Ceritasilat Novel Online

Lelaki Harimau 4

Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan Bagian 4

masa muda yang payah, kala ia pergi merantau dari kampung

dan mencari kerja di pabrik-pabrik. Berbulan-bulan ia di sana,

memotong kulit untuk bengkel sepatu, mengangkut gandum di

perusahaan mie, dan selepas bulan-bulan yang lewat ia mendapati

dirinya penuh rasa sakit tanpa uang, hingga ia membuka kembali

kotak perkakas cukur dan mencari tempat di bawah rindangan

pohon, menanti pelanggan, mencukur kepala orang, dan tetap

tak banyak beroleh apa pun. Ketika Syueb menyuruhnya pulang

untuk mengawini si gadis Nuraeni itu, ia hanya mengantongi cincin kawin enam gram, barangkali ia keliru terlalu membanggakannya.

Bahkan di masa kawin itu pun ia telah melihat sosok gadis

yang enggan, barangkali marah sebab tak pernah dikiriminya

surat, dan ia tak pernah meminta maaf soal itu. Sebab bukan ia

tak mau menulis omong kosong di kertas merah muda dengan

wewangi dari bedak, tapi ia sungguh tak tahu apa mesti diperbincangkan, sebab tak ada yang menarik sepanjang hidupnya di

rindangan pohon menanti orang yang gelisah sebab rambut telah

mencolok mata. Tapi perempuan itu telah jadi milikku, pikirnya,

sejak perkawinan tersebut, maka ia seharusnya ada untuk dirinya.

Maka jika ia menginginkannya dan perempuan itu tak ada untuk

dirinya, izinkanlah ia memiliki amarah, dan kemarahan itu tak

tertangguhkan, menimpa perempuan tersebut dalam kepingan

pukulan.

Duduk di kursi pelanggannya, Komar bin Syueb menyeka matanya dengan kain mori, cemas seseorang dari kios mie ayam akan

memergokinya secengeng itu. Sekali lagi ia mengeluhkan waktu

yang terlalu bersegera, bagaikan tak memberinya kesempatan apa

pun. Ia bertanya-tanya mengenai tangannya yang ratusan kali

mencederai bininya, dan anak-anak mereka, matanya kembali

ber?linangan berpikir semua kekeliruan itu datang dari dirinya.

Tapi sisi lain pikirannya akan membela, mengenang saat ia lelah

pulang ke rumah dan mendapati istri yang muram, anak-anak

yang sebengal setan, dan tak lagi ada yang bisa dipikirkannya

kecuali menimpuk mereka dengan apa pun, berharap membuat

mereka sadar ia telah dikutuk untuk letih sepanjang masa,

meminta kesediaan makhluk-makhluk itu untuk bersekutu

dengannya, dan jika tampak mereka tak hendak mengekor di

belakangnya, biarkan dirinya menyeruakkan amarah.

Seorang ayah datang memintanya mencukurkan bocah

kecil yang digiringnya, dan Komar mesti memalingkan muka,

menyembunyikan mata yang redup, mempersilakan si bocah

duduk di kursi yang tadi ditungganginya. Sambil bersiap ia

memberi kesimpulan pada renungannya sendiri: dan kini ia

melihat Nuraeni bakalan beranak dan anak itu tidak datang dari

kemaluan Komar bin Syueb.

Tadinya ia telah bersiap untuk berserah pada alam yang memberi kisah tragis ini, tapi setiap kali pulang dan kenangannya

membuncah kembali demi melihat perut istrinya, rasa marah itu

meluap lagi dan ia mesti menghajar istrinya, meneriakkan belasan kata sundal, mencederainya, menggetoknya dengan gayung,

menggebraknya dengan rotan pemukul kasur, dan rasa hatinya

menjadi sayup selepas melihat perempuan itu bersimpuh di sudut

rumah tak lagi ada perlawanan. Komar akan masuk ke kamarnya

sendiri, berbaring menyendiri dan jika malam datang bersama

keheningannya, ia bakalan menangis tanpa bunyi, membuat

malaikat-malaikat turun dan mencatat kemalangannya.

Bakal bayi itu sendiri terus tumbuh di rahim yang penuh guncangan, tampaknya demikian kuat menahan dera yang menimpa

induknya, dan sejak awal barangkali menyadari ayah tiri yang

ganas itu tak sudi membiarkannya tumpah. Mameh terus mendampingi ibunya, kini lebih banyak berbaring ringkih, menyusut

lesat oleh kebengisan bertalu-talu, dengan si anak perempuan

kasih kompres sekujur tubuh yang memar, dan membalurnya

dengan beras kencur yang dimamahnya sendiri. Bahkan, dengan

segala rasa pedih itu, Nuraeni tak kehilangan roman bahagianya,

yang mengharukan bagi Margio dan Mameh, sebab sepanjang

tahun-tahun kehidupannya, tak banyak perempuan itu memberi

senyum, dan kini ia membagikan itu bagi mereka serasa diserakkan begitu saja dan orang hanya perlu memungutinya. Kepada

kedua anak itu, ia berkata pelan:

"Jika ia lahir, ia akan datang membalas dendam membunuh

Komar bin Syueb."

Mameh hanya menangis menanggapinya, sementara Margio

semakin menemukan kristal-kristal hasrat membunuh ayahnya.

Semakin besar perut itu, Margio melarangnya untuk pergi ke

rumah Anwar Sadat dan bahkan menghalanginya mengerjakan

apa pun di rumah. Margio sangat senang melihat roman bahagia

itu, tak peduli rasa malu masih bersemayam di pedalamannya

demi mengenang apa yang telah dilakukan ibunya, telanjang

untuk lelaki lain, dan mengabaikan segalanya demi wajah yang

riang tersebut. Mamehlah yang kemudian mengurus rumah, menyiapkan makan bagi mereka dan tetap mengerjakan semua tugas

rutinnya. Kala itu keduanya telah menyelesaikan sekolah mereka,

dan masa-masa itu, sepanjang kehamilan ibunya, Margio sering

berada di rumah kecuali waktu-waktu sejenak ia pergi untuk gaul

bersama kawannya, mencemaskan ibunya dari tangan ayahnya.

Komar bin Syueb sendiri mulai menemui ketenangannya, dengan

cara menyedihkan mulai menerima petakanya, tak lagi hirau pada

perempuan yang menenteng bayi haram jadah di rumahnya, dan

lebih banyak mengurung diri di kamarnya. Belakangan ia malah

sering pulang sangat larut, dan pergi bergegas, dan tak seorang

pun tahu di mana dirinya. Barangkali ia membuka kios cukurnya

lebih dini dan lebih larut, atau ia tak membuka kios cukurnya dan

malahan pergi entah. Penghuni rumah lain abai juga kepada?nya,

tak peduli apa hendak ia buat, dan lebih senang seandainya ia

memang jarang di rumah, dan lebih bagus jika ia punya kewarasan

untuk hengkang, sebab lelaki yang membiarkan rahim istrinya

dibuahi lelaki lain mestinya tak patut tampilkan muka.

Kasia sering datang sejak Nuraeni tak lagi datang ke rumahnya

dan tahu ia tengah hamil untuk periksa keadaan dirinya. Ia

mencemaskan memar-memar itu, namun membesarkan hati

Nuraeni bahwa bayinya baik-baik saja. Kasia sering datang membawakannya pisang dan susu, sebab itu baik untuk perempuan

hamil, katanya. Atas kebaikan bidan ini, Nuraeni sering merasa

jengah, menyadari Kasia tak pernah tahu bahwa bayi yang ikut

diperhatikannya tak lain hasil perampokan atas lakinya demi kesenangan perempuan lain. Ia sering merasa sesak setiap Kasia

datang, dan bersedih pada perempuan itu sewaktu si bidan pergi.

Bulan-bulan berlalu dan di bulan ketujuh Mameh

memandikan ibunya dengan air kembang. Bukan bunga-bunga

yang dipetik dari belukar depan, sebab Mameh masih takut itu

mengembalikan riang ibunya, tapi dibeli Margio dari nenek tua

penjual bunga di pasar, yang aromanya telah ditambah-tambah

oleh minyak wangi.

Margio tengah tertidur di pos ronda, berimpitan dengan

Agung Yuda selepas mabuk arak ketan putih, sambil mengigau

"ibuku bunting dan bakal beranak, menambah-nambah bocah

kurang urus di rumah" kala Jafar tetangga yang bertugas ronda

membangunkannya dan memberi tahu, "Ibumu hendak melahirkan." Udara malam dingin menyemut di kulit yang tak berbalut

selimut, hanya tergeletak beralas tikar dibuai angin menghantamhantam menerobos perkebunan cokelat runtuh datang dari laut.

Setengah mabuk dan pening Margio terbangun dan tak memahami makna kalimat si peronda, sebelum Jafar kembali mengulang dan menyuruhnya untuk pergi ke rumah Anwar Sadat, memanggil Kasia untuk bantu persalinan.

Terseok Margio pergi tanpa berkata-kata, melewati surau

sebagai jalan pintas dan berdiri di rumah Anwar Sadat dan mencoba mengembalikan segenap kesadarannya. Rumah itu remang,

hanya ada lampu teras dan lampu-lampu kecil mengeluarkan

cahaya dari celah pintu, menerobos jendela yang tertimbun

tirai. Mereka mestinya tengah lelap di malam beku keparat ini,

katanya, tapi seseorang mesti mengurus ibuku. Ia melangkah

mendekati pintu, menggelengkan kepala mengusir rasa pening,

dan menge?tuk tajam. Hening. Ia kembali mengetuk pintu, lebih

keras dan lebih berulang.

Terdengar seseorang berkerisut dari tempat tidur, dan itu

menghentikan Margio dari usaha membangunkan mereka lebih

lanjut, demi sopan santun. Didengarnya pintu kamar depan terbuka, menyeruakkan cahaya ke ruang tengah, dan tirai tersibak, di

balik kaca tampak wajah Laila. Sejenak selepas mengenali bocah

itu, Laila memutar kunci membuka pintu, ia mengenakan pakaian

tidur membikin Margio rada segan untuk menancapkan mata ke

wajahnya, sampai Laila bertanya, mendengus bau arak dari mulut

Margio.

"Kenapa?" tanya perempuan itu. "Kau mabuk mengetuk

pintu orang?"

"Tidak," jawab Margio. "Ibuku hendak beranak."

Sejenak Laila memandanginya, memastikan Margio sungguh

tidak mabuk dan mengigau, kemudian pergi meninggalkan

Margio dan pintu yang tetap terbuka mencari Kasia. Margio

berdiri melangkah-langkah di teras, mengembuskan uap ke permukaan tangannya guna merasai benarkah napasnya bau arak,

dan mendengus-dengus semakin banyak untuk mengusirnya.

Kasia muncul dengan kotak perkakas serupa kopor dan

gulungan-gulungan kain, kotak perkakasnya diberikan kepada

Margio untuk ditenteng, dan tanpa banyak cakap ia bergegas

pergi diekori Margio sementara Laila melipat pintu di belakang

mereka. Langkah Kasia memburu, kakinya seolah tak ada

henti bergerak, di umurnya yang beranjak tua itu, menyadari

beban tugas yang diembannya. Sebagian besar anak-anak yang

lahir di kampung itu datang ke dunia melalui tangannya, dan

seandainya Margio dan Mameh lahir di sana, pasti Kasialah yang

menggenggam me?reka pertama kali.

Di rumah, Mameh telah menunggu bersama seorang perempuan istri Jafar, sementara Nuraeni mengerang di tempat tidur.

Komar bin Syueb tak ada di rumah, tampaknya ini salah satu

malam-malam di mana ia mulai tak pulang, hengkang dan hanya

kembali saat lelah dan lapar. Margio melontarkan kata bangsat

mengetahui ketiadaan ayahnya, didengar Kasia membikin perempuan itu menghardik untuk tidak membuat kata-kata kasar.

Tak baik untuk bayi kecil, katanya. Margio hanya duduk di kursi

kayu ruang depan, sementara Mameh dan istri Jafar menunggu

di dekat pintu seandainya bidan Kasia membutuhkan sesuatu

atau meminta tangan mereka.

Padahal baru tiga hari lalu Mameh memandikan Nuraeni

dengan air kembang itu, pikir Margio. Bayi ini datang terlampau

cepat, meski telah cukup matang untuk hidup. Ia menanti gelisah,

seolah itu anaknya sendiri, menemukan rokok kretek dari celananya, dan merokok tanpa henti selama menit-menit yang menekan, mendengar suara Kasia yang terus memberi penghiburan

dan kata-kata dorongan, mendengar Nuraeni mengerang hendak

membocorkan si bayi kecil menuju dunia.

Menjelang pukul tiga malam, sebab Margio menoleh pada

jam dinding tak sabar, bayi itu terdengar tangisnya, memukul

dada semua orang. Bayi itu tak mungkin serupa Komar bin

Syueb, pikir Margio, tangannya gemetar mengapit rokok sebelum

itu dibe?namkan ke dasar asbak. Ia ingin menengok, melihat

serupa apa bayi itu, dan tetap bertaruh yang akan dilihatnya

makhluk perem?puan. Mameh dan istri Jafar masih di ambang

pintu, nyata belum waktunya bagi mereka masuk hingga Kasia

menyuruhnya, meski tangis si bayi telah mengiris malam. Istri

Jafar keluar membawa gulungan-gulungan kain, seprei dan

selimut, tampaknya penuh darah, ke kamar mandi. Mameh

menenteng bungkusan lain. Ada bau amis terbang melayang.

Kasia muncul dari pintu, membuka kaus tangan karetnya dan

memasukkannya ke kantung plastik, yang diberikan pada Mameh

untuk dibuang dan mengingatkan Margio untuk mengubur baikbaik bungkusan di tangan Mameh. Margio berdiri, tadinya hendak

mengerjakan itu, namun tertahan di pintu kamar memandang

pedalamannya.

Di sanalah ibunya berbaring, dengan si bayi terbalut rapat

oleh kain membelit-belit di sampingnya, tak lagi menangis sebab

mu?lutnya telah disumpal oleh putik dada Nuraeni. Tamasya itu

de?mikian sendu, di bawah remang lampu yang sampai hari itu

masih diperoleh dari rumah tetangga melalui seutas kabel yang
Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meng?gelayut di atap. Nuraeni memandangi wajah si bayi lekat,

mem?belai rambut di kepalanya yang tipis.

"Lihatlah, Komar," gumam Margio, "Wajahnya terkutuk

sangat bahagia."

Lima

Di bawah remang lampu penjual kacang rebus, ia secantik gadisgadis dekorasi guci Cina, dengan rambut lurusnya meriap lebat

namun lentur, begitu mudah tersibak liukan angin dan menari

kala sang pemilik melangkah mengikuti setiap polah sikap

tubuhnya. Ia setinggi seratus enam puluh, beratnya barangkali

lima puluh kilo, seramping burung-burung kuntul, dengan sepasang dada ranum merupakan kekayaannya yang tersembunyi,

belum terjamah, dan roman muka cerianya sungguh kenes,

bibirnya memagut setiap melempar kata. Ia bisa menaklukkan

siapa pun, tampaknya, sebagaimana begitulah namanya.

Maharani. Ratu segala ratu. Yang ketika tangannya tanpa ragu

menggapai tangan lelaki di sampingnya, Margio lelaki itu dibuat

tergagap dan hilanglah si anak muda perkasa penakluk babi liar,

serasa ia gadis imut malu-malu.

Orang-orang berjejalan di depan layar yang terpasang di

tengah lapangan, sementara di tentangnya teronggok mobil boks

kecil milik perusahaan jamu dengan seorang lelaki yang bicara

di depan mikrofon memamerkan khasiat jamu-jamu mereka sementara orang jemu menanti film segera berkisah. Orang-orang

ada juga berkerumun di sekitar mobil boks, membeli jamu

penguat kejantanan, jamu perapat mahkota perempuan, jamu

peramping tubuh, jamu nafsu makan, jamu masuk angin, jamu

lesu-letih, segala jamu sebab perusahaan itu mengiming-imingi

pula hadiah payung dan kipas angin dan jam dinding dan yang

termewah adalah televisi delapan belas inci.

Di belakang penjual kacang rebus, keduanya berdiri. Maharani

tampak serupa gadis kota sepenuhnya, berbulan-bulan telah menjadi

bocah universitas, tapi tampaknya tak ada lelaki di sana yang

berkenan untuknya, sebab ia selalu kembali dan mencari Margio.

Gadis ini mengenakan sweater kuning yang rapat di tubuhnya,

menghalau udara lembab dingin, dengan celana jeans berpipa

lebar, dan kaki mengenakan selop. Ia masih menggeng?gam tangan

si lelaki, yang menjawabnya dengan satu sentuhan canggung, dan si

gadis menarik-narik tangan Margio memagutnya manja.

Tak pernah mereka berpegangan tangan seperti itu, dan

Margio dibuat terpukau oleh keberanian si gadis merampok

tangannya. Itu membuat dirinya serasa lembek, dan tak berkutik,

bahkan tak mampu menoleh untuk melihat wajah yang demikian

dipujanya itu, menatap siluet manusia-manusia hilir mudik yang

dipantulkan layar, mencoba melarikan diri ke sana. Namun si

gadis terus memagut tangannya, menarik perhatiannya, dan itu

semua merontokkan peluh di kuduknya. Suatu masa ia pernah

pergi ke tempat pelacuran yang pertama kali, bersama rombongan

kawan, dan saat ia memperoleh giliran untuk menunggangi perempuan setengah baya yang membuncah di atas ranjang, Margio

sangat menggigil dan ngeri daripada berahi. Perasaannya sekarang melebihi kepanikan yang dirasainya saat itu, yang tertanggulangi hanya karena kecakapan si pelacur yang mengelus dan

membangkitkan hasratnya perlahan. Kini ia mencari pertolongan

entah pada siapa, berharap si gadis Maharani bisa membebaskannya dari keadaan kikuk tersebut, dan itu datang saat si gadis

menarik tangannya lebih kencang. Margio menoleh dan mereka

saling tatap, ada wajah kilau di sana, dengan bulu mata yang

berlekuk, hidung ramping, dan bibir bercelah terbuka.

Berkatalah Maharani kepadanya, "Tahukah kau, aku mencintaimu?"

Jika ia bukan anak Anwar Sadat dan adik dari Laila serta

Maesa Dewi, barangkali Margio semakin terkejut mendengarnya

mengatakan itu. Bocah ini tergeragap dan mengangguk pendek,

mencoba tak membuat si gadis sakit hati dengan balas memegang

tangannya, dan itu tampaknya membuat senang Maharani, hingga untuk sementara Margio bisa berpaling kembali memandang

layar kosong penuh bebayang dengan tatapan bolong.

Hubungan mereka tak pernah sedrastis itu, merentang sejak

tahun-tahun panjang yang lewat. Ketika Margio menemaninya

menerobos hujan dan malam sepayung berdua, kala itu mereka

masihlah bocah-bocah kecil, tapi bahkan telah dirasakan oleh

Margio rasa kikuk yang segan. Gadis itu sejenis kecantikan tak

tersentuh, pikirnya, seseorang yang duduk di kursi menonton

televisi bersama keluarga yang tak pernah memukul, dilindungi

kehangatan rumah, sementara dirinya duduk di bilah batang

kelapa yang menjadi kursi, di teras melihat televisi yang sama

menerobos kaca jendela, tak terlindungi oleh apa pun dari deras

angin malam dan percik air. Ada dinding yang memisahkan

mereka, tak peduli itu dinding kaca yang tembus pandang hingga

mereka bisa saling menoleh dan bertukar cerita tak terungkap,

dan dinding itu sebuah jarak yang jauh tak tergapai. Maka

ketika ia mendapati dirinya melangkah di bawah hujan tumpah

menimpa payung, bahu mereka kadang bersentuhan, begitu

pula kaki yang melangkah, berimpit meniadakan jarak, serasa

itu ketidaksenonohan yang tak termaafkan. Dan Margio selalu

merasa segan oleh keberadaan dirinya di tempat salah semacam

itu, bahkan hingga tahun-tahun yang datang.

Jauh di luar itu semua, dari dasar kelelakiannya, Margio menyukai gadis tersebut. Barangkali karena kecantikannya yang

asali, yang datang dari dunia di mana kecantikan sesungguhnya

berasal, atau barangkali disebabkan gadis itu terus-menerus melenyapkan jarak di antara mereka. Malam-malam jahanamnya selalu dihiasi wajah ayu tersebut, ia pun lupa entah sejak kapan,

dan Margio akan sangat menderita sebab bayangan jarak dan

ketidaksentuhan selalu menghantui dirinya untuk memiliki

Maharani. Baginya, rasa cinta yang sekonyong datang itu lebih

serupa gagasan cemerlang yang terlampau membingungkan

untuk men?jelma. Tapi Maharani, di sisi lain, telah jatuh cinta

kepadanya dari masa yang juga entah, dan semakin mencoba

untuk memastikan bahwa mereka bisa saling memiliki.

Malam penuh hujan itu hanyalah awal dari perasaan yang

berleret-leret tak karuan, mulanya barangkali tak lebih dari sebuah

persahabatan kecil dua anak. Mereka sebaya, bagaimanapun,

dan kemudian menemukan diri mereka sekolah di tempat yang

sama, di seberang lapangan bola dengan gedung yang abadi sejak

Belanda masih hilir-mudik tak lama selepas para tukang patok

berdatangan. Margio akan berbelok untuk menjemputnya di kala

pagi berangkat sekolah, sebab Maharani tengah menunggu di

sana, dan dua bocah berseragam melintasi lapangan bola berceloteh tentang karib-karib mereka. Barangkali di saat-saat semacam

itu dewa-dewi cinta terbang di atas keduanya, merajutkan tali

asmara dengan gencar, kadang putus namun lebih sering makin

terjalin kencang, hingga tak satu pun dari mereka menyadari

kapan persisnya mulai bermimpi tentang persekutuan, tentang

hasrat untuk berbagi dan memiliki yang lain untuk diri sendiri.

Dan kala tiba waktunya pulang, Maharani akan menanti di

ger?bang sekolah, atau Margio mesti menunggu, untuk berjejer

melintasi kehijauan rumput yang sama.

Ikatan redup yang timbul-tenggelam itu terus meringkus

ber?sama hari-hari Margio melewatkan banyak waktu di rumah

Anwar Sadat. Anwar Sadat telah memperlakukan bocah itu serupa anaknya sendiri, meskipun sekadar demi hal-hal praktis

butuhan akan tenaga anak lelaki, namun menyayanginya

keatas dasar kebaikan sikap Margio. Anwar Sadat tampaknya

mulai bercuriga anak bungsunya jatuh hati pada bocah itu, tapi

didorong bersikap tak peduli, tak hirau dengan macam lelaki

mana pun yang akan diambil anak perempuannya, setelah bosan

dengan segala peristiwa yang menimpa Laila dan Maesa Dewi.

Maharani akan memaksa dirinya untuk duduk di sofa yang

sama, melihat televisi sore berdua, serasa mereka sepasang kekasih terjinakkan yang semua orang mesti tahu bahwa keduanya

dilahirkan untuk menjadi pasangan tunggal abadi. Bahkan bersama berlalunya kebiasaan-kebiasaan tersebut, yang membawa

Margio mengakrabi rumah Anwar Sadat lebih karib dari rumahnya sendiri, yang menggiringnya untuk menikmati sekantung

keripik kentang bersama Maharani, tak menghilangkan juga sikap

kikuk yang mendasar dalam dirinya. Ia selalu, dan terus-menerus,

mengingatkan dirinya bahwa keintiman tersebut barangkali semu

dan hanya kesenangan sejenak. Maharani bakalan menemukan

seorang lelaki lain dan akan jatuh cinta kepadanya dan segera

melupakan seorang bocah bernama Margio. Bocah itu selalu

dalam keadaan bersiap untuk memperoleh waktu ketika nama

Maharani hanyalah sebuah kenangan manis di masa lampau.

Ketika Anwar Sadat mengirim si gadis ke timur untuk masuk

universitas, Margio melihat sebuah celah pembebasannya, sebab

jauh lebih baik untuknya melihat gadis itu memilih lelaki lain

dan mengabaikan dirinya daripada tersiksa oleh pikiran cinta

yang tak akan pernah terungkapkan. Keyakinan itu demikian

kental bahwa di universitas akan ada banyak lelaki, sebagian

besar cerdas keparat dan tak seorang pun akan lalai menyadari

seorang gadis cantik di sekitar mereka, dan lelaki-lelaki ini akan

ber?sitegang menaklukkannya, dan demi waktu Maharani akan

ter?jinakkan oleh satu di antara mereka. Margio ada di sana

mengiringi kepergiannya penuh harapan semacam itu, ikut menenteng tasnya yang penuh berisi pakaian. Maharani akan pergi

bersama Anwar Sadat dengan mobil travel yang menanti di

depan rumah mereka, di samping kelapa cina tersebut. Margio

melesakkan tas-tas besarnya ke bagasi sementara Maharani

mencium tangan ibunya, Laila, Maesa Dewi, lalu berdiri di

depannya serta sekonyong meminta cium tangannya pula.

Margio merelakan tangannya dikecup, membikin gemuruh ribut

di lambungnya, namun itu belum seberapa dibanding tangan

yang menggenggam serta-merta demikian erat, bukan untuk

sebuah kecupan perpisah?an, tapi untuk sentuhan penuh cinta,

di malam ketika perusahaan jamu memutar film cuma-cuma di

lapangan bola.

Dan kepergiannya ternyata tak juga membebaskan Margio,

sebab setiap sempat Maharani akan muncul meliburkan diri, dan

setiap kepulangannya ia selalu berharap Margio ada untuknya,

memilikinya untuk diri sendiri, dan rajut-rajut di antara mereka

bertambah-tambah rekat dan bukannya melonggar. Dalam pertemuan-pertemuan kecil semacam kencan tersebut, Maharani

akan berkisah tentang apa pun yang dikenalinya di universitas,

dan ia menceritakan itu seolah semuanya juga milik Margio.

Waktu itu Maharani belum menyentuh tangannya dan mereka

berjalan beriringan belum bergandengan tangan, meski iringiringan keduanya telah membuat orang sekampung bersepakat

keduanya saling jatuh cinta, atau versi istri Mayor Sadrah adalah,

"Gadis itu tergila-gila pada Margio."

Kini, malam film perusahaan jamu itu, si gadis tampaknya

mulai tak sabar untuk memastikan Margio tahu tentang cinta

yang tertanam kukuh di sekujur tubuhnya, dan kini jelas bagi

Margio bahwa gadis itu miliknya, meski rasa jengah dan risih

itu terus mengurung dirinya, masih menganggapnya sebagai

Maharani si cantik yang tak tersentuh.

Mereka mundur dari penjual kacang rebus ke sebuah gundukan tanah berumput tempat biasanya orang duduk kala ada

pertandingan bola, tepat di bawah pohon ketapang satu-satunya

yang rindang memberi kegelapan. Betapa dekat mereka berimpit

hingga Margio bisa menghirup aroma tubuhnya, dan sibak rambutnya menerpa wajah kala angin nakal menggelayutinya, dan ia

masih tak percaya gadis itu telah mengatakan cinta kepadanya,

suatu penegas bahwa wajah yang bulat telur ini, yang tetap bercahaya di dalam gelap, boleh dimilikinya untuk dibuat menjadi

mahakarya apa pun. Itu hanyalah gagasan liarnya, sebab ia masih

terhenyak di sana, menghirup bau tubuh si gadis serasa mencium

aroma roti di balik etalase toko yang tak terbeli.

Menyadari keterdiamannya, Maharani memungut tangan

Margio yang jatuh di tanah, menariknya dan melingkarkannya

ke tubuhnya sendiri. Kini Margio memeluk si gadis dengan canggung, tak tahu apakah ia mesti mendekapnya erat hingga menekuk jauh kulit pinggang si gadis, atau membiarkan tangannya

tergantung di permukaan sweater yang membalut Maharani.

Gadis itu merebahkan kepala, melingkarkan tangannya sendiri

ke tubuh Margio, hingga mereka semakin berimpit, dengan
Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

napas megap seirama. Jadi seperti inilah rasanya saling memiliki,

hampir ber?samaan mereka memikirkan itu, dan dewa-dewi cinta

berdengung di atas ubun.

Di lapangan orang-orang mulai cemas dan sebagian berteriak,

sebab malam bertambah dalam dan mereka telah bosan membeli

jamu. Si pedagang yang cerewet, yang menjual jamu seolah perusahaan itu miliknya sendiri, meminta maaf sebab masih ada

enam pembeli lagi yang menunggu, dan terutama karena televisinya belum dimenangkan siapa pun. Senyatanya, televisi itu

hanya barang pameran yang tetap tak beralih tangan hingga

akhir, perayu paling mujarab melebihi mulut berbuih si lelaki

di depan mikrofon tersebut. Lalu selepas pembeli keenam, ia

menutup pintu boks mobil, untuk dibuka kembali entar saat

pergantian rol film, dan kini cahaya proyektor telah jatuh ke layar

putih yang bergoyang disibak angin. Orang-orang bertepuk dan

sebagian ber?suit.

Sebagaimana telah diumumkan sejak seminggu sebelumnya,

itu film lama Cintaku di Kampus Biru, yang penuh cium pembangkit berahi.

Margio dan Maharani tak terlampau hirau pada film tersebut,

selain jarak pandang yang terlampau jauh dan suara yang lenyap

oleh keriuhan orang, mereka terjerumus dalam kegundahan sendiri untuk menafsirkan tubuh mereka yang masih terus berimpit,

bertukar rasa hangat dari udara yang semakin kental, sebab tampaknya nanti malam hujan lebat bakalan datang. Margio bahkan

bisa merasakan tubuh di balik sweater itu mengalirkan darah bertambah kencang, sebagaimana darah di tubuhnya sendiri.

Kemudian Maharani menggeliat dan kepalanya mendongak,

menatap dagu Margio yang mulai ditumbuhi bulu-bulu kasar

na?mun terpotong pendek. Mata itu masih di sana, seolah ada

sesuatu bergerak di dagu Margio dan ia tengah memerhatikannya

tak ter?ganggu, bikin Margio serasa lenyap napas, namun tersadar

ia mes?ti bersikap sebagai lelaki dan kekasih, maka ia menoleh

ke samping, balas menatap mata itu. Kini jarak mereka semakin

dekat dan mereka bisa saling bertukar udara yang dihirup,

merasai aroma napas bersama, dan kedua dada bergejolak jadi

satu. Mata si gadis yang teduh di bawah naungan bebulu lentik,

yang redup di antara cahaya kilas remang dari lampu jalan dan

rembulan tersapu kabut, memandangnya penuh permohonan,

dan Margio tahu apa yang diinginkan, namun ia tak tahu

bagaimana mem?berikannya.

Margio bodoh, pikir si gadis. Maharani memburu, dan Margio

hampir tersedak, namun mempertahankan harga dirinya sendiri, ia

diam menanti, hingga bibir si gadis menyentuh miliknya, ke?duanya

telah sama basah dan bibir itu menghujam deras dan me?reka sama

tak tahu bagaimana awalnya berciuman kecuali saling menyentuh

bibir dan berbagi rasa hangat dan merasakan lidah yang lembut.

Mereka tercerabut sejenak, menyadari keberadaan diri di

lapangan bola meski tak seorang pun mengintip, saling pandang

dengan mata berbinar di wajah si gadis dan tatap sedih di roman

Margio. "Ada hal yang kau tak tahu," kata Margio getir, lirih dan

tak terdengar oleh telinga si gadis maupun dirinya. Ada rasa sakit

menyadari telah mencium si gadis, namun ia belum juga bisa

mengungkapkan rasa pedih itu. Maharani sendiri tampaknya

mulai waspada pada sikap dinginnya, kini duduk tegak tanpa

bersandar ke bahunya lagi, membuat Margio merasa semakin

perih, di sisi lain takut kehilangan gadis terpuja ini. Maharani

memberinya pandangan tanya, namun hanya terjelaskan ketika

ia membuka mulut.

"Apakah kau tak suka aku?"

Pertanyaan itu menusuk. Tentu saja itu tidak, Margio sangat

memuja Maharani demi langit dan bumi, dan akan pedih hatinya

kehilangan sosok ini suatu masa, meski ia terus dibebani rasa tak

patut yang mengungkung. Bocah ini pendusta liar yang mencoba

jujur, mencoba mencari cara membebaskan dirinya dari rasa tertekan penuh tuduhan tersebut, dan berbisik.

"Aku gugup."

Untuk sementara itu membuatnya terbebas. Maharani tampaknya suka dengan gagasan, aku gugup. Itu sangat romantis,

pikirnya, menghadapi kekasih yang gugup. Tentu saja mereka

mesti gugup, sebab ini ciuman pertama, dan harus diakui

dirinya sendiri gugup tak main-main. Ia suka gagasan ini, dan

mengge?layut semakin manja pada Margio, seolah dengan cara

itu mereka tengah belajar bagaimana mengusir rasa semacam

itu. Hanya Margio yang mengutuki dirinya dalam hati, atas

ketololan keparatnya, yang tak juga mau mengakui bahwa dirinya

tak sekadar gugup, namun merasa tercabik dan luka. Sebab ada

sesuatu yang tak diketahui si gadis, yang menghalanginya untuk

merengkuh membalas cinta membara tersebut, sesuatu yang

lebih dari se?kadar jarak pemisah. Sesuatu yang membuatnya

memaki sebab tak juga sanggup mengatakannya.

Maharani pulang sehari setelah kedatangan Margio kembali,

barangkali gadis itu juga mendengar kematian Komar bin Syueb.

Maharani bilang sedang liburan, Margio percaya bahkan seandainya tidak liburan pun gadis itu akan pulang untuk menghibur

dirinya, menyapunya dari duka. Niat itu sungguh sia-sia, sebab

Margio tampak tak berduka sama sekali.

Setiap hari Maharani mendatangi rumahnya, bahkan

kadang ikut makan bersama mereka, membalas waktu-waktu

lampau kala Margio bersantap di rumah Anwar Sadat. Harihari itu mengintimkan keduanya, mengentalkan rasa suka yang

mengendap lama, dan tampaknya telah memberi keyakinan pada

si gadis untuk mengungkapkannya. Suatu kali Maharani bahkan

meminta dibawa ke kuburan Komar, dipenuhi keluguan bahwa

bocah itu akan membawanya ke sana, tapi Margio dengan tegas

berkata tidak. Maharani mulai mengenang cerita lama saat semua

orang mengatakan kegalakan Komar bin Syueb dan ia sendiri

pernah melihat bagaimana Margio kecil dihantam galah jemuran.

Ia baru menyadari bocah itu membawa luka yang demikian

panjang, dan berhasrat mengobatinya dengan cinta tulus.

Margio sendiri baru pergi tak lama setelah kematian Marian,

menghindari suatu kecerobohan ia bakalan membunuh Komar

bin Syueb sebagaimana dikatakannya kepada Mameh, sebab kini

ada harimau di dalam tubuhnya, dan ia belum juga mengerti bagaimana mengendalikannya. Ia pergi bersamaan dengan kepergian rombongan sirkus, dan sesungguhnya memang mengikuti

rombongan tersebut ke kota yang tak jauh, hanya satu jam perjalanan. Ia telah membujuk manajer Holiday Circus untuk memberinya pekerjaan serabutan, katakanlah memberi makan gajah

dan kuda. Manajer sirkus yang melihat tubuh kekarnya, dan mata

yang memohon, mengabulkannya, dan terbukti ia bisa mengerjakan banyak hal penuh kesungguhan. Tapi niatnya yang paling

asali tak lebih ingin melihat bagaimana pawang-pawang itu menaklukkan harimau mereka, mengintip saat mereka berlatih, selama dua minggu bergaul bersama orang-orang itu, namun sele?pas

penutupan pertunjukan berikut dan rombongan sirkus itu hendak

berangkat kembali ke kota-kota yang membentang sampai timur,

Margio melihat kesia-siaannya, dan mengerti harimau sir?kus itu

berbeda dengan yang bersemayam di dirinya.

Ia menerima upah dua minggu kerjanya, dan tak lagi mengikuti rombongan sirkus, namun menetap di kota tersebut

dengan harapan terus mendengar segala perihal akan kotanya.

Bagaimanapun ia tak bisa mencerabut dirinya dari sana, tak

peduli di kota itu bersimaharaja ayah yang kejam, sebab ia sekali163

dua merindukan ibunya, Mameh, dan lain kali menyelinap raut

muka si cantik Maharani, kawan-kawannya, warung Agus Sofyan,

surau, pos ronda, dan ia tak sanggup kehilangan itu semua. Di

sanalah ia berdiam, mewanti-wanti sopir dan kenek bis yang dikenalnya untuk tidak kasih tahu siapa pun bahwa ia ada, dan

mendengar kabar apa pun yang dibawa mereka.

Hingga suatu siang, seorang sopir bis memberitahunya,

"Ayahmu mati hampir membusuk."

Ia naik bis itu, duduk di tepi jendela yang dibiarkan terbuka,

hingga angin laut yang menerobos deretan pandan menerpa

wa?jahnya. Sepanjang jalan pikirannya menjelajah, seolah ayah

yang berbaring mati membusuk di depannya, dan baginya tak

ada keajaiban apa pun kecuali mendengar Komar bin Syueb mati

tanpa perlu ia menggorok lehernya.

Ia turun dari bis bersamaan dengan datangnya truk yang membawa rombongan pemburu babi, darahnya terkesiap menyadari ia

tertinggal dari perburuan penuh gelora itu. Puluhan ajak turun

dari truk terikat tali-tali kulit, melonjak-lonjak dan berpusing

di trotoar jalan sebelum seseorang membawanya ke pekarangan

rumah Mayor Sadrah tepat di pinggir jalan samping kantor rayon

militer. Dua ekor babi gemuk, dengan mata yang menatap kosong,

terikat kakinya ke bambu yang digendong empat pemuda untuk

setiap babi. Ajak-ajak itu bakalan senang jika hari adu babi tiba,

pikirnya, dan saat babi itu mati di arena adu, kemudian para pemakan daging babi di restoran-restoran milik orang Cina di tepi

pantai pasti akan berpesta. Mereka tampak penuh lemak, meski

dagingnya berserat banyak. Ada bau lumpur yang diakrabinya,

menambah-nambah rasa sesal ia tak bersama mereka. Margio

hanya melambaikan tangan, terutama untuk Mayor Sadrah,

sebab Komar bin Syueb belum juga dikuburkan.

Awalnya ia ingin menentang saat tahu Komar bin Syueb akan

dikuburkan berdampingan bersama Marian, tapi Mameh bersikeras sebab itulah permintaan terakhir ayah mereka. Melihat kesungguhan Mameh mempertahankan gagasan tersebut, Margio

menyerah dan membiarkan takdir bicara jika Komar bin Syueb

dibikin mati berkali-kali di neraka oleh dendam si kecil Marian.

Ia pergi ke surau sebab Komar telah dibawa ke sana, hari menjelang sore, dan ikut mendirikan salat jenazah. Ketika Kyai Jahro

bertanya kepadanya apakah ia ingin melihat wajah Komar, penuh

kesungguhan Margio menggeleng, seolah cemas jika ia melakukannya, Komar bin Syueb akan terbangun lagi.

Keranda mulai ditopang, Margio bahkan belum sempat rehat,

dan menerima keranjang penuh kelopak bunga dari Mameh. Apa

pula gunanya bunga-bunga untuk lelaki bangsat busuk ini, pikirnya. Namun sekali lagi, ia melihat tatapan mata Mameh yang

memohon dengan sungguh bahwa ia akan menyawer keranda

Komar dengan bebunga tersebut, dan tidak membuangnya ke

selokan. Margio baru menyadari, di rumah 131, Mamehlah tampaknya yang paling waras di antara mereka, dengan sikap tulusnya yang teruji nyaris tanpa dendam. Ia memandang adiknya,

ikut bersedih mengenang masa-masa gembira yang barangkali tak

pernah mereka miliki, seolah ingin berkata, sekaranglah saatnya

kita riang, setelah yang satu ini mampus ke neraka.

Kyai Jahro mengumandangkan doa dan beberapa kawan dari

truk yang masih berlepotan lumpur ikut mengiringi keranda.

Margio berjalan di belakangnya, meraup bebunga dan melemparkannya ke atas tubuh yang berbaring, membuat kelopak-kelopak

itu terbang serupa tirai penuh warna, memancarkan hawa yang

semakin bertambah murung, di antara riuh orang yang berdendang memuji Nabi. Mereka berjalan beriringan, menerobos setapak yang memotong perkebunan cokelat meranggas, di bawah

pijar matahari sore yang membikin segalanya mulai merah, ke

tempat permakaman Budi Dharma. Harimau itu menggeliat

di tubuh Margio, namun Margio menenangkannya, berbisik

lirih, lihat, lelaki itu telah mati, istirahatlah. Kembali tangannya

meraup kelopak bunga, melambungkannya, dan kini mereka

melambai pasi serasa enggan untuk jatuh, serasa mewakili

ketidaksudian pemiliknya, melayang tenggelam dan terhenyak di

jalan berpasir, sebelum lumat terinjak kaki-kaki yang berpijak.

Penggali kubur telah menantinya penuh sabar, bertopang

pada ujung tiang cangkul sambil menghirup lintingan rokoknya.

Be?narlah kata Mameh, liang kuburan itu menganga di samping

gundukan tanah milik Marian, dan Margio masih terkenang saatsaat ia membenamkan tubuh mungilnya di sana, menancapkan

nisan bernama dirinya. Kini ia berdiri di sampingnya, menjatuhkan segenggam bunga di atasnya, dan kecengengan yang tak terduga hampir juga membuatnya menangis.

Mereka menurunkan keranda dan menyingkap penutupnya,

kini tampak Komar bin Syueb berbaring berselimut kafan,

sejenis kain yang sama dipergunakannya untuk membalut orang

di tem?pat cukurnya. Kyai Jahro mengucapkan doa-doa yang tak

di?mengerti Margio, sebab pelajaran mengajinya tak tuntas betul,

pernah khatam namun tak pernah memahami makna, membuatnya sekadar mengangkat tangan dengan telapak tangan terbuka

sementara keranjang berisi kelopak bunga tersisa dijejakkannya

di gundukan tanah, ia amin berkali-kali mengikuti orang lain.

Kyai Jahro menutup doa dan orang-orang mengucap amin penutup, mengusap wajah dengan kedua telapak tangan, lalu penggali

kubur mulai turun ke dasar liang lahat, menyuruh Margio untuk

datang membantu. Margio mencincing celananya, lalu bergegas

turun, berdiri di samping penggali kubur, merasakan tanah

basah di hamparan kakinya, tanah yang akan menjadi rumah

penghabis?an ayahnya.
Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua orang kawan mengangkat tubuh Komar dari keranda,

dan memberikannya kepada Margio dan penggali kubur. Tubuh

itu demikian berat, sungguh tak disangka oleh Margio yang telah

melihatnya menjadi tua dan ringkih, apalagi ditambah cerita

Mameh betapa lelaki itu menjadi sakit renta selepas kepergian

Margio. Namun sungguh, tubuh itu berat, dua kawan di atas itu

merasakannya dan tampak keterkejutan di wajah mereka menilik

tubuh berkafan tersebut sesungguhnya tak lebih ramping dari

batang pisang, dan kini penggali kubur serta Margio dibuat

ter?kesima pula. Mereka sedikit terhuyung, kaki menekuk dan

mele?takkan Komar di dasar sumur kematiannya, dengan napas

tersengal dan di sana tubuh si mati meringkuk.

Ternyata lubang kuburan itu terlampau kecil untuk tubuhnya,

sehingga Komar tak bisa terbujur lepas di sana. "Demi Tuhan,"

kata penggali kubur setengah memaki, "aku telah mengukurnya."

Margio juga melihatnya, dan berpikir barangkali masih butuh

satu atau dua jengkal lagi. Maka dengan payah mereka kembali

mengangkatnya, bikin kain kafannya melorot tak karuan

dan digeletak?kan kembali di dalam sangkar keranda. Margio

menunggu di satu sudut liang lahat, sementara sambil bersungut

penggali kubur meminta kembali cangkulnya, dan menambah

sekitar dua jengkal liang kubur tersebut. Ia bekerja bergegas,

mencungkil tanah, me?lemparkannya ke atas, sebab hari semakin

petang dan warna me?rah merajalela.

Kembali mereka menurunkan mayat Komar, dan semakin

bertambahnya waktu bertambah pula beratnya. Entah bagaimana

bobot itu meningkat, tapi keempat orang yang membopong mayat

tersebut merasakannya, seolah di dalam tubuh itu tersimpan satu

beban yang membuncah. Margio berpikir pastilah itu dosa, dan

ia merengut dalam hati mesti ikut menanggung beban dosa sang

ayah di bahunya sendiri. Bersama penggali kubur, ia menjatuhkan

mayat itu demikian rupa untuk tak terlampau melelahkan diri.

Kini mereka melihatnya lagi, kuburan itu masih terlampau

sempit bagi Komar bin Syueb. Tak ada yang tahu apakah tubuh

itu terus memanjang sebagaimana bobotnya semakin bertambah,

atau kuburannya menyempit kembali selepas penggali kubur menambahnya. "Demi Tuhan," kali ini penggali kubur sungguh

me?maki, "Tanah ini tak sudi menerima tubuhnya." Margio dan

lelaki itu mesti melemparkan kembali mayat tersebut dengan

payah ke dalam keranda, dan liang kuburan kembali ditambah,

dua jengkal. Mereka menurunkannya, kembali sesak, menambah

liangnya dua jengkal, menurunkannya lagi dan tetap sesak, seolah

liang itu mengatup dan enggan melahapnya.

Wajah penggali kubur mulai pucat diterpa angin sore menggigilkannya, didera rasa lelah yang menjadi-jadi. Di sampingnya

Margio perlihatkan muka yang mulai marah, darah segar membikinnya merah. Semua mereka memandang Kyai Jahro yang

ber?diri di atas gundukan tanah, tampak sang kyai juga gelisah.

Kini ia tampak bergumam, merapalkan doa memohon pada

Sang Hakim untuk menerima tubuh itu sebab manusia hidup

tak meng?inginkannya tak terkubur dan membusuk. Sepanjang

doanya yang gumam, daun-daun berguguran dan angin

berembus tam?bah galak. Mata sang kyai terpejam, mulut tak

henti bergerak, sebelum ia membuka muka, menatap mayat

yang meringkuk di bawah sana, lalu memandang orang-orang,

dan berkata, "Kuburkan dengan cara apa pun."

Demikianlah Komar bin Syueb dibenamkan di sana, tak peduli

ruang yang sesak baginya, hingga tubuhnya mesti menekuk serupa anjing meringkuk. Setiap orang yang melihatnya merasakan

derai rasa iba itu, bahkan Margio yang lama membencinya, tapi

barangkali itulah kutukanmu, pikir Margio, memandang tubuh

yang serasa tengah menahan sakit. Margio dan penggali kubur

mengganjal tubuhnya dengan gumpalan-gumpalan tanah, agar

tak berguling, sebab cacing-cacing ingin memakannya tak terganggu, kemudian memasang kayu-kayu penopang, berderet

me?nutupi bebayang putih kain kafan. Deretan kayu tersebut

menjadi benteng kukuh yang memisahkan dunia hidup dan

mati, dan di sanalah Komar bin Syueb terkurung, merenungi

akhir hidupnya.

Hari telah sungguh remang ketika mereka menguruknya dengan tanah merah bercampur pasir. Penggali kubur menginjakinya

perlahan, namun tidak sampai padat, sebab selalu merupakan

tindakan berjaga-jaganya seandainya si orang mati hidup lagi dan

menyisakan kemudahan baginya untuk kembali menggali. Ia

me?nancapkan nisan bertuliskan nama lelaki itu semasa hidup,

ber?deret dengan nama ayahnya, menghiasinya dengan batu-batu

kerikil kecil. Didorong rasa ibanya yang aneh, Margio menancapkan batang pohon kamboja di salah satu ujung kuburan, dan melemparkan kelopak-kelopak bunga yang tersisa, meruapkan bau

mawar dan melati dan kenanga. Komar bin Syueb ditinggalkan

di sana, bersama angin laut dan hantu-hantu.

Kini mereka kembali menenteng keranda kosong, sementara

udara semakin hening, menempuh jalan pulang dengan langkah

bergegas. Peluh mengucur di dahi Margio, namun ia tak ada merasakan lelah, dan mulai memandang segala sesuatunya dengan

cara yang sedikit menyenangkan. Berkali-kali ia memberi tahu

dirinya, pikirkanlah, jahanam itu telah mati, kini semua di

tangan mereka bagaimana hidup selanjutnya hendak dijalani.

Di rumah Mameh telah menunggu, mengadu padanya habis

ditampar ibunya, dan Margio tercenung apakah Komar bin Syueb

telah mewariskan kekejian itu pada Nuraeni, namun demi mendengar penjelasan Mameh, hendak ketawa juga ia jadinya. Namun

gagasan Mameh tampaknya benar, ada baiknya juga membiarkan

perempuan itu kawin lagi. Ia masih terlampau muda, berapaBelum empat puluh, pikir Margio, dan belum saatnya untuk

men?jadi janda dan membusuk. Ia akan sangat bahagia siapa pun

lelaki yang hendak mengambilnya bini, asal tidak lelaki serupa

Komar, dan suatu jaminan tak akan kasih polah bengis kepadanya.

Margio akan melakukan apa pun demi kedamaian Nuraeni, dan

kawin merupakan satu yang dipikirkannya sebagaimana Mameh.

Hanya saja tampaknya memang terlampau tergesa mengatakan itu

di kala lakinya mati di hari yang sama. Sebenci apa pun Nuraeni

pada Komar, ia bakalan menampar Mameh untuk mulut lancang

anak perempuannya. Margio menghibur Mameh bahwa bersama

berlalunya waktu, ibunya akan pulih dari segala kesintingan, dan

mereka akan mendapatkan perempuan yang manis itu.

Mameh kemudian menyuruh Margio untuk memotong ayamayam Komar yang tersisa. Awalnya Margio enggan, tak bisa memahami gagasan Mameh yang hendak membikin selamatan

untuk lelaki yang bahkan ditolak bumi. Ia tak menceritakan kejadian di kuburan itu, takut menambah duka Mameh, namun

tetap enggan mengikuti maunya bikin acara mendoakan lelaki

paling keji yang pernah dikenalnya. Tapi kembali Mameh bersikeras, menyadarkannya orang mati tetap butuh selamatan, dan

Komar masih menyisakan beberapa ekor ayam dan kelinci. Melihat gadis yang mulai mengendalikannya dengan penuh kewarasan itu kembali Margio menyerah dan meminta bantuan

seorang kawan untuk memegangi ayam-ayam tersebut, dan

menenteng pisau dapur ia mulai memenggali leher mereka, sementara Mameh bersiap di dapur.

Itu membuat Margio terkenang saat-saat ia sering mencuri

ayam Komar untuk menunjukkan rasa sebalnya. Tampaknya

Komar tahu siapa yang sering mencurinya, tapi disebabkan saat

itu Margio telah tumbuh jadi pemuda akhir belasan tahun, Komar

tak lagi berani mengadu untung dengannya. Mameh juga tahu

siapa yang mencuri ayam-ayam itu, sebab ia bisa menandainya,

mendengar Komar mengeluh kehilangan seekor ayam di Kamis

pagi. Satu-satunya kecurigaan mestinya ditujukan untuk para

peronda di malam Kamis, dan Margio ada di antaranya, sejak

bertahun-tahun lalu menggantikan tugas ronda ayahnya sebagaimana berlaku bagi anak-anak lain yang menggantikan tugas

ayah-ayah mereka.

Ayam-ayam telah dipotong dan Mameh menenteng ember berisi

air panas tempat mereka dibenamkan di sana. Ia telah bersiap untuk

menguliti, sementara di dapur kompor telah menyala menjerang

air untuk merebus daging, dan rupanya Mameh telah bersiap pula

dengan nasi yang tanak saat mereka pergi ke permakaman Budi

Dharma. Saat itulah Nuraeni muncul di ambang pintu, sementara

adzan Magrib mulai dilantunkan Ma Soma dari surau, memandangi

kesibukan mereka. Roman muka?nya tak memberi pertanda apa

pun, wajah itu dingin, semakin keruh sejak kematian Marian dan

kini ditambah tumbangnya Komar. Margio menoleh dan hanya

memohon pada semesta, se?moga waktu bisa memberinya sedikit

riang yang pernah dilihat saat Marian dilahirkan ke dunia.

Bayi itu telah hampir sekarat sejak Margio melihatnya, kecil

tak lebih besar dari betis kakinya sendiri, hanya kepala yang

sedikit membesar, namun dengan rongga cekung dan dagu

menonjol, sejenak serupa belalang. Margio tak melihat itu awalnya, sebab si bayi merah masih terbungkus kain belit-membelit,

dan selimutnya sedikit memalsukan dirinya serasa itu gemuk,

sebelum pagi ketika Mameh datang membawa rantang air hangat

dan Nuraeni membuka gulungan kain si bayi untuk membasuh

tubuhnya. Demikianlah belalang itu tampil mengenaskan, tangis

kencang yang diteriakkannya menjelang subuh tak lagi muncul

kecuali tergolek dengan mata separuh terpejam.

"Tampaknya ia bakal mati," kata Nuraeni.

Air susunya tak mengalir deras, malahan sekonyong habis oleh

sedotan pertama si bayi. Kasia datang menjelang sore memberi

susu dalam botol, namun bayi mentah itu hanya mencicipinya

dengan enggan, hanya mengatup-buka mulut mungilnya dan

susu meleleh di pipinya. Napas kecilnya bergerak kencang, kadang ia menangis kecil, namun lebih banyak bisu seolah bakalan

jadi gadis kecil manis tak banyak polah. Margio duduk di sebuah

kursi di samping tempat tidur ibunya, penuh kecemasan memandang kehidupan yang rapuh tersebut, hanya memandang Nuraeni

dan Mameh dan mereka saling bertanya dalam hati apakah si

kecil itu akan sanggup melihat matahari besok.

Margio menghirup udara kamar yang lembab, masih bau

amis sisa persalinan dan merasai ketidaksehatannya. Langitlangit bilik bambu itu berhias genangan cokelat oleh rintik air

hujan yang memercik dari atap, dengan kapur mengelupas dan

laba-laba tak ada henti membangun sarang. Ada lampu kecil

kemerahan ter?gantung, tak memberikan kehangatan macam apa

pun, dan tak memberi terang pula. Kain-kain bertumpuk di satu

sudut kasur, juga pada keranjang, dan tas sekolah usang Mameh

di atas lemari, sepatu-sepatu tak terpakai di kolong tempat tidur.

Bagi Margio, semua itu tampaknya tengah bersekongkol untuk

mencekik si bayi kecil.

Ia berdiri dan meminta izin membuka jendela, Nuraeni dan

Mameh tampaknya sepikiran dengannya, maka merayaplah Margio

mendorong mencari cahaya yang datang dari pekarangan samping

rumah, bersama hawa segar yang bergelombang menyatroni

kamar. Itu sedikit menghangatkan, dan memberi aroma dedaunan

serta bebunga, dan tanah gembur. Sepercik cahaya me?nyentuh si

bayi, Mameh memindahkannya cemas itu bakal men?jadikannya

gosong, namun si bayi masih juga setengah terpejam, seolah tak

merasakan kehadiran semesta indah yang datang me?nyambutnya.

"Tampaknya ia bakalan mati," kata Nuraeni lagi. Roman perempuan ini menjadi sedih selepas kalimat keduanya, menyapu

seluruh riang yang berlabuh di wajahnya. Tak ada senyum penghiburan di bibirnya, juga tak lagi bersuara kecil dalam dendang

nina bobo, dan tangannya tak lagi membelai rambut jarang si

bayi mentah. Kini ia memandangnya dengan mata sayu, serasa

tengah menghadapi mayat sungguhan, atau ia tahu kematian

bayi ter?sebut memang telah ditakdirkan dan ia tengah melihat

bagaimana jiwa si kecil melompat dari raganya. Margio tak

sanggup melihat tamasya tersebut, baik si bayi maupun ibunya,

sebab ia pun tak mampu mengusir rasa cemas tersebut, dan pilih

meninggalkan kamar menghindari menyaksikan proses kematian

dan kejatuhan mendalam seorang ibu yang sedih.

Sepanjang hari itu Komar bin Syueb masih juga belum

pulang, dan ingin benar Margio memenggal kepalanya. Lelaki itu

tam?paknya tidak pergi ke kios cukurnya, sebab kotak perkakas

itu ada di kamarnya. Tapi sepedanya lenyap, begitu pula ayam

bangkoknya. Margio segera tahu Komar pergi ke tempat sabung

ayam di reruntuhan stasiun kereta sejak kemarin sore, dan hanya
Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tuhan yang tahu di mana semalam dirinya.

Stasiun itu tak jauh dari 131, beberapa ratus meter ke arah

belakang, dan kini Margio pergi ke sana dengan tangan melesak

ke kantung celana, melewati deretan rumah, hanya mengangguk

pendek kala jumpa seorang kawan, menerobos pabrik batu bata

hingga ia sampai di dua batang besi rel yang berjejer nyaris tak

ada ujung. Jalan kereta api itu telah lama tak lagi berguna, papanpapan kayunya telah lapuk, besinya berkarat, dan sebagian lenyap

tenggelam dalam arus rumput liar setinggi lutut. Rumah-rumah

sekitar kini memakainya untuk menggelar kasur dijemur, yang

lain menjejer kayu bakar memanggangnya di bawah terik, yang

lainnya lagi menghamparkan terpal dan memandikan gabah

dengan cahaya matahari. Beberapa penggembala membiarkan

domba-domba dan sapinya menghabiskan rumput liar tersebut,

meski tak pernah terpangkas betul sebab mereka tumbuh lebih

cepat daripada hewan-hewan mencerna, dan para pejalan mempergunakannya sebagai jalan pintas yang lengang tak hiruk-pikuk.

Margio masihlah ingat waktu kereta masih ada, tak lama sejak

kedatangan mereka di sana. Rute itu merupakan jalur buntu,

dan beberapa kilo ke arah barat kereta bakalan bertemu stasiun

peng?habisan. Hanya ada satu kereta melintasi rel membentang

itu, bolak-balik sendirian, sebab itu ia bisa berhenti sesuka hati

tanpa waswas bertubrukan dengan sesama. Ada lelucon seorang

pe?numpang bisa turun di depan rumahnya dan tidak di stasiun,

dan penumpang lain menghentikannya untuk ikut naik, dan lain

waktu masinis menarik rem sebab rel kereta dipenuhi kayu bakar

atau onggokan tubuh sapi, untuk sejenak mereka mesti mengusirnya sebelum melanjutkan perjalanan. Bagaimanapun lelucon

itu benar sepenuhnya, sejauh yang diingat penduduk kota.

Hingga suatu hari kereta tak pernah lagi datang, tanpa kabar dan

penjelasan, serupa pacar yang enggan melanjutkan hubungan.

Tapi kepala stasiun masih ada di tempatnya, tak ada orang

yang tahu apakah ia pensiun atau masih menunggu kereta hantu,

tinggal di samping gedung tua yang menjadi ambruk bersama

datangnya hari, dan orang-orang masih memanggilnya sebagai

Kepala Stasiun. Gedungnya sendiri tak tertempati, perkakasnya

hilang satu persatu, hanya meninggalkan gentanya yang abadi,

serta papan nama. Kotak penjualan tiket telah dipergunakan

beberapa orang pelacur menjual kekayaan badaniah mereka,

beralas tikar daun pandan, dan peronnya mulai dijejali kandangkandang merpati serta kurungan ayam. Itulah istana para petaruh

sabung ayam dan totoan merpati, setiap sore yang cerah bisalah

dilihat iringan burung-burung itu terbang di atas rel lebih cepat

dari loko?motif yang pernah mereka miliki, dan di sudut yang lain

ayam-ayam melompat menguji taji ke tubuh sesama.

Bagaimanapun, ketika Margio datang ke sana, hari masih terlampau dini untuk semua hiruk-pikuk tersebut. Ia hanya menemukan ibu-anak gelandangan tergolek di atas kardus dan seekor

anjing mengaduk sampah.

Tak ada seorang pun bisa ditanyai perihal Komar bin Syueb.

Margio hanya bersandar pada palang, dahulu untuk mengganjal

kendaraan lewat sementara kereta melesat, menampilkan wajahnya yang paling keruh. Seharusnya bajingan itu ada di sini, pikirnya, sambil melihat kotoran ayam dan merpati berceceran di teras

stasiun seolah mencari yang mana kiranya telah dikucurkan bokong bangkok Komar bin Syueb. Ada orang-orang datang mendaki jalan yang membukit melintasi rel, mendorong sepeda mereka yang diganduli pisang-pisang hijau tua serta karung-karung

tak jelas apa isi, tampaknya hendak ke pasar, dan perempuanperempuan menenteng keranjang hendak pulang belanja. Ditendangnya kerikil, dan ia pergi lagi berjalan di seruas besi sambil

berjaga keseimbangan tubuh.

Stasiun tak pernah menjadi tempatnya, sejak kereta api

hilang. Dahulu kala, saat ia masih terpesona oleh lokomotif yang

mendengus-dengus dengan cerobong mengepul kelam, Margio

sering lewatkan sore untuk memandanginya. Kadang naik ke

lokomotif saat mereka melangsir, ikut berputar bersama bocahbocah pe?riang yang bergelantungan tak ada takut. Lain waktu,

sementara kereta berdengung di kejauhan, ia menaruh sebuah

paku sembilan inci di atas rel, membiarkannya gepeng terlindas

roda ganas kereta, dan setelahnya ia bakalan punya pisau kecil

yang cukup dipalu-palu sejenak untuk membikinnya lebih tajam.

Kadang kakek-kakek tua yang memergokinya sering takuti dirinya

bahwa jika ia melakukan itu, barangkali kereta bakal terguling.

Tapi Margio tak percaya dan terus melakukannya. Bahkan

suatu tempo mereka menabrak sapi gemuk, dan tidak terguling,

malahan sapinya terbelah dua nyaris.

Komarlah penguasa stasiun, bersama kawan-kawannya para

petaruh, terutama sejak Nuraeni sinting menjadi-jadi, dan

belukar bunga tumbuh di depan rumah, dan bininya hengkang

tak lagi mau tidur dengannya. Hampir setiap sore, selepas balik

dari kios cukur dan mengempaskan sepeda ke gerumbul mawar,

ia akan menenteng si bangkok dan pergi ke sana. Di bawah lampu

mer?kuri yang masih menyala sejak masa stasiun hidup, ia bisa

ber?tahan hingga malam, kadang sama sekali tak mengadu, hanya

menonton dan kasih makan ayamnya, dan memandikannya

dengan apa yang ia sebut sebagai ramuan.

Tak seorang pun di rumah peduli dengan urusannya ini, dan

terlebih dengan masyuknya Komar bersama jagonya, ia jadi tak

banyak bersikap bengis di rumah. Naluri hewaniahnya tampak

tersalurkan di stasiun, dan mereka memperoleh sedikit rasa damai

dari amarah dan pukulan, hingga tiba hari ketika Komar mengamuk menemukan istrinya bunting, namun itu pun malahan

mem?buatnya semakin sering tak ada di rumah. Seseorang berkata

pernah melihat Komar tidur di stasiun, barangkali bersama

pelacur di kotak penjualan tiket, dan Margio yang mendengarnya

tak peduli. Semakin Komar tak ada di rumah, semakin ia tak

men?cemaskan keadaan ibunya, yang waktu itu telah babak belur

mem?peroleh hajaran.

Kini tak ada tanda-tanda lelaki itu di sana, meskipun ia hengkang bersama jago bangkok tersebut. Barangkali ia berselisih

dengan seseorang, seseorang itu menggorok lehernya, memotongmotong tubuhnya, memasukkannya ke dalam karung sebelum

membuangnya ke sungai diganduli batu. Komar bin Syueb hilang

untuk selama-lamanya, dibawa kebungkaman sang pembunuh,

dan memikirkan itu menyenang-nyenangkan Margio yang kini

pulang lesu sepanjang rel hendak menerobos kembali pabrik

batu bata.

Di rumah, lelaki itu ternyata telah teronggok di atas kursi,

mengisap rokok kreteknya, sementara di pekarangan si jago bugar

di dalam kurungan yang dibebani batu biar tidak tersibak angin

atau diterjang si unggas. Dongkol sekali Margio dibuatnya, dan

ada terbersit di hatinya untuk memaki, bertanya dari manakah

engkau, Tuan. Tapi demi melihat wajah lelah itu, dengan garisgaris bergulir sekujur permukaan kulitnya, rasa sedih lain menyelinap ke jiwanya, memandang lelaki yang pada hari ini, barangkali belum, melihat seorang bayi dilahirkan istrinya dan bayi

itu bukan anaknya.

Duduklah Margio di tentang jauh, memandanginya tanpa kata,

berpaling ke pintu kamar di mana Nuraeni masih memandang

duka si kecil yang sekarat dan Mameh menungguinya, dan kembali lagi pada Komar dengan karat menggerogoti umur senjanya.

Keluarga itu lengkap sekarang, namun tampak tak terhubungkan

oleh apa pun selain sebuah ruang remuk. Itu membuat mereka

semua gelisah. Komar menoleh pada Margio, sejenak saja, tak

sanggup berbalas tatap, dan kembali merenungi kretek di jarinya.

Margio menatap kosong, setengah terpejam, bahkan tak tahu

apa yang tengah dipikirkannya, hanya merasai napas sendiri.

Hanya Mameh yang bergerak, keluar mengembalikan rantang

air ke dapur, lalu kembali ke kamar dan duduk di tepi tempat

tidur. Nuraeni mendongak melihat Margio, ini pun sejenak saja,

sebelum menekun si bayi yang mulai tertidur, barangkali tak

akan bangun lagi.

Tapi ia masih hidup ketika hari baru datang, walau tetap

mungil dan semakin tak banyak gerak. Susu ibunya telah tuntas

kering, dan susu dari Kasia hanya terjilat kecil walau Nuraeni

mencoba membenamkan itu di mulutnya. Rongga matanya

bertambah-tambah cekung, dan dagunya semakin menggelayut,

ataukah pipinya yang semakin lenyap? Bahkan bau ajal serasa

mengapung, seperti kebul nasi di atas panci.

Bahkan selama hari payah tersebut, sementara si bayi bertarung dengan malaikat maut yang hendak membawanya ke

surga, Komar bin Syueb tampaknya tak juga mau sudi melihatnya.

Tak pernah sekalipun ia masuk ke kamar, dan si bayi tak pernah

sekalipun dibawa keluar, sebab ibunya takut angin akan membawanya pergi tak kembali. Si ayah busuk ini hanya duduk di

kursi depan, menghabiskan rokok kretek, lalu jika perut minta

isi, ia pergi ke dapur dan makan sendiri, tanpa meminta tanpa

menawari. Margio masih di tempatnya, selama itu ia tak banyak

beranjak, bahkan tidur di kursi dan sejenak melupakan kawankawannya, menonton adegan-adegan seolah sebuah lakon dimainkan di rumah mereka, dan ia tengah mengawasi seandainya

seseorang memerankan satu bagian yang tak semestinya.

Pukul sembilan Komar kembali ke kios cukurnya, dan mereka

damai sejenak, meskipun Nuraeni tak tersembuhkan sama sekali

dari kecemasan kehilangan si kecil. Margio sesungguhnya tak terlampau cemas dengan kehidupan bayi itu, ia lebih khawatir jika

boneka setengah hidup itu mati, kesintingan semakin merajalela

melanda ibunya. Pada saat itulah ia berharap Komar melakukan

sesuatu, tak peduli itu bukan darahnya, demi Nuraeni, dan tak

sekadar memandikan ayam jago semata. Namun jelas bagi siapa

pun, Komar tampaknya merayakan kepayahan anak haram jadah

tersebut, dan sepenuhnya berharap kematiannya.

Pada hari ketujuh, lelaki itu malahan menghilang, padahal

mereka tengah bersuka ternyata si bayi mampu bertahan sejauh

ini, hanya dengan tetesan susu botol yang dijilatinya dengan

payah. Nuraeni, Mameh, dan Margio mulai merasa penuh pengharapan. Jika ia bisa bertahan selama seminggu, maka ia bisa

terus hidup sampai bertahun-tahun, meski sosok tubuhnya tak

menan?dakan ia bakalan terus bernapas dalam beberapa menit

ke depan. Mulai ada senyum kembali di wajah Nuraeni, dan

kini perempuan itu mulai bernyali untuk membawa bayinya

keluar kamar, ber?balut kain yang membentenginya dari segala

marabahaya.

Tapi Komar pergi lagi dan tak jelas di mana hidungnya, padahal ia mestinya kasih nama, sebab bagaimanapun anak itu lahir

di sini, dan semua orang hanya tahu itu anaknya. Margio kembali

mencarinya, dan kembali tak menemukannya. Ia tak membawa

perkakas cukur, juga tidak si jago aduan. Nuraeni telah bersiap

sejak pagi di kursi depan, menyanyikan nina bobo yang menghasut sambil mengayun si bayi lirih di pangkuannya, dan berbisik

sebentar lagi kau akan bernama. Tapi Komar hengkang dan tak

ada pertanda akan kembali.

Mamehlah yang kemudian menyuruh Margio untuk mencukur saja si bayi. Tanpa keramaian dan tanpa karnaval, ia membongkar kotak perkakas ayahnya dan mencari gunting kecil serta

silet pencukur. Si bayi masih setengah terpejam di pangkuan

Nuraeni, kerepusnya diturunkan dan Margio membasuh rambut

tipisnya dengan telapak tangan yang basah. Dengan dua jari, perlahan ia mengapit sejumput rambut hitam legamnya, lalu tangan

lain mengangakan gunting, memangkasnya, dan rambut tanggal

itu dihamparkan di selembar kertas yang disediakan Mameh

di meja. Berat rambut yang tanggal mesti diganti beras dengan

bobot yang sama untuk diberikan pada seorang fakir miskin,

maka Margio dan Mameh menjaga tak sehelai rambut pun

terbang mengurangi hak orang lain.

Mereka menyelesaikannya dalam sepuluh menit, dan Nuraeni

tampak berkaca-kaca saking senangnya. Kini si bayi gundul

plontos, ditutupi kerepus dari udara mengancam. Namun ia belum juga bernama, maka Margio berkata pada ibunya, "Beri ia

nama."

Demikianlah kemudian Nuraeni memberinya nama Marian,

muncul begitu saja dari mulutnya. Barangkali itu nama seorang

tokoh dalam sandiwara radio yang tengah populer di waktu-waktu terakhir, yang sering didengar Nuraeni sebab tetangga sebelah

selalu meletakkan radionya di halaman pada sebuah kursi setiap

pukul setengah tiga sore, dan orang-orang jongkok di sekitarnya

mendengarkan suara tanpa mulut. Atau ia memperoleh nama

itu jauh dari masa gadisnya, seseorang yang ia kenal. Tak seorang

pun di antara Margio dan Mameh mempertanyakan makna nama

tersebut. Ia telah bernama, Marian, bagi siapa pun di rumah itu

telah cukup.

Tapi bayi tersebut mati tak lama kemudian, hanya berselang

jam-jam yang lewat dengan lesat, dan ayam bangkok yang di?potong

Margio dengan penuh dendam serta dimasak Mameh bah?kan
Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belum habis pula disantap. Bayi itu mati tanpa bilang-bilang,

redup begitu saja seperti senja yang menjadi gelap. Sangatlah sedih Nuraeni, tapi dengan tubuh yang mencoba kukuh ia pergi ke

taman belukarnya, memetiki bebunga sambil mendendangkan

lagu-lagu sedih membanjirkan air mata.

Inilah yang tidak diketahui oleh si gadis Maharani, bahwa ada

luka dalam di keluarga tersebut dan segalanya tersangkut-paut

dengan si gadis sendiri. Malam di pemutaran film perusahaan

jamu tersebut, Margio masih mengecamuk diri dengan pikiran

apakah ia mesti kasih tahu bahwa Marian adalah anak Anwar

Sadat, dan tidak mungkin bagi mereka untuk menjadi sepasang

kekasih, demi sejarah keluarga yang sengkarut ini. Tapi dorongan

untuk menguak borok tersebut selalu terjegal oleh rasa pemujaan

yang mendalam padanya, ditambah-tambah si gadis yang menunjukkan cinta nyaris tak ada ujung, saling mendekap di sudut

lapangan bola, berciuman, walau Margio masih beku dikutuk

takdir.

Gadis itu masih berpikir sikap tak hangatnya disebabkan

rasa gugup yang tak pergi-pergi, dan terus-menerus mencoba

melumerkannya dengan sentuhan-sentuhan menggoda. Margio

hanya menoleh dengan tatapan tersayat, menyadari ia bakalan

kehilang?an dirinya, cepat atau segera, dan bertanya-tanya kapan

ia akan menghentikan seluruh persekutuan memabukkan ini.

Ia tak mungkin mengisahkan apa yang dilihatnya suatu

hari, tak lama setelah Komar bin Syueb menemukan Nuraeni

tengah bunting dan dihajarnya hampir mampus. Nuraeni tidak

mampus, malahan terus berdendang dan berias, sementara

Komar pergi. Ada memar di tubuhnya, tapi tak terasai betul, dan

Margio dibuat terpesona oleh daya tahan perempuan tersebut.

Semua siksa itu tak membikin dirinya kehilangan roman riang

yang menjadi miliknya di hari-hari terakhir, membuat Margio

ingin mengetahui siapa sesungguhnya yang telah mendatangkan

rasa suka melimpah-limpah kepada ibunya.

Pagi itu ia masih pergi ke rumah Anwar Sadat, selepas

kepergian Komar ke kios cukur, dan Nuraeni pulih ajaib dari

semua memar, sebelum pemukulan-pemukulan datang kembali

bertubi dan menjatuhkannya lama di tempat tidur hingga si bayi

Marian lahir sebelum waktunya. Nuraeni tampak segar, serasa tak

ada aniaya, bergaun cokelat muda, bergegas pergi dengan perut

mulai bundar. Diam-diam Margio mengikutinya, dengan langkah

kecil tak acuh, tidak masuk ke rumah Anwar Sadat, tapi berbaring

di bangku depan surau. Waktu itu ia telah mulai bercuriga Anwar

Sadatlah orangnya, mengetahui otak busuk dan mata-keranjangnya,

dan kenyataan bahwa Nuraeni tak pernah pergi ke lain tempat

sebanyak ke rumah itu. Ia hanya ingin membuktikan?nya, meski

setelah tahu ia belum juga ada pikiran hendak berbuat apa.

Kakinya menyeret, yang kiri menyusul yang kanan dan

disusul yang kiri kembali, langkah gontai menuju rumah yang

diakrab?inya. Margio tahu di sana ada Anwar Sadat, Maesa

Dewi dan bayinya, dan ibunya, dan tak tahu jika dugaannya

benar, dengan cara apa mereka membuat anak. Ia masuk

melalui pintu samping tanpa mengetuk, sebagaimana terjadi

sejak bertahun-tahun lam?pau kecuali kesempatan-kesempatan

langka saat ia terpaksa un?tuk menalu pintu dengan buku jari,

menemukan dirinya di teras dalam tempat menjemur pakaian.

Ia tak menemukan ibunya, se?mestinya Nuraeni ada di sumur

mencuci, atau di dapur menyiap?kan santapan siang. Rumah itu

lengang, tak ada juga Anwar Sadat. Margio melangkah masuk,

tanpa hiruk-pikuk, mata memandangi lukisan yang bertengger

di dinding, dan hanya menemukan Maesa Dewi masih berbaring

bersama bayinya di kamar dengan celah pintu sedikit terkuak.

Ia kembali lagi ke dapur, dan tetap tak menemukan ibunya,

berputar kembali, dan berdiri di tentang pintu kamar Anwar

Sadat. Ia hendak membukanya, namun me?milih untuk lalu.

Ada sebuah pekarangan sempit di sebelah barat rumah, hanya

menyisakan teras dan sedikit tanah sebelum dihentikan oleh

pagar tembok setinggi pinggang. Di tanah sedepa tersebut mereka

menanam jeruk dan pisang, dan di dinding rumah berjejer

jendela-jendela terbuka, berlapis kaca dan tirai. Pekarangan itu

hampir tak terjamah orang, kecuali Margio yang kerap ke sana

untuk menebas daun pisang meranggas. Jendela kamar depan

mem?perlihatkan isinya yang tak berpenghuni, Laila tak ada di

tem?patnya. Kamar kedua sebagaimana yang telah ia lihat, Maesa

Dewi si pemalas masih berbaring tak terganggu, menutupi dirinya

dengan selimut tak peduli cahaya siang telah berpendar masuk

peraduannya. Jendela ketiga selalu tertutup, itu milik Maharani,

dan hanya terbuka di kala gadis itu bertandang liburan. Margio

terdiam sejenak di kamar berikut.

Sayup didengarnya dengusan berahi, dan ia tak ada ragu

menebak penuh kejituan itu adalah Anwar Sadat dan ibunya. Dorongan rasa penasaran, atau nakal, membawanya untuk kembali

ambil langkah, tak peduli kebenaran telah direngkuhnya, dan

dari balik kaca yang tersapu tirai merah tua, melalui celah yang

kecil bergoyang, ia melihat ibunya telanjang mengangkang

diimpit Anwar Sadat. Tubuh-tubuh itu terguncang, abai

terhadap pengintip yang tak diundang, demikian intim dan tak

terpisahkan. Ingin sekali Margio melihat rupa ibunya kala itu,

menyaksikan wajah yang berpeluh dan rona cemerlang, membilas

semua me?mar yang bersarang sepanjang dua puluh tahun, dan

ikut ber?bahagia untuk percintaannya yang melenakan. Itu terlalu

gam?blang untuk dibuat berlanjut-lanjut, meski ia masih tertancap

pada tubuh-tubuh menggelinjang mengisut dan lebur tersebut,

sebelum rasa sadar membuatnya mundur dan melenggang

pulang ke rumah, terhenyak di kursi dengan pikiran suwung,

pening yang tiba-tiba lebih meradang daripada rasa mual mabuk,

dan untuk pertama kali genangan basah meliuk di matanya, tak

tersadari.

Sore hari ia segera hengkang ke pos ronda dan mulai minum

sebanyak-banyaknya, membawa botol-botol bir yang dioplos arak

dari warung Agus Sofyan, terkapar di sana muntah-muntah dan

mengigau tentang betina keparat dan rubah haus darah, yang

tak dimengerti Agung Yuda maupun kawannya yang lain, dalam

sadar maupun tidak. Dan mengigau lagi, "Demi senyum keparat

itu, kuampuni dirimu tidur dengan bangsat mana pun." Hampir

gila ia memikirkan semua sengkarut keluarganya, sebelum dengan satu kesadaran yang aneh, ia memutuskan untuk berpihak

pada ibunya, demi mempertahankan roman riang di wajahnya.

Maka ketika Marian mati, dan ibunya jatuh ke dalam duka

yang tak tersembuhkan lagi, Margio sungguh berhasrat untuk

memenggal leher Komar. Lelaki itu muncul kembali tak lama setelah mereka membenamkan Marian di permakaman, penuh kemenangan, namun Margio tak juga sanggup mengayunkan golok,

demi bayang-bayang tubuh telanjang Nuraeni dan Anwar Sadat.

Kepala busuknya sendiri mencoba memahami sikap jumawa

Komar bin Syueb, menatapnya dengan nada sedih yang sama,

dan daripada didengki, wajah itu lebih tepat mesti dikasihani.

Namun gelora kehendak menghentikan hidupnya tak juga mau

hengkang, ditambah-tambah kala suatu pagi ia menemukan

hari?maunya. Selalu dirasainya, harimau itu hendak melesat dari

tubuhnya dan menerkam Komar bin Syueb tepat di lehernya.

Beban antah-berantah semakin menggelayuti kepalanya,

menghadapi si gadis Maharani yang nongol sehari setelah

kematian Komar. Margio hampir merayakan seluruh pembebasan

mereka, menghadapi hari cemerlang yang bakal dilakoni bertiga

tanpa manusia laknat tersebut, sebelum ia menemukan Maharani yang mengatakan cinta untuknya di malam ribut tersebut. Ia

harus menjelaskan segalanya pada gadis ini, dan menghentikan

ambisi mereka untuk meraih cinta satu sama lain, dan semakin

berleretnya waktu, keadaan itu semakin mendesaknya.

Maharani, selepas rol kedua diputar dan itu berarti mendekati

satu jam mereka duduk saling mendekap dan mencoba saling

mencium dengan hangat, mulai putus asa menghadapi sikap

kikuk Margio, kini berhenti menyodorkan mulutnya, berhenti

menyandarkan kepalanya, menatap lelaki itu dengan pandangan

penuh tuduhan yang minta penjelasan. Margio tak menoleh,

penuh rasa sesal dan salah, siap memperoleh hukuman yang ia

sendiri tak tahu apa kejahatannya.

"Katakan padaku, kau tak suka aku," kata Maharani lagi,

akhirnya, dan bahunya mulai berguncang, nyata ia secengeng kebanyakan gadis. Margio barulah menoleh, mendengar tangis yang

deras itu, merengkuh tangannya, namun Maharani mencabut

menjauhkan diri dan semakin deras menumpahkan kesedihannya sendiri. Margio meraih bahunya, kembali Maharani mengelak, sikap ngambeknya tak lagi pura-pura, dan tak ada ragu

ia merasa ditolak, dan sebab itu merasa perlu untuk menolak

kembali. Kalut dengan keadaan yang tak terkendali, dan tak

me?lihat jalan keluar lain, Margio mendengus dan tak berusaha

untuk menghentikan keriuhan tersebut.

"Ada yang tidak kau ketahui," katanya. Kali ini suara itu

nyata terdengar, di tengah suara mengerang si gadis. Maharani

tak ter?hentikan, tak dibuat tertarik oleh kalimat yang penuh

rahasia, seolah penjelasan apa pun berakhir pada ujung yang

sama, bahwa hubungan mereka omong kosong, bahwa pelukan

dan ciuman tadi sia-sia, bahwa ungkapan cintanya mengapung

tanpa makna, bahwa lelaki itu hanya akan berkata ia tak ingin

memperoleh cinta apa pun darinya. Dan begitulah memang,

gadis itu terlampau cerdas untuk mengerti ujung dari permainan

kata-kata Margio, meski si lelaki masih perlu memperjelasnya,

tepat di telinga Ma?harani, "Tak mungkin kita saling mencinta."

"Kenapa?" Dengan hidung merah dan lembab, si gadis mendongak. Rambutnya sebagian lengket di pipi yang banjir. Memandang wajah itu membuat Margio kembali mundur, menyesali

semua yang telah meluruh, berharap semua kejadian tak ada,

untuk memiliki wajah yang memandang tersebut, kembali mencium bibirnya dengan kehangatan yang urung ia berikan, memeluk tubuhnya yang dulu tak terjamah. Tapi kini Maharani

me?mandangnya lurus, menuntut jawab, dan ia akan bergeming

se?belum semua penjelasan didatangkan kepadanya.

Kembali Margio mendengus, dan deretan kalimat ini deras

keluar dari mulutnya. "Ayahmu Anwar Sadat meniduri ibuku

Nuraeni, dan lahirlah si gadis kecil yang mati di hari ketujuh

ber?nama Marian, sebab ayahku mengetahuinya dan memukuli

ibuku hingga Marian lahir bahkan telah sekarat."

Jelaslah itu pun sanggup menghentikan tangis si gadis, yang

kini menganga dengan kata-kata yang bangsat dan tak sanggup

dicernanya. Namun Margio telah mengatakan kebenaran

tersebut, sebermakna khotbah Kyai Jahro di pengeras suara

masjid setiap Jumat siang dan Maharani berkali mendengarnya,

sesungguh para penyiar televisi membisikkan kebenarankebenaran ter?sembunyi.

Maharani berdiri, masih memandang lelaki itu serupa memicing pada makhluk pendusta namun ia tak mampu membuktikan semua kebohongannya, tergeragap ingin melontarkan kata

yang entah, sebelum tertinggal hanya menggigit bibir dan Margio

balas menatapnya kirim isyarat bahwa semua itu benar adanya

tanpa perlu ia berkisah tentang jendela kamar di mana ia berdiri

dan di sana kedua orang itu bergumul saling membakar. Maharani bisa membayangkan adegan itu, tergambar nyata di mata

Margio, membuatnya mengayun langkah meninggalkan si lelaki

yang tak beranjak. Kaki yang berselimut celana berpipa lebar

tersebut memburu, menyeberangi jalan bahkan tanpa menoleh

tak peduli walau mobil bakalan datang memecah-belahnya,

menyapu matanya yang tak juga henti menumpahkan basah,

memburu rumah dan itulah malam yang dikenang Anwar Sadat

sebagai malam ketika anak bungsunya berlaku tak biasa. Diam

tak bicara, tak menyentuh makan malam, mengurung diri di kamar, sebelum pagi datang dan berkata ia hendak pergi.

Margio sendiri pulang sebelum film berakhir, dengan perasaan

lapang meski rasa sakit kehilangan gadis itu juga tak terperi. Ia

duduk di teras rumahnya, memandang belukar bunga ibunya,
Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan berjanji semua kesialan hidup ini harus berakhir. Ia telah

menyakiti hati seorang gadis, juga dirinya, tapi percayalah semua

itu harus ditempuh, katanya menenang-nenangkan diri. Ia masih

di sana ketika malam semakin dalam, dan rintik pertama mulai

jatuh membasuh bumi. Ada hawa segar yang menenteramkan,

dengan aroma debu basah mengapung. Mameh membuka pintu

menyuruhnya masuk, tapi Margio masih ingin berada di sana.

Mameh kembali masuk, Margio tenggelam dalam pusaran pelamunan.

Hujan semakin deras dan dingin, dengan air menggenang

dari selokan. Ia berharap air itu tumpah semua dari langit, hingga

lusa tak ada lagi yang tersisa, dan ia akan pergi berburu babi.

Meng?ingat itu semua menjadikannya bergairah, dan merapal

hari-hari yang bakal cemerlang. Ia telah memiliki harimau itu,

telah ke?hilangan ayah yang dengki, telah kehilangan Maharani

yang mengganjal, dan semua itu cukup bagi hidupnya bersama

Mameh dan ibu mereka.

Ketika pagi datang, ia belum juga tidur, meski hujan telah reda,

dan tahu dari angin yang berembus gadis itu memutuskan pergi.

Sempat juga ia berharap untuk menemuinya, berdamai dengannya, bahwa semua perkara bangsat ini tak datang darinya, namun

takdirlah yang telah memutuskan. Ia tahu dari aroma yang mengalir, gadis itu masih bersimbah air mata, menenteng tas bergegas

ke terminal bis, bahkan Anwar Sadat ditampik untuk mengantarkannya. Ia semestinya ada di sampingnya, seperti dulu mereka

berimpit di bawah satu payung, menenteng tasnya, membantunya naik pintu bis sambil berjanji akan berada di sana kala si

gadis datang kembali, dan melambaikan tangan ketika mesin

meng?geram dan roda berpusing menyentak aspal. Tapi ia tak di

sana, dan tak hendak menemuinya, percaya segalanya telah usai,

dan memperoleh pelajaran berharga bahwa cinta selalu memiliki

sisinya yang paling menyakitkan.

Matanya merah meski tak juga ia hendak tidur, sementara

Mameh dan Nuraeni telah terjaga. Mameh membuat dapur

hiruk pikuk, ruang itu telah menjadi kekuasaannya di tahuntahun terakhir, sementara Nuraeni duduk di kursi depan dengan

kopi manis hangat mengepul dibikinkan Mameh. Wajahnya jauh

menyusut, lebih kisut dari masa-masa sedih Komar memukuli

dirinya, seolah kematian Marian merupakan pemukul paling

laknat dan maha rotan penggebuk kasur. Margio melihatnya

dan bertanya dalam hati, tidakkah kematian Komar membayar

semua itu, dan pertanyaannya jelas tak butuh jawab, sebab ia bisa

mem?baca di wajah yang mulai serupa tanah.

Pemandangan itu memurungkan, maka selepas menemukan

sepotong tahu dari meja makan, Margio pergi melayap tak

hirau pada mata yang lelah, menyergap hangat matahari yang

telah meninggi. Maharani tentunya telah di perjalanan, sebab ia

melihat Anwar Sadat dengan kolor dan singlet Toko Mas ABC

di warung serabi mengeluhkan anak perempuannya itu. Mereka

bersitatap sebentar, dan dalam hati Margio berkata, hanya kau

yang bisa membahagiakan ibuku. Ia tak mampir di warung itu,

melangkah gontai ke rumah Mayor Sadrah dan bermain-main

dengan ajak-ajak di sana. Mereka menyenangkan, tapi pikirannya

terus berenang ke Nuraeni dan Anwar Sadat, membikinnya

gelisah.

Sepanjang hari ia tak pulang, menerabas gang-gang kecil di

perkampungan, berjumpa kawan namun tak banyak bicara. Ia

hanya memakan jambu batu yang dipetiknya dari pekarangan

pegadaian, serta mengendus rokok dari Agung Yuda. Tadinya ia

hendak tidur di pos ronda, namun matanya tak juga mau terpejam, dan kegelisahan datang bersama pikiran-pikiran aneh tentang ibunya.

Ia ingin membicarakan hal itu dengan Agung Yuda karibnya,

tapi jengah dan malu, maka ia menunda-nunda. Mereka bermainmain di lapangan bola, berbaring melihat sayap merpati berkepak

di kedalaman langit, sebelum menyeret si teman ke warung Agus

Sofyan. Di sana ia tak juga sanggup berbagi cerita pada Agung

Yuda, dan memaki diri seandainya Maharani ada bersamanya,

barangkali mereka malahan bisa membahas perkara di otaknya.

Inilah akhir dari semua pengelanaannya sepanjang hari itu,

saat Margio akhirnya terdampar di halaman rumah Anwar Sadat.

Ia tak bersenjata, dan tak punya maksud membunuhnya, meski

ia memang ingin bertemu dengannya untuk bercakap. Jika keraguan merongrong dirinya, itu lebih karena rasa malu daripada

takut. Namun ketika dilihatnya pintu terbuka dan Anwar Sadat

terlihat di sana, masih mengenakan pakaian yang sama sebagaimana hidup di otaknya sejak pagi, Margio datang dan menghampirinya.

Di depannya, tanpa membuang tempo sebab dirinya sadar

waktu bisa melenyapkan seluruh nyali, ia berkata kepada lelaki

itu, "Aku tahu kau meniduri ibuku dan Marian anak kalian,"

kata?nya. Kalimat itu mengapung di antara mereka, Anwar Sadat

pasi menatap wajahnya. Margio melanjutkan, "Kawinlah dengan

ibuku, ia akan bahagia."

Tergagap Anwar Sadat menggeleng, dan dengan kata terpatah

ia bergumam. "Tidak mungkin, kau lihat aku ada istri dan anak."

Tatapan itu jelas mencela gagasan konyol Margio. Dan kalimat

selanjutnya memberi penjelasan melimpah, "Lagi pula aku tak

mencintai ibumu."

Itulah kala harimau di dalam tubuhnya keluar. Putih serupa

angsa.

Tamat


Pendekar Naga Putih 48 Misteri Pendekar Pulau Neraka 45 Sengketa Hus Hus Buku 2 Crescendo Karya Becca

Cari Blog Ini