Ceritasilat Novel Online

Geger Tarumanegara 3

Geger Tarumanegara Karya Kusyoto Bagian 3


Di luar kedai, terpaut jarak dua puluh tombak seorang pedagang sedang adu mulut dengan lima orangGeger Tarumanagara bertampang sangar bahkan salah satu nya tidak segan melayangkan tendangan dan pukulan pada pedagang itu, Taruma yang melihat hal itu langsung hentikan makan dan bangkit dari duduk namun sang pemilik kedai segera mencegahnya.

"Kau tidak usah ikut campur, Taruma."

"Siapa mereka itu?"

"Anak buah Sempani,"

"Siapa Sempani itu paman?"

"Pemimpin pejuang kemerdekaan Tarumanagara."

"Pejuang kemerdekaan kok memeras pedagang,"

Sungut Taruma kemudian melangkah pelan ke sumber keributan.

"Taruma."

"Paman tidak usah khawatir, saya hanya ingin menyapanya saja,"

Sela Taruma kemudian keluar dari kedai diikuti pandangan cemas orang tua pemilik kedai tersebut, tepat di saat lelaki berbadan kekar dengan cambang bawuk liar di wajahnya itu melayangkan tendangannya kembali.

Buukk! Lelaki berwajah sangar itu meringis kemudian merasakan tubuhnya terbanting keras di atas tanah.

"Kurang ajar, siapa kau ikut campur urusan kami, pejuang kemerdekaan Tarumanagara."

"Pejuang kemerdekaan kok memeras rakyat, pejuang macam apa kalian."

"Jaga bicara mu anak muda, kau tidak tahu kami anak buah Sempani,"

"Terserah, kau anak buah Raja sekali pun saya tidak peduli."

"Keparat, beri pelajaran cecunguk ini!"

Sentak lelaki sangar tersebut diikuti melesatnya empat orang anak buahnya yang dengan beringas menyerang Taruma.

Empat serangan golok melesat bersamaan, mengarah epat titik mematikan di tubuh Taruma namun dengan acuh pemuda tersebut geser sedikit badannya ke samping kiri, empat ujung golok saling beradu saat itulah sebuah tendangan menyilang melanda ke empat nya sebelum sadar apa yang terjadi golok-golok itu telah mental entah kemana saat itulah sebuah tendangan melingkar merobohkan ke empat penyerangnya.

"Kau tunggu pembalasan kami,"

Sela orang bertampang sangar kemudian berlalu diikuti ke empat anak buahnya.

"Kau tidak apa-apa pak tua?"

Tanya Taruma sembari membantu pedagang itu bangun.

"Terimakasih anak muda,"

"Sama-sama, kita sesame pedagang harus saling membantu."

"Oh ya, nama saya Razep Govinda, siapakah kau ini, anak muda?"

"Nama saya Taruma pak tua,"

"Taruma,"

Sela pedagang itu matanya menerawang sesaat seakan menembus ruang dan waktu yang telah lewat.

"Ada apa pak tua?"

"Ah, tidak. Saya hanya ingat kenangan masa lalu saja."

"Pak tua tinggal dimana?"

"Saya tinggal dimana saja anak muda, mengembara sambil berdagang."

"Baiklah pak tua, saya mau pulang kalau ada waktu datanglah ke lereng gunung salak sebelah utara di sana tempat saya tinggal."

"Baik anak muda.

"

Ujar orang tua itu kemudian berlalu meningalkan Taruma yang juga hendak meninggalkan pasar Gelino kembali ke lereng Salak,namun langkahnya terhenti begitu dua sosok tubuh kini telah mengadangnya, sosok pertama seorang dara bermata sipit berpakaian terusan merah kembang- kembang, rambutnya yang panjang digelung kecil di kanan dan kiri, sebilah gagang pedang menyembul dari bahu kirinya, sedang sosok ke dua adalah seorang lelakiGeger Tarumanagara berwajah pucat memakai baju Hanbox, setelan baju ala Tiongkok warna hitam, seutas rantai baja melingkar di bahu kanannya.

"Siapa kalian, mengapa menghadang langkah saya?"

"Wo terkesan dangan ilmu silat ni, perkenalkan wo Chao-Xing dan disebelah wo si Bisu."

"Saya Taruma,"

"Jika kita sesama pedagang bersatu para pengacau pasar itu tidak akan macam-macam lagi."

"Benar nona, maap saya harus pulang,"

"Baiklah, sampai bertemu kembali kami pun akan pulang dagangan kami sudah habis,"

"Silahkan."

Ke tiganya saling menjura memberi penghormatan kemudian berlalu meninggalkan pasar Gelino yang mulai sepi seiring rembang petang melingkupi perkampungan di bawah kaki gunung Salak. ** "Kau bertemu dengan siapa di pasar Gelino, Taruma?"

"Anak buah Sempani yang mengaku pejuang kemerdekaan Tarumanagara, paman."

"Sempani."

"Paman Udayana mengenalnya?"

"Saya kenal ke dua orang tuanya.

"

"Oh ya."

"Ke dua orang tua Sempani adalah murid-murid eyang Jalatunda. Selain itu, siapa lagi yang kau temui"

"Dua orang pedagang, mungkin dari negeri jauh."

Udayana tampak menerik napas dalam dan menghembuskannya dengan pelan.

"Taruma, kau sudah mempelajari seluruh isi kitab eyang Jalatunda tapi ada satu lagi ritual untuk menyempurnakan ajian Banyu Lentis itu,"

"Apakah itu paman?"

"Kau harus puasa, bersemadi selama tujuh hari tujuh malam di bawah guyurn air terjun curuk Cibeureum, apakah kau sanggup Taruma?"

"Saya sanggup paman."

"Baiklah, besok ritual itu harus kau lakukan."

"Apakah itu berarti sudah waktunya kita kembali ke Tarumanagara?"

"Itu tergantung hasil pencapaian ilmu mu, Taruma."

"Baik paman Udayana."

Orang tua berselempang sarung dengan ikat kepala batik berwarna hijau itu berlalu meningalkan Taruma, sedang suasana malam semakin larut tapi pikiran pemuda gagah itu malah mengembara kemana- mana, satu raut wajah timbul tenggelam dalam benak Taruma.

"Niluh Arundaya, bagaimana keadaan dia sekarang. Kalau dia masih hidup kini usianya sekitar dua puluh satu tahun, satu tahun di bawah usia saya,"

Gumam Taruma sembari memandangi kotak hitam pemberian gadis itu disaat masih kanak-kanak.

"Tentunya dia kini menjelma menjadi seorang gadis cantik, ah, saya kangen sekali denganya, ah, bagaimana ini, kenapa jantung saya berdegup kencang, ahh."

Dini hari, pemuda gagah itu baru dapat memejamkan matanya.

** Pagi-pagi sekali Chao-Xing dan Iblis Bisu sudah sampai di pasar Gelino, ke duanya mencari tempat berjualan agak ke tengah pasar dimana kemarin dirinya bertemu dengan Taruma yang menolong seorang pedagang dari anak buah Sempani, matahari mulai meninggi namun orang yang ditunggunya tak kunjung datang.

"Iblis Bisu, kenapa Taruma belum datang juga ya?"Geger Tarumanagara Yang ditanya tampak mengangkat bahu terus menggelar dagangannya berupa rempah-rempah, kebutuham dapur, dan pelbagai obat dari daun, akar, kulit pohon kayu yang sudah dikeringkan.

"Apakah hari ini Taruma tidak berdagang ya,"

Iblis Bisu tampak menggelengkan kepala berkali- kali kemudian memberikan beberapa gerak isyarat pada Chao-Xing membuat dara ayu yang mulai tumbuh dewasa itu menampakkan wajah masamnya, Iblis Bisu hanya tersenyum saja melihat tingkah laku keponakan majikannya itu.

"Ni diam di sini bisu, wo akan menanyakan Taruma pada pemilik kedai itu,"

Kata Chao-Xing sambil berlalu meninggalkan Iblis Bisu yang mulai melayani para pembeli. Chao-Xing ingat, kemarin Taruma muncul dari dalam kedai kemudian menolong seorang pedagang dari sikap bengis anak buah Sempani.

"Silahkan-silahkan nona, mau pesan apa?"

"Nasi pepes ikan dan satu kendi wedang jahe."

"Baik nona, tunggu sebentar."

Pemilik kedai itu langsung membuatkan pesanan Chao-Xing, setelah makan gadis itu mulai menanyakan prihal Taruma pada pemilik kedai.

"Hemm, boleh tanya paman?"

"Oh silahkan."

"Paman kenal dengan Taruma?"

"Oh ya, tumben biasanya pemuda itu sudah datang dan menggelar dagangannya di bawah pohon mahoni itu, tapi kenapa hari ini belum datang ya."

"Paman tahu dimana rumahnya?"

"Lereng gunung Salak, nona."

"Di sebelah mananya paman?"

"Kalau hal itu, paman tidak tahu, Taruma hanya memberi tahu asal dia dari lereng gunung Salak saja."

"Baiklah paman, terimakasih untuk makanannya."

"Sama-sama nona,"

Chao-Xing hanya tersenyum, setelah membayar gadis itu kembali ke tempat dagangannya dimana Iblis Bisu mulai sibuk melayani para pembeli, Iblis Bisu menayakan sesuatu lewat bahasa isyatar pada Chao- Xing, gadis manis itu hanya mengangkat bahu dengan memperlihatkan wajah masamnya.

Hampir tiap hari Chao-Xing menjajakan dagangan di tempat biasa Taruma berdagang, namun sampai genap satu purnama keberadan pemuda gagah yang menarik perhatiannya itu tak kunjung datang, seakan pemuda itu hilang begitu saja ditelan bumi.

Sejatinya, keberadaan Chao-Xing dan Iblis Bisu di desa Gelino adalah dalam rangka menjalankan tugas rahasia yang diberikan sinse Li Sizen untuk menyelidiki keberadaan markas gerombolan Sempani, berbulan- bulan mereka mengembara keluar kampung masuk kampung sambil menyamar jadi pedagang dan di bulan ke tujuh penyelidikan mereka akhirnya membuahkan hasil, di kaki gunung Salak di sebuah desa bernama Gelino mereka menemukan informasi tentang keberadaan gerombolan Sempani.

"Besok kita kembali ke Tarumanagara, bisu."
Geger Tarumanegara Karya Kusyoto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Iblis Bisu tampak bertanya menggunakan bahasa isyarat.

"Taruma, eh maksud wo kita sudah mendapatkan petunjuk dimana markas Sempani."

Lelaki muka pucat itu hanya mengangguk pelan, sebenarnya Iblis Bisu tahu keponakan majikannya itu mulai putus asa menunggu Taruma yang sampai sekarang tidak ada khabar beritanya.

Sejatinya Iblis Bisu begitu menyayangi Chao-Xing, ketika pertama kali bertemu, ketika gadis manis itu begitu telaten merawat dirinya dalam keadaan pingsan selama tiga hari karena dikeroyok tiga orang temannya sendiri dikarenakan lebih memilih bergabung dengan sinse Li Sizen.

Rasa sayang Iblis Bisu pada Chao-Xing hanya disimpannya dalam hati paling dalam, lelaki muka pucatGeger Tarumanagara itu sudah cukup bahagia dengan kebersamaannya selama ini, dia tidak pernah mengharapkan cintanya terbalas, dia cukup bersyukur dapat mendampingi gadis yang dicintainya itu dengan diam, mengaguminya dengan diam, dan mencintainya dengan diam.

Sebuah ketulusan cinta murni yang terlahir dari hati seorang lelaki dengan reputasi buruk di masa lalunya.

Masa kanak-kanak Iblis Bisu penuh dinamika, dia terlahir bernama Wulung Pujud dari seorang emban, abdi dalem pada masa pemerintahan Prabu Purnawarman, ayah dan ibunya merupakan orang-orang kepercayaan Mangkubumi Cakrawarman, paman dari prabu Purnawarman.

Kala Cakrawarman melakukan kudeta terhadap Takhta keponakannya dan ahirnya tewas, jasad Mangkubumi Kerajaan Tarumanagara itu sangat dirahasiakan keberadaannya, orang-orang yang terlibat dalam proses kremasi dibantai habis tanpa sisa, pun dengan ke dua orang tua Wulung pujud kecil, namun disaat beberapa prajurit yang diperintahkan membunuhnya entah kenapa menjadi iba, tapi demi menjaga kerahasiaan terpaksa salah seorang prajurit memotong lidah Wulung Pujud kecil.

Anak kecil itu lantas ditempatkan pada sebuah penjara bawah tanah, tangan dan kakinya dirantai, puluhan tahun disaat Wulung Pujud tumbuh menjadi seorang remaja dia mampu meloloskan diri dari penjara bawah tanah tersebut dan dengan rantai baja yang selama itu membelengunya justru menjadi senjata mematikan, beberapa penjaga penjara tewas ditangannya.

Wulung Pujud remaja mengembara tak tentu arah dan tujuan, kesamaan nasib mempertemukan dirinya dengan kelompok Nyai Tenung Ireng Cs menjadi pendekar bayaran.

"Ayo bisu, kita pulang,"

Sergah Chao-Xing membuat lelaki muka pucat itu tersentak dari lamunanya.

Ke duanya lantas membereskan dagangan kemudian berlalu meninggalkan pasar desa Gelino yang mulai ramai.

** Matahari semburat diantara punggung perbukitan Salak, hembusan angin selatan menggoyang tanaman perdu yang banyak tumbuh di dinding tebing air terjun dengan keras, bergoyang-goyang terus menerus diterpa angin yang berasal dari guyuran air yang jatuh menimpa satu sosok pemuda gagah yang tampak duduk bersila di bawah guyuran air terjun curuk Cibeureum, pemuda gagah itu tak lain dari Taruma yang selama satu pekan tengah merampungkan sebuah ilmu kedigjayaan.

"Taruma, cukup!"

"Ciaattt, hup.!"

Dalam sekali hentak, tubuh Taruma tampak melayang cepat ke atas bersalto beberapa kali di udara kemudian hinggap di tepi sungai air terjun dengan ringan.

"Bagaimana paman Udayana, saya berhasil bukan?"

"Kau hebat Taruma, Tujuh hari tujuh malam tanpa makan dan tanpa minum bertapa di air terjun, diterjang air terjun tanpa henti, tapi badanmu tetap segar bugar bahkan aku lihat tenaga mu berlipat ganda."

"Jadi, apakah saya sudah berhasil menguasai ajian Banyu Lentis?"

"Yah, tapi untuk membuktikannya kau harus menerobos air terjun itu kemudian berbalik lagi keluar,"

"Baik, paman Udayana, edaaaa!"

Secepat kilat Taruma melompat dan menerobos air terjun, tubuhnya lenyap di balik air terjun kemudian berbalik lagi menjejak pinggiran sungai air terjun dengan ringan.

"Hebat sekali anak ini,"

Membhatin Udayana.

"Saya berhasil bukan?"Geger Tarumanagara "Yah, kau berhasil Taruma, menerobos guyuran air terjun curuk Cibeurem itu tanpa mengalami kegoncangan sedikit pun, begitupun sebaliknya ketika kau berbalik lagi semuanya berhasil dengan sempurna."

"Terimakasih paman Udayana."

"Yah, marilah kita pulang, kau harus makan Taruma."

"Baik paman Udayana."

Ke duanya lantas meninggalkan tepian air terjun Curuk Cibeurem menuju pondok yang berada di atas sebuah bukit, rembang petang mulai melingkupi kawasan lereng Salak, hembusan angin terasa dingin kabut mulai turun.

"Bagaimana sekarang keadaan tubuh mu?"

"Semangkok bubur beras putih, segelas air gula aren membuat tubuh saya terasa segar, tidak berbekas rasa letih dan penat selama berpuasa tujuh hari tujuh malam."

"Hemm, kau memiliki dasar tubuh yang kuat sehingga kau mempunyai daya tahan yang tegar terhadap tempaan alam, dan itu semua mendukug bhatin mu sekuat baja, sebab memang begitulah hubungan jasmani dan rohani, bila jasmani kuat maka rohani pun ikut kuat pula, tapi sebaliknya jika jasmani lemah maka rohani pun ikut lemah."

"Iya paman."

"Nah, itulah makanya kita sering menjumpai orang yang sakit tanpa di obati sembuh sendiri, mengapa demikan sebab orang itu memiliki rohani yang kuat, dengan rohaninya orang itu mampu menyebuhkan penyakit Jasmaninya."

"Betul paman."

"Kau sekarang sudah menguasai ajian Banyu Lentis, maka semua ilmu yang berada di dalam kitab ini sudah kau kuasai, jadi kau sudah selesai mempelajari ilmu kedigjayaan."

"Tapi paman Udayana, rasanya ada sesuatu yang ganjil,"

"Oh ya, apa itu?"

"Eyang Jalatunda yang menyusun kitab ini konon merupakan seorang tokoh yang sakti, tapi rasanya kitab yang saya pelajari ini merupakan ilmu kedigjayaan tingkat menengah, dan bukan ilmu pamungkas."

"Hehehe, kau peka Taruma, otak mu cerdas."

"Sebab begini paman, eyang Jalatunda merupakan guru besar para kesatria Tarumanagara, hampir semua jawara di bumi Taruma berguru pada beliau sebab ditatar di wilayah kulon, eyang Jalatunda tidak ada bandingannya akan tetapi kitab ciptaan beliau yang saya pelajari ini merupakan tingkat menengah, jadi saya pikir seorang tokoh seprti beliau pasti masih menyimpan kitab-kitab yang lain yang tingkatannya lebih tinggi."

"Kau benar Taruma, eyang Jalatunda ilmunya terlalu banyak juga membuat beberapa kitab , tapi karena beliau sudah wafat maka kumpulan kitab-kitab beliau cerai berai, meski dapat dipastikan kumpulan kitab-kitab itu dipegang oleh beberapa murid-muridnya yang tersebar dimana-mana, tapi aku tidak tahu siapa- siapa saja muridnya, sebab aku bukan murid beliau."

"Mengapa paman tidak menjadi murid eyang Jalatunda?"

"Hehehe, aku bukan manusia yang gemar mempelajari ilmu kedigjayaan, aku lebih tertarik ilmu tata Negara sehingga sedikit sekai pengetahuan ku tentang ilmu kedigjayaan, tapi aku bernasib baik, ketika Senapati Benanda sebelum gugur sempat menyerahkan kitab Jalatunda itu pada ku, sehingga aku bisa memberikan kitab itu kepada mu untuk kau pelajari, meskipun baru tingkat menengah tapi ya cukuplah sebagai bekal diri mu untuk menjaga diri dari segala mara bahaya."Geger Tarumanagara "Ahh, apakah itu berarti saya dapat menjumpai ayahanda dan ibunda di ibukota Tarumanagara?"

"Iyah, betul."

"Ahh, betapa bahagianya, betapa rindunya saya ingin melihat wajah ayahanda dan ibunda."

"Apakah kau masih ingat pada wajah ayah dan ibu mu?"

"Lupa-lupa ingat, paman."

"Hehehe,bisa dipahami, sebab ketika kau berpisah dengan ayah dan ibumu umurmu baru lima tahun."

"Hem, sekarang umur saya dua puluh dua tahun, berarti tujuh belas tahun saya tidak berjumpa dengan ayahanda dan ibunda, apakah mereka masih berada di Kerajaan Tarumanagara?"

"Nah, itulah yang aku ragukan, sebab akupun sama seperti mu, tujuh belas tahun aku tidak berjumpa dengan ke dua orang tua mu, dimana ibumu adalah kakak kandung ku."

"Kita dapat bertanya pada orang-orang penduduk ibukota Tarumanagara paman, pasti diantara mereka ada yang tahu."

"Yah kau betul Taruma, tapi ada sesuatu yang maha penting."

"Apa itu paman?"

"Ah, begini Taruma. waktu kita berpisah dengan ke dua orang tua mu, ibu mu sedang hamil tua jadi kalau anak itu lahir dengan selamat tentulah dia sudah besar, umurnya tujuh belas tahun, kalau dia laki-laki tentu dia akan gagah seperti mu, dan kalau dia perempuan tentulah menjadi seorang gadis yang cantik seperti ibu mu."

"Ohh, saya punya adik, oh, betapa bahagianya bergurau, bermain, bercengkrama dengan adik saya baik dia perempuan atau laki-laki saya akan menyayanginya dengan sepenuh hati."

"Kau pasti ingat dengan Niluh Arundaya, anak perempuan mendiang senapati Benanda itu kan."

"Ah paman,"

"Tidak usah malu, kau meridukannya Taruma?"

"I.., iya paman, bagaimana keadaan Niluh Arundaya sekarang?"

Sebelum menjawab pertanyaan Taruma, Udayana tampak menyilangkan telunjuk pada bibirnya.

"Ada apa paman?"

Bisik Taruma.

"Tidak usah sembunyi kisanak, keluarlah!"

Pertanyaan Taruma terjawab dengan munculnya satu sosok dari balik pepohonan.

"Pak tua."

"Kau mengenalnya Taruma?"

"Belia bernama Razep Govinda, pedagang dari desa Gelino, paman."

"Oh, marilah kisanak duduk bersama kami."

"Terimakasih, sekali lagi saya ucapkan telah menolong saya dari anak buah Sempani."

"Ah, sudahlah pak tua."

"Maap, saya telah mencuri dengar pembicaraan kalian tentang Kota Raja Tarumanagara,"

Ujar orang tua ini pelan.

"Kisanak pernah ke Kota Raja Tarumanagara?"

"Sebenarnya, saya dulu adalah tukang cukur Kerajaan,"

Maka, tanpa diminta dua kali orang tua yang ternyata Razep Govinda, tukang cukur Kerajaan itu menceritakan semua kisahnya tentang peristiwa jatuhnya Kerajaan Tarumanagara.

[]Geger Tarumanagara Semburat Fajar Harapan Suasana masih berkabut, hembusan angin dingin terasa mencucuk persendian, dalam keheningan malam menjelang dini hari itu satu sesosok bayangan tampak mengendap-endap meninggalkan bilik peraduan Raja, sosok itu tidak menyadari ada dua sosok lain yang sedari tadi mengintai gerak-geriknya, begitu sampai di luar pintu gerbang selatan pada sebuah hutan kecil barulah sosok ini tercekat, dua orang telah berdiri di hadapannya.

"Emban dalem, kau tidak usah kaget begitu."

"Oh, tuan, tuan Rahardian Tarusbawa, saya kira siapa,"

"Emban dalem dini hari begini kau mau kemana?"

"Saya mau menemui seorang kerabat tuan Yuda Karna."

"Apakah kerabat mu, sinse Li?"

"Saya, saya."

"Sudahlah emban dalem, kau tidak usah banyak alasan, kami sudah tahu semua tentang diri mu."

"Ampunkan saya, tuan Rahardian,"

Ujar wanita paruh baya itu sembari menjatuhkan diri ke tanah.

"Kau akan aku ampuni jika mau jujur terhadap ku, katakana semua hal tentang sinse Li Sizen,"

Tandas Rahardian Tarusbawa. Emban dalem tercekat, wanita paruh baya pemimpin para emban Istana itu membisu beberapa lama.

"Sudahlah tuan Rahardian, kita bereskan saja percuma bicara dengan penghianat ini,"

Geger Tarumanegara Karya Kusyoto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sela telik sandi Yuda Karna sambil mencabut bilah pedang.

"Ampun tuan, ampun. Baik, baik saya akan bicara."

"Bagus, katakana semua yang kau ketahui dengan jujur."

"Iya tuan, sebenarnya.."

Sttttt.! Tranggg! Sebilah pisau terbang mental dan menancap di sebatang pohon begitu telik sandi Yuda Karna kibaskan pedang yang masih tergenggam di tangannya memapasi laju pisau yang akan menembus jantung embam dalem.

"Ada apa Yuda Karna?"

"Tuan Rahardian teruskan saja, saya ada urusan sedikit dengan pemilik pisau itu,"

Tandas telik sandi Yuda Karna, kemudian tubuhnya melesat menembus angin mengejar satu sosok bayangan hitam yang berkelebat diantara pucuk-pucuk pohon.

Pada sebuah aliran sungai, ke dua bayangan yang saling kejar-mengejar itu hentikan lari, ke duanya tampak berdiri kokoh pasang kuda-kuda dengan memegang senjata masing-masing.

Telik sandi Yuda Karna silangkan pedang di depan dada, sedang lawannya merentangkan ke dua tangan dengan dua pisau terselip di tangan kanan dan kirinya.

"Yuda Karna, katakan siapa murid ke tujuh eyang Jalatunda?"

"Kau ini aneh Pisau Terbang, bukankah kau tahu murid ke tujuh eyang Jalatunda itu mendiang Senapati Benanda."

"Jawaban yang salah, kau bicaralah dengan pisau-pisau ku ini,"

Tandas Pisau Terbang kemudian menghambur ke depan menyerang bagian-bagian mematikan telik sandi Yuda Karna, duel maut pun pecah dengan sengitnya di pinggir aliran sungai.

Dengan ganas, Pisau Terbang peragakan jurus swastika kembar, alur panjang tercipta dari sayatan mendatar kemudian disusul sabetan menyilang atasGeger Tarumanagara bawah kiri dan kanan secara beruntun, namun lawannya kali ini adalah telik sandi Yuda Karna, seorang pendekar mumpuni yang sejatinya adalah saudara seperguruannya sendiri, sayang perbedaan prinsip memaksa mereka harus memiih dimana kaki berpijak.

Duel antara pendekar itu sudah berlangsung seratus jurus, namun belum ada tanda-tanda siapa pemenang dan siapa pecundang, ke duanya sama-sama tangguh sama-sama digjaya sebab tanpa mereka sadari sejatinya ke duanya megandalkan jurus yang sama-sama bersumber dari kitab pusaka Jalatunda, hingga satu ketika, sebuah dentuman keras terdengar memekakan telinga memaksa tubuh ke duanya surut beberapa tindak ke belakang begitu suasana kembali tenang diantara Pisau Terbang dan telik sandi Yuda Karna berdiri dengan gagah satu sosok samar berjubah putih berwajah jernih dengan janggut dan kumis berwarna senada, dialah sosok astral, sosok gaib eyang Jalatunda, guru besar para kesatria Tarumanagara.

"Eyang Jalatunda,"

Ujar telik sandi Yuda Karna dan Pisau Terbang berbarengan, ke duanya lantas merangkapkan ke dua telapak tangan di depan dada sambil menundukan kepala.

"Kitab yang saya tulis ternyata membawa petaka,"

Kata sosok astral Eyang Jalatunda, dan entah dari mana datangnya tujuh buah kitab tampak berputar-putar mengelilingi sosok astral tersebut.

"Dunia persilatan tahan Jawa akan terus berguncang, sayang sekali, sayang sekali,"

Gumam sosok astral Eyang Jalatunda sambil memandang ke dua muridnya dengan hati masgul.

"Tandang Kaweruh, saya lah yang meminta gusti Prabu Linggawarman mengangkat Yuda Karna sebagai senapati jaba, bukan atas kehendaknya dan bukan maksud dia menghalangi tujuan mu,"

"Maapkan saya, eyang Jalatunda,"

Gumam Pisau Terbang.

"Untuk kebaikan semua, seluruh kitab ini akan saya musnahkan,"

Seiring dengan ucapannya tujuh buah kitab yang masih melayang-layang mengelilingi sosok astral eyang Jalatunda itu secara serentak terbakar menjadi abu kemudian hilang tertiup angin berbarengan dengan hilangnya sosok astral eyang Jalatunda.

Sementara itu di lereng gunung Salak dalam waktu yang bersamaan, kitab eyang Jalatunda yang sedang dipegang Udayana perlahan menciut disusul letupan kecil terdengar berbarengan dengan hancurnya kitab pusaka itu menjadi debu.

"Apa yang terjadi paman Udayana?"

"Taruma, eyang Jalatunda sepertinya sudah memusnahkan seluruh kitab pusaka yang ditulisnya."

"Sayang sekali, paman Udayana."

"Tapi setidaknya, kau sudah menuntaskan salah satu isi kitab pusaka eyang Jalatunda, Taruma."

"Iya, paman."

"Nah, sepertinya kita pun harus melakukan perjalanan pulang ke Tarumanagara."

"Lalu bagaimana dengan pak tua Razep Govinda, paman?"

"Biarlah dia tetap tinggal di sini, sebab aku memiliki pirasat satu ketika tenaganya akan diperlukan."

"Baik, paman Udayana."

"Besok pagi-pagi sekali kita akan kembali ke Tarumanagara."

"Ah, alangkah bahagianya saya paman."

"Tidurlah lebih awal Taruma, perjalanan besok mungkin membutuhkan tenaga lebih."

"Baik paman Udayana,"

Lelaki paruh baya itu hanya tersenyum, kemudian berlalu meninggalkan Taruma yang masih tercenung di pinggir amben, perlahan pemuda gagah itu rebahkan tubuhnya yang penat, bukanya langsung tidur justru pikirannya melayang ke mana-mana, satu wajah ayu menari-nari di benaknya.Geger Tarumanagara "Niluh Arundaya,"

Gumam pemuda ini sambil memandang langit-langit bilik, dini hari baru Taruma terlelap dengan mimpi-mimpi indah tentang Niluh Arundaya, sahabat masa kecil yang sangat dirindukannya.

** Pagi nan cerah, matahari bersinar lembut dihiasi mega-mega putih, hembusan angin menyibak pepohonan yang banyak tumbuh disekitar halaman rumah yang asri tersebut, di belakang rumah diantara rindangnya pohon- pohon bambu dua sosok tubuh berkelebat ke sana-ke mari dengan lincah, seorang gadis manis dengan tatapan mata setajam elang tengah bertarung dengan lelaki paruh baya telanjang dada mengunakan bilah pedang yang berkilat-kilat diterpa sinar mentari pagi, satu ketika pedang gadis manis itu mampu mendesak lawannya hingga pedang lawan mental entah kemana.

"Bagaimana ayah?"

"Ah, kau hebat Arimbi, ayah menyerah, kau sanggup membabat pedang ayah hingga terlepas dan terlempar jauh sekali,"

"Soalnya ayah sudah capek, napas ayah sudah megap-megap jadi tangan ayah sudah tidak tegar lagi dalam menggenggam pedang, maka dari itu saya mencurahkan perhatian untuk membenturkan pedang saya kepada pedang ayah dengan telak, dengan tujuan agar pedang ayah terlepas dari tangan ayah."

"Hehehe, kau benar Arimbi, kau dapat dengan cepat mengetahui turunnya daya tahan lawan mu."

"Iya ayah."

Dari dalam rumah muncul seorang perempuan paruh baya dengan baju terusan panjang, perempuan itu tersenyum melihat Arimbi dan suaminya yang sedang berlatih ilmu kanuragan.

"Ayo sudah siang, latihannya sudah, makan dulu."

"Iya ibu,"

Sela gadis manis itu kemudian bergegas menemui ibunya yang masih berdiri di depan pintu.

"Nah, Arimbi, sana mandi dan ganti pakaian, lalu kita makan bersama."

"Baik ibu,"

Sela Arimbi kemudian tubuhnya melesat ke belakang rumah dimana sebuah pancuran berada.

"Arimbi, anak kita itu benar-benar mewarisi sifat mu kanda, gemar mempelajari ilmu kadigjayaan."

"Hehehe, sayang kesibukan saya sebagai pejabat tinggi Keraton membuat saya tidak punya waktu banyak untuk mempelajari ilmu kedigjayaan tingkat tinggi, saya hanya bisa menurunkan ilmu silat tangan kosong dan ilmu permainan pedang pada Arimbi, padahal bakatnya sangat besar untuk menjadi seorang pendekar yang tangguh."

"Bagi seorang gadis seperti Arimbi, saya rasa sudah cukup dengan memiliki ilmu kadigjayaan dalam tingkatan seperti itu, untuk menjaga dirinya kanda."

"Kemarin sore dia pernah berkata pada saya, katanya ingin mengembara, merantau mencari seorang guru yang hebat, nah bagaimana menurut pendapat dinda?"

"Ahh, tentu saya keberatan kanda, sebab dia seorang perempuan lagi pula dia anak perempuan satu- satunya, kalau dia pergi tentu saya kesepian."

"Heemm, bukankah kita masih punya seorang anak, anak laki-laki yang bernama Udaka."

"Memang benar kanda, akan tetapi kita sekarang tidak tahu dimana keberadaan anak laki-laki kita itu, bahkan apakah dia masih hidup atau."

"Dinda, janganlah berkata demikian saya yakin anak kita masih hidup, bahkan kita akan segera bertemu dengan dia, sebab tentu dia akan mencari kita."

"Ahh, tentunya dia sekarang sudah menjadi seorang pemuda gagah dan tampan seperti kau kanda,"Geger Tarumanagara "Iyah, dan sudah saatnya kita mengatakan semuanya pada Arimbi, sebab sekarang dia sudah besar sudah bisa menerima hempasan bhatin yang berat sekalipun,"

"Iyah, kanada, tapi yang saya cemaskan bagaimana kalau dia akan pergi mencari kakaknya, sebab kita sudah tahu kanda watak Arimbi yang sangat keras."

"Hemm, ataukah lebih baik kita kirim dulu kepada Bilawa di padepokan Ciampea."

"Ehh, maksud kanda?? "Keinginannya untuk merantau dan memperdalam ilmu kedigjayaan sangat besar di hatinya, nah kita katakana saja untuk tahap pertama dia boleh belajar pada seorang guru, yaitu Bilawa ketua padepokan Ciampea, setelah lulus baru diperbolehkan mengebara mencari guru lain yang lebih hebat, nah dengan begitu untuk semantara waktu kita bisa menahan Arimbi untuk pergi mengembara, sambil menunggu kedatangan Udaka anak kita."

"Saya setuju dengan pendapat kanda, mudah- mudahan selagi Arimbi belajar di padepokan Ciampea, anak kita Udaka datang."

"Iya dinda,"

Saat itulah Arimbi masuk dan bergabung dengan ayah dan ibunya, sang ayah langsung megutarakan maksudnya mengirim Arimbi ke padepokan Ciampea.

"Ayah terimakasih ayah, ibu. Ayah dan ibu mengizinkan saya menambah ilmu kedigjayaan di luar lingkungan keraton,"

"Ayah akan menyerahkan kau pada Bilawa, besok pagi kau berangkat,"

"Terimakasih ayah,"

"Dan muai besok kau berada pada pengawasan Bilawa,jadi yang memberi izin kau untuk mengembara mengelilingi jagat raya bukan ayah, tapi Bilawa. Sebab dialah yang dapat menilai apakah kau sudah pantas disebut sebagai seorang pendekar atau belum.

"

"Iya, ayah. Apakah Bilawa itu sudah tua?"

"Masih muda, umurnya baru tiga puluh tahun."

"Kok masih muda, biasanya seorang ketua padepokan tentulah orang yang sudah tua, sebab dialah yang menjadi guru besar di padepokan itu."

"Bilawa menjadi ketua padepokan Ciampea, karena dialah ahli waris padepokan itu.

"

"Kalau begitu pendiri padepokan Ciampea itu bukan Bilawa?"

"Benar, yang mendirikan padepokan Ciampea adalah Perkutut Kapimonda,"

"Perkutut Kapimonda, ahh bagus sekali namanya,"

"Dia seorang tokoh yang amat sakti, seorang Senapati Tarumanagara yang gagah perkasa, dialah murid ke satu eyang Jalatunda, sedang Bilawa adalah murid ke satu Perkutut Kapimonda."

"Oh ya, ayah pernah bercerita bahwa eyang Jalatunda meninggal karena usia tua, lalu murid utamanya Perkutut Kapimonda meninggalnya karena apa?"

"Yahh, beliau gugur waktu bertarung dengan Panglima tentara Kerajaan Sriwijaya.? "Wahh, betapa hebat Panglima perang kerajaan Sriwijaya itu, dan tentu memiliki ilmu kedigjayaan yang sangat tinggi sehingga dapat mengalahkan Senapati Perkutut Kapimonda,"

"Para pemimpin angkatan perang Sriwijaya memang rata-rata memiliki ilmu kedigjayaan tinggi, Arimbi, itulah mengapa Kerajaan kita ini kerajaan Tarumanagara berhasil ditaklukan oleh Sriwijaya."

"Jadi sekarang kerajaan Tarumanagara ini menjadi jajahan kerajaan Sriwijaya bukan."

"Benar, Arimbi."Geger Tarumanagara "Lalu kenapa ayah sebagai orang Tarumanagara asli mau bekerja sama dengan bangsa Sriwijaya?"

"Ah, maksud mu?"
Geger Tarumanegara Karya Kusyoto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Ayah, bukankah kita bangsa Tarumanagara?"

"Benar,"

"Kenapa kita menjadi orang Keraton, bahkan ayah mempunyai jabatan tinggi, mentri kanuruhan, nah apakah dulu ketika bala tentara Sriwijaya menyerbu Kerajaan Taruamanagara ayah membantu bala tentara Sriwijaya?"

"Ohh, tidak begitu anakku, angkatan perang Sriwijaya menyerbu Tarumanagara bukan dengan maksud untuk menindas atau menghancurkan Tarumanagara, melainkan sekadar minta pengakuan."

"Pengakuan apa ayah?"

"Pengakuan bahwa Kerajaan Tarumanagara bersedia tunduk kepada Kerajaan Sriwijaya, hanya itu."

"Tadinya tidak mau tunduk?"

"Iyahh, Kerajaan kita ini Kerajaan Tarumanagara tidak mau tunduk kepada kerajaan Sriwijaya, padahal kerajaan dari semua semenanjung utara Malaka sampai semananjung selatan bumi Swarna sudah tunduk, seperti Kerajaan Kedah, Kerajaan Minang Natamuan, Kerajaan Melayu, Kerajaan Bangka, dan Kerajaan Tulang Bawang bahkan sampai jauh ke Ligor di Siam."

"Wahh, luas sekali jajahan wilayah kerajaan Sriwijaya itu,"

"Yah, hanya kerajaan Tarumanagara yang tidak mau tunduk, maka tujuh belas tahun yang lalu yaitu pada tahun 686 kerajaan Tarumanagara diserbu oleh angkatan perang Sriwijaya dan Kerajaan Tarumanagara runtuh, maka sejak itu Kerajaan Tarumanagara ini menjadi jajahan Kerajaan Sriwijaya."

"Hemm, iyayah, begitu rupanya."

Obrolan antara Arimbi dan ayahnya terhenti begitu seorang gadis cantik bermata sipit mamakai baju terusan warna merah kembang-kembang didampingi seorang lelaki berwajah pucat datang bertamu.

"Bibi Chao-Xing."

"Arimbi,"

"Kau dari mana saja bibi Chao-xing?"

"Biasa Arimbi, mencari rempah-rempah untuk ramuan obat."

"Ahhh, kalian rupanya, silahkan dilanjut saja, saya mau masuk sebentar,"

Sela Rakeyan Kanuruhan Rajendra.

"Silahkan tuan Rakeyan."

Rakeyan Kanuruhan Rajendra mengangguk kemudian berlalu meninggalkan Arimbi dan Chao-Xing juga Iblis Bisu di pendopo.

"Bibi Chao-Xing, besok pagi saya mau ke padepokan Ciampea."

"Ni mau apa ke sana Arimbi?"

"Saya mau berguru di padepokan itu."

"Boleh kami ikut?"

"Bibi juga mau berguru?"

"Tidak, hanya mengawal ni saja, Arimbi."

"Baiklah." ** Ke esokan harinya, diiringi beberapa pengawal, Chao-Xing dan Iblis Bisu, Arimbi bersiap menuju padepokan Ciampea.

"Ayah, ibu saya berangkat."

"Anakku Arimbi, hati-hati lah, sesuaikan lah dirimu dengan keadaan di padepokan Ciampea, jaga polah mu sebagai putri bangsawan, hendaknya tidak menjadi penghalang bagi mu di tempat yang baru di lingkungan masyarakat biasa,"

"Iya ibu, saya tidak akan manja, tidak akan melawan sama guru, tidak akan egois, saya akan patuh kepada semua peraturan di padepokan."

"Iyah, Arimbi, sebulan se kali pulanglah ke rumah sebab ibu tentu akan kesepian tanpa mu,"Geger Tarumanagara "Iya ibu."

"Nona Chao-Xing dan kau Iblis Bisu, kami titipkan Arimbi pada kalian."

"Baik, tuan Rakeyan,"

Jawab Chao-Xing dan anggukan hormat Iblis Bisu.

"Nah, berangkatlah anak ku, sang maha pengatur jagat hyang widhi bersama mu."

"Baik, ibu ayah selamat tinggal."

"Selamat jalan, anak ku,"

Ujar ke dua orang tuanya berbarengan.

Arimbi melambaikan tangan kemudian menarik tali kekang kuda tunggangannya, binatang itu berjalan pelan meninggalkan halaman rumah diiringi Chao-xing dan Iblis Bisu serta beberapa pengawal.

Dapur Istana merupakan tempat tersibuk di dunia, pun di dapur Istana Kerajaan Tarumanagara, beberapa pelayan tampak hilir mudik mempersiapkan bahan-bahan untuk dimasak, bau harum menyeruak seiring masakan-masakan yang sedang dibuat, Kim Meyong sang kepala juru masak Kerajaan berkeliling dari satu tempat ke tempat lain memastikan kualitas masakan yang dibuat memenuhi standar yang ditetapkan Kerajaan.

Kim Meyong yang beberpa waktu lalu sempat dijebloskan ke penjara gara-gara fitnah sinse Li Sizen kini dengan kebijakan Sriwijaya dia dibebaskan dan mendapatkan posisinya kembali sebagai kepala juru masak yang tentunya harus patuh dibawah kendali dan perintah Tumenggung Jari Kambang, pemimpin tertinggi Tarumanagara saat ini.

Kim Meyong yang sejatinya orang yang disusupkan pihak Sriwijaya dan mengemban misi melumpuhkan Tarumanagara lewat racun yang dibubuhkan pada makanan para prajurit Tarumanagara hingga pada hari serangan besar-besaran pada tujuh belas tahun yang lalu itu kondisi pasukan Tarumanagara melemah yang akhirnya mau tidak mau, Tarumanagara mengaku tunduk pada kebesaran Sriwijaya.

Seperti diketahui, ada tiga orang yang disusupkan Sriwijaya kala itu yakni sinse Li Sizen, Kim Meyong dan Razep Govinda, sayang dalam menjalankan tugas rahasia itu, ke tiganya saling berebut pengaruh dan terlibat persaingan yang tidak sehat.

Setelah menyelesaikan tugas sebagai pengawas makanan, Kim Meyong bergegas pulang ke wisma yang berada di luar pintu gerbang utara, di sebuah aliran sungai diantara hutan kecil langkah kepala juru masak Kerajaan itu tertegun, seorang dengan wajah ditutup cadar hitam dengan puluhan belati terselip di pinggang telah menghadang langkahnya.

"Kim Meyong, ada pesan dari sinse Li Sizen,"

Tandas orang tersebut sembari meraba sebuah belati dari pinggangnya.

"Siapa, siapa kau?"

"Kau tanyakan saja pada malaikat maut di alam sana,"

"Saya akan membayar kau, dua kali lipat dari yang diberikan sinse Li, asal kau berbalik membunuh tabib itu.

"

"Hemm, hahaha, tawaran yang menarik, sayang aku tidak tertarik, nah bersiaplah Kim Meyong,"

Tandas orang tersebut lalu tusukkan belati pada dada sebelah kiri kepala juru masak Kerajaan itu yang dengan repleks menghindar, sambaran angin dingin satu senti membeset dada juru masak tersebut, walau hanya sambaran anginnya saja darah tampak merembes membuat wajah Kim Myong pucat pias.

"Cek cek cek, lolos,"

Gumam orang bercadar hitam yang kembali meraba beberapa belati yang terselip di pinggang dan dengan cepat lemparkan pisau-pisau itu pada Kim Myong yang tercekat pasrah menanti ajal.

Traaang, traaang, traaang..!Geger Tarumanagara Tiga buah belati terbang luruh ke tanah, kini di hadapan orang bercadar itu berdiri seseorang bercaping lebar dengan pedang terhunus.

"Kau lagi, mengapa selalu ikut campur urusan ku?"

"Selama ilmu eyang Jalatunda digunakan untuk angkara, selama itu pula aku berada di situ."

"Baik, aku tunggu kau di puncak terang di bulan purnama yang akan datang,"

Tandas orang bercadar hitam kemudian melesat cepat menerobos lebatnya dedaunan perdu.

"Aku terima tantangan mu, Tandang Kaweruh!"

Teriak orang bercaping lebar lantang.

"Terimakasih kisanak, kau telah menolong ku,"

"Kim Meyong, seseorang ingin bicara dengan mu,"

"Siapa Kisanak?"

Tidak menunggu lama, dari balik pepohonan muncul satu sosok tubuh yang membuat kepala juru masak Kerajaan itu tercekat.

"Tuan, tuan Rahardian Tarusbawa."

"Bagaimana khabar mu, Kim Meyong?"

"Saya, saya."

"Kau tidak usah takut, nyawa mu aku ampuni asal kau bersedi membantu ku."

"Apa yang harus saya bantu? Tuan Rahardian Tarusbawa."

"Kau harus menjawab semua pertnyaan ku dengan jujur, bagaimana?"

"Baik, baik tuan Rahardian."

"Apakah kau selama ini yang meracuni prajurit- prajurit Tarumanagara atas perintah Tumenggung Jari Kambang?"

Kim Meyong tercekat, kepala juru masak kerajaan itu langsung bungkam seribu bahasa, wajahnya tampak pucat tak berdarah.

"Sudahlah tuan Rahardian Tarusbawa, kita jangan buang waktu dengan penghianat ini,"

Tandas telik sandi Yuda Karna yang tampak mengacungkan pedangnya pada Kim Meyong.

"Ampun, ampun tuan Raharidian Tarusbawa, memang benar apa yang tuan tanyakan,"

Sela Kim Meyong sambil merapatkan ke dua telapak tangannya di depan dada.

"Bagus, dan tentunya kau pun punya penawar nya?"

"Saya punya, tuan."

"Berikan penawar itu."

Dari balik lengan baju, Kim Meyong menyerahkan sebuah ruas bambu kecil yang langsung diterima Rahardian Tarusbawa.

"Satu lagi, kau pun menaruh ramuan tertentu pada masakan yang dimakan ayahanda Prabu?"

"Benar tuan,"

"Berikan penawar itu."

"Tapi, penawar itu hanya sinse Li Sizen yang punya."

"Kau tidak bohong?"

"Silahkan bunuh saya kalau bohong,"

"Baik aku percaya untuk saat ini, tapi jika kau terbukti berbohong lehermu taruhannya."

"Baik tuan Rahardian Tarusbawa,"

Geger Tarumanegara Karya Kusyoto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah, sekarang kau bisa pergi."

"Terimakasih, terimakasih tuan Rahardian Tarusbawa,"

Ujar Kim Meyong berkali-kali kemudian bergegas meningalkan tempat itu.

"Tuan Rahardian mempercayai ucapannya?"

"Semantara waktu Yuda Karna, dan ternyata dugaan kita benar antara sinse Li Sizen dan Kim Meyong kini sudah tidak satu jalan lagi."

"Lalu bagaimana dengan penawar untuk gusti Prabu Linggawarman?"

"Inilah yang sedang aku pikirkan, Yuda Karna. Kalau kita meminta langsung pada sinse Li Sizen tentuGeger Tarumanagara dia akan mungkir, ingat dia sekarang salah seorang kepercayaan Tumenggung Jari Kambang."

"Kasihan Gusti Prabu Linggawarman,"

"Sudahlah Yuda Karna, untuk semantara waktu kita pulihkan dulu prajurit-prajurit Tarumanagara, baru kita pikirkan langkah selanjutnya,"

"Baik tuan Rahardian Tarusbawa."[] Balada Cinta Para Pendekar Abilawa langsung turun dari langkan rumah begitu iring-iringan prajurit Tarumanagara yang mengawal Arimbi memasuki pintu regol padepokan Ciampea, lelaki tinggi besar bertampang gagah itu memang sudah mempersiapkan segala sesuatunya sebab satu hari sebelumnya sudah ada warta dari salah satu telik sandi yang dikirim Rakeyan Kanuruhan Rajendra untuk menyampaikan kabar tentang kedatangan Arimbi, anaknya yang akan menuntut ilmu di padepokan Ciampea.

"Selamat datang di padepokan Ciampea, den ayu Arimbi,"

Ujar Abilawa sembari mempersilahkan putri Rakeyan Kanuruhan itu turun dari kudanya. Seorang cantrik kemudian menuntun kuda Arimbi ke belakang padepokan.

"Terimakasih, apakah guru Bilawa ada di tempat?"

"Saya Abilawa, guru padepokan Ciampea ini, den ayu."

"Ohh, maap kan ketidak tahuan saya guru,"

Ujar Arimbi yang langsung memberi penghormatan membuat kikuk lelaki gagah tersebut.

"Sudahlah den ayu, bangunlah,"

Ujar Abilawa sambil membimbing Arimbi bangun, ke dua mata mereka tak sengaja saling tatap, getaran aneh sontak menjalari hati ke dua insan ini, sebuah pertemun yang mendebarkan, jantung Arimbi terasa copot ketika beradu pandang dengan lelaki gagah di hadapannya, pun dengan Abilawa, lelaki tinggi besar bertampang gagah itu tertegun akan kecantikan paras Arimbi yang mempesona, Abilawa langsung menepis rasa itu kemudian mempersilahkan Arimbi dan rombongan prajurit Tarumanagara beristirahat di tempat yang telah di sediakan.

"Wo tidak mengira, guru padepokan Ciampea itu gagah sekali, Arimbi."

Kata Chao-Xing diiyakan Iblis Bisu, namun orang yang ditanya seperti tidak mendengar, Arimbi rupanya masih terbayang-bayang kejadian barusan.

"Arimbi, ni melamun?"

"Ah tidak bibi Chao, apa yang bibi tanyakan barusan?"

"Sudahlah Arimbi, lupakan pertanyaan wo barusan."

"Saya tidak menyangka, semuda itu sudah menjadi guru besar padepokan Ciampea,"

Guamam Arimbi, masih tersisa rona merah di ke dua pipinya.

"Muda, gagah dan tampan,"

Menyambung Chao- Xing menambah rona merah di wajah arimbi bertambah kelam.

"Ah, bibi Chao ini."

"Baiklah, kau istirahat saja dulu Arimbi, kami akan memastikan keamanan padepokan Ciampea ini."

"Baik, bibi Chao,"

Ujar Arimbi.

Chao-Xing dan Iblis Bisu langsung keluar dari pondok, ke duanya tampak berjalan pelan melihat-lihat susana padepokan Ciampea yang sejuk, tertata rapi asri dan rindang, sebuah air terjun tampak di kejauhan menambah tentram siapapun yang melihatnya.Geger Tarumanagara "Iblis Bisu, sepertinya Arimbi mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama dengan gurunya itu,"

Gumam Chao-Xing, mata sipit wanita ayu ini semakin berbinar ketika bayangan Taruma melintas di benaknya.

"Iblis Bisu, apakah wo bisa bertemu kembali dengan Taruma?"

Orang yang ditanya tampak mengangkat bahu.

"Kawasan ini dekat dengan lereng gunung Salak, satu waktu wo akan mencarinya."

"Nona Chao-Xing, kau mendamba seseorang yang belum tentu memiliki rasa yang sama dengan mu, semantara ada hati yang begitu tulus menyayangimu, namun kau tidak menyadarinya,"

Keluh Iblis Bisu dalam hati.

"Iblis Bisu mengapa wajah mu memerah?"

Lelaki muka pucat ini tercekat kemudian mengalihkan pandangannya pada air terjun yang bergemuruh di kejauhan.

"Iblis bisu, apakah kau pernah jatuh cinta?"

Sela Chao-Xing. Tanpa sadar, lelaki muka pucat itu mengangguk membuat Chao-Xing langsung menatapnya dengan antusias.

"Dengan siapa? Tentunya kau mempunyai kisah cinta yang bagus, ceritakan lah pada wo,"

Ujar Chao-Xing tapi langsung menghela napas dalam.

"Ahh, bagaimana wo bisa bercerita,"

Gumam Chao-Xing menyadari kebodohannya.

"Sudahlah Iblis Bisu, mari kita istirahat."

Kali ini Iblis Bisu langsung mengangguk kemudian mengiringi langkah Chao-Xing dari belakang, sedang rembang petang mulai melingkupi kawasan padepokan Ciampea.

** Derap ladam kuda terdengar nyaring memecah kesunyian pagi, di sebuah lereng perbukitan ke dua penunggang kuda itu tampak hentikan tunggangannya, di bawah sana sebuah sungai besar berair deras terdengar bergemuruh memecah bebatuan yang banyak bertebaran di sepanjang aliranya.

"Huppp, paman Udayana, di bawah sana di kaki bukit ada sungai."

"Yah, kau benar Taruma. Itulah sungai Aruteun,"

"Besar sekali sungai itu, dan lebar paman,"

"Yah, sungai itulah batas wilayah Kerajaan Tarumanagara."

"Oh iya?"

"Iyah, bila kita menyeberangi sungai itu maka kita akan ada di wilayah Kerajaan Tarumanagara,"

"Ah, ternyata perjalanan kita tidak terlampau jauh, paman."

"Yah,"

"Hanya dalam waktu satu bulan, kita sudah sampai di wilayah kerajaan Tarumanagara."

"Memang, Taruma. Sebab tempat tinggal kita di desa Gelino letaknya di kaki gunung Salak, jadi tidak terlalu jauh dengan sungai Aruteun itu, tapi untuk sampai di pusat Kerajaan Tarumanagara, kita masih harus menempuh perjalanan satu bulan lagi,"

"Wah, tambah lagi satu bulan."

"Yah, ayolah kita memacu kuda menuruni lereng bukit ini sampai ke tepi sungai Aruteun itu."

"Baik paman."

"Ayo Taruma, hyaaahyaaa!"

Ke duanya tampak memacu kuda tunggangannya menuruni lereng bukit menuju tepi sungai Aruteun, kebetulan sekali di pinggir sungai ada seorang lelaki yang sengaja menawarkan perahunya dan tanpa menawar Udayana dan Taruma menukarnya dengan kuda-kuda miliknya pada lelaki tersebut.

"Untunglah ada penduduk Caduma yang baik hati, mau menjual perahunya pada kita sehingga kita dapat menyusuri sungai Aruteun ini dengan naik perahu,"Geger Tarumanagara "Kenapa harus naik perahu paman?"

"Maksud mu."

"Bukankah lebih cepat dengan naik kuda, lewat jalan darat."

"Ohh, justru sebaliknya Taruma, lewat jalan darat kita harus memutar melalui bukit Gandok, tapi kalau melalui jalan air dengan cepat kita akan sampai di desa Aruteun, karena kita memotong jalan, nah dari desa Aruten itulah kita bisa menunggang kuda dengan leluasa sebab jalan yang menghubungkan desa Aruteun dengan ibukota Tarumanagara cukup bagus dan agak lurus, sehingga tidak akan banyak hambatan."

"Iya paman,"

"Nah ayo sekarang kita dorong perahunya ke tengah,"

"Baik paman, Ciaaaatttt!"

Mengandalkan tenaga dalam, Taruma mendorong perahu itu ke tengah sungai dengan Udayana berada di dalamnya sedang dirinya masih tampak berdiri di tepiannya.

"Hahah, gila, Taruma mendorong perahu menggunakan tenaga dalam sehingga perahu ini meluncur dengan cepat ke tengah sungai sedangkan dia sendiri masih berada di tepi sungai,"

Membhatin Udayana.

"Taruma, hayo loncat!"

"Edhaaaaa!"

Sentak Taruma, sosoknya tampak melenting ke atas bersalto beberapa kali di udara kemudian dengan ringan mendarat di dalam perahu.

"Hehehe, lompatan mu sangat baik Taruma, dari tepi sungai kau dapat sampai ke perahu yang berada di tengah sungai ini, ilmu meringankan tubuh kau sudah sempurna,"

"Haha.., sambil latihan paman."

Ke duanya lantas menyusuri sungai Aruten ke hilir, tidak berapa lama tampak lekuk caringin tempat perahu merapat berada di hadapan ke duanya.

"Nah, itu lekuk caringin, tempat perahu merapat, ayo kita menepi."

"Iya paman,"

"Iyap, prahu sudah merapat ke tepi sungai, ayo kita melompat ke darat."

"Hup hiyaaa!"

"Hup hyaaa!"

Dengan sekali lompat ke duanya sudah berada di tepian sungai Aruteun.

"Nah dari sini ke desa Aruteun jalan kaki hanya setengah hari,"

"Iya paman."

"Taruma, apakah kau masih ingat tempat ini?"

"Mana mungkin saya melupakannya paman, dari tepi sungai inilah kita dulu menyeberang dan meningalkan wilayah Kerajaan Tarumanagara."

"Ingatan mu masih tajam, Taruma."
Geger Tarumanegara Karya Kusyoto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Dan di sini pula Niluh Arundaya memberikan kotak hitam ini pada ku,"

Membhatin Taruma sembari mengelus buntalannya.

"Lalu perahu kita itu bagaimana, apakah kita biarkan tertambat di tepi sungai, paman?"

"Yah, biarkan saja sebab kita tidak memerlukannya lagi, biarlah nanti diambil orang yang membutuhkannya."

"Perahu itu untuk kami!"

Terdengar suara lantang dari balik gerumbul pepohonan disusul meloncatnya sosok-sosok tubuh yang langsung mengurung Taruma dan Udayana di tengah-tengah.

"Ada lima orang yang berdiri di sekeliling kita,"

Bisik Udayana.

"Iya, lima orang laki-laki bertampang seram, tiba- tiba sudah berdiri mengurung kita,"

Balas berbisik Taruma.

"Hai kalian orang mana hem?"

"Ah, kami dari desa Gelino, di kaki gunung Salak."Geger Tarumanagara "Mau kemana?"

"Mau ke ibukota kerajaan Tarumanagara."

"Ke sana mau apa hem?"

"Mau mengunjungi sanak kadang,"

"Bawa senjata?"

"Ah.., tidak,"

"Bohong,"

"Benar, periksalah,"

"Singkapkan baju kalian. Hayo!"

"Baik, baik, ayo Taruma singkapkan bajumu."

"Cukup, di badan kalian memang tidak ada senjata, tapi mungkin disimpan di buntelan itu."

"Buntelan kain ini isinya hanya pakaian dan makanan."

"Letakan di tanah dan buka segera!"

"Baik, baik,"

"Ayo cepat!"

"Nah, tidk ada apa-apa bukan ?"

"Yah, lalu pekerjaan kalian apa?"

"Ah, kami petani,"

"Hahahaha.,"

"Benar kisanak, kami petani."

"Jangan bohong orang tua, badan mu masih bersih, kulit tubuh mu kuning dan pakaianmu rapih dan bersih, apalagi anak muda itu, wajahnya sangat bagus, kulitnya putih, nah, kalian berdua tidak punya tampang petani, siapa namamu orang tua?"

"Saya Udayana,"

"Dan kau siapa anak muda?"

"Taruma,"

"Hahah, nama kalian bukan nama orang desa, tapi nama yang berbau bangsawan, jadi kalian orang Keraton dan pasti orang-orang Sriwijaya."

"Orang Sriwijaya,"

Gumam Udayana.

"Kau pasti seorang pejabat tinggi Keraton, dan kau anak muda kau pasti seorang Pangeran,"

"Hahaha, pangeran Gelino,"

Sela Taruma sambil tertawa.

"Apa, Pangeran Gelino."

"Dari kecil aku tinggal di desa Gelino, sampai sebesar ini tidak pernah kemana-mana, jadi aku memang Pangeran Gelino."

"Diam kau anak muda."

"Maap Kisanak, siapakah Kisanak ini sebenarnya? Dan kenapa mencegat kami di sini,"

Tanya Udayana.

"Huh, akhirnya kau bertanya juga bukan."

"Maksud Kisanak?"

"Kau pura-pura menjadi orang yang penurut, dan sedikit pura-pura ketakutan kau mematuhi perintah kami, padahal di hatimu ingin segera tahu siapa kami sebenarnya,"

"Ah, tentu saja Kisanak, sebab kami sama sekali tidak kenal dengan Kisanak, bertemu pun baru sekarang, jadi sebelumnya tidak ada persoalan diantara kita bukan, jadi kenapa Kisanak dan teman-teman Kisanak itu mencegat kami?"

"Kau tidak perlu tahu siapa kami, tapi kami harus tahu siapa kalian."

"Sudah kami bilang, kami ini petani."

"Tidak percaya, hai teman-teman rupanya kita harus menggunakan kekerasan."

"Paman Udayana, mundurlah, lima orang begal ini biar saya yang membereskan,"

Bisik Taruma.

"Hai kau anak muda kenapa bisik-bisik, tinggal buntalan kau yang belum kami periksa."

Taruma tercekat, pemuda ini langsung berdiri dan melindungi buntalan yang berisi pakian juga kotak kecil hitam pemberian Niluh Arundya.

"Ayo maju kalian semuanya!"

Teriak Taruma lantang.

"Nah, benar juga dugaan ku, kau bukan rakyat biasa, sebab kalau kau rakyat biasa melihat kami sudahGeger Tarumanagara gemetar ketakutan, tapi kau malah menantang, berarti kau petugas dari Keraton yang sedang menyelidiki keadaan di wilayah ini,"

"Kau mau ngomong apa, terserah, ayo maju!"

"Hiyaaaatttt! Pertarungan antara Taruma dan ke lima orang begal itu berlangsung cukup seru, golok ke limanya saling silang-menyilang mengurung Taruma dari berbagai arah, namun mereka tidak tahu siapa anak muda ini sebenarnya, maka dalam waktu singkat empat begal itu sudah ditaklukan Taruma dengan mudah, golok ke empatnya melesat entah kemana disusul tendangan melingkar membuat ke empatnya terkapar di tanah.

"Hebat benar anak muda itu, dalam waktu singakat dapat melumpuhkan empat orang anak buahku, semuanya pingsan,"

Membhatin pemimpin perampok ini.

"Lihat, empat orang teman mu sudah tidur, sekarang kau yang maju satu lawan satu."

Pemimpin begal itu menghambur ke depan dengan cepat mencecar Taruma dengan goloknya silang- menyilang dan bergulung mengincar titik mematikan lawan, namun denga tenang Taruma menghadapi semua serangan tersebut hingga satu ketika Taruma melihat kelengahan lawan, maka dengan sekali kelebat kakinya mendarat di dada lawan, disusul tendangan melingkar tepat mengenai wajah pemimpin begal tersebut, ketika barusaha bangkit sebuah pukulan telak melanda dadanya dan akhirnya tumbang ke tanah ketika jatuhan tumit Taruma telak melanda kepalanya.

"Ampun, aku menyerah anak muda."

"Cukup Taruma, jangan dibunuh."

"Baik paman."

"Siapa nama mu?"

Sentak Taruma sambil mencengkeram kerah baju pemimpin begal tersebut.

"Sagala."

"Kenapa membuat keributan dengan kami?"

"Sebab, kami benci dengan orang Sriwijaya."

"Aku bukan orang Sriwijaya,"

"Ah, sebentar Taruma, biarlah aku yang menanyai dia,"

"Baik, paman."

"Ah, kisanak kenapa kau benci dengan orang Sriwijaya?"

"Sebab kami pejuang,"

"Pejuang?"

"Iya, kami adalah para pejuang kemerdekaan, kami berjuang untuk membebaskan negri kami Kerajaan Tarumanagara dari penjajahan Sriwijaya."

"Ohh, begitu, eh, siapa pemimpin mu? apakah kau sendiri yang menjadi pemimpinnya."

"Iya, aku pemimpinnya."

"Hemm, ya, tapi kisanak berjuang caranya bukan begitu, mencegat tiap orang yang dicurigai tapi kau harus menghimpun kekuatan secara teratur, bentuklah sebuah pasukan perang yang tangguh setelah itu baru mengobarkan peperangan."

"Kami sudah punya pasukan perang, tapi tentara Sriwijaya terlalu kuat, kami kalah terus dan terdesak."

"Hem, kalau begitu hentikan dulu sepak terjang mu, lalu mulai lagi dengan persiapan yang matang setelah siap baru kau bangkit kembali sebab perjuangan menegakan kemerdekaan dengan jalan ingin mengusir penjajah itu tidak gampang, bukan main sulap tapi harus dengan persiapan yang benar-benar matang."

"Hehhh, sebenarnya siapakah kalian? mengapa bisa berbicara seperti itu."

"Ah, kami ber dua asli bangsa Tarumanagara,"

"Be, benarkah?"

"Yah, kami juga ingin melihat penjajah pergi dari tanah air kita ini, dan kerajaan Tarumanagara menjadi merdeka, tapi waktunya bukan sekarang, sebab sebuah perjuangan adalah perjalanan yang panjang."Geger Tarumanagara "Yah, memang kau benar."

Geger Tarumanegara Karya Kusyoto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah, sekarang kami mau meneruskan perjalanan dan camkan kata-kata ku tadi itu."

"Baik, terimakasih."

Udayana dan Taruma melepaskan ke lima orang yang mengaku pejuang kemerdekaan Tarumanagara itu, sedang merekapun melanjutkan perjalanan menuju desa Aruteun.

"Nah, kita sudah sampai di desa Aruteun,"

Kata Udayana.

"Desa Aruteun ini agak ganjil,"

"Maksud mu, Taruma?"

"Suasana desa ini memang terasa sebagai sebuah desa, tapi jalan-jalan di desa ini lebar-lebar, meskipun tampak kurang terurus tapi jelas sekali kelihatan bahwa jalan-jalan ini dulunya dibangun dengan biaya yang mahal, dan tentunya keadaan waktu itu sangat bagus dan terawatt baik, selain itu ada beberapa bangunan yang besar yang lebih pantas sebagai bangunan pemerintahan,"

"Iya, iya, iya.

"

"Kelihatannya desa ini bekas sebuah kota yang besar, kemudian merosot menjadi sebuah desa."

"Yah, pengamatan mu sangat tajam Taruma, sebab desa Aruteun ini memang bekas sebuah ibu kota Kerajaan,"

"Hah, bekas ibu kota Kerajaan?"

"Iyah, ibu kota Kerajaan Aruteun."

"Ahh, benarkah itu paman?"

"Iya benar, Kerajaan Aruteun adalah sebuah Kerajaan yang cukup besar dan megah, tapi setelah ditaklukan oleh Kerajaan Tarumanagara maka tamatlah riwayat Kerajaan Aruteun ini."

"Ditaklukan oleh kerajaan Tarumanagara paman?"

"Iyah, sekitar dua abad yang lalu, Kerajaan Aruteun diserbu oleh balatentara Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Aruteun runtuh dan menjadi jajahan Kerajaan Tarumanagara, maka semanjak itu habislah riwayat Kerajaan Aruteun, sebuah kerajaan yang pernah Berjaya di wilayah kulon ini, lalu merosot dari sebuah ibukota Kerajaan menjadi sebuah desa."

"Ahh, mungkinkah Kerajaan Tarumanagara seyogyanya akan sama dengan kerajaan Aruteun?"

"Hemm, maksud mu Taruma?"

"Sekarang ini, Tarumanagara sudah jatuh ke dalam kekuasaan Kerajaan Sriwijaya, nah jadi secara tidak langsung sebenarnya Kerajaan Tarumanagara ini sudah runtuh, riwayatnya sudah habis."

"Yah, untuk menyelamatkan kelangsungan hidup Kerajaan Tarumanagara jalan satu-satunya ialah mengusir penjajah dan merebut kembali kemerdekaan dari cengkraman Kerajaan Sriwijaya."

"Ahh, saya jadi gatal ingin segera bertindak memperjuangkan kemerdekaan."

"Hehehe, sabarlah Taruma, jangan tergesa- gesa, nanti juga saatnya akan tiba."

"Iya paman."

Ke duanya terus berjalan menyusuri jalan-jalan bekas ibu kota Kerajaan Aruteun itu, hingga sampai di penghujung desa, Taruma dan Udayana tertegun ketika melihat pemandangan dihadapannya.

"Lihat paman, ada beberapa rumah yang ambruk, sepertinya bekas kebakaran, sebab masih mengepulkan asap kecil,"

"Iyahiya, nampak jelas di sini telah terjadi kebakaran yang besar yang menghanguskan rumah- rumah cukup banyak, ah itu ada beberpa orang sedang membersihkan puing-puing, ayoh kita tanya mereka."

"Baik paman,"

"Ahh, maap Kisanak sepertinya rumah-rumah ini bekas kebakaran?"

"Bukan, bukan kebakaran tapi dibakar."

"Hah, dibakar."Geger Tarumanagara Saat itulah datang seorang tua berselempang kain sarung mendekati Taruma dan Udayana.

"Sampurasun."

"Rampes."

"Ah, nampaknya Kisanak ber dua orang jauh?"

"Iyah, benar, kami dari desa Gelino di kaki gunung Salak,"

"Oh, kenalkan saya Januba, kepala desa di sini."

"Saya, Udayana."

"Saya Taruma."

"Ahh, menurut seorang penduduk rumah-rumah yang hangus itu bukan karena telah terjadi bencana kebakaran melainkan sengaja dibakar, apa benar begitu?"

"Benar, dibakar oleh gerombolan Sempani."

"Gerombolan Sempani."

"Iyah, mereka sebenarnya laskar pejuang."

"Laskar pejuang,"

Sela Taruma.

"Mereka berjuang ingin merebut kemerdekaan dari kekuasaan Sriwijaya, tapi caranya yang kurang baik bahkan boleh dikatakan salah,"

"Ahh, mengapa begitu?"

"Seperti Kisanak ber dua lihat, ini adalah salah satu contoh dari keganasan gerombolan Sempani yang menamakan dirinya laskar pejuang kemerdekaan."

"Hem, iya ya, itulah yang sejak tadi membuat kami heran, berjuang untuk kemerdekaan kok rumah rakyat dibakar,"

"Mereka akan menyerang siapa saja yang tidak menyokong perjuangan mereka."

"Apakah rakyat desa Aruteun ini tidak menyokong perjuangan Sempani?"

"Bukan tidak meyokong anak muda, tapi kami kurang suka dengan caranya yang amat radikal seperti itu, sepak terjang mereka lebih mirip gerombolan perampok ketimbang sebuah laskar atau pejuang."

"Oh ya."

"Mereka membentuk kesatuan pejuang tidak dengan persiapan yang matang, asal jadi begitu saja sehingga waktu markas mereka diserbu oleh tentara Keraton mereka kocar-kacir, bukannya mengadakan perlawanan melainkan begitu melihat balatentara Keraton bergerak mereka langsung melarikan diri."

"Aghh, pengecut, memalukan,"

Tandas Taruma.

"Itulah, lantas mereka mengenbara dari satu desa ke desa yang lain, mereka minta sumbangan kepada rakyat terutama kepada orang-orang kaya kalau tidak diberi dirampok lalu dibunuh."

"Gila, perbuatan yang biadab."

"Itulah anak muda, akhirnya rakyat yang lemah yang jadi korban maka jadinya rakyat tidak suka pada mereka, bukannya menaruh simpati terhadap perjuangan mereka malah jadi sebaliknya, rakyat jadi benci yang pada akhirnya gerombolan Sempani itu menjadi momok yang amat menakutkan bagi rakyat."

"Salah, salah besar mereka bukan pejuang kemerdekaan tapi benar-benar gerombolan perampok, sepak terjang mereka merugikan rakyat."

"Betul anak muda,"

"Apakah yang mencehat kita di tepi sungai Aruteun adalah anak buah Sempani?"

"Bagaimana anak muda? di cegat anak buah Sempani."

"Iya ketika kami mendarat di tepi sungai Aruteun, lima orang laki-laki bertampang seram mengaku dirinya para pejuang kemerdekaan berlaku kasar terhadap kami, akhirnya kami bentrok."

"Tidak salah, mereka pasti anak buah Sempani sebab banyak berkeliaran di sekitar wilayah sini."

"Tapi salah seorang dari mereka yang bernama Sagala, mengaku dirinya sebagai pemimpin."

"Hem, Sagala."

"Iyah namanya Sagala."

"Dia adalah tangan kanan Sempani."Geger Tarumanagara "Wah, kurang ajar dia, apa maksudnya dia mengaku-ngaku jadi pemimpin."

"Ah, mungkin dia ingin menyembunyikan pemimpinya supaya kita tidak tahu siapa pemimpin mereka sebenarnya itu dia lakukan demi keselamatan Sempani,"

Sela Udayana.

"Iyah, mungkin juga begitu."

"Ehh, sebenarnya Kisanak ber dua ini hendak kemana?"

"Ahh, kami hendak ke ibu kota Kerajaan Tarumanagara."

"Ohh."

"Baiklah bapak Januba, kami mohon diri dulu."

"Ah, kenapa tergesa-gesa?"

"Ahhh, agar lebih cepat tiba."

"Iya, yah, eh baiklah selamat jalan."

Taruma dan Udayana kembali meneruskan perjalanan menuju ibu kota Tarumanagara.[] Semburat Jingga Di Langit Ciampea Satu purnama sudah Arimbi berada di padepokan Ciampea, pun dengan Chao-Xing dan Iblis Bisu, ke duanya dengan setia mengawal putri Rakeyan Kanuruhan Rajendra itu dengan baik, dan tentu saja Iblis Bisu lah orang yang paling berbahagia di tempat yang sangat indah itu, sebab tiap hari, tiap saat kapan saja dapat melihat dan berdekatan dengan Chao-Xing, keponakan sinse Li Sizen yang sangat dikaguminya.

Pun dengan Arimbi, dugaan Chao-Xing tentang gadis itu memang benar adanya, dara cantik yang sedang beranjak dewasa itu tengah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan gurunya sendiri, Arimbi begitu semangat jika Abilawa melatih ilmu-ilmu kanuragan pada murid-murid padepokan juga dirinya yang secara khusus langsung ditangani oleh Abilawa.

Sore nan sejuk di padepokan Ciampea, setelah melatih murid-muridnya, giliran Abilawa melatih Arimbi secara khusus semantara Chao-Xing dan Iblis Bisu seperti biasa memperhatikan Arimbi yang sedang dilatih Abilawa dari sebuah saung kecil di atas bukit.

"Nah, den ayu Arimbi sekarang coba ulangi gerakan-gerakan yang sudah saya ajarkan itu."

"Baik guru,"

Ujar gadis cantik itu lantas mengulang jurus-jurus yang sudah diajarkan AbilawaGeger Tarumanagara denga semangat, di teras saung Chao-Xing dan Iblis Bisu memperhatikan ke duanya dengan berbagai rasa.

"Bisu, lihatlah betapa serasinya mereka berdua buka?"

Iblis Bisu hanya mengangguk.

"Andai saja, wo sebagai Arimbi dan gurunya itu Taruma, ah, alangkah bahagianya, Bisu,"

Gumam Chao-Xing dijawab tarikan napas panjang lelaki muka pucat tersebut.

"Ada apa Bisu?"

Tanya Chao-Xing bilamana melihat raut wajah Iblis Bisu sedikit masam. Orang yang ditanya tampak menggeleng pendek dan coba tersenyum walau senyum itu sedikit dipaksakan.
Geger Tarumanegara Karya Kusyoto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Den ayu Arimbi latihan untuk hari ini selesai, silahkan istirahat."

"Baik guru,"

Ujar Arimbi, setelah memberi hormat dara cantik itu berjalan pelan menghampiri Chao-Xing dan Iblis Bisu, namun baru beberapa langkah berjalan dirasakannya sebuah sambaran angin menyerang dirinya, refleks putri Kanuruhan Rajendra itu lentingkan badan ke atas salto beberapa kali di udara ketika mendarat kembali dengan enteng di tanan seorang bertopeng kulit kayu telah berdiri tiga langkah di hadapannya.

"Siapa kau? kenapa menyerang ku,"

Sentak Arimbi galak. Bukanya menjawab pertanyaan, malah orang bertopeng kulit kayu itu kembali menyerang Arimbi, duel sengit pun terjadi dengan serunya.

"Iblis Bisu, tidak,"

Kata Chao-Xing pada lelaki muka pucat itu ketika bermaksud membantu Arimbi, Iblis Bisu tampak bertanya dengan bahasa isyarat.

"Sorot mata Arimbi menegaskan dia mampu menghadapi lawannya,"

Sela Chao-Xing dijawab anggukan Iblis Bisu. Pertarungan antara Arimbi dan orang bertopeng kulit kayu memasuki babak penentuan, disaat itulah sekelebatan bayangan telah berada di tengah-tengah antara ke duanya.

"Hentikan, kenapa Kisanak menyerang murid ku?"

Kata Abilawa, lelaki tinggi besar itu tampak berdiri gagah membelakangi Arimbi, perlahan orang bertopeng kulit kayu tata kuda-kuda pertahanan kemudian dengan cepat layangkan sebuah tendangan pada Abilawa, tak lama jual beli jurus kembali digelar.

Jurus-jurus silat orang bertopeng kulit kayu itu begitu rumit namun di lain waktu berobah ganas mengincar titik-titik lemah lawannya, kali ini Abiawa tidak mau main-main lagi guru besar padepokan Ciampea itu salurkan sepertiga tenaga inti pada ke dua kakinya, maka hal yang luar biasa terjadi tubuh Abilawa bagai burung sikatan melayang-layang ringan meladeni tiap serangan yang dilancarkan orang bertopeng kulit kayu, satu ketika Abilawa melihat tenaga lawannya mulai keteteran, dengan cepat lelaki gagah itu layangkan sebuah tendangan tapi itu hanya tipuan belaka, ketika lawan menghindar ke samping secepat kilat tangan kiri Abilawa membetot topeng kulit kayu hingga lepas.

"Kinanti?"

Abilawa masih terpana ketika dengan pandangan dingin Kinanti tingalkan begitu saja guru besar padepokan Ciampea itu menuju bilik pribadinya.

"Guru, siapa dia?"

"Kinanti, putri mendiang Senapati Perkutut Kapimonda pendiri padepokan Ciampea ini, den ayu."

"Oh jadi dia putri Senapati Perkutut Kapimonda itu."

"Betul den ayu."

"Sepertinya dia tidak suka dengan saya, guru."

"Ah, tidak begitu den ayu, mungkin Kinanti ingin menguji saja, sudahlah den ayu silahkan istirahat."

"Baik guru,"Geger Tarumanagara Arimbi kembali mengayunkan langkah menghampiri Chao-Xing dan Iblis Bisu yang menyongsongnya.

"Kau tidak apa-apa, Arimbi?"

"Saya baik-baik saja, bibi Chao,"

Ujar Arimbi kemudian berlalu menuju biliknya.

"Ah, sepertinya Arimbi mendapat saingan berat,"

Gumam Chao-Xing dalam hati. ** Siang itu di pingir sungai air terjun, Kinanti tampak membereskan pakaian yang sudah dicucinya, ketika Abilawa datang menghampiri, wanita ayu itu hendak bergegas pergi.

"Tunggu dulu Kinanti, kita belum bicara sejak kau datang."

"Lepaskan tangan mu, Bilawa."

"Oh, maap-maap."

"Minggirlah, aku harus pergi."

"Kinanti, kemana saja kau selama ini?"

"Siapa gadis itu?"

"Lain yang ditanya lain pula jawabannya,"

Membhatin Abilawa.

"Namanya Arimbi, putri tuan Rakeyan Kanuruhan Rajendra."

"Aku tidak suka dengan dia."

"Maksud mu?"

"Sudahlah, mingir aku mau lewat."

"Kau belum menjawab pertanyaan saya, Kinanti."

"Kau urus saja gadis itu,"

Sergah Kinanti kemudian bergegas meningalkan Abilawa yang terbengong-bengong menatap kepergiannya, sementara itu di sisi sungai terlindung di balik tebing Arimbi yang sedari tadi menyaksikan dan mencuri dengar Abilawa dan Kinanti ngobrol tampak pula meninggalkan tempat itu dengan raut wajah kesal.

"Arimbi tunggu, kau mau kemana?"

"Kita pulang ke Keraton bibi Chao."

"Arimbi jangan membuat keputusan di saat hati sedang kalut,"

Kata Chao-Xing dijawab anggukan Iblis Bisu.

"Saya kesal sekali dengan Kinanti."

"Kesal atau cemburu?"

"Ah bibi Chao ini, jangan membuat saya malu bi."

"Kalau ni pulang sekarang, harapan ni musnah sudah Arimbi, wo tahu ni sangat mencintai guru ni itu, benar bukan?"

"Hemmm."

"Wo tidak usah menyembunyikannya dari ni."

"Tapi bibi Chao."

"Sudahlah, cinta memang membutuhkan kesabaran dan pengorbanan, Arimbi, bila ni yakin dengan pilihan ni perjuangkan keyakinan itu."

"Baik, bibi Chao,"

Chao-Xing hanya tersenyum, ke tiganya kemudian meningalkan pinggiran sungai air terjun menuju padepokan Ciampea seiring rembang petang melingkupi kawasan tersebut.

Malam belum larut, obor-obor sewu meliuk mengikuti arah angin berhembus, hampir seluruh anak murid padepokan Ciampea sudah terbuai ke alam mimpi, semantara di biliknya Abilawa masih gelisah dengan peristiwa tadi siang di pinggir sungai air terjun, lelaki gagah guru besar padepokan Ciampea itu lantas keluar dari bilik sekadar mencari udara segar, sudut matanya menyipit manakala telinganya mendengar sayup-sayup suara petikan kecapi, alunan nada kecapi itu begitu syahdu mendayu-dayu siapapun yang mendengarnya, lelaki gagah itu lantas menghapiri sumber suara yang ternyata pemetik kecapi itu adalah Kinanti.

"Kau belum tidur, Kinanti?"

Wanita ayu itu hentikan petikan kecapi, seulas senyum merekah dari bebirnya.Geger Tarumanagara "Duduklah, Bilawa,"

Kata Kinanti kemudian meneruskan petikan kecapinya.

"Tadi siang dia begitu galak, kenapa malam ini Kinanti lembut pada ku ya,"

Membhatin Abilawa kemudian duduk bersila di hadapan Kinanti yang terus memainkan jari-jemarinya di antara snar-snar kecapi yang ada di atas pangkuannya.

"Bilawa, kau lihat bulan itu?"

"Iya."

"Indah bukan?"

"Hemmm,"

"Tujuh belas tahun aku mengembara ke berbagai wilayah jauh, berguru pada beberapa perguruan hebat namun hati ku tidak pernah lepas dari padepokan Ciampea ini, bagaimana dengan mu?"

Kata wanita ayu itu sambil terus memainkan nada-nada syahdu kecapinya.

"Maksud mu?"

"Apakah kau juga memiliki perasaan sama dengan ku?"

"Tujuh belas tahun saya tidak kemana-mana, yah, hati saya tetap di sini, Kinanti."

"Kau belum mengerti juga, Bilawa,"

Desah Kinanti, alunan nada kecapinya berobah sendu mendayu-dayu.

"Saya."

"Tujuh belas tahun bukan waktu yang sebentar, tetap saja hati mu tidak peka Bilawa,"

Sela wanita ayu itu kemudian bangkit membereskan kecpinya kemudian berjalan cepat meninggalkan Abilawa.

"Kinanti, Kinanti tunggu, ahhhkenapa dia marah lagi pada ku,"

Sungut Abilawa sambil mencengkeram rambutnya sendiri kemudian berjalan pelan menembus kepekatan malam, di pinggir sungai air terjun langkah Abilawa terhenti sesosok tubuh telah menatinya.

"Den ayu Arimbi, kenapa malam-malam ada di tempat ini?"

"Guru, maapkan aku."

"Maap, maksud den ayu?"

"Gara-gara saya, guru dan Kinanti berselisih paham."

"Bukan begitu, den ayu Arimbi jangan salah tafsir."

"Guru, sayasaya sebenarnyamenc,"kalimat Arimbi tercekat di kerongkongan, ditelannya kalimat itu segera sambil memalingkan wajah ke tempat lain.

"Ada apa den ayu?"

"Tidak, saya pamit guru,"

Sela Arimbi kemudian dengan tergesa-gesa gadis cantik itu berlalu meninggalkan Abilawa yang kini duduk mencangkung di sebatang pohon tumbang, dari balik gerumbul semak Chao-Xing dan Iblis Bisu sudah menunggunya.

"Saya tidak mampu bibi Chao."

"Tidak apa Arimbi, masih banyak kesempatan, pelan-pelan saja,"

Ujar Chao-Xing kemudian ke tiganya bergegas meninggalkan tempat tersebut, malam kian larut padepokan Ciampea berselimut kabut tebal dari lereng pegunungan Salak, di dalam bilik tiga hati sedang bergelora dengan angan dan pikirannya masing-masing.

** Mentari semburat di ufuk timur menghangatkan bumi, kicau prenjak ramai di dahan pepohonan, pagi itu seperti biasa setelah melatih murid-murid padepokan Ciampea kini giliran Abilawa melatih Arimbi sedang Chao-Xing dan Iblis Bisu menonton saja di teras sebuah saung bambu.

Geger Tarumanegara Karya Kusyoto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Berhenti, cukup, cukup den ayu Arimbi."

"Bagaimana guru? Apakah saya sudah baik melakukan jurus meyapu bulan di atas awan."

"Sudah cukup baik, tapi belum sempurna."Geger Tarumanagara "Iya, saya merasa kewalahan ketika senjata- senjata rahasia menggempur saya semakin banyak dan datang dari segala arah."

"Itu karena gerak tangan dan kaki masih kurang serasi dengan arah pandang mata, ke dua mata den ayu bergerak sangat awas dan cepat dapat melihat datangnya serangan, tapi tangan dan kaki den ayu tidak dapat mengikuti kecepatan mata, jadi sering tertinggal meski hanya beberapa kejap saja, tapi akibatnya bisa berbahaya."

"

Yah, untung tadi hanya latihan saja, tapi dalam pertarungan yang sesungguhnya den ayu akan berhadapan dengan musuh sebenarnya yang mungkin tidak mempunyai rasa belas kasihan, maka den ayu akan celaka."

"Iya guru."

"Terutama napas den ayu yang harus diperbaiki, baru bertempur seratus jurus napas den ayu sudah senin kemis."

"Baik guru."

"Hahahaha, di sini rupanya markas Banci!"

Sebuah suara sangat keras menggelegar disusul munculnya beberapa orang bertampang sangar, salah seorang berperawakan jangkung dengan gelang akar bahar melingkar di ke dua tangan dan kakinya meyeruak dari kerumunan, melangkah pelan menghampiri Abilawa dan Arimbi.

"Sempani,"

Gumam Abilawa.

"Apa maksud mu menyebut padepokan ku ini markas Banci?"

"Orang lain sibuk berjuang untuk melepaskan diri dari cengkraman penjajah, sedangkan kau sendiri sibuk untuk kepentingan diri mu sendiri, apakah itu bukan namanya Banci hem?"

"Apakah kau menganggap diri mu sebagai orang jantan?"

"Oh iya, aku Kebo Sempani pemimpin laskar pejuang kemerdekaan, hanya aku satu-satunya orang yang berani menentang Sriwijaya, nah bukankah aku yang paling jantan."

"Perjuangan mu itu salah kaprah Sempani, kau bukan berjuang mengusir penjajah melainkan membuat rakyat sengsara, kau merampok, merampas harta benda rakyat bahkan membunuh rakyat yang tidak berdosa, perbuatan mu merugikan rakyat."

"Ahhh, tutup mulut mu, aku hanya minta sedikit sumbangan dari rakyat sebab perjuangan memerlukan biaya."

"Kalau memang cara mu baik, tentu rakyat dengan rela dan ikhlas akan menyokong perjuangan mu, tapi kenyataannya rakyat benci pada kamu, nah itu artinya kau salah, perjuangan mu salah jalan, sebab kau membabi buta tidak mengerti bagaimana cara berjuang yang baik."

"Tapi setidaknya aku pernah berbuat sesuatu bagi tanah air, lalu apa yang telah kau perbuat bagi tanah air mu, hem, apa? Kau sebagai bangsa Tarumanagara mana bakti mu terhadap negri mu, mana?"

"Pejuang sejati tidak pernah gembar-gembor, tidak pernah menepuk dada, menyombongkan diri sebagai pejuang,"

"Hahahah, kalau begitu kau berjuang di dalam hati. Hahaha, apa artinya sebuah perjuangan kalau hanya cita-cita yang dipendam di dalam hati hem, berbuatlah, berbuatlah, dan kau tidak berbuat sesuatu berarti kau memang seorang Banci."

"Berjuang banyak caranya, ada yang kelihatan dan ada yang tidak, kau menyama ratakan semuanya, Sempani."

"Ha, hahaha, kau bicara hanya sekadar menutupi nyali mu yang kecil, kau memang penakut Bilawa, kau menjadi ketua padepokan ini karena kauGeger Tarumanagara mendapat warisan dari guru mu buka atas usaha mu sendiri."

"Tutup mulut mu, keparat!"

Sentak Arimbi yang sedari tadi diam mendengarkan sedang Chao-Xing dan Iblis Bisu kini sudah berada di dekat Arimbi dan Abilawa.

"Aku kira Kebo Sempani pemimpin perjuangan kemerdekaan itu seorang tokoh yang hebat dan patut disegani, huh, ternyata tidak lebih dari seorang penjual obat di tepi jalan, pandai mengoceh tidak ada artinya."

"Haiii, siapa kau anak manis?"

"Aku Dewi Arimbi, murid nomor satu di padepokan ini, maju kau Sempani aku ingin tahu sampai dimana kehebatan kebo Sempani yang tersohor itu."

"Hahaha.

"

"Den ayu Arimbi, tahan sabar...., jangan gegabah,"

Sela Abilawa.

"Tidak guru, orang itu terlalu banyak bicara dia perlu dihajar, sebab membuat aku penasaran."

"Hahahaha, pantas kau betah sekali bercokol di padepokan ini Bilawa, hemm sebab kau punya seorang murid yang cantik, hahaha."

"Bedebah!"

Geram Arimbi.

"Ayo maju kau Sempani, kita bertarung satu lawan satu,"

"Pemimpin dengan pemimpin, dan anak buah dengan anak buah. Haii Sagala!"

"Siaga!"

"Kau belum kawin bukan?"

"Belum,"

"Nah, Sagala gadis itu untuk kau, bawalah dia ke rumah mu,"

"Baik, baik, baik,"

Sela Sagala lalu maju menghampiri Arimbi kemudian dengan beringas layangkan serangan beruntun pada gadis cantik tersebut detik berikut pertarungan antara Sagala dan Arimbi berlangsung seru."

"Gila, gadis itu nekad rupanya,"

Gumam Sempani. Duel antara Sagala dengan Arimbi semakin seru, namun rupanya Sagala bukan tandingan gadis cantik ini, dalam beberapa jurus Sagala sudah tersungkur mencium tanah hingga muntah.

"Hahaha, kau masuk angin? jangan muntah di sini,"

Cibir Arimbi.

"Kau, boleh juga kau,"

Gumam Sagala kemudian muntah kembali.

"Sekarang kita pakai senjata!"

Sentak Sagala lalu cabut pedang yang terselip di pinggangnya.

"Kau mau pakai pedang? ayo aku juga punya pedang!"

Seru Arimbi yang juga cabut pedang yang ada di punggungnya.

"Haii, stop, cukup Sagala, masukkan pedang mu,"

Sentak Sempani.

"Ayo kita tinggalkan padepokan Banci ini,"

Seru Sempani kemudian berlalu meninggalkan padepokan Ciampea diikuti benerapa anak buahnya.

"Kalian yang Banci, baru segitu sudah kabur!"

Cibir Arimbi.

"Hai, Bilawa, kalau kau tetap tidak mau berjuang dengan ku, aku sendiri yang akan membunuh mu, dan kau gadis binal, kau juga akan menjadi mangsa dari perjuangan ku,"

Geram Sempani kemudian berlalu menyusul anak buahnya.

"Kenapa dia mengancam mu, guru? Apakah guru bermusuhan dengan Sempani."

"Ehh, den ayu, nantilah saya ceritakan sekarang pergilah ke sungai bersihkan badan mu, lalu ganti pakaian dan istirahat, nanti malam saya akan bercerita tentang perjuangan Sempani."Geger Tarumanagara "Ehh, baik guru,"

Kata Arimbi lalu meninggalkan tempat latihan diiringi Chao-Xing dan Iblis Bisu.[] Gejolak Darah Kesatria Suasana dini hari nan sepi, semilir angin timur mengelus dedaunan waringin kurung yang berada dipinggir alun-alun Kerajan Tarumanagara, embun masih bergantung di pucuk-pucuk daun ketika Rakeyan Kanuruhan Rajendra, Rahardian Tarusbawa, telik sandi Yuda Karna dan Niluh Arundaya berjalan pelan diantara pinggiran tembok benteng yang mengelilingi ibu kota, begitu sampai di ujung tembok sebuah parit lebar dua meter dengan kedalaman sekitar tiga meter terbentang dihadapan, ke empatnya lantas turun ke dalam parit menyusurinya sampai seratus langkah sebuah dinding batu andesit hitam kini berada di sebelah kanan Rakeyan Kanuruhan Rajendra ketika diraba terdapat batu menonjol sebesar jari kelingking, begitu ditekan desisan halus terdengar bersamaan bergesernya dinding batu andesit hitam ke samping kanan.

"Ayo kita masuk Niluh,"

Dara ayu dengan lesung pipit itu menganguk pelan kemudian melangkah di belakang Rakeyan Kanuruhan Rajendra yang terlebih dahulu menyalakan obor yang menempel di dinding lorong dengan batu pemantik disusul Rahardian Tarusbawa dan telik sandi Yuda Karna.

Lorong yang sangat panjang dan berliku-liku, dan banyak lorong lain saling berhadapan, silang menyilang dapat dipastikan jika tidak membekali diri dengan petunjuk pasti akan tersesat dan butuh waktu lama untuk keluar dari lorong-lorong yang didesain seperti labirin tersebut.

"Di zaman Prabu Purnawarman, lorong ini dinamakan seribu satu jalur sesat,"

Kata telik sandi Yuda Karna.

"Menurut peta, di atas lorong ini adalah sungai Candrabaga,"

Sela Rakeyan Kanuruhan Rajendra.

"Luar biasa, sebuah pertahanan alami sekaligus mematikan jika kita tersesat,"

Kata Rahardian Tarusbawa.

"Niluh kenapa kau diam saja?"

Kata Rakeyan Kanuruhan Rajendra. Sebelum menjawab, dara ayu itu tampak menarik napas panjang.

"Bagaimana saya menjelaskan kondisi Candrika pada ibundanya."

"Sudahlah Niluh, biar saya yang menjelaskan,"

Pungkas Rakeyan Kanuruhan Rajendra dijawab anggukan lemah dara ayu tersebut.Geger Tarumanagara "Dua ratus langkah lagi kita akan menuruni sebuah gua,"

Sela telik sandi Yuda Karna.

"Siapkan tali temali kalian,"

Imbuh nya.

Benar saja, setelah menghitung sampai dua ratus langkah di hadapan ke empatnya menganga sebuah lubang yang sangat lebar, gua yang aneh dengan mulut berada di atas, perlahan satu per satu ke empatnya menuruni gua tersebut hingga ke dasar, begitu sampai di dasar terbentang sebuah telaga berwarna biru dengan airnya yang melimpah sampai ke tepi.

"Ada dua jalan untuk sampai ke tempat ini,"

Kata Niluh Arundaya.

"Menurut peta ini, alun-alun barat dan telaga biru yang akan tembus ke muara Gembong,"

Sela telik sandi Yuda Karna.

"Saya dan Candrika pernah melalui dasar telaga ini sampai ke muara Gebong,"

Ujar Niluh Arundaya dijawab decakan kagum Rahardian Tarusbawa.
Geger Tarumanegara Karya Kusyoto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Ke empatnya kemudian keluar dari dalam gua Bojong Mangu, kembali Rahardian Tarusbawa, Rakeyan Kanuruhan Rajendra dan telik sandi Yuda Karna dibuat terkagum-kagum dengan pesona alam bawah tanah Tarumanagara tersebut, tanpa membuang waktu mereka bergegas menuju kediaman Niluh Arundaya, seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan anaknya itu dengan suka cita.

"Kau kembali, anak ku Arundaya."

"Iya ibu, saya kembali dengan para pembesar Keraton Tarumanagara."

"Oh, tuan Rakeyan Kanuruhan Rajendra, tuan Rahardian Tarusbawa, dan."

"Saya telik sandi Yuda Karna."

"Yah, selamat datang semuanya."

"Saya mengucapkan bela sungkawa atas gugurnya senapati Benanda,"

Pungkas Rahardian Tarusbawa.

"Terimakasih."

"Oh ya, mana Candrika Niluh?"

"Hemm, itu ibundaitu."

"Apa yang terjadi dengan Candrika, Niluh?"

"Bagini Nyai sSenapati,"

Rakeyan Kanuruhan Rajendra kemudian menceritakan kondisi Candrika dari awal sampai akhir.

"Biarlah saya yang akan menjelaskan semuanya pada nyai tumenggung Puspo Tajem tentang anaknya Candrika,"

Ujar Rahardian Tarusbawa dijawab anggukan lemah wanita paruh baya tersebut.

"Kami datang untuk bertemu dengan para ponggawa Tarumanagara dan para penduduk yang mengungsi ke tempat ini Nyai Senapati."

"Selama tujuh belas tahun kami menggalang kekuatan di tempat ini dan menunggu waktunya tiba untuk berjuang merebut kembali tanah Tarumanagara dari pendudukan Sriwijaya."

"Waktunya tidak akan lama lagi Nyai Senapati,"

Sela Rakeyan Kanuruhan Rajendra.

Diantar mendiang istri Senapati Benanda, Rahardian Tarusbawa, Rakeyan Kanuruhan Rajendra dan telik sandi Yuda Karna dipertemukan dengan para pembesar Tarumanagara dan para penduduk Tarumadesya yang kala itu memutuskan mengungsi ke tempat tersebut.

"Kepala pasukan Jaya Rana, ternyata kau masih hidup."

Kata Rahardian Tarusbawa antusias.

"Benar tuan Rahardian Tarusbawa, ketika tuan dan beberapa prajurit khusus Tarumanagara yang berusaha menyelamatkan Gusti Prabu Linggawaran tertangkap, saya dan beberapa prajurit yang tersisa berhasil meloloskan diri lewat jalan rahasia."

"Berapa pasukan Tarumanagara yang ada di sini, Jaya Rana?"

"Dua ratus ribu orang tuan Rahardian. Prajurit- prajurit itu adalah anak-anak dari para penduduk Tarumanagara yang saya didik dari kecil."Geger Tarumanagara "Baiklah, Jaya Rana, terus didik mereka dan jika waktunya tiba kita rebut kembali tanah Tarumanagara."

"Bagaimana dengan Gusti Prabu Linggawarman?"

"Kondisinya sangat memprihatinkan, Jaya Rana."

Maka dengan singkat, Rahardian Tarusbawa ceritakan semuanya mengenai kondisi Prabu Linggawarman.

"Hem, datura metel, tanaman yang sangat berbahaya,"

Gumam Jaya Rana.

"Sampai saat ini kami masih berusaha mencari penawarnya,"

Sela telik sandi Yuda Karna.

"Sudah dapat penawarnya?"

"Belum,"

"Menurut kitab eyang Jalatunda, penawar Datura Metel itu adalah air kelapa muda dan extrak jahe,"

Gumam Jaya Rana.

"Kami sudah memberikan ke dua bahan itu, dan berhasil untuk para prajurit Tarumanagara, tapi untuk Baginda Linggawarman ada satu bahan campuran lagi yang penawarnya sangat sulit kami dapatkan,"

Sela telik sandi Yuda Karna.

"Apa itu?"

"Extrak la?n hua?, sejenis tanaman anggrek hitam."

"Tanaman langka yang sangat beracun."

"Entah, apa penawar nya."

"Bagaimana kalau kita ungsikan Gusti Prabu ke sini, sambil mencari penawarnya,"

Mengusulkan Jaya Rana.

"Resikonya berat Jaya Rana, sebab tiap tahun di bulan ke Sembilan Gusti Prabu harus mendapat extak tersebut dan yang punya penawarnya adalah tabib Kerajaan sinse Li Sizen,"

Gumam Rakeyan Tarusbawa.

"Kalau begitu kita paksa sinse Li Sizen untuk memberikan penawarnya,"

"Tidak semudah itu Jaya Rana, dia adalah salah seorang kepercayaan tumenggung Jari Kambang, pemimpin tertinggi Tarumanagara saat ini,"

Sela Rahardian Tarusbawa.

"Sudahlah, untuk Gusti Prabu kita kesampingkan dulu, yang terpenting kesiapan pasukan yang kita bentuk,"

Gumam Rakeyan Kanuruhan Rajendra.

"Baiklah Jaya Rana, kami akan kembali ke Keraton, kalian di sini tunggu aba-aba dari kami,"

"Baik tuan Rahardian Tarusbawa."

Pada saat itulah seorang perempuan paruh baya menghadap Rahardian Tarusbawa, dia adalah ibunda Candrika.

"Tuan Rahardian Tarusbawa, bagaimana dengan anak saya Candrika?"

"Nyai Tumenggung, harap bersabar kami juga sedang berusaha memulihkan Candrika."

"Betul bibi Tumenggung, saya dan semua yang ada di Keraton sedang mengupayakan kesembuhan Candrika,"

Sela Niluh Arundaya.

"Dia adalah anak saya satu-satunya, tuan Rahardian, cuma Candrika harapan saya,"

Ujar wanita paruh baya tersebut sambil terisak-isak.

"Bibi Tumenggung, apapun kondisi Candrika saya tetap mencintainya."

"Ohhh, Arundaya, kau memang gadis baik, Candrika beruntung bersama mu."

"Iya bibi Tumenggung, sekarang kami pamit,"

Ujar Niluh Arundaya dijawab anggukan lemah istri mendiang Tumenggung Puspo Tajem itu.

"Nah, kepala pasukan Jaya Rana, peta ini untuk mu, jika waktu penyerangan tiba bagi pasukanmu melewati rute dua jalan itu,"

Sela telik sandi Yuda Karna sambil memberikan peta yang berada dalam ruas bambu hitam.

"Baik tuan, Yuda Karna."

Setelah dirasa cukup ke empatnya pamit meninggalkan dunia bawah tanah Tarumanagara diiringi lambaian tangan para penduduk Tarumadesya.Geger Tarumanagara ** Hari masih pagi, semilir angin timur menyibak dedaunan pohon Janakeling yang banyak tumbuh di sebuah perbukitan, dari lamping bukit sebelah utara dua ekor kuda tampak dipacu cepat oleh penungangnya, di sebuah perbukitan dimana mengalir sungai Citarum di bawahnya ke dua penunggang kuda itu tarik tali kekang tunggangannya.

"Nah, Taruma kita sudah sampai di ibukota Kerajaan Tarumanagara,"

Kata Udayana.

"Nah itulah pintu gerbang utama kerajaan Tarumanagara."

"I, iya, paman."

"Hemm, kenapa kau gemetar Taruma?"

"Apakah, apakah ayahanda dan ibunda mau menerima saya?"

"Ahh, Taruma, mereka adalah ayah dan ibu kandung mu, kebahagiaan ayah dan ibu mu tidak akan dapat dilukiskan dengan kata-kata atau diukur dengan apapun bila dapat berjumpa dengan mu."

Pendekar Naga Putih 05 Jari Maut Trio Detektif 41 Misteri Penyamun Horor Rajawali Emas 23 Misteri Pedang Pusaka

Cari Blog Ini