Fight For Love Karya Orizuka Bagian 1
F I G H T
Fight For Love
Penulis : Orizuka
Ebook by pustaka-indo.blogspot.com
Penyunting : Ken Kinasih Perancang sampul : Zariyal
Penata letak : Heru Tri Handoko Penerbit : Puspa Swara, Anggota IKAPI
Redaksi : Perumahan Jatijajar Estate Blok D12 No.1-2 Cimanggis, Depok 16451
Telp. (021) 87743503, 87745418 Faks. (021) 87743530
E-mail: puspaswara@puspa-swara.com
salesonline@puspa-swara.com Website: www.puspa-swara.com
Distributor :Jl. Gunung Sahari III/7, Jakarta 10610
Telp. (021) 4204402, 4255354 Faks. (021) 4214821
Cetakan: I Jakarta, 2014
Buku ini dilindungi Undang-Undang Hak Cipta. Segala bentuk penggandaan, penerjemahan, atau reproduksi, baik melalui media cetak maupun elektronik harus seizin penerbit, kecuali untuk kutipan ilmiah.
Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Orizuka
Fight for love/Orizuka
Cet. 1--Jakarta: Puspa Swara, 2014 vi + 228 hlm.; 19 cm
ISBN 978 602 216 003 8
Fight for Love
Hisashiburi, minna-san!!!
Senang banget deh akhirnya Fight for Love dicetak lagi. Yatta~ Alhamdulillah wa syukurillah, terima kasih yang tak terhingga kuucapkan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah memberikanku kesempatan ini.
The Totos, terima kasih sudah sangat mendukungku. A-i-shi-te-ru 3 Bi Nuri, tante sekaligus guru bahasa Jepangku. Arigatoo gozaimashita~ Semua teman-teman yang sudah hadir dalam hidupku, dari aku kecil hingga sebesar ini, terima kasih sangat-sangat banyak! Glad I met you guys.
Saat membuat novel ini (tahun 2007), aku sedang gandrunggandrungnya pada Jepang dan produk-produknya. Novel ini adalah semacam pernyataan perasaanku terhadap salah satu negara favoritku itu
Kepada para pembuat drama-drama Jepang (1 Litre of Tears, Nobuta wo Produce, H2, dll) yang sudah menginspirasi, juga para musisi Jepang favoritku yang lagu-lagunya sudah mengiringi selama pengerjaan naskah ini (Orange Range, L arc~en~ciel, Remioromen, Janne da Arc, Otsuka Ai, dkk), arigatoo gozaimashita! Daisuki nanda!
Teman-teman pembaca yang sudah setia membaca karya-karyaku, yang setia menunggu sampai buku-buku lamaku dicetak ulang (akhirnya!), atau yang baru mau membaca, terima kasih banyak ya! Minna arigatoo ne~
Tidak lupa kepada Puspa Swara, yang punya andil besar dalam membuat cita-citaku menjadi nyata. Terima kasih, terima kasih, terima kasih. Sukses selalu untuk Puspa Swara dan semua krunya! Selamat membaca dan selamat berjuang!
Regards, Orizuka Contact orizuka!
E-mail: HYPERLINK " mailto:chazrel21@yahoo.com"
chazrel21@yahoo.com Orizuka s Oficial Page: orizuka.com Facebook Fanpage: Orizuka Twitter: @authorizuka
Daftar Isi
1. I Love this Game! 1
2. The Outsiders 23
3. And the Invasion Begins 37
4. My Saviors 61
5. Unavoidable Date 79
6. Big Day 99
7. Back in Business 117
8. Gotcha! 139
9. Old Force 161 10. Most Precious Thing 173
11. Sayonara? 197 12. Final 211
Dapatkan karya-karya Orizuka
terbitan penerbit Puspaswara Grup
Follow @puspa_swara dan add Puspa Swara Publisher untuk mengetahui info buku-buku terbaru terbitan kami. Ikuti kuis mingguannya dan dapatkan hadiah menarik. Klik www.puspa-swara.com untuk informasi seputar acara Puspa Swara dan
buku-buku rekomendasi dari kami. Untuk membeli buku secara online, silakan hubungi salesonline@puspa-swara.com, info@puspa-swara.com
I Love this Game!
A ku memandang lurus. Keempat temanku sudah tersebar
di depan, tapi seseorang menghalangiku. Aku menunduk, menatap bola oranye yang ada di tangan, masih terdribel. Sesaat kemudian, aku menatap lawanku yang masih berusaha merebut bola. Enak saja. Aku tidak akan menyerah!
Aku menengadah, menatap papan nilai yang menunjukkan angka 56-56. Sebentar lagi kuarter keempat berakhir, yang berarti pertandingan juga berakhir. Sepuluh detik lagi. Aku harus cepat!
Setelah akhirnya bisa menyingkirkan tangan berkeringat si bodoh di depanku ini, aku berlari sekuat tenaga menuju ring. Aku bebas. Semua orang berjarak kurang lebih dua meter dariku. Aku harus menembak. Sekarang, atau tidak sama sekali.
Seakan berada dalam gerakan lambat, aku mengambil ancangancang. Aku menekuk lutut, menghela napas dan mengembuskannya mantap, lalu bersiap melemparkan bola yang sudah ada di atas kepala.
" STARLETTT!!" teriak seseorang, membuat bola itu sukses tergelincir dari tanganku.
Aku bengong sesaat, kemudian tersadar. Aku menoleh kesal, ingin tahu siapa yang sudah kurang ajar mengganggu acara penembakan terpenting di inalku. Namun, begitu melihat orang yang memanggil, aku terpaku.
Ibu. Ibuku. Sedang apa Ibuku di inal pertandingan basket antar-SMA? Mungkinkah dia salah acara? Seperti misalnya, dia mau arisan di rumah Ibu RT, tapi malah tersasar ke gedung olahraga? " STARLET!! KAMU INI!!" serunya, membuatku terlonjak. Dia mendekat, lalu menjewer telingaku, membuat orang-orang
MVP dijewer Ibunya di tengah-tengah lapangan? Mending mati saja.
" STARLET!! JANGAN AH-EH-OH AJA!" serunya lagi, membuatku bingung. Memangnya aku bilang apa?
Aku menggapai-gapai untuk melepas tangannya dari telingaku, tapi jeweran Ibu terlalu kuat. Aku tidak akan heran kalau setelah pertandingan ini, aku masuk UGD gara-gara telingaku copot.
" STARLET!! UDAH SIANG NIH!!" teriak Ibu lagi. Yah, aku tahu ini siang, memangnya aku buta?
Eh, tunggu. Final ini bukannya malam? Jadi, Ibu sebenarnya sedang bicara apa? Sumpah, aku bingung dengan kelakuannya. Mungkin dia kena krisis paruh baya. Tahu kan, wanita umur lima puluhan suka melakukan hal-hal aneh& .
" STARLET!! KAMU BUKANNYA SEKOLAH??" Ibu makin histeris.
Oke, mungkin krisis ini sudah sangat-sangat parah. Jelas aku sekolah. Kalau tidak, mana mungkin aku ikut turnamen basket antar-SMA?
Seakan kedatangan Ibu belum cukup aneh, muncullah Fernan manusia paling tidak berguna yang pernah diciptakan dan entah kenapa dia bisa jadi adikku. Kurasa Tuhan punya rencana sendiri yang semoga saja bagus dengan wajah yang sok. Oh Tuhan, aku tak mau terlihat dengannya di depan umum!
" Bu, yang gitu nggak mempan, pake ini nih," katanya, sejenak membuatku bingung. Tapi kemudian, entah dari mana, dia mengeluarkan selang yang biasa dipakai petugas pemadam kebakaran, lalu menyiramkannya padaku.
" AARRGH!!" seruku, megap-megap mengambil napas. Aku mencoba membuka mata, menyapu semua air dari selang itu, lalu menatap Fernan marah. Sejurus kemudian, aku terpejam lagi karena entah kenapa, gedung olahraga seolah sedang terkena pemanasan global. Silau sekali!
" Kebo!" Aku bisa mendengar ejekan Fernan. Aku mengerjapngerjapkan mata, berusaha beradaptasi dengan kesilauan ini. Akhirnya, mataku bisa terbuka juga walaupun sudah berair.
Aneh. Suasananya jadi beda. Memang ada ring, tepat di dinding depanku, tapi ke mana semua lawanku? Ke mana semua temanku? Ke mana semua penonton? Kenapa yang tertinggal hanya tampang seram Ibu dan tampang bodoh Fernan yang ngomong-ngomong pakai seragam?
Ups. Jangan bilang& .
" STARLET! KAMU INI MAU TIDUR SAMPE KAPAN? BUKANNYA INI TAHUN AJARAN BARU?" jerit Ibu, membuatku mengernyit. Tahu kan, keadaan baru bangun tidur, otak belum bisa
YA, TUHAN! BANGUN TIDUR? Jadi& pertandingan itu& . " TIDAAAAK!!" sahutku histeris sambil menjambak rambut keras-keras. Fernan dan Ibu berpandangan heran, lalu kembali menatapku. Aku sendiri sudah berlari ke arah Ibu, mengguncangguncang bahunya. " Bu! Tinggal sedikit lagi, aku bisa jadi MVP! OH, TIDAAK!"
Fernan menatapku dengan mata terpicing, sementara Ibu hanya bengong melihatku kalap. Tapi, aku tidak peduli. Mereka menghancurkan inalku!
" Segini lagi, Bu... segini lagi!" Aku mendekatkan jari telunjuk dan jempol dengan sikap dramatis.
" Heh! Segini lagi nih... segini lagi." Fernan meniru tingkahku. " Lo masuk sekolah," lanjutnya judes.
Aku tidak mendengarkan kata-katanya dengar sih, tapi tidak begitu peduli. Lagi pula apa pentingnya sih perkataannya dibandingkan inalku? Aku pun kembali tersuruk di antara bantalbantal, menyesali pertandinganku.
" Bu, ayo kita keluar. Dia udah gila," kata Fernan sambil menggandeng Ibu dan menariknya keluar.
" Starlet, Ibu nggak tanggung jawab lho kalo kamu telat di tahun ajaran baru ini," kata Ibu sebelum keluar kamar, membuatku berhenti mengerang dan mencoba berpikir jernih. Seketika, aku tersentak.
" Hah?! Tahun ajaran baru? Ya ampun!" Aku bergerak gesit menuju lemari dan mengeluarkan seragam, lalu menatap Ibu dan Fernan marah. " Kenapa kalian nggak ngasih tahu dari tadi, sih? Bisa telat nih!"
Fernan dan Ibu mengeluarkan tampang bengong berbarengan, sementara aku memasukkan berbagai benda sembarangan saja ke ransel. Aku sudah tidak punya waktu lagi! Aku mengenakan rokku bahkan di depan Fernan, tapi tentunya aku pakai rok dulu baru melepaskan piyama. Aku belum gila kok lalu buru-buru masuk kamar mandi untuk mengganti kemeja. Setelah siap, aku mengambil sepatu dan memakainya.
" Ng& Star, lo nggak lupa sesuatu?" tanya Fernan, membuatku menoleh. Apa-apaan sih, di saat penting seperti ini dia malah menginterupsi?
" Apa?" tanyaku tak acuh sambil mengambil karet rambut, lalu mengikat rambut sebahuku menjadi kuncir kuda.
" Ng& . Nggak tahu& . Mungkin& mandi?" kata Fernan sinis, membuatku berhenti merapikan rambut sejenak untuk berpikir.
" Oh, iya... bener juga ya?" Aku menelengkan kepala. " Ah, udahlah. Mandi kan kapan-kapan juga bisa," kataku lagi sambil berlari untuk mengambil bola basket hitam kesayanganku di pojokan. Kemudian, aku menyambar ransel dan bergerak ke arah pintu tanpa memedulikan ekspresi Fernan. " Kenapa lo? Buruan... ntar telat!"
Aku tahu Fernan masih bengong, tapi aku tak punya waktu untuk ikut-ikutan bengong. Jadi, aku menarik tangannya, lalu menyeretnya ke bawah. Tapi begitu sampai di pertengahan tangga, aku menepuk jidat. Aku baru saja melupakan sesuatu yang sangat krusial.
" Star? Lo kenap oh, jangan bilang ritual bodoh lo itu lagi," keluh Fernan, sementara aku melesat kembali ke kamar.
Aku membuka pintu, berlari menuju sebuah poster raksasa yang tertempel di bawah ring basket, lalu mengatupkan kedua tangan seperti mau berdoa di kuil.
" Dewa Michael, semoga hari ini jadi hari yang baik buatku!" kataku sambil menepuk-nepuk tangan sebanyak dua kali.
" Starlet? Percaya sama selain Tuhan itu dosa, lho." Sayup-sayup aku mendengar suara Ibu. Namun, tidak begitu kudengar karena aku sudah berlalu sambil menyeret Fernan ke luar rumah.
" Wah, banyak anak baru!" seruku begitu melihat gerombolan anak di lapangan upacara dari koridor kelas di lantai dua. Aku nyaris terharu melihat mereka.
Di sampingku, Aya, sahabat semenjak aku orok, menatapku jijik. Aku sudah terlalu terbiasa dengan ekspresinya yang satu ini, jadi aku tidak begitu peduli. Aku tidak pernah ambil pusing karena aku tahu walaupun dia setengah mati menyangkal dia sayang padaku.
" Star, biasa aja kenapa," katanya sambil sedikit mengambil jarak. Mungkin dia tidak ingin terlihat bersamaku. Seperti yang sudah seumur hidup dia katakan, aku adalah makhluk paling tidak tahu malu yang pernah dia kenal. Aku sih tidak menganggapnya serius. Nyatanya, dia masih saja bersamaku walaupun ada beberapa saat dia terlihat mau muntah.
" Nggak bisa, Ya& nggak bisa biasa aja! Ini kesempatan, Ya& kesempatan! Chance!" seruku sambil mengepalkan tangan dan melayangkannya ke udara. Aya menoleh ke kiri dan kanan dengan wajah was-was.
" Ini soal basket lagi, Star?" tanya Aya bosan, lalu membaca komik yang sedari tadi dipegangnya. Bisa mampus dia kalau ketahuan Pak Heru, guru Bimbingan Konseling kami.
" Yap!" sahutku girang, lalu merebut komik itu dan melemparnya ke dalam kelas. Aya melotot, sementara seseorang di dalam kelas mengaduh. " Ini awal yang bagus buat kebangkitan tim basket cewek sekolah kita, Ya!"
" Emangnya gue mau tahu!" seru Aya marah, lalu masuk ke kelas untuk menyelamatkan komiknya. Setengah detik berikutnya, aku mendengarnya berteriak heboh. Entah kenapa.
Aku kembali menatap gerombolan anak baru yang bergerakgerak kikuk di bawah. Mereka semua tampak cute dengan seragam yang masih kinclong. Kecuali Fernan, tentunya.
" Sip! Mari kita mulai tahun ajaran baru ini dengan semangat!" sahutku dengan satu tangan ke atas.
" Emang bener, Star... harus semangat," kata seseorang di sampingku, membuatku mengangguk-angguk. Eh, tapi tunggu dulu& .
Aku menengok secepat kilat, lalu mendapati Fariz. Dia ini adalah kakak kelasku yang juga ketua tim basket cowok, sekaligus MVP dan cowok paling oke di sekolah ini.
Entah sejak kapan, Fariz nangkring dengan manis di sebelahku. Aku bengong menatapnya sekadar info, tanganku ternyata masih teracung dan dia balas menatapku sambil nyengir.
" Halo," katanya, membuatku menurunkan tangan lambatlambat.
" Hai," balasku, merasa bodoh, tapi lebih-lebih merasa senang. " Banyak juga ya junior kita tahun ini." Fariz ikut menatap lautan putih abu-abu di bawah. " Perasaan waktu angkatan lo nggak sebanyak ini, deh."
" Masa sih?" kataku tidak yakin, tapi sedetik kemudian berubah gembira. " Tapi bagus dong, kemungkinan anak-anak yang mau daftar ke tim basket cewek tambah banyak!"
Fariz tersenyum, lalu mengangguk. Aku kembali menatap anak-anak baru itu. Perasaanku mengatakan, aku akan berhasil mengajak banyak anak untuk masuk tim basket cewek yang selama ini vakum. Aku mengangguk yakin.
" Semangat ya." Fariz mengacak rambutku. " Lo pasti bisa." Aku mengangguk lagi dengan penuh perasaan bahagia. Sekarang, aku dan Fariz bertatapan. Baru ketika aku mau mengatakan terima kasih, kepalaku serasa dihantam godam.
" BEGO! LIAT NIH!" teriak Aya, membuatku berbalik sambil mengerang dan memegangi tempurung kepala yang serasa retak.
Aku melihat komik berukuran raksasa komik itu disodorkan hanya tiga senti di depanku sehingga mataku harus berakomodasi maksimal, atau minimal... terserahlah, aku tidak jago isika lalu akhirnya melirik Aya yang wajahnya sudah merah.
" Liat!" raung Aya. Aku tidak tahu apa lagi yang harus kulihat. Aku sudah memegang komik itu dan perasaan, tidak ada yang salah dengannya.
" Apaan sih, Ya?" Aku balas menyahut, bingung dengan sikapnya.
" Itu!" Aya menunjuk halaman pertama yang ternyata lepas. " Itu gara-gara lo lempar!"
" Oh, ini doang," kataku. Ingin rasanya aku menepuk jidatku sendiri. " Ini kan bisa dilem."
" Nggak ada! Lo beliin yang baru!" sahut Aya, lalu berderap pergi, masih sambil mengomel.
Aku menatap nanar komik itu dan Aya bergantian. Untuk urusan yang satu ini, kurasa Aya yang gila. Maksudku, ini hanya satu lembar! Dan ini bukannya buku The Lord of The Rings atau apa! Aku menatap komik berjudul Detective Conan itu benci. Tapi
selanjutnya, aku ingat sesuatu. Sepertinya Fernan punya komik yang sama. Aku hanya harus menukarnya.
" Lo sama Aya akrab banget ya?" tanya Fariz, yang aku lupakan keberadaannya.
" Hah? Eh, iya," kataku. " Udah temenan dari bayi." Fariz mengangguk-angguk sambil tersenyum simpul. Aku mengusap-usap kepalaku yang rasanya benjol. Atau pendarahan dalam. Entahlah.
" Aya tuh maniak banget sama komik. Tiap hari yang dibaca komik. Tahu nggak, komiknya tuh selemari!" sahutku berapi-api. " Pengin gue bakar deh itu lemari. Makanya gue males banget maen ke rumah dia. Kalo dateng, gue pasti dicuekin. Dianya asyik baca komik. Mending gue maen basket aja di lapangan kompleks." " Makanya dia ogah lo ajakin masuk tim basket," kata Fariz. " Gue sih nggak pernah nawarin. Gue tahu pasti jawabannya," kataku, membuat Fariz tertawa. Mendadak, aku ingat sesuatu. " Ngomong-ngomong, lo ngapain ada di lantai dua?"
Entah apa aku yang salah paham, tapi Fariz sepertinya salah tingkah. Wajahnya yang ganteng memerah. Dia malah pakai acara menggaruk belakang kepalanya.
" Oh, tadi rencananya gue mau ngasih tahu kalo ada acara pengenalan ekskul minggu depan. Kalo mau, lo bisa daftar dari sekarang," katanya cepat-cepat.
Hm.... Mungkin yang tadi cuma fatamorgana.
" Terus ada display dari setiap ekskul. Nah, mau nggak mau lo harus ngumpulin& . Star?"
" He?" Aku tersadar dari lamunan. " Sori, apa tadi?" Fariz bengong sesaat, lalu tersenyum maklum. Aku sering mendapatkan ekspresi serupa dari semua orang. Apa aku sebegitu parah?
" Minggu depan ada acara pengenalan ekskul buat anak baru. Dan ada acara display-nya. Kalo lo mau ikut, mau nggak mau lo harus nyari sisa-sisa pejuang tim basket cewek dan minta mereka main sebentar di acara itu," kata Fariz panjang-lebar.
" HAH!!" Aku mencengkeram bahu Fariz, yang segera terperanjat ngeri. " Riz, serius nih? Minggu depan gue bisa main basket lagi?" " Tapi, Star& . Lo nggak bisa main sendiri, harus satu tim " " Nggak masalah!" seruku sungguh-sungguh, sambil membayangkan wajah gembira dan semangat anak-anak baru yang nanti akan melihat permainan tim kami. " Gue pasti bisa ngumpulin anak-anak lain sebelum minggu depan!"
Aku tahu harus berbuat apa, dan akan kulakukan sebisaku mulai hari ini. Yah, memang akan memakan sedikit tenaga, tapi aku harus berusaha agar tim basket cewek kembali berdiri. " SIP! Gue pasti bisa!" Aku mengepalkan tangan.
Aku sih tahu kalau Fariz menatapku seakan bertanya-tanya apa aku sinting. Tapi entahlah, kurasa benar kata Aya kalau aku dilahirkan tanpa urat malu.
Aku melongok ke dalam kelas dua belas IPA-2, lalu mencaricari sesosok cewek berambut ikal pendek dan bertubuh bongsor. Tapi, makhluk itu tampaknya tidak ada di tempat. Aku maklum saja karena sekarang masih jam istirahat.
Aku menghela napas, berbalik, lalu membentur sesuatu. " Aduh, maaf," kataku, takut menabrak senior.
" Sama tembok kok minta maaf," kata seseorang dengan suara berat di sebelahku.
Aku mendongak, mendapati sebuah pilar kuning di depanku, lalu menoleh ke arah sumber suara. Chacha, orang yang tadi kucaricari, sekarang menatapku aneh.
" Halo, Cha," kataku, melupakan lebam di tubuhku. " Gue tadi abis nyari lo."
" Ngapain nyari gue?" Dia bertanya dingin, lalu meneruskan perjalanannya masuk ke kelas sambil melahap pizza. " Ng& . Gini, Cha, kata Fariz "
" Gue nggak ikut," potong Chacha, membuatku berhenti berbicara. Aku menatapnya heran. Chacha balas menatapku datar. " Gue nggak ada waktu lagi buat basket dan ini terakhir kalinya gue ngejelasin ama lo. Oke?"
" Tapi, Cha " sahutku.
" Starlet," sambar Chacha tidak sabar. " Gue nggak akan ikut lagi kegiatan yang berhubungan ama basket. Lo juga... udah deh berhenti ngajakin orang-orang masuk tim basket. Nggak ada gunanya, Star. Tim basket kita udah mati," katanya.
Aku menatap Chacha tidak percaya. Bisa-bisanya dia mengatakan tim basket kami sudah mati. Aku mengepalkan tangan,
" Cha, lo boleh aja nggak mau ikut lagi, tapi jangan sekali-kali bilang tim basket kita udah mati. Liat aja, nanti gue pasti berhasil ngediriin tim basket lagi," kataku, lalu berderap pergi dari kelas itu. Aku bahkan tidak membalas sapaan Fariz saat kami berpapasan.
Sial. Omongan Chacha barusan sudah merusak mood-ku hari ini untuk mengajak teman-teman lain.
Pulang sekolah, aku sama sekali tidak memiliki keinginan untuk menonton latihan basket cowok yang biasanya rutin kulakukan. Aku langsung pulang dan membanting diri ke ranjang. Aku mencoba untuk memejamkan mata, tapi yang terbayang olehku adalah tampang skeptis Chacha.
Tim basket kita udah mati.
" NGGAAKK!!" sahutku sambil melempar bola basket sekuat tenaga ke arah ring. Bola itu tidak masuk, malah mengenai tembok, lalu memantul kembali dengan kecepatan suara dan sukses membentur wajahku.
" AWW!!" Aku memegangi hidung yang langsung berdenyut parah. Setelah berguling-guling sebentar untuk menahan rasa sakit, aku merasakan sesuatu yang hangat mengalir dari hidung. Aku melihat telapak tanganku, dan mendapati darah di situ.
" Holy shoot!" seruku, lalu melompat menuju meja belajar. Setelah mengambil tisu banyak-banyak, aku menyumbatkannya ke lubang hidung.
Aku berbaring di atas tumpukan bantal untuk menghentikan pendarahan. Sesaat kemudian, mataku menangkap sosok Michael Jordan yang menatapku kasihan dari bawah ring basket.
" Nggak apa-apa kok, mimisan dikit doang. Jangan khawatir," kataku sambil melambaikan tangan.
Pikiranku kembali mengembara walaupun agak terganggu dengan denyutan menyakitkan dari hidung. Menatap poster Michael Jordan itu membuat kenanganku terlempar ke sepuluh tahun silam, saat aku diajak Ayah menonton pertandingan inal antara Chicago Bulls melawan Seattle Supersonic di United Center.
Aku tidak akan melupakan momen saat Michael Jordan menjadi MVP. Aku tidak akan melupakan riuh-rendah pendukung Chicago Bulls karena timnya menang. Aku juga tidak akan melupakan saat Michael memberikan tanda tangannya di kausku dan mengangkatku tinggi-tinggi.
Senyumku mengembang mengingat memori itu. Aku masih memilikinya, kaus bertanda tangan itu. Aku menyimpannya baikbaik tidak kucuci sampai warnanya yang putih jadi menguning dan menjadikannya sebagai jimat. Aku sampai menyimpannya di sebuah koper berkunci kombinasi karena dulu saat umurku empat belas, Fernan yang sedang marah besar karena jatah pizza-nya kurebut, mengancam akan membakar kaus itu.
Aku menghela napas berat, menyesali keputusanku memilih SMA sial ini. Andai saja aku tahu tim basketnya tidak akan bertahan lama. Andai saja aku tahu kalau pelatih tim basket cewek akan memilih menikah dan meninggalkan kami semua....
Aku lantas teringat pada sosok Kak Endah, pelatih basket cewek top yang juga seorang alumni dari SMA-ku. Dia sangat
mahir bermain basket dan pernah menjadi salah satu pemain di tim basket cewek terkenal di Indonesia. Dia sangat tangguh dan mampu membawa tim kami sukses merebut juara di turnamen-turnamen antar-SMA selama bertahun-tahun. Karena ketenarannyalah, aku tertarik masuk SMA ini, dengan harapan bisa memudahkanku masuk ke dunia basket profesional.
Aku tidak tahu kalau akhirnya akan seperti ini. Aku tidak pernah menduga Kak Endah akan menikah. Sebenarnya, tidak ada satu pun dari kami yang menduganya, walaupun usia Kak Endah terbilang sangat cukup untuk menikah. Yah, aku sih tidak menyalahkannya, setiap orang berhak untuk menikah, tapi apa dia harus ikut suaminya terbang ke Jepang? Apa dia harus tega meninggalkan kami semua sehingga tercerai-berai? Lagi pula kenapa sih suaminya harus orang Jepang??
Setelah dia menikah dan pindah ke Jepang, tidak ada seorang pun yang ingin berlatih lagi selain aku. Aku tidak peduli pada siapa pun yang mau melatih karena aku tidak akan berhenti main basket hanya karena pelatih meninggalkanku. Memang aku sangat menghormati dan menyayangi Kak Endah, dia sudah seperti kakak cewek yang tidak pernah kumiliki, tapi bagaimanapun tim harus tetap berjalan, dengan atau tanpanya.
Tapi, tim tidak berpikir demikian. Mereka hilang harapan ketika Kak Endah pergi. Mereka jadi malas berlatih. Mereka berpikir kalau tidak ada Kak Endah, tidak akan ada lagi kemenangan. Aku ingat, saat itu, aku yang masih kelas sepuluh, berusaha setengah mati membujuk para senior kembali berlatih. Tapi, tidak satu pun dari mereka yang mendengarku.
Kepala Sekolah yang saat itu bingung karena tim basket cewek tidak lagi menyumbangkan piala, memberikan kami pelatih baru.
Kepercayaan diriku sempat kembali untuk beberapa saat karena para senior mau bergabung lagi. Tapi, ketika pelatih baru itu dengan seenaknya menerapkan teori-teori pemanasan aneh seperti ratusan kali sit up dan puluhan kali lari keliling lapangan mereka tidak berlatih lagi. Pelatih dipecat dan tim basket cewek kembali vakum.
Waktu itu, aku merasa sangat putus asa karena tidak memiliki siapa pun untuk menjadi partner berlatih dan mengikuti turnamen. Aku kembali membujuki mereka dan akhirnya marah karena tahu mereka tidak serius mendalami basket. Tidak ada yang menganggap basket sebagai sesuatu yang penting. Semuanya beralasan mengikuti basket karena hobi atau malah iseng. Tidak ada yang menganggap basket sebagai sebuah ambisi, seperti aku. Ke mana tim yang dulu aku kenal?
Aku menoleh, lalu menatap nanar ke sebuah pigura di atas meja belajar yang berisi foto saat aku, Chacha, Adel, Firda, Lisa, Kak Endah, dan beberapa teman lain baru memenangi sebuah turnamen antar-SMA. Kami semua nyengir bangga dengan medali yang kami pakai. Saat itu, hanya aku satu-satunya junior yang masuk tim inti.
Untuk yang ke sekian kalinya, aku menghela napas. Entah kapan aku bisa merasakan perasaan itu lagi. Perasaan menyenangkan saat berada di tengah-tengah lapangan, bertanding dengan peluh bercucuran bersama teman-teman, dan disaksikan ratusan pendukung.
Kemudian, aku teringat kata-kata Fariz tadi pagi. Sebentar lagi, aku akan mendapatkan kesempatan itu. Kesempatan untuk kembali mengaktifkan tim basket cewek. Sebisa mungkin, aku akan menarik perhatian anak-anak baru lewat display ekskul nanti, lalu membuat sebuah tim baru yang solid walaupun tidak dengan
pelatih seperti Kak Endah. Aku tidak akan menyerah, karena ini adalah cita-citaku.
" Dewa Michael, doakan aku ya," kataku, lalu mendadak, aku merasa sangat mengantuk.
" STARLETTT!!"
Aku tersentak keras, lalu mengaduh karena hidungku masih nyeri. Kepalaku terasa pusing dan penglihatanku remang. Aku mengerjap-ngerjap beberapa kali sebelum akhirnya sadar kalau aku berada di kamar yang lampunya belum dinyalakan.
" STARLETT!! MAKAN DULU!!" sahut Ibu lagi dari bawah. " IYA!!" balasku.
Aku mengerang sebentar karena kulit wajahku tertarik saat berteriak tadi, lalu bergerak ke luar kamar dan turun. Ayah, Ibu, dan Fernan sudah menunggu di meja makan.
" Lo ngapain aja sih? Lama am& . HUAHAHAHA!" sahut Fernan ketika melihat wajahku. Aku menyipitkan mata sebal, lalu duduk di depannya.
Ayah dan Ibu juga ikut memerhatikanku.
" Kamu habis berantem, Star?" tanya Ayah heran. " Kok bonyok gitu?"
" Hm& . Kecelakaan kecil pas latihan tadi," kataku, kagum sendiri akan kecepatan mengarangku.
" Latihan apa? Latihan tinju?" sambar Fernan di sela-sela tawanya. Aku berusaha menganggap dia bagian dari udara. Asal tahu saja, aku sudah melakukannya selama enam belas tahun terakhir ini.
" Star, kok bisa begitu sih?" Ibu menghampiri dan mengamati lebam di hidungku dengan raut wajah cemas. " Apa kan kata Ibu, anak cewek harusnya nggak main olahraga kasar kayak basket& ."
" Bu! Itu seksis, oke? Dan ibu modern nggak lagi ngebeda-bedain gender!" sahutku sebal sambil mengambil nasi dan menyendok cah kangkung.
" Tapi kan, Star& muka anak cewek tuh harus bersih, biar enak diliat," kata Ibu, seolah perkataanku tadi hanya angin lalu.
" Bu, biar udah dibersihin pake ampelas kayu juga, muka Starlet sih tetep nggak bakal enak diliat," kata Fernan, membuatku ingin menyurukkan centong nasi ke dalam tenggorokannya. " Star, gimanapun juga kamu tetep cewek lho," kata Ibu lagi. " Bu, nggak ada yang bilang aku ngelupain kodrat. Aku cuma maen basket, oke? Bukan transeksual!" seruku.
" Ayah sih, dulu pake ngajak dia nonton basket, jadi gini deh anak cewek kita satu-satunya," keluh Ibu, membuat Ayah menggaruk kepala. " Padahal, Ibu mengharapkan anak cewek yang cantik, feminin, berkilauan kayak Ibunya gini& ."
" Maap ya kalo aku nggak cantik, feminin, berkilauan, dan narsis kayak Ibu," sindirku, lalu melemparkan senyum penuh semangat kepada Ayah yang tampak terpojok karena dipelototi Ibu.
" Gimana tahun ajaran baru kamu, Fer?" Ayah membelokkan pembicaraan.
" Lumayan, Yah. Senior-senior ceweknya lumayan cakep," jawab Fernan, membuatku memutar bola mata.
Adikku sudah lama terdeteksi oedipus complex. Aku ingat, dulu dia dia pernah tidak mau pergi dari supermarket karena kasirnya seksi. Itu di usianya yang keenam. Aku juga ingat dia pernah sangat rajin pergi les yang biasanya membuatnya gatal-gatal. Usut punya usut, ternyata guru lesnya yang keriput dan beruban pindah dan digantikan guru les baru yang segar dan selalu memakai rok mini. Itu di usianya yang keempat belas. Ibu pernah bercerita kalau Fernan baru berhenti disusui ketika umurnya empat tahun. Kurasa itulah alasannya kenapa Fernan jadi tumbuh tidak normal seperti ini.
" Kecuali Starlet, tentunya," sambung Fernan, rupanya yang tadi belum selesai. " Oh iya, Star... di sekolah, lo jangan ngaku-ngaku kalo lo Kakak gue, ya. Pasaran gue bisa turun mendadak."
" Diem lo, Maria Fernanda," kataku lambat-lambat, menekankan intonasi pada kata Maria Fernanda . Nama Fernan yang sebenarnya adalah Mario Fernando. Tadinya sih Ricky Setiawan. Tapi, karena pas dia lahir telenovela sedang menjamur, Ibu mengganti namanya menjadi Mario Fernando. Untung saja, aku tidak terkena imbasnya. Bisa gawat kalau namaku diubah, jadi Esmeralda, misalnya.
Fernan segera melotot dan memandangku garang. Tidak peduli, aku segera menyuap nasi banyak-banyak ke mulut.
Fight For Love Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Kalo lo nyebarin itu& gue& gue& ," Fernan berniat mengancam. " Lo mau apa? Kartu as lo ada di gue, jadi mending lo yang baik aja di sekolah, ya? Jangan bikin ulah macem-macem yang bawabawa nama gue," kataku.
" Gue juga nggak napsu," kata Fernan sengit.
" Hei... hei... jangan berantem di meja makan." Ayah menengahi. " Kalo mau, sana berantem di luar."
Aku dan Fernan bersamaan memandang Ayah yang tampak jelas berniat melucu lalu kembali makan seolah tidak ada yang terjadi. Ayah memang paling buruk memilih timing untuk melucu. " Yah, saos," kataku sambil mengulurkan tangan.
Ayah menghela napas. Kurasa dia sedih melihat anak-anaknya tidak menghargai lawakannya. Dia mengoper botol itu. Aku memencetnya keras-keras sehingga cairan kental berwarna merah menghiasi illet kakap-ku.
Tidak berapa lama, telepon berdering. Ketika aku baru mau berdiri, Ibu berdiri duluan.
" Ibu aja," katanya sambil berjalan cepat-cepat ke arah meja telepon. Aku hanya mengangkat bahu, lalu kembali melahap illetku.
Ibu berbicara sebentar, lalu menengok. Ternyata, telepon itu untuk Ayah. Ayah buru-buru mengelap mulutnya, lalu bangkit dan menyambar telepon.
" Halo? Ah, ya, saya sendiri. Hm& siapa? Oh, anaknya Yamada!" sahut Ayah, lalu tertawa. Kami semua jadi berhenti makan dan memerhatikannya. " Gimana? Oh? Mau ke sini? Liburan? Besok? Ya, boleh-boleh! Perlu dijemput di bandara? Nggak usah? Ya udah. Sama adikmu? Oh, boleh aja kok! Oke. Ya, sampe ketemu ya!"
Ayah menutup telepon, lalu kembali ke meja makan dengan wajah berseri-seri. Kami semua memandangnya heran.
" Tadi itu anaknya Yamada," kata Ayah sebelum ditanya. " Ibu inget, kan? Yamada yang dulu pernah kerja di kedubes Jepang?
" OH!!" seru Ibu histeris. " Yamada yang keren itu, suaminya Ana! Iya, Ibu inget!"
Perutku langsung bergejolak mendengar percakapan mereka, entah karena Ibu bilang suami orang lain keren, atau mendengar kata " Jepang" .
" Nah, Bu." Ayah berusaha menguasai diri karena Ibu baru saja mengomentari pria lain. " Anaknya mau datang ke sini, katanya mau liburan."
" Oh! Yang bener?" seru Ibu, masih sehisteris yang pertama. " Anaknya yang juga keren itu? Si Ryuu& Ryuu.... Siapa, Yah?"
" Ryuuichi," kata Ayah, membuat Ibu menepuk tangan keraskeras. " Dia sama adiknya mau liburan di sini."
" Siapa sih, Yah?" tanya Fernan.
" Kamu lupa ya sama Om Yamada? Dia dulu pernah datang ke sini sama istrinya, Tante Ana, sama anak-anaknya juga. Kalo nggak salah, kalian pada seumuran kok," kata Ayah.
Hm.... Rasanya aku tidak ingat mereka. Lagi pula, mendengar nama Yamada membuatku teringat kepada suaminya Kak Endah. Kalau tidak salah, namanya Yamashita. Dan mengingatnya membuatku sakit perut.
" Dulu, mereka lama tinggal di sini. Terus kalo nggak salah, mereka pindah ke Jepang karena tugas Om Yamada di Indonesia sudah selesai. Empat tahunan yang lalu ya, Bu?" tanya Ayah. Ibu mengangguk setelah berpikir sesaat.
" Ah, Ibu jadi pengin lihat Ryuuichi lagi, deh. Waktu kecil aja, dia imut banget. Sekarang, pasti tambah ganteng," kata Ibu, matanya menerawang. Hanya Tuhan yang tahu dia sedang mengkhayalkan
" Aku udah kenyang," kataku sambil bangkit, lalu melesat naik ke kamar.
" Hei, Starlet! Habis makan tuh bantuin nyuci piring, bukannya bilang aku udah kenyang !" sahut Ibu, yang terdengar sayup-sayup dari lantai dua.
Aku menutup pintu, lalu membanting diri ke ranjang. Aku menghela napas panjang. Mendengar kata Jepang , aku jadi teringat banyak hal. Dari mulai Kak Endah, suaminya, tim basketku yang bubar karenanya, sampai apa yang besok harus aku lakukan untuk memperbaikinya. Efek kata Jepang ternyata melelahkan bagiku.
Ketika aku baru akan berguling, siap untuk tidur lagi, pintu tiba-tiba terbuka. Aku menoleh dan si mahagoblok Fernan berdiri di sana.
" Star? Cuma sekadar ngingetin, kalo nanti malem ada bau-bau nggak sedap yang mengganggu tidur gue, gue pasti bakal ngiket lo ke karung, terus ngelempar lo ke sungai," katanya, lalu kembali menutup pintu.
Aku baru saja akan mendampratnya karena telah mengatakan hal-hal bodoh yang tidak penting, ketika aku sadar kalau hari ini aku belum mandi.
The Outsiders
" Hai, Fir," sapaku kepada seorang cewek yang sedang membaca novel Paulo Coelho sambil mengunyah permen karet. Cewek itu menoleh, menatapku sebentar, lalu kembali melanjutkan kegiatannya.
" Gue tahu yang mau lo omongin," katanya cuek.
Sepertinya, sekarang semua orang tahu isi hatiku sebelum aku sempat mengungkapkannya. Apa aku sebegitu jelas?
" Fir, gue tahu lo masih mau main." Aku duduk di bangku depannya yang kebetulan kosong. Sangat susah mencari bangku kosong di kantin saat sedang jam istirahat begini. " Lo satu-satunya orang yang satu visi ama gue."
Firda menutup bukunya keras-keras, menghela napas, lalu menatapku tajam. Aku dulu sangat menghormatinya dan masih sampai sekarang. Dia adalah kapten sekaligus power guard terbaik yang pernah dimiliki tim basketku.
" Star, lo tahu kan keadaan gue?" katanya dingin. " Apa lo masih berpikir untuk maksa gue main?"
Aku tahu keadaannya. Dia mengalami kecelakaan motor sekitar enam bulan yang lalu dan lututnya sempat retak. Aku ingat waktu itu kami semua menangis karena Firda memilih untuk berhenti bermain basket.
" Fir, gue pernah liat lo main sendirian sebulan yang lalu di lapangan," kataku membuatnya mengerjapkan mata. " Lo udah sembuh, ya kan?"
" Memang gue udah sembuh, nggak cacat, tapi gue udah nggak bisa maen kayak dulu lagi," kata Firda lagi. Aku bisa melihat tangannya terkepal. " Gue udah nggak bisa lari sekencang dulu. Gue
nggak bisa lompat sesempurna dulu. Dan lo tahu apa artinya itu buat gue. Semua itu nggak ada artinya."
" Lo kan bisa mulai dari awal, Fir! Lo bisa latihan lagi. Dengan latihan, lo pasti bisa lari sekencang dulu dan lompat sesempurna dulu!" Aku bersikeras. " Sebulan yang lalu lo udah nyoba. Kenapa sekarang lo berhenti?"
" Karena saat itu, gue sadar kalo gue udah nggak bisa berbuat apa-apa! Gue udah nggak berguna lagi buat tim!" sahut Firda.
" Firda yang dulu gue kenal nggak kayak gini," kataku, tidak percaya. " Dulu lo pantang menyerah. Masa sekarang cuma karena cedera lutut lo mau ngelepasin basket?"
" Gampang buat lo ngomong, Star... lutut lo baik-baik aja!" seru Firda, membuatku terdiam. " Sekarang, untuk jalan aja gue harus berhati-hati biar nggak cedera lagi. Bagaimana gue main basket?"
" Gue lihat waktu lo latihan kemarin nggak terjadi apa-apa! Itu cuma alasan lo. Ya kan, Fir? Lo sebenernya udah bisa main!" sahutku lagi.
Firda terdiam sesaat, lalu menatapku sinis. " Star, sebenernya lo ngajak gue bukan karena lo pengen gue bener-bener balik ke tim, kan? Lo cuma pengen gue main di display supaya dapet satu tim, kan?"
Aku menatap Firda tidak percaya. Bisa-bisanya dia mengatakan itu. Aku memukul meja keras-keras, lalu bangkit.
" Asal lo tahu aja ya, Fir& . Dulu gue sangat menghormati lo karena lo kapten paling baik yang pernah dimiliki tim. Sampe sebelum lo ngomong itu pun, gue masih pengin kapten gue yang dulu balik ke tim. Tapi sekarang, gue sadar kalo kapten yang gue harapkan udah
Aku tahu aku sudah menabrak beberapa orang dalam perjalanan ke kelas, tapi aku tidak peduli. Aku juga tahu kalau aku menendang beberapa tempat sampah, tapi aku juga tidak peduli.
" Starlet!" sahut Fariz yang kulewati, tapi aku diam saja. Aku masih berjalan dengan kecepatan Forrest Gump.
" STARLET!" sahut Fariz lagi. Dia berhasil menangkap tanganku, lalu membalik tubuhku.
Aku langsung menunduk, tidak mau dia melihatku yang sedang menangis. Fariz terdiam sesaat sepertinya sadar kalau aku menangis lalu menarikku pergi dari koridor dan membawaku ke ruang klub.
Aku terduduk di bangku, lalu mencoba untuk mengendalikan diri. Aku menggigit bibir agar air mataku tidak keluar terlalu banyak. Fariz mengeluarkan saputangan dan menyodorkannya kepadaku. Aku menerimanya, lalu mengelap air mata itu.
Fariz menghela napas, sempat mengacak rambutnya sendiri, lalu berjongkok di depanku. Aku menatapnya dengan pandangan berterima kasih.
" Masih ada Adel, kan," katanya sambil tersenyum. " Jangan putus asa dulu."
Aku mengangguk. Aku tidak boleh menyerah hanya karena hal ini. Aku boleh menangis sebanyak apa pun, tapi aku tidak boleh melepaskan basket.
Aku pasti bisa melakukan ini.
Aku melangkah gontai ke dalam rumah. Kejadian hari ini benarbenar membuat semangatku habis. Yang aku inginkan sekarang adalah tidur lama tanpa gangguan.
" AH!! SEMUT!!" Jeritan Ibu membuatku terlonjak beberapa senti dari lantai ruang tamu. Aku langsung mencengkeram dada, takut jantungku melompat keluar. " Nggak boleh ada semut di sini!"
Masih terkejut, aku memasuki ruang keluarga. Apa sih yang membuatnya sebegitu histeris? Sebesar apa sih semut yang dia temukan?
Baru ketika aku akan bertanya, aku terperangah melihat keadaan di ruang keluargaku. Tidak akan begitu mengherankan kalau keluargaku sedang duduk-duduk atau bagaimana, tapi mereka semua tampak memakai syal untuk menutup hidung dan membawa alat kebersihan. Bahkan, Fernan memegang kemoceng.
" Oh, kamu udah pulang, Star!" kata Ibu sambil mengelap meja yang terlihat seperti baru dipelitur. " Ayo sini, ikut bantu-bantu!"
Ibu lalu menyodorkan tangkai pel kepadaku yang masih bengong. Di sudut ruangan, Ayah menjulurkan tangan sepanjang mungkin untuk mencapai pojok langit-langit dengan sapu. Fernan menempel-nempelkan kemoceng pada TV tanpa niat.
" Boleh aku tahu ada apa ini?" tanyaku akhirnya, setelah terbebas dari segala rasa keterkejutanku. Keluargaku tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Sekarang, rumahku bahkan jauh lebih bersih daripada saat pertama kami menempatinya.
" Ini GKRS, Star!" Ibu memberi tahu dengan wajah berseri-seri. Aku menyipitkan mata, tidak yakin mau tahu apa kepanjangannya, tapi Ibu keburu berkata, " Gerakan Kebersihan Rumah Setiawan!"
Oke. Aku menyesal telah bertanya. Ini memang murni kesalahanku. Dan karenanya, aku tidak mau ambil bagian apa pun dalam gerakan bodoh ini. Lagi pula, aku tidak punya banyak waktu karena harus tidur untuk mempersiapkan satu lagi hari yang melelahkan.
" Oke. GKRS," kataku dengan wajah benar-benar paham. Aku lalu melirik Fernan yang seperti mau mati membersihkan foto keluarga raksasa. " Berjuang ya semua!!" sahutku lagi dengan nada ceria.
" YA!!" sahut Ayah dan Ibu berbarengan sambil mengangkat tangan dengan ceria pula. Sementara itu, aku melesat naik ke kamar.
" HEH?! Hoi Starlet, kamu juga bantu dong!!" Aku mendengar suara Ibu, tapi aku malah menutup pintu.
BODOH! Kalau menembak itu jangan cuma pakai siku, pakai pergelangan tangan juga!
Aku menoleh, lalu menatap seorang cowok pendek dengan wajah sok tahu yang berdiri di pinggir lapangan. Aku baru saja melakukan tembakan dan bolanya memantul di papan ring. Sekarang, bola itu bergulir ke arahnya. Cowok pendek itu mengambil, lalu mendribelnya dengan sok gaya.
Heh, kembaliin bolaku! seruku sengit, tapi cowok itu tidak mau mendengar. Dia malah berjalan ke arahku.
Minggir, katanya sambil mendorongku.
Aku merengut, tapi aku mau tahu kebisaannya. Jangan-jangan, dia cuma besar mulut. Aku baru akan mengejeknya ketika bola yang dilemparkannya masuk dengan sempurna ke ring. Aku langsung melongo.
Kok& bisa?? seruku, tidak percaya.
Karena aku pakai pergelangan tangan, kata cowok itu menyebalkan. Dan karena kamu bodoh.
Stop bilang aku bodoh. Dasar pendek! ejekku.
Biar pendek, tapi aku bisa memasukkan bolanya, kan? Dan kamu, biar tinggi, tetap nggak bisa, kan? katanya lagi.
Kamu nyebelin!! Aku merebut bola dari tangannya. Kamu bodoh, kata cowok itu, meleletkan lidahnya, lalu pergi.
Perlahan, aku membuka mata. Sayup-sayup, aku bisa mendengar suara tawa Ibu. Suara tawanya itu berfrekuensi tinggi. Jadi, bisa dengan mudah menembus gendang telinga dan membangunkanku.
Aku mengerjap-ngerjapkan mata sebentar, berusaha membiasakan diri dengan keadaan kamarku yang gelap-gulita. Kepala dan mataku masih terasa berat sehingga aku belum mampu turun dari ranjang.
Aku baru saja bermimpi soal cowok pendek itu. Cowok yang pernah menyebutku bodoh berkali-kali dalam satu pertemuan. Cowok menyebalkan yang membuatku bisa bermain basket dengan benar. Aku tidak ingat pasti kapan aku bertemu dengannya, mungkin saat aku kelas 3 SD. Kalau bertemu dengannya lagi, aku tidak tahu apakah harus berterima kasih atau malah menantangnya bertanding.
Saat sedang memijat leher, pandanganku terpancang pada kamar mandi yang lampunya menyala. Aku seperti mendengar suara shower dari sana. Merasa masih terlalu mengantuk sehingga berhalusinasi, aku bangkit dari ranjang untuk turun dan minum.
Aku mematikan lampu kamar mandi, lalu membuka pintu kamar. Sekilas, aku seperti melihat beberapa tumpukan asing di pojokan, tapi aku tidak ambil pusing. Keadaanku yang baru bangun tidur tidak pernah bisa diharapkan.
Dengan mata setengah tertutup, aku turun ke ruang makan dan langsung duduk di meja makan. Sekelebat, aku seperti melihat sebuah bayangan yang kupikir Fernan. Aku meraih gelas dan menuangkan jus jeruk ke dalamnya dengan kesadaran terbatas. " Halo," kata Fernan.
" Hai," kataku sambil mengangguk tidak jelas, lalu mengangkat gelas, berniat meminum jus.
Tunggu dulu. Fernan tidak pernah mengucapkan halo kepadaku dan suaranya tidak seberat ini. Aku masih mengantuk atau bagaimana? Aku mendongak, lalu menatap sosok yang ada di depanku. Kalau Fernan belum bermutasi, berarti sosok yang ada di depanku ini bukan dia. Tapi, siapa??
Aku mengucek mata siapa tahu tidurku membuat Fernan tampak lebih ganteng lalu kembali melihat sosok di depanku.
Itu bukan Fernan. Seratus persen bukan. Itu adalah seorang cowok asing yang sedang minum cokelat panas dengan santainya sambil pasang senyuman konyol. Aku tersentak kaget, lalu melompat kira-kira dua meter ke belakang.
" Star? Kamu kenapa?" tanya Ayah, yang ternyata sedang duduk
" Ng& Yah? Dia siapa?" tanyaku sambil mengawasi cowok yang malah asyik menyeruput cokelatnya.
" Dia Ryuuichi, Star... anaknya Om Yamada yang mau liburan di sini," kata Ayah santai sambil berjalan ke arah cowok itu dan menepuk bahunya.
Apa? APA? Aku tidak peduli dia anak siapa, tapi apa yang dilakukannya di sini?
" Dia bakal tinggal bareng kita selama liburan," kata Ibu yang baru keluar dari dapur membawa brownies. " Ya kan, Ryuu?"
Cowok itu mengangguk manis sehingga Ibu mencubitnya, membuatku merinding seketika. Tapi, aku langsung teringat pada ucapan Ibu yang pertama.
" Bu, tunggu... tunggu. Ibu bilang dia mau tinggal di sini, bareng kita?" tanyaku untuk memastikan. " Tapi, Bu... untuk berapa lama? Maksudku, liburan pasti cuma dua-tiga hari, kan? Nggak bakal lebih dari itu, kan?"
" Dia bakal tinggal selama dia mau, Star," kata Ayah, membuatku terperangah.
" APA?? Tapi, selama yang dia mau tuh selama apa?" sahutku histeris.
" Ya ampun& . Lo tenang aja dong, Star. Lagian kenapa sih kalo dia mau tinggal di sini?" sahut Fernan, membuatku tambah melongo.
" Iya nih, Starlet emang suka aneh. Kan malah asyik ya kalo rumah tambah rame," kata Ibu sambil tersenyum lagi kepada cowok bernama Ryuu itu. Lagi-lagi, Ryuu mengangguk manis. Dasar penjilat.
Aku menarik napas, berusaha menahan emosi. Memang sih, aku tahu akan ada yang liburan ke sini dan sebagainya, tapi aku tidak pernah tahu kalau orang itu akan tinggal di sini! Aku tidak suka ada orang asing di rumahku! Sudah cukup enam belas tahun aku tinggal dengan Fernan!
Ketika aku akan mengatakan itu, pintu kamarku terbuka. Aku heran mengapa pintu itu bisa terbuka sendiri. Mungkin, aku tadi lupa menutupnya dengan benar. Tapi, pikiranku berubah saat seorang cewek cantik keluar dari sana dan menatap ke bawah sambil berkacak pinggang. Aku langsung melongo hebat.
" Tadi siapa yang matiin lampu kamar mandi?!" serunya sambil merengut. Aksennya terdengar janggal.
Aku menoleh perlahan kepada Ayah, yang wajahnya terlihat sangat bahagia.
" Itu Hikari, adiknya Ryuu." Dia menjelaskan.
" Oke. Hikari. Apa yang Hikari lakuin di kamarku?" tanyaku lagi.
" Dia bakal sekamar ama kamu," kata Ayah, cengirannya belum hilang.
" DIA BAKAL APA??" jeritku histeris.
" Sayang, dia bakal sekamar sama kamu. Kopernya udah ditaro di atas. Nanti kamu beresin kamarnya ya," kata Ibu, lalu menghampiri Hikari yang sudah berada di bawah. " Hikari, ini yang namanya Starlet."
" Halo, aku Yamada Hikari." Cewek itu mengulurkan tangan, sementara aku masih bengong.
" Star!" seru Ibu, membuatku tersadar. Aku segera menjabat tangannya.
" Starlet," kataku, walaupun masih belum terima dengan segala keadaan yang serba mendadak ini. Sekarang, aku sadar apa guna GKRS tadi.
" Yoroshiku ne 1 ?" kata Hikari, membuatku merasa belum membersihkan telinga selama beberapa hari.
" Hah?" gumamku, tapi Hikari sudah diseret Ibu ke meja makan untuk mencicipi brownies-nya.
Setahuku, Ibu tidak pernah membuat kue apa pun. Semoga saja dua turis itu tidak keracunan.
Hm& atau aku harus berharap sebaliknya?
Kejadian pagi ini membuatku terguncang. Bagaimana tidak, aku harus bangun dengan melihat wajah Hikari di sampingku. Setelah menenangkan diri, aku baru bangkit untuk mandi. Sebelum sempat sampai di kamar mandi, aku tersandung sepasang stiletto pink hingga jatuh gedebukan. Setelah berhasil sampai di kamar mandi, aku disambut barang-barang milik Hikari yang memenuhi seluruh rak sampai aku tidak bisa menemukan sikat gigiku sendiri.
Ketika aku keluar kamar mandi, aku baru menyadari betapa mengerikan suasana kamarku dengan kehadiran koper-koper pink di pojokan. Berusaha tidak memedulikannya, aku membuka lemari, 1. Yoroshiku ne = Mohon bimbingan ya
mengambil seragam, lalu mengenakannya. Aku sedang bermaksud mengambil ransel ketika merasa menginjak sesuatu yang berbulu.
" Maaf!" sahutku, takut menginjak kucing atau apa. Detik berikutnya, aku sadar kalau aku tidak punya peliharaan apa pun.
Aku menunduk karena benda berbulu itu tidak juga bergerak, lalu menemukan sandal tidur penuh bulu berwarna pink. Aku menatapnya sebal, lalu melirik Hikari yang masih tidur dalam balutan piyama pink sambil memeluk bantal yang juga pink. Ini sih terlalu niat! Orang liburan apa yang membawa tiga koper jumbo, sandal tidur, dan bantal?
Aku menghela napas, berusaha untuk tetap terkendali. Aku bermaksud melakukan ritual pagi, tapi menemukan sebuah benda asing berwarna pink menjuntai di ring, menutupi wajah Michael Jordan. Aku menarik syal norak itu, lalu melemparkannya sembarangan. Enak saja, memangnya ring basketku kapstok?
Sambil menggerutu, aku turun untuk sarapan. Semuanya plus satu turis yang lain, Ryuu sudah berada di meja makan. Pandanganku dan Ryuu bertemu selama beberapa saat, tapi aku melengos dan langsung menarik kursi.
" Ohayoo 2 ," kata Ayah, membuatku bengong.
" Aku belum makan," kataku bingung. " Lagian masih pagi." " Ayah bilang selamat pagi , Sayang," kata Ibu. Perasaan, tadi dia tidak mengatakan itu, deh.
Aku hanya mengedikkan bahu. Kupikir dia bicara ayo , makanya aku langsung protes. Aku meraih dua lembar roti, lalu mengolesnya dengan selai cokelat. Senang rasanya melihat warna 2. Ohayoo = selamat pagi
lain, mengingat tadi aku hampir saja jadi buta warna karena terlalu banyak melihat warna pink.
" Hikari belum bangun ya, Star?" tanya Ibu. Aku mengangguk karena mulutku penuh oleh roti. " Ntar Ibu mau ajak dia belanja, ah. Habis, Starlet nggak pernah mau diajak belanja."
Siapa juga yang tertarik diajak memilih-milih baju sampai tiga jam. Mending aku main basket di lapangan kompleks.
" Ryuu, Starlet ini beda banget lho sama Hikari. Anaknya tomboi, senengnya main basket. Udah gitu, nggak manis sikapnya, nggak kayak Ibunya," kata Ibu kepada Ryuu yang langsung menatapku dan balas kupelototi.
" Sama sekali nggak cewek," timbrung Fernan.
" Tapi, orangnya lumayan manis, kan?" Ayah mencoba menghibur.
" Ih, manis bagian apanya?" sambar Fernan, membuatku ingin menghajarnya. " Lagian kemarin kan Ryuu udah liat gimana aslinya."
Aku jadi ingat pertemuan pertamaku dengan Ryuu kemarin. Saat itu, aku baru bangun tidur, yang pasti tidak terlihat cantik maupun sekadar lumayan manis .
" Mana kemarin ada kerak di pipinya," lanjut Fernan. " Malumaluin aja."
" Sori ya kalo gue malu-maluin," kataku sinis. " Tapi, gue nggak peduli, soalnya ini rumah gue. Gue bebas mau tampak kayak apa aja di rumah gue sendiri."
Aku dan Fernan berpandang-pandangan sengit. Aku benarbenar ingin memasukkannya ke kotak dan mengirimnya ke pulau
" Hei, kalian jangan berantem dong, malu kan sama Ryuu," omel Ibu, lalu melempar senyum kepada Ryuu yang tampak santai-santai saja.
" Kenapa harus malu? Dia juga bukan siapa-siapa," kataku sebal. Entah mengapa mood-ku pagi ini begitu jelek. Mungkin karena tragedi pink, atau aku memang sudah terlalu muak dengan Fernan.
" Dia tamu di sini, Star. Dan kamu harusnya bersikap lebih baik kepada tamu," kata Ayah serius, lalu beralih kepada Ryuu. " Ryuu, maain anak-anak Om ya."
" Nggak apa-apa kok, Om," kata Ryuu sambil melirikku. " Iya, memang Starlet nih agak kasar sama orang. Jadi, jangan sakit hati kalo dijudesin sama dia ya?" Ibu tertawa ala nenek lampir. Ryuu cuma mengangguk sambil tersenyum simpul.
" Thanks, Bu," sindirku, tapi Ibu masih tertawa sambil sesekali menepuk punggung Ryuu.
" Bu, ntar aku langsung pulang," kata Fernan tiba-tiba. " Kalo Ibu perlu bantuan, aku siap kok."
Aku melongo. " Waktu bangun tidur tadi pagi, lo yakin nggak kejeduk sesuatu?"
" Diem lo," kata Fernan, lalu kembali menatap Ibu. " Kalo Ibu udah selesai belanja, ntar aku bantuin bawa barang-barangnya, deh."
Aku tahu ada yang tidak beres. Aku selalu tahu. Dan berhubung hal yang menarik bagi Fernan adalah wanita, maka ini pasti ada hubungannya dengan si turis pink itu. Aku akan menggorok leherku sendiri kalau ternyata hipotesisku salah.
And the Invasion Begins& .
" Wah, yang bener, Star? Orang Jepang?" Aya sangat bersemangat saat aku menceritakan tentang dua turis itu kepadanya.
" Iya, namanya Ryuuichi sama Hikari," jawabku malas sambil memasukkan buku-buku ke ransel. " Nggak Jepang-Jepang banget sih. Ibunya orang Indonesia. Mereka juga baru empat tahun lalu pindah ke sana."
" STAR!!" sahut Aya sambil menggamit tanganku. Aku menatapnya heran. " Lo temen gue kan, Star? Lo sahabat gue kan, Star?"
" Kayaknya gue tahu apa yang pengin lo omongin," kataku ketika melihat binar-binar di mata Aya. Dia paling tidak tahan dengan segala yang berbau Jepang.
" AH!! Lo emang sahabat gue yang paling oke!" sahut Aya, lalu memelukku. Seolah dia punya sahabat lain saja.
" Ya& Ya& gue nggak bisa napas nih," kataku ketika leher ini terasa tercekik. Aya memang melepaskanku, tapi selanjutnya, dia mengguncang-guncang tubuhku dengan kekuatan penuh. " Thanks ya, Star! Arigatoo 3 !!" serunya histeris.
" Ya, gue bisa mati duluan sebelum ngenalin lo ama mereka!" sahutku di tengah-tengah guncangan maut itu. Ketika Aya benarbenar melepasku, aku kehilangan keseimbangan untuk beberapa saat.
" Aduh, maap, Star... habis gue seneng banget! Dari dulu gue pengin banget belajar bahasa Jepang! Kira-kira mereka mau nggak ya ngajarin gue?" tanyanya sambil menerawang.
3. Arigatoo = Terima kasih
Huh, seenaknya saja dulu dia bilang aku memalukan. Buktinya, sekarang dia lebih memalukan dariku.
" Mau kali. Ya udah, gue mau pulang. Gue harus nyari Adel. Kalo mau, lo dateng aja ke rumah," kataku, lalu berderap ke luar kelas. Di kejauhan, aku melihat sesosok cewek mungil yang kukenal.
Aku segera berlari, mencoba menyusul Adel. Tapi, karena terlalu banyak orang yang berada di koridor, aku kehilangan dia. Sepertinya, dia baru saja keluar gerbang dan menaiki angkot. Aku menendang batu yang ada di dekatku, kesal.
Ketika aku berbalik, aku melihat dua sosok yang kukenal: Ayu dan Tias. Mereka yang tadinya asyik mengobrol, mendadak terdiam ketika melihatku. Aku tidak tahu harus bagaimana, mengingat sudah lama sekali aku tidak berbicara dengan mereka. Jadi, aku hanya melambai konyol.
" Hai," sapaku sambil mengeluarkan cengiran gugup. Ayu dan Tias berpandangan sebentar, lalu tersenyum lemah kepadaku. " Halo, Star," kata Tias.
" Apa kabar?" tanyaku lagi.
" Baik. Lo sendiri gimana?" Ayu balas bertanya.
Aku menatap mereka sedih. Aku jadi teringat masa-masa indah yang pernah kami jalani setahun lalu. Mereka adalah teman-teman pertamaku di sekolah ini.
" Nggak begitu baik," kataku, berusaha menahan emosi. " Oh," kata Ayu, tampak sangat mengerti. Aku yakin dia tahu kalau aku masih mau mempertahankan tim basket. " Kalo gitu, semangat ya."
Ayu dan Tias tersenyum sekilas, lalu berjalan melewatiku. Aku ingin sekali menahan mereka. Aku ingin sekali bercengkerama dengan mereka seperti dulu. Tapi, aku terlalu takut untuk mencobanya. Aku takut mereka akan menolakku.
Kami pertama kali bertemu saat ospek. Saat itu, kami bertiga datang terlambat sehingga dihukum lari keliling lapangan. Setelah itu, rasanya kami tidak bisa dipisahkan, sampai-sampai semua teman memanggil kami dengan powerpuff girls.
Aku yang mengenalkan mereka pada basket. Aku yang membuat mereka tertarik untuk masuk tim basket. Aku pula yang membuat mereka membenciku karena basket.
Setelah mendaftar, aku langsung dimasukkan tim inti karena aku memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan semua anak angkatanku, bahkan beberapa seniorku. Karena hal itu, tidak sedikit orang yang iri padaku. Beberapa senior pernah berusaha mencederaiku, tapi Ayu dan Tias selalu membelaku. Mereka selalu ada untukku, tepatnya.
Tapi, semuanya perlahan berubah saat aku tidak pernah ada lagi untuk mereka. Aku selalu berlatih di tempat yang berbeda dengan mereka. Aku selalu pulang latihan lebih larut dari mereka. Aku selalu pergi untuk mengikuti turnamen yang tidak diikuti mereka. Aku selalu diajak ke acara-acara yang dibuat senior yang tidak mengundang mereka. Singkatnya, aku tidak pernah lagi menjadi bagian dari mereka.
Kalau mau jujur, aku memang jahat. Aku tidak berusaha menolak saat senior mengajakku nongkrong bersama. Aku tidak mengajak mereka menonton latihanku. Aku tidak memerhatikan ekspresi mereka saat aku dengan hebohnya menceritakan bagaimana aku
memenangkan turnamen. Aku tidak pernah menjadi teman yang baik bagi mereka.
Akhirnya, Ayu dan Tias keluar dari tim basket, bersamaan dengan pindahnya Kak Endah. Mereka menghindar saat aku matimatian membujuk semua orang. Mereka juga menjaga jarak saat bertemu di sekolah. Dan puncaknya, mereka mengatakan kalau aku hanya mengajak mereka berteman untuk meninggalkan mereka. Dan pada saat itulah, aku sadar kalau aku bukan lagi bagian dari mereka. Dan bodohnya, saat itu aku tidak meminta maaf. Kurasa aku terlalu egois dan merasa mereka sama seperti yang lain, meninggalkan basket karena alasan-alasan bodoh.
Sekarang, rasanya sudah sangat terlambat untuk meminta maaf. Sepertinya di antara kami sudah ada satu pengertian. Bahwa walaupun tidak bermusuhan, kami tidak akan bisa berteman seperti dulu lagi. Keadaan akan menjadi canggung, seperti yang baru saja terjadi. Dan aku sudah tidak punya nyali untuk meminta mereka kembali ke tim. Aku takut mereka malah menganggapku hanya membutuhkan mereka di saat aku susah.
" Star?"
Sebuah tangan besar menghalangi pandangan. Aku tersentak, lalu menoleh. Fariz sedang menatapku dari balik helmnya.
" Ngapain lo ngelamun di depan gerbang gini?" katanya sambil membuka helm.
" Oh, nggak," elakku cepat-cepat.
" Oh. Eh, gimana Adel? Apa katanya?" tanya Fariz lagi. " Gue tadi sempet ngejar dia, tapi dia keburu naik angkot." Aku menggaruk kepala. Kurasa tadi harusnya aku menabrak semua
orang di koridor. Aku bisa mati penasaran kalau harus menunggu satu malam lagi.
" Hm& . Kalo gitu, gue anter lo ke rumahnya," kata Fariz sambil menepuk jok motornya yang keren.
" Lo tahu rumahnya?" tanyaku.
" Lho, yang ada tokonya itu, kan? Kita semua kan pernah ke sana," kata Fariz lagi. Aku mencoba mengingat-ingat. Tampaknya benar, aku pernah ke sana.
Fight For Love Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Oh, iya! Yang ada warungnya!" sahutku, akhirnya bisa mengingat. " Eh, tapi nggak apa-apa nih gue ikut lo?"
" Alah lo, sok sopan banget. Pertanyaannya cuma formalitas aja, kan? Udah, naek," kata Fariz, membuatku nyengir.
Terima kasih Tuhan, karena sudah menciptakan Fariz. Dia sudah sangat banyak membantuku selama ini.
Tapi, kutarik lagi segala rasa syukur itu ketika dia menancap gas yang membuatku hampir terjatuh.
Setelah sempat berhenti untuk makan, kami sampai juga di depan rumah Adel. Soal rumah Adel ini, Fariz hebat sekali bisa hapal jalan masuk ke sana. Padahal, gang-gangnya sangat rumit. Rumah itu tergolong sederhana dan memiliki toko kelontong di depannya.
Aku menarik napas, lalu mengembuskannya mantap. Aku berjalan ke rumah itu, sedang bermaksud untuk mengetuk
pintunya ketika mendengar suara Adel dari warung. Aku menoleh dan mendapati Adel sedang melayani pembeli.
" Del?" panggilku dan dia segera menoleh.
" Starlet?" seru Adel dari dalam warung. Ekspresinya tampak kaget. " Sebentar ya Star, gue layanin pembeli dulu. Duduk aja dulu."
Aku mengangguk, lalu duduk di kursi teras. Dari motornya, Fariz mengacungkan jempol. Aku membalasnya kaku. Aku takut akan menerima penolakan lagi.
Tidak lama kemudian, Adel selesai melayani dan berlari-lari kecil ke arahku.
" Kenapa, Star? Kok tumben ke sini?" tanya Adel sambil tersenyum ramah. Ah, mungkin ini pertanda baik. Adel memang cewek baik. Adel menoleh, lalu melihat Fariz. Fariz melambai kepadanya, yang langsung dibalas. " Sama Fariz, ya? Ada apaan, Star?"
" Hm& gini, Del," kataku, lalu berhenti sebentar. Siapa tahu Adel sudah tahu apa yang mau kukatakan, seperti yang lain. Tapi, begitu beberapa detik berlalu dan tampang Adel seperti sangat penasaran, aku yakin dia tidak tahu apa pun. " Soal display minggu depan, maksud gue hari Senin besok. Lo udah tahu?"
" Oh, display itu. Yang buat ekskul itu, kan?" tanyanya, membuatku mengangguk. " Kenapa emangnya?"
Hm& . Kurasa lebih baik kalau Adel tahu dari awal isi hatiku. " Ng& . Karena untuk display harus ada satu tim, hari Senin besok, lo mau nggak display bareng gue?" kataku hati-hati.
" Berdua doang?" tanya Adel, membuatku tiba-tiba merasa kesal.
Bukan kepada Adel, tapi kepada orang-orang yang membuat kami mungkin harus melakukan display berdua saja.
" Iya. Soalnya Chacha sama Firda nggak bisa," kataku. Adel terdiam sebentar, tersenyum lemah, lalu menghela napas. Ini pertanda buruk. Ini benar-benar pertanda buruk. Aku bersumpah akan mencium si turis itu kalau aku salah. " Star, lo masih belum menyerah ya, soal basket?" tanya Adel. " Belum. Dan nggak akan pernah," tandasku serius. Adel tersenyum lagi.
" Hebat ya, lo punya sesuatu yang diperjuangin," kata Adel, membuatku melambung sedikit. " Tapi, maaf ya, kalo gue nggak bisa bantu lo walaupun gue bener-bener pengen."
Aku tahu ini akan jadi jawabannya. Helaan napas tadi sudah jadi gejala awal.
" Nggak apa-apa kok, Del. Tapi, boleh gue tahu alasannya?" tanyaku.
" Star, gue cinta banget sama basket. Mungkin rasa cinta gue hampir sama kayak lo. Tapi, gue lebih cinta sama keluarga gue," kata Adel, membuatku bingung. Adel melihat kebingunganku, lalu mendesah. " Ayah gue udah lama sakit. Adek gue ada dua. Lo tahu sendiri, Ibu gue udah nggak ada. Pendapatan keluarga gue cuma dari warung ini. Gue nggak punya waktu lagi untuk basket."
Aku terkesiap mendengar cerita Adel. Ternyata, sangat berat menjadi seorang Adel. Dia sangat mencintai basket, tapi dia tidak punya pilihan. Dan itu lebih menyakitkan daripada keadaanku.
" Del, gue ngerti. Gue ngerti banget. Gue nggak akan maksa lo lagi," kataku.
" Tapi, gue mau banget main untuk terakhir kalinya di depan orang banyak," kata Adel sambil tersenyum. " Biar gue cari cara supaya bisa main di display nanti, ya. Semoga aja ada."
Aku menatap Adel bahagia. Rasanya, sudah terlalu lama semenjak aku merasa sebahagia ini. Adel memang benar-benar baik. Aku jadi terharu.
" Star? Jangan nangis dong!" seru Adel, bingung.
" Del, makasih banget ya. Makasih," kataku sambil berusaha menahan air mata. Fariz sampai menghampiriku untuk mengetahui apa aku baik-baik saja.
Tentu saja aku baik sangat baik malah. Ternyata, masih tersisa orang baik di dunia ini. Aku berjanji akan mendoakan keluarga Adel agar diberikan kemudahan.
Omong-omong soal janji, sepertinya tadi aku membuat sebuah janji yang berhubungan dengan turis itu.
Begitu Fariz mengantarku ke rumah, turis yang sepanjang jalan kupikirkan itu ada di teras. Dia baru berdiri dan hendak masuk ke rumah ketika melihatku. Dia menatapku sebentar, mengangguk ke arahku dan Fariz, lalu masuk ke rumah sementara aku berkeringat dingin.
Ya Tuhan... ya Tuhan. Yang tadi itu, maksudku yang waktu di rumah Adel itu, aku tidak serius. Yang bersumpah soal mencium itu cuma bercanda!
" Star? Mau sampe kapan duduk di situ? Apa mau jalan lagi?" tanya Fariz, menyadarkanku. Aku segera turun dari motor.
" Star? Yang tadi itu& yang masuk ke rumah lo itu siapa?" tanya Fariz lagi, tapi pikiranku masih tidak keruan.
" Riz, kalo ada orang yang bersumpah dalam hati dan nggak kedengeran siapa pun, kalo nggak ditepatin nggak apa-apa kan, ya?" tanyaku, tidak mengacuhkan pertanyaannya.
" Hah?" kata Fariz dengan ekspresi bingung.
" Itu cuma main-main aja, nggak serius!" sahutku lagi. " Jadi& gue nggak bakal kena karma kalo nggak ditepatin kan, ya?"
" Ng& . I guess," kata Fariz, tidak terdengar yakin. Walaupun begitu, aku senang mendengar jawabannya. Bebanku jadi terasa agak ringan. " Jadi, yang tadi itu sia "
" STAR!" seru seseorang, membuatku menoleh. Ternyata Aya, yang muncul dari rumahku dan sekarang berlari ke arahku dengan wajah berbinar-binar. " Star, lo yakin namanya Ryuuichi? Bukannya Matsumoto Jun?"
" Siapa moto siapa?" tanyaku bingung.
" Matsumoto Jun! Artis Jepang! Terus adeknya, lo yakin bukan Aya Matsuura?" sahut Aya lagi, kali ini lebih heboh.
" Ayam apa?" Kali ini, aku lebih bingung. Aku malah menggaruk kepala, kebiasaan buruk kalau sedang bingung berat. " Lo sebenernya lagi ngomong apa sih, Ya?"
" Ya ampun, Star! Lo nggak pernah bilang kalo mereka tuh cakep dan cantik banget!" sahut Aya, membuatku berpikir. Hikari mungkin cantik, tapi Ryuu& .
Aya berceloteh lebih banyak lagi, tapi aku tidak begitu mendengarkan. Aku malah sibuk menenangkan diriku. Sumpah yang di rumah Adel itu tidak ada artinya. Benar, hanya main-main. Tuhan pun tidak akan menganggapnya serius.
" Star, gue besok dateng lagi ya! Gue mau belajar percakapan bahasa Jepang dulu semaleman, biar gue bisa memperlancar bahasa Jepang gue sama mereka!" sahut Aya, lalu berlari menjauh. " Dah, Star! Dah, Riz!"
" Dah." Fariz melambaikan tangan, lalu menoleh kepadaku. " Dia kenapa sih, Star? Lo kenapa? Kayaknya dari tadi gue liat lo pucet& ."
" Ah, nggak kok, Riz. Gue sehat kok! Nih, sehat kan?" kataku sambil meregangkan tangan dan kaki seperti sedang pemanasan SKJ. Fariz bengong sebentar, lalu tersenyum maklum.
" Iya deh, gue percaya lo sehat," katanya. " Ng& Star? Kalo boleh gue tahu, yang tadi baru masuk rumah lo siapa?"
" Oh, itu& . Dia sama adiknya anak temen Bokap gue yang baru dateng dari Jepang. Katanya mau liburan," jawabku. " Jepang," gumam Fariz. " Ngingetin gue sama Kak Endah." " Bener. Makanya gue benci banget sama Jepang dan segala produknya," gerutuku sambil pasang tampang merengut.
" Oh, baguslah. Berarti gue nggak perlu khawatir apa pun," kata Fariz, membuatku menatapnya heran. Fariz malah mengacak rambutku, lalu memakai helm. " Ya udah, gue balik dulu ya. Salam buat keluarga lo."
Aku mengangguk walaupun masih bingung. Dia menyalakan mesin motornya, menancap gas, lalu menghilang di belokan. Aku
mengedikkan bahu, kemudian berjalan ke dalam rumah. Sebelum masuk, aku menarik napas dan mengembuskannya. Aku harus mempersiapkan diriku bila bertemu Ryuu. Aku tidak boleh tampak bersalah.
Aku memegang kenop pintu, lalu membukanya. Aku hampir saja pingsan saking kagetnya saat mendapati Ibu di belakang pintu.
" Bu? Lagi ngapain?" tanyaku, bingung melihat posisinya yang aneh: berdiri tepat di depanku dan tidak melakukan apa pun, kecuali meletakkan kedua tangannya di depan paha.
" Ah, Starlet. Bukan gitu harusnya kalo masuk ke rumah," kata Ibu centil. " Kalo masuk rumah bilang apa?"
" Oh," kataku sambil menutup pintu. " Assalamualaikum." " Bukan yang itu! Yang satunya, setelah kamu ngucapin itu," kata Ibu lagi. Wajahnya yang kelewat ceria membuatku ngeri.
" Yang mana ya?" tanyaku, tapi irasatku mengatakan ini tidak akan bagus.
" Kamu harus bilang tadaima 4 ! Begitu," kata Ibu lagi, sukses membuatku bengong.
" Tadah apaan?" tanyaku, tapi segera menyesal telah bertanya. " Tadaima! Artinya, aku pulang!" sahut Ibu lagi.
Oh, oke. Ini pasti efek lanjutan dari kedatangan kedua turis itu. Ibuku jadi orang gila dan dia sekarang sedang memaksaku jadi orang gila. Tapi, berhubung aku sedang tidak ingin merusak hariku yang indah, maka aku akan mengikuti kemauannya selama masih diterima akal.
4. Tadaima = Aku pulang!
" Tadaima?" kataku sambil melepas sepatu dan melangkah ke ruang keluarga.
" Okaerinasai 5 !" serunya, membuatku mengernyit, tapi masa bodoh.
Aku baru mau meneruskan perjalanan ke kamar ketika melihat si turis, alias Ryuu, sedang bermain PS2 bersama Fernan di ruang keluarga. Ryuu melirikku sekilas, membuatku membuang muka. Ingat, jangan tampak bersalah& .
Ketika akhirnya sampai di depan kamar, aku mendesah lega. Untung aku tidak terlihat mencolok saat menghindarinya. Aku membuka pintu, lalu terkesiap melihat pemandangan di depanku.
Sepertinya, aku salah masuk kamar. Aku menutup pintu, berjalan mundur beberapa langkah, lalu menghitung-hitung pintu. Tapi, sepertinya pintu yang kubuka sudah benar. Bingung, aku kembali membukanya. Tapi, pemandangannya tetap sama. Apa mungkin aku salah rumah?
Oh, tidak... tidak.... Aku tidak percaya ini. Aku segera berlari turun, lalu melesat ke luar rumah tanpa memedulikan pandangan heran orang-orang. Setelah sampai di luar, aku segera menatap rumah itu. Ini rumahku. Ini benar-benar rumahku. Semuanya... teras itu, halaman itu, nomor itu. Semuanya menandakan kalau ini benar-benar rumahku. Jadi, yang tadi itu benar-benar kamarku!
Aku segera berlari lagi masuk ke rumah, lalu melesat naik. Setelah berada di depan kamarku, aku membuka kenop pintu dengan perlahan. Aku bisa melihat tanganku gemetaran. Aku bahkan sempat memejamkan mata, berharap saat mataku terbuka, aku bisa menemukan kamarku kembali.
5. Okaerinasai = Selamat datang!
Tapi, aku tetap menemukan kamar mengerikan itu, kamar yang didekorasi atau diledakkan cat warna pink. Entahlah, aku tidak begitu peduli prosesnya. Yang jelas, kamarku sekarang tampak sangat horor!!
" TIDAKKK!!" sahutku histeris sambil memegangi kepala. Aku menguatkan diri untuk masuk, mencari tahu apa saja yang masih tersisa. Tapi, ternyata tidak ada. Ring sudah dilepas, poster dewa Michael sudah tidak ada. Aku tidak bisa melihat barangbarangku lagi di kamarku sendiri. Atau mungkin semuanya sudah dicat pink, aku tidak tahu. Yang jelas, sekarang aku hanya melihat satu warna saja. Aku seperti terkena sindrom mono-colored-vision. Aku bahkan tidak tahu apa sindrom itu ada.
" Oh, tidak& ," gumamku sambil memegang meja, mencoba mempertahankan keseimbangan. Kepalaku benar-benar terasa pusing.
" Starlet? Ada apa, Sayang?" tanya Ibu dari ambang pintu. Ternyata, semua orang sudah berkumpul di sana, mungkin kaget mendengar teriakanku tadi.
Ada apa? Ada apa? Apa Ibu terlalu polos sehingga mengatakan itu kepadaku?? Tapi, berhubung aku sedang sangat terguncang, jadi kata yang keluar dari mulutku hanyalah, " Mi-Michael& ."
" Oh, poster lo ada di gudang, sama ringnya juga," kata Fernan, tampak sangat puas.
" DI GUDANG??" jeritku lagi. Aku tahu semua orang sampai mundur beberapa senti karenanya, tapi peduli apa. Aku sudah sangat marah sekarang.
Aku berjalan mendekati mereka dengan level kemarahan
" Ce..pat.. ba..wa.. Mi..Chael.. sa..ma.. ring.. ke.. si..ni.. se..ka.. rang.. ju..ga," kataku geram.
" Star? Lo tahu? Lo sekarang kayak setan," kata Fernan, tampak ciut juga dengan kemarahanku.
" CEPAT AMBIL MICHAEL SAMA RING SEKARANG JUGA!!" jeritku, membuat Fernan langsung kabur.
" Starlet, jangan teriak-teriak begitu ah," tegur Ibu, lalu nyengir konyol ke arah Ryuu dan Hikari yang tampak kaget.
" Apa, Bu? Kenapa aku nggak boleh teriak? Kamarku jadi begini, kenapa aku nggak boleh teriak?" sahutku, membuat Ayah harus menahanku.
" Udah Ayah bilang kan, Bu, ini bukan ide bagus," kata Ayah. " INI SAMA SEKALI BUKAN IDE BAGUS!" seruku kesal. " Tap-tapi& Ibu cuma& ." Ibu mulai terisak. " Ibu cuma pengin ngerasin gimana punya anak cewek beneran...."
" Bu, Starlet anak cewek beneran!"
" Tapi, kamu kan tomboi, nggak kayak Hikari& . Ibu cuma pengin ngedekor kamar anak perempuan& ," katanya lagi.
Untung saja dulu Ibu tidak menjadi dekorator. Hasil mengerikan seperti ini lebih baik dimusnahkan saja! Tapi, berhubung Ibu sekarang udah terisak-isak, maka aku tidak mengatakannya. Fernan kemudian muncul dengan dua poster raksasa Michael Jordan dan ring kesayanganku.
" Bu, Starlet ngizinin Ibu ngubah kamar Starlet sehoror apa pun, tapi jangan pernah lepas ring dan poster Michael-ku," kataku, membuat Ibu mendongak. Air matanya sudah lenyap tidak
" Bener, Star? Boleh?" tanyanya sambil memegang bahuku. " Untuk sementara aja!" tambahku cepat-cepat sebelum dia salah paham. " Selama Hikari ada di sini. Begitu dia pulang, kamarku harus balik kayak semula. Dan lo, cepet pasang ring sama poster itu di tempat semula."
Fernan menatapku sebal, lalu masuk ke kamar sambil menggerutu. Tapi, begitu Hikari menawarkan diri untuk membantunya, wajahnya tiba-tiba cerah dan dia begitu bersemangat mau memasang ring itu sendirian. Dasar sok jago.
" Star, makasih ya. Ibu sayang banget ama Starlet," kata Ibu sambil memelukku. Yah, sepertinya tadi aku sudah terlalu keras kepadanya. Aku tidak bisa seratus persen menyalahkannya karena dia memang sangat menginginkan anak perempuan yang feminin.
Ketika aku mau memeluknya balik dan meminta maaf, dia berkata, " Tapi, Star.... Apa nggak aneh ada ring sama poster Michael di kamar indah begini?"
" Bu," kataku sinis sambil menyipitkan mata kepadanya. " Iya, iya," kata Ibu cepat-cepat.
Ya ampun. Ini sih keterlaluan.
Aku baru saja selesai mandi di kamar mandi berdinding pink, yang warna shower-nya juga diganti menjadi pink. Aku heran mengapa air yang keluar masih bening. Kalau sudah sangat niat seperti ini sih harusnya Ibu bisa mengganti airnya menjadi warna pink.
Aku menghela napas, lalu duduk di ranjang pink. Tahu-tahu, aku merasakan sesuatu yang keras di pantat. Aku mengambil benda yang kududuki itu, lalu melongo. Remote pink. Aku menatap TV-ku yang entah bagaimana juga sudah jadi pink.
" Ya ampun, Ibu dapet dari mana sih barang-barang beginian?" gumamku, tidak habis pikir.
Aku bangkit, berjalan ke arah meja belajar, lalu mengangkat sebuah foto yang telah dipigura pink oleh Ibu. Dulu pigura itu berwarna cokelat kayu, tapi seharusnya aku tahu pigura ini tidak akan luput dari perhatian Ibu.
Aku menatap foto itu. Fotoku bersama Satria, kakakku yang sedang belajar di Australia. Aku sangat dekat dengannya karena dia tidak menyebalkan seperti Fernan. Dia sangat asyik. Dan entah karena apa, wajahnya juga sangat ganteng. Kalau dilihat dari Ayah dan Ibu, tampaknya sumbangan itu lebih dari Kakek atau Nenekku.
Dia sangat mengerti aku. Dia juga sering menemaniku bermain basket. Aku sangat bahagia berada di rumah ini sampai dia pergi karena mendapatkan beasiswa. Aku sempat menangis meraungraung dan tidak memperbolehkan dia pergi. Tapi, pada akhirnya Ayah mengatakan bahwa aku harus mendukungnya kalau aku sayang padanya.
Setelah dia pergi, seperti yang seharusnya terjadi, aku tidak lagi bahagia. Aku harus menjalani hari-hariku dengan menghadapi si bodoh Fernan sendirian. Aku tidak lagi mempunyai sekutu. Dan sekarang, kegilaan mendadak yang ditimbulkan para turis Jepang ini membuatku merasa semakin kehilangan Satria.
" Sat, cepet balik dong," kataku. " Serius nih, lama-lama gue bisa
" STARLET!! MAKAN DULU!!" teriak Ibu dari bawah. " Sat, gue berubah pikiran. Jangan pulang, keadaan rumah siaga 3. Kalo pulang, lo bisa ikutan gila dan gue nggak mau itu terjadi," kataku sambil meletakkan pigura itu, lalu bergerak turun dengan malas. Semua orang sudah duduk mengelilingi meja makan.
Aku menarik kursi di sebelah Ibu, lalu duduk. Kemudian, aku terperangah melihat apa yang tersebar di meja makan.
Seingatku, selama hidup di bawah atap rumah Setiawan, aku tidak pernah menyaksikan meja makan yang seperti ini. Di depanku sudah tidak ada piring-piring seperti yang biasa kulihat. Yang ada malah mangkuk-mangkuk kecil yang diisi nasi. Lupakan sendok dan garpu, karena di sebelah mangkuk itu hanya tergeletak sepasang sumpit. Dan soal lauk-pauk, aku tidak tahu apa namanya. Sebuah panci di atas kompor kecil diletakkan di tengah meja, berisi macam-macam daging dan sayur.
" Apa ini?" tanyaku datar.
" Ini? Namanya nabe. Kelihatan enak kan, Star?" kata Ibu sambil meletakkan gelas-gelas.
Aku menatapnya tajam. " Nggak juga. Terus ini semua apaan? Kenapa nasi dimangkokin gini? Mana sendok sama garpu?"
" Starlet, ini makan ala Jepang." Ibu duduk di sebelahku. " Di Jepang, semua makan pakai mangkok seperti ini dan sumpit."
" Bu, kita orang Indonesia! Ngapain juga kita makan ala Jepang segala?" tanyaku heran. Ini sudah benar-benar keterlaluan.
" Starlet, kita harus menghormati tamu kita," kata Ayah sambil tersenyum kepada Hikari dan Ryuu yang membalasnya kaku.
" Yah, mereka yang seharusnya membiasakan diri dengan cara makan kita, bukannya kita malah repot-repot begini!" sahutku lagi.
" Star, kenapa sih lo? Tinggal makan aja kenapa? Biasanya, lo juga nggak pernah protes," kata Fernan. Aku menoleh kepadanya, lalu tawaku hampir menyembur saat melihatnya. Sejak kapan dia memakai wax dan baju bagus ketika makan malam?
" Apa-apaan baju sama rambut lo itu?" tanyaku geli. " Apa?" balasnya seolah tidak peduli. Rasanya aku mau muntah melihat ekspresi sok kerennya itu.
" Udah, jangan ribut terus. Ayo dimakan, nanti keburu dingin," kata Ibu.
" Bu, di bawah panci itu ada kompornya," kataku sebal, tapi tampaknya tidak ada yang mengacuhkanku. Padahal, yang kukatakan tadi cukup intelek.
" Itadakimasu 6 !!" ucap semua orang serempak sambil merapatkan kedua telapak tangannya, sementara aku hanya bengong, tidak mengerti mereka sedang apa.
" Star? Kok bengong gitu? Ayo bilang, itadakimasu!" kata Ibu. Aku sudah sangat capek dengan semua ini. Aku tidak punya kekuatan untuk membantah maupun bertanya artinya. " Ita apa tadi?" tanyaku lelah.
" Itadakimasu!!" kata semua orang sekali lagi. Aku menatap mereka semua. Sepertinya aku mencium adanya konspirasi, tapi, masa bodoh lah.
6. Itadakimasu = Digunakan saat menerima sesuatu, bisa juga artinya saya
" Itadakimasu," kataku lemah sambil meraih sumpit. Aku menatap sumpit itu, lalu mencoba menggerak-gerakkannya. Aku tidak pernah memakan apa pun dengan sumpit. Makan mie ayam saja selalu pakai sendok dan garpu.
Aku memutuskan untuk mencoba saja karena bagaimanapun, aku perlu makan. Aku melebarkan sumpit itu, menangkap sesuatu yang mengambang di dalam panci, menjepitnya, lalu mengangkatnya. Daging itu segera jatuh lagi ke dalam panci. Aku melakukan percobaan itu berkali-kali aku malah sempat mencoba untuk menangkap yang lain, siapa tahu daging memang susah ditangkap tapi, tidak pernah berhasil. Aku sampai berkeringat dingin.
Orang-orang sesekali melirik ke arahku karena sementara nasi di mangkuk mereka sudah hampir habis, punyaku belum termakan sama sekali. Aku mencoba lagi untuk melebarkan sumpit, menjepit daging keras-keras tanganku sampai bergetar hebat karena kerasnya tekanan yang kuberikan lalu mengangkatnya pelanpelan. Aku sudah akan berhasil daging itu terangkat sekitar dua puluh senti di atas panci ketika peganganku melonggar. Daging itu jatuh bebas ke dalam panci dan membuat cipratan ke segala arah.
Semua orang bengong dan menghentikan aktivitas untuk memerhatikanku. Sepertinya, aku sudah sangat pucat dan berkeringat karena lapar setengah mati. Ryuu lah yang pertama bergerak. Dia menyumpit daging yang sedari tadi mau kuambil dengan mudah, lalu meletakkannya ke atas mangkukku. Aku sampai mau menangis karena terharu sekaligus bertepuk tangan karena dia begitu hebat.
" Lo nggak bisa pake sumpit, Star?" tanya Fernan geli. Aku segera menatapnya bengis.
" Emang kenapa? Gue orang Indonesia! Gue Indonesia asli dan gue bangga jadi orang Indonesia!" sahutku sambil bangkit dan bergerak ke dapur mengambil sendok dan garpu, lalu kembali ke meja makan.
Aku menyendok daging dan sayuran, meletakkannya ke dalam mangkuk, lalu mulai melahapnya.
" Hm, begini kan lebih gampang. Makan aja kok dibikin susah," gumamku sambil terus melahap makanan, tanpa memedulikan pandangan semua orang.
" Jadi, Ryuu, besok mau ke mana?" tanya Ayah, mencoba mengendalikan situasi.
" Hm... belum ada rencana, Om," jawab Ryuu sambil mengambil daging dari panci.
" Lho, liburan kok belum ada rencana?" tanya Ayah lagi, tapi Ryuu seperti menghindari jawabannya dengan pura-pura sibuk mengunyah. " Terus, kamu sekarang kuliah di mana?"
Tepat ketika Ayah selesai bertanya, Ryuu tersedak. Dia batuk hebat sampai matanya berair dan wajahnya merah. Ibu sibuk memberinya air, sementara Hikari mengelus-ngelus punggungnya. Dan kehebohan itu berlanjut sampai aku selesai makan.
Ya ampun, itu kan cuma tersedak saja. Biasanya, kalau aku yang tersedak, tidak ada satu pun orang yang menoleh.
Aku bangkit, membawa mangkuk kotorku ke bak cuci piring, lalu melangkahkan kaki keluar. Udara malam ini lumayan sejuk, jadi aku mau duduk-duduk di teras. Sekalian mencari penyegaran
Baru ketika aku mau menghirup udara dalam-dalam, pintu rumah terbuka. Aku sedang mengambil ancang-ancang ketika Hikari muncul dan menangkap basah aku yang tersandung batu saat berusaha melesat.
" Starlet? Daijoobu 7 ?" Dia membantuku berdiri. " Kamu baikbaik aja?"
" Ba-ik," kataku susah-payah sambil menahan denyutan parah di lututku.
Hikari menuntunku untuk kembali duduk di kursi teras, lalu memeriksa luka itu. Setelah memastikan kalau tidak ada darah di sana, dia duduk di sampingku. Aku menggosok-gosokkan tangan pada tempurung lututku yang serasa retak.
" Mm& . Starlet, kamu benci sama kami?" tanya Hikari tiba-tiba, membuatku terkejut.
" Hah?" kataku bingung.
" Kayaknya, kamu nggak suka ya ada kami di rumah kamu," kata Hikari lagi.
" Bukan gitu." Aku cepat-cepat menggeleng. " Gue aja yang kayaknya butuh penyesuaian diri lagi terhadap keluarga ini. Ini kayak antivirus, lo tahu? Harus di-update terus supaya gue nggak gila. Ng.... Lo nggak ngerti ya?"
Hikari menelengkan kepalanya. " Nggak ngerti. Menurutku keluarga kalian itu lucu lho." Dia lalu tersenyum. " Aku seneng banget bisa tinggal di sini."
" Yah, syukurlah kalo lo bisa seneng," kataku, walaupun tidak habis pikir.
" Keluargaku juga baik, tapi nggak rame kayak keluarga kamu," kata Hikari lagi. " Otoosan 8 orangnya konservatif, sedangkan Okaasan 9 pendiam, tidak kayak Ibu kamu."
Aku tidak punya ide dengan apa yang dia katakan, tapi sepertinya dia tadi menyebut Ayah dan Ibunya dengan dua kata asing itu. Jadi, aku hanya mengangguk-angguk tidak jelas.
" Soal kamarmu, gomen ne 10 ? Maaf, aku nggak nyangka kamu semarah itu," katanya sambil menatap mataku sungguh-sungguh.
" Nggak apa-apa. Itu pasti murni suruhan Ibu, kan? Emang dia terobsesi banget punya anak cewek kayak lo." Aku tersenyum. Aku tahu pasti cewek ini tidak bersalah. " Lo disuruh nemenin dia belanja, harusnya gue yang minta maaf."
" Ng." Dia menggeleng. " Aku suka kok nemenin dia belanja." Aku menatap Hikari tidak percaya. " Pasti Ibu bener-bener sayang sama lo ya?"
" Masih lebih sayang sama Starlet kok. Sepanjang jalan dia selalu ngomongin kamu," kata Hikari lagi, membuatku mau tidak mau memikirkan Ibu. " Hm.... Starlet, memangnya suka banget sama basket ya?"
" Iya," jawabku mantap. " Makanya, gue ngamuk waktu tahu ring sama poster gue dilepas."
" Terus, kamu bagus?" tanya Hikari lagi. Aku menatapnya bingung, tidak mengerti pertanyaannya. " Main basketnya bagus?"
" Yah, lumayanlah," kataku, berusaha merendah.
8. Otoosan = Ayah
9. Okaasan = Ibu 1. omen ne = Maa ya .
" Kamu tahu? Kamu ngingetin aku sama seseorang. Kalian samasama gila basket dan sama-sama punya poster Michael Jordan," kata Hikari, lalu tersenyum seperti mengingat sesuatu. " Oya? Memang sih Michael keren banget."
" Kata Tante, kamu sering ikut pertandingan ya? Aku jadi pengen liat," kata Hikari.
" Hah? Oh, yah, boleh aja sih," kataku salah tingkah. " Yang bener? Yatta 11 !" sahut Hikari, tampak benar-benar senang.
Yah, harusnya aku bilang kalau untuk sementara ini tidak akan ada pertandingan mungkin sampai dia pulang nanti. Tapi, melihat ekspresinya yang benar-benar senang, aku jadi tidak tega.
11. Yatta = Asyik! .
My Saviors
" HUAHAHAHA!!"
" HUS!" sahutku ketika suara tawa Aya menggema ke seluruh penjuru kelas atau mungkin sekolah.
" Jadi, lo dipaksa makan pake sumpit?" Aya masih tertawa kecil, air mata sudah menggenang di matanya. " Terus, kamar lo jadi serba pink?"
" Nggak usah di-recap bisa, kan?" gerutuku sebal.
" Aduh, Star.... Lo kayaknya udah kena invasi Jepang!" sahut Aya lagi, membuatku berpikir. Mungkin dia benar. Turis itu menginvasi rumahku dengan segala kebiasaan Jepang.
" Hh.... Padahal, gue sebel banget kalo denger kata Jepang ," keluhku. " Gue jadi inget lagi sama segala hal yang berbau kegagalan tim basket sekolah kita."
" Star, lo tahu... kebudayaan Jepang itu keren banget. Kalo jadi lo, gue pasti manfaatin Ryuu sama Hikari buat belajar banyak," kata Aya, sekarang sudah serius.
" Karena gue bukan lo, jadi gue nggak harus belajar apa pun, kan?" balasku dingin.
" Lo emang payah," kata Aya, lalu bergerak mendekatiku. " Tapi, Star... bukannya Ryuu itu cute banget? Lo nggak naksir sama dia?"
" Hah?" sahutku kaget, lalu memikirkan pertanyaan Aya. Memang sih, Ryuu itu tidak seperti kebanyakan cowok Indonesia. Walaupun orang Jepang, dia tinggi dan proporsional. Mungkin sekitar seratus delapan puluh senti. Wajahnya oke walaupun cenderung cantik karena terlalu mulus. Rambutnya hitam pekat dan potongannya sangat stylish, seperti gambar cowok-cowok Jepang yang ada di binder Aya.
Sebenarnya, tidak ada yang salah pada dirinya. Tapi, yang jadi masalah, dari awal, aku sudah tidak menunjukkan tanda-tanda keramahan kepadanya. Begitu pula dirinya. Lagi pula, dia sudah melihat tampangku dalam berbagai situasi. Aku bahkan tidak punya rasa malu lagi untuk berjalan di depannya dengan tampang baru bangun tidur atau berkata aku sedang datang bulan, misalnya. " Star?" tanya Aya, menyadarkanku.
" Nggak mungkin, Ya," kataku akhirnya. " Dia cantik, gue jadi ngerasa kalah cantik."
" Tapi, Star... cowok-cowok Jepang rata-rata begitu! Apalagi, dia tinggal di Tokyo. Wajar aja kalo mukanya rada cantik!" sahut Aya berapi-api.
" Ya, emangnya pilihan gue terbatas cuma sama cowok Jepang?" kataku kesal. " Lo aja yang naksir dia kalo gitu!"
" Yah, gue sih& ." Aya tidak meneruskan perkataannya dan malah tersipu malu. Aku menatapnya jijik, lalu akhirnya paham. " Masih aja ngarepin dia," kataku, membuat Aya nyengir. Aya memang menyukai Satria sejak pertama kali melihatnya. Asal tahu saja, pertama kali itu adalah saat umurnya cukup untuk mengingat sesuatu alias balita. Saat Satria pergi, dia sama-sama menangis denganku. Satria bilang sih, dia menganggap Aya sebagai adik, tapi aku tidak berani mengatakan itu kepada Aya. Aku tidak mau mati muda, tahu.
" Tapi sayang lho, Star, kalo Ryuu dicuekin begitu aja. Seenggaknya lo coba tebar pesona kek," kata Aya lagi. Tampaknya subjek ini akan bertahan cukup lama.
" Pesona apa yang harus gue tebar, Ya?"
" Iya ya, lo nggak punya pesona," komentar Aya kejam. " Lagian, cowok kayak Ryuu biasanya kena sister complex. Habis, Hikari-nya cantik banget. Cewek kayak lo nggak bakal punya kesempatan."
" Thanks, Ya," kataku sinis, sementara Aya terkekeh. Tahu-tahu, matanya melebar.
" Tuh, suami lo dateng. Padahal kalo dipikir-pikir, masih cakepan juga Ryuu," kata Aya, membuatku menoleh. Ternyata Fariz sudah berada di depan kelas. Aku segera bangkit, lalu menghampirinya. " Hai, Riz. Ada apaan?" tanyaku.
" Gue mau tanya perkembangannya. Jadi mau ikut display, nggak? Pendaftarannya ditutup besok," kata Fariz, membuatku kalut. Masalahnya, aku belum punya siapa pun untuk diajak display. " Riz, kalo gue display sendiri, boleh nggak?" tanyaku. " Masalahnya bukan boleh nggak boleh, Star. Boleh aja, tapi apa yang bakal lo lakuin sendirian di lapangan?" tanya Fariz balik.
Fight For Love Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Ya, apa kek, free style. Jump shot. Three-point shot. Lay up. Apa aja," kataku lagi. Fariz menatapku sesaat, lalu menghela napas.
" Starlet, yang begitu itu cuma bakal bikin orang heran. Yang namanya tim basket mana ada yang anggotanya cuma satu orang. Kalo lo tetep display, orang-orang bakal berpikir kalo ada apaapa dengan tim basket," kata Fariz panjang-lebar. " Dan sebagai akibatnya, mungkin aja nggak ada yang bakal daftar."
" Tapi, kalo gue diem aja dan nggak display, malah nggak ada yang bakal daftar sama sekali, kan?" Aku bersikeras. Fariz terdiam, lalu menghela napas lagi.
" Lo mungkin bener. Tapi, Star, apa lo bisa tampil sendirian? Apa lo yakin?" tanya Fariz lagi. Aku mengangguk keras.
" Kalo itu jalan terakhir, nggak apa-apa gue tampil sendiri. Lebih baik gue nanggung malu daripada nggak ngelakuin apa pun," kataku mantap. Fariz tersenyum, lalu mengacak rambutku.
" Kalo gitu, semangat ya. Gue bakal ngelakuin apa pun untuk membantu lo," katanya lagi, membuatku merasa terharu.
" Makasih ya, Riz. Lo sudah banyak banget bantu gue," kataku dengan mata berkaca-kaca. Fariz terkekeh melihatku.
" Kayak sama orang lain aja." Fariz bersandar pada tembok kelas. " Hm& Star?"
" Mm?" tanyaku sambil mengelap air mata di sudut mata. Aku sebal sekali dengan sifat mudah terharuku ini.
" Hari Minggu besok ada acara?" tanya Fariz lagi. Aku menggeleng. " Kalo gitu, temenin gue jalan ya? Gue mau nyari bola basket. Kemarin bola gue ketabrak mobil, jadi kempes."
" Hah?! Bola yang ada tanda tangan Iboy itu?" sahutku tidak percaya. Fariz sangat menyukai tim basket Satria Muda. Tahun lalu, dia berhasil mendapatkan tanda tangan dari pemain kesukaannya, Dwui Eriano alias Iboy, di bola kesayangannya.
Fariz mengangguk sambil tersenyum miris. Aku menatapnya kasihan, lalu menepuk pundaknya sambil menatap dalam-dalam.
" Tenang aja, Riz! Gue pasti temenin lo!" seruku, bersungguhsungguh.
" Tapi, nggak usah kayak mau nemenin ke medan perang gitu, kan?" kata Aya, yang kebetulan keluar kelas dan melihat kami.
Hari ini adalah Kamis, yang berarti empat hari lagi menjelang display. Dan aku masih belum membuat kemajuan apa pun. Memang, kemarin Adel sudah mengatakan kalau dia akan berusaha, tapi aku tidak dapat hanya mengandalkannya. Mungkin saja Senin nanti dia harus menjaga tokonya. Kalau itu terjadi, tentunya aku tidak akan memaksanya bermain dan aku harus melakukannya sendiri.
Aku sedang berjalan gontai keluar gerbang sekolah ketika Ayu dan Tias lewat sambil tertawa-tawa. Aku menatap punggung mereka sedih. Ya Tuhan, apa sih yang dulu kulakukan? Kenapa aku bisa semenyedihkan ini? Apa ini karma karena aku telah melakukan hal buruk pada kedua sahabatku?
" Tiap hari bengong di depan gerbang, ntar diseret satpam lho." Aku menoleh, lalu melihat Fariz lengkap dengan motor besarnya. Dia melepas helm, lalu nyengir kepadaku. " Mau nebeng pulang, nggak?" tanyanya.
Aku menatapnya dengan pandangan menilai sejenak, lalu tanpa banyak bicara lagi, aku melompat ke boncengannya. Daripada pulang naik angkot dan menghabiskan uang sakuku, lebih baik aku menumpang Fariz. Cowok itu terkekeh sebentar, lalu memakai helmnya. Sebelum kami berlalu, aku melihat pandangan beberapa cewek yang lewat. Kalau aku tidak salah tangkap, mereka memandangku dengan rasa iri.
" Riz, tunggu!" sahutku sebelum Fariz sempat menancap gas. Aku cepat-cepat turun dari motornya. " Ng& ada yang kelupaan. Lo pulang duluan deh!"
" Hah?" tanya Fariz heran. Aku lalu berlari ke dalam sekolah. " Pulang duluan aja!" sahutku sebelum berbelok ke koridor
utama. Setelah Fariz tidak terlihat lagi, aku berhenti berlari, lalu duduk di bangku.
Aku tidak boleh memanfaatkan siapa pun lagi. Atau setidaknya, aku tidak boleh kelihatan memanfaatkan siapa pun lagi. Aku bosan ditinggalkan.
Aku melangkah berat ke dalam rumah dan seperti biasa atau setidaknya dibiasakan semenjak kedua turis itu datang Ibu sudah berada di depan pintu. Aku heran mengapa dia selalu tahu timing yang tepat. Mungkin dia mendengar suara pagar yang tadi kubuka, lalu langsung melompat ke ruang tamu untuk menyambutku. Hal ini memang bagus dan mengharukan, tapi kurasa tidak usah saja.
" Tadaima," kataku tanpa diminta. Aku malas berdebat dengannya.
" Okaerinasai!" balas Ibu ceria. Aku jadi ingat kejadian tadi pagi saat dia memaksaku untuk mengatakan ittekimasu 12 . Padahal, aku sudah sangat telat dan tidak punya waktu untuk hal-hal begituan. Tapi, aku ditahan sampai mengatakannya. Untung saja aku tidak telat karena aku minta Ayah mengebut.
Aku melangkah masuk ke ruang keluarga. Seperti biasa, Fernan sedang bermain PS2 dengan Ryuu, sementara Hikari menonton sambil sesekali menyemangati. Betapa menarik efek yang Hikari timbulkan di rumah ini, mengingat dulu Fernan tidak pernah ada di rumah sebelum maghrib. Saat aku sedang memerhatikan mereka, Ryuu menoleh ke arahku.
" Okaeri," katanya sambil menatapku. Aku balas menatapnya, lalu pikiranku melayang ke perkataan Aya tadi pagi. Aku mencermati Ryuu. Dia memang terlihat cantik, mungkin karena kulitnya lebih mulus dariku dan bibirnya merah. " Nani 13 ?" katanya, membuatku tersadar.
" Lo udah hilang ingatan, ya? Nama gue Starlet, bukan Nani," kataku ketus. Yang mengherankan, Fernan langsung tertawa, sementara Hikari terkikik. Ryuu sendiri tampaknya tidak berekspresi.
" Star, lo tuh bego banget, sih? Tadi Ryuu bilang nani , artinya apa ... bukannya manggil lo Nani!" seru Fernan, lalu tertawa lagi dengan hebohnya.
" Nggak tahu bahasa Jepang bukan berarti gue bego, kan?" sambarku, lalu langsung naik ke kamar.
Malam ini, semua berjalan kacau. Ibu, yang dengan soknya mau membuat sushi, gagal total. Tak satu pun bisa dimakan. Ibu sudah mau menangis saat aku bertanya apa semua itu bisa dimakan, tapi Hikari menenangkannya dan berkata akan membantu membuatnya lagi. Aku sih lebih memilih bermain basket sambil menunggu makan malam.
Aku mendribel bola basket ke lapangan kompleks dan melewati rumah Aya. Aku berhenti sebentar di depan pekarangannya, berpikir untuk menumpang makan di rumah temanku itu, tapi aku segera 13. ani = Apa .
melupakannya. Nanti, Ayah dan Ibunya Aya akan berpikir telah terjadi sesuatu di rumahku. Yah, memang sih, sesuatu telah terjadi. Tapi, kalau cerita ini didengar oleh Ibunya Aya, bisa dipastikan besok seantero kompleks membicarakan Ibuku yang pisah ranjang dengan Ayah dan pulang ke rumah orang tuanya atau apalah.
Jadi, aku meneruskan perjalanan ke lapangan basket yang kosong. Kata orang-orang, ini adalah lapangan basketku karena tidak ada orang yang memakai lapangan ini, kecuali aku. Dulu pernah ada yang mengusulkan untuk menggantinya dengan lapangan voli, tapi tidak jadi karena aku berdemo dengan membuat tenda di tengah-tengah lapangan dan tidur di dalamnya selama beberapa hari.
Aku berlari dulu tiga keliling lapangan, lalu melakukan pemanasan ringan. Setelah itu, baru aku mendribel bola dan mulai melemparkannya ke ring. Aku mencoba melakukan threepoint shot dan masuk secara sempurna. Aku menghela napas lega. Ternyata, aku masih bisa melakukannya. Aku sempat khawatir akan kehilangan kelebihanku yang satu itu. Aku adalah three-pointer dalam tim. Dulu, aku pernah melakukan sepuluh kali three-point shot berturut-turut dalam pertandingan all-stars SMA.
Setelah itu, aku mencoba melakukan lay up dan beberapa kali jump shot. Semuanya masuk. Satu-satunya yang belum kulakukan adalah air walk. Tapi karena itu tidak mungkin, aku melupakannya. Hanya Michael Jordan yang bisa melakukannya dan mungkin Vince Carter, atau tokoh Naruse dalam komik Harlem Beat yang pernah diberikan Aya kepadaku.
Sekali lagi, aku melakukan three-point shot dan masuk. Aku menggerak-gerakkan pergelangan tangan yang terasa kaku, lalu menghampiri bola yang masih terpantul di bawah ring.
" Ternyata, udah pake pergelangan tangan," komentar seseorang dari pinggir lapangan. Aku menoleh. Ternyata, Ryuu. Aku memungut bola, lalu mendribelnya balik ke garis tengah.
" Jelas dong," kataku, sambil bersiap-siap melempar lagi. Detik berikutnya, aku terpaku. " HEH?!"
Aku menoleh sekuat tenaga ke arah Ryuu yang masih berdiri dengan santainya di pinggir lapangan. Ya Tuhan, aku tidak percaya ini. Aku tidak percaya. Apa mungkin??
Ryuu berjalan ke arahku yang masih terpaku, lalu memungut bola yang tadi tergelincir dari tanganku dan mendribelnya santai. Dia mengambil ancang-ancang, lalu melempar bola itu ke arah ring. Bola itu masuk dengan sempurna dari jarak yang bahkan lebih jauh dari garis three-point.
" Hisashiburi 14 ," kata Ryuu sambil menengok ke arahku. " Lama nggak ketemu."
" NGGAK MUNGKIN!!" sahutku akhirnya, setelah terbebas dari kekagetan. " Lo nggak mungkin si cowok pendek itu!!"
Ryuu cuma tersenyum simpul, berjalan ke ring untuk mengambil bola, lalu kembali ke sampingku.
" Masih inget ternyata," katanya. Bagaimana mungkin aku bisa lupa? Aku dihina berkali-kali dalam satu malam di saat usiaku baru delapan tahun!
" Lo masih belum berubah ya." Ryuu mengamatiku selama beberapa saat, lalu kembali memasukkan bola ke ring. " Masih sama kayak yang dulu."
Aku memang masih melongo, tapi tidak berarti dia bisa
mengataiku bodoh seperti dulu, kan? Aku hanya belum bisa percaya kalau dia cowok yang sama dengan cowok pendek yang sok itu! " Tap-tapi& . Lo harusnya pendek!!" seruku, masih terkejut. " Ini namanya pertumbuhan, Star," kata Ryuu sambil memungut bola. Saat kembali, dia menatapku dari kepala sampai kaki. " Tapi, kayaknya lo nggak mengalami pertumbuhan, ya?"
Kurang ajar. Berani-beraninya dia mengatakan itu kepadaku. Memang sih, dulu aku lebih tinggi darinya dan aku bisa mengejeknya pendek. Sekarang, aku harus mengejeknya apa?
" Lo three-pointer ya?" tanya Ryuu kemudian. Aku mengangguk walaupun masih agak sebal. Dia malah mengangguk-angguk. " Kenapa emangnya?" tanyaku curiga.
" Mau taruhan?" tanya Ryuu, sambil menatapku yang bengong. " Kenapa? Takut?"
" Enak aja! Gue nggak takut! Ayo, bring it on!" sahutku bersemangat. Sudah lama sekali aku tidak berkompetisi. " Taruhannya apa?"
" Hm& . Yang bisa masukin bola three-point selama sepuluh kali berturut-turut, boleh minta apa pun sama yang kalah. Setuju?" tantang Ryuu, membuatku tertawa saking bahagianya. Maksudku& . Aku, three-pointer SMA terbaik, ditantang melakukan three-point shot sepuluh kali berturut-turut? Ini sih sama saja Ryuu menyerahkan diri!
Ryuu mengernyit melihatku yang tampak geli. " Kenapa? Ada yang salah?"
" Bukan!" sahutku di antara tawa, lalu akhirnya bisa mengendalikan diri. " Oke, gue setuju. Yang menang boleh ngelakuin
Ryuu mengangguk walaupun sudah tampak tidak yakin. Tapi, mungkin itu cuma perasaanku saja karena lima bola pertama yang dilemparkannya masuk tanpa cela.
Ternyata, aku salah duga. Ryuu bukan pemain basket biasa. Dia sepertinya sudah pro atau sebagainya. Tekniknya sangat hebat. Dia pun tidak lagi tampak cantik dengan keringat di wajah dan tubuhnya. Dia kelihatan seperti cowok layaknya bermain basket. Walaupun demikian, aku tidak boleh terhanyut. Aku tidak mau melakukan apa pun untuknya!
Akhirnya, sepuluh bola three-point shot dia masukkan dengan sempurna. Tanganku sudah berkeringat. Ternyata, lawanku tidak seperti yang aku bayangkan!
Ryuu mengoper bola kepadaku, lalu duduk di pinggir lapangan untuk menonton. Tampangnya sudah sangat berpuas diri. Jadi, aku tidak boleh kalah. Aku segera melakukan ancang-ancang, lalu menembak. Masuk. Sembilan bola lagi.
Bola seterusnya juga masuk, walaupun ada beberapa yang hampir bergulir keluar ring. Setelah perjuangan yang begitu keras, sampailah saatnya di lemparan bola terakhir. Aku tidak boleh kalah. Aku tidak mau kalah. Aku menembak bola terakhir itu. Dan masuk.
" YES!!" seruku senang, tapi kemudian bingung saat menoleh kepada Ryuu dan mendapatinya tersenyum simpul. " Jadi, nggak ada yang menang, kan?"
" Nggak juga. Ayo kita mulai lagi dari awal," kata Ryuu, lalu bangkit dan merebut bolanya dariku.
" HAH??" sahutku tidak percaya.
Ryuu melirikku licik. " Kenapa? Mau nyerah?" katanya menyebalkan.
" Nggak!" sahutku, lalu membanting diri di atas rumput. Enak saja. Kalau dia bisa, kenapa aku tidak?
Akhirnya, aku yang kalah setelah pertandingan ulang. Itu juga karena aku sudah kehabisan tenaga. Perutku sudah sangat sakit sampai tidak kuat berdiri lagi. Aku menyerah saat bola kelima melayang lemah jauh dari ring.
Aku terduduk di lapangan. Tanganku bergetar saking lelahnya. Ryuu mendekatiku, lalu berjongkok sambil menatapku kasihan. Aku balas menatapnya sengit.
" Puas lo?" sahutku sebal.
" Puas. Jadi, lo harus ngelakuin apa pun yang gue suruh." Ryuu langsung pasang tampang berpikir.
" Heh! Jangan berpikir yang macem-macem ya!" sahutku sambil menyilangkan tangan di depan dada dan bergerak menjauh darinya. " Kalo yang itu, gue nggak mau!"
Ryuu bengong menatapku, lalu mendengus. " Lo tenang aja. Paling-paling lo gue suruh melakukan sedikit ini dan itu," katanya tenang.
Pendekar Rajawali Sakti 53 Jaringan Dewa Arak 17 Keris Peminum Darah Dewa Arak 67 Makhluk Jejadian
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama