Ceritasilat Novel Online

Langit Di Atas Merapi 2

Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono Bagian 2

diri ibuku. Dan itu diceritakannya kepada Mbok Rah

yang baru mengenalku belakangan ini. Tanpa sengaja.

Rio ikut mendengarkan.

"Bagaimana menurut Rio sendiri tentang Mama?"

tanyaku kemudian, masih sambil tersenyum. "Penakutkah Mama?"

"Tidak. Mama berani menyetir mobil dari Jakarta

ke Kaliurang ini hanya dengan Rio," jawab Rio.

"Padahal Mama seorang perempuan."

Wah, inilah hasil rekayasa budaya. Anak sekecil

Rio saja sudah memilahkan pekerjaan lelaki dan

perempuan kendati aku selalu memberi pengertian

padanya bahwa pada dasarnya kemampuan lelaki

dan perempuan tidak berbeda dalam segala bidang.

Tetapi rupanya telinga dan matanya lebih banyak

disuguhi oleh hal-hal yang sebaliknya, baik yang

ia tangkap melalui televisi dan bacaan, maupun

apa yang diperagakan oleh orang banyak dalam

kehidupan sehari-hari.

"Rio. siapa pun harus berani menyetir ke mana

pun dan sejauh apa pun tempat yang ingin dituju.

Baik dia itu perempuan maupun lelaki."

"Ya, benar..." Rio menganggukkan kepala.

"Tetapi rupanya tidak semua orang berpikir begitu

ya, Ma?"

"Mengapa Rio berkata seperti itu?"

"Karena di televisi Iyo sering melihat perempuan

menjerit takut kalau melihat sesuatu. Lalu yang

lelakilah yang melindunginya."

"Ya. Lalu bagaimana menurut Rio?"

"Sebenarnya perempuan juga tidak boleh penakut.

Sebab Mama Iyo tidak pernah menjerit ketakutan.

Berarti perempuan juga bisa jadi pemberani. Ya kan,

Ma?"

"Ya."

"Dan perempuan tidak harus jadi cengeng. Nyatanya Mama tak pernah menangis. Iyo baru sekali melihat Mama menangis, waktu Eyang Tri meninggal."

"Rio. menangis itu perlu juga. Dan tidak selalu

berarti orang yang menangis itu cengeng. Anak lelaki boleh saja menangis kalau merasa sedih atau

ada yang sakit. Menahan tangis dapat menimbulkan

penyakit lho. Nanti kalau sudah besar, Rio akan

dapat mengerti hal itu."

"Tetapi apakah benar Mama tidak suka menangis?"

"Yah, kalau tidak ada alasan yang menyebabkan

keluarnya air mata, kenapa Mama harus menangis?"

Hatiku seperti ada yang mencubit tatkala berkata

seperti itu. Ingatanku lari pada kisah yang terjadi

hampir sepuluh tahun yang lalu, ketika kusadari

keperawananku telah terenggut oleh Bayu.

Di hadapan pemuda itu, aku tidak ingin menangis.

Tak kuizinkan setetes pun air keluar dari mataku

meskipun hatiku menjerit-jerit penuh kemarahan.

penyesalan, dan kepedihan yang tak terhingga.

Ketika badai yang terjadi di dalam mobil Bapak

telah surut meskipun badai di luar masih memuntahkan hujan lebat yang seolah tak ada hentinya itu,

aku menggeserkan tubuhku jauh-jauh ke sudut.

Rasanya aku seperti kain buruk yang sudah lusuh,

teronggok di sudut mobil. Dengan mata nyalang

kutatap hujan di luar. Mulutku terkunci. Sesuku kata

pun aku tak ingin bicara.

"Mega" Bayu mengiba-iba di sampingku.

"Ampunilah aku. Ampunilah kekhilafanku."

Aku tak mau menjawab. Menoleh bahkan bergerak pun kepalaku tidak.

"Mega, ketahuilah sudah lama sekali, sejak kau

masih kecil, aku telah mencintaimu. Mulamula memang hanya menyayangimu karena waktu itu kau

masih kecil dan aku juga belum besar. Yang kurasakan

padamu hanyalah rasa sayang dan sayang. Tak pernah

aku merasa sayang seperti itu terhadap anak-anak

perempuan lainnya. Dan semakin kau tumbuh menjadi

seorang gadis remaja, lalu menjadi dewasa, cintaku

kepadamu semakin besar dan besar. Jadi, Mega, ketika kita berdua tiba-tiba berada di tempat yang sepi

begini, aku jadi lupa diri. Aku tak mampu menahan

diriku untuk... mencurahkan kasihku kepadamu"

"Cukup ocehanmu!" aku bersuara kembali. "Aku

tak ingin mendengar apa pun yang kaukatakan.

Sekarang cepat nyalakan mesin mobil. Aku sudah

ingin segera mandi dan mencuci bersih seluruh

tubuhku yang kotor ini. Cepat!"

Seperti seekor anjing penurut yang mengikuti

apa pun perintah tuannya, Bayu yang biasanya

suka cengengesan dan keras kepala itu menuruti

apa pun yang kumaui. Tanpa berkata apawapa lagi

ia langsung mengemudikan mobil pulang. Di bawah

siraman hujan yang masih saja tercurah dari langit,

ia berusaha membawaku pulang dengan selamat.

Di kamar mandi ketika sudah kembali ke rumah,

aku langsung membersihkan seluruh tubuhku dari

ujung rambut hingga ujung jari kaki. Setelah itu

kulemparkan diriku ke atas tempat tidur. Di sanalah

aku baru mempunyai kesempatan untuk merenungkan apa yang terjadi tadi dengan lebih tenang.

Dan pada saat itu pulalah baru aku bisa menangis.

Kutumpahkan seluruh kepedihan hatiku ke atas

bantalku yang basah bukan hanya disebabkan oleh

rambutku yang masih lembap, tetapi juga oleh air

mataku yang membanjir.

Belum pernah aku menangis seperti saat itu.

Ketika Wangsit meninggalkan diriku saja aku hanya

menangis sebentar. Itu pun kulakukan di kamar

mandi ketika wajahku sedang basah. Aku tak mau

orang lain mengetahui aku baru saja menangis.

Ketika aku menangis malam itu, pada waktu

seisi rumah sudah lelap dalam mimpi, diam-diam

aku keluar mencari kapas dan air es untuk mengompres pelupuk mataku yang sembap. Aku tak

ingin seorang pun di antara keluargaku mengetahui

bahwa hampir semalaman aku menangis.

Menjelang pagi ketika aku sudah letih menangis,

timbul keputusan dalam hatiku untuk memilih

kuliah di Jakarta dan tinggal di rumah Bude Tri.

Aku harus meninggalkan Kaliurang secepat-eepatnya.

Meskipun seluruh keluargaku heran mengetahui

keputusanku yang tiba-tiba itu, tak seorang pun di

antara mereka yang mempunyai prasangka bahwa

keputusan itu kuambil karena Bayu. Aku tak sang"

gup memandang wajah pemuda itu lagi, sebab de"

ngan melihatnya berarti aku juga melihat kekalahw

anku yang fatal.

Ya, kekalahan fatal. Bahkan kekalahan mutlak.

Betapa tidak? Aku membenci Bayu sejak awal. Aku

tak pernah berhandai-handai dengannya. Apalagi

hanya berduaan saja. Kalau aku ikut bermain sepak

bola dan ada Bayu di situ, selalu aku memilih

bergabung dengan kelompok lawannya. Pendek kata

aku tak pernah berdekatan secara fisik dengannya.

Apalagi secara mental. Aku dan dia baru menjadi

lebih akrab ketika aku belajar mengendarai mobil

darinya. Itu pun paling lama sekitar tiga minggu.

Dan jika dipukul rata, kebersamaanku dengan dia

selama itu hanya sekitar dua atau tiga kali saja

dalam seminggu. itu pun tak banyak yang kami

bicarakan. Itu sengaja kulakukan sebab aku tak

ingin melanjutkan, apalagi mengembangkan keakraban di antara diriku dan pemuda itu. Aku sudah me-'

rencanakan begitu mahir menyopir sendiri dan mendapatkan SIM, aku akan menjauhinya kembali.

Tetapi kenyataannya apa yang terjadi di dalam

mobil pada malam hujan lebat itu menjadi bukti

betapa sia-sianya segala strategi yang kulakukan

untuk tetap menyuburkan kebencianku padanya. Kejadian itu sekaligus membuktikan bahwa kebencianku

terhadapnya selama ini bukanlah kebencian yang

murni. Sebab kalau benar aku sungguh-sungguh

membencinya, tak mungkin peristiwa malam berhujan

itu terjadi._Sebab aku pasti akan menamparnya, memukulnya, atau apa saja sebagai tanda penolakanku

terhadapnya. Bukankah ia tidak memerkosaku? Dan

seandainya dia memerkosaku pun, aku toh bukan

gadis yang lemah? Aku belajar karate. Fisikku sehat.

Aku memiliki kekuatan yang cukup untuk mendorong

tubuhnya keluar mobil dan kemudian meninggalkannya di tepi jalan yang sunyi itu.

Semakin peristiwa itu kurenungkan, semakin

kekalahan fatal itu kurasakan. Dan karenanya, selama

aku mengurus kepergianku ke Jakarta beberapa hari

itu, tak sekali pun kuizinkan diriku untuk bertemu

Bayu. Melihatnya dari kejauhan saja aku tak sudi.

Akhirnya malam itu dengan diantar kedua orang"

tuaku, aku pergi ke Stasiun Tugu. Dengan Kereta

Api Bima yang datang dari Surabaya, aku berangkat menuju Jakarta.

Aku bukan gadis yang cengeng. Tetapi ketika

melambaikan tangan kepada kedua orangtuaku yang

berdiri di lantai peron stasiun itu, air mataku menitik tanpa terasa. Kulukai hati mereka yang sebenarnya merasa berat hati melepaskan diriku untuk

kuliah ke Jakarta itu hanya karena aku ingin

menjauhi Bayu.

Di Jakarta aku berusaha melupakan kesedihanku

dengan menyibukkan diriku bersama Bude Tri,

yang saking gembiranya langsung mengajak aku

berbelanja keperluanku kuliah. Seperti meja belajar,

tas kuliah, alat-alat tulis, bermacam kamus, pakaian,

dan lain sebagainya. Kalau aku menolaknya karena

sudah terlalu banyak uang yang ia keluarkan untukku, ia akan marah.

"Kau tidak boleh merasa sungkan seperti itu

kepada Bude!" katanya. "Aku ini juga ibumu. Kalau kau tidak pernah merasa sungkan kepada ibu"

mu, kepada Bude pun kau juga tidak boleh merasa

sungkan. Aku dan ibumu itu seperti kembar. Usia

kami hanya satu tahun dua bulan saja jaraknya."

Karena aku tak ingin mengecilkan perasaannya,

sejak itu aku menurut apa saja yang ia maui.

Sebab rupanya dengan memanjakan aku itu berarti

ia juga sedang memanjakan dirinya sendiri.

Dibanding dengan saudara-saudara sekandungku

dan juga saudara sepupuku dari Oom Bambang,

adik ibuku, aku memang menjadi primadona Bude

Tri lebih dari mereka semua. Seluruh naluri keibuannya tercurah kepadaku. Justru karena itulah ketika hampir dua bulan kemudian aku mulai sadar

ada sesuatu yang berubah pada tubuhku, kepada

Bude Tri?lah kutangiskan seluruh ketakutanku

menghadapi masa depan.

"Dari mana kau tahu bahwa dirimu hamii?"

Bude Tri bertanya kepadaku dengan wajah penuh

rasa kaget yang ia tak bisa ia tutupi. "Lagi pula
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepanjang yang Bude ketahui1 kau sekarang sudah

putus dari pacarmu dulu. Ataukah ada pacar baru

yang Bude belum ketahui?"

Kugelengkan kepalaku.

"'Tidak, Bude. Aku tidak mempunyai pacar."

"Tidak?" Bude Tri menjinjitkan alis matanya.

"Bagaimana mungkin kau bisa hamil? Ayo, Bude

antar kau ke dokter sekarang!"

Sebodoh-bodohnya aku, seminim-minimnya

pengalaman hidupku, aku toh tahu juga ada sesuatu

yang sedang berubah dalam tubuhku. Haidku tidak

datang. Dan bagian pinggangku terasa menebal.

Kadang-kadang ketika bangun pagi aku merasa

mual-mual. Karenanya aku tidak merasa heran ketika dalarn pemeriksaan dokter maupun laboratorium, diriku dinyatakan hamil.

Kelihatannya Bude Tri merasa sangat terkejut

menerima kenyataan itu meskipun aku sudah mengatakankan sebelumnya. Rupanya tadinya ia masih

meragukan perkataanku.

"Jadi, kau benar-benar hamil, Mega?" berulang

kali ia berkata seperti itu sepanjang perjalanan

kami pulang dari dokter. "Kok bisa? Katamu kau

tak mempunyai pacar?"

Untuk melenyapkan keheranannya terpaksa aku

menceritakan peristiwa itu. Bahkan juga mengenai

kebencianku kepada Bayu sejak kami masih kanakkanak. Pokoknya tak ada yang kusembunyikan

dari Bude Tri.

"Apakah ibumu tahu?"

"Tahu tentang apa?"

"Tentang kehamilanmu."

"Tidak. Mega pun baru tahu belakangan kok,

Bude..." Kutahan-tahau agar air mataku jangan

sampai runtuh. Belakangan ini aku mulai cengeng.

Tetapi bagaimana tidak? Gadis mana yang tidak

ketakutan mengetahui dirinya hamil oleh satu-satunya pemuda yang ia benci?

"Apakah yang bisa Bude bantu, Mega?" suara

Bude Tri terdengar lembut. "Memberitahu orangtuamu?"

"Jangan!" bantahku cepat-cepat. "Jangan, Bude."

"Kamu itu bagaimana sih, Mega? Mereka itu kan

ayah dan ibumu. Mereka berhak mengetahui keadaanmu. Mereka juga berhak dan wajib memikirkan

keadaanmu. Jangan takut menghadapi kemarahan

mereka. Sebab mereka kenal betul siapa dirimu.

Peristiwa itu tidak sepenuhnya salahmu, Nduk."

"Memang, Bude. Tetapi Mega tidak ingin mereka

mengetahui kehamilan ini."

"Pada akhirnya mereka pasti akan tahu juga tentang kehamilanmu itu, Mega!" bantah Bude Tri.

"Mana mungkin kita bisa menyembunyikan dari

mereka."

"Bisa saja, Bude. Sebab bayi ini akan kugugurkan!"

Waktu itu umurku baru sembilan belas tahun.

Pikiranku masih belum matang. Penyelesaian dengan cara menggugurkan kandungan kuanggap sea

bagai cara yang paling mudah. Tak kupikirkan

tentang tanggung jawab moral yang harus kujunjung. Tak kupikirkan bahwa menggugurkan bayi

adalah menghentikan proses tumbuhnya seorang

calon manusia yang mempunyai hak asasi sama

dengan diriku dan dengan siapa pun manusia di

dunia ini. Tak kupikirkan bahwa menggugurkan

kandungan adalah suatu perbuatan yang berdosa.

Tetapi untunglah Bude Tri ada di sampingku.

"Tidak boleh, Mega. Kau tidak boleh meng

gugurkan bayimu. Sekecil apa pun bayi yang ada

di dalam tubuhmu, ia mempunyai hak untuk hidup.

Janganlah menambah dosamu, Ndak."

"Tetapi, Bude, Mega tidak ingin hamil" Aku

mulai menangis. "Dengan kehamilan ini Mega kehilangan masa depan. Sebab bagaimana mungkin

Mega bisa kuliah dengan perut membesar?"

"Pasti akan ada jalan keluarnya, Mega. Tenangkan dirimu dulu."

"Bagaimana mungkin Mega bisa tenang dalam

keadaan begini?"

"Apakah dengan keresahanmu kau bisa menyelesaikan persoalanmu?" Bude Tri mulai kehilangan

rasa sabarnya. "Tidak, bukan? Karena itulah, Mega,

tenangkan dirimu lebih dulu. Dengan menenangkan

diri kita berharap dapat memecahkan persoaian

dengan lebih baik."

"Asalkan Bude berjanji untuk tidak mengatakan

tentang kehamilan ini kepada Bapak dan Ibu, Mega

akan mencoba untuk berpikir lebih baik."

"Sebenamya apa sih alasanmu untuk menyembunyikan kehamilanmu itu dari orangtuamu'?"

"Bukan hanya disembunyikan dari pengetahuan

Ibu dan Bapak saja, Bude. Tetapi juga dari Mas

Didik, Mas Wawan, dan Mas Totok. Jangan sampai

mereka mengetahui kehamilan ini!" sahutku mulai

terisak. Alangkah panjangnya kesulitan yang meng"

ikuti langkah kakiku ini, padahal kalau dipikirpikir aku hanya terjatuh satu kali saja. Itu pun tak

pernah terpikirkan olehku akan terjadi padaku.

"Sudahlah. Mega. Jangan terlalu sedih. Mudah

mudahan ada jalan lain yang bisa kita tempuh,"

kata Bude Tri menenangkan diriku. "Tetapi sebelum

Bude mencoba mencari jalan keluarnya, coba kataa

kan mengapa kau begitu gigih ingin menyembunyiv

kan keadaan ini dari keluargamu di Kaliurang

sana?"

"Karena Mega tidak ingin Bayu mendengarnya,"

sahutku. "Mega yakin, kalau Mas Totok mengetahui

hal ini, ia pasti akan mengatakannya kepada Bayu.

Dan Mega yakin, jalan keluar yang akan mereka

kemukakan adalah mengawinkan kami berdua.

Padahal Mega tidak ingin menikah dengan Bayu

sampai kapan pun."

Bude Tri menarik napas panjang. Memang sulit

kalau sudah berpikir sampai ke sana. Sebab cukup

banyak pasangan yang tak bahagia karena perkawinan terpaksa yang diakibatkan oleh keadaan

yang memaksa. Karena si gadis sudah hamil lebih

dulu misalnya. Apalagi kalau kehamilan itu terjadi

bukan dengan landasan saling mencintai.

"Asalkan keinginanmu untuk menggugurkan itu

kausingkirkan dari kepalamu, Bude akan ikut memikirkan keadaanmu, Mega!" katanya kemudian.

"Bude tidak ingin ada kesalahan yang sama dalam

kehidupan keluarga besar Bude, termasuk dirimu."

"Kesalahan sama'yang mana, Bude?"

"Baiklah, Bude akan menceritakan suatu kisah

nyata yang Bude alami beberapa puluh tahun yang

lalu. Terus terang saja cerita ini belum pernah Bude

buka kepada siapa pun, termasuk kepada ibumu.

Begini, Nduk. Sebelum menikah dengan pakdemu,

kami berdua pernah sedemikian khilaf sampai

melakukan perbuatan yang hanya boleh dilakukan

oleh pasangan yang sudah menikah. Bude pun

hamil. Tentu saja kami berdua merasa ketakutan.

Maklumlah, waktu itu kami berdua masih sangat

belia dan sama-sama masih kuliah. Pakdemu menyuruh Bude menggugurkan kandungan. Dengan

diam-diam kami berdua pergi ke seorang dokter

yang bersedia melakukannya. Tetapi entah rupanya

dokter itu tidak begitu ahli, atau karena hal lain,

rahim Bude mengalami sedikit infeksi. Sesuatu yang

akhirnya menjadi awal penyebab mengapa sampai

hari ini Bude tak pernah bisa hamil lagi. Nah, karena itulah Bude paling menentang kalau ada orang

ingin menggugurkan kandungan tanpa alasan yang

benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya

demi nyawa sang ibu."

Mendengar kisah nyata yang diucapkan dengan

suara sedih dan penuh perasaan itu, aku menundukkan kepala. Pasti besar sekali penyesalan Bude.

Seandainya aku yang mengalaminya pasti aku akan

sedih sekali. Aku menyukai anak-anak. Sebagai

anak bungsu, aku sering merindukan seorang atau

dua orang adik. Dulu sering kali aku merasa iri

kalau mendengar salah seorang temanku baru saja

mempunyai adik. Bahkan ketika sedang hangathangatnya hubunganku dengan Wangsit beberapa

tahun ialu, acap kali kubayangkan sebuah rumah

tempat aku dan Wangsit hidup sebagai suamiwistri

dan dengan beberapa orang anak di dalam kehidupan perkawinan kami.

Melihatku tertunduk. Bude Tri mengelus rambutku beberapa saat lamanya.

"Serahkanlah segala sesuatunya kepada Bude,

Nduk!" katanya kemudian. "Baiklah kalau kau

memang tidak ingin Bude mengatakan kehamilanmu

itu kepada ibu dan bapakmu, Bude akan mencoba

merahasiakan keadaanmu itu. Asalkan seperti kata

Bude tadi, kau tidak boleh menggugurkan

kandunganmu. Bagaimana?"

Aku menganggukkan kepalaku. Maka kandunganku pun selamat sehingga bayi di dalam tubuhku

itu terus berkembang dari minggu ke minggu dan

bulan ke bulan.

Untungnya aku sekarang berada di Jakarta, yang

jauh dari teman teman dan sanak-keluargaku yang

lain. Kehamilanku dapat kusembunyikan dari pengetahuan orang banyak. Meskipun demikian aku hanya

sempat kuliah sampai ujian akhir semester pertama.

Sebab sesudah itu perutku yang semakin besar tak

bisa lagi kusembunyikan di balik blus longgar.

Karenanya begitu menyelesaikan ujian akhir semester pertama aku langsung mengambil cuti akademik untuk satu semester. Permintaan ibuku agar

aku. berlibur ke Kaliurang dalam liburan akhir semester itu kutolak. Alasanku aku akan berlibur ke

Lampung bersama teman-teman kuliahku. Knpakai

alasan itu karena takut kalau-kalau kedua orangtuaku

tiba-tiba datang ke Jakarta untuk menjengukku. Sebab sudah kubayangkan kalau aku menolak berlibur

ke rumah, pasti orang rumahlah yang akan datang ke

tempatku. Dan itu berbahaya bagi kelangsungan

rahasia tentang kehamilanku yang selama ini sudah

dijaga baik-baik oleh Pakde dan Bude.

Namun meskipun demikian Bude Tri selalu mengingatkan padaku bahwa cepat atau lambat orangtuaku

pasti akan tahu juga mengenai kehamilanku itu.

"Asap tak bisa disembunyikan, Mega. Apa yang

harus Bude katakan kalau nanti kedua orangtuamu

tahu mengenai dirimu?" katanya. "Sebab cepat

atau lambat mereka pasti akan datang kemari."

Aku terdiam beberapa saat, berpikir keras.

"Kalau hal itu terjadi Bude, Mega akan bersembunyi entah di mana. Mega pasrah seutuhnya kepada Bude. Terserah apa pun yang akan Bude katakan kepada mereka untuk mengurangi kekagetan

ataupun kemarahan mereka, asalkan Bude tidak

mengatakan bahwa kehamilan ini disebabkan oleh

Bayu."

Rupanya Tuhan memang masih berpihak kepada"

ku kendati dosaku sudah bertumpuk-tumpuk. Kedua

orangtuaku yang sudah terlalu lama memendam

rindu kepada anak bungsunya ini, datang ke Jakarta

dengan tidak memberitahu lebih dulu. Tetapi pada
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saat itu aku baru saja masuk klinik bersalin karena

dokter menganggap kehamilanku sudah melewati

waktu yang seharusnya. Setelah ditempatkan di

kamar bersalin, aku segera diinfus dengan cairan

yang aku tak tahu namanya. Menurut suster yang

merawatku cairan itu berfungsi untuk merangsang

kontraksi rahimku demi memperlancar proses kelahiran bayiku.

Melahirkan adalah pengalaman yang sama sekali

asing bagiku. Berada di ruang bersalin serbaputih

yang begitu bersih dan berbau obat-obat antiseptik,

dengan meja dorong kaca dan berbagai macam

peralatan dokter di sekelilingku, sementara perutku

mulai merasa mulas begitu infus itu masuk ke

tubuhku, aku merasa takut. Benar-benar takut

sampai-sampai tubuhku menggigit. Lebih-Iebih

karena udara di ruangan itu begitu dingin. .

Bude Tri duduk di samping tempat tidurku dengan memakai pakaian steril yang disediakan oleh

klinik bersalin. Tiap aku meringis kesakitan, cepatcepat ia mengulurkan tangannya dan mengelus

iembut punggungku. Sementara itu kami berdua tidak mengetahui sama sekali bahwa saat itu di

rumah sedang terjadi keributan. Kedua orangtuaku

yang baru datang kaget sekali mengetahui dari

Pakde bahwa saat itu aku sedang berjuang melawan

kesakitan menghadapi kelahiran bayiku.

Entah apa yang dikatakan oleh Pakde, aku tidak

tahu. Tetapi ketika kedua orangtuaku menyusul ke

klinik bersalin dan menyaksikan bagaimana aku

berjuang melawan kesakitan luar biasa selama sew

hari-semaiam, tak sepatah kata pun keduanya mew

nyalahkan diriku. Bahkan dengan sepenuh hati

mereka berdua mendorong semangatku sampai

akhirnya bayiku yang berjenis lelaki dan berbobot

tiga kilo enam ons itu lahir dengan selamat.

Pengalaman melahirkan benar-benar membuat

diriku yang semula masih hijau dan tak berpengalaman itu menjadi perempuan dewasa dengan mendadak Umurku belum genap dua puluh tahun saat

itu, tetapi aku sudah menjadi ibu dari seorang

bayi yang tampan.

Sekarang baru kurnengerti betapa besar pengorbanan ibuku ketika beliau melahirkan anak-auaknya.

Sekarang baru kumengerti bahwa perempuan hamil

bukanlah perempuan yang rapuh dalam arti yang

khusus. Seiama hamil aku tak banyak bergerak

karena khawatir terjadi sesuatu. Apalagi Bude Tri

tak mengatakan apa pun untuk menasihatiku karena

ia tak punya pengalaman dalam hal yang satu ini.

Aku yang biasanya selalu gesit dan tak pernah

kenal takut untuk melakukan apa pun. menjadi

kelewat berhati-hati karena kehamilanku itu. Dan

Bude Tri membiarkan saja. Akibatnya bayiku cukup

besar untuk seorang ibu yang baru pertama kali

melahirkan. Dan karena aku kurang bergerak. elastisitas otot-ototku atau entah apalah namanya itu.

tidak berfungsi prima. Tak heran kalau proses

persalinan itu berjalan cukup alot. Padahal sudah

dibantu dengan cairan infus.

Tetapi di situlah letak sisi keberuntunganku.

Kedua orangtuaku yang sempat ketakutan melihat

penderitaanku selama sehari-semalam itu kehilangan

luapan emosi yang sebelumnya begitu menguasai

hati mereka berdua ketika mengetahui keadaanku

dari Pakde. Apalagi ketika keduanya melihat si

bayi yang sudah dibersihkan dan berada di kotak

bayi dengan selimut biru, berjajar dengan bayibayi lainnya di kotak masing-masing. Bayiku tampak besar, tampan, dan lucu.

"Ibumu sempat marah besar kepadaku, Mega

lapor Bude Tri. "Tetapi aku dan pakdemu berusaha

setengah mati untuk meredam kemarahan mereka."

"Bude tidak menyebut-nyebut tentang Bayu,

kan?"

"Tidak."

"Sungguh. Bude?"

_ "Sungguh. Mega. Percayalah."

"Tetapi apakah mereka tidak menanyakan siapa

ayah si bayi?" _

"Ya, tentu saja mereka bertanya. Tetapi Bude

dan Pakde mengatakan bahwa kami berdua sama

sekali tidak tahu. Kau begitu bersikukuh untuk

tidak mau mengatakan siapa pemuda yang menghamilimu."

"Apakah Bude mengatakan bahwa Mega cuma...

cuma sekali saja berbuat kekhilafan itu?"

"Ya. Dan syukurlah, mereka mempercayai hal

itu."

"Lalu apa saja yang mereka katakan kepada

Bude mengenai keadaan Mega ini?"

"Yah, biasalah... seperti dulu-dulu juga!" Bude

Tri tersenyum tipis. "Kata mereka, Bude terlalu

memanjakanmu sehingga kau kehilangan kewaspadaan dan kurang berpikir panjang."

"Bude tidak membela diri?"

"Demi dirimu, tidak." Bude tersenyum lagi, tetapi kini dengan pandangan mata berkilauan. "Juga

demi si bayi yang tampan dan berambut ikal itu.

Sudah Bude bayangkan, rumah kita sekarang pasti

akan semakin semarak oleh tangisnya."

Kebungkamanku mengenai siapa bayiku benarbenar membuat kedua orangtuaku bukan saja kebingungan, tetapi juga jengkel luar biasa.

"Kau keras kepala, Mega," begitu mereka mengatakan berulang kali. Entah ketika masih di

klinik bersalin, ataupun sesudah aku pulang ke

rumah Bude yang sekarang menjadi rumahku juga.

Sampai-sampai keduanya menebak-nebak siapa

saja yang melintasi pikiran mereka.

"Apakah lelaki itu sudah beristri, Mega?" tanya

mereka mengorek-ngorek keterangan dariku. "Apakah kau diperkosa?"

Tetapi apa pun yang dikatakan oleh mereka

aku tak mau menanggapinya sama sekali kecuali

dengan dua kalimat,

"Di suatu saat Mega akan menceritakan siapa

ayah si bayi, tetapi sekarang biarkanlah Mega

menyimpan rahasia ini demi kebaikan semua pihak.

Yang penting, percayalah kepada Mega bahwa kesalahan ini tidak akan terulang kembali dan Mega

akan memperbaikinya dengan meraih segala

kebaikan dan kesuksesan di masa depan."

Apa yang kuikrarkan itu kupenuhi. Setelah cuti

akademikku berakhir dan semester tiga dimulai, aku

melanjutkan kuliahku dengan lebih giat. Indeks

prestasiku selalu di sekitar tiga setengah. Dan begitu

lulus aku langsung mendapat pekerjaan berkat kenalan Bude Tri. Tetapi alasan utama aku diterima di

perusahaan penerbitan itu adalah karena prestasiku

sendiri. Nyatanya ketika para atasanku melihat

sepak terjang dan pekerjaanku yang memuaskan,

mereka semua sependapat untuk memberi beasiswa

bagiku. Padahal aku termasuk belum lama bekerja

di tempat itu. Maka beberapa tahun kemudian, gelar

kesarjanaanku pun bertambah. Dan karierku terus

menanjak. Pada usia yang masih relatif muda, aku

sudah mendapatkan posisi dan gaji yang lumayan

besar. Lebih dari itu aku menyukai pekerjaan yang

penuh tantangan itu.

Kedua orangtuaku telah memaafkan segala

kesalahanku dan bahkan merasa bangga menyaksikan

hasil perjuanganku. Terlebih Rio, anakku, telah pula

berhasil menaklukkan hati mereka semua dengan

segala yang dimilikinya. Ketampanan, kelucuan, kecerdasan, keluguan, dan terutama ikatan darah daging

yang ada di antara kami semua.

Begitulah, hari ini aku sudah berada kembali di

Kaliurang, setelah hampir sepuluh tahun lamanya

tanah kelahiranku ini tak terpijak oleh kedua kakiku.

Seluruh kerinduan yang sekian tahun lamanya menggumpal di dada kucurahkan dengan sepenuh sukacita. Bersama Rio kujelajahi tempat-tempat yang

semasa kecilku dulu menjadi tempat favoritku.

Seperti pondok lama tempat Mbok Carik dulu menjual juadah dan tempe bacemnya. Atau tempat aku

dulu mencari kodok. Atau pergi ke lapangan tempat

aku dulu sering bermain sepak bola. Di tempattempat itulah aku bernostalgia sendiri meskipun ada

juga perasaan sedih kalau melihat tempat-tempat

yang dulu masih begitu alami, kini sudah menjadi

bangunan komersial.

UDARA sore yang cerah di Kaliurang hari itu

sungguh terasa menyegarkan perasaanku. Matahari

yang sudah condong ke barat mengirimkan sinarnya

yang lembut sementara angin gunung turun membelai seluruh permukaan bumi Kaliurang dan juga

bagianwbagian wajahku serta permukaan kulit lengan dan kakiku. Dan nun jauh di sana. Merapi

tegak berdiri menjulang ke langit dengan pengahnya. Seolah tahu banyak orang mengagumi keberadaannya.

Aku duduk sendirian di salah satu kursi teras

dengan sebuah majalah terkembang di atas pangkuanku. Tetapi sekalimat pun aku belum membacanya.

Pandang mataku lebih tertarik kepada segala hal

yang ada di seputar tempatku duduk. Langit yang

biru cerah, bukit yang menghijau di sebelah sana,

orang-orang 'yang lalu-laiang melewati rumah orangtuaku. Dan juga serombongan kecil turis berkebangsaan Belanda yang tetap berjalan tegak dan

gagah meskipun jalanan di depan rumah orangtuaku

ini agak menanjak. Sambil berjalan mereka ber

cakap-cakap ramai. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak tahu. Sedikit pun aku tak bisa berbahasa Belanda. Tetapi kelihatannya mereka berbicara mengenai Gunung Merapi, sebab pandang

mata mereka terarah ke sana dan salah seorang di

antara mereka menunjuk-nunjuk ke arah puncaknya

yang tak begitu runcing lagi setelah beberapa

waktu yang lalu meletus.

Pagi tadi Rio sudah mendapat teman baru. Rumah di sebelah kanan rumah orangtuaku sudah

tidak" dihuni lagi oleh keluarga Pak Suhodo. Pak

Suhodo sekeluarga pindah ke kota Magelang setelah

rumahnya dibeli oleh keluarga muda pindahan dari

Semarang.

Keluarga muda bersuku Tionghoa itu memindahkan usaha mereka ke Kaliurang dan sekitarnya.

Ada empat rumah penginapan yang dibeiinya. Kata

ibuku penginapan mereka cukup laris. Kebanyakan

tamunya berasal dari luar negeri, yaitu para turis

yang lebih suka menginap di penginapan-penginapan kecil dengan suasana seperti di rumah sendiri

daripada menginap di hotelwhotel berbintang.

Keluarga muda di sebelah rumah kami itu mempunyai tiga orang anak. Anak kedua mereka sebaya

dengan Rio. Ibuku mengenalkan keduanya. Adi

namanya. Keduanya langsung cocok karena kebetulan

mereka termasuk anak-anak yang berani dan lekas

akrab dengan orang-orang yang baru mereka kenal.

Sekarang Rio sedang bermain ke sebelah dengan

membawa setumpuk buku cerita yang dibawanya

dari Jakarta. Anakku memang selalu kuajar untuk

tidak malu-malu sejauh itu berada di jalan yang

lurus. Sebelum pergi tadi aku sempat mengingatkan

padanya untuk tidak lupa mengucapkan salam kepada

kedua orangtua Adi sebagai salah satu caraku untuk

menghargai orang siapa pun dia, tanpa memandang
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suku, ras, golongan, dan agama.

"Mega, ada singkong goreng lho!" kudengar

suara ibuku dari dalam. Tak berapa lama kemudian

ia sudah muncul dengan sepiring singkong goreng

yang tampaknya masih panas. "Singkongnya empuk

dan gurih."

Aku tersenyum memperhatikan ibuku meletakkan

piring berisi singkong itu ke atas meja teras.

"Dengan resep bawang putih, ketumbar, salam,

dan garam, lalu dikukus setengah matang dulu. baru

digoreng. Begitu, kan?" tanyaku menebak.

"Ya." lbu tertawa. "Kau masih mengingatnya."

"Bude Tri mengajari yang sama," sahutku. ""Dan

pembantu rumah tanggaku selalu memakai cara itu

kalau menggoreng singkong."

"Tetapi singkongnya pasti tidak baru seperti ini.

Dan mungkin juga jenisnya tidak seempuk ini."

"Ya." Karena tidak ingin mengecewakan Ibu

yang senang membanggakan apa pun yang berasal

dari Kaliurang, tak kuceritakan bahwa aku pun

sering mendapat singkong atau bahan-bahan mentah

lainnya yang baru diambil dari kebun.

Rumahku di Jakarta yang baru kutempati sepuluh

bulan dan kubeli dengan cara meneicil ke bank itu

berada di sebuah kompleks perumahan baru yang

terletak di antara penduduk asli Betawi. Kebanyak

an di antara penduduk itu mempunyai tanah yang

luas. Begitu juga tetangga di belakang rumahku

yang terletak di tepi kompleks perumahan. Mereka

memiliki lahan yang luas yang ditanami singkong,

ubi jalar, kacang panjang, dan beberapa macam

sayuran, lalu juga buah-buahan seperti pepaya,

nangka, rambutan, jambu ain dan durian. Bagiku

mendapatkan singkong yang baru dicabut tidaklah

sulit. Ibuku tidak tahu itu. Ia belum pernah datang

ke rumahku. Ketika menjengukku ke Jakarta hampir

satu tahun yang lalu, aku masih tinggal di rumah

Bude Tri.

"Mega..."

"Ya, Bu?" .

"Hm, tidak inginkah kau tinggal di Kaliurang

lagi"?" tanya ibuku. Jadi ke situlah sebenarnya ia

ingin menggali perasaanku ketika membanggakan

lagi tanah kelahiranku ini.

"Ya. tentu saja ingin, Bu. Namanya juga tanah

kelahiran. Tetapi di Jakarta-tah aku mencari nafkah."

kujawab pertanyaan ibuku tadi dengan sejujurnya.

"Tetapi mulai sekarang aku berjanji akan lebih

sering datang kemari bersama Rio."

"Seharusnya sejak kemarin-kemarin kau sering

kemari dan bukannya menunggu sampai hampir

sepuluh tahun lamanya."

"Ya"

Sampai sekarang, baik ibu dan ayahku, apalagi

ketiga kakakku, tak pernah mengetahui latar belakang

kepergianku ke Jakarta. Sampai sekarang tak seorang

pun di antara mereka tahu siapa ayah Rio. Bude Tri

telah menyimpan rahasia itu rapat-rapat dan tak

sekali pun mengatakannya kepada Ibu. Bahkan

sampai maut merenggutnya pun Bude Tri tak membuka rahasia itu. Namun kini kelihatannya rahasia

itu terancam kelestariannya. Di dalam tas pakaianku,

aku menyimpan sebuah amplop tebal yang ditulis

oleh Bude Tri. Sebelum Bude Tri meninggaldunia

tiga bulan yang lalu ia sempat memberi pesan'

padaku untuk menyerahkan amplop tebal itu kepada

Ibu. Meskipun aku tidak membacanya karena

amplopnya disegel, tetapi aku bisa menduga sebagian

isinya. Yaitu latar belakang keberadaan Rio.

Bude Tri menderita sakit yang cukup berat

pada bagian hatinya. Selama lima bulan ia hidup

dalam penderitaan karena sakitnya itu. Aku dan

Pakde yang selalu mendampinginya betul-betul mengagumi betapa kuat dan tabahnya beliau. Jarang

sekali ia menunjukkan betapa penyakitnya telah

menguras kekuatan fisiknya. Baru ketika ia mev

ninggal dunia kami tahu bahwa penyakit yang

diderita oleh Bude Tri itu merupakan penyakit

yang jahat. Seorang pasien yang dirawat di ruangan

sebelah tempat Bude Tri dirawat mempunyai penyakit yang persis sama. Tetapi pasien itu terusmenerus mengerang-erang. Keluarganya mengatakannya kepada kami ketika mereka memberi ucapan

dukacita begitu Bude meninggal hari itu.

Sejujurnya aku memang mengagumi budeku itu.

Beberapa hari sebelum meninggal ia mengutarakan

keprihatinannya atas orang-orang yang berada di

sekitarnya. Seperti misalnya Pakde yang diharap

kannya agar mau menikah lagi seandainya ia

dipanggil Tuhan lebih dulu. Atau tentang keadaan

diriku yang membuatnya sedih. Karena katanya ia

menganggap diriku telah kehilangan masa remaja.

Begitulah, di dalam penderitaannya ia masih memikirkan orang lain.

"Jangan takut menghadapi pria yang menaruh

perasaan tertentu kepadamu, Mega," katanya ketika

itu. "Jadi, bukalah hatimu. Kau masih muda, masih

mempunyai banyak kesempatan untuk memulai

hidup baru dengan seseorang."

"Mega tidak ingin memberi seorang ayah tiri

kepada Rio!" sahutku ketika itu? menanggapi perkataannya. Waktu itu aku sedang mendapat giliran

menjaga Bude di rumah sakit. Dan aku menginap

di sana. Rupanya Bude Tri memakai kesempatan

itu untuk berbicara denganku.

_ "Rio anak yang sangat menyenangkan, Mega.

Bude yakin. dengan cepat orang akan jatuh hati

kepadanya. Apalagi kalau orang itu menaruh perasaan khusus terhadapmu," sahutnya dengan suara

yang penuh keyakinan. "Percayalah. Di Jakarta

yang penuh dengan manusia-manusia yang kehilangan pegangan moral ini, masih cukup banyak

lelaki muda yang baik. Lelaki-lelaki muda yang

memiliki iman tebal."

Aku tak ingin mengomentari perkataan Bude

Tri. Sebab bagiku saat ini yang penting adalah

meniti karierku yang sedang mulai melesat. Tetapi

Bude Tri tahu itu.

"Sayang, janganlah terlalu mencurahkan perhati

an kepada pekerjaan saja. Buat apa sukses dalam

karier kalau kehidupan pribadimu gersang!" katanya.

Ketika aku diam saja. Bude Tri menggapaiku

agar aku mendekati tempat tidurnya.

"Di lemari pakaian Bude ada amplop tebal.

Bude meletakkannya di bawah kertas alas di bagian

tumpukan pakaian dalam. Ambillah itu dan berikan

kepada ibumu kalau ia ke sini!"

Kuanggukkan kepalaku. Tetapi ketika kedua

orangtuaku datang pada hari kematian Bude Tri

tiga bulan yang lalu, amplop itu tak kuberikan kepada mereka. Dan baru sekarang amplop itu akan

kuberikan kepada mereka. Tetapi mengingat dugaanku bahwa surat itu sedikit-banyak berisi tentang

diriku, aku menyimpannya di bagian bawah tas

pakaianku. Rencananya aku baru akan memberikannya nanti kalau akan berangkat pulang kembali ke

Jakarta.

Aku memahami perasaan ibu maupun ayahku.

Mereka berdua Sudah berusia setengah abad lebih.

Apalagi bapakku. Umur beliau sudah mendekati

enam puluh tahun. Kehidupan yang tenang dan

mapan adalah sesuatu yang paling mereka dambakan. Dan itu berarti berada di tengah-tengah anakanak dan cucu mereka. Ketiga kakakku tinggal tak

jauh dari Ibu dan Bapak. Mas Didik dan Mas

Totok ada di kota Yogya. Keduanya bekerja di

bank swasta yang besar. Sedangkan Mas Wawan

tinggal di Sulu, 'menjadi manajer sebuah hotel

besar di kota itu. Jadi, memang hanya aku seorang

berada di tempat yang jauh dari mereka. Tak

heran kalau ibuku melontarkan pertanyaan apakah

aku tidak rindu pada kampung halamanku ini.

"Kelihatannya Rio juga betah tinggal di sini.

Makannya banyak dan air mukanya tampak riang,"

kudengar ibuku berkata lagi. "Ketika Ibu isengiseng bertanya kepadanya apakah mau bersekolah

di sini, dengan spontan ia menjawab ya."

Aku mempercayai perkataan Ibu. Sebab sebagaimana yang dikatakannya, Rio memang tampak

gembira berada di Kaliurang. Seolah sudah sejak

lahir ia berada di tempat ini. Apa saja yang dilihat

dikumentarinya dengan gembira. Apa yang dimakannya meskipun belum pernah dimakannya di Jakarta,

seperti salak pondoh, tempe bacem yang manis

rasanya, gudeg berikut sambal goreng kereceknya

yang mestinya terasa pedas bagi lidahnya yang

kecil, sepertinya tak asing baginya. Semuanya enak

menurut dia. Ini sungguh aneh sebenarnya. Sebab

ketika ia kuajak ke Bandung tahun lalu dan mencicipi

oncom, lidahnya tak cocok. Baru satu kali gigitan

saja ia sudah mengomentarinya tak enak. Padahal

aku dan seorang teman sekantorku yang sama-sama

pergi ke sana, sudah menghabiskan berpotongporong oncom goreng yang rasanya gurih dan

renyah itu. Pikirku sekarang, barangkali saja ikatan

darah yang dimilikinya dengan orang-orang di tempat

ini menimbulkan ikatan batin dengan segala hal

termasuk makanan yang ada di sini.

Walau begitu sebagai seorang ibu aku tak yakin

apakah ia akan sanggup berpisah denganku. Sejak

bayi ia tinggal satu kamar denganku meskipun

Bude Tri berulang kali mengatakan sebaiknya ia

dilatih untuk tidur sendiri. Tanpa diriku aku meragukan apakah Rin masih akan selalu gembira

dan kerasan tinggal di tempat ini. Bisa saja untuk

beberapa waktu lamanya ia akan senang tinggal

bersama kakek dan neneknya. Tetapi kalau sudah

bosan dengan segala pengalaman barunya nanti,

apakah ia tidak akan rindu kepadaku dan lalu

ingin pulang ke Jakarta kembali"?

"Kudengar kau belakangan ini sering bertugas

ke luar negeri. Dan paling sebentar memerlukan

waktu seminggu. Benar. kan?" untuk kesekian kali

kudengar lagi suara ibuku memecah lamunanku.

"Ya." sahutku terus terang. "Ibu kan tahu, sebagai wartawan aku tidak hanya bekerja di kantor

saja. Kadang-kadang dikirim ke luar kota. kadangkadang bahkan ke luar negeri."

"Selama ini kalau kau sedang tugas seperti itu,

Rio kautitipkan pada budemu?"

"Ya. Ketika Bude dirawat di rumah sakit, kutitipkan Rio pada Pakde dan pembantu rumah

tangga mereka. Kedua pembantu mereka sangat
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sayang kepada Rio."

"Tetapi sekarang ini budemu sudah tidak ada,

Mega. Meskipun Pakde sangat menyayangimu dan

Rio, ia tidak mempunyai ikatan darah dengan

kalian berdua. Usianya belum lagi enam puluh

tahun. Ibu yakin, suatu ketika nanti pakdemu itu

akan menikah lagi. Ia masih membutuhkan seseorang untuk mendampingi hidupnya. Sebagai peng

usaha yang cukup sukses. tentunya ia sering menerima undangan. Pergi sendirian sementara yang

lain menggandeng istri mereka, lama-kelamaan pasti

akan menimbulkan perasaan kurang pada dirinya..."

"ibu mau mengatakan bahwa Rin akan lebih

terjamin jika ia tinggal di Kaliurang ini daripada

di Jakarta, kan?" aku memotong bicara Ibu yang

tampaknya masih akan berpanjang-panjang kata

itu.

"Yah, begitulah."

Aku sangat yakin, sebab utama keinginannya

agar Rio tinggal di Kaliurang adalah karena ia

maupun Bapak sangat menyayangi Rio. Dengan

kata lain anak itu telah merebut seluruh hati mereka

berdua dengan segala celoteh dan keriangan yang

ditiupkannya ke dalam rumah ini. Tetapi alasanalasan yang dikatakan oleh Ibu itu cukup meme

pengaruhi diriku. Tanpa Bude Tri, Rio hanya akan

tinggal bersama orangorang lain yang tak memiliki

hubungan darah dengannya.

"Pikirkanlah baik dan buruknya, Mega," ibuku

berkata lagi. Usai berkata seperti itu ia langsung

berdiri dan masuk kembali ke dalam rumah, meninggalkan aku sendirian. ltulah kebiasaannya sev

telah mengemukakan sesuatu kepada anak-anaknya

dan ingin kami memikirkannya dengan sungguh"

sungguh.

Aku menarik napas panjang. Biasanya kalau

aku sedang tidak ingin berpikir, apalagi yang berkaitan dengan pilihan-pilihan penting yang harus

kuambil sebagai keputusan yang menyangkut ke-'

hidupan pribadiku, aku dulu langsung pergi ke

rumah salah seorang temanku. Tetapi selama dua

hari berada di Kaliurang ini. belum seorang pun

yang kutemui. Padahal ada beberapa teman kecilku

dulu yang masih menetap di Kaliurang bersama

keluarganya meskipun mereka bekerja di Yogya.

Aku masih belum pergi mengunjungi salah seorang

pun di antara mereka. Kalau sekarang aku tibatiba muncul apalagi dengan alasan melarikan diri

dari keruwetan pikiranku, rasanya kurang etis. Jadi

satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah jalanjalan sendirian.

Dengan pikiran itu aku langsung mengambil

kunci mobil. Setelah meraih dompet aku pamit kepada lbu dengan alasan mau mencari salak pondoh.

"Rio suka sekali makan salak pondoh!" kataku

memberi alasan.

Ibuku melihat jam dinding.

"Masih setengah lima lewat sedikit," katanya.

"Di sekitar Pasar Turi sana barangkali saja masih

banyak yang berjualan salak pondoh!"

"Apakah pasarnya masih buka, Bu?" sahutku.

"Ini sudah sore lho."

'"Pasarnya sih sudah tutup, Nduk. Tetapi kalau

kins-kios yang menghadap ke jalan, barangkali

masih banyak yang buka. Dan di depan kios-kios

itu selalu ada bakul-bakul berisi tumpukan salak

pondoh. entah jualan mereka ataupun titipan petanipetani salak di sekitar tempat itu. Apalagi salak

pondoh sedang musim-musimnya berbuah. Sudah

begitu sekarang ini juga liburan anak sekolah."

Alasan ibuku benar. Selama dua hari di Kaliw

urang cukup banyak aku berpapasan dengan mobilv

mobil dari luar kota. Terutama dari Jakarta. Kota

Yogya memang mempunyai daya tarik tersendiri

bagi turis-turis domestik. Kalaupun mereka mau

pergi ke Bali atau kota-kota wisata lain di Jawa

Tengah atau di Jawa Timur. kota Yogya pasti

menjadi tempat persinggahan. Atau malah menjadi

salah satu dari sederet tempat yang sengaja akan

mereka kunjungi.

Dan memang benar, di sekitar Kecamatan Turi

ada banyak kebun salak. Entah karena keadaan

tanahnya salak pondoh memang tidak begitu berhasil ditanam di tempat lain yang tak berpasir.

Salak pondoh rasanya lebih enak dibanding salak

lainnya. Dan anehnya menurut perasaanku, kalau

aku makan salak pondoh biarpun makan lebih dari

lima buah sekaligus, perutku tidak terasa sebab

atau penuh seperti kalau makan salak jenis lainnya.

Seperti yang dikatakan oleh ibuku tadi, sore itu

masih cukup banyak penjual salah pondoh di sekitar Pasar Turi. Kuhentikah mobilku di tepi jalan,

di maka sebuah toko kecil. Ibuku tadi sempat

mengingatkan sebaiknya aku memakai mobil Bapak

saja. Sebab katanya para penjual itu akan menaikkan harga salaknya kalau melihat calon pembelinya

dari luar kota. Apalagi dari Jakarta. Sebab kata

Ibu lagi. menurut orang-orang daerah termasuk

Yogya dan sekitarnya ini, orang-orang Jakarta banyak uangnya. Padahal sebenarnya karena di Ja!

karta sana semuanya serbamahal, maka ketika

melihat harga-harga di daerah yang relatif lebih

murah, orang-orang Jakarta cenderung menjadi kong

sumtif dan berani membayar harga yang lebih

mahal.

Tetapi apa pun kebenaran yang sesungguhnya,

aku tidak memedulikan alasan-alasan seperti itu.

Bagiku seandainya pun aku membayar lebih banyak

daripada seharusnya, kuanggap saja itu sebagai sesuatu yang wajar. Sebab bagaimanapun juga harga

salak pondoh yang lebih mahal itu masih tetap

lebih murah harganya dibanding dengan harga barang yang sama di kota Jakarta.

. "Mau buat olehioleh, Bu?" tanya .si penjual

setelah kami berdua menyepakati harganya. Pasti

dia telah melihat pelat nomor mobilku. "Ambil

saja satu tenggok, nanti saya beri harga lebih murah."

"Ah. tidak. Mau dimakan di sini'saja," sahutku.

"Saya orang Kaliurang, meskipun tinggalnya di

Jakarta."

"Oh, orang sini ro."

"Ya, kelahiran sini. Cuma kebetulan saja mencari

sesuap nasi di Jakarta." Aku tersenyum. "Nanti kalau pulang ke Jakarta lagi, saya akan membeli lebih

banyak buat oleh-eleh."

"Beli di sini saja, Bu."

"Asal besar-besar seperti ini semuanya, ya mau,"

sahutku. "Jangan di atasnya saja yang besar-"besar,

lalu makin ke bawah makin kecil."

"Tetapi sekarang ini sedang musimnya kok, Bu.

Panennya bagus."

"Wah, panen uang juga kalau begitu!" kataku

sambil tertawa lagi. "Lalu dikirim ke mana saja

salaknya kalau sedang banyak begini?"

"Yang panen uang itu kan yang punya kebun

roi Bu. Saya cuma kecipratan saja."

"Banyak ya petani salak pondoh di sini?"

"Ya lumayan banyak juga sih. Bu." Sambil

berbicara seperti itu si penjual menimbang salak

yang kupilih tadi dengan cekatan. "Dan biasanya

kalau panennya jadi, ada saja di antara mereka

yang tahun berikutnya pergi naik haji."

"Lalu dikirim ke mana saja salaknya itu?" Di

masa kecilku dulu hal-hal seperti yang kutanyakan

itu tak pernah masuk ke dalam pikiranku. Tetapi

sekarang, segala hal yang ada di seputar tanah kelahiranku ini kulihat dengan kacamata yang

berbeda. Dan aku ingin tahu semuanya.

"Yah ke mana-mana, Bu. Tetapi yang paling

banyak dikirim ke Jakarta dan Surabaya."

Aku bekerja di kantor penerbitan yang menerbitkan beberapa macam majalah. Ada yang dua

mingguan dan ada yang bulanan. Majalah yang

kupegang selalu menyisihkan tempat untuk hal-hal

yang menyangkut aktivitas atau penghasil barang

tertentu di daerah-daerah seluruh Indonesia. Misalnya mengenai ukir-ukiran di daerah Jepara. Atau

secara berseri menampilkan tempat-tempat penghasil

keramik dan gerabah seperti di Kasongan di pinggir"

an kota Yogya, Klampok di Banyumas, Plered di

Jawa Barat, dan Dinoyo di Malang. Atau pula batubatuan semacam akik di daerah sekitar Pacitan Jawa

Timur dan Baturetno di Wonogiri. Tak jarang juga

menampilkan masakan-masakan khasnya. Atau hasil

buminya.

Tetapi mengenai salak pondoh, belum pernah.

Jadi tiba-tiba saja timbul dalam pikiranku keinginan

untuk mengangkat kisah petani salak pondoh. Apalagi belakangan ini salak pondoh sudah mulai

banyak dikenal oleh masyarakat Jakarta. Sering

kali kulihat mobil dengan bak terbuka di bagian

belakangnya sarat dengan salak pondoh. Di atasnya

tertulis nama salaknya berikut harga per kilogramnya.

Yah, apa salahnya di sela-sela liburanku ini aku

menyisakan waktu untuk mewawancarai petanipetani di daerah Turi ini.

Aku pernah mendengar sekilas, kalau kita mau

langsung membeli salak pada petaninya, harganya

jauh lebih murah lagi. Dan baru dipetik pula. Berpikir seperti itu aku langsung mencari informasi

di sekitar tempat itu begitu selesai membayar salak yang kubeli. Maka keesokan harinya pagi-pagi

sekali aku pergi ke daerah Turi dan Turgo. Oleh

seseorang yang kutanyai, aku diberitahu mengenai

salah seorang petani yang termasuk paling sukses.

"Ibu tanya saja di mana tempat Pak Adi kepada

orang-orang di sebelah sana itu," kata orang itu.

"Mereka pasti tahu."

Apa yang dikatakan oleh orang yang kutanyai

itu tak salah. Ketika aku bertanya mengenai petani

salak bernama Pak Adi, mereka langsung tahu.

Bahkan salah seorang di antaranya menyuruh anak

lelakinya yang berumur sekitar dua belas tahun

untuk mengantarkanku ke sana.

"Jauh, ya?" tanyaku kepada anak itu. Jalan ke

arah yang kutuju bukan jalan aspal yang halus.

Mobil berjalan lambat.

"Tidak. Kira-kira di ujung tiang listrik itu kita

berhenti," begitu jawab anak lelaki tanggung itu.

"Oh, di situ ya kebunnya?" tanyaku.

"Ya. Tetapi cuma sedikit yang ditanam di kebun

belakang rumahnya. Tanahnya tidak luas."

"Lho, kata orang-orang itu Pak Adi termasuk

petani salak pondoh yang berhasil. Kok kebunnya

tidak luas"?" tanyaku agak kecewa.
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pak Adi termasuk petani salak yang paling

berhasil di daerah ini, Bu!" bocah lelaki itu menjelaskan. "Kebunnya banyak. Tetapi letaknya di

dekat Turgo sana. Yang di sini ini adalah tempat

tinggalnya sehari-hari."

Kekecewaanku meluntur. Di dalam tas aku membawa perlengkapan untuk wawancara. Sebagai

wartawan ke mana pun aku pergi selalu membawa

peralatan foto dan tape recorder miniku.

Anak lelaki itu meloncat turun dari mobil begitu

kami sampai di muka rumah Pak Adi. Dan tahutahu saja ia berlari masuk ke rumah itu. Ketika ia

keluar kembali beberapa saat kemudian, air mukanya tampak gembira.

"Orangnya ada, Bu. Sebentar lagi Pak Adi akan

menemui Ibu. Sekarang sedang berganti baju!"

katanya.

Merasa berterima kasih, anak itu kuberi uang

dan kusuruh pulang sendiri.

"Untuk naik kendaraan!" kataku. Jumlah uang

yang kuberikan cukup lumayan untuk anak-anak

daerah. Aku yakin anak itu pasti tidak akan naik

ojek untuk kembali ke tempat tadi. Jarak sekitar

satu atau satu setengah kilometer bagi anak-anak

desa tidaklah jauh. Tetapi aku merasa berkewajiban

untuk memberinya uang.

"Terima kasih, Bu," mata anak itu berpendarpendar riang. Aku merasa bersyukur. Pemberianku

diterima dengan baik.

Setelah mengambil tasku yang cukup besar dan

menggantungkannya ke bahu. mobil kukunci. Kemudian dengan langkah pelan aku berjalan ke rumah yang kutuju.

Rumah itu cukup besar untuk ukuran desa. Tetapi bentuknya termasuk sederhana dengan model

yang sudah ketinggalan zaman. Meskipun demikian

rumah itu tampak asri dan teduh. Di depan terasnya

yang luas ditanam beberapa pohon besar. Ada

sawo dan mangga di antaranya. Sedang di terasnya

sendiri tertata kursi rotan putih dengan jok dari

kain putih berbunga-bunga hijau seperti warna

daun-daun di sekitar tempat itu. Semuanya tampak

menyatu. Serasi. Dan sedap dipandang mata. menyejukkan.

"Kulonuwon...," kataku memberi salam dengan

bahasa Jawa.

"Monggo...," kudengar sahutan dari dalam rumah.

Tak berapa lama kemudian si pemilik suara muncul

di teras rumahnya melalui pintunya yang sejak

tadi sudah terbuka.

Melihat orang itu aku tersentak kaget. Kedua

belah kakiku gemetar. Dan mataku terbelalak lama,

tanpa aku mampu mengedipkannya.

"Ba... Bayu" Akhirnya aku terlepas juga dari

kejutan itu. Kusebutkan nama itu dengan suara

mendesis. Seujung kuku kelingking pun aku tak

pernah mengira akan berjumpa dengan Bayu seperti

ini. Dan tak pernah setitik pun aku menyangka

bahwa orang yang disebut dengan nama Pak Adi

itu adalah Bayu, meskipun aku ingat nama panjang

Bayu adalah Bayu Adisaputra.

"Mega..." Seperti aku, lelaki itu pun tampak

kaget sekali melihat diriku. Tetapi tidak seperti

diriku, ia lebih mampu menguasai dirinya daripada

aku. "Kejutan yang sangat luar biasa. Kenapa kau

ada di sini?"

"Aku... aku mencari Pak Adi." sahutku agak

terbata-bata. "Ternyata kaulah orangnya..."

"Kalau Pak Adi itu ternyata aku, kenapa? Tak

sukakah kau?" Ah, lelaki itu masih saja seperti

dulu ketika ia masih seorang pemuda belia.

"Tidak. Aku tak suka!" Ingatan masa lalu yang

menempatkan Bayu pada sisi hatiku yang menyimpan segala hal yang negatif, melepaskanku

dari sergapan rasa kaget tadi. Dengan cepat aku

bahkan mampu bersikap penuh penolakan terhadapnya. Seperti anak kecil saja.

"Hm, belum sembuh juga kau dari penyakit

aneh itu!" Bayu bergumam dengan menyeringai.

Gayanya yang sudah amat kukenal. ""Kita-kita ini

sudah bukan anak anak muda belasan tahun atau

di usia awal dua puluhan. Masa iya sikapmu masih sama seperti belasan tahun yang lalu? Ayo ah,

duduklah. Lalu ceritakan kepadaku mengapa kau

mencari Pak Adi."

Aku merasa malu mendengar perkataannya itu.

Dengan perasaan tertekan aku terpaksa menurut

dan duduk di salah satu kursi rotan itu.

"Kenapa kau ada di sini? Lalu mengapa kau

mencariku'?" Bayu bertanya lagi.

"Aku mencari Pak Adi," sahutku cepat. "Bukan

mencarimu."

"Sama saja. Bukankah orangnya satu?" Bayu

menyeringai lagi. "Di sini aku dikenal dengan

nama Adisaputra Nama Bayu hanya pantas disebut

orang jika itu berkaitan dengan pasangannya."

"Pasangannya?"

"Ya, pasangannya. Nama pasangan Bayu adalah

Mega. Tetapi karena Mega telah terbang jauh

entah ke mana, nama Bayu kusimpan "saja..." Suaranya mengandung canda, tetapi aku menangkap

pandangan dan air muka yang serius ketika ia

mengucapkannya.

Entah mengapa hatiku tergetar karenanya. Tetapi

tentu saja hal itu tak kuperlihatkan.

"Jangan main-main ah," aku memberengut.

Bayu tertawa.

"Nah, kau belum menceritakan apa keperluanmu

mencari Pak Adi!" katanya kemudian, mengembali

kan pembicaraan pada pokoknya. Suaranya terdengar empuk, mengandung imbauan.

Tanpa sadar aku menatap wajahnya. Dan aku

terkejut. Wajah itu begitu ganteng dan menampilkan

kematangan seorang lelaki yang telah banyak mengenyam pengalaman hidup dalam waktu yang

relatif singkat.

Dan tubuhnya begitu gagah. Lengannya berlekuklekuk menonjolkan otot-otot seorang petani meskipun ia pemilik dan tuan tanahnya. Begitupun dadanya tampak bidang. Amat berbeda dengan yang

kulihat pada diri Bayu sepuluh tahun yang lalu.

Aku menelan ludah ketika tiba-tiba teringat kejadian di dalam mobil Bapak, tatkala hujan lebat

mengguyur kota Yogya dan sekitarnya hampir sepuluh tahun yang lalu.

"Aku ingin mewawancarainya._,

sahutku cepat cepat.

"Mewawancaraiku!" Bayu membetulkan perkataanku. "Dan rasa-rasanya, itu ada kaitannya dengan

salak pondoh."

"Yah," aku menjawab agak terbata.

"Hmm, aku jadi ingat sekarang. Kau seorang

wartawati."

Dadaku berdenyut. Ternyata ia tahu bahwa aku

seorang wartawati. Tetapi... yah, aku ingat sekali,

Bayu adalah sahabat Mas Totok. Apa yang terjadi

padaku tentu saja Mas Totok tahu. Jadi kalau Bayu

menanyakan keadaanku kepada kakakku itu. sudah

pasti ia akan mendapatkan jawabannya. Duh. Tuhan,

aku menjerit dalam dada. Mudah-mudahan Mas

Totok cukup memiliki rasa setia dalam persaudaraan

dan tidak menceritakan aib yang pernah terjadi

padaku; suatu harapan yang cukup besar dalam

hatiku, mengingat tak seorang pun dalam keluargaku

mengetahui siapa sebenarnya ayah anakku. Dan Mas

Totok tentu tak akan membocorkan rahasia aib

keluarga kami itu meskipun kepada sahabatnya sendiri. Apalagi setitik pun ia pasti tidak pernah menduga bahwa ayah si bayi justru sahabatnya itu. Ia

tahu betul, aku membenci Bayu sejak kecil. '

Jadi meskipun aku terkejut karena ternyata Bayu

mengetahui bahwa aku bekerja sebagai Seorang

wartawati dan pasti juga tahu hal-hal lainnya tentang

diriku. aku tak terlalu takut bahwa Bayu akan

mengetahui tentang keberadaan anakku itu dari Mas

Totok.

"Tetapi... aku tidak bermaksud mewawancaraimu" kataku sambil meraih tasku. Aku bermaksud

meninggalkan tempat itu.

Tetapi Bayu mengetahui maksudku. Ia mencekal

pergelangan tanganku.

"Duduklah kembali, Mega. Jangan bersikap seperti anak kecil lagi!" katanya kemudian. Suaranya

terdengar begitu tegas dan mengandung teguran

yang membuatku terpaksa duduk kembali. "Kita

ini kan sudah dewasa. Masa-masa lalu yang terjadi

pada masa kecil dan remaja kita sudah berada di

belakang kita. Dan sekarang ini kita kan sedang

menghadap ke masa depan. Jadi ayolah, bersikaplah

dewasa dan realistis. Kalau kau ingin mewawancaraiku, wawancarailah sebagai seorang petani salak

yang berhasil. Aku akan membantumu sebaik-baiknya sehingga akan cukup banyak bahan yang bisa

kautulis dengan lebih menarik..."

Pergelangan tanganku yang masih berada dalam

genggaman tangan Bayu kusentakkan hingga terlepas. Apa yang dikatakan oleh Bayu menyentuh

perasaanku dan kuakui kebenarannya. Tetapi dasar

sifat kekanakanku memang masih besar jika berhadapan dengan Bayu. Sebab dengan melihatnya

lagi setelah hampir sepuluh tahun tak bertemu.

aku tersadar bahwa ingatan masa kecilku dulu masih cukup kuat mempengaruhi caraku bersikap terhadap Bayu. Sampai-sampai membuatku lupa bahwa sekarang ini aku sudah dewasa.

"Kurasa cukup banyak petani salak pondoh

lainnya yang juga berhasil dan yang sepak terjangnya pantas untuk kutulis di majalahku!" begitu

yang kukatakan.

"Memang. Kurasa baik juga kalau kau mencari

salah seorang di antara mereka!" Bayu menanggapi

perkataanku dengan tenang. "Tetapi aku tak berani

menjamin apakah mereka mau diwawancarai."

"Lho, memangnya kenapa?"

"Karena di sini aku dianggap sebagai sesepuh

mereka meskipun usiaku lebih muda. Jadi kalau ada

orang luar yang menemui mereka sehubungan dengan

pekerjaan mereka sebagai petani salak, akulah yang

mereka ajukan. Atau dengan perkataan yang lebih

jelas, aku yakin sekali mereka akan mengirimmu

kembali ke sini apabila kau berhasil bertemu dengan

salah seorang di antara mereka!" sahutnya.

"Ah, betapa hebatnya kau!" sindirku.

"Memang!" Bayu tertawa menyeringai, suatu

kebiasaan lamanya yang masih tetap kuingat sampai

sekarang. "Tetapi percayalah, Mega, kehebatan itu

kuraih bukan dalam waktu yang sebentar dan juga

bukan dengan mudah. Peranan orangtua ibuku yang

memiliki pengalaman bertani salak pondoh dan tanaman lainnya di daerah ini selama puluhan tahun

serta ditunjang ilmuku sebagai seorang sarjana

pertanian. membuatku memiliki sesuatu yang lebih

dibanding yang lain. Mereka menghargai dan menghormatiku bukan tanpa alasan, Mega. Jadi, bahwa

kau menemuiku ini, sudah tepat sekali."

"Hm, betapa besarnya percaya dirimu itu!" aku
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyindir lagi.

"Memang, sudah kuakui itu!" Bayu juga menyeringai lagi. Lelaki satu itu memang selalu membuatku merasa jengkel. Tetapi juga membuatku

merasa tertantang untuk menghentikan seringainya

itu. "Pengalaman yang sudah-sudah selalu begitu."

"Pengalaman apa?"

"Yah, kalau ada orang-orang yang ingin mengetahui seluk-beluk bagaimana menjadi petani salak,

entah itu dari kelompok mahasiswa atau kelompok

lainnya yang berminat mengetahui atau mengadakan

penelitian dan semacam itu, orang-orang di sini

selalu menunjuk aku sebagai juru bicaranya," Bayu

berkata dengan penuh keyakinan diri. Matanya yang

bagus itu menatapku dengan tatapan berani dan

langsung. '

"Hm, begitu...," sahutku, mulai bimbang. Kenapa

aku harus mencari orang lain kalau di depanku

ada seseorang yang bisa memberiku banyak pen

jelasan yang kuperlukan? Apalagi aku ingat sekarang, Bayu memiliki otak yang cemerlang semenjak masa kecilnya dulu. Seharusnya aku tak

merasa heran apalagi meragukan perkataan-perkataannya itu.

"Yah. memang begitu!" Ada rasa geli yang

memancar dari bola matanya ketika ia menirukan

perkataanku tadi. Bahkan tersirat juga dari mata

itu bahwa ia sedang menertawaiku. Dan ia tak

ingin menyembunyikannya. Sungguh, Bayu memang

pandai membuat hatiku terkait emosi. lngin sekali

aku menampar pipinya keras-keras. "Tetapi kau

tak usah merasa jengkel kepadaku. Toh kenyataannya ketika kau bertanya kepada orang-orang di

dekat gardu sana, mereka menyarankan untuk menemuiku, bukan?"

Sialan. Rupanya dia tahu bahwa aku merasa

jengkel karena sorot matanya itu. Dan dengan enaknya ia mengatakan itu secara terus terang di depanku.

Tetapi yah, aku tak bisa memuntahkan rasa jengkelku

itu kepadanya, sebab bagaimanapun juga ia benar.

Dan saat ini aku sedang membutuhkan bantuannya.

"Oke," aku terpaksa mengakui kenyataan itu.

"Sebagai seorang wartawati yang baik, aku harus

menyingkirkan perasaan pribadiku. Jadi harus

kuakui dengan rendah hati, bahwa kau memang

mempunyai banyak kelebihan yang pantas untuk

kuangkat dalam tulisanku." _

"Sungguh manis sekali perkataanmu!" Bayu

tertawa lebar. "Nah. sebelum kita mulai wawancara

ini. bagaimana kalau kita minum sesuatu lebih

dulu"?"

Membayangkan segelas minuman segar, aku menelan ludah. Sejak dari rumah beberapa jam tadi,

belum seteguk air pun yang kuminum. Padahal

meskipun tempat itu lebih sejuk dibanding dengan

kota Yogya, cuaca cerah menjelang siang itu cukup

membuat tenggorokanku terasa kering.

"Baiklah." Aku mulai menjadi penurut. "Kalau

ada segelas air es, aku mau."

"Bagaimana kalau es campur?" Mata Bayu menatapku dengan lembut. Hm. lelaki itu juga sudah

mulai jinak.

"Es campur dari mana?"

"Di belakang rumahku ada warung es yang

menghadap ke jalan besar."

"Aku tak melihatnya!" Aku memang tidak melihatnya ketika masih berdiri di luar rumah Bayu

ini. Sejauh mata memandang, aku tadi cuma melihat kebun dengan berbagai macam pepohonan.

Dan di belakang, kiraakira enam puluh meter dari

jalan tempat aku memarkir mobil, aku melihat

kebun salak. Tak ada tanda tanda warung es di

belakang rumah Bayu.

"Memang tidak kelihatan dari sini. Untuk membeli es campur atau es lainnya, orang harus bersepeda menyusuri kebun di belakang rumahku ke

sana, kalau mau cepat. Tetapi di belakang kebunku

yang panjangnya sekitar 150 meter ini memang

terdapat kebun pemilik warung itu. Kebunnya itu

panjangnya sekitar lima puluhan meter dari batas

kebunku. Kalau kau berdiri di samping rumahku,

pasti atap rumah pemilik warung itu kelihatan."

"Dia juga mempunyai kebun salak?" tanyaku.

"Tidak banyak. Ia lebih banyak berusaha di

bidang lain. Di antaranya membuka warung es

dan sembilan bahan makanan pokok. Rumahnya

menghadap ke jalan besar, bertolak belakang dengan tempatku ini." Sambil berkata seperti itu tangannya melambai ke arah seorang anak lelaki

tanggung yang sedang lewat di samping rumah. '

Anak lelaki itu mendekat.

"Ya, Pak...?" sahutnya menanggapi lambaian tangan Bayu tadi.

"Tolong belikan segelas es campur dan es dawet,"

Bayu menjawab. "Naik sepeda saja biar cepat, Wan.

Pakai uang yang ada di atas meja belakang dulu."

"Selain es campur dan es dawet, ada apa lagi?"

aku menyela.

"Ada es teler, es tape ketan, es beras kencur, es

kelapa muda, dan es lidah buaya," anak lelaki tanggung itu menjawab pertanyaanku.

"Aku mau es lidah buaya"

"Tidak jadi es campur?" Bayu bertanya.

"Jadi."

Bayu tertawa.

"Sejak dulu kau memang istimewa, Mega!"

katanya kemudian. "Tidak pernah malu-malu untuk

mengungkapkan keinginanmu."

"Kenapa harus malu kalau aku tidak bersalah?"

sahutku dengan mulut mencibir. "Aku tak suka

kemunafikan. "

"Seperti perempuan lain yang pura-pura tak malu

tetapi mau. Begitu, kan?"

"Entahlah. Pokoknya aku tak akan mengikuti

semua ajaran siapa pun dan dengan alasan apa pun

demi tampil sebagai perempuan yang anggun, kalau

itu tak sesuai dengan hati nuraniku." Aku mencibir

lagi. "Ingat! semua ajaran sopan santun dan semacam

itu tidak semuanya sejalan dengan penilaian moral.

Apalagi kalau itu hanya dibebankan pada kaum

perempuan saja."

Bayu tertawa lagi.

"Setuju." la menganggukkan kepalanya. "Nah,

Wawan, cepatlah pergi dan cepat pula kembali.

Tamu kita sudah kehausan lho."

"Baik, Pak." Dengan gesit anak lelaki itu pergi ke

belakang. Bayu memperhatikannya dengan tersenyum.

"Wawan itu termasuk salah seorang pegawaiku

yang baik. Karenanya kusekolahkan dia," katanya.

"Sudah kelas berapa?" '

"Naik ke kelas tiga SMP."

"Ada berapa orang pegawaimu?"

"Ah, cuma sepuluh orang saja. Selebihnya cuma

pegawai lepas yang kupanggil kalau sedang

kubutuhkan."

"Selain Wawan tadi, ada yang juga kausekolah

kan?" tanyaku lagi.

"Ya.. Yono namanya. Kusekolahkan di STM."

"Apakah kau hanya mempekerjakan anak-anak

muda saja"?" tanyaku lagi.

Bayu tidak segera menjawab. la menatapku

dengan pandangan mata berkilauan.

"Ini tadi sudah merupakan bagian dari wawancaramu?" tanyanya kemudian.

"Yah... bisa saja kaukatakan begitu. Aku harus

mempunyai gambaran yang menyeluruh tentang

keadaan di sini, bukan? Setidaknya pembaca akan

menyimpulkan sendiri mengenai apa yang kupaparkan nanti."

"Misalnya?"

"Kalau aku bercerita tentang seorang petani salak

yang mempunyai sekian pegawai dan dua di antaranya disekolahkan. mereka pasti bisa membayangkan

seberapa makmurnya kehidupan petani salak itu,"

sahutku. "Nah, kau belum menjawab pertanyaanku

tadi. Apakah kau hanya mempekerjakan anak-anak

muda saja?"

"Tidak. Sebagian di antaranya justru sudah berkeluarga. Aku tidak hanya membutuhkan tenaga

yang kuat saja tetapi juga pengalaman mereka."

"Mereka semua bekerja di kebun?"

"Tentu saja tidak. Ada yang mengurus pembukuan dan lain sebagainya."

Masih banyak lagi yang kutanyakan bahkan ketika kami berdua sudah menghabiskan es dawet dan

es campur masih banyak hal yang baru sekarang

kuketahui. Rupanya selain salak pondoh ia juga

menanam lidah buaya, mangga, jagung, cokelat,

dan lain sebagainya di tanah-tanahnya yang lain.

Khusus tanaman lidah buaya, ia telah menggalakkan usaha membuat manisan dari daging tanaman

yang warnanya hijau bening itu untuk minuman

segar yang menyehatkan.

Dengan banyaknya hal yang masih baru bagiku,

tak terasa waktu berlalu dengan cepatnya. Tahutahu saja hari sudah siang.

"Sebelum kita memotret tempat-tempat yang

nanti akan kuperlihatkan kepadamu, bagaimana kalau kita makan siang dulu?" usul Bayu.

Kuangkat pergelangan tanganku. Hari sudah ber"

jalan lebih dari separonya. Sekarang jam dua belas

lebih dua puluh menit.

"Makan siang di mana?" tanyaku kemudian.

"Di sini? Atau kau mau makan di luar?"

"Keluargamu tinggal di sini juga?" tanyaku.

"Tidak."

"Sudah berapa orang anakmu?"

Bayu menatapku sesaat lamanya.

"lni bagian dari wawancaramu atau cuma sekadar memenuhi rasa ingin tahumu saja?" tanyanya

kemudian. "Dan apakah ini ada kaitannya dengan

usulku untuk makan siang tadi?"

Pipiku terasa hangat oleh pertanyaannya itu.

Tetapi cepat-eepat aku menjawabnya.

"Biasanya pembaca juga ingin tahu sedikit tentang kehidupan pribadi orang yang kami tulis!"

sahutku diplomatis. Sebab sesungguhnya sudah sejak tadi aku ingin tahu tentang kehidupan pribadinya.

Sudah menikahkah dia, misalnya. "Tetapi memang

ada juga kaitannya dengan ajakanmu makan siang

tadi. Kalau di rumah ini ada istrimu, tentunya kau

harus memperkenalkan dia kepadaku lebih dulu.

Masa tahu-tahu aku ikut makan di sini."

"Hm, begitu." Bayu menganggukkan kepalanya.

"Baiklah, akan kujawab pertanyaanrnu itu. Mega,

sampai detik ini aku belum berkeluarga."

"Kenapa? Terlalu tinggi hati untuk mengajak seorang gadis menikah?" aku mulai mengusik hatinya.

"Tidak. Aku memang berniat untuk tidak menikah!"

"Kenapa?" Terlempar begitu saja pertanyaan itu

dari mulutku. Aku ingin tahu mengapa ia tidak ingin

menikah. Sebab aneh rasanya. la begitu ganteng dan

memiliki kehidupan yang berhasil.
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Karena yah, ada sesuatu yang menghambatku

untuk menikah!" Bayu mulai bersikap hati hati

ketika menjawab pertanyaanku yang satu itu. "Dan

maaf, aku tak bisa menceritakannya kepadamu. Lagi

pula hal itu tak ada kaitannya dengan wawancara

kita, kan?" - _

"Ya" Aku agak tersipu. Memang sejujurnya

kuakui. pertanyaanku tadi telah menjurus kepada

hal hal yang paling pribadi.

"Nah, kembali ke soal semula, kau mau makan

di sini atau di luar?"

"Mana sajalah yang gampang."

"Sekali-sekali makan masakan orang desa, ya?"

Bayu bangkit berdiri dari tempat duduknya. "Aku

tadi sempat mendengar di belakang, pembantuku

masak sayur oblok-oblok daun singkong dan ikan

jambul asin."

"Pasti ada sambalnya."

"Tepat sekali Kami di sini tak pernah makan

tanpa sambal terasi. Justru karena itulah sebagian

di sudut kebun kami juga ditanami cabe untuk

keperluan sendiri."

"Pasti juga daun singkong hasil tanaman sendiri."

"Betul."

"Kau tadi bilang kami. Memangnya ada berapa

orang yang tinggal di sini?"

"Aku tinggal bersama seorang sepupu lelaki

dan istrinya. Sepupuku itu membantu pekerjaanku

di sini. Sekarang dia sedang pergi mengantar istrinya memeriksakan kandungannya. Tetapi yang kumaksud'dengan kami tadi bukan mereka berdua.

Tetapi para pegawaiku. Mereka semua makan siang

di sini. Yah, seadanya. Yang penting adalah kebersamaan yang kutanamkan di sini."

"Oh, begitu"

"Ya. Tetapi kalau kau merasa tak enak makan

bersama mereka, kita akan makan di luar saja."

"Tak usah. Aku suka kok makan bersama siapa

pun."

"Syukurlah kalau memang begitu. Ayo, kita ke

belakang. Kami makan siang pada jam setengah

satu siang karena pada pagi harinya aku juga

menyiapkan sarapan rebus-rebusan seperti ubi, singkong, dan pisang rebus. Kadang-kadang jagung

rebus juga, kalau sedang musim panen."

"Hasil kebun sendiri?"

"Jagungnya, ya. Tetapi ubi dan singkong aku

beli dari orang lain. Biar ada gairah untuk menanam bagi yang lain. Sebab selain aku selalu

membeli dalam jumlah yang banyak, ubi dan

singkong itu adalah hasil penelitian yang kuajarkan

kepada mereka."

"Penelitian apa"?"

"Nanti kuperlihatkan. Hasilnya memang bagus.

Singkongnya besar-besar dan rasanya empuk. Dan

ubinya sangat manis. Orang Jawa Barat sana menyebutnya ubi madu tanpa serat."

"Hebat!"

"lni pujianmu yang tulus atau cuma sindiran seperti biasanya?"

Aku meliriknya.

"Bagaimana menurut perasaanmu? Sindirankah

itu?" tanyaku setengah berteka-teki.

"Mungkin!" Bayu tertawa lepas. "Tetapi apa pun

itu. rasanya aku menangkap juga ketulusan dalam

suaramu itu. Entah itu benar atau keliru, aku merasa

wajib mengucapkan terima kasih kepadamu!"

Aku tersipu. Dan sambil tersipu aku bangkit berdiri, mengikuti Bayu masuk ke dalam.

Rumahnya sungguh sejuk dan menyenangkan

dengan atapnya yang tinggi dan pengaturannya yang

sederhana namun sedap dipandang mata. Tak ada

barang-barang buatan luar negeri. Semuanya merupakan buatan dalam negeri. Dan diatur di tempattempat yang pas. Hingga keseluruhannya tampak

berseni.

Ketika tubuhku menempati salah satu di antara

enam kursi di ruang makan, mataku yang saat itu

memandang lurus ke depan membentur suatu

pemandangan yang menarik hatiku. Pemandangan

itu tak bisa kusebut indah sebab yang dipindahkan

oleh pelukisnya ke atas kanvas yang kini dibingkai

dengan bingkai yang artistik itu memperlihatkan

cuaca buruk yang sedang terjadi di suatu tempat.

Yaitu hujan badai. Terlukis di dalamnya adalah

pepohonan yang meliuk diempas topan, langit hitam, dan kilat memerah di kejauhan. Namun

meskipun bukan suatu pemandangan yang indah,

lukisan itu sendiri Sungguh hidup. Bagus sekali.

"Rupanya kau seorang penggemar lukisan yang

bermutu," kataku terus terang. Sebab aku tahu ia

sedang memperhatikan diriku yang sedang terpesona

oleh lukisan di hadapanku itu. "Tadi di ruang tamu

aku melihat lukisan-lukisan yang juga bagus. Lukisan

burung merak jantan yang sedang memamerkan sayap indahnya kepada merak betina yang ditaksirnya,

lalu sebuah lukisan yang menggambarkan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya yang masih

kecil."

"Tetapi rupanya kau pun mempunyai minat dan

perhatian kepada lukisan," Bayu menjawab sambil

tersenyum.

"Kebetulan saja aku memang suka lukisan-lukisan

indah!" aku membenarkan perkataannya. "Cuma

sayang sekali aku tidak mempunyai uang sebanyak

dirimu sehingga kesukaanku pada lukisan-lukisan

indah hanya terbatas pada mengagumi saja. Entah

mengunjungi pameran lukisan, entah menyimpan

foto-foto atau reproduksinya, entah pula mengagumi

milik orang seperti aku mengagumi lukisan milikmu

saat ini."

"Aku mengerti," Bayu menanggapi perkataanku

sambil menganggukkan kepala. "Tetapi kau keliru

kalau mengira aku menyisihkan uang untuk mengoleksi lukisan. Untuk halhal begitu aku tak punya

uang. Harga sebuah lukisan sebesar itu mahal."

"Lalu dari mana lukisan-lukisan yang bagus itu?"

tanyaku agak heran. "Tentunya pelukisnya tidak

begitu saja berbaik hati memberikannya secara

cuma-cuma kepadamu !"

"Memang tidak. Sebab si pelukis itu adalah aku

sendiri!"

Aku tertegun. Sepanjang yang kuketahui, Bayu

tak pernah melukis. Bahkan mempunyai jiwa seni

saja pun aku tak tahu. Satu-satunya yang kuketahui

adalah suaranya yang enak dan empuk kalau menyanyi. Itu pun baru belakangan kuketahui.

"Kau... kau melukis?" aku bertanya tanpa menutupi

keherananku.

"Ya. Sejak pengalamanku terjebak badai, baik

badai di luar diriku maupun yang ada di dalam hatiku, aku mencoba untuk melukiskannya pada selembar

kanvas. Sejak itu pulalah aku sadar bahwa diriku

memiliki kemampuan untuk melukis."

Untuk kedua kalinya aku tertegun. Rupanya

peristiwa sepuluh tahun yang lalu ketika terjebak

hujan badai bersamaku itu membekas begitu dalam

di hatinya.

Tanpa sadar aku menahan napasku. Pandang

mataku yang semula masih berlabuh pada lukisan

badai itu pindah ke wajah Bayu. Di kedua matanya

aku menangkap suatu penyesalan dan permohonan

agar aku memberinya maaf.

Tiba-tiba saja darahku mengalir dengan deras

dalam tubuhku dan pipiku terasa hangat karenanya.

Sebab tiba-tiba saja peristiwa yang telah mengubah

seluruh kehidupanku itu mengusik kembali hatiku.

Agar Bayu tidak memperhatikan keadaanku itu,

kulemparkan kembali pandang mataku kepada

lukisan badai di hadapanku itu.

Tetapi perbuatan itu justru membuatku tertegun

untuk ketiga kalinya. Bahkan hatiku menjadi tergetar.

Sebab setelah kupahami makna lukisan yang tergelar

di depanku itu, aku menjadi sadar bahwa badai yang

sungguh terjadi dan pernah dialaminya, dan yang

kini berpindah ke atas kanvas itu, mempunyai ikatan

kuat dengan diriku.

*****

HARi masih pagi sekali ketika aku tiba di rumah

Bayu pada esok harinya. Matahari belum lagi

muncul meskipun cahaya merah mulai tersirat di

ufuk timur.

"Cepat betul kau sampai di sini!" komentar

'Bayu. Lelaki itu sedang duduk di teras ketika aku

sampai. Kini ia berjalan ke tempatku dan berdiri

di depan jendela mobilku.

"Aku mengebut tadi."

"Hm, senang juga menyaksikan muridku dulu

sudah menjadi pengemudi yang mahir," lelaki itu

tertawa. "Sudah sampai seberapa jauh keahlianmu

mengemudi?"

"Aku sering menyetir mobil ke luar kota. Bahkan

melalui jalan-jalan yang berliku-liku dan naikturun pun aku sudah terbiasa!" sahutku.

"Berarti kau sering ke Yogya dengan mengemudi

mobil sendiri"

"Sejujurnya saja, keluar dari batas Jawa Barat

ya baru sekarang ini," sahutku terus terang.

"Dan hanya sendirian saja?" Mata Bayu terangkat.

"Tidak. Aku pergi dengan anakku!"

Mata Bayu yang terangkat tadi turun. Bahkan ada

kerut di dahinya. Kusadari bahwa baru sekarang ini"

lah aku menyinggung tentang kehidupan pribadiku.

"Kau sudah mempunyai anak?" tanyanya lama

kemudian. Samar-samar aku mendengar napasnya

yang tertahan. "Totok tidak menceritakan hal itu

kepadaku!"

"Ya...," aku menjawab dengan suara pelan. Sebab

kalau tidak pelan, pasti suaraku akan terdengar

bergetar.

"Suamimu pasti sangat mencintaimu dengan cinta

yang luar biasa!" Kudengar lagi napasnya yang

tertahan.

"Kenapa kau berkata seperti itu?" tanyaku. Rasa

ingin tahu telah mengalahkan keenggananku untuk

tidak melanjutkan pembicaraan mengenai halhal

yang bersifat pribadi.

"Bukankah kau sudah sudah" Untuk pertama
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalinya sejak aku bertemu kembali dengan Bayu

kemarin, baru sekarang inilah aku melihatnya kebingungan. Apalagi dengan pipi agak memerah seperti itu. Dan meskipun perkataannya jauh dari

lengkap, aku tahu apa yang ia maksudkan. Menurut

pemikirannya seorang lelaki yang mau menikah

dengan gadis yang sadah tidak perawan lagi pastilah memiliki cinta yang besar terhadap si gadis.

Aku tak mau menanggapi perkataannya yang

mengungkit masa lalu kami itu. Terlebih karena

pipiku sendiri terasa panas. Aku yakin Bayu pasti

melihat pipi itu memerah.

"Kita bisa berangkat sekarang?" tanyaku kemudian, mengalihkan pembicaraan. Dengan telapak tangan kutekan pipiku yang terasa panas agar menjadi dingin kembali.

Bayu menatapku sesaat dengan pandang matanya

yang tak bisa kubaca. kemudian kepalanya mengangguk.

"Oke. Tetapi turunlah dulu untuk minum kopi

atau teh, terserah apa yang kauingini!" katanya.

Aku menganggukkan kepalaku sehingga Bayu

membukakan pintu mobilku. Ketika aku melompat

turun dari jipku itu, tangan Bayu terulur untuk

membantuku. Tetapi aku pura-pura tak melihatnya.

Namun akibatnya sungguh sial bagiku. Aku tidak

memperhatikan bahwa batas jalan beraspal dengan

tanah di tepinya itu agak jauh tingginya. Apalagi

mobil jipku sendiri pun sudah tinggi. Maka aku

pun kehilangan keseimbangan.

Kehilangan keseimbangan bagiku bukanlah sesuatu yang asing. Biasanya dengan cepat aku mampu menguasai diriku sehingga tidak jatuh. Bahkan

terhuyung-huyung pun tidak. Tetapi sudah kukatakan, aku sedang sial saat itu. Ditunjang oleh pikiranku yang sedang kacau akibat pembicaraan

tentang masa lalu, aku tak mampu menguasai diri.

Lalu jatuhlah aku. nyaris tertelungkup.

Melihat itu Bayu langsung membantuku berdiri

kembali. '

"Jatuh, apalagi jatuh di tengah lapangan sepak

bola memang hobimu, kurasa!" katanya setengah

bergumam.

Aku diam saja meskipun hatiku mendongkol.

Mendongkol karena malu, sudah dewasa kok masih

saja bisa terjatuh. Apalagi jatuh di pinggir jalan.

Aku juga mendongkol karena Bayu mengucapkan

sesuatu yang mengait masa kecilku dulu, tepat

pada saat aku sedang pada posisi terpojok. Tetapi

lebih dari semua itu, yang paling membuatku merasa dongkol adalah karena tangan, lengan, dan

sisi tubuhku yang menempel pada dada dan lengan

Bayu membuat tubuhku bergetar. '

lni sungguh sesuatu yang sama sekali tak kusangka-sangka. Sepanjang sejarah kehidupanku,

belum pernah kurasakan getar-getar semacam itu

hanya" karena sentuhan tubuh dengan seorang lelaki.

KeCUali lelaki itu adalah...

Tatkala pikiran itu melintas! seketika itu juga

pipiku terasa hangat kembali. Aku ingat betapa sepuluh tahun lalu aku pernah mengalami getar-getar

yang menderaskan aliran darahku, ketika lelaki yang

sama itu memeluk dan menyentuh diriku. Padahal

aku tak menyukainya. Bahkan membencinya. Padahal

aku tak pernah memasukkan dia ke dalam pikiranku

yang paling dangkal sekalipun, sebab keberadaannya

memang tak pernah masuk hitunganku. Kalaupun

masuk, ia berada dalam kategori orang yang tak

kusukai. Malahan beberapa kali aku pernah sesumbar

bahwa diriku. bahwa aku tak mungkin terpengaruh

oleh apa pun yang dimiliki Bayu; sampai kapan pun.

Tetapi sekarang"?

Ya Tuhan, apakah ini yang dinamakan tertimpa

kutukan? Kalau tidak, mengapakah hatiku tergetar

begini hanya karena tubuhku berdekatan dengan

Bayu?

Merasa tak enak cepat-eepat tanganku kutarik.

Lalu kujauhkan tubuhku dari tubuhnya yang semula

bersentuhan dengan bahu dan sisi tubuhku. Aku

tak ingin mengalami keadaan yang menurutku terasa memalukan ini.

"Ayo cuci tanganmu dulu!" kudengar lagi suara

Bayu. Kali ini tak ada nada menyalahkan lagi.

"Telapak tanganmu kotor."

"Ya." Kusibukkan diriku dengan menepis debu

dari bagian lutut celana jins yang kukenakan ini.

Ketika aku keluar dari kamar mandi Bayu menghadangku dengan sepasang sepatu bot berwarna

hitam di tangannya.

"Pakailah ini," katanya sambil menyodorkan sepatu itu.

"Sepatu siapa?" tanyaku. "Dan untuk apa?"

"Sepatumu. Kemarin sore baru kubeli. Mudahmudahan cukup!" sahutnya. "Tetapi sepatu bot kan

tidak harus pas betul. Sepatu ini kubeli untuk memudahkan dirimu berjalan di kebun."

Kukenakan sepatu bot hitam itu. Berjalan di kebun dengan sepatu yang kupakai dari rumah memang

tidak cocok. Meskipun tidak begitu tinggi, tetap saja

bagiannya yang runcing itu akan masuk ke dalam

tanah berpasir. Tanah di daerah sekitar kaki Gunung

Merapi ini memang mengandung pasir. Katanya

tanah berpasir begini inilah yang cocok untuk ditanami salak.

"Nah, kita bisa berangkat sekarang. Tetapi minumlah dulu kopimu!" kata Bayu lagi.

"Aku mau minum teh saja."

"Gampang. Dalam sekejap kau sudah akan memegang cangkir berisi teh yang wangi dan hangat."

Suhu udara daerah Turi saat itu terasa sejuk.

Angin gunung menyebar mengusapi seluruh permukaan bumi termasuk diriku. Sungguh senang melihat kebun salak milik Bayu yang subur dan luas

itu. Berulang kali aku memotret kebun itu. Bahkan

juga dengan pemiliknya sekaligus, ketika lelaki itu

sedang menunjukkan salak hasil kebunnya. Hampir

di setiap gerombol salaknya besar-besar. Nyaris tak

ada yang kecil.

"Aku sedang berusaha untuk mengekspor salak

ini ke Malaysia, Brunei, Singapura, dan Hong

Kong," kata Bayu dengan nada bangga.

"Apakah orang-orang sana suka?"

"Pikiran untuk mengekspor itu justru datang dari

kenyataan yang kusaksikan di sini. Banyak turis

asing yang sengaja melihat kebun-kebun salak pondoh di sini. Dan mereka cukup suka makan salak."

Begitulah hampir seharian itu aku sibuk dengan

semua hal yang berkaitan dengan tulisan yang sedang kusiapkan itu. Keterangan dan penjelasan

Bayu sungguh sangat membantuku. Pengalamannya

yang cukup banyak dan didapatnya bukan saja dari

bangku kuliah tetapi juga dari pengalaman konkret

yang digelutinya itu, menambah bobot dari apa yang

sanggup kutangkap dengan mata dan pikiranku sebagai orang awam di bidang pertanian.

Ketika aku menurunkan Bayu kembali ke rumahnya, lelaki itu bertanya tentang sesuatu yang sama

sekali tak ada kaitannya dengan wawancara kami

tadi.

"Kau pergi ke Yogya berduaan dengan anakmu

saja, apakah suamimu tidak merasa khawatir?" tanyanya mengagetkanku.

Untuk beberapa saat lamanya aku tak mampu

menjawab sehingga Bayu mengulangi lagi pertanya

annya. Setelah menarik napas panjang untuk mengusir rasa sesak di dadaku akibat pertanyaan yang tak

kusangka-sangka itu, barulah aku bisa mengarang

sebuah jawaban.

"Suamiku sudah meninggal dunia..."

"Oh, maaf. Aku tak mengetahuinya..." Kudengar

nada kaget berbaur penyesalan di dalam suaranya.

"Tak apa. Itu sudah lama sekali..." '

"Apa yang terjadi padanya, Mega? Sakit atau"

Perkataan Bayu kuhentikan dengan memotong bicaranya.

"Maaf. Bayu, aku tak ingin membicarakan hal itu.

Saat ini aku sedang melangkah ke masa depan!"

kataku.

"Baiklah. Dan sekali lagi maaf."

Aku tidak menanggapi perkataannya itu. Tetapi

sebagai gantinya aku langsung pamit kepadanya.

"Terima kasih atas segala bantuanmu," kataku

setelah minta diri.

"Tunggu dulu, Mega!" Bayu menghentikan niatku untuk melajukan kendaraanku kembali. "Bolehkah aku tahu, kapan kau akan kembali ke Jakarta?"

"Aku sedang mengambil cuti panjang." sahutku.

"Tetapi aku sudah harus pulang beberapa hari sebelum anakku masuk sekolah kembali."

"Kelas berapa anakmu, Mega?"

"Kelas tiga."

"Lelaki atau perempuan?"

"Lelaki." Ah, betapa sungguh tak enaknya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tak

ingin kujawab itu.

"Anakmu berapa orang, Mega?"

"Cuma seorang," kujawab dengan kalimat pendekpendek biar Bayu tahu bahwa aku tak menyukai

pertanyaan-pertanyaannya.

"Kalau kau setuju, ajaklah dia kemari. la pasti

senang sekali melihat segala sesuatu yang baru. Seperti kebun-kebun salak yang kaulihat tadi, peternakan sapi, tambak-tambak ikan, dan lain sebagai"

nya."

"Kita lihat saja nanti apakah hal itu baik baginya"

"Pasti akan baik sekali baginya. Di Jakarta ia

hanya mempelajari hal-hal yang jauh dari kehidupan nyata mayoritas masyarakat bangsanya. Yaitu

pertanian dan peternakan."

Aku terdiam dengan bimbang. Sejujurnya, apa

yang ditawarkan oleh Bayu itu baik sekali. Amat

baik, malah. Tetapi bagaimana mungkin aku akan

membiarkan mereka berdua, yang terikat hubungan

darah teramat kental itu, bertemu? Aku tak ingin

kehidupanku yang sudah mulai mapan dan tenang

ini terusik oleh pikiran-pikiran yang bersimpang

Siur belakangan ini. Melihat kedua orang itu bertemu, apalagi menjalin hubungam pasti akan menambah beban pikiranku.

"Mega, tidak bolehkah aku berbuat baik kepadamu sekarang ini?" kudengar suara Bayu lagi. "Aku

memang bukan lelaki yang baik. terutama menurut

kacamatarna. Tetapi aku masih mempunyai hati

nurani karena ingin membagikan sesuatu kepada

seorang'jagoan cilik dari Jakarta yang aku yakin tak

memiliki pengalaman di bidang yang kutawarkan

tadi."

Karena aku masih saja terdiam dan tenggelam

dalam kebimbanganku, Bayu berkata lagi. Kali ini

ada nada desakan dalam suaranya.

"Jangan pikirkan kepentingan dirimu sendiri,

Mega. Tetapi pikirkanlah kepentingan anakmu!"

katanya. "Udara pegunungan yang bersih dan jauh

dari polusi, serta pemandangan yang indah dan

pengalaman baru yang akan ditemuinya nanti akan

memperkaya dirinya dan itu pasti akan terkesan

hingga kelak di masa dewasanya. Kalau kau tidak

suka berada di dekatku, tinggalkan anakmu sendiri

di sini. Aku berjanji akan menjaganya dengan baik.

Akan kuajari dia memancing dan lain sebagainya."

Bayu telah menyentuh telak hatiku. Kuakui, aku

memang telah mementingkan diriku sendiri. Tak

kulihat betapa akan baiknya hal-hal dan pengalaman

baru yang akan diperlihatkan oleh Bayu kepada
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rio. "Baiklah, besok pagi akan kubawa dia kemari."

Akhirnya aku kalah. "

Bayu tersenyum manis menatapku.

"Terima kasih atas kepercayaanmu itu!"

Aku diam saja. Kularikan mobilku. meninggalkan

Bayu sendirian berdiri di tepijalan di mukarumahnya.

Ketika Rio kuberitahu akan kuajak melihat pertanian, peternakan, dan belajar memancing, anak itu

senang sekali. Sedikit pun tak tersirat dalam pikiranku bahwa segala pengalaman baru yang ditemuinya

selama di kaki Gunung Merapi ini akan menyebabkan

anak itu merasakan ikatan batin yang kuat antara

dirinya dengan semua hal di tempat itu. Rupanya

selama ini aku terlalu memandang enteng perasaan

seorang anak kecil. suatu kesalahan yang banyak

dialami oleh para orangtua yang belum banyak

pengalaman. Bahwa betapapun kecilnya seorang

anak, ia memiliki segala hal yang dimiliki orangorang dewasa. Termasuk perasaan-perasaan dan kebutuhan mentalnya.

Ketika Bayu melihat Rio pertama kalinya, hatiku

benar-benar sedih sekali. Kalau tidak ingat hal-hal

lainnya, maulah aku menangis sejadi-jadinya. Selama

ini Rio hanya tahu ia tak mempunyai ayah. Kalau ia

menanyakannya, aku akan menjawab dengan jawaban

yang mengambang.

"Nanti kalau Rio sudah besar, Mama akan

menceritakan tentang ayah Rio. Sekarang kau masih

kecil untuk mengetahuinya!" begitu yang kukatakan.

Aku tahu betul dari air mukanya, Rio tak memahami apa yang kukatakan itu. Tetapi aku juga

tahu betul, Rio yang cerdas itu menangkap ada

sesuatu dari perkataanku yang jauh dari jangkauan

- masa kini dan yang tak ingin aku bicarakan.

Sekarang ia bertemu dengan ayah kandungnya

tanpa ia mengetahuinya. Bahkan si ayah kandung

pun pasti tak setitik pun memiliki perkiraan bahwa

tangan anak kecil yang bersalaman dengannya itu

adalah tangan darah dagingnya sendiri. Kenyataan

yang hanya kuketahui itu sangat menyakitkan hatiku

sendiri. Sampai-sampai membuatku sering melamun

sendirian. Tetapi rupanya Bayu dapat menangkap

hal itu.

"Kenapa kau tidak banyak bicara hari ini'?" kudengar lelaki itu bertanya tatkala Rio sedang belajar

memancing ikan.

"Kalau tidak untuk melakukan wawancara atau

semacam itu, aku lebih suka diam!" dalihku. "Sebab konon kata orang, diam itu emas."

Bayu tersenyum tawar. Pasti ia tahu, aku berdiam

diri karena hatiku sedang tidak senang.

"Kalau kau tidak senang berada di dekatku,

tinggalkan Rio bersamaku. Atau biarlah besok aku

yang akan menjemputnya.!" katanya kemudian.

Aku meliriknya.

"Kenapa kau berbaik hati kepada Rio?" tanyaku.

"Padahal kau punya banyak kesibukan lainnya."

"Yang jelas. kebaikan itu tak ada kaitannya sama

sekali dengan sesuatu yang bersifat negatif!" jawabnya.

"Negatif bagaimana yang kaumaksud?"

"Yah misalnya ada maksud untuk meraih hatimu.

Tak sedikit lelaki yang ingin mendekati seorang

perempuan dengan cara mendekati anaknya dulu."

"Atau mendekati kakaknya dan menjadi sahabat

sang kakak itu!" sindirku.

"Mega, bukti-bukti bahwa sampai detik ini aku

masih bersahabat dengan Totok padahal aku tak

berhasil mendapatkan dirimu. apakah kurang cukup

untuk menyingkirkan kecurigaan negatif itu?" Bayu

bertanya dengan suara tak senang.

"Sudah lebih dari cukup!" aku terpaksa mengakuinya.

"Nah!" Bayu mendengus. "Jadi kau harus percaya,

hati nuraniku masih cukup bersih untuk tidak memperalat orang sebagai batu loncatan menuju tujuan

yang sebenarnya. Apalagi kalau orang itu masih

anak kecil yang polos dan tak berdosa sebagaimana

halnya anakmu itu. Menurutku kalau hal seperti itu

dilakukan orang, rasanya kurang etis."

"Jadi, kenapa kau begitu baik kepada Rio?"

"Karena aku menyukainya. Ia anak yang memikat."

"Tetapi aku tak begitu suka kalau kau menyukainya karena merasa kasihan. Dia anak yang berbahagia!"

"Aku percaya itu. Tetapi terus terang saja, sebagai lelaki normal kadang-kadang aku ingin juga

mempunyai anak sebagaimana halnya teman-teman

sebayaku. Hanya segelintir orang saja yang tidak

berkeluarga, termasuk diriku,?" sahut Bayu. "Dan kebetulan di dekatku ada seorang anak yang tak

mempunyai ayah. Ada suatu ikatan batin yang tibatiba tumbuh di hatiku terhadap anak itu."

"Ah, kau berlebihan!" aku membantah hanya

untuk menenangkan debur jantungku. Perkataan

Bayu mengenai ikatan batin itu menyentuh perasaanku yang paling dalam. Sebab tentu saja terjadi jalinan ikatan batin di antara mereka berdua.

Bagaimanapun _juga panggilan darah dari kedua

belah pihak telah ikut menjadi motor penggerak

daya kekuatan yang saling tarik-menarik di antara

keduanya.

"Terserah kau mau bilang apa." Bayu 'melirikku

sesaat lamanya. "Tetapi ini kenyataan. Sebab mungkin saja hatiku tak akan tergerak ketika melihat

anak kecil lainnya yang tidak mempunyai ayah.

Jadi terus terang saja, aku harus mengakui bahwa

mungkin saja perasaan dekat yang kurasakan terhadap anak itu karena dia adalah anakmu..."

"Memangnya kenapa kalau anakku?" Merasa

bingung oleh perkataannya yang mengandung makna tertentu itu, tanganku meraih sebutir kerikil.

Kerikil itu kulemparkan ke air kolam sehingga

airnya memercik.

Melihat perbuatanku tangan Bayu terulur dan

menangkap tanganku.

"Jangan melakukan itu lagi!" katanya. "Kau

mengagetkan ikan-ikan yang sedang diimingi-imingi

umpan pada pancing anakmu."

"Oh..." Aku baru menyadari akibat perbuatanku

itu. Untunglah ketika mataku melayang ke arah

Rio, anak itu masih tetap duduk di bawah pohon

dengan sikap sabar. Ia tidak tahu aku baru saja

melakukan kesalahan.

Tetapi setelah kesadaran yang satu itu, muncul

lagi satu kesadaran lainnya. Yaitu tanganku masih

berada dalam genggaman tangan Bayu!

Namun kelihatannya lelaki itu tidak ingin melepaskan tanganku dengan segera. Dan jeleknya,

aku membiarkannya. Maka tak pelak lagi, akibatnya

tiba-tiba saja hatiku berdebar-debar. Meskipun aku

berusaha memperhatikan hal-hal lainnya, tanganku

yang masih berada dalam genggaman tangan yang

hangat dan lebar itu tetap saja meraih pikiranku.

Bahkan merebut seluruh perhatianku. Oleh sebab

itu ketika kurasakan telapak tangan yang hangat

itu meremas-remas lembut tanganku, kepalaku langsung menoleh ke arah pemiliknya.

Kedua pasang mata kami pun saling bertaut,

menambah debur jantungku dan mengacaukan seluruh aliran darahku.

Kurasakan lelaki itu agak terengah ketika menatap mataku dan kemudian melabuhkan pandangannya ke arah bibirku. Dan tanpa sadar aku menelan ludah. Tanganku bergetar karenanya. Sementara itu pipiku seperti dijalari oleh bara api.

"Ah, kau kau masih tetap sesuci dan sepolos

dulu." bisiknya tiba-tiba dengan suara parau. "Seperti perempuan yang belum pernah bersuami."

Mendengar perkataan seperti itu dan juga demi

menghentikan aliran darahku yang kacau, lekaslekas aku menarik tanganku dari genggaman tangan

Bayu. Tepat pada saat itu aku melihat anak lelaki

tanggung yang beberapa hari lalu membelikan aku

es campur, datang menghampiri tempat kami duduk

dengan sepedanya. Di dalam keranjang yang terkait

pada setang sepedanya, ada rantang.

"Makanan sudah datang...," Bayu menguraikan

udara yang amat tegang tadi. "Tepat pada jam

yang kupesankan tadi."

"Kau sudah memikirkan segala-galanyal"

"Tepat sekali. Nah, sebaiknya kita makan dulu."

Kelihatannya Rio juga sudah merasa lapar. Be

gitu mengetahui aku dan Bayu menggelar lebih

lebar tikar yang kami duduki tadi, ia langsung

meletakkan pancingnya.

Setelah kami makan nasi dan lauk-paukny-a yang

menurutku lezat itu, kami menikmati es jeruk

peras dari kantong plastik yang diberi sedotan.

Puas rasanya. _

Anak lelaki tanggung yang kuingat bernama

Wawan itu menunggu sampai kami semua selesai

menyikat makanan yang dibawanya. Setelah me

ninggalkan beberapa gelas air mineral, ia pulang

kembali bersama sepedanya. Dan Rio juga kembali

ke tempatnya memancing, di bawah pohon nangka

yang saat itu belum musimnya berbuah.

"Kita pulang sekarang, Rio?" tanyaku setelah

waktu berjalan sekitar satu jam lagi.

"Nanti dulu." sahut Rio. "Iyo masih ingin menangkap ikan. Masa dari tadi cuma dapat seekor

saja." .

"Tidak capek?" tanyaku. "Sekarang sudah siang

lho. Rio kan biasa bobok siang."

"Iyo mau bobok di .atas tikar di sini, boleh,

Ma?" Dari pertanyaannya itu aku tahu sebenarnya

ia sudah setengah bosan, tetapi masih merasa penasaran karena baru mendapat seekor ikan saja.

"Boleh," Bayu yang menjawab. "Tidurlah."

_ "Tidak ada bantal..." Rio menatapku.

"Letakkan kepalamu di pangkuan Mama sini!"

kataku sambil tertawa maklum. Dengan tatapan

matanya tadi aku tahu bahwa ia ingin meletakkan

kepalanya ke atas pangkuanku sebagaimana yang

sering ia lakukan. Tetapi keberadaan Bayu yang

baru ia kenal menimbulkan rasa malu pada dirinya.

Sebab pikirnya, ia sudah besar sekarang. Dan karenanya ketika ia menyebut-nyebut tentang bantal

tadi, tujuan sebenarnya bukanlah bantal itu sendiri,

melainkan tawaranku agar ia meletakkan kepalanya

ke atas pangkuanku.

Dan aku benar. Begitu tawaran itu didengarnya,

kepalanya langsung diletakkannya ke atas pangkuanku.

Bayu melirik kami berdua. Matanya menyiratkan

rasa geli yang menggelitik hatinya. Aku tahu, iajuga

menangkap apa yang ada di balik perkataan Rio tadi.

"Pepohonan yang rindang, angin pegunungan,

dan rumput tebal di bawah tikar ini memang menggoda kita untuk bermalas-malasan," katanya kemudian. "Menimbulkan rasa kantuk."

"Ya."

Dia benar, pikirku. Sebab tak begitu lama setelah

Bayu menghentikan bicaranya. mata Rio yang

semula sudah setengah-terkatup itu mulai terpejam.

Dan akhirnya napasnya bergerak dengan teratur. la
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertidur.

"Dia sama sekali tidak merepotkan." komentar

Bayu.

"Memang. Bahkan ketika masih kecil pun tidak.

Rio anak yang tahu diri!" sahutku.

"Berkat didikan ibunya!"

"Belum tentu," tukasku. "Keadaanlah yang lebih

banyak membentuk dirinya."

Bayu hanya tersenyum saja mendengar perkataanku itu. Ia tak mau memberi komentar lebih jauh.

Sementara itu perjalanan hari sudah lebih dari

separo pengembaraannya. Matahari yang semula

berada tepat di atas kepala, mulai menggeser ke arah

barat. Kuangkat pergelangan tanganku. Jam dua

kurang sedikit.

"Tak terasa waktu begini cepat...," kataku. "Sudah saatnya aku pulang."

"Nanti Rio merasa kecewa lho. Biarkan dia tidur

dulu," sahut Bayu. "Nanti kalau dia sudah bangun,

tanyakan padanya, mau pulang atau bagaimana."

Apa yang dikatakan oleh Bayu benar. Kutatap

wajah anak lelakiku yang kepalanya terbaring di

atas pangkuanku itu. Tidurnya tampak nyenyak.

Melihatku menatapi wajah Rio, Bayu ikut-ikutan

melakukan hal yang sama.

"Kalau melihat tidurnya yang nyenyak, aku yakin

kakimu nanti akan kesemutan!" katanya kemudian.

"Sini, pinjam mobilmu. Aku akan mengambil bantal

ke rumah."


Pendekar Gila 3 Dendam Bidadari Bercadar Raja Petir 19 Persembahan Raja Setyagara Baby Sitter Club 4 Mary Anne Jadi

Cari Blog Ini