Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih Bagian 2
aransemen kami, tidak mungkin aku meminta Andrea menungguku hingga diskusi berakhir.
Setelah berbaikan dengan Patra, tak kusangka kami jadi lebih
dekat, sedikit. Paling tidak kami nggak perlu belajar bahasa
isyarat. Tapi sekeras apa pun aku berusaha, aku tetap nggak
mampu memahami robot satu itu. Jalan pikirannya aneh.
Tante Mafia
79 791680
Contohnya saat aku menanyakan perihal keberangkatan Patra
ke Portugal tahun lalu sebagai satu-satunya wakil Indonesia
yang dikirim sekolah musiknya mengikuti perlombaan tingkat
dunia, sesaat setelah kami keluar gedung sekolah yang sudah
sepi.
"Berarti Kak Patra mainnya bagus banget. Pasti rajin latihan,
sampai bisa dikirim gitu," tandasku bersemangat.
Bukannya menjawab pertanyaanku Patra malah menampilkan
mimik wajah favoritnya, dingin dan kaku. "Nggak, saya nggak
rajin," ujar Patra datar.
"Kalau nggak rajin mana bisa dikirim ke luar negeri begitu?"
"Nggak, saya nggak rajin," Patra mengulangi perkataannya.
"Coba kasih saya alasan, kenapa kok bisa bilang diri sendiri
nggak rajin?!" Ini sangat aneh. Kenapa aku harus sewot kalau
Patra menganggap dirinya malas? Mau malas, mau rajin, kan
nggak ada hubungannya denganku? Toh kalau dia berkeras
menjadi malas, yang malas juga dia sendiri. Tetapi aku sangat
tertarik mendengar pendapatnya yang penuh kejutan.
"Hmm... seperti sekarang contohnya. Saya sedang lapar, tapi
tidak berkeinginan membuat diri saya kenyang."
Aku melongo.
"Aneh! Itu berarti Kakak makan bukan untuk kepentingan
Kakak dong!"
"Jelas. Saya makan supaya saya tidak mati. Kalau saya mati
akan merepotkan banyak orang. Misalnya tadi saya ke sekolah
naik bajaj, tiba-tiba saya mati di jalan karena belum makan tiga
hari. Itu kan merepotkan?"
"Kalau makan dilakukan demi orang lain, apa gunanya hidupMengapa makan bukan menjadi kebutuhan dan dinikmati?"
80 801681
tanyaku terus mendebat karena tak setuju dengan pendapat
Patra.
"Saya hidup untuk mati. Kalau saya tidak hidup, bagaimana
caranya saya bisa mati? Hanya saja sampai sekarang saya masih
bernapas, sehat, dan tentu saja hidup!" jawab Patra tak acuh
dan segera menyeretku, lebih tepatnya jaketku, masuk ke
mobil.
"Masih belum puas?" tanya Patra saat menyalakan mesin,
membaca raut mukaku yang ditekuk.
Aku hanya diam.
"Mau mendebat apa lagi? Semuanya hanya tentang bagaimana kita memandang dan menyikapi segala sesuatu," ujar
Patra sambil terus menatap ke depan.
"Iya, tapi kok mikirnya kayak gitu sih?"
"Itu hanya karena kamu iri. Berpendapat kan demokratis.
Saya bebas dong mikir begitu."
"Memang saya ngelarang? Lagian ngapain saya ngiri? Saya
orang yang menikmati hidup. Hidup untuk dinikmati, bukan
untuk mati. Mentang-mentang SD-nya di luar negeri, pakai acara
sok demokratis segala. Saya juga kritis kok."
"Oke, coba kita bahas satu contoh kasus. Misalnya kita punya
teman yang namanya si Maman. Maman kurang disukai karena
bau badan. Apa yang akan kamu bilang ke dia sebagai temannya?"
"Kalau Kakak?" tanyaku balik, lebih ingin mengetahui
reaksinya ketimbang mengungkapkan pendapatku.
"Ketika ada kesempatan saya akan langsung menegurnya
dan mengatakan bahwa dia bau badan. Saya akan menganjurkannya menggunakan minyak wangi." Patra kembali berpendapat sementara matanya sesekali melirik ke arah spion.
81 811682
"Gila! Itu sih minta ditabok!" Aku membelalak. Pantes Patra
nggak punya teman. Wong ngomongnya seenak perut beginiMana ada sih orang langsung ngomong begitu kalau nggak sinting"Apanya yang gila? Mana yang lebih baik, kejujuran atau
kebohongan?"
"Kejujuran tentu."
"Nah, kenapa marah waktu saya menyampaikan pendapat
saya yang berisi kejujuran?"
"Itu... karena..." Aku kelabakan.
"Kalau menurut Maman, perkataanku memang benar. Setelah
menampar saya ia akan melaksanakan saran saya. Memangnya
ada cara lain yang lebih ampuh?"
"Ya, tentu saja ada. Cara yang tidak akan menyakiti dirinya,
hatinya. Kakak juga harus mikirin perasaannya dong. Saya bisa
bilang, ?sebaiknya kamu minum kencur atau kapur sirih deh.
Gue juga minum dan hasilnya badan lebih seger. Cobain ya,
Man!? Hasilnya tetap, tetapi tidak menyinggung perasaan orang
lain. Terus ngomongnya nggak langsung tembak gitu. Gila,
apa?" Aku tidak menyangka mampu mendebat Patra sesemangat ini.
"Gila lagi, gila lagi. Apanya yang gila, Ngen? Saya bilang
begitu karena saya selalu dididik dan diberi anjuran ?lieg niet?.
Artinya jangan bohong."
"Yang efeknya ditampar orang? Cukup menarik!" ejekku
cepat.
"Sementara kamu menganut paham ?grief niet?, jangan
menyakiti hati orang." Patra mengatakan semuanya itu dengan
gaya yang sanggup membuatku menonjok lengannya lebih
keras daripada yang pernah kulakukan.
82 821683
"Wueh, ckckc... Sok deh! Lagian kata-kata yang barusan pasti
ngutip dari buku. Kayaknya aku tahu tuh. Buku bacaan Bapak
ada yang kata-katanya mirip gitu," tukasku muak.
"Tuh kaaan, ngambek...," goda Patra sambil senyum-senyum,
sementara aku hanya menjulurkan lidah, meledeknya penuh
kesal.
Rasanya begitu menyenangkan bisa berada di supermarket.
Namanya cewek, belanja pasti menyenangkan. Aku sering menggantikan tugas Estri berbelanja dan... menyukainya. Buatku,
belanja bukan sekadar tugas, tapi sekaligus refreshing.
Supermarket ini cukup luas, sampai-sampai aku tak dapat
mendengar tetesan air hujan deras yang tadi sempat mengganggu jarak pandang saat mengemudi.
"Jangan beli merek yang itu. Lebih baik pilih yang ini, rasanya
lebih enak, lebih murah pula," cegah Patra saat aku mengulurkan tangan hendak mengambil botol bumbu dapur instan.
"Tahu dari mana?" tanyaku meragukan.
"For your information, I cook!"
"Oh, ya?" tanyaku tak percaya sembari berjalan bersama ke
arah rak susu.
"Kok tampangnya nggak percaya gitu sih? Saya bisa masak
banyak macam lho. Baik masakan dalam negeri maupun yang
Barat."
"Kayak pasta gitu, bisa masaknya?"
Patra mengangguk pasti.
"Hebat!" pujiku. Keren amat, bisa masak. Benar-benar robot
andalan. Harusnya cewek-cewek modern di sekolah suka sama
83 831684
Patra. Sudah pinter, bisa masak pula. Kan lumayan, kalau punya
pacar kayak Patra. Bisa minta diajarin pelajaran, dimainin musik,
dimasakin. Itu namanya penghematan besar. Beh, masak lho!
Aku aja nyambel nggak bisa-bisa. Kurang gula lah, kurang garam
lah, atau yang paling baru: kurang pedas. Pokoknya nggak
pernah pas.
"Sejak kecil saya vegetarian. Kan saya cuma tinggal berdua,
jadi kalau niat tetap menjadi vegetarian, saya harus bisa
memasak makanan saya sendiri."
Aku hanya bisa menatap Patra, lagi-lagi tertarik dengan faktafakta mengejutkan yang dia ungkapkan.
"Ada alasan khusus nggak jadi vegetarian?"
Patra memandangku, bingung.
"Andrea juga vegetarian."
"Andrea temen kamu yang ikut taekwondo itu, kan?"
Aku mengangguk. "Tapi alasannya aneh. Dia jadi vegetarian
gara-gara nonton film Chicken Run."
"Kenapa?"
"Dia kasihan pada ayam-ayam yang berusaha berjuang
mempertahankan hidup. ?Jangan-jangan ayam-ayam itu beneran
punya nama, Ngen?? gitu katanya. Kalau Kak Patra karena
apa?"
"Saya takut kena cacing pita. Dulu Kakek bilang, untuk
menge?luarkan cacing itu, nggak ada cara lain selain lewat
mulut. Sejak itu saya benar-benar tak mau menyentuh daging.
Belakangan, pas saya SMP, saya baru tahu cara pengeluaran
cacing melalui mulut adalah cara primitif. Tapi sudah nggak bisa
balik lagi, soalnya sudah terbiasa makan sayur."
Aku menggeleng. "Kasihan amat, pinter-pinter kena tipu."
84 841685
"Yeee, itu kan dulu."
Sedetik kemudian saat kami tiba di lorong lainya. Tiba-tiba
Patra berhenti. Otot lengannya yang kekar tampak tegang.
Mataku tertuju padanya, kepalanya tersentak.
"Kenapa?" tanyaku ikut tegang.
"Masih ada barang yang mau dibeli?" Ketegangan menyelimuti wajah Patra.
"Kenapa?" ulangku spontan berbisik. Terbawa suasana.
"Jawab saja!" pinta Patra tak kalah pelan, namun tegas.
Aku menggeleng. "Ini yang terakhir," lalu meletakan kaleng
susu kental manis di keranjang belanja kami.
"Baliknya pelan-pelan, ya." Sorot mata Patra terpaku pada
wanita yang juga sedang berbelanja. Ia berdiri kira-kira lima
meter di depan kami. Ia sama sekali tidak tampak terganggu
dengan kehadiran kami. Aku tak mengerti mengapa Patra menyuruh kami berjingkat-jingkat begini, tapi tetap mematuhinya.
Sayangnya saat kami sudah hampir berhasil kembali berbelok
ke lorong yang lainnya, aku menjatuhkan kaleng susu kental
manis sehingga wanita yang sejak tadi diperhatikan Patra menoleh. Mata mereka bertemu dan dalam sekejap keduanya
terpaku. Wanita itu menyerukan nama Patra, tapi Patra segera
lari setelah berbisik di telingaku untuk mengikutinya dan mengambil alih belanjaanku. Sampai beberapa detik kemudian aku
masih mendengar suara wanita itu meneriakkan nama Patra,
sebelum akhirnya tak terdengar lagi. Kami berhenti sejenak di
bagian paling ujung supermaket dengan napas terengah-engah
tak keruan.
85 851686
"Boleh tanya nggak?" aku memohon ketika Patra memacu
mobilnya cepat sekali di jalan sepi. Sepertinya ia tidak memperhatikan jalan.
Patra menghela napas. "Apa?" tanyanya menyetujui. Bibirnya
mengatup, membentuk ekspresi hati-hati.
"Kenapa tadi tiba-tiba lari?" tanyaku penasaran dan belum
bisa menemukan teori yang masuk akal ketika akhirnya kami
berdua pulang. Kejadian tadi masih terekam jelas di benakku.
Persis seperti adegan di film-film thriller, kami harus mengendapendap saat pulang dan langsung tancap gas begitu masuk ke
Volks Wagen Patra. Kami harus bergegas seperti itu, supaya
tidak diburu tante-tante prestis, yang ternyata bos mafia.
Hiii
Patra berpaling, sengaja.
"Nggak apa-apa. Nggak terlalu penting," gerutu Patra.
"Kalau ditanya pasti menghindar. Nggak apa-apa terus
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jawabnya. Jelas-jelas tadi ada apa-apa. Kalau nggak, kenapa
lari?" Aku jadi kesal karena sifat Patra lama-lama jadi menjengkelkan. Tiba-tiba saja aku mendapat pencerahan begitu aku
memperhatikan kedua bola matanya, lagi.
"Tadi mama Kak Patra, kan?" tanyaku cepat. Tak kusangka
tebakanku benar. Padahal aku iseng menebak, hanya berdasarkan kesamaan bentuk mata Patra dan Tante Mafia tadi. Patra
langsung menepikan mobil, membuat orang-orang di belakang
kami memaki dengan kata-kata kasar. Giliran aku yang shock.
Untung kami nggak mati.
"Tahu dari mana?" tanya Patra tajam, membuatku ngeri. Bola
mata yang biasanya mampu menyihirku, kini menjadi berkilat,
menyiratkan amarah besar. Aku tetap diam dan menunduk, tak
berani menjawab, apalagi membalas tatapannya.
86 861687
"Chris." Patra menjawab pertanyaannya sendiri dan mengumpat pelan.
"Aku tahu semuanya. Soal ayah Kakak juga. Tapi jangan
marah sama Chris, ya." Aku berhenti sejenak, takut kalau tibatiba Patra mencekikku atau apa, tapi ternyata ia tetap diam.
Aku jadi bingung kalau dia diam begini.
"Saya naik taksi saja deh," ujarku, lalu melepas seat belt.
"Jangan, saya antar saja." Patra mencegahku yang hampir
membuka pintu mobil.
Patra kembali mengemudikan VW, masih dengan wajah
kusut.
"Kak Patra jangan marah sama Chris, ya. Dia kasih tahunya
juga karena terpaksa. Kayaknya sih dia menganggap saya perlu
tahu asal-usul Kakak supaya saya dapat memahami sifat Kakak
yang moody. Barangkali Estri cerita sama dia bahwa saya
taruhan. Terus dia lihat awalnya kita nggak kompak. Kakak
boleh nggak percaya, tapi saya cerita yang sebenarnya," jelasku
panjang lebar sementara Patra tetap mengemudi dengan
kecepatan delapan puluh kilo meter per jam. Untung rute jalan
pulang malam itu terbilang sepi.
Perlahan-lahan Patra mengurangi kecepatan mobil dan
menoleh ke arahku. Dahinya mengerut, tatapannya tegang ketika menerawang melewatiku, terus menembus jendela.
"Saya ngerti."
Aku agak gemetar mendengar suara dingin Patra, sekaligus
merasa lega.
Patra hampir tersenyum.
Kami tiba di depan rumahku. Lampu-lampunya menyala.
Mobil Bapak ada di tempat, yang artinya kedua orangtuaku
sudah pulang kantor dan itu wajar.
87 871688
Patra menghentikan mobil, tapi aku tak beranjak. Barangkali
dia mau membuat pengakuan, pidato, atau epilog, perihal
adegan lari-lari tadi.
"Sampai ketemu besok," desah Patra setelah membantuku
mengambil dua kantong plastik besar di jok tengah. Aku tahu
ia menginginkanku cepat-cepat pergi sekarang.
"Baik kalau begitu." Dengan segera kubuka pintu mobil.
"Langen?"
Aku berbalik dan Patra mendekat padaku, wajahnya yang
mulus hanya berjarak beberapa senti dari wajahku. Jantungku
berhenti berdetak.
"Saya minta maaf," kata Patra. Napasnya menyapu wajahku.
Mataku mengerjap. Lalu ia menjauh. Aku tak bisa bergerak
hingga otakku mengurai dengan sendirinya. Lalu aku melangkah
canggung ke luar, sampai harus berpegangan pada sisi pintu.
Patra menunggu hingga aku sampai di pintu gerbang, kemudian aku mendengar mesin mobilnya menyala pelan. Aku
berbalik dan melihat mobil kuno itu menghilang di pojokan. Aku
menyadari udara sangat dingin. Angin musim hujan membuatku
sedikit gemetar saat membuka pintu, lalu masuk ke rumah.
Pepatah Daniel memang selalu benar, tapi harus direvisi. To
understand Patra is like to understand the non understandable.
88 881689
"SELAMAT sore, selamat datang!" sapa Tera ramah
seperti biasa saat aku tiba di restoran Om Ari
bersama Daniel dan Andrea.
"Mau pesan apa nih?" tanyaku setelah merebahkan diri di
spot favorit kami.
"Ujan, Ngen! Dingin-dingin gini kayaknya enak makan yang
anget-anget. Gue bubur ayam special sama teh manis deh," ujar
Daniel seraya membolak-balik buku menu.
"Lo mau apa, Ngen?" tanya Andrea sambil ikut melihat buku
menu yang dipegang Daniel.
"Sama. Gue juga lagi kepingin makan bubur."
"Ya udah, pesan bubur ayam spesial dua, sama satu bubur
lengkap tapi nggak pakai ayam. Minumnya teh manis hangat
tiga deh!" jelas Andrea pada Tera yang langsung mencatat pesanan kami dengan cepat.
"Eh, Ngen, dari tadi gue mau nanya, tapi lupa. Hari ini kok lo
nggak kerja kelompok sama robot lo itu?" tanya Daniel, mencolek punggung tanganku.
Raise to Raise
89 891690
"Patra?"
"Yah, pakai nanya. Siapa lagi? Sekarang kan Jumat. Udah
sebulan lebih lo jarang nonton DVD di rumah gue gara-gara lo
kerja bakti sama Patra, Ngen. Pakai sok amnesia segala!"
Aku mengangguk, lalu tersenyum.
"Idih, ditanya malah senyum-senyum," protes Andrea, lalu
mengedip pada Daniel.
"Gue curiga nih, An. Jangan-jangan si Langen..."
Keningku berkerut menanti lanjutan kalimat Daniel yang
menggantung.
"Jangan-jangan apa?" tanyaku tak sabar.
"Jangan-jangan lo suka sama Patra!" jawab Daniel dan
Andrea berbarengan, seperti dikomando.
"Enak aja! Nggak usah ngaco!"
"Suka juga nggak apa-apa kok, Ngen. Berarti kan lo malah
ngasih bonus lebih ke Agatha. Bukan cuma berhasil bekerja
sama, malah lanjut sampai pacaran. Lagian si Patra orangnya
nggak jelek-jelek amat. Ya nggak, Niel?"
Daniel mengangguk pasti sambil cekikikan. Pasti mukaku
yang pas-pasan ini mulai merah. Paijo! Kenapa jadi gini sihPacaran dengan Patra? Ada-ada saja. Lagian setelah peristiwa
di pasar swalayan kemarin, aku nggak yakin bisa bicara lagi
dengan Patra. Memang selama ini aku terilusi cap dan rumor
yang beredar di sekolah. Rumor bahwa Patra sulit bergaul,
nerd, nggak normal. Yah, nggak salah juga pendapat temantemanku itu. Habis, mana ada sih orang hidup untuk matiTapi di luar semua kemisteriusan Patra, bagiku ia hangat dan
menyenangkan. Pengetahuannya luas dan kemahirannya dalam
bermusik seolah tersembunyi jauh di balik kesehariannya yang
90 901691
tertutup. Patra ibarat kristal yang tertutup bongkahan batu
keras. Kristal yang mega indah tadi juga rapuh. Makanya Patra
nggak mau sampai orang lain lihat. Ia menye?limuti dirinya
dengan batuan keras yang lama-lama menutupi seluruh
kegemilangannya.
Kalau soal tampang, ya, ehm, Andrea ada benarnya juga sih.
Patra nggak jelek-jelek amat. Buktinya Estri sempat pangling
waktu Patra mengantarku pulang dibalut outfit keren. Melek
fashion juga rupanya si Patra. Benar-benar di luar dugaan.
"Ngen?" Aku tersentak saat Daniel menepuk pundakku.
"Yah, dia bengong lagi tuh, An. Kangen ya?" Puas sekali
Daniel menggodaku sore itu. Dasar!
"Kangen-kangen pale lo?" hardikku kesal. Aku kembali terdiam. Sebenarnya hari itu aku sempat mencari Patra. Tapi dia
nggak masuk. Itu termasuk kategori kangen nggak? Nggak lah
ya, kan demi urusan kerjaan.
"Kenapa diam, Ngen?" tanya Andrea sambil mengode Daniel
agar berhenti mengejekku.
"Lo lagi berantem sama Patra?" tanya Andrea lebih serius.
"Hah? Nggak kok. Siapa yang berantem? Lagian, udah deh.
Kenapa kita jadi ngebahas Patra? Kita kan ke sini mau menyelesaikan problematika Andrea," tandasku tegas. Aku sengaja
begitu supaya kami nggak terus-terusan membahas Patra. Kalau
Andrea dan Daniel mengorek-korek info tentang Patra bisa
berabe ujungnya. Kalau tahu-tahu aku keceplosan bilang
tertarik, waaaahh... mau ditaruh di mana mukaku"Ya... iya sih. Ya udah, sambil nunggu buburnya datang, sekarang lo kasih tahu ke kita, ide lo yang katanya dahsyat itu,
Ngen," ujar Daniel kembali semangat setelah tampak kecewa
karena gagal mengiterogasiku.
91 911692
"Sip. Nih. Kalau ditinjau dari akar permasalahannya, sebenarnya yang jadi kunci kasus Andrea adalah foto sebagai bukti
bahwa si Om itu ternyata menyimpang. Dan penyimpangan itu
rupanya di?ketahui Jo..."
"Ntar, ntar dulu, Ngen. Sabar. Gue tahu bokap lo penulis.
Cowok lo ngomongnya pakai bahasa baku, tapi tolong deh,
Ngen, could you do the earth speak please? Kok jadi kayak
dengerin Pak San pidato," potong Daniel membuat kami geli.
Aku tadi memang sengaja balik mengerjainya, membuatnya
kesal.
"Lanjut. Nah, setelah seminggu mikir, supaya akar masalahnya kelar, kita harus membuat yang rahasia itu menjadi tidak
rahasia lagi."
"Whaaaaat?!" pekik kedua sahabatku kompak. Aku sampai
kaget.
"Kalau gitu mah sama aja bohong. Lo mau ngebocorin
rahasia Andrea, Ngen?"
"Bukan gitu, Niel. Jangan senewen dulu. Coba sekarang lo
pikir, kalau yang rahasia itu sudah banyak yang tahu, maka Jo
sudah nggak punya alasan untuk menekan Andrea lagi. Yang
jelas cara membuka rahasia ini bukan dengan berkoar-koar di
lapangan, ngasih pengumuman tentang kejadian mene?mukan
foto itu.
"Nah, setelah gue timbang-timbang, menurut gue cara yang
paling aman adalah dengan membuat blog. Blog ini lo anggap
aja sebagai diary lo, An. Lo tuangin aja semua perasaan dan
pengalaman lo dari sisi anak yang mengalami kejadian itu. Lo
nggak sendirian kok, An. Kalau lo sanggup ngelakuinnya pasti
banyak orang menjadi terbantu dari pengalaman lo dalam
92 921693
menerima dan memulihkan diri. Bagi orang awam, ada bagusnya juga, karena nggak semua orang punya case khusus kayak
lo gini. Mereka jadi tahu kejadian kayak yang lo alami itu butuh
penanganan khusus. Bahkan lo bilang sendiri bahwa lo mau
baikan sama bokap lo, kan? Cuma proses menuju baikannya itu
yang sulit.
"Nanti gue minta tante gue yang psikolog untuk nulis di blog
lo juga secara berkala untuk menetralisasi keadaan dengan
memberikan pemahaman yang benar tentang kejadian-kejadian
seperti itu.
"Tantangan buat lo, An, lo sendiri harus sembuh. Sembuh di
sini artinya lo ceritain prosesnya, dari mulai lo nge-gap foto
bokap lo sampai usaha-usaha lo supaya bisa menerima bokap
lo kembali. Bukannya kita membenarkan, menerima begitu saja
sikap bokap lo itu, tapi poinnya adalah raise to raise.
"Gue tahu ini nggak gampang. Mendingan bayarin aja utang
Jo, lebih cepat kelar. Ini jadi sulit karena masalah hati. Memang
sakit kalau diungkit, tapi kalau isi blog-nya keluhan doang,
curhat-curhatan, dan nangis-nangis, bahkan menolak bokap lo,
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ya sama aja blog lo nggak guna, cuma sekadar membuka aib.
Ketika lo udah jujur sama diri lo, jujur sama orang lain, lo nggak
perlu takut sama Jo. Usaha lo jadi punya nilai plus, yang dengan
sendirinya akan membungkam Jo dan teman-temannya. Kalau
lo bisa bangkit dari masalah lo ini, lo bisa membangkitkan
orang. Inget aja, raise to raise. So far, gue baru punya ide ini sih,
guys. Kok pada diem aja sih?"
Ditanya begitu, kedua sahabatku masih bengong.
"Lo pada ngerti nggak maksudnya? Jangan-jangan gue udah
ngomong panjang-panjang lo pada nggak konek."
"Ngen, sumpah ya. Gue nggak tahu apakah omongan lo itu
93 931694
tadi akibat pergaulan lo sama Patra, tapi itu tuh dalam banget,"
ujar Daniel akhirnya.
"Jadi gimana? Yah, kalau urusan konten, nanti gue bantuin,
An. Kalau desain, layout, urusan Daniel. Lo setuju nggak, AnKok lo masih diem?" tanyaku penasaran karena Andrea tak
kunjung bersuara.
Rupanya Andrea sedang menahan air matanya supaya tidak
jatuh. Aku jadi terharu.
"Gue... gue nggak bisa nolak, Ngen. Sesuai prinsip lo, kita
harus melawan mereka pakai ini," ujar Andrea serak, menujuk
dahinya, "And I like your words, raise to raise."
Aku tersenyum mendengar komentar Andrea.
Tera datang membawa pesanan kami tepat setelah prosesi
mengharu biru usai. Hmm... I also kinda like those word, raise to
raise.
94 941695
Matahari sudah tinggi saat bel rumahku berbunyi
nyaring. Aku segera berlari ke ruang tamu, lantas
cepat-cepat mengintip dari jendela. Berhubung Milo
masih menghilang, aku harus mengecek dahulu sebelum keluar
rumah untuk menyambut tamu. Aku sudah memasang poster,
mema?sang iklan di radio lokal, bahkan sampai meminta Pak RT
meng?imbau warga untuk "lihat-lihat", siapa tahu mereka
berpapasan atau melihat Milo.
Biasanya dari gonggongan Milo aku tahu siapa yang datang.
Sehubungan dengan maraknya tindakan kriminal akhir-akhir itu,
aku dilarang membukakan pintu bagi orang tak dikenal. Atas
persetujuan Bapak yang sedang menonton TV, aku pun
melangkah ke luar.
"Pagi, Mbak..." sapa cowok saat aku mendekati gerbang.
"Ya. Ada apa ya?" tanyaku sopan. Wow, ganteng juga tamunya.
"Estri ada, Mbak?"
Thank You, Pat!
95 951696
Dalam hati aku mengutuki diriku sendiri. Tadinya aku menyangka cowok itu berniat mencariku. Tapi ternyata seperti
iklan, cermin nggak bohong. Jelas jika ada cowok good looking
menyantroni rumahku, mau cari siapa lagi kalau bukan Estri.
"Ada. Sebentar ya, saya panggilkan," jawabku, lalu bersiap
masuk. Tapi tamu itu mencegahku.
"Ng... nggak usah, Mbak. Titip ini saja. Bilang saja dari
Michael," ujar si tamu sambil menyerahkan kotak berbungkus
kertas kado dan berpita ungu. Sangat manis.
"Oke," jawabku.
"Saya pulang dulu," pamit Michael sopan.
"Lho, nggak jadi ketemu Estri?"
"Terima kasih, tapi saya buru-buru," jawab Michael tetap
sopan, kemudian segera berlalu. Aku tetap berdiri di dekat
pagar sampai mobil Michael hilang di balik pagar.
"Siapa, Ngen?" tanya Bapak yang rupanya sedari tadi
mengamati dari balik jendela.
"Ada orang titip bingkisan buat Estri," jelasku sambil meletakkan kotak berpita itu di meja makan, lantas segera kembali
ke tempat favoritku, sudut dapur. Selain adem karena dekat
dengan pintu belakang, juga dekat dengan kulkas dan lemari
stok biskuit.
"Suruh Estri cek dulu tuh, jangan-jangan bom. Kan sekarang
lagi musim bom paket," saran Bapak sebelum kembali asyik
menoton TV.
Belum sempat aku melanjutkan petualangan Holmes dan
Watson, bel rumah kembali berbunyi.
"Langen, bukain pintu dong!" perintah Estri dari kamar.
"Malas. Buka aja sendiri. Sekalian turun, ngecek paket nih.
96 961697
Kata Bapak, bisa-bisa isinya bom," sahutku tak beranjak. Kalau
bukan tukang langganan susu kedelai, paling-paling cowok lain
lagi yang mau nge-date sama Estri. Kembali bel berdering
nyaring.
"Tuh, Ngen. Siapa tahu yang datang kroni-kroni lo!"
"Malas, Es. Lo aja yang buka kenapa sih?" balasku mulai
kesal, tapi kemudian kembali asyik membaca kisah duo HolmesWatson.
"Langen, ada orang nyariin lo tuh!" Kembali Estri mengganggu ketenanganku dengan berteriak dari ruang tamu. Dasar,
kebiasaan memang!
"Nggak usah bohong, orang Andrea sama Daniel lagi pada
pergi. Bilang aja lo malas buka gerba..."
"Estri nggak bohong kok!"
Aku melompat begitu mendengar suara yang sangat familier.
Suara Patra. Bagaimana bisa robot itu tahu-tahu berada di
hadapanku? Hadoh, ngapain sih dia terbang ke sini"Kak Patra ngapain ke sini pagi-pagi sih?" tanyaku panik, lalu
cepat-cepat berdiri sambil membetulkan kuciran ekor kudaku.
Gimana nggak panik, sekalinya ada teman yang datang ke
rumah, selain bukan anggota L.A.D, kok ya timing-nya nggak
bagus banget. Kalau tahu Patra mau datang, aku kan bisa siapsiap. Yah, minimal nggak ketemu dalam posisi lagi ndlosor,
tengkurap, dan rambut berantakan.
"Memangnya saya nggak boleh main ke rumah kamu, ya?"
Aku menengok ke kanan dan kiri, menyoba mencari Estri.
Mana dia? Kok bisa-bisanya Patra disuruh masuk seenaknyaDasar! Pasti dia sekarang lagi nguping dari kamar deh. Mending
ngupingnya sendiri, pasti Ibu juga diajak. Bapak juga nih
97 971698
kayaknya. Habis kok nggak kelihatan bayangan Bapak di ruang
tamu? Itu kali pertama ada cowok main ke rumahku dan mencariku, selain Daniel. Jangankan mereka, aku saja kaget kenapa
Patra tahu-tahu main. Tumben.
"Eng... kalau ngobrolnya di teras saja, nggak apa-apa, kan?"
tanyaku mencoba membujuk Patra agar bersedia keluar. Tapi
karena tak sabar, tanpa menunggu persetujuannya, langsung
kugandeng Patra keluar.
"Ada masalah apa? Kok mau repot-repot ke sini?" tanyaku
setelah memastikan Estri tidak menguping dari jendela. "Kerja
samanya dibatalin lagi? Jangan dong ya. Please. Nggak ada yang
tahu soal cerita Kak Patra kok. Jangan dibatalin ya, saya malas
satu kelompok sama Agatha."
"Saya bukan mau batalin kontrak kok. Hari ini kamu free
nggak?"
"Memang kenapa?"
"Mau ikut jalan-jalan nggak?"
Aku mendelik. Oh, robot juga perlu jalan-jalan ya"Mmm..." Aku bingung harus menjawab apa. Mau ikut
rasanya kok lucu ya? Jalan-jalan sama Patra? Kalau menolak pun
nggak ada alasannya. Hari itu aku tidak ada acara ke manamana.
"Kita nonton jazz di Universitas Nusantara Utama. Bintang
tamu?nya keren-keren deh. Tadi saya sudah ajak Chris, tapi dia
bilang ada acara."
Ya iyalah, Chris kan mau datang ke closing event SMA 5 sama
Estri. Mau nonton RAN.
"Ya, terserah juga sih. Kalau kamu repot saya pergi sendiri
juga nggak apa-apa."
98 981699
Aku masih diam, tak menjawab. Aku bingung. Sebenarnya
aku juga kepingin nonton RAN manggung, bareng Estri. Kemarin waktu mereka datang ke closing acara sekolah kan aku
nggak bisa nonton gara-gara Andrea bikin pengakuan. Tapi
nanti aku malah ngerusak dream date Estri. Kasian juga itu
anak, udah berusaha mati-matian untuk jalan sama Chris. Apa
aku ikut Patra aja ya"Perginya seharian, ya? Konsernya jam berapa?"
"Konsernya sih jam dua. Masih lama memang, tapi kalau
nemenin saya jalan dulu, nggak apa-apa, kan?"
"Ya udah," jawabku singkat.
Patra langsung menoleh.
Kok tampangnya gitu sih? Kayaknya kaget tahu aku mau
ikut"Kak Patra tunggu sini dulu, ya. Saya ganti baju dulu." Begitu
Patra mengangguk, aku langsung melenggang masuk.
Setelah berganti pakaian lima kali, akhirnya jadi juga aku pergi
dengan Patra. Entah kenapa urusan kostum jadi agak penting.
Awalnya aku mau pakai kaus biasa dan celana pendek. Kalau
nonton event jazz di lapangan gitu nanti kan desak-desakan,
banyak orang. Paling nyaman, ya, jeans sedengkul dan kaus katun.
Tapi setelah kutimbang-timbang aku takut Patra menyesal ngajak
aku jalan. Habis tadi dia rapi banget. Kayaknya nggak sepadan gitu
kalau aku bajunya kayak gini. Maka aku mencoba mengganti
atasanku dengan kaus lengan panjang ungu. Baru semenit
dipakai, si lengan panjang sukses masuk keranjang laundry. Gerah.
Cuaca hari itu panas, asyik untuk acara outdoor, tapi nggak asyik
buat si lengan panjang favoritku.
99 9916100
Aku juga sempat kepikiran pakai mini dress, tapi nggak jadi.
Aku nggak mau repot-repot jaim seharian. Kalau pakai atasan
batik, kesannya kok mau kondangan. Ujung-ujungnya aku
kembali memakai kaus biru yang pertama, tapi kini kupadukan
dengan legging hitam. Hasilnya? Nggak sampai semenit legging
menyusul si lengan panjang. Nggak cocok banget ternyata.
Karena frustrasi, aku menyerah. Segera kuambil jeans panjang
dari tumpukan celana. Aku sudah tidak terlalu peduli apa yang
dipikirkan Patra. Lagian kenapa aku harus peduli dengan apa
yang ia pikirkan? Yang penting aku nyaman. Toh bajuku nggak
bolong atau mengundang. Biarlah si Patra mau bilang apa.
Rambut sebahuku lekas-lekas kukucir satu supaya kalau nanti
asyik bergoyang nggak megar kayak singa. Setelah memasang
kalung berliontin kamera perak mungil dan sapuan bedak tabur
tipis di wajah, aku siap berangkat.
CD player mengalunkan rangkaian petikan gitar begitu mobil
berjalan.
"Sukiyaki?" tebakku setelah menyimak melodi yang terdengar.
"Kok tahu?" tanya Patra takjub.
"Ya tahulah. Yang mainin siapa nih?" tanyaku balik. Aku jadi
heran, kenapa Patra bisa takjub gitu sih"Jubing," jawab Patra singkat. Matanya lalu memperhatikanku, seolah menanti reaksiku.
"Oh, ya? Berarti sama kayak punya saya di rumah."
"Ngoleksi juga?" Lagi-lagi Patra bertanya dengan nada takjub.
"Baru punya tiga sih. Yang kovernya hijau belum punya." Aku
berhenti sejenak, balik menatap Patra. "Kenapa sih?" tanyaku
tak tahan. Memangnya dari tadi aku salah bicara100 10016101
"Nggak. Saya heran aja, kok kamu tahu. Habis lagu ini kan
nggak lagi bOming. Yang main juga nggak banyak yang tahu."
"Emang harus nunggu bOming dulu baru boleh tahu?"
"Nggak juga. Saya kaget saja, kok kamu tahu. Kirain kamu
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengerinnya lagu zaman sekarang, Lady Gaga, Katty Perry, gitugitu. Tadi malah mau saya ganti ke radio. Habis saya nggak
punya lagu-lagu kayak gitu."
"Jangan. Jangan diganti, ini aja," cegahku, kemudian kembali
menikmati pemandangan di luar.
"Memangnya tadi kamu ada rencana ke mana hari ini?"
"Hah?"
"Kok tadi waktu saya ajak, mikirnya lama?" Oh, Patra
memperhatikan rupanya. Oh ya, aku lupa. Dia kan smart robot.
Daya tangkapnya bagus, soalnya sensornya sensitif dan awas.
"Tadinya saya mau nonton RAN. Tapi Daniel sama A?an pergi.
Mau berangkat sama Estri, eh dia malah ngajakin Chris."
"Jadi Chris pergi sama Estri?"
"Lho, memangnya baru tahu?"
Patra mengangguk mantap. "Terus kenapa akhirnya mau
jalan sama saya?"
Aku melirik Patra, kesal. Dasar robot! Kirain programnya
lengkap. Pertanyaan kayak gitu kok ditanyain ke cewek sihNggak tahu apa, cewek kan malu jawabnya. Programnya nggak
beres. Pasti kelupaan nginstal.
"Nggak usah ge-er deh. Saya mau ikut situ karena saya
nggak mau ngerusak dream date Estri. Dia tuh naksir berat
sama Chris." Mendadak aku ingat surat cinta yang tertinggal di
fail biruku."Oh, jangan salah sangka ya, yang nulis surat cinta
buat Chris itu Estri, bukan saya. Hari itu dia nitipin surat itu,
101 10116102
soalnya malu ngasihnya. Tapi failnya malah ketinggalan. Fail biru
yang Kak Patra temuin itu lho," jelasku panjang lebar,
mengklarifikasi data di kepala Patra. Nah, kalau sudah tahu data
yang valid, dia nggak bakal ngasih virus aneh-aneh ke Chris.
"Oh."
"Kok cuma oh?"
"Kamu kepingin saya bilang apa? Saya aja nggak tahu kamu
lagi ngomongin surat yang mana."
"Lho, di fail biru yang ketinggalan di rumah Kakak dulu
nggak ada suratnya?"
Patra menggeleng. "Nggak ada tuh."
"Oh." Kukira suratnya ada di situ. Jadi suratnya ke mana
dong? Gawat! Aku kan telanjur bilang bahwa suratnya sudah
kukasih. Aku kembali melihat Patra, mendadak aku punya ide
cemerlang. "Kak Patra mau bantuin saya nggak?"
"Bantu untuk..."
"Deket-deketin Chris sama Estri. Kan Kak Patra deket sama
Chris. Promo-promoin Estri dikitlah. Dia naksirnya udah lama
lho. Oh ya, terus kalau ada kesempatan kayak gini, yah, gini aja
terus. Supaya mereka bisa jalan bareng." Hebat kan ideku.
Siapa dulu? Langen!
"Hmm... bukannya supaya kamu bisa jalan sama saya?"
Aku melotot bulat-bulat. Patra kenapa sih? Programnya kok
error semua? Kabelnya ada yang putus ya? Lho, malah senyumsenyum lagi si Patra. Wah, IC-nya korslet.
"Heh, kenapa mikir gitu sih? Maksud saya, kalau Kak Patra
nggak sering-sering ngajak Chris jalan, kan Estri jadi lebih
gampang pedekatenya." Karena terlalu semangat mengomel,
aku nggak sadar ternyata kami sudah sampai.
102 10216103
"Ayo, turun. Udah sampai, Non. Jangan marah-marah terus
ah!" ujar Patra segera mematikan mesin mobil. Masih sedikit
kesal, aku segera turun mengikutinya.
Lapangan Universitas Negara Utama sangat ramai saat kami tiba
siang itu. Begitu karcis didapat, kami cepat-cepat menyusup di
celah-celah lautan manusia yang memenuhi lapangan. Maklumlah,
bintang tamu Jazz Goes to Campus oke punya, makanya
penonton sam?pai melimpah ruah begitu.
Acara dibuka grup band favoritku, Abdul & The Coffee Theory. Mas Abdul yang saat pertama kali muncul mengenalkan diri
sebagai solois, memang sekarang meraih sukses berat dengan
grupnya yang asoy. Nggak sia-sia memang aku ikut Patra. Abdul
makin loveable saat membawakan lagu Loveable. Grup musik
yang sanggup membuatku kejang-kejang itu melanjutkan
aksinya lewat lagu Beauty is You. Lagu catchy dengan nuansa
bossanova ini sanggup membuatku berdendang ria. Penonton
bersorak sorai saat Abdul mengakhiri penampil?annya dengan
lagu Aku Suka Caramu.
Sebagai pengantar menuju sore banyak musisi tampil. Salah
satunya Maliq & D?Essential. Mereka sukses memberikan penampilan spesial hingga penonton segan beranjak dari tempat.
Menjelang pukul empat, penonton disuguhi penampilan Fariz
RM yang sudah lama tidak tampil di hadapan khalayak. Om
penyanyi kondang Sherina Munaf tersebut membawakan lagulagunya yang sempat hit pada akhir 80. Berbalut kemeja merah,
Fariz tampil prima dan semringah membawakan lagu-lagu lawasnya, seperti Nada Kasih, Sungguh, Barcelona, dan masih banyak
103 10316104
lagi. Sebenarnya aku nggak terlalu tahu lagunya sih, tapi yah,
ikut seru-seruan aja. Beda dengan Patra yang ternyata hafal
semua lirik lagu Mas Fariz. Ketahuan nih, si Patra nge-fans
berat.
Penampilan Fariz semakin panas. Barry Likumahuwa dengan
grup yang diketuainya, Barry Likumahua Project, ikut berkolaborasi dalam lagu Sakura. Dalam kesempatan itu Fariz RM pun
mengutarakan rencananya untuk kembali ke dunia musik
Indonesia dan akan segera meluncurkan singel terbarunya.
Nah, yang paling membuatku luluh lantak tak berdaya adalah
penampilan Teuku Adifitrian atau lebih dikenal sebagai Tompi,
yang dengan sangat dramatis menutup acara musik hari itu
dengan lagu pamungkasnya, Aku Jatuh Cinta. Nggak tahu juga
kenapa jadi sentimentil gini. Apa karena memang mood-ku lagi
bagus, kemudian didukung semburat langit senja yang membuat
suasana jadi hangat, sehingga lagu Mas Tompi jadi kedengeran
lebih enak? Apalagi di sampingku sedari tadi Patra juga ikut
bersenandung. Kami sama-sama menyanyikan lagu-lagu yang
dikumandangkan Tompi. Sebagai exception, lagu terakhir aku
nggak ikut nyanyi. Habis, setelah ikut nyanyi satu bait aku
merasa tersinggung. Kayaknya liriknya ngeledek gitu. Dengerin
aja.
Hari ini aku telah jatuh cinta
Tak kan mampu aku menyangkalnya
Jatuh cinta kepadamu
Sosok sering menjengkelkan aku
Sering menggangguku
Kaupermainkan rasa hatiku
Namun kini aku berbalik
104 10416105
Jatuh cinta dan bernyanyi
Lalalala...
Mau tahu kenapa aku jadi tersindirBanyak alasan.
Salah satunya karena Patra terlihat lebih keren hari itu.
Penjelasannya, sampai detik itu aku nggak tahu kenapa Estri
sampai bisa terkagum-kagum sama Chris? Karena gantengNggak juga ah! Kalau menu?rut teori Daniel, orang bisa kelihatan
lebih cakep ketika kita jatuh cinta. Dan, Bapak, Ibu, Saudara
sekalian, sekali lagi kuumumkan, hari itu Patra keren banget.
Beneran deh.
Dengan polo shirt dan celana khaki plus kacamata hitam yang
menghiasi wajah mulusnya, kayaknya kata keren nggak cukup.
Ganteng. Hmm, ya bolehlah. Apalagi kalau lihatnya dari
tempatku sekarang berdiri. Beh! Tiap kali Patra melompat,
kayak ada efek-efek cahaya matahari gitu lho. Untung kulitnya
nggak berkilau-kilau. Kalau iya, aku bisa pingsan.
Nah, nah... belum habis kedongkolanku, eh, udah sampai reff.
Mana liriknya malah lebih nyentil pula. Emang nih Mas Tompi
sengaja ngeledek.
Aku jatuh cinta kepada dirimu
Orang yang tak pernah kubayangkan
Tak pernah kumimpikan
Untuk bisa jadi pacarku
Jatuh cinta sama Patra? Tidak mungkin terjadi. Dia berubah
jadi robot ganteng pasti karena efek aku nonton gratisan.
Karena dia bayarin aku nonton acara seru seperti itu. PacaranHahaha. Nggak bakal deh ada ceritanya aku jatuh cinta. Jatuh
bangun sih iya.
105 10516106
"Acaranya udah kelar, Ngen. Kita langsung balik sekarang,
ya." Patra menepuk bahuku, "Langen? Kok bengong sih?"
"Hah? Denger kok! Kenapa pulang sekarang? Saya mau fotofoto dulu."
"Sama siapa?"
"Ya sama bintang tamunyalah, masa sama Kak Patra? Tuh,
lihat tuh, Tompi udah turun panggung. Tadi kan ada Abdul juga.
Saya mau foto dulu."
"Nanti kita nggak bisa pulang, Ngen. Keburu macet di
depan."
"Alaaah... sebentar aja deh. Biar bisa pamer sama Daniel,
sama A?an. Boleh ya... please..."
"Tapi pulang sendiri, ya!"
Aku merengut. Wajah melasku nggak ampuh. Aku nggak jadi
jatuh cinta. Yang bener aja, masa aku disuruh pulang sendiriAku aja nggak tahu itu di daerah mana. Seolah mengetahui aku
buta arah, Patra langsung menarik tanganku.
Mau tak mau harus kuakui ucapan Patra ternyata ada benarnya juga. Kami yang langsung cabut saja kewalahan mengantre
keluar parkir. Kalau aku nekat pulang lebih sore, pasti beneran
kena macet. Apalagi jalan di depan kampus itu memang
terkenal padat merayap.
"Kamu lapar nggak?" tanya Patra saat akhirnya kami berhasil
keluar dari area kampus.
Aku tidak segera menjawab. Aku sedang mengurut telapak
kakiku.
"Kenapa?" tanya Patra karena aku tak kunjung bicara.
"Keiinjek," jawabku singkat tanpa memandang Patra.
"Tuh kan, coba kalau tadi kita molor, bisa lebih desak-desakan lagi, Ngen. Sakit banget?"
106 10616107
Aku mendongak, kaget. Kukira Patra akan meledekku seperti
biasa. Tapi kali itu buntutnya beda. Ah, Langen! Ke-ge-eran
banget sih! Yah jelaslah dia bakal ngomong begitu, kan sudah
terinstal program berbicara sopan dan santun. Kayak baru kenal
Patra saja!
"Kaki kamu nggak kenapa-kenapa?"
Pertanyaan itu diulangi lagi"Nggak apa-apa kok. Jempolnya ngilu sih, dikit," jawabku
pelan, mencoba terdengar biasa. Kalau Patra sikapnya kayak
gini terus, aku bisa kecantol lagi nih. Gawat. Halo Patra, boleh
usul nggak? Kayaknya kamu perlu diservis deh. Please, setop
bersikap sok baik gini!
"Kamu lapar nggak, Ngen?" Astaga. Pertanyaan yang ini juga
diulang? Kirain tadi cuma formalitas. Oh, great.
"Gimana kalau sebelum kamu pulang, kita makan dulu?"
Thanks God, untuk urusan makanan ternyata program Patra
masih jalan. Aku mengangguk sambil memamerkan jempol.
Setuju.
"We?re going to the best restaurant in town!" ujar Patra
semangat, lalu mempercepat laju mobil.
"Where?" tanyaku singkat. Sekadar memastikan ke mana
kami akan pergi. Aku nggak bawa banyak uang, kalau best
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
restaurant gitu kan mahal? Masa mau minta dibayarin Patra
lagi"My place," jawab Patra sambil tersenyum manis sekali.
Aku terdiam. Tak sanggup berpikir jernih. Duh, Patra, bisa
nggak kita ke tukang servis aja. Kalau kamu bertingkah kayak
gini terus, aku bisa semaput.
107 10716108
"Kakak yang masak?" tanyaku tak percaya saat Patra langsung
memakai appron sesaat setelah kami tiba di apartemennya. Aku
sengaja memakai kata appron. Bukan sok bule, tapi appron beda
dengan celemek. Appron hanya menutupi bagian pinggang ke
bawah. Dengan atasan kemeja putih bersih, Patra jadi kelihatan
seperti chef.
"Mau makan apa? Makaroni, canelloni, spageti, ravioli, atau
fettucini?" tanya Patra sambil membuka rak khusus penyimpanan pasta mentah. Aku benar-benar tercengang. Segala
macam jenis pasta dengan berbagai warna tersimpan rapi di rak
tersebut.
"Gile, Kak Patra jualan?" tanyaku benar-benar takjub.
"Nggak, kakek saya hobi makan pasta. Jadinya saya stok
banyak. Soalnya saya lebih suka bikin sendiri, bisa dimacemmacemin. Kalau pesen khusus vegetarian mahal, Ngen."
"Bedanya apa?" tanyaku bingung sambil memperhatikan
macam pasta yang dikoleksi Patra. Bukannya semua pasta rasanya sama? Hanya beda di tekstur dan bentuk.
"Ya beda dong, Ngen. Pilihan kamu menentukan lamanya
saya masak juga."
"Oh, ya? Kalau makaroni berapa lama masaknya?" tanyaku
tanpa bermaksud ngetes. Aku malah nggak tahu soal beginian.
"Makaroni direbus dua belas menit, kalau canelloni sepuluh
menit. Fetucini dan spageti sama-sama butuh dua belas menit.
Jadi Langen, kamu mau makan apa?"
Aku benar-benar bingung. "Hmm, fetucini saja deh."
"Ada tiga pilihan, mau smoked beef, marinara sauce, atau
carbonara?" tanya Patra, lagi-lagi membuat dilema. Semuanya
kan enak-enak.
108 10816109
"Memang bumbunya juga boleh milih?"
Patra mengangguk dalam-dalam.
"Baik amat. Hmm, saya nggak tahu mau pilih apa. Terserah
rekomendasi chef saja," ujarku sambil menepuk-nepuk pundak
Patra.
"Baiklah. Satu porsi fettucini carbonara buat kamu, dan satu
porsi fettucini tripple mushrOm buat saya."
Kalau dilihat dari kelengkapan bahan, pengetahuan tentang
resep, dan keahlian memasak, kayaknya Patra memang benarbenar hobi memasak. Bukan yang sekadar iseng-iseng.
"Nggak pernah lihat orang masak pasta, Ngen?" tanya Patra
sambil mempersiapkan bahan-bahan yang ia perlukan. Aku
cuma tahu sedikit. Itu pun bukan hasil belajar, tapi gara-gara
aku suka nonton serial drama A Pasta in Love.
"Seharusnya anak-anak di sekolah itu nggak bilang macammacam sebelum kenal sama Kak Patra," ujarku sungguh-sungguh kagum, melihat Patra mengocok lepas telur, double cream,
merica, dan garam. Persis sekali dengan yang diperagakan di
"Memangnya mereka bilang apa?" Patra balik bertanya
sementara tangannya mempersiapkan panci untuk merebus
fettucini.
"Macam-macam," jawabku diplomatis, nggak mau terlalu
spesifik, "tapi pasti mereka nyesel banget kalau tahu Kak Patra
orangnya kayak gini."
"Kayak gini gimana?"
"Ya, bisa macem-macem gini. Masak misalnya."
Patra hanya tersenyum, lalu kembali asyik dengan masakannya. Kini ia sibuk mencincang parsley. Itu lho, daun peterseli.
109 10917110
Setelah mencincang, Patra mencuci dan memasukkannya ke lap
bersih, kemudian memerasnya. Itu cara yang digunakan Patra
supaya parsley kering sehingga menyebar saat ditaburkan dan
tidak menggumpal.
Aku tak tahan untuk tidak bertepuk tangan sewaktu melihat
Patra unjuk aksi saat menggoreng smoked beef yang telah
dipotongnya rapi, berbentuk persegi panjang. Dengan penuh
percaya diri Patra mengangkat wajan dan melempar daging
asap yang sedang digorengnya, dan... hap! Daging-daging
kembali masuk ke wajan dengan selamat. Benar-benar mahir
sekali robot satu itu.
"Seharusnya aksi yang tadi saya rekam, ya," sesalku sambil
mencari-cari handphone di kantong celanaku.
"Buat apa?" tanya Patra sambil meniriskan daging tadi.
"Dipamerin, biar semua orang benar-benar percaya bahwa
Kak Patra jago masak. Bang! Semua gosip ngaco tentang Kak
Patra pasti lenyap," jelasku, lalu memoto Patra. Tapi hasilnya
kurang bagus, soalnya dia gerak-gerak terus sih.
"Setelah semua bahan diaduk, tunggu dioven sebentar, baru
deh kita makan malam bareng." Setelah memasukkan campuran
krim, telur, merica, dan garam ke pinggan berukuran sedang
dan menyisihkan sedikit bagian ke mangkuk kaca yang lebih
kecil, Patra mencampurkan rebusan fettucini ke kedua wadah
tersebut. Patra menambahkan smoked beef ke pinggan sedang
dan memasukkan potongan jamur kancing, jamur merang, dan
shiitake ke mangkuk kaca kecil. Tangannya terhenti ketika ia
hendak menabur keju cheddar parut dan parmesan cheese ke
pinggan sedang.
"Kamu nggak lagi diet, kan?" tanya Patra dengan kening
berkerut.
110 11017111
"Nggak," jawabku cepat karena tak mau Patra mengurangi
porsi kejuku. "Selalu ada excuse deh kalau berurusan dengan
keju."
Patra tertawa lepas begitu melihat mimikku. Keju dalam
genggamannya ia taburkan banyak-banyak ke pinggan dan
mangkuk kecil.
"Kenapa yang smoked beef bikinnya banyak banget?"
tanyaku sambil ikut berjongkok saat Patra memasukkan pinggan
dan mangkuk kaca tahan panas ke oven.
"Kakek saya juga mau. Awalnya Kakek mau ikut makan
bareng, tapi ternyata kalah main catur. Jadi dia harus nganterin
temannya pulang. Kakek pesan, kita makan duluan saja."
Aku mengangguk. Sebenarnya kalau boleh milih, aku maunya
sih makan bertiga. Kalau ada si Kakek, paling tidak pikiranku
jadi terkontrol. Kalau cuma makan berdua dengan Patra begini,
bisa-bisa lagu Mas Tompi yang terakhir tadi bereaksi lagi racunnya.
Aroma pasta yang baru keluar dari oven sungguh menggugah
selera. Aku mengurungkan niat untuk menyesali makan malam.
Pasta yang baru matang jelas akan sia-sia kalau dimakan
setengah hati.
Aku membantu Patra menyiapkan piring, lalu meletakannya
di meja makan. Ketika Patra menuangkan fettucini untukku, aku
tak sanggup lagi menyembunyikan kegembiraan. Asap yang
mengepul jelas tak mampu menyembunyikan bola mataku yang
membesar kegirangan. Ah, terserahlah si Patra mau ngomong
apa. Mau bilang aku fettuciniers gendut, atau cewek gila keju,
atau apalah... Tapi siapa sih yang nggak semringah kalau dibuatin fettucini khusus begini dan boleh nambah topping keju
tanpa bayar111 11117112
"Enak nggak?" tanya Patra dengan mimik ingin tahu saat aku
memasukkan gulungan fettucini carbonara ala Chef Patra.
"Rasanya lembut, tapi tetap cukup padat untuk digigit,"
jawabku menganalisis sambil tetap menikmati saus yang
menempel di lidahku. "Al dente!" tandasku sambil menirukan
gaya kritikus masakan di TV. Terlalu jujur? Yang jelas masakan
Patra enak dan harus diakui. Apakah itu membuat aku terlihat
seperti cewek yang gampang dirayu dengan masakan atau
cewek tidak jaim? Ah, aku nggak peduli. Lagian sejak kapan
Patra merayu aku? Ada-ada saja otakku.
"Coba teman-teman di sekolah tahu Kak Patra aslinya kayak
gimana? Si Sabrina, Inet, Dira tuh. Pasti langsung dibungkus,
dibawa pulang."
Lagi-lagi Patra tertawa. "Kok dibungkus?" tanya Patra dengan
raut geli.
"Iya. Ini sih tipe cowok disayang mertua. Udah pinter, jago
musik, ahli masak, kurang apa coba? Mama-mama seneng ini.
Pasti kalau ngapel nggak ditanya macam-macam. Malah diajak
masak bareng. ?Oh, Nak Patra? Ayo masuk, Nak. Udah bawa
bumbu rendang pesenan Ibu? Bapak suka banget makan
rendang?," Aku mencoba berkomentar serius dengan menirukan
suara ibu-ibu di kalimat terakhirku. Maksudnya supaya lebih
meyakinkan, tapi Patra malah semakin terbahak-bahak.
"Memangnya bisa begitu?" tanya Patra, lalu beranjak dari
meja makan, mengambil dua kaleng cola dingin dari kulkas.
"Memang belum pernah dicoba ke pacar Kakak?" tanyaku
balik.
"Saya nggak punya pacar, Ngen."
Oh, iya! Aku lupa. Patra kan robot. Nggak bisa jatuh cinta
112 11217113
"Kalau saya coba ke mama kamu gimana?" Pertanyaan Patra
sukses membuatku keselek.
"Sama Ibu, ya? Hmm... Yah, kalau sama Ibu mah bukan cuma
dibungkus. Tumbu entuk tutup alias gayung bersambut. Ibu bisa
minta kopi resep, tanda tangan, atau bahkan foto bersama.
Soalnya saya sama Estri nggak bisa masak secanggih Kakak.
Boro-boro masak pasta, yang terakhir saya mau masak pepes,
daunnya gosong kebakar."
Aku menyandar ke kursi makan seusai menyantap hidangan
malam hingga tak bersisa. Maksud hati sih ingin santai-santai
dulu. Perut kenyang, hati senang, pikiran jadi melayang. Tapi
begitu melihat Patra berdiri, aku langsung membatalkan niatku.
Segera kuambil alih piring kotor bekas makan Patra dan
kutumpuk di atas punyaku.
"Saya yang cuci piring deh. Kalau cuci piring saya expert."
Satu demi satu kucuci piring kotor, juga peralatan bekas
memasak yang tadi digunakan Patra, sementara si robot idaman
itu bergegas membereskan meja makan dan menyimpan pasta
yang ia sisihkan untuk Kakek.
Setelah semua bersih, buru-buru kuhilangkan sisa sabun yang
menempel di tanganku. Sekarang sudah jam delapan, aku harus
pulang.
"Jangan pulang dulu, Ngen," cegah Patra saat melihatku
bersiap-siap, "Tunggu sebentar lagi, ya? Lima menit lagi deh.
Orangnya terlambat."
"Hah?" Bahasa planet Patra kumat lagi nih. Ngomong apa
tadi dia"Barang-barang kamu ada yang tertinggal nggak?"
Aku menggeleng.
113 11317114
"Kalau gitu kita turun sekarang yuk. Kayaknya sama petugas
di bawah dia nggak dikasih naik ke sini. Sekarang orangnya
nunggu kita di bawah." Patra terus bicara sementara tangannya
sibuk mengecek kompor dan menyambar kunci mobil dari atas
kulkas.
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Orangnya siapa?" tanyaku tak sama sekali mengerti.
"Kejutan. Habis itu saya langsung antar kamu pulang," jawab
Patra tetap nggak jelas, lalu menggandengku keluar.
Aku termangu, tapi bagai kerbau dicucuk hidungnya, aku
mengekor Patra. Kaget saja tidak cukup untuk merespons
jawaban singkat Patra barusan.
Kejutan? Patra punya kejutan buatku? Yang benar saja? Orang
itu siapa? Pengantar baju? Bunga? CD? Petugas yang akan mencharge-ku untuk semua kesenangan yang kurasakan hari ituTing!
Kami tiba di ground. Kegalauanku terjawab. Aku mendengar
gonggongan yang sangat kukenal begitu kami berjalan ke arah
pintu masuk. Aku benar-benar tak memercayai penglihatanku.
Itu Milo.
Tanpa ba-bi-bu lagi, persis seperti adegan di film-film anjing,
langsung kusongsong golden retriever kesayanganku itu.
"Ketemu di mana?" tanyaku tak percaya sambil memperhatikan dog-tag yang melingkar di leher Milo. Ini sungguhsungguh Milo.
"Sebenarnya Milo sudah ketemu sejak saya pulang makan
bubur ayam bareng kamu." Patra terdiam melihat perubahan
raut mukaku yang pasti kelihatan ingin membunuh. "Jangan
marah dulu, Ngen. Waktu ketemu, kaki Milo luka, nggak bisa
jalan. Jadi saya bawa ke dokter hewan dulu. Lagian awalnya
114 11417115
saya juga nggak yakin ini Milo yang kamu maksud. Hari ini Milo
sudah boleh pulang. Saya minta petugasnya untuk mengantar
Milo ke sini supaya bisa langsung kamu kenali. Ini Milo bukanJadi kamu jangan marah sama saya ya, Ngen."
Sebenarnya penjelasan Patra agak lucu juga sih. Kalau dia
belum yakin ini Milo, kenapa dibawa ke dokter hewan? Sampai
membiayai rawat inap segala"Saya harus bayar berapa?" tanyaku merem-melek. Milo
sedang mengendus-endus bajuku. Mungkin dia memastikan aku
benar-benar Langen yang dia kenal.
"Nggak usah bayarlah. Jangan hilang lagi," jawab Patra
ringan sambil ikut berjongkok, membelai Milo.
Mendadak semua kebencian, kekesalan, dan semua yang
jelek-jelek tentang Patra menguap dari otakku. Patra yang
berjongkok di depanku adalah cowok terbaik yang pernah aku
kenal.
"Thanks, Pat!" ujarku penuh arti, lalu mengecup pipi Patra.
115 11517116
AMAR Daniel yang biasanya rapi, sore itu menjelma
menjadi kapal pecah. Aku dan Daniel sedang membuat
poster sebagai bentuk dukungan bagi Andrea yang besok
mengikuti turnamen basket.
"Aaaa!!!"
"Woooii! Lo kenapa teriak-teriak gitu sih, Ngen?" tanya Daniel
yang sedang tengkurap, asyik menghias poster buatannya.
"Cuma ngetes suara. Kayaknya suara gue lagi prima banget.
Jadi besok gue siap jerit-jeritan di tribun."
"Poster lo udah jadi belum?" tanya Daniel, asyik menghias
tulisannya dengan spidol berwarna.
"Belum, gue nggak tahu mau gambar apa lagi. Tadinya gue
mau gambar cewek dengan tangan terkepal kayak orang lagi
demo gitu, Niel. Tapi gue nggak bisa. Gambarin dong, Niel."
"Nggak mau ah, ini kan kreasi masing-masing."
"Idiiih... pelit amat! Ini kan nggak dinilai, Niel." Percuma,
Daniel semangat sekali menghias poster buatannya. Dia nggak
bakal mau membantuku.
Kenalkan,
Ini Cewek Saya
116 11617117
"Timbangan lo di mana, Niel?"
Daniel menunjuk kolong spring bed.
"Pinjem ya, Niel."
Daniel mengangguk, mengiyakan.
"Lo besok mau ikut pulang sama gue nggak, Ngen?"
"Hmm, nggak tahu, Niel."
"Lho, kok nggak tahu? Emangnya lo mau pulang sama
siapa?"
"Besok gue disuruh ke apartemen Patra, Niel. Nih, barusan
dia SMS." Kuulurkan tangan agar Daniel bisa membaca tulisan
di screen handphone-ku.
"Ngapain? Kan besok Minggu. Minggu, Ngen. Masa iya
Minggu masih disuruh kerja bakti juga sih?"
"Nggak disuruh ngerjain lagu kok. Disuruh mampir aja.
Katanya, mau makan siang sama kakeknya juga."
"Duile, udah jadi calon cucu-in-law yang baik, pakai makan
siang sama Kakek. Lagian emangnya lo udah baikan sama PatraKata lo, hubungan lo lagi renggang," aku mencibir.
"Nggak usah sotoy deh lo. Renggang-renggang apanyaKapan gue bilang gue berantem sama dia?"
"Lha, pas lagi makan bubur ayam minggu lalu, lo diam aja
pas ditanyain soal Patra. Biasanya kan lo semangat menghina
dia. Apa lagi coba kalau nggak berantem? Lo nggak usah
ngeles, gue tahu kalian berantem. Gue kan sanggup membaca
pikiran wanita."
"Pale!" umpatku, lalu melemparkan bantal ke kepala Daniel.
"Gue nggak lagi marahan sama Patra, Niel, dan nggak bakal
ngatain dia lagi. "
"Kenapa tiba-tiba lo jadi belain Patra?"
117 11717118
"Soalnya sebenarnya Patra emang nggak secacat yang gue
kira. Ternyata dia baik kok, baik banget malah. Kalau nggak
baik, nggak mungkin dia ngajakin gue nonton Jazz Goes to
Campus Sabtu lalu. Udah diajak nonton, dimasakkin... Eh, dia
jago masak lho. Dia bisa masak pasta kayak di restoran gitu.
Terus dia juga bayarin biaya pengobatan Milo. Dia yang nemuin
tuh di Gang Asem. Kalau nggak baik, mana mungkin dia
nolongin Milo?"
Tubuh Daniel menegang. Pandangannya tajam menatapku.
"Lo pergi ke event begituan berdua sama Patra?"
Aku mengangguk pelan. Kok Daniel tampangnya kayak gitu
sih"Cuma berdua? Estri nggak ikut? Chris?"
Aku menggeleng ketakutan. Harus kuakui, acara pergi berdua
kemarin memang kesalahan besar, pasti Daniel mau memarahiku.
"Terus lo dimasakkin sama dia?"
Aku kembali mengangguk pelan.
"Di rumahnya?"
"Kenapa sih lo tanya-tanya gitu, Niel?"
"Gila! Itu namanya pertanda, Ngen! Pertanda yang sangat
jelas."
"Pertanda apa sih, Niel? Kok lo jadi kayak dukun gitu ngomongnya?"
"Masa lo nggak liat pattern-nya sih, Ngen? Pertama, dia bisa
ngobrol bebas sama lo. Kedua, dia ngajak lo ke event jazz,
event yang lo suka. Terus dia masakin lo, masakin khusus buat
lo. Jarang-jarang cowok ngundang cewek ke rumahnya buat
pamer masakan gitu. Terus dia bayarin biaya pengobatan Milo.
118 11817119
Dan besok dia mau ngajak lo makan siang sama kakeknya. Itu
kalau lo nggak ngeh sih, lo yang kebangetan, Ngen!"
"Kesimpulannya dia baik. Bener kan kayak yang tadi gue
bilang?"
"Duh, Ngen, elo ranking satu tapi kok lemot gini sih? Itu
artinya si Patra suka sama lo!"
Aku ternganga.
"Siaul lo, Niel! Patra mana bisa jatuh cinta? Dia kan nggak
punya hati, punyanya IC."
"Kok siaul sih? Dih, itu mah kentara banget bahwa Patra suka
sama lo, Ngen! Ya udah, hajar aja, Ngen! Jangan disia-siain,
Ngen. Kalau gitu besok gue anterin aja ke rumahnya. Beres,
kan?"
"Beres sih beres, tapi gue nggak enak ketemu Patra sekarang, Niel. Gue malu." Gimana mau nggak malu kalau ingat apa
yang kulakukan padanya setelah ia membebaskan segala biaya
pengobatan Milo"Astaga, Ngen. Lo kesambet, ya? Sejak kapan lo pakai acara
malu-malu segala ketemu sama Patra?" Mimik kaget jelas-jelas
terpancar dari wajah sahabatku. "Jangan-jangan lo suka nih
sama Patra."
"Nggak!" bantahku segera.
"Kalau gitu temuin aja, kenapa malu? Kalau lo nggak mau
ketemu dia setelah semua kebaikannya lo terima, nanti dia pikir
lo nggak tahu terima kasih, Ngen."
"Ya iya juga sih. Tapi gimana dong, habisnya kemarin gue
keceplosan nyium dia, Niel?"
Daniel melompat seketika mendengar penuturanku. Mulutnya
terbuka lebar dan matanya seolah mau keluar. Oke, aku salah
bicara.
119 11917120
"Barusan lo bilang apa, Ngen?"
"Nggak, gue nggak bilang apa-apa," jawabku pura-pura amnesia.
"Nggak usah bohong! Lo bikin skandal ya sama si Patra! Gile,
gue nggak nyangka, Ngen. Ternyata lo diam-diam ya... ckckck..."
"Ih, sabar dulu dong, Niel. Lo jangan salah sangka. Lagian
urusan nyium itu benar-benar di luar akal sehat, benar-benar
nggak sengaja. Maksud gue, kayak keceplosan gitu lho. Lo juga
jangan mikir macem-macem. Gue nyiumnya di pipi. Bukan di
bibir kayak di film-film gitu. Itu juga keceplosan. Beneran deh.
Orang habis nyium gue juga kaget. Gue kabur habis nyium
dia."
"Lo langsung lari habis nyium dia?"
Aku terdiam, takut kalau salah bicara lagi. Tapi saat Daniel
hendak berbicara, aku langsung memotongnya, "Habis kan gue
malu, Niel. Gue seret aja si Milo, terus buru-buru naik taksi,
pulang."
Wajah gahar Daniel berubah drastis. Evil smile tersungging
begitu jelas di wajahnya.
"Oh... gue tahu sekarang, kenapa lo dari kemarin ngehindar
mulu dari Patra. Pas di koridor lo langsung ke toilet. Pas udah
nyampe parkiran, lo ngumpet di belakang pohon. Pakai acara
pura-pura sakit perut supaya nggak latihan bareng Patra.
Ternyata karena ciuman maut ini toh?"
"Jangan gitu dong, Niel! Kan itu hanya sebagai tanda terima
kasih, bukan karena nepsong!"
"Cie... Langen, suka sama Patra nih ye! Udah, besok gue
anterin, terus lo bilang aja lo mau jadi pacar dia." Lagi-lagi Daniel menggodaku.
120 12017121
"Heh! Nggak usah ngaco deh! Lagian kalau gue suka sama
Patra mana bisa begitu sih, Niel?"
"Sekarang zaman modern, Ngen. Zaman kaum wanita bisa
jadi astronot, presiden, dan pilot. Pada abad ini cewek nembak
cowok duluan udah halal kok. Jadi gue saranin lo bilang aja ke
Patra bahwa lo suka dia."
"Cukup, Niel," pintaku sambil berkacak pinggang. "Dia robot,
please. Nggak usah macem-macem."
"Lo pilih mana, pacaran sama robot tapi baik hati atau sama
orang kayak Jo, romantis tapi psikopat?"
DUG! Karena sudah tak tahan kutinju Daniel supaya berhenti
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengoceh.
"Kan udah gue bilang cukup, Niel," balasku saat Daniel
protes, merasa diperlakukan tidak adil.
Dengan kondisi permainan tak berimbang, dengan mudah tim
basket putri SMA 1 mengakhiri pertandingan dengan kemenangan
mutlak. Aku sendiri justru dari tadi tidak terlalu memperhatikan
jalannya pertandingan. Aku kurang suka menonton pertandingan
basket putri. Kurang seru, habis sebentar-sebentar bolanya
dirangkul. Nggak tektok seperti basket putra. Ini kalau bukan
Andrea yang lomba, aku sebenarnya malas duduk di lapangan
panas-panas. Tapi demi Andrea, aku rela.
Begitu pertandingan usai, Andrea langsung cabut. Bersama
anggota tim basketnya, ia akan merayakan kemenangan bersama di restoran sushi. Aku dan Daniel jelas nggak mungkin
ikut. Pertama, kami nggak ada sangkut pautnya sama tim basket. Kedua, aku nggak suka sushi.
121 12117122
Nah, yang sukses membuatku pusing, di luar dugaan, Daniel
benar-benar mengantarku ke apartemen Patra. Sebenarnya aku
sedang dilema, antara malu tapi juga ingin bertemu Patra.
Setelah seminggu main kucing-kucingan, ternyata aku nggak
kuat. Di samping Senin nanti harus rapat dengannya, aku sendiri
nggak sanggup kabur-kaburan begini. Masalahnya sampai
sekarang aku nggak tahu harus ngomong apa waktu bertemu
dengannyaKalau misalnya aku bilang: "Hai, Patra. Terima kasih untuk
undangan makan siangnya," hmmm, oke sih, tapi kesannya kok
aku kepingin banget ketemu dia. Meskipun memang begitu
kenyataanya, dia nggak boleh tahu dong.
Sekarang aku sudah di dalam lift. Kurang dari semenit aku
akan berdiri tepat di depan pintu unit apartemen Patra. Aku
harus bersikap bagaimana? Pura-pura lupa dengan kejadian
malam itu? Tidak mungkin. Kalau lupa kenapa dari kemarin aku
menghindarinya? Apa yang harus kulakukan? Atau aku harus
mengklarifikasi maksud ciuman itu? Duh, kenapa jadi repot
begini sih? Itu kan cuma kecupan singkat. Harusnya sih nggak
ngefek buat robot.
Ting!
Aku nggak tahu seburuk apa mimikku, tapi benar-benar
nggak siap melihat Patra begitu pintu lift terbuka. Kenapa dia
berdiri di depan lift? Dia mau turunDuh, aku jadi gugup lagi. Padahal tadi aku sudah agak berani.
Mungkin aku lebih baik pulang. Tanpa pikir panjang, buru-buru
kupencet tombol Tutup. Pintu tak jadi menutup karena Patra
langsung menahannya. Ia malah ikut masuk ke lift.
Hop! Aku melompat ke luar, tapi langkahku tertahan karena
122 12217123
Patra menggamit tanganku. Kalau di drama-drama Korea sih
bagus, soalnya saat posenya lagi begini, ada lagunya. Ini boroboro ada lagunya. Aku berani bertaruh, pasti saking heningnya
suasana, Patra tahu jantungku lagi lari sprint.
"Mau ke mana?" Akhirnya si robot bicara. Aku kira kami bakal pegangan terus-terusan.
"Ng... mau ke... ke..." Mana? Orang yang punya rumah lagi
di depan mata. "Ng, tangannya dilepas boleh nggak?" pintaku
gugup.
"Saya nggak mau. Nanti kalau dilepas, kamu kabur. Kita perlu
bicara."
Seluruh persendianku melemas mendengar jawaban Patra.
Jangankan bicara, bergerak saja kayaknya aku nggak sanggup.
Kalau jemari Patra terus menggenggam tanganku begini, bisabisa aku mati berdiri karena jantungku kecapekan, berdetak
terlalu cepat. Karena menyangka aku tak membantah, sertamerta Patra menarikku kembali masuk ke lift, dan memegang
tanganku erat di sisinya.
"Temani saya dulu ke minimart di bawah, baru kita makan di
atas."
Aku menggigit bibir bawah sambil terus menunduk. Kugoyangkan tanganku supaya pegangan Patra lepas. Tapi genggamannya kuat.
Patra menoleh. "Kenapa?"
"Ehm, saya temani Kakek ngobrol saja," ujarku bernegosiasi
sambil kembali memencet tombol Buka.
"Kakek nggak ada di rumah," Patra menimpali, lalu kembali
menutup lift.
"Ke mana? Kan janjinya kita makan bertiga," protesku sambil
123 12317124
bergegas menahan pintu yang hampir menutup dengan kakiku.
Hup! Pintu kembali terbuka.
"Kakek sedang ada urusan di Muara Karang. Minggir, Ngen,
pintunya jangan dibuka lagi. Kasihan yang di bawah nunggunya
lama," jawab Patra tetap tenang sambil berusaha menarikku
kembali ke sisinya. Tapi aku tak menurut. Aku mendorongnya
kuat-kuat hingga pegangannya terlepas. Tadinya aku mau
melompat ke luar, tapi pintu telanjur tertutup. Sial.
"Dari awal sebenarnya Kakek mau ikut makan atau nggak
sih?" tanyaku penuh selidik. Emang sih phisically Kakek sehat
dan segar-bugar. Masih energik pula. Nggak heran aktivitasnya
banyak. Tapi perasaan kok akhir-akhir ini Kakek eksis amat.
Main catur di Menteng-lah, nganterin temen sampai ke Pluit,
hari ini ketemu teman di Muara Karang, sekalian aja besok
casting di Sudirman. Patra juga sih, biar kata si Kakek masih
kuat nyetir sendiri, tapi bukan berarti terus dibiarin pergi jauhjauh gitu dong.
"Kenapa nanyanya gitu? Kamu nggak mau makan sama saya
lagi?"
"Bukannya gitu, tapi kan..."
"Masakan saya nggak enak?"
Aku menatap Patra tajam. "Masakannya enak kok."
"Terus masalahnya apa?"
Masalahnya adalah sekarang kamu bukan Patra yang dulu.
Kamu sekarang sudah jadi Patra yang bikin aku lumer. Aku
nggak bisa makan berdua kamu sesantai dulu. Memangnya
kalau jantungku tahu-tahu copot, kamu mau ganti"Masalahnya... saya..."
TING!
124 12417125
Kami tiba di ground. Tanpa memedulikan kalimatku yang
belum usai Patra segera menyeretku keluar.
"Saya nggak mau deh makan berdua lagi," ujarku sertamerta.
"Siapa yang bilang kita cuma makan berdua?"
"Katanya Kakek lagi pergi? Gimana sih?" Kumat lagi penyakit
alien satu ini. Ngomong kok plin-plan"Kan bertiga nggak harus sama Kakek? Orangnya sebentar
lagi datang."
Kalimat itu lagi? Maksudnya kami mau makan bareng sama
petugas veterinarian"Kita makan sama petugas dokter hewan yang dulu?"
Giliran Patra yang kaget. "Hah? Ya, nggak lah! Tuh, orangnya
tuh, yang pakai baju oranye di depan minimart."
"Oh, mbak-mbak yang cantik itu?" tanyaku sambil mengamati
gadis bertubuh seksi dari ujung kepala sampai ujung kaki,
seperti scanner. "Kalau makan bertiga sama dia sih, mana bisa
ngomong?"
"Pasti bisa. Saya undang dia sekalian makan siang. Nggak
apa-apa, kan? Setelah selesai makan, dia boleh pulang, tapi
kamu nggak."
"Kalau saya nggak usah ikut makan aja, gimana? Kan hemat
bahan. Kak Patra masaknya cepat dan nggak buang Elpiji buat
masak tiga porsi," tanyaku kembali bernegosiasi.
"Nggak bisa. Saya lebih pilih masak tiga porsi, kalau nggak,
kamu kabur," jawab Patra, lalu tersenyum manis sekali. Tanpa
memberiku kesempatan membalas, Patra segera menyeretku
mendekati mbak-mbak berbaju oranye tadi.
"Hai, Nge. Lama nunggunya?"
Yang dipanggil pun berbalik. Oke, teman Patra cantik sekali.
125 12517126
Rambutnya panjang kecokelatan, terurai indah bersanding
cantik dengan topi lebar berwarna senada. Kulitnya yang putih
dan halus tampak segar dibalut atasan oranye terang dengan
tali spageti. Benar-benar wanita idaman. Kayaknya Estri lima
tahun lagi bakal jadi kayak gini deh.
"Hai, Pat. Lama banget nggak ketemu. Senang deh akhirnya
kita bisa ngumpul di sini."
"Oh ya, Langen, kenalin, ini Inge. Inge, ini Langen, cewek
saya."
126 12617127
AGAIMANA perasaanku saat itu? Hmm, pertanyaan yang
sangat sulit dijawab. Rasanya nggak keruan, merah,
jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu, manis, asam, asin.
Pokoknya semua teraduk jadi satu.
Ada rasa marah luar biasa, tapi juga merasa kasihan. Di satu
sisi aku merasa marah pada Patra yang mulutnya asal njeplak,
juga merasa kasihan pada Inge yang entah kenapa tiba-tiba
senyumnya tak selebar pada awal kami berjumpa. Kasihan, dia
pasti kesal.
Aku berani taruhan, pasti Inge sangat kecewa. Nggak mungkin dia bela-belain jauh-jauh ke Jakarta untuk menemui Patra
kalau dia nggak cinta. Aku mengerti betul rasanya jadi Inge. Aku
sering mengalaminya. Dan yang lebih mengenaskan, Patra
bohong!
"Satu sekolah sama Patra, ya?" tanya Inge mencoba memulai
pembicaraan saat kami ditinggal berdua begitu saja di dapur
oleh Patra, yang ngakunya ganti baju. Pasti dia mau ganti baju
Cerita Inge
127 12717128
kebangsaannya. Kan dia hobi pamer. Pasti pakai baju putih
sama appron hitam, biar kayak di film-film.
"Iya," jawabku pelan.
"Satu kelas juga?"
"Oh, nggak. Saya masih kelas sebelas, Kak."
"Inge, panggil saja Inge. Nggak usah kakak-kakak segala."
Bagaimana caranya meneruskan percakapan dengan IngeKalau Inge baik begini, aku sama sekali tidak terlatih. Di beberapa novel yang kubaca, biasanya posisi Inge orangnya judes.
Kalau judes mah gampang, tinggal dijudesin balik, kan? Untung
nggak lama kemudian Patra muncul.
Menit-menit selanjutnya aksi Patra sebagai koki dadakan
sukses mencairkan suasana, tapi sekaligus be-ran-tak-an. Kalau
aku jadi Inge, aku pasti segera tahu hubungan antara aku dan
Patra hanya bualan. Hmm, soalnya memang nggak cocok.
Gimana mau cocok, coba? Siang itu Patra berusaha keras
menunjukkan pada Inge bahwa kami sudah lama jadian. Jadi
menurut aturan main Patra, aku sudah sering main ke rumahnya, sudah sering bantuin dia masak, sudah sering coba-coba
resep berdua. Dasar robot!
Karena tak terima dengan sikap Patra yang mendayagunakan
kehadiranku dengan semena-mena, aku memutuskan untuk
berlaku kebalikan dari semua yang dia harapkan. Aku nggak
peduli alur cerita Patra karangan rusak. Salah sendiri! Siapa suruh seenaknya Patra ngaku-ngaku jadi pacar? Pokoknya setelah
Inge pulang aku akan memukul kepalanya dengan talenan.
128 12817129
"Langen, gue sebenarnya seneng sekali ketemu sama lo hari
ini."
Aku menatap Inge lama, sesaat setelah kami tiba di lobi
pasca lunch bersama.
"Gue seneng Patra bisa konek sama lo."
Hah? Si Inge lagi sakit mata, ya? Orang jelas-jelas aku dan
Patra nggak nyambung seharian itu.
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Setelah semua yang Patra alami, gue seneng ada orang
yang bisa diajak berbagi sama Patra."
Aku melongo. Semua? Maksudnya...
"Inge tahu semua tentang Patra?" tanyaku perlahan, takut
kalau justru karena pertanyaanku, Inge jadi tahu rahasia Patra.
"Ya, pasti tahulah. Patra kan adik gue."
DEENNG!!! Ini nggak lucu. Jadi Patra punya kakak"Adik? Jadi kalian kakak-beradik? Kok nggak mirip sih?"
tanyaku polos, benar-benar ingin tahu. Habis, memang sungguhsungguh nggak mirip. Aku nggak percaya mereka diproduksi
pabrik yang sama. Satunya hasilnya bagus, kok Patra jadinya
kayak gitu? Inge gaul begini, ngomongnya aja gue-lo. Lha, si
Patra kok sukses jadi robot gitu sih"Kami bersaudara, tapi berbeda ibu."
Oh, berarti yang salah ya tante-tante yang waktu itu ketemu
di supermarket.
"Mama gue sudah lama meninggal. Nah, papa gue sama
mama Patra nikah kira-kira pas gue umur dua tahun. Emang
Patra nggak pernah cerita, Ngen?"
"Hah... Patra lagi, cerita kayak gitu," kataku dengan gaya
meledek. Aku berani ngomong begitu karena orangnya sedang
nggak ada di sekitarku.
"Hmm, Patra emang dari dulu anaknya tertutup, Ngen. Mung129 12917130
kin sifatnya itu juga yang bikin dia nggak pernah akur sama
bokap gue."
"Sebentar... Inge kok bisa ke sini? Memangnya nggak tinggal
sama Papa-Mama? Atau memisahkan diri kayak Patra juga?"
tanyaku penasaran.
"Gue sama Mama kebetulan lagi ke Jakarta. Mama bosen
jadi istri rumahan, mau buka butik di Jakarta."
"Lha, papanya ditinggal sendirian gitu, di luar negeri? Nggak
ngamuk?"
"Haha, ya nggaklah, Ngen. Kan Mama cuma sementara di
sini. Kalau semua urusannya sudah selesai, ya kembali lagi
pulang. Gue yang pegang butiknya di sini. Paling kalau ada yang
penting-penting, baru Mama datang ke sini lagi."
Aku mengangguk-angguk, tanda mengerti.
"Langen, sekali lagi terima kasih."
Aku menoleh. "Untuk apa?"
"Untuk Patra. Selama kami masih tinggal di luar, Patra
mukanya tertekan. Tapi hari ini nggak. Sangat berbeda dengan
Patra yang dulu. Itu karena lo."
"Masa sih? Kayaknya nggak juga deh. Dia suka kali, suasana
di sini. Teman-temannya asyik gitu," balasku serius.
Inge malah menggeleng, lalu tersenyum manis. "Terserah
gimana tanggapan lo, tapi gue merasa bersyukur. Gue lihat
Patra jadi semangat hidup lagi."
Dahiku berkerut. Aku semakin nggak ngerti maksud ucapan
Inge. Patra kembali punya harapan hidup? Maksudnya apa sihBukannya dia punya pemahaman bahwa hidup harus dijalani
agar bisa mati"Semangat hidup? Maksudnya Patra jadi enjoy dengan hari130 13017131
harinya gara-gara udah nggak jadi buronan?" tebakku langsung.
"Bukan, Ngen. Ini nggak ada hubungannya dengan Papa, tapi
gue senang banget waktu tadi Patra bilang dia mau nerusin
pengobatannya."
DEG! Raut wajahku menegang.
"Patra sakit? Sakit apa?" tanyaku spontan.
"Anemia," jawab Patra yang secara tiba-tiba berdiri di belakangku. Sorot matanya tajam, seolah ingin menelan Inge. Pasti
dia sedang mengancam Inge dengan tatapan mautnya. Dilihat
dari sisi mana pun, aku tahu ada yang nggak beres. Aku nggak
segampang itu bisa ditipu. "Mobil sudah ada di depan, Nge.
Mending pulang sekarang sebelum Mama nyariin."
Inge tersenyum padaku. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan ketersinggungan walau jelas-jelas Patra baru saja mengusirnya.
"Sudah sore, gue pulang dulu, Ngen."
Tanpa bisa menjawab, aku hanya membalas Inge dengan
senyuman dan melambai.
Patra bergegas membukakan pintu mobil yang stand by di
lobi, untuk dikendarai Inge ke hotel.
"Jaga diri baik-baik, Pat!" pesan Inge singkat sebelum kembali tersenyum ke arahku, lalu menutup pintu mobil. Misteri
penyakit Patra menghilang bersamaan dengan melajunya SUV
yang dikendarai Inge.
Tanpa menoleh kepadaku, Patra bergegas kembali masuk ke
apartemen. Dasar robot! Aku tahu dia berbuat begitu pasti
karena tak ingin kutanyai perihal pernyataan Inge. Ini nih yang
aku nggak suka. Kalau udah kayak gini jalan ceritanya pasti
131 13117132
ujungnya nggak seru. Hal yang membingungkan ini harus segera
diluruskan!
Begitu kembali masuk ke hunian Patra, buru-buru kusambar
penggiling adonan dan mengacungkannya pada Patra yang
sedang bersandar di kulkas besar. Patra tampak sangat tenang,
walau aku sudah berusaha memasang wajah segahar mungkin.
Alih-alih ketakutan, Patra malah mengulas senyuman kalem.
"Nggak usah senyum-senyum!" bentakku galak. Aku tak
boleh terlihat lemah. "Acara hari ini nggak lucu. Sama sekali
nggak lucu. Seenaknya aja menyalahgunakan kehadiran saya!"
"Maaf, Ngen, tapi saya nggak punya pilihan lain."
"Beh! Siapa bilang? Apa nggak bisa bilang kita temenan
saja?" tanyaku dengan berkacak pinggang.
"Jelas nggak bisa!" tegas Patra seketika, sukses membikinku
kaget. Ini gimana sih, kok jadi justru dia yang lebih galak"Kenapa?" tantangku balik, setuju dengan pernyataan Patra
barusan.
Mendadak aku mendapat pencerahan.
"Nggak usah dijawab!" cegahku sambil menjulurkan tangan
kanan, persis seperti satpam yang menyetop mobil. "Saya tahu,
saya tahu. Pasti karena saya terlalu gampang dimanipulasi dan
dikerjain. Makanya nggak salah lagi, yah... emang udah takdir
saya selalu jadi bumper," ujarku manggut-manggut.
Di luar dugaan bukannya bernapas lega, Patra malah berang.
Tiba-tiba kedua tangannya mendarat di pundakku. "Kenapa
suka mikir kayak gitu sih?" tanya Patra kesal. Ada sedikit bumbu
marah di kalimatnya.
"Karena... karena... yah, memang begitulah kenyataannya,"
132 13217133
jawabku terbata. Jujur, aku schok. Kenapa Patra harus sewot"Dasar skeptis!"
"Ih, itu bukan skeptis, tapi tahu diri," tandasku membela
diri.
Karena Patra tak kunjung menjawab, aku jadi ingat tadi Inge
menitipkan sesuatu. Inge tak menyangka Patra bakal menyusul
kami ke lobi, jadi ia memintaku memberikan amplop cokelat
berukuran sedang dan bersegel pada Patra. Sepertinya isinya
sangat penting. "Oh ya, tadi Kak Inge titip ini," ujarku menyodorkan amplop itu. Raut wajah Patra yang sempat cool, mendadak menegang.
"Kapan Inge kasih?" tanya Patra setelah meraih amplop tersebut.
"Tadi pas saya nganter ke lobi, kan tadi Kak Patra malas
turun, makanya Kak Inge titip ke saya."
Jemari Patra bergerak, meraba segel yang melindungi isi
amplop. Patra menyipit dan menatapku tajam.
"Saya nggak buka amplopnya kok. Saya malah baru ingat
titipan tersebut," ujarku segera, menjawab tatapan dingin
Patra.
Alis Patra terangkat sebelah, ragu.
"Serius. Saya nggak tahu," jawabku mantap sekali lagi.
133 13317134
HUJAN yang seharian itu turun tanpa henti meninggalkan bintik-bintik air yang mengalir deras. Samarsamar di luar terdengar gemuruh guntur dan sesekali
kilat menyambar udara.
Aku memandang sebentar ke luar jendela perpustakaan, ke
kebun yang rapi dengan kursi-kursi basah berjejer serta sebaris
pohon bougenville yang bergoyang ke kanan dan ke kiri terembus angin.
"Niel, gue mau tanya deh. Kalau denger kata plural hepatitides, apa yang lo pikirin?" bisikku setelah bersusah bermenitmenit berkutat di lorong buku biologi. Hasilnya, setumpuk buku
tebal yang menurutku, ukurannya sangat tepat untuk mengganjal pintu.
Ya, ya, aku mengaku deh. Tempo hari waktu aku bilang pada
Patra bahwa aku sama sekali tak mengintip aku mengaitkan jari
tengahku dengan telunjuk di belakang punggung. Apa boleh
buat, sepertinya hanya itu cara instan dan aman untuk segera
Plural Hepatitides
134 13417135
tahu penyakit Patra yang dimaksud Inge. Nah, sekarang setelah
tahu isinya, aku jadi pusing sendiri. Rasanya seperti telanjur
membuka kotak Pandora yang sebenarnya nggak boleh dikutakkatik.
Untungnya selama dua pelajaran terakhir aku menganggur.
Pak Diki, guru sejarah, sakit sehingga aku bisa melenggang
bebas ke perpustakaan.
Sampai hampir separuh hari kegiatan di sekolah berjalan, aku
sama sekali nggak bisa berkonsentrasi. Aku benar-benar dibuat
senewen oleh secarik kertas dalam amplop titipan Inge.
Sebenarnya daripada harus repot membaca buku-buku tebal
begini, lebih gampang tanya pada Om Google atau Om Ya?hoo.
Tapi semalam listrik rumahku padam. Biasalah, kalau sudah
masuk musim hujan begini, pemadaman listrik bisa terjadi tanpa
aba-aba, tanpa peringatan, dan lama. Alasannya sih supaya
generator PLN tidak meledak tersambar petir.
"Lo kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu?" Daniel balik bertanya
setelah menurunkan majalan Mode edisi terbaru yang berhasil
diculiknya dari perpustakaan. "Itu buku sampai lima tumpuk
mau lo baca semua?" Daniel menggeleng-geleng melihatku
mem?bolak-balik buku teratas.
"Ya, mau nyari arti hepatitides."
"Dari namanya ya emang mirip penyakit hepatitis. Emangnya
kenapa sih? "
"Hmm, gue harus tahu pasti artinya."
Daniel menepuk pundakku. "Tapi bukan lo yang sakit kan,
Ngen?"
Aku menoleh, lalu tersenyum, "Bukan kok."
Daniel melepas napas lega. "Daripada kelamaan, mending
cari di internet, Ngen."
135 13517136
"Kan internet di perpus lagi error, Niel."
"Nih, buka aja di hape gue."
"Nggak ah, nanti pulsa lo habis. Soalnya gue harus tahu
pasti."
"Udah, nggak papa, daripada lo cari di buku. Lo sendiri kan
nggak tahu kata hepatitides ada di buku mana."
Tanpa buang-buang waktu, langsung kubuktikan kecanggihan
handphone teranyar keluaran Blackberry yang baru dikantongi
Daniel dua hari belakangan.
Ada 19.800 hasil yang berkaitan dengan kata yang kuinput.
Tapi yang secara mencolok, menduduki urutan pertama adalah
info Wikipedia.
Hepatitis(plural hepatitides) is a medical condition defined
by the inflammation of the liver and characterized by the
presence of inflammatory cells in the tissue of the organ. The
name is from the Greek hepar (???), the root beinghepat
(???-), meaning liver, and suffix -itis, meaning "inflammation"
(c. 1727).[1] The condition can be self-limiting (healing on its
own) or can progress to fibrosis (scarring) and cirrhosis.
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku menghela napas. Ternyata tetap saja, walaupun ditambahkan embel-embel plural, dugaanku benar. Plural hepatitides
rupanya memang hanya sebutan lain untuk penyakit hepatitis.
Jadi Patra sakit hepatitis? Hepatitis tipe apa? Yang parahkah"Ngen!" Daniel menepuk pundakku.
Aku menoleh, masih dengan wajah lesu.
"Kok bengong? Ketemu nggak artinya apa? Bisa makenya
nggak sih?" Daniel segera mengambil alih handphone-nya karena
aku tak kunjung bicara.
136 13617137
"Sekali lagi gue tanya, Ngen. Ini serius, bukan lo yang sakit
hepatitis, kan?"
"Kan tadi gue udah bilang bukan gue, Niel."
"Habis tampang lo langsung shock gitu sih. Gue boleh tahu
nggak, siapa yang sakit? Kayaknya masalahnya berat ya,
Ngen?"
"Berat sih nggak. Kan gue udah bilang, bukan gue yang
ngejalani, tapi bikin sedih sih iya."
"Gue tahu, cowok lo sakit ya?"
Aku melotot bulat-bulat. "Hus! Jangan kenceng-kenceng ngomongnya. Kalau ternyata ada Chris, gimana? Bahkan ada Patra
di perpus, terus mereka denger. Bisa dipenggal gue, Niel."
"Sorry deh. Emangnya beneran tuh yang barusan?" tanya
Daniel dengan suara jauh lebih kecil, nyaris berbisik.
"Sebenarnya dugaan gue aja sih. Pas terakhir ke rumah
Patra, gue dititipin amplop sama kakak Patra."
"Hah? Patra punya kakak?"
"Itu juga gue baru tahu kemarin. Namanya Inge. Nah, sebelum pulang kemarin si Inge sempet keceplosan. Bilang bahwa
si Patra jadi rajin berobat lagi. Inge juga kaget sih. Dia kira gue
udah tahu tentang penyakit Patra. Cuma, biasalah... Kayak di
film-film, pas lagi Inge mau ngasih tahu gue, Patra muncul. Ya,
seperti bisa lo tebak, pastinya Patra mencegah Inge ngasih tahu
gue."
"Hubungannya sama amplop tadi apa?"
"Awalnya gue yang disuruh nganterin Inge turun ke lobi
gara-gara si Patra males. Pas di lobi, Inge baru inget titipan
buat Patra. Singkat cerita, gue nyuri-nyuri baca isi amplop itu,
siapa tahu ada informasi tentang penyakit Patra. Soalnya di
137 13717138
kovernya ada tulisan "Labor". Feeling aja it?s sound like laboratory, gitu. Gue buka aja. Nah, hasilnya ya plural hepatitides."
"Lo tahu dia kena yang tipe apa? Kan hepatitis ada macemmacem. Akut atau kronis?"
"Itu dia masalahnya. Laporan kesehatan itu ditulis pakai
bahasa planet. Gue nggak ngerti. Kayaknya sih bahasa Jerman
atau Belanda, nggak tahu deh. Nah, takutnya, gue yang salah
duga. Emang sih ada nama lengkapnya Patra di situ, tapi bisa
aja kan yang sakit orang lain. Terus Patra cuma penerima
laporan, nggak sakit."
"Hmm, lo tanyain aja langsung ke orangnya."
"Hah? Gila lo."
"Kenapa gila? Bukannya kalau lo tanyain, lo bisa tahu
kebenarannya dan jadi lega?"
"Ya, kalau dia mau ngaku. Kayak nggak tahu aja lo, Niel,
kalaupun Patra sakit beneran, dia bisa aja bilang, ?aku nggak
kenapa-kenapa. Kamu salah baca laporan aja.? Nah lo, sama aja,
kan?"
"Iya juga sih, Ngen."
"Makanya itu gue takut banget, Niel. Feeling gue nggak enak
deh. Gue takut ending-nya bakal sama kayak di film-film gitu."
"Ya, kita berharap ujungnya happy ending, Ngen. Lo berdoa
aja semoga lo salah baca. Siapa tahu sebenarnya Patra nggak
positif hepatitis, tapi negatif."
"Amin."
138 13817139
AKU bukannya tidak mengerti maksud Pak Dave memanggilku ke ruang guru siang itu. Apa lagi kalau bukan
menanyakan keberadaan PatraToday?s headline: PATRA IS MISSING. Untuk ketiga kalinya Patra
absen latihan rutin. Padahal lirik dan melodi lagu untuk Cinderella,
tokoh utama pagelaran kami, harus kelar minggu depan. Bagaimana lagunya bisa selesai kalau nyaris seminggu penuh Patra
tidak muncul? Tanpa Patra, kerja sama kami jelas terbengkalai.
"Maaf, Pak, saya juga nggak tahu Patra pergi ke mana. Kata
Chris?toper, Patra nggak bilang apa-apa. Dari Senin dia absen,
Pak," jelasku menjawab pertanyaan Pak Dave, sang ketua
acara.
"Apa sama sekali nggak bisa dihubungi, Ngen?"
Aku menggeleng pelan. "Sudah saya coba telepon, nggak
pernah diangkat."
Ma-sa-lah
139 13917140
"Hmm, sudah seminggu, tapi kita belum ada progres apa-apa,
ya. Sayang, padahal tinggal satu lagu lagi. Apa tidak bisa kamu
selesaikan, Langen?"
Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan Pak Dave.
Kalau aku disuruh menyelesaikan lagu itu, sebenarnya bisa-bisa
saja. Tugasku hanya menulis lirik yang kurang sebait lagi. Jelas
bisa dilakukan dengan atau tanpa Patra. Tapi ya, tentu saja aku
lebih memilih melakukannya di samping Patra ketimbang
didampingi Daniel atau Andrea.
"Atau begini saja, coba kamu jenguk Patra. Kalau ternyata
dia sehat dan kondisinya memungkinkan, tolong kalian
usahakan lagu itu selesai Senin nanti. Bagaimana?"
Aku mengangguk. "Baik, Pak. Saya permisi kembali ke
kelas."
Aku membalikkan tubuhku sekali lagi dengan gelisah. Kulirik jam
yang berputar maju di dinding kamar. Hampir jam satu tengah
malam. Belum pernah aku mengalami susah tidur hanya karena
memikirkan seseorang yang bahkan tidak seharusnya aku
pikirkan. Maksudku, oh, come on... Kenapa aku bisa segelisah
iniSama sekali tidak terjadi apa-apa hari itu, kecuali Patra tidak
ada di rumah saat aku menjenguknya pulang sekolah tadi. Tapi
kan itu hal biasa. Tidak terlalu mengkhawatirkan. Lagi pula,
siapa yang peduli sekarang Patra ada di mana, sedang apaKalaupun ada, yang jelas orangnya bukan aku.
Kriiiiing...
Dering telepon memecah keheningan. Aku segera
140 14017141
mengangkatnya, takut Bapak terbangun dan mengomel. Siapa
kira-kira yang nekat menelepon jam segini? Nomornya kok
aneh? Depannya bukan 021 atau +62.
"Halo," suara di seberang terdengar menyapa.
"Patra!!" seruku tak dapat menahan rasa gembira. Ralat:
kaget.
"Wow, kamu kedengaran bahagia banget," goda Patra cepat,
"menunggu saya, ya?"
"Heh! Nggak usah ge-er deh," balasku sebal. Astaga, kenapa
tadi aku kelepasan gitu sih? "Asal tahu aja ya, aku sama sekali
nggak bahagia. Kak Patra kenapa telepon malam-malam gini
sih? Sebentar. Jangan dijawab, aku mau turun supaya nggak
kedengeran Bapak," cegahku galak, lalu berjingkat ke luar
kamar menuju ruang tamu.
"Udah dapat posisi telepon yang enak?"
"Belum, jadi jangan dijawab dulu."
"Lama amat?"
"Ih, jalannya gelap tahu. Saya harus pelan-pelan supaya
nggak kesandung."
"Masih lama nggak?"
"Udah nih. Udah rebahan di sofa ruang tamu. Jadi jauh dari
kamar orang-orang. Ayo, sekarang jawab. Nekat amat, telepon
malam-malam gini?"
"Karena saya perlu banget telepon kamu sekarang."
"Nggak bisa sorean atau besok pagi aja? Masa telepon jam
satu pagi gini? Ganggu orang, tahu."
"Kalau ganggu kenapa diangkat? Kenapa tadi nggak
dimatikan saja?"
"Hah!" dengusku kesal. Aku tahu Patra sedang menggodaku.
141 14117142
Ia tidak benar-benar mempersoalkan hal itu. Ada sedikit nada
bercanda dalam pertanyaannya. Wow! Patra sudah bisa
bercanda. Kemajuan.
"Udah deh. Buruan. Ada apa telepon subuh-subuh gini?"
"Saya tahu seminggu ini kamu pasti nyariin saya."
"Heh, Kak, yang serius ya. Kalau nggak saya matiin nih."
"Tunggu! Saya serius kok. Justru saya mau minta maaf. Pasti
Pak Dave menyuruh kamu menghubungi saya seminggu ini.
Atau bahkan dia minta kamu nyariin saya ke rumah."
"Hmm... terus?"
"Saya mau minta maaf. Saya pergi dan tidak kasih kabar ke
kamu. Saya ada urusan ke Singapura lima hari. Tapi urusannya
sudah selesai kok. Besok saya balik ke Jakarta."
"Terus?"
"Besok apa kamu ada waktu?"
"Kenapa?"
"Bisa ke apartemen saya?"
"Ngapain?"
"Besok saja pas kamu datang, saya jelaskan kita ngapain
saja."
"Nggak mau ah. Kalau maksud dan tujuannya nggak jelas
saya nggak mau mampir lagi ke tempatmu. Habis terakhir kali
saya ke sana, saya disalahgunakan."
Patra tertawa kecil merespons penolakanku. "Yang jelas besok kita kelarin lagu adegan terakhir yang tinggal sebait itu.
Jadi gimana?"
"Hmm, saya pikir-pikir dulu deh."
"Kok gitu?"
"Ya, saya punya hak dong untuk mikir dulu."
142 14217143
"Saya kasih waktu deh, lima detik."
"Heh, Kak, saya lagi nggak bisa mikir. Saya ngantuk."
"Hmm, ya udah, besok saya telepon kamu lagi deh."
"Hah?" Aku tak percaya Patra tidak marah, bahkan langsung
percaya begitu saja. Padahal tadi aku kan cuma basa-basi.
Sudah pasti aku akan datang ke rumahnya, lagu itu kan harus
selesai sebelum Senin.
"Habis katanya kamu ngantuk? Ya udah, besok saya telepon
kamu lagi kalau saya udah sampai Jakarta."
"Beneran?"
"Kamu kenapa sih, Ngen?"
"Nggak apa-apa sih. Ya, maklumlah sekarang jam berapa,
Kak?"
"Ya sudah, kamu tidur deh. Selamat malam, Langen."
Kini aku benar-benar ternganga? Patra mengucapkan selamat
malam? Oh, no! Aku senang mendengarnya. Gawat, seharusnya
tidak begini.
"Langen?"
"Ya... ya. Halo?" balasku tergagap.
"Oh, kirain kamu langsung tidur. Ya sudahlah, good night!"
Tut... tut... tut.
Sambungan telepon terputus.
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pintu unit Patra berada dalam keadaan terbuka. Saat berjalan
melalui koridor, aku mendegar alunan musik. Seseorang sedang
memainkan lagu si tokoh utama, Cinderella, dengan sangat apik.
Lagu itu belum ada judulnya.
Aku berhenti dan terus mendengarkan. Hampir setiap malam
143 14317144
aku mencoba memainkannya, tapi tak pernah bisa begitu
menyentuh. Lagu itu dimulai dengan chord-chord diminish, yang
secara tiba-tiba disusul dengan melodi yang sangat indah. Lagu
itu diakhiri dengan chord lembut dan miris. Benar-benar
menggambarkan perasaan Cinderella yang sebetulnya sangat
ingin menjelaskan perasaannya pada sang Pangeran. Aku tahu
pianis yang tidak kelihatan itu pasti Patra.
Sebelum sempat tersadar dari lamunanku, aku mendapatkan
ide buat lirik bait terakhir lagu itu. Aku menyanyikan kata-kata
yang ada di kepalaku begitu saja.
Sayang, andai dapat kukatakan
Besarnya rasanya cintaku
Hanya untukmu
Ya, kata-kata itu bagus juga. Cinderella kan tidak bisa mengungkapkan perasaannya karena terus dikekang Mama dan
kakak-kakak tirinya.
Namun, sayang ta...
Tiba-tiba saja nyanyianku berhenti... karena musiknya juga
berhenti. Aku seakan-akan dibawa turun ke bumi oleh suara di
sampingku. Suara Patra. Katanya, "Bagus sekali, Langen. Aku
dari tadi menonton di sini."
Perasaan kecewa yang amat sangat menyerang diriku.
"Lho, yang lagi main musik bukan kak Patra?"
"Bukan secara live. Itu tadi rekaman saja. Waktu di Singapura
saya beli software rekaman."
"Kok suaranya bening?"
"Hmm... bagus, kan? Asli sih. Makanya ada harga ada barang.
Masuk, Ngen."
Aku mengikuti ajakan Patra, langsung duduk di sofa hitam
144 14417145
Patra yang empuk. Sambil bersandar kuperhatikan Patra yang
sibuk menyiapkan minum untukku. Aku senang bisa bertemu
dengannya. Ya, setelah lima hari tak bersua, sekarang Patra ada
di sini, di depanku.
"Diminum, Ngen. Kok bengong?"
Aku tersentak. "Oh, hm, terima kasih."
"Kangen banget, ya?"
"Apanya?" tanyaku pura-pura tak mengerti maksud pertanyaan Patra.
"Yuk, langsung aja. Kamu bawa liriknya? Coba saya lihat."
"Nih," ujarku sambil mengulurkan fail. My blue file.
Aku menunggu Patra selesai membaca lirik yang belum
sepenuhnya selesai.
"Gimana? Bait penutupnya belum selesai tuh, Kak. Tadi ada
yang sempet kepikiran, cuma belum dicatet."
"So far oke. Tapi bisa nggak line terakhir diganti? Soalnya
sebenarnya Cinderella juga ingin ketemu Pangeran, tapi
dihalangi mamanya."
"Hmm, kalau kata-kata terakhirnya diganti dengan ?ku hanya
bisa memandang, dalam diam??"
"Hei, itu bagus!"
"And, it?s done! Finally!" ujarku mengepal.
"Seneng banget ya, Ngen?"
"Iyalah, aku nggak usah kerja sama Agatha. Yes!"
Patra tertawa geli, kemudian mengelus kepalaku. Aku melongo. Tapi kemudian segera bertingkah normal. Ingat, Langen,
itu tadi hanya luapan kegembiraan Patra karena akhirnya tugas
berat ini usai.
"Kenapa diam, Ngen?" tanya Patra yang rupanya mem?perhatikan raut wajahku. Wah, harus cari alasan.
145 14517146
"Hmm, to be honest, I like your song."
"It?s yours too, Langen."
"Iya sih. Tapi kan yang bikin jadi bagus gini Kak Patra.
Cuma..."
"Cuma apa?"
"Siapa yang bakal nyanyiin lagu ini? Pemeran Cinderella baru
diputuskan Selasa. Sejauh ini sih Carolina dan Nirina jadi calon
paling kuat. Nah, saya nggak mau kalau Carolina yang nyanyi
lagu ini."
"We shall see later, Langen."
Aku menghela napas. Maksud hati ingin sekadar beralasan,
supaya tidak ketahuan kangen, tapi tak disangka aku benarbenar jadi sedih karena alasan tadi.
"Jangan sedih gitulah, Ngen. Sebentar. Aku punya sesuatu
buat kamu. Semoga kamu suka," ujar Patra, lalu menyodorkan
kotak kecil
Aku tertegun. Patra membawakanku oleh-oleh? Ragu-ragu
kubuka kotak itu, dan...
"Menurut kamu gimana?" tanya Patra tersenyum.
Bros bunga tulip ungu yang sangat memesona berhasil
membuatku tak sanggup berkata-kata.
Well, kayaknya aku lebih suka kamu yang lagi korslet deh,
Pat...
Ada dua anak yang tak sabar menunggu pengumuman pemeran
utama drama musikal. Ya, ya, tak lain dan tak bukan adalah Nirina
dan Carolina. Aku berani bertaruh, pasti Carolina melakukan
segala cara untuk mendapatkan peran Cinderella. Dia tidak akan
146 14617147
rela kalau sorak sorai penonton pagelaran terakbar sekolah kami
menjadi milik Nirina.
Lain dari hari-hari biasa, pagi itu aku sudah tiba di sekolah
pukul enam tepat. Bayangkan! Bahkan kelasku saja belum dibuka. Aku rela menggowes sepeda dan bukan ikut Om Ahong
karena alasan aku harus tahu lebih dulu siapa yang akan menyanyikan lagu gubahan Patra.
Tanpa ragu sedikit pun aku berlari ke papan mading raksasa
di samping kantor kepala sekolah. Segala pengumuman penting
ditempel di papan itu. Termasuk hasil akhir poling lima ratus
siswa sekolah kami.
Dengan ini kami, sutradara dan panitia inti, drama musikal Ella
and The 21th Century, memutuskan bahwa Estarina Carolina Sanjaya memenangkan poling dan menjadi pemeran utama drama
tersebut dengan perolehan suara 52%.
Ttd,
Dave W.
"APAAA???!" pekikku sungguh-sungguh terkejut dengan
tulisan yang baru saja kubaca. Ini tidak mungkin terjadi. Aku
harus menemui Pak Dave, aku mau protes.
"Nieel... gawat, Niel. Gawat! Pokoknya gawat!" ujarku tanpa jeda
saat akhirnya menemukan Daniel di bawah pohon kamboja
halaman belakang sekolah. Dia memang suka menyendiri di
tempat sepi. Kadang-kadang Daniel suka bersikap seperti...
"Napas, Ngen. Napas!"
"Mampus nih gue, Niel. Bener-bener bencana."
"PR mat lo ketinggalan?"
147 14717148
"Nggak sih."
"Terus kenapa?"
"Carolina jadi Cinderella."
Daniel termenung. Pasti saking shock-nya dia sampai nggak
bisa berkata apa-apa.
"Kayaknya kita mesti mandi kembang deh, Ngen."
"Hah?"
"Baru lima menit lalu si Andrea curhat soal blog-nya di-hack
Agatha. Nih, print-annya," jelas Daniel sambil menyodorkan
kertas.
"Apa lagi nih? Kok si A?an nggak ngasih tahu gue? Emang rese tuh
nenek sihir!"
"Itu pasti Agatha. Pake you know who segala. Dasar pengecut!"
"Kayaknya grup cewek barbar itu lagi berjaya banget? Si
Agatha berhasil masuk ke blog Andrea, terus si Carolina jadi
Cinderella. Kesannya kok kita nggak punya kesempatan maju.
Pokoknya gue mau izin keluar aja sama Pak Dave."
"Lha, lo ngapain pakai acara keluar segala?"
"Menurut lo emang gue rela lagu-lagu bikinan gue yang udah
bagus-bagus diaransemen Patra dinyanyiin Carolina?"
"Yah, emang sih. Gue juga jadi nggak mood ngedesain baju
pesta Cinderella. Padahal feeling gue si Nirina yang keluar jadi
juara."
"Tuh, lo aja boleh bete."
"Tapi ini kan sebenarnya salah, Ngen. Kita nggak boleh kalah."
148 14817149
FEED BACK
STORIES : MY DAD?S STORY
DEAR ANDREA
Pertama-tama, it?s a free coloumn here ya...
Bokap lo kemungkinan gay? Kalau gue, jelas sama sekali nggak
kebayang.
Karena Thank?s GOD, kehidupan gue dan keluarga gue baikbaik, LURUS-LURUS aja.
You know, Andrea, it?s kind of interesting story (about your
DAD), but i have a final question
Will this extra ordinary experience influenced youMay be youl?ll hate all the man you know. Perhaps.
Well, we never know...
Btw, it?s me.
You Know Who
149 14918150
"Ada saatnya prajurit tertekan. Dia juga boleh nangis-nangis.
Sebelum nyerang, mendingan kita pikirin dulu strateginya."
"Iya sih. Tapi lo nggak boleh quit."
"Kalau gue nggak boleh, lo juga nggak boleh."
"Ya udah."
"Hmm..." Aku mengangguk, lalu tetap duduk di samping
Daniel hingga bel masuk berbunyi.
150 15018151
HARI itu aku merasa lebih baik, sekaligus lebih buruk.
Lebih baik karena pagi itu hujan seolah enggan
turun, meskipun awal tebal dan hitam pekat menggantung menyelimuti langit. Artinya kami tak akan melintasi
kubangan banjir yang sering menggenang di sekitar sekolah
setelah hujan lebat mampir.
Lebih buruk karena aku merasa sangat lelah. Aku masih tak
bisa tidur setelah latihan drama pertama kali digelar. Bayangan
Carolina menyanyikan lagu Sayang benar-benar haunted me to
death.
Mana Patra sama sekali nggak muncul di latihan perdana itu!
Alasannya dia sibuk ujian semester ganjil. Ya, ya, seluruh anak
kelas lulusan memang ujian sebulan di muka lebih dulu dibanding kami yang masih kelas sebelas. Tapi itu seharusnya nggak
menghalanginya untuk sekadar menilik kami, para musisi yang
memainkan lagu-lagu gubahannya. Masa dia sama sekali nggak
mau tahu bagaimana Carolina akan menyanyikan lagu-lagunyaPlease deh...
Kejayaan
Ratu Carolina
151 15118152
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Daniel duduk di sebelahku dengan gelisah sepanjang perjalanan menuju sekolah. Tanpa menanyainya, aku tahu dia juga
dongkol karena Carolina mencela desain gaunnya pada acara
yang sama, awal kemasyhuran Ratu Carolina yang akan memerintah rakyat dengan kejam, sewenang-wenang, dan penuh
penindasan.
Agaknya terlalu muluk kalau aku mengharapkan hari itu
berjalan baik. Nyatanya hari itu bertambah buruk karena Pak
Rafael memintaku maju untuk mengerjakan soal hitungan di
papan, dan... aku nggak bisa.
Lebih buruk lagi karena hari itu olahraganya basket. Aku
sama sekali nggak dapat bola. Akhirnya aku cuma lari-lari di
lapangan tanpa aksi jelas.
Dan menjadi sangat buruk karena aku sama sekali nggak
melihat Patra saat bolak-balik ke toilet sepagian. Payah. Padahal
hari itu aku sangat kepingin bertemu dengannya. Aku benarbenar tak tahan untuk mengonfrontasinya, apa sih masalahnya
sampai-sampai tidak mau hadir latihan Sabtu lalu? Apa menurut
Patra hal itu tidak pentingHaaallloooo, Patraaaa! Kamu pasti nggak tahu kan kemarin
Carolina mengganti lirik-lirik buatanku dengan seenaknyaHmmm, aku benar-benar tolol. Peduli apa si Patra sama liriklirikkuKetika sekolah akhirnya selesai, dan hukuman dari Pak Rafael
selesai juga, aku segera meninggalkan ruang guru. Aku berjalan
cepat menuju parkiran dan berharap belum ditinggal saat tibatiba handphone-ku berdering. Ada SMS. Dari Elsha, pianis yang
menggantikan Patra kemarin.
152 15218153
Ngen, jangan lupa ya besok kita latihan lho.
Btw, besok si Patra dateng nggak ya? SMS gue g dibls.
Tlp jg ga diangkat.
Nah, kan! Sami mawon, Mbak Elsha, saya juga ndak tahu
Patra ke mana.
Segera kubalas pesan Elsha:
Gw jg nggak tahu dia di mana. Hr ini orangnya nggak
kelihatan. C U
Walaupun aku sudah memperbanyak doa, bahkan sempat
puasa, kayaknya kejayaan Ratu Sihir Carolina Sanjaya masih
tetap berkuasa. Puasa dan doaku nggak ngefek. Sama sekali.
Buktinya, baru sedetik lalu Carolina dengan gaya super duper
sok serta-merta meminta Elsha mengganti chord ending lagu
Cantik. Memang kelewatan kelakuan nenek satu itu.
Nah, nah. Sekarang si nenek sihir itu menghampiriku. Mau
apa dia"Nng... Langen. It?s too bad."
Apanya"You know, Langen, kayaknya lirik terakhir lagu Sayang nggak
cocok, ya?"
Aku hanya tersenyum. Mau lo apa sih, Nek"Setelah gue timbang-timbang, kayaknya kalimat ku hanya
bisa memandang dalam diam, sama sekali nggak gue banget."
Emang seharusnya bukan Carolina yang nyanyi. Kan lo berperan sebagai Cinderella.
"Terus maunya gimana, Lin?" tanyaku tak tahan.
153 15318154
"Gimana kalau misalnya diganti jadi aku ingin sekali bertemu
denganmu, kekasihku, pujaanku? Pasti lebih bagus. Gue yakin."
Aku mendelik. "Tapi kan suku katanya nggak pas, Lin.
Nadanya keburu abis kalau kalimatnya sepanjang itu."
"Lho, kok repot sih, Ngen? Yah, ganti aja nada terakhirnya.
Ditambahin apa kek. Do re re, do mi sol, fa la si, ntar gue atur.
Gampanglah! Lo tenang aja, nggak usah repot, ntar gue langsung kordinasi sama Pak Dave."
"Tapi, Lin..."
"Udah deh, Ngen. Gue mau take vokal dulu sama Elsha," ujar
Carolina enteng, lalu dengan santainya melenggang pergi.
Dasar Nenek Sihir jelek!
Sekali lagi kulirik jam tangan yang melingkar manis di pergelangan
tangan. Sekadar memastikan jamku tidak salah atau berhenti
berdetak. Segera kusambar ransel setelah kuteguk habis jus apel
ketiga. Percuma kembali melirik-lirik ke arah pintu kantin, pikirku.
Patra tidak akan datang, sekalipun ini Jumat. Dengan langkah
gontai aku berjalan ke kasir.
"Berapa semuanya, Mbak?" tanyaku sambil mengaduk isi tas,
mencari dompet.
"Tiga jus apel, semuanya jadi lima belas ribu rupiah. Temannya nggak jadi datang ya, Mbak?" tanya Mbak Dini, sang kasir,
ramah. Rupanya kegelisahanku sejak tadi terbacanya.
"Iya, udah pulang kali," jawabku asal, sekadar basa-basi
sambil menyerahkan selembar I Gusti Ngurah Rai. Kan kasihan,
masa nggak dijawab, walaupun sejujurnya aku tidak tahu Patra
ada di mana.
154 15418155
"Kembaliannya 35 ribu rupiah, silahkan. Terima kasih," ujar
Mbak Dini, lalu menyerahkan struk yang segera lecek kuremas,
lalu kujejalkan begitu saja di kantong rok.
Lenganku ditarik saat aku hendak melangkah ke luar kantin.
Aku menoleh. Yah, yang ditungguin Patra, yang muncul justru
si Chris. "Kok lo belum pulang, Chris?"
"Hampir, tadi. Tapi gue lihat lo di sini."
"Terus?" Alisku bertemu. Aku heran. Gila apa nih cowok? Gue
di rumah bisa dibunuh Estri kalau dia lihat kami berdua.
"Lo pasti nungguin Patra."
Aku mengangguk cepat.
"Dia udah pulang dari tadi, Ngen. Dia langsung cabut setelah
ujian."
Aku tak sanggup menyembunyikan kekagetanku. Aku nggak
habis pikir.
"Lho, emangnya dia nggak ikut briefing hari ini? Hari ini hari
terakhir anak kelas 3 ujian semester, kan? Setau gue wajib ikut
deh, soalnya mulai Senin lo pada udah pakai jadwal khusus,
kan?"
"Iya. Dia izin, Ngen."
"Izin pergi lagi? Ke mana? Kemarin sebelum ujian semester
dia udah izin, terus sekarang begitu kelar ujian dia izin lagi. Dia
sama sekali nggak datang di acara latihan drama kita lho,
Chris."
"Iya, gue tahu. Lo pasti senewen banget. Apalagi gue denger
si Carolina ganti-ganti lagu buatan kalian, kan?"
"Nah, itu dia masalahnya. Dan sampai sekarang temen lo itu
nggak muncul. Menurut lo gue harus gimana?"
"Sabar, Ngen."
155 15518156
"Yah, nggak bisa sabar juga sih, Chris. Gue ngerasa kayak
kerja keras gue selama ini percuma. Habis, dengan seenak jidat
si Carolina main ganti-ganti aja. Mana Pak Dave juga kayaknya
ngikutin aturan main si Carolina. Lo tahu nggak sih si Patra ke
mana?"
"Dia izin pergi ke Singapura, lanjut terus sampai liburan
Natal."
"Hah? Yang bener aja? Jadi dia nggak masuk-masuk lagi
sampai nanti semester dua mulai?"
Chris mengangguk, lalu menambahkan, "Yah, kalau lo tanya
kenapa dia bisa dapat izin liburan lebih cepat, gue juga nggak
tahu. Mungkin karena dia pinter, makanya diizinin Kepala
Sekolah. Mungkin dipikirinya, toh selama sisa dua minggu ke
depan anak-anak kelas lulusan cuma ngulang-ngulang pelajaran
semester dua. Kami kan udah kelar belajar materi, Ngen. Januari nanti kami mengulang pelajaran dari kelas satu, buat UN."
Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Sian Ku Po Pendekar Kembar 5 Gairah Sang Pembantai Pendekar Gila Karya Cao Re Bing
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama