Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya Bagian 1
Eiffel, Tolong !
Oleh Clio Freya
Ebook by pustaka-indo.blogspot.com
GM 312 01 14 0055
? Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Gedung Gramedia Blok 1, Lt.5
Jl. Palmerah Barat 29?37, Jakarta 10270
Cover oleh maryna_design@yahoo.com
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
anggota IKAPI, Jakarta, Maret 2009
Cetakan keenam Januari 2012
Cetakan ketujuh Mei 2012
Cetakan kedelapan September 2014
www.gramediapustakautama.com
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
344 hlm., 20 cm.
ISBN 978 - 602 - 03 - 0864 - 7
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
Copyright CU 2014.4
For the love of God. And life. And love itself.
Copyright CU 2014.5
Copyright CU 2014.6
Ucapan Terima Kasih
The Almighty?for the presence everywhere, even in front of a
worthless me.
Denny, thanks for everything.
My beloved daughter, Raisa, who is my little guardian angel.
Love her always.
My two best friends ever, Eva and Tuty, to whom I can never
thank enough and who have chosen to stay beside me in this
painful soul-searching journey all along and still haven?t given up.
May the doors soon be open for all of us. (Love them too, though
I do not want to say it out loud).
My "draft-pre-proof-readers" my mom, my sister, and Roy.
My editors, Vera and Donna, who have been very patient with
And everyone who have influenced me or inspired me or helped
me in any way that possibly can.
Copyright CU 2014.7
! 1-7.8
"Paris, aku datang!"
TEPAT pukul 23.30. Fay tersenyum ketika merasakan gaya
gravitasi menekan perutnya. Awalnya lembut, kemudian me?
ningkat perlahan dan semakin keras, hingga akhirnya men?
dadak hilang ditelan tubuhnya, and off she goes. Pesawat Air
France yang ditumpanginya tinggal landas dari bandara Changi
di Singapura menuju Paris. Yup, Paris. PARIS. P-A-R-I-S! Se?
nyumnya makin lebar.
Ia teringat tatapan tak percaya teman-temannya ketika me?
reka mendengar ia akan ikut summer course atau kursus musim
panas di Paris saat liburan kenaikan ke kelas 3 SMA.
Mereka selalu berempat. Ada Dea, si serius yang tingginya
170 senti. Ada juga Leslie si modis yang dipanggil Cici karena
dia keturunan Tionghoa, dan Lisa, si mungil yang paling cantik
di antara mereka dan bawelnya tidak ketulungan. Dan tentu
saja ada dirinya, Fay, yang menurutnya sendiri, biasa-biasa saja.
Perawakannya standar saja untuk ukuran anak kelas 2 SMA
yang baru naik ke kelas 3. Tingginya 158 senti. Dengan berat
55 kg, ia bahkan punya kelebihan lemak di bagian-bagian yang
! 1-7.9
tidak seharusnya berlemak, walaupun belum cukup untuk men?
dapat panggilan "ndut" (dari kata gendut) atau "ntong" (dari
kata gentong). Dengan rambut agak ikal yang lebih panjang
sedikit dari bahu dan selalu diikat kucir kuda, kulit sawo ma?
tang, dan tampang yang jauh dari indo, ia selalu merasa tidak
ada yang terlalu istimewa dari dirinya. Dua hal yang selalu di?
syukuri Fay adalah wajahnya yang jarang sekali jerawatan dan
nilainya yang selalu mendekati sempurna untuk pelajaran mate?
matika dan bahasa Inggris, praktis tanpa usaha.
"Nggak salah, Fay, lo mau belajar bahasa Prancis?" tanya
Cici, disambut anggukan heran dan pandangan bertanya te?
man-temannya yang lain. Wajar mereka heran. Selama ini Fay
memang tidak pernah menunjukkan niat untuk belajar bahasa
Prancis, bahkan minat pun sebenarnya tidak ada.
Perjalanan ini memang tidak sepenuhnya direncanakan se?
perti ini. Mama bekerja sebagai auditor di perusahaan konsul?
tan keuangan sehingga sering melakukan perjalanan bisnis.
Papa yang bekerja di perusahaan konsultan Teknologi Informasi
di Jakarta juga cukup sering melakukan perjalanan bisnis. Li?
buran ini kebetulan Mama bertugas di Paris selama dua ming?
gu, berbarengan dengan Papa yang bertugas di Bangkok selama
tiga minggu.
Ketika disuruh memilih, tentu saja Fay memilih ikut mama?
nya ke Paris. Pilihan yang tidak sulit, pikirnya sambil cengenges?
an. Ia akan tinggal bersama mamanya di hotel di Paris selama
dua minggu, kemudian mereka berdua akan ikut tur tiga hari
sebelum pulang ke Jakarta.
Setelah paspor dan visa ada di tangan dan tiketnya diterbit?
kan, tepat dua minggu sebelum berangkat, mendadak penugas?
an Mama diganti ke Brazil. Untuk Mama tidak masalah, ka?
rena visa ke Brazil-nya masih berlaku. Dan karena ini tugas
kantor, biaya yang timbul akibat perubahan setelah tiket diter?
bitkan ditanggung kantor. Tapi tidak demikian dengan Fay.
Tidak ada waktu untuk mengurus visa Brazil dan uang tiketnya
tidak bisa dikembalikan bila dibatalkan. Bahkan, penggantian
! 1-7.10
tanggal saja akan dikenai biaya tambahan. Maklumlah, dibeli
dengan harga promosi, dengan tetek bengek "non-routable",
"non-refundable", dan non-non-non yang lain. Akhirnya orang?
tuanya memutuskan Fay tetap pergi ke Paris dengan agenda
yang berbeda, ikut kursus musim panas untuk belajar bahasa
Prancis selama dua minggu, dilanjutkan dengan tur selama tiga
hari, yang tadinya akan diikutinya bersama Mama.
Fay melonjak-lonjak kegirangan karena keberuntungan yang
diperolehnya, pergi ke Prancis dua minggu sendirian!
Dea waktu itu bertanya dengan ragu, "Lo yakin, Fay, bisa
selamat pulang ke rumah? Lo kan belum pernah pergi ke luar
negeri. Lagi pula, Prancis kan bahasanya bukan bahasa Inggris.
Kalo lo ilang gimana?"
Kalimatnya itu disambut tawa terbahak-bahak Cici, lempar?
an bantal dari Lisa, dan pelototan dari Fay.
"Dea, gue bilangin ya. Yang pertama, semua juga tau Prancis
itu bahasanya bukan bahasa Inggris. Yang kedua, gue udah per?
nah ke luar negeri sekali, walaupun gue juga udah nggak inget
saking udah lamanya. Yang ketiga, walaupun gue juga yakin
bakalan nyasar, tetap aja gue bakalan pergi. Emang gue gila
apa nolak tawaran kayak gini? Nggak bakal muncul lagi se?
umur hidup gue, tau!"
Fay ingat, walaupun ia sangat antusias dengan perjalanan yang
akan dilakukan sendiri ini, diam-diam ia sempat berharap Cici
menawarkan diri untuk ikut kursus yang sama. Bagaimanapun
juga, perjalanan Fay paling jauh ke luar negeri hanya ke Singa?
pura dan sudah lama sekali, dan sempat ada rasa ragu apakah
ia bisa melakukan ini sendiri. Sedangkan bagi Cici?yang anak
konglomerat meskipun tidak mau statusnya itu digembar-gem?
borkan?naik pesawat dan melakukan perjalanan sendiri sudah
seperti naik bajaj ke pasar saking biasanya.
"Wah, Fay, kalau aja bokap gue nggak ngerayain acara ulang
! 1-7.11
tahun pernikahannya besar-besaran, gue pasti ikut deh ne?
menin lo," komentar Cici.
"Tapi, Ci, gimana kalau gue beneran hilang dan nggak bisa
balik ya seperti kata Dea?"
"Aduh, Fay, jangan ketularan dodolnya Dea deh! Apa sih
yang lo takutin? Naik pesawat terbang lo kan udah pernah,
baru aja enam bulan lalu kita ke Bali. Beda-beda dikit lah lo?
kala internasional, nanti gue ajarin deh supaya nggak keliat?
an gimana gitu. Kalau airport memang beda-beda, tapi tenang
aja, nanti gue kasih tau lo harus ke mana waktu transit di
Changi dan begitu sampai di Charles de Gaulle. Di Paris lo
toh dijemput. Untuk bahasa memang masalah sedikit, karena
yang namanya orang Prancis itu, selain banyak yang nggak bisa
bahasa Inggris, yang bisa pun sebagian besar nggak mau atau
pura-pura nggak bisa ngomong Inggris, saking bangganyaa
negara mereka. Tapi, lo kan di sana memang tujuannya belajar
bahasa Prancis. Paling satu minggu lo juga udah bisa pake ba?
hasa Prancis untuk urusan sehari-hari. Kalau jalan-jalan, selama
masih di sentral Paris aja sih gue masih hafal. Apalagi lo
bilang nyokap lo dua bulan lalu bawa segepok brosur dan peta
Paris abis pulang tugas. See, you have nothing to worry about."
Setelah menerima pelajaran tambahan dari Cici selama dua
minggu terakhir, mulai dari cara makan pakai pisau, apa saja
yang bisa dilakukan di airport, apa yang dilakukan di pesawat,
seperti apa Paris, dan banyak lagi tetek bengek lain, Fay pun
berangkat ke Soekarno-Hatta hari Sabtu pagi diantar oleh so?
pir kantor papanya, diiringi mobil Cici yang membawa Cici
dan Lisa. Dalam praktiknya, sopir kantor papanya cuma mem?
bawa koper sedangkan Fay sendiri memilih untuk mengobrol
dengan dua temannya di mobil Cici.
Orangtuanya sudah pergi, Mama ke Brazil dan Papa ke Thai?
land. Sebelum pergi, Mama mendadak sibuk memberitahu Fay
di mana ia harus check in di bandara, ke arah mana imigrasi,
dan lain sebagainya. Fay hanya mendengarkan setengah hati
karena informasi itu sudah ia terima dari Cici, lebih lengkap
! 1-7.12
pula dengan peta-peta yang digambar Cici terselip di agen?
danya.
Sayang Dea tidak bisa ikut karena ada acara pernikahan se?
pupunya, dan dia beserta abang dan adik perempuannya kebagi?
an tugas jadi pagar bagus dan pagar ayu. Fay kadang tidak tahu
ia harus sedih atau bahagia dengan kondisi jadi anak tunggal
dari orangtua yang juga anak tunggal dan jarang ada di rumah.
Ia sebenarnya punya seorang oom, adik papanya. Tapi hubung?
an Papa dengan adiknya itu tidak harmonis, sehingga sejak
umur lima tahun Fay sudah tidak pernah lagi berhubungan
dengan oomnya. Fay bahkan tidak tahu apakah ia punya se?
pupu.
Hari Minggu tepat satu minggu yang lalu, Cici, Dea, dan
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lisa memberi kejutan untuk Fay dengan mendadak datang ke
rumahnya sambil memberikan satu kantong kertas. Agak bi?
ngung, Fay menerima mereka di rumah dan membuka kantong
itu. Ternyata isinya sebuah T-shirt, jaket, topi, dan tas. Ada
satu persamaan dari semua barang itu, semuanya sangat keren,
dan tasnya bahkan bermerek?Fay yakin yang terakhir ini
pemberian Cici seorang. Hanya dia yang punya kemampuan
menghabiskan uang sebanyak itu untuk sebuah hadiah. Lisa
yang pertama berkata sambil senyum-senyum jail.
"Ini kita kasih supaya lo agak-agak Paris dikit gitu lho,
mengingat kalo pake baju lo suka nggak kira-kira."
Ya Tuhan, Fay merasa air matanya menggenang saking ter?
harunya, dan buru-buru dihapus karena ia pantang menangis,
apalagi di depan orang yang bukan bayangan cerminnya. Tidak
hanya itu, mereka pun ternyata datang dengan agenda khusus,
yaitu membantu Fay packing, memilih-milih pakaian apa saja
yang pantas dibawa, dengan kombinasi atasan dan bawahan
yang sesuai.
Baju pemberian itulah yang kini dipakai oleh Fay dalam
perjalanan ke Paris. Penampilannya sportif, dengan warna ce?
rah dari T-shirt hijau muda dengan belahan agak rendah yang
awalnya bikin risih, celana jinsnya sendiri, sepatu semiformal
! 1-7.13
model kets dari kulit warna cokelat dengan garis merah di sam?
ping, dan jaket pemberian teman-temannya, berkerah dengan
bahan kombinasi denim dan kain berwarna peach. Sisi dalam
lengan mempunyai aksen warna merah dan hijau muda yang
akan terlihat bila digulung. Cici memilihkan liontin perak ber?
bentuk kura-kura dengan bebatuan warna-warni yang dibeli
Fay waktu liburan lalu ke Bali sebagai aksesori, diikat dengan
tali kulit warna cokelat tua di lehernya. Ransel pemberian me?
reka juga ia pakai, sekarang berada di kolong kursi di depan?
nya. Dalam pengarahannya ke Fay, Cici mengingatkan untuk
tidak menggunakan penyimpanan bagasi yang ada di atas ke?
pala untuk tas tangan yang tidak dikunci. Selain alasan ke?
amanan karena semua dokumen dan uangnya di sana, posisi
bagasi yang tinggi itu bisa menyulitkan bila harus mengambil
sesuatu.
Fay menyentuh liontin yang dipakainya dan mendadak ia
merasa sedih. Ia benar-benar tak tahu bagaimana caranya men?
jalani dua minggu ke depan tanpa teman-temannya... the best
friends one could possibly hope for.
Mendadak, aduh, kebelet euy.... Fay langsung menyesal ke?
napa tadi ia sok gaya minum kopi dulu ketika transit tiga jam
di Changi, dan terlalu malas untuk ke kamar kecil di area
boarding. Fay pun beranjak dari tempat duduknya, tidak lupa
membawa tasnya sesuai pesan mamanya yang diulang-ulang
puluhan kali sebelum berangkat, "Jangan lupa ya, Fay, jangan
pernah sekali pun meninggalkan tas yang isinya dokumen
kamu, walaupun cuma sedetik."
Mama memang sangat cemas, karena ini perjalanan pertama
Fay sendirian, ke luar negeri pula. Terakhir kali Fay pergi ke
luar negeri adalah ketika lulus SD, ke Singapura satu minggu
bersama mamanya untuk mengunjungi Papa yang ditugasi
selama enam bulan di sana. Kadang Fay bingung, kalau me?
mang mamanya secemas itu, kenapa ia dilepas pergi sendiri,
dengan hanya diantar oleh sopir ke bandara. Tidak adakah
orang lain yang bisa dititipi untuk mengantarnya ke bandara,
! 1-7.14
misalnya kenalan mama atau papanya? Sebuah pertanyaan
yang hanya ditujukan bagi dirinya.
Butuh sedikit perjuangan dan rasa tebal muka untuk keluar
dari sarangnya yang nyaman di sisi jendela. Dua penumpang
asing yang duduk di dua kursi di sebelah kanannya bertubuh
tidak kecil. Penumpang yang berada di sisi gang malah harus
khusus berdiri supaya Fay bisa lewat dengan nyaman dan kaki?
nya tidak tersangkut. Sambil tersenyum, dengan sungkan, Fay
menggumamkan "thanks" pelan. Ia bertekad tidak akan minum
banyak-banyak selama di pesawat ini.
Ketika Fay sudah berjalan di gang mengarah ke toilet yang
ada di belakang, seorang penumpang yang duduk di kursi pa?
ling belakang mendadak berdiri dan masuk ke toilet. Seketika
itu juga lampu tanda semua toilet penuh pun menyala. Yah,
lebih baik mengantre di depan toilet supaya tidak keduluan orang
lagi, keluhnya sambil mengingat perjuangannya barusan.
Seorang penumpang lain sepertinya juga beranggapan sama,
karena mendadak Fay merasa ada yang berdiri dan berjalan di
belakangnya. Fay menoleh sekilas dan melihat penumpang itu
seorang pria asing berambut cokelat, yang tempat duduknya di
sisi gang baru saja dilewatinya. Pria itu memakai baju santai
khas turis celana katun selutut, kaus hawai corak bunga-bu?
nga, memakai topi pancing, dan kacamata hitam. Nggak Paris
banget deh, komentar Fay, dalam hati tentunya.
Dia menghampiri Fay yang sudah lebih dahulu berdiri di
depan toilet sambil tersenyum ramah dan berkata dengan mi?
mik lucu dan aksenerika yang kental,
"Hi, very crowded in this area, don?t you think?"
Tidak tahu harus berkata apa, Fay hanya tersenyum sopan,
sedikit merasa bersalah karena barusan mencela pria itu dalam
hati.
Pria itu kemudian melanjutkan dalam bahasa Inggris,
"Kamu mau pergi ke mana?" Kemudian masih dengan mimik
lucu dia memukul kepalanya sendiri dan berkata, "Tentu saja
Paris, bodoh."
! 1-7.15
Fay tertawa dan pria itu dengan ekspresi jail berkata, "Oke,
oke, biar saya tebak ya, kamu bepergian dengan orangtua kamu
ke Paris karena mereka ingin sekali melihat Menara Eiffel, dan
kalau kamu menolak mereka tidak akan mengakui kamu
sebagai anak mereka lagi?"
Fay menjawab masih agak geli, "Sebenarnya, saya pergi sen?
diri dan saya akan mengikuti kursus bahasa Prancis."
Pria itu memasang tampang seolah-olah terperanjat. "Kamu
mau belajar bahasa Prancis? Pemberani sekali! Berapa lama
kamu akan menyengsarakan diri seperti itu, dan di mana?"
Awalnya Fay bingung dengan kalimat yang sepertinya tidak
berhubungan itu, tapi kemudian ia ingat pernah membaca satu
lelucon di koran berbahasa Inggris tentang orang Prancis yang
menurut mereka angkuh dengan bahasa yang sulit. Ia pun men?
jawab, "L?ecole de France, selama dua minggu."
Tepat setelah itu, salah satu pintu toilet terbuka. Pria itu
membungkuk sedikit dengan kocak,
"Ladies first. And I wish you good luck. Kamu benar-benar
gadis pemberani."
Ketika berjalan kembali ke kursinya, Fay berharap bertemu
lagi dengan pria kocak tadi dan bisa menyapanya, tapi pria itu
belum kembali. Setelah kembali berjuang melawan rasa sung?
kan dan berhasil melewati dua tetangganya untuk kembali ke
sudut nyamannya, Fay mengeluarkan agendanya dan panduan
kota Paris yang diberikan mamanya, sambil menunggu supper
atau makan tengah malam disajikan. Perjalanannya akan me?
makan waktu kurang-lebih tiga belas jam. Setelah makan dan
tidur, masih banyak waktu untuk menghafalkan peta kota luar
kepala untuk mengisi waktunya yang panjang di pesawat.
Segera setelah Fay masuk ke toilet, pria bertopi itu berjalan
balik ke depan, melewati tempat duduknya dan mengarah ke
kotak telepon yang ada di bagian depan pesawat, di dekat tem?
! 1-7.16
pat duduk penumpang kelas bisnis. Ia menekan nomor bebe?
rapa kali sebelum akhirnya berbicara dengan logaterika
yang sudah hilang dan muka serius, "Sir, Anda takkan percaya
dengan apa yang baru saja saya temukan."
Pria itu melanjutkan bicaranya beberapa saat, kemudian
mendengarkan instruksi yang diberikan oleh lawan bicaranya
dengan cermat. Setelah menutup telepon ia berjalan kembali
ke kursinya, melewati tempat duduk Fay yang sekarang sedang
tenggelam dalam peta di hadapannya.
Tidak perlu khawatir. Gadis itu tidak akan ke mana-mana, se?
tidaknya untuk tiga belas jam ke depan, pikirnya dalam hati. Ia
pun bersandar dengan santai di kursinya, menunggu makanan
yang sudah mulai disajikan di pesawat.
Tepat tiga belas jam kemudian, Fay mengembuskan napas lega.
Akhirnya ia melihat kopernya muncul di ban berjalan dan
perlahan-lahan bergerak ke arahnya. Proses imigrasi yang di?
takutinya sejak awal ternyata sama sekali tidak menakutkan
dan ketakutan selanjutnya bahwa kopernya hilang juga tidak
beralasan. Segera ia meraih kopernya dan berjalan ke pintu
keluar. Ia ingat nasihat Cici.
"Kalau lo bingung, ikutin aja dulu orang-orang yang sepesawat
sama lo dan liat sebagian besar dari mereka ngapain. Sambil jalan
ngikutin orang-orang, yang harus lo perhatikan adalah papan pe?
tunjuk di sekitar lo tulisannya apa aja. Tandai toilet ada di mana,
meja informasi ke arah mana, exit ada di mana, dan di mana aja
ada petugas kalau lo butuh bantuan."
Nasihat itu Fay ikuti dengan patuh. Begitu keluar dari pin?
tu, ia berada di area kedatangan dan langsung takjub dengan
apa yang ia lihat. Fay merasa ia berada di dalam balon raksasa
dengan kubah yang sangat modern bernuansa putih. Sepanjang matanya memandang ke atas, ia hanya melihat atap yang
melengkung dengan detail-detail rangka yang rumit bersilang17
! 1-7.17
an tapi simetris. Di kejauhan, ia sudah melihat meja infor?
masi.
Fay mengeluarkan kamera dan mulai mengambil foto. Bodo
deh mau dibilang kampungan, pikirnya sambil terus memotret. Ia
ingat ancaman Lisa sebelum pergi.
"Jangan lupa foto-foto yang banyak ya. Awas kalau lo pulang
nggak bawa foto dengan alasan takut dibilang kampungan atau
males, gue bakal menganggap semua cerita lo bohong dan gue
nggak mau ngomonga lo lagi."
Keluar dari mulut si bawel, ancaman itu tidak bisa dibilang
main-main. Paling tidak, Fay bisa dicuekin satu bulan, dan
setelah itu harus mendengarkan omelan si bawel itu seumur
hidupnya.
Setelah puas, dengan kamera digital yang masih siaga di ta?
ngan, Fay beranjak menuju meja informasi. Penjemputnya
harusnya ada di sana, membawa kertas dengan namanya.
Itu dia! Fay menangkap satu sosok pria dengan hidung yang
mancung seperti pinokio, memegang papan dengan logo se?
kolah bahasa yang akan diikutinya beserta namanya. Belum
sempat ia menyapa penjemputnya, terdengar suara ramah di
belakangnya,
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Halo gadis pemberani, ada tumpangan ke kota?"
Ternyata pria kocak bertopi di pesawat tadi. Dengan riang
Fay mengangguk dan menunjuk penjemputnya yang masih be?
lum tahu ia sudah di sana.
"Baiklah kalau begitu, jaga diri baik-baik, dan sekali lagi,
good luck with your French lesson," si kocak itu tersenyum dan
meninggalkannya.
Segera Fay menyapa penjemputnya yang memperkenalkan
diri sebagai Alan dan tidak lama kemudian ia sudah ada di
dalam mobil sedan yang akan mengantarnya ke rumah kedua?
nya selama dua minggu ke depan. Jacque dan Celine, demikian
nama suami-istri pemilik rumah yang akan menjadi tempat
tinggalnya.
! 1-7.18
Ia melirik arloji Swatch yang sudah setia menemaninya se?
jak hari pertama masuk SMA. Jam 07.30, hari Minggu, hari
pertama di Paris. Senyum kembali tersungging di wajahnya dan
ia melihat ke luar jendela dengan penuh minat, siap untuk
menyongsong hari-harinya.
Empat puluh menit kemudian, mobilnya memasuki Rue de
Boulle, satu jalan yang dipenuhi rumah dua lantai bergaya
townhouse yang berjajar di kedua sisinya. Rumah-rumah itu
langsung terhubung ke trotoar yang sempit melalui tangga dari
pintu masuk yang letaknya kira-kira satu meter lebih tinggi
dari permukaan jalan. Di sisi kanan dan kiri tangga terdapat
taman kecil dan hampir semua rumah yang Fay lihat mena?
naminya dengan semak berbunga kecil-kecil berwarna-warni
atau pohon yang tidak terlalu tinggi. Karena tidak ada garasi,
mobil-mobil diparkir di sisi jalan.
Akhirnya mobil yang ditumpanginya menepi, di depan salah
satu rumah bercat putih dengan aksen ungu di pintu dan se?
luruh jendelanya, bernomor 35.
Ketika masuk, Fay dan Alan disambut oleh pria berambut
cokelat dengan senyum lebar yang tersembunyi di balik kumis
tebal yang juga cokelat, dan seorang wanita bertubuh agak
gempal, berambut pendek warna pirang yang tersenyum ramah.
Fay cuma bisa melongo ketika pria yang tentunya Jacque ini
langsung memeluknya, disusul oleh wanita yang pastinya
Celine, sambil nyerocos dalam bahasa Prancis.
"Bounjour, esklaf Fay, bla fdad bla bla."
Ngomong apa ini orang?
Tentu saja kata-kata itu tidak Fay ucapkan, lagi pula mereka
tidak mengerti. Tapi mungkin ekspresi mukanya jelas-jelas me?
lafalkan kalimat itu dengan kencang, sehingga Jacque langsung
bicara dalam bahasa Inggris.
"Selamat datang di rumah kami, Fay. Saya Jacque dan ini
! 1-7.19
istri saya Celine. Saya harap kamu akan segera merasa seperti
di rumah sendiri."
Kalimatnya singkat-singkat, tapi jelas. Logat Prancis-nya
membuat kalimat itu terasa mengalun lembut didengar telinga
Fay.
Jacque berbicara kepada Alan dengan suara yang di telinga
Fay terdengar seperti air yang dikucurkan dari ceret dan kini
ia mengerti apa yang dimaksud oleh pria kocak bertopi yang
ditemuinya di pesawat. Tak lama kemudian Alan melambaikan
tangan, "Au revoir," dan dia pun pergi.
Celine menuntunnya ke ruang makan, sementara Jacque
dengan bersemangat berkata dia akan membawa koper ke ka?
mar Fay di lantai atas.
Di ruang makan yang menyatu dengan dapur, Celine menyu?
guhkan segelas cokelat hangat. Di meja makan sudah ada roti
bulat kecil, mentega, selai aprikot dan stroberi, serta omelette
dan sosis.
"Kamu datang tepat sekali untuk sarapan. Tolong jangan
bilang kamu tidak lapar ya, belakangan ini makanan di pe?
sawat semakin kurang layak disajikan," katanya ramah.
Celine menunjuk sosis dan berkata, "Semua yang ada di sini
bisa kamu makan. Sekolah kamu sudah menginformasikan
kamu hanya bisa makan daging sapi, ayam, dan ikan."
Jacque kemudian bergabung dan mereka pun bercakap-cakap
seputar keluarga.
Jacque dan Celine ternyata punya satu anak laki-laki yang
baru lulus SMA bernama Pierre. Jacque sempat menunjukkan
fotonya kepada Fay, dan tampangnya lumayan dengan rambut
cokelat seperti Jacque dan mata hijau seperti ibunya. Sayang?
nya, liburan musim panas ini dia habiskan di rumah sepupunya
yang tinggal di London.
Yah, hilang deh kesempatan untuk "an exciting first romance",
pikir Fay.
Suami-istri itu mempunyai satu toko buku di sudut jalan
tidak jauh dari rumah mereka, khusus menjual novel, bekas
! 1-7.20
dan baru. Dengan nada kesal Jacque menambahkan bahwa
walaupun usahanya ini menjanjikan, Pierre tampaknya tidak
tertarik untuk meneruskan usahanya, mampir saja jarang, se?
hingga kini dia mengajak salah satu keponakannya untuk men?
jalankan toko itu.
Sambil mendengarkan keduanya berbicara bergantian, Fay
tidak berhenti mengunyah. Benar-benar tidak menyesal makan
lagi pagi ini karena roti, mentega, dan sosisnya benar-benar
enak. Ia pun selesai dengan perut kekenyangan dan mengeluselus perutnya.
Jacque tertawa melihatnya dan berkata, "Tidak ada yang bisa
menolak roti bulat buatan Celine. Bila kami nanti tidak ber?
jualan buku lagi, sudah pasti kami akan berjualan roti."
Dia kemudian menambahkan bahwa ada urusan yang harus
diselesaikan siang ini di tokonya, jadi baru bisa mengantar Fay
untuk Tour de Paris nanti sore. Tapi Jacque menawarkan, kalau
Fay mau, dia bisa mengantarnya ke dekat La Tour Eiffel pagi
ini dan menjemputnya kembali nanti sore.
Fay tidak percaya dengan peruntungannya. Kemarin ia masih
di Jakarta dan sekarang ia sudah akan jalan-jalan sendiri di
Paris, melihat Menara Eiffel! Rasanya ia ingin berteriak saking
girangnya. Tentu saja ia tidak ingin melewatkan kesempatan
untuk menceritakan hal ini nanti ke teman-temannya dan me?
nikmati tatapan kagum setengah iri mereka, serta tatapan sirik
geng borju di sekolahnya kalau mereka tahu.
Well, I?ll make sure they are well updated, tekadnya.
Fay langsung setuju.
Sambil berdiri, Jacque berkata, "Mari saya tunjukkan di
mana kamar kamu. Kamu bisa istirahat sebentar sebelum kita
pergi."
Kamar Fay tidak besar, seukuran kamarnya di Jakarta, de?
ngan perabot lengkap bernuansa krem dan jendela yang meng?
hadap ke jalan. Yang menjadi kejutan untuk Fay, di sudut ka?
mar ada komputer. Komputer itu ternyata milik Pierre yang
dipindahkan oleh Jacque ke kamar itu karena dia tidak ada
selama dua bulan ini.
! 1-7.21
"Saya akan meninggalkan kamu sekarang supaya kamu sem?
pat beristirahat. Kita akan pergi jam setengah sebelas," ujar
Jacque sambil menunjuk jam yang berada di atas pintu, ke?
mudian dia meninggalkannya sambil menutup pintu.
Ketika tiba waktunya turun, cukup banyak yang sudah Fay
lakukan. Selain sudah beres-beres dan mengosongkan kopernya,
ia juga sempat membuka komputer dan menemukan komputer
itu sudah terkoneksi langsung ke Internet. Dengan riang ia
masuk ke Yahoo! untuk cek e-mail. Ternyata sudah ada e-mail
dari mamanya dan Dea dan ia membalas keduanya singkat.
To Mama
Ma, udah nyampe nih, udah di rumah Jacque & Celine.
Baru selesai beres-beres dan sebentar lagi mau ikut Jacque
liat Eiffel.
Udah dulu ya, bye.
Fay nggak berterus terang pada mamanya bahwa sebenarnya
ia pergi sendiri. Nanti bisa heboh dan runyam, katanya dalam
hati.
To Dea
Cc Cici, Lisa
Dea, gue udah di Paris nih, di rumah Jacque & Celine.
Kamarnya lumayan, yang jelas lebih rapi dibandingin kamar
gue ;-) n ada komputer di kamar yang bisa gue pake, udah
langsung connect pula, gak usah dial kyk di rumah gue. Lu?
mayan lah, kirim e-mail nggak bakalan masalah. Ceritanya
nanti aja ya, gue mau ke Eiffel dulu -) SENDIRIAN
lhoooo -D -D Nanti gue update yang lengkap deeeeeh...
ciao, girls.
Sebelum pergi, Celine memberi pengarahan singkat tentang
apa yang bisa dilakukan di sekitar Eiffel. Untuk makan siang,
wanita itu membuatkannya sandwich dan mengatakan bahwa
! 1-7.22
ia bisa makan di taman yang ada di sekitar Menara Eiffel, sam?
bil menunjukkan posisinya di peta.
Berbekal sandwich tebal dan peta yang ia coba hayati di pe?
sawat sambil mengusir bosan, Fay pun berangkat diantar
Jacque.
Tiga puluh menit setelah Jacque dan Fay berangkat, terdengar
bunyi bel disertai ketukan yang mendesak di pintu memaksa
Celine mematikan kompor yang sedang menggodok daging
domba muda yang nanti akan dipanggang untuk makan malam.
Menu itu adalah kesukaan Jacque yang biasanya hanya keluar
di hari-hari spesial. Well, ia mengategorikan hari ini cukup
spesial untuk kemunculan si domba muda di meja makan,
mengingat ini hari pertama Fay di rumah mereka. Ini juga
akan menjadi uji coba mereka untuk menjadi tuan rumah bagi
pelajar atau mahasiswa yang akan belajar di Paris. Tambahan
pendapatan yang lumayan tanpa perlu modal yang besar.
"Sebentar," sahutnya kesal.
Celine membuka pintu dan melihat tiga pria berdiri di de?
pan rumahnya. Di baju mereka terdapat logo dinas kota Pa?
ris.
Seorang pria yang tampak paling senior berbicara dengan
nada sopan sambil memberikan tanda pengenal kedinasan?nya,
"Selamat siang. Kami petugas dari dinas kota. Kami menerima
laporan adanya kebocoran gas di jalan ini dan kami sedang
menyelidiki sumbernya."
Pria itu melihat ekspresi terhina yang muncul di wajah Ce?
line dan buru-buru menambahkan dengan tidak kehilangan
senyum ramahnya yang memohon pengertian Celine.
"Kami yakin sumbernya kemungkinan besar bukan dari ru?
mah Anda, tapi ini prosedur yang harus kami jalankan. Ada
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berapa orang yang tinggal di rumah ini? Kami perlu datanya
untuk berjaga-jaga bila perlu evakuasi."
! 1-7.23
Celine mengurungkan niatnya untuk menunjukkan sikap
tidak setuju secara frontal. "Ada tiga orang, saya sendiri, suami,
dan Fay, tamu kami. Tapi saat ini hanya saya sendiri yang ada
di rumah."
"Sebaiknya Madame keluar sebentar, tidak akan lama, se?
kitar sepuluh menit saja. Dua petugas akan masuk dan me?
meriksa apakah sumber dari kebocoran ini adalah rumah Ma?
dame atau bukan."
Celine pun beranjak ke luar rumah. Petugas itu menjelaskan
bahwa sesuai prosedur, rumahnyalah yang pertama diperiksa,
dan setelah itu mereka akan memeriksa rumah-rumah lain sam?
pai sumber kebocoran ditemukan.
Dua petugas masuk ke rumahnya dan Celine pun menunggu
di trotoar sambil bercakap-cakap dengan petugas yang senior.
Pria itu bertanya apa yang sedang dilakukan oleh Celine dan
pembicaraan itu pun akhirnya didominasi Celine yang dengan
semangat menjelaskan menu domba mudanya.
Sepuluh menit kemudian, kedua petugas tadi keluar.
"Kami tidak menemukan kebocoran di tempat Anda."
Celine mengangguk penuh kemenangan. Tentu saja, kalau
ada yang salah di rumahku, akulah yang pertama kali tahu, pikir?
nya.
Petugas yang senior pun tersenyum sopan dan berkata, "Se?
perti perkiraan awal kami, sumbernya bukan dari rumah Anda.
Terima kasih atas kerja samanya. Andaikata saja semua orang
punya pengertian seperti Anda, tentu tugas kami akan lebih
ringan."
Celine kembali mengangguk ramah, agak tersanjung ia men?
jawab, "Tidak masalah, Messieurs, selamat bertugas."
Ketiga petugas tadi pun berlalu setelah Celine masuk ke ru?
mah. Tidak berhenti di depan rumah mana pun seperti yang
tadi mereka katakan, tapi melewati dua rumah berikutnya ke?
mudian menyeberang jalan dan masuk ke van hitam yang di?
pintunya tergambar logo yang sama dengan yang terdapat di
seragam mereka.
! 1-7.24
Seorang pria di bagian belakang van sedang duduk memper?
hatikan delapan layar monitor di hadapannya. Di salah satu
layar tampak Celine yang sudah kembali sibuk dengan domba
mudanya, mengaduk isi panci dengan penuh semangat. Di dua
layar lain tampak gambar ruang tamu yang dilihat dari sisi
foyer, serta kamar Fay beserta seluruh isinya.
Pria itu menunjuk gambar kamar Fay dengan pensil yang
ada di tangannya. "Kerja yang bagus. Jarang-jarang kita bisa
mendapat gambar dari sudut yang sempurna seperti ini."
Salah satu petugas yang tadi masuk ke rumah tersenyum
puas. "Jarang-jarang juga ada jam dinding yang diletakkan di
atas pintu kamar tidur."
"Apakah suara bisa diterima dengan baik?"
"Bon, receiver sepertinya berfungsi baik, tapi harus kita tung?
gu untuk membuktikannya."
"Bagaimana dengan telepon?
"Mari kita cek sekarang."
Salah seorang dari mereka mengeluarkan telepon genggam
dan berjalan ke luar van. Tiga pria lain yang ada di dalam van
segera memasang headphone. Terdengar suara telepon berdering
dengan jernih. Telepon di rumah Celine terdapat di ruang
tamu dan dapur. Salah satu pria itu segera mengecilkan volume
penyadap di ruang tamu dan dapur secara bergantian, untuk
mengetahui apakah masing-masing penyadap di kedua ruangan
itu bekerja dengan baik. Di layar, tampak Celine tergopohgopoh menuju telepon yang terpasang di dinding. Segera sete?
lah telepon diangkat oleh Celine, pria itu mengecilkan volume
yang diterima oleh penyadap di ruang tamu dan dapur untuk
memastikan suara yang mereka dengar berikutnya berasal dari
penyadap yang dipasang di telepon.
"Halo," terdengar suara Celine berkata.
"Bonjour, apakah ini kediaman Monsieur Legrand?"
"Salah sambung," jawab Celine ketus.
"Maaf, Madame...," sambungan pun terputus. Di layar tam?
pak Celine setengah membanting telepon dengan kesal.
! 1-7.25
Pria yang paling senior tersenyum puas dan mengacungkan
jempolnya ke arah pria si penelepon yang masuk kembali ke
van.
! 1-7.26
"Eiffel, tolooong!"
MENARA EIFFEL!
Bangunan itu menjulang megah di depan matanya.
Cool!
Fay tersenyum puas sambil menikmati sensasi aneh di dada
dan perutnya. Dadanya sesak, antara percaya dan tidak percaya
bahwa ia akhirnya berada di depan menara ini. Di perutnya,
ia merasa ada makhluk mungil yang berputar-putar, kadang
searah jarum jam, kadang berlawanan arah, atau mungkin ja?
rum jam itulah yang sebenarnya sedang menusuk-nusuk perut?
nya dari dalam.
Well, whatever. Siapa juga yang peduli.
Fay menarik napas panjang dan mengamati pemandangan di
depannya. Saat ini ia berada di lapangan dengan Menara Eiffel
berdiri kokoh di tengah-tengahnya. Lengkungan yang menyam?
bungkan tiap kaki yang menopangnya membuat menara itu
sangat elok dan bagaikan mempunyai nyawa tersendiri, terlihat
megah di satu sisi tapi manusiawi di sisi lain. Tidak mencakar
langit, melainkan menyapa langit. Langit Paris yang siang ini
cerah tanpa awan setitik pun, menambah anggun menara itu
! 1-7.27
yang tampak seperti dilukis di atas kanvas biru muda tanpa
cela.
iPod Fay sedang memainkan lagu Closer-nya Travis. Lagu itu
bukan lagu baru, tapi karena itu lagu favoritnya, entah sudah
berapa ratus kali, mungkin ribu kali diputarnya.
Mmm, aneh juga ya bagaimana suasana bisa memengaruhi
mood seseorang, pikir Fay. Selama ini ia tidak pernah merasa
aneh mendengar lagu itu diputar. Kecuali sekarang. Nyawa
menara di depannya terasa terlalu besar untuk lagu ini. Tangan?
nya pun bergerak untuk mematikan iPod-nya dan memasuk?
kannya ke ransel.
Kembali Fay mengamati menara di depannya. Melihat Me?
nara Eiffel adalah impiannya sejak lama, tepatnya sejak ia
melihat ilustrasi menara tersebut pada sebuah buku yang di?
lihatnya ketika ia masih kelas 4 SD. Buku itu sudah tidak
bersampul lagi ketika ia menemukannya di perpustakaan se?
kolah, bahkan sudah kehilangan beberapa bab awalnya. Di
halaman terdepan yang sebenarnya adalah pertengahan bab
ketiga itu terdapat lukisan yang sangat indah, digambar dengan
pensil yang diarsir halus. Di gambar tersebut terlihat seorang
ibu sedang menggandeng anaknya yang masih kecil, sedang
melihat sebuah menara di kejauhan. Di bagian bawah terbaca
keterangan "Menara Eiffel, Paris 1955". Entah kenapa, gambar
itu sangat menyentuhnya. Fay pun bertekad untuk melihat me?
nara itu secara langsung suatu hari. Tidak pernah terbayangkan
bahwa hari tersebut adalah hari ini, tepat saat ini. Fay meng?
ambil kamera digitalnya dan mulai mengambil foto.
Ingatan akan gambar itu membawa lamunannya kepada
Mama. Seorang ibu yang berusaha terlalu keras untuk menye?
nangkan dan membahagiakan anaknya, tentunya dengan versi?
nya sendiri, mencari uang dengan bekerja siang-malam tanpa
melewatkan kesempatan apa pun yang ditawarkan oleh kan?
tornya, bahkan bila itu mengharuskan dia jauh dari putri satusatunya. Darinya Fay belajar arti kemandirian. Atau kesendirian,
! 1-7.28
pikirnya pahit. Mungkin itu sebabnya ia sangat terkesan de?
ngan gambar yang ia lihat.
Lamunannya pecah ketika ia mendengar suara berisik di be?
lakangnya dalam bahasa yang tidak ia kenal, terdengar seperti
semua kalimatnya terdiri dari hanya konsonan. Fay menoleh
dan melihat segerombolan turis yang bersahut-sahutan satu
sama lain. Ia pun melihat ke sekelilingnya dan melihat turis,
hanya turis, dengan segala aktivitas mereka. Matanya juga me?
nangkap antrean bagai semut berbaris, yang ternyata turis-turis
yang sedang mengantre untuk masuk ke Menara Eiffel.
Idiih, udah gila kali mau-maunya ngantre panjang begitu, kayak
nggak ada hari lain aja, pikir Fay sambil tersenyum menang,
mengingat masih ada waktu dua minggu lagi baginya dan ini
baru hari pertamanya.
Perlahan ia berjalan dengan tujuan mengitari menara itu
sambil berusaha mencari perasaan yang dulu ia rasakan ketika
melihat gambar dalam buku tersebut. Tapi, ketika sampai di
kaki menara yang berikutnya, ia sudah merasa bosan. Lautan
manusia yang ada di sana membuatnya lebih berkonsentrasi
untuk mencari jalan di sela-sela lalu lintas turis yang kalau
jalan tidak pernah lurus dan benar-benar membuatnya kehilang?
an makna dalam menikmati pemandangan Eiffel. Fay pun me?
nyerah dan menyudahi perjalanan napak tilas mimpinya.
Fay ingat betapa antusias dirinya kala topik bahasan Cici
menyentuh Menara Eiffel minggu lalu.
"Ci, lo tau nggak, melihat Menara Eiffel itu udah jadi mim?
pi gue sejak lama. Gue rasa, kalau gue udah beneran ada di
depannya, gue bisa terdiam bengong dua jam dan mungkin
bahkan kalau bisa nginep di sana."
Cici hanya tertawa. "Alaaah, percaya deh, Fay,a gue.
Eiffel itu a very magnificent monument, tapi ya cuma itu. Kalau
lo udah ada di sana, paling juga satu jam lo udah bosen. Sama
aja kayak waktu kita ke Bali, di Tanah Lot atau Pura Besakih,
yang seru kan foto-foto dan ketawa-ketiwi bareng. Kalau sen?
diri, pasti garing. Trust me on that."
! 1-7.29
Waktu Fay masih tidak setuju, Cici pun menambahkan de?
ngan lebih sadis, "Coba aja lo ke Monas sana, pengin tau deh
gue, berapa lama lo bisa tatapin itu monumen."
Dasar gilingan padi, Eiffel kok dibandingina Monas.
Tangannya melirik jam, buset, bahkan belum sampai satu
jam ia di sini. Fay meringis membayangkan ketawa Cici kalau
dia tahu nanti. Mungkin Cici benar, Eiffel sedemikian menarik
karena adanya di Paris. Mungkin nggak ya orang Prancis meng?
anggap Monas lebih menarik daripada Eiffel yang udah mereka
pelototin tiap hari? Ah, sudahlah.
Dengan pemikiran itu, kakinya melangkah menuju Champs?lys?es.
Fay mengalihkan pandangannya ke jalan yang akan diseberangi?
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nya. Sebuah limusin hitam panjang berjalan pelan di hadapan?
nya. Di belakang mobil itu, sebuah mobil tipe citycar warna
hijau permen karet, entah merek apa?belum pernah Fay lihat
di Jakarta, mengklakson galak, tampaknya tidak sabar. Suara
klaksonnya tidak hanya memekakkan telinga, tapi juga frekuen?
sinya sangat mengganggu, mirip suara klakson metro mini di
lampu merah daerah Blok M.
Akhirnya Fay memasuki jalan Champs-?lys?es dan seketika
itu juga ia berhenti dan berdecak kagum. Jalan itu sangat lebar
dengan trotoar yang juga lebar. Di sepanjang trotoar, pohonpohon berjajar rapi, membatasi pejalan kaki dengan jalan raya.
Rentetan kafe dan butik terkenal terdapat di kedua sisi trotoar,
dengan display yang mewah dan indah. Di kejauhan, Fay bisa
melihat salah satu ikon kota Paris, Arc de Triomph, bagaikan
gerbang besar yang menyambut pejalan kaki ketika mereka
sampai di ujung jalan.
Fay berjalan perlahan, memperhatikan apa yang ada di seke?
lilingnya sambil sesekali mengambil foto. Ia melihat orangorang yang masuk ke toko, orang-orang berhenti di depan
! 1-7.30
etalase, orang-orang keluar dari toko membawa kantong kertas,
orang-orang berjalan pelan, segerombolan turis berkumpul sam?
bil bercakap-cakap, beberapa orang berfoto-foto, seorang wanita
tinggi dengan paras dan dandanan seperti model berjalan dari
depan ke arahnya dengan cepat dan melewatinya. Di depannya
ada sepasang muda-mudi yang menurutnya sudah seperti "ulel
melingkel di atas pagel". Ia tertawa geli ketika ingat adik Lisa
yang baru tiga tahun, Sassy, berusaha mengucapkan itu ber?
ulang-ulang dengan logatnya yang masih cadel.
Pandangannya sempat dialihkan ke jalan ketika sebuah mo?
bil sport dua pintu warna merah melesat dengan kencang. Su?
dah pasti bukan Mercedez, BMW, atau Jaguar, karena Fay be?
lum pernah melihat mobil sejenis itu di Jakarta. Sebuah
limusin hitam panjang berjalan pelan. Mmm, d?j? vu.
Fay melihat jam tangannya, jam 12.00 waktu Paris. Lagi
ngapain ya teman-temannya di Jakarta? Belum ada seratus
meter berjalan, ia sudah menghitung ada lima pasangan yang
sedang asyik berciuman tanpa peduli dengan sekelilingnya.
"Mungkin itu yang namanya french kiss," gumamnya pada diri
sendiri. Kalau ada teman-temannya di sini, itu pasti akan jadi
topik bahasan yang seru. Ia sempat berkhayal sebentar, andai?
kata salah satu dari mereka adalah dirinya dan Nico, cowok
keren anggota tim basket di sekolah. Hmmm, baru mikir aja
udah deg-degan. Tapi khayalannya langsung putus ketika muncul
sosok Tiara, ketua geng borju yang pacar Nico. Huh, menyebal?
kan. Bahkan di sini aja cewek itu mengganggu sekali!
Angin berembus tipis dan memberi kesegaran di panas siang
itu. Fay masih berjalan di trotoar besar itu dan pandangannya
jatuh ke kafe di depannya, menjorok ke trotoar. Sambil me?
nikmati setiap langkah yang terayun, ia memerhatikan pria
dan wanita yang duduk di sana. Beberapa orang duduk santai
sambil membaca koran. Ada juga beberapa wanita dan pria
yang berkumpul di satu meja dan kelihatannya sedang terlibat
percakapan seru karena seorang wanita berbicara dengan gerak
tangan penuh semangat dan yang lain mendengarkan dengan
! 1-7.31
antusias sambil sesekali tertawa. Ada juga sebuah keluarga de?
ngan bayi di stroller, yang sibuk menggigiti mainannya semen?
tara orangtuanya mengobrol sambil menikmati kopi dan crois?
sant. Dan yang menjadi pemandangan umum di Paris, sepasang
kekasih asyik berciuman sambil berpangkuan di kursi.
Pandangan Fay dialihkan kembali ke jalan. Ada lagi limusin
hitam panjang, persis seperti yang tadi ia lihat. Kacanya sangat
gelap, sama sekali tidak ada yang terlihat dari luar. Ia berpikir
apakah memang mobil ini wajib hukumnya dimiliki oleh me?
reka yang memproklamirkan diri sebagai anggota high socialit?
di Paris, sebagaimana BMW, Mercedez, Jaguar, atau mobil-mo?
bil mahal lain di Jakarta? Mobil itu juga berjalan pelan, sekitar
dua puluh meter di depannya, dan secara perlahan menepi ke
trotoar.
Persis ketika Fay berada di sisi belakang mobil, dengan jarak
hanya sepuluh meter dari pintu, pintu itu terbuka lebar. Se?
orang pria berjas hitam dan kacamata hitam keluar. Fay agak
kecewa melihatnya karena selain tampilannya yang rapi, tam?
pang pria itu hanya masuk kategori standar saja. Mengingat
mobilnya sebagus itu, Fay sebenarnya berharap yang turun
akan sekeren David Beckham atau Brad Pitt. Padahal udah siap
jadi paparazi, ujarnya dalam hati.
Pria itu berjalan ke arah kafe di sebelah kiri Fay. Sambil
melintas di belakang pria tersebut, Fay tidak menyia-nyiakan
kesempatan menolehkan kepala ke kanan untuk mengintip ke
dalam mobil.
Tepat ketika ia berada persis di samping pintu mobil yang
terbuka, mendadak pria tadi sudah berada di sisi kirinya, men?
cengkeram tangan kirinya sambil mendorongnya ke arah pintu
mobil yang terbuka. Belum pulih Fay dari rasa kaget, dari da?
lam mobil ada satu lagi tangan yang muncul dan menarik ta?
ngan kanannya sehingga mau tidak mau ia harus menundukkan
kepalanya untuk masuk ke mobil kalau tidak mau benjol.
Segera setelah Fay masuk mobil, pria berjas hitam itu ikut ma?
suk sambil menutup pintu dan mobil itu langsung bergerak
secara kasual, seakan tidak ada kejadian yang luar biasa.
! 1-7.32
Masih ternganga, Fay kini duduk di tengah, diapit oleh dua
orang penculiknya. Tidak ada kata-kata yang mampu keluar
dari mulutnya. Ransel dan kameranya sudah diambil oleh pria
yang duduk di sebelah kanannya. Jas pria itu tidak dikancing?
kan dan tidak perlu orang genius untuk tahu bahwa di sisi
dalam jasnya ada senjata api.
"Jangan berteriak atau melawan, dan kamu tidak akan di?
lukai," ujar pria itu.
"Sekarang, kami harus melakukan ini," sambil mengucapkan
kalimat itu dia mengeluarkan penutup mata, mirip seperti yang
ia dapat di pesawat kemarin, memasangnya pada mata Fay,
kemudian menelungkupkan entah kantong atau karung di ke?
palanya. Di saat yang bersamaan, temannya yang ada di se?
belah kiri membawa kedua tangan Fay ke punggung dan mulai
mengikatnya.
Kedua tangan Fay sekarang sangat dingin dan kaku, seolah
dipaksa menggenggam es batu. Jantungnya berdebar kencang
dan Fay mulai merasa mual. "Awas, Fay, jangan sampai mun?
tah, kampungan banget sih lo naik mobil sebagus ini kok mun?
tah, biasanya naik metro mini juga bisa ketiduran," ia terus
berceloteh yang aneh-aneh dalam hati untuk menutupi rasa
takutnya. Sayang jantungnya tidak bisa diajak kompromi. Ia
merasa semakin lama degupnya makin kencang, menggedor
dadanya yang semakin lama terasa semakin tipis, hingga ia
khawatir jantungnya melesak keluar, dan napasnya pun mulai
sesak. Apalagi ia bisa merasakan napasnya sendiri yang terpan?
tul di sisi kantong yang menutupi kepalanya. Ia kini hanya
bisa menunggu, berharap dan berdoa ini hanya mimpi buruk
yang akan segera berakhir.
Setelah perjalanan yang rasanya panjang sekali, lewat jalan
yang rasanya berliku-liku, mobil itu berhenti. Terdengar suara
pintu-pintu mobil itu dibuka hampir secara bersamaan dan Fay
ditarik keluar.
! 1-7.33
Ada gema yang terdengar dari setiap suara yang keluar, baik
dari suara pintu mobil yang ditutup maupun dari langkah kaki?
nya dan para penculiknya. Sepertinya ia ada di dalam ruangan,
mungkin garasi.
Fay berjalan dituntun oleh dua orang, sepertinya masih
orang yang sama yang tadi ada di dalam mobil. Masing-masing
dari mereka memegang lengannya di kiri dan kanan.
Ada tangga yang ia naiki, kemudian pintu, kemudian jalan
datar, kemudian berbelok dan tangga naik lagi. Kemudian, se?
telah jalan berbelok-belok beberapa kali, ada tangga turun.
Tangga ini agak panjang. Fay merasa ia setengah diseret dan
diangkat oleh kedua pria itu, walaupun ia baru sadar juga bah?
wa mereka tidak kasar. Ia harus berkonsentrasi penuh pada ja?
lan yang dilewati dengan mata tertutup, mengandalkan arahan
kedua penculiknya. Sedikit-banyak hal itu membantu menstabil?
kan degup jantungnya, walaupun tangannya masih dingin.
Kemudian mereka berhenti. Ada suara kunci diputar, pintu
dibuka, dan ia pun dibawa masuk ruangan. Di sana ia diduduk?
kan di kursi kayu. Kedua pria itu sepertinya pergi karena ia
mendengar langkah mereka menjauh ke arah pintu, kemudian
terdengar suara kunci dari luar. Ia ditinggal sendirian, dengan
mata tertutup dan tangan yang masih terikat.
Semua gelap. Tidak ada cahaya sedikit pun yang bisa lolos
menyisip ke dalam penutup mata dan kantong yang ditelung?
kupkan ke kepalanya. Sebenarnya, tangannya hanya diikat ke
belakang dan tidak diikat ke kursi, jadi bisa saja Fay bangun
dan berjalan mundur sambil meraba-raba. Tapi, ia tidak punya
keberanian untuk melakukan itu. Begitu juga untuk berteriak
minta tolong. Yang terakhir ini lebih membingungkan lagi.
"Tolong" itu apa ya dalam bahasa Prancis? Atau aku teriak "help"
aja? Aduh bagaimana ini Ia mengutuk dirinya sendiri yang
bisa-bisanya dalam keadaan begini masih memikirkan kepatut?
an grammar dan vocab. Bagaimanapun, ia tidak punya keberani?
an. Siapa tahu yang datang malah penculiknya dan mereka
menjadi lebih marah dan tidak sebaik sebelumnya.
! 1-7.34
Fay berusaha mencerna kejadian yang menimpanya, tapi ti?
dak berhasil. Rangkaian kejadian itu semakin terasa tidak ma?
suk akal. Dan yang lebih ia takutkan sekarang adalah ketidak?
mampuannya untuk membayangkan apa yang akan terjadi
selanjutnya.
Pikirannya mulai melayang-layang. Ia mulai berpikir, bagai?
mana kabar mamanya, papanya, teman-temannya, Nico, ibu
kantin penjual kue bolu paling enak sedunia, bahkan geng
borju sialan itu pun muncul di benaknya, dan mendadak ia
merasa sesak dan dadanya seakan mau pecah.
Di sela-sela keputusasaannya ia teringat Tuhan. Sebersit rasa
sungkan menyergap. Aneh memang, ketika terjepit rasanya
sangat mudah untuk ingat kepada Sang Pencipta. Ke mana
ingatan itu ketika senang dan bahagia menghampiri? Fay ter?
ingat pada sajadah yang biasanya dalam posisi terbuka di sudut
kamarnya di Jakarta, yang sekarang masih terlipat manis di le?
mari di rumah Jacque dan Celine. Fay teringat pada kewajiban?
nya lima kali sehari untuk menghadap-Nya, tapi yang hampir
selalu menjadi dua atau sekali sehari saja... ataukah sekali se?
minggu? Fay tidak ingat. Yang ia tahu pasti, sejak meninggalkan
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jakarta, belum ada satu pun yang ia tunaikan.
Akhirnya Fay memberanikan diri untuk berdoa, setelah se?
belumnya meminta maaf atas kelancangannya menyapa-Nya
saat ini. Apakah Tuhan mendengarkan? Sudah pasti, Fay yakin
itu. Apakah Tuhan mengabulkan? Harus. Sepertinya hanya itu
jalan keluar satu-satunya. Ia tidak berani membayangkan bila
Tuhan ternyata kesal dan memutuskan untuk membiarkan diri?
nya sendiri. Air matanya mulai terasa keluar, merembes mem?
basahi penutup matanya. Ia pun terisak.
Ironis. Hari pertama di Paris dan ia sudah menangis. Se?
benarnya ia paling tidak suka menangis dan bisa dihitung de?
ngan jari berapa kali ia menangis setelah statusnya bukan anak
kecil lagi. Tapi kali ini ia tidak berusaha berhenti.
! 1-7.35
Andrew McGallaghan berdiri dengan tangan bersedekap, meng?
amati apa yang ada di ruang sebelah melalui kaca besar yang
ada di hadapannya. Kaca itu adalah kaca dua arah. Dari ruang?
an tempatnya berdiri, ia bisa melihat dengan jelas apa yang
terjadi di ruang sebelah, tapi tidak sebaliknya. Di ruang se?
belah, kaca itu hanyalah tampak seperti cermin biasa.
Di tengah ruangan itu ada seorang gadis yang sedang duduk
di kursi menghadap ke arahnya dengan tangan terikat ke bela?
kang. Gadis itu pastinya sedang terisak pelan. Suaranya tidak
terdengar karena volume yang keluar dari speaker di ruang tem?
patnya berdiri itu memang sengaja dibuat minimal. Air mata
bahkan ekspresi wajahnya tidak bisa dilihat, karena kepalanya
tertutup kantong kain berwarna hitam dan di balik kantong
itu matanya pun ditutup. Tapi tubuh gadis itu berbicara. Posisi
duduknya agak condong ke depan. Bahunya sesekali bergetar,
dengan interval yang sama. Terlihat sesekali dadanya mencoba
menarik napas panjang, memenuhi rongga paru-parunya de?
ngan udara yang akan segera menjadi bahan bakar bagi dirinya
untuk kembali mengulang siklus isaknya.
Andrew mengalihkan pandangannya ke meja yang ada di
tengah ruangan dan beranjak ke sana. Isi tas gadis itu sudah
tersebar dengan rapi di meja. Ada paspor berwarna hijau, se?
buah agenda berwarna ungu dengan kertas-kertas yang terselip
di antaranya, peta dan buku panduan Paris, sebuah kantong
cokelat, Ipod, dompet Esprit warna cokelat, kamera digital, dan
telepon genggam.
Tangannya meraih kantong cokelat. Always seek for the
unknown. Ia mengintip isinya yang ternyata sandwich, kemudian
mengeluarkannya dan meletakkannya di atas kantong cokelat
pembungkusnya. Ia membuka kertas tipis yang membungkus
sandwich itu dan mengangkat roti bagian atas untuk melihat
isinya. Well, one can never be too careful. Walaupun kemungkinan?
! 1-7.36
nya kecil dalam kasus ini, bukannya tidak pernah terjadi se?
potong sandwich mempunyai isi yang tidak lazim, mulai dari
gunting, pisau, hingga obat. Setelah yakin dengan apa yang ia
lihat, ia mengembalikan sandwich itu ke dalam kantong cokelat.
Berikutnya adalah paspor. Fay Regina Wiranata, warga ne?
gara Indonesia, usia hampir tujuh belas tahun. Demikian infor?
masi yang tertulis di paspornya. Bukan informasi baru, karena
Andrew sudah tahu dari daftar penumpang pesawat Air France
yang sampai ke tangannya dua puluh menit setelah agennya
menelepon dari pesawat dan memberitahukan penemuan yang
menakjubkan itu. Dari tanggal berlakunya, paspor ini dibuat
baru dua bulan yang lalu. Andrew membolik-balik halamannya
sambil lalu. Seperti yang sudah ditebak, ia tidak menemukan
visa atau cap imigrasi selain dari negara Prancis.
Tangannya meraih agenda dan melihat kertas-kertas yang
terselip di sana, yang ternyata berhubungan dengan kursus ba?
hasa yang akan diikuti gadis itu. Ada surat konfirmasi keikut?
sertaannya, peta lokasi serta brosur-brosur tentang sekolah ter?
sebut yang dicetak sendiri dengan printer warna. Ada juga tiket
pesawat pulang-pergi Jakarta-Singapura dengan Garuda dan
Singapura-Paris dengan Air France beserta dua buah boarding
pass bertanggal kemarin. Di kantong agenda adaplop yang
berisi uang beberapa ratus Euro. Yang cukup menarik adalah
informasi di halaman pertama agenda. Selain data diri, juga
ada alamat website yang menjadi blog si gadis. Isi agenda itu
sendiri bervariasi, mulai dari jadwal pelajaran di sekolah, tulis?
an-tulisan yang tampak seperti cerita hingga coretan-coretan
yang tidak jelas maksudnya apa.
Dari agenda, Andrew beralih ke dompet, melihat isinya se?
kilas. Tidak ada yang luar biasa, hanya uang sekitar dua ratus
Euro dalam berbagai pecahan, kartu identitas siswa, dan bebe?
rapa kartu yang tampak seperti kartu diskon department store
atau kartu keanggotaan klub, yang tampaknya hanya berlaku
di negaranya.
Andrew mengambil kantong plastik bening untuk memasuk?
! 1-7.37
kan barang-barang yang menurutnya perlu ditindaklanjuti lagi.
Paspor, agenda, dan kertas-kertas di dalamnya perlu dikopi dan
mungkin juga diterjemahkan, demikian juga semua kartu yang
ada di dompet. Kamera dan iPod-nya harus diperiksa lebih cer?
mat. Semua foto dan video akan di-download. Begitu juga tele?
pon genggam, akan dikirim ke bagian teknis untuk penanganan
lebih lanjut. Sambil berpikir, barang-barang itu pun berpindah
posisi ke dalam kantong. Setelah selesai, ia meletakkannya di
meja terpisah, di dekat pintu. Kemudian ia kembali ke kaca
dan kembali memerhatikan gadis itu. Fay, kemungkinan itu
nama panggilannya, pikirnya.
Andrew bisa melihat bahwa gadis itu sudah berhenti me?
nangis. Bahunya sudah tidak bergetar lagi, napasnya sudah
stabil dan kini dia bersandar ke kursi. Tapi sekarang dia ge?
lisah. Berkali-kali dia menggeser posisi duduknya dan meng?
gerakkan kaki.
Andrew terseyum. Waktu memang tidak bersahabat kalau
kita tidak bisa merasakan kehadirannya. Jam yang masih me?
lingkar di pergelangan gadis itu saat ini telah kehilangan peran?
nya dalam memberi arahan waktu kepada si pemilik.
Andrew kemudian melihat jamnya sendiri, Bvlgari seri Bvl?
gari, jam klasik berwarna hitam berlapis rodium dengan tali
kulit buaya yang juga berwarna hitam. Baru dua puluh menit
gadis itu terduduk di kursi. Andrew akan menunggu sepuluh
menit lagi, berharap sepuluh menit itu cukup untuk membuat
si gadis mencapai puncak keputusasaannya. Bila tidak, well, ia
harus mencari cara lain nanti.
Aneh memang, gadis yang tidak berdaya di hadapannya ini
mungkin akan menjadi solusi bagi masalah yang dihadapinya.
Ingatan Andrew melayang ke rangkaian kejadian satu bulan
yang lalu, ketika agen-agennya berhasil melumpuhkan salah
satu sel teroris di Algeria dengan sukses. Tidak ada satu pun
! 1-7.38
korban di pihak mereka, berkat informasi intelijen yang akurat
dari agennya yang bertugas di sana, hasil kerja keras selama
enam bulan. Tim penyapu sedang membereskan apa yang ter?
sisa dari para teroris yang berjatuhan, memastikan mereka yang
tampak mati memang sudah kehilangan nyawa dan memastikan
mereka yang terluka tetap hidup untuk ditanyai. Mereka juga
menggeledah markas yang berupa gudang bawah tanah itu, de?
ngan harapan mendapat petunjuk tentang keberadaan sel lain.
Sayangnya mereka tidak beruntung dalam hal ini. Yang mereka
temukan di dalam satu-satunya lemari besi yang ada di markas
itu adalah rencana transaksi senjata yang akan terjadi di akhir
bulan ini. Penemuan yang sama sekali tidak mengejutkan bila
dibandingkan dengan isi selembar kertas yang ada di tumpukan
yang sama.
Kopi kertas itu sampai ke tangan Andrew satu jam kemu?
dian, difaks lewat jaluran ke kantornya, sebuah suite yang
nyaman di kompleks perkantoran miliknya, Llamar Corpo?
ration, Paris. Kompleks perkantoran itu berada di daerah ping?
giran Paris dan menempati area tiga belas hektar, menaungi
Llamar Corporation beserta dua belas anak perusahaannya yang
bergerak di bidang operasi perminyakan, telekomunikasi, biotek?
nologi, transportasi, manufaktur, keuangan, manajemen data,
riset, dan project management. Daftar itu masih akan bertambah
lagi dengan pembelian saham yang sedang dirintisnya terhadap
Tranship Pacific Inc., perusahaan multinasional yang bergerak
di bidang perkapalan; sebuah transaksi yang bila berhasil akan
langsung menempatkan perusahaannya menjadi raksasa nomor
dua di industri perkapalan dunia.
Ada dua belas gedung di kompleks itu. Masing-masing anak
perusahaan menempati satu gedung berlantai tujuh, berjajar
membentuk lingkaran yang mengelilingi danau buatan di te?
ngah kompleks. Satu gedung lagi, yang paling tinggi di antara
gedung-gedung lain, adalah korporat atau kantor pusat, tempat
kantor resmi Andrew berada.
Semua anak perusahaannya itu memberikan layanan operasi
! 1-7.39
ke publik, termasuk ke berbagai perusahaan di seluruh dunia,
kecuali satu, Llamar Research and Consultant Company. Bi?
dang kerja perusahaan itu adalah memberikan konsultasi inter?
nal dan melakukan berbagai riset teknologi bagi anak perusaha?
an Llamar Corporation yang lain.
Satu pengecualian adalah Core Research Division (CRD),
satu divisi di perusahaan riset itu yang bekerja di level korporasi,
menaungi kepentingan yang lebih besar, bertugas menganalisis
berbagai kondisi global yang bisa memengaruhi eksistensi semua
bisnis Llamar Corporation di semua area operasinya. Divisi ini
juga bertugas melihat peluang yang mungkin bermanfaat bagi
Llamar Corporation bila suatu kondisi global ber?ubah.
Andrew sendiri mempunyai kepentingan yang lebih besar di
divisi ini dibandingkan dengan anak perusahannya yang lain.
Ini karena di dalamnya ada satu unit khusus yang bisa me?
lakukan tindakan operasional setara dengan badan intelijen
negara maju. Unit itu disebut Core Operation Unit (COU).
Di struktur organisasi resmi Llamar Research and Consultant
Company, CRD dan COU hanyalah satu unit eksperimental
yang masing-masing mempunyai tiga pegawai. Kenyataannya,
kedua unit itu membawahi hampir tiga ribu orang, terdiri atas
pegawai administrasi, tenaga operasional, dan agen lapangan
yang tersebar di hampir semua negara tempat terdapat bisnis
Llamar.
Keberadaan keduanya tidak terdeteksi. Walaupun secara
struktur markas CRD dan COU tepat berada di bawah Llamar
Research and Consultant Company, tidak ada pintu akses yang
menghubungkan keduanya. Akses masuk ke sana tersebar di
beberapa tempat di Paris, memanfaatkan infrastruktur jaringan
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bawah tanah Paris yang rumit dan jarang dijamah.
Salah satu aksi baru-baru ini yang sukses dilakukan adalah
memindahkan satu suku di Afrika yang menolak area suci
leluhurnya dilewati pipa gas Llamar Pipeline. Fakta bahwa ada
beberapa tetua suku yang kehilangan nyawa dalam pemindahan
itu, tertelan gegap gempita pertemuan pemegang saham ketika
! 1-7.40
CEO Llamar Pipeline, Jeff Schumart, menyampaikan kabar
bahwa akhirnya kontrak Llamar Pipeline yang sempat tertunda
delapan bulan akan diteruskan. Andrew tersenyum membayang?
kan bahwa Jeff dengan gembira menganggap bahwa masalah
itu terselesaikan dengan sendirinya oleh tangan-tangan nasib.
COU-lah yang menentukan ke mana tangan nasib bergerak,
atas perintah Andrew. Keuntungan bagi Llamar Pipeline, atau
anak perusahaannya yang mana pun, akan menambah dana di
Llamar Foundation, organisasi nonprofit yang dibentuk untuk
menyalurkan bantuan ke negara-negara terbelakang dan ber?
kembang. Andrew membayangkan senyum merekah di bibir
Marie Rose, wanita Inggris separuh baya berperawakan kecil
yang menyenangkan, yang memimpin yayasan itu dengan se?
penuh jiwa dan mendedikasikan diri untuk membantu umat
manusia di belahan dunia mana pun.
COU juga terkadang bertindak atas permintaan badan atau
organisasi lain, dengan imbalan tentunya. Imbalan yang di?
minta tidak pernah berupa uang, tapi informasi atau jasa se?
jenis, dengan tanggal penagihan sesuai kebutuhan.
Begitu juga dengan misi ke Algeria itu yang diberi kode
"Catalyst". Misi ini dipicu permintaan tidak resmi dari salah
seorang teman baik Andrew di MI6, Ron Bradley. Ron men?
dapat info tentang keberadaan satu sel teroris di Algeria tapi
tidak berhasil meyakinkan pemimpinnya untuk menyetujui
suatu operasi atas informasi itu. Adik satu-satunya terbunuh di
Algeria tiga tahun lalu dalam usia masih muda, 25 tahun. Saat
itu adiknya bekerja sebagai juru kamera untuk salah satu sta?
siun berita dierika. Menurut pemimpinnya, dia tidak bisa
menyisihkan bujet yang tahun itu sudah dipotong untuk suatu
misi yang tidak mempunyai dasar kuat dan hanya memuaskan
kepentingan pribadi sang agen untuk membalas dendam.
Saat itu analisis CRD menyimpulkan bahwa sel teroris ini
mempunyai probabilitas 60% akan mengganggu rencana Llamar
Telcom untuk ekspansi ke Algeria dan berdasarkan analisis
profilnya, Ron Bradley mempunyai probabilitas 55% untuk
! 1-7.41
menduduki posisi penting di MI6 dalam tujuh tahun ke depan.
Probabilitas ini bisa naik menjadi 80% bila "didukung" dengan
tepat. Tentu saja Andrew menyambut permintaan tolong saha?
batnya dan memberi bantuan pribadi dengan melepas operasi
Catalyst di COU, tanpa imbalan apa pun.
Belum.
Bayarannya mungkin akan ditagihnya di kemudian hari,
mungkin juga tidak.
Ia sedang berdiri di ruang kerjanya menghadap ke danau,
setelah melalui sebuah pertemuan awal dengan para pemegang
saham Tranship Pacific Inc. untuk membicarakan akuisisi, ke?
tika faks dengan jaluran itu berbunyi. Begitu matanya me?
nangkap tulisan yang ada di sana, seketika juga ia tertegun.
Kertas itu berisi daftar nama. Ada dua puluh nama orang, de?
ngan keterangan lokasi di kolom kedua. Di kolom terakhir
terlihat keterangan nama-nama badan intelijen negara seperti
CIA, MI6, DEA, DGSE, dan Andrew melihat bahwa dari dua
puluh nama itu terdapat tiga nama yang diberi keterangan
unspecified. Pikiran buruk langsung menghinggapinya.
Analis terbaiknya tampaknya juga sadar dengan arti infor?
masi itu, karena dia juga tertegun ketika menerima kertas ter?
sebut, sadar dengan kemungkinan terburuk. Dia segera mengon?
firmasikan bahwa faks itu dikirim oleh agen di proyek Catalyst.
Laporannya diserahkan sepuluh menit kemudian kepada
Andrew, dengan isi yang lebih buruk daripada perkiraan awal?
nya.
Analisnya berhasil mengonfirmasikan bahwa nama-nama
yang tertera di sana adalah nama-nama agen dari badan inteli?
jen atau pemerintah. Berita yang lebih buruk, nama yang ter?
tera bukan nama asli mereka, tapi nama operasi yang dipakai
dalam penyusupan mereka saat ini, dan lokasi yang tertera di
situ adalah lokasi penugasan mereka saat ini. Andrew meng?
geleng tidak percaya pada apa yang ia baca. Selembar kertas
tersebut bagaikan daftar eksekusi bagi nama-nama yang tertera
di sana.
! 1-7.42
Lebih buruk lagi, dua dari tiga nama yang memiliki kete?
rangan unspecified tersebut adalah agen COU. Lebih buruk lagi,
salah satu dari mereka telah ditemukan tidak bernyawa di pan?
tai Afrika, dengan kondisi tidak menyenangkan, setelah hilang
kontak dengan markas pusat satu minggu sebelumnya. Operasi
penyusupan yang memakan perencanaan berbulan-bulan dan
sudah berlangsung hampir delapan bulan serta menghabiskan
tiga puluh juta franc menguap begitu saja.
Andrew menghela napas, berharap berita ini tidak bisa men?
jadi lebih buruk lagi. Harapannya tinggal harapan, karena
analisnya menyimpulkan bahwa satu lembar kertas itu hanya
contoh. Hanya Tuhan yang tahu ada berapa lembar lagi di?
miliki oleh entah siapa, berapa operasi lagi yang akan gagal
karena informasi ini, berapa lagi yang akan kehilangan nyawa?
nya, dan apakah ini bisa lebih buruk lagi.
Titik terang diperoleh ketika satu-satunya teroris yang se?
lamat?hanya satu luka tembak dengan peluru yang bersarang
di perut?datang 36 jam kemudian. Ketika Andrew menemui?
nya terduduk tanpa busana dengan tangan terikat di kursi
ruang interogasi markas COU Paris, tujuh lantai di bawah
tanah, pria itu menatapnya dengan sorot mata menantang,
menutupi ketakutannya dengan sikap agresif. Luka di perutnya
sudah dijahit, tapi pasti masih menyisakan sakit, karena walau?
pun kepalanya ditegakkan, tubuhnya tidak. Posisinya agak ter?
bungkuk sedikit, menjaga agar jahitan di perutnya tidak me?
regang. Andrew memperkirakan berapa lama waktu yang
diperlukan untuk membuat pria ini bicara, lima belas menit
maksimal, tidak lebih, pikirnya.
Perkiraannya tidak meleset terlalu jauh. Tepat tiga belas me?
nit kemudian, pria itu terkulai di hadapannya dengan keberani?
an yang sudah raib ditelan rasa sakit yang dalam. Wajahnya
sudah tidak berbentuk, ditutupi bengkak, memar, dan darah di
setiap inci wajahnya. Luka di perutnya sudah menganga kem?
bali dan darah mengalir keluar, menyapu sisi pahanya, menyapa
pinggir kursi sebelum akhirnya menetes ke lantai. Satu nama
! 1-7.43
disebutkan di antara bicara dan rintihan sakitnya yang sudah
seperti meracau, keluar dari bibirnya yang sudah bengkak dan
pecah Alfred Whitman.
Sudah sepuluh menit. Andrew melirik Bvlgari-nya sekali lagi
dan berjalan keluar ruangan, sangat menantikan saat berkenal?
an dengan gadis itu. Ia sangat percaya dengan kesan pertama
ketika melihat seseorang. Baginya, satu detik pertama sebuah
perkenalan adalah saat ketika kejujuran terbuka dan memberi
ruang bagi insting untuk berbicara. Setelah itu sang insting
akan lumpuh, terjebak bias yang ditimbulkan antara logika dan
perasaan, karena yang terpampang bukan lagi kejujuran, tapi
topeng dengan sejuta bentuk.
! 1-7.44
Bertemu Tuhan
FAY sudah berkali-kali mengubah posisi duduknya. Kadang
punggungnya diluruskan, kadang ia membungkuk, dan kadang
ia menyandarkan tubuh ke kursi dengan posisi aneh karena
tangannya masih terikat di punggung. Kakinya kadang diletak?
kan di lantai, kadang diletakkan di penyangga kaki yang melin?
tang di bagian bawah kursi.
Ia tidak tahu sudah berapa lama ada di tempat ini. Saat ini
ia merasa musuhnya adalah sang waktu. Bukan karena dia ce?
pat berlalu atau terlalu lambat berdetak, tapi karena dia kali
ini memilih untuk tidak hadir. Ingatan bahwa ada jam yang
masih melingkar manis di tangannya malah membuatnya ma?
kin kesal karena benda itu tidak bisa berteriak memberitahunya
sudah berapa lama ia di situ.
Terdengar suara kunci diputar dari luar dan pintu dibuka.
Suara langkah kaki dengan bunyi yang susul-menyusul berjalan
mendekat.
Fay menahan napas. Jantungnya kembali berdebar kencang.
Mendadak ia merasa angin segar menyergap hidungnya dan
masuk ke paru-parunya, memberi lega sesaat. Kantong yang
! 1-7.45
menyelubungi kepalanya telah diangkat. Segera penutup mata?
nya juga dibuka.
Silau! Ia harus mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali
untuk terbiasa dengan cahaya ruangan. Fay segera menangkap
siluet satu pria di depannya, dan satu pria lain yang berdiri di
sampingnya.
Segera setelah matanya terbiasa dengan penerangan di ruang
itu, ia bisa melihat sosok yang ada di depannya dengan jelas.
Pria itu mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung
hampir sesiku. Rambutnya sangat pirang, berusia pertengahan
empat puluhan, dan wajahnya sangat tampan, seperti bayangan
awal Fay tentang pemilik limusin hitam panjang itu. Kacamata
hitam bernuansa cokelat bergaya sporty tidak dipakai melainkan
dinaikkan ke kepalanya, membuatnya makin kelihatan keren.
Fay juga melihat bahwa mata pria ini sangat biru, sorot yang
tajam keluar dari sepasang mata yang begitu dalam dan mene?
nangkan.
"Halo, Fay."
Fay kaget mendengar pria itu menyebut namanya. Saat itu
juga ia baru ingat akan ranselnya, yang sudah tidak ada pada
dirinya. Mungkin itu sebabnya pria ini bisa tahu namanya, su?
dah pasti dari segala macam dokumen yang ada di dalam tas?
nya.
Pria itu melanjutkan dalam bahasa Inggris, "Sejauh ini kamu
sudah bersikap kooperatif. Kalau kamu bisa mempertahankan
sikap itu, tidak ada yang perlu kamu kuatirkan."
Fay hanya bisa mengangguk patuh.
"Pria ini akan mengantarkan kamu ke tujuan berikut."
Si pirang di depannya itu pun berjalan keluar. Pria yang di?
tunjuk olehnya tadi membuka ikatan tangannya dan menyuruh
Fay mengikutinya.
Pintu dibuka dan Fay melihat suatu lorong yang panjang,
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan pipa-pipa besar di sisi dinding di seberangnya dan pipapipa yang lebih kecil di atasnya. Lantainya dari semen dan
dindingnya hanya seperti bata diplester kasar dan dicat putih.
! 1-7.46
Pola kotak-kotak bata yang disusun bersilangan masih terlihat
dengan sangat jelas. Penerangan yang pas-pasan dari lampulampu di sepanjang dinding membuat lorong ini begitu muram.
Mereka menyusuri lorong itu dengan langkah kaki yang meng?
gema dan berhenti di depan satu pintu.
Ketika dibuka, suasana langsung berubah. Fay merasa seperti
berada di ruang kantor dengan cahaya yang terang benderang.
Ada ruang penerima tamu, lengkap dengan seorang wanita
cantik yang menjadi resepsionis, dan satu pintu lain di bela?
kangnya. Pria yang mengantarnya mengatakan sesuatu dalam
bahasa Prancis kepada wanita itu, kemudian wanita itu mem?
persilakan mereka masuk ke ruangan lain melalui pintu itu.
Ruangan ini berbentuk lingkaran dengan pintu-pintu di seke?
lilingnya. Warna putih bersih ruang itu mengingatkan Fay pada
ruang-ruang di rumah sakit. Tiga orang, dua pria dan satu
wanita, lengkap dengan jas dokter ada di situ. Salah satu pintu
terbuka dan Fay bisa melihat meja, kursi, dan tempat tidur
seperti yang biasa ada di ruang praktik dokter. Satu pria yang
tampak sangat senior datang menghampiri.
"Inikah orangnya?" tanya pria dokter itu, yang dijawab de?
ngan anggukan oleh pengantarnya.
"Oke, sayabil alih dari sini," ucapnya lagi.
Pria pengantarnya pun berbalik keluar.
Dokter itu berkata ramah, "Kami akan melakukan beberapa
pemeriksaan medis. Tidak akan memakan waktu lama, santai
saja."
Orang gila kali, pikir Fay. Gue disuruh santai setelah diculik
sama makhluk-makhluk aneh itu dan mau diperiksa pula oleh sege?
rombolan dokter. Ia berpikir, jangan-jangan dirinya mau dijadi?
kan kelinci percobaan suatu obat atau virus, seperti film yang
pernah ia tonton. Ia bergidik dan langsung membuang pikiran
itu jauh-jauh.
Setelah berganti baju dengan baju periksa yang seperti ki?
mono, mulailah Fay menjalani serangkaian tes yang menurut?
nya persis seperti check up di Rumah Sakit MMC yang pernah
! 1-7.47
ia jalani sekitar dua tahun lalu. Tes urin, tes darah, rontgen,
tensi, berat badan, pemeriksaan mata, telinga, paru-paru, dan
sebagainya. Ia keluar masuk ke ruangan-ruangan lebih kecil
yang ada di sekeliling ruangan itu yang ternyata memang berisi
berbagai alat pemeriksaan.
Yang sempat membuatnya malu adalah ketika dokter pria
yang lebih muda melakukan pemeriksaan ketebalan lemak di
perut, pinggang, punggung, lengan, dan paha, menggunakan
alat semacam penggaris tukang kayu. Fay memang tidak ter?
golong sangat gemuk, tapi beratnya yang sedikit di atas ratarata itu terlihat dari tumpukan-tumpukan lemak di beberapa
tempat. Alat itu seperti penggaris besi biasa, hanya saja di
penggaris tersebut terdapat dua batang besi yang bisa digesergeser untuk menjepit kelebihan lemak, sehingga tebalnya lang?
sung terukur. Ketika penggaris itu beraksi dan berhasil dengan
sukses mencengkeram lemak di pinggangnya, Fay baru sadar
bahwa selain sangat muda, dokter ini juga tampan sekali de?
ngan tampang mirip penyanyi latin yang biasa ia lihat di TV.
Aduuuh, mati, malunya... mending ditelan bumi, kali, keluh Fay
dalam hati dengan pipi yang terasa panas.
Ketika rangkaian tes itu selesai dan ia sudah berganti baju,
Fay dibawa kembali ke ruang penerimaan tamu. Pengantarnya
menunggunya di sana dan membawanya kembali ke ruangan
tempat ia tadi duduk terikat. Pria itu menguncinya di dalam
tanpa berkata apa-apa. Kali ini tanpa mengikat tangannya dan
tanpa menutup matanya.
Fay melihat ke jam tangannya, ternyata baru jam 14.00.
Andrew memperhatikan gadis itu dari ruang sebelah. Sekarang
setelah tangannya tidak diikat dan matanya tidak ditutup, dia
tidak terlihat gelisah seperti sebelumnya.
Ia ingat kesan pertama yang ditangkap ketika tadi bertemu
dengan Fay. Ketika penutup matanya dibuka dan ia melihat
! 1-7.48
pancaran mata gadis itu, ia agak kaget karena tidak melihat
ketakutan sebanyak yang seharusnya ada di sana. Yang lebih
banyak ia lihat di sana adalah keingintahuan.
Sekarang pun gadis itu melakukan hal yang tidak terbayang?
kan oleh Andrew sebelumnya. Gadis itu duduk sambil sesekali
menggoyangkan kaki, matanya dengan teliti mengamati ruang?
an tempatnya berada. Kemudian dia berdiri dan mulai mengi?
tari ruangan. Sampai di depan kaca, Fay menatapnya lama.
Mendadak dia menelungkupkan tangannya dan menempelkan
wajah di kaca, seolah tahu ada sesuatu di baliknya.
Andrew kaget dengan gerakan yang tiba-tiba itu, tapi kemu?
dian tersenyum menyaksikannya.
Gadis itu kembali mengitari ruangan dengan perlahan, pan?
dangannya menyapu dinding, lantai, bahkan langit-langit. Ke?
mudian dia duduk, bersandar ke kursi, bersedekap, dan duduk
diam dengan mata menerawang.
Gadis ini berbeda, pikir Andrew. Ia cukup yakin bahwa gadis
ini bisa melakukan apa yang ia suruh. Tapi ia juga perlu me?
mastikan bahwa keingintahuan gadis ini tidak akan menggagal?
kan semuanya. Curiosity can indeed kill.
Fay sudah tiga puluh menit ada di ruang itu dan sedang duduk
di kursi ketika mendengar suara langkah kaki mendekat dan
suara kunci diputar. Fay tidak yakin ia harus panik atau senang
dengan fakta bahwa sebentar lagi akan ada sosok yang muncul.
Jantungnya mulai berdebar.
Pintu dibuka.
Yang datang ternyata pria yang mengantarnya tadi. Pria itu
hanya berdiri di samping pintu yang kini terbuka lebar, dan
memberi kode pada Fay untuk mengikutinya. Fay pun beranjak
dari tempatnya.
Melewati lorong yang masih juga muram, tidak jauh dari
pintu masuk ke ruang pemeriksaan tadi, terdapat satu pintu
! 1-7.49
lagi dengan posisi yang agak menjorok ke belakang. Setelah
pintu dibuka, mereka masuk ke area yang terlihat seperti foyer.
Di depannya langsung terlihat sebuah pintu yang besar dan
tinggi. Pria itu membukakan pintu dan menyuruhnya masuk.
Ketika masuk, Fay dihadapkan ke satu ruangan yang dalam
benaknya terlihat seperti ruang duduk di kastil atau rumah
bangsawan. Ruangan itu besar sekali dengan langit-langit yang
tinggi dan sangat hangat serta nyaman. Di tengah-tengah
ruangan terdapat sofa-sofa besar berwarna cokelat yang empuk
dan lemari menutupi seluruh dinding, penuh buku setebal ban?
tal yang entah apa isinya. Fay baru sadar, sampai saat ini ia
belum melihat jendela, baik di semua ruangan yang ia masuki
maupun di lorong yang ia lewati.
Pintu ditutup di belakangnya dan ia ditinggal sendirian.
Kakinya melangkah dan serasa tenggelam dalam karpet yang
sangat tebal.
"Please, sit down."
Kaget, Fay mencari asal suara itu. Ternyata ia tidak sendiri?
an. Di salah satu sudut ruangan ada satu meja yang tampak
seperti meja kerja, dengan kursi besar model direktur di bela?
kangnya. Si pirang bangkit dari kursi dan menunjuk ke arah
sofa.
Fay pun duduk di sofa yang panjang dan merasa agak aneh
karena ia sudah tidak setakut sebelumnya, walaupun tangannya
masih dingin. Mungkin karena sampai detik ini belum ada
tanda-tanda bahwa ia akan diperlakukan tidak baik, selain
fakta bahwa ia telah diculik.
Si pirang duduk di sofa yang sama. Di atas meja di depan
mereka ada sebuah teko, dua set cangkir dengan sendok kecil,
dan satu gelas yang berisi cairan kental berwarna keemasan.
Pria itu menuangkan teh dari teko ke kedua cangkir dan aro?
ma camomile merebak di ruangan itu. Dia menuangkan cairan
keemasan itu ke cangkirnya, kemudian bertanya ke Fay,
"Honey?"
Fay gelagapan dan hanya mengangguk.
! 1-7.50
Satu cangkir diberikan ke Fay, kemudian dia mengambil
cangkir untuk dirinya.
"Please," katanya santai, kemudian menghirup teh camomilenya.
"My name is Andrew," ujarnya akhirnya memperkenalkan
diri. Dia melanjutkan dalam bahasa Inggris. "Kamu ada di sini
karena saya ingin memintamu melakukan sesuatu untuk saya.
Sayangnya, hal ini bukan sesuatu yang bisa saya minta lewat
perkenalan biasa."
Dia berhenti sejenak, kemudian meneruskan, "Saya ingin
kamu berpura-pura menjadi orang lain dan memainkan peran
itu selama beberapa hari. Kamu akan menjadi seorang gadis
Malaysia yang akan mendafarkan diri di universitas di Zurich
dan singgah di tempat pamannya di Paris dalam perjalanan ke
sana."
Fay ternganga. Sementara ia berusaha mencerna apa yang
ditangkap telinganya, Andrew melanjutkan penjelasannya.
"Kamu akan tinggal di rumah paman gadis itu selama dua
malam. Ada beberapa hal yang harus kamu lakukan selama
kamu di sana, tapi detailnya bisa menunggu hingga kamu siap
nanti." Andrew mendekatkan cangkirnya ke bibir dan meng?
hirup teh.
Fay tidak mampu berkata-kata dan hanya menatap Andrew
dengan ekspresi yang tampaknya sudah tidak keruan, campuran
antara takjub, shock, bingung, takut, dan entah apa lagi.
Otaknya terasa kosong, rasanya seperti masuk ke ruang hampa
dan ia merasa mengambang di udara. Baginya, ini adalah ide
paling gila yang pernah ia dengar seumur hidupnya. Rasanya
seolah masuk dalam film spionase saja.
Akhirnya, setelah kesekian kalinya berusaha mencerna dan
ternyata otaknya masih belum percaya juga dengan apa yang
didengarnya, Fay bertanya, "Jadi saya diminta berpura-pura
menjadi gadis Malaysia selama beberapa hari?"
"Ya."
! 1-7.51
"Dan... saya harus tinggal dengan paman gadis ini... di
rumahnya?"
"Ya."
"...," mulut Fay terbuka tanpa bersuara, kemudian terkatup
lagi.
Andrew kembali berbicara, "Kamu dipilih karena paras kamu
sangat mirip dengannya. Umur kalian kurang-lebih sama, war?
na kulit sama, tinggi sama, struktur tulang sama, bahkan ukur?
an sepatu juga sama. Setelah beberapa penyesuaian, akan sa?
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ngat sulit untuk membedakan kalian berdua."
Fay menatap Andrew ngeri. "Apa maksudnya dengan ?penye?
suaian??" Yang langsung muncul di benaknya adalah operasi
plastik seperti yang pernah ia lihat di acara TV.
"Gadis itu punya postur yang lebih atletis. Dia anggota tim
atletik di sekolahnya, dengan spesialisasi lari dua ratus meter.
Untuk saat ini, hal itu adalah hal terakhir yang perlu kamu
kuatirkan. Dengan latihan yang sesuai, kalian berdua akan ter?
lihat seperti kembar."
"Jadi... waktu kalian melihat saya di Champs-?lys?es dan
menyadari kemiripan saya dengan dia, kalian memutuskan un?
tuk langsung menculik saya?" tatap Fay tidak percaya.
"Sebenarnya, kamu ditemukan oleh agen saya di pesawat
yang membawa kamu dari Singapura ke Paris. Awalnya saya
tidak yakin ketika menerima laporan bahwa agen saya melihat
seorang gadis yang sama persis dengan gadis Malaysia itu di
pesawat yang sama. Setibanya di Charles de Gaulle, agen lain
mengambil alih setelah menerima konfirmasi bahwa targetnya
adalah kamu. Mereka mengambil foto kamu dan mengirimkan?
nya ke saya. Waktu saya melihat foto itu, saya benar-benar ti?
dak percaya dengan keberuntungan itu. Sejak saat itu kamu
langsung dibuntuti."
"Tapi pamannya pasti tahu kalau saya bukan dia," ujar Fay
panik.
"Pamannya sudah tiga tahun tidak bertemu dengannya. Se?
! 1-7.52
telah mengikuti latihan, tidak ada yang bisa mengenali kamu
sebagai seorang pengganti."
Fay merasa seseorang harus menjitak kepalanya supaya sadar.
Sayangnya ia sudah dalam keadaan sadar. Ia juga yakin tidak
sedang bermimpi, karena ia dapat merasakan harum teh
camomile yang menusuk hidungnya. Fay pun memilih untuk
meneguk tehnya sambil menenangkan diri.
Ia bertanya lagi, kali ini lebih takut daripada sebelumnya,
"Apa yang terjadi setelah itu? Apakah saya akan dibebas?
kan?"
"Kalau kamu melakukan apa yang diperintahkan, kamu akan
diizinkan pulang ke rumah."
"Sebenarnya kalian siapa?" tanya Fay memberanikan diri.
"Informasi itu tidak penting untuk kamu ketahui. Untuk
kebaikanmu sendiri, kamu hanya akan tahu hal yang perlu
kamu ketahui, di saat kamu perlu mengetahuinya."
Untuk Fay, kejadian ini terlalu luar biasa bagi perjalanan
hidupnya yang selama ini biasa-biasa saja. Entah dari mana
keberanian itu muncul, mendadak kalimat lain meluncur dari
mulutnya,
"Bagaimana kalau saya menolak?"
Ia sendiri kaget dengan pertanyaan itu, hingga cangkirnya
terasa bergetar di tangannya.
Andrew tersenyum dan menatapnya dengan tajam. Suaranya
terdengar sangat jernih ketika berkata, "Bagi kamu, ini bukan
suatu pilihan. Bagi kami, terbuka pilihan untuk menggunakan
cara apa pun untuk membuat kamu melakukan apa yang kami
minta. Tapi, tentunya itu bukan topik yang tepat untuk di?
bicarakan di acara minum teh yang menyenangkan seperti ini.
Lagi pula, saya yakin kamu cukup pintar untuk mengetahui
bahwa yang terbaik adalah jangan sampai membuat kami?atau
saya, tepatnya?kesal," kemudian dia mendekatkan cangkir di
tangannya ke bibir dan kembali menghirup tehnya tanpa me?
lepaskan pandangan dari Fay.
Tatapan Andrew begitu menusuk, melepaskan berpuluh
! 1-7.53
jarum yang melesat menembus mata dan menghunjam seluruh
badannya lewat pori-pori tipis di kulitnya, hingga Fay merasa
sekujur tubuhnya ngilu. Ia menelan ludah dengan susah payah
dan kembali bertanya, kali ini lebih panik daripada sebelum?
nya.
"Apa yang harus saya lakukan sekarang? Jacque akan men?
jemput saya jam empat sore di Eiffel. Kalau saya tidak ada di
sana, dia akan mencari saya."
Andrew pun menjelaskan apa yang harus ia lakukan.
Pukul 15.30, Fay sudah kembali berada di Champs-?lys?es, di?
turunkan oleh mobil yang sama tidak jauh dari tempat ia di?
bawa dengan paksa beberapa jam sebelumnya. Matanya ditutup
sepanjang perjalanan tadi, tapi tangannya tidak diikat.
Ia pun kembali menapaki jalan yang beberapa jam lalu ia
nikmati hingga desiran anginnya, tapi yang sekarang di?
jalaninya tanpa emosi. Otaknya terus berputar, memainkan
kembali kejadian siang tadi detik demi detik. Berusaha me?
ngerti. Berusaha mencerna.
Apa saja pilihan yang ia punya? Ia bisa saja pergi ke polisi
sekarang juga dan menceritakan kejadian barusan. Tapi, apakah
mereka percaya? Bagaimana kalau ia malah ditangkap polisi?
Apalagi ia belum bisa bahasa Prancis.
Atau bagaimana kalau ia nanti menceritakan ini ke Jacque
dan Celine, baru kemudian mereka yang lapor ke polisi? Se?
pertinya itu ide yang bagus. Tapi, apakah mereka percaya?
Bagaimana kalau ia dianggap anak negara berkembang yang
sakit jiwa dan perlu pertolongan? Bukti apa yang ia punya ter?
hadap orang-orang itu? Dengan tololnya ia tidak mencatat
pelat nomor mobil hitam tadi. Fay menarik napas panjang de?
ngan frustrasi.
Pukul 16.00, Fay sudah berdiri di pelataran Menara Eiffel.
Menara yang tadi pagi membuatnya terkagum-kagum dengan
! 1-7.54
noraknya, tapi yang sekarang hanyalah sebuah menara. Ditatap
saja pun tidak.
Sepuluh menit kemudian, ia sudah berada dalam mobil
Jacque.
Jacque bertanya dengan antusias, "Jadi, apa saja yang kamu
lakukan? Apa kamu sempat naik sampai ke puncak Eiffel?"
Fay tidak punya keinginan untuk menjawab, tapi ia me?
maksakan diri, "Tidak, terlalu banyak turis yang mengantre.
Saya hanya berjalan-jalan di Champs-?lys?es." Hasilnya adalah
kalimat yang diucapkan dengan datar seperti acara berita
terakhir di TVRI, tanpa antusiasme sama sekali. Fay memarahi
dirinya sendiri dalam hati ketika kalimat itu selesai ia ucap?
kan.
Jacque menatapnya cemas.
"Are you okay? Kamu tampak lelah dan agak pucat. Harus?
nya saya tidak membiarkan kamu jalan-jalan sendiri setelah
perjalanan panjang di pesawat." Dia menggeleng-gelengkan
kepala, tampak khawatir.
"Kamu tiduran saja. Tarik tuas di sebelah kursi kamu untuk
mengatur rebahan kursi. Coba untuk istirahat dulu sejenak.
Saya akan beritahu kalau kita sudah tiba."
Fay pun melakukan apa yang disuruh dan bersyukur dalam
hati, terbebas dari pertanyaan-pertanyaan lain yang mungkin
tidak bisa ia jawab.
Sambil memejamkan mata, pikirannya kembali ke ruang du?
duk itu dan mengingat-ingat apa yang dikatakan Andrew. Ia
akan tetap menjalani kursus bahasa Prancis setiap hari hingga
waktunya tiba untuk menjalankan perannya. Setiap kali pulang
kursus, ia akan dijemput oleh sebuah van dengan pengemudi
bernama Lucas untuk bertemu dengan Andrew, yang akan men?
jelaskan apa yang harus ia lakukan nantinya. Di malam hari
ia akan diantar pulang ke rumah Jacque dan Celine. Andrew
juga melarangnya untuk membicarakan hal ini, mulai dari pen?
culikannya hingga segala aktivitas yang berhubungan dengan
hal ini, kepada siapa pun.
! 1-7.55
Kapan ia harus menjalankan peran itu, Fay tidak tahu. Ke
mana dirinya akan dibawa setiap kali pulang kursus, ia tidak
tahu. Apa yang akan dilakukan di tempat itu, ia tidak tahu.
Siapa gadis Malaysia itu, ia tidak tahu. Kenapa ia harus me?
lakukan ini semua, ia juga tidak tahu.
Yang ia ingat berikutnya adalah ia memasuki lorong panjang
yang gelap sendirian. Jalannya semakin cepat, kemudian ia
berlari, awalnya pelan kemudian semakin cepat, hingga ia me?
layang dan hilang, ditelan oleh kegelapan. Fay pun jatuh ter?
tidur setelah sore yang menguras emosi itu. Kegelapan itu ke?
mudian menyapanya dan memperkenalkan diri sebagai Andrew,
dengan senyum ramah yang begitu mengerikan.
Fay terbangun dengan kaget ketika Jacque menyentuh bahu?
nya.
"Maaf, Fay, saya harus membangunkan kamu. Kita sudah
sampai. Kamu bisa istirahat di kamar."
Ketika ia dan Jacque masuk ke rumah, Celine menyambut
mereka dengan gembira. Fay sudah tahu kenapa.
Andrew tadi menjelaskan bahwa sementara mereka berbicara
di ruang duduk itu, sepucuk surat sedang diantarkan ke rumah
oleh kurir. Surat itu dikirim oleh Institute de Paris, suatu lem?
baga pendidikan yang memberi kursus kebudayaan bagi siswa
asing. Isi surat itu adalah pemberitahuan bahwa Fay sudah ter?
daftar untuk ikut di salah satu program kebudayaan mereka,
yang diadakan setiap hari selama dua minggu ke depan, mulai
pukul 17.00 hingga 20.00. Makan malam dan transportasi
antar-jemput akan disediakan oleh institut tersebut. Selain per?
mintaan maaf atas pemberitahuan yang mendadak akibat ke?
salahan administrasi, terdapat juga selembar cek bernilai lima
ratus Euro untuk menutupi "biaya-biaya yang mungkin terjadi
akibat kesalahan administrasi kami".
Celine berbicara cepat dalam bahasa Prancis kepada Jacque.
Walaupun Fay tidak mengerti, ia yakin tidak salah mengartikan
karena ia bisa melihat bahwa pria itu menyimak cerita istrinya
dengan ekspresi yang tidak kalah gembira. Fay bisa melihat
! 1-7.56
wajah mereka yang berseri-seri, ketika Celine menyodorkan
cek itu ke hadapan Jacque tanpa sungkan.
Jacque bertanya heran ke Fay walaupun masih dengan eks?
presi gembira,
"Kenapa kamu tidak bercerita kalau kamu akan menghadiri
sekolah lain?"
Fay baru akan berbicara ketika Celine langsung memotong
sambil mengibaskan tangannya seolah itu bukan hal penting,
"Tentu saja Fay belum tahu, Jacque. Monsieur Guillard, di?
rektur sekolah itu, baru saja menelepon dan memberitahu bah?
wa dia bahkan belum memberitahu orangtua Fay karena ada
kesalahan administrasi di pihak mereka."
Jacque hanya mengangguk-angguk.
Celine langsung menggandeng Fay dan bertanya bagaimana
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
acara jalan-jalannya tadi siang, apakah sandwich-nya enak, dan
apakah ia sempat masuk ke Menara Eiffel atau Museum
Louvre.
Fay baru sadar bahwa sandwich itu masih ada di tasnya dan
mendadak perutnya terasa sangat lapar. Ia pun mengarang
cerita sekenanya tentang apa yang ia lakukan, yaitu meman?
dangi Eiffel dengan takjub, jalan-jalan di Champs-?lys?es,
kemudian duduk-duduk di taman sambil makan sandwich yang
enak sekali. Tidak sepenuhnya salah.
Jacque menyelamatkannya dari berondongan pertanyaan
Celine berikutnya, dengan menyuruhnya beristirahat di kamar
hingga jam makan malam tiba.
Sampai di kamar, Fay langsung mengambil sandwich-nya, mem?
buka dan menggigitnya dengan suapan besar, kemudian me?
letakkannya di atas meja. Sambil mengunyah dengan mulut
penuh, ia menuju komputer. Tergesa-gesa ia menggeser kursi
dan menekan tombol komputer untuk menyalakannya. Ketika
komputer itu menyala, ia langsung membuka Yahoo! dan mulai
! 1-7.57
menulis e-mail. Ia akan segera menceritakan apa yang terjadi
kepada teman-temannya, dan begitu e-mail itu selesai, ia akan
minta izin Jacque untuk menggunakan telepon rumahnya un?
tuk menelepon salah satu temannya itu supaya segera membaca
e-mail-nya. Kemudian ia akan meminta nasihat, kira-kira apa
yang harus ia lakukan. Mungkin Cici, mengingat komputernya
ada di kamar dan koneksi Internet-nya nggak pernah putus, pikir
Fay sambil setengah menyesal kenapa tadi pagi ia lupa me?
nanyakan cara menelepon murah ke Indonesia.
Tangannya agak gemetar ketika mengetik, diawali dengan
kalimat, "Girls, lo semua nggak bakalan percaya dengan apa
yang baru aja gue alami tadi waktu jalan ke Eiffel. Gue di?
culik!" Dan ia pun terus menulis lanjutan kisahnya.
Di markas COU, Andrew mengamati tindak-tanduk Fay di
layar monitor yang ada di depannya. Layar komputer di hadap?
an Fay tertutup tubuhnya sehingga Andrew tidak bisa melihat
apa yang dilakukan oleh gadis itu. Tapi ia punya kecurigaan
kuat. Ia berkata kepada analis yang mengoperasikan komputer
di sampingnya,
"Saya ingin tahu apa yang sedang dia kerjakan."
Analisnya tidak berkata-kata. Jari-jarinya langsung beraksi
dengan cepat di atas kibor, mengeluarkan irama beraturan de?
ngan tempo cepat.
Tidak sampai satu menit, layar komputer yang ada di depan
si analis berubah. Apa yang muncul di sana persis seperti apa
yang sedang dilihat oleh Fay di layarnya. Terlihat sepucuk email yang sedang dibuat dengan account Yahoo!. Huruf demi
huruf muncul dan mengomposisikan kalimat.
Andrew menolehkan kepalanya ke satu pria lain yang duduk
di sebelah analisnya, seorang penerjemah. Pria itu langsung
mengangguk, mengonfirmasikan kecurigaan yang terlontar
tanpa kata-kata.
! 1-7.58
"Dia sedang menulis dengan detail cerita penculikannya
siang tadi. Dari cara e-mail itu ditulis, saya bisa simpulkan
e-mail itu ditujukan kepada teman-temannya."
Andrew meraih telepon dan menelepon rumah Jacque, mata?
nya lekat ke deretan layar yang ada di depannya, yang menam?
pilkan ruang-ruang di rumah Jaque. Di salah satu layar terlihat
Jacque mengangkat telepon cordless di ruang tamu.
"Selamat sore, bisa saya bicara dengan Fay? Ini pamannya
dari Jakarta," ujarnya dengan bahasa Inggris berlogat Melayu
yang terpatah-patah.
"Hello, Sir, nice to meet you. Nama saya Jacque," balas
Jacque ramah. "Harap tunggu sebentar. Dia ada di atas." Jacque
pun berlari menuju tangga.
Di layar, terlihat pintu kamar Fay dibuka dari luar dan Fay
yang menoleh untuk mengambil telepon yang disodorkan oleh
Jacque sambil berkata, "Paman kamu, dari Jakarta."
Kening Fay berkerut ketika mengambil telepon. Paman yang
mana? pikirnya bingung. Mukanya langsung pucat ketika men?
dengar suara yang berbicara.
"Fay, kami memonitor apa yang kamu lakukan. Sekarang,
tutup e-mail kamu tanpa menyimpannya dan matikan kompu?
ter itu. Seperti yang saya sebutkan tadi, kamu tidak diperboleh?
kan untuk membicarakan atau menceritakan apa yang terjadi
tadi siang kepada siapa pun. Tolong anggap ini sebagai peringat?
an yang terakhir, karena saya tidak punya cukup kesabaran
untuk menghadapi ini lagi untuk yang kedua kalinya. Apakah
sudah jelas?"
Dengan napas tercekat, Fay hanya mampu berkata pelan,
"Ya."
"Cobalah untuk istirahat yang cukup malam ini. Sampai
jumpa besok."
Telepon ditutup dan Fay terduduk lemas di tempat tidur.
Semua ini begitu tidak masuk akal dan sangat mengerikan.
Apakah Andrew benar-benar tahu bahwa ia sedang menulis
e-mail dan menceritakan kejadian tadi kepada orang lain atau
! 1-7.59
hanya menebak? Tapi kalau hanya menebak, kenapa bisa pas
begini? Dan apa maksudnya dengan mereka memonitor apa
yang sedang ia lakukan? Bagaimana caranya?
Setelah beberapa detik otaknya tidak bisa menjawab, bahkan
menimpali pertanyaannya barusan saja tidak mampu, Fay pun
beranjak ke komputer untuk melakukan apa yang disuruh de?
ngan lutut yang masih lemas dan tangan yang agak gemetar.
Kemudian ia melongokkan kepalanya ke jalan raya lewat jen?
dela kamarnya. Tidak tahu persis apa yang dicari, dan tentu
saja tidak menemukan apa pun yang patut ditemukan. Dengan
seperempat rasa frustrasi, seperempat takut, seperempat pe?
nasaran, dan seperempat bingung, Fay pun merebahkan diri di
tempat tidur.
Pukul 19.00.
Andrew sedang mempelajari profil seseorang yang terpam?
pang di layar monitornya di markas COU, ketika pandangan
sekilasnya ke layar lain yang menampilkan kamar Fay menang?
kap gambar yang menarik perhatiannya dan membuatnya mem?
perhatikan lebih saksama.
Bukan pertama kalinya Andrew melihat seorang muslim me?
nunaikan kewajiban salat, walaupun pemandangan itu memang
sangat jarang ia lihat. Spesialisasinya bukanlah kebudayaan
Timur Tengah seperti rekannya yang mengepalai organisasi se?
jenis COU di Eropa Timur.
Ia sendiri ateis. Tuhan tidak pernah ada dalam kamusnya.
Menurutnya, kalau konsep ketuhanan itu ada, berarti ia adalah
Tuhan mengukir peradaban sesuai dengan tujuan yang ia tetap?
kan, sesuai dengan arah yang ia tentukan, dan sesuai dengan
cara yang ia inginkan. Kehidupan dan kematian hanyalah mo?
men dalam peradaban yang tidak ada hubungannya dengan
keberadaan Tuhan. Arti dari momen itu sendiri tidak pernah
sama bagi semua orang, ditentukan peran yang dimainkan di
! 1-7.60
peradaban itu. Tidak semua kehidupan diharapkan. Begitu juga
dengan kematian, tidak semua perlu diratapi.
Andrew mengamati gerakan demi gerakan yang dilakukan
Fay dengan cermat. Pikirannya tidak bisa tidak, bertanya apa
yang dipikirkan dan dirasakan oleh gadis itu ketika melaku?
kannya. Dan apakah ini sebabnya ia tidak menemukan ke?
takutan sebesar yang seharusnya ada di mata gadis itu.
Gadis itu tampaknya sudah selesai. Dia mengangkat kedua
tangannya, mengusapkannya ke wajah, kemudian berdiri dan
membuka pakaian ritualnya.
Andrew kembali mengamati profil yang terpampang di de?
pannya.
Alfred Whitman.
Pria itu seorang pengusaha yang berpengaruh di Eropa de?
ngan portofolio investasi yang tersebar di Eropa dan Timur
Tengah; ada lebih dari tiga puluh perusahaan tempat pria itu
terdaftar menjadi pemegang saham atau pemilik tunggal.
Andrew mengarahkan mouse-nya ke daftar perusahaan milik
Alfred yang kini terbaca dengan jelas di depannya. Satu nama
sudah diberi penekanan berupa huruf tebal, terbaca "Tranship
Pacific Inc.".
Andrew ingat betapa tertegun dirinya ketika mendengar
nama Alfred Whitman disebutkan sebagai pihak yang ada di
balik kebocoran daftar operasi badan-badan intelijen dunia,
padahal di hari yang sama ia baru saja berjabat tangan dengan
pria yang merupakan pemegang saham terbesar Tranship Pacific
Inc. itu.
Pengecekan latar belakang Alfred Whitman langsung dilaku?
kan dengan hasil yang semakin menimbulkan kecurigaan pria
itu tidak punya latar belakang. Dibesarkan di rumah yatimpiatu hingga berusia lima belas tahun, dia seakan menghilang
dari muka bumi dan muncul kembali sebagai pengusaha muda
yang sukses lima belas tahun kemudian.
Satu hal yang pasti, rencana yang sudah disusun harus se?
gera digelindingkan bila Andrew tidak mau mendengar kembali
! 1-7.61
berita buruk tentang kegagalan operasi yang menghabiskan
dana tidak sedikit.
Andrew melirik layar yang kini menampilkan Fay yang
sudah berbaring di balik selimut. Nasib banyak orang kini berada
di tangan gadis itu.
Ia melihat jam tangannya dan beranjak pergi. Ia akan meng?
habiskan malam ini di restoran paling mewah di Paris, berada
di lantai teratas salah satu gedung tertinggi di Paris dengan
lantai yang berputar, menghadap Menara Eiffel. Kemudian te?
ngah malam nanti ia akan kembali ke kastilnya di pinggiran
kota London.
Malam ini Andrew akan beristirahat. Ia layak menikmati itu
setelah apa yang dicapainya hari ini. Baru besok pagi ia akan
kembali ke Paris untuk mulai mempersiapkan segala sesuatunya
bagi gadis itu.
Semakin lama, gadis ini semakin menarik, pikirnya sambil ber?
jalan menuju pintu keluar. Saat ini, ia punya dua minggu un?
tuk mengeksplorasi gadis ini. Selanjutnya, tergantung kepada
hasil dua minggu ini. If there is next time.
! 1-7.62
Hari Pertama
"BONJOUR." Selamat pagi.
"Je m?appelle Fay. Je suis de Indonesie." Nama saya Fay. Saya
berasal dari Indonesia.
Demikian ia memperkenalkan diri secara sederhana di kelas,
mengikuti contoh dari gurunya, Monsieur Thierry.
Eiffel, Tolong ! Karya Clio Freya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kelasnya menempati lantai dua sebuah bangunan di sudut
jalan di sentral Paris. Dengan desain gotik dan lokasi yang ti?
dak jauh dari gedung Opera, bangunan itu seakan menegaskan
identitasnya sebagai karya seni masa lampau. Fay yakin, kalau
saja kemarin ia tidak diculik, mungkin acara jalan-jalannya
sudah akan merambah area sekolahnya ini.
Tadi pagi Jacque menemaninya pergi ke sekolah dengan
metro, kereta bawah tanah kota Paris. Ada enam belas jalur
Metro di kota ini; ia naik dari stasiun Montgallet yang ada di
Jalur 8, hanya lima menit berjalan kaki dari rumah. Sepanjang
jalan, Jacque menjelaskan setiap detail perjalanan mereka, mu?
lai dari cara membeli karcis, cara mengantre di depan kereta,
cara mengenali sudah sampai di stasiun mana, bahkan kadangkadang sejarah suatu area yang mereka lewati, yang tentunya
! 1-7.63
sebenarnya tidak bisa dilihat karena mereka ada di bawah
tanah. Fay senang sekali dengan antusiasme Jacque bercerita
itu, terlebih Jacque, seperti juga orang Prancis lain, sangat eks?
presif. Selain nada suaranya naik-turun, tangannya juga tak
segan-segan mengibas atau menunjuk untuk menguatkan eks?
presinya. Mereka turun di stasiun Opera kemudian melanjutkan
perjalanan dengan berjalan kaki.
Sesampainya mereka di sekolah, Jacque tidak mengantarnya
masuk. Fay cukup bersyukur karena rasanya aneh juga sudah
sebesar ini diantar ke sekolah. Bahkan di Jakarta saja ia hanya
Fear Street Akhir Segalanya Fearhall Pendekar Slebor 45 Ajian Sesat Pendekar Pendekar Naga Putih 19 Asmara Di Ujung
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama