Harta Pusaka Cinta Karya Desni Intan Suri Bagian 3
" Apa maksudmu?" Chintiya menoleh, lurus-lurus menatap Zulfikar.
Yang ditatap tetap saja menyetir mobil dengan tenang. " Emosional, gegabah dalam bertindak, tidak bisa mengontrol diri, dan membiarkan bibir indahnya dinodai dengan tutur kata yang tak elok& ."
" Tambah nggak ngerti tuh! Jangan berfalsafah, deh, kalo kagak paham cara berfalsafah!"
" Siapa yang berfalsafah? Aku cuma memberi pendapat bahwa bagaimanapun cantiknya seorang perempuan, bila tidak diikuti dengan tingkah laku dan tutur kata yang baik, kecantikan itu hanya akan terlihat sesaat. Hanya terlihat di permukaan kulit. Kecantikan yang demikian takkan lama. Sebentar juga sudah tidak kelihatan cantik lagi...."
" Oh, begitu? Memangnya gue pikiriiin?" Chintiya kembali melengos, mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Sesungguhnya hatinya terhenyak juga. Ia tak menyangka si tukang kebun ini bisa mengel uarkan kalimat-kalimat yang membuatnya kegerahan.
Zulfikar hanya menggeleng-geleng. Sedikit banyak ia sudah mendengar kisah anak perempuan Anduang Rabiah yang kabur dengan bule Belanda. Di desa kecil yang mayoritas penghuninya adalah para orang tua dan wanita ini, kabar apa pun cepat tersebar ke segala penjuru dan menjadi buah bibir dalam waktu yang lama. Berita kedatangan cucu blasteran Anduang Rabiah ini pun sudah menjadi buah bibir di setiap pelosok desa.
Ketika dua minggu yang lalu Farida membawa surat untuk Anduang Rabiah, berita itu pun cepat merebak. Farida mungkin memberi tahu keluarganya dan berita itu langsung menjadi buah bibir. Siapa yang tak kenal Anduang Rabiah, satu-satunya wanita tua yang masih gesit, berwawasan luas, serta menguasai beberapa bahasa asing dengan baik. Anduang Rabiah adalah panutan bagi kaum muda.
Siapa pula yang tak tahu tentang riwayat anak perempuannya yang menghilang itu? Semua orang menunggu-nunggu apa yang bakal terjadi.
Zulfikar pun bersikap sama seperti orang kampung. Rasa ingin tahunya malah lebih besar lagi. Selama ini, anak muda kampung yang paling dekat dengan Anduang Rabiah adalah dirinya. Ia sudah tidak merasa Anduang Rabiah itu orang lain lagi. Anduang Rabiah satu-satunya orang yang sangat dekat dengan dirinya, melebihi kedekatannya dengan eteknya sendiri.
Harta Pusaka Cinta
" Peganglah duplikat kunci rumah gadangku ini, Fikar. Kupercayakan rumah gadangku ini padamu sekarang. Cunda Fikar bebas keluar masuk rumah gadangku ini kapan saja kau mau. Kaujadikanlah ini rumah keduamu setelah rumah peninggalan kedua orangtuamu itu. Aku sudah tak tahu lagi kepada siapa harus kuserahkan semua harta benda." Anduang Rabiah pernah berkata seperti itu padanya sambil menyerahkan serenceng kunci.
Terlonjak hatinya mendengar kata-kata itu. Semakin terharu hatinya bila menyadari betapa selama ini Anduang Rabiah sangat sayang padanya. Ia maklumi itu. Orangtua ini sangat rindu pada anak-anaknya yang jarang datang menjenguk. Karena itulah hampir setiap hari ia singgah ke rumah Anduang Rabiah. Setiap minggu ia sempatkan menginap dan membetulkan benda-benda yang rusak. Terkadang ia datang bersama Bachtiar, sahabat karibnya. Lain waktu, ia datang bersama beberapa anggota koperasi yang didirikannya untuk membahas usaha koperasi desa di ruang perpustakaan rumah Anduang Rabiah.
Pendek kata, ia selalu berusaha agar Anduang Rabiah tidak kesepian. Ditambah lagi, Anduang Rabiah memang selalu memintanya untuk meramaikan rumahnya kapan saja. Jelas sekali orangtua itu kesepian dan mau mengusir rasa sepinya dengan mendengar suara obrolan dan gelak tawa anak-anak muda.
Zulfikar dapat merasakan bagaimana wanita tua itu berusaha keras mengisi hari-harinya yang sepi
dengan memberikan semua yang ia punya untuk usaha anak-anak muda membangun kampungnya. Ia melihat, inilah pelarian wanita tua itu karena ada impiannya yang tak terlaksana. Mungkin inilah harapan Anduang Rabiah pada anak-anaknya sendiri. Kenyataannya, tak ada seorang anak pun yang menemani di hari tuanya.
Iba hati Zufikar melihat renung di mata Anduang Rabiah yang semakin dalam dari hari ke hari. Jadi, dibuatnyalah rumah Anduang Rabiah selalu ramai. Rumah gadang tua yang kokoh itu menjadi posko kaum muda di kampung mereka. Zulfikar pun mengupayakan agar anak-anak muda dari luar negeri menetap di rumah Anduang Rabiah selama mereka melakukan penelitian dan pertukaran pelajar.
" Waduuh... jangan begitu, Nduang. Ada tiga anak kandung Anduang yang berhak dan bertanggung jawab pada harta Anduang di kampung halaman ini," jawabnya saat itu dengan hati-hati. Takut menyinggung hati tua wanita itu.
" Seperti tak tahu saja Cunda Fikar ini. Di kampung kita, kalau orangtua sudah melaksanakan adat turun janjang untuk anak laki-lakinya, berarti dia harus rela anaknya menjadi anak orang...."
" Ah, turun janjang itu kan sebuah acara adat perkawinan saja, Nduang. Tak adalah tu kalau anak lelaki sudah menikah akan menjadi anak orang pula."
" Memang, itu hanya sebuah acara adat. Anak lelaki diistilahkan turun janjang yang artinya mening
Harta Pusaka Cinta
galkan rumah orangtuanya untuk membangun dan bertanggung jawab pada rumah tangganya sendiri. Namun, dalam masyarakat kita sudah jadi kebiasaan, anak lelaki yang sudah menikah cenderung jauh dari keluarganya sendiri dan dekat pada keluarga istrinya. Akhirnya... yah& seperti aku inilah sekarang. Kedua anak lelakiku sangat sibuk setelah berumah tangga sehingga hanya sesekali bisa menengokku...."
" Aku yakin anak-anak Anduang tak begitu. Barangkali mereka hanya belum bisa mengatasi kesibukan rutin mereka. Begini sajalah, Nduang. Aku ambil kunci ruang bawah saja. Kalau Anduang sedang bepergian, ruang atas tetap Anduang kunci. Kurasa aku bisa menjaga rumah Anduang ini dengan memakai ruang bawah yang sudah serbalengkap itu. Selain itu, selama ini aku dan kawan-kawan sering menumpang di ruang perpustakaan Anduang untuk rapat dan menulis proposal-proposal kami. Aku sendiri pun merasa tenang menulis di ruang perpustakaan Anduang itu." Akhirnya, Zulfikar menerima tawaran Anduang Rabiah sebatas keperluan saja.
" Kalau itu kaukira lebih baik, tak apalah. Aku senang melihat kalian memanfaatkan ruang perpustakaan peninggalan suamiku itu dengan baik. Beliau pernah berpesan padaku agar ruangan itu dijadikan pusat ilmu untuk anak-anak muda di kampung ini. Syukurlah kaupercayai rumah Anduang ini untuk menaruh komputer-komputer dan berkas-berkas kerjamu."
" Iya, Nduang. Terima kasih juga telah memberi ruangan pada kami untuk bekerja. Perpustakaan itu sangat berharga. Buku-bukunya pun sebagian besar sudah langka didapat. Kami bisa sekalian menimba ilmu di sini."
Bantuannya pada Anduang Rabiah keluar dari hatin ya dengan ikhlas seikhlas-ikhlasnya. Banyak ilmu yang ia dapatkan dari wanita tua ini. Jalan pikiran dan nasihat Anduang Rabiah pun banyak ia perlukan, baik untuk memajukan bidang pertanian, koperasi desa, swadaya masyarakat, maupun bidang kesenian. Selama ini ia menilai Anduang Rabiah berbeda dari wanita-wanita tua di kampungnya. Beliau cerdas dan terampil. Ide-ide di kepalanya pun tak lapuk dimakan zaman.
Namun, ia paham bila sesekali jiwa tua Anduang Rabiah berduka. Semenjak menetap kembali di kampung halamannya ini, baru dua kali ia bertemu dengan salah seorang anak lelaki Anduang Rabiah. Menurut Anduang Rabiah, yang mengunjunginya itu adalah anak laki-laki nomor dua yang menetap di Surabaya. Namanya Fatur, menikah dengan perempuan asal kota tersebut. Sementara itu, anak laki-lakinya yang pertama sudah tiga tahun berada di Moskow dan mempunyai istri berdarah Sunda yang berasal dari kota Bandung. Ia bekerja di Departemen Luar Negeri sebagai staf kedutaan.
Walau kedua anak lelakinya itu jarang menengok dan lebih banyak berkomunikasi melalui surat atau
Harta Pusaka Cinta
telepon, Anduang Rabiah masih bersedia menjawab bila ada yang bertanya tentang mereka. Untuk anak perempuannya, ia selalu berdiam diri dan tak mau menjelaskan apa-apa. Namun, masyarakat sudah tahu bagaimana kisah hidup anak perempuan Anduang Rabiah itu.
" Kita sudah sampai," kata Zulfikar membelah kesunyian. Hampir setengah jam ia dan Chintiya berdiam diri.
Chintiya diam saja. Diamatinya pemandangan di sekelilingnya. Pasar ini hampir sama seperti pasar kag et yang ada di Jakarta dan sekitarnya. Ia pernah masuk pasar rakyat di Pondok Gede. Hampir sama seperti di sini. Semua serba tidak teratur. Para pedagang menggelar barang dagangan sesuka mereka.
" Ini dinamakan hari pasar. Siapa saja boleh berdagang di sini asalkan sesuai batas-batas yang sudah ditentukan oleh tim pengamanan pasar," jelas Zulfikar tanpa diminta. Sambil berkata, ia memajumundurkan mobil baknya untuk parkir di sudut kanan pasar.
Chintiya memperhatikan seisi pasar dengan saksama. Jiwa petualangnya muncul. Ia selalu mengamati sesuatu dengan cermat dan cerdas sehingga dapat menghasilkan tulisan-tulisan bermutu serta foto-foto
yang menarik. Saat ini ia merasa ada sesuatu yang menarik. Diamatinya lagi dengan saksama.
" Kok hampir semua pedagangnya wanita?" tanya Chintiya tiba-tiba.
Sejenak Zulfikar tertegun. Ia tak menyangka gadis ini bisa secermat itu memperhatikan kondisi pasar dalam waktu singkat.
" Ya, benar. Di sini hari pasar didominasi oleh kaum hawa. Di sinilah uniknya Minangkabau. Sistem matrilineal membuat wanita Minang menjadi istimewa. Mereka umumnya pekerja keras, pebisnis dan pedagang unggul, sekaligus pemimpin, paling tidak pemimpin dalam rumah gadang mereka sendiri."
" Hmm& matrilineal. Aku tahu ada beberapa suku di dunia yang menganut sistem matrilineal. Kalau nggak salah ada suku Indian dari Apache Barat, suku Khasi di Meghalaya, suku Nakhi di Yunnan, suku Tuareg di Afrika& dan& ."
" Dan suku Minangkabau Provinsi Sumatra Barat di Indonesia. Hmmm... apa kamu tahu itu? Keliatannya pengetahuanmu tentang sistem matrilineal cukup luas. Pastinya kamu tau juga, dong, tanah leluhurmu ini merupakan masyarakat terbanyak di dunia yang mempunyai sistem matrilineal...." Zulfikar memotong kalimat Chintiya sambil melirik sedikit pada gadis itu.
Yang dilirik membuang muka, tahu bahwa pengetahuannya tentang daerah Minang sedang diuji. " Aku belum mendalaminya," katanya jujur. Kalau bukan
Harta Pusaka Cinta
karena tuntutan Mami untuk melakukan tugas yang dibebankan padanya, dia takkan peduli tentang tanah leluhurnya ini.
" Makanya, dalami itu. Syukur kamu sekarang berada di Ranah Minang. Jadi, akan lebih gampang memahaminya. Banyak buku tentang itu yang bisa kaupelajari. Kapan-kapan akan kubawa kamu ke perpustakaan yang memiliki banyak buku yang mengupas budaya Minang. Aku pun bisa memperkenalkanmu pada seorang wanita yang sering menulis tentang wanita Minang. Kamu pasti bisa banyak belajar dari beliau...."
Mata Chintiya berkilat mendengarnya. Untuk pertama kalinya ia menghargai si tukang kebun ini. Pandangannya sedikit berubah. Ia mulai bimbang dengan julukan yang ia berikan. Mungkin benar yang disampaikan neneknya bahwa ia belum tahu siapa sesungguhnya lelaki ini.
" Menarik. Aku mau," katanya pendek. Zulfikar tersenyum mendengarnya. " As soon as possible I will bring you there. I promise! Sekarang, ayo kita turun dan berdagang dengan hasil kebun nenekmu ini."
Chintiya tertegun sejenak mendengar cara Zulfkar menjawab, tapi kemudian diabaikannya.
Mereka berjalan bersisian memasuki celah-celah jalan di antara pedagang-pedagang yang menggelar dagangan mereka di mana-mana. Bagian kanan pasar umumnya dipenuhi pedagang sayur-mayur dan
rempah-rempah, sedangkan bagian tengah ditempati pedagang alat-alat rumah tangga dan mainan anakanak. Di bagian kiri rata-rata menjual buah-buahan. Ke sanalah mereka berdua mencari jalan.
Di sepanjang jalan ada saja yang menegur Zulfikar. Semua melirik pada Chintiya yang berjalan di samping pemuda itu.
" Calon bini tuh, Pak Ustaz Fikar?"
" Ondeeeh& rancak benar gadis yang di samping Ustaz mudo yo& !"
" Anak gadis dari mana pula yang dibawa tu, Ustaz?"
Begitulah komentar para pedagang pasar pada Zulfikar. Menanggapi itu semua, Zulfikar hanya tersenyum. Sesekali ia terkekeh atau menghentikan langkahnya untuk mengobrol sebentar.
Chintiya hanya mengekor. Ia diam saja karena logat Minang yang kental dari mulut mereka membuat ia sedikit bingung. Zulfikar pun menjawab dalam bahasa Minang yang sama kentalnya.
" Tukang kebun ini rupanya cukup populer di pasar," pikir Chintiya. " Jangan-jangan dia ini memang hanya tukang kebun. Tukang kebun yang sok tahu, barangkali. Namanya juga tukang kebun, pastilah dia sering menjual hasil-hasil kebun. Pantaslah ia dikenal di pasar. Pasti si tukang kebun ini seorang pria putus sekolah. Di Jakarta banyak anak-anak muda putus sekolah yang kerja di pasar. Biasanya mereka jadi tukang parkir, buruh angkut, atau malah preman pasar
Harta Pusaka Cinta
yang kerjanya memalak para pedagang. Tapi lagak mereka persis seperti si tukang kebun ini. Nyebelin! Sok tahu! Sok pintar!"
Akhirnya, semua hasil kebun Anduang Rabiah berpindah tangan pada beberapa pedagang.
Sebelum menghidupkan mesin mobil tuanya, Zulfikar memberikan semua hasil penjualan pisang dan pepaya Anduang Rabiah pada Chintiya. " Ini semua hasil penjualannya."
Chintiya menerima uang tersebut. Tapi segera matanya melotot dan mulutnya menganga. " Hanya segini?" katanya sambil bolak-balik menghitung lembar-lembar uang itu. Berkali-kali dihitungnya tapi tetap saja berjumlah lima ratus lima puluh ribu rupiah.
" Memang segitu. Memangnya kamu mau berapa?" jawab Zulfikar santai. Ia menghidupkan mesin mobil Kijang ringseknya. " Atau kamu curiga aku memotong uang itu untuk upah kerjaku?" tanya Zulfikar sambil tersenyum.
" Oh, enggak& aku nggak maksud begitu. Cuma nanya, kan, boleh& ." kata Chintiya buru-buru. Ia tahu pria ini sama sekali tak mengambil keuntungan dari hasil penjualan. Ia melihat dan mendengar sendiri negosiasi penjualan. Uang itu sama sekali belum diapa-apakan dan langsung diberikan kepadanya.
" Boleh... boleh, asalkan jangan menganggap aku mengambil keuntungan. Insya Allah, sampai hari ini
aku membantu nenekmu dengan ikhlas. Aku hanya berharap bayarannya bisa kuterima di akhirat."
" Maksudnya?" tanya Chintiya sambil mengerutkan kening.
" Bila kita membantu seseorang tanpa mengharapkan balasan di dunia, kita anggap saja kita akan menerima balasannya di akhirat. Balasan itu adalah tabungan pahala dari perbuatan-perbuatan baik kita selama di dunia," jelas Zulfikar. Ia melirik gadis di sampingnya yang tetap saja mengerutkan kening. Hati Zulfikar langsung terenyuh. Sekarang dia tahu mengapa Anduang Rabiah meminta tolong padanya untuk ikut memperkaya alam pikirian gadis ini dengan agama, adat, dan budaya. Saat itu juga jiwanya terpanggil untuk menunaikan amanah Anduang Rabiah.
Sepanjang jalan setelah itu, tak ada pembicaraan lagi di antara mereka. Zulfikar asyik memikirkan cara untuk membuat perubahan yang dikehendaki Anduang Rabiah. Zulfikar sangat ingin membuat Anduang Rabiah berbahagia. Ia bisa melihat sukacita di mata Anduang Rabiah saat menerima kehadiran cucunya. Namun, cucu blasteran Eropa yang lahir dan tumbuh di kota-kota besar berfasilitas mewah itu memiliki penampilan dan sikap yang bertentangan dengan sikap hidup Anduang Rabiah. Tentulah itu membuat hati tuanya resah dan gelisah.
" Kamu heran, ya, kenapa hasil kebun nenekmu hanya dihargai segitu?" tanya Zulfikar membelah
Harta Pusaka Cinta
kesunyian. Mereka sudah hampir sampai di rumah Anduang Rabiah.
" Murah banget," komentar Chintiya. " Hasil kebunnya, kan, tadi banyak. Kalo di Jakarta, pisang ama pepaya segede-gede dan seranum itu mahal, lho."
" Nah, itulah derita para petani di desa. Orang kota mana peduli dengan kerja keras petani desa menanam, merawat, kemudian memanen hasil tanaman mereka. Para pedagang di kota seenaknya menaikkan harga, padahal mereka membeli dari petani dengan harga murah. Buah, sayur, dan beras dikemas secara modern dan masuk mal. Harganya melonjak. Yang kaya tetap orang kota, kan? Para petani yang bekerja keras tetap saja hidup dengan bermandi keringat."
Chintiya terdiam mendengarnya. Untuk kedua kalinya ia menghargai pendapat si tukang kebun ini. Diam-diam ia memuji, " Ternyata cemerlang juga isi otak tukang kebun ini." Ia mulai tertarik untuk mengetahui siapa sebenarnya pria di sampingnya ini.
" Rupanya kau memahami betul masalah perekonomian di desa dan kota."
" Yaaah& maklumlah. Aku, kan, anak desa. Aku berkampung halaman di sini, lahir dari keluarga petani. Sedikit banyaknya aku tahu ketimpangan-ketimpangan itu...."
" Jadi, kamu ini petani?"
" Ya iyalah. Aku ini cuma petani, cuma tukang kebun yang selalu berhubungan dengan bercocok tanam," Zulfikar tersenyum lebar.
Chintiya sempat melirik senyum itu. Ia mencaricari rasa gondok di hatinya yang tadi membuatnya ingin melabrak pria ini. Tapi& sialan! Kali ini ia menyukai senyum itu. Bah! Ia langsung melengos. Bukankah senyum itu tetap bernada mengejek dan menjahili? Ia tahu itu!
Tinggal satu belokan lagi, sampailah mereka di halaman rumah Anduang Rabiah.
" Sudah hampir habis waktu Asar, aku harus ke masjid. Aku tidak turun, ya. Tolong kamu saja yang melaporkan hasil penjualan tadi. Salam saja sama nenekmu, ya. Assalamualaikum," kata Zulfikar. Chintiya cuma manggut-manggut mendengarnya. " Eiiit... kamu balas dulu ucapan salamku. Tidak baik kalau orang mengucapkan salam tidak dibalas," ujar Zulfikar ketika melihat Chintiya langsung saja turun dari mobil.
" Balas ucapan salam gimana?" tanya Chintiya tidak mengerti.
" Jika orang mengucapkan assalamualaikum, kamu harus balas dengan mengucapkan waalaikumsalam," jelas Zulfikar.
" Oh... iya, deh. Waalaikumsalam," Chintiya mengu capkannya dengan kaku. Ia sendiri tidak tahu mengapa harus patuh pada perintah pria yang dijulukinya si tukang kebun gila itu.
" Naaah... begitu bagus!" Zulfikar mengacungkan jempol pada Chintiya.
Harta Pusaka Cinta
Chintiya hanya bersungut-sungut sambil berlalu. " Heran! Kok gue mau aja dikerjain si tukang kebun gila itu?" makinya pada diri sendiri.
Sementara itu, Zulfikar tersenyum-senyum melihat kepatuhan cucu Anduang Rabiah itu padanya. Ia mengangkat tangan, seolah memberi hormat. " See you later!" katanya sambil tersenyum lebar. Sesaat kemudian, ia memacu Kijang baknya menuju surau yang tak jauh dari rumah Anduang Rabiah.
Chintiya hanya melongo, tak tahu harus berkata apa. Diam-diam ia mulai ragu. Apakah pria ini memang hanya tukang kebun dan petani kampung? Caranya bicara, pengetahuannya, dan tingkah lakunya tidak memperlihatkan ia seorang yang udik. Logatnya pun tak begitu udik, malah cenderung ala anak muda Jakarta.
" Ah, peduli apa!" katanya sambil mengibaskan tangan. Setengah berlari ia menaiki anak tangga rumah neneknya.
Enam
C hintiya merasa pinggulnya ditepuk berkali-kali.
Tubuhnya masih bergelung di bawah selimut tebal sambil memeluk guling dengan nikmat. Udara dingin Ampek Angkek memang membuatnya betah berlama-lama di tempat tidur walau suara kesibukan Subuh jelas terdengar ke dalam kamarnya.
" Tiya& Tiya& bangun. Sudah Subuh," Anduang Rabiah menggoyang-goyang tubuh cucu perempuannya itu. Namun, tambah sering ia membangunkan, Chintiya tambah menggelungkan tungkainya yang panjang itu.
" Addduh... susah nian membangunkan kau, Tiya," keluh Anduang Rabiah sambil berlalu dari kamar cucunya itu. Tak lama kemudian ia datang dengan membawa gelas berisi air. Jari-jemarinya ia masukkan ke gelas itu, kemudian ia percik-percikkan ke wajah Chintiya.
Dalam hitungan detik, Chintiya terlonjak gelagapan. " Bocor& bocor! Ih, gentengnya bocor, niiih& ." katanya sambil mengusap-usap wajah.
Harta Pusaka Cinta
Ia melihat ke langit-langit kamar yang ia tempati, menc ari-cari sumber percikan air. Tak lama kemudian matanya tertumbuk pada Anduang Rabiah yang berdiri di samping tempat tidurnya dengan memegang segelas air. Tahulah dia sekarang, air itu datang dari neneknya. Ini sudah hari kedua ia dibangunkan dengan cara demikian. Namun, kemarin ia tidak dibangunkan sepagi ini.
" Uuuh& Nenek! Dibangunin aja kenapa, sih? Kok pake dipercikin air segala? Itu, kan, air dingin," kata Chintiya setengah menggerutu. Tanpa sadar ia kembali menarik selimutnya.
" Eeeh& jangan tidur lagi!" kata Anduang Rabiah dengan suara tegas.
" Hmmm... di luar masih gelap, juga. Kayak kemaren aja, Nek. Udah ada matahari. Gelap begini aku bisa mati kedinginan," jawab Chintiya dari balik selimut.
" Ini sudah mau azan Subuh. Kau yang susah sekali dibangunkan, padahal kamarmu dekat sekali dengan suara dari surau. Jendelamu sudah Nenek buka pula. Apa tak terdengar olehmu suara tapak-tapak kaki orang berjalan menuju surau untuk shalat Subuh? Ayo, bangun! Bersihkan tubuhmu! Nenek sudah siapkan air hangat di kamar mandi. Mandilah dulu, nanti kita wudu sama-sama," kata Anduang Rabiah sambil menarik selimut Chintiya dan langsung melipatnya.
" Aduh, Neeek, aku masih ngantuk banget, niiih. Absen aja, deh, shalat Subuhnyaaa...."
" Astagfirulaaaah.... Kaukira ini mau pergi ke mana? Pakai absen-absen segala! Tiya... Tiya, apa ndak diajari oleh mamimu untuk shalat lima waktu? Mamimu itu dulu sekolah agama tapi kok anaknya macam tak tahu agama saja! Ayo, bangun! Mulai hari ini kau harus lengkap shalat lima waktu. Kalau tak mau, kaukemasi saja barang-barangmu dan siang ini pulanglah ke Jakarta!" kata Anduang Rabiah keras.
Chintiya terlonjak mendengarnya. Ia menatap neneknya. Anduang Rabiah balik menatap dengan mata tuanya yang tajam. Walau begitu, sinar bijak penuh kelembutan menguasai ronanya. Chintiya seperti terhipnotis dan segera berdiri dari tempat tidurnya.
" Iy& iy& iyyya, Nek. Aku ke kamar mandi, nih, sekarang," katanya terbata-bata. Ia cepat-cepat menyambar handuk dan mencari-cari pakaian dalam di ranselnya. Betapa kagetnya ia karena ranselnya itu sudah kosong melompong.
" Semua ada di lemari pakaianmu. Tapi ada beberapa pakaianmu yang Nenek ambil. Selama di sini, kau tidak boleh memakai itu. Terserah. Kalau kau tak setuju, siang ini kaukemasi barang-barangmu dan pulanglah ke Jakarta!" kata Anduang Rabiah tegas. " Sebagai ganti pakaianmu yang Nenek ambil, sudah Nenek belikan beberapa lembar pakaian muslim remaja, gamis, serta kerudung. Itu yang harus kaupakai selama di sini! Paham kau?"
Harta Pusaka Cinta
Chintiya diam melongo, tidak tahu harus berkata apa. Ia bingung dia. Kapan Nenek membereskan ranselnya? Begitu nyenyakkah tidurnya semalamPerlahan ia beranjak ke lemari pakaian dari kayu jati berukir. Dibukanya perlahan. Dilihatnya di dalam terdapat beberapa helai pakaian yang terlipat rapi.
" Itu untuk pakaian rumah. Pakaian dalammu ada di laci lemari. Yang di tempat gantungan sebelahnya untuk pakaian kalau keluar rumah. Kaupakailah itu ke masjid," jelas Anduang Rabiah tanpa diminta.
Chintiya menelusuri satu per satu pakaian yang dijelaskan oleh neneknya. Perlahan-lahan mata bundarnya membesar dan semakin membesar. Dengan mulut menganga ia menatap nanap pada pakaian-pakaian yang tergantung. Beberapa lembar adalah setelan seperti yang dipakainya ketika pergi ke pasar bersama si kunyuk tukang kebun. Beberapa lembar yang lain adalah pakaian panjang mirip long dress tapi dengan kerah tertutup dan berlengan panjang.
" Waduuuh, Neeek& ! Aku bisa mati kerebus kalo make yang kayak ginian terus-terusan, Neeek...! Ampuuun, daaah...!" ia setengah menjerit melihat pakaian-pakaian itu.
" Tidak ada wanita mati kerebus hanya karena memakai baju yang menutup auratnya. Jangan terlalu mengada-ada! Aku ndak mau cucuku menjadi bahan gunjingan orang kampung karena sehari-hari memakai pakaian seperti laki-laki dan terbuka di mana
mana. Kau ingat-ingatlah baju-baju yang kaubawa. Semua memamerkan aurat wanita. Baju kaus ketat yang ndak ada lengannya, celana panjang yang seperti buruh pasar. Ada bolong-bolomgnya pula di dengkul. Terserah kau. Kalau kau ndak mau memakainya, siang ini balik saja ke Jakarta! Untuk apa kau di sini bila kau tak mau menyesuaikan diri dengan alam kampung halamanmu sendiri?"
Lagi-lagi Chintiya melongo mendengarnya. Otaknya menyuruhnya untuk berontak dan melawan. Belum pernah ia diperintah-perintah dan diatur-atur seperti ini. Memangnya apa hak wanita tua ini mengaturnya? Tapi kerja hatinya berucap lain. Hatinya justru terkesima, terpesona. Ia seperti menemukan apa yang dicarinya selama ini.
" Aku... mmm& aku akan pakai baju-baju yang Nenek belikan itu."
Anduang Rabiah berdiri dari duduknya di sisi tempat tidur. " Good! I hope you can keep your promise, young lady," kata Anduang Rabiah dengan bahasa Inggris yang fasih.
Mata Chintiya kembali membulat. Wajahnya melongo lagi.
" Lho, kenapa? Kaukira nenek tua yang hidup seorang diri di kampung ini buta huruf, ya? Jelek-jelek begini nenek mahir tiga bahasa asing," Anduang Rabiah tersenyum simpul.
" Oh& eh.. hmm, iya, Farida juga bilang begitu. Hmm& bahasa apa saja, Nek?"
Harta Pusaka Cinta
" Inggris, Jepang, dan Belanda." " Wooow& kereeen...!"
" Dan asal kautahu, kakek dan nenekmu ini sejak dulu selalu terpilih menjadi foster parents bila ada pelajar asing ditempatkan di kampung kita ini. Mamimu tak peduli tentang ini, atau mungkin juga dia tak menyukainya. Dia hanya tahu orangtuanya guru sekolah dasar dan guru agama yang berilmu rendah dan berwawasan minim."
Chintiya terdiam mendengarnya. Dipandangnya Nenek yang sibuk merapikan selimut dan tempat tidur yang berantakan bekas ditidurinya. Ia dapat merasakan kasih sayang wanita tua ini padanya di balik sikapnya yang keras itu.
" Kulihat banyak buku berbahasa Inggris di perpustakaan," kata Chintiya mengalihkan pembicaraan.
" Hmmm, ya. Aku dan kakekmu belajar berbagai bahasa secara otodidak, ditambah sering berkomunikasi dengan orang-orang asing yang ingin mengenal adat budaya Minang."
" Aku juga sangat suka membaca kok, Nek," ujar Chintiya. Kalau ini, ia tak berbohong. Buku merupakan kawan paling setia bagi dirinya. Maminya tidak mengetahui hobinya ini. Percuma saja. Bagi mamin ya, membaca merupakan salah satu kegiatan yang sia-sia dan membuang waktu saja. Baru pada neneknya ia mengatakan hobi utamanya ini.
" Ya, Nenek lihat di ranselmu ada beberapa novel asing. Bagus itu. Dengan senang membaca, kita akan
belajar dan memahami banyak hal tentang alam dan sikap hidup manusia. Tapi jangan hanya novel asing yang kaubaca. Belajarlah mencintai karya-karya dalam negeri. Kekuatan sastra tanah kelahiran mamimu ini, alam budaya, serta kehidupan sosialnya beragam pula. Mungkin ini yang dilupakan mamimu. Ia tidak menyukai bacaan."
" Jadi, Mami itu pemalas ya, Nek?"
" Dia sangat keduniawian. Ah, sudahlah. Jangan ngobrol terus. Sebentar lagi azan. Ayo, mandi. Akan Nenek pilihkan gamis untuk kaupakai ke surau." " Gamis? Itu nama baju?"
" Ya. Baju muslimah yang elok dipakai." Chintiya hanya manggut-manggut. Ia mengambil handuk sambil membayangkan dirinya akan setua neneknya bila mengenakan pakaian itu.
" Subuh ini kau harus mulai belajar tata cara shalat yang benar! Tidak boleh salah dan harus dihafalkan. Harus ikut Nenek ke surau dan mengaji. Paham?" kata Anduang Rabiah setelah berhasil menyuruh Chintiya memakai baju gamis pilihannya.
Kalimat ini ia ucapkan setelah berhasil membuat cucunya jujur tentang kebutaannya akan agama Islam. Chintiya bahkan belum pernah mengerjakan shalat seumur hidupnya. Anduang Rabiah sampai berkali
Harta Pusaka Cinta
kali menanyakan apa agama yang dipeluk cucunya itu.
Chintiya memperlihatkan KTP-nya. Tertulis agama Islam di sana. " Aku Islam, Nek," jawab Chintiya tanpa merasa bersalah. Ia menyodorkan KTP-nya sebagai tanda bukti bahwa ia seorang muslimah. " Tahu kau agama Islam itu bagaimana?" Chintiya terdiam. Mata bundarnya berputar-putar seolah sedang mencoba mencari jawaban yang tepat. Anduang Rabiah menatap lurus tak berkedip tepat ke mata Chintiya. Wajah gadis semampai itu merah padam dibuatnya.
" Jadi, jawabannya tidak tahulah, ya." Pertanyaan yang diajukan Anduang Rabiah pada cucunya itu akhirnya ia jawab sendiri. " Agama tidak hanya untuk bukti diri secara tertulis. Agama untuk diyakini sebagai pedoman hidup kita di dunia. Tahukah kau bahwa tujuan manusia hidup di dunia ini hanyalah untuk menunggu?"
" Menunggu?" Mata bundar Chintiya tambah berputar-putar. Begitulah mimik wajahnya bila ia sedang kebingungan.
" Ya, menunggu. Kau datang ke sini untuk apa? Coba tanya pada dirimu sendiri. Menunggu sesuatukah? Dalam aktivitas sehari-hari, semua orang mengenal proses menunggu. Menunggu guru atau dosen masuk kelas untuk mengajar. Menunggu kendaraan untuk menjemput atau mengantar. Menunggu penerimaan rapor, ijazah, gaji bulanan, bahkan menung
gu harta warisan yang akan diberikan padanya." Sejenak Anduang Rabiah menghentikan kalimatnya dan menatap tajam pada Chintiya.
Jantung Chintiya berdebar kencang. Dadanya terasa sesak. Jiwanya tersentak oleh permainan kata sindiran dalam kalimat itu. Ia menunduk dalam-dalam. Tiba-tiba ada sejumput perasaan gundah dan gelisah menghantui dirinya.
Anduang Rabiah melanjutkan kalimat yang ia tahan sebentar tadi. " Itu semua disebut menunggu sesuatu yang diperbuat oleh manusia itu sendiri. Halhal semacam itu bisa tak pasti, tidak tepat waktu, atau malah menjadi penantian yang sia-sia. Karena apa? Karena semua hal yang dibuat atau direncanakan manusia bersifat tak pasti. Tapi ada masa penantian yang pasti perhentiannya, pasti datang tepat waktu, sesuai dengan ketentuan kita masing-masing. Tahukah kau menunggu apa itu?"
Chintiya hanya menggeleng-geleng. Pikirannya terfokus pada kalimat-kalimat neneknya yang tibatiba menimbulkan rangsangan baru dalam jiwanya. Setiap kata yang meluncur dari bibir tua neneknya itu mempunyai isi dan makna yang dalam. Hatinya bergetar oleh setiap kata yang masuk ke telinganya.
Sejenak mata tua Anduang Rabiah menatap dalam-dalam gadis di hadapannya. Begitu pun Chintiya. Ia menatap mata neneknya seolah menginginkan jawaban dari penjelasan neneknya yang menggantung tadi.
Harta Pusaka Cinta
" Menunggu kematian. Kematian itu pasti datang tepat waktu kepada setiap manusia sesuai ketentuan yang digariskan Allah dalam perjalanan hidup yang dipinjamkan-Nya di dunia. Ingat, perbuatan ini hanya bisa dilakukan oleh Allah. Dia pula yang mengetahui kapan kematian itu datang pada masing-masing manusia."
Mata Chintiya membesar. Wajahnya terlihat takjub. Ia memandang tepat ke wajah neneknya tanpa berkedip.
" Nah, apa yang harus dilakukan manusia dalam masa menunggu kematiannya yang pasti datang itu? Jelas tidak sama dengan sikap menunggu sesuatu guna memenuhi keinginan manusia di dunia ini. Menunggu di sini harus diisi dengan amal ibadah yang pedomannya kita dapatkan dari ajaran agama. Agama itu diperlukan untuk mengisi masa penantian dalam tata aturan yang terbaik. Dengan berpedoman pada ajaran agama, manusia diyakinkan bahwa masa penantiannya terisi dengan nilai-nilai yang memuaskan. Bila masa menunggu itu berakhir, ia sudah siap menghadapinya dengan tenang dan penuh kedamaian...." Chintiya tercenung lama.
Anduang Rabiah memberikan masa pada cucunya untuk merenungkan kalimat-kalimat yang baru saja ia lontarkan. Hati tuanya tahu, bila ia ingin memenuhi rasa kepemilikannya akan sesuatu, ia harus membentuk, menjaga, dan merawatnya dengan baik. Bila ia ingin kasih yang dirindukannya menghampirinya
lagi, ia harus membentuk kasih itu tumbuh dengan sempurna, bercabang di seluruh sudut jiwa dan sanubari.
Keadaan diam itu berlangsung lama. Anduang Rabiah menunggu, tak ingin memulai kata. Gadis semampai berkulit putih tanpa cacat itu masih dalam perenungan panjangnya. Tampak jelas di wajahnya ia sedang membenahi perasaannya yang bergelombang, kemudian terhempas di tepi pantai yang luas.
" Aku ingin belajar agama Islam yang sebenarnya," tiba-tiba terdengar desis suara Chintiya. Desis yang hampir tak terdengar. Desis yang berbisik. Bola mata bundarnya menatap Anduang Rabiah dengan penuh harap.
Beberapa detik terjadi saling pandang antara seorang nenek dan cucunya. Perlahan terlihat sesungging senyum di kerut bibir sang nenek.
Anduang Rabiah mengusap lembut rambut pirang cucunya yang tergerai lebat. " Ayo kita berwudu dulu sebelum ke surau."
Anduang Rabiah melangkah ke samping rumahnya. Di sana ada beberapa keran. Keran-keran itu memang lebih banyak digunakan untuk berwudu dan menyiram tanaman di sekitar rumahnya. Siapa saja bisa berwudu di sana. Anduang Rabiah tak pernah melarang orang-orang membuka pintu halaman rumahnya dan menggunakan air keran untuk berwudu.
Harta Pusaka Cinta
" Ng... ak& aku... aku& nggak tau caranya, Nek...." " Ya tentulah kau tidak tahu. Shalat saja kau tak pernah, bagaimana kautahu cara berwudu?" ujar Anduang Rabiah. " Papimu sudah Islam, kan? Seharusnya tak masalah lagi bagimu untuk melaksanakan ajaran Islam dengan baik. Mamimu tahu cara membimbingnya. Dia tamatan madrasah dan tiap hari belajar mengaji denganku."
" Mmm& aku& mm& menurutku& hmm& yang kulihat Papi bukan beragama Islam, Nek& ."
Langkah Anduang Rabiah terhenti mendengarnya. Ia menatap cucunya itu dalam-dalam. " Menurutmu, agama apa yang dianut papimu?"
Chintiya hanya menggeleng-geleng. Matanya terus menatap ke wajah neneknya dengan sinar penuh pengharapan. Entah pengharapan apa.
Anduang Rabiah membalas tatapan itu dengan hati bergetar. Beberapa detik kemudian terdengar Anduang Rabiah menghela napas panjang, hampir mirip desah berkeluh.
" Yaaah, sudahlah. Mari kita berwudu," ajak Anduang Rabiah dengan suara setengah berbisik pada cucunya itu.
Chintiya mengikuti langkah Anduang Rabiah. Tanpa sadar ia menggandeng lengan wanita tua di sampingnya itu.
Anduang Rabiah pilu. " Inikah cucuku yang tersiasiakan oleh ambisi dan nafsu sepasang manusia yang tak menghargai keberadaan darah daging mereka sendiri? Menikah seenaknya dan bercerai seenak perutnya pula. Menjalankan kehidupan rumah tangga tanpa pedoman agama. Ah, Friska& Friska. Apalagi yang tak kuketahui tentang dirimu, Nak?" bisiknya dengan hati tersayat. Semuanya disimpannya dalamdalam di hatinya. Pegangan lembut Chintiya membuat hatinya kukuh ingin melindungi gadis yang nyata-nyata cucunya ini.
" Dia takkan kubiarkan seperti ibunya," bisik hati Anduang Rabiah. Tanpa sadar, ia semakin kuat menggenggamnya jemari cucunya.
Chintiya merasakan kekuatan genggaman itu sampai ke jantungnya dan memberikan degup yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Suara azan terdengar jelas. Merdu dan mendayudayu membelah kebeningan subuh. Suara yang selalu didengarnya sejak hari pertama ia tiba di tanah kelahiran maminya ini.
Hitam langit masih menyisakan beberapa kelip bintang. Namun, sudah terlihat semburat warna biru di ujungnya. Tak lama lagi semburat jingga matahari akan tersembul di sana. Chintiya berjalan bergandengan dengan Anduang Rabiah, telinganya tetap menyimak kumandang azan. Ia merasakan dadanya menghangat dan menggeletar.
Sesampai di pintu surau, Chintiya meniru neneknya melepas sandal dan menaruhnya di tempat
Harta Pusaka Cinta
yang sudah disediakan. Matanya langsung tertumbuk pada sosok berkopiah dan berpakaian muslim yang membelakangi pintu. Ia sedang berdiri sambil menaruh tangan kanan di telinga kanannya. Suara azan kembali berkumandang. Barulah Chintiya tahu bahwa suara azan yang sedang didengarnya dikumandangkan oleh pria itu.
" Siapa lelaki yang di depan mikrofon itu, Nek? Suaranya bagus sekali. Dua hari aku di sini, kudengar suara yang sama terus dari surau ini. Pasti orangnya juga sama. Suaranya... ihhh& gimanaaa, gitu. Bikin merinding," bisik Chintiya pada neneknya.
" Si tukang kebun gila," neneknya balik berbisik tanpa menoleh.
Chintiya terlonjak. Ia menatap tajam pada neneknya, seakan ingin meminta keterangan lebih jelas.
" Itu katamu! Kataku lain. Dia itu pemuda yang paling bagus suaranya di kampung ini. Saleh, cerdas, berilmu, rendah hati, dan tinggi tata kramanya," bisik Anduang Rabiah lagi, tetap tanpa melihat wajah cucunya.
Chintiya tersentak mendengarnya. Terjawablah rasa penasarannya selama dua hari ini tentang suara merdu yang mendayu-dayu itu. Ia tak mampu lagi berkata-kata. Semburat warna kemerahan terlihat jelas di pipinya.
Anduang Rabiah melihatnya. Dalam hati ia tersenyum, seakan mampu meraba apa yang sedang dirasakan Chintiya ketika mendengar jawabannya.
Shalat Subuh berjemaah dimulai. Semua orang berdiri meluruskan saf. Tiba-tiba Chintiya merasakan jantungnya bertalu-talu kencang. Mendadak ia merasakan kegugupan yang mahadahsyat. Keringat dinginnya keluar. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan.
" Aku tidak tahu caranya, Nek," bisiknya serak, hampir menangis.
Anduang Rabiah menoleh, menatap cucunya. Wajah cantik yang dua hari ini selalu bermimik menantang, sekarang tampak memelas tak berdaya. Dielusnya lembut punggung cucunya yang sudah tertutup mukena itu. " Ikuti saja gerak-geriknya. Nanti bacaannya kita pelajari pelan-pelan di rumah, ya," bisiknya di telinga cucunya.
Chintiya hanya mengangguk. Tanpa disadarinya, sikapnya persis seperti kanak-kanak yang sedang dibujuk untuk bisa melakukan sesuatu. Tanpa disadarinya pula, ia telah memasuki ruang kehidupan yang ses ungguhnya, gambaran dirinya yang sebenarnya. Tanpa keangkuhan, kesombongan, dan ego diri. Kedua bola mata indah itu memperlihatkan kehausannya akan belai kasih yang tulus.
Harta Pusaka Cinta Karya Desni Intan Suri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suruhan Anduang Rabiah itulah yang ia lakukan saat ini. Setiap perubahan gerakan, ia menoleh sedikit pada neneknya, baru ia ikuti. Persis kanak-kanak yang baru belajar shalat. Bibirnya bergetar menahan gugup, tapi diusahakannya juga untuk terus mengikuti.
Chintiya merasakan kekhusyukan suasana. Hening, hanya terdengar desahan, bisikan halus jemaah
Harta Pusaka Cinta
yang khusyuk dalam melaksanakan shalat Subuh. Setiap perubahan gerakan seakan bermakna besar. Chintiya dapat merasakan getarannya hingga ke seluruh tulang belulang.
Selesai shalat, dilihatnya semua khusyuk menadahkan tangan. Ada yang sambil memejamkan mata, ada yang sambil menengadahkan kepala. Chintiya tetap mengikuti walau tak tahu kalimat apa yang harus ia sebut. Namun, ia merasakan kehebatan getarnya.
" Inikah yang disebut shalat? Inikah yang selama ini tak pernah kuperbuat?" desah hatinya. Ia bimbang, antara menerima pembersihan dan pembaharuan dalam jiwanya, dengan keinginan untuk melakukannya sebatas mencapai tujuannya datang ke kampung ini. Tiba-tiba saja hatinya menyuruh untuk men yuarakan sesuatu pada Tuhan. Maka berdoalah dia di dalam hati.
" Ya Tuhan, aku ingin seperti mereka. Aku melihat kedamaian di wajah-wajah mereka. Aku melihat kekayaan di balik kesederhanaan penampilan mereka. Ya Tuhan, aku ingin seperti mereka...."
Tanpa terasa air mata mengambang di sudut-sudut matanya. Ada rasa yang berpendar-pendar, menjalar menghangatkan jiwanya, membuatnya hanyut dalam keharuan. Ibadah yang baru pertama kalinya ia ikuti ini seolah membangunkan dirinya dari tidur panjang.
Setelah shalat Subuh, lama ia berdiam diri di kamar tidurnya. Lama ia tidur-tiduran menelentang, hanya memandang langit-langit kamar.
Anduang Rabiah bukannya tidak tahu perubahan sikap cucunya sepulang dari shalat Subuh. Ia tahu betul Chintiya mendadak menjadi pendiam, murung, dan selalu menunduk. Namun, ia sengaja tak bereaksi dan membiarkan Chintiya berlama-lama di kamarnya.
" Dia membutuhkan waktu untuk berpikir dan membandingkan apa yang ia dapat selama ini dengan apa yang didapatnya beberapa menit lalu," ujar wanita tua itu dalam hati.
Sementara itu, Chintiya berusaha membenahi jiwanya yang sedang kacau balau. Sekilas-sekilas hadir wajah Zulfikar di ruang matanya. Selesai shalat Subuh tadi, dilihatnya laki-laki itu membalikkan tubuh dan menghadap orang banyak. Lalu meluncurlah kalimatkalimat khotbah Subuh yang disimak oleh seluruh jemaah yang memenuhi surau.
Chintiya shock menghadapi keadaan yang belum pernah ia alami. Memasuki surau atau masjid saja ia belum pernah, apalagi mengikuti urutan ibadah di dalamnya. Ditambah lagi, ia tak menyangka bahwa si pemilik suara indah itu adalah orang yang disebutnya " si tukang kebun gila" .
Ketika pemuda itu memberikan kalimat-kalimat pendalaman akan makna Islam, semua orang tekun mendengarkan. Tua dan muda menatapnya tanpa berkedip sambil sesekali mengangguk-angguk, seolah sangat memahami kalimat-kalimat yang meluncur dari bibirnya.
Harta Pusaka Cinta
Saat itu Chintiya tak bisa mengontrol hatinya. Perasaannya bercampur baur antara tertekan, kagum, malu pada diri sendiri, dan merasa diri orang yang termiskin di surau itu.
Tak mampu ia menatap si tukang kebun gila itu berlama-lama, seperti yang dilakukan jemaah lainnya. Ia lebih banyak menunduk dan mempermainkan ujung mukenanya yang berenda. Menyurukkan tubuh dalam-dalam di antara jemaah yang duduk di sekitarnya.
Semua tingkah lakunya itu tak lepas dari penglihatan Anduang Rabiah. Sesekali ia melirik cucunya itu, lalu bibir tuanya menyunggingkan senyum. Entah apa makna senyumnya tapi kelihatan sekali wajahnya mencerminkan perasaan senang. Mungkin ia merasa lega dengan kepatuhan dan kesantunan Chintiya kali ini.
Tujuh
F riska gelisah bukan kepalang. Tadi malam ia
menelepon Chintiya tapi putrinya itu menolak memberi keterangan yang ia minta.
" Aku capek, Mi. Tadi disuruh Nenek ke pasar buat ngejual buah. Besok aja, ya, Mi& ." suara putrinya itu kedengaran memelas. Walau tidak sabar mendengar perkembangan rencana mereka, ia terpaksa tak bertanya lebih lanjut.
Pagi ini, sejak pukul enam sudah lima pesan pendek dikirimnya ke ponsel putrinya. Namun, tak satu pun dijawab. Ia ragu untuk menelepon langsung. Ia tahu, seharusnya ia mengontak Amak untuk berbicara langsung. Chintiya sudah memberikan nomor telepon rumah Amak. Ternyata rumah itu sudah bertelepon sekarang. Terbayang olehnya rumah gadang itu sudah megah dan mewah.
Berkomunikasi langsung dengan Amak masih menjadi kendala bagi dirinya. Ia tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana. Ia kenal sosok Amak. Seorang wanita yang luarnya saja lembut
Harta Pusaka Cinta
namun hatinya keras. Pendiriannya pun kukuh. Sikap Amak inilah salah satu hal yang membuat ia merasa tertekan. Banyak hal yang membuatnya merasa kehidupannya seperti di penjara.
Dari kecil ia diharuskan belajar di sekolah agama sampai sekolah menengah. Baru di tingkat menengah atas ia boleh masuk sekolah umum. Sewaktu ingin memasuki perguruan tinggi, keinginannya pun ditolak. Ia malah diminta menekuni keahlian menenun dan membuka bisnis di bidang jahit-menjahit. Abak dan Amak seperti sepasang manusia yang selalu kompak mengarahkan setiap sudut kehidupannya.
Ia melirik jam dinding di ruang kerjanya. Sudah hampir sore. Tangannya mengambil ponsel. Menimang-nimangnya, lalu menaruhnya lagi. Tangannya berpindah mengangkat telepon meja. Baru menekan beberapa angka, ia menaruh kembali gagang telepon itu di tempatnya. Hatinya kacau tak menentu.
Kemarin malam ia kembali didatangi oleh Koh Ibeng dan beberapa pengawalnya yang berpenampilan kasar.
" Mbak Fris udah dikasih kemudahan banget sama bos besar saya lho, Mbak. Sampai saat ini Mbak nggak dikenai bunga," kata Koh Ibeng.
Friska dikenalkan padanya oleh Amilie Loh, kawann ya yang berkebangsaan Malaysia. Ia percaya pada Amilie karena mereka teman karib. Rumah Amilie di Kuala Lumpur sudah menjadi rumah keduanya. Ia sering menghabiskan akhir minggu de
ngan bersenang-senang bersama Amilie di KL atau Singapura.
Tapi sekarang ia mulai meragukan kebaikan hati Amilie, apalagi akhir-akhir ini kawannya itu selalu sulit dihubungi. Amilie pun beberapa kali menolak rencana spend week end dengannya.
" Kalau peminjam yang lain mana bisa nyicil. Di perjanjian, kan, sudah jelas. Nggak ada cicilan. Selain itu, mereka tetap dikenai bunga pinjaman. Beda ama Mbak Fris. Udah nyicilnya boleh, nggak dikenai bunga, lagi. Tapi sekarang Mbak Fris, kan, udah telat nyic il dua bulan. Nah, saya cuma nyampein pesen dari Bos Besar, kalau akhir bulan ini Mbak nggak bayar yang minimal dua ratus juta itu, Mbak akan dikenai bunga pinjaman. Telat sehari aja kena satu juta, lho."
" Nggak bisa begitu, dong! Itu namanya pemerasan!" teriak Friska saat itu.
Kemarahan Friska itu malah disambut tawa panjang Koh Ibeng dan pengawal-pengawalnya.
" Mbak... Mbak. Bikin geli aja, deh! Memangnya Mbak pikir Mbak sedang berhadapan dengan siapa? Petugas sosial? Kami ini profesional lho, Mbak. Semua hak dan kewajiban sudah jelas diberikan, baik secara tertulis maupun lisan, sebelum proses pinjam-meminjam dilaksanakan. Memangnya surat perjanjian yang diberikan pada Mbak nggak dibaca, ya?" Tawa kasar yang panjang kembali memekakkan telinga Friska.
Saat itulah ia tersadar bahwa selama ini ia terperangkap dalam lingkaran setan peminjaman uang yang sulit terlunasi.
Harta Pusaka Cinta
" Baiklah, akan saya transfer secepatnya." Hanya itu yang bisa ia ucapkan. Mau mencak-mencak pun tidak ada gunanya. Hatinya ciut setiap kali Koh Ibeng datang dengan para pengawal yang rata-rata berwajah sangar dan tubuh penuh tato.
Hari ini memasuki minggu kedua bulan April. Bera rti waktunya tinggal tiga minggu lagi untuk melunasi cicilan dua ratus juta yang kedua kalinya. Dua ratus juta pertama sudah dibayarnya dengan menguras dolar yang tertinggal di rekeningnya. Ada dua rumah mewah, tiga mobil mewah, sebuah kedai emas, dan butik berikut salon sebagai harta-hartanya di Jakarta ini. Semua itu harta yang diperolehnya setelah perceraiannya dengan Leo. Takkan ia gunakan harta-harta itu untuk membayar utang yang bunganya membengkak setiap hari.
Diam-diam ia menyesali diri yang telah terseret dalam peminjaman gelap ini. Hatinya mendua. Apakah membayar lunas segera atau tetap mencicilSebetulnya ia mampu membayar lunas semua utangnya pada Koh Ibeng dengan cara menjual sebagian besar hartanya itu. Tapi ia tidak rela jika hartanya ludes Dalam sekejap.
Sudah jelas baginya. Bila sebagian besar harta itu dijadikan pembayar utang, ia takkan bisa lagi menikmati kemewahan yang selama ini ia rasakan. Tidak! Harus ada jalan lain untuk melunasinya!
Ia menghempaskan tubuh di kursi kerjanya. " Duuuh... what happen with you, honey? Kok nggak
jawab-jawab SMS Mami sih?" bisik Friska pada diri sendiri. Tiap sebentar diliriknya benda persegi panjang kecil yang tergeletak di mejanya.
Ia menguatkan hati. Dengan jari-jemari sedikit gemetar, ditekannya sebuah angka yang kemudian menampilkan nama Chintiya. Nada masuk berbunyi. Ditunggunya sampai nada panggil berakhir tapi tidak ada jawaban. Dicobanya sekali lagi dan sekali lagi sampai berkali-kali. Tetap tidak dijawab.
Akhirnya, ia membanting ponselnya itu ke meja kerja. Dadanya terasa sesak sampai ia susah bernapas. Cepat-cepat diambilnya sebuah kotak tipis bersepuh emas. Ketika dibuka, tampaklah deretan rokok kretek yang tersusun rapi. Ditekannya sudut bawahnya. Keluar sejumput api dari ujung kanan kotak tersebut. Kotak rokok mewah berlapis emas itu ia beli di Paris. Ia punya dua kotak lagi, masing-masing berlapis emas dan perak asli.
Sore yang mulai menjemput petang dihabiskannya hanya dengan mengisap rokok kretek di ruang kerjanya. Karyawan-karyawan butik, salon, dan studio modellingnya sudah tak ada lagi yang bekerja. Denia sudah permisi pulang setengah jam yang lalu.
" Ya, nanti saya yang kunci," kata Friska ketika Denia pamit pulang. Denia sempat menawarkan diri untuk membelikan makan malam tapi Friska menolak dan menyuruh gadis muda itu segera pulang.
Seakan tahu majikannya sedang tidak mau diganggu, Denia tak bertanya apa-apa lagi.
Harta Pusaka Cinta
Sepeninggal Denia, dalam keheningan rukonya Friska seakan bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Perasaan geram, cemas, dan bertanya-tanya bercampur dalam dadanya.
" Ada apa dengan Chintiya? Kenapa ia tidak menjawab pesan pendek dan panggilanku? Jangan-jangan Chintiya diusir!" katanya dalam hati. " Atau teleponnya disita Amak agar ia tak bisa berkomunikasi denganku? Atau mungkin dia dicelakai?" Segala prasangka buruk berputar-putar di kepalanya. Semua prasangka itu ditujukannya pada Amak.
Dari dulu ia memang tak bisa sepenuhnya memercayai kedua orangtuanya. Menurutnya, semasa kanakkanak sampai menjelang remaja, hidupnya terlalu diatur oleh orangtua. Alhasil hidupnya malah menjadi berantakan dan tak bisa mencapai kehidupan duniawi yang ia kehendaki. Baginya, kedua orangtuanya itu melakukan segala sesuatu untuk anak-anak mereka karena ingin tampil terbaik di mata orang banyak.
Diakuinya, Abak dan Amak sama-sama orang terpandang dan disegani di kampung. Di zamannya, kedua orangtuanya itu dianggap sebagai orang berpendidikan tinggi. Abak kepala sekolah SMP, sedangkan Amak kepala sekolah SD. Selain itu, mereka berdua giat memberantas buta huruf dengan menjadi guru untuk anak-anak tak mampu dan para orang tua yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah.
Semasa SD sampai SMP, ia harus melihat rumah yang selalu ramai dengan orang dari berbagai usia dan tingkat kehidupan. Setiap hari, orangtua meladeni
siapa pun yang membutuhkan ilmu, petunjuk, saran, atau sekadar menumpang membaca buku di perpustakaan rumah mereka. Rumahnya tak pernah sepi.
Keadaan itu membuat hatinya sakit, kesal, dan marah. Rumah bukan lagi tempat berteduh yang nyaman untuk melepas lelah. Sepulang sekolah ia hanya beristirahat untuk shalat dan makan siang. Setelah itu, ia diharuskan mengulang pelajaran sekolah dan mengaji. Malamnya ia dipaksa untuk ke rumah Tek Lela, mendengar petuah agama dan menafsirkan isi Al-Qur an.
Ia merasa tertekan. Ia seperti dipaksa untuk menerima rutinitas hidup yang tak disukainya. Lama ia memendam perasaan tanpa bisa mengungkapkannya pada siapa pun. Semua orang di sekelilingnya eteketek, abang-abang, tetangga-tetangga terdekat dianggapnya berpihak pada cara hidup kedua orangtuanya. Mereka semua menikmati dan merasa nyaman. Ia seakan tak mempunyai peluang untuk menampilkan keinginan-keinginan dirinya yang sesungguhnya.
Masa SMA tiba. Masa inilah yang ditunggunya. Saat itu di kampungnya tak ada SMA. Itu berarti ia harus keluar dari kampungnya. Abak memilihkan sekolah agama untuknya di Padang Panjang. Ia menolak dan mengancam tidak akan melanjutkan sekolah kalau dimasukkan di sana. Ia ingin sekolah di kota Padang, di sekolah umum. Ia tahu kedua orangtuanya tak mampu menolak karena mereka takkan membiarkan anak-anak mereka mempunyai pendidikan yang rendah.
Harta Pusaka Cinta
Kehidupannya di rumah kontrakan khusus putri masih dikontrol oleh Abak yang membuka kedai nasi di Padang. Namun, ia sudah cukup lega karena bisa lepas dari kehidupan yang tak disukainya di desa kecilnya. Inilah awal langkah untuk meraih keinginan, kebebasan, dan kenyamanan hidup yang ia impikan.
Friska memejamkan mata. Mengenang masa kecil dan kehidupan di kampung halaman membuat dadanya sesak dan tertekan.
" Huh! Kenapa ingatan-ingatan itu harus terlintas lagi?" makinya pada diri sendiri. " Ini gara-gara ingin menuntut hak akan harta warisan itu! Seharusnya mereka sudah menyerahkannya padaku sebelum usia mereka lanjut! Bukannya malah menunggu dituntut kayak gini!" makinya lagi.
Pesan pendek dan teleponnya tetap tak terbalas. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengakhiri penantian. Diliriknya jam dinding. Baru pukul delapan malam. Tak ada salahnya menghabiskan waktu dengan duduk-duduk di pub langganannya. Ia perlu tempat untuk menumpahkan kekesalannya. Beberapa gelas minuman beralkohol dan berdansa dengan kawan-kawan karib pasti akan melegakan perasaan.
Ia menyambar tas sandangnya, kemudian menembus kehidupan malam kota Jakarta yang selalu menawarkan aroma kebebasan nan menggiurkan. ***
Delapan
" K esempatan baik bagimu untuk mempelajari
salah satu seni budaya kampung halamanmu sendiri, Tiya."
" Iya, Nek," kata Chintiya pendek. Sekilas diliriknya Zulfikar. Ternyata pria itu juga sedang menatapnya. Ia segera membuang pandangan ke arah Farida yang duduk di samping pria itu.
Di mata Chintiya, mereka pasangan yang sangat serasi. Yang gadis berwajah manis dan lembut hingga tak puas mata memandang. Yang pria berwajah tampan dan bermata tajam, membuat para gadis takluk saat bertatapan dengannya. Wajah keduanya pun sama-sama memancarkan kecerdasan.
Tiba-tiba perasaan tidak nyaman mengalir di hatinya, membumbung menjadi sebuah kecemburuan.
" Cemburu?" Jiwanya terlonjak seketika. Glek! " Buat apa aku mencemburui si tukang kebun gila ini!" katanya dalam hati. Ia menelan ludah yang tibatiba terasa pahit.
Harta Pusaka Cinta
Tapi ia paham sekarang. Sejak Farida berada di rumah neneknya kemarin pagi, Zulfikar beberapa kali datang mengunjunginya. Walaupun ada beberapa anak muda menyertai, dapat dilihatnya keakraban yang terjalin antara Zulfikar dan Farida.
Farida menginap beberapa malam di rumah Anduang Rabiah karena ikut serta dalam petunjukan teater tradisi randai. Sudah dua hari pula rumah Anduang Rabiah dipenuhi anak-anak muda. Mereka datang untuk berlatih di halaman belakang rumah Anduang Rabiah yang luas. Tingkah laku mereka sangat santun. Chintiya bisa melihat neneknya sangat bersemangat meladeni anak-anak muda tersebut.
Semula ia merasa terganggu. Rencananya buyar seketika. Hatinya kebat-kebit. Sudah hampir seminggu ia berada di rumah neneknya. Selama ini waktunya habis untuk mempelajari agama Islam. Nenek mencekokinya dengan buku-buku agama dan mendampinginya siang malam untuk memahami isinya. Selain itu, ia diwajibkan pergi ke surau setiap waktu shalat tiba, serta belajar membaca kitab suci Al-Qur an dan mengetahui maknanya.
Jujur saja, ini sesuatu yang baru dan membuat ia merasa hidupnya lebih beradab. Walaupun disiplin neneknya tergolong ketat, ia menyukainya. Hari demi hari dilaluinya dengan lebih teratur dan bermakna.
Walaupun belum merasakan manfaat besar dari mempelajari dan mematuhi aturan neneknya, ia merasa menemukan sesuatu yang lain di dalam dirinya. Ia
belum paham apa itu dan apa gunanya. Mungkin yang ia rasakan saat ini hanyalah indahnya kasih sayang dan perhatian khusus seorang nenek. Rasa kasih yang belum pernah ia rasakan selama ini. Hal inilah yang tanpa ia sadari membuatnya lalai akan janjinya pada Mami untuk memperolah harta warisan dalam tempo seminggu.
Kehadiran Farida, Zulfikar, dan pemuda-pemudi kampung yang tergabung dalam grup seni randai membuat ia semakin lalai dengan tugas yang sebenarnya. Ia pun malas berkomunikasi panjang lebar dengan Mami tentang siasat-siasat yang mereka rancang. Chintiya tahu, Mami pasti menunggu berita darinya.
Akhirnya, ia memberi alasan yang gampang, sedang capek!
Hari ini ia berkali-kali menerima pesan pendek dari Mami. Tak satu pun ia balas. Seharian, sampai pukul sembilan malam, ia asyik melihat Zulfikar memimpin anak-anak muda berlatih randai. Ia jadi memiliki banyak kenalan, salah satunya bernama Bachtiar.
Perasaannya yang semula terganggu berubah menjadi keingintahuan yang besar. Mereka semua ramah padanya. Tak bosan-bosannya mereka menjelaskan tentang randai.
" Ini semacam teater tradisi yang bertolak dari sastra lisan," jelas Zulfikar.
" Di Minang disebut kaba atau cerita. Jadi, merandai bisa juga disebut bakaba atau bercerita," lanjut Bachtiar. Pemuda ini terlihat agak malu-malu jika
Harta Pusaka Cinta
berbicara dengan wanita tapi kepemimpinannya terlihat jelas ketika ia mengatur gerak dan lagu peserta randai.
Chintiya tekun mendengarkan. Ia bertambah tertarik ketika melihat apa yang dilakukan pemudapemudi kampung itu. Randai ternyata semacam drama klasik yang menggabungkan tutur kata, nyanyian, dan musik. Alat-alat musik yang digunakan pun san gat menarik hatinya. Semuanya alat musik tradisional Minang.
Dengan penuh minat ia mencoba alat-alat itu satu per satu. Ada talempong, logam berwarna keemasan yang mempunyai tonjolan-tonjolan bulat. Talempong ini dipukul dengan alat khusus sehingga mengeluarkan nada-nada yang berirama. Ada pula saluang, puput batang padi, dan bansi yang merupakan alat musik tiup. Selain itu, ada juga rabab yang digesek seperti biola.
Yang lebih mendebarkan hatinya adalah ketika mendengar Zulfikar menyanyi. Pemuda itu berperan sebagai tukang dendang dan pembaca naskah. Ia memang sangat cocok ditaruh di posisi tersebut. Menurut Farida, Zulfikar adalah kunci keberhasilan petunjukan randai mereka. Dalam petunjukan randai, tukang dendang dan pembaca naskah harus mempunyai suara yang bergetar, mendayu-dayu panjang saat menyanyi, dan mampu memberikan gelombang suara menggugah pada saat bernarasi.
" Suara Uda Fikar memang sangat sedap didengar telinga. Siapa yang mendengarnya pasti akan terkesima sampai bernapas pun susah," bisik Farida pada Chintiya. Tapi rupanya yang dibicarakan sedang berada tepat di belakang punggung Chintiya.
" Kalau memuji itu jangan di dekat orangnya. Nanti bisa-bisa yang dipuji terbang tinggi dan nggak bisa balik lagi," Zulfikar tersenyum.
" Haaa... siapa yang nyangka Uda Fikar berdiri di belakang Tiya? Jadi, sekarang merasa melayanglah tu dipuji dua gadis cantik," kata Farida diringi tawanya.
" Oh& jadi yang memujiku tadi dua gadis cantik, ya? Waaah... wah& hidungku jadi mengembang dan melambai nih seperti kepak burung...."
Semua tertawa mendengarnya waktu itu, termasuk Chintiya. Baru beberapa hari di kampung halaman Mami, telinganya sudah terbiasa mendengar dialek Minang yang dicampur-campur dengan bahasa Indonesia. Belum lagi perumpamaan-perumpamaan yang sering digunakan.
Tidak hanya dialek dan tutur kata mereka yang menjadi perhatian Chintiya. Tanpa diinginkan, ia pun memperhatikan gelagat antara Zulfikar dan Farida. Dilihatnya, kalau bersama Zulfikar, Farida tampak lebih lincah dan banyak tertawa. Hatinya menduga ada hubungan khusus antara Zulfikar dan Farida. ***
Harta Pusaka Cinta
Sehabis latihan yang berjam-jam, mereka duduk berselonjor atau tiduran di halaman rumput yang luas di rumah gadang Anduang Rabiah. Chintiya ikut berselonjor bersama mereka. Anak-anak muda yang semula dianggapnya orang udik ternyata malah membuatnya betah bersenda gurau dengan mereka.
Gadis semampai ini begitu saja jatuh cinta pada keramahan dan sikap kekeluargaan yang ia terima selama di kampung ini. Selain itu, banyak hal baru yang didapatnya. Setiap hari ia merekam dan memotret kegiatan anak-anak muda ini. Ia berencana menuliskan semua pengalamannya ini. Ia yakin, majalah-majalah yang biasa memuat tulisannya akan tertarik.
Anduang Rabiah berdiri di anak tangga paling atas rumah gadang. " Anduang masuk kamar dulu, ya. Silakan ambil sendiri apa-apa yang mau kalian makan di belakang. Masih ada dua mangkuk nasi dan banyak lauk-pauk. Tiya, Ida, kalian berdua tolong ke dapur, ya. Goreng lagilah adonan bakwan jagung tadi. Ada di mangkuk biru di dalam kulkas," katanya setengah berteriak.
Semua anak muda itu mengucapkan terima kasih dan meminta Anduang Rabiah segera beristirahat.
Kasih sayang seorang ibu jelas tergambar dalam sikap Anduang Rabiah pada anak-anak muda yang berlatih di rumahnya. Ia tak pernah membeda-bedakan mereka. Sebaliknya, anak-anak muda itu pun menunjukkan sikap penuh cinta dan santun kepada Anduang Rabiah. Mereka tidak saja menghargai An
duang Rabiah sebagai seorang guru dan orang yang dituakan, tapi juga sebagai seorang ibu untuk mereka semua.
Chintiya langsung berdiri dari duduknya. " Siap, Nek! Nanti kugoreng semua!" Ia mengangkat tangan kanan dan memberi hormat pada neneknya.
Semua yang melihatnya tergelak geli. Anak-anak muda itu mulai menyukai Chintiya yang lucu, spontan, demokratis, dan ceplas-ceplos. Apalagi Chintiya tak segan-segan menanyakan hal yang tak dimengertinya pada mereka semua.
" Wah... anak Jakarta bisa juga menggoreng bakwan jagung? Kudengar anak-anak Jakarta cuma bisa merebus air, itu pun sampai airnya habis," celetuk Zulfikar.
Chintiya mencibir. " Ntar kalo gue punya pabrik bakwan, lu jangan coba-coba beli bakwan dari pabrik gue, ye...." katanya kalem.
Farida tertawa dan mengacungkan jempol. Zulfikar manggut-manggut sambil tersenyumsenyum penuh arti. Mata elangnya sepintas bertemu dengan mata Chintiya. Tapi cucu Anduang Rabiah itu selalu memalingkan wajah bila mereka tidak sengaja bersitatap.
" Saya dari tadi memandang-mandang kamu, jadi punya ide untuk menambah penampilan randai kita kali ini," ujar Zulfikar sambil memetik gitar yang dari tadi berada di tangannya. Sudah beberapa hari ini ada
Harta Pusaka Cinta
gelombang menderu di hatinya setiap kali memandang cucu Anduang Rabiah ini.
Chintiya berlagak tak mendengar. Ia tetap saja berjalan menuju anak tangga rumah.
" Ada ide baru, Uda?" tanya Farida. Ia sudah hafal dengan gerak pikiran Zulfikar.
Zulfikar selalu mempunyai ide yang membuat penampilan randai mereka mennjadi semarak. Sebetulnya kesenian randai sudah hampir punah di desa mereka. Namun, sejak Zulfikar datang, randai kembali dihidupkan, bahkan tidak hanya dimainkan oleh kaum laki-laki.
Dulu randai hanya dimainkan oleh kaum lelaki. Peran wanita pun tetap dimainkan oleh laki-laki. Ini karena dulu randai lebih dikenal sebagai kesenian kaum lelaki muda yang gadang di surau. Maksudnya, lelaki Minang sejak kecil lebih sering tinggal di surau untuk menuntut ilmu agama dibandingkan tinggal di rumah orangtua masing-masing. Setelah mengaji di surau, mereka menghabiskan malam dengan merandai di halaman surau. Tak heran kalau gerakan-gerakan tarinya banyak menampilkan gerak silat yang bertenaga.
Namun, dalam grup randai yang dibangunnya, Zulfikar memberikan peran wanita kepada kaum wanita. Walau belum dikenal, grup ini sudah punya nama. Ia bernama Grup Randai Anak " Lahia di Kampuang" . Dalam bahasa Indonesia berarti " lahir di kampung" . Nama grup randai ini lain dari yang lain.
Biasanya nama grup randai lebih banyak mengikuti judul-judul cerita rakyat Minang seperti anggun nan tongga, rambun pamenan, atau gadih rantin.
Zulfikar pun memasukkan unsur modern tanpa meninggalkan konsep dasar randai. Dialognya masih disampaikan dengan pantun, syair, serta prosa liris. Gerakan tari tetap mengacu pada gerakan tari dan silat Minang tapi diselingi dengan gerakan dancing anak-anak muda saat ini. Musik yang dimainkan merupakan campuran lagu daerah dan lagu-lagu yang sedang populer di kalangan anak muda.
Justru di sinilah daya tariknya. Keunikan itu membuat mereka diundang oleh beberapa instansi pemerintahan, bahkan hingga ke Jakarta. Hasil pementasan cukup untuk memapankan kegiatan-kegiatan pemuda-pemudi desa. Tak ada lagi yang meragukan kesungguhan hati Zulfikar, termasuk niatnya menyemangati anak-anak muda untuk pulang kampung setelah menuntut ilmu di luar daerah.
Zulfikar menatap Chintiya dari kejauhan. " Kita masih punya waktu dua hari lagi. Peran gadis Belanda sebaiknya tidak hanya diisi narasi tapi dibuat nyata dan diperankan oleh Chintiya. Bahasa Inggrisnya pasti bagus. Biar dia berdialog dalam bahasa Inggris sekalian. Itu akan lebih menghidupkan cerita. Apalagi nanti ada Profesor Hans Baker yang lebih suka dianggap a farmer itu. Dia menerima undanganku kemarin. Baru bulan depan dia kembali ke Belanda karena masih ada kerja sama penelitian dengan Universitas
Harta Pusaka Cinta
Andalas Padang sampai akhir bulan ini," tutur Zulfikar. Profesor yang dimaksudnya adalah dosen tamu di Universitas Andalas, sekaligus peneliti pertanian di Sumatra Barat.
" Wooow... good idea! Betul... betul! Uda Fikar memang hebat! Aku setuju kalau peran Astrid, gadis Belanda yang jatuh cinta pada Fatullah si cowok miskin dari kampung tersuruk itu diperankan oleh Chintiya. Memang sangat cocok!" kata Farida. Ia bertepuk tangan kegirangan seperti baru menang lotre.
Chintiya menghentikan langkah ketika mendengar namanya disebut-sebut. Ia menoleh. " Ada yang bisa kubantu?" Ia menatap Zulfikar dan Farida dari kejauhan.
" Sini! Sini sebentar!" Zulfikar melambaikan tangan.
Chintiya mengerutkan kening, heran. Namun, ia tetap memenuhi panggilan itu.
" Kau tadi lihat latihan randai sampai habis, kan?" tanya Zulfikar ketika Chintiya sudah berdiri di dekat tempatnya duduk berselonjor.
" Iya," jawab Chintiya dengan wajah bingung. " Ngikutin jalan ceritanya nggak?"
" Ngikutin, dong. Emangnya kenapa?"
" Kalo gitu, kamu tau kan kalau tokoh cewek Belanda itu hanya ada dalam narasiku."
" Iya, aku liat dan denger. Bagus, kok."
" Bukan masalah bagus enggaknya. Kamu yang ngisi peran itu sekarang, ya."
" Hah? Aku?" pekik Chintiya. Ia menatap Zulfikar tanpa berkedip.
Yang ditatap balik menatap sambil tersenyum lebar, seakan mau memperlihatkan susunan gigigeligin ya. Ia mengangguk berkali-kali, memastikan omongan nya tadi tidak salah alamat.
" Gileee! Baru beberapa menit yang lalu nonton, kok malah gue yang disuruh main?" protes Chintiya setengah berteriak. Wajahnya mengerut, bibirnya monyong, matanya menyipit. Kedua tangannya dilambai-lambaikan sebagai tanda penolakan. Tingkahnya malah membuat semua yang berada di pekarangan luas itu tertawa.
" Tenang aja. Nanti kami latih. Waaah& pasti seru, nih!" Farida berdiri dan menghampiri Chintiya.
Chintiya menggeleng-geleng. Mimik wajahnya semakin lucu, membuat Zulfikar dan Farida tertawa melihatnya.
" Udahlah, Tiya. Bantu kami," sela Bachtiar sambil mengisap rokok kretek di tangannya.
" Iya, bantu kami."
" Iya, betul!"
Semua membenarkan dengan suara bersahutsahutan. Chintiya terdiam, melotot pada Zulfikar. Ia menggeram marah pada Zulfikar, " Eh, gue jangan dit odong macem-macem, dong! Gue lagi banyak hafalan tau!"
" Hafalan apa?" tanya Zulfikar.
Harta Pusaka Cinta
" Banyak. Hafalan bacaan shalat, surat-surat pendek, huruf-huruf Arab. Waktu gue nggak banyak. Gue mau nyenengin nenek gue dulu," jawab Chintiya, masih dengan berbisik.
Zulfikar tertegun mendengarnya. Sejenak ia bertatapan dengan Farida.
" Hmm& baguslah. Tapi jangan hanya untuk menyenangkan nenekmu, dong. Sebagai orang yang taat pada ajaran Islam, itu wajib kita pelajari." Akhirnya Zulfikar menanggapi setelah lama ia tak bersuara karena terpesona. Dia tidak tahu pesona apa itu. Sebuah kejujuran? Kepolosan? Keluguan seorang gadis yang belum mengenal dirinya sendiri" Selain itu, aku harus fokus dengan masalah harta waris...." ucap gadis berdarah campuran itu antara terdengar dan tidak.
Namun, Zulfikar yang berada di dekatnya, mendengar ucapan itu. " Harta waris?" tanyanya tak mengerti.
Chintiya tersentak. Ia baru tersadar ketika melihat mata Zulfikar menatap tajam padanya. " Ah& just a joke! Forget it! Aku mau menggoreng pisang dulu," katanya sambil menuju dapur dengan langkah-langkah besar. Dalam hati ia memaki-maki dirinya yang selalu lost control. Ia dapat merasa Zulfikar masih memandang dirinya dari tempatnya berdiri.
Zulfikar terpaku memandangi punggung Chintiya. " Siapa kau sebenarnya?" bisik hati Zulfikar. Tim
bul kecemasannya akan wanita tua yang selama ini dijaga dan dilindunginya.
Peran Astrid akhirnya memang dimainkan oleh Chintiya. Grup randai pimpinan Zulfikar menjadi tambah semarak dengan kehadiran pemeran baru, apalagi orang baru itu adalah cucu seorang wanita yang disegani di Nagari Ampek Angkek.
Penonton memadati lapangan desa yang selalu dipakai untuk pertunjukan besar, kegiatan olahraga, dan berbagai perlombaan. Randai memang merupakan petunjukan yang sangat merakyat. Tak heran jika penonton datang berduyun-duyun. Tidak ada panggung, kursi, dan dekorasi macam-macam. Pemain dan penonton tidak berjarak. Mereka menjadi satu dalam sebuah petunjukan yang komunikatif.
Para tamu sudah sejak pagi hari dijamu di rumah Anduang Rabiah yang tak jauh dari lapangan. Sementara itu, persiapan untuk petunjukan dilakukan di pusat kesenian yang dibangun di atas tanah waris keluarga besar Zulfikar. Letaknya tak berapa jauh dari rumah Anduang Rabiah.
Pria dan wanita, kaum muda dan tua, tumpah ruah di segala sudut kawasan rumah gadang Anduang Rabiah yang luas itu. Mereka bahu-membahu menyiapkan perjamuan, seakan sedang melangsungkan perhelatan besar.
Harta Pusaka Cinta
Anduang Rabiah yang mengenakan baju kurung bertenun benang emas hanya duduk bersama para tamu dan petinggi desa. Sesekali ia mengobrol dengan tamu terhormat mereka, seorang laki-laki tua tinggi besar berkebangsaan Belanda.
Ada hal baru yang mencengangkan Chintiya pada acara perjamuan adat menjelang puncak pertunjukan. Pada pagi hari para tamu disuguhi lemang dan pisang goreng. Siang hari, perjamuan makan dilakukan dengan istilah makan bajamba.
Chintiya tercengang-cengang melihat kaum lelaki dan perempuan membentuk kelompok dengan jumlah antara lima sampai tujuh orang. Namun, mereka tidak boleh berbaur. Pria dengan sesama pria, perempuan dengan sesama perempuan. Mereka duduk mengelilingi sebuah dulang atau nampan bulat yang besar. Dulang itu berisi nasi yang masih mengepul dan di tengah-tengahnya diberi berbagai lauk-pauk yang lezat.
Sang profesor Belanda dan dua orang bule lainnya ikut duduk berbaur bersama warga kampung mengelilingi dulang berisi makanan itu.
" Ini mau apa, Nek?" bisik Chintiya pada Anduang Rabiah. Ia diajak oleh neneknya untuk ikut mengelilingi sebuah dulang bersama dua orang ibu dan dua orang gadis muda sebaya dengannya.
" Ini namanya makan bajamba." " Apa itu?"
" Di Minang ini adat kita mengikuti ajaran Rasulullah. Zaman sekarang, orang sibuk berdiet, menguruskan badan yang sudah telanjur gemuk. Itu karena cara makan mereka salah."
" Maksudnya?"
" Orang Minang yang paham adat akan mengikuti adab Rasulullah dalam memakan sesuatu. Suatu ketika ada yang bertanya kepada Rasulullah mengapa mereka tak pernah kenyang kalau makan, padahal sudah menyantap hampir semua makanan yang terhidang. Nah, kata Rasulullah, itu karena mereka makan sendiri-sendiri. Kemudian Rasulullah menganjurkan agar mereka berjemaah dalam menyantap makanan," jelas Anduang Rabiah.
Chintiya merenung mendengar jawaban neneknya itu.
" Jadi, untuk mengurangi lemak tubuh sebetulnya tak perlu memakai program diet ini dan itu," lanjut Anduang Rabiah. " Di Minang dari dulu sudah diterapkan makan bajamba sebagai usaha diet alami. Dengan makan bersama-sama dalam satu nampan semacam ini, kita dengan sendirinya berdiet karena harus mengikuti tata aturan dalam memakannya," " Tata aturan?"
" Ya. Kaupikir makan ramai-ramai macam begini kita saling rebutan? Ada tata aturannya. Kalau tidak pakai aturan, kita akan makan seperti binatang, berebutan. Makan bajamba ini mendidik manusia untuk menghargai makanan, tidak rakus, mau berbagi, dan
Harta Pusaka Cinta
mau melakukan sesuatu secara bersama-sama. Itulah adat di Ranah Minang ini. Sistem kekeluargaannya sangat tinggi."
" Kalo gitu, gimana cara makannya?" tanya Chintiya ingin tahu.
" Kauikuti Nenek sajalah. Yang jelas, kau harus menggunakan ujung jari-jari tangan kanan saja. Nasi ditumpuk dulu, lalu dicampur sedikit lauk yang paling dekat dari jangkauan tangan. Kemudian kepalkan sedikit dengan ujung jari biar terkumpul dan makanlah dengan cara melemparnya ke mulut. Ingat, jaraknya harus sudah dekat dengan mulut. Jangan memasukkan jari-jari tangan kau yang memegang makanan ke mulut. Itu menjijikkan dan menghilangkan selera makan orang yang sekelompok dengan kau. Kunyahlah dalam diam, tidak berbunyi. Kau duduk dengan melipat kaki. Tubuh miring ke kiri dan tangan kiri bertumpu pada lantai. Dengan demikian, hanya tangan kananmu yang boleh bergerak mengambil makanan. Habiskanlah nasi di areal tempatmu duduk saja. Jangan mengaduk-aduk lauk-pauk yang ada di tengah-tengah sebab itu milik bersama dan harus dibagi bersama-sama," jelas Anduang Rabiah panjang lebar.
" Waaaah... amazing. Speechless aku dengernya," desis Chintiya tanpa sadar.
Ketika makan bajamba dimulai, Chintiya duduk bersisian dengan neneknya. Kaum lelaki sudah mulai makan. Chintiya terkagum-kagum melihat tiga
orang bule ikut makan bajamba itu dengan nikmat. Ia merasa tertantang. Mereka yang tidak mempunyai darah Minang saja bisa mengikuti adat makan bajamba tanpa rasa sungkan dan jijik, mengapa ia tidakIa mencoba mengikuti tata aturan makan bajamba. Satu, dua... hap! Akhirnya ia bisa juga. Ternyata ia sangat enjoy melakukannya.
Dari kejauhan, Zulfikar memperhatikan tingkah laku Chintiya. Disenggolnya lengan Bachtiar yang duduk bersisian dengannya menghadapi dulang makan bajamba. Bachtiar mengikuti arah gerakan kepala Zulfikar. Dilihatnya Chintiya sedang asyik meniru perempuan-perempuan yang satu kelompok dengannya.
" Ahhh& dari tadi kuperhatikan Uda sibuk terus memperhatikan si dia," bisik Bachtiar sambil tersenyum-senyum.
" Si dia siapa pula? Si Tiya itu dari tadi tingkahnya menggelikan, makanya kau kuberi tahu," kilah Zulfikar.
" Bukannya memperhatikan karena ada sesuatu?" " Apa pula maksud kau ni?"
" Barangkali saja ada udang di balik bakwan& ." ledek Bachtiar.
" Eeeh& kau ini. Bakwan yang kaumakan tadi memang ada udang di dalamnya, kan?"
Harta Pusaka Cinta Karya Desni Intan Suri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Ondeh... pura-pura pula Uda ini." Bachtiar tersenyum menggoda.
Harta Pusaka Cinta
" Puih! Tak usahlah kau tersenyum-senyum genit macam tu. Hilang selera makanku. Langsung terbayang di mataku, baju silat yang kaupakai ini berubah jadi baju kurung yang berselendang."
Kedua pria muda itu menghentikan suapan mereka sejenak. Wajah mereka sama-sama memerah menahan tawa. Sesekali mata Zulfikar masih singgah memandangi si gadis berkulit putih yang sedang berusaha keras mengikuti adat makan bajamba. ***
Chintiya memperhatikan neneknya dengan terkagum-kagum. Sekarang ia benar-benar mengakui bahwa neneknya ini wanita luar biasa. Anduang Rabiah melay ani tamu-tamunya dengan penuh tata krama. Sesekali diladeninya tamu asing dengan bahasa Belanda yang luwes.
Chintiya merasa malu karena ia yang mempunyai darah Belanda saja tak begitu mahir berbahasa Belanda. Di tengah keluarga papinya dulu, mereka berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Bahasa Indonesia baru dikuasainya dengan baik ketika menetap di Jakarta.
Kata Farida, ini untuk keempat kalinya profesor dari Belanda dan rombongannya itu mengunjungi Ampek Angkek. Semua atas undangan Zulfikar. Ia
berhasil menggaet hati sang profesor untuk membantunya memajukan kampung halamannya. Tibalah saatnya petunjukan randai.
Perhatian semua orang tertuju pada petunjukan. Ada yang istimewa kali ini. Seorang gadis yang ramai dibicarakan beberapa hari ini akan ambil bagian di dalamnya. Dia adalah cucu perempuan Anduang Rabiah dari anak perempuannya yang selama ini juga menjadi omongan orang.
Ketika sampai pada giliran Chintiya, semua mata memandang pada tubuh tinggi semampai itu. Semua terpesona melihat penampilan Chintiya, tepatnya terpesona akan kecantikannya yang seakan menyinari tanah pedesaan yang lengang itu.
Di sudut kiri lapangan, di dekat para pemusik, sepasang mata elang menatap tak berkedip pada sosok semampai yang sedang serius memerankan gadis Belanda bernama Astrid itu.
Pertama, ia tampil dengan memakai long dress putih ala noni-noni zaman penjajahan Belanda. Kedua, ia tampil berbaju kurung yang longgar dan panjang, lengkap dengan selendang tersilang di kepalanya ala wanita Minang zaman dahulu. Wajahnya yang sangat bule membuat perannya sebagai gadis Belanda terlihat menonjol.
Pria yang dicintai si perawan Belanda itu bernama Fatullah, seorang pejuang yang ikut dalam pasukan gerilya melawan penjajah Belanda. Si gadis Belanda melihat sendiri kekejaman bangsanya dan kesengsa
Harta Pusaka Cinta
raan bangsa Indonesia. Hatinya memberontak. Ia juga tak mampu melawan gejolak cintanya pada Fatullah, si pejuang yang gagah berani. Ia ikut menyertai kekasihnya bergerilya. Namun, ketika sedang menjadi anggota palang merah, ia ditembak bangsanya sendiri.
Chintiya tampak sangat menghayati perannya, bahkan sampai meneteskan air mata.
Penonton terkesima, tak menyadari cerita sudah sampai ke penghujung.
Zulfikar selalu berhasil mengemas cerita yang tak melulu kisah legendaris Minang. Mengulang-ulang cerita yang sama sepanjang masa tentu akan membuat penonton bosan. Ia menciptakan kisah sendiri, dipadu dengan musik klasik Minang dan lagu-lagu modern yang digemari kaum muda. Tak heran bila kaum muda menyenangi pertunjukan randai Zulfikar.
" Apa kataku? Kau pasti bisa!" kata Farida seusai acara. Farida ambil bagian dalam tari gelombang dan beberapa tarian Minang lainnya. Chintiya cemburu melihat kelincahan Farida dalam menari. Perannya sendiri hanya berdialog, itu pun dibantu sehelai kertas karena banyak pantun yang tidak bisa dihafalnya. Kecuali yang harus diucapkannya dalam bahasa Inggris, tentu saja.
" Bisa karena dipaksa!" kata Chintiya ketus. Bibirnya membulat karena cemberut.
Zulfikar tertawa melihatnya. " Jangan merasa dipaksa, dong. Ini, kan, salah satu cara supaya kamu mencintai budaya kampung halamanmu sendiri. Tapi
kamu memang bagus, kok. Penghayatan peranmu luaaarrr biasa," puji Zulfikar. Matanya menatap tepat ke mata Chintiya.
Chintiya tak menanggapi pujian itu. Sedikit pun ia tidak merasa tersanjung. Ia baru menyadari arti tatapan Zulfikar padanya sebelum ini. Pria itu hanya mencari ide untuk petunjukan randai yang dipimpinnya.
Kemarahan bergejolak dalam diri Chintiya ketika menyadari Zulfikar sedang memanfaatkan dirinya. Memang tak ada kerugian yang menimpanya. Ia kesal karena malu. Malu dengan isi pikirannya sendiri. Sebetulnya, apa yang ia harapkan dari pria ini" Aku mau balik dulu. Laper," kata Chintiya mencari pengalihan.
" Oke. Sini kuantar," ujar Zulfikar, seolah tak memperhatikan perubahan sikap Chintiya.
" Nggak usah! Emangnya rumah nenekku itu di mana? Tuuuh& dari sini udah keliatan. Dan lagi, emangnya nggak apa-apa di sini pria ama wanita yang bukan muhrim berjalan berdua di tengah malam buta kayak gini?" Kalimat itu begitu saja meluncur dari bibir tipisnya yang berpoles lipstik merah muda itu.
Zulfikar, Bachtiar, dan Farida berpandangan sambil tersenyum.
" Don t worry, Tuan Putri Astrid. Kami bertiga inilah yang akan mengantar Anda sampai ke rumah gadang Anduang Rabiah. Jelas berbahaya bila hamba sendiri saja yang mengantar," seloroh Zulfikar.
Harta Pusaka Cinta
" Namaku Chintiya, bukan Astrid. Astrid kan tadi udah mati ketembak," balas Chintiya.
" Waaah... gawat, Fikar. Kau dari tadi ngobrol sama hantu si Astrid rupanya!" Bachtiar menambahkan. Zulfikar, Bachtiar, dan Farida terpingkal-pingkal. Di perjalanan menuju rumah Anduang Rabiah, tiga sekawan itu mengisi keheningan malam dengan obrolan mereka.
" Kamu jadi melihat perpustakaan yang paling lengkap di desa ini, Tiya?" tanya Zulfikar beberapa menit sebelum sampai di rumah nenek Chintiya.
" Iya, dong, aku mau!" jawab Chintiya dengan wajah bersinar. Ia baru ingat Zulfikar pernah menjanjikan hal itu padanya.
" Oke. Kamu siap-siap, ya. Besok pagi akan kuantar kamu ke sana," kata Zulfikar dengan wajah serius.
Farida dan Bachtiar berpandang-pandangan sambil mengulum senyum.
Setelah itu, Chintiya masuk ke rumah neneknya dan menutup pintu. Farida, Zulfikar, dan Bachtiar melanjutkan perjalanan mereka. Chintiya memandang kepergian mereka dari balik gorden jendela. Kecemburuan yang tanpa sebab kembali merajalela dalam dirinya. Perasaan yang membuatnya sangat marah pada diri sendiri.
" Siapa pula yang kauintip tu, Tiya?" Tiba-tiba terdengar suara Anduang Rabiah dekat sekali dengannya.
Chintiya terlonjak kaget, tak menyangka neneknya sudah berada di rumah. " Lho? Nenek sudah di rumah?"
" Sudah. Sudah dari tadi. Nenek letih sekali." Chintiya menatap wajah tua Anduang Rabiah dengan perasaan khawatir. " Mau aku pijitin, Nek?"
Anduang Rabiah terdiam, menatap cucunya itu, lalu tersenyum tipis. Ia mengangguk-angguk. " Bolehlah. Tapi kita shalat Isya dulu dan mengaji sebentar."
Gantian Chintiya yang mengangguk-angguk seraya membalas senyum sang nenek yang terlihat lelah.
Seminggu yang bermakna sangat dalam. Jalinan kasih kian erat membuhul dua perempuan berbeda generasi yang semula tak saling tahu, tak saling mengenal. Namun, pertalian darah tak bisa dipisahkan oleh apa pun. Dua perempuan itu memiliki karakter yang sama. Cerdas, percaya diri, berwatak keras, dan mencintai dunia seni.
Anduang Rabiah duduk tercenung di kamarnya, menunggu sang cucu untuk shalat Isya dan men gaji bersama. Sebetulnya tadi ia melihat penampilan Chintiya dalam petunjukan randai. Namun, baru beberapa menit ia sudah tak tahan. Air matanya berderai ketika melihat Chintiya memakai baju kurung asli Minang yang dulu diwajibkannya pada Friska. Hatinya pun sangat terharu. Tak disangkanya cucunya itu seperti dirinya dulu, menyukai seni peran dan pintar bermain drama.
Beringsut ditinggalkannya tempat petunjukan itu, lalu berjam-jam duduk merenung tanpa menyalakan lampu di ruang tamu rumahnya yang sepi. Hatinya
Harta Pusaka Cinta
gundah, pikirannya kacau. Ia serasa menggapai sesuatu dalam kehampaan.
Satu minggu sudah cucu kandung dari satu-satunya anak perempuannya berada di dekatnya. Dari hari ke hari jalinan kasih semakin kuat mengikat. Bertahun-tahun ia bunuh mimpi tentang cucu yang diberikan Friska untuknya. Sekarang sudah ia rasakan pelukan hangat cucunya itu, kadang saling menggenggam tangan.
Sebagian hatinya masih menolak. Bukan cucu seperti ini yang dikehendakinya. Berkulit putih, berambut pirang, bermata cokelat, dan darahnya jelas bukan darah orang Minang asli. Hatinya pun sudah paham bahwa kedatangan cucunya itu hanya untuk memenuhi hajat ibunya yang menghendaki harta warisan.
Hati tuanya luruh dalam luka yang berkali-kali. Terluka, mengering, terluka lagi& . Namun, hatinya tetaplah hati seorang nenek sudah bertahun-tahun dilanda kerinduan. Tak dapat menerbitkan kebencian pada rasa cinta dan kasih sayang.
Chintiya sudah sampai di depan kamar neneknya. Ia mengintip sejenak dari pintu yang sedikit terkuak. Anduang Rabiah sudah duduk di atas sajadah. Di hadapannya ada sebuah kitab suci Al-Qur an. " Yuk, Nek. Aku udah siap."
" Hmmm& belum juga kau terbiasa mengucapkan salam kalau memasuki tempat pribadi orang lain, Tiya."
Langkah Chintiya langsung terhenti. Ia terdiam, salah tingkah.
" Keluar lagi dan ucapkan salam," kata Anduang Rabiah dengan nada tegas. Ia tak menoleh sedikit pun pada Chintiya. Mungkin sikap ini yang tak disukai Friska dulu. Ia memang bukan wanita yang lemah lembut dalam bertutur kata, tapi bukan berarti ia wanita yang kasar. Tutur katanya tegas dan padat. Setiap kata yang keluar dari bibirnya selalu ada isinya. Orang yang kenal dan tahu betul siapa Anduang Rabiah akan mengatakan bahwa sesungguhnya hati wanita ini sangat lembut dan sensitif.
Tanpa menunggu perintah kedua, Chintiya menuruti perkataan neneknya yang tegas itu. Walaupun baru seminggu mengenal neneknya, Chintiya seakan sudah lama mengenal Anduang Rabiah.
" Assalamualaikum," ucapnya pelan di depan pintu kamar.
" Waalaikumsalam. Masuklah," jawab neneknya. " Kauambillah Al-Qur an dan peletaknya di rak-rak itu. Ambil juga selendang di lemari," lanjut Anduang Rabiah sambil terus membolak-balik kitab suci di hadapannya. Kacamata tebal yang lensanya hanya seukuran mata tuanya, bertengger di batang hidungnya yang mancung.
Sekilas Chintiya menatap wajah wanita tua itu. Ia semakin yakin kecantikan maminya berasal dari neneknya ini. Sampai sekarang ia belum berani bertanya tentang umur neneknya ini. Wajahnya masih terlihat
Harta Pusaka Cinta
kencang dan mulus. Hanya di sekitar mata dan di ujung bibirnya saja ada kerutan halus. Tapi kerutan itu malah membuat wajahnya memancarkan wibawa yang agung.
" Hari ini Nenek langsung mengajarkan kau membaca Al-Qur an dan mencari makna di dalam kitab itu. Sudah seminggu kau Nenek kenalkan dengan huruf-huruf di dalam kitab suci itu melalui kitab Iqra. Kalau kau merasa dirimu beragama Islam, wajib bagimu mempelajari Al-Qur an. Jangan kaupikir kitab suci Al-Qur an hanya berisi akidah, akhlak, dan cara melakukan ibadah kepada Allah. Di dalam Al- Qur an akan kautemukan semua ilmu pengetahuan. Ilmu ekonomi, kedokteran, teknologi canggih& semua lengkap dalam Al-Qur an."
Chintiya menyimak setiap kata yang keluar dari mulut Anduang Rabiah. Kedua bola matanya selalu menatap lurus pada Anduang Rabiah setiap kali neneknya bicara padanya. Semula semua itu ia lakukan karena terpaksa. Namun, selanjutnya ia seperti terhipnotis.
Semua perkataan neneknya seakan ilmu baru baginya. Ia haus akan ilmu itu. Ia ingin menimba ilmu itu sebanyak-banyaknya dan mereguk sepuas-puasnya untuk membasahi jiwanya yang kering. Dengan patuh ia mempelajari semua yang diminta neneknya. Tentu saja bukan karena Anduang Rabiah seorang ahli sihir atau dukun. Hipnotis itu datang dari diri jiwa gadis itu sendiri. Jiwanya terhipnotis oleh ketegasan sang
nenek yang diselimuti kasih sayang dan cinta yang mendalam. Chintiya dapat merasakannya dengan sepenuh jiwa.
Sesungguhnya ia sendiri belum memahami apa yang ia lakukan selama tinggal seatap dengan nenek yang dahulu tak pernah ia kenal. Ia hanya merasakan ketegasan dan kedisiplinan yang ditekankan padanya seperti kasih sayang yang ia cari selama ini. Ia sendiri kaget dengan asumsinya. Apakah ia memang sudah menemukan kasih sayang yang sebenarnya" Ini namanya Surat Al-Fatihah. Surat ini merupakan surat yang pertama dalam Al-Qur an dan disebut sebagai induk kitab. Surat ini merupakan bentuk keimanan dan permohonan makhluk kepada Sang Khalik. Membacanya harus benar karena surat ini merupakan salah satu rukun dalam shalat lima waktu."
Chintiya menyimak semua uraian neneknya itu dalam diam. Semakin ia dengarkan, semakin terisi rongga kosong di dadanya.
" Nah, sekarang ayo kita baca bersama." Terpatah-patah Chintiya mencoba membaca. " Jangan baca dulilah tapi dulillah. Ayo ulangi. Alhamdulillahi rabbil alamin...."
Semua petunjuk Anduang Rabiah diikuti oleh Chintiya. Dua perempuan itu begitu tekun membaca ayat demi ayat Surat Al-Fatihah. Ada kedekatan yang hadir di antara mereka. Sebuah kedekatan yang memancarkan sinar kasih sayang dan cinta. Sinar itu
Harta Pusaka Cinta
terlihat jelas di mata tua Anduang Rabiah dan di bola mata lentik seorang dara berdarah campuran.
Pertemuan dua sinar kasih itu membuat udara malam yang dingin di desa kecil Ampek Angkek menjadi terasa hangat.
Di surau desa yang tak begitu jauh dari rumah Anduang Rabiah, seorang perjaka sedang khusyuk melantunkan ayat-ayat suci. Suaranya terdengar sayupsayup dibawa angin malam.
Sesekali suara itu singgah di telinga Chintiya. Ia sudah tahu siapa pemilik suara indah itu. Tanpa ia sadari, keindahan suara itu memacunya untuk semakin tekun membaca Surat Al-Fatihah. Hatinya diselimuti kecemburuan bila mengingat Farida juga memiliki suara yang indah bila mengaji.
Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Wiro Sableng 054 Pembalasan Pendekar
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama