Ceritasilat Novel Online

Pendekar Naga Dan Harimau 8

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP Bagian 8


Ang Bun-long pasti akan mengaku bahwa yang menghubunginya adalah Hehou Im, seorang perwira Ui-ih-kun.

Dan dengan terbongkarnya komplotan itu, akan berarti lenyap pulalah harapan Hehou Im dan rekan-rekan sekomplotannya untuk menikmati janji-janji Pakkiong An di kemudian hari.

Ada yang dijanjikan akan menjadi Panglima, ada yang akan dijadikan Menteri, bahkan ada yang akan dijadikan Rajamuda di suatu daerah.

Pakkiong An memang tidak tanggung-tanggung dalam menyusun rencananya, bagaimanapun juga ia masih berdarah keluarga Kaisar dan apa salahnya kalau ia mengingini kedudukan Kaisar? Sebenarnya yang diduga oleh He-hou Im bahwa Pakkiong Liong telah mengorek segala keterangan dari mulut Ang Bun-long itu adalah dugaan yang keliru.

Sejak Pakkiong Liong menangkap Ang Bun-long di geladak kapal, sampai penyeberangan itu, Pakkiong Liong sama sekali belum sempat menanyai tawanannya yang bekas anak buahnya itu.

Rencana nya, ia akan meneruskan penjalanan lebih dulu sampai nanti sore, dan malamnya barulah tawanan itu akan diperas keterangannya.

Ketika malam turun, Pakkiong Liong memerintahkan pasukannya berkemah di sebuah tempat yang sudah agak jauh dari tepian sungai.

Penjagaan sangat ketat, sebab bukan mustahil kaum penyerang akan mengulangi lagi penyerangannya dengan kekuatan yang lebih besar.

Tetapi setelah hari menjadi gelap, maka betapapun rapinya penjagaan-penjagaan prajurit-prajurit Hui-liong-kun itu, tapi mereka tidak akan dapat melihat melesatnya sebatang jarum berwarna hitam yang ditiupkan dengan kuat dari sebatang sumpit orang Biau, dari balik serumpun semak-semak di pinggir perkemahan prajurit.

Ang Bun-long yang kaki dan tangannya diikat dan di taruh di dekat perapian itu, merupakan sasaran yang empuk sekali.

Ia hanya meraba lehernya seperti digigit nyamuk, namun kemudian terasa tubuhnya menjadi panas sekali, matanya melotot lebar, mulutnya bergerak-gerak hendak berteriak namun tak ada suara yang keluar.

Lalu kepalanyapun terkulai dan nyawanya melayang.

Dan ketika Pakkiong Liong hendak menanya perwiranya yang berkhianat itu, maka yang dijumpainya hanyalah mayatnya.

Seluruh kulitnya berbercak-bercak warna biru dan ungu, menandakan kena racun yang amat keras, dan di lehernya tertancaplah sebatang jarum kecil yang hampir-hampir tak terlihat kalau tidak diperiksa dengan seksama.

"Kita kehilangan sumber keterangan yang kita butuhkan,"

Kata Pakkiong Liong dengan menyesal, namun ia tidak menyalahkan anak buahnya yang menjaga Ang Bun-long, sebab di malam gelap itu tentu sulit sekali melihat melayangnya sebatang jarum yang begitu kecil.

"Sebenarnya aku ingin tahu untuk siapakah Ang Bun-long bekerja."

"Tentu ia disuruh orang-orang bekas dinasti Beng keparat itu!"

Sahut Tong Lam-hou.

"Belum tentu,"

Kata Pakkiong Liong.

Namun ia tidak melanjutkan kata-katanya itu.

Lebih baik Tong Lam-hou tidak usah mengetahui bahwa sebenarnya di antara para Panglima sendiri terdapat persaingan keras.

Demikian ke- "Kita kehilangan sumber keterangan yang kita butuhkan,"

Kata Pakkiong Liong dengan menyesal, namun ia tidak menyalahkan anak buahnya yang menjaga Ang Bun-long, rasnya persaingan antar Panglima itu sehingga tidak jarang digunakan cara-cara tersembunyi dengan meminjam orang-orang luar.

Namun entah Panglima yang mana yang memakai Ang Bun-long? Tentu tidak akan terjawab sebab sesosok mayat tidak mungkin ditanyai.

Beberapa ratus langkah dari per-kemahan itu, Hehou Im dan Tong King bun menyusup ke dalam hutan dengan wajah yang puas.

Di tangan Hehou Im masih tergenggam sebatang buluh yang besarnya tidak lebih dari kelingking, namun panjangnya hampir setengah depa.

"Senjata orang-orang Biau ini ampuh bukan?"

Tanya Hehou Im sambil tertawa.

Tong King-hun hanya mengangguk perlahan, sementara jantungnya berdegup keras.

Meskipun bukan untuk yang pertama kalinya, namun masih ngeri juga ia melihat bagaimana seseorang anggauta komplotan yang gagal harus menjalankan "hukuman mati"nya.

Suatu saat, siapa tahu ujung sumpit orang suku Biau itu di arahkan ke lehernya sendiri? BAGIAN KE TUJUH.

BERPULUH hari perjalanan yang berdampingan dengan maut dan ketegangan telah dilakukan oleh prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang perkasa itu, namun akhirnya dinding Kotaraja Pak-khia yang megah terlihat Juga di depan mata.

Betapapun tangguh semangat dan jasmani mereka, terasa juga kelelahan lahir dan batin dalam diri prajurit-prajurit itu.

Puluhan ribu li sudah mereka langkahi, entah telah berganti kuda berapa kali, ribuan bukit dan lembah sudah mereka jalani, dan banyak pula teman-teman yang terpaksa mereka lepaskan karena gugur di tengah jalan, tapi akhirnya perjalanan yang dahsyat itu mencapai ujungnya juga.

Dari kota Kun-beng di propinsi Hun-lam yang paling selatan dari wilayah kemaharajaan yang amat luas itui sampai ke Ibukota Pak-khia di propinsi Ho-pak yang paling utara dari negeri itu.

Ketika hendak memasuki gerbang kota Pak- khia, Pakkiong Liong memerintahkan agar barisan diatur kembali dengan rapinya, bendera-bendera dikibarkan agar sekali lagi semua orang di Pak-khia melihat Pasukan Naga Terbang pulang dengan membawa kemenangan.

Namun ketika masuk Pak-khia, tampang para prajurit sendiri sudah berewokan dengan wajah yang kotor oleh debu, karena berpuluh-puluh hari tidak sempat merawat diri.

Hanya pandangan mata merekalah yang masih memancarkan tekad yang sama berkobarnya ketika mereka berangkat.

Beberapa prajurit memakai seragam yang sudah kusut bahkan robek, namun keadaan itu justru menampakkan betapa angkernya pasukan kecil itu.

Apalagi dua buah gerobak kerangkeng di tengah barisan seolah memberi pertanda bahwa pasukan hui- liong-kun kembali telah berbuat sesuatu bagi Kerajaan Manchu.

Orang-orang di pinggir jalan berderet-deret menyaksikan kedatangan kembali pasukan yang terkenal itu.

Ada yang bersorak sambil melambai-lambaikan tangannya, ada yang, acuh tak acuh saja.

Sementara itu, Tong Lam-hou melihat kota itu dengan kagumnya.

Sepanjang jalan, banyak kota-kota besar dilewatinya, namun kini dilihatnya kota Pak-khia dengan jalan-jalannya yang lebar dan menara-menara yang tinggi, gapura-gapuranya bertebaran di mana-nana.

Dan iapun dengan perasaan bangga ikut berbaris bersama pasukan yang menang perang itu, meskipun ia belum terseragam.

Seluruh pasukan langsung menuju ke gedung Peng-po-ceng-tong (Kementerian Perang) di mana Peng-po-siang-si (Menteri Peperangan) sendiri sudah siap menyambutnya, dikawal oleh sepasukan lainnya yang siap menerima tawanan dari Pakkiong Liong.

Beberapa Panglima dari pasukan-pasukan lain juga ikut menyambut untuk mengucapkan selamat kepada Pakkiong Liong atas ke- menanganya.

Tapi yang terbanyak adalah perwira-perwira Hui-liong-kun yang tidak ikut bertugas, yang ingin menyambut rekan-rekan mereka.

Serah terima berjalan singkat dan lancar.

Secara resmi Pakkiong Liong menyerahkan kedua tawanan itu kepada Peng-po-ceng-tong, berarti tanggung-jawabnya sudah diletakkan, dan selanjutnya tawanan-tawanan itu akan dimasukkan ke penjara untuk menunggu hari peradilan mereka.

Selama kedua tawanan ada di penjara, tanggung-jawab berada di tangan Panglima Ui-ih-kun (Pasukan Baju Kuning) Pakkiong An.

Setelah serah terima selesai, barulah barisan dibubarkan.

Pakkiong Liong segera dikerumuni oleh para Panglima-panglima lainnya, yang mengucapkan selamat dan mengutarakan kekagumannya.

Tong Lam-hou diperkenalkannya kepada rekan-rekannya sebagai orang yang menolongnya, dan dikatakan pernah berjasa amat besar dalam ikut mengawal tawanan sepanjang perjalanan Beberapa Panglima menerima uluran tangan Tong Lam-hou dengan tulus, namun beberapa lagi memandangnya dengan pandangan ragu- ragu dan bimbang, bahkan menghina.

Benarkah anak muda bertampang orang desa seperti ini sehebat seperti yang diceritakan Pakkiong Liong? Di bagian lain, perwira-perwira Hui-liong- kun yang ikut dalam tugas segera menceritakan pengalaman mereka yang hebat, sementara rekan-rekan mereka mendengarkannya sambil menggosok-gosok tangan mereka yang gatal, seolah merekapun ingin ikut terjun dalam pertempuran di tengah sungai Yang-ce-kiang itu.

Perwira-perwira dan para prajuritpun setelah puas bercakap-cakap lalu pulang ke rumahnya masing-masing.

Ada beberapa orang yang dengan hati pedih harus mampir ke rumah temannya lebih dulu, untuk memberitahukan kepada keluarga temannya itu bahwa temanya itu tidak dapat kembali, Atau kembali namun dalam wujud abu yang diwadahi dalam sebuah guci kecil tertutup kain putih.

Itulah sisi lain dari peperangan.

Di samping kemenangan dan ucapan-ucapan selamat yang membesarkan hati, maka beberapa orang telah kehilangan suami, anak laki-laki, Kakak, adik atau kekasih mereka.

Dan merekapun meratap pedih di tengah sorak-ssrai kemenangan.

Sementara itu, Ibukota Kerajaan telah diramaikan oieh kesibukan lainnya.

Ujian penerimaan prajurit untuk tahun itu sudah dekat.

Berbondong-bondong anak-anak muda dari seluruh pelosok negeri, yang merasa memiliki tubuh kuat dan kecerdasan cukup, telah berdatangan ke Pak-khia untuk mendaftarkan diri.

Setiap pendaftaran harus punya seorang penjamin, artinya bahwa ada seorang perwira atau Panglima yang bersedia menjamin bahwa si pendaftar itu telah dikenalnya dengan baik dan dapat mengikuti ujian.

Hal ini untuk menjamin adanya musuh- musuh Manchu yang menyusup masuk ke tubuh pasukan.

Di antara nama-nama yang terdaftar itu, yang paling sedikit adalah nama yang mendaftarkan masuk pasukan Hui-liong-kun, sebab ujiannya sangat berat.

Seluruh calon prajurit berjumlah hampir dua ribu orang, namun yang mencalonkan diri sebagai prajurit Hui-liong-kun hanyalah kira-kira limapuluh orang, di antaranya adalah Tong Lam-hou yang memegang "surat Jaminan"

Dari Pakkiong Liong sendiri.

Yang lain-lainnya antara lain adalah saudara sepupu Ha To-ji, saudara seperguruan Le Tong-bun, teman sejak kanak-kanaknya Han Yong-kim dan sebagainya.

Maka sambil menunggu hari ujian keprajuritan dilaksanakan, ramailah Ibukota Kerajaan itu dengan anak-anak-muda dari berbagai daerah yang hilir-mudik sambil menjual tampang.

Merekalah calon-calon prajurit yang belum pasti diterima namun sikapnya sudah garang dari prajurit-prajurit tulen.

Ada yang sengaja memamerkan ototnya dengan memakai baju yang terbuka atau berlengan pendek.

Yang lain memamerkan ketangkasannya dengan pura-pura terkejut ketika hampir disambar sebuah kereta kuda yang berjalan kencang, lalu ia melompati sebuah dinding setinggi manusia di pinggir jalan, sehingga memancing tepuk tangan orang- orang yang menyaksikannya, lalu dengan "rendah hati"

Iapun berjalan, pergi seolah-olah yang terjadi tadi hanyalah sekedar "ketidak- sengajaan".

Yang lainnya pamer bahwa ia pernah membunuh dua ekor harimau hanya dalam waktu satu malam.

Namun demikian, meskipun suasana persaingan nampak menonjol antara anak-anak muda dari berbagai daerah itu, mereka tidak berani saling berkelahi atau membuat keributan.

Sebab ada ancaman keras dari Peng- po-ceng-tong bahwa siapa yang membuat keributan maka namanya akan langsung dicoret dari daftar para pelamar.

Dan tidak seorangpun mau datang dari jauh hanya untuk dicoret namanya.

Selama berada di Pak-khia, Tong Lam-hou menempati sebuah kamar di rumah Pakkiong Liong.

Tadinya ia menduga bahwa Pakkiong Liong sebagai seorang panglima terkenal dan bahkan masih punya hubungan kerabat dengan keluarga Kaisar, tentu menempati sebuah gedung yang megah dan besar dengan berpuluh-puluh pelayan yang siap menjalankan semua perintahnya.

Ternyata dugaan Tong Lam-hou itu keliru besar.

Pakkiong Liong menempati sebuah rumah yang berhalaman luas dan penuh dengan tanam tanaman hias, namun rumah itu sendiri tidak besar dan megah, sederhana dan rapi, sementara di bagian belakangnya ada sebuah ruangan yang khusus untuk berlatih silat (lian-bu-thia).

Yang melayaninyapun hanya seorang perempuan- Manchu setengah tua dengan anaknya laki-laki yang berusia belasan tahun.

Suami perempuan itu bekerja di tempat lain, jika malam kembali ke rumah itu dan Pakkiong Liong tidak keberatan dengan semuanya itu.

Ketika Tong Lam-hou melangkah memasuki rumah itu, ia bertanya.

"Kau sendiri di rumah ini?"

"Bukankah kau lihat bibi pelayan yang membukakan pintu kita tadi? Aku tinggal bersamanya dan suaminya serta anak laki- lakinya."

"Maksudku, sanak keluargamu?"

Pakkiong Liong menggelengkan kepalanya.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Aku anak satu-satunya, ibuku meninggal ketika aku masih kecil dan ayah sudah gugur dalam peperangan, jadi aku memang menempati rumah ini seorang diri."

"Bukankah kerabatmu banyak? Bahkan ada yang tinggal di Istana?"

"Ya, mereka juga banyak yang menawarkan agar aku tinggal bersama mereka. Tapi aku labih suka sendirian saja. Lebih bebas."

"Tidak kesepian?"

"Tidak pernah. Kadang-kadang pi-au-moai (saudara sepupu perempuan) datang untuk minta diajari bermain pedang atau memanah. Di lain saat Ha To-ji dan perwira-perwira lainnya juga datang ke sini untuk sekedar menemaniku minum arak sambil bercakap-cakap. Tapi kadang-kadang aku butuhkan juga, jika aku sedang ingin mendalami sebuah buku."

Tiba-tiba mata Tong Lam-hou bersinar- sinar.

"He, kau punya buku?"

"Nanti ruang bukuku kutunjukkan kepadamu. Di situ ada ratusan buku, bahkan ribuan. Aku sudah mengumpulkannya bertahun-tahun lalu.

"Kau suka membaca?"

"Suka sekali. Di Jit-siong-tin aku sering mendapat pinjaman dari teman-temanku yang pulang dari kota, namun jumlah bukunya amat terbatas, sehingga ada yang terbaca sampai dua kali atau lebih."

Pakkiong Liong tersenyum, namun di dalam hatinya ia mulai merasakan bahwa bobot Tong- lam-hou tidak sesederhana wujudnya. Anakmuda yang sering diejek sebagai "anak gunung"

Atau "si pembuat dendeng"

Itu ternyata adalah seseorang yang bergairah terus-menerus memperdalam pengetahuannya lewat buku.

Agaknya, Tong Lam-hou bukan cuma sekedar pandai memutar pedang atau mengayuni kepalan.

Demikianlah, sambil menunggu hari hari ujian keprajuritan diselenggarakan, Tong Lam- hou berada di ruma Pakkiong Liong.

Kehausan akan bacaan yang selama ini dirasakannya, kini terpuaskan sebagian besar.

Tidak peduli buku apapun yang ada di dalam simpanan Pakkiong Liong telah dilahapnya, sehingga sangat memperluas cakrawala pemikirannya.

Buku- buku sejarah, kesenian, sastra, filsafat, ilmu perang, tata pemerintahan dan kenegaraan, pengobatan, keagamaan dan lain-lainnya telah membuat Tong Lam-hou seolah-olah lupa waktu.

Pakkiong Liong membiarkannya saja segala kelakuan sahabatnya itu, bahkan ia merasa gembira karena Tong Lam-hou bersikap seolah-olah di rumahnya sendiri.

Dengan perempuan setengah tua dan anak laki-lakinya itupun Tong Lam-hou telah terjalin hubungan baik.

Seperti Pakkiong Liong yang tidak pernah merendahkan derajat seorang pembantu, begitu pula Tong Lam-hou.

Di lain saat, Ha To-ji, Han Yong-kim dan lain-lainnyapun berdatangan ke rumah itu untuk mengajak Pakkiong Liong berburu keluar kota.

Selama ini Tong Lam-hou hanya pernah mendengar Ha To-ji dan lain-lainnya memanggil Pakkiong Liong dengan sebutan "Ciang-kun" (Panglima) jika sedang dalam seragam tentaranya.

Namun, kini Tong Lam hou baru tahu bahwa jika kedua pihak tidak berseragam tentara, maka sikap Ha To-ji tidak berbeda dengan sikap Tong Lam-hou kepada Pakkiong Liong, yaitu hanya dengan memanggil "A-liong"

Begitu saja.

Itu adalah karena permintaan Pakkiong Liong sendiri.

Di dalam tugas, ia adalah Panglima terhadap bawahannya, namun di luar tugas ia ingin bertindak sebagai sahabat terhadap sahabat.

Sesungguhnya, seseorang yang bagaimanapun kaya dan berkuasanya, namun bila tidak mempunyai seorang saha- batpun, apa arti hidupnya? "Aku ikut,"

Kata Tong Lam-hou ketika mendengar bahwa Pakkiong Liong dan lain- lainnya akan berburu.

"Di Tiam-jong-san aku adalah pemburu serigala yang baik."

Maka berangkatlah anak-anak muda itu keluar kota dengan menunggang kuda, sambil membawa busur dan anak-panah.

Tong Lam- hou juga membawa busur dan anak-panah, namun ia tidak yakin akan kegunaan busur yang dibawanya itu, sebab ia merasa lebih mantap jika anak-panah itu dilontar-lontarkan dengan tangannya saja.

Bahkan tidak.

usah anak-panah, sepotong ranting keringpun jika dilontarkannya dengan penyaluran tenaga dalamnya akan dapat merupakan senjata yang mematikan.

Perjalanan kail ini itu terasa sangat santai, perjalanan sekelompok orang-muda yang hendak berburu binatang.

"A-liong, kita hendak ke rumah si cerewet itu lebih dulu atau tidak?"

Tanya Ha To-ji.

"Kita melewati rumahnya bukan? Jadi kita ajak dia pergi sekalian,"

Kata Pakkiong Liong.

Mereka tertawa, Tong Lam-hou juga tertawa, meskipun ia tidak tahu siapa yang disebut si cerewet itu.

Tapi beberapa saat kemudian, tahulah ia akan si cerewet itu, ternyata ia adalah saduara-sepupu perempuan Pakkiong Liong, anak dari bibinya.

Seorang gadis Manchu yang memakai nama Han To Li- hua, puteri seorang Panglima pula.

Ketika ia sudah siap di atas kudanya, maka Tong Lam- hou seolah silau melihat kecantikan gadis Manchu dalam pakaian berburunya itu, dengan kulitnya yang seputih salju dan matanya yang seperti bintang pagi, pinggangnya yang ramping dan lemas seperti ranting yang-liu.

Apalagi gadis-gadis Manchu tidak pemalu seperti gadis- gadis Han, ketika sadar bahwa dirinya sedang di pandang terus-menerus oleh Tong Lam-hou, maka To Li-hua malahan mengangkat wajahnya sambil bertanya.

"He, apa yang kau lihat? apakah hidungku terbalik-menghadap ke atas atau mataku ada t iga?"

Keruan Tong Lam-hou jadi merah padam wajahnya dan tertawa dengan salah-tingkah, sementara Pakkiong Liong dan lain-lainnyapun tertawa terbahak-bahak.

To Li-hua juga ikut tertawa sambil menggoyang-goyangkan kepalanya yang tertutup dengan topi bulu binatang itu, sehingga sepasang anting-anting yang tergantung di telinganya itupun ikut bergerak-gerak.

Dan Tong Lam-hou tidak berani lagi melirik wajah gadis itu sebab takut kelakuannya akan menjadi konyol nantinya.

Begitulah, empat anakmuda dan seorang gadis berburu di luar kota Pak-khia.

Tong Lam- hou melihat sendiri betapa gadis Manchu itu tangkas sekali mengendalikan kudanya, sambil melepaskan panah-panahnya yang jarang meleset dari sasarannya.

Namun To Li-hua juga melongo melihat bagaimana Tong Lam-hou tanpa menggunakan busur telah melempar- lemparkan anak-anak panahnya secara tepat menembus binatang-binatang buruannya, bahkan yang sedang berlari kencang sekalipun.

To Li-hua jarang meleset memanah buruannya, namun Tong Lam-hou tidak pernah meleset meskipun sekali saja.

To Li-hua bertepuk tangan melihat ketangkasan Tong Lam-hou itu.

teriaknya.

"Bagus, beginikah cara orang Han berburu? Piau-ko (kakak misan), kali ini kau punya lawan berat."

Begitulah anak-anakmuda itu bergembira sampai sore hari.

Ketika matahari hampir tenggelam, barulah mereka masuk kembali ke kota dengan membawa buruan mereka masing- masing.

Sementara itu, di dalam kota Pak-khia sendiri, selain para calon-calon prajurit yang berkeliaran sambil jual tampang, maka di kota itu telah berkeliaran pula orang-orang dari pihak tertentu dengan maksud-maksud tertentu pula.

Orang-orang yang tidak puas melihat semakin kokohnya kekuasaan dinasti Manchu di negeri itu.

Sore itu, perwira Sat-sin-kui He-hou Im dari Ui-ih-kun (Pasukan Baju Kuning) dengan memakai seragam perwiranya, tergegas-gegas meloncat turun di hadapan sebuah gedung yang indah sekali.

Ketika ia hendak melangkah masuk pintu gerbang, dua orang prajurit penjaga cepat-cepat menghentikannya dan bertanya.

"Maaf, thong-leng (perwira) , apakah thong-leng membawa surat dari Pakkiong Ciangkun? Pakkiong Ciangkun sudah berpesan bahwa siapapun yang tidak membawa surat itu dilarang masuk!"

Hehou Im mengeluarkan sepucuk surat yang disodorkan kepada penjaga-penjaga itu, sambil membentak.

"Nih, baca baik-baik dengan mata anjingmu!"

Prajurit itupun membaca surat itu yang ternyata memang ditanda-tangani oleh Pakkiong An sendiri. Setelah dilipat kembali lalu disodorkan lagi kepada. Hehou Im sambil tertawa.

"Maaf, thong-leng, kami hanya menjalankan perintah Ciangkun. Silahkan masuk ke dalam, thong-leng, kudanya biar kami urus "Siapa saja yang sudah datang?"

Tanya Hehou Im.

"Banyak, thong-leng. Juga termasuk si siluman hitam itu."

"apa katamu?"

"Maaf, thong-leng, maksudku si orang yang selalu menutup mukanya dengan kain hitam itu. Dan datangnya seperti siluman. Kami hanya merasa ada-angin berhembus dan tahu-tahu ia sudah berada di halaman ini, tanpa berkata sepatah-katapun langsung melangkah ke dalam."

"Jangan kurang ajar. Orang itu adalah sahabat Ciangkun."

"Baik, thong-leng."

Maka Hehou Im segera melangkah masuk ke gedung tempat tinggal Pakkiong An yang besar dan megah itu.

Semakin masuk ke dalam, semakin ketat penjagaannya, menandakan bahwa pertemuan yang diselenggarakan oleh Pakki-ong An kali ini benar-benar penting.

Bahkan Hehou Im sebagai perwira kepercayaan Pakkiong An yang sudah dikenal oleh para prajuritpun tidak luput dari pemeriksaan surat- surat.

Pertemuan itu diadakan di sebuah loteng di tengah-tengah taman, di sekeliling loteng itu ada kolam bunga teratai yang lebar.

Tidak mungkin seseorang masuk ke loteng itu tanpa melewati sebuah jembatan kecil, yang dijaga pula oleh empat orang prajurit.

Setelah diijinkan lewat oleh penjaga- penjaga itu, Hehou Im segera naik ke loteng yang sudah terang benderang dengan belasan batang lilin besar.

Di dalam ruangan itu ternyata telah siap beberapa orang yang duduk berkeliling, agaknya Hehou Im adalah yang datang paling akhir, sebab kursi yang kosong tinggal sebuah.

Sebelum menduduki kursinya, Hehou Im lebih dulu memberi hormat kepada seorang tua berjenggot putih dan bermata tajam seperti burung elang.

Dialah Pakkiong An, Panglima dari Pasukan Baju Kuning yang iri terhadap keberhasilan keponakannya sendiri, Pakkiong Liong.

Di sebelah Pakkiong An duduklah puteranya, Pakkiong Hok yang bertubuh ramping dan bertampang ganas.

Lalu nampak pula seseorang berpakaian serba hitam yang berkedok hitam pula.

Dari seluruh tubuhnya, yang tidak tertutup cuma sepasang matanya yang berkilat-kilat menyeramkan.

Sedangkan bagian tubuh lainnya, bahkan sampai ke ujung jari kaki maupun jari tanganpun terbungkus kain hitam.

Tidak salah kalau kedua penjaga di depan rumah Pakkiong An tadi menyebutnya sebagai "siluman hitam".

Terhadap orang berkedok hitam itu, ternyata Hehou Im yang biasa bersikap garang itu telah menunjukkan rasa takutnya yang luar biasa.

Ia membungkuk dalam-dalam kepada orang itu, lebih dalam daripada ketika memberi hormat kepada Pakkiong An tadi, dan menyapa.

"Selamat bertemu, Te-liong Hiang-cu."

Nama itu memang menggetarkan.

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia adalah Te-liong Hiang-cu (Hulubalang Naga Bumi) dalam Hwe-liong-pang dulu, jabatan nomor dua di bawah Hwe-liong Pang-cu sendiri, sehingga orang yang menduduki jabatan itu tentu memiliki kepandaian yang amat tinggi.

Orang ini bukan saja seorang hulubalang andalan Hwe-liong-pang tapi juga sekaligus adik seperguruan dari Hwe-liong Pan-cu sendiri, namun kemudian karena pengkhianatannyalah maka Hwe-liong-pang hancur dari dalam bahkan kemudian lenyap dari dunia persilatan.

Te-liong Hiang-cu sendiri tidak muncul selama bertahun-tahun, dan namanya baru terdengar lagi setelah tentara Man-chu menyerbu daratan Tiong-goan dan mendudukinya.

Hehou Im segera menempati kursinya.

Diliriknya tamu-tamu lainnya, dan selain dirinya sendiri ternyata ada tiga orang lainnya yang semuanya berpakaian perwira Ui-ih-kun..

"Semuanya sudah hadir dan pertemuan ini bisa dimulai,"

Kata Pakkiong An setelah batuk- batuk.

"Hehou Tong-leng, kau bicara lebih dulu."

Maka Hehou Im segera menceritakan usahanya untuk merebut tawanan dari tangan Pakkiong Liong, dengan lebih dulu "menggarap"

Ang Bun-long.

Namun kemudian dengan terus terang diakuinya bahwa usahanya itu telah gagal, dan untuk meringankan kesalahannya, maka Hehou Im menceritakan pula, bahwa ia telah berhasil membunuh Ang Bun-long sehingga Pakkiong Liong tidak akan punya saksi lagi untuk menuduh Pakkiong An.

Sepasang alis Pakkiong An yang putih itu berkerut, suaranya dingin.

"Itu adalah akibat kecerobohanmu, He-hou Thongleng, dan entah berapa banyak uangku yang kau hamburkan tanpa hasil? Untuk membayar Ang Bun-long dan untuk membayar bajak-bajak sungai Yang-ce- kiang itu?"

Hehou Im menundukkan kepalanya.

"Aku memang bersalah, Ciangkun. Namun semuanya kulakukan demi mendukung cita-cita Ciangkun untuk mendapat pamor yang semakin terang di hadapan Sri Baginda. Semata-mata demi kesetiaanku kepada Ciangkun."

"Ayah tidak ingin seorang anakbuah yang sekedar setia tetapi kurang perhitungan, Hehou Tongleng,"

Kata putera Pakkiong An dengan suara yang sama dinginnya dengan suara ayahnya.

"Tapi yakinkah kau bahwa piau-ko (kakak misan) Pakkiong Liong tidak akan menemukan bukti persekongkolan kita?"

Biarpun hatinya ragu-ragu, namun Hehou Im menjawab dengan suara mantap dan bahkan sedikit berbohong.

"Aku sangat yakin, tuan muda. Perwira yang bernama Ang Bun-long itu segera kubereskan dengan sumpit beracun orang suku Biau, sebelum Pakkiong Liong sempat mendapat keterangan apa-apa dari mulutnya."

Pakkiong Hok sebenarnya masih ingin bertanya beberapa hal lagi, namun ayahnya telah memberinya isyarat agar diam. Lalu kata Panglima tua yang ambisinya selangit itu.

"Sudah, anak Hok, tidak usah diperdebatkan lagi hal yang sudah lewat. Anggap saja dosa dan pahala Hehou Im seimbang, sehingga ia tidak akan-menerima hukuman maupun pahala... ."

"Terima kasih atas kemurahan Ciangkun,"

Sahut Hehou Im yang berdiri dari kursinya dTan memberi hormat. Ia lega, sebab ia tidak mau mati penasaran seperti orang-orang yang dulu menentang Pakkiong An. Pakkiong An hanya mengangguk sedikit, lalu katanya.

"Sekarang kita akan mendengarkan laporan dari Ibun Thong-leng. Silahkan, Ibun Thongleng."

Perwira she Ibun yang disuruh bicara itu bernama Ibun Hong, juga seorang kepercayaan Pakkiong An dalam komplotan rahasia itu. Ia bertubuh gemuk pendek dan bermuka berewokan kaku. Ia segera berdiri memberi hormat kepada haiirin dan berkata.

"Tuan-tuan yang terhormat, dalam penyelidikanku selama beberapa hari terakhir ini, aku mencium tanda- tanda bahwa kaum pemberontak sudah banyak yang menyusup ke Ibukota Kerajaan ini. Banyak yang menyamar sebagai calon-calon prajurit atau keluarganya yang mengantarkan mereka, namun tidak mustahil mereka juga menyamar dalam bentuk-bentuk lain. Mereka... ."

Ucapan Ibun Hong itu sebenarnya bernada berapi-api penuh semangat dan bernada bangga pula, seolah-olah ialah yang menemukan hal itu lebih dulu namun tiba-tiba terpotong oleh suara Te-liong Hiang-cu yang dingin.

"Hemm, laporan basi."

Tentu saja muka Ibun Hong menjadi merah padam, namun tanpa berani membantah lagi ia duduk. Namun dengan nada agak penasaran ia bertanya kepada Te-liong Hiang-cu.

"He, kenapa kau katakan laporanku tadi adalah laporan basi?"

Dengan congkaknya Te-liong Hiang-cu mendengus dan tidak menjawab pertanyaan Ibun Hong itu, membuat si perwira semakin penasaran dan bertanya dengan lebih keras lagi.

"He! Apakah kupingmu budeg?! Kau dengar pertanyaanku tadi tidak?!"

Kali ini jawaban Te-liong Hiang-eui menyakitkan hati.

"Apakah kalau seekor anjing menggonggong di depanku, aku harus ikut mengonggong pula?"

Ibun Hong tak dapat menahan diri lagi, ia segera meloncat bangun dari kursinya sambil menghunus goloknya. Namun sebelum ia bertindak lebih lanjut, telah terdengar suara Pakkiong An; membentak.

"Ibun Hong, kembali ke tempat duduknya!"

"Tetapi,Ciangkun, orang itu sudah menghina aku!"

"Duduklah!"

Terhadap perintah Panglimanya itu Ibun Hong tidak berani membantah.

Apa-boleh buat, dengan sinar mata yang menyorotkan kebencian kepada orang berkerudung hitam yang menamakan dirinya Te-liong Hiang-cu itu, iapun kembali ke tempat duduknya sambil menyarungkan kembali goloknya.

Di dalam hatinya ia menggerutu.

"Sungguh gila, kenapa Ciangkun mau bekerja sama dengan orang gila ini? Apakah pengaruh Ciangkun sendiri di Istana masih kurang dapat diandalkan sehingga masih harus ditambah dengan siluman bermulut besar ini?"

Lalu Pakkiong An berkata kepada Te-liong Hiang-cu, dengan nada yang sopan namun juga cukup tegas.

"Hiang-cau harap jangan membuat suasana pertemuan ini menjadi panas sebelum pertemuannya sendiri mencapai masalah- masalah penting yang harus dibicarakan. Kerjasama antara kita adalah sederajat aku tidak berhak memaki dan menghukum anak buahmu, sebaliknya kau pun tidak dapat memaki dan menyakiti hati anak buahku dengan sesukamu sendiri."

Te-liong Hiang-cu hanya mendengus dingin, namun sikapnya telah menimbulkan ketidak- senangan beberapa anak buah Pakkiong An, meskipun mereka sadar bahwa orang yang sangat memuakkan itu bakalan menjadi sekutu mereka.

Terdengar orang berkerudung itu berkata.

"Aku tidak menghinanya. Aku hanya jemu mendengarnya bicara panjang lebar, padahal semua yang hendak dia bicarakan. itu sudah aku ketahui semuanya."

Semua yang berada di ruangan itu harus menahan diri melihat kesombongan orang itu, terutama Ibun Hong.

Tetapi mereka juga heran mendengar bahwa orang herkerundung itu mengatakan bahwa ia sudah mengetahui semua gerakan kaum pemberontak di Ibukota Kerajaan itu.

Hanya sekedar membual atau bersungguh-sungguh? Kalau bersungguh- sungguh, alangkah hebat daya pengamatannya terhadap keadaan.

Sedang Ibun Hong sendiripun mendapatkan keterangan yang sebenarnya hendak dibanggakannya itu dengan susah payah, dengan selundup sana selundup sini untuk menguping pembicaraan- pembicaraan musuh, tidak jarang nyawanya hampir melayang, semuanya itu demi hendak memperoleh pujian di hadapan Pakkiong An.

Tapi kini orang berkerudung itu mengaku sudah tahu semuanya, dan itu berarti "merebut pahala"

Ibun Hong? Di antara wajah-wajah yang tidak percaya dalam ruangan itu, Kiranya wajah Hehou Im yang lain daripada yang lain.

Ia tersenyum- senyum tanpa dapat ditafsirkan arti senyumannya.

Namun sebenarnyalah Hehou Im sangat mempercayai Te-liong Hiang-cu sampai hal yang sekecil-kecilnya, sebab ia sudah pernah menjadi anak buah Te-liong Hi-ang-cu di jaman Hwe-liong-pang dulu, dan ia tahu betul sampai di mana kemampuan Te-liong Hiang-cu itu.

Terdengar Ibun Hong bertanya.

"Te liong Hiang-cu, kata-katamu itu benar-benar dapat dibuktikan atau cuma sekedar bualan busukmu?"

Tanpa melirik sedikitpun kepada Ibun Hong, Te-liong Hiang-cu berkata.

"Aku bukan cuma tahu bahwa kaum pemberontak akan mengadakan gerakan serempak di Pak-khia ini, melainkan juga tahu bahwa mereka terdiri dari tiga unsur yang dulunya bermusuhan namun kini bersatu-padu. Yaitu unsur-unsur, pendukung-pendukung dinasti Beng yang kini tergabung dalam Jit-goat-pang (Serikat Matahari dan Rembulan) pimpinan Pangeran Cu Leng-ong sendiri, lalu unsur-unsur pengikut- pengikut Li Cu-seng yang tulang-punggungnya adalah orang-orang bekas pengikut Hwe-liong- pang (Serikat Naga Api) ditambah dengan usur ketiga, yaitu para pendekar yang tidak termasuk dalam unsur pertama maupun kedua, yaitu orang-orang berilmu dari perbagai perguruan yang juga tidak senang kepada pemerintahan Manchu. Mereka bukan cuma ingin membebaskan Pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong, melainkan juga ingin membebaskan tokoh-tokoh lainnya yang mereka puja sebagai pahlawan, yang saat ini mendekam di Penjara Kerajaan."

Ibun Hong bungkam mendengar hal itu.

Ia sekarang harus mengakui dalam hati bahwa apa yang diketahuinya ternyata kalah jauh dari apa yang diketahui oleh orang berkerudung Te- liong Hiang-cu itu.

Yang diketahuinya baru gejala-gejalanya saja, dan garis besarnya sementara untuk hal-hal sekecil-kecilnya masih harus diselidiki.

Namun kini Te-liong Hiang-cu menyerocos terus tentang gerakan kaum pemberontak itu, membuat Ibun Hong semakin merasa dirinya tolol.

"...pergerakan mereka akan dilakukan setelah ujian keprajuritan selesai sebab saat ini mereka belum semuanya berkumpul di Pak- khia. Mereka tidak mungkin datang dengan berbondong-bondong ke kota ini, sebab dengan demikian gerakan mereka tentu akan tercium oleh para penyelidik atau mata-mata kita. Yang akan ikut dalam gerakan menjebol Penjara Kerajaan itu ada kira kira limapuluh orang. Inilah daftar nama mereka..."

Sambil mengucapkan kalimat terakhir itu Te-liong Hiang-cu menyerahkan beberapa lembar kertas yang dikeluarkan dari balik saku bajunya.

Pakkiong An menerima kertas itu dengan kegembiraan yang meluap, sehingga jari-jarinya nampak agak gemetar.

Dibacanya nama-nama yang tertulis di lembaran-lembaran kertas itu, dari nama yang pertama sampai yang ke limapuluh, dan matanyapun bersinar-sinar.

Katanya.

"Wow...ini kakap-kakap semuanya. Jika aku berhasil menjaring semuanya, jasaku di hadapan Sri Baginda akan luar biasa sekali!"

Di sebelahnya, Pakkiong Hok juga mengulurkan kepalanya untuk ikut membaca huruf-huruf di lembaran kertas itu, dan iapun ikut berkata.

"Ya, jasa ayah dalam sekali gebrak saja akan mengungguli jasa piau-ko yang dikumpulkannya selama bertahun-tahun!"

Te-liong Hiang-cu nampak puas sekali melihat sikap ayah dan anak itu, katanya lagi.

"Benar, Ciangkun harus bisa menjaring mereka semua. Namun untuk itu harus dilakukan persiapan sejak sekarang. Mereka bukan kambing-kambing gemuk dan tolol yang dengan suka-rela masuk ke sarang serigala, melainkan orang-orang berilmu silat tangguh yang harus dihadapi dengan kekuatan yang memadai. Ciangkun mulai sekarang harus mengumpulkan orang-orang berilmu tinggi untuk ikut menjaga Penjara Kerajaan pada hari yang ditentukan kelak. Tanpa persiapan itu, bukan saja ikannya tidak terjaring, malahan jalanya akan hancur lebur diterjang ikan-ikan buas itu!"

"Tentu! Aku akan bersiap mulai sekarang. Te-liong Hlang-cu, langkah pertama dari kerjasama kita ini benar-benar menggembirakan, aku berharap kita akan dapat bekerja-sama untuk seterusnya! "

Tidak diketahui bagaimana perubahan wajah Te-liong Hiang-cu mendengar sanjungan Pakkiong An itu, sebab wajah yang tertutup kedok hitam itu senantiasa kelihatan dingin dan seram, tanpa mimik apapun.

Sementara itu, Ibun Hong yang masih penasaran dan ingin menjatuhkan Te-liong Hiang-cu itu, mengeluarkan kata-kata pancingan.

"Hiang-cu kenapa kau mengetahui rencana secermat itu? Barangkali kau salah satu dari mereka?"

Ibun Hong mengharap orang berkedok itu akan membantah, lalu akan di-sudutkannya dengan kata-kata. Namun adalah di luar dugaan bahwa Te-liong Hiang-cu menganggukkan kepala dan menjawab.

"Benar, aku adalah salah satu dari limapuluh orang itu. Karena itu aku diajak berunding oleh mereka, dan aku tahu pasti rencana mereka sampai hal sekecil- kecilnya."

Wajah Pakkiong An menegang sejenak, begitu pula Pakkiong Hok dan perwira- perwiranya.

Orang berkerudung hitam itu agaknya terlalu berani mengucapkan kata- katanya itu, apakah ilmunya sedemikian tingginya sehingga ia yakin dapat lolos dari orang-orang di ruangan itu? Atau sekedar menunjukkan agar keterangannya dapat dipercaya? Tapi Pakkiong An juga tidak kalah liciknya, ia pura-pura acuh saja ketika bertanya.

"Nama yang ke berapa?"

"Apakah perlu Ciangkun ketahui?"

"Kalau Hiang-cu tidak keberatan. Supaya ketika diadakan penjaringan tokoh-tokoh pemberontak itu kelak, kami tidak salah jaring terhadap tokoh yang menjadi samaran Hiang- cu."

Namun Te-liong Hiang-cu bersandar ke sandaran kursi dengan santainya, lalu menyahut ringan.

"Terima kasih atas perhatian Ciangkun atas keselamatanku. Tetapi biarlah aku berusaha menyelamatkan diriku sendiri. Nanti kalau aku terbunuh juga oleh prajurit- prajurit Ciangkun yang salah lihat, anggap saja salahku sendiri."

"Tetapi kematian demikian sungguh konyol... ."

"Dan karena itulah aku tidak ingin mati demikian konyol..."

Potong Te-liong Hiang-cu. Pakkiong An yang di Ibukota Kerajaan punya pengaruh kuat dan terkenal suka "main belakang"

Untuk menyingkirkan lawan- lawannya dalam pemerintahan itu, kini agaknya telah bertemu dengan tandingan yang setimpal.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Te-liong Hiang-cu yang menjadi rekan kerjasama itu suatu ketika kelak harus disingkirkannya, namun Pakkiong An juga yakin bahwa orang berkerudung itupun tentu juga punya niat untuk memusnahkannya.

Tergantung siapa yang lebih cepat.

"Ayah, bagaimana kalau kita sergap saja mereka satu persatu sebelum mereka berkumpul?"

Terdengar Pakkiong Hok bertanya.

"Dengan petunjuk dari Te-liong Hiang-cu, bukankah kita dapat mengetahui siapa-siapa mereka dan kita bekuk batang leher mereka satu persatu?"

Yang menjawab bukam ayahnya melainkan Te-liong Hiang-cu.

"Keliru besar. Barangkali dapat juga kita tangkap satu dua di antara mereka, namun yang lain-lainnya pasti akan menjadi lebih waspada. Jika mereka tidak berhasil membuat hubungan dengan teman- teman mereka, maka memeka pasti akan merasakan ketidak beresan, dan mereka akan membatalkan rencana mereka, dan gagallah niat kita untuk menyaring mereka sekaligus;"

"Hiang-cu benar, A-hok,"

Kata Pakkiong An sambil mengelus kumisnya.

"Biar mereka berkumpul dulu, kita jaring serempak."

Maka merekapun mulai berunding bagaimana caranya menjaring gerakan para pemberontak itu.

Sampai jauh malam, barulah pembicaraan itu selesai.

Dan masing-masing segera kembali ke rumahnya masing-masing.

Ibun Hong pulang bersama-sama dengan Hehou Im, karena kebetulan rumah mereka searah.

Bersamanya ikut pula dua orang pengawalnya.

Sambil berkuda perlahan-lahan menyusuri jalan-jalan yang mulai sepi, Ibun Hong menumpahkan uneg-unegnya yang sejak tadi ditahan-tahan dalam hatinya.

"Saudara Hehou, orang berkerudung itu sungguh menjemukan. Ia menguasai seluruh pembicaraan, seolah-olah dialah yang menjadi Panglima kita. Dan herannya, Pakkiong Ciangkun kelihatannya juga sangat segan kepada orang itu. Sementara dadaku hampir meledak rasanya ketika melihat lagaknya dalam ruang pertemuan tadi. Hanya karena masih menghargai kewibawaan Ciangkun, aku tidak turun tangan menghajarnya. Coba andaikata... ."

Ketika itu mereka tengah melewati sebuah Jalan yang sunyi, rumah-rumah di kiri-kanan jalan sudah menutup pintu gerbangnya.

Ketika Ibun Hong sedang berbicara sampai perkataan "andaikata", tiba-tiba terasa angin berhembus dan tahu-tahu di tengah jalan itu telah berdiri sesosok tubuh hitam yang menghadang perjalanan mereka.

Te-liong Hiang-cu.

Ia muncul begitu saja di tempat itu, tidak kelihatan ia datangnya dengan meloncat entah dengan cara lain, tahu-tahu ada begitu saja di situ.

Bersambung ke

Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan Ko Aditya Indra Jaya first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU

Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.

Jilid ehou Im cepat meloncat turun dari kudanya dan memberi hormat.

"Salam kepada Hiangcu!"

Katanya.

Tetapi Ibun Hong masih terlongong longong di atas kudanya.

Ia memang benci kepada orang yang berkali-kali menyakiti hatinya dengan ucapan-ucapan yang bernada menghina ketika berada di rumah Pakkiong An tadi, namun Ibun Hong juga gentar setelah melihat kehebatan orang itu, yang dapat muncul begitu saja seperti sesosok hantu saja.

Dengan mata yang tajam Te-liong Hiangcu menatap Ibun Hong dari balik kedok hitamnya.

Suaranya dingin.

"He, perwira gendut, kau telah membuatku sangat muak dengan tingkah H lakumu di rumah Pakkiong An tadi. Kini aku akan mengambil batok kepalamu!"

Ibun Hong maupun Hehou Im terkejut mendengar itu.

Ibun Hong telan meraba gagang goloknya, namun dia sendiri ragu-ragu apakah goloknya itu akan bermanfaat untuk menghadapi manusia yang mirip siluman itu? Sementara itu Hehou Im terkejut sebab dengan terbunuhnya Ibun Hong akan berarti rusaknya kerjasama Te-liong Hiangcu dengan Pakkiong An.

Pakkiong An tentu akan merasa tidak senang kalau rekan sekerjanya itu belum- belum sudah berani membunuhi perwira bawahannya dengan sewenang-wenang, dengan alasan yang remeh saja.

Padahal Hehou Im merasa bahwa keberhasilan kerjasama itu akan ikut menentukan masa depannya pula.

Hehou Im pula yang menjadi penghubung untuk memperkenalkan Pakkiong An dengan Te-liong Hiang-cu, dan ikut mengatur terjadinya kerjasama itu.

Karena itu, cepat cepat ia berkata kepada Te-liong Hiangcu.

"Tunggu dulu, Hiangcu, apakah alasan sekedar merasa muak itu sudah cukup untuk membunuh seseorang?"

"Lebih dari cukup. Aku bahkan kadang- kadang membunuh beberapa orang karena iseng saja,"

Sahut Te-liong Hiangcu dingin menggidikkan.

"Jadi apa salahnya kalau aku bunuh si gendut ini?"

"Harap Hiangcu menyabarkan hati. Hiangcu baru saja memulai kerjasama dengan Pakkiong Ciangkun, dan awalan dari kerjasama itu sudah bagus. Bagaimana sekarang Hiangcu hendak merusakkan kerjasama ini hanya karena alasan yang remeh saja? Ibun Hong adalah perwira kepercayaan Pakkiong Ciangkun, dan Pakkiong Ciangkun tentu akan menganggap tindakan Hiangcu ini keterlaluan."

"Aku tidak takut kepada Panglima tua yang berpenyakit bengek itu. Ia dengan pasukannya bisa saja meratakan sebuah kota atau benteng, tetapi ia tidak akan dapat berbuat apa-apa kepadaku. Ia tidak tahu siapa aku, dan tidak tahu kemana akan mencari aku, sedangkan aku dapat masuk ke rumahnya setiap saat yang aku kehendaki dan membunuh seluruh keluarganya!"

Selama percakapan antara Hehou Im dengan manusia yang mirip siluman itu berlangsung, Ibun Hong dan kedua prajurit pengawalnya hanya duduk membeku di atas punggung kuda mereka masing-masing.

Tangan mereka memegang senjata, namun basah dengan keringat dingin.

Mereka sadar bahwa nyawa mereka benar-benar tergantung dari hasil pembicaraan Hehou Im dengan bekas pemimpinnya di jaman Hwe-liong-pang itu.

Hehou Im masih berusaha membujuk Te- liong Hiangcu agar tidak berbuat sesuatu atas diri Ibun Hong.

"Apa yang Hiangcu katakan itu benar semuanya. Memang Hiangcu dapat saja berbuat sesuatu atas diri Pakkiong Ciangkun semudah orang membalikkan telapak tangan sendiri, tapi dengan demikian bukankah Hiangcu kehilangan seorang yang sesungguhnya dapat membantu Hiangcu untuk mencapai, cita-cita Hiangcu untuk menguasai dunia persilatan? Cita-cita Hiangcu yang, maaf, pernah Hiangcu coba beberapa tahun yang lalu namun gagal?"

Orang berkeredung itu nampak merenung sebentar.

Jika menuruti gejolak kemarahannya, ingin rasanya ia membunuh sepuas-puasnya, sebab sudah jadi wataknya bahwa nyawa orang lain sangat tidak dihargainya.

Baginya, membunuh beberapa orang terasa ringan tanpa beban perasaan sedikitpun, seperti membunuh nyamuk atau lalat saja.

Bahkan ia sering menganjurkan kepada anak buahnya.

"Keahlian membunuh, seperti juga keahlian-keahlian lainnya, harus selalu dilatih dan diasah agar makin lama makin mahir. Karena itu kalian harus selalu melatihnya setiap saat, dan bukankah di sekitar kalian ada banyak orang yang bisa dijadikan sasaran latihan kalian?"

Namun kali ini terasalah kebenaran kata-kata Hehou Im bahwa sebaiknya ia harus tetap menjaga hubungan dengan Pakkiong An Kerjasama itu menguntungkannya, sebab ia dapat menyingkirkan tokoh-tokoh dunia persilatan yang dapat menyainginya untuk menduduki jabatan Bu-lim Beng-cu (Pemimpin Umum Rimba Persilatan), sehingga ia akan dapat melangkah ke kursi Bu-lim Beng-cu dengan mulusnya.

Misalnya dalam rencana penyerangan Penjara Kerajaan oleh para pemberontak beberapa hari lagi, saat itu entah berapa banyak tokoh rimba persilatan yang bakal ikut terjaring oleh Pakkiong An, sehingga saingan-sainganpun akan berkurang banyak.

Karena otaknya ternyata masih cukup jernih untuk dapat berpikir untuk tujuan jahatnya itu, akhirnya Te-liong Hiang-cu memutuskan untuk menerima usul He-hou Im itu.

"Baik, aku tidak akan membunuh bangsat gendut ini. Tetapi paling tidak aku harus mencungkil sebelah matanya untuk kenang- kenangan."

Hehou Im sendiri berjuluk Sat-sin kui si Setan Ganas, menandakan wataknya yang kejam.

Namun kekejaman Sat-sin-kui kalau dibandingkan dengan Te-liong Hiangcu sungguh terlalu kecil, bukan apa-apanya.

Sat-sin-kui Hehou Im kejam kepada musuh-musuh yang merintangi tujuannya, namun Te-liong Hiangcu bisa menjadi kejam tanpa alasan apapun, atau hanya sekedar "iseng"

Atau "berlatih membunuh", sehingga Hehou Im sendiri sering merasa ngeri dengan kekejaman bekas pemimpinnya yang luar biasa itu.

Hampir- hampir tidak masuk akal namun kenyataannya demikian.

Tapi bagaimanapun juga Hehou Im harus berusaha sekuat tenaga agar hubungan yang sudah terjalin antara Te-liong Hiangcu dengan Pakkiong An itu tidak menjadi berantakan.

Bukan karena Hehou Im adalah seorang yang baik hati sehingga ingin merukunkan sesamanya, namun karena hubungan baik antara kedua tokoh itu akan menguntungkannya.

Kalau sudah tidak menguntungkan lagi, buat apa repot-repot merukunkan mereka? Mau saling cakar atau saling gorok ya silahkan saja....Kata Hehou Im.

"Jangan, Hiangcu, aku mohon dengan sungguh-sungguh agar Hiangcu tidak melukai rambutpun atas diri saudara Ibun ini. Semua yang telah kita sepakati bersama Pakkiong Ciangkun akan menjadi rusak hanya karena Hiangcu tidak dapat menahan diri. Aku mohon, Hiangcu!"

Bahkan untuk memberi tekanan kepada permohonannya itu, Hehou Im berlutut pula dan membentur-benturkan jidatnya ke tanah."

Te-liong Hiangcu menghentakkan kakinya ke tanah, geramnya.

"Huh, apapun yang ingin kulakukan, kau selalu mencegahnya. Tanganku sudah gatal, lalu di mana aku harus membunuh?"

Tiba-tiba Hehou Im menyeringai kejam dan melirik ke arah kedua orang prajurit pengawal Ibun Hong itu.

Dua orang prajurit yang tidak tahu apa-apa dan sejak tadi hanya mendengarkan pembicaraan itu dengan setengah mengerti setengah bingung.

Pikir Hehou Im.

"Kedua prajurit keroco itu sudah mendengar sebagian kecil dari rahasia komplotan ini, karena itu mereka tidak boleh dibiarkan hidup. Selain itu, juga sekalian dapat dijadikan pelampiasan nafsu membunuh Hiangcu yang agaknya sulit dikendalikan ini."

Karena itu, Hehou bangkit dari berlututnya, dan sambil melirik ke arah kedua prajurit itu, Hehou Im berkata.

"Jika Hiangcu ingin berolahraga sedikit, kenapa harus Ibun Hong sasarannya? Bukankah masih ada lainnya?"

Kedua prajurit itu tidak begitu mengerti ucapan Hehou Im itu, namun secara naluriah mereka segera merasa bahwa keselamatan mereka terancam.

Tetapi selagi mereka masih kebingungan dan menebak-nebak, tahu-tahu Te-liong Hiangcu telah bergerak bagaikan kilat menerkam nyawa mereka.

Terlihat kedua tangan Te-liong Hiangcu hanya bergerak ringan seperti menggores berputar dengan ujung- ujung jarinya ke leher kedua prajurit itu, dan tahu-tahu kepala mereka sudah copot.

Kedua tubuh tanpa kepala itu masih duduk di atas punggung kuda dan tangan mereka masih menggapai-gapai sejenak, sebelum mereka roboh ke tanah.

Te-liong Hiangcu tertawa terbahak bahak, dan dengar sekali gerakan saja ia sudah menghilang bersama kedua butir kepala korbannya itu.

Hehou Im dan Ibun Hong memang kejam, namun merekapun terpaksa memalingkan kepala ke arah lain selama Te- liong Hiangcu melakukan perbuatan biadabnya itu.

Mereka barulah berani menoleh kembali setelah mendengar suara tubuh yang jatuh dari kuda dua kali berturut-turut.

Yang mereka lihat kemudian hanyalah dua orang prajurit pengawal Ibun Hong yang sudah tidak berkepala laga.

"Benar-benar keji seperti ib..."

Kata-kata makian hampir saja terluncur dari mulut Ibun Hong, tapi kemudian cepat-cepat ditutupnya mulutnya.

Ia sadar bahwa caci-makinya itu kalau sampai didengar oleh Te-liong Hiangcu bisa membawa malapetaka bagi dirinya.

Nyawanya baru saja lolos dari lubang jarum karena dimintakan ampun oleh Hehou Im, namun kedua prajurit pengawal-nyalah yang menjadi korban.

Kedua tubuh tanpa kepala itu masih duduk di atas punggung kuda dan tangan mereka masih menggapai-gapai sejenak, sebelum mereka roboh ke tanah.

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akhirnya Ibun Hong cuma menarik napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Kepada Hehou Im ia berkata.

"Aku berhutang nyawa kepadamu, saudara Hehou. Kalau kau tidak membujuk ib...eh, orang itu, entah bagaimana dengan nasibku ini."

"Sudahlah. Dia memang berwatak aneh, tapi jika kita bisa berbicara baik-baik kepadanya maka nyawa kitapun aman. Sekarang yang penting, bagaimana kita harus berbicara tentang kedua prajurit yang malang itu?"

"Keluarganya tentu akan terkejut sekali menerima tubuh mereka, entah aku harus berbicara bagaimana dengan mereka?"

"Kita perabukan saja jenazah mereka di kuil terdekat, tanpa lebih dulu memberitahu keluarga mereka. Beberapa hari kemudian, barulah kita serahkan abunya kepada keluarga mereka, katakan saja bahwa mereka telah gugur di suatu tempat tugas yang jauh dari Pak-khia. Menerima abu jenazah tentu tidak akan sekaget menerima tubuh-tubuh tanpa kepala."

Ibun Hong yang merasakan pikirannya buntu itu cuma bisa mengangguk-angguk mendengar saran Hehou Im itu.

Begitulah mereka melakukan rencana mereka.

Sementara di dalam hati Ibun Hong sudah timbul rasa takut luap biasa kepada manusia iblis itu, namun ia merasa heran juga bahwa Pakkiong An telah mendapat rekan kerjasama yang demikian menakutkan.

Dalam perjalanan pulang dari kuil yang mereka titipi jenazah-jenazah itu, rasa ingin tahu Ibun Hong masih belum terlampiaskan, sehingga iapun masih bertanya.

"Saudara Hehou, sejak kapan Ciangkun berkenalan dengan...dengan Hiangcu?"

Demikianlah mulai saat itu Ibun Hong mencoba membiasakan diri untuk menyebut Te-liong Hiang-cu dengar sebutan yang agak lebih menghormat.

Bukan karena hormat benar-benar, melainkan agar batok kepalanya bisa menempel di lehernya lebih lama sedikit.

Jawab Hehou Im terus terang, sebab Ibun Hong adalah rekan sekomplotan yang dapat dipercaya.

"Aku yang menghubungkan Pakkiong Ciangkun dengan Hiangcu. Keduanya kebetulan sama-sama, memiliki cita-cita yang tinggi, tetapi dengan tujuan yang berbeda. Nah, bukankah dengan kerjasama itu maka tujuan masing- masing akan dapat dipercepat tercapainya?"

"Apakah saudara Hehou berkepentingan dengan terwujudnya cita-cita kedua belah pihak?"

"Tentu saja. Bukankah saudara Ibun juga demikian? Kalau kita tidak berkepentingan, kita tidak akan berada dalam komplotana ini. -lika kelak Pakkiong Ciangkun mencapai kedudukan tinggi, bahkan yang tertinggi, bukankah kita sebagai pendukung-pendukungnya akan menikmati hasilnya pula? Isikan sebagai perwira rendahan terus-menerus seperti sekarang ini?'' Kepala Ibun Hong terangguk-angguk. Tanpa dijelaskanpun ia sudah tahu maksud perkataan "kedudukan yang tertinggi"

Itu.

Apa lagi yang tertinggi itu kalau bukan Kaisar? Para bawahannya sudah sama-sama maklum bahwa Pakkiong An sebenarnya memendam niat untuk duduk di singgasana, meskipun Panglima tua itu tidak pernah bicara secara terang-terangan.

Dan itu pula sebabnya Pakkiong An membentuk sebuah komplotan rahasia yang demikian ketat dan kerasnya, sebab tanpa sikap yang ketat dan keras maka rahasianya bisa bocor keluar.

Kalau rahasia bocor keluar, itu alamat bahwa Pakkiong An beserta seluruh keluarganya bakal dihukum mati, sebab mencoba menggulingkan kedudukan Kaisar adalah dosa besar tak berampun.

"Saudara Hehou, tidak mungkinkah suatu saat Pakkiong Ciangkun dan Te-liong Hiangcu menjadi musuh karena berebut kedudukan? Seperti riwayat Cu Goan-ciang dan Thio Su-seng yang berjuang bersama-sama merebut negeri menumbangkan Kaisar Goan-sun-te, tapi setelah menang mereka bermusuhan sendiri memperebutkan tahta? Tidakkah hal ini akan terjadi pada diri Pakkiong Ciangkun dan rekan kerjasamanya itu?"

Hehou Im merenung sejenak sebelum menjawab.

"tujuan mereka berdua berlain- lainan. Tujuan Pakkiong Ciangkun, kita sudah sama-sama tahu. Sedang kan tujuan Te-liong Hiangcu sekedar untuk menjadi seorang Bulim Bengcu (Ketua Rimba Persilatan). Itulah cita- citanya yang diimpikannya sejak ia masih tergabung dalam Hwe-liong-pang dulu."

"Tetapi kedudukan Bulim Bengcu itu adalah sebuah kedudukan yang kuat, bukankah dengan kedudukannya itu ia dapat memerintah ribuan orang dari kalangan dunia persilatan? Bukankah itu sama saja dengan ia memiliki ribuan prajurit yang semuanya berilmu tinggi? Tidakkah ia kelak tergerak hatinya untuk bersaing dengan Pakkiong Ciang-kun?"

Hehou Im tidak menjawab, ucapan Ibun Hong itu memang masuk akal dan mungkin sekali terjadi.

Hehou Im sendiri sebenarnya juga sudah pernah memikirkannya, menilik watak Pakkiong An maupun Te-liong Hiangcu yang sama-sama kejam dan haus kekuasaan itu, mustahillah kalau kerjasama antara mereka berjalan dengan tulus.

Suatu saat kelak mereka pasti akan saling mengintai dan menerkam.

Kalau demikian, kemanakah aku akan berpihak? Begitu Hehou Im bertanya kepada dirinya sendiri.

Dan dijawabnya sendiri pula, hanya di dalam hati.

"aku berpihak kepada akal sehatku. Siapa yang kelihatannya akan menang, dialah tempat aku berpijak. Aku harus pandai-pandai menentukan langkah."

Sudah tentu jawaban itu tidak diutarakan kepada Ibun Hong. Bahkan ketika Ibun Hong bertanya kemana ia hendak berpihak jika terjadi pertentangan, maka Hehou Im yang licik itu hanya menjawabnya dengan samar-samar saja.

"Semoga pertentangan itu tidak terjadi. Tapi kalau terjadi juga, yah..kita kan cuma perwira rendahan yang hanya mengikuti keadaan saja...."

Ibun Hong tertawa, agaknya ia dapat menangkap sesuatu makna di balik kalimat yang kabur itu. Maka iapun berkata "aku kira sikap saudara Hehou memang bijaksana. Dan masuk akal juga."

Keduanya sama-sama tertawa dan sama- sama paham apa arti tertawa mereka.

Ketika Ibun Hong tiba di depan pintu rumahnya, ia berbasa-basi dengan mempersilahkan Hehou Im untuk mampir sejenak.

Namun Hehou Im menolaknya, lalu keduanya saling mengucapkan selamat malam dan berpisah.

Rumah Hehou Im sendiri tidak terlalu jauh dari rumah Ibun Hong itu.

Hari demi hari berlalu, sementara Pakkiong An sibuk dengan "jaringnya"

Yang akan digunakan untuk menangkap limapuluh ekor "kakap"

Sekaligus, maka hari ujian keprajuritanpun sudah dekat.

Di sebuah lapangan luas di luar pintu timur Kota Pak-khia, sebuah panggung telah disiapkan.

Di panggung itulah nantinya akan duduk para Panglima, para Pangeran, Menteri dan lain-lain yang akan menyaksikan ialannya penyaringan calon-calon prajuri .

Hari itu pun tiba.

Sekeliling lapangan telah dihias dengan bendera-bendera berwarna-warni, panggung kehormatan telah dijaga ketat oleh pasukan yang berseragam merah hitam, itulah pasukan anak buah Kiu-bun Tetok (Panglima sembilan pintu kota, maksudnya Panglima yang bertanggung jawab terhadap keamanan di dalam kota).

Namun nampak juga prajurit- prajurit dari kesatuan-kesatuan lainnya yang berada di situ untuk mengawal Panglimanya masing-masing.

Nampak pula Pakkiong Liong dalam seragam panglimanya yang indah duduk berdampingan dengan pamannya, Pakkiong an, dan di sebelah lain adalah puteri bibinya, To Li- hua.

Ayah To Li-hua yang bernama To An-an adalah seorang bekas Panglima pula, dan duduk di deretan itu.

Sementara itu, di sekitar lapangan telah menjadi lautan manusia.

Bukan saja anggauta keluarga dari para calon prajurit yang ikut menonton jago-jago mereka mengadu nasib, namun sebagian dari penduduk kota Pak- khiapun telah berbondong-bondong melihat pemilihan prajurit yang hanya berlangsung dua tahun sekali itu.

Duaribu lebih anggauta pasukan Kiu-bun Tetok tersebar di sudut-sudut lapangan dengan senjata terhunus.

Sementara itu, para prajurit yang jumlahnya juga mencapai duaribu an itu berkumpul di satu sisi.

Mereka semuanya berpakaian ringkas sesuai dengan seleranya masing-masing.

Dan didengar dari logat bicara mereka, maka agaknya merekapun berasal dari daerah yang berbeda-beda, bahkan ada yang datang dari luar Tembok Besar.

Sikap mereka juga berbeda- beda, ada yang menampilkan rasa percaya diri yang besar, ada pula yang nampak tegang dan ragu-ragu, ada pula yang menutupi kekecutan hatinya dengan mencoba bersikap aneh.

Tong Lam-hou ada di antara calon calon prajurit itu.

Ia duduk tenang-tenang saja di atas rerumputan, tidak dihiraukannya seorang bertubuh tinggi besar yang duduk di sebelahnya dan sejak tadi menggerutu terus.

Ketika tambur dipukul, semua orang serentak menoleh ke tengah lapangan.

Seorang yang berpakaian pejabat dari Peng-po-ceng- tong memegang sehelai kertas di tangannya dan dibacakannya huruf-huruf yang tertulis di kertas dengan suara yang keras.

Isinya mengutarakan bahwa ujian penyaringan prajurit itu akan berlangsung dalam tiga tahap dalam tiga hari.

Yang boleh ikut tahap kedua hanyalah yang sudah lolos tahap pertama, begitu pula yang boleh mengikuti tahap ketiga hanyalah yang sudah lolos tahap kedua.

Ujian tahap pertama adalah ketahanan jasmani, ujian tahap kedua adalah ketrampilan keprajuritan seperti menunggangi kuda, memanah, melempar lembing dan sebagainya.

Ujian ketiga adalah Ilmu silat, bertarung melawan para pelatih dari berbagai pasukan.

Ujian ketiga ini untuk menentukan pangkat bagi para calon prajurit.

Semakin tinggi ilmunya, akan semakin tinggi pangkatnya, meskipun terbatas pula, sebab tidak mungkin seseorang menduduki pangkat yang menentukan tanpa diketahui sampai dimana kesetiaannya kepada Negara dan Kaisar.

Waktu itu, di tengah-tengah lapangan itu sudah ada potongan-potongan balok kayu yang jumlahnya kira-kira seratus batang sama besar.

Para calon prajurit segera diperintahkan untuk berkumpul menurut kelompok-kelompok yang sudah ditetapkan kemarin.

Ada dua puluh kelompok yang tiap kelompok terdiri kira-kira seratus orang.

Tong Lam-hou termasuk dalam kelompok ke sebelas.

"Kelompok pertama memasuki lapangan!"

Teriak seorang perwira.

"Masing-masing mengambil tempat di dekat sepotong balok! Tetap dalam jajaran yang rapil"

Setelah masing-masing diperiksa namanya untuk dicocokkan dengan daftar, maka ujianpun dimulai.

Tiap calon harus mengangkat balok kayu itu naik turun sebanyak lima ratus kali di bawah hitungan seorang perwira.

Maka gegap- gempitalah lapangan itu ketika melihat para calon prajurit itu menggerak-gerakkan balok yang berat itu dengan kedua tangannya, menuruti irama tambur.

Orang yang kemarin membual mampu membunuh dua ekor harimau dalam semalam itu, ternyata hanya mampu mengangkat sampai hitungan ke seratus lebih, sesudah itu tangannya lemas dan hampir saja balok kayu itu menimpa kepalanya sendiri.

Maka namanya segera dicoret dari daftar para calon.

Dengan kepala tunduk ia keluar lapangan, untuk memperbaiki kesalahannya itu ia harus menunggu dua tahun lagi.

Demikianlah, kelompok demi kelompok maju untuk mengalami pendadaran yang berat itu.

Dari setiap kelompok, tidak banyak jumlahnya yang berhasil menyelesaikan sampai hitungan kelima-ratus.

Namun yang berhasil itu tentu saja melangkah keluar dari lapangan dengan perasaan bangga.

Ujian macam itu dilalui oleh Tong Lam-hou dengan mudahnya, dan yang membuatnya bersemangat ialah ketika melihat seorang gadis Manchu duduk di samping Pakkiong Liong.

Gadis itu, To Li-hua yang oleh Ha To-ji dan lain- lainnya dijuluki "si cerewet", melambaikan tangannya kepada Tong Lam-hou ketika melihat Tong Lam-hou masuk ke lapangan ujian bersama dengan kelompoknya.

Demikianlah ujian-ujian ketahanan jasmani yang lain-lain seperti meloncati patok kayu sebanyak seribu kali, atau bergulingan dari ujung ke ujung lapangan, telah dilalui oleh Tong Lam-hou tanpa banyak kesulitan.

Ketika matahari telah hampir tenggelam, barulah ujian tahap pertama itu dinyatakan selesai.

Dari dua ribu orang calon, ternyata yang dinyatakan lolos tahap pertama hanyalah kira- kira limaratus orang dan berhak mengikuti tahap kedua.

Lainnya dinyatakan gugur.

Malah ada yang untuk berjalan saja sudah tidak sanggup lagi sehingga terpaksa harus digotong.

Di antara para penonton yang berdesak- desakan itu, ada seorang lelaki berusia kira-kira empatpuluh lima tahun, berwajah tampan dan berjenggot hitam rapi.

Tubuhnya, yang ramping itu memakai pakaian ringkas serba putih, namun dilapisi dengan selembar jubah berwarna biru pucat.

Jubah panjang yang juga bertujuan menutupi sebatang pedang pendek yang tergantung di pinggang kirinya agar tidak kelihatan.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Ketika seorang perwira mengumumkan bahwa ujian tahap pertama sudah selesai dan ujian tahap kedua akan diadakan besok pagi, maka orang itupun ikut bubar meninggalkan lapangan bersama-sama dengan arus orang banyak.

Banyak yang membicarakan jalannya ujian tadi, atau saling memanggil dengan orang yang kebetulan dikenalnya.

Lelaki berjubah biru itu berjalan saja tanpa berbicara dengan siapapun.

Ia baru terkejut setelah merasa pundaknya ditepuk dari belakang.

"Saudara Tong melamun rupanya?"

Kata orang yang menepuk dari belakang itu.

Ternyata ia juga seorang yang berpakaian jubah panjang dan tampangnya mirip seorang pedagang yang makmur.

Namun sepasang matanya yang berkilat-kilat menandakan bahwa orang itupun memiliki ilmu yang tinggi.

Kedua orang itu lalu saling berjalan berdampingan.

Dengan sikap wajar mereka saling bertanya-jawab.

"Kiranya saudara In juga sudah berada di kota ini. Bersama siapa saja?"

"Semua orang kelompokku yang ditentukan untuk serangan ini sudah ada di kota. Tinggal menanti hubungan dengan rekan-rekan lain."

"Bagus,"

Kata orang she Tong itu singkat. Dialah Gin-yan-cu (Si Walet Perak) Tong Wi- hong, Cong-piau-thau (Pemimpin) dari perusahaan pengawalan Tiong-gi Piau-hang yang berpusat di kota Tay-beng. Meskipun ia termasuk "orang dagang"

Yang umumnya harus berhubungan baik dengan pihak pemerintah yang manapun, namun agaknya Tong Wi-hong berani menyerempet bahaya dengan ikut dalam gerakan pembebasan tanah air.

Kedua orang itu bercakap-cakap perlahan, namun jika ada seseorang yang sedang berjalan di dekat mereka maka percakapanpun beralih ke soal-soal lainnya yang tidak berbahaya.

Siapa tahu di antara orang-orang yang begitu banyak itu ada mata-mata bangsa Manchu? Orang satunya lagi yang she In itu adalah Pek-lui-siang-to (Sepasang Golok Petir) In Yong, dulunya di jaman Hwe-liong-pang berkedudukan sebagai Lam-ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Biru).

Kata In Yong.

"Di sebelah lain dari lapangan tadi, aku lihat juga ada Hui-liam-cu Totiang bersama dengan beberapa rekan Khong-tong- pay agaknya sudah siap juga. Di dalam kota, aku bertemu dengan saudara Sun dari Kay-pang (Serikat Pengemis) yang mengatakan bahwa orang-orang Hoa-san-pay dan Bu-tong-pay juga sudah berdatangan semua dan sudah membuat hubungan "Bagus. Jaga jangan sampai gerakan kita menyolok mata sehingga tercium oleh pihak musuh. Apakah orang-orang Jit-goat-pang belum datang?"

Alis In Yong nampak berkerut tidak senang mendengar pertanyaan bentang Jit-goat-pang (Serikat Matanari dan Rembulan) yang merupakan serikatnya para bekas bangsawan dan panglima-panglima yang setia kepada Kerajaan Beng itu. Namun dijawabnya juga.

"Mereka malah belum kelihatan batang hidungnya sama sekali. Mereka dulu yang berkobar-kobar menganjurkan gerakan ini, dan sekarang merekalah yang paling malas berjalan ke medan laga."

Tong Wi-hong tersenyum melihat sahabatnya menggerutu macam itu. Katanya.

"Sudahlah, saudara In. Bagaimanapun buruknya mereka di masa lalu, bahkan pernah menjadi musuh Hwe-liong-pang kalian, tetapi sekarang mereka sekarang sudah menjadi kawan kita. Kita harus bersatu supaya gerakan ini tidak menjadi berantakan justru di depan hidung musuh."

"Ya? ya, aku paham, saudara Tong,"

Kata In Yong sambil mengangguk-angguk.

"Betapapun muaknya aku kepada bangsawan-bangsawan kesiangan yang sikapnya masih sok kuasa itu, aku tetap menahan diri agar gerakan ini tidak menjadi berantakan. Tapi aku hampir tak dapat menahan diri ketika aku dengar dari saudara Ma Hiong tentang apa yang terjadi di sebuah desa bernama Jit-si-ong-tin di wilayah Hun-lam sana. Itu perbuatan binatang-binatang berujud manusia. Kalau aku tidak mengingat keutuhan gerakan ini, ingin sekali rasanya aku membuat perhitungan kepada mereka atas nama rakyat yang terbantai."

"Kitapun bekerja-sama dengan mereka karena hanya terpaksa,"

Kata Tong Wi-hong.

"Sangat terpaksa. Harap saudara In memahami hal ini. Pihak Manchu terlalu kuat untuk kita hadapi seorang diri, sehingga kita harus bergandengan tangan dengan mereka yang tangannya berlumuran darah itu."

Akhirnya In Yong hanya biea menarik napas dalam-dalam sambil menekan gejolak perasaaannya yang hampir menjebolkan dadanya.

Dalam suasana kemelut seperti ini, memang tidak banyak pilihan yang tersedia.

Bahkan pilihan-pilihan yang tersediapun tidak semuanya bisa dilakukan, namun justru keadaan telah memaksanya untuk melakukan pilihan yang tak disukai itu.

Ketika memasuki pintu gerbang kota, Tong Wi-hong menunjuk ke arah sebuah kedai arak yang tidak begitu besar dan nampaknya juga menyediakan beberapa macam masakan sederhana.

Katanya.

"Saudara In, bagaimana kalau kuajak kau minum dulu di kedai itu? Ada banyak hal yang ingin kubicarakan."

Keduanyapun masuk ke kedai itu dan memilih sebuah tempat duduk di dekat pintu. Setelah memesan dua mangkuk mi pangsit dan sepoci arak, Tong Wi-hong pun mulai berkata.

"Saudara In, bagaimana kau lihat ujian keprajuritan di lapangan tadi?"

"Dengan cara seperti itu, pemerintah Manchu akan mendapatkan pemuda-pemuda yang terbaik dari negeri ini untuk memperkuat cengkaman kekuasaan mereka atas negeri ini."

"Aku sependapat, saudara In. Berbeda betul dengan jaman dinasti Beng dulu, di mana orang- orang yang bisa diterima sebagai prajurit hanyalah orang-orang yang bisa menyogok para Katanya.

"Saudara In, bagaimana kalau kuajak kau minum dulu ke kedai itu? ada banyak hal yang ingin kubicarakan."

Pengujinya. Pantas saja kalau tentara dinasti Beng begitu tidak berguna, tubuh mereka rata- rata gemuk dan berlemak, sedang tubuh prajurit-prajurit Manchu itu semuanya kekar dan ramping. Inilah perbedaannya."

In Yong tidak segera menyahut, ia me.nenggak araknya secawan dan matanya menerawang jauh. Lalu sambil menarik napas ia berkata.

"Ya, harus kami akui bahwa tentara Manchu memang merupakan musuh yang berat bukan main. Beberapa tahun yang lalu, aku bersama Sri Baginda Coan-ong pernah bertahan dengan gigih di sebelah timur kota ini. Namun kami toh terpukul mundur tercerai- berai."

Yang dissebut "Sri Baginda Coan-ong"

Oleh In Yong itu adalah Li Cu-seng.

Setelah Li Cu-seng dengan laskar pemberontaknya berhasil merebut kekuasaan dari tangan Kaisar Cong- ceng yang menggantung diri, maka diapun mengangkat dirinya menjadi Kaisar.

Meskipun umur pemerintahannya itu tidak lebih dari dua bulan karena keburu digulung oleh balatentara Manchu yang sangat kuat,, namun dalam masa sesingkat itu Li Cu-seng pernah menjadi seorang Kaisar sehingga pengikut-pengikutny a- pun.

masih memanggilnya dengan sebutan "Sri Baginda Coan-ong."

Sebenarnya bukan hal itu yang ingin dibicarak.an oleh Tong Wi-hong, melainkan suatu hal lain yang menyangkut seseorang yang masih berhubungan darah dengannya.

Maka ketika In Yong mulai bicara melantur ke masa pemerintahan Li Cu-seng itu, Tong Wi-hong-pun berkata.

"In-heng (saudara In), apakah saudara Ma Hiong serta sauaara Oh Yun-kim dan Lu Siong yang baru kembali dari Hun-lam itu sudah bicara banyak denganmu?"

"Ya, sudah, kenapa?"

"Juga tentang anakmuda yang bernama Tong Lam-hou?"

"Ya, sudah. Kata saudara Ma, anak muda yang perkasa yang bersama-sama dengan Pakkiong Liong itu adalah keturunan dari Hwe- liong Pang-cu (Ketua Hwe-liong-pang). Pun patut disayangkan bahwa anakmuda sepandai itu telah terpikat oleh bangsa Manchu."

Tong Wi-hong menarik napas.

"Ya, sangat patut disayangkan, aku telah mencoba memberinya nasehat, sebab bagaimanapun juga dia adalah keponakanku sendiri. Namun hatinya terlalu keras. Aku kuatir dia tersesat semakin jauh."

"Kenapa saudara Tong menguatirkan bahwa putera Hwe-liong Pang-cu itu akan tersesat semakin jauh?"

"Aku bicara dari hati ke hati, saudara In, kuanggap kau dapat membantu meringankan beban pikiranku. Tapi lebih dulu aku punya satu permohonan kepadamu."

"Kita adalah sahabat sejak berpuluh tahun, saudara Tong. Katakan saja. Apa yang bisa kubantu akan aku bantu."

Tong Wi-hong lebih dulu mengangkat cawan araknya sebagai tanda hormat yang dibalas oleh In Yong. Lalu mulailah pemimpin Tiong-gi Piau-hang itu berkata.

"Saudara In, sebetulnya hal ini adalah urusan keluarga kami sendiri yang tidak patut untuk merepotkan orang luar untuk ikut memikirkannya. Tentang keponakanku Tong Lam-hou itu, aku benar- benar kuatir bahwa ia akan terjeblos semakin dalam ke dalam rangkulan bangsa Manchu, entah dengan tipuan apa. Ia masih sangat lugu, jika pikirannya yang masih lugu itu dijejali dengan pikiran-pikiran yang berbahaya oleh pemerintah Manchu maka ia benar- benar akan menjadi alat yang menakutkan di tangan bangsa Manchu. Beberapa orang anakbuah Li Tiang- hong pernah melihat sendiri betapa hebatnya ilmu silatnya, dan kemudian aku pun sudah membuktikannya sendiri. Selama ini seorang musuh seperti Pakkiong Liong saja sudah begitu susah untuk kita ladeni, masakah akan bertambah lagi dengan seorang Tong Lam-hou yang tidak kalah perkasanya dengan Pakkiong Liong?"

"Ya, saudara Tong benar. Apalagi kalau anak itu digabung dengan Pakkiong Liong, di dunia persilatan ini entah siapa yang bisa menandingi mereka berdua yang bersatu-padu?"

"Itulah yang ingin aku cegah. Tetapi setelah aku melihatnya di lapangan ujian penyaringan prajurit tadi, aku merasa harapanku untuk menyadarkannya masih jauh, dan bahkan semakin jauh."

"He, ia ada di sana tadi?"

Tong Wi-hong mengangguk.

"Ya, ia ikut mendaftarkan diri sebagai prajurit Manchu. Selagi ia belum berseragam prajurit saja ia sudah begitu setia kepada Pakkiong Liong, apalagi setelah kelak ia mengenakan seragam prajurit Manchu. Di dunia ini, orang memang sukar melepaskan diri dari ikatan kekayaan, pangkat, kemuliaan, kekuasaan dan sebagainya, apalagi kalau ikatan itu ditambah dengan ikatan yang paling alami dan paling sulit dilepaskan. Yaitu cinta kepada lawan jenisnya ."

"Cinta kepada lawan jenis?"

"Benar. Aku melihat Tong Lam-hou ikut mendaftarkan diri sebagai calon prajurit Kerajaan Manchu, itu menandakan dia memburu kekuasaan dan pangkat. Dan pulangnya dia berkuda bersama-sama seorang gadis cantik bangsa Manchu. Mereka nampak akrab dan aku kuatir keponakanku itu akan semakin terjerat kecantikan gadis Manchu itu sehingga kelak dapat melawan bangsa Han sendiri. Tong Lam-hou masih muda dan lugu pula, segala liku-liku dunia belum dikenalnya. Jika pemerintah Manchu menggunakan gadis itu untuk menguasainya, maka ia benar-benar akan sulit disadarkan kembali."

"Jadi bantuan apa yang akan saudara Tong daripadaku?"

Tong Wi-hong ragu-ragu sejenak untuk mengutarakannya, namun akhirnya terucapkan juga keinginannya itu.

"Barangkali permintaanku kepada saudara In ini akan kedengaran seolah-olah mementingkan keluarga sendiri dan membelakangi kepentingan tanah-air, namun baiklah aku katakan. Sebagai paman, aku tidak sampai hati melihat keturunan satu-satunya dari kakakku itu kelak akan dikutuk namanya sebagai pengkhianat tanah-air, mungkin namanya akan dikutuk serendah nama Bu San-kui. Apalagi jika tubuhnya tertembus pedang kaum pejuang. Karena itu aku mohon kepada saudara In dan seluruh saudara-saudara Hwe-liong-pang, agar jika bertemu dengan anak itu jangan bersikap keras dulu,lebih baik lebih dulu dicoba untuk menyadarkannya."

"Suatu permintaan yang sulit dilaksanakan, saudara Tong,"

Kata In Yong sambil menarik napas.

"Menyesal sekali, hal itu akan sulit dikatakannya. Bukan karena kami tidak memberi kesempatan kepada putera Hwe- liong-Pang-cu itu untuk bertobat dan memperbaiki kesalahannya, namun bagaimana jika kami bertemu di medan tempur? Dapatkah kami membujuknya dengan kata-kata lembut sedangkan peperangan tengah berlangsung dan mungkin pada saat yang sama banyak pejuang yang sedang terancam nyawanya oleh Tong Lam-hou?"

Tong Wi-hong termangu-mangu mendengar jawaban In Yong yang tegas itu. Ia menarik napas berkali-kali untuk melegakan dadanya yang terasa pepat. Akhirnya digenggamnya tangan In Yong dan katanya.

"Baiklah, saudara In, aku bisa memakluminya. Tentu kau tidak bisa mengorbankan puluhan, bahkan mungkin ratusan nyawa anggauta Hwe-liong-pang hanya karena Tong-lam-hou. Permintaanku itulah yang keterlaluan. Baiklah, aku cabut kembali pemintaanku tadi."

"Saudara Tong, aku juga minta maaf bahwa aku telah membuatmu kecewa. Namun bukan berarti permintaanmu itu tidak kuperhatikan sama sekali. Jika suatu saat aku bertemu sendirian dengan Tong Lam-hou itu di sebuah tempat yang sepi, bukan di tengah-tengah medan perang, maka aku memang akan mencoba melaksanakan permintaan saudara Tong itu. Bahkan saudara-saudara dari Hwe- liong-pang lainnya juga akan kuanjurkan untuk berbuat sama, dan aku yakin saudara-saudara Hwe-liong-pang akan mudah mengerti. Jika Tong Lam-hou itu benar-benar putera Hwe- liong Pang-cu, maka saudara-saudara lainnya tentu dengan senang hati menjalankan pesan saudara Tong, karena kesetiaan saudara- saudara Hwe-liong-pang itu terhadap Pangcu masih belum luntur, meskipun Pangcu sudah tidak ada di dunia ini duapuluh tahun lebih."

"Terima kasih...terima kasih..."

Kata Tong Wi-hong dengan mata yang agak berkaca-kaca karena teringat akan kakaknya yang dulu menjadi Ketua Hwe-liong-pang itu, namun kemudian mati dalam usia muda sebelum cita- citanya terwujud.

Untuk sesaat Tong Wi-hong tidak dapat mengucapkan kata-kata selain "terima kasih"

Itu karena rasa harunya yang menyesak di dada.

"Saudara In, terima kasih sekali jika kalian berusaha untuk melakukan itu. Tapi jangan sampai ada seorangpun anak buah Hwe-liong- pang, tidak peduli yang kedudukannya paling rendah sekalipun, yang sampai berkorban nyawa gara-gara permintaanku ini. Jika Tong Lam-hou mati di medan perang, apa boleh buat, dan aku pun tidak akan dapat membelanya apabila namanya dikutuk orang sebagai pengkhianat. Bahkan, jika ia tidak juga mau mendengar nasehatku, pedangku sendirilah yang akan kuhunjamkan ke dadanya, meskipun aku akan melakukan hal itu dengan sangat sedih sebab dia adalah keturunan kakakku satu- satunya."

"Aku hanya bisa berharap mudah-mudahan anak muda itu bisa mengamalkan ilmunya yang tinggi untuk membela tanah-airnya."

Kedua orang itupun kemudian makan minum sekenyangnya di warung kecil itu, lalu berpisah ke penginapannya masing-masing.

"Saudara Tong, apakah ujian tahap kedua itu juga akan kau tonton?"

Tanya In Yong sebelum berpisah.

"Aku ingin melihatnya. Barangkali saudara In juga?"

"Ya. Aku dapat mengukur ketrampilan prajurit-prajurit Manchu untuk dibandingkan dengan anak buahku. Jika mereka lebih unggul dari anak buahku, maka aku memang tidak akan segan-segan menirunya untuk menerapkan cara-cara latihan mereka kepada anak buahku. Dari musuh pun kadang-kadang kita bisa menarik suatu pelajaran penting yang bisa kita tiru."

"Bagus, saudara In, kau berpikiran luas."

"Selamat berpisah, saudara Tong."

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sampai jumpa besok pagi di lapangan prajurit, saudara In."

Keduanyapun saling berpisah dan memberi hormat.

Malam semakin dalam, namun akhirnya fajarpun merekah di ufuk timur dan hari baru telah terbit.

Lapangan di luar kota Pak-khia yang digunakan sebagai tempat penyaringan calon- calon prajurit itupun telah menjadi ramai kembali.

Berbondong-bondong orang ingin menyaksikan jalannya ujian tahap kedua itu.

Prajurit-prajurit yang akan menjaga keamanan selama berlangsungnya pendadaran nanti, juga telah menempati tempatnya masing-masing dengan senjata terhunus, tapi panggung kehormatan untuk orang-orang berjabatan tinggi masih kosong.

Ketika matahari sudah agak naik barulah tandu-tandu atau kereta-kereta berdatangan, mengangkut orang-orang yang berpakaian bagus-bagus.

Para menteri dan panglima.

Di pinggir lapangan telah disiapkan puluhan ekor kuda, anak panah serta busur-busurnva, lembing dan sebagainya yang akan digunakan untuk menguji para calon prajurit.

Di tengah lapangan sudah tersedia belasan orang-orangan yang terbuat dari jerami dan kain, yang digantungkan pada sepotong bambu panjang yang ditancapkan di tanah.

Itulah yang akan menjadi sasaran para pemanah.

Tepat pada "ulu hati"

Orang-orangan jerami itu ada sebuah lingkaran berwarna merah.

Ketika para calon prajurit yang akan ikut pendadaran tahap kedua itu mulai memasuki lapangan dengan berbaris dipimpin seorang perwira yang menunggang seekor kuda tegar, maka sebagian besar penontonpun bertepuk tangan.

Terutama teman-teman atau kerabat dari calon-calon tahap kedua itu, yang jumlahnya sudah susut banyak dibandingkan peserta tahap pertama yang kemarin.

Dalam satu barisan yang rapi, calon-calon prajurit itu memberi hormat ke arah panggung kehormatan, lalu menyingkir ke tepi lapangan untuk menunggu nama mereka dipanggil.

Ujianpun dimulai.

Pertama-tama, para peserta disuruh memanah orang-orangan Jerami itu dari jarak kira-kira lima puluh langkah.

Lalu panah diganti dengan lembing yang harus dilontarkan.

Hampir tidak ada peserta yang gagal dalam ujian ini.

Lalu ujian pun dipersulit.

Orang-orangan jerami itu tidak dibiarkan diam saja melainkan digoyang-goyangkan, sehingga berayun-ayun ke kiri dan ke kanan, bahkan kadang-kadang berputar-putar tak tentu arah.

Tentu saja lebih banyak yang gagal dalam ujian macam ini.

Namun sebagian besar peserta masih tetap dapat lulus, sebab sebagian besar itu memang sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk melakukan hal-hal itu.

Bahkan ada seorang peserta yang mampu menggemuruhkan sorak-sorai penonton.

Dengan lima batang lembing dan lima anak panah yang dijatahkan untuknya itu, semuanya menancap tepat di tubuh orang-orangan itu.

Tak Satupun yang lolos, padahal jika seorang peserta sudah bisa menancapkan tiga lembing dan tiga anakpanah saja sudah dianggap lulus.

Tong Lam-hou sebenarnya tidak terlalu kagum dengan orang itu, dan ia juga tidak ingin terlalu pamer kepandaiannya.

Namun ketika tanpa sadar ia menoleh ke panggung dan, melihat To Li-hua yang duduk di samping Pakkiong Liong itu melambai-lambaikan tangannya dengan mata yang bersinar bagaikan bintang kejora, darah Tong Lam-hou bagaikan terbakar rasanya.

Gadis Manchu itu cantik sekali memakai topi bulunya yang berwarna putih berhiaskan bulu-bulu rajawali gurun itu.

Maka Tong Lam-hou bertekad untuk menunjukkan semua kebiasaannya.

Seorang muda di hadapan seorang gadis ingin mendapat pujian, itu hal biasa.

Begitu pula Tong Lam-hou tidak dapat lepas dari kodrat alam ini.

Namun bagi Tong Wi-hong yang menonton diantara para penonton itu, tingkah laku keponakan itu membuat darahnya panas.

Bisiknya kepada In Yong yang berdiri di sebelahnya.

"Lihat, anak tak berguna itu sudah demikian terjerat oleh si rase cantik Man-chu itu huh.."

In Yong juga melihat hal itu dengan alis berkerut. Namun ia mencoba mendinginkan hati Tong Wi-hong yang panas.

"Hal itu biasa terjadi antara seorang lelaki muda dengan seorang gadis, bukan berarti Tong Lam-hou tidak bisa diperbaiki sama sekali. Jika suatu saat kita berhasil menemuinya dan berbicara kepadanya, aku yakin semuanya belum terlambat untuk diperbaiki."

Tong Wi-hong masih juga menggeram.

"suatu saat akan kubunuh rase betina yang cantik itu, agar keponakanku bebas dari guna- gunanya". In Yong hanya dapat menarik napas dalam- dalam. Ia dapat memahami betapa gejolak perasaan sahabatnya itu melihat seorang keponakannya telah terpikat oleh musuh. Namun In Yong masih mencoba "mengendalikan"

Sahabatnya itu agar tidak melakukan sesuatu yang berbahaya. Bukan saja berbahaya bagi dirinya sendiri, tapi juga berbahaya bagi keseluruhan rencana yang sudah tersusun rapi dan pelaksanaannya sudah di ambang pintu itu.

"Jika kau bunuh rase cantik itu, saudara Tong, maka Tong Lam-hou bukannya menjadi sadar melainkan malah akan membenci saudara Tong sampai ke tulang-sungsumnya. Tidak ada harapan ia akan kembali ke pangkuan kita".

"Dadaku terasa hampir retak memikirkannya"

"Tenanglah, saudara Tong. Jalan belum buntu sama sekali". Sementara itu di tengah-tengah lapangan, Tong Lam-hou tengah menunjukkan kemahirannya. Meskipun orang-orangan jerami yang diincarnya itu berayun-ayun dengan cepat dan dengan gerakan yang tak dapat ditebak, namun kelima batang anak-panahnya seakan- akan mempunyai mata diujungnya, dan dengan tepat hinggap pada bulatan merah di "ulu-hati"

Orang-orangan itu.

Bahkan Tong Lam-hou melepaskan panah-panahnya secara acuh tak acuh saja, seakan-akan tidak melihat sama sekali Tontonan seperti itu tentu saja membuat penonton bagaikan meledak dengan sorak- sorainya.

To Li-hua yang duduk di panggung bertepuk-tepuk tangan dengan sikap seperti anak kecil.

Gadis-gadis Manchu umumnya memang lebih bebas gerak-geriknya dari gadis- gadis bangsa Han yang terikat dengan adat- istiadat ribuan tahun.

Itulah sebabnya orang Han memaki gadis-gadis Manchu sebagai "tidak tahu malu"

Dan "liar", sebaliknya orang Manchu memaki perempuan-perempuan Han dengan "kolot"

Dan "munafik".

Pemanah yang mahir sebelum Tong Lam- hou tadi melongo melihat kepandaian memanah ternyata dapat diungguli orang, padahal ia sudah merasa dirinya sendiri cukup hebat.

Namun dengan tulus ia mengacungkan jempolnya kepada Tong Lam-hou dari kejauhan.

Tong Lam-hou membalasnya dengan anggukan yang ramah.

Sementara itu, seorang perwira telah menyerahkan lima batang lembing Kepada Tong Lam-hou.

Kembali orang-orangan jerami yang "Ulu hati"

Nya masih penuh dengan panah itu diayunkan sekeras-kerasnya.

Dan lembing- lembing Tong Lam-houpun beterbangan, seolah-olah susul-menyusul tanpa jarak dan ....kelima-limanya menancap tepat di ulu hati orang-orangan itu, sehingga lima panah dan lima lembing seolah terdesak-desakan di Lingkaran merah yang tidak lebih luas dari mangkuk itu.

Malahan lembing-lembing itu bukan sekedar menancap capi juga menembus sampai ke belakang.

Kekaguman penonton benar-benar tak terbendung lagi.

Sorak-sorai membahana menggetarkan lapangan itu.

Tong Lam-hou benar-benar menjadi "bintang lapangan"

Pada hari itu.

Bahkan orang-orang yang sebenarnya membenci pemerintahan Manchu-pun tak urung mengagguk-anggukkan kepalanya dengan kagumnya.

Tong Lam-hou, seorang anak gunung yang sejak kecil hidup dalam kesunyian dan kemiskinan, tiba-tiba merasa dirinya menjadi orang besar.

Di sini, di Pak-khia, Ibukota Kerajaan, ribuan orang memujanya, menganggapnya sebagai dewa yang turun dari langit.

Tentu saja Tong Lam-hou tidak melewatkan kesempatan yang selama ini diimpikan saja belum pernah.

Selama ini ia sudah merasa sangat gembira jika dendeng daging serigala yang dijualnya di Jit-siongg-tin habis dibeli orang, sehingga uang penjualannya bisa dibelikan baju atau barang-barang keperluan lainnya buat ibunya.

Tapi di sini, ia tidak mimpi bahwa namanya mendadak akan terkenal dalam waktu satu hari saja.

Rasa bangga bagaikan menyesak di dadanya, pikirnya.

"Alangkah terkejutnya ibu kelak jika ia kubawa ke kota ini, dan ternyata aku sudah menjadi seorang yang terhormat di kota ini". Pada mata acara ujian-ujian berikutnya, Tong Lam-hou berusaha berbuat sebaik- baiknya bukan sekedar untuk lulus masuk tahap ketiga, melainkan juga untuk memancing tepuk tangan dan kekaguman orang-orang di sekeliling lapangan. Pada mata acara memanah dan melempar lembing dari punggung kuda yang berlari kencang, kembali ia telah menunjukkan keunggulan dari rekan-rekan peserta ujian lainnya. Mata acara yang terakhir, yang paling sulitpun tiba. Acara masih tetap memanah dan melemparkan lembing ke arah orang-orangan jerami yang digerak-gerakkan dengar keras, dan si pemanah tetap berada di punggung kuda yang berlari kencang. Namun kali ini kudanya tidak berlari lurus dari depan, melainkan lebih dulu membelakangi sasaran, dan kemudian dengan satu aba-aba dari seorang perwira yang berdiri di panggung kecil, maka kuda itu harus berbelok tajam dan lembing atau anak- panahpun ditembakkan ke sasaran. Namun sasarannya kali ini pun dipersulit. Ada tujuh buah orang-orangan jerami yang letaknya tak teratur, masing-masing diberi tanda dengan angka satu sampai tujuh, dan para calon pe- rajurit harus mengarahkan panah-panah dan lembing-lembing mereka ke sasaran yang diteriakkan oleh perwira di atas panggung kecil itu. Ternyata ujian ini benar-benar berat, sehingga diadakanlah ketentuan bahwa jika si calon dapat mengenai empat saja dari sepuluh kali kesempatannya, maka akan dianggap lulus. Demikianlah para calon perajurit itu menunjukkan ketrampilan masing-masing dengan semangat yang tinggi. Jika ada yang bisa berhasil lima kali dari sepuluh kesempatan itu saja, orang sudah berteriak-teriak memujinya. Namun Tong Lam-hou yang tengah mabuk sanjungan itu telah membuat penonton bagaikan kesurupan setan ketika ia menyelesaikan sasaran-sasarannya dengan tepat. Boleh dikatakan baru saja bibir perwira di atas panggung itu terkatub menyebut angka salah satu orang-orangan jerami itu, maka detik itu pula panah atau lembing sudah sampai ke sasarannya. Di panggung kehormatan, Panglima tua Pakkiong An melihat yang terjadi di lapangan itu dengan mata yang tidak berkedip.Anak muda itu telah sangat menarik perhatiannya. Kepada seorang perwiranya yang berdiri di belakangnya, Pakkiong An bertanya.

"He, kau tahu siapa anak muda itu ?"

Perwira yang berdiri di belakang tempat duduk Pakkiong An itu bukan lain adalah Hehou Im yang pernah menelan pengalaman pahit dari Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou ketika berada di tengah sungai Yang-ce-kiang bersama teman-temannya itu.

Maka tanpa melihat catatanpun Hehou Im sudah hapal akan diri Tong Lam-hou.

Sahutnya.

"Dia yang bernama Tong Lam-hou, sahabat Pakkiong Liong yang datang dari Tiam-jong-san seperti yang pernah kuceritakan kepada Ciangkun dulu". Alis Pakkiong An yang putih seperti kapuk itupun berkerut kurang senang ketika mendengar keterangan itu. Desisnya.

"Celaka dua belas, kalau sampai Pasukan Hui-liong-kun bertambah dengan seorang jagoan lihay semacam ini, maka pamor keponakanku di hadapan Sri Baginda tentu akan semakin terang dan aku semakin tersudut. Ini tidak boleh terjadi". Hehou mendekatkan mulutnya ke telinga Pakkiong An dan berbisik.

"Jangan kuatir, Ciangkun. Bukankah Ciangkun sekarang memiliki seorang jagoan yang luar biasa tangguhnya ?"

"Si siluman hitam yang menamaKan dirinya Te-liong Hiangcu itu? Memang dia tangguh, tapi dia bukan anak buahku yang dapat kusuruh- suruh setiap saat. Ia juga datang dan pergi semaunya saja. Jika sedang ada urusan penting yang harus segera ditangani dan dia tidak muncul, lalu bagaimana?"

Hehou Tm menarik napas.

Ia tidak berkata apa-apa lagi.

Sementara itu, di deretan kursi yang sama, Pakkiong Liong juga sedang mencemaskan Tong Lam-hou.

Bukan mencemaskan raga atau tubuhnya, namun mencemaskan bahwa sanjung puji yang berlebihan kepada sahabatnya itu akan merusak kepribadiannya.

Orang bisa menjadi lupa daratan jika terus-menerus dipuja.

Selama ini Pakkiong Liong bersahabat dengan Tong Lam-hou karena saling menghormati kepribadian dan pendiriannya masing-masing, meskipun banyak juga titik-titik perbedaaan antara kedua pribadi yang kuat itu, namun keduanya tetap saling menghormati.

Kini, jika Tong Lam-hou menjadi kehilangan kepribadian, menjadi seorang yang mabuk keuasaan dan sanjungan, bagaimana Pakkiong Liong bisa tetap menghormati pribadi macam itu? Ia akan menemukan seorang bawahan yang berilmu tinggi, tetapi akan kehilangan seorang sahabat yang berpribadi kuat.

Pakkiong Liong menarik napas dalam-dalam dan berharap mudah- mudahan hal itu tidak akan terjadi.

Ia ingin Tong Lam-hou tetap Tong Lam-hou selama berada di Tiam-jong-san dulu, tidak berubah, meski pun barangkali ia akan mengenakan seragam perwira yang bagus dan bukan lagi pakaian seorang pemburu yang lusuh dan jelek.

Biarlah pakaian ditukar, suasanapun tertukar, namun Tong Lam-hou tetap dalam kepribadiannya.

"Barangkali aku tetap berprasangka kepadanya", kata Pakkiong Liong dalam hati untuk membantah kecemasannya sendiri.

"Sikap Tong Lam-hou itu mudah-mudahan hanya kerena kegembiraannya saja, dan suatu kelak ia akan dapat menerima keberhasilannya itu dengan sikap dewasa tanpa kehilangan keseimbangan. Bukankah aku sendiri juga pernah bergembira dan berkelakuan mirip orang sinting ketika pertama kali mendapat sanjungan karena kemenanganku?". Ketika Pakkiong Liong- menoleh ke sebelah kirinya dan pandangan matanya membentur seraut wajah berbentuk bulat telur yang berkulit putih, bermata seperti bintang, berhidug mancung kecil dengan bibir yang merekah merah dan sepasang lesung pipit di ujung-ujung bibirnya, sementara dari bawah topi bulunya tersembullah rambutnya yang hitam tebal seperti setera. Tiba-tiba Pakkiong Liong tersenyum sendiri. Selama beberapa nari berada di Ibukota ini, Tong Lam-hou dan To Li- hua rasanya semakin erat saja, meskipun keduanya sering saling mengejek atau saling menggaggu seperti anak kecil saja, namun Pakkiong Liong tahu bahwa sepupu- perempuannya yang tidak pernah tertarik kepada anak muda yang manapun juga itu, kini agaknya sudah menemukan pilihannya. Dan sinar mata Tong Lam-hou yang selalu memandang To Li-hua dengann kekaguman seperti menatap sesosok bidadari dari langit itupun tidak lepas dari pengamatan Pakkiong Liong.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Agaknya piau-moai mempunyai pengaruh kuat atas diri A-hou, ini bisa dimanfaatkan agar A-hou tetap dapat berdiri jalan kepribadiannya yag asli,"

Batin Pakkiong Liong.

"Tapi apakah si cerewet ini bisa diajak bicara bersungguh- sungguh? Selama ini jika bicara denganku ia selalu bergurau saja. Mudah-mudahan kalau bicara tentang Tong Lam-hou, la akan bisa lebih sungguh-sungguh, biarpun ia pasti akan mencubitku sekeras-kerasnya kalau isi hatinya kena kutebak."

Hampir-hampir Pakkiong Liong tertawa sendiri, namun ditahankannya supaya tidak menimbulkan keheranan orang lain.

Sementara itu, seorang perwira dengan suara yang lantang telah menyapakan bahwa ujian itu ditutup.

Lalu dibacakan nama-nama para calon yang lolos ujian tahap ke dua itu; dari limaratus calon lebih, hanya tiga ratus yang dianggap layak untuk diterima sebagai prajurit.

Jika seseorang diterima pada-tahap kedua ini, sesungguhnya ia sudah diterima sebagai prajurit.

Ujian tahap ke tiga sudah bukan bersifat penyaringan lagi melainkan untuk sekedar menentukan kemampuan para prajurit itu untuk ditempatkan di tatarannya masing- masing.

Ada yang langsung menjadi seorang perwira, namun sebagian besar tentu harus mulai dengan menjadi, seorang prajurit yang paling rendah pangkatnya.

Ujian tahap ke tiga tidak akan diadakan di tempat terbuka, melainkan di gedung Peng-po-ceng-tong, di sebuah ruangan yang tertutup.

Yaitu ujian ilmu silat, melawan para pelatih dari pasukan- pasukan yang ada di ibukota.

Inilah ujian yang paling berat, dan kemungkinan untuk tewas dalam ujian harus siap dihadapi oleh para calon.

Setelah ujian itu selesai, orang-orangpun berbondong-bondong mengalir meninggalkan lapangan itu.

Seperti air di sebuah kolam yang dibuka tanggulnya.

Tong Lam-hou yag menjadi pujaan penonton pada hari itu, nampak berkuda bersama-sama dengan Pakkiong Liong lainnya yang menjadi teman baiknya.

Tentu saja yang paling dekat dengan Tong Lam-hou adalah si "cerewet"

To Li-hua. Dengan tatapan mata yang kagum tanpa disembunyikan, ia berkuda di samping Tong Lam-hou dari matanya selalu menatap ke anakmuda di sampingnya. Bersambung ke

Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan Ko Aditya Indra Jaya first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU

Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.

Jilid esungguhnya gadis Manchu itu telah menemukan seseorang yang selama ini diimpikannya.

Kembangnya kaum bangsawan di kota Pak-khia itu sebenarnya sudah diincar oleh banyak orang, putera-putera para panglima dan bahkan para pangeran, perwira- perwira muda yang punya nama besar di medan-medan perang, anak-anak hartawan yang membuang emas seperti membuang pasir saja, dan banyak lagi.

Namun tak pernah berkenan di hati gadis yang sejak kecil senang berburu sehingga memiliki beberapa sifat-sifat seperti laki-laki itu.

Satu-satunya laki-laki di Pak-khia yang dikagumi oleh To Li-hua adalah kakak misannya sendiri, Pakkiong Liong, namun S hubungan keluarga mereka terlalu dekat sehingga sikapnya terhadap Pakkiong Liong tidak bisa lebih daripada sikap seorang adik terhadap kakaknya.

Dan setelah Tong lam-hou datang hati gadis itu terbuka.

Dari mulut Ha To- ji dan lain-lainnya ia sudah mendenar betapa perkasanya anak-muda dari Tiam-Jong-san itu, dan di medan perburuan di sekitar kota Pak- khia, To Li-hua pernah melihat sendiri bagaimana Tong lam-hou melontar-lontarkan anak-panahnya tanpa busur untuk menembusi tubuh serigala-serigala sasaranya yang sedang berlari kencang, dfan kini, di lapangan ujian pendadaran calon-calon prajurit itu, nama Tong Lam hou telah mencuat ke atas seperti sebuah bintang cemerlang yang terbit di langit kota Pak-khia.

Namun sebenarnya, jauh sebelum itu To Li-hua sudah mengagumi anakmuda she Tong rtu.

Memang Tong Lam-hou tidak terlalu tampan, tidak setampan anak bangsawan yang; berpakaian bagus-bagus dan gemar bersolek itu, namun alangkah terpesonanya gadis itu melihat tatapan matanya yang seperti seekor harimau yang garang, namun kemudian si mata harimau itu melembut jika menatap ke arahnya.

Tarikan bibirnya, gerak rahangnya ketika mengucapkan setiap kata-katanya, seolah mengandung kepastian akan kemenangan yang bakal diraihnya.

Pasti, bukan cuma mungkin.

Lelaki sungguh perkasa, satu dari sejuta.

Kini To Li-hua dengan banggga mendampinginya di bawah tatapan mata ribuan penonton yang sedang meninggalkan lapangan itu.

Gadis mana yang tidak bangga kalau berdampingan dengan seorang jagoan dan dilihat banyak orang? Namun sepasang mata yang berapi-api menatap Tong Lam-hou dan To Li-hua itu dengan geram.

Tong Wi-hong yang berjalan berdampingan dengan In Yong di antara arus penonton yang sedang pulang itu, menatap dengan tidak senang.

Bisiknya.

"Saudara In, lihatlah, betapa akrabnya mereka. Ah, kakakku begitu perkasa, tetapi kenapa mempunyai keturunan yang tak kenal malu seperti itu? Gila, rase cantik Manchu itu semakin genit saja! Huh, dasar keturunan bangsa liar dari luar perbatasan!"

In Yong tidak menyahut sepatah-katapun.

Iapun berjalan di samping Tong Wi-hong sambil mengendong tangannya.

Ia tidak tahu harus berbuat atau berkata bagaimana untuk meredakan kemarahan sahabatnya itu.

Tengah mereka berdua berjalan, tiba-tiba di antara para penonton itu ada seorang yang menumbuk mereka dengan keras.

Jalan itu menang penuh orang, tidak jarang seseorang bertubrukan dengan lainnya, namun kali ini agaknya sengaja.

Ketika Tong Wi-hong menoleh ke arah orang yang menubruknya itu, ternyata adalah seorang pengemis bertubuh gemuk yang tangannya memegang tongkat dan kepalanya memakai topi butut, sama bututnya dengan pakaian yang dikenakannya.

Ketika Tonjg Wi-hong menoleh, pengemis itupun menyeringai sambil berbisik.

"Malam ini di kuil Te-hok-bio dekat Pagoda. Tolong hubungi rekan-rekan dari Jit-goat-pang."'' Hanya mengucapkan beberapa patah kata itu, si pengemis kemudian cepat-cepat menyusup kembali ke kerumunan orang dan menghilang. In Yong menyikut tangan Tong Wi-hong dan bertanya.

"Bukankah dia saudara Sun yang bertugas sebagai penghubung antar kelompok dalam gerakan kita ini? Apakah yang dikatakannya?"

"Nanti malam kita harus berkumpul di kuil Te-hok-bio di dekat Pagoda. Agaknya ada sesuatu yang penting yang perlu dibicarakan, sehingga Bu-sian Hweshio merasa perlu untuk mengumpulkan dengan cara seperti ini. Kalau begitu, saudara In, kita akan berpisah sampai di sini saja. Aku harus segera menyiapkan kelompokku dan sekalian mencari hubungan dengan orang-orang Jit-goat-pang yang sampai saat ini belum kelihatan batang hidungnya. Saudara In, kaupun harus menyiapkan kelompokmu dengan segera, hari sudah gelap dan pertemuan itu tidak lama lagi berlangsung."

"Jangan kuatir, kami orang-orang Hwe- liong-pang sudah berpengalaman dalam hal-hal seperti ini sejak beberapa tahun yang lalu. Dalam sekejap kelompokku pasti akan Segera bersiap,"

Sahut In Hong sambil tertawa.

"Selamat berpisah, saudara Tong. Sampai jumpa nanti di kuil Te-hok-bio. Keduanya menyusup ke dalam arus orang banyak dan pergi kearahnya masing-masing. Kadang-kadang mereka bertemu dengan satu atau dua orang yang juga akan ikut dalam rencana penyerangan Penjara Kerajaan itu, namun mereka tidak saling bercakap-cakap, sebab kuatir di antara orang yang berdesak- desak itu akan ada mata-mata pemerintah Manchu yang mendengarkan pembicaraan mereka. Tong Wi-hong menuju ke sebuah rumah penginapan yang agak sederhana. Di situlah ia menginap bersama rombongannya. Pelayan rumah penginapan itu mengangguk hormat kepada Tong Wi-hong ketika berpapasan di pintu. Tong Wi-hong bertanya.

"Apakah teman- teman seperjalananku itu sedang keluar?"

"Tidak, tuan. Aku baru saja mengantarkan arak buat mereka. Mereka berempat sedang minum-minum di taman belakang,"

Kata pelayan itu.

Tong Wi-hong lega mendengar itu, berarti ia tidak usah susah-susah harus menunggu sampai mereka berkumpul.

Maka iapun menuju ke ruangan belakang dan menjumpai ke empat orang itu memang sedang mengelilingi sebuah meja sambil minum arak.

Mereka adalah adik Tong Wi-hong sendiri, yaitu Tong Wi-lian dan suaminya yang bernama Ting Bun.

Sedang yang dua lagi adalah jago-jago andalan dari Tiong-gi Piauhang yang diajak oleh Tong Wi-hong untuk ikut membantu gerakan itu.

Kedua orang itu kakak beradik yang bernama So Hui dan So Pa, terkenal dengan julukan Tiong-san-siang-hou (Sepasang Harimau Gunung).

"Bagus, kalian sudah berkumpul di sini rupanya,"

Kata Tong Wi-hong begitu melihat mereka.

"Bersiaplah, sebentar lagi kita akan berkumpul dengan semua rekan-rekan di kuil Te-hok-bio. Bu-sian Hweshio sebadai pemimpin dari rencana kita telan memberikan perintah kepadaku lewat saudara Sun dari Kay-pang."

Keempat orang itupun segera bangkit dan membenahi diri, sementara Tong Wi-lian serapat bertanya kepada kakaknya.

"A-hong, bagaimana dengan anak A-siang dalam ujian pendadaran prajurit itu?"

Tong Wi-hong menarik napas dan menjawab dengan berat hati.

"Bukan berita baik yang patut diceritakan. Hal-hal yang bisa membuat seorang lelaki kehilangan kepribadian adalah kekuasaan, sanjungan berlebihan dan wanita cantik. Nah, anak A-siang itu mendapat ketiga-tiganya. Kalau aku tidak sedang terlibat dalam urusan yang lebih penting, rasanya aku ingin menemui anak itu dan mendampratnya."

Tong Wi-lian menundukkan kepalanya mendengar itu.

Dulu, di antara tiga bersaudara, hubungannya dengan kakak sulungnya yang bernama Tong Wi-siang itu adalah yang paling akrab.

Bahkan sebelah Tong Wi-siang berubah menjadi seorang tokoh yang menakutkan dalam ujudnya sebagai Hwe-liong Pang-cu, hubungan itu tetap akrab.

Dan kini alangkah pedih hatinya mendengar keturunan satu-satunya dari kakaknya yang disayanginya itu malanan menjadi kaki tangan bangsa Manchu "Kalau aku tahu begini jadinya, lebih baik dulu aku tidak usah mengetahui bahwa dia adalah anak kakakku, supaya aku tidak ragu- ragu membunuhnya di medan perang.

Nainun kenyataannya.

aku tahu hal itu, dan ini sangat membebani perasaanku apabila kelak bertemu dengannya di medan perang,"

Kata Tong Wi-lian dengan sedin dalam hatinya.

Namun suasana saat itu bukan saat yang tepat untuk memanjakan perasaan saja.

Semuanya sedang bergerak dalam sebuah rencana besar yang rapi, rencana yang penuh dengan taruhan nyawa demi cita-cita bersama, dan tidak ada tempat untuk urusan-urusan pribadi.

Maka merekapun segera mempersiapkan diri.

"Mungkinkah Bu-sian Hwe-shio akan memerintahkan gerakan malam ini juga?"

Demikian mereka bertanya-tanya dalam hati.

Wallbanger Karya Alice Clayton Pendekar Pulau Neraka 49 Iblis Cebol Baby Sitter Club 6 Hari Istimewa Kristy

Cari Blog Ini