Harta Pusaka Cinta Karya Desni Intan Suri Bagian 2
Perkataan neneknya itu tak ada yang perlu dijawab. Tepatnya, gadis tinggi semampai berkulit putih ini tidak tahu harus menjawab apa.
Beberapa menit kemudian rumah terasa lengang. Begitu pun di jalanan. Hanya ada satu dua orang yang berjalan melintasi rumah neneknya. Mereka tampak sangat tergesa-gesa, bahkan ada yang berlari. Tak lama kemudian terdengar suara azan berkumandang. Suaran ya bergema ke segala penjuru karena dibantu oleh alat pengeras suara.
Chintiya tidak menyadari ia seperti berdiri membeku kala mendengar suara azan itu. Suara laki-laki yang mengumandangkan azan itu membuat bulu romanya berdiri. Degup jantungnya pun terasa dua kali lebih cepat.
" Waaauuuw...." desisnya. Ia seakan baru terlepas dari sebuah hipnotis yang melenakan.
Suara itu memang indah dan merdu. Agak berat tapi bening dan bergelombang dengan tarikan napas yang panjang. Gemanya menebarkan kekuatan yang mampu membuat orang berhenti dari berkegiatan. Yang berada di dalam surau menyimak sambil menutup mata dan berbisik lirih menyebut nama Allah.
Itu pula yang dirasakan Chintiya. Ia terpaku mendengar suara azan yang seperti langsung disuarakan
Harta Pusaka Cinta
ke telinganya itu. Ia seakan terhipnotis hingga tak bergerak dan hanya memandang ke arah datangnya suara azan itu. Baru kali ini tubuhnya terasa beku gara-gara mendengar kumandang azan.
Ketika suara itu tak terdengar lagi, seluruh darahnya seperti mengalir keluar dari tubuhnya. Tubuhnya lemas tak bertenaga. Sendi-sendinya serasa copot.
Cepat-cepat ia duduk di kursi yang paling dekat dengan dirinya. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya menggigil. Dicobanya menguasai diri. Diambilnya gelas minum yang tadi dihidangkan oleh Farida untuknya. Diteguknya dengan tegukan besar sampai tak bersisa. Setelah itu, barulah ia merasa kembali bertenaga. Ditenangkannya dirinya beberapa detik. Setelah tenaganya pulih, perlahan dipandangnya sekeliling ruangan. Sementara itu, terdengar suara imam memimpin shalat Magrib di surau.
" Kamar mandinya di mana, ya?" bisiknya. Matanya jelalatan ke setiap sudut rumah. Rumah ini besar. Sangat besar, malah. Semuanya terbuat dari kayu yang kuat.
Ditaruhnya gelas yang sudah kosong ke atas meja tamu. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada selembar amplop panjang, surat dari Mami untuk Nenek. Teringat air muka neneknya setelah membaca surat itu, keingintahuan kembali menggodanya. Dibukanya amplop itu, kemudian dibacanya surat yang diketik komputer tersebut.
Yth Amak di Padang
Yang membawa surat ini adalah Freechintiya Rubert, anakku. Amak bisa memanggilnya Chintiya. Maaf, mungkin banyak tingkahnya yang agak bebas. Harap Amak maklum, dia lahir di negara bebas yang modern dan jauh dari kekolotan berpikir.
Aku menyuruhnya ke Padang sesuai dengan alamat yang Amak berikan ketika Abak meninggal. Waktu itu Amak sampaikan padaku, Amak dan Abak sudah pindah ke Padang dan membuka usaha restoran di sana. Tentu bisnis restoran itu sekarang sudah tambah maju dan Amak mempunyai dana untuk hidup yang berlebih.
Aku langsung saja ke tujuanku, ya, Mak. Aku sekarang menetap di Jakarta dan sedang membutuhkan uang untuk modal usahaku yang baru. Tolong Amak keluarkan bagian harta waris untukku.
Aku nggak masalah kalau uda-uda semua juga diberi bagian. Tapi karena aku anak perempuan satu-satunya, tentulah bagianku lebih besar karena adat kita yang menurut garis ibu atau matriarkat. Bahkan setahuku, dalam adat kita hak anak perempuan itu bisa penuh untuk harta waris. Aku sudah mempelajari sistem matriarkat itu, memang begitulah bunyinya.
Bila harta waris itu tidak bisa dijual secepatnya, tolong Amak pinjamkan uang dulu sebanyak Harta Pusaka Cinta
bagianku. Percayalah, Mak, aku takkan ganggu gugat lagi setelah itu. Aku berharap Chintiya bisa membawa uang itu sekalian ketika ia balik ke Jakarta minggu depan.
Sekian dulu, ya, Mak. Aku harap Amak memakluminya.
Salam hormat dari, Friska
Chintiya teringat kembali reaksi neneknya setelah membaca surat itu. Wajah tua itu terlihat memendam kekecewaan dan kesedihan yang dalam. Mata tuanya tampak terluka tapi ia berusaha menutupinya dengan menyunggingkan senyum pahit. Terngiang kembali ucapan neneknya sesudah membaca surat ini, " Friska... Friska& belum berubah juga kau...."
Dimasukkannya lagi surat itu ke amplopnya. Ditaruhnya lagi tepat di tempat semula. Lama ia duduk mematung. Sesaat ia ragu akan surat maminya. Menurutnya, isi surat itu sudah benar. Tidak bertele-tele dan langsung pada maksud dan tujuannya. Kalaulah ia tidak melihat air muka neneknya setelah membaca surat itu, kalaulah ia tidak merasa ekspresi wajah neneknya menyimpan seribu makna yang membuat dirinya terdorong untuk mengungkapnya, tentulah ia tetap satu suara dengan maminya mengenai isi surat tersebut. Ia pun penganut sikap terus terang dan lang
sung ke tujuan. Ia tak menyukai sikap bertele-tele, plin-plan, serta terbawa angin dalam menentukan pilihan atau sikap.
Sekarang, pendiriannya goyah tanpa ia inginkan. Timbul pergolakan dalam hatinya. Dua wajah silih berganti membayang di kelopak matanya. Wajah Mami yang penuh ambisi dan wajah seorang wanita tua yang baru saja dikenalnya. Hanya beberapa menit pertemuan itu terjadi, namun Chintiya dapat merasakan kekuatan dari raut wajah wanita tua itu. Ada sebuah kelembutan yang membuat debar aneh di hatin ya.
Chintiya menyusuri kelok-kelok rumah itu. Ia berjalan perlahan mengelilingi rumah. Ada torehan khas Minang di setiap kayu penyangga. Pegangan tangga pun diukir sedemikian rupa sehingga terlihat antik.
Di ruang tamu yang lebar dan panjang ada dua set kursi tamu dari kayu jati. Di sudut ruangan, sebuah jam kuno berdiri tegak di lantai. Tingginya melebihi tinggi tubuh Chintiya yang jangkung.
Chintiya mengamati jam itu, apakah masih berfungsi? Di bagian bawah bulatan jam terdapat sebuah bandul besar berwarna keemasan. Bandul dan angka waktunya yang tertulis dalam huruf Romawi, terlindung oleh kaca yang tebal. Diamatinya lagi baik-baik. Jam itu masih berfungsi. Pasti suara dentangnya nyaring sekali.
Di dinding sebelah kanan terdapat lemari dan rakrak panjang. Kedua perabot ini juga memperlihatkan
Harta Pusaka Cinta
kesan kuno dengan kayunya yang padat dan penuh ukiran. Lemari tersebut terlihat tinggi dan kokoh. Begitu pun dengan rak-rak panjang. Keduanya mempunyai pintu kaca sehingga isinya terlihat jelas. Berbagai peralatan makan kuno terpajang dengan cantik. Ada lukisan timbul di piring dan gelasnya. Ada pula beberapa set tempat makanan yang terbuat dari lapisan berwarna emas.
" Wooow...!" Untuk kedua kalinya ia berdesis spontan. " Itu sepuhan atau emas asli, ya?" pikirnya. " Hm... keasliannya perlu diuji. Kalau semua itu asli, berarti benar kata Mami, harta pusaka Kakek dan Nenek benar-benar tak ternilai." Sifat materialistis Chintiya mencuat lagi ketika melihat-benda-benda itu.
Langkahnya terus terayun dari satu ruangan ke ruangan yang lain. Di bagian tengah ruangan yang luas itu terdapat dua ruangan, yaitu ruang tamu dan ruang keluarga. Sementara itu, di bagian samping kiri dan kanan bangunan terdapat ruang tidur. Dihitunghitungnya semua, ternyata ada tujuh kamar tidur.
Ia periksa ruang tidur itu satu per satu. Semua rapi dan apik. Setiap kamar mempunyai satu ranjang besi dengan kasur yang tinggi. Di keempat sisi ranjang ada tiang besi halus yang menyangga bulatan besi yang melingkar di atas ranjang. Besi tersebut untuk menaruh kelambu berkain tipis menerawang. Selain itu, di setiap kamar tidur ada meja rias kuno berukir yang juga terbuat dari kayu yang padat dan kuat. Selembar
karpet terhampar di tengah-tengah ruang-ruang tidur itu.
" Hmm... kamar tidur yang klasik," gumam Chintiya penuh kekaguman.
Ia melanjutkan pengamatannya ke lantai bawah yang dihubungkan oleh anak tangga kayu berukir. Rumah ini sebetulnya tidak bertingkat. Namun, rumah kayu ini ditopang oleh batu yang bersusun tinggi sehingga ada kolong di bawah bangunan rumah. Setengah kolong itu dijadikan bagian bawah rumah yang sama tinggi dengan tanah.
Di lantai bawah terdapat dua ruangan besar yaitu dapur dan ruang makan. Di dekat tangga bagian bawah ada sebuah ruangan yang menjorok. Ruangan itu tertutup, tidak seperti ruangan-ruangan lain yang dibiarkan terbuka.
Chintiya mencoba menggerakkan hendel pintu. Ternyata tidak dikunci. Ketika pintu itu sudah terbuka, Chintiya terpesona. Sebuah perpustakaan! " My God... so comfortable!" teriaknya senang. Jiwa pencinta bukunya langsung bangkit. Sejak kecil ia senang membaca. Ke mana pun pergi, ia selalu membawa buku. Sekarang pun beberapa novel tebal menjadi pelengkap isi koper besarnya. Tak heran bila ia terpekik senang melihat ruangan perpustakaan yang luas ini.
Semua dinding ruangan persegi panjang ini dipenuhi rak buku setinggi dinding. Tak tersisa tempat kosong lagi di dinding tersebut. Di setiap sudut ruangan
Harta Pusaka Cinta
tersedia sebuah kursi tinggi bertangga. Tentu kursikursi itu berguna untuk mengambil buku-buku yang tersusun di bagian atas.
Tampaknya ruangan ini memang dirancang untuk perpustakaan besar. Semua rak padat berisi. Buku-buku tersusun rapi dari ukuran kecil sampai besar. Ada petunjuk di setiap rak. Ada buku-buku sastra, politik, sejarah, kejiwaan, dan sebagainya.
Di tengah-tengah ruangan ada sebuah meja panjang dengan banyak kursi kayu. Di dua sudut ruangan terdapat empat jendela besar. Semua dinding dilengkapi dengan ventilasi di bagian atas sehingga ruangan terasa sejuk dan berudara. Di setiap sudut yang berjendela ada dua kursi malas kayu yang antik dengan ukiran kunonya.
Chintiya semakin terkagum-kagum ketika melihat sebuah ruangan tambahan yang dindingnya hanya diberi kaca besar. Dari luar terlihat jelas isi ruangan itu. Ada beberapa unit komputer komplet di sana. Di tengah ruangan ada sebuah meja segi empat. Di salah satu dindingnya tergantung sebuah whiteboard. Tertulis di sana " Acara penyambutan mahasiswa Jepang tanggal 23 Nov" . Ada pula coretan-coretan skema yang ia tak paham. Sepertinya tulisan di whiteboard itu ditulis ketika ada pertemuan di ruangan ini.
Rumah ini seperti perpaduan antara rumah asli khas daerah dan rumah modern. Chintiya bertanyatanya dalam hati, siapa sebetulnya neneknya ini? Siapa orangtua Mami ini sebenarnya? Orang terkaya di
kampung inikah? Mereka bukan orang kolot yang tak berpengetahuan melainkan....
Matanya tiba-tiba tertumbuk pada satu sudut rak yang terletak di sebelah kanan, berdekatan dengan tempatnya berdiri. Tumpukan itu bukanlah tumpukan buku, melainkan album foto. Diraihnya album foto yang paling atas. Di lembar pertama tertulis " Kenangan manis Ananda Friska" .
Deg! Dadanya langsung berdetak keras. Tak sabar, dibukanya lembar demi lembar album foto itu. Terpasang di sana foto-foto maminya ketika masih muda. " Ah, cantiknya Mami," pikirnya.
Sesaat kemudian, timbul pula keheranannya. Dalam foto-foto itu Mami memakai baju kurung dan kepalanya ditutupi kerudung. Banyak pula foto Mami semasa bersekolah yang memakai baju kurung dan jilbab.
Chintiya bertanya-tanya dalam hati, " Mengapa sekarang penampilan Mami menjadi jauh berbeda?" Penampilan maminya sekarang ini tak sedikit pun memperlihatkan ciri seorang muslimah. Pakaian Mami kebanyakan ketat, bahkan menonjolkan bagian-bagian tubuh.
" Assalamualaikum...." Sayup terdengar seseorang mengucapkan salam, disusul suara langkah menaiki anak tangga di luar rumah.
Cepat-cepat Chintiya menaruh album itu di tempatnya. Pelan-pelan ditutupnya lagi pintu ruang perpustakaan itu, lalu bergegas menaiki tangga.
Harta Pusaka Cinta
" Oh, di bawah kau rupanya," kata Anduang Rabiah ketika Chintiya menyembul dari balik gorden penghubung lantai bawah dan atas rumah. " Iya, Nek. Aku sedang mencari-cari kamar mandi." " Oh, kamar mandi? Kalau kamar mandi memang ada di lantai bawah tapi letaknya di luar rumah," jelas Anduang Rubiah sambil menunjuk pintu tertutup tak jauh di depannya.
" Di luar rumah?" ulang Chintiya tak mengerti. " Ayo, sini kutunjukkan padamu," Farida mengambil alih pembicaraan.
Ternyata di ruang bawah dekat ruang makan ada sebuah pintu lagi. Ketika Chintiya membuka pintu itu, langsung tercium aroma wangi bunga-bungaan. Sebuah taman bunga yang asri terpampang memesona di sana.
Taman itu dibatasi oleh tembok yang terbuat dari tumpukan batu-batu sungai yang besar. Tembok itu dialiri air yang jatuh ke sebuah kolam berisi ikan hias. Suara airmya memberikan kedamaian.
Tanah di taman itu diselimuti rumput halus sehingga dari kejauhan tampak seperti karpet berwarna hijau. Di setiap pinggirannya diberi lantai keramik membentuk semacam koridor. Ada beberapa kursi, meja pendek, dan dua kursi malas di dekat pintu masuk. Sepanjang koridor yang berbentuk segi empat itu diteduhi oleh atap. Tanaman menjalar menghiasai atap itu.
" Di sana kamar mandinya," Farida menunjuk ke arah kiri. " Kamu pilih sendiri, ada tiga kamar mandi di sana. Kalau kamu nggak suka kamar mandi di luar, di dalam rumah pun ada, tapi di kamar nenekmu."
" So beautiful& ." desis Chintiya tanpa sengaja. Tampaknya ia tidak mendengar penjelasan Farida. Dari tadi matanya tak berkedip melihat taman belakang rumah yang indah ini.
" Iya, memang indah sekali. Taman bunga ini adalah kepunyaan pribadi nenekmu. Beliau sangat rajin merawatnya. Lihatlah, anggrek, ros, melati, bunga matahari, kemboja, kaktus, serta pot-pot yang digantung itu. Semua indah dan terawat. Kita akan langsung tahu bahwa pemiliknya sangat menyukai bunga," Farida menanggapi. " Ini kawasan kesukaan nenekmu. Sehari-hari beliau lebih banyak berada di sini sambil membaca buku, menulis, dan menyulam...." lanjut Farida.
" Membaca, menulis, dan menyulam?" ulang Chintiya seakan minta penjelasan.
" Ya. Nenekmu itu dulu kepala sekolah SD. Beliau juga senang menulis. Tulisan beliau berupa artikelartikel budaya dan wanita Minang sering dimuat di surat kabar di daerah Sumbar ini. Terkadang beliau juga menulis puisi dan cerpen. Aku adalah salah seorang penggemar tulisan nenekmu," jelas Farida. " Kesukaannya menyulam juga menghasilkan karya yang cantik. Ampek Angkek ini terkenal dengan kain sulamnya, tapi sekarang orang lebih suka menyulam
Harta Pusaka Cinta
dengan mesin jahit listrik. Nenekmu masih menyulam dengan jarum tangan. Sulamannya dilukis sendiri sesuai keinginannya. Nanti kutunjukkan hasil sulaman nenekmu. Aku juga punya baju kurung yang ada sulaman nenekmu...."
Chintiya terpesona sampai-sampai tak sanggup berbicara selama beberapa saat. Sesungguhnya banyak yang ingin ia ucapkan tapi semua tercekat di tenggorokan. Banyak hal yang tidak ia duga. Bayangan tentang seorang nenek kampung sama sekali tak ia temui saat ini.
" Aku yakin engkau pasti betah berlama-lama di sini, Chintiya," Farida tersenyum padanya.
Chintiya hanya mengangguk-angguk tanpa berkata apa pun. Sulit baginya mengungkapkan apa yang ia rasakan. Dari tadi ia terkagum-kagum mengamati kerapian serta keapikan rumah ini secara keseluruhan. Tentulah neneknya ini benar-benar mempunyai sense of art yang tinggi. Rumah ini saja sudah memberikan gambaran bahwa yang memilikinya bukanlah orang sembarangan, apalagi setelah ia mendengar cerita tentang neneknya.
Pandangan tentang seorang nenek kampung berdasarkan opininya sendiri pupus sudah, berganti dengan keingintahuan yang semakin menggebu. Ya, ia sekarang ingin mengetahui siapa kedua orangtua maminya ini sebenarnya.
" Sebaiknya kita makan malam dulu. Tentu kalian berdua sudah lapar," terdengar suara neneknya di
balik pintu. Suara denting piring dan sendok terdengar jelas. Tentulah neneknya itu sedang menata meja makan.
Benar saja. Ketika ia kembali memasuki ruang dalam lantai bawah ini, semerbak aroma lauk-pauk segera merangsang hidungnya. Perutnya segera bernyanyi. Udara Ampek Angkek yang semakin sejuk kala gelap mulai turun, membuat rasa laparnya kian terasa.
Sepanjang malam Chintiya sulit memejamkan mata. Diliriknya jam dinding yang tergantung di kamar. Sudah pukul sebelas malam.
Ia bangkit dari tempat tidur dan membuka sedikit gorden jendela kaca di sampingnya. Suasana malam terasa senyap. Sayup-sayup masih terdengar suara orang-orang mengaji di surau tapi tidak lagi dibantu pengeras suara. Di luar tidak ada lagi orang-orang berjalan kaki melintasi rumah neneknya.
Begitu cepatnya malam hari berlalu di sini. Bila sekarang sedang berada di Jakarta, ia pasti masih berada di sebuah kafe, bioskop, atau sekadar jalan-jalan mencari makan malam bersama sahabat-sahabatnya.
Tiba-tiba Blackberry-nya mengeluarkan tanda ada panggilan masuk. Ia sengaja mematikan tone-nya, takut mengganggu neneknya. Rupanya dari Mami.
Harta Pusaka Cinta
" Iya, Mi," katanya pelan sebelum maminya berbicara.
" Aduuuh& ! Kok kamu nggak nelepon-nelepon, sih?" terdengar lengking suara maminya di seberang sana.
" Sorry, Mi. Belum sempat aja. Ada apa, Mi?" balasnya setengah berbisik.
" Nggak kenapa-napa. Cuma mau nanya perkembangan kamu di sana. Mami sengaja neleponnya malam biar kita bebas bicara. Kamu sekarang lagi di mana, nih?"
" Di Ampek Angkek& ."
" Hah? Di Ampek Angkek? Kok& ?"
" Iya, aku udah nyampe di alamat rumah Nenek di Padang. Ternyata rumah itu udah disewain sama orang. Sekarang Nenek tinggal di sini.. hmm... di rumah gadang...."
" Wah& wah& ! Jadi, rumah itu udah dikontrakin? Hmm& enaknya nenekmu ya dapat uang dari sana sini...."
" Iiih& Mami. Nggak usah dikaitkan sama duit mulu kali, Mi."
" Ehhh& itu harus. Kan ketauan berapa harta nenekmu sekarang. Sekarang kamu lagi ngapain?" " Lagi di kamar tidur, Mi."
" Nenekmu sudah tidur?"
" Kayaknya udah dari tadi. Nggak ada suara apaapa lagi. Jarak kamar tidur jauh-jauh, sih, Mi. Jadi susah denger suara orang lain. Dan lagi aku nggak tau
kamar tidur Nenek yang mana. Banyak banget kamar tidurnya!"
" Oh, ya? Dulu cuma empat tapi mungkin udah ditambah. Mami, kan, udah puluhan tahun nggak ke Ampek Angkek. Tapi ini suatu bukti lho, Chin, bahwa nenekmu itu berduit& ."
Chintiya terdiam sejenak mendengarnya. " Idih& Mami lagi-lagi duit. Ntar dulu, deh, Mi. Aku kan harus tau jelas dulu. Kita jangan terlalu memperlihatkan keinginan untuk mendapatkan harta...."
" Ya, benar katamu. Tapi kamu jangan lelet, ya. Kamu harus kejar terus nenekmu. Waktumu cuma seminggu."
" Rebes deh, Mi. Don t worry. Trust me, in my hand everything will be ok!"
" Ya& ya.... I trust you, Honey. Kamu pasti ingin mendapat bagianmu secepatnya, bukan? Kita juga bisa shopping bareng lagi ke Paris."
" Hm& ya& ya& ." sahut Chintiya sembarangan sambil tersenyum kecut. Entah mengapa ia tiba-tiba kurang menyukai ucapan-ucapan maminya itu. " Tapi Mami nggak fair padaku," lanjutnya, seakan ingin melampiaskan sesuatu yang menggunung di hatinya. " Lho? Nggak fair gimana?"
" Mami nggak ngasih tau aku tentang gimana tentang Nenek sebenarnya."
" Mami nggak ngerti maksudmu."
" Aku ngebayangin Nenek itu orang yang kampungan, peyot, ompong, buta huruf, dan susah diajak ngomong...."
Harta Pusaka Cinta
" Ohhh... hihihi& . Jadi? sosok Nenek yang gimana yang kaujumpai?"
" Nenek itu ternyata seorang wanita tua yang pintar, cerdas, dan terampil. Kayaknya termasuk orang ngetop di sini. Nenek itu penulis rupanya, Mi. Rumahnya sering dijadikan tempat penginapan pelajar-pelajar dan para peneliti asing...."
" Oh, ya? Hmmm... dia memang pintar. Saking pintarnya, dia suka ngatur, menjadi ibu yang superior. Dia memang ngetop dari dulu. Seorang kepala sekolah, penulis, penggerak kaum wanita dan anak-anak kampung di sana. Asal kautahu, karena dia sep erti itulah Mami nggak betah tinggal di sana. Ahhh& forget it! Muak Mami bicarain ini! Eh, tapi tentang rumahnya sekarang dijadikan penginapan orang asing itu, Mami nggak tau, lho. Bener-bener pinter tuh nenekmu memanfaatkan harta waris."
Chintiya terdiam mendengarnya. Ketidakpedulian maminya membuatnya merasa tidak nyaman. " Yaaah& Mami. Orang bicara lain, Mami lain lagi! Aku bingung jadinya. Pertama, kecele karena Nenek nggak di Padang tapi di Ampek Angkek. Kedua, yaaa& bingung. Nggak nyangka profil Nenek begitu...."
" Oke& oke. Forgive me, Honey. But it s not a big problem to get what we want, aren t we? Keep your focus, Honey. Kalau rumah itu telah dijadikan penginapan asing dan nenekmu juga seorang penulis ngetop, itu berarti nenekmu punya income tambahan selain harta
harta yang ia miliki, kan? Ini kabar gembira untuk Mami, Honey!" lengking suara maminya tambah rame lagi.
Chintiya kembali tersenyum kecut. Biasanya dia ikut bersorak tapi kali ini rasanya malas menanggapi omongan Mami yang menggebu-gebu itu. Tibatiba dirinya tak tertarik membicarakan masalah duit. Segera saja ia sudahi percakapan mereka.
" Oke deh, Mi. Nanti aku kasih laporan kalau sudah ada, yaaa. Daaag& Mami. Have a nice dream," katanya dengan perasaan tak enak yang semakin menyerang. Ia memutuskan tidak menanggapi perkataan maminya itu.
" Daaaag...! Have a nice dream, Honey...." Sesaat Chintiya termangu. Entah mengapa ia merasa jenuh. Sejenak ia merasa terperangkap. Tapi& terperangkap oleh apa dan siapa? Dihelanya napas panjang. Tenggorokannya terasa kering. Ia merasa sangat haus. Ditariknya gagang pintu. Sepertinya segelas air akan mengobati rasa haus itu.
Sesampai di kamar depan ketiga yang tertutup, sayup-sayup Chintiya mendengar suara orang mengalunkan bacaan kitab suci Al-Qur an. Suaranya lunak dan halus. Langkahnya dipelankan agar bisa mendengar dengan jelas. Dipastikannya itu suara Farida.
Tiba di depan kamar paling ujung, ia pun mendengar suara neneknya sedang mengaji. Suara yang agak berat dan sesekali diselingi suara batuk, jelas
Harta Pusaka Cinta
suara orang yang sudah berumur. Suara batuk terus mengikuti tapi neneknya itu tetap saja mengaji.
Mau rasanya ia masuk ke kamar tempat neneknya berada dan memberikan segelas air hangat untuk meredakan batuknya itu. Namun, ia mengurungkan niat. Ia ragu. Apakah pantas mengganggu orang sedang mengajiAkhirnya, dengan berjingkat ia kembali kamarnya sambil membawa segelas air hangat. Semula ia ingin meminum air dingin di kulkas, jenis air putih yang disukainya selama ini. Baru seteguk diminumnya, tenggorokannya sudah terasa perih. Udara malam hari di desa sejuk ini membuat air kulkas terasa menggigit, membekukan lidah dan tenggorokan bila diteguk. Pantaslah dari tadi neneknya menyebut-nyebut air panas saja. Akhirnya, diambilnya air dalam termos. Dicobanya seteguk, terasa melegakan.
MengajiChintiya termangu-mangu di kamarnya tanpa berbuat apa pun. Jam malam di kampung halaman maminya rupanya diisi orang dengan mengaji. Di ruang tengah memang ada sebuah televisi berukuran 18 inchi. Tapi semenjak ia datang sampai malam ini, tak sekali pun dinyalakan.
" Begitu pentingnyakah membaca kitab suci Al- Qur an itu di sini?" tanyanya dalam hati.
Ada sesuatu yang diam-diam membuatnya malu. Ia sudah mengunjungi banyak negara dan melakukan pemotretan di sana. Ia juga mempelajari apa yang dili
hat dan dipotretnya dengan teliti. Dengan bangga ia memperkenalkan budaya dan alam negara orang lain di setiap foto yang dibuatnya. Ironisnya, ia sama sekali tidak mengenal budaya dan alam leluhurnya sendiri. Ia bahkan sama sekali tidak peduli dengan silsilah keluarganya.
Suara malam semakin senyap. Beberapa menit kemudian, sudah terdengar suara napas halus gadis semampai berkulit putih ini, pertanda ia sudah mencapai kenyenyakan dalam tidurnya.
Sesekali terdengar suara nyanyian kodok diselingi desah rimbun pokok-pokok padi di sawah yang mengelilingi sebagian rumah Anduang Rabiah. Setiap malam rumpun-rumpun padi itu seperti tak puasnya menari dalam embusan angin malam hingga menimbulkan suara khas yang menyenyakkan orang dalam tidur.
Begitu pun Chintiya. Ia pulas sekali dibelai oleh suara musik rumpun padi dan binatang malam. Tak ada earphone di telinganya seperti kebiasaannya selama ini. Tak ada pula CD yang menyuguhkan lagulagu kesukaannya melalui sound system canggih.
Di rumah gadang Anduang Rabiah hanya terdengar suara musik alam. Suara-suara nuansa alam Sumatra Barat yang seakan mengucapkan selamat datang pada gadis keturunan Minang ini. Mungkinkah sekarang saat untuknya memahami dan mencintai tanah leluhurnyaEmpat
T irai tipis yang melindungi kaca jendela kamar
seakan tak mampu menghalangi sinar matahari pagi. Chintiya terbangun karena silau sinar yang menyemburat ke segala sudut ruang. Digapainya jam tangan yang ditaruhnya di samping bantal. Kelopak matanya setengah tertutup memandang kaca kotak yang selain empat angka utama hanya memperlihatkan titik-titik tanda waktu. Tiba-tiba matanya melotot, diikuti dengan tubuhnya yang terlonjak, meloncat terbangun.
" Mati aku! Jam sembilan!" teriaknya. Beberapa menit ia cuma mondar-mandir. Sesekali menengok ke balik gorden tipis yang menutupi jendela. Ia tak berani membuka jendela itu, apalagi membuka pintu kamar. Ia mengintip di lubang kunci pintu kamar. Tidak seorang pun yang terlihat melalui lubang pintu yang kecil itu.
Setelah beberapa menit memperlakukan diri seperti setrikaan yang sedang melicinkan baju, tidak ada pilihan lain kecuali membuka pelan-pelan hendel pintu kamar. Sinar matahari langsung menerpa wajah
nya, membuat pandangannya kembali silau. Kamar yang ia tempati memang kamar paling depan, dekat dengan pintu masuk yang sekarang terbuka lebar. " Hmm& sudah bangun kau rupanya, Chintiya." Tubuh tinggi semampai itu terlonjak oleh sebuah suara yang berat dan dalam. Anduang Rabiah ternyata sedang duduk di ruang tamu dengan sebuah buku di tangannya. Chintiya hanya bisa berdiri salah tingkah. Diam-diam ia melirik judul buku yang sedang dibaca neneknya. Penyakit dan Penawarnya, karangan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Buku yang asing dengan pengarang yang asing baginya. " Pasti buku tersebut berhubungan dengan agama Islam," bisiknya dalam hati.
" Ehh& uhh& iya, Nek& baru bangun...." jawab Chintiya terbata-bata. Diliriknya jam antik yang berdiri kokoh di sudut ruangan. Sembilan lewat dua puluh menit!
" Busyet! Berarti tadi gue mondar-mandir di kamar dua puluh menit lamanya!" teriaknya dalam hati. Wajahnya jelas-jelas memperlihatkan rona kegugupan, padahal Anduang Rabiah tak sedikit pun mengalihkan pandangan dari bukunya kepada Chintiya.
" Apa kau sudah biasa bangun siang seperti ini di rumahmu, Tiya?"
Tiya! Wow! Baru neneknya yang memanggilnya dengan panggilan Tiya. Semua orang, termasuk Mami, memanggilnya dengan " Chin" . Panggilan baru untuknya itu membuat dirinya tersipu-sipu. Pang
Harta Pusaka Cinta
gilan yang dianggapnya terlalu kekanak-kanakan dan sedikit kampungan.
" Yaaa& kadang-kadang, Nek& kalo tidurnya kemalaman," jawabnya berusaha sesopan mungkin.
" Apa mamimu tidak mewajibkanmu untuk shalat Subuh?" Kali ini Anduang Rabiah menatap tajam ke mata Chintiya.
Chintiya terdiam, tambah salah tingkah. Tidak tahu harus menjawab apa. Ia gelagapan beberapa detik, seperti seorang maling yang sedang diinterogasi di kantor polisi.
" Ng... hmmm& ada siiih& hmmm... sekali-sekali...." katanya tersendat-sendat karena jawaban yang diberikannya ini adalah sebuah kebohongan. Yang benar, selama hidupnya, ia tak pernah melakukan yang disebut neneknya itu, apalagi menjadikannya sebuah kewajiban. Ia sama sekali tidak tahu tata cara shalat. Ia belum pernah satu kali pun menyentuhkan wajah di sajadah.
" Si Farida lepas Subuh tadi sudah berangkat ke rumah neneknya. Tadi dia yang melarang Nenek membangunkanmu. Katanya kauletih sekali. Tapi besok Nenek ndak mau melihat kaubangun sesiang ini lagi!" Anduang Rabiah kembali memusatkan perhatian pada buku yang dipegangnya, padahal sebaris kata pun belum ia baca. Ia hanya mengalihkan pandangan agar deru di dadanya tidak terlihat.
" Oh, ya. Pasti, Nek! Siap dilaksanakan!" jawab Chintiya. Ia mengangkat tangannya memberi hormat
pada Anduang Rabiah sambil mesem-mesem. Itu asli tingkahnya. Spontan, khas anak metropolitan.
Anduang Rabiah melihat padanya sekilas, lalu kembali menunduk, mengarahkan pandangan pada buku di tangannya tanpa berkomentar apa-apa lagi.
Hening sejenak. Chintiya segera sadar dengan tingkahnya tadi. Ia bingung mau memperbaikinya bagaimana. Ia memutuskan untuk cepat-cepat mandi. Sebelum kembali mati langkah atau kebingungan menjawab segala macam interogasi, sebaiknya kabur saja. Ia mengayunkan kakinya yang berbalut celana training merah tua menuju lantai bawah. Langkahnya terdengar gedebak-gedebuk membelah kesunyian rumah di pagi hari.
Anduang Rabiah mengikuti gerak-gerik cucunya itu dengan sudut mata. Ketika Chintiya sudah lenyap dari pandangannya, terdengar helaan napasnya. Kepalanya menggeleng-geleng kecil melihat kelakuan gadis yang baru saja ia sadari sebagai cucu kandungnya. Gadis itu anak dari anak perempuannya yang selama ini dianggapnya hilang.
" Walau wajahnya cantik, jelas terlihat belum pernah tersiram air wudu," desisnya sedih. Hatinya semakin tersayat bila bayangan Friska, anak perempuannya, melintas di pikirannya. Terkilas di mata tuanya sosok Friska ketika masih bersekolah. Friska tampak anggun berkerudung dan berbaju kurung. Itulah wajah yang lekat dalam rongga mata dan jiwanya. Kemudian terkilas pula wajah Friska yang dipoles gincu,
Harta Pusaka Cinta
celak, dan bedak tebal, serta berpakaian minim. Ah, wajah ini yang selalu membuatnya bermimpi buruk.
Mata tuanya memejam diam. Tak ingin ia membayangkan perubahan penampilan anak perempuannya itu. Tak ingin pula ia menghitung kapan terakhir ia melihat anak perempuannya itu.
" Ya Allah& sebelum Kaupanggil diriku, izinkan aku menyelesaikan semua ini dulu," desisnya lagi dengan suara gemetar. Matanya berkaca-kaca dan akhirnya mengalirkan air, membasahi kedua pipinya yang sudah keriput.
Bayangan ini sering mengganggu pikirannya. Setelah kedatangan cucu perempuannya, bayangan itu semakin mengganggu. Penampilan cucunya sudah menjadi jawaban bagaimana hidup Friska semenjak lepas dari pandangan matanya berpuluh tahun yang lalu.
Begitu berhasil melepaskan diri dari pandangan neneknya, Chintiya merasa sudah terlepas dari sebuah situasi yang membelenggunya.
" Huuh... dasar nenek-nenek...!" Ia menghela napas panjang. Dihampirinya meja makan di ruang bawah yang luas. Pelan-pelan dibukanya tudung saji yang menutupi meja makan. Ada sepiring pisang dan ubi goreng. Di piring lainnya bertumpuk perkedel jagung
yang berwarna kuning kecokelat-cokelatan. Aroma wangi yang gurih dari ketiga jenis makanan itu benarbenar mengundang seleranya. Udara pagi yang sejuk, ditambah lagi belum sepotong makanan pun masuk ke mulutnya, membuat ia tak bisa menahan diri.
Chintiya celingak-celinguk menoleh ke belakangnya, ke arah tangga menuju bagian atas rumah. Tidak terlihat siapa-siapa dan tidak terdengar suara langkah kaki dari kejauhan. Cepat-cepat disambarnya sebuah perkedel jagung. Hap! Begitu saja kudapan itu masuk ke mulutnya. Rupanya perkedel tersebut baru saja ke luar dari penggorengan hingga bagian dalamnya masih terasa panas. Rasa panas itu langsung menggigit lidah ketika ia baru saja mengunyahnya.
" Woooh... wuuuh... haaaah...." spontan mulutnya mengeluarkan suara desah kepanasan. Tangan kanannya mengibas-ngibas mulut, berusaha mengurangi rasa panas yang menggigit lidah.
Tiba-tiba terdengar suara tawa terbahak di sudut ruangan. Chintiya terlonjak mendengarnya. Kalau kaget, ia refleks memasang kuda-kuda seorang karateka. Ia sudah punya sabuk cokelat di bidang bela diri ini. Namun, gerakannya itu malah mengundang tawa yang semakin terbahak.
Mata bundarnya yang indah segera mencari arah datangnya suara itu. Dalam beberapa detik, ia melihat seorang pria sedang duduk santai di sebuah kursi. Di meja kecil di hadapannya terhidang piring berisi tiga jenis makanan seperti yang ada di meja makan.
Harta Pusaka Cinta
Segelas kopi yang masih mengepul melengkapi hidangan tersebut.
Chintiya melotot pada pria itu.
" Assalamualaikum. Maaf saya mengagetkan," katanya masih dengan wajah yang dihiasi senyum lebar.
Sejenak Chintiya tidak bisa berkata apa-apa. Ia tetap saja menatap pria itu dengan mata melotot. Tubuhnya atletis dibalut kaus oblong putih dan celana selutut. Kepalanya ditudungi sebuah topi tikar bermodel topi koboi. Topi itu membuat wajah pria itu tidak begitu jelas terlihat, apalagi posisi pria itu di dekat jendela yang terbuka lebar. Sinar matahari pagi yang mengarah langsung ke bagian dalam ruangan menggelapkan sudut tempat si pria itu duduk.
Si pria yang dipelototi oleh Chintiya itu rupanya menyadari Chintiya tidak dapat melihatnya dengan jelas. Ia segera membuka topi dan berdiri menghampiri Chintiya. Tubuhnya yang tinggi besar itu dalam tempo beberapa detik sudah berada di hadapan Chintiya.
" Maaf, saya mengagetkan," ulangnya kepada Chintiya.
" Ehh... uhhh& si... si... siapa kamu...?" tanya Chintiya gugup. Rasa panas menjalar di wajahnya. Malu dan tertekan karena kehadiran pria asing itu secara tiba-tiba. Chintiya tak menyangka ada manusia berjenis kelamin lelaki di rumah neneknya ini. Yang kemarin ia ketahui, hanya neneknya penghuni di rumah ini.
" Saya Zulfikar." Pria itu mengulurkan tangan pada Chintiya.
Dengan ragu-ragu Chintiya menyambut tangan pria itu. " Chintiya," katanya pelan, hampir berbisik. Di wajahnya yang putih mulus masih kentara semburat warna merah.
" Saya sudah biasa berada di rumah Anduang Rabiah. Boleh dikatakan setiap hari saya ke sini. Dua kali sebulan saya membantu beliau membersihkan tanaman dan kebun di samping rumah. Setiap musim panen, saya juga yang membantu beliau. Kasihan kalau beliau sendiri yang harus membersihkan dan memanen hasil kebun yang sangat luas itu," jelas pria yang memperkenalkan diri sebagai Zulfikar itu tanpa diminta oleh Chintiya.
" Ohhh...." ujar Chintiya. Ia tidak tahu harus menanggapi apa.
" Baiklah, saya mau keluar dulu, membereskan kebun samping," kata Zulfikar sambil memakai topi tikarnya. " Permisi," katanya sambil mengangguk. Tanpa menunggu jawaban Chintiya, ia menuju pintu samping dapur.
" Oh, ya," tiba-tiba pria itu menghentikan langkah. " Lain kali sebelum mencicipi makanan, jangan hanya takut dilihat orang. Pastikan juga apakah makanan itu sudah tidak terlalu panas untuk dimakan," katanya sambil tersenyum lebar, memamerkan deretan giginya. Setelah itu, ia meneruskan langkah dan menutup pintu samping dapur.
Harta Pusaka Cinta
Lagi-lagi Chintiya hanya melongo tanpa bisa berkata apa-apa. Tepatnya, tidak diberi kesempatan untuk berbicara karena pria yang baru dikenalnya itu sudah lenyap di belakang pintu segera setelah selesai bicara.
Satu-dua menit kemudian, barulah ia tersentak sadar. " Brengsek!" katanya setengah berteriak. Tangan kanannya mengepal keras, seolah sedang memasang kuda-kuda untuk menghadiahkan bogem mentah pada pria yang baru saja lenyap dari pandangannya itu.
" Huh! Belagak lu! Tukang kebun sialan!" desisnya menyala-nyala. " Dia pikir dia itu siapa? Udah nyarap gratis, ngintipin tingkah orang pula. Abis gitu, ngomentarin lagi! Dasar manusia udik! Kampungan!" omelnya dalam hati sambil melangkah lebar-lebar menuju kamar mandi yang terletak di taman bunga belakang rumah.
Selama di kamar mandi, tidak habis-habisnya ia memaki-maki pria yang baru dikenalnya itu. Sakit hatinya sebetulnya tidak seberapa. Tapi rasa malunya ini yang membuatnya seperti orang terkena setrum, kelojotan tak menentu.
" Kadal lu! Sapi! Kambing utan!" makinya seakan sedang mengabsen para satwa di kebun binatang.
Di tengah umpatannya itu, ia baru sadar di kamar mandi tidak ada shower yang dilengkapi dengan water heater seperti di kamar mandi pribadinya di Jakarta.
Di sini hanya ada dua buah gayung dan sebuah bak mandi, penuh terisi air yang terlihat jernih sekali.
" Apa boleh buat," katanya pada dirinya sendiri. Ia mengambil air segayung penuh dan segera menyiram tubuhnya.
" Wadddaaaw...!" Tubuhnya segera bergetar hebat. Air yang membasahi tubuhnya terasa sangat dingin. Spontan ia melakukan gerakan meloncat-loncat menahan dingin. Ia lupa satu hal lagi, air di Ampek Angkek ini sangatlah dingin. Kemarin malam ia sudah tahu dua hal penting ini. Ia juga sudah memastikan diri takkan menyentuh langsung air bak yang superdingin itu walaupun untuk buang air kecil. Tadi malam dua kali ia kebelet, dua kali pula ia menjinjing termos ke kamar mandi.
Harta Pusaka Cinta Karya Desni Intan Suri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Sialaaan...! Gue lupa ngambil air panas di termos!" pekiknya. " Ini gara-gara tukang kebun kampungan itu!" teriaknya lagi.
Sejenak ia tak mampu mengendalikan diri karena rasa dingin yang menggigit. Tapi bukan Chintiya namanya kalau tidak nekat. Seolah sedang menghadapi peperangan dengan tekad berani mati, diambilnya kuda-kuda, bersiap untuk guyuran berikutnya. Di setiap guyuran ia memekik-mekik tak keruan sebagai usaha pengalihan rasa dingin.
" Wuuuu...!"
" Waaauuuooo& !" " Huuuaaa& !"
Harta Pusaka Cinta
Akhirnya, dengan gigi gemeletuk dan tubuh menggeletar, ia berjalan berjingkat-jingkat menuju tangga. Namun, langkahnya terhenti di anak tangga kedua. Ia mendengar neneknya sedang bercakap-cakap dengan seseorang. Kedengarannya suara itu juga suara seorang perempuan tua.
Ia melanjutkan langkah menaiki anak tangga. " Untung bukan si gila tukang kebun itu! Kalau dia, bakal gue adukan pada Nenek karena dia udah bersikap nggak sopan!" desisnya kesal.
" Nah& ini dia Chintiya! Tiya, ini Anduang Romlah, adik bungsu Nenek." Neneknya langsung mengenalkan seorang wanita tua pada Chintiya begitu langkah gadis itu sampai di dekat mereka.
Chintiya memperhatikan perempuan yang disapa " Anduang Romlah" itu. Wajahnya mempunyai kemiripan dengan wajah Nenek.
" Subhanallaaah.... Ondeeeh... sudah besar anak Friska ini rupanya, yaaa...." ujar Andung Romlah. Ia meraih tubuh Chintiya dan memeluknya dengan mata berkaca-kaca. " Ada juga keturunan perempuan buat kita ya, Uni Biah," katanya tersendat-sendat.
Chintiya melirik neneknya yang tersenyum dan manggut-manggut. Sempat ia lihat rona kelam di mata neneknya. Ia tak mengerti. Ia hanya merasa ada kemurungan menerpa wajah tua itu.
" Berapa lama Tiya di sini?" tanya Anduang Romlah pada Chintiya.
" Hmmm& belum tau lagi, Anduang, eh Nek. Mungkin seminggu atau paling lama dua minggu," jawab Chintiya sesopan mungkin. Ia bingung mau menyapa dengan panggilan apa.
" Tak apa. Kau panggil anduang boleh, nenek juga boleh. Samo artinyo tu mah. Ndeeeh& secepat itu kau mau balik? Ah& janganlah secepat itu sangat. Nenekmu ini sudah lama menunggu anak perempuan dan cucu perempuannya. Begitu pun aku. Aku ni tidak punya anak perempuan. Tapi Friska juga anak perempuankulah tu. Kami sama-sama rindu dengan dia. Dengan datangnya kau, Tiya, rindu kami terobati jugalah...."
Chintiya hanya tersenyum-senyum mendengarnya, tidak tahu harus berbasa-basi menjawab apa. Logat bahasa Minang adik bungsu neneknya ini lebih kental lagi daripada neneknya, sehingga ia agak susah memahaminya.
" Ya sudah, mari kita sarapan bersama. Cepatlah kauganti pakaian yang pantas, Tiya," neneknya menengahi pembicaraan tersebut.
Chintiya segera mengangguk dan berlalu menuju kamarnya. " Ganti dengan pakaian yang pantas?" desisnya sambil menutup pintu kamar. " Pakaian seperti apa yang dianggap pantas sama Nenek? Waduuuh& aku kan bawa jins belel, celana komprang, dan oblongan semua!"
Tiba-tiba Chintiya merasa sangat menyesal karena tidak mempelajari dulu situasi dan kondisi di kampung
Harta Pusaka Cinta
halamannya ini. Sudah banyak negara ia jelajahi, namun selama ini ia tidak memerlukan pakaian yang sesuai dengan adat dan budaya tempatnya berada. Itu karena ia datang sebagai turis asing yang sekadar melancong. Semua orang akan menerima para pelancong atau turis asing yang ingin mengetahui adat budaya setempat tanpa mengharuskan mereka menyesuaikan diri dengan pakaian yang pantas menurut adat budaya setempat.
Tapi ini lain. Ia tidak sedang melancong. Ia sedang memasuki sistem kekeluargaan di kampung halaman ibunya sendiri, yang secara otomatis adalah kampung halamannya juga. Di sini ia akan bertemu keluarga besar ibunya yang sudah jelas menjadi keluarganya juga. Mereka berhak menilai, meminta, bahkan mengharuskannya menyesuaikan diri dengan adat budaya setempat.
Apa boleh buat! Yang ada dalam ransel raksasanya itu hanya beberapa lembar celana jins belel, celana komprang sarat saku, kaus oblong, serta beberapa celana training dan pakaian dalam.
Dengan keyakinan yang superlabil, Chintiya keluar dari kamarnya. Celana komprang sarat saku berwarna cokelat dan baju kaus oblong ketat sebatas perut berlengan pendek membalut tubuh tinggi semampainya.
Benar saja! Neneknya langsung melotot melihat penampilannya itu. Mata neneknya tambah membesar ketika melihat belahan dada bajunya. Ia akui,
lingkaran leher yang berbentuk huruf V itu memang terlalu rendah. Kaus ini pun ketat melekat di tubuhnya yang langsing dan berisi.
Malangnya lagi, pria gila tukang kebun yang membuatnya sebal itu juga sedang duduk di antara neneknya dan Anduang Romlah. Tentulah karena ini neneknya tambah tidak setuju dengan kaus yang dikenakannya.
Anduang Rabiah tampak gugup dan berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Chintiya. Segera saja ia menggamit tangan cucunya itu dan menyeretnya masuk ke kamar lagi.
" Kan sudah Nenek cakap tadi, pakai pakaian yang pantas," bisik neneknya.
" Ng& anu& Nek, aku& aku cuma bawa celana sama kaus-kaus yang praktis dipakai& ."
" Kaus praktis macam mana pula?" sergah neneknya. " Kalau macam begini bukan praktis namanya tapi kau memamerkan belahan dadamu itu. Apalagi di depan seorang pria muda!"
" Aku nggak bermaksud memamerkannya kok, Nek," jawab Chintiya sedikit sengit. Ia makin sengit karena tahu pasti bahwa yang dimaksud " pria muda" oleh neneknya itu adalah si tukang kebun gila.
" Memang kau tidak bermaksud demikian, tapi dengan memakai baju seperti ini, sama saja kau mengundang pria untuk menatap bagian tubuhmu yang seharusnya kaututupi!"
Harta Pusaka Cinta
" Suruh saja si tukang kebun gila itu pergi, Nek!" kata Chintiya dengan sengit.
" Tukang kebun gila yang mana?" " Itu, yang sedang duduk di ruang tamu." " Oh, si Fikar. Apa kausebut dia tadi?"
" Tukang kebun gila. Tadi aku diintip sama dia di ruang makan& ."
" Diintip?"
" Iya, dia lagi nyarap di ruang makan, terus aku kan ngambil perkedel jagung. Dia ngintipin aku lagi makan perkedel jagung& terus ngetawain& terus...."
" Aduh& duh& ! Fitnah apa pula yang keluar dari mulutmu ini? Itu namanya bukan ngintip tapi tidak sengaja melihatmu! Salah kau sendiri, belum mandi udah makan perkedel jagung. Ya ditertawakanlah!" potong Anduang Rabiah.
Anduang Rabiah melihat jeket kulit yang tergantung di gantungan baju kamar. Jaket itu diambilnya dan disodorkannya pada cucunya.
" Masa pake jaket siang-siang, Nek?"
" Pakai sajalah dulu. Nanti Nenek kasih baju yang lebih pantas kaupakai."
Akhirnya, Chintiya memakai jaket itu. Biasanya ia memakainya dengan gaya penyanyi rock. Lengannya ditarik sampai sebatas siku dan ritsleting jaket ia buka sampai sebatas perut. Tapi kali ini neneknya yang mengatur. Jaket itu ditutup rapat oleh Anduang Rabiah sampai sebatas leher, sedangkan lengannya dibiarkan sampai ke pergelangan tangan.
" Yaaah& ini sih kayak orang sakit malaria, Nek," katanya. Sebetulnya, dengan menggunakan jeket tubuhnya tak lagi menggigil seperti sehabis mandi tadi. Masalahnya, ia tidak suka memakai sesuatu yang tidak matching.
" Ini jalan satu-satunya bila kau ingin keluar kamar. Kalau tidak, kau tetap saja di kamar sampai Fikar pergi. Kau tahan saja laparmu sampai siang. Fikar mau berhitung tentang hasil tani sama Nenek dulu. Itu pasti lama!"
" Ya sudah. Biar aku di kamar saja, Nek& ." " Tidak bisa!" sergah Nenek. " Kau sudah telanjur keluar tadi. Tidak sopan kalau sekarang kau tidak keluar kamar. Dan lagi ada Anduang Romlah di luar menunggumu."
" Idih& Nenek gimana, sih? Katanya...." " Sudah& sudah! Ayo keluar kamar sekarang!" Dengan bersungut-sungut Chintiya mengikuti langkah neneknya. Kehadirannya di ruang tamu kali ini membuat Anduang Romlah dan Zulfikar memperhatikan dirinya lebih lama lagi. Tentu karena ulah Nenek yang menariknya masuk lagi tadi, kedua orang yang berada di ruang tamu itu ingin tahu apa yang terjadi.
Matanya sekilas melihat pada Zulfikar. Sial! Ternyata tukang kebun gila itu sedang menatapnya dengan pandangan menyebalkan. Gigi putihnya kembali memamerkan senyum lebar. Sinar matanya membuat Chintiya merasa direndahkan. Ia bisa merasakan
Harta Pusaka Cinta
jenis pandangan itu jenis yang ingin berkata, " Haaa& rasain lu! Penampilan lu jadi aneh begitu!"
Tanpa sadar, ia melotot pada Zulfikar sambil mencibir. Tindakannya ini tidak membuat Zulfikar menghentikan senyum lebarnya. Laki-laki itu malah tertawa sambil memggeleng-geleng.
" Maaf yoo... lamo menunggu. Fikar, ini Tiya, cucu Nenek yang tadi pagi Nenek cakap pada Fikar di dapur waktu Fikar baru datang," Anduang Rabiah memperkenalkan Chintiya pada Zulfikar yang duduk di samping Anduang Romlah.
Mata Zulfikar tetap menatap Chintiya dengan pandangan jenaka dan bibir tersenyum lebar.
" Kami sudah kenalan tadi, Anduang. Bahkan ketika aku sudah keluar rumah, masih kudengar teriakannya yang memekakkan telinga," kata Zulfikar sambil tersenyum-senyum.
" Teriak-teriak? Mengapa kau berteriak-teriak, Chintiya?" Anduang Rabiah menoleh pada Chintiya. Sementara itu, Anduang Romlah yang duduk di sebelahnya juga ikut memperhatikan.
Chintiya tidak tahu harus menjawab apa. Kedua neneknya itu menatapnya tanpa berkedip, menunggu penjelasan tentang teriakan itu. Wajah dua wanita tua itu begitu polos memandang Chintiya dengan penuh keingintahuan.
" Ahh... uuh& anu& hmmm& aku& aku lupa& air di sini dingin& hmm jadi& jadi aku langsung mengguyurkan ke tubuhku...." jawabnya tak jelas.
Kedua anduangnya itu menatapnya tak mengerti sembari mengernyitkan kening.
" Lalu? Kenapa pula kau berteriak?" tanya Anduang Rabiah hampir bersamaan dengan adiknya.
" Hmm& anu& anu& hmm& itu salah satu teori memanaskan tubuh dalam usaha melawan dingin, Nek," katanya sambil menggaruk-garuk kepala untuk menanggulangi rasa salah tingkah karena dipandangi dengan tak berkedip oleh kedua neneknya.
Sejenak kedua wanita tua itu berpandangan, sampai kemudian terdengar suara tawa tersendat dari pria bernama Zulfikar itu. Tak berapa lama kemudian, Anduang Rabiah dan Anduang Romlah ikut tertawa kecil pula. Chintiya hanya bisa cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala lagi.
" Kan Nenek sudah cakap, kalau mau mandi, ambil air di termos besar di dapur."
" Aku lupa, Nek& ."
" Keasyikan nyicipin perkedel jagung, jadi lupa, deh," Zulfikar menyela. Dialeknya tidak begitu Minang, bahkan seperti lazimnya anak-anak Jakarta berbicara.
" Belum mandi kok malah nyicipin perkedel!" Anduang Rabiah mengambil dua buah perkedel jagung dan satu potong pisang goreng yang dibelah seperti kipas, lalu menaruhnya ke piring dan memberikannya pada Chintiya.
Melihat dan mencium aromanya, perut Chintiya kembali bernyanyi. Kriuuuk& kriuuuk... kriuuk.
Harta Pusaka Cinta
Tanpa pikir panjang, ia langsung mengambil sepotong perkedel dan menyumpalkan satu bulatan itu ke mulutnya.
" Ondeeeh& ! Ndak baca bismillah kau ni, Tiya? Langsung saja dilutok seperti itu!" Anduang Rabiah berkata sambil menggeleng-geleng.
Kunyahan Chintiya terhenti seketika. Mata bundarnya berputar-putar, melirik Anduang Rabiah dan Anduang Romlah, lalu hinggap pada wajah pria di hadapannya. Sial! Lagi-lagi pria itu memasang mimik menyebalkan. Cengengesan memamerkan gigi dengan mata menyipit menatapnya.
" Gede kepala lu! Liat aja nanti gue yang bakalin ngajarin lu sopan santun!" makinya dalam hati.
" Tak apalah, Nduang. Udara desa membuat perut cepat minta diisi. Kasihan orang kota, bisa pingsan kalau perutnya nggak segera diisi," ujar Zulfikar sambil memberikan senyum manis pada Chintiya.
" Kau masih belum kenyang? Nih, ambil lagi. Keliatannya ngiler ngeliat gue makan." Chintiya menjulurkan piringnya yang masih berisi sebuah perkedel jagung dan pisang goreng pada Zulfikar. Mau rasanya ia menonjok muka laki-laki itu. Tapi kedua anduangnya tampak sangat akrab dan selalu bermuka manis pada laki-laki menyebalkan itu.
" Alhamdulillah, terima kasih. Saya sudah kenyang dengan segelas kopi, dua buah pisang goreng, dan tiga buah perkedel jagung tadi...."
" Banyak juga, ya," sindir Chintiya.
" Yaaah& begitulah. Sarapan petani memang begitu," Zulfikar menyambut sindiran itu. Ia kembali mengulas senyum manisnya pada Chintiya.
Chintiya melengos. Napasnya memburu, persis seperti orang yang baru bertemu dengan sparring partner. Tampangnya seakan sudah mau berlaga saja.
Zulfikar tak acuh, tetap mengumbar senyum, dan bersikap santai. Sesantai pakaiannya yang hanya berupa kaus oblong dan celana pendek lusuh yang sekarang sudah bernoda tanah dan serpihan rumputrumput halus.
" Aku sudah kumpulkan ubi-ubi, Nduang. Banyak juga yang sudah layak jual, ada dua karung. Pepaya tiga puluh lima buah, dan ada kangkung yang sudah kuikat-ikat sekalian. Dapat dua puluh ikat agaknya. Aku ndak bawa mobil bakku ke sini tadi, Nduang. Cuma naik motor. Nanti sehabis Zuhur aku akan ke sini lagi, ya, Nduang." Zulfikar mengarahkan wajah pada Anduang Rabiah dan dengan sopan bicara dalam bahasa Indonesia.
Zulfikar memang sengaja berdialog menggunakan bahasa Indonesia. Usai shalat Magrib kemarin, Farida sudah memberi tahu dirinya bahwa di rumah Anduang Rabiah ada cucunya yang dari Jakarta. Sempat Farida memberikan pendapatnya tentang hubungan kaku antara nenek dan cucu itu.
" Kewajiban kita membuat mereka menjadi mesra. Kita semua sudah tahu betapa lamanya Anduang Rabiah merindukan anak perempuannya. Kita harus
Harta Pusaka Cinta
menjadikan kedatangan cucunya itu sebagai pelepas rindunya," kata Farida. Ia setuju untuk membuat wanita tua itu bergembira dan bahagia. Selama ini Anduang Rabiah sudah dianggapnya sebagai nenek sendiri. Dapat dirasakannya kasih sayang Anduang Rabiah itu melebihi kasih sayang etek kandungnya sendiri, satu-satunya orangtuanya di kampung halaman ini sekarang.
Tadi, ketika ia sampai seusai Subuh, Anduang Rabiah juga memberi tahu perihal kehadiran cucunya. Tapi sampai matahari naik, tak diketahuinya cucu Anduang Rabiah itu di mana. Sampai kemudian dilihatnya seorang gadis berkulit putih berjalan mengendapngendap ke ujung meja makan di dapur. Rambut pirang sebahunya terurai awut-awutan. Di bahunya tersandang handuk. Tangan kiri gadis itu membawa sebuah tas yang diduganya berisi alat-alat mandi dan tetek bengek keperluan perempuan.
" Iyalah, ndak apa-apa. Sesuka hatimulah. Anduang sudah percaya padamu," Anduang Rabiah menyahut dalam bahasa Indonesia pula.
Di telinga Chintiya, bahasa Indonesia dengan dialek Minang itu terdengar seperti orang Melayu berbicara. Dulu, ia pernah sebulan penuh berlibur di tempat kawannya yang orang Melayu di Malaysia. Selama sebulan itu telinganya terbiasa mendengar percakapan bahasa Melayu. Bahasa Minang kalau disimak baik-baik, ada juga satu dua yang dipahaminya. Kebanyakan kata-katanya hanya berbeda huruf vokal
di akhir. Kata-kata dalam bahasa Minang ini cenderung memakai huruf O di ujung kata.
" Iyolah, Nduang. Insya Allah akan kukejar sehabis Zuhur nanti biar bisa langsung kubawa pada pedagang di pasar. Kebetulan hari ini, kan, hari pasar. Ramai yang jual beli di pasar. Akan banyak penadah sayur-mayur dan buah hari ini," Zulfikar kembali melanjutkan penjelasannya pada Anduang Rabiah dengan tetap berbahasa Indonesia, seolah penjelasannya itu ditujukan pada Chintiya.
" Baguslah tu. Cunda bawalah si Tiya ikut serta biar dia mengerti. Nanti biarkan dia membantu memasukkan semua buah-buahan itu ke mobilmu. Ajarkan dia cara berdagang halal di kampung kita. Perlihatkan bagaimana Anduang hidup dan mendapatkan uang selama ini."
" Baik... baik, Nduang," Zulfikar menganggukangguk. Ia tersenyum sambil melirik Chintiya.
" Tiya, selama kau di sini, puas-puaskanlah belajar seluk-beluk kampung halamanmu ini. Nenek ingin kaupulang membawa sebuah kekayaan. Bukan kekayaan materi tapi nih... kekayaan di sini," Anduang Rabiah menepuk-nepuk dadanya sendiri. Ketika mengatakan itu, ia menghadapkan dan mendekatkan tubuh pada cucunya itu.
" Baik... baik, Nduang... eeeh& Neeek...." jawab Chintiya, tanpa ia sengaja meniru perkataan terakhir Zulfikar. Sepintas dilihatnya pria itu. Zulfikar terse
Harta Pusaka Cinta
nyum lebar sambil mengacungkan jempol kanan pada Chintiya.
" Kau mau memanggil Anduang padaku juga boleh. Di kampung ini semua orang memanggilku Anduang. Adikku ini dipanggil juga dengan sebutan Anduang. Anduang sama saja artinya dengan nenek. Semua anak muda di kampuang ini memanggil kami Anduang. Tapi untuk kau, bila kau lebih suka memanggilku nenek, tak apa kaupanggil saja begitu."
Chintiya hanya manggut-manggut sambil berusaha menahan diri untuk tidak menanggapi tingkah pemuda di hadapannya yang diartikannya sebagai sebuah ejekan. Hatinya merasa terbebani karena diminta neneknya ke pasar berdua dengan orang yang sangat ingin diberinya bogem mentah.
Ditahan-tahannya dirinya. Dibaik-baikkannya tingkah lakunya. Dibujuk-bujuknya hatinya sendiri dengan bayangan uang puluhan juta rupiah yang akan diperolehnya dari misi penagihan hak harta warisan seperti yang dijelaskan Mami padanya. Misi itu takkan berhasil bila dia membiarkan dirinya mengumbar emosi hanya gara-gara tukang kebun gila yang tak tahu diri ini.
" Tenang... tenang& tenang...." ujarnya dalam hati. Ia menarik napas dalam-dalam dengan hidung, lalu menyemburkannya melalui mulut.
Tingkahnya itu tak lepas dari perhatian Anduang Romlah. Kening adik perempuan Anduang Rabiah
itu mengerut-ngerut melihatnya. Matanya menyipit sebentar, membelalak sebentar.
" Tiya sendiri mau ikut tidak membantu Fikar menjual hasil kebun nenekmu ke pasar?" tanya Anduang Romlah kemudian. Dari tadi ia memang memperhatikan mimik wajah Chintya yang berubah-ubah. Menurut penglihatannya, cucu kakak perempuannya itu sedang merasakan sesuatu.
" Ohh& eh& iya& mau& mau. Boleh-boleh aja, kok& ." kata Chintiya terbata-bata.
" Hmm& Anduang lihat kau sedang tak senang hati. Atau barangkali kau lagi sakit perut?" tanya Anduang Romlah lagi.
" Barangkali sakit perut, Nduang, kebanyakan makan perkedel," Zulfikar menyela.
Anduang Rabiah dan Anduang Romlah tertawa kecil mendengarnya.
" Tak apalah banyak makan makanan Nenek. Di Jakarta takkan kautemui lagi makanan olahan tangan Nenek," kata Anduang Rabiah sambil mencomot dua perkedel yang terhidang di meja. Satu diberikannya kepada Chintiya, satu lagi masuk ke mulutnya sendiri.
Chintiya menggeleng sambil tersenyum semanismanisnya. Tapi Anduang Rabiah tetap menyodornyodorkan perkedel itu padanya. Akhirnya, diambilnya juga. Kebiasaannya spontan terulang. Satu perkedel bulat itu langsung masuk ke mulut sampai pipinya terlihat menggembung.
Harta Pusaka Cinta
" Untuk kedua kalinya...." desis Zulfikar. Bibirnya tersenyum lebar.
Chintiya tahu ia yang disindir tapi kali ini dia tak peduli. Ia tetap cuek mengunyah tanpa menoleh sedikit pun pada Zulfikar.
Anduang Rabiah hanya diam. Bibirnya ikut tersenyum kecil. Mulai dirasakannya sesuatu yang baru menjalar dalam dadanya, walau banyak tingkah cucunya itu yang tidak ia sukai. Pendar perasaan yang ia sendiri ingin tahu dari mana asalnya.
Sejentik kebahagiaan mampir di dalam dadanya. Merasa memiliki dan dimiliki. Inikah kasih sayang yang timbul dari hati seorang nenek kepada seorang cucuYang jelas, dua wanita tua itu tampak menikmati sekali suasana pagi yang tak biasanya mereka rasakan. Kehadiran seorang gadis dengan tingkah polah yang tak terkontrol. Kadang-kadang lucu, kadang-kadang aneh, dan lebih sering lagi tak tahu adat kesopanan kampung mereka.
Tak berapa lama kemudian, Zulfikar minta diri. " Baiklah kalau begitu, Nduang, aku permisi dulu. Aku harus ke surau. Nanti jam dua aku ke sini lagi. Assalamualaikum."
" Waalaikumsalam," sahut Anduang Rubiah dan Anduang Romlah.
Chintiya pura-pura sibuk dengan koran yang baru saja diambilnya dari rak di bawah meja tamu. Tak ingin hatinya disapa oleh pria yang membuatnya kesal
setengah mati itu. Tapi ia terpaksa mengangkat wajah ketika pria itu menyapa dirinya.
" Permisi dulu, Tiya. Nanti jam dua kujemput, ya," kata Zulfikar langsung pada dirinya.
Chintiya hanya mengangguk kecil, kemudian kembali sok sibuk dengan koran di tangannya. Tibatiba ia sangat benci dengan panggilan " Tiya" . Huh! panggilan udik! Kampungan! Sekarang si kunyuk ini ikut-ikutan memanggilnya dengan Tiya!
" Oh, ya, di luar cukup panas, lho. Mudah-mudahan jaket kulitmu itu tidak membuatmu kegerahan nanti," tambah Zulfikar sambil menghadiahkan senyum lebar pada Chintiya.
Chintiya mendongak. Mata bundarnya kembali membulat menatap Zulfikar. Ia tahu ucapan si tukang kebun gila itu bertujuan untuk mengejeknya. Mau rasanya ia menimpuk wajah pria itu dengan jambangan bunga yang ada di meja tamu. Dalam hati ia bersumpah akan membuat pria ini mati kutu dan bertekuk lutut di bawah kakinya. " Lihat saja nanti!" ujarnya dalam hati.
Ir. Zulfikar Abdulsyarbini nama lengkap pemuda lajang itu. Tujuh tahun yang lalu ia menamatkan kuliahnya di IPB. Setelah bekerja di sebuah perkebunan kelapa sawit di Malaysia selama dua tahun, ia memu
Harta Pusaka Cinta
tuskan kembali ke kampung halaman untuk memulai usaha pertanian sendiri. Ilmu yang didapatnya di perguruan tinggi, pengalaman bekerja di negeri jiran, serta tabungan ringgit yang lumayan dianggapnya sudah cukup untuk melaksanakan niat yang dicanangkannya sejak remaja. Ia ingin mengembangkan pertanian, memajukan usaha kerajinan, serta mendorong kegiatan anak-anak muda di kampung halamannya secara modern tanpa menanggalkan asas agama dan budaya.
Baru tiga tahun terakhir ini usahanya memperlihatkan hasil. Beberapa hektare tanah yang ia beli dengan uang hasil keringatnya sudah membuahkan hasil panen yang menggembirakan. Begitu pun dengan usaha konveksi sulamnya. Ia sudah mempunyai beberapa usaha konveksi yang membuat puluhan tenaga muda mendapat lapangan kerja di kampung halaman sendiri.
Begitu ia memahami arti merantau bagi kaum pria muda di daerahnya, ia ingin mengubah persepsi tentang kata merantau itu sendiri. Selama ini ia lihat istilah merantau diartikan sebagai tindakan menghilangkan diri dari kampung halaman untuk mencari penghidupan yang lebih layak di daerah lain. Pada umumnya, pria muda yang merantau kembali ke kampung halamannya hanya untuk berpiknik atau berhandai-handai beberapa hari, kemudian kembali ke tempatnya menetap di rantau orang. Banyak kaum muda menjalani budaya merantau yang berakhir de
ngan tak lagi menjejakkan kaki di kampung halaman mereka sendiri untuk membangun tanah kelahiran mereka.
Akibatnya, kampung halaman menjadi lengang, hanya dihuni oleh kaum perempuan, kanak-kanak, dan orang-orang tua. Sungguh menyedihkan. Tanah yang luas dan subur, alam yang indah, dan adat budaya yang khas berkarakter itu tak lagi tersentuh oleh kaum muda.
Hal ini dialaminya sendiri di tengah keluarganya. Kaum tua satu per satu dipanggil Sang Khalik. Kedua orangtuanya pun demikian. Pertama, ibunya dipanggil karena mengidap penyakit TB kelenjar. Saat itu ia masih tahun ketiga menuntut ilmu di IPB. Beberapa tahun kemudian, ketika ia sudah bekerja di negeri jiran, ayahnya pun berpulang.
Mendiang ibunya merupakan perempuan terakhir dari garis neneknya. Dua pamannya sekarang menetap di luar negeri, Brunei dan Singapura. Mereka sudah beranak pinak di sana. Abang semata wayangnya memilih hidup di Tanah Jawa, dan menikah dengan gadis dari luar suku Minang.
Semenjak abangnya itu menetap di Bandung, Zulfikar merasakan jarak yang semakin jauh dengan abangnya itu. Setelah kedua orangtuanya berpulang ke Rahmatullah, hanya sekali ia berjumpa dengan abangnya. Itu pun ia yang mengunjungi abangnya ke Bandung. Usaha bisnis pakaian abangnya maju pesat hingga membuat abangnya itu sibuk mengurus toko
Harta Pusaka Cinta
tokonya yang tersebar di Jakarta dan di kota-kota lain di Pulau Jawa.
" Wa ang uruslah sendiri peninggalan mande kito. Wa ang kan lulusan pertanian. Patutlah tu mengu rus sawah ladang dan rumah gadang. Kito kan ndak ado sanak perempuan." Begitu kata abangnya ketika ia mengajak untuk pulang mengemasi seluruh harta benda peninggalan orangtua mereka.
Di Ranah Minang, orang akan merasa sengsara bila tidak mempunyai saudara perempuan. Tanah yang berbangsa ibu ini menganggap bila tidak punya saudara perempuan, tidak ada yang akan mengurus harta benda secara turun-temurun. Ini karena kaum lelaki sejak kecil sudah pantang menjadi orang rumahan.
Bila lelaki masih berada di kampung, banyak yang akan menghina sebagai lelaki pengecut atau lelaki yang kerjanya hanya makan tidur gratis. Pantang bagi lelaki Minang disebut demikian. Mungkin dari sinilah budaya merantau itu selalu melekat, kemudian menjadi budaya meninggalkan kampung halaman. Alhasil, kampung halaman menjadi sepi dari tenagatenaga muda.
Rumah gadang peninggalan kedua orangtua Zulfikar dan abangnya, Zamriardi, merupakan contoh pusako rendah tak berpenghuni karena mereka tak memiliki saudara perempuan. Tanah berhektarehektare milik keturunan ibunya pun terbengkalai begitu saja.
Seorang anduangnya, adik dari neneknya, ada yang masih hidup. Usianya sudah di atas delapan puluh tahun. Neneknya sendiri mempunyai dua orang saudara perempuan. Anak-anak mereka tak lagi berada di Ranah Minang. Ada yang sudah menetap, bahkan menukar kewarganegaraannya, di negeri jiran. Ada pula yang sudah di Kalimantan dan di Jawa. Mereka enggan menengok kampung halaman secara rutin, walau hanya setiap Hari Raya tiba.
Kasihan sekali ia melihat anduangnya ini hidup seorang diri di rumah gadang. Untunglah ada seorang perempuan yang ia panggil Tek Maya, yang selalu datang mengurus. Tek Maya ini perawan tua yang tak diacuhkan keluarganya sendiri karena dianggap perempuan bodoh yang cacat. Zulfikar satu-satunya yang sangat menghargai perempuan berusia lima puluhan itu.
Dari Tek Maya pula Zulfikar mendapatkan seluruh surat tanah keluarga besarnya, rumah, sawah, serta kebun milik orangtuanya sendiri. Wanita ini sangat jujur dan berhati emas. Tidak saja diurusinya orangtua yang sendiri itu, harta bendanya pun dirawat dan dijaganya sampai ada ahli waris yang datang.
Saat itulah Zulfikar merasa hatinya perih melihat tanah warisan yang dibiarkan terbengkalai. Pengelolaan sawah-sawah diserahkan bulat-bulat kepada orang upahan sehingga hasilnya tidak jelas lagi.
Ketika ia kembali menjejakkan kaki di kampung halaman yang sejuk dan indah ini, jiwanya menan gis
Harta Pusaka Cinta
melihat rumah gadang nenek moyang dan rumah peninggalan orangtua kandungnya kosong melompong tak terurus. Rumah gadang turun-temurun di pihak ibunya hanya dihuni anduangnya seorang diri. Rasanya lengang sekali.
Jiwa raganya semakin bergetar ketika melihat berhektare-hektare tanah terbengkalai. Kawan-kawannya semasa sekolah dulu hanya tinggal segelintir. Sebagian besar sudah pergi merantau. Saat itulah tekadnya membulat untuk menggerakkan kaum muda yang tersisa. Berbagai kegiatan remaja ia hidupkan kembali.
Semula begitu banyak tantangan yang dihadapinya tapi lama-kelamaan ia mempunyai banyak pengikut. Sekarang kampung kelahirannya sudah memiliki areal kesenian yang memadai, dibangun atas swadaya masyarakat. Pusat kesenian itu dibagi atas dua kawasan. Kawasan kesenian di dalam gedung petunjukan dan kawasan kesenian di luar gedung petunjukan.
Sebagian tanah warisan orangtuanya disumbangkannya untuk mendirikan pusat kesenian desa yang cukup memadai. Petunjukan kesenian Minang memang membutuhkan areal yang luas karena ada beberapa jenis yang lebih layak dipetunjukkan di alam terbuka, seperti silek Minang dan randai.
Seni budaya yang semula dianggap kuno oleh kaum muda dihidupkan kembali dengan sentuhan modern. Ia tidak sendirian melakukan upaya ini. Sahabat-sahabatnya masih ada yang satu prinsip dan cita-cita dengannya. Ada dua karib kentalnya dari
zaman kanak-kanak dulu, yaitu Farida dan Bachtiar. Farida masih mengenyam pendidikan di Fakultas Keguruan, sedangkan Bachtiar sudah menyandang gelar Sarjana Ekonomi.
Sekarang kelompok kesenian yang mereka pimpin sudah berkembang dan sering tampil dalam acaraacara resmi untuk menyambut tamu-tamu pemerintahan dan tamu asing dari berbagai negara. Terkadang datang pula permintaan dari college di luar negeri yang ingin mendalami adat dan seni budaya. Sudah beberapa kali kelompok kesenian ini diundang ke luar negeri, di antaranya ke Jepang, Kanada, dan Malaysia.
Lepas dari semua itu, ia sangat bersyukur saat ini dirinya dan kaum muda di kampung halamannya tetap kukuh dalam kepribadian Minang yang lekat dengan agama Islam. Untung pula ada seorang wanita tua yang bersemangat melestarikan alam budaya dan adat Minang. Pena beliau pun tajam sehingga ban yak orang asing tertarik mendalami budaya Minang di desa ini. Beliau tak lain adalah Anduang Rabiah.
Impian Zulfikar mendapat sokongan penuh dari wanita tua yang disegani masyarakat ini. Karena itulah ia tak peduli bila ada yang berpendapat miring atau memggunjingkan dirinya.
" Kasihan sekali dia. Jauh-jauh sekolah eeh& berlumpur juga akhirnya kakinya di sawah!"
" Dikira sudah kaya ilmu dia di negeri orang, ternyata masih berguru juga pada Anduang Rabiah. Apa guna dia cari ilmu ke luar dulu kalau akhirnya Anduang Rabiah juga yang mengajarnya."
Harta Pusaka Cinta
" Malang nian nasib anak muda itu. Pendidikan tinggi akhirnya menyawah juga dan hidup berkaki ayam di kampung!"
" Orangtuanya dulu tentu menginginkan dia mengu bah nasib dari petani menjadi pejabat pemerintah. Tapi lihatlah, dia sekarang berpeluh menyabit, mencangkul, dan menanam juga!"
Itulah ejekan, caci maki, dan hinaan yang ia terima selama bertahun-tahun. Ia tahu, mereka berpendapat begitu karena mereka tidak tahu. Ia tetap sabar dan tersenyum. Ia pun tak bosan-bosannya memberi pengertian dan pemahaman tentang manfaat ilmu pendidikan yang ia miliki untuk masyarakat kampungnya.
Zulfikar memberi pengertian tidak dengan katakata saja. Ia juga langsung memperlihatkan dengan perbuatan. Hasilnya sekarang bisa ia nikmati. Kaum muda dan tua segan padanya. Semua menunggu kehadirannya di surau kampung, di pusat kesenian, di pasar, bahkan di hamparan-hamparan sawah ladang. Sehari saja ia tak terlihat, ada saja yang mencarinya. Ia sudah dijadikan tempat bertanya bagi anak-anak muda dan tempat berembuk bagi kaum tua.
Semua itu ia nikmati tanpa kesombongan dan kepongahan hati. Kerendahan hatinya membuat ia tambah disegani dan diperhitungkan, termasuk oleh yang tua-tua.
Lima
P ukul dua lebih lima belas menit Chintiya men
dengar deru mobil memasuki pekarangan rumah neneknya. Dilihatnya dari jendela ruang tamu. Zulfikar yang datang dengan menyetir mobilnya.
Chintiya ternganga. Mobil bak yang dikatakan Zulfikar tadi, baginya tak lebih seperti mobil pengangkut sampah yang mengitari perumahan tempat tinggalnya di Jakarta.
" Mampus gue. Bisa bonyok gue naik mobil begituan!" katanya setengah berteriak.
" Ada apa, Tiya?!" tanya Nenek seraya menghampiri Chintiya yang berdiri terpaku di depan jendela ruang tamu.
" Eh& ng& nggak, Nek. Itu... apa dengan mobil sampah itu aku dan dia harus ke pasar?"
" Mobil sampah?" Anduang Rabiah mengernyitkan kening. Hati tuanya sangat terganggu dengan bahasa dan lagak lagu cucunya yang dianggapnya keterlaluan itu. " Tiya... Tiya. Tolonglah hati-hati dengan bicaramu, ya. Nenek heran, dari tadi kau menghina
Harta Pusaka Cinta
Zulfikar saja. Kau belum tau siapa dia. Jangan melihat orang dari rupa dan penampilannya saja. Kau harus belajar melihat orang dari sikap dan perbuatannya...."
" Oh& hmm& ya& iya. Aku, kan, cuma nanya, Nek." Untuk kesekian kalinya Chintiya gelagapan menanggapi ucapan tajam neneknya.
" Ya sudah. Sekarang sini dulu, ikut Nenek ke kamar." Anduang Rabiah menggamit tangan cucunya.
Dengan hati bertanya-tanya, Chintiya mengikuti saja kemauan neneknya itu. Sampai di kamar, Anduang Rabiah segera membuka lemari pakaiannya. Bola mata Chintiya diam-diam mengitari isi ruangan itu. Kamar yang apik dan wangi. Wewangian alami seperti sejenis bunga-bungaan. Hmm& bunga apa, ya? O, ya! Bunga melati!
Di atas meja bertumpuk buku-buku tebal. Di atas tempat tidur, sebuah Al-Qur an terbuka, beralaskan rehal dari kayu yang berukir huruf-huruf Arab.
Di dinding tergantung sebuah foto besar. Seorang wanita yang berwajah mirip Mami dan seorang pria gagah berkumis tebal. Sejenak ia terpesona melihat foto tua itu. " Astaga! Itu pasti foto Nenek waktu muda. Ya Ampun! Mirip sekali dengan Mami!" teriaknya dalam hati.
Lalu matanya tertumbuk pada dua lembar foto seukuran kertas folio yang diberi pigura. Yang satu foto seorang wanita menggendong seorang bayi perempuan. Satunya lagi seorang wanita yang berpelukan dengan seorang remaja putri. Dua foto itu
dilatarbelakangi tiga orang lelaki yang berdiri tegap dengan pakaian khas Minang.
" Itu foto siapa, Nek?" Rasa ingin tahu menggodanya untuk bertanya.
" Foto Nenek dan Kakek, dengan paman-pamanmu dan mamimu," sahut Nenek tanpa menoleh pada foto-foto tersebut. Ia tetap sibuk mencari-cari sesuatu di dalam lemarinya.
Chintiya tertegun mendengarnya, tak tahu harus berkata apa. Dipandanginya dua foto berpigura itu dengan nanap. Wajah maminya seperti melekat erat pada wajah neneknya. Mungkin umur neneknya kala itu sama dengan umur maminya sekarang. Matanya beralih pada gadis kecil dalam pelukan neneknya. Gurat wajah Asia yang kental, tepatnya wajah seorang gadis Minang, tergambar jelas di foto itu.
" Kemarilah," panggil Anduang Rabiah pada cucunya. Di tangannya ada sebuah bungkusan berplastik.
Chintiya melepaskan pandangan dari foto-foto itu dan melangkah mendekati neneknya.
Harta Pusaka Cinta Karya Desni Intan Suri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Ketika Nenek menerima surat dari mamimu, Nenek sudah menyiapkan ini untukmu. Ini pakaian sopan yang seharusnya dipakai perempuan. Sekurangkurangnya, kalau kau merasa darah Minang mengalir dalam dirimu dan merasa nenekmu ini bagian dari keluargamu, kau harus beradaptasi hidup di Ranah Minang ini, baik dari segi tata krama bertutur kata maupun berpakaian. Bagi orang Minang, pakaian
Harta Pusaka Cinta
juga menandakan keyakinannya dalam memahami agama."
Sebetulnya banyak yang ingin ia tuturkan pada cucunya itu, tapi ia ragu apakah akan bisa diterima oleh Chintiya. Hatinya pun sedikit menciut dan hampa bila mengingat cucunya ini bukanlah berdarah asli Minang. Anduang Rabiah menyadari benar adat istiadat di Eropa sana takkan sama dengan di Asia, apalagi dengan adat yang berlaku di Ranah Minang ini.
Ketika pikirannya melesat pada masalah agama, semakin ciut hati tuanya. Melihat tingkah laku cucunya ini, apakah pantas ia menekankan bahwa bagi orang Minang asli hanya ada satu agama, yaitu agama Islam? Ia takut mengungkapkan ini karena masalah agama adalah masalah hati. Masalah jiwa dengan keyakinan yang dalam. Cucu perempuannya ini bukanlah orang Minang asli. Walaupun ia lahir dari anak perempuannya sebagai mata rantai sistem matrilineal di Ranah Minang ia berayahkan seorang laki-laki dari negeri yang jauh dan agama yang berbeda.
Chintiya tertegun mendengar perkataan neneknya. Wajahnya menggambarkan ketidakmengertian. Namun, diterima dan dibukanya juga bungk usan berplastik itu. Ternyata isinya pakaian muslimah modern. Blus berlengan panjang, celana panjang, serta kerudung yang bermotif sama dengan blus. Blus bermotif bunga itu berwarna kuning gading yang lembut, sedangkan celananya berwarna cokelat polos.
Mata bundar Chintiya terbelalak memandang pak aian itu. Bukan karena terpesona melihat keanggunan pakaian tersebut, melainkan sebaliknya. Ia terbelalak karena harus mengenakan pakaian yang selama ini tidak pernah ia pakai.
" Ak& ak... aku nyobain ini, Nek?" katanya seakan tak percaya.
" Hm... kenapa? Kau keberatan? Berarti kau tak paham apa yang kukatakan tadi," suara Anduang Rabiah terdengar dalam dan berat.
Lagi-lagi Chintiya tertegun mendengarnya. Sebuah kekuatan yang besar dari dalam diri neneknya itu serasa menerpa dirinya, membuatnya tak mampu membantah. Sekadar mengangkat kepala untuk membalas tatapan tajam neneknya pun dia tak mampu.
" Aku akan memakainya," begitu saja kemudian ia menjawab, setelah berusaha sekuat tenaga mengalahkan egonya.
Ternyata stelan blus dan celana panjang itu memang cocok dengan ukuran tubuhnya. Anduang Rabiah terpesona melihat penampilan cucunya itu.
" Subhanalah... cantiknya. Kaupantas sekali memakainya, Tiya." Anduang Rabiah tersenyum sambil terus memandang Chintiya. Di dalam matanya terlihat sinar bahagia penuh pengharapan. Sinarnya seakan menembus ke dalam hati Chintiya hingga gadis itu pun dapat merasakan gejolak di hati wanita tua itu. " Nah, sekarang cobalah kerudungnya...."
Harta Pusaka Cinta
" Kerudung?" sela Chintiya. " Nggg& aku& aku...." " Sini Nenek pakaikan."
Jilbab yang sudah tinggal dipakai itu segera melekat di kepala Chintiya. Wajah putihnya terlihat menonjol ketika jilbab itu telah menutupi kepalanya. Hidungnya yang mancung, bibirnya yang mungil merah merekah, dan bola matanya yang berwarna cokelat membuat ia seperti wanita-wanita dari negara Arab.
" Subhanallah.... Cobalah kautengok dirimu di cermin." Anduang Rabiah mendorong cucunya ke arah cermin besar yang melekat di lemari pakaian.
Chintiya menurut saja. Begitu melihat dirinya di cermin lemari yang setinggi dirinya itu, matanya melotot, tak berkedip memandangi bayang dirinya. Ia sama sekali tidak mengenal dirinya lagi. Sesaat ia tidak tahu harus berkomentar apa.
Pakaian ini membuatnya merasa berada di dunia lain. Dunia yang membuat debar di jantungnya tak beraturan dan wajahnya pias karena malu. Malu? Entahlah. Mengapa harus malu? Bukankah pakaian ini menutup tubuhnya dengan rapatJiwanya terombang-ambing dalam ketidakmengertian tentang perasaannya sendiri. Perasaannya campur aduk, seperti permen Nano-Nano yang rasanya gabungan asin, manis, dan pedas. Ada rasa malu, konyol, aneh, dan ingin menertawai diri sendiri.
" Apa aku harus pakai pakaian kayak gini, Nek?" tanya Chintiya seperti orang pandir.
" Apa Tiya ndak suka baju ini?" Anduang Rabiah malah balik bertanya.
Chintiya bingung mau menjawab apa. Kalau mau jujur, ia memang tidak menyukai penampilannya ini. Otaknya menolak tapi hati kecilnya menyuarakan yang lain, terlebih ketika melihat mata tua neneknya menatapnya dengan binar penuh harap.
Ia merasa limbung. " Gila apa? Gue menyukai pakaian kedodoran dan bikin sesak napas kayak gini?" berontaknya dalam hati. Tapi yang keluar dari mulutnya lain lagi.
" Suka& tentu aku suka. Ya, memang cantik," katan ya dengan mimik lucu karena bibirnya berkata lain dengan otak yang menolak keras penampilan barunya ini.
Anduang Rabiah hanya tersenyum mendengarnya. Ia tahu cucunya itu berbohong, tapi dibiarkannya saja. Tanpa disadarinya, ego seorang nenek sedang mengerjap-ngerjap dalam dirinya. Ego hati seorang wanita tua yang telah lama mengharapkan keturunan dari anak perempuannya.
" Syukurlah kalau kausuka. Sekarang kaukeluarlah, temui Fikar. Katakan kausiap berangkat ke pasar dengannya," kata Anduang Rabiah tegas.
Mendengar nama pria yang itu disebut-sebut, hatin ya menjadi panas lagi. " Apa tidak bisa kalau kita saja yang pergi ke pasar, Nek? Nggak perlu dengan si tukang kebon gila itu, kan, Nek?"
Harta Pusaka Cinta
" Husss! Siapa yang tukang kebun gila? Tiya... Tiya. Lagi-lagi kau tak bisa mengontrol omonganmu!"
" Sorry banget-banget deh, Nek. Aku kesel liat tampangnya yang sombong dan sok tahu itu. Aku sar anin Nenek tukar tukang kebun aja. Orang macam dia lama-lama ngelunjak. Nanti malah morotin Nenek, lho!" Chintiya mencoba memberikan pendapatnya.
Anduang Rubiah hanya diam sambil menggelenggeleng. Ia menganggap bahasa cucunya ini benarbenar di luar tata krama. Seenaknya saja bicara dan sulit dihentikan. Bagi wanita tua seperti dirinya, alam demokratis kota metropolitan dan kehidupan modern telah mengubah pandangan hidup manusia.
Anduang Rabiah masih tetap percaya bahwa seseorang yang dilahirkan di alam pedesaan akan berbeda dengan seseorang yang lahir di kota besar dengan fasilitas serbamewah. Sekurang-kurangnya, orangorang yang mengecap alam pedesaan akan paham bahwa penilaian hakiki bukan dari bentuk luar tapi dari lubuk hati.
Percuma ia menjelaskan siapa Zulfikar sebenarnya. Dalam hati Anduang Rabiah berdoa agar suatu waktu nanti ada yang bisa membuat Chintiya menarik sebutan-sebutan kasarnya pada Zulfikar itu. Untuk sementara waktu, ia sudah cukup bersyukur sebutansebutan itu tidak langsung diucapkan di depan anak bujang itu.
" Ya sudahlah. Cakap saja apa maumu sekarang. Kau mau pergi ke pasar dengan Fikar atau tidak? Bila
kau ndak mau pergi ke pasar, ndak apa-apa juga. Nenek sudah tak sanggup berlama-lama di pasar. Si Fikar itu menolong menjualkan hasil kebun kita. Maksud Nenek, kebetulan kau di sini, kau kan dapat belajar dari dia. Bila kau merasa ini kampung halaman kau dan ini rumah kau juga, belajarlah berjual beli di sini."
Chintya terdiam mendengar perkataan neneknya yang berlogat Minang kental itu. Ada kata-kata " menjual hasil kebun kita" yang terdengar olehnya tadi. Sifat materialistisnya berkobar seketika. Disimpulkannya bahwa neneknya sudah resmi menganggap dia sebagai bagian dari keluarga di sini.
Walau hatinya masih merasakan kejanggalan, yang penting saat ini bola yang digiringnya sudah hampir masuk ke gawang. Yang ada dalam pikirannya hanyalah misi maminya untuk mendapat bagian harta pusaka. Ini yang terpenting! Terserah mau jadi apa nanti, yang penting misi ini terselesaikan dengan hasil yang memuaskan! Bila ini sudah didapat, semuanya akan selesai.
Diam-diam ia meneliti dirinya sendiri. Apakah dalam dirinya sudah tertanam rasa berkampung halaman di Ranah Minang ini? Ia limbung dan menolak. Ia katakan pada hatinya, belum ada rasa memiliki bumi Minang ini. Belum ada rasa bahagia dan bangga ketika mendapatkan dirinya masih mempun yai seorang nenek di kampung halaman ini. Perasaannya sekarang sama saja seperti ketika berada berada di
Harta Pusaka Cinta
China, India, atau di Kamerun yang terkenal dengan keelokan alam pedesaannya.
Namun, sekuat apa pun ia menyatakan hatinya belum tersentuh, sekuat itu pula alunan kasih sayang tulus mendayu-dayu di dalam dadanya. Sulit baginya untuk menolak dan mengatakan ia tidak menyukai alunan itu.
" Oke... oke. Don t worry, Neeek. Aku akan ikut si gila eeeiiit... salah! Maksudku, si Fikar itu, ke pasar," kata Chintiya sambil memeluk neneknya dan mencium kedua pipi wanita tua itu dengan bersemangat. " Apa salahnya membuat bahagia wanita tua ini? Toh cuma beberapa hari. Setelah semuanya selesai, aku bisa kembali pada diriku sendiri lagi," hibur hatinya.
Perlakuan Chintiya membuat Anduang Rabiah kaget. Dipeluk dan dicium cucu perempuan dari anak perempuan yang ia rindukan sekian lama. Hati tuanya bergetar sejenak menerima perlakuan Chintiya.
" Tampaknya banyak yang harus kupelajari. Cucuku datang dari kota besar dan lahir di sebuah negara asing dengan seorang ayah yang entah apa agamanya apa," ujarnya dalam hati. Ketika membaca surat dari Friska, maklumlah dirinya untuk apa anaknya itu mengirim gadis blasteran yang harus diakuinya sebagai cucu ini. Hatinya tersayat. Mengapa tak pernah habisnya anak perempuannya itu membuat dirinya bersedih" Salah didikkah aku selama ini padanya?" begitu selalu pertanyaannya sepanjang berpuluh tahun,
sepanjang ia ditinggalkan. Tahun demi tahun berlalu tapi ia tak pernah bisa menjawabnya.
Darah Minang sudah sangat lekat pada anak perempuannya itu. Tak ada darah lain yang mengalir di tubuhnya. Sejak masih dalam kandungan, anak perempuannya itu sudah diajarkannya rajin mengerjakan shalat lima waktu, mengaji, dan berbuat amal ibadah yang terbaik. Langgam adat budaya Minang pun dimasukkannya ke jiwa anak perempuannya itu. Lalu, mengapa semua itu lenyap begitu saja karena jodoh yang sama sekali tak diharapkannyaMalam tadi mata tuanya tak bisa terlelap. Sep erti bermimpi rasanya. Salah satu kamar tidur rumah gadangnya kini dihuni oleh seorang gadis yang merupakan darah dagingnya. Hatinya gelisah tak menentu. Ia tak paham apa yang ia rasakan, apakah harus bahagia atau justru kecewa.
Sekian puluh tahun ia mengharapkan kehadiran anak perempuannya yang hilang. Sekarang keturunan dari anak perempuannya itu hadir di hadapannya. Harus diakuinya, itulah cucunya. Anak Friska, satu-satunya anak perempuannya, harapan hatinya, pelanjut penghuni rumah gadang yang ditungguinya selama ini dengan segala keletihan di hari tua.
Apakah ini yang diharapkannya? Kehadiran seorang cucu yang jelas-jelas bukan asli berdarah Minang? Darah asing yang mengalir di tubuh gadis semampai yang baru beberapa jam dikenalnya itu, bukan hanya berbeda suku dalam bangsa yang sama tapi sudah berbeda bangsa.
Harta Pusaka Cinta
Di Minang, yang dinamakan cucu sebenar-benarnya cucu adalah cucu yang dilahirkan oleh anak-anak perempuan. Walaupun anak-anak lelaki juga menikah dan memberikan keturunan, orang Minang akan mengatakan cucu-cucu dari anak-anak lelaki mereka dengan sebutan " cucu orang" . Maksudnya, cucu-cucu yang didapat dari anak-anak lelaki dianggap lebih sah sebagai keturunan dari pihak ibunya. Alam Minang yang berpedoman kepada keturunan ibu menyebabkan alur kehidupan menjadi demikian.
Lalu, bagaimana dengan anak yang diturunkan oleh anak perempuannya ini? Apakah mungkin cucunya yang berdarah campuran ini dapat ia banggakan sebagai penjaga rumah gadangnya kelak? Walaupun anak gadis ini lahir dari rahim anak perempuannya, sampai saat ini ia buta tentang asal usul lelaki yang membuahi anak perempuannya itu.
Hati tuanya kelu. Rasa ngilu sering melandanya akhir-akhir ini. Sejak ia menerima surat dari Friska yang diantar oleh Farida padanya, ngilu itu semakin bertambah. Kemudian diterimanya surat kedua yang dibawa sendiri oleh cucunya yang berayah orang kulit putih itu. Hatinya remuk redam membacanya tapi disembunyikannya rapat-rapat. Untuk apa ia perlihatkan? Ia tahu, gadis muda itu takkan paham sengketa apa yang terjadi antara dirinya dengan ibunya.
Lama Anduang Rabiah tercenung di pinggir tempat tidurnya setelah cucunya itu lenyap di balik pintu kamarnya. Hatinya gamang. Di satu sisi hati tuanya
ingin mencurahkan kasih sayang kepada anak perempuan dan cucunya ini. Di sisi lain, ia ingin mengusir, bahkan membunuh, rasa kasih itu dari jiwanya. ***
Chintiya duduk di mobil bak yang disopiri oleh Zulfikar. Kijang bak itu berjalan lamban, terangguk-angguk seperti seekor keledai yang kelelahan. Baru satu detik meninggalkan rumah neneknya, Chintiya segera merenggut jilbabnya dan mengibas-ngibaskannya ke permukaan wajahnya. Blus yang dipakainya diregangregangkan berkali-kali. Ditiup-tiupnya sedikit rongga yang ada di kerah baju, seakan ingin memasukkan udara ke balik blus tersebut. Kakinya mengangkang seenaknya.
" Lho, kok jilbabnya dibuka?" tanya Zulfikar dengan mata tetap menatap jalan raya.
" Apa pedulimu? Panas tauk! Dan lagi Kijang jelekmu ini bau tengil. Kagak tahan gue!" Chintiya langsung melemparkan semua kekesalannya.
Dibilang begitu, Zulfikar bukannya tersinggung. Ia malah tertawa lebar. Ketika melihat cucu Anduang Rabiah ini menuruni anak tangga dan melangkah menuju mobilnya, ia terpingkal-pingkal. Tahulah ia, pasti penampilan gadis itu dipoles oleh sang nenek. Menurutnya, gadis ini bertambah cantik dengan berpakaian muslimah semacam itu. Namun, tingkah
Harta Pusaka Cinta
lakunya yang kikuk dan lagak lagunya yang " jantan" membuat ia seperti orang-orangan sawah yang berjalan.
" Eeeh& edan kamu, ya? Bukannya minta maaf karena Kijang jelekmu ini bikin aku puyeng, malah ketawa ngakak!" kata Chintiya dengan mata melotot. Ia menunjuk-nunjuk Zulfikar dengan jari telunjuknya.
" Rupanya cewek-cewek Jakarta suka juga dengan yang tengil-tengil," gumam Zulfikar sambil tersenyum lebar.
" Apa? Apa kaubilang? Suka? Enak aja! Budek kali lu, yee? Gue bilang, gue kagak tahan! Kok malah dibilang suka...."
" Lhaaa& kalo nggak suka, ngapain kamu tetap naik Kijangku? Aku tidak maksa kamu naik mobilku yang katamu bau tengil ini& ."
" Eh, asal tau aja ya, gue pergi ke pasar bareng lu karena permintaan nenek gue, tau!" sergah Chintiya.
" Naaah& kalau begitu, cobalah bersikap ikhlas. Memenuhi permintaan orangtua adalah amanah. Wajib bagi kita untuk bersikap ikhlas. Mau bau tengil kek, mau bau sapi kek, kerbau kek, atau apalah, kamu harus bilang alhamdulillah. Syukur masih bisa naik Kijangku. Coba kalau kamu jalan kaki. Waaah& pasti gempor kakimu. Pasarnya jauh, lho, dari sini...."
" Huh! Biarin!" lagi-lagi Chintiya menyergah. " Lebih enak jalan kaki, kaleee...." Ia melengos.
Tiba-tiba saja Kijang itu berhenti. Tubuh Chintiya sampai maju beberapa senti. Untung gerak refleksnya bagus hingga ia tidak sampai menubruk dashboard.
" Busyeeet...! Apa-apaan sih kamu?" protes Chintiya.
" Silakan kalau mau jalan kaki," kata Zulfikar dengan tenang.
" Ih& apa-apaan, siiih?" jerit Chintiya marah. " Silakan jalan kaki. Lebih enak jalan kaki, kaleee...." Zulfikar meniru cara bicara Chintiya tadi. " Ayo jalan!" teriak Chintiya dengan muka merah. Zulfikar malah mengambil koran yang terlipat di depan setirnya. Dengan santai ia membuka lembaran koran itu.
Chintiya tambah gondok melihatnya. Mau rasanya ia mengeluarkan jurus karatenya. Betapa inginnya ia melihat pemuda ini babak belur.
" Baiklah, aku naik Kijang ini saja." Kata itu akhirnya keluar dari bibir mungilnya. Nada suaranya sedikit bergetar sehingga terdengar seperti desis orang kedinginan. Ia berusaha menahan kegeraman hatinya. Hanya ini pilihan kalau tidak ingin mencari perkara di tengah kampung yang belum dikenalnya ini. Mungkin bisa saja dia nekat, tapi apa kata neneknya nanti? " Aaargh! Tukang kebun gila ini memang sangat gila!" teriaknya dalam hati.
Zulfikar tetap bersikap santai. Dengan bersiul kecil ia menghidupkan mesin mobil kembali. Bibirnya menyunggingkan senyum. " Nah, begitu agak sopan
Harta Pusaka Cinta
terdengar," ucapnya dengan nada rendah, hampir tak terdengar.
Chintiya mendengus kesal.
" Cewek-cewek Jakarta memang cantik-cantik. Sayang, kehidupan kota yang serbasumpek, sempit, dan penuh rasa keduniawian membuat kecantikan mereka pudar," lanjut Zulfikar, masih dengan suara rendah.
Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Sepuluh Anak Negro Ten Lime Niggers Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama