Ceritasilat Novel Online

Miss Clean 2

Miss Clean Karya Sara Tee Bagian 2

segera dimulai. Ia tidak mau mendapat masalah karena menjual produk di sekolah walau ia sebenarnya yakin Niken pasti

sudah melaporkannya pada guru. Tapi Adelia senang karena

memang tujuan sebenarnya bukan mencari uang, hanya ingin

membuat Niken panas hati.

Niken harus tahu bahwa ia telah salah mencari musuh karena

membuat masalah dengan ADELIA LUKMAN. Aku ingin Niken

menyesal karena membentakku demi membela bapaknya yang telah

mengotori pakaianku, dan juga karena sikap "cari musuh" yang

selalu ia tunjukkan. Dan sebentar lagi ia akan merasakan sakitnya

kehilangan Arini, sahabatnya. Sepertinya semua rencana berjalan

lancar, tanpa banyak usaha Arini sendiri yang mendekatiku. Adelia

tersenyum puas. Asyik juga punya musuh yang bisa mengimbanginya. Nggak seperti cewek lain di kelas ini yang begitu

mudah ditaklukkan dengan hanya diiming-imingi bisa bermain

Facebook gratis di rumahnya. Terkadang yang begitu mudah

itu sangat membosankan.

Reno hampir tidak pernah menginjakkan kaki di halaman sekolah sejak ia lulus dari SMA 8 yang sekarang masih menjadi

tempat Niken bersekolah. Bukan apa-apa sih, tapi memang

Reno lebih suka bertemu Niken di rumah saja. Kali ini beda,

Reno ingin menjemput Niken sekaligus mengajaknya kencan.

Selain ingin memberi kejutan buat Niken, ini pun dilakukan

agar Niken tidak membuat alasan untuk tidak keluar rumah

karena harus menemani Bapak.

Reno memarkir sepeda motornya di depan gerbang sekolah

sambil mengamati anak-anak SMA yang mulai keluar dari kelasnya. Sebentar lagi Niken pasti muncul. Ia melambaikan tangannya membalas sapaan beberapa anak yang dikenalnya.

Mereka rata-rata anak desa tempatnya tinggal, walau memang

sebagian besar yang menjadi siswa SMA 8 berasal dari luar desa.

Orang yang ditunggu-tunggu belum muncul juga. Reno mulai ragu apakah ia benar-benar belum melihat Niken keluar

dari sekolah atau malah ia tidak melihat saat Niken keluar gerbang? Memang agak sulit melihat Niken di antara orang berjibun seperti itu. Apalagi tubuh Niken yang kecil, membuatnya

semakin sulit terlihat. Berbeda dengan Arini yang berbadan

besar. Dari jauh saja tampak beda dan mudah dikenali.

"Niken sudah pulang belum, ya?" Reno bertanya pada seorang siswa SMA yang kebetulan diketahuinya sekelas dengan

Niken.

"Niken masih rapat OSIS, Mas. Belum pulang," jawab siswa

itu yang segera pergi karena kelihatan sudah ditunggu rombongan temannya yang lain.

Reno garuk-garuk kepala. Ia nggak tahu kapan rapat OSIS

itu akan selesai. Dan ia nggak mungkin menunggu Niken terlalu lama di depan gerbang. Lebih baik pulang dulu dan membatalkan kejutannya karena sepertinya waktunya kurang tepat.

Baru saja Reno menaiki motornya, seorang cewek langsung

naik ke boncengannya.

"Yuk, jalan..." perintah cewek itu.

Reno menoleh ke belakang, ternyata Adelia.

"Kamu jemput aku, kan? Ayo cepetan jalan, keburu panas

nih... Entar kulitku gosong..." Adelia melingkarkan tangannya

ke perut Reno.

"Tapi..." Reno jadi kebingungan sendiri. Maunya jemput

Niken malah dapat tumpangan cewek lain. Mau bilang terus

terang... berarti menggagalkan rencananya. Terpaksa Reno diam

saja.

"Ayo dong, Reno..." Adelia mengguncang-guncangkan motornya.

"Oke... oke..." Reno tidak mau jatuh dari motor dan menjadi tontonan. Ia pun mulai menyalakan motornya.

Adelia meringis senang di punggung Reno seiring motor

yang melaju.

Jam setengah tiga sore, Niken baru selesai memimpin rapat

OSIS yang membahas anggaran dana untuk kegiatan ekskul

sekolah. Saat menghampiri sepedanya, ia tertegun sejenak melihat sepeda Adelia yang masih terparkir di tempatnya. Apa

Adelia belum pulang? Kok nggak biasanya dia pulang telat. Niken

mengamati sekitarnya, tapi tidak ada orang. Ia pun mengacuhkan pikirannya. Ngapain mikirin cewek berlagu itu. Mau pulang

kek, mau nginep di sekolah kek, ia nggak peduli. Niken segera

mengambil sepeda dan menuntunnya keluar dari area parkir

sepeda.

"Ken, tadi ditungguin Reno di gerbang sekolah lho!" Seorang kakak kelas yang sedang pacaran dengan ceweknya

memberitahu Niken.

"Reno?" Niken segera menghambur ke gerbang sekolah.

Hasilnya nihil, di sana nggak ada siapa-siapa. Ia pun kembali ke tempat kakak kelasnya yang tadi memberi informasi.

Sang kakak kelas tampak asyik mengobrol dengan ceweknya.

Niken nggak berani menganggu. Ia memutuskan untuk pulang

saja.

***

Tak susah bagi cewek cantik untuk menarik hati cowok. Kalau cewek "biasa" butuh sepuluh kali usaha, cewek cantik hanya butuh

sekali untuk mendapatkan cowok pujaannya. Itu prinsip Adelia.

Yang nggak setuju dilarang protes! Diakui atau tidak, cewek yang

cantik secara fisik memang nggak perlu banyak waktu untuk mendapatkan cowok. Para cowok, sering kali melihat wajah atau penampilan luar dulu seperti rambut, kulit, badan, baru kemudian

melihat yang nggak kelihatan misalnya kebaikannya, kesabaran,

kesetiaan, dan lain sebagainya.

Seperti kali ini, Adelia yakin seratus persen Reno terpesona

olehnya hingga bersusah payah menjemputnya ke sekolah.

Adelia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Nggak usah

pakai malu-malu kucing. Kelamaan... Itu hanya berlaku bagi cewek

yang nggak pede. Adelia sudah terbiasa dengan alasan cowok,

kalau ditanya mereka pasti berkelit dengan mengatakan kebetulan lewat sekolahan... atau motornya tiba-tiba berhenti di

depan sekolahan seakan ada daya magnetis cinta yang menariknya, dan sebagainya. Kelamaan... Intinya, mereka tidak

mau mengakui kalau memang ingin menjemput ceweknya untuk diajak kencan. Seperti yang Adelia yakini saat ini terhadap

Reno. Ia pun tidak keberatan dibonceng motor butut Reno.

Dari pertama bertemu pun Adelia yakin kalau Reno itu cowok

"klimis" alias kelihatan miskin.

"Nggak mau langsung pulang ah... Aku lapar. Cari makan

dulu yuk..." Adelia merajuk.

Dada Reno kembang kempis. Ia seakan terhipnotis Adelia.

Reno menurut saja dengan apa yang Adelia mau. Reno hanya

tidak mengira bahwa semudah ini rencananya berjalan. Reno

pun yakin kalau Adelia suka padanya. Sangat mudah ditebak.

"Tuh ada rumah makan ayam goreng... makan di sana

saja," pinta Adelia sambil menunjuk rumah makan yang berada di luar desa.

Reno memarkir motornya di halaman rumah makan yang

menyediakan menu spesial ayam goreng itu. Nama rumah makannya nggak asing lagi. Cabangnya ada di mana- mana. Ada

di Solo, Jogja, dan Semarang. Bisa dipastikan enak dan harganya pun terbilang mahal alias berkelas. Beda dengan warung

pinggir jalan yang harga satu potong ayam goreng paling hanya sebelas ribu, tapi di rumah makan itu harganya hampir

dua kali lipat. Reno membelalakkan mata melihat harga di

daftar menu.

"Eh, kenapa sampai melotot gitu?" Adelia tersenyum.

"Mahal banget..." desis Reno.

"Tenang saja, aku yang bayar. Kan aku yang mengajak

kamu. Sekalian sebagai tanda terima kasih karena kamu sudah

menolongku menyingkirkan laba-laba dari mobilku." Adelia

tersenyum. Mendapatkan hati Reno sangat mudah. Uang sepertinya masih bisa diandalkan untuk dapat menguasai seseorang. Biar

tongpes nggak apa-apa yang penting orangnya keren, pikir Adelia.

Adelia tiba-tiba beranjak dari kursinya menuju dapur rumah

makan itu. Beberapa saat kemudian ia kembali sambil mengacungkan jempol. Reno mengerutkan keningnya.

"Aku udah cek dapurnya. Bersih kok." Adelia duduk kembali.

"Wow, sampai segitunya?" Reno geleng-geleng kepala. "Apa

setiap kamu makan di luar, kamu selalu mengecek dapurnya?"

Adelia mengangguk. "Untuk memastikan saja kalau semua

bersih. Sesuai julukanku, Miss Clean," ucap Adelia bangga,

"Jadi semuanya harus bersih. Soalnya aku mudah jijik melihat

segala sesuatu yang kotor dan berbau busuk."

Reno tidak ingin membahas tentang kebersihan. Hal itu

membuat ia teringat pada Niken. Ia takut kelepasan ngomong

kalau ia sudah punya cewek, bisa gagal rencananya. Reno pun

segera mengalihkan pembicaraan.

"Oh ya, terus mobil kamu..." Reno baru ingat jika Adelia

diboncengnya berarti mobil Adelia masih di sekolahan.

"Aku nggak boleh bawa mobil ke sekolah sama Papa. Aku

naik sepeda. Tapi nggak apa-apalah, biar sepedanya ditinggal

di sekolah saja. Aman kok. Lagian cuma sepeda biasa." Adelia

membuka tasnya untuk mengecek ponselnya. Reno menyipitkan mata melihat ponsel Adelia yang bisa dibilang kuno.

"Ponsel kamu lucu..." Reno tersenyum melihat ponsel yang

ia yakin sekarang tidak diproduksi lagi.

"Kamu mau bilang ponsel kuno, kan?" Adelia tersenyum.

Reno mengangkat bahu sambil tersenyum.

Menu pesanan mereka pun datang. Reno kembali heran

melihat menu yang dipesan Adelia. Banyak banget....

"Papa melarang aku bawa tablet, jadi aku bawa yang ini."

Adelia memasukkan kembali ponselnya ke tas setelah ia melihat bahwa tidak ada sms masuk.

"Hebat!" ucap Reno spontan yang membuat perasaan Adelia

langsung melambung.

"Maksudnya apa tuh?" Adelia mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum menggoda.

"Ya... jarang tuh orang bisa tahan jika harus menjalani

perubahan dari semua fasilitas yang mewah ke fasilitas yang

pas-pasan. Dari mobil ke sepeda, dari tablet ke ponsel kuno.

Nggak semua orang mau menjalaninya lho." Reno mulai menyantap makanannya dengan menggunakan tangan.

Adelia tersenyum lebar.

"Sekarang gantian dong aku yang ingin tahu tentang

kamu." Adelia memasukkan sesuap nasi ke mulutnya.

"Apaan... nggak ada yang menarik tentang aku." Reno tertawa renyah, serenyah taburan kremes ayam gorengnya.

"Masa sih... kok aku lihatnya lain, ya? Kamu itu lebih dari

menarik. Baik, ganteng, dan..."

"Waduh... udah deh, bisa besar kepala aku." Reno tertawa.

"Ayo dong... sambil makan ceritakan tentang diri kamu.

Misalnya tentang keluarga kamu, sekolah kamu..." desak Adelia

yang menghentikan makannya setelah beberapa suap.

"Eh, kok makannya sedikit... lagi dong." Reno heran melihat Adelia menghentikan makannya.

"Sudah kenyang." Adelia memang nggak suka makan terlalu

banyak. Ia lebih suka makan dengan porsi sedikit tapi dengan

makanan yang bervariasi. "Eh, kok mengalihkan pembicaraan

sih? Ayo cerita dong tentang kamu," tuntut Adelia.

"Oke, aku dulu tinggal di sini tapi sejak aku lulus SMA aku

melanjutkan kuliah di UGM. Di sana aku indekos sambil kerja.

Itu saja. Nggak menarik, kan?" Reno melanjutkan makan.

"Ih... menarik banget lagi... Aku suka bisa makan bareng

dengan anak UGM, keren banget..." Mata Adelia berbinar.

"Omong-omong, kamu sudah punya pacar?"

Reno langsung tersedak mendengar pertanyaan Adelia.

Adelia langsung merasa bersalah banget, ia bangkit dari kursi.

Menepuk-nepuk pelan punggung Reno sambil mengusapnya

lalu menyodorkan minuman. Baru beberapa saat kemudian

Reno tampak lebih baik. Walau wajahnya masih tampak memerah.

"Santai saja makannya..." Adelia tersenyum.

"Habis banyak banget pesenanmu... aku nggak habis. Dibungkus saja ya?" Reno langsung teringat Niken. Ia pasti senang dibawakan ayam goreng dan pasti akan dibaginya dengan bapaknya.

"Nggak perlu, tinggal saja. Aku udah pesankan untuk

orangtua kamu," ucap Adelia santai bak big bos.

"Wuih." Reno tersenyum takjub.

"Santai aja kali... Oh ya, tentang pertanyaan yang tadi?"

desak Adelia.

"Memang harus dijawab, ya?" tanya Reno balik.

"Ya iyalah... aku kan nggak mau digebukin orang karena

berkencan dengan cowok orang..." Adelia tertawa.

"Kalau soal itu kamu tenang saja. Nggak ada yang bakal

gebukin kamu kok." Mata Reno blingsatan.

"Beneran?" Mata Adelia kembali berbinar. "Berarti kamu

belum punya cewek dong..."

Reno hanya tersenyum. Ia membenarkan dirinya sendiri

dengan mengatakan tidak akan ada yang memukuli Adelia karena ia tahu pasti Niken tidak akan setega itu walau ia cemburu sekalipun. Maka Reno merasa tidak sepenuhnya berbohong pada Adelia.

ntuk kesekian kalinya Niken menghubungi ponsel Reno
Miss Clean Karya Sara Tee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi tidak aktif. Kebiasaan deh Reno... pasti dia kelupaan

membawa ponselnya seperti waktu dulu ketika Arini hendak memberitahu tentang keadaan Bapak. Reno sering meninggalkan ponselnya di rumah. Niken sampai heran, itu ponsel atau telepon

rumahRasanya Niken ingin sekali mendatangi rumah Reno tapi ia

tidak bisa meninggalkan Bapak sendiri. Selama ia sekolah,

Bapak dititipkan kepada tetangga depan rumahnya. Setelah

pulang sekolah masa mau dititipkan lagi? Nggak enak rasanya,

apalagi tetangga tersebut punya kerjaan lain. Mau dimintai

tolong menjaga Bapak saja sudah syukur. Niken tidak ingin

lebih merepotkan. Terpaksa ia harus memendam rasa penasarannya. Apa benar Reno menjemputnya atau kakak kelas yang

memberitahunya tadi hanya salah lihatJika benar, Reno pasti sudah mencari Niken. Niken merasa

bodoh. Ternyata jatuh cinta itu bisa membuat orang pintar

menjadi bodoh. Lebih baik tidak usah memikirkan Reno dulu.

Ia harus berkonsentrasi mengurus Bapak yang kondisinya mulai membaik. Diare dan muntahnya sudah jarang, bahkan kemarin tidak muntah sama sekali. Obat yang diberikan Dokter

Lukman memang manjur. Tapi Niken tetap melarang Bapak

bekerja mengambil sampah di rumah penduduk. Sebagai gantinya Niken yang melakukan semua itu. Tiap pagi sebelum

berangkat sekolah ia mengambil sampah penduduk yang biasanya sudah mereka siapkan di depan rumah.

Namun, kenapa susah sekali melepaskan Reno dari pikirannya. Rasa penasaran itu belum juga pergi. Masa kakak kelas

tadi salah lihat sih? Dia kan teman akrabnya Reno sewaktu mereka sama-sama aktif di Karang Taruna. Masa bisa salah orang.

Kembali Niken ragu. Tapi keraguan itu ia tepis dengan menghubungi Reno. Dan untungnya kali ini panggilannya tersambung.

"Reno... kamu di mana sih? Tadi jemput aku, ya?" Begitu

tersambung Niken langsung memberondongnya dengan pertanyaan.

"Iya, nanti aku ke rumah. Kita bicaranya di rumah saja yaSinyalnya putus-putus suara kamu nggak begitu jelas terdengar." Suara Reno sama kerasnya dengan suara kendaraan.

Niken yakin Reno ada di jalan raya. Ngapain dia pergi jauhjauh? Lebih baik ditunggu saja bukankah Reno akan datang dan

pasti semua pertanyaanku terjawab, batin Niken.

"Telepon dari siapa?" tanya Adelia setelah Reno memasukkan

ponselnya ke saku celana.

"Emakku..." kali ini Reno berdusta sungguhan.

Adelia manggut-manggut. "Disuruh lekas pulang, ya?"

"Iya..." ucap Reno lirih.

"Ya udah, kita pulang yuk!" ajak Adelia sambil membersihkan rok belakangnya dari sisa rumput yang masih melekat saat

ia duduk.

Mereka ada di taman kota. Sore hari seperti ini berada di

taman kota memang asyik. Bisa duduk-duduk sambil melihat

keramaian jalan sekalian mencoba berbagai jajanan. Tapi

Adelia tidak mau jajan sembarangan. Ia jijik melihat makanan

yang sepertinya tidak bersih. Ia hanya duduk-duduk sambil

mengobrol. Tapi obrolan mereka terhenti saat Niken menelepon tadi dan Reno terpaksa berbohong supaya Adelia tidak

bertanya macam-macam.

"Kamu yakin nggak mau mencoba siomay? Enak, lho..."

Reno masih saja membujuk Adelia untuk makan karena tadi

saat di rumah makan ayam goreng Adelia hanya makan sedikit

saja.

"Nggak, yuk kita pulang saja, entar emak kamu telepon

lagi."

Reno nyengir mendengar jawaban Adelia. Sejak kapan

Niken jadi emak-emak...

"Aku tidak terbiasa makan sembarangan. Aku ini orangnya

mudah jijik. Aku tidak suka melihat segala hal yang kotor.

Demikian juga dengan makanan, aku harus yakin dulu kalau

makanan yang masuk ke mulutku bersih dan sehat. Makanya

aku nggak pernah jajan sembarangan. Di kantin sekolah pun

aku nggak pernah jajan padahal menurut teman-teman jajanan

di kantin bersih dan sehat." Adelia berbicara di balik punggung

Reno di sela deru motor Reno yang mengantarnya pulang.

"Dari dulu Mama dan Papa sering mengajarkan aku tentang

pentingnya menjaga kebersihan. Jadi terbawa terus sampai sekarang..." Adelia tertawa kemudian.

"Terus apa yang kamu rasakan ketika kamu melihat sampah

yang banyak? Misalnya saat kamu lihat sampah di dapur

kamu?" Reno mulai tertarik dengan pembicaraan tentang sampah yang mengisyaratkan bahwa Adelia dan Niken sangat bertolak belakang.

"Aku nggak pernah masak. Aku nggak suka masak. Makanya aku nggak suka berlama-lama berada di dapur." Adelia

mempererat pegangannya di perut rata Reno saat Reno menginjak rem tiba-tiba karena ada sepeda yang menyeberang jalan

sembarangan.

"Pernah dengar daur ulang, kan? Banyak lho hasil daur

ulang yang bahkan bernilai lebih tinggi dari barang asalnya."

Tambah Reno sambil mengegas kembali motornya.

"Nggak tertarik tuh... bagi aku sampah ya tetap sampah.

Kotor dan menjijikkan!" Adelia sedikit berteriak ketika jalanan

tambah ramai dengan suara klakson bus antarkota yang meminta jalan.

Baru setelah sampai di dekat Kelurahan Mojosongo jalanan

mulai sepi apalagi masuk ke desa menuju rumah Adelia. Tambah deh sepinya. Hanya ada beberapa motor yang berpapasan

dengan motor Reno.

"Stop! Itu rumahku." Adelia menunjuk sebuah rumah

dengan papan nama

PRAKTIK DOKTER LUKMAN

24 Jam Nonstop

Buka nonstop. Memang kalau buka praktik dokter di desa

seringnya nonstop. Terkadang tengah malam pun pintu rumahnya diketuk untuk dimintai tolong mengobati orang.

Makanya atas usul Adelia, papan nama ditulis "24 Jam Nonstop". Agak berbeda dan tampak keren. Itu menurut Adelia, si

pemilik ide yang tumben disetujui papanya.

"Oke, sampai jumpa lagi..." Reno melambaikan tangan.

"Iya, besok berarti kamu harus jemput aku ya? Soalnya sepeda aku masih di sekolah." Adelia tersenyum.

"Oh iya... aku lupa, kenapa tadi nggak aku turunkan di sekolah saja biar kamu bisa mengambil sepeda?" Reno menepuk

jidatnya sendiri.

"Telanjur. Nggak perlu nyesel begitu." Adelia manyun. "Pokoknya besok aku dijemput. Oke?"

Reno mengangguk. Tak ada alasan lagi buat mengelak. Lagi

pula bukankah Reno nggak perlu bersusah payah mencari

alasan untuk bertemu lagi dengan AdeliaSepeninggal Reno, Adelia berjalan dengan melompat-lompat

girang ke dalam rumah. Mama yang baru saja keluar dari kamar, tersenyum melihat tingkah anaknya.

"Ada apa nih, kok kelihatannya girang banget?" goda Mama.

"Baru latihan jadi kodok!" jawab Adelia asbun.

Eh, kok jadi ngebohongin Mama. Padahal Adelia lagi senang

banget hari ini. Bisa jalan bareng dengan pujaan hatinya. Dan

Adelia mengklaim Reno sebagai jodohnya. Menurutnya, banyak

kejadian kebetulan yang membuatnya bisa dekat dengan Reno.

Niken hendak menutup pintu rumah ketika ia mendengar

suara motor Reno memasuki halaman rumah. Hatinya langsung melonjak. Tetapi Niken berusaha tetap tenang. Ia tidak

boleh terlihat terlalu menantikan Reno, bisa besar kepala dia.

"Hai Reno, tadi kamu jemput aku di sekolah, ya?" tanya

Niken tidak sabar.

"Iya, katanya kamu lagi rapat OSIS, jadi aku langsung pulang saja." Reno melangkah ke teras depan rumah Niken.

"Kenapa nggak telepon dulu?"

"Namanya juga kejutan. Kalau telepon dulu jadi nggak kejutan lagi dong." Reno menjinjing tas plastik berisi ayam goreng pemberian Adelia.

"Buat kamu." Reno menyerahkan tas plastik berisi sebungkus ayam goreng.

Niken mengerutkan kening melihat cap yang tertera pada

kardusnya. Pasti mahal. Ngapain Reno pakai beli ayam gorengPemborosan saja! Mendingan dia bilang saja kalau mau ayam goreng, aku bisa masakin sendiri, Bisa lebih irit. Sisa uangnya bisa

ditabung.

"Lho, kok malah bengong sih?" Reno tersenyum melihat

Niken.

"Kenapa sih pakai beli beginian?" Nada suara Niken menunjukkan rasa tidak suka.

"Eh... emang kenapa?" Nada suara Reno meninggi.

"Ya... pemborosan saja. Cari uang itu susah kenapa mesti

boros. Bukannya kemarin kita udah makan di luar? Kok jajan

terus sih?" Niken berbicara terus dan membuat wajah Reno

berubah memerah.

"Basi tahu!" Nada suara Reno terdengar sengau.

Reno merasa sangat tersinggung dengan sikap Niken, bukannya berterima kasih malah menunjukkan ketidaksukaannya

dengan pemberian Reno.

"Ngirit! Uangnya ditabung! Buat beli gaun pengantin?!" teriak Reno dengan nada suara mengejek.

Niken melihat ke dalam rumah, takut kalau Bapak mendengar teriakan Reno. "Kok malah nyolot begitu sih?"

"Habisnya kamu kadang kebangetan, masalah ayam goreng

saja diributin!" Reno mendengus.

"Bukan masalah ayam gorengnya... duh, susah deh ngejelasinnya sama kamu kalau kamu dalam keadaan emosi

begini." Niken garuk-garuk kepala.

"Nggak perlu dijelasin, aku tahu maksud kamu!" Reno merebut ayam goreng dari tangan Niken lalu melemparkannya

jauh-jauh. "PUAS?!"

Niken sampai berteriak saking kagetnya melihat kelakuan

Reno. Nggak seperti biasanya Reno berbuat sekasar ini.

"Masalah kecil saja dibesar-besarin!" Reno berbalik menuju

motornya.

"Siapa yang membesar-besarkan masalah?" teriak Niken parau.

"Kamu!" teriak Reno.

"Kamu yang nggak bisa ngerti!" balas Niken sambil menahan air matanya.

Reno bergegas melaju meninggalkan Niken sendiri. Niken

terpaku melihat kepergian Reno. Kenapa masalah kecil ini bisa

menjadi besar? Niken menatap nanar bungkusan ayam goreng

yang porak-poranda di atas tanah. Perlahan ia memungutnya,

membaca nama dan alamat yang tertulis di sana. Tempatnya

lumayan jauh dari desa, ada penyesalan di hati Niken karena

telah menyia-nyiakan pemberian Reno. Tapi kenapa Reno harus semarah itu? Bukankah seharusnya Reno sudah mengenal

sifat Niken? Niken yang suka berhemat, Niken yang setia pada

cita-citanya, Niken yang selalu menghargai jerih payahnya sendiri maupun orang lain. Niken yang ekonomis walau terkadang

tidak praktis. Niken yang suka menabung... dan sebagainya.

Akhirnya air mata Niken jatuh. Tangannya meremas pembungkus ayam goreng itu.

rofesi mulia tidak harus menjadi dokter, arsitek, notaris,

pengajar dan sebagainya. Profesi mulia adalah segala pekerjaan yang dilakukan dengan tulus. Niken tidak pernah malu

punya bapak yang berprofesi sebagai petugas kebersihan. Itu

bukan pekerjaan hina. Itu pekerjaan mulia. Sayangnya tidak

semua orang bisa memahami betapa mulianya profesi itu. Bayangkan jika di sekitar kita tidak ada petugas kebersihan? Bagaimana rumah kita, lingkungan kita, negara kita, bahkan apa

jadinya dunia? Tidak bermaksud berlebihan sih, tapi Niken

yakin bahwa ayahnya sudah menjadi pahlawan. Pahlawan kebersihan bagi lingkungannya.

Hampir seminggu ini Niken menggantikan pekerjaan Bapak.

Pejabat kelurahan tidak mau tahu tentang keadaan Pak Rahadi.

Bagi mereka yang penting lingkungan tetap bersih. Jangan

sampai warga mengeluhkan sampah mereka tidak diambil beberapa hari. Maka Niken-lah yang setiap pagi harus menarik

gerobak untuk mengambil sampah.

Pagi itu, Niken merasa tulang-tulangnya seakan lepas semua. Sakit. Ia sampai berniat tidak masuk sekolah karena kecapaian. Tapi karena ada kuis di sekolah maka ia memaksakan

diri untuk masuk sekolah walau di kelas ia tampak kelelahan.

Selanjutnya, agak mendingan walau tangannya masih terasa

sakit akibat menarik gerobak sampah. Padahal ia sudah memakai kaus tangan karet. Tak hanya tangan, kakinya pun terasa sakit karena harus berjalan keliling kampung. Bayangkan,

hanya dalam waktu dua jam ia harus menyelesaikan pekerjaannya, kalau tidak ia akan terlambat masuk sekolah. Kakinya

terasa sakit karena ia harus setengah berlari mengejar waktu.

Belum lagi sepatu boot Bapak yang ia kenakan kebesaran sehingga membuat langkahnya terasa berat.

Dan yang paling membuat ia malas adalah saat mengambil

sampah di rumah Dokter Lukman. Mbok Jumilah paling sering

lupa mengeluarkan sampahnya. Padahal Niken sudah berpesan

untuk menyiapkan sampah di depan pintu setiap pagi. Seperti

hari ini, Mbok Jumilah kelupaan lagi. Terpaksa Niken memencet bel untuk meminta sampahnya. Biasanya kalau dilewati,

Mbok Jumilah suka ngomel dan meminta Niken kembali lagi.

Sejenak Adelia terpaku melihat tamunya pagi ini. Dengan

tubuh kecilnya yang terbungkus pakaian petugas kebersihan,

Niken tampak berbeda. Sesaat hati Adelia tercekat tapi sebentar

kemudian ia sudah bisa mengendalikan perasaannya. "Wow...

siapa nih tamu kita hari ini?"

Dasar sial, kenapa mesti Adelia yang keluar. Biasanya dia

masih molor. Apa karena ada tamu ya? Sepertinya ada seseorang yang duduk di ruang tamu. Niken tidak begitu memperhatikan, tapi ia tahu bahwa ada orang yang duduk di sofa

membelakanginya. Yang terlihat hanya rambutnya yang pendek dan pakaiannya yang putih. Yang pasti dia cewek, tubuhnya gendut, dan kepalanya sedikit menunduk ke arah laptop

di depannya. Ia tampak sangat asyik mengetik.

"Mbok Jum-nya mana?" tanya Niken dingin tanpa melihat

pada Adelia.

Adelia melipat tangan di depan dada. Ia menatap sinis

Niken.
Miss Clean Karya Sara Tee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di situ saja, jangan melangkah lagi. Nanti lantai teras aku

kotor." Adelia melongok ke gerobak sampah yang dibawa

Niken. "Banyak kumannya lagi."

Niken mengencangkan rahangnya. Ia menahan diri untuk

tidak menanggapi ucapan Adelia. Ia tidak ingin emosinya terpancing. Ia ingat akan ucapan Arini bahwa ia harus melawan

Adelia dengan otak bukan dengan otot.

"Waduh maaf ya, Niken... Mbok kelupaan lagi." Mbok

Jumilah tergopoh-gopoh sambil menjinjing keranjang sampah.

"Mendingan cepetan pergi deh, jangan sampai kuman penyakit yang ada di gerobak sampah kamu hijrah ke rumahku."

Adelia menatap Niken dengan pandangan merendahkan.

Niken mengusap keringat yang menetes dari keningnya.

Hatinya sakit karena dipermalukan seperti ini. Tetapi ia mencoba untuk tenang demi Bapak. Ia membayangkan apakah

Bapak juga merasakan hal yang sama setiap hari? Begitu hinakah pekerjaan sebagai pengangkut sampah? Buru-buru Niken

mengerjapkan mata, jangan sampai Adelia melihat air matanya.

"Ada apa sih, Del?" Tamu Adelia akhirnya keluar juga.

Dan ketika sampai di teras, betapa terkejutnya Niken melihat tamu itu. Arini. Ia pun sama terkejutnya, tidak menyangka kalau orang yang ada di luar adalah Niken.

"Hai..." sapa Arini kaku. "Aku... hanya mengirim email dan

main Facebook sebentar." Arini tampak gugup dan mengemukakan alasan tanpa diminta.

Main Facebook? Niken membayangkan asyiknya bisa main

Facebook bersama dengan Arini memakai laptop. Tampak keren. Bisa tertawa bersama saat membaca komentar-komentar

lucu dari teman-temannya. Tapi itu tidak akan terjadi karena

yang punya laptop adalah musuh bebuyutannya. Adelia. Lebih

baik lupakan saja, batin Niken.

"Sori... aku mau melanjutkan pekerjaanku." Niken berpaling

menuju gerobak sampahnya.

Arini berdiri terpaku menatap Niken yang pergi menjauh

menarik gerobak sampahnya. Mata Arini mulai berkaca-kaca.

"Hai, santai saja... dia nggak bakal mati karena malu."

Adelia menarik tangan Arini masuk.

Belum lama berjalan Niken sudah berhenti. Ia menoleh ke

rumah Dokter Lukman tapi Arini sudah tidak ada di sana.

Niken mendesah, mencoba untuk mengusir pikiran buruk yang

tebersit di pikirannya. Ia coba menghibur diri dengan bernyanyi kecil. Walau terdengar aneh karena lagu yang seharusnya bernada riang berubah jadi sendu.

Menipu diri sendiri, itulah yang dilakukan Niken saat ini.

Dua orang yang sangat ia cintai telah melukai hatinya.

Kemarin lusa, hanya gara-gara ayam goreng, Niken ribut dengan Reno. Dan pagi ini, ia pun harus melihat kenyataan

bahwa sahabatnya berteman dengan musuh bebuyutannya.

Masih adakah yang lebih menyakitkan dari ini? Apalagi ketika ia

ingat ucapan Adelia dan tatapan matanya yang sangat menghina. Rasanya ia ingin hijrah ke planet lain.

Niken mengusap air matanya yang tidak terbendung lagi.

Ia menangis tanpa suara. Semakin ia berusaha menghapus air

matanya, semakin deras air mata itu keluar. Sejenak ia merasa

sangat membenci diri sendiri kenapa terlahir menjadi seorang

putri pengangkut sampah alias "Princess Uwuh". Putri Sampah.

Coba saja kalau orangtuanya dokter seperti Adelia, pasti ia tidak akan merasakan penghinaan seperti ini. Andai saja aku ikut

ibu... dan menjadi anak tiri orang kaya dari Jakarta itu... Cepatcepat Niken menepis pikiran tersebut dari benaknya.

Ia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya untuk meyakinkan diri bahwa di dunia ini tidak ada yang lebih

berharga dari Bapak, dan ia bangga menjadi anak Pak Rahadi.

Anak pengangkut sampah warga. HARUS BANGGA!!! batin

Niken memantapkan diri lalu melangkah pasti untuk menyelesaikan pekerjaannya hari ini.

Setengah berlari Niken menuju kelasnya. Bel sudah berbunyi

beberapa waktu yang lalu. Harapannya hanya satu, belum ada

guru yang masuk kelasnya. Ia tidak ingin menjadi contoh buruk bagi teman-temannya.

Untung saja belum ada guru yang masuk ketika akhirnya ia

sampai di kelas. Niken mengatur napasnya sambil memegangi

kedua lututnya. Tanpa ia sadari sepasang mata terus memperhatikannya. Arini menatap Niken dengan mata berkaca-kaca.

Ia tampak tidak bisa menghilangkan rasa bersalahnya. Kejadian

tadi pagi masih terbayang di benaknya.

"Huh, untungnya nggak telat..." Niken meletakkan pantatnya di kursi sambil bergumam. Ia menghela napasnya lewat

mulut.

Adelia melirik Niken yang tampak berantakan. Rambutnya

yang panjang tidak terikat sempurna dan kerah bajunya tidak

terlipat dengan baik. Wajahnya yang polos tampak mengkilap

karena keringat. Niken mengusapnya dengan pangkal lengannya. Adelia nyengir jijik.

"Ngapain lihat-lihat!" bentak Niken merasa risi ditatap

Adelia sedari tadi.

Adelia menggeser mejanya menjauh dari Niken.

"Jangan bilang kamu belum sempat mandi setelah mengambil sampah tadi pagi." Adelia merasakan kulitnya gatal-gatal

membayangkan kalau dugaannya benar.

"Bukan hanya belum sempat mandi, aku juga belum sempat cuci tangan. Nih kalau nggak percaya!" Niken mengusapkan tangannya di lengan Adelia.

Adelia memekik kaget. Ia berdiri dengan mengibas-ngibaskan lengannya. Mencoba membersihkan bekas sentuhan Niken.

Adelia melompat-lompat saking jijiknya.

Niken meringis melihat kelakuan Adelia yang berlebihan.

"Tahu nggak, aku tadi langsung ganti pakaian seragam lalu

berangkat. Kamu tahu sendiri kan jam berapa aku ke rumah

kamu? Mana sempat aku mandi dan membersihkan diri segala..." Niken mulai melancarkan serangannya ketika ia menemukan titik lemah Adelia.

Adelia merasa kepalanya tiba-tiba pusing dan perutnya mual.

"Aku juga belum gosok gigi!" Niken mengembuskan udara

dari mulutnya ke arah Adelia.

Adelia mengibaskan tangannya sambil memalingkan wajah

bergaya hendak muntah. Saking jijiknya Adelia sampai mau

menangis, matanya mulai berair. Niken girang banget, kebohongannya membuahkan hasil. Adelia benar-benar jijik karena

membayangkan ucapan Niken.

"NIKEN!" Adelia melotot marah.

Niken cengar-cengir.

"Ouw, tas kamu bagus, Del. Lihat dong..." Niken meraih tas

Adelia.

"Kembalikan tasku!" potong Adelia.

"Eh, ada apa tuh di baju kamu..." Niken mengusap-usapkan

tangannya ke pakaian Adelia.

AAARRRKKKHHH!

Adelia berlari ke luar membuat anak-anak yang lain memperhatikannya.

"Dia kenapa sih?" tanya Sisca yang duduk di belakang

Niken.

Niken hanya mengedikkan bahu.

Adelia ngomel-ngomel tidak keruan di depan toilet. Ia ingin

buru-buru pulang dan mencuci bersih semua barang yang sudah dijamah Niken. Ia membayangkan Niken yang nggak sempat mandi, gosok gigi, tangannya masih bau sampah. Hi...

Hari masih pagi tapi Adelia harus kesal dua kali. Yang pertama karena Reno nggak datang ke rumahnya untuk mengantar Adelia ke sekolah. Reno ingkar janji. Dan yang kedua adalah kejadian yang baru saja dialaminya. Adelia makin benci

Niken. Niken seakan sengaja membuatnya merasa jijik.

Adelia membasuh tangan dan wajahnya dengan air. Untung

ke mana-mana ia bawa pakaian ganti, jadi ia bisa mengganti

seragamnya dengan yang lain. Tak ada yang tahu kalau ia sudah

ganti pakaian. Tidak juga Niken. Tetapi ia mesti waspada jangan

sampai tangan kotor Niken menyentuhnya kembali. Setelah

ganti pakaian Adelia merasa lebih baik. Ia tampak lebih tenang.

Sejenak ia ingat kata-kata Papa. "Adel, kalau Papa ini jijikan kayak kamu, nggak bakal jadi dokter. Kamu tahu profesi

dokter tidak jauh dari darah dan bibit penyakit. Cobalah sedikit mengurangi kebiasaan terlalu bersih kamu. Menjaga kebersihan memang penting. Tapi harus tahu kapan saatnya kita

mesti berkotor-kotor. Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak

baik."

Bah! Adelia mengusir bayangan Papa. Papa dan Mama sama

saja. Mereka yang membuat Adelia seperti ini. Adelia selalu

dikondisikan pada segala sesuatu yang serbabersih sehingga ia

tidak terbiasa kotor. Ia masih ingat waktu di taman kanakkanak, pakaiannya kotor terkena cipratan genangan air jalan.

Ia sampai sakit dua hari gara-gara merasa jijik.

"Mama hanya kuatir jika kamu terlalu menjaga kebersihan

nggak ada laki-laki yang tahan dengan kamu, Sayang. Perempuan itu harus bisa memasak walau hanya masakan sederhana.

Jika kamu di dapur saja jijik, bagaimana kamu bisa belajar masak?" Kini nasihat Mama yang datang dalam bayangannya.

Adelia makin kesal, karena orangtuanya seakan lari dari tanggung jawab. Mereka sama-sama tidak mau disalahkan padahal

semua ini adalah kesalahan mereka. Kenapa dulu me?reka sangat

ketat untuk menerapkan kebersihan, dan sekarang anaknya jadi

Miss Bersih, mereka nyesel. Gimana sih... Dasar orangtua kadang

mereka itu bikin pusing. Bukan anak saja yang bisa bikin pusing

orangtua, tapi orangtua pun bisa bikin pusing anak.

Ponsel Adelia bergetar, ada sms masuk.

Sori nggak bs antar. Nanti I ke rmh U

SMS dari Reno bikin Adelia senang. Perasaan Adelia berangsur-angsur membaik. Yang penting Reno masih peduli padanya. Semoga Reno bisa menerima kebiasaan "bersih"-nya sehingga kecemasan Mama tidak terbukti.

Arini memburu Niken yang hendak masuk ruang OSIS pada

jam istirahat pertama.

"Niken, aku harus menjelaskan sesuatu padamu supaya

kamu tidak salah paham." Arini berhasil membuat Niken

menghentikan langkahnya.

Mereka berdiri di depan ruang OSIS. Niken menunggu

ucapan Arini selanjutnya.

"Apa yang kamu lihat tidak seperti yang kamu pikirkan.

Aku ke rumah Adelia untuk diajari menulis email buat Kak

Barata. Kamu tahu kan dia sekarang tinggal di Belanda dan

kupikir dengan mengirim email aku bisa bicara banyak tanpa

rasa sungkan."

Barata adalah kakak angkat Arini. Mereka saling mencintai

tapi dilarang oleh orangtua mereka. Barata akhirnya memilih

pergi daripada membuat Arini semakin sakit hati.

"Eh, memang aku mikirin apa? Kayak paranormal aja

kamu, suka membaca pikiran orang." Niken mencoba tersenyum.

"Kamu nggak marah kan sama aku?" Suara Arini terdengar

memelas.

"Ngapain aku mesti marah?" Niken menepuk bahu Arini.

"Kamu bebas kok berteman dengan siapa saja. Aku bukan ibumu yang berhak melarang kamu untuk berteman dengan seseorang. Tentang kebencianku pada Adelia dan kebencian Adelia

padaku, itu urusan kami berdua. Nggak ada sangkut-pautnya

dengan kamu. Jadi kamu tenang saja, oke?"

Niken bergegas masuk ke ruang OSIS karena sudah ditunggu pengurus yang lain.

"Ken! Aku suka cara kamu membalas Adelia. Keren banget!"

teriak Arini.

Niken tersenyum sambil melambaikan tangan.

"Ken, ingat ucapanku waktu itu... apa pun yang terjadi kita

akan bersahabat selamanya." Arini tidak yakin Niken mendengar ucapannya tapi ia yakin bahwa rencananya berjalan

dengan lancar.

pa salah jika kita memiliki impian? Sebagai perempuan

tentu boleh dong berangan-angan suatu saat nanti menikah dengan laki-laki impian dengan mengenakan gaun pengantin yang indah. Berjalan menuju altar dan disaksikan oleh

ratusan pasang mata yang berdecak kagum. Disertai isak tangis

bahagia Bapak. Wuih... apa salahnya juga mulai sekarang berusaha untuk mewujukan cita-cita tersebut dengan menabung. Untuk membiayai semua itu tentu membutuhkan uang yang tidak sedikit.

Namun makin hari Niken makin disadarkan bahwa impian

itu hanya milik Niken, dan bukan Reno. Niken tidak bisa memaksakan kehendaknya pada Reno. Mungkin saja Reno akan

merasa risi jika harus memakai jas dan bersepatu hitam.

Sebuah bola basket hampir mengenai Niken. Seorang cewek

berambut cepak berteriak dari dalam lapangan.

"Hoi! Mau latihan apa cuma bengong saja?"

Niken berdiri, mengambil bola basket dan mulai mendribelnya ke tengah lapangan.

"Siap?" Niken mengoper bolanya cewek yang berada di dekat ring.

Tidak masuk. Bola sekarang dipegang oleh lawannya. Niken

berusaha merebutnya.

Hari ini adalah jadwalnya latihan basket. Tahun lalu timnya

mampu masuk babak semifinal kejuaraan bola basket se-Surakarta. Kali ini targetnya bisa masuk final. Niken sebagai kaptennya memiliki beban untuk bisa membawa timnya mewujudkan cita-cita itu.

Niken menghabiskan sisa energinya. Bayangkan saja, paginya mesti kerja mengambil sampah warga, terus sekolah, dan

sorenya basket. Tetapi Niken terus berusaha mengimbangi teman-temannya yang sedang bersemangat latihan. Bagaimanapun usaha Niken tetap saja tidak bisa maksimal. Beberapa kali

ia melakukan kesalahan dengan menembakkan bola tanpa tenaga optimal ke arah ring lawan. Akibatnya teman-temannya

mulai kesal.

"Sori..." Entah berapa kali ia mengucapkan kata itu.

"Pulang dan ambil sampah saja kalau nggak bisa main basket!" teriak seseorang yang suaranya sangat Niken kenal.

Ekor mata Niken mencari arah suara itu. Ternyata benar

dugaannya, Adelia ada di sana menonton dengan Arini. Sambil

menjejali mulutnya dengan pop corn, Adelia terus menyoraki
Miss Clean Karya Sara Tee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Niken dari tepi lapangan. Niken mulai panas, ia melemparkan

bolanya ke arah Adelia. Adelia menerimanya dengan "cantik"

lalu mendribel bola itu sampai ke tengah lapangan. Dari jarak

yang cukup jauh Adelia melemparkan bola itu hingga masuk

ke ring dengan sempurna. Niken terperangah melihat kegesitan

Adelia. Adelia hanya tersenyum tipis disertai sorak gembira

dari teman-temannya. Teman-temannya meminta pendapat

Niken apakah Adelia diizinkan untuk ikut main, Niken hanya

mengangkat bahu.

"Kalian lanjutkan saja latihannya. Aku break dulu." Ia duduk di tepi lapangan. Kakinya ditekuk. Wajahnya tampak sangat lelah, keringat membasahi sekujur tubuhnya.

Seseorang menyodorkan sebotol air mineral. Niken mendongakkan kepala, ternyata Arini. Entah kenapa sejak Arini terlihat sering bersama Adelia, Niken jadi ikut sebal pada Arini.

Katanya hanya minta diajari buat email tapi kenyataannya

mereka selalu berdua. Niken pernah memergoki mereka di kantin dan perpustakaan. Sekarang di lapangan basket pun mereka

berdua.

"Thanks." Niken menolak pemberian Arini dengan menepiskan botol air mineral itu pelan.

Ia lebih rela dehidrasi daripada harus minum dari pemberian

"mantan" sahabatnya.

"Kamu marah ya sama aku?" Arini berjongkok.

"NGGAK!" teriak Niken emosi.

Arini mundur, katanya nggak marah tapi bicaranya nyolot

begitu.

"Mendingan kamu pergi deh, dan bawa sekalian dia pergi

dari sini!" Niken menunjuk ke arah Adelia yang masih memamerkan keahliannya bermain basket.

Arini berjalan menjauh. Ia melihat wajah Niken yang tampak sangat marah dan putus asa. Selama ini ia tidak pernah

melihat Niken segalak itu. Tetapi tidak ada gunanya mengajak

bicara Niken saat ini. Apa pun yang Arini ucapkan tidak akan

membuat Niken tenang. Tapi Arini yakin suatu saat nanti

Niken akan menyesal telah membentaknya. Suatu saat Niken

akan berterima kasih padaku, batin Arini.

Adelia berdandan secantik mungkin. Ia mempersiapkan pakaian dan makeup selengkap mungkin. Setelah mandi yang

memakan waktu hampir satu jam, sekarang ia mencari pakaian

yang paling bagus. Hampir semua isi lemari berpindah ke tempat tidur. Belum ada juga yang cocok. Ia seperti boneka bongkar pasang yang menjajal beberapa pakaian hingga akhirnya

menemukan yang cocok.

Adelia pikir, Reno pemuda desa yang tidak mungkin suka

jika ia berdandan sedikit berani dengan pakaian terbuka. Mendingan yang biasa saja tapi tampak anggun. Kata Mbok Jumilah,

Adelia sangat cantik memakai pakaian yang dikenakannya saat

ini, warna biru tua dengan sedikit hiasan di dada sebelah kiri

dan tanpa lengan. Adelia berharap Mbok Jumilah memujinya

dengan tulus sehingga Reno pun bisa melihat hal yang sama.

Adelia tampak makin cantik dengan polesan tipis makeup.

Kali ini Mama nggak bisa melarang Adelia berdandan. Bukankah ini kencannya yang pertama. Apalagi Mama telanjur

bilang kalau Mama cocok jika Adelia berteman dengan Reno.

Sepertinya Reno mendapat nilai plus dari Mama yang otomatis

bisa melancarkan perjuangan Adelia untuk mendapatkan hati

Reno seutuhnya. Entah kalau Papa, dia belum sempat ketemu

Reno. Semoga saja Papa bisa sama dengan Mama sehingga hubungan Reno dan Adelia bisa berjalan lancar.

"Adelia sayang... Reno sudah menunggu lama lho. Sudah

selasai belum? Apa perlu Mama bantu?" Nah benar kan, Mama

merestui pertemanan Adelia dengan Reno. Sampai bela-belain

mengingatkan Adelia supaya dandannya agak cepat.

"Iya Ma, sebentar lagi juga selesai," teriak Adelia dari dalam

kamar.

Suara Mama tidak terdengar lagi, berarti Mama sudah tidak

di depan pintu. Adelia merapikan rambutnya.

Setelah dirasa perfect Adelia langsung menemui tamu istimewanya. Ketika sampai di ruang tamu, Adelia melihat Mbok

Jumilah berbicara serius dengan Reno. Tampak Mbok Jumilah

sedikit bersuara keras seakan mengancam. Anehnya saat Adelia

mendekat dan bertanya ada apa, mereka berdua terdiam dan

tampak salah tingkah. Adelia memperhatikan tingkah keduanya. Mbok Jumilah hanya geleng-geleng sambil mendesah,

sedangkan Reno cengar-cengir dengan muka memerah.

"Ada apa sih? Kelihatannya kok serius banget," tanya Adelia

untuk kedua kalinya.

"Saya ke dapur dulu, Non." Mbok Jumilah bergegas pergi,

tapi sebelumnya ia sempat mengangkat tinjunya ke arah Reno.

Reno segera mengalihkan topik pembicaraan.

"Cantik sekali," puji Reno.

"Terima kasih..." Adelia tersipu.

"Kita jalan sekarang?" tanya Reno tidak melepaskan pandangannya dari Adelia.

"Ya, biar pulangnya nggak kemalaman." Adelia menggamit

tangan Reno.

Reno yakin suatu saat Mbok Jumilah akan bilang ke Adelia

kalau Reno sudah punya pacar. Cepat atau lambat Adelia pasti

tahu. Kalau bukan dari Mbok Jumilah, ya pasti dari orangorang yang sudah tahu kalau Reno dan Niken itu pacaran.

Tapi masalahnya, Reno tidak ingin Adelia tahu sebelum rencananya berhasil.

Selesai dinner romantis, Adelia mengajak Reno jalan-jalan ke

mal. Bagi Reno nggak masalah, Adelia mau ke mana pun, pasti

Reno antar. Soalnya Reno nggak ngeluarin uang sama sekali

kecuali berkurangnya bensin motornya. Semua Adelia yang

bayar. Mulai dari dinner maupun belanja di mal. Adelia membelikan hem warna biru untuk Reno dan jam tangan yang

berharga sangat mahal. Reno saja sampai melotot melihat

harga jam itu, tapi bagi Adelia seperti beli kacang rebus. Eh...

nggak mungkinlah beli kacang rebus pakai credit card. Yang

pasti Adelia tidak menganggap mahal.

"Keren banget..." Adelia memuji penampilan Reno yang

mengenakan jam tangan itu.

"Apa nggak kemahalan, Del? Yang lain saja, ya?" Basa-basi

Reno hendak melepas jam itu.

"Eh nggak, pokoknya yang itu saja. Bagus, sangat cocok

untuk kamu." Adelia buru-buru membayar jam itu sebelum

Reno berubah pikiran.

Penjual jam itu senang luar biasa karena jam mahalnya sudah terjual hari ini. Ia sampai membungkuk-bungkuk seperti

orang Jepang yang biasa memberi hormat. Reno pun merasa

tersanjung banget. Wah, ternyata punya uang itu memang

asyik. Makanya banyak orang yang mencari uang siang malam,

dan banyak pejabat rela jadi koruptor hanya untuk mendapatkan uang yang banyak. Mereka nggak tahu saja bila besok

Tuhan memanggil pulang, semua yang mereka kumpulkan

akan sia-sia. Tapi biasanya watak manusia yang penting waktu

hidup dulu, soal nantinya gimana kadang tidak terpikirkan.

Setelah membelikan jam tangan mahal, Adelia mengajak

Reno ke toko perhiasan. Reno pikir pasti kali ini Adelia mau

membeli perhiasan untuk dirinya sendiri karena sejak tadi ia

belum membeli apa-apa. Semua yang ia beli untuk Reno.

"Yang ini cincin couple, dulu pernah dipakai Anang dan

Krisdayanti sebelum mereka bercerai." Promosi penjual cincin

itu bikin Reno dan Adelia geli. Bohongnya keliatan banget...

"Masa sih..." Walau sebenarnya tidak percaya dengan

ucapan penjual perhiasan itu, tapi Adelia tertarik juga dengan

modelnya yang unik. Batang cincinnya berpilin-pilin.

"Dijamin ini nggak ada yang menyamai, Mbak," rayu si

penjual perhiasan. "Mbak dan Mas pasti akan makin lengket

jika pakai cincin couple ini. Satu untuk masnya yang ganteng

dan satu untuk mbaknya yang cantik."

Adelia mulai tergoda, ia meminta pertimbangan Reno.

"Ya terserah kamu saja," ucap Reno datar.

"Oke aku beli," ucap Adelia mantap sambil mengeluarkan

credit card untuk kesekian kalinya. "Tolong nama kami diukir

di balik masing-masing cincin itu ya."

Penjual itu pun menyodorkan kertas dan bolpoin pada

Adelia.

Kembali Reno dibuat ternganga oleh harganya. Reno tidak

begitu paham soal perhiasan tapi kalau harganya segitu pasti

deh kandungan emasnya tinggi.

"Wah... pas sekali..." Adelia berteriak girang karena cincin

itu cocok di jarinya.

"Ya itu memang untuk yang cewek. Ini untuk cowoknya."

Penjual perhiasan itu menyerahkan satu cincin pada Adelia.

Adelia meraih tangan Reno. Reno sempat kaget tapi Adelia

berhasil menenangkan. Tak ada yang memperhatikan mereka

selain penjual perhiasan itu yang terus-terusan mengompori

Reno dan Adelia dengan kata-kata romantik dan membuat hati

Adelia makin berbunga-bunga. Trik marketing yang oke banget.

Acungan jempol buat si penjual perhiasan, batin Reno senang

ketika cincin itu sekarang melingkar di jarinya.

"Cincin ini jangan sampai kamu lepas karena aku ingin

setiap kamu lihat cincin ini kamu ingat aku." Mata Adelia berbinar.

Reno mengangguk, ia seperti boneka bagi Adelia. Reno menurut saja, hal itu malah bikin Adelia makin suka pada Reno.

Cowok penurut, pikir Adelia.

Mulai hari ini Adelia berharap hubungannya dengan Reno

lebih dari sekadar teman.

Kata orang, manusia itu tidak selamanya sama. Seorang penyabar belum tentu tidak pernah marah. Orang yang terkenal

baik, tentu pernah melakukan kesalahan sehingga dia dianggap

jahat. Demikian juga Niken, persoalan yang dihadapinya membuat ia mudah emosi.

Pertama, masalah bapaknya yang sudah baikan tapi kata

Dokter Lukman masih harus banyak istirahat, nggak boleh

kerja dulu. Sehingga pekerjaan Pak Rahadi menjadi tugas

Niken. Kedua, insiden ayam goreng dengan Reno. Sudah lima

hari ini Reno nggak datang ke rumah. Niken yakin Reno pasti

sangat marah. Itu harusnya nggak perlu terjadi. Masalah kecil

tapi jadi besar karena kondisi psikis Niken yang sedang kurang

baik. Ketiga, Adelia yang selalu bikin emosi. Cewek sok bersih!

Dan suka pamer! Benar-benar menyebalkan! Seumur-umur

Niken baru menemui cewek "aneh" seperti dia.

Sebuah sentuhan mengagetkan Niken saat ia hampir saja

terlelap dalam posisi duduk di teras depan rumahnya. Bagai

mimpi, Niken sampai mengerjap-ngerjapkan matanya.

"Hai..." Reno berdiri di hadapannya dengan setangkai mawar merah.

Niken mengucek-ngucek matanya.

"Sebagai permintaan maafku karena menyakiti kamu lima

hari yang lalu. Pertengkaran yang harusnya tidak perlu terjadi." Reno berbicara tapi bagi Niken suara Reno seakan seperti

suara malaikat yang siap menjemput ajal.

Duh, masa malaikat penjemput ajal bicaranya romantis begituNiken berpikir ulang. Ia mencoba berdiri sambil menepuknepuk pipinya.

"Aku nggak bisa terus-menerus marahan sama kamu, Ken.

Aku sayang banget sama kamu. Kita sudah empat tahun pacaran, masa hanya gara-gara ayam goreng kita jadi nggak saling tegur-sapa?" Reno meraih tubuh Niken dalam pelukannya.

Niken meronta, ia menoleh ke belakang siapa tahu Pak

Rahadi ada di sana. Bisa-bisa ia dan Reno digebukin.

"Maaf... aku sudah nggak tahan saking rindunya." Gombalan Reno muncul lagi.

Niken nyengir, walau Reno suka ngegombal, Niken merasa

tersanjung juga. Asal ngegombal-nya nggak kebangetan misalnya dengan mengatakan, Niken, kamu cantik seperti Song Hye

Kyo artis Korea itu. Ya pasti itu fitnah alias ngawur banget,

jelas-jelas kulit beda, tinggi juga beda, dan rejekinya beda juga.

"Aku juga minta maaf, Ren, harusnya aku nggak memaksakan keinginanku sama kamu. Mungkin kamu punya impian

yang berbeda dengan aku." Niken mengajak Reno untuk duduk.

"Nggak Ken, impianmu adalah impianku juga." Reno berlutut, tangannya meraih tangan Niken. "Mumpung masih

siang aku ingin mengajakmu ke suatu tempat."

"Tapi... aku harus nungguin Bapak," Niken melepaskan tangan Reno.

"Sebentar saja." Reno meraih kembali tangan Niken.

Kali ini Niken tidak berontak, ia menerima ajakan Reno

dengan harapan mereka hanya pergi sebentar.

enurut Reno, ada banyak cara yang bisa bikin orang

menjadi kaya mendadak, misalnya warisan, dapat

undian berhadiah, atau menipu. Ada juga yang jadi kaya karena setelah menelusuri silsilah keluarga, ternyata masih anak
Miss Clean Karya Sara Tee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kandung orang kaya atau tertukar waktu bayi. Itu yang sering

digunakan sinetron untuk membuat lakonnya menjadi orang

kaya.

Namun Reno menyadari hidup ini adalah realita. Bukannya

meremehkan hasil jerih payah Niken... tapi berapa sih penghasilan

tukang sampah? Nggak banyak, kan? Kecuali kalau dia jadi "raja

kere"?pengepul?itu termasuk pengusaha juga lho. Nah ini, Bapak

saja hanya tukang pengangkut sampah yang digaji kelurahan. Untung saja Niken dapat beasiswa karena prestasinya jadi nggak

ngeluarin uang buat biaya sekolah. Hasil dari bekerja mengangkut sampah hanya bisa untuk makan. Niken bela-belain mengurangi jatah makannya hanya untuk ditabung. Konyol sih

menurut Reno.

Tapi dasar Niken itu keras kepala, dia pikir kalau celengan

gajahnya penuh bisa buat sewa baju pengantin.

Itu kan masih lama, Ren. Aku juga masih ingin kuliah sambil

kerja. Kalau udah lulus kuliah, baru deh setelah itu menikah. Jika

kita menabungnya dari sekarang kan bisa tuh terkumpul. Apalagi

kalau aku nanti kerja akan makin banyak lagi uang yang bisa aku

kumpulkan. Itu kata-kata yang sering Niken ucapkan. Reno

sampai hafal.

Reno nggak mau membuat Niken kecewa, ya terpaksa membiarkan cewek yang dicintainya itu bermimpi.

Setiap cewek memiliki impian suatu saat bisa bersanding dengan pangeran impiannya, Ren. Dan saat itu dunia seakan benarbenar milik mereka berdua. Menjadi raja dan ratu dengan pakaian

pengantin yang indah. Semua mata tertuju padanya. Nggak salah

kan jika aku juga memiliki impian seperti itu? Menurutku wajar

kok. Kecuali kalau aku mintanya ingin merayakan pesta pernikahan seperti pernikahannya Pangeran William dan Putri Kate

Middleton, itu yang terlalu berkhayal. Kecuali kalau Pangeran

William mau menceraikan istrinya dan memilih aku sebagai penggantinya. Hahaha.

Reno terpaksa ikut tertawa, jalan pikiran cewek kadang

aneh dan ribet. Mereka rela mengeluarkan uang banyak hanya

untuk pesta sehari dan gigit jari setelahnya karena tidak ada

uang yang tersisa. Uang hasil sumbangan habis cuma buat

membayar pelunasan biaya pernikahan. Apakah para cewek

pernah berpikir ke arah itu? Kalau bagi Reno dan pasti juga

didukung para cowok lainnya, kalau cowok itu lebih praktis.

Dari pakaiannya saja tampak beda. Lebih simpel dan cara berpikirnya pun lebih sederhana.

"Aduh!" Reno merasakan punggungnya dipukul seseorang.

Ia baru sadar kalau sedang melamun sepanjang jalan diliriknya Niken dari kaca spion, ceweknya yang sedang diboncengnya dengan sepeda motor.

"Jalannya yang bener dong... Masa minggir-minggir terus...

lama-lama masuk selokan!" Bisa jadi tragedi. Bayangkan saja

jika nanti di desa tersebar berita sepasang remaja yang lagi

pacaran masuk got. Pasti memalukan banget...

"Sudah sampai...!" Reno menunjuk sebuah gedung.

Bukan gedung biasa, tapi bank. Niken baru kali ini masuk

sampai halaman parkir bank. Sebelumnya hanya lewat jalan di

depannya saja.

"Ayo..." Reno menarik tangan Niken masuk ke gedung bank

pemerintah.

"Mau ngapain?" Niken masih keheranan.

"Mau belanja!" Reno menyeringai lucu. "Ya mau nabung

dong. Buka rekening atas nama kamu."

Kini Niken benar-benar membuat Reno berhenti melangkah,

ia menatap Reno beberapa saat.

"Aku ada sedikit uang dan aku ingin kita menabung untuk

mewujudkan cita-cita kamu eh... sori, cita-cita kita berdua."

Reno nyengir. "Dengan menabung di bank dijamin lebih aman

dan mendapat bunga. Nggak seperti jika menabung di celengan gajah kamu." Reno berbicara bak marketing bank yang

lagi cari nasabah.

"Kamu serius?" Mata Niken mulai berkaca-kaca karena terharu. Tidak mengira bahwa Reno akan melakukan semua ini

untuknya.

"Ya, aku serius. Kupikir kamu benar, kita memang harus

membangun impian kita sedini mungkin. Impian membuat

kita bersemangat untuk hidup. Jadi nggak ada salahnya setiap

orang punya mimpi." Kini Reno berbicara bak motivator kondang.

"Dan kita tidak boleh hanya bermimpi tapi harus dibarengi

tindakan untuk mewujudkan impian itu." Tiba-tiba Niken memeluk Reno.

Reno gelagapan, apalagi ada beberapa orang yang menoleh

ke arahnya sambil cengar-cengir. Mengapa tiba-tiba Niken jadi

agresif banget. Dasar cewek... batin Reno.

Kemudian mereka masuk ke bank itu dengan wajah memerah, karena senang bercampur malu berpelukan di depan

umum. Ketika tangan Reno bersentuhan dengan tangan Niken

ada sesuatu yang mengganjal. Niken segera meraih tangan

Reno. Dan dilihatnya ada logam mulia tersemat di jari cowok

itu.

"Hai, sejak kapan kamu pakai cincin?" Niken merasa

surprise banget melihat itu.

Wajah Reno langsung memucat. "Oh... ini aku beli dari hasil tabunganku. Maaf ya, aku sudah ambil sedikit uang yang

seharusnya aku tabungkan semua."

Niken tersenyum. "Eh, nggak apa-apa lagi. Itu kan uang

kamu kenapa mesti minta maaf segala."

Niken mengamati cincin baru Reno dengan serius. Reno

malah merasa sangat tersiksa maka ia segera menarik tangannya.

"Kita masuk yuk..." Reno meraih bahu Niken dan bergegas

masuk.

"Omong-omong, cincin kamu bagus, Ren. Seleramu ternyata oke juga." Niken masih membahas soal cincin itu. Membuat Reno semakin tidak tenang.

"Oke, aku lepas saja kalau cincin ini mengganggumu."

Reno melepas cincin itu dan memasukkannya ke saku. "Lain

waktu mesti beli cincin couple sebagai ikatan cinta kita. Sudah

empat tahun lho kita pacaran masa belum ada ikatan apa-apa.

Walau cuma ikatan pribadi antara kita berdua."

"Nggak usah, Ren. Boros." Niken tersenyum.

"Iya kamu benar." Reno lega sekali Niken tidak membahas

soal cincin lagi. Dia sepertinya puas dengan jawaban Reno.

Kemarin...

Reno menunggu sampai toko jam itu sepi pengunjung. Ia

mengamati dari jarak lima meter. Sialnya ada satpam yang

memperhatikan gerak-geriknya yang mencurigakan. Satpam

mal itu segera menghampiri Reno dengan tatapan curiga.

"Ada yang bisa saya bantu, Mas?" Satpam itu menatap

Reno sambil memperhatikan toko jam yang diamati Reno.

"Nggak ada. Saya mau ke sana saja!" Reno bergegas ke toko

jam yang beberapa saat lalu dikunjunginya bersama Adelia.

Sial! Pasti aku dikira mau maling. Padahal aku ingin mengembalikan jam tangan pemberian Adelia untuk aku tukar uang.

Makanya aku nunggu pengunjung toko itu sepi biar nggak malumaluin, batin Reno.

"Selamat datang kembali, Mas. Mau tambah beli jam yang

mana, Mas? Kami punya koleksi yang lain, Mas bisa lihat-lihat

dulu," sapa pemilik toko jam itu girang melihat kedatangan

Reno kembali.

Reno melihat masih ada satu pengunjung yang sedang dilayani oleh anak buah pemilik toko jam itu. Reno pura-pura

melihat-lihat koleksi lain yang ditunjukkan.

Setelah pengunjung itu pergi, Reno mulai berbicara dengan

berusaha mengatur degup jantungnya yang berdebar kencang.

"Gini, Pak, saya mau mengembalikan jam tangan ini. Maksudnya mau saya tukar kembali dengan uang..." Akhirnya

kata-kata yang sedari tadi terpikir mampu ia ucapkan.

Wajah pemilik toko jam itu tiba-tiba berubah keruh setelah

mendengar tujuan Reno datang kembali. "Waduh, nggak bisa,

Mas. Barang yang sudah dibeli tidak boleh dikembalikan."

"Tolonglah Pak, saya butuh uang ini untuk biaya memeriksakan nenek saya yang lagi hamil..." Reno merajuk.

"Eh... yang benar saja, Mas? Masa masih ada nenek-nenek

yang bisa hamil?" Pemilik toko jam itu mulai nyolot.

"Pak, jangan gitu dong, itu namanya dosa. Kalau Tuhan

menghendaki, tidak ada yang mustahil." Reno pasang tampang

memelas.

Pemilik toko jam itu berpikir sejak. Reno yakin kalau pemilik toko jam itu tidak berpikir soal neneknya yang lagi hamil

tapi berpikir bagaimana ia tidak rugi jika "terpaksa" menerima

pengembalian jam tangannya.

"Coba saya cek dulu." Pemilik toko jam itu meminta jam

tangan yang dibawa Reno.

Clesss... ada harapan. Sebentar lagi Reno akan punya uang

yang cukup banyak untuk diberikan kepada seseorang yang

disayanginya.

"Kalau dikembalikan kena potongan, Mas," ucap pemilik

toko jam itu.

Setelah tahu kondisi jam tangan itu masih bagus maka

pemilik toko memberikan penawaran. Seperti beli emas saja

pakai potongan. Dasar pedagang, ada saja akalnya agar bisa mengambil keuntungan, batin Reno sedikit dongkol.

"Potongannya berapa, Pak?" tanya Reno sambil berdoa dalam hati supaya potongannya tidak terlalu besar.

"Lima puluh persen," ucap pemilik toko yang langsung disambut Reno dengan girang.

"Tak masalah!" Wajah Reno berseri.

Kini ganti pemilik toko jam itu yang kaget karena begitu

mudahnya Reno melepas jamnya dengan pengembalian separuh harga. Takut Reno berubah pikiran, pemilik toko jam itu

segera memberikan uangnya dan Reno pun bergegas pergi.

Itulah kenapa Reno bisa membawa uang untuk mengajak

Niken membuka rekening di bank. Reno pikir dengan begitu

ia bisa menyenangkan hati Niken. Ia tidak menyadarikalau

perbuatannya nggak gentle. Dan sangat tercela!

Pelayanan di bank ini memang luar biasa. Sejak masuk saja,

ada satpam yang membukakan pintu dan menyambutnya dengan ucapan selamat datang sambil menundukkan kepala.

Niken jadi sungkan sendiri, ia tidak terbiasa mendapat penghormatan seperti itu. Ia hanya berpikir kalau ia akan mendapat penghormatan ketika upacara kematiannya nanti. He...

pikiran serem enyahlah...

Di customer service mereka disambut dengan mbak-mbak

yang cantik dengan pakaian rapi. Rata-rata pegawai di bank ini

memang cantik-cantik dan masih muda. Menurut rumor, kalau

sudah berumur digeser masuk ke dalam dan dipindahkan ke

bagian yang tidak berhubungan langsung dengan nasabah.

Niken heran mengetahui Reno tiba-tiba punya uang sebanyak itu. Kata Reno, itu hasil tabungannya selama ini. Hebat

juga Reno, diam-diam bisa menabung sebanyak itu dan yang

bikin terharu uang itu dimasukkan ke rekening bank atas

nama dirinya. So sweet... Rasanya Niken ingin buru-buru memecahkan celengan gajah supaya uangnya bisa disetorkan ke

rekening itu juga.

Setelah selesai, mereka keluar dari bank. Di luar ternyata

hujan. Mereka tidak mendengar suara hujan ketika di dalam.

Sebenarnya hari masih siang tapi hujan dan mendung membuat langit tampak gelap.

"Kita hujan-hujanan yuk?" Reno memperkirakan hujan

akan lama karena langit berwarna abu-abu rata.

"Nggak bawa jas hujan?" tanya Niken sedikit ngeri kalau

sampai kehujanan dengan kondisi tubuhnya yang kurang fit.

"Kayak orang tua saja takut air hujan." Reno menarik tangan Niken menuju tempat parkir.

"Eh, emang kalau pakai jas hujan harus orang tua?" Niken

langsung protes menanggapi ucapan Reno yang nggak berdasar

itu.

"Maksud aku, kita ini masih muda. Masih kuat hujan-hujanan."

Semula Niken berteriak saat merasakan hujan mulai membasahi tubuhnya. Tetapi lama-lama asyik juga hujan-hujanan

bersama pacar. Apalagi ketika Reno meraih tangan Niken untuk dilingkarkan ke perutnya agar Niken bisa berpegangan erat

seiring laju motornya yang semakin kencang.

"Siapa bilang kalau yang berhak memiliki mimpi hanya

orang-orang kaya..." teriak Reno di tengah hujan dan deru

motornya.

"Apaan sih, Ren, pakai teriak-teriak segala?" Niken

memukul lengan Reno.

"Walau kita miskin boleh juga dong mempunyai mimpi..."

Reno kembali berteriak. "Bukan hanya orang kaya saja yang

bisa mewujudkan keinginan mereka. Kita pun bisa, Ken!"

"Jangan sinis begitu sama orang kaya, Ren. Bisa digebukin
Miss Clean Karya Sara Tee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang kaya nanti..." Niken tertawa.

"Tenang saja Ken, kebanyakan orang kaya nggak pernah

menganggap dirinya kaya. Nyatanya mereka terus-terusan

memburu uang dan selalu berkeluh kesah soal uang. Tak beda

dengan orang miskin." Reno ikut tertawa.

Kali ini Niken tidak mau menanggapi ucapan Reno. Bisa

berkepanjangan dan menimbulkan isu sosial. Karena ia pun

punya dendam pribadi dengan orang kaya. Kemudian ia teringat ibunya.

HAZZZHING!

Reno bersin untuk kesekian kalinya. Di tangannya tergenggam ponsel yang tersambung ke nomor seseorang.

"Sori, Del, besok kayaknya aku nggak bisa ngantar kamu

jalan-jalan deh." Reno kembali bersin...

"Kamu sakit, Ren? Sudah minum obat belum? Biar aku

minta Papa memeriksa kamu, ya?" Suara Adelia terdengar panik.

HAZZZHING!

"Nggak usah, Del, aku hanya butuh istirahat, nanti juga

sembuh. Aku sudah minum obat flu kok." Suara Reno benarbenar parau.

"Ya sudah, kamu istirahat saja." Suara Adelia masih terdengar cemas. "Kok bisa tiba-tiba flu gini sih?"

"Iya tadi kehujanan." Suara Reno makin parau.

"Ya udah, kamu istirahat deh, Ren. Biar cepat sembuh."

Adelia menyudahi pembicaraan, nggak tega mendengar Reno

yang tampak kepayahan.

Reno meletakkan ponselnya di kasur. Beberapa menit kemudian ia tertidur karena pengaruh obat flu yang diminumnya.

Reno tidak pernah berpikir kalau di seberang sana Adelia masih gelisah dan mencemaskannya.

iken merasa kepalanya sangat pusing, bahkan ia tidak

bisa menggerakkan tubuhnya sedikit pun. Setelah beberapa saat, matanya baru bisa terbuka. Dan ketika pandangannya

tertuju pada jam dinding, refleks ia bangun dan tergesa turun.

Niken sampai menendang kaki meja karena kesadarannya yang

belum pulih benar.

"Sudah jam enam! Mampus aku!" teriak Niken sambil buruburu keluar.

Aku belum mengambil sampah warga, ini musibah! batin

Niken.

"Pelan-pelan to, Nduk, hampir saja Bapak kamu tabrak. Melek dulu..." Suara bapaknya membuat kesadaran Niken kini

benar-benar pulih.

"Gawat, Pak, Niken belum ambil sampah warga..." Niken

bergegas pergi tapi gerobak sampahnya sudah tidak ada.

Niken menoleh ke arah Pak Rahadi yang tampak tenang-tenang saja sambil memilah sampah anorganik?sampah yang

tidak bisa diuraikan sebagian bisa tapi dalam waktu yang lama,

misalnya botol, plastik, kantong plastik, kaleng, dan kaca. Untuk plastik dan botol memang sengaja dikumpulkan tersendiri

oleh Pak Rahadi, yang setelah dibersihkan dan sudah banyak

akan dijual ke pengepul.

"Gerobak sampahnya di mana, Pak?" tanya Niken sewot

karena tidak menemukannya.

"Di samping rumah, sudah Bapak cuci. Kamu siap-siap

berangkat ke sekolah saja. Sampah warga sudah Bapak ambil

tadi pagi."

"Ya ampun, Bapak... matur nuwun." Niken segera menghambur ke arah Pak Rahadi dan mencium tangannya.

"Jangan berlebihan begitu, Nduk, biasa saja. Itu kan tugas

Bapak." Bapak risi tangannya dicium Niken.

"Ya Niken terharu saja, Pak, kirain sampahnya belum diambil. Apa Bapak yakin sudah benar-benar sehat?" Niken

bangkit lalu duduk di samping Pak Rahadi.

"Kalau menuruti keinginan ya inginnya tiduran terus, Nduk,

tapi malah badan Bapak tambah lemas. Harus dilawan dengan

bekerja." Nasihat Bapak disetujui Niken.

Saat ini Niken memang merasa tidak sehat tapi setelah

mendengar ucapan Bapak, Niken bertekad untuk melawan sakitnya. Ia tidak mau bermalas-malasan yang justru bikin sakitnya makin parah. Eits... hanya sakit flu saja, nggak apa-apa.

Bukan masalah besar. Jadi tidak perlu dibesar-besarkan, pikir

Niken.

"Ya sudah, Pak, kalau begitu Niken mandi dulu." Niken

mencium lagi tangan Pak Rahadi seperti mau pergi padahal

hanya berpamitan mau mandi.

HAZZZHING....

"Woi! Jangan mengarah ke muka aku dong!" Adelia langsung nyolot ketika mendapat semprotan "hujan" lokal dari

Niken.

Penampilan Niken benar-benar berantakan. Matanya berair

dan tampak sayu, hidungnya memerah dan terus-terusan bersin. Sepanjang pelajaran berlangsung ia bersin terus-menerus.

Dan orang yang paling merasa terganggu adalah Adelia yang

duduk di sampingnya.

HAZZZHING....

"Bisa ditutupi nggak kalau bersin?" bentak Adelia untuk

kesekian kalinya.

Niken diam saja, ia tidak terpengaruh dengan ucapan

Adelia. Ia terus saja menulis sambil bersin-bersin. Setiap hendak bersin ia sengaja mengarahkan wajahnya ke arah Adelia.

HAZZZHING...

"Hei, kamu sengaja ya?" Adelia sudah habis kesabaran, ia

bangkit sambil menggebrak meja. Bukan hanya teman-teman

sekelasnya yang kaget, tapi Bu Iin yang sedang mengajar pun

ikutan kaget.

"Adelia... ada apa?" Bu Iin melihat ke arah Adelia dan

Niken.

"Dia itu, Bu, bersin sengaja diarahkan ke saya!" Adelia menunjukkan jarinya ke arah Niken.

"Niken, kalau bersin ditutupi ya?" nasihat Bu Iin.

"Baik, Bu." Niken nyengir.

"Saya mau pindah bangku saja, Bu." Adelia langsung berdiri

sambil melirik sinis pada Niken.

"Adelia duduk, tidak perlu pindah bangku," perintah Bu

Iin.

"Tapi, Bu..." desis Adelia kecewa.

Niken memejamkan mata sambil menjulurkan lidah bikin

Adelia tambah jengkel. Kenapa semut hitam ini selalu dibela.

Benar-benar nggak adil, protes Adelia dalam hati.

"Adel, duduk dan selesaikan tugasmu!" Ucapan Bu Iin terdengar lembut tapi tidak di telinga Adelia yang telanjur sebal.

Kembali Niken bersin. Adelia menarik kursi dan meja menjauh dari Niken sehingga hampir separuh mejanya menutupi

jarak jalan. Tak hanya itu Adelia memberi batas dengan buku

yang diposisikan berdiri. Niken tersenyum melihat tingkah

Adelia. Ia sangat berharap Adelia akan segera tertular virus flu

darinya.

Sesekali Adelia melihat ke arah Niken yang tampak tenangtenang saja, tidak tersinggung dengan tindakan Adelia. Ia malah mengeluarkan ingus dengan menggunakan saputangannya.

Adelia semakin jijik. Ia memandang Niken dengan sebal, ia

buru-buru memalingkan wajah ketika Niken tahu dia sedang

diperhatikan. Niken hanya nyengir melihat Adelia salting, salah

tingkah.

Kenapa bisa sama kayak Reno? Kemarin malam Reno telepon

kalau dia flu berat. Eh, ngapain aku hubung-hubungkan dengan

Reno? Bukankah semalam memang hujannya sampai malam belum

juga reda. Mungkin yang flu bukan hanya mereka berdua, pasti

ada banyak juga. Kebetulan saja keduanya Adelia kenal, batin

Adelia heran. Buru-buru Adelia menepis pikiran itu. Kini di

hatinya tinggal perasaan jengkel setiap kali melihat wajah

Niken.

Kekesalan Adelia seakan tidak berujung, di kantin pun ia masih mengomel soal kejadian bersin Niken tadi. Arini mau tidak

mau harus menerima ucapan-ucapan jelek dan hinaan Adelia

untuk Niken.

"Sudah deh, nggak perlu diperpanjang. Kalian itu benar-benar kayak kucing dan anjing." Arini merasa nafsu makannya

hilang karena mendengar omelan Adelia.

"Kok bisa ya, orang-orang pada respek sama dia, padahal

orangnya sangat menyebalkan!" Adelia mengaduk-aduk jus

alpukatnya dengan sedotan.

"Sebenarnya dia itu baik, Del. Kalian saja yang belum ada

kesempatan untuk saling mengenal lebih dekat." Arini memasukkan sebutir bakso ke dalam mulutnya.

"Tentulah kamu belain, dia itu kan sahabatmu." Adelia tidak jadi minum jus, ia mendorong jusnya menjauh. "Tapi lihat saja sikapnya sama kamu akhir-akhir ini."

Arini memejamkan mata, ia tidak yakin apakah Niken masih menganggapnya sahabat setelah ia tepergok berada di rumah Adelia beberapa waktu yang lalu. Arini tidak yakin rencananya berjalan mulus.

"Bukan begitu, Del, lha dia kan lagi flu. Biasalah kalau

orang flu... masa bersin harus ditahan?" Arini ikutan menggeser mangkuk baksonya menjauh karena memang sudah habis, tinggal kuahnya saja.

"Tapi dia sengaja mengarahkan wajahnya ke arahku setiap

bersin, Rin. Dia selalu cari gara-gara dengan aku! Mana orangnya jorok gitu... Hi..." Adelia mengirik.

"Kenapa sih kamu sepertinya sangat jijik terhadap segala

sesuatu yang bau dan kotor, terutama sampah?"

Pertanyaan Arini membuat raut wajah Adelia berubah murung. Ia memandangi jari-jari tangannya.

"Dulu Papa pernah bercerita..." Adelia menarik napas panjang. "Dia gagal menolong anak pemulung yang menderita

muntaber karena prosedur di rumah sakit tempat Papa bekerja

mengharuskan setiap pasien yang dirawat untuk membayar

minimal separuh biaya perawatan. Pasien itu dibawa pulang

karena orangtuanya tidak bisa membayar. Beberapa hari kemudian Papa mendapat kabar kalau anak itu meninggal. Papa

sangat menyesali kejadian itu. Papa memutuskan keluar dari

rumah sakit dan membuka praktik sendiri dengan membebaskan mereka yang tidak mempunyai biaya berobat. Setelah Kakek meninggal, Papa memutuskan untuk tinggal di sini. Kejadian itu pula yang membuat Papa selalu menekankan

pentingnya menjaga kebersihan. Dan Mama sangat mendukung hal itu sehingga sedari kecil aku selalu dijauhkan dari

hal-hal yang kotor dan berbau. Aku terbiasa hidup bersih sehingga sampai sekarang jika aku melihat sesuatu yang kotor

aku langsung jijik." Adelia mengakhiri ceritanya.

"Oh, jadi hanya faktor kebiasaan saja? Aku kira kamu punya trauma tersendiri tentang sampah. Misalnya kamu ternyata

anak yang dipungut dari sampah gitu..."

"Ih, apaan... nggaklah! Aku ini anak kandung Papa dan

Mama lagi..." Adel mencubit lengan gempal Arini.

Arini mengaduh kesakitan. "Aku kan hanya menirukan

ucapan Niken..."

"Niken? Oh... nggak heran deh kalau dia sumbernya. Dia

selalu bilang hal yang buruk tentang aku kepada semua

orang." Wajah Adelia menegang.

"Nggak kok, dia hanya bilang ke aku soalnya menurut dia

sifat kamu dan orangtuamu bertolak belakang... Hm... kamu

tahu kan maksudku?" Arini nyengir.

"Iya?jelas orangtuaku baik sama dia terutama Papa, karena

Niken mengingatkan Papa pada masa lalunya." Adelia mengusap-usap telapak tangannya. "Udah ah, nggak usah membicarakan dia, males aku. Bikin sebal saja."

"Hai, panjang umur dia... Baru dibicarakan sekarang muncul." Arini melambaikan tangan pada Niken.

Adelia menurunkan tangan Arini. "Jangan! Merusak pandangan saja!"

Arini sampai bengong mendengar ucapan Adelia yang terdengar sangat sadis. "Jangan gitu dong, Del, dia manusia juga,

kan?"

"Iya manusia jorok yang menjijikkan!" Adelia berdiri dengan

membawa kemarahannya kemudian meninggalkan kantin.

Arini tidak peduli, ia memburu Niken yang hendak keluar

lagi dari kantin.

"Niken tunggu!" Arini berhasil membuat Niken menghentikan langkahnya.

"Oh... hai, Rin..." sapa Niken kaku. "Sori, aku ke ruang

OSIS dulu."

"Tapi bukannya tadi kamu mau ke kantin?" Arini mengerutkan dahinya.

"Nggak kok, aku salah. Maksud aku mau ke ruang OSIS."

Niken bergegas pergi.

Arini garuk-garuk kepala. Arini merasa sikap Niken sangat

aneh. Dia bukan murid baru, masa nggak bisa membedakan

arah kantin dengan ruang OSIS yang letaknya berlainan arah.

Bahkan murid baru pun nggak akan melakukan kesalahan seperti itu. Arini langsung berkesimpulan bahwa Niken memang

sengaja menghindarinya. Arini menatap kepergian Niken dengan nelangsa.

Niken tidak ke ruang OSIS. Ngapain juga ke ruang itu, toh tidak ada orang. Nggak ada rapat. Rapatnya masih besok. Maka

Niken memutuskan untuk ke kamar mandi saja, sekalian

buang ingus.

Niken mematut diri di depan cermin wastafel. Wajahnya

tampak pucat. Ia memang tidak pernah berdandan tapi tidak

separah ini. Ia merasa kepalanya masih sangat berat. Hujan

semalam membuat kesehatannya makin drop, ia bahkan sudah

minta izin untuk tidak ikut latihan basket nanti sore. Ia ingin

segera pulang dan istirahat.
Miss Clean Karya Sara Tee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Biar tampak lebih segar Niken membasuh mukanya dengan

air. Mengeringkannya dengan tisu. Ia terdiam sejenak, tiba-tiba

saja ia teringat kejadian di kantin tadi. Waktu Niken melihat

Arini duduk satu meja dengan Adelia. Niken merasa hatinya

sangat sakit. Perasaan itu juga yang ia rasakan ketika melihat

Arini di rumah Adelia pagi itu. Ternyata mereka sekarang makin

dekat, batin Niken. Jika bukan bersama Adelia, mungkin rasanya tidak akan sesakit ini.

Niken mencoba mengikis perasaan negatif dalam dirinya. Ia

ingin fokus pada ucapannya sendiri bahwa Arini bebas memilih siapa pun sebagai temannya. Ternyata kata-kata itu begitu

mudah diucapkan, tapi sulit untuk dilakukan. Niken merasa

hatinya sakit setiap kali melihat Adelia bersama Arini. Niken

merasa Adelia merebut sahabatnya. Dan Niken sendiri tidak

menyangka kalau Arini bisa setega itu padanya.

Arini dan Niken sudah lama bersahabat. Segala hal tentang

Niken, Arini tahu, demikian juga sebaliknya. Arini tahu banyak

hal tentang keluarga Niken, bahkan tentang Reno. Tapi sekarang di mata Niken, Arini tidak lebih dari seorang pecundang.

Tega banget berteman dengan Adelia yang sampai saat ini masih tercatat sebagai musuh bebuyutannya. Makhluk paling

menyebalkan di mata Niken. Cewek sok bersih!

Niken membasuh wajahnya kembali dengan air. Aku tidak

pernah mengerti jalan pikiran Arini. Selama ini aku tidak pernah

punya masalah dengannya, tapi kenapa Arini tega melakukan itu

padaku? Menyakiti sahabat sendiri. Hanya gara-gara ingin diajari

membuat email? Yang benar saja?! Kenapa nggak tanya padaku

saja? batin Niken dengan kekesalan tingkat tinggi.

Harus diakui, Adelia memang mudah mencari teman. Niken

masih ingat waktu pertama kali Adelia masuk ke kelasnya, semua orang seakan terhipnotis olehnya dan mereka buru-buru

ingin menjadi temannya. Apa orang kaya memang lebih mudah mencari teman dibanding orang miskin? Coba saja kalau

Niken tidak menjabat sebagai ketua kelas, ketua OSIS, dan

kapten tim basket? Apa mereka mau berteman dengannyaApa mereka akan bersikap seperti Adelia yang jijik karena ia

harus tidur dengan kaleng-kaleng dan plastik-plastik bekasEh... kenapa jadi sinis begini? Ketularan Reno kali... batin Niken

geli.

Daripada pikiran jadi ngelantur ke mana-mana mendingan

kembali ke kelas. Niken melangkah menuju kelas dengan langkah diseret, ia benar-benar merindukan bantal dan guling kempesnya.

rini merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam diri

Niken. Niken sepertinya sengaja menghindarinya. Niken

selalu berkata semuanya baik-baik saja. Tapi sikapnya tidak

menunjukkan kalau semua baik-baik saja. Arini bisa merasakan

hal itu.

Seperti saat ini waktu Arini mengajaknya ke perpustakaan,

Niken segera menolaknya.

"Sori ya, Rin, aku harus menemui kepala sekolah untuk

minta persetujuan mengenai jadwal ekskul sekolah." Niken

langsung bergegas pergi.

Walau Arini "buta" tentang organisasi paling tidak ia tahu

kalau itu cuma alasan Niken saja. Niken tidak membawa berkas

apa-apa. Untuk membuktikannya Arini mengikuti Niken dari

belakang. Dan benar dugaan Arini, Niken tidak ke ruangan kepala sekolah. Ia malah menuju lapangan basket.

Di sana sepi, hanya ada tiga orang cowok kelas X yang sedang bermain three point. Niken duduk di tepi lapangan sambil

melihat mereka bermain.

"Sudah aku duga kamu bohongin aku, Ken. Bukannya

kamu bilang mau ke ruang Kepala Sekolah? Sejak kapan ruang

Kepala Sekolah pindah di lapangan?" Arini duduk di samping

Niken.

Niken sempat terkejut melihat kehadiran Arini tapi sejurus

kemudian ia bisa mengendalikan diri dengan tidak mengacuhkannya.

"Kamu sengaja menghindari aku ya, Ken?" tanya Arini dengan wajah memelas, sayang Niken tidak memperhatikannya.

Pandangan Niken masih lurus ke depan.

"Nggak, ngapain mesti menghindari kamu?" Niken mengeraskan rahangnya.

"Kamu marah kan sama aku karena sekarang aku dekat dengan Adel?" Suara Arini mulai bermuatan emosi.

"Itu hak kamu buat dekat dengan siapa saja. Aku bukan

emak kamu yang berhak melarang kamu berteman dengan

siapa." Niken membalasnya dengan suara meninggi.

"Tapi kamu sahabatku." Suara Arini terdengar parau, matanya mulai berkaca-kaca.

Niken menggigit bibir bawahnya heran, masih juga Arini

menganggapnya sahabat setelah apa yang dilakukannya.

"Udah deh aku mau masuk kelas, bentar lagi bel." Niken

berdiri, kemudian tangannya membersihkan debu yang melekat pada rok abu-abunya.

"Niken!" Arini meraih tangan Niken. "Kenapa sih begitu

susah untuk bicara jujur?"

Teriakan Arini membuat Niken bereaksi. Ia menatap tajam

Arini.

"Oke, kamu ingin aku bilang apa? Apa aku sakit hati karena kamu sekarang dekat dengan Adelia? Oke aku jawab!"

Niken melihat mata Arini menitikkan air. "YA! AKU MEMANG

SAKIT HATI! PUAS?"

Arini menangis sesegukan. "Aku minta maaf..."

"Basi tahu!" Niken berjalan menjauh. "Aku sudah mencoba

mengerti jalan pikiranmu, tapi ternyata aku tidak bisa karena

yang kamu ajak berteman adalah ADELIA! Kenapa mesti dia

sih? Ada ratusan orang di sini, kenapa mesti dia?"

"Aku dekat hanya sebatas teman, aku nggak bersahabat dengannya. Aku hanya ingin diajari membuat email dan aku

tidak bias tidak mengacuhkannya begitu saja setelah dia mengajariku. Rasanya aku akan terkesan sebagai orang yang tidak

tahu terima kasih." Walau suara Arini tidak begitu jelas tapi ia

berhasil menyelesaikan kalimat panjangnya.

"Oh ya? Tahukah kamu kalau Adelia itu sengaja ingin

menghancurkan persahabatan kita? Apa kamu nggak sadar ituDia begitu membenci aku dan ingin menghancurkan aku?"

Kini emosi Niken mulai tidak terkendali, dadanya sampai naik

turun karena napasnya yang tidak teratur.

"Kenapa sih dengan kalian berdua? Kenapa begitu dalamnya kalian saling membenci satu sama lain?" Arini mengatur

napasnya yang juga terengah-engah karena terlalu cepat berbicara. "Sebenarnya Adelia itu orangnya baik, Ken. Tidak semua orang kaya itu jahat! Maaf jika aku menyentuh sisi sensitif, kamu tapi tidak semua orang Jakarta seperti lelaki yang

membawa kabur ibu kamu."

Niken terperangah, ia tidak menyangka Arini tega berbicara

seperti itu. Setelah sekian lama Niken berusaha menghapus

sosok ibunya dalam ingatan, kini justru Arini mengucapkannya

dengan sangat jelas. Niken tidak mungkin lupa betapa ia sangat membenci Ibu karena telah meninggalkan Bapak untuk

pergi bersama pria dari Jakarta yang kaya raya. Sampai sekarang Niken tidak pernah bertemu dengan Ibu lagi. Masih hidup atau pun tidak, Niken tidak peduli. Ia hanya ingat Ibu

pergi meninggalkan rumah dalam keadaan sakit. Jakarta telah

mengambil kebahagiaannya. Dan Adelia berasal dari kota yang

sama. Mungkin Arini benar, Niken telah antipati dengan orang

kaya dari Jakarta.

"Sekali lagi maaf, Ken, bukan maksudku membuka luka

lamamu. Tapi aku harus mengingatkanmu bahwa tidak semua

orang itu sama seperti yang kamu pikirkan." Suara Arini melunak.

"Oh ya?" Niken tersenyum sinis. "Kalau begitu bersahabat

saja dengan dia!"

"Kita bertiga harusnya bisa bersahabat," ucap Arini disela

isak tangisnya.

"Nggak!" teriak Niken. "Kenapa kamu berpikir seperti itu,

Rin? Kamu lihat saja sikap dia padaku. Dia melihatku seakan

melihat sampah. Dia menatapku dengan pandangan jijik.

Ucapan yang keluar dari mulutnya berbau busuk bak sampah.

Kenapa justru kamu membela dia, padahal kamu tahu ucapannya sangat menyakiti hatiku, Rin?" Kini mata Niken mulai

berembun. Ada selaput bening yang menghalangi pandangan

matanya.

Arini terdiam cukup lama. Memang harus diakui ucapan

Niken benar. Sikap Adelia pada Niken selama ini memang kelewatan. Apa yang Niken lakukan hanya untuk membela diri

dan mempertahankan harga dirinya. Tetapi semuanya telanjur,

Arini tidak bisa kembali ke masa lalu. Ia tidak bisa tidak mengacuhkan Adelia begitu saja setelah apa yang dilakukannya.

"Kamu tenang saja, Rin. Aku akan terus berusaha untuk

mengerti kamu. Aku akan coba memosisikan diriku di posisimu. Tentu saja lebih mengasyikkan main Facebook di ruangan

yang besar, bersih, dan wangi daripada harus dimintai tolong

untuk membantu memilah antara kaleng, plastik, dan barang

bekas lainnya. Sudah bau, kotor, dan sangat tidak mengasyikkan!" Niken segera berlalu, ia merasakan sakit tubuh tidak

sesakit hatinya saat ini.

Lidah Arini terasa kelu. Apa yang dituduhkan Niken tidak

benar, tapi ia tidak bisa meyakinkan Niken dalam keadaan

emosi seperti ini. Mungkin ada baiknya Arini menerima kenyataan bahwa persahabatan mereka sedang bermasalah. Harusnya Arini berpikir dulu sebelum bertindak. Tujuan baik tidak bisa diterima baik jika jalannya tidak tepat.

Arini duduk di kursinya. Sebentar lagi bel berbunyi, ia melihat

jam di tangannya. Satu menit lagi.

"Aku pindah duduk di sebelah kamu ya, Rin? Kebetulan

kan Ajeng nggak masuk jadi aku bisa duduk di sini." Adelia

meletakkan tasnya di bangku samping Arini.

"Tapi..." Arini melihat Niken sedang memperhatikannya,

tapi buru-buru Niken memalingkan wajah. "Aku nggak enak

sama Niken, Del."

"Nggak enak? Berikan saja ke kucing." Adelia nyengir.

"Aku serius, Del." Arini tampak salah tingkah.

"Ngapain sih kamu masih peduli sama dia, dia saja sudah

nyuekin kamu kayak gitu." Adelia melirik sinis pada Niken.

"Itu salah aku, Del." Arini menunduk sedih.

"Nggak juga, dia saja yang egois. Emangnya kamu hanya

boleh berteman sama dia doang?" Adelia melirik kembali ke

arah Niken.

"Tolong, Del, pelankan suaramu, nanti dia dengar..." Arini

menempelkan telunjuknya pada bibir.

"Biar saja semua dengar!" Adelia makin menjadi-jadi.

Adelia berdiri di depan kelas sambil berbicara keras. "Hai,

semua yang ada di kelas ini? Kita boleh berteman dengan

siapa saja yang kita mau, kan?"

Ucapan Adelia disambut dengan seruan setuju dari temantemannya tanpa mereka tahu ada maksud di balik ucapan


Mustika Lidah Naga 2 Jaka Sembung 5 Air Mata Kasih Tertumpah Jodoh Rajawali 10 Pedang Jimat Lanang

Cari Blog Ini