Dalam Derai Salju Let It Snow Karya Maureen Johnson, John Green, Lauren Myracle Bagian 5
Kenapa aku menyukai lagu itu? Lagu itu menyebalkan! Aku beranjak untuk mengganti CD, namun lagu sudah berubah
berkumandang memenuhi toko dan aku membatin, Tidak apalah, ini jauh lebih bagus daripada halleluya yang retak. Aku juga membatin, Kumohon, Tuhan, aku benar-benar butuh anugerah.
J lima pagi persiapan pagi kami selesai. Jam 05:01 pelang
gan pertama kami mengetuk pintu kaca, dan Christina beranjak membukakannya.
" Selamat hari-setelah-Natal, Earl," katanya pada pria besar dan tegap yang menunggu di luar. " Aku tidak mengira kami akan melihatmu hari ini."
" Apa menurutmu para pelangganku peduli seperti apa cuacanya?" kata Earl. " Coba pikir lagi."
Ia berjalan masuk, membawa angin dingin yang menderu ke dalam. Pipi-pipinya merona dan ia mengenakan topi bertelinga berwarna merah dan hitam. Earl tinggi besar, berjenggot, dan terlihat seperti penebang kayu dan itu memang pas karena dia memang seorang penebang kayu. Dia mengendarai truk semi kau pasti tidak ingin terjebak di belakang kendaraan seperti itu di salah satu tanjakan pegunungan yang berliku-liku di sekitar sini; alasan pertama, beban yang ditariknya membuatnya harus mempertahankan kecepatannya agar tetap 30 km/jam, dan alasan kedua, bagian belakang trailernya yang terbuka penuh dengan gelondongan kayu.
Delapan
satu setengah sampai dua meter. Kalau pembatas trailer itu patah, gelondongan-gelondongan itu akan menggelinding turun dan menimpamu sampai penyet seperti gelas plastik minuman bawa pulang yang hancur.
Christina kembali ke balik konter dan menyalakan steamer. " Tapi pasti menyenangkan rasanya karena orang-orang membutuhkanmu. Ya, kan?"
Earl mengerang. Ia berjalan gontai ke kasir, menyipitkan mata ke arahku, lalu berkata, " Kauapakan rambutmu?"
" Aku memotongnya," kataku. Aku mengamati wajahnya lekatlekat. " Dan mengecatnya." Saat ia tetap tidak berkata apa-apa, aku menambahkan, " Menurutmu bagaimana?"
" Apa pentingnya pendapatku?" jawab Earl. " Itu kan rambutmu."
" Aku tahu. Tapi& " Aku tidak tahu cara menyelesaikan kalimatku. Kenapa aku harus peduli pendapat Earl soal rambutku? Sambil menunduk, aku menerima uangnya. Earl selalu memesan minuman yang sama, jadi kami tidak perlu berbicara lebih lanjut.
Christina menyemprotkan gunungan tebal whipped cream ke minuman raspberry mocha Earl, menghiasi krim itu dengan tetesantetesan sirup raspberry cerah, lalu menutup gelas itu dengan tutup plastik.
" Silakan," serunya.
" Terima kasih, Nona-Nona," kata Earl, ia mengangkat gelas itu, lalu keluar.
" Apa menurutmu teman-teman Earl sesama penebang pohon sering mengejeknya karena ia memesan minuman yang cewek banget?" tanyaku.
" Paling-paling cuma sekali," kata Christina.
Pintu berdenting dan seorang cowok menahan pintu itu untuk
mereka menunjukkan ekspresi pacaran, serba salah tingkah dan penuh cinta. Aku langsung memikirkan Jeb setelah sekitar, berapa lama ya, dua detik tidak memikirkannya? dan merasa kesepian.
" Wow, makin banyak pelanggan yang datang awal," Christina berkomentar.
" Tepatnya sih pelanggan yang habis bergadang." Si cowok, yang kukenali sebagai teman sekolahku, bermata merah dengan postur tubuh habis bergadang semalaman. Rasanya aku juga pernah melihat cewek itu, tapi aku tidak terlalu yakin. Si cewek terus-menerus menguap.
" Bisa berhenti menguap, tidak?" kata cowok itu ke si Cewek Menguap. Tobin, nama cowok itu Tobin. Dia kakak kelasku. " Kau membuatku ketularan."
Cewek itu tersenyum. Lalu menguap lagi. Kalau tidak salah namanya Angie, ya? Ya, Angie, dan cewek itu sama sekali tidak feminin sehingga aku jadi merasa terlalu feminin. Tapi aku yakin ia tidak bermaksud membuatku merasa begitu. Aku juga yakin ia tidak tahu siapa aku.
" Baguslah," kata Tobin. Ia berbicara padaku dan Christina sambil merentangkan tangan. " Menurutnya aku membosankan. Aku membuatnya bosan apa kau percaya itu?"
Aku memasang tampang ramah namun tetap datar. Tobin mengenakan sweter acak-acakan dan berteman dengan cowok Korea yang sering bilang " brengshaik" . Ia dan teman-temannya luar biasa cerdas. Tipe cerdas yang membuatku merasa aku sebodoh pemandu sorak, meskipun aku bukan pemandu sorak, dan meski aku pribadi tidak menganggap para pemandu sorak bodoh. Tidak semuanya sih. Mungkin yang bodoh cuma Chloe-yang-mencampakkan-Stuart. " Hei," kata Tobin, menunjukku. " Aku kenal denganmu." " Hmm, ya," jawabku.
" Bukan."
" Jadi kau bekerja di sini? Keren banget." Tobin menoleh ke cewek itu. " Dia kerja di sini. Dia mungkin sudah bertahun-tahun kerja di sini dan aku tidak pernah tahu."
" Ngeri," kata cewek itu. Ia tersenyum padaku dan sedikit memiringkan kepala, seakan berkata, Aku tahu aku kenal denganmu, dan aku minta maaf tidak tahu namamu, tapi " hai" .
" Mau pesan apa?" tanyaku.
Tobin membaca papan menu. " Ah, astaga, ini tempat dengan ukuran aneh-aneh itu, ya? Contohnya grand dan bukannya besar?" Ia mengucapkannya dengan aksen Prancis yang dibuat-buat; Christina dan aku bertukar pandang.
" Kenapa sih tidak disebut besar saja?" tanyanya.
" Bisa saja sih, tapi grand itu medium," kata Christina. " Venti itu besar."
" Venti. Betul. Ya Tuhan, apa aku tidak boleh memesan dalam bahasa Inggris normal?"
" Bisa saja," kataku. Sikap yang seimbang: membuat pelanggan senang sekaligus, bila perlu, menyuruhnya berhenti main-main. " Aku mungkin akan sedikit bingung, tapi paham juga akhirnya." Bibir Angie berkedut. Aku jadi menyukai cewek itu. " Tidak, tidak, tidak," kata Tobin, mengangkat kedua tangan dan menunjukkan bahwa ia sudah berubah pikiran. " Aku harus menyesuaikan diri dengan tempat. Aku, hmm& sebentar ya& aku mau pesan muffin blueberry venti."
Aku tertawa. Rambut cowok itu mencuat acak-acakan, ia terlihat kelelahan, dan ya, sikapnya seperti orang tolol. Aku lumayan yakin ia tidak tahu namaku meski kami satu SD, satu SMP, dan satu SMA. Namun sikapnya sangat manis saat ia menatap Angie yang ikut tertawa denganku.
" Ukuran-ukuran itu untuk minuman," kata Angie. Ia memegang bahu Tobin dan mengarahkan cowok itu ke etalase kue yang memajang enam muffin gendut yang sama. " Ukuran muffin-nya sama semua."
" Semua muffin begitu," Christina menegaskan.
Tobin tersipu-sipu, dan awalnya aku mengira itu bagian dari aksi main-mainnya. Cowok malang anti-budaya-massal yang terpaksa masuk ke Starbucks yang Jahat. Lalu aku memperhatikan wajahnya yang makin merah padam dan menyadari sesuatu. Tobin dan Angie& mereka baru saja jadian. Pasti baru banget sehingga sentuhan Angie masih terasa sebagai kejutan menyenangkan yang membuat wajahnya merona.
Gelombang kesepian kembali melandaku. Aku masih ingat sensasi gelenyar-gelenyar gugup seperti itu.
" Aku baru pertama kali ke Starbucks," kata Tobin. " Sungguh. Benar-benar kali pertama, jadi tolong sabar ya." Ia meraih tangan Angie dan jari-jari mereka bertautan. Wajah Angie juga merona.
" Jadi& hanya muffin?" tanyaku. Aku menggeser pintu kaca etalase kue.
" Tidak usah deh, aku tidak mau lagi makan muffin payah itu." Tobin berpura-pura cemberut.
" Kaciannn," goda Angie.
Tobin menatap cewek itu. Rasa kantuk, dan sesuatu yang lain, membuat ekspresinya lebih lembut.
" Hmm, bagaimana kalau latte yang paling besar," katanya. " Satu untuk berdua."
" Tentu," kataku. " Mau pakai sirup?" Perhatiannya kembali tertuju padaku. " Sirup?"
" Hazelnut, cokelat putih, raspberry, vanila, karamel& " kataku, menyebutkan semuanya.
Awalnya kukira ia sedang meledekku, tapi Angie tertawa, sepertinya menertawakan lelucon pribadi antara mereka berdua, lalu aku sadar mungkin segala sesuatu tidak selalu tentang aku. " Sori, tidak ada sirup hash brown."
" Hmm, oke," katanya. Ia menggaruk-garuk kepala. " Jadi, hmm, bagaimana kalau& "
" Cinnamon dolce white mocha," kata Angie padaku. " Pilihan yang tepat." Aku menghitung pesanan itu dan Tobin membayar dengan uang lima dolar. Ia juga memasukkan lima dolar ekstra ke stoples " Tips untuk Barista" . Ternyata dia tidak bodoh.
Meski begitu, saat mereka beranjak ke bagian depan toko untuk duduk, mau-tidak mau aku membatin, Jangan di sofa ungu! Itu sofaku dan Jeb! Tapi tentu saja mereka memilih sofa ungu itu karena memang itu yang paling empuk dan paling baik.
Angie memilih sofa yang paling dekat ke tembok dan Tobin du- duk di sebelahnya. Dengan satu tangan, ia memegang minuman mereka. Tangannya yang satu lagi meraih tangan Angie, menautkan jari-jarinya ke jari-jari cewek itu, dan menggenggamnya erat.
J 06.30 matahari resmi terbit. Mataharinya lumayan cantik,
kalau kau memang menyukai hal-hal seperti itu. Awal baru, lembaran baru, sinar-sinar hangat harapan&
Ya. Bukan untukku.
Jam tujuh kami mulai sibuk seperti biasa. Pesanan-pesanan cappuccino dan espresso mengambil alih sehingga otakku diam, setidaknya untuk sementara.
Scott mampir memesan chai seperti biasa, dan seperti yang selalu ia lakukan, ia juga memesan segelas whipped cream untuk Maggie, anjing labrador hitamnya.
Diana yang bekerja di preschool di ujung jalan, mampir untuk memesan skinny latte, dan sambil mengaduk-aduk tas mencari kartu Starbucks, ia memberitahuku untuk keseratus juta kalinya bahwa aku perlu mengubah fotoku di papan " Kenali Barista Anda" .
" Kau tahu aku benci foto itu," katanya. " Kau kelihatan mirip ikan dengan bibir dimonyongkan seperti itu."
" Aku suka foto itu," kataku. Jeb yang memotretnya di Malam Tahun Baru tahun lalu saat Tegan dan aku bertingkah konyol dan
Sembilan
" Aku tidak paham alasanmu," jawab Diana. " Kau cantik sekali, bahkan dengan" ia melambai menunjuk rambut baruku " tampilan punk barumu ini."
Punk. Ya Tuhan.
" Ini bukan punk," kataku. " Ini pink."
Ia menemukan kartunya dan mengangkatnya tinggi-tinggi. " Aha! Ini dia."
Aku menggesek kartu itu dan mengembalikannya. Diana melambai-lambaikan kartu itu di depan mukaku sebelum beranjak mengambil minumannya.
" Ganti foto itu!" perintahnya.
Lalu jam delapan pagi para John datang, tiga-tiganya, dan langsung duduk di meja sudut favorit mereka. Mereka sudah pensiun dan senang menghabiskan pagi dengan minum teh dan mengisi buku Sudoku.
John Satu bilang rambut baruku membuatku terlihat memesona sementara John Dua menyuruhnya berhenti genit.
" Dia cukup muda untuk jadi cucumu," kata John Dua. " Jangan khawatir," jawabku. " Siapa pun yang menggunakan kata memesona otomatis sudah keluar dari pasaran."
" Berarti selama ini aku masih laku?" kata John Satu. Topi bisbol Carolina Tar Heels bertengger tinggi di atas kepalanya seperti sarang burung.
" Tidak," kataku, dan John Tiga terbahak-bahak. Ia dan John Dua tos dengan tinju mereka sementara aku menggeleng-geleng. Kekanak-kanakan.
Jam 08.45 aku mulai melepas celemek dan mengumumkan bahwa aku mau istirahat.
" Aku ada urusan sebentar," kataku pada Christina, " tapi aku akan segera kembali."
di situ dan saat mengikuti arah pandangnya, aku langsung paham. Yang sekarang berjalan masuk adalah salah satu orang paling terkenal di Gracetown, sopir mobil derek bernama Travis yang selalu mengenakan kertas aluminium. Celana aluminium, kemeja-jaketaneh aluminium, bahkan topi kerucut aluminium.
" Kenapa oh kenapa dia selalu berpakaian begitu?" kataku, bukan untuk pertama kalinya.
" Mungkin dia ksatria," kata Christina. " Mungkin dia penangkal petir."
" Mungkin dia peramal cuaca yang datang untuk meramalkan angin perubahan."
" Oooh, bagus sekali," kataku, lalu mendesah. " Aku benar-benar butuh angin perubahan."
Travis mendekat. Kedua matanya sangat pucat sehingga terlihat keperakan. Ia tidak tersenyum.
" Hai, Travis," kata Christina. " Mau pesan apa?" Biasanya Travis hanya meminta air putih, tapi kadang-kadang ia punya cukup uang receh untuk membeli scone maple favoritnya. Favoritku juga sebetulnya. Scone itu memang terlihat kering, tapi sebetulnya tidak, dan lapisan gulanya enak sekali.
" Boleh minta sampel?" katanya dengan suara berat dan datar. " Tentu saja," kata Christina, mengambil salah satu gelas plastik sampel. " Mau sampel apa?"
" Tidak," katanya. " Gelasnya saja."
Christina melirikku dan aku memusatkan perhatian pada Travis agar tidak tertawa, karena itu kasar. Kalau aku memperhatikan lekatlekat, aku bisa melihat banyak sekali refleksi " diriku" di kemeja-jaketaneh itu. Atau tepatnya potongan-potongan diriku yang terpecahpecah karena kerutan-kerutan di kertas aluminium tersebut. " Eggnog latte-nya enak loh," Christina menyarankan. " Itu minum
" Hanya gelasnya," ulang Travis. Ia bergerak gelisah dan kesal. " Aku cuma mau gelasnya!"
" Baiklah, baiklah." Christina memberikan gelas itu. Aku mengalihkan pandangan dari semua refleksi " diriku" yang mulai membius.
" Aku tidak percaya kau berpakaian seperti itu, terutama hari ini," kataku. " Tolong bilang kau memakai sweter di balik kertas aluminium itu."
" Kertas aluminium apa?" katanya.
" Ha-ha," kataku. " Serius, Travis, masa kau tidak kedinginan?" " Tidak. Apa kau kedinginan?"
" Hmm, tidaaak. Kenapa aku harus kedinginan?" " Tidak tahu. Memangnya kenapa?"
Aku setengah tertawa. Lalu berhenti. Travis mengerutkan alis dan menatapku tajam.
" Aku tidak kedinginan," kataku, terbata. " Tidak. Aku benar-benar merasa nyaman, kalau bicara soal suhu."
" Kalau bicara soal suhu," ia mengejekku. " Segala sesuatu harus tentang dirimu, ya?"
" Apa?! Aku bukan& bicara tentang aku! Aku cuma bilang aku tidak kedinginan!"
Tatapan tajamnya membuat seluruh tubuhku gatal. " Oke, mungkin aku memang bicara tentang aku saat ini," kataku. " Tapi segala sesuatu tidak selalu tentang aku."
" Ada beberapa hal yang tidak pernah berubah," katanya sinis. Ia berjalan pergi membawa gelas sampel kecil itu, tapi di pintu ia berbalik sekali lagi. " Jangan minta derek ya. Aku libur!"
" Hmm," kataku. Kata-katanya menyinggung perasaanku, tapi aku tidak mengungkapkannya. " Pengalaman menarik." " Aku baru dengar Travis menolak menderek mobil seseorang,"
" Tak perlu terdengar seheran itu deh," kataku lirih. Christina tertawa, dan memang itu yang kuinginkan. Tapi saat ia mengisi tempat serbet, kata-kata Travis kembali terngiang di telingaku. Segala sesuatu harus tentang dirimu, ya?
Entah kenapa itu hampir sama dengan kata-kata Dorrie semalam: Apa kau sudah benar-benar melakukan introspeksi diri dan mencari tahu apa yang harus kauubah?
Atau sesuatu semacam itulah. " Hei, hmm, Christina& ?" " Ya?"
" Apa ada yang salah denganku?"
Ia mendongak dari serbet-serbet itu. " Addie, Travis itu orang gila."
" Aku tahu. Tapi itu bukan berarti semua ucapannya gila, kan?" " Addie."
" Christina."
" Jawab yang jujur: Apa aku orang baik? Atau apa aku terlalu mementingkan diri sendiri?"
Christina berpikir sejenak. " Harus pakai atau , ya?" " Jleb." Aku menaruh tangan di dada dan terhuyung ke belakang.
Ia tersenyum, mengira aku sedang melucu. Kurasa aku memang melucu, tapi pada saat bersamaan aku sedikit cemas bahwa semesta sedang berusaha mengirimkan pesan untukku. Aku merasa bagai berada di pinggir jurang besar, tapi jurang itu ada dalam diriku. Aku tidak mau melihat ke bawah.
" Tolong kelihatan bersemangat," kata Christina. " Para manula datang."
Memang benar, van Silver Sneakers berhenti di depan Starbucks dan si sopir dengan hati-hati sedang menuntun serombongan manu
" Hai, Claire," kata Christina saat pintu berdenting dan manula pertama melangkah masuk.
" Dingin, dingin!" kata Claire, melepas topi warna-warninya. Burt langsung ke konter dan memesan kopi hitam sementara Miles yang tergopoh-gopoh di belakangnya berseru, " Yakin jantungmu kuat, lelaki tua?"
Burt menepuk dada. " Biar aku awet muda. Itu sebabnya gadisgadis menyukaiku. Ya kan, Miss Addie?"
" Benar sekali," kataku, menyuruh semesta menunggu sementara aku mengambil gelas dan menyerahkannya pada Christina. Burt memiliki telinga paling besar yang pernah kulihat (mungkin karena telinga itu terus tumbuh selama delapan puluh tahun?), dan aku bertanya-tanya apa pendapat gadis-gadis tentang telinga itu.
Saat antrean bertambah panjang, Christina dan aku langsung bekerja dengan pola biasa kami pada jam sibuk. Aku menerima pesanan dan mengurusi kasir sementara Christina menggunakan keahliannya menguasai steamer.
" Grande latte!" seruku. " Grande latte," ulangnya.
" Venti soy toffee nut mocha single shot no whip!" " Venti soy toffee nut mocha single shot no whip!"
Gerakan kami bagai tarian. Itu membuatku berhenti memikirkan masalahku. Jurang lebar masih menganga dalam diriku, tapi aku terpaksa berkata, Maaf, Jur, aku tidak punya waktu.
Manula terakhir adalah Mayzie, dengan rambut putih yang dikepang serta senyum bahagia. Mayzie adalah profesor cerita rakyat yang sudah pensiun. Ia berpakaian ala hippie dengan jins belel, sweter besar garis-garis, serta setengah lusin gelang manik-manik. Aku menyukai gayanya yang lebih kelihatan seperti gaya remaja
ingin melihatnya dengan celana Sevens berpinggul rendah dan sandal jepit, tapi menurutku ia keren karena punya gaya sendiri.
Tidak ada orang yang mengantre di belakangnya, jadi aku meletakkan tanganku di konter dan bernapas sejenak.
" Hai, Mayzie," kataku. " Apa kabar hari ini?"
" Kabarku sangat baik, Say," katanya. Hari ini ia mengenakan anting-anting lonceng ungu yang berdenting setiap kali ia memiringkan kepala. " Waaah, aku suka rambutmu."
" Aku tidak kelihatan seperti ayam yang bulu-bulunya baru dicabut, kan?"
" Sama sekali tidak," katanya. " Rambut baru ini cocok untukmu. Kelihatan segar."
" Masa sih?" kataku.
" Betul. Kau sudah terlalu lama murung, Addie. Aku sering memperhatikanmu. Sudah waktunya kau berubah menjadi sosok yang baru."
Perasaan itu datang lagi; rasa cemas karena berdiri di pinggir jurang.
Mayzie membungkuk lebih dekat. " Kita semua tidak sempurna, Sayangku. Setiap orang begitu. Dan percayalah, semua orang pernah membuat kesalahan."
Wajahku terasa panas. Apakah kesalahan-kesalahanku begitu jelas di muka umum sehingga para pelanggan sampai tahu? Apa geng Silver Sneakers membahas kasusku dengan Charlie sambil bermain bingo?"
" Kau hanya perlu mengamati dirimu sendiri, mengubah hal yang perlu diubah, lalu melanjutkan hidup, Sayang."
Aku mengerjap-ngerjap tolol.
Ia merendahkan nada bicaranya. " Dan kalau kau bertanya-tanya kenapa aku memberitahumu hal ini, itu karena aku sudah memu
Ia menunggu reaksiku dengan mata berbinar. Aneh juga mendengarnya menyinggung soal " malaikat" setelah aku membahas soal itu bersama Dorrie dan Tegan semalam. Selama sepersekian detik aku benar-benar berpikir jangan-jangan Mayzie memang malaikatku yang datang untuk menyelamatkanku.
Lalu aku kembali menyadari kenyataan pahit yang harus kutelan dan aku marah pada diri sendiri karena berpikir sebodoh itu. Mayzie bukan malaikat; hari ini hanya Hari Penuh Orang Gila. Rupanya semua orang terlalu banyak makan kue buah.
" Bukannya kau harus mati dulu baru bisa jadi malaikat?" kataku.
" Waduh, Addie," omelnya. " Memangnya aku terlihat sudah mati?"
Aku melirik Christina untuk memastikan ia tahu atau tidak, tapi Christina sedang berada dekat pintu keluar, membuang sampah.
Karena aku tidak menjawab, Mayzie menganggap itu kesempatan untuk melanjutkan kata-katanya. " Itu bagian dari program Malaikat Di Antara Kita," katanya. " Aku tidak harus punya ijazah khusus atau apa."
" Program seperti itu tidak ada," kataku.
" Oh, ada, ada. Program itu ditawarkan di Pusat Seni Surgawi Gracetown."
" Tidak ada Pusat Seni Surgawi di Gracetown," kataku. " Kadang-kadang aku kesepian," Mayzie mengaku. " Silver Sneakers memang menyenangkan, tapi kadang-kadang sedikit& " ia memelankan suaranya menjadi bisikan, " membosankan." " Ohhh," aku balas berbisik.
" Menurutku menjadi malaikat mungkin cara yang tepat untuk berhubungan dengan orang lain," katanya. " Intinya, untuk mendapatkan sayap, aku harus menyebarkan keajaiban Natal."
" Tentu saja kau percaya. Kalau tidak, tidak mungkin aku ada di sini."
Aku mundur, merasa sedang dikerjai. Bagaimana aku harus merespons hal itu? Aku mencoba taktik lain. " Tapi kan& Natal sudah berlalu."
" Oh, tidak, Natal tidak pernah berlalu, kecuali kalau kau memang menginginkan hal itu." Ia bersandar ke konter dan bertopang dagu. " Natal itu ada di pikiran kita."
Tatapannya tertuju ke bawah konter. " Yapun," katanya. Aku menunduk. " Apa?"
Ujung atas memo tempel yang kulipat mencuat dari saku jinsku dan Mayzie mengulurkan tangan ke seberang konter untuk mengambilnya. Gerakannya begitu tiba-tiba sehingga aku hanya bisa diam dan membiarkannya.
" Jangan lupa babi," kata Mayzie setelah membuka lipatan memo itu. Ia memiringkan kepala dan menatapku seperti burung kecil. " Oh sialan," kataku.
" Babi apa yang tidak boleh kaulupakan?"
" Hmm" benakku langsung sibuk " babi untuk temanku, Tegan. Mau pesan apa?" Jari-jariku gatal ingin segera melepas celemek dan istirahat.
" Hmm," kata Mayzie. Ia mengetuk-ngetuk dagu. Aku mengetuk-ngetukkan kaki ke lantai.
" Kau tahu," katanya, " kadang-kadang kita lupa melakukan sesuatu untuk orang lain, contohnya untuk si Tegan ini, karena kita terlalu sibuk memikirkan masalah sendiri."
" Ya," kataku cepat, berharap bisa menyudahi percakapan itu. " Apa kau mau pesan almond mocha seperti biasa?"
" Padahal sebenarnya yang perlu kita lupakan adalah diri sendiri."
Ia tersenyum, seakan aku kelihatan lucu. " Single shot, ya, tapi bagaimana kalau kita ganti kali ini? Perubahan itu bagus, kan?" " Baiklah kalau itu maumu. Jadi mau pesan apa?" " Toffee nut mocha satu, untuk dibawa. Aku mau menghirup udara segar sebentar sebelum Tanner kembali menjemput kami."
Aku mengulang pesanan Mayzie pada Christina yang sudah kembali ke belakang konter. Ia membuatnya dan mengoper minuman itu.
" Ingat pesanku," kata Mayzie. " Pasti," kataku.
Ia terkikik senang, seakan kami sepakat. " Sudah dulu ya," serunya. " Sampai ketemu lagi!"
Begitu ia pergi, aku melepas celemek. " Aku istirahat dulu," kataku pada Christina.
Ia menyerahkan steamer padaku. " Tolong bilas ini dulu, setelah itu kau bebas."
A KU menaruh steamer di bak cuci dan memutar kran. Sam
bil menunggu steamer itu penuh dengan tidak sabar, aku berbalik dan bersandar memunggungi bak cuci. Aku mengetuk-ngetukkan jari ke pinggiran logamnya.
" Mayzie bilang aku harus melupakan diri sendiri," kataku. " Menurutmu apa maksudnya?"
" Jangan tanya aku," kata Christina. Ia memunggungiku sambil meniup tongkat steamer. Aku melihat uap mengepul ke atas bahunya.
" Dan temanku Dorrie kau kenal Dorrie, kan? dia mengatakan hal yang sama," aku merenung. " Dia bilang aku selalu mementingkan diri sendiri dalam segala hal."
" Dalam hal itu, aku tidak akan membantahnya." " Ha ha," kataku, mulai ragu. " Kau bercanda, kan?" Christina menoleh ke balik bahu dan tersenyum lebar. Lalu tibatiba matanya membelalak cemas dan ia menunjuk-nunjuk dengan marah. " Addie, itu& itu& "
Aku berbalik dan melihat air tumpah ruah dari ujung bak cuci.
Sepuluh
" Matikan krannya!" kata Christina.
Dengan panik aku memutar kran, tapi air terus mengalir keluar dari bak cuci.
" Macet nih!"
Christina mendorongku ke pinggir. "bil kain pel!" Aku melesat ke ruang belakang, mengambil kain pel, dan me- lesat kembali. Christina masih memutar kran dan air masih tumpah ke lantai.
" Lihat, kan?" kataku. Ia melotot.
Aku merapat padanya dan menempelkan kain pel ke ujung bak cuci. Dalam waktu singkat kain itu langsung lembap dan berat, membuatku teringat kejadian waktu umurku empat tahun dan aku tidak bisa mematikan kran bathtub.
" Sial, sial, sial," kata Christina. Ia berhenti berusaha mematikan kran dan menekan ujung kran yang masih mengeluarkan air. Air muncrat melengkung bagai payung melewati jari-jarinya. " Aku tidak tahu harus bagaimana!"
" Yapun. Oke, hmm& " aku menatap ke sekeliling toko " John!"
Ketiga John mendongak dari meja sudut. Mereka melihat apa yang terjadi dan buru-buru mendekat.
" Apa kami boleh ke belakang konter?" tanya John Dua karena Christina tegas sekali soal tidak ada pelanggan yang boleh beranjak ke belakang konter. Itu peraturan Starbucks.
" Tentu saja!" seru Christina. Ia mengerjap-ngerjap saat air muncrat membasahi kaus dan wajahnya.
Ketiga John mengambil alih. John Satu dan Dua mendekat ke bak cuci sementara John Tiga langsung ke ruang belakang.
Dalam Derai Salju Let It Snow Karya Maureen Johnson, John Green, Lauren Myracle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kami minggir. Celemek Christina basah, juga kausnya. Dan wa- jahnya. Dan rambutnya.
Aku mengambil setumpuk serbet kertas. " Ini." Ia menerimanya tanpa berkata apa-apa. " Hmm& apa kau marah?"
Ia tidak menjawab.
John Satu berjongkok dekat tembok dan mengutak-atik pipa. Topi Tar Heels-nya terangguk-angguk saat ia bergerak. " Aku tidak melakukan apa-apa. Sungguh," kataku. Alis Christina naik sampai ke garis rambutnya.
" Baiklah, aku memang lupa mematikan kran, tapi pasti bukan itu yang menyebabkan seluruh sistemnya rusak."
" Pasti karena badai," kata John Dua. " Mungkin ada salah satu pipa luar yang bocor."
John Satu mengerang. " Hampir berhasil. Kalau saja aku bisa menggeser satu" ia mengerang lagi " katup ini& aaah, sialan!"
Air muncrat ke pangkal hidungnya dan aku langsung menangkupkan tangan ke mulut.
" Sepertinya kau tidak berhasil," kata John Dua.
Air mengalir deras dari pipa. Christina terlihat seperti akan menangis.
" Yapun, aku minta maaf," kataku. " Tolong kembalikan ekspresimu menjadi seperti semula. Kumohon."
" Wah-wah, lihat itu," kata John Dua.
Suara celeguk-celeguk air berhenti. Setetes air bergetar di ujung pipa, lalu menetes ke lantai. Setelah itu, semua berhenti total. " Berhenti," kataku terheran-heran.
" Aku melepas pipa utamanya," kata John Tiga, muncul dari ruang belakang sambil membawa handuk.
Lelaki itu melempar handuk ke John Satu yang langsung mengelap celananya.
" Seharusnya kau mengepel lantai, bukan celanamu," kata John Dua.
" Aku sudah mengepel lantai tadi," gerutu John Satu. " Dengan celanaku."
" Lebih baik aku menelepon tukang ledeng sungguhan," kata Christina. " Dan Addie& kurasa lebih baik kau istirahat sekarang."
" Kau tidak butuh bantuanku untuk bersih-bersih?" kataku. " Aku ingin kau istirahat," kata Christina.
" Oh," kataku. " Baiklah. Oke. Aku memang ingin istirahat sejak tadi, lalu Travis Gila muncul, lalu Mayzie Gila& "
Christina menunjuk ruang belakang.
" Tadi kan kau sendiri yang memintaku tetap di sini. Maksudku, memang tidak masalah sih, tapi& "
" Addie, kumohon," kata Christina. " Mungkin kali ini memang bukan soal dirimu, tapi yang jelas rasanya seperti itu. Aku ingin kau pergi."
Kami beradu pandang. " Sekarang."
Aku terlonjak dan beranjak ke ruang belakang.
" Jangan khawatir," kata John Tiga saat aku melewatinya. " Dia pasti sudah lupa kesalahan yang ini begitu kau membuat kerusakan lain." Ia mengedipkan mata dan aku tersenyum lemah.
A KU melepas kaus basahku dan meminjam kaus baru dari
rak. Itu kaus yang mengiklankan DoubleShot Starbucks dengan tulisan SAMBUT HARIMU. Lalu aku mengambil ponsel dari loker dan menekan speed dial untuk nomor Dorrie.
" Hola, cookie," katanya, mengangkat telepon pada dering kedua.
" Hai," kataku. " Punya waktu sebentar? Hari ini aneh sekali dan makin aneh. Aku benar-benar harus curhat."
" Apa kau sudah menjemput Gabriel?" " Hah?"
" Aku tanya, apa kau sudah& " Kalimatnya terhenti. Begitu ia bicara lagi, nadanya penuh rasa kesal tertahan. " Addie? Tolong katakan kau ingat untuk pergi ke Pet World."
Perutku langsung mual, seakan aku sedang naik lift yang kabelkabelnya putus. Aku buru-buru menutup ponsel dan meraih mantel dari gantungan. Saat aku hendak pergi, ponselku berdering lagi. Aku tahu aku seharusnya tidak menjawabnya, aku tahu aku seharusnya tidak menjawabnya& tapi aku menyerah dan tetap menjawab
Sebelas
" Dengar," kataku.
" Tidak, kau yang dengar. Ini sudah jam setengah sebelas padahal kau berjanji pada Tegan kau akan ke Pet World jam sembilan pas. Sama sekali tidak ada alasan kenapa kau masih mondar-mandir di Starbucks."
" Itu tidak adil," bantahku. " Bagaimana kalau& bagaimana kalau ada bongkahan es yang jatuh menimpa kepalaku dan membuatku koma?"
" Apa ada bongkahan es yang jatuh menimpa kepalamu dan membuatmu koma?"
Aku mengatupkan bibir rapat-rapat.
" Baiklah, kalau begitu biar kusampaikan dengan jelas: Apa pun alasanmu sebenarnya, apa itu ada hubungannya dengan dirimu dan krisis baru konyol lainnya?"
" Tidak! Dan kalau kau berhenti mencecarku serta membiarkanku menjelaskan semua kejadian aneh yang menimpaku hari ini, kau akan paham."
" Apa kau sadar kata-katamu barusan?" kata Dorrie terheranheran. " Aku bertanya apa ada krisis baru dan kau menjawab, Tidak, tapi biar kujelaskan tentang krisis baruku. "
" Aku tidak bilang begitu." Memangnya tadi aku bilang begitu? Dorrie mengembuskan napas. " Ini tidak asyik, Addie." Suaraku berubah lirih. " Oke, kau benar. Tapi, hmm& hari ini benar-benar aneh, bahkan untukku. Aku hanya ingin kau tahu itu."
" Pasti," kata Dorrie. " Dan tentu saja kau lupa soal Tegan karena segala sesuatu harus selalu, selalu, dan selalu tentang dirimu." Nada- nya terdengar tidak sabar. " Bagaimana dengan memo tempel bertuliskan Jangan Lupa Babi? Apa itu tidak membuatmu ingat sesuatu?"
" Perempuan tua& " Dorrie terdiam sejenak. " Baiklah, jadi kau bukan menghilangkan pesan itu, tapi ada perempuan tua yang mencurinya darimu. Ini sih bagian dari The Addie Show dari awal lagi. Tayang di setiap saluran, di setiap stasiun teve."
Kata-katanya pedas menyengat. " Ini bukan The Addie Show. Tapi sedang ada gangguan sedikit."
" Pergi ke Pet World," kata Dorrie, terdengar kesal. Ia menutup telepon.
M ATAHARI berkilat-kilat di atas hamparan salju saat aku
bergegas turun ke jalan dan menyeberang ke Pet World. Sebagian besar trotoar bersih, namun ada bercak-bercak salju di sana-sini karena tumpukan salju yang sudah disekop kembali runtuh. Sepatu botku menimbulkan suara prok-prok saat menginjak salju yang lebih tebal.
Sambil terus berprok-prok-prok, aku terus bermonolog dalam otakku, membantah anggapan bahwa The Addie Show ada di semua saluran. The Addie Show tidak ditayangkan di saluran tentang truktruk raksasa, juga tidak ditayangkan di saluran gulat-pro. Acara itu jelas tidak ditayangkan di saluran apa pun yang menayangkan Ayo Memancing Bersama Orlando Wilson, aku sempat tergerak untuk menelepon Dorrie dan menyampaikan hal itu. " Apa ada acara yang bernama Ayo Memancing Bersama Adeline Lindsey?" aku ingin bilang begitu. " Tentu saja tidak! Tidak ada!"
Aku tidak melakukannya karena Dorrie pasti punya cara untuk menganggap hal itu sebagai sikap mementingkan diri sendiri. Yang lebih parah, mungkin Dorrie benar. Lebih baik aku segera meng
Dua Belas
ngan-tanganku yang dingin baru setelah itu menelepon Dorrie. Aku akan berkata, " Tuh, kan? Semua beres." Lalu aku akan menelepon Tegan dan menyuruh Gabriel bersuara oink di telepon atau apa.
Atau, aku bisa menelepon Tegan dulu untuk menyebarkan kebahagiaan, baru setelah itu menelepon Dorrie. Aku juga tidak akan tertawa mengejek karena aku bukan orang seperti itu. Ya. Aku cukup dewasa untuk mengakui kesalahan-kesalahanku dan aku cukup dewasa untuk tidak mundur dengan takut saat Dorrie mengomeliku karena sosok diriku yang baru dan tercerahkan tidak perlu diomeli.
Ponselku berdering dari dalam tas dan aku terkejut ketakutan. Yapun, apa Dorrie bisa membaca pikiran?
Aku membayangkan kemungkinan yang lebih buruk: Mungkin itu Tegan.
Lalu ada kemungkinan lain yang sama sekali tidak buruk, kemungkinan yang ngotot menghantui benakku: Atau& mungkin itu Jeb?
Aku mengacak-acak tas dan mengeluarkan ponsel. Di layar tertulis DAD dan aku langsung kecewa. Kenapa? Aku mengomel dalam hati. Kenapa itu bukan&
Lalu aku tersadar dan menghentikan rengekanku karena aku sudah muak. Hal seperti itu tidak ada gunanya dan aku harus benarbenar menghentikan aliran pikiran yang terus-menerus mengganggu benakku.
Di otakku dan di hatiku tiba-tiba tidak ada gangguan lagi. Wow. Ini terasa nyaman.
Aku memencet tombol abaikan di ponsel lalu menjejalkan benda itu ke tas. Aku akan menelepon Dad nanti, setelah semua beres.
Bau hamster menerjangku saat aku melangkah ke Pet World, juga aroma yang tidak salah lagi pasti aroma selai kacang. Aku ber
an karena meski bau hamster memang umum ada di toko hewan, tapi aroma selai kacang hanya berarti satu hal.
Aku mendekati meja kasir dan Nathan Krugle berhenti di tengah-tengah mengunyah. Matanya melotot, lalu menyipit. Ia me- nelan, lalu meletakkan sandwich selai kacangnya.
" Halo, Addie," katanya jijik, ala Jerry Seinfeld saat menyapa musuh besarnya, Newman.
Tidak. Tunggu. Itu berarti aku Newman, dan aku benar-benar bukan Newman. Nathan yang Newman. Nathan itu Newman versi superkurus penuh jerawat yang selalu mengenakan T-shirt ketat bertuliskan kutipan-kutipan Star Trek. Hari ini tulisan di T-shirtnya KAU AKAN MATI TERCEKIK DI SEMESTA DINGIN MEMBE- KU.
" Halo, Nathan," jawabku. Aku membuka tudung jaketku dan ia melihat rambut baruku. Ia setengah mendengus.
" Rambut barumu bagus," katanya.
Aku ingin membalas kata-katanya, lalu menahan diri. " Aku ke sini untuk mengambil kiriman untuk temanku," kataku. " Untuk Tegan. Kau kenal Tegan, kan?"
Kupikir aku harus menyebut nama Tegan yang luar biasa manis agar pikiran Nathan teralihkan dari niatan balas dendam. Ternyata tidak berhasil.
" Memang kenal," kata Nathan dengan mata berbinar. " Kami satu sekolah. Sekolah kecil yang sama. Pasti sulit sekali untuk tidak mengacuhkan seseorang di sekolah sekecil itu. Ya, kan?"
Aku mengerang. Soal itu lagi. Seakan kami sudah diam-diaman selama empat tahun dan masih harus mencerna insiden buruk itu. Padahal sebenarnya tidak begitu. Kami sudah mencerna insiden itu berulang kali, tapi sepertinya hanya satu orang yang melakukannya.
acara iklan TV yang buruk. " Kau tidak mengacuhkan seseorang di sekolah sekecil itu!"
" Kelas tujuuuh!" kataku dengan nada sebal sambil mengertakkan gigi. " Itu sudah bertahun-tahun yang lalu."
" Apa kau tahu Tribble?" tanya Nathan. " Ya, Nathan, kau sudah& "
" Tribble itu makhluk bersahabat yang sangat membutuhkan per- hatian, asalnya dari planet Iota Geminorum Empat." " Kukira dari planet Iota Gemi-bla-bla Lima."
" Dan dulu, belum begitu lama" Nathan mengangkat alis agar aku paham penekanannya " Aku Tribble."
Aku terenyak di samping rak penuh makanan anjing. " Kau bukan Tribble, Nathan."
" Dan seperti ksatria Klingon yang sudah terlatih& " " Jangan sebut aku itu. Kau tahu aku benci disebut seperti itu." " Kau menghapusku dari memorimu." Ia melirik tempat aku me- nyandarkan siku dan cuping hidungnya kembang-kempis. " Hei," katanya, menjentikkan jari berulang-ulang ke anggota tubuhku yang melanggar aturan. " Jangan sentuh Doggy de Lites."
Aku tersentak bangun. " Maaf, maaf," kataku. " Aku juga benarbenar menyesal karena sudah menyakiti perasaanmu empat tahun lalu. Tapi. Dan ini penting. Apa kau menyimaknya?" " Dalam ukuran galaksi, empat tahun hanyalah satu nanodetik." Aku mengembuskan napas kesal. " Aku tidak menerima pesanmu! Sumpah demi Tuhan, aku tidak pernah melihat pesanmu!"
" Ya, ya. Tapi mau tahu pendapatku? Menurutku kau sudah membacanya, membuangnya, dan sengaja melupakannya, karena selama orang lain yang menderita, itu tidak jadi masalah bagimu, kan?" " Itu tidak benar. Dengar, bisakah kita& "
" Apa aku perlu membacakan isi pesanku?"
Nathan menerawang. " Aku berkata: Dear Addie, apa kau mau pacaran denganku? Telepon aku dan beritahu jawabanmu. " " Aku tidak menerima pesan itu, Nathan."
" Kalaupun kau tidak mau pacaran, seharusnya kau menelepon."
" Aku pasti menelepon! Tapi aku tidak menerima pesan itu!" " Hati seorang anak lelaki kelas tujuh sangatlah rapuh," kata Nathan tragis.
Tanganku gatal sekali melihat tumpukan rapi Doggy de Lites. Aku ingin melemparkan sebungkus ke arahnya.
" Oke, Nathan?" kataku. " Kalaupun aku menerima pesan itu dan aku tidak menerimanya bisakah kau melupakan hal itu? Semua orang move on. Semua orang tumbuh dewasa. Semua orang berubah."
" Oh, yang benar saja," katanya dingin. Ia menatapku seakan aku makhluk paling hina di dunia ini. Aku jadi teringat bahwa ia dan Jeb berteman. " Orang-orang sepertimu tidak pernah berubah."
Kerongkonganku tersekat. Ini semua terlalu berat. Aku tidak menyangka Nathan akan mengomeliku seperti semua orang lain di planet ini.
" Tapi& " Nadaku tidak terlalu meyakinkan. Aku mencoba lagi, tapi nada suaraku tetap bergetar meski aku sudah berusaha keras. Aku berkata, " Masa semua orang tidak melihat bahwa aku sudah berusaha?"
Setelah hening cukup lama, Nathan akhirnya memalingkan muka.
" Aku kemari untuk menjemput babi Tegan," kataku. " Bisa tolong serahkan babi itu padaku?"
Nathan mengernyit. " Babi apa?"
" Babi yang diantar kemari semalam." Aku berusaha menebak ekspresinya. " Babi kecil mungil? Dengan tulisan, Jangan dijual pada
" Kami tidak menjual hewan," Nathan memberiku informasi. " Kami mengadopsi ke luar. Dan tidak ada pesan apa-apa. Hanya ada kuitansi."
" Tapi apa ada babi?" " Ya, tentu."
" Babi mini?" " Mungkin."
" Kalau begitu seharusnya ada pesan yang ditempelkan ke kandang portabelnya, tapi tidak masalah. Bisa tolongbilkan babi itu?"
Nathan ragu.
" Nathan, yapun." Aku membayangkan Gabriel yang meringkuk sendirian di tengah dinginnya malam. " Jangan bilang babi itu mati."
" Apa?! Tidak."
" Kalau begitu, mana babi itu?" Nathan tidak menjawab.
" Nathan, ayolah," kataku. " Ini bukan soal aku. Ini soal Tegan. Apa kau sungguh-sungguh ingin menghukumnya karena kau kesal padaku?"
" Seseorang mengadopsinya," gumam Nathan. " Maaf, bisa tolong ulangi lagi?"
" Ada perempuan yang mengadopsi babi itu. Dia datang sekitar setengah jam lalu dan membayar lebih dari dua ratus dolar. Dari mana aku tahu babi itu bukan untuk dijual maksudku diadopsi?"
" Karena pesan itu, Tolol!" " Aku tidak menerima pesan itu!"
Kami menyadari betapa ironisnya protes Nathan itu pada saat bersamaan. Kami beradu pandang.
Tidak ada gunanya mendebat masalah itu lebih lanjut. Situasi itu sangat, sangat, sangat gawat. Aku harus mencari cara untuk membereskan semuanya, bukannya memarahi Nathan untuk sesuatu yang tidak bisa diubah lagi.
" Oke, hmm, apa kau masih punya kuitansinya?" kataku. " Tolong tunjukkan kuitansinya padaku." Aku mengulurkan tangan sambil melambai-lambaikan jari.
Nathan memencet tombol mesin kasir dan laci bawahnya terbuka. Ia mengeluarkan kertas pink pucat yang sudah kusut.
Aku menyambar kertas itu. " Satu babi cangkir, sertifikat resmi, " aku membaca keras-keras. " Dua ratus dolar. " Aku membalik kertas itu, membaca tulisan rapi dengan bolpoin di bagian bawah kuitansi. " Lunas. Siap diambil oleh Tegan Shepherd. "
" Sialan," kata Nathan.
Aku membalik kuitansi itu lagi, mencari nama orang yang membeli babi Tegan.
" Bob selalu menerima banyak sekali hewan baru," kata Nathan membela diri. " Hewan-hewan itu muncul dan aku, kau tahu, mengadopsi mereka ke luar. Ini kan toko hewan."
" Nathan, aku perlu tahu pada siapa kau menjual babi itu," kataku padanya.
" Tidak bisa. Itu informasi rahasia." " Ya, tapi itu babi Tegan."
" Hmm, kurasa kami bisa mengembalikan uangnya." Secara teknis, Dorrie dan aku yang harus mendapatkan uang kembali, tapi aku tidak menyebutkan soal itu. Aku tidak peduli soal uang kembali.
" Katakan saja pada siapa kau menjual babi itu dan aku akan menjelaskan situasinya."
Nathan bergerak gelisah, terlihat sangat tidak nyaman.
" Tidak," katanya. Ia melirik ke laci mesin kasir yang terbuka dan di situ aku melihat ujung lembaran putih pembayaran dengan kartu kredit.
" Kalaupun aku tahu, aku tidak bisa berbuat apa-apa," Nathan melanjutkan. " Aku tidak boleh menyebutkan detail-detail transaksi pelanggan. Tapi aku tidak tahu nama perempuan itu, jadi& "
" Tidak apa-apa. Aku paham. Dan& aku percaya kau tidak melihat pesan itu."
" Kau percaya?" kata Nathan. Ia terheran-heran.
" Aku percaya," jawabku jujur. Aku berbalik pergi dan sengaja mengaitkan ujung sepatu botku ke bagian bawah rak pajangan Doggie de Lites, lalu menariknya. Rak itu terjatuh dan bungkusanbungkusan plastik makanan anjing tumpah ke lantai, pecah terceraiberai.
" Oh, tidak!" seruku.
" Aduh, sialan," kata Nathan. Ia keluar dari balik konter, berlutut, lalu mulai menumpuk kantong-kantong yang masih utuh.
" Aku benar-benar minta maaf," kataku. Saat ia memunguti kuekue anjing yang berceceran, aku mencondongkan badan ke atas konter dan menarik lembar putih itu. Aku menyelipkannya ke saku. " Sekarang kau pasti makin benci padaku, ya?"
Nathan terdiam, menegakkan badan, dan meletakkan satu tangannya di lutut. Bibirnya berkedut-kedut, seakan ia kesulitan meng- ucapkan kalimat yang tepat.
" Aku tidak membencimu," kata Nathan akhirnya. " Kau tidak membenciku?"
" Aku hanya merasa kadang-kadang kau tidak menyadari dampak sikapmu terhadap orang lain. Itu bukan menyangkut diriku saja."
" Kalau begitu& kau bicara tentang siapa?" Aku sadar aku sedang mengantongi slip putih itu, tapi aku tidak bisa pergi begitu saja
" Lupakan saja."
" Tidak mungkin. Katakan padaku."
Ia mendesah. " Jangan jadi besar kepala ya, tapi menurutku kau tidak selalu menyebalkan."
Aku ingin berkata wow, trims, tapi aku menahan diri. " Kau seperti punya& cahaya," kata Nathan, wajahnya memerah. " Kau membuat orang lain merasa istimewa, membuat mereka me- rasa ikut bersinar. Tapi saat kau tidak pernah menelepon mereka, atau kau, kau tahu, mencium orang lain tanpa sepengetahuan mereka& "
Air mata membuat pandanganku kabur, dan itu bukan hanya karena Nathan tiba-tiba saja mengucapkan sesuatu yang nyaris bisa disebut manis dan bukannya kasar. Aku menunduk ke lantai.
" Itu kejam, Addie. Tidak berperasaan." Nathan menunjuk kantong Doggy de Lites dekat sepatu botku. " Tolong oper yang itu, ya?" Aku membungkuk dan memungut kantong itu.
" Aku tidak bermaksud kejam," kataku canggung. Aku menyerahkan kantong itu padanya. " Dan aku bukan sedang mencari alasan." Aku menelan ludah, terkejut karena aku merasa perlu menyampaikan hal itu pada teman Jeb dan bukan temanku. " Tapi kadang-kadang aku juga ingin seseorang membagi cahayanya untukku."
Wajah Nathan tanpa ekspresi. Ia membiarkan komentarku barusan mengambang di antara kami, cukup lama sehingga aku mulai menyesal mengatakan hal itu.
Lalu ia mendesah berat. " Ya, Jeb memang bukan tipe cowok yang senang mengungkapkan perasaannya," ia mengakui hal itu. " Menurutmu begitu?"
" Tapi sadarlah, dia sangat menyukaimu."
mengalir menuruni pipiku dan aku merasa bodoh. " Ya. Aku pergi sekarang."
" Hei, Addie," kata Nathan. Aku menoleh.
" Kalau kami mendapat kiriman babi cangkir lagi, aku akan meneleponmu."
Aku tidak memperhatikan jerawat ataupun T-shirt Star Trek-nya dan hanya melihat sosok Nathan apa adanya. Ternyata dia juga ti- dak selalu menyebalkan.
" Trims," kataku.
S EKITAR semeter dari toko, barulah aku mengeluarkan kui
tansi yang kucuri. Di kolom " barang" , Nathan menulis babi. Di kolom print-out data kartu kredit tertulis Constance Billingsley.
Aku mengusap air mata dengan punggung tangan dan mengatur napas. Lalu aku mengirim pesan telepati pada Gabriel: Jangan khawatir, babi kecil. Aku akan mengantarmu pada Tegan, rumahmu yang sebenarnya.
Pertama-tama aku menelepon Christina.
" Kau di mana?" tanyanya. " Waktu istirahatmu berakhir lima menit lalu."
" Soal itu," kataku. " Ada urusan darurat, dan sebelum kau bertanya, bukan, ini bukan momen Addie. Urusan gawat ini menyangkut Tegan. Aku harus melakukan sesuatu untuknya." " Apa yang harus kaulakukan?"
" Hmm, urusan penting. Ini urusan hidup atau mati, tapi jangan khawatir tidak ada yang bakalan mati." Hening sejenak. " Kecuali aku, kalau aku tidak membereskan hal ini."
" Addie," kata Christina, nadanya mengesankan aku selalu mem
Tiga Belas
" Christina, aku tidak main-main. Dan aku tidak bersikap penuh drama hanya untuk mencari perhatian. Sumpah."
" Baiklah, Joyce baru datang," katanya kesal, " kurasa kami berdua bisa mengurus keadaan di sini."
" Trims, trims, trims! Aku akan kembali secepat mungkin." Aku hendak menutup telepon, tapi suara mungil Christina berkata, " Tunggu dulu!"
Aku kembali menempelkan ponsel ke telinga, gelisah ingin segera pergi. " Ada apa?"
" Teman cewekmu yang gimbal ada di sini."
" Brenna? Ih. Bukan temanku." Pikiran mengerikan terlintas di benakku. " Dia datang sendirian, kan?"
" Dia tidak datang dengan Jeb, kalau itu maksudmu." " Syukurlah. Kalau begitu kenapa kau menyampaikannya?" " Kupikir kau ingin tahu. Oh ya, ayahmu tadi mampir. Dia titip pesan dia mengambil Explorer."
" Dia& apa?!" Aku menoleh ke ujung utara parkiran. Hanya ada hamparan salju remuk tempat aku tadi memarkir Explorer. " Kena- pa? Kenapa dia harus mengambil mobilku?"
" Mobilmu?"
" Itu memang mobilnya. Tapi apa sih yang ada di pikirannya?" " Entahlah. Kenapa? Kau butuh mobil untuk urusanmu?" " Ya, aku membutuhkannya untuk melakukan urusanku. Dan sekarang aku benar-benar tidak tahu bagaimana aku harus& " Kalimatku terhenti karena mengomeli Christina tidak akan membantu. " Tidak apalah, biar kupikirkan sendiri," kataku. " Bye." Aku mematikan telepon dan mengecek pesan suara. " Ada tiga pesan baru," kata rekaman.
Tiga? pikirku. Aku hanya mendengar ponselku berdering satu kali tapi tadi memang ada sedikit keributan saat rak Doggy de
" Addie, ini Dad," kata Dad pada pesan pertama. " Ya, Dad, aku tahu," kataku lirih.
" Aku ke kota bersama Phil karena ibumu butuh beberapa barang. Aku mengambil Explorer, jadi jangan khawatir kalau mobil itu tidak ada di parkiran. Aku akan menjemputmu jam dua." " Tidaaaaak!" seruku.
" Pesan berikutnya," ponselku memberitahu. Aku menggigit bibir, berharap itu Dad lagi yang berkata, " Ha-ha, cuma bercanda. Aku tidak membawa Explorer, aku hanya memindahkannya. Ha-ha!" Ternyata bukan Dad, tapi Tegan.
" Hola, Addikins!" katanya. " Apa Gabriel sudah bersamamu? Su- dah kan, sudah kan, sudah, kan? Aku tidak sabar ingin melihatnya. Aku menemukan lampu pemanas di ruang bawah tanah ingat kan waktu ayahku berusaha menanam tomat dulu? Aku sudah menyiapkannya untuk Gabriel agar dia bisa tetap hangat di tempat tidur kecilnya. Oh ya, waktu aku mengacak-acak gudang, aku juga menemukan barang-barang lamaerican Girl-ku, termasuk kursi malas yang ukurannya pas untuk Gabriel. Juga ransel bergambar bintang, meski aku tidak yakin dia akan membutuhkan ransel. Tapi kita tidak pernah tahu, kan? Oke, hmm, telepon aku ya. Telepon aku sesegera mungkin. Mobil pengeruk salju berada dua blok dari rumahku, jadi kalau tidak ada kabar darimu, aku langsung datang ke Starbucks saja, ya? Bye!"
Aku langsung merasa supermual dan cemas dan berdiri bengong sementara ponselku mengumumkan pesan terakhir. Tegan lagi. " Oh ya, Addie," katanya. " Terima kasih. Terima kasih banyak." Pesan itu memperburuk perasaanku.
Aku menutup telepon dan mengutuk diri sendiri karena aku tadi tidak langsung ke Pet World jam sembilan tepat sesuai rencana. Tapi daripada merengek konyol, aku harus menghadapi masalah
sendiri sampai aku terkena radang dingin, jari-jariku putus, dan aku tidak akan bisa mengenakan sepatu hak bertali pada Malam Tahun Baru. Tidak berarti ada acara yang harus kudatangi dengan mengenakan sepatu hak bertali. Tapi begitulah.
Namun sosok diriku yang baru bukanlah sosok yang cengeng. Jadi, di mana aku bisa mendapatkan mobil darurat penyelamat babi?
C HRISTINA? Tidak bisa. Pagi tadi ia diantar ke Starbucks
oleh pacarnya, seperti biasa. Joyce, si barista yang shift-nya baru mulai, juga tidak punya mobil. Joyce berjalan kaki ke tempat kerja tidak peduli seperti apa pun cuacanya dan ia memakai pedometer pribadi untuk mengukur jumlah langkah yang ditempuhnya sepanjang hari.
Hmm, hmm, hmm. Aku juga tidak bisa meminjam mobil dari Dorrie dan Tegan karena (a) jalan depan rumah mereka masih dibersihkan (semoga), dan (b) aku jelas tidak bisa memberitahu mereka kenapa aku butuh mobil.
Brenna juga bukan pilihan,it-amit. Kalau aku memintanya mengantarku ke bagian selatan kota, dia pasti akan menyetir ke utara hanya untuk membuatku kesal. Dan dia pasti akan menyetel musik reggae-emo-fusion sampah itu yang terdengar mirip suara setan yang memakai narkoba.
Berarti tinggal satu orang. Orang yang jahat, memesona, dan terlalu ganteng untuk kepribadiannya. Aku menendang tumpukan salju karena cowok itu orang terakhir di dunia yang ingin kutele
Empat Belas
Coba tebak? aku membatin. Kau terpaksa melakukannya demi Tegan. Kalau tidak, ucapkan selamat tinggal pada Gabriel selamanya.
Dalam Derai Salju Let It Snow Karya Maureen Johnson, John Green, Lauren Myracle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku membuka ponsel, mencari nama cowok itu di deretan kontak, lalu menekan CALL. Jari-jariku mencengkeram bagian dalam sepatu bot saat aku menghitung deringnya. Satu kali, dua kali, tiga kali&
" Yo, mama!" kata Charlie saat mengangkat telepon. " S up?" " Ini Addie," kataku. " Aku perlu tumpangan dan aku hanya meminta tolong karena benar-benar tidak punya pilihan lain. Aku ada di depan Pet World. Tolong jemput aku sekarang."
" Ada yang bossy nih pagi ini," kata Charlie. Aku rasanya bisa mendengarnya mengangkat alis. " Aku suka."
" Terserah deh. Tolong jemput aku, ya?" Ia memelankan nada suaranya. " Aku dapat apa?" " Chai gratis," kataku datar.
" Venti?"
Aku mengeraskan rahang karena dari nada suaranya, " venti" pun bisa terdengar seperti kata-kata kotor.
" Baiklah, chai venti. Apa kau sudah berangkat?"
Charlie tergelak. " Tunggu dulu, babe. Aku masih pakai boxer. Boxer venti. Bukan karena aku gendut, tapi karena aku& " hening konyol penuh makna " venti."
" Pokoknya buruan kemari," kataku. Saat hendak menutup telepon, aku teringat satu hal lagi. " Oh ya, bawa buku telepon."
Aku menutup telepon, bergidik jijik, dan kembali membenci diri sendiri karena main-main dengan cowok brengsek itu. Ya, Charlie memang keren secara teori dan dulu sekali, kurasa aku menganggapnya lucu.
Tapi dia bukan Jeb.
Suatu malam, di sebuah pesta, Dorrie pernah menyimpulkan
mal sebelum Jeb dan aku putus. Dorrie dan aku duduk santai di sofa sambil menilai sederetan cowok menurut kelebihan dan kekurangan mereka. Waktu kami sampai pada Charlie, Dorrie mengembuskan napas.
" Masalahnya," kata Dorrie, " Charlie terlalu tampan. Dan dia tahu itu. Dia tahu dia bisa mendapatkan cewek mana pun di kelas kita& "
" Bukan aku," potongku, menaruh gelas minuman di lutut. " & jadi Charlie menjalani hidup dengan santai seperti cowok yang punya segalanya."
" Charlie punya segalanya? Aku tidak tahu itu."
" Maksudku, dia tidak terlalu dalam. Dia tidak pernah harus berjuang untuk mendapatkan apa pun seumur hidupnya."
" Seandainya aku tidak perlu berjuang mendapatkan apa pun," aku mengkhayal. " Seandainya aku punya segalanya."
" Tidak, kau tidak punya," kata Dorrie. " Dari tadi kau mendengarkanku, tidak?" Ia mengambil minumanku dan aku merengek memprotes.
" Contohnya Jeb," kata Dorrie. " Suatu saat nanti Jeb akan menjadi pria yang menghabiskan akhir pekan dengan mengajari anak lelakinya cara naik sepeda."
" Atau anak perempuan," kataku. " Atau anak kembar! Mungkin kami bakal punya anak kembar!"
" Sedangkan Charlie, dia akan bermain golf sementara anak-anaknya membunuh orang dalam permainan Xbox. Charlie akan terlihat tampan dan keren, ia akan menghadiahi anak-anaknya dengan banyak sekali sampah, tapi dia tidak akan pernah hadir untuk mereka."
" Itu menyedihkan sekali," kataku. Aku mengambil minumanku dan meneguknya. " Apa itu berarti anaknya tidak akan pernah bela
" Tidak akan, kecuali kalau Jeb datang dan mengajari anak itu," kata Dorrie.
Kami duduk diam. Selama beberapa menit, kami nonton cowokcowok main biliar. Bola Charlie mengenai sasaran dan cowok itu mengepalkan tangan di sisi tubuhnya.
" Itu yang kumaksud!" teriaknya. " Ice, baby!"
Jeb memandang ke arahku dari seberang ruangan dan bibirnya berkedut. Aku merasa hangat dan bahagia karena pesan di matanya berkata, Kau milikku dan aku milikmu. Trims karena kau tidak pernah mengucapkan kata-kata seperti " Ice, baby."
Bibir berkedut dan tatapan penuh cinta& aku rela melakukan apa saja demi mendapatkan kedua hal itu lagi. Tapi aku malah membuang semuanya gara-gara cowok yang sekarang sedang berderu memasuki lapangan parkir dengan Hummer abu-abunya. Mobil Charlie berhenti di dekatku, mencipratkan salju. " Hai," katanya, menurunkan kaca jendela. Ia menunjuk rambutku dengan dagu dan tersenyum lebar. " Rambut baru nih, Pink!"
" Jangan tersenyum terus padaku," aku memperingatkannya. " Jangan lihat aku." Aku naik dengan susah payah ke kursi penumpang, membuat pahaku nyeri. Aku merasa bagai memanjat naik ke tank, dan kurang-lebih memang begitulah adanya.
" Apa kau membawa buku telepon?"
Charlie menunjuk buku telepon yang ada di kursi sebelahku. Aku langsung membuka bagian telepon rumah dan membolak-balik halaman berawalan B. Baker, Barnsfeld, Belmont& " Aku senang kau menelepon," kata Charlie. " Aku rindu." " Diam," kataku. " Dan tidak, kau tidak rindu."
" Kau lumayan judes pada orang yang memberimu tumpangan," kata Charlie. Aku memutar bola mata. " Serius, Adds, sejak kau putus dengan Jeb aku ikut sedih ya aku sebetulnya berharap kita
" Itu tidak akan terjadi. Diam. Aku serius." " Kenapa?"
Aku tidak mengacuhkannya. Bichener, Biggers, Bilson& " Addie," kata Charlie. " Aku meninggalkan semua urusanku untuk menjemputmu. Masa kau tidak mau bicara padaku?" " Maaf, tapi tidak."
" Kenapa?"
" Karena kau brengshaik."
Charlie tertawa keras. " Sejak kapan kau bergaul dengan JP Kim?" Ia menutup buku telepon itu padahal aku hampir saja menandai B yang kucari.
" Heh!" kataku.
" Serius deh, kenapa kau tidak mau jalan denganku?" tanya Charlie.
Aku mendongak dan melotot. Charlie tentu tahu aku sangat menyesali ciuman kami dan aku benci sekali harus berada dalam Hummer konyol itu bersamanya. Tapi saat memperhatikan ekspresinya, aku terkejut. Apa itu& ? Astaga. Apa kedua mata hijau itu benar-benar menunjukkan sorot memelas?
" Aku menyukaimu, Addie. Mau tahu kenapa? Karena kau penuh gairah."
Caranya mengatakan " penuh gairah" sama brengseknya seperti caranya mengatakan " venti" .
" Jangan sebut aku penuh gairah," kataku. " Aku tidak seperti itu."
" Kau memang penuh gairah. Dan ciumanmu asyik." " Itu kesalahan besar. Waktu itu aku mabuk dan bersikap tolol." Kerongkonganku tersekat. Aku menatap ke luar jendela sampai aku bisa menguasai diri. Lalu aku menoleh lagi padanya dan berusaha mengalihkan topik. " Omong-omong, apa yang terjadi dengan
" Brenna," Charlie merenung. Ia bersandar di kursinya. " Brenna, Brenna, Brenna."
" Kau masih naksir padanya, kan?"
Charlie mengangkat bahu. " Kelihatannya dia& dekat dengan orang lain. Kau pasti sudah tahu. Setidaknya, itu yang dikatakannya padaku. Aku sendiri tidak paham." Ia menoleh. " Kalau kau bisa memilih, apa kau akan memilih Jeb dibanding aku?" " Pasti," kataku.
" Ouch," katanya. Ia menatapku dan aku kembali melihat sorot memelas itu. " Dulu, Brenna pasti akan memilihku. Tapi aku selingkuh."
" Hmm, yeah," kataku muram. " Aku ada di tempat kejadian. Aku tukang selingkuh yang jauh lebih parah."
" Itulah sebabnya kita berdua cocok. Lebih baik kita bikin limun. Ya, kan?"
" Karena kita sama-sama punya lemon," ia menjelaskan. " Kau dan aku. Kita berdua lemon."
" Ya, aku paham metaforamu. Aku hanya& " Aku tidak menyelesaikan kalimatku karena aku sebetulnya ingin berkata, " Aku hanya tidak mengira kau menganggap dirimu lemon."
Charlie mengganti topik. " Jadi bagaimana menurutmu, Pink? Trixie akan mengadakan pesta Malam Tahun Baru. Mau pergi sama-sama?"
Aku menggeleng. " Tidak."
Ia menaruh tangannya di atas pahaku. " Aku tahu kau sedang galau. Biarkan aku menghiburmu."
Aku menepis tangannya. " Charlie, aku sangat mencintai Jeb." " Waktu itu toh hal itu tidak menghentikanmu. Lagipula, Jeb
Aku terdiam karena kata-katanya benar. Tapi aku bukan sosok Addie yang dulu. Aku tidak mau menjadi seperti itu.
" Charlie& aku tidak bisa jalan denganmu kalau aku mencintai orang lain," kataku akhirnya. " Bahkan meski orang itu tidak menginginkanku lagi."
" Whoaaa," kata Charlie, memegang dada. " Itu baru penolakan." Ia tertawa, dan dengan gaya santai, ia begitu saja kembali menjadi sosok Charlie yang menyebalkan. " Bagaimana dengan Tegan? Dia seksi. Apa menurutmu dia mau ke pesta Trixie denganku?" " Berikan buku telepon itu," kataku.
Charlie mengangsurkannya dan aku langsung menarik buku itu ke pangkuanku. Aku membukanya lagi, memeriksa deretan nama dan aha!
" Billingsley, Constance," aku membaca keras-keras. " 108 Teal Eye Court. Apa kau tahu di mana Teal Eye Court?"
" Sama sekali tidak tahu," kata Charlie. " Tapi jangan takut karena ada Lola."
" Apa semua cowok selalu memberi nama mobil mereka?" Charlie menekan beberapa perintah ke sistem GPS-nya. " Jalur paling cepat atau lewat jalan tol?"
" Paling cepat."
Dia menekan PILIH dan suara perempuan seksi berkata, " Silakan lewati jalur yang diberi tanda."
" Ohhh," kataku. " Halo, Lola."
" Dia cewekku," kata Charlie. Ia menjalankan Hummer itu dan melindas gundukan-gundukan salju. Mobilnya melambat saat ia sampai di gerbang keluar parkiran. Sesuai petunjuk Lola, Charlie berbelok ke kanan, melaju setengah blok, lalu belok kanan lagi di gang sempit di belakang deretan toko.
" Bersiap-siap untuk belok kiri," kata Lola. " Belok kiri seka
Charlie membelokkan mobil ke kiri, membawa Hummer itu memasuki jalan buntu yang saljunya belum dikeruk. Terdengar bunyi bing dan Lola berkata, " Anda sudah sampai." Charlie menghentikan mobilnya. Ia menoleh padaku dan mengangkat alis. " Kau perlu tumpangan kemari?"
Aku sama kagetnya dengan Charlie. Aku menjulurkan leher un- tuk membaca papan penanda jalan di pojok jalan buntu itu, dan memang benar, itu Teal Eye Court. Sekitar 30 meter dari situ, terlihat bagian belakang Starbucks. Kami hanya naik mobil sekitar 30 detik.
Charlie tertawa keras.
" Diam," kataku, berusaha keras agar pipiku tidak memerah. " Kau juga tidak tahu letak jalan ini, kalau tidak, kau pasti tidak akan menggunakan Lola."
" Jangan bilang kau tidak penuh gairah," kata Charlie. " Kau sangat penuh gairah."
Aku membuka pintu Hummer dan melompat turun, langsung terbenam di tumpukan salju.
" Perlu ditunggu?" serunya.
" Tidak apa-apa, aku bisa pulang sendiri." " Yakin? Jalannya jauh loh."
Aku menutup pintu dan mulai berjalan.
Charlie menurunkan kaca jendela penumpang. " Sampai ketemu di Starbucks. Aku akan menunggu chai gratisku!"
A KU menyusuri gang bersalju itu menuju kompleks aparte
men di 108 Teal Court, berharap Constance Billingsley tidak punya anak kecil karena rasanya aku tidak mungkin merebut babi mini dari seorang anak kecil.
Aku juga berharap perempuan itu tidak buta, atau lumpuh, atau cebol seperti perempuan setinggi kurang dari semeter yang pernah kulihat di Discovery Channel. Aku tidak mungkin merebut bayi mini dari perempuan mini. Tidak mungkin.
Seseorang sedang menyekop jalan masuk ke apartemen yang terpisah-pisah itu. Aku melompati tumpukan tinggi salju dan mendarat di trotoar yang lumayan bersih. Satu kosong empat, satu kosong enam& satu kosong delapan.
Aku menegakkan bahu dan memencet bel.
" Wah, halo, Addie!" seru perempuan dengan rambut putih yang dikepang saat membuka pintu. " Ini kejutan menyenangkan!"
" Mayzie?" kataku bingung. Aku melirik bon kartu kredit itu. " Aku& hmm& apa di sini ada Constance Billingsley?" " Constance May Billingsley, itu aku," kata Mayzie.
Lima Belas
" Coba pikir," katanya. " Apa kau sendiri mau dipanggil Constance kalau kau bisa memilih?"
" Hmm& "
Ia tertawa. " Kurasa tidak. Ayo masuk. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan. Masuk, masuk, masuk!"
Ia mengajakku ke dapur, dan di atas selimut biru yang dilipat beberapa kali, aku melihat anak babi paling menggemaskan di dunia. Babi itu merah muda dan hitam serta terlihat sangat lembut. Moncongnya lucu dan imut dan kedua matanya berbinar-binar siaga. Lengkung ekornya terlihat gampang memantul seperti pegas bahkan saat kau belum menyentuhnya, dan ya, ukurannya cukup mungil untuk masuk ke dalam cangkir.
Babi itu mengeluarkan suara oink dan aku langsung meleleh gemas.
" Gabriel," kataku. Aku berlutut di samping selimut itu dan Gabriel langsung berdiri dan mendekat. Dia mengendus-endus tanganku dan dia sangat imut sehingga aku tidak peduli kalau tanganku basah karena ingus babi. Lagian, itu bukan ingus. Hidung Gabriel hanya sedikit basah. Bukan masalah besar.
" Siapa namanya?" kata Mayzie. " Gabriel?" Aku mendongak dan melihatnya tersenyum simpul. " Gabriel," kataku, mengetes nama itu. Mayzie menggendong Gabriel. " Seperti Malaikat Gabriel!"
Mayzie memasang tampang aku-akan-mengutip-sesuatu. " Waktunya sudah tiba, kata si Walrus, untuk membahas banyak hal: Tentang sepatu dan kapal dan cap lilin tentang kubis dan raja-raja. Tentang kenapa lautan panas mendidih dan apakah babibabi punya sayap. "
" Dan apakah babi-babi punya sayap, " ulang Mayzie. " Babi malaikat. Malaikat Gabriel!"
" Kurasa temanku tidak sedalam itu," kataku. " Dan tolong jangan membahas soal malaikat lagi. Kumohon."
" Tapi kenapa tidak, sedangkan semesta dengan asyiknya memaparkan soal itu?" Ia menatapku bangga. " Kau berhasil melakukannya, Addie. Aku sudah tahu kau pasti bisa!"
Aku menyandarkan tangan ke paha dan bangkit. " Berhasil melakukan apa?"
" Kau lulus ujian!" " Ujian apa?"
" Dan aku juga lulus," kata Mayzie dengan penuh semangat. " Setidaknya, kupikir aku lulus. Rasanya kita akan segera tahu."
Napasku terasa sesak. " Mayzie, apa kau sengaja ke Pet World dan membeli Gabriel?"
" Aku jelas tidak membelinya dengan tidak sengaja," katanya. " Kau tahu maksudku. Kau membaca pesan itu, pesan soal babi. Apa kau membeli Gabriel hanya untuk menggangguku?" Bibir bawahku bergetar.
Mayzie terbelalak. " Tidak, Manisku!"
" Aku ke Pet World dan Gabriel tidak ada& Apa kau tahu betapa paniknya aku tadi?" Aku menahan tangis. " Dan aku harus berurusan dengan Nathan, yang membenciku." Aku membersit hidung. " Tapi sekarang ia mungkin tidak membenciku lagi."
" Tentu saja tidak," kata Mayzie. " Mana mungkin ada orang yang membencimu?"
" Lalu aku harus berurusan dengan Charlie, dan percayalah, kau tidak mau mendengar soal itu." Aku mengelap hidung dengan punggung tangan. " Tapi anehnya, aku berhasil mengatasi semuanya dengan baik."
" Kurasa Charlie jauh lebih berantakan daripada aku." Mayzie kelihatan penasaran. " Mungkin dia akan menjadi kasusku berikutnya."
Mendengar kata-kata kasusku berikutnya, aku teringat bahwa Mayzie bukan temanku lagi, kalau memang dia dulu temanku. Mayzie hanya orang aneh yang menahan babi temanku.
" Apa kau akan mengembalikan Gabriel?" kataku, berusaha terdengar setenang mungkin.
" Jelas. Aku tidak pernah berniat menyimpannya." Ia mengangkat Gabriel sampai hidungnya dan moncong si babi berhadap-hadapan. " Meskipun aku akan merindukanmu, Tuan Gabriel. Senang sekali punya teman di apartemen sepi ini, meski hanya sebentar." Ia mengembalikan babi itu ke pelukannya dan mengecup kepala Gabriel.
Jari-jari kakiku mencengkeram bagian dalam sepatu bot. " Apa kau akan mengembalikannya hari ini?"
" Yapun. Aku sudah membuatmu kesal, ya?" " Terserahlah, aku hanya mau Gabriel kembali."
" Padahal kukira kau akan senang karena ada malaikat yang menjagamu. Bukankah itu yang kauinginkan?"
" Cukup soal malaikat," kataku. " Aku tidak bercanda. Kalau semesta mengirimkanmu untuk menjadi malaikatku, aku minta uang kembali."
Mayzie tergelak. Ia tergelak, dan rasanya aku ingin mencekiknya.
" Adeline, kau membuat rumit keadaanmu sendiri padahal seharusnya tidak perlu begitu," katanya. " Anak konyol, bukan apa yang semesta berikan pada kita yang penting. Tapi apa yang kita berikan pada semesta."
Aku membuka mulut, ingin berkata padanya bahwa itu bodoh,
ubah dalam diriku. Ada perubahan besar, bagai longsoran salju dalam diriku, dan aku tidak bisa lagi menahannya. Perasaan dalam diriku begitu besarnya sementara aku begitu kecil&
Jadi aku pun membebaskan perasaan itu. Aku pasrah sepenuhnya& dan rasanya luar biasa. Sangat luar biasa sampai-sampai aku tidak paham kenapa aku menahan perasaan itu. Begitu luar biasanya sampai-sampai aku membatin, Astaganaga, apa perasaan ini sudah ada sejak dulu? Ketenangan batin yang sama sekali tidak rumit, pelik, dan penuh dengan aku, aku, aku? Karena wow, rasanya luar biasa. Rasanya sungguh murni. Dan mungkin aku memang penuh cahaya, seperti kata Nathan, dan mungkin aku hanya perlu& membiarkan cahaya itu nyata, membiarkannya bersinar, serta melepaskan semua gerutuan bahwa hidup ini menyebalkan dan diriku menyebalkan. Apa itu mungkin dalam hidupku? Apa aku, Adeline Lindsey& bisa benar-benar bertransformasi?
Mayzie mengantarku ke pintu. " Kurasa sudah waktunya kau pulang," katanya.
" Hmm, baiklah," kataku. Tapi aku menyeret langkah karena kini aku tidak lagi merasa gusar padanya. Sekarang aku bahkan merasa tidak enak karena harus meninggalkannya sendirian. Aku ingin ia merasakan perasaan luar biasa yang kurasakan, dan itu mungkin sulit baginya karena ia sendirian di apartemen yang sebentar lagi tanpa babi.
" Hei!" kataku. " Apa aku, hmm, boleh main ke sini sekali-sekali? Aku berjanji aku tidak akan membosankan."
" Kurasa kau tidak mungkin membosankan, bahkan kalaupun kau mencoba," kata Mayzie. " Aku akan senang kalau kau berkunjung sekali-sekali." Pada Gabriel, Mayzie berkata, " Lihat, kan, hatinya baik sekali?"
balikan uangmu. Aku akan menjelaskan semua kerumitan ini pada Nathan."
Ia tergelak. " Kau pasti bisa."
" Baiklah," kataku, merasa lumayan senang sekarang. " Aku akan mengantarkan uangmu, dan aku juga akan membawakan crackers lapis cokelat yang kausukai. Kita bisa minum teh bareng. Kita akan mengadakan acara minum teh khusus cewek setiap minggu. Atau kopi. Bagaimana menurutmu?"
" Menurutku itu ide bagus," kata Mayzie. Ia mengulurkan Gabriel padaku dan babi kecil itu mengayun-ayunkan kaki-kakinya, mencari tempat berpijak. Aku menghirup baunya. Aroma babi mini seperti whipped cream.
G ABRIEL menempelkan moncongnya ke mantelku saat berjalan
dengan susah payah di gang bersalju itu. Aku berharap van Silver Sneakers secara ajaib muncul dan menjemputku meski umurku enam belas dan bukan 76. Tapi setidaknya aku sanggup berjalan melewati tumpukan salju. Seandainya umurku 76? Tidak mungkin.
Gabriel meronta-ronta dan aku berkata, " Tahan sebentar, babi kecil. Sebentar lagi kita sampai."
Di tengah jalan menuju Starbucks, aku melihat mobil Civic Tegan berhenti di lampu merah dua blok dari situ. Astaga, Tegan akan tiba dalam dua menit! Aku buru-buru mempercepat langkah karena aku ingin sampai di dalam sebelum Tegan tiba. Aku ingin memasukkan Gabriel ke cangkir sungguhan atau mug kopi karena itu pasti imut banget.
Aku mendorong pintu dengan pinggulku dan Christina mendongak dari mesin espresso. Joyce, barista satunya, tidak kelihatan.
" Akhirnya!" seru Christina. " Apa kau bisa melayani pesanan tamu-tamu ini?"
Ia menunjuk cowok dan cewek yang berdiri di depan konter dan
Enam Belas
" Stuart!" kataku, karena itu Stuart Weintraub dari duo Stuart-dan- Chloe-patah-hati-selamanya. Tapi kali ini cewek di sebelahnya bukan Chloe; cewek itu bahkan sepenuhnya bertolak belakang dari Chloe dengan rambut bob pendek dan kacamata mata kucing yang lucu. Cewek itu tersenyum malu-malu padaku dan hatiku langsung mele- leh gemasssssss, karena cewek itu kelihatan baik hati dan dia memegang tangan Stuart. Dia juga tidak memakai lipstik merah manyala. Sepertinya dia bukan tipe cewek yang bakalan bermesraan di toilet seperti cewek murahan dengan cowok yang bukan pacarnya. " Hai, Addie," kata Stuart. " Rambut baru, ya?"
Aku memegang kepala dengan satu tangan sementara tanganku yang lain menahan Gabriel kuat-kuat karena babi itu ingin meronta keluar dari mantelku. " Hmm, ya." Aku menunjuk cewek di sebelahnya dengan dagu. " Siapa nih?" Mungkin kalimatku terdengar terlalu langsung tanpa basa-basi, tapi yapun! Stuart Weintraub bukan hanya hadir tanpa Chloe, tapi kedua matanya juga tidak sedih! Maksudku, dia masih punya mata, tapi matanya kini penuh sorot bahagia. Kebahagiannya membuatnya jadi terlihat sangat tampan.
Hore, Stuart, pikirku. Hore, karena ternyata keajaiban Natal memang ada.
Stuart tersenyum lebar pada cewek itu dan berkata, " Ini Jubilee. Jubilee, ini Addie, dia satu sekolah denganku."
Ohhhhh manisnya, pikirku lagi. Manis sekali, Stuart jalan bareng dengan cewek yang namanya mirip nama hidangan penutup Natal yang lezat. Sungguh manis karena Stuart mendapatkan hidangan penutup Natal yang lezat meski dia Yahudi, tapi tidak apalah.
" Trims," kata Jubilee pada Stuart, wajahnya memerah. Padaku, ia berkata, " Namaku aneh. Aku tahu. Aku bukan penari telanjang. Sungguh."
" Baiklah," kataku.
" Tidak ah, aku lebih suka Jubilee," kataku. Menyebutkan namanya keras-keras membuat kepingan memori di otakku berdenting. Tegan& Patroli Ciuman& cowok bukan Jeb yang meninju udara&
" Mungkin kau bisa bertanya mereka mau pesan apa?" desak Christina, mengusir hal itu dari benakku. Oke, baiklah. Stuart datang bersama cewek cantik bernama Jubilee dan cewek itu bukan penari telanjang. Itu saja yang penting.
" Sekarang bisa?" kata Christina.
" Hmm& ya!" kataku penuh semangat. Mungkin sedikit terlalu bersemangat. " Sebentar ya. Aku harus melakukan sesuatu dulu." " Addie," Christina memperingatkan.
Di sebelah kananku, Tobin menggeliat di sofa ungu. Apa dia baru bangun sekarang? Cowok itu mengerjap-ngerjap menatapku dan berkata, " Astaga. Namamu Addie?"
" Betul. Aku Addie," kataku sambil membatin, Tuh, kan? Aku tahu kau tidak tahu namaku. Aku menahan Gabriel agar babi itu tetap tersembunyi di balik mantelku dan si babi mengeluarkan suara aneh yang kedengaran seperti wiiip. " Sekarang aku akan buruburu ke belakang& "
Gabriel mengeluarkan bunyi wiiip lagi. Lebih keras. " Addie," kata Christina dengan nada menahan marah. " Ada apa di balik mantelmu?"
" Addster!" kata Charlie dari bar. " Mana chai buatku?" Ia tersenyum lebar dan aku menyadari alasannya begitu melihat tangannya merangkul cewek di sebelahnya. Ya Tuhan, tempat ini bagai Pusat Keajaiban Natal.
" Hai, Addie," kata si jahat Brenna. " Rambutmu bagus." Ia mungkin tersenyum mengejek, tapi aku ragu karena sekarang Brenna tidak terlihat sejahat sebelumnya. Hari ini Brenna terlihat lebih bercahaya dan tidak sinis. Apa mungkin itu karena rangkulan
" Serius," kata Tobin. " Namamu Addie?" Ia menyikut Angie yang terbangun dan mengusap-usap hidung. " Namanya Addie," kata Tobin pada Angie. " Apa menurutmu dia Addie yang itu?"
" Addie yang itu?" tanyaku. Dia ngomong apa sih? Aku ingin mendesaknya meminta detail lebih lanjut, tapi perhatianku teralihkan karena mobil Civic Tegan berbelok ke lapangan parkir. Dorrie ada di kursi penumpang, sedang mencengkeram bahu Tegan sambil berbicara serius. Aku hanya bisa membayangkan kata-katanya. Mungkin ia sedang berkata, " Ingat lho, ini kan Addie. Kemungkinan besar dia sedang mengalami krisis dan tidak menjemput Gabriel sama sekali."
" Adeline," kata Christina. " Itu bukan& babi, kan?" Aku menunduk dan melihat kepala Gabriel menyembur dari ritsleting atas mantelku. Babi itu mengeluarkan bunyi wiiip dan menatap sekeliling.
" Ini bukan babi biasa," kataku bangga karena babi itu toh sudah kelihatan juga. Aku menggosok-gosok telinga Gabriel. " Ini babi cangkir. Sangat langka."
Jubilee melirik Stuart dan tersenyum lebar. " Kau tinggal di kota kecil yang penduduknya membawa-bawa babi kurcaci?" katanya. " Padahal kupikir hidupku yang aneh."
" Bukan kurcaci. Cangkir," kataku. " Omong-omong, aku butuh salah satu mug Natal itu ya, Christina? Potong saja dari gajiku." Aku beranjak ke rak, tapi Tobin menarik lenganku dan menghentikan langkahku.
" Apa kau Addie yang pacaran dengan Jeb Taylor?" tanyanya. Aku tercengang. Tobin tidak tahu namaku, tapi cowok itu tahu aku pacaran dengan Jeb?
" Aku& hmm& " aku menelan ludah. " Kenapa?"
" Karena ada pesan dari Jeb untukmu. Sialan, aku benar-benar
Jantungku berdentum-dentum dalam dadaku. " Dia titip pesan buatku? Apa pesannya?"
Tobin menoleh pada Angie. " Aku tolol sekali. Kenapa kau tidak mengingatkanku?"
Angie tersenyum mengantuk. " Mengingatkanmu bahwa kau tolol? Baiklah: kau tolol."
" Oh, bagus sekali, trims," kata Tobin. Angie terkikik. " Pesannya?" kataku akhirnya.
" Oh ya!" kata Tobin, kembali mengarahkan perhatiannya padaku. " Pesannya, Jeb terlambat."
" Gara-gara pemandu sorak," tambah Angie. " Apa?"
" Pemandu sorak?" kata Jubilee, berseru panik. Ia dan Stuart mendekat ke tempat kami berdiri. " Ya Tuhan, pemandu sorak!"
" Para pemandu sorak itu satu kereta dengannya, tapi keretanya terjebak salju," kata Tobin.
" Aku tadinya ada di kereta itu!" seru Jubilee. Stuart tertawa, tawa seseorang yang pacaran dengan cewek aneh. " Tadi kau menyebut nama Jeb? Aku memberinya piza bundar microwave!" " Kau memberi Jeb& apa?" kataku.
" Gara-gara badai?" tanya Charlie.
Aku menoleh bingung ke arahnya. " Kenapa Jubilee memberi Jeb piza bundar microwave gara-gara badai?"
" Bukan begitu," kata Charlie. Ia melompat turun dari bangku sambil menarik Brenna. Mereka bergabung dengan kami dekat sofa ungu. " Maksudku, kereta apinya terjebak salju gara-gara badai, brengshaik."
Ekspresi Tobin berubah saat mendengar kata BRENGSHAIK. Ia mendongak pada Charlie seakan ia melihat penampakan. Lalu ia mengusir pikirannya dan berkata, " Ya. Benar sekali. Lalu para pe
Charlie tertawa keras. " Kerennn." " Bukan kebutuhan seperti itu," kata Angie. " Ya," kata Brenna. Ia menyikut Charlie.
" Kebutuhan seperti apa?" kataku, merasa pusing. Di sudut benakku, aku mendengar bunyi pintu mobil ditutup, dua kali. Di sudut pandanganku, aku melihat Tegan dan Dorrie berjalan cepat ke tempat ini.
" Yah," kata Tobin, dan ia menunjukkan ekspresi khas yang mulai kukenali, ekspresi yang berarti tidak ada jawaban.
" Apa ada yang lain?" kataku, menggunakan strategi lain. " Yang lain apa?" kata Tobin.
" Pesan lain!"
" Oh," kata Tobin. " Ya! Ya, ada!" Rahangnya mengeras penuh tekad, tapi beberapa detik kemudian ia langsung lesu. " Ah, sialan," katanya.
Angie merasa kasihan padaku. Ekspresinya berubah dari gelisah menjadi baik hati.
" Jeb bilang dia akan datang," katanya. " Dia bilang kau pasti tahu maksudnya."
Dalam Derai Salju Let It Snow Karya Maureen Johnson, John Green, Lauren Myracle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jantungku serasa berhenti dan dengung riang di Starbucks lenyap. Seakan ada seseorang yang menekan tombol MUTE di dunia luar, atau mungkin perasaan dalam diriku yang menenggelamkan semuanya. Jeb bilang dia akan datang! Jeb akan datang?!
Suara denting pintu merasuki kesadaranku dan di tengah kebi- ngunganku, sesuatu terlintas di benakku begitu saja: Setiap kali lonceng berdenting di tengah senyap, ada malaikat yang mendapatkan sayap. Lalu embusan angin dingin membuatku tersadar dan aku baru tahu dari tadi lonceng pintu lah yang berbunyi keras. " Addie, kau ada di sini!" seru Dorrie, berjalan cepat ke arahku
Di sampingnya, Tegan berbinar-binar. " Dan dia ada di sini! Kami melihatnya di parkiran!"
" Aku yang pertama kali melihatnya," kata Dorrie. " Dia terlihat seperti baru saja berkelana di alam bebas selama berhari-hari, jadi siap-siap ya. Sejujurnya sih, dia terlihat seperti gorila. Tapi& "
Kata-kata Dorrie terhenti saat melihat Stuart dan Jubilee. " Stuart bawa cewek," bisiknya dengan suara yang cukup keras untuk me- runtuhkan sebuah rumah.
" Aku tahu!" aku balas berbisik. Aku tersenyum lebar pada Stuart dan Jubilee. Wajah mereka sama-sama memerah seperti topi Dorrie.
" Hai, Dorrie," kata Stuart. " Hai, Tegan." Ia merangkul Jubilee dan menepuk-nepuk bahu cewek itu, setengah gugup dan setengah bersikap manis.
" Gabriel!" pekik Tegan keras. Ia mendekat dan mengambil Gabriel dari gendonganku. Untunglah, soalnya otot-ototku terasa lemas. Seluruh tubuhku terasa lemas karena pintu kembali berdenting, dan Jeb muncul,
dan dia kelihatan sangat berantakan,
dan aku merasa ingin menangis sekaligus tertawa karena Jeb me- mang terlihat seperti gorila, dengan rambut acak-acakan dan pipi yang pecah-pecah karena terjangan angin. Rahang kerasnya dipe- nuhi bintik-bintik janggut yang belum dicukur.
Kedua mata hitamnya memperhatikan semua orang satu per satu, lalu akhirnya melihatku. Ia mendekat dan mendekapku erat, sementara aku memeluknya dengan sepenuh hati. Seluruh sel di tubuhku bernyanyi.
" Yapun, Addie, dua hari ini benar-benar gila," bisiknya di telingaku.
" Oh, ya?" kataku, menyerap dan menikmati seluruh keberadaan dirinya.
sorak, dan kami semua berakhir di Waffle House. Lalu mereka semua terus-terusan menyuruhku membantu mengangkat mereka& "
" Mengangkat mereka?" Aku mundur supaya bisa melihat wajahnya, tapi tanganku tetap merangkulnya.
" Dan semua pemandu sorak itu meninggalkan ponsel mereka di kereta supaya dia bisa fokus melatih semangat, atau apalah. Dan aku berusaha meminjam telepon di Waffle House, tapi si manajer berkata, Sori, tidak bisa. Sedang ada krisis, Kawan. " " Aduh," kata Tobin, meringis.
" Lihat kan apa yang terjadi kalau cowok-cowok terobsesi dengan para pemandu sorak," kata Angie.
" Tapi jangan berprasangka buruk terhadap semua pemandu sorak loh," kata Jubilee. " Cukup yang tertentu saja, yang namanya berima dengan koi. Ya kan, Stuart?"
Stuart kelihatan terheran-heran. Jubilee melambai pada Jeb. " Hai, Jeb." " Julie," kata Jeb. " Sedang apa di sini?"
" Namanya bukan Julie, tapi Jubilee," aku berbisik memberitahunya.
" Jubilee?" ulang Jeb. " Whoaaa."
" Tidak," kata Christina, dan kami bersepuluh menoleh padanya. " Hanya aku yang boleh bilang whoaaa di sini, dan aku akan mengatakannya sekarang, oke?"
Tidak ada yang merespons, jadi aku akhirnya berkata. " Oke. Tapi ayolah, nama itu kan tidak aneh-aneh banget."
Ia terlihat sangat kesal. " Addie," katanya, " tolong jawab sekarang: Apa kau membawa babi ke tokoku?"
Ohhhh. Ituuu.
Babi dalam toko& bagaimana cara mencari alasan, ya? " Dia babi yang sangat imut," kataku. " Tidak apa-apa, kan?"
" Baiklah, baiklah," kataku. " Aku hanya ingin memberi Tegan cangkir untuk meletakkan babi itu."
" Apa menurutmu Flobie bakal bikin gelas?" Stuart berbisik pada Jubilee.
" Maaf, apa?" kataku.
Sambil terkikik, Jubilee menyikut Stuart dan berkata, " Abaikan saja. Tolong."
Dorrie mendekat padaku. " Kau berhasil, Addie," katanya. " Aku meragukanmu, padahal seharusnya tidak. Dan ternyata& kau berhasil."
" Trims," kataku.
" Halo?" kata Christina. " Apa ada yang dengar waktu aku bilang babi itu harus keluar?"
" Sepertinya seseorang harus belajar lebih banyak tentang pela- yanan pelanggan," kata Tobin.
" Mungkin Don-Keun bisa membantu?" kata Angie. Christina melotot, membuat Tegan langsung mundur ke pintu. " Aku pergi, aku pergi!"
" Tunggu!" kataku. Aku melepaskan Jeb sebentar untuk menyambar mug dari rak dan memberikannya pada Tegan. " Untuk Gabriel."
" Kalau manajer wilayah datang, aku pasti dipecat," kata Christina lemas. " Babi bukan bagian dari kebijakan Starbucks."
" Ini untukmu, Sayang," kata Tegan, memasukkan Gabriel ke mug. Babi itu meronta sedikit, lalu sepertinya sadar bahwa mug itu persis seukurannya dan bisa menjadi rumah yang nyaman. Babi itu duduk dan mengeluarkan suara oink. Semua orang mendesah gemas berbarengan, ohhhh. Termasuk Christina.
" Bagus sekali," kata Dorrie. " Ayo, kita harus pergi sebelum Christina ceprotz."
Aku tersenyum pada Jeb yang balas tersenyum. Ia menatap ram
" Hei," katanya. " Rambutmu baru."
" Ya," kataku. Rasanya seakan aku sudah berabad-abad yang lalu potong rambut. Cewek pirang cengeng yang menghabiskan Natal dengan mengasihani diri sendiri, apa itu benar-benar aku?
" Keren," kata Jeb. Ia membelai beberapa helai rambutku dengan jempol dan telunjuknya. Lalu tangannya turun dan mengusap-usap pipiku.
" Addie, aku menginginkanmu," bisiknya, dan wajahku memerah. Apa Jeb benar-benar bilang begitu? Jeb menginginkanku, di sini, di Starbucks?
Lalu aku menyadari maksudnya. Jeb menjawab e-mailku yang berkata, Kalau kau menginginkanku, aku milikmu.
Pipiku tetap terasa hangat, dan aku lega tidak seorang pun di toko itu bisa membaca pikiran karena aku tadi salah duga. Tapi kalaupun mereka bisa membaca pikiran dari mana aku bisa tahu itu tetap bukan masalah besar.
Aku berjinjit dan merangkul leher Jeb.
" Aku akan menciummu sekarang," aku memperingatkannya karena aku tahu ia tidak nyaman bermesraan di tempat umum.
" Tidak," kata Jeb, lembut namun tegas. " Aku yang akan menciummu."
Bibirnya mengecup bibirku dan kepalaku dipenuhi bunyi lonceng yang berdentang merdu, indah, dan murni. Mungkin itu lonceng pintu yang berdenting saat Dorrie dan Tegan keluar. Tapi aku terlalu sibuk untuk mengecek.
Badai salju pada malam Natal ternyata bisa mengubah kota kecil menjadi tempat yang romantis.
Siapa kira jalan kaki di tengah cuaca dingin dan basah akibat kereta api mogok dapat berakhir dengan ciuman mesra dari kenalan baru yang menawan. Juga perjalanan menembus
tumpukan salju menuju Waffle House ternyata dapat menimbulkan cinta pada teman lama. Dan cinta sejati ternyata bisa datang berkat giliran kerja pagi buta di Starbucks.
Tamat
Fear Street Cheerleaders Musibah Ketiga Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar Raja Petir 04 Asmara Sang Pengemis
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama