Ceritasilat Novel Online

Langit Di Atas Merapi 1

Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono Bagian 1



LANGIT DI ATAS MERAPI

Oleh'. Maria A. Sardjono

Ebook by pustaka-indo.blogspot.com

GM 401 01 14 0093

(9 Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Gedung Gramedia Blok 1, Lt. 5

Jl. Palmerah Barat 29-33, Jakarta 10270

Desain sampul'. maryna_design(q)yahoo.com

Diterbitkan pertama kali oleh

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

anggota 1KAP1,]akarta, 2014

www.gramediapustakautama.com

Hak cipta dilindungi oleh undangandang.

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Cetakan keempat. Oktober 2002

Cetakan kelima'. November 2014

288 hlm; 18 cm

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta

Isi di luar tanggung jawab percetakan

MOBIL terus melaju ke atas dan menyusuri jalan

yang mulai berkelok-kelok, sementara rumah dan

bangunan di kiri-kanan jalan raya hingga sekitar

dua puluh kilometer dari kota Yogya mulai tampak

berkurang kepadatannya. Pandang mataku pun

mulai menjadi bebas menatapi kerimbunan pepohonan, bukit-bukit. dan lembah di sebelah kiri dan

kanan jalan yang kami lalui.

"Pemandangannya bagus ya, Ma?" suara bocah

lelaki yang duduk di sampingku meraih kembali

perhatianku dari jalan raya dan pemandangan di

sekitarku. "Jalannya juga sepi. Tidak ramai seperti

jalan ke Puncak."

"Ya, Sayang. Penduduk di sekitar tempat ini

dan juga di kota-kota yang berdekatan dengan

tempat ini tidak sebanyak penduduk di Jakarta

dan sekitarnya. Dengan demikian, jalan-jalannya

juga tidak seramai di sana."

"Jakarta ke Puncak itu dekat ya, Ma?"

"Ya, sebetulnya tidak terlalu dekat juga sih. Tetapi orang-orang Jakarta suka sekali berlibur ke

Puncak. Akibatnya jalanan di sekitar tempat itu

selalu ramai. Belum lagi banyaknya orang-orang

berjualan yang mengharapkan dagangannya dibeli

oleh orang-orang Jakarta," aku menjawab pertanyaan bocah itu sambil tersenyum.

Kemudian pelan kubuka jendela mobilku lebarlebar, dan kubiarkan udara sejuk pegunungan dengan rakusnya menyerbu masuk ke dalam mobil.

Rambutku mulai terburai dipermainkan angin, sebagian menutupi dahi, mata, dan hidungku. Cepatcepat rambut yang menutupi pandangan mataku

kusingkirkan dengan telapak tanganku. Aku tak

ingin kewaspadaanku terganggu. Sudah teramat

lama aku tak pernah melewati tempat ini. Mungkin

saja ada bagianwbagian yang dulu akrab denganku

kini terlupakan. Atau berubah.

"Gunungnya juga indah ya, Ma...?" kudengar

lagi bocah lelaki itu berkata dengan suaranya yang

bening.

"Ya, Sayang." kusahuti komentarnya sambil

menatap puncak Gunung Merapi di kejauhan yang

dikatakan indah oleh anak itu. Langit yang melatarbelakangi gunung itu tampak begitu bersih

menjelang sore itu. Matahari masih bersinar terang.

Rasanya aku melihat kepulan asap kecilukecil

mengikuti sesuatu yang bergulir dari bagian puncak"

nya ke arah lerengnya yang gundul. Gunung Merapi sebagaimana yang amat kukenal, memang tak

pernah tidur lelap. "Kau senang melihatnya, Nak?"

"Senang sekali, Mama!" Kulirik anak itu yang

berbicara sambil menganggukkan kepalanya yang

' mungil. "Iyo suka Gunung Merapi itu. Iyo juga

senang sekali akan melihat rumah Eyang dan

tempatwtempat yang pernah Mama ceritakan."

Aku tersenyum lagi mendengar celoteh anak

itu. Rio anak yang sangat menyenangkan. Wajahnya

tampan, otaknya cerdas. Untuk usianya yang hampir

sembilan tahun, ia mempunyai pemahaman dan

daya tangkap terhadap lingkungan sekitarnya lebih

cepat daripada anak-anak sebayanya. Setidaknya,

di sekitar tempat tinggal kami, yaitu di salah satu

perumahan baru di Jakarta. Meskipun demikian ia

tetap menyebut namanya sendiri dengan "Iyo",

walaupun ia sudah mampu menyebut namanya

- dengan benar dan jelas sejak bertahun-tahun yang

lalu. Sekarang ia sudah duduk di kelas dua dan

sedang menikmati libur panjangnya sebelum bulan

depan masuk ke kelas tiga.

"Ya, Sayang. Kita memang akan melihat rumah

Eyang dan tempat-tempat lain yang pemah Mama

ceritakan kepadamu," sahutku lama kemudian. sesudah mengagumi anakku sendiri tanpa merasa malu.

"Waktu masih kecil, Mama juga tinggal di rumah

itu?" tanya Rio lagi. '

Kulirik lagi anakku satu-satunya itu dengan rasa

bangga dan penuh kasih. Seperti aku, rambutnya

yang ikal itu juga dipermainkan angin pegunungan

yang nakal.

"Betul, Sayang."

"Kalau begitu kita nanti juga akan bertemu dengan teman-teman Mama dulu. seperti Iyo bertemu

dengan teman-teman Iyo yang ada di Jakarta?"

Pikiran yang logis. la membayangkan masa kecilku dulu seperti pengalamannya di Jakarta. Temanteman sebayanya cukup banyak di sekitar lingkungan rumah kami di. Jakarta. Tetapi justru karena

pertanyaan yang logis itulah senyum di bibirku

lenyap seketika. Tetapi meskipun senyumku telah

lenyap dan perasaanku menjadi kacau dengan tibatiba, pertanyaan Rin itu kujawab juga.

"Barangkali, Sayang."

Itu memang benar. Barangkali saja aku akan

bertemu dengan salah seorang atau malah beberapa

orang di antara sekian banyak teman-teman masa

kecilku dulu. Kukatakan salah seorang atau beberapa orang saja-padahal jumlah teman-ternan sepermainanku cukup banyak-itu karena aku tak

yakin apakah mereka masih ada di sana kalau

mengingat rentang waktu yang sudah berlalu

hampir sepuluh tahun lamanya. Sekarang ini kebanyakan di antara mereka pasti sudah "turun

gunung" mencari penghidupan di kota-kota besar.

Kalaupun masih ada di antara mereka yang tetap

tinggal di sana, aku tak yakin apakah tempat tinggal mereka masih tetap di rumah orangtua masingmasing. Sebab kalau menilik rata-rata usia mereka,

besar kemungkinan mereka sudah berumah tangga.

Aku saja, yang termasuk paling muda di antara

mereka, umurku sudah hampir 29 tahun, sedangkan

anakku sudah duduk di kelas tiga.

"Mama...." Untuk kesekian kali kudengar suara

renyah di sampingku. Kutolehkan kepalaku sesaat

lamanya.

"Ya, Sayang?" sahutku.

"Apakah teman Mama dulu banyak?"

Aku tertawa di dalam hatiku. Sebab biasanya

kalau ia. sudah mempergunakan kata "apakah" se'perti yang ditirunya dari para pewawancara di

televisi, pertanyaanupertanyaan berikutnya akan

datang silih berganti dengan nada menuntut agar

yang ditanya mau menjawab apa pun pertanyaannya.

"Ya, Sayang!" sahutku kemudian. "Teman Mama

dulu banyak sekali."

"Apakah Mama masih ingat nama-nama mereka?" Seperti yang sudah kuduga, Rio melanjutkan

pertanyaannya yang ia awali dengan kata "apakah"

tadi. Tetapi kalau pertanyaannya tadi menyembulkan rasa geli di hatiku, pertanyaan berikutnya itu

menimbulkan rasa gamang 'di relung hatiku yang

terdalam.

"Tidak semua nama-nama mereka Mama ingat,

Sayangi" sahutku dengan suara lemah.

"Bisakah Mama sebutkan nama-nama mereka

yang masih Mama ingat?"

"Yah, hanya beberapa saja yang Mama masih

ingat. Antara lain Fitri, Nanik, Bambang, Adi,

dan" Aku hampir tersedak ketika nama Bayu

nyaris meluncur keluar dari mulutku. Karenanya

cepat-cepat kulanjutkan mengeja nama-nama lain

yang masih melekat di ingatanku. "Titik, Hari

dan masih banyak lagi."

Bayu, lanjutku dalam hati. Ah, ternyata nama

itu masih bisa membuatku gugup. Bahkan kacau.

Rupanya semakin dekat keberadaanku ke tempat

aku dulu sering bertemu dengannya, semakin besar

pengaruh nama itu pada diriku. Padahal'di Jakarta,

nama itu tak terlalu mengganggu perasaanku.

Sesungguhnya sulit bagiku untuk merumuskan

secara tepat apa yang berkecamuk dalam batinku

setiap nama itu singgah di sana. Bahkan aku juga

tak bisa mengatakan secara pasti apakah aku membencinya, menyukainya, atau yang lainnya.

Bayu adalah teman Mas Totok, kakakku yang

ketiga. Meskipun sama-sama tinggal di kaki Merapi, jarak antara rumah orangtua Bayu dan rumah

orangtuaku cukup jauh. Orangtua Bayu tinggal di

Turi. Rumah orangtuaku terletak di Kaliurang. Tetapi ia lebih banyak bergaul dengan teman-teman

di Kaliurang. Sebabnya bukan saja karena ia dan

Mas Totok bersahabat dan bersekolah di tempat

yang sama sejak mereka masih'duduk di SD, tetapi juga karena kakek nenek Bayu bertetangga

dekat dengan orangtuaku. Rumah Eyang Sosro,

kakek Bayu, terletak di belakang rumah orangtuaku,

hanya berbatasan dengan pagar tembok setinggi

-dua meter. Rumah orangtuaku menghadap ke jalan

besar, sedang rumah Eyang Sosro menghadap ke

jalan kecil yang berada di sisi kiri rumah orangtuaku. Rumah orangtuaku terletak di sudut antara

jalan besar dan gang kecil yang menuju ke rumah

Eyang Sosro. Siapa pun yang akan pergi ke rumah

Eyang Sosro, pasti melewati sisi kiri rumah orangtuaku. Kebetulan jendela kamarku yang lebar itu

menghadap ke halaman yang membatasi rumah

orangtuaku dengan gang kecil itu. Dengan demikian

kalau Bayu lewat dengan sepedanya dan bersiulsiul memanggil Mas Totok, aku selalu melihatnya

kalau kebetulan sedang berada di kamarku.

"Ma, apakah hawa di rumah Eyang lebih dingin

daripada di Puncak?" untuk kesekian kali kudengar

lagi serbuan pertanyaan yang diawali dengan kata

"apakah" itu. Maka ingatanku yang mulai mengembara ke masa lalu diraih kembali ke masa

kini oleh pertanyaan anakku tadi.

"Barangkali sama dinginnya, Rio," kujawab pertanyaannya itu dengan sabar. "Karena dua-duanya

terletak di kaki gunung."

Rio menganggukkan kepala. Matanya bergerak

lincah menangkap seluruh panorama yang tersaji

di sekitar tempat itu. Kubiarkan dia dengan keasyikannya itu. Dan pengembaraan ingatanku ke

masa lalu pun berjalan kembali.

Sejak kecil aku sudah tidak menyukai Bayu.
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wajahnya yang sebetulnya termasuk ganteng tak

pernah membuatku menyukainya. Aku sering sekali

merasa jengkel terhadapnya. Sebab setiap ia melihat

ke arahku, bibirnya yang bagus itu ditekuknya

membentuk seringai yang kurang ajar. Begitu juga

pandang matanya yang menyiratkan kebadungannya

selalu menatapiku dengan pandangan mengejek.

Entah apa maksudnya, tetapi aku sungguh benci

sekali. Waktu itu aku hanya menduga kebencianku

kepadanya disebabkan karena usiaku yang akil

balig, usia ketika seorang gadis "kencur" membenci

pemuda-pemuda sebayanya. Begitulah yang sering

kudengar dipereakapkan orang. Jadi, kupikir kebencianku kepada Bayu itu sesuatu yang sah-sah

saja kualami. Nanti juga akan hilang dengan sendirinya.

Tetapi ternyata tidak. Aku tetap membencinya

ketika aku sudah duduk di bangku SMP. Pada

masa itu kebencianku kepada Bayu kuanggap cukup

beralasan. Sebab Bayu memang badung. Kalau

ada ayam tetangga salah masuk atau mampir memasuki halaman rumahnya, pasti ayam itu tak akan

pernah kembali ke pemiliknya sampai kapan pun.

Sebab Bayu telah menyembelihnya. Begitupun kalau ada burung dara kesasar masuk ke sekitar

rumahnya, pasti binatang itu akan menjadi sajian

burung dara goreng baginya. Ibu atau neneknya

terpaksa harus mengganti kehilangan itu dengan

sejumlah uang. Dan Bayu dimarahi habis-habisan.

Tetapi tak jera-jeranya ia melakukan kenakalan

yang sama.

Karena melihat kenakalannya itu, Ibu dan Bapak

melarang Mas Totok bergaul dengannya. Tetapi

kakakku itu membelanya mati-matian.

"Sebenarnya Bayu itu anak yang baik, Bu. Tetapi

karena kehilangan kasih sayang ayahnya, ia jadi

begitu!" kata Mas Totok. "Ayahnya kan menikah

lagi dan meninggalkan ibunya begitu saja."

"Pantas ia sering menginap di rumah Eyang

Sosro!" komentar ibuku. "Rupanya ia mencari figur

ayah pada kakeknya itu. Dan untungnya Eyang

Sosro bisa menjadi panutan baginya. Bahkan bisa

memenuhi kekurangannya akan kasih seorang ayah!"

Ibuku memang tidak salah. Eyang Sosro termasuk orang yang dihormati di daerah kami. Bukan

saja karena usianya yang sudah mendekati delapan

puluh tahun tapi penampilannya tetap anggun, namun juga karena lamanya beliau dan generasi generasi sebelumnya tinggal di sekitar daerah kaki

Merapi ini. Keluarga Eyang Sosro merupakan sesepuh di daerah itu. Banyak orang mengatakan

bahwa Eyang Sosro mendapat kepandaian meramal

kegiatan Gunung Merapi dari kakeknya. Kapan

gunung itu akan meletus atau menyemburkan awan

panas menakutkan yang biasa disebut wedus gembel

karena bentuk awannya yang seperti kambing berbulu tebal dan keriting itu, Eyang Sosro tahu. Dan

ia akan memberi saran-saran kepada orang-orang

di sekitarnya untuk siap siaga. Dan kapan Gunung

Merapi hanya batuk-batuk saja. Eyang Sosro juga

dapat meramalkannya dengan tepat. Tak heran

kalau orangorang yang tinggal di sekitar kami

lebih mempercayai ramalan Eyang Sosro daripada

Dinas Vulkanologi.

Berdasarkan hal-hal semacam itulah akhirnya

kedua orangtuaku dapat menerima kehadiran Bayu

dengan lebih baik. Dengan memandang-Eyang Sosrolah maka sampai dewasa Bayu dapat bersahabat

dengan Mas Totok. Dan sedemikian akrabnya Bayu

dengan Mas Totok sehingga kalau bukan dia yang

menginap di kamar Mas Totok, tentu Mas Totok

yang menginap di tempatnya. Lebih-lebih kalau

mereka berdua harus belajar bersama. Tetapi yang

paling sering terjadi adalah Bayu yang menginap di

kamar Mas Totok. Bahkan meskipun kakakku itu

sedang pergi. Tak heran karena kamar kakakku

mempunyai pintu keluar sendiri.

Ketika kami semua sudah beranjak dewasa. aku

tetap tidak menyukai Bayu. Menurutku ia masih

saja kurang ajar. Tak jarang matanya mengedip

sebelah ke arahku kalau tidak ada orang lain yang

memperhatikan kami. Dan begitu melihat bibirku

cemberut. pemuda itu akan tertawa menyeringai.

Tampaknya senang sekali ia membuatku jengkel.

Kurang ajar, memang.

Meskipun demikian kecuali sikapnya yang sering

kali menjengkelkan orang itu, tak ada lagi cacat

lain padanya. Bahkan ia termasuk murid yang

cerdas. Begitu lulus SMA ia diterima di GAMA,

di Fakultas Pertanian. Padahal Mas Totok yang

juga termasuk cerdas, tidak lulus ujian masuk. ia

terpaksa kuliah di tempat lain. Walaupun begitu

persahabatan mereka tak pernah berubah barang

sedikit pun.

Meskipun ia tampak cemerlang sebagai mahasiswa di Universitas Gajah Mada, kadar kebencianku terhadap pemuda itu tak pernah berkurang.

Bahkan semakin menebal ketika aku mendengar

informasi dari Bambang yang tinggalnya di depan

rumah kami, bahwa Bayu menjalin persahabatan

dengan Mas Totok karena ingin mendekatiku.

"Dia begitu pongah lho, Mega. Dia yakin suatu

saat nanti akan berhasil merebut hatimu," kata

Bambang waktu itu. Saat itu aku masih duduk di

bangku SMA.

"Mimpi di siang hari, dia itu!" bantahku ketika

itu. "Ngawur saja."

"Memang," Bambang menyetujui perkataanku.

"Apalagi ketika ia sesumbar bahwa kalau ia berhasil menjadikanmu kekasihnya, kami semua harus

gantian mentraktirnya makan."

"Enak saja dia bilang begitu. Siapa sih yang

sudi menjadi pacarnya!" Aku marah sekali waktu

itu.

"Itulah yang kami katakan kepadanya. Tetapi

dengan entengnya dia mengatakan bahwa Mega

dan Bayu diciptakan untuk selalu bersamansama.

Sebab seperti arti nama kalian, angin dan awan

kan memang tak pernah berpisah!"

"Eh, seenak perutnya saja dia berkata seperti

itu!" Saking marahnya, kebencianku kepada Bayu

jadi semakin menyebar ke seluruh hatiku.

"Dia bisa berkata seperti itu kan karena kau

adik Totok, sahabat karibnya. Pikimya, melalui

Totok kau bisa didekati dengan lebih mudah."

"Itu tak akan terjadi," sahutku dengan yakin.

"Jangan merasa begitu yakin, Mega. Bayu cukup

banyak memiliki daya tarik."

"Tidak bagiku!" aku mencibir. "Apalagi kemungkinan besar aku akan kuliah di Jakarta setelah

lulus SMA nanti. Budeku yang tidak mempunyai

anak sangat ingin menyekolahkanku di sebuah universitas favorit di sana."

Tetapi keyakinan diriku untuk tidak mudah ter?

goda oleh Bayu bukan melulu karena aku akan

pindah ke Jakarta saja, tetapi juga karena hatiku

sudah terjerat oleh pemuda lain. Cinta pertamaku

kulabuhkan kepada Wangsit, kakak kelasku yang

tinggi dan gagah itu. Ia jagoan basket di sekolah.

Dia juga jago main gitar dan penyanyi terbaik di

sekolah kami. Meskipun banyak gadis yang jatuh

hati kepadanya, Wangsit cuma mencintaiku. Dan

meskipun ia menjadi pusat perhatian temanwternan

di sekolah kami, perhatiannya hanya ia berikan

kepadaku saja. Maka kami pun berpacaran. Umurku

waktu itu tujuh belas tahun dan Wangsit delapan

belas tahun. Cinta remaja.

Aku berharap cinta yang tumbuh di masa remaja

kami itu akan berkembang menjadi cinta dewasa

seiring dengan bertambahnya usia kami nantinya.

Dan itu bukan sesuatu yang mustahil sebab tidak

sedikit yang mengalami percintaan demikian. Bahkan beberapa di antaranya berhasil sampai ke

jenjang perkawinan setelah berpacaran selama lima

atau enam tahun.

Tetapi -tahun tahun yang berlalu membuktikan

pada diriku bahwa aku tak termasuk yang beruntung seperti itu. Setelah lulus SMA aku dan

Wangsit terpaksa harus berpisah. Ia tidak diterima

kuliah di universitas-universitas favorit kota Yogya.

Tetapi di universitas negeri kota Solo, ia justru diterima. Jadi berpisahlah kami.

Pada mulanya setiap minggu ia pulang ke Yogya

dengan sepeda motornya yang besar dan bagus

itu. Dan kemudian kami berdua akan berjalanjalan untuk melepaskan rindu kami. Tetapi lamakelamaan kedatangannya kembali ke Yogya semakin

jarang dan akhirnya tidak sekali pun ia singgah ke

rumahku kalau pulang ke Yogya. Hatinya telah

berpindah kepada gadis lain, seorang gadis Solo

yang sangat feminin, lembut, dan keibuan. Amat

berbeda dengan diriku. Aku gadis yang termasuk

tomboi. Aku tak suka duduk bermanis-manis seperti

yang diajarkan para ibu kepada anak-anak gadis

mereka. Aku tidak suka memasak. Aku tidak suka

menjahit. Aku tidak suka melakukan hal-hal yang

biasa diajarkan oleh para orangtua kepada anak

gadis mereka.

Sifatku yang seperti itu memang banyak dipengaruhi oleh ketiga kakak lelakiku. Aku satu!

satunya anak perempuan dalam keluargaku. Tetapi

kesukaanku pada hal-hal yang berbeda dari yang

biasa dilakukan oleh teman-teman perempuanku

bukanlah melulu karena pengaruh pergaulanku dengan ketiga kakak lelakiku maupun teman-teman

mereka. Pada dasarnya aku menyukai sesuatu yang

sifatnya dinamis dan mengandung tantangan. Tak

heran kalau ketiga kakak lelakiku pergi mencari

kodok ke sawah atau ke lembah Merapi, aku akan

ikut mereka meskipun semua orang memarahiku.

Tetapi ketika ternyata aku lebih sering dapat menangkap kodok dan sedikit pun aku tidak merasa

jijik memegang binatang yang licin dan dingin itu,

mereka membiarkan aku mengekor di belakang

mereka. Begitupun kalau salah seorang di antara

mereka pergi bermain layang layang, aku akan

ikut. Bahkan aku juga ikut bermain sepak bola.

Memang mula-mula ketiga kakak lelakiku me

nertawakan aku ketika kutawarkan diriku sewaktu

mereka kekurangan pemain." Tetapi aku nekat. Dan

ketika aku beberapa kali berhasil memasukkan

bola ke gawang musuh, kehadiranku di lingkungan

anak-anak lelaki itu mulai diperhitungkan. Tetapi

Ibu sangat marah sekali mengetahui hal itu.
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan menyalahi kodratmu sebagai perempuan,

Mega!" katanya ketika kelakuanku masih juga belum

berubah meskipun sudah duduk di tingkat akhir

SMP. Waktu itu ibuku memergokiku naik motor

besar milik Mas Didik, kakak tertuaku, yang suara?

nya menderum-derum. Umurku saat itu sekitar lima

belas tahun.

Selain menyukai hai-hal yang menantang termasuk dalam permainan, aku juga seorang kutu

buku. Segala macam dan jenis buku kecuali yang

jorokwjorok, kubaca dengan lahap. Oleh sebab itu

apa yang dikatakan oleh ibuku mengenai kodrat,

segera kubantah.

"Menurut Ibu, kodrat itu apa sih?" pancingku.

Karena seringnya ibuku memakai kata itu, aku

berusaha menemukan arti kata itu di antara bukubuku yang kubaca. Sungguh tak enak mendengar

perkataan yang itu-itu saja dan yang hanya ditujukan kepadaku, bukan kepada anak-anaknya yang

lain.

"Kodrat itu ya kodrat, begitu saja. Sesuatu yang

sudah ditakdirkan demikian."

"Jadi menurut [bu, kodrat perempuan itu tidak

boleh naik motor besar, tidak boleh memanjatmanjat, tidak boleh bermain sepak bola, tidak boleh

main layangan, dan hanya boleh mengerjakan halhal yang manis-manis seperti menyulam dan lain

sebagainya?" kataku dengan suara menantang, agar

ibuku mau berpikir dengan kritis. "Jadi apa yang

aku lakukan menyalahi kodrat?"

"Yah, semacam itulah!" Aku tahu ibuku tak

mampu menjawab pertanyaanku dengan suatu kepastian. Itu berarti dia sendiri hanya mendapat

pengetahuan tentang kodrat perempuan dari pandangan yang diajarkan oleh orangtuanya, neneknya,

dan juga dari pembicaraan-pembicaraannya dengan

orang lain. Bukan dari pemikirannya sendiri.

"Tetapi, Bu, yang pernah kubaca dan juga kukritisi. mengatakan bahwa apa yang dinamakan

kodrat adalah sesuatu yang tidak bisa diubah; merupakan bawaan yang diciptakan oleh Tuhan. Itu

artinya kodrat perempuan itu ya mengandung, mea

lahirkan, dan menyusui.- Pokoknya sesuatu yang

melekat padanya, yang tidak bisa dan tak mungkin

terjadi pada lelaki. Jadi, Bu, bahwa perempuan

tidak boleh memanjat-manjat dan lain sebagainya

melainkan harus lemah-lembut, harus begini dan

begitu, itu bukan kodrat, melainkan sesuatu yang

dibuat, hasil suatu pendidikan. Hasil pembudayaan

yang diturunkan dari generasi ke generasi melalui

berbagai sektor kehidupan. Berarti sesuatu yang

mungkin dan bahkan bisa berubah. Misalnya saja,

Bu, kalau dulu seorang gadis tidak pantas mengenakan celana pantalon, sekarang hal itu sudah

sangat biasa."

Aku tidak tahu apakah yang kukatakan itu

dibenarkan atau tidak oleh ibuku. Tetapi aku tahu

betul, ibuku tak berani mempersoalkannya. Apalagi

kepadaku.

Meskipun demikian sejak itu Ibu hanya diam

saja walaupun tak menyetujui perbuatanku. Apalagi

kalau ia melihat bagaimana aku berhasil membetula

kan setrika listrik. bahkan mampu memperbaiki

genteng yang bocor. Tetapi toh aku tidak ingin

melihat ibuku merasa tak enak. Jadi kukatakan

kepadanya suatu kenyataan yang harus ia terima

dengan lapang dada.

"Tuhan tidak menciptakan, memerintahkan, atau

membedakan jenis pekerjaan mana yang boleh

dilakukan oleh kaum pria dan mana yang boleh

dikerjakan oleh kaum perempuan. Sebaliknya Ia

juga tidak melarang. apalagi menghukum manusia

karena hal-hal semacam itu. Yang penting, Bu,

asalkan seorang perempuan sanggup dan mampu

mengerjakan pekerjaan yang biasa dilakukan pria,

kenapa harus dilarang? Dan kalau seorang lelaki

pandai menyulam, kenapa tidak boleh? Nyatanya,

Bu, kalau seorang lelaki pandai memasak, kepandaian itu malahan bisa dijadikan profesi. Juru

masak di hotel, misalnya. Gajinya besar, malah.

Ya, kan, Bu?"

' "Yah... mungkin memang begitu."

"Bukan hanya mungkin. Bu. Tetapi betul begitu.

Kalau seorang perempuan diperbolehkan memanjatmanjat, melompat-Iompat, dan lain sebagainya, ia

akan tumbuh dengan baik. Sehat, tinggi, kuat, dan

lentur."

"Ah, kalau itu sih Ibu tidak setuju. Perempuan

ya harus lemah lembut. Harus keibuan." bantah

ibuku. '

"Karena memang begitulah yang biasa dilihat

oleh Ibu dan kita semua. Berbeda sedikit, dianggap

tak lazim. Padahal kalau kita biasa melihat perempuan gagah, ya tidak apa-apa."

Ketika Wangsit jatuh hati kepada gadis yang

berbeda dari apa yang ada padaku, ada dua hal

yang menyentuh telak perasaanku. Pertama, aku

sadar sudah bahwa kini hubunganku dengan petnuda cinta pertamaku itu telah putus. Tak ada

lagi kemanisan-kema'nisan di antara kami berdua.

Ceritanya sudah tamat. Yang kedua, aku semakin

menyadari betapa terbelenggunya kebebasan seorang perempuan oleh berbagai macam tradisi,

budaya, dan aturan-aturan, serta pandangan. Ada

semacam sistem nilai yang dianut oleh masyarakat,

bahwa perempuan yang baik dan perempuan yang

menarik itu adalah perempuan yang begini atau

begitu. Misalnya, perempuan yang feminin, yang

lemah lembut, dan keibuan. Sehingga seorang perempuan semenjak kecil akan kehilangan kebebasannya untuk melakukan apa yang sungguh-sungguh

dikehendakinya. Lebih-lebih kalau itu tidak sesuai

dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat

mengenai bagaimana sebaiknya sikap seorang perempuan yang "baik".

Memang harus kuakui, pindahnya hati Wangsit

kepada seorang gadis yang berbeda dariku itu

sempat membuatku merasa gamang dan berpikir

pikir bahwa janganvjangan akulah yang keliru menempatkan diri. Jangannjangan caraku memandang

dunia ini tidak tepat. Tetapi untunglah kegamangan

itu tidak lama. Bahkan muncul pemikiran baru

yang lebih baik, bahwa bagaimanapun juga cara

pandangku yang masih dianggap lain dan mungkin

pula dianggap ekstrem itu, justru membuktikan

bahwa aku memiliki suatu sikap. Memiliki prinsip

hidup yang tidak asal mengekor dan mengikuti

nilai-nilai orang banyak. Sebab belum tentu nilainilai yang dianut orang banyak itu benar.

Mendapat pikiran baru seperti itu. perasaanku

menjadi lebih tenang dan lebih memiliki kepercayaan diri. Aku toh termasuk perempuan normal.

Bahkan perempuan sejati. Tubuhku tumbuh sesuai

dengan bentukan dan asuhan alam. Berlekuk di

bagian yang harus berlekuk dan menonjol di bagian

yang seharusnya menonjol. Surat Wangsit yang

dititipkan pada salah seorang teman kami tak lagi

membuatku limbung.

"Dia membuatku menyadari arti keberadaanku

sebagai seorang lelaki, Mega. Senang rasanya ada

yang bermanja-manja padaku. Bangga rasanya ada

seseorang yang merasa terlindung olehku." Begitu

antara lain surat permintaan maaf Wangsit kepadaku, yang sempat menggamangkan batinku waktu

itu.

Sekarang aku tahu Wangsit belum memiliki kedewasaan yang matang. Untuk mendapatkan identitas dirinya sebagai seorang lelaki, ia membutuhkan keberadaan seorang perempuan yang lemah

lembut, yang manja, yang tak memiliki kemandirian. Dengan kata lain tatkala Wangsit masih menjadi

kekasihku, ia tidak merasa dirinya sebagai pria

sejati karena aku mempunyai cara, sikap, dan pemikiran yang tak berbeda dengan apa yang ada

pada dirinya.

Namun lepas dari itu semua, kepergian Wangsit

dari kehidupanku meninggalkan luka menganga

yang terasa sangat menyakitkan. Berminggu-minggu

lamanya aku menangisi kehilangan itu. Berminggu minggu pula aku kehilangan selera makan dan kemauanku untuk belajar. Konsentrasiku sering buyar.

Tetapi untungnya aku lulus juga dari SMA meskipun tidak dengan nilaianilai yang sangat tinggi sebagaimana yang kutargetkan jauh-jauh hari sebelumnya. Hanya saja semangatku untuk mencari

tempat melanjutkan studiku merosot dengan drastis.

Untunglah ibuku yang penuh pengertian selalu

mendampingiku, bahkan memberiku semangat agar

aku tidak hanya memfokuskan pada universitas di

Jakarta saja.

"Selain mengikuti ujian tes masuk perguruan

tinggi di sana, kau juga harus mengikuti ujian masuk

universitas di Yogya Mega!" begitu ibuku berkata.

"Sebab belum tentu kau diterima kuliah di kota

Jakarta sana. Jadi, setidaknya ada cadangan tempat

di Yogya ini."

Aku menurut. Saat itu aku sudah pergi ke Jakarta

selama satu minggu. Selama seminggu itu ada tiga

universitas swasta favorit yang kuikuti ujian masuknya. Dan kuakui, ujiannya tidak mudah. Untuk

mengerjakannya dengan baik perlu konsentrasi penuh.

Hal itu bukan saja karena materi ujiannya yang tidak

mudah, tetapi juga karena semangat belajarku sedang

berada di titik terendah gara-gara patah hati. Jadi

anjuran ibuku agar aku juga mendaftarkan diri ke

universitas di Yogya kuturuti. Bahkan aku berpendapat, semakin sering aku belajar dan semakin sibuk

aku mencari sekolahan, akan semakin menyita waktuku, hingga pikiranku tentang Wangsit agak tersisihkan. Diriku sudah terlalu lelah secara fisik maupun

mental untuk memikirkan hal-hal lainnya, termasuk

yang berkaitan dengan Wangsit.

Sepulang dari Jakarta aku langsung mendaftarkan

diri ke berbagai universitas yang ada di'Yogyakana.

Dengan sepeda motor aku mengarungi kota Yogya

untuk mendaftarkan diri, mengambil dan mengisi

formulir, memfotokopi ijazahku sebanyak sekian

lembar dan mengurus legalisasinya, mencari surat

keterangan kelakuan baik, mengafdruk pasfoto, dan

lain sebagainya. Dan tentu saja mengikuti ujian

masuk ke universitas yang bersangkutan.

Sedernikian sibuknya aku melakukan itu semua

sehingga sering kali aku lupa makan lupa minum.

Bahkan beberapa kali aku pernah berhujan-hujan.

Apalagi kalau perjalananku dalam hujan itu meng"

arah ke rumahku di Kaliurang. Tetapi aku lupa

bahwa manusia ini memiliki keterbatasan dalam

banyak hal, termasuk daya tahan fisik. Meskipun

aku memiliki fisik yang sehat, meskipun aku mampu membagi waktu, tetap saja itu semua ada

batasnya. Ketika aku lupa sarapan dan urusanku

baru selesai pada jam tiga siang, ditambah dalam

perjalanan pulang ke Kaliurang aku kehujanan,

pada saat itulah batas kekuatanku jebol. Aku jatuh

sakit.

"Sudah tahu musim hujan, tidak membawa jas

hujan!" begitu ibuku marahwmarah ketika memergoki aku minum obat flu. "Dan sudah tahu kurang

tidur dan kurang istirahat, tidak mau menyempatkan
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sarapan. Makan itu perlu untuk menambah daya

tahan tubuh, Nduk. Jangan menganggap dirimn

masih muda, kuat, dan hebat. Selama dirimu masih

seorang manusia, kau memiliki kelemahan dan

keterbatasan yang sama seperti manusia-manusia

lain."

Aku diam saja, tak ingin membantah. Kepalaku

terlalu sakit untuk menjawab perkataan ibuku. Dan

suhu tubuhku terasa meningkat dari waktu ke waktu.

Yang kuinginkan saat itu hanya membaringkan dirik

ku di atas tempat tidur, berselimut. dan melupakan

semua hal yang menyusahkan diriku

"MAMA, apakah di rumah Eyang nanti Iyo akan

mempunyai teman?" kudengar suara anakku merebut kembali ingatanku dari masa laluku.

"Mudah-mudahan. Sayang. Mama tidak tahu apakah sekarang di sekitar rumah Eyang ada banyak

anak kecilnya atau tidak!" sahutku sambil mengklakson seorang pengendara sepeda yang membawa

tumpukan kayu kering. Entah kerepotan dengan

bawaannya atau memang belum begitu ahli mengendarai sepeda, pengendara itu membawa sepedanya dengan gerakan yang agak labil. Aku khawatir kalau-kalau mendadak ia mengarahkan sepedanya ke tengah jalan karena kehilangan kendali.

Dengan mengklaksonnya aku berharap lelaki itu

akan bersikap lebih hatiahati. Kalau ia tak sanggup

membawa sepedanya dengan jalan mengayuh, ia

bisa menuntunnya sampai ke tempat yang agak rata

jalannya.

"Kayu itu untuk apa, Mama?" Rupanya Rio

juga memperhatikan pengendara sepeda itu.

"Barangkali untuk memasak. Nak."

"Memasak? Bagaimana caranya memasak dengan

kayu?" Rio menaikkan alis matanya. "Memangnya

di sini tidak ada kompor gas ya?"

"Tentu saja ada. Nak. Tetapi di desa-desa atau

di kampung-kampung kompor gas termasuk barang

yang mewah, yang mahal. Tidak setiap orang bisa

membelinya."

"Kompor minyak tanah seperti punya tukang

bakso yang lewat itu, Ma?" tanya Rio lagi. "Apa"

kah di sini ada barangnya?"

"Pasti ada juga, Nak. Dan harganya juga tidak

terlalu mahal seperti kompor gas. Tetapi, Nak,

orang-orang desa lebih suka memasak dengan arang

atau kayu. Lebih irit dan lebih mudah dicari. Juga

ada baiknya karena dapat memanfaatkan barang

yang ada di pinggir-pinggir hutan."

"Daripada mengotori tempat itu kan, ya, Ma?"

"Ya," kujawab pertanyaan Rio dengan singkat.

Tentu tidak mudah bagiku untuk menjelaskan

bahwa hutan itu tidak akan pernah bersih. Selalu

kotor karena dipenuhi oleh daun-daun kering, daundaun busuk, ranting-ranting1 bahkan cabang-cabang

pepohonan yang patah akibat angin besar. Juga

tidak mudah bagiku untuk menjelaskan bahwa'

mengambil ranting-ranting kering dari hutan itu

termasuk perbuatan yang tahu menghargai sesuatu

agar tidak mubazir. Aku kenal Rio. Kalau ia menu

dengarkan satu penjelasan, ia akan menuntut penjelasan selanjutnya sampai ia tahu benar apa arti

semua itu. Saat ini aku sedang tidak ingin banyak

bicara. Kenangan masa lalu masih terus mem

bayangi pikiranku dengan segamya. Terlebih karena

yang terpeta dalam ingatanku tadi punya kaitan

dengan kehidupanku di masa kini.

Sepuluh tahun yang lalu sesudah kehujanan selama hampir satu jam di bawah siraman air dan

empasan angin, aku jatuh sakit. Selama satu minggu penuh. Seluruh tubuhku terasa ngilu dan pegalpegal. Kepalaku sakit. Leherku sakit. Suhu tubuhku

tinggi sekali. Kata dokter, aku kena flu berat

ditambah kondisi fisik dan mental yang sedang

jauh dari prima.

Sejak itu ibuku sangat ketat mengawasi setiap

gerakanku. Ia sangat khawatir karena dokter mengatakan aku hampir saja kena radang paru-paru. Dan

ibuku tahu betul, yang lebih parah daripada kondisi

fisikku adalah kondisi mentalku. Hanya saja ia tidak

tahu bahwa kehilangan Wangsit bagiku juga merupakan tonggak sejarah hidupku. Sebab sejak itu aku

mulai sadar tentang makna kehidupan ini. Dan juga

sejak saat itulah aku mulai menyadari keberadaanku

sebagai seorang perempuan. Bukan perempuan

sebagaimana yang diinginkan oleh seorang pemuda

dengan segala impian, dambaan, dan bentukannya.

Melainkan perempuan yang menyadari identitas

dirinya dan tahu apa yang ia maui, serta tahu otonomi dirinya. Bukan perempuan yang merupakan

bentukan dari orang lain, siapa pun dia orangnya.

Ibuku hanya tahu bahwa aku sedang patah hati.

Dan itu merupakan penyebab utama sakitku kemarin itu. Sebab pada kenyataannya aku memang

tak pernah iatuh sakit meskipun ikut main hujan

hujanan bersama ketiga kakak lelakiku. Masuk

angin saja pun tidak. Tak heran kalau sekarang ia

begitu mencemaskan diriku. Setiap aku kelihatan

sibuk dengan motorku, ia selalu mengejarku.

"Mau ke mana lagi?" tanyanya.

Kalau kujawab bahwa aku hanya akan mencari

makanan atau ke kantor pos yang tak begitu jauh

dari tempat kami, ibuku akan membiarkan. Tetapi

kalau aku menjawab mau turun ke kota, ibuku

langsung mencegah.

"Jangan pergi sendirian. Mega. Mintalah ayahmu

atau salah seorang kakakmu mengantarkanmu ke

sana!" katanya.

Sesekali menurut, tak apalah. Enak juga diantar

oleh seseorang. Tetapi iama-kelamaan aku merasa

tak bebas. Urusanku di kota bukan melulu pergi ke

suatu tempat saja, tetapi kadang-kadang juga ingin

mampir ke rumah teman atau iseng jalan-jalan ke

Malioboro misalnya. Pergi bersama mereka, aku

merasa seperti diawasi. Oleh karena itu ketika pada

suatu pagi aku sedang bersiap-siap turun ke kota

untuk mengikuti ujian masuk gelombang kedua

salah satu universitas, aku berniat untuk pergi sendiri. Kebetulan ibuku melihat aku sedang melap

motor bebekku.

"Mau pergi ke mana, Nduk?" tanyanya.

"Mau mengikuti ujian masuk gelombang kedua,

Bu. Waktu ujian masuk gelombang pertama di?

adakan, aku sedang sakitwsakitnya."

"Jangan pergi sendirian, Mega. Suruh kakakmu

Totok untuk mengantarkanmu pergi. Mumpung mo

bil ayahmu sedang menganggur," kata ibuku. "Lihat, langit sudah mulai mendung iagi."

"Langit mendung kan biasa, Bu. Namanya juga

sedang musim hujan!" sahutku. "Jadi sudahlah,

Ibu tak usah khawatir. Aku membawa jas hujan

serta baju hangat, dan aku pasti akan meneduh

kalau hujannya sangat lebat. Seperti Ibu, aku juga

tidak ingin sakit lagi."

"Daripada mengambil risiko kehujanan di tengah

jalan padahal kau mau ujian, kan lebih baik minta

masmu untuk mengantarkanmu."

"Bu, aku ini sudah dewasa dan sudah tidak

sakit lagi. Ibu kan tahu, aku tak suka menggantungkan diri pada orang lain."

"Mega, menurutlah pada Ibu untuk kali ini saja.

Coba kaulihat langit di sebelah sana itu. Mendungnya sudah semakin menebal saja dari waktu ke

waktu. Tidak enak lho mengerjakan ujian dengan

sepatu basah dan rambut berantakan!"

Ibuku benar. Aku bisa saja membalut tubuhku

dengan jas hujan. Tetapi bagian kakiku? Kalau

hujan terlalu deras dan angin bertiup kencang,

'sepatuku pasti akan basah. Dan rambutku berantakan. Entah sedikit entah banyak selalu saja ada

bagian tubuhku yang akan terkena air.

"Biar Ibu yang menyuruh kakakmu supaya mau

mengantarkanmu!" kata ibuku lagi ketika melihatku

terdiam.

Tetapi sebelum ibuku beranjak pergi, Mas Totok

keluar mendekati kami. Di belakangnya muncul

Bayu. Mereka berdua baru saja belajar mengope

rasikan komputer bersama-sama. Ketika itu komputer masih termasuk barang baru bagi mahasiswa.

Apalagi di kota kecil. Untuk membeli komputer

Bapak dan Ibu menjual beberapa perhiasan mereka.

Kedua orangtuaku memang sangat mementingkan

ilmu pengetahuan di atas hal-hal lainnya.

"Kenapa namaku disebut-sebut?" tanya kakakku.

Aku tidak mau menjawab. Kehadiran Bayu menyebabkanku merasa risi. Sejak hubunganku dengan Wangsit putus, pemuda itu semakin sering

cengar-eengir kepadaku.

"Mega mau pergi ujian, Tok. Antarkanlah dia

dengan mobil bapakmu. Ibu khawatir kalau-kalau

ia kehujanan di jalan. Lihat langit di sebelah sana

itu. Mendungnya tebal sekali."

"Aku tak bisa mengantarkan Mega, Bu. Ada

urusan lain yang harus kuselesaikan. Dan..."

"Aku tidak minta kauantarkan, Mas!" kataku

memotong. "Ibu saja yang ribut, seolah aku tak

bisa pergi sendiri."

"Bagaimana kalau aku yang mengantarkanmu

pergi?" Bayu menyela tiba-tiba.

"Aku akan berangkat sendirian. Titik!" sahutku

dengan suara ketus yang begitu saja keluar dari

mulutku. "Tak seorang pun yang akan mengantarkanku pergi."

"Ndak, mau hujan lho. Dan tampaknya hujannya

akan lebat sekali!" ibuku menyela dengan suara

kesal.

"Tidak apa-apa, Bu. Hujannya kan terdiri atas

air. Bukan hujan batu atau hujan api!"

Baru saja aku berhenti bicara, tiba-tiba hujan

mulai turun satu-satu. Dan tak lama kemudian

hujan pun turun dengan lebatnya.

"Nah!" ibuku mendengus.

Aku melongokkan kepalaku ke luar garasi. Langit

hitam. Angin bertiup kencang dan hujan begitu

deras mengguyur muka bumi. Pandang mataku tak

mampu menembus cuaca gelap ke arah Gunung

Merapi. Dalam cuaca terang dan cerah, pagi-pagi

begini biasanya Gunung Merapi tampak jelas dari

tempatku berdiri.

"Kalau melihat ratanya mendung yang menyelimuti langit, hujan akan turun seharian!" Bayu

yang melihatku menatapi langit berkata.

Aku menoleh ke arahnya dengan marah.

"Hanya Tuhan yang tahu apakah seharian ini

akan hujan atau tidak," bantahku. "Dan jangan

menyebarkan pesimisme di hati orang!"

"Aku cuma mengatakan suatu kenyataan. Setidaknya kenyataan yang saat ini sedang kita
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hadapi!"

"Bayu benar," Mas Totok menimpali. "Kenyataannya sekarang ini hujan sangat lebat. Dia sudah

berbaik hati mau menggantikan aku mengantarkanmu pergi ujian, itu sungguh harus disyukuri."

"Sudah kukatakan sejak tadi, aku akan berangkat

sendiri," aku masih mencoba membantah. Padahal

di dalam hati aku agak enggan juga pergi sendirian

naik motor dalam cuaca seperti itu. Di antara jalan

sepanjang 27 kilometer dari arah Kaliurang ke pusat

kota Yogya, ada beberapa ruas jalan yang agak licin

kalau hujan. Aku tidak takut untuk bersikap ekstra

hati-hati, tetapi dalam suasana tegang karena

menghadapi ujian, lain lagi ceritanya.

Kalau sudah begini aku menyesal juga karena tak

pernah berniat untuk belajar mengendaraimobii. Sepanjang usiaku yang delapan belas tahun lebih

waktu itu, aku tak pernah berpikir enaknya mengendaraimobil sendiri. Aku lebih suka ngebut dengan motorku. Apalagi kedua orangtuaku juga tak

pernah menawariku untuk belajar mengendarai mobil.

"Mega, kau sudah dewasa sekarang. Sebentar

lagi akan menjadi mahasiswa. Jadi Ibu harap sudi

lah kau memakai nalarmu dengan baik!" ibuku

menyela. "Jangan hanya memakai emosimu saja.

Sekarang ini hujan begitu deras dan kita tidak

tahu kapan akan berhenti. Padahal sebentar lagi

kau harus menghadapi kertas-kertas ujian. Tentunya

akan lebih nyaman kalau kau pergi dengan mobil,

ada yang menyopiri dan di sepanjang jalan kau

bisa duduk lebih tenang sambil mengingat-ingat

pelajaran yang semalam kaupelajari."

Ibuku benar sekali. Tetapi siapa sudi duduk di

samping Bayu yang suka cengengesan dan kurang

ajar itu. Jadi aku tetap menyibukkan diri dengan

memasabodohkan apa pun perkataan Mas Totok

maupun ibuku tadi. Kupakai segala atributku di

hari yang bercuaca buruk itu. Jaket, kaus tangan,

jas hujan. Tetapi baru saja aku mengulurkan tangan

untuk mengenakan helmku, Bayu mendekati motorku. Karena tak menyangka ia akan mencabut kunci

motorku itu, aku tidak siap untuk mempertahankan

nya. Akibatnya kunci motorku sudah berpindah ke

saku celana jinsnya.

"Nah, ayo kita berangkat sekarang!" katanya

kepadaku. "Semakin kita beradu otot leher di sini,

semakin habis waktunya. Kau akan terlambat mengikuti ujian. Dan kudengar tidak ada ujian gelombang

ketiga."

Ibuku dan Mas Totok tidak memberi komentar

apa pun atas kejadian yang baru terjadi itu. Tetapi

dari sikap dan pandangan mata mereka, aku tahu

mereka sangat menyetujui perbuatan Bayu.

Aku menjadi ragu. Kesempatan itu dipergunakan

oleh Bayu dengan cepat.

"Terserah," katanya. "Aku cuma bicara tentang

suatu kenyataan. Dan kurasa itu realistis sekali."

Merasa tak mungkin bersitegang lagi, kulepas

atributku. Setelah itu dengan bersungut-sungut aku

masuk ke dalam mobil ayahku. Bayu menyusulku

tanpa berkata apa pun. Lalu distarternya mobil

ayahku, yang meskipun bukan termasuk mobilmobil keren masa kini, tetapi masih sangat mulus

dan tokcer berkat perawatan yang baik. Dan tak

berapa lama kemudian kami sudah berada di jalan

menuju kota. Udara dingin di luar dan udara dingin di dalam mobil menyebabkan aku menggigil.

Tetapi aku yakin, rasa dingin itu lebih banyak disebabkan karena kehadiran Bayu di dekatku. Sebab

baru pertama kali inilah aku duduk berdekatan

dengannya tanpa kehadiran orang lain di dekat

kami. Kebencianku kepadanya seperti sudah mengurat akar dalam diriku.

"Mega, kenapa sih kau begitu membenciku?"

tanya Bayu setelah mobil berjalan sekitar sepuluh

menit sejak ia masuk ke dalam mobil dan menyalakan

mesinnya.

Hm, rupanya apa yang ada di dalam hatiku itu

ditangkapnya dengan baik.

"Karena aku tidak menyukaimu!" sahutku pendek.

Bayu tertawa kecil mendengar jawabanku.

"Apakah tidak ada jawaban lain yang kedengars

annya lebih bermutu?" katanya kemudian. Aku menjadi jengkel karenanya.

"Lalu apa yang harus kukatakan kalau kenyataannya memang demikian?" sahutku menggerutu. "Setidaknya aku toh sudah bersikap jujur."

"Yah, jika demikian halnya, apa salahnya kalau

kausebutkan satu atau dua hal mengenai diriku

yang tidak kausukai!" kata Bayu lagi. seolah tak

peduli pada sikapku yang tak menyenangkan. "Siapa tahu aku memang perlu mengubahnya agar

menjadi lebih baik."

"Kalau aku bicara jujur, kau pasti akan sakit

hati!" sahutku, sengaja berniat untuk menyakiti hatinya. Kulirik; rupanya pemuda itu sedang mengintip

ke arah belakang melalui kaca spion untuk melihat

keadaan jalan di belakang kami. Tetapi tidak ada

mobil lainnya.

"Katakan saja. Sebab bagaimanapun juga aku

harus bisa menghargai suatu kejujuran."

"Syukurlah kalau kau punya pendapat begitu,"

kataku lagi. "Sebab sungguh kurang enak kalau

aku menjawab pertanyaanmu tadi dengan jujur."

"Sudahlah, katakan saja. Apa pun yang dikatakan

dengan jujur, aku toh harus menghargainya!"

"Baiklah. Kau tadi bilang supaya aku mengatakan satu atau dua hal tentang dirimu yang tak

kusukai. Pertanyaan itu tidak mudah untuk dijawab

karena bukan hanya satu atau dua hal saja yang

tak kusukai pada dirimu, melainkan hampir semua

hal yang ada padamu tak kusukai. Bahkan boleh

dikatakan tak satu pun yang ada padamu kusukai,"

jawabku dengan nada ketus.

Bayu melirikku sesaat lamanya. Kemudian wajahnya yang selalu membuatku merasa jengkel kepadanya itu tersenyum menyeringai ke arahku.

"Hati-hati, Mega. Kau harus berhati-hati dan

waspada!" katanya kemudian.

"Hati-hati untuk alasan apa?" aku mendengus.

"Hati-hati untuk sesuatu yang sering terjadi di

dunia ini!" sahutnya. "Sebab sering sekali seseorang

yang begitu membenci satu orang tertentu, suatu

ketika bisa berbalik mencintai orang itu dengan

cinta yang membara!"

"Hal itu tak mungkin terjadi padaku. Sekali aku

membenci seseorang, ia akan kubenci selamanya.

Sebaliknya sekali aku mencintai seseorang, ia akan

tetap merajai hatiku untuk selamanya pula."

"Ketika di rumah tadi, kau bilang hanya Tuhan

yang tahu apa yang akan terjadi," Bayu berkata

dengan kalem. Tetapi perkataannya sungguh mengena hatiku. "Maka sekarang perkataanmu itu

kutirukan. Dengan kata lain, meskipun kau bilang

itu tak mungkin terjadi, kalau Tuhan menghendaki

lain, itu akan terjadi. Jadi seperti kataku tadi, berhati-hatilah. Mega. Waspadalah!" '

Aku ingin melempar wajah Bayu yang menyeringai itu dengan sepatuku-. Tetapi tentu saja itu

tidak mungkin. 'Aku masih memiliki nilai-nilai ketimuran yang harus menghormati orang lain betapa"

pun bencinya aku kepadanya.

"Jangan membuatku jadi ingin muntah, Bayu!"

bentakku. Meskipun umur Bayu sebaya dengan Mas

Totok, yaitu empat tahun di atas usiaku, tetapi aku

enggan memanggilnya dengan sebutan Mas seperti

kalau aku memanggil teman-teman ketiga kakakku

yang lain.

"Berani taruhan, Mega?" Bayu menoleh ke arahku lagi. "Bahwa sekali kau mencintai seorang pemuda, akan selamanya ia merajai hatimu?"

Napasku nyaris tersangkut demi mendengar perkataan Bayu itu. Jangan jangan dia sudah tahu

tentang putusnya hubunganku dengan Wangsit.

Sebab kalau belum, kenapa dengan enaknya ia

melontarkan taruhan seperti itu? Tetapi entah dia

tahu entah tidak tentang hal itu, aku merasa ia

sedang mencoba menjebakku. Karena takut kalah.

aku marah sekali kepadanya.

"Tak perlu taruhan!" bentakku. "Membuang-buang

waktu saja."

"Hm... kau takut aku mengemukakan sesuatu

yang akan mengganggu batinmu, kan?"

"ldih! Aku tak takut apa pun. Memangnya kenapa sih?"

"Tidak apa-apa," Bayu berkata dengan kalem.

Sesuatu yang pasti ia sengaja untuk mengungkit

kemarahanku. Sebab kami berdua sama-sama tahu

bahwa tadi aku tidak berkata jujur meskipun telah

kukatakan bahwa aku menggarisbawahi kejujuran.

"Bilang tidak apa-apa tetapi kok wajahmu

menyebalkan. Sungguh mati aku jadi semakin ingin

muntah!" bentakku lagi. la berhasil mendongkel

kemarahanku.

"Kau lucu," Bayu masih berkata dengan sikap

kalemnya. "Aku kan cuma bertanya padamu, berani

taruhan atau tidak? Tidak berani, ya sudah!"

"Siapa yang bilang tidak berani?" aku membentaknya lagi.

"Kalau begitu coba tolong katakan kepadaku

secara jujur, apakah cintamu kepada si diamu itu

masih tetap menyala-nyala meskipun hatinya telah

ia berikan kepada gadis lain?"

Aku tersentak. Akhirnya, apa yang kutakuti tadi

keluar juga dari mulut Bayu.

"Dari mana kau mengetahui hal itu?" Lagi-lagi

bentakan yang keluar dari mulutku. Pagi-pagi aku

sudah membuat dosa hanya gara-gara kebencianku

kepada pemuda satu ini.

"Aku kan punya telinga dan mata."

"Aku akan mengamuk di muka Mas Totok!"

_"Jangan menyalahkan orang yang tak bersalah!"

Bayu menjawab sambil memicingkan sebelah matanya. "Dia terlalu sayang kepadamu dan tak mungkin membuka rahasia pribadi adik kesayangannya

meskipun kepada sahabatnya sendiri. Lagi pula

kenapa kau harus marah-marah kalau apa yang

kukatakan tadi tidak benar? Kan berarti mata dan

telingaku saja yang keliru tangkap."

Kurang ajarnya dia. Dengan perkataannya itu

jelas-jelas ia mau memancing atau mengorek

penjelasan dariku untuk meyakinkan dirinya, apakah

aku memang benar telah putus hubungan dengan

Wangsit.

Tetapi aku tak mau termakan umpan pancingnya.

Jadi kubiarkan masalah itu menggantung. Untuk

itu aku langsung bungkam. Perkataannya tak kutanggapi barang sepatah kata pun meskipun aku

tahu ia pasti sudah mendengar berita tentang putusnya hubunganku itu dari mulut orang yang bisa

dipercaya. Baginya tidaklah sulit mencari keterangan. Temannya banyak. Dan Yogya bukanlah

kota sebesar Jakarta. Dunia pergaulan di kota sebesar Yogya termasuk sempit dibanding dengan

apa yang terjadi di Jakarta.
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Merasa pancingannya tak berhasil, Bayu mulai

mengalihkan pembicaraan. Sementara itu hujan di

luar masih juga belum tampak reda. Bahkan sering

kali kami melihat kilat sambar-menyambar di langit

Melihat cuaca buruk di kaki pegunungan cukup

menyeramkan juga. Rasanya kilat itu seperti rnau

menyambar mobil kami.

"Sudah berapa tempat yang kaudatangi selama

ini?" tanya pemuda itu.

Aku tahu yang ia tanyakan adalah tentang berapa

jumlah universitas yang kudatangi untuk mendaftarkan diri. Tetapi aku pura-pura tolol.

"Tentu saja sudah banyak tempat yang kudatangi"

sahutku seenak perut. "Umurku kan sudah hampir

sembilan belas tahun. Dan aku bukan gadis yang

suka berkurung di kamar dan belajar menyulam!"

"Itu aku tahu betul, Non. Apalagi kalau melihat

sepak terjangmu semenjak aku mengenalmu, ketika

kau masih mengenakan celana monyet dan berlarilarian mau menangkapi kupu-kupu atau belalang."

Hm, rupanya Bayu juga sudah mengenalku

cukup baik. Dari perkataannya aku menangkap penilaiannya tentang diriku. Seperti penilaian orang

lain, ia menganggapku gadis tomboi. '

"Sepak terjangku yang bagaimana?" pancingku.

Aku ingin tahu apakah benar ia menganggapku

tomboi. Dan kalau benar, aku akan membantahnya.

Sebab penilaian tomboi itu menandakan orang masih membedakan lelaki dan perempuan secara tidak

pas karena pengaruh budaya yang sudah berurat

akar dan terinternalisasikan. Perempuan yang bersikap agak berbeda dari gadissgadis umumnya langsung dinilai keiaki-lakian. Padahal sungguh mati

aku ini seratus persen perempuan. Normal, lagi!

"Yah, gesit, cekatan, berani menghadapi tantangan, dan mandiri!" sahutnya, meluruhkan keinginanku untuk menyerang jawabannya. Ternyata bukan

sifat tomboiku yang ia kemukakan.

"Aku cuma tak suka menggantungkan diri ke

pada orang lain," sahutku sekenanya. Sebab aku

tak tahu harus mengatakan apa kepadanya untuk

mengomentari perkataannya tadi.

"Itu bagus sekali, Non. Jadi, sudah pasti gadis

yang mandiri akan berani pergi sendirian ke mana

pun yang ia sukai atau ingin datangi. Maka berarti

pula sudah cukup banyak universitas yang" kaudatangi dan kaubeli formulirnya. Dan itu juga berarti bahwa sudah cukup banyak uang yang berpindah dari dompet ayahmu ke universitas-univers

sitas yang bersangkutan dengan dirimu."

"Itu urusanku dan juga urusan ayahku!" aku mendengus. Ayahku mau membuang uang seberapa pun,

apa pedulinya? Apalagi ayahku sangat menyayangiku. Lebih dari ketiga kakakku. Tak heran, selain aku

anak bungsunya, aku juga anak perempuan satusatunya. Meskipun ia mengatakan tidak keberatan

aku kuliah di Jakarta, aku yakin sekali sebenarnya

ayahku tidak ingin berpisah dariku. Nyatanya ia

menyuruhku mendaftarkan diri ke pelbagai universitas di kota Yogya ini, dengan harapan aku akan

kuliah di Yogya saja. Tak perlu harus ke Jakarta.

"Mudah-mudahan kau diterima di salah satu

universitas favorit di kota Yogya ini saja sehingga

tak perlu pindah ke Jakarta!" Seolah tahu apa yang

diinginkan oleh ayahku. Bayu mengatakan hal yang

sama.

"Aku lebih suka kuliah di Jakarta!" sahutku ketus. "Ada tiga universitas yang ujian masuknya kuikuti dengan baik. Jadi, prioritasku memang di sana.

Sebab semakin jauh aku darimu, akan semakin baik

jadinya."

"Rupanya kau takut berdekatan denganku, ya?"

Bayu tertawa kecil. "Padahal menurut orang pintar,

orang yang ditakuti adalah orang-orang yang memiliki

sesuatu yang memang membuat orang itu takut."

"Dan rupanya pula, kau terlalu tinggi menempatkan

dirimu sendiri. Ge-er sekali sih!" dengusku.

"Hanya Tuhan yang tahu bagaimana kebenarannya!" Bayu berkata dengan gaya kalemnya. "Meskipun demikian, aku tahu bagaimana menilai diriku

sendiri. Rasanya cukup banyak kelebihan yang kumiliki. Dan kuharap bukan itu yang menyebabkan

kau takut berdekatan denganku."

Sekali lagi aku nyaris tak mampu menahan diriku dan lebih suka mengumbar keinginanku untuk

melempar wajahnya dengan sepatuku. Tetapi tidak,

aku masih mampu menahan diri.

"Gombal!" dengusku. "Kalau kau terus saja mengoceh yang tidak-tidak, aku akan melompat ke

jalan!"

Bayu tertawa. Kemudian tanpa berkata apa pun

lagi, ia mengetuk-ngetukkan jemarinya pada kemudi.

"Daripada dianggap bergombal gombal, lebih

baik aku menyanyi saja," Bayu berkata sambil

masih mengulum tawanya. Kemudian terdengarlah

nyanyiannya. Lagunya sedang menjadi favorit anak

muda di masa itu. Aku tak ingat judulnya tetapi

aku ingat penyanyi aslinya, yaitu Phil Collins.

Terus terang aku terkejut mendengar suara Bayu.

Enak sekali didengar. Empuk, berat, dan jernih.

Rasanya aku harus mengakui bahwa suara Bayu

lebih bagus daripada suara Wangsit. Apalagi penilaianku terhadap suara Wangsit waktu itu bersifat

subjektif sementara penilaianku terhadap suara

Bayu justru sebaliknya. Dan toh kalau aku mau

jujur, harus kuakui bahwa suara Bayu benar-benar

bagus. Seandainya ada yang mengorbitkan, aku

yakin ia akan menempati jajaran teratas menyaingi

penyanyi-penyanyi beken kita.

Tetapi tentu saja aku tak mau mengakuinya.

Lekas-lekas kunyalakan radio di depanku sehingga

suara Bayu tenggelam di dalam suara berita pagi

yang dibacakan oleh seorang penyiar.

Bayu tertawa lagi. Tetapi aku menjadi jengkel

karenanya. Sebab dari tawa maupun dari sikap geernya aku tahu bahwa ia menyadari kelebihan

suara yang dimilikinya dan bahwa aku mengakui

hal itu meskipun cuma di dalam hati. Ah, sialan.

Untunglah keadaan tak menyenangkan itu tak

berlangsung terlalu lama. Hujan semakin lebat sew'

hingga perhatian Bayu mulai tercurah sepenuhnya

ke jalan yang mulai berkabut. Dengan kehatihatian dan kepercayaan diri yang kuat ia menyusuri

jalan raya yang berkeiok-keiok sampai akhirnya di

sekitar kilometer empat belas kehati-hatian itu

mulai berkurang. Jalanan mulai agak landai dan

lurus sampai ke kota Yogya. Dan dalam waktu

relatif singkat sampailah aku ke tempat ujian.

Sebagai orang yang dibesarkan dalam budaya

timur yang tahu sopan santun, kupaksakan diriku

untuk mengucapkan terima kasih kepadanya.

"Terima kasih." kataku sambil turun dari mobil.

Bayu menepikan mobil sampai ke tepi teras universitas yang atapnya menjorok ke luar. "Dan

tinggalkan aku di sini saja. Gampang nanti aku

pulangnya."

Bayu menganggukkan kepalanya. Tetapi ketika

keluar dari halaman kampus itu dua jam kemudian,

aku masih melihat mobil Bapak ada di halaman

parkir. Dan begitu aku turun ke halaman yang becek meskipun saat itu hujan sudah berhenti, mobil

itu bergerak mendekatiku.

"Ayo naik!" kata Bayu. Wajahnya muncul dari

balik kaca mobil yang tiba-tiba diturunkan.

"Kok masih di sini?" aku berkata dengan suara

dingin. Padahal hatiku merasa senang juga karena

bayangan diriku harus berlari-lari mengejar kendaraan

umum telah luruh ketika melihat mobil Bapak tadi.

"Lihatlah ke langit!" Bayu menjawab dengan

kalem. "Meskipun sudah berhenti, hujan masih bisa

turun lagi setiap saat."

'Kutatap langit kota Yogya dan ke arah utara

tempat Kaliurang terletak. Mendung masih tetap

setebal tadi pagi.

Aku terpaksa naik juga meskipun wajahku sama

mendungnya dengan langit menjelang siang itu.

Dan melihat itu Bayu tersenyum.

"Kalau kau tidak suka menggantungkan diri

kepada orang lain dalam hal ini, kenapa tidak belajar mengendarai mobil sendiri?" usulnya. "Dengan

tulus hati aku akan bersedia mengajarimu. Aku akan

bersikap manis sehingga kebencianmu kepadaku

tidak semakin bertambah kalaupun tak bisa berkurang. Bagaimana?"

"Akan kupikirkan...," sahutku secara jujur. Bukankah pagi tadi aku sudah memikirkan hal yang sama

gara-gara tak suka diantar-antar seperti orang yang

tak mampu berjalan sendiri?

"Baguslah. Apa pun keputusanmu, ingatlah aku.

Sekali lagi kukatakan dengan tulus hati. aku bersedia

mengajarimu. Dan aku berjanji akan mengajarimu

dengan sabar."

Aku diam saja. Sementara itu di kejauhan aku

melihat angin mulai bertiup kencang. Daun-daun pepohonan di tepi jalan berguguran di sepanjang jalan.

Tampaknya hujan lebat akan turun lagi. Dan tibatiba kusadari bahwa kehadiran Bayu di dekatku

telah mengusapkan rasa aman dalam dadaku.

Dalam perjalanan pulang hari itu, kusadari pula

bahwa kebencianku kepada pemuda itu tidak lagi

setebal semula.

AKU terbangun oleh suara orang menyapu halaman.

Iramanya begitu teratur. Sesekali sentuhan sapu

lidi dengan tanah pelataran yang menimbulkan

bunyi teratur itu ditingkahi oleh suara tembang

dolanan Jawa yang aku ingat judulnya karena pernah diajarkan padaku oleh almarhum eyangku,

yaitu tembang Menthok-menthok. Tembang itu

dilagukan oleh suara yang terdengar bening dan

lembut.

Seketika itu juga hatiku terasa trenyuh. Semacam

perasaan damai dan rasa hangat mulai bermegahmegah dalam dadaku. Barangkali seperti itulah

yang dirasakan oleh seekor kerbau yang pulang ke

kandang dan mendapati makanan berlimpah dan

tempat yang hangat. Setelah sepuluh tahun berada

di Jakarta yang selalu ramai, sibuk, bising, berdebu,

dan terutama kehilangan sentuhan alamnya, rasanya

sungguh menyenangkan mendengar kembali sesuatu

yang dulu pernah begitu akrab dalam kehidupanku

semasa masih tinggal di tempat ini. Hatiku dipenuhi

perasaan senang yang amat khusus, yang tak bisa

kurumuskan ke dalam kata-kata. Dan hanya bisa

dirasa. Tak bisa diucapkan.

Dengan perasaan seperti itu kulirik tubuh mungil

anakku yang tidur bergelung di balik selimut di

sisiku. Ia tampak begitu tenang, nyenyak dalam

tidurnya. Setelah perjalanan panjang dari Jakarta

sejak pagi buta kemarin dan hanya berhenti untuk

makan dan mengisi bensin, tubuh mungil itu pasti

membutuhkan istirahat panjang untuk menghimpun

tenaganya kembali. Lebih-lebih karena sepanjang

sore hingga malam kemarin ia diajak mengobrol

dan bermain oleh kedua kakek dan neneknya yang

sedang menumpahkan kerinduan mereka. Memang
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah hampir satu tahun ayah dan ibuku tidak

berkunjung ke Jakarta.

Pelan pelan kusingkap selimutku dan sepelan

itu pula kutapakkan kakiku yang telanjang ke lantai. Dingin rasanya. Udara di tanah kelahiranku

ini memang selalu sejuk. Kesejukan yang selalu

meniupkan hawa segar yang menyehatkan paruparuku.

Masih dengan gerakan pelan karena takut membangunkan Rio, kubuka jendela kamarku. Semuanya. Tak kusisakan sebagian pun. Jendela yang

tingginya hampir seukuran pintu rumahku di Jakarta

itu pun segera mengirimkan udara pagi pegunungan

yang dingin dan segar ke 'dalam kamarku. Seperti

yang selalu terjadi sepanjang aku menghuni kamar

1111.

Seperti jendelaujendela kamar lain di rumah orangtuaku, jendeIa kamar tidur yang kutempati selama

sembilan belas tahun umurku memiliki empat lembar

daun jendela. Dengan demikian siapa pun bebas

mau menutup separonya secara horizontal ataupun

separo secara vertikal. Bahkan ingin menutup seperempatnya saja pun tak masalah. Dan berbeda dengan

jendelajendela rumah masa kini di kota-kota besar

yang berterali, kamar-kamar di rumah orangtuaku

masih sama seperti dulu. Tidak dipasangi terali.

Dengan demikian aku bisa bersetumpu bahkan menjulurkan hampir seluruh bagian atas tubuhku dengan

bebas ke luar jendela.

Sekarang aku dapat kembali bersetumpu, bahkan

kalau mau, duduk di bingkai jendela dan memandang halaman di luar kamarku. Seperti yang dulu

sering kulakukan.

Dulu kalau bosan atau capek belajar, aku selalu

membuka jendela kamarku dan langsung memandangi orang-orang yang kebetulan lewat di samping

rumah orangtuaku ini. Kamar tidurku yang jendelanya menghadap ke arah gang di samping kiri

rumah orangtuaku memang menyuguhkan pemandangan yang menyenangkan bagiku. Yang pertama

lereng Gunung Merapi pada bagian sisinya yang

subur. Dan yang kedua gang di samping rumah

tempat aku bisa saling menyapa dengan temanteman yang kebetulan lewat.

Gang itu tidak besar dan hanya muat untuk satu

mobil saja. Tetapi gang itu cukup ramai karena

menghubungkan gang-gang lainnya dengan jumlah

rumah yang cukup padat. Terutama di bagian gang

yang tak bisa dilewati mobil karena tanahnya yang

naikturun. Salah sebuah rumah orangtua temanku

yang terletak di salah satu gang itu cukup unik

bentuknya. Ruang tamunya berada di atas, tetapi

semakin ke belakang lantai rumah itu semakin

turun sehingga cukup banyak anak tangga di situ.

Jarak antara jendela kamarku dengan gang di

samping rumah itu dibatasi oleh halaman samping

yang cukup luas, kira kira sepuluh meter ke arah

selokan di tepi gang. Namun jarak sejauh itu tak

menghalangiku untuk bertegur sapa dengan temanteman sebayaku yang kebetulan lewat di tempat

itu.

Sekarang pagar besi halaman rumah orangtuaku

yang sebagian sudah mulai tampak keropos diberi

tirai bunga kemuning. Daunnya yang hijau dan

bunganya yang putih menyebarkan aroma wangi

_luar biasa yang rasanya seperti mengharumi seluruh

sudut rumah. Lebih-lebih kalau angin Gunung

Merapi meniupkan aromanya ke dalam rumah.

"Kedatanganmu kemari benar-benar disambut

Oleh bunga kemuning yang sedang mekar-mekamya,

Mega!" kata ibuku tadi malam. Aku memang sempat mengomentari harumnya yang memenuhi seisi

rumah itu. "Setiap kali sedang berbunga, harumnya

memang memenuhi seisi rumah dan para tetangga

yang kebetulan lewat pasti memberi komentar.

Tetapi yang namanya berbunga sedemikian banyaknya sampai hampir mengalahkan hijau daunnya,

ya baru sekarang ini. Rupanya bunga kemuning

itu menyambut kedatangan kalian berdua."

Yang juga baru di halaman samping rumah

orangtuaku itu adalah rumpun pohon bambu hias

yang daunnya begitu lebat seperti rambut seorang

gadis yang berkibar-kibar melenggang-lenggok tertiup angin. Rumpun bambu itu berada di muka

tembok yang membatasi halaman rumah kami dengan halaman rumah Eyang Sosro yang luas, menggantikan rumpun pisang yang dulu tumbuh di

tempat itu, namun yang sekarang sudah tak ada

bekasnya sama sekali. Sayangnya rumpun bambu

itu seperti tak henti-hentinya merontokkan daun;

daunnya yang kering seperti yang saat itu sedang

disapu oleh pembantu rumah tangga orangtuaku.

Mbok Rah namanya.

"Kok sudah bangun. Den?" Mbok Rah menyapa

demi melihatku berdiri di muka jendela. Perempuan

itu menghentikan kegiatannya menyapu.

"Karena senang mendengar suaramu, Mbok,"

sahutku sambil tersenyum dan tanganku membetulkan letak rambutku yang masih setengah berantakan. "Suaramu bagus lho."

Kami berdua memakai bahasa Jawa. Sepuluh

tahun tinggal di Jakarta tak bisa menghilangkan

kemampuanku berbahasa Jawa yang dibekalkan

oleh keluargaku dan juga oleh masyarakat sekitarku.

Tetapi kalau Mbok Rah memakai bahasa tinggi

kepadaku, aku memakai bahasa yang lebih rendah

tingkatannya. Sebab memang begitulah aturan mainnya. Orang Jawa mengenal hierarki bahasa sesuai

dengan "kelas" sosial pemakainya. Kedengarannya

memang berbau feodal. Tetapi kalau mau dikaji

lebih jauh, sebenarnya hierarki itu diperlukan untuk

mengatur pergaulan masyarakatnya. Aturan-aturan

itu akan menjaga para pemakainya untuk melestarikan tatanan pergaulan demi kerukunan dan menghindarkan konflik terbuka. Dan juga demi menghormati antara yang seorang dengan yang lain.

Orang Jawa akan merasa malu kalau tidak bisa

bersikap demikian. Jadi seandainya aku melarang

Mbok Rah agar jangan berbahasa halus kepadaku

atau sebaliknya aku memakai bahasa yang sama

halusnya kepadanya, ia pasti akan menolaknya.

Sebab yang menilai bahwa ia kurang tahu tata

krama bukan aku atau keluargaku, melainkan masyarakat sekitarnya.

Memang benar tradisi semacam itu semakin

lama semakin luntur dengan masuknya budaya

asing di satu pihak dan budaya kesatuan Indonesia

di pihak lain. Media massa sejak dari yang tercetak

hitam di atas putih sampai yang disuarakan atau

disuguhkan oleh alat-alat' elektronika yang datangnya seperti air bah itu cukup untuk menyingkirkan

nilai-nilai lama semacam itu. Tak heran kalau

orang Jawa sekarang juga mudah dibakar emosi

dan tak peduli pada konflik yang terbuka. Tetapi

di kota-kota kecil di Jawa seperti di Kaliurang,

nilai-nilai lama itu masih cukup kental mewarnai

tata pergaulan masyarakatnya.

"Den Mega terlalu memuji!" Kulihat Mbok Rah

tersipu-sipu mendengar pujianku tadi. "Dan rupanya

suara saya yang seperti burung gagak ini mengganggu tidur Den Mega. Maaf lho, Den"

"Tidak kok, Mbok. Aku sudah bangun sejak

tadi," sahutku berdalih. Aku tak senang melihat

rasa bersalah muncul di wajah perempuan seder'

hana itu. "Lagi pula memang sudah waktunya aku

bangun."

"Mau mandi sekarang?" Mbok Rah menawariku.

"Kalau ya, nanti saya masakkan air panas."

' "Tidak usah, Mbok. Aku malah rindu mandi air

sejuk yang tak kudapati di Jakarta sana!" sahutku

lagi. Kali itu sambil melayangkan pandang mataku

ke arah Gunung Merapi nun di kejauhan sana.

Masih agak remang, tetapi semburat sinar kemerahan mulai merekah di kaki langit.

"Tetapi tentunya Den Rio belum terbiasa mandi

dengan air dingin di tempat ini. Saya masakkan air

panas sekarang atau nanti saja?" Mbok Rah menawariku lagi.

"Nanti saja, Mbok. Dia masih tidur dengan nyenyak di bawah selimut tebal!" Aku tertawa sambil

memindahkan pandang mataku dari Gunung Merapi

ke arah tempat tidur tempat Rio masih tetap tidur

lelap tanpa bergerak-gerak. '

Mbok Rah menjinjitkan kakinya untuk mengintip

ke dalam kamarku. Kemudian ikut tertawa.

"Enak betul tidurnya."

"Ya. Kecapekan dia."

"Kalau begitu memang sebaiknya dia beristirahat

dulu, Den!" Mbok Rah tersenyum. "Tetapi kalau

Den Rio sudah bangun nanti, beritahu saya. Akan

saya masakkan air panas!"

"Baiklah. Terima kasih ya, Mbok."

"Terima kasih kembali." Mbok Rah menganggukkan kepalanya, tersenyum lagi, kemudian melanjutkan pekerjaannya tadi. Dan suara sapu lidi beradu

dengan tanah dan daun-daun kering pun terdengar

kembali.

Kulayangkan lagi mataku ke kaki langit nun di

ufuk timur sana. Cahaya merah sudah semakin

melebarkan sayapnya. Ingatanku pun terseret ke

masa lalu kembali, tatkala aku masih duduk di sekolah dasar. Pagi-pagi seperti ini adalah pagi yang

sibuk. Sejak bangun pagi aku dan ketiga kakakku

sudah berebut kamar mandi. Sebab meskipun ada

dua kamar mandi di rumah kami, kami harus

membaginya dengan Bapak. Tentu saja ia selalu

dimenangkan. Dan jika sudah berada di dalam, ia

akan berlama-lama di sana.

Di pagi seperti itu pula, setelah kami berempat

berjuang memperebutkan kamar mandi, biasanya

ada lagi perjuangan lainnya. Yaitu berebut kaus

kaki. Meskipun kaus kaki masing-masing sudah

dipisah-pisahkan, selalu saja ketiga kakakku berebut

untuk mendapatkan kaus yang paling putih warnanya.

Dan karena Mas Totok termasuk yang paling kecil

di antara mereka, ia selalu mengalihkan kekalahannya

kepadaku dengan cara mengambil kaus kakiku diam?

diam. Kalau kebetulan aku memergoki perbuatannya.

pagi yang cerah itu pun menjadi pagi yang penuh

keributan karena aku tak merelakan kaus kakiku

diambil begitu saja. Kalau sudah begitu, pembantu

rumah tangga ibuku pun segera turun tangan sambil

menggemtu.

"Heran lho saya," katanya. "Sudah dipisah-pisahkan, sudah diatur rapi, kok masih saja rebutan!"

"Habis kaus kakiku dimasukkan ke laci Mas

Didik sih!" Mas Totok tak mau disalahkan.

"Mbok keliru, Den!" kata pembantu rumah tangga

kami sambil menggeleng-gelengka'n kepalanya. "Lha

Den Didik itu kalau tahu ada kaus kaki nyasar ke

tempatnya mbok ya jangan dipakai, wang bukan

punyanya!"

"Mestinya dikasih nama saja biar tidak keliru!"

sela Mas Wawan memberi usulan.

Usulan tetap tinggal usulan. Tak seorang pun di
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

antara kami yang melakukannya. Bahkan Mas Wawan

yang memberi usulan itu pun tidak. Dan acara pagi

yang hampir selalu dipenuhi dengan keributan itu

pun terus terjadi dari hari ke hari. Menjengkelkan

sekali ketika mengalaminya. Tetapi lucu dan terasa

manis jika dikenang di masa dewasa.

Tak bisa kuungkiri ada banyak hal yang semasa

kecilku dulu begitu menjengkelkan bahkan menerbitkan air mataku, kini bisa menimbulkan senyum dikulum ketika mengingatnya. Dan sepanjang hidupku

di rumah ini, cukup banyak kejadian-kejadian menjengkelkan yang sekarang membuatku tersenyum

sendiri. Tentu saja, kecuali segala hal yang berkaitan

dengan Bayu. Apa pun yang mengait nama Bayu

pasti akan mengait emosi negatifku.

Ketika itu. sepuluh tahun yang lalu, pengumuman hasil ujian masuk universitas mulai keluar satu

per satu beberapa minggu kemudian. Juga yang di

Jakarta. Bude Tri, kakak ibuku yang menginginkan

agar aku tinggal bersamanya di Jakarta dan kuliah

di sana, mengabarkan bahwa salah satu dari tiga

universitas mencantumkan namaku sebagai salah

seorang calon mahasiswa yang _lulus ujian. Sedang

di Yogya sendiri namaku tercantum pada papan

pengumuman di tiga universitas. Dengan demikian

dari tujuh universitas yang ujian masuknya kuikuti,

baik yang ada di Jakarta maupun yang ada di

Yogyakarta, hanya empat yang meluluskan diriku.

Tetapi kalau mengingat kesiapan mental maupun

fisikku yang sedang berada pada titik kritis ketika

ujian, apa yang kucapai itu merupakan sesuatu

yang bisa dikatakan sebagai keberhasilan.

Tetapi terus terang saja aku malah jadi bingung

karenanya. Kuliah di Jakarta bagiku merupakan sesuatu yang menarik. Bude Tri termasuk kaya. Ada

banyak fasilitas yang bisa ikut kunikmati. Kuliah

dengan kondisi seperti itu jelas menguntungkan

bagiku. Komputer yang jauh lebih canggih daripada

yang ada di rumah Bapak dan dapat kupakai sekehendak hatiku tanpa perlu rebutan dulu dengan

salah seorang kakakku,jelas akan menunjang studiku.

Minta uang untuk membeli buku-buku tak usah

kuucapkan lebih dulu. Bude yang wanita karier dan

gajinya besar sering mengirimi keponakanwkeponakannya sejumlah uang dengan pesan agar uang itu

dipergunakan untuk membeli peralatan sekolah,

meskipun kami tak pernah memintanya. Berarti

kalau aku tinggal bersamanya, dompetku pasti tak

akan pernah kosong. Kalaupun tidak aku bisa melihat-lihat perpustakaan pribadi budeku di kamar

kerjanya. Sama seperti diriku, Bude Tri termasuk

kutu buku dan senang mengoleksi buku. Setiap

bulan ia selalu "menyisihkan sedikit gajinya untuk

membeli buku. Buku apa saja. Pokoknya yang

menambah wawasan dan pengetahuan. Itu baru

buku. Belum yang lain-lainnya. Di rumah Bude Tri

ada piano, ada organ, ada pelbagai macam barang

keperluan sehari-hari yang serbaelektrik dan lebih

canggih, yang tak ada di rumah orangtuaku.

Jadi, pendek kata aku merasa yakin bahwa kalau

aku memilih kuliah di Jakarta, studiku akan lebih

lancar dan kesukaanku belajar sesuatu akan memiliki peluang besar. Namun demikian hal yang

paling menyusahkan adalah sedihnya berpisah dari

kedua orangtuaku dan juga ketiga kakakku serta

teman-teman sepermainanku. Ada suatu keakraban

khusus yang terjalin di antara diriku dengan mereka

karena kebersamaan kami dalam mengarungi kehidupan sehari hari sejak kami dilahirkan di daerah

kaki Gunung Merapi ini. Bermain bersama, bersekolah bersama, belajar bersama, merayakan sesuatu seperti hari kemerdekaan yang diramaikan

dengan pelbagai macam acara dan perlombaan

bersama-sama pula, lalu juga menghadapi bahaya

letusan Gunung Merapi bersama-sama, semua itu

telah menumbuhkan suatu ikatan yang sulit dipatahkan. Dan meninggalkan mereka semua begitu

saja jelas merupakan beban berat dalam batinku.

Karenanya aku tidak bisa segera mengambil keputusan. Bahkan di dalam hati aku merasa menyesal telah mengikuti saran ibuku untuk mendaftar

pada universitas-universitas di Yogya juga. Sebab

menghadapi pilihan yang sama beratnya, sungguh

sulit. Kalau seandainya semua universitas di kota

Yogya yang kuikuti ujian masuknya tidak meluluskan diriku, mungkin tidak seperti ini yang kuhadapi. Sebab berarti hanya ada satu pilihan saja.

Mau atau tidak aku akan kuliah di Jakarta.

Entah itu suatu keberuntungan atau malahan

sebaliknya, dalam kondisi bingung seperti itu Bayu

menawariku belajar mengendarai mobil.

"Kalau jadi tinggal di Jakarta, kau sangat memerlukan keahlian itu lho. Mega!" katanya. "Kata

Totok, budemu mempunyai beberapa buah mobil.

Nah, pasti kau akan sering harus mengendarai

sendiri salah satu mobil budemu itu. Entah karena

hujan waktu mau kuliah, entah karena keperluan

yang lain, pokoknya perlu naik mobil."

Bayu benar. Dan waktu alasan itu kukemukakan

kepada Bapak, beliau sangat menyetujui saran

Bayu.

"Seharusnya sudah dari kemarin-kemarin kau

belajar mengendarai mobil," begitu Bapak berkata.

Jadi, begitulah. Atas izin Bapak, aku memakai

mobilnya untuk belajar menyetir. Dan ternyata itu

tidak sulit. Apalagi Bayu mengajariku dengan cara

yang tepat. _

Meskipun hubunganku dengan Bayu mengalami

kemajuan yang pesat mengingat sebelumnya aku

selalu memandangnya sebagai musuh dan hanya

menatapnya sebelah mata saja, aku masih saja

menjaga jarak bila menghadapinya. Kalau tidak

perlu sekali aku tidak berbicara kepadanya. Jadi

boleh dikata percakapan yang ada di antara kami

lebih bersifat sepihak. Meskipun demikian acara

belajar menyetir mobil itu berjalan dengan cukup

lancar. Dalam waktu singkat aku sudah bisa mengendarai mobil meskipun Bayu masih menganggap

perlu untuk tetap duduk di sampingku hingga beberapa waktu lamanya.

"Setidaknya sampai kau sudah lancar dan mampu

menyetir sendiri!" katanya memberi alasan. "Tetapi

yang lebih penting adalah mengurus SIM. Semakin

cepat, semakin baik."

Usulnya kuiyakan. Sambil memperlancar kemampuanku mengemudi, Bayu mengajakku mengurus Surat Izin Mengemudi yang harus kumiliki.

Kesempatan turun ke kota itu kupakai untuk sedikit

berbelanja di Malioboro. Sudah agak lama aku

tidak membeli pakaian. Bude Tri yang memahami

kebutuhanku telah mengirimiku uang.

"Entah kau mau memilih kuliah di Jakarta ataupun Yogya, yang jelas kau membutuhkan pakaian!"

begitu Bude Tri mengatakan kepadaku. "Seragam

anak sekolah tentu lain dengan pakaian mereka

yang sudah mahasiswa."

Bude Tri memang menyayangiku lebih dari keponakannya yang lain. Ketika aku lahir Bude Tri

sedang mengambil cuti panjangnya di Kaliurang.

Selama satu setengah bulan aku ditungguinya.

Dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan

kelahiranku, pertumbuhanku dari seorang bayi yang

hanya tahu tidur, minum susu, menangis, dan me

ngompol, sampai aku bisa tertawa. Dan sejak itu

ia sering datang ke Kaliurang. Bahkan dengan

suaminya juga. Bukan hanya kalau sedang mengambil cuti saja, tetapi juga kalau ada akhir pekan

yang panjang. Misalnya kalau kebetulan Jumat

atau Seninnya libur. Sebaliknya kalau kedua orangtuaku ingin berlibur ke Jakarta, di rumah Bude

Tri-lah kami menginap. Dan sebagai anak bungsu,

ke mana pun Ibu pergi, hampir selalu aku ada di

sampingnya.

Jadi begitulah, hari itu aku membeli dua celana

jins. dua baju kaus, dan dua kemeja. Melihat itu

Bayu bersiul.

"Apa yang membuatmu bersiul?" tanyaku tersinggung. '

"Iseng!" sahutnya dengan tenang. "Enak sih menyiulimu."

"Itu namanya pelecehan!"

"Akujustru merasa harus mengangkat topi untukmu." Masih dengan sikap tenangnya ia menjawab

perkataanku. "Tampaknya kau sudah bersiap-siap

untuk berpenampilan dewasa. Tidak lagi mengenakan

seragam SMA."

"Aku yakin di dalam hatimu sebenarnya kau mau

mengatakan bahwa aku ini boros. Belum bisa mencari uang sendiri sudah menghambur-hamburkan

uang," aku mendengus.

"Kau selalu menilaiku negatif!" Bayu ganti mendengus. '

Aku terdiam. Boleh jadi apa yang dikatakannya

itu benar. Sadar atau tidak aku selalu menilai Bayu

negatif. Disiuli saja aku sudah menilainya sedang

mengejekku. Padahal mungkin saja ada banyak

makna lain di balik siulannya itu.

Melihatku terdiam Bayu juga tidak berkata apaapa. Setelah aku membeli jeruk titipan ibuku, baru

lelaki itu bersuara lagi.

"Sekarang kita ke mana?" tanyanya.

"Pulang," sahutku sambil mempermainkan kunci

mobil di tanganku. Kami sedang berjalan menuju

tempat parkir di dekat Pasar Beringharjo. "Sudah

sejak pagi tadi kita berkeliling kota."

"Capek?" Bayu melirik kunci mobil yang ada

di tanganku. "Kalau capek biar aku yang menyetir."

"Tidak. Aku masih bisa menyetir sampai ke

Semarang tanpa merasa lelah!"

"Sombongnya!"

"Jangan menyamakan kesombongan dengan

kepercayaan diri. Mulai besok aku sudah bisa pergi

sendirian ke mana-mana dan kau tak perlu lagi

menjadi SlM-ku"

"Lalu SIM'aslimu mana? Belum jadi1 kan?"

Aku terdiam. SlM-ku memang belum jadi. Itu

artinya aku tidak bisa menyopir sendiri kecuali dengan orang yang sudah mempunyai SIM. Kalau ada

apa apa atau ada pemeriksaan, polisi tahu bahwa

aku sedang belajar mengemudi.

Kesulitan pertama yang timbul selama aku belajar

menyetir mobil terjadi pada waktu kami sedang

dalam perjalanan pulang itu. Salah satu jembatan di

kilometer dua belas yang memang sedang diperbaiki

ditutup sejak siang. Padahal waktu kami berangkat

pagi tadi jembatan itu masih belum ditutup. Hanya

saja pemakai jalan yang akan melewatinya dari arah

kota ataupun yang turun dari arah Kaliurang dan

sekitarnya harus antre bergantian.

"Kita harus lewat jalan memutar!" kata Bayu.

"Sini, biar aku yang menyetir."

"Tidak. Aku saja."

"Terserah, Mega. Tetapi jalannya gelap dan sepi.

Sekarang sudah senja. Sebentar lagi cuaca akan
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gelap. Kalau aku yang menyopir, akan lebih cepat

sampai ke rumah."

Bayu keliru memilih perkataan. Seandainya dia

tidak mengatakan bahwa kalau dia yang mengemudi

akan lebih cepat sampai di rumah, barangkali saja

aku akan rela menyerahkan kemudi kepadanya. Karenanya aku semakin bersikeras untuk tetap duduk

di belakang kemudi.

Tetapi begitulah, karena jalan memutar itu hampirhampir tak pernah kulalui sementara kepandaianku

mengemudi juga belum begitu ahli, maka perjalanan

pulang itu berjalan lamban. Persis seperti yang

sudah diramalkan oleh Bayu tadi. Padahal malam

telah turun dan daerah yang kami lalui sepi. Di kiri

dan kanan jalan masih banyak sawah dan ladang.

Belum ada lampu jalan sama sekali.

"Bagaimana?" tanya pemuda itu. "Masih ingin

tetap mengemudi?"

- "Ya." Kepalaku terlalu keras untuk mengakui kekalahanku. Padahal dalam hati aku merasa agak

takut. Sebab saat itu gelapnya malam masih ditambahi

oleh selimut mendung yang menggantung di langit.

Saat itu musim hujan memang belum selesai.

Seekor kucing yang tiba-tiba melintas di muka

jalan benar-benar mengagetkan diriku. Seandainya

tidak dalam keadaan tegang seperti itu, barangkali

saja aku tidak akan seterkejut itu. Kuinjak rem

kuat-kuat dan aku menjerit.

"Sudah kukatakan tadi, biarkan aku' yang mengemudi. Kau tidak mau menurut hanya karena

gengsi!" gerutu Bayu. la benar. Kekeraskepalaanku

tadi memang lebih banyak diwarnai oleh gengsiku.

Tetapi mana mau aku mengakuinya!

"Aku... aku cuma kaget!" kataku. "Kucing tadi

kusangka... setan atau semacam itulah!"

"Dasar penakut."

"Heh, siapa yang penakut?" aku mulai marah.

Marah karena masih kaget tetapi Bayu malah men

nyerangku dengan perkataan yang tak pernah kubiarkan masuk ke dalam kamus hatiku. Aku tak

suka menjadi penakut. Aku tak suka dikalahkan.

Aku tak suka dianggap lemah. Dan dia seenaknya

sendiri menuduhku penakut. Sialan! "Aku cuma

kaget. Itu saja."

"Jadi, kau tetap mau mengemudi?"

"Tentu Saja."

Tepat pada waktu aku mau memindahkan persneling, hujan mulai turun. Tetapi aku tetap menjalankan mobil meskipun aku ingin marah kepada

cuaca yang tak bersahabat itu. Sepanjang pengalamanku belajar mengemudi, belum pernah aku men

ngemudi di tengah hujan. Bayu selalu memilih

cuaca yang cerah kalau mengajakku berlatih.

Melihat kedegilanku, Bayu diam saja. Tetapi

ketika laju kendaraan semakin lama semakin pelan

akibat curah hujan yang semakin lebat sementara

aku masih belum berpengalaman mengendalikan

keadaan seperti itu, pemuda itu tak lagi mau diam.

"Berhenti dulu," katanya.

"Kenapa harus berhenti?" tanyaku jengkel. Aku

tahu ia sudah tidak sabar melihat caraku mengemudi..

"Kita akan gantian duduk!" kata Bayu dengan

suara tegas. "Aku yang akan duduk di belakang kemudi. Dan kau duduk di tempatku sekarang ini!"

"Tidak. Aku masih bisa mengatasi keadaan."

"Dan lalu kita akan tiba di rumah setelah jam

dua belas?" Bayu berkata dengan suara mengejek.

Memang begitulah kesenangannya sejak dulu.

Mengejek, sinis, menggoda, dan bahkan melecehkan

orang. Terutama terhadapku. Jadi, mana mau aku

mengalah?

"Kalau perlu sepanjang malam berada di jalan

pun aku sanggup!" kataku dengan ketus.

"Oke, kalau maumu begitu. Aku sih tidak merasa

rugi!"

"Memangnya kenapa?"

"Semakin lama berada di dekat gadis yang cantik, menarik, dan menggairahkan, semakin senang

hatiku!"

"Kurang ajar!" aku membentak. Ingatanku lari

kepada perkataan Bambang yang pernah dikatakan

kepadaku setahun lebih yang lalu. Bayu pernah

sesumbar bahwa suatu ketika nanti ia akan berhasil

menjadikan aku pacarnya.

Merasa marah dan nyaris frustrasi, aku hampir

mengarahkan mobil ke selokan yang membatasi

jalan dengan sawah yang kebetulan saat itu ada di

sisi kanan kami.

"Awas!" Bayu mengulurkan tangannya, berniat

mengendalikan kemudi. Tetapi entah bagaimana

aku malah menginjak rem. Dan mobil pun berhenti

dengan mendadak. Hampir saja mobil tergelincir

karena selip. "'Hari-hati, Mega. Aku masih ingin

hidup lebih lama!"

Sebenarnya aku juga merasa kaget. Jantungku

seperti mau meloncat rasanya. Sebab inilah pengalaman pertamaku nyaris kehilangan kontrol kemudi.

Tetapi karena perkataan Bayu yang menjengkelkan

itu, aku jadi marah.

"Aku juga tidak ingin mati, tahu!" bentakku.

"Memangnya aku sengaja bersikap kurang hatihati'? Ini kan mobil ayahku satu-satunya. Kau saja

yang tidak sabaran memberiku kesempatan untuk

belajar mengatasi keadaan yang kurang menguntungkan seperti ini!"

"Tetapi hari sudah malam, Mega. Dan hujannya

sangat lebat. Memangnya senang berada di jalan

yang sepi dalam keadaan begini?"

Dari nada perkataannya, aku menangkap adanya

peringatan tentang sesuatu yang menakutkan. Pikiranku lari ke kuburan atau semacam itu. Di tepi

kota Yogya cukup banyak kuburan tua tempat

orang-orang desa dikuburkan.

"Memangnya di sekitar tempat ini ada... kuburan?" tanyaku sambil berbisik. Aku termasuk pemberani dalam banyak hal. Tetapi tidak dalam halhal yang berkaitan dengan kuburan, setan, dan semacam itu.

"Mungkin saja. Jalan-jalan di sekitar ini kan

dulu-dulunya merupakan desa dan kampungkampung yang pasti ada kuburannya!"

"Kau sengaja menakut-nakutiku!" gerutuku.

"Buat apa? Aku sendiri juga takut kok!" Bayu

menjawab seenak perutnya. "Soalnya aku pernah

melihat hantu dengan mata kepalaku sendiri!"

"Jangan bicara hal-hal semacam itu di depanku!"

aku membentak lagi. "Apalagi di sini!"

Bayu tertawa.

. "Jadi lebih suka bicara tentang perampasan di

tempat-tempat sepi begini?" tanyanya sambil cengengesan. "Sudah pernah mendengar ada orang

yang dirampas motornya waktu lewat di tempat

yang sepi dan jauh dari permukiman, belum?"

"Kau... kau benar-benar kurang ajar. Bayu!"

untuk ketiga kalinya kubentak dia. "Mau menakutnakutiku saja!"

Bayu tertawa lagi.

"Sudahlah," katanya kemudian. "Jangan membentak-bentak orang yang lebih tua. Kualat nanti.

Sini. berikan kemudi kepadaku. Dan pindahlah duduk di tempatku."

"Bagaimana mungkin?" lagi-lagi aku membentak.

"Kau yang harus pindah kemari. Turun dari mobil

lalu masuk lewat sini. Nanti aku yang menggeser

ke tempatmu."

"Enaknya!" Bayu menyeringai. "Kau akan tetap

kering dan aku basah kuyup."

"Jadi bagaimana?" dengan dahi berkerut kutatap

dia dalam kegelapan malam. Satu satunya cahaya

hanya dari lampu mobil yang menyorot ke jalan

raya, jalan yang gelap gulita oleh cuaca malam

dan hujan lebat.

"Bergeserlah sedikit ke sini, jauhi kemudi," sahut

Bayu. "Dan aku akan melewatimu."

Tidak -mudah melakukan apa yang dikatakan

oleh Bayu. Tubuh kami bukan tubuh kanak-kanak

lagi. Karenanya mau atau tidak tubuh kami jadi

berdempetan. Hidungku mencium bau lelaki. Antara

campuran bau deodoran. tembakau, dan keringat.

Meskipun bukan pencandu rokok, kadang-kadang

Bayu suka merokok juga.

Aku tidak tahu mengapa bau seperti itu bisa

membuat jantungku tiba-tiba berdebar kencang.

Ataukah karena kulit lengannya yang menyentuh

lenganku dan dadanya yang menyentuh punggungku

itu masing-masing mengirimkan suhu panas tubuh

kami? Entahlah.

Tetapi rupanya Bayu pun mengalami hal yang

sama. Sebelum kami berangkat tadi, aku sempat

mencuci rambutku. Dan entah kenapa aku juga telah

mengoleskan minyak wangi pada bagianwbagian

tubuhku padahal biasanya minyak wangi itu hanya

kupakai kalau aku pergi ke pesta atau menonton

film. Sekarang aku yakin, Bayu telah mencium

aroma itu. Soalnya sejak tadi aku belum berkeringat

sama sekali. Apalagi mobil ayahku ini mesin pendingin udaranya masih tokcer. Suhu dingin di dalam

mobil tidak membuatku berkeringat.

Tetapi entah apa pun itu yang jelas tiba-liba saja

suasana di dalam mobil kehilangan udara yang penuh dengan emosi yang semula menimbulkan hasrat

untuk saling mengejek dan membentak. Sebagai

gantinya udara yang mengambang di atas kepala

kami seperti mengandung arus listrik tegangan tinggi.

Tiba tiba saja tubuhku menggigil seperti orang kedinginan.

"Mega..." kudengar suara Bayu yang sekarang

sudah berhasil duduk di belakang kemudi. Tetapi

tubuh kami masih begitu dekat, nyaris tanpa batas.

Dan suara pemuda itu terdengar agak bergetar.

"Bolehkah... aku menciummu?"

Aku tersentak kaget. Sedikit pun aku tak menyangka ia akan meminta sekecup ciuman dariku.

Apalagi dalam kondisi seperti itu. menggigil seperti

anak kucing tercebur kali di udara dingin.

"Bolehkah?" Bayu bertanya lagi. Tubuhnya

condong ke arahku, seolah siap akan melakukan

keinginannya begitu aku memberi isyarat mengiyakan permintaannya.

Tetapi aku masih tetap belum mampu berkata

apa pun kendati otakku sudah mendorong diriku

agar menjawab tidak dan tidak. Tak ada jawaban

lain selain kata tidak itu. Namun sayangnya perasaanku saat itu begitu kacau-balau. Tak pernah

kusangka aku akan menghadapi Bayu yang bersuara

lembut, bersikap. serius, dan menanyakan lebih

dulu apakah aku bersedia ia cium. Pengalamanku

dengan Wangsit jauh berbeda. Sebab ketika itu

tiba-tiba saja Wangsit langsung mencium bibirku.

tak peduli aku kaget dan ketakutan karena pengalamanku dalam berpacaran amat minim. Umurku
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih sangat belia waktu itu.

Sekarang pun umurku baru menginjak sembilan

belas tahun. Tetapi setidaknya sudah lebih dewasa

daripada ketika aku pertama kali berpacaran dengan

Wangsit. Waktu itu umurku baru menginjak tujuh

belas tahun dan kami sering merasa canggung

sehingga acara berpacaran kami lebih sering dalam

suasana mesra dan romantis dengan bergandengan,

berpelukan sambil berjalan-jalan, dan hanya sesekali

berciuman. Terus terang aku takut berciuman de

ngan Wangsit. Kalau sedang berciuman pemuda

itu terlalu banyak mendesakkan tubuhnya ke

tubuhku dan tangannya sering "menyusup ke balik

blusku. Oleh sebab itu kalau ia menciumku, aku

lebih sibuk mencegah kenakalan tangannya daripada

menikmati ciumannya. Lama-kelamaan aku tidak

suka berciuman dengan Wangsit.

Sekarang di dekatku ada pemuda yang paling

kubenci, tetapi yang tiba-tiba bersikap amat berbeda

dari biasanya. Karenanya aku jadi kebingungan.

Lebih-lebih lagi karena aku tak menyangka barang

seujung kuku pun bahwa ternyata aku tak memprotes sama sekali meskipun wajah Bayu sudah

sedemikian dekatnya dengan wajahku.

Sungguh tololnya aku bisa begitu bingung sampai

tidak mampu menuruti apa yang diteriakkan oleh

otakku. Dan sungguh dungunya aku sampai-sampai

mengulurkan tangan untuk mendorong dada dan wajahnya agar menjauhiku saja pun. aku tak mampu.

Terlambat bagiku untuk protes. Seperti patung

aku hanya mampu menatap wajah Bayu yang tampan dengan mata berkedip-kedip. mirip orang yang

kehilangan akal. Bahkan seperti orang kesurupan

yang tak tahu sedang apa dan berada di mana. Dan

tahu-tahu saja Bayu telah mencium bibirku.

Tubuhku semakin menggigil dan rasanya seluruh

tulangku lenyap. Bayu memelukku. Lembut sekali ia

mencium bibirku. Dan selembut itu pula tangannya

mengelus rambutku, leherku, dan juga bahuku. Seperti sedang mimpi. kurasakan bibirnya yang hangat

menelusuri leher di bawah daguku. Seperti orang

baru siuman dari pingsan yang panjang, kubiarkan

pemuda itu mengelusi apa saja yang bisa dielusnya.

Maka gempa pun seperti sedang. terjadi di sekelilingku. Aku lupa segala-galanya. Aku tak ingat apa pun

lagi kecuali keberadaan Bayu dengan segala belaian

dan pelukannya. Sudah terlambat bagiku untuk menyurutkan langkah. Malam itu. di tepi sawah, di dalam mobil ayahku sendiri yang basah kuyup disirami

air hujan, di dalam udara dingin yang menggigilkan'

tubuhku, aku kehilangan keperawananku.

Mega dan Bayu benar-benar bersatu seperti apa

yang pernah menjadi sesumbarnya. Dan aku telah

kalah, kalah sekalah-kalahnya. Sesumbarku dulu

bahwa aku tak mungkin menjadi milik Bayu. runtuh

berantakan. Hancur berkeping-keping.

AKU duduk di bangku semen menatap ke atas, ke

arah bukit yang dipenuhi pepohonan. Di tanganku

terdapat sebuah bungkusan yang hangatnya menyentuh kulit telapak tanganku. Bungkusan itu

berisi tempe bacem dan juadah ketan. Baru saja

kubeli dari Mbok Carik, pedagang juadah dan

bacem yang sudah terkenal sejak aku dulu masih

kecil. Tetapi kalau dulu ia berjualan di dekat

Telaga Putri, daerah wisata yang memiliki air

terjun dan kolam renang. kini ia berjualan di

daerah yang lebih strategis karena lebih mudah

terlihat oleh orang yang baru masuk ke daerah

Kaliurang. Tempatnya berdagang juga lebih per'manen, lebih luas. dan dengan berbagai macam

makanan yang lebih bervariasi sebagai dagangannya. Tidak lagi terbatas hanya juadah, bacem,

wajik, dan grubi saja.

Mbok Carik masih ingat padaku meskipun sudah

sepuluh tahun tidak melihat aku. Dan sesudah berbasa-basi sedikit bungkusan berisi juadah dan

tempe gembus bacem yang kubeli itu diberinya

tambahan ekstra beberapa potong. Seperti dulu

juga, setiap aku bersepeda membeli juadah dan

bacemnya. Selalu ada tambahannya. Dan seperti

dulu juga kalau aku pamit, selalu ada pesan yang

harus kusampaikan kepada Ibu, yaitu salamnya.

Sekarang juadah dan tempe bacem yang baru saja

matang itu kupegang di atas pangkuanku. Perhatianku lebih tercurah kepada Rio yang sedang

bermain ayunan di taman bermain. Tak banyak

orang di tempat itu meskipun liburan kenaikan kelas

baru dimulai. Rio dapat memuaskan diri dengan berbagai macam permainan di sana tanpa harus berebut dengan yang lain. Perosotan, gua-guaan yang

dibentuk naga, jungkar-jungkit, dan lain sebagainya.

Sementara itu matahari sudah mulai merangkak

naik. Langit begitu bersih, nyaris tanpa sepotong

awan pun. Kuangkat pergelangan tanganku. Sudah

jam sembilan lebih.

"Rio." panggilku.

Rio yang sekarang sudah turun dari ayunan dan

mulai memperhatikan seekor kadal, menoleh ke

arahku.

"Ya, Ma?"

"Kita pulang sekarang yuk."

"Kapan kita melihat Gunung Merapi dari dekat?"

"Besok pagi, ya"?" usulku. "Juadah dan tempe

yang kita beli untuk oleh-oleh sudah tidak sepanas

tadi. Eyang suka makan yang masih hangat."

"Oke. Kita pulang sekarang."

Aku tertawa. Anak itu sedang senang memakai

kata "oke". Sedikit-sedikit kata itu muncul dalam

pembicaraan.

Dengan tatapan sayang kuikuti setiap gerakgeriknya tatkala kami berdua keluar dari taman

bermain dan naik ke mobil.

Hm, Rio dengan zamannya yang serba memanjakan manusia. Dulu kalau aku berjalan-jalan di sekitar tempat ini, tak pernah naik mobil. Tetapi dengan sepeda. Dan sesudah besar, naik motor

bebekku. Mobil Bapak hanya dipergunakan kalau

kami turun ke kota atau ke tempat-tempat yang

terlalu jauh untuk dicapai dengan sepeda.

"Mama..."

"Ya, Sayang..."

"Apakah Gunung Merapi itu akan meletus lagi?"

Pertanyaan dengan awal kalimat yang mempergunakan kata "apakah" itu menimbulkan senyum di

bibirku. Sambil tersenyum kulayangkan pandang

mataku ke puncak Merapi. Ujungnya yang runcing

dan gundul masih saja melelehkan cairannya sedikit

demi sedikit, meninggalkan kepulan-kepulan kecil

asap yang dari jauh nyaris tak tampak. Aku pernah

bercerita kepada Rio bahwa beberapa tahun yang

lalu Gunung Merapi meletus lagi dan bahkan memakan korban manusia. Tetapi di daerah permukiman

kami aman-aman saja. Dan akan selalu aman. Muntahan Gunung Merapi tidak akan sampai ke situ.

Sebab memang begitulah kata orang-orang tua yang

tahu. Demikian juga yang pernah dikatakan oleh

Eyang Sosro, kakek Bayu, dulu. Dan kami semua

mempercayai hal itu. Sebab kenyataannya meskipun

ada daerah-daerah yang semula dikira akan amanaman saja karena tak pernah terjamah oleh muntahan

gunung, pada letusan terbesar beberapa tahun yang

lalu, tempat itu terkena juga. Bahkan ada beberapa

orang yang menjadi korban. Tetapi di tempat permukiman kami tetap aman-aman saja.

"Mungkin saja, Nak. Gunung Merapi memang

gunung yang tak pernah tidur. Di bawah permukau

annya selalu ada cairan panas yang terus menggelegak. Tetapi kita tak perlu khawatir. Ada alat

yang selalu mencatat kegiatannya. Kalau alat itu

menunjukkan adanya kegiatan luar biasa yang bisa

menyebabkan letusan, petugas di tempat itu akan

segera mengumumkannya kepada orang-orang di

sini. Terutama di tempat-tempat yang berbahaya.

Sehingga kalau memang itu berbahaya'bagi penduduk di tempat itu, mereka akan mengungsi ke

tempat yang lebih aman," kujawab pertanyaan Rio

tadi. Entah dia mengerti atau tidak apa yang kuteraugkan dengan cara sesederhana yang bisa kukatakan itu. Tetapi ketika melihat kepalanya mengangguk, aku merasa senang.

"Apakah Mama pernah melihat letusan Gunung

Merapi?" tanya Rio lagi.

"Dari dekat, belum. Tetapi dari kejauhan, ya."

"Seram ya, Ma?"

"Ya. Langit hitam kemerahan. Udara dingin di

sekitar Merapi ini meningkat suhunya."

"Mama merasa takut?"

"Ya, sedikit."

"Tetapi menurut Iyo, Mama tak pernah takut terhadap apa pun!" kata Rio sambil menatapku dengan

tatapan bangga.

Dahiku berkerut.

"Dari mana kamu tahu kalau Mama bukan seorang penakut?" tanyaku ingin tahu. Sebab tak

mungkin ia mempunyai pendapat sendiri mengenai

hal itu. Ia masih terlalu kecil untuk berpikir terlalu

jauh.

"Dari Eyang. Iyo mendengar ketika Eyang bere

cerita pada Mbok Rah mengenai Mama waktu masih

kecil dulu. Kata Eyang, Mama seorang pemberani.

Dan hampir tak pernah menangis."

Aku tersenyum dalam hati. Mbok Rah memang

baru bekerja selama lima tahun di rumah ibuku,

menggantikan bibinya. Bibinya, yaitu Mbok Ikem,

sudah bekerja belasan tahun di rumah ibuku. Tetapi

lima tahun yang lalu Mbok Ikem sakit keras. Setelah

itu ia tidak diperbolehkan bekerja oleh anaknya.

Sebagai gantinya, ia mengirimkan keponakannya

yang sudah menjadi janda. yaitu Mbok Rah. Mbok

Rah tidak mengenalku ketika aku masih kecil. Kehadiranku kembali di rumah orangtuaku telah menimbulkan kembali kenangan masa kecilku dalam


Pendekar Rajawali Sakti 82 Selendang Pendekar Bodoh 5 Ksatria Seribu Syair Sapta Siaga 12 Gara Gara Teleskop

Cari Blog Ini