap Misas dengan
raut meminta maaf.
Sang suster yang sedari tadi hanya diam
menyahut lirih, "Innalillahi wa inna ilaihi
raajiuun."
Misas tercengang memandangi lelaki paruh
baya itu. Bibirnya berkamit tak terdengar,
"Benarkah ini?" Sesaat kemudian bibirnya turut
mengucap, "Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun."
Tangannya mengusap kepala istrinya dengan sedu
sedan yang dalam, "Hurin... bangun, Hurin.
Milati Hurin...."
Misas kaku menatap seonggok tubuh beku
yang terbaring di hadapannya. Berkali-kali pula
tangan mengusap kening Milati. Hatinya kejang
menahan sedu yang terlampau dalam, terlampau
perih.
"Milati...." terbata-bata ia menyebut
nama itu, bercampur tangis dan sesak yang
menderak-derak.
Setelah mengucap untaian doa, para suka?
relawan beranjak untuk mempersiapkan segala
sesuatunya untuk jenazah. Dokter se?paruh baya
yang tadi memeriksa Milati turut meneteskan
air mata. Ia mengusap punggung Misas,
menyabarkannya.
Misas bersimpuh. Tubuhnya lemah. Ia terus
memandangi jasad kaku di hadapannya. Meski
bibirnya tercekat, air mengalir lancar dari sudutsudut matanya.
Ia menengadah ke langit lepas. Langit masihlah
sama. Warnanya, juga cerahnya. Terik senja juga
masih sama, mengibarkan sinar jingganya yang
hangat dari tepi barat. Bayang-bayang tenda dan
sisa pepohonan mulai condong ke arah timur.
Hurin terbangun. Mengusap wajah dengan
kedua tangannya yang basah oleh keringat. Ia
mengangkat kepala dari bahu suaminya.
"Hurin... kau baik-baik saja?" tanya Misas
dengan suara serak dan kering.
"Milati bagaimana, Mas?" tanya Hurin tanpa
menjawab pertanyaan suaminya.
Misas tak menjawab. Ia hanya memeluk tubuh
Hurin semakin erat. Hurin bisa merasakan gelagat
itu. Seketika itu pula persendiannya lumpuh.
Ia tersungkur dalam pelukan suaminya antara
sadar dan tidak, antara percaya dan tidak. Ia tak
bisa lagi menangis. Dadanya sesak, seolah detak
jantungnya terhenti sebab terhantam sesuatu yang
keras dan mengganjal. Kelopak matanya terasa
lengket dan berat. Lidahnya seolah keram. Meski
begitu, mulutnya bergerak juga, "Innalillahi wa
inna ilaihi raaji?uun...."
Segala yang fana wajiblah musnah. Hanya
Tuhan Yang Mahabaka yang akan tetap kekal.
Segala sesuatu yang ada di dunia ini pasti ada
akhirnya. Mungkin juga cinta.
Kullu man ?alaiha faan. Wa yabqa wajhu
rabbika dzul jalaali wal ikram31
Senja itu langit begitu matang. Pohon-pohon
seperti lelah dengan opera manusia, lantas memilih
membaringkan bayang-bayang mereka. Matahari
kian tenggelam. Perlahan-lahan. Kisah sepanjang
31 Semua yang ada di bumi akan lenyap, dan akan kekal
wajah Tuhanmu Yang Mahatinggi lagi Mahamulia. (QS.
Ar-Rahman [55]: 26-27).
siang telah usai. Nun jauh di ketinggian, di
ranting-ranting malam yang mulai mengembang,
burung-burung beterbangan, beriringan, pulang
ke sarang-sarang mereka....
~ KHATAM ~
Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Pendekar Rajawali Sakti 55 Siluman Ular Mahesa Kelud Lutung Gila
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama