Lho Kembar Kok Beda Karya Netty Virgiantini Bagian 3
yang hanya berisi satu puisi, kakiku rasanya langsung lemas.
"Kok, Monika bisa dapat gambar ini?" tanyaku bingung.
Tapi, kebingunganku soal bagaimana gambar itu bisa muncul
jadi ilustrasi halaman puisi, padahal waktu itu aku sudah
menggambar khusus untuk ilustrasi puisinya, terabaikan dengan
ingatanku akan seseorang yang mungkin akan syok melihat
gambar ini.
"Bashira..."
Kantin benar-benar sepi.
Hanya ada aku sendiri yang duduk diam di bangku panjang
146 146
dekat penjual bakso. Semangkok bakso dengan lima butir
bakso yang sedari tadi hanya kuaduk-aduk saja tanpa berminat
untuk memasukkannya ke dalam mulutku.
Siang ini aku sengaja bolos les tambahan pelajaran. Percuma
saja kalau aku ikut. Sehabis istirahat pertama dan tahu ilustrasi
di majalah sekolah, aku sudah kehilangan seluruh konsentrasi
untuk belajar. Sepanjang sisa jam pelajaran di kelas tadi, aku
bahkan tidak berani mengangkat kepala. Yang bisa kulakukan
hanya menunduk sambil menyesali diri.
Kenapa aku sampai ceroboh tidak menyimpan gambar
ituSekarang beginilah akibatnya. Soal reaksi Kemal dan kelompoknya sih aku tidak peduli. Tapi reaksi anak-anak yang
lain khususnya anak-anak sekelas yang terus memandangku
dengan tatapan aneh ketika aku kembali masuk kelas membuat
kepalaku seolah tertarik gaya gravitasi ke bumi tanpa sanggup
kuangkat lagi. Tidak sekali pun aku berani melirik sembunyisembunyi ke arah bangku Bashira seperti biasanya. Telapak
kakiku terasa dingin, dadaku berdetak kencang, dan otakku
terasa terguncang.
Sebenarnya Raven mau menemani di kantin. Tapi kutolak.
Aku benar-benar ingin sendiri. Setelah menghabiskan segelas
teh hangat, perasaanku agak sedikit lega.
"Nggak ikutan les, Mbak?" tanya Pak Karni mulai membereskan dagangannya.
"Lagi males, Pak," jawabku pelan.
147 147
"Kenapa baksonya nggak dimakan, cuma diaduk-aduk saja
dari tadi?"
"Sudah kenyang."
"Kalau sudah kenyang kenapa tadi pesen bakso, Mbak? Kan
sayang makanan cuma digituin! Orang yang nggak bisa makan
saja banyak."
Omongan Pak Karni membuatku merasa bersalah karena
menyia-nyiakan bakso di mangkok ini. Dengan cepat aku mengambil satu butir bakso dan kumasukkan bulat-bulat ke mulutku.
Belum juga sempat kukunyah baksonya ketika Pak Karni
menyapa seseorang.
"Wah, tumben Mas Tama belum pulang!"
Ups.
Mataku mendelik kaget. Sebutir bakso nyaris kutelan bulat
bulat. Dengan cepat mulutku terbuka dan baksonya bergulir
jatuh masuk ke dalam mangkok lagi.
"Baksonya masih, Pak?"
"Masihlah kalau semangkok aja."
Terasa seseorang duduk di samping kiriku.
Dekat.
Sangat dekat.
Sampai lengan kami saling bersentuhan.
Dadaku bergemuruh. Perasaanku campur aduk. Malu dan
merasa bersalah. Tangan kananku mencengkeram sendok lebih
kencang lagi. Sampai telapak tanganku terasa sakit terkena
pinggiran sendok.
148 148
Setelah menghela napas yang terasa sangat berat, aku bertekad menyampaikan sesuatu yang meresahkanku.
"Tama, maaf," kataku pelan tanpa berani menoleh ke samping.
"Apa?"
Suaranya terdengar dekat di telingaku.
"Maaf."
"Untuk?"
Aku kembali harus menghela napas sejenak.
"Untuk ilustrasi itu."
"Yang mana?" tanya Tama santai. "Yang gambar kita berdua
atau gambar kamu sama Kemal?"
Mulutku kelu.
Aku memejamkan mata untuk mengumpulkan kekuatan supaya bisa menjawabnya. Namun, sebelum aku menemukan
keberanianku, Tama sudah kembali bicara.
untukmu!"
"Aku suka ilustrasi puisinya. Puisi itu memang khusus kubuat
ApaPuisiBenarkahBerarti kado ituTangan kananku bergerak perlahan, meraba liontin bintang
kecil di dadaku. Menggenggamnya erat. Sesaat, aku seperti
tersadar, Tama masih ada di sampingku.
Kepalaku menoleh cepat ke samping.
Tama menatapku.
149 149
Dan aku menatapnya.
Tatapan kami bertaut.
Seperti ada gelombang elektromagnetik mengalir dua arah.
Kurasakan dadaku berdegup kencang. Ekspresi Tama seolah
mengungkapkan seluruh perasaannya. Tidak perlu bicara. Tidak
perlu kata-kata. Tatapannya bisa kurasakan menembus batinku,
memasuki sebuah ruang khusus di hatiku dan menghangatkan
semua sisinya.
Perlahan-lahan sebuah rasa mulai menyelimuti jiwaku.
Rasa itu.
Kami masih sama-sama terpaku dan terdiam dalam tatapDalam diam, aku bisa merasakan.
150 150
Apakah Bashira
Sudah Tahuehebohan karena ilustrasi yang kubuat masih terus
terasa selama beberapa hari. Selama itu pula aku
berusaha keras menghindari Bashira. Baik di sekolah maupun di rumah. Entahlah, aku merasa tidak
enak hati. Apalagi setelah aku dan Tama menyepakati sebuah
rasa di antara kami berdua saat di kantin. Kubaca berulangulang puisi yang mengungkapkan arti bahwa kedekatan dan
pemberian seikat mawar merah muda buat Bashira saat itu
bukan tanda ungkapan perasaan Tama. Baris-baris puisi itu
seolah tertulis di kepalaku.
Bunga tak selalu berarti cinta
Bersama tak selalu berarti suka
Beberapa hari terakhir ini, selain menimbulkan keresahan
151 151
dalam diriku, juga boleh dibilang aku mendadak ngetop di
sekolah. Anak-anak yang selama ini bahkan tidak menyadari
keberadaanku di sekolah mulai mencariku di kelas. Bukan buat
minta tanda tangan sih, memangnya artis! Tapi mereka rata-rata
mengajak kenalan dan minta dibuatkan sketsa wajahnya bersama sang pacar. Ada juga yang menunjukkan foto adik kecilnya
yang masih TK, karena ingin memberi hadiah ulang tahun
sketsa untuk adiknya. Bahkan ada juga yang membawa foto
pernikahan orangtuanya yang sudah buram dan kusut. Mereka
semua bersedia membayar untuk setiap sketsa yang kubuat.
Singkat kata, aku kebanjiran order sketsa wajah.
Sungguh, tidak kusangka dan tidak kuduga akan seperti ini
jadinya. Senang. Bingung. Tidak mengerti harus bicara apa.
Aku belum menyanggupi semua permintaan dan juga tidak
menolaknya. Aku hanya minta mereka semua menunggu, dengan alasan masih ada gambar yang harus kuselesaikan.
"Terima aja, Dhi, ini namanya rezeki. Nggak baik nolak rezeki.
Bisa kualat nanti seumur hidup nggak punya duit," kata
Raven.
"Ih, ngeri banget, Ven, sampai nggak punya duit seumur
hidup."
"Yah, ambil semuanya kalau gitu!"
"Maruk amat, Ven!"
"Dengar ya, Dhi, kesempatan nggak bakal datang dua kali!"
Aku diam merenungkan kalimat Raven. Benar. Kesempatan
ini tidak pernah kusangka dan kuduga sebelumnya. Dan aku
152 152
tidak ingin melepaskannya begitu saja. Tapi aku pun masih ragu
untuk menerimanya.
Sepertinya aku perlu seseorang.
Dan aku tahu siapa yang bisa memberikan solusinya.
"Aku mau ke ruang BP, ikut nggak, Ven?" tanyaku beranjak
dari bangku.
"Hah? Ngapain?" tanya Raven mencekal pergelangan tangan"Mau ketemu Bu Sharmila."
"Mau nyari masalah kamu, Dhi? Itu Pak Jarno sudah di depan
pintu!"
"Nggak apa-apa. Aku mau minta izin saja," jawabku santai
sambil melepaskan genggaman tangan Raven.
di depan pintu kelas.
Pak Jarno tampak kaget waktu langkahnya kuhentikan tepat
"Maaf, Pak, saya mau minta izin ke BP dulu."
Kedua alis Pak Jarno langsung menyatu. Tatapan matanya
menyapu dari ujung kepala sampai ujung kakiku.
"Menggambar waktu jam pelajaran lagi?" sebuah pertanyaan
yang disampaikan mirip sebuah tebakan.
Kepalaku mengangguk perlahan.
"Sampai kapan kamu mau terus seperti itu, Dhi?"
"Maaf, Pak," jawabku singkat.
Permintaan maaf itu sebenarnya lebih kutujukan karena aku
sudah berbohong di jam pelajaran pertama ini. Tidak ada
panggilan dari guru BP seperti dugaan beliau, aku hanya ingin
153 153
menemui Bu Sharmila. Dan keinginan yang terasa sangat mendesak itu, rasanya tidak mungkin lagi kutunda-tunda.
"Ya sudah," jawab Pak Jarno dengan nada putus asa.
"Terima kasih, Pak."
Setelah mengangguk sopan aku minggir untuk memberi
beliau jalan menuju ke kelas, aku pun buru-buru melangkah
keluar. Begitu menutup pintu kelas di belakangku, aku segera
berlari menyusuri lorong kelas menuju ruang BP.
"Permisi..."
"Ya!" jawab Bu Sharmila kaget melihatku sudah nyelonong
masuk ruang BP.
"Maaf, Bu, ngagetin."
"Ada apa, Dhi? Perasaan nggak ada surat panggilan untukAku tersenyum lebar.
mu."
"Boleh saya duduk sebentar, Bu?" tanyaku langsung meletakkan pantat di kursi depan meja Bu Sharmila,
Bu Sharmila tertawa melihatnya. "Lha, itu sudah langsung
duduk sebelum Ibu beri izin. Ada apa, Dhi?"
Berulang kali aku menarik napas panjang untuk mengatur
napasku yang ngos-ngosan karena berlari dari kelas, juga
karena terlalu bersemangat untuk bercerita sampai tidak tahu
harus mulai dari mana.
Akhirnya dengan kata-kata yang mungkin terdengar agak
berantakan aku bisa menceritakannya pada Bu Sharmila.
"Wah, sudah ngetop nih ceritanya," komentar Bu Sharmila
se?ngaja menggodaku.
154 154
Kepalaku tertunduk dengan wajah tersipu.
Lho Kembar Kok Beda Karya Netty Virgiantini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Malu.
"Terus kenapa, Dhi? Banyak yang ngejar-ngejar minta tanda
tangan?"
"Ah, Bu Sharmila jangan begitu," protesku.
Tawa Bu Sharmila berderai.
"Iya, sori. Kamu lucu kalau lagi malu-malu begitu. Kenapa,
Dhi?"
"Banyak yang minta dibuatkan sketsa wajah, Bu. Mereka
juga mau membayar. Enaknya bagaimana ya, Bu. Diterima?"
Wajah Bu Sharmila berubah serius tapi tetap tampak garis
garis kelembutannya.
"Terserah kamu, Dhi. Kalau kamu merasa bisa mengerjakannya,
ya ambil saja. Toh, kamu memang senang menggambar?"
"Iya, Bu. Saya memang senang banyak yang menyukai
ilustrasi saya. Tapi, apa harus pakai bayaran segala?"
"Begini, anggap saja kamu tengah merintis karirmu. Soal
bayaran itu wujud penghargaan mereka atas jerih payahmu."
"Nggak apa-apa ya, Bu? Saya takut nanti dikira mata duitan."
"Nadhira, setiap pekerjaan berhak mendapat imbalan baik
berupa materi atau penghargaan dalam bentuk lain. Toh, bukan
kamu yang minta bayaran. Kalau ada yang mau memberi ya
terima saja."
"Tapi mereka nanya tarifnya. Saya nggak tahu berapa."
Bu Sharmila terdiam sejenak.
"Bagaimana kalau seikhas mereka saja. Atau kalau kamu
155 155
masih belum bisa menerima dalam bentuk uang, minta saja
mereka mentraktir makan di kantin kalau gambarnya sudah
selesai. Lebih santai dan tidak semata-mata minta bayaran."
"Wah, benar, Bu. Setuju! Traktir makan rasanya lebih santai.
Khas anak sekolahan!" kataku senang.
"Sip. Terus kapan kamu mau traktir Ibu? Ini harus kita
rayakan, Dhi."
"Pastilah, Bu. Kalau bukan Bu Sharmila yang memberi kesempatan membuat ilustrasi cerpen dan puisi di majalah sekolah
kemarin, saya tidak akan kebanjiran order seperti ini."
"Hmmm... soal ilustrasi cerpen dan puisi itu, gambarnya
bagus, Dhi. Pas banget. Tapi, Ibu kok seperti mengenal wajah
wajahnya yaa..."
Mukaku langsung memanas. Kepalaku tertunduk dalam. Aku
tidak tahu, Bu Sharmila sengaja menggodaku atau memang
Sangat malu.
serius mengatakannya. Yang jelas aku merasa malu.
Kesibukanku membuat sketsa pesanan teman-teman membuatku terus sibuk di dalam kamar. Bahkan aktivitas ini bisa
kujadikan alasan untuk menghindari Bashira di meja makan.
Hampir seminggu aku tidak pernah bertatap muka langsung
dengannya. Kadang-kadang muncul sebersit rasa penasaran di
hatiku untuk mengetahui reaksi Bashira pada ilustrasi puisi itu.
Aku yakin Bashira pasti sudah melihatnya.
Ponselku bergetar ketika aku baru saja menyelesaikan gam156 156
bar sketsa adiknya Lita yang masih TK. Tanpa melihat nama
atau nomer yang tertera di layar aku langsung menerimanya.
"Halo."
"Nadhira..."
Jeda sejenak.
Aku seperti sangat mengenal suaranya. Dadaku berdebar.
Benarkah ini Tama? Bukankah aku merasa belum pernah
memberi nomor ponselku padanya? Bahkan ketika kami duduk
berdua di kantin sekolah waktu itu dan sama-sama merasakan
satu hal yang kita sepakati bersama dalam diam, aku belum
Ah, semoga bukan dari Bashira.
"Lagi sibuk?"
"Iya...," sahutku pelan.
"Dhi..."
"Iya..."
nomorku pada Raven atau Bashira.
saling bertukar nomor ponsel. Ah, tapi bisa saja dia meminta
"Membuat sketsa?"
"Iya..."
"Banyak pesanan, ya?"
"Iya..."
Tidak ada pertanyaan.
Hening.
Kami sama-sama terdiam.
Aku memindahkan ponsel dari telinga kiri ke telinga kanan
dengan tangan gemetar. Kenapa dari tadi aku hanya bisa bicara
iya-iya saja? Aduh, kenapa jadi berdebar-debar dan salah
157 157
tingkah begini? Dia toh tidak melihatku! Tapi, ini siapa ya? Apa
memang benar Narotama? Jangan-jangan aku hanya ke-geer-an
saja. Atau berhalusinasi karena terus mengingat kata-kata dan
tatapannya di kantin waktu itu.
"Tama?" tanyaku nyaris seperti bergumam.
"Iya, Dhi," jawabnya lembut. "Apa aku mengganggu?"
"Nggak!" sahutku cepat beranjak dari kursi dan kemudian
duduk di tepi tempat tidur.
Jeda sejenak.
Helaan napasku yang terasa panjang pasti terdengar di
seberang.
"Dhi..."
Kami bicara bersamaan.
"Tama..."
Kemudian sama-sama tertawa. Tawa ini membuat perasaanku
lebih santai. Mendengar tawanya berderai di telingaku, udara
di kamarku terasa menghangat.
"Tama..."
"Ya?"
"Terima kasih," kataku sambil menggenggam liontin bintang
di dadaku.
"Untuk?"
"Puisi dan kalungnya."
"Kamu suka?"
"He-eh."
"Bintang kecil itu cocok melekat di dadamu. Aku senang
158 158
kamu terus memakainya. Seperti mewakili kehadiranku di
hatimu."
Jantungku berdegup kencang mendengarnya.
"Dhi, keluarlah."
"Apa?"
"Keluarlah sebentar."
"Ke... apa?" tanyaku masih bingung.
"Aku menunggu di depan pagar rumahmu dari tadi. Bukakan
pintu pagarnya dan biarkan aku masuk. Beberapa hari ini aku
tidak punya kesempatan mengobrol denganmu."
Tama berhenti sejenak. Beberapa kali tarikan napasnya
terdengar di telingaku.
"Aku kangen, Dhi," suaranya terdengar lirih.
Gemetar.
Kata-kata yang terdengar sederhana itu terasa mengguncang
dadaku. Mungkin kalian menganggapku terlalu berlebihan.
Lebay. Tapi sumpah. Itulah yang kurasakan saat ini. Aku sampai
menjatuhkan tubuhku ke belakang, separuh badanku terlentang
di atas kasur dengan kaki menjuntai di lantai. Kudekap ponsel
di dadaku dengan mata terpejam dan bibir tersenyum senang.
Karena terlalu gembira sampai aku lupa Tama masih menunggu di depan pagar. Aku lupa ponsel juga belum kumatikan.
Sampai Bashira tiba-tiba masuk kamar dan mengguncang
tubuhku.
"Dhi!"
Aku langsung meloncat kaget dan berdiri di depannya.
159 159
"Ya. Ada apa?"
"Ditunggu Tama!" jawab Bashira sengaja tidak mau menatap
wajahku.
"Aku?" tanyaku linglung.
Bingung.
Biarpun tadi Tama sudah menyampaikan bahwa ia menungguku, tapi ketika Bashira yang sudah beberapa hari ini kuhindari
memberitahukan kedatangan Tama yang untuk pertama kalinya
mencariku, otakku mendadak korslet.
Blank.
"Aku?" tanyaku sekali lagi.
"Iya!"
Setelah menjawab singkat dengan kepala terus tertunduk,
Bashira segera berbalik dan berjalan cepat keluar kamarku.
Aku melihat sosoknya yang menghilang cepat di balik pintu,
aku seperti bisa merasakan sesuatu.
Apakah Bashira sudah tahu160 160
Tidak Kusangka
dan Tidak
Kuduga
asanya membingungkan.
Aku bahagia. Tentu saja.
Aku menyadari hal-hal yang dulu kuanggap
mustahil terjadi padaku, tidak kusangka dan tidak
kuduga kini tergenggam erat dalam jemariku. Antara aku dan
Tama telah terjalin satu rasa yang mengikatkan batin kami berdua. Hatiku seolah terus berbunga-bunga ketika mencuri
pandang padanya dari bangkuku dan dia selalu tahu, membalas
dengan tatapan yang bisa kurasakan sampai ke dalam dadaku.
Senyum samar yang tertarik di bibirnya selalu membuat wajahku memerah dan tersipu. Tapi, tetap aku tidak ingin mengalihkan
pandanganku.
Namun, setiap kali aku mengarahkan padanganku pada
161 161
Tama, tidak bisa kuhindari bahwa aku pun akan melihat Bashira
yang duduk di depannya. Akhir-akhir ini aku melihat Bashira
lebih banyak menundukkan kepala di bangkunya. Bahkan, kalau
beberapa waktu yang lalu aku yang berusaha keras menghindarinya, akhir-akhir ini justru sebaliknya. Bashira terlihat jelas
menghindariku. Sekilas ketika kami berpapasan di depan pintu
kamar yang bersebelahan, aku bisa melihat wajahnya yang
tampak mendung. Murung. Dia langsung kembali masuk kamar
begitu aku membuka mulut untuk menyapanya.
Situasi ini membuatku tidak nyaman. Bukankah Bashira
sudah menyepakati bahwa kami akan bersaing secara fair dan
terbuka seperti yang kuajukan dulu? Kami bahkan sama-sama
menyepakati, untuk menerima segala hal yang terjadi dengan
lapang dada, tidak boleh sakit hati, tidak boleh iri, dan tidak
boleh patah hati. Melihat kondisi Bashira akhir-akhir ini yang
tidak berlaku lagi.
seperti kehilangan semangatnya, aku merasa kesepakatan itu
Apa Bashira sudah tahu status kedekatanku dengan TaPertanyaan itu terus saja berputar-putar di kepalaku. Perubahan yang kulihat pada Bashira membuatku berpikir keras
bagaimana harus menghadapinya.
"Kenapa?" tanya Tama untuk kesekian kalinya ketika aku
melarangnya datang ke rumah nanti malam yang kebetulan
Lho Kembar Kok Beda Karya Netty Virgiantini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
malam minggu.
Kalau sebelumnya aku selalu beralasan ada banyak pesanan
sketsa yang harus kuselesaikan, kali ini alasan itu tidak berlaku
162 162
lagi. Tama tahu pasti semua ilustrasi sudah selesai kuker?jakan.
Apa aku harus mengatakan alasan yang sesungguhnyaKetika melihatku terus termenung, Tama pun meraih tanganku. Perlahan menggenggam jemari tanganku. Kepalaku mendongak menatapnya. Tangan kami sama-sama gemetar. Aku
selalu menyukai momen menggetarkan saat kami saling memandang dalam diam.
"Nggak enak sama Bashira," jawabku pelan.
"Apa?"
Kutarik napas panjang untuk mengumpulkan kekuatan.
"Selama ini kamu selalu mencari Bashira kalau datang ke
ru?mah. Bagaimana perasaannya kalau tiba-tiba kamu malah
mencariku? Itu juga akan membuat kedua orangtuaku curiga.
Semua orang rumah tahunya kamu teman Bashira."
gu," bantah Tama.
"Tapi aku nggak pernah mencari Bashira kalau malam Ming"Apa bedanya? Tidak sekali pun kamu pernah mencariku di
malam-malam yang lain juga kan?"
Tama menghela napas.
Tangannya meremas lebih kuat jemariku yang masih ada
dalam genggamannya.
"Aku tidak punya alasan mencarimu. Kamu tidak pernah
bicara padaku, malah kamu seperti menghindariku. Seingatku,
kalau tanpa sengaja berpapasan denganku kamu akan buruburu berbalik badan dan lari seperti melihat hantu."
"Iya," jawabku mengaku.
163 163
"Aku tidak tahu bagaimana memulainya, Dhi. Aku baru yakin
perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan ketika melihat
sketsa-sketsa wajahku yang kamu buat diam-diam. Aku senang.
Aku hanya menunggu saat yang tepat untuk mengatakannya
padamu."
Aku hanya mampu menganggukan kepala.
Saat itulah terdengar langkah-langkah kaki memasuki kantin,
yang hanya berisi beberapa orang. Aku dan Tama menoleh
bersama. Ternyata Bashira bersama Lolita. Langkah mereka
berdua langsung terhenti dengan jarak sekitar dua meter.
Beberapa cowok yang kebetulan berjalan di belakang mereka
berdua mengambil jalan dari samping sambil menggerutu,
"Jangan berdiri di tengah jalan begini dong! Ngalang-ngalangin
orang lewat aja."
Jantungku berpacu cepat begitu melihat pandangan mata
Bashira terpaku pada tangan Tama yang masih menggenggam
jemariku di atas meja. Sebelum membalikkan badan dan berlari
keluar kantin, tatapanku masih sempat bertaut sekilas dengan
Bashira. Aku yakin melihat genangan air mata di matanya. Hatiku terasa nelangsa melihatnya.
Aku beranjak dan bermaksud mengejarnya. Tapi tangan
Tama yang belum terlepas dari jemariku menahan tanganku.
Masih dalam posisi berdiri, aku menatap Tama.
"Aku harus menjelaskan semuanya pada Bashira," kataku
sambil mencoba melepaskan tanganku dari cekalan Tama.
"Untuk apa?"
Mataku terpejam beberapa saat dengan rasa nyeri melintas
164 164
di dada. Ketika aku akan menjelaskan tentang persainganku
dengan Bashira, Tama lebih dulu bicara.
"Aku sudah bicara dengan Bashira tentang kita," jelas Tama
dengan suara tenang yang justru membuat jantungku melonjak
kaget.
"Apa...!!!"
Raven, Asta, Fala, Ryu, dan Syarif kompak melongo dengan
mulut terbuka ketika aku menceritakan hubunganku dengan
Tama. Kami masih duduk di bangku panjang laboratorium kimia,
tempat pelajaran tambahan baru selesai diberikan.
"Kenapa sih pada mangap semua begitu!" protesku pada
semua anggota pintu belakang yang menjadi sahabat terdekatku.
"Hoi, mingkem. Hoi!"
Tapi tidak ada satu pun yang mengikuti perintahku.
"Kalian ini kuanggap sahabatku yang paling dekat, karena
itu kuceritakan pada kalian lebih dulu sebelum kalian mendengar dari orang lain. Tapi, melihat tanggapan kalian seperti
orang melihat sapi naik sepeda begini, aku menyesal telah
memberi tahu kalian."
"Tama, Dhi? Narotama?" tanya Raven tidak percaya.
Kepalaku mengangguk mantap.
"Bukannya selama ini dia dekat dengan saudara kembarmu?"
165 165
Pertanyaan Fala kembali menghadirkan rasa nyeri di dada"Nggak ada apa-apa di antara mereka berdua. Seperti kedekatanku dengan Raven yang bisa membuat orang salah kira."
Wajah Raven langsung memerah. Dia mengalihkan padangannya, aku sempat melihat kekecewaan di matanya.
"Ada apa, Ven? Kamu nggak suka?"
Raven kembali menatapku. Kemudian kepalanya mengangguk
perlahan.
"Kenapa?"
"Karena aku memang menyukaimu!" jawab Raven mantap.
Sekarang ganti aku, Fala, Ryu, Asta, dan Syarif yang melongo
menatap Raven. Ya Tuhan, tidak pernah kusangka Raven punya
perasaan itu padaku. Tapi, pengakuannya ini selain mengejutkanku atau lebih cocok disebut membuat kami syok mendengarnya juga menimbulkan kelegaan dalam hatiku.
Kalian ingat aku pernah meragukan Raven gara-gara olokolokkan Kemal dan teman-temannyaKali ini pengakuan Raven membuatku gembira. Raven benarbenar laki-laki sejati. Biarpun aku tidak bisa membalas perasaannya tapi aku memang menyayanginya. Seperti adik bayi yang
selalu kurindukan kehadirannya.
"Terima kasih, Ven," kataku dengan senyum lebar menghiasi
bibirku.
"Untuk apa?" tanya Raven bingung.
"Untuk pengakuan yang sangat indah ini."
"Indah?"
166 166
"Karena kamu berani mengungkapkan perasaanmu secara
langsung padaku. Di depan mereka," tanganku menunjuk Fala,
Ryu, Asta, dan Syarif bergantian. "Tidak semua cowok berani
melakukannya. Butuh nyali besar apalagi kamu tahu aku sudah
memiliki perasaan pada Tama."
Kali ini Raven menatapku dengan tatapan yang mengungkapkan perasaannya.
"Apa kamu masih mau duduk sebangku denganku biarpun
aku tetap memilih Tama?"
Raven mengangguk.
"Masih mau memberi tumpangan pulang kalau aku nggak
bawa motor?"
Raven kembali mengangguk.
Jujur, aku bangga dan salut pada cowok yang pernah kuragukan kelelakiannya ini. Dia memang tampak seperti adik bayi
yang menggemaskan, manja, dan tidak mau terlibat dalam
keributan. Tapi bukan berarti dia tidak punya keberanian sebagai seorang laki-laki. Berani mencintai dan berani ditolak dalam
waktu bersamaan, itu butuh keberanian yang sangat besar.
Dan tidak semua laki-laki berani mengambil risiko itu.
"Apa aku masih boleh memelukmu?"
Raven tersenyum dan membentangkan kedua tangannya
lebar-lebar. Tawa kami menyatu ketika aku memeluknya. Rasa
sayangku makin bertambah padanya.
"Nadhira!"
Sebuah suara membuat aku dan Raven melepaskan pelukan
bersama-sama dan menoleh ke pintu laboratorium kimia.
167 167
Tama berdiri dengan sorot mata tajam yang menunjukkan
rasa cemburunya. Aku jadi salah tingkah. Tapi, tidak kusangka
Raven langsung berdiri menghampirinya.
"Tenang, Bung, jangan cemburu. Nadhira baru saja menolak
cintaku," kata Raven sambil menepuk bahu Tama. "Ayo yang
lain, kita pulang. Berikan waktu pada sepasang kekasih yang
baru jadian!"
Fala, Asta, Ryu, dan Syarif kompak beranjak dan melangkah
beriringan melewati Tama di pintu, menyusul Raven yang lebih
dulu keluar ruangan.
Setelah membereskan tas dan memakainya di punggung
aku segera menghampiri Tama. Begitu langkahku nyaris sampai.
Tangan kanannya meraih pergelangan tanganku, menggandengku.
"Maaf," kataku begitu kami berjalan beriringan di lorong
kelas menuju tempat parkir.
"Sudah berapa kali Raven kamu peluk? Sekali pun kamu
belum pernah memelukku."
Aku tertawa mendengar protesnya.
"Dia itu adik bayiku dan aku ini emaknya!" jelasku bercan"Sekali-kali aku mau jadi adik bayimu."
Langkahku terhenti sebentar hanya untuk menatap wajah
Tama. Kuamati seraut wajah yang masih tampak kesal. Ternyata
begini wajah cowok kalau lagi cemburu.
"Tapi, wajahmu nggak imut. Apalagi menggemaskan!"
"Jadi wajahku gimana?"
168 168
"Menarik!"
"Menarik? Awas kalau kamu bilang menarik becak!" ancamnya.
Lagi-lagi tawaku berderai. Ah, kenapa cowok yang bisa
dibilang pendiam ini malah sering membuat tawaku berderaiIni seperti sebuah paradoks. Cowok pendiam itu biasanya kan
bikin mati gaya, kenapa yang ini malah terkesan lucu dengan
kata-katanya yang jarang terucap.
"Menarik apa!" Tama masih ngotot.
"Apa?" tanyanya makin penasaran.
"Ehmmm..." Aku sengaja menggodanya.
"Ngng... menarik untuk digambar. Menarik untuk dilihat.
Menarik untuk di..."
"Di... apa?"
"Dicium!" jawabku di sela tawa, menyentakkan pegangan
tangannya dan berlari meninggalkannya.
"Hei, tunggu! Jangan lari. Kamu harus membuktikannya!"
seru Tama mengejarku.
Aku yang masih tertawa sambil berlari dan melihat ke belakang tidak melihat ada sesosok tubuh yang tiba-tiba berdiri di
tengah lorong dekat ujung kelas sebelas.
Buks.
Tubuhku sukses menghantamnya dan nyaris jatuh terjengkang
ke belakang kalau sepasang tangan tidak sigap meraih tubuhku
dalam pelukannya. Begitu tersadar dari rasa kaget, kepalaku
mendongak seketika.
169 169
Duh, Gusti, kenapa harus si Onta Padang Pasir yang satu
ini.
Refleks tubuhku memberontak untuk melepaskan diri dengan kedua tanganku mendorong dadanya. Tapi kedua tangan
kokoh itu tidak mau melepaskan pelukannya, kepalanya menunduk dengan tatapan setajam pedang yang siap menebas kepalaku.
"Lepas!"
Suara Tama membuatku gerakan tubuhku semakin kuat untuk melepaskan diri. Entah karena kekuatanku sendiri atau
karena perintah Tama, Kemal melepaskan pelukannya.
Aku berdiri dengan napas terengah memandang Tama dan
Kemal yang tengah beradu tatap tanpa suara dengan wajah
tegang. Kepalaku menoleh bergantian memandang keduanya.
Tama mengakhiri adu pandang itu dengan menghampiriku,
tangannya meraih jemariku dan menggenggamnya erat. Aku
membalas genggamannya perlahan dan Tama tersenyum samar
memandangku.
"Ayo pulang."
Lho Kembar Kok Beda Karya Netty Virgiantini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebelum membalikkan badan, lewat ekor mataku aku mencoba melirik Kemal yang masih berdiri terpaku di posisinya.
Tatapan sepasang matanya yang jelas tertuju padaku langsung membuat bulu kudukku meremang.
Aku melihat sorot kemarahan.
Dan terasa membahayakan.
170 170
Dilema Oh
Dilema
ku gundah setengah mati.
Sikap Bashira yang masih terus menghindariku
membuat hatiku bukan saja gundah, tapi juga
menempatkanku dalam sebuah dilema. Setiap
melihatnya ada perasaan bersalah tebersit di sudut hatiku.
Kenapa harus merasa bersalahBukankah dari awal aku dan Bashira sudah menyepakati
untuk bersaing secara fair dan terbuka, biar tidak terjebak
dalam dilema antara cinta dan saudara. Tapi, sikap Bashira
seperti menunjukkan dia tidak bisa menerima kenyataan
kedekatanku dengan Tama.
Setelah beberapa hari mempertimbangkannya, aku berniat
bicara pada Bashira. Bicara baik-baik dan menanyakan kenapa
171 171
sikapnya jadi seperti itu. Biarpun agak sulit mencari waktu
untuk bicara berdua. Di sekolah jelas tidak mungkin. Di rumah,
kami hanya punya kesempatan malam hari dan itu pun Bashira
terus mengunci pintu kamarnya sesudah makan malam bersama. Saat makan pun Bashira terus menunduk diam, dan hanya
menjawab kalau Ayah atau Ibu yang bicara padanya. Sementara
omonganku selalu saja dianggapnya angin lalu.
Malam ini aku bertekad menyelesaikannya. Saat tidak bicara
dengannya dalam rentang waktu yang lama menghadirkan rasa
kangen juga. Bagaimanapun kami ini saudara kembar. Mungkin
ada satu jalinan batin yang menghubungkan antara kami
berdua. Saat ini kurasa kesempatan yang paling tepat, Ayah
dan Ibu sedang pergi ke resepsi pernikahan di rumah rekan
kerja Ayah.
"Bashira..." panggilku dari pintu kamarnya.
Tidak ada jawaban.
Aku mengetuk pintu kamarnya beberapa kali.
"Shira, tolong buka pintunya."
Tetap tidak ada tanggapan dari dalam kamarnya.
Setengah putus asa aku memutar gagang pintu kamarnya.
Ternyata tidak dikunci. Perlahan aku mendorong pintu dan
melongokkan kepalaku lewat celahnya.
"Shira, boleh aku masuk?"
Bashira yang tengah duduk di depan meja belajarnya mengangguk tanpa menoleh padaku.
Aku melangkah perlahan dan duduk di tepi tempat tidur
172 172
yang letaknya di samping meja belajar. Aku bisa melihat wajah
Bashira dari samping.
"Kamu marah padaku?" tanyaku dengan terus memandang
wajahnya.
Kepalanya menggeleng.
"Kenapa terus menghindariku?"
Bashira diam. Kepalanya menunduk lebih dalam.
"Shira, bukankah kita sudah sepakat sebelumnya? Kamu
ingat apa yang kita sepakati di kamarku saat kita sama-sama
tahu bahwa kita menyukai Tama?"
"Terus, kenapa jadi begini?"
Bashira menganggukan kepala.
akhirnya Bashira bersuara.
"Kamu jelas tidak bisa merasakan jadi pihak yang kalah."
"Ini bukan masalah menang atau kalah. Kita tidak sedang
soal itu."
bertanding untuk saling mengalahkan. Kita juga sudah sepakat
"Kenapa Tama memilihmu?" tanya Bashira sambil menggerakkan kepalanya menatapku. "Bukankah dulu kamu bilang
kesempatanku lebih besar?"
Ya Tuhan, kedua matanya bengkak. Pasti Bashira sudah
menangis dari tadi.
"Masalah hati memang tidak bisa diprediksi.Aku sendiri tidak
melakukan apa-apa untuk menarik perhatian Tama."
"Kamu sengaja membuat sketsa di puisi itu!" tuduh Bashi173 173
"Aku juga membuat sketsa wajah Kemal untuk cerpen di
majalah itu," bantahku.
"Kenapa kamu tidak memilih Kemal saja?"
Pertanyaan yang menurutku sangat konyol. Bukankah Bashira tahu permusuhanku dengannya? Juga bukankah sudah jelas
juga siapa cowok yang kusuka! Ah, tapi aku maklum, mungkin
kondisi batin Bashira yang terluka membuat pikirannya agak
kacau.
"Kenapa aku harus memilih Kemal?" sengaja kubalik pertanya??annya.
"Aku lebih bisa menerima kalau Tama memilih cewek lain.
Bukan kamu, Dhi. Kita ini saudara kembar, rasanya lebih menyakitkan saat tahu cowok yang kusukai lebih memilih saudara
kembarku sendiri."
Selesai berkata Bashira menelungkup di atas meja belajarnya,
terisak keras sampai bahunya berguncang.
BegitukahAku terpana melihatnya.
Karena aku saudara kembarnya, maka hal ini jadi terasa
sangat menyakitkan? Mungkin benar juga. Hampir mirip ketika
cowok yang kita sukai ternyata sudah jadian sama sahabat kita
sendiri. Perihnya terasa lebih dalam dibanding cowok itu jadian
sama cewek lain.
Bashira masih terus menangis. Aku memandangnya dengan
nelangsa, tanpa tahu harus berbuat apa.
Akankah reaksiku juga seperti itu kalau Tama memilih Bashira174 174
Rasanya tidak. Dari awal aku sudah siap menjadi pihak yang
?kalah?. Aku pun sudah terbiasa menerima kegagalan. Mungkin
ini sangat mengguncang buat Bashira karena untuk pertama
kalinya dia merasa ?kalah? dariku. Mungkin selama ini dia selalu
jadi pihak yang berhasil. Dipuji kecantikannya, kepintarannya,
dan segala kelebihan lainnya. Sedangkan aku di pihak yang
selalu dipertanyakan karena segala kekurangan yang kupunya.
Banyak yang Bashira miliki tidak pernah bisa kuraih. Sebaliknya,
apa sih yang kupunya yang Bashira tidak bisa meraihnyaMenerima menjadi pihak yang gagal memang tidak mudah.
Apalagi buat Bashira yang identik dengan kelebihan dan
keberhasilan.
Setelah termenung cukup lama dengan pikiranku sendiri,
aku beranjak berdiri. Mengambil posisi tepat di belakang Bashira. Bahunya masih berguncang biarpun tidak sekeras tadi.
Menandakan tangisnya masih ada. Aku kasihan melihatnya.
Kedua tanganku ragu-ragu naik sebatas pinggang. Aku ingin
memeluknya. Namun, kedua tanganku berhenti di udara ketika
kebimbangan membatalkan niatku. Aku hanya bisa menghelas
napas dan melangkah keluar kamar.
Sesampainya di kamar dan merebahkan diri di kasur, bayangan Bashira yang terlihat menyedihkan terus terbayang di
kepalaku. Batinku kembali diserang gundah yang menggelisahkanku.
Ponselku bergetar di atas meja belajar. Dengan malas aku
meraihnya. Ketika melihat nama Tama di layarnya, bayangan
175 175
Bashira tampak jelas di mata. Tanpa sadar jariku langsung
menekan tombol mematikan ponsel.
Mataku nanar memandang langit-langit. Aku tahu pasti Tama
sedang bingung menatap ponselnya. Aku juga tahu pasti sedari
tadi dia mencoba meneleponku. Sebenarnya aku ingin
menghubunginya, tapi bayangan Bashira membuat tanganku
berat melakukannya.
Sambil memejamkan mata, aku mengeluh dalam hati,
"Aku harus bagaimana?"
Peristiwa malam itu di kamar Bashira, membuatku mengambil
keputusan untuk menghindari Tama. Aku masih bingung, bagaimana harus menghadapi Bashira yang sikapnya terasa semakin
menyedihkan. Kalau aku terus bersama Tama, rasanya kok aku
bahagia di atas penderitaan saudara kembarku sendiri.
Sudah hampir seminggu sejak aku mengirim sms pada Tama
untuk tidak berkomunikasi sementara waktu, dan terpaksa
tidak menjawab pertanyaannya karena kebingungan dengan
perubahan sikapku secara mendadak.
Di sekolah maupun di kelas, aku berusaha keras menghindari
Tama. Walaupun harus kuakui, keinginanku untuk mencuri-curi
pandang padanya dari bangkuku nyaris tidak bisa kutahan.
Jujur. Aku kangen. Rindu. Ingin sekilas melihat tatap matanya.
Juga senyum samarnya. Tapi bayangan Bashira di kamar malam
itu sanggup menghentikan semua keinginanku.
"Kamu berantem sama Tama?" tanya Raven.
176 176
"Nggak."
"Kayaknya kamu nggak pernah lagi lirik-lirik ke bangkunya.
Nggak pernah berdua di kantin seperti biasanya."
Aku memandang wajah polos Raven. Kepolosan itu selalu
saja mampu membuatku mengatakan kejujuran padanya.
"Aku sengaja menghindarinya, Ven," jawabku pelan.
Sedih.
"Kenapa?"
Kuceritakan mengenai Bashira pada Raven. Kesepakan kami
untuk bersaing secara fair dan terbuka. Juga peristiwa beberapa malam yang lalu.
"Memang nggak mudah, Dhi, ada di posisi Bashira," komentar
Raven.
"Tapi kamu bisa menerimanya, Ven. Kamu tetap jadi sahabatku, biarpun aku memilih Tama."
"Kasusnya beda. Persaingan sesama perempuan merebutkan
hati seseorang sering kali terasa lebih menyakitkan. Apalagi
kalian saudara kembar."
"Dari awal aku sudah siap kalah. Aku tidak menyangka Tama
sudah lama menyimpan perasaan padaku."
"Itulah masalahnya. Mungkin Bashira sudah yakin akan mendapatkan Tama, mengingat kedekatannya dengan Tama selama
ini. Kenyataan ini jadi sangat menyakitkan baginya. Terlalu yakin
pada diri sendiri kadang malah menyakitkan."
Kupandangi wajah Raven dengan tatapan terpana. Bagaimana adik bayi yang satu ini jadi punya pemikiran yang begitu
dewasa.
177 177
"Ngapain ngeliatinnya kayak gitu!" protes Raven.
"Kamu nggak salah makan tadi?"
"Nggak."
"Nggak salah minum obat?"
"Nggak."
"Kepalamu nggak habis terbentur benda keras?"
Raven memandangku kesal.
"Kenapa sih?" tanyanya mulai kesal.
"Omonganmu lain dari biasanya. Analisismu soal persoalanku
sudah tumbuh dewasa, Adik Bayi!"
Mulut Raven merengut.
dengan Bashira sangat masuk akal dan bisa dilogikakan. Kamu
Aku kembali gemas melihatnya.
"Terus gimana?"
"Apanya?"
"Masalahmu sama Bashira dan Tama?"
Aku menghela napas panjang.
"Mungkin sebaiknya Tama memilih Bashira. Setidaknya, aku
Lho Kembar Kok Beda Karya Netty Virgiantini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lebih siap menghadapinya. Mungkin Bashira terbiasa memiliki
apa pun yang diinginkannya, tidak pernah sekalipun menghadapi
kegagalan. Dia memiliki semua kelebihan dibanding aku."
"Kamu sudah cerita pada Tama?"
Aku menggeleng.
"Kenapa?"
"Aku masih bingung mengahadapinya. Jujur, Ven, aku kangen.
Tapi kalau aku sedang bersama Tama, aku langsung teringat
tangis Bashira. Aku jadi merasa bersalah."
178 178
"Ah, yang namanya cinta segitiga selalu bikin senewen pelakunya!"
"Ven, nanti kalau Tama menunggu aku sepulang les, bantu
aku ya," pintaku.
"Bantuin apa?"
"Menghindarinya."
"Gimana caranya? Nggak lihat siapa yang berdiri di depan
pintu itu."
Kepalaku menoleh cepat.
Ya Tuhan, Tama sudah berdiri diam dengan tatapan matanya
yang menghujam tepat padaku di pintu lab kimia. Setelah
seminggu ini terus menghindarinya, rasanya aku tidak sanggup
mengalihkan tatapanku darinya. Sudah kubilang, aku kangen.
Rindu!
"Ven, aku harus bagaimana?"
"Mau bagaimana lagi? Hadapi saja!" jawab Raven mantap.
"Sejak kapan kamu berubah lebih dewasa begini?"
"Sejak kamu tolak cintaku!"
Aku jelas tidak bisa menghindar lagi. Begitu Pak Mochtar selesai memberi les tambahan pelajaran fisika, Tama langsung
masuk dan mengampiriku.
"Tama? Ada apa?" tanya Pak Mochtar yang baru selesai
membereskan buku-bukunya.
"Menjemput Nadhira, Pak!"
"Oh begitu. Seharusnya kalian belajar bersama. Nadhira,
179 179
kamu bisa minta diajari Tama. Dia kan pintar semua mata
pelajaran!"
Kepalaku langsung menunduk malu. Dalam hal pelajaran,
antara aku dan Tama jelas seperti bumi dan langit.
"Kami duluan, Dhi. Tama!" pamit Raven mewakili kelompok
pintu belakang.
Aku melambaikan tangan sebagai balasan.
Ruangan lab kimia sudah sepi. Lengang. Hanya tinggal kami
berdua. Aku dan Tama. Aku masih duduk diam di bangku dan
Tama berdiri rapat di sampingku.
"Maaf, Mbak, Mas, ruangannya mau saya tutup," kata bapak
penjaga sekolah dengan rencengan kunci di tangannya.
Tama meraih tanganku dan menggandengku keluar.
Sepanjang lorong menuju tempat parkir, kami berjalan beriringan dalam diam. Tama membimbingku menuju warung siomay di samping sekolah. Setelah memesan dua porsi siomay
dan dua gelas es jeruk, kami duduk berdampingan di bangku
panjang. Posisi duduk Tama sengaja menyamping, menghadapku.
Aku hanya bisa terus menundukkan kepala.
"Ada apa, Dhi?" tanya Tama memulai pembicaraan setelah
dari tadi kami sama-sama terdiam.
"Sori," jawabku belum berani menoleh padanya.
"Kenapa terus menghindariku?"
"Kasihan Bashira." jawaban itu meluncur begitu saja dari
mulutku.
"Memangnya Bashira kenapa?"
180 180
Aku memutar tubuhku menghadapnya. Tapi belum sanggup
menatap matanya.
"Bashira menyukaimu."
"Terus?"
"Sejak kita bersama, Bashira sering menangis di kamarnya.
Dia juga selalu menghindariku. Apa kamu tidak melihat perubahan sikapnya?"
Tama termenung sejenak, kemudian mengangguk.
"Tidak semua perasaan harus berbalas kan, Dhi?"
"Memang. Masalahnya, karena kebetulan aku saudara kembar?nya. Rasanya lebih menyakitkan buatnya. Aku tidak pernah
melihat Bashira sesedih itu. Aku tidak tega."
"Apa dengan menghindariku, sikap Bashira bisa kembali
seperti dulu?"
"Setidaknya dia tidak harus melihat kita bersama."
"Setelah itu? Apa kamu harus menghindariku selamanya?"
"Nggak tahu. Aku sendiri bingung. Mungkin masalah ini jadi
pukulan berat buat Bashira. Seharusnya kamu memilihnya,
setidaknya sejak kecil aku sudah biasa gagal. Masalahnya tidak
akan seberat ini kalau aku harus menerima kenyataan kedekatanmu dengan Bashira."
Tama memandangku dengan tatapan yang tidak bisa kuhindari. Aku jengah ditatap seperti itu.
"Nggak ada orang yang terus berhasil seumur hidupnya, Dhi.
Begitu juga sebaliknya, nggak ada orang yang ditakdirkan gagal
selamanya. Ini justru pelajaran buat Bashira. Selama ini kalian
selalu dibanding-bandingkan dan Bashira selalu dalam posisi
181 181
diunggulkan. Apa dia pernah memikirkan bagaimana rasanya
berada di posisimu?"
"Aku sudah biasa menghadapinya sejak kecil. Peranku tidak
pernah berubah dari itik buruk rupa yang dibandingkan dengan
seekor angsa yang cerdas dan cantik jelita."
"Aku tidak pernah menganggapmu itik buruk rupa. Kamu
istimewa!"
"Kenapa kamu menyukaiku? Bukankah selama ini kamu
sangat dekat dengan Bashira?"
"Kalau pertanyaan itu kubalik, bukankah kamu juga sangat
dekat dengan Raven?"
Pertanyaan itu juga tidak perlu kujawab. Aku dan Tama
kembali mengubah posisi duduk menghadap meja ketika pesanan siomay dan es jeruk sudah diantar.
"Terima kasih, Mas," kataku dan Tama nyaris bersamaan,
ha?nya memandang siomay dan es jeruk di atas meja tapi belum
"Dhi..."
berniat menyantapnya.
"Ya..."
"Aku kangen."
"Aku juga."
"Jangan menghindariku lagi."
Napasku terasa berat di dada.
"Bashira..."
"Dia harus belajar menerima kenyataan."
"Aku tidak tega."
"Tapi kamu tega membuatku merana."
182 182
"Lebay!" jawabku mencoba mencairkan suasana yang terasa
serius dari tadi.
"Kalau kamu masih terus menghindariku, aku akan lebih
nekat beraksi di depan Bashira."
"Nekat? Contohnya?" tanyaku mulai cemas.
Aku melihat sorot jail di sudut mata Tama.
"Yah, seperti menciummu di depannya!"
"Apa!" teriakku kaget.
Tama tertawa sambil menyenggol bahuku keras dengan
bahunya. Aku merengut kesal tapi dalam hati merasa senang.
Mungkin karena berdekatan seperti ini. Kan sudah kubilang
berulang kali, aku kangen padanya. Selanjutnya kami sama
sama asyik menikmat siomay tanpa bicara. Bahkan setelah
siomay di piring sudah habis dan gelas yang tadi berisi es jeruk
sudah kosong, kami masih sama-sama duduk berdampingan
dalam diam.
Sepanjang duduk diam di samping Tama, aku bertanya-tanya
dalam hati, beginikah rasanya dekat dengan seseorang yang
kita cintai dan punya tempat spesial di hati kitaRasanya aku tidak pernah merasa sedamai ini.
183 183
Kemal, Kenapa
Aku Jadi
Memikirkannyakhirnya aku dan Tama sepakat soal Bashira.
Demi menjaga perasaan Bashira, kami sengaja
tidak saling menyapa atau berduaan saat ada
Bashira. Bahkan aku pun tidak berani mencuri-curi
pandang pada Tama dari bangkuku karena posisi duduk Bashira
yang tepat di depan Tama. Biarpun sempat ngotot, Tama
terpaksa menerima ketika kularang datang ke rumah mencariku.
Dengan alasan apa pun.
Kadang-kadang rasanya aneh juga. Kami seperti pacaran
back street saja. Mencari-cari waktu untuk bisa sedikit mengobrol dan saling bertemu. Susahnya, aku dan Bashira satu kelas,
juga satu rumah yang sama. Apalagi empat hari dalam seminggu
184 184
aku juga harus mengikuti les tambahan pelajaran di sekolah
dan Tama punya kesibukan membantu ibunya menjaga toko.
Bersyukur, masih ada ponsel yang menjadi dewa penolong
bagi kami. Biarpun rasanya jadi boros pulsa karena sering
menelepon di malam hari. Kadang aku selalu menunggu sms
Tama di tengah jam pelajaran yang terasa menjemukan. Biasanya saat sudah beberapa waktu tidak saling bersua dan Bashira
sedang serius mengerjakan soal di mejanya atau di papan tulis,
Tama akan mengirim sms singkat,
Arah jam 9 Dhi...
Dadaku langsung berdebar setiap membacanya. Perlahan
aku akan menunduk dan menoleh perlahan ke bangkunya.
Ketika saling menatap beberapa detik saja, hatiku rasanya lega
luar biasa.
Namun, biarpun aku dan Tama sudah berusaha sekuat tenaga tidak memperlihatkan kedekatan kami berdua, yang
membuatku heran, Bashira tetap saja terlihat sedih dan masih
terus menjaga jarak denganku. Dia hanya akan bicara kalau
kutanya lebih dulu.
Kenapa, yaAku baru saja merebahkan badan di atas tempat tidur setelah dari tadi sibuk ilustrasi pesanan Raven untuk neneknya.
Punggungku terasa pegal dan mataku agak pedas. Saat mataku
baru terpejam sesaat, ponsel yang kutaruh di samping bantal
bergetar.
"Halo," kataku sambil mengantuk.
"Dhi..."
185 185
"Ya..."
"Keluar sebentar."
Mataku membelalak lebar seketika.
"Tama?"
"Iya. Ayo, cepet keluar. Sebentar saja."
Dengan cepat aku beranjak dari tempat tidur, melihat jam
weker berbentuk bulat di atas meja belajar yang menunjukkan
pukul sembilan malam.
"Sudah jam sembilan."
"Sebentar saja. Cepat."
Tanganku meraih jaket rajutan warna biru yang kusampirkan
di sandaran kursi dan memakainya sambil melangkah cepat
keluar kamar. Karena terburu-buru aku tidak sempat melihat
Lho Kembar Kok Beda Karya Netty Virgiantini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ayah sama Ibu yang masih menonton televisi di ruang tengah
yang menyambung dengan ruang tamu.
"Mau ke mana, Dhi?" tanya Ayah begitu tanganku meraih
gagang pintu depan.
Tubuhku langsung membeku.
"Keluar sebentar."
"Ke mana?" Kali ini Ibu yang bertanya.
"Ehmm... mau nyari bakso yang lewat," jawabku asal.
"Sudah jam sembilan mana ada bakso lewat!"
Ah, bagaimana ini? Harus pakai alasan apa"Ngng... sekalian liat pintu pagar, Bu. Sudah digembok apa
belum. Bahaya kalau sampai lupa tidak digembok, banyak
pencuri berkeliaran di mana-mana."
"Barusan Ayah yang menguncinya."
186 186
Mampuslah aku!
Kupandangi Ayah dan Ibu yang tengah memandangku
dengan pandangan curiga. Aku berusaha memeras otak untuk
mencari alasan lain yang bisa memberiku kesempatan keluar
sebentar saja.
"Nyari udara segar sebentar," kataku mencoba terlihat
tenang dan berdoa semoga Tama tetap menungguku di sana.
"Capek dari tadi menggambar terus di kamar."
"Makanya, Ayah bilang apa? Belajar! Jangan menggambar
terus, mau jadi apa kamu nanti? Kenapa kamu tidak bisa seperti
Bashira?"
Seperti biasa, aku tidak akan mendebat saat dibanding
bandingkan dengan Bashira. Kupandangi Ayah dan Ibu bergantian dengan muka pasrah. Mungkin melihat wajah pasrahku
Ibu jadi kasihan.
"Yo wis, sana, jangan lama-lama," kata Ibu segera mengalihkan
kembali pandangan ke arah televisi.
Aku mengangguk, segera membuka pintu dan melangkah
cepat menuju pintu pagar. Tapi tidak ada siapa-siapa di sana.
Dari balik pintu pagar setinggi satu meter yang sudah digembok, aku berusaha berjinjit melongokkan kepala keluar. Tidak
ada siapa-siapa. Agak jauh di sebelah kiri jalan, ada segerombolan laki-laki duduk di atas motornya. Tapi tidak begitu
jelas siapa mereka.
"Tama..." panggilku setengah berbisik.
"Ssssttt..." sebuah suara menyahut.
187 187
Aku mencoba mencari sumber suara. Akhirnya kutemukan
Tama tengah duduk berjongkok di sisi kanan pintu pagar.
"Ngapain di situ?"
"Jadi patung penunggu pintu," jawab Tama segera beranjak.
Kami berdiri berhadapan dibatasi pintu pagar. Saling memandang di bawah temaram penerangan lampu jalan. Setiap kali
memandangnya, sepertinya rasa sayangku semakin bertambah
saja.
"Ada apa? Aku nggak bisa lama-lama," kataku dengan kepala
menoleh ke arah rumah.
"Kangen."
Aku terdiam sejenak kemudian mengangguk.
"Sudah, ya?" tanyaku cemas.
"Tunggu sebentar," jawab Tama.
Kedua tangannya memegang kedua sisi wajahku, perlahan
kepalanya bergerak dan tiba-tiba bibirnya sudah menyentuh
keningku dari balik pagar. Aku merasakan bibirnya gemetar,
yang membuat sekujur tubuhku ikut gemetar. Kupejamkan
mataku dengan dada berdebar-debar. Sensasi yang baru pertama kurasakan ini benar-benar terasa mengguncang. Aku tidak
sadar berapa lama adegan ini berlangsung. Aku terlalu menikmatinya. Sampai aku juga tidak menyadari bahwa apa yang
yang kami lakukan bisa terlihat jelas dari tempat Ayah dan Ibu
yang tengah menonton televisi. Aku benar-benar tidak sadar,
selain dua pasang mata mengawasi dari ruang tengah, juga
gorden di jendela kamar depan tersingkap. Di baliknya ada
188 188
sepasang mata yang memandang dengan air mata mengalir di
kedua pipinya.
Kenapa aku tidak pernah menyadarinyaTidak pernah kusangka kejadian tadi malam, akan berhubungan
dengan kejadian hari ini. Aku sedang asyik mengerjakan sketsa
cerpen dan puisi untuk majalah sekolah?setelah kesempatan
yang diberikan Bu Sharmila waktu itu, sekarang aku resmi
menjadi ilustrator di majalah sekolah?sebuah kesempatan yang
membuatku luar biasa semangat menjalaninya. Aku sengaja
mengerjakannya sepulang sekolah di perpustakaan karena
les tambahan pelajaran buatku.
suasananya lebih tenang. Kebetulan ini hari Sabtu, tidak ada
"Dhi..." panggil Raven sambil berjalan menghampiri.
"Ya?"
"Mau pulang bareng, nggak?"
"Nggak. Masih lama. Tinggal saja."
"Bareng Tama?"
Kepalaku menggeleng.
"Anak-anak yang lain mana?"
"Sudah pada pulang. Tadi penginnya ngumpul di rumah Fala,
tapi kamu kan lagi ngerjain sketsa, jadi ngumpulnya besok siang
aja ya."
"Oke," jawabku singkat.
"Yo wis, aku pulang dulu," pamit Raven.
"Pak Man sudah datang?"
189 189
"Aku bawa motor sendiri," jawab Raven bangga.
"Hah!" seruku kaget.
"Aku nggak mau selamanya jadi bahan olok-olokan, Dhi!"
Aku senang mendengarnya.
"Kalau sampai kelompoknya si Onta Padang Pasir itu masih
mengolok-olok juga, hajar aja!"
Raven mengacungkan jempolnya.
"Aku bangga padamu, Ven! Kamu bukan lagi adik bayiku,
kamu laki-laki sejati!"
Baru saja sosok Raven menghilang di balik pintu, Kemal
muncul begitu saja dan berjalan cepat menghampiriku. Aku
terpaku melihat tatapan matanya yang menyorotkan kemarahan. Seingatku sejak peristiwa aku menubruknya di lorong kelas
waktu itu, berkali-kali aku memergokinya menatap marah
padaku.
Memangnya apa salahkunyaHanya menubruk tanpa sengaja saja, sampai segitu dendamDia hanya berdiri diam menjulang di depanku.Tiba-tiba tangan?nya meraih tangan kananku, mencengkeram keras. Sorot
matanya berubah begitu melihat gelang pemberiannya yang
masih melingkar di pergelangan tanganku. Perlahan dibawanya
tanganku dan disentuhnya punggung tangan kananku dengan
bibirnya. Tubuhku langsung merinding. Aku masih terpaku
bingung menatapnya. Begitu sadar, cepat kutarik kembali tanganku sampai terlepas.
Sorot mata Kemal kembali menatap marah padaku, kemudian
190 190
tanpa bicara, dengan cepat ia berbalik melangkah keluar
perpustakaan.
Baru saja aku selesai mengerjakan gambar yang pertama,
ketika terlihat beberapa cowok berlarian dari kantin di
belakang perpustakaan yang terlihat jelas dari tempat dudukku.
Mas Hanif tampak berjalan tergesa keluar dan menanyai
seorang cowok yang berlari paling belakang.
Penasaran aku beranjak dan menghampiri Mas Hanif.
"Ada apa, Mas?"
"Katanya, ada yang dikeroyok kelompoknya Kemal. Dasar,
Naluriku menangkap sinyal bahaya.
kelompok itu memang suka bikin gara-gara."
"Raven!Detik berikutnya kakiku sudah berlari kesetanan melintasi
lapangan basket, berbelok ke kanan di samping ruang guru
dan memacu langkah menuju gerbang sekolah. Aku terpaksa
berhenti karena ada beberapa mobil melintas di jalan raya
depan sekolah. Pemandangan yang kulihat di seberang jalan
terlalu mengerikan buatku. Ya Tuhan, Raven tampak jadi bulanbulanan beberapa cowok dan satu sosok yang tampak menjulang sangat kukenali. Sialan. Kemal!
Seluruh persendianku seolah digerakkan oleh luapan emosi
yang membakar dadaku. Setelah bisa menyeberang jalan dan
masuk dalam arena pengeroyokan, aku langsung melabrak.
Menggebrak. Menerjang membabi-buta tanpa perhitungan.
Ngawur. Asal tendang asal dorong. Hanya itu yang bisa kulakukan. Tidak kurasakan berapa kali kepalan tangan mengenai
191 191
tubuhku. Konsentrasiku hanya pada Raven yang tengah terkapar di tanah. Sekilas kulihat Kemal makin marah begitu melihatku. Ketika kulihat kakinya terayun hendak menendang
Raven, aku melompat menubruk tubuh Raven. Saat melihat
tubuhku menutupi sasaran tendangannya, Kemal berusaha
menarik kembali kakinya. Tapi gerakan itu membuat keseimbangan tubuhnya menjadi goyah dan dalam hitungan detik
tubuhnya jatuh ke tanah dan tepat menghantam tangan kananku. Entah bagaimana posisi tanganku sebelumnya, aku tidak
mampu mengingatnya. Karena saat ini aku merasakan rasa
nyeri yang luar biasa di pergelangan tanganku. Dengan sisa
kekuatan yang kumiliki, tubuhku berbalik berguling di tanah
dan menarik tanganku dari bawah tubuh Kemal, mendekapnya
yang tidak tertahankan.
di dadaku untuk menahan rasa sakit yang semakin menusuk
Masih kudengar suara Kemal memanggil namaku dan meraih
tubuhku. Sesaat rasa nyeri yang makin menggila di pergelangan
tanganku dan kemudian semuanya menjadi gelap.
Dan aku tidak ingat apa-apa lagi.
Pergelangan tangan kananku patah.
Mungkin karena posisi tanganku yang tidak tepat ketika
tubuh Kemal menimpanya, tulang di pergelangan tanganku ada
yang bergeser. Patahan tersebut harus segera dikembalikan
lewat operasi. Karena rumah sakit di Magetan tidak bisa mengatasinya, hari itu juga aku dirujuk untuk melakukan operasi di
192 192
rumah sakit ortopedi Dr. Suharso, Solo. Hanya Ayah dan Ibu
yang menemaniku ke Solo.
Perlu lima hari perawatan setelah operasi di rumah sakit,
aku benar-benar merasa tersiksa. Bukan saja karena sekarang
pergelanganku harus dibalut kuat dengan slab gips di sekitar
bagian belakang lengan bawah sampai pergelangan tangan,
selama hampir enam minggu ke depan. Selain itu posisi tanganku harus digendong dengan kain khusus lewat bahuku. Selama
di rumah sakit, aku bisa melihat kemarahan kedua orangtuaku
yang sepertinya sengaja ditahan di depanku.
Hanya tidur-tiduran selama beberapa hari sukses membuat
tubuhku pegal semua. Masih ditambah banyak pikiran yang
rasanya berputar di kepalaku membuat tidurku tidak bisa
tenang.
Bagaimana kondisi RavenApa yang terjadi dengan Kemal dan kelompoknyaAku yakin pasti telah diambil tindakan tegas dari sekolah.
Termasuk sangsi apa yang akan dijatuhkan padaku? Karena
apa pun alasannya aku sudah melibatkan diri dalam keributan
itu.
Melihat wajah Ayah dan Ibu, aku tidak berani menanyakan
apa pun yang menyangkut peristiwa itu. Susahnya lagi, aku
tidak tahu di mana ponselku. Yang bisa kulakukan hanya terus
diam di tempat tidur dengan perasaan bingung.
Sebuah kejutan datang di hari terakhirku di rumah sakit,
Raven dan kedua orangtuanya menengokku. Lebih tepatnya
mereka sekalian menjemputku.
193 193
Begitu melihatnya masuk kamar, aku langsung berteriak
senang,
Lho Kembar Kok Beda Karya Netty Virgiantini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Raven!"
Rasanya ingin melompat dari tempat tidur dan memeluknya.
Tapi tentu saja tidak kulakukan begitu melihat mama dan
papanya di belakangnya. Raven menghampiriku dan memelukku
sebentar.
"Kamu nggak apa-apa, Ven?" tanyaku cemas melihat memarmemar di wajahnya.
"Nggak apa-apa gimana? Muka bonyok semua begini!"
Tidak bisa kupungkiri, aku bangga melihat bekas-bekas
keributan itu di wajahnya. Raven telah membuktikan keberaniannya.
Mama dan papa Raven menepuk-nepuk pelan bahuku bergantian.
sekolah."
"Terima kasih ya, Mbak, selama ini sudah jagain Raven di
"Sama-sama, Tante."
"Tenang saja, Om sudah minta polisi menangani para
pengeroyok itu," tambah papa Raven.
Polisi...!!
Kakiku terasa dingin mendengarnya.
Bagaimana dengan KemalAh, kenapa aku harus mengkhawatirkannya? Bukankah
sudah seharusnya dia mendapat pelajaran dari semua ulahnyaTapi sejujurnya, aku tidak ingin dia sampai masuk penjara. Aku
berdoa dalam hati, semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk
194 194
pada Kemal. Aku memejamkan mata untuk menghilangkan
bayangan Kemal yang muncul begitu saja.
Setelah menunggu sekitar setengah jam dan menjadi pendengar obrolan para orangtua, akhirnya aku dan Raven pu?nya
kesempatan mengobrol berdua.
"Gimana awal kejadiannya, Ven?" tanyaku nggak sabar.
"Biasa, Dhi, mereka mengolok-olokku lagi."
"Tapi waktu kamu keluar dari perpustakaan, terus Kemal
masuk."
"Seingatku awalnya Kemal nggak ada. Hanya teman-temannya."
"Bukannya kamu bawa motor sendiri waktu itu?"
"Iya. Begitu motorku keluar di pintu gerbang, mereka mulai
meneriakiku. Aku ingat pesanmu, Dhi, kalau tidak kulawan
mereka tidak akan pernah berhenti! Motorku kuparkir dekat
gerbang dan aku menghampiri mereka di seberang jalan. Aku
"Apa?"
yang menonjok lebih dulu salah satu dari mereka."
"Aku sudah nggak tahan, Dhi. Mereka semakin keterlaluan!"
"Sip!" komentarku mengacungkan jempol tangan kiriku.
Raven malah menatap prihatin pada tangan kananku yang
kugendong di depan dada.
"Maaf ya, Dhi, gara-gara melindungiku kamu malah jadi kayak
gini."
"Ini musibah, Ven. Nggak apa-apa, jangan disesali. Aku senang dan bangga. Kamu berani melawan mereka semua!"
195 195
"Anak-anak ingin ikut juga nengok ke sini, tapi mobilnya
nggak cukup. Kan nanti sekalian bawa kamu pulang."
"Nggak sabar pengin ketemu mereka."
"Aku tahu yang paling ingin kamu temui."
Mukaku memerah seketika. Dari tadi aku ingin menanyakannya,
tapi malu.
"Waktu kamu dibawa ke sini, Tama sama Syarif boncengan
motor menyusul kemari."
"Hah! Yang bener?"
"Tapi orangtuamu melarang mereka menemuimu!"
Mulutku terkunci. Aku tidak tahu harus bicara apa lagi. Kok
ini bakal berlanjut sampai nanti.
perasaanku jadi tidak enak ya? Aku seperti merasa larangan
Tangan Raven tampak sibuk dengan tombol ponselnya.
Beberapa saat kemudian dia menyerahkan ponselnya padaku.
Aku memandangnya dengan tatapan bertanya.
"Dengar saja sendiri suaranya!"
"Halo," tanyaku ragu-ragu begitu menempelkan ponsel di
telinga kiriku.
"Dhi, tanganmu gimana? Masih sakit?"
Mendengar suaranya dadaku selalu berdebar-debar. Kali ini
aku tidak bisa menjawab pertanyaannya. Mendadak kedua
mataku digenangi air mata. Sesungguhnya aku tidak mudah
menangis. Tapi mendengar suara Tama kali ini, entah mengapa
air mataku rasanya sudah tidak bisa kubendung lagi. Ada satu
rasa yang tidak bisa kujelaskan. Akhirnya kubiarkan saja rasa
196 196
itu meluap dan air mata membanjiri kedua pipiku di depan
Raven.
Raven mengambil ponsel dari tanganku.
"Nggak tahu, tiba-tiba nangis," jawan Raven sebelum menutup teleponnya.
Setelah mengambilkan tisu dari meja kecil di samping tempat tidur dan membantu mengusap air mata di pipiku, tangan
Raven kembali sibuk memencet tombol dan menyo?dorkan
ponselnya padaku.
"Bu Sharmila," kata Raven tanpa suara.
Tangan kiriku cepat menerimanya dan menempelkan di
telinga. Aku mengambil napas panjang berulang kali sebelum
mulai bicara untuk meredakan sisa tangisku.
"Halo, Bu Sharmila," sapaku ringan. Sosoknya yang selalu
menenangkanku membuat perasaanku jadi terasa ringan. Bu
ngar suaranya.
Sharmila selalu bisa membuatku nyaman walau hanya mende"Nadhira, gimana kondisimu?" suara khas Bu Sharmila.
"Sudah lumayan, Bu. Masih harus di gips dan digendong."
"Nggak apa-apa. Sabar, ya. Hari ini kamu pulang, kan? Besok
ibu main ke rumahmu."
"Terima kasih, Bu Sharmila."
Sambungan telepon terputus.
"Ven, apa kita juga kena sangsi dari sekolah?" tanyaku sambil
mengembalikan ponselnya.
"Kayaknya nggak, Dhi."
"Kemal dan teman-temannya?"
197 197
"Kabarnya bakal dikeluarkan dari sekolah!"
Mulutku menganga seketika. Seharusnya aku tidak perlu
sekaget itu. Tingkah mereka yang sering membuat onar dan
perlakuannya pada Raven menjadi pembenaran hukuman yang
harus mereka terima. Tapi tetap saja muncul rasa kasihan dalam
hatiku mengingat mereka anak-anak yang kepandaiannya jauh
di atasku. Apalagi Kemal.
Ah, kenapa harus mikir Kemal lagi198 198
Cukup Sampai
Di Sini...
ernyata Ayah benar-benar marah!
Tidak perlu waktu lama, sepulang dari rumah
sakit malam harinya, aku, Bashira, Ayah, dan Ibu
duduk di ruang tengah. Dari mulai duduk dan ayah
bicara, semua kemarahan itu sepertinya ditujukan padaku.
"Kamu sudah keterlaluan, Dhi! Sekolah tidak pintar malah
ikut-ikutan berantem sampai cedera begitu. Kalau sudah begini
siapa yang repot? Ayah dan Ibu, kan! Kamu pikir biaya operasi
dan pengobatan tanganmu itu murah?"
Kepalaku tertunduk.
"Bukannya belajar untuk mengejar prestasi seperti Bashira,
kamu malah sibuk menggambar dan pacaran saja!"
Hah, pacaran199 199
Aku mendongak menatap Ayah yang duduk di kursi seberang.
"Kamu pikir kenapa Kemal menghajar Raven? Dia bilang
kalau dia cemburu karena kamu sering bersama Raven!"
Kemal? Cemburu? Tidak mungkin!
Semburan kata-kata ayah selanjutnya tidak begitu kuperhatikan. Aku merasa menjadi pihak yang benar-benar bersalah.
Tidak berhak membela diri apalagi membantahnya. Namun,
kalau dari awal tadi hanya aku yang menjadi sasaran kemarahan,
kenapa Bashira juga harus ada di sini? Sejak tadi dia duduk
diam di sampingku. Sikapnya masih tetap sama, hanya bicara
kalau ku tanya.
Tapi rasa ingin tahuku dengan adanya Bashira di sampingku
terjawab begitu Ayah mulai menyebut-nyebut nama Tama.
"Kalian ini saudara kembar, seharusnya saling menyayangi
dan saling membantu. Hanya karena seorang cowok bernama
Tama kalian jadi asing satu sama lain."
Kok, Ayah bisa tahu"Nadhira, apa kamu tahu kalau hubunganmu dengan Tama
membuat nilai-nilai pelajaran Bashira terjun bebas dari biasanya?"
Aku langsung menoleh menatap Bashira. Dia tetap diam
sambil menundukkan kepalanya. Wajahnya seolah tidak terbaca.
Ketika mataku kembali memandang ke seberang kursi, tahulah aku kalau Ayah sedang memegang kertas yang berisi angkaangka nilai mid semester milikku dan Bashira.
200 200
"Mulai sekarang, Ayah tidak mau tahu. Tidak ada satu pun
diantara kalian berdua yang boleh pacaran sampai lulus SMA!
Selama sisa masa di SMA ini, yang harus kalian lakukan adalah
belajar, belajar, dan belajar!"
Di kepalaku terbayang sosok Tama yang rasanya sudah lama
tidak pernah kutemui. Tiba-tiba rasa kangen terasa mencengkeram dadaku.
"Nadhira, Ayah minta kamu selesaikan hubunganmu dengan
Tama secepatnya!"
Mungkin tatapan kedua mataku telah mengungkapkan penolakan hatiku, karena Ayah segera memberikan ultimatumnya.
"Kamu sendiri atau Ayah yang melakukannya?"
Aku menghela napas yang terasa sesak di dada. Mulutku
begitu berat digerakkan ketika harus mengucapkan kata-kata
yang menimbulkan rasa perih di dada.
"Aku sendiri."
Semalam suntuk aku terjaga.
Mataku tidak bisa terpejam barang sejenak. Bayangan Tama
dan Kemal bergantian muncul di kepalaku.
Aku kangen Tama. Ingin mendengar suaranya. Ingin bertemu
dengannya.
Aku juga ingat Kemal. Ingat saat sikapnya yang berubah
lembut ketika memberiku gelang sebagai hadiah ulang tahun.
Ingat saat terakhir bertemu dan dia mencium punggung tanganku dengan ekspresi yang bisa kurasakan maknanya. Karena
201 201
aku, Kemal mungkin harus dikeluarkan dari sekolah. Tapi,
benarkah Kemal cemburu padakuSetelah bayangan kedua cowok itu seakan menerorku, rasa
kangenku pada Tama akhirnya menyingkirkan bayangan Kemal
dari kepalaku. Membuatku duduk diam di belakang meja
belajar. Mengambil kertas memo dengan tangan kiri dan susah
payah memegang pensil.
Saat rindu.
Saat resah.
Saat sedih.
Aku biasa mengatasinya dengan menggambar. Namun, aku
lupa tangan kiriku tidak pernah sekali pun kugunakan untuk
menulis, apalagi menggambar. Ketika aku mencobanya, yang
dihasilkan adalah garis-garis lengkung tidak beraturan.
Sesaat kemudian aku termenung memandang kertas berisi
Ayah.
coretan-coretan tidak karuan di depanku. Aku ingat ultimatum
Bagaimana caranya aku memutuskan hubungan dengan
Lho Kembar Kok Beda Karya Netty Virgiantini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tama? Bicara langsung, jelas aku tidak sanggup melakukannya.
Lewat telepon, ponselku sudah dipegang Ayah dan belum tahu
kapan akan dikembalikan padaku. Satu-satunya cara yang bisa
kulakukan hanya lewat surat. Email atau surat biasa? Hatiku
mantap memilih lewat surat biasa yang akan kutulis sendiri.
Terasa lebih pribadi.
Tanganku kembali meraih kertas memo yang masing kosong.
Dengan tangan gemetar dan hati yang rasanya perih saat meng202 202
gerakkan pensil, aku berusaha menuliskan kata-kata perpisahTama, kita akhiri sampai di sini...
Nadhira
Hatiku menangis biarpun tidak ada air mata yang mengalir
di pipiku. Kubaca kembali tulisan mirip cakar ayam tidak
beraturan karena kutulis dengan tangan kiri. Kubaca berulangulang sampai rasanya hatiku kebas tidak bisa merasakan apa
apa.
Kuambil kertasnya dan kutempelkan tepat di liontin berbentuk bintang di dadaku. Kupejamkan mata rapat-rapat. Akhirnya,
kurasakan butiran air menerobos celah lembut kedua mataku.
Mengalir perlahan menuruni pipiku. Menderas dan seolah arus
kuat yang membobol pertahananku. Aku terisak keras.
Aku makin kangen.
Aku makin rindu.
Kembali ke sekolah setelah seminggu izin sakit.
Repot. Dengan tangan kanan di gips dan digendong di bahu,
aku jelas tidak bisa membawa motor sendiri. Mau membonceng
Bashira tidak enak juga mengingat sikap diamnya padaku.
Satu-satunya pilihan adalah naik angkot. Tidak apalah yang
penting tetap sampai di sekolah. Biarpun untuk itu aku harus
bangun lebih pagi. Selain soal angkot yang memang penuh
203 203
pada jam-jam berangkat sekolah, persiapan di rumah juga
makan waktu lama. Dengan kondisi tangan kananku, dari membuka sampai memakai baju aku harus dibantu Ibu. Makan pun
kalau tidak pelan-pelan akan belepotan dan berserakan. Kadang aku berpikir, mungkin seharusnya dari dulu aku membiasakan menggunakan tangan kiriku untuk beraktivitas. Jadi kalau
tangan kanan berhalangan seperti ini, tangan kiri bisa langsung
menggantikannya.
Begitu turun dari angkot di depan sekolah, aku berulangkali
membetulkan tas yang tersampir di bahu kiriku yang bolak-balik
melorot. Mulai dari masuk halaman lewat gerbang sekolah
sampai duduk di bangkuku, rasanya aku terus menundukkan
kepalaku. Aku tahu setiap anak yang berpapasan atau melihatku dari jauh selalu berbisik-bisik. Beberapa yang kenal baik
denganku pasti langsung menghampiri dan menanyakan kondisiku.
Tadi setelah turun dari angkot aku sempat menoleh ke seberang jalan, tempat Kemal dan teman-temannya biasa bergerom?bol dan nongkrong di sana. Sepi. Tidak ada siapa pun di
sana. Rasanya ada sesuatu yang hilang. Entahlah.
Dalam kelas, Asta, Fala, Ryu, dan Syarif terus mengerumuniku
sampai bel tanda masuk berbunyi. Selama pelajaran aku
menjadi sangat bergantung pada Raven. Biarpun aku bersikeras
berusaha sendiri?yang berakibat seluruh isi tasku tumpah
semua ketika aku mencoba mengambil satu buku dari dalam
tasku?Raven sigap menolongku.
Jam-jam pelajaran pertama rasanya aku sangat tersiksa.
204 204
Keinginan untuk melirik ke bangku Tama nyaris tidak bisa
kutahan lagi. Tapi begitu ingat kertas memo yang kutaruh di
saku atasan baju seragamku, aku sudah ingin menangis lagi.
Di tengah-tengah pelajaran matematika sedang berlangsung,
datang panggilan dari BP untukku dan Raven. Aku dan Raven
saling lihat kemudian sama-sama mengangkat bahu.
"Apa kita juga bakal kena sangsi ya, Ven?"
"Mungkin saja, Dhi," jawab Raven pasrah.
Langkah kami berdua langsung terhenti begitu masuk ruang
BP yang tampak penuh sesak. Ada Kemal dan seluruh teman
temannya, Bu Sharmila, beberapa wali kelas, juga kepala
sekolah. Aku berdiri rapat di samping Raven, dekat meja Bu
Sharmila.
"Oke, semua sudah hadir di sini. Mari kita mulai untuk menyelesaikan masalah ini." Suara lembut Bu Sharmila memulai.
Satu per satu kami ditanyai masalah yang memicu terjadinya
keributan waktu itu. Aku dan Raven mendapat giliran lebih
dulu. Anehnya, semua teman-teman Kemal bilang hanya ikutikutan saja mengolok-olok Raven. Karena Kemal yang memulainya. Semua mata langsung tertuju pada sosok tinggi besar
berambut gondrong itu.
"Kenapa Kemal?" tanya Bu Sharmila lembut. "Apa salah
Raven padamu sampai kamu mengolok-oloknya seperti itu."
"Saya cemburu, Bu," jawab Kemal dengan intonasi tenang.
"Cemburu?"
"Iya. Karena Raven terus-terusan nempel sama Nadhira."
Hah, cemburu padaku205 205
Kepalaku langsung menoleh dan menatapnya.
Ternyata Kemal juga melakukan hal yang sama.
Kemal memandangku dengan penyesalan yang tampak jelas
di wajahnya.
"Mereka berdua teman baik, Mal. Teman satu bangku!"
"Saya tahu, Bu. Karena ternyata Nadhira justru jadian sama
Tama."
Aku langsung menundukkan kepala dalam-dalam.
Bu Sharmila merasa cukup dengan keterangan kami semua.
Kemudian Kepala Sekolah mengambil alih pembicaraan. Pertemuan ini ternyata untuk mencari solusi akibat keributan kami
waktu itu. Masalah ini sudah sampai diproses di kepolisian,
karena papa Raven yang notabene pejabat yang sangat berpengaruh jelas tidak terima putra satu-satunya dianiaya. Sementara pihak sekolah ingin masalah ini bisa diselesaikan dengan
cara kekeluargaan. Bagaimanapun kalau ada yang sampai
dikeluarkan, nama sekolah akan ikut tercemar.
Tidak berapa lama, ruangan BP semakin penuk sesak dengan
kedatangan para orangtua, ditambah dua petugas kepolisian.
Aku melihat Ayah yang masih menunjukkan kemarahannya saat
melihatku. Terjadi perdebatan yang sangat seru. Ayah dan papa
Raven tampak emosi, tidak mau jika Kemal dan teman-temannya masih ada di sekolah ini. Sementara orangtua yang lain,
yang merasa jadi pihak yang bersalah hanya bisa meminta maaf
dan pasrah dengan keputusan sekolah.
Perdebatan ini benar-benar melelahkan. Pihak sekolah dan
petugas kepolisian berusaha menenangkan dan memberi
206 206
pengertian pada Ayah dan papa Raven. Akhirnya kata sepakat
tercapai. Kemal dan teman-temannya tidak jadi dikeluarkan,
tapi dikenakan wajib lapor ke kantor polisi seminggu dua kali,
hari Senin dan Kamis selama tiga bulan. Jika dalam masa itu
mereka membuat keributan lagi, maka sudah tidak ada kata
maaf, mereka akan langsung dikeluarkan dari sekolah. Selain
itu mereka juga harus mengganti semua biaya pengobatan
tanganku.
Semua sepakat.
Saling bersalaman sebagai tanda damai. Aku terpaksa memakai tangan kiri. Kami kembali ke kelas saat jam pelajaran terakhir. Begitu duduk di bangku, ingatanku kembali pada kertas
memo di sakuku.
"Ven, tolong sms Tama. Minta dia tetap tinggal di kelas
setelah bel pulang nanti. Ada yang ingin kusampaikan," bisikku
pada Raven.
Raven melihatku dengan kening berkerut.
"Ada apa, Dhi? Kok kamu kayak mau nangis?"
"Sori aku belum bisa cerita, Ven."
"Oke," jawab Raven singkat segera memencet-mencet
tombol ponselnya di bawah meja.
Saat menunggu Raven selesai melakukannya, aku tidak dapat
mencegah kepalaku untuk menoleh ke arah bangku di belakang
Bashira. Entah kebetulan atau apa, Tama juga menoleh pada
saat yang sama, sehingga mata kami bertemu dan beradu
pandang.
207 207
Tatapan kami bertaut dan membuat kami tidak bisa berpaling
lagi.
Kelas sudah sepi.
Aku tahu, Tama masih duduk di bangkunya. Menungguku
seperti pesan sms yang disampaikan Raven.
Aku tahu, seharusnya aku segera menghampirinya dan
menyelesaikan masalah ini secepatnya.
Tapi rasanya badanku berat untuk beranjak dari bangku.
Aku hanya diam dan terpaku dengan jantung berdegup kencang. Berulang kali kutarik napas panjang untuk menenangkan
diri. Kupejamkan mataku dan kupanjatkan doa dalam hati, memohon kekuatan untuk segera melakukannya.
Setelah menghela napas panjang, aku berdiri dan berjalan
cepat mengitari depan kelas menuju bangku Tama. Kepalaku
terus menunduk supaya tidak melihat wajahnya. Begitu langkahku berhenti di samping bangkunya, dengan tangan gemetar
kuambil kertas memo dari saku atasan seragamku. Masih dengan gemetar aku menyodorkan kertas itu tanpa berani mengangkat kepala.
"Apa, Dhi, sketsaku lagi?" tanya Tama dengan suara yang
sudah lama kurindukan.
Kepalaku menggeleng.
"Kenapa tidak mau melihatku?"
Tidak ada gerakan apa pun dari tubuhku.
Aku diam.
208 208
Terus menunduk.
"Aku tidak mau menerima kalau kamu tidak memandangku!"
Dadaku rasanya sesak.
Perlahan kepalaku mendongak, menatap sepasang matanya.
Wajah Tama langsung berubah begitu melihat ekspresi wajah"Ada apa?" dengan suara pelan dia bertanya.
Tanganku kembali menyodorkan kertas memo yang terlipat
di telapak tanganku.
Sambil memandang tepat di kedua bola mataku, tangannya
meraih tanganku. Bukan untuk mengambil kertas yang kusodorkan, tapi Tama menggenggamnya erat. Membawanya perlahan ke dadanya, didekapnya tangan kiriku dengan kedua
ta?ngannya. Sepasang matanya memandangku dengan pesan
itu juga.
kerinduan yang terlihat jelas. Membuatku ingin menangis saat
"Aku kangen, Dhi."
Aku sudah tidak tahan lagi.
Kutarik keras tangan kiriku dari dekapannya, begitu terlepas
kuletakkan kertas memo yang terbuka di atas mejanya. Kemudian dengan cepat aku berbalik dan berjalan cepat meninggalkan?nya.
Namun, ketika sampai di depan pintu, aku tidak bisa menghentikan rasa kangenku. Langkahku berhenti, memutar kepala
dan memandangnya sekali lagi. Mungkin untuk terakhir kalinya.
209 209
Tama mendongak setelah membaca tulisan di kertas memo
yang kutinggalkan tadi.
Tatapan matanya menatapku dengan kesedihan yang tergambar jelas. Sorot yang terpancar dari sepasang matanya seolah
jelas mengutarakan kata hatinya. Memintaku jangan pergi.
Aku ingin.
Sangat ingin kembali menghampirinya. Tapi aku ingat pesan
Ayah, kupaksa tubuhku berbalik dan berlari sekuat tenaga
menyusuri lorong kelas.
Sampai di ujung lorong, tas yang kusampirkan di bahu kiriku
terjatuh dan seluruh isinya berserakan. Tangan kiriku berusaha
memungutinya secepat mungkin, tapi seseorang telah ikut
berjongkok dan lebih cepat membereskan buku-buku dan alat
tulis yang berceceran.
Aku langsung berdiri begitu tahu Kemal yang telah membantuku. Begitu selesai memasukkan semuanya ke dalam tas, dia
meletakkan tas di bahu kiriku. Kami berdiri berhadapan. Entahlah, mengapa aku tidak ingin segera pergi, aku seperti merasa
Kemal ingin menyampaikan sesuatu.
"Dhi..."
Panggilan Kemal membuatku mengangkat kepala dan memandangnya.
Sepasang mata Kemal menyiratkan penyesalan yang mendalam.
Lho Kembar Kok Beda Karya Netty Virgiantini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tahu, kamu tidak akan memaafkanku. Bukan soal maaf,
tapi rasanya sangat menyakitkan karena aku telah melukai seseorang yang kusayangi."
210 210
Kupandangi seraut wajahnya dan aku bisa merasakan kepedihan hatinya.
"Seandainya aku bisa membagi hatiku menjadi dua, pasti
akan kuberikan setengahnya untukmu. Tapi Tama sudah mengambil seluruhnya."
Kemal hanya diam, tatapannya matanya terasa lembut
menghangatkan hatiku yang terasa perih. Perlahan kedua
tangannya terulur, meraih tubuhku dalam pelukannya. Mendekapku erat. Rasa perih di hatiku benar-benar tidak tertahankan,
akhirnya kutumpahkan tangisku yang sejak tadi berusaha keras
kutahan. Kemal mengeratkan pelukannya.
Kemudian terdengar sebuah suara mengejutkan kami berdua. Seolah hawa dingin yang berhembus membekukan tubuh
kami berdua. Membuat tangan Kemal yang tengah memelukku
langsung terasa kaku. Dadaku berdebar-debar. Bergemuruh.
"Nadhira..."
Jantungku berdegup semakin kencang. Tidak karuan. Tidak
beraturan
Suara Tama membuat bulu kudukku meremang seketika.
211 211
Epilog
KEMAL
Kemal melepaskan pelukannya. Menundukkan kepala ber
usaha melihat seraut wajah yang masih basah oleh air mata.
Nadhira memandangnya sekali lagi sebelum melangkahkan kaki
melewati samping tubuhnya. Kepala Kemal berputar mengikuti
langkah Nadhira, kembali rasa bersalah itu menyesakkan dadanya.
If only you knew every moment in time1
Nothing goes on in my heart.
Just like your memories
How I want here to be with you
Once more...
212 212
NAROTAMA
Tama terus memandang sosok Nadhira yang berjalan pelan
menjauh. Rasanya ingin berteriak sekeras-kerasnya untuk
memanggilnya, memintanya jangan pergi. Tapi mulutnya seolah
terkunci. Rasanya ingin berlari sekuat tenaga mengejarnya,
memeluknya supaya gadis yang dicintainya tidak meninggalkannya. Tapi kedua kaki Tama seolah terpaku di lantai. Tidak bisa
digerakkan. Tidak bisa diayunkan.
You will always gonna be the one
And you should know
How I wish I could have never let you go
Come into my life again
NADHIRA
Please, don?t say no...
Nadhira melangkah dengan kaki terasa dibebani sebongkah
batu besar. Berat. Rasanya ingin berlari meninggalkan tempat
itu, tapi kata hatinya justru menghentikan langkahnya. Tubuhnya
berbalik perlahan. Sosok Kemal tampak berjalan melewati tikungan ruang guru. Sementara Tama melangkah berlawanan
arah dengannya. Dipandanginya sosok Tama yang semakin
menjauh dengan hati nelangsa. Rasanya ingin berteriak keras
memanggil namanya, memintanya berhenti. Tapi mulutnya
seolah tidak bisa digerakkan lagi. Rasanya ingin berlari sekuat
213 213
tenaga menyusulnya, menjatuhkan diri dalam pelukannya. Tapi
kedua kakinya terasa mati rasa. Tidak bisa bergerak. Tidak bisa
melangkah.
You will always gonna be the one
In my life
So true, I believe I can never find
Somebody like you
My first love...
Tamat
To be Continued
Sejak pertemuan Nadhira, Tama, dan Kemal di lorong sekolah,
Nadhira berusaha sekuat tenaga menghindari Tama. Sementara
Tama yang terus berusaha mendekatinya akhirnya menyerah
juga. Mengingat saat Nadhira dipeluk Kemal setelah memberikan secarik memo perpisahan padanya, Tama menyangka
ada sesuatu di antara mereka berdua. Kecewa pada sikap
Nadhira, Tama kembali dekat dengan Bashira.
Bagi Nadhira kesedihan yang dirasakannya seolah datang
bertubi-tubi. Karena setelah tangan kanannya dinyatakan
sembuh, ternyata tangan itu tidak bisa membuat sketsa sebaik
dulu. Ini membuatnya sangat putus asa karena menggambar
adalah satu-satunya cara menghilangkan kesedihannya. Masih
ditambah lagi melihat kedekatan Tama dan Bashira di depan
matanya. Dan Nadhira hanya bisa menelan kepedihannya
ketika Bashira jelas-jelas mengingkari kesepakatan untuk tidak
pacaran sampai lulus SMA. Dengan raut bahagia, Bashira
mengatakan sudah jadian dengan Tama.
215 215
Nadhira seolah merasa jatuh di kedalaman jurang yang teramat dalam. Tapi, dalam kesedihannya, ada sosok Kemal dan
Raven yang selalu berada di sampingnya. Menemaninya kembali berlatih menggambar dan menghiburnya ketika melihat
kedekatan Tama dan Bashira. Siapakah yang akan dipilih Nadhira untuk mengobati luka hatinya? Apakah Tama benar-benar
sudah melupakannya, kalau tatapan matanya tidak pernah
berubah. Masih sama seperti yang dulu. Penuh dengan rin?du.
Tangled Karya Emma Chase Pendekar Bayangan Sukma 6 Kakek Sakti Beruang Salju Karya Sin Liong
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama