Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP Bagian 14
Ketika Tong Lam-hou mengetuk beberapa pintu untuk mohon menginap semalam, maka ia mendapat jawaban yang sama nadanya.
Tidak bisa menerima.
Semuanya diucapkan dengan nada sesopan mungkin, namun sinar mata para pemilik rumah itu tidak dapat menyembunyikkan rasa takut, benci dan curiga mereka.
Apa boleh buat, akhirnya Tong Lam- hou memutuskan untuk tidur di atas sebuah pohon besar yang tidak iauh letaknya dari desa itu.
Tidur di atas pohon semalam suntuk seperti itu sudah biasa dilakukan olehnya sejak dia masih menjadi seorang pemburu serigala di Tiam-jong-san dulu.
Untuk mengintai datangnya gerombolan serigala, kadang-kadang ia memang harus berbuat demikian.
Ketika malam tiba, darn Tong Lam-hou mulai merasa mengantuk, tiba-tiba dari arah desa terdengar ada suatu kesibukan.
Tadinya Tong Lam-hou tidak ambil pusing dengan suara-suara dari desa itu, namun ketika sayup- sayup ia mendengar pula ada perempuan yang menangis, maka diapun mulai agak tertarik.
Lalu dilihatnya ada obor bergerak-gerak keluar meninggalkan desa, dan suara tangisan itupun mengikuti rombongan orang yang membawa obor itu.
"Apa yang terjadi di desa ini ? Tadi sore orang-orangnya bersikap aneh kepadaku, dan kini di malam buta mereka keluar entah menuju ke mana ?"
Terdorong rasa ingin tahunya, maka Tong Lam-hou segera meloncat turun dari pohon tempat berteduhnya, dan dengan gerakan lincah ia segera berlari ke arah obor yang bergerak- gerak itu.
Tapi sebelum ia berhasil mendekati mereka, maka kupingnya yang tajam menangkap desir-desir kaki yang halus beberapa langkah di sebelah kirinya, tertutup oleh pohon-pohonan di kebun penduduk itu.
Suara langkah-langkah yang bukan hanya oleh satu atau dua orang, tetapi mungkin ada atau orang.
"Ternyata ada pihak lain yang ingin melihat apa yang sedang dilakukan penduduk desa ini, seperti aku juga ingin melihatnya", demikian desis Tong Lam-hou di dalam hatinya. Iapun melangkah lebih hati-hati, bahkan ia kemudian merobek sebagian dari ujung bajunya sendiri untuk dijadikan kedok menutupi mukanya. Ini untuk menjaga kemungkinan barangkali ia akan bertemu dengan orang-orang yang sudah dikenalnya dan mengakibatkan kesulitan bagi dirinya. Ketika mereka melalui pepohonan yang lebih rendah seperti pohon-pohon semongko atau pohon kacang, maka mata Lam-hou yang tajam itu berhasil melihat orang-orang yang juga sedang mengikuti rombongan orang desa itu. Mereka terdiri dari orang yang semuanya berpakaian warna gelap dan rata-rata punya gerak-gerik yang lincan, dan jelas pula bahwa mereka membawa senjata pula. Sebaliknya mereka tidak melihat Tong Lam-hou karena perhatian mereka telah terpusat pada gerak- gerik orang desa itu. Mereka bercakap-cakap dengan berbisik-bisik, dan Tong Lam-hou beberapa langkah di belakang mereka mencoba mempertajam pendengarannya untuk menangkap percakapan kelima orang itu.
"Arahnya tidak salah lagi", desis salah seorang dari mereka.
"Ke arah kuburan kuno itu".
"Ya, Tongcu", sahut lainnya.
"Dan menilik bekas-bekas yang ditinggalkan pada mayat- mayat gadis yang dikorbankan pada upacara- upacara yang lalu, tak salah lagi tentu Liong Pek-ji yang bersembunyi dalam kuburan kuno itu. Semua gagis-gadis itu mati kehabisan darah, dengan dua buah lubang kecil bekas gigitan di lehernya". Mendengar percakapan itu, biarpun secara samar-samar Tong Lam-hou dapat menebak dari golongan manakah kelima orang itu. Sebutan "Tongcu" (kepala kelompok) pada jaman itu hanya digunakan oleh orang-orang Hwe-liong-pang saja.
"Bahkan diantara mereka terdapat seorang Tongcu", batin Tong Lam-hou.
"Dan seorang Tongcu dalam Hwe-liong-pang memiliki ilmu silat yang tidak bisa dianggap remeh, seperti Siau-lo-cia Ma Hiong, Jian-kin-sin-kun Lu Siong atau Bu-ing-tui Oh Yun-kim yang pernah aku saksikan sendiri kelihaiannya di padang rumput Hun-lam dulu. Tapi entahlah Tongcu yang inipun salah seorang dari ketiga orang yang telah kukenal itu, ataukah lainnya ?"
Sementara menebak-nebak, orang-orang di depan Tong Lam-hou itu terus merayap maju sambil bercakap-cakap. Suara si Tongcu kedengaran lagi.
"Apabila benar bahwa Sip-hiat- mo-hok (si kelelawar hantu penghisap darah) Liong Pek-ji merajalela di sini dan menyusahkan rakyat kecil, maka kita wajib turun tangan untuk menghentikan keganasannya. Sekaligus kita bisa menghukumnya, karena diapun dulu menjadi pengikut Te-liong Hiangcu untuk berkhianat kepada ketua kita".
"Tapi menilik banyaknya banyak korban di antara gadis-gadis desa, agaknya ilmu si kelelawar busuk itu sudah hampir mencapai tingkat sempurna", desis salah seorang lainnya.
"Kita memang wajib berhati-hati".
"Aku tidak gentar", sahut si Tongcu. Dulu ketika dia menjadi pengikut Te-liong Hiangcu dan aku tetap setia kepada Hwe-liong Pangcu, kami pernah saling bergebrak dan dia tidak bisa mengalahkan aku. Sekarang meskipun barangkali ilmu Siu-bok-tiang-seng-kang (Ilmu Memanjangkan Umur dengan tidur dalam peti mati) serta Mo-hok-sin-hoat (Ilmu Sakti Kelelawar Hantu) miliknya sudah sempurna, tapi akupun siap menghadapinya dengan Ya- miao-sip-pat-sik ( jurus kucing liar) yang kulatih dengan giat, selama ini". Sambil mendengarkan percakapan orang- orang itu, tiba-tiba ingatan Tong Lam-hou tergugah. Selama ia melakukan perjalanan beberapa hari bersama Siang-koan Hong, suka atau tidak suka Tong Lam-hou pernah mendengar keterangan Siangkoan Hong tentang siapa-siapa saja delapan orang Tongcu (kepala kelompok) dalam Hwe-liong-pang, lengkap dengan julukan-julukan mereka dan ilmu andalan mereka. Dan kalau menilik ucapan si Tongcu yang sedang dikuntitnya itu tentang Ya- miao-sip-pat-sik, maka Tong Lam-hou menduga keras tentunya si Tong-cu yang sedang ia kuntit Itu adalah Hek-ki-tongcu (pemimpin kelompok bendera hitam) yang bernama Kwa Teng-siong dan berjulukan Ya-hui-miao (si kucing terbang malam). Terkenal dengan ilmu meringankan tubuhnya dan dengan permainan sepasang pisau belatinya. Tapi nama Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-Ji juga mengingatkan Tong Lam-hou akan sebuah cerit.a paman Singkoan yang lain. Dulu, ketika Te-liong Hiangcu berkhianat kepada ketua Hwe- liong-pang, diapun punya banyak pengikut, dan untuk menandingi delapan orang Tongcu yang setia kepada Hwe-liong Pang-cu Tong Wi-siang, maka Te-liong Hiangcu itupun mengangkat pula delapan orang Tongcu dari antara pengikut- pengikutnya sendiri sebagai tandingcin. Banyak Tongcu pengikut Te-liong Hingcu itu yang sudah tewas, dan dua diantaranya yang tewas itu baru terjadi, beberapa hari yang lalu di desa pertahanan Pangeran Cu Leng-ong, yaitu Tong King-bun dan Seng Cu-bok yang oleh Siangkoan Hong di "loloh"
Racun Penghancur Tubuh itu.
Namun masih ada empat orang Tongcu pengikut Te-liong Hiangcu yang berkeliaran sampai saat itu, di antaranya adalah Sip-hiat- mo-bok Liong Pek- ji yang menganut ilmu hitam Siu--bok-tiang-seng-kang dan gemar meminum darah para perawan itu.
Dengan demikian, dalam suatu kesempatan yang tidak diduga, Tong Lam-hou bakal menyaksikan pertarungan antara seorang Tongcu Hwe-liong-pang yang setia kepada mendiang ayahnya, melawan Tongcu Hwe- liong-pang lainnya yang menjadi pengikut Te- liong Hingcu.
Entah siapa yang bakal keluar sebagai pemenang ? Dalam hati, tentu saja Tong Lam-hou mengharap pihak Ya-hui-miao Kwa Teng-siong yang akan menang, sebab merekalah yang setia kepada ayahnya.
Tapi Tong Lam-hou belum memutuskan apakah ia akan turun tangan atau tidak.
Semantara itu rombongan orang desa itu sudah tiba di sebuah kuburan kuno yang agak jauh letaknya dari, desa, terletak di pinggir di setuah hutan rindang yang sekelilingnya penuh dengan semak-semak dan rumput, ilalang setinggi perut.
Orang-orang desa itupun menancapkan obor-obor mereka di tanah.
Dan ternyata mereka membawa seorang gadis yang nampak lemas dengan pakaian serba putih, sedang perempuan yang terus-terusan menangis itu agaknya adalah ibu dari si gadis yang kali ini tiba gilirannya untuk diisap darahnya.
"Puteriku.... puteriku.... sungguh malang nasibmu", ratap perempuan setengah baya itu.
"Setahun yang lalu aku kehilangan ayahmu dan sekarang aku harus kehilanganmu !"
Beberapa penduduk desa merasa iba dan mencoba menenangkan ibu gadis itu.
"Sudahlah, toanio, relakan gadismu demi keselamatan seluruh desa. Banyak orang desa kita yang sudah kehilangan anak perempuan, dan agaknya kita memang tidak dapat berbuat apa- apa dan hanya bisa menyerah kepada nasib saja. Itu lebih baik daripada seluruh desa ditimpa kutukan Manusia Kelelawar itu". Ucapan itu sama sekali tidak mengurangi kesedihan ibu dari gadis yang akan dikorbankan itu, namun terasa juga kebenarannya. Selain pasrah kepada nasib, memangnya orang-orang desa itu bisa apa lagi? Melawan sama dengan bunuhdiri. Membangkang dengan cara tidak menyediakan seorang gadis perawan setiap beberapa hari tertentu untuk dihisap darahnya oleh si Manusia Kelelawar, juga sama saja dengan bunuh diri, sebab akan menimbulkan kemarahan Manusia Kelelawar dan anak buahnya. Beberapa saat yang lalu, orang desa mengusakan cara lain, yaitu dengan mengirimkan dua orang lelaki desa yang paling kuat dan paling berani untuk menuju sebuah kota terdekat yang ada tentara kerajaannya, untuk minta perlindungan dari tentara kerajaan. Tetapi kedua orang itu tidak pernah sampai ke tujuannya, sebab keesokan harinya orang hanya menjumpai dua butir kepala mereka tergeletak di tengah jalan desa, sedang tubuhnya entah ke mana. Dengan demikian tidak ada jalan lain bagi penduduk untuk melawan siluman kelelawar yang merajalela di desa mereka itu. Satu-satunya jalan adalah menyerah dan mengorbankan gadis demi gadis ke kuburan kuno itu, sesuai dengan permintaan si siluman, sampai suatu saat nanti desa itu bersih dari anak perawan. Orang-orang Hwe-liong-pang yang mengintip di balik rumpun ilalang itu, dan juga Tong Lam-hou yang ikut mengintip di luar tahunya orang-orang Hwe-liong-pang itu, kini mulai mengerti duduk persoalannya. Penduduk desa kecil itu memang sedang dicengkam ketakutan dan keputus-asaan, maka pantaslah kalau sikap mereka begitu aneh kepada Tong Lam-hou tadi. Kini para pengintip itu hanya menunggu kejadian-kejadian berikutnya. Tak lama kemudian, di tengah keheningan malam terdengar suara kibaran-kibaran baju yang membuat wajah para penduduk desa tegang. Merekapun terdiam ketakutan, bahkan yang menangis takut kehilangan anaknya itupun menahan tangisnya sekuat tenaga. Penduduk desa tahu bahwa "pasukan kelelawar"
Sudah datang, mendahului kedatangan pemimpin mereka. Di kegelapan malam yang dilatar-belakangi oleh bulan sepotong yang bercahaya redup, memang nampak di angkasa tiba-tiba dipenuhi dengan "kelelawar-kelelawar"
Raksasa yang berloncatan dari pohon ke pohon.
Dan kemudian merekapun bergelantungan dengan kepala di bawah dan kaki mengait dahan diatas, persis seperti kelelawar-kelelawar asli.
Namun ketajaman mata Tong Lam-hou dapat mengetahui bahwa merekalah manusia- manusia yang berpakaian hitam-hitam seperti kelelawar, dan mengenakan kedok yang mirip muka kelelawar pula.
Jubah mereka yang hitam itu juga dijahit sedemikian rupa sehingga apabila mereka tengah meloncat dan jubah mereka berkibar maka akan mirip sayap kelelawar.
Tong Lam-hou tertawa dalam hati.
Tipuan macam itu memang dapat membuat orang- orang di desa-desa lari ketakutan, namun bagi orang-orang kawakan di rimba persilatan, rasanya gertakan macam itu bersifat kekanak- kanakan.
Seperti seorang anak nakal yang menakut-nakuti teman-temannya dengan topeng hantu-hantuan.
Orang-orang dunia persilatan yang sesungguhnya akan lebih mempertimbangkan seorang yang ahli bermain senjata atau seseorang yang memiliki pukulan yang keras, daripada orang yang suka mengenakan topeng-topeng seram atau berlagak aneh-aneh macam Itu.
Karena gatal tangan melihat lagak "kelelawar-kelelawar palsu itu, Tong Lam-hou menjumput sebutir batu, lalu diincarnya salah satu "kelelawar"
Terdekat yang tengah bergantungan terbalik di dahan sebuah pohon. Disentilnya batu kecil itu ke arah betis dari "kelelawar"
Itu.
Terdengar kelelawar gadungan itu mengaduh dan tubuhnyapun jatuh ke tanah, malangnya jidatnyapun terbentur batu dan langsung benjol.
Maka sang "kelelawar"pun mengaduh-aduh tidak ada bedanya dengan orang biasa yang jempok kakinya kejatuhan batu besar, dan dengan agak sempoyongan ia berusaha untuk naik kembali ke pohon.
"Kelelawar-kelelawar"
Lainnya maupun orang-orang desa terkejut mendengar kegaduhan itu. Belum lagi kegaduhan itu reda, tiba-tiba kembali seorang manusia kelelawar tiba-tiba menggigil kedinginan tanpa diketahui sebab-musababnya oleh rekan-rekannya.
"Kelelawar"
Yang menggigil itu hanya merasakan sebutir batu mengenai punggungnya, namun batu itu mengandung hawa yang sangat dingin yang langsung meresap ke dalam tubuhnya, itulah gara-gara ulah Tong Lam-hou yang kali ini menyambitkan batunya dengan disaluri ilmu Han-im-ciangnya yang maha dingin itu.
Kelelawar yang bertenggernya di dekat rekannya yang menggigil kedinginan itu berkata dengan suara tertahan "He, kenapa.
Kau demam?"
"Kelelawar yang kedinginan menyahut.
"Ti...ti...tidak...apa-ap...apa... hanya men..da...dak.. aku ke..dingiman..."
Suara giginya yang bergemerutuk jelas terdengar. Rekannya itu menjadi mendongkol, behthknya.
"Berperanlah sebaik-baiknya agar penduduk desa ketakutan terehadap kita."
Baru saja habis ucapannya, terasa sebutir, batu menyentuh pinggangnya tepat pada jalan-darah -Siau-yau-hiat.
Maka iapun tiba-tiba saja tertawa terpingkal-pingkal tak terkendali lagi, karena memang jalan darah itulah yang membuat orang tertawa apabila kena totokan.
Baik "kelelawar"
Yang menggigil kedinginan maupun yang tertawa terpingkal-pingkal itupun tak dapat mempertahankan diri untuk bergelantungan lebih lama lagi di dahan.
Berturut-turut merekapun jatuh ke tanah.
Yang satu masih menggigil kedinginan seperti orang- orang kena malaria, yang lainnya tertawa terpingkal-pingkal sambil berguling-guilng di tanah bahkan sampai mendekap perutnya sendiri.
Dalam kemunculannya yang pertama tadi, kawanan kelelawar gadungan itu mencoba membikin ciut hati penduduk desa dengan berlagak seperti siluman-siluman asli.
Berusaha menciptakan suasana yang seram, mencengkam dan menggetarkan agar penduduk selalu taat kepada perintah mereka.
Namun setelah Tong Lam-hou turun tangan, bubarlah suasana mencengkam itu.
Mana ada suasana seram kalau ada seorang yang tertawa begitu gelinya seolah-olah melihat pertunjukan lawak yang amat lucu? Dengan demikian suasana seram di kuburan kuno itupun sirna.
Tongcu Hwe-liong-pang, Ya-hui-miao-Kwa Teng-siong yang ikut mengintai bersama empat orang anakbuahnya itupun merasakan perubahan suasana itu.
Bisiknya kepada anakbuahnya yang ada di sampingnya.
"Ada sesuatu yang mengganggu kelelawar-kelelawar gadungan itu. Entah apa."
Sahut anakbuahnya itu dengan berbisik pula.
"Ya. Mungkin ada seorang yang berilmu tinggi telah turun tangan karena tidak suka melihatkesewenang-wenangan Liong Pek-ji kepada penduduk desa."
"Mudah-mudahan tebakanmu benar."
Sementara itu, Tong Lam-hou sudah tidak mengganggu lagi.
Ia merasa gangguannya kali ini sudah cukup untuk meruntuhkan pamor para siluman gadungan itu di hadapan orang- orang desa.
Kalau gangguannya berlebihan, Tong Lam-hou malahan kuatir si "Manusia Kelelawar"
Tidak akan muncul.
Tapi yang terjadi malah sebaliknya, kegaduhan-kegaduhan yang merusak suasana itu agaknya telah mempercepat kemunculan Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-ji yang terungkat kemarahannya karena merasa dia yang mengganggunya.
Kegaduhan dari para "kelelawar"
Yang terpingkal-pingkal, menggigil kedinginan maupun mengadun-ngaduh karena kepalanya benjol itu, tiba-tiba ditindih oleh pekikan nyaring yang menyeramkan.
Dari balik gundukan kuburan kuno itu melayanglah sesosok tubuh hitam bagaikan kelelawar terbang di langit kelam, lalu mendarat ringan di depan kerumunan penduduk desa itu.
Di bawah cahaya obor, orang yang baru muncul itu benar-benar bertampang menyeramkan, dan keseramannya berbeda dengan keseraman manusia-manusia kelelawar terdahulu yang dibuat-buat.
Wajahnya asli dan tidak dihias supaya seram, namun wajah asli itupun sudah sangat seram sebab pucat seperti mayat, dengan bibir yang berwarna merah dan mata yang merah cula dan disudut-sudut bibirnya muncullah sepasang taring tajam yang agaknya tumbuh karena kebiasaannya menghisap darah sesama manusia itu.
Jubahnya hitam berkibar-kibar tertiup angin malam, dan topi hitamnya yang lancip mirip topi setan Bu- siang dalam dongeng itupun menambah keseramannya.
Penduduk desa sudah tahu bahwa yang dihadapinya itu adalah manusia biasa dan bukan siluman, toh mereka tetap bergidik ketakutan.
Di tempat persembunyiannya, Ya-hui-miao Kwa Teng-siong segera mengenal bahwa orang itu memang Sip-hiat-moehok Liong Pek-ji adanya, salah seorang pengikut Te-liong Hiangcu yang paling diandalkan dan juga paling keji.
Namun Kwa Teng-siong tetap memberi isyarat kepada anak buahnya agar tetap bersembunyi lebih dulu, menunggu keluarnya si pembuat kegaduhan lebih dulu.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suasana gaduh yang mengacaukan suasana seram itu agaknya membuat Liong Pek-ji tidak senang.
Sekaligus ia ingin memamerkan kekejamannya agar suasana seram itu dapat tetap mencengkam hati penduduk desa.
Dengan suaranya yang dingin menggidikkan dan disertai pula bau busuk yang keluar dari mulutnya, Liong Pek-ji memanggil ketiga anakbuahnya yang gaduh itu.
"Lo-su, Lo-liok dan Lojit, maju kemari!"
Ketiga anakbuahnya itupun bergerak maju tanpa berani membantah, namun wajah mereka menampakkan ketakutan hebat.
Ulah mereka yang tidak mereka kehendaki sendiri itu agaknya telah membuat pemimpin mereka marah.
Lo-jit yang bertotok jalan darah yang membuatnya tertawa itupun masih tertawa- tawa tertahan-tahan, tapi matanya menunjukkan sinar ketakutan, sehingga mukanya jadi aneh.
Seperti tertawa tetapi juga seperti menangis.
Setelah dekat, tiba-tiba Liong Pek-ji bergerak secepat kilat dan ketiga anakbuahnya sendiri itupun roboh ke tanah, bahkan tidak sempat menjerit, hanya mengeluarkan suara mendengkur seperti babi disebelih.
Di leher mereka muncul dua buah lubang yang diakibatkan oleh tikaman kedua jari Liong Pek- ji yang sekuat pisau baja itu.
Keruan orang desa jadi menggigil ketakutan melihat kekejaman itu, apalagi ketika melihat Liong Pek-ji dengan tenangnya menjilati jari- jarinya yang berlumuran darah itu.
Kemudian ia berseru.
"Siapa lagi yang ingin mengganggu kekhidmatan upacara minum darahku, mereka akan bernasib seperti ketiga tikus tak tahu diri ini. Nah, siapa lagi?"
"Aku!"
Tiba-tiba dari sebuah rumpun semak terdengar jawaban yang mengejutkan semua orang.
Lalu meloncatlah seseorang yang wajahnya tertutup secarik kain yang agaknya adalah robekan dari ujung bajunya sendiri.
Dengan langkah yang tetap ia maju ke arah Liong Pek-ji tanpa rasa gentar sedikitpun.
Dialah Tong Lam-hou yang tidak tahan melihat tingkah laku kejam dari Liong Pek-ji itu.
Liong Pek-ji yang menatap Tong Lam-hou dengan heran bercampur marah.
Apakah orang ini belum kenal siapa Sip-niat-mo-hok yang namanya ditakuti kaum rimba persilatan di seluruh Ouh-lam? "Bangsat, siapa kau? Kenapa kau tidak menyayangi nyawamu sendiri dengan mencampuri urusanku?"
Bentak Liong Pek-ji. Tong Lam-hou tertawa.
"Dan kenapa kaupun membahayakan jiwamu sendiri dengan membentak-bentak aku?"
Kemarahan Liong Pek-ji tak tertahan lagi, orang berkedok itu sudah keterlaluan menjatuhkan pamornya, apabila dibiarkan saja maka lama kelamaan orang-orang desapun tidak akan takut lagi kepadanya.
Karena itu, Liong Pek-ji segera memekik seram dan tubuhnya-pun melesat ke arah Tong Lam-hou, kedua tangannya yang satu menusuk ke mata, lainnya menusuk ke leher.
Cepatnya bukan main.
Di tempat persembunyiannya, Kwa Teng- siong sendiri terkesiap melihat gerakan Liong Pek-ji yang dinilainya jauh lebih cepat dan mantap dari puluhan tahun yang lalu itu.
Diam- diam ia menguatirkan keselamatan orang berkedok yang tidak dikenalnya itu.
Tapi yang kemudian dilihatnya adalah sangat mengejutkan, sebab dengan gerakan miring yang sederhana maka orang berkedok itu telah berhasil menghindari serangan Liong Pek-ji itu.
"Ha-ha-ha,"
Orang berkedok itu tertawa.
"Sesungguhnya bau mulutmu yang busuk itu lebih berbahaya dari tanganmu yang tak seberapa kekuatannya Alangkah marahnya Liong Pek-ji mendengar ejekan itu. Sesunguhnya ucapan Tong Lam-hou itu benar, bau mulutnya memang busuk luar biasa karena kegemarannya mengisap darah manusia dari gadis-gadis yang dikorbankan untuknya. Di tengah udara tiba-tiba tubuhnya berputar seperti gasing raksasa yang siap melindas hancur lawannya. Bentuk tubuhnya lenyap dan hanya kelihatan seperti segulung bayangan hitam yang melanda lawan, sepasang tangannya yang berkuku tajam-tajam itu pun mencakar kian kemari dengan cepat sehingga seolah-olah menjadi berpuluh-puluh tangan bergerak sekaligus. Tong Lam-hou mengerutkan alisnya dan iapun tidak berani bermain-main lagi. Ia pernah bertempur dengan Tong King-bun dan Seng Cu- bok yang menurut kata paman Siangkoan-nya juga bekas Tongcu-tongcu pengikut Te-liong Hiangcu, namun kini Tong Lam-hou merasakan bahwa Liong Pek-ji agaknya beberapa tingkat lebih tangguh dari Tong King-bun maupun Seng Cu-bok, Namun ketangguhan itu masih belum cukup untuk mengalahkan Tong Lam-hou si murid tunggal dan murid kesayangan Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan yang sudah mewarisi seluruh ilmu gurunya itu. Dalam deretan "Sepuluh tokoh paling sakti"
Yang digembar-gemborkan orang sejak beberapa puluh tahun yang lalu, nama Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan menduduki urutan pertama.
Tong Lam-hou yang memang bermaksud akan menghajar Liong Pek-ji untuk membangkitkan keberanian penduduk desa, tentu saja tidak ingin dirinya diserang terus menerus tanpa membalas.
Pusaran serangan lawan segera ia terjang dengan gerakan Beng- hou-tiau-kan (Harimau Galak Meloncati Parit).
Tinjunya memang tidak menjadi berpuluh- puluh-bayangan seperti lawannya, tetap kelihatan hanya satu, namun yang hanya satu itu mengandung kekuatan amat besar sehingga buyarlah serangan lawannya.
Liong Pek-ji terpental mundur dengan wajah menampilkan rasa kecut dan tak percaya.
Tong Lam-hou tertawa sambil mengacungkan tinjunya kepada lawan, tanyanya.
"Bagaimana tinjuku tadi, enak?"
"Bangsat, kau harus mampus agar semua orang tahu kehebatanmu!"
Namun baru saja ucapannya berakhir, malah Tong Lam-hou yang sudah menyerang lebih dulu secara beruntun.
Jurus-jurus Tok-pi- hoa-san (Lengan Tunggal Menggempur Hoa- san) yang diarahkan ke batok kepala, lalu Koay- bong-hoan-sin (Naga Siluman Memutar Tubuh), ditutup dengan Se-ceng-pay-Hud (Se-ceng Menyembah Buddha).
Gerakannya saling susul dengan cepatnya, lebih cepat dari dari serangan Liong Pekji tadi, dan juga membawa deru angin kekuatan yang mengejutkan.
Dalam tiga kali serangan saja si Kelelawar Siluman itu sudah didesak mundur enam langkah tanpa berkesempatan membalas serangan, bahkan berganti napaspun sulit.
Menyadari bahwa dirinya telah bertemu dengan seorang lawan tangguh, maka Liong Pek-ji meraba kepinggangnya dan mengeluarkan senjatanya berupa sepasang sarung tangan yang terbuat dari benang logam halus dan di ujung jari-jarinya ada sepuluh kuku panjang dari logam yang panjangnya sejengkal lebih.
Begitu kedua sarung tangan dipakai, muncullah sepasang tangan yang kebal senjata dan berkuku tajam yang kekuatannya seperti pisau belati baja.
Kedua orang itupun segera bertempur dengan disaksikan oleh penduduk desa yang mulai menaruh harapan akan datangnya si malaikat penolong itu.
Juga disaksikan oleh beberapa manusia kelelawar yang masih bergelantungan di dahan-dahan itu dengan penuh keheranan, karena mereka tidak menduga kalau ada juga seseorang yang sanggup bertempur seimbang dengan pemimpin yang mereka dewakan itu, bahkan mendesaknya.
Tong Lam-hou yang memang benci segala bentuk kejahatan, apalagi kejahatan yang menyangkut nyawa orang yang tak berdaya, memang telah berkelahi seperti angin prahara yang berhembus dari lautan.
Kekuatannya membuat pertahanan Liong Pek-ji bagaikan kekuatan raksasa, dan kecepatannya membuat Liong Pek-ji seakan tidak hanya menghadapi seorang lawan tetapi beberapa lawan sekaligus.
Tendangan Pek-pian-hian-hoan-tui (Tendangan Berantai Seratus Perubahan) yang dimainkannya ibarat seekor naga sakti yang menyambar-nyambarkan ekornya, meluluh- lantakkan apapun yang menghalanginya.
Begitulah kedua orang yang bertempur itu berkelebatan saling menyambar dengan sengitnya dengan jurus-jurus maut andalan mereka.
Disaksikan oleh anakbuah Liong Pek-ji yang kecewa melihat pemimpinnya tidak dapat segera unggul, penduduk desa yang harap- harap cemas untuk kemenangan Tong Lam-hou, dan orang-orang Hwe-liong-pang yang terpesona di tempat persembunyian mereka.
"Luar biasa,"
Desis Kwa Teng-siong.
"Siapa orang berkedok itu? Andaikata aku yang harus berkelahi melawan si kelelawar busuk itu, paling banter hanya bisa seimbang saja, namun "orang berkedok telah berhasil mengurung dan menekan Liong Pek-ji seperti itu. Di dunia persilatan, tokoh yang sanggup berbuat demikian terhadap Liong Pek ji tidak banyak jumlahnya."
Waktu itu memang Liong Pek-ji sudah terdesak benar-benar.
Sepuluh kuku-kuku logamnya tak sanggup menyentuh Tong Lam- hou biarpun hanya ujung-jubahnya, seolah-olah ia sedang berkelahi hanya dengan segumpal asap.
Sebaliknya pukulan atau tendangan Tong Lam-hou yang menggeledek bertubi-tubi itu semakin berbahaya, jika mengenai pasti akan rontok seluruh tulang-belulang lawannya.
Liong Pek-ji menjadi ngeri melihat bagaimana batu- batu besar dan pohon-pohon sebesar paha menjadi hancur atau tumbang bila tersentuh tangan atau kaki Tong lam-hou yang seperti palu godam baja itu.
Masih untung buat Liong Pek-ji, bahwa Tong Lam-hou merasa belum perlu mengeluarkan ilmu Han-im-ciangnya yang dapat membekukan darah lawannya itu.
Andaikata ilmu itu sampai digunakan, agaknya kematian Liong Pek-ji akan dipercepat waktunya.
Kini dalam keadaan terdesak, Liong Pek-ji merasa tidak segan-segan untuk berbuat licik.
Kepada anakbuahnya yang bergelantungan di dahan-dahan seperti kalong itu ia berteriak.
"Hei, kalian, bantu aku membunuh setan kecil ini!"
Orang-orang yang bergelantungan di dahan dengan kepala di bawah itupun segera mengeluarkan sepasang pisau belati masing- masing, dan bagaikan sekawanan kelelawar yang diusik sarangnya, merekapun "beterbangan"
Meninggalkan dahan-dahan tempat mereka bergantungan, dan menerkam ke arah Tong Lam-hou dengan pisau-pisau yang berkilat-kilat di tangan mereka.
Manusia-manusia kelelawar itu agaknya telah dilatih cara bertempur tersendiri oleh Liong Pek-ji.
Dari satu dahan pohon mereka meloncat menerkam lawan, dan jika serangan luput maka mereka langsung menyambar dahan pohon yang terdekat dengan mengaitkan kaki mereka dan mempersiapkan serangan baru.
Demikian berganti-ganti mereka menubruk ke arah Tong Lam-hou dan kemudian meloncat ke pohon, sehingga lama kelamaan Tong Lam-hou jengkel juga, apalagi karena kedudukan Liong Peik-ji yang sebenarnya tadi sudah terpojok jadi dapat bernapas kembali karena bantuan anakbuahnya itu, bahkan ia mencoba balik mendesak Tong Lam-hou.
Dalam keadaan seperti itu, Tong Lam-hou langsung saja menggunakan ilmu Han-im- ciangnya sambil tertawa.
"Kalong-kalong busuk, malam ini kalian akan merasakan kelihaianku!"
Ketika seorang manusia kelelawar melayang dari atas sebatang pohon dan hendak menikam dari belakang, Tong Lam-hou cepat menjatuhkan diri kesamping sambil menyambar kedua kaki korbannya dengan kedua tangannya, itulah korban kedua dari Han- im-ciangnya setelah yang pertama dengan sambitan batu tadi.
Begitu kedua kakinya kena tercengkeram oleh Tong Lam-hou, si manusia kelelawar itu langsung merasa kakinya seolah- olah terperosok ke dalam sebuah sumur es.
Hawa yang amat dingin menjalar dengan cepat dari kedua kakinya ke seluruh tubuhnya, membekukan seluruh aliran darahnya dan bahkan langsung menghentikan detak jantungnya.
Ia terbanting dengan tubuh membiru beku dengan tatapan mata yang kosong, tanpa nyawa lagi.
Kematian salah seorang teman mereka agaknya masih belum memubat para manusia kelelawar itu menjadi jera, meskipun merka lebih berhati-hati sekarang.
Namun mereka masih saja berloncatan dengan tangkasnya dari dahan ke dahan sambil menyambar- nyambarkan pisau mereka, sementara Liong Pek-ji melawan secara berhadapan.
Tapi kini kawanan manusia kelelawar maupun Liong Pek-ji merasa ada udara maha dingin mengalir lambat di sekitar tubuh mereka, makin lama rasa dinginnya makin tajam sehingga pori-pori kulit terasa ditusuk ribuan jarum es.
Darah semakin lambat mengalir dan dengan demikian mengganggu pula kelancaran gerak mereka.
Lagi dua orang manusia kelelawar mati dengan tubuh beku, sementara Liong Pek-ji sendiri terpaksa harus meioncat mundur berkali-kali menjauhi Tong Lam-hou karena udara dingin yang terpancar dari pukulan Tong Lam-hou hampir tidak tertahankan lagi.
Serangan senjata atau serangan tangan masih bisa ditangkis, tapi kalau serangan itu berwujud aliran udara, mana bisa menangkisnya? Dengan terdesaknya Liong Pek-ji, Tong Lam-hou jadi lebih leluasa untuk "mempreteli"
Anakbuah Liong Pek-ji yang berujud manusia- manusia kelelawar itu.
Beberapa orang telah bergelimpangan di tanah.
Dan kemudian Tong Lam-hou bukan sekedar menunggu sergapan mereka, namun iapun meloncat-loncat dari dahan ke dahan untuk mengejar mereka, bahkan ternyata Tong Lam-hou lebih tangkas dalam permainan di atas dahan itu.
Melihat itu, Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-ji menarik napas dengan hati yang terasa tawar, sadarlah ia bahwa kekalahan sudah di depan mata.
Sejak tenaga dalam Siu-bok-tiang-seng- kangnya meningkat pesat, ia merasa dalam dunia sudah sulit dicari tandingannya.
Tapi kini suatu kenyataan bahwa seorang yang tak dikenal saja telah membuat "pasukan kelelawar"
Andalannya itu berantakan tanpa arti.
Jika ia berkeras kepala tetap di situ, maka itu adalah alamat kehancurannya.
Karena itu Liong Pek-ji tidak menunggu sampai anakbuah- nya tertumpas habis, ia segera meloncat untuk kabur sambil memekik tinggi sebagai isyarat agar "pasukan kelelawar"nya mengundurkan diri.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bersambung ke
Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan Ko Aditya Indra Jaya first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU
Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.
Jilid API ternyata jalan mundurpun tidak selicin yang ia duga, sebab dari balik semak-semak berloncatanlah lima orang yang berpakaian hitam-hitam serba ringkas, menghadang jalan larinya.
Bahkan salah seorang dari mereka langsung menghunus sepasang belati sambil membentak.
"Kelelawar busuk, setelah sekian tahun kau hidup bebas tanpa mendapat hukuman atas pengkhianatanmu kepada Hwe- liong-pang, kau kira malam ini nyawa busukmu bisa selamat lagi?"
Liong Pek-ji menghentikan luncuran tubuhnya, dan matanya yang tajam karena terbiasa menembus gelapnya malam itu.
dapat T mengenali siapa yang berbicara itu, seorang musuh lamanya yang wajahnya masih tetap dikenalnya meskipun sudah bertahun-tahun tidak dijumpainya.
Teriaknya terkejut.
"Kucing malam busuk, kiranya kau! Hinggir atau aku harus merobek-robek tubuhmu?"
Si penghadang yang bukan lain adalah Ya- hui-miao Kwa Teng-sing itu tidak mau minggir.
Bahkan tanpa banyak cakap lagi sepasang belatinya segera bergerak-gerak menyerang dalam jurus-jurus-jurus Ya-miao-sip-pat-sik (Delapanbelas Jurus Kucing Liar).
Tikaman- tikaman dan sabetan-sabetan sepasang belatinya segera menghambur bagaikan hujan lebat yang menyiram bumi, mengeluarkan desisan angin yang menandakan kemantapan gerakannya.
Andaikata di tempat itu tidak sedang ada Tong Lam-hou, ingin rasanya Liong Pek-ji membereskan permusuhan lamanya dengan Kwa Teng-siong.
Namun saat itu Liong Pek-ji tidak berminat untuk bertempur lebih lama lagi, ia harus kabur secepat-cepatnya dari tempat itu.
Serangan Kwa Teng-siong itu sama sekali tidak diladeninya, namun hanya dihindari selangkah ke belakang dan kemudian tubuhnya melambung jauh bagaikan seekor kelelawar raksasa kabur dari situ.
Sambil berteriak.
"Kucing busuk, kau boleh memperpanjang umurmu sekejap lagi, sebab aku sedang tidak berniat beramain-main denganmu!"
Tapi Kwa Teng-siong tidak mau melepaskannya.
Lawan berjulukan "mo-hok" (Kelelawar Siluman) karena ilmu meringankan tubuhnya, tetapi dirinya sendiri juga ahli meringankan tubuh sehingga julukannya adalah Ya-hui-miao (Si Kucing Terbang Malam).
Maka dengan sebuah bentakan keras iapun meloncat gesit dan memburu Liong Pek-Ji, keduanya seolah-olah dua ekor burung elang yang tengah berkejaran di udara.
Liong Pek-ji diam-diam mengeluh dalam hatinya karena Ya-hui-miao terus memburunya dengan sengit seperti itu.
Untuk membebaskan diri, di tengah udara ia'membuat gerakan Hui- eng-sia-hui (Elang Terbang Menyamping), tubuhnya yang tengah meluncur itu tiba-tiba bisa berbelok tajam, bersamaan dengan ke sepuluh kukunya yang menerkam pundak dan tengkuk Ya-hui-miao Kwa Teng-siong.
Kwa Teng-slong agak terkejut, satu-satunya cara menyelamatkan diri ialah dengan gerak Sip-hiong-kiau-hoan-hun (Mengempiskan Dada dan Berputar di Udara), tubuhnya melakukan jungkir balik yang manis dan kemudian mendarat ringan di tanah.
Ia selamat, namun dengan demikian telah memberi kesempatan kepada buruannya untuk menghilang di hutan yang gelap sana.
Sementara itu sebagian dari manusia- mannusia kelelawar itupun sempat menyelematkan diri dengan meninggalkan kawan-kawan mereka yang tewas.
Seperti cara datangnya, maka cara pergi mereka-pun seperti sekumpulan kelelawar yang terbang bergerombolan, sekejap kemudian sudah lenyap di hutan.
Setelah perginya musuh-musuh mereka, Tong Lam-hou hendak langsung meninggalkan tempat itu, sebab perjumpaannya dengan orang-orang Hwe-liong-pang itu dikuatirkan akan memberi jejak penuntun kepada paman Siangkoan-nya yang tentu belum mau sudah sebelum berhasil meringkusnya kembali dan memaksanya menjadi Ketua Hwe-liong-pang.
Namun sebelum la beranjak pergi, orang tua yang menjadi pemimpin rombongan penduduk desa itu telah memanggilnya.
"Anakmuda, tunggulah! Kami amat berterimakasih atas pertolonganmu dalam mengusir siluman- siluman yang sudah beberapa bulan ini menyiksa kami dalam ketakutan dan keputus- asaan, bahkan beberapa gadis sudah dikorbankan untuk dihirup darahnya. Jika kau tidak keberatan, anakmuda, singgahlah sejenak di desa kami untuk menerima ucapan terima kasih kami. Juga tuan-tuan yang berbaju hitam itu."
Waktu itu Kwa Teng-siong dan keempat orang anakbuahnya memang sudah mendekati Tong Lam-hou, dan memberi hormat sambil memperkenalkan diri.
"Aku Kwa Teng-siong, Hek-ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Hitam) dari Hwe-liong-pang sangat kagum melihat kelihaian saudara tadi dalam mengusir iblis-lblis itu. Kalau saudara tidak keberatan, sudikah saudara membuka wajah saudara dan berkenalan dengan kami?"
Kesan Tong Lam-hou kepada orang-orang Hwe-liong-pang memang kesan baik, meskipun mereka adalah penentang-penentang Kerajaan Manchu pula, tapi sikap mereka yang selalu turun tangan untuk membela rakyat kecil itu membuat Tong Lam-hou hormat kepada mereka.
Dalam pandangannya, orang-orang Hwe-liong pang tak ubahnya seperti prajurti- prajurit yang berusaha menciptakan ketertiban dimana-mana.Ia sebenarnya tidak berkeberatan berkenalan dengan orang-orang Hwe-liong- pang ini, namun yang dikuatirkannya adalah jika jejaknya diketahui oleh paman gurunya, Siangkoan Hong.
Maka Tong Lam-hou membalas hormat Kwa Teng-siong dan ia juga membuka penutup wajahnya, namun soal nama la lebih suka memakai nama palsu saja.
Kwa Teng-siong memang agak tercengang bahwa orang berkepandaian setinggi itu ternyata belum pernah terdengar namanya pula dalam dunia persilatan.
Tapi kemudian la menghapus keheranannya sendiri.
Bukankah Ketua Hwe-liong-pang dulunya cuma seorang anak muda berandalan dari kota kecil An-yang- shia yang sama sekali tak terkenal, namun setelah menjadi Ketua Hwe-liong-pang ia mampu mengguncangkan dunia persilatan yang penuh dengan orang-orang sakti.
Setelah merasa cukup memperkenalkan diri dengan nama palsunya, Tong Lam-hou memohon diri, betapapun ia dicegah oleh orang tua pemimpin orang-orang desa itu.
"Hari sudah hampir tengah malam, kemana kau hendak berjalan?"
Tanya orang tua itu dengan heran. Sahut Tong Lam-hou sekenanya saja.
"Justru perjalanan di tengah malam lebih sejuk dan lebih tidak melelahkan dibandingkan di siang hari."
Tak tertahan lagi Tong Lam-hou segera meninggalkan tempat itu.
Orang-orang Hwe- liong-pang pun segera pergi, tujuan mereka adalah puncak Tiau-im-hong di pegunungan Bu- san, wilayah Se-cuan! Rupanya mereka adalah orang-orang yang diundang oleh Siangkoan Hong untuk menghadiri upacara kebangkitan kembali Hwe-liong-pang dan sekaligus pengangkatan Ketua baru.
Entah bagaimana perasaan mereka kalau mereka tahu bahwa yang baru saja mereka ajak bercakap-cakap itu sebenarnya adalah orang yang dicalonkan sebagai Ketua Hwe-liong-pang yang baru.
Sementara itu Tong Lam-hou sudah cukup jauh berjalan menembus gelapnya malam.
Menjelang tengah malam, ia melihat ada sebuah kelap-kelip lampu di tempat sepi, dan setelah didekatinya ternyata adalah sebuah rumah sembahyang yang kecil namun bersih.
Pintunya sudah tertutup rapat sebab saat itu sudah mendekati tengah malam, namun Tong Lam- hou tetap ingin mengetuknya untuk menumpang bermalam semalam.
Ia berharap pendeta penunggu kuil itu akan cukup berbaik hati untuk mengijinkan numpang bermalam, sebab bagaimanapun lebih enak bernaung di bawah atap yang bebas dari gangguan embun malam atau gigitan semut.
Baru saja Tong Lam-hou mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu, tiba tiba dirasanya ulu hatinya sangat nyeri.
Mula-mula rasa nyeri itu dapat ditahannya dengan menggertak gigi, tapi makin lama makin menghebat sehingga Tong Lam-hou tidak tahan untuk tidak berguling-guling di tanah di depan pintu kuil itu.
Keringat dingin mengalir deras dari seluruh pori-pori tubuhnya membuat tubuhnya basah kuyup.
Waktu itulah Tong Lam-hou ingat akan peringatan paman Siangkoan-nya agar jangan coba-coba lari dari pamannya itu, sebab jalan- darah kui-jong-hiat-nya telah tertotok secara aneh dengan ilmu totok warisan Bu-san-jit-kui.
Selama totokan belum dibuka, maka setiap tengah malam ia akan mengalami derita semacam itu selama setengah sulutan hio.
Waktu siksaan yang cukup untuk membuat seseorang jadi gila atau bunuh diri.
Dan itu akan berlangsung terus tiap malam sampai ada seseorang yang mampu membebaskan totokan itu.
Tadinya Tong Lam-hou tidak percaya kalau dunia ada ilmu totokan sekejam itu, namun sekarang barulah ia percaya bahwa padannya tidak cuma membual.
Pada saat Tong lam-hou menggeleser- geleser ditanah seperti cacing kepanasan dan mulutnya sampai berbuih karena menahan nyeri dalam tubuhnya, maka pintu kuil terbuka dan sebuah kepala gundul dengan sepasang alis tebal kelabu dan mata yang bersinar lembut.
Namun mata itu jadi memancarkan rasa iba dan terkejut ketika melihat keadaan Tong iam-hou.
Cepat didekatinya tubuh anakmuda dan ia berjongkok di dekatnya.
Melihat ada orang berjongkok di dekatnya, Tong Lam-hou tak tahan untuk tidak merintih.
"Taysu (bapak pendeta), tolong aku... ."
Mata pendeta bertubuh kurus itu bercahaya, mulutnya bergumam seorang diri.
"Kasihan anakmuda ini, entah A-ciau atau A-hong yang berbuat ini kepadanya..,"
Lalu jari-jari tangannya secepat kilat menotok beberapa jalan darah di tubuh Tong Lam-hou, dan rasa sakitnya perlahan-lahan reda.
Lalu sepasang tangan yang kurus itu mengangkat tubuh Tong Lam-hou yang tinggi dan tegap itu dengan ringannya seolah-olah mengangkat boneka dari jerami saja, dan melangkah masuk ke dalam kuil.
Andaikata otak Tong Lam-hou sedang dalam keadaan cukup jernih untuk memikirkan segala sesuatunya, tentu diapun akan merasakan beberapa kejanggalan yang ada pada diri si hweshio kurus di kuil terpencil itu.
Namun saat itu Tong Lam-hou sedang malas memikirkan apapun.
Bahkan ketika ia dipondong masuk, maka tanpa sungkan-sungkan Tong Lam-hou meramkan matanya untuk tidur dalam gendongan pendeta kurus itu.
Ia masih merasa ketika dibukanya matanya sedikit ketika langkah-langkah hweshio itu meninggalkan ruangan itu dan menutup pintu.
Tong Lam-hou baru saja hendak pulas ketika tiba-tiba sebuah pikiran melintas di otaknya dan iapun terkejut sendirinya.
Terngiang ucapan Paman Siangkoan-nya bahwa di dunia ini selain paman Siangkoan sendiri hanya ada dua orang yang bisa membebaskan rasa sakit akibat totokannya, yaitu Te-liong Hiangcu yang nama aslinya Lim Hong-pin? Hweshio kurus tadi ternyata dengan beberapa totokannya telah berhasil melenyapkan rasa nyerinya, jadi dia...dia adalah...."Celaka duabelas!"
Teriak Tong Lam-hou dalam hati.
"Hweshio kurus tadi mungkin sekali adalah saudara-seperguruan ayahku yang paling bungsu, yaitu Kim-liong Hiangcu Lim Hong-pin! Kalau begitu aku harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini, sebab kalau dia tahu aku kabur dari paman Siangkoan maka dia pasti akan meringkus aku dan menyerahkan aku kembali kepada paman Siangkoan. Dan aku tidak akan dapat melawan, jika dia bermaksud demikian, sebab ilmunya pasti setingkat dengan Te-liong Hiangcu dan paman Siangkoan!"
Mendapat pikiran yang demikian itu, cepat- cepat Tong Lam-hou menendang selimutnya lalu meloncat turun dari tempat tidur dan dengan terburu-buru dikenakannya sepatunya yang terletak di bawah tempat tidur.
Namun begitu ia membuka pintu, denyut jantungnya terasa-berhenti bekerja, karena di depan pintu itu sudah menghadang si hweshio kurus penghuni kuil kecil itu.
Meskipun hweshio itu tersenyum lembut, tapi dalam pandangan Tong Lam-hou senyumannya itu mengingatkannya kepada sang paman Siangkoan yang selalu memaksanya untuk menjadi Ketua Hwe-liong- pang itu.
Apalagi ketika hweshio kurus itu dengan nada yang sabar.
"Sejak aku menggendongmu masuk kemari dan melihat kalung batu giok hijau yang berukir nama Tong Wi-siang di lehermu itu, aku sudah dapat menebak siapa dirimu. Anak-muda, siapa namamu?"
Tong lam-hou menggeram.
"Taysu, aku berterima kasih atas pertolongan taysu yang telah membukakan jalan darah kui-jong-hiat yang menyiksaku itu, tapi jika taysu hendak menjadikan aku seperti boneka hidup, jangan harap!"
Hweshio kurus itu tercengang dan nampak terheran-heran melihat keberangan Tong Lam- hou. Katanya.
"He, anakmuda, kau ini mengingau atau bagaimana? Siapa yang hendak menjadikanmu boneka? Aku hanya akan bertanya beberapa hal kepadamu, setelah itu kau bebas akan menginap di sini atau meneruskan perjalananmu di tengah malam buta seperti ini."
"Bertanya tentang apa?"
Tanya Tong Lam- hou dengan sikap tetap waspada, meskipun ia tahu bahwa sikap siap melawan itu akan percuma saja jika yang dihadapannya itu benar- benar Kim-liong Hiangcu Lim Hong-pin yang ilmunya setingkat dengan Te-liong Hiangcu maupun Thian-liong Hiangcu itu.
Hweshio kurus itu tenang-tenang saja melihat sikap Tong Lam-hou itu, bahkan ia melangkah masuk dan duduk di sebuah kursi dalam ruangan itu dan berkata.
"Aku ingin bertanya tentang siapa orangnya yang menotok jalan darah kui-jong-hiatmu itu."
Perlahan-lahan Tong lam-hou mulai percaya bahwa hwesshio kurus itu nampaknya bukan seorang yang gemar memaksa orang seperti paman Siangkoan-nya itu. Maka dijawabnya.
"Seorang bernama Siangkoan Hong, berasal dari kota Jiat-ho."
Mata hweshio kurus itu bersinar ketika mendengar disebutnya nama itu.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pantas saja bertahun-tahun aku tidak menemuinya, kiranya dia berada di Jiat-ho yang terletak jauh di timur laut sana."
"Kenapa dia menotokmu, apakah ia bermusuhan dengamu?"
Tanya si hweshio lagi.
"Bolehkan aku tidak usah menjawab pertanyaan ini?"
Hweshio itu menarik napas."Aku tidak memaksa jika kau keberatan."
"Hanya itu saja pertanyaan-pertanyaan dari tay-su?"
"Masih ada lagi. Aku tahu pasti kau anak Tong Wi-siang, sebab kalung batu hijaumu itu kukenal sebagai milik Tong Wi-siang, dan raut wajahmu juga mirip raut wajah Tong Wi-siang. di wakt.u muda. Nah siapa namamu?"
Tong Lam-hou ragu-ragu sejenak, namun rasa percayanya kepada hweshio kurus itu telah semakin menebal, sehingga iapun menjawab berterus-terang.
"Namaku Tong Lam-hou."
"Nama yang bagus. Tapi aneh, kalau kau anak Tong Wi-siang, kenapa sampai Siangkoan Hong memberimu totokan yang menyiksa itu? Apakah dia tidak tahu bahwa kau anak Tong Wi- siang?"
"Justru dia kuatir aku kabur dari padanya maka dia menotok jalan darah Kui-jong-hiatku,"
Sahut Tong Lam-hou sambil menatap tajam hweshio kurus itu untuk mencoba menyelidiki bagaimana sikapnya, lalu melanjutkan.
"Dia ingin memaksaku untuk menjadi Ketua Hwe- liong-pang, tapi aku kabur karena aku tidak suka."
Hweshio kurus itu ternyata tenang-tenang saja mendengar jawaban itu, paling-paling ia hanya menggeleng-gelengkan kepala eambil menarik napas.
"Ah, bertahun-tanun aku mengurung diri di tempat sunyi ini, tidak tahu kalau di dunia luar sudah sibuk kembali dengan Hwe-liong-pang... ."
Saat itulah Tong Lam-hou merasa semakin yakin akan hwesshio tua di hadapannya itu, bahkan ia juga yakin hweshio tua yang nampak lembut dan sabar itu tentu bukan seorang yang kasar dan keras kepala seperti Siangkoan Hong.
Maka dengan memberanikan dirinya Tong Lam- hou memanggil.
"Paman Lim... ."
Benar juga, hweshio itu terlonjak kaget ketika mendengar nama aslinya yang sudah hampir dilupankannya itu tiba-tiba disebut kembali, wajahnya kelihatan dan sekaligus terharu.
Dengan mata bersinar-sinar ia berkata "Tong Lam-hou, otakmu cukup tajam, Lam-hou, hanya dari beberapa patah kalimat saja sudah dapat aku tebak siapa diriku.
Aku memang Lim Hong-pin, orang keempat dalam pucuk pimpinan Hwe-liong-pang dulu, dan gelarku adalah Kim-liong Hiangcu."
Sejak turun gunung, Tong lam-hou sudah bertemu dengan seorang bibi dan beberapa paman, entah paman kandung entah paman guru, namun baru kali ini ia merasa mendapat "paman"
Yang sebenarnya karena sikap Lim Hong-pin yang sangat baik itu. Cepat-cepat ia menekuk lutut untuk memberi hormat sambil berucap.
"aku memberi hormat kepada paman, maafkan sikapku yang agak kasar tadi, karena akupun mengira bahwa paman Lim akan bersikap seperti paman Siangkoan yang meringkusku dan memaksaku menuruti segala rencananya."
Dengan kedua tangannya Lim Hong-pin membangunkan Tong Lam-hou dari berlututnya.
"Anak baik, berdirilah. Bertahun- tahun paman Siangkoan-mu itu tidak bertemu denganku, ternyata sikap-sikapnya yang kasar dan mau menangnya sendiri itu belum berubah juga. Tapi kau harus tahu bahwa dia orang baik."
Tong Lam-hou segera duduk di kursi di hadapan hweshio kurus itu.
"aku tahu bahwa paman Siangkoan sangat baik kepadaku. Dua kali ia menyelamatkan nyawaku, yaitu ketika di Pak-khia dari incaran Te-liong Hiangcu, dan kedua kalinya di sebuah desa sebelah barat kota Tay-tong dari tiga orang anak buah Te-liong Hiangcu yang licik."
Wajah Lim Hong-pin yang selalu sabar dan nampak berseri itu tiba-tiba mengeras dan pandangan matanyapun menyala ketika mendengar nama Te-liong Hiangcu disebut.
Telapak tangannya yang terletak di meja itu tiba-tiba mengepal mencengkeram meja, sehingga di pemukaan meja yang terbuat dari kayu keras itu muncul sebuah lubang besar, dan kayu yang dicengkeramnya itu menjadi bubuk halus dalam genggaman hweshio yang nampaknya kurus dan pucat itu.
"Te-liong Hiangcu...Te-liong Hiangcu..."
Geram Lim Hong-pin dengan gigi gemeretak.
"Jadi, bajingan pengkhinat itu masih saja berkeliaran dengan bebas dan belum ada yang mengatasinya selama ini?"
Tong Lam-hou diam-diam melirik ke meja yang berlubang itu dan hatinya bergidik ngeri melihat kepandaian hwe-shio kurus itu. Sementara itu Lim Hong-pin telah berkata lagi.
"Kalau begitu, nampak sekali bahwa selama ini agaknya aku hanya mementingkan diriku sendiri. Selama aku hidup tenteram di tempat ini, ternyata si pengkhianat besar itu masih bebas berkeliaran dan bahkan mungkin membunuh-bunuhi teman-temanku yang setia kepada Toa-suheng Hwe-liong Pang-cu. Aku harus turun tangan segera."
Tong Lam-hou berseru gembira.
"Bagus, paman, kalau paman Lim bersedia turun tangan bersama-sama dengan paman Siangkoan, maka si iblis Te-liong Hiangcu itupun akan dapat segera ditumpas dan masyarakat menjadi tenang kembali."
Begitulah kedua orang itu jadi malah asyik bercakap-cakap sampai pagi, Tong Lam-hou yang harusnya beristirahat itu'malahan melupakan rasa lelahnya dan keasyikan bercakap-cakap.
Terhadap Lim Hong-pin yang berpikiran luas itu Tong Lam-hou tidak menyembunyikan apapun tentang dirinya, bahkan juga tidak tentang perihalnya ia menjadi seorang perwira Kerajaan manchu.
Mendengar bahwa Tong lam-hou adalah seorang perwira Manchu, ternyata Lim Hong- pin tidak marah dan tidak mengamuk, hanya berkata dengan kalemnya.
"Tidak jadi soal seseorang itu berada dipihak manapun, asal ia membela yang lemah dari tindasan yang kuat, dia sudah betul. Kau menjadi perwira kerajaan , itu hal yang tepat, tapi ada tempat yang lebih tepat lagi bagimu sebenarnya."
"Sebagai apa?"
Tanya Tong Lam-hou.
"Sebagai Ketua Hwe-liong-pang."
Tong Lam-hou terkesiap. Apakah paman Lim-nya ini akan bersikap seperti paman Siangkoan-nya yang tidak segan segan memaksa? Lim Hong-pin tertawa ketika melihat rasa kejut di wajah Tong lam-hou. Katanya.
"Jangan kaget, aku hanya mengusulkan dan kau dapat menerima atau menolaknya. Jika kau menolak, aku tidak apa-apa, tapi aku minta kau pertimbangkan pendapatku tadi."
"Kenapa paman berpendapat bahwa aku lebih cocok sebagai Ketua Hwe-liong pang daripada sebagai perwira Tentara Kerajaan Manchu?"
"Tadi kau bilang bahwa orang-orang Hwe- liong-pang masih mengadakan perlawanan terhadap pemerintah Manchu, meskipun secara sembunyi-sembunyi. Jika kau menjadi Ketua mereka, maka kata-katamu tentu akan didengar oleh mereka dan barangkali perlawanan orang- orang Hwe-liong-pang bisa dihentikan. Kekuatan mereka yang besar akan bisa diarahkan untuk perbuatan-perbuatan yang lebih berguna daripada sekedar setia membabi- buta kepada perjuangan Li Cu-seng dulu, sementara Li Cu-seng sendiri sudah tidak diketahui lagi mati hidupnya."
"Kenapa paman berpendapat bahwa aku lebih cocok sebagai Ketua Hwe-liong-pang daripada sebagai perwira Tentara Kerajaan Manchu?"
Tong Lam-hou termangu-mangu. Dalam hatinya timbul pertentangan pendapat, dan akhirnya ia cuma bisa menjawab secara samar- samar.
"Akan aku pertimbangkan paman, yang paling kuutamakan dalam hidupku ini adalah mengusahakan perdamaian untuk seluruh rakyat, biar mereka dapat bekerja di ladang dengan hati yang tenang. Bukan seperti sekarang ini, di mana pertentangan- pertentangan yang terjadi di beberapa daerah telah membuahkan kesengsaraan bagi orang- orang kecil yang tidak tahu apa-apa."
Lim Hong-pin cukup bijaksana untuk menyadari bahwa anakmuda itu tidak mungkin memutuskan hal yang amat penting itu hanya dalam waktu sekejap mata saja, tentu masih harus dipikirkan baik-baik sebelum mengambil keputusan.
Tapi kepala gundul Lim Hong- pinpun terangguk-angguk mendengar perkataan Tong Lam-hou yang terakhir tadi, dan kekagumannya pun tumbuh kepada anak muda yang berpikiran luas dan tidak mementingkan dirinya sendiri itu.
Biasanya kalau seorang anakmuda ditanya apakah tujuan hidupnya, maka jawabannya adalah jawaban dangkal yang itu-itu saja.
Mencari kedudukan yang baik yang biasa nemberi penghasilan yang baik pula, mencari isteri yang cantik dan baik budi untuk melahirkan anak-anaknya, lalu membentuk sebuah mahligai rumah tangga yang tenteram dan bahagia, kelaparan, Kekuatan dan ketidak-pastian masa depan? Ya terserah nasib mereka saja, aku toh bukan malaikat yang bisa mengubah nasib mereka? Namun kini Lim Hong-pin mendengar seorang anakmuda yang dengan mantap mengatakan bahwa tujuan hidupnya adalah mengusahakan perdamaian bagi orang-orang tertindas.
Dan urusan diri pribadinya di nomor-duakan.
Sikap yang bukan saja diucapkan tetapi juga telah diterjemahkan dalam tindakan, meskipun tindakan itu tidak selalu benar di mata orang lain, namun seseorang memang harus berani melangkah menggapai impiannya.
Diam-diam Lim Hong-pin menilai bahwa pandangan anak- muda ini lebih luas dan lebih bijaksana dari ayah anakmuda ini ketika dulu mendirikan Hwe-liong-pang.
Tong Lam-hou yang rencananya hanya akan semalam di kuil kecil itu, kemudian malah berada di sana sampai beberapa hari lamanya.
Selama beberapa hari itu antara dia dan Lim Hong-pin banyak saling bertukar-pikiran mengenai bermacam-macam masalah.
Dalam hal ilmu silat ia juga mendapat banyak perbaikan dari adik seperguruan mendiang ayahnya itu.
Ketika ia kemudian mengucapkan selamat berpisah dengan Lim Hong-pin maka dalam dirinya sudah terbit pemikiran-pemikiran yang lebih luas karena terpengaruh ucapan-ucapan paman-gurunya itu.
Tentara Kerajaan bertugas mengamankan negara, orang-orang Hwe-liong- pang membela rakyat kecil yang menjadi isi dari negara itu, kedua tujuan yang sebenarnya bisa berjalan sejajar tetapi kenapa setiap kali Hwe- liong-pang mesti bentrok dengan tentara Kerajaan? Demikianlah, sambil melangkah kembali menuju ke Pak-khia, Tong Lam-hou bergelut dengan pikirannya sendiri.
BAGIAN KE SEBELAS DI TIONGKOK ada lima buah gunung besar yang dianggap keramat oleh rakyat, yang disebut Ngo-gak (Lima Gunung Suci), di antaranya adalah gunung Hoa-san yang dijuluki sebagai "Se-gak (gunung suci di wilayah barat).
Pemandangan di gunung itu amat indahnya, dengan puncaknya yang tertutup kabut dan lereng-lerengnya yang segar.
Dan di salah satu bagian yang sepi dari kaum pelancong, berdirilah bangunan yang megah berderet- deret.
Itulah pusat dari perguruan silat Hoa-san- pay yang telah berusia ratusan tahun dan terkenal dengan ilmu pedangnya.
Pagi itu, ketika matahari belum terlalu menyengat dan hawa udara masih terasa hangat-hangat sejuk, ada seseorang yang tengah mendaki Hoa-san ke arah gedung pusat perguruan Hoa-san-pay itu.
Orang itu melangkah dengan santai sambil menghirup udara yang segar, dan kadang-kadang ia tersenyum sendiri ketika melihat burung- burung kecil yang bergerombol di dahan-dahan pepohonan, atau kelinci-kelinci yang berloncatan lucu.
Semakin dekat ia ke pusat perguruan Hoa- san-pay, semakin banyak ditemuinya murid- murid Hoa-san-pay yang sedang melakukan latihan.
Kebanyakan mereka tengah berlari-lari mendaki lereng-lereng yang terjal dengan sepasang kaki yang dibebani gelang-gelang besi atau kantong-kantong pasir.
Namun ada juga yang sedang berlatih dengan pedang.
Berlatih di tempat terbuka rasanya memang lebih menyegarkan daripada di dalam di dalam ruangan tertutup dalam suasana yang mencekam karena ditunggui oleh para guru besar yang berjenggot panjang dan berwajah angker.
Lelaki yang mendaki gunung itu sendiri adalah seorang lelaki berusia lebih kurang empatpuluh lima tahun, berwajah tampan dengan kumis hitam rapi di atas bibirnya, berdada tegap dan bidang dan berpinggang ramping.
Kepalanya sudah berhias dengan beberapa helai uban di bagian pelipisnya, namun justru menambah kewibawaan dan kematangannya.
Kepalanya memakai topi biru berbentuk belahan semangka dan rambutnya dikuncir seperti kebanyakan lelaki di jaman Manchu itu, jubahnya berwarna kuning gading.
Apabila ia melangkah dan belahan samping jubahnya itu tersingkap, nampaklah sarung pedang yang berwarna perak tergantung di pinggangnya.
Pedang peraknya itulah yang menjadi andalannya, dan membuat ia dikenal dengan julukan Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Perak) di dunia persilatan.
Namanya sendiri- adalah Auyang Seng, jago pedang yang paling menonjol di kawasan barat.
Beberapa murid-murid muda Hoa-san-pay yang sedang berlari-lari di lereng gunung itu berhenti memberi hormat ketika berpapasan dengan Ayyang Seng sambil menyapa.
"Susiok (paman guru)"
Atau "Supek (uwa guru)."
Kedatangan Auyang Seng ke Hoa-san-pay disambut gembira oleh seisi perguruan itu, baik angkatan tuanya, angkatan yang, sejajar dengannya maupun angkatan di bawahnya.
Karena nama besar Gin-hoa-kiam Auyang Seng lah maka Hoa-san-pay memiliki kedudukan yang terhormat dalam dunia persilatan.
Lebih dulu Auyang Seng menemui Ketua Hoa-san-pay dan para sesepuh lainnya untuk menyampaikan salam hormatnya, setelah itu barulah ia sempat berbincang-bindang panjang lebar dengan saudara-saudara seperguruannya atau keponakan-keponakan muridnya yang banyak bertanya tentang pengalamannya di dunia luar.
Tengah pertemuan antara Auyang Seng dengan saudara-saudara seperguruannya berlangsung dengan hangat, tiba-tiba sorang murid angkatan muda masuk ke dalam ruangan itu, memberi hormat dan berkata.
"Ciangkun Sucou (kakek guru Ketua) mengharapkan para Supek dan Susiok sekalian keluar ke aula."
"Ada apa? Biasanya Ciangbunjin selalu memanggil ke ruangan belakang dekat kolam teratai itu, kenapa sekarang malah menyuruh ke aula?"
Sahut murid-murid yang melapor itu.
"Sebab kita mendapat beberapa orang tamu dari Ho-lian-pay, dan Ciangkun Sucou bersama beberapa sesepuh sedang menemui tamu-tamu itu di aula."
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Salah seorang saudara seperguruan Auyang Seng yang bermuka berewok dan bernama Beng Ko-yan nampak mengerutkan alis mendengar laporan itu. Geramnya dengan nada kurang senang.
"Lagi-lagi orang Ho-lian-pay itu, inilah kedatangan mereka yang ketiga dalam bulan ini. Dan masihkah mereka mengajukan tuntutan mereka yang tidak masuk akal itu?"
"Sudahlah, Beng Sute, kalau Ciang-bunjin memanggil kita maka kita harus segera pergi ke aula,"
Kata Auyang Seng menenangkan saudara seperguruannya itu.
"Tapi apakah tuntutan mereka itu?"
"Nanti kau akan mendengarnya sendiri di aula. Si tua He Keng-liang itu benar-benar menjemukan, ingin rasanya aku mencabut habis semua kumisnya biar tampangnya yang mirip tikus itu jadi kelimis."
Hampir semua orang yang ada di ruangan itu tertawa mendengar gerutu Beng Ko-yan itu.
"Ayo segera ke aula, jangan membiarkan Ciangbunjin menunggu terlalu lama!"
Kata Auyang Seng.
"Jika He Keng-liang sendiri yang datang, mungkin aku bisa berbicara melunakkan hatinya, sebab aku dan dia pernah seperjuangan ketika menyerbu penjara kerajaan di Pak-khia."
Setelah merapikan pakaian mereka, maka merekapun berjalan menuju ke aula.
Karena pusat perguruan Hoa-san-pay itu cukup luas, maka untuk mencapai aula saja mereka harus berjalan cukup jauh, melewati beberapa halaman-halaman yang luas, deretan- deretan rumah yang memanjang tempat tinggal para anggota Hoa-san-pay, kebun-kebun bunga dengan kolam-kolamnya yang indah, ruangan- ruangan latihan yang lengkap dengan alat-alat berlatih silat dan sebagainya.
Ketika mereka tiba di aula, maka suasana di dalam aula itu sedang tegang karena terjadi perselisihan pendapat yang tajam antara rombongan Ho-lian pay sebagai tamu dengan pihak Hoa-san-pay sebagai tuan rumah.
Pihak Hoa-san-pay telah diwakili oleh empat orang sesepuh yang semuanya berumur rata-rata di atas enampuluh tahun, berjenggot putih dan berwajah penuh wibawa.
Tiga orang di antara mereka adalah orang biasa dan yang seorang adalah imam agama To.
Merekalah tokoh tokoh yang disebut Hoa-san-su-lo (Empat Orang-tua Dari Hoa-san) yang nama baiknya maupun kewibawaannya dapat mempengaruhi persoalan apapun dalam dunia persilatan.
Ketika Auyang Seng dan rekan-rekan seangkatannya yang berjumlah delapan orang itu masuk ke aula, maka merekapun lebih dulu memberi hormat kepada sesepuh-sesepuh mereka dan kepada para tetamu, barulah menduduki kursinya masing-masing.
Sedangkan pihak Ho-lian-pay memang dipimpin langsung oleh Ketua mereka, yaitu He Keng-liang, didampingi beberapa tokoh-tokoh utama lainnya.
Jumlah mereka juga cukup besar, kira-kira empatpuluh orang yang semuanya bersikap tidak bersahabat, mata melotot dan tangan selalu menempel di gagang senjata.
Sikap seorang yang mencari gara-gara.
"Jadi Ciangbunjin tidak bersedia menyerahkan orang itu kepada kami?"
Tanya He Keng-liang dengan suaranya yang nyaring menyakitkan telinga.
Ketua Hoa-san-pay, Kiau Bun-han yang berjulukan Pat-hong-kiam-kong (Cahaya Pedang Delapan Penjuru) karena kemahiran ilmu pedangnya, menarik napas dalam-dalam dan mengelus jenggotnya yang memanjang seperti benang-benang perak itu.
Katanya sesabar mungkin.
"Harap saudara He jangan cepat marah. Urusan ini tidak mudah dibuktikan dan aku tidak bisa sembarangan menyerahkah salah seorang anggota kami untuk dihukum oleh pihakmu. Andaikata terbukti sekalipun, kami sendirilah yang akan menghukum anggota kami itu dan orang lain tidak berhak untuk ikut campur."
Jawaban itu membuat orang-orang pihak Ho-lian-pay gelisah dan ingin segera turun tangan, tapi agaknya He Keng-liang masih belum menyuruh anakbuahnya untuk turun tangan.
"Saudara Kiau, kau tidak mau menyerahkan muridmu yang berkomplot dengan kaum kuku garuda Manchu dan melukai serta menewaskan beberapa orang anggota kami itu? Sikapmu ini bukankah menunjukkan bahwa kalian sebenarnya cenderung berpihak kepada bangsa Manchu?"
Kata He Keng-liang pedas. Sebelum Klau Bun-han menjawab, maka seorang tua lainnya yang duduk dl sampingnya itulah yang menjawab dengan suara keras.
"Omong kosong!. Mana bisa kami berkomplot dengan bangsa Manchu? Justru banyak murid- murid kami yang melawan bangsa Manchu di mana-mana, entah bergabung dengan dinasti Beng, entah bergabung dengan sisa-sisa pengikut Li Cu-seng ataupun bertindak sendiri- sendiri! Hati-hati dengan mulutmu, He Ciangbunjin!"
Orang-orang yang bersuara keras itu adalah adik seperguruan Kiau Bun-han yang paling keras wataknya, bernama Lim Sin.
Watak kerasnya itu sudah dibawanya sejak usia muda dan setelah ia menjadi seorang kakek ternyata wataknya tetap saja seperti itu.
Tapi orang- orang rimba persilatan menghargainya, sebab ia dipandang sebagai seorang tokoh yang jujur dan berterus terang.
Sikap He Keng-liang nampaknya juga mulai mengeras dan tidak segan-segan memancing pertengkaran.
"Kalau kalian tidak mau dituduh Berkomplot dengan bangsa Manchu, kenapa kalian ngotot melindungi murid kalian yang bernama Kiongwan Hok itu? Serahkan Kiongwan Hok kepada kami dan kami pun akan pergi dari sini dengan damai!"
Lim Sin sudah hendak membantah lagi, namun ia menahan kata-katanya ketika melihat isyarat dari Kiau Bun-han, lalu Kiau Bun-hanlah yang bicara.
"Mohon beribu-ribu maaf, saudara He, dengan berat hati kami menolak permintaanmu untuk menyerahkan Kingwan Hok. Pertama, karena tuduhanmu itu belum ada buktinya dan tidak lebih cuma dikemukakan oleh orang-orang pihakmu saja, tidak ada seorangpun saksi dari pihak ketiga. Kedua, karena saat ini Kiongwan Hok sendiri sedang sakit jiwa."
Yang terkejut ketika mendengarkan hal itu adalah Auyang Seng.
Sudah bertahun-tahun ia meninggalkan Hoa-San-pay untuk berkelana menunaikan darma bakti kependekarannya dan baru ini pulang, kembali ke perguruannya, tak terduga di perguruana ini telah terjadi banyak hal yang luar biasa.
Ia masih ingat keponakan muridnya yang bernama Kiongwan Hok itu, seorang anakmuda yang bukan saja berbakat baik untuk ilmu silat, namun juga memiliki kerajinan dan keuletan dalam berlatih sehingga ilmunya meningkat pesat, dan sifat-sifatnyapun tidak mengecewakan.
Dialah murid angkatan muda Hoa-san-pay yang terbaik menurut penilaian Auyang Seng waktu itu, dan diharap dapat menjunjung tinggi nama perguruannya di kemudian hari.
Tapi kini Auyang Seng tiba-tiba mendengar bahwa anakmuda itu menderita penyakit jiwa, dan oleh He Keng-liang juga dituduh berkomplot dengan bangsa Manchu, meskipun tuduhan itu belum tentu benar.
Namun Auyang Seng menahan saja gejolak hatinya, ia merasa segan untuk menimbrung pembicaraan para sesepuh perguruan yang tidak dapat menghargai tamu-tamunya."
Sesaat ruangan aula yang besar itu menjadi sunyi mendebarkan, agaknya Ho-lian-pay merasa agak sungkan juga kalau mereka harus bersikeras membawa orang yang sedang menderita sakit jiwa, sebab tindakan itu bisa dianggap keterlaluan oleh kaum dunia persilatan.
Namun untuk menyerah begitu saja, agaknya orang-orang Ho-lian-pay itu sungkan juga, He Keng-liang segera bangkit dari duduknya dan berkata.
"Mudah-mudahan sakitnya Kiongwan Hok itu bukan alasan yang kalian buat-buat untuk menutup-nutupi kejahatannya. Kami akan kemari lagi tiga bulan kemudian dan berharap penjahat cilik itu sudah bisa kami bawa untuk dihukum di depan meja abu anggota-anggota kami yang tewas karena ulahnya. Kalau tiga bulan kemudian kalian masih belum mau menyerahkannya, hem, lihat saja bagaimana jadinya dengan Hoa-san-pay kalian ini !"
Adik seperguruan Kiau Bun-han yang berangasan itu meluap darahnya mendengar ucapan He Keng-liang bernada mengancam itu. Sahutnya.
"Kalian orang-orang Ho-lian-pay harus cukup tahu diri dengan siapa kalian berhadapan. Dengan mampu mengukur kemampuan diri sendiri barulah kalian akan panjang umur."
Agaknya Lim Sin marah karena ia merasa bahwa Hoa-san-pay sebagai sebuah perguruan yang jauh lebih besar dari Ho-lian-pay telah bersikap terlalu, mengalah kepada perguruan yang kecil dan tidak terkenal itu.
Beberapa anggota Ho-lian-pay nampak tersinggung dan melirik tajam kearah Lim Sin, namun karena Ketua mereka sudah berjalan menuju ke pintu keluar, maka merekapun mengikutinya.
Tidak ada ucapan pamit atau mohon diri segala, yang ada cuma saling melotot dengan penuh kemarahan.
Salah seorang adik seperguruan Kiau Bun- han yang bernama Yo Ciong-wan mendekati kakak seperguruannya yang menjadi Ketua Hoa-san-pay itu dan berkata.
"Suheng, biar aku antarkan mereka sampai ke kaki gunung. Biarpun mereka bersikap tidak tahu adat, namun tidak perlu sikap tak tahu adat itu kita imbangi dengar sikap yang sama, supaya jangan sampai Hoa-san-pay kita dicela sebagai perguruan yang tidak dapat menghargai tamu- tamunya."
Karena lasan yarg dikemukakan itu cukup masuk akal, maka Kiau Bun-han menganggukkan kepalanya. Yo Ciong-wan segera melangkah cepat menyusul rombongan orang-orang Ho-lian-pay yang sudah sampai di luar pintu itu, dan berkata kepada He Keng-liang.
"He Ciangbun, marilah kuantarkan sampai ke kaki gunung."
He Keng-liang tidak menjawab dan hanya mengangguk angkuh, namun kedua orang itu diam-diam telah bertukar isyarat dengan kedipan mata mereka, yang artinya hanya diketahui oleh mereka berdua saja.
Kemudian Yo Ciong-wan berjalan berdampingan dengan He Keng-liang menuju ke kaki gunung.
Keduanya berjalan berdampingan beberapa langkah terpisah dari orang-orang Ho-lian-pay yang menyertai He Keng-liang.
Dan dalam keadaan seperti itu keduanya bercakap-cakap meskipun harus dengan suara lirih untuk mengelabuhi orang lain.
"Kau belum berhasil menyelesaikan Kiongwan Hok?"
Tanya He Kang-liang tanpa memandang ke arah Yo Ciong-wan yang ditanyainya? Sahut Yo Ciong-wan dengan sikap yang sama.
"Sejak kedatangan pertamamu ke sini sebulan yang lalu, si gila itu seolah-olah menjadi benda mustikanya Hoa-san-pay. Penjagaan atas dirinya begitu kuat, sulit untuk turun tangan tempa diketahui siapapun. Kecuali kalau aku rela kedokku terbuka dan kedudukanku dalam Hoa-san-pay hilang."
"Kalau -begitu, ini sungguh berbahaya. Kiongwan Hok sesungguhnya tidak gila, hanya syarafnya yang kurang kuat telah mengalami kejutan hebat sehingga jiwanya tergoncang. Suatu saat ia akan berangsur-angsur pulih, dan dia akan membahayakan kita karena dia bisa menceritakan semua keadaan tentang tempat kita. Sejak Kui-kiong (Istana Iblis) kita berdiri, baru dialah satu-satunya orang yang kita tawan tetapi berhasil meloloskan diri."
"Benar. Kebocoran sekecil apapun harus segera ditambal sebelum menjadi semakin besar dan kita tak sempat lagi menutupnya."
"Kau punya pendapat?"
"Harus Hiangcu sendiri yang turun tangan, sebab dengan kepandaiannya yang tinggi itu tentu tidak sulit untuk menerobos penjagaan di sekitar tempat dipasungnya Kiongwan Hok. Di manakah Hiangcu sekarang?"
Mata He Keng-liang gemeredep sejenak, sambil tertawa dingin ia menjawab secara samar-samar.
"Hiangcu ada di mana-mana."
Yo Ciong-wan terkesiap.
Selama ini memang dia tahu bahwa orang yang berjalan bersama- sama dengannya itu bukan He Keng-liang yang asli.
Tapi baru detik ini Yo Ciong-wan punya dugaan bahwa orang ini adalah samaran dari majikan Kui-kiong yang menyebut dirinya Te- liong Hiangcu, manusia dengan sejuta wajah.
Tapi Yo Ciong-wan merasa lebih ia pura-pura bodoh saja daripada nyawanya melayang sia- sia.
Di kaki gunung, kedua orang itu saling memberi hormat dan berbasa-basi seperti layaknya seorang tuan rumah yang mengantarkan serombongan tamunya yang hendak pulang.
Lalu Yo Ciong-wan-pun naik kembali ke atas gunung dengan wajah yang tetap dingin tanpa kesan apapun.
Sementaraa itu, di perguruan Hoa-san-pay sendiri, Auyang Seng telah tidak sabar ingin mendengar penjelasan tentang Kiongwan Hok.
Begitu melangkah keluar dari aula, ia langsung mempercepat langkahnya untuk menjajari seorang saudara seperguruannya yang bertubuh tinggi besar dan bernama Sebun Siang.
"Sebun Suheng, aku benar-benar penasaran mendengar berita tentang Kiong-wan Hok, sebab dialah murid terbaik Hoa-san-pay untuk masa kini. Apa yang telah dialami sehingga ia sakit jiwa? Maukah Suheng bercerita secara lengkap kepadaku ?"
Sebun Siang menarik napas dan menyahut.
"Sesungguhnya peristiwa itu merupakan peristiwa pahit yang menimpa Hoa-san-pay kita, sebab dengan sakitnya Kiongwan Hok maka Hoa-san-pay kita telah kehilangan satu bibit yang bagus untuk masa depan. Kami Supek, Suhu dan para sesepuh lainnyapun sama-sama merasa prihatin dengan kejadian ini."
"Ya...ya...ceritakan cepat!"
Kata Auyang Seng tidak sabar. Mau tidak mau Sebun Siang tersenyum, dan ia malah sengaja membuat Auyang Seng semakin tidak sabaran. Katanya.
"Jangan tergesa-gesa, Sute, mari ke tempatku supaya bisa berbicara dengan tenang."
Perumahan orang-orang Hoa-san-pay itu memang luas, dan Sebun Siang sebagai seorang anggota yang agak tinggi kedudukannya menempati sebuah rumah di lingkungan tengah yang dilengkapi halaman dan kebun bunga segala.
Ketika sebun Siang dan Auyang Seng melangkah masuk ke halaman itu, mereka melihat seorang anakmuda yang tubuhnya tinggi besar dan otot-ototnya kekar, sedang bersilat dengan Hoa-san-kiam-hoai.
(Ilmu Pedang Hoa-san-pay).
Namun gerakan- gerakannya dilakukan secara terbalik semua, sebab anakmuda tinggi besar itu memainkan pedang dengan tangan kiri alias kidal.
Melihat anakmuda itu, Auyang Seng mengehntikan langkahnya, dan dengan kagum ia menyaksikan bagaimana tangkas dan mantapnya gerakan-gerakannya, setiap jurus dihayati setepat-tepatnya sesuai dengan watak jurus itu sendiri.
Kadang-kadang gerakan pedangnya begitu lembut seperti seorang bidadari yang menari, di lain saat menjadi hebat seperti angin prahara yang menghantam bumi.
Dan untuk sesaat Auyang Seng tanpa sadar melupakan rasa ingin tahunya terhadap urusan Kiongwan Hok.
Apabila anakmuda ini tidak gila, maka anak muda yang ada dihalaman ini agaknya hanya dapat dikalahkan oleh Kiongwan Hok di kalangan angkatan muda Hoa-san-pay.
Melihat Auyang Seng sedang memperhatikan anakmuda yang berlatih silat itu, maka Sebun Siang juga menghentikan langkahnya dan berdiri di samping adik seperguruannya itu.
"Siapa anakmuda ini?"
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanya Auyang Seng.
"Muridku dan sekaligus puteraku, Sebun Him,"
Sahut Sebun Siang. Anakmuda yang disebut bernama Sebun Him itu agaknya tahu juga kalau dirinya sedang diperhatikan, maka ia-pun segera menghentikan latihannya dan memberi hormat kepada Sebun Siang berdua.
"Ayah..."
Lalu ia ragu-ragu bagaimana harus menyebut orang yang bersama ayahnya itu. Sebun Siang berkata.
"A-him, kau pernah dengar seorang paman gurumu yang dirimba persilatan sangat terkenal dengan julukan Gin- hoa-kiam? Nah, itu dia yang berdiri di hadapanmu."
Sebun Him memang sudah lama mengagumi nama itu, maka alangkah gembira nya kfetika dirinya berhadapan muka dengan orang yang dikaguminya. Iapun membungkuk dalam-dalam sambil berkata.
"Kiranya aku berhadapan dengan Auyang Susiok. Susiok, terimalah salamku dan ajarilah aku."
Auyang Seng tersenyum melihat sikap anakmuda itu, diam-diam ia berpikir meskipun Hoa-san-pay kehilangan Kiongwan Hok tapi boleh juga digantikan oleh Sebun Him ini.
Tetapi alangkah baiknya kalau Kiongwan Hok juga dapat disembuhkan sehingga Hoa-san-pay akan memiliki sepasang jagoan muda yang dapat diandalkan untuk masa depan.
Kata auyang Seng sambil menepuk-nepuk Sebun Him yang tegap kokoh itu.
"Bagus, asal kau berlatih terus, kau akan menjadi ahli pedang yang lebih hebat dari padaku sendiri. Badanmu begitu kokoh dan tenagamu besar, dengan apa kau melatih kekuatanmu?"
"Dengan itu,"
Kata Sebun Him sambil menunjuk ke pinggir halaman kecil itu.
Di sana bergeletakanlah macam-macam alat latihan kekuatan seperti ciok-so (kunci batu) yang besarnya hampir dia kali lipat dari ciok-so yang dipakai orang lain.
Auyang Seng nampak sedikit mengerut alisnya ketika melihat alat latihan itu.
Tanyanya lagi.
"Bagaimana terlatih dengan alat itu dan seberapa ceratnya?"
Dengan wajah bersinar-sinar karena bangga Sebun Him menyahut.
"Aku melakukan tiap pagi dan sore. Setiap kali aku ayunkan ke arah "Bagus, asal kau berlatih terus, kau akan menjadi ahli pedang yang lebih hebat daripadaku sendiri. Badanmu begitu kokoh dan tenagamu besar, dengan apa kau melatih kekuatanmu? mendatar dan menegak masing-masing duaribu limaratus kali, dengan tangan kanan maupun kiri."
Sambil menjawab maka Sebun Him memandang wajah paman gurunya dan menunggu keluarnya kata-kata pujian dari mulut sang paman-guru. Tapi Auyang Seng nampak tidak terkejut sedikitpun, malahan bertanya.
"Kau mau tahu berapa gerakan aku melakukan latihan yang sama setiap pagi?"
Sahut Sebun Him mantap.
"Susiok seorang pendekar yang terkenal, barang-kali. susiok melakukan limaribu atau sepuluhribu kali? Akupun akan berusaha meningkatkan terus sampai hitungan itu"
Tapi jawaban Auyang Seng benar-benar mengejutkan.
"Tidak, jika ingin ilmu pedangmu mencapai kesempurnaan, kau justru harus menguranginya. Aku hanya melakukan dua ratus kali, dan itupun dengan clok-so yang ukurannya hanya separoh dari kepunyaanmu itu."
Sebun Him termangu-mangu mendengar jawaban itu, sementara ayahnya diam saja di pinggir gelanggang karena mengetahui bahwa hasil tanya jawab itu akan membuahkan sesuatu yang berguna bagi perkembangan ilmu anaknya.
"Kenapa...kenapa susiok melakukan sesedikit itu?"
Tanya Sebun Him. Dijawab oleh paman gurunya.
"Sebab seorang ahli ilmu pedang harus berlatih menurut cara seorang ahli pedang pula, sedangkan kau berlatih seperti seorang ahli ilmu golok. Kau paham teori golok berjalan seperti harimau dan pedang berjalan seperti ular?"
"Aku pernah mendengarnya. Artinya, gerakah golok adalah cepat, kuat dan langsung, sedangkan gerakan pedang adalah cepat, lembut dan tidak langsung. Begitu bukan, susiok?"
"Benar. Dan karena teori itu maka mempengaruhi pula cara berlatih dari masing- masing pihak. Seorang ahli ilmu golok selalu berlatih untuk menguatkan lengannya, agar dalam mengayunkan goloknya ada tenaga yang besar yang kalau dapat membuat senjata musuh terpental. Tapi ilmu pedang mengutamakan latihan ketepatan, pemusatan pikiran kearah sasaran, dan penggunaan tenaga sekecil mungkin. Latihan mengangkat benda berat yang berlebihan bagi seorang pendekar pedang bukan meningkatkan ilmunya, tapi malahan akan membuat tenaganya berkeliaran tak terkendali di seluruh tubuh, dan bukannya terpusat ke ujung pedang. Latihan kekuatan memang perlu, tapi harus berhenti sampai batas tertentu, lalu dilanjutkan dengan latihan- latihan yang kelihatannya kurang berat tetapi lebih sulit, yaitu pemusatan pikiran ke sasaran yang kecil, kelenturan pergelangan tangan dan sebagainya. Itulah sebabnya seorang ahli ilmu pedang bisa menusuk seekor nyamuk yang sedang melayang di udara, sedang ahli ilmu golok tidak bisa. Kau paham tidak?"
Kepala Sebun Him terangguk-angguk, tetapi ia belum bisa menerima sepenuhnya, sebab ada perasaan tidak rela dalam hatinya kalau latihan beratnya yang dilakukan dengan tekun setiap pagi dan sore itu ternyata dianggap 'tidak' berguna oleh paman gurunya.
Tanyanya.
"Latihan kelenturan pergelangan tangan yang bagaimana, susiok?"
"Pergelangan tangan untuk seorang pemain pedang adalah penting, sebab banyak gerak tipu yang bersumber dari kelincahan pergelangan tangan. Bagi pemain golok tentu saja dirasa kurang penting, sebab mereka lebih memusatkan pada kekuatan pundak dan lengan."
Sambil berkata demikian Auyang Seng mengambil sebatang toya besi yang tersandar di dinding halaman, toya besi yang oleh Sebun Him bisa diputar-putarnya seringan lidi.
Tapi Auyang Seng tidak ingin memutar-mutarnya, ia hanya berkata, '?Kita akan belajar menulis di udara."
Baik Sebun Siang maupun anaknya tercengang mendengar ucapan itu. Latihan apa- apaan itu? Bahkan dari guru-guru merekapun belum pernah mendengar adanya latihan "menulis di udara"
Itu. Auyang Seng tersenyum melihat suhengnya dan putera suhengnya itu melongo heran. Katanya.
"Memang latihan-ku ini adalah penemuanku sendiri, dan mudah-mudahan berguna buat perkembangan ilmu pedang Hoa- san-pay kita."
Toya besi itu sebenarnya tidak cukup berat apabila dipegang dengan cara biasa, panjangnya kira-kira satu setengah depa dan besar bulatannya atau garis tengahnya sebesar mangkuk kecil yang biasa digunakan di meja sembahyang.
Namun ayah dan anak itu terkejut ketika melihat Auyang Seng memegang toya besi itu bukan di tengah-tengahnya melainkan diujungnya, bahkan ujung yang paling pinggir, hanya lengan satu tangan.
Lalu Auyang Seng menggunakan toya besl itu seperti sebatang pena untuk 'menulisi? udara, sambil berkata.
"Lakukanlah ini setiap pagi, dengan kekuatan pergelangan tangan, bukan dengan kekuatan seluruh lengan atau pundak."
Tanpa bergetar atau oleng sedikitpun, ujung toya besi itu mencoret-coret udara dengan gerakan menurut beberapa huruf, dari huruf- huruf yang sederhana sampai huruf-huruf yang rumit, dari gerakan yang perlahan sampai gerakan yang cepat seolah sedang menulis "co- Ji" (huruf rumput) di atas kertas.
Dan ketika dua orang ayah beranak itu melihat ke tangan Auyang Seng, benar juga, yang bergerak-gerak ternyata hanya pergelangan tangannya, lincah dan mantap, sedang siku dan pundak tidak bergerak sedikitpun.
"Hebat, sute!"
Tak terasa Sebun Siang berseru. Sebun Him juga merasa kagum, tetapi la masih belum bisa menerima sepenuhnya "angin baru"
Yang dibawa oleh paman gurunya itu.
Bukankah selama ini la berlatih dengan caranya itu dan ternyata ia menjadi paling unggul di antara rekan-rekan seangkatannya? Bukankah para paman guru maupun uwa guru yang lain juga belum pernah menegur cara latihannya? Ketika Auyang Seng selesai dengan;
"pertunjukan"nya, sang paman guru itu berkata.
"Jadilah seniman pedang, bukan sekedar tukang bacok."
"Paman, dalam memainkan jurus-jurus yang sebenarnya, maukah paman menunjukkan kegunaan dari latihan semacam itu?"
Desak Sebun Him penasaran.
Auyang Seng tertawa dalam hati karena tahu isi hati anakmuda itu, namun Auyang Seng sendiri sudah bertekad bahwa demi perkembangan anakmuda itu sendiri di kemudian hari, ia memang akan merombak semua cara latihan kuno di perguruannya itu.
Ia ingin Hoa-san-pay dikemudian hari akan penuh bertaburan dengan pendekar-pendekar muda yang dapat diandalkan, yang lebih hebat dari angkatan tua mereka.
"Sutit (keponakan murid), gerakan Pek- wan-tau-pay-thian-teng (Si Monyet Putih Mencuri Buah dan Menyembah langit) tadi terdiri dari unsur mengiris, menekan senjata musuh ke bawah, lalu menikam. Gerakan pedang mengiris kau lakukan terlalu melebar sehingga pertahananmu terbuka dan mengganggu gerakan berikutnya, sebab gerakan itu seharusnya hanya kau lakukan- dengan kibasan pergelanganmu tapi kau telah melakukannya dengan ayunan seluruh lengan. Kalau suatu gerakan disebut 'mengiris' ya harus kau lakukan dengan baik dan bukannya kau rubah sendiri dengan 'menebas' mengerti? Menabas ada caranya sendiri."
"Bisakah paman memberi contoh?"
"Ambil pedangmu dan bersiaplah,"
Kata Auyang Seng, dan ia sendiripun menarik keluar pedangnya. Wajah Sebun Him berseri gembira, katanya di dalam hati.
"Nah, sekarang akan aku tunjukkan kepada susiok bahwa meskipun aku memerlukan banyak perbaikan tetapi tidak sebodoh yang diduga oleh paman."
Keduanyapun tersiap berhadapan, lalu terdengar Auyang Seng berkata.
"Aku akan menyerang dengan Pek-wan-tau-tho-pay-thian- teng tadi. Awas!"
"Aku siap, susiok,"
Sementara dalam hatinya berkata.
"aku akan gunakan Pek-lou-heng-kang (Embun Putih Menyeberangi Sungai) untuk membentur pedang susiok, lalu kulanjutkan dengan Liu-hun tui-gan (Awan Meluncur Mengejar Beli-I bis), tentu pedang susiok akan terkunci dan sulit melanjutkan gerakan apapun."
Ketika ujung pedang Auyang Seng benar- benar bergerak dalam sebuah sabetan pendek ke lehernya, maka Sebun Him benar-benar membenturnya dengan gerakan yang direncanakan.
Ia mengharap pedang paman gurunya terpental ke atas, tapi pedang perak itu justru menekan ke bawah dan dengan sebuah putaran dengan pergelangan tangannya, tahu- tahu pedang Sebun Him telah "terbelit"
Dan kemudian dicungkil jatuh dari tangannya. Di lain detik ujung pedang Auyang Seng sudah menempel di dada keponakan muridnya itu. Merahlah muka Sebun Him, maka dia sadar akan kelihaian paman gurunya itu. Tidak malu- malu lagi Sebun Him berkata.
"Aku mohon susiok jangan cepat cepat pergi dari Hoa-san ini, aku mohon banyak petunjuk dari paman."
Auyang Seng menyarungkan pedangnya dan menepuk pundak Sebun Him sambil berkata.
"Hanya sebagian dari latihanmu yang salah, tapi sebagian besar latihan lainnya sudah betul. Belajarlah terus. Sekarang aku akan berbicara dengan ayahmu lebih dulu."
Sebun Siang pun melangkah mendampingi adik seperguruan yang lebih pandai daripadanya itu, masuk ke ruangan tempat tinggalnya. Setelah mereka duduk berhadapan sambil menikmati teh, bertanyalah Au-yang Seng.
"Nah, aku ingin segera mengetahui tentang Kiongwan Hok."
Wajah Sebun Siang nampak muram ketika ia memulai ceritanya.
"Setahun yang lalu, atau kurang dari itu, yaitu setelah kau meninggalkan Hoa-san untuk berkelana di dunia persilatan, Hoa-san-pay kita menerima laporan dari penduduk desa tidak jauh dari kaki gunung, bahwa mereka mendapat gangguan dari segerombolan orang jahat. Tentara Kerajaan yang didatangkan dari kota terdekat tidak dapat menolong, bahkan banyak prajurit yang mati karena rombongan penjahat itu ada seorang yang lihai ilmu silatnya. Ciangbunjin lalu menyuruh Suheng Giok-seng Tojin untuk turun gunung membantu mengatasi tandang kaum penjahat. Giok-seng Suhengpun berangkat bersama dua orang murid yang paling diandalkannya, yaitu Kiongwan Hok dan searang lagi adalah Tan Yu-hian... ."
Auyang Seng mendengarkan sampai sini sambil menganggukkan kepalanya.
Ia kenal semua nama-nama yang disebutkan itu, hanya saja perasaannya merasa agak janggal ketika mendengar disebutnya nama Giok-seng Tojin, entah hal apa yang membuatnya merasa demikian, ia tidak tahu.
Sementara itu Sebun Siang melanjutkan kisahnya.
"Ketiga orang itu meninggalkan Hoa- san-pay, dan tak terduga itulah awal dari malapetaka. Dusun yang harus dibebaskan dari gangguan penjahat itu letaknya tidak jauh dari kaki gunung, tentunya begitu Giok-sen Suheng bertiga selesai menjalankan tugas akan kembali ke gunung dalam tempo beberapa hari saja. Namun hampir satu bulan mereka tidak kembali. Ciang bunjin mencemaskan bahwa ketiganya telah mengalami bencana, lalu disuruhnya beberapa dari antara kami menyelidik ke desa tempat kerusuhan itu, tapi desa itu sudah tenteram kembali sementara Giok-seng Suheng dan kedua muridnya tak dapat dicium jejaknya sedikitpun juga...
"Barangkali Giok-seng langsung membawa kedua muridnya itu untuk berkelana sebulan dua bulan di dunia persilatan untuk sekedar pengalaman kepada anak-anak muda itu?"
Auyang Seng mencoba menebak. Berambung ke
Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan Ko Aditya Indra Jaya first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU
Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.
Jilid amun Sebun Siang menggelengkan kepalanya dan menyabut.
"Tadinya banyak juga di antara kami yang menduga demikian, tapi mengingat watak Giok-seng Suheng yang amat patuh kepada sesuatu yang sudah digariskan, maka mustahil ia berbuat demikian tanpa sepengetahuan Ciangbunjin. Kalau Giok Seng Suheng sudah berjanji untuk pulang ke gunung dalam waktu lima hari, maka biarpun kedua kakinya dipotong maka dlapun akan merangkak dan kembali lima hari. Sute, kau sendiri tentu paham akan watak kakak seperguruan kita yang satu ini. Maka timbul dugaan lain, bahwh Giok-seng Suheng bersama N kedua muridnya mungkin telah terjebak oleh suatu kekuatan asing yang lebih kuat dari mereka bertiga, dan kemudian ternyata dugaan yang kedua inilah yang lebih mendekati kebenaran."
"Kekuatan darimana?"
"Tidak tahu, bahkan sekarangpun keadaan masih gelap bagi kami. Regu-regu penyelidik yang disebarkan oleh Ciangbunjin semuanya pulang dengan tangan kosong. Jangan lagi keterangan yang berarti, sedang jejak Giok-seng Suheng bertigapun lenyap seperti mereka ditelan bumi saja. Pada saat kami hampir putus- asa, tiba-tiba dua orang murid-murid muda menemukan Kiongwan Hok sedang berkeliaran di kaki gunung, namun Klongwan Hok sudah seperti orang gila ketika dlketemukan oleh kami. Ia menangis dan menjerit semaunya, mengucapkan kata-kata yang menggidikkan bulu tubuh seperti 'gudang mayat' atau 'penyimpanan kepala' atau 'kulit wajah dibeset' dan sebagainya. Ia sama sekali tidak lagi bisa diajak bicara untuk ditanyai di mana gurunya dan saudara seperguruannya, setiap kali ditanya ia malah menjerit-jerit ketakutan atau menangis meraung-raung. Kami panggilkan beberapa tabib dan pa para tabib itu rata-rata berkesimpulan bahwa jiwa Kiongwan Hok telah terguncang hebat, mungkin karena la menyaksikan kematian gurunya maupun saudara-saudara seperguruannya dengan cara yang amat mengerikan dl hadapan matanya. Dan para tabib menyarankan bahwa Kiongwan Hok harus diperlakukan sebaik-baiknya agar kegoncangan jiwanya cepat terobati."
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana perkembangan kesehatannya?"
"Berangsur-angsur ada kemajuan, ia mulai agak tenang meskipun masih tetap dikurung dalam satu tempat dengan penjagaan yang ketat. Tapi Ciangbunjin masih melarang slapapun untuk menanyai tentang kejadian atas diri gurunya dan saudara-seperguruannya, sebab dikuatir-kan pertanyaan itu malah akan membuat jiwanya tergoncang kembali. Kami mengira persoalan akan segera menjadi terang, tetapi...ah, kembali kejadian-kejadian aneh muncul."
"Apa?" ' "Tiba-tiba penyakit Kiongwan Hok menghebat kembali, sebab di tempatnya dikurung, pada suatu malam muncullah tubuh yang mirip Giok-seng Suheng, tubuh itu tubuh terpisah dengan kepalanya dan kepalanya dibawa dengan tangannya. Beberapa anggota Hoa-san-pay yang melihat tempat itu juga menyatakan bahwa mereka memang melihat sesosok tubuh tanpa kepala melayang masuk ke ruang penyekapan Kiongwan Hok. Kemudian Kiongwan Hok berteriak-teriak ketakutan, dan jiwanya yang hampir tenang kembali itu kembali tergoncang hebat. Bersamaan dengan itu, muncul pula orang-orang Ho-lian-pay dengan masalah mereka yang memusingkan kepala. Katanya mereka ingin minta seorang murid Hoa-san-pay bernama Kiongwan Hok untuk dihukum oleh mereka, sebab Kiongwan Hok telah melukai beberapa anggota Ho-lian- pay mereka. Coba pikir, Sute, persoalannya bertambah ruwet bukan?"
Namun Auyang Seng tidak kelihatan bingung sedikitpun. Katanya.
"Secara garis besar, aku menduga bahwa Giok-seng Suheng dan kedua muridnya agaknya telah bentrok dengan sebuah komplotan yang tidak ingin diketahui oleh orang luar, lalu dibunuh. Kebetulan Kiongwan Hok lolos, tapi diapun harus dilenyapkan oleh komplotan itu, maka komplotan itu tidak henti-hentinya memburu untuk mendapatkan Kiongwan Hok. Atau paling tidak membuat Kiongwan Hok tetap gila, caranya ialah dengan menakut-nakuti dia, sebab hanya dengan tetap gila sajalah maka dia tidak akan dapat ditanyai tentang apa yang sudah diketahuinya tentang komplotan itu."
"Sute, bagaimana kau bisa membuat kesimpulan begitu cepat?"
Auyang Seng menarik napas.
"Dalam bulan- bulan terakhir ini di dunia persilatan banyak kejadian aneh yang sulit diusut asal-usulnya. Banyak tokoh persilatan yang menghilang, dikira sudah mati ternyata masih hidup, meskipun kemunculannya yang kedua kali kadang-kadang dengan membawa perangai yang berbeda dengan sebelum ia menghilang. Ada beberapa orang yang tiba-tiba saja terbunuh oleh orang tak dikenal, entah karena persolan apa. Dan tentang diri Giok-seng Suheng, aku mendengar berita yang agak janggal."
"Tentang Giok-seng Tojin?"
"Benar, tentang kakak seperguruan Kita yang Suheng katakan telah menghilang tanpa jejak bersama seorang muridnya itu. Belum lama ini, di daerah sebelah barat kota Tay-tong telah terjadi pemberontakan melawan pemerintah Manchu yang digerakkan oleh Jit- goat-pang (Serikat Rembulan dan Matahari) di bawah pimpinan Pangeran Cu Leng-ong. Kabarnya Giok-seng Suheng muncul di arena pertempuran itu dan berpihak kepada Pangeran Cu Leng-ong....."
"Ini membuat teka-teki ini semakin ruwet. Kalau Giok-seng Suheng ternyata selama ini belum mati, seharusnya memberi kabar ke gunung agar tidak membuat para sesepuh dan saudara seperguruan jadi gelisah seperti ini. Tapi Giok-seng malahan muncul di medan pertempuran di kota Tay-tong?"
"Ya. Anehnya, kemunculannya itu bersama- sama dengan dua orang tak dikenal yang memiliki ilmu tinggi, entah dari Dihak mana. Kemudian Giok-seng Su-heng dengan dua teman anehnya itu gugur, bukan di garis depan melainkan malahan digaris belakang di desa pertahanan terakhir Pangeran Cu Leng-ong. Kedua teman aneh Suheng itu mati dalam keadaan habis dagingnya, dan yang dapat menjadi ciri pengenal mereka kemudian hanyalah pakaian mereka dan senjata-senjata mereka. Mati dengan daging cair seperti itu mengingatkan aku akan suatu peristiwa berpuluh tahun yang lalu ketika aku masih muda, yaitu di jaman Hwe-liong-pang masih malang melintang dl dunia persilatan dahulu. Jika mereka menghukum anak buah mereka yang bersalah, maka mereka suruh anakbuahnya itu untuk menelan sebutir ramuan Racun Penghancur Tubuh yang berakibat seluruh otot dan daging di tubuh akan mencair lenyap, kecuali tulang-tulangnya. Mungkinkah kedua orang yang mati bersama-sama dengan Giokseng Suheng itu adalah orang-orang Hwe- liong-pang?"
Sesaat kedua saudara seperguruan itu duduk diam dengan kening berkerut.
Persoalannya memang masih kabur, namun bagi Auyang Seng yang berwatak keras namun teliti itu, semakin keras dan semakin sulit persoalannya akan justru semakin merangsanya untuk memecahkannya.
Apalagi persoalan yang satu ini menyangkut perguruannya sendiri, dan secara naluriah la juga merasakan bahwa kejadian-kejadian aneh di Hoa-san itu hanyalah salah satu rangkaian dari kejadian-kejadian aneh yang belakangan Ini sering muncul di kalangan rimba persilatan.
Sesaat kemudian terdengar Auyang Seng menarik napas, lalu katanya.
"Jika kita hendak menyelidiki, maka lebih dulu kita bisa mulai dari Ho-lian-pay terutama He Keng-liang sendiri. Aku merasa sikap mereka agak di luar dugaan. Ho-lian-pay cuma sebuah perguruan kecil yang tidak terkenal, dan tidak ada tokoh- tokohnya yang menonjol, maka terasa aneh kalau mereka tiba-tiba saja berani mengusik Hoa-san-pay kita yang betapapun adalah salah satu tiang-utama dunia persilatan. Tentu ada yang menggerakkan mereka dari belakang. Dengan kata yang lebih tegas, ada pihak tertentu yang ingin merebut Kiongwan Hok dari tangan kita tapi dengan cara meminjam tangan orang-orang Ho-lian-pay."
"Lagi-lagi Kiongwan Hok... ."
"Ya, karena keponakan-murid kita itu sekarang sudah menjadi orang penting. Barangkali dialah satu-satunya kunci untuk membongkar sebuah komplotan rahasia dunia persilatan, maka pihak komplotan itu harus berusaha keras untuk melenyapkan dia sebelum dia menjadi sembuh dan bisa ditanyai."
Sebun Siang mengangguk-anggukan kepalanya. Tanyanya tiba-tiba.
"Eh, Su-te, apakah kau percaya akan adanya hantu?"
Auyang Seng tertawa.
"Hantu memang ada dan beberapa orang pernah mengalaminya benar-benar, tetapi kita tidak boleh mengambil kesimpulan dengan tergesa-gesa untuk memecahkan segala persoalan. Melihat hal aneh sedikit saja lalu dikatakan bahwa itu perbuatan hantu, itu sikap keliru... ."
"Tapi...tapi roh Giok-seng Suheng yang muncul tanpa kepala itu... ."
Kembali Auyang Seng tertawa.
"Giok-seng Suheng adalah seorang yang rajin berdoa dan banyak berbuat kebajikan kepada sesama manusia seumur hidupnya, masakah setelah mati dia mengganggu orang-orang Hoa-san-pay sendiri dalam wujud hantu tanpa kepala? Aku tidak percaya. Aku lebih percaya kalau hantu tanpa kepala yang menemui Kiong-wan Hok itu hanyalah hantu palsu yang bertujuan membuat jiwa Kiongwan Hok sulit disembuhkan dari penyakitnya."
Sebun Siang masih nampak ragu-ragu mendengar semua keterangan itu, sehingga Auyang Seng yang lebih banyak pengalamannya karena lebih sering berkelana itupun menjelaskannya lebih lanjut.
"Sebun Suheng, orang menyamar sebagai hantu bukan hal sulit. Banyak orang-orang hek-to (Jalan hitam) yang berbuat demikian. Ada yang menyamar sebagal siluman kelelawar, ada yang menyamar sebagal setan Bu-siang, atau bentuk-bentuk lainnya. Mereka berbuat demikian hanyalah karena kurang percaya kepada kemampuan diri sendiri, sehingga mereka merasa perlu untuk lebih lanjut menakuti lawan dengan penampilan yang seram-seramnya. Tetapi bagi para penganut ilmu silat sejati, yang paling menakutkan bukannya ujud-ujud aneh ataupun topeng-topeng seram, melainkan suatu ilmu yang sudah dilatih sampai mahir."
Setelah kedua kakak beradik seperguruan itu berbincang-bincang sepuasnya, maka Auyang Seng segera memohon pamit untuk beristirahat di tempatnya sendiri yang sudah disediakan oleh beberapa murid.
Tempat tinggal Auyang Seng dalam perumahan Hoa-san-pay yang luas itu terletak di bagian belakang, tidak jauh dari tempat Kiongwan Hok dikurung dalam suatu ruangan yang dijaga ketat oleh murid-murid Hoa-san- pay.
Menempati ruangannya Itu, diam-diam Auyang Seng merasa kebetulan sebab la pun ingin mengawasi Kiongwan Hok secara diam diam, dan kalau perlu menangkap "hantu tanpa kepala"
Yang sering mengganggu Kiongwan Hok yang sakit jiwa itu, untuk dilucuti kedoknya. Tetapi selama Auyang Seng beberapa hari di situ.
"hantu"
Itu tidak muncul, dan Auyang Seng mengisi waktunya dengan membimbing beberapa murid-murid Hoa-san-pay yang masih muda usia untuk memeperkenalkan beberapa latihan baru yang dapat mempercepat peningkatan ilmu mereka, terutama ilmu pedang.
Yang paling rajin mengikuti petunjuk petunjuknya adalah Sebun Him, dan mau tidak mau Auyang Seng kagum juga melihat bagaimana putera Suhengnya itu dengan daya tangkap dan keuletan yang melebihi murid- murid lainnya, telah mendapat keamajuan pesat dalam ilmu pedangnya.
Diam-diam Auyang Seng merasa puas karena untuk beberapa tahun mendatang Hoa-san-pay bakal memunculkan lagi seorang jagoan yang diharap lebih cemerlang dari dirinya sendiri.
Beberapa malam kemudian, ketika itu seluruh perumahan Hoa-san-pay sudah tenggelam dalam kesunyian, banyak ruangan- ruangan yang lampunya sudah dipadamkan untuk menghemat minyak.
Yang masih berjaga- jaga hanyalah murid-murid yang mendapat giliran tugas untuk menjaga tempat-tempat penting, seperti aula tempat penerimaan murid baru, tempat penyimpanan kitab-kitab, dan belakangan ini tempat penting itu bertambah satu lagi, yaitu ruangan tempat Kiongwan Hok dikurung.
Pihak Hoa-san-pay menyadari bahwa jika Kiongwan Hok kelak dapat sembuh dan dapat diajak bicara, maka dia akan menjadi "kunci"
Dari rahasia hilangnya Giok-seng Tojin dan seorang muridnya yang lain.
Auyang Seng tengah terkantuk-kantuk di pembaringannya ketika tiba-tiba kupingnya menangkap suara teriakan dan tangisan yang keras dari ruangan tempat didekapnya Kiongwan Hok yang memang tidak jauh dari tempatnya Itu.
Suara tangisan sedih dan raungan ketakutan itu mengalun di malam yang sunyi, menimbulkan suasana yang seram.
"Jangan...jangan ajak aku pergi ke tempatmu, Suhu...! Kematianmu mengenaskan sekali, Suhu... .!"
Lenyaplah rasa kantuk Auyang Seng mendengar itu.
Cepat ia meloncat dari pembaringannya dan dengan cekatan dipakainya sepatunya dan jubah luarnya.
lalu disambarnya pedangnya yang tidak pernah terletak-jauh daripada dirinya itu.
Sekejap saja ia sudah mendorong pintu dan melayang seperti seekor burung walet ke arah ruang penyekapan Kiongwan Hok.
Melihat gerak- geriknya yang serba tangkas tetapi terarah itu, memang tidak mengecewakan kalau Auyang Seng merupakan seorang pendekar yang disegani bukan saja di Hoa-san-pay sendiri tetapi juga di dunia luar dengan julukan Gin- hoa-kiam (Pedang Bunga Perak).
Ketika Auyang Seng tiba di luar, terlihat dari segala arah sudah bermunculan orang-orang bersenjata pedang yang menuju ke arah yang sama.
Namun ada juga yang ketika mendengar teriakan-teriakan Kiongwan Hok itu justru meringkaskan badannya semakin kecil di bawah selimutnya.
Mereka memilih meneruskan tidur mereka yang nyaman daripada berkeliaran diluaran dan bertemu dengan hantu tanpa kepala.
Tapi lebih banyak lagi yang berloncatan keluar dengan pedang di tangan.
Biarpun hantu dari neraka yang bakal mereka hadapi, namun mereka tidak akan rela jika Hoa-san-pay diejek sebagai sarang kelinci-kelinci penakut.
Mereka harus menunjukkan bahwa Hoa-san-pay adalah sarang macan.
Ketika Auyang Seng tiba di tempat penyekapan Kiongwan Hok, teriakan-teriakan masih terdengar, dan murid-murid yang berjaga-jaga di tempat itu sudah menghunus pedang semuanya.
Tapi muka mereka kelihatan pucat dan ragu-ragu, tangan mereka yang memegang pedangpun kelihatan agak gemetar.
"Apa yang terjadi?"
Tanya Auyang Seng kepada salah seorang murid. Murid itu bibirnya bergerak-gerak tapi tidak mengeluarkan sepatah katapun, hanya kepalanya yang kemudian tergeleng-geleng.
"Sudah kalian periksa ke dalam?"
Tanya Auyang Seng lagi. Lagi-lagi murid itu menggelengkan ke dalam. Auyang Seng menggertakkan gigi dan berkata tegas.
"Jangan takut hantu. Sebagian ikuti aku ke dalam untuk memeriksa! Sebagian berjaga di sini!"
"Benar! Tidak usah takut hantu!"
Sahut murid-murid yang mulai pulih keberaniannya ketika melihat kedatangan paman guru mereka yang berilmu tinggi itu.
"Biar kami berjaga di sini, kalian ikut susiok ke dalam!"
"Benar! Penjagaan di sini harus kuat. Aku berjaga di sinil"
"Akaupun akan siap siaga di sini untuk menangkap nantunya!"
Demikianlah, ternyata semua murid lebih suka berada di luar saja, mereka saling mendorong teman-teman mereka untuk masuk ke dalam, tapi mereka sendiri lebih suka "berjaga di luar saja."
Auyang Seng habis sabar.
Tanpa menunggu murid-murid itu, ia segera menerjang ke dalam ruangan penyekapan itu.
Dan apa yang dilihatnya telah membuat jantung Auyang Seng hampir copot.
Ruangan dalam yang untuk menyekap murid Hoa-san-pay yang sakit jiwa itu adalah sebuah ruangan yang terbuat dari kayu tebal itu telah terdobrak, sehingga dari luar bisa langsung melihat ke dalam.
Di dalam ruangan, Kiongwan Hok dengan wajah pucat ketakutan dan mata yang berkeliaran karena kegilaannya, merapatkan punggungnya ke tembok.
Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Pendekar Rajawali Sakti 43 Huru Hara Di Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama