Ceritasilat Novel Online

Diary Princesa 2

Diary Princesa Karya Swistien Kustantyana Bagian 2

Air mataku masih mengalir ketika berusaha mengangkat tubuh Jinan yang masih meringkuk.

" Ayo, berdiri. Kamu nggak boleh mati," kataku terisak.

untuk waktu yang terasa sangat lama Jinan bergeming. Dan saat aku hampir menyerah karena kehabisan tenaga, Jinan bangkit perlahan. Dia memegang lenganku. Kami berdua berjalan tertatih-tatih ke kamar. Aku memaksanya mengganti bajunya yang basah.

Jinan meringkuk di tempat tidur seharian itu. Dia tak menyentuh makanan apa pun yang kuletakkan di nakas samping tempat tidur. Dia hanya menghabiskan segala minuman yang kuletakkan di sana. Berbotol-botol air mineral. Dua gelas susu cokelat. Satu gelas kopi.

Mamam pulang larut malam. Dia tak pergi ke kamar kami untuk sekadar melihat apakah kami ada di kamar atau tidak. Dia langsung melangkah masuk ke dalam kamarnya. Kuketuk pintu kamar Mamam perlahan. tak ada jawaban.

" Mam," kupanggil Mamam seraya membuka pintu. Mamam berbaring dengan mata terpejam. Aku duduk di tepian ranjang, memanggilnya lagi. Perlahan matanya terbuka. Mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya fokus menatapku.

" Jinan terjatuh di kamar mandi," kataku pelan. Aku tak ingin membuat Mamam khawatir dengan bilang Jinan ingin bunuh diri. Mamam sudah punya banyak beban dalam hidupnya. Aku tak ingin menambah beban hidup itu.

" Dia akan baik-baik saja," Mamam menutup matanya lagi.

Aku kaget dengan reaksi Mamam. Sungguh aku tak mengira Mamam akan menanggapinya dengan dingin seolah tak terjadi apa-apa. Maksudku, seharusnya seorang ibu akan khawatir kan jika anaknya terjatuh di kamar mandi. Seharusnya seperti itu. Dan seharusnya Mamam lari secepatnya ke kamar kami untuk mengecek apakah Jinan baik-baik saja. tapi Mamam tidak melakukan yang seharusnya.

Itu membuatku jengkel. " Mam!" aku merasa frustrasi.

Mamam membuka matanya lagi. Helaan napas panjang terdengar. " Kenapa lagi?"

Aku tak percaya Mamam bereaksi seperti itu. Oke, aku tak punya pilihan. tadi aku tak ingin membuatnya khawatir. tapi mengatakan yang sebenarnya mungkin akan membuat Mamam berlari ke kamar kami.

" Jinan ingin bunuh diri tadi pagi. Dia mengumpulkan semua obat di rumah kita dan akan menelannya," kataku perlahan, berharap Mamam mengerti setiap kata yang kuucapkan.

untuk sesaat Mamam tak menunjukkan ekspresi apa pun. Kemudian dia menutup matanya lagi dan bergumam, " Dia akan baik-baik saja. Mamam lelah sekali."

tubuhku terasa lemas. Aku tak tahu yang di depanku ini manusia atau bukan. Jelas-jelas ia Mamam kami. Mamamku dan Jinan. tapi sepertinya malam ini dia alien. Aku tak mengenalnya sama sekali.

Kulangkahkan kaki dengan lesu. Kututup pintu sepelan mungkin. Aku masuk kembali ke dalam kamarku dan Jinan. Kurebahkan tubuhku ke tempat tidurku sendiri.

Lalu pertahananku pun jebol. Aku menangis terisak-isak hingga dada ini terasa sakit sekali.

" ya ampun! Kamu habiskan sisa puding cokelatku!" pekik Jinan saat ia membuka kulkas. Matanya melotot ke arah Nathan yang sedang menepuk-nepuk perutnya karena kekenyangan.

Nathan meringis. " Kayaknya sih cuma puding. tapi kok kenyang banget ya."

" Itu karena yang kau makan porsi besar," Jinan mendengus.

Mamam memberi tatapan sebal pada Jinan, yang sayangnya tidak disadari oleh Jinan. Mungkin karena cerita hebohnya tentang pelanggan unik itu terpotong.

" Kamu itu drama queen. Puding habis saja didramatisasi. Besok Mamam buatkan lagi yang lebih banyak," kata Mamam.

Aku memutar bola mataku. Please, deh. Drama queen? Bukannya Mamam juga begitu. Mamam dan Jinan samasama drama queen. Bagiku mereka berdua sama seperti alien. Sama-sama aneh. Sepertinya Nathan belum sadar jika dia terdampar di negeri para alien.

" Mam, nanti malam ada midnight sale. Cesa ingin pergi. Boleh ya? Nanti ditemenin Nathan deh," aku mencoba membujuk. Sebelum Mamam jadi manyun karena Jinan, aku harus mendapatkan izinnya untuk keluar nanti malam.

Kukedipkan sebelah mataku ke arah Nathan, berharap dia mengerti dan ikut membujuk Mamam. Well, siapa tahu Mamam akan langsung mengizinkan jika Nathanlah yang menemaniku.

" Iya, mam. yuk, kita pergi bareng-bareng," Nathan menangkap sinyal yang kuberikan walaupun tak sepenuhnya benar. Midnight sale bareng Mamam? Aku lebih memilih berdua saja dengan Nathan. Aku cepat-cepat berdoa agar Mamam menolak usul Nathan. Midnight sale itu memang asyik. tapi berduaan dengan Nathan hingga tengah malam rasanya jauh lebih mengasyikkan.

Mamam tersenyum kembali saat melihat Nathan. " Mamam capek. Lagian sudah beli dvd Korea banyak. tinggal ditonton aja. Pergilah kalian. tapi pulang sebelum tengah malam ya."

Aku bersorak dalam hati. tapi wajahku kumanyunkan, " ya, Mamam. Namanya juga midnight sale, masak harus pulang sebelum jam 12. Nggak seru ah."

Nathan tertawa. " Jam dua belas lewat sedikit akan saya seret Cesa pulang. Mamam nggak perlu khawatir."

Mamam ikut tertawa. " Okelah kalau begitu. Mamam percaya sama kamu." Lalu Mamam melangkah meninggalkanku dan Nathan. Dan Jinan. Aku sudah lupa Jinan ada di antara kami.

" Kamu ikut juga kan?" tanya Nathan. Dia tersenyum memandangi Jinan yang sedang tekun membaca buku.

Aku cepat-cepat berdoa lagi agar Jinan tidak ingin ikut. Karena novel yang sedang dibacanya bagus sekali.

Atau karena mood-nya lagi jelek. Atau karena dia kepingin tidur saja. Atau karena apa pun deh. tapi sepertinya aku harus menelan kecewa kali ini.

" Boleh. Jam berapa kita pergi?" tanyanya tanpa mengangkat wajahnya dari buku.

Ah, sebal jadinya. Hilang sudah kesempatan berduaan dengan Nathan hingga tengah malam.

Jarum jam hampir menunjukkan pukul delapan saat kami bertiga berada di dalam taksi menuju Plaza Senayan. Lumayan terlambat untuk acara midnight sale. Seharusnya kami sudah ada di mal sejak sore atau siang atau pagi kalau perlu. Mencoba semua baju atau sepatu yang ingin dibeli. Jadi saat bel midnight sale berbunyi (yang biasanya jam delapan atau jam sembilan" dan bel di sini bukan betul-betul bel seperti bel di sekolah), aku hanya perlu mengambil barangnya dan membayarnya di kasir. Aku tak perlu berdesak-desakan dengan yang lain.

" Aku mau ke Kinokuniya," kata Jinan tiba-tiba. Aku cemberut. Kukatakan aku ingin melihat-lihat baju. Dan Jinan bilang berpisah pun tidak apa-apa karena dia tak akan membeli baju satu pun. Dia ingin membeli beberapa buku. Ini yang sering bikin aku jengkel sekaligus iri tentang Jinan. Dia selalu tahu apa yang dia mau. Dan dia tak pernah takut melakukan semuanya sendirian. Dari penampilan luar tampaknya aku lebih percaya diri dari Jinan. Bajuku lebih modis. Dandananku lebih oke. tapi aku tak punya nyali untuk belanja sendirian. Aku selalu butuh teman meskipun teman itu tak bisa berkomentar (yah aku butuh teman, bukan komentator).

Nathan memandangku dan Jinan bergantian. Dia sedang bingung harus bagaimana. Aku tahu itu. Jika boleh jujur, dia ingin pergi ke toko buku bersama Jinan. tapi itu berarti dia meninggalkanku sendirian. Dan halo, dia sudah berjanji pada Mamam untuk menjagaku.

" Gimana kalau kita ke Kinokuniya dulu sebentar," ucap Nathan. " Setelah itu kita lihat-lihat baju." " Aku bakalan lama," sahut Jinan tak acuh. Nathan menggaruk kepalanya. Aku terus cemberut. Lalu terjadilah hal itu. Hal yang sangat membuatku cemburu dan merasa dunia ini tidak adil. Nathan yang semula berjalan bersamaku mempercepat jalannya dan berjalan di samping Jinan. Dia meletakkan tangannya di bahu Jinan sambil berkata, " Sepertinya kamu butuh kaos baru Jinan. yang warna pink mungkin. Jadi, jika suatu hari kamu ingin mencelupnya dengan warna hitam, kamu bisa melakukannya dengan mudah."

Jinan tergelak. Lalu menyahut, " Oke."

Nathan menoleh dan mengedipkan matanya ke arahku.

Seharusnya aku senang karena Jinan menuruti kata-kata Nathan. Hanya Nathan yang bisa membuat Jinan mendengarkan kata-katanya. Hanya dia yang bisa membujuk Jinan yang keras kepala. tapi dadaku ini rasanya akan meledak. Aku ingin Nathan berjalan di sampingku sekarang ini. Aku ingin bahukulah yang menjadi sandaran tangan Nathan. Aku ingin akulah yang dibujuk Nathan seperti itu. Bukan Jinan.

tapi aku lumayan terhibur karena Nathan melambat kan jalannya lagi dan berjalan bersamaku. Kami mengobrol kan banyak hal. termasuk rencanaku untuk kuliah di Jakarta saja. Nathan memberiku masukan dan beberapa pili han jurusan yang menarik minatku.

Aku hampir menabrak Jinan yang berhenti tiba-tiba setelah melangkah dari eskalator di lantai lima. " Jinan, apa-apaan...," pertanyaanku tak selesai karena aku melihat apa yang membuat Jinan berhenti tiba-tiba.

Di Starbucks depan sana aku melihat Papap tertawa bersama seorang perempuan. Pemandangan itu tak akan membuat kami kaget jika Papap tidak melingkarkan tangannya di bahu perempuan itu. Mereka berdua terlihat... akrab.

Aku dan Jinan berdiri mematung, memandang titik yang sama, sementara Nathan mengikuti arah mata kami. Aku tak tahu sudah berapa lama kami bertiga berdiri seperti itu hingga sosok yang biasa kami panggil Papap menolehkan kepalanya ke arah kami dan terkejut.

tiba-tiba saja Jinan merangsek maju, berdiri di depan Papap yang masih duduk dengan ekspresi terkejut. Aku sudah ngeri membayangkan Jinan akan meninju Papap seperti yang dulu biasa ia lakukan jika marah pada seseorang. Maksudku, ayolah. Ini Papap. Sebrengsek apa pun dia, dia tetap ayah kami.

Kekhawatiranku tak terbukti ternyata. Jinan berdiri mematung di depan Papap yang juga tidak bergerak. Seperti ada yang memencet tombol pause dan semesta berhenti bergerak saat itu juga. Aku berdiri kaku di tempatku, memandangi Jinan dan Papap. Lalu, tiba-tiba saja tombol play dipencet. Waktu berputar lagi. Semesta bergerak dengan semestinya. Jinan berbalik, berlari cepat ke arah eskalator, meninggalkan kami semua yang masih terpaku di tempat kami masing-masing.

" Jinan!" kudengar Nathan berseru mengejar Jinan. Aku masih berdiri memandangi Papap sebentar, berusaha mengirim seribu sinyal kebencian. Setelah itu aku bergegas menyusul Jinan dan Nathan.

Di dalam taksi Jinan menangis, menangis, dan terus menangis. Dia setengah meringkuk di kursi belakang sopir. Aku yang duduk di sebelahnya hanya memandang keluar jendela. Aku teringat Mamam. Aku teringat saatsaat yang kami lewati tanpa kehadiran Papap dan itu berarti hampir seluruh hidupku dan Jinan. Sekarang aku mengerti. Kepingan-kepingan puzzle yang dulu tak bisa dimengerti karena terpecah-pecah sekarang mulai terbentuk. Memberikan satu pemahaman baru yang sangat menyakitkan.

Jinan langsung menghambur keluar taksi begitu kami tiba di depan rumah. Aku mengobrol sebentar dengan Nathan di depan gerbang.

" Sebenarnya aku bingung harus ngomong apa," katanya.

Aku berusaha untuk tersenyum. " Pulanglah. Besok saja kamu datang ke rumah seperti biasa. Dan bersikap biasa saja. Mungkin itu akan menolong kami," kataku lirih.

Nathan mengangguk. Dia menepuk lenganku beberapa kali kemudian berjalan. Aku memandangi sosoknya yang semakin mengecil lalu lenyap di tikungan jalan. Kubuka gerbang dan berjalan lunglai ke dalam rumah. Pintu utama kukunci begitu aku masuk. Dan kulihat kamar Mamam terbuka separuh. Aku berdiri di ambang pintu melihat Jinan memeluk Mamam yang menangis.

Oh, malam yang sempurna.

Aku masuk ke dalam kamarku, berbaring, memejamkan mata, dan memijit keningku yang berdenyut. Ingatanku berpindah dari satu kotak waktu ke kotak yang lain. Aku lebih suka menyusun kenanganku berdasarkan urutan kejadian. Agar lebih mudah saat aku membutuhkannya. Setidaknya itu yang kupikirkan tentang sistem kerja otakku. tapi sekarang ini aku menarik semua kotak kenangan dengan label " Papap" .

Aku masih sangat kecil waktu itu. Empat atau lima tahun? Aku tak bisa mengingat angka pastinya. tapi aku ingat, kenanganku tentang Papap yang ini termasuk kenangankenangan awal yang berhasil kubekukan. Selama ini aku lebih memilih untuk menyimpannya di sudut paling jauh hingga susah kujangkau dalam gudang memoriku.

Jinan sekitar enam atau tujuh tahun. Aku masih ingat Mamam menyeret Jinan agar mengikuti langkahnya mengejar Papap. Papap bergegas keluar dari rumah, menyeberangi halaman depan yang tidak begitu besar, kemudian membuka pintu gerbang. Mamam mengikuti di belakangnya. Aku melihat semua itu dari balik jendela. Jinan menangis. Kaki kecilnya berlari-lari mengikuti langkah Mamam.

Gerbang rumah kami tak begitu tinggi. taksi yang terparkir di luar bisa dilihat jelas dari tempatku mengintip di balik jendela. Papap masuk ke dalam taksi. Mamam mengetuk-ngetuk pintunya. tapi tak ada yang terjadi selain taksi yang perlahan melaju.

Mamam ambruk di jalan beraspal. tangannya melepaskan tangan Jinan. Ia menangis dengan kedua tangan menahan beban tubuhnya di aspal. Jinan masih ber diri. tangisnya semakin keras.

Aku tak tahu kelanjutan cerita itu karena aku masuk ke dalam kamar dan mengambil Barbie dan Ken, dan mulai mengganti-ganti baju mereka. Sering aku berharap aku dilahirkan menjadi Barbie. Dia cantik, punya banyak baju bagus, dan punya pacar tampan. Dunianya sempurna, tanpa cela. Dan kau tahu, Barbie tak punya orangtua yang sering bertengkar....

Aku menyusut air mata yang mulai mengalir. Apakah sebetulnya aku sudah tahu apa yang terjadi dalam keluarga kami sejak dulu? Apakah memang aku sudah tahu seperti apa Papap sebetulnya sejak kecil? Apakah aku berusaha mem blokir semua kenanganku? Dan aku berpura-pura se mu anya baik-baik saja? Apakah aku menyangkal semuanya?

Isakku bertambah keras. Aku berbaring miring, memeluk lututku. Meringkuk seperti yang biasa Jinan lakukan.

Aku dan Jinan lebih besar saat itu. Aku kelas tiga, Jinan kelas lima. Kami duduk di kursi yang sebetulnya terlalu tinggi untuk kami berdua. Di depan kami duduk Papap dan seorang perempuan cantik" bukan Mamam. Mereka mengobrolkan hal-hal yang tak aku mengerti. Aku tak tahu apakah Jinan mengerti apakah tidak. Aku juga sudah lupa makanan apa yang aku makan dan minuman apa yang aku minum.

yang kuingat sepulang dari restoran itu Mamam marah besar. Mamam bertengkar hebat dengan Papap. Aku masih ingat aku diam di kamar, mengeluarkan Barbie dan Ken dan mendudukkan mereka di dapur dalam rumah-rumahan mereka yang luas. Kursi-kursi berwarna pink. Piring, gelas, meja dan semuanya berwarna pink. Hanya makanan mereka saja yang berwarna lain. Kalkun panggang yang kecokelatan. Soda yang nyaris pekat. Salad yang didominasi warna hijau. Barbie dan Ken makan dengan tenang.

Di luar Jinan menangis. Aku bisa mendengar suara tangis nya yang keras. Kemudian suara pintu berdebam. Papap tak terdengar lagi suaranya. yang tersisa dari perteng karan tadi hanyalah isak tangis Mamam dan Jinan. Semen tara aku tetap meneruskan bermain bersama Barbie dan Ken.

Bantalku sudah basah. Aku bangkit dari posisi semula lalu mengganti bajuku dan berbaring kembali. Lampu yang kumatikan membuat bintang-bintang kecil yang kutempel di langit-langit kamar menjadi terang. Aku menyeka air mata yang tak bisa berhenti ini. Aku merasa bodoh karena sebetulnya selama ini aku sudah tahu apa yang terjadi. Dan aku merasa sangat bersalah pada Mamam, pada Jinan, karena aku terus lari dari kenyataan. Secara tidak sadar aku belajar untuk menyelamatkan diriku sejak kecil. Barbie dan Ken menyelamatkan hidupku. tapi pada saat yang sama membuatku terasing dari dunia Mamam dan Jinan. *

Aku tak tahu apa yang Jinan lakukan siang itu. Di mata Papap saat itu aku adalah anak manis, yang penurut dan tak banyak tingkah. Sedangkan Jinan sebaliknya. Dia akan melakukan apa pun yang bisa membuat Papap marah. Jika Jinan dilarang main hujan-hujanan, bisa dipastikan Jinan akan bermain di bawah hujan selama berjam-jam. Jika Jinan dilarang makan es krim, dia akan menghabiskan seluruh uang jajannya selama satu minggu untuk membeli satu kotak besar es krim dan meletakkan kotak kosongnya di meja makan agar Papap tahu.

Siang itu aku bermain di rumah Ana, teman sekelasku, yang berjarak hanya beberapa rumah dari rumah kami. Aku lupa membawa seluruh koleksi baju Barbie. Aku pun pulang ke rumah untuk mengambilnya. tapi gedoran dan tangisan dari kamar mandi menarik kakiku ke sana. Aku berdiri diam di depan pintu kamar mandi, berusaha mendengarkan tangisan dari dalam. Itu tangisan Jinan. tak salah lagi. Aku bergidik ngeri membayangkan Papap menyeret tubuh kecil Jinan ke dalam kamar mandi dan menguncinya dari luar.

" Jinan?" aku berbisik, berharap Jinan mendengarnya. Aku tak ingin Papap mendengarku. Aku tak ingin membuat Papap marah.

" Cesa," sahut Jinan di sela isak tangisnya. " Buka pintunya, Cesa. Buka."

Aku mencari kunci di sekitar kamar mandi, di dapur, di seluruh penjuru rumah. tapi tak ada. Aku merasa sangat takut. takut tak bisa menolong Jinan. takut Papap marah karena aku mencoba menolong Jinan.

Akhirnya aku mengambil apa yang harus kuambil sebelumnya; satu set koleksi baju Barbie. Kemudian pergi ke rumah Ana. Aku berpura-pura tak pernah berusaha mencari kunci itu. Aku berpura-pura tak pernah mendengar isak Jinan. Aku berpura-pura tak pernah memanggil namanya.

Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Apakah Papap akhirnya mengizinkan Jinan keluar dari kamar mandi, entah setelah sekian jam. Apakah Mamam yang akhirnya menolong Jinan, entah dengan membujuk Papap atau karena Mamam memiliki kunci duplikat. Aku tak tahu. Dan aku tak ingin tahu.

Saat kami berdua akan tidur, aku berbisik, " Jinan, maaf."

Dia tak mengatakan apa pun. Matanya masih bengkak.

Malam itu aku tidur dan bermimpi dikejar bayangan hitam yang mengerikan.

Entah sudah berapa jam berlalu, Jinan belum kembali ke kamar tidurnya. Rolling door itu dibiarkan terbuka sejak kemarin. Jadi aku akan tahu jika Jinan sudah kembali ke kamar. Mataku kembali memandangi bintang di langitlangit kamar. Bayangan Jinan muncul di langit-langit itu. Dia yang sedang menangis. Dia yang tertawa. Semua berganti-ganti. Seperti slide gambar yang diprogram secara otomatis.

usiaku dan Jinan hanya terpaut sebentar, tapi hidup kami sama sekali lain. Sejak masih sangat muda, kami diperlakukan lain oleh Papap dan Mamam. terkadang aku merasa sangat kasihan pada Jinan. Dia dipaksa untuk mengerti Papap dan Mamam pada saat yang bersamaan. Dia tak pernah diberi kesempatan untuk mengerti dirinya sendiri.

Dunia ini sungguh tidak adil. Dan Jinan sudah sangat sering membuktikannya.

ef

enam

V endetta terlihat berdiri di gerbang sekolah. Dia

menungguku. Aku tahu dari pesan yang dikirimkannya tadi pagi-pagi sekali. Aku tak membalasnya karena sedang tak punya energi untuk melakukan banyak hal. Jika aku Jinan, aku pasti sudah membolos pagi ini dan kelayapan di mal ( Jinan berani membolos, tapi dia pasti pergi ke Perpustakaan Nasional). tapi aku selalu tak punya nyali untuk melakukan hal-hal seperti yang biasa Jinan lakukan. Jadilah aku tetap pergi ke sekolah setelah drama semalam (atau harus kusebut tragedi? Memergoki papamu pacaran dengan perempuan lain itu tragedi, bukan? Atau ironi? Aku jadi bingung).

" Kamu nggak balas pesanku sejak semalam," kata Vendetta saat aku berjalan melewatinya.

Aku tak berhenti sedikit pun. Dia yang mengejarku dan mengikutiku berjalan ke dalam sekolah.

" Aku sedang nggak enak badan, Ven," jawabku. " Padahal aku ingin menawarimu pergi ke midnight sale. Mamaku pergi. Jadi kupikir kamu juga akan pergi dan aku bisa mengantarmu," katanya lagi.

Oh, bagus. tekadku sudah bulat tadi pagi saat aku membuka mata bahwa aku akan melupakan apa pun yang berkaitan dengan insiden midnight sale dan sekarang Vendetta menyebutnya seolah-olah midnight sale sesuatu yang sangat menyenangkan dan patut didambakan.

" Kamu pergi?" tanyanya lagi setelah menunggu beberapa detik dan tak ada jawaban satu pun yang keluar dari mulutku.

Aku menggeleng. Kulihat sosok Sisil di kejauhan. Dia menungguku beberapa meter dari pintu kelas. tak pernah sebelumnya aku sebahagia ini melihat dia.

" Lalu kapan kita nonton lagi?" Vendetta menghentikan langkahnya dan memegang satu tanganku.

Aku terpaksa berhenti, menatap Vendetta, dan mencoba memilih kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaaannya.

" Aku bakalan hubungin kamu kalau memang ada ilm yang bagus untuk kita tonton," jawabku sambil tersenyum.

Ven ikut tersenyum." Kuharap secepatnya." " Aku berharap yang sama," kataku sambil melepaskan tanganku dari tangan Ven. " Aku udah ditunggu Sisil," mataku memandang Sisil. Ven mengangguk. " Oke, kapan-kapan kita ngobrol lagi," katanya. Aku melambaikan tangan dan meninggalkan Vendetta yang masih berdiri memandangiku.

" ya tuhan, dia jatuh cinta beneran ya sama kamu," Sisil menyambutku dengan satu kalimat yang akan membuatku bahagia jika semalam tak ada kisah tragis. Atau ironis.

" Kamu mau? Ambil saja," kataku mencoba melucu. Sepertinya aku harus membuat lelucon sebanyak mungkin hari ini untuk bisa bertahan hidup satu hari lagi.

Sisil tertawa. " Kalau Ven mau, aku sih mau saja. tapi dia kan maunya sama kamu."

" Nah, itulah. Sayangnya begitu," kataku lagi. Kami berdua tertawa-tawa.

" Menurutmu kenapa Ven suka sama aku?" tawa masih tersisa saat aku menanyakan itu. tak perlu waktu lama bagi Sisil untuk menjawab pertanyaan tidak bermutu itu. " tentu saja karena kamu cantik, pintar dan baik hati." Aku tersenyum. Jawaban standar yang selalu diulang. Baik hati? Jika aku betul-betul baik hati, aku tak akan pernah meninggalkan Jinan. Aku tak akan mening galkan nya terkunci di kamar mandi seharian. Aku tak akan membiarkannya diseret Mamam yang mengejar Papap. Aku tidak baik hati. tuhan tahu itu.

Nathan menghampiriku yang duduk di sofa. Dia mengempaskan dirinya di sampingku dan menyodorkan satu keping dvd.

" Steve Irwin. Mau nonton nggak?" dia meringis. Aku bersorak. tentu saja mau. Ada banyak alasan kenapa aku sampai bersorak. yang pertama, karena aku menyukai Steve Irwin. yang kedua, karena aku menonton berdua dengan Nathan. Berdua saja. yang ketiga, karena Nathan membawakannya khusus untukku. Dia bisa saja kan menonton dvd itu sendirian di kosnya. tapi dia membawanya ke rumah dan mengajakku menontonnya. Apa coba yang lebih romantis dari itu?

Hampir dua jam aku merasa begitu bahagia. Kami menon ton tanpa gangguan. Betapa sempurna. Kami saling mengomentari apa pun yang membuat kami terkesan, lalu menambahkan usul-usul yang menurut kami akan membuat ilm dokumenter itu menjadi lebih keren. Selama dua jam itu hampir saja aku berpikir Nathan menyukaiku. Iya, aku hampir berpikir Nathan jatuh cinta padaku. Bukannya Jinan.

" Jinan sekarang lagi pacaran nggak sih?" tanya Nathan tiba-tiba, yang membuat bunga-bunga di dalam hatiku langsung layu.

" Loh kan kamu teman dekatnya. Masak kamu nggak tahu," aku menjawabnya sambil tertawa kecil. Jawaban basi, tapi aku perlu tahu sejauh mana Nathan tahu tentang kisah cinta Jinan.

" Setahuku sih enggak pacaran sama siapa-siapa. Kan setiap hari sama aku terus di kampus. Di rumah juga bareng aku. Setahuku Jinan enggak kencan sama siapasiapa. Dia juga nggak pernah terima telepon lama kayak orang pacaran. Dia juga jarang lihat ponselnya."

" Nah, kamu sudah tahu jawabannya kan?" kataku pahit. Rasanya satu genggam pil dimasukkan ke dalam mulutku barusan.

Mata Nathan menerawang. " Kamu tahu dia lagi naksir siapa?" tanyanya lagi.

Aku mengangkat bahu. untuk sesaat aku merasa sangat marah karena ternyata Nathan menyogokku dengan ilm dokumenter Steve Irwin untuk bertanya macam-macam tentang Jinan. Padahal sebetulnya dia kan bisa tanya sendiri. Mereka sudah dewasa. Sudah kuliah. Bukan anak SMP lagi yang butuh comblang atau bagaimana.

" Lalu bagaimana dengan tatsuya, takuya, atau mantannya. Siapa nama mantan Jinan?" tanya Nathan.

Aku menjawab pertanyaan itu dengan malas. Menjelaskan satu demi satu cowok yang disebutkan Nathan. tatsuya Sensei di kursus bahasa Jepang yang mengingatkan Jinan akan takuya, cowok yang pernah ditembaknya dulu, dan yang langsung menolaknya.

Sedangkan Abim, aku tak bercerita banyak tentangnya. Aku hanya tak ingin Jinan mengira aku membeberkan kisah hidup yang ingin dihapusnya itu. Jinan pernah bilang jika tuhan memberinya kesempatan sekali untuk meminta apa saja, dia menginginkan penghapus ajaib yang bisa menghapus bagian hidupnya bersama Abim.

Jika tuhan membolehkanku meminta apa saja, aku tak minta sesuatu yang seperti itu. Aku hanya minta Nathan menyukaiku, alih-alih menyukai Jinan. tapi seperti Jinan yang tidak mendapatkan penghapus ajaib itu, aku pun tak mendapatkan hati Nathan. Dia tetap menyukai Jinan.

" Apa Jinan masih menyukai Abim?" ada nada sedih dalam suara Nathan. Dia hampir tidak pernah mengeluarkan nada seperti itu selama aku mengenalnya. Sekali lagi aku mengangkat bahu.

" Kamu tahu gimana perasaan Jinan ke aku?" Aku harus mengangkat bahu berapa kali sih? " Jinan hanya cerita apa yang ingin diceritakannya," kataku.

Nathan mengangguk-angguk, lalu matanya melihat ke arah tV plasma yang memutar ulang dvd Steve Irwin secara otomatis.

" Kenapa kamu suka Jinan?" tanyaku. Aku tahu itu pertanyaan tidak bermutu. Pertanyaan yang cheesy. Karena sebetulnya aku tahu kalau cinta ya cinta saja. Suka itu ya suka saja. Enggak perlu banyak alasan. tapi aku nggak tahan untuk nggak tanya. Aku betul-betul penasaran apa yang membuat Jinan begitu menarik di mata Nathan.

Dulu aku pernah menanyakan hal serupa pada Nathan. Kenapa dia mau berteman dekat dengan Jinan sementara sebagian besar teman lain memilih untuk menjauhinya. Dan saat itu Nathan menjawab karena Jinan tak pandai berpura-pura. Apakah Nathan akan memberiku alasan yang sama kenapa ia jatuh cinta pada Jinan?

Nathan memandangku dan tersenyum. untuk satu detik aku yakin melihat binar di mata Nathan. Aku betulbetul iri dengan Jinan. Banyak cowok yang menyukaiku tapi tak pernah ada binar di mata mereka saat membicarakanku. Jinan hanya punya satu penggemar saja. tapi yang satu itu, penggemar berkelas macam Nathan. Dan oh ya tuhan, ada binar saat membicarakan seseorang itu sangatlah keren.

" Hampir semua cowok bilang Jinan itu aneh. Karena dia terlalu terus terang. Karena dia selalu bilang apa yang ada di otak dan hatinya. Kayaknya kamu pernah bilang ini ke aku," kataku.

" Itulah yang membuatku menyukai Jinan," kata Nathan.

Aku memandang Nathan dan tersenyum. " Alasan yang sama ya kenapa kamu mau berteman dekat dengannya?"

Nathan balas tersenyum. " Aku sudah pernah bilang ya?" Matanya menerawang sebentar, lalu melanjutkan, " Begini. Aku akan mengutip kata-kata temanku, Nidya. Dia pernah bilang, menemukan cewek seperti Jinan yang lack of puritan modesty itu sangat menyegarkan. Cewek yang tidak membatasi dirinya dengan nilai-nilai kesopanan yang terlalu berlebihan. Jinan seperti itu. Dia akan melakukan apa yang dia suka dan apa yang ingin dia lakukan. Jika dia suka cowok, dia akan mengatakannya tanpa memedulikan gengsi, harga diri, bahkan sakit hati yang akan diterimanya. Dia tahu resiko apa yang dilakukannya, tapi tetap saja melakukannya. Bukankah itu keren? Aku baru mengenal satu cewek yang seperti itu. Jinan." Nathan tertawa.

Nathan menyukai Jinan justru karena dia jujur, terus terang. Sementara cowok lain menganggap Jinan aneh, Nathan malah menyukainya. Jinan yang pemberontak dan keras kepala. Jinan yang tidak peduli apa pendapat orang lain. Jinan yang tak pandai berpura-pura. Jinan yang berkebalikan dengan aku, Princesa.

Kau tahu kan, Jinan menginginkan penghapus ajaib untuk menghapus bagian hidupnya bersama Abim. Sekarang ini aku sungguh ingin memiliki penghapus ajaib yang seperti itu. Lupakan aku pernah bilang kalau aku tak menginginkannya.

Aku ingin menghapus Jinan dari hidupku. *

" Menurutmu kenapa Aksel menyukaiku?" aku melemparkan pertanyaan cheesy tadi kepada Sisil sekali lagi dengan mengganti nama cowoknya.

Sisil tertawa." Kamu ingin mendengarkan pujian terus ya hari ini? tentu saja karena Princesa itu cantik, pintar dan baik hati."

Aku tertawa mendengar jawaban Sisil. " Oke, karena kamu sudah memujiku sejuta kali, nanti kutraktir makan siang."

" Asyiiikk. Aku ingin makan siomay!" pekik Sisil riang.

Seandainya saja Sisil tahu, aku mengharapkan jawaban lain kenapa Aksel menyukaiku. Jawaban yang tidak standar. Seperti jawaban milik Nathan.

Aku pulang agak sore. Aksel mengajakku mencoba kedai es krim baru dekat sekolah. Sebetulnya aku meng - khawatirkan Jinan. Sejak siang tadi aku coba menel ponnya, mengirim beberapa pesan WhatsApp tapi sepertinya ponselnya mati. Atau sengaja dimatikan.

Karena itulah aku menolak ajakan Aksel untuk lanjut menonton setelah selesai makan es krim. Kubilang aku harus mengecek Jinan di rumah. Mungkin dia sakit. Aksel mengangguk mengerti. Dia membuatku berjanji untuk nonton kapan-kapan.

Rumah sepi. Mamam masih di toko. tadi pesanku dibalasnya. Mamam bilang semua sudah baik-baik saja. Mamam juga sudah memasakkan makanan untukku dan Jinan seandainya Mamam harus pulang malam.

Kupanggil Jinan berulangkali tapi tak ada jawaban. Aku mengecek ke seluruh penjuru rumah. Jinan tak ada. Rasa was-was mulai menjalari hatiku. Kubuka pintu belakang. tempat terakhir dan satu-satunya yang belum kulihat. Dan di sanalah dia. Jinan duduk di ayunan bulat yang dibelikan Mamam sebagai hadiah ulang tahunnya bebe rapa tahun yang lalu.

Jinan sedang menatap langit saat aku menahan laju ayunan itu dengan tanganku dan melangkah naik ke atasnya. Aku duduk di depan Jinan. Kami duduk berhadapan dan untuk beberapa detik saling meneliti wajah masing-masing. Mata Jinan bengkak seperti biasanya jika dia menangis berjam-jam. Aku menghela napas.

" Kamu sudah baikan?" tanyaku. Ayunan mulai melaju lagi dengan dorongan dari kedua tanganku.

Jinan tidak mengangguk tidak pula menggelengkan kepalanya. Dia hanya memandangku tanpa ekspresi. " Kenapa semua laki-laki brengsek?"

Aku terkejut dengan pertanyaannya. Baru kali ini aku mendengar hal semacam itu keluar dari mulut Jinan. " Nathan enggak," jawabku akhirnya karena aku tidak tahu harus merespons dengan kalimat apa.

" Mamam memperlakukan Papap dengan sangat baik. Kamu tahu itu. Mamam tak pernah sekali pun marah. Apa pun yang Papap lakukan, Mamam tetap diam. Dia menyimpan semua kesedihannya sendiri. tapi Papap... Aku nggak ngerti. Apa sih yang Papap cari? Kenapa dia harus menyakiti Mamam lagi dan lagi? Kenapa dia jarang sekali pulang? Kenapa dia bahkan tak ada untuk kita anakanaknya?"

Aku juga nggak ngerti, Jinan.

Kupandangi sedikit biru yang masih tersisa di langit. Angin yang berhembus dan biru yang semakin hilang menandakan sebentar lagi petang datang. Aku menunggu kata-kata Jinan selanjutnya.

" Papap brengsek. Abim juga," kata Jinan lagi. Aku diam, tak tahu harus bilang apa.

" tapi ada yang lebih brengsek lagi," katanya sesaat setelah memandangiku.

" Siapa?" alisku terangkat.

" Aku," Jinan tertawa sedih. Dia bisa melakukan itu. tertawa saat dia bersedih. " Aku ini brengsek sekali. Sudah tahu Abim itu cowok brengsek, tetap saja aku kangen dia."

Jinan lalu tertawa. Entah apa yang ditertawakannya. Menertawakan dirinya sendiri yang tolol karena tetap merindukan Abim (menurutku tolol lebih tepat dibandingkan brengsek). Ataukah menertawakan dirinya yang jatuh cinta sedemikian rupa pada Abim.

Aku jadi memikirkan diriku sendiri. Dan Nathan. Aku menyukai Nathan. Aku tahu Nathan menyukai Jinan. Dan apakah aku akan menjadi cewek tolol karena tetap menyukai Nathan meski aku tahu dia tak menyukaiku? Meski aku tahu aku sering merasa cemburu dan sakit meli hat bagaimana dia menyukai Jinan.

" Kamu pernah baca Pablo Neruda?" mata Jinan memandangku. Aku menggeleng. Pertanyaan retoris sebetulnya.

" Kadang aku tak mengerti diriku sendiri, Ces. Apa kamu mengerti dirimu sendiri dengan baik? Aku tidak. Seperti saat aku membenci Abim setengah mati, tapi pada saat yang bersamaan aku mencintainya," Jinan menghela napas. " Dulu aku tak mengerti saat membaca puisi Pablo Neruda. tapi sekarang aku mengerti," kalimatnya berakhir dengan senyum.

" Kamu ingin dengar puisi yang kumaksud itu?" tanya Jinan. Aku mengangguk.

Begini bunyinya, " You must know that I do not love and that I love you, because everything alive has its two sides; a word is one wing of silence, ire has its cold half." Jinan mengucapkan penggalan puisi itu dengan lancar, seolah ia yang menulisnya. Dan tanpa kuminta ia melanjutkan terjemahan penggalan puisi itu, " Kau mesti tahu bahwa aku tak mencintaimu dan bahwa aku mencintaimu, sebab segala sesuatu yang hidup mempunyai dua sisi; sepatah kata adalah satu sayap dari keheningan. Api mempunyai separuh dingin." Jinan mengakhiri deklamasi singkatnya dengan senyuman.

Aku pun ikut tersenyum. Jinan bisa menghafal kutipan sepanjang itu jika dia benar-benar menyukainya. Dulu pernah sekali aku berusaha membuktikan kata-kata yang dikutip Jinan dari buku. ternyata kalimat yang dikutipnya memang ada di buku dan persis sama. Aku tak pernah berusaha menghafal seperti itu. Otakku kugunakan hanya untuk menghafal pelajaran di sekolah.

" Mungkin Mamam juga seperti itu ya," kata Jinan lirih.

" Maksudmu mencintai Papap dan pada saat yang sama tidak mencintainya?" aku memandang Jinan yang kini bersandar di kursi ayunannya.

Jinan mengangguk. " Jika tidak begitu, mana mungkin Mamam masih bertahan dengan Papap, kan? Sebenci apa pun, pasti Mamam masih mencintai Papap," kata Jinan lalu terdiam. " Oh atau mungkin seperti yang dikatakan Bun da teresa," dia menjentikkan jari seolah teringat sesuatu yang penting.

" Memang apa katanya?" tanyaku sambil membayangkan sosok Bunda teresa.

" Aku tak begitu ingat bahasa Inggrisnya. tapi kira-kira begini. Dia bilang, aku telah menemukan paradoksnya. Jika kau mencintai seseorang sampai terasa sakit, maka tak akan ada lagi rasa sakit, yang ada hanya lebih banyak lagi rasa cinta."

Kata-kata Jinan seperti melayang-layang di kepalaku. Memang bisa ya seperti itu? Aku tak habis pikir.

" Papap sudah nggak akan pulang ke rumah kita lagi?" tanyaku, teringat Papap.

Jinan menggelengkan kepala. " Nggak tahu. Lagian ada Papap atau tidak, sama saja, kan?"

Aku mengiyakan. Kenanganku bersama Papap sangat sedikit. Jika dia pergi dari hidupku pun, tak akan jauh berbeda.

" Kamu sudah tahu apa yang terjadi sejak lama?" tanyaku pada Jinan. Aku tahu juga bahwa pertanyaan ini sungguh retoris. tapi aku tak tahu bagaimana cara menanyakannya. Maksudku aku ingin tahu segala sesuatunya dengan lebih jelas. Aku tahu Jinan lebih tahu dariku dan sekarang sudah tiba waktuku untuk mengetahui segala yang terjadi di keluarga kami. Aku tak ingin lari lagi seperti yang kulakukan selama ini.

Jinan menarik napas panjang, menahannya sebentar lalu mengembuskannya perlahan. Dia menarik garis cerita keluarga kami sejak sangat awal. Papap dan Mamam bertemu di bar atau kafe atau semacamnya. Cerita klasik yang banyak beredar. Papap bersama teman-temannya. Mamam datang ke sebuah reuni kecil. Bertemulah mereka. Cerita selanjutnya mudah sekali ditebak. Saling tertarik. Mengobrol. Minum terlalu banyak. Menginap bersama. Dan jadilah Jinan.

Aku tak dapat menyembunyikan rasa terkejutku. Jinan sudah ada bahkan sebelum Papap dan Mamam resmi menikah? Mereka menikah karena Jinan ada?

" Itu kenapa Papap keras sekali sama aku sejak kecil. Dia benci aku," Jinan tertawa.

Jinan bilang Papap sebetulnya memiliki rencana untuk melanglang buana. Dimulai dari Paris, kota yang sangat ingin dikunjunginya. tapi gara-gara Jinan, Papap tak bisa melanjutkan rencananya. Gara-gara dia, Papap harus tinggal di Indonesia dan harus puas dengan pekerjaannya yang sekarang.

" Omong kosong," sahutku marah.

Sejak kecil aku tahu Papap suka sekali melemparkan kesalahan pada orang lain. Dia tak pernah mau sedikit pun bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya atau yang diucapkannya. Dia manusia yang tak pernah salah. Dia pikir seperti itu. tapi aku tidak mengira Papap akan sejahat itu.

Ayolah, Jinan ada kan bukan salah dia. Memangnya kami minta dilahirkan? Memangnya kami bisa memilih lahir di keluarga mana? Aku yakin jika Jinan diberi pilihan, dia tak akan mau menjadi anak Papap. yah, siapa sih yang mau dijadikan kambing hitam atas kegagalan hidup seseorang terus-terusan?

Sebetulnya kan Papap tetap bisa keliling dunia. Ajaklah Mamam. Ajak Jinan. Dia akan jadi orang hebat jika memang dia hebat. tapi kenyataannya, mengurus anak istrinya saja tidak becus. Aku jadi jengkel sekali.

" Lalu kenapa Papap memperlakukanku berbeda?" geramku.

" Nggak tahu," jawab Jinan pendek.

Papap, dan juga Mamam, memang memperlakukanku berbeda dengan Jinan sejak kami kecil. Aku tidak mengerti mengapa bisa seperti itu. Jinan akan dihukum seberatberatnya setiap kali melanggar aturan. Dan setiap kali dihukum, Jinan akan melanggar lebih banyak lagi aturan. terus seperti itu. Sedangkan aku tidak. Apakah karena aku tak pernah membuat Papap dan Mamam marah, jadi me reka memperlakukanku dengan baik? tapi tetap saja tidak adil karena Mamam selalu menyeret Jinan untuk menemaninya saat dia mengejar Papap yang pergi dari rumah.

Jinan menceritakan itu. Bagian Papap pergi karena perempuan lain dan berencana meninggalkan Mamam dan anak-anak. Aku terkejut. Kupikir selama ini alasan Papap pergi dari rumah adalah urusan pekerjaan. Bukankah Papap peneliti yang harus sering-sering ke luar kota? Jinan tertawa mendengar kata-kataku. Dia bilang aku terlalu naif.

Rasanya aku ingin meminta Jinan berhenti bicara saat dia menyebutkan sederet nama perempuan yang pernah terlibat afair dengan Papap. Kenapa daftarnya sepanjang itu? Dan kenapa aku tidak tahu? Karena aku selalu me nutup mata. Karena aku selalu melarikan diri bersama Barbie dan Ken. Aku tak mau tahu. Aku selalu berpura-pura tak tahu. Kurasa aku tahu jawabannya.

" Mamam tahu semua itu?" tanyaku lirih, takut mengetahui kebenarannya.

Jinan mengangguk. " Mamam tahu semuanya." " Lalu kenapa Mamam nggak minta cerai? Atau apalah," aku nyaris berteriak karena frustrasi.

Sebelum bertemu Papap, Mamam sudah memiliki bisnis toko kue. Mamam bisa hidup tanpa Papap secara inansial. Dia tak akan kekurangan. Dia bukan perempuan yang mengandalkan suaminya untuk bisa hidup. Selama ini hal itulah yang membuatku bangga sama Mamam. Bahkan pernah aku bertanya-tanya, sebetulnya apakah Papap menafkahi kami sekeluarga setiap bulan? uang sekolahku dan Jinan, uang jajan kami, siapakah yang memberi? Papap atau Mamam?

" Kamu tahu, Cesa. Menurutku Mamam jauh lebih hebat dari para feminis itu," Jinan tersenyum. " Para feminis pasti akan mencibir Mamam yang mau saja di perlakukan seperti itu. Mereka pasti gemas kenapa Mamam mau saja dibodohi seperti itu. Atau mungkin mereka malah menganggap Mamam itu bodoh sekali karena tidak mengerti hak-hak perempuan. Mungkin mereka berpikir Mamam tidak mengerti jika yang terjadi padanya sudah termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Mungkin seperti itu. Setidaknya itu yang kusimpulkan dari buku-buku feminisme yang kubaca selama ini." Jinan melanjutkan.

" tapi kalau kupikir-kupikir, Mamam mengerti semuanya. Mamam itu kan pintar. Selama ini dia bertahan. Dia bisa membuktikan bahwa dia bisa hidup tanpa Papap dan di saat yang sama dia menyelamatkan reputasi keluarga besarnya" dan kita, anak-anaknya. Minta cerai sejak dulu tentulah mudah. tapi bertahan sekian tahun, bukankah itu jauh lebih hebat? yah, meski begitu Mamam tetap saja manusia biasa. Ada banyak momen yang dia lewatkan sebagai ibu karena terperangkap kesedihannya. tapi buatku Mamam tetap hebat."

Jinan mengakhiri kata-katanya dengan senyuman lebar. Aku merapatkan tanganku di dada. Angin bertiup lumayan kencang. Malam sudah turun. Aku dan Jinan tak menyadarinya.

" Masuk, yuk," ajakku. " Gatal nih digigit nyamuk," kataku lagi seraya menggaruk kaki kanan.
Diary Princesa Karya Swistien Kustantyana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jinan melangkah keluar dari ayunan. Aku menyusulnya dan berjalan bersama ke dalam rumah.

Dapur terasa hangat dibandingkan udara malam di kebun. Aku beranjak mendekati lemari dapur dan mengeluarkan toples berisi susu cokelat.

" Aku ingin buat susu cokelat. Kamu mau apa? Kubuatkan," aku menawari Jinan.

" Kopi. Makasih."

" Aku mau susu juga," suara Nathan terdengar. Aku menolehkan kepalaku dan melihat Nathan sudah duduk di meja makan bersama Jinan. Aku tak mendengar langkah kaki Nathan.

" Bagaimana kamu bisa masuk?" tanyaku.

" Pintu depan nggak dikunci," Nathan meringis. " Lain kali jangan lupa kunci pintu ya."

" Aku nggak kunci pintu karena tahu kamu bakalan datang," kataku, menghampiri Jinan dan Nathan dengan nampan di tangan. Satu gelas kopi pekat untuk Jinan, satu gelas susu cokelat untuk Nathan, dan satu gelas untukku. " Gombal," Nathan tertawa mendengar kata-kataku. Aku meringis.

" Dari dulu dia gombal," ucap Jinan.

Aku melotot ke arah Jinan. Kadang aku ingin memplester mulutnya.

Jinan membuka tudung saji di atas meja. Mengambil piring dan memenuhi piringnya dengan nasi, ayam semur, sup, dan kerupuk. " Kalau mau makan, ambil sendiri," katanya ke arah Nathan.

Nathan mengangguk. Aku jadi kesal sama Jinan. Jika dia tak mau mengambilkan makanan untuk Nathan, aku mau kok. Dia kan bisa saja menyuruhku mengambilkan piring untuk Nathan, bukannya menyuruh Nathan mengambil sendiri makanannya. Jinan memang nggak romantis. (Berdasarkan cerita Jinan, aku pasti akan diprotes para feminis jika mengambilkan makanan untuk laki-laki itu dianggap romantis. Hidup ini bisa jadi sangat rumit ya.)

" Enggak dipanasin dulu?" aku memicingkan mata melihat Jinan makan dengan lahap. Aku tak pernah bisa makan makanan yang sudah dingin.

" Ngapain? Sama saja kok rasanya," sahut Jinan. Aku cemberut. Indera perasa Jinan sudah putus kukira. Nathan tertawa melihat kami berdua. Lalu, tiba-tiba Nathan memandangku dan bertanya, " Cesa, kenapa kamu nggak punya pacar lagi?"

Karena aku suka kamu! Jeritku dalam hati.

Aku balas memandang Nathan, tersenyum, dan menjawab pelan, " Kan harus fokus belajar untuk ujian nasional dan persiapan masuk universitas."

" Bohong," sahut Jinan cepat. Nathan tergelak. ugh. Bener deh, rasanya ingin membekap mulut Jinan saat itu juga.

" Itu taktiknya biar punya banyak cowok. Kalau jadian kan cuma sama satu cowok. Kalau enggak jadian kan bisa sama banyak cowok," kata Jinan panjang lebar. " Idih, sok tahu," cibirku.

Aku kesal sekali dengan Jinan. Gara-gara dia yang terlalu straightforward, kadang aku terpaksa malu. Jinan betul-betul tak bisa menyaring apa pun yang dikatakannya.

yah, kalau tahu bakalan seperti ini, dulu aku nggak akan mencegah Jinan bunuh diri. Ayo Jinan, bunuh dirimu sendiri sekarang juga!

ef

tujuh

S iang itu Mamam mengirim sebuah pesan singkat

untukku dan Jinan. Kami diminta pulang secepatnya setelah sekolah atau kuliah karena ada hal yang ingin dibicarakan. tak urung pesan itu membuat keningku berkerut. Hal apa yang begitu penting hingga aku dan Jinan harus pulang cepat? Mamam tak pernah seperti ini sebelumnya.

" Cesa." Aku menoleh ke arah suara di belakangku. Di sana berdirilah Aksel yang sedang tersenyum. tangannya dimasukkan ke dalam saku celana dan berjalan menghampiriku. " Nanti sore atau malam nonton yuk," ajaknya.

Aksel tak pernah memberiku tiket yang sudah dibelinya seperti yang dilakukan Vendetta. Kadang kami baru mengantri hari itu juga karena Aksel memintaku untuk memilih ilm yang ingin kutonton. Aku menyukai caranya memperlakukanku. Ditambah lagi Aksel selalu menjemputku di rumah jika kami pergi nonton. Dia menyetir sendiri mobilnya.

Jangan salah sangka. Aku bukan cewek matre kok. Aku tetap menyukai Vendetta meski aku harus naik taksi sendiri pulang pergi. tapi bagaimana pun dijemput dengan mobil pribadi itu jauh lebih nyaman. Kau pasti setuju denganku untuk hal yang satu ini.

Jika Ven menyukai gaya vintage, Aksel lebih suka segala sesuatu yang kasual. Jika Ven selalu ceriwis, Aksel tidak. Kadang kami berjalan dalam diam dan aku tak harus mencari-cari bahan pembicaraan dan dia oke-oke saja dengan hal itu. Aku suka yang seperti itu. Keadaanku akhir-akhir ini membuatku malas mengobrol panjang. Jadi sebetulnya pergi nonton dengan Aksel akan menjadi hal yang sangat menyenangkan (dibandingkan pergi nonton dengan Ven atau tinggal di rumah dan menonton dvd dengan Jinan).

Sedangkan soal isik, aku juga lebih suka Aksel. Dia jangkung, berkulit kecokelatan, berhidung mancung, berbibir bagus, dan yang penting tanpa kumis. Jadi sebetulnya aku punya banyak sekali alasan untuk pergi menon ton dengan dia nanti malam. tapi Mamam memintaku pulang cepat. Aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

" Wah, ide yang bagus!" seruku. " Sayangnya aku baru saja mendapat pesan ini," kutunjukkan ponselku agar Aksel dapat membaca pesan Mamam dengan jelas.

Binar di wajahnya meredup. " Sayang ya. Padahal aku kangen nonton sama kamu."

" Bagaimana kalau besok?" Binar di wajah Aksel kembali lagi. " Boleh. Aku masih bisa bersabar satu hari lagi."

Aku tertawa. " Sip. Sampai ketemu lagi besok." Aku baru berjalan dua langkah saat kudengar Aksel memanggil lagi.

Aku menoleh dan memandangnya dengan mata menyipit. Sinar matahari siang yang terik jatuh tepat di depanku.

" Aku mengosongkan jadwalku nanti malam. Siapa tahu kamu berubah pikiran. Nonton besok oke. Nonton malam ini jauh lebih oke," Aksel tertawa.

Aku terkikik. " Kamu pasti yang pertama kuhubungi jika aku perlu diselamatkan dari rasa bosan."

Kulambaikan tangan dan berjalan meninggalkan Aksel, menuju ke kelas.

Sisa hari itu di sekolah terasa lama sekali. Aku hanya ingin cepat pulang dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi agar perasaan khawatir yang menyesaki dadaku ini hilang.

Ketika tiba di rumah, aku menemukan wajah tegang Jinan dan Mamam di ruang makan. tak ada Nathan, dan itu berarti hanya satu hal; masalah atau apa pun yang ingin dibicarakan Mamam benar-benar gawat. Karena hei, Nathan kan sudah dianggap anggota keluarga ini. Dia selalu ada setiap hari. Bahkan aku akan merasa aneh jika sehari saja Nathan tidak ada di rumah kami. Seperti sekarang ini.

" Kamu ingin minum apa, Cesa?" Mamam bangkit dari duduknya begitu aku terlihat di ambang pintu ruang makan. " Duduklah dulu."

Aku tak menjawab pertanyaan Mamam, alih-alih memandang Jinan meminta penjelasan. Dia mengangkat bahunya. Jinan juga nggak tahu? Wow, benar-benar ada sesuatu yang sangat penting di sini. Biasanya Jinan tahu semuanya.

Aku duduk di sebelah Jinan, meneguk air dingin di gelas yang disodorkan Mamam. Jinan memainkan selembar brosur entah apa di meja. Dia melipatnya menjadi segiempat kecil, lalu membukanya, melipatnya lagi, dan membukanya lagi.

Mamam duduk di seberang meja, memandangi kami, menghela napas. Lalu, untuk waktu yang seperti seratus tahun lamanya, akhirnya Mamam berdeham, dan berkata, " Mamam ingin memberitahu kalian sesuatu. Mamam pikir lebih cepat kalian tahu, lebih baik."

Aku dan Jinan bergeming. Kami menunggu kalimat selanjutnya. Aku sendiri tidak tahu ke mana arah pembicaraan Mamam.

" Mamam dan Papap memutuskan untuk berpisah," Mamam mengatakannya dengan tersenyum, memandangi kami. Apakah senyum itu dimaksudkan untuk menenangkan kami? Bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kalau memang dimaksudkan seperti itu, senyum Mamam tidak berhasil.

Jinanlah yang pertama bereaksi. Wajahnya menampakkan rasa terkejut yang teramat sangat. " Kenapa sekarang? Kenapa nggak dari dulu?" katanya setengah berteriak.

Pertanyaan yang sama yang ingin kutanyakan. Bercerai atau tidak, keadaan kami toh sama saja. Ada Papap atau tidak, toh sama saja.

Mamam menghela napas. " Mamam sudah berusaha mengerti dan bertahan selama ini. Bukan hanya untuk Mamam sendiri, tapi juga untuk kalian. tapi sejak kalian melihat sendiri Papap seperti itu, Mamam pikir sudah saatnya Mamam memiliki hidup sendiri. Mamam berhak untuk itu, kan? Mamam berhak bahagia. Dan kalian sudah dewasa. Kalian pasti mengerti keputusan Mamam," kata Mamam halus.

Aku menunduk. Mamam benar. Atau setidaknya terlihat seperti itu. Jika memang itu membuat Mamam bahagia, kenapa tidak? Sudah terlalu lama aku melihat Mamam menangis dan menghabiskan malamnya sendirian. Lagi pula nggak ada bedanya kan. Mamam dan Papap tidak bercerai pun, Papap tidak pernah tinggal di rumah lagi. Kapan terakhir kali dia benar-benar ada di rumah dan berperan sebagai suami dan ayah yang baik?

tapi sepertinya Jinan tidak berpikir seperti itu. Dia bangkit dan menyingkirkan kursinya dengan kasar. Mamam ikut bangkit dan menyusul Jinan. Sebentar ke mudian terdengar pintu berdebam. Aku yang secara otomatis ikut mengejar Jinan melihat Mamam berdiri di depan pintu kamar Jinan. Rolling door ditutup dengan kasar. Suaranya lebih berisik dari biasanya.

Mamam bersandar di tembok dan memijit keningnya. " Maafkan Mamam."

tanganku bergerak menyentuh bahu Mamam. " Mamam pasti capek, kan? Istirahat saja, Mam. Cesa yang bujuk Jinan. Dia nggak apa-apa kok. Paling-paling kaget."

Mamam mengangguk lalu berjalan menuju kamarnya.

Aku masuk ke dalam kamar melalui pintu kamarku. Kututup pintunya dan aku menghampiri rolling door. Kuketuk sekali dan berkata, " Jinan kubuka ya pintunya."

tak ada sahutan. Aku membuka rolling door itu dengan hati-hati. Dan di sanalah Jinan seperti biasanya. Dia meringkuk. Dadanya naik turun. Isakan tangisnya terdengar memilukan.

" Jinan," tanganku meraih bahunya. Kutepuk beberapa kali. Isakannya bertambah keras.

" Aku jahat sekali, Cesa. Kenapa aku harus marah? Kenapa aku harus bersikap seperti itu? Kenapa aku tidak bisa tenang seperti kamu? Itu untuk kebaikan Mamam kan. Mamam pasti bahagia kan," katanya di sela isak tangis.

Aku diam menunggu kata-kata selanjutnya. tanganku masih menepuk-nepuk bahu Jinan. Setelah beberapa saat Jinan tidak melanjutkan kata-katanya, aku menghela napas. " Kamu hanya kaget, Jinan. Itu normal. Wajar sekali," kataku akhirnya.

" Enggak. Aku nggak normal. Kamu bisa tenang. Aku enggak," kata Jinan menggigil.

Aku memeluknya. Dia akan lebih tenang jika dipeluk. Aku tak mengatakan apa pun. Jinan tak memerlukan kata-kata apa pun dari mulutku. Dia hanya membutuhkan pelukan. Entah sudah berapa lama saat gigil itu menghilang dari tubuh Jinan. tapi dia masih terisak.

" Hei, nonton yuk," kataku dengan nada ceria. " tadi Aksel ngajak aku nonton. Ada ilm bagus katanya. Ayo, kita double date. udah lama kan kita nggak nonton bareng. Kayaknya seru kalau double date."

Apa yang kukatakan berhasil membuat Jinan berhenti terisak. " Aku sama siapa?" tanyanya.

" Nathan, dong. Masak iya sama Kenshin Himura," sahutku.

Jinan tertawa. " Aku maunya sama Himura-san." " Nanti, lain kali," kataku seraya mengusap pipi Jinan yang basah. " Sekarang kuberi kamu waktu lima menit untuk membasuh muka, ganti pakaian, dan berdandan. Lima menit itu lebih dari cukup." Aku mengedipkan mata.

Aku berjalan ke kamarku sendiri dan menelpon Aksel serta Nathan. Nathan setuju dan berkata sebentar lagi dia datang ke rumah. Kukatakan sedikit tentang keadaan di rumah saat ini dan dia bilang mengerti. Aku menarik napas lega. Lalu Aksel juga setuju untuk menjemput kami bertiga. Aku tak mengatakan apa pun tentang masalah keluargaku. Aku hanya mengusulkan double date. Dan tampaknya dia tidak keberatan. Dia bahkan terdengar nyaris gembira akhirnya bisa menonton denganku malam ini.

Bagus. Semua berjalan sesuai dengan yang kuharapkan. Setidaknya malam ini aku tak harus melihat Jinan menangis semalaman. Mungkin setelah pulang dari nonton Jinan terlalu lelah untuk menangis.

Nathan datang tiga puluh menit kemudian dan Aksel datang tak lama setelah itu. Aku menyelinap masuk ke dalam kamar Mamam dan meyakinkannya semua akan baik-baik saja. Jinan hanya butuh waktu untuk menerima keputusan Mamam. Aku juga meyakinkannya untuk tidak menemui Jinan hingga besok pagi.

Mobil melaju ke arah Bundaran HI. Aku memilih untuk menonton di Blitz Megaplex Grand Indonesia. Entah ya, dari sekian banyak mal di Jakarta, aku paling suka Grand Indonesia. Salah satu mal terbesar dan termewah dan tidak penuh sesak seperti Mal Kelapa Gading. Keru mun an orang yang terlalu banyak membuatku sakit kepala.

Jalanan cukup lengang hingga tak memerlukan waktu lama untuk tiba di sana. Seperti biasanya Nathan selalu pan dai mencairkan suasana. Dia bisa cepat akrab dengan Aksel meski ini pertama kalinya bertemu. Dia juga bisa membuat Jinan tertawa beberapa kali karena leluconnya.

Aku menarik napas lega karena sejauh ini semua berjalan baik. Aksel memandangiku berkali-kali dan dengan suara lirih yang hanya bisa didengar olehku, dia bilang aku ini cantik. terlintas dalam pikiranku untuk menjadikannya pacar. tapi kemudian saat aku melihat pantulan Nathan di cermin tengah, aku membuang jauhjauh pikiran itu. Oke, aku akan menjadikan Aksel pacar jika dan hanya jika Nathan jadian sama Jinan atau cewek lain. titik. Selama status Nathan masih menjomblo, aku rela-rela saja tidak berpacaran dengan siapa pun.

" Jinan, kamu ingin nonton apa?" tanyaku setelah kami berempat berdiri di depan layar yang menayangkan jadwal ilm.

Jinan terlihat berkonsentrasi memilih ilm dan aku membiarkannya. Sebetulnya bisa saja kami berpisah dan menonton ilm yang berbeda. Aku dengan Aksel dan Jinan dengan Nathan. tapi aku nggak mau kehilangan Jinan malam ini. Oke, mungkin aku parno, takut berlebihan. tapi entah ya, perasaanku tidak enak saja. Ingatan tentang Jinan dan pil warna-warni di kamar mandi masih membuatku parno. Apa pun bisa terjadi pada Jinan. Dia rapuh. Dia tidak stabil. Dia bisa melakukan apa saja, termasuk membunuh dirinya sendiri.

Setelah memutuskan akan menonton ilm apa, aku dan Aksel berdiri di antrian. Dia berdiri tepat di sampingku. Lengan kami bersentuhan. Aku bisa men cium wangi tubuhnya. Lalu, perlahan dan agak ragu, Aksel meraih tanganku. Aku tersenyum dan menyambut genggamannya.

Lagi-lagi aku membandingkan Aksel dan Ven. Aku lebih suka cara Aksel menggenggam tanganku. Hati-hati dan erat. Aku tak bisa mendeskripsikannya dengan lebih baik. Sementara genggaman tangan Ven terasa seperti genggaman biasa seorang teman. yah, bukan berarti aku biasa genggam-menggenggam tangan dengan semua teman cowok sih. Maksudku bukan begitu.

Rasanya baru satu detik aku merasa tenteram seperti itu saat tiba-tiba terdengar langkah berat menghampiriku dan Aksel. Sosok Vendetta berdiri di depan kami. Aku kaget dibuatnya. Napasnya putus-putus. Wajahnya terlihat sedikit suram. Lalu sebelum aku atau Aksel mengatakan sesuatu, Ven memandangku dengan penuh kebencian dan mendesis, " Bitch."

Aku terkejut. Dan lebih terkejut lagi saat Jinan tibatiba merangsek menembus kerumunan dan mencapai sosok Vendetta. Satu tangannya mencengkeram lengan Ven. Satu tangan lagi terangkat ke atas.

" APA KAMu BILANG?" Jinan berteriak. Kupikir cukup keras untuk membuat semua pengunjung melihat ke arah kami. Cukup keras pula untuk didengar petugas keamanan.

" Bitch," Vendetta mendesis lagi.

Oh bagus. Aku memejamkan mataku sejenak dan sedikit berharap begitu aku membuka mata semua ini hanya ilusiku semata. Semua ini enggak nyata. Semua ini halusinasi. Ilusi atau halusinasi. terserahlah.

Bukkk.

tepat pada saat aku membuka mata, yang kulihat adalah kepalan tangan Jinan ke pipi Vendetta. Dia terhuyung sebentar, lalu tegak berdiri lagi. tangannya balas menarik lengan Jinan. Nathan menarik tangan Ven dari tubuh Jinan. Sementara itu beberapa cowok yang semula berdiri di belakang Ven kini merangsek maju. Aksel melepaskan genggaman tangannya dan ikut berdiri di sebelah Jinan. Oh ya tuhan.

Satu menit kemudian kami sudah duduk di dalam sebuah ruangan yang aku yakin siapa pun tak ingin berada di sini. Ada dua petugas keamanan bersama kami. yang muda tidak berkomentar apa-apa. yang tua melihat kami sambil menggelengkan kepalanya berkali-kali. Dia pun berdecak seolah meratapi nasib generasi sekarang yang jauh lebih payah daripada generasinya dahulu.

Aku duduk di samping Jinan di sofa, memeluknya. Dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Dia menangis sedari tadi. Nathan duduk di sofa yang sama di samping Jinan. Dia menggenggam tangan Jinan. Aksel duduk di sofa di seberangku dan menggaruk kepalanya berulang kali. Aku merasa bersalah padanya. tidak seharusnya dia terlibat dalam drama malam ini.

Sementara itu pipi Ven lumayan bengkak. tinju Jinan akan membuatnya susah mengunyah selama beberapa hari. Matanya memandang keluar jendela. Wajahnya masih murka.

" Ckckck," decakan terdengar. Lalu menyusul tubuhnya yang agak gempal. Dia tampan, tapi gempal. Aku lebih suka laki-laki langsing.

Di name tag yang tersemat di dada sebelah kiri tertulis namanya. Andre. Nama pasaran. Dan posisinya. Manajer. Baguslah.

" Ada yang mau dengan sukarela cerita apa yang telah terjadi?" Andre tersenyum. Dia duduk di dekat Aksel.

" Cewek sinting itu memukul saya," kata Vendetta sambil menunjuk ke arah Jinan.

" Karena kamu menyebut adiknya pelacur," Aksel menyahut ketus.

" Saya tidak bilang pelacur," Ven melotot ke arah Aksel. Aku jadi bertanya-tanya. Sebenarnya mereka berdua saling mengenal tidak sih?

" Bitch! Sama saja, tolol!" Aksel balas melotot. Baru kali ini aku melihat Aksel melotot seperti itu. Baru kali ini juga aku mendengar nada bicaranya yang naik beberapa oktaf. Selama ini aku selalu melihat Aksel yang lembut dan menyenangkan. tapi aku bisa memakluminya. Siapa sih yang nggak kesal dengan sikap Vendetta?

Mata Andre berpindah-pindah antara Aksel dan Ven. Kemudian dia menghela napas. " Dan kenapa kamu menyebutnya bitch atau pelacur atau apa pun itu?" " Karena dia cewek saya!" teriak Vendetta sambil menunjukku. " tapi dia selingkuh dengan pergi sama dia!" Lalu Ven menunjuk Aksel.

Oh please. Aku memutar bola mataku. " Aku nggak pacaran sama siapa pun. Aku berhak untuk pergi dengan siapa saja. Ngerti?" kataku setengah membentak. Aksel memberiku tatapan kaget.

" Selama ini kamu juga jalan sama dia?" giliran Aksel menunjuk Vendetta.

Aku memutar bola mataku sekali lagi. " Kita tidak berkomitmen apa pun, Aksel."

Bagus sekali drama kali ini. Mungkin setelah hari ini aku akan hidup sebagai perempuan kesepian yang tak punya siapa-siapa. Aksel akan pergi. Vendetta akan hilang. Dan aku bakalan kesepian.

" Apakah dia baik-baik saja?" suara Andre membuat kami semua melihat ke arah Jinan. Dia sudah tak lagi menangis, tapi masih bersandar di bahuku. tangannya masih digenggam Nathan.

" tidak apa-apa, Pak. Hanya sedang ada masalah di rumah," Nathanlah yang menjawab.

" Kalian sekolah di mana?" tanyanya lagi. Dia masih memandang ke arah Nathan.

" Kuliah, Pak. Semester tiga," jawab Nathan tenang. " Perlu saya telepon orangtua kalian?"

" tidak, Pak. Kami akan langsung pulang saja." " Baiklah." Andre berdiri lalu menjabat tangan Nathan. Dia memandang kami semua. " Lain kali jangan membuat keributan lagi," katanya lalu pergi meninggalkan kami.

Aku menepuk pipi Jinan dengan lembut. " Ayo kita pulang."

Jinan bangkit dan mulai berjalan. Nathan menyusulnya dan menggandeng tangannya. Di saat yang normal aku pasti cemburu melihat pemandangan itu. Nathan menggandeng tangan Jinan. tapi tidak sekarang. Otakku harus tetap waras untuk berpikir. Kulihat Aksel masih duduk terpekur. Aku merasa tidak enak hati.

" Aku pulang dulu. Maafkan untuk semua," kataku lirih. Aksel memandangku.

" Kuantar kalian pulang," katanya. Dia berdiri dan berjalan keluar.

Hanya Vendetta yang masih duduk. Dia memandangiku dengan tatapan tajam. Aku balas menatapnya tapi tak mengatakan apa pun. Apa yang harus kukatakan pada seseorang yang membuat Jinan meledak seperti itu? Aku tahu dia tak bermaksud menyakiti Jinan. Dia ingin menyakitiku. Kebetulan saja Jinan mendengar dan marah karena aku diperlakukan seperti itu. Karena aku yakin Jinan berpendapat aku tidak pantas dimaki demikian.

Aku melangkah keluar menyusul Aksel. Dia berdiri menunggu, lalu berjalan bersama. Aku berterima kasih karena dia berbaik hati mengantarkan kami pulang. Dia bilang itu tak masalah. Lalu kami berjalan dalam diam.

Sepanjang perjalanan kami semua berdiam diri. Jinan memandang keluar jendela. Nathan memandang khawatir ke arah Jinan. Aku memandang keduanya sesekali melalui kaca mobil. Aksel kadang mencuri pandang ke arahku. Begitu terus hingga kami tiba di depan rumah.

" Maaf dan terima kasih," hanya itu yang Nathan ucapkan saat akan turun dari mobil. Jinan tak mengatakan apa pun.

" tak masalah," sahut Aksel tersenyum.

Setelah Jinan dan Nathan lenyap dari pandangan mataku, aku beralih menatap Aksel. " Maaf," hanya itu yang bisa kukatakan.

Lalu seperti " dam yang ambrol" , aku menangis terisakisak. Sudah sejak tadi aku ingin menangis. Sejak siang tadi saat aku duduk di depan Mamam dan mendengar keputusannya untuk bercerai. Sudah sejak itu pula dadaku ini sesak sekali. tapi aku tak bisa menangis. Aku tak boleh menangis. Aku harus kuat. Karena aku tahu Jinan lebih hancur daripada aku. Jika aku tak bisa menjadi kuat untuk diriku sendiri, setidaknya aku harus kuat demi Jinan.

Dan setelah apa yang terjadi seharian ini, aku tak tahan lagi. Pertahananku runtuh dan aku menangis di mobil, di depan Aksel. Aku menangis hebat. Air mata mengaburkan pandanganku. Aku tak bisa melihat Aksel. Aku tak tahu ekspresinya saat melihatku seperti ini. Apakah dia takut? Apakah dia bingung? Apakah besok dia tak mau lagi mengenalku di sekolah?

Perlahan kurasakan tangannya di bahuku. Menepuk bahuku berulang kali, persis seperti yang kulakukan pada Jinan jika ia menangis. Isakanku mereda. Setelah beberapa lama, aku tak lagi terisak meski air mataku masih turun. Aksel mengambil beberapa lembar tisu dan menyodorkannya padaku. Aku menerimanya, mengusap pipiku yang lengket, dan membersihkan hidungku yang terasa perih.

tangan Aksel membelai rambutku. Dia masih tak mengatakan apa pun. Setelah aku benar-benar tidak menangis, tangan Aksel menyentuh pipiku, membuatku memandangnya. " Kamu boleh cerita kapan-kapan. Kalau kamu sudah tenang."

Aku mengangguk. Aku tak pernah mengira akan ada " kapan-kapan" antara aku dan Aksel. Kupikir malam ini akhir dari segalanya. tapi Aksel masih memberiku kesempatan lain. Dan aku berterima kasih untuk itu.

" Masuklah," Aksel menggenggam tanganku, " mereka menunggumu."

Aku balas menggenggam tangan Aksel. " terima kasih."

Kulambaikan tangan setelah aku keluar dari mobil, dan tetap berdiri di depan rumah hingga bayangan mobil Aksel menghilang di tikungan jalan.

tiba-tiba aku merasa lelah sekali. Aku langsung masuk ke dalam kamar dan melihat Jinan meringkuk di tempat tidur. Nathan duduk di kursi di dekatnya. Dia hanya memandangku sebentar, tapi tak berkata apa pun. Aku mengempaskan diri ke tempat tidur. Lalu memejamkan mata. Satu kenangan bersama Jinan saat kami terlibat kegiatan bersama terputar ulang begitu saja di kepala. *

Aku kelas 10 dan Jinan 12. Kami terlibat dalam proyek sosial sekolah untuk penggalangan dana. Charity event akan dilakukan dalam bentuk bazaar dengan menjual baju bekas layak pakai atau apa saja yang berhasil dikumpulkan oleh tim. tugasku menjemput barang-barang yang harus dikumpulkan. Sedangkan tugas Jinan mendatanya satu demi satu. tumpukan baju yang harus didata dan disortir begitu banyak. Dan dia melakukannya sendirian.

Dia duduk di sudut dengan buku catatan di satu tangan dan tangan lainnya memilah-milah baju. Mana yang akan disumbangkan dalam bentuk baju dan mana yang bisa dijual di bazaar. Kening Jinan berkerut. Dia sering melakukannya jika memang sedang sangat serius. Aku duduk di seberangnya. tanganku sakit mengangkat begitu banyak kotak baju dan kotak-kotak lainnya. Kuteguk cola dingin yang kugenggam. Aku hanya ingin beristirahat sebentar.

Kemudian datanglah dia. Arya. Dia ketua tim. Lumayan tampan. Pintar. Dan naksir Jinan. Aku tahu dari caranya menatap Jinan dan bagaimana dia selalu mencari alasan agar bisa dekat-dekat dengan Jinan.

Arya mendekati Jinan. " Serius amat kerjanya," katanya ramah.

Oh tuhan. Dia mulai menggali kuburannya sendiri. Jinan tak pernah suka basa-basi yang sumpah mati basi seperti itu.

Jinan mendongak sebentar dari buku catatannya, melihat ke arah Arya, lalu melanjutkan kerjanya. Ayolah, pergi, pergi. Kataku dalam hati.

tapi tentu saja Arya masih tetap di situ. Dia ternyata bukan orang yang pandai membaca situasi. Atau membaca raut wajah orang.

" Kamu pasti capek. Istirahat dulu," kata Arya lagi. Aku tumbuh bersama Jinan. Kuhabiskan seluruh hidupku bersamanya hingga aku tahu perubahan sekecil apa pun di wajah Jinan. Dia terganggu dengan kehadiran Arya. Dia tidak suka diberi perhatian yang seperti itu. Jika dia memang lelah, dia akan berhenti sendiri. " Nanti," sahut Jinan pendek.

" Rileks. Kamu bekerja terlalu keras," kata Arya lagi. Oh tuhan. Kenapa dia nggak pergi saja sih? Ingin sekali aku berteriak di telinga Arya untuk menyuruhnya pergi. Ayolah. Pergi pergi pergi. Jinan nggak suka kamu bertingkah begitu.

" Aku bilang nanti," suara Jinan sudah sedingin es. Dia berhenti menulis, berhenti menyortir. Dia mematung.

" Hei, rileks. Kamu kelihatan tegang banget tahu nggak," Arya tertawa kecil.

Jinan memandang Arya lalu berkata dingin, " Bisa nggak tinggalin aku sendiri? Aku lagi kerja." Arya tertawa lagi. " Kamu ini serius banget ya orangnya. Aku hanya ingin kamu istirahat. Jangan bekerja terlalu keraslah. Kamu kan capek."

" AKu HARuS BILANG BERAPA KALI? NANtI! AKu AKAN IStIRAHAt NANtI! SuSAH yA NGERtI KALIMAt SEDERHANA KAyAK GItu?" Jinan berteriak.

Arya mematung. Aku menangkupkan tanganku ke wajah. Kudengar langkah-langkah kaki mendekat. " Ada apa?" beberapa teman yang berdatangan serentak bertanya.

Aku bangkit dari posisi dudukku dan memandang Jinan yang sudah hampir menangis.

" Kamu itu pemarah sekali ya?" kata Arya, yang sudah pulih dari rasa kagetnya.

Jinan melemparkan buku catatan yang sejak tadi dipe gangnya ke tubuh Arya. Dia kemudian menembus kerumunan dan berlari keluar. Aku bergegas menyusulnya. Malam itu Jinan menangis tanpa henti.

" Aku hanya ingin sendirian, Cesa. Apa itu salah?" kata Jinan di sela isak tangisnya. " Aku sudah bilang nanti. Kenapa dia nggak ngerti? Kenapa dia terus di situ? Kenapa dia terus-terusan tanya?"

Aku menepuk-nepuk bahu Jinan.

" Kenapa dia bilang aku pemarah? Kalau dia nggak berdiri terus di situ, aku nggak bakalan marah. Kalau dia nggak terus-terusan ngomong, aku nggak bakalan marah.

Kenapa aku yang jadi monster. Kenapa....

" Aku capek, Ces. Aku nggak ingin diganggu. Aku sudah minta dia untuk pergi. Kenapa dia nggak ngerti? Ke na pa dia nggak pergi? Kenapa aku yang selalu salah, Cesa?"

Karena dia nggak mau mengerti kamu, Jinan. Atau mungkin tidak mampu.

Arya atau banyak orang lain selalu melihat ke satu titik saat kamu meledak. Saat kamu marah dan berteriak karena merasa frustrasi. Mereka nggak pernah mau melihat bahwa kamu sudah berusaha menahan luapan emosimu sejak awal. Mereka gagal melihat usahamu untuk tetap sabar.

Aku melihatnya, Jinan. Kau masih berusaha bersabar dengan menjawab sapaannya satu kata dua kata. Kau bisa saja melontarkan amarahmu sejak pertama kali dia bertanya, tapi kamu nggak melakukan itu. Kamu hebat. Aku bisa melihatnya. tapi orang lain tak bisa melihatnya.

Bagi orang lain menahan marah itu urusan gampang. tapi tidak bagi orang-orang seperti kamu. Mereka selalu menyalahkanmu karena menjadi pemarah. Mereka nggak mampu menghargai detik-detik yang berhasil kamu selamatkan tanpa meletupkan amarahmu. Mereka nggak pernah mau melihatnya dari sudutmu, Jinan.

Aku membelai rambut Jinan. Isakannya bertambah keras seiring dengan gigil yang datang. Jinan selalu menggigil kala menangis hebat. tak ada yang tahu selain aku. tidak juga Arya.

Arya dan mereka yang dilahirkan dengan emosi normal membuat standar-standar baku yang diterapkan di segala bidang kehidupan. Jika ada orang yang tak bisa memenuhi standar baku itu, dia akan dicap " terlalu sensitif " atau " terlalu perasa" atau lebih buruk lagi " pemarah" . Mereka, Arya dan lainnya, makhluk beremosi normal yang sangat egois.

Aku kasihan denganmu, Jinan. Kamu selalu dituntut untuk memenuhi standar mereka. Kamulah yang harus selalu berusaha meredam amarahmu. Kamulah yang harus bersusah payah mengendalikan emosi. Sedangkan mereka tak pernah mau sedikit pun mengerti orang-orang sepertimu yang memang mempunyai masalah dengan emosi.

ya, kamu benar Jinan. Kamu yang selalu jadi monster di sini. Detik-detik yang berhasil kau selamatkan tanpa marah tak bisa mereka lihat. Mereka tak tahu bahwa menahan luapan rasa marah, walaupun hanya beberapa detik, itu sudah hebat sekali. Mereka hanya menyoroti ledakan marah yang kamu hasilkan ketika kamu sudah tak bisa menahannya.

Dunia ini memang sering tidak adil, Jinan. Dan kamu sudah sering membuktikannya.

ef

delapan

" C esa!"

Langkahku terhenti. Kutolehkan kepala dan melihat sosoknya berdiri beberapa meter di belakangku. Melihatku berhenti, dia bergegas ke arahku. Aksel terlihat sayu pagi ini. Mungkin dia kurang tidur. Mungkin dia trauma dengan apa yang terjadi semalam. Oh baguslah. Aku memberikan pengalaman traumatis pada salah satu temanku, yang seka ligus pengagumku. Aku harus bersiapsiap kehilangan satu lagi penggemar.

" Aku minta maaf," kataku cepat begitu Aksel berdiri tepat di depanku.

Dia tertawa. Kukernyitkan kening karena aku tak melihat satu pun alasan bagus untuk tertawa.

" Kamu sudah minta maaf ribuan kali sejak semalam. Bicara langsung, melalui sms, WhatsApp, inbox Facebook, twitter. Dan pagi ini minta maaf lagi. Kalau setiap kata maaf bisa diuangkan, tentunya aku sudah kaya sekarang ini," cengiran lebar menghiasi wajah Aksel.

Kutinju lengannya pelan. tak urung aku tersenyum mendengar kata-katanya. " Aku nggak tahu apa yang harus kukatakan selain minta maaf," kataku akhirnya. " Kamu bisa bilang I love you . Itu lebih baik," katanya. Aku tertawa.

" Nah, kamu tertawa. Itu jauh lebih baik," kata Aksel lagi.

" terima kasih." Aku memandang mata Aksel lekatlekat. Dia terlihat lelah tapi matanya memancarkan senyum.

" Ayo, kuantarkan kamu ke kelas," katanya lagi sambil berjalan. Aku mengikutinya. Kami berjalan dalam diam sela ma beberapa saat. Aksel tak pernah keberatan jika kami tidak bicara selama berdua. tidak seperti Vendetta.

" Aku masih mau loh nonton sama kamu kapan-kapan. Hitung-hitung mengganti yang semalam. Jika Jinan dan Nathan ikut, juga nggak apa-apa. tapi mungkin kita harus pindah mal. Jangan di Grand Indonesia," katanya.

Nada bicara dan pilihan katanya membuatku tertawa lagi. Aku tahu Aksel cowok yang menyenangkan, tapi aku tidak tahu dia bisa jadi sangat menyenangkan. Aku tak bisa membayangkan hariku jika pagi ini aku bertemu Ven, alih-alih Aksel.

" Iya, pastinya. Aku akan meminta sekretaris pribadiku untuk menyusun ulang jadwalku yang super sibuk itu lalu menyelipkan nama cowok baik hati di sela-selanya," ucapku di sela tawa.

Aksel ikut tertawa. " Cowok baik hati itu banyak. Kamu harus dengan jelas menuliskan namaku. Aksel."

" Hei, kalian! Pagi-pagi sudah ketawa-ketawa. Bagi dong tawanya," suara Sisil terdengar sebelum tubuhnya yang mungil berada di antara kami.

Aku dan Aksel saling berpandangan, lalu kami tertawa lagi.

" Oh ya tuhan, jika aku tidak mengenalmu dengan baik, Cesa, pasti kupikir kalian baru jadian semalam," Sisil men cibir.

" Memangnya Cesa seperti apa? Kenapa tidak mungkin kami memang jadian semalam?" kening Aksel mengerut memandang Sisil.

Aku melotot ke arah Sisil. " Jangan ember ya, Sil! Sisil tertawa keras lalu melambaikan tangannya dan segera masuk kelas. Aku berdiri di samping pintu dan memandang Aksel sejenak.

" Memangnya ada rahasia apa?" tanya Aksel. Dia masih penasaran dengan kata-kata Sisil.

Mau tak mau aku tertawa. " Nggak ada rahasia apa-apa. Aku hanya bercanda, kok."

" Oh," senyum mulai muncul di wajah Aksel. " Okelah kalau begitu. Jangan ragu-ragu hubungin aku kalau ada apa-apa, ya."

Aku mengangguk. Senyumku terkembang ketika Aksel melambaikan tangannya dan bergerak menjauh. Dengan langkah gontai aku masuk kelas, mengempaskan diri di kursi sebelah Sisil, dan berdoa agar bisa melewati hari ini dengan selamat. yah, mengingat apa yang terjadi semalam, aku lumayan ngeri membayangkan bagaimana harus bertahan hari ini. Semoga aku tidak bertemu Vendetta hari ini. Semoga dia tidak mencariku.

" Aku beli ini dengan mamaku semalam," kata Sisil tiba-tiba. Dia menunjuk sweternya yang berwarna pink pucat. untuk sesaat aku merasa buruk tentang diriku sendiri. Bagaimana mungkin aku melewatkan fakta bahwa pagi ini Sisil mengenakan sweter baru? teman yang baik seharusnya sudah histeris begitu melihat setiap hal baru yang dipakai temannya. Aku mendesah.

" Bagus," kataku akhirnya. tangan kananku mengusap bahan sweter yang lembut itu. " Beli di mana?" tanyaku karena Sisil memandangku seolah menantikan pertanyaan itu.

" Di Senayan City," jawabnya bersemangat sambil menyebutkan satu gerai baju yang aku tahu harganya selangit. Pantas bagus. uang yang dibelanjakan untuk membeli satu sweter itu bisa dibelanjakan untuk memberi makan satu gerbong kereta orang miskin. Oh bagus. Pagi ini aku jadi orang alim rupanya. Kamu kenapa sih, Cesa? Aku mengutuki diri sendiri karena tidak bisa merasa senang untuk Sisil.

" ... sementara mamaku lebih suka yang warna ungu. Akhirnya dia beli juga tasnya. Pokoknya semalam kami have fun," kata Sisil panjang lebar. Dia memandangku yang bergeming lalu berkata, " Kamu kenapa sih, Cesa?" Oh tuhan. Sisil memberiku pertanyaan yang sama persis dengan yang kuberikan pada diri sendiri beberapa menit yang lalu. Aku mendesah. Iya, kamu kenapa sih, Cesa? Aku sendiri tidak tahu jawabannya. Bagaimana aku harus menjelaskannya pada Sisil?

" Sepertinya aku iri," aku berusaha tersenyum ke arah Sisil. untuk bagian ini aku tidak bohong atau pura-pura. Aku memang iri pada Sisil yang bisa belanja dan have fun sama mamanya. Aku membayangkan belanja dengan Mamam yang sepertinya tidak akan mungkin terjadi dalam waktu sekian ratus tahun.

Mata Sisil membulat. " Iri?"
Diary Princesa Karya Swistien Kustantyana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku mengangguk. " Iya, iri. Aku iri sama kamu yang bisa belanja semalam suntuk dengan mamamu. Aku nggak pernah gitu loh sama mamaku."

tanpa kuduga Sisil tertawa. " Seriusan kamu iri? ya tuhan. Biasanya kan aku yang iri sama kamu karena kamu punya banyak penggemar. Rasanya aneh sekali kamu iri sama aku."

Sisil masih tertawa saat bel masuk berbunyi. Diamdiam aku tersenyum. Setidaknya aku membuat satu teman ku tertawa bahagia pagi ini. Mungkin hari ini tidak akan seburuk yang kubayangkan.

Hari itu kulewatkan dengan mengubur diri dalam tumpukan soal-soal Matematika. Belajar adalah pelarian yang sangat efektif dari segala macam masalah yang kuhadapi. Aku begitu fokus belajar di jam istirahat hingga Sisil membelikanku sebotol teh dan camilan. Aku terharu dengan perhatian yang diberikannya. Sisil memandangku sedikit khawatir. Lalu dia bilang aku ini lumayan berubah. Dulu aku begitu ceria dan extrovert. tapi belakangan ini aku lebih pendiam dan bersikap introvert. Aku tak banyak bercerita seperti dulu.

Sisil bertanya apakah aku memiliki masalah yang begitu serius dan apakah dia bisa membantu meringankannya. Kau tahu, Sisil itu kawan yang baik. Dia sungguh-sungguh baik dan tulus. Aku menyayanginya. tapi sedekat apa pun dengannya, aku tak bisa menceritakan masalah keluargaku. Aku bisa bercerita tentang sederet cowok yang kusukai atau yang menyukaiku. tapi jika sudah tentang keluarga, aku selalu menyimpannya sendiri.

Jadi aku merespons pertanyaan Sisil tersebut dengan pertanyaan, " Oh iya ya? Aku sih merasanya biasa saja. tapi kalau menurutmu aku semakin introvert, mmm apa ya penyebabnya?"

Dan Sisil akan dengan mudah memberiku jawaban. " Mungkin karena kamu nervous. Kita ini sudah kelas 12. Memang sudah seharusnya lebih serius dalam belajar, me nyi apkan diri untuk ujian akhir dan ujian masuk universitas." Aku mengangguk-angguk, lalu meneruskan belajarku. Siang itu aku langsung pulang ke rumah. tak kuhiraukan ajakan Aksel untuk hang out sekadar mencoba kedai kopi terbaru di pusat kota. yah, kalau kau hidup di Jakarta, kau akan dipenuhi agenda mencoba resto atau kedai apa pun yang terbaru. Sebetulnya aku bisa saja pergi. Perasaan lelah yang masih belum hilang mungkin akan sirna jika bersenang-senang sedikit. tapi perasaanku tidak enak. Mungkin karena aku mengkhawatirkan Jinan seperti yang sudah-sudah. Aku hanya tak ingin dia melakukan sesuatu yang bodoh seperti dulu lagi.

Walaupun aku tahu tak seharusnya berpikir demikian. Sejak pagi Jinan selalu menjawab pesan yang kukirimkan. Dia meyakinkanku kalau dia baik-baik saja. Seharusnya aku bisa bernapas lega, kan? tapi kenyataannya aku tidak bisa bersikap yang seharusnya.

Kubuka pintu yang terkunci dan aroma kopi pekat menyergapku. Jinan memiliki cofee maker yang jarang sekali digunakan. Dia mengeluarkan mesin itu hanya jika ada suatu hal yang patut dirayakan. Sehari-hari, Jinan memilih untuk membuat kopinya dari kopi sachet. Dia terlalu malas untuk membuat kopi dari cofee maker.

tapi siang ini, apa yang patut dirayakan? Mendadak aku curiga. Seharusnya aku bisa berpikir positif. Mungkin memang ada suatu hal yang patut dirayakan. tapi entah kenapa instingku berkata lain.

Dan aku menemukannya duduk sendirian di salah satu kursi di ruang makan. Jinan duduk dengan kopi mengepul dalam cangkir di depannya. Kepalanya menunduk meniupniup kopi itu. Lalu perlahan dia menyendok cairan pekat itu dan menempelkannya di bibir. Jinan menghisapnya hingga habis.

" Kamu baru dapat undian apa?" tanyaku dan duduk di seberang Jinan.

Jinan mendongak dan memberiku tatapan bingung. " undian apa, apa?"

" Itu," aku menunjuk kopinya. Lalu menunjuk cofee maker yang terletak di konter dapur. Ruang makan ini menyambung dengan dapur. Aku bisa melihat apa saja yang terletak di konter dapur dari tempatku duduk di ruang makan.

Jinan tertawa. " Oh," katanya. Dia mengangkat cangkirnya pelan dan menghirup aroma kopinya. Lalu meneguknya beberapa kali. " Kopi ini bangsat enaknya," kata Jinan sambil tertawa.

" Jinan, ada apa?" tanyaku tak sabar. Aku tahu ada sesuatu yang terjadi di sini. Sesuatu yang tidak mengenakkan hingga membuat Jinan mengeluarkan cofee maker-nya.

Jinan tahu dia tak dapat mengulur waktu lagi untuk apa pun yang ingin dia tutupi. Dia menunjuk ke arah kulkas. " Ada surat cinta di sana," katanya.

Dahiku berkerut. tanpa berkata apa-apa lagi aku melangkahkan kakiku ke kulkas, mengambil secarik kertas dengan tulisan yang familiar, dan kembali duduk di seberang Jinan.

Untuk Jinan & Cesa,

Mamam ingin menenangkan diri beberapa hari di luar kota. Maaf jika tidak pamitan secara langsung. Uang makan ada di tempat biasa. Kalian bisa hubungi Tante Rana jika mau. Tapi pasti kalian lebih suka tinggal berdua di rumah. Salam,

Mamam

Aku membaca pesan singkat itu beberapa kali. Berharap pesan itu akan berubah setiap kali aku membacanya. tapi percuma saja. Pesan itu tetap sama. Dan aku menjadi mual setelah membacanya sekian kali.

Aku tahu Jinan memandangiku lekat-lekat. Seolah ingin tahu bagaimana reaksiku setelah membaca pesan Mamam itu. Aku tidak memedulikannya. tanpa berkata aku meraih tasku yang tergeletak di meja dan mengambil ponselku. Dengan tak sabar kupencet speed dial.

" Percuma. Ponselnya enggak aktif," kata Jinan berbarengan dengan suara operator yang terdengar memintaku meninggalkan pesan.

Pandanganku mengabur. Sebentar kemudian pipiku sudah basah oleh air mata.

" Menangis saja. Aku sudah menangis sepagian tadi," kata Jinan datar.

Aku terisak-isak. Dadaku sakit sekali. Apa sih yang ada di otak Mamam? Kenapa dia tega meninggalkan kami berdua di rumah? Kenapa dia seenaknya seperti itu? Kena pa dia bahkan tak mau menghubungi kami langsung? Secarik kertas di pintu kulkas? Apa sih yang dia pikirkan?

tangan Jinan menyentuh bahuku. Biasanya akulah yang menyentuh bahunya kala dia menangis. Biasanya Jinanlah yang terisak-isak. tapi siang ini aku tak tahan lagi. Aku menangis di bahu Jinan. Aku menumpahkan semua tangisku. Dadaku disesaki dengan rasa marah dan benci. Aku marah pada Mamam dan Papap. Aku benci mereka. Kenapa mereka berdua begitu egois? Kenapa mereka berdua tidak sedikit pun peduli pada kami? Aku benci. Aku marah sekali.

" Ssshhh," Jinan menepuk-nepuk bahuku.

Entah sudah berapa lama aku menangis. Biasanya jika Jinan menangis, aku akan mencatat pukul berapa tepatnya dia mulai menangis. Lalu setelah dia berhenti menangis, aku akan kembali melihat jam dinding dan mencatat pukul berapa dia berhenti. Itulah kenapa aku tahu Jinan menangis berjam-jam tanpa henti. tapi sekarang aku tak yakin Jinan melakukan hal yang sama.

" Kenapa Mamam seperti itu?" aku melolong. Dilihat dari sudut mana pun, aku tak bisa mengerti kenapa Mamam tega berbuat seperti itu.

" Karena Mamam ingin tampak keren seperti Lily van der Woodsen. Atau mungkin Mamam merasa dirinya sama seperti Lily," kata Jinan.

Aku langsung tertawa mendengar jawaban Jinan. Kutegakkan kepalaku yang entah-sudah-berapa-jam rebah di bahu Jinan. Kuusap air mataku. Jinan menggerakgerakkan bahunya yang pasti kaku karena kujadikan tempat bersandar selama aku menangis.

" Memangnya Mamam ke luar negeri?" tanyaku sambil mencomot tisu.

Jinan menggeleng. " Mana aku tahu," jawabnya. " tapi sepertinya sih tidak. Paling-paling ke Bali. yah, Mamam itu Lily van der Woodsen versi mininya."

Kami berdua tertawa terbahak-bahak.

Di season kedua serial gossip girl, diceritakan Lily van der Woodsen adalah seorang ibu yang bisa dibilang tak pernah ada untuk kedua anaknya: Serena dan Eric. Selama bertahun-tahun Serena dan Eric hidup berdua saja. Maksudku, mereka tidak mendapatkan kasih sayang dari ayah atau ibu mereka.

" tapi Lily jadi peduli kan sama Serena dan Eric?" kataku seraya menatap sedih ke arah Jinan.

" Mungkin suatu saat Mamam juga akan sama seperti itu," jawab Jinan sambil menepuk lenganku.

Bel pintu yang terdengar membuatku dan Jinan saling berpandangan. " Paling-paling Nathan," kata Jinan. Dia berdiri dan melangkah ke luar untuk membukakan pintu.

Aku melangkah ke arah kulkas, mengeluarkan satu botol air dingin dan meneguknya hingga tandas. Saat aku berbalik ke ruang makan, Nathan sudah berdiri di sana. Dia dengan wajah tampannya yang hampir selalu tersenyum.

" Kamu baik-baik saja?" tanyanya. Jinan pasti sudah menceritakan sedikit apa yang sudah terjadi siang ini. Oh baguslah. Nathan jadi tahu keluarga kami ini penuh dengan drama.

Aku mengangguk, tapi lalu berkata, " Enggak begitu baik sih. tapi kuharap dengan menganggap diriku ini baik-baik saja, aku akan menjadi baik-baik saja. Kau tahu maksudku, kan?"

Nathan tertawa. Dia menganggukkan kepalanya. " Aku tahu maksudmu. Nah, untuk membuat segalanya lebih baik lagi, mari kita nonton dvd. Aku membelikan kalian berdua popcorn. Dan satu gelas coke untukmu. Satu gelas kopi untuk Jinan. Langsung loh dari 21. tadinya ingin juga kubelikan layar bioskop. tapi kan nggak mungkin ya," tawa Nathan terdengar.

Aku melongo. " Kamu beli popcorn?"

Nathan mengangguk. Dia menyerahkan dua kotak besar popcorn. Plain dan caramel. " Aku tahu kamu suka sekali dengan popcorn rasa caramel," katanya.

Oh demi surga, rasanya aku bisa melayang bahagia saat ini juga. Aku membawa dua kotak besar popcorn itu ke ruang tengah. Jinan sudah duduk manis di sofa dengan segelas kopi dari 21. Kopinya yang masih tersisa banyak di cofee maker tidak ia pedulikan. Aku duduk di sebelahnya. Nathan duduk di sofa kecil yang terletak di arah jam tiga. he Silver Linings Playbook.

Aku ingat aku ingin sekali menonton ilm ini karena semua temanku menganggapnya sebagai ilm hip. tapi saat itu aku nggak jadi nonton dan lalu melupakannya. Aku tidak bisa mengingat kenapa aku tidak jadi menonton ilm itu. Baguslah sekarang Nathan membawakannya untuk kami tonton di rumah.

Rumah sudah mulai gelap saat ilm itu selesai. Aku bangkit untuk menyalakan lampu di ruang tengah. Kulihat Jinan mengusap air matanya. Aku tahu sepanjang ilm itu dia menangis. Kurasa Nathan juga tahu itu. tapi mungkin lebih mudah menangis dalam gelap daripada ketika suasana terang benderang seperti sekarang. Jinan mengambil beberapa lembar tisu dan membersit hidungnya.

Kutinggalkan mereka berdua untuk menyalakan semua lampu di seluruh penjuru rumah. Setelah kira-kira lima menit aku kembali lagi ke ruang tengah dan menemukan Nathan duduk sendirian di sofa. Dia sedang melamun. Atau setengah melamun. Atau tampaknya seperti itu.

" Jinan ke mana?" tanyaku. Popcorn rasa caramel yang masih tersisa kukunyah. Aku duduk di samping Nathan, tempat semula Jinan duduk.

" Ke kamar," jawabnya. " Jinan nggak bilang apa-apa. Langsung pergi ke kamar. Kupikir dia akan senang menonton ilm ini. Karena kamu tahu kan, ilm ini bisa menjawab pertanyaan besarnya seputar kenapa dia seperti dia yang sekarang." Nathan menghela napas.

Aku memikirkan perkataan Nathan. Kenapa Jinan menjadi Jinan yang sekarang.

Jika aku menjadi Jinan, sudah tentu aku akan menangis menonton ilm itu. Sudah tentu emosiku akan teradukaduk. Aku akan menyadari bahwa ternyata aku ini memang sakit. Itu berita buruknya. Berita baiknya aku tahu aku tidak sendirian. Di luar sana ternyata banyak orang yang seperti itu. Berita lebih baiknya aku tidak separah mereka.

Dibandingkan Pat dan tifany, aku sungguh baik-baik saja.

Jika aku menjadi Jinan, aku akan berpikir seperti itu. tapi aku tidak tahu apa yang sedang Jinan pikirkan sekarang ini. Kemungkinan sih seperti itu.

Film ini mengisahkan dua orang yang mengidap penyakit jiwa bipolar disorder. Pat Solitano dirawat selama delapan bulan di rumah sakit jiwa di Baltimore karena memukuli cowok yang selingkuh sama istrinya hingga hampir mati. Setelah keluar dari rumah sakit itu, Pat bertemu dengan tifany Maxwell yang kurang lebih sama dengan dirinya " menderita bipolar disorder. Pendeknya mereka berteman, lalu saling jatuh cinta.

Film ini membuat emosiku teraduk-aduk. Ada beberapa adegan yang membuatku terharu. Ada pula adegan yang membuatku tertawa tergelak-gelak. yang pasti, aku merasa kasihan dengan Pat dan tifany. Mereka berdua dianggap tidak normal dan perlu dijauhi karena sebagian besar orang menganggap mereka menakutkan (atau, yah, aneh).

Jinan juga seperti itu. Dia sering dianggap aneh dan dijauhi banyak temannya (teman itu tak pernah menjauh, bukan?).

Selama ini Jinan selalu merasa sendirian. Dia selalu merasa tidak ada yang bisa mengerti dia. tak ada yang bisa mengerti mengapa mood-nya seperti roller coaster. Naik turun begitu cepat dan tidak terduga. tak ada yang bisa mengerti mengapa Jinan selalu bicara tanpa saringan.

Dia akan mengatakan apa saja yang dia pikirkan. Dia mengatakan apa pun yang ada di otaknya, termasuk saat dia jatuh cinta sama cowok. tak ada yang bisa mengerti mengapa Jinan bisa meledak marah tanpa alasan. Juga ketika dia merasa sedih berkepanjangan. tapi kemudian dia bisa tiba-tiba menjadi sangat bahagia. tak ada yang bisa mengerti semua itu. Hanya satu kata yang diberikan semua orang untuk Jinan. Satu kata yang menyederhanakan semuanya, tapi pada saat yang sama menyakiti Jinan sebagai manusia; aneh.

Sekarang Jinan tak perlu lagi merasa sendirian. Dia punya teman. Setidaknya dia bisa berteman dengan Pat dan tifany.

Aku menghirup udara dalam-dalam, menahannya cukup lama, lalu mengembuskannya pelan. Suara embusan napas dari mulut membuatku tersadar sosok Nathan masih duduk di sebelahku. Aku memandangnya sebentar. Dia masih memesona.

Nathan. Sudah setahun lebih aku menyukainya. Bahkan aku rela untuk tidak pacaran dengan siapa pun sela ma setahun ini demi menunggunya. untuk seseorang seper ti aku yang tak pernah tak punya pacar, hal itu hebat sekali.

" Aku baru tahu ada penyakit mental seperti itu. Bipolar disorder," kataku akhirnya setelah yakin Nathan tak akan mengatakan apa pun.

Nathan mengangguk beberapa kali lalu menghela napas. " Aku sudah tahu sejak pertama kali bertemu Jinan."

" Kamu sudah tahu Jinan sakit?" tanyaku tak percaya. Lalu kenapa Nathan tidak bilang? Jinan akan lebih senang jika dia diberi tahu sejak awal tentang sakitnya.

" Bukan. Bukan seperti itu," kata Nathan. " Aku hanya tahu Jinan berbeda. Sudah itu saja. Aku tahu dia punya emosi yang ekstrem. Dan hal itu yang membuatnya tak punya banyak teman. Atau bahkan tak punya teman sama sekali. Karena mereka cenderung menganggapnya monster yang cepat meledak."

Aku tertawa. " Dulu saat SMA, semua temannya menjulukinya pemarah. Sebetulnya Jinan kasihan ya."

" Iya. Semua teman di kampus juga seperti itu. Hanya memandangnya dari satu sisi. Mereka tak pernah mau mengingat Jinan yang menyenangkan. Padahal dia kan juga bisa menjadi orang yang menyenangkan."

" Kamu tahu Ranchi atau Ran?" aku memandang Nathan sambil menahan senyum.

tawa Nathan meledak. " Ranchi di Dragon Ball? Kamu pikir Jinan seperti Ran?"

Aku menyeringai. " Aku pernah memberitahunya. Jinan girang sekali saat aku menyamakannya dengan Ranchi." Aku dan Nathan tertawa terbahak-bahak. *

" Kamu itu persis seperti Ran. Kamu ingat dia nggak?" kataku di suatu sore pada Jinan. Angin bertiup semilir menerbangkan anak-anak rambutku. Kami berdua duduk di ayunan di kebun belakang rumah.

Saat itu Jinan sedang biasa-biasa saja. Maksudku mood-nya sedang tidak tinggi atau rendah. tidak bahagia atau sedih. Dan biasa-biasa saja adalah sesuatu yang jarang terjadi pada Jinan.

" Ran?" Jinan mengernyitkan kening.

Aku mengangguk. " Itu loh yang di Dragon Ball. Ran atau Ranchi atau siapa deh. yang berubah kalau sedang bersin."

" Oh. Hahaha," Jinan tertawa keras sekali.

Aku menyeringai. Aku senang jika berhasil membuat Jinan tertawa sekeras itu.

Ranchi itu cewek baik hati berambut biru yang akan berubah saat bersin. Dia akan berubah menjadi cewek galak berambut pirang. Dia akan menembaki semuanya, tak terkecuali Goku dan teman-teman yang lain. Perubahannya sangat ekstrem dan disebabkan oleh bersin.

Menurutku Jinan seperti itu.

" tapi kamu nggak perlu bersin untuk berubah jadi monster," aku tertawa.

" tapi aku nggak punya senapan yang bisa kutembakkan," kata Jinan di sela tawanya.

Jinan memandang langit. Dia tersenyum pada sekumpulan burung yang melintas di atas kami. Jauh di atas kami. Aku berusaha mengayun lebih kencang. Ayunan jadi sedikit berdecit.

" Aku pernah cerita belum?" tanyanya.

" Belum," kujawab cepat. Meski sudah, aku tak ke beratan mendengarkannya lagi.

" Dulu saat SMP, aku pernah melempar temanku dengan sepatu. Saat itu aku marah sekali. Aku lupa masalahnya apa. tapi aku ingat melemparkan sepatuku ke punggungnya."

" Ha?" aku melongo. Jinan tak pernah menceritakan hal ini. " Cowok atau cewek? Lalu bagaimana?"

Jinan tertawa. " Aku lupa juga bagaimana kelanjutannya. Apakah cowok itu marah atau bagaimana. Nggak ingat. tapi setelah itu dia nggak mau berteman denganku."

" yaiyalah," aku tergelak-gelak. " yang kuingat, dulu kamu pernah cerita kamu melemparkan kotak pensilmu yang terbuat dari lempengan seng ke kepala temanmu. Ckckck. Kamu sadis ya."

Seringaian tampak di wajah Jinan. " Iya. Makanya enggak ada yang mau temenan sama aku."

Aku terdiam. tidak tahu harus berkata apa. Berkebalikan dengan Jinan, aku mempunyai banyak sekali teman. Aku tak perlu bersusah payah untuk membuat mereka menyukaiku.

" Kamu sendiri, Cesa, kenapa kamu masih mau jadi adikku?" pertanyaan itu dilontarkan dengan nada serius. Jinan menatapku lekat.

Aku tak bisa menahan tawa. Meski aku tahu pertanyaan itu serius, tapi menurutku konyol sekali. Kenapa aku masih mau jadi adiknya? Seakan-akan aku punya pilihan lain.

" I have no choice but to love you, Sis," jawabku akhirnya karena kulihat Jinan sungguh-sungguh menunggu responsku.

" Nggak punya pilihan ya," sahutnya. " Kalau kamu bisa memilih, pasti kamu lebih senang punya kakak normal yang sama sekali tidak seperti aku. Iya, kan?" dia tersenyum sedih. Jinan ahli melakukan hal itu. Mengontraskan senyum yang terkembang dengan tatapan sedih yang memancar dari matanya.

Aku menggelengkan kepalaku cepat-cepat. " Siapa bilang," kataku. " Seandainya pun aku punya pilihan, aku akan tetap memilih jadi adikmu."

" Kenapa?" tanya Jinan.

" Karena saat kau jadi penulis terkenal nanti, aku bisa dengan bangga bilang Hei, dia kakakku lho. "

Mata Jinan berkaca-kaca. Dia pindah ke bagian kursi tempatku duduk di ayunan, lalu memelukku erat sekali.

ef

sembilan

S ore itu langit lumayan mendung saat taksi yang mem
bawa ku ke Plaza Senayan berhenti tepat di pintu utama. Kulihat sosok Nathan berdiri di salah satu sudut. Entah sudah berapa lama. Kubayarkan ongkos taksi lalu meng ucap kan terima kasih. Kakiku melangkah menuju ke arah Nathan. Seolah mendapatkan bisikan dari semesta, Nathan menolehkan kepalanya dan tersenyum ke arahku.

" Sudah selesai urusan di sekolah?" tanya Nathan lembut.

Aku mengangguk. " Maaf ya membuatmu menunggu."

" Seratus tahun pun aku rela menunggu kalau yang ditungguin cantiknya kayak kamu," kata Nathan seraya tertawa.

" Kamu gombal, tapi aku suka," kataku manja. tawa Nathan semakin keras.

Detektor di pintu masuk menyala dan mengeluarkan bunyi bip saat aku melangkah melewatinya. Nathan melangkah menyusulku ketika kami sudah berada di dalam mal.

Jinan begitu terkesan dengan ilm yang Nathan bawa kemarin. he Silver Linings Playbook. Setelah menontonnya dengan kami, Jinan memutar ulang ilm itu dan menontonnya hingga larut malam. Dia bilang dia jadi penasaran versi novelnya. yah karena ilm itu diangkat dari novel dengan judul yang sama karya Matthew Quick.

Sore ini aku meminta Nathan menemaniku membeli buku itu. Jinan sering membeli buku di Kinokuniya Plaza Senayan. Jadi aku akan mencari novel yang diinginkannya itu di toko buku favoritnya. Jinan pasti akan senang sekali. Dia selalu menyukai kejutan yang menyenangkan. Dan menurutku, setelah semua yang terjadi, dia berhak mendapatkannya.

" Cesa, kamu baik sekali," kata Nathan. Kami sudah masuk ke Kinokuniya dan mencari-cari novel itu.

Aku tertawa mendengar kata-kata Nathan. " Jika aku memang baik sekali seperti yang kamu bilang, kamu pasti sudah jatuh cinta sama aku."

Dia tersenyum melihatku. " Seandainya jatuh cinta bisa diatur dengan siapa ya."

ya, Nathan. Andai saja cinta itu bisa diatur, tentu aku sudah memintamu jatuh cinta padaku saja. Atau jika kamu memang tetap ingin jatuh cinta pada Jinan, aku ingin mengubah cintaku. untuk Aksel, misalnya, yang aku tahu jatuh cinta juga padaku. tapi brengseknya, jatuh cinta itu nggak bisa diatur. Cinta itu datang tiba-tiba saja dan kadang terlalu bandel untuk diusir pergi. Seperti cintaku untuk kamu, Nathan. Aku jatuh cinta sama kamu. Aku suka kamu.

" Ini bukunya," kata Nathan menyodorkan sebuah buku dengan gambar Bradley Cooper dan Jennifer Lawrence di sampulnya.

Aku mengambil buku itu dari tangan Nathan lalu beranjak menuju kasir. Nathan memandangiku sebentar, lalu satu pertanyaan melompat dari bibirnya, " Kamu langsung bayar? tidak keliling lihat-lihat buku dulu?"

Sebuah senyum kupaksakan. " Aku bukan Jinan. Ingat?"

Cengiran lebar terlihat di wajah Nathan. Dia menggaruk kepalanya dan menggumamkan maaf.

Aku tahu Jinan sering pergi ke sini bersama Nathan. Atau sendirian. Bersama Nathan atau tidak, Jinan betah berada di toko buku selama berjam-jam. Pernah suatu kali Jinan bilang, dia tak keberatan disekap di toko buku. Karena dia bisa melihat-lihat buku dan membaca sepuasnya.

Aku tak begitu suka buku. Jajaran buku di Kinokuniya membuatku pusing. Membaca satu paragraf saja sukses membuatku mengantuk dan tertidur. Aku lebih suka melihat baju, tas, sepatu, dan aksesoris di semua gerai yang ada di seluruh penjuru mal. Mungkin terdengar dangkal. Diakui atau tidak, cewek yang lebih menyukai buku akan tampak lebih sophisticated daripada cewek penggila baju, bukan? tapi aku tidak mau membohongi diriku sendiri dengan berpura-pura suka buku saat aku bersama Nathan. It is just not me.

" Kita ke mana sekarang?" tanya Nathan setelah aku menyelesaikan transaksi.

" Aku ingin makan. Kamu sudah makan?" tanyaku. " Sudah," jawabnya, " tapi aku senang-senang saja makan dua kali."

" Bagus!" kataku bersemangat.

Bagaimana bisa aku tidak bersemangat jika ini akan jadi makan pertamaku berdua saja dengan Nathan. Well, biasanya kami pergi bertiga, dengan Jinan. Meski bukan dinner romantis di restoran yang sedang hip, tapi aku tetap senang. Kami memutuskan untuk makan di food court. Aku memilih yoshinoya dan Nathan McD. Dia menggilai scrambled egg-nya.

" Kamu tahu," Nathan memulai percakapan setelah beberapa lama kami terdiam menikmati makanan, " aku sering memikirkan Jinan."

Oke. Permulaan yang bagus. Aku sayang Jinan, dia kakakku. tapi rasanya sore ini aku tak ingin mendengar apa pun tentang Jinan dari mulut Nathan. Sudah kubilang kan aku juga sering memikirkan Jinan. Bahkan dia men dominasi pikiranku. Jadi, bolehkah untuk sore ini saja kita tidak membicarakan Jinan? Rasanya aku ingin meneriakkan kalimat itu pada Nathan.

Aku sibuk bicara pada diri sendiri dalam hati. tentu saja Nathan tidak mendengarnya. Kutebak dia pasti akan bermonolog tentang Jinan. Suka atau tidak, aku harus mendengarkannya.

" Menurutku Jinan itu naif sekali. Aku selalu membayangkannya begini. Dia meletakkan hatinya di jalanan. tepat di seberang pintu rumahku yang terbuat dari kaca bening. Aku tentu saja bisa melihat hati yang tergeletak begitu saja di jalan. Aku bisa melihat kejujuran dan kebaikannya itu. tapi serius deh, meletakkan hatimu di jalanan itu bodoh sekali. Hatimu akan jadi rentan. Coba deh bayangkan, hati yang secara konstan terekspos polusi, juga matahari, hujan, dan serangga yang beterbangan melewatinya. Coba kalau serangga itu mengerubungi hatimu." Nathan mendesah.

Aku meneguk ocha dinginku beberapa kali. Mencoba membayangkan sebongkah hati yang dikerubungi lalat. Bayangan itu membuatku bergidik.

" Hati yang rentan akan susah disembuhkan manakala terkena penyakit seperti patah hati. Jinan bodoh ya," Nathan meletakkan sendoknya, meneguk coke-nya dan memandangiku seolah menunggu respons.

Aku mengangguk.

" tapi ada yang lebih bodoh sebetulnya," katanya. " Siapa?" tanyaku.

" Aku," dia tertawa, " karena aku membuat pintu transparan dari kaca bening padahal aku tahu benar ada hati yang tergeletak di seberang pintu itu. Seharusnya aku membuatnya dari kayu jati atau beton sekalian agar tak perlu melihat hati yang sering terkena polusi dan terpapar matahari itu."

Karena kamu menyayanginya, kataku dalam hati. Aku sungguh ingin memberi tahu hal itu pada Nathan. tapi aku tidak ingin melakukannya. Aku tak ingin menyakiti diriku sendiri. Dan kupikir Nathan pasti sudah tahu tentang itu. tentang kenapa dia membuat pintu rumah yang transparan.

" Jinan adalah sejenis makhluk langka yang tak akan habis dibicarakan," kataku seraya tertawa.

Nathan meneguk lagi coke-nya hingga habis. Dia bahkan membalikkan gelasnya, menunggu tetesan terakhir coke itu masuk ke dalam mulutnya. Jika yang melakukan itu cowok lain, aku akan menuduhnya pelit. Kalau memang masih haus, kenapa tidak beli lagi sih? tapi karena yang melakukannya Nathan, hal itu tampak keren di mataku. Cinta itu memang luar biasa ya? kata-kata Jinan berdengung di telingaku. Cinta bisa menjungkirbalikkan pendapat kita tentang sesuatu.

See... bahkan ketika aku sedang tidak ingin mengingatnya, Jinan selalu hadir. Kugelengkan kepalaku beberapa kali, mencoba mengenyahkan bayangan Jinan.

" Kamu pernah jatuh cinta, Cesa?" tanya Nathan tibatiba.

Jantungku sepertinya berhenti berdetak saat mendengar pertanyaan yang terkesan sepele itu. " tentu saja pernah. Sering malah," jawabku riang.

" Bukan jatuh cinta yang itu," Nathan menggeleng. " Lalu yang seperti apa?"

Menurut Nathan, yang selama ini kurasakan itu bukan jatuh cinta. Jika aku suka cowok, menggilainya, itu tidak lantas disebut jatuh cinta. Itu hanya crush, perasaan naksir, atau infatuation, kegilaan sesaat. Cinta itu lebih lama bertahan. Nathan bilang jika rasa tergila-gila itu bertahan hingga lebih dari empat bulan, itu boleh dibilang cinta. Jika kurang dari empat bulan, maka hanya berada di wilayah crush.

Empat bulan ya?

Perlukah kuberi tahu Nathan bahwa aku menggilainya selama setahun ini? Jadi, bisakah aku menyebutnya cinta?

" yang seperti perasaanku untuk Jinan," kata Nathan pelan.

Sendok yang kupegang jatuh ke lantai. Bunyinya berdenting-denting. Nathan membungkuk untuk memungutnya. Aku segera mengucapkan maaf berulangulang. Panas menguar dari wajahku. tapi kuharap Nathan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di dada dan perutku saat ini.

Karena yang terjadi saat dia mengatakan kalimat itu adalah dadaku seperti dihantam baja. Dan perutku penuh dengan ratusan kupu-kupu. Rasanya seperti itu.

Sepertinya Nathan tidak tahu ada baja dan kupu-kupu dalam tubuhku.

" Belum pernah aku menyukai cewek seperti menyukai Jinan," katanya. " Dia itu seperti berlian, yang dari sudut mana pun aku melihatnya, selalu cemerlang."

" Kalimat itu terdengar familiar," aku mengernyitkan kening. " Aku pernah membaca di salah satu buku milik Jinan, tapi aku lupa siapa."

" Aku nggak bilang itu kalimatku sendiri," kata Nathan. Cengiran lebar menghiasi wajahnya sekali lagi. " Itu kalimat di buku AS Laksana. Aku lupa apakah kalimatnya persis seperti itu."

Kami terdiam beberapa saat. Lalu pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku. Jika aku bisa memutar ulang waktu barang beberapa detik saja, aku memilih untuk tidak pernah melemparkan pertanyaan itu. " Kamu masih bisa menyukai Jinan meski dia belum sembuh dari patah hatinya?"

Nathan mendesah. " Bohong kalau aku bilang hal itu nggak masalah. tapi bohong juga kalau aku bilang aku berhenti menyukai Jinan hanya karena dia masih terbayang-bayang Abim."


Wiro Sableng 090 Kiamat Di Pangandaran Raja Petir 16 Pergolakan Goa Teratai Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying

Cari Blog Ini