Ceritasilat Novel Online

Fight For Love 2

Fight For Love Karya Orizuka Bagian 2

" Ini dan itu tuh apa!!" sahutku takut. Turis ini psycho! Kenapa juga aku tadi mau saja masuk perangkapnya?

Ryuu terkekeh. Baru kali ini, aku melihatnya tertawa seperti itu. Dia lalu bangkit.

" Ayo pulang. Makanannya mungkin udah siap," ajak Ryuu sambil meregangkan tangannya. Dia terlihat lebih santai dari kapan pun sejak dia di sini. Melihatku tidak bereaksi, dia kembali menoleh. " Kenapa? Lo Nggak laper? Huah& . Gue laper banget."

Aku tersadar kalau perutku dari tadi sudah berbunyi, jadi aku berdiri. Tapi, begitu berdiri, aku segera terjatuh. Kakiku bergetar hebat, tidak sanggup menopang berat badanku. Mungkin karena aku sudah terlalu kelelahan, juga kelaparan.

Ryuu menatapku yang berusaha berdiri berkali-kali, lalu mendekat.

" Ah& repot deh," katanya sambil berjongkok membelakangiku. Aku bengong sebentar, lalu memukul punggungnya keras-keras sampai dia tersuruk ke depan.

" Apaan sih lo! Mesum!" sahutku, membuatnya bengong hebat. " Kalo lo mau di sini semaleman sih terserah," kata Ryuu sambil beranjak bangkit. Aku langsung menarik kausnya, lalu menatapnya dengan perasaan bersalah sekaligus memohon. Dia balas menatapku sebentar, lalu kembali berjongkok membelakangiku.

Aku bersusah-payah naik ke atas punggungnya, tapi dia dengan mudah mengangkatku. Aku benar-benar kagum padanya. Kami sama-sama belum makan dan baru mengalami pertandingan gila, tapi dia masih sanggup berjalan dengan membawa beban seberat diriku.

" Eh... eh... tunggu dulu," kataku sebelum meninggalkan lapangan. " Bola gue, bola gue."

Ryuu berhenti berjalan, mengambil bola yang tergeletak di bawah ring dengan satu tangan dengan aku masih menempel di punggungnya, lalu menyerahkan bola itu kepadaku. Benar-benar mengerikan kekuatan cowok ini.

Saat ini, aku sudah terkapar di meja makan, kepalaku terkulai di atas serbet. Ryuu menatapku tanpa perasaan bersalah dari seberang meja. Aku balas menatapnya sebal. Tadi di depan rumah, dia membiarkanku merangkak dari ruang tamu ke meja makan. Dan tidak ada seorang pun yang mau repot-repot membantuku.

Aku sudah tidak sabar merasakan nasi di mulutku. Aku sudah terlalu lapar sampai tidak berhasil menggerakkan satu saraf pun.

Akhirnya, Ibu muncul juga dari dapur. Dia membawa nampan, lalu meletakkannya di tengah meja.

" Taraaa! Ini dia makan malam kita!" sahutnya ceria, lalu duduk di sampingku, sementara aku mencari-cari mangkuk yang berisi nasi.

" Mana?" tanyaku, heran karena tidak menemukannya. " Ini lho, Star!" Ibu menunjuk nampan yang ada di tengah meja. Aku menatapnya nanar. Sepertinya ada yang baru bercanda di sini. " Apa ini?" tanyaku geram.

" Ini namanya onigiri! Nasi kepal Jepang! Enak deh. Hikari yang buat," kata Ibu.

" Nasi kepal?" sahutku tidak percaya. " Nasi kepal buat makan malam? Bu, aku bisa kena gizi buruk kalo begini caranya!"

" Lho, ini enak, Star. Di dalamnya ada potongan ikan, ayam, pokoknya enak deh! Cobain dulu!" sahut Ibu, lalu bersama-sama dengan yang lain dia mengatakan itadakimasu dan mulai melahap nasi kepal itu.

Oh, ya ampun& ini benar-benar lelucon. Siapa juga yang mau makan nasi serba irit begitu? Itu tidak mencukupi kebutuhan panganku malam ini! Aku bahkan ragu nasi kepal itu bisa sampai ke lambung karena habis terserap di kerongkongan!

Tapi berhubung sudah kehabisan energi untuk berdebat, aku meraih satu nasi kepal dan menyumpalkannya ke mulut. Rasanya sih lumayan enak, tapi sepertinya aku butuh beratus-ratus onigiri lagi.

Sementara keluargaku mulai heboh mengomentari cerita Hikari tentang sekolahnya, aku sudah menghabiskan lima nasi kepal. Untung saja Hikari membuatnya lumayan banyak, jadi aku tidak protes. Ketika sedang mengambil nasi kepal yang keenam cuma tersisa tiga buah lagi aku merasakan pandangan dari seberang. Aku mendongak, lalu mendapati Ryuu sedang mengunyah nasi kepalnya pelan sambil menatapku seperti sedang menimbangnimbang sesuatu.

" Apa?" semprotku sinis. Aku tidak peduli kalau dia bilang aku monster onigiri atau apa.

" Cuma lagi mikir, enaknya lo gue suruh apa," kata Ryuu, membuatku tidak lagi bernafsu makan. Aku menatapnya garang, sementara dia terus mengunyah.

" Jadi pakai seragam sailor? Pasti tambah cantik ya, Hikari," kata

Ibu disambut persetujuan heboh Ayah dan Fernan. Duh, keluarga ini. Norak sekali!

Entah Hikari bilang apa, tahu-tahu mereka bertiga tertawa keras. Aku sampai tersedak karena terkejut. Entah apa yang membuat mereka jadi lepas kontrol begitu. Apa mungkin mereka salah minum? Keracunan gas tawa?

Aku hampir saja mati kalau Ryuu tidak cepat-cepat menyodorkan segelas air putih kepadaku. Sepertinya tidak ada yang sadar kalau aku baru saja sekarat tidak seperti yang terjadi pada Ryuu tempo hari. Aku segera minum banyak-banyak, lalu mengambil napas.

" Oi... oi... ada apaan sih ini? Rame amat."

Ya& ya& benar itu. Aku mengangguk-angguk setuju. Keluarga ini mema HEH??

Aku segera menoleh ke arah sumber suara. Satria berdiri di depan kami semua, membawa ransel dan koper. Semua orang bengong melihatnya.

" Satria?" seruku kaget.

" Halo, Star," sapanya sambil nyengir. Serta-merta, aku berlari dan melompat ke pelukannya.

" Kakkoii 15 !!" seru Hikari sambil menekap mulutnya, tapi aku tidak ambil pusing. Aku sibuk mendekap Satria erat-erat.

" Satria, kamu pulang kok nggak bilang-bilang?" kata Ibu kaget, lalu menghampiri Satria. Mendadak, aku menyadari sesuatu.

" Sat! Maaf!" Aku merapatkan kedua telapak tangan. " Maaf gue lupa kirim e-mail!"

" E-mail apa?" tanya Satria bingung.

" Gue lupa ngasih tahu kalo keadaan rumah lagi siaga tiga! Lo harusnya nggak pulang!" sahutku, membuat Satria mengernyitkan dahi, lalu akhirnya menyadari makhluk-makhluk asing yang ada di meja makan.

" Ini siapa?" tanyanya.

" Ini Ryuuichi sama Hikari, anaknya Om Yamada. Mereka baru datang dari Jepang, mau liburan di sini," kata Ibu dengan senyum khasnya, sementara Ryuu dan Hikari mengangguk sopan. Satria mengangguk-angguk paham, lalu matanya tertumbuk pada dua nasi kepal yang tergeletak di meja.

Dia menunjuk nasi itu. " Itu apa?"

" Itu onigiri, makan malam kita hari ini!" jawab Ibu lagi. " Oh, oke," komentar Satria dengan pandangan kosong. " Kalo gitu, aku pesen pizza aja deh."

Ha. Sepertinya aku telah menemukan sekutuku lagi.

Unavoidable date

" Gue ikut display, Riz," kataku mantap ketika Fariz datang ke kelasku pagi ini.

" Sendirian?" tanya Fariz. Aku mengangguk.

" Mau gimana lagi?" Aku menghela napas, lalu berjalan menuju bangku panjang di depan kelas untuk duduk. Fariz mengikutiku dan duduk di sampingku.

" Star, ini bakalan berat banget," katanya sambil menatapku sungguh-sungguh.

" Gue tahu," tandasku. Bukannya aku tidak pernah memikirkan itu. Sebenarnya, aku tidak tahu harus bagaimana sendirian di tengah lapangan disaksikan sekitar tiga ratus siswa baru.

" Lo mau ngapain di sana?" tanya Fariz lagi. Aku mengedikkan bahu.

" Mempermalukan diri sendiri, kayaknya," kataku sambil nyengir kepada Fariz yang tidak ikut nyengir. Aku langsung menutup mulut. " Riz, gue udah nggak peduli lagi. Yang jelas, gue harus ngelakuin ini atau gue bakal nyesel."

Fariz menatapku sesaat, lalu menghela napas. " Star, lo tahu gue selalu ngedukung lo. Gue bakal ngelakuin apa pun buat lo. Lo tahu itu, kan."

" Gue tahu," kataku. " Dan gue sangat-sangat ngehargain kecemasan lo. Tapi, gue harus ngelakuin ini. Gue nggak akan tahu kalo belum nyoba."

Fariz mengangguk-angguk paham. Kemudian, pandangannya tertumbuk pada poster di pilar depan kami, yang bertuliskan ajakan menonton festival musik. Fariz mendadak menoleh ke arahku.

" Ada sesuatu yang bisa gue lakuin," katanya misterius, lalu bangkit. " Gue balik ke kelas dulu ya."

" Oi, Fariz!" seruku, tapi Fariz sudah melangkah pergi. " Oi!! Apaan??"

Aku berjalan pulang melalui lapangan basket kompleks dengan pikiran kusut. Aku masih belum punya rencana tentang apa yang harus kulakukan di display nanti. Langkahku terhenti ketika mendengar bunyi pantulan bola di lapangan. Aku menoleh dan ternyata Ryuu yang sedang bermain.

Tunggu dulu. Aku seperti mengenal bola itu& .

" Oi! Bola gue tuh!" sahutku sebal, sambil berlari-lari kecil menghampiri Ryuu yang menoleh kepadaku sepintas, tapi kembali asyik bermain. Cowok menyebalkan.

Aku sampai di sebelahnya, yang tampak tidak terganggu dengan kehadiranku. Dia masih mendribel bola hitam kesayanganku dengan asyiknya.

" Hoi... hoi...!" kataku sambil mencolek-colek bahunya. Barulah dia menoleh, itu pun dengan tatapan apa colek-colek . " Kalo boleh gue bilangin, itu bola gue."

" Bukan," katanya cuek, lalu melempar bolaku, yang masuk dengan sempurna ke ring.

" Apanya yang bukan?" Aku berlari dan mengambil bola itu, lalu mendekapnya erat-erat. Tapi, tunggu. Ada yang aneh. Bola ini

masih bagus dan berbau tajam. Mungkin Ryuu baru menggosoknya pakai minyak sayur.

" Itu bukan bola lo, itu bola gue," kata Ryuu sambil mengulurkan tangan meminta bola. Aku masih mendekapnya.

" Ini bola Spalding item punya gue." Aku bersikeras. " Yang punya bola Spalding item di dunia bukan cuma lo," kata Ryuu dingin. " Gue beli itu di Sport Station."

Aku mengamati bola itu lebih saksama. Bola itu memang terlalu bagus untuk menjadi bola yang sudah kumiliki selama tiga tahun. Gosokan macam apa pun tidak akan sanggup membuatnya kinclong seperti ini.

" Oh," kataku sambil melemparkannya kepada Ryuu yang segera mendribelnya lagi. " Eh, tapi kenapa lo beli yang persis punya gue? Lo ikut-ikutan ya?"

" Kebetulan aja gue punya selera yang sama dengan lo. Dan sebagai tambahan, bola yang ada di rumah gue dan udah gue pake selama lima tahun juga persis begini. Jadi lo masih kecepetan lima tahun kalo mau ngomong gue ikut-ikutan," kata Ryuu, membuatku takjub. Seingatku, baru kali ini dia mengatakan lebih dari satu kalimat lengkap yang bisa membentuk satu paragraf.

" Yah, whatever lah," kataku akhirnya, lalu menatap Ryuu yang mencoba melakukan dunk. Yang membuatku menganga, dia berhasil melakukannya. Kurasa aku tidak bisa lagi meremehkannya. Dia terlalu hebat.

" Kenapa? Lo terpesona ya?" kata Ryuu, membuyarkan lamunanku. Aku menggelengkan kepala kuat-kuat.

" Am I that obvious?" tanyaku, lebih kepada diri sendiri.

" No, you re not that obvious. I m that genius," kata Ryuu, lalu menembak dari jarak hampir setengah lapangan.

Damn yeah. He s absolutely that genius.

Setelah makan malam, aku mengambil bola basket dan berjalan ke lapangan. Aku harus giat berlatih agar saat display nanti tidak begitu memalukan.

Seperti biasa, aku lari tiga keliling dan melakukan pemanasan singkat sebelum bermain. Setelah itu, aku mulai mendribel bola dan melakukan lay up. Tidak masuk. Padahal, sekadar lay up.

Aku mengambil bola, melangkah mundur sampai ke garis free throw, lalu menembak. Tidak masuk lagi. Kesal, aku memungut bola dan melemparnya keras-keras ke semen lapangan sehingga bola itu terpantul beberapa meter ke atas dan malah masuk tepat ke ring. Aku melongo hebat.

" Tembakan apaan tuh? Baru tahu ada yang begituan," kata seseorang, membuatku menoleh. Satria.

" Hai," sapaku sambil mengambil bola. " Ke mana aja lo seharian ini?"

" Ketemu temen-temen." Satria menghampiriku, lalu mencondongkan tubuhnya ke arahku untuk berbisik. " Sebenernya sih, ngehindarin rumah."

Aku mengangguk-angguk paham. Aku mengerti betul perasaannya. Tidak mudah untuk menerima kenyataan kalau

keluarga yang dikenalnya seumur hidup telah berubah menjadi keluarga Alien.

Satria merebut bola dariku, lalu menembakkannya. Masuk. Satria juga ternyata masih jago seperti dulu.

" Kenapa lo? Kayaknya lesu banget," kata Satria sambil mendribel bola di dekatku. " Oh, gue tahu deh. Soal tim basket sekolah lo."

Aku mengangguk lemah, menerima operan bola dari Satria tanpa niat, lalu mendribelnya tanpa niat pula.

" Kenapa lagi sekarang?" tanya Satria, sementara aku menembak. Bola itu melenceng jauh dari ring.

" Sebentar lagi ada display ekskul buat anak-anak baru, tapi nggak ada seorang pun anggota dulu yang mau ikut," aduku. Satria mendengarkan dengan cermat. " Mereka semua udah putus asa dan gue sama sekali nggak punya ide mau ngapain di display nanti sendirian."

Aku memainkan bola basket di tangan dengan malas. Satria menghela napas, lalu merangkulku.

" Kayaknya gue nggak ngerasa punya adek lemes gini deh. Ke mana adek gue yang kelebihan energi itu?" katanya sambil nyengir. Aku cuma meringis tidak jelas. " Ayolah, Star. Gue tahu lo bisa. Kalo ada lo, nggak perlu empat orang lainnya! Lapangan bakal keliatan serame biasanya kok."

" Dan apa maksudnya itu?" tanyaku sinis, membuat Satria terkekeh.

" Maksudnya& . Adikku Sayang, everything is gonna be just ine. Lo cuma panik berlebihan. Lo jadi diri lo sendiri aja. Lakuin apa yang biasa lo lakuin di sana, jangan lupa pake sedikit atraksi," kata Satria,

" Liat lo begini, gue jadi kasian juga. Kalo ada yang bisa gue lakuin, ngomong aja. Oke?"

" Oke," kataku, menyambut kepalan tangannya. Senang rasanya mendapat dukungan dari orang lain selain Fariz.

" Sekarang, balik yuk? Dingin nih," kata Satria sambil menyilangkan tangan di depan dada. Aku mengangguk, lagi pula aku sedang tidak mood untuk berlatih saat ini.

Kadang, dorong-dorongan sampai aku hampir tertabrak motor yang lewat dan aku membalasnya, membuat Satria hampir masuk comberan. Saat melewati rumah Aya, dia yang sedang menyiram tanaman langsung menghambur ke arah Satria dan memeluknya. Lalu, dia memarahiku karena tidak cerita-cerita kalau Satria pulang. Kayak aku tidak punya hal lebih penting untuk dipikirkan saja.

Setelah adegan kangen-kangenan sebentar dan Satria bersinbersin karena kedinginan Aya melepaskan kami. Kami kembali melangkah pulang. Hampir saja aku pingsan saking kagetnya begitu melihat Hikari melompat ke luar rumah dan berlari menuju Satria.

" SATCHAN!!" serunya riang, sambil menghampiri kami. Menghampiri Satria, tepatnya. Aku langsung menoleh ke arah Satria yang wajahnya sudah pasrah.

" Udah Satchan sekarang, Sat?" sindirku dan Satria cuma bisa nyengir konyol.

" Satchan, okaeri!" sambut Hikari ceria begitu sampai di hadapan kami.

" Oh, yah." Satria melirikku, yang mau meledak tertawa. " Jawabnya apa ya?"

" Tadaima," kataku, lalu segera meninggalkan mereka berdua.

Aku sempat melihat Satria yang sepertinya megap-megap meminta pertolonganku, tapi aku harus menghilang sebelum terbahak di depan Hikari.

Baru sehari Satria di sini, daftar fans-nya sudah bertambah. Kali ini, yang suka padanya adalah si turis pink. Aya pasti tidak suka kabar ini.

" Riz, ini keren banget!!" sahutku esok paginya di sekolah. Di tanganku sekarang ada berlembar-lembar poster keren tentang tim basket cewek. " Lo yang bikin ini?"

" Yah, dengan bantuan photoshop." Fariz berusaha merendah. Tapi peduli apa, mau dibantu photoshop kek, atau barbershop sekalian, poster ini sangat keren!

" Riz, thanks banget!" sahutku sambil mengguncang-guncang tubuh besar Fariz. " Gue nggak tahu harus ngomong apa& ."

" Makasih aja cukup," kata Fariz, membuatku terharu. Aku harus segera memasang poster ini! " & terus jangan lupa hari Minggu "

" Riz! Gue harus cepet-cepet nempelin ini biar anak-anak baru bisa liat! I ll catch you later!" sahutku, lalu melesat ke koridor kelas sepuluh. Sepertinya tadi Fariz mau bilang sesuatu, tapi nanti aku bisa menanyakannya lagi. Aku tidak boleh menyia-nyiakan waktu!

Aku menempelkan beberapa poster di koridor kelas sepuluh, kantin, dan jalan-jalan yang sering dilalui anak-anak kelas sepuluh. Beberapa anak tertarik membacanya, tapi tidak ada yang bertanya

lebih lanjut kepadaku. Walaupun demikian, aku tidak boleh kecewa dulu.

Aku baru mau menempelkan poster terakhir ketika aku melihat Ayu dan Tias sedang membaca posterku dari kejauhan. Mereka saling pandang, lalu pergi begitu saja. Kemudian, aku juga melihat Chacha yang kurang lebih melakukan hal yang sama. Membaca, lalu pergi tanpa ekspresi.

Aku menghela napas. Energiku yang tadi meluap-luap seketika kembali ke titik nol. Aku melepas satu sisi perekat yang terpasang di poster, lalu menempelkannya ke pilar terakhir.

" Nice try," kata seseorang, membuatku membalik badan. Firda. Dia menatap sinis poster yang baru saja kutempelkan.

" Seenggaknya gue ada usaha," kataku ketus, lalu melangkah menuju kelas. Aku sedang sangat tidak ingin berbicara dengannya, terutama setelah dia menyindir posterku.

" Star, pulang sekolah gue main ke rumah lo ya!" sahut Aya begitu aku masuk kelas. Wajahnya yang berseri-seri mengingatkanku kepada seseorang tadi malam. Aku langsung bergidik ngeri.

" Duh, jangan dulu deh, Ya." Aku duduk dan berpura-pura sibuk dengan buku isikaku.

" Kenapa? Gue kan udah lama nggak ketemu Satria," kata Aya dengan ekspresi merajuk.

" Ng& . Rumah gue lagi kacau, Ya. Lo tahu kan, semenjak kedatangan dua turis itu," kataku, sadar kalau yang kukatakan itu tidak logis. Aya mengernyitkan dahinya. " Oh, oke& oke. Dateng aja ke rumah gue, tapi kalo ada apa-apa gue nggak tanggung jawab. Deal?"

" Emangnya kejadian buruk apa sih yang bakal terjadi di rumah lo?" tanya Aya meremehkan.

Oh, jadi begitu. Coba saja mendekati Satria tanpa harus mengadakan catight dengan Hikari.

Sepulang sekolah, aku langsung berlatih. Aku tidak punya banyak waktu dan akhir-akhir ini, permainanku memburuk. Tinggal dua hari lagi sampai display garis miring hari pembantaianku.

Hari ini, permainanku sudah membaik. Hanya saja, pikiranku masih lumayan terganggu oleh sukses-tidaknya-display-ku nanti, sehingga membuat tembakan-tembakanku kurang akurat. Aku juga berlatih atraksi-atraksi seperti yang Satria sarankan, tapi tidak satu pun berhasil. Aku malah merasa bodoh saat bola yang mau kusilangkan di bawah kaki menyentuh lutut dan memantul jauh ke semak-semak.

" Yang barusan itu ceritanya mau ngapain?" kata seseorang, membuatku menoleh. Harusnya, tanpa menoleh pun aku sudah tahu. Cowok dengan nada suara meremehkan yang khas dan tidak bisa melafalkan huruf R sudah pasti bertitel Ryuuichi.

" Bukan urusan lo," kataku ketus, lagi tidak pengin berurusan dengannya.

Ryuu tidak berkomentar dan menghampiriku. Sepertinya, dia baru saja berjalan-jalan.

" PMS?" tanyanya, membuatku memicingkan mata.

" Ya. PMS. Sekarang lo pergi dari sini, gue mau latihan lagi," kataku sinis, lalu kembali mendribel bola.

" Gue nggak ganggu kok," kata Ryuu santai. " Tapi, gue merasa terganggu."

" Hei, easy," katanya, mungkin kaget melihatku sesewot ini. " Gue udah denger dari Satria sama Ibu lo. Soal tim basket lo itu."

Oh, sepertinya harus ada yang belajar tutup mulut di sini. Untuk apa sih Satria dan Ibu menceritakan hal-hal pribadiku kepada orang asing?

" Nggak ada kaitannya sama lo." Aku mencoba menembak dari jarak dua meter ke ring. Gagal.

" Lo harus santai dulu sebelum menembak," komentar Ryuu setelah melihat tembakanku yang ngaco. " Kalo begitu terus, nggak ada gunanya lo latihan mati-matian buat display nanti."

Si turis ini tahu lebih banyak dari yang seharusnya dia tahu. Aku tidak perlu pendapatnya!

" Eh, lo bukan siapa-siapa, oke? Jadi, jangan sok nasihatin gue," kataku sambil menatapnya tajam. Ryuu membalas tatapanku tanpa ekspresi.

" Oke. Terserah lo," katanya, lalu berbalik dan berjalan menuju rumahku.

Aku menghela napas, lalu kembali menembak. Gagal lagi. Aku menjambak rambut keras-keras, lalu terduduk di atas lantai semen. Frustrasi.

Aku berlatih selama lima jam nonstop. Tadinya, aku tidak akan berhenti, sampai Satria menjemputku. Aku sudah mau menangis juga pingsan saat Satria menemukanku. Aku benar-benar tidak tahu apa yang sudah terjadi pada diriku, tapi kurasa aku benarbenar depresi. Satria mengatakan kalau aku harus santai, persis yang dikatakan Ryuu. Katanya aku terlalu serius dan aku harus berhenti sebelum aku mati karena kehabisan tenaga.

Jadi, aku menurut dan mengikutinya pulang dengan tubuh lunglai. Saat baru melewati pagar, aku melihat Ryuu sedang duduk di teras, sepertinya baru menelepon. Akhir-akhir ini aku sering melihatnya menelepon orang. Atau ditelepon. Entahlah.

Mata kami bertemu dan Ryuu tidak membuang pandangannya. Aku juga tidak. Aku agak menyesal atas kelakuanku tadi siang. Jadi, kurasa aku harus minta maaf. Satria sudah lebih dulu masuk ke rumah.

" Hei," sapaku sambil duduk di bangku sebelahnya. Ryuu menatapku seolah menunggu kata-kata maaf. Aku jadi lumayan malas untuk minta maaf, tapi aku tetap harus melakukannya. " Yang tadi siang... sori ya."

" Soal apa?" pancing Ryuu, benar-benar membuatku hilang selera.

" Soal sikap bitchy gue," kataku. " Bukan karena PMS kok. Atau iya? Nggak tahulah, gue belum itung-itung."

Ryuu mengangkat kedua alisnya, mungkin menganggap info barusan tidak penting, tapi aku tidak ambil pusing. " Jadi?" tanyaku tidak sabar.

" Yah, orang bodoh emang sering bikin kesalahan," kata Ryuu,

membuatku merasa menyesal sudah minta maaf. Detik berikutnya, dia nyengir melihat tampangku. " Permintaan maaf diterima."

" Oke," kataku, senang akhirnya percakapan ini bisa selesai. Aku baru mau bangkit ketika Ryuu bicara lagi.

" Oh iya, ngomong-ngomong lo punya janji kan ya sama gue?" tanyanya, membuatku menatapnya heran. " Itu.... Lo harus ngelakuin apa pun yang gue mau."

" Oh, itu." Aku langsung merasakan pertanda buruk. " Lo mau apa?"

" Besok, lo harus temenin gue ke mana pun gue mau," kata Ryuu sambil bangkit.

" Besok? Ryuu, besok gue harus latihan "

" Gimana kalo setelah nemenin gue jalan, lo gue latih?" kata Ryuu lagi.

" Hah?!" sahutku, tidak mengerti. Memangnya siapa yang mau dilatih sama dia? Apa keuntungannya bagiku?

" Janji adalah janji. Kecuali kalo lo mau ingkar," kata Ryuu licik, lalu masuk ke rumah, meninggalkanku yang terbengong-bengong, mengalami dilema antara harga diri dan masa depan.

" Aku mau pergi sama Starlet, Tante," kata Ryuu esok paginya. Aku bisa melihat mata Ibu langsung berbinar begitu Ryuu mengatakannya.

" Siapa juga," tolakku malas, masih tidur-tiduran di sofa depan

" Starlet, kamu ini gimana sih? Temenin Ryuu dong." Ibu menarik tanganku untuk bangun. Aku bangkit dengan ogah-ogahan.

" Bu, badan Starlet pegel-pegel semua. Kenapa nggak sama Fernan aja sih?" kataku. Tapi, begitu melihat Ryuu dan sebelah alis terangkatnya, aku menyerah. " Iya... iya... aku mandi dulu!"

Aku naik ke kamar, lalu dengan malas mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Setengah jam berikutnya aku sengaja berlama-lama supaya Ryuu kesal menunggu aku selesai mandi dan mencari baju. Aku tidak menemukan baju bersih yang bisa dipakai yah ada sih, tapi semuanya tak layak pakai untuk acara jalan-jalan. Aku sempat berpikir untuk meminjam baju Hikari, tapi, begitu ingat kalau tidak ada satu pun barangnya yang berwarna selain pink, aku memilih memakai baju yang kemarin saja. Aku hanya harus memakai parfum banyak-banyak.

Setelah melakukan ritual Michael Jordan seperti biasa, aku turun dan mendapati Ryuu sedang asyik bermain PS2 bersama Fernan. Aku menghampiri mereka dengan riang.

" Wah, asyik maen ya? Nggak jadi kan, perginya?" tanyaku setengah berharap, tapi Ryuu serta-merta meletakkan stik PS-nya dan bangkit.

" Ayo," ajaknya, lalu berjalan mendahuluiku ke luar rumah. Sial. Sepertinya, aku benar-benar harus mengucapkan selamat tinggal kepada tim basket cewek yang selama ini kuperjuangkan. Demi berjalan-jalan dengan turis bodoh menyebalkan ini.

" Jadi, kita mau ke mana?" tanyaku setelah lima menit berada di luar rumah. Aku yang menyetir karena Ryuu sudah lupa jalan di Jakarta.

" Dufan," jawab Ryuu membuatku menoleh kepadanya, takut salah dengar. Mungkin tadi suara Chris Martin sudah mengaburkan omongan Ryuu. Aku mengecilkan volume CD player. " Sori?" Aku sekarang mendengarkan baik-baik. Ryuu menoleh. " Dufan," katanya lagi.

" DUFAN??" seruku histeris, mobil yang kubawa hampir saja keluar jalur.

" Iya, kenapa?" tanya Ryuu sambil memandang ke depan. " Gue belum pernah ke sana. Pengin tahu aja."

" Gue bela-belain nggak latihan buat display besok demi nemenin lo ke Dufan??" seruku, masih tidak bisa terima.

" Udah gue bilang, pulangnya gue yang ngelatih lo," kata Ryuu kalem, sementara nyawaku perlahan terbang. " Awas, lampu merah tuh."

Aku segera tersadar, lalu kembali menatap ke depan. Lampu merah hampir saja terlewat. Aku mengerem gila-gilaan. Ryuu sampai terbanting ke depan.

" Nggak heran SIM lo tembakan," sungutnya kesal sambil mengusap-usap belakang kepala yang terbentur jok.

Aku tidak berkomentar. Pikiranku masih disibukkan oleh display-ku yang mungkin bisa berjalan lancar seandainya aku tidak bersenang-senang di Dufan sehari sebelumnya.

" Ini tempatnya?" komentar Ryuu begitu kami sampai di Dufan. " Yakin lo nggak nyasar?"

" Lo nggak bisa baca? Ini Dufan, Dunia Fantasi," kataku sebal, lalu berjalan mendahuluinya ke tempat penjualan tiket. " Lo yang bayar, gue nggak bawa duit."

Ryuu mengeluarkan dompet, lalu menyerahkan dua lembar seratus ribuan pada penjual tiket. Di pintu masuk, tangan kami diberi cap. Aku berjalan di depan Ryuu. Tampak jelas dari wajahnya kalau dia terkejut melihat Dufan. Aku sih tidak peduli.

" Jadi, lo mau ngapain di sini?" tanyaku setelah kami memasuki Dufan yang lumayan ramai. Dufan selalu ramai di hari Minggu, makanya aku malas untuk datang. Ini masih pukul sebelas, entah bagaimana siang nanti.

" Bener-bener beda ya, sama Disneyland Jepang," katanya sambil memerhatikan sekitar.

" Lo ngebandingin Dufan sama Disneyland? Lo nggak serius, kan?" seruku, benar-benar sebal. " Kalo mau, pulang sana ke Jepang, main di Disneyland."

Ryuu mendengus geli melihatku sewot. Dia menarik tanganku, lalu menyeretku ke depan korsel.

" Lo bercanda, kan?" tanyaku. Ini terlalu mengerikan. Aku sudah berhenti naik korsel sekitar lima tahun yang lalu!

" Ayo," ajaknya begitu korsel itu berhenti untuk giliran selanjutnya. Dia menarik tanganku, lalu memaksaku untuk naik. Aku sampai harus tahan menghadapi senyuman simpul para Ibu yang mengantar anaknya main korsel.

" Enaknya ya, masih muda& ," kata seorang Ibu, sementara Ryuu duduk menyamping di sebuah kuda berpelana merah. Kurasa dia positif sakit jiwa. Mau tidak mau, aku duduk di kuda sebelahnya, karena tepat saat aku berencana melarikan diri, korsel itu bergerak.

" Lo stres ya?" tanyaku kepada Ryuu yang senyum-senyum. Aku tidak pernah melihatnya tersenyum sebanyak ini sebelumnya. Mungkin kemarin dia terjatuh dari tempat tidur dan kepalanya terantuk. Atau ini hanya efek lanjut dari pengereman mendadak tadi.

" Bukannya lo yang stres?" Dia bertanya balik, membuatku terpaku. Aku terdiam sejenak, menatap Ryuu yang sekarang menatap sekeliling. Mungkinkah ini cuma sekadar dugaan Ryuu sengaja mengajakku ke sini untuk membantuku menghilangkan stres?

Kalau ternyata memang benar begitu, sepertinya aku harus menggunakan kesempatan ini dengan baik. Lagi pula, aku tidak punya pilihan lain.
Fight For Love Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Eh, habis ini, kita naik Halilintar ya!" sahutku bersemangat. Ryuu hanya tersenyum simpul.

Sudah dua jam, aku dan Ryuu menghabiskan waktu di Dufan dengan naik Halilintar, Niagara-gara, dan Ontang-anting. Menaiki ketiga wahana itu membuatku mual, tapi aku berhasil mengeluarkan semua yang menyumbat kepalaku akhir-akhir ini. Aku menjerit-jerit seperti orang gila untuk melepas rasa frustrasi

Sekarang, aku dan Ryuu duduk di bangku taman sambil makan es krim. Hari ini panas sekali. Kausku sudah basah karena keringat. Tapi, aku masih ingin menikmati beberapa wahana lagi. Aku harus mencoba semua wahana yang kelihatan seru. Dan wahana selanjutnya yang ada dalam daftar adalah Kora-kora.

" Yup, habis ini kora-kora." Aku menunjuk ke arah perahu besar di kejauhan.

" Semangat amat," kata Ryuu, tampak geli melihatku yang tadinya malas-masalan berubah antusias.

" Harus dong, sayang banget kalo nggak dipake sebaik mungkin. Buang-buang duit," kataku sambil memerhatikan orang-orang yang menjerit di atas perahu itu.

" Habis ini langsung main, ya!" sahutku.

" Gue nggak ikutan," kata Ryuu, membuatku meliriknya senang.

" Kenapa? Takut ya? Tadi kayaknya lo udah mau pingsan," godaku.

" Gue cuma agak pusing," kata Ryuu, terdengar seperti elakan bagiku. Walaupun begitu, wajah Ryuu memang tampak sedikit pucat. Mungkin dia menahan mual.

" Ya udah, ntar gue naik sendiri aja," kataku tanpa banyak menggodanya lagi. Aku takut dia malah pingsan betulan. Ryuu mengangguk dan jadi tidak banyak omong.

Siang ini memang terik sekali. Untung saja bangku yang kami duduki sedikit terlindung dari sinar matahari. Angin semilir pun membuatnya jadi tidak begitu buruk. Aku melirik Ryuu, menyangka dia tertidur karena begitu tenang, tapi dia tampak sedang berusaha

" Ryuu? Lo kenap ARGH!" sahutku begitu melihat tangan Ryuu belepotan darah. Aku segera mengorek-ngorek tas, berusaha mencari tisu. Beruntung, ada beberapa tisu milik Aya yang tertinggal di sana. Aku mengeluarkannya, lalu mengelap darah yang menetes dari hidung Ryuu.

" Nggak apa-apa... nggak apa-apa," katanya sok jago, padahal darahnya sudah merembes ke tisu.

" Nggak apa-apa gimana!" sahutku panik.

" Geser sedikit," perintah Ryuu. Aku menurutinya walaupun bingung. Detik berikutnya, dia malah berbaring di pahaku dengan tisu menyumbat hidungnya. Aku tidak punya waktu untuk kaget atau menolak, karena aku tahu dia ingin mendongakkan kepala agar darahnya tidak mengucur terus. " Sori ya, sebentar," katanya lagi.

" Dasar turis, baru panas segini aja udah mimisan," kataku sambil menyeka sisa-sisa darah di pipinya. Untung aku tidak fobia darah.

Ryuu tidak berbicara. Sepertinya dia sedang berjuang menghentikan pendarahan di hidungnya. Setelah pipinya bersih, aku kembali memakan sisa-sisa es krim, yang secara ajaib masih kupegang.

Ryuu memang kelewatan. Setelah mimisan, dia malah ketiduran di pangkuanku selama dua jam! Aku sampai tidak bisa berdiri selama beberapa menit karena kesemutan parah. Pahaku seperti mati rasa. Begitu bangun, Ryuu tampak segar-bugar, seolah tadi dia

tidak mengeluarkan banyak darah. Dan yang paling menyebalkan, dia menertawai cara jalanku yang seperti nenek-nenek.

Ryuu menyetir saat pulang dengan bermodalkan peta Jakarta karena aku melakukan aksi mogok bicara. Alhasil, waktu perjalanan yang harusnya dua jam saja menjadi tiga jam setengah. Setelah kami tersesat dan berputar di jalan yang sama sebanyak tiga kali, akhirnya Ryuu minta maaf dan berjanji bakal melatihku sampai malam. Memangnya siapa yang mau berlatih sampai malam? Kakiku sudah hampir tidak bisa dipakai lagi, bahkan untuk berjalan dengan normal!

Aku harus berendam di bath tub untuk menghilangkan rasa pegal itu. Aku berniat untuk berlatih setelah itu, tapi aku ketiduran di bath tub, sampai-sampai Hikari dan Ibu harus menggendongku keluar dan meletakkanku di tempat tidur.

Big Day

J adi, begitulah. Display-ku tamat. Aku tidak sempat berlatih, plus

bangun kesiangan dengan tangan dan kaki keriput, sehingga aku tidak sempat memikirkan apa pun tentang display. Sekarang, aku melangkah seperti zombie menuju lapangan basket yang sudah dipenuhi orang-orang, kebanyakan dari tim basket cowok.

" Halo, Star," sapa beberapa orang. Aku hanya membalasnya dengan lambaian singkat.

Aku menghampiri Fariz yang sedang melakukan pemanasan. " Hai, Riz," sapaku lemas. Fariz melirikku sekilas, lalu kembali melakukan pemanasan, tanpa menjawab sapaanku. Aku menatapnya heran. Mungkinkah dia juga kena demam panggung?

" Riz, kenapa lo?" tanyaku bingung, tapi Fariz masih saja meregangkan otot seakan aku tidak berada di sana. Setelah pemanasan, Fariz mengambil bola dan mencoba menembak.

" Bola baru, Riz?" tanyaku saat melihat bola itu. Seingatku bolanya sudah pecah ARGGH! BOLA BARU!!

" Riz, aduh Riz.... Gue bener-bener minta maaf!" sahutku, setelah ingat kalau seharusnya kemarin aku menemaninya membeli bola baru. Gara-gara turis itu, aku jadi lupa sama sekali. " Riz, gue benerbener lupa. Kemaren soalnya, ng... latihan& ."

" Latihan main kora-kora?" kata Fariz, membuatku terdiam sekaligus malu. Mungkin Fariz tahu dari Ibu.

" Ng& itu& ." Aku tidak bisa menemukan kata yang tepat. Jadi, aku cuma menggaruk kepala. " Sori."

Fariz menatapku masam, lalu menembakkan bolanya. Masuk. Untung saja masalah ini tidak memengaruhi performanya.

" Riz, kemaren itu Ryuu ngajak ke Dufan biar gue nggak stres," kataku lambat-lambat. Kemudian, aku ingat kalau rencana briliannya itu malah membuatku semakin stres sampai ingin mati, jadi aku tidak meneruskan kata-kataku.

Aku menatap Fariz yang tampak tak acuh. Detik berikutnya, aku dikagetkan oleh dengingan keras dari mikrofon. Ya Tuhan. Display ini dimulai dan aku masih tidak tahu harus berbuat apa. Ditambah lagi, satu-satunya orang yang mendukungku malah merengut dan meninggalkanku begitu saja.

Fariz bergabung dengan tim basket cowok, meninggalkanku yang bengong di dalam lapangan seperti orang bodoh. Aku segera menyingkir ke pinggir lapangan, lalu duduk dan mencoba menjernihkan pikiranku.

Tidak lama kemudian, anak-anak kelas sepuluh berdatangan. Selain mereka, anak-anak kelas sebelas dan dua belas juga bermunculan. Hebat. Hebat sekali. Semuanya ingin menyaksikan bagaimana aku mempermalukan diriku sendiri.

Aku menangkap basah Fariz yang sedang melirikku. Begitu aku menatapnya balik, dia langsung buang muka. Aku mendesah. Bagus. Kebahagiaanku lengkap sudah. Dan seakan semuanya belum cukup, aku melihat Firda, Chacha, Tias, dan Ayu muncul untuk menonton. Aku langsung mengumpat. Adel sendiri tidak tampak karena kemarin dia bilang Ayahnya jatuh sakit sehingga dia harus mengurusnya. Aku benar-benar sendirian.

Lima menit kemudian, display tim basket putra dimulai. Pertama, mereka berlari-lari kecil dalam satu lingkaran, lalu semuanya berpencar membagikan cokelat dan bunga. Aku bisa melihat mereka berhasil mendapatkan perhatian anak-anak cewek, yang

semuanya menjerit-jerit girang. Hei, bukankah harusnya aku yang mendapatkan perhatian cewek-cewek itu? Buat apa tim basket putra memberi cokelat kepada cewek?

Setelah mendapatkan aplaus yang cukup meriah, mereka sekarang membentuk formasi barisan, lalu masing-masing memperlihatkan kebolehannya. Berbagai atraksi diluncurkan sehingga mengundang decak kagum cewek-cewek. Setelah itu, mereka mengadakan pertandingan dengan anak-anak baru. Lima orang anak baru mendaftarkan diri untuk bertanding dengan tim basket sekolah. Fariz sendiri masuk ke starting line up.

Tentu saja tim basket sekolah menang mudah, karena semua anak baru itu ingin show off. Sama sekali tidak ada koordinasi di antara mereka. Walaupun demikian, beberapa kali Fariz dan teman-temannya memberi kesempatan mereka untuk mencetak angka. Daripada mereka semua merajuk dan tidak mau ikut tim, kurasa.

Display tim basket putra pun selesai. Tangan dan kakiku dingin. Keringat mengalir deras di tubuhku. Aku benar-benar gugup, masih tidak tahu harus berbuat apa.

" Dan inilah saatnya.... Display dari tim basket putri!" seru pembawa acara, membuatku sontak berdiri. Kakiku rasanya seperti agar-agar.

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya. Aku bisa melihat Fariz yang sedang mengelap keringat, matanya terpancang ke arahku. Aku juga bisa melihat Chacha, Firda, Ayu, dan Tias yang sedang menatapku serius.

Oke. Aku harus melakukannya. Sekarang atau tidak sama sekali. Aku menyambar bola basketku, lalu berlari ke dalam lapangan.

Suasana yang tadinya ramai berubah sepi ketika aku sampai di tengah lapangan.

" Hai," kataku sambil melambaikan tangan singkat kepada orang-orang yang udah berkumpul di sekelilingku. Semua orang menatapku bingung.

" Ng& . Sepertinya tim basket putri hanya beranggotakan satu orang, yaitu Starlet dari kelas sebelas IPA tiga," kata pembawa acara, menimbulkan gelombang bisik-bisik dari segala tempat.

" That s me," kataku sambil nyengir gugup, sementara semua orang bengong.

" Yah, baiklah. Starlet, silakan dimulai!" seru pembawa acara, tapi tidak ada satu pun yang bertepuk tangan. Aku tidak begitu peduli.

" Oke. Jadi, tim basket putri sekolah kita pernah menyabet gelar liga SMA selama empat tahun berturut-turut," kataku, membuka display. Tapi, kurasa aku terlihat membosankan dengan gaya pidato seperti ini, jadi aku berusaha santai dengan mendribel bola dan berjalan-jalan sedikit. " Sayangnya, tim basket putri mengalami masa-masa sulit sehingga kehilangan hampir semua anggotanya."

Aku mengerling ke arah Chacha, Firda, Ayu, dan Tias yang masih menatapku tanpa ekspresi.

" Tapi! Kejayaan tim basket putri akan kembali kalau kalian mau bergabung dengan tim basket kami!" seruku sambil mengeluarkan jari telunjuk dan tengah.

" Kami siapa?" sahut seseorang, entah siapa. Aku segera terdiam masih dengan pose yang sama, lalu akhirnya kembali mendribel bola.

" Kami," kataku lambat-lambat. " Gue dan temen-temen tim basket putra," sambungku lagi, mengagumi kecepatan berpikirku. Aku menunjuk anak-anak basket cowok yang sedang minum. Mereka segera melambai singkat.

" Baik," kataku, lalu menghela napas. " Sekarang, gue akan menunjukkan beberapa teknik dasar basket."

Aku berlari sebentar sambil mendribel bola. Tapi, baru beberapa langkah, bolanya menyentuh kakiku dan menggelinding ke luar lapangan.

" Ups." Aku nyengir kaku ke arah anak-anak baru yang bengong. " Sori. Kesalahan teknis."

Aku mengumpat kesal dalam hati, lalu berlari mengambil bola. Aku benar-benar kacau. Aku kembali ke lapangan, berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Aku bisa melihat tampang bosan anak-anak yang sedang menonton.

" Oke. Ini lay up," kataku, lalu mencoba melakukan lay up. Berhasil walaupun bolanya sempat berputar sebentar di atas ring.

Aku mengembuskan napas lega seakan tidak pernah berhasil melakukan lay up sebelumnya, lalu kembali ke tengah lapangan.

" Ini jump shot," kataku, lalu menembak. Gagal. Lututku langsung terasa lemas. Aku melirik ke arah penonton, yang semuanya menatapku tanpa ekspresi. " Oke. Yang tadi juga kesalahan teknis. Sekali lagi ya, ini jump shot."

Masuk. Aku langsung mengepalkan tanganku saking gembira. " Yang tadi kebetulan teknis ya?" sahut seseorang dari penonton. Sisanya tertawa menyambut komentarnya. Aku hanya nyengir garing menghadapinya.

" Oke. Yang ini fade away." Aku lalu mencoba melakukan gerakan fade away, gerakan yang cukup sulit karena biasanya dilakukan di saat-saat genting. Dan karena ini saat yang genting, kupikir fade away akan sedikit berguna. Tapi, bola yang kutembakkan melayang jauh dari ring.

" Fade away atau go away?" sahut seseorang lagi, membuat yang lain tertawa. Aku bisa merasakan wajahku memanas. Aku memungut bola, lalu menatap penonton yang kurasa sudah mulai menikmati pertunjukan ini sebagai komedi, bukannya display ekskul.

" Oke, kita lupain fade away. Atau go away," gurauku, membuat beberapa orang tertawa. " Sekarang, three-point shot."

Jauh. Bola itu malah tidak menyentuh ring sama sekali. Ini membuatku sangat terguncang. Kenyataan kalau aku pemenang kontes three-point shot antar-SMA sama sekali tidak membantu. Sekarang, aku tidak bisa bergerak, bahkan untuk mengambil bola. Suasana kembali sepi seiring dengan kekakuanku.

Rasanya, aku mau berlari sejauh-jauhnya dan menangis sekencang-kencangnya. Tapi, aku tidak bisa melakukannya. Aku harus menyelesaikan ini. Seperti zombie, aku melangkah untuk mengambil bola.

Hening. Terlalu hening. Aku tidak berani mengangkat wajah untuk sekadar memastikan kalau anak-anak itu masih berada di depanku, bukannya sudah bubar karena malas melihat display burukku.

" Starlet, pass," kata seseorang, membuatku mendongak. Tias. Berdiri di depanku dengan tangan siap menerima bola. Di sebelahnya, ada Ayu yang tersenyum kepadaku.

Tidak& tidak. Apa aku sudah mati karena malu? Atau ini fatamorgana? Ini terlalu mustahil untuk kupercayai.

" Starlet," panggil Tias lagi, dan aku tersadar. Mereka memang ada di sana, di depanku. " Pass."

Aku menatap Tias, lalu beralih kepada bola yang ada di tanganku. Aku mengoperkannya kepada Tias yang segera menangkapnya. Tias mendribel bola itu, lalu menembaknya dari jarak dua meter. Masuk. Aku ingin bertepuk tangan girang melihatnya, tapi aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri.

" Kalian& ," kataku. Suaraku tersekat di tenggorokan, air mataku mau tumpah. " Thanks& ."

" That s what friends are for," kata Ayu, membuatku segera menghambur ke arahnya dan memeluknya serta Tias.

Selama beberapa menit, aku memeluk mereka. Semua orang sekarang sudah berbisik-bisik.

" Ini diplot nggak sih?" komentar seseorang, membuatku nyengir. " Kayak sinetron gini."

Ayu dan Tias pun terkikik mendengar komentar itu. Aku akhirnya melepaskan mereka dan memandang mereka penuh haru. " Guys, gue bener-bener minta maaf," kataku.

" Nggak apa-apa, Star. Sekarang, ayo lanjutin display-nya, atau semuanya bakal nyambit kita pake sepatu." Ayu menarikku ke tengah lapangan. Aku mengikutinya dengan patuh.

" Oke, sekarang kami bakal ngadain three-on-three. Ada yang berminat?" tanya Tias kepada penonton, membuat beberapa cewek berbisik-bisik. " Cowok juga boleh."

Akibat perkataan Tias, tiga orang cowok yang tadi ikut pertandingan lawan tim basket cowok, maju untuk menantang kami. Mungkin mereka masih dendam karena dikalahkan telak tadi. Aku menelan ludah begitu menatap tubuh mereka yang ketiganya seperti troll. Dan walaupun mereka berjanji tidak akan main kasar, aku tetap akan berhati-hati.

Pertandingan baru dimulai sepuluh menit, tapi kami sudah ketinggalan banyak. Aku tidak begitu peduli karena aku terlalu senang bisa kembali berteman dengan Ayu dan Tias. Aku menganggap pertandingan ini hanya untuk bersenang-senang. Aku juga cukup puas bisa mencetak sembilan belas angka. Kekuatanku sudah kembali, kurasa.

Pertandingan berakhir dengan kemenangan ketiga penantang. Walaupun begitu, beda skornya tipis, hanya sepuluh angka. Pada saat-saat terakhir, aku seperti on ire dengan mencetak three-point shot tiga kali berturut-turut. Dan aku tidak bisa melupakan betapa riuh-rendahnya semua orang saat menyaksikan kami bertanding.

" Oke, kalian bertiga boleh masuk tim basket kami kalo ditolak tim basket cowok," kataku kepada ketiga anak cowok tadi setelah selesai bertanding. " Tapi syaratnya, kalian harus nyukur bulu kaki dulu."

Orang-orang tertawa menyambut leluconku. Ketiga cowok itu nyengir, lalu terduduk di rumput samping lapangan. Aku menghela napas, lalu menatap para penonton. Sejauh ini displayku terselamatkan, tapi masalahnya, apa ada anak cewek yang mau bergabung? Karena sepertinya tidak ada yang cukup tertarik.

" Yah, itulah tadi.... Display tim basket putri sekolah kita yang cukup mengharukan. Berikan tepuk tangan yang meriah!" seru pembawa acara, membuat para penonton bertepuk tangan. " Bagi

yang mau menjadi anggota, bisa langsung menghubungi Starlet, kelas sebelas IPA tiga."

Para penonton sudah mau bubar ketika aku melihat cewekcewek menunjuk-nunjuk ke suatu arah. Mendadak, cewek-cewek itu tidak jadi meninggalkan lapangan. Beberapa sibuk membenahi tatanan rambut.

" Wah, siapa nih?" tanya Tias, membuatku menoleh ke arah yang dilihatnya.

Ryuu tampak berlari-lari ke arah kami sambil mendribel bola dengan dandanan pemain pro. Dia mengenakan seragam Chicago Bulls, rambutnya ditahan oleh bandana Nike putih.

Tunggu dulu. RYUU?? Apa yang dilakukannya di sini dengan dandanan seperti itu??

Ryuu, seperti tidak melihat ekspresi bodohku dan semua orang, melakukan hal yang kalau situasinya tidak begini mungkin fantastis: slam dunk andalannya yang superkeren. Tapi, bukan slam dunk-nya yang jadi masalah di sini. Masalahnya, kenapa dia melakukan slam dunk itu di display sekolahku??

Mendadak, suasana jadi kembali riuh-rendah karena aksi itu. Orang-orang yang tadinya mau pergi, jadi membatalkan niat. Ryuu jelas tampak menikmati semua perhatian itu. Setelah melakukan slam dunk, dia melakukan beberapa atraksi lain, seperti menyilangkan bola di bawah kaki dengan penuh gaya dan memutar bola di telunjuknya selama lebih dari sepuluh detik. Aku tidak percaya Ryuu ternyata seorang tukang pamer.

Setelah mendapatkan aplaus yang meriah, dia menghampiriku dengan wajah sok cool-nya. Aku masih bengong, tentunya.

" Hai," katanya kepadaku dengan bola dikepit di pinggang. Dia mengangguk sopan kepada Ayu dan Tias, yang balas mengangguk dengan tatapan hampa. Aku sendiri masih kaget berat.

Ryuu kembali menatapku yang membeku selama beberapa saat, lalu memutar tubuh ke arah penonton yang penasaran.

" Yamada Ryuuichi, pelatih baru tim basket putri sekolah ini," katanya kalem.

" HAH??" seruku kaget, sama seperti ratusan orang lainnya. " O ya?" sahut Tias tidak percaya. " Serius?"

" Serius," kata Ryuu dengan tampang yang benar-benar serius. " Kenapa??" sahutku, masih histeris.

" Permintaan maaf gue soal kemaren." Ryuu memainkan bola di tangannya. " Gue bakal ngelatih tim basket lo. Kenapa, lo keberatan?"

" ARRGH!!" Aku menjambak rambut. Apa-apaan ini, kenapa turis ini seenaknya saja mengatakan di depan semua orang kalau dia mau menjadi pelatih kami? Memangnya kapan dia pernah mengatakan itu kepadaku?

" Nggak apa-apa kan, Star?" kata Ayu, yang tampak jelas sudah naksir Ryuu di detik pertama.

Ryuu menatapku dengan sebelah alis terangkat. Aku mengalihkan pandangan ke arah Ayu dan Tias, lalu ke arah penonton yang tampak menunggu konirmasi. Aku menghela napas, lalu menatap Ryuu tajam. Awas saja, di rumah nanti dia tidak akan selamat.

" Yah, jadi ini.... Yamada Ryuuichi, pelatih baru tim basket putri," kataku kepada orang-orang yang sekarang tampak berminat. " Oke. Begitu aja display dari tim basket putri. Kalau ada yang mau mendaftar, silakan datang ke kelas gue istirahat nanti."

Setelah mengatakannya, aku menatap Ryuu sebal. Cowok itu hanya balas menatapku tanpa ekspresi.

" Oke. Karena tugas gue udah selesai, gue balik dulu," katanya. Setelah mengangguk kepada Ayu dan Tias, dia pergi sambil mendribel bola dengan gaya walaupun tidak terlihat mau pamer.

" Lo nggak bilang udah punya pelatih keren kayak gitu," cecar Ayu setelah Ryuu tak terlihat lagi.

" Gue juga nggak tahu," kataku sambil memerhatikan anak-anak yang sudah bubar untuk melihat display ekskul lain. Fariz juga pergi tanpa memandangku.

" Lo bisa kenal dia di mana?" tanya Tias, membuatku salah tingkah.

" Di jalan," jawabku akhirnya. " Dia, ng... turis nyasar." " Oh," kata Tias, walaupun jelas-jelas tidak begitu menerima alasanku.

" Ngomong-ngomong.... Yang tadi, thanks banget ya." Aku menatap Ayu dan Tias. " Dan gue bener-bener minta maaf karena nggak berusaha nyari kalian selama ini. Itu karena gue& gue ngerasa gue terlalu jahat buat jadi temen kalian lagi."

" Nggak apa-apa, Star." Tias tersenyum. " Kita aja yang dulu terlalu emosional. Kita dulu kurang bisa ngertiin posisi lo. Bukan sepenuhnya salah lo."

Aku menatap Tias dan Ayu dengan mata berkaca-kaca, lalu memeluk mereka lagi sambil akhirnya nangis betulan. Aku senang bisa berteman lagi dengan mereka. Ayu dan Tias menepuk-nepuk kepalaku sambil terkekeh. Aku sangat bahagia sampai-sampai aku merasa tidak akan ada lagi yang bisa membuatku sedih.

Tanpa sengaja, mataku menangkap Firda dan Chacha yang menatap kami dari jauh. Begitu pandangan kami bertemu, mereka segera pergi. Aku menghela napas. Keajaibannya sudah berhenti. Ternyata, masih ada yang bisa membuatku sedih.

Oke. Keajaibannya belum berhenti. Tapi, keajaiban itu benarbenar membuatku bingung. Saat istirahat, kelasku dipenuhi gerombolan cewek yang mau mendaftar jadi anggota tim basket!

Aku sampai kehabisan formulir sehingga menyuruh mereka mengopinya sendiri. Maksudku, aku tidak pernah menyangka kalau aku akan membutuhkan lebih dari dua puluh formulir!

Mereka, anehnya menyambut permintaan itu dengan senang hati. Dan yang membuatku heran, separuh dari mereka adalah cewek-cewek populer yang biasanya tidak mau berkeringat karena bikin bedak luntur dan sebagainya. Ini benar-benar aneh. Ayu bilang, ini seratus persen berkat Ryuu. Seandainya Ryuu tidak datang, formulir tadi pasti tetap utuh. Aku setengah mati menolak hipotesis ini, tapi kenyataan memang mengatakan demikian. Aku sampai kewalahan menghadapi pertanyaan soal Ryuu dari anakanak cewek itu.

Sekarang, aku sudah berada di rumah dan si turis sedang duduk di sofa sambil menonton TV. Aku menatapnya sebentar, lalu akhirnya duduk di sebelahnya. Ryuu melirikku heran, sementara mataku tertancap di TV.

Ini agak aneh karena tadinya aku berniat memarahinya. Tahu, kan? Soal Dufan dan sebagainya itu. Tapi, sekarang, kurasa aku harus berterima kasih karena sudah menyelamatkan tim basket yang merupakan bagian dari impianku.

Setelah menghela napas, aku menoleh kepadanya dan langsung bengong melihat reaksinya. Ryuu segera melindungi kepalanya dengan kedua tangan ketika aku baru saja menoleh. Aku menatapnya heran.

" Ngapain lo?" tanyaku.

" Siapa tahu lo mau mukul gue," katanya, membuatku ingin benar-benar memukulnya. Tapi, aku segera menarik napas, lalu mengembuskannya, mencoba untuk tenang.

" Thanks," kataku akhirnya, walaupun suara yang kukeluarkan agak tidak terkontrol.

" Lo marah?" tanya Ryuu. " Kayak nggak tulus gitu bilang thanksnya."

" Nggak, gue nggak marah," kataku dengan bibir berkedut. " Gue mau bilang thanks karena tim basket gue jadi rame, walaupun itu berkat sex appeal lo dan bukannya usaha keras gue."

Ryuu menatapku tanpa ekspresi. " Jadi? Sebenernya ini mau berterima kasih betulan atau gimana?"

" Betulan," kataku akhirnya setelah bisa mengendalikan diri. " Walaupun yang daftar nggak bener-bener mau main basket, tapi

seenggaknya ada yang daftar. Mungkin nanti mereka bener-bener suka sama basket."

Ryuu menatapku lagi. Aku tahu aku banyak omong, tapi aku benar-benar tidak bisa menahannya.

" Thanks," kataku, kali ini tidak pakai embel-embel lagi. Ryuu menungguku sebentar, berjaga-jaga siapa tahu aku protes lagi.

" Oke. Sama-sama," katanya, setelah beberapa detik menunggu. Sesaat kemudian, suasana jadi sedikit canggung.

" Jadi, lo udah dapet persetujuan dari Kepala Sekolah gue soal pelatih itu?" tanyaku, untuk mencairkan suasana.

" Emangnya harus pake persetujuan Kepala Sekolah?" tanya Ryuu, membuatku bengong. Aku baru akan menyemprotnya ketika dia cepat-cepat menambahkan, " Bercanda... bercanda. Udah kok."

Aku menatap makhluk satu itu sebal. Tapi, Ryuu seperti tidak sadar. Dia malah asyik menonton Extravaganza.

" Nggak ganggu liburan lo?" tanyaku.

" Hm? Nggak kok," jawab Ryuu, membuatku berpikir. Ryuu tidak pernah benar-benar berlibur selama berada di Indonesia. Menurutku, dia malah tidak punya kerjaan selain main PS dan menonton TV.

" Lo sebenernya mau ngapain sih ke Indonesia?" tanyaku. Sebenarnya, pertanyaan itu sudah lama bercokol di benakku, tapi aku tak pernah benar-benar ingin menanyakannya. " Perasaan lo nggak pernah ke mana-mana selama di sini."

" Ini udah liburan buat gue," katanya tenang. " Ngomongngomong, nanti pas latihan gue harus ngapain?"

" Ini bercanda lagi?" tanyaku curiga.

" Nggak, nggak bercanda. Gue harus ngapain?" katanya dengan wajah polos.

" Ya, lo harus ngelatih kita!" sahutku histeris. Apa-apaan dia, melamar jadi pelatih, tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan?

" Oh." Dia mengangguk-angguk, tapi aku tidak yakin apa dia benar-benar paham. " Yah, kita liat ntar aja deh."

Aku memicingkan mata kepada Ryuu yang tersenyum-senyum sendiri melihat Aming menjadi banci. Kurasa, dia tidak punya rencana sama sekali. Kalaupun ada, aku khawatir rencananya besok hanya tebar-tebar pesona.

Baru ketika aku akan bertanya, Fernan berderap turun dan berdiri tepat di depan kami dengan wajah marah. Apa-apaan sih anak ini?

" Siapa!" sahutnya sambil mengacungkan sebuah komik. " Siapa yang ngerusakin komik gue!"

Aku terpaku melihat komik itu. Komik yang sama persis dengan punya Aya yang kurusakkan tempo hari. Aku sudah menukarnya dengan punya Fernan yang masih baru. Tapi, sepertinya tidak akan ketahuan kalau aku berakting.

" Lo ya, Star!" sahutnya lagi.

" Enak aja lo nuduh!" seruku, seolah sangat tersinggung. " Emang kapan gue pernah tertarik baca yang begituan!"

Fernan tampaknya menganggap kata-kataku masuk akal karena nyatanya, aku memang tidak pernah menyentuh hal-hal begituan. Kecuali kalau benar-benar perlu, seperti kemarin, misalnya.

" Emang kenapa, Fer?" tanya Ryuu, heran melihat Fernan yang marah besar.

" Komik gue somplak begini. Udah gitu, sampul plastiknya udah nggak ada!"

" Siapa tahu ketindihan pas lo tidur," kataku, membuat kemarahan Fernan mereda. Sepertinya, dia sedang menimbang kemungkinan itu.

" Yah, mungkin juga sih," katanya sambil mengelus komik itu. Ya ampun, ada apa sih dengan semua orang yang kukenal? Heboh banget, padahal itu kan hanya komik.

Aku baru akan menghela napas lega ketika Fernan tiba-tiba berkata, " Apaan nih?"

" Apaan apa?" tanyaku tegang.

" Ini, ada huruf-huruf Jepang di pojok bawah," kata Fernan sambil mengamati komik itu dengan teliti.

" Hu-huruf Jepang?" kataku sambil terus memeras otak. " Ryuu, tolong dibaca dong, gue nggak ngerti." Fernan menyodorkan buku itu kepada Ryuu. " Apa bacaannya?"

" Aya," kata Ryuu, membuat jantungku serasa melorot ke kaki. " Aya. Itu bacaannya."

" Aya?" kata Fernan bingung. " Kenapa komik Aya ada di gue? Terus mana komik gue?"

" Iya ya, kok bisa punya Aya ada di elo? Aneh," kataku, tidak tahu harus berkata apa.

" Lagi ngomongin gue ya? Kenapa?"

Aku, Fernan, dan Ryuu menoleh berbarengan ke arah sumber suara. Aya melompat riang ke arah kami, lalu menatap kami heran. Sementara itu, aku merosot lemas di sofa.

" Lho? Kenapa nih?" tanyanya polos.

" Ini komik lo, Ya?" tanya Fernan sambil menyerahkan komik itu kepada Aya. Aku menutup wajahku dengan bantal.

" Iya. Kemarin dirusakin Starlet. Tapi udah dia ganti, malah pake disampulin segala," jelas Aya, membuat Fernan menatapku garang.

Tamat sudah. Kurasa, aku harus benar-benar mengganti komik sialan itu.

Back in Business

A ya mendapatkan ganjaran karena telah merusak alibiku

kemarin. Yah, tidak seperti itu juga sih. Sebenarnya, aku kasihan padanya karena harus menerima kenyataan kalau cewek cantik yang dia bilang mirip idolanya berkencan dengan gebetan seumur hidupnya.

Jadi, semalam, tepat setelah tragedi komik itu, Satria pulang bersama Hikari. Aya sempat berpikir Satria sedang berbaik hati menunjukkan Jakarta kepada Hikari, tapi setelah Hikari bercerita kalau dia baru saja ditraktir makan malam di sebuah restoran mewah, Aya segera paham. Kurasa, pendapat Aya mengenai Hikari langsung berubah saat itu juga.

Aya langsung pulang dengan muka cemberut ketika Hikari baru setengah jalan menceritakan suasana restoran itu. Walaupun tampak kewalahan, Satria mengejarnya. Rasakan. Suruh siapa mempermainkan perasaan dua wanita sekaligus?

Hm, tidak juga sih. Satria memang perhatian pada wanita mana pun. Mungkin dia terlalu gentle sehingga kadang cewek salah paham. Dan masalah kencan ini, mungkin saja Hikari yang mengajaknya karena setahuku, Satria bukan jenis cowok yang mengajak cewek kencan ke restoran mewah.

Satria juga sudah kenal dari Aya lahir. Jadi, mau tidak mau, Satria harus siap dengan hubungan jenis TTM dengannya. Di satu sisi, Satria tidak menyukai Aya sebagai cewek, tapi di sisi lain, Satria juga tidak tega mengatakannya. Berdasarkan fakta-fakta ini, aku baru sadar kalau menjadi seorang Satria sangatlah rumit. Aku jadi bersyukur menjadi cewek, yang biasa-biasa saja.

Saat aku masuk kelas, Aya sudah duduk di bangkunya dengan tampilan seperti Sadako. Rambutnya terjurai berantakan, dia juga

tidak memakai bedak sehingga wajahnya terlihat pucat. Belum lagi ada lingkaran hitam di sekitaran matanya karena terlalu banyak menangis.

Setelah bergidik sebentar, aku mendekati sosok horor itu dengan hati-hati. Aku duduk di sebelahnya, mencoba untuk tidak membuat suara. Tiba-tiba, Aya menoleh dengan adegan slow motion yang mengerikan.

" HUA!" Aku terlompat ke belakang, tidak siap dengan adegan

itu.

" Te& ga& ," rintihnya. Tangannya menggapai-gapai ke arahku. " AYA!! Horor ah!!" sahutku sambil menghindari tangkapannya. Mendadak, Aya tersengguk.

" Kenapa dia tega& ," ratapnya pilu. Aku menatapnya tidak yakin. Aku ragu apa aku bisa menghiburnya saat ini. Jujur saja, aku lumayan takut melihat keadaannya yang seperti ini.
Fight For Love Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba, suasana kelas jadi sepi karena guru Sejarah sudah datang. Dia menatapku heran.

" Starlet? Kenapa berdiri? Ayo duduk," perintahnya, membuatku menoleh kepada Aya yang sekarang sudah menggaruk meja dengan kukunya.

" Ng& Pak? Boleh saya duduk di tempat lain?" kataku penuh harap, tapi sebelum guruku mengizinkan, aku sudah menyambar tas dan duduk di barisan terdepan.

Ini sudah kelewatan. Bisa-bisa aku mimpi buruk kalau harus duduk sebangku dengan Aya yang seperti itu.

Akhirnya, setelah terisak selama setengah jam di jam pelajaran, Aya digiring ke UKS, yang membuat kelasku merasa lega. Isakannya itu sangat-sangat berbahaya bagi konsentrasi, menurut guruku. Aku sih setuju saja, tapi langsung menolak saat disuruh menemani Aya, dengan alasan aku sangat menyukai pelajaran sejarah yang dibawakannya. Padahal, aku cuma tidak mau mati muda.

Aya dibawa pulang oleh sopirnya setelah aku menelepon Ibu Aya. Aku juga menelepon Satria, yang langsung panik mendengar keadaan Aya. Tapi, barusan aku ditelepon Satria lagi. Katanya, Aya tidak mau menemuinya dan berubah kalap saat Satria memaksa masuk. Aku jadi teringat adegan di ilm Sleepy Hollow.

Aku menghela napas, lalu berjalan menuju lapangan basket. Aku sudah berganti baju dengan seragam tim. Aku sangat senang bisa mengenakannya lagi setelah sekian lama teronggok tidak berdaya di pojok lemari.

Hari ini adalah hari pertama latihan. Harusnya latihan baru akan dijalankan besok, tapi cewek-cewek itu memaksa agar latihan dimulai secepat mungkin. Ini tentunya karena Ryuu. Aku sudah menelepon dan menyuruhnya datang, tapi dari suaranya, aku tidak yakin dia akan datang.

Mendadak, langkahku terhenti. Aku terperangah melihat pemandangan di lapangan basket. Dari mana asalnya semua cewek ini?? Maksudku, memangnya ada anak cewek sebanyak ini di sekolahku??

" Scary, eh?" kata Ayu yang tiba-tiba ada di samping kiriku. Di samping kananku juga sudah ada Tias yang menatap kosong ke arah lapangan.

" You have no idea," gumamku, masih terkejut.

" Yah, mau gimana lagi," kata Tias sambil berjalan mendahului kami. Aku berjalan kaku mengikutinya.

Saat melihat sekumpulan cewek yang sibuk bercermin, aku berhenti melangkah. Ada yang malah mengoleskan lipstik cair ke bibirnya sehingga menjadi pink mengilat. Aku jadi teringat Hikari. Atau Aming, entahlah.

" Sori." Aku menjawil cewek itu. " Kayaknya nggak usah pake yang begituan deh."

" Yah, nggak seru," tukas cewek itu menyebalkan. " Halo? Lo mau latihan basket, bukannya audisi Miss Universe," kataku sengit, tapi cewek itu cuma berbalik sambil mengibaskan rambut.

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Kurasa aku terkena migrain parah. Di kumpulan lain, ada cewek yang menggunakan hotpants. Aku tertawa garing saat melihatnya.

" Lo, coba tolong, latihan besok jangan pake celana begitu. Lo bukannya lagi di pantai," tegurku kepada cewek itu, yang sepertinya menganggap omonganku angin lalu karena dia malah sibuk mengoleskan sunscreen ke pahanya.

" Tenang, Star... tenang," kata Tias saat melihat emosiku naik. " Eh, Ryuuichi-nya mana?" tanya seorang cewek yang memakai tank top dan sengaja mem-blow rambutnya.

" Ryuuichi nggak dateng!" sahutku sebal. Dengan segera, terdengar keluhan dari berbagai tempat.

" Yah, tahu gini gue nggak dateng& ," sahut salah satu dari mereka.

" Iya, udah capek-capek dandan gini& ," timpal cewek centil lainnya.

" Eh," kataku sambil merangkul Ayu dan Tias, membawa mereka ke tempat yang aman. " Gue ada ide buat nyingkirin cewek-cewek aneh ini. Kita bikin seleksi."

Tias dan Ayu menatapku secara bersamaan.

" Lo yakin? Kalo di antara mereka nggak ada yang memenuhi syarat gimana?" tanya Ayu.

" Mending gitu daripada gue harus latihan sama kloningan Barbie ini!" sahutku sebal. Ayu dan Tias mengangguk-angguk.

" Iya, gue juga sebel liat kelakuan mereka. Bisa-bisa tim basket kita saingan sama anak cheerleaders," kata Tias.

" Oke, ayo kita lakuin," kata Ayu.

Kami mengangguk bersamaan, lalu membalik badan dan kembali berkumpul bersama cewek-cewek centil itu.

" Oke!" sahutku sambil menepukkan tangan, berusaha menenangkan kicauan mereka. " Sekarang adalah waktunya seleksi!"

" Seleksi?" tanya seorang cewek dengan bulu mata palsu. " Iya, se-lek-si," kataku dengan nada puas. " Bagi yang lulus seleksi, bisa meneruskan untuk masuk tim basket putri sekolah kita."

" Tapi, seleksinya ngapain?" tanya cewek yang memakai kaus ketat berbelahan rendah.

" Seleksinya ujian tertulis, pake lembar jawab komputer, siapsiap pensil 2B. Ya main basket lah!" sahutku kesal.

" Terus, kalo lulus seleksi bisa dilatih Ryuuichi?" tanya cewek dengan softlens biru. Aku menimbang-nimbang sesaat. Ini bisa jadi motivasi yang bagus.

" Ya. Bisa dilatih Ryuuichi," kataku dengan tampang serius. Seketika, terjadi gelombang aneh pada cewek-cewek itu. Mereka langsung antusias dan bersemangat. Aku tersenyum licik. " Oke! Sekarang ayo bikin barisan! Kita pemanasan!"

Anak-anak itu langsung menurut. Semuanya berbaris rapi dan melakukan semua instruksi dengan baik. Ryuu memang benarbenar motivator yang bagus. Setelah sepuluh menit pemanasan, aku menyuruh mereka berpasangan dan melakukan passing sederhana. Sementara itu, aku, Ayu, dan Tias duduk dengan formulir mereka di tangan.

Dua orang pertama sangat buruk. Yang satu menganggap bola basket adalah sesuatu yang kotor dan mengelapnya setiap kali dia memegangnya, yang satunya lagi kekuatannya minus. Bola yang dilemparnya melayang tidak sampai setengah jarak mereka, yang mana hanya dua meter. Aku, Ayu, dan Tias langsung mencoret formulir mereka.

Dua orang selanjutnya bermain seakan bola basket adalah bola dari plastik yang sering dimainkan di pantai. Mereka tertawa-tawa, melemparnya dari bawah, dan bukannya dari depan dada.

" Aww!" sahut salah satunya ketika bola itu tidak tertangkap dengan baik dan sedikit menyentuh kakinya.

" Aww?" kataku kepada Ayu dan Tias. Dan kami serentak mencoret formulir mereka.

Pasangan yang selanjutnya masih sama parahnya. Mereka malah memantul-mantulkannya ke lantai alih-alih melemparnya ke

" Aduh!!" sahut salah satu dari mereka, membuatku segera bangkit, panik. Aku takut sesuatu yang buruk terjadi padanya karena dia sekarang sudah menangis.

" Kenapa? Apa yang sakit?" sahutku panik.

" Kuku gue!" sahut cewek itu dramatis. " Kuku gue patah! Padahal, baru kemarin dimanikur!!"

Mulutku langsung menganga. Tubuhku serasa kaku. Kepanikanku yang tadi sangatlah sia-sia. Aku harusnya tidak membuang energi untuk mengkhawatirkan kuku yang patah.

Ayu dan Tias terkekeh geli melihat ekspresiku yang seperti mau membanting seseorang. Aku lalu mencoret formulir cewek itu dengan tanda silang besar-besar.

Setelah insiden kuku selesai aku menyuruh cewek itu cepatcepat pulang agar bisa ke salon dan memperbaiki kukunya, dan cewek itu menurut pasangan yang berikutnya tidak terlalu buruk. Memang salah satu dari mereka ada yang kecentilan, tapi satunya lagi sepertinya mengetahui teknik-teknik basket dengan baik. Aku nyengir senang saat dia mengoper bola dengan kekuatan penuh, membuat cewek yang jadi pasangannya memilih menghindar daripada mencoba menangkapnya.

Hari menjelang sore. Dan sejauh ini, kami hanya mendapatkan tiga cewek yang sepertinya berpotensi dari sekitar seratus cewek yang diseleksi. Ini fantastis sekali. Harusnya tadi kami menyaring mereka dengan saringan-cewek-kecentilan-raksasa saja.

" Oke," kataku kepada tiga orang yang tersisa. Yang lain udah kusuruh pulang. " Jadi kalian Nadya, Inez, dan Citra." Nadya, Inez, dan Citra mengangguk sambil tersenyum. Aku

melihat wajah-wajah biasa setelah tadi dijejali puluhan wajah artiisial.

" Well, welcome to the team, I guess," kataku sambil menyalami mereka. Tias dan Ayu juga melakukan hal yang sama. Kurasa, mereka juga lega karena masih ada yang tertinggal dari rombongan tadi. " Kalo gue boleh jujur, gue sempet hopeless nggak ada yang lulus seleksi."

Ketiga anak itu nyengir mendengar perkataanku. Aku sangat suka salah satunya yang namanya Inez karena tadi dia melakukan three-point shot dengan baik sebanyak dua kali berturutturut. Tapi secara keseluruhan, mereka bertiga bermain baik karena sudah terbiasa bermain saat SMP.

" Gue tadinya nggak pengin masuk SMA ini," kata Inez. " Karena gue denger soal tim basketnya yang vakum. Tapi, sekarang gue seneng bisa bergabung dengan tim ini."

Aku nyaris terharu mendengar kata-katanya.

" Oke. Mulai sekarang, ayo kita sama-sama berusaha bangkit lagi," kata Tias. " Kita-kita bakalan butuh banyak bantuan dari kalian. Jadi, kita harepin banget kerja sama kalian."

" Oke," kata Citra. " Kita siap kok. Ya?"

Nadya dan Inez mengangguk setuju. Sepertinya, mataku sekarang sudah berkaca-kaca.

" Thanks ya," ucapku tulus. Aku senang bisa mendapatkan ketiga cewek ini.

" Tapi, Ryuuichi beneran bakalan ngelatih, kan?" tanya Inez, membuatku tidak jadi menitikkan air mata. Dia hanya mengedikkan bahu melihat pandangan kami semua. " Yah, gue pikir sih dia cute.

Yang membuatku heran, omongannya disambut gembira semua anak. Ayu apa lagi. Seketika, mereka terasa seperti bagian dari cewek-cewek centil yang baru saja kueliminasi.

Malamnya, aku mencoba menelepon Aya. Aku takut sesuatu benar-benar terjadi padanya. Satria belum pulang. Ibu bilang, dia masih ada di rumah Aya. Aku benar-benar kasihan pada Satria, jauh-jauh pulang dari Australia dihadapkan dengan masalah seperti ini. Tapi, cepat atau lambat Satria harus menyelesaikannya juga. Kasihan juga melihat Aya harus menjomblo demi menunggunya.

Ibunya Aya mengatakan dia sudah tidur. Tapi, kupikir Aya pasti sedang tidak ingin bicara dengan siapa pun. Aku menghela napas. Sepertinya aku harus membiarkannya selama beberapa hari. Mungkin setelah itu, dia bisa agak tenang dan kami bisa bicara lagi.

Aku meletakkan telepon, lalu memutuskan untuk berjalanjalan ke luar. Tapi begitu sampai di pintu, aku mendengar suara Ryuu. Aku mengintip dari jendela untuk melihat dengan siapa dia mengobrol, tapi tidak ada siapa pun di sana. Lalu, aku menyadari bahwa Ryuu sedang bicara di telepon.

" & iya da 16 ," katanya, atau sependengaranku. " Aku bakal ada di sini selama apa pun yang aku mau."

Aku mendekatkan telinga lagi ke jendela. Ryuu mungkin sedang berbicara dengan Ayah atau Ibunya, dilihat dari omongan setengah Jepang-setengah Indonesianya.

" Okaasan, jangan paksa aku," katanya lagi. " Aku pulang kalau aku mau pulang. Hikari pulang minggu ini. Ya. Aku anter dia ke bandara. Ya. Okaasan mo, ogenki de 17 ."

Ryuu menutup teleponnya, lalu menghela napas. Aku sendiri sibuk berpikir. Okaasan kalau tidak salah berarti Ibu . Jadi, Ryuu baru saja berbicara dengan Ibunya. Tapi, kenapa Ibu Ryuu memaksanya untuk pulang? Bukannya Ryuu dan Hikari sedang berlibur?

" Lagi ngapain lo?" tanya Ryuu, yang ternyata sudah masuk ke rumah dan menemukanku dengan posisi mencurigakan di sofa.

" Oh, gue lagi& ng& santai." Aku mengubah sedikit posisi ke dalam bentuk yang terlihat santai, tapi sepertinya tidak berhasil karena Ryuu menatapku tajam. " Oh, oke, gue denger sedikit pembicaraan lo dengan Ibu lo. Kenapa sih lo nggak mau pulang?"

" Bukan urusan lo," kata Ryuu, tidak kasar, tapi nadanya dingin.

" Oh, iya, bener. Bukan urusan gue. Sori," kataku dan Ryuu tampaknya bisa menerima. " Jadi, kenapa tadi lo nggak dateng ke sekolah? Lo bercanda doang ya waktu bilang mau jadi pelatih?"

" Bukan gitu. Tadi Nyokap lo minta dianterin belanja, soalnya Hikari lagi ngambek," kata Ryuu. " Sori deh. Jadi, gimana tadi? Kacau?"

" Sangat," kataku, malas mengingat kejadian-kejadian konyol tadi siang. " Lo bisa mati gara-gara ngakak berlebihan kalo sempet liat seleksi tadi."

" Seleksi?" tanya Ryuu heran. 17. Okaasan mo, ogenki de = Ibu juga, baik-baik ya .

" Iya, seleksi. Gue mengeliminasi cewek-cewek yang pake lipstik, softlens, tank top, dan hotpants. Lo keberatan?" kataku sebal. " Oh ya, dan yang nangis gara-gara kuku yang habis dimanikurnya patah."

" Kayaknya tadi siang seru, ya?" Ryuu mendengus melihatku cemberut. " Sayang gue lewatin."

" Damn yeah, seru banget. Bikin migrain gue nggak ilang-ilang sampe sekarang," kataku ketus, membuat Ryuu terkekeh.

" Jadi? Ada yang nyisa dari pengeliminasian besar-besaran itu?" tanyanya kemudian.

" Untungnya ada. Tiga dari hampir seratus orang," kataku. Ryuu mengangkat alisnya. " Ya. Hebat ya?"

" Sekolah kalian hebat. Mungkin tahun ini nyantumin mirip Krisdayanti di syarat masuk," komentar Ryuu.

" Atau lo yang hebat. Bikin cewek biasa jadi liar," kataku, membuat Ryuu nyengir. " Tadi juga rasa-rasanya gue sempet liat ada banci yang nyelip."

Cengiran Ryuu hilang, digantikan ringisan gugup. " Dia bukan salah satu yang lulus seleksi kan?" tanyanya, membuatku terbahak.

What a womanizer.

Aya tidak masuk sekolah hari ini. Mungkin dia masih sakit hati. Atau sakit jiwa. Maksudku, Aya tidak pernah sakit hati seumur hidupnya. Jadi, mungkin pengalamannya yang pertama ini cukup membuatnya sakit jiwa.

Kelas cukup sepi tanpanya, karena tidak ada lagi yang bisa diajak main bingo atau hangman. Tapi, keadaan itu tidak lantas membuatku memerhatikan pelajaran karena sekarang aku sibuk membuat posisi-posisi buat latihan basket nanti. Inez cocok untuk jadi small forward karena dia lincah. Dan tubuh Nadya yang besar cocok jadi guard.

Sepulang sekolah, aku segera mengganti baju dan sepatu, lalu berlari ke lapangan yang ternyata sudah ramai. Bingung, aku menyeruak di antara cewek-cewek yang rasanya familier. Mereka berteriak-teriak, membuatku aku merasa seakan sedang berada di arena gladiator.

Pantas saja. Ryuu sudah ada di tengah lapangan, sedang berlatih. Atau pamer. Entahlah. Yang mana pun, dia datang terlalu awal.

" Ryuu?" panggilku, tapi Ryuu sepertinya tidak mendengar. Dia malah tampak tidak terpengaruh oleh jeritan liar para wanita gila ini. Penasaran, aku mendekatinya. Pantas. Ryuu sedang menggunakan iPod. Aku mencolek bahunya saat dia akan menembak, membuatnya berbalik.

" Hei," katanya, sambil melepaskan earphone. " Berisik banget, untung gue bawa iPod gue."

" Lo bakal memerlukan itu selama dua jam ke depan," kataku, membuatnya nyengir kaku.

Di kejauhan, aku bisa melihat Ayu, Tias, Nadya, Citra dan Inez mendekat. Wajah mereka semua tampak keheranan melihat

" Wah, ada apaan nih?" tanya Inez, lalu terpaku menatap Ryuu. Kurasa dia agak belum siap untuk melihat Ryuu dari jarak dekat.

" Hai," sapa Ryuu ramah, tangannya terulur. " Yamada Ryuuichi. Panggil Ryuu aja."

" Inez," kata Inez lirih, hampir tidak terdengar, apalagi di tengah lautan banshee ini. Ryuu menatapku dengan dahi mengernyit.

" INEZ!" sahutku. Ryuu mengangguk-angguk, lantas beralih pada Nadya.

" Nadya," kata Nadya percaya diri. Hanya dia yang sikapnya paling normal di antara mereka. Ryuu lalu mengulurkan tangan kepada Citra.

" Ci-cit-ra," kata Citra tergagap, saking gugupnya. " Cicitra?" ulang Ryuu heran, membuatku dan anak-anak lain mendengus.

" Citra," kataku, membantu Citra yang wajahnya sudah memerah.

Ryuu mengangguk-angguk, lalu beralih kepada Ayu dan Tias. " Ayu," katanya kepada Ayu, lalu menunjuk Tias. " Tias. Gue udah diceritain Starlet. Katanya kalian sahabatan."

" Starlet nyuruh lo ngomong begitu?" tanya Tias, geli melihatku salah tingkah.

" Oh ya, dia malah nyuruh gue muji-muji kalian juga," kata Ryuu, membuatku menyodok rusuknya. Kelima anak cewek di depanku mengernyit, sepertinya bingung karena aku terlalu akrab dengan turis yang kutemui di jalan. Aku harus lebih berhati-hati.

" Gimana kalo kita mulai latihan?" tanyaku, mengalihkan pembicaraan.

Baru ketika kami akan memulai pemanasan, aku mendengar ribut-ribut di antara cewek-cewek itu.

" Woi... woi... misi! Ini ada apaan sih?" sahut seorang cowok dari balik kerumunan itu. Fariz muncul dari sana dan berhasil masuk ke lapangan basket. Para anggota tim basket cowok yang lain segera mengikutinya.

Aku menatap Fariz, yang menolak menatapku balik. Dia malah menatap Ryuu tajam.

" Gue pikir ada seleb siapa," katanya sinis.

" Kita mau latihan, Riz," kataku. Fariz melirikku sebentar. " Kalo gitu, kita setengah lapangan," kata Fariz singkat. " Dan kalo bisa, tolong singkirin orang-orang ini. Mengganggu banget."

Aku menatap sedih Fariz yang sekarang sibuk dengan temantemannya. Aku tidak suka melihatnya seperti ini. Fariz adalah orang yang dulu selalu ada untukku. Teman terbaikku. Tapi lagilagi, aku melakukan kesalahan. Sepertinya, aku tidak ditakdirkan untuk berteman dengan siapa pun karena aku akan menyakiti mereka di akhir.

Aku menoleh ke arah Ayu dan Tias, yang keduanya balas menatapku sambil tersenyum. Tias lalu menepuk pundakku.

" Nanti juga dia ngomong lagi," katanya sambil mengedikkan kepala ke arah Fariz. " Dia cuma lagi cemburu kok."

" Cemburu?" tanyaku.

" Soalnya sekarang dia bukan lagi temen lo satu-satunya. Tapi,

kepada Fariz, yang sekarang sedang melakukan pemanasan, lalu menghela napas.

Mungkin saja begitu. Yang jelas, aku sangat kehilangan dia. Dan tidak sabar ingin mengobrol seperti biasanya.

Tahu-tahu, terdengar suara bising. Cewek-cewek itu sekarang sudah melakukan paduan suara untuk memanggil Ryuu. Aku mendekati mereka kesal.

" Eh, tolong ya& pada kalem. Kita mau latihan nih," kataku, mencoba tenang.

" Ih, siapa elo?" tukas seorang cewek, membuatku naik pitam. " Siapa gue? Siapa gue, lo bilang?" sahutku sambil merangsek ke arahnya, tapi aku merasakan tanganku ditahan. Aku menoleh. Ryuu.

" Girls, tolong nontonnya yang tenang ya, kita mau latihan dulu." Ryuu melempar senyum.

" Iyaaaa!" Cewek-cewek itu serempak menyanggupi permintaan Ryuu dengan nada sok manis. Aku melongo melihat mereka semua yang tiba-tiba duduk dengan patuh. Ryuu menggeretku kembali ke lapangan.

" Nggak bisa dipercaya," keluhku, pusing.

" Emang nggak bisa dipercaya," kata Ryuu. " Ayo, pemanasan lagi."

Aku menurut saja walaupun masih kesal. Setelah pemanasan, kami berlari tiga keliling lapangan. Setelah itu, Ryuu menyuruh kami berpasangan untuk latihan passing sambil berlari menyamping. Aku berpasangan dengan Nadya. Awal-awal memang agak susah

mengikuti ritmenya karena langkahnya besar-besar sehingga aku selalu tertinggal, tapi Nadya akhirnya menyadari keterbatasanku dan lebih manusiawi dalam melangkah.

Setelah itu, Ryuu meminta kami berbaris dalam satu barisan. Kemudian, dia menyuruh kami menembak dari jarak tempat kami menerima bola. Kami melakukannya bergantian. Lalu, kami melakukannya dari jarak three-point. Di sini, hanya aku dan Inez yang bisa menyelesaikan hampir setiap tembakan. Ryuu malah mengatakan Inez adalah penerusku dan saingan terberatku dalam kompetisi three-point shot nanti. Aku sih oke-oke saja. Senang rasanya mempunyai seseorang yang menguntungkan bagi tim.

Latihan berjalan cukup mengasyikkan karena Ryuu tidak pernah membentak. Dia malah membawa suasana yang menyenangkan bagi tim dan selalu memuji setiap kali bola yang kami tembak masuk. Aku lumayan terkejut sebenarnya, karena di rumah, Ryuu tidak pernah menjadi orang yang menyenangkan. Sepertinya, dalam basket Ryuu bisa lebih santai dan menjadi dirinya sendiri. Itu saja sih yang bisa kusimpulkan dari latihan sore ini. Nanti malam di rumah, dia pasti bakalan menyebalkan lagi.

Latihan sudah selesai, tapi kerumunan cewek-cewek masih setia menunggu Ryuu. Mereka sibuk menjejalkan Ryuu dengan botol minum dan handuk. Tidak mau ikut-ikutan, aku berjingkat pergi dari situ.

Saat sedang bermaksud untuk pulang, aku melihat Firda bersandar di pohon. Dia menatapku dingin, tapi tidak pergi. Aku segera berlari-lari kecil menghampirinya.

" Firda," sapaku sambil menatapnya heran.

" Bodoh," umpatnya, membuatku bingung. " Display kemarin. Lo

Kurasa aku tahu apa yang dia maksud. Aku sudah cukup mengerti saat melihat ekspresinya di display kemarin. Dia berpikir aku terlalu bodoh karena nekat melakukan display itu sendiri.

" Bodoh yang membawa berkah, kan?" kataku, membuat Firda melirik ke arah lapangan basket yang masih dipenuhi orang. Tias, Ayu, Inez, Citra, dan Nadya juga masih di sana.

Firda tidak mengatakan apa pun. Matanya masih terpancang ke lapangan basket. Aku tersenyum, lalu mengulurkan tangan.

" Ayo," ajakku, membuat Firda menatapku ragu. " Boleh kok," kataku lagi, menjawab tatapan matanya. " Nggak peduli lo udah nggak sebagus dulu, lo pasti diterima di tim basket kita."

Firda menatap tanganku sebentar, lalu menyambutnya. Aku segera menariknya dan membawanya ke lapangan.

" Ryuu!" sahutku, membuat Ryuu menoleh. Aku dan Firda sampai ke hadapannya dengan napas tersengal. " Gue bawa Firda! Dia kapten tim kita! Power guard nomor satu!"

Ryuu menatapku sebentar, lalu beralih kepada Firda dengan tatapan menilai. Dia lantas tersenyum saat Firda balas menatapnya sengit.

" Bercanda, kok. Tentu aja lo boleh kembali ke tim. Besok harus ikut latihan," kata Ryuu, membuatku bersorak gembira dan memeluk Firda erat. Ayu dan Tias juga bergabung memeluk Firda. Firda sepertinya menangis, tapi tidak apa. Karena aku juga.

Malamnya, aku merasa seluruh tubuhku seakan baru saja ditindih The Rock. Aku sadar, sudah lama aku tidak berlatih seserius tadi. Sekarang, sepertinya tulang pinggulku ada yang lepas.

Aku menjatuhkan diri ke sofa, di samping Ibu yang sedang terisak-isak. Aku menatapnya heran, lalu mengikuti arah pandangnya. Ibu sedang menonton& entahlah, mungkin ilm. Dilihat dari bahasa yang digunakan dan invasi yang sedang terjadi di rumah ini, aku cukup yakin ini ilm Jepang. Pada ilm itu terdapat teks berbahasa Inggris.

" Apa ini, Bu?" tanyaku, heran melihat Ibu yang menangis seheboh itu.

" Film Jepang, Star... sedih banget deh," kata Ibu di sela-sela tangisnya. Di pangkuannya sudah menumpuk tisu-tisu bekas. " Sesedih apa sih?" tanyaku penasaran.

" Sedih banget tahu," kata Fernan, membuatku kaget. Ternyata sudah dari tadi dia duduk di samping Ibu, tapi aku tidak melihatnya. Yang lebih membuatku terkejut, Fernan juga memegang tisu. Dia membersit ingusnya. Jelas-jelas dia juga menangis.

" Lo juga nangis, Fer?" seruku tidak percaya. Film apa sih ini? " Minggir dikit, Star," kata Ayah, yang datang entah dari mana. Matanya juga sembab. Dia lalu bergabung dengan Ibu dan Fernan. Sepertinya, keadaan bertambah aneh di sini.

" Ayah juga nonton ini?" kataku lagi.

" Iya, tadi habis ke kamar mandi sebentar. Gimana Bu, Aya-nya gimana?" tanyanya kepada Ibu.

" Aya? Jangan bilang Aya juga ikut nonton!" sahutku. " Mana dia?"

" Aya itu nama pemeran utamanya," sambar Fernan. " Udah deh, Star... jangan berisik. Lagi seru nih."

Aku menatap mereka tidak percaya, lalu mencoba menemukan apa yang begitu menyedihkan. Tapi, baru lima menit mengikuti ilm itu, aku pusing berat. Aku tidak tahan mendengarkan bahasa mereka.

Mendadak Ibu, Ayah, dan Fernan mengangkat tisu bersamaan dan mengelap sudut-sudut matanya. Ayah terlihat sangat berjuang menahan air mata sampai bibirnya bergetar keras.

" Film apaan sih ini??" sahutku frustrasi.

" Judulnya Ichi Rittoru no Namida," jawab Fernan dengan suara parau. " 1 Litre of Tears."

Ha. 1 Litre of Tears. Tapi sejauh ini, yang kulihat adalah 1 Gallon of Tears. Lagian, siapa sih yang konyol menciptakan ilm seperti ini? Bikin stres! Dan efeknya terhadap keluargaku terlalu mengerikan!

Seakan kehororan ini belum cukup, Ibu tiba-tiba memelukku, lalu menangis keras-keras. Ayah juga. Dan yang paling menyeramkan, Fernan juga melompat untuk memelukku.

" Star, maain gue ya& ," katanya, membuatku cepat-cepat memegang dahinya. Siapa tahu dia demam.

" Starlet!!" raung Ibu sambil sesenggukan. Ayah juga terisakisak.

Ya Tuhan, tolong aku. Keluargaku jadi gila!

Baru ketika aku mau berteriak minta tolong, Ryuu masuk ke rumah dan langsung bengong menatap kami yang berpelukan seperti teletubbies. Dan ketika aku menggapai-gapai minta bantuan,

Ryuu malah keluar lagi, menyangka adegan yang dia lihat tadi sebagai momen keluarga yang indah dan tak patut diganggu atau apalah. Padahal, aku sudah mau mati!

Hikari juga melakukan hal yang sama. Pada saat dia sedang turun tangga, dia melihat kami, lalu naik lagi ke kamar. Aku hampir ikut menangis, tapi menangis frustrasi.

Tak lama berselang, Satria muncul, lalu melongo menatap kami. Ya ampun, akhirnya& .

" Siapa yang meninggal?" tanya Satria ngeri.

Jadi, menurut Hikari, ilm itu bercerita tentang seorang cewek seusiaku yang jago main basket. Dia memiliki penyakit yang tidak umum dan belum ditemukan obatnya, yang bernama Spingo-sesuatu namanya sangat panjang sampai aku tidak bisa mengingatnya. Penyakit itu menyerang saraf dan membuat penderitanya lumpuh, lalu akhirnya meninggal. Film itu sendiri menceritakan tokoh utamanya, Aya, yang berjuang mengatasi penyakitnya itu dengan dukungan keluarga dan teman-temannya. Dan menurut ketiga anggota keluargaku yang menonton, tokoh Aya mengingatkan mereka padaku. Pantas saja mereka semua menggila karena tepat saat aku berada di sana, mereka sedang menyaksikan adegan Aya meninggal. Dan aku kena getahnya.

Tadi, setelah Satria datang, aku langsung pingsan karena terlalu lelah dan kekurangan oksigen. Sekarang, aku terbangun dengan Hikari sudah ada di sampingku, tapi belum tertidur. Aku

memintanya menceritakan soal ilm itu dan secara garis besar, aku telah mengetahuinya. Hikari menyuruhku agar menontonnya. Katanya, drama itu adalah drama yang paling bagus dan inspiratif yang pernah ditontonnya. Kubilang kepadanya, aku tidak bisa mendengar bahasa Jepang lebih dari lima menit atau aku bisa-bisa kena penyakit yang sama persis dengan yang diderita Aya si tokoh utama.

Hikari hanya tertawa mendengarnya, tapi dia bilang drama itu sudah menginspirasi keluargaku. Aku bilang mereka terinfeksi, bukannya terinspirasi.

Namun, Hikari menanyakan sesuatu yang membuatku ingin menonton ilm itu. Dia bertanya, " Kalau kamu menjadi Aya, kalau kamu harus melepaskan basket dan orang-orang yang kamu cintai karena penyakit itu, apa kamu bakal putus asa? Atau menghadapinya dengan tegar seperti Aya?"

Aku tidak tahu jawabannya. Kurasa, aku bisa mati kalau kehilangan basket. Bahkan, aku juga bisa mati kalau kehilangan salah satu dari orang-orang yang memelukku tadi. Entahlah. Pikiran ini terus menghantuiku sampai aku tidak bisa tidur. Kurasa aku akan menonton ilm itu hari Minggu ini.

Gotcha!

H ari ini kami berlatih lagi, tapi dengan tambahan satu orang. Aku

sangat senang bisa bermain bersama Firda lagi. Memang dia sudah tidak selincah dulu. Dia memakai knee-band untuk mencegah pergerakan yang fatal, tapi blocking-nya masih sangat bagus. Ryuu menyuruh Nadya dan Ayu agar belajar banyak darinya.

Tembakan-tembakan Firda juga kurang akurat karena sudah terlalu lama tidak berlatih, sehingga posisi shooting guard diberikan kepada Ayu. Firda tidak begitu keberatan. Aku senang dia tidak sakit hati atau apa.

Selama latihan, aku selalu menyempatkan diri untuk melirik Fariz, siapa tahu dia sudah memaafkanku. Akan tetapi, dia selalu pura-pura tidak melihatku. Karena ulahku ini, aku dapat hukuman dari Ryuu, yaitu melakukan three-point shot sebanyak tiga puluh kali. Tiga puluh kali yang masuk, bukan tiga puluh kali menembak. Aku mencibirnya, tapi dia menyuruhku untuk tetap profesional. Huh, memangnya siapa yang mau dianakemaskan?

Saat mau mulai menembak, aku melihat sosok pucat yang sudah kukenal betul seumur hidupku lewat di pinggir lapangan. Aya.

" Ryuu, bentaran ya!" sahutku, lalu segera berlari menuju Aya yang duduk di bawah pohon di samping lapangan. " Ya!"

Aya menoleh dan tersenyum lemah kepadaku. Aku menghampiri, lalu duduk di sebelahnya.

" Ya, tadi pagi lo nggak masuk sekolah, kan? Kenapa sekarang lo ke sekolah?" tanyaku.

" Nggak tahu. Gue tadi keluar rumah, tahu-tahu udah nyampe sini," jawab Aya, membuatku bengong.

" Ya, jangan gitu ah! Ngeri!" sahutku. " Kalo lo kenapa-napa di

Aya hanya nyengir melihatku panik. " Gimana latihannya, Star? Gue denger Ryuu bagus ngelatihnya?"

" Bagus," kataku. " Lo sendiri gimana, Ya? Udah baikan?" " Lumayan." Aya menghela napas. " Pengalaman pertama sakit hati, Star."

Aku mengangguk-angguk paham. Memang tidak mudah mendengar kenyataan yang tidak mau didengar, apalagi keluar dari mulut orang yang disayanginya.

" Soal Satria, lo benci sama dia?" tanyaku hati-hati. " Nggak, nggak benci. Gimanapun, dia tetep kakak gue," kata Aya sambil menerawang ke arah lapangan basket. " Gue cuma butuh waktu."
Fight For Love Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku mengangguk-angguk lagi. Aku senang Aya bisa menerimanya, walaupun aku tahu pasti tidak mudah.

" Dan kalau pun dia jalan sama Hikari, gue bisa terima," lanjut Aya.

" Nggak, dia nggak jalan sama Hikari. Yang kemarin, Hikari yang ngajak makan di restoran mewah," kataku. " Satria nganggep dia adik juga, kok."

" Banyak ya, adik angkat dia," komentar Aya, membuatku terkekeh. " Tapi, Star... gue seneng walaupun dianggep adik, daripada nggak dianggep sama sekali."

" Ya, bagi dia, lo tuh adik beneran, sama kayak gue sama Fernan. Lo bukan adik angkat, oke? Kita besar bareng selama belasan taun. Lo jelas beda sama Hikari yang baru dia kenal beberapa hari. Hubungan kita tuh untuk selamanya, oke?" kataku sambil menggenggam tangan Aya. Aya menatapku, lalu tersenyum.

" Oke," katanya. " Habis ini gue pasti ngomong lagi sama Satria. Gue janji."

" Bagus, deh," kataku lega. Satria juga pasti lega. " Tahu nggak, Ya.... Kemaren-kemaren, lo mengerikan banget."

" Gue tahu." Aya terkekeh. " Setengahnya gue sengaja, lho." " Jadi, setengahnya nggak?" sahutku, melepaskan genggaman. " Jadi, setengahnya lo serius, horor begitu?"

Aya hanya tergelak melihatku bergidik ngeri. Lalu, tanpa sengaja, dia terbatuk. Aku menatapnya cemas.

" Ya? Lo nggak punya penyakit Spingo-sesuatu kan?" tanyaku, membuat Aya hanya bengong.

" Spingo apa?" tanyanya.

" Ah, nggak ada. Lupain aja," kataku merasa sangat bodoh.

Soal Aya akhirnya selesai juga. Aya sudah mau berbicara lagi dengan Satria, juga sudah meminta maaf kepadanya. Satria bilang dialah yang harusnya meminta maaf. Kalau kubilang, tidak ada seorang pun yang harus meminta maaf.

Aya juga sudah kembali bermain ke rumah dan tidak canggung lagi bergaul dengan Hikari. Sebagian cewek memang aneh, apalagi cewek seperti Aya yang kecepatan sembuhnya sangat cepat.

Satria juga sudah tampak lebih cerah karena satu masalahnya terselesaikan. Sekarang, dia sedang mengantar Ibu dan Hikari pergi

belanja oleh-oleh karena sebentar lagi Hikari akan pulang. Aya malah ikut bersama mereka. Dia memang memusingkan.

Aku melangkah turun dari tangga untuk mengambil minum. Aku baru saja bangun dari tidur yang lelap karena hari ini tidak ada latihan. Lapangan sedang dipakai untuk book fair.

Begitu turun, aku melihat Ryuu yang sedang duduk di sofa, sedang menonton acara gosip. Hal ini membuatku geli. Aku tidak melihat Fernan, tapi sepertinya tadi di atas aku mendengar suarasuara cempreng yang kuyakini kartun berbahasa Jepang.

" Gue baru tahu Tamara cerai," komentar Ryuu begitu aku bergabung dengannya. Aku langsung menatapnya seakan dia gila. Tapi, raut wajah Ryuu sangat datar sehingga aku cukup yakin yang tadi itu komentar serius. " Acara-acara ini kayaknya ada setiap jam sekali ya? Gue sampe hafal gosipnya."

" Kalo gitu pindahin dong channel-nya. Udah tahu TV kita cuma nayangin gosip sama sinetron, masih juga lo tonton," kataku.

" Gue cuma lagi liat-liat kayak apa TV Indonesia sekarang," kata Ryuu sambil menekan tombol di remote dan mulai mengganti channel. Tepat pada saat channel MTV terlihat, Ryuu segera menggantinya ke channel StarSports yang sedang menayangkan pertandingan baseball.

" Oi... oi... tadi MTV!" seruku, sempat melihat video klip salah satu band kesukaanku, Coldplay. Tapi, Ryuu seakan tuli. Aku menatapnya sebal, lalu mencoba menggapai remote di tangannya.

Tanpa kuduga, Ryuu malah menyembunyikan remote itu di belakang punggung. Aku melotot, berusaha merebutnya, tapi Ryuu mencengkeram remote itu kuat-kuat.

" Oke. Jadi lo minta perang." Aku melemaskan otot jari-jari dan leher, lalu segera menerjangnya. Ryuu menyebalkan itu banyak mempermainkanku. Dia mengoper-oper remote itu dari satu tangan ke tangan yang lain. " Siniiin!!"

Aku sadar kalau mungkin saja video klip tadi sudah selesai, tapi aku menikmati kegilaan ini. Kami bergulat di depan TV sampai merosot dari sofa. Aku menggelitikinya, tapi kulitnya seperti dari kulit badak. Bahkan, dia tidak bergerak sedikit pun saat aku menyodok rusuknya. Ryuu bersikeras tidak mau memberikan remote-nya.

Aku hampir berhasil merebut remote itu ketika Ryuu balas menggelitikiku. Aku langsung tertawa heboh sambil meminta ampun, karena aku paling tidak tahan dengan gelitikan seperti itu.

" Starlet?" panggil seseorang. Sontak, aku dan Ryuu mendongak, menatap sumber suara.

Ayu, Tias, Nadya, Citra, Inez, dan Firda sudah ada di ruang keluarga, berdiri canggung tepat di belakang sofa. Aku dan Ryuu melongo menatap mereka, masih di posisi kontroversial.

" HAI!" sahutku begitu sadar. Aku segera berdiri dengan kaku. Di sampingku, Ryuu hanya menggaruk kepala.

" Kita tadi ke sini cuma& . Lo tahu& daripada kita nggak latihan, kenapa kita nggak latihan di lapangan kompleks lo& Oke, lo bisa jelasin?" kata Tias akhirnya, setelah tidak berhasil berbasa-basi.

" Ng& . Tadi Ryuu baru mampir, mau main," kataku gugup. " Ya kan, Ryuu?"

Tapi, si Ryuu berengsek tidak menjawab. Dia malah sudah kembali duduk di sofa, memindah-mindahkan channel tanpa merasa

" Pake celana tidur begitu?" tanya Nadya, wajahnya tampak geli. Aku melirik Ryuu, yang memang memakai bawahan piyama.

" Kalian belum& kawin, kan?" tanya Citra lambat, membuatku melongo dan Ryuu mendengus. " Karena kalo udah kawin, harusnya nama lo Yamada Starlet kan?"

Semua orang sekarang menoleh ke arahnya. Bengong. " Nama gue masih Starlet Annabelle kok, Cit," kataku cepatcepat, membuat pandangan orang-orang beralih kepadaku lagi. " Oh, oke, gue bakal jelasin! Ryuu ini anak temen Bokap gue. Ke sini mau liburan dan selama liburan, dia nginep di rumah gue."

" Oh," kata Ayu akhirnya, setelah keheningan yang lama. " Ini bohong lagi?"

" Bukan... bukan... yang ini betulan. Adiknya juga ada di sini, tapi lagi belanja sama Nyokap gue," kataku. " Ya kan, Ryuu?"

Ryuu akhirnya menoleh, lalu mengangguk, tapi tidak meyakinkan. Aku menatapnya garang, merasa mampu menyambitnya dengan guci cina milik Ibu di pojokan sana kalau aku mau. Ryuu tampaknya mengerti arti tatapanku itu.

" Iya, itu bener. Gue emang nginep di sini selama liburan," katanya sambil bangkit. " Jadi, kalian mau latihan di sini ya? Oke. Gue ganti baju sebentar ya."

Kemudian, dia naik dan masuk ke kamar Fernan. Setelah dia tidak terlihat lagi, aku menoleh takut-takut ke arah keenam temanku yang menatap garang.

" Ketemu di jalan ya?" kata Ayu lambat-lambat, sementara aku mundur teratur. " Turis nyasar ya?"

" MAAF!" sahutku. Tanpa basa-basi lagi, mereka langsung mengejar dan menyambitiku dengan bantal.

" Curang!! Disimpen sendirian aja!" sahut Inez. Dan karena serangan mereka semakin membabi-buta, aku terpaksa melarikan diri ke luar rumah.

Gilanya, mereka masih membawa-bawa bantal sofa dari rumah dan melemparnya sampai masuk ke halaman rumah Aya. Ibunya Aya hanya bisa melongo, sementara kami berlarian ke lapangan basket.

Beberapa hari ini, kami berlatih basket dengan sungguhsungguh. Pola permainan dan koordinasi kami sudah mulai terbentuk. Ini semua karena Ryuu dengan cerdik bisa melihat kemampuan juga arah permainan kami.

Tentang Ryuu, akhir-akhir ini dia sering marah, terutama saat latihan kami selingi dengan bermain-main. Walaupun begitu, aku yakin bukan itu penyebabnya karena aku pernah memergokinya sedang ditelepon lagi oleh Ibunya.

Hikari pulang Senin besok dan Ibu menyiapkan pesta perpisahan untuknya. Persiapan ini membutuhkan banyak korban, seperti tim basketku, misalnya. Semua orang tiba-tiba disuruh bekerja bakti membersihkan halaman belakang olehnya. Dia bilang, ini bagus untuk melatih otot. Melatih otot apaan!

Ceritanya, Ibu mau membuat pesta barbeku di halaman belakang. Persiapannya sudah sangat heboh, padahal ini baru

hari Sabtu. Karena rencana briliannya itu, kami semua ambruk membersihkan halaman yang sudah sekitar sepuluh tahun tidak tersentuh.

Aku sedang mau membuang sampah ke tong sampah depan rumah ketika melihat motor Fariz berhenti di depan pagar. Aku terpaku sebentar, lalu segera menghampirinya. Fariz membuka helmnya, lalu menatapku.

" Hai, Riz," sapaku. Kangen juga mengobrol dengannya. " Lagi kerja bakti?" tanyanya sambil mengedikkan kepala ke sampah yang ada di tanganku. Aku tersentak, lalu membuangnya ke tempat sampah.

" Iya nih, adiknya Ryuu mau pulang lusa. Jadi, mau ngadain pesta barbeku," kataku.

" Adiknya doang?" tanya Fariz lagi. Tiba-tiba aku sadar, topik ini pasti mengarah ke nama orang yang paling tidak ingin didengarnya.

" Ng... iya, soalnya Ryuu masih mau liburan di sini," kataku memberi intonasi selemah mungkin di kata Ryuu . Fariz mengangguk-angguk. Sejauh ini tampaknya oke. " Ada apa, Riz?"

" Nggak ada," kata Fariz, membuatku kembali tidak yakin. " Ng& . Gue kangen ama lo, Star."

Aku melongo mendengar kata-kata Fariz. " Gue juga," kataku akhirnya.

Fariz menatapku dengan pandangan menilai. " Oya?" katanya, membuatku mengangguk.

" Gue kangen ngobrol ama lo," kataku. " Selamanya, gue nggak akan lupa kalo lo satu-satunya orang yang ada untuk gue kapan

pun gue butuhin. Makanya, gue sedih banget waktu lo marah kemarin."

Fariz menggaruk kepalanya. " Yah, gue juga sadar kalo gue kekanak-kanakan."

" Bukan. Gue yang salah, harusnya gue nggak lupa," kataku cepat-cepat.

" Dan harusnya gue bisa maain lo," kata Fariz lagi. " Kayak lo aja yang pernah bikin salah. Biasanya gue juga bikin salah dan lo cepet maain gue. Jadi, gue ngerasa buruk karena kemarin nggak cepetcepet maain lo."

Aku menatap Fariz senang. Aku senang telah mendapatkan temanku kembali.

" Jadi, kita temen lagi?" tanyaku sambil mengacungkan jari kelingking. Fariz menatap jariku sebentar, lalu mengaitkan jari kelingkingnya.

" Temen lagi," kata Fariz sambil tersenyum. Dia tidak tahu betapa aku sudah kehilangan senyuman itu selama beberapa hari ini. Aku balas nyengir.

Tahu-tahu, aku melihat Ryuu dari belakang Fariz. Dia memanggul kantong plastik berisi minuman kaleng. Fariz menoleh untuk mengikuti arah pandangku. Ryuu menatap kami sebentar, lalu mengangguk singkat kepada Fariz dan berjalan melewati kami. Aku bisa melihat Ryuu melirik jariku dan jari Fariz yang masih terkait, tapi dia tidak berkata apa pun. Dia hanya melangkah ke halaman belakang dengan santai, seperti biasanya. Aku segera melepas kaitan jari itu.

" Mau masuk, Riz?" kataku, membuat Fariz menatap rumahku

" Apa gue bakal disuruh bantu-bantu juga?" tanyanya penuh perhitungan.

" Kayaknya sih gitu," kataku. " Tapi, lo udah kebagian enaknya. Soalnya, halamannya udah lumayan kinclong. Paling lo cuma tinggal makan doang."

" Kalo gitu gue masuk," kata Fariz cepat sambil turun dari motor dan meletakkan helmnya. Aku nyengir melihat tingkahnya.

Aku berjalan bersama Fariz ke halaman belakang, tempat semua orang masih berkumpul. Mereka tampak sedang menikmati minuman kaleng yang dibeli Ryuu.

Ayu, Tias, dan Firda bengong melihatku membawa Fariz, lalu mulai menginterogasinya sebelum Fariz sempat duduk. Sepuluh menit kemudian, Ibu datang, merusak kebahagiaan kami yang baru sesaat. Kami disuruh kembali bekerja bakti. Kalau lamalama istirahat nanti kami bisa keburu malas, katanya. Yang benar saja. Kalau lama-lama kerja bakti, bisa-bisa kami keburu pingsan sebelum sempat pesta barbeku.

" Star, sebenernya gue ke sini karena ada niat laen," kata Fariz saat kami sedang mencabuti rumput liar di pinggiran kolam ikan. Kami sedang terpisah dari yang lain karena mereka sedang sibuk mendengarkan cerita Satria sambil membakar daun kering. " Apa?" tanyaku sambil menyeka peluh yang mengalir dari dahi. " Gue mau nembak lo," kata Fariz lagi.

" Oh& ," Aku mengangguk-angguk, tapi di detik berikutnya, aku menoleh secepat kilat. " APAA??"

Fariz menatapku sambil tersenyum geli. Aku sendiri sudah melongo hebat. Mulutku sudah terbuka separuh dan mataku

" Star, awas lalet masuk," katanya, seolah beberapa detik yang lalu tidak menembakku. Aku menolak menutup mulut. " Yang tadi itu bercanda kan?" tanyaku takut-takut. " Nggak, serius kok," katanya sambil terus mencabuti rumput, sementara aku kembali menganga. Fariz menoleh ke arahku, lalu mencoba memasukkan rumput ke mulutku. Aku langsung mengelak sampai terjengkang heboh. Fariz tertawa keras. Seperti inikah sikapnya kepada cewek yang sedang ditembaknya?? " Riz," kataku, membuat Fariz berhenti tertawa.

" Gue serius, Star... dan gue harap lo ngasih jawaban yang jujur," kata Fariz. Kali ini, dia hanya memainkan rumput yang sudah tercabut tanpa memandangku.

Aku tidak bisa berpikir jernih sekarang. Aku masih berpikir kalau ini tidak benar-benar terjadi. Mungkin saja, aku sedang bermimpi. Mungkin, barusan aku tertidur saat mencabut rumput dan mimpi itu terparalel ke kehidupan nyata atau bagaimanalah.

" Gue suka lo," kata Fariz, seakan dari tadi dia belum membuatku cukup untuk kena penyakit jantung. " Gue bener-bener suka sama lo. Lo mau nggak jadi cewek gue?"

Aku menatap Fariz yang sudah menatapku duluan. Pikiranku benar-benar kacau. Aku memang menyukai Fariz. Hanya dia satu-satunya cowok yang kuanggap oke di sekolahku. Walaupun demikian, rasanya bukan seperti ini.

Tapi, kemarin saat dia marah padaku, aku sangat kesepian sampai-sampai aku merindukannya. Jadi, sebenarnya apa yang kurasakan??

" Star, muka lo jangan kayak yang sakit perut gitu dong," kata

Fariz, membuatku nyengir gugup. Dia tersenyum, lalu menghela napas. " Gue nggak mau lo ngasih jawaban yang nggak sesuai dengan perasaan lo, karena gue sayang banget ama lo."

Fariz memang baik. Dia sangat baik sampai-sampai aku tidak tega menolaknya. Dia juga sangat mengerti aku. Aku juga tahu, tidak ada yang akan berubah kalau aku menolaknya. Tapi, masalahnya di sini, kenapa aku bisa tidak bisa langsung menjawab perasaannya?? Apa aku tidak normal??


Kitab Ilmu Silat Kupu Kupu Hitam Naga Prodigy Karya Marie Lu Shugyosa Samurai Pengembara 7

Cari Blog Ini