Ceritasilat Novel Online

Lelaki Harimau 1

Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan Bagian 1



LELAKI

HARIMAU

Eka Kurniawan

Ebook by pustaka-indo.blogspot.com

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2014

Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,

Anggota IKAPI, Jakarta, 2004

Cetakan pertama (cover baru) Agustus 2014

Satu

Senja ketika Margio membunuh Anwar Sadat, Kyai Jahro tengah

masyuk dengan ikan-ikan di kolamnya, ditemani aroma asin yang

terbang di antara batang kelapa, dan bunyi falseto laut, dan badai

jinak merangkak di antara ganggang, dadap, dan semak lantana.

Kolamnya menggenang di tengah perkebunan cokelat, yang

meranggas kurang rawat, buah-buahnya kering dan kurus tak

lagi terbedakan dengan rawit, hanya berguna bagi pabrik tempe

yang merampok daunnya setiap petang. Di tengah perkebunan,

mengalir sungai kecil penuh dengan ikan gabus dan belut,

dikelilingi rawa yang menampung tumpahan arus kala banjir.

Orang-orang datang, selang berapa lama selepas perkebunan dinyatakan bangkrut tumbang, untuk memberi patok-patok dan

menanam padi di rawa-rawa itu, mengusir eceng gondok dan

rimba raya kangkung. Kyai Jahro datang bersama mereka, menanam padi untuk satu musim, terlalu banyak minta diurus dan

menggerogoti waktu. Kyai Jahro yang bahkan tak mengenal apa

makna bintang waluku mengganti padi dengan kacang yang lebih

tangguh, tak minta banyak urus, namun dua karung kacang tanah

di musim panen tak alang membuatnya bertanya-tanya, dengan

cara apa ia mesti memamahnya. Demikianlah petak tersebut berakhir menjadi kolam, dilemparkan ke sana benih mujair dan

nila, dan jadi kesenangannya untuk memberi pakan setiap senja,

me?lihat mulut mereka cuap-cuap di permukaan air menggenang.

Ia tengah melemparkan dedak yang dimintanya dari penggilingan padi, serta daun singkong dan pepaya, dan ikan-ikan

menyundul riang, kala ia mendengar deru mesin motor di suatu

jarak, di antara deretan batang cokelat, pekak di telinganya. Ia

terlalu mengenal bunyi itu untuk memaksanya menoleh, seakrab

bunyi beduk dari surau lima kali sehari, sebab ia bisa mendengarnya lebih dari itu sebagaimana telinga tetangga lain telah bersahabat dengannya. Itu Honda 70 milik Mayor Sadrah, dengan

warna merahnya yang masih cemerlang, penjelajah jejalan setapak

di antara rumah, mengantarkan pemiliknya ke surau, mengirim

istri pemiliknya ke pasar, dan kala lain sekadar berputar-putar

di antara dinding rumah tetangga, dan setiap senja yang tak ada

kerjaan, Mayor Sadrah akan membawanya berkeliling ke tempattempat yang lebih senyap.

Kini umurnya lewat delapan puluh, Mayor Sadrah itu, dengan

tubuh tetap bugar. Bertahun lampau berhenti dari dinas militer,

pensiun dan berdiri di hari Kemerdekaan pada rombongan para

veteran, dan pemerintah kota konon telah memberinya sepetak

tanah di taman makam pahlawan sebagai balasan atas pengabdiannya, yang sering disebutnya sebagai undangan untuk segera mati. Lelaki ini menggiring motornya, berbelok dan berhenti

di tepi tegalan kolam, membunuh mesinnya dan mengusap

mu?lutnya yang tersembunyi di balik kumis gelap, sebab tanpa

gerakan itu serasa ia bukan dirinya. Kyai Jahro belum juga menoleh, hingga Mayor Sadrah berdiri di sampingnya, dan mereka

berbincang tentang hujan badai semalam, yang untung tidak

datang saat perusahaan jamu memutar film di lapangan bola,

namun jelas hampir bikin patah hati para pemilik kolam.

Hujan badai semacam itu pernah datang berbulan-bulan lalu,

satu minggu tak ada henti, seolah pipa-pipa pemadam kebakaran

yang ada di muka bumi tercurah serentak di sana. Sungai kecil

yang dijejali lebih banyak lumpur daripada arus itu meluap setinggi satu depa, melemparkan angsa-angsa yang menghuninya

ke muara, dan menenggelamkan kolam-kolam dengan sempurna.

Masihlah untung jika ikan-ikan itu hanya tertukar-tukar, barangkali anak tetangga sendiri yang bakalan memakannya, sebagian

besar hengkang entah, dan ketika air mereda, mereka hanya disisakan bekicot dan batang pisang yang berlayar dari udik. Kyai

Jahro menoleh pada Mayor Sadrah dan berkata, kini ia telah

bersiap dengan jala yang akan mencungkupi kolamnya, melindungi ikan-ikan dari banjir macam mana pun.

Itulah kala seorang lelaki tua mengayuh sepeda membungkuk

menghindari dahan-dahan cokelat yang terulur di atas jalan setapak dan berseru memanggil Kyai Jahro. Sepedanya melaju kencang, nyaris tanpa kendali, dan tanpa rem, namun sang pengemudi terlampau mahir untuk tidak membuatnya terjerembab.

Ma Soma, ia guru mengaji anak-anak di surau, melompat sejenak

sebelum sepeda membentur tegalan, dan dengan tangan menggenggam kuat stang, sepeda itu berhenti terlonjak, serupa kuda

yang ditarik tali kekang. Dengan hidung tersengal-sengal, ia memberitahu mereka bahwa Margio telah membunuh Anwar Sadat.

Ia mengatakannya dalam satu kesan agar Kyai Jahro bergegas

untuk memimpin salat jenazah, sebab itulah salah satu tugasnya

sepanjang tahun-tahun terakhir.

"Demi Tuhan," kata Mayor Sadrah selepas satu ketercekatan

kacau yang pendek. Sejenak mereka bertukar pandang, seolaholah itu sebuah lelucon dan mereka tak juga menemukan di

bagian mana terdapat kekonyolannya. "Tadi siang aku melihatnya

me?nenteng samurai bangka berkarat sisa perang. Anak celaka,

ku?harap ia tak mengambilnya selepas kurampas benda celaka

itu."

"Memang tidak," kata Ma Soma. "Bocah itu menggigit putus

urat lehernya."

Tak seorang pun pernah mendengar seseorang membunuh

de?ngan cara seprimitif itu. Ada dua belas pembunuhan yang

mereka kenal sepanjang sepuluh tahun terakhir sejarah kota,

dan mereka mempergunakan golok atau pedang. Tak ada

pistol, tak ada keris, apalagi gigitan. Ada ratusan kasus orang

saling menggigit, teru?tama jika dua perempuan berduel, tapi

tak satu pun berakhir dengan kematian. Berita itu jauh lebih

menakjubkan, disebabkan pelaku dan korbannya. Mereka terlalu

mengenal baik si bocah Margio maupun si tua Anwar Sadat,

dua makhluk yang tak akan terpikirkan ambil bagian dari suatu

drama tragis semacam itu, tak peduli senafsu apa pun Margio

ingin membunuh seseorang, dan semenyebalkan apa pun lelaki

yang bernama Anwar Sadat.

Masih lenyap beberapa waktu saat mereka tercenung, serasa

hilang sadar, mencium bau amis darah yang menggelosor dari

leher serupa pipa ledeng yang bocor, dan seorang bocah berjalan

panik sempoyongan, dihantam kesembronoannya sendiri, dengan

mulut dan gigi penuh warna merah, semacam moncong ajak

me?ninggalkan sarapan paginya. Tamasya itu, yang berkelayap di

kepala mereka, terlalu memesona untuk memercayainya. Bahkan

Kyai Jahro yang saleh dibikin lupa membisikkan innalillahi,

Mayor Sadrah bergumam tak ada maksud, juga lupa mengusap

mulut?nya yang ternganga, sementara Ma Soma jemu berdiri di

tentang keduanya. Ia mengangkat sepeda itu berbalik, memberi

pertanda pada mereka untuk bergegas, dan bergeraklah mereka,

menjadi lebih panik seolah pembunuhan itu belum terjadi dan

mereka hendak mencegahnya.

Adalah benar Mayor Sadrah melihat bocah itu menenteng samurai tadi siang di pos ronda, saat ia masih mengenakan sarung

pulang dari salat di surau. Semua orang membicarakan samurai

itu sekarang, menjelaskan bahwa niat membunuh itu telah jauh

ada di kepalanya. Pos ronda itu berdiri di tengah permukiman,

di depan pabrik batu bata yang tak lagi hidup dan hanya menghasilkan belukar serta anak-anak jin. Samurai itu tergantung di

tangan si bocah, yang berjalan lalu lalang di sekitar, meninggalkan

garis sengkarut di tanah. Lain waktu ia duduk di bangku,

menebas-nebaskan samurai ke kentongan kayu dan tiang, tanpa

menyisakan jejak terkelupas. Beberapa orang melihatnya, dan tak

peduli, sebab samurainya telah rongsok dan berkarat, tak akan

mempan mengiris leher ayam paling pesakitan sekalipun.

Selepas perang puluhan tahun lampau, ada banyak samurai

ditinggalkan Jepang dan dipelihara orang-orang sebagai hiasan

dan jimat, namun sebagian besar terbengkalai dan rusak oleh

udara penuh garam, sebagaimana diingat Mayor Sadrah. Barangkali Margio menemukannya di pembuangan sampah, atau

terselip di satu tempat di dalam pabrik batu bata. Mayor Sadrah

melihatnya dan tak mengabaikan serongsok apa pun benda itu

tetaplah sebuah samurai, meskipun ia tak memberi kecurigaan

berlebihan bocah itu berniat bengis menghentikan hidup Anwar

Sadat. Tak ada tanda-tanda mereka berselisih, sebanyak yang diketahui semua orang di sekeliling rumah mereka.

Ia meminta samurai itu lebih karena khawatir Margio mabuk

arak ketan putih dan membikin keributan yang tak perlu. Anakanak ini doyan mabuk, dan tak terhitung berapa banyak masalah

sepele datang karena itu. Ia tak membunuh orang dengan

samu?rai rongsok tersebut, tapi barangkali mabuk membuatnya

me?mukul anjing tetangga, dan si tetangga balas melemparnya

dengan batu, dan meletuplah keributan. Lagi pula tadi malam

per?usahaan jamu memutar film di lapangan bola, dan di setiap

kerumunan selalu mengancam iblis culas memancing perkelahian

anak-anak, yang akan bertele-tele hingga esok dan berhari-hari

kemudian. Bagaimanapun Mayor Sadrah punya alasan cukup

un?tuk mencemaskan samurai telanjang yang ditenteng orang di

tepi jalan, tak peduli sejinak apa pun benda itu.

"Kenapa?" tanya Margio, enggan menyerahkan mainannya.

"Lihat, sekadar besi tua tak ada guna."

"Tapi kau bisa bunuh orang dengan itu jika kau mau," kata

Mayor Sadrah.

"Itulah maksudku."

Bahkan meskipun anak itu dengan jelas berkata bermaksud

membunuh orang, Mayor Sadrah mengabaikan pesan yang gamblang tersebut. Ia membujuknya, dan setelah satu ancaman akan

membawanya ke rayon militer, ia berhasil memperoleh samurai

itu dan membawanya pulang, melemparkannya begitu saja ke

atas kandang anjing di belakang rumah.

Sepanjang sore Mayor Sadrah segera melupakan episode samurai berkarat tersebut, tak melihat tanda-tanda petaka, barangkali karena ia telah sepuh dan tak lagi waspada. Kini ia rada menyesal telah merampas senjata tak ada guna itu. Dengan senjata

usang di tangan Margio, barangkali Anwar Sadat tak akan mati

berapa kali pun itu menebas lehernya, kecuali menyisakan memar

dan patah tulang. Ia bergidik membayangkan bagaimana bocah

itu memeluk Anwar Sadat dan rahangnya kuat mencengkeram

leher.

Sore itu ia telah menyuruh anak-anak tersebut untuk rehat,

jika perlu bersenang-senang di akhir pekan mencari betina,

sebab besok pagi ia akan mengajak mereka berburu babi seperti

biasa. Biasanya mereka menurut, tak mabuk di Sabtu malam

ketika musim berburu datang, sebab mereka tak akan diajak

atau hendak menyerahkan diri pada moncong dan taring babi.

Mereka akan berbondong-bondong ke pesisir, menyeret betinabetina liar, atau menemui perempuan baik-baik di rumah mereka,

dengan se?kantung jeruk dan senyum malu-malu. Mereka akan

pulang se?belum pukul sepuluh, menjadi begitu manis dan patuh

demi babi, dan tidur pulas hingga muadzin membangunkan

mereka di kala subuh. Anak celaka, pikir Mayor Sadrah atas

ingatannya pada Margio, bukannya rehat dan bersiap untuk

perburuan berikut, malahan ia pergi ke rumah Anwar Sadat dan

membunuhnya, meski semua orang sering berpikir Anwar Sadat

sedikit mirip dengan babi.

Perburuan babi itu telah menjadi kesenangan mereka sejak

tahun-tahun yang tak lagi diingat, masa ketika Mayor Sadrah

masih pemimpin militer di kota mereka. Anwar Sadat sendiri

penuh antusias di setiap musim panen berakhir kala orang tak

lagi terikat pada tanah yang sejenak dibiarkan gembur kembali,

meski dirinya tak pernah ambil bagian mengangkat tombak dan

berlari naik-turun bukit, namun selalu menyediakan bagi mereka

truk yang mengangkut rombongan hingga tepi rimba raya, serta

nasi kotakan berlauk telur mata sapi. Tiga kali setahun mereka

memperoleh kemeriahan ini, sekali musim pergi dua atau tiga

kali di hari Minggu yang tak berbadai, dan di antara itu mereka

menjinakkan ajak-ajak petarung dan melatih mereka mengurung

mangsa.

Di antara gerombolan pemburu yang hingga tahun-tahun terakhir masih dipimpin Mayor Sadrah, Margio bolehlah disebut

jagoannya. Ia masih punya warisan luka di punggungnya disabet

taring babi, namun semua kawannya tahu berapa babi menyerah
Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diterjang tombaknya, sebelum diseret ke arah perangkap dan dijebak hidup-hidup. Mereka tak menginginkan babi yang mati,

maka meskipun tubuh telah berhadap-hadapan dengan babi yang

meradang, mereka tak akan berusaha membunuhnya. Mereka

akan melukainya, sedikit saja, sebelum memaksanya terjebak.

Di antara perburuan yang penuh muslihat melawan binatang

yang jelas tak ada otak itulah, Margio dikenal sebagai penggiring,

dengan larinya yang tangguh dan tombaknya yang tanpa ampun.

Mereka tak menginginkan babi mati, sebab mereka akan mengadunya dengan ajak dalam satu pertunjukan umum selepas

musim berburu berakhir. Tak banyak yang punya cukup nyali

mengambil tugas sebagai penggiring, yang mesti berlari sama

cepat di samping si babi, dan dengan cara itulah Margio dipuja.

Beberapa minggu ke belakang, Mayor Sadrah mendengar

kabar buruk itu, ketika seseorang memberi tahu Margio

minggat. Minggat, sebab tak seorang pun di rumahnya tahu ke

mana ia pergi, pun kawan-kawan mainnya tak ditinggali pesan

macam mana pun. Beberapa kawan sempat mencarinya ke

pesisir, tempat ia sering menghilang dan ikut nelayan menarik

jaring atau ber?buru ikan pari, namun tak seorang pun di sana

mengetahuinya. Itu waktu-waktu ketika satu rombongan sirkus

berhenti di lapang?an bola dan membuat pertunjukan selama

dua minggu, dan akhir?nya semua orang bersepakat barangkali

Margio ikut rombongan sirkus tersebut ke kota-kota yang tak

tentu. Ini membuat panik Mayor Sadrah yang telah bersiap

dengan ajak-ajak bengis menyongsong musim perburuan, sebab

tempat penggiring itu hampir pasti tak tergantikan. Demikianlah

perburuan pertama minggu lalu berakhir mengecewakan,

mereka hanya menangkap dua ekor babi yang terperangkap lebih

karena kecerdikan ajak- ajak, hingga di hari yang sama mereka

mendengar Komar bin Syueb mati.

Lelaki itu ayah Margio, dan kematiannya membuat si anak

hilang kembali ke rumah. Tak ada yang lebih senang dengan

kepulangannya selain Mayor Sadrah, sakit hati pada beberapa

ekor babi yang lolos gemilang. Namun tempo itu pun Mayor

Sadrah tak berani mengajaknya kembali masuk hutan Minggu

berikutnya, menghormati hari-hari berkabung bocah itu. Ia

datang saat rombongan perburuan turun dari truk, dengan dua

ekor babi di dalam sangkar menguik-nguik, dan puluhan ekor

ajak terikat satu sama lain oleh tali kulit. Ia melambaikan tangan

pada mereka, namun saat itu ayahnya belum juga dimakamkan.

Namun, tak lama selepas pemakaman Komar bin Syueb,

Margio telah datang ke rumah Mayor Sadrah dan menepuk ajakajak di pekarangan rumah penuh sayang. Ia jongkok di sana,

mendekapi binatang itu satu-satu, membersihkan kotoran di

telinga mereka, dan membiarkan binatang-binatang itu menggigit

ujung celana dan sandal jepitnya. Tak ada aroma berkabung

sedikit jua di wajahnya, malahan ia begitu senang tak kepalang,

seolah mem?peroleh taruhan besar tak disangka-sangka.

Telah lama Mayor Sadrah tahu bocah itu tak akur dengan

ayah?nya, dan barangkali berharap melihatnya mati. Ia telah

mengenal?nya sejak keluarga itu pertama kali datang dan Margio

masihlah bocah ingusan yang menenteng kantung kelereng dan

mengadu bersama kawan-kawan sebayanya. Ia juga mengenal

ayahnya, dan telah sering melihatnya bagaimana lelaki bengis itu

memukul si bocah untuk kejahilan-kejahilan sepele. Bocah itu

terlalu lugu untuk menyembunyikan rasa senangnya, pikir Mayor

Sadrah, dan saat si bocah melihatnya datang, Margio tanpa ragu

bertanya apa?kah masih ada perburuan minggu depan. Ia ingin

ikut, bahkan meskipun harus menenteng bekal dan tak diberi

tempat sebagai penggiring.

Tentu saja Mayor Sadrah memberinya tempat sebagai penggiring.

Namun sudah jelas Minggu besok ia tak akan ada di sana,

menggiring babi sebagaimana maunya. Anak celaka, pikir Mayor

Sadrah. Sewaktu Mayor Sadrah membawa pulang samurai itu,

menopangnya di bahu dengan kaki diselimuti sarung serasa

hidup di zaman kalifah penuh perang, tak terpikirkan olehnya

Margio akan ambil bagian jika memang ada perkelahian. Ada

banyak perkelahian anak-anak, mabuk atau tidak. Mereka

begitu mudah bikin perkara, hanya karena salah senggol di

depan pang?gung dangdut, atau kepala menghalangi gambar di

film layar tancap, atau disebabkan gadis pujaan hati berjalan

dengan lelaki lain. Hidup damai sepanjang sejarah republik dan

segala urusan perang diurusi para prajurit membuat anak-anak

itu terlalu sem?brono mengumbar perkelahian, katanya suatu

waktu. Selama bertahun-tahun memimpin militer kota, tugas

paling menyibukkannya adalah melerai perkelahian-perkelahian

ini. Bahkan sejauh yang ia tahu, dalam perkelahian-perkelahian

ini Margio tidaklah menonjol, meskipun semua orang tahu

ketangguhannya.

Ia anak pemurung yang tak betah di rumah, tapi sesungguhnya

anak yang manis dan santun. Ia tak terlalu bodoh menyianyiakan kekuatan tubuhnya dalam perkelahian, dan sepanjang

hari meng?ambil kerja serabutan untuk menyia-nyiakannya dalam

bungkus rokok dan botol bir, tapi tetap saja ia anak manis

meski pemurung. Semua orang tahu ia membenci ayahnya,

dan semua yakin ia bisa menghabisinya, tapi sampai Komar bin

Syueb mati ia tak pernah mencobanya sedikit pun. Ia sungguh

tak banyak polah. Maka ke?tika mendengar Margio membunuh,

bagaimanapun Mayor Sadrah masih belum memercayainya.

Keyakinan bahwa anak itu tak berbahayalah yang kemudian

membuatnya lupa siang hari itu Margio telah mengungkapkan

maksudnya membunuh orang. Ketika sore datang, selepas memberi ajak-ajak itu dengan goreng jeroan ayam yang diperolehnya

dari tempat pemotongan, ia mengeluarkan Honda 70 itu. Motor

tersebut diperolehnya bertahun-tahun lampau dari kepala polisi,

tanpa surat-surat dan plat nomor namun percayalah tak sekali

pun memperoleh surat tilang. Kepala polisi barangkali menyitanya dari tangan pencuri, dan berbulan-bulan tak seorang pun

mengakuinya, hingga beralih ke tangan Mayor Sadrah. Banyak

motor serupa itu, hingga seringkali kepala polisi menawari lelaki

tersebut motor-motor dari jenis-jenis yang lebih baru, namun

Mayor Sadrah bertahan dengan bebek tuanya. Barangkali kesan

kunonya yang ia sukai, meskipun mesinnya sering ngadat dan

suaranya lebih pekak dari mesin penggiling padi.

Ia akan berkeliling kota hingga tepi pesisir dan tegalan-tegalan

sawah, jalan setapak perkebunan, tanpa helm dan hanya mengenakan sandal jepit. Ia menyukai angin sore, memuja tamasya kotanya, membalas orang-orang yang menyapa di tepi jalan. Sekali

dua ia berhenti di bengkel, meminta orang mengencangkan

sekrup-sekrup motornya, lain kali berhenti di warung dan meminta segelas kopi, sebelum kembali berkelana dengan pipa

mengepul di mulutnya mengalahkan kepul knalpot. Ia hanya

hen?dak mampir sebentar waktu melihat Kyai Jahro di kolamnya,

ketika tamasya sore itu mesti berakhir dengan kabar yang dibawa

Ma Soma.

Mayor Sadrah segera memburu motornya yang tergolek di batang

kelapa, mengangkang di atasnya dan berusaha mengengkolnya,

susah payah selalu begitu, dan beberapa kali hidup untuk mati lagi.

Kemudian, sekali ada kesempatan mesinnya hidup, ia menahan

gas kencang, membuat mesinnya menderu-deru serupa genderang

kaleng. Ia memberi isyarat pada Sang Kyai untuk se?gera duduk,

cemas mesin mati lagi, dan Sang Kyai terhenyak di be?lakangnya

selepas mencuci tangan dan kaki di pancuran, serta me?lemparkan

pakan tersisa ke dalam kolam. Motor itu bergerak me?rangkaki

setapak membukit, licin oleh hujan semalam, tampak payah

kelebihan beban, lebih ringkih dari keledai demam, hingga kaki

keduanya mesti menggapai tanah kasih bantuan tenaga. Lajunya

sedikit kencang kala bertemu jalan lurus-datar di tepian lapangan

bola, diikuti Ma Soma dengan sepeda onta di suatu jarak.

"Mencuri ayam, itulah satu-satunya kelakukan jahil anak itu,"

kata Kyai Jahro. "Dan ayam-ayam itu milik ayahnya sendiri."

Dan itu bukan lagi rahasia. Semua orang di kampung itu tahu

Margio sering mencuri ayam ayahnya, bukan karena butuh ayam

itu, tapi lebih karena jengkel pada ayahnya. "Tak tahulah aku apa

isi usus anak itu hingga terpikir menggerogoti leher orang," kata

Mayor Sadrah.

Anwar Sadat sendiri kini mengambang kaku di lantai ruang

tengah rumahnya yang benderang namun murung oleh duka

tanpa ampun, penuh senggukan isak perempuan-perempuan

cengeng, tenggelam di balik kain batik cokelat. Kain batik itu

bergelombang mengikuti bentuk tubuhnya, digenangi kuyup

warna merah, dan darah itu masih juga mengapung di lantai.

Beku dan gelap. Tak seorang pun punya nyali membuka tirai

yang memisah?kan dunia hidup dan mati itu, sebab mereka tahu

di sana ada luka menganga, koyak, lebih bengis dari segala hantu.

Memikir?kannya pun telah bikin orang mual dan menyingkir.

Ada dua orang polisi datang bersama mobil patroli dengan

lampu masih berputar-putar merah, meski sirinenya telah mati

dibunuh. Keduanya termangu di pintu, hanya mereka berdua

yang sempat menyingkap kain tersebut, sejenak saja, sebelum

bergegas menutupnya kembali dan tak beroleh kesempatan

mem?bawa mayat itu untuk satu pemeriksaan, kini masih di sana

tak ada kerja dan hanya cari-cari muka. Istri Anwar Sadat telah

me?nolak pemeriksaan macam apa pun atas mayat tersebut. Itu

benar, semua orang tahu dengan cara apa lelaki itu mati, dan tahu

pula siapa yang melakukannya. Anwar Sadat tak membutuhkan

pe?meriksaan, dan satu-satunya yang harus diberikan kepadanya

tak lain adalah memandikannya, menyumpal luka itu dengan

kapas, menyalatkannya, dan segera menguburkannya.

Tampaknya ia tak akan dikuburkan sampai besok pagi.

Maharani, anak bungsunya sekolah di luar kota dan tak akan

datang sampai besok subuh. Cukup dramatis, sebab gadis itu

masih di rumah ini semalam. Ia ada di sini sepanjang minggu

mengisi liburan panjangnya, sebelum sekonyong pamit pergi tadi

pagi. Orang-orang harus membayangkan tragedi itu sampai ke

pon?dokan Maharani, saat si gadis barangkali masih kecapekan

dan tengah memuntahkan isi tasnya. Ia akan memasukkan

barang-barang itu kembali ke tas, atau mengabaikannya sama

sekali, dengan banjir air mata dan beribu pertanyaan sebab tahu

pasti ayahnya masih bugar saat ditinggalkannya. Tak seorang pun

memberi tahu Anwar Sadat dibunuh, hanya pemberitahuan

singkat bahwa ia mati, dan kini si gadis barangkali tengah

mengejar bis atau kereta terdekat.

Di rumah duka, beberapa perempuan bergerombol memenuhi

pekarangan dan teras rumah, berbisik satu sama lain dan

membikin-bikin cerita sendiri di antara mereka. Ada halaman

luas di depan rumah, berhias lima batang kelapa cina dan

sebatang be?limbing tempat anak-anak kecil bermain, di sana

ada ayunan ban mobil tergantung di dahannya. Di tepi jalanan

ada flamboyan yang agung dengan sampah kelopaknya terserak

di hamparan rumput jepang serupa karpet, tempat anak-anak

kecil bertarung dan berguling-guling dan segerombolan kalkun

berkeliaran. Di kedua sudut terdapat kolam kecil, dengan ikanikan mas gemuk serta bunga padma, dan air mancur mungil

memercik-mercik. Di tepian kolam dan di tengahnya terdapat

beberapa patung batu, perempuan-perempuan setengah telanjang

mencuci baju dan anak-anak yang berenang pura-pura, semuanya

dihasilkan dari tangan penuh bakat Anwar Sadat sendiri.

Satu lagi karya seninya yang dikenali tetangga adalah

kentongan kayu berbentuk penis tergantung di depan rumah. Itu
Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengganti bel bagi tetamu. Bertahun-tahun lalu ia datang sebagai

jebolan institut seni, menjual lukisan di pinggir pantai, sebelum

kawin dan menetap. Ia selalu bilang sebagai pemuja Raden Saleh,

dan memajang beberapa reproduksi pelukis agung itu di rumahnya, termasuk pertarungan harimau dan banteng itu, dan tanpa

malu-malu meniru semua metodenya. Ia sama sekali tak terganggu oleh kenyataan reputasi seninya hanya dikenal di antara orang

sekitar rumah belaka.

Ia kawin dengan seorang gadis calon bidan, yang suatu kali

datang kepadanya minta dilukis potret, pewaris hampir separuh

tanah desa dan hanya seorang janda tua bernama Ma Rabiah

se?masa hidup bisa memecundanginya dalam kepemilikan atas

tanah. Lukisan itu membuat si gadis jadi jauh lebih cantik dari

asli?nya, dan si gadis jatuh cinta kepadanya. Anwar Sadat tak

mem?biarkan si gadis patah hati dan sesegera mengawininya, dan

me?nemukan dirinya cukup kaya untuk tak lagi terlalu bernafsu

mengejar kemasyhuran seni macam apa pun, ditopang warisan

sang istri yang kemudian bekerja sebagai bidan di rumah sakit.

Tapi tentu saja ia masih melukis dan membuat patung, sebagian

besar lukisan potret orang yang dikenalnya, dan tiruan-tiruan

sembrono atas mahakarya Raden Saleh. Mayor Sadrah termasuk

yang masih memiliki potret dirinya di rumah, namun lebih

banyak perempuan-perempuan cantik ditumpahkan ke atas

kanvasnya.

Di tengah waktu luangnya yang melimpah-limpah, sebab

se?sungguhnya ia tak punya pekerjaan sejak berhenti menjual

lukisan, ia merupakan teman bermain catur Mayor Sadrah, sponsor klub sepak bola kota, dan berburu perempuan. Kelakuannya

yang terakhir, dilakukan lebih bergairah daripada melukis, menemukan gadis-gadis dan meniduri mereka, kadang-kadang

janda dan istri orang jika mau. Ini juga bukan rahasia, sebab

tak banyak rahasia tersimpan di telinga penduduk kota. Meski

begitu, kesan tanpa moral dalam dirinya tak menyembunyikan

rasa hormat orang padanya, dan di setiap pertemuan mereka

akan melimpahinya kesempatan berpidato, dan ia selalu tampak

se?bagai tukang bicara yang cerdas. Ia pandai bergaul, dan dengan

cara inilah orang memaafkannya, ditambah kenyataan kebanyakan sahabatnya juga tidak menjalani hidup dengan baik.

Pagi itu tak satu orang pun melihat malaikat maut telah bertengger di bahunya. Ia setan bahagia yang tak pernah terlihat

muram, seolah tahun kematiannya tak pernah dicatatkan. Ia

datang ke warung serabi untuk sarapan, sebagaimana biasa, dan

berdesak-desakan dengan anak-anak berseragam sekolah yang

cemas lonceng sekolah segera berdentang. Semua orang yang

bertemu dengannya bisa mendengar leluconnya yang penuh

semangat, dengan mulut dijejali goreng tempe dan serabi. Anwar

Sadat duduk di bangku kecil itu, di depan tungku yang membara,

sementara si penjual menuang adonan ke cobek di atas tungku,

membolak-balik gorengan di wajan penuh minyak mendidih,

dan Anwar Sadat menjawili dagu gadis-gadis berseragam sekolah

hingga mereka merengek akan kecabulannya, menjauhinya sebab

ia bisa dengan tiba-tiba menyosor mencium pipi mereka.

Mereka masih akan mengingatnya dengan baik, ia mengenakan kolor putih polos dan singlet Toko Mas ABC. Tubuhnya

tam?bun dan sedikit loyo, disebabkan waktu dan kekurangan

gerak, meski ia akan membanggakan kemaluannya yang sekukuh

tanduk, dan tak menyembunyikan semangatnya yang meletupletup. Pagi itu ia bicara banyak mengeluhkan anak bungsunya,

yang baru saja menjinjing tas melenggang ke terminal bis tak

mau diantar dan memutuskan pergi meninggalkan sisa liburan

tanpa alasan.

Semalaman, selepas melihat film di lapangan bola, gadis itu

tak mau bicara dengan siapa pun. Ia tak menyentuh makan malamnya, tidak menongkrongi televisi sebagaimana biasa, dan sepanjang malam tak membiarkan radionya berbunyi, juga sebagaimana biasa. Ia bahkan tak keluar tengah malam untuk buang

air, dan Anwar Sadat bertanya-tanya gadis itu tampaknya tak juga

salat Subuh, sebab setahunya si bungsu itu cukup saleh. Ia keluar

dari kamar pagi itu, tidak juga bicara, dengan mata murung

ber?kaca-kaca. Anwar sadat tak tahu apa yang terjadi, dan takut

meng?ajukan pertanyaan, takut gadis itu dongkol kepadanya dan

per?tanyaan hanya membuat kemarahan meledak tak karuan.

Ia bertanya-tanya apakah ia telah berbuat suatu dosa, dan tak

nemukan apa pun. Si bungsu hanya lewat di mukanya,

memenenteng handuk dan ke kamar mandi. Ini di luar kebiasaan

pula, sebab Maharani tak menghabiskan banyak waktu di sana,

masuk kamar dan berias seadanya, seolah terlalu percaya dirinya

secantik se?mestinya. Tapi kemudian ia keluar menenteng tas,

tanpa sarapan pagi, dan berkata pendek, "Aku mesti pergi."

Mata sendu dan wajah murung itu seolah mengerti ayahnya

akan mati di sore hari. Tapi ia meninggalkan Anwar Sadat begitu

rupa, tak mau diantar ke terminal bis, seolah waktu begitu melimpah bagi mereka untuk berjumpa kembali. Bagaimanapun

Anwar Sadat tak berhenti mengeluhkan kepergian Maharani

di warung serabi itu, mengatakannya tidak dengan cara yang

sedih, meskipun benar ia sedih dengan kepergian anak gadis itu,

namun lebih ketara sebagai upaya tak tersembunyikan untuk

mem?banggakan anak bungsunya.

Anwar Sadat punya tiga anak perempuan dari istrinya, yang

lahir di awal-awal perkawinan mereka kala keduanya masih

penuh nafsu untuk saling menghabisi di tempat tidur. Bertahuntahun kemudian banyak orang lupa pada nama perempuan ini,

Kasia, dan lebih mengenalnya dengan sebutan yang lebih umum

sebagai Bu Bidan. Anwar Sadat beruntung tak punya anak dari

gundik-gundiknya, sebab anak-anak haram jadah selalu akan jadi

petaka sebuah keluarga daripada gundiknya sendiri. Hasratnya

untuk berlaku nakal, tampaknya sempurna diwariskan pada

anak-anaknya, selain tanpa ragu dunia juga mewariskan wajah

menarik untuk mereka.

Lelaki ini tampan selengkapnya, telah memesona banyak gadis

sejak kedatangannya dahulu kala, bahkan di umur tua ketika

tubuhnya membengkak dan rambutnya tinggal segenggam demi

segenggam, ia tetap pujaan para pecinta liar. Ketampanan ini merupakan suatu kontras yang ajaib berhadapan dengan istrinya.

Kasia berhidung bengkok serupa paruh beo, dengan rahang yang

terlalu tinggi, ditambah sikap dingin ningratnya, yang membuatnya tampak lebih sebagai penyihir jahat daripada putri ayu, meski

tentu saja ia sesungguhnya tak buruk-buruk amat, namun jelas ia

jenis perempuan membosankan bagi kebanyakan lelaki. Banyak

orang percaya seniman kapiran ini mengawininya lebih karena

uang yang dimilikinya, dan dengan uang itu Anwar Sadat bisa

meniduri banyak perempuan, sebagian besar akhirnya diketahui

si istri yang memilih tak peduli, sejauh ia tak bikin anak di

tempat lain.

Si sulung Laila mewarisi kenakalan semacam ini sepenuhnya.

Cantik dengan dada yang menyerobot menggoda, kulit selembut

potongan keju, dengan wajah lembab dan sedikit keangkuhan

pura-pura. Pada umur enam belas tahun, ia sudah terlalu montok

sebagai anak sekolah, dada dan pahanya jadi sasaran jahil teman

lelaki dan gurunya, hingga suatu hari ayahnya menemukan gadis

itu telah bunting. Anwar Sadat berlepotan cari dukun untuk

mengeluarkan isi perutnya, sebab istrinya tak mau melakukan

itu, dan sekolah tak mau menerima gadis bunting. Segera setelah

ia keluar dari sekolah, Anwar Sadar segera menggiringnya ke

hadapan penghulu, disandingkan dengan teman sekelas yang

konon menanam benih, namun dua hari setelah perkawinannya,

teman sekelas itu memergoki Laila di tempat tidur bersama lelaki

lain.

Itu skandal kota paling menghebohkan, yang membikin Anwar

Sadat sendiri merah mukanya, dan Kasia menghilang be?berapa

hari ke rumah kerabat. Kedua lelaki itu, yang meniduri Laila

dua hari setelah perkawinan dan si teman sekelas, kemudian

hengkang meninggalkan dirinya. Sejak itu orang menyebutnya

sebagai Si Janda dengan bisikan tambahan, "ia bisa dipakai."

Maesa Dewi, adiknya dan yang tercantik di antara mereka

ber?tiga, bagaimanapun tak sekurang ajar itu. Ia tak semontok

ka?kaknya, dengan roman lembut misterius, dan penampakan

yang lebih santun, dan penampakan lahiriah ini masih bertahan

sampai hari ketika Anwar Sadat mati, dan barangkali hingga

bertahun-tahun kemudian, sebab begitulah dirinya. Maesa Dewi

menyelesaikan sekolah tanpa keributan, semua orang percaya

ia masih perawan saat itu, hingga ia membujuk ayahnya untuk

mengirim dirinya sekolah ke universitas dan pergi. Si Cantik ini,

di luar dugaan telah pulang dalam setahun tanpa gelar diploma

apa pun, malahan menenteng bayi merah dan seorang pemuda

pengangguran yang kemudian kawin dengannya. Tak seorang

pun berbisik tentangnya bahwa ia bisa dipakai, sebab tampaknya

ia hanya tidur dengan pemuda itu dan tidak dengan yang lain.

Tapi kedua kasus anak perempuan ini telah membangkitkan kecurigaan orang-orang yang berpikir dirinya saleh bahwa mereka

memang nakal dan tak karuan.

Dengan sedikit hasrat moral yang tersisa, itulah bagaimana

Anwar Sadat menyayangi dan memuja anak bungsunya, yang tak

menunjukkan kecenderungan nakal berlebihan. Setiap semester ia membawa laporan guru yang memuji-muji kecerdasannya,

yang tak pernah diperbuat kedua kakaknya, dan satu-satunya

dari rumah itu yang dibawa sekolah untuk lomba matematika.

Anwar Sadat telah berhasil membujuk istrinya untuk menjual

sepetak tanah guna mengirimnya ke universitas, meskipun Kasia

tak lagi percaya ada yang waras di antara ketiga anak perempuannya, sebagaimana orang-orang masih sering bertaruh suatu

hari Maharani akan pulang membawa bayi merah, tak peduli mereka telah mengenal gadis itu dan tak ada tanda-tanda ia akan

membawa bayi merah.

Dan gadis inilah yang tanpa henti dibicarakan Anwar Sadat di

warung serabi setelah kepergiannya yang tergesa. Ia menceri?takan

hal-hal remeh yang dibawa pulang liburan anaknya. Ma?harani

meninggalkan pisau lipat untuk ayahnya, sisir besar untuk ibunya

yang berambut ikal, dan kotak musik bagi keponak?an kecilnya.

Tanpa ragu Anwar Sadat menceritakan lelucon-lelucon yang

dibikin si gadis, meskipun sebagian orang telah men?dengarnya

langsung dari mulut Maharani sepanjang liburan itu. Kasia telah

berusaha menyumpal bualan berlebihan ini, dan kedua anak

perempuannya tak menyembunyikan api kecemburuan mereka,

tapi hanya Margio tampaknya yang bisa menghentikan?nya.

Kini ia berbaring mati, menanti kuburannya selesai digali dan

keranda dibersihkan, dan terutama menunggu anak bungsunya

kembali, untuk memamerkan luka menyedihkan itu seolah

ber?harap tangis yang lebih kencang, lebih sedu dari yang telah

diberikan Kasia, Laila, dan Maesa Dewi. Lihatlah mereka, Kasia

duduk sayu, lebih kusut dari hari biasanya, bersimpuh di lantai

menggigiti ujung kain yang bergelung di pangkuannya, tak ada

yang tahu mengapa ia membawa kain, barangkali ia ingin ikut

tenggelam dalam kematian. Dan di sampingnya Si Janda Laila,

mencoba menghibur ibunya dengan cara sia-sia, sebab dirinya

sendiri membutuhkan satu penghiburan, baru terbangun dari

ambruk yang tak sadar sebelum orang memercikkan air putih

ke mukanya. Yang paling terguncang adalah Maesa Dewi, masih

menggerung dengan tangis meletup-letup, serasa ada air mendidih di dalam lambungnya, mendekap bayi kecilnya yang menangis tak karu-karuan, sebab perempuan inilah yang pertama

melihat Anwar Sadat terpenggal leher.

Perempuan pelayat menambah-nambah beban duka tersebut,

mengiringi mereka dalam tangis yang lebih lirih, lebih sendu,

serupa paduan yang membagi siapa yang mesti meraung lebih

kencang. Mata mereka bengkak membiru, bahkan masih bisa

ber?sedih pada lelaki yang jelas tak setia itu. Dan orang-orang ini,

tak seorang pun sejak Ma Soma yang masih berkeliaran di sekitar

surau menemukan mayat Anwar Sadat, membawanya dari tempat

pembunuhan di dekat sofa dan menutupinya dengan kain batik

tersebut, mengambil urus mayat itu semestinya, sementara Ma

Soma ambil sepeda dan mencari Kyai Jahro. Kain itu ia temukan di kamar lukisnya, ditulis berdasarkan rancangannya
Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri, tak akan pernah dibayangkan Anwar Sadat itu dibuat

untuk menutupi mayatnya. Hingga kemudian Kyai Jahro dan

Mayor Sadrah datang, dan orang-orang menoleh pada mereka

bagai mata yang memohon ampun, atau barangkali berharap

pertolongan. Sang Kyai masih berkerabat dengan istri Anwar

Sadat, dan dengan segera mengambil kendali atas rumah duka

itu.

Bersama Mayor Sadrah, ia menggotong tubuh tersebut, tanpa

menanggalkan tirai penutupnya, membentuk bayangan jejak

merah dari rumah ke halaman. Beratnya mencapai delapan

puluh kilo, pikir Mayor Sadrah, seandainya itu seekor babi

pasti habis dicabik ajak. Mereka membawanya ke bangku di

tepi sumur, telah dipersiapkan Ma Soma bersama setumpuk

handuk, sabun sul?fur, dan air kembang, serta tak lupa borak. Di

sanalah Sang Kyai membuka kain penutup, perlahan seolah akan

memperoleh ke?jutan tak ada sangka-sangka, disaksikan beberapa

lelaki, terkuak dan mempertontonkan rahasianya. Meluncur

istigfar dari mulutnya, berkali-kali mohon ampun, yang lain

ikut bergumam, demi melihat luka tercabik-cabik di leher yang

pasi. Mereka menjadi saksi darah itu masih menggelontor tak

ada habis, beriak-riak, dengan gelembung udara meletup-letup.

Tamasya itu memual?kan, lebih bengis dari mimpi buruk, bikin

beberapa orang me?nyingkir.

Mayor Sadrah memeriksanya, didorong rasa takjub yang

kekanak-kanakan, berharap tahu dengan cara apa Margio telah

menghabisinya, dan benar adanya urat leher itu telah putus,

menggelayut serupa kabel radio yang poranda. Lebih ganas dari

yang kubayangkan, pikirnya, demi melihat leher itu sesungguhnya hampir putus. Seperti penyembelihan yang tidak tuntas.

"Ayahnya mati beberapa hari kemarin menyusul anak kecilnya

yang lewat seminggu selepas dilahirkan," kata Kyai Jahro.

"Kupikir bocah ini jadi gila."

"Tanpa alasan apa pun, ia gila menggigit orang dengan cara

ini," kata Mayor Sadrah.

Udara menjadi dingin dan di kejauhan Mayor Sadrah mendengar ajak-ajaknya mulai melolong minta dikandangkan, atau

mereka telah mencium bau amis darah ini dibawa angin senja ke

hidung pemakan daging mereka. Sebelum gelap merayap turun

dan menjejak di tanah, Kyai Jahro menyuruh orang mengangkut

berember-ember air, maka bunyi pompa menderu menumpahkan

air, dan Ma Soma datang setelah menghilang sejenak bersama

berkantung-kantung kapas. Kyai Jahro sendiri yang membasuh

luka tersebut, dengan cara demikian khidmat, percaya ia bisa

menghentikan arus merah tak ada henti itu, seolah rekahan tersebut sekadar luka kesandung anak kecil, dan mulutnya bergumam memanjatkan doa. Sikap dinginnya bahkan membuat

Mayor Sadrah yang teruji ganasnya perang gerilya, dan pernah

melihat mayat hidup yang lebih poranda diterjang mortir,

terpesona tanpa pamrih. Hampir saja dikatakan untuk tidak

ambil peduli atas luka tersebut, mengingatkan Sang Kyai bahwa

mayat itu pada akhirnya akan membusuk di dalam kuburnya.

Tangan Sang Kyai masih menari, menyambut gumpalan kapas

dan membenamkannya di sana, seketika berubah warna demikian

dramatis, sebelum membalutnya, menyembunyikannya di balik

kain kasa, dan kini itu tampak serasa luka kecil manusia hidup,

dengan kain kasa melilit sebagai kalung. Sementara ia bekerja,

orang-orang memandikan mayat tersebut, menelanjanginya dari

pakaian, menggosoknya dan membiarkannya wangi kembang.

Ada bau borak menguap dari tubuhnya, mengambang kelabu di

kepala orang-orang.

Ma Soma membawa kain kafan dari surau dan mereka membalutnya di tempat itu juga. Tak patut membiarkannya telanjang

sepanjang malam, kata Kyai Jahro sembari melanjutkan, jika

si gadis Maharani masih ingin melihat wajah ayahnya, mereka

masih bisa membuka ikatan kafan pucuk kepalanya. Tapi seandainya si gadis tahu bagaimana rupa ayahnya, barangkali ia tak sudi

melihatnya, sebagaimana terjadi atas ibu dan kedua kakaknya,

sebab mereka akan kehilangan nafsu makan untuk hari-hari yang

tak tentu, dan mimpi buruk tak ada henti. Tiga orang bergegas

membopongnya ke surau, sebab gelap sungguh telah turun dari

langit, membawa udara dingin dan rasa hening, dan mereka bersiap untuk salat jenazah, bersama magrib yang segera datang, di

udara yang bertambah-tambah remang.

Di luar tabiatnya yang berlebihan atas perempuan, Anwar

Sadat sesungguhnya pengunjung surau yang taat. Seandainya

ia tak ke mana-mana, sebab ia selalu merasa sibuk dan pergi ke

mana-mana, Anwar Sadat tak akan pernah lupa untuk pergi ke

surau sepanjang waktu-waktu salat yang wajib. Malahan ia sendirilah yang memukul beduk, dan melantunkan adzan, atau

komat, meski tak seorang pun memercayakan ruang imam untuknya. Perilaku saleh ini sebagian barangkali karena rasa segan

oleh kenyataan bahwa sebagian besar kerabat istrinya merupakan

para penghidup surau, beberapa di antaranya haji dan kyai dan

guru mengaji. Sebagian alasan lain adalah rasa segan yang ditimbulkan oleh kenyataan bahwa surau itu berdiri di pekarangan

samping rumahnya, dibangun mertuanya bertahun-tahun

sebelum ia sendiri datang dan menjual lukisan. Untuk alasanalasan yang masuk akal, tak ada orang yang sungguh percaya ia

bersahabat dengan Tuhan.

Pembunuhan itu, sebagaimana kemudian diyakini semua

orang, terjadi tepat pada pukul empat sepuluh menit, sebab sepuluh menit sebelumnya Margio masih bersama beberapa kawan

dan sepuluh menit setelahnya, ia telah bersama mereka pula,

da?lam keadaannya yang mengejutkan. Mereka bergerombol di

lapangan bola, melihat beberapa orang totoan merpati, hirukpikuk oleh teriakan dan desing peluit di ekor para burung. Anakanak bermain dengan merpati-mereka sendiri, yang tak bisa

pulang di sejarak tapal batas desa, dan karenanya hanya diterbangkan dari satu ujung lapangan untuk memburu betinanya

yang diayun di tangan si anak, di ujung lain lapangan. Merpatimerpati terbaik diterbangkan dari desa-desa tetangga, dibawa

dengan ojek yang ngebut, dan terbang kecil di tepian awan, sebelum menukik mengenali betinanya. Sepuluh menit sebelum

pembunuhan, Margio ada di sana, berbaring di rumput melihat

bintik-bintik kecil hitam dan cokelat di angkasa.

Laila juga ada di sana, malahan berkesempatan ngobrol

dengannya. Laila ada curiga kepergian Maharani yang mendadak

ada urusannya dengan Margio, sebab selama satu minggu itu ia

melihat mereka berdua, setiap hari, dan di malam hari Margiolah yang menemaninya di depan layar film perusahaan jamu.

Margio mengelak dan bersikeras ia tak ada urusan dengan

kepergian Maharani, bahwa gadis itu bukan gadis ingusan untuk

tahu kapan ia ingin pergi dan kapan terus di sini, meski ketika

ia menjawab itu, Laila bisa melihat wajahnya yang murung dan

sendu. Laila tak lagi banyak tanya, dan seperti yang lain, ia tak

punya pra?sangka Margio akan membunuh ayahnya.

Tiba-tiba Margio berkata pada Agung Yuda, begundal desa

kawan mainnya, "Aku ada pikiran memalukan."

Ia tak menjelaskan apa pikiran memalukan itu dan malahan

mengajak Agung Yuda ke warung minum Agus Sofyan di pojok

lapangan bola. Ia bilang punya sedikit uang dan ingin segelas

bir. Warung itu dulunya kantin untuk para pegawai perkebunan

dan desa, menyediakan makan siang dan sayuran serta lauk bagi

ibu-ibu yang enggan memasak, namun karena terpencil disulap

menjadi tongkrongan para begundal. Menyendiri di tepian

per?kebunan cokelat, Agus Sofyan mulai menjual bir dan arak,

kadang ada bungkus-bungkus kecil ganja dan pil tidur yang dijual

lebih diam-diam, mendesak tempat itu menjadi tempat mabuk

dan kencan mesum, pengganti pos ronda di kala siang.

Laila Si Janda sering di sana, menjadi sasaran bocah-bocah liar

yang meraba tubuhnya di pojok warung dan ia hanya cekikikan,

lain waktu jika ia sedang berbaik hati, Laila mau diajak pergi ke

tempat tidur dengan cuma-cuma. Beberapa perempuan barangkali mau diajak ke kebun cokelat, ditiduri di sana, tapi tidak

Laila. Di warung itulah, saat itu Laila masih menonton totoan

merpati, Margio minta sebotol bir dingin pada Agus Sofyan,

maksudnya bir dengan botol direndam di antara balok-balok es

dan bukan bir yang diberi balok-balok es. Sebab rasanya berbeda,

begitu ia selalu bilang, dan paling emoh memaksakan diri pada

bir yang tidak dingin. Ia dan Agung Yuda berbagi sebotol bir,

Margio sen?diri yang menuangkannya ke dalam dua gelas, duduk

di bangku kecil di belakang warung, dan sementara bir berbuih,

ia berkata lagi.

"Aku takut kali ini sungguh-sungguh kubunuh seseorang."

Beberapa waktu sebelum minggat, Agung Yuda telah mendengar Margio berniat membunuh ayahnya. Ia mengaku

tubuhnya ada isi, dan sanggup membunuh tak ada ragu. Agung

Yuda tak pernah tanya apa isinya, sebab ia pikir tanpa isi apa

pun, seorang penggiring babi bisa membunuh siapa pun dengan

enteng. Meski begitu, tentu saja tak seorang pun yang mendengarnya, percaya pada omongan Margio. Ia yang paling manis dan

santun di antara mereka, itu benar. Semua orang tahu ayahnya

kasar minta ampun, terutama pada ibunya, dan betapa Margio

mengasihani ibunya, namun Margio sangatlah pengalah pada semua polah si ayah, sebagaimana ia selalu menjadi penengah pada

cekcok antarteman.

Bahkan jika benar hasrat itu ada, omong kosong ia mengatakannya sekarang, saat Komar bin Syueb telah diuruk tanah

per?makaman. Tak ada tanda-tanda Komar bin Syueb hidup lagi,

dan Margio harus membunuhnya kembali, sebagaimana tak ada

tanda-tanda ia punya musuh. Bahkan musuh tak tahu malu pun

akan digampar kawan-kawannya, dan Margio tak perlu turun

tangan, sebab ia anak manis dan santun.

Mereka tak berkata-kata lagi, sebab Agung Yuda tak membalas

apa katanya, duduk mencicipi minuman mereka, dengan mata

memandang perkebunan cokelat yang compang-camping oleh

tegalan sawah dan kolam dan kebun kacang. Di sana kegelapan

sudah datang, dan kabut nyamuk tengah merajalela, namun di

tepian rawa tetaplah benderang, dengan orang-orang mengurusi

peliharaan mereka. Saat itu ia melihat pula Kyai Jahro menenteng

daun singkong dan pepaya, dan satu kantung semen berisi

dedak. Ayahnya pernah menanam padi pula di sana, namun

jelas tak ada bakat bertani, kini terbengkalai dan hanya tersisa

batang-batang singkong yang tak minta diurus, daunnya rontok

oleh ka?wanan domba yang melabrak-labrak. Margio tak pernah

punya niat mengambil alih petak tanah itu, juga sekarang ketika

ayahnya telah mati.

Selama bertahun-tahun, di masa ia masih sekolah yang

bangunannya megah sejak masa kolonial di ujung lapangan bola,

itu tempat mereka minggat dari pelajaran yang membosankan,

bersembunyi di antara batang-batang dan cecabang cokelat untuk

belajar mengisap rokok, suatu kali mencampurnya dengan bunga

kecubung bikin mereka teler, dan membaca buku stensilan Anny

Arrow, jika bukan petualangan mesum Nick Carter. Roman kacangan dan komik juga terlarang di sekolah, dan tak seorang

pun berani bicara tentang Si Buta dari Gua Hantu, atau Panji

Tengkorak yang menenteng peti mati kekasihnya, di belakang

meja belajar, maka mereka harus membacanya di kebun cokelat.

Lain waktu di sana merupakan tempat perkelahian, kencan

monyet, dan sekali-dua ada pembunuhan di antara para begundal

terminal. Musuh utama mereka adalah mandor, yang selalu curiga

mereka merampok buah cokelat dan kelapa, dan sesungguhnya

kadang memang benar, hingga seringkali mereka harus ambil

lari berkejaran dengan mandor yang ngebut bersepeda, jika tertangkap, mereka akan menyeretnya di telinga dan menyerahkannya pada guru olah raga yang bengis. Kadang-kadang, perkebunan beralih fungsi di malam hari, saat orang tanpa kakus buang

kotoran di sana. Margio masih memandangnya dan melihat

tahun-tahun susah dirinya seperti ada di sana.

Agung Yuda salah satu saksi yang melihat betapa bocah itu

senang tanpa ampun ketika pulang dan melihat ayahnya mati.

Ia pikir dengan kematian Komar bin Syueb semua persoalan di

ru?mahnya akan berakhir. Kini ia menyaksikan betapa itu omong

kosong. Agung Yuda berpikir, Margio hanya sedikit kecewa dan

semua ocehannya tentang pikiran memalukan dan membunuh

orang tak berdasar sama sekali. Semacam orang yang tak tahu

mesti ngomong apa lagi.

Ada Laksmana Raja di Laut dari radio dua band milik Agus
Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sofyan, tergantung di dekat pintu, kekayaan warung yang membuat siang dan sore dan malam jadi semangat, suaranya cempreng

dan kencang, pada putaran volume terujung. Panasonic model

kuno, tanpa colokan listrik membuat pemiliknya mesti mengakali

sendiri bagaimana mengalirkan arus ke dalamnya. Penutup wadahnya telah hengkang entah ke mana, suatu kali dipakai orang

untuk kipas-kipas dan lupa dikembalikan, membuat kabel-kabelnya menjuntai tak karuan. Tapi benda setengah bangkai itu

cukup untuk membuat bising separuh lapangan bola, dan di

hari tertentu orang bergerombol mendengarkan siaran liga sepak

bola, sisanya memberi mereka lagu dari satu stasiun yang bersetia

pada dangdut dan sedikit lagu pop. Kebisingannya ditambahtambah oleh teriakan orang di totoan merpati, yang terlampau

semangat berharap menang taruhan.

Agung Yuda mengeluarkan separuh bungkus Marlboro dari

sakunya, memberi Margio satu batang, yang hanya diputar-putar

di antara jemari tanpa menyulutnya. Ia mahir melakukan itu,

mempelajarinya dengan bolpen di kala bosan pada sekolah, dan

beberapa kawan menirunya, mencobanya dengan rokok tersulut.

Malahan Margio menyeruput tanpa sisa birnya, lalu berdiri

hendak pergi.

"Aku lupa harus jumpa Anwar Sadat," katanya, pendek, dan

seolah tanpa pertanda.

Ia menyulut rokok itu sebelum pergi. Bahkan dengan rangkaian tanda-tanda tak langsung semacam itu, Agung Yuda tak

bisa menangkap kesan Margio hendak membunuh Anwar Sadar.

Ia melihatnya melangkah, jelas kakinya tersentak ragu, antara kehendak pergi dan keinginan untuk tetap bersama Agung Yuda di

bangku itu, namun setelah menoleh sejenak pada kawannya, ia

berlalu dengan rokok tergigit di celah bibir. Rokok itu merepet,

lebih banyak diisap angin daripada mulutnya, dengan kepul asap

dibawa angin sore ke belakang kepalanya. Agung Yuda masih

mengekorinya, hanya dengan tatapan, tak ada pula tanda tanya

di kepalanya.

Dua puluh menit setelah itu barulah Agung Yuda menyesal

telah membiarkannya pergi, serasa ia ditahan tangan nasib

bahwa peristiwa itu memang harus terjadi dan tak seorang

pun boleh menghalanginya. Ia masih terbenam di bangkunya,

berpikir diri?nya tak punya urusan dengan Anwar Sadat sehingga

tak ada nafsu untuk mengikuti Margio. Birnya masih separuh

gelas, telah men?jadi kebiasaan mereka untuk minum sececap

demi cecap, hingga segelas bir bisa mengawani perbincangan

lama berjam-jam, na?mun dengan kepergian Margio bersegera ia

menghabiskannya tanpa sisa. Beberapa butir meleleh di bibirnya,

dan ia mengelap dengan ujung kemejanya, serta melemparkan

puntung rokok ke tanah, menggerusnya dengan alas sandal. Di

dalam warung duduk perempuan genit yang menggoda dirinya,

Agung Yuda melingkarkan tangan di lehernya dan perempuan

itu tertawa-tawa, hingga tangan si lelaki merayap ke balik kutang

dan me?remas daging di dalam sana.

Perempuan itu menggelinjang dan memaki, gesit tangannya

mengibas, tapi Agung Yuda telah pergi tertawa-tawa. Ia kencing

di tiang listrik, berjalan ke lapangan bola, dan belum juga sadar

waktu telah semakin dekat Anwar Sadat mati di tangan Margio.

Di waktu yang sama, Anwar Sadat tengah memberi makan

kalkun peliharaannya, memaksa mereka lebih gembur dari semestinya, berharap bisa memotongnya di Lebaran yang akan

datang, dengan nasi sisa dapur. Di sampingnya bekerja Ma Soma

menyapu halaman surau, berarti halaman rumahnya sendiri, dari

daun-daun belimbing yang rontok kuning, serta buahnya membusuk dijejali belatung, lembek oleh hujan terlampau melimpah.

Mereka tak saling lempar kata, hanya mengetahui keberadaan

satu sama lain, sebelum Ma Soma pergi untuk membersihkan

bak mandi surau yang telah rimbun oleh lumut dan pakis, dan

Anwar Sadat masuk ke dapur rumahnya mengembalikan piring

kotor.

Tak ada orang di rumah selain dirinya dan Maesa Dewi, kini

tengah tergolek bergelung di atas tempat tidur menemani anak

kecilnya tidur siang. Tak banyak yang diperbuat perempuan ini,

sejak kepulangannya menenteng bayi merah dan calon suami,

kecuali menemani anaknya tidur dan menghabiskan nasi di

lemari dapur. Suaminya telah diusir Kasia untuk mencari

pekerjaan, dan pergi memperoleh pekerjaan sebagai manajer

bioskop yang ham?pir bangkrut, di luar kota dan hanya pulang

sebulan sekali mem?bawa uang yang segera dihabiskan Maesa

Dewi dan anaknya da?lam seminggu pertama. Kasia tak lagi mau

memikirkannya, dan Anwar Sadat tak bisa membantu banyak

sejauh keuangan utama mereka masih dipegang Kasia, dan

membiarkan ibu dan anak itu menjadi benalu bagi keduanya,

sebagaimana juga dilakukan oleh Laila.

Margio telah datang namun Anwar Sadat tak melihat bocah

itu telah luntang-lantung di pekarangan, tampak cemas dan pasi

tak karuan. Ia berdiri bersandar ke pohon belimbing, memandang

kedalaman rumah Anwar Sadat, dan melihat lelaki itu berkelebat.

Sesungguhnya sangatlah meragukan Margio berhasrat membunuhnya. Beberapa orang di lapangan bola melihatnya, dan

Ma Soma kemudian menenteng keranjang sampah membuang

lumut dan pakis ke belumbang memergokinya, dan bersaksi ia

tak bersenjata. Ia harus membawa pisau atau golok atau tali,

bagai?manapun, untuk membunuh Anwar Sadat kecuali ia telah

yakin bisa membunuhnya dengan sekali gigit. Ketika Ma Soma

lewat sekali lagi, mereka pun tak bertukar kata, Margio hanya menendangi ayunan ban mobil, tak ada gairah dan nyaris pergi meninggalkan pekarangan. Ia masih di sana beberapa waktu, serupa

pencuri mencari celah, mengamati pergerakan orang-orang

dan bercuriga pada mereka, merasa diri tengah diawasi. Orangorang di lapangan bola tentu melihatnya, tapi mereka terlampau

mengenal Margio untuk diberi kecurigaan. Tak seorang pun

pe?duli, dan Ma Soma tampaknya tak akan kembali, terdengar

ia sedang menimba air sumur di surau untuk memenuhi bak

mandi. Pintu rumah terbuka dan tampak Anwar Sadat cari

angin, Margio bergerak.

Itu hampir pukul empat sepuluh menit, Anwar Sadat berkehendak meninggalkan rumah dan cari kawan berbincang di

lapangan bola. Ia tak begitu doyan merpati, sebagaimana tak ada

nafsu pada sabung ayam, namun sekali-dua ia datang untuk menontonnya, dan bertaruh demi satu persahabatan. Ia masih mengenakan kolor dan singlet Toko Mas ABC yang dikenakannya

di warung serabi tadi pagi, dan akan mati dengan kostum yang

sama. Demi melihat Margio berjalan ke arahnya, Anwar Sadat

tertahan kaki, tak bergerak memapasi pintu, menunggu bocah

itu, berpikir barangkali ada sesuatu urusan. Waktu itu ia berpikir

tentang Maharani. Sebagaimana Laila, Anwar Sadat tahu gadis

itu bersama bocah ini semalam di pemutaran film pabrik jamu,

dan ia berharap memperoleh penjelasan mengapa gadis itu

sekonyong pergi. Ia menunggu sampai Margio masuk dan berdiri

di depannya, dan ia tak berkata apa pun tentang Maharani. Wajahnya masih pasi dan bibirnya menggigil, seolah Anwar Sadatlah

yang hendak tumpahkan bencana kepadanya.

Seperti kemudian menjadi pengakuannya pada polisi, ia memang membunuhnya dengan cara menggigit putus urat lehernya.

Tak ada senjata lain untuk melakukannya, ia bilang. Tadinya ia

berpikir untuk memukulnya, tahu pasti Anwar Sadat telah begitu

loyo dan tak ada tenaga untuk melawan. Tapi Margio meragukan

pukulannya sendiri bisa membuat tamat lelaki itu. Tidak juga percaya pada cengkeramannya untuk mencekik Anwar Sadat. Tidak

pula mengangkat kursi dan menghantamnya, sebab ia pikir hanya

bikin patah tulang dan akan terlalu ribut untuk membangunkan

Maesa Dewi. Ia tak melihat Maesa Dewi di kamarnya yang tertutup, tapi tahu perempuan itu ada di kamarnya sebagaimana

hari-hari lain.

Pikiran itu datang sekonyong-konyong, semacam wahyu cemerlang yang meletup di otaknya. Ia bilang ada isi di dalam

tubuhnya, sesuatu yang tak sekadar jeroan usus, yang menggelosor

keluar dan menggerakkan seluruh raganya, mengendalikan?nya

dan mengajak dirinya membunuh Anwar Sadat. Sesuatu itu

sangatlah kuat, ia berkata pada polisi, sehingga ia memang tak

butuh senjata macam mana pun. Ia mendekap erat Anwar Sadat,

yang terkejut dan berusaha meronta, namun dekapan itu kuat di

bawah lengannya, tangan Margio menjuntai ke atas merenggut

rambut Anwar Sadat bikin kepalanya tak banyak kutik. Saat

itulah Margio menancapkan gigi-giginya di leher kiri Anwar

Sadat, seperti ciuman kekasih yang membara ke permukaan

kulit di ba?wah telinga, mendengus dan hangat penuh nafsu, dan

lelaki itu masih terpana untuk tahu apa yang diperbuat Margio.

gitu, rasa sakit yang sejenak, menusuk menyentak

Meski bedadanya, mem?buat Anwar Sadat menggeliat dengan kaki gaduh

menendang kursi, menggulingkannya. Suara kursi menghantam

lantai dan pekikan kecil Anwar Sadat membangunkan Maesa

Dewi yang terbangun dan bertanya dari kamar, "Papa, apa itu?"

Anwar Sadat tak ada daya untuk menjawabnya, kecuali

lolongan kasar mangsa yang hampir binasa. Margio membalasnya

dengan satu gigitan mematikan, mencengkeram dan merenggut

segumpal daging, yang membuat rompal lehernya. Segumpal

daging itu tercerabut dari sana, dengan serat-serat koyak segar

menjulur tipis, dan darah menyembur tak ada kendali. Sepotong

daging tanpa rasa, kini tertinggal di mulut Margio yang segera

menyepahkannya ke lantai dan berguling-gulinglah itu di sana.

Anwar Sadat mulai terbang, kerongkongannya bunyi sendiri,

wajah Margio mandi darah memancur dari sana.

"Papa, apa itu?" Maesa Dewi mengulang pertanyaannya.

Anwar Sadat telah mengepakkan sayap dan terseret arus badai

ketidaksadaran. Margio masih mendekapnya, menjaganya dari

tenggelam lebih jauh dan jatuh. Demi mendengar suara Maesa

Dewi, nada tinggi dan penuh kecemasan, serta bebunyi selimut

yang dihentakkan dan ranjang berderak serta kaki menjejak ke

lantai, Margio kembali menyarangkan giginya ke rekahan merah

gelap dan basah itu, ciuman kedua yang lebih mematikan dan

dikuasai nafsu. Mengatupkan rahang kuat, memperoleh segumpal daging di mulutnya, dan menyepahkannya ke lantai. Ia melakukannya kembali, perulangan yang jadi monoton tanpa irama,

hingga rekahan itu semakin dalam dan compang-camping, bagai

didorong rasa lapar yang tak kepalang dan kerakusan memaharaja,

meninggalkan jejak letupan-letupan serta gelembung darah

terjun bebas tumpah ke bumi.

Ia hampir memenggalnya, menggergaji leher itu hingga batang

tenggorokan Anwar Sadat telah tampak, sekilas berwarna gading

sebelum banjir oleh merah, saat pintu kamar tidur terkuak

dan Maesa Dewi berdiri di sana, mengenakan pakaian tidur

satin putih dengan motif bunga peoni, pipinya berhias garis

peninggalan lipatan bantal, matanya setengah redup namun

bersegera insaf, dan tangannya yang ramping terangkat, jemari

menutup bibirnya yang terkuak kecil melontarkan kata tanpa

bunyi.

Tamasya itu tak mungkin lenyap dari mata Maesa Dewi, barangkali hingga bertahun-tahun dan generasi-generasi kemudian,

lebih brutal dari film horor mana pun yang pernah dilihatnya

bersama Anwar Sadat di video. Ia menyaksikan leher yang separuh koyak, bahkan leher sapi yang dipotong pada Hari Kurban

tak seganas itu, dengan gumpalan-gumpalan daging bergelimpangan di lantai, serasa kuah makaroni yang tumpah. Lantai

itu putih keramik, warna merahnya kontras serupa bendera nasional. Dan masih berdiri di sana adalah Margio, roman mukanya

hampir tak lagi dikenali, tertutup topeng kental yang cair dan

lengket, dan kotor pula tangan dan kemejanya. Sejenak mereka

saling memandang di batas kesadaran yang paling ganjil, di satu

keadaan ketika mereka berdua menyadari apa yang sesungguh?nya

terjadi.

Ada hawa aneh berputar di kepala Maesa Dewi, semacam

bau bawang putih pekat mengapung menciptakan awan kelabu

meng?genang di antara rambutnya yang meriap jatuh ke bahu,

begitu berat dan mengajaknya melayang. Rasa campur aduk

yang lain bergejolak di perutnya, rasa asam yang basi, terkocok

oleh ke?ributan serangga yang masuk entah dengan cara apa,

berdengung dan mengaduk-aduk ususnya. Maesa Dewi melihat

bayangan ce?merlang yang tak dikenalinya, memancar memberi

silau kepada matanya, mendesaknya ke belakang dan suatu
Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benturan meng?hantam kepalanya saat itu menentang dinding

pintu di belakang, menghentikannya sejenak sebelum merosot

dan tumbang ke lantai. Tubuhnya terhempas di sana, tak serupa

tidur yang tenteram, namun serasa seorang putri yang dikutuk

sekonyong jadi batu. Ia bahkan lupa bagaimana cara menjerit,

dan lupa sekarang ada di mana. Semua potongan peristiwa itu

menimbulkan ke?ributan yang membangunkan anak kecilnya,

kini anak itu duduk dan membuka mulut lebar, menangis tanpa

aba-aba, ngompol, memanggil ibunya tidak dengan namanya

namun jelas tak mem?bangunkan Maesa Dewi dari tidur kedua,

di lantai dan tanpa selimut.

Margio mengendorkan belitannya, melepaskan pelukan atas

Anwar Sadat, dan mendapati sejumput rambut lelaki itu rontok

di tangannya. Tubuh Anwar Sadat sejenak menari, tanpa irama

pengiring, sebelum condong meliuk dan berdebam ke lantai diseret beban tubuhnya sendiri. Margio memandangnya, menjelajahinya hingga cukup yakin lelaki itu mati sempurna. Bahkan

seandainya penggerogotan leher itu tak membuat Anwar Sadat

bertemu malaikat maut pemangsanya, benturan kepalanya ke

lantai cukup untuk memberinya rasa ajal. Di sanalah ia telentang,

dengan pusar menguap di balik singlet Toko Mas ABC yang tersingkap, serupa lelaki tua tuna daya yang memperoleh serangan

ganas ajak liar, sebagaimana kemudian ditemukan Ma Soma dan

orang-orang, berselimut bau amis dan nada riuh kematian.

Hampir ambruk pula Margio, bagai ular boa kekenyangan.

Betapapun itulah hasil jerih payahnya, ia harus mengakui betapa

dirinya terpesona oleh mahakarya tersebut, lebih menggetarkan

jiwa daripada reproduksi murahan lukisan Raden Saleh yang tergantung di atas televisi. Badai puyuh serasa memutar kepalanya,

dan ia lupa di mana arah pintu, meraba-raba sebab dunia

menjadi gelap tiba-tiba. Seperti Anwar Sadat, ia menari sejenak,

terbang meliuk-liuk dan tak empas oleh sepasang kaki yang

cukup tangguh, sebelum memandu dirinya pada punggung sofa

yang seketika penuh tanda jejak warna merah. Margio menyeret

dirinya keluar, merayap sejengkal demi sejengkal dan roboh di

teras samping.

Sesuatu di mulutnya mengingatkan dirinya pada pembantaian

yang belakangan baru ia sadari maknanya, dan dengan naluri

asali menggiringnya untuk menjauh. Margio berdiri lagi, terseok

tak sungguh tegak, merayap ke bawah pohon belimbing dan

menyepahkan daging leher Anwar Sadat yang tersisa di mulutnya.

Ia melihatnya terlempar ke tanah, sebesar potongan tahu, dan itu

bikin seluruh isi perutnya meluap naik, mengganas di tenggorokannya, pahit dan asam. Bertopang pada batang pohon, bocah

itu muntah-muntah, berisi mie yang dimakannya tadi pagi. Butuh

beberapa tempo ia menghentikan gejolak di lambungnya, masih

mengohek walau tak ada lagi isi perut, berjalan meninggalkan

pohon belimbing, dituntun suara ramai para petaruh dan peluit

di ekor merpati.

Saat itulah Ma Soma keluar dari surau dan melihatnya merayap dengan tangan berlepotan darah. Ia hampir berlari mengejarnya, cemas namun segera tertegun, melihat tanda jejak yang

menggumpal sepanjang pekarangan, menuju rumah Anwar Sadat. Ia melihat genangan yang melimpah di ambang pintu, dan

kakinya memaksa diri membawa ke sana, melihat mayat yang

khidmat menunggu. Ada kekosongan yang tak dimengerti kepalanya, sebelum suatu bisikan menjelaskan segalanya, memapah

Maesa Dewi ke sofa, dan mengambil kain batik untuk menenggelamkan mayat Anwar Sadat. Seseorang yang lain, di tepi lapangan bola, melihat Margio dan bergumam.

"Demi Tuhan, Margio dipukul orang hingga berdarah."

Keriuhan sejenak terhenti, kepala-kepala menoleh, Margio

ber?jalan ke arah mereka menghentikan mobil dan motor yang

ter?pukul cakram rem dan para pengemudi menatapnya serasa

jumpa setan kepagian. Burung-burung berhenti terbang, anakanak ber?henti berlari, menyiratkan waktu yang berhenti dipatok.

Mereka melingkarinya, menjaga jarak serasa ia akan meledak,

tergagap-gagap sebelum salah satu dari mereka, Agung Yuda,

memperoleh satu kalimat jernih.

"Siapa memukulmu?"

Margio, tentu saja tak memahami pertanyaan tersebut, tak

buka mulut menjawabnya. Wajah-wajah itu dikenalinya, sekaligus

tak dikenalinya, ada rasa asing berkelebat. Agung Yuda, yang kepala bebalnya tak juga bisa memperoleh penjelasan penuh makna

atas serentetan peristiwa yang semestinya telah dimengerti jauh

sebelum terjadi, mendekatinya, menciuminya dengan hidung

bukan anjingnya, memastikan itu sungguh-sungguh darah dan

bukan cat tembok, meyakini dirinya bahwa ia melihat wajah

tragis yang tak lagi manis dan santun itu, hingga ia menemukan

penjelasan yang gamblang, tercekat ketika menyadarinya, dan

meletup dalam kata-kata penuh makna.

"Ia tak terluka." Itulah penjelasan yang paling sempurna.

Kini, ketika malam telah runtuh ke bumi mengapungkan

bintang-bintang dan bulan sepotong tergantung enggan, lampulampu dinyalakan di pelataran rumah dan pinggir jalan, dan codot

tak lagi tampak beterbangan disebabkan hitam yang menghapus

hitam tubuhnya, Margio diseret Joni Simbolon ke rayon militer.

Selalu begitu sebelum seseorang dibawa ke kantor polisi, sebab

tanpa itu para prajurit tak punya lagi keriangan di dunia republik

yang tak ada perang. Mereka mengurungnya di dalam sel,

mengganti pakaiannya dengan seragam hitam bau kapur barus

dan lemari kayu, meringkuk di satu dipan menghadapi susu

hangat yang tak dicecapnya, menghadapi sepiring nasi ikan tongkol yang tak dilumatnya.

Mayor Sadrah mengunjunginya selepas salat jenazah, memastikan mereka tak mengasarinya, sebab para prajurit piket selalu

gatal menghadapi mangsa tangkapan. Mereka masih menghormati veteran tua ini, dan akan mendengarkan apa katanya, maka

ia bergegas ke sana, melihat orang-orang masih berkerumun

pe?nuh tanya di seputar patung Siliwangi dan tiang bendera,

meno?leh padanya berharap ia membawa satu kisah yang lebih

menakjubkan.

"Aku menahannya, menghindari satu pembalasan dendam

yang tak perlu," kata Joni Simbolon pada Mayor Sadrah.

"Omong kosong, ketiga anaknya perempuan," kata veteran

tua itu.

Tapi masih ada sejumlah kerabat, dan siapa pun yang bakalan

tak suka kebengisan terjadi di sekitar mereka. Mayor Sadrah

menyuruh mereka mengurungnya di sana, sebelum subuh polisi

mengambilnya. Ia bertanya-tanya tentang gadis itu, Maharani,

jika pagi besok ia pulang dan menemukan ayahnya mati, dan

berjumpa pembunuhnya yang telah mengawani dirinya semalam

melihat film perusahaan jamu. Tragedi itu demikian gamblang,

siapa yang mati dan siapa yang kirim petaka, namun ia masih

mencari-cari iblis jahat di belakang itu, suatu motif rahasia, yang

tak diketahui siapa pun. Istrinya, yang ada di antara perempuan

pelayat dan ikut dirinya ke rayon militer, membisikkan sesuatu

yang telah jadi pengetahuan orang, bahwa gadis itu tergila-gila

pada Margio. Tapi Mayor Sadrah tak melihat suatu pertanda

Anwar Sadat menghalangi mereka.

Kakinya membawa ke sel tersebut, berdiri di pintu menatapnya menggigil di dipan, dan berharap menguak rahasia tersembunyi ia bertanya, tapi suaranya lenyap oleh kegetiran berat,

sebelum Margio menoleh dan mengerti pertanyaannya.

"Bukan aku," kata Margio tenang dan tanpa dosa. "Ada harimau di dalam tubuhku."

Dua

Harimau itu putih serupa angsa, ganas sebengis ajak. Mameh

per?nah melihatnya suatu kali, sejenak, keluar dari tubuh Margio,

se?perti bebayang. Sebelumnya tak pernah ia melihat itu, pun

setelahnya. Hanya satu pertanda bahwa harimau itu masih ada

di sana, dan Mameh tahu, meski ia tak tahu apakah orang lain

tahu. Pertanda itu hanya tampak di dalam gelap, di mata Margio,

yang mendadak berkilau kuning, serupa milik kucing. Awalnya

Mameh takut melihat mata itu, dan lebih cemas harimaunya

sungguh keluar dari sana, namun bersama berlalunya waktu,

dan sebab terlampau sering melihat sepasang cahaya dalam

gelap itu, ia tak lagi cemas. Itu bukan musuhnya, ia tak akan

melukainya, dan sebaliknya, barangkali harimau itu ada di sana

untuk melindungi mereka.

Margio sendiri menemukannya suatu pagi, kala terbangun

dari tidur seorang diri di surau, berminggu lalu sebelum ia

minggat. Bukan kopi hangat mengepul di atas tatakan, bukan

pula sepiring nasi goreng sarapan pagi, tapi seekor harimau

putih rebah di sam?pingnya, tengah menjilati kakinya sendiri. Ia

terbangun disebab?kan ekor si harimau yang menari, menyapu

kaki telanjangnya, dan sejenak ia pikir itu tepukan tangan Ma

Soma membangunkannya, mengajaknya salat Subuh. Tapi

ternyata hari telah pagi, dan di luar hujan turun dengan wajah

semesta yang kelabu, nyata semalam hujan besar dan tak ada

orang datang di kala subuh. Tentu saja ia rada terkejut, demikian

terguncangnya hingga apa yang bisa ia lakukan hanya diam

tercekat, dan memandang takjub pada binatang gempal yang

iseng sendiri itu.

Ia tahu binatang ini tak sungguh-sungguh hidup. Sepanjang

dua puluh tahun hidupnya, ia telah keluar masuk rimba raya di

pinggiran kota, dan tak pernah menemukan harimau semacam

itu. Ada harimau pohon yang kecil, ada babi, dan ada ajak, tapi

tak ada harimau putih hampir sebesar sapi. Itu mengingatkan

dirinya pada kakeknya, bertahun-tahun lampau. Matanya dibikin

berkaca-kaca, dan tangannya terulur perlahan, mencoba meraih

kaki depan si harimau. Benda itu sungguh-sungguh ada di sana,

dengan bebulu selembut kemoceng, kuku-kukunya tersembunyi

pertanda suatu tawaran bersahabat, dan kaki terangkat, tangan

Margio meraihnya lagi, dan kaki si harimau menepuk kecil,

serupa anak kucing genit bermain-main. Margio meraihnya gesit,

namun si harimau menghindar berguling, lalu mengambil kudakuda, siap menyerang, sebelum Margio sempat menghindar, ia

telah menubruknya, dan di sana mereka berguling-guling dan

hanya karena Margio tak sanggup menahan beban binatang itu

mereka berhenti. Margio masih berbaring, si harimau kembali

menjilati kakinya, bersimpuh di sampingnya. Lembut Margio

menepuk ba?hunya, sambil menyapa.

"Kakek?"

Dahulu kakeknya tinggal jauh di desa. Sebuah motor ojek bisa

mengantarkannya ke tepi hutan, tempat deretan warung yang

dikenal orang sebagai Pasar Jumat menjadi tempat pemberhentian

segala kendaraan, sebab berikutnya adalah jalan tanah membukit.

Gerobak sapi barangkali bisa memaksakan diri, tapi pemilik

ojek enggan melakukannya. Untuk mengunjungi sang kakek,

Margio harus berjalan kaki naik bukit melintasi hutan angsana

dan cengkih, jejalanan dihias pula pohon mahoni, hingga rimba

liar yang hanya diakrabi para pemburu. Satu jam perjalanan

melintasi hamparan bukit itu, Margio sangat mengenalnya,

sebagaimana babi-babi korbannya kelak juga mengenalnya. Di

seberang bukit terdapat sebuah perkampungan, berbatasan

dengan sebuah pe?santren yang memiliki sawah-sawah dan kolam

ikan, tapi kakek?nya tidak tinggal di kampung itu. Margio bisa

melepas lelah di sana, beberapa orang telah dikenalnya setelah

berkali melewatinya, dan ia akan melanjutkan perjalanan

sebelum sore jatuh, sebab ia mesti melintasi sungai lebar dan

tak ada rakit setelah petang tiba. Rakitnya terbuat dari lonjoranlonjoran bambu, diikat pada satu kawat yang membentang dari

satu tepi sungai ke tepi lain. Pengemudinya berdiri di haluan,

dengan menarik tambang kawat ia menyeret rakit perlahan, dan

jika arus membuat rakit tak ter?kendali, ia akan mempergunakan

galah panjang. Sungainya dalam dan berair tenang, tak ada

buaya, namun ada Tikar Penggulung, binatang mitologis yang

tak pernah ditemukan, namun sungguh ditakuti anak-anak.

Rakitnya mampu membawa puluhan orang, kadang sapi dan

domba dan berkarung-karung padi dan hasil bumi, dan mereka

cukup membayar sepuluh perak untuk sekali lintas. Turun dari

rakit bukan akhir perjalanan Margio, ia mesti naik bukit lagi
Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di jalan setapak yang licin betul, dan di puncak bukit ia akan

melihat hamparan sawah mahaluas. Di tengah ke?luasan itulah

terdapat sebuah kampung, penuh tetanam dan rumah-rumah,

dengan nyiur menyundul langit, serupa oase gurun pasir, dan di

sana kakeknya tinggal.

Pada umur delapan tahun, Margio telah melakukan perjalanan

itu seorang diri untuk pertama kali. Selepas itu ia akan mempergunakan setiap kesempatan untuk pergi ke sana, berjumpa kakeknya, tak peduli waktu perjalanan yang bisa merampok separuh

harinya. Perjalanannya selalu merupakan saat-saat menyenangkan, dan setiap kali berkunjung ia akan membawa pulang setandan pisang, atau sekeranjang durian, atau sekarung duku,

yang pasti bikin senang Mameh, juga ibu dan ayahnya. Kadangkadang jika ia begitu ingin pergi namun tak ada uang untuk ojek,

ia akan berjalan pula sampai Pasar Jumat, dan terus berjalan

sampai ru?mah kakek, dan tetap senang. Demikian seringnya

ia melalui setapak itu, lain waktu ia menjelajah beberapa jalan

baru, mem?buatnya cepat bersahabat dengan banyak penghuni

kampung serta jin-peri penghuni rimba, dan di kala ia menjadi

bagian pem?buru babi, orang tak akan cemas tersesat selama ia

ada bersama mereka.

Kakeknya tinggal bersama nenek di sebuah pondok, tetap

bugar bahkan hingga ketika orang menemukannya telah mati

dengan damai di atas tempat tidurnya. Sehari-hari ia mengurus

sawah dan kebun, sebelum kelak sawah dan kebun itu lenyap

dijual ayahnya tanpa bekas. Margio sangatlah menyukai kakek?nya,

yang tak bongkok meski rambutnya perak tanpa cela, sebab sang

kakek akan membawanya ke parit kecil dan menyebutnya sebagai

kerajaan jin. Jangan sekali-kali menggoda gadis jin, katanya

selalu, namun jika seorang gadis jin jatuh cinta kepadamu,

ambillah sebab itu anugerah. Kakeknya bilang, gadis-gadis jin

sangatlah cantik, dan ia selalu berharap suatu kali berjumpa

dengan gadis jin, dan berharap pula salah satu dari mereka jatuh

cinta kepadanya, meskipun kemudian tampaknya itu tak pernah

datang, walau berkali ia mendatangi parit kecil tersebut.

Di atas segalanya, harimau kakek merupakan kisah yang paling menakjubkan.

Sebagaimana diceritakan Ma Muah, pendongeng desa mereka,

banyak orang di kampung itu memiliki harimau. Beberapa dari

mereka mempunyainya sebab kawin dengan harimau, yang lain

memperolehnya dari warisan yang diturunkan dari generasi ke

generasi. Kakek memiliki itu dari ayahnya, dan ayahnya dari

ayahnya, dari nenek moyang yang barangkali tak lagi diingat

siapa yang pertama kawin dengan harimau.

Ma Muah akan mendongeng di teras rumah, di malam-malam

yang hangat. Anak-anak bergerombol di samping dan belakang

dan di kakinya, dengan beberapa gadis memijit-mijit pundaknya.

Jika ia mendongeng di sore hari, gadis-gadis itu akan mencari

kutu di rambutnya. Ia selalu punya cerita yang belum dikisahkan,

dan ia tak perlu mengarang-ngarang itu semua, sebab sebagaimana katanya, semua itu sungguh terjadi, di masa lampau sebagaimana ia dengar dari pendongeng sebelumnya dan pendongeng

itu mendengarnya dari yang sebelumnya lagi, atau kisah-kisah itu

memang terjadi juga saat ini, dan hanya dimengerti oleh orangorang terpilih, dan tentu saja Ma Muah merupakan nenek tua

yang terpilih.

Sepanjang yang diingat Margio, Ma Muah tak punya laki dan

anak, dan tak punya kerja pula, kecuali mendongeng dan mendongeng. Ia boleh pergi ke dapur siapa pun dan makan di sana,

atau seseorang akan datang ke gubuknya membawa makanan.

Orang-orang mencintainya, terlebih anak-anak. Ia punya cerita

tentang buta yang berkutu ular dan kalajengking di rambutnya,

namun hanya makan umbi rumput teki. Ada cerita tentang

putri-putri jin yang menculik pemuda tampan dan membawanya

ke kerajaan mereka, jin-jin ini tidaklah jahat asal tempat-tempat

mereka tidak diganggu. Tempat-tempat itu telah dikenali Margio,

berupa mata air, palung sungai, puncak bukit, pohon besar, dan

menara masjid. Namun tetap saja tak ada yang lebih menarik

minat Margio melebihi harimau putih yang menjaga mereka.

Kata Ma Muah, harimau itu ada bersama pemiliknya dan selalu menjaga dari segala marabahaya. Kata Ma Muah pula, kakeknya termasuk salah satu yang memelihara harimau putih.

Tapi kakeknya tak pernah mau cerita tentang harimau itu, sebab

ia masih kecil, katanya, dan tak mungkin bisa menjinakkan

binatang buas semacam itu. Ia lebih besar dari harimau pohon,

lebih besar dari yang dilihat orang di kebun binatang atau

sirkus, atau buku pelajaran sekolah. Jika seseorang tak bisa

mengendalikan binatang ini, ia bisa begitu ganasnya hingga tak

ada apa pun bisa menahannya jika ia mengamuk.

"Tapi aku sekadar ingin melihat," kata Margio.

"Kelak saja, barangkali kau akan memilikinya."

Ia telah sering mendengar kemasyhuran kakeknya, juga tetua

kampung yang lain, bagaimana mereka bertahan dari penculikan

orang-orang Belanda yang akan membuang pemuda-pemuda terbaik ke tanah Deli untuk kerja paksa. Mereka tak mempan atas

peluru senapan, juga samurai Jepang yang datang belakangan,

dan jika mereka marah, harimau putih itu akan keluar dari tubuh

mereka menyerang setiap musuh. Bahkan kaum gerombolan

yang lama setelah itu bergerilya di dalam hutan, bisa mereka usir,

dan kata Ma Muah, itu disebabkan persahabatan asali mereka

dengan harimau-harimau tersebut, yang menjadi berkerabat oleh

per?kawinan silang di antara mereka.

Bagi Margio sendiri, tak pernah jelas apa makna perkawinan

tersebut. Tak terbayangkan olehnya seorang lelaki duduk di pelaminan, dan di sampingnya duduk pula seekor harimau di kursinya, lengkap dengan rumbai-rumbai dan pupur di pipi serta gincu

di bibir, dan penghulu berkata, semoga perkawinan si anu dan

harimau diberkati oleh Yang Mahakuasa. Setelah agak sedikit dewasa, hal ini semakin aneh membayangkan seseorang bersetubuh

dengan istrinya yang harimau di atas tempat tidur, dan bertanyatanya anak macam apa yang akan dilahirkan dari persekutuan

macam begitu. Ma Muah akan tertawa memamerkan gusi tanpa

giginya, terkekeh setiap kali ia menceritakan bayangannya tentang

perkawinan manusia dengan harimau. "Hanya lelaki yang kawin

dengan harimau," kata Ma Muah, "meski begitu tak semua harimau ini betina."

Kakeknya sendiri tentu saja punya istri, seorang perempuan

dari ras manusia, dan jelas harimau itu berarti madunya. Kakek

tak pernah mengawini harimau itu, sebab ia memperolehnya dari

ayahnya, namun bagi mereka tetap saja harimau semacam itu

adalah istrinya yang lain, disayang dan dipuja, kadang melebihi

istri manusianya. Si nenek ini mati lebih dulu oleh satu serangan

tbc yang tanpa ampun, memorak-porandakan malam-malam

mereka dengan batuk tanpa henti, demam tak ada ujung, hingga

tubuhnya menyusut sampai mati. Kakeknya tak pernah kawin

lagi, barangkali sudah cukup dengan istri harimaunya, dan lagi

pula hidup kakek juga tak terlampau lama bertahan, terlampau

sedih ditinggal istri manusianya.

Hingga suatu sore pada kunjungan Margio yang penghabisan

sebelum kakeknya mati, si kakek berkata kepadanya, memastikan,

"Harimau itu putih serupa angsa."

Itu semacam pertanda seandainya harimau itu datang kepadanya, sehingga ia bisa segera mengenalinya. Kakeknya berkata,

jika harimau itu suka, ia akan datang pada ayahnya, dan ia akan

jadi miliknya, hingga Margio mesti menunggu sampai si ayah

mati dan mewariskan itu kepadanya. Namun jika harimau itu

tak suka pada ayahnya, ia akan datang kepada Margio suatu hari,

dan Margio akan memilikinya. "Dan jika ia tak menyukaiku?"

tanya Margio cemas.

"Ia akan datang pada anakmu, atau cucumu, atau barangkali

tak akan pernah datang lagi jika keluarga ini melupakannya."

Harimau itu kini datang kepadanya, berbaring di sampingnya

di atas karpet surau yang hangat sementara alam semesta begitu

dingin di luar. Sebagaimana kata kakeknya, ia berwarna putih,

serupa angsa, serupa awan, serupa kapas. Tak terbayang betapa

senang hatinya, melebihi apa pun yang pernah dimilikinya. Ia

membayangkan bagaimana harimau ini akan menemani hari-hari

perburuan mereka, membantunya menggiring babi-babi perusak

sawah dan ladang, dan di kala lengah sementara seekor atau

dua babi menyerangnya, ia akan melindunginya dari segala yang

terburuk. Tak pernah terpikirkan olehnya ia akan datang di pagi

yang dingin keparat ini, sebagai pertanda bahwa itu miliknya,

seperti seorang gadis yang berserah pada kekasihnya. Lihatlah

bagaimana harimau itu berbaring, masih menjilati ujung kakinya

dengan lidah yang panjang terjulur keluar-masuk, sejenak ia serasa kucing, namun tampak ningrat dan agung oleh kebesaran

tubuhnya. Margio memandang dalam pada wajahnya, ia tampak

begitu cantik, dan bocah itu jatuh cinta tak kira-kira.

Ia merengkuhkan tangan ke lehernya, memeluknya dan merasakan bulunya hangat ke tubuhnya. Serupa pelukan pada seorang gadis di pagi yang dingin dan telanjang di tempat tidur,

kemesraan yang paling intim selepas percintaan sepanjang malam. Margio memejamkan matanya, dalam puncak kebahagiaan

atas penantian panjang penuh kerinduan, telah meyakinkan dirinya atas semua kebenaran dongeng yang didengarnya semasa

kecil. Namun tiba-tiba ia merasakan rasa kehilangan itu, sesuatu

yang dicerabut serta-merta, gadis kekasih yang pergi tanpa pamit,

ketika tak lagi terasa kehangatan itu. Margio membuka matanya,

dan tak lagi melihat harimau itu di sana.

Ia terperanjat melebihi kala pertama ia melihatnya. Bocah

itu bangun dan mencarinya, namun pedalaman surau tersebut

tidak?lah luas, dan tak ada jejak tertinggal yang bisa dikenali. Tak

ada sehelai bulu pun tersisa. Hujan di luar masih bergemuruh,

pasti membikin anak-anak sekolah mengeluh, dan kala seperti

itu bakalan banyak pohon pisang dipangkasi daunnya, pengganti

payung sekali pakai, tapi Margio masih memikirkan harimaunya

dan tidak yang lain. Ia berdiri dan memanggil tanpa suara, sebab

ia tak tahu dengan apa harimau itu mesti dipanggil, kakeknya tak

pernah memberinya nama, dan tidak pula Ma Muah. Barangkali

ia sendiri harus memberinya nama, tapi itu tak ada guna, kini

binatang itu telah pergi entah ke mana.

Itu lebih patah hati daripada penolakan sebelas gadis paling

dicintai, dan hampir membuat Margio sungguh menangis

cengeng sambil terus menjelajah ke empat sudut surau. Tidak, itu

bukan mimpi, katanya pada diri sendiri. Ia telah datang untuk

menunjukkan kini ia miliknya. Ia merasakan lembut bulunya,

dan sejenak bermain dengannya. Itu terlalu nyata untuk sebuah

mimpi di pagi yang hening. Setelah berkali mencari dan tak lagi

yakin bisa menemukannya, rasa sakit hati itu berubah menjadi

satu rasa marah yang bergemuruh. Dirasakannya tubuh yang

menggigil hebat, dan jemari tangan yang mencengkeram. Tak

pernah ia sen?diri merasakan suatu amarah semacam itu, begitu

kejam dan pe?nuh dendam, tapi ia tak bisa mengelak dari itu,

disebabkan nilai rasa sakit yang mesti ditanggungnya. Harimau

itu telah mem?buatnya jatuh cinta, puncak dari hasrat bertahuntahun, dan ia tak akan sudi ditinggalkan demikian rupa.

Digedornya pintu surau, mencakarnya, meninggalkan jejak

guratan panjang mengelupas cat hijau tua dan kayu mahoninya,

dan dari mulutnya keluar geraman berat membuat udara koyak.

Cakarannya begitu kuat mengejutkan dirinya sendiri, membuat

Margio diam mematung reda dari amarahnya, melihat tiga

guratan yang bakal jadi luka panas jika ditaruh di punggung seseorang, kemudian memeriksa tangannya sendiri. Kuku-kukunya

tidaklah panjang sebab ia sering memotongnya, sebab jika tidak

akan menjadi gangguan saat menggengam tombak berburu babi,

rasanya tak mungkin melukai pintu dalam tiga garis guratan tersebut. Tapi jelas di kuku yang pendek itu ia melihat serpihan

kayu dan cat, memastikan itu memang perbuatannya. Lama

Margio terdiam antara terpesona dan penuh tanya, sebelum ia

mengerti di mana duduk soalnya. Ia tak pergi meninggalkanku,

pikirnya. Harimau itu masih di sana, di dalam dirinya, dan

mereka tak akan terpisahkan lagi, hingga kelak ketika kematian

datang kepadanya sebagaimana itu selalu terjadi. Ia bersandar ke

dinding, meraba pusarnya, merasakannya bersemayam. Ia tidak

jinak bagai?manapun.

Kepada Agung Yuda, ia sempat berseloroh serupa ini, "Aku

tak lagi lajang."

Agung Yuda pikir itu maksudnya tak lagi perjaka, dan disebabkan tak banyak bocah dua puluh tahunan di antara mereka
Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih perjaka, Agung Yuda tak menganggap serius omongan itu.

Pikirnya, Margio hanya ingin memamerkan diri ia telah tidur dengan si gadis Maharani itu. Siapa lagi, hanya gadis itu yang kerap

bersamanya, di waktu-waktu sejenak kala si gadis pulang liburan.

Tak seorang pun tahu ada harimau di dalam tubuhnya, hingga ia

mengakuinya sendiri tak lama selepas membunuh Anwar Sadat,

kecuali Mameh yang sekali itu memergokinya.

Malam sebelum Margio berjumpa dengan harimaunya, untuk

pertama kali ia bilang pada Mameh ingin membunuh ayah mere?ka.

Mameh pernah mendengar itu dari seseorang, sebab Margio berkalikali memaki di pos ronda dan kata-kata yang keluar adalah semacam

itu, bahwa jika sempat ingin dibunuhnya Komar bin Syueb, tapi hal

itu tak pernah terjadi dan tak ada tanda-tanda akan terjadi. Itu hanya

omongan seorang bocah yang marah tanpa ampun kepada ayahnya,


Pendekar Rajawali Sakti 85 Penghianatan Pembunuhan Abc Abc Murders Karya Agatha Delapan Kitab Pusaka Iblis Kwi Po Cin

Cari Blog Ini