Ceritasilat Novel Online

Harta Pusaka Cinta 5

Harta Pusaka Cinta Karya Desni Intan Suri Bagian 5

Chinyita menulis tentang Ampek Angkek dari aspek agama, budaya, kemasyarakatan, sumber kekayaan alam, hingga kegiatan anak-anak muda desa itu. Semua tulisannya disertai dengan foto-foto yang indah. Pendek kata, tulisan-tulisan itu membuat namanya diperhitungkan oleh media cetak tersebut. Penghasilan dari keringat sendiri pun mulai mengalir deras ke koceknya.

Semua perubahan, perkembangan, dan keberhasilan ini tak lepas dari pantauan sang nenek. Sekarang Anduang Rabiah menjadi orang pertama dalam hidup Chintiya. Friska, ibu yang melahirkannya, malah semakin jauh tersingkir. Friska seakan tidak mempunyai posisi penting dalam kehidupannya tiga bulan tera khir ini.

Mengingat hubungannya yang semakin renggang dengan maminya, hati Chintiya berdenyut pilu. Orangtua yang seharusnya menjadi orang terdekatnya

Harta Pusaka Cinta

malah semakin jauh dari dirinya. Dia tak tahu siapa yang memulai semua ini.

Papi? Chintiya merasa tidak ada alasan untuk menyalahkan Papi. Papinya berasal dari kultur yang berbeda dengan dirinya. Sampai sekarang ia bahkan tidak tahu apakah Papi memercayai sebuah agama atau tidak. Selain itu, ia sudah bertahun-tahun hidup terpisah dari papinya itu.

Mami? Apakah Mami yang bersalah? Chintya tak berkeinginan memberi tuduhan seperti itu pada wanita yang telah melahirkannya.

Chintiya dapat merasakan hubungan mereka semakin jauh. Dari dulu pun sebetulnya sudah jauh, tapi sekarang lebih-lebih lagi. Meski tinggal serumah, dari dulu mereka jarang bertemu. Kalau ingin bertemu sekadar untuk makan malam bersama atau membicarakan sesuatu hal yang penting, mereka harus janjian lebih dulu.

Sebelum Chintiya menjejakkan kaki di Desa Ampek Angkek dan merasakan kasih sayang neneknya, pola hidup yang diberikan Mami tampak tak masalah. Ia malah enjoy, merasa memiliki kebebasan mutlak. Itulah hidup yang ia idamkan, kemerdekaan tanpa batas. Tak perlu orang lain untuk melindungi dirinya.

Sekarang prinsipnya berubah. Manusia memang punya hak untuk merdeka tapi tetap pada garis yang sudah ditentukan. Untuk itu, harus ada orang lain yang membantu menguatkan jiwa dan raganya,

memeluknya dengan cinta kasih yang sebenar-benarnya.

Chintiya sudah mendapatan orang yang mampu menguatkan dirinya itu. Seorang nenek yang mengasihinya setulus hati. Namun, kebahagiaan Chintiya terusik oleh sikap Mami yang seolah tak memedulikan dirinya lagi.

Chintiya tahu sekarang Mami lebih sering berada di Singapura. Tapi ia tidak mengetahui apa yang sedang dilakukan Mami di sana. SMS-nya tak pernah dibalas. Beberapa kali ia menelepon Mami, tetapi tak pernah dijawab. Chintiya merasa Mami ingin ia merasakan kesalnya kalau panggilan telepon tak dijawab.

" Tante Fris sedang ada bisnis baru di sana. Tenang aja, Dik Chintiya. Mamimu baik-baik aja kok di sana. Mbak selalu memantaunya. Kalau ada apa-apa, pasti Mbak kabari. Beliau mungkin sedang sangat sibuk. Maklumlah, beliau diberi tanggung jawab membuka bisnis baru. Sama sih seperti bisnis di sini tapi kalo di LN kan harus lebih digenjot karena saingannya udah banyak." Begitu keterangan yang didapat Chintiya dari Denia.

Hari-hari berlalu. Memasuki bulan keempat, Chintiya memutuskan mengubah penampilannya secara total. Semua pakaian you can see sudah dimasukkannya ke beberapa koper besar. Bersama Afifah, ia mengitari butik-butik muslimah. Atas saran Afifah, ia memilih pakaian muslimah yang memenuhi syarat menutup aurat dengan sebaik-baiknya.

Harta Pusaka Cinta

" Kalau kau memilih yang ketat, tubuhmu memang tertutup rapat tapi masih memperlihatkan lekuk tubuh. Itu sama saja dengan membuka aurat. Saranku, biar nggak dianggap kampungan, tutupnya yang sewajarnya saja. Nanti lama-lama kita akan sadar sendiri bahwa penampilan kita masih perlu diperbaiki," saran Afifah.

" Aku ingin sepertimu saja," ujar Chintiya. Ia menilai penampilan Afifah cukup lumayan. Hijab yang dipakainya sehari-hari cukup modis tapi tetap menutupi dada dan lengan. Pakaian muslimahnya pun menarik, tidak memperlihatkan lekuk tubuh tapi dapat digolongkan modis. Kadang-kadang gadis Aceh itu juga terlihat cuek dengan blus panjang dipadu celana jins.

Hari pertama Chintiya berhijab, kampusnya gempar. Ada yang memuji, ada juga yang sinis padanya.

" Puji dong penampilanku," ujar Chintiya. Ia cuek saja meski dipandang sinis oleh tiga kawan karibnya.

" Mau muji gimana? Lagak lu sudah kayak ustazah gitu."

" Gue tuh kalo liat cewek yang pakaiannya kayak gini, kayak udah bau tanah aja."

" Alaaa& apa sih yang dibanggain dengan pake kerudung? Tuuuh para perempuan yang korupsi juga mendadak pada pake kerudung!"

Chintiya menanggapinya dengan santai. Ia sama sekali tidak merasa terhina. Ia malah kasihan pada Rifanti dan Liskia. Mungkin benar pendapat neneknya,

sebagian besar wanita muslim menunggu panggilan jiwa untuk melaksanakan kewajiban menutup aurat. Padahal, pada prinsipnya seluruh tubuh wanita adalah aurat.

" Aku doakan panggilan jiwa untuk berhijab segera datang pada kalian, Fan, Kia," ujar Chintiya tenang. " Dan untukmu Meis, jangan sesinis itu memandang perempuan berhijab. Kalau gak salah dalam agamamu juga dianjurkan memakai kerudung di saat berdoa. Maka pelajari dengan baik agamamu, jangan hujat agama orang lain...."

Betapa nyamannya kalau sudah menemukan jati diri. Betapa ringannya langkah bila sudah menemukan arah yang tepat. Ya, Chintiya sudah menemukan jati dirinya yang sebenar-benarnya sekarang.

Di sebuah desa di Ranah Minang, seorang wanita tua berucap syukur di akhir sujudnya. Ia tak menyangka telah menemukan cintanya yang hilang. Ketulusan cinta takkan pergi jauh. Allah Mahaadil. Ketika hatinya terputus dengan sikap anak perempuannya yang berseberangan dengan dirinya, Allah menghadirkan cucu perempuan yang ternyata berpautan jiwa dengan dirinya.

Empat Belas

P agi itu langit terang dan bersih. Dua wanita lansia

asyik bercengkerama di ruang depan rumah gadang bagonjong khas Minangkabau.

" Jadi, begitulah ceritanya, Biah. Aku datang ke sini mau meminta bantuan kau mengurus anak bungsuku itu nanti. Mungkin sesudah Hari Raya Haji akan dibuat perhitungan hari perkawinan baralek gadangnyo. Hmm... ambo ruponyo salah sangko selama ini, Biah. Mataku tak melihat yang dekat, hanya terpesona pada yang jauh. Padahal, yang dekat pun kemilaunya sama dengan yang jauh," kata wanita berbaju kurung ungu itu. Ia meraih cangkir kopi di depannya, lalu menghirupnya dengan nikmat.

Di antara dua cangkir kopi yang masih mengepul, terlihat sepiring pisang goreng dan lemang pulut, makanan khas orang Minang saat hari-hari agama atau perhelatan adat. Dua hari yang lalu, masyarakat kampung merayakan Maulid Nabi. Tak heran jika kini di rumah Anduang Rabiah terhidang makanan khas tersebut.

Hari ini Anduang Rabiah kedatangan tamu, kawan akrabnya sejak masih kanak-kanak. Badariah, namanya. Farida, anak bungsu Badariah, sudah dianggapnya sebagai anaknya.

Beda dengan dirinya, Badariah dan suaminya tetap dikerubungi oleh lima anak mereka yang semuanya perempuan. Empat anak perempuan mereka sudah berumah tangga. Dua orang menjaga rumah gadang mereka di Ampek Angkek, dua lagi ikut dengan Badariah ke Padang.

Dua menantu Badariah ikut menjalankan bisnis restoran mereka di sana hingga bercabang menjadi empat restoran. Restoran induk kepunyaan Anduang Rabiah dijalankan dengan bagi hasil yang jujur dan adil antara dirinya dan Badariah serta suaminya. Terkadang Anduang Rabiah malah mendapat bagian yang lebih besar dengan alasan dia sudah menjanda dan anak-anaknya jauh darinya.

Sampai sekarang rumah peninggalan suami Anduang Rabiah masih disewa oleh Badariah. Anduang Rabiah tahu Badariah sebetulnya sudah sanggup membeli rumah sendiri tapi ia tetap saja menyewa. Tentu maksudnya agar rumah itu menghasilkan uang untuk Anduang Rabiah.

" Itulah, kita ini terkadang tidak tahu apa maunya anak-anak. Ambo pun begitu. Banyak harapan ambo pada anak-anak untuk melakukan apa yang menjadi impian-impian ambo tapi...." Anduang Rabiah meng
Harta Pusaka Cinta

hela napas panjang, tak sanggup meneruskan kalimatnya.

" Kau ini...! Itu pula yang kau pikirkan," sela Badariah. " Janganlah terlalu dalam kau berpikir. Bukankah baru beberapa bulan yang lalu cucumu menjenguk ke sini?"

Raut wajah Anduang Rabiah yang sendu tiba-tiba bercahaya. Ia tersenyum. " Tiya itu setiap hari mengunjungiku...."

" Tiap hari macam mana pula maksudnya ini?" potong Badariah. " Bukankah dia sudah lama balik lagi ke Jakarta?"

" Dia memang sudah balik ke Jakarta tapi dia meneleponku tiga kali sehari, seperti orang makan saja."

" Aku tambah tak mengerti maksudmu, Biah." " Cucuku itu, sejak meninggalkan kampung ini, selalu meneleponku tiga kali dalam sehari. Pagi aku diteleponnya, siang dia telepon lagi, lepas Magrib dia kembali menelepon. Itu yang rutinnya. Yang tidak rutinnya, bila dia menanyakan sesuatu padaku. Kalau sudah begitu, dia akan berbicara panjang lebar padaku dan meminta aku juga berbicara panjang lebar padanya sampai-sampai pegal tanganku memegang gagang telepon...." tawa Anduang Rabiah berderai di ujung penjelasannya. Wajahnya berbinar-binar. Kelihatan sekali ia merasa bahagia diperlakukan seperti itu.

Badariah ikut tertawa mendengarnya. Diam-diam ia memperhatikan wajah kawannya. Baru sekali ini

dia melihat wajah kawannya itu kembali bercahaya setelah berpuluh tahun terlihat mendung. Ia tahu, cahaya itu lenyap ditelan kerinduan kepada seorang anak perempuan, harapan hidupnya, yang meninggalkannya begitu saja.

" Oh, jadi si Tiya meneleponmu terus-menerus?" " Itulah& dia bilang dia mencemaskanku karena aku tinggal seorang diri di sini. Lucu sekali dia," Anduang Rabiah tersenyum. " Apa pula yang dia cemaskan? Di sini kan tanah lahirku. Dari dulu aku di sini, tidak ke mana-mana. Untuk apa pula ia mencemaskan...."

" Patut memang si Tiya itu cemas," sela Badariah. " Dia sudah lihat sendiri bagaimana neneknya hidup sendiri tanpa ada yang mengawani. Tentu dia sudah bercerita pada ibunya. Tak lama lagi datanglah tu si Friska mengunjungimu ke sini...."

Wajah Anduang Rabiah yang tadi bercahaya mendadak mendung. Ia tercenung lama, kemudian menghirup kopinya perlahan-lahan. Meihat mendung di wajah sahabatnya itu semakin pekat, Badariah agak menyesal mengeluarkan kata-katanya tadi.

" Entahlah. Sampai sekarang Friska tak meneleponku. Pernah aku tanyakan pada Tiya tapi dia terbata-bata menjawabnya. Aku memberi nomor telepon rumah ini pada Tiya dan menyuruh maminya itu meneleponku. Kata Tiya, maminya sangat sibuk dan aku dimintanya bersabar menunggu. Mengapa pula aku harus bersabar? Tak perlulah aku bersabar karena

Harta Pusaka Cinta

kesabaranku sudah habis ditelan penantianku yang bertahun-tahun. Hati si Friska memang tak tergerak untuk berbicara dengan amaknya ini. Ahhh& apalagi berharap dia akan mengunjungi. Takkanlah itu kudapat," ujar Anduang Rabiah murung.

" Buanglah pikiran burukmu itu, Biah," ujar Badariah. " Kupikir bukan karena hatinya tak tergerak. Mungkin dia tak tahu cara terbaik untuk berhubungan lagi denganmu. Berilah si Friska tu waktu, Biah. Sekurang-kurangnya dia sudah mau mengirim anak perempuannya padamu."

Rabiah tersenyum pahit mendengar ucapan kawannya ini. " Kau saja yang tak tahu, Dariah. Si Friska tu ada maksud mengirim anak perempuannya ke sini."

" Ada maksud? Maksud apa?" tanya Badariah tak mengerti.

" Sebentar. Kuambil sesuatu untuk kaubaca biar aku tak perlu banyak cakap padamu dan kau akan tahu bagaimana tabiat si Friska itu padaku." Anduang Rabiah beranjak menuju biliknya. Tak berapa lama ia muncul lagi. Di tangannya tergenggam sebuah amplop berwarna putih.

" Kaubacalah," ujar Anduang sambil menyodorkan amplop itu

Badariah membuka amplop itu dan mengeluarkan lembaran surat di dalamnya. Beberapa menit kemudian, ia tercenung. Tangannya melipat kertas surat itu dan memasukkannya kembali ke amplop.

Ruang tamu rumah kayu berukir itu hening beberapa saat. Dua sahabat karib itu seperti kehilangan kata-kata untuk melanjutkan obrolan. Rabiah menyibukkan diri dengan mengambil dua potong lemang pulut dan satu buah pisang goreng lalu menaruhnya di piring. Ia meletakkan piring itu di dekat cangkir kawannya.

" Makanlah, Dariah. Masih banyak lemang sisa Maulid Nabi. Si Fikar dan Bachtiar mengepalai anakanak muda di sini melemang di halamanku. Dua hari yang lalu, ramai mereka di sini, sampai-sampai tak tidur untuk mengurusi lemang pulut ni."

" Iya. Farida dan Bachtiar juga bercerita begitu padaku."

" Ah, Farida dan Bachtiar. Hmmm... jadi tak kausangkalah ya, ternyata Farida tu sudah sejak SMP tertarik pada Bachtiar. Si Bachtiar begitu pula rupanya."

" Itulah. Pandai sangat mereka ni menyimpannya sampai-sampai aku dan Uda tak tahu mereka ini sudah lama berpacaran," Badariah menggeleng-geleng. " Si Farida itu kan anak bungsuku yang tak disangka dapatnya. Kukira si Latifah yang terakhir, ndak taunya tujuh tahun sesudah itu Allah memberi si Farida ini. Perangainya memang agak lain dari kakak-kakaknya. Dia agak tertutup dan pemalu. Tapi dia pula yang paling kuat belajar agama."

" Jadi, apa yang baik menurut kau sekarang, Dariah? Bukankah kau mengidamkan si Zulfikar yang bakal menjadi suami anak bungsu kau tu?"

Harta Pusaka Cinta

Badariah tertawa berderai mendengarnya. " Aku sebetulnya tidak sampai begitu. Aku hanya teringat pembicaraanku dengan mendiang ibu Zulfikar. Kau sendiri tahulah itu. Kita bertiga sahabat karib dari dulu."

" Iyalah. Kau dan si Rosna sama-sama ingin mengikat anak kalian dengan tali pernikahan."

Badariah mengangguk. " Iya, begitu. Dari kanakkanak si Farida dan Fikar sudah dekat."

" Sayangnya kau hanya melihat Fikar dan Farida saja yang dekat. Kalau tak salah, mereka itu dari kecil tiga serangkai, teman sepermainan. Ada Bachtiar yang kaulupakan."

" Iya, tak tampak di mataku. Rupanya Bachtiar yang sudah mencuri hati Farida."

" Jadi, tak usahlah kau merasa bersalah kepada mendiang ibu si Fikar. Jodoh itu Allah yang mengatur. Kita mengikut saja. Insya Allah, bila kaurestui dengan ikhlas, pernikahan mereka akan sakinah mawadah wa rahmah."

" Iyolah. Insya Allah...."

Kedua kawan karib itu asyik mengobrol sembari mengunyah lemang pulut dan sesekali menyesap kopi. Di pagi hari yang dingin seperti ini memang cocok meminum dan memakan yang hangat-hangat seperti kopi, lemang pulut, serta pisang goreng.

" Tak terpikirkah oleh kau untuk menjodohkan si Fikar dengan cucumu si Tiya itu?" tanya Badariah tiba-tiba.

Rabiah tersentak mendengar pertanyaan kawan karibnya itu. Ia melirik kawannya itu. Malu hatinya kalau kawannya itu dapat meraba perasaannya. Ketika mengetahui Badariah tidak jadi menjodohkan Farida dengan Zulfikar, diam-diam ia memang bersorak girang.

" Belum terpikir. Bagaimana aku bisa menjodohkan mereka kalau yang satu di kampung kecil ini, satunya lagi di kota metropolitan."

" Kalau jodoh tak lari ke mana, Biah. Walaupun yang satu di Planet Mars dan satu lagi di Planet Bumi, tetap saja bertemu. Itu Allah yang menentukan."

" Macam manalah kau ni. Tak mau aku menjodohkan cucuku sama makhluk dari Planet Mars. Seperti apa pula bentuk keturunanku nanti?"

Kedua sahabat karib berusia senja itu terkekehkekeh. Sarapan pagi terasa semakin lezat. Rabiah dan Badariah semakin lahap menyantap hidangan yang ada di meja ruang tamu. Kelihatan sekali hati kedua wanita ini sedang dalam harapan besar.

Badariah sedang berbahagia dan menaruh harapan pada Bachtiar untuk cepat-cepat meminang anak bungsunya, Farida. Rabiah merasa lega Badariah tidak jadi menjodohkan Farida dengan Zulfikar. Ini berarti ia berpeluang untuk mewujudkan impiannya menjadikan Zulfikar sebagai pengganti dua bujangnya yang sudah lupa pada kampung halaman.

Harta Pusaka Cinta

Pada waktu yang sama, anak muda yang dipikirkan Anduang Rabiah sedang tekun menelusuri ayat demi ayat yang tertulis di dalam kitab suci Al-Qur an seusai menunaikan shalat Duha.

Biasanya, setelah merasa cukup membaca kitab suci, ia akan bergabung di lepau atau warung kopi Uwo Makruf. Lepau beratap daun rumbia ini adalah salah satu tempat kegemarannya. Tempat duduk dan meja makannya terbuat dari batang-batang bambu. Biasanya para bapak dan pemuda kampung makan dan minum kopi di sana sambil mengobrol dan menga ngkat sebelah kaki ke kursi.

Dari lepau ini pulalah ia dulu menarik minat pemuda-pemuda kampung untuk bergerak. Kebiasaan duduk-duduk di lepau memang tak pernah hilang. Akan lebih baik lagi jika kebiasaan itu diisi dengan pembicaraan yang berbobot.

Zulfikar akan ikut duduk-duduk di lepau barang satu dua jam. Setelah itu ia akan menggarap sawah ladangnya atau meninjau bisnis konveksi sulamnya. Kalau sedang ada persiapan untuk pertunjukan seni, diluangkannya pula waktu untuk melihat kelompok seni itu berlatih. Kadang-kadang ia pun menjadi kuli bangunan, mendirikan bangunan untuk umum atau memperbaiki jalan desa. Ia pun selalu menyempatkan diri untuk memberi perhatian kepada para manula yang tinggal sendirian seperti Anduang Rabiah.

Namun, sudah seminggu ini ia tidak melakukan kebiasaan tersebut. Setelah mengaji, ia akan tetap di

dalam masjid. Menyepi di belakang masjid. Sebuah ruang kecil mirip dapur mini tersedia di sana. Di sana ia memasak nasi dan lauk-pauk, kemudian memakannya seorang diri dengan tatapan menerawang jauh ke depan. Setelah puas makan siang dan merenung, ia kembali ke ruang shalat jemaah. Meraih kitab suci Al-Qur an dan melantunkannya pelan-pelan sampai waktu Asar masuk.

Bachtiar memahami apa yang sedang mengharu biru dalam jiwa sahabat terdekatnya itu. Dibiarkannya Zulfikar berbuat seperti itu. Ia bahkan melarang siapa pun mengganggu sahabatnya itu.

Seminggu yang lalu, Zulfikar didatangi Bachtiar. Kebetulan saat itu Zulfikar sedang menginap di rumah gadang peninggalan orangtuanya. Semua orang di kampung sudah tahu, Zulfikar tak pernah menginap di tempat yang sama setiap harinya walaupun ia mempunyai rumah gadang bagonjong peninggalan kedua orangtuanya. Ia biasa tidur di masjid utama kampung, di salah satu rumah orangtua lanjut usia yang tinggal sendirian, di rumah Bachtiar, di balai desa, bahkan di alam terbuka bertikar rumput dan berselimut daun kelapa kering.

" Aku harus membuka sebuah rahasia yang selama ini kututup rapat padamu, Fikar," begitu kata Bachtiar saat itu.

Harta Pusaka Cinta

" Rahasia? Rupanya masih ada hal yang kaurahasiakan padaku, Tiar. Kusangka sebagai kawan karib tak ada lagi rahasia di antara kita," tanggap Zulfikar santai.

" Walau kita berkawan karib, bukan berarti tak ada rahasia yang tersimpan di hati. Bisa terus menjadi rahasia pribadi yang tak pernah diungkap pada siapa pun, bisa juga menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkannya."

" Jadi, yang kau ini& alasan kedua itulah ya? Kau mencari waktu yang tepat, mengungkapkannya padaku."

Bachtiar mengangguk. " Betul."

Bachtiar lama terdiam. Zulfikar tak mengusik, membiarkan kawan karibnya itu siap mengungkapkan rahasianya.

" Aku... eh... aku akan melamar Farida...." Sejenak Zulfikar terpana, memandang tajam tepat ke mata Bachtiar. Saat itulah Bachtiar semakin pasti bahwa Zulfikar juga mencintai Farida. Ini sudah ia rasakan lama. Untuk itu, yang pertama ia tanyakan adalah Farida. Pernah ia tanyakan pada Farida, siapa yang akan dipilih oleh gadis itu, dirinya atau Zulfikar.

" Uda Tiar seperti meragukanku. Kita ini sudah berkawan sejak kecil. Teman sepermainan sejak dulu. Tapi setelah Uda Fikar kuliah di Bogor, hubungan pertemanan kita dengannya lama terputus, apalagi kemudian dia bekerja pula di negeri jiran. Uda Tiar satusatunya yang dekat denganku. Aku bersyukur, ketika

aku melanjutkan pendidikan di Padang, Uda banyak membimbingku. Perjuangan Uda mencapai S2 juga menjadi pemicu bagiku untuk cepat-cepat menyelesaikan S1-ku ini. Tahukah Uda, prinsip Uda yang tak tergoyahkan untuk mengabdi di kampung kita ini membuatku memastikan diri memilih Uda Tiar sebagai pendampingku. Uda Fikar juga sebaik Uda dan mempunyai prinsip yang sama dengan Uda. Tapi Uda Tiar mempunyai nilai lebih di mataku. Aku diberikan kesempatan oleh Allah untuk mengenal Uda lebih dalam sejak kanak-kanak, remaja, dan dewasa saat ini. Jadi, jangan membuatku tersinggung dengan menanyakan lagi siapa yang kupilih di antara kalian berdua."

Sejak itu Bachtiar tak ragu lagi. Namun, dia dan Farida menyembunyikan hubungan percintaan mereka dari kawan-kawan dekat dan keluarga. Mereka sepakat mencari waktu yang tepat untuk mengungkapkannya.

" Aku tahu kau akan terkejut," ujar Bachtiar membelah kesunyian.

" Tidak... tidak. Mengapa pula aku harus terkejut?" jawab Zulfikar tergagap-gagap.

" Jujur sajalah, Fik. Aku ini bukan baru mengenalmu satu dua tahun. Kita kawan sepermainan sejak kecil. Aku bisa melihat dan membaca hatimu, Fik."

Mendengar itu, hati Zulfikar langsung terpanggil untuk bersikap sportif, jantan, dan menentukan pilihan.

Harta Pusaka Cinta

" Baik, aku akui aku tertarik pada Farida. Dulu tidak, apalagi semasa kanak-kanak. Kita sama-sama suka menjelajah sawah, menangkap belut, dan memanjat pohon. Si Ida satu-satunya anak perempuan di kampung ini yang mau diajak melakukan kegiatan anak laki-laki. Ketika aku pulang, kulihat ia sudah tumbuh menjadi gadis manis yang berilmu dan nyambung kalau diajak diskusi apa pun. Siapa pula yang tak suka dengan gadis macam begini?" " Jadi, kau ini boleh mencintai Farida juga, kan?" " Aku tidak mengatakan mencintainya. Aku hanya mengatakan tertarik. Kenapa pula kautekankan katakata mencintai itu padaku, Tiar? Walau kita bersahabat karib sejak kecil, setelah sama-sama dewasa banyak yang harus kita tinjau lagi untuk saling memahami."

" Maafkan aku kalau perkataanku membuatmu tersinggung," ujar Bachtiar.

" Tidak, aku tidak tersinggung. aku sangat menghargai keputusanmu membuka rahasia yang selama ini kaututup rapat padaku. Jangan khawatir, Tiar, ketertarikanku pada Farida bukan belum sampai mencintainya. Setelah aku tahu keseriusan hubunganmu dengan Farida, aku sadar aku hanya tertarik padanya tapi tidak bermaksud melamarnya menjadi istriku," tutur Zulfikar.

" Ya, mudah-mudahan memang begitu. Doakan niat kami untuk menikah ini terlaksana ya, Fik," sahut Bachtiar dengan tatapan menyelidik.

" Oh, tentu saja," jawab Zulfikar dengan senyum yang terlihat misterius di mata Bachtiar.

" Ngomong-ngomong, apa kau sendiri tak punya limit waktu untuk menikah, Fik?" tanya Bachtiar.

" Ah, limit tentu ada. Sasarannya saja yang belum tepat," jawab Zulfikar. Jawaban ini malah membuatnya membuka rahasia sendiri.

" Apa sasaranmu itu sudah terlihat?" selidik Bachtiar.

" Terlihat sih... tapi masih hilang timbul." " Karena orang jauh barangkali...." tebak Bachtiar. " Iya. Gelombang lautan sering menutupi arah sasaran."

" Mungkin kau tak memakai busur yang tepat untuk melancarkan anak panahmu."

" Maksudmu, busur yang mana pula?"

" Tanyalah Anduang Rabiah, busur apa yang tepat."

" Hahaha& aku terjebak! Ada-ada saja kau!" Zufikar tersipu-sipu dan berusaha mengalihkan pembicaraan.

Bagi Bachtiar, ini sudah menjadi jawaban. Kawan karibnya itu sedang galau. Jadi, ketika melihat Zulfikar menyisihkan diri dari segala kegiatan rutinnya dan lebih banyak berdiam diri di masjid, ia membiarkannya saja. Terkadang manusia memang perlu menyendiri dan merenung.

Bagi Zulfikar, inilah saatnya memilih kecintaan yang hakiki dalam dirinya. Semula rasa hampa

Harta Pusaka Cinta

yang mendalam membuatnya menyisihkan diri dari keramaian. Beberapa bulan lalu, ketika cucu Anduang Rabiah tiba-tiba hadir dalam kehidupannya, ketertar ikannya pada gadis berdarah campuran itu berkembang seiring dengan rasa sukanya pada Farida. Namun, kejujuran Bachtiar tentang hubungannya dengan Farida sudah merupakan jawaban bahwa ia tak berhak lagi mengharapkan gadis itu.

Kehampaan itu datang tiba-tiba, merenggut harapa n-harapan yang bersemi di hatinya. Chintiya sudah kembali dalam kehidupan kota metropolitan yang tidak disukainya. Farida sudah memilih Bachtiar sebagai teman hidupnya.

Ia tak bisa mengelak dari sikap manusiawi: patah hati, kecewa, dan merasa diri tak berguna. Dirin ya bisa berhasil dalam pendidikan, itu betul. Bisa menimba banyak pengalaman di luar negeri, itu juga benar. Ia pun bisa konsisten dengan pilihan hidupnya untuk mengabdi di kampung halaman.

Lepas dari keberhasilan-keberhasilan yang diraihnya selama ini, ia merasa gagal mendapatkan cinta yang diharapkannya. Jadi, manusiawi kalau ia ingin menyisihkan diri dan merenung di masjid. Kelopak bunga di hatinya layu begitu saja.

Untunglah ia cepat sadar bahwa cinta yang hakiki tetap ada, tetap berkembang sepanjang hayat di kandung badan.

Pada hari keenam merenung dalam kesendirian, hatinya menuai cinta yang bergelora. Cinta pada Yang

Satu, Allah. Inilah cinta yang sebenar-benar cinta. Kekecewaannya akan cinta duniawi, sedikit demi sedikit terobati.

Biarlah kuntum cinta pergi satu per satu. Biarlah kelopaknya melayu dan jatuh ke bumi, asalkan cinta hakiki pada Yang Satu selalu kuat dan membara.

Pada hari ketujuh, keyakinannya semakin kukuh. Pagi yang penuh sinar matahari membuatnya semakin yakin bahwa kehidupan layaknya air yang mengalir di sungai. Selalu ada riak. Jalan yang ditempuh bisa landai, curam, berkelok, atau penuh bebatuan.

Kehidupan selalu memiliki pangkal dan ujung, layaknya sebuah sungai yang mempunyai hulu dan hilir. Ia yakin, rasa hampa, kecewa, dan patah hati yang ia alami ini hanyalah sebuah hambatan kecil. Akan ia ikuti layaknya air yang mengalir di sungai. ***

Lima Belas

T epat pukul setengah tujuh petang, pesawat yang

ditumpangi Friska dari Changi menuju Bandara Soeta mendarat. Hujan deras dan sambaran petir menyambut kedatangannya di Jakarta.

" Alamat macet berat," keluhnya dalam hati. Kantung matanya menggelap dan sedikit menggembung sehingga matanya terlihat sembap. Walaupun sudah ditutupi kosmetik, kelelahan masih terlihat jelas di wajahnya.

Taksi yang ditumpanginya berjalan lambat di tengah kemacetan Jakarta. Kadang terhenti lama dan membuat ia mendecak kesal.

" Cari jalan pintas, Mas," katanya pada sopir taksi. " Mau cari jalan pintas ke mana lagi, Bu? Kalo deras begini, semua macet."

" Duh! Bisa gila kalo kayak gini!" gerutu Friska. Kekesalannya memuncak ketika memasuki jalan tol yang tenyata macet berat.

" Hidup di Jakarta memang bikin gila kalo nggak bisa ngontrol diri. Perbanyak sabar ajalah, Bu," sahut si sopir taksi.

Friska mendengus kesal. Ia merasa tak perlu menjawab. Orang-orang kecil seperti sopir taksi ini memang selalu mengatakan hal yang sama untuk menanggapi kehidupan ibu kota yang semakin keras. Apa yang bisa mereka perbuat selain bersabarKalimat klise itu jelas takkan ada dalam kamus kehidupan Friska. Baginya, sabar dalam mencapai sesuatu justru akan mendatangkan kekalahan. Hidup di kota besar harus melangkakan kata sabar dan melanggengkan kata perang.

Kafenya di Singapura baru dibuka. Ia memberikan suguhan yang khas Indonesia di kafenya. Tiga kali dalam seminggu ada pertunjukan musik dan tari dari Indonesia. Menu makanan dan minuman kafe pun didominasi menu khas Indonesia.

Ia mencapai kata sepakat dengan Joni Arwana untuk membentuk kafe ini sebagai kafe yang bermartabat. Kafe yang ditujukan untuk kalangan peb isnis guna mengadakan pertemuan-pertemuan, family gathering, farewell party, new year program, dan sebagainya. Tidak ada pertunjukan yang vulgar. Tidak ada pelayanan tersembunyi yang akan merendahkan martabat kafe.

Kafe ini berada di kawasan bisnis Singapura, Orchard Road. Karena itulah Friska berharap kafe ini akan menjadi tempat yang paling nyaman dan lengkap untuk melakukan negosiasi bisnis. Kafe bergengsi dan berkelas untuk orang-orang berkelas.

Harta Pusaka Cinta

Sejauh ini Joni Arwana mengiyakan semua omonga n Friska. Namun, entah mengapa sampai detik ini Friska merasa ada yang mengganjal dan tidak nyaman. Ia masih bertanya-tanya pada diri sendiri, apakah jalan ini terbaik untuk melunasi semua utangnya pada lelaki itu. Sepintas ia menemukan mata culas, senyum licik, dan dengus napas pria tambun itu di balik kerja sama ini.

Friska sempat meragukan sikap konsisten Joni dalam memegang kesepakatan. Kadang-kadang ia merasa pria tambun ini mendirikan bisnis yang terlihat hanya sebagai topeng untuk puluhan bisnisnya yang tak terlihat. Namun, kekuatan materi membuat Friska membutakan mata.

Dua bulan setelah kegiatan kafe berjalan, Friska mendapat berita dari Joana, asisten yang baru sebulan direkrutnya.

" Bu Fris, kemaren Pak Joni minta saya booking lima kamar double bed di Concorde Hotel," ujar Joana, gadis berumur 27 tahun yang sudah lama menetap di Singapura.

" Lima kamar? Banyak amat? Untuk siapa saja? Kok Pak Joni nggak bilang-bilang saya?" tanya Friska kaget.

" Saya nggak tau persisnya, Bu. Tapi kata sopir yang menjemput ke Changi, Pak Joni bawa cewekcewek cantik. Ada sekitar sepuluh orang. Muda-muda semua lho, Bu. Cakep-cakep dan mulus-mulus," jelas gadis keturunan China itu.

Friska tak menyukai ucapan asistennya itu. Di kepalanya timbul pertanyaan besar, " Untuk apa gadisgadis itu dibawa ke Singapura?" Bagi Friska, terlalu berlebihan jika gadis-gadis itu akan dipekerjakan di kafe yang baru dua bulan dibuka. Semua posisi sudah terisi penuh. Friska sendiri yang merekrut tenaga kerja di Jakarta. Joni Arwana sudah setuju, urusan perekr utan karyawan sepenuhnya tanggung jawab Friska.

Sejak kejadian itu, sedikit demi sedikit Friska mencoba mencari tahu tentang bisnis Joni Arwana. Namun, informasi yang ia peroleh menunjukkan lelaki itu masih berbisnis secara legal. Kelab-kelab malam, kafe, dan hotel miliknya tak mempunyai catatan buruk. Hanya satu bisnis yang tidak tercatat, yaitu pinjaman gelap yang sekarang menjerat dirinya dan ingin ia selesaikannya secepatnya tanpa merugikan diri sendiri.

Lalu, apa yang ia cemaskanFriska tak tahu tetapi ia merasa ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. Insting bisnisnya merasakan itu.

Suatu hari di bulan kelima Friska menjalankan bisnis kafe itu, ia merasa ada yang memperhatikan gerakgeriknya. Ia merasa dibuntuti, ditunggui saat makan siang, dan diamati dari jauh. Terakhir, Joana menyampaikan bahwa ada dua orang lelaki mencarinya. Saat itu Friska sedang mempromosikan kafenya pada sebuah perusahaan asing di Singapura.

Harta Pusaka Cinta

" Kamu tanya nggak mereka dari mana?" tanya Friska pada Joana.

" Dari Jakarta, Bu. Mereka ingin ketemu Ibu& ." " Iya, Jakartanya dari mana? Kamu ini gimana, sih?" sergah Friska kesal. Joana memang bukan Denia yang cekatan dan dapat ia percaya sepenuhnya.

" Mereka nggak mau kasih tau. Tapi kalo kuperhatikan, tampang mereka serem-serem. Ngomongnya galak, lagi."

Hati Friska kecut mendengarnya. Ia mencoba menghubungi Joni Arwana namun tak berhasil. Sudah dua minggu lebih lelaki tambun itu susah ditelepon. Semua nomornya mail box.

Kegelisahan Friska semakin menjadi-jadi. Selintas terselip rasa penyesalan mengenai pekerjaan yang ia lakukan sekarang. Namun, ketika wajah putri semata wayangnya membayang, hatinya sakit. Semua ini ia lakukan hanya karena ingin memperlihatkan pada Chintiya bahwa apa yang dilakukannya selama ini benar. Ia kecewa melihat Chintiya sekarang tidak sama dengan Chintiya sebelum berangkat ke Ranah Minang. Begitu cepatnya semuanya berubah! Lagilagi ini karena seorang perempuan. Amak! ***

Akhirnya taksi yang ditumpanginya sampai juga di depan rumah mewahnya di Pondok Indah. Dari luar

ia bisa melihat beberapa lampu di rumahnya yang bertingkat tiga itu menyala. Ia melayangkan pandangan ke jendela kamar Chintiya di bagian tengah tingkat dua. Lampu kamarnya menyala. " Berarti anak itu ada di rumah," bisik hatinya.

Rumah itu memang sepi kalau malam hari. Dua pembantu rumah tangganya pasti sedang asyik di kamar belakang, mengobrol atau mendengarkan lagu dangdut. Tak seorang pun menyadari kedatangan Friska. Untunglah Friska selalu membawa kunci rumahnya, termasuk kunci gembok pagar rumah. Rumah besar berhalaman luas itu didesain kedap suara hingga suara berisik dari luar tidak begitu jelas terdengar dari dalam rumah.

Begitu memasuki rumah, langkah Friska terhenti. Ia mempertajam pendengarannya. Sayup-sayup terdengar seseorang sedang mengaji. Jantungnya seketika berdetak kencang kencang. Di rumah ini belum pernah ada yang melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur an. Disimaknya lagi baik-baik, mencari tahu asal suara itu.

Perlahan-lahan ia melangkah menaiki anak tangga. Suara itu semakin jelas terdengar. Bacaan yang belum begitu lancar dan masih dengan nada datar. Friska tertegun di depan pintu kamar Chintiya yang terbuka lebar. Dilihatnya putri semata wayangnya sedang bersimpuh di atas sajadah, memakai mukena putih yang sudah sangat lama tidak dikenakanya Di hadapan

Harta Pusaka Cinta

gadis itu terkembang sebuah kitab yang juga sudah tak pernah disentuhnya.

Tiba-tiba saja Friska merasakan gigil yang amat hebat di sekujur tubuhnya. Dadanya terasa sesak. Napasnya tersengal-sengal. Cepat-cepat ia membalikkan tubuh dan menuruni anak tangga, meninggalkan Chintiya yang tetap asyik membaca Al-Qur an dan tak menyadari kedatangannya.

Di kamar tidur, Friska mencoba menenangkan diri. Ia terduduk di pinggir tempat tidur dengan kaki yang masih bergetar. Bayangan masa kanak-kanak dan remaja melintas di kerlip matanya. Setiap hari memakai baju kurung dan berhijab ke sekolah. Petang hari mendekap kitab suci, lalu menyalami kedua orangtuanya untuk mengaji ke rumah Uwak Hajjah Rosmiah. Telekung putih yang menemaninya menunaikan shalat lima waktu. Jikalau ia bermalas-malas bangun pagi untuk shalat Subuh, Amak akan memercikkan air ke wajahnya.

Bayangan-bayangan itu berputar-putar terus di matanya. Setengah dirinya menolak dan membenci sosok Chintiya yang sekarang, yang mengingatkannya pada dirinya sendiri di masa lalu. Sosok dirinya yang sangat ia benci dan tak ingin ia ingat lagi. Namun, bayangan masa kanak-kanak dan remaja itu menimbulkan keindahan tersendiri pula dalam jiwanya, keindahan yang tak dapat ia elakkan.

Tanpa sadar, ia menjerit keras sambil menutup mata. Rasa sakit, perih, dendam, dan pilu bercampur

aduk dan meremas-remas jiwanya. Kepalanya terasa berputar-putar terbawa arus kilatan masa. Ia menjambak rambutnya sendiri. Mengusap-usap kedua matanya dengan kasar, seakan ingin menghapus kilatan bayangan tersebut.

" Mamiii... Mamiii... ada apa, Mi? Astagfiirullah& Miii...." ujar Chintiya. Tadi ia mendengar jeritan ibunya. Dengan masih mengenakan telekung, ia berlari menuruni anak tangga dan mencari sumber suara itu. Tidak hanya dirinya yang berlari tunggang langgang memasuki kamar Mami di lantai dasar. Ketiga pembantu rumah tangganya pun melakukan hal yang sama. Pandangan mereka liar mencari-cari arah datangnya suara.

Begitu tahu pintu kamar Mami tidak dikunci, Chintiya langsung menerobos masuk. Beberapa detik kemudian ia terpaku melihat maminya bergulingguling di lantai kamar dengan mata terbeliak-beliak.

Lama Friska berada dalam keadaan separuh sadar seperti itu. Wajahnya yang keruh, air matanya yang berderai, dan pandangannya yang kosong menandakan jiwanya tertekan berat.

Sunarti, tukang masak andalan keluarga Chintiya, maju dan mengusapkan tangan kanannya yang sudah dibasahi air ke wajah Friska. Mulutnya komat-kamit membisikkan sesuatu.

" Non Chin, kalo hafal ayat Kursi, bisikin aja ke telinga Mami, Non," kata Warni yang bertugas mengurus kebersihan rumah.

Harta Pusaka Cinta

" Iya, Non. Tambah Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An- Naas, Non," bisik Wak Sakur. Lelaki berusia 60 tahun ini sudah bertahun-tahun bekerja di rumah mewah ini, mengurus taman, kolam ikan, dan kolam renang.

Chintiya mengangguk-angguk. Bibirnya perlahan membisikkan bacaan-bacaan itu. Ia sendiri belum memahami apakah bacaan-bacaan itu akan membuat maminya sadar. Ia hanya tahu bahwa ayat Kursi dan ketiga surat itu mengajarkan keyakinan bahwa Allah menguasai seluruh alam semesta tanpa kecuali. Allah pula yang memberikan kekuatan dan kesabaran pada hamba-Nya.

Tak lama kemudian, Friska terlihat tenang. Namun, ketika ia melihat Chintiya berada di sampingnya, ia menutup mata rapat-rapat.
Harta Pusaka Cinta Karya Desni Intan Suri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Mami...." sapa Chintiya dengan suara berbisik. " Keluarlah. Biarkan Mami sendiri," jawab Friska tanpa membuka mata.

Chintya terdiam. Ia menatap Mami, berharap Mami mengucapkan kata-kata yang lain. Namun, Friska membisu seribu bahasa dengan mata terkatup rapat.

Tak lama setelah kejadian yang mengagetkan itu, bel berbunyi nyaring. Chintiya yang sedang berada

di ruang makan, mengangkat interkom yang menghubungkan dengan bel pagar rumah.

" Assalamualaikum. Boleh tau siapa di luar?" tanya Chintiya.

" Dari Kepolisian, Mbak. Mohon buka pagarnya dan izinkan kami masuk," sebuah suara berat menjawabnya di luar sana.

" Kepolisian?" Chintiya terlonjak kaget. " Ada keperluan apa ya, Pak?"

" Izinkan kami masuk dulu. Nanti kami jelaskan di dalam."

Meskipun ragu, Chintiya memanggil Wak Sakur dan menyuruhnya membuka pintu pagar. " Hati-hati, Wak. Kalau kelihatannya nggak seperti polisi, mending jangan dibukain."

" Siap, Non. Saya sudah pengalaman, Non. Saya tau mana yang polisi beneran dan mana yang gadungan," sahut Wak Sakur.

Ternyata memang polisi. Chintiya menghadapi keempat polisi berseragam itu dengan wajah bertanya-tanya.

" Ini kediaman Ibu Friska?" tanya seorang polisi yang berkumis tebal.

" Betul," jawab Chintiya pendek. Di wajahnya tergambar jelas rasa cemas.

" Ibu Friska ada?" " Ng...."

" Tolong jangan mempersulit. Mana Bu Friska?" polisi yang lebih muda ikut angkat bicara.

Harta Pusaka Cinta

" Oh, saya sama sekali tidak mempersulit. Friska itu mami saya. Ia baru saja kembali dari luar negeri. Kondisi kesehatannya sedang terganggu. Boleh saya tahu, Bapak-bapak Polisi ini ada urusan apa, ya, dengan mami saya?" tanya Chintiya memberanikan diri.

" Baiklah, karena Anda anaknya, kami akan beri tahu. Setelah itu, panggil Bu Friska. Bu Friska diduga terlibat perdagangan gadis remaja di bawah umur ke beberapa negara...."

Chintiya ternganga mendengarnya. Matanya terbeliak. " Keterlaluan sekali tuduhan itu! Saya sama sekali tak percaya dengan tuduhan itu. Sangat& sangat keterlaluan...!" katanya dengan suara keras.

" Bukan menuduh. Ini baru dugaan berdasarkan penyelidikan pihak kepolisian selama beberapa minggu ini," jawab si polisi berkumis.

" Sebaiknya Anda panggil ibu Anda itu untuk menemui kami."

Chintiya masih saja terpaku. Tanpa sadar ia menggeleng-geleng, seolah menolak perintah tadi. Ia masih tidak percaya.

" Sekali lagi kami peringatkan, Nona! Panggil Bu Friska ke sini. Kalau tidak, kami akan melakukan penggeledahan!"

Tanpa berkata apa pun, Chintiya meninggalkan keempat lelaki itu dan menuju kama tidur Mami. Pikirannya kacau, langkah kakinya limbung. Setelah berbulan-bulan meninggalkannya dan tak berkomunikasi sedikit pun dengannya, tiba-tiba saja Mami

nongol tanpa pemberitahuan apa pun sebelumnya. Selama itu pula Chintiya memendam rasa kesal, sedih, dan hampa karena hubungan yang semakin buruk itu.

Belum habis rasa terkejut melihat Mami yang dalam keadaan tertekan berat, sekarang ia harus menghadapi keterkejutan lain dengan kehadiran empat laki-laki berseragam polisi ini.

" Ya Allah, ujian apa yang Engkau berikan ini? Beri tahu diriku, ya Allah, agar aku dapat menyelesaikannya dengan baik. Bantu aku, ya Allah. Permudahlah...." bisiknya dalam hati sambil membuka pintu kamar Mami. Dilihatnya Mami sedang berdiri mematung di depan kaca meja rias.

" Biar Mami hadapi. Mami akan keluar," gumam Friska tanpa disangka-sangka oleh Chintiya.

" Mami...." bisik Chintiya dengan suara gemetar. Tak tahu harus berkata apa.

Dengan wajah tanpa ekspresi Friska melangkah menuju pintu kamar. Tak sedikit pun ia menoleh pada Chintiya.

" Mami...." bisik Chintiya lagi.

Friska tak menanggapi. Ia terus saja berjalan dan menemui empat orang lelaki yang mencarinya itu. ***

Senja semakin kelabu, meredam binar keunguan. Azan Magrib terdengar jelas dari masjid yang ber
Harta Pusaka Cinta

jarak satu belokan dari rumah mewah bertingkat tiga itu. Seorang gadis sedang khusyuk berwudu di sana. Seminggu terakhir ini ia rajin shalat di masjid perumahan. Ketiga pembantunya yang setia itu pun ikut bersamanya.

" Insya Allah, doa seorang anak untuk ibunya akan memudahkan urusan yang sedang dihadapi," kata Wak Sakur di hari pertama Friska ditahan polisi.

Friska menjadi tersangka kasus human trafficking yang bekerja sama dengan agen gelap di Singapura. Mereka didatangkan dari berbagai daerah di Indonesia dengan iming-iming akan dipekerjakan sebagai pelayan kafe Indonesia di Singapura.

Friska membantah dugaan keterlibatannya dalam perdagangan perempuan di bawah umur. Ia bersikeras tak pernah mendatangkan para gadis remaja itu untuk dipekerjakan di kafe yang ia pimpin. Namun, polisi memperlihatkan sebuah surat perjanjian pada Friska. Tanda tangan Friska tertera di sana.

Friska berteriak histeris ketika melihat surat perjanjian itu. Lembaran yang ditunjukkan padanya adalah satu dari sekian lembar surat perjanjian kerja yang ia tanda tangani bersama Joni Arwana.

Ia baru menyadari kecerobohannya yang tidak membaca isi surat perjanjian itu dengan teliti. Ia juga tidak menyelidiki siapa pihak ketiga dalam hubungan kerja samanya dengan Joni Arwana. Ia hanya mengenal agen tersebut sebagai pemasok properti untuk kafe yang dikelolanya. Namun, dalam perjanjian itu ada

kalimat yang menyatakan Friska ikut mengesahkan pengambilan tenaga kerja dari Indonesia untuk dipekerjakan sebagai wanita penghibur.

Sampai sekarang belum diketahui di mana Joni Arwana bersembunyi. Friska baru paham mengapa beberapa minggu terakhir ini sulit menghubungi pria tambun itu.

Polisi menetapkan Joni Arwana sebagai buron. Nasib Friska sekarang di ujung tanduk. Selama Joni Arwana belum tertangkap, ia takkan bisa mengelak dari hukum karena ada bukti sah keterlibatannya. Segala keterangan dan penjelasan Friska sekarang masih dalam proses. Polisi hanya memintanya mempersiapkan seorang pembela untuk dirinya.

Tiga hari pertama berada di rumah tahanan membuat Friska merasa hancur dan sangat tertekan. Tiap hari ia menangis dan tidak mau makan apa-apa selain minum air putih.

Chintiya membesuk setiap hari. Ia sangat cemas melihat kondisi maminya itu. Chintiya selalu membujuk Mami untuk memakan sesuatu, tetapi bujukannya selalu ditolak. Ketika Chintiya mengajak berbicara pun maminya tak bereaksi apa pun. Semua pertanyaan dan ucapan Chintiya didiamkannya. Ia membisu seribu bahasa. Matanya kosong menatap ke satu arah dan air matanya mengalir tanpa sebab.

Chintiya sangat sedih melihat kondisi maminya tapi ia sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Untunglah ada tiga pembantu yang selalu setia menemaninya dan

Harta Pusaka Cinta

seorang sahabat dekat yang tak habis-habisnya menghibur. Sejak hari pertama Friska ditahan, Afifah memperlihatkan simpatinya dengan menginap di rumah sahabatnya itu.

Pada hari keempat, barulah Friska mau berbicara meskipun hanya sedikit. " Besok bawakan Mami perlengkapan shalat, ya."

Chintiya hanya bisa mengangguk. Tenggorokannya tercekat. Dipandangnya wajah Mami. Masih ada rasa sakit di dalamnya tapi mata itu sudah terlihat lebih teduh, menandakan kepasrahan dan ketabahan.

Sebelum kembali ke ruang tahanan, Friska mengatakan sesuatu yang membuat Chintiya. " Mami ingin bertemu dengan nenekmu. Usahakanlah membawa nenekmu ke sini."

Sampai seminggu berlalu, Chintiya belum mempunyai keberanian untuk menelepon Anduang Rabiah. Ia tidak tahu harus dengan kalimat apa memberi tahu neneknya tentang musibah yang menimpa maminya. Selain itu, ia merasa tak tega. Pasti neneknya itu akan sangat terpukul. Ia sangat mengkhawatirkan kondisi neneknya bila menerima kabar ini melalui telepon, apalagi neneknya itu seorang diri di rumah gadang.

Kini hatinya sangat gelisah. Maminya selalu mengulang permintaan ini setiap ia membesuk. Satu hal

yang menggembirakan hatinya, sejak ia membawakan perlengkapan shalat, wajah maminya terlihat semakin tenang. Ia sudah bisa tersenyum dan lebih banyak berbicara.

" Allah itu memang Mahaadil ya, Chin. Kita saja yang suka menzalimi-Nya. Padahal, di setiap langkah kita Allah sudah mengingatkan dengan memberi banyak cubitan. Ketika kita masih juga nggak merasa dicubit, Allah memberi tamparan. Kita tetap saja nggak ngerti. Akhirnya, kita dibiarkannya jatuh dan merasakan sakit yang sesakit-sakitnya," kata Mami dengan mata menerawang.

Chintiya menyukai ucapan maminya itu. Ia mengakui pernyataan itu benar. Ia juga senang Mami menggunakan kalimat-kalimat yang baik untuk menanggapi makna kehidupannya.

" Tapi Allah Maha Pemaaf, Mi. Bila Allah membiarkan kita jatuh, berarti Allah masih menyayangi kita. Bila kita menyadari kesalahan yang kita perbuat, kita pasti bisa bangkit lagi. Menurutku begitu, Mi," ujar Chintiya menanggapi.

Mami memandangnya dalam-dalam, lalu memeluknya erat-erat. Sambil memeluk Chintiya, Mami kembali mengatakan keinginannya untuk dapat bertemu dengan Amak, wanita yang melahirkannya sekaligus wanita yang selama ini dicapnya sebagai perusak kehidupannya.

Saat Chintiya sedang memikirkan cara yang tepat untuk memberi tahu neneknya, pintu kamarnya

Harta Pusaka Cinta

terbuka. Wajah Warni tersembul sedikit di pintu kamar.

" Ada tamu untuk Non," katanya.

" Tamu?" Chintiya melirik jam dinding. Sudah pukul sembilan malam. Apakah Afifah? Ah, tidak mungkin. Afifah tidak mungkin datang pada malam hari begini.

" Dari kepolisian lagi?"

" Kayaknya bukan," sahut Warni. " Sekarang tamu itu ada di mana?"

" Masih di luar, Non. Saya suruh tunggu di luar. Pintunya saya tutup lagi."

" Bagus," ujar Chintiya. Sejenak ia tercenung. Ia khawatir yang datang adalah orang-orang suruhan dari partner bisnis Mami. Namun, polisi memintanya untuk segera memberi tahu bila ada tamu asing menanyakan keberadaan Mami.

" Panggil Wak Sakur. Minta ia temani aku menemui tamu. Dan kamu, siap-siap menelepon polisi. Ini nomornya," ujar Chintiya sambil menuliskan nomor telepon kantor polisi. " Kalau kamu denger orang itu nanya-nanya Mami atau berbuat yang tidak baik, suruh Sunarti langsung temui pihak keamanan RT. Bila terjadi apa-apa...."

" Aduuh& saya kok jadi ngeri, Non," sela Warni dengan mimik cemas. " Tapi tamu itu kayaknya orang baik kok, Non."

" Kita harus waspada. Orang bisa saja menyulap penampilannya jadi baik tapi maksudnya jahat."

" Aduuuh& saya jadi gemetar nih, Nooon...!" " Sudah, sudah. Cepat panggil Wak Sakur!" Tak berapa lama kemudian, lelaki tua itu datang tergopoh-gopoh. Napasnya ngos-ngosan karena harus menaiki tangga menuju kamar nona mudanya. " Mari kita temui tamu itu, Wak." " Mari, Non."

Wak Sakur meminta Chintiya berjalan di belakangnya. Lelaki tua itu mendahului Chintiya, lalu membuka pintu.

" Assalamualaikum," terdengar sebuah suara dari luar.

Chintiya mengernyitkan kening. Suara itu seperti akrab di telinganya. Segera ia melebarkan pintu dan memperlihatkan dirinya yang dari tadi terhalang oleh tubuh Wak Sakur yang gemuk dan tinggi.

" Ka& kamu?" katanya dengan wajah takjub. Bola mata indahnya melebar.

Sesaat dua pasang mata bertatapan. Laki-laki yang berdiri di teras itu menatap lurus pada Chintiya. Terkejut melihat Chintiya yang memakai gamis dan jilbab berwarna ungu. Mulutnya terbuka, ingin mengatakan sesuatu.

" Assalamualaikum," laki-laki itu kembali mengucapkan salam. Semula ia ingin memuji penampilan Chintiya, namun tak jadi. Ia merasa tak perlu mengeluarkan kata-kata pujian itu.

" Waalaikumsalam." Ucapan salamnya serentak dibalas oleh Wak Sakur dan Chintiya.

Harta Pusaka Cinta

" Lho? Kok kamu bisa ke sini?" Chintiya masih belum terlepas dari keterkejutannya.

" Apa saya belum diperbolehkan masuk, nih, sebelum menjawab pertanyaan itu?" laki-laki itu tersenyum lebar.

" Ah, ya. Silakan. Silakan masuk," Chintiya baru tersadar ia sudah membiarkan tamunya berdiri lama di depan pintu. " Wak, ini Zulfikar. Kawanku dari Padang."

Wak Sakur langsung membungkuk-bungkuk dan ikut mempersilakan masuk.

" Alhamdullilah, akhirnya sampai juga aku di rumahmu ini," Zulfikar memulai pembicaraan setelah ia menghenyakkan diri di sofa empuk.

Chintiya sibuk menenangkan diri. Rasa terkejut dengan kedatangan Zulfikar membuatnya bingung memulai pembicaraan. Untunglah laki-laki yang duduk berhadapan dengannya ini selalu tampil dalam kontrol diri yang prima. Wajah tirus yang dihiasi kumis tipis itu terlihat tenang seperti air di Danau Maninjau.

" Mana ibumu?" tanya Zulfikar. " Aku ingin berkenalan dengannya." Matanya menatap lurus ke wajah Chintiya.

Pertanyaan Zulfikar membuat Chintiya tersentak lagi. Ia kebingungan, tidak tahu mau menjawab apa.

Zulfikar tetap menatap Chintiya, menunggu jawaban dari gadis itu. Sejak beberapa hari yang lalu ia merasakan ada sesuatu yang terjadi pada gadis ini. Itu

pula yang membawa langkahnya ke Jakarta. Dua hari yang lalu ia memberanikan diri menemui Anduang Rabiah.

" Nduang, apa aku boleh berkata jujur pada Anduang walau itu tidak Anduang sukai?" tanya Zulfikar waktu itu.

" Kejujuran adalah perkataan yang paling disukai Allah. Jangan takut menyatakan kejujuran karena hanya takut tidak disukai manusia," ujar Anduang Rabiah. " Katakanlah, apa yang mau Cunda katakan."

Keberanian Zulfikar semakin menyala. " Aku ingin bertemu Chintiya di Jakarta, Nduang. Bolehkah aku meminta alamat rumahnya di sana?" ucapnya jujur. Ia harus mengucapkan kejujuran itu karena ia tak suka menahan sebuah rasa yang bergelora dalam dirinya. Ia tak menyukai kebohongan, apalagi membohongi diri sendiri. Sudah cukup lama ia berpikir hingga akhirnya mengambil keputusan.

Waktu itu Anduang Rabiah terdiam, lalu menatapnya tajam. Hatinya berdetak kencang menerima tatapan tajam wanita tua yang ia segani itu.

" Subhanallah... pikiran kita rupanya sama. Anduang pun sedang berpikir untuk menyuruhmu menengok Chintiya ke Jakarta," sahut Anduang Rabiah.

Zulfikar tersentak. " Oh, begitukah, Nduang? Mengapa pula Anduang terpikir menyuruhku menengok Chintiya di Jakarta? Baik-baik sajakah dia?" Zulfikar

Harta Pusaka Cinta

tidak bisa menahan diri untuk tidak memperlihatkan kecemasannya.

Anduang Rabiah menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil. " Anduang lihat kau mencemaskan cucuku itu. Kenapa pula kau mencemaskan dia?"

Zulfikar langsung tersadar. Ia salah tingkah dan tersipu-sipu malu.

" Tapi aku suka bila kau mencemaskannya. Itu berarti kau ada perhatian padanya," lanjut Anduang Rabiah.

Kata-kata Anduang Rabiah itu menimbulkan debar-debar di hati Zulfikar. " Ah, Anduang bisa saja. Iya, Nduang, memang itulah yang mau kukatakan dengan jujur. Entah bagaimana beberapa hari ini perasaanku selalu tertuju padanya. Jangan salah paham, Nduang. Yang kumaksud, aku merasa ada sesuatu yang membuatku selalu memikirkannya."

Anduang Rabiah kembali menatap Zulfikar dengan tajam. " Ya Allah... aku pun merasakan yang sama, Cunda. Sudah beberapa hari ini merasa tidak nyaman. Biasanya Chintiya meneleponku tiap hari. Ini sudah satu minggu dia tidak menelepon." " Mengapa Anduang tidak coba meneleponnya?" Anduang Rabiah lama terdiam. " Tadi kau yang meminta izin untuk menemui Chintiya di Jakarta. Sekarang, aku yang memintamu. Pergilah temui Chintiya. Lihat keadaannya di kota besar itu," ujar Anduang Rabiah tanpa menjawab pertanyaan Zulfikar.

" Dan satu lagi...." tambah Anduang Rabiah. Namun, ia tak melanjutkan kalimatnya.

" Apa itu, Nduang?" Zulfikar bertanya setelah Anduang Rabiah lama terdiam.

" Katakan sejujurnya isi hatimu padanya." Zulfikar terlongong mendengar kalimat Anduang Rabiah itu. Namun, senyum Anduang Rabiah malah tambah lebar. Wanita tua itu mengangguk-angguk dan menepuk-nepuk pundak Zulfikar.

Dan sekarang, di sinilah ia. Di sebuah rumah mewah di Jakarta. Di rumah gadis yang belakangan ini mengusik perasaannya.

Seorang wanita setengah baya muncul dari balik tirai tipis penghubung ruang tamu dan ruang keluarga di rumah itu. Sunarti menghampiri meja kaca yang membatasi sofa yang diduduki Chintiya dan Zulfikar. Ia menaruh dua cangkir teh dan sebuah pinggan berukir berisi beberapa potong puding cokelat. Setelah itu, ia terbungkuk-bungkuk menghilang di balik tirai.

" Boleh aku tahu maksud kedatanganmu ke sini?" Chintiya bertanya tanpa menjawab pertanyaan Zulfikar yang menanyakan keberadaan Mami.

" Sekadar menyambung tali silaturahmi. Boleh, kan?"

" Oh, tentu saja boleh. Hm... kamu sendirian? Mana Farida?"

" Mengapa kamu hanya tanya Farida? Kan banyak yang kamu kenal di sana. Ada Bachtiar, Zaita, Ardi...."

Harta Pusaka Cinta

" Kalau aku mau nanya Farida, apa salah?" sela Chintiya.

" Ya nggak salah. Tapi kenapa Farida?" " Idiiih ngotot! Dia kan pacarmu!"

Zulfikar tertawa keras. Sifat Chintiya yang seperti ini yang tak bisa ia lupakan. Terus terang dan jujur. " Dia pacarku? Memangnya kamu yang comblangi?" " Lho, kok aku?" tanya Chintiya heran. " Biasanya tukang comblang itu lebih tau daripada yang dicomblangi," sahut Zulfikar tenang. " Idih! Ngasal kamu!"

" Kamu yang ngasal," balas Zulfikar. " Farida itu mau married sama Bachtiar."

Mendengar kabar itu, Chintiya menatap lurus ke mata Zulfikar. Zulfikar membalas tatapan Chintiya. Saat itulah hatinya langsung memahami posisi dirinya di hati gadis itu. Ia dapat melihat sebersit sinar di mata gadis itu saat mendengar penjelasannya tentang hubungan Farida dan Bachtiar.

" Aku datang ke sini sendirian, khusus untuk menemuimu dan ibumu," kata Zulfikar pelan.

Chintiya salah tingkah, mencoba tersenyum. Tangannya mengusap-usap hidung bangirnya berk alikali. Tingkahnya itu membuat Zulfikar tersenyum. Mau rasanya ia langsung mengungkapkan apa yang ada di hatinya. Namun, ia cepat-cepat menguasai diri.

" Selain itu, aku juga membawa pesan dari nenekmu. Beliau memintaku menanyakan mengapa sudah

seminggu kamu nggak nelepon, padahal biasanya tiap hari...."

Mendengar nama neneknya disebut, Chintiya langsung menunduk. Jiwanya kembali gelisah. Tanpa disadarinya, air mata merembes keluar dari kedua bola matanya. Zulfikar kaget melihatnya. Hatinya kembali merasa ada sesuatu yang tak beres.

" Ada apa, Chintiya?" tanya Zulfikar hati-hati. " Ayol ah, katakan yang sebenarnya. Aku dan nenekmu sepikiran. Kami sama-sama merasakan ada sesuatu terjadi pada dirimu."

" Sedang terjadi musibah pada kami di sini," jawab Chintiya dengan suara parau. Ia terdiam lama.

Zulfikar menunggu dengan sabar, membiarkan keheningan menguasai ruang tamu yang dipenuhi benda antik itu.

" Mami tersandung kasus perdagangan perempuan di bawah umur ke luar negeri. Sekarang Mami ditahan di Polda. Kasusnya belum tuntas karena pelaku utamanya belum tertangkap...."

" Innalilahi...." ujar Zulfikar, menahan rasa terkejut yang luar biasa.

" Aku diminta Mami untuk menjemput Nenek. Mami tampaknya ingin sekali bertemu Nenek tapi aku nggak tahu cara terbaik untuk mengabarkan semua ini pada Nenek. Aku nggak tega memberitahunya." Wajah putih Chintiya semakin dalam menunduk. Bahunya tergoncang-goncang menahan tangis yang tiba-tiba saja meledak.

Harta Pusaka Cinta

Tak tega Zulfikar melihatnya. Ah, ingin rasanya ia memeluk tubuh itu. Ingin rasanya ia merebahkan kepala yang menunduk itu di dadanya.

" Chintiya, kontrol dirimu. Allah takkan memberi ujian di luar kesanggupan kita. Percayalah itu. Dan& dan... satu lagi, bisakah kamu memercayaiku?"

" Memercayai apa?" tanya Chintiya dengan suara serak.

" Memercayai aku untuk mendampingimu menyelesaikan dan mengurai masalah yang menimpamu ini."

Chintiya terdiam.

" Chintiya, jawablah. Maukah kau memercayai aku?"

Chintiya masih diam. Beberapa menit kemudian, barulah ia menjawab. " Ya," ujarnya setengah berbisik.

" Alhamdulillah. Sekarang, kuasai dirimu. Kulihat penampilanmu sudah menunjukkan kamu seorang muslimah. Nah, jadikan hatimu juga muslimah. Seorang muslimah harus mampu menerima setiap ujian dari Allah dengan sabar dan tawakal. Jangan cemas. Aku akan mendampinginmu sampai kapan pun."

Chintiya diam. Wajahnya tambah menunduk dan bahunya masih berguncang. Ia masih belum mampu menghentikan tangisnya. Ada dua rasa berkecamuk dalam hatinya kini. Rasa tertekan dengan musibah yang sedang menimpa dia dan maminya, serta rasa terharu yang amat sangat mendengar kalimat-kalimat sejuk penuh perlindungan dari Zulfikar.

" Kamu sudah shalat Isya?" Zulfikar bertanya dengan suara dalam.

" Belum," jawab Chintiya hampir berbisik. " Mari, kita shalat bersama."

Chintiya berdiri. " Kupanggil Wak Sakur dan orang-orang di kamar belakang dulu. Biasanya aku shalat berjemaah dengan mereka."

" Syukurlah. Ayo, mari sama-sama."

Malam itu shalat Isya diimami oleh Zulfikar. Hati Chintiya bergetar hebat. Ia tak menyangka di rumah ini, di kota metropolitan ini, dia bisa mendengar suara bening itu lagi.

Semula ia menyangka semua yang ia rasakan di Ranah Minang akan selalu tertinggal di sana. Namun, malam ini kesejukan dan keindahan yang ia rasakan saat berada di Ranah Minang dapat ia rasakan kembali. Ranah yang telah menyadarkan dirinya akan hakikatnya sebagai manusia kembali terbayang-bayang di ruang mata. Ingin hatinya memeluk erat nenek tercinta dan mencurahkan semua yang ia rasakan. Menetes air matanya dalam doa. Doa agar Mami, Nenek, dan dirinya segera berkumpul dalam pelukan cinta dan kasih sayang.

Friska terancam hukuman penjara belasan tahun. Hanya satu peluang Friska agar bisa lolos atau mini
Harta Pusaka Cinta

mal mendapat pengurangan masa hukuman yaitu jika Joni Arwana, biang keladi bisnis terselubung ini, tertangkap. Namun, sudah hampir sebulan ia mendekam di penjara, belum ada tanda-tanda lelaki tambun itu tertangkap.

Friska sudah pasrah. Ia menyerah pada situasi yang ia alami sekarang. Tak ada pilihan lain kecuali mengikuti alur yang ada. Kekuatan demi kekuatan datang menyangga tubuhnya. Itu yang membuatnya memilih untuk pasrah dan belajar tawakal.

Anduang Rabiah akhirnya bertemu muka juga dengan anak perempuan terkasihnya. Itu berkat Zulfikar yang mengajak Chintiya menemui neneknya di Ampek Angkek.

" Ini amanah mamimu padamu. Kamu nggak boleh membawa perasaanmu sendiri. Laksanakanlah secepatnya sebelum timbul penyesalan dalam dirimu," ujar Zulfikar.

Beberapa jam setelah kunjungan Zulfikar ke rumah Chintiya, mereka mengambil penerbangan pertama menuju kota Padang. Menjelang Magrib Chintiya sudah sampai di halaman rumah gadang yang dirindukannya. Begitu kakinya menjejak tanah langsung, ia berlari memasuki pintu rumah gadang yang terbuka. Ditemuinya Nenek yang sedang menutup jendelajendela ruangan bawah tempat mereka berdua pernah menghabiskan banyak waktu.

" Nenek...." panggilnya dengan suara bergetar.

Anduang Rabiah menoleh cepat, mencari arah suara itu. Sejenak ia ternganga, tak mampu berkata apa pun. Tak lama kemudian, tanpa bersuara ia menghampiri cucu perempuannya itu dan memandangnya lekat-lekat. Tangannya terulur, meraih dan memeluk cucunya erat-erat. Air matanya berlinang.

Chintiya membalas pelukan itu. Matanya terpejam. Air mata mengalir dari kedua kelopak matanya yang tertutup. Tak ada kata-kata.

Zulfikar memandang kedua perempuan itu den gan perasaan haru. Sejak sebelum mengenal Chintiya, ia sudah berkeinginan mempertemukan Anduang Rabiah dengan anak perempuannya. Sinar mata kerinduan wanita tua itu yang membuatnya terus-menerus menanamkan niatnya itu di hatinya. Lega hatinya kini karena niatnya itu sedikit lagi akan terlaksana.

Keesokan harinya, ia mengantar Chintiya dan Anduang Rabiah ke Jakarta dengan pesawat pertama. Tanpa setahu Chintiya, sewaktu di Jakarta ia sudah memesan tiket bolak-balik Jakarta-Padang-Jakarta dengan satu tiket tambahan untuk Anduang Rabiah.

" Terima kasih banyak," hanya itu yang bisa diucapkan Chintiya dengan suara bergetar.

Zulfikar membalas dengan senyum tulus. Mata elangnya menancap kuat di hati Chintiya. ***

Enam Belas

L ama Friska terpaku di tempatnya berdiri ketika

tahu siapa yang menjenguknya. Anduang Rabiah pun seperti tertanam di tempat duduknya, diam seperti patung menatap sosok yang berdiri tak jauh darinya.

Chintiya yang bergerak lebih dulu menghampiri Mami. Ia menggamit lengan Mami, mengajaknya berjalan menuju tempat Anduang Rabiah duduk. Setelah berdekatan, ibu dan anak itu masih saja saling menatap tanpa berucap sepatah kata pun. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba saja Friska menjatuhkan diri, berlutut dan menundukkan kepala dalam-dalam. Kedua tangannya gemetar meraih lutut Anduang Rabiah.

" Amak...." desisnya hampir tak terdengar. Setelah itu ia terdiam. Hanya isak pilu yang terdengar.

Anduang Rabiah tetap seperti tertanam di tempat duduknya. Bergeming. Kedua mata tuanya menatap lekat pada sosok yang berlutut di hadapannya.

Perlahan Anduang Rabiah membuka tas rajutan yang disandangnya sejak dari rumah. Ia mengeluarkan sebuah kotak persegi panjang bercorak emas, lalu

membuka dan menyodorkannya pada Friska. " Kau pasti masih ingat ini semua...." ujarnya dengan suara bergetar.

Friska mengangkat kepalanya yang dari tadi menunduk. Tanpa berani memandang mata Amak, ia menerima kotak itu. Matanya segera liar dan bibirnya gemetar ketika melihat apa yang tergeletak di dalamnya. Sebuah Al-Qur an kecil, mukena bersulam, dan sebuah buku tulis tebal persegi panjang yang hampir seukuran kotak tersebut. Ia mengenal benda-benda itu. Semua benda itu miliknya. Perlengkapan shalat itu dihadiahkan Amak padanya saat ia mendapat menstruasi pertama.

" Amak sendiri yang menyulam telekung ini. Amak hadiahkan telekung dan Al-Qur an mini ini padamu. Saat seorang perempuan sudah menstruasi, ia harus benar-benar menjaga kehormatan dirinya. Kehormatan diri bisa kita jaga bila kita kuat mengenal agama." Kata-kata Amak puluhan tahun yang lalu, mendadak mengiang jelas di telinga Friska.

Tatapan Friska beralih pada buku tulis usang berukuran folio. Di situlah Amak menulis silsilah keluarga mereka yang berbangsa ibu. Di situ pun tertulis semua harta pusaka tinggi, lengkap dengan jumlah dan ukuran tanah, bibit yang ditanam, waktu penanaman, hasil yang diperoleh, dan pihak-pihak yang mendapat bagian dari hasil tersebut berdasarkan kebijaksanaan adat yang berasaskan agama Islam.

Harta Pusaka Cinta

" Sampai bilo-bilo tagakkan prinsip badunsanak di Minang. Awak jadi hiduik damai alam pun taruih takambang. Tajua indak dimakan bali, tasando indak dimakan gadai. Itulah katantuan pusako tinggi nan indak buliah dipajuabalikan. Sampai kapan pun, tegakkan prinsip berkeluarga orang Minang. Kita hidup damai, alam pun tetap terkembang. Terjual tidak dimakan beli, digadaikan tidak dimakan sanda. Itulah ketentuan pusaka tinggi yang tak boleh diperjualbelikan." Kalimat itu ditulis Amak di buku tulis tersebut, puluhan tahun yang lalu.

Kini semua benda yang pernah diberikan Amak padanya, kembali berada di hadapannya dalam sebuak kotak kayu berukir.

" Jangan kaubiarkan tersimpan di sini. Gunakan dan amalkan," kata Amak ketika menghadiahkan kotak dan benda-benda itu pada Friska.

Namun, setelah perseteruannya dengan Amak, Friska tak berminat membawa kotak dan isinya itu dalam kehidupannya yang baru. Ia menganggap membawa benda-benda tersebut berarti membiarkan dirinya terbenam dalam kehidupan yang ia benci di kampung halaman.

Lama Friska menunduk dengan kedua tangan memegang kotak tersebut. Bibirnya bergetar hebat, air matanya deras mengalir.

" Kau ingat kotak ini?"

Friska tersentak mendengar suara Anduang Rabiah yang dalam dan dingin. Ia hanya bisa mengangguk pelan. Kepalanya tetap menunduk.

" Bawalah kotak itu ke ruangan tempat kau menghabiskan hari-harimu sekarang ini. Gunakan dan amalkan."

Friska tergugu. Ia mendekap kotak itu, lalu merebahkan kepala ke pangkuan Anduang Rabiah. Ia masih tak sanggup bicara satu kata pun, hanya isak tangisnya yang terdengar.

Jari-jemari Anduang Rabiah perlahan membelai rambut anak perempuannya. " Tak mengapa. Lebih baik dihukum di dunia daripada di akhirat nanti. Jalanilah, Nak. Amak tahu, sekarang kau sudah paham arti kebenaran. Saat ini kau bukan lagi berada dalam pembenaran diri yang selama ini kauagungagungkan. Jalanilah. Anggaplah ini jalan yang diberikan Allah untuk menyucikan dirimu dari segala dosa yang sudah kauperbuat."

" Maaak... ampuni akuuu& ." Akhirnya keluar juga kata-kata Friska di sela tangis kerasnya.
Harta Pusaka Cinta Karya Desni Intan Suri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Ya, Amak maafkan dan ampuni segala perbuatanmu yang lalu-lalu. Amak akan selalu mendoakanmu agar mampu menjalani ujian yang diberikan Allah padamu."

" Aku titip Chintiya ya, Mak. Ajarilah dia sebagaimana Amak ajari aku dulu. Anggaplah ia pengganti diriku, Mak."

" Ah& yang itu tak perlu kausebut. Tanpa kauminta pun aku akan ajari dia. Tiya cucuku. Dia pelanjut silsilah kita."

" Amaaak...." Mendengar itu Friska semakin membenamkan wajah di pangkuan Anduang Rabiah.

Harta Pusaka Cinta

Chintiya yang melihat adegan itu pun bersimbah air mata. Ia bersimpuh di samping ibunya, lalu melakukan perbuatan yang sama, merebahkan wajah di pangkuan Anduang Rabiah.

Jari-jemari tangan kiri Anduang Rabiah membelai kepala cucunya itu. Ujung mata kisutnya membasah tapi bibirnya menyungging senyum. Sesekali ia mengangguk-angguk.

" Alhamdulillah. Terima kasih, ya Allah. Engkau kabulkan permintaanku untuk melepas kerinduan yang menyesakkan ini," desisnya dengan bibir gemetar.

Tak berapa lama kemudian jam besuk berakhir. Seorang petugas meminta Friska berdiri. Friska digiring kembali ke selnya.

Di depan pintu pembatas ruang besuk dan ruang tahanan, Friska menghentikan langkahnya. Ia berpaling, menatap sendu pada Anduang Rabiah dan Chintiya. Kotak yang tadi dipegangnya sekarang berada di tangan petugas. Kotak itu harus diperiksa dulu sebelum bisa dibawa ke dalam.

" Tolong secepatnya berikan kotak itu pada anakku. Isinya untuk menambah amal ibadahnya," kata Anduang Rabiah dari jauh.

Petugas itu tersenyum dan mengangguk. Setelah itu, ia menutup pintu.

Chintiya dan Anduang Rabiah meninggalkan ruang besuk. Zulfikar sudah menunggu tertangkap. Ia langsung menyambut kedua perempuan itu, kemu
dian bersama-sama menuju mobil yang biasa digunakan Chintiya ke kampus. Ia membukakan pintu untuk Anduang Rabiah dan Chintiya. Setelah Chintiya dan neneknya aman berada dalam mobil, ia duduk di kursi sopir dan mengendarai mobil itu perlahan.

Sebetulnya ia ingin ikut serta membesuk dan berkenalan dengan anak perempuan Anduang Rabiah yang selama ini hanya ia kenal melalui cerita dari mulut ke mulut. Namun, pengunjung hanya dibatasi dua orang. Ia berjanji dalam hati, sewaktu-waktu akan mengunjungi ibu dari gadis yang telah menjadi pilihan hatinya itu.

Siang mulai beranjak petang. Sebentar lagi matahari akan kembali ke peraduannya. Pergantian siang ke malam begitu cepat terjadi, secepat jalan kehid upan manusia yang tak terduga. Manusia sering lupa bahwa siang dan malam akan selalu ada selama bumi berputar. Artinya, kebahagiaan dan kesedihan, kemakmuran dan kemiskinan, keberhasilan dan kegagalan, akan silih berganti menyertai kehidupan manusia. ***

Subuh belum lagi menjelang. Baru pukul setengah tiga pagi. Namun, telepon rumah telah berdering berkali-kali.

Chintiya terbangun dari tidur nyenyaknya. Begitu pun Anduang Rabiah yang sudah dua hari mene
Harta Pusaka Cinta

maninya di rumah itu. Terhuyung-huyung, menahan pusing karena terbangun secara tiba-tiba, Chintiya bergegas menuruni anak tangga.

" Assalamualaikum...." ucapnya. Lama ia diam mendengar seseorang yang berbicara dengannya melalui telepon. Tak lama kemudian wajahnya memucat. Tangannya bergetar hebat hingga gagang telepon yang dipegangnya jatuh menggantung. Ia menatap ke satu arah. Tiba-tiba saja tubuhnya melorot lemas, terduduk di lantai. Air matanya mengalir deras, bergulir tak henti di kedua pipinya.

" Innalillahi wa inna ilaihi rojiun...." desisnya di sela sedu sedan yang semakin tak terkontrol.

Berita yang baru didengarnya memang sangat mengoyak hati. Polisi memberi tahu bahwa tahanan bernama Friska Aisyaharni ditemukan meninggal dunia di kamar mandi dalam keadaan tangan memegang dada. Diduga penyebabnya adalah serangan jantung.

Suasana di rumah mewah itu pun berubah drastis. Aura kesedihan menyelimuti rumah bertingkat tiga itu.

Zulfikar tiba tak lama setelah mendengar kabar duka itu. Ia memang masih berada di Jakarta, namun tidak menginap di rumah Chintiya di Pondok Indah. Ia menginap di hotel yang tak jauh dari sana. Ia telah berjanji dalam hati akan mengikuti keinginan Anduang Rabiah, serta melindungi wanita tua itu. Inilah saatnya memperlihatkan ketulusan hati pada Anduang Rabiah. Bukan semata-mata karena gadis yang seka
rang membarakan rasa cinta dalam dirinya. Ia jauh lebih dulu mengenal Anduang Rabiah. Hatinya sudah lebih dulu tertambat pada kasih sayang dan kekuatan wanita tua itu. Kini, sebagian besar kekerasan hati dan kekuatan itu dilihatnya dalam diri Chintiya. Tambah kuatlah keinginannya untuk selalu berada di antara dua wanita itu saat mereka harus menghadapi ujian dari Allah.

Beberapa kerabat dan para pegawai Friska s Beauty Boutique & Cafe pun berdatangan. Salah satunya adalah Denia. Ia memakai blus dan celana panjang warna hitam, rambutnya ditutupi kerudung berwarna serupa. Matanya sembap. Begitu datang tadi ia langsung memeluk Chintiya dan mencium kedua tangan Anduang Rabiah.

Zulfikar berdiri dikelilingi beberapa orang pria setengah baya. Ia berlaku sebagai tuan rumah dan memberi keterangan seperlunya bagi yang menginginkan penjelasan penyebab kematian Friska. Di dekatnya ada ketua RT, ketua keamanan, dan tetangga sebelah-menyebelah rumah Friska.

Karangan bunga pun berdatangan. Kursi-kursi dan tenda sudah terpasang di sana. Semua dilakukan secepat kilat oleh rukun tetangga yang dipimpin Pak RT. Beruntunglah Wak Sakur cukup dikenal sebagai jemaah tetap masjid besar di kawasan rumah mewah itu. Wak Sakur memperkenalkan Zulfikar sebagai kerabat dekat Friska dari kampung halaman. Urusan mengabarkan berita duka kepada seluruh tetangga

Harta Pusaka Cinta

kompleks hingga pengadaan perlengkapan di rumah duka, ditangani oleh Zulfikar dan Wak Sakur.

Beberapa polwan berjaga-jaga di rumah duka sejak pagi. Dari merekalah didapat penjelasan bahwa tahanan yang sekamar dengan Friska mengatakan Friska mengeluh dadanya sakit sejak petang kemarin. Malamnya, keluhan Friska bertambah. Teman-teman satu selnya melihat Friska menuju toilet. Namun, Friska tak kunjung keluar. Ketika dilihat ke toilet, ternyata Friska sudah tergeletak tak bernyawa dengan kedua tangan mendekap dada.

Polisi menyarankan agar jasad Friska divisum dulu, tapi Anduang Rabiah menolak keras.

" Tak perlu! Kembalikan anak perempuanku itu dalam jasadnya yang utuh. Ia harus segera kami makamkan. Kami sekeluarga sudah mengikhlaskannya." Dirinya yang semula sangat rapuh ketika menerima kabar duka itu, sudah mulai tegar kembali. Ia terlihat sangat tabah. Fahmi dan Fatur sudah cukup memberi kekuatan padanya melalui telepon. Kedua berjanji akan secepat mungkin ke Jakarta.

" Mungkin inilah hikmahnya. Kita semua bisa berkumpul kembali. Walau paman-pamanmu itu hanya akan bertemu kubur adik perempuan mereka, rupanya inilah jalan yang diberikan Allah untuk mempertemukanmu dengan paman-pamanmu itu," kata Anduang Rabiah sambil mengusap-usap lembut punggung Chintiya.

Gadis itu hanya berdiam diri. Tekun dan khusyuk dengan lembaran Surat Yasin. Sejak datang Subuh tadi, Afifah tak beranjak dari sisinya. Tiga kawan karibnya, Rifanti, Liskia dan Miesye, belum terlihat walaupun Afifah telah menelepon mereka dan mengabarkan kemalangan yang menimpa Chintiya.

Chintiya juga sudah menghubungi papinya melalui Skype. Begitulah kebiasaannya berkomunikasi dengan papinya selama ini. Papinya itu sekarang sudah menikah lagi dengan wanita setanah airnya.

Hans Leonard Rubert sedikit shock menerima kabar dari Chintiya, apalagi mendengar mantan istrinya itu mengembuskan napas terakhir di rumah tahanan. " Oh my God! In jail?" teriaknya. Namun, ia men gatakan tidak bisa hadir di pemakaman. Ia pun belum bisa memastikan kapan akan melayat ke Indonesia.

" But don t worry, my baby. I ll send your money soon." Seperti biasa, Papi lebih mengutamakan masalah uang dalam pembicaraan mereka.

Chintiya hanya mengangguk-angguk lalu mohon diri untuk mematikan Skype.

Pukul setengah delapan, mobil jenazah sudah sampai di halaman rumah. Semua pelayat yang duduk di kursi luar segera berdiri. Para ibu yang berada di dalam rumah bergegas merapikan tempat yang telah disediakan untuk membaringkan jenazah.

Anduang Rabiah dan Chintiya bergenggaman tangan, berdiri menunggu jenazah dibaringkan di tengah-tengah ruang tamu yang luas.

Harta Pusaka Cinta

Wajah Chintiya tampak pucat. Air matanya kembali mengalir deras. Beda dengan Anduang Rabiah yang tampak kuat dan tabah. Wajahnya tenang, seperti tak ada kejadian apa pun. Di bibirnya tersungging senyum tulus. Tadi ia sempat berbicara dengan polwan yang dulu mengambil kotak pemberiannya untuk Friska.

" Apa kotak yang kuberikan pada anak perempuanku sudah berada di tangannya?" tanya Anduang Rabiah pada polwan tersebut.

" Sudah, Bu. Isinya alat shalat, kan, Bu? Saya lihat anak Ibu sudah mempergunakannya."

" Betulkah?" tanya Anduang Rabiah dengan mata tak berkedip.

" Betul, Bu. Saya juga lihat dia sering mengaji." Anduang Rabiah mengangguk-angguk, kemudian memejamkan mata lama sekali. Mungkin hal inilah yang menyebabkan ia terlihat kuat dan tabah. Walaupun pertemuan yang puluhan tahun dirindukannya itu hanya terjadi satu kali, hati tuanya sudah merasa lapang. Ia merasa sudah berhasil meluruskan kembali jalan hidup anaknya.

Anduang Rabiah tetap terlihat tegar ketika akhirnya jenazah Friska dibaringkan di lantai ruang tamu. Saat kain yang menutupi wajah Friska dibuka, terlihatlah seraut wajah yang tenang. Wajahnya jernih dengan mata terpejam rapat dan bibir terkatup. Friska layaknya orang yang sedang tidur nyenyak.

Chintiya tidak bisa menguasai diri. Ia kembali melorot jatuh dan kemudian pingsan. Zulfikar yang selalu mengawasi Chintiya dengan sigap mengangkat tubuh itu lalu membaringkannya di sofa panjang yang telah disingkirkan ke tepi ruangan. Afifah membuntuti dengan minyak angin dan sehelai handuk kecil di tangannya.

Anduang Rabiah membiarkan karena ia tahu Chintiya akan selamat di tangan Zulfikar. Ia sendiri menghampiri jasad anak perempuannya. Ia bersimpuh, menatap dalam-dalam wajah yang seakan tidur nyenyak itu. Perlahan-lahan ia mengusapkan tangan keriputnya di wajah itu.

" Pergilah, Nak. Aku ikhlas dan sudah memaafkanmu sebelum engkau meminta maaf padaku. Aku telah mengampunimu sebelum kau bersimpuh minta ampun padaku. Aku tahu siapa dirimu. Sejak kau meninggalkan diriku puluhan tahun yang lalu, aku tahu kau pasti akan pulang dan menjemput dirimu yang sebenarnya...."

Penutup

E mpat puluh hari sudah Friska Aisyaharni dipang
gil oleh Yang Mahakuasa. Empat puluh hari pula Anduang Rabiah berada di Jakarta, di samping cucu perempuan yang menurutnya tak mungkin ia tinggalkan dalam kondisi mental dan fisik yang tengah terguncang.

" Nenek akan mengawanimu sampai kau kuat. Tapi Nenek tak bisa tinggal bersamamu di sini. Bukan karena Nenek tidak suka tinggal bersamamu. Nenek merasa tak cocok saja tinggal di kota besar yang hiruk pikuk. Rumah gadang dan harta pusaka pun butuh penjagaan dan perawatan. Selagi Nenek masih diberi kesempatan menjaga dan merawat kekayaan alam semesta yang diberikan Allah ini, Nenek akan melakukannya dengan sebaik-baiknya," jelasnya pada hari ketujuh wafatnya Friska.

Malam itu Anduang Rabiah dan Chintiya membuka kotak yang dulu diberikan pada Friska. Ternyata Friska menulis beberapa kalimat di halaman terakhir buku folio tebal yang ada di dalam kotak itu.

" Putri cantikku Freechintiya Rubert. Berikanlah kasih sayangmu sepenuhnya pada nenekmu. Nenekmu itu wanita luar biasa. Kamu akan merasakannya nanti. Mamimu ini sangatlah rugi karena baru menyadari itu ketika sudah terkurung dalam penjara ini.

Banyak-banyaklah belajar darinya, baik itu tentang agama, budaya, maupun hakikatmu sebagai manusia. Alangkah malangnya Mami ini, baru membaca dan mempelajari sungguh-sungguh tentang adat tanah kelahiran Mami saat sudah tidak bisa berbuat apa-apa.

Buku ini ditulis tangan oleh nenekmu. Kaubacalah. Isinya pasti akan membuka hati dan pikiranmu. Sudah seharusnya kita bersyukur karena menjadi wanita berdarah Minang.

Amanahku padamu, Putri Cantikku, pelajarilah yang ditulis nenekmu. Setelah itu, tolonglah lanjutkan apa yang dilakukan nenekmu sekarang ini. Cintanya pada tanah kelahirannya, tanggung jawabnya pada hukum adat yang digariskan dalam harta pusaka, serta sumbangsihnya dalam menegakkan dan melestarikan adat dan alam budaya Minangkabau.

Nenekmu adalah satu dari sekian wanita Minang yang berjiwa Bundo Kanduang, seorang ratu yang memimpin Ranah Minang ini tempo dulu. Mami tahu, ia berkeinginan menyerahkan apa yang dikerjakannya sekarang ini pada Mami. Tapi Mami telah menentangnya dengan keras. Hanya kamu harapan Mami untuk menebus kesalahan-kesalahan Mami padanya.

Harta Pusaka Cinta

Tolong, ya, Putriku. Dengan melaksanakan keinginan Mami ini, berarti kamu menyelamatkan diri Mami yang sudah telanjur berlumuran dosa ini."

Air mata Chintiya mengalir lagi. Ia tak menyangka maminya meninggalkan pesan untuknya di dalam buku tulis usang itu.

Pagi ini Anduang Rabiah pulang ke Ranah Minang dengan diantar oleh Zulfikar.

Sebentar lagi Zulfikar dan Anduang Rabiah akan masuk ke ruang tunggu. Zulfikar melirik Chintiya yang dari tadi duduk di samping neneknya. Tangannya menggenggam jemari tangan kanan neneknya kuat-kuat, seakan tidak mau berpisah.

Zulfikar mendekati Anduang Rabiah. " Nduang, aku boleh minta waktu sebentar untuk bicara berdua dengan Chintiya?" pintanya dengan suara mantap.

Anduang Rabiah menatap mata Zulfikar. Di bibirnya tersungging senyum tulus. " Dari tadi aku menunggu kau mengajaknya bicara. Kupikir kau yang pengecut, takut mengucapkan kata-kata berpisah pada gadis yang kaucintai. Ayolah, cari tempat berdua. Aku menunggu di sini." Anduang Rabiah melepaskan genggaman Chintiya.

" Sana, kaubicara dulu dengan Zulfikar. Kau jangan terlalu jual mahal. Aku tahu kau sudah jatuh

cinta padanya sejak pandangan pertama di Ampek Angkek dulu," kata Anduang Rabiah pada cucunya. Wajah Chintiya memerah.

Zulfikar tersipu-sipu, sebentar menyelinapkan kedua tangannya ke dalam saku celana jinsnya, sebentar mengeluarkannya lagi, lalu mengelus-elus kumis tipisnya dan mengusap-ngusap gelombang rambutnya yang sudah rapi.

" Yuk, duduk di sana sebentar," katanya pada Chintiya. Ia menunjuk kursi kosong di sudut ruang tiket yang luas.

Chintiya hanya mengangguk, lalu membuntuti langkah Zulfikar. Anduang Rabiah mengikuti langkah mereka dengan sudut matanya. Tiba-tiba dia terkekeh sendiri, tapi cepat-cepat menyadari ia sedang bersendirian. Kekehnya ditukarnya dengan deham berkalikali. Tangannya terjulur ke dalam tas, mengambil sebutir permen pedas. Ia menikmati manis pedasnya permen itu sambil menggoyang-goyang kaki tuanya.

Hatinya lapang kini. Entah kenapa. Walau sebuah kehilangan takkan pernah terganti, tapi dalam hidup ini patah tumbuh hilang berganti. Dalam diri cucunya telah ia temukan sosok anak perempuannya yang hilang dan dirindukannya puluhan tahun. Ia pun seakan menemukan sosok dirinya sendiri dalam diri cucunya itu.

Harta Pusaka Cinta

Di sudut ruang tiket.

" Maaf, aku tak pandai berkata terus terang, apalagi merayu. Untunglah Anduang Rabiah telah membantuku tadi," kata Zulfikar memulai percakapan.

" Membantu apa?" tanya Chintiya. Ia bukannya tak tahu. Ia hanya ingin Zulfikar mengatakan langsung padanya.

" Hm.., hm& membantu apa, ya? Hmmm& membantu mengatakan apa yang kurasakan padamu." " Apa itu?"

" Hm& apa, ya? Ya itulah masalahnya. Aku kan tadi bilang, aku itu hm... tak pandai...."

" That s easy. Just say I love you," potong Chintiya sambil berpura-pura menunduk dan memperbaiki kaus kakinya. Hatinya sebetulnya berdebar kencang tapi ia pun geli melihat tingkah Zulfikar yang kesulitan menyusun kalimat.

" Ohhh... jadi kamu cinta sama aku?" goda Zulfikar.

" Lho, kok aku? Aku kan ngajarin kamu ngomong gitu!"

" Tapi kan kamu yang ngomong barusan?" " Iiih& aku nggak ngomong duluan! Harusnya kamu!"

" Ya itu buktinya. Kan kamu yang bilang I love you duluan."

" Ih, sorry, ya. That s impossible." " Jadi, kamu nggak cinta sama aku?" " Aku nggak ngomong gitu."

" Jadi, kamu ngomong apa dong tadi?"

" Aku yang seharusnya nanya, dong. Kamu denger aku ngomong apa tadi?"

" I love you," ujar Zulfikar.

" Nah, itu bisa. I love you too," Chintiya menanggapi.

Mereka bertatapan, lalu tertawa berbarengan. Sekilas mereka menoleh ke tempat Anduang Rabiah duduk. Ternyata wanita tua itu sedang mengawasi mereka.

Zulfikar menunduk tersipu, mengurut-urut lagi kumis tipisnya yang sebenarnya tak sedikit pun berantakan. Chintiya tambah terbahak melihat tingkah Zulfikar. Pemuda itu dari dulu sangat lain, berbeda dengan pemuda-pemuda lain yang ia kenal. Ia tahu, pemuda inilah tambatan terakhirnya untuk mengarungi episode baru hidupnya.

" Aku akan secepatnya menyelesaikan skripsiku," kata Chintiya pelan.

" Setelah itu?"

" Aku akan membantumu di sana...." " Di sana mana?"

" Di tanah kelahiran Mami, di kampung halamanku."

Zulfikar terdiam, menatap lembut kedua mata Chintiya. Mata elangnya berbinar. Bibirnya yang dihiasi kumis tipis itu menyunggingkan senyum haru.

" Alhamdulillah. Aku menunggu dengan sabar. Percayakanlah nenekmu dalam lindunganku. Aku

Harta Pusaka Cinta

akan menengokmu ke Jakarta bila ada waktu. Mari kita jaga harta pusaka kampung halaman dengan cinta karena cinta yang sesungguhnya sangat dekat dengan diri kita. Kitanya saja yang selalu memandang cinta pada jarak pandang yang terlalu jauh...."

Anduang Rabiah melambai-lambaikan tangan pada pasangan muda itu. Bibirnya bergerak-gerak seolah mengatakan sesuatu. Jari tangannya menunjuknunjuk jam dinding yang ada di ruangan luas itu.

Zulfikar mengerti. Sudah tiba saatnya untuk meninggalkan Jakarta. Ia berpaling pada Chintiya, mengajak gadis itu menghampiri Anduang Rabiah.

Chintiya memeluk dan mencium punggung tangan neneknya.

" Jaga dirimu baik-baik," kata Anduang Rabiah. " Jangan khawatirkan Nenek. Ada Zulfikar yang akan menjaga Nenek di kampung."

Chintiya mengangguk, melepaskan pelukannya pada Anduang Rabiah.

Tangan Zulfikar terulur, meraih tangan Anduang Rabiah. Dengan telaten ia membimbing lengan wanita tua itu memasuki ruang tunggu pesawat.

Di luar ruangan yang dibatasi kaca, sepasang mata indah mengamati kepergian nenek yang ia kasihi dan pemuda yang memberi harapan masa depan pada dirinya. Zulfikar menoleh sekali lagi pada Chintiya. Sejenak mereka bersitatap dan melempar senyum. Anduang Rabiah melambaikan tangan lagi pada cucunya.

Indahnya hari ini, seindah hati sepasang muda mudi yang merekah oleh cinta. Seindah hati seorang wanita tua yang tampak tegar dan kuat melangkah di sisa umurnya.

(Buat bujangku Wiji dan Gotan, serta semua anak bangsa yang mencintai alam, adat, dan budaya Tanah Air.)

Tamat


Dewa Arak 46 Pendekar Sadis The Kite Runner Karya Khaled Hosseini Pendekar Rajawali Sakti 43 Huru Hara Di

Cari Blog Ini