Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP Bagian 16
"Kalau tidak mau?"
Tanya Ting Hun-giok dengan agak kecewa pula.
"Apa boleh buat, demi pembebasan tanah- air maka siapapun yang berpihak kepada Kerajaan Manchu harus dianggap musuh, tidak perduli keluarga sendiri sekalipun."
Ting Hun-giok menarik napas dalam-dalam mendengar jawaban ayahnya yang tegas itu.
Namun ia tahu ayahnya benar.
Perbedaan pendirian dalam urusan negara memang kadang-kadang membuat kawan jadi lawan, sanak keluargapun saling berdiri berseberangan dengan senjata terhunus di tangan masing-masing.
Itulah jaman perang, di mana setiap orang dituntut untuk menentukan di mana tempatnya berdiri.
Yang ragu-ragu akan tergilas dari kedua pihak.
Sementara itu, dari tempat duduknya Sebun Him dapat merangkap semua pembicaraan yang memang tidak dilakukan dengan bisik-bisik itu.
Diam-diam ia kagum dan hormat mendengar sikap tegas yang terucapkan oleh Ting Bun itu, tidak malu ia sebagai pendekar yang dihormati orang.
Seorang pendekar dihormati bukan saja karena mahir memutar golok atau pedang, tetapi juga karena sikapnya dalam berbagai persoalan.
Kalau hanya mahir main senjata saja namun sikapnya tidak terpuji, itu tidak lebih tidak kurang dari penjahat besar saja.
Selain itu Sebun Him juga mulai memahami kenapa "rumah makan"
Menjadi satu hal.
yang penting dalam dunia persilatan.
Di tempat itulah orang dapat menyebarkan kabar berita, mendengar berita atau bertukar berita.
Tidak aneh kalau Kay-pang (Serikat Pengemis) sebagai serikat terbesar di dunia persilatan yang terkenal akan ketajamannya dalam menangkap berita-berita baru, menempatkan banyak anggotanya yang berujud pengemis- pengemis di rumah-rumah makan.
Agaknya bukan hanya karena di tempat itu banyak sisa makanan atau banyak orang yang dapat dimintai sedekah, tapi juga karena rumah- rumah makan menempati kedudukan khusus dalam dunia persilatan.
Di situlah berita-berita disebarluaskan atau dipertukar kan.
Tiba-tiba ketenangan rumah makan itu terganggu oleh suara ribut-ribut di jalan raya di luar rumah makan itu.
Banyak orang yang menerobos masuk ke rumah makan itu bukan untuk makan, melainkan untuk berlindung dari sesuatu yang menakutkan.
"Ada kerbau gila"
Kata seseorang.
"Kerbau mengamuk!"
Teriak seseorang lainnya di jalan raya.
Memang betul, seekor kerbau yang bertubuh besar dan kasar mengamuk di jalan raya.
Dan orang-orang berlari-larian ketakutan untuk menghindari serudukan tanduk- tanduknya yang tajam, anak-anak kecil dan perempuan menjerit-jerit.
Beberapa pedagang kecil di pinggir jalan tak sempat lagi menyelamatkan barang dagangan mereka yang berantakan karena dihajar binatang yang kalap itu.
Melihat kepanikan orang banyak itu, timbullah niat Sebun Him untuk mencoba menundukkan kerbau gila itu.
Jauh di dasar hatinya masih juga muncul untuk menjadi terkenal..
Julukan "Se-him"
Harus menjadi sejajar, kalau perlu melebihi "Pak-liong dan "Lam-hou."
Namun pada saat itu di jalan raya itu sudah muncul belasan orang prajurit Manchu yang membawa pengait-pengait dan tali-tali jerat untuk mencoba menjerat dan menaklukkan binatang yang kuat itu.
Beberapa prajurit mencoba mengait kaki kerbau untuk merobohkannya.
Tapi kait-kait itu patah begitu saja karena diterjang oleh kaki- kaki kerbau yang kuat itu.
Bahkan kaki kerbau yang tergores oleh ujung-ujung kaitan yang tajam itu malahan membuat si kerbau semakin marah dan mengamuk klan hebat.
Jerat diputar di atas kepala dan dilontarkan.
Berhasil.
Lalu para prajurit mencoba menarik tali-tali itu secara bergotong royong, tapi sia-sia.
Kerbau yang besarnya melebihi kerbau biasa itu ternyata juga memllki kekuatan yang luar biasa pula, sehingga bukannya kerbau itu yang tertarik jatuh, malahan para prajurit itu yang pontang-panting terseret oleh kerbau itu.
Seorang prajurit tidak sempat menghindar ketika tanduk-tanduk kerbau itu menghunjam ke perutnya dan kemudian melemparkan tubuhnya tinggi-tinggi ke angkasa lalu terbanting tak berkutik.
Sebun Him menjadi ragu-ragu untuk turun tangan.
Haruskah ia membantu prajurit-prajurit Manchu yang dianggap sebagai penjajah oleh sebagian besar kaum pendekar itu? Tapi kalau dibiarkan saja, bukankah prajurit-prajurit Manchu itu sebenarnya juga sedang mengatasi kekacauan, yang berarti sedang melindungi rakyat dari kerusakan akibat amukan kerbau gila itu? Sesaat Sebun Him jadi ragu-ragu..
Di saat la ragu-ragu itulah maka ada seorang prajurit lagi yang diseruduk mampus oleh kerbau itu.
Namun prajurit-prajurit lainnya terus berusaha mengatasi amukan binatang itu tanpa kenal takut.
Lembing-lembing yang dilemparkan ternyata hanya melukai kulit kerbau dan tidak mampu membunuhnya bahkan membuat kerbau itu semakin beringas.
Jalan raya itu sekarang menjadi arena kerbau melawan manusia, dengan penonton di sekitarnya.
Seekor kerbau melawan empat orang prajurit Manchu yang mati-matian mencoba menundukkannya, meskipun usaha mereka itu kelihatannya akan sia-sia.
Pada saat itulah dari antara penonton itu terdengar bentakan menggelegar.
"Kaum kuku garuda(ejekan untuk prajurit-prajurit kerajaan), kalau tidak mampu minggirlah! Biar aku bereskan binatang ini !!' Lalu sepasang tangan yang kekar dan berbulu menyibakkan penonton ke kedua samping, dan muncullah seorang hwe-shio berambut panjang (thau-to) yang bertubuh kekar, kepalanya memakai gelang besi yang di bagian depannya dihias sekeping logam berbentuk bulan sabit kecil. Jubahnya abu-abu dan pinggangnya diikat dengan tali rami yang amat sederhana, ketika muncul, Hweshio ini menenteng sebatang senjata kaum paderi yang disebut hong-pian-jan, yaitu toya yang ujungnya berbentuk bulan sabit yang menganga kedepan, seperti senjata tokoh-dongeng Se Ceng dalam dongeng Se Yu. Begitu memasuki gelanggang, orang-orang menduga tentunya si thau-to akan melawan kerbau gila itu dengan senjata hong-pian- jannya, tapi kemudian orang-orang itu menjadi heran ketika melihat rahib itu malahan meletakkan senjatanya di tanah. Lalu dengan tangan kosong ia mendekati kerbau yang tengah mengamuk itu, sambil menggosok-gosokkan sepasang telapak tangannya, dan dan penontonpun melihatnya dengan tegang.
"Pendeta gila, apakah kau kepingin mampus?"
Teriak seorang prajurit Man-chu. Balas si tahau-to.
"kau sendiri yang tidak becus, jangan lalu menganggap semua orang sama tidak becusnya seperti kau. Lebih baik ajak kawan-kawanmu untuk menyingkir semua daripada mampus ditanduk kerbau!"
Di dalam rumah makan, karena tempat duduk Ting Bun dan keluarganya ada dekat pintu, maka mereka dapat melihat semua yang tengah terjadi di tengah jalan raya yang kini telah menjadi arena kerbau lawan manusia itu.
Begitu pula Sebun Him telah meninggalkan mejanya sejenak dan berdiri berdesakan dekat pintu untuk menyaksikan "pertandingan"
Itu.
Ketika Sebun Him tak tertahan melirik ke arah gadis she Ting yang menarik hatinya itu, terlihatlah wajah si gadis agak tegang, dan sepasang matanya yang indah itu membelalak membuat Sebun Him ingin memandangnya lebih lama lagi.
Tapi supaya tidak dianggap lelaki kurang ajar, maka Sebun Him memaksa kepalanya untuk menoleh ke tengah jalan raya.
Kerbau gila itu menghantam siapa saja yang berada di dekatnya, dan ketika binatang itu melihat si thau-to mendekatinya, maka binatang itu mengais-ngaiskan kakinya ke tanah sambil menunduukkan kepalanya, Sesaat kemudian berderaplah binatang itu dengan tanduk yang ditundukkan lurus ke perut calon korbannya yang ketiga itu.
Para penonton, termasuk para prajurit yang telah minggir sambil menyeret tubuh teman- teman mereka yang mati menatap dengan tegang ketika melihat pendeta berambut panjang Itu sama sekali tidak menghindari serudukan dahsyat yang beratnya beratus-ratus kati itu.
Bahkan si pendeta itu memasang kuda- kuda dengan sepasang lutut ditekuk rendah, dan kedua tangannya yang kekar itu diulurkan ke depan dengan tabahnya.
Ketika si kerbau menunduk, tepat sekali sepasang tanduk itu kena ditangkap oleh sepasang tangan yang kekar itu.
Betapa hebatnya tenaga si pendeta itu terlihat dari bagaimana ia berhasil mengehentikan laju serudukan kerbau yang berlari kencang itu, tanpa terlempar hanya tubuhnya tergeser sedikit ke belakang namun dengan sepasang kaki yang tetap menempel di tanah dengan kokohnya.
Tepuk tangan dari antara orang- orang yang mengelilingi arena itu.
Sesaat terjadi adu tenaga antara manusia dan kerbau.
Dengan mendengus-dengus si kerbau mengerahkan tenaganya untuk melempar lawan agar tanduknya bisa segera bekerja untuk menghantam lawan, namun yang diseruduknya kali ini seolah-olah adalah sebatang pohon tua yang akar-akarnya tertancap jauh-jauh ke dalam tanah dengan kokohnya.
Bergeming sedikitpun tidak.
Si thau- to sendiri agaknya harus mengerahkan tenaganya pula agar tidak terdorong mundur lagi, sampai mukanya merah dan otot-otot di pelipisnya menonjol.
Di dalam rumah makan itu, diam-diam Sebun Him kagum kehebatan tenaga dari pendeta berambut panjang itu.
Dan ia berharap mudah-mudahan pendeta ini bukan termasuk dalam komplotan yang membunuh ayahnya, sebab kalau pendeta ini anggota komplotan, maka agaknya Hoa-san-pay akan mendapat lawan berat.
Beberapa hari yang lalu cukup dengan tiga orang Te-liong Hiang-cu, Ang-mo- coa-ong Tang Kiau-po serta Jian-kiam-hui-ci Ki Peng-sian sudah nembuat Hoa-san-pay kewalahan sampai para sesepuhnya dipaksa untuk turun ke gelanggang.
Dan kini, menilik sikapnya yang gagah meskipun agak kasar, agaknya thau-to ini bukan anggota komplotan.
Terdengar thau-to itu tiba-tiba membentak sambil menghentakkan kekuatannya, terdengar gemeretak dari sepasang tangannya yang kokoh kekar itu, dan kerbau gila itu kena didorongnya mundur dua langkah.
Kembali penonton bersorak-sorai, sementara Ting Bun dan isterinya saling bertukar pandangan sambil tersenyum, sebab mereka kenal siapa pendeta yang perkasa itu.
Kembali si pendeta membentak sambil mengerahkan tenaganya lebih besar lagi, dan kali ini kerbau itu bukan cuma terdorong selangkah dua langkah, tapi terhuyung-huyung mundur dan bahkan kemudian jatuh terguling.
Sorak-sorai terdengar meledak hebat.
Bahkan para prajurit yang berdiri di tepi arena itupun menggeleng-gelengkan kepalanya seakan tak percaya.
Tadi mereka beramai-ramai tidak dapat mengatasi kekuatan kerbau itu, dan kini mereka melihat ada seseorang yang dapat mengatasinya seorang diri.
Kerbau yang terjatuh itu semakin marah, ia bangkit kembali dan mengais-ngaiskan kakinya siap untuk menerjang lagi.
Namun agaknya si rahib berrambut panjang itupun sudah bosan berkelahi dan ingin segera mengakhiri pertarungan itu.
Ia berdiri dengan kaki renggang, tangan kanannya ditekuk di depan tubuh dan seluruh tubuhnya kelihatan bergetar karena ia mengerahkan tenaganya.
Ketika kerbau itu menyerbu ke depan, si pendetapun meloncat ke depan melambung tinggi dan kemudian diiringi bentakan menggelepar ia meluncur turun sambil menghantamkan siku tangan kanannya sekuat tenaga ke kepala kerbau itu.
Semua penonton menahan napas, dan kemudian bersorak ketika melihat kepala kerbau itu pecah terkena siku tangan pendeta itu.
Si kerbau roboh menggelepar dengan cairan merah dan putih dari tempurung kepalanya yang pecah, sesaat kemudian terdiamlah binatang itu untuk selama-lamanya.
Di tengah sorak-sorai orang-orang yang memujanya bagaikah malaikat yang turun ke bumi itu, si pendeta dengan kalem, memungut senjatanya yang diletakkan di tanah, lalu menjinjingnya masuk ke dalam rumah makan itu.
Agaknya si pendeta itu memang sudah tadi berniat beristirahat di tempat itu, hanya adanya kerbau yang mengamuk itu yang menunda niatnya.
Begitu masuk si pendeta tercengang ketika melihat Ting Bun sekeluarga ada di tempat itu pula.
Tong Wi-lian mengacungkan ibu jarinya sambil berkata.
"Jian-kin-cun-kang-tui (Palu Siku Baja Seribu Kati) yang hebat, Suheng !"
Ternyata isteri Ting Bun itu memanggil si pendeta dengan sebutan "suheng" (kakak seperguruan), karena mereka berdua sama- sama murid-murid dari perguruan terkenal Siau-lim-pay.
Pendeta itu adalah Bu-gong Hwesnio yang dulu pernah ikut dalam usaha membobol Penjara Kerajaan di kota Pak-khia.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia memang sangat, terkenal dengari jurus Ji-an- kin-cun-kang-tuinya itu, sehingga jurus andalannya itu menjadi nama julukannya pula.
Dan kini di hadapan sekian ratus pasang mata ia sudah membuktikan kehebatannya.
Di mejanya, Sebun Him terkejut pula mendengar disebutnya Jian-kin-cun-kang-tui itu, sebab nama itu tidak kalah terkenalnya dengan nama pendekar kebanggaan Hoa-san- pay, Gin-hoa-kiam Auyang Seng.
Dan orang itu juga sahabat baik paman gurunya, sehingga timbul kesan baik Sebun Him terhadap pendeta itu.
Namun Sebun Him belum berniat memperkenalkan dirinya.
Sejak kejadian di kedai terpencil yang mengakibatkan kematian ayahnya itu, entah kenapa sifat Sebun Him jadi agak berubah, suka menyendiri, dan jauh di dasar hatinya juga ada sikap rendah diri akan ketidak-mampuan ilmunya.
Itulah yang menahan langkahnya untuk tidak memperkenalkan diri kepada keluarga pendekar terkenal itu, apalagi kalau mengingat bahwa gadis cantik itu adalah saudara sepupu dari Tong Lam-hou yang terkenal ketinggian ilmunya, sedangkan diri-nya sendiri meskipun pernah menepuk dada sebagai si Beruang dari Barat ternyata di kedai terpencil itu tidak bisa menyelamatkan ayahnya.
Ia takut jika gadis she Ting itu nanti membandingkan dirinya dengan sang kakak sepupu yang perkasa itu.
Namun Sebun Him tetap duduk dl tempatnya dan dengan menajamkan pendengarannya dia berusaha untuk tetap mengikuti pembicaraan dari meja para pendekar itu.
Tidak sulit untuk mendengarkan mereka, sebab mereka berbicara biasa saja dan tidak berbisik-bisik, meskipun kadang-kadang terganggu oleh teriakan si pelayan rumah makan yang menyambut tamu atau meneriakkan pesanan-pesanan.
Saat itu Bu-gong Hweshio sudah duduk sekmeja dengan tenangnya ditenggaknya dua cawan arak.
Setelah itu barulah ia merentangkan tangan ke samping untuk melemaskan otot sambil berkata.
"Huh, pekerjaan dan perjalanan yang melelahkan tetapi sia-sia, untung bertemu dengan kalian yang mentraktirku di sini. Dasar memang sedang bernasib bagus."
Ting Hun-giok tertawa sehingga muncul sepasang lesung pipit di pipinya, ia memang sudah kenal dengan kakak seperguruan dari ibunya yang pernah beberapa kali mengunjungi rumahnya di An-yang-shia itu, sehingga sikapnyapun agak bebas. Katanya.
"Tapi jangan dikira arak dan makanan yang di minum Su-pek itu cuma-cuma, Supek."
Bu-gong Hweshio membelalakkan matanya.
"Hah, jadi aku harus membayar dengan uangku sendiri ?"
Sahut Ting Hun-giok sambil tertawa.
"Supek harus ingat, bahwa dari seratus delapan Jurus Lo-han-kun yang Supek janjikan, baru Supek ajarkan sampai jurus ke duapuluh kepadaku. Ilmu pedang Tat-mo-kiam-hoat juga baru sampai jurus ke tujuh belas...."
Bu-gong Hweshio pura-pura menggerutu mendengar "todongan"
Itu, katanya sambil menepuk keningnya sendiri.
"Eh, setan cilik kapan kau mau berhenti memeras aku? Bukankah dari paman dan bibimu di Tay-beng kau juga sudah mendapat ajaran Hui-soat-sin- ciang (Pukulan Salju Terbang), ilmu meringankan tubuh, ilmu memainkan sepasang kaitan Hau-thau-kau dan lainnya ?"
Sebun Him yang mendengarkan percakapan itu diam-diam merasa dirinya semakin kecil di hadapan orang-orang itu.,Gadis itu nampaknya sudah mempelajari banyak ilmu dari banyak pendekar terkenal yang menjadi teman-teman keluarganya.
Semua ilmu-ilmu yang disebutkan tadi bukanlah ilmu-ilmu pasaran melainkan ilmu-ilmu tingkat tinggi yang menjadi pegangan para pendekar terkenal seperti Gin-yan-cu Tong Wi-hong dan Jian-kin-cun-kang-tui Bu-gong Hweshio.
Sebenarnya Ting Hun-giok masih hendak "memeras"
Supeknya itu lebih jauh, namun keburu dicegah oleh ibunya.
"Sudahlah, A-giok, dari tadi yang kau bicarakan hanya urusanmu sendiri saja."
Lalu kepada Bu-gong Hweshio, Tong Wi-lian bertanya.
"Suheng, bukankah kau baru saja pulang dari Tiau-im-hong di pegunungan Bu- san? Bagaimana kabarnya pertemuan di sana?"
Bu-gong Hweshio menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menarik napas.
"Kacau...kacau. Para undangan sudah berdatangan, tahu-tahu si Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong muncul dan minta maaf kepada para tamu, katanya segala acara dibatalkan semua karena sang calon Ketuanya menghilang di tengah jalan. Bahkan pesta kebangkitan kembali Hwe-liong-pang itu hampir saja menjadi pesta pembantaian berdarah, untung belum terjadi... ."
"He, kenapa bisa demikian?"
Tanya Ting Bun dan isterinya dengan terkejut. Lalu kata Ting Bun lebih lanjut.
"Berita tentang batalnya upacara itu memang sudah kudengar di sepanjang jalan, tapi tentang hampir terjadinya pertumpahan darah itu baru kali ini kami mendengarnya. Kenapa? Antara siapa melawan siapa ?"
Sahut Bu-gong Hweshio.
"Kalau dipikir- pikir, memang manusia itu suka mengulangi ketoloan-ketololan masalalu tanpa jera juga. Permusuhan ini berakar dari peristiwa puluhan tahun yang lalu ketika Hwe-liong-pang masih bermusuhan dengan kaum pendekar dari berbagai aliran. Agaknya sampai sekarangpun masih ada orang-orang yang mendendam secara membabi-buta kepada Hwe-liong-pang, tanpa mau tahu bahwa kejadian puluhan tahun yang lalu itu hanya karena kesalah-pahaman belaka. Ketika upacara baru saja dibatalkan tahu-tahu muncul sebarisan pendekar yang dipimpin oleh Liong-hou Hweshio dari Go-bi- pay dan Hui-beng Tojin dari Kun-lun-pay dan sebagainya yang menuntut agar Hwe-liong- pang dibubarkan saat itu juga karena dianggap sebagai gerombolan iblis yang tidak layak hidup di dunia. Tentu saja orang-orang Hwe-liong- pang menjadi tersinggung, delapan orang Tongcu dengan anak buahnya masing-masing sudah menghunus senjata dan siap menghajar Liong-hou Hweshio dan kawan-kawannya. Begitu pula Liong-hou Hweshio dan kawan- kawannya juga sudah siap dengan senjata dan siap pula untuk bertempur mati-matian... ."
Cerita Bu-gong Hweshio itu bukan saja membuat tegang Ting Bun dan anak-isterinya yang duduk semeja dengannya, tapi juga menarik perhatian Sebun Him.
Bahkan juga tamu-tamu lain yang getol mendengar berita- berita dunia persilatan ikut memasang kuping pula, nanti jika bertemu dengan teman-teman mereka maka berita itu akan diceritakannya seolah-olah dirinya sendiri ikut mengalami ketegangan di Tiau-im-hong itu.
Bohong sedikit toh temannya tidak akan tahu.
Lalu terdengar Bu-gong Hweshio melanjutkan.
"Untung ada pihak ketiga yang cukup bijaksana dan cukup disegani pula oleh kedua belah pihak, yaitu para undangan yang merupakan tokoh-tokbh? terhormat dunia persilatan. Diantaranya adalah para sesepuh perguruanku sendiri Siau-lim-pay, para sesepuh Bu-tong-pay, Soat-san-pay, Khong-tong-pay, Jing-sia-pay dan sebagainya yang hubungannya dengan Hwe-liong-pang cukup baik. Merekalah yang berhasil melerai sehingga tidak setetes darahpun yang tertumpah. Namun, meskipun Liong-hou Hweshio dan rombongannya berhasil dibujuk untuk pergi dari Tiau-im-hong mereka kelihatannya masih penasaran dan mendendam. Gelagatnya, antara Hwe-liong- pang dengan orang-orang itu di kemudian hari bakal sulit menemukan kerukunan. Inilah bibit bencana buat masa depan."
Wajah Tong Wi-lian nampak murung mendengar berita itu. Katanya.
"Mengerikan sekali akibatnya kalau kedua belah pihak tidak dapat menahan diri. Banjir darah seperti yang terjadi di Jaman kakakku Tong Wi-siang masih sebagai Ketua Hwe-liong-pang dulu agaknya bakal terulang lagi. Dan persoalannya bertambah rumit karena di antara kita sendiri sebenarnya sedang diperlukan persatuan untuk mengusir bangsa Manchu dari negeri kita. Kalau kita saling baku hantam sendiri, kekuatan kita akan melemah dan bangsa Manchulah yang memetik keuntungan dan akan semakin kuat mencengkeramkan kuku penjajahnya ke negeri kita."
Bu-gong Hweshie sendiri kelihatan murung.
Meskipun ia seorang pendeta yang berwatak agak angin-anginan, namun dia tergolong dalam pihak yang tidak menyukai kehadiran bangsa Manchu di Tionggoan.
Baru saja ia mendengar bahwa perlawanan Jit-goat-pang di bawah pimpinan Pangeran Cu-leng-ong telah dihancurkan oleh Pakkiong Liong dengan pasukan Hui-liong-kunnya yang terkenal, meskipun kabarnya Pangeran Cu Leng-ong sudah berhasil menghimpun kekuatan yang amat besar.
Dengan hancurnya Jit-goat-pang, pembebasan negeri orang Han dari cengkeraman Manchu akan banyak bergantung kepada perlawanan para pendekar rimba persilatan, namun kini tubuh para pendekarpun seolah-olah terbelah menjadi golongan yang mendukung dan yang menentang Hwe-liong- pang.
Perbedaan pendirian yang nampaknya tidak akan dapat diselesaikan secara dewasa, melainkan lebih mengandalkan penyelesaian berdasar tajamnya pedang dan runcingnya golok.
Inilah awan mendung bagi gerakan yang ingin mengusir bangsa Manchu.
"Ya, agaknya cita-cita untuk membebaskan negeri masih jauh dari kenyataan,"
Kata Ting Bun.
"Karena di tubuh kita sendiri masih banyak pertentangan tajam yang sulit menemukan titik temu."
"Sudahlah, kita memusingkan hal inipun tidak ada gunanya. Yang penting kita berbuat kebaikan bagi rakyat, meskipun tindakan- tindakan yang kelihatan kecil tetapi nyata,"
Kata Bu-gong Hwe-shio sambil menyambar mangkuk mie kepiting jatahnya.
"Kita tinggal menunggu berita dari Tong Tayhiap (pendekar she Tong) yang saat ini sedang menuju Pak-khia uuntuk mencoba menemui dan membujuk Tong Lam- hou agar mau merubah pikirannya."
"Andaikata Tong Lam-hou menolak?"
Tanya Tong Wi-lian harap-harap cemas.
"Apakah yang akan diperbuat oleh kakakku itu.?"
"Tong Tayhiap sudah berkata kepadaku, bahwa meskipun jiwanya sendiri bakal amblas ia. tetap akan berusaha membunuh Tong Lam- hou dengan segala cara. Selain untuk memberantas bibit penyakit bagi kaum pembebas tanah air, juga untuk membersihkan keluarga Tong dari noda yang memalukan, begitulah tekadnya."
"Dengan siapa kakakku itu pergi ke Pak- khia ?"
"Seorang diri saja. Isterinya dan kedua puteranya yang diajaknya ikut ke Tiau-im-hong itu langsung disuruhnya pulang ke Tay-beng begitu upacara di Tiau-im-hong batal."
Tong Wi-lian menarik napas mendengar itu.
Ia tahu betul betapa keras watak kakaknya, Tong Wi-hong itu, apabila ia pergi sendirian ke Pak-khia tanpa mau ditemui seorang anggota keluarganyapun, itu berarti sang kakak sudah siap untuk mengorbankan dirinya.
Agaknya kakaknya itu menganggap bahwa noda yang melekat pada keluarga Tong karena sikap Tong Lam-hou yang berpihak kepada bangsa Manchu itu adalah noda yang sangat memalukan, sehingga untuk membersihkan diperlukan pengorbanan nyawa.
Nyawa kakaknya sendiri atau nyawa Tong Lam-hou.
Kembali Tong Wi-lian menarik napas, seolah-olah tidak melihat jalan lain apabila kedua lelaki she Tong yang sama-sama keras hati itu berhadapan.
Hampir mustahil rasanya untuk mengubah pendirian mereka, dan akhirnya mereka akan saling berhadapan dengan pedang di tangan.
"Sekarang kalian hendak ke mana?"
Tanya Bu-gong Hweshio. Sahut Ting Bun.
"Kami baru saja pulang dari Tay-beng karena tidak berhasil menjumpai A- hong, lalu kami akan pulang ke An-yang-shia namun sengaja berputar lewat kota ini untuk melihat-lihat peninggalan sejarah masa lalu."
Kota Tiang-an itu memang sebuah kota kuno yang terletak di wilayah barat.
Di jaman dinasti Tong dulu, Tiang-an adalah ibukota negeri, dan dari kota ini pula dilahirkan pahlawan-pahlawan besar yang menggoreskan namanya dengan tinta emas dalam lembaran sejarah.
Bangunan-bangunan kuno peninggalan dinasti Tong masih banyak yang utuh di kota ini, dan menjadi incaran kunjungan para pelancong.
Kata Bu-geng Hweshio sambil melirik kepada aTing Hun-giok.
"Bagus juga kalau bisa melihat-lihat tempat yang indah yang bisa membuka keruwetan pikiran. Banyak negarawan terkenal yang menemukan gagasan- gagasan cemerlang ketika mereka sedang menikmati pemadangan indah. Tetapi kalian harus hati-hati menjaga setan cilik ini, sebab kabarnya di kota ini sedang merajalela seorang penjahat penculik gadis-gadis yang lihai. Hampir tiap malam a-da gadis yang dilaporkan hilang, tidak peduli penduduk Tiang-an sendiri atau hanya pelancong yang kebetulan sedang di kota ini."
Mendengar itu, ternyata Ting Hun-giok tidak menunjukkan sikap takut. Sambil menepuk-nepuk sarung di pinggangnya, ia berkata.
"Kalau Jai-hoa-cat itu berani muncul di depanku, teman baikku inilah yang akan membereskannya."
"Jangan takabur, A-giok,"
Kata Ting Bun.
"Ada baiknya berhati-hati. Eh, Taysu apakah. Belum ada yang bisa mengatasi Jai-ho-cat itu ?"
"Belum. Untuk itulah aku datang ke sini dan sudah menunggu munculnya bangsat itu selama beberapa hari di kota ini, tapi dia belum muncul juga. Hanya berdasarkan cerita orang-orang, nampaknya ada dua ciri-ciri Jai-hoa-cat itu."
"Apa ciri-ciri itu ?"
"Pertama, Jai-hoa-cat itu agaknya adalah seorang yang memiliki ilmu hitam, sejenis ilmu yang mampu mendatangkan cuaca dingin, gelap, berangin keras di''tempat"
Yang akan menjadi sasarannya, dan juga rasa kantuk yang luar oiasa terhadap orang-orang di tempat itu sehingga dia bisa bekerja dengan leluasa.
Ciri yang kedua adalah bahwa Jai-hoa-cat itu seorang yang kidal ia memegang pedangnya dengan tangan kiri ketika bertempur dengan beberapa prajurit penjaga tembok kota..,.
Keterangan bahwa si jai-hoa-cat itu seorang kidal telah mengejutkan Se-bun Him, sebab di sendiripun seorang kidal.
Dengan demikian ada kemungkinan terjadi salah-paham antara dirinya dengan para pendekar itu.
Namun Sebun Him belum menentukan akan bersikap bagaimana, ia hanya terus memasang telinganya untuk mendengarkan.
"Ilmu hitam sejenis itu memang biasanya dimiliki oleh orang-orang yang suka bekerja dalam kegelapan,"
Kata Ting Bun menanggapi.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimanapun Juga ada baiknya kita berhati- hati. Tay-su, malam ini kau tidur di mana ?"
Jawab Bu-gong Hweshio.
"Selama empat hari dikota ini, aku tidur disembarang tempat."
"Suheng tidur di penginapan ini saja bersama kami. Akupun ingin ikut menangkap Jai-ho-cat itu,"
Kata Tong Wi lian.
Setelah makan minum, keempat orang itu masih bercakap-cakap membicarakan banyak hal, namun tidak ada yang penting untuk didengar lagi.
Sebun Him juga segan mendengarkan lebih lanjut, sehingga ia pun memanggil pelayannya untuk melunasi harga makanan dan minuman, sekalian bertanya apakah di bagian belakang masih ada kamar penginapan buatnya.
Dan pelayan itu menjawab ada, Sebun Him dipersilahkannya untuk mengikuti ke belakang.
Ketika berjalan meninggalkan tempat duduknya, sengaja Sebun Him menjinjing pedangnya dengan tangan kiri, sikap yang umum untuk para pemain pedang yang tidak kidal.
Para pemain pedang yang tidak kidal biasanya memang demikian, membawa pedang dengan tangan kiri agar apabila membutuhkan pedangnya maka tangan kanannya bisa cepat mencabut pedangnya.
Sedang para pemain pedang kidal berbuat sebaliknya, membawa pedang dengan tangan kanan dan tangan kirinyalah yang akan digunakan untuk mencabut pedang.
Dengan sikapnyaa itu, Sebun Him berusaha agar tidak menimbulkan kecurigaan dari orang-orang yang tengah membicarakan tentang Jai-hoa-cat bertangan kidal itu.
Hari itu berlalu tanpa kejadian apa-apa.
Sebun Him sekali melangkah masuk ke kamarnya sudah tidak pernah melangkah keluar lagi, bahkan makan sore dengan upah beberapa keping uang.
Dari mulut pelayan pula ia mendengar bahwa Ting Bun dan rombongannya memakai dua buah kamar yang terletak dekat kebun bunga.
Satu kamar dipakai Ting Bun dan Bu-gong Hweshio, satu kamar lagi dipakai Tong Wi-lian dan puterinya yang bernyali besar, Ting Hun-giok.
Karena di kota Tiang-an sedang "musim"
Jai-hoa-cat, maka sikap Sebun Him yang mencari tahu di mana kamar menginapnya rombongan Ting Bun yang ada gadis cantiknya itu telah membuat si pelayan curiga.
Diam-diam pelayan itu lalu membisiki Ting Bun agar hati- hati, katanya "si bangsat pemetik bunga juga ada di penginapan itu dan mengincar anak gadismu."
Dan untuk bisikannya itu si pelayan mendapat lagi beberapa keping uang.
Namun ada pihak tertentu yang memang bukan sekedar main bisik-bisik, tapi telah mempersiapkan sebuah tindakan.
Di ruangan rumah makan itu ada dua orang yang mendengarkan percakapan Ting Bun dan rombongannya sejak tadi, juga gerak-gerik Sebun Him.
Dan setelah Ting Bun maupun Sebun Him masuk ke belakang ke bagian penginapan, maka kedua orang Itu saling tersenyum.
Kata seorang yang bertubuh kurus dan bermuka hitam.
"Sekali lempar dengan sebutir batu, dua ekor burung kena sekaligus."
"Ya, selain bakalan mendapat seorang gadis cantik dari keluarga terkenal yang pasti akan memuaskan selera minum darah dari Liong Tongcu (Pemimpin Kelompok she Liong), Juga dapat melenyapkan bocah Hoa-san-pay itu dengan meminjam tangan para pendekar tolol itu. Kita ini bekerja lebih cerdik, lebih menggunakan otak, dibandingkan si Kiu-bwe- coa atau Sin-bok Hweshio yang tolol dan gagal itu."
Keduanyapun tertawa bersama-sama meskipun dengan tertahan-tahan agar tidak menarik perhatian orang lain.
"Mari kita minum tiga cawan untuk kecerdasan otak kita."
Setelah minum-minum dan membayar harganya, kedua orang itupun meninggalkan rumah makan itu.
Ketika malam tiba, maka seluruh kotapun menjadi sunyi.
Kalau masih ada yang berkeluyuran di jalanan, maka itu hanyalah prajurit-prajurit yang menjaga keamanan kota, atau pemabuk-pemabuk yang sedang bernyanyi-nyanyi.
Menjelang tengah malam, muncul sesosok tubuh di gang samping dari penginapan "Pek- ln"
Yang diantara tamu-tamunya terdapat Ting Bun dan rombongannya serta Sebun Him itu.
Orang itu berpakaian serba hitam dan hanya matanya yang nampak, ia celingukan kiri kanan, dan setelah dirasanya aman maka diapun meloncat naik ke dinding samping dengan gerakan seringan seekor kucing hitam.
Lalu orang itu mencari sebuah tempat yang terlindung dari cahaya lampu maupun cahaya bintang di langit, dan ditemukannya tempat itu dl balik bayangan serumpun pohon yang tumbuh dekat dinding, dari balik bajunya dikeluarkannya sehelai bendera kecil segitiga berwarna hitam yang tengah-tengahnya bergambar pat-kwa.
Sesaat la memusatkan perhatian, lalu diacungkannya bendera kecil itu ke delapan penjuru sambil membaca mantera- mantera, lalu dikibarkannya berulang kali di atas kepala.
Perlahan-lahan terasa pergantian suasana di tempat itu, terutama disekitar tempat penginapan Itu.
Udara yang tadinya sejuk dan tenang, tiba-tiba terasa angin bertiup makin lama makin kencang sehingga menimbulkan suara bersuitan, dan pepohonanpun sampai bersuara gemerasak.
Selain itu, angin itu Juga membawa udara dingin menggidikkan tubuh, daicm keadaan seperti itu orang tentu lebih suka berada di dalam rumah daripada berkeliaran dl luar rumah.
Apalagi kemudian terasa semacam pengaruh aneh mulai jnellngkupi tempat itu, pengaruh yang membuat orang merasa mengantuk dan ingin tidur.
Orang yang duduk bersila dl atas dinding dengan bendera kecil hitam di tangannya itu nampak tersenyum sendiri ketika melihat bahwa pengaruh ilmunya sudah merasuk seluruh penghuni penginapan itu, kecuali orang-orang tertentu yang diketahuinya memang bukan "makanan empuk"
Buat ilmu hitamnya itu.
Namun ia memang sudah tahu bahwa beberapa orang tertentu itu memang tidak akan terpengaruh oleh ilmu hitamnya itu, dan untuk mereka sudan ada rencana khusus seperti yang dibicarakan tadi siang sekali lempar dua burung kena.
Orang berpakaian serba hitam itu lalu mendekati kamar Sebun Him yang sudah diketahuinya dengan menyogok seorang pelayan sore tadi.
Dilemparkannya sebutir batu ke dalam kamar, lalu dia sendiri meloncat ke atas genteng.
Benar juga, Sebun Him yang kurang pengalaman itu langsung saja terpancing keluar.
Dengan pedang di tangan kiri dia cepat mendorong jendela dan meloncat keluar.
Ketika dilihatnya ada seorang berpakaian hitam berdiri menghunus golok di atas genteng, maka tanpa pikir panjang Sebun Him meloncat pula ke atas genteng sambil membentak.
"Saudara, siapa kau? Kenapa kau melempari jendela kamarku dengan batu ?"
Orang berbaju hitam itu tertawa dingin dan langsung saja mengeluarkan kata-kata pancingan agar Sebun Him marah.
"Tikus kecil dari Hoa-san-pay, beberapa nari yang lalu Kau lolos dari tangan Kiu-bwe-coa Leng Hok-hou dan Sin bok Hweshio, tapi malam ini kau tidak akan lepas dari tanganku, dan kau akan berkumpul segera dengan ayahmu di akherat !"
Kata-kata itu memang merupakan api yang dilemparkan ke dalam genangan minyak, seketika membuat hati Sebun Him terbakar karena teringat kematian ayahnya.
Dan kini ia tahu bahwa orang berbaju hitam yang berdiri di genteng adalah sekomplotan dengan pembunuh-pembunuh ayahnya, maka Sebun Him bertekad harus menentukan mati hidup dengan orang itu.
Pedang ditangan kirinya diangkat dan ditudingkan ke wajah orang itu, katanya dengan suara gemetar karena luapan perasaannya.
"Bagus, kawanan iblis, paling tidak sepuluh orang di antara komplotan kalian harus kupenggal kepalanya sebagai tebusan perbuatan licik kalian di kedai itu, yang membuat ayahku gugur!"
"Jangan lagi sepuluh orang, aku seorang diripun belum tentu... ."
Ejekan orang itu terputus ketika pedang Sebun Him tiba-tiba berkeredep menyambar leher orang itu dengan gerakan In-li-yu-liong (Naga Melayang di Dalam Mega), dan ketika orang itu melangkah mundur maka dengan beringas Sebun Him telah mengejarnya dengan tikaman-tikaman dan sabetan-sabetan pedang yang digerakkannya dengan penuh dendam dan kemarahan.
Tapi orang itu agaknya sudah siap menghadapi kemarahan Sebun Him dengan pedangnya.
Meskipun gerakan pedangnya tidak sekuat gerakan pedang Sebun Him yang mengeluarkan angin menderu itu, namun ia nampak lincah sekali.
Setiap kali pedang mereka berbenturan, maka orang itu dengan sengaja mementalkan pedangnya sendiri dan tahu-tahu ujung pedangnya sudah berubah arah serangannya.
Kelihatannya tidak mudah bagi Sebun Him untuk mengalahkan orang ini, apalagi karena pikirannya sedang dipenuhi cemarahan sehingga perhitungannyapun kurang cermat.
Sementara itu, di dalam kamarnya sendiri, Bu-gong Hweshio yang sekamar dengan Ting Bun itupun terjaga ketika mendengar suara angin ribut di luar.
Sebagai orang-orang berilmu tinggi, segera mereka menyadari bahwa suasana itu kurang wajar, apalagi ketika kemudian terasa hawa aneh yang membuat mata semakin mengantuk.
Cepat-cepat mereka mengerahkan tenaga batin mereka untuk melawan perasaan kantuk mereka, dan sesaat mereka sudah terbebas dari pengaruh ilmu hitam itu.
"Penjahat penculik gadis itu agaknya mengincar tempat ini,"
Desis Bu-gong Hweshio sambil menyambar senjata hong-pian-jannya yang disandarkan di tembok itu.
"Kebetulan sekali, biar aku sikat dia biar rakyat merasa tenteram".
"Taysu, agaknya penjahat itu sudah mendapatkan seorang lawan. Dengarlah benturan senjata di atas genteng itu,"
"Taysu,agaknya penjahat itu sudah mendapatkan seorang lawan. Dengarlah benturan senjata di atas genteng itu,"
Kata TinqgBun sambil menyambar goloknya pula.
"Mari kita lihat ke luar."
"Aku akan memberitahu isteriku dan puteriku lebih dulu agar merekapun dapat berjaga-jaga"
Kata Ting Bun.
Dari kamarnya dia lalu menuju ke kamar sebelahnya di mana isteri dan anaknya tidur sekamar.
Ketika pintu diketuk, yang keluar adalah isterinya.
Tong Wi- lian nampak sudah berpakaian ringkas, bahkan sabuk sutera yang sering dipakainya sebagal senjata itupun sudah tergulung di taggannya.
"Bagaimana A-giok?' tanya Ting Bun kepada isterinya. Tong Wi-lian menunjuk ke pembaringan dan menyahut.
"Anak itu agaknya belum memiliki kekuatan dalam yang cukup untuk mengatasi pengaruh ilmu hitam ini. Dia jatuh tertidur begitu pengraruh aneh itu muncul. Tetapi aku akan menjaganya."
Ting Bun merasa lega mendengar itu.
"Baik, aku dan Suhengmu akan melihat keluar dan kalau perlu menangkap penjahatnya sekalian. Kau jaga anak itu baik-baik, jangan tinggalkan kamar ini apapun yang terjadi. Kalau ada apa- apa, berteriaklah."
"Jangan kuatir, aku siap."
Maka Ting Bun bersama Bu-gong Hwe-shio segera meloncat ke atas genteng untuk mencari dari mana datangnya suara benturan senjata itu.
Ting Bun merasa hatinya lega, sebab dia tahu betul sampai di mana kelihaian isterinya, yang ilmu silatnya malahan lebih lihai dari dirinya sendiri itu.
Di luar, angin yang dingin menyayat kulit dan menggidikkan tubuh masih bertiup hebat.
Angin buatan dengan ilmu hitam.
Namun Ting Bun serta Bu-gong Hweshio tidak pedulikan hal itu, dengan menjinjing senjatanya masing- masing mereka berloncatan di atas genteng menuju ke suara pertempuran.
Tampak dua sosok tubuh saling sambar dengan pedangnya masing-masing di depan sana, yang seorang bertubuh ramping dengan pakaian hitam, bergerak amat lincah.
Seorang lagi berpakaian belacu putih tanda berkabung dengan gerakan yang tidak terlalu lincah tetapi kuat dan garang, mencoba mendesak lawannya, dan ia memainkan pedangnya dengan tangan kiri.
Begitu melihat orang yang memainkan pedang dengan cara kidal itu, Bu-gong Hweshio langsung menggeram marah.
"Penjahat ini benar-benar bernyali besar. Penjahat-penjahat lainnya selalu berpakaian hitam-hitam apabila akan melakukan kejahatan dl malam hari agar tidak mudah dipergoki, tetapi dia malahan berpakaian serba putih menyolok seperti itu."
Ting Bun bertanya.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Darimana tay-su bisa memastikan bahwa si baju putih itu adalah penjahatnya ?"
"Apakah kau lupa ceritaku siang tadi, bahwa penjahat pemetik bunga itu memiliki dua ciri- ciri khas? Pertama, kehadirannya selalu menggunakan ilmu hitam yang dapat mendatangkan angin keras dan hawa mengantuk, kedua, la bermain senjata dengan tangan kiri alias kidal... ."
Ting Bun mengangguk-anggukkan kepalanya, namun dia heran juga ketika melihat "penjahat berbaju putih"
Itu memainkan pedangnya dengan Hoa-san-kiam hoat (Ilmu Pedang Hoa-san-pay).
Tengah mereka menimbang-nimbang untuk turun tangan atau tidak, tiba-tiba terlihat si baju hitam yang bertubuh ramping itu telah mulai terdesak, pundaknya hampir saja tersambar pedang Se-bun Him sehingga la harus menyelamatkan diri dengan bergulingan di atas genteng dan membuat beberapa helai genteng pecah.
Orang itu bergulingan sambil berteriak.
"Tuan-tuan pendekar, bantulah aku menangkap Jal-hoa-cat ini. Jay-hoa-cat ini benar-benar lihai"
Sebun Him terkejut mendengar ucapan lawannya yang memfitnahnya itu, buru-buru ia berteriak ke arah Ting Bun dan Bu-gong Hweshlo.
"Jangan percaya! Aku...aku..."
Karena tidak pintar bicara maka untuk sesaat Sebun Him hanya tergagap-gagap tak keruan, ia juga kebingungan karena tak menemukan bukti untuk membersihkan dirinya, malahan ada bukti yang memberatkannya, yaitu dia seorang kidal yang sama dengan ciri-ciri penjaht pemetik bunga yang mengemparkan kota Tiang-an itu.
Dan tengah dia kebingunan, lawannya yang berbaju hitam dan tidak kidal itu telah memberondongnya dengan ucapan-ucapan yang semakin membingungkannya.
"Kau suruh tuan-tuan pendekar itu jangan-jangan percaya kepadaku? Hem, aku sendiri melihat kau berkemak-kemik dengan ilmu setanmu untuk mendatangkan angin keras dan hawa mengantuk ini, lalu kau mengendap-endap mendekati kamar tempat tidurnya gadis tamu yang berkuda bersama ayah Ibunya siang tadi, memangnya bukti-bukti itu kurang cukup ?"
Bersilat pedang Sebun Him unggul setingkat dari lawannya, tapi bersilat lidah ternyata dialah yang kalah setingkat. Dia benar-benar tidak mampu membantu tuduhan-tuduhan itu. Yang keluar dari mulutnya hanyalah geraman marah.
"Bangsat bermulut busuk, kau memfitnah aku! Aku tidak... ."
Sikap yang gugup itu buat Bu-gong Hweshio yang berwatak pemarah dan kurang cermat itu sudah cukup untuk diartikan bahwa pemuda baju putih bertangan kidal itulah penjahatnya.
Apalagi tampang Sebun Him yang dekil dan sudah berhari-hari lupa mencukur janggutnya itu membuat tampangnva memang tampang penjahat, karena sudan umum bahwa manusia memang senang melihat dan menilai seseorang dari ujud luarnya saja.
Karena itulah maka tanpa pikir panjang lagi Bu-gong Hweshio meloncat maju mendekati Sebun Him sambil berkata kepada orang berbaju hitam Itu.
"Saudara, minggirlah, biar aku yang membereskan Jay-hoa-cat ini !"
Orang berbaju hitam itu bersorak dalam hati karena rencananya untuk mengadu domba itu berhasil pada langkah pertama. Namun mukanya tidak menunjukkan kegirangannya, bahkan la memberi hormat kepada Bu-gong Taysu sambil berkata dengan nada prihatin.
"Silahkan turun tangan membasmi kejahatan, bapak pendeta, memang kewajiban kita sebagai kaum pendekar untuk mengamalkan ilmu kepandaian kita demi membasmi kejahatan. Sayang ilmuku kurang becus sehingga malahan nyawaku hampir melayang oleh penjaht ini!"
Bu-gong Hweshio memang sudah terbakar hatinya, sahutnya sambil menatap Sebun Him dengan mata menyala.
"Jangan berkecll hati saudara. Lebih baik begitu daripada memiliki ilmu yang tinggi tetapi digunakan sebagal alat pelampiasan hawa nafsunya terhadap wanita!"
Sebun Him mendengar tanya Jawab itu dengan gemas tanpa dapat berbuat apa-apa.
Dalam hatinya ia bukan saja memaki si baju hitam yang mulutnya berbisa, tapi juga memaki Bu-gong Hweshio yang dianggapnya bertenaga kuat tetapi berotak kerbau.
Ia hanya berdiri gemetar menahan perasaannya yang bergolak, dan dengan suara terputus-putus ia masih mencoba berkata kepada Bu-gong hwe-shio.
"Taysu, jangan percaya orang itu. Justru dia...dia yang memancingku untuk bertempur, dan memangnya yang bertangan kidal itu hanya Jay- hoa-cat itu saja ?"
Sahut Bu-gong hweshio.
"Memang, yang bertangan kidal bukan hanya Jay-hoa-cat itu saja, tapi kalau seseorang bertangan kidal, melepaskan ilmu hitam dan kemudian mengendap-endap hendak menculik seorang gadis, sudah terang dia itu penjahatnya. Nah, bangsat kecil, bersiaplah aku akan meringkusmu!"
Sungguh pepat perasaan Sebun Him saat itu.
"Bapak pendeta, tunggu! Jangan percaya orang berbaju hitam itu..."
Orang berbaju hitam itulah yang menukas.
"Kalau tuan-tuan pendekar ini tidak boleh percaya kepadaku, memangnya harus percaya kepada mulutmu? Penjahat ini bukan saja lihai ilmu silat dan ilmu hitamnya, tapi mulutnyapun cukup tajam untuk mengelakkan semua kejahatannya!"
"Kau...kau...biar kurobek mulutku!"
Teriak Sebun Him melangkan ke arah orang berbaju hitam itu. Namun langkahnya itu dihadang oleh Bu-gong Hweshio yang telah mengankat senjata hong-pian-jannya sambil membentak.
"Jay-hoa- cat, karena kedokmu terbongkar lalu kau hendak membunuh saksinya? Huh, rasakan dulu senjataku ini !"
Tanpa banyak bicara lagi pendeta yang penaik darah itu menyodokkan ujung senjatanya yang terbentuk bulan sabit itu ke arah muka Sebun Him, dan ketika musuh menangkis maka dengan sekuat tenaga hong- pian-jannya diputar balik, dengan tangkainya la menghantam ke pinggang Sebun Him.
Itulah jurus Liong-eng-hong-bu (Naga Berputar dan Burung Hong Menari.) dari Siau-lim-pay yang dimainkan dengar tenaga amat kuat.
Sebum Him tahu dan sudah melihat sendiri kekuatan tenaga pendeta itu ketika melihatnya membunuh kerbau tadi siang dia tidak ingin membenturkan pedangnya karena tidak yakin kekuatannya mengungguli kekuatan Bu-gong Hweshio.
Tapi semuanya berlangsung begitu cepat benturan harus terjadi, dan Sebun Him merasakan tangan kirinya yang memegang pedang itu menjadi amat pedih, hampir saja pedang itu terloncat lepas dari genggamannya.
Sepercik darah membasahi tangkai pedangnya yang dibalut kain putih itu, telapak tangannya telah pecah kulitnya karena benturan itu.
Bu-gong Hweshio sendiri amat terkejut, biasanya dia bangga dengan kekuatannya, dikiranya benturan tadi akan membuat pedang lawannya yang masih mudah terlepas, namun ternyata tidak.
Geram Bu-gong Hweshio.
"Bagus, jay-hoa-cat, tenagamu boleh juga. Cobalah sekali lagi!"
Lalu jurus Oh-liong-pa-bwe (Naga Hitam Menyabetkan Ekornya) dilancarkan dengan deru angin yang dahsyat.
Maka bertempurlah kedua orang itu di atas genteng rumah penginapan itu.
Baik Sebun Him maupun Bu-gong Hweshio adalah orang-orang yang bertenaga besar, gerakan mereka mantap dan keras, namun ternyata mereka tidak memecahkan sehelai gentingpun dengan langkah-langkah mereka, menandakan bahwa merekapun memiliki ilmu meringankan badan yang cukup meskipun tidak mahir sekali.
Bahkan mereka dapat berlincahan di atas genteng seperti dua ekor tupai yang berkejaran di pohon kelapa, tapi apabila senjata mereka berbenturan maka terperciklah bunga-bunga api.
Ting Bun tidak turun tangan, sebab baginya maupun bagi Bu-gong Hweshio sebagai orang- orang terkenal dari dunia persilatan tentu merasa malu kalau harus main keroyok terhadap seorang "penjahat muda tak terkenal.
Maka Ting Bun hanya berdiri berjaga-jaga di dekat arena dengan golok terhunus, siap mencegah spstila "penjahat"
Itu berusaha hendak kabur.
Sebun Him memang seorang murid berbakat dari Hoa-san-pay, kepandaiannya hampir menyamai tingkatan para paman- paman gurunya dan ayahnya, bahkan Tiat-ge- long (Serigala bertaring Besi) Mo Wan-seng yang terkenal dari Kun-lun-pay itupun dapat dihabisinya dengan dua kali tusukan saja.
Mengira dirinya cukup hebat di dunia persilatan, bukan cuma di lingkungan tembok Hoa-san-pay, maka Sebun Him bermaksud mengangkat nama julukan "Se-him" (Beruang dari Barat) supaya sejajar dengan Pak-liong dan Lam-hou (Naga Utara dan Harimau Selatan).
Tapi kini Sebun Him harus menghadapi kenyataan bahwa seorang Bu-gong Hwe-shio saja tidak bisa dikalahkannya.
Baik dalam hal kekuatan, kecepatan maupun pengalaman tempur dan kekayaan gerak.
Dalam beberapa kali adu kekuatan lengan Sebun Him sudah merasa amat pegal karena kekuatan lawannya, dan setiap kali ia harus melompat mundur untuk memperbaiki kedudukannya.
Sedang musuhnya terus mendesak maju bagaikan angin ribut.
Sementara itu, orang berbaju hitam yang merasa berhasil mengadu domba itu merasa yakin bahwa karena kemarahannya maka Bu- gong Hweshio pasti akan membunuh Sebun Him.
Maka selagi Ting Bun terpusat perhatiannya kepada jalannya pertempuran itu, diam-diam ia bergerak setapak demi setapak dan kemudian pergi meninggalkan tempat itu.
Dilorong gelap di samping rumah penginapan itu, dijumpainya dua orang temannya sedang berusaha mencungkil pintu kecil untuk masuk ke dalam penginapan.
"Kenapa kalian tidak meloncati tembok saja?"
Tanya orang berbaju hitam itu.
"Itu akan menarik perhatian Ting Bun atau pendeta pembunuh kerbau itu,"
Sahut salah seorang dari yang mencungkil pintu itu.
"Terpaksa harus dengan cara ini... ."
"Terlalu lama. Kalau pertempuran itu keburu selesai dan kedua orang itu sudah kembali ke kamarnya, maka kalian akan kehilangan kesempatan sama sekali, untuk menculik gadis itu."
"Tidak lama. Ini hampir berhasil.".
"Hati-hatilah, ibu dari gadis itu agaknya tidak mau terpancing keluar untuk meninggalkan kamarnya. Dan dia adalah adik Gin-yang-cu Tong Wi-hong yang kepandaiannya setingkat dengan kakaknya, dia adalah macan betina dari Siau-lim-pay...
"Sudahlah. Kami berdua. Ya-hui-siang-hok (Sepasang Kelelawar Terbang. Malam) adalah adik-adik seperguruan dari Sip-hiat-mo-hok (Kelelawar Iblis Penghisap Darah) Liong Pek-ji. Masakah harus takut kepada seorang perempuan saja? Berhentilah menakut-nakuti kami."
Lelaki baju hitam yang memancing Sebun Him tadi mendengarkan tertawa dinginnya sambil berkata.
"Baiklah. Mudah-mudahan Ya- hui-siang-hok tidak berubah menjadi Wan-si- siang-hok (Sepasang Kelelawar Mati Penasaran) "Tutup mulutmu,"
Kata kakak yang tertua dari sepasang kelelawar itu.
"atau aku Tiat-ci- hok (Kelelawar Bersayap Besi) yang harus membungkam mulutmu?"
"Jangan marah, aku hanya bergurau. Adikmu sudah berhasil mencungkil pintu atau belum ?"
Si adik yang bernama Tui-hun-hok (Kelelawar Pemburu Nyawa) Im Kok segera menyahut.
"Sudah berhasil. Mari kita masuk."
Mereka bertigapun segera menyelinap masuk lewat pintu yang berhasil di-rusak tanpa suara itu, namun mereka berusaha agar tidak terlihat oleh orang orang yang sedang berkelahi di atas genteng itu.
"Bagaimana kira-kira jalannya pertempuran itu? Hampir selesai atau masih lama?"
Desis Tiat-ci-hok Im Yao kepada si baju hitam yang berjalan paling depan. Baju hitam itu sendiri bernama Pui In-bun, dan dialah jay-hoa-cat yang sebenarnya merajalela di kota Tiang-an dalam beberapa hari terakhir ini. Sahut Pui In-Dun.
"Kelihatannya Sebun Him terdesak, tapi masih bisa bertahan beberapa jurus lagi. Karena itu waktu kita tidak banyak untuk menculik gadis itu."
Sementara itu, di dalam kamarnya ketegangan dan kewaspadaan Tong Wi-lian mulai mengendor karena mendengar suara pertempuran di atas genteng dan bahkan- bentakan suhengnya yang menggelegar itu.
Ia menduga si bangsat pemetik bunga tidak lama lagi pasti akan tertangkap oleh suhengnya dan suaminya, meskipun ia merasa heran juga ada orang yang sanggup bertahan cukup lama dari gempuran-gempuran suhengnya itu.
Bersambung
Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan Ko Aditya Indra Jaya first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU
Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.
Jilid ETIKA ia menoleh ke pembaringan, maka pendekar wanita itu tersenyum sendiri melihat anak gadisnya masih tertidur pulas karena terpengaruh hawa aneh yang disebarkan oleh jay-hoa-cat itu. Kata Tong Wi-lian dalam hatinya.
"A-giok memang cantik, pantas jay-hoa- cat itu mengincarnya. Di An-yang-shia sendiri sudah ada beberapa, orang tua dari beberapa anak muda yang menyatakan maksudnya untuk melamar A-giok, dengan terang-terangan atau secara samar-samar, tapi anak bengal itu agaknya masih suka hidup bebas. Mudah- mudahan kelak ia mendapat jodoh yang sepadan dengan pilihannya aendiri."
Kembali Tong Wi-lian tersenyum sendiri mengerangkan semuanya itu.
Rasanya waktu K berjalan begitu cepat sehingga ia sudah punya anak sebesar itu, dan jika anaknya itu kawin maka ia tidak lama lagi akan menjadi seorang nenek.
Padahal rasanya belum lama lagi akan menjadi seorang gadis yang berkelana sendirian di dunia persilatan berbekal ilmunya yang tinggi.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menempuh gelombang kesulitan, mendada badai berdarah di jaman itu, jaman di mana Hwe-liong-pang bangkit sebagai sebuah kekuatan raksasa yang mengguncangkan dunia.
Tong Wi-lian pada saat pertama terjun ke dunia persilatan adalah seorang yang gigih menentang Hwe-liong-pang yang amat kejam, namun kemudian diketahuinya bahwa orang-orang yang kejam itu hanya sebagian dari Hwe-liong- pang, sedang sebagian lainnya justru adalah para pendekar yang bercita-cita luhur ingin membebaskan rakyat dari kesengsaraan akibat kebobrokan pemerintahan Kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng pada waktu itu.
Dan sikap Tong Wi-lian terhadap Hwe-liong-pang berbalik tajam setelah tahu bahwa pemimpin Hwe-liong- pang sebenarnya adalah kakak tertuanya sendiri, Tong Wi-siang, yang meskipun memiliki ambisi pribadi yang sangat tinggi namun secara garis besar dapat dikatakan bahwa perjuangannya adalah perjuangan yang luhur.
Sayang bahwa Hwe-liong-pang itu kemudian pecah berkeping-keping karena pertentangan yang timbul dalam tubuh sendiri, ditambah dengan pengkhianatan dari adik seperguruan Tong Wi-siang sendiri, yaitu orang yang kini bersembunyi di balik nama Te-liong Hiangcu.
Tong Wi-siang yang bercita-cita luhur sudah tiada, sebaliknya Te-liong Hiangcu yang kejam dan memiliki nafsu akan kekuasaan tanpa menghiraukan cara apapun juga untuk mencapainya, kini malah hidup dan memimpin gerombolan Kui-kiong (Istana Iblis) yang membayangi dunia persilatan dengan kekuatan rahasianya yang menyusup di mana-mana.
Tong Wi-lian menarik napas ketika mengenang masa itu, masa dia masih remaja dan masa di mana dunia persilatan bergolak dengan dahsyatnya gara-gara Hwe-liong-pang.
Ia tersenyum sendiri kalau teringat bahwa di kota Kay-hong ia pernah bertempur melawan Tiat-jiau-tho-wan (Lutung Bungkuk Berkuku Besi) Kwa Heng yang waktu itu berkedudukan sebal Ui-ki-tcng-cu (Tongcu Bendera Kuning) dalam Hwe-liong-pang.
Tak terduga kalau sekarang ia malahan bersahabat karib dengan orang tua bertubuh bungkuk itu.
Kalau dipikir, pergolakan masa sekarang lebih berat dari pergolakan masa lalu.
Pergolakan masa sekarang adalah pergolakan untuk merobohkan pemerintahan Manchu di bawah Kaisar Sun-ti, sebuah pemerintahan yang jauh lebih kuat dan lebih mantap dibandingkan pemerintahan Kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng dulu dan menghadapi ini, ternyata persatuan para pendekar bangsa Han masih menjadi semacam barang mewah yang tidak mudah didapatkan, sementara diantara bangsa Han sendiri masih belum ada calon kuat yang diharapkan bisa memimpin negeri apabila perjuangan ini berhasil mengusir bangsa Manchu kelak.
Tengah Tong Wi-lian melamun mengikuti angan-angannya yang jauh mengembara, dan kewaspadaannya mengendor karena merasa keadaan sudah mantap, tiba tiba pintu didobrak dan tiga orang berpakaian hitam berloncatan masuk.
Salah seorang dari mereka langsung membantingkan sebuah benda bulat ke lantai, benda itu meletup dan menghasilkan adap"berbau harum yang memenuhi seluruh ruangan.
Asap yang memabukkan dan membuat kepala pusing serta tenaga lenyap.
Begitulah, seorang pendekar wanita yang terkenal seperti Tong Wi-lian ternyata telah kalah kedudukan pada langkah pertama itu.
Ketika seorang penerobos berbaju hitam menyerangnya dengan pisau, Tong Wi-lian mencoba menendang pergelangan tangan pemegang pisau itu dengan tendangan Pay-lian- ka, tapi ia sudah terlanjur menghirup asap pemabuk itu beberapa hirupan, sehingga keseimbangannya goyah dan waktu ia melakukan tendangan hampir saja tubuhnya roboh sendiri.
Ingat akan keselamtan puterinya, cepat ia meloncat ke arah pembaringan, namun alangkah terkejutnya ketika melihat tubuh Ting Hun-giok sudah berada dalam panggulan pundak dari salah seorang penerobos berbaju hitam itu, dan akan segera dibawa lari.
Sedang dua orang lainnya berusaha merintangi Tong Wi-lian dengan pisau belati dl tangan mereka masing-masing.
Seperti seekor harimau betina yang kehilangan anaknya, Tong Wi-lian menerjang dengan setengah kalap, kepala pusingnya akibat asap pemabuk itu tidak dihiraukan, dan dengan sepasang tangan dan kakinya ia mencoba menyingkirkan kedua perintangnya.
Tapi kedua orang itu bertahan gigih, sementara rasa pusing Tong Wi-lian semakin menghebat, dan kedua lawannya itu tidak merasakan apa-apa sebab mereka sudah lebih dulu menelan obat pemunahnya.
Suatu saat Tong Wi-lian terhuyung-huyung hampir roboh, dan kaki dari salah seorang penyerangnya itu telah menendang Seperti seekor harimau betina yang kehilangan anaknya, Tong Wi-lian menerjang dengan setengah kalap, kepala pusingnya akibat asap pemabuk itu...
pinggangnya dengan tepat mengenai jalan darah Ki-keng-hiat.
Membuat pendekar wanita yang terkenal itu kali ini benar-benar roboh di tangan cecunguk-cecunguk tak dikenal.
"Istirahatlah baik-baik, li-hiap,"
Kata salah seorang dari penculik itu sambil tertawa mengejek.
"Jangan kuatirkan puterimu. Jika ia sudah tidak terpakai lagi maka tubuhnya akan menjadi penghias ruangan seni dari Hiangcu kami, dengan demikian akan terawat baik sepanjang umurnya... ."
Tong Wi-lian meronta bangun sambil mengertak giginya, teriaknya.
"Bangsat, kembalikan puteriku atau aku akan mencincang kalian kelak!"
Ketiga orang penculik itu nanya tertawa berbareng, dan dengan gerakan yang gesit merekapun menghilang dalam kegelapan malam, meninggalkan Tong Wi-lian yang tergeletak tanpa daya.
Namun perempuan berhati baja itu tidak ingin menyerah kepada rasa pusingnya begitu saja.
Ia tahu banwa begitu ia membiarkan puterinya dibawa kabur oleh penjahat-penjahat itu, maka nasib paling pahitlah yang akan dialami oleh anak satu-satunya itu.
Maka dengan mengerahkan tenaganya dia berdiri dan berjalan menuju ke pintu, dari situ la tanpa peduli orang lain lalu berteriak-teriak.
"Bun-kol Bun-ko!"
Ting Bun yang tengah asyik menunggui pertarungan antara Bu-gong Hweshio melawan Sebun Him, yang perlahan-lahan tetapi pasti akan dimenangkan oleh Bu-gong Hweshio itu, menjadi terkejut ketika mendengar teriakan- teriakan isterinya itu.
Cepat ia turun dari atas genteng dan dengan tergesa-gesa ia menuju ke kamar isterinya.
Alangkah terkejutnya ketika melihat isterinya bermuka pucat dan berwajah gugup, sambil sekali-sekali memegangi keningnya yang masih pusing.
"A-lian, kenapa kau ?!"
Sahut isterinya.
"Jangan hiraukan aku A- giok diculik tiga orang berbaju hitam dan lari ke arah timur... ."
Ting Hun-giok bagi ayahnya adalah barang mustika yang amat mahal, tak dapat ditukar dengan benda apapun juga, karena itu, tidak menunggu sampai kalimat itu selesai, Ting Bun telah meloncat kembali ke atas genteng dan tubuhnya bagaikan bayangan yang melesat ke arah timur.
Goloknya telah tergenggam berkilat- kilat, sama berkllatnya seperti sepasang mata yang memancarkan kemarahan hebat itu.
Tingkah laku Ting Bun itu terlihat pula oleh Bu-gong Hweshio yang tengah menyelesaikan langkah-langkah terakhirnya untuk menangkap Sebun Hlm yang dikiranya bangsat pemetik bunga itu.
Tanya Bu-gong Hweshio dengan berteriak dari tempatnya.
"A-bun! Ada apa ?!"
Sambil tetap berloncatan kencang dari genteng ke genteng, Ting Bun hanya sempat menjawab singkat.
"Penculik A-giok.! Ke timur!"
"Bangsat!"
Bentak Bu-gong Hweshio sambil melancarkan sebuah serangan kepada Sebun Him.
"Kiranya kau membawa pula teman-teman bajinganmu, dan menggunakan siasat untuk memancing kami... ."
Sebun Him meloncat mundur dan sekali lagi berteriak.
"Taysu, aku bukan Jai-hoa-cat. Orang baju hitam itu tadilah penjahatnya. Aku adalah Sebun Him, cucu murid Pat-hong-kiam-kong (Sinar Pedang Delapan Penjuru) Auyang Seng "
Dengan menyebut nama yang terkenal dalam Hoa-san-pay itu, betul juga, serangan Bu- gong Hweshio mulai mengendor. Katanya.
"Kalau kau benar-benar murid Hoa-san-pay, agaknya aku telah tertipu oleh bangsat baju hitam tadi. Tapi aku belum bisa mempercayaimu begitu saja. Tunggulah di sini, akan kukejar orang-orang yang menculik A-giok itu, nanti kita bisa bicara lagi panjang lebar untuk membuktikan pengakuanmu itu benar atau tidak!"
Dan tanpa menunggu jawaban Sebun Him lagi, Bu-gong Hweshio dengan menjinjing senjatanya telah melayangkan tubuhnya searah dengan TIng Bun tadi.
Hweshio yang bertubuh besar dan nampak kasar itu ternyata hebat juga dalam hal gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh), sehingga tubuhnyapun dapat bergerak dengan ringannya di atas genting-genting rumah yang tidak rata itu.
Sedangkan Sebun Hlm sendiri merasa harga dirinya tersinggung karena ia diharuskan menunggu seperti seorang pesakitan yang menunggu datangnya hakim yang akan mengadilinya.
Bukan saja harga dirinya, tapi dianggapnya harga diri Hoa-san-pay ikut tersentuh jika dia melakukan apa yang dipesankan Bu-gong Hweshio tadi.
Maka tanpa peduli pesan itu, ia meloncat turun, masuk ke dalam kamarnya, diletakkannya uang sewa kamar di atas meja, dan kemudian ia pun kabur lewat pintu belakang.
Saat itu tengah malam sudah lewat, tentu saja sudah tidak ada lagi rumah penginapan lain yang membuka pintunya.
Maka Sebun Him terpaksa malam itu tidur di sebuah pagoda kosong, yang lama tidak terpakai, bercampur dengan kaum tunawisma.
Semalam suntuk pula Sebun Him harus menghisap udara yang pengab bercampur dengan bau kotoran manusia.
Para penghuni pagoda kosong itu terlalu malas untuk mencari tempat diluar pagoda untuk kencing atau buang hajat, maka bila perut sakit dan terasa mendesak, seenaknya saja mereka kencing atau buang hajat di pojok-pojok tembok.
Bagi mereka itu hal biasa.
Ketika fajar menyingsing dan ayam berkokok, Sebun Him merasa lega sebab la terbebas dari "neraka"
Itu.
Semalam ia dapat juga tidur meskipun sebentar-sebentar ada bau tidak sedap tertiup angin dan menyelonong masuk ke hidungnya.
Setelah makan pagi di sebuah kedai, Sebun Him mencari toko pakaian untuk mencari ganti pakaiannya yang serba putih itu.
Ia kini tahu bahwa pakaiannya yang menyolok mata itu mudah menarik perhatian orang.
Sebagai tanda masih berkabung untuk kematian ayahnya, dia hanya melibatkan secarik kain di lengan kanannya, sementara di seluruh pakaiannya tidak ada warna merah sedikitpun.
Ia melangkah keluar dari pintu timur kota Tiang-an dengan tubuh yang segar, namun perasaan yang dibebani oleh beberapa persoalan.
Dendam ayahnya belum terbalas, dan tiba-tiba muncul pula persoalan aneh yang membelit hatinya.
Ia belum berkenalan dengan gadis yang diculik, saling berbicara sepatah katapun belum, la hanya baru bisa melihat matanya yang cerah dan lesung pipitnya yang menawan.
Tapi ketika mendengar gadis itu hilang diculik oleh penjahat, maka Sebun Him merasa seakan ada yang hilang dari hatinya.
Tiba-tiba saja ia meletakkan kewajiban dalam hatinya sendiri, bahwa ia harus menemukan dan menyelamatkan gadis itu.
Tidak sulit, sebab komplotan yang menculik gadis itu diduganya sama dengan komplotan yang selama ini membayangi Hoa-san-pay dan bahkan telah membunuh ayahnya.
Oleh tekadnya itulah maka semangat Sebun Him berkobar hebat.
Lupa la akan peristiwa semalam di mana ia hampir mampus oleh senjata hong-pian-jan dari Bu-gong Hweshio.
BAGIAN KETIGA BELAS MALAM itu Ting Hun-giok yang pulas karena pengaruh aneh dari ilmu hitamnya Pui In-bun itu telah berhasil diculik oleh Pui in-bun.
Ketika gadis itu sadar karena wajahnya terhembus oleh angin malam yang dingin, maka didapatinya dirinya tengah dipanggul oleh seseorang dan dibawa berlari-lari ke suatu arah.
Ia terkejut dan berusaha mengerahkan tenaganya untuk melepaskan diri, namun tenaganya lenyap semuanya, untuk menggerakkan kaki dan tangannya saja ia tidak punya tenaga lagi.
Sadarlah bahwa penculiknya itu tentu telah menotok jalan-darah pelemasnya, dan totokan itu tentu akan "diperpanjang pelakunya"
Setiap beberapa waktu, sehingga kini ia benar-benar telah menjadi seorang tawanan yang tanpa daya.
Rasanya ia ingin menangis saja, apalagi karena siangnya ia dan ayah ibunya serta supeknya baru saja membicarakan soal Jay-hoa- cat yang merajalela di Tiang-an, maka ini la menduga bahwa penculiknya itu tentu penjahat yang dibicarakan itu.
Ingin rasanya Ting Hun giok menangis memikirkan nasibnya.
Seorang gadis yang tergolong cantik seperti dirinya, jatuh ke tangan seorang penjahat pemetik bunga, maka apa yang akan terjadi atas dirinya dapatlah dibayangkan.
Tapi agaknya gadis itupun mewarisi watak ayah dan Ibunya yang berhati keras, darah keluarga yang melahirkan manusia-manusia semacam Hwe-liong-Pangcu Tong Wi-siang, Gin-yan-cu Tong Wi-hong serta Tong Lam-hou, mengalir juga dalam tubuh gadis itu.
Dalam kesulitan seperti itu ia tahu bahwa merengek dan menangis tidak ada gunanya malahan akan membuat musuhnya bersorak kegirangan.
Yang penting adalah memutar otak untuk mencari akal, meskipun akal itu belum juga dlketemukannya.
Ketika Tlng Hun-giok membuka matanya dan mencoba melirik ke sekitarnya, maka ia tahu bahwa dirinya tengah dibawa berlari-lari lewat tempat yang banyak pepohonannya dan gelap.
Jelas itu adalah luar kota, bukan dalam kota Tiang-an.
Dan hati Tlng Hun-giok mendongkol bercampur takut ketika merasa bahwa tangan dari orang yang memondongnya Itu mulai menggerayangi bagian-bagian tubuhnya sambil tetap berlari.
Andaikata tubuhnya tidak tertotok, ingin rasanya Ting Hun-giok menghantam wajah jay-hoa-cat itu sampai habis semua giginya.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tak lama kemudian, Pui In-bun yang memondong Ting Hun-giok itu tiba di depan sebuah gubuk yang letaknya terpencil di tengah-tengah kebun sayuran.
Dari dalam gubuk masih terlihat sinar pelita berkelap-kelip, dan Pui In-bun segera membukakan pintu dengan tendangan kakinya, sambil berteriak.
"Han Popo (nenek Han), aku datang !"
Di dalam gubuk itu ada seorang nenek- nenek berwajah seram yang agaknya tidak terkejut menghadapi tingkah-laku Pui In-bun yang kasar itu. Tanyanya.
"Kau dapatkan gadis yang diingini Liong Tongcu itu ?"
"Kerjaku selalu beres,"
Kata Pui In-bun sambil tertawa.
"Kali ini Liong Tong-cu (si Tongcu she Liong) akan puas mengisap darah puteri dari musuh besarnya itu. Tetapi akupun akan mendapat kepuasan, sebab belum pernah kutemukan gadis secantik ini !"
Si nenek Han kelihatan terkejut mendengar kalimat Pui In-bun yang terakhir ini. Katanya.
"Hah, kau jangan bermain-main dengan nyawamu sendiri. Kalau Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-ji sampai tahu bahwa gadis ini kau serahkan kepadanya dalam keadaan sudah tidak perawan lagi, maka kepalamu akan dibabatnya sampai menggelinding ke tanah. Ilmu Siu-bok-tiang-seng-kangnya senantiasa membutuhkan darah segar dari seorang gadis suci."
Namun Pui In-bun agaknya sudah berkobar, nafsunya sejak ia melihat Ting Hun-giok tadi siang, apalagi setelah ia merasakan gesekan tubuhnya dengan tubuh gadis yang padat itu selama ia memondongnya dari kota Tiang-an sampai ke gubuk Han Popo ini.
Kutanya.
"Ilmu yang tidak masuk akal. Apa bedanya darah gadis yang masih perawan dan yang sudah tidak perawan? Toh yang dibutuhkan oleh kelelawar gila itu hanya darahnya untuk diminum, bukan lain-lainnya. Dan aku hanya membutuhkan kehangatan tubuhnya untuk malam ini saja sebelum besok gadis ini kita bawa ke Kui-kiong"
Sahut Han Popo.
"Aku hanya memperingatkanmu, Liong Pek-ji tidak akan tanggung-tanggung bertindak kepadamu Jika kau melakukan hal ini. Dia adalah orang kesayangannya Te-liong Hiangcu, dan jika dia ingin mengambil batok kepalamu maka tak seorangpun di Kui-kiong yang dapat melindungimu. Te-liong Hiangcu sendiri pasti akan merestui kemauan Liong Pek-ji... ."
Sekilas nampak perasaan gentar muncul di wajah Pui In-bun.
Cukup berhargakah riyawatnya apabila ditukar dengan kehangatan dan kenikmatan selama satu malam bersama gadis yang masih dalam pondongannya itu.
Sesaat la kelihatan ragu-ragu, namun akhirnya dengan nekad ia berkata.
"Han Popo, kita harus bekerja sama. Dirumah ini hanya ada kau dan aku, sikelelawar busuk itu tidak tahu apa yang kuperbuat malam ini jika kau tidak membocorkannya, nah, tutup mulutmu dengan ini, setuju ?"
Sambil berkata demikian, dengan, satu tangannya Pul In-bun merogoh ke dalam sakunya dan dikeluarkannya seuntai kalung mutiara yang berkilauan tertimpa cahaya pelita.
Sebenarnya Pui In-bun sendiri sangat sayang kepada benda yang dicurinya dengan mempertaruhkan nyawa dari gedung kediaman Sunbu (gubernur) wilayah Ou-lam Itu, namun apa-boleh buat, Ting Hun-giok sudah terlanjur membangkitkan seleranya sehingga sukar dipadamkan lagi.
Andaikata yang dihadapinya bukan Han Popo, Pui In-bun rasanya lebih suka menikamkan pedangnya ke tubuh orang yang menjadi saksi perbuatannya itu daripada menyerahkan kalung mutiara itu.
Namun ia tidak dapat berbuat demikian kepada nenek nenek yang kelihatannya lemah itu, sebab dia tahu bahwa Han Popo adalah sesosok Iblis betina yang kepandaiannya setingkat dengan Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-Ji atau pembantu- pembantu utama Te-liong Hiangcu lainnya.
Berusaha membunuh Han-Popo dengan tingkat ilmu silatnya yang seperti sekarang ini sama saja dengan membenturkan sebutir telur ke batu alias bunuh diri.
Sementara itu Ting Hun-giok yang masih dipanggul oleh Pui In-bun itu meskipun tubuhnya tak berdaya karena totokan, namun panca-indera pendengarannya masih bekerja dengan baik, dan bergidiklah la ketika mendengar percakapan antara Pui In-bun dengan nenek yang dipanggil Han Popo itu.
la mendengar dirinya akan diperkosa kehormatannya atau dibiarkan tetap suci namun diminum darahnya mentah-mentah, dua pilihan yang sama-sama tidak enak.
Ia mengeluh dalam hatinya.
Kini ia tidak hanya menduga-duga saja tetapi sudah pasti bahawa dirinya telah terjatuh ketangan sebuah gerombolan Iblis menakutkan.
Kalau bukan gerombolan Iblis, gerombolan apa namanya yang didalamnya terdapat orang-orang yang suka memperkosa dan lainnya lagi suka meminum darah sesama manusia? Dalam hatinya Ting Hun-giok berharap mudah- mudahan Han Popo tetap bersikeras untuk menahan niat Pui In-bun itu.
Jika demikian, mungkin ia akan mendapat kesempatan untuk melarikan diri selama ia berada dalam perjalanan menuju Kui-kiong (Istana Iblis) itu.
Tapi jika ia diperkosa malam itu juga, maka ia merasa hidup menanggung noda seperti itu tidak ada gunanya, ada kesempatan untuk laripun percuma.
Aib itu bukan hanya aib dirinya pribadi tetapi juga aib keluarganya, sebuah keluarga para pendekar yang terhormat dl dunia persilatan.
Namun Ting Hun-giok menjadi berdebar- debar ketika didengarnya suara gemericik karena Han Popo agaknya mulai menimang- nimang kalung mutiara itu, lalu nenek itu terkekeh-kekeh dan berkata.
"Eh, agaknya kau sangat getol memiliki gadis cantik itu malam ini juga, sehingga tidak segan-segan menyuap nenekmu dengan benda semahal ini."
Kata Pui In-bun sambil menyeringai.
"Kalung itu- cocok sekali untuk nenek, meskipun nenek sudah tua tapi masih antik dan kelihatan duapuluh lima tahun lebih muda dari umur yang sebenarnya."
Kembali Han Popo terkikik-kikik dan Ting Hun-giok mulai memaki-maki dalam hatinya. Terdengar suara Han Popo.
"Pintar juga kau merayu nenekmu. Baik, berbuatlah sesukamu dan aku akan menganggap diriku ini tuli dan buta akan apa yang terjadi malam ini di gubuk ini. Kalau kelelawar busuk itu marah, biar aku menghadapinya. Biar keriput begini aku ini bekas pacar Te-liong Hiangcu semasa kami masih sama-sama muda... hi-hi-hi. Oh, bagus benar kalung ini, dari mana kau menyabetnya ?"
Pui In-bun tertawa kegirangan.
"Terima kasih, Han Popo, kelak akan kubawakan yang lebih bagus lagi biar kecantikanmu pulih dan Te-liong Hiangcu sering mengunjungimu lagi. Nah, di kamar mana aku akan bermalam pengantin?"
"Di belakang sana, seperti biasanya."
Bagi Ting Hun-giok, ucapan itu seperti keputusan seorang hakim yang menjatuhkan hukuman paling mengerikan bagi terhukum, ia seperti seorang yang bergantung di pinggir jurang dan tiba-tiba satu-satunya pegangannya itu runtuh.
Dan kini tubuhnya sedang meluncur turun ke sebuah jurang yang menganga, jurang kehinaan dan kenistaan yang bagi seorang wanita terhormat lebih menakutkan dari kematian.
Pui In-bun membawa tawanannya ke sebuah kamar yang terletak di bagian dalam dari gubuk Han Popo itu.
Di dalamnya ternyata cukup rapi, bahkan dilengkapi dengan dupa harum pula, agaknya di tempat inilah Pui In-bun biasa "memangsa"
Korban-korbannya yang diculiknya dari kota Tiang-an.
Dengan hati-hati seolah-olah membawa boneka porselin yang gampang pecah, la meletakkan tubuh Ting Hun-giok ke atas pembaringan berkelambu warna merah jambu, sambil menyeringai la berkata kepada Ting Hun-giok yang tertotok tak berdaya itu.
"Jangan kuatir, adikku manis, memang terasa menakutkan pertama kalinya, tapi lama- kelamaan kau akan menikmatinya dan bahkan ketagihan."
Ting Hun-giok menatap Pui In-bun dengan pandangan yang merupakan campuran antara dendam sakit hati dengan keputus-asaan.
Tapi ia benar-benar tidak berdaya, sebab bukan cuma jalan darah pelemasannya yang tertotok tetapi juga jalan darah ah-hiat (jalan darah pembisu)nya, jadi ingin berteriakpun tidak bisa.
Ia memejamkan matanya ketika Pui in-bun naik ke pembaringan pula di sebelah tubuhnya dan tangannya mulai berkeliaran, napasnya mulai terdengar terengah-engah dekat sekali di pipi Ting Hun-giok.
"Belum pernah kudapatkan gadis secantik kau,"
Kata Pui In-giok sambil jari-jarinya mulai melepaskan kancing baju gadis itu.
"Rasanya cukup setimpal jika aku sedikit mempertaruhkan nyawaku dengan menentang kemauan Liong Tongcu... ."
Ting Hun-giok sudah merasa jari-jari orang itu menyentuh kulit dadanya.
Tapi pada saat gairah Pui In-bun semakin memuncak melihat kulit dada yang putih halus itu, tiba-tiba dirasanya sebuah benda dingin tajam menempel di tengkuknya, dan terdengar pula sebuah suara yang sama dingin dan tajamnya.
"Turun dari, pembaringan itu, bangsat. Suhengku menghendaki darah gadis itu dan kau tidak berhak menyentuhnya !"
Alangkah mendongkolnya Pui In-bun, ia kenal suara itu adalah suara rekannya sendiri.
Im Yao yang berjulukan Tiat-ci-hok (Kelelawar Bersayap Besi), si kakak dari pasangan penjahat kakak beradik yang disebut Ya-hui-siang-hok (Sepasang Kelelawar Terbang Malam), dan juga adik seperguruan dari Liong Pek-ji yang berjulukan Sip-hiat-mo-hok (Kelelawar Iblis Penghisap Darah).
Dengan muka merah padam Pui In-bun membalikkan badan dan berteriak.
"Im Yao, sejak kapan kau jadi senang mengganggu kesenanganku? Kau kira karena kau adalah adlk-seperguruan Liong Tongcu maka kau bisa berbuat seenaknya kepadaku ?"
Sikap Im Yao ternyata tetap dingin saja.
"Dalam segala tindakanku, aku tidak mengandalkan siapa-siapa, hanya mengandalkan pedangku ini. Kalau kau merasa penasaran karena tindakamu kucegah, hunus pedangmu dan kita tentukan siapa yang berhak melihat matahari esok pagi."
Betapapun marahnya Pui In-bun karena hasratnya yang sudah berkobar-kobar itu tiba- tiba patah di tengah jalan, namun la keder juga melihat sikap kelelawar sayap besi itu, sebab tingkatan ilmu Im Yao hanya selapis tipis di bawah tingkatan kakak seperguruannya, Sip- hiat-mo-hok Liong Pek-ji.
Maka sikap Pui In-bun melunak.
"Im Lotoa, kalau kau inginkan pula gadis itu, silahkan menunggu. Bukankah sudah menjadi kebiasaan kita bahwa apa yang kita dapatkan bersama- sama akan kita nikmati bersama-sama pula? Tapi jangan bersikap kurang bersahabat seperti ini."
Yang tidak senang mendengar percakapan itu adalah Ting Hun-giok. Jadi ia akan dijadikan "prasmanan"
Oleh bandit-bandit ini ? Namun ia lega ketika mendengar jawaban Im Yao yang tegas.
"Tidak. Untuk gadis yang harus kita serahkan kepada Liong Suheng ini kita harus memperlakukan istimewa. Keluar kau!"
"Im Lotoa, dengarlah dulu... ."
"Keluar kau!"
Alangkah sakitnya hati Pui In-bun mengalami peristiwa itu, sudah nafsunya tidak tersalur di tengah jalan, masih dibentak-bentak seperti anjing pula.
Tapi apa daya, keselamatan nyawanya harus diutamakan, maka terpaksa ia harus mengalah.
Sekali lagi ia melirik ke arah Ting Hun-giok yang terbaring dipembaringan dengan baju yang sudah setengah terbuka itu, tetapi makanan empuk di depan mata itu harus dilepaskannya.
Ia pun melangkah keluar dari ruangan itu, dalam hatinya mengutuk Im Yao, mengutuk Han Popo dan mengutuk pula dirinya sendiri yang dianggapnya bernasib kurang baik.
Ketika dirinya tinggal berdua saja dalam kamar dengan Im Yao, maka rasa takut Ting Hun-giok masih belum hilang.
Apakah dirinya ini Ibarat lepas dari mulut harimau tetapi masuk ke mulut buaya ? Im Yao memang menatap tubuh Ting Hun- giok dengan pandangan mata yang menakutkan.
Sudah puluhan perempuan yang diperkosanya, namun belum pernah ditemuinya yang secantik ini, apalagi dengan baju yang setengah terbuka memperlihatkan kulit yang bersih menantang itu, hasil kerja Pui In-bun tadi.
Dan ketika melihat mata gadis itu, hati Im Yao pun tergetar.
Mata yang sangat bagus, namun mata itu kini seperti mata seekor kelinci yang ketakutan menatap seekor harimau yang akan menerkamnya.
Selama menjadi penjahat, belum pernah perasaan Im Yao tergerak sedikitpun oleh perasaan belas kasihan, meskipun korbannya meratap-ratap di kakinya, bahkan jerit tangis mereka akan merupakan "musik"
Merdu bagi telinganya.
Tapi kali ini Im Yao merasa tertusuk oleh pandangan Ting Hun-giok, pandangan mata yang seolah memohon belas kasihan tetapi seolah juga sangat membenci itu.
Tiba- tiba Im Yao membuang pandangannya ke samping, dan menggeram dalam hatinya sendiri.
"Edan, kenapa sekarang aku menjadi sepengecut ini? Tidak pantas aku menjadi anggota Kui-kiong dan adik seperguruan Liong Suheng."
Dengan menguatkan hatinya ia menatap kembali wajah Tlng Hun-giok dan dilihatnya mulut gadis itu bergerak-gerak seolah akan berbicara, tapi tak ada suara keluar dari mulutnya sebab hiat-to pembisunya masih tertotok.
Entah digerakkan oleh pengaruh apa, tiba-tiba saja jari Im Yao terulur untuk membebaskan totokan jalan-darah.
pembisu gadis itu.
Dan seakan di luar kesadarannya sendiri maka Im Yao mengambil mantel gadis itu yang tergeletak di lantai dan menyelimutkannya ke tubuh gadis itu.
Perbuatan yang jarang sekali dilakukan dalam hidupnya.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang sering dilakukannya, bahkan puluhan kali, adalah merobek-robek pakaian korbannya sampai habis, lalau ia menerkamnya tanmpa ampun.
"Terima kasih,"
Sebuah suara merdu menyusup masuk ke telinganya.
Hati Im Yao.
kembali bergolak.
Yang masuk ke telinganya biasanya kalau bukan jeritan kesakitan dan ketakutan tentunya caci-maki atau kutukan korban-korbannya.
Mana pernah ia mendengar ucapan yang bernada begitu hangat, ucapan yang seharusnya menjadi pengerat antar manusia? Sesaat lamanya Im Yao merasakan dirinya sebagai sesosok iblis yang dibenci dan ditakuti, dan pandangan matanya yang tajam menakutkan itu mulai pudar.
Kepalanyapun terangguk kecil membalas ucapan terima kasih itu.
Namun ia sudah terlalu lama hidup dalam dunia yang gelap, dingin dan jauh dari perasaan antar manusia umumnya.
Te-liong Hiangcu selalu menekankan kepada anakbuahnya bahwa perasaan belas kasihan, cinta, terharu dan sebagalnya adalah perasaan-perasaan yang cengeng yang tidak boleh ada dalam diri setiap angogta Kui-kiong.
Setiap anggota Kui-kiong harus garang, patuh kepada perintah, tak berperasaan dan berdarah dingin, dan dalam usianya yang hampir tigapuluh tahun itu Im Yao sudah dididik demikian dalam jangka waktu hampir tiga-perempat dari umurnya sendiri.
Ia terkejut ketika ia menyadari dalam dirinya telah timbul setitik "kelemahan".
Tiba-tiba sikap Im Yao berubah, ia menyesal telah mengangguk membalas ucapan terima kasih tadi, dan kini la harus menunjukkan kegarangannya.
Pandangan matanya menjadi tajam kembali dan wajahnya mengeras, katanya.
"Jangan berterima kasih kepadaku. Aku sama jahatnya dengan anjing yang baru ku- tendang keluar tadi, dan kelak kau akan tahu itu."
Lalu tanpa berani menatap mata Ting Hun- giok lagi, orang berwajah dingin itupun berlalu dari ruangan itu.
Meninggalkan Ting Hun-giok yang tertotok lemas di pembaringan itu.
Gadis itu agak tenang malam itu dan dicobanya untuk tidur meskipun ia tidak tahu nasib yang bakal menimpa dirinya besok pagi.
Asal sehari masih bisa hidup dengan tetap menjaga kehormatannya, maka sehari pula masih ada kesempatan untuk melarikan diri dari tangan iblis-lblis itu.
Dan malam itu memang tidak ada gangguan dari Pui In-bun sehingga Ting Hun-giok dapat tidur dengan pulasnya.
Rupanya, betapapun besar hasrat Pui In-bun atas diri gadis itu, namun tidak akan berani untuk mempertaruhkan batang lehernya untuk melawan adik-adik seperguruan Liong Pek ji yang kemampuannya tidak jauh berbeda dengan Liong Pek-Ji sendiri itu.
Bahkan Han Popo sendiripun tidak berarti terhadap Im Yao dan Im Kok, meskipun sudah menerima kalung mutiara dari Pul In-bun.
Ting Hun-giok bangun ketika mendengar suara ayam berkokok keras sekali, ia baru saja bermimpi bertemb dengan ayah-ibunya dan berada dalam perlindungan mereka yang hangat, namun sayang hanya mimpi.
Dan ketika ia bangun dari tidurnya, maka la masih berada di ruangan yang hampir saja membuahkan malapetaka bagi dirinya itu.
Ia menahan diri agar tidak mengeluarkan air matanya, sebab sebentar lagi ia tahu musuh-musuhnya akan masuk ke situ untuk "memperbarui"
Totokannya itu.
Benar juga, pintu berderit dan didorong dari luar, lalu masuklah seorang nenek-nenek bermuka seram tetapi lehernya memakai kalung mutiara yang indah sekali.
Begitu masuk, nenek-nenek itu tanpa perasaan sedikitpun menotok pinggang Ting Hun-giok, lalu dicopoti- nya semua pakaian gadis itu dan diganti dengan pakaian yang buruk.
Katanya dingin.
"Kau tidak perlu kelihatan cantik jika ingin menemui si kelelawar busuk she Liong itu. Yang penting darahmu segar dan masih murni, sebab si kelelawar busuk itu hanya doyan darah dan tidak doyan paras cantik. Itulah agaknya yang membuat ilmunya terpupuk dengan baik dan dari waktu ke waktu terus meningkat pesat. Berbeda dengan si kura-kura Pui In-bun itu... ."
Begitulah, sambil mengganti pakaian Ting Hun-giok, nenek itu tidak henti-hentinya, menggerutu. Dan meskipun Ting Hun-giok bisa berbicara, ia merasa lebih baik bungkam saja. Beberapa saat kemudian Han Popo berteriak ke luar pintu.
"Im Lotoa masuklah, aku sudah selesai.!"
Lalu pintu terbuka lagi dan Im Yao melangkah masuk. Kali ini didampingi seseorang yang mukanya mirip dengannya, dan agaknya sama jahatnya, hanya saja usianya lebih muda. Begitu masuk, yang lebih muda itu langsung menyeringai dan berkata.
"Wah, tanpa pakaian baguspun ternyata tetap cantik. Pantas Pui In-bun semalam hampir gila dibuatnya."
Sahut kakaknya.
"Tutup mulutmu. Justru karena dia cantik maka sepanjang perjalanan tugas kita bertambah berat. Melindungi dia dari incaran Pui In-bun... ."
"Dan juga menahan diri kita sendiri bukan?"
Sambung Tui-hun-hok Im Kok sambil cengingisan.
"Jangan main-main. Kau berani berhadapan dengan Toasuheng?"
Gertak kakaknya.
"Jangan menjadi gila karena seorang gadis."
Im Kok diam tidak membantah lagi, namun diam-diam la pun menjadi heran melihat perubahan sikap kakaknya.
Perubahan sikap terhadap gadis bernama Ting Hun-giok itu nampaknya agak mendasar, bukan karena sekedar takut kepada Toasuhengnya Liong Pek- ji.
Biasanya kakaknya kalau melihat tawanan secantik itu akan melotot seperti kucing melihat dendeng; kini malahan bersikap begitu alim.
Bahkan ketika Han Popo hendak mengganti pakaian gadis itupun maka sang kakak memilih untuk tetap berdiri di luar pintu tertutup sampai Han Popo selesai dengan tugasnya, dan ia juga melarang semua orang laki-laki untuk masuk ke kamar, tidak terkecuali adiknya sendiri yang ingin "meninjau"
Cara kerja Han Popo.
"Jangan-jangan kakakku ini jatuh cinta kepada gadis ini, seperti yang dikisahkan oleh para kutu-buku dalam syair-syair cengeng mereka?"
Pikir Im Kok. Lalu ia tersenyum geli sendirinya. Istilah "jatuh cinta"
Untuk orang- orang Kui-kiong tidak dikenal, malahan kedengarannya aneh dan tolol.
Di luar gubuk Han Popo itu ada sebuah kereta dan beberapa ekor kuda.
Selain Pui In- bun yang wajahnya masih kelihatan penasaran, juga nampak beberapa orang yang berpakaian ringkas dan menyandang senjata.
Ketika Ting Hun-giok digiring keluar dari dalam gubuk dan dimasukkan kereta setelah ditotok jalan darahnya, maka salah seorang dari lelaki berpakaian ringkas itu berkata kepada Im Yao dengan hormatnya.
"Aku baru saja dari kota Tiang-an dan melihat orangtua gadis, itu serta si pendeta pembunuh kerbau itu sudah meninggalkan Tiang-an menuju ke arah timur."
"Bagus, dan kita akan menuju tenggara, langsung ke Kui-kiong", kata Im Yao dingin.
"Kau lihat tidak pemuda Hoa-san-pay yang kidal dan berpakaian serba putih itu?"
"Setelah perkelahian dengan pendeta pembunuh kerbau itu selesai, pemuda itu menghilang dari penginapan dan entah ke mana".
"Jadi kalian kehilangan jejak pemuda baju putih itu?"
Wajah anakbuah Im Yao itu nampak takut, suaranyapun tergagap.
"Ya...ya... kalau tuan perintahkan maka kami segera akan mencoba melacak jejaknya". Dalam hatinya si anak buah itu sudah membatin, kalau bukan hukuman mati paling tidak beberapa gablokan akan mendarat di wajahnya dan ia akan kehilangan beberapa giginya. Tapi alangkah terkejutnya si anak buah itu ketika melihat Im Yao malah tersenyum ramah, sesuatu yang tak pernah dilihatnya selama ia menjadi anak buahnya, dan lebih-lebih lagi kemudian Im Yao menepuk pundak anak buahnya itu dengan sikap akrab. Sambil berkata.
"Tidak usah, tugas membunuh pemuda baju putih itu bukan bagian kelompok kita. Kemarin aku memerintahkan demikian hanya sebagai sambilan saja, siapa tahu mendapat pahala dari Teliong Hiangcu. Yang utama sekarang adalah menuju Kui-kiong dengan mengawal tawanan ini, sedang tugas membunuh Sebun Him akan tetap menjadi bagian kelompoknya Kiu-bwe-coa Leng Bok- hou. Kita tak usah merebut pahalanya".
"Baik", sahut para anak buahnya dengan perasaan masih kurang percaya. Ketika Im Yao tampa sadar menoleh ke arah Ting Hiin-giok, maka gadis itu pun kebetulan sedang melihat ke arahnya, bahkan menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Im Yao terkesiap, cepat-cepat dikuasainya goncangan hatinya, dan dengan sikap sangat garang ia membentak.
"Kenapa kau cengar- cengir kepadaku? Kau kira bisa melunakkan hati kami dengan sikapmu itu? Cepat masuk ke kereta !"
Seumur hidupnya sebagai anak tunggal sebuah keluarga pendekar, belum pernah Tin Hun-giok dibentak-bentak seperti itu oleh orang lain, kecuali oleh ayah-ibunya sendiri.
Alangkah sakit hatinya, namun ia merasa lebih baik diam saja, daripada salah ucap dan menimbulkan kemarahan penjahat-penjahat ttu.
Namun bagi orang-orang yang sudah biasa menyaksikan kegarangan Im Yao, sikap Im Yao itu jauh lebih lunak dari biasanya.
Harusnya Im Yao menarik rambut gadis itu dan membantingkannya ke dalam kereta.
Malah pernah Im Yao memenggal langsung kepala dari seorang tawanan yang menjengkelkannya, tanpa peringatan apapun lebih dulu.
"Berangkat!"
Kata Im Yao dengan sikap dibuat segarang mungkin.
Maka rombongan itupun berangkat.
Sebuah kereta tertutup dengan seorang sais yang menjalankan keretaa dan seorang lagi berada di dalam untuk menjaga tawanan.
Sementara Im Yao, Im Kok, Pui In-bun dan beberapa anggota Kui-kiong lainnya yang bertampang buas-buas, lebih suka menunggang kuda daripada duduk dalam kereta yang gelap dan tidak bisa melihat pemandangan indah di luaran.
Rombongan itu menuju ke tenggara, diantar dengan pandangan mata oleh Han Popo yang tetap tinggal di gubuk itu.
Mereka menuju ke arah utara, mula-mula melalui jalan yang lebar, tapi jalan itu semakin sempit dan semakin sepi.
Dan ketika matahari terbenam, mereka beristirahat di sebuah padang rumput yang dikelilingi hutan.
Di situ mereka duduk berkeliling di perapian, sambil memanggang beberapa binatang hutan yang berhasil mereka buru.
Ting Hun-giok atas ijin Im Yao diijinkan keluar dari kereta tertutup itu dengan totokan yang dibuka, dan melemaskan otot.
Serasa segar juga setelah seharian tersekap dalam kereta tertutup dan tidak bisa melihat lain kecuali tenda kereta yang berwarna kusam.
Bahkan kemudian Ting Hun-giok minta ijin kepada Im Yao untuk membersihkan diri di sebuah mata air tidak jauh dari situ, sebab keringat yang melekat seharian di tubuhnya terasa tidak enak juga.
Begitu mendengar Ting Hun-giok akan mandi, Pui In-bun cepat-cepat berdiri dan berkata kepada Im Yao.
"Supaya gadis itu tidak melarikan diri, biar aku yang mengawasinya, Im Lotoa!"
"Biar aku saja, mana pantas tuan Pui mengerjakan pekerjaan rendahan itu?"
Kata seorang anak buah Kui-kiong yang sebelah matanya ditambal kain hitam. Lalu Tui-hun-hok Im Kok ikut bersuara pula.
"Bangsat-bangsat itu kurang bisa dipercaya, toako, kalau aku sih lebih meyakinkan.."
Begitu mereka berebutan hendak mengantar Ting Hun-giok ke mata air itu.
Sementara Ting Hun-giok sendiri menyesal telah mengucapkan kata-katanya itu di tengah- tengah lelaki-lelaki garang itu, kata-kata yang memang bisa menimbulkan angan-angan tak keruan di otak mereka yang jorok.
"Aku...aku tidak jadi ke mata air saja..."
Kata Ting Hun-giok dengan suara gemetar. Sahut Tiat-ci-hok Im Yao.
"Kau tetap harus ke sana. Aku sendiri akan mengantarmu !"
Muka Ting Hun-giok menjadi pucat, ia tidak tahu apakah pemimpin dari rombongan ini benar-benar ingin melin- dunginya dari kebuasan anakbuahnya, a- taukah malahan orang ini lebih buas dari anakbuahnya? Dan sebelum Ting Hun-giok berkata lagi, Im Yao telah membentak.
"Cepat!"
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"A...aku tidak jadi saja...
"Cepat ! Atau kau harus kuperlakukan kasar di sini?!"
Teriak Im Yao. Dalam keadaan terjepit, maka keberanian Ting Hun-giokpun timbul, dengan nekad ia menantang mata Im Yao dengan matanya sendiri yang memancarkan kema rahan. Katanya tegas.
"Tidak! Aku membatalkannya, kalau kau memaksa aku memang lebih baik aku mati di sini !"
Im Yao membuang mukanya karena tidak tahan menentang mata gadis itu, Namun ia tetap memaksakan diri untuk bersikap garang.
"Tidak semudah itu kau menentukan mati- hidupmu sendiri, Kamilah yang menentukan !"
Bersamaan dengan kata-katanya itu tiba- tiba tubuhnya melayang ke arah gadis itu, dan dengan sebuah totokan kilat ia telah menotok pinggang gadis itu.
Sebelum ting Hun-giok jatuh ke tanah, Im Yao telah menyambut tubuhnya dan langsung memanggulnya di pundaknya sambil berkata.
"Tidak seorangpun boleh bicara mencla-mencle di depanku. Kau bilang ingin mandi, kau benar-benar harus mandi !"
Lalu dengan memanggul tubuh gadis itu, Im Yao melangkah lebar ke mata air yang terletak di balik segerumbul pepohonan lebat.
Anak buahnya serempak berdiri dan hampir berbareng mereka menyatakan kesediaan untuk mengawal pemimpin mereka, tapi suara mereka bungkam seketika ketika mendengar Im Yao berkata dengan tegas.
"Semua tinggal di sini. Siapa yang menentang perintahku, penggal kepala hukumannya! Lo-ji, kau awasi mereka !"
"Baik, Lotoa!"
Sahut adiknya sambil menelan ludahnya, sebab diapun sebenarnya ingin ikut ke mata air itu.
Tapi ia tahu betapa keras watak kakaknya dan ia tidak berani membantah pesannya.
Ketika Im Yao menghilang di balik gerumbul pepohonan itu, maka Pui In-bun membanting kakinya dengan Jengkel sambil berkata kepada Im Kok.
"Kakakmu itu benar-benar keterlaluan. Kenikmatan yang sebenarnya bisa dicicipi bersama malahan hendak dilalapnya sendirian. Huh!"
Tui-hun-hok Im Kok mencoba menghibur rekannya itu.
"Sudahlah. Aku pun kecewa, tapi kelak aku akan menemanimu mencari yang lebih hebat dari gadis itu. Tapi saat ini jangan melanggar pesan-pesan kakakku."
Sementara itu, begitu tiba di mata air itu Im Yao menurunkan tubuh Ting Hun-giok dan berkata dingin.
"Nah, bersihkan tubuhmu !"
Ting Hun-giok melotot Kepada im Yao dan berkata sambil menahan tangis.
"Kau keterlaluan sewenang-wenang kepadaku. Cabut pedangmu dan bunuh saja aku. Itu lebih baik daripada kau hina aku seperti ini !"
"Kau ingin mandi sendiri atau aku yang memandikanmu ?"
"Bunuh akui Kumohon, bunuh aku!"
"Tidak! Suhengku membutuhkan kau karena kau adalah puteri musuh besarnya yang dibencinya. Mandilah, aku tidak akan melihatmu!"
Ting Hun-giok terkejut ketika mendengar suara yang melunak itu.
Ia agak teran melihat kelakuan pemimpin kawanan penjahat yang menawannya itu.
Saat itu matahari belum tenggelam sepenuhnya dan masih ada sisa-sisa cahaya di langit, Ting Hun-giok menatap orang itu seorang yang bertubuh agak kurus, dengan mata yang tajam dan dari mata itu terpancar kehampaan jiwa yang dicobanya ditutup-tutupi dengan sikap yang yang dan bahkan kadang- kadang tidak segan-segan mengorbankan nyawa orang lain.
Di dekat alis mata kanannya ada sebuah luka memanjang, mungkin bekas terkena senjata, dan Ting Hun-gok harus mengakui bahwa andaikata janggut dan rahangnya dicukur bersih, orang ini agaknya cukup tampan juga.
Im Yao mendengus melihat sikap gadis itu, katanya dingin.
"Jika aku ingin memperkosamu, aku tidak akan membebaskankan totokanmu tadi. Meskipun aku adalah penjahat yang paling busuk, aku pantang menjilat ludahku sendiri, kalau aku bilang tidak akan melihatmu mandi maka aku benar-benar tidak akan melihatmu, kau tidak percaya ?"
Ting Hun-giok tidak menjawab namun bersisikap ragu-ragu. Sementara Im Yao berkata lagi, tetap dengan suaranya yang dingin dan ketus.
"aku tidak berselera memperkosamu, barangkali lain kali aku berselera!"
Meskipun sikap orang itu selalu begitu dari mulutnya selalu keluar kata-kata yang menyakitkan hati, namun tiba-tiba Ting Hun- giok merasa bahwa orang itu tidak jahat.
Barangkali hanya karena pengaruh lingkungan, atau kekurangan perhatian dari sesamanya, atau mungkin juga rendah diri.
Tapi, untuk Sementara Im Yao berkata lagi, tetap dengan suaranya yang dingin dan ketus.
"Aku tidak berselera memperkosamu, barangkali lain kali aku berselera!"
Mandi dengan ditunggui orang itu, Ting Hun- giok merasa risi juga.
"Kau mempermainkan aku, he? Kau sudah kuantar ke mari dengan menangung kecurigaan teman-temanku, dan sekarang kau hanya termangu-mangu seperti kesambet setan? Ingat, aku bisa berbuat kasar sekali kepadamu...suatu kehinaan yang tidak bakal bisa kau lupakan meskipun kau sudah menjadi roh halus sekalipun!"
Perasaan yang peka dari Ting Hun-giok merasa bahwa Im Yao tidak menjiwai kata-kata menakutkan yang diucapkannya itu. Tiba-tiba timbul kenekadan Ting Hun-giok untuk menguji sampai di mana kesungguhan sikap orang ini. Dengan muka merah ia berkata.
"Baik. Kau menghadap ke sana.!"
Tanpa diperintah untuk kedua kalinya, Im Yao membalikkan tubuhnya untuk membelakangi mata air itu.
Jantungnya berdegup keras ketika kupingnya mendengar desir dari orang yang melepas pakaian, diikuti dengan suara menceburnya tubuh seseorang ke dalam air.
Nafsu setan yang selama ini selalu dilampiaskannya tanpa dikekang, menimbulkan dorongan dalam hatinya untuk menengokkan kepalanya ke belakang dan kalau perlu menerkam korbannya yang sangat cantik itu.
Tapi kepalanya ternyata tidak juga menoleh, ada kekuatan lain di dalam jiwanya yang menahannya untuk tidak melakukan itu, kekuatan yang melebihi nafsu iblisnya.
Sementara itu, Ting Hun-giok sendiri bukannya tidak hampir copot jantungnya.
Sambil membersihkan badannya dia selalu melihat dengan waspada ke arah Im Yao yang duduk membelakanginya seperti sesosok patung itu.
Di tepian itu, hanya selangkah dari tempatnya berendam di air jernih, ada sebuah batu hitam yang amat, keras dan berpinggiran tajam.
Jika Im Yao menunjukkan gerakan yang mencurigakan, maka Ting Hun-giok tinggal melangkah selangkah dan membenturkan kepalanya sekeras-kerasnya ke batu itu, dan akan mampuslah ia daripada menangugng aib.
Sekali-sekali timbul keinginan untuk melarikan diri, tapi akal sehatnya memperingatkan bahwa saat itu belum saatnya.
Ia bakalan tertangkap lagi dan kalau ia sampai menimbulkan kemarahan bandit-bandit itu, maka agaknya nasibnya bakal menjadi paling buruk di antara perempuan-perempuan sedunia.
Sampai ia selesai membersihkan badannya sehingga segar kembali dan memakai pakaiannya kembali, ternyata Im Yao masih saja duduk membelakangi.
Dan ini sebenarnya agak mengherankan Ting Hun-giok.
"Aku sudah selesai,"
Kata Ting Hun giok setelah pakaiannya dipakai dengan lengkap dan benar.
Im Yao membalikkan tubuh dan sesaat ia seakan silau melihat bidadari yang berdiri di hadapannya.
Seperti sekuntum mawar jingga yang basah oleh embun, begitu pula gadis di hadapannya yang rambutnya masih basah dan diikat dengan sehelai saputangan itu.
Dandanan sederhana yang diberikan oleh Han Popo itu tidak sanggup menutupi kecantikan yang gemilang itu.
Hanya dengan susah payah dan mengerahkan segenap kekuatan jiwanyalah maka Im Yao tidak sampai salah tingkah, dan meskipun agak canggung ia berhasil juga mempertahankan sikap garang dan dinginnya.
"Kita kembali ke perkemahan!"
"Terima kasih atas sikapmu selama aku membersihkan diri tadi."
"Simpan dulu terima kasihmu. Barangkali nanti malam atau besok pagi aku kesurupan iblis dan nasibmu akan menjadi amat buruk di tanganku."
"Tidak. Aku percaya kau tidak jahat."
"Semua orang memakiku sebagai orang jahat, dan aku memang jahat. Dengar baik-baik, aku sudah membunuh banyak perempuan tua dan anak-anak yang tak berdaya, aku sudah memperkosa banyak gadis baik-baik, aku sudah... ."
"Tidak. Kau tidak jahat. Kau baik." ''Tidak, kau keliru. Aku busuk sampai ke tulang sungsumku. Akulah maha penjahat sejak kecil dan akan tetap menjadi penjahat sampai mati!"
"Begitu membanggakankah sebagai orang jahat sehingga kau mati-matian ingin disebut demikian?"
Pertanyaan Ting Hun-giok yang tiba-tiba itu membuat Im Yao terbungkam. Akhirnya Im Yao membentak.
"Sudah, jangan banyak mulut! Kau harus percaya bahwa akulah penjahat yang tidak mungkin diperbaiki lagi, jika kau tidak percaya, akan kubuktikan kejahatanku a-tas dirimu sekarang Juga !"
"Kenapa kau menanamkan pikiran dalam dirimu sendiri bahwa kau seorang jahat? Kenapa kau berpendapat bahwa kau tidak bisa menjadi orang baik lagi?"
"Sebab sekali seseorang dilahirkan sebagai penjahat, atau keturunan penjahat, ia akan menjadi penjahat juga seumur hidupnya. Itu adalah takdir,"
Berbicara sampai, di sini, mata Im Yao menerawang jauh ke alam khayalan, lalu melanjutkan.
"Contohnya adalah ayahku sendiri, la penjahat, pemabuk, penjudi, tidak pernah memperhatikan Ibu dan kami kakak beradik yang tiap hari membanting tulang sebagal budak seorang kaya dengan upah yang rendah. Malahan suatu hari ibuku dicekik mampus oleh ayahku, ha-ha-ha-ha... sungguh indah wajah ibuku saat tangan-tangan ayah mencengkam lehernya. Lalu kami pun mengikuti jejak ayah, dan tidak mungkin menjadi orang baik sebab masyarakat tidak bisa menerima sampah-sampah seperti kami. Dunia ini rimba belantara, binatang-binatang mendapatkan makanan dengan menerkam biantang lainnya. Kau paham ?"
Hati Ting Hun-giok terguncang. Hanya dengan beberapa kalimat yang diucapkan oleh Im Yao itu, terhapuslah rasa bencinya kepada orang ini. Berganti dengan rasa simpati.
"Kau tidak ingin menjadi orang baik ?"
"Tidak. Dunia orang baik-baik bukan duniaku, aku bermimpi kalau aku ingin masuk ke dalamnya. Lebih baik aku tetap berada dalam duniaku, kepuasan dan kenikmatan dapat aku reguk setiap saat tanpa peduli pandangan orang lain. Hidup secara demikian itu hebat bukan ?"
"Jauh di dalam hatimu, kau pasti masih ingin menjadi orang baik yang hidup tenteram... ."
"Tidak! Aku tidak kepingin !"' "Selama kau manusia, kau pasti masih inginkan itu !"
"Aku memang bukan manusia. Aku iblis, dari dasar neraka !"
"Kau yang menamakan-dirimu sendiri iblis, tapi aku tetap menganggapmu manusia!"
Sahut Ting Hun-giok berani.
"Kau orang gila. Gadis gila. Orang lain menganggapku iblis yang paling dibenci dan ditakuti, sedang kau sebaliknya !"
"Kau harus menjadi orang baik-baik Tiba-tiba Im Yao menghunus pedangnya dan ditodongkan ke leher Ting Hun-giok, sambil berkata.
"Gadis gila, kalau kau bicara yang bukan-bukan untuk melemahkan hatiku, sebentar lagi kepalamu akan menggelundung di tepi mata air ini.!"
Ting Hun-giok memang tidak berbicara lagi, namun dengan matanya yang jernih ia menatap langsung ke pusat mata Im Yao. Dan tangan Im Yao yang memegang pedang itu mulai goyah dan todongannya tidak mantap lagi. Tapi ia masih membentak.
"Jalan di depan! Jangan coba-coba melarikan diri supaya aku tidak mencincangmu !"
Dalam pada itu, Pui Im-bun dan lain-lainnya tercengang ketika melihat Im Yao dan Ting Hun- giok berjalan bersama dari mata air itu dengan sikap seolah-olah tidak ada apa-apa.
Tadinya mereka mengira tentunya Ting Hun-giok tentu akan muncul dari sana dengan pakaian yang robek-robek dan diseret oleh Im Yao, sambil menangis minta dibunuh atau mencaci-maki.
Ternyata tidak.
Malahan wajah Ting Hun-giok tenang-tenang saja dan bahkan matanya bersinar-sinar.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meskipun Im Yao menghunus pedang, tapi nampaknya tidak ada ketegangan sedikit-pun di antara mereka.
Dengan perasaan heran Pui In-bun membatin.
"Edan, tadinya gadis itu meronta- ronta, kenapa sekarang kelihatan, tenang- tenang saja dan tidak bersedih? Apakah Im Yao telah berhasil membujuknya sehingga mereka melakukannya dengan suka sama suka? Kalau begitu gadis itu hanya sok alim saja, kelihatannya menolak tetapi akhirnya mau juga. Jadi nanti malam aku ada harapan hmm..."
Lalu Pui In-bun menyikut Im Kok yang duduk di sebelahnya sambil berbisik.
"Nampaknya kakakmu itu menikmati betul- betul bulan madunya. Mereka cukup lama, berada di mata air itu, terlalu lama untuk sekedar mandi saja."
Sebaliknya wajah Im Kok menjadi tegang bukan main.
Jika benar dugaan Pui In-bun itu maka berarti kakaknya telah nekad melanggar Desan toasuheng mereKa, Liong Pek-Ji, yang pasti akan marah-marah bila mendengarnya.
Jika sang toasuheng marah, harus ada nyawa yang melayang dan entah nyawa siapa nanti ? Ting Hun-giok sendiri tanpa peduli pandangan mata dari orang-orang buas itu, segera ikut duduk mengelilingi perapian dan tanpa sungkan-sungkan ikut makan daging rusa bakar bersama-sama dengan Im Yao.
Tiga Dara Pendekar Siauw Lim Karya Kho Goosebumps 17 Kenapa Aku Takut Lebah Pendekar Baja Wu Lin Wai Shi Karya Gu
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama