Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP Bagian 18
Teriak Pui In- bun yang keadaannya semakin gawat di bawah tekanan Sebun Him itu.
Tui-hun-hok Im Kok sudah menghunus pedangnya dan hendak terjun ke arena untuk membantu Pui-In-bun, namun la heran ketika kakaknya mencegahnya dengan memalangkah tangannya.
"Lotoa, kita harus segera membantu si hidung belang itu, kalau tidak ia akan mampus di ujung senjata lawannya."
Sahut Tiat-ci-hok Im Yao.
"Loji, seumur hidup kita mengabdi kepada Kui-kiong, pernahkah kita berbuat bebas menurut suara hati kita sendiri?"
Im Kok terkejut mendengar pertanyaan kakaknya Justru dalam saat seperti itu, namun ia mencobanya untuk memikirkannya. Rasanya yang disebut "kebebasan menurut suara hati"
Itu memang belum pernah mereka rasakan, mereka hanya kenyang dengan perintah- perintah Te-liong Hiangcu untuk berbuat begini atau begitu, disertai ancaman-ancaman hukuman yang mengerikan apabila tugas itu gagal. Kadang-kadang "kebebasan"
Itu datang juga apabila mereka merayakan keberhasilan suatu pekerjaan, dengan pesta-pora dengan makan minum yang berlimpah dan perempuan- perempuan culikan yang dijadikan pelampiasan nafsu mereka.
Tapi itu adalah kebebasan hewani dan juga kebebasan semu, sebab itu semuanya hanyalah "upah"
Kalau mereka berhasil menjalankan tugas berat.
Kadang- kadang hati kecil Im Kok tergetar juga mendengar jerit tangis orang-orang yang menjadi korbannya atau korban teman- temannya itu, namun la tidak boleh menunjukkan "kecengengan"nya terhadap Jerit tangis memilukan itu.
Ia harus menutupinya dengan tertawa terbahak-bahak dan kalau perlu berbuat lebih ganas lagi supaya dilihat teman- temannya bahwa ia "gagah-beranl".
Menekan hati sendiri, itukah kebebasan"? Akhirnya Im Kok hanya menggeleng lemah sambil menjwab.
"Entahlah, Lotoa, aku hanya tahu bahwa sejak kecil kita kekurangan sandang dan pangan, sejak ayah mencekik mati ibu kita, dan kemudian setahun kemudian ayah sendiripun menggantung dirinya di pohon di belakang rumah. Waktu itu kita kedinginan dan kelaparan, kita hanya ingin pakaian yang hangat tidak perlu bagus dan makanan yang dapat mengenyangkan perut kita seperti anak-anak lain sehingga kami menjadi pengemis cilik, toh kita lebih sering mendapatkan caci-maki dan gebugan atau gonggongan anjing di depan pintu daripada secarik pakaian atau sepotong makanan. Lalu Toasuheng menemukan kita, mengajari ilmu silat kepada kita, menghangatkan badan dan mengenyangkan perut kita, sampai kita bergabung dengan Kui- kiong. Apalagi?"
Sahut kakaknya.
"Ya, kita mendapatkan apa yang kita impikan ketika kita kecil, pakaian dan makanan berlimpah, bahkan kekuasaan karena Kui-kiong kita ditakuti di mana-mana. Tapi kita kehilangan kegembiraan-sejati kita sebagai manusia, karena kita harus menindas suara hati kita sendiri. Sekarang aku akan melepaskan belenggu itu, aku akan berbuat dengan kehendakku sendiri"
Adiknya terkejut, ia bahkan tidak peduli ketika mendengar jeritan kematian dari seorang anakbuah Kui-kiong yang terbabat pedang Sebun Him. Tanyanya.
"Lotoa, apa yang akan kau perbuat ?"
"Aku harus membantu gadis itu untuk lolos. Suara hatiku menyuruhku berbuat demikian."
"Gadis itu dikehendaki oleh Toasuheng. Apakah kita akan berkhianat kepada Toasuheng yang telah mengangkat kita dari kemelaratan? Memberi kita pakaian dan makanan ketika kita masih menjadi pengemis-pengemis yang tidur di depan pintu rumah orang berselimut salju ?"
"Hutang budi kita kepada Toasuheng sudah kita bayar dengan mengabdi kepadanya selama bertahun-tahun dengan menekan kehendak kita sendiri, dan terlalu mahal kalau harus kita bayar dengan seluruh hidup kita...."
"Lotoa, apakah kau jatuh cinta kepada gadis itu?"
Kalau hal itu ditanyakan beberapa saat yang lalu, barangkali Im Yao akan menjawab dengan berteriak keras-keras-bahwa ia tidak Jatuh cinta, jatuh cinta adalah hal yang sangat memalukan dan menjadi bahan tertawaan orang-orang Kui-kiong.
Tapi selama beberapa hari ini, sejak pertemuan dan percakapan dengan Ting Hun-giok, Im Yao mulai merenungkan keberadaannya di dunia ini, dirasakannya percuma kalau hidupnya hanya selalu di bawah tekanan dan perintah orang lain tanpa memberi arti kepada diri sendiri dan sesama yang butuh pertolongan.
Maka terkejutlah Im Kok., ketika la melihat ketika melihat kakaknya mengangguk dengan mantap dan Jawabannya sama mantapnya.
"Ya. Untuk dia, biarlah aku sedia menanggung hukuman yang paling berat dari Hiangcu, bahkan sebutan-sebutan pengkhianat atau lain- lainnya, dan mungkin tubuhku akan dicemplungkan ke telaga itu. Rasanya bahagia sekali bisa berbuat sesuatu baginya."
Lalu Im Yao menatap adiknya lekat lekat, menanti adiknya itu akan tertawa terpingkal- pingkal mentertawakannya dan mengejeknya sebagai orang cengeng, atau adiknya itu akan dengan beringasnya mencabut pedangnya dan berusaha membunuhnya karena dianggap sebagai pengkhianat Kui-kiong? Tapi sikap adiknya yang dinanti-nanti itu tidak kunjung tampak, bahkan sang adik yang kelakuannya selama ini tidak kalah jahatnya dengan kakaknya, tiba-tiba berkata dengan suara agak parau karena terharu.
"Selamat kakakku, kuucapkan selamat kepadamu. Kau temukan kebahagiaanmu sama saja akupun ikut berbahagia. Kau sanggup menahan segala derita untuk gadis itu akupun sanggup menahan derita apapun untukmu, Lotoa... ."
Percakapan agak terganggu sebentar karena ada sebutir kepala yang menggelinding dekat kaki mereka, kepala yang putus tersambar pedang Sebun Him yang tengah mengamuk itu.
Tapi Im Kok melanjutkan dengan suaranya yang mewakili perasaannya yang bergejolak.
"...sejak orangtua kita tiada, kaulah satu- satunya sanakku di dunia sebelum Toasuheng. Aku ingat, ketika aku kedinginan di musim salju maka kau lepas bajumu sendiri yang hanya selembar itu dan dikerudungkan ke badanku, ketika aku lapar kau berikan rotimu yang hanya sepotong untukku sedangkan kau sendiri merasakelh perutmu kosong sepanjang malam..."
Tangan dari kakak-beradlk yang sama jahatnya itu tiba-tiba saling menggenggam dengan eratnya, tangan-tangan yang dengan darah dingin sering mengayuhkan pedang untuk menumpahkan darah orang lain itu, kini menjadi hangat karena mereka sudah pulih menjadi manusia biasa yang berdarah hangat dan bukan lagi hantu-hantu yang dingin.
"Terima kasih, adikku... ."
"Sejak kedi kita bersama-sama dan akan selalu bersama-sama, dalam kegembiraan atau kepedihan. Kau kakakku dan bagiku lebih dari segala-galanya, dari Toasuehng sendiri maupun Te-liong Hiangcu."
Keakraban kakak beradik yang bertahun- tahun tak lagi mereka rasakan, kini telah mereka dapatkan kembali. Terdengar Pul In bun berteriak.
"lm Lotoa dan Im Loji, kalian ini sedang berlatih main sandiwara atau bagaimana?! Lekas bantu aku !"
Bersamaan dengan terkatupnya mulut Pul In-bun, pedang Sebun Him tepat mengenal lambungnya dan mengakhiri hidupnya. Tapi sebelum mati, Pul In-bun sempat berteriak.
"Kelelawar-kelelawar busuk... Orang-orang Kui-kiong itu habis sudah. Tinggal Im Yao dan Im Kok yang berdiri berdampingan, namun sikap mereka tidak mirip sikap orang yang hendak bertempur, meskipun tangan-tangan mereka menggenggam pedang. Wajah Ting Hun-giok menjadi cerah ketika melihat bagaimana kakak-beradik itu ternyata tidak membantu Pui In-bun tadi, itulah perubahan sikap yang amat tajam. Maka Ting Hun-gi-ok pun menganggukkan kepala sambil tersenyum hangat.
"Terima kasih, Im Toako."
Im Yao menjadi agak canggung, sampai adiknya yang menyentuhnya dan berkata.
"Gadis itu berterima kasih kepadamu, Lotoa, dan kau harus menjawabnya...
"Ba...baik...lah, kalian harus cepat pergi dari sini sebelum penjaga-penjaga lainnya berdatangan... Sebun Him menjadi panas hatinya melihat Ting Hun-giok ternyata malahan mengucapkan terima kasih kepada orang Kui-kiong yang wajahnya seperti hantu itu; sedangkan dirinya sendiri yang sudah berkelahi mati-matian agaknya malah didiamkan saja. Ketika Ting Hun-giok melangkah, mendekati Im Yao, Sebun Him meloncat menghalanginya dan berkata keras.
"Nona A-giok, jangan berdekatan dengan iblis kotor itu!"
Ting Hun-giok menjawab.
"Aku berhak mengatur diriku sendiri, tidak usah Sebun Siauhiap ikut campur dalam segala urusanku!"
Darah Sebun Him semakin mendidih mendengar jawaban itu.
"Nona, jangan lupa bahwa akulah yang bisa menolongmu, mati hidup nona tergantung kepadaku!"
Sikap Sebun Him itu semakin lama terasa semakin menjemukan bagi Ting Hun-giok, sedikit-sedikit mengingatkan orang akan jasa dirinya sendiri, menganggap dirinya pahlawan yang kehadirannya harus disyukuri oleh orang lain.
Karena itu, Ting Hun-giok bertanya.
"Sebun Siauhiap, kau ingin menolong aku, baik. Tapi kau bisa membawa serta gadis-gadis lain itu atau tidak?"
"lni...ini benar-benar sulit...."
"Aku senasib dengan mereka, dan tidak akan keluar dari sini kecuali bersama dengan mereka!"
Syarat yang diajukan itu memang membuat Sebun him kebingungan, dalam hatinya la jengkel juga akan sikap keras kepala dari gadis itu, yang dianggapnya sudah ditolong tidak berterima kasih tapi malahan membuatnya kebingungan.
Apalagi ketika Ting Hun-giok masuk kembali ke dalam kerangkeng dan berkata "Silahkan selamatkan dirimu sendiri.
"Aku senasib dengan mereka, dan tidak akan keluar diri sini kecilali bersama dengan mereka !"
Sebun Siauhiap, itu tentu lebih mudah daripada kau membawa-bawa aku."
Saat semuanya kebingungan itulah tiba-tiba terdengar suara Im Yao, tetap Bernada dingin seperti biasanya namun jelas bermaksud baik.
"Aku bisa menolongmu dan semua perempuan- perempuan ini, nona Ting...
"Aku tidak berbicara kepadamu!"
Bentak Sebun Him panas. Sahut Im Yao.
"Dan akupun tidak bicara kepadamu, aku bicara kepada Ting Kohnio."
Hampir saja Sebun Him melabrak si Kelelawar Bersayap besi itu, kalau tidak terdengar suara Tin Hun-giok.
"Apa akalmu, Im Toako"
Tanpa melirik sedikitpun kepada Sebun Him, Im Yao berkata.
"Aku memegang kunci untuk semua kerankeng-kerangkeng itu, dan aku tahu sebuah jalan keluar bawah tanash tanpa melalui pintu gerbang yang dijaga ketat..."
Sebun Him tertawa "Heran, kau ini hanya membual untuk menarik perhatian... ."
Namun ucapan Sebun Him kemudian terbungkam ketika melihat Im Yao mengeluarkan serenceng kunci dan pintu-pintu kerangkengan itu dibebaskan semuanya. Lalu kata Im Yao.
"Ikuti aku. Saat ini delapan dari sepuluh kekuatan Kui-kiong sedang dikerahkan keluar tembok untuk menghadapi dua penyerang yang bernama Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, entah kapan pertempuran selesasi, dan kesempatan ini harus kita pergunakan sebaik-baiknya."
Bersambung ke
Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan Ko Aditya Indra Jaya first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU
Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.
Jilid ebun Him yang merasa peranannya agak tersisih dengan kedatangan Im Yao, mencoba menarik pernatian Ting Hun-giok dengan ucapan-ucapannya.
"Huh, meskipun mereka datang lagi, masakah aku takut? Mereka boleh merasakan kelihaian pedangku si Beruang Barat."
Tidak ada yang menghiraukan ucapan Sebun Him itu, sebab semuanya sudah bergerak menuju ke satu arah dengan dipimpin oleh Im Yao dan Im Kok.
Ting Hun-giok berjalan bersama kedua kakak beradik itu, sementara gadis yang dibebaskan berjalan berhimpitan di belakang mereka.
Gadis yang mengaku pernah S belajar silat di desa itu menjumput sebatang pedang dan bersikap ikut melindungi.
Waktu itu keadaan Kui-kiong benar benar sepi, jauh di luar tembok masih terdengar suara pertempuran yang ramai.
Agaknya Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin bukan hanya berdua saja tapi membawa orang-orang Hwe-liong- pang yang setia kepada Hwe-liong Pangcu Tong Wi-siang.
Dan apabila benar demikian, maka Kui-kiong benar-benar menghadapi tekanan berat, sebab jago-jago Hwe-liong-pang yang setia kepada Hwe-liong Pangcu itu banyak yang berilmu tinggi.
Setelah melalui sebuah kebun, Im Yao membawa rombongannya tiba di sebuah kolam ikan emas yang indah.
Di tepi kolam ada sebuah rumah kecil yang keempat sisinya tanpa tembok, agaknya sering untuk beristirahat, dan di situ ada sebuah meja batu berbentuk segi delapan.
"Di bawah meja batu ada lorong rahasia,"
Kata Im Yao singkat. Kembali Sebun him meloncat ke depan untuk menawarkan jasa.
"Minggir, biar aku singkirkan meja ini."
"Meja ini tak dapat bergerak kecuali dengan cara khusus , sebab ia digerakkan dengan... ."
Sambil berkata demikian Im Yao meraba sesuatu di bawah daun meja dan memutarnya, dan meja ltupun bergerak sendiri ke samping.
Di bawahnya nampak sebuah lubang gelap dengan tangga batu yang menurun tajam.
Tangga itu penuh debu dan sarang laba-laba bergelantungan di atasnya, menandakan bahwa lorong itu tidak pernah dikunjungi manusia untuk waktu yang lama.
Kata Im Yao.
"Lorong ini dibuat oleh Te- liong Hiangcu jika suatu ketika ada bahaya mengancam dan dia harus melarikan diri. Lorong ini tembus ke seberang telaga."
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jadi lorong ini nantinya melewati dasar telaga ?"
"Ya, tapi itu bukan sesuatu yang hebat, sebab telaga itupun hanya telaga buatan yang dalamnya tidak lebih dua tombak. Yang berbahaya pada telaga itu bukan dalamnya melainkan sejenis ikan yang menghuninya."
Sementara itu Sebun Him mengomentari tentang lorong bawah tanah itu.
"Heran, ketika Te-liong Hiangcu membuatnya, ia tentu tidak mengira bahwa hari inilah dia akan menggunakannya untuk lari terbirit-birit dari istana iblisnya itu... ."
Sahut Im Kok dengan mendongkol.
"Andaikata seluruh Kui-kiong lari terbirit- biritpun cukup pantas, sebab lawan yang datang adalah Siangkoan Hong, Lim Hong-pin dan pengikut-pengikut setia Hwe-liong Pangcu yang berilmu tinggi lainnya. Bukan sebangsa cecunguk yang selalu gembar-gembor dan tidak malu-malu menyebut julukannya sendiri."
Sebun Him merah padam wajahnya ketika mendengar sindiran tajam itu. Ia melotot kepada Im Kok, tetapi orang kedua dari Ya-hui- siang-hok itu pura-pura sedang melihat ke arah lain dan bersiul-siul. Sementara itu Im Yao berkata.
"Ucapan Sebun Siauhiap ini barangkali benar. Apabila Te-liong Hiangcu tidak sanggup membendung serbuan Siangkoan Hong dan kawan-kawannya, maka ia pasti akan menggunakan terowongan ini untuk menyelamatkan airi. Karena itu kita harus cepat kabur lewat sini lebih dulu."
Lalu Im Yao dari Im Kok berjalan di depan dengan tangan membawa kayu kering yang dinyalakan sebagai obor, diiringi oleh Ting Hun- giok den gadls-gadis lainnya.
Sebun Him masuk paling belakang.
Tangga itu menurun tajam hampir empat tombak jauhnya dan udaranya pengab lembab, untung obor yang dibawa Im Yao dan Im Kok dapat sedikit menerangi jalan dan membuat perasaan tidak terlalu tertekan.
Tiba di ujung bawah tangga, Im Yao menarik sebuah gelang besi di dinding kanan, dan terdengar suara gemuruh di atas, meja batu itupun bergerak sendiri kembali ketempatnya semula dan menutup pintu masuk ke terowongan itu.
Kini mereka akan melewati sebuah lorong yang mendatar, kiri, kanan dan atasnya terbuat dari batu, namun agaknya batu-batu itu kurang dapat menahan rembesan air, sehingga lantai lorong itu tergenang air hampir dua jengkal dalamnya.
Sebelum melangkah maju Im Yao berkata, terutama kepada para perempuan itu.
"Kita akan berjalan di lantai yang digenangi air itu kira-kira dua ratus langkah, dan kuberitahukan kepada kalian bahwa ada beberapa ekor lintah di air itu. Karena itu jangan menjerit kalau kaki kalian dirambati binatang itu, sebab lorong ini tidak jauh di bawah permukaan tanah sehingga jeritan kalian bisa didengar oleh orang-orang di atas, dan ini berarti malapetaka buat kita semua. Mengerti ?"
Perempuan-perempuan itu mengangguk- anggukkan kepalanya.
Mereka merinding juga kalau membayangkan kaki mereka bakal dirambati binatang-binatang yang menjijikkan itu.
Namun mereka tabahkan hati mereka kalau mengingat alam kebebasan sudah menanti di depan mata, itu lebih baik daripada terkurung di dalam kerangkeng besi tanpa tahu nasib apa yang menanti mereka.
Lorong itupun mereka lalui dan memang ada beberapa perempuan yang hampir saja menjerit keras ketika merasakan benda yang licin dan berlendir merayapi kaki mereka, namun dengan muka pucat mereka berhasil membekap mulut mereka sendiri dalam-dalam.
Bahkan Ting Hun-giok yang berilmu silat tinggi itupun menjadi pucat wajahnya ketika merasa betisnya ditempeli sesuatu, tanpa disadari la menggenggam lengan Im Yao erat erat.
Di paling belakang, Sebun Him menggerutu dalam hati.
"Apakah aku Sebun Him yang merupakan pendekar muda terkenal dari perguruan terkenal pula, bakalan kalah bersaing dengan bandit Kui-kiong yang riwayat hidupnya aangat kotor itu ? Heran, jangan harap bisa mengalahkan Sebun Him di segala bidang."
Di ujung lorong, mereka menaiki tangga batu yang menuju, ke atas. Im Yao segera mematikan obornya dengan, cara mencelupkan ujungnya ke air di lantai lorong. Lalu dalam kegelapan ia berkata.
"Kita sudah sampai di seberang telaga, di tempat di mana terjadi pertempuran antara Te-liong Hiangcu melawan Siangkoan Hong dengan pengikut-pengikutnya masing-masing. Aku harus melihat keluar lebih dulu, apakah aman atau tidak."
Sebun Him maju ke depan dan berkata.
"Biar aku yang keluar lebih dulu, kalau kutemui orang-orang Kui-kiong sungguh kebetulan, karena tangankupun sudah gatal ingin membantai mereka!"
Ting Hun-giok yang menyahut.
"Kau tidak menghiraukan keselamatan gadis-gadis itu, Sebun Siauhiap ?"
"Kenapa aku tidak menghiraukan mereka ?"
"Kalau kau meloncat keluar dan mengamuk, bukankah kami semua di sini akan diketahui oleh mereka? Kau jadi pahlawan, tapi kami semua jadi bangkai,"
Kata seorang gadis yang dibebaskan itu. Sebun Him melirik tajam kepada gadis itu dan berkata dingin.
"Kau tidak pantas ikut bicara, tahu dirilah sedikit!"
"Setiap orang berhak ikut bicara tentang nasibnya sendiri,"
Bantah Tlng Hun-giok.
"Yang memimpin pembebasan ini adalah Im Toako dan dialah yang mengaturnya, yang tidak tunduk berarti dia hanya mengacau dan mementingkan dirinya sendiri, ingin mencari pujian buat diri sendiri tanpa mempedulikan keselamatan orang lain."
"Hah, apa yang diperbuat bandit Kui-kiong itu sehingga nona A-giok memujinya seperti memuja dewa"?"
Kata Sebun Him dengan sengit.
"Ingat, aku yang bertempur, aku yang mempertaruhkan nyawa, aku yang terus mengikuti jejak nona sejak dari Tiang-an!"
Ting Hun-giok semakin muak menghadapi kepribadian macam Sebun Him itu, namun mengingat bahwa orang itu sudah berbuat banyak untuk berusaha menyelamatkannya, maka Ting Hun-giok tidak ingin menyakiti hatinya. Katanya dengan sabar.
"Sebun Siauhiap, jasamu amat besar kepadaku dan yang kau perbuatpun sangat berharga, tapi kau tidak bisa menumpuk semua tanda jasa di pundakmu sendiri kalau ternyata ada orang lain juga yang berjasa kepadaku. Kau baik kepadaku, begitu pula Im Toako, kenapa harus selalu berebut siapa yang paling berjasa? Kalian bisa bekerja- sama bukan ?"
"Huh!"
Sebun Him hanya mendengus, namun jelas ia tidak bisa menerima ucapan Ting Hun-giok itu.
Masakah dirinya yang berasal dari murid perguruan terhormat itu akan disejajar kan jasanya dengan penjahat dari Kui-kiong itu? Dan disuruh bekerja-sama pula ? Jijik rasanya.
Sementara itu Im Yao tidak mempedulikan pertengkaran antara Sebun Him dan Ting Hun- giok itu, dengan hati-hati ia melangkah naik sampai anak tangga paling atas dan kemudian mengintip keluar.
Berbeda dengan jalan masuknya, maka jalan keluar dari terowongan itu hanyalah berujud sebuah, lubang kecil yang tertutup semak belukar, yang untuk keluar dari situ orang harus merangkak.
Agaknya sengaja disamakan begitu rupa agar tidak mudah diketahui oleh musuh.
Ketika Im Yao menyibakkan ilalang yang menutupi mulut gua, maka di luar hanya kelihatan malam yang pekat dengan pohon- pohon yang tinggi hitam bagaikan raksasa.
Suara pertempuran terdengar kira-kira lima puluh langkah di sebelah kanan mulut gua, maka Im Yao memperkirakan bahwa keadaan cukup aman untuk rombongannya.
Ia balik kembali ke dalam gua dan berkata dengan suara yang ditekan rendah.
"Aman, kalian keluar tapi harus dengan hati-hati dan jangan menimbulkan suara berisik."
Mendengar ucapan, Ting Hun-giok bertanya.
"Im Toako, apakah Toako sendiri tidak ingin keluar bersama kami? Toako dapat- meninggalkan Kui-kiong. yang lebih mirip sarang iblis daripada sarang manusia itu, sedangkan Toako adalah manusia yang betapapun juga masih memiliki kebaikan. Terbukti Toako mau mengantarkan kami semua sampai di sini... ."
Im Yao menarik napas, hatinya terasa hangat bahwa seorang gadis dari keluarga terhormat seperti Ting Hun-giok masih sudi memperhatikan dirinya.
Inilah perhatian yang diterimanya dengan tulus dari orang lain sejak berpuluh tahun la tidak menerimanya, sejak ibunya meninggal dunia karena dicekik oleh ayahnya dulu.
Karena gejolak perasaannya jtulah maka im Yao memutuskan untuk berbuat lebih banyak lagi bagi sesama manusia, hitung- hitung sebagai pengurang dosa-dosanya selama ini.
Katanya.
"Ting Kohnio, ada sesuatu rahasia yang akan kuberitahukan kepadamu, tapi hanya kau sendiri yang boleh mendengar."
Sebun Him menimbrung.
"Tidak usah main rahasia-rahasiaan, bilang saja terus terang sebab akupun sudah menduga niatmu bahwa pertolonganmu ini tentu bukannya tanpa pamrih sama sekali."
Tapi Im Yao tidak mempedulikan Sebun Him, ia menarik tangan Ting Hun-giok beberapa langkah, lalu berbisik "Ting Kohnio, sebenarnya keselamatan para pendekar berhati mulia di dunia persilatan telah terancam oleh suatu bahaya besar pada tanggal sepuluh bulan ini juga, di gunung Ki-lian-san..ff Ting Hun-giok terkejut mendengar hal itu.
Ayah "dan Ibunya termasuk dalam golongan pendekar juga, begitu pula pamannya, Tong Wi- hong, dan beberapa sahabat orangtuanya.
Tanyanya.
"Bahaya apa ?"
Sahut Im Yao.
"Kuharap Ting Kohnio mau merahasiakannya serapat mungkin kecuali terhadap orang-orang yang Kohnio percayai sepenuhnya, dan juga Kohnio anggap cukup berkemampuan untuk menyelamatkan para pendekar itu. Dalam beberapa bulan terakhir ini, Kui kiong telah menjalin kerjasama dengan seorang Panglima Manchu yang sangat berambisi, bernama Pakkiong An, Panglima dari Ul-ih-kun (Pasukan Baju Kuning). Ada persamaan tujuan antara Pakkiong An dengan Te-liong Hiangcu. Berita yang bocor ke telingaku lewat mulut Toasuhengku sebagai orang kepercayaan Te-liong Hiangcu, Pakkiong Ah mengincar singgasana kekaisaran karena dia masih berdarah istana juga, untuk itu ia harus memupuk kekuasaan dan untuk memupuk kekuasaan harus membuat jasa sebanyak- banyaknya, antara lain dengan membasmi kaum pendekar yang akan berkumpul di Ki-lian-san pada tanggal sepuluh nanti. Sedang Te-liong Hiangcu juga berambisi untuk menjadi seorang Bu-lim Bengcu (Pemimpin Rimba Persilatan), untuk itu banyak tokoh kuat rimba persilatan yang mesti disingkirkan. Jadi pembasmian para pendekar di Ki-lian-san itu akan menguntungkan baik Pakkiong An maupun Te- liong Hiangcu dengan ambisinya masing- masing. Seperti diketahui, Ketua Ki-lian-pay baru saja meninggal dunia dan pada tanggal sepuluh nanti akan diadakan pengangkatan ketua baru, yaitu Pek-lui-to (Si Golok Halilintar) The Toan-yong. Saat itu banyak tamu-tamu tokoh-tokoh puncak dunia persilatan yang hadir untuk memberi selamat, nah, saat mereka berkumpul itulah maka kaki tangan Te-liong Hiangcu akan meledakkan aula Ki-lian-pay sehingga seluruh hadirin akan tertumpas. Andaikata masih ada yang lolos, maka pasukan Ui-ih-kun yang disembunyikan di kaki gunung akan segera keluar untuk menjaring sisanya, bergabung dengan anakbuah Kui-kiong itulah rencananya."
Darah Ting Hung-lok bergolak mendengar itu, la membayangkan alangkah ngerinya jika sebagian besar kaum pendekar yang tengah berkumpul itu binasa.
Dunia persilatan akan bergolak.
Cengekraman bangsa Manchu akan semakin kuat karena para pendekar sebagai tulang punggung perjuangaya telah tiada, golongan hitam terutama Kui kiong akan semakin merajalela sebab kehilangan saingan- saingan mereka.
Meskipun Ting Hun-giok seorang perempuan, tapi ia dibesarkan dalam keluarga pendekar, jiwa dan semangat kependekaran telah ditanamkan oleh kedua orangtuanya, sehingga ketika mendengar rencana gabungan yang amat keji antara Pakkiong An dengan Te-liong Hiang-cu itu, darahnyapun bergolak dan la merasa harus mencegahnya sekuat tenaga.
Katanya dengan suara bergetar.
"Kalau tidak karena pemberitahuanmu, Im Toako, sungguh tidak terduga bahwa ada rencana sejahat itu. Im Toako, sebenarnya seluruh kaum pendekar berhutang budi kepadamu"
Untuk pertama kailnya dalam belasan tahun ini. Im Yao tertawa segar, tertawa yang tidak dibuat-buat untuk menakuti musuhnya. Sahutnya.
"Kejahatan yang sudah aku perbuat lebih banyak dari kebaikannya."
"Toako, apakah Toako punya suatu cara yang baik untuk mencegah kekejian rencana itu?"
Sahut Im Yao.
"Itulah kesempatan buat dunia persilatan untuk menumpas Kui-kiong dan sekaligus membersihkan diri dari unsur- unsur Kui-kiong yang menyusup masuk ke dalam berbagai perguruan. Dalam rencana Ki- lian-san itu, orang-orang Kui-kiong yang selama ini menyamar sebagai orang-orang baik akan tersingkap kedoknya, sebab sesaat sebelum ledakan mereka akan memisahkan diri supaya tidak ikut hancur bersama para pendekar, itulah sebabnya aku pesankan kepada Ting Kohnio untuk merahasiakan apa yang kau ketahui itu, sebab sekali bocor keluar maka pihak Kui-kiong akan membatalkan rencananya, dan itu berarti musuh dalam selimut yang menyusup di tubuh perguruan-perguruan akan tetap aman dengan kedoknya masing-masing. Di kemudian hari mereka masih bisa membuat kehancuran yang lebih hebat."
"Tetapi dengan demikian kita membiarkan para pendekar itu memasuki perangkap... ."
"Memang agak berbahaya, tapi rasanya belum kutemukan jalan lain. Ledakan terjadi pada tepat tengah hari, yaitu waktu semua undangan berada di depan meja abu leluhur Ki- lian-pay, saat itulah para kaki tangan Kui-kiong secara tidak kentara akan memisahkan diri dari para tamu lainnya, kau harus mengawasi hal itu sebagai tanda-tarida gerakan mereka. Saat itu pula kau harus berseru kepada para pendekar keluar' dari ruangan upacara, sekaligus menumpas orang-orang yang memisahkan diri sebelumnya itu."
Ting Hun-giok menarik napas.
"Kelihatannya mudah Toako, tapi maukah para pendekar yang berpengalaman itu mendengarkan seruanku, seorang anak perempuan yang masih bau kencur ini? Apalagi ketika aku harus menunjukkan bahwa orang- orang yang memisahkan diri itu adalah musuh dalam selimut, orang tidak akan begitu saja mempercayaiku. Orang-orang yang dituduh itu tentu merupakan tokoh-tokoh yang cukup berpengaruh pula, sehingga suara mereka akan lebih didengar dari suaraku..."
"Kohnio dapat menghubungi beberapa orang yang benar-benar Kohnio percayai kebersihan tingkah lakunya dan kependekarannya, supaya yang bersuara membuka kedok mereka. Bukankah kedua orang tua Kohnio sendiri adalah pendekar- pendekar terkenal yang orang tidak berani mengabaikan setiap patah kata mereka ?"
Ting Hun-giok termangu-mangu.
"Aku tidak tahu dimana ayah ibuku sekarang, dan kalau aku harus mencari dulu ke rumahku di An- yang-shia, aku pasti akan terlambat sampai di Ki-lian-san dan itu berarti bencana sudah terlanjur terjadi... ."
"Nona pasti kenal beberapa pendekar, hubungi mereka, yakinkan mereka akan adanya rencana ini. Misalnya ketua-ketua perguruan, atau pendekar-pendekar terhormat aliran putih yang berwibawa lainnya. Hanya saja, perlu Kohnio tidak usah hubungi, sebab merekalah sebenarnya antek-antek Kui-kiong yang bertebaran. Ketua Ho-lian-pay He Keng-liang, Tui-seng-kiam (Pedang Pemburu Bintang) Yo Ciong-wan dari Hoa-san-pay, Jian-kiam-hui-ci (Tikus Terbang Seribu Pedang) Ki Peng-sian dari Jing-sia-pay, Hui-beng Tojin dari Kun-lun- pay Te-hong Tojin dari Bu-tong-pay, Bu-thian Hweshio dari Siau-lim-pay, itu yang kuketahui..."
Mendengar sampai di situ barulah Ting Hun-giok mengetahui betapa menakutkannya kui-kiong itu.
Mereka tidak bekerja secara kasar, tetapi secara amat halus, dan tahu-tahu mereka telah punya antek-antek sebanyak itu di tubuh berbagai perguruan terkenal.
Dan ucapan Im Yao selanjutnya jauh lebih menakutkan lagi.
"...tapi lebih banyak yang tidak kuketahui. Jadi, aku bicara terus terang kepada Kohnio sekarang, bahwa dalam menghubungi para pendekar itu ada kemungkinan Kohnio menghubungi orang yang keliru. Artinya, orang yang kau beber rencana jahat ini ternyata juga antek Kui-kiong kami, sehingga Kohnio akan... ."
Bicara sampai di sini Im Yao tidak melanjutkan lagi, agaknya tidak sampai hati menyebut sesuatu yang mengerikan, namun Ting Hun-glok dengan suara agak gemetar telah melanjutkannya,.
"...artinya aku akan seperti ular yang mencari gebuk, begitu ?"
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam hatinya Ting Hun-giok sebenarnya merasa takut, tetapi darah pendekar yang berkobar dalam jiwanya telah mengalahkan rasa takutnya.
Betapa mengerikannya Kui-kiong yang punya jaringan tersebar dimana-mana, membuat orang tidak tahu siapa yang sedang dihadapinya, namun Ting Hun-giok telah bertekad untuk mempertaruhkan dirinya demi keselamatan seluruh rimba persilatan, bahkan andaikata dirinya terperosok ke dalam malapetaka yang paling mengerikan sekalipun.
Ia tidak ingin menjadi orang yang mementingkan diri sendiri sehingga menghindari tugas itu dan mengabaikan keselamatan para pendekar.
Bertekad demikian, maka semangat-nyapun menyala dan terpancar dari sepasang matanya yang seperti bintang kejora itu.
Katanya mantap.
"Aku tidak peduli bahaya apapun. Kalau aku hancur karena hal ini, aku puas telah memberikan arti bagi hidupku sendiri. Tapi, Im Toako, tidaklah lebih baik kau meninggalkan Kui-kiong untuk hadir di Ki-lian-san dan membeberkan sendiri rencana Jahat Te-liong Hiang-cu dan Pakklong An dihadapan para pendekar? Mereka tentu akan lebih percaya kepadamu, sebab kau adalah orang Kui-kiong sendiri."
Meski dalam kegelapan tapi Ting hun-giok tahu bahwa Im Yao menggelengkan kepala, dan menyahut.
"Te-liong Hiangcu adalah seorang yang licin sekali, kalau ia tahu aku mendadak mengghilang dari Kui-kiong tanpa penjelasan apapun, maka kecurigaannya akan timbul dan dia tahu bahwa rencananya sudah bocor. Karena itu, dia akan mengubah rencananya sama sekali. Maka aku harus tetap kelihatan di Kui-kiong dan berpura-pura tetap setia kepadanya, tetapi aku berjanji, sebisa-bisanya akupun akan ikut menggagalkan rencana ini dari belakang. Mudah-mudahan dosaku belum terlalu besar sehingga Thian masih akan memberi kesempatan kepadaku untuk membuat kebaikan-kebaikan."
Ting Hun-giok menggenggam erat tangan Im Yao,"hawa hangat yang memancar dari jiwa gadis itu terasa menghangatkan jiwa Im Yao pula. Tidak ada kata-kata lagi, namun hati kedua orang itu seakan lelah bersatu dalam sebuah tekad yang teguh.
"He, kalian sudah selesai berbisik bisik atau belum?"
Terdengar suara Sebun Him mendongkol dari kegelapan sana.
Beberapa gadis tertawa cekikikkan karena mengira Ting Hun-giok dan Im Yao sedang saling mengucapkan kata-kata perpisahan antara dua kekasih.Tapi sebenarnya merekapun tidak terlalu keliru, sebab pernyataan kasih- sayang bukan hanya dengan ucapan saja.
Ting Hun-giok menggenggam erat tangan Tm Yao, hawa hangat yang memancar dari jiwa gadis itu terasa menghangatkan jiwa Im Yao pula.
"Sudah selesai,"
Sahut Ting Hun-giok sambil mendahului merangkak keluar lewat mulut gua yang sempit itu.
Diikuti lain-lainnya, sementara Im Yao kembali ke Kui-kiong lewat jalan yang sama.
Keadaan hutan di luar Kui-kiong itu sangat gelap di malam hari, tapi mereka tidak berani menyalakan obor sebab takut terlihat oleh musuh.
Bahkan Sebun Him yang tadinya berkaok-kaok ingin membasmi orang-orang Kui-kiong itupun kini juga melangkah dengan hati-liati.
Ada yang jauh lebih ditakutinya daripada orang orang Kui-kiong, yaitu..Ting Hun-giok.
Suara pertempuran di kejauhan sudah agak mereda, terdengar orang-orang berteriak- teriak, agaknya orang-orang Kui-kiong menarik diri ke dalam dinding karena musuh sudah mengundurkan diri pula.
Terdengar suara air telaga berdebur seperti ada barang-baarang berat yang diceburkan ke sana.
Dan Sebun Him tahu bahwa yang diceburkan itu adalah tubuh- tubuh korban pertempuran, kawan maupun lawan.
Bahkan mungkin tubuh-tubuh yang belum mati, hanya luka-luka sajapun ikut diceburkan pula daripada susah-susah mengobatinya, sebab bagi orang-orang Kui- kiong perbuatan macam itu adalah biasa.
"Jangan...jangan...lukaku hanya ringan saja dan masih bisa diobati... jangan ceburkan aku,"
Terdengar di kejauhan suara seorang anggota Kui-kiong. Namun toh terdengar juga suara berdebur berbarengan dengan jeritan yang mengerikan.
"Menghemat obat dan beras"
Kata salah seorang Kui-kiong yang baru saja menceburkan temannya sendiri itu. Ting Hun-giok ketika mendengar suara- suara itu diam-diam tertawa geli, dari berkata.
"Agaknya orang-orang Kui-kiong itu jarang mandi dan takut air, sehingga diceburkan ke dalam telaga saja mereka menjerit-jerit seperti orang hendak disembelih."
Sahur Sebun Him.
"Pada hakekatnya malah lebih kejam dari disembelih."
"Kenapa ?"
"Apakah Im Toakomu yang kau sayang itu belum bercerita kepadamu tentang isi telaga itu"
Ting Hun-giok tidak peduli sindiran Sebun Him itu, tanyanya seolah tidak mendengar sindiran tadi.
"Apa isi telaga itu ?"
Inilah kesempatan bagi Sebun Him untuk menonjolkan kepahlawanannya sendiri.
"Isi telaga itu adalah sejenis, ikan yang kecil tapi buas, berkelompok-kelompok dalam jumlah ribuan, hanya terdapat, di daerah orang-orang suku Biau di Hun-lam. Ketika aku datang kemari demi menyelamatkan nona, hampir saja aku merenangi telaga itu, untung tidak jadi, sebab kalau aku benar-benar merenanginya maka dagingku akan habis dikerubut ikan-ikan buas itu dan tulang belulangku menjadi penghuni dasar telaga...."
Betapapun tabahnya Ting Hun-giok, namun ngeri juga mendengar cerita itu, dan kelihatannya Sebun Him tidak berbohong kalau didengar dari betapa takutnya suara orang Kui- kiong yang akan diceburkan oleh temannya tadi.
"Kejam sekali"
Desisnya.
"Ya, kejam sekali, dan ini membuktikan bahwa Kui-kiong hanyalah sarang iblis belaka. Nona masih muda dan belum berpengalaman, jangan mudah terpengaruh oleh mereka yang bersikap pura-pura baik kepada nona. Barangkali dia punya tujuan jahat tertentu."
"Aku cukup waras untuk menentukan langkah-langkahku sendiri,"
Sahut Ting Hun- giok dingin.
"Semua yang kuperbuat demi nona belaka, bahkan aku mempertaruhkan nyawa juga demi nona, aku kuatir nanti kau malahan menganggapku sebagai musuh dan sebaliknya musuh malah dianggap sebagai sahabat. Nasehatku ini untuk kebaikanmu sendiri...
"Terima kasih atas nasehatmu. Kini diamlah dan mari kita cari jalan keluar dari hutan ini."
Sebun Him menarik napas mendengar jawaban ketus itu.
"Agaknya kau sulit menerima kata-kataku karena tidak cocok dengan selera hatimu, tetapi sebenarnya aku bermaksud baik dan... ."
"Aku sudah tahu maksud baikmu dan sudah berterima kasih. Masih mau apa lagi ?"
"Sikap nona tidak seharusnya sedingin ini."
Lama kelamaan Ting Hun-giok menjadi jemu juga terhadap anakmuda Hoa-san-pay yang merasa jasanya berlebih-lebihan itu.
Kalau tidak mengingat bahwa anak muda itu sudah berbuat banyak untuk menolongnya, rasanya ia ingin mengusirnya saja.
Tapi hati Ting Hun-giok terlalu lembut untuk menyakiti hati seseorang yang baik kepadanya.
Maka dibiarkannya saja Sebun Him mengoceh terus, sedang Ting Hun- giok sendiri lebih memusatkan perhatiannya untuk membuka jalan dan memimpin teman- teman senasibnya yang baru lepas dari Kui- kiong itu untuk menerobos keluar dari hutan yang cukup pepat dari gelap itu.
Pada saat itulah tiba-tiba ranting dan rumput yang terinjak kaki terdengar dari depan, lalu muncullah beberapa sosok bayangan hitam yang langsung berlompatan mengurung Ting Hun-giok dan rombongannya.
Dalam gelapnya malam, kedua belah pihak saling tidak tahu siapa yang dihadapi, kedua pihak hanya tahu bahwa lawan-lawan mereka bersenjata dan siapa tahu senja itu siap dihunjamkan ke dada mereka.
Sebun Him, Ting Hun-giok serta gadis desa bekas tawanan yang mengaku sedikit- sedikit pernah belajar silat itupun segera mempersiapkan diri untuk melindungi teman- teman mereka di tengah lingkaran yang berdesak-desakan ketakutan itu.
Kala seorang dari para penghadang itu menggeram dengan suaranya yang berat.
"Hiangcu, masih ada juga bangsat-bangsat itu yang berani berkeliaran di luar, biar ku tumpas sampai habis sekalian !"
Mengira bahwa orang-orang yang menghadang itu adalah anakbuah Kui-kiong, maka Sebun Him yang pikirannya sedang. kacau karena menghadapi sikap dingin Ting Hun-giok itu, langsung menanggapinya dengan sikaf keras pula. Bentaknya.
"Kalianlah kawanan iblis yang sebenarnya dan kalian pulalah yang patut ditumpas dari muka bumi ini !"
Berbareng dengan bentakannya itu maka pedang Sebun him sudah menderu ke arah lawannya yang berbicara tadi, dengan kekuatan yang hebat, bahkan ia tidak peduli andaikata ia keliru membunuh orang sebab pikirannya sedang-keruh.
Tenaga Kun-goan-sin-kang sudah tersalur ke batang pedang sehingga sabetan itu mirip gunung runtuh.
Orang yang diserang itupun terkejut, ia insyaf berbahayanya serangan itu.
Di tangannya tergenggam sepasang kampak bertangkai pendek yang merupakan senjatanya, dan sepasang kampaknya itu segera disilangkan ke depan dengan tenaga sepenuhnya pula untuk membendung serangan lawan.
Baik serangan maupun tangkisannya sama-sama dilakukan dengan tenaga yang dahsyat, maka terjadilah benturan yang memekakkan telinga dibarengi bunga api yang memercik.
Si pemegang sepasang kampak pendek itu terdorong setengah langkah ke belakang dan sepasang lengannya terasa pegal kaku.
Sebaliknya Sebun Him juga merasa tangannya tergetar hebat seolah-olah tenaganya tadi menghantam pelapis dinding besi yang mementalkan tenaganya kembali.
Diam-diam ia terkejut.
Ia sudah mengerahkan Kun-goan-sin- kang dan ia hanya mampu mendorong lawannya mundur setengah langkah ? Meskipun Ting Hun-giok jemu kepada Sebun Him, namun saat itu mereka berdua adalah teman seperjuangan dan sudah sepantasnya saling memperhatikan.
Dalam kegelapan itu hanya mendengar benturan keras dan Sebun Him mendengus tertahan, maka Ting Hun-Giok berteriak.
"Sebun Siauhiap, tidak apa apakah kau ?"
Cukup sepatah kalimat yang penuh perhatian dari Ting Hun-giok itu sudah merupakan obat maha mujarab bagi keterkejutan Sebun Him tadi. Maka dengan gagah ia menyahut..
"Hemm, tentu saja tidak apa-apa. Apa yang bisa diperbuat banqsat- banqsat Kui-kiong ini kepada si Beruang Barat ? Bahkan kepadaTe-liong Hiangcu sendiri aku tidak gentar !"
Sikap itu memang terlalu besar kepala, namun ada gunanya juga, yaitu menghilangkan kesalah-pahaman antara kedua belah pihak. Apalagi ketika dari antara para penghadang itu terdengar suara seorang perempuan.
"A-pakah A-giok di situ ?"
Mendengar suara itu, Ting Hun-giok seperti seoranq musafir di tengah gurun pasir yang tiha-riba menemukan mata air yang segar. Sahutnya.
"Ya... apakah ibu di situ ?"
"Benar, A-giok, hampir putus-asa aku memikirkan dirimu!"
Kedua orang perempuan ibu dan anak itu pun berpelukan dan kedua-duanyapun menangis.
Sebun Him dan orang bersenjata sepasang kampak pendek itu yang hampir baku hantam kembali, terpaksa menahan diri karena tahu bahwa kedua belah pihak ternyata bukan musuh, hanya salah paham.
"Siapakah teman-temanmu itu, A-giok?"
Dan apakah selama ditawan itu kau tidak mengalami sesuatu dari penjahat-penjahat itu?"
Tanya Tong Wi-Lian, ibu Ting Hun-giok itu.
"Aku selamat ibu,"
Sahut gadis itu membuat lega hati ibunya.
"Mereka juga gadis-qadis yang menjadi tawanan, dan kami melarikan diri bersama-sama dengan bantuan... Sebun Him cepat menimbrung.
"Dengan doa restu Tong Lihiap maka aku yang berkepandaian rendah ini beruntung bisa menyelamatkan Ting Kohnio dan kawan- kawannya. Aku Sebun Him dari Hoa-san-pay, teman-teman menjuluki aku Si Beruang Barat, tapi aku malu menerima julukan itu karena kepandaian ku masih rendah... ."
Betapapun mendongkolnya Ting Hun-giok akan sikap Sebun Him itu, tapi dengan bijaksana ia tidak ingin mempermalukan pemuda itu di hadapan orang sekian banyak. Katanya.
"Ya, Sebun Siauhiap ini berbuat banyak bagi kami."
Tong Wi-lian cepat-cepat memberi hormat kepada Sebun Him sambil berkata "Terima kasih, Sebun Siauhiap, kalau tidak ada Siauhiap entah bagaimana nasib puteriku ini."
Sementara itu, orang bersenjata sepasang kampak pendek yang beradu senjata dengan Sebun Him tadipun ikut bicara.
"Gelombang sungai yang di belakang mendorong yang di depannya, kepandaian Sebun Siauhiap ini sungguh hebat sehingga dalam benturan tadi Siauhiap telah mengingatkan akan ketuaan dan kelemahanku."
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bangga juga Sebun Him, apalagi karena ucapan itu didengar langsung oleh Ting Hun- giok. Maka pura-pura Sebun Him juga merendah.
"Ah, tuan jangan berkata begitu, aku sendiri terkejut bahwa tuan sanggup menahan seranganku yang telah memakan sepertiga kekuatanku tadi."
Andaikata keadaan di tempat itu terang- benderang, tentu akan terlihat bahwa orang yang bersenjata sepasang kampak pendek itu menyeringai kecut mendengar jawaban Sebun Him yang "rendah hati"
Tadi.
Ia merasa bahwa Sebun Him tadi bukan hanya menggunakan sepertiga kekuatannya tetapi sudah sepenuhnya, ia dapat merasakan getarannya, namun ia tidak mau berbantah dengan anakmuda Hoa-san-pay yang dengan segala cara sedang mencari ketenaran di dunia persilatan itu.
Sementara itu, Tong Wi-lian telah saling memperkenalkan kedua belah pihak.
Orang- orang yang datang bersama dengan Tong Wi- lian itu antara lain adalah Bu-gong Hweshio, dan empat.
Orang Tongcu Hwe-liong-pang yang tetap setia kepada mendiang Hwe-liong Pangcu Tong wi-siang.
Yang beradu senjata dengan Sebun Him tadi adalah Ang-ki Tongcu (Tongcu Bendera Merah) Ji Tiat yang berjulukan Siang- po-kai-san (Sepasang Kampak Pembelah Gunung), dan tidak mengherankan kalau ia bergelar demikian sebab Sebun Him sendiri sudah merasakan kehebatan tenaganya.
Masih ada lagi Jing-ki Tongcu (Tongcu Bendera Hijau) Auyang Siau-pa yang terkenal dengan goloknya yang sangat cepat, Jai-ki Tongcu (Tongcu Bendera Coklat) Ma Hiong dengan senjata sepasang Jit-goat-siang-lun (Sepasang Roda Matahari dan Rembulan) dan berjulukan sebagai Siau-Lo-cia (Dewa Lo-cia Kecil), serta Ci-ki Tongcu (Tongcu Bendera Ungu) Lu Siong yarig berjulukan Tian-kin-sin-kun (Tinju Sakti Seribu Kati).
Selain itu masih ada beberapa anggota Hwe-liong-pang yang cukup tangguh namun tidak berkedudukan sebagai Tongcu.
Hati Sebun Him bergetar mendengar nama - nama dari jago-jago Hwe-liong-pang yang sudah terkenal namanya itu.
Andaikata tadi benar- benar terjadi pertempuran karena kesalah- pahaman, maka dirinya agaknya akan mengalami kesulitan dan bahkan mungkin menderita kekalahan dan kehilangan muka.
Kepandaiannya dengan kepandaian Siang-po- kai-san Ji Tiat tadi nampaknya cuma berselisih sedikit, sedang menang kalahnya pertarungan bukan Cuma ditentukan oleh ilmu silat tetapi juga pengalaman dan kecerdasan otak.
Belum lagi Tongou-tongcu lainnya yang pasti setingkat dengan Ji Tiat.
"Pantas saja kalau Te-liong Hiangcu dan anakbuahnya terbirit-birit. masuk kembali ke balik dinding dan menutup pintu rapat-rapat- Kiranya barisan penggempur terdiri dari orang- orang setangguh ini kata Sebuin Him dalam hatinya.
"Ibu, apakah ayah juga dating?"
Tanya Ting Hun-giok "Ya, ayahmu beserta empat orang Tongcu lainnya menyerang dari sebelah lain,"
Sahut ibunya.
"Sekarang apa rencana ibu, supek dan paman-paman dari Hwe-liong-pang ini?"
Tanya Ting Hun-giok.
"Kita sudah menemukan tempat persembunyian si bangsat Te-liong Hiangcu itu, kenapa harus melepaskannya?"
Sahut ibunya dengan sengit.
"Hwe-liong Pangcu yang pernah dikhianati olehnya adalah kakak kandungku, aku harus membalaskan sakit hati ini, bersama- sama dengan saudara-saudara Hwe-liong-pang yang ingin membalaskan pula sakit hati Ketua mereka."
"Jadi?"
"Ratusan saudara-saudara Hwe-liong-pang sudah mengepung tempat ini, kalau Te-liong Hiangcu dan antek-anteknya tidak mau keluar dari sarang busuknya itu, biar mereka mati kelaparan di dalam sana,"
Sahut. Tong Wi-lian.
"Hutan ini sudah penuh dengan orang-orang kita, tidak ada sejengkal tanahpun yang tidak terawasi, jangan harap dia bisa lolos."
Lalu Auyang Siau-pa menyambung.
"Ya, apalagi Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong dan Kim-liong Hiangcu Lim Hong-pin ikut mengawasi pula, ilmu silat kedua Hiangcu ini sama sekali tidak berada di bawah Te-liong Hiangcu, meskipun tingkatan dalam perguruan kalah tinggi. Ketiga-tiganya sama-sama menerima bimbingan dari mendiang Pangcu sendiri."
Ting Hun-giok mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian ia berkata.
"Memang cukup rapi, jika persediaan bahan makanan dalam Kui-kiong menipis, maka mau tidak mau mereka akan keluar juga. Tapi, Kui-kiong yang ditumpas hanya yang berada di tempat ini saja, sementara kaki tangan Te-liong Hiangcu yang menyusup dan bersembunyi dalam tubuh berbagai perguruan tetap tidak akan tersingkap. Dengan demikian penumpasan kalian terhadap Kui-kiong bukannya penumpasan yang sempurna ."
Tong Wi-lian, Bu-gong Hweshio, Sebun Him serta keempat orang Tong-cu Hwe-liong-pang itu terkejut mendengar ucapan Ting Hun-giok semacam itu, agak janggal kedengarannya kalau seorang gadis semuda dia mengucapkan hal-hal yang pantas diucapkan oleh seorang tokoh Bulim yang harusnya berjenggot putih dan bernama besar.
Apalagi buat Tong Wi-lian atau Bu-gong Hweshio yang biasanya hanya mendengar Ting Hun-giok merengek manja atau hanya membicarakan hal-hal yang masih berbau kekanak-kanakan.
"Maksudmu bagaimana, A-giok?"
Tanya ibunya. Ting Hun-giok yang mendadak menjadi orang pentinq itu agak jual mahal sedikit Katanya sambil menunjuk bekas gadis-gadis tawanan yang dari tadi belum sempat mendapat perhatian itu.
"Ibu dan paman-paman sekalian, sekarang sebaiknya kita pikir bagaimana sebaiknya dengan mereka."
Auyang Siau-hui lalu mengutus seorang anggota kelompoknya untuk menanyai dari mana saja asal gadis-gadis itu, dan ternyata mereka menjawab bahwa rumah mereka tidak jauh dari tempat itu, sebab mereka memang orang-orang culikan yang ditawan oleh anak buah Kui-kiong dari tempat-tempat dekat, sekedar untuk memenuhi selera minum darah manusia dari Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-ji.
Bahkan ada lima orang gddis yang berasal dari sedesa sehingga mengantarkan mereka pulang jadi lebih mudah.
Mendengar itu Tong Wi-lian minta kepada beberapa anakbuah Hwe-liong-pang untuk mengantarkan gadis-gadis itu pulang kerumahnya masing-masing-malam itu juqa.
Meskipun Tong Wi-lian sendiri bukan tokoh Hwe-liong-pang, tapi ia adalah adik-kandung mendiang Ketua Hwe-liong-pang sehingga kedudukannya itupun cukup dihargai.
Mula-mula gadis-gadis itu takut juga karena mereka akan berjalan di malam hari dengan laki-laki yang belum dikenalnya, namun Ji Tiat menenteramkan hati mereka dengan setengah bergurau.
"Jangan takut, anak-anak manis, orang-orang Hwe-liong-pang senantiasa berjuang melindungi rakyat kecil dan tidak akan melakukan hal yang tercela. Lagipula di antara anggota ada yang masih bujangan, siapa tahu kalian menemukan jodoh..."
Sejak sore bertempur melawan orang orang Kui-kiong, ketegangan meliputi orang-orang Hwe-liong-pang itu, sehingga Ji Tiat agaknya merasa perlu untuk berseloroh mengendorkan ketegangan.
Serentak seloroh itupun disambut dengan tertawa oleh semuanya, dan Lu Siong yang bermulut usil itupun ikut menimbrung untuk menggoda.
"Tapi jika kalian enggan pulang ke rumah, di sinipun ada bujangan yang masih menganggur..katanya sambil menunjuk kepada Bu-gong Hweshio. Serempak semuanya tertawa lebih keras dan gadis-gadis itupun menjadi tersipu-sipu, sedangkan Bu-gong Hweshio memukul pundak Lu Siong sambil memaki.
"Keparat, aku ini seorang pendeta dan kau mau merusak amal- ibadahku selama ini. ?"
Ting Hun-giok berkata.
"Amal ibadah apa, Supek? Belum pernah kulihat Supek bersembahyang sambil memukul bok hi, yang kulihat hanyalah ketika Supek minum arak, makan daging anjing atau berkelahi!"
"Huss, jangan buka rahasia!"
Bentak Bu- gong Hweshio. Kembali mereka tertawa. Lalu anakbuah Hwe-liong-pang yang bertugas, mengantarkan gadis-gadis itupun meninggalkan tempat itu untuk menjalankan tugasnya, diiringi pandangan mata iri dari rekan-rekan mereka.
"Gila, kau mendapat tugas mengawal anak perawan sedang kami di sini hanya berkencan dengan nyamuk-nyamuk belaka,"
Gerutu seorang anakbuah Hwe-liong-pang yang tidak kehagian menagantarkan itu.
Namun seorang anggota Hwe-liong-pang lainnya yang kebagian tugas mengantarkan, malahan menggerutu, sebab yang harus diantarkannya itu bukan saja gembrot dan wajahnya mirip laki-laki, tapi juga cerewetnya bukan kepalang.
Setelah semuanya pergi, Tong Wi-lian bertanya.
"A-giok, kau belum sepenuhnya tentang ucapanmu tadi."
"Ibu, aku ingin kedelapan orang Tongcu dikumpulkan lebih dulu, juga ayah, dan juga kalau Thian-liong serta Kim-liong Hiangcu ada pula di sini, alangkah baiknya kalau mereka pun mendengar berita penting ini."
Gaya gadis itu sekarang benar-benar mirip seorang Panglima besar yang sedang merundingkan siasat penyerangan dengan dikerumuni oleh perwira-perwiranya tidak Lagi seperti seorang anak manja.
Auyang Siau-hui sendiri yang beranjak pergi untuk memenuhi permintaan itu, memanggil keempat Tongcu lainnya serta Ting Bun yang juga berada di sekitar Kui-kiong itu namun di bagian lain.
Tidak lama kemudian, semuanya sudah berkumpul, tapi Siangkoan Hong dan Lim Hong- pin tidak dapat dijumpai, sebab kedua orang itu hanya muncul di saat-saat pertempuran berkobar, sedang jika pertempuran selesai mereka-pun menghilang kembali.
Kini kedelapan Tongcu serta lain-lainnyapun duduk berkerumun menanti penjelasan Ting Hun-giok.
Sebun Him ikut serta sebab dianggapnya dirinya sudah menjadi tokoh penting yang berhak mendengar percakapan itu.
Api unggun dinyalakan tanpa takut kelihatan oleh orang-orang Kui-kiong, supaya tempat dalam hutan di mana mereka duduk berkerumun di tanah itu menjadi agak terang, sementara anakbuah Hwe-liong-pang yang berjumlah banyak itu berjaga dengan rapatnya di dalam jari-jari beberapa tombak dari kerumunan para pemimpinan.
Ada yang bersandar pohon, dan ada pula yang menongkrong di atas dahan seperti seekor kera besar.
Setelah semuanya berkumpul, Ting Hun- giok mulai membeberkan apa yang diketahuinya dari Tiat-ci-hok Im Yao tentang rencana keji gabungan antara Te-liong Hiangcu dengan Pakkiong An untuk menumpas seluruh tokoh-tokoh pendekar penentang bangsa manchu ketika mereka sedang berkumpul di puncak Ki-lian-san tanggal sepuluh nanti.
Dijelaskan pula untung ruginya jika menyerang Kui-kiong sekarang dengan menyerang Kui- kiong di Ki-lian-san nanti.
Menyerang sekarang memang akan berhasil menumpas kakap- kakapnya, namun kaki tangan mereka yang menyusup ke berbagai perguruan akan tetap tidak terjaring.
Sedang jika menyerang di Ki- lian-san nanti, akan terjaring seluruhnya, dari Te-liong Hiangcu sampai orang-orangnya yang menyelundup di perguruan-perguruan itu, sebab semuanya akan hadir di sana.
Kui-kiong akan mengerahkan seluruh kekuatannya di Ki- lian-san nanti demi tujuan "sekali pukul semuanya selesai"
Untuk meratakan jalan bagi Te-liong Hiangcu menjadi Bulim Bengcu.
Semuanya tercengang mendengar penuturan Ting Hun-giok itu, Sebun Him juga agak menyesal kenapa bukan dirinya yang menceritakan hal itu.
Andaikata dirinya yang mengatakan hal itu bukankah ia akan menjadi semakin penting di hadapan orang-orang itu? Namun Sebun Him menghibur dirinya sendiri.
"Asalkan di Ki-lian-san nanti perananku menonjol, tentu semua mata akan berpaling kepadaku dan namakupun semakin terkenal. Saat itulah yang penting."
Sementara itu terdengar si pendeta rambut panjang Bu-gong Hweshio bertanya.
"Aku mendengar bisikan ini dari seorang anggotaa Kui-kiong sendiri, yang bermaksud berbuat kebaikan untuk menebus kejahatan-kejahatan masa lalunya. Tiat-ci-hok Im Yao. Beberapa kening berkerut, dan terdengar Auyang Siau-pa berkata.
"Aku pernah mendengar nama itu, ia adalah adik seperguruan dari sin-hiat-mo-hok (Kelelawar Hantu Penghisap darah) Liong Pek-ji. Kudengar dia memang paling sedikit berbuat keonaran di antara orang-orang Kui-kiong lainnya."
Ting Hun-giok mengangguk membenarkan.
"Ya, dia penjahat, besar, namun ternyata dia masih punya hati nurani dan dalam beberapa hari terakhir ini dia semakin berpaling ke jalan yang terang. Dialah yang paling besar jasanya dalam melepaskan aku dan gadis-gadis tadi dari kurungan Kui-kiong."
Kalimat "paling besar jasanya"
Inilah yang diam-diam tidak bisa diterima oleh Sebun Him, dan ia tidak dapat menahan mulutnya untuk berkata.
"Ya, jasanya memang lumayan juga dalam membantu aku mengeluarkan nona Ting dan teman-temannya dari Kui-kiong."
Ting Hun-giok mendengus jengkel mendengar perkataan Sebun Him itu, tapi ia tidak menanggapi anakmuda yang agak gila pujian itu. Terdengar Bu-gong Hweshio bertanya.
"Apakah orang Kui-kiong itu dapat dipercaya sepenuhnya, atau ia hanya ingin kita membuka kepungan kita ini hanya dengan meminjam mulut nona kecil ini? Sedang kita dengan tergesa-gesa akan menuju ke Ki-lian-san untuk menangkap angin?"
Sebun Him senang mendengar nada ucapan yang menyudutkan Im Yao itu, sebelum Ting Hun-giok menjawab maka diapun ikut berkata untuk mendukung ucapan si pendeta yang pernah berkelahi dengannya di kota Tiang-an itu.
"Ucapan Bugong Hweshio cukup masuk akal dan perlu dipertimbangkan oleh kita semuanya. Meskipun ada kemungkinan seorang jahat kembali ke jalan yang benar, tapi kemungkinan itu sama besarnya dengan tertipunya kita oleh orang she Im itu."
Sahut Ting Hun-giok.
"Yang membawa aku sejak dari kota Tiang-an sampai di Kui-kiong adalah orang she Im itu, dan selama beberapa hari aku mengamati pergolakan jiwanya. Sikapnya kepada aku juga sangat baik. Aku yakin bahwa mataku tidak lamur bahwa dia benar-benar seperti seoranq yang hampir tenggelam di tengah lautan dan sedang menggapai-gapai sepotong papan agar tidak tenggelam, akankah kita merampas papan yang menjadi satu-satunya harapannya dan membiarkan dia terus tenggelam tidak muncul kembali? Dia seorang jahat tapi bukan manusiakah dia ?"
Debat Sebun Him.
"Masalahnya bukan sekedar tega atau tidak tega kepada pribadi seseorang, tetapi apakah seluruh ksyatria sejagad ini akan tertipu olehnya atau tidak? Kalau sampai tertipu, bukankah akan menjadi bahan tertawaan dan ejekan anak cucu kita sampai belasan keturunan ?"
"Aku yakin dia tidak menipu, aku bisa membaca matanya!"
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kita Ting Hun-giok bersikeras. Lalu sambil menatap Sebun Him tajam--tajam maka Ting Hun-giok melanjutkan.
"Mana yang lebih berharga, antara seorang jahat yang, menyadari kesalahannya dan ingin berbuat kebaikan, dengar, seorang baik dari perguruan terhormat pula, namun tega memfitnah dan mencari-cari kesalahan orang lain demi memuaskan rasa cemburunya? Bahkan dengan mengabaikan keselamatan orang banyak yang sedang terancam oleh sebuah rencana keji ?"
Kata-kataa Ting Hun-giok yang terakhir itu benar-benar seperti jarum-jarum tajam yang menancap di hati Sebun Him, apalgi sinar mata Ting Hun-giok yang memancarkan kemarahan itu benar-benar tidak sanggup ditentang aleh Sebun Him.
Dan anakmuda Hoa-san-pay itu sadar bahwa Ting Hun-giok masih belum mau mempermalukannya, sebab gadis itu belum menyebut namanya secara lansung, tetapi jika keadaan memanas maka bukan mustahil gadis itu akan mengeluarkan ucapan-ucapan yang lebih tajam laga dan Sebun Him-pun akan kehilangan muka.
Sementara itu Ting Hun-giok sendiri agaknya tidak sepenuhnya berhasil mengendalikan diri, sebab dengan bibir yang agak gemetaar dan mata yang berkaca-kaca ia melanjutkan.
"Seseorang ingin menjadi pahlawan yang dikagumi, itu boleh saja, tapi haruskah dengan menginjak dan mengorbankan orang lain. Seorang pahlawan yang berpakaian putih bersih haruskah berdiri di atas mayat seorang yang berpakaian hitam kotor agar keputihan dan kesuciannya semakin nampak menyolok ?"
Sebun Him menundukkan kepalanya dan bungkam seribu bahasa.
Sementara orang-orang yang mengerumuni api unggun itu menjadi heran melihat perdebatan sengit antara Ting Hun-giok dan Sebun Him itu.
Tadinya ketika mereka melihat pasangan muda mudi itu keluar bersama-sama dari Kui-kiong, mereka sudah menduga bahwa mereka akan menjadi pasangan yang cocok.
Bahkan Tong Wi-lian, dan kemudian Ting Bun yang datang bergabung, juga sudah membayangkan bahwa mereka akan segera menjadi mertua dari pemuda Hoa-san-pay yang tinggi besar dan tampan itu.
Tapi kini mereka tahu bahwa hubungan kedua muda-mudi itu tidak, seperti yang mereka bayangkan, agaknya masih ada pihak ketiga dan pihak ketiga itu adalah anggota Kui-kiong alias anakbuah Te- liong Hiangcu.
Sekilas Tong Wi-lian melirik wajah suaminya dan nampak sepasang alis suaminya itu berkerut.
Tempat itu menjadi sunyi sejenak, sementara Ting Hun-giok dengan gerakan yang diusahakan untuk tidak kentara, mengusap matanya yang basah.
Sekejap kemudian barulah kesunyian itu dipecahkan oleh suara Lam-ki Tong-cu (Tongcu Bendera Biru) In Yong yang berjulukan Pek-lui-siang-to (Sepasang Golok Halilintar) itu.
"Jadi bagaimana sekarang kesimpulannya? Apakah kita harus mempercayai berita itu atau tidak ?"
Tidak ada yang langsung menjawab dan melihat wajah-wajah dari sekalian orang itu, nampaknya mereka terbagi dua bagian. Ada yang mempercayainya dan ada yang tidak, kemudian terdengar suara Bu-gong Hweshio tegas menentukan sikapnya.
"Aku kenal betul akan pribadi setan kecil itu (maksudnya Ting Hun-giok) sebab sejak kecil aku sudah ikut mengemongnya. Ia cukup cerdas dan tidak sembarangan menilai orang, maka jika dia sampai begitu yakin akan niat baik orang she Im dari Kui-kiong itu, sembilan dari sepuluh pasti tidak meleset."
"Jadi masih ada kemungkinan meleset satu bagian?"
Tanya Sebun Him tanpa berani menatap Ting Hun-giok.
"Ya, segala sesuatu dalam hidup ini adalah perjudian. Kemungkinan salah langkah itu memang ada, tapi bukankah itu lebih baik daripada berdiri kebingungan?"
Sahut Bu-gong Hwe-shio.
"Aku memilih ke Ki-lian-san, di sana kita lebih yakin dapat menumpas Kui-kiong seakar-akarnya"
"Aku juga akan ke Ki-lian-sanl"
Hampir bersamaan Lu Siong, Oh Yun-kim dan Ma Hiong menjawab. Namun yang lainnya masih kelihatan ragu- ragu, sampai Kwa Heng sebagai Tongcu yang usianya paling tua berkata dengan nada yang sabar.
"kita tidak boleh gegabah dalam bertindak sebab akibatnya akan berbuntut panjang di kemudian hari. Kalau kita bubarkan kepungan ini dan menuju ke Ki-lian-san semua, bagaimana kalau ternyata tidak ada apa-apa di sana. Sedangkan Te-liong Hiangcu dan kaki tangannya yang saat ini sudah kita kepung di sini malahan lolos kembali dan memindahkan sarangnya ke lain tempat yang untuk mencarinyapun harus mulai dari permulaan lagi?"
"Aku punya akal,"
Kata Ting Bun tiba-tiba.
"Kita ambil jalan tengah saja. Kalian saudara- saudara Hwe-Liong-pang tetap mengepung tempat ini, sementara itu biar aku dan isteriku, puteriku serta Bu-gong Hweshio menuju ke Ki- lian-san untuk menggaagalkan rencana keji itu."
"Tidak bisa jadi, ayah,"
Tiba-tiba Ting Bun menyanggah.
"Kalau akan berangkat ke Ki-lian- san ya harus berangkat semuanya, sebab kalau sebagian masih di sini, maka berarti Te-liong Hiangcu tidak dapat menuju ke sana. Dan tanpa hadirnya Te-liong hiangcu di Ki-lian-san maka kaki tangannyapun tidak akan bergerak, mereka tentu akan merasakan bahwa rencana mereka sudah bocor dan memilih diam tak bergerak."
"Jadi maksud Ting Kohnio, kita harus melepaskan Te-liong Hiangcu yang saat ini sudah jelas-jelas kita kepung ini?"
Tanya Hek-ki- tougcu (Tonng-cu Bendera Hitam) Kwa Tin- siong yang berjulukan Ya-hui-miao (Kucing Terbang Malam) itu.
"Apakah ini bukan berarti ingin menangkap burung yang terbang tinggi dan burung yang sudah di tangan dilepaskan ?"
Sahut Ting Hun-giok.
"Masalahnya memang seperti perjudian, bisa menang bisa kalah. Tinggal kalian mempercayai berita itu atau tidak. Tetapi kalau menurut aku, aku mempercayai orang itu sepenuhnya, dan untuk percaya sepenuhnya ini aku sudah membuat banyak sekali pertimbangan. Bukan percaya asal percaya saja."
Sikap Ting Hun-giok memang sangat meyakinkan, sayang sekali bahwa ia cuma seorang gadis remaja yang hijau pengalaman.
Andaikata yang bersikap demikian itu seorang pendekar seperti Tong wi-hong dari Tay-beng, sambutan mereka tentu tidak ragu-ragu lagi.
Sebaliknya Ting Hun-giok sendiri mengeluh dalam hatinya, ternyata tidak mudah juga meyakinkan orang-orang itu.
Namun tidak menyalahkan mereka, sebab masalahnya memang bukan masalah ringan yang boleh diputuskan dengan seram-pangan saja.
"Kami orang-orang Hwe-liong-pang, Pemimpin kami yang tertinggi saat ini adalah Siangkoan Hiangcu, sebelum Ketua yang baru terpilih,"
Kata In Yong mencoba menyingkirkan keragu-raguan teman-temannya.
"Karena itu keputusan terakhir biarlah diucapkan oleh Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong, tentunya setelah beliau mendengar pertimbangan- pettimbangan kita."
Keputusan yang mengambang seperti itu agaknya, yang paling bisa diterima oleh semua pihak dalam perundingan itu, sehingga diputuskan demikian dulu.
Ting Hun-giok agak kecewa juga, karena ia sebenarnya mengharap agar orang-orang itu mempercayai berita yang dibawanya dan segera berbondong-bondong ke Ki-lian-san untuk menumpas habis Te-liong Hiangcu dan komplotannya sampai seakar- akarnya, namun yang didapatnya hanyalah keputusan yang sebenarnya belum benar-benar pasti itu.
Tapi ia memang tidak bisa memaksa semua orang untuk mempercayai Im Yao seperti ia sendiri juga mempercayainya.
Maka sambil menunggu datangnya fajar sambil menunggu datangnya Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong, Ting Hun giok mengambil waktu untuk beristirahat sambil bercakap-cakap dengan kedua orangtuanya.
Sementara para Tong-cu kembali ke tempatnya masing-masing bersama dengan anakbuahnya, mengawasi Kui-kiong dari segala penjuru, menjaga agar tidak ada yang lolos.
Ketika sendirian bersama ayah-ibunya, Ting Hun-giok bertanya.
"Apakah ayah dan ibu juga tidak percaya kepadaku ?"
Tong Wi-lian meraih kepala anak gadisnya dan mendekapkannya ke pundaknya, sambil berkata.
"kau jarang sekali sengotot ini, A-giok, maka agaknya aku benar-benar percaya kepadamu."
"Dan ayah bagaimana ?"
Sahut Ting Bun yang duduk bersandar pohon sambil memangku goloknya itu.
"Memang seorang yang bagaimanapun jahatnya ada kalanya tiba-tiba menemukan setitik sinar terang dalam hatinya dan diapun ingin kembali ke jalan yang benar. Begitu pula orang Kui- kiong yang bernama Im Yao itu agaknya demikian pula."
Sikap ayah ibunya itu membesarkan hati Ting Hun-giok.
"Aku gembira ayah dan ibu mempercayai aku. Ketahuilah, orang yang bernama lm Yao itu semula ia sangat aku benci karena dialah yang menculik aku. Tetapi seorang penjahat adalah seorang manusia juga, jika kita bersikap keras kepada mereka maka mereka akan tetap jahat, namun ada yang hatinya menjadi lunak karena mereka diperlakukan sebagai sesama manusia dan merekapun merasa diri mereka sebagai manusia. Meskipun aku juga sadar bahwa tidak berarti mereka lalu bebas dari hukum yang berlaku. Im Yao terperosok ke dalam Kui-kiong karena keadaan masa kanak-kanaknya yang memaksa demikian, masa vang sangat, pedih dan tak terlupakan baginya. Terhadap orang seperti ini, akankah kita bersikap tegar tanpa ampun ?"
Bersambung ke
Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan Ko Aditya Indra Jaya first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU
Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.
Jilid iam-diam Ting Bun dan Tong Wi-lian saling bertukar pandangan dengan penuh arti, mereka sama-sama heran bahwa anak gadis mereka tiba-tiba bisa demikian bersemangat.
membela Im Yao, dan kalau ini dihubungkan dengan sikap Sebun Him yang kelihatannya selalu cemburu tadi, agaknya mulai terbayang hubungan yang bagaimana yang terbentuk antara Ting Hun-giok, Sebun Him dan orang yang bernama Im Yao yang belum pernah mereka lihat tampangnya itu.
Dan kedua orang tua itupun mulai berdebar gelisah, akankah anak gadis mereka terpikat oleh orang yang bernama Im Yao dari Kui-kiong itu? Akankah D mereka bermenantukan seorang penjahat, seorang pentola golongan hitam yang tangannya berlumuran darah, meskipun telah bertobat? Sungguh tak terbayangkan, dan suami isteri setengah baya itu hanya menghibur hati sendiri dengan cara yang paling gampang.
ah, belum tentu....Sementara itu Ting Hun-giok telah berkata lagi.
"Masalahnya menyangkut ratusan orang nyawa para pendekar yang akan dibantai oleh Te-liong Hiangcu dan Pakkiong An. Kita semuanya harus ke Ki-lian-san, termasuk paman-paman dari Hwe-liong-pang itu. Untuk itu, ibu harus berhasil membujuk paman Siangkoan Hong dan paman Lim jika mereka nanti muncul. Bukankah mereka berasal sekampung-halaman dengan ibu dan teman bermain sejak kecil? Mereka tentu akan mendengarkan ibu, dan jika mereka setuju maka mau tak mau seluruh Hwe-liong-pangpun akan tunduk kepada perintah mereka."
Tong Wi-lian tersenyum.
"Eh, setan kecil, jalan juga otakmu ya ?"
"Ibu sanggup ?"
"Baik,"
Kata Tong Wi-lian.
Baru saja ia mengatupkan mulutnya maka ia sudah dipeluk erat-erat oleh anak gadisnya itu.
Namun baik Ting Bun maupun Tong Wi-lian sekarang sadar, bahwa mulai detik ini juga mereka sudah tidak bisa lagi memperlakukan anak mereka seperti hari-hari kemarin, seperti memperlakukan kanak-kanak saja.
Sekarang anak gadisnya telah mengalami suatu perubahan jiwa, nampaknya mulai menginjak sebuah masa yang indah, mulai mengenal arti yang lebih dalam hubungannya dengan sesama, terlebih lagi lawan jenisnya.
Kini tidak bisa lagi mendidik sekedar hanya dengan perintah dan larangan, dengan kembang gula apabila si anak menurut dan dipukul pantatnya dengan rotan apabila membangkang, tetapi kini diperlukan kebijaksanan dan keluwesan sikap.
Sampai fajar menyingsing, tidak ada gerakan apa-apa dari pihak Kui-kiong, agaknya semalam mereka mengalami pukulan yang cukup berat sehingga mereka memerlukan waktu untuk memulihkan kembali semangat mereka.
Beruntunglah bahwa mereka dikelilingi telaga buatan yang dihuni ikan-ikan buas serta tembok tinggi yang mengelilingi mereka dengan hanya satu pintu gerbang maha kuat yang berlapis besi.
bagi orang-oranq berilmu setingkat dengan Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong atau Kim-liong Hiangcu Lim Hong-pin, ketinggian dinding maupun luasnya telaga itu bukan rintangan yang berarti, sebab dengan dua potong kayu mereka akan sanggup melintasi telaga itu tanpa tercebur ke dalamnya.
Namun hanya mereka berdua yang bisa berbuat demikian, lain-lainnya tidak, dan itu berarti mereka hanya menyerbu berdua saja ke dalam Kui-kiong dan itu- un berarti penyakit, sebab di balik bangunan itu Te-liong Hiangcu tidak sendirian saja melainkan didampingi oleh banyak jago-jagonya yang berilmu tinggi.
Tak lama setelah langit sebelah timur merekah dan keadaan hutan itu tak segelap tadi, dari sisi utara telaga terdengar sebuah suitan nyaring.
Suitan itu bukan saja melengking tinggi dan terdengar sampai ke seluruh sisi telaga, tapi juga memanjang seperti seekor naga yang merintih dan orang yang bersuit itu seakan tidak bisa kehabisan napas.
Ting Hun-giok belum pernah bertemu sendiri dengan Siangkoan Hong atau Lim Hong-pin, namun ia yakin bahwa yang bersuit itu tentu salah seorang dari kedua tokoh pewaris ilmu-ilmu Bu-san-jit-kui itu, sebab di sekitar telaga itu tidak ada tokoh lain yang tenaga dalamnya sehebat itu.
Te-liong Hiangcu barangkali bisa, namun buat apa ia bersuit-suit di pagi itu ? Sebun Him yang tertidur bersandar pohon itupun terbangun dan diam-diam iapun terkejut mendengar suara itu.
Tadinya ia mengira bahwa orang-orang terlalu melebih-lebihkan cerita tentang tokoh-tokoh puncak Hwe-liong-pang, tapi sekarang agaknya ia harus percaya.
Dari hal tenaga dalam saja mereka sudah tergolong tokoh yang sulit, dicari bandingannya di jaman itu.
Suara suitan itu memang isyarat kedatangan Siangkoan Hong, dan sekaligus isyarat bagi semua Tongcu untuk berkumpul menerima perintah-perintah baru.
Sambil mengusap-usap matanya, Ting Hun- giok bertanya kepada ibunya.
"Yang datang itu paman Siangkoan atau paman Lim ?"
Meskipun belum pernah bertemu dengan kedua pentolan Hwe-liong-pang itu, namun Ting Hun-giok langsung menyebut mereka dengan "paman"
Sebab ia tahu bahwa kedua pentolan itu berasal dari An-yang-shia pula, bahkan Ketua Hwe-liong-pang yang lalu adalah paman tuanya Ting Hun-giok. Tong Wi-lian menyahut.
"Aku mengenal suara suitannya adalah suara-Siangkoan Hong."
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cepat ibu temui dia dan jangan lupa pesanku tadi malam,"kata Ting Hun-giok dengan nada tergesa-gesa.
"Jangan sampai paman siangkoan keburu pergi lagi....."
Tong Wi-lianpun segera meloncat pergi dari tempat itu dengan gerakan selincah seekor kijang.
Meskipun ilmunya tidak setinggi Siangkoan Hong atau Lim Hong-pin yang mirip malaikat atau iblis itu, namun pendekar wanita keluaran Siau-lim-pay itu dikenal karena ketinggian ilmunya pula.
Sementara itu, Sebun Him yang duduk tidak jauh dari ibu dan anak itu mendengar pula permintaan Ting Hun giok kepada ibunya untuk membujuk Siangkoan Hong agar menarik kepungan atas Kui-kiong dan mengalihkan seluruh perhatian ke Ki-lian-san.
Tentu saja ini sangat tidak menyenangkan Sebun Him yang tengah dibakar kecemburuan itu.
Yang dikehendakinya adalah kepungan diteruskan di situ Sampai-Teliong Hiangcu dan semua antek- anteknya, termasuk Im Yao, mati kelaparan semuanya.
Tapi Sebun Him sudah tentu tidak dapat ikut-ikutan membujuk Siangkoan Hong, sebab selain tidak kenal juga ia tahu dirinya belum cukup setimpal untuk berbincang- bincang dengan tokoh nomor tiga dari Hwe- liong-pang yang termasyhur itu.
Ia hanya menarik menarik napas, agaknya impiannya untuk duduk di mahligai indah bersama dengan gadis cantik she Ting itu masih akan menemui banyak hambatan, tapi ia tidak bermaksud untuk mundur dari arena persaingan.
Ia punya banyak kelebihan dari Im Yao.
Latar belakang dan asal-usul yang lebih terhormat, wajah yang lebih tampan, usia yang lebih muda, dan setelah ia menemukan Kun-goan-sin-kang di ruangan batu itu iapun merasa ilmu silatnya juga melebihi Im Yao, bahkan ia menyangka dirinya sudah bisa disejajarkan dengan Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou dari Pak-khia yang terkenal itu.
Dengan begitu banyak kelebihan di pihaknya, alangkah tololnya kalau mengundurkan diri hanya karena sikap ketus Ting Hun-giok kepadanya.
Ia tidak boleh putus- asa dan ia berkata dalam dirinya sendiri.
"Suatu saat gadis itu akan dapat membandingkan sendiri siapa Sebun Him dan siapa Im Yao sehingga ia akan mengubah pilihannya."
Sementara itu, dengan meloncati semak- semak belukar dan melintasi diintara pohon- pohon besar yang pepat, Tong Wi-lian menyusur pinggiran telaga ke arah utara.
Dilihatnya beberapa-Tongcu dan Hutongcu (wakil Tongcu) juga sedang berlari-larian ke arah yang sama dengan dirinya, agaknya sedang menuju ke tempat Siangkoan Hong pula.
Jika terang tanah, nampaklah bahwa hutan di sekeliling telaga itu benar-benar telah penuh dengan orang-orang Hwe-liong-pang yang menghunus bermacam-macam senjata, boleh dikata di balik setiap batang pohon, di belakang setiap gerumbul semak maupun di atas setiap dahan yang cukup kuat untuk diduduki ada orang Hwe-liong-pang nya.
Tak sejengkal tanahnyapun yang tak terawasi, Te-liong Hiangcu dan komplotan Kui-kiong-nya benar- benar telah dilingkari oleh ujung-ujung senjata yang amat rapat.
Namun orang-orang Hwe- liong-pang yang berjaga-jaga mengawasi Kui- kiong itu tidak ada yang merintangi Tong Wi- lian, sebab mereka tahu, siapa perempuan setengah baya yang masih kelihatan cantik itu.
Dari tempat asal suitan itu, nampaklah Siangkoan Hong sedang duduk di atas sebatang pohon yang rebah, didampingi seorang hweshio bertubuh kurus yang bermata tajam, itulah bekas orang keempat Hwe-liong-pang, Lim Hong-pin, yang muncul kembali setelah menyembunyikan diri berpuluh tahun sejak bubarnya Hwe-liong-pang di Tiau-im hong dulu.
Tapi kini ia bergabung kembali ketika mendengar bahwa Hwe-liong-pang bangkit kembali.
Selain itu, beberapa Tongcu dan Hutongcu sudah berkumpul dan berdiri dengan tegap, tapi masih menunggu beberapa Tongcu atau Hutongcu lainnya.
Mereka yang bertugas di bagian selatan tentu memerlukan waktu untuk sampai ke situ, sebab mereka harus melingkari telaga.
Ketika melihat munculnya Tong Wi-lian, Siangkoan Hong tertawa dan berkata.
"Silahkan duduk, A-lian. Suitan isyaratku tadi hanya untuk anak buahku, aku tentu saja tidak berani memanggilmu dengan cara bersuit seperti tadi."
Tanpa sungkan-sungkan Tong Wi-lian duduk dan menjawab.
"Kita teman lama di An- yang-shia sejak masih sama-sama ingusan, A- hong, jangan sungkan-sungkan. Jika urusannya Dari tempat asal suitan itu, nampaklah Siangkoan Hong sedang duduk di atas sebatang pohon yang rebah, didampingi seorang hweshio bertubuh kurus yang bermata tajam. bukan tentang urusan rumah tangga Hwe-liong- pang kalian, aku ingin ikut berbicara dalam beberapa masalah."
"Bukan urusan yang patut dirahasiakan,"
Sahut Siangkoan Hong.
"Kau dapat ikut berbicara, dan bagaimana dengan anak perempuanmu ?"
"Secara tidak langsung Hwe-liong-pang kalian telah membantu memberi kesempatan kepada anak itu untuk lolos. Terima kasih."
Sementara itu, ke delapan Tongcu dan delapan Hutongcu telah lengkap berdatangan, jadi semuanya enambelas orang.
Mereka berdiri tegap menghadap Siangkoan Hong, dan setelah Siangkoan Hong mempersilahkan mereka untuk duduk, barulah mereka duduk.
Ada yang duduk di rumput, di atas batu, di atas akar besar yang menonjol di tanah, atau yang cuma sekedar bersandar di pepohonan.
"Aku ingin mendengar laporan setiap Tongcu satu persatu, mulai dari Pek-ki Tongcu,"
Kata Siangkoan Hong. Oh Yun-kim sebagai Pek-ki Tongcu segera menjawab.
"Tempat penjagaan kelompok Bendera Putih kami aman sepanjang malam, Teliong Hiangcu dan orang-orangnya mengkeret dalam berangannya seperti kura- kura."
Berturut-turut ketujuh orang Tongcu lainnya juga melapor, dan laporan mereka ternyata sama nadanya. Kesimpulannya, kepungan Hwe-liong-pang benar-benar rapat seperti tembok baja dan tidak ada "kebocoran"
Sedikitpun di segala bagian.
"Bagus, awasi terus. Bagaimanapun juga mereka tidak akan bertahan terus di dalam sebab itu akan membuat mereka mati kelaparan. Untung mereka agaknya punya persediaan makanan di dalam, tapi kita lebih untuk sebab kita yang mengepung dan mereka yang terkepung. Bagilah tugas antara anakbuah kalian, jika sebagian berjaga maka sebagian lain harus beristirahat."
"Baik,"sahut kedelapan orang Tongcu dengan mantap. Ketika kemudian salah seorang Tongcu melaporkan tentang berita yang dibawa oleh Ting Hun-giok tentang rencana keji di Ki-lian- san itu maka apa yang terjadi tadi malam terulang kembali, yaitu para Tongcu dan Hutongcu terpecah menjadi dua bagian yang- setuju dan yang tidak setuju bahwa kepungan di tempat ini dibubarkan dan dialihkan ke Ki-lian- san, masing-masing dengan, alasannya sendiri- sendiri. Tong Wi-lian yang ikut bicara itu berpihak kepada yang setuju memusatkan perhatian ke Ki-lian-san.
"Mencabut rumput harus seakar-akar nya.""kata Tong Wi-lian.
"Percuma kita berhasil membumi- hanguskan Kui-kiong bersama seluruh orang di dalamnya, kalau kaki tangan mereka masih bertebaran di mana-mana dan bersembunyi dengan aman di balik kedok-kedok mereka. Mungkin mereka memang akan diam untuk sementara, tapi mereka akan menjadi bisul- bisul mematikan bagi dunia persilatan di masa datang. Seperti duapuluh lima tahun yang lalu kita gagal menumpas Te-liong Hiangcu meskipun kita berhasil menghancurkan sebagian kekuatannya, dan apa yang terjadi sekarang? Muncul Kui-kiong yang membuat huru-hara. Begitu pula kalau sekarang kita tidak tuntas menumpasnya, di kemudian hari entah muncul apa lagi."
"Tapi laporan itu belum tentu dipercaya, Tong Lihiap,"
Sahut Hek-ki Tongcu yang sejak kemarin memang kurang menyetujui rencana itu.
"Bukan berarti puteri Lihiap itu berbohong, namun dia sebagai seorang gadis muda yang kurang pengalaman, mudah saja diperalat oleh orang Kui-kiong, artinya sengaja diberi kesempatan untuk lolos dan sekaligus dipinjam mulutnya untuk menyiarkan berita bohong itu"
"Kwa Tongcu, anakku telah mengatakan pengalamannya sejak ia diculik dari kota Tiang- an dengan dikawal oleh orang bernama Im Yao itu diceritakannya pula bagaimana Im Yao sedikit demi sedikit mengalami perubahan jiwa ke arah yang baik. Di sebuah mata air kecil di perjalanan, anakku pernah mempertaruhkan sesuatu yang lebih berharga dari nyawanya, kehormatannya, untuk menguji sampai di mana perubahan jiwa orang Kui-kiong itu, dan ia lulus ujian. Padahal waktu itu kita belum mengepung tempat ini, apakah mungkin sikapnya yang baik itu hanya tipu muslihat seperti prasangka kita bahwa supaya kita membongkar kepungan kita? Tidak mungkin. Anakku mulanya sangat membeci orang itu, namun kemudian sampai berubah menjadi demikian mempercayainya bukankah ini cukup meyakinkan? Anakku tidak gampang berbalik sikap demikian tajam kalau tidak ada sesuatu yang benar-benar membuatnya yakin. Dan akupun tidak akan mempercayai anakku begitu saja, kalau ada setitik saja kelemahan atau kebohongan dalam ceritanya itu."
Orang-orang yang mendengarkannya terdiam.
Kalau sudah Tong Wi-lian sendiri bersikap demikian teguh, maka agaknya berita itu memang harus dipertimbangkan.
Kwa Tin- siong dan orang-orang yang sependirian dengannyapun mulai goyah pendiriannya.
Di tengah kesunyian itu terdengar suara Lim hong-pin sabar sekali.
"Kalau sampai A-lian begitu yakin, pasti ada dasarnya. Biarpun yang bercerita adalah anaknya sendiri, tapi kalau kurang meyakinkan tentu tidak akan diambil alih begitu saja."
Semasa jayanya Hwe-liong-pang dulu, Lim Hong-pin adalah penasehat Hwe-Liong Pangcu Tong Wi-siang karena pandangannya yang luas dan sikapnya yang bijaksana.
Meskipun usianya paling muda, namun Tong Wi-siang paling sering mendengarkan pendapatnya daripada mendengarkan Te-liong Hiangcu yang licik dan kemudian berkhianat, ataupun Siangkoan Hong yang meskipun jujur dan setia namun berwatak penaik darah dan keras kepala, sehingga pemikirannya seringkali diwarnai oleh wataknya itu.
Kini Lim Hong-pin sudah angkat bicara, tentu saja semua orang harus mempertimbangkannya.
Ia tidak akan sembarangan saja membuka mulut, semuanya pasti telah dipertimbangkannya baik-baik.
Kata Lim Hong-pin lebih lanjut.
"Meskipun di antara kita ada perbedaan pendapat, tapi tujuan kita satu, ialah bagaimana menghancurkan Te-liong Hiangcu seakar- akarnya. Bukan saja karena sakit hati Hwe- liong-pang kita, tapi juga demi ketenteraman dunia persilatan. Dan aku cenderung memilih jalan yang diusulkan oleh Tong Lihiap tadi, memusatkan perhatian ke Ki-lian-san."
"Kenapa kau berpendapat begitu ?"
"Karena beberapa waktu yang lalu, aku memang merasakan sendiri ada semacam kekuatan yang sedang membayangi gunung Ki- lian-san, ada orang-orang dengan gerak-gerik yang aneh seolah-olah sedang mengatur suatu rencana tertentu di Ki-lian-san nanti. Ketika aku mencoba menyelidikinya, mereka mendadak menghilang dan sulit dilacak jejaknya. Aku tidak berani menceritakan kepadamu, sebab aku belum yakin benar. Namun setelah sekarang mendengar cerita A-lian, aku mulai percaya bahwa rencana itu ada. Putera A-lian itu tidak sedang mengingau atau ditipu oleh orang Kui- kiong."
Kalau Lim Hong-pin sudah berkata demikian, maka yang tadinya kurang percayapun sekarang menjadi yakin. Sehingga tidak ada keberatan lagi ketika Siangkoan Hong memutuskan.
"Kalau begitu, kita pusatkan kekuatan kita ke Ki-lian-san. Lebih asyik menumpas Te-liong Hiangcu sekaligus dengan seluruh begundalnya, daripada menghancurkannya dalam istana iblisnya di sini tapi begundalnya masih berkeliaran dimana- mana."
"Nanti dulu,"
Kata Lim Hong-pin tiba-tiba.
"Kau ini bagaimana? Tadi menganjurkan dan sekarang mencegah?"
Tanya Siangkoan Hong dengan kening berkerut. Lim Hong-pin hanya tersenyum saja sebab ia sudah hapal akan tabiat sahabatnya yang selalu tidak sabaran itu, katanya.
"Maksudku, kalau kita memutuskan demikian, maka pelaksanaannya harus rapi agar gerakan kita tidak berantakan. Misalnya, bagaimana kita meninggalkan tempat ini tanpa menimbulkan kecurigaan Te-liong Hiangcu, dan kemudian perjalanan ke Ki-lian-san itupun memerlukan pelaksanaan yang baik pula, sebab jumlah anggota kita seribu orang lebih, Rombongan sebesar itu jika berjalan secara terang-terangan tentu akan menarik perhatian orang, dan kalau menimbulkan kecurigaan pemerintah Manchu maka jangan-jangan di tengah jalan kita sudah, mendapat kerepotan lebih dulu ?"
"Kau punya akal ?"
"Dengarkan baik-baik, kita akan meninggalkan tempat ini tapi dengan memberi kesan seakan-akan sudah bosan menunggu. Te- liong Hiangcu kenal dengan watakmu yang berangasan dan tidak sabaran, sehingga diapun tentu yakin kau menjadi tidak sabar dan menarik seluruh orang kita dari hutan ini. lalu kita berbondong-bondong menuju Tiau-im- hong... ."
"Kenapa bukan Ki-lian-san ?"
"Jaringan mata-mata Te-liong Hiangcu sangat rapi, dan aku berani taruhan bahwa gerakan mundur kitapun akan diawasinya, karena itu kita tidak boleh langsung menuju Ki- lian supaya tidak menimbulkan kecurigaannya. Nah, di tengah jalan, barulah kita berbelok ke Ki-lian-san. Tapi tidak dalam barisan besar, melainkan orang demi orang dengan berbagai samaran dan jangan memakai seragam Hwe- liong-pang."
Tapi mata-mata Te-liong Hiangcu tentu akan curiga kalau melihat barisan kita tiba-tiba lenyap di tengah jalan.
"
"Sebagian dari kita memang tetap akan ke Tiau-im-hong secara menyolok mata, agar mata-matanya Te-liong Hiangcu mengira kita seluruhnya benar benar pulang ke Tiau-im- hong, padahal sebagian dari kita menuju ke Ki- lian-san di luar, pengawasan mereka. Dengan menyamar."
"Apakah hanya sebagian dari kekuatan kita saja sudah cukup ?"
"Cukup. Yang berangkat ke Ki-lian-san itu biarlah delapan Tongcu dan delapan Hutongcu, masing-masing harus membawa seratus orang anggota kelompok mereka masing-masing yang terbaik dan ilmu silatnyapun tidak jelek. Seratus kali delapan sama dengan delapan ratus orang, aku kira cukup. Apalagi di sana kita akan bergabung dengan para pendekar yang membenci Kui-kiong."
Semuanyamengangguk-anggukan kepalanya mendengar rencana Lim Hong-pin yang cermat itu. Tidak percuma orang itu dulu menjadi penasehat dalam Hwe-liong Pangcu.
"Lalu kami sekeluarga harus bagaimana?"
Tanya Tong Hi-lian. Kata Lim Hong-pin.
"Kalian bukan anggota Hwe-liong-pang sehingga kami tidak berhak mengatur kalian, tapi jika kalian bersedia menyesuaikan langkah-langkah kalian dengan kami sehingga seirama, maka rencana kita untuk menumpas Te-liong Hiangcu itu tentu akan tuntas... ."
"Tentu saja kami harus menyesuaikan diri,"
Sahut Tong Wi-lian tegas.
"Kami yang mengusulkan dan tentunya kami harus mendukung berhasilnya rencana ini."
Lim Hong-pin mengangguk lalu berkata.
"Kau bersama suamimu, puterimu, dan barangkali juga Bu-gong Hweshio dan pemuda Hoa-san-pay itu apabila mereka bersedia, berangkatlah menuju Ki-lian-san secara terang- terangan, tidak usah menyamar segala. Kalian tidak akan dicurigai sebab upacara besar pengangkatan Ketua baru Ki-lian-pay itu memang disebarluaskan beritanya, sehingga orang tidak akan heran kalau melihat para pendekar berbondong-bondong menuju Ki-lian- san. Tapi di tengah jalan kau mendapat semacam tugas."
"Tugas apa ?"
"Bukankah kau sudah tahu siapa-siapa orang-orang Kui-kiong yang menyusup masuk ke berbagai perguruan ?"
"Anakku sudah menyebutkan beberapa nama kepadaku, tetapi katanya masih banyak yang belum diketahui, bahkan orang Kui-kiong yang memberitahu anakku itupun mengaku bahwa diapun tidak tahu seluruhnya. Te-liong Hiang-cu memang mengatur orang-orangnya dengan cara demikian. Seperti mata rantai yang satu dengan mata rantai yang lainpun tidak saling mengetahui secara jelas."
"Aku kira cukup. Hindari pengawasan ular- ular berkepala dua itu. Dan coba hubungi beberapa Ketua perguruan yang berpengaruh dan beberkan rencana kita ini, tapi hati-hatilah agar kau justru tidak salah menghubungi orang yang ternyata menjadi kaki-tangan Kui-kiong. Sebab kalau kau menghubungi mereka akan sama saja membocorkan rencana kita ke telinga mereka tanpa sengaja."
"Aku akan sangat berhati-hati memilih orang yang aku ajak berembug tidak akan terlalu banyak orang-orang yanq benar-benar berpengaruh besar. Beberapa supek (uwa guru) atau susiok (paman guru) dari Siau-lim-pay agaknya akan menjadi kawan berbincang yang dapat dipercaya, sebab aku pernah belajar beberapa tahun di Siau-linpay dan aku kenal watak tabiat mereka satu persatu."
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ucapan Teng Wi-lian itu sangat meyakinkan, sebab siapapun di dunia persilatan, terutama kaum lurus,- mengakui kepemimpinan Siau-lim- pay sebagai soko guru dunia persilatan di Tionggo-an.Tokoh-tokohnya pun mendapat tempat terhormat, di mana-mana.
Sementara itu Tong Wi-lian bertanya.
"Tapi apakah Hwe-liong-pang kalian tidak juga menghubungi tokoh-to-kon semacam itu ?"
Lim Hong-pin menarik napas.
"Kecurigaan para pendekar terhadap kami belum juga larut, meskipun resminya permusuhan sudah diakhiri dengan damai berpuluh tahun yanq lalu. Terpaksa kami tidak bisa melakukannya, sebab jika kami yang melakukan, mereka malah akan curiga jangan-jangan kami punya rencana licik macam apa? Biarlah di Ki-lian-san saja kami akan membuktikan ketulusan hati kami, dengan jalan menumpas Te-liong Hiangcu serta seluruh kaki-tangannya, meskipun Te-liong Hiangcu adalah bekas kawan kami."
Siangkoan Hong menyahut dengan geram.
"Bekas kawan, tapi dialah yang membuat Hwe- liong-pang kami tercoreng hebat sehingga dicurigai orang-orang golongan putih. Kini dunia akan melihat sekali lagi bahwa kami dan Te-liong Hiangcu berbeda tempat berpijak."
Demikianlah keputusan itu. Namun sebelum para Tongcu dan Hutongcu kembali ke kelompoknya masing-masing untuk membubarkan kepungan atas Kui-kiong, Lim Hong-pin sekali lagi memperingatkan para Tongcu dan Hutongcu itu.
"Kalian harus ingat bahwa hanya kalian berenam-belas yang tahu rencana ini. Tidak ada orang ketujuh belas yang tahu, meskipun dia adalah anggota terpecaya kalian, bahkan mungkin sahabat dekat kalian. Bukan karena meragukan kesetiaan mereka, tapi karena mungkin saja mereka lalai dan membocorkan rencana ini, misalkan karena mabuk arak. Dan kalianpun kularang minum arak sampai selesainya penumpasan Te-liong Hiangcu di Ki-lian-san nanti. Mengerti ?"
"Pahan, Hiangcu,"
Sahut keenam-belas orang itu.
Lalu merekapun bubar menjalankan perintah.
Perintah untuk membubarkan kepungan dan kembali pulang ke Tiau-im-hong itu tentu saja disambut dengan tanda tanya besar oleh segenap anakbuah.
Mereka penasaran kenapa tidak menunggui tempat itu sampai musuh mati kelaparan? Namun sebagai orang-orang yang terikat kepada tata-tertib tinggi, merekapun tunduk kepada perintah itu.
Para Tongcu hanya memberi perintah singkat "bubarkan kepungan dan pulang ke Tiau-im-hong,"
Tanpa penjelasan apa-apa lagi.
Yang paling kecewa tentu saja adalah Sebun Him yang ingin melihat Im Yao mati dalam keadaan tidak terhormat sama sekali, tapi agaknya keinginannya itu tidak akan terkabul, sebab kalau orang-orang Hwe-liong-pang meninggalkan hutan itu maka tidak mungkin ia sendiri akan terus menunggui tempat itu.
Maka diapun akhirnya memutuskan untuk pergi ke Ki-lian-san bersama-sama dengan Ting Bun dan keluarganya, serta Bu-gony Hweshio.
Sebun Him menyimpan harapan baru bahwa di Ki-lian-san nanti dia akan mendapat kesempatan untuk menunjukkan kepahlawanannya dan mengangkat nama, dan ia juga berharap agar sempat membunuh Im Yao tapi tentu saja dengan tidak diketahui oleh Ting Hun-giok.
Di sepanjang perjalanan, ia mencoba mengambil hati Ting Bun dan isterinya dengan kesopan-santunan yang luar biasa.
Pikirnya, kalau orangtuanya sudah menaksir sebagai calon menantu, masakah anaknya berani menolak? Sementara itu, di dalam Kui-kiong ketika Te-liong Hiangcu mendengar berita tentang ditariknya semua orang-orang Hwe-liong-pang dari hutan di sekitar telaga itu, maka diapun tercengang, namun kemudian sambil tertawa dari balik topeng perunggunya ia berkata.
"Ha- ha-ha, si kerbau tolol Siang-koan Hong itu sifatnya masih saja seperti dulu. Berangsan dan tidak sabaran, merasa ia tidak mampu melintasi telaga dan membobolkan tembok ini, ia pun pulang begitu saja. Dasar kerbau dogol."
Semua anak buahnya hadir di hadapannya.
Sip-hiat-mo-hok (Kelelawar Hantu Penghisap Darah) Liong Pek-ji, Ang-mo-coa-ong (Raja Ular Berambut Merah) Tang Kiau-po dari Thay-san, Tui-seng-kiam Yo Ciong-wan dari Hoa-san-pay, Jian-kiam-hui-ci Ki Peng-sian dari Jing-sia-pay, Hek-Jiong Tiong Hong-bwe dan Tiat-pwe-siang Song Hian yang merupakan bekas-bekas bajak sungai Yang-ce-kiang yang rejekinya susut karena meningkatnya perondaan oleh armada pemerintah, lalu Ya-hui-siang-hok (Sepasang Kelelawar Terbang Malam) Im Yao dan Im Kok yang masing-masing berjulukan Tiat-ci-hok (Kelelawar Sayap Besi) dan Tui-hun-hok (Kelelawar Pemburu Arwah), yang pandangan matanya masih nampak dingin menyeramkan, tapi dari dalam hatinya sudah muncul kehangatan kemanusiaan mereka.
Semua anakbuahnya itu mengangguk- anggukkan kepalanya, menyetujui ucapan Te- liong Hiangcu tentang Siang-koan Hong itu.
Hanya Im Yao dan Im Kok yang hampir pasti dapat menebak kenapa mendadak musuh membuka kepungan mereka, tentu Ting Hun- giok sudah memberitahukan tentang rencana gabungan Te-liong Hiangcu dan Pakkiong An di Ki-lian-Ban pada hari ke sepuluh bulan depan.
Hati Im Yao terasa semakin hangat ketika mengenang Ting Hun-giok, tapi di hadapan Te- liong Hiangcu dia harus tetap dalam keadaan seperti biasanya.
Dingin, seram dan tidak tanggung-tanggung dalam mengucapkan kata- kata yang dapat menggidikkan bulu tengkuk.
Sementara itu, Lionq Pek-ji bersungut- sungut karena minumannya, yaitu gadis-gadis yang diculiknya itu sudah kabur semua pada saat kekacauan terjadi tadi.
Tapi ia tidak bisa marah kepada siapa-siapa, sebab Pui In-bun yang ditugaskananya untuk menjaga gadis- gadis itu sudah berubah menjadi arwah penasaran.
"Kita segera akan memusatkan perhatian ke Ki-lian-san,"
Kata Te-liong Hiangcu.
"Apakah sudah ada kabar dari si panglima tua itu?"
Yang menjawab adalah Sin-bok Hwe-ehlo, si pendeta gadungan yang berpakaian sangat mewah itu.
"Kemarin telah diterima merpati pembawa surat dari Pak-khia. Panglima itu sudah siap dengan tigaratus prajurit pilihannya;
"Kita segera akan memusatkan perhatian ke Ki- lian-san,"
Kata Te-liong Hiangcu.
"Apakah sudah ada kabar dari si panglima tua itu?"
Yang akan menyamar sebagai penduduk desa di sekitar Ki-lian-san.
Di antaranya adalah Sat-sin- kui (Si Setan Ganas) Hehou Im, Hwe-niau (Si Burung Api) dari Tibet, Ibun Hong dan beberapa jago andalan mereka, dipimpin, langsung oleh putera Pakkiong An sendiri, Pakkiong Hok."
"Bagus, dan orang-orang kita sendiri bagaimana kerjanya ?"
"Bahan peledak sudah ditaruh di tempatnya masing-masing, terutama di dekat aula tempat akan dilangsungkannya upacara pengangkatan Ketua Ki-lian pay itu. Dan orang-orang Ki-lian- pay sendiri tidak tahu, kecuali mereka yang berpihak kepada kita."
Meskipun wajah Te-liong Hiangcu tak terlihat karena tertutup topeng perunggunya, tapi dari anggukkan kepalanya dia nampak puas sekali mendengar laporan-laporan itu.
Katanya, Cita-citaku yang sudah kucanangkan berpuluh tahun yang lalu, kini akan menjadi kenyataan.
Tanggal sepuluh kita ledakkan Ki-lian-san, dan tanggal sebelasnya aku adalah Bu-lim Bengcu, orang paling berkuasa di dunia persilatan sehingga tak perlu lagi bersembunyi di balik topeng keparat ini.
Ha-ha-ha-ha...
Membayangkan kemenangan yang akan diraihnya, pengendalian diri Te-liong Hiangcu mengendor sehingga belum pernah anakbuahnya melihat ia tertawa sekeras itu.
Di sela-sela tertawanya ia berkata lagi.
"Setelah itu, cukup dengan satu perintah dan satu alasan yang kususun, maka aku akan menggerakkan dunia persilatan untuk membanjiri Tiau-im- hong dan menumpas Siangkoan Hong bersama barisan tikus busuknya. Mereka akan merasakan kelihaianku sebentar lagi!"
Anakbuahnyapun nampaknya terpengaruh dan ikut bergembira pula. Hanya Im Yao yang berkata mengutuk dalam hatinya.
"Kau akan menjadi Bu-lim Beng-cu, Hiangcu, tetapi di neraka. Dan itu lebih baik daripada kau mengacau dunia ini seumur hidupmu. Bila kau mampus, aku mampuspun rela."
"Jadi sekarang kita...?"
Tanya Liong Pek-ji.
"Menuju Ki-lian-san, batu loncatan kejayaan kita!"
Sahut Te-liong Hiangcu.
BAGIAN KELIMABELAS KI-LIAN-SAN menjelang upacara pengangkatan Ketua yang baru...
Ki-lian-pay bukan sebuah perguruan yang besar, ia hanya sebuah perguruan yang sedang- sedang saja diantara sekian banyak perkumpulan atau perguruan yang seukuran dengannya di rimba, persilatan.
Namun Ki-lian- pay terkenal sebagai sebuah perguruan aliran lurus yang mengajarkan murid-muridnya untuk selalu berpihak kepada keadilan dan kebenaran.
hubungan dengan perguruan-perguruan lainpun cukup baik, mulai dari yang raksasa seperti.
Siau-lim-pay, Bu-tong-pay atau Go-bi- pay, sampai yang "teri"
Seperti Ho-li-an-pay.
Hubungan yang luas itulah yang membuatnya dikenal.
Ketua Ho-lian-pay yang lama sudah meninggal dunia sebulan yang lalu dan dengan rapat para sesepuh perguruan, disepakati bahwa murid tertua dari mendiang ketua yang lama akan menggantikannya sebagai Ketua.
Bukan sekedar karena ia murid tertua, tapi juga karena ia adalah seorang yang berbudi pekerti tak tercela serta memiliki ilmu silat yang baik pula.
Dialah The Toan-yong yang berjulukan Pek-kui-to (Si Golok Petir), masa mudanya ia pernah merendahkan diri dengan menjadi seorang piau-su (pengantar barang) di perusahaan pengantaran barang Tiong-gi Piauhang pimpinan Gin-yan-cu Tong Wihong yang berpusat di kota Tay-beng.
Namun dengan pengalaman dunia persilatan, dan itu cukup sebagai bekal dalam menjadi "jurumudi"
Ki- lian-pay.
Berita pengangkatannya dengan cepat tersebar, dan beberapa tokoh berbagai perguruan telah menyatakan akan hadir sehingga Ki-liari-pay menjadi sibuk mempersiapkan diri.
Gedung pusat perguruan Ki-liana-pay sendiri diperkirakan terlalu sempit untuk menampung tamu yang tentu akan berjumlah ratusan, maka dibangunlah barak- barak di luar bangunan gedung itu.
Meskipun hanya terdiri dari bambu dan kayu, namun cukup rapi dan dianggap cukup layak menerima para tamu untuk menginap semalam dua malam.
Lagipula The Toan-yong tahu bahwa para tetamu tentu tidak akan bertingkah dengan menuntut pelayanan yang berlebih- lebihan.
Semakin dekat dengan hari pengkatan, semakin banyak orang-orang mengalir ke Ki- lian-san.
Bukan cuma para pendekar tapi juga orang-orang yang hanya sok pendekar.
Cukup asal berpakaian ringkas, membawa senjata dan muka dibikin angker, sudah mirip dengan pendekar betulan.
Berbondong-bondong berdatangan utusan- utusan dari Siau-lim-pay, Bu tong-pay, Khong- tong-pay, Go-bi-pay, Heng-san-pay, Kay-pang, Cong-lam-pay dan sebagainya.
Ada juga perguruan yang tidak dapat mengirimkan utusannya karena sempitnya waktu dan panjangnya jarak sehingga mereka merasa percuma saja mengirim utusan sebab pasti akan terlambat sampai di gunung Ki-lian-san.
Barak-barakpun penuh dengan berbagai macam manusia.
Pendeta, imam, pengemis, sastrawan dan orang-orang biasa.
Rombongan Go-bi-pay dipimpin seorang pendeta yang sudah sangat tua sehingga alisnya yang panjang itu sudah putih semuanya, bernama Thian-sek Hweshio dengan beberapa paderi angkatan yang lebih muda, di antaranya yang memiliki nama besar di dunia persilatan adalah Liong-hou Hweshio dan Kim-hoan Hweshio.
Mereka menempati salah satu dari deretan barak sebelah timur, berdampingan dengan baraknya orang-orang Siau-lim-pay.
Besok pagi upacara akan diselenggarakan, dan hari ini para tamu masih belum punya acara apa-apa, kecuali saling berbincang dengan teman-teman lama yang sudah lama tidak berjumpa dan kini berjumpa di tempat itu.
Di antara mereka yang bercakap-cakap satu sama lain itu nampaklah Bu-thian Hweshio dari Sjau-lim-pay bercakap-cakap dengan akrabnya dengan Liong hou Hweshio dari Go-bi-pay di sebuah lereng gunung Ki-lian-san yang berpemandangan indah.
Mereka berdua saja, dan karena tampang mereka berdua begitu welas-asih, maka orang yang melihat dari kejauhan tentu menduga bahwa kedua-duanya sedang membicarakan soal-soal agama atau kesejahteraan sesama manusia.
Namun andaikata ada orang yang mendekati mereka dan mendengar percakapan mereka, tentu akan bergidik mendengar perkataan-perkataan mereka Tanya Bu-thian Hweshio.
"Apakah semuanya beres ?"
Sahut Liong-hou Hweshio.
"Rapi semuanya. Besok tengah hari aula itu akan hancur berkeping-keping bersama orang-orang di dalamnya."
"Kudengar sesuatu terjadi di Kui-kiong ?"
"Sedikit gangguan dari pengikut-pengikut Tong Wi-siang, tapi sudah diatasi oleh Hiangcu dan teman-teman kita. Dua hari yang lalu aku menerima merpati pembawa surat dan di situ dikabarkan bahwa semuanya beres. Rencana tidak berubah."
"Baik. Kita berpisah."
Keduanyapun kemudian berpisahan.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan ternyata kasak-kusuk macam itu terjadi di antara beberapa orang pula, bukan cuma kedua hweshio itu.
Kaki tangan Te-liong Hiangcu sudah tersebar di mana-mana, bercampur dengan kaum pendekar yang asli.
Kawan dan lawan bercampur aduk tanpa dapat mengetahui sebab semuanya sama-sama bermuka ramah, bertutur-kata sopan dan akrab dan bergurau satu sama lain.
Tapi besok tengah hari, menjelang ledakan yang menghancurkan itu, maka mana yang serigala dan mana yang domba akan segera terlihat jelas, dan saat itu barangkali akan terjadi banjir-darah yang tidak kalah mengerikannya dengan yang di Tiau-im- hong berpuluh tahun yang lalu.
Namun di samping antek-antek Te-liong Hiangcu yang berkasak-kusuk, maka beberapa tokoh pendekar atau pemimpin para perguruan yang berpengaruhpun telah berhasil dihubungi oleh Tong Wi-lian atau Ting Bun dengan amat hati hati.
Setengah percaya setengah tidak mereka mendengarkan pembeberan Tong Wi lian atau suaminya, apalagi ketika suami isteri itu menyebutkan keterlibatan beberapa orang murid dari perguruan terhormat, itu membuat tokoh-tokoh itu jadi termangu-mangu mendengarnya .
"Rasanya sulit dipercaya,"
Kata Hong-seng Hweshio, pemimpin rombongan Siau-lim-pay ketika duduk berhadapan dengan Tong Wi-lian di baraknya.
"Bu-thian adalah seorang murid yang tekun, berbakat, pintar dan juga berani. Dalam beberapa bulan terakhir ini, memang memperlihatkan ketidak-puasan atas kepemimpinan Ciangbun Suheng (kakak seperguruan yang menjadi ketua) dan kadang- kadang mulutnya terlanjur mengeluarkan kata- kata yang keras dan tajam. Tapi sulit dipercaya bahwa dia adalah kaki-tangan Te-liong Hiangcu yang diselundupkan ke tubuh Siau-lim-pay kita."
Tong Wi-lian paham, benar watak su-siok (paman guru) yang satu ini, begitu lugu dan lurus sampai ia tidak percaya bahwa ada orang bisa selicik itu, dikiranya semua orang sama lurusnya dengan dirinya.
Maka Tong Wi-lian harus dengan sabar menjelaskannya.
"Susiok, susiok kira akupun mudah menerima berita itu? Aku juga hampir tidak percaya ketika mendengar nama Buthian Suheng termasuk dalam deretan kaki tangan Te-liong Hiangcu, padahal hubunganku dengan Bu-thian Suheng termasuk cukup baik juga. Tapi kita memang harus sedia payung sebelum hujan, andaikata hujan tidak jadi turun ya malah kebetulan bukan ?"
Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Animorphs 8 Ax Membalas Dendam 16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama