Ceritasilat Novel Online

Corat Coret Di Toilet 2

Corat Coret Di Toilet Karya Eka Kurniawan Bagian 2

tidak. Hal itu sudah sangat pasti, Si Cantik jatuh cinta

kepada si Romeo. Cuma ia tak dapat membayangkan

kencan macam apa yang bisa ia jalani bersama Romeo,

selama pingitan di rumahnya tak juga berakhir.

Berhari-hari semenjak itu, si Romeo terus mena?

nyakan apakah cintanya dibalas atau tidak. Setiap kali

itu terjadi, Si Cantik dengan penuh keterpaksaan harus

mengatakan, "Tunggulah." Tunggulah: suatu penantian

yang entah berapa lama yang Si Cantik sendiri tak dapat

memperkirakannya.

Kenyataan itu menjadi beban sendiri bagi Si Cantik.

Itu cinta pertamanya, dan semua orang tahu jatuh cinta

seringkali membuat orang menderita. Cinta membuat

orang begitu tolol, dungu dan bodoh. Tapi kadang cinta

membuat seseorang juga menjadi pemberani.

Si Cantik memutuskan untuk sedikit memberontak.

Pada malam pentas seni kenaikan kelas sekolahnya,

Si Cantik diam-diam membuat suatu rencana. Ketika kedua orang tuanya sedang melihat obrolan politik di televisi, Si Cantik mengunci pintu kamarnya. Kemudian, ia

menyalakan radio dan memilih stasiun yang menyiarkan

lagu-lagu ringan pengantar tidur. Dua menit kemudian

ia sudah melompat dari jendela, berdiri di pinggir jalan

dan menghirup udara malamnya yang penuh kebebasan.

Ia hendak menemui Romeonya dan membalas cintanya.

Pentas Romeo and Juliet yang sederhana itu diton?

ton hampir seluruh teman-temannya. Pasangan-?p asa?

ngan muda duduk saling merapat, menikmati suasana

romantis yang mereka miliki. Si Cantik duduk seorang

diri tanpa peduli dengan sekitarnya. Matanya tak lepas

dari sosok Romeo yang mendominasi panggung. Ikut

khawatir ketika Romeo berkelahi, dan menangis ketika

Romeo dipisahkan dari Juliet, tapi cemburu ketika me?

reka bertemu kembali.

Dadanya bergetar hebat. Jika pentas itu berakhir, ia

akan segera berlari ke belakang panggung menemui Romeo yang dirindukannya. Romeo akan bertanya:

"Cantik, apakah kau terima cintaku?"

Ia akan menatap pujaan hatinya dengan tatapan

yang sangat mesra. Memberinya senyum terindah dan

berkata, "Aku mau menjadi kekasihmu, Sayang."

Setelah itu ia tak peduli. Jika malam ini ia bisa

keluar malam tanpa pengawalan Beauty and the Beast,

malam-malam lain ia bisa kencan dengan si Romeo

seindah yang bisa diimpikan. Khayalan ini membuat Si

Cantik mabuk kepayang sehingga ia tak menyadari pentas sudah berakhir. Saat ia sadar, itu membuatnya kacau

luar biasa.

Sementara aula dipenuhi suara tepuk tangan dan

jeritan histeris gadis-gadis, Si Cantik tergopoh-gopoh

berlari keluar dan memutar ke balik panggung. Pada

ruang?a n itu ia dapati para pemain bergeletakan melepas lelah, tapi ia tidak mendapati yang dicarinya. Baru

setelah ia berjalan dan mencari-cari, ia temukan Romeo

keluar dari sebuah bilik bersama Juliet. Keduanya berjalan bergandengan tangan dan masih mengenakan kostum panggung mereka.

Si Cantik berlari menyongsong dan menghadang

mereka.

"Hey," katanya.

Romeo dan Juliet berhenti dan memandang diri?

nya.

"Halo, Cantik!" sapa Romeo.

Si Cantik, sungguh mati, tak mampu memandangnya dengan pandangan mesra sebagaimana ia rencanakan.

Juga tak ada senyum manis yang indah. Wajahnya terlalu

pucat dan gugup untuk melakukannya. Ia sendiri mulai

agak goyah.

Tidak, pikirnya. Jika ia berani melompat jendela pada jam delapan lewat dan menerjang malam untuk menemukan kekasihnya, kenapa ia tak berani pula

mengatakan bahwa ia ingin membalas cinta si Romeo.

Maka dengan keberanian dan tenaga yang tersisa, ia berkata pelan tapi nyaring terdengar:

"Sayang, aku mencintaimu."

Kesunyian menyergap mereka bertiga sesaat. Si

Cantik bertahan agar tidak jatuh. Romeo memandang

Si Cantik, lalu memandang Juliet. Juliet memandang Si

Cantik dengan pandangan bingung.

Akhirnya setelah beberapa waktu, Romeo berkata:

"Sayang sekali, Cantik. Kau terlambat. Aku dan Juliet telah memutuskan untuk melanjutkan kisah cinta

kami di luar panggung."

Suara itu nyaris tak terdengar di telinga Si Cantik.

"Sekali lagi, maaf Cantik, dan ehm kami pergi

dulu." Suara Romeo semakin samar.

Romeo dan Juliet kemudian berlalu, saling berdekap?

an. Si Cantik menatapnya dalam pandangan yang kabur

karena air mata yang tumpah tak tertahankan sampai

kemudian semuanya terasa gelap dan kosong.

Sejak malam itu, konon Si Cantik tak pernah pulang kembali ke rumahnya. Apakah Si Cantik telah memutuskan untuk menjadi kekasih malam sebagaimana

yang diharapkannya? Beberapa orang masih sering melihatnya malam-malam di pub dan diskotek, atau di lobi

sebuah hotel. Beberapa orang yang lain melihatnya di

pinggir jalan di bawah cahaya bulan purnama sedang

meng?h entikan taksi atau berjalan dengan seorang lakilaki tua berperut buncit. Ada desas-desus ia menjadi

kupu-kupu malam. Tapi sebagian besar orang lebih percaya kalau ia mati bunuh diri dan yang sering terlihat itu

konon hantunya yang masih penasaran .

2000

Siapa Kirim Aku

Bunga?

Ini adalah kisah tentang Kontrolir Henri yang terjadi di

Hindia Belanda pada akhir tahun 20-an. Kisah cintanya

yang menyedihkan, menjadi dongeng turun-temurun dan

membuatku tergerak untuk menceritakannya kembali,

karena ini adalah sejarah dunia yang hilang dan dunia

baru yang datang. Kisah itu sendiri berawal dari bungabunga misterius yang dikirim seseorang kepadanya.

Bunga-bunga mawar misterius itu pertama kali ia

da?p atkan di meja langganannya di restoran milik sahabatnya. Sebagaimana biasa, di sore hari sepulang dari

kantor, se?t elah mandi sore dan mengenakan jas bukaan

warna putih, ia mampir di restoran tersebut. Tempat

itu merupakan tempat favoritnya selain rumah bola, di

mana ia bisa berjumpa dengan para sahabatnya, sinyosinyo, noni-noni, dan para raden yang sama menghabiskan waktu dengan sekadar ngobrol atau minum limun.

Buket yang terdiri dari beberapa tangkai bunga

mawar itu terletak begitu saja di atas meja. Pada awalnya tak begitu menarik perhatian, karena ia lebih ba?

nyak menatap pintu menunggu para sahabatnya datang.

Lagu "Unfinished Symphony" karya Schuberts keluar

dari gramofon, memberikan sedikit kebosanan kepada?

nya dan mendorongnya mengambil ikatan bunga mawar

merah tersebut.

Ada secarik kertas terselip di antara tangkai-tangkai bunga itu, bertuliskan satu kalimat pendek yang kemudian banyak mengubah hidupnya: "Untuk Henri".

Laki-laki itu melemparkan kembali buket tersebut

ke atas meja dengan penuh rasa terkejut, seolah ia baru

saja menggenggam bara api. Ia menoleh ke sana-kemari

dan mendapati seorang gadis penjual bunga di muka

restoran.

Gadis penjual bunga, pemandangan itu sendiri

sebenarnya cukup aneh. Gadis itu berumur sekitar empat belas atau lima belas tahun. Mengenakan pakaian

Eropa yang dekil dan tampak tak terurus, tapi jelas ia

bukan Eropa. Indo pun tidak. Ia gadis bumiputera, asli

Jawa. Sosoknya yang kecil ramping dan dekil tak menarik perhatian Henri pada pandangan pertama, tapi ia

tertarik kepada bunga-bunga yang dijualnya.

Ia berdiri, berjalan keluar dan menghampirinya.

"Gadis penjual bunga," katanya. "Siapa saja yang

telah membeli bunga-bungamu?"

"Banyak, Meneer," jawab si gadis penjual bunga

sambil menatap laki-laki itu.

"Perempuan?"

"Ada, Meneer. Sinyo-sinyo dan noni-noni banyak

yang membeli."

"Noni-noni, ya?"

"Ya, noni-noni ..."

Ia berbalik kembali masuk ke dalam restoran setelah merasa menemukan jawabannya. Pasti salah satu

gadis sahabatku, ia berpikir. Salah satu gadis itu, telah

me?n giriminya bunga secara diam-diam. Pasti salah satu

gadis sahabatku, ia terus meyakinkan diri. Karena, si

pengirim bunga itu tahu benar di mana ia biasa duduk di

restoran. Mungkin salah satu gadis itu telah jatuh cinta

kepadanya, dan ia hanya berani mengirim bunga secara

diam-diam.

Demikianlah, ketika para sahabatnya berdatangan

yang dilanjutkan dengan pesta minum limun, ia mulai

menduga-duga gadis yang mana di antara gadis-gadis

teman ngobrolnya bisa diduga sebagai pengirim bunga

misterius. Ia tak menceritakan kepada siapa pun soal bu?

nga aneh itu. Tapi ia memegangnya erat agar siapa pun

bisa melihatnya.

Sebagaimana biasa, mereka mulai membicarakan

ba?nyak hal. Salah satu sahabatnya bercerita tentang film

baru yang akan diputar di bioskop. Kemudian obrolan

berlanjut kepada kisah-kisah cerita bersambung di surat

kabar harian yang ceritanya semakin seru. Setengah jam

berlalu hingga akhirnya mereka bicara juga soal politik.

"Hiruk-pikuk yang menyebalkan itu sudah

? er?a khir," kata salah seorang gadis indo. Mimik wajah?

nya menampilkan kekhawatiran apa yang diucapkannya

tidak benar.

"Betul. Pemerintah sudah bisa menegakkan kembali

... apa namanya, Henri?"

"Rust en orde."

"Ya, rust en orde. Berapa yang jij sudah kirim ke

penjara?"

Henri tertawa kecil dan menjawab: "Bukan cuma ke

penjara, tapi juga ke Boven Digoel."

"Jij kirim orang ke Boven Digoel juga?"

"Ya, satu-dua penghasut aku laporkan dan minta

kirim ke Boven Digoel."

Kemudian gadis penjual bunga itu berkelebat, dan

Henri teringat kembali kepada bunga mawar misterius

yang didapatnya. Ia mengamati gadis-gadis teman ngobrolnya dengan diam-diam, tapi tak satu pun patut dicurigai telah mengirim bunga itu.

Hingga ketika malam datang, ia akhirnya pulang

membawa rasa ingin tahunya terhadap teka-teki tersebut.

Di rumah, babunya sudah menyiapkan makan malam,

tapi ia langsung masuk ke kamar dan berbaring di atas

tempat tidurnya. Peristiwa sore itu sungguh mengganggu isi kepalanya. Ia mencoba tidur, menganggap hal itu

sebagai lelucon teman-temannya. Tidak, rasanya semua

temannya bersikap wajar dan tak ada tanda-tanda ada

persengkongkolan di antara mereka untuk mempermainkan dirinya.

Dengan putus asa ia meletakkan bunga mawar itu

di atas meja di samping tempat tidurnya. Angin malam

yang dingin menerpa wajahnya. Ia lupa menutup jendela. De?n gan sedikit enggan ia bangkit dan berjalan ke

arah jendela kamarnya. Ia hendak menutup tirai ketika

ia menemukan benda itu terselip di kisi-kisi daun jendela: seikat bunga mawar merah dengan secarik kertas

bertuliskan "Untuk Henri".

Ia nyaris gila dibuatnya. Seseorang, secara diam-?
Corat Coret Di Toilet Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diam tengah membuntutinya ke mana pun ia bergerak

dan mengiriminya bunga-bunga mawar merah. Siapa

gera?n gan yang ingin menyengsarakan diriku dengan

bunga-bunga sialan itu? pikirnya.

Rasa jengkelnya tak hilang sampai keesokan hari?

nya, yang mana membuatnya memutuskan untuk tidak

pergi ke kantor. Ia mengajak Piet, temannya, untuk main

tenis di lapangan yang biasa ia pakai. Untuk sementara,

ia ingin lepas dari teror bunga-bunga mawar itu. Ia kini

tak lagi menganggap buket tersebut sebagai gambaran

cinta seorang gadis malu-malu terhadap dirinya, tetapi

mulai menganggapnya sebagai racun jahat yang akan

membunuhnya perlahan-lahan. Ia ingin menghindari?

nya. Ia membayangkan, di meja kerjanya di kantor, seikat

bunga mawar misterius dengan secarik kertas yang sama

tergeletak manis di sana. Tidak, ia tidak ingin menemukan bunga terkutuk itu. Biarlah jongos kantor menemukan dan membuangnya ke keranjang kotoran.

Ia bermain tenis tiga set dan untuk sesaat bisa

melupakan soal bunga-bunganya, meskipun sebagaimana biasa Piet mengalahkannya dalam permainan itu.

Mereka berjalan ke ruang ganti pakaian sambil bicara

soal rencana akhir pekan. Piet mengusulkan untuk pergi

ke tempat pemandian air panas, atau berburu. Ketika

mereka sedang memperbincangkan hal itu, Henri dikejutkan oleh seikat mawar di atas tas pakaiannya.

Begitulah, ia diteror selama beberapa hari dengan

bunga-bunga mawar merah yang dikirim kepadanya

dengan disertai secarik kertas. Aku sendiri tak bisa

membayangkan, bagaimana jengkelnya ia atas peristiwa-?

pe?r istiwa itu. Hingga akhirnya, ia mulai mengamati si

gadis penjual bunga, yang pada kenyataannya hampir

selalu ia lihat di sekitar waktu ia memperoleh bungabunga misteriusnya.

Ia mencoba mengamati siapa-siapa saja yang membeli bunga kepada si gadis. Kebanyakan orang-orang

muda, tapi tak satu pun bisa dicurigai telah membeli

bunga berulang-ulang dan mengirimkannya kepada dirinya. Sesekali ada juga orang-orang tua. Sinkeh-sinkeh

dan juga nyai-nyai, entah untuk apa mereka membeli

bunga.

Lama-kelamaan Henri menjadi akrab kepada wajah gadis penjual bunga itu. Orangnya sedikit agak tak

terurus, memang. Tapi ia mampu melihat kecantikan

tersembunyi pada si gadis penjual bunga. Rambutnya

lurus dan dibiarkan tergerai, tak pernah ia melihatnya

disanggul. Ia suka pada hidungnya yang mungil, dan

tatapan matanya yang bersemangat. Ia kadang mengenakan pakaian Jawa, berupa kain dan kebaya, tapi kadang

mengenakan pakaian Eropa, baju terusan dengan rendarenda, yang semuanya dikenakan dengan kesembronoan

yang menggoda. Akhir?nya Henri jadi sering mengawasi

si gadis penjual bunga itu, bukan untuk melihat-lihat

siapa saja yang membeli bu?n ga-bunganya, tapi justru

untuk melihat si penjual bunga itu sendiri.

Serangan demam menjangkitinya sejak saat itu, demam cinta yang tak terelakkan. Beruntunglah, ia mulai

bisa melupakan bunga-bunga misterius itu, meskipun

bunga-bunga tersebut masih terus datang di waktuwaktu yang tak pernah diduganya. Angannya telah se?

penuhnya menjadi milik si gadis penjual bunga. Bahkan,

ia begitu keranjingan saat menemukan bunga-bunga

misterius yang masih disisipi secarik kertas bertuliskan

"Untuk Henri", karena saat-saat seperti itu, wajah penuh

pesona si gadis penjual bunga segera membayang di depan matanya.

Dan ketika ia merasa tak sanggup lagi menahan wabah cintanya, ia memutuskan untuk mendekati gadis itu,

di depan restoran di sore hari, tepat seperti pertama kali

ia berjumpa. Ia membeli seikat bunga mawar yang indah

darinya.

"Untuk Meneer, tak usah bayar," kata si gadis.

Henri tersenyum. "Jangan panggil aku meneer, aku

belum tua."

"Ya, Sinyo."

"Panggil saja Henri." Ia kini bisa menatap wajah

yang dirindukannya itu dari dekat, pada hidungnya yang

mungil dan pada matanya yang bersemangat. "Kenapa

aku tak boleh membayar?"

"Bunga itu lambang cinta, dan kau manusia yang

ke?r ing akan cinta. Sudah selayaknya kau peroleh ba?

nyak-banyak bunga."

Henri teringat kembali dengan bunga-bunga yang

diterimanya dan menjadi curiga jangan-jangan si penjual bunga sendiri yang mengiriminya bunga selama ini.

Tapi ia segera menepiskan dugaan itu dan mencoba terus

berbincang dengannya.

"Mengapa kau menjual bunga?" Ia bertanya.

"Untuk Republik," jawab si gadis penjual bunga, te?

nang dan datar.

"Republik?"

"Ya, Republik."

Henri mencemooh sikap politik semacam itu.

Peme?r intah Hindia Belanda telah memberikan yang

terbaik bagi rakyat negeri ini. Sekolah, volksraad, surat

kabar, untuk apa pula memikirkan sebuah republik? Memang ia mendengar desas-desus tentang itu di kalangan

bumiputera. Konon ada seorang pelarian politik di luar

negeri yang menyebarkan pamflet Menuju Republik Indonesia, dan hal itu menjadi populer luar biasa. Ia tersenyum, bersedih pada para pemimpi itu, tapi mencoba tak

berkomentar demi si gadis penjual bunga.

Henri menemuinya setiap hari di tempat yang sama.

Membeli bunganya yang tak pernah mau dibayar, kemudian berbincang-bincang dengannya. Pada hari kedelapan belas sejak rayuan pertamanya, ia akhirnya berkata

bahwa ia mencintai si gadis penjual bunga dan bertanya

maukah ia menjadi kekasihnya.

"Jangan mengatakan hal itu di sini," kata si gadis

penjual bunga. "Itu tidak sopan."

"Tapi ... tapi kau juga mencintaiku, kan? Kau kirimi

aku bunga terus-menerus sampai aku hampir gila, aku

yakin itu," kata Henri.

"Itu tidak penting apakah aku yang kirimi kau bu?

nga atau bukan. Kau memang perlu banyak bunga karena rasa cintamu yang kering."

"Ayolah, Sayang. Tak benar rasa cintaku kering.

Mari tinggal di rumahku."

"Kau laki-laki yang tak sopan. Kalau kau ingin aku

jadi isterimu, minta izin kepada ayah dan ibuku. Aku tak

ingin jadi nyai, apalagi gundik."

"Mari temui kedua orang tuamu," kata Henri de?

ngan gemas. Matanya lekat pada wajah cantik itu. "Di

mana mereka?"

"Digoel."

"Digoel?"

"Ya, Boven Digoel."

"Kenapa di sana?" tanya Henri.

"Kau sendiri yang kirim mereka ke sana."

Hatinya porak-poranda, dan ia tak mampu memandang wajah cantik itu kembali. Sebuah selaput kokoh

seolah membentang di antara nasib keduanya. Beberapa

waktu setelah itu, ia pulang ke negeri Belanda membawa luka cintanya yang menyedihkan. Ia mengakhiri

hidupnya dengan meminta sebuah toko bunga mengi?

riminya seikat mawar merah di pagi dan sore hari dan

dengan keputusan dokter yang mengatakan bahwa ia

menderita skizofrenia.

2000

Tertangkapnya Si

Bandit Kecil Pencuri

Roti

Aku ingin menceritakan salah satu cerita yang paling

se?r ing dibicarakan orang di kota kami, yakni tentang Si

Bandit Kecil Pencuri Roti. Mengapa ia disebut demi?

kian, karena ia memang pencuri roti berumur sepuluh

tahun. Mengapa kami sering membicarakannya ? bahkan sampai sekarang, karena disadari atau tidak, ia satu

dari sedikit kriminal yang kami kagumi.

Ceritanya sendiri sudah lewat beberapa tahun yang

lalu, ketika toko-toko belum sebanyak sekarang dan pak

polisi masih bersikap ramah terhadap warga kota. Ia

bocah yang gesit, hampir selalu muncul di setiap sudut

kota, sehingga sebagian besar warga kota mengenal diri?

nya. Ia juga periang, bermain dengan semua anak se
baya, dan rajin pula membantu orang-orang sehingga

penduduk kota sesungguhnya sangat menyayanginya.

Satu-dua penduduk bahkan pernah membujuknya untuk tinggal di rumah mereka, dan para guru di sekolah

membujuknya untuk masuk sekolah. Tapi tidak, ia lebih

suka tinggal di hutan kecil di pinggiran kota, dan menjadi bocah paling bebas dari dinding-dinding sekolah

dari pukul tujuh pagi sampai satu siang.

Jika anak-anak pulang sekolah berjalan kaki atau

naik sepeda melewati hutan kecil tempat tinggalnya, ia

selalu tampak pada sebuah batang pohon sedang menyanyikan sebuah lagu yang hanya ia sendiri yang tahu.

Hal itu kadang membuat kami sendiri, anak-anak sekolah, beriri hati. Kami pikir, ia memang beruntung. Ia

tidak punya ibu yang akan membangunkannya di pagi

hari pada pukul enam pagi, atau memarahinya karena

belum mandi. Ia juga tak punya ayah yang akan memarahinya karena belum mengerjakan pekerjaan rumah,

atau belum tidur pada pukul sembilan malam. Ia seperti

Pippi Si Kaus Kaki Panjang berkelamin laki-laki sebagaimana aku sering baca di buku cerita.

Asal-usulnya sendiri memang tak begitu jelas. Bahkan para orang tua kami sendiri hampir semuanya tak

ada yang tahu. Ia sudah ada di sini, di kota kami, sejak

masih kecil sekali. Tanpa ayah, tanpa ibu, dan tanpa rumah.

Ia baru berumur sepuluh tahun ketika kota tiba-tiba

terasa membengkak. Gedung bioskop dengan dua layar

berdiri tak jauh dari rumah sakit kecil kami, menggantikan tobong yang hanya memutar film seminggu sekali.

Hotel-hotel baru yang besar, tinggi dan cantik berderet

menggantikan penginapan-penginapan kecil di sepanjang pantai. Pasar yang sering becek, kemudian terbakar

pada akhir tahun sebelumnya dan dibangun kembali tak

lama kemudian, lebih luas dan lebih ramai, dengan tokotokonya yang penuh dengan etalase-etalase kaca. Kami

bahkan membangun tugu, yang sebelumnya tak pernah

ada, di pintu masuk kota, dan jalan-jalan di seluruh pen
juru kota pun kami beri nama, dengan nama-nama ikan,

pahlawan bagi separuh penduduk kota yang bekerja sebagai nelayan.

Kota kami menjadi begitu cantik. Listrik menggan
tikan pelita, dan di beberapa tempat ada telepon umum

? satu hal yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.

Anak-anak kecil bercerita tentang es krim paling enak

di toko ibu anu, dan gadis-gadis remaja mulai menge?

nakan pa?k aian-pakaian bagus dan pergi ke bioskop di

akhir pekan dengan pacar-pacar mereka. Bahkan para

ibu, termasuk ibuku, mulai tak doyan masak di rumah,

karena makan siang dan makan malam bisa dibeli di rumah makan di depan rumah.

Tetapi di antara orang-orang yang berbahagia de
ngan perkembangan kota, justru adalah Si Bandit Kecil

sendiri.

Suatu hari di sebuah sore yang panas, ia bercerita

kepada kami bahwa ia bisa menerobos masuk ke dalam

gedung bioskop:

"Aku lihat orang sedang berciuman," begitu ia me?

laporkan petualangannya kepada kami.

Di hutan kecil itu, kami anak-anak kecil yang me?

ngelilinginya, menatapnya dengan sedikit marah. "Kau

tahu," kataku. "Anak kecil tak boleh melihat film seperti

itu." Aku memperingatkannya.
Corat Coret Di Toilet Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tak melihat film seperti itu," katanya membela

diri.

"Tadi kau bilang?" tanyaku, membayangkan wajah

ayahku yang marah seandainya aku sendiri yang melihat

adegan seperti itu.

Tapi dengan tenang ia berkata, "Aku lihat orang sedang berciuman, bukan di film, tapi di kursi belakang

bioskop."

Begitulah. Kemajuan kota sesungguhnya lebih ba?

nyak kami kenal dari kisah-kisah Si Bandit Kecil sahabat kami, karena hanya ia yang bisa pergi ke mana pun

sesuka hatinya ketika anak-anak yang lain harus duduk

dengan manis di bangku sekolah.

Suatu ketika ia bercerita lagi kepada kami, bahwa

dia sudah mencoba telepon umum dan yang menjawab

adalah seorang perempuan yang menurutnya pasti cantik karena sua?r anya begitu enak terdengar.

"Apa katanya?" tanya kami penasaran.

Ia menjawab: "Telepon yang Anda tuju sedang sibuk, cobalah beberapa menit lagi."

Tapi ternyata ulahnya itu mulai membuat warga

kota resah terhadapnya. Orang-orang mulai tak lagi

menyayanginya, dan para orang tua mulai melarang

kami bermain dengannya. Pada saat itulah sebenarnya

ia mulai dipanggil dengan nama Si Bandit Kecil menggantikan nama asing yang disandang sebelumnya, yang

aku sendiri sudah lupa siapa nama sebenarnya. Ia musuh

masyarakat yang dengan diam-diam tetap kami kunjungi, karena ia selalu punya cerita-cerita aneh. Hingga

suatu ketika kami dengar polisi akan menangkapnya, karena ia ketahuan mencuri roti di toko.

Bayangkan, ia mencuri roti! Betapa marahnya kami.

Orang tua kami di rumah, dan guru kami di sekolah, dan

ustaz kami di masjid, selalu mengatakan bahwa mencuri itu perbuatan terkutuk. Berdosa. Dan sekarang Si

Bandit Kecil mencuri roti di toko! Aku dan beberapa

temanku pergi ke tempat persembunyiannya, untuk

menangkap si pencuri berdosa itu, dan memberikannya

kepada bapak polisi. Tapi ketika kami sampai di tempatnya, ia menawari kami roti-roti curian itu. Kami semua

terpaku, mencoba mencicipi sedikit, dan lupalah kami

kepada rencana untuk menangkapnya. Roti dari toko

ternyata memang enak, satu jenis roti yang belum pernah kami temukan sebe?l umnya.

Demikianlah ia kemudian semakin dikenal di kota

kami sebagai Si Bandit Kecil Pencuri Roti. Tak ada

hari di mana ia tak diceritakan telah mencuri di salah

satu toko yang ada di kota. Para pemilik toko sangatlah

marah, sehingga mereka mendatangi kantor polisi dan

mendesak bapak-bapak polisi untuk menangkapnya.

"Jika tidak," kata para pemilik toko, "Kami akan

melaporkannya ke atas, atau mengumumkannya di koran. Kalian bisa dipecat karena itu."

Terhadap ancaman seperti itu, bapak-bapak polisi mencoba menenangkan mereka. "Pikirkanlah," kata

salah satu polisi itu. "Kalian datang ke kota kami, membuka toko dan memperoleh uang banyak. Tak ada artinya de?n gan roti yang dicuri bocah itu setiap hari."

Tapi salah satu pemilik toko itu beranjak ke pesawat telepon dan berkata bahwa ia akan melaporkan ke

atas bahwa para polisi di kota kami tak ada yang mau

menangkap seorang bocah yang jelas-jelas mencuri di

toko mereka.

"Baiklah," kata pak polisi akhirnya. "Kami akan

menangkapnya."

Dan pulanglah para pemilik toko itu.

Sejak hari itu, Si Bandit Kecil Pencuri Roti menjadi buronan. Tapi bukanlah perkara mudah menangkap

anak segesit itu. Ia bisa berlari lebih kencang dan menyelinap lebih lihai daripada bapak-bapak polisi. Dan

tempat persembunyiannya di hutan kecil di pinggir kota,

tak pernah diketahui oleh polisi karena kami sahabatnya

tak pernah mengatakannya kepada siapa pun. Kami sendiri takut kalau kami mengatakannya, ia nanti tertangkap dan tak ada jatah roti enak dari toko untuk kami

lagi. Jadi untuk sementara, ia tetap tak tertangkap.

Tapi karena didesak para pemilik toko, polisi terus

mencari-cari dirinya. Hingga suatu ketika mereka mulai

mencium keberadaannya di hutan kecil di pinggir kota.

Suatu malam, dua orang polisi dikirim untuk menelusuri hutan kecil itu, mencarinya, dan jika ketemu, segera

menangkapnya. Kedua polisi itu mulai menjelajah hutan kecil pada pukul sepuluh malam, menyorotkan lampu senternya ke sana-kemari, mengaduk-aduk belukar,

menggoyang-goyangkan pohon, tapi Si Bandit Kecil

Pencuri Roti tak menampakkan diri.

"Aku heran," kata salah satu polisi itu. "Di kota

besar ada ratusan pencuri roti sepertinya, tapi tak akan

membuat polisi sesibuk kita di sini."

"Ya," polisi yang satu lagi menyetujui. "Andai saja

bocah itu punya seorang ibu yang akan mengurusnya ...."

Tiba-tiba sesuatu jatuh dari atas pohon cokelat tepat

di hadapan kedua polisi itu. Lebih mengejutkan kedua

polisi itu, apa yang berdiri di hadapan mereka ternyata

Si Bandit Kecil Pencuri Roti. Bocah yang sedang mereka

cari-cari.

?A-apa kata kalian barusan?" tanya Si Bandit Kecil

Pencuri Roti kepada keduanya.

Kedua polisi itu hanya saling pandang tak mengerti,

sambil mengarahkan lampu senter mereka ke muka si

bocah.

"Kalian bilang aku punya ibu?" tanya si bocah lagi.

Untuk kedua kalinya kedua polisi itu saling pandang.

Lalu si bocah mulai berlutut dengan kedua tangan

terdekap di dadanya. Ia menangis tersedu-sedan. Di

antara suara tangisnya yang menyedihkan itu, ia berkata:

"Bapak polisi, antarkan aku kepada ibuku. Aku ingin punya ibu sendiri yang akan membawaku pergi ke pasar

malam. Aku ingin punya ibu sendiri yang akan memberiku rumah. Aku juga ingin punya ibu sendiri yang

akan memberiku uang untuk membeli roti sehingga aku

tak perlu mencurinya ..."

Ia masih menangis dan tangisnya semakin meraungraung ketika kedua polisi itu menangkap tangannya,

memborgolnya dan menyeretnya ke kantor polisi saat itu

juga. Atas tertangkapnya pencuri roti kesayangan kami,

pak polisi menjadi senang karena mereka tak perlu me?

ngurusi hal sepele itu lagi, dan para pemilik toko merasa

bahagia karena tak ada lagi yang memotong keuntungan

dagang mereka.

Para sahabatku, demikianlah Si Bandit Kecil Pencuri Roti ditangkap, dan demikian pulalah cerita ini berakhir.

2000

Kisah dari Seorang

Kawan

Senja selalu jatuh lebih cepat di dalam kampus, karena

pohon-pohon flamboyan rindang menaungi, dan sinar

matahari menghilang lebih dini ditolak daun-daun dan

bu?n ga-bunga. Lampu-lampu jalan, lampu pelataran,

lampu taman, dan lampu di pos satpam mulai menyala.

Malam terasa meluncur lebih cepat lagi.

Di kala itulah, para gelandangan kampus mulai

menggeliat. Merekalah para mahasiswa, nyawa kampus,

para aktivis gerakan, para pecinta alam, seniman-seni?

man, jurnalis-jurnalis, yang sebagian memanglah tidak

memiliki pondokan. Ruang-ruang kumuh yang penuh

rongsokan menjadi tempat tinggal mereka, dan loronglorong, tangga, serta kursi menjadi teman tidur yang indah.

Di pojok sebuah taman, duduk berkerumun empat orang mahasiswa. Itu bukanlah pemandangan

yang teramat aneh. Rencana-rencana besar, semisal

?rencana-rencana subversif, kadangkala tercetus dari

kumpul-kumpul seperti itu. Dengarlah obrolan mereka:

"Yah, ayahku seorang tentara," kata salah satu dari

mereka. Mahasiswa berpostur tinggi, dengan baret hitam berbintang merah kecil meniru Che Guevara.

"Ayahmu bajingan tentunya?" kawannya, Si Kaki

Pincang mengomentari, sambil menggulung kertas

bekas, membakar ujungnya dan mengisapnya. Tak ada

yang punya sigaret di antara mereka.

"Betullah itu," kata Si Baret Guevara. "Setelah ia

tahu aktivitas politikku di sini, tak lagi ia kirim uang

saku untukku."

Di depan Si Kaki Pincang, duduk mahasiswa kurus

berwajah melankolis. Katanya, "Ayahku cuma seorang

petani kecil. Orang kalah pertama yang aku kenal."

Ketiga kawannya terdiam, bersimpati. Beberapa saat

keheningan itu mengambang di udara sekitar mereka,

hingga Si Kaki Pincang kemudian memecahkannya. Ia

berkata:

"Yeah, kalau ayahku, ia seorang guru sekolah dasar."

"Antek pemerintah!" Si Baret Guevara memotong,

menuduh.

"Pejuang, Goblok! Tak pernah ia korupsi, tak per
nah ia kolusi. Ia guru, dan kerja sebagaimana guru."

Si Baret Guevara tertawa melihat si kaki pincang

naik pitam. Yang lain memberikan tawa mereka tanpa

bersuara. Si Kaki Pincang membuang sigaret kertas

bekasnya ke tanah, karena asapnya terasa membakar di

bibirnya.

"Dan kau?" tanya Si Baret Guevara kepada maha
siswa terakhir, yang sejak tadi hanya diam menjadi pendengar. "Bagaimana dengan ayahmu?"

Kawan kita yang satu ini tersenyum, seorang maha
siswa berambut gondrong, dengan muka kotor tak bercukur. Ia membuka mulut:

"Dua bulan ke depan ayahku bebas dari penjara,"

katanya.

"Hebat!" Si Kaki Pincang tak dapat menahan mu
lutnya. "Tahanan politikkah?"

"Kalau dipikir-pikir sekarang, seharusnya iya," kata

Si Gondrong. "Tapi tidak. Ia tahanan kriminal."

"Bagaimana kejadiannya?"

"Ceritalah."

Maka ia pun berkisah.

Musik dangdut yang samar-samar melayang dari arah

sebuah ruang yang ditinggali para mahasiswa pecinta

alam, keluar dari sebuah pesawat radio. Dari arah ber
lawanan, nyaring terdengar beberapa anak menyanyikan

lagu-lagu reggae diiringi kocokan gitar yang kasar dan

tak berselera.

Gerombolan empat mahasiswa itu duduk semakin

mendekat, bersiap mendengar kisah salah satu dari me?

reka.

Mahasiswa gondrong bersiap:

"Itu cerita beberapa tahun yang lalu," katanya me?

mulai. "Ayah punya sepetak kios di pasar dan ia berdagang beras kecil-kecilan."

Ketiga kawannya khusyuk mendengarkan. Melipat

kaki dan mendekap lutut mereka, mengusir dingin yang

mulai menyerang. Bunyi berkerokot datang dari perut Si

Muka Melankolis, tanda ia kelaparan.

"Waktu itu harga beras masih lima ratus rupiah," Si

Gondrong berkata.

"Lima ratus rupiah?"

"Ya."

"Itu murah."

"Dulu semua murah. Kau tahu sendiri!"

Beberapa waktu keempatnya terdiam, mencoba me?

lawan rasa lapar yang mulai menyerang, diperparah oleh

udara yang mendingin. Nyamuk beterbangan, hinggap

dari satu kulit tangan ke kulit tangan yang lain, meng?

isap sejentik darah mereka, dan meninggalkan bentolbentol. Tamparan-tamparan kecil datang menyambar
Corat Coret Di Toilet Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketika nyamuk sudah terbang; terlambat.

"Hidup kami ditopang oleh usaha ayah itu. Ia jual

beras, jagung, kacang-kacangan, dan yang semacamnya. Aku ingat, kiosnya tepat di ujung pasar, di sebuah

blok yang memang khusus untuk para penjual beras dan

sayur-mayur. Ada belasan pedagang beras kecil seperti

ayah, berbisnis dengan penuh kesederhanaan khas kota

kecil kami. Hingga suatu ketika ."

"Pasarnya dibakar?"

"Bukan."

"Pencurian?"

"Bukan."

"Lalu?"

Si Gondrong menggaruki ujung hidungnya yang

tak gatal, penuh ekspresi, dan melanjutkan:

"Kemudian datang seorang saudagar kaya entah

dari mana. Ia membeli delapan kios sekaligus, tepat di

tengah-tengah gerombolan pedagang-pedagang beras

kecil itu."

Ia masih menggaruki ujung hidungnya, mencari ke?

sibukan agar terlupa pada kondisi perutnya yang me?

rongrong minta diisi makan. Keempatnya dalam kondisi

kelaparan yang mengibakan. Tapi cerita harus segera dilanjutkan:

"Ia saudagar kaya itu juga berjualan beras. Melimpah-limpah. Kiosnya yang delapan buah itu

penuh dengan beras. Bahkan setahuku, di rumahnya ia

bangun pula semacam gudang, tempat persediaan beras

bisa di?t imbun.

Para pedagang kecil seperti ayahku, sebelumnya

tidak risau benar dengan kedatangannya, karena pada

umumnya, mereka punya pelanggan sendiri. Terutama

ibu-ibu rumah tangga yang telah mereka kenal.

Ketenteraman pasar kami yang mungil masih terasa

sampai suatu ketika, si saudagar kaya mulai menjual beras seharga empat ratus rupiah."

"Setan kapitalisnya mulai muncul," Si Kaki Pincang

berkomentar.

"Begitulah," kata Si Gondrong.

"Apa yang terjadi kemudian?" tanya Si Wajah

Melan?k olis.

"Kau tahu," kata Si Gondrong. "Kalau beras dijual

empat ratus rupiah per kilogram, itu berarti kau dapat

untung yang sedikit benar. Tak adalah artinya untuk bisa

menghidupi keluarga. Tapi tidak menjadi soal buat si

saudagar besar itu. Ia punya banyak uang, dan sekarang,

ka?rena menjual lebih murah, ia bisa menjual lebih banyak.

Ibu-ibu rumah tangga, penginapan-penginapan, wa?

rung-warung makan, yang semula menjadi pelanggan di

kios-kios kecil seperti milik ayahku, mulai berpaling dan

berbelanja di tempat saudagar kaya. Akhirnya, ayahku

dan pedagang kecil lain bersepakat untuk menurunkan

harga sampai empat ratus rupiah juga. Tak apalah dapat

sedikit untung, daripada tak terjual sama sekali, begitu

mereka pikir."

"Aku sudah yakin dari dulu, kapitalisme tak memiliki sisi kemanusiaan sama sekali," kata Si Baret Guevara.

"Kalau ada orang berkata kapitalisme telah jadi humanis, ia tak kenal kapitalisme dengan sungguh-sungguh."

"Teruskanlah ceritanya," kata Si Wajah Melankolis

kepada Si Gondrong.

Si Gondrong menuruti:

"Begitulah. Beras dijual empat ratus rupiah per

kilogram, ketika harga seharusnya lima ratus rupiah.

Para pelanggan kembali lagi, dan karena dianggap mu
rah, ba?nyak yang memborong, hingga persediaan beras

para pe?d agang kecil itu habis sebelum pemasok datang.

Mereka tak berjualan hingga pemasok muncul di kota

kecil kami beberapa hari kemudian.

Tapi ternyata ayahku dan para pedagang kecil lain
nya tidaklah bisa mendapatkan beras sebagaimana biasa.

Beras yang dimiliki pemasok diborong saudagar kaya

yang berani bayar lebih mahal. Para pedagang kecil mulai ribut, dan kebangkrutan mulai membayang di depan

mata. Mewakili kawan-kawannya, ayahku menemui si

saudagar kaya untuk merelakan sebagian berasnya dibeli

para pedagang kecil. Si saudagar kaya setuju, asal har
ganya memuaskan. Berapa? tanya ayahku. Enam ratus

rupiah, jawab si saudagar. Kau gila! kata ayah. Terserah,

kalau kau mau jualan, beli berasku seharga enam ratus

rupiah, si saudagar bersikeras.

Ayah hanya berdiri menahan marah yang memba
kar kepalanya. Katanya, baiklah. Ia kemudian pulang,

mengambil golok, dan datang kembali, membunuh si

saudagar kaya. Itulah kenapa ia kemudian ditangkap dan

dipenjara."

Kesunyian yang mengerikan tiba-tiba melanda, di?

isi oleh helaan napas berat keempat kawanan itu.

Ketika malam semakin bergerak, mereka beranjak

dari tempat duduknya yang berupa balok-balok beton

penghias taman. Tersaruk-saruk mereka menelusuri koridor ruang-ruang kuliah, menuju ruang kantin.

Meja-meja dan kursi-kursi berderet tak teratur, sebagaimana terakhir kali ditinggalkan para mahasiswa

siang tadi, ketika kantin tutup. Keempatnya tak pernah

mampir di kantin tersebut kalau siang karena harganya

mahal. Hanya mahasiswa-mahasiswa asing dan mahasiswa-mahasiswa borjuis biasa makan di situ, memisahkan diri dari gerombolan mahasiswa lain yang makan di

kantin kumuh di samping tempat parkir.

Keempatnya menemukan kotak makanan tergeletak di meja makan. Seporsi makanan yang nyaris masih

utuh, hanya bekas sedikit dicicipi. Tampaknya si pelanggan keburu tak berselera. Si Gondrong menciumi makanan itu dan berkata:

"Tidak basi!"

Keempat kawanan itu lalu memakannya bersamasama. Mengobati rasa lapar untuk malam hari mereka

yang tak begitu indah, yang segera akan mereka lalui.

1999

Dewi Amor

Aku mengenal Laura pada hari Senin yang lalu. Waktu itu aku menemani seorang teman menemui adiknya

di kelas satu, dan sang adik tengah berbincang dengan

Laura ketika ia kami temukan. Saat pertama itu saja aku

sudah begitu tertegun. Betapa cantiknya! Ia begitu pendiam, bicara hanya sepatah-dua patah, seolah seluruh

hidupnya diliputi satu misteri. Ingin sekali aku meng?

ajaknya bicara, kalau bisa bercanda, tapi sungguh mati

itu pekerjaan sulit. Ia sulit diajak tertawa dan dari menit

ke menit ia lebih ba?nyak menunduk atau memandangi

adik sahabatku.

Saat itu sudah siang. Matahari sudah begitu sangat

terik sebagaimana seharusnya di negeri kita yang tropis

ini. Ketika bel berbunyi yang menandakan jam istirahat

sudah habis, aku dan sahabatku masuk kelas. Di tengah

udara panas seperti ini, dua jam pelajaran ke depan sungguh-sungguh merupakan saat penuh godaan untuk jatuh

tertidur di atas meja. Aku tidak ngantuk sebagaimana

biasa. Anganku telah sepenuhnya melesat kepada sosok

pemilik wajah cantik itu. Aku teringat rambut hitamnya yang dipotong pendek sebahu, meliuk bak air terjun. Dan matanya yang sesekali kuintip, begitu sayu dan

teduh, dengan alis mata yang menerawang tipis. Ketika

kami tertawa, ia cuma tersenyum sedikit. Sedikit saja

seolah ia cuma menggeser garis bibirnya ke samping. Ya

ampun, ia bagaikan teka-teki yang menawan! Bagaikan

bulan purnama yang cemerlang namun penuh misteri.

Bagaikan senja merah yang meriah namun menyimpan

kesedihan.

Waktu dengan cepat berlalu. Bel terakhir akhirnya

berbunyi. Saat itu aku sudah tahu bahwa aku, laki-laki

tak tahu diri ini, telah jatuh cinta kepada Laura.

Perasaan ini sungguh-sungguh membuatku kacau luar

bia?s a. Sepanjang sore itu, segalanya terasa serba salah.

Jantungku berdebar-debar tak kunjung henti, dan

aku begitu inginnya hari segera menjadi malam dan

malam menjadi pagi. Aku ingin segera berada di sekolah dan berjumpa dengan si cantik itu. Berkali-kali aku

mendapati diriku sendiri tengah duduk menyendiri. Di

kamar, beranda, toilet, dapur, di mana saja! Kubayangkan suatu hari Laura sunguh-sungguh menjadi kekasih?

ku. Aku ingin berjalan berdua bersamanya, mungkin di

suatu malam Minggu, dengan tangan bergandengan ta?

ngan dan kaki telanjang terbenam ke pasir basah di pantai. Kami akan kelelahan dan berhenti, membeli es krim,

lalu menikmati hujan bintang yang gegap-gempita. Atau

mungkin kami pergi ke bioskop; aku ingin mendekapnya

dan membiarkan kepalanya jatuh di bahuku. Dari semua

kemungkinan itu, yang paling kuinginkan adalah duduk

berdua dengannya di suatu malam, ditemani sebatang

lilin, kami makan kue tart (mungkin dalam rangka pera?

yaan ulang tahun, atau bahkan hari bukan ulang tahun),

serta diiringi lagu-lagu Elton John dari tape.

Ketika aku sedang mengkhayalkan itu semua, ti
ba-tiba aku didera satu rasa takut yang mengerikan:

bagaimana jika si cantik itu sudah memiliki kekasih?

Memikirkan hal itu, aku merasa patah hati dan jantungku

berdetak semakin kencang. Aku harus memastikan bahwa ia tak punya kekasih, dan sebelum ia sungguh-sung
guh punya kekasih, aku harus dengan segera bertindak.

Didorong oleh hasrat yang menggelora seperti itu, aku

menelepon adik sahabatku. Tapi sungguh mati, ternyata

aku tak berani menanyakan soal Laura kepadanya. Aku

tak ingin orang lain tahu isi hatiku, dan dengan putus

asa, aku ha?nya bilang "Salah sambung!" tanpa memberi

kesempatan adik sahabatku bertanya lebih banyak.

Namun suatu hari akhirnya aku tahu nomor telepon

rumahnya melalui suatu penyelidikan yang saksama.

Aku sudah merencanakan untuk meneleponnya, tapi

sudah dua hari tak juga kulakukan. Demi Tuhan, apa

jadinya kalau aku menelepon dan ia segera saja tahu

bahwa aku tengah jatuh cinta secara menggebu-gebu

kepadanya? Ha?r us kuatur sedemikian rupa seolah-olah

aku memperoleh nomor telepon itu secara kebetulan

saja, dan aku pun harus me?rencanakan suatu percakapan

yang sedikit memutar-mutar agar tak langsung diketahui bahwa aku tengah dimabuk cinta. Aku khawatir jika

ia tahu aku jatuh cinta kepadanya, ia akan bilang-bilang

kepada seseorang dan hal ini akan menjadi pergunjingan

hebat di antara teman-temanku; jika itu terjadi, hancur

sudah rencanaku memperoleh cintanya. Bagaimanapun

juga aku harus memastikan dulu bahwa ia pun tertarik

kepadaku sebelum kuperlihatkan bahwa aku tergila-gila

kepada si cantik itu.

Sudah kuputuskan malam ini aku akan meneleponnya. Akan kukatakan kepadanya bahwa aku memperoleh

nomor telepon rumahnya dari seorang teman. "Aku de?

ngar," kataku, "kau suka buat puisi. Kenapa kau tidak ki?

rim ke majalah dinding? Ya betul, aku pemimpin redaksinya dan minggu-minggu ini kami kekurangan naskah."

Ia mungkin akan bilang bahwa ia malu mengi?r imkan

pui?s i?nya. Ya, cuma puisi jelek. Tapi aku akan terus me?

nyema?n gatinya. "Atau bagaimana kalau kau membuat

liputan teater? Aku dengar ada satu kelompok teater

hendak mementaskan naskah Ibsen." Aku tahu apa

yang akan dikatakannya. Laura akan bilang, "Aku tak

berani nonton teater sendirian. Pentasnya pasti malam
Corat Coret Di Toilet Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hari." Dan aku akan segera memotong, "Aku temani kau.

Jangan khawatir, tiketnya aku tanggung, cuma kau harus

tulis laporannya." Ia akan terdiam sejenak, lalu setuju

dengan syarat pulangnya aku antar.

Yap! Rencanaku begitu gemilang dan aku begitu

berbunga-bunga. Sore itu segala sesuatu tampak begitu

indah. Aku memandangi deretan kelelawar dengan latar

langit yang kemerahan, memandangnya dengan suka
cita yang gaib. Satu per satu cahaya lampu dari rumah

menyala, begitu pula lampu jalanan, dan udara menjadi

semakin gelap. Angin dingin menyergap, namun semua

itu terasa indah belaka buatku. Dunia serasa sebuah pui
si dan aku diselubungi kata-kata penuh kerinduan. Ku
habiskan waktu dengan berjalan ke sana berjalan ke sini,

berba?r ing-baring, hingga akhirnya aku merasa sudah

waktunya untuk menelepon. Kuangkat gagangnya dan

kupijit tombol-tombolnya. Sesaat telepon berde?r ing di

sana dan seseorang, seorang perempuan (dari suaranya

kuanggap sete?n gah baya), mengangkat gagangnya seraya

bertanya, "Cari siapa?" Dengan jantung berdegup keras

aku bertanya, "Ada Laura?" Perempuan itu menyuruhku

menunggu sejenak. Telingaku sayup-sayup mendengar

suara langkah kecil mendekat dan berhenti di dekat

telepon. Gagang diangkat kembali dan suara Laura yang

lirih, mendayu, serta menggemparkan tanpa ampun menyerbu telingaku, "Halo? Siapa?" Tapi aku sudah menu
tup telepon. Sambil berdiri bersandar ke dinding, keri?

ngat dingin mengucur di tubuhku. Aku tak sanggup!

***

Kupikir aku harus sedikit mengakrabkan diri dulu de?

ngannya sebelum aku melakukan pendekatan secara

serius. Katakanlah secara kebetulan aku bertemu de
ngannya di suatu tempat dan kemudian aku akan meng?

ajaknya bicara hal remeh-temeh. Aku mulai rencana itu

pada keesokan harinya. Kutemui ia di kantin sekolah dan

duduk di depannya seolah hal itu kebetulan belaka. Oh

Tuhan, lihatlah betapa kau menciptakan makhluk cantik

ini di depanku!

"Kudengar ada anak di kelasmu yang dijewer kepala

sekolah?" tanyaku berbasa-basi sambil makan soto ayam

penuh sopan-santun.

"Ya, betul! Dia memang kurang ajar. Naik ke bang
ku ketika ibu guru sedang tidak ada. Menari-nari dan

mencoba melawak. Ia berjalan dari satu bangku ke bang
ku yang lain, menirukan cara tentara Jerman berbaris.

Ia bilang semua film yang menampilkan tentara Jerman

sepakat cara mereka berbaris memang begitu. Lihat

saja Seven Years in Tibet, atau Indiana Jones, atau Life is

Beautiful. Tahu tidak, ia pidato kepada seluruh anak di

dalam kelas, masih di atas meja, betapa berbahayanya

orang-orang fasis itu! Kalau kita mendukung tim kita di

olimpiade dengan suka cita, dia bilang itu nasionalisme

sejati. Tapi kalau sampai membenci bangsa lain demi

kejayaan bangsa sendiri, itu nasionalisme fasis! Begitu

juga solidaritas kelas, jangan sampai jadi solidaritas gaya

fasis! Tak tahu dari mana ia dapat bahan pidato seperti

itu hingga tiba-tiba kepala sekolah datang dan ia langsung dijewer karena kekurang?a jarannya!"

Sayang sekali, jawaban panjang dan nyerocos itu tak

datang dari mulut Laura. Itu suara temannya yang tibatiba datang dan duduk di samping kami. Hancur harap?

anku untuk sedikit merayunya.

Alam semesta mulai terbangun pada dini hari. Ayam

jago berkotek di sana, burung bercicit di sini. Piring dan

gelas beradu-adu di tempat cucian rumah tetangga dan

di garasi mereka para lelaki tua memanasi mesin mobil

atau motor. Nun jauh di sana seorang tetangga menya?

lakan radio dan terdengarlah siaran khotbah pagi hari.

Saat itu cahaya matahari belum sepenuhnya muncul,

tapi butir-butir embun di dedaunan telah berkilap-kilap

dan kupu-kupu terbang ke sana-kemari berkejaran. Aku

sendiri sudah ba?n gun sepagi itu, berjumpa dengan ku?

cing kami yang masih menggeliat-geliat di atas keset.

Sekarang aku sudah lumayan sering berjumpa de?

ngan Laura. Ya betul, aku telah mengetahui satu rahasia:

ia ternyata berangkat sekolah pagi-pagi sekali! Seringkali lebih pagi dari petugas piket membersihkan ruang?

an kelas. Karena itulah, selama beberapa hari aku ba?

ngun pagi-pagi sekali, demi Laura. Setelah kukerjakan

semua tugasku (yakni menyapu halaman dan mengisi

bak mandi), aku mandi meskipun air masih sedingin es,

dan pada jam setengah enam aku sudah meninggalkan

rumah. Berdiri di pinggir jalan siap menyetop bus.

Sebagaimana kemarin-kemarin, aku bertemu Laura

dalam perjalanan ke sekolah. Di atas bus. Aku duduk di

sampingnya dan ia masih juga gadis misterius itu. Wa?

jah??nya sering menunduk, atau menoleh ke luar jendela

dengan ekspresi malu-malu. Kalau kuajak ngobrol, ja?

wab?a nnya pendek-pendek saja. Kalau tersenyum, ia ha?

nya memperlebar garis bibirnya. Ya, ampun! Padahal aku

?i ngin bicara banyak, ingin bercanda dengannya, ingin

me?r ayu dirinya, dan pada akhirnya aku ingin bilang bah?

wa aku mencintainya. Bagaimana caranya?

Aku lihat ia mendekap dua buah buku pelajaran

di atas pangkuannya. "Boleh pinjam bukumu?" tanya?k u.

"Untuk apa?" ia bertanya. "Yah, pinjam saja." Ia ragu
ragu tapi aku terus memaksa sampai akhirnya ia me?

nyodor?k an salah satu buku itu kepadaku. Dengan penuh

ke??pura-puraan aku membolak-balik halamannya, kemudian dengan gaya seorang pesulap amatir aku menyelipkan satu surat berwarna merah muda dengan parfum

yang semerbak ke dalamnya. Itu surat cintaku untuk

Laura. Kubuat hampir semalam suntuk. Kuberikan kem
bali buku itu dan jantungku berdegup semakin kencang.

"Sudah kau baca belum?" tanyaku kepadanya setelah

beberapa hari berlalu saat berimpitan di dalam bus

s? e?p ulang sekolah. Tentunya dengan cara berbisik agar

tidak terdengar anak yang lain.

"Sudah."

"Bagaimana?"

"Apanya?"

Ya ampun!

Aku menoleh ke kiri dan ke kanan, kemudian berbisik lagi di dekat telinganya. "Kau terima tidak?"

"Tidak tahu."

"Tidak tahu?"

"Iya, tidak tahu."

"Suratnya balas, ya!"

"Nanti."

Begitu sulitkah memiliki seorang kekasih? Terusterang aku jadi putus asa. Kegairahanku yang muncul

belakangan ini menguap bagai tetes air di padang pasir. Dini hari bukan merupakan rutinitas bangun pagiku

lagi, dan aku berangkat sekolah agak siang, malu bertemu Laura. Ya, jangan-jangan ia menolak cintaku. Ia

rupanya tak begitu antusias. Kalau ia membalas cintaku,

seharusnya ia menjawabnya dengan segera. Aku jadi tak

doyan makan, tak doyan main, tak doyan mandi, dan

tak doyan apa pun kecuali mengurung diri sendiri. Aku

tampaknya patah hati.

Puncak dari kehancuranku adalah saat kusaksikan de?

ngan mata kepalaku sendiri Laura tengah berjalan

?d e?n gan seorang pemuda yang, apa boleh buat, sangat

tampan. Mungkin tak menjadi persoalan seandainya

mereka cuma sekadar berjalan bersama; lebih dari itu,

mereka berjalan bergandengan tangan dengan kemesraan yang tak dibuat-buat. Betapa hancur hatiku! Alam

raya seolah menjelang kiamat, udara terasa penuh po
lusi, dan ke mana pun memandang segala-sesuatu se?o lah

kering-kerontang. Menahan kegeraman, kutendangi

kaleng-kaleng rombeng di jalanan yang berdebu, melempari anjing-anjing kampung yang lewat dengan cara

menyebalkan, atau menyobeki poster-poster iklan yang

menempel di dinding toko de?n gan kasar.

Desas-desus ia memang kekasih Laura yang tak

banyak dikenal orang. Katanya ia bersekolah di tem
pat yang lain, atau mungkin sudah di universitas, siapa

tahu? Yang jelas aku sangat cemburu, marah, dan merasa

terlecehkan. Puncaknya terjadi ketika akhirnya aku bertemu dengan laki-laki itu. Tanpa bisa kukendalikan, di
dorong oleh amarah yang menggelegak di dadaku, aku

melayangkan tinjuku kepadanya. Ia tampaknya tak be
gitu bersiap diri sehingga beberapa pukulanku mendarat

di wajah dan tubuhnya tanpa perlawanan, dan ketika

ia mulai hendak melawan, dirinya sudah begitu babak
belur. Orang-orang berlarian melerai sementara Laura

berteriak-teriak menjerit histeris. Aku berlari saat lakilaki itu akhirnya tergolek di tanah.

Apa boleh buat, seluruh temanku ? laki-laki atau perempuan ? semuanya mencemoohku, mencibirku, dan me?

nertawaiku; lihat laki-laki itu, berkelahi karena patah

hati! Aku semakin hancur terpuruk. Aku tak memperoleh Laura dan sebaliknya, aku kehilangan banyak sahabat. Di tengah kemerosotan diriku yang tanpa ampun,

satu kesadaran baru hinggap di kepalaku yang bebal ini.

Oh cinta, betapa ia bisa membuat orang melakukan

apa saja, bahkan membuatnya gila sekali pun!

2000

Kandang Babi

Edi Idiot menjaga kampus siang dan malam, tapi ia bukan satpam. Terutama kalau malam, ia adalah raja yang

berkuasa di kegelapan pohon-pohon rindang, tapi sungguh, ia bukan Jin Iprit. Ia seperti kita juga: suka makan,

beol, bercerita, berteriak menyanyikan "Obladi Oblada",

atau jika ia sedang tidak bersemangat, ia akan duduk

ma?n is menatap jauh kepada segerombolan gadis yang

tengah duduk berkerumun: berharap satu atau dua orang

ter?s ingkap roknya.

Ia tinggal di satu sudut fakultas yang nyaman ? senyaman kandang babi. Dulu ruangan itu dipakai untuk

mengoperasikan mesin stensil yang belakangan tergusur

setelah penemuan teknologi komputer yang edan-edanan. Kematian mesin stensil adalah berkah bagi Edi Idiot

yang berharap menghemat banyak dengan pondokan

gratis. Di sanalah ia tidur kalau ngantuk, bercinta kalau

punya kekasih, atau mencoba bunuh diri kalau sedang

gila.

Empat tahun telah berlalu, dan itu membuatnya

betah tetap tinggal di kandang babinya; istananya yang

pa?l ing hebat. Tak ada Induk Semang yang Bengis yang

siap monyong dan melotot jika ia membawa gadis cantik ke dalam kamarnya (kemudian pintunya dikunci

dan mereka berdua menabung bekal untuk di neraka).

Juga tak ada Induk Semang yang Serakah yang akan

menagih uang pondokan (atau uang listrik, atau uang

iuran penyemprot?a n nyamuk deman berdarah, atau juga

sedikit sumbangan untuk langganan koran). Tapi yang

lebih hebat dari semua itu adalah fakta bahwa tak ada

Induk Semang yang Cerewet yang akan melarangnya

membuat keributan macam apa pun bersama sahabatsahabatnya tercinta.

Hobinya memang membuat keributan yang tak

termaafkan induk semang mana pun. Bernyanyi keraskeras diiringi petikan gitar yang sebenarnya tak pernah

nyambung. Atau membacakan puisi-puisi cinta yang
Corat Coret Di Toilet Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memilukan hati. Atau lain kali ia mengundang bebe?

rapa temannya sesama nomaden (mereka juga tinggal

di kandang-kandang babi, atau ada juga yang di kandang ayam, kandang anjing, atau kandang dedemit,

yang tersebar hampir di setiap sudut universitas) untuk sekadar beranjangsana ke pondokannya yang, "Aih,

maaf, agak berantakan. Maklum pembantu sedang mudik." Berkumpul merupakan saat-saat yang paling indah

baginya. De?n gan sedikit mabuk karena arak putih yang

dijual murah di pinggir jalan, mereka membicarakan kebusukan Hegel dan Heidegger sebebas membicarakan

kebusukan ?a rtis-artis porno. Mereka adalah orangorang kreatif yang tak pernah membaca Voltaire atau

Cervantes namun memunculkan istilah-istilah inovatif

melebihi sastrawan manapun: "Mesin Penjilat Bibir" untuk pelacur, dan "Pipis Enak" untuk suatu kondisi yang

disebut ejakulasi pada puncak orgasme.

Dialah Edi Idiot. Menyelesaikan sekolah dasar selama sembilan tahun, sekolah menengah pertama empat

tahun, dan sekolah menengah atas selama lima tahun;

hanya Tuhan yang tahu bagaimana orang yang menurut sistem pendidikan nasional dibilang goblok ini bisa

masuk universitas. Itulah mengapa ia mendapat gelar

idiot, semakin terlihat idiot ketika ia kuliah di filsafat

dan tak tahu tanggal berapa Aristoteles lahir! Namun

di atas semuanya, ia sahabat yang menyenangkan: tak

pernah malu pinjam uang, matanya melotot jika bicara

dengan seorang gadis yang kebetulan kancing kemejanya sedikit terbuka, dan tidur di ruang kuliah (ia baik

karena tidak mengganggu sang dosen menjual omong?

an yang selalu diulang di setiap semester, bukan?). Ia

mudah dikenali dari pandangan pertama: pakaian yang

ia kenakan adalah empat pasang jins dan kemeja yang

merupakan serangkaian siklus empat mingguan, karena

itu selalu tampak kucel dan jorok ke?c uali di dua hari

minggu pertama. Rambutnya merupakan satu hal yang

jauh lebih mudah dikenali; panjang dengan model gimbal seperti Bob Marley yang dibuat bukan de?n gan pergi

ke salon, atau resep mandi dengan air laut, atau apalagi

dengan beragam ramuan yang tak meyakinkan, namun

sungguh-sungguh menjadi gimbal karena ia belum kera
mas selama delapan bulan satu minggu tiga hari! Ja?n gan

tanya berapa batalion kutu di kepalanya ....

Malam hari merupakan saat-saat yang paling merdeka

buatnya. Ia bisa pergi nonton konser lalu pulang menjelang dini hari. Atau kalau tak ada hiburan di mana

pun di segenap pelosok kota, ia dan para sahabatnya

menghibur diri sendiri dengan judi kiu-kiu menggu
nakan kartu domi?n o. Awalnya mereka bertaruh dengan

duit receh, namun jika kebangkrutan sudah menghantam, kekasih-kekasih khayalan mulai jadi taruhan. Edi

Idiot doyan memperta?r uhkan Ayu Azhari, namun jika ia

kalah ia dilarang meng?a ku sebagai kekasih Ayu Azhari

selama seminggu ke depan ... kenyataan tragis bagi lakilaki yang justru se?r ingkali tak memiliki kekasih yang sesungguhnya.

Namun jika ia sedang baik hati, ia akan mengin
gatkan dirinya sendiri, "Edi, sudah jam sembilan malam.

Waktunya tidur."

Ia segera akan membereskan kandang babinya. Ke
tiga jins dan ketiga kemejanya yang tidak sedang dipakai

ia gantungkan di paku-paku yang menancap di din?d ing.

Kemudian ia membersihkan tikar, menggebukinya de?

ngan sebatang tongkat pendek untuk mengusir debu dan

kecoa, sebelum dihamparkan di pojok kandang babi itu.

Bantalnya sudah sangat lembek sekali, ia temukan dahulu kala di kantor senat mahasiswa, sempat jadi rebut?

an dengan seorang temannya yang kini tinggal di gudang lain tak jauh dari kandang babi mantan gudang

stensilnya, namun ia menangkan setelah bertaruh siapa

yang berani masuk ke ruang dosen di pagi hari sebelum

cuci muka. Sementara itu selimutnya merupakan hadiah

istimewa dari kekasihnya di semester kedua; berwarna

coklat muda dan ketebalannya cukup menghangatkan

di musim penghujan yang dingin sangat ekstrim; suatu

penghibur jika ia mengenang bagaimana cintanya diputuskan oleh ga?d is tersebut padahal demi Tuhan bahwa

gadis itu jeleknya minta ampun ? tak lebih cantik dari

lubang kloset.

Jika semua ritual itu sudah ia laksanakan, ia akan

berbaring perlahan di atas tikar tersebut. Sejenak ia merenung-renung dan berkata kepada diri sendiri:

"Kau kan mahasiswa, sebaiknya membaca satu atau

dua menit sebelum tidur."

Maka ia mengambil satu-satunya buku yang ada di

kandang babi itu, tergeletak di meja kecil tak jauh dari

tempat di mana ia berbaring. Buku itu adalah buku tulis,

sudah lecek karena nyaris seumur ia kuliah hanya itulah buku andalannya. Sambil tiduran, ia membuka dan

membaca catatannya:

"Nasi sayur satu, tempe dua, teh hangat; kopi dan

bakwan dua; nasi pecel satu tambah telur satu dan es teh;

nasi sayur tambah tempe satu dan tahu satu dan jeruk

hangat; nasi sayur satu tambah tempe dua dan kerupuk

dua tambah es jeruk; nasi pecel satu, perkedel dua dan

kerupuk satu tambah es teh ..." Itu adalah catatan utangnya kepada Bu Kantin yang Gendut di Kantin yang

Jorok. Ia akan melanjutkan sebelum benar-benar tidur:

"Belum mengkhawatirkan, pasti bisa aku lunasi."

Maka tidurlah ia dengan damai, tanpa perlu dido?

ngengi dengan cerita Lutung Kasarung atau Bawang

Putih dan Bawang Merah. Ia tak punya jam weker yang

akan menjerit membangunkannya di pagi hari. Ia pun

tak pernah merasakan kehangatan sinar matahari pagi

menghantam tubuhnya yang tidur karena jendela kandang babinya selalu tertutup. Maka satu-satunya tanda

bahwa ia harus bangun adalah keributan mahasiswa dan

dosen; saat itu biasanya sudah pukul tujuh pagi.

Ia akan menggeliat-geliat sebentar, lalu bangun dan

membuka pintu. Pak Dekan baru keluar dari mobil, Edi

Idiot tersenyum ramah, dan Pak Dekan membalasnya

dengan muka masam. Lalu muncul Si Cantik adik kelas,

Edi Idiot tersenyum juga, dan Si Cantik ngibrit. Ia tak

pernah sakit hati. Ia dengan santai menuju keran air dan

cuci muka, dan dengan langkah seorang pemalas berge?

rak menuju Kantin yang Jorok untuk memesan kopi dan

nongkrong sampai siang hari.

Banyak desas-desus dan omong-kosong bisa dida?

patkan di Kantin yang Jorok: misalnya siapa yang paling

bertanggung jawab atas perut bunting Nurul?, atau lakilaki tua berkumis baplang yang manakah yang ternyata

intel dan sedang memantau mahasiswa-mahasiswa yang

membahayakan keselamatan negara?, atau manakah yang

perlu dibela: apakah orang Timor hitam yang pro Indo
nesia atau orang Timor hitam yang lebih suka merdeka

(namun jelas mereka tak akan membela minoritas keturunan Portugis yang berkuasa)?, namun di atas tematema berat macam begitu, hanya satu yang bisa membuat

mahasiswa-mahasiswa nomaden heboh:

"Konon, rektorat akan melarang kita tidur lagi di

kampus."

Edi Idiot bahkan sukses semaput di belakang pan
tat Bu Kantin yang Gendut.

Hal itu benar-benar terjadi di suatu hari. Edi Idiot pu
lang pada suatu senja dari sedikit pengembaraan yang

agak melelahkan. Ia mendapati kandang babinya terkun
ci, dan semua barangnya teronggok di atas kursi reyot di

depan gudang tersebut. Ia panik dan melesat ke ruang

satpam penjaga gedung.

"Si-siapa yang mengunci gudang?" tanyanya, antara

marah dan ngeri.

"Mana aku tahu," kata pak satpam. "Konon mau di
jadikan dapur kantin ibu darmawanita."

"Anjing-anjing itu?"

"Siapa yang anjing?"

"Ya babi-babi itu."

Apa pun yang terjadi, pak satpam jelas tak bisa

mengembalikan istana hebat itu kepadanya. Edi Idiot

berjalan gontai kembali ke kandang yang terkunci, mengumpulkan barang-barangnya. Ia memasukkan bantal

lepetnya ke dalam tas gendong yang sudah dekil; juga

ketiga pasang jins dan kemeja kesayangannya. Tikar ia

gulung dan simpan di tiang penopang langit-langit, kapan-kapan ia ambil. Lalu meja kecil ... ah, biarkan saja

di situ, siapa tahu ada kemungkinan kembali berkuasa di

kandang babi. Terakhir ia melipat selimut kenangannya

dan mengapitnya di ketiak.

Dan, lalu?

Ia berdiri bengong di gerbang fakultas. Ia tak tahu

harus ngeloyor ke mana. Ia tak punya pondokan selama

empat tahun ini, dan lebih parah dari segalanya, ia tak

punya uang untuk menyewa pondokan baru. Kakinya

kemudian membawanya menuju ke gelanggang mahasiswa, tempat di mana lebih banyak mahasiswa nomaden

memanfaatkan ruangan-ruangan yang tak terpakai di

malam hari. Tapi yang ia temukan hanyalah pintu-pintu

yang terkunci, dan gerombolan mahasiswa terusir yang

putus asa. Satu-dua anak mencoba memprovokasi untuk membuat sedikit pemberontakan pada keadaan yang

sungguh tak adil, namun yang lainnya begitu lelah dan

ngantuk ? dan kehilangan motivasi ? sehingga tak me?

respon dengan baik. Dan Edi Idiot, jelas ia lebih suka

segera berlalu untuk menemukan satu tempat tidur yang

nyaman di malam hari.

Ia berkeliling dari satu gedung ke gedung lain di

segenap pelosok universitas. Ia memang menemukan teman-teman malamnya, sama-sama kehilangan harapan,

namun tak menemukan ruangan yang layak untuk tempat tidur. Sampai ketika tengah malam datang, ia tersasar di gedung rektorat dan menemukan satu pos satpam kosong di sebelah utara. Yeah, bukan kandang babi

memang, pikirnya; kandang monyet pun tak apalah!

Maka tidurlah ia di sana ditemani hantu wanita

yang bunuh diri, dedemit, sundel bolong, dan semua

makhluk horor lainnya. Namun semua keangkeran tempat tersebut tak mengganggu tidurnya sedikit pun. Ia

lelap, selelap paku yang menempel di pintu. Namun di

pagi hari, ia terbangun mendadak ketika seekor anjing

kudisan mengendus-endus pantatnya. Anjing itu sama

kagetnya, mundur sedikit, dan terkaing-kaing berlari

ketika Edi Idiot menendangnya dengan penuh nafsu.

Ia sendiri kemudian terduduk, membiarkan cahaya matahari pagi memandikan tubuhnya. Napasnya

tersengal-sengal, dan sambil memegang dada ia berbisik

pelan:

"Oh Tuhan, terima kasih. Betapa mengerikan jika

anjing sialan itu menyodomiku!"

Ia segera mencangklong tas punggungnya dan

meng?a pit selimutnya, lalu berjalan pergi ke Kantin yang

Jorok untuk mendapat segelas kopi sebagaimana biasa.

Semua itu kemudian menjadi rutinitas barunya; tidur di

kandang monyet ditemani makhluk-makluk horor, lalu

terbangun dipermainkan anjing buduk pengendus. Selain

itu pemandangan ini menjadi pemandangan umum di

setiap pagi selama beberapa hari: seorang pemuda kurus kerempeng berambut gimbal berjalan dari gedung

rektorat ke Kantin yang Jorok sambil menggendong tas

punggung berisi pakaian dan bantal dan di tangan kiri?

nya mengapit selimut coklat muda. Ialah kawan kita si

Edi Idiot yang karena nasib harus memerankan antagonis yang menyedihkan seperti itu.

Namun ternyata, bukan hanya orang-orang yang

berpapasan dengannya saja yang kemudian merasa bersimpati dan kasihan; ia sendiri mulai mengkhawatirkan

dirinya sendiri. Ia mulai menghitung-hitung buruknya

tidur di kandang monyet itu; dalam satu atau dua bulan

ke depan bisa dipastikan ia terserang paru-paru basah

yang akut. Selain itu, meskipun ia punya selimut tebal
Corat Coret Di Toilet Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kena?n gan, udara dingin di kandang yang tak punya

dinding itu bisa membuatnya terserang rematik; alasan

kuat untuk menyongsong hari tua yang mengerikan. Ia

juga mengkhawatirkan gangguan makhluk-makhluk

horor itu lama-kelamaan memberi trauma buruk pada

kejiwaannya. Tapi yang paling membuatnya cemas adalah kengeriannya pada kemungkinan terburuk ini: suatu

pagi anjing buduk itu benar-benar berhasil menyodo?

minya!

Sambil minum kopi di Kantin yang Jorok ia menghitung sisa uangnya: ada tiga ribu empat ratus perak. Ia

mencoba memikirkan banyak cara bagaimana melipatgandakan uang sekecil itu agar bisa menyewa pondokan

barang satu atau dua bulan saja. Namun jiwa kapitalistik

tak sungguh-sungguh mampir di otaknya yang bebal;

yang terpikirkan adalah mempertaruhkan uang itu di

meja judi kiu-kiu. Ia segera menukar uangnya dengan

recehan seratus perak pada Bu Kantin yang Gendut, dan

segera kembali ke fakultas mengumpulkan teman-teman

perjudiannya. Permainan berlangsung alot di belakang

kantin, di mana dosen-dosen yang sok usil ikut campur urusan orang lain tak akan melihat kelakukan biadab mereka. Di setengah jam pertama, Edi Idiot bisa

mengumpulkan keuntungan enam ratus perak, namun

ketika permainan berlangsung lebih lama, ia mulai kehilangan receh demi receh hingga temannya yang lebih

jago judi benar-benar menghabiskan seluruh modalnya.

Edi Idiot masih penasaran dan menjerit:

"Jalan terus!"

"Kau bertaruh dengan apa?"

"Apa boleh buat, kutawarkan Ayu Azhari."

"Mana bisa, tiga hari yang lalu Ayu Azhari sudah

dipasang dan kau kalah."

"Kalau begitu Sarah Azhari."

"Ngawur, dia bukan kekasihmu."

"Peduli amat."

"Kau mulai curang. Ayo, bubar!"

"Tapi ...."

Teman-temannya sudah bubar dan pergi ke segala

penjuru. Tinggal Edi Idiot yang mulai putus asa memikirkan bagaimana caranya memperoleh uang untuk

menyewa pondokan baru. Pondokan yang aman dari

pelecehan seksual anjing kudisan.

Selama beberapa waktu ia mencoba mengamen di perempatan jalan, namun hasilnya jauh dari cukup untuk men
capai cita-citanya punya pondokan baru. Ia bahkan pernah tergoda untuk melakukan sedikit pencurian; namun

nyali kecilnya ciut ketika membaca berita di koran yang

menyebutkan seorang pencuri dibakar massa beramairamai. Hasilnya, Edi Idiot mulai tampak redup. Romannya yang riang dan seringkali menghibur sahabat-sahabatnya mulai tampak jauh lebih tua. Ia menjadi seorang

perenung, tapi jelas bukan filsuf. Sering berdeklamasi

seorang diri, namun jelas bukan penyair juga, mungkin

hanya karena kegilaannya sedikit sedang kumat.

Ia juga mulai memikirkan kemungkinan-kemung
kinan untuk bunuh diri. Atau kadang terpikir untuk pu
lang ke kampung halaman, menyerah pada semua usaha?

nya untuk jadi seorang sarjana yang dihormati. Namun

semuanya tidak ia lakukan. Ia masih mencintai universi
tasnya, kotanya, dan juga para sahabatnya. Ia harus bisa

bertahan, betapapun menyedihkannya hidup yang harus

ia lakoni.

Kadang ia merasa betapa rugi dirinya: hidup di du?

nia dalam keadaan buruk, dan kalau mati kemungkinan

besar masuk neraka. Namun kemurungannya berubah

seketika saat di suatu pagi, ketika ia sedang berjalan

dari gedung rektorat menuju Kantin yang Jorok sambil

menggendong tas punggung dan mengapit selimut pemberian mantan kekasihnya, ia bertemu seorang gadis di

tengah jalan. Namanya Widy, sahabatnya satu angkatan

namun nasib membuat jalan hidup keduanya berbeda.

Widy sudah menyelesaikan kuliah dan sekarang bahkan

sudah menjadi dosen di fakultas mereka.

"Oh, Sahabatku, Widy, apa kabar?" Edi Idiot dengan

muka yang ceria menghampirinya dan menjabat tangan.

Widy yang sedang dalam perjalanan ke kantor

dosen menatapnya dengan prihatin. "Aduh, Edi, sudah

berapa lama kau tidak mandi?"

"Ah, Sahabatku, jangan tanyakan soal itu. Ngomong-ngomong, kau jarang terlihat akhir-akhir ini?"

"Aku? Seandainya kau rajin masuk kuliah, setidak?

nya aku mengajar kau satu minggu sekali."

"Aku jadi malu."

"Kau tampaknya lapar, mau kutraktir?" tanya Widy.

"Demi Tuhan, aku menunggu tawaran seperti itu."

Mereka kemudian mampir ke Kantin yang Jorok

sekadar melepas rindu sebagai dua sahabat yang lama

tak berjumpa. Sarapan bersama sambil bicara mengenai

banyak hal. Teman kita yang botak, si Agus, sekarang di

mana? Aha, ia sudah kerja di Jakarta. Ya, betul, si Iwan

sudah jadi wartawan, hebat betul. Dan Sinta, kudengar

ia sudah kawin; punya anak tapi kemudian cerai, nasibnya agak malang. Aku tak tahu kalau soal Andi, kata?

nya ia pergi ke Kalimantan; ya goblok sekali si Andi ini,

kuliahnya ditinggal begitu saja, mungkin bisnis, tapi setahuku bisnis apapun ia selalu gagal. Dan kau? Masya

Allah, hanya tinggal kau angkatan kita yang masih bertahan jadi mahasiswa?

Edi Idiot tersenyum dan bertanya:

"Dengar-dengar kau mau kawin?"

Widy tersenyum dan mengangguk. "Tentu saja," katanya. "Sekarang masih nabung-nabung buat rumah dan

tetek-bengeknya."

"Kupikir kau mau tunggu aku."

"Sayang kau terlambat."

Edi Idiot menyelesaikan sarapannya dengan pera?

sa?a n puas, karena untuk pertama kali setelah beberapa

waktu, ia boleh mengambil porsi makan sebanyak yang

ia suka. "Tapi ngomong-ngomong," katanya. "Kalau di

hari perkawinan calon suamimu minggat, aku tak keberatan jadi pengganti."

Widy tertawa dan menjawab, "Aku pertimbangkan."

Mata Edi Idiot berbinar-binar menatap sahabatnya.

Bukan, bukan karena harapan pada kemungkinan menjadi pengganti calon suami yang minggat, tapi karena

ia menganggap inilah saat yang tepat untuk menye?r ang

Widy dengan satu permintaan yang selama makan ia

persiapkan:

"Sahabatku," katanya pelan, takut terdengar peng?

huni Kantin yang Jorok yang lain. "Untuk sahabatmu

yang malang dan mengibakan ini, maukah kau pinjami

aku uang?"

"Kau pinjam uang?"

"Jangan keras-keras, Sayang ... ya, itulah yang aku

maksud."

"Kau tidak dalam kesulitan besar, kan?"

Edi Idiot bercelingukan, lalu menatap sahabatnya

lagi. Matanya sedikit berkaca-kaca (aduh, tak terkira ia

agak cengeng juga). Lalu perlahan-lahan mengadu, "Kau

tahu kan aku tinggal di kandang babi?"

"Kandang babi di fakultas peternakan?"

"Maksudku gudang bekas tempat mesin stensil."

"Semua orang sudah tahu."

"Tapi sekarang aku sudah tidak tinggal di sana."

"Pantas saja aku jarang lihat kau."

"Pihak universitas melarang kami tinggal di kampus

lagi. Aku sekarang tinggal di kandang monyet, ditemani

genderuwo dan kuntilanak, serta dikeloni anjing ku?

disan."

"Di mana pula itu?"

"Pos satpam dekat gedung rektorat."

"Oh Tuhan, itu mengerikan, Sayang."

"Ya, begitulah," kata Edi Idiot. Dan dengan sema?

ngat ia mendramatisir, "Aku mulai menderita paru-paru

basah, mungkin juga demam berdarah dan gagal jantung.

Bahkan aku menduga aku sudah kehilangan satu ginjal. Aku khawatir lebih lama di sana bisa terkena AIDS

juga."

"Sebaiknya kau menyewa pondokan saja."

Inilah! Dengan sedikit menahan diri, Edi Idiot

berbisik, "Itulah mengapa aku mau pinjam duit ke kau.

Atau kalaupun kau tak punya duit, setidaknya kau sudi

berbagi tempat tidur denganku."

"Ah, aku lebih suka meminjami kau uang."

"Itu pun tak apa."

"Tapi aku cuma bawa seratus ribu perak."

"Itu lebih dari cukup."

Transaksi berjalan dengan diam-diam. Selama itu

berlangsung, Edi Idiot beribu kali mengucapkan terima

kasih. Kau memang sahabat sejati, Widy. Semoga kau

tambah cantik selalu, katanya. Semoga kau cepat naik

pangkat ? kalau perlu jadi rektor yang berpihak kepada

mahasiswa-mahasiswa malang seperti dirinya. Semoga

amal-ibadahnya diterima Tuhan, dan semoga kau tertarik menjadikan aku sebagai suamimu.

Widy hanya tersenyum dengan segala puja-puji itu,

dan berkata bahwa ia harus segera masuk ruang kuliah

untuk mengajar.

"Ya, ya, selamat jalan, Sahabatku!"

Widy berlalu dan Edi Idiot melambaikan tangannya dengan bahagia.

Kini ada uang seratus ribu di tangannya. Edi Idiot

termenung-menung seorang diri di Kantin yang Jorok

yang hiruk-pikuk itu. Yeah, cukup untuk menyewa kamar dua bulan, pikirnya. Mungkin tiga bulan, kalau mau

mencari yang agak jauh dari kampus. Ia mulai mempertimbangkan hal-hal tersebut. Yeah, ia bakal punya Induk

Semang yang Bengis, juga Induk Semang yang Rakus,

dan tentunya Induk Semang yang Cerewet. Kecil kemungkinan memperoleh Induk Semang yang Pemurah.

Jika ia punya pondokan, ia tak boleh lagi berteriak

sesuka hati di tengah malam. Juga pasti dilarang keras

mabuk. Lebih mengerikan kalau ada aturan harus pulang jam sembilan. Ngomong-ngomong, ia jadi ragu dan

ngeri memikirkan harus punya rumah pondokan.

Namun bagaimana lagi? Sahabatnya yang baik itu

sudah meminjami ia uang, dan duit tersebut kini tergenggam erat di tangannya. Dan lagi pula, adalah mengerikan terus-menerus tinggal di kandang monyet: ia bisa

mati memalukan.

Ketika sedang memikirkan hal itu, matanya menatap Bu Kantin yang Gendut. Ia sedang melayani seorang

pembeli. "Satu atau separoh? Pakai sayur? Oh, pecel."

Kemudian pembeli yang lain. "Dengan apa? Nasi sayur

tambah telur goreng, tempe dua dan es teh, dua ribu lima

ratus. Terima kasih." Edi Idiot tiba-tiba teringat sesuatu.

Ia membuka tasnya dan menemukan buku catatan itu.

Ketika Bu Kantin yang Gendut sedang beristirahat tanpa gangguan satu pembeli pun, Edi Idiot menghampirinya.

"Ini utangku," kata Edi Idiot pelan-pelan dan malu-malu.

Bu Kantin yang Gendut menghitungnya, dan Edi

Idiot kehilangan lebih dari separuh uang yang dipegangnya.

Namun ia bahagia sekali bisa melunasi utang itu. Ia

berjalan ke sana-kemari sambil bersiul-siul. Lagu-lagu

riang kembali muncul di mulutnya. Ia telah lupa kepada

rencana punya pondokan. Lalu apa yang telah merasuk

di otaknya? Apakah ia memiliki suatu rencana yang gemilang? Begitulah. Di sore hari, ia membayar seorang

tukang kunci untuk membuka pintu kandang babinya.

Dan di malam hari ia menghabiskan uangnya dengan

membeli arak putih murahan dan sekeresek nasi bungkus dari warung angkringan serta mengundang seluruh

sahabat malamnya. Mereka pesta gila-gilaan, bernyanyi
Corat Coret Di Toilet Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan mabok serta kembali tertidur dengan penuh kedamaian.

Sebelum benar-benar tertidur, Edi Idiot tak lupa

berdoa, "Semoga bisa melunasi utang kepada Widy ...

Grok, grok, grok."

2000

Tamat


Raja Petir 22 Cinta Tokoh Sesat Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari

Cari Blog Ini