Harta Pusaka Cinta Karya Desni Intan Suri Bagian 4
Perasaan yang sedang berkecamuk di hati Chintiya sudah lama dipahami oleh Anduang Rabiah. Hati tuanya yang sudah mengalami pahit getir cinta dan kasih sayang bisa melihat apa yang sedang tumbuh di hati cucunya itu. Ia tahu, sikap Chintiya yang perlahan melunak dan kemauannya untuk belajar agama bukan semata-mata karena ingin belajar.
Namun, apa yang dipahami oleh hati tuanya itu malah menjadi sumber kecemasannya. Ia tidak mau merusak hubungan kekerabatan karena perangai cu
cunya yang biasa hidup di negeri bebas. Sampai hari ini ia masih mampu mengawal segala sikap dan tindak tanduk cucunya hingga hubungan kekerabatan dan tata krama budaya di kampung ini tak ternoda. Tapi entahlah esok.
Banyak hal tak terduga dari kedatangan cucunya ini. Ia memutuskan menunggu Chintiya mengutarakan maksud kedatangannya, yang sesungguhnya sudah ia ketahui. Ia menunggu semua terungkap dari mulut cucunya sendiri.
Sembilan
" I ni sudah seminggu melewati jatuh tempo. Gue
bisa disembelih bos kalo Mbak nggak nyetor sekarang!"
" Sabar, Koh Ibeng. Kasih waktu seminggu lagi aja...."
" Waaah& nggak bisa begitu! Gue udah cukup ngasih tenggang waktu. Gue, kan, udah kasih warning. Jangan main-main sama bos gue. Bisa-bisa...."
Tiba-tiba omongan Koh Ibeng terhenti. Ponsel dalam saku celana jins bulukannya berbunyi. Dengan tergesa ia merogohnya kantong celananya dan berjalan mencari sinyal yang bagus untuk menjawab panggilan tersebut. Dua orang bodyguard Koh Ibeng tetap berdiri mengangkang sambil melipat tangan di dada, memperlihatkan otot tangan yang bergelombang.
Friska nyaris membeku. Bernapas pun ia tak mampu. Koh Ibeng dan dua lelaki kekar itu tiba-tiba saja masuk ke ruang kerjanya tanpa bisa dihambat oleh Denia, asistennya.
Dari tadi pagi Friska sudah merasa tak nyaman. Dadanya berdebar keras, merasakan ada sesuatu yang bakal terjadi pada dirinya.
Kegelisahannya terbukti ketika siang ini Koh Ibeng datang dengan dua pengawalnya yang bertampang preman. Semula ia yakin Koh Ibeng akan bersabar menunggu sampai akhir bulan, karena itulah yang ia sampaikan melalui telepon beberapa hari yang lalu.
" Tidak bisa! Bos nyuruh gue ke sini!" begitu kata Koh Ibeng ketika Friska menanyakan mengapa ia masih ditagih sebelum akhir bulan.
Wajah Friska kembali kaku ketika Koh Ibeng menghampirinya. Pahanya yang besar dan pendek terkangkang-kangkang berjalan ke arah Friska. Mukanya yang penuh bisul merah menghadirkan senyum yang terlihat sangat menjijikkan di mata Friska.
Koh Ibeng menyeringai, memamerkan gigi-giginya yang hitam dan tak rata. " Lu harus sujud syukur! Barusan bos gue nelepon. Dia bilang Mbak nggak perlu bayar pol utang-utang Mbak...."
" Apa maksudnya bayar pol?" tanya Friska tak mengerti.
" Iyaaa& bayar penuh, gitu!"
" Hah? Masa iya? Tapi kenapa?" Friska terlonjak. Matanya yang berbulu mata palsu membeliak.
" Kalau bos berkata begitu, dia tidak akan ingkar janji. Orang-orang yang berutang padanya yang suka ingkar janji. Tapi bukan gratis lho, Mbak. Mbak tetap harus bayar, tapi dengan cara lain."
Harta Pusaka Cinta
Sinar mata Friska meredup, bertukar dengan kerut di keningnya. Ia mulai merasakan hawa yang tak enak.
" Untuk Mbak ketahui, utang Mbak itu udah hampir semiliar. Orang waras kagak bakal mau duitnya hilang segitu, Mbak. Tapi bos paham dengan kesulitan Mbak. Apalagi Mbak, kan, nggak punya suami. Semua pengeluaran hidup ditanggung sendiri. Bos kasih keringanan, Mbak boleh bayar tiga ratus juta saja. Sisanya Mbak bayar dengan cara kerja sama di pub punya Bos!"
" Hah? Apa? Keterlaluan! Saya ini bukannya nggak bisa bayar. Saya bisa bayar! Tapi pembayaran itu tertunda sedikit. Enak saja saya disuruh kerja di pub! Hati-hati kalau bicara!"
Koh Ibeng terkekeh-kekeh mendengar suara Friska yang melengking marah. " Sabar dulu& sabar dulu. Mbak ini orangnya emosian banget, ya. Mbak bukannya kerja kayak wanita-wanita yang ngelayanin tamu begitu. Bukaaan...!"
" Lalu, kerja apa?"
" Maksud Bos bukan kerja, tapi kerja sama..." " Kerja sama apa maksudnya?"
" Nah, kalo nerangin yang itu, biar Bos aja. Makanya ntar malam nih, Mbak diundang ke pubnya Bos. Biar bos yang ngejelasin bentuk kerja samanya apa. Pokoknya dijamin nggak kerja sama yang jorok-jorok, dah. Kita kan tau siapa Mbak. Mbak itu, kan, seorang pengusaha yang berhasil...." Koh Ibeng berkata panjang lebar sampai mulutnya mengeluarkan cipratan air ludah ke meja kerja Friska.
Friska berusaha menjadi pendengar yang baik. Ia masih merasakan hawa tak enak merasuki perasaannya. Ia tahu ia harus berhati-hati. Tapi tawaran itu terdengar sangat manis dan memberi jalan mulus untuk pelunasan utangnya. Ia tahu, sesuai perjanjian, setiap penundaan pembayaran utang akan dikenai bunga berlipat. Tapi sungguh, ia enggan membayar. Baginya tak masuk akal membayar yang bukan berdasarkan jumlah pinjamannya. Gila, apa? Utang lima ratus juta telat membayar beberapa bulan saja sudah membengkak hampir satu miliar!
" Hm& oke. Aku akan menemuinya malam ini," kata Friska akhirnya. Ia sendiri kaget dengan keputusannya, tapi kalimat itu sudah telanjur terucap.
" Naaah& gitu dong, Mbak. Jangan mempersulit gue terus. Kalo begini, kan, Mbak seneng, gue seneng, Bos pun bahagia." Koh Ibeng terkekeh-kekeh lagi. Ia segera mengambil ponsel dari saku celana jins buluknya. Tak berapa lama kemudian, ia berteriak di telepon genggamnya, " Oke, Booos...! Setuju!" ***
Friska memang berwatak nekat. Wataknya itu juga yang membuatnya memilih angkat kaki dari kampung halamannya yang permai. Ia senang-senang saja menghalalkan segala cara untuk mendapatkan tujuannya. Begitu pun dengan tawaran dari Koh Ibeng.
Harta Pusaka Cinta
Kenapa tidak? Didorong rasa penasaran, ia bersedia memenuhi permintaan tersebut.
Friska belum satu kali pun bertemu muka den gan bos Koh Ibeng. Tapi ia sudah tahu siapa orangnya. Seorang laki-laki yang mempunyai bisnis kelab malam dan peminjaman terselubung.
Dalam pikiran Friska, apa salahnya berkenalan lebih dekat. Mungkin ada salah satu bisnis pria ini yang bisa dialihkan padanya dengan cara kerja sama.
Malam itu Friska sudah berada di mobil Koh Ibeng untuk menuju salah satu kelab malam bos Koh Ibeng. Tak ada kekhawatiran sedikit pun dalam dirinya. Ia yakin bisa mengatasi bahaya apa pun. Friska sangat yakin dengan kekuatan yang ada dalam dirinya. Berbagai penipuan, kelicikan, dan kecurangan sudah pernah ia hadapi. Prinsipnya, sikap licik harus dibalas licik, curang dibalas curang.
Walau ia seorang wanita, tak ada yang ditakutinya. Baginya, semua berpangkal dari sikap. Ia memakai sikap yang tak dimiliki kebanyakan wanita. Sikap keras, tegas, dan menuntut. Sikap itulah yang membuatnya tak pernah bisa menerima kekalahan dan kerugian.
Friska mengikuti langkah Koh Ibeng menuju sebuah sudut yang tampaknya menjadi sudut istimewa. Ada sebuah partisi yang membatasinya. Susunan sofanya pun berbeda dengan sudut-sudut lain di ruangan itu. Seorang pria buncit berkepala licin mengilat duduk santai di sana. Sebelah kakinya diangkat, menumpu pada kakinya yang lain. Sebuah cerutu terse
lip di bibirnya. Ketika melihat Friska, tubuh tambun itu segera berdiri. Sebelumnya, ia meneguk habis air berwarna merah dalam gelas bertangkai panjang di hadapannya.
" Haaa... Mbak Fris. Silakan, silakan...." katanya dengan suara akrab. Cerutunya sekarang berpindah, terselip di jari telunjuk dan tengah tangan kirinya.
Begitu menggenggam tangan Friska, ia tertawatawa seolah ada yang membuatnya senang dan bahagia. Perut buncitnya berguncang-guncang ketika tertawa. Kepalanya yang licin semakin terlihat mengilat karena disinari cahaya lampu berbagai warna.
" Kenalkan, nama saya Joni Arwana tapi nggak ada hubungannya dengan Tukul Arwana," katanya diringi tawa, menertawai omongannya sendiri.
Friska mencoba tersenyum ramah walau jijik melihat penampilan lelaki buncit di hadapannya itu. Lelaki macam begini sudah sering ia jumpai. Wajah culas, licik, dan penuh tipu daya. Ia sadar, ia sudah bermain api. Tapi urusan bebas dari utang tanpa harus mengeluarkan sepeser pun lebih menggiurkan daripada bahaya-bahaya yang membayang-bayangi langkahnya.
" Akhirnya, bisa juga saya berkenalan dengan Mbak Fris," kata pria buncit itu, tetap dengan derai tawan ya. Mulutnya menyebarkan bau minuman keras yang sangat kentara.
Friska sudah terbiasa dengan aroma berbagai minuman keras, bahkan ada beberapa jenis yang menjadi kegemarannya. Ia mencoba bersikap santai, melipat
Harta Pusaka Cinta
kaki mulusnya dengan gaya manis. Walau umurnya sudah hampir kepala lima, tungkai panjangnya masih indah dipandang. Baru setahun yang lalu ia mengulang reparasi tubuh di sekitar paha, payudara, perut, paha, dan pinggul di Singapura. Semua bagian itu sudah berkali-kali dioperasi plastik. Karena itulah ia tak segan memamerkan tubuhnya dengan mengenakan pakaian minim. Tungkai panjang yang putih mulus itu dianggapnya menjadi penunjang utama penampilannya sehari-hari.
Friska tahu tungkai mulusnya dilirik oleh mata rakus Joni Arwana, namun ia tak peduli. Friska mengambil kotak emasnya yang berisi kretek pilihan. Dengan sigap pria buncit itu memberikan pemantik untuk menyulut kreteknya.
" Saya baru tau, Mbak Friska ini kalau dilihat dekat ternyata sangat cantik." Pria buncit itu kembali mengeluarkan jurus jitunya dalam menarik perhatian wanita.
Friska tidak terpancing. Ia menganggap omongan itu lagu lama para pria hidung belang. " Memangnya Bapak...."
" Eit& jangan panggil bapak. Panggil saja Mas Joni."
" Oh& oke. Hmmm& memangnya Mas Joni selama ini melihat saya dari jauh?"
" Hahaha& pertanyaan yang cerdas! Ya, begitulah. Selama ini saya hanya berani memandang Dik Friska dari jauh. Hmm& sorry, ya. Panggilan mbak kayak
nya nggak cocok dengan wajah yang masih semuda dan secantik ini. Saya tukar dengan dik saja, ya. Rasanya saya malah mau nambahin dengan Dik Bidadari Friska...."
" Whatever. What s in a name," kata Friska sambil melengos dan mengisap kreteknya dalam-dalam. Sebetulnya ia sudah mulai muak dengan pria buncit yang banyak omong ini.
" Hahaha& Dik Friska ini memang wanita yang nggak biasa...."
" Yang biasa itu gimana?"
" Yaaah& yang biasa itu kalau dipuji bakal jadi malu-malu tapi mau. Hahaha& ."
Sekarang Friska benar-benar sudah tidak tahan. " Belum tahu dia, siapa Friska," geram hatinya.
" Hmm& Pak, eh Mas Joni, sebetulnya saya diundang ke sini untuk apa, ya?" tanya Friska dengan mimik serius. Ia menatap tajam pada pria buncit yang duduk semakin dekat saja padanya itu.
" Wah& wah& wah...! Rileks dong, Dik Fris. Saya ini mau nolong Dik Fris, lho."
" Ya, saya tahu. Koh Ibeng udah ngomong kemarin. Tapi saya ingin yang lebih jelas lagi. Saya juga sadar, utang saya pada Mas Joni nggak sedikit. Jujur saja, saya belum bisa melunasinya semua. Kalau diberi kelonggaran nyicil sedikit-sedikit, sih, nggak masalah. Tapi kata Koh Ibeng harus lunas semua sekarang juga. Ya saya nggak sanggup. Kalau boleh jujur, cara pembayaran utang dengan mengenakan bunga seenak
Harta Pusaka Cinta
perut macam begitu udah nggak fair. Nah, saya pengin tau, kerja sama apa yang Mas Joni tawarkan sebagai alternatif untuk melunasi utang saya itu...."
" Hehehe& . ini bukan sebuah alternatif, Dik Fris, tapi hanya minta tolong pada Dik Fris. Kalo masalah utang, yaaah& amanlah itu jika Dik Fris setuju tawaran saya..."
" Saya tambah nggak ngerti," ujar Friska lagi. Joni Arwana memepetkan tubuhnya pada Friska, kemudian memencet-mencet gadget mewahnya sambil tersenyum-senyum.
" Kira-kira Dik Friska kenal nggak dengan gadis cantik ini?" ia memperlihatkan foto seorang gadis yang sedang meminum jus.
Friska melihat foto itu sekilas. Ketika ia tahu wajah siapa itu, secepat kilat ia menyambar gadget tersebut dari genggaman Joni Arwana. Matanya melotot menatap foto itu.
" Coba touch lagi. Masih banyak, kok," kata Joni Arwana sambil tersenyum-senyum.
Frsika mengikuti saran Joni Arwana. Seketika matan ya membesar. Bibirnya menganga melihat fotofoto di dalam gadget itu. Semua menampilkan wajah putri kesayangannya dalam berbagai pose. Jelas fotofoto itu dijepret tanpa diketahui oleh putrinya.
" Apa-apaan ini? Kenapa Anda memata-matai anak saya dan mengambil foto-foto ini? Apa maksudnya?" tanya Friska dengan suara melengking. Wajahnya tegang dan memerah.
" Sabar& sabar, Dik!"
" Nggak bisa! Saya nggak terima! Anda pasti punya maksud terselubung dengan semua ini!"
Joni Arwana terkekeh mendengarnya. " No, no, no! Jangan salah sangka. Saya justru mempunyai maksud baik, Dik Fris. Saya memang menyuruh Ibeng untuk mengambil beberapa foto putri Dik Fris yang cantik ini. Jangan salah sangka. Bukan putri Dik Fris saja yang dijepret tapi juga puluhan calon lainnya...."
" Bilang aja, apa mau Anda sebenarnya!" sergah Friska.
" Hmm... begini. Saya sedang mencari calon manajer, tepatnya pengelola kafe saya yang baru dan yang pertama di luar negara...."
" Kafe?"
" Yap! Saya mau buka semacam Indonesian life style di Singapura. Maksud saya, semua style Indonesia ada di sana. Ya makanannya, musiknya, butiknya, bahkan mungkin juga traditional massage. Pokoknya, apa pun yang ada di Indonesia kita pindahkan ke sana. Nah, dari semua calon yang sudah diambil fotonya oleh Ibeng, pilihan itu saya jatuhkan pada putri Dik Fris. Menurut saya, putri Dik Fris itu cocok sekali untuk menjadi pengelola kafe saya. Namanya Chintiya, kan? Kuliah di Jurusan Manajemen dan Informatika. Seorang gadis cantik yang cerdas, suka travelling, mempunyai pergaulan luas, dan fasih berbahasa Inggris."
" Anda sudah menyelidiki anak saya sejauh itu?"
Harta Pusaka Cinta
" Semata-mata untuk memilih yang terbaik untuk menjadi partner bisnis saya," sahut Joni Arwana dengan tenang. " Bila Chintiya mau mengelola kafe saya di Singapura dengan baik selama lima tahun pertama, semua utang Dik Fris lunas tanpa Dik Fris bayar sepeser pun. Semua utang Dik Fris akan dibayar melalui gaji Chintiya. Tapi bukan berarti selama lima tahun Chintiya tidak dapat apa-apa. Dia tetap mendapat uang welfare seperti untuk tempat tinggal, biaya makan, dan fasilitas liburan. Setelah masa lima tahun habis, kalau Chintiya masih mau mengelola kafe saya itu, dia akan saya beri gaji yang layak dan memuaskan. Yang penting, Chintiya harus membuat kafe itu laris manis...."
Friska terdiam mendengarnya. Kesal hatinya. Seenaknya pria buncit ini menjadikan putrinya sebagai tumbal. Tak masuk akal jika karena menginginkan Chintiya bekerja dengannya, ia mengambil foto-foto Chintiya secara diam-diam. Mencari karyawan jenis apa pula itu? Kafe macam apa, sih, yang dimilikinya" Anak saya tidak ada sangkut pautnya dengan urusa n utang saya. Jangan libatkan dia!" ujar Friska tajam.
" Lho... ini bukan melibatkan, tapi jalan keluar yang saya berikan pada Dik Fris. Saya pribadi nggak tega liat Dik Fris pusing bayar utang yang membengkak. Tapi saya pun nggak mau rugi sebanyak itu. Bisa kolaps bisnis saya kalau ngasih duit sebanyak itu...."
Friska terdiam lama. Ia menyibukkan diri dengan mengisap kreteknya. Terlihat sekali jiwanya sedang gelisah dan kebingungan.
" Ada cara lain lagi," Joni Arwana kembali berkicau setelah lama menunggu Friska menanggapi omongannya.
" Apa?" sambar Friska cepat.
Joni Arwana terkekeh melihat sikap galak Friska. Ia mengedipkan mata sekilas, menyatakan bahwa kemudahan pembayaran utang yang ia sodorkan bukannya gratis. Sikap Friska yang galak dan ambisius rupanya merangsangnya untuk mengenal Friska lebih jauh.
" Dik Fris yang bekerja denganku... eit, jangan protes dulu. Please listen to me first..." ujar Joni Arwana begitu melihat Friska terlonjak dan bibirnya bergerak hendak memprotes.
" Jujur, saya butuh partner kerja yang mempunyai jiwa bisnis yang tinggi. Dengar, saya butuh partner, bukan karyawan. Posisi partner dan karyawan jelas beda. Hak Dik Fris dan Chintiya lebih tinggi dibandingkan karyawan. Keuntungan pun sudah pasti terjamin. Saya lihat Dik Fris punya jiwa bisnis yang tinggi. Tapi saya dengar Dik Fris sudah sangat sibuk mengelola butik di Jakarta ini. Jadi saya cari solusi yang terbaik untuk Dik Fris, yaitu meminta anak gadis Dik Fris memegang bisnis saya yang di Singapura. Saya yakin, walau kalah pengalaman dari mamanya dalam dunia bisnis, paling kurang Chintiya juga punya jiwa bisnis, apalagi saya dengar dia ambil kuliah
Harta Pusaka Cinta
manajemen. Inilah tawaran saya. Terus terang, di balik ini semua, saya bertujuan menolong Dik Fris agar lepas dari utang tapi tanpa membuat saya rugi," jelas Joni Arwana penuh semangat.
Pipi pria tambun itu mulai memerah karena sudah meneguk bergelas-gelas minuman beralkohol. Ia tampak semakin menggebu mendekati Friska. Sikap diam Friska diartikannya sebagai sebuah persetujuan. Apa pun yang dipilih oleh Friska, baginya sama menguntungkan. Yang terpenting, perempuan cantik ini atau anak gadisnya yang masih muda dan segar berada dalam genggamannya.
Perempuan merupakan aset terbesar dalam kehidupan Joni Arwana. Tanpa perempuan, bisnisnya tidak akan berjalan lancar. Kafe-kafe, kelab-kelab malam, serta beberapa usaha agen TKW memerlukan perempuan. Joni Arwana merupakan salah seorang pakar dalam berbisnis soal perempuan.
Perempuan jenis apa pun dapat digaetnya dengan mudah. Umumnya semua perempuan luluh dengan rayuan dan janji-janjinya. Urusan setelah itu bukan merupakan hal penting baginya. Orang hanya tahu ia seorang pengusaha sukses. Tapi tak banyak orang yang tahu secara rinci tentang bisnisnya. Pria ini punya seribu mulut untuk menyatakan dirinya adalah pengusaha yang bergerak di segala bidang.
" Terus terang aku keberatan jika pelunasan utangutangku dilakukan dengan cara seperti ini, apalagi
melibatkan anak gadisku," kata Friska dengan nada ragu dan penuh kecurigaan.
" Saya rasa tak sulit. Dik Fris saya tawari dunia yang Dik Fris tekuni sekarang, dunia bisnis. Saya belum pernah memberikan kemudahan pelunasan utang seperti ini. Artinya, Dik Fris nggak perlu menguras harta simpanan Dik Fris untuk melunasi utang. Dik Fris cukup berbisnis bersama saya saja. Dik Fris bisa melunasi semuanya dalam waktu dua tiga tahun, atau paling lama lima tahun. Setelah itu, Dik Fris tinggal menerima keuntungan."
Friska limbung setelah pertemuannya dengan Joni Arwana. Ia kehilangan minat untuk mengontak putrinya. Ia butuh waktu untuk memikirkan masalah utangnya ini.
Bila mengingat jumlahnya yang semakin membengkak, hatinya kembali tak nyaman. Ia bukan orang yang dengan mudah mengeluarkan uang walaupun itu untuk membayar utang-utangnya sendiri. Ia akan dengan senang hati berutang di mana-mana, tapi akan susah hati membayarnya sekalipun ia sanggup.
Jauh di dalam hati, ia mulai tertarik dengan tawaran Joni Arwana. Dari Koh Ibeng ia mengetahui pria tambun itu mempunyai bisnis di berbagai bidang. Ia percaya karena hampir semua kawan Chinanya
Harta Pusaka Cinta
adalah pebisnis sukses. Siapa pun tahu, bangsa China atau yang mempunyai darah China umumnya ulet dan gigih dalam berbisnis. Jadi, tak ada salahnya bila ia berpikir positif tentang tawaran Joni Arwana.
Persoalannya sekarang, apakah Chintiya akan tertarik? Selama ini ia belum melihat keinginan Chintiya untuk terjun ke dunia bisnis. Anak gadisnya itu masih suka bersenang-senang. Ia bahkan tak tahu sekarang Chintiya sudah semester berapa. Selama ini ia tak banyak ikut campur, apalagi semua biaya ditanggung oleh Leo. Friska malah senang karena ia tidak perlu mengeluarkan lembaran uang dari dompetnya.
Friska merasa Chintiya sudah cukup dewasa untuk memutuskan jalan hidupnya sendiri. Dulu ia tak ingin didikte oleh Abak dan Amak. Tak adil kalau kini ia melakukan apa yang dibencinya itu pada Chintiya.
" Si Centil itu pasti butuh waktu. Membujuk neneknya yang berhati batu itu tidaklah mudah," katanya dalam hati, mencoba menghibur dirinya yang kian gelisah. Hari ini hari keenam dari minggu kedua kepergian Chintiya. " Seharusnya dia tidak gagal. Ya, Chintiya tidak boleh gagal!"
Pagi ini hujan membasahi tanah Jakarta yang kering. Gerimis pertama setelah hampir dua bulan tiada turun hujan setetes pun. Friska menutup kaca jendela mobil yang tadi ia buka karena mengisap berbatangbatang rokok kretek, kemudian menyalakan penyejuk mobil.
Mobil Friska terus melaju menembus pagi menuju kawasan Jakarta Selatan tempat butiknya berada. Dalam hati ia berharap gerimis pertama yang turun pada musim kemarau ini pertanda baik bagi dirinya. ***
Sepuluh
W arna kemerahan menyemburat indah di balik
Bukit Barisan yang masih tertutup kabut pagi. Chintiya terpana memandangi keindahan alami yang sudah hampir dua minggu ini dinikmatinya. Diikutinya langkah Anduang Rabiah yang masih tegap menyusuri kebun. Ini merupakan kegiatan paginya bersama sang nenek. Setelah shalat Subuh, mereka berdua mengaji sampai matahari terbangun dari tidurnya. Acara selanjutnya adalah menyusuri kebun mencari bahan makanan yang bisa diolah menjadi sarapan lezat.
" Hari ini kita mau masak apa, Nek?" tanya Chintiya sambil membuntuti neneknya.
" Nanti kita lihat. Kalau ada pisang sudah bisa dipetik, kita masak kolak pisang yang sedap. Kau pasti ketagihan."
Chintiya tersenyum mendengar kalimat neneknya itu. Beberapa hari ini ia sering mendengar kalimat seperti itu. Sebelum memasak sesuatu, Anduang Rabiah akan menatap ke kebun di samping dan belakang rumahnya. Kalau Chintiya bertanya mau masak apa,
ia akan mengatakan kalimat yang sama, " Kita lihat dulu apa yang bisa dimasak hari ini."
Selama berada di rumah Anduang Rabiah, selama itu pula Chintiya menyantap makanan segar yang langsung diambil dari kebun, kolam, atau sawah.
Sayur-sayur murah yang jarang dicicipinya seperti kangkung, daun pepaya, dan daun singkong akan disulap menjadi makanan yang sangat lezat dan membuatnya mengambil bersendok-sendok. Rasa ikan mujair, ikan mas, dan belut sawah seakan melebihi rasa daging steak yang biasa ia nikmati di restoran. Yang paling penting lagi, ia merasakan nuansa alami di sini. Ketulusan, keikhlasan, kejujuran, dan kebersamaan menghadirkan rasa nyaman dan tenang di hati Chintiya. Ada satu rasa yang merambat perlahan dalam dadanya dan membuatnya tak ingin melepaskan rasa itu.
" Haaa... tuh lihat! Pisangnya sudah cukup umur untuk dikolak!" teriak Anduang Rabiah.
Chintiya segera menghampiri neneknya. " Waaah... banyak sekali!" Chintiya melihat ke sekelilingnya. Ia baru menyadari di sekitarnya banyak pohon pisang dengan buah yang bergelantungan.
" Mari kita ambil setandan saja dulu. Yang lainnya biar Fikar yang bantu ambil, sekalian dijual ke pasar."
" Setandan?" Chintiya menatap anduang Rabiah dengan kening berkerut.
" Hmm& kau tak tahu arti kata setandan? Iyalah tu... orang kota cuma tau makannya saja, sampai
Harta Pusaka Cinta
sampai kata-kata setandan pisang, seikat sayur, dan sekarung ubi pun mereka tak pernah dengar. Setandan itu artinya sekelompok atau serumpun pisang yang bersatu seperti yang kau lihat itu tuuuh...." Anduang Rabiah menunjuk setandan pisang yang bergantung di pinggir pohon pisang.
" Oooh& itu setandan. Hmmm& kalo seikat sayur atau sekarung ubi aku tahu dong, Nek."
Anduang Rabiah terkekeh mendengarnya. " Duduklah di pondok itu dulu, Tiya." Ia menunjuk sebuah gubuk beratap daun kelapa kering. Gubuk itu dibuat untuk tempat beristirahat selama bekerja di kebun. " Si Fikar membuat pondok-pondok kecil seperti itu di mana-mana. Ia tahu Nenek suka ke kebun. Jadi, disediakannya pondok itu untuk tubuh tua ini. Benar-benar baik hatinya."
Chintiya menunduk mendengarnya. Wajahnya memerah. Anduang Rabiah melirik rona itu. Ia tahu apa yang sudah mekar di hati cucunya itu.
" Kau belum tahu siapa Zulfikar yang sebenarnya, kan?" tanya Anduang Rabiah.
" Hmm& dia aktivis kampung ini...."
" Dia tidak hanya aktivis," ujar Anduang Rabiah. " Dia penggerak kaum muda yang sedang terlena dalam alam modern. Nenek bersyukur dia muncul lagi setelah sekian lama menghilang. Semula Nenek kira dia akan sama dengan pria muda yang lain. Sama dengan dua pamanmu, kedua abang mamimu, dua
anak lelaki Nenek. Begitu meninggalkan kampung halaman, mereka lupa untuk kembali."
" Di mana kedua pamanku itu sekarang, Nek?" " Abang sulung mamimu sekarang ada di Moskow. Namanya Fahmi. Yang satu lagi bernama Fatur. Sekarang dia tinggal di Surabaya. Yang ketiga... mamimu, Friska. Satu-satunya anak perempuan Nenek." " Tapi mereka suka nengokin Nenek, kan?" " Ah& sangat jarang. Tapi tak apa. Nenek sudah punya penggantinya."
" Siapa, Nek?"
" Zulfikar," jawab Anduang Rabiah setengah berbisik.
Kilat di mata Chintiya menandakan dia tersentak mendengar jawaban itu.
" Fikar itu pemuda tangguh. Ada kekuatan tekad yang membuat dirinya lain dengan anak muda pada umumnya. Ilmu agama dan ilmu duniawinya seimbang. Ia mampu membuat dua ilmu itu berjalan seiring sehingga talenta dan kecedasannya sebagai seorang insinyur pertanian membuat orang menghargai nilai kesarjanaan yang disandangnya." Chintiya tercengang. " Oh& dia sarjana pertan ian?" " Iya. Si tukang kebun gila itu seorang sarjana pertanian, sekaligus seorang pengusaha dan penggerak kaum muda di kampung ini," sahut Anduang Rabiah. Chintiya kembali menunduk mendengarnya. " Satu lagi," Anduang Rabiah mendekatkan wajah pada wajah Chintiya. " Suara azannya paling merdu di
Harta Pusaka Cinta
kampung ini. Banyak gadis yang luruh mendengar suaranya yang indah mendayu-dayu."
Chintiya semakin menunduk salah tingkah. Rona di pipinya semakin saga. Senyum Anduang Rabiah terkembang melihat Chintiya salah tingkah begitu. Sekarang hatinya semakin pasti. Cucunya ini sudah terbuai cinta yang berkembang alami.
" Bersyukur sekali si Farida kalau betul berjodoh dengan si Fikar."
Perkataan Anduang Rabiah berikutnya membuat Chintiya tersentak, seakan baru bangun dari mimpi indahnya. Tanpa sadar, matanya membulat menatap nenekmya. Anduang Rabiah seakan paham gejolak hati cucunya. Itulah sebabnya ia tak ingin cucunya mengharapkan sesuatu yang tak mungkin diraih.
" Ibunya Farida itu kawan baik Nenek. Nenek tahu betul, sebelum si Fikar keluar dari kampung ini untuk sekolah di IPB, lalu merantau ke negeri jiran, orangtua Farida sudah berniat menikahkan Farida dengan si Fikar. Tampaknya mereka memang cocok. Yang satu saleh, yang satu salihah. Dua-duanya anak-anak muda harapan kampung halaman. Mereka pun sudah memperlihatkan bukti kecintaan mereka pada tanah kelahiran mereka. Selama ini, di mana Fikar di situ ada Farida. Walau kuliah di Padang, Farida itu setiap akhir minggu pulang. Orangtuanya sudah menetap di Padang tapi rupanya hatinya selalu tersangkut di kampung ini. Si Fikar itulah yang membuatnya begitu...." tutur Anduang Rabiah dengan suara pelan.
Chintiya kembali menunduk. Kali ini bukan karena menutupi pendar hatinya. Hatinya seakan terbang di angkasa, lalu kehilangan arah, dan kini terhempas jatuh. Tapi bukan Chintiya namanya kalau tidak mampu memperlihatkan sikap sportivitas meski hatinya sedang lara.
" Aku lihat mereka memang pasangan serasi, kok. Mudah-mudahan cepet married," katanya sambil memberikan seulas senyum pada neneknya.
Anduang Rabiah membalas senyum itu dengan anggukan. Sekilas dapat dilihatnya sinar redup di mata cucunya tapi ia tak ingin mengartikannya lebih dalam. Yang penting cucunya sudah memahami kenyataan ini.
" Ayo kita berjalan lagi ke arah kanan. Nenek mau mengambil beberapa butir kelapa. Mungkin di sana sudah menunggu si Kasim. Kemarin sudah kusuruh si Fikar memanggilnya dengan membawa beruk-beruk peliharaannya....."
" Beruk?" Chintiya mengernyitkan kening. Ia berjalan di samping neneknya. Tangan mereka bergenggaman selama menyusuri jalan setapak yang bagian kiri dan kanannya dipenuhi semak belukar.
" Haaa... kau pasti belum pernah lihat beruk memetik kelapa. Sebentar lagi bisa kaulihat."
Tak lama kemudian mereka sampai di lahan kelapa. Pohonnya tinggi-tinggi. Masing-masing berjarak beberapa meter saja.
Harta Pusaka Cinta
" Nah itu si Kasim. Sim... Kasiiim...!" Anduang Rabiah memanggil seorang pria muda bertelanjang dada yang sedang nongkrong sambil mengisap rokok.
" Aaa... alah tibo, Nduang?" anak muda itu segera membuang rokoknya dan menyapa balik dalam bahasa daerah.
Tak lama kemudian ia bersiul-siul dan turunlah dua ekor beruk yang cukup besar dari sebuah pohon. Pemuda itu memberi isyarat-isyarat yang hanya dimengerti oleh dirinya dan dua beruk itu. Dalam hitungan detik, dua beruk itu sudah memanjat pohon kelapa yang ditunjuk oleh si anak muda.
Gedebum! Tiga butir kelapa jatuh ke tanah, kemudian dua lagi. Si beruk pindah ke pohon kelapa lain. Jatuh lagi beberapa butir. Mata bundar Chintiya tak lepas melihat kegiatan si beruk dan cara anak muda itu memerintah hewan-hewan peliharaannya.
" Baru kali ini kaulihat, kan?" tanya Anduang Rabiah pada cucunya yang tengah asyik memperhatikan dua beruk itu beraksi.
" Eh, iya... iya. Waaah& lucu dan menarik sekali," komentar Chintiya.
" Memang banyak hal menarik dari alam kampung ini. Itulah yang menyebabkan kita harus memelihara kelestariannya. Tapi kuatnya arus dari luar dan pesatnya pembangunan terkadang membuat manusia lupa melakukan hal itu."
" Maksud Nenek?"
" Kota adalah pusat kemajuan zaman dengan segala fasilitas berteknologi tinggi, sedangkan desa adalah pusat keaslian alam, adat, dan budaya. Banyak orang yang tak paham bahwa kota dan desa memiliki karakteristik yang tak bisa dicampuradukkan. Perdesaan sekarang banyak tercemar oleh pembangunan yang tidak mencerminkan karakteristik alam dan budayanya, serta alam pikiran manusia-manusia yang menghuninya. Semuanya seperti terfokus untuk mengejar kemajuan alam modern. Buktinya, banyak investor yang menjadikan kawasan perdesaan sebagai tempat permukiman modern dan pabrik. Banyak pihak yang berpikir bahwa kemajuan terletak pada pembangunan. Mereka tak memikirkan pembangunan itu juga bisa menghilangkan bahkan memunahkan sesuatu yang sangat penting untuk dijadikan sebuah karakter bangsa," tutur Anduang Rabiah panjang lebar.
Chintiya tercenung. Ia tak menyangka neneknya ini mempunyai pemikiran yang begitu jauh.
" Cobalah kauperhatikan beruk itu. Ini adalah bagian dari keaslian alam perdesaan. Beruk bisa dilatih secara alami untuk memanjat dan memetik buah kelapa sebanyak yang kita inginkan. Bayangkan kalau semua pohon kelapa ini ditebas habis, kemudian diganti dengan perumahan atau pabrik-pabrik. Tidak saja keaslian alamnya yang hilang, beruk-beruk ini pun tak bebas lagi membentuk karakter alami mereka sebagai binatang yang bebas tapi dapat menjadi kawan bagi manusia. Mungkin mereka akan dikurung
Harta Pusaka Cinta
saja di kebun binatang. Parahnya, manusia sering tak paham cara mengurus binatang yang biasa bebas di alamnya. Baru-baru ini Nenek membaca berita, beberapa kebun binatang di Jawa sana tak terurus sehingga banyak hewan yang mati."
Sesaat keadaan hening. Hanya siulan dan suara kelapa jatuh yang menguak kesunyian. Banyak hal yang ingin Anduang Rabiah ucapkan pada cucunya. Di sisi lain, Chintiya pun selalu ingin mereguk ilmu dari neneknya. Betapa banyak yang belum ia ketahui. Betapa buta matanya selama ini.
" Memang betul, Nek. Kampung ini indah sekali. Nenek hebat mempunyai tanah kebun yang sangat luas dan sawah berhektare-hektare."
Sekilas Anduang Rabiah melirik cucunya. Bibirnya samar mengulas senyum. " Apakah kau merasa nenekmu ini orang yang kaya raya di kampung ini?"
Chintiya tersentak. Ia menoleh, menatap neneknya yang sedang memandang lurus ke depan, ke pohon yang sedang dipanjat beruk-beruk. Ia bingung mau menjawab apa. Ia merasa pertanyaan itu bukan sekadar pertanyaan.
" Kalau kau menyangka aku orang kaya raya di kampung ini, kau tak salah. Nenekmu ini memang orang yang dianugerahi kekayaan berlimpah oleh Yang Mahakuasa...."
Chintiya menatap neneknya, mencoba mencari makna di dalam pernyataan barusan.
" Kau sendiri bisa merasakan betapa kayanya aku ini. Tiap hari aku bisa memakan apa pun yang kutanam sendiri. Aku tak perlu susah-susah membeli makanan mahal di restoran terkenal seperti di kotakota besar. Aku tinggal memetik sayur dan buah yang tumbuh di kebunku sendiri, menggulai atau menggoreng hewan-hewan peliharaanku sendiri menjadi lauk-pauk yang lezat, memanfaatkan telur-telurnya untuk kesehatan tubuhku yang sudah renta ini. Yang lebih penting lagi, aku merasa kaya hidup di tengah alam, adat, dan budaya kampung halamanku send iri. Uangku dari men gelola tanah warisan nenek moyangmu ini tak sampai berkarung banyaknya. Kau bisa lihat sendiri, berapa yang aku dapat dari menjual hasil kebun. Tapi hatiku ini penuh dengan berkarungkarung kenikmatan karena diberi kesempatan merasakan dan menghirup udara dari tanah alam yang terbentang luas ini. Aku pun bersyukur anak-anak muda kampung ini masih menganggapku sebagai perempuan tempat tumpuan kasih sayang dan curahan hati...."
" Maksud Nenek?"
" Itulah bedanya Ranah Minang dengan daerahdaerah lain di Indonesia. Di sini kita berbangsakan ibu. Perempuan dijadikan kunci kehormatan tanah tempat berpijak. Sudah selayaknya perempuan Minang menjaga kehormatannya dengan sebaikbaiknya. Dialah tumpuan kasih sayang, curahan hati, tempat bertanya, dan pencetus pikiran bijak. Kepada
Harta Pusaka Cinta
perempuanlah harapan harta kekayaan alam Minang ini ditumpukan. Dialah yang diharapkan menjaga, merawat, dan mengatur hasil tanah, ladang, dan sawah lalu membagi-bagikannya secara adil merata serta menyimpannya untuk kehidupan masa depan. Nenek merasa sudah menunaikan amanah adat itu. Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah...."
" Sebegitu besar dan tingginya derajat wanita di sini ya, Nek."
" Ya, seperti yang ada dalam Al-Qur an. Ada Surat An-Nisa yang membahas perempuan dan hukumhukumnya. Juga ada dalam hadis. Hormatilah ibumu, ibumu, ibumu. Baru setelah itu bapakmu. Surga pun terletak di bawah telapak kaki seorang ibu."
" Lalu, bagaimana kedudukan kaum lelakinya, Nek?"
" Mereka sebagai pengawas dan pelindung. Itu sebabnya perempuan diwajibkan menghormati, santun, serta menghargai kaum lelaki."
" Ideal sekali terdengarnya, Nek," komentar Chintiya. " Kira-kira anak-anak muda sekarang ngerti dan ngejalaninnya nggak, ya?"
" Alhamdulillah, masih banyak anak muda yang merasakan kekayaan tak ternilai di kampung ini, di antaranya tentu saja si Fikar, Bachtiar, Farida dan kawan-kawan mereka itu. Sungguh malang bila orang yang lahir dan besar di sini tak merasakan kecint aan akan kampungnya. Hati mereka ini seolah sudah mati. Bagi mereka, nilai kehidupan hanya sebatas ni
lai uang. Karena itulah mereka sanggup memperjualbelikan harta warisan nenek moyang sendiri. Warisan itu jelas akan punah bila berpindah ke tangan-tangan asing."
" Iya, Nek...." tanggap Chintiya dengan suara gemetar. Ia menggigil mendengar ucapan neneknya yang panjang lebar itu. Setiap kata yang keluar dari mulut wanita tua itu seakan menggores mata hatinya. Ia merasa sangat malu pada dirinya sendiri.
Harta Pusaka Cinta Karya Desni Intan Suri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Jangan hanya menjawab dengan iya Nek . Aku tahu kaudatang ke sini bukan karena kemauanmu sendiri."
Kembali Chintiya tersentak mendengar ucapan Anduang Rabiah. Walaupun disuarakan dengan pelan dan lembut, ucapan itu terasa menghunjam jantungnya. Lama ia terdiam, tak tahu kalimat apa yang tepat untuk menimpali perkataan neneknya itu.
" Aku sebetulnya menunggu kejujuranmu tentang maksud dan tujuan mengunjungi nenekmu ini, Cucuku." Anduang Rabiah membenahi anak rambut Chintiya yang berserakan bercampur peluh di keningnya.
Chintiya semakin terdiam dengan wajah tertekuk. Tiba-tiba saja ia memeluk neneknya erat-erat. " Kukira aku tak perlu lagi menjelaskan pada Nenek. Nenek sudah lebih tahu dariku. Nanti ketika sudah kembali ke Jakarta, Mami harus kuberikan penjelasan tentang ini," katanya dengan suara bergetar. Ia menyandarkan kepala di bahu Anduang Rabiah.
Harta Pusaka Cinta
Suasana hening beberapa detik.
" Kau akan kesulitan menjelaskannya pada mamimu...."
" Tidak," sergah Chintiya. " Aku yakin ada jalan untuk menjelaskan kebenaran."
Anduang Rabiah tersenyum mendengarnya. Ia mengusap-usap punggung cucunya dengan penuh kasih sayang. Tak ada kata-kata lagi. Mereka berbimbingan tangan meninggalkan kebun yang luas itu.
Sepanjang jalan pulang, Chintiya tak banyak bicara. Ia sibuk berpikir dan merenung. Ia menggenggam jemari tua neneknya dengan kuat, seolah mencoba mendapatkan aliran api semangat dan cinta dari tubuh tua itu. Ya, itulah yang dimiliki ibu kandung Mami yang tak pernah dikisahkan Mami padanya. ***
Pagi ini Zulfikar datang ke rumah Anduang Rabiah. Ia menepati janjinya pada Chintiya untuk membawa gadis itu ke perpustakaan yang paling lengkap di desa ini. Ia tiba tepat ketika Chintiya baru saja menghidangkan kolak pisang di meja makan. Chintiya sendiri yang memasaknya, sedangkan Anduang Rabiah hanya menunjukkan bahan-bahan dan cara memasaknya.
" Assalamualaikum," saa Zulfikar dari pintu yang biasa ia masuki. " Waduh, pas betul kedatanganku ini, Nduang. Bau kolak Anduang membuat hidungku
kembang kempis. Dari jarak sepuluh meter pun sudah tercium wanginya."
" Waalaikumsalam. Ondeeeh& iyo, langkah kanan betul Cunda Fikar. Tepat waktu kolak sudah matang." Anduang Rabiah menyambut kedatangan Zulfikar dengan sapaan akrabnya.
Rona merah menyebar di pipi putih Chintiya. Wajahnya terasa panas oleh alunan detak jantungnya. Sejenak ia memaki-maki dirinya sendiri yang jadi labil begini.
" Yang masak bukan Anduang, tapi Chintiya. Cobalah cicipi masakan anak Jakarta ni, apakah sama dengan tangan kampung Anduang."
" Oooh, jadi anak Jakarta yang masak? Wah, perlu dicicipi, nih," Zulfikar melirik Chintiya.
Yang dilirik acuh tak acuh. Terus saja bolak-balik melengkapi hidangan di meja makan.
Zulfikar langsung mengambil piring yang tertumpuk di meja makan, lalu menyendok kolak pisang. " Bismilllah." Ia menyuap sesendok kolak ke mulutnya. " Alhamdulillah. Ternyata masakan orang kota sedap juga, ya," katanya sambil melirik Chintiya.
Yang dilirik sedang menyendok kolak ke dalam piring, lalu memberikannya pada Anduang Rabiah.
" Sebagai penghargaanku akan masakan yang enak, aku memenuhi janjiku untuk mengajakmu ke perpustakaan terbesar di desa ini. Bagaimana? Mau?"
" Boleh," jawab Chintiya tanpa melihat sedikit pun pada Zulfikar.
Harta Pusaka Cinta
Bagi Zulfikar sikap ini menyatakan sebuah keangkuhan. Namun, bagi Chintiya sikap ini untuk menutupi perasaannya yang sebenarnya.
Selesai sarapan, Zulfikar kembali mengulangi ajakannya.
" Dekat saja, kok. Nggak usah pake dandan segala," tambahnya ketika melihat Chintiya hendak ke kamarnya terlebih dahulu.
Semenjak Anduang Rabiah menyodorkan bajubaju serbapanjang dan longgar, Chintiya selalu memakai setelan seperti itu terus. Cuma kerudungnya yang tidak ia pakai.
Anduang Rabiah tak memaksa Chintiya berhijab. Berpakaian yang rapi saja sudah cukup. Diam-diam wanita tua itu mensyukuri perubahan demi perubahan cucunya dalam dua minggu ini. Tak lagi dilihatnya Chintiya keluar kamar dengan menggunakan baju kaus ketat berleher rendah atau celana ketat dengan baju kaus tak berlengan.
" Siapa juga yang mau dandan?" Chintiya merengut.
Zulfikar terkekeh melihatnya. Wajah cantik itu tetap saja cantik walau sedang merengut seperti itu.
" Pergi dulu ya, Neeek...." , kata Zulfikar pada Anduang Rabiah.
Anduang Rabiah malah tertawa geli sambil mengangguk-angguk, seakan-akan ada sesuatu yang lucu.
Langkah Zulfikar yang dibuntuti Chintiya berhenti di perpustakaan rumah gadang milik perempuan tua itu.
" Kok ke sini?" tanya Chintiya tak mengerti. " Ya di sini," jawab Zulfikar kalem. " Di sini bagaimana?"
" Perpustakaan terbesar di desa ini ya di sini." " Di sini?"
" Di rumah Nenek?" " Iya."
" Bilang kek dari tadi," sungut Chintiya. " Ini sudah dibilang."
Chintiya tak tahan. Tangannya bergerak ingin memukul lengan Zulfikar. Tapi Zulfikar lebih sigap. Tangan Chintiya ditangkapnya. Sejenak tangan Chintiya berada dalam genggaman Zulfikar yang besar dan kuat. Dua pasang mata bertemu, saling menatap. Ada debar tak terkendali hingga mulut terkunci rapat.
Suara deham dan bunyi terompah kayu menaiki tangga membuat dua tangan yang tadi bersatu saling melepaskan.
Zulfikar yang pertama kali berhasil menguasai diri. " Silakan memasuki perpustakaan terbesar di kampung ini," katanya setelah membuka pintu. Tangan kanannya bergerak mempersilakan, badannya sedikit membungkuk.
Chintiya cuek. Wajahnya masih merah padam menahan debar jantungnya.
Zulfikar berusaha bersikap tenang dan santai, tapi wajahnya menunjukkan ia belum bisa mengendalikan diri sepenuhnya. Dalam hati ia menyesali diri karena
Harta Pusaka Cinta
melakukan tindakan memalukan itu. Berkali-kali ia mengucapkan istigfar dalam hati.
" Mau cari buku apa, Non?" tanya Zulfikar di belakang punggung Chintiya.
" Biar kucari sendiri," jawab Chintiya dengan nada ketus.
" Kalau cari sendiri, bisa-bisa yang dicari malah novel teenlit atau roman picisan. Kalau itu, takkan ditemui di perpustakaan ini."
" Jangan sok kamu! Yang baca novel teenlit dan roman picisan itu bejibun tau!" sanggah Chintiya. " Termasuk kamu, dong."
" Bisa jadi kalo aku sedang mau. Emang salah?" " Siapa bilang salah? Aku, kan, cuma bilang kalo kamu nyari seperti itu di sini, pasti nggak bakal nemu...."
" Ya udah, makanya biar aku cari sendiri," sela Chintiya.
Sejenak suasana hening. Chintiya mencoba berkonsentrasi mengamati buku-buku yang tersusun rapi di rak-rak dinding.
" Coba baca ini." Zulfikar menyodorkan sebuah buku. " Mungkin kamu perlu membaca buku ini." " Buku apa ini?" Chintiya menerima buku itu. " Tentang harta warisan di Minangkabau." Deg! Chintiya tersentak. Ia segera membaca judul buku itu. Pewarisan Harato Pusako Tinggi dan Harato Pencaharian Minangkabau, dikarang oleh Amir M.S. Perasaannya langsung tidak nyaman. Ia merasa Zul
fikar sengaja memberikan buku ini karena ia pernah keceplosan mengatakan maksud kedatangannya ke sini adalah karena harta warisan.
" Di Minang ini yang namanya harta warisan besar berkaitan dengan adat budaya Minangkabau," tanpa diminta Zulfikar menjelaskan masalah harta warisan sesuai dengan buku yang ia sodorkan pada Chintiya. " Maksudnya?" Chintiya mulai tertarik. " Yang dikelola dan dijaga oleh nenekmu ini disebut sebagai harta pusaka tinggi. Harta ini disebut sebagai harta nenek moyang yang diwariskan secara turun-temurun dan hak pengelolaannya diberikan kepada kaum perempuan," jelas Zulfikar.
" Kenapa kepada kaum perempuan?"
" Begitulah Minangkabau ini. Kaum perempuan dianggap kaum yang bijak, teliti, cerdas, serta mempunyai kemampuan untuk mengatur dan mengelola harta dengan baik. Tapi bukan berarti kaum lelaki tak berperan. Di sini ada para paman yang dianggap sebagai penasihat. Jadi, pihak lelaki tetap dikedepankan. Sama seperti dalam sebuah rumah tangga, suami adalah kepala rumah tangga sedangkan pelaksana rumah tangga adalah istri. Selain itu, lelaki diibaratkan seekor burung dan perempuan adalah sangkarnya. Kaum lelaki diharapkan terbang seperti burung, mencari ilmu dan wawasan sebanyak-banyaknya. Ketika sudah cukup, ia diharapkan kembali ke sarangnya untuk sama-sama membangun dan memperkuat kehidupan. Kaum perempuan diharapkan memper
Harta Pusaka Cinta
tahankan, menjaga, dan memelihara tanah yang sudah ada dengan terus mengelola, menyuburkan, dan memodernkannya tanpa meninggalkan budaya."
Chintiya mendengarkan setiap kalimat yang keluar dari mulut Zulfikar dengan saksama. Matanya tak berkedip menatap wajah Zulfikar. Ia antusias untuk mengetahui lebih banyak. Sikap salah tingkah tadi tak lagi berbekas di wajahnya.
" Kuharap kamu paham apa yang kujelaskan tadi," ujar Zulfikar mengusik keheningan yang menyelimuti mereka selama beberapa menit.
Chintiya hanya mengangguk-angguk dengan wajah masih tercenung.
" Kamu bacalah buku itu agar lebih jelas. Buku itu cukup ringan sebagai buku penjelasan tentang adat. Pembahasannya tidak berbelit-belit. Nanti akan kucarikan buku-buku penunjang yang berkaitan dengan harta warisan dan adat budaya Minang secara menyeluruh...."
" Apakah tanah warisan itu dikelola terus secara turun-temurun?" Pertanyaan Chintiya menandakan ia masih ingin mengetahui banyak hal dari Zulfikar.
" Harta warisan di Minang terbagi dua. Ada yang namanya harta pusaka tinggi, ada pula harta pusaka rendah. Sebagai contoh, tanah, sawah, dan ladang yang dijaga dan dikelola nenekmu itu disebut harta pusaka tinggi. Dalam adat Minang, harta pusaka tinggi hanya boleh dikelola agar hasilnya bisa dinikmati secara turun-temurun. Harta ini tidak boleh
diperjualbelikan. Tujuannya agar harta itu tetap bisa dinikmati secara turun-temurun, serta untuk menjaga kelestarian dan keaslian alam Minangkabau, terutama di kawasan perdesaan. Biasanya yang namanya sawah, ladang, dan tanah adanya di perdesaan," tutur Zulfikar.
Chintiya mengangguk pelan, memasukkan penjelasan itu ke otaknya.
" Kamu bisa bayangkan, apa jadinya bila semua wilayah di Indonesia ini diubah menjadi perkotaan modern dengan bangunan-bangunan yang menjulang tinggi. Apa jadinya kalau tak ada sejengkal tanah pun untuk menanami pohon-pohon? Apa jadinya kalau tidak ada lagi penghijauan? Apa jadinya jika hutan digunduli demi kepentingan bisnis, misalnya untuk membangun permukiman modern. Akibatnya, kalau musim hujan banjir, kalau musim panas hutan terbakar."
" Ya... ya& ya. Aku paham. Nenek juga menjelaskan hal yang sama padaku," desis Chintiya.
" Oh, ya? Hmm& syukurlah. Tapi biarkan aku menjelaskan sampai tuntas," ujar Zulfikar. Chintiya mengangguk, mempersilakan. " Harta pusaka rendah itu adalah harta pencaharian sepasang suami istri. Harta ini boleh diwariskan kepada anak-anak, baik yang perempuan maupun lelaki. Hukum yang dipakai adalah hukum waris yang tertulis dalam kitab suci Al-Qur an Surah An-Nisa ayat sebelas. Bagian untuk seorang anak laki-laki sama
Harta Pusaka Cinta
dengan bahagian untuk dua anak perempuan. Perlu kamu ketahui, di Minang ini berlaku aturan adat yang sejalan dengan aturan agama Islam. Dalam pepatah Minang disebut adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Makanya bisa ditandai, orang Minang asli pastilah beragama Islam."
Chintiya terdiam lama. Kemudian, ia mendesis pelan, " Makasih atas semua penjelasannya."
Zulfikar tersenyum. " Sama-sama. Mudah-mudahan kamu akan mencintai tanah leluhurmu ini dengan setulus hatimu. Menurutku, kamu perlu mendalami masalah ini karena dalam darahmu mengalir darah Minang dan nenekmu sudah lama merindukan seseorang yang akan menggantikan posisinya sebagai perempuan bijak, teliti, cerdas, dan mampu mengelola harta-harta peninggalan nenek moyangmu," Zulfkar berkata pelan sambil menatap tajam pada Chintiya.
Si gadis semampai balas menatap. Sepasang mata kembali bertemu dan saling memandang. Lagi-lagi Chintiya tak berhasil mengendalikan dentum di dadanya. Ia memaki dirinya karena tak kenal lagi pada diri sendiri. Ia seakan bukan lagi gadis metropolitan yang telah menjejakkan kaki di berbagai tempat di Asia dan Eropa. Wajahnya sekarang cepat tertunduk dan memerah, tak mampu mengendalikan rona saga di kedua pipinya. Ia layaknya gadis desa yang masih hijau dan alami.
Sebelas
P erang dingin antara Chintiya dan Friska terjadi
setelah kepulangan Chintiya dari Ampek Angkek.
Kekesalan Friska sudah menumpuk karena panggilan telepon dan pesan pendeknya tak pernah dibalas. Tiba-tiba saja Chintiya menelepon, mengabarkan ia sudah di Bandara Soeta Jakarta. Saat Chintiya menelepon, Friska sedang berada di Singapura bersama Joni Arwana. Laki-laki tambun itu mengajaknya melakukan survei lokasi dan pengadaan barang untuk usaha restoran yang pengelolaannya akan diserah pada Friska.
Sebetulnya Friska belum memutuskan akan bekerja sama dengan Joni atau tidak. Tapi bayang-bayang ratusan juta akan melayang sebagai pembayar bunga utang membuatnya ketakutan. Sementara itu, usaha Chintiya mendapat harta waris yang dikehendakinya belum memperlihatkan tanda-tanda positif. Jangankan tanda-tanda, anak gadisnya itu bahkan tidak memberikan penjelasan apa-apa tentang apa saja yang sudah diperbuatnya di sana. Satu-satuya jalan hanya
Harta Pusaka Cinta
lah tidak melepas dulu tawaran dari Joni Arwana. Ini jalan terakhir agar utangnya itu tak perlu ia bayar dengan hartanya.
Ia memarahi anak gadisnya itu habis-habisan. Namun, Chintiya malah menjawabnya dengan tenang dan kalem.
" Nggak usah marah-marah gitu deh, Mi. Aku nggak nelepon Mami karena aku nggak mungkin ngej elasin semuanya di telepon. Nantilah kalau kita udah ketemu akan kujelasin. Assalamualaikum, Mi."
Bukan suara kalem itu yang membuat Friska ternganga. Lama ia terdiam, mencari-cari apa yang salah dengan putri kesayangannya itu. Jawabannya baru ia temukan beberapa menit kemudian. Ucapan salam. Ya, ucapan salam itu. Itu bukan gaya hidup Chintiya.
Lama Friska meyakinkan diri bahwa yang meneleponnya barusan memang Chintiya. Lama pula ia berpikir-pikir, kalau memang Chintiya, siapa yang sudah membuatnya demikianJawabannya yang sebenar-benarnya baru ia terima ketika mereka bertemu muka.
" Jadi Mi, aku yakin Mami sudah tau. Berurusan dengan harta warisan di Minang tidak mudah, kan, Mi ? Dan& dan& bukannya Mami seharusnya menjaga harta itu karena itu merupakan tanggung jawab Mami?" tanya Chintiya hati-hati
" Oh, begitu, ya? Wah& wah... Chintiya... Chintiya, anak manis Mami. Pikiran hijaumu ternyata sangat gampang dipengaruhi."
" Hijau?" tanya Chintiya. " Aku nggak ngerti." " Pikiranmu masih cetek, Anak Manis. Gampang dipengaruhi oleh seseorang atau suatu keadaan di sekelilingmu."
" Dipengaruhi seseorang? Seseorang siapa? Nenek, maksud Mami? Jadi, Mami pikir aku ini dipengaruhi oleh Nenek? Begitu?" tanya Chintiya bertubi-tubi. " Hmm, kalaupun ya, Nenek bukanlah seseorang tapi ibu Mami. Nenekku."
" Freechintiya Rubert! Kamu nggak usah ngotot begitu sama Mami! Kamu belum tau siapa nenekmu sebenarnya dan bagaimana ia memperlakukan Mami sebagai anaknya!" ujar Friska keras. " Nah, sekarang katakan sama Mami, apa saja yang kaudengar di sana? Apa saja yang sudah kamu lihat? Gimana Mami mau bisa bilang pikiranmu sudah matang kalau dalam tempo beberapa hari saja kamu berubah seperti ini? Mana janjimu pada Mami? Mana semangatmu sebelum sampai di Ampek Angkek?"
" Kalau itu yang Mami tanyakan, berarti Mami yang mikirnya masih hijau& ."
" Kok malah dibalik, sih?" sergah Friska dengan nada tinggi. " Kamu benar-benar bikin Mami kesal, tau nggak? Berhari-hari Mami bolak-balik nelepon, tapi nggak pernah diangkat. SMS Mami pun nggak pernah dibalas. Apa maksudmu? Tega kamu, ya, bikin Mami bertanya-tanya dan mengkhawatirkan dirimu berhari-hari? Pasti kamu dilarang nenekmu menelepon Mami, ya? Biasa, nenekmu itu. Kalau sudah
Harta Pusaka Cinta
merasa akan dirugikan, dia nggak bakal peduli walaupun itu sama anak kandungnya sendiri!"
" Mami! Tega, ya, Mami menuduh ibu sendiri seperti itu!" Chintiya spontan berteriak dengan mata membeliak.
" Kamu yang tega! Sampai-sampai menghardik Mami macam begini! Ini baru pertama kali kamu bersuara keras seperti itu pada Mami. Siapa lagi...."
" Stop, Mami. Please. Oke... oke, aku minta maaf karena suara keras tadi. Tapi please, dengerin aku dulu, dong. Biarkan aku menjelaskan semuanya." Chintiya menghampiri Friska dan mengelus-ngelus pundak ibunya itu.
Friska diam dengan wajah menahan emosi. Matanya mencari-cari tempat duduk, kemudian menghempaskan tubuh di sofa.
" Oke, sekarang aku mau jelasin, ya, Mi." Chintiya pasang muka setenang mungkin. Ia tahu tak mudah menyampaikan keputusan ini pada Mami. Chintiya sangat tahu watak ibunya. Hatinya sekeras baja dan selalu ngotot demi mendapatkan apa yang dikehendakinya.
Chintiya mengakui sifat-sifat Mami itu ada juga di dalam dirinya. Ia tak ingin menyalahkan Mami seb agai penyebabnya. Tapi kenyataannya, selama ini pola hidup Mami memang menjadi pedomannya dalam melangkah.
Setelah berada dalam suasana dan hati yang damai, ia sadar bahwa sifat-sifat itu hanya akan menimbulkan
penderitaan yang panjang pada diri sendiri. Yang menyadarkan Chintiya tentang hal ini adalah neneknya yang disebut sebagai " seseorang" oleh Mami. Chntiya sadar, sesungguhnya ia mempunyai pandangan yang sama dengan neneknya tentang makna kehidupan. Ia merasa menemukan orang yang sepikiran dan seirama. Ia merasa neneknya adalah ia dan dirinya adalah neneknya.
" Ya, bicaralah. Apa yang mau kamu sampaikan?" Friska berkata ketus pada putri semata wayangnya itu.
Chintiya berusaha menatap mata Maminya sejenak sebelum memulai penuturannya. " Mami, aku bener-bener minta maaf karena mendiamkan call Mami yang berkali-kali padaku. Sungguh, Mi, nggak ada yang memengaruhiku untuk berbuat begitu, apalagi Nenek. Nenek sama sekali nggak tau tentang komunikasi kita. Percayalah, Mi ...."
" Ya udah. Terserah kamulah!" sela Friska. " Lalu, apa alasanmu tidak mau menerima telepon dari Mami?"
" Bukan tidak mau, Mi, tapi aku menundanya. Kupikir, percuma saja menjelaskannya di telepon. Bisabisa malah menimbulkan kesalahpahaman." Chintiya diam sejenak, memperhatikan reaksi ibunya. " Selama di Ampek Angkek, aku melihat sendiri semua harta pusaka keluarga. Sawah, ladang, kebun, peternakan ikan, ayam, kambing, sapi, rumah gadang di Ampek Angkek, serta rumah yang di Padang...."
Harta Pusaka Cinta
Mata Friska bersinar. Ia melirik putrinya. " Tuh, kan? Nenekmu itu berharta. Secara adat, itu akan menjadi harta Mami dan juga hartamu!"
" Betul, Mi. Secara adat harta-harta itu memang akan jatuh pada anak perempuan, tapi harta-harta itu tidak boleh dijual, Mi...."
" Enak saja! Siapa bilang nggak boleh dijual?" sergah Friska dengan nada tinggi. " Harta itu bukan milik orang lain. Harta itu milik kita! Kenapa pula nggak boleh dijual? Ah, sudahlah. Pusing Mami dengernya! Itu sebabnya tadi Mami bilang pikiranmu masih hijau. Pasti telingamu itu udah dicekoki dengan ilmu pengetahuan kampung yang kolot itu! Siapa lagi kalau bukan nenekmu sendiri yang nyekokin? Mami dulu juga dicekoki begitu, tapi Mami tentang. Kalau nggak, seumur hidup Mami akan seperti katak dalam tempurung. Nggak tau apa-apa selain mengikuti aturan adat yang mahakolot!"
" Tidak, Mi. Mami yang salah paham. Adat tidak pernah membuat seseorang menjadi seperti katak di dalam tempurung. Adat justru mengajarkan kita menjadi manusia yang hidup teratur dan bertata krama. Menjadi manusia yang memahami sesama mamusia. Adat mengajak kita belajar dari alam yang terhampar luas dan berkembang dari masa ke masa& ."
" Hei... hei! Kata-katamu sudah hebat, ya, sekarang!" potong Friska. " Baru beberapa hari di sana kamu udah seperti pakar adat saja ngomongnya!
Mami nggak nyangka, kamu yang udah keliling dunia ternyata bisa dipengaruhi segampang ini!"
" Mamiii& jangan bicara gitu, dooong! Aku hanya ingin menceritakan apa yang kulihat di sana dan ternyata memang banyak nilai positifnya. Mi, Nenek itu bukan tipe orang yang banyak bicara. Nenek lebih banyak berbuat. Banyak pelajaran yang kuperoleh dari Nenek tanpa ia perlu bicara padaku, apalagi mengguruiku. Setiap hari Nenek memperlihatkan padaku bagaimana cara bersikap, bagaimana cara memaknai kehidupan, bagaimana cara mencintai alam, adat dan budaya, bagaimana menghargainya sebagai berkah dari Allah. Aku sangat... sangat tekesan, Mi. Ini di luar dugaanku. Kehidupan Nenek sehari-hari seperti membawaku pada arus kehidupan yang memang harus dimaknai betul-betul. Ketekunan dan penghargaannya pada agama, adat, dan budaya membuat dirinya terlihat kuat, punya nilai, dan menjadi perempuan yang tak pernah tua...."
" Kekagumanmu sangat berlebihan, Chin!" Friska menyela dengan nada dingin. " Hati-hati! Ujungujungnya kamu pasti akan kecewa dibuatnya...."
" Kecewa? Tidak," Chintiya menggeleng. " Aku takkan pernah merasa kecewa bertemu dengan Nenek. Aku berniat menjumpai Nenek lagi... hmmm& atau akan menemani Nenek di Ampek Angkek...."
" Gila! Apa maksudmu, Chin?" tanya Friska serius. Ia mulai merasa putrinya berada dalam situasi yang
Harta Pusaka Cinta
membahayakan. Dalam pikirannya, otak Chintiya sudah benar-benar dicuci.
" Ya, aku ada keinginan untuk tinggal di Ampek Angkek. Maybe someday when I ve finished my study. I m sure grandma need me...."
" It s just a bluff !"
" No, Mommy. That s my dream. Really& really my dream& ." ujar Chintiya dengan tatapan menerawang jauh.
Friska melihat itu. Ia segera beranjak dari duduknya dengan gerakan kasar. " That s enough, Chintiya! I don t want to hear your... arrrghhh... all I heard from you are bullshit! Stop talking about this! So, apa kesimpulan dari penjelasanmu?" Friska menahan amarah yang amat sangat.
" Kesimpulannya, salah besar kalau kita menuntut harta waris dari harta-harta pusaka di kampung halaman," jawab Chintiya. Kemarahan Mami tak membuatnya berubah pikiran. " Apalagi yang namanya harta pusaka tinggi. Itu harta yang diwariskan turuntemurun dalam adat Minang, Harta itu harus dijaga keutuhannya, kesuburan tanahnya, dan keindahan adat budayanya. Caranya dengan mengelolanya dari masa ke masa secara turun-temurun. Ini sebuah bukti, Mi, bahwa kita berasal dari sistem yang berbudaya. Bila harta itu diperjualbelikan, berarti kita meruntuhkan budaya kita sendiri, Mi."
Friska melotot mendengar penjelasan putrinya. Namun, mulutnya terkunci rapat.
" Ahhh... alangkah indahnya mendengar kata beradat dan berbudaya. Hidup sekarang, Mi, seakan menjauhkan kita dari adat dan budaya. Kita melenggang ke mana kita suka, memakai budaya dan adat apa saja yang sebetulnya asing bagi kita, bahkan tidak kita kenal sama sekali. Selama ini kita tidak memakai aturan agama dalam kehidupan kita, padahal Mami orang Minang asli. Kata Nenek, orang Minang asli itu hanya kenal agama Islam. Tapi lihatlah, sampai sekarang Mami... aku& kita berdua tidak jelas memakai agama apa dalam kehidupan kita. Kita tidak tahu panduan hidup kita. Kita memaknai hidup hanya untuk di dunia. Tak lebih."
Tak sepatah kata pun keluar dari mulut Friska. Namun, wajahnya yang tegang menunjukkan bagaimana emosinya.
Chintiya menghampiri ibunya. " Bacalah buku ini, Mi. Mungkin Mami sudah lupa tentang ada istiadat di kampung Mami sendiri yang bersendi Kitabullah." Chintiya meletekkan dua buku tentang adat istiadat Minangkabau di pangkuan Mami. Ia meminta pada Anduang Rabiah agar diizinkan membawa bukubuku itu ke Jakarta. Saat itu Anduang Rabiah hanya mengangguk dan memeluk Chintiya erat-erat.
Friska melirik dua buku yang ditaruh Chintiya di pangkuannya. Bukannya melunak, ekspresi wajahnya malah semakin bengis. Ia mengambil buku-buku itu lalu melemparkannya pada Chintiya. Tepat mengenai wajah gadis itu.
Harta Pusaka Cinta
Sejenak Chintiya meringis, mengelus-elus pipinya yang terkena sudut buku. Pipi sebelah kanannya tampak memerah.
" Cukup! Aku menyuruh kamu pergi ke Ampek Angkek bukan untuk menceramahiku tapi untuk membantu mengambil hak-hakku yang sudah kubiarkan bertahun-tahun lamanya!" seru Friska. " Baik, baik! Tak ada yang perlu kita bicarakan lagi! Mami sudah tahu apa yang harus Mami lakukan sekarang!"
Tanpa memedulikan Chintiya yang masih meringis menahan sakit, Friska bangkit dari duduknya. Dengan langkah lebar ia menyambar tas yang tadi ia geletakkan di meja. Setelah itu, ia melangkah ke pintu.
" Apa, Mi? Apa yang akan Mami lakukan?" Chintiya mengejar maminya, berusaha menyelesaikan pembicaraan ini baik-baik.
" Kau tidak perlu tahu! Silakan saja kalau kau mau balik ke tempat nenekmu. Pergilah sana! Kau sudah dewasa sekarang. Sudah waktunya kita berjalan sendiri-sendiri. Selama ini kau dididik secara Eropa. Kau tahu, kan, gadis-gadis Eropa seumurmu sudah mandiri. Nah, pergilah kau sekarang! Atur hidupmu sendiri. Toh papimu akan terus mendanaimu sampai kapan pun. Beda denganku. Aku takkan dapat sepeser pun darinya. Mami tahu apa yang harus Mami lakukan untuk menyelamatkan keuangan dan kehidupan Mami...."
" Mami, jangan bersikap seperti ini. Sampai kapan pun aku akan tetap berada di samping Mami. Aku memang dididik secara Eropa dan masih keturunan Eropa. Aku mempunyai dua tanah air, Mi. Dulu aku tak pernah memikirkan itu. Aku tak pernah peduli dari mana asalku. Tapi setelah ketemu Nenek, mengikuti cara dan jalan pemikiran Nenek, dan menghirup segar di tanah kelahiran Mami di Ampek Angkek itu, aku merasa memiliki sebuah kehidupan yang dulu tak kumiliki...."
" Oke, oke!" potong Friska, enggan mendengar penuturan putrinya. " Simpanlah kata-katamu itu untuk dirimu sendiri!"
" Mami, apa aku nggak boleh jujur, Mi? Aku ingin curhat apa yang kurasakan ini pada Mami. Dan& dan& kuharap Mami pun dapat merasakan apa yang kurasakan...." Tiba-tiba dari sudut-sudut mata Chintiya mengalir butiran air mata, semakin lama semakin deras.
Friska tak peduli. Ia tetap melangkah ke luar rumah, membuka pintu mobil dan menyalakannya. Tak lama kemudian, mobil yang dikendarainya sudah meninggalkan rumah mewah di satu kawasan elite Jakarta.
Tinggallah Chintiya termangu-mangu di sofa empuk di tengah-tengah ruang tamu. Sebuah gelombang dahsyat menghantam jiwanya. Gelombang kerinduan pada sebuah desa yang damai di Sumatra Barat. Rindu akan kesejukan, kelembutan, serta ketulusan kasih
Harta Pusaka Cinta
seoarang nenek. Rindu seulas senyum menggoda milik seorang pemuda yang sulit ia sentuh. Dicobanya sekuat tenaga mengusir bayang wajah itu. Tapi semakin kuat ia mengusir, bayangan itu justru semakin menari-nari di benaknya.
Dua Belas
F riska mantap menerima tawaran dari Joni Arwana.
Tawaran itu diterimanya karena amarah yang membeludak. Ia marah pada Chintiya, marah pada Amak di kampung, marah pada diri sendiri, dan marah pada keadaan.
Emosi bertalu-talu dalam benaknya, membuatnya bertambah nekat untuk melakukan yang ia anggap benar. " Mengapa dari dulu yang kukehendaki di kampung halaman selalu sulit diperoleh? Mengapa Amak selalu menjadi penghalang untuk mendapatkan sesuatu? Bukankah seorang ibu seharusnya selalu mendukung apa yang dikehendaki anaknya? Bukankah ibu yang seharusnya paling memahami anak-anaknya? Bagaimana dengan tindakan Amak selama ini padaku?"
Menderu-deru rasa sakit hatinya bila mengenang perjalanan hidupnya di kampung. Semua yang ia kehendaki selalu tidak dikabulkan, lalu ia harus mematuhi dan menjalankan apa yang ditetapkan Amak.
Harta Pusaka Cinta
Amak yang pegang kendali. Abak dan kedua abangnya pun patuh pada kehendak Amak. Mer eka selalu mendahulukan kehendak Amak. Pendapat Amak selalu dihargai. Pertimbangan Amak dianggap paling masuk akal dan keputusan Amak paling bijaksana. Ia seperti burung beo saja di dalam keluarganya di kampung.
Setelah berpuluh tahun, ternyata Amak masih juga menghalang-halangi, bahkan mengimpit kehidupannya. Rasa sakit hati yang sudah berpuluh tahun dipendamnya kembali membara.
" Amak... Amak! What s wrong with you? I just want my life! Aaarghhh...!" teriaknya dengan air mata berlinang. Dalam dirinya hanya ada pertanyaan besar, mengapa seorang ibu yang seharusnya mendekapnya sepanjang waktu malah senantiasa menjadi penghalang langkahnyaHatinya dipenuhi amarah dan kebencian. Amarah dan kebencian yang sesungguhnya tak patut mengendap dalam dada seorang anak kepada ibunya sendiri.
Perjanjian kerja sama dengan Joni Arwana telah ditandatangani. Friska tidak mempersoalkan detail isi perjanjiannya. Bujuk rayu dan kata-kata meyakinkan Joni Arwana dan Koh Ibeng membuatnya tak perlu lagi meneliti kalimat demi kalimat dalam tiga lembar surat perjanjian itu.
Ketika mereka sampai di Singapura, segala sesuatunya terlihat sesuai perjanjan dan tidak ada masalah
apa pun. Lokasi usaha strategis, peralatan komplet, dan pekerja pun sudah siap direkrut. Friska tinggal melanjutkan usaha dengan style bisnisnya sendiri. Itu yang disampaikan Joni Arwana padanya.
" Aku serahkan bisnis ini seratus persen pada Mbak Fris. Mbak Fris sudah liat sendiri, ini bisnis legal. Mbak Fris tinggal menjalankan. Buatlah sedemikian rupa agar corak Indonesia terlihat jelas. Saranku, Mbak Fris memulainya dulu dengan usaha kafe dan butik. Saya lihat Mbak Fris berhasil dalam bisnis ini di Jakarta," Joni Arwana terus menambahkan keyakinan Friska untuk bekerja sama.
Friska tidak melihat sisi buruk seorang lintah darat bernama Joni Arwana. Ia masih melihat laki-laki tambun itu sebagai seorang pebisnis ulung. Ia juga seorang pebisnis dan dapat memahami sisi buruk dunia bisnis. Karena itulah ia yakin akan mampu bertahan dalam bisnis ini, paling tidak sampai semua utangnya lunas.
Apakah ini akan merendahkan harga dirinya sendiri karena ia bukan wanita yang tak berduit? Tidak! Peduli apa? Uang adalah tuhan bagi dirinya. Kalau masih ada cara lain untuk memperkecil atau bahkan meniadakan pengeluaran uang, mengapa harus memakai jalur biasa untuk membayar utang" Baik, aku akan menjalankan bisnis ini sebaik mungkin," ujar Friska.
" Good! Itu yang saya harapkan dari Mbak Fris. Congratulation! Anda telah memilih sesuatu yang tepat untuk membuat Anda dapat melenggang pergi
Harta Pusaka Cinta
dengan utang sebanyak itu dengan saya...." Joni Arwana terkekeh-kekeh penuh misteri.
Friska kontan mengerutkan kening. Dia merasa tawa itu seperti meremehkan dirinya.
" Jangan anggap saya berbuat ini semata-mata untuk bayar utang!" Friska masih menegakkan harga dirinya.
Joni Arwana malah tambah terkekeh. " Ohhh& tentu& tentu! Saya tahu Mbak Fris wanita bisnis. Tawaran saya ini jelas sudah Anda teliti sebagai bisnis yang bermasa depan baik, tho? Yang jelas, tidak ada yang merasa dirugikan dan merugikan. Maksud saya, hubungan kerja sama ini jangan hanya sebatas masalah utang. Saya justru berharap Mbak Fris akan banyak terlibat dalam semua jenis bisnis saya," jawabnya sambil menyeringai.
Friska mengangguk-angguk setuju. Dalam hati ia berkata, " Apa salahnya?" Ia tak keberatan terlibat lebih banyak lagi. Ia melihat Joni Arwana sangat piawai dalam dunia bisnis. Modalnya pun tidak tanggungtanggung. Apa salahnya menyelam sambil minum air? Utang terlunasi, dia pun dapat mengeruk ilmu bisnis dan uang dari laki-laki ini.
Yang paling penting, ia dapat memperlihatkan kebenaran pada anak semata wayangnya. Ia sungguh sakit hati melihat kenyataan. Amak tidak saja sudah mendominasi kehidupannya di masa kanak-kanak dan remaja, tapi juga menguasai pikiran anak gadis tercintanya sehingga membelot dari dirinya.
Hari ini, sampai waktu yang belum dapat ia pastikan, ia sudah memutuskan untuk berkonsentrasi den gan bisnis barunya ini. Bisnis butik, salon kecantikan, dan kafe diserahkannya pada Denia, orang yang paling ia percaya. Ia menganggap gadis berusia tiga puluh tahun itu semakin menyerupai dirinya dalam berbisnis. Cerdas, cerdik, cermat, dan yang pasti sedikit culas. Bagi Friska, keculasan termasuk sikap penting dalam berbisnis kalau ingin berhasil ***
Sementara itu, banyak perubahan terjadi pada diri Freechintiya Rubert, putri tunggal Friska Aisyaharni. Selama ini ia terkenal sebagai salah seorang mahasiswi berselera kelas atas. Sebuah Mercedes Benz selalu mengiringi langkahnya di kota metroplitan ini.
Para mahasiswa yang satu selera dengannya mengenal dengan baik gadis bertubuh semampai yang berbalut kulit putih bercahaya itu. Di tempat fitnes dan klub-klub yang ia ikuti pun ia mempunyai banyak kawan. Beberapa majalah remaja dan pencinta alam juga mengenal baik dirinya dan menanti-nanti kisah perjalanannya.
Namun, sudah dua bulan ini ia berputar haluan. Ia beberapa kali datang ke kampus tanpa Mercedes Benz. Ia sering terlihat naik turun bus dan duduk diam menekuni buku-buku tebal di perpustakaan
Harta Pusaka Cinta
kampus. Yang sangat mengagetkan, ia beberapa kali terlihat berada di kawasan musala kampusnya. Banyak yang memergokinya sedang melaksanakan shalat Zuhur atau Asar di sana.
Rifanti, Liskia, dan Miesye sering menghabiskan waktu bersama Chintiya di restoran-restoran elite kota Jakarta, terheran-heran melihat perubahan itu.
" Lu kesambet apa, Chin? Kok lu sampe tobat kayak gini?" tanya Rifanti menanggapi tingkah Chintiya yang berubah hampir seratus delapan puluh derajat itu.
" Iya, nih. Gue jadi bingung liat lu. Jangan-jangan lu dapat aji-ajian dari nenek lu di Padang... yang syaratnya...."
Chintiya langsung menyambar omongan Liskia, " Udah, udah. Mau kesambet kek, mau dapat aji-ajian kek, itu urusan gue. Mending lu pade cepet nyadar aja, deh. Hidup ini bukan milik kita. Kita nggak bakal bisa nolak kalo Allah udah netapin hari ini, menit ini, detik ini, kita mati. Kalo udah diputusin begitu sama Allah, udah nggak ada waktu lagi buat bertobat. Jadi, kalo lu liat gue keliatan tobat, ya& emang bener. Gue mau to... baaat. Lu-lu denger, ya. Gue mau tobat!"
Tiga kawannya itu terpingkal-pingkal mendengar penjelasan Chintiya, tetapi yang ditertawakan tetap cuek bebek. Ia melipat mukena dan memasukkannya ke tas mungil tempat mukena itu. Mukena ini diberikan Farida padanya sehari sebelum ia kembali ke Jakarta.
" Ini untukmu. Ingat, ini bukan kenang-kenan gan tanda kita berpisah. Ini sebuah benda yang akan mengingatkanmu untuk datang lagi ke kampung halaman untuk menengok nenekmu."
Matanya berair mendengar kalimat Farida itu. Ia hanya bisa mengangguk-angguk sambil memeluk Farida.
" Mies, lu jangan cengengesan gitu. Lu sendiri ngaku-ngaku seorang Kristiani, tapi gue nggak pernah liat lu gereja. Lu bertiga apa nggak malu, punya agama cuma untuk data di KTP?"
Dari mereka berempat, hanya Miesye yang beragama Kristen. Selama ini mereka tidak pernah mempermasalahkan agama. Masalah agama terletak di posisi paling belakang dalam perencanaan hidup mereka. Yang paling utama adalah bersenang-senang. Yang kedua, ngampus. Kuliah pun bukan semata-mata untuk menuntut ilmu dan menjadi sarjana. Predikat mahasiswa masih dianggap sebagai kaum intelektual, tidak peduli mau tamat kapan dan setelah menyandang gelar sarjana mau jadi apa.
" Waduuuh& gara-gara numpang ngakak gue juga ikut dimarahin, nih," Miesye mencoba menahan tawa. Wajahnya dibuat seserius mungkin.
Harta Pusaka Cinta Karya Desni Intan Suri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Oke, oke. Kita udah paham. Ceritanya kiamat udah dekat, nih. Jadi, lu mau buru-buru tobat. Gitu, kan, Chin?"
" Terserah, deh. Gue cuma ngingetin. Gue juga baru belajar. Gue nggak berhak maksa-maksa lu
Harta Pusaka Cinta
semua buat ngikutin gue. But, if you want to do it, gue akan senang sekali. Fanti dan Kia, besok lu berdua bawa mukena, deh. Ntar we pray together at musala kalo waktu shalat udah masuk. And lu, Mies, Minggu besok lu ke church sana. Lu ungkapin sejujurnya pengakuan dosa lu selama ini biar hidup lu tenang," Chintiya terus nyerocos, memotivasi ketiga kawannya. Ia tidak peduli dengan sindiran dan tawa mereka.
Ada lagi yang lebih mencengangkan. Dulu Chintiya alergi berdekatan dengan Afifah, kawan satu jurusannya. Namun, sejak mengenal Farida, ia rindu mempunyai kawan yang serupa dengan kawannya di Ampek Angkek itu.
" Fah, kamu pinter ngaji, ya?" tanya Chintiya. Pada siang yang terik itu ia sengaja menjajari langkah Afifah di jalan keluar kampus.
Afifah bengong. Chintiya sampai harus mengulang pertanyaannya.
" Oh... ehhh.. ya& eh, iya. Insya Allah aku bisa. Kenapa, ya, kamu nanya-nanya gitu? Nggak biasanya," tanya Afifah.
Chintiya pernah mendengar bahwa Afifah sudah tidak mempunyai keluarga lagi. Semua anggota keluarganya meninggal ketika tsunami melanda Serambi Mekah beberapa tahun yang lalu. Setelah kejadian itu, Afifah tinggal dan dibesarkan oleh keluarga angkatnya.
Afifah pernah menuturkan kisah hidupnya dalam sebuah acara di kampus. Saat itu Chintiya berpikir
Afifah sudah mati rasa. Ekspresi Afifah terlalu datar ketika mengisahkan kemalangan yang menimpa dirinya dan keluarganya. Ia tidak mengeluarkan air mata setetes pun. Sehari-hari pun gadis itu tampak biasabiasa saja. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia pernah mengalami sebuah tragedi yang dahsyat.
Sekarang ia baru tahu mengapa Afifah selalu tampil dengan senyum ramah. Kalau diperhatikan betul-betul, penampilan Afifah memberi rasa nyaman dan damai di hati.
Pertama kali Chintiya menjejakkan kaki di musala kampus, orang pertama yang ia kenal adalah Afifah. Pada waktu-waktu selanjutnya pun ia selalu bertemu dengan Afifah di sana. Tentu inilah yang membuat rasa muram, gelisah, atau trauma idak tergores sedikit pun di raut wajah Afifah.
Untuk pertama kalinya Chintiya mengagumi Afifah. Matanya selalu mengikuti gerak-gerik Afifah selama di musala. Diam-diam ia mencontoh kekhusyukan Afifah dalam melakukan shalat. Ketika mencoba beristigfar dan berzikir dengan khusyuk, Chintiya menjadi malu pada diri sendiri. Ternyata pendapatnya bahwa Afifah sudah mati rasa akan musibah yang menimpanya merupakan pendapat seseorang yang sangat buta akan makna kehidupan. Dirinyalah yang selama ini tak mengerti atau tak peduli tentang perjalanan manusia di dunia ini.
Sekarang ia melihat Afifah sebagai sosok seorang wanita muda yang sangat matang dalam menilai arti
Harta Pusaka Cinta
kehidupan. Kematangan itulah yang membuat Afifah tampak tenang dan selalu penuh senyum. Bukan karena Afifah tidak punya rasa atau kepedulian pada kemalangan dirinya sendiri tapi karena sudah mampu menerima dengan ikhlas hakikat perjalanan manusia di dunia. Sungguh berbeda dengan Chintiya yang masih sangat diselimuti nafsu duniawi.
" Kamu nggak keberatan, kan, kalau mengajari aku mengaji dan memperbaiki cara shalatku?"
Afifah tambah tercengang mendengar permintaan Chintiya. Ia tahu siapa Freechintiya Rubert. Seorang gadis indo yang hanya mau berteman dengan komunitasnya sendiri dari kalangan atas. Ia juga tahu Chintiya populer di kalangan para mahasiswa. Ia aktif di berbagai kegiatan kampus. Ia cerdas dan selalu dikerubungi banyak kawan. Semua orang ingin menjadi kawannya. Menjadi kawan Chintiya merupakan cara cepat untuk nebeng ngetop. Siapa yang menjadi kawan karib Chintiya otomatis akan ikut terkenal dan diakui sebagai kelas atas.
Bertolak belakang sekali dengan dirinya. Afifah sadar dirinya bukan siapa-siapa. Bisa kuliah dengan beasiswa sangat ia syukuri. Walaupun kehidupannya sekarang ditopang oleh keluarga angkatnya, mereka bukanlah dari kalangan atas. Orangtua angkatnya hanya guru. Ayah angkatnya guru agama di sebuah SMA swasta di Tangerang, ibu angkatnya seorang guru matematika.
Orangtua angkat Afifah tidak mempunyai anak dan tidak kaya. Namun, mereka mempunyai hati
yang berlimpah dengan cinta dan kasih sayang. Menjadi sarjana akan menjadi balas budi Afifah pada kedua orangtua angkatnya. Ia berjanji, bila sudah lulus dan bekerja, ia akan mengambil alih perekonomian keluarga karena kedua orangtua angkatnya itu akan memasuki masa pensiun.
Latar belakang kehidupan itu membuat Afifah tidak populer di kampusnya. Walaupun ia sering memenangkan lomba karya tulis dan beberapa eksperimen, kawannya tidak banyak. Ia lebih banyak berjalan sendiri, duduk sendiri, dan makan siang sendiri di kantin kampus.
Jarang yang ingin tahu tentang diri Afifah. Mungkin juga karena penampilannya yang tertutup dan suka menyendiri. Tapi ia malah mensyukuri keadaan ini. Dengan demikian ia mempunyai banyak waktu untuk bertekun dalam studi dan ibadahnya. Ia tak menyadari sepasang mata yang tak pernah akrab dengannya telah membuntuti dirinya beberapa minggu ini.
" Mengajari...?" kalimat Afifah menggantung, keheranan mendengar permintaan Chintiya.
" Iya, mengajariku. Tempat dan waktunya terserah kamu. Aku ngikut aja. Please, Fah. Bantu aku, yaaa...." Chintiya menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada.
" Ehhh... ng& jangan begitu. Biasa sajalah. Ng& ya& ya. Insya Allah... Insya Allah& aku akan mengajari...." kata Afifah gugup.
Harta Pusaka Cinta
Semenjak itu Chintiya dan Afifah selalu bersama. Chintiya rajin menjemput Afifah untuk pergi kuliah bersama. Kadang ia membawa mobil sendiri, kadang dengan taksi, kadang naik bus.
Afifah selalu menolak dan melarang Chintiya menjemput. Chintiya merasa keberatan Afifah itu karena di mobilnya sering ada Rifanti, Liskia, dan Miesye. Ketiga kawannya itu selalu menatap Afifah dengan sorot mata seakan melihat makhluk aneh dari planet lain.
" Kalo kamu ngerasa nggak nyaman karena ada Fanti, Kia, dan Mies di mobilku, aku akan bilang supaya mereka nggak usah ikut aku kalo aku lagi bersamamu," Chintiya memberikan pilihan pada Afifah.
" Oh, nggak apa-apa. Kenyamanan itu, kan, terletak di dalam diri kita, bukan dari orang lain atau lingkungan sekitar kita. Dengan siapa pun dan di mana pun akan tetap tak nyaman kalau kita tidak menghadirkan kenyamanan itu dalam diri kita. Artinya, yang menciptakan kenyamanan itu adalah diri kita sendiri," ujar Afifah. " Aku hanya nggak mau permintaan tolongmu membuat kamu mewajibkan diri menjemputku. Kalau tujuannya untuk mempererat hubungan pertemanan kita, aku malah senang."
Kekaguman Chintiya akan kebijakan dan kejujuran Afifah kian bertambah. Ia semakin termotivasi untuk menyerupai Afifah. Ia semakin yakin, Afifah memiliki sikap dan pola pikir seperti itu karena kesungguhannya mendalami agama.
Chintiya teringat perkataan neneknya ketika mengajarinya shalat dan mengaji. " Yang menjadikan manusia bisa bertahan dalam kenyamanan hidupnya adalah bila ia tahu siapa dirinya dan apa yang harus dilakukan di dunia ini. Kau takkan pernah tahu siapa dirimu bila kau buta akan agama. Buta dalam arti kata kau mengetahuinya tapi tidak mendalaminya dengan benar. Allah takkan datang menghampiri, memeluk, dan membelai kau. Itulah sebabnya kau tak pernah merasa nyaman. Nenek memang menganjurkan kau memakai pakaian muslimah yang menutup aurat sesuai ketentuan agama Islam. Tapi kalau kau men genakannya hanya untuk dipandang baik dalam segi penampilan tanpa mendalami dan meresapi makananya, sebaiknya tidak usah kaupakai. Kau takkan pernah merasa nyaman di balik pakaian itu walaupun kau mendapat pujian di mana-mana dengan penampilanmu yang salihah."
Kini Chintiya menyadari bahwa perjalanannya selama ini tanpa arah. Arah yang benar itu sesungguhnya terbentang luas di depannya, tapi selama ini ia tak berminat menempuhnya. Baginya terlalu rumit, terlalu mengada-ada, dan di luar akal sehat. Selama ini ia dididik dengan pemikiran logis. Hidup untuk dinikmati. Yang bisa memberi kenikmatan adalah harta, kemakmuran, dan kesejahteraan hidup. Tapi apakah selama ini ia merasa nyaman? Apakah selama ini ia bisa bersikap seperti neneknya, seperti Farida, seperti Afifah dan... dan seperti ZulfikarHarta Pusaka Cinta
Wajah tirus berkumis tipis itu kembali membayang di benak Chintiya. Suara azan yang mendayudayu itu kembali mengiang di telinganya. Tiba-tiba ia ketakutan. Apakah sosok itu yang menyebabkannya menggebu-gebu memahami agamanya sendiri dan mengenal AllahGenap sebulan Chintiya belajar mengaji dan shalat bersama Afifah. Ia sudah tidak sanggup lagi menahan apa yang dirasakannya.
" Aku takut... dia yang membuatku mempelajari agama yang selama ini kuabaikan. Aku takut diriku mempelajari agama bukan karena ingin mengenal Allah lebih dekat tapi karena ingin mengenal dia lebih dekat...."
Afifah tersenyum bijak mendengarnya. Ia mengusap-usap punggung Chintiya yang tertutup mukena putih. Mereka baru saja shalat Asar di musala kampus. Musala sedang lengang. Hanya ada satu mahasiswi lain yang sedang berkemas untuk meninggalkan musala.
" Kenapa pula itu yang menjadi pikiranmu? Kalau pria itu telah menumbuhkan keinginanmu mengenal agama lebih dalam, berarti begitulah jalan yang diberikan Allah padamu untuk memperbaiki diri."
Chintiya menatap Afifah, tak mengerti maksud temannya itu.
" Janganlah itu yang kaurisaukan. Jodoh itu rahasia Allah. Kita tidak mengetahui dengan pasti bagaimana cara kita bertemu dengan jodoh kita...."
" Ah... kamu jangan salah paham," sela Chintiya. " Dia bukan jodohku. Dia sudah dijodohkan dan tinggal menunggu waktu untuk menikah."
Afifah tersenyum bijak. Ia paham apa yang sedang bergejolak di hati kawan yang baru dekat dengannya ini.
" Kan sudah kubilang, jodoh itu rahasia Allah. Mungkin Allah mengirim laki-laki itu untuk membawamu mengenal diri-Nya lebih jauh. Banyak kemungkinan di dalamnya. Jadi, kauikuti saja dengan ikhlas. Apa pun akhirnya nanti, itulah rahasia Allah yang kelak akan kita ketahui juga. Yang penting, kita harus rajin dan cermat memaknai setiap langkah kita di dunia ini. Kamu tahu kisah kehidupanku, kan? Aku bohong kalau mengatakan tidak drop dan frustrasi. Hidupku seperti sudah berakhir ketika mendapati orang-orang yang kucintai meninggalkanku. Tapi syukurlah, aku telah dididik oleh kedua orangtuaku untuk bisa memaknai setiap langkah kehidupan ini. Itulah yang membuatku ikhlas."
" Ah, aku merasa semakin kecil berada di dekatmu, Fifah. Aku tidak yakin akan bisa seperti dirimu. Aku masih susah mengontrol diriku...."
Harta Pusaka Cinta
" Jangan berkata begitu," sela Afifah. " Pilihanmu untuk mendekatkan diri pada Allah merupakan awal langkahmu untuk memaknai kehidupan. Jangan pernah merasa kecil di hadapan sesama manusia. Tapi, di hadapan Allah kita memang jauh lebih kecil. Merasa kecillah di dekat-Nya, maka kamu pasti akan mampu menyamakan langkahmu dengan sesama manusia...." ***
Tiga Belas
T iga bulan lebih Chintiya menjalani hari-hari de
ngan napas kehidupannya yang baru. Ini artinya sudah tiga bulan lebih pula ia meninggalkan Ranah Minang tempat neneknya menghabiskan hari-hari tuanya dalam kesendirian. Setiap membayangkan itu, Chintiya tak mampu menahan rasa sedihnya. Kalau sudah begitu, cepat-cepat ditekannya nomor telepon rumah neneknya dan menunggu suara yang dirindukannya itu menyahut di seberang lautan sana.
Ya, Chintiya tak pernah lupa menelepon Anduang Rabiah sampai-sampai wanita tua itu mencemaskan biaya yang dikeluarkan cucunya menelepon dirinya.
" Tadi pagi Tiya, kan, sudah nelepon Nenek, kenapa siang sudah nelepon lagi? Jangan hambur-hamburkan uang untuk menelepon. Sekali seminggu saja sudah cukup...."
" Don t worry, Nek. Aku punya tabungan buat menelepon Nenek. Aku pengin denger suara Nenek terus-terusan. Aku pengin ngasih tau surat-surat pendek apa saja yang sudah kuhafal."
Harta Pusaka Cinta
" Iya... iya. Kemarin kan sudah kausebutkan..." " Hari ini bertambah lagi, lho, Nek." " Surat apa sekarang?"
" Al-Alaq."
" Tau kau berapa ayat semuanya dan turunnya di mana?"
" Tau dong, Nek. Jumlahnya sembilan belas ayat dan diturunkan di Mekah. Ini merupakan surat yang pertama kali diturunkan."
" Hmmm& bagus. Afifah memang guru yang baik untukmu. Bersyukurlah kau dipertemukan dengannya. Untuk melengkapinya, kaubacalah riwayat Rasulullah. Dengan demikian kau pun tahu sejarah turunnya surat itu melalui Rasulullah."
" Iya, Nek. Afifah juga bilang gitu. Nih, buku Sejarah Muhammad karangan Muhammad Husein Haekal sedang sama aku. Dipinjami Afifah kemarin. Sekarang dia menjadi teman yang paling kusayangi. Dia paling ngertiin aku dan paling tulus nolongin aku dalam berbagai hal."
" Hmmm& ingin juga Nenek berjumpa dengannya. Pasti dia cantik. Wanita-wanita Aceh selain salihah juga cantik-cantik."
" Betul, Nek, dia cantik. Walaupun memakai jilbab, dia itu cantik banget."
" Justru karena memakai jilbab itulah kecantikannya tambah bersinar. Kau sendiri macam mana, Tiya? Sudah berjilbab atau belum?"
" Ehhh& mmm& anu& aku sih belum, Nek. Pengin sih tapi belum pede aja rasanya kalo berjilbab." " Belum pede macam mana?"
" Nggak percaya diri gitu lho, Nek."
" Iya, Nenek tau pede itu percaya diri. Sebagian wanita Islam memang menganggap berhijab itu harus menunggu panggilan jiwa dulu. Jadi, banyak belum memakainya karena merasa belum terpanggil. Panggilan jiwa itu tak ada hubungannya dengan berhijab karena sebetulnya berhijab adalah kewajiban wanita muslim. Kalau agamamu kaujauhi, tidak dipelajari dengan baik, tidak dihayati dengan benar, kapan panggilan jiwa itu mau datang? Nah, tugas dari Nenek, cobalah kaupelajari Surat An-Nur, terutama ayat tiga puluh satu tentang aturan berhijab...."
Begitulah salah satu percakapan Chintiya dan Anduang Rabiah. Percakapan-percakapan jarak jauh ini membuat hubungan cucu dan nenek ini semakin akrab dari ke hari. Suara neneknya yang bersih dengan dialek Minang yang khas memberikan kecerahan dan kebahagiaan tersendiri baginya.
Sebenarnya ada satu hal yang sangat ingin ia tanyakan pada neneknya. Namun, ia selalu memendam pertanyaan itu. Pertanyaan tentang seorang perjaka yang wajahnya tersemat lekat di pintu hatinya, Ya, memang ia biarkan hanya sampai di pintu hati, tidak akan dibiarkannya masuk ke relung hati dan jiwanya karena akan membahayakan diri sendiri. Chintiya tahu pemuda itu sudah mempunyai pasangan yang
Harta Pusaka Cinta
direstui. " So, just forget him!" teriak hatinya setiap kali merasa rapuh dalam buaian wajah si penggoda hati.
Tiga kawan karib Chintiya semakin menjauh darinya. Beberapa kegiatan kampus yang dianggapnya tak banyak bermanfaat dan menyita waktu, sekarang tak lagi diikutinya. Hampir separuh harinya ia habiskan bersama Afifah. Kadang-kadang mereka melakukan perjalanan dari masjid ke masjid yang ada di Jakarta untuk shalat. Terkadang mereka berlama-lama disebuah masjid dan mengaji bersama.
Afifah juga mengajak Chintiya bergabung dalam pengajian. Dari situ Chintiya mengenal dan mendengar secara langsung ceramah para ustaz dan ustazah terkenal. Banyak pengetahuan agama yang ia serap dalam setiap pengajian.
Chintiya dan Afifah pun mengatur jadwal untuk berkunjung ke rumah-rumah yatim piatu yang bertebaran di kota metropolitan. Di sana mereka mendaftarkan diri sebagai tenaga sukarela, memberikan berbagai ilmu pengetahuan untuk anak-anak yatim piatu itu. Rumah-rumah jompo pun menjadi sasaran mereka. Di sana pun mereka mendaftarkan diri menjadi tenaga sukarela.
Semua napas baru ini membuat tenaga dan kekuatan Chintiya menjadi berlipat ganda. Ia meninggalkan hal-hal yang dianggapnya tak bermanfaat. Sikap hidup berfoya-foya tanpa perhitungan dan tidak menghargai nilai uang pun diubahnya. Sudah tiga bulan ia tidak meminta dana kepada papinya. Ia me
ngatakan belum membutuhkan dana karena di rekeningnya masih ada puluhan juta rupiah. Selain itu, sekarang ia sudah mempunyai penghasilan tetap.
Chintiya yakin dengan prinsip semakin banyak memberi, semakin banyak pula yang diperoleh. Sebulan yang lalu ia ditawari untuk menulis tetap di sebuah majalah. Kesempatan ini ia peroleh setelah mengirimkan tulisan tentang Ampek Angkek. Mungkin karena desa itu lekat di hatinya, tulisan itu menjadi sangat menarik.
Peperangan Raja Raja Game Of Thrones 2 Dewa Linglung 16 Keris Kutukan Iblis Dewi Ular 78 Dewi Maksiat
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama