Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono Bagian 4
melegakannya saja. "Sekali lagi, terima kasih ya."
"Terima kasih kembali," Bambang tersenyum
kemudian menoleh ke arah Bayu. "Pulang dulu,
Yu!"
"Ya. Salamku untuk Bu Darto tolong sampaikan
kepada beliau!"
"Akan kusampaikan!"
Seperti apa yang dikatakan oleh Bayu kepada
Rio, waktu memang berjalan dengan cepat sekali.
Kalau kami tidak berangkat menjelang sore, pasti
tidak semua barang kebutuhan Rio bisa terbeli
dalam waktu sekali belanja. Sekarang pada jam
sembilan lebih setelah kami bertiga makan malam
di sebuah rumah makan di daerah pertokoan Jalan
Solo, di jok belakang penuh ditempati barangbarang yang kami beli tadi. Ada pakaian seragam,
tas sekolah, sepatu, buku-buku, dan alat tulis lainnya. Bayu membelikan botol minuman dan tempat
roti untuk bekal sekolah.
Dalam perjalanan pulang itu aku iseng-iseng
ingin mengorek perasaan Rio.
"Rio, kau betul-betul tidak ingin ikut Mama
pulang ke Jakarta?" tanyaku kepadanya.
"Tidak. lyo akan pulang ke Jakarta kalau sudah
agak besar!" sahut Rio yang duduk di jok belakang
bersama barang-barang pembelian kami tadi.
"Kenapa sih?" pancingku lebih lanjut.
"Iyo senang tinggal di sini. Semuanya menyenangkan!" sahut anak itu lagi. "Di Jakarta bosan.
Tidak ada tempat-tempat yang banyak pohonnya.
Tidak ada gunung. Tidak ada kali kecil yang
airnya bening dan lyo bisa bermain-main di dalamnya. Tidak ada tempat untuk mencari kodok
dan macam-macam daun yang bisa dikeringkan di
sela-sela buku tulis."
Hm," begitu rupanya. Daerah Kaliurang telah
memikat hatinya. Dan orang-orangnya, terutama
Bayu, telah merebut dirinya. Sebab ada banyak
kegiatan yang bisa dilakukannya bersama Bayu,
bersama kedua kakek dan neneknya.
"Tidak kangen Mama?" aku memancing Rio
lagi.
"Kangen sekali, Mama. Tetapi kita kan akan
sering bertemu. Begitu Eyang mengatakan."
"Ya."
Pembicaraan beralih kepada hal-hal lain. Dan
akhirnya Bayu ikut memasuki pembicaraan.
"Kalau dinas ke luar kota atau ke luar negeri,
berapa lama sih?" tanyanya.
"Tergantung apa urusannya. Dan tergantung siapa
yang membiayai perjalanannya. Apakah itu perusahaan penerbitan tempatku bekerja, ataukah atas
tanggungan yang mengundang kami."
"Undangan apa, misalnya?"
"Wah, ya macam-macam. Dalam rangka promosi
produk baru suatu perusahaan kosmetik atau pakaian dan segala aksesorinya dari suatu perusahaan
besar dunia, misalnya. Atau trend mode musim
tertentu di Eropa, Asia, dan lain sebagainya."
"Atau misalnya juga mewawancarai seseorang
yang sedang jadi sorotan masyarakat?"
"Tepat sekali."
"Atau menggali informasi dan segala sesuatu
yang berkaitan dengan daerah tertentu atau tempat
tertentu seperti misalnya kebun anggur di Prancis
ataupun tempat-tempat wisata di seluruh penjuru
dunia. Dan lain sebagainya."
"Ya. Seperti misalnya mengenai salak pondoh.
Mengapa banyak terdapat di daerah Turi dan sekitarnya. Lalu seperti apakah petani salak pondoh
itu." sambungku. "Hitam kekar atau pendek bungkuk."
Bayu tertawa.
"Bisa juga kau bercanda denganku.," gumamnya
kemudian. Sejujurnya, aku memang tak pernah bercanda dengan Bayu. Padahal dengan teman-teman
lainnya aku bisa bercanda dan berolok-olok dengan
santai.
Aku cuma tersenyum tipis mendengar perkataannya itu. Bahkan kualihkan pembicaraan ke arah
belakang tempat dudukku.
"Rio masih membutuhkan apa untuk sekolah di
sini?" tanyaku kepada Rio.
Tidak ada jawaban. Aku dan Bayu secara bersamaan melongok sebentar ke belakang. Ternyata
Rin sudah tertidur di antara bungkusan-bungkusan
di sebelahnya.
"Pantas tidak ada suaranya!" komentar Bayu sambil tertawa.
"Siang tadi dia tidak tidur," sahutku memberi
penjelasan. "Dan seharian sibuk, lagi."
"Sama sibuknya dengan sang ibu!"
"Aku?" tanyaku tak mengerti. "Memangnya aku
sibuk apa menurut penglihatanmu'?"
"Ya mana aku tahu?" Bayu menjawab sambil
mengangkat bahunya. "Yang tahu kan Bambang."
Hm, lelaki itu merasa cemburu barangkali.
"Juga ada perempuan hebat yang tahu apa kegiatanku sepanjang pagi dan siang tadi!" sahutku tak
mau kalah bicara.
"Perempuan hebat mana?"
"Bekas tunanganmu!"
"Yang mana?"
"Jangan pura-pura ah."
"Sungguh, Mega, sepanjang yang kuingat dan
kualami, aku belum pernah bertunangan!"
Mendengar perkataan Bayu, baru aku ingat perkataan Aryanti tadi pagi. Hubungan yang diarahkan
oleh kedua belah pihak keluarga itu masih belum
sampai menginjak pertunangan. Dan entah apa
sebabnya aku tak tahu. Tak seorang pun di antara
mereka berdua maupun Bambang menceritakan hal
itu kepadaku.
Tetapi aku tetap tak mau kalah dalam mendomi
nasi pembicaraan mengenai perempuan bernama
Aryanti itu.
"Entah sudah bertunangan atau belum, tetapi
kudengar-dengar, ada upaya untuk memperbaiki
hubungan kalian berdua," kataku. '
Kali ini Bayu tak menjawab. Melihat itu aku
berniat menyudutkannya. Tetapi sebelum itu kukatakan, Bayu mengubah pembicaraan dengan tiba tiba.
"Aku ingat ada janji dengan seorang teman,
Mega!" katanya. "Keberatankah kau kalau kita
mampir sebentar ke rumahnya untuk mengambil
barang?"
"Jauh dari sini?"
"Tidak. Kita nanti akan masuk kejalan di sebelah
Pasar Gentan itu. Kira-kira sekitar tiga kilo dari
situ!"
"Tiga kilo kok tidak jauh," aku menggerutu.
"Berarti pulang-pergi kan enam kilo."
"Kalau tidak mau, ya sudah. Jangan menggerutu
begitu." Bayu tertawa.
Aku menjadi tak enak.
"Lalu temanmu akan menunggumu?" tanyaku.
"Biar sajalah. Nanti setelah menurunkanmu aku
- akan kembali lagi. Belum ada telepon di rumahnya.
Kasihan kalau dia menunggu nunggu kedatanganku.
Aku yang perlu kok."
"Barang apa sih yang akan kauambil?"
"Aku minta dibuatkan parang dan cangkul. Temanku itu mempunyai usaha membuat alat-alat
pertanian sederhana."
"Kalau begitu mampirlah ke sana sekarang. Dia
pasti mengharapkan kedatanganmu."
"Ya." Bayu menoleh ke arahku untuk melihat
wajahku dengan teliti. "Dia memang membutuhkan
uang. Hm, jadi kau tak keberatan kalau kita mampir
sebentar ke sana?"
"Demi temanmu, tidak."
"Aku akan mengebut!"
"Ah, biasa-biasa sajalah. Aku tak ingin mengalami sesuatu di jalan. Mau cepat malah jadi lama
akibatnya!"
"Oke." .
Jalan menuju ke tempat teman Bayu itu sepi.
Jalan itu bukan jalan besar, meskipun aspalnya
halus dan jalannya mulus. Tetapi di kiri dan kanan
jalan masih terdapat sawah dan kebun-kebun. Entah
kebun apa tak jelas Semuanya serbagelap. Cahaya
lampu jalan tak sampai ke sana
Dalam waktu yang relatif cepat kami sampai
ke tempat tujuan. Aku dan Rio yang masih tertidur
nyenyak tetap berada di dalam mobil. Dan ketika
Bayu kembali ke mobil, ada bungkusan besar di
tangannya. Bungkusan itu dimasukkannya ke bagian
belakang mobil. Setelah itu perjalanan pun dilanjutkan kembali.
"Tidak lama, kan?" katanya.
"Hmm."
"Mengantuk?"
"Tidak."
"Kunyanyikan sebuah lagu biar tidak mengantuk,
ya?" Sebelum aku mengatakan sesuatu, lelaki itu
sudah menyanyikan sebuah lagu. Sebuah lagu manis
yang dinyanyikan oleh Julio Iglesias. Can't Help
Falling in Love with You. '
Napasku mulai tersangkut-sangkut. Suara Bayusungguh enak. Dan lagunya indah. Suasananya
menebarkan keintiman di antara kami berdua. Maka
kubiarkan lelaki itu menyanyikan seluruh lagunya
yang ternyata dia hafal sampai habis itu.
"Kok diam?" tanya Bayu selesai menyanyi.
"Mengantuk atau menikmati lagunya?"
"Tidak dua-duanya," sahutku mengelak. "Aku
sedang memikirkan pekerjaanku di Jakarta. Kau
tadi menyanyi lagu apa sih, aku tak begitu memperhatikan."
Bayu tertawa. Dan tiba-tiba ia menghentikan
mobilnya di tepi jalan! di bawah pohon besar.
"Sejak dulu kau tak pernah mau bersikap manis
dan menerima kenyataan apa pun yang ada
padaku!" katanya kemudian. Tangannya terulur,
mengusap pipiku. "Bahkan kelebihan apa pun yang
kupunyai dan kuusahakan agar mencuat untuk me
lenturkan hatimu yang keras, tak ada faedahnya
sama sekali!"
Mendengar perkataannya aku tertegun. Ingatan
di masa lalu mulai simpang-siur dalam kenanganku.
Tetapi belum sampai itu menggugah perasaanku,
kurasakan tangan Bayu yang menyentuh wajahku
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tadi mulai merembeskan kemesraan. Terlebih tatkala
kurasakan jemari lelaki itu menelusuri tepi bibirku.
Dadaku berdebar-debar.
Sungguh mati aku tak pernah bisa memahami
diriku sendiri. Aku pernah berpacaran dengan Wangsit. Tetapi tak pernah dadaku bisa berdebar-debar
sedemikian liarnya seperti kalau Bayu mulai
menyentuh diriku. Padahal aku bukan kekasihnya.
Apalagi sejak kecil aku sudah menempatkan lelaki
itu di kelompok orang-orang yang tak masuk hitungan
dalam hatiku. Bahkan di sudut yang paling tersembunyi. Aku membencinya.
"Mega...1" suara Bayu terdengar bergetar. Dan
kurasakan tubuhnya bergeser mendekatiku. "Kau
sungguh selalu membuatku jadi gila..."
Aku terdiam. Kupejamkan mataku rapat-rapat
agar tidak melihat wajahnya. Tak terpikir olehku
bahwa dengan memejamkan mata, dari keenam
indraku hanya telinga dan kulitku saja yang berfungsi. Dan karenanya apa yang semestinya terbagi
menjadi enam. lebih banyak terpusat pada telinga
dan kulitku, hingga keduanya jadi lebih peka.
Kurasakan sentuhan napas Bayu yang hangat menyapu-nyapu anak rambutku. Dan kurasakan jemarinya yang hangat mulai turun ke daguku, ke lekuk
di baWah leherku, dan kemudian ke seluruh leher
dan bahuku. Lalu tiba-tiba ia menggantikan tangan
itu menciumi bibirku, mataku, daguku. telingaku,
dan akhirnya leherku.
Aku mengeluh pelan. Darahku mengalir tak beraturan. Rasanya jantungku seperti mau meloncat
keluar dari dadaku.
"Peluklah aku, Mega." kudengar bisikan Bayu
di sela-sela kesibukannya menciumku.
Betapa gilanya diriku. Permintaan itu kuturuti.
Tanganku terulur mengunci lehernya. Kami berpelukan sedemikian eratnya. Dan kalau tadi aku yang mengeluh, kini Bayu yang mendesiskan keluhannya.
Nyaris saja aku lupa diri. Ada sesuatu meletup
dalam diriku. Sesuatu yang selama ini tak pernah
kubiarkan hidup dalam diriku, mulai menyala. Aku
membutuhkan kedekatan yang lebih dari pelukan
dan ciuman. Otakku buntu. Nuraniku mati.
Untunglah Tuhan masih membantuku agar tidak
terjatuh dalam dosa. Rio yang tertidur di belakang
mengeluarkan suara sehingga pelukan kami pun
terurai dan tubuh kami yang seperti melekat menjadi satu itu terpisah.
Cepat- cepat aku membetulkan rambutku yang
berantakan dan pakaianku yang kusut masai.
Kulongokkan kepalaku ke arah jok belakang. Tetapi
ternyata Rio masih tertidur dengan nyenyaknya.
Mungkin ia mengigau tadi.
"Anak itu mengingau...," kudengar perkataan
Bayu yang juga melongokkan kepalanya ke arah
belakang. Suaranya menggeletar dan parau.
"Ya" Ah, suaraku juga sama parau dan sama
bergetarnya. Sungguh memalukan. "Ayolah, kita
lanjutkan perjalanan kembali." '
"Oke"
Sisa perjalanan menuju ke rumah tak banyak
kami isi dengan pembicaraan. Suasana kaku ter
hampar di antara kami berdua. Tetapi kejadian itu
membuat tidurku terganggu. Ada suatu perasaan
yang mulai timbul dan tenggelam dalam hatiku.
Sesuatu yang menuntut dan menggugat suatu pemikiran mendalam pada diriku. Sedikitnya aku
harus melakukan introspeksi yang sungguh-sungguh
jujur dan bersifat objektif. Aku juga harus bersikap
dewasa dan berwawasan luas. Segala hal yang
menyangkut diri Bayu harus kupelajari dengan sebaik-baiknya dan dengan kacamata jernih.
Untunglah seharian ini _Bayu tidak muncul di
rumah orangtuaku. Kata Rio, lelaki itu sedang sibuk
dengan pekerjaannya.
"Kata Om Bayu, ia harus menyelesaikan urusannya. Jadi, tidak bisa menjemput Iyo selama beberapa hari," katanya.
Tetapi apa pun yang diberitakan oleh Rio itu
telah membuatku lega. Sebab berarti aku tidak
akan bertemu dengan Bayu lagi sampai aku berangkat pulang. Apalagi karena kehadiranku di Kaliurang itu tinggal sehari ini. Besok pagi-pagi sekali
aku akan kembali ke Jakarta. Mobilku sudah kusuruh periksa di bengkel, kalau-kalau ada sesuatu
yang perlu dibenahi. Tangki bensin kuisi penuh.
Dan aku sudah membeli makanan kecil dan minuman mineral untuk bekal di jalan. Dengan kesibukanku itu aku tak mempunyai waktu untuk memikirkan Bayu seperti yang terjadi semalam.
Dan untungnya juga Bambang datang ke rumah
ketika aku masih di kota. Lebih beruntung lagi
ketika ia datang kembali mengunjungi rumah orangtuaku untuk bertemu denganku, hari sudah malam.
Kata Ibu, tiga kali hari ini dia datang sebelum
akhirnya bertemu denganku.
"Kelihatannya hari ini kau sibuk sekali, Mega!"
kata lelaki itu.
"Ya. Aku mengurus mobilku dan mencari sesuatu
untuk bekal di jalan!" sahutku sambil berharap ia
tidak akan lama-lama berkunjung. Untuk ukuran
kota kecil, berkunjung malam-malam ke rumah
seorang perempuan, tidak pantas dilihat orang.
Bambang pasti menyadari hal itu.
"Mengurus mobil? Memangnya kenapa?"
"Cuma memeriksakan mesin, ban, rem, dan lain
sebagainya. Maklum, sudah jadi kebiasaanku kalau
mau dibawa pergi jauh, aku menyuruh orang untuk
memeriksa keadaan mobilku. Siapa tahu ada yang
perlu dibetulkan atau diganti sehingga tidak meng"
ganggu perjalanan."
"Kau memang seorang yang cermat."
"Ah, itu kan demi kebaikanku sendiri!" sahutku,
mulai bersikap hati-hati. Kalau Bambang melanjutkan pujiannya lagi, aku akan memperlihatkan rasa
tak sukaku secara terus terang. Karena itu aku segera mengubah pembicaraan. "Kata Ibu, sehari ini
kau beberapa kali datang kemari mencariku. Ada
apa?"
"Mau mengajakmu menonton film atau sekadar
jalan-jalan sebagai perpisahan!"
"Seperti aku mau pergi jauh saja!" kataku. "Lagi
pula aku akan sering datang kemari kok."
"Tetapi siapa tahu sepuluh tahun lagi kau baru
mau datang kemari!" sahut Bambang.
"Tak mungkin, Mbang!" kataku. "Anakku ada
di sini, masa aku tidak merasa kangen!"
"Hanya kepada anakmu sajakah kau kangen?"
pancing Bambang. .
"Tentu saja tidak. Tetapi juga kepada Ibu dan
keluarga ketiga kakakku." Aku sudah mulai jengkel
lagi.
"Sungguh?" tanya Bambang lagi, menambah rasa
jengkelku. "Tidak kepada yang lain?"
"Aku pasti kangen kepada tanah kelahiranku
ini!" sahutku dengan suara yang mulai menyiratkan
perasaan tak sukaku.
"Kepada Bayu?"
Aku tidak segera menjawab. Kutatap mata
Bambang dengan perasaan tak suka yang kuperlihatkan dengan terang-terangan.
"Aku tak suka menjawab pertanyaanmu itu,
Mbang!" akhirnya kukeluarkan apa yang ada di
hatiku.
"Maaf." Bambang tersipu. "Aku cuma ingin
tahu saja. Itu pun demi kebaikanmu."
"Demi kebaikanku?" Kujinjitkan alisku, heran.
"Ya. Jangan sampai kau dibenci oleh seseorang."
Kutatap lagi mata Bambang. Aku melihat semacam keinginan pada dirinya agar aku menanya"
kan lebih lanjut apa sebetulnya yang ingin ia'
sampaikan kepadaku. Dan dia menang. Aku memang ingin tahu apa maksud kata-katanya tadi.
"Siapa yang akan membenciku, dan apa alasannya?" tanyaku kemudian.
Bambang tersenyum tipis, menatap kegelapan
malam di luar.
"Aryanti. Kedatanganmu kembali ke Kaliurang
ini rupanya juga mengembalikan cinta Bayu terhadapmu. Dan itu pasti akan menjadi penghalang
besar bagi pendekatan gadis itu terhadap Bayu!"
sahutnya.
"Itu urusan mereka berdua. Jangan kaitkan dengan
diriku!" Emosiku mulai bergolak. Di satu pihak aku
marah kepada Bambang yang telah sengaja menempatkan diriku pada posisi yang salah. Di pihak
lain aku merasa marah kepada Bayu. Kalau memang
sebelumnya ia bermaksud mau mencoba membuka
hatinya bagi Aryanti, kenapa hal itu tidak segera
dilakukannya kemarin-kemarin sebelum kedatanganku kembali ke Kaliurang? Atau, kenapa dia menggoda
dan membangunkan hatiku yang tertidur selama
sepuluh tahun dan telah aman dalam sangkarnya ini?
"Tetapi sebagai teman, aku kan berkewajiban
untuk menjaga perasaan semua pihak, Mega!"
"Itu sih terserah padamu. Silakan kalau kau mau
jadi makcomblang buat Bayu dan Aryanti. Sekali
lagi kukatakan, itu bukan urusanku. Dan tak ada
kaitannya dengan diriku. Meskipun kaukatakan bahwa Bayu mencintaiku, itu pun bukanlah urusanku.
Itu urusan Bayu. Dan tak ada kaitannya dengan
diriku. Oke?"
"Baiklah!" Bambang mulai sadar bahwa aku tak
menyukai isi pembicaraan kami. Cepat-eepat ia mengembalikan pokok pembicaraan semula. "Bagaimana mengenai ajakanku menonton film tadi, Mega?"
"Aku ingin menghabiskan sisa waktuku di sini,
dengan Rio!" jawabku. "Jadi maaf, aku tidak bisa
memenuhi ajakanmu."
"Bagaimana kalau sekadar makan malam di
dekat dekat sini sambil berjalan jalan?"
"Tidak, Mbang. Aku capek."
"Kau marah karena aku tadi menyinggung-nyinggung masalah Bayu, ya"?"
"Ya, memang!" sahutku terus terang. "Tetapi
penolakanku atas ajakanmu itu bukan karena hal
tersebut. Aku bukan anak kecil yang masih suka
ngambek!"
"Kalau begitu kenapa cuma sekadar jalanujalan
dan makan sesuatu bersamaku saja tak mau?"
"Mbang, coba kaulihat arlojimu itu!" sahutku
mencoba untuk meredam kemarahanku yang sudah
semakin tinggi suhunya itu. "Sudah jam setengah
sembilan lewat enam menit. Aku harus beristirahat
lebih cepat karena besok pagi pagi sekali sudah
harus berangkat. Tentunya kau berharap supaya
aku besok bisa pergi dengan kondisi prima, kan?"
"Itu pasti, Mega."
"Jadi. mengertilah perasaanku dalam hal ini."
"Baiklah!" Bambang langsung berdiri. "Seharus
nya aku mengajakmu pergi kemarin. Dan bukannya
hati ini."
Aku tidak menjawab._ Tetapi karena merasa tak
enak, kuantar lelaki itu sampai ke halaman.
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sayangnya hal itu dipergunakan oleh Bambang
sebagai suatu kesempatan.
Di bawah pohon sawo yang ditanam Bapak di
halaman depan sebagai peneduh dari sinar matahari,
Bambang menghentikan langkah kakinya sehingga
mau tak mau aku mengikutinya.
"Mega." katanya memanggil namaku.
"Ya...?"
"Kapan kau kemari lagi?"
"Pastinya belum tahu. Tetapi aku sudah berjanji
kepada Rio untuk datang kemari begitu ada kesempatanl"
"Bukan hanya Rio saja yang akan kangen kepadamu, Mega. Tetapi juga aku!" '
Aku menarik napas panjang, merasa risi. Tetapi
sayangnya aku tak mampu mengatakan apa pun.
Khawatir ia akan semakin kecewa.
"Mega." lelaki itu memanggil namaku lagi.
"Ya...?" aku menjawab enggan.
"Aku..." Bambang menghentikan bicaranya. Sebagai gantinya ia menangkap tanganku. "Aku men..."
Dari sikap dan caranya bicara, aku yakin ia akan
mengutarakan perkataan yang sama sekali tak
kuharapkan. Mendengar selintas pun aku tak mau.
Bukan saja karena hatiku tak pernah kubuka untuknya tetapi juga karena aku tidak ingin mengecewakan
dirinya. Bagaimanapun juga aku masih mengingat
persahabatan yang pernah terjalin di antara kami
maupun di antara kedua belah pihak keluarga kami.
Karena berpikir seperti itulah aku cepat-eepat
bertindak agar Bambang tidak melanjutkan perkataannya. Sebab kalau sampai perkataan itu telanjur
keluar, akan tak enak bagiku untuk menyatakan
penolakanku secara terang-terangan.
"Mbang, pulanglah. Hari sudah malam!" kataku
memotong perkataannya yang belum selesai itu,
sambil menarik tanganku dari genggaman tangannya.
Dengan tindakan itu aku berharap perkataan
Bambang yang pasti akan kutolak itu tak jadi diucapkan. Dan dengan sikapku yang cukup tegas itu
pula aku berharap agar Bambang mampu menangkap
isi hatiku terhadap dirinya. Sebab aku yakin sekali,
ia sudah cukup banyak memiliki pengalaman dalam
kehidupan asmaranya. Dengan demikian menangkap
perasaan seorang perempuan, apakah dia membalas
perhatiannya atau tidak, pastilah bukan sesuatu yang
terlalu sulit baginya.
"Baiklah,..." dengan suara pelan lelaki itu menanggapi perkataanku tadi.
Dari keremangan cahaya lampu teras yang agak
jauh dari tempat kami berdiri itu, aku tak dapat
melihat air mukanya. Tetapi untuk menguraikan
suasana kaku yang tiba-tiba muncul di antara kami,
aku cepat-cepat berkata lagi,
"Terima kasih atas kebaikanmu selama aku berada
di Kaliurang ini ya, Mbang. Tolong sampaikan salam
hormatku kepada Bu Darto!" begitu yang kukatakan
kepadanya. "Nah, sampai jumpa di lain waktu!"
"Selamat jalan, Mega."
"Terima kasih."
Setelah itu aku lekas-lekas masuk ke rumah
kembali. Aku tak mau mengantarkan lelaki itu
sampai ke pintu gerbang sebagaimana niatku semula. Biarlah Mbok Rah saja nanti yang akan
menggembok pintu pagar sebagaimana biasanya.
Malam itu aku berniat tidur lebih cepat daripada
biasanya. Aku ingin berangkat pagiipagi sekali supaya tiba di Jakarta sebelum petang turun.
"Besok pagi kalau Mama mau berangkat, bangunkan Iyo ya, Ma" suara Rio dari balik selimutnya
menyambut kehadiranku kembali ke kamar.
"Ya, Sayang."
Malam itu Rio memang sengaja tidur bersamaku.
Sebab katanya, masih akan lama lagi ia baru bisa
tidur bersamaku kembali. Dan sama seperti pikirannya, sepanjang malam itu aku menikmati kedekatanku
dengan anakku itu. Setelah anak itu tidur, berulang
kali pipinya kukecup dan rambutnya kuusap-usap.
Sedih rasanya harus berpisah lama dengan anakku
satu-satunya itu. Rumahku di Jakarta nanti pasti
akan sepi tak berseri lagi. Pulang dari mana pun, aku
hanya akan menjumpai pembantu rumah tanggaku.
Tak kudengar lagi celotehnya yang menyemaraki
rumahku. Tak kudengar lagi bantahan-bantahannya
setiap ia dilarang oleh pembantu rumah tanggaku
supaya jangan mengambil sendiri buku-buku dari
atas rak yang paling tinggi. Dan tak akan kudengar
lagi permintaannya supaya aku membuatkan kue
pukis berisi selai untuknya.
Mengingat itu semua, mataku menjadi panas
menahan tangis. Aku harus tabah demi kebaikan
anakku sendiri. Tetapi toh akhirnya air mata itu bobol
juga ketika pagi harinya aku pamit kepada semuanya.
Kuciumi pipi dan kepala Rio dengan berlinang air
mata, sampai-sampai ibuku membisikiku agar aku
jangan membiarkan diriku larut dalam kesedihan.
"Tangismu akan meninggalkan kesan tak menyenangkan padanya. Dan itu akan lama mengganggu
batinnya!" begitu yang Ibu bisikkan kepadaku sehingga terpaksa aku menahan diri dengan seluruh
daya kekuatan batinku yang masih tersisa.
"Rio, jangan nakal lho, ya!" kataku sambil ter
senyum, sesudah berhasil menghentikan linangan
air mataku.
"Tidak. Iyo akan menjadi anak yang baik!"
"Bagus sekali!" kataku. "Dan nanti kalau sudah
masuk sekolah kembali, belajar yang rajin. ya."
"Ya. Oom Bayu akan membantu Iyo belajar
matematika!"
"Begitu?"
"Ya. Tetapi nanti kalau Iyo sudah mulai masuk
sekolah," sahut Rio. "Sebab sekarang Oom Bayu
akan ke luar kota dulu selama beberapa hari. Setelah
itu baru akan menemani Iyo lagi."
Perkataan Rio tak kutanggapi. Tetapi aku berpandang-pandangan dengan kedua pasang mata orangtuaku yang terarah kepadaku. Kelihatannya mereka
mempunyai pikiran yang sama seperti pikiranku.
Bahwa hubungan antara Rio dan Bayu benar-benar
sudah berada di luar takaran yang bisa diterima oleh
akal, kalau orang tidak tahu adanya ikatan darah di
antara mereka berdua. Atau dengan kata lain, melalui
pandangan mata mereka, kedua orangtuaku itu hendak
mengatakan bahwa apa yang diucapkan oleh Rio tadi
menunjukkan bukti betapa kentalnya hubungan darah
di antara Rio dan Bayu. Alam tak mungkin memisahkan hubungan antara seorang ayah dan anaknya.
Sebab meskipun dalam keluarga ini ada banyak orang
dewasa, hanya kepada Rio sajalah Bayu menceritakan
kegiatannya sehari-hari.
Untuk tidak membiarkan pikiran seperti itu merajalela dalam otakku, aku segera pamit. Jam sudah
menunjukkan pukul lima lewat seperempat pagi.
Di dalam mobil air mataku kubiarkan runtuh
mengalir sewaktu tanganku melambai-lamb'ai ke
arah pintu pagar rumah orangtuaku. Di sana berdiri '
oranguorang terkasih dalam hidupku, melambai lambaikan tangan juga kepadaku sampai mobilku
lenyap dari pandangan mata.
Kubiarkan jendela mobil tetap terbuka dan angin
pagi yang dingin mengusapi tubuhku hingga pipiku
yang basah itu mengering sendiri.
Aku menggigil. Entah mana yang lebih kuat
pengaruhnya sampai menggigilkan tubuhku itu;
udara pagi pegunungan yang dingin ataukah rasa
cemas menghadapi kehidupanku di Jakarta yang
harus kuarungi sendirian nanti. Tetapi yang pasti
kedua-duanya memiliki pengaruh yang kuat.
Keluar dari pintu gerbang Kaliurang. laju kendaraan kukurangi. Pengalaman masa laluku memberitahuku bahwa pagi-pagi begini ada sebagian
penduduk yang turun gunung untuk pergi ke pasar
dengan pelbagai macam dagangan mereka. Jajanan
pasar, buah-buahan, daun pisang, dan lain sebagainya.Aku tak ingin menyenggol dagangan mereka
dengan mobilku.
Sedang aku memperhatikan jalan raya yang tak
begitu lebar di depanku, seseorang dengan sebelah
tangan memegang senter besar dan tangan lain
melambai-lambai ke arahku, menghentikan mobilku.
Pelan-pelan kuhentikan kendaraanku. Dari keremangan cuaca pagi aku melihat sesosok tubuh
menggendong semacam ransel di punggungnya.
Sosok tubuhiitu mengenakan jaket.
Pelan kubuka jendela mobilku lebih lebar.
"Ada apa, Pak?" tanyaku ke arah sosok tubuh itu.
Pikirku, kalau lelaki itu mau ikut mobilku, aku akan
menolaknya dengan halus. Sebab meskipun daerah
sekitar tanah kelahiranku ini relatif aman. aku
menyetir sendirian dan keadaan lalu-lintas saat itu
masih sepi, sehingga ada baiknya kalau aku bersikap
lebih waspada dan hati-hati.
"Aku mau ikut mobilmu sampai ke kota" jawab
suara di luar mobilku itu.
Aku terkejut. Itu suara Bayu.
"Kau...?" suaraku jelas menunjukkan rasa kagetku.
"Ya, aku."
Mataku kupicingkan. Menilik apa yang kulihat
pada diri Bayu, aku tahu bahwa lelaki itu sudah
dalam keadaan siap bepergian jauh. Karenanya aku
teringat perkataan Rio tadi, bahwa Bayu akan pergi
ke luar kota untuk menyelesaikan urusan penting.
"Kau mau apa?" tanyaku, mencari jawaban yang
lebih pasti daripada apa yang kudengar tadi.
"Aku ingin ikut mobilmu sampai ke kota!"
"Kenapa tidak naik mobilmu sendiri?"
"Mobilku mogok, Mega. Padahal aku harus pergi
hari ini," Bayu menjawab dengan suara yang jelas.
Jadi, dia memang bersungguh-sungguh ingin ikut
mobilku.
"Dari mana kau tahu aku akan lewat sini dan pada
waktu seperti ini pula?" aku mulai curiga.
"Dari ibumu."
"Ibuku?"
"Ya. Tadi malam aku meneleponmu. Ibumu yang
menerima!" jawab Bayu. "Tidakkah beliau mengatakannya kepadamu?"
"Tidak." _
"Pasti lupa. Tadi malam ibumu mengatakan bahwa kau sudah tidur. Dari beliaulah aku tahu jam
berapa kau akan berangkat hari ini."
"Untuk apa kau bertanya begitu?"
"Aduh, Mega, kan sudah kukatakan tadi alasannya!" sahutnya. "Mobilku mogok. Aku tak sempat
membawanya ke bengkel karena hari ini aku sudah
harus pergi. Jadi, aku sengaja menghadangmu di
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sini. Bayangkan. sudah sejak jam empat tadi aku
berdiri kedinginan di sini!"
"Lalu...?"
"Bukalah pintu mobilmu. Biarkan aku ikut sampai
ke kota!"
Dengan pasrah aku terpaksa membiarkan Bayu
membuka pintu mobilku dan melemparkan bawaannya ke jok belakang. Dan kemudian setelah menempatkan barang-barang bawaannya, ia melompat dan
langsung duduk di sampingku.
"Terima kasih!" katanya sesudah menutup pintu
mobilku kembali.
Aku tidak menjawab. Kulanjutkan kembali perjalananku dengan mencermati jalanan yang mulus
aspalnya, berliku liku arahnya, dan turun menuju ke
kota.
"Pagi yang sangat indah!" kudengar komentar
Bayu. Kulayangkan pandang mataku ke arah ufuk
timur. Langit mulai memerah di sana. Sementara pepohonan dan bangunan-bangunan di atas bukit-bukit
dan lembah yang kulalui dengan mobilku mulai
menampakkan bentuknya. Memang indah sekali.
Tetapi komentar Bayu tak kutanggapi. Hatiku
sedang sarat oleh penentangan batin. Meskipun aku
menganggap tak semestinya lelaki itu duduk di sampingku, harus kuakui dengan jujur bahwa kehadirannya telah menyentuhkan perasaan hangat dalam
hatiku. Terlebih karena baru beberapa menit sebelum
ini aku menggigil kedinginan mencemaskan masa
depan yang harus kulalui seorang diri.
Kenyataan seperti itu membuatku kebingungan.
Sebab aku merasa amat yakin, seandainya Bambang
atau lelaki lain yang menghentikan mobilku seperti
yang dilakukan oleh Bayu tadi, pastilah tidak akan
begini perasaanku!
******
BELUM lagi jam enam saat itu, tetapi kota Yogya
sudah memperlihatkan kesibukannya. Lebih-lebih
di sekitar pasar-pasar yang kebetulan kami lewati.
Becak bermuatan penuh barang dagangan dengan
pemiliknya yang bertengger di atasnya merupakan
pemandangan yang biasa. Begitu pun sepeda yang
ditumpuki bermacam dagangan di muka dan di
belakang pengendara yang mengayuh sepedanya
dengan agak labil, merupakan suguhan pemandang
an yang tak aneh. Sementara di pinggir jalan para
pedagang yang menggendong dagangannya di punggung atau memikulnya di bahu, berpapasan dengan
mereka yang sedang lari pagi.
Berbeda sekali dengan Jakarta, di mana pagi
seperti ini sudah dipenuhi oleh anak-anak berseragam
sekolah entah di dalam kendaraan umum, entah di
jalan, dan entah pula di dalam mobil pribadi mau"
pun mobil antar-jemput sekolah, di kota Yogya ma
sih belum memperlihatkan hal yang sama.
Tak heran, luas kota Yogya tidak mengharuskan
penduduknya bergegas pergi ke sekolah ataupun
ke tempat mereka bekerja. Tak ada kemacetan
lalu-lintas yang menghambat perjalanan dan yang
dapat menyebabkan orang datang terlambat ke
tempat tujuan.
"Kau mau turun di mana?" tanyaku kepada
Bayu. Itu adalah perkataanku yang pertama sesudah
Bayu masuk ke dalam mobilku. "Di Stasiun Tugu?"
"Tidak."
"Lalu di mana? Terminal bus?"
"Tidak."
Laju kendaraan kuperlambat. Kuto-leh Bayu sambil mengerutkan dahiku. Tetapi kelihatannya lelaki
itu tampak santaiasantai saja. Bahkan dengan gaya
seenaknya ia melepaskan jaketnya. Padahal aku
yakin sekali, ia tahu bahwa aku sedang menoleh
ke arahnya.
"Lalu kau mau turun di mana?" tanyaku kemudian.
"Pokoknya tidak di Yogya!"
Aku menoleh lagi ke arahnya.
"Tidak di Yogya?" Kunaikkan alis mataku tinggitinggi dengan mata melebar. "Katamu tadi, kau
akan ikut aku sampai ke kota!"
"Memangnya hanya Yogya saja kota di pulau
Jawa ini?"
Untuk ketiga kalinya aku menoleh ke arahnya.
la membalas menolehku, kemudian menyeringai.
"Jangan main-main!" gerutuku. "Kau mau turun
di kota apa sih? Wates, Purworejo, Kutoarjo, atau
yang lainnya?"
"Yang lainnya!" sahut Bayu seenaknya.
"Iya, kota apa itu?" Aku mulai jengkel.
"Kota Jakarta."
Tanpa sadar aku mengerem mobilku. Untung di
belakangku tidak ada kendaraan lain.
"Apa katamu?" kataku nyaris tak percaya. "Kota
Jakarta?"
"Tepat sekali."
"Kau gila, Bayu!"
"Memang. Mega. Kan sudah pernah kukatakan
kepadamu bahwa aku gila. Atau tepatnya, tergila
gila padamu!"
"Kenapa kau senang sekali menggangguku sih?"
"Siapa yang mengganggumu, Mega?" Bayu menjinjitkan alisnya, sama seperti yang kulakukan tadi.
"Aku justru berbaik hati, ingin menemanimu sampai ke Jakarta."
"Bicaralah yang sebenarnya, Bayu. Jangan mengada-ada. Lalu turunlah. Aku akan melanjutkan perjalananku?" kataku setengah membentak. "Jangan
sampai aku kemalaman di jalan."
"Kau tega menurunkan aku. Mega?" alis mata
itu terangkat lagi. "Jakarta jauh sekali dari sini."
Aku menarik napas panjang.
"Maumu apa sih?" tanyaku kemudian.
"Mauku ikut menemanimu sampai ke Jakarta!"
sahut Bayu. Kini suaranya terdengar tegas. "Terus
terang aku tak tega membiarkanmu pergi sendirian
menempuh perjalanan panjang dari sini ke Jakarta.
Biarkanlah aku ikut bersamamu. Jelek-jelek begini
aku bisa menggantikanmu menyetir kalau capek
atau mengantuk."
"Kata Rio, kau mau ke luar kota untuk suatu
urusan penting?" kataku. "Kenapa sekarang mau
ikut aku sampai ke jakarta?"
"Ya justru itulah urusan pentingku" Bayu
menyeringai lagi. "Yaitu melihat dengan mata kepalaku sendiri sampai kau tiba di tempat dengan
selamat."
"Aku bukan anak kecil yang tak tahu jalan dan
tak berani pergi sendirian, Bayu!" dengusku.
"Aku tahu betul, kau bukan anak kecil lagi!"
Mata Bayu tampak memancarkan rasa gelinya.
"Kau seorang perempuan dewasa!"
Mendengar itu pipiku terasa panas. Kurang ajar
sekali dia.
"Aku bukan perempuan penakut!" bentakku,
mengalihkan perasaanku. .
"Itu juga kuketahui dengan pasti, Mega. Bahkan
sejak kau masih kecil!" Sekali lagi Bayu menyeringai.
"Sudahlah!" Kukibaskan tanganku ke udara. "Sekarang ini kau mau apa?"
"Tetap duduk di mobilmu sampai ke Jakarta!"
Bayu tertawa sambil mengelus lembut pipiku.
"Ayolah, kita lanjutkan perjalanan. Katamu, kau
ingin tiba di Jakarta sebelum gelap!"
Aku menarik napas panjang sambil mengibaskan.
tangan Bayu yang berada di pipiku.
"Terserahlah" akhirnya aku mengalah. Harus
kuakui dengan sejujur-jujurnya bahwa mengarungi _
perjalanan panjang dengan ditemani olehnya jauh
lebih menyenangkan dibanding kalau aku pergi
sendirian.
"Kalau begitu, biar aku yang menyetir!"
"Tidak. Aku akan menyetir sampai kita berhenti
makan siang," aku menjawab sambil menggerutu.
"Jangan perlakukan diriku seolah perempuan itu
makhluk yang lemah!"
"Tidak. Tentu saja tidak."
"Bagus." Kujalankan lagi mobilku. "Dan tidur
sajalah kalau kau mengantuk. Aku yakin, semalam
kau kurang tidur."
"Kau sungguh sangat baik hati!" Bayu menyeringai lagi. "Memperhatikan aku."
"Diam ah!"
Bayu membalas perkataanku dengan tawanya
yang besar. Dengan gemas kulanjutkan perjalanan
mobilku. Matahari Sudah mulai mengintip di ufuk
timur. Ketika kami sudah berada di luar kota,
Bayu mengeluarkan sesuatu dari ranselnya.
"Aku membawa arem-arem buat sarapan. Mau?"
tanyanya menawariku.
"Apakah kaupikir hanya perutmu saja yang bisa
lapar?" sahutku.
Bayu tertawa lagi. Dan kemudian salah satu
_arem-arem itu dibukanya separo, kemudian diulurkannya kepadaku. Aku langsung menerimanya pada
bagiannya yang masih berdaun. Baunya yang merangsang membuat perutku terasa lapar.
"Semalam arem-arem ini dibuat oleh pembantu
rumah tanggaku!" kata Bayu menjelaskan. "Isinya
potongan hati, kentang, dan udang yang dibuat
sambal goreng kering."
"Tak usah menceritakan isinya. Baru baunya saja
pun aku sudah ingin memakannya!" kataku.
Bayu tertawa keras.
"Kau sungguh menyenangkan. menggemaskan,
dan lucu lho kalau mau!" komentarnya kemudian.
"Makanya jangan judes-judes kalau berhadapan
denganku."
Aku tidak mau mengomentari perkataannya,
Lebih enak makan arem-arem yang diberikannya
tadi. Bayu mengikuti perbuatanku. Ia juga mem"
buka arem arem dan langsung menyantapnya.
Waktu pun berlalu. Sementara mobil kubawa
melaju mengarungi perjalanan yang masih panjang
itu. Dan harus kuakui, dengan keberadaan Bayu
bersamaku dalam mengarungi perjalanan panjang
itu, segala sesuatunya menjadi jauh lebih mudah
bagiku. la lelaki yang bisa diandalkan. Iajuga teman
seperjalanan yang mengasyikkan. Dengan segala
ocehannya, perasaan malu yang pernah kurasakan
sesudah ciuman kami di tepi jalan dekat rumah
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
temannya beberapa malam lalu. mulai menghilang.
Ketika kami berhenti di Bumiayu untuk makan
siang, Bayu memilih sebuah rumah makan kecil
tetapi menyenangkan. Kami memilih makan ikan
nila goreng, sayur asem, lalapan, dan tempe bacem.
"Enak?" tanyanya. '
"Enak," sahutku. "Kok tahu-tahunya ada rumah
makan enak di sini?" .
"Ya tahu." Bayu tersenyum. "Aku kan sering
keliling Jawa Tengah. Berdasarkan pengalaman
mencoba-coba makan di sana dan di sini, aku menemukan tempat tempat tertentu yang memiliki keistimewaan."
Seusai makan Bayu mengambil alih kemudi mobil. Karena lelah, perut kenyang, dan semalam kurang tidur, tak berapa lama setelah kami meninggalkan Bumiayu, aku- tertidur. Aku baru terbangun
setelah kami mendekati Tanjung, kota kecil yang
letaknya tak jauh dari kota Brebes. Kota itu merupakan pertemuan antara jalur pantai utara dengan jalan
lewat selatan. Lalu-lintas jalur pantai utara jauh
lebih padat. Dan karenanya lebih berisik. Apalagi
sebentar-sebentar terdengar suara klakson truk atau
bus yang mengagetkan.
"Waktu berangkat ke Yogya bersama Rio, kau
juga lewat sini?" tanya Bayu ketika mengetahui
aku sudah terbangun.
"Tidak. Aku lewat Purwakarta dan Bandung."
"Sepertinya lebih jauh, ya?"
"Ya. Tetapi jalannya lebih mulus, lebih sepi,
dan pemandangannya indah."
"Sejuk pula. Melalui jalur utara, panas."
"Tetapi setelah Cirebon kita bisa melihat laut
utara."
"Ya" Bayu melirikku sesaat. "Hm, senang ya
kita bisa mengobrol dengan enak. Biasanya kau
selalu ketus!" '
Aku tak mau menjawab perkataannya. Perhatianku kulabuhkan ke luar jendela. Saat itu sedang
musim kemarau. Ada banyak kekeringan yang ku
saksikan. Tanah-tanah sawah yang merekah, pepohonan yang kurus dan berdaun kerdil. Lalu
beberapa sungai besar dan kecil yang airnya jauh
menyusut.
Begitulah-perjalanan terus. berlanjut dari menit ke
menit, dari jam ke jam. Dan akhirnya pada jam
setengah lima sore kami sudah memasuki pintu jalan
tol Cikampek-Cawang.
"Biar aku yang mengemudi!" kataku setelah
kami berjalan sampai di sekitar kilometer delapan
' belas. "Kau kelihatan letih!"
"Kuakui, aku letih dan mengantuk!"
"Kalau begitu, nanti begitu melihat tempat istirahat kita masuk ke sana!" kataku lagi. "Aku akan
menggantikanmu."
"Oke."
Perjalanan yang sudah mendekati akhirnya itu
memang membuat orang mengantuk. Kondisi jalan
yang mulus, lurus, dan nyaris tak ada pemandangan
itu membuat para pengemudi sering kehilangan
kewaspadaan. Terlebih kalau dia dalam keadaan
letih dan mengantuk. Tak heran kalau di jalan tol
sering kali terjadi kecelakaan yang merenggut
korban jiwa.
Rupanya Bayu memang kurang tidur dan letih.
Hanya beberapa menit setelah kemudi mobil kupegang, dia langsung tertidur. Maka perjalanan pun
berada di bawah kekuasaanku sepenuhnya. Keluar
pintu tol Cawang kubawa mobilku ke arah rumahku
di daerah Cibubur.
Di jalan tol Jagorawi menuju pintu tol Cibubur,
Bayu terbangun. Matanya menatap ke atas, ke arah
rambu-rambu penunjuk jalan. Saat itu papan hijau
penunjuk jalan menunjukkan arah keluar tol Cibubur.
"Ke mana kita?" tanyanya.
"Ke arah rumahku."
"Lho, kita sudah keluar tol Cikampek?"
"Sudah sejak tadi," sahutku. "Dan kemudian
dari sana kita menuju jalan tol Jagorawi. Melihatmu tidur dengan nyenyak sekali. kuputuskan untuk
membawamu sampai kerumahku. Kau boleh mandi
di sana. Setelah itukau mau pergi ke mana, terserah." '
"Hm, begitu. Baik hati juga rupanya kau ini!"
"Jangan macam-macam. Nanti kuturunkan kau
di tepi jalan!" '
"Jangan. Aku akan seperti anak hilang nanti'-'
sahut Bayu dengan suara ketakutan.
- Lelaki satu itu memang suka sekali menggoda
orang. Kalau bukan aku, pasti akan tertawa mendengar candanya itu..
Tepat jam enam lebih empat menit, kami sudah
memasuki halaman rumahku yang kecil. Pembantu
rumah tanggaku sudah kutelepon kemarin, bahwa
hari ini aku akan pulang. Karenanya begitu meudengar suara mobil masuk, tergopoh-gopoh dia
keluar menyambutku. '
"Dia tamu kita, Bik!" kataku kepadanya tatkala
melihat - pandangan bertanya-tanya tersirat dari
kedua belah bola matanya. "Kenalan baik keluarga
kami di Yogya sana. Sahabat Pak Totok sejak mereka berdua masih kecil."
"Oh, begitu. Saya pikir..." Pembantuku yang
usianya setengah baya itu tak melanjutkan bicaranya. Sebagai gantinya ia mengangkat barang-barang
bawaanku dari dalam mobil.
Tetapi aku merasa pembicaraan kami belum
selesai. Kudekati dia.
"Kau pikir apa, Bik?" tanyaku kepadanya.
Pembantuku tertawa kecil;
"Saya pikir, bapak itu ayahnya Mas Rio!" sahutnya kemudian dengan berbisik. "Soalnya, ada miripnya sih, Bu!" _
"Ah, kau ada-ada saja...," kataku sambil melangkah
masuk ke rumah. Saat itu Bayu sedang ke kamar
kecil. Diam-diam aku berusaha menenangkan deburan
jantungku yang berpacu lebih cepat demi mendengar
perkataan pembantu rumah tanggaku itu. Rupanya
dia termasuk orang yang cermat dan mampu menangkap kemiripan yang ada di antara Bayu dan
Rio. Padahal kedua orangtuaku saja tak bisa melihat
hal itu.
"Tolong buatkan minuman hangat, Bik," kataku
mengalihkan perhatian.
"Baik, Bu. Tetapi kalau Ibu dan tamu Ibu mau
makan. meja makan sudah siap lho, Bu," pembantuku berkata lagi. "Hari ini 'saya memasak ayam
panggang lho, Bu. Sayurnya sayur lodeh."
"Enak sekali, Bik. Ada sambalnya?"
"Lengkap dengan lalap."
"Wah, hebat kau, Bik.?"
Suaraku terhenti oleh suara Bayu yang tiba-tiba
muncul.
"Apanya yang hebat?" tanyanya ingin tahu.
"Masakan Bibik ini yang hebat. Dia memasak
ayam panggang hari ini. Bumbu ayam panggang
pembantu rumah tanggaku ini istimewa lho!" aku
ingin menyenangkan pembantuku. Perempuan itu
sungguh baik dan pandai mengatur roda rumah
tanggaku. Aku berutang budi padanya.
"Ah, Ibu..." Pembantu rumah tanggaku tersipu- '
sipu sambil pergi meninggalkan kami berdua.
Aku tersenyum. Kemudian menatap ke arah Bayu.
"Kau makan di sini, ya?" kataku menawarinya.
"Dengan senang hati. Tetapi aku akan mandi
dulu."
"Mandilah. Aku juga mau mandi kok."
"Oh ya? Tidak salah dengarkah aku?" Mata Bayu
membelalak.
"Apanya yang salah?" tanyaku bingung. Tak tahu
apa yang ia maksudkan dengan perkataannya itu.
"Kita akan mandi berduaan?"
Dengan seketika pipiku terasa panas membara
demi mendengar perkataannya yang nakal itu.
"Brengsek!" desisku.
Bayu tertawa geli.
"Aku sungguh heran melihatmu, Mega!" katanya
kemudian. "Sudah punya anak kok masih mudah
tersipu-sipu dan sebentar-sebentar pipimu menjadi
merah hanya'karena mendengar canda yang cuma
menyerempet-nyerempet..."
"Begitu kok menyerempet!" dengusku memotong
perkataannya. "Itu perkataan porno, tahu?"
Bayu tidak menjawab. Tetapi pandang matanya
terarah kepadaku beberapa saat lamanya sehingga
tanpa sadar aku tersipu-sipu lagi.
"Pergilah mandi sana!" bentakku untuk mengurangi perasaanku yang tak enak. Siapa sih yang
senang dipergoki orang sedang tersipu sipu?
Bayu tertawa lagi, kemudian mengambil ranselnya.
"Di mana aku boleh menukar pakaianku?" tanyanya, mulai mengalihkan pembicaraan.
"Di kamar Rio!" sambil menjawab pertanyaannya
kutunjuk kamar Rio di sebelah kananku. "Rumah ini
cuma ada dua kamar tidur di dalam. Di luar ada satu
lagi. Untuk Bik Ipah. pembantu rumah tanggaku.
Jadi, maaf, kami'tak punya kamar untuk tamu."
"Tak apa. Itu sudah lebih dari cukup."
Setengah jam kemudian kami berdua sudah
duduk di ruang makan menghadapi hidangan yang
sudah disiapkan oleh Bik [pah.
"Pembantu rumah tanggamu pandai memasak!"
komentar Bayu setelah kami berdua selesai makan.
"Ya."
Kusodorkan pisang barangan dari Medan yang
kata Bik Ipah tadi ia beli dari tukang sayur
langganan kami, ke hadapan Bayu yang langsung
mengambilnya.
"Mega...," lelaki itu memanggilku setelah menelan pisangnya. Matanya menatapku.
"Hm...'?"
"Bolehkah aku menginap di sini?" pintanya.
Aku tertegun. Kutatap dia dengan penuh tanda
tanya sehingga sebelum aku sempat mengomentari
permintaannya, ia melanjutkan lagi bicaranya tadi.
"Jangan salah sangka atau mencurigai aku punya
niat tak baik, Mega!" katanya. "Aku ingin menginap
di sini karena mempertimbangkan beberapa hal."
"Apa itu?"
"Antaralain. aku ingin berhemat. Menginap di
hotel, apalagi di Jakarta begini, kan mahal. Kedua,
karena tahu bahwa kau masih cuti dan baru masuk
beberapa hari lagi, kalau diperbolehkan besok aku
akan meminjam mobilmu sebentar. Taksi mahal,
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kan?"
Meskipun aku yakin alasan penghematan bukan
tujuan utama Bayu, aku hanya mengangguk saja.
"Alasan ketiga, keempat, dan seterusnya...?" tanyaku.
"Yang ketiga, di sini aku bisa makan masakan
lezat yang juga gratis." Bayu menjawab pertanyaanku
tadi sambil nyengir. "Dan keempat, aku tak usah
mondar-mandir ke sana kemari dengan barangbarang bawaanku!"
""Barang-barang bawaan apa?"
"Barang barang milik Rio. Aku tahu kau akan
mengirimkan barang barang itu melalui titipan kilat.
Nah, daripada" mengeluarkan biaya dengan risiko
hilang atau tertukar milik orang lain, kan lebih
aman kalau aku yang membawanya."
Aku membenarkan dalam hatiku.
"Rencanamu, berapa hari kau akan menginap di
sini?" tanyaku setelah berpikir beberapa saat lamanya.
"Dua atau tiga malam. Ada suatu urusan yang
harus kuselesaikan."
"Lalu pulangnya naik apa?"
"Gampang. Naik kereta api atau mungkin bus
malam. Tak masalah buatku."
"Baiklah. Kau boleh menginap di sini!"
"Terima kasih."
Malam itu setelah makan dan menonton televisi
sambil terkantuk-kantuk. aku memutuskan untuk
tidur lebih dulu.
"Aku mengantuk!" kataku sambil berdiri.
"Tidurlah. Sebentar lagi aku juga akan tidur."
Hari berikutnya Bik Ipah melaporkan bahwa
uang belanja yang kuberikan kepadanya tinggal
beberapa lembar ribuan saja.
"Soalnya saya belikan telur, minyak, bawang
merah, bawang putih, dan kebetulan gasnya juga
habis," katanya.
"Tak apa, Bik. Aku percaya padamu kok!"
"Tetapi kita tidak mempunyai persediaan bahan
makanan di lemari es."
"Nanti aku akan belanja."
"Sebaiknya kita pergi bersama-sama saja, Mega!"
kudengar suara Bayu menyela pembicaraan kami.
Rupanya lelaki itu sudah keluar dari kamar Rio. .
Maklum, rumah sekecil rumahku memang sulit
menyimpan rahasia.
"Oke."
Pergi bersama-sama dengan Bayu seharian pada
hari pertama aku memulai kehidupanku tanpa Rio,
menimbulkan perasaan dekat dalam hatiku terhadap
lelaki itu. Apalagi dia juga mengajakku ikut ke
rumah kenalannya untuk suatu urusan dan sebalik
nya ia menemaniku berbelanja keperluan rumah
tanggaku.
Kami makan siang di sebuah rumah makan, dan
tiba kembali ke rumah pada pukul tiga siang. Sore
harinya Bik Ipah pamit mau ke rumah anaknya
yang sudah menikah.
"Kangen cucu, Bu," katanya. "Mumpung ibu ada
yang menemani, jadi saya mau ke sana. Kemarin dia
menelepon kemari. Minta ditengok. Tetapi saya tak
berani meninggalkan rumah kosong."
Rumah Popon, anak Bik Ipah, terletak di Bekasi.
Aku pernah mengantarkannya ke sana. Dengan ken
daraan umum Bik Ipah akan tiba di sana sekitar satu
setengah jam. Berarti ia baru bisa kembali kemari
pada malam hari. Tak tega rasanya membiarkan dia
pulang sendirian malam-malam.
"Menginap di sana, Bik?"
Bik Ipah menatapku. Ada harapan tersiar di matanya.
"Kalau boleh, Bu!" katanya kemudian. "Tetapi
kalau Ibu besok sudah harus pergi bekerja, saya
akan berusaha supaya bisa pulang."
"Aku masih cuti, Bik. Jadi lihatlah keadaan di sana
nanti. Kalau sudah malam, ya sebaiknya menginap."
"Terima kasih, Bu. Kalau terpaksa menginap,
saya akan berusaha pulang pagi-pagi sekali."
"Tak usah begitu, Bik. Yang santai saja!" sahutku.
"Toh tidak'ada Mas Rio yang harus kaulayani."
"Baiklah. Terima kasih, Bu."
Meskipun aku tak melihatnya, tetapi dari pendengaranku aku tahu bahwa Bayu memberi uang
untuk bekal Bik Ipah di jalan. Aku mendengar
pembantu rumah tanggaku itu mengucapkan terima
kasih berulang kali kepadanya.
Sebelum pergi Bik lpah sudah menyiapkan meja
makan sehingga aku hanya tinggal memanasi setonya saja, waktu aku dan Bayu makan malam.
Selesai makan dan mencuci piring bersama-_
sama, aku dan Bayu menonton film di sudut
ruang makan yang telah kujadikan sebagai ruang
keluarga tempat kami menonton televisi.
"Aku harus berterima kasih kepada Bik Ipah
karena kepergiannya itu!" kata Bayu ketika film
yang kami tonton sedang diselingi iklan.
"Kenapa?" tanyaku.
"Karena dengan demikian ia memberiku kesempatan untuk berbicara denganmu tanpa kehadiran
orang lain."
"Berbicara tentang apa?" tanyaku mulai waspada.
"Tentang kehidupan pribadimu. Aku ingin mengetahui lebih banyak mengenai almarhum suamimu."
Aku kaget mendengar perkataannya itu.
"Untuk apa sih ingin tahu urusan orang?" sahutku dengan ketus.
"Aku tidak ingin tahu urusan orang, Mega.
Yang ingin kuketahui adalah urusanmu. Urusan
dan kehidupan pribadi seorang perempuan bernama
Ratna Megawati?"
"Apa istimewanya dia sih?" aku menukas.
"Aku juga tidak tahu, Mega!" Bayu menjawab
dengan kesabaran yang kuherani. "Tetapi di hatiku
ia menempati tempat yang khusus. Amat khusus."
"Aku tak pernah tahu bahwa kau sangat pandai
bergombal-gomball" aku mendengus lagi. "Tidak
ingatkah kau kepada seorang gadis bernama Aryanti
yang luar biasa hebatnya dan yang sedang berusaha
menjalin kembali hubungan kalian berdua?"
Bayu melirikku.
"Rupanya kau lebih tahu daripada yang bersangkutan!" gumamnya kemudian.
"Lalu apa, kalau tidak," aku mendengus lagi.
"Aryanti adalah bagian dari rencana kedua belah
pihak keluarga kami. Keluarganya dan keluargaku
merupakan kenalan lama yang cukup akrab. Mereka
ingin berbesanan. Begitulah, kami diarah-arahkan
supaya menjalin hubungan khusus yang meningkat
menjadi pernikahan."
"Pasti kau senang sekali, ya"?"
"Kenapa kau berpikir begitu?" ia malah ganti
bertanya kepadaku. '
"Dia sangat menarik. luwes, ramah, cekatan,
dan seksi. Lelaki mana yang tidak akan tertarik
melihat dia? Apalagi kalau gadis seperti itu didorong-dorong ke arahnya."
"Hmm, begitukah menurutmu...?"
"Ya. Lebih-lebih kalau menilik umurmu, sudah
waktunya kau menjadi ayah dari beberapa orang
anak!" kataku memotong. "Tentunya pucuk dicinta,
ulam tiba. Mengharapkan sesuatu yang agak jauh
dari jangkauan, yang datang justru melampaui apa
yang dicitakan. Siapa yang tak senang, bukan?
Terlebih..."
Belum selesai perkataanku. Bayu menghentikannya dengan cara menyentakkan tanganku.
"Harus kuakui dengan jujur, aku memang'ingin
menikah dan mempunyai anak. Sebab bagaimana
pun juga! aku ini masih termasuk orang normal
yang mempunyai cita-cita juga." katanya. "Maka
kalau ada seorang gadis yang kiranya akan bisa
cocok mendampingi hidupku, diam-diam aku
mencoba untuk meliriknya dari jauh...".
"Kau memang termasuk lelaki yang senang melirik perempuan!" kataku memotong. Entah mengapa mulutku begitu entengnya, ingin menyakiti
hati Bayu. Sebal aku membayangkan Bayu melirik
seorang gadis.
"Jangan suka memotong perkataan orang!" Bayu
menyentakkan lagi tanganku sehingga kusadari bahwa tanganku masih berada di dalam genggaman
tangannya yang lebar. "Apalagi kalau ucapanmu
sangat jauh dari kenyataan"
"Apanya yang jauh dari kenyataan?" aku ganti
memotong perkataan Bayu. Meskipun aku merasa
jengkel kepadanya, tetapi sulit sekali bagiku melupakan bahwa saat itu tanganku berada dalam
genggamannya.
"Kau menerjemahkan perkataanku tadi secara
sempit!" kata Bayu. "Yang kumaksud melirik adalah menjajaki dari jauh apakah hatiku bisa tersentuh
olehnya. Tetapi pada kenyataannya baru saja kepalaku menoleh sesaat ke arahnya, keinginan untuk
itu langsung jatuh berantakan tak ada sisanya
sama sekali. Begitulah yang sering terjadi, sampai
akhirnya aku meluruhkan keinginanku untuk berumah tangga dan mempunyai anak."
"Kau terlalu tinggi hati; barangkali," aku berusaha menyakiti hatinya lagi. "Kau juga menganggap dirimu terlalu tinggi sehingga merasa tak
ada gadis-gadis di sekitar tempat tinggalmu yang
pantas untukmu!"
Untuk ketiga kalinya Bayu menyentakkan tanganku.
"Kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi!"
katanya dengan suara jengkel. "Aku bukan lelaki
seperti yang ada dalam bayanganmu itu."
"Lalu lelaki macam apa kalau begitu?"
"Lelaki yang tahu diri. Karenanya setiap aku melihat lukisan badai yang pernah kaulihat tergantung di
dinding rumahku itu, mataku kupejamkan rapat rapat
agar tidak menoleh kepada gadis mana punjuga."
"Apa kaitannya dengan lukisan badai itu"?" tanyaku heran.
"Mega, aku bukanlah seorang pelukis.... sahutnya dengan suara yang berubah menjadi lembut.
"Setidaknya sebelum lukisan badai itu kubuat, tak
pernah kusadari bahwa ternyata aku bisa melukis
dan lukisanku itu cukup pantas dilihat orang."
"Kau belum menjawab apa istimewanya lukisan
badaimu itu!" kataku lagi.
Bayu menoleh ke arahku. Telapak tanganku yang
ada di dalam genggaman tangannya ditariknya ke
arah mulutnya. Kemudian punggung tanganku dikecupinya sementara matanya menatap mataku
'"
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanpa berkedip. Darah dalam tubuhku mulai bergerak tak teratur karenanya.
"Mega...." sahutnya lama kemudian. "Ingatkah
kau apa yang terjadi hampir sepuluh tahun yang
lalu di dalam mobil ayahmu ketika hujan badai
mengguyur daerah Kaliurang?"
Tentu saja aku ingat sekali. Sebab peristiwa yang
terjadi saat itu merupakan semacam tonggak sejarah
dalam kehidupanku. Hari itu telah terjadi perubahan
pada diriku. Kalau sebelumnya aku adalah seorang
gadis yang masih perawan suci, setelah peristiwa itu
aku adalah gadis yang sudah tidak perawan lagi.
Bahkan kenyataan yang terjadi kemudian melontarkan diriku dari seorang gadis polos, lugu, dan di'
manja karena kebungsuanku, menjadi seorang ibu
dari anak lelaki yang lahir tanpa ayah dan yang
menuntut kematangan jiwaku.
Karena aku tak mau menjawab perkataannya,
Bayu melanjutkan bicaranya,
"Mega, peristiwa itu telah mengubah diriku yang
semula ugal-ugalan dan tak pernah serius menghadapi kehidupan, menjadi lelaki'yang sangat hatihati. Terutama di dalam pergaulan dengan temanteman perempuanku," katanya. "Lukisan badai yang
kubuat dengan sepenuh emosiku, dengan menumpahkan rasa marah, sesal, sedih, baru dan lain sebagainya
di dalamnya. kugantung di tempat yang paling sering kulewati. Tujuanku, dengan melihat lukisan itu
aku akan selalu diingatkan untuk bersikap lebih
baik, lebih hati-hati. Dan syukurlah, sejauh ini lukisan itu berhasil mengendalikan diriku. Sampai-sampai
melakukan pendekatan pada seorang gadis pun aku
tak berani. Jadi, Mega, bagiku Aryanti tak pernah
masuk ke dalam hitungan."
Mendengar perkataannya tanganku kutarik dari
genggaman tangannya dan terlepas dari kecupannya
yang hangat.
"Jangan menempatkan diriku sebagai objek yang
mengait obsesimu, Bayu. Dan jangan menempat
kan diriku menjadi bagian dari rasa bersalahmu!"
kataku dengan suara tegas.
"Tidak. Sama sekali tidak!" Bayu membantah
keras perkataanku tadi. "_Jangan keliru menafsirkan
apa yang kuceritakan mengenai lukisan badaiku
tadi!"
"Lalu...?"
"Lalu berpikirlah dengan jernih dan pahamilah
perasaanku sejak saat itu sampai hari ini!" sahut
Bayu lagi. "Setelah peristiwa itu terjadi, selama dua
hari aku berkurung dalam kamarku. Kuhukum diriku.
Lalu setelah emosiku mulai agak reda, kuberanikan
diriku untuk datang ke rumahmu. Niatku, ingin
mencium kakimu. Dan kalau aku kauanggap pantas
berada di sisimu. dengan sepenuh rasa tanggung
jawabku aku ingin meminta izinmu agar membolehkau orangtuaku melamar dirimu pada orangtuamu."
Mendengar perkataan Bayu seperti itu, hatiku
terasa sedih dengan tiba-tiba. Suatu kesedihan yang
tak kumengerti. Apa yang bisa kulakukan saat itu
adalah menundukkan kepalaku untuk menyembunyikan perasaanku itu. Sebab rasanya ingin sekali aku
menangis. '
"Mega...." kudengar lagi suara Bayu. "Kau pasti
tak pernah membayangkan apa yang terjadi ketika
hari itu aku tiba di rumahmu. Rumahmu kosong;
Mbok Ikem mengatakan kepadaku bahwa kedua
orangtuamu baru saja pergi bersamamu ke Stasiun
Tugu, mengantarkanmu pindah ke Jakarta..."
Suara Bayu terdengar menggeletar tatkala bercerita
seperti itu. Rupanya apa yang dialaminya hampir
sepuluh tahun lalu itu begitu besar pengaruhnya.
"Mega, semestinya aku langsung meminjam
motormu dan dengan cepat menyusulmu ke Stasiun
Tugu dan memintamu untuk tidak pergi..." kudengar
suara menggetar itu lagi. "Tetapi waktu itu aku
begitu tolol dan pikiranku begitu hancur karena
kepergianmu yang pasti disebabkan peristiwa di
tengah hujan badai itu. Maka lepaslah mega, melayang pergi menjauhi embusan bayu. Setahun,
dua tahun, tiga tahun, empat tahun aku pun
menjadi putus asa. sadar bahwa kau sungguh sungguh sangat membenciku..."
Cukup sudah apa yang masuk ke dalam hatiku,
meskipun perkataan Bayu belum usai. Air mata
yang semula kutahan-tahan tak mampu lagi bertahan di tempatnya. Maka bobollah air mata itu
dan mengalir ke pipiku.
Bayu mengulurkan tangannya dan mengangkat
daguku sehingga wajahku terangkat. Dengan tirai air
mata kutatap wajah lelaki itu. Kulihat, mata lelaki
itu juga basah sehingga habislah sudah penahanan
diriku. Apa yang selama ini kuingkari merekah terbuka secara perlahan.
"Mega...,' suara yang menggeletar itu terdengar
lagi menyebut namaku. '
Aku tak berani menjawab. Tetapi rupanya Bayu
tidak meminta sahutanku. Sebab tiba-tiba ia meraihku ke dalam pelukannya. Dan kemudian rambutku
diciuminya.
Aku membiarkan perbuatannya. Bahkan juga
ketika ia mengubah sasaran ciumannya. Bukan rambutku lagi yang ia ciumi tetapi bibirku, leherku,
mata dan pipiku yang basah.
"Mega." ia mendesah lembut di sisi telingaku.
"Peluklah aku"
Seperti kerbau dicucuk hidungnya, apa yang
diminta Bayu itu kuturuti. Entah dari mana perasaan
itu. aku merasa begitu dekat dengannya. Tanganku
lalu meluncur ke arah lehernya. Dan kuduk di batas
rambutnya kubelai-belai dengan lembut dan mesra.
Bayu mengeluh lembut. Kemudian tangannya
yang hangat dan sedang memeluk bahu dan
pinggangku itu mulai bergerak menelusuri punggungku dan merayap ke depan.
Napasku seperti tersangkut sangkut rasanya,
terengah-engah liar nyaris tak terkendali. Dan tubuhku yang kurasakan mulai seperti sebongkah bara
menyala itu, bergetar. Bayu pasti merasakannya.
"Mega...." kudengar lagi bisikan suaranya di
sisi telingaku sambil sesekali menggigiti cuping
telingaku. Harum parfum yang sempat kuoleskan
di belakang telingaku itu pasti ikut mempengaruhi
perbuatannya.
Merasakan perbuatannya itu tubuhku semakin
bergetar tanpa aku mampu mengendalikannya. Dan
tanganku semakin kuat melingkari lehernya.
"Bayu..." Entah dari mana dorongan itu, aku
juga membisikkan namanya, membalas bisikannya
yang menyebut namaku tadi. Mendengar itu Bayu
mengeluh lagi. Tangannya yang berada di depan
dan mengelusi bagian bawah leherku mulai merayap turun ke bagian dadaku.
Ledakan itu pun terjadilah. Bayu lupa diri. Aku
lupa diri. Dan peristiwa yang pernah terjadi sepuluh
tahun yang lalu di bawah hujan badai Kaliurang
itu pun terulang lagi. Badai yang lebih dahsyat
dan lebih menggelora. ltulah badai yang melingkupi
hati kami berdua. Dan itulah pula badai yang terjadi dalam tubuh kami.
Ketika akhirnya badai itu berlalu dan mulai
mereda, tak satu pun di antara kami yang mampu
berkata-kata. Aku bahkan bergegas masuk ke kamar
mandi dan sekali lagi, tanpa mampu memahami
diriku, aku menangis di sana.
Setelah beberapa saat lamanya, aku keluar kamar
mandi dengan mata merah dan bengkak. Bayu menyergapku ke dalam pelukannya.
"Mega, jangan sesali peristiwa tadi seperti menyesali apa yang pernah terjadi sepuluh tahun yang
lalu!" katanya dengan suara lembut. "Sebab sekarang aku yakin, sebagaimana yang ada di dalam
hatiku, sesungguhnya kau juga mencintai diriku.
Entah sadar ataupun tidak. Dan entah mau ataupun
tidak. Karena setelah kukaji dalam-dalam, timbullah
kesimpulan dalam diriku, bahwa tak akan pernah
dan tak akan mungkin terjadi kau akan membiarkan
dirimu dimesrai oleh lelaki lain sedemikian rupa
seperti yang kulakukan terhadapmu tadi"
Aku tersentak. Sebab itulah yang tadi kutangiskan
di dalam kamar mandi. Aku telah kalah telak. Sesumbar Bayu yang mengatakan bahwa suatu saat
nanti ia akan berhasil meraih diriku, telah terpenuhi.
Tanpa perlawanan dan bahkan dengan seluruh diriku,
aku telah membalas perlakuan mesranya menggenapi
sesumbarnya.
******
SUARA gonggongan anjing di kejauhan pada jam dua
dini hari itu masih kudengar. Demikian juga suara
pukulan peronda 'yang memukul tiang listrik di
dekat rumahku masih mampu menyusup ke telingaku
dengan terang. Semenit pun aku belum tidur.
Seperti menonton film yang diputar dengan
kecepatan lambat, seluruh kisah hidupku yang berkaitan dengan Bayu terpampang dalam ingatanku.
Tadi ketika air mataku mengalir setelah mendengarkan pengakuan Bayu mengenai apa yang
terjadi sepuluh tahun lalu dan kemudian juga mengenai lukisan yang diberinya judul Badai, sesuatu
mulai merekah dan membuka mata batinku. Apa
yang selama ini kuingkari, terkuak pelan-pelan namun pasti.
Sejak kecil aku termasuk orang yang keras hati
dan tak mau kalah dalam banyak hal. Terutama
kalau itu berkaitan dengan keberadaan kaum lelaki.
Bukan hanya dalam soal percintaan saja, tetapi juga
dalam hal prestasi di segala bidang.
Ketika Wangsit meraih hatiku dengan segala cara
yang kuanggap wajar karena masing-masing merasa
tertarik satu sama lain, hubungan percintaan itu pun
terjadilah, meski cuma seumurjagung lamanya.
Tetapi tidak demikian halnya dengan Bayu. Sejak
masih sama-sama kecil, aku sudah melihat sesuatu
yang lain pada diri Bayu. Anak itu nakal, badung,
biang keributan. dan lain sebagainya. Tetapi hatinya
baik. Wajahnya ganteng dan prestasi sekolahnya
termasuk hebat.
Sejujurnya aku juga termasuk badung untuk ukuran anak perempuan. Dan sejujurnya pula ketika
melihat kebadungan Bayu, aku ingin menyainginya.
Aku tak mau kalah. Aku bisa juga menjaili orang
seperti dia. Tetapi sayangnya aku seorang anak perempuan. Sedangkan Bayu, karena dia laki-laki, kebadungannya masih bisa ditolerir. Sementara diriku
dihadapkan pada sederet aturan dan larangan karena
aku anak perempuan. Sungguh tak adil.
Merasa marah atas keberadaanku sebagai anak
perempuan yang tak bisa berbuat sebebas anak
lelaki, alih-alih kepada Bayu-lah kemarahan itu kun
timpakan. Oleh karena itulah ketika mendengar dari
teman-teman dan terutama dari Bambang bahwa
Bayu ingin mendekatiku, aku merasa tertantang
untuk mengatakan tidak. Sebab kalau aku sampai
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertarik kepadanya, itu artinya aku telah kalah sebelum maju berperang.
Untuk memperkuat pertahananku, aku tak pernah
membiarkan Bayu berdekatan denganku. Padahal
dia adalah sahabat Mas Totok. kakak kandungku.
Jadi sengaja ataupun tidak, kami sering bertemu.
Dan akan sering bertemu. Maka satu-satunya
yang bisa kuperbuat adalah mencoba membencinya
dan memperlakukan' dirinya seperti musuh. Oleh
sebab itulah, semenjak ia mengajariku menyetir
mobil dan tahu persis bahwa ternyata ia mempunyai
banyak kebaikan dan kelebihan! mekanisme jiwaku
membawaku agar kebencianku terhadapnya dipertebal. Aku tidak ingin melunturkan rasa benci itu.
Sebab aku berpendapat, sekali aku kehilangan rasa
benciku terhadapnya, maka kalahlah aku.
Namun ternyata nasib berkata lain. Apa yang
terjadi sepuluh tahun yang lalu itu telah memorakporandakan diriku. Setelah mati-matian berusaha
agar tidak membiarkan Bayu masuk ke dalam
hatiku, peristiwa pahit itu jelas-jelas menjadi bukti
bahwa sesungguhnya di dasar hatiku yang paling
dalam dan tersembunyi, aku tidak membenci pemuda itu. Sebab kalau benar-benar murni membencinya, pastilah pemuda itu kudorong sejauhjauhnya agar jatuh dari mobil ayahku.
Kekalahan fatal seperti itulah yang mendorongku
pergi meninggalkan Kaliurang seeepat-cepatnya.
Aku tak mau lagi melihat wajah Bayu. Wajah
yang mengingatkan diriku pada kekalahan mutlak
seperti itu.
Memang, itu semua cerita lama yang menari nari
dalam ingatanku, seperti sebuah lakon dalam film
yang sedang diputar di hadapanku. Tetapi setelah
apa yang terjadi selama satu bulan ini, ketika pergaulanku dengan Bayu menunjukkan kemajuan yang
mencolok dibanding dengan apa yang pernah terjadi
dulu di masa kecil hingga remajaku, dan puncaknya
adalah peristiwa yang baru terjadi beberapa jam
lalu, rasanya aku tak boleh lagi berkelit. Hati
nuraniku menggugat agar aku berani menghadapi
suatu kenyataan. Bahwa sesungguhnya, aku mencintai
Bayu sudah sejak lama, tepat sebagaimana yang
dikatakan oleh Bayu tadi.
Tetapi tidaklah demikian yang terjadi tadi. Begitu
Bayu menyibak tirai yang selama ini menyembunyikan apa yang ada di hatiku. aku tak tahan menghadapinya. Larilah aku ke kamar tidur. Sampai sekarang. Dan akibatnya aku tidak bisa tidur.
Jam dinding di ruang makan bernyanyi lagi
tanpa disambung dentangan. Berarti sekarang jam
setengah tiga.
Aku mengeluh karena tak bisa tidur juga. Konon
kata orang. kalau kita tidak bisa tidur, minum segelas susu hangat dapat menolong. Karenanya ketika ingatan itu masuk ke dalam pikiranku, aku
ingin mencobanya.
Kunyalakan lampu di dapur dan kubuat segelas
susu dengan air termos yang selalu disiapkan oleh
Bik lpah.
"Kenapa. Mega?" suara Bayu 'yang tiba tiba masuk ke dapur. mengagetkanku. "Tak bisa tidur, ya?"
Aku tak menjawab. Pasti ia tahu juga tentang
resep yang dapat menolong orang yang sedang
sulit tidur.
"Tolong buatkan aku juga." kata Bayu lagi. "Aku
pun sedang sulit tidur."
Masih tanpa menjawab sepatah kata pun, kuturuti
permintaannya. Kubuatkan segelas susu hangat lagi
untuk Bayu. Tanpa melihat ke arah wajahnya,
gelas berisi susu itu kusodorkan kepadanya.
Bersama-sama kami memindahkan isi gelas ke
dalam perut kami masing-masing. Setelah habis satu
per satu gelas kosong itu kami letakkan di bak cuci
piring. Niatku aku akan masuk lagi ke dalam kamar.
Tetapi tangan Bayu meraih lenganku sehingga
membatalkan niatku tadi.
"Jangan tidur dulu, Mega!" pintanya. "Duduklah
bersamaku. Sebentar saja..." '
Dengan terpaksa aku duduk di dekatnya. Gaun
tidurku yang agak tipis membuatku merasa risi
berada di dekat lelaki itu. Untungnya lampu di
ruang tamu tempat kami duduk berdua itu agak
gelap. Baik Bayu maupun aku sama-sama tak
bermaksud untuk menyalakan lampunya. Cahaya
remang di tempat itu dibagikan oleh lampu teras
melalui celah-celah lubang ventilasi.
"Mega, selama beberapa jam ini aku banyak
berpikir tentang kita berdua," kata Bayu setelah
beberapa saat lamanya kesunyian menyebar di
sekitar kami. "Aku yakin, kau pun melakukan hal
yang sama."
"Sok tahu!" dengusku. Sejak tadi satu kali pun
aku tak berani menatap wajahnya. Malu.
Bayu tertawa kecil.
"Ayolah, Mega, kita bicara secara serius. Lepaskan topeng-topeng yang ada di wajah kita!" katanya
kemudian. "Dan bersikaplah secara ksatria."
Perkataan Bayu menikam hatiku. Aku pun ter
diam. Melihat itu Bayu meraih tanganku dan menggenggamnya erat erat. seolah takut kalau-kalau aku
lari.
"Mega, aku ingin melanjutkan pembicaraan kita
setelah makan tadi," katanya. "Dan jangan mengelak, demi melancarkan pembicaraan. Percayalah
kepadaku, aku berharap agar pembicaraan kita ini
nanti menghasilkan sesuatu yang dapat menjernihkan persoalan di antara kita."
"Bicara apa sih kita tadi?"
"Aku ingin mengetahui tentang almarhum suamimu."
"Apa lagi sih yang ingin kauketahui?" Aku berusaha mengelak. "la sudah lama meninggal. Biarkan dia beristirahat di alam sana. Jangan membicarakan dirinya."
"Rio tidak mengatakan hal yang sama!"
Aku tersentak. Bayu telah menembakkan perkataannya tepat ke jantungku.
"Apa yang dikatakan oleh seorang anak kecil
sering kali tidak akurat karena penalarannya yang
masih mentah!" bantahku kemudian.
"Tetapi aku mempercayainya. Dia tidak terlalu
kecil lagi, Mega. Karenanya ketika aku bertanya
apakah ia masih ingat wajah ayahnya yang sudah
meninggal dan ia menyanggahnya dengan mengatakan bahwa ayahnya belum meninggal. aku percaya
kepadanya."
Aku tersentak untuk kedua kalinya. Tetapi sebelum aku mampu mengeluarkan kata kata untuk
membela diriku, Bayu sudah mendahuluiku.
"Ia mengatakan padaku bahwa kau telah berjanji
kepadanya suatu ketika nanti akan mengatakan
tentang ayahnya!" katanya. "Jawaban Rio itu menimbulkan tanda tanya besar di hatiku. Jangan jangan ayah Rio pergi meninggalkan dirimu setelah
tahu bahwa kau bukan perawan lagi."
Aku masih saja kehilangan kata-kata, tak mampu
membela diriku sendiri. Dan karenanya Bayu berkata lagi,
"Karena mendengar jawaban Rio itu, aku
bertanya lagi kepadanya. apakah dia tidak menyimpan foto ayahnya. Jawabannya semakin memperbesar tanda tanya di hatiku. Sebab ia mengatakan
bahwa satu kali pun ia belum pernah melihat foto
ayahnya."
"Bayu, sebetulnya apa sih yang ingin kautanya
kan kepadaku?" aku memotong perkataan Bayu
setelah mampu menguraikan lidahku yang semula
kelu. .
"Kalau dari Rio aku tidak bisa mengorek keterangan, tidaklah salah kalau aku mengorek keterangan itu darimu!" sahut Bayu. "Mega, aku
ingin melihat foto ayah Rio."
"Semua sudah kubakar!" dalihku. "Tak satu pun
yang tersisa. Termasuk foto pernikahan kami."
"Sedemikian bencinyakah kau kepadanya sampaisampai tidak memikirkan kepentingan anak kandungmu sendiri?" sekarang Bayu yang memotong perkataanku. "Tega teganya kau tidak meninggalkan
sesuatu untuk kenang kenangan bagi Rio terhadap
ayahnya. Aku tak percaya itu."
"Itu urusanku, Bayu?"
"Baik, itu urusanmu, Mega. Tetapi di sini aku
ingin membela kepentingan Rio!" kata Bayu lagi.
"Bersikap adillah demi dia."
"Lalu apa maumu?"
"Demi perkembangan jiwanya, ceritakanlah apa
yang harus ia ketahui mengenai ayah kandungnya.
Ia bukan anak yang masih amat kecil, Mega. Di
dalam pergaulannya, ia pasti akan ditanya oleh
teman-temannya mengenai siapa ayahnya..."
"Itu urusan kami, Bayu!" aku memotong lagi
perkataannya, jengkel karena merasa dipojokkan
olehnya.
"Rasanya, itu juga urusanku" kata Bayu sambil
berdiri. "Tunggu dulu! jangan pergi. Akan kutunjukkan sesuatu kepadamu."
Apa boleh buat, aku terpaksa tetap duduk di
tempat. Rasa ingin tahu menggigiti hatiku. Kutunggu Bayu keluar dari kamar Rio.
Tangan Bayu menggenggam sesuatu yang berbentuk gulungan. Entah apa, tak begitu jelas kulihat
dalam keremangan ruangan.
Seperti mengetahui pertanyaan hatiku, Bayu
menyalakan lampu di ruang tamu itu. Kemudian
ia duduk di sampingku. Gulungan yang ternyata
sebuah lukisan itu dibeberkannya di mukaku.
"Lihatlah lukisan ini. Bagus atau tidak?" tanyanya. "Dan kumohon, jawablah itu dengan jujur."
" Bagus...," aku terpaksa menjawab dengan jujur.
Lukisan itu menggambarkan Gunung Merapi di
kejauhan dan lembah yang dipenuhi oleh pe
pohonan dan semak belukar. Ada serumpun bunga
liar berbunga putih di antaranya.
"Jawab sejujurnya. Mega!" Bayu mendesakku.
"Bagus. Tetapi kalau dibanding lukisan-lukisanmu yang kaugantung di rumahmu, lukisanmu
yang ini tidak terlalu istimewa." dengan terpaksa
aku menjawab pertanyaannya itu secara terus
terang, sesuai dengan yang ada di hatiku.
"Kau termasuk cermat menangkap apa yang ada
di hadapanmu!" sahut Bayu mengomentari perkataanku tadi. "Lukisan ini memang kalah jauh kalau
dibandingkan lukisan-lukisan yang kugantung di
rumahku. Tetapi kau keliru kalau mengatakan bahwa lukisan ini tidak begitu istimewa. Sebab, Mega,
bagiku lukisan ini sangat istimewa!"
"Kenapa?" tanyaku ingin tahu.
"Karena lukisan ini dikerjakan oleh anak berumur sembilan tahun yang baru pertama kalinya
belajar melukis..."
"Maksudmu...?" kupenggal perkataan Bayu dengan penuh rasa ingin tahu.
"Lukisan ini adalah lukisan Rio!" Bayu mengejutkanku dengan perkataannya itu. "la meminta
supaya lukisan ini kubingkai dan kuberikan kepadamu dengan pesan supaya digantung di rumahmu!"
Dadaku berdebar-debar ketika mendengar apa
yang dikatakan oleh Bayu. Seluruh perhatianku tercurah sepenuhnya kepada lukisan Rio. Tak pelak
lagi. bakat Bayu menurun kepada anak itu. Lukisannya memang istimewa untuk anak berusia" sembilan
tahun. Apalagi baru pertama kalinya itu ia melukis.
"Aku aku tak mengiranya sama sekali..."
"Persis seperti apa yang kupikirkan!" Bayu memotong perkataanku. "Ketika ia melihat lukisan
badai di rumahku, ia bertanya siapa yang melukis.
Maka kujawab, akulah yang melukisnya. Coba,
apa kira-kira yang ia katakan begitu mendengar
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jawabanku itu?"
_ "Apa...?" Kuangkat sedikit bahuku untuk menyatakan bahwa aku tak bisa menebak jawabannya.
"Ia mengatakan bahwa ia ingin melukis dan minta
diajari olehku."
"Lalu...?" Seluruh perhatianku tercurah kepada
Bayu. '
" Lalu kukatakan kalau ia ingin belajar melukis,
sebaiknya jangan memberitahu dulu kepadamu. Kalau
nanti lukisannya sudah jadi, baru boleh ia tunjukkankan kepadamu!" kata Bayu lagi. "Kataku, untuk
memberi kejutan kepadamu."
"Aku memang terkejut, Bayu. Sangat terkejut!"
sahutku.
"Sejujurnya, Mega, aku lebih terkejut daripada
kau. Sebab dengan mata kepalaku sendiri aku melihat proses yang terjadi selama anak itu belajar
membuat lukisan. Kusaksikan betapa besar bakat
yang terpendam dalam diri Rio. Dan kulihat pula,
caranya mengamati pemandangan di depannya mengingatkan dia pada diriku. Seperti itulah aku kalau
mengamati objek lukisanku."
Napasku nyaris terhenti mendengar perkataannya
itu. Tetapi perkataannya tak kutanggapi. Dan diamdiam aku berharap agar Bayu tidak mengarahkan
pikirannya pada sesuatu yang berkaitan "dengan
kelahiran Rio.
Dari sudut mataku, aku mengikuti gerak-gerik
dan air muka Bayu. Tetapi selama beberapa saat
Bayu tidak berkata apa-apa lagi. Ia menggulung
kembali lukisan yang dibuat oleh Rio itu dan meletakkannya di atas meja.
"Mega." kudengar lelaki itu mulai berkata lagi
sesudah beberapa saat lamanya ruang tamu itu
menjadi sunyi. "Besok lukisan ini akan kita beri
bingkai."
Kuanggukkan kepalaku. Lukisan itu sungguh
berharga bagiku. Dan pasti juga bagi Rio. Sebab
lukisan pertamanya itu akan menjadi salah satu
tonggak sejarah hidupnya.
"Mega, masih ada sesuatu yang ingin kusampaikan kepadamu!" kudengar Bayu berkata lagi. "Boleh
kan aku mengatakannya sekarang?"
"Terserah...," sahutku mulai ketus lagi.
Tetapi kelihatannya Bayu tak memedulikan
sikapku yang tak simpatik itu.
"Terus terang saja, keikutsertaanku ke Jakarta
ini atas restu kedua orangtuamu!" katanya.
Aku kaget. Bahkan dalam hatiku, aku marah
kepada kedua orangtuaku. Bukankah sudah kukatakan
kepada mereka agarjangan ikut mencampuri urusanku dan membiarkan segala seSuatunya berjalan menurut pengaturan alam.
"Kenapa mereka ikut campur urusanku sih?"
semburku.
"Jangan marah kepada mereka!" kata Bayu men
coba meredam kemarahanku. "Akulah yang meminta' kepada mereka supaya diperbolehkan menemanimu. Aku tidak tega melihatmu pergi sendirian. Dan ternyata, kedua orangtuamu pun mempunyai perasaan yang sama. Dan juga seperti diriku,
mereka pun mempunyai pendapat sama bahwa
kalau aku sengaja mengantarkanmu pasti kau akan
menolak mentah-mentah. Jadi, begitulah kami atur
suatu skenario. Ibumu berulang kali menelepon ke
rumah! memberi laporan sampai di 'mana persiapan
keberangkatanmu sehingga aku bisa sampai di tempat sebelum kau bersama mobilmu lewat di situ."
Aku terdiam. Kemarahanku mulai turun suhunya.
Dan bahkan meskipun masih mendongkol, tetapi
hatiku tersentuh juga mengetahui perhatian ketiga
orang itu terhadapku.
"Dan aku ingin mengaku kepadamu tentang kebohonganku" Bayu melanjutkan bicaranya. "Mobilku tidak mogok seperti yang kukatakan kepadamu.
Salah seorang pegawaiku kusuruh langsung pergi
begitu aku turun dari mobil."
"Kau memang biang kesusahan orang kok, Bayu!"
dengusku.
"Menurut sopan santun kita tidak boleh marah
kepada seseorang yang sudah mengakui kesalahannya," Bayu mengomentari perkataanku dengan sabar.
"Sudahlah, aku tak mau berdebat denganmu pada
pagi buta seperti ini!" kataku memotong pembicaraan.
"Aku ingin tidur, Bayu."
"Nanti dulu" Tangan Bayu terulur lagi, meraih
telapak tanganku dengan cepat dan gesit.
"Mau bicara apa lagi?"
"Apa yang kita bicarakan tadi belum selesai,
Mega. Bahkan inti pokoknya masih belum kukatakan kepadamu!"
"Pentingkah itu?"
Bayu menyentak tanganku pelan.
"Kalau tidak penting, untuk apa aku menahan
orang yang sudah ingin tidur!" desisnya kemudian.
"Apalagi aku tahu orang itu belum tidur barang
semenit pun." _
"Katakanlah cepat, lalu biarkan aku kembali ke
kamarku!" aku membalas desisannya dengan sama
mendesis.
"Oke. Dan dengarkanlah baik baik apa yang
akan kukatakan ini!" kata Bayu. "Tetapi sebelumnya aku ingin bertanya dulu kepadamu. Mega,
pernahkah kau menyadari bahwa Rio adalah anak
yang cerdas?" '
"Ya, pernah."
"Dan pernahkah kau menyadari bahwa anak itu
bukan anak kecil lagi, tetapi dalam waktu beberapa
tahun lagi ia akan memasuki masa remajanya?"
Aku tergagap.
"Terus terang, tidak...," sahutku kemudian.
"Kalau begitu, sadarilah itu mulai sekarang!"
Setelah kami bercakap-eakap beberapa saat lamaw
nya, rasa malu yang semula begitu kental menyelimuti hatiku sesudah peristiwa menggetarkan di
atas sofa tadi perlahan-lahan pudar, dan aku sudah
mulai berani menatap wajahnya.
"Sebenarnya apa sih yang ingin kaukatakan ke
padaku?" tanyaku. "Jangan berputar-putar terus.
Membingungkan orang saja kau ini!"
Bayu ganti menatapku. Lebih berani dan lebih
lama daripada yang aku lakukan terhadapnya.
Akibatnya pelan-pelan pipiku terasa hangat.
Tiba-tiba lelaki itu tersenyum.
"Kau benar-benar masih seperti gadis remaja
yang polos!" gumamnya. "Seperti orang yang belum
pernah menikah."
Aku tertunduk. Pipiku yang hangat tadi berubah
menjadi panas. Ingin sekali aku menekan kedua
belah pipiku itu dengan kedua telapak tanganku.
Sayangnya tanganku yang sebelah sedang dipegang
oleh Bayu.
Entah Bayu mengetahui keinginanku itu atau hanya kebetulan, tibaatiba saja kedua belah tangannya
telah menekan pipiku. Tekanannya lembut dan
mesra.
"Tahukah, Mega, sikapmu yang sering tampak
malu-malu, canggung. kebingungan, dan salah tingkah itu ikut ambil bagian di dalam pembentukan
tanda tanya besar yang ada di batinku!" katanya.
Suaranya tak kalah lembut dan mesranya.
"Jangan berpanjang-panjang kata," sahutku.
"Katakan saja apa yang mau kaukatakan tadi. Lalu
biarkan aku masuk ke kamarku kembali."
"Oke." Bayu melepaskan kedua belah pipiku.
Sikapnya mulai serius. "Begini, Mega, aku ingin
mengatakan kepadamu bahwa meskipun Rio masih
kecil sekali menurut pandanganmu, sesungguhnya
anak itu cukup memiliki daya nalar dan kemampuan
untuk memahami situasi."
"Dari mana kesimpulanmu itu?"
"Dari jawaban-jawaban yang ia berikan atas
beberapa pertanyaanku," sahut Bayu. "Tahukah kau
apa salah satu pertanyaan yang kulontarkan kepadanya dan lalu apa jawabannya?"
"Mana aku tahu..?" suaraku terdengar ketus.
"Dengar, Mega." Bayu tak memedulikan sikap
ketusku itu. "Ketika aku bertanya siapa nama
ayahnya ia menjawab bahwa nama ayahnya sama
dengan namaku. Dan itu mengagetkanku sampaisampai aku terbengong-bengong beberapa saat
lamanya. Untunglah dia masih terlalu kecil untuk
menangkap kebengongan seorang lelaki dewasa
ketika mendengar jawabannya itu!"
Sekarang akulah yang terpana. Darahku sampai
tersirap begitu mendengar perkataan Bayu.
""Dia dia tahu nama ayahnya?" cetusku tak sadar.
Bayu tidak menjawab pertanyaanku. Pandang
matanya begitu tajam menatapku sehingga aku menyadari sesuatu. Dari pertanyaanku itu pastilah ia
menemukan ujung benang merah yang barangkali
termasuk sesuatu yang sedang dicarinya.
"Mega. itulah kaitannya dengan pertanyaanku
sebelumnya!" akhirnya lelaki itu berkata lagi, "Apakah kau menyadari bahwa dia sudah bukan anak
kecil lagi."
Aku terdiam dengan perasaan bingung. Kudengarkan saja Bayu melanjutkan bicaranya.
"Mega, melalui apa yang kutangkap dari Rio dan
juga apa yang kutangkap darimu, aku mendapat
kesimpulan bahwa anak itu cukup arif untuk tidak
mendesakkan pertanyaan-pertanyaan yang muncul
di hatinya. Karena ia percaya padamu, bahwa nanti
pada akhirnya kau akan menceritakan segala sesuatu
tentang ayah kandungnya!" katanya. "Dengan kata
lain, kau tidak menyadari bahwa anak itu secara
diam-diam mencoba mengetahui siapa nama ayahnya.
Mungkin saja ia pernah melihat akte kelahirannya. '
Mungkin pula ia mengetahuinya dari surat-surat
resmi lainnya. Mungkin pula dari rapornya, kalau
ada. Atau mungkin dari rapornya. Atau entah apalah
itu tetapi jelas ia mengetahui nama ayahnya dari
salah satu yang kusebutkan tadi..."
"Sebenarnya... apa tujuanmu bicara seperti itu...?"
kusela perkataannya dengan pertanyaanku. Aku masih
saja kebingungan, seperti seseorang yang tersesat di
jalan ramai.
"Aku cuma mau meminta kejujuranmu, siapakah
lelaki yang namanya sama dengan namaku itu?"
Suara Bayu tidak keras. Namun pada setiap kata
diberinya tekanan dan diucapkannya dengan memberi jarak. Seperti seorang anak yang baru belajar
mengeja.
Aku menahan napas. Tak mampu menjawab.
Tetapi Bayu tak mau membiarkan hal itu berlanjut.
"Mega, jawablah!" katanya dengan suara mendesak. '
"Kau kenapa sih, Bayu?" masih kucoba untuk
mengelak dari pertanyaannya itu. "Kok tiba-tiba
saja mengurusi sesuatu yang bukan urusanmu!"
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ini urusanku, Mega!" sahut Bayu tegas. "Aku
mempunyai firasat yang amat kuat mengenai bebe
rapa hal. Terakhir adalah sikap kedua orangtuamu
terhadapku"
"Memangnya kenapa sikap mereka?" aku bertanya dengan suara menantang yang sebenarnya
cuma mau menutupi rasa cemas yang tiba-tiba
muncul dalam hatiku.
"Belakangan ini setiap aku datang dan mengajak
Rio pergi, aku melihat ada gairah pada diri ibumu.
Dan setiap aku menceritakan sesuatu tentang Rio,
serta-merta ibumu menceritakan hal-hal lainnya
dengan cara yang khusus. Aku menangkap sesuatu
yang bukan sekadar kebanggaan seorang nenek
ketika menceritakan tentang cucunya. Tetapi aku
_menangkap semacam informasi atau pemberitahuan
agar aku mengetahui dan mengenal anak itu dengan
lebih baik. Dan terakhir ketika aku menyatakan
keinginanku untuk ikut mobilmu, kedua orangtuamu
tampak bersemangat mendorongku agar keinginan
itu kulaksanakan. Dari sikap dan pandangan mata
mereka, aku melihat sesuatu yang lebih mendalam
daripada perasaan lega karena anak perempuannya
mempunyai teman seperjalanan."
"Aku dapat memahami mereka," sahutku cepateepat. "Ibuku memang pernah memprihatinkan
diriku yang masih tetap bertahan hidup sebagai
seorang janda. Dan sekarang ia melihat ada seorang
lelaki yang kelihatannya menaruh perhatian kepada
cucunya. Maka timbullah harapan..."
"Tidak. Bukan begitu!" Bayu memotong perkataan
ku. "Aku kenal ibumu seperti aku mengenal ibuku
sendiri. ibumu termasuk orang yang tak mau ikut
campur urusan anak-anaknya kecuali kalau sang
anak memintanya. Dan pasti! sekali ia kenal betul
putri bungsunya yang keras kepala ini. Semakin ada
seorang lelaki didorong ke arahnya. semakin puttinya
itu meloncat menjauh. Jadi kesimpulanku, dorongan
kedua orangtuamu yang penuh gairah itu pasti berkaitan dengan Rio!"
"Kau pandai mengarang! ,
"Kau lebih pandai mengarang. Untungnya mataku cukup jeli dan telingaku cukup tajam untuk
menemukan hal- hal yang janggal tentang dirimu!"
sahut Bayu. Dua hari yang lalu aku iseng mencoba memancing sesuatu dari ibumu dengan menanyakan tentang almarhum suamimu Jawabannya
sungguh lucu. Dan caranya menjawab juga tergagap gagap sehingga dengan 'cepat aku langsung
paham. Bahwa sesungguhnya kau belum pernah
menikah!"
Aku tersentak, kaget sekali. Seperti mendengar
suara bom di sisi telingaku.
"Kau kau... ngawur sekali...," kataku tergagapgagap.
"Nah. kau pun tampak gagap!" Bayu mencengkeram bahuku kuat-kuat. "Sama seperti ibumu beberapa hari yang lalu. Dan ditambah firasatku yang
kuat, lalu mengingat apa-apa yang pernah kuketahui
serta kemudian merasakan betapa masih polosnya
dirimu dan juga mudahnya kau merasa malu sampai
tersipu-sipu, aku yakin sekali bahwa dugaanku
mengenai statusmu itu benar. Bahwa suamimu yang
katamu sudah almarhum itu cuma omong kosong
belaka. Aku kenal siapa dirimu, Ceritamu tentang
foto-foto yang kaubakar itu pun bohong belaka.
Aku tahu, kau tidak akan tega berbuat seperti
itu"
Diserang habis-habisan seperti itu, aku kehilangan pertahanan diri. Aku sudah kalah. Seluruh kekuatan diriku, lahir maupun batinku. terkuras habis.
"Lalu apa maumu...?" tanyaku dengan mata mulai basah.
"Bersikap jujur dan bermurah hatilah kau kepada
kami berdua!" jawabnya dengan suara lembut namun penuh dengan harapan yang kuat. "Katakanlah,
apakah benar dugaanku bahwa Rio adalah anakku?"
Apa lagi yang masih tersisa untuk memenangkan
egoku dan menunjang kesombonganku, agar aku
jangan terjatuh dalam pesona yang dimiliki oleh
Bayu? Sungguh, rasanya sudah tak ada lagi barang
seujung kuku pun. Karenanya aku hanya mampu
menganggukkan kepalaku sambil menangis.
"Ya Tuhan," kudengar keluhan yang sedemikian penuh perasaan itu. Aku benar-benar tersentuh
karenanya. Lebih-lebih setelah suara keluhan itu'
kudengar, Bayu memelukku erat-erat dengan tubuh
bergetar hebat.
Sekarang akulah yang dikuasai oleh perasaan
yang sedemikian penuhnya. Perasaan yang begitu
kental dan pekat oleh keharuan. Secara spontan.
digerakkan oleh hatiku yang paling dalam, pelukan
Bayu kubalas. Kami bertangis-tangisan.
"Mega...," entah apa pun yang akan diucapkan
oleh Bayu, kutahan. Telapak tanganku menutup
bibirnya.
"Jangan katakan apa pun. Bayu. Apalagi kalau itu
berkaitan dengan masa lalu...," kataku dengan terisak.
"Dan lebih-lebih lagi jangan menyebut-nyebut
kesalahan. Sebab kita semua. terutama aku, telah
bersalah. Membicarakannya hanya akan mengorek
luka-luka lama. Justru karena itulah sebaiknya kita
hanya melihat ke masa depan saja..."
"Akulah yang bersalah, Mega! Betapa menderitanya dirimu, lari ke Jakarta sendirian dengan bayi
dalam kandunganmu tanpa aku mengetahuinya barang secuil pun..."
"Sudah kukatakan tadi, jangan melihat ke belakang
dan jangan menyebut-nyebut tentang kesalahan!"
kataku memotong perkataannya.
Bayu menganggukkan kepalanya. Lalu tiba-tiba
dengan tubuhnya yang gagah dan kuat itu, aku yang
masih berada di dalam pelukannya itu diangkatnya.
"Sudah saatnya kau kembali ke tempat tidur...,"
bisiknya dengan suara lembut. "lbu anakku harus
beristirahat setelah mengalami banyak kejutan
semalaman ini."
Aku terdiam. Kubiarkan dia menggendongku ke
kamarku dan meletakkanku ke atas tempat tidur.
Matanya terus mengawasiku, menebarkan sejuta
perasaan kasih kepadaku sehingga aku tak tahan
untuk tidak menyatakan perasaanku yang sebenarnya.
"Bayu..."
"Hmm...."
"Aku mencintaimu!" bisikku malu-malu.
Bayu tersenyum manis sekali dengan matanya
yang berkilauan.
"Aku tahu...," sahutnya mesra.
"Sejak kapan kau tahu...?" tanyaku, masih malumalu.
"Sejak sepuluh tahun yang lalu ketika kau menyerahkan keperawananmu kepadaku dan aku menyerahkan keperjakaanku kepadamu." sahut Bayu
sambil merengkuh tubuhku. "Tetapi ketika mengetahui kau meninggalkan Kaliurang, aku lalu meragukannya."
Aku terdiam, teringat masa-masa lalu kami yang
terbuang sia-sia. Hampir saja aku menangis lagi
kalau tidak ditahan oleh Bayu yang kelihatannya
memahami apa yang sedang berkecamuk dalam
hatiku.
"Katamu tadi, kita tak boleh menoleh ke belakang!" Ia mengusap pipiku yang masih basah itu
dengan bibirnya yang hangat. "Percayalah, Mega,
masih cukup banyak waktu untuk kita bertiga di
masa depan. Tersenyumlah!"
Aku pun tersenyum mendengar permintaannya.
Bayu membalas senyumku. Dan masih dengan
saling tersenyum, pandang mata kami yang bergelimang perasaan cinta itu bertautan. Kemudian
pelan-pelan dan dengan gerakan hati-hati, kepala
Bayu mendekatiku. la mencium bibirku lembut
sekali.
ltulah untuk pertama kalinya ciuman Bayu kuterima dengan kepasrahan total yang dimuati oleh
perasaan cintaku kepadanya. Semua tirai kepalsuan
itu telah sirna.
Bayu dan mega di pucuk Gunung Merapi itu telah
menyatu. Dan aku yakin sekali, langit di atas Merapi
sana sedang menyingkapkan tirai malam dan merekahkan cahaya menjelang fajar. Indah sekali.
Rawamangun,
Tamat
Harian Vampir 02 Cinta Tat Mo Cauwsu Pendiri Siauw Lim Sie Wiro Sableng 151 Sang Pembunuh
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama