Ceritasilat Novel Online

Aksara Iblis 1

Raja Gendeng 27 Aksara Iblis Bagian 1



Raja Gendeng 27 Aksara Iblis

****

Karya Rahmat Affandi

Sang Maha Sakti Raja Gendeng 27 dalam episode

Aksara Iblis

*****


Team Kolektor E-Book

Buku Koleksi : Denny Fauzi Maulana

(https.//m.facebook.com/denny.f.maulana)

Scan,Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo

(http.//ceritasilat-novel.blogspot.com)

Dipersembahkan Team
Kolektor E-Book

(https.//www.facebook.com/groups/Kolektorebook)

Spesial thank to : Awie Dermawan

*****


Membunuh gurunya bukanlah menjadi kehendak Pura Saketi karena kematian itu memang sangat diinginkan sendiri oleh Iblis Kolot.

Pura Saketi yang kini telah berusia tujuh belas tahun sebenarnya tidak habis mengerti mengapa Iblis Kolot memilih mati ditangannya, bukan membunuh diri.

Seandainya sang guru tidak beralih rupa menjadi sosok yang tidak dikenalinya sebagai El Maut Kaki Seribu, dia tentu tidak mau meladeni kakek itu dalam perkelahian.

Entah memang bersikap mengalah atau karena berlaku lengah, Iblis Kolot pun tewas ditangannya.

Semuanya telah terjadi.

Iblis Kolot jasadnya lenyap sedangkan arwahnya kini menumpang didalam raga Pura Saketi.

Dia tidak tahu apa yang akan terjadi nanti.

Sejak merasuk, menyatu dalam tubuhnya beberapa saat yang lalu, sang arwah yang berada dalam tubuhnya memang belum menunjukkan sikap dan gelagat aneh yang mengganggu dirinya.

Tak lama kemudian pemuda berpakaian biru berambut panjang kaku dan memakai ikat kepala warna biru ini menghela nafas. Waktu bergulir dengan cepat.

Kehidupan terus berlanjut.

Perlahan pemuda ini bangkit berdiri.

Saat itu kegelapan mulai menyelimuti kawasan lembah yang dikelilingl jurang cadas.

Mataharipun hampir tenggelam dilangit sebelah barat.

Di kaki langit bola penerang jagat hanya tinggal berupa bola merah yang tinggal setengahnya saja.

"Aku harus pergi dari tempat ini! Lembah Jahanam ini tidak lagi menjadi tempat yang pantas untukku!"

Ingat pada gurunya pemuda ini tersenyum.

Tiba-tiba dia berkata.

"Sebusuk apapun sifatmu, aku tetap menghormatimu, guru. Kitab Aksara Iblis akan kucari. Bila berjodoh pasti selalu ada jalan untuk mendapatkannya"

Setelah berkata demikian dia pun langkahkan kaki.

Tetapi baru tujuh tindak kakinya melangkah.

Tiba-tiba saja kesunyian menjelang malam dipecahkan oleh suara deru angin.

Pepohonan diseluruh penjuru bergoyang keras, hawa dingin dikaki lembah makin bertambah dingin. Pura Saketi tidak perduli karena perubahan cuaca ditempat itu adalah sesuatu yang sudah biasa dialaminya.

Tapi seketika kemudian dia berlari mengikuti arah hembusan angin tiba-tiba saja terlihat kilat menyambar.

Sambaran kilat disusul dengan gelegar petir.

"Mengapa alam tidak bersahabat denganku!"

Gerutu pemuda itu sambil terus mengayunkan langkah kakinya.

Sambil berlari Pura Saketi menatap ke atas.Dibawah bayang-bayang jurang yang menjulang tinggi, dia melihat langit diselimuti mendung hitam.

Sekali lagi kilat menyambar, petir berdentum serasa merobek gendang telinga.

Pemuda ini memaki karena kaget namun dia terus saja berlari mengikuti hembusan angin.

Ketika hujan deras tiba-tiba turun, pemuda ini sesaat menjadi ragu karena tidak tahu kemana harus berlindung.

Terlanjur basah pemuda inipun meneruskan larinya, Semakin lama larinya semakin dipercepat. Disatu tempat sesampainya disebuah perbukitan batu lari. Pura Saketi terhenti.

Dia tertegun ketika melihat ada satu cahaya berwarna merah benderang memancar dikejauhan, Ke arah cahaya itulah angin yang bertiup dilembah berhembus.

"Cahaya merah itu, apakah mungkin nyala dari sebuah pelita? Apa ada pondok disana? Tapi jika memang itu cahaya pelita mengapa cahayanya sangat terang sekali?"

Pikir Pura Saketi.

Sejenak dia diam,namun setelah sempat terombang-ambing dalam kebimbangan akhirnya dia memutuskan untuk menuju ke arah datangnya cahaya.

Dia berlari lagi.

Tapi cahaya yang dilihatnya itu sekonyong-konyong mendadak lenyap dari pandangan.

Pemuda ini jadi kesal juga penasaran

"Cahaya lenyap seperti ditiup setan. Ada orang pandai agaknya sengaja mempermainkan diriku. Kurang ajar!"

Geram Pura Saketi sambil kepalkan kedua tangannya.

Dalam gelap ditengah hujan deras tanpa memperdulikan pakaiannya yang basah kuyup. Pura Saketi berkata.

"Guruku mengatakan jurang ini seperti lingkaran setan.Siapa yang terjebak didalamnya tak mungkin bisa kluar.Apakah benar demiklan? Bukankah setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Guruku gila, tapi aku bukan manusia bodoh. Aku yakin ada jalan menuju dunia yang bebas."

Lalu Pura Saketi kembali menatap ke arah dimana sumber cahaya muncul. Dia terkejut, matanya terbelalak begitu mengetahul cahaya yang lenyap kini muncul kembali.

Tapi cahaya itu tidak datang dari jurusan yang sama melainkan telah bergeser agak disebelah kiri.

Dan cahaya merah ini seperti lebih dekat.

Tidak percaya dengan penglihatannya sendiri, Pura Saketi mengusap matanya. Tempat munculnya cahaya tidak berubah.

"Aku tidak mau dipermainkan. Siapa saja yang berani melakukannya pasti kuhajar. Kalau perlu kubunuh sekalian!"

Geram pemuda itu.

Setelah berkata demikian dia salurkan tenaga dalam ke arah kedua kakinya.

Ketika kaki kanan dihentakkan ditanah

Wuus!

Seketika Pura Saketi lenyap, namun sekejab kemudian dia telah berlari diatas pucuk pepohonan. Dari ketinggian pohon dia dapat melihat jauh ke depan.

Saat itu jarak antara dirinya dengan cahaya semakin bertambah dekat.

Dan pemuda ini menjadi heran ketika menyadari bahwa pancaran cahaya merah ternyata berasal dari balik dinding tebing.

Mengetahul hal ini si pemuda perlambat larinya.

Kemudian dia hentikan langkah setelah jejakkan kaki tidak jauh dari dinding tebing yang menyala.

Menatap ke arah tebing didepannya dia merasakan ada getaran hawa aneh menerpa kedua matanya.

Pura Saketi merasakan kedua matanya menjadi panas seperti mau meletus.

Si pemuda keluarkan seruan kaget sekaligus dekap kedua matanya.

"Apa yang terjadi dengan mataku!"

Desis Pura Saketi dicekam rasa takut.

Dia takut matanya menjadi buta.

Tetapi tidak berselang lama kemudian pemuda ini menjadi heran sendiri ketika dapati kedua mata yang tadinya panas berubah menjadi sejuk.

Rasa panas lenyap berganti dengan getaran hawa dingin sejuk yang kemudian menjalar kesekujur tubuhnya. Pura Saketi pun menjadi heran sendiri ketika merasakan tubuhnya tiba-tiba berubah menjadi ringan.

Perlahan-lahan dia turunkan kedua tangan yang menekap wajah dan memandang ke depan. Cahaya merah terang yang memancar di dinding kini tampak meredup.

Rasa ingin tahu membuatnya julurkan tangan ke arah dinding tebing didepannya.

"Ada sesuatu yang tersembunyi dibalik dinding tebing ini!"

Batinnya didalam hati.

Perlahan namun pasti dengan sikap hati-hati jemari tangan yang telah dialiri tenaga dalam dia tancapkan ke dinding itu.

Tanah tebing yang keras luruh bergugusan.

Si pemuda melihat didepannya kini terdapat sebuah lubang empat persegi.

Didalam lubang tergeletak sebuah benda aneh berwarna biru kemerahan berkilau seperti lempengan batu namun bentuknya mirip dengan sebuah kitab.

"Kitab Aksara Iblis! Mungkinkah benda itu kitab yang dimaksudkan oleh guruku?"

Pikir Pura Saketi.
Raja Gendeng 27 Aksara Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Dengan jantung berdebar, pemuda ini julurkan tangannya lebih dalam.

Dia lalu menggerakkan jemarinya untuk menggapai lempengan benda aneh biru kemerahan. Belum sempat jemari tangannya menyentuh benda, tiba-tiba dari dalam lubang menderu satu gelombang angin panas dan dingin luar biasa hebat. Deru angin itu tidak hanya mendorong tangannya tapi juga menghantam tubuh Pura Saketi membuat tubuhnya terdorong sejauh tiga tombak ke belakang.

Andai pemuda ini tidak berlaku waspada, dia pasti sudah terjengkang dengan kepala menghantam batu yang terdapat dibelakangnya.

"Benda itu menyerangku!. Apakah mungkin dia tidak mau disentuh?"

Gumam Pura Saketi sambil dekap dadanya yang mendenyut sakit.

Penasaran pemuda itu bergerak lagi, melangkah mendekati lubang.

Benda biru kemerahan masih berada ditempatnya.

Tapi benda itu kini berpedar, memancarkan cahaya gemerlapan seolah hidup

"Mungkin ini adalah kitab Aksara Iblis. Tapi aku tidak bisa menyentuhnya. Apa yang harus kulakukan?!"

Kata Pura Saketi sambil julurkan lidah basahi bibirnya yang dingin.

Disaat pemuda ini bingung tidak tahu bagaimana caranya mengambil benda didinding tebing. Sayup-sayup dia mendengar suara ngiang ditelinganya.

"Setiap mahluk tidak terkecuali siapa dan bagaimana bentuknya pasti ingin dihormati.Bila kau bersikap sopan, maka apa yang kau lihat didepanmu sudah ditakdirkan menjadi milikmu.Berbuatlah sebagaimana layaknya seorang tamu yang baik.!"

Pura Saketi terkejut.

Dia tidak melihat ada seseorang disekitar tempat itu.

"Lalu siapa yang bicara?"

Pura Saketi terdiam, dia mencoba untuk memahami kata-kata yang didengarnya.

Begitu menyadari apa yang seharusnya dia lakukan, maka tiba-tiba saja dia jatuhkan diri, berlutut menghadap ke arah lubang tempat dimana lempengan benda berkilau mirip sebuah kitab berada.

"Siapapun yang bicara denganku, aku mengucapkan terima kasih karena baru diberi ingat."

Setelah itu pada benda didepannya dia berkata pula.

"Wahai mustika yang memancarkan cahaya. Jika yang kulihat ini memang Kitab Aksara Iblis dan berjodoh denganku, aku mohon diberi izin, diberi kesempatan untuk memilikinya.Tapi jika Kitab tidak berjodoh denganku, aku mohon pergilah yang jauh dan jangan pernah lagi memperlihatkan diri dihadapanku sampai kapanpun!"

Selesai berucap demikian Pura Saketi tundukkan kepala dengan sikap menghormat. Setelah itu dia duduk bersimpuh didepan lubang empat persegi yang berada didepannya.

Sambil menahan nafas dengan wajah tegang dia menunggu.

Penantiannya ternyata tidak berlangsung lama.

Tiba-tiba terdengar suara menderu, hawa panas dan dingin menebar menyertai suara deru itu.

Satu keanehan tiba-tiba terjadi.

Benda yang tergeletak didalam lubang tiba-tiba bergerak meninggalkan tempatnya lalu melayang ke udara.

Setelah sempat melayang berputar-putar diatas kepala Pura Saketi, akhirnya jatuh ke atas pangkuannya, Pura Saketi buka matanya lebar-lebar.

Menatap ke arah pangkuannya dia melihat benda itu masih memancarkan cahaya merah redup namun sejuk.

Si pemuda memperhatikannya dengan seksama.

Dengan sangat hati-hati benda dipegangnya dengan kedua tangan.

Bentuknya seperti lempengan batu namun mirip dengan kitab.

Tapi tidak ada halaman dalam kitab.

"Namun pada permukaannya terlihat jelas tulisan-tulisan aneh berupa aksara yang tidak dapat kumengerti artinya.Mungkin inikah yang disebut dengan Aksara Iblis?!"

Kata Pura Saketi.

Sejenak lamanya dia hanya membolak balik kedua sisi lempengan.

Satu demi satu setiap kata yang tertera dipermukaan lempengan diteliti.

Dia juga terus berusaha mencari tahu makna setiap aksara yang tertera di kedua sisi lempengan itu.

"Tidak satupun aksara pada kitab ini kuketahui maknanya. Mungkin Aksara Iblis hanya diketahui oleh bangsa iblis dan golongannya. Tapi kitab ini sangat kotor tertutup tanah merah. Aku akan membersihkannya!"

Setelah berkata demikian Pura Saketi mengusap sisi sebelah atas lempengan batu yang dipenuhi aksara aneh sebanyak tiga kali. Setelah sisi sebelah atas bersih dan tulisan makin terlihat jelas, Pura Saketi membalik lempengan kitab lalu membersihkan sisi sebelah bawah dengan usapan sebanyak tiga kali pula. Diluar dugaan satu kejadian aneh yang sungguh luar biasa pun tiba-tiba terjadi. Lempengan it bergetar keras. Setiap baris tulisan yang pada kedua bagian permukaannya bergerak seolah hidup disertai pjaran cahaya warna warni.

Seiring dengan itu getaran yang terjadi di seluruh penjuru lempengan semakin bertambah keras, kedua tangan Pura Saketi yang memegang kedua sisi lempengan kitab batu bergetar.

Setiap aksara terus bergerak, menggeliat, berputar atau bertarian saling kejar dipermukaan kedua kitab batu, laksana sekumpulan cacing gila yang mencari jalan keluar dari kitab Batu.

Pura Saketi terkesima, dia terus memegangi kitab batu itu erat-erat. Namun pada waktu yang bersamaan dia juga merasakan ada hawa aneh menjalar merayap ke arah kedua tangannya. Dari tangan hawa aneh terus menjalar kesekujur tubuhnya. Pemuda itu merasa seluruh pembuluh darah disekujur tubuhnya laksana dipenuhi oleh satu kekuatan dahsyat. Dia merasa sekujur tubuhnya laksana mau meledak

"Apa yang terjadi...!"

Teriak pemuda itu panik. Tidak tahan dengan hawa aneh yang menyerbu masuk kedalam tubuhnya, dia pun segera melepaskan kedua tangannya yang mencekal kitab batu.

Tapi dia terkejut sendiri. Kedua tangan yang memegang kedua sisi batu tidak dapat dilepas, menempel begitu ketat seolah telah diberi perekat.

"Tidak.... mengapa jadi seperti ini..."

Pura Saketi keluarkan seruan kaget.

Disaat si pemuda dibuat bingung tidak tahu apa yang harus dilaku- kannya, tiba-tiba saja dia melihat kitab pancarkan cahaya merah benderang dan semua aksara aneh yang tertera pada kedua permukaannya berlompatan meninggalkan tempatnya masing-masing lalu menyerbu masuk kesekujur tubuh Pura Saketi. Sambaran setiap aksara bercahaya yang mengamblaskan diri kebagian telapak tangan dan sekujur tubuh itu menimbulkan penderitaan yang tiada terkira dahsyatnya bagi Pura Saketi.

Pemuda itu merasa sekujur tubuhnya seperti dihantam ditembus ribuan batang jarum membara.

Pura Saketi menjerit, menggeliat dan menggelepar, sementara cahaya merah yang bersumber dari aksara yang menyatu dengan dirinya membuat tubuhnya pancarkan cahaya merah mengerikan.

"Hraaaakh..... huaakh....."

Pura Saketi meraung laksana puluhan harimau tertembus anak panah. Tubuhnya terjengkang kebelakang. Kitab batu ditangan terlepas, terpental dan jatuh tak jauh disampingnya.

"Akh..... akh..."

Pura Saketi terus meraung, bergulingan ditanah selayaknya orang yang kerasukan.

Sekujur tubuh laksana hancur tercabik didera hawa panas dan dingin yang menyerang dari dalam silih berganti.

Didera rasa sakit yang sedemikian hebat pemuda ini pun akhirnya tidak sadarkan diri.

Begitu putra Pendekar Sesat ini pingsan.

Pergolakan dalam tubuhnya mereda.

Bersamaan dengan itu sekujur tubuh yang merah membara berangsur surut, cahaya yang memancar ikut meredup lalu lenyap meninggalkan kepulan asap tipis berwarna kemerahan.

Kilat menyambar, petir bergemuruh.

Hujan deras mendadak terhenti.

Lalu dikejauhan sana dibawah alam sadarnya sayup-sayup dia mendengar ada satu suara berkata,

"Anak manusia bernama Pura Saketi. Aksara iblis telah menyatu dalam tubuhmu, mengalir dalam darah, mengisi setiap sendi, tulang dan ototmu. Kau telah menguasai seluruh isi kitab Aksara Iblis. Segala kehebatannya telah bersatu dengan dirimu. Sejak saat ini tidak bakal ada seorang pun yang bisa menandingimu. Tapi harus dingat dengan ilmu kesaktian yang kau miliki sekarang ini, jalan hidupmu tidak lagi sepenuhnya berjalan sesuai dengan keinginanmu."

"Ada kehendak lain yang berkuasa dan kerap mengambil alih. Namun kau tak usah takut karena kau adalah pewaris ilmu yang sangat langka itu.Mulai saat ini kau bebas berbuat sekehendak hati.Kau juga bebas membalaskan ?egala rasa sakit hati dan dendam kesumat pada orang-orang yang memusuhimu.Tapi kau juga harus ingat selalu saja diatas langit masih ada langit, diatas ilmu hebat masih ada yang jauh lebih hebat.Dalam setiap kekuatan pasti ada kelemahannya, begitu pula setiap ilmu pasti ada penangkalnya. Aku hanya bisa mengatakan selamat kepadamu. Ha ha ha!"

Suara gelak tawa menggema memenuhi relung hati dan batok kepala pemuda itu.

Pura Saket tersentak, kedua matanya terbuka dengan tiba-tiba.

Suara tawa yang didengarnya raib, merasa heran pemuda ini bangkit.

Setelah terduduk diatas tanah pemuda itu memperhatikan diri sendiri.

Thdak ada luka, tidak terlihat ada darah menetes ditubuhnya.

Bahkan pakaian biru yang melekat ditubuhnya tetap utuh.

"Aku selamat. Rasa sakit disekujur tubuhku bahkan lenyap."

Desis pemuda itu.

"Apakah benar aku telah mewarisi kitab Aksara Iblis?"

Dia memandang sekelilingnya.

Perhatiannya kemudian tertuju ke arah lempengan batu yang tergeletak disampingnya.

Itulah kitab Aksara Iblis.

Tapi kitab itu kini hanya tinggal sepotong batu membara yang menghitam di ke empat sisinya.

Tidak ada lagi aksara yang tertera dikedua sisinya.

Semuanya polos dan licin-licin saja.

"Benar.... Aksara Iblis telah menyatu dengan tubuhku. Ternyata akulah pewaris Aksara Iblis... ha ha ha!"

Teriak Pura Saketi sambil tertawa tergelak-gelak.

Diapun kemudian bangkit berdiri, menatap sejenak ke arah kegelapan disekitarnya lalu tersenyum.

Huup!

Rasa ingin tahu karena telah memiliki ilmu Aksara Iblis membuat Pura Saketi ingin mencoba dan segera salurkan tenaga dalam kebagian kedua tangannya.

Byar!

Begitu tenaga sakti mengalir deras dikedua belah tangannya.

Saat itu juga ditelapak tangannya memancarkan cahaya merah benderang yang disertai dengan bermunculan aksara-aksara aneh yang timbul tenggelam silih berganti.

Pemuda ini merasa takjub melihat huruf-huruf yang muncul silih berganti dibagian telapak tangan hingga ke pangkal lengan.

Setiap kali aksara muncul menggantikan aksara sebelumnya terlihat cahaya merah dan biru berpijar menyilaukan.

"Aksara Iblis.... Ha ha ha...! Akulah satu satunya pewaris ilmu itu!"

Raja Gendeng 27 Aksara Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Teriak Pura Saketi diiringi tawa terkekeh. Setelah merasa yakin dengan apa yang didapatnya diapun segera menarik balik tenaga dalamnya. Pijaran cahaya dikedua tangan lenyap.

"Aku akan keluar dari jurang ini. Para jahanam itu harus kutemukan!"

Sambil berkata demikian tiba-tiba saja dia melompat ke arah dinding tebing. Anehnya begitu telapak tangan menyentuh dinding yang terjal dan licin tidak seperti sebelumnya, kini kedua telapak tangannya bisa menempel pada dinding itu.

"Kini aku bisa... sebelumnya aku dan guruku tak pernah dapat mendaki jurang ini. Ha ha ha!"

Seru pemuda itu kegirangan.

Sebelumnya ketika masih bersama Iblis Kolot, dia memang pernah berusaha memanjat tebing jurang.

Tapi segala upaya mereka tidak pernah membawa hasil. Sekarang seperti cicak yang merayap ditembok, Pura Saketi bahkan dapat merayap cepat menuju ke bagian puncak tebing jurang.

Dan semua Ini dia lakukan dalam waktu yang tidak lama.

Setelah berhasil menggapai mulut jurang.

Dalam kegelapan Pura Saketi bergegas tinggalkan tempat itu.


*****

Ruangan tempat latih tanding dalam benteng di Kawasan Tua cukup luas.

Dahulu ruangan ini pernah dipergunakan untuk mendidik penduduk Kawasan Tua dengan berbagai ketrampilan silat dan ilmu kedikdayaan.

Karena ruangan itu terlindung dari cahaya matahari maka keberadaannya menjadi lembab berdebu.

Disekeliling ruangan terpajang deretan rak berisi tombak, toya, pedang, golok juga beberapa senjata lainnya.

Walau sebagian senjata telah berkarat, namun keadaannya masih layak dipergunakan. Ketika Raja Gendeng 313 yang didampingi kakek berpakaian merah berambut merah masuk kedalam ruangan, suasana sunyi terasa mencekam.

Tak jauh dibelakang kedua orang itu seorang gadis berwajah cantik berkulit putih bersih berpakaian kuning gading tampak mengiringi.

Si kakek yang tak lain adalah Si Gembala Api pemimpin kawasan Tua yang porak poranda itu bergegas menuju ke bagian tengah ruangan.

Sesampainya disana dia meniup ke dua arah sekaligus.

Satu ke arah dinding disebelah kiri sedangkan satu tiupan lagi ke arah dinding sebelah kanan.

Seketika itu juga dari mulut kakek Gembala Api melesat dua titik cahaya merah.

Kedua titik cahaya itu berubah membesar dan menyambar dua pelita yang terdapat dikedua sudut dinding

Byar!

Byar!

Kegelapan dalam ruangan seketika berubah menjadi terang.

Si Gembala Api menatap Raja lalu berkata,

"Apa kau masih ingin berkelahi dengan Anjarsari? "

"Aku sebenarnya tidak berniat berkelahi, tapi gadis congkak itu yang ingin menjajal ilmu kesaktianku. Kalau mengikuti kata hati aku tidak mau membuang tenaga sia-sia. Aku juga takut nanti ada yang terluka!"

Jawab Raja lalu layangkan pandang ke arah gadis cantik berpakaian kuning gading yang bernama Anjarsari.

Si gadis delikkan mata.

Justru pada saat mata yang indah itu melotot membuat wajahnya tambah mempesona.

Melihat mata si gadis, hati Raja berdebar-debar.

"Pemuda gondrong, raja dari sekalian orang gendeng! Kalaupun ada yang terluka atau mengalami nasib celaka bukan aku orangnya. Orang sepertimu mana mungkin sanggup melawan aku. Aku ini gadis yang hebat! Jangankan sendiri, dua orang sepertimu tak mungkin bisa mengalahkanku"

Dengus Anjarsari penuh rasa percaya diri.

"Anjarsari... kau tidak boleh takabur. Bersikap santunlah pada setiap orang termasuk kepada Raja."

Tegur Si kakek merasa kesal dengan perkataan sang dara.

"Huh apa? Mengapa harus bersikap baik pada pemuda ini? Dimataku dia bukanlah seorang raja, dia pantas menjadi pesuruh setia yang harus mematuhi segala perintahku!"

Sahut Anjarsari sengit.

Rupanya dia merasa tidak senang dengan teguran Si kakek Gembala Api. Ditempatnya berdiri sang pendekar merasa telinganya menjadi gatal.

Ingin sekali dia mendamprat tapi entah mengapa hati kecilnya merasa tidak sanggup melakukannya.

Seperti dikisahkan dalam episode Putera Pendekar Sesat.

Sejak pertama kali Raja melihat gadis itu hatinya menjadi gelisah.

Jantung berdegup keras terutama ketika pandangan mata mereka bertemu.

Selama hidup rasanya Raja belum pernah merasakan perasaan seaneh ini.

Raja tertarik pada gadis angkuh ini, dia begitu takjub pada keelokan parasnya.

Tapi yang membuatnya muak mengapa sifat Anjarsari bertolak belakang dengan kecantikannya.

Andai yang bicara seperti itu pada dirinya gadis yang lain bukan Anjarsari mungkin sudah didampratnya.

"Anehnya... mengapa aku koq jadi diam saja dihina gadis ini? Apa nanti kata kedua mahluk alam roh sahabatku?"

Batin sang pendekar sambil menggaruk kepalanya.

Jiwa Pedang dan Sinta Dewi sama berpandangan ketika mendengar ucapan Anjarsari.

"Aku tidak mengerti, seharusnya gusti Raja menampar saja mulut gadis berpakaian kuning tahi itu. Mengapa dia diam, buat apa dia mengalah. Padahal gadis itu sudah berbicara sangat keterlaluan!"

Rutuk Sinta dengan wajah cemberut. Jiwa Pedang perhatikan Sinta didepannya lalu tersenyum.

"Mengapa kau yang menjadi marah, gusti yang didamprat malah diam saja seperti kerbau dicocok hidungnya. Jangan-jangan gusti tertarik pada gadis berpakaian kuning itu!"

Kata Jiwa Pedang lalu menatap ke arah gadis yang kini telah berdiri tidak jauh didepan Raja.

Entah sengaja memanasi hati Sinta entah memuji Anjarsari, Jiwa Pedang kemudian berkata lagi.

"Gadis itu memang cantik "

"Kurang ajar! Memangnya aku tidak cantik? Dasar lelaki pantang melihat dada bagus jidat licin!"

Geram Sinta sambil delikkan matanya.

Jiwa pedang tertawa.

Suara tawa atau pun pembicaraan mereka tentu saja tidak dapat didengar oleh Anjarsari ataupun si kakek. Hanya Raja yang mendengar ucapan mereka.

Tapi sang pendekar bersikap acuh

"Ya-ya-ya, kau memang tak kalah cantik dibandingkan dengan gadis yang berpakaian kuning. Sayang kau suka makanan yang bau.Dan maaf bila aku tidak keliru bicara, sebenarnya kau merasa cemburu melihat gusti kita menaruh hati pada Anjarsari?"

"Hah, apa?"

Sentak gadis alam roh itu.

Wajahnya bersemu merah.

Lalu buru-buru dia palingkan kepala ke jurusan laiin

"Hm, ternyata betul kataku.Selama ini diam- diam kau menaruh hati pada gusti Raja. Kasihan, cinta belum terucap yang dicinta agaknya telah Jatuh hati pada pandangan pertama dengan gadis lain! He he he."

"Diam! Perlu apa kau mengetahui apa yang ada dalam hatiku. Kau bukannya menghibur sebaliknya malah mengejekku, Mahluk tidak berguna!"

Geram Sinta.

Sinta lalu melayangkan tinjunya ke bagian bahu Jiwa Pedang.

Tapi sambil tertawa Jiwa Pedang telah berkelebat lenyap dari tempatnya.

Sinta menggeram, tapi dia hanya bisa mendamprat karena saat itu terlihat Jiwa Pedang sudah duduk diatas senjata.

Sementara itu Anjarsari sudah berdiri ditengah ruangan sambil berkacak pinggang tiba-tiba membentak.

"Pemuda gondrong bernama Raja, coba lihat deretan senjata yang terpajang di- sepanjang dinding itu?"

Tanpa menjawab Raja menatap ke deretan senjata yang tersusun rapi ditempatnya masing-masing.

Setelah itu dia anggukkan kepala

"Bagus! Kau boleh menggunakan semua senjata itu, kalau pedang yang tergantung dipunggungmu belum cukup untuk kau jadikan senjata!"

"Anjarsari, bukankah kau sekedar hendak mengujinya? Mengapa harus menggunakan senjata?"

Tukas si kakek tampak tidak puas dengan sikap gadis itu

"Memang! Aku tidak butuh senjata. Dialah yang membutuhkan senjata itu, kek."

Dengus Anjarsari. Si kakek melangkah maju, dan berkata,

"Jika begitu aku memutuskan keinginan saling menjajaki kekuatan harus dibatalkan!"

Mendengar si kakek berkata seperti itu. Anjarsari justru menjadi kesal dan marah.

"Orang tua! Kau tidak layak mengatur aku!"

"Apa?!"

Sentak Si kakek Gembala Api.

Si kakek yang semula berusaha menahan diri melihat tingkah laku Anjarsari yang menjengkelkan, kini menjadi hilang rasa sabarnya.

"Anjarsari, apakah kau lupa bahwa sampai hari ini pun aku masih menjadi pemimpin di Kawasan Tua ini? Suka atau tidak suka kau harus patuh pada perintahku!"

"Hi hi hi! Semua orang yang selalu mematuhimu telah mati. Mereka binasa dilanda gempa hebat. Mereka tewas dimangsa Simujud, Makandor juga orang liar dari kehidupan lalu. Aku adalah satu satunya orang yang tersisa yang tidak akan pernah tunduk pada perintah siapapun. Kau menyingkirlah..biarkan aku memberi pelajaran pada si Raja edan ini"

"Kau sungguh keterlaluan...!"

Raja Gendeng 27 Aksara Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Geram Si Gembala Api dengan gigi bergemeletukan saking marahnya.

Melihat suasana yang semakin memanas, Raja tentu saja tidak bisa membiarkan.

Pemuda itu melangkah maju, lalu memberi isyarat pada si kakek untuk menepi.

"Maafkan saya orang tua, bukannya aku tidak menghormatimu. Tapi mengabulkan permintaan gadis yang keras kepala itu adalah lebih baik!"

Kata Raja Walau tidak meinginkan terjadinya perkelahian akhirnya si kakek mengalah karena yakin Raja pasti dapat menundukkan Anjarsari.

Disamping itu dia tahu sang pendekar tidak ingin mencelakai Anjarsari meskipun kata-kata gadis itu berulang kali merendahkannya.

"Hi hi hi! Lihatlah... dia lebih berani dibandingkan dirimu kek."

Kata gadis itu.

Kemudian kepada Raja, Anjarsari berseru.

"Kau boleh menggunakan senjata manapun yang kau suka atau kau lebih suka menggunakan pedangmu. Semua itu terserah kepadamu!"

"Aku tidak akan menggunakan senjata yang manapun termasuk juga pedang dipunggungku ini. Kalau terpaksa aku akan menggunakan pedang pusaka paling keramat yang tidak menyakitimu. Ha ha ha..."

Sahut Raja lalu tertawa tergelak.

Sambil berkata Raja geser kaki sebelah kanan kesamping. Kemudian dia julurkan tangan, Jemari melambai sebagai isyarat dia telah-telah siap menerinma tantangan Anjarsari.

Melihat ini sang dara cantik menggeram,

"Aku akan membuatmu babak belur dalam waktu lima jurus. Setelah itu lima jurus berikutnya akan membuatmu menemui ajal!"

Berkata demikian tiba-tiba Anjarsari hentakkan kedua kakinya. Melihat ini Si Gembala Api berseru,

"Anjarsari, aku tidak ingin melihat ada yang terluka diantara kalian berdua!"

Sia-sia saja si kakek bicara karena pada saat itu, Anjarsari telah berada didepan Raja dengan dua tangan melesat sepuluh jarinya terkembang. Raja melihat sepuluh jari tangan sang dara berubah memutih laksana perak. Sepuluh jari mencari sasaran dibagian wajah, bahu juga leher sang pendekar.

Melihat serangan, Raja sentakkan kepala kebelakang, lalu dari bawah tangan didorong ke atas menangkis serangan lawan.

Plak!

Plak!

Bentrokan keras membuat keduanya terdorong ke belakang.

Tapi hebatnya dengan kecepatan luar biasa kaki kiri Anjarsari masih sempat menyapu pinggang Raja.

Walau sang pendekar telah berusaha menghindar, namun perutnya masih kena ditendang lawan.

Raja terdorong kesamping,perut yang kena ditendang terasa mulas namun tidak dihiraukannya.

Sebaliknya sambil tersenyum dia berkata,

"Tendanganmu geli-geli enak. He he he! Makin ditendang makin geli, makin enak."

"Pemuda sinting! Ternyata kau memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Tendanganku tadi sebenarnya sanggup menghancurkan batu karang, tapi mengapa dia tidak cidera?!"

Gerutu Anjarsari dalam hati.

Dengan penasaran dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Dua tangan dan kaki yang telah dialiri tenaga sakti kemudian bergerak cepat dan mengeluarkan deru dan sambaran hawa dingin menusuk. Selanjutnya dengan menggunakan jurus Walet Sakti Menghempas Ombak. Anjarsari melambung tinggi. Selagi tubuhnya mengambang diudara, kedua kaki menghantam bertubi-tubi ke dada dan kepala Raja. Sang pendekar yang saat itu telah menggunakan jurus Tarian Sang Rajawali meliukkan tubuhnya sambil menggerakan kepala ke kanan dan kekiri menghindari tendangan lawan. Bersamaan dengan gerakan itu tangan diputar ke atas berusaha menangkis tandangan tersebut.
Disaat kedua kaki Raja bergerak lincah mirip dengan gerakan burung besar yang melompat-lompat diatas air, tiba-tiba pemuda ini sentakkan bahunya ke depan. Serangkum hawa panas menderu dari bahu Raja, melabrak ke atas menyambar ke arah Anjarsari.

Tapi pada waktu yang sama gadis itu juga dorongkan kedua tangan ke bawah tepat dimana Raja berdiri. Dua larik cahaya putih menyilaukan menderu melesat sedemikian cepat menghantam hawa panas yang melesat dari bahu Raja.

Melihat kejadian ini disudut ruangan Si Gembala Api keluarkan seruan kaget.

"Astaga! Kalian seperti dua musuh bebuyutan yang hendak saling bunuh!"

Teriakan si kakek tenggelam lenyap ditelan dentuman keras akibat beradunya dua serangan sakti. Langit-langit dan dinding ruangan terguncang, lantai bergetar seperti hendak amblas kebumi.

Anjarsari terdorong keras akibat bentrok tenaga dalam. Hebatnya gadis ini tidak mengalami cidera bahkan dia masih jatuhkan diri dengan dua kaki terlebih dulu menyentuh lantai. Ketika gadis ini menatap ke depan, diam-diam dia terkejut melihat Raja masih berdiri tegak.

Walau disudut bibirnya ada lelehan darah, namun Raja jelas tidak mengalami luka yang berarti. Si Gembala Apl yang terus mengikuti jalannya perkelahian segera menyadari bahwa Raja nampaknya tidak sungguh-sungguh menghadapi gempuran Anjarsari.
Pemuda itu lebih banyak mengalah.

Mengapa?

Setidaknya pertanyaan seperti itu mengusik pikiran si kakek. Raja yang begitu tangguh dan perkasa lebih banyak mengalah. Malah Raja terkesan memberi keleluasaan bagi Anjarsari sehingga membuat gadis itu mengira dirinya lebih unggul, lebih hebat dari lawannya.

Sebenarnya Si Gembala Api sangat menyayangkan sikap Raja seperti ini karena jauh dilubuk hati si kakek berharap Raja dapat menjatuhkan Anjarsari secepatnya agar gadis berhati congkak dan suka bicara ketus itu dapat segera menyadari sikap kasarnya.

Tapi orang tua ini tidak mungkin memberi tahu Raja. Sambil mengelus dada, SI Gembala Api hanya diam memperhatikan tindakan selanjutnya yang akan dilakukan oleh Anjarsari atau pun Raja Gendeng 313.

"Lima jurus telah berlalu! Jika kau masih memiliki jurus atau pukulan yang lebih hebat dari yang sudah kau pergunakan, keluarkan saja! Aku ingin melihat apakah mulut besarmu sesuai dengan kesaktian yang kau miliki!"

Kata Raja sambil mengumbar senyum mengejek.

"Nah, harusnya paduka bersikap tegas seperti itu. Kami sebagai sahabatmu senang mendengarnya."

Tiba-tiba terdengar suara mengiang ditelinga kiri sang pendekar dan itu adalah Sinta. Kemudian ditelinga kanan, Raja mendengar suara mengiang Jiwa Pediang

"Gusti jangan membuat malu kaum lelaki. Laki laki kedudukannya kan selalu diatas perempuan dibawah.Begitu yang seharusnya. Kalaupun gusti punya perasaan tertentu terhadapnya lebih baik kesampingkan dulu perasaan itu.Terhanyut oleh kata hati apalagi rasa suka hanya membuat seseorang menjadi lemah He he he."

"Kalian diam!"

Sentak sang pendekar tanpa sadar, membuat si kakek heran dan Anjarsari yang merasa ucapan itu ditujukan padanya segera menjawab

"Kakek itu boleh diam. Tapi tidak demikian denganku. Sekarang bersiap-siaplah menerima gebukanku!"

Seru sang dara.

Seruan itu dibarengi dengan gerakan tubuh Anjarsari. Gadis itu tiba-tiba melesat kedepan.

Selagi tubuhnya menghambur dengan gerakan seperti orang yang hendak memeluk, kedua tangannya berubah memutih berkilau laksana perak.

Melihat cara lawan menyerangnya, Raja terkesima.

"Jurus apa yang dipergunakan oleh si tinggi hati ini. Mengapa dia seolah hendak memelukku!"

Pikir Raja.

Selagi Raja dibuat tertegun, Si Gembala Api dalam kejutnya keluarkan seruan.

"Astaga! Bukankah kau menggunakan jurus Merengkuh Matahari? Dengan jurus itu gajah sekalipun bisa celaka! Sungguh keterlaluan!"

Raja yang tidak tahu betapa hebatnya serangan yang dilakukan Anjarsari segera lindungi diri dengan pengerahan tenaga dalam keseluruh tubuh.

Pada waktu bersamaan dia juga kibaskan tangannya ke depan melepas pukulan Badai Es.

Hawa dingin disertai tebasan gumpalan-gumpalan cairan seperti es yang bertabur memenuhi udara menderu ke depan menghantam Anjarsari.

Namun serangan Badai Es itu dengan mudah dapat dimusnahkan oleh Anjarsari.

Raja melompat mundur, dua tangan diangkat ke atas siap melepaskan pukulan berikutnya.

Namun sebelum dua tangan Raja sempat bergerak menghantam lawan dengan pukulan Badai Serat Jiwa.

Dua tangan mulus yang memancarkan cahaya menyilaukan itu telah merengkuh tubuhnya.

Rengkuhan berupa pelukan ketat itu dalam keadaan biasa tentu membuat yang dipeluk menjadi senang.

Apalagi yang memeluk adalah seorang gadis cantik. Sinta sendiri sempat merasa iri melihat tindakan yang dilakukan Anjarsari.

Tapi baik Sinta maupun Jiwa Pedang kemudian tidak dapat menyembunyikan rasa kagetnya begitu mendengar Raja berteriak kesakitan.

Sementara sambil menggeliat berusaha membebaskan diri dari pelukan lawan, Raja menghantam kedua bahu Anjarsari

"Kau tidak akan lolos dari kedua tanganku ini. Mula-mula tubuhmu panas seperti dipanggang diatas bara, lalu mengalami sesak nafas, Setelah itu kepalamu seperti dihantam palu membara. Kesudahannya tubuhmu akan meledak menjadi kepingan daging hangus!"

Geram Anjarsari sambil memperhebat pelukannya.

Semua yang dikatakan gadis itu memang tidak berlebihan. Raja merasakan tubuhnya seperti dibakar, nafasnya sakit, tenggorokan laksana dijepit besi membara dan kepalanya laksana dihantam palu bertubi-tubi.

"Kraaah...!"

Raja Gendeng 313 meronta.

Pukulan pada kedua bahu Anjarsari hanya membuat gadis itu terguncang, tapi tidak membuatnya cidera.

"Aku harus memberi pelajaran pada si angkuh ini!"

Geram Raja dalam hati.

Diam-diam sambil menepis kedua tangan yang melingkari dadanya pemuda itu segera kerahkan tenaga sakti berhawa dingin dari bagian pusarnya. Hawa dingin dengan cepat menyebar keseluruh tubuh.

Raja terus melipat gandakan tenaga dalamnya hingga membuat tubuhnya menggigil diselimut es.

Apa yang dilakukan sang pendekar membuat Anjarsari terkejut.

Dia yang menggunakan jurus Merengkuh Matahari yang mengandalkan kekuatan berhawa panas segera merasakan adanya hawa dingin menyerang tangan, dada dan tubuhnya

"Pemuda keparat ini... ilmu apa yang dipergunakannya? Mengapa seranganku melemah.?!"

Selagi Anjarsari bertanya dalam hati sambil lipat gandakan hawa sakti ke bagian tangan.

Tiba-tiba saja satu tamparan keras mendarat diwajahnya, membuat gadis ini tersentak kebelakang.

"Kurang ajar! Siapa yang menamparku?"

Pekiknya.

Dia melirik kesekelilingnya.

Tidak ada orang yang membantu Raja, hanya terlihat Si Gembala Api sedang berdiri disudut ruangan.

Hanya Raja yang tahu salah seorang dari sahabatnya telah berbuat nekat diluar kehendaknya menampar Anjarsari.

"Jiwa pedangkah yang melakukannya? Tidak mungkin.
Kurasa Sinta, gadis alam roh itu mungkin tidak suka aku dipeluk seperti ini."

Pikir sang pendekar.

Raja Gendeng 27 Aksara Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dugaannya tidak berlebihan.

Sinta rupanya tidak tega melihat Raja menderita kesakitan luar biasa akibat dipeluk Anjarsari.

Disamping itu tindakannya juga akibat didorong oleh rasa cemburu.

"Tidak ada yang menampar, mengapa Anjarsari memaki? Siapa yang dimakinya? Mungkinkah Raja Gendeng 313 menggunakan ilmu yang lain?"

Batin Si Gembala Api. Si kakek tidak sempat berpikir lebih lama. Saat itu dia melihat Raja tiba-tiba memutar tubuh.

Dua tangan yang dijepit oleh kedua lengan Anjarsari tiba-tiba menghantam kebelakang tepat ke bagian perut sang dara.

Serangan jurus Merengkuh Matahari yang dilakukan Anjarsari musnah.

Hantaman kedua tangan Raja membuatnya terpental kebelakang.Anjarsari jatuh bergelimpang dengan tubuh menggigil beku.

Begitu bebas dari pelukan lawan. Raja segera melompat ke depan.

Sambil menjejakkan kaki dia angkat tangannya siap menghantam dengan pukulan Cakra Halilintar.

Melihat serangan ini walau dengan tubuh menggigil kedinginan. Anjarsari menyambutnya dengan pukulan maut Tangan Peri Sakti Menjunjung Bumi!

Dua pasang tangan dihantamkan ke depan.

Dua pukulan sakti bentrok di udara.

Hawa panas dan dingin luar biasa saling tindih, saling dorong lalu...

Buum!

Satu ledakan mengguncang ruangan itu, membuat dinding hancur, retak dan sebagian langit langit runtuh.

Pijaran cahaya bermentalan memenuhi seluruh penjuru.

Asap tebal memenuhi udara.

"Celaka! Mengapa kalian justru hendak saling bunuh! Edan! Sinting semua!"

Maki Si Gembala Api. Kepulan asap lenyap.

Si kakek tahu tahu telah berada ditengah ruangan.

Memandang kesebelah kiri dia melihat Anjarsari rebah terlentang.

Sebagian tubuhnya amblas kedalam lantai yang atos.

Pakaian gadis itu robek dibeberapa bagian.

Sedangkan dari mulut dan hidungnya meleleh darah kental pertanda gadis ini menderita cidera dibagian dalam

"Kau hendak mencari mati?!"

Seru si kakek marah.

Dia lalu menatap kesebelah kanan ruangan.

Dia melihat Raja duduk bersila dalam keadaan tidak kekurangan sesuatu, hanya rambut panjangnya berjingkrak ke atas.

Wajahnya pucat dipenuhi debu.

Si Gembala Api segera ulurkan tangan, membantu Anjarsari keluar dari lantai yang jebol.

"Aku harus membantumu memulihkan diri"

Tegas kakek itu. Dia lalu berjongok, tangan terjulur siap ditempelkan dipunggung gadis itu. Namun dengan ketus Anjarsari berkata,

"Aku bisa mengurus diriku sendiri. Lebih baik kau ambilkan pakaian baru dikamarku!"

Anjarsari kemudian duduk bersila.

Dua tangan diletakkan dilutut, mata dipejamkan, Kemudian perlahan dia salurkan hawa sakti ke bagian dada dan perutnya.

Si Gembala Api meski kesal terpaksa menurut perintah Anjarsari.

Tapi orang tua ini kemudian merasa ragu pergi karena khawatir kedua muda mudi itu kembali saling serang.

Seolah mengerti Raja yang telah bangkit berdiri segera memberi isyarat pada orang tua itu dengan kedipan mata.

"Aku tidak akan menyerangnya. Walaupun dia terus memaksa, aku akan melayaninya tanpa pukulan, tanpa senjata dan tanpa pakaian melekat dibadan. He he he!"

Ujar sang pendekar melalui suara mengiang. Si Gembala Api menyeringai.

Sambil geleng-geleng kepala dia tinggalkan ruangan itu.

Seperginya si kakek, Anjarsari buka kedua matanya yang terpejam.

Dia menghela nafas dalam-dalam lalu menatap Raja yang berdiri tak Jauh didepannya

"Ketahuilah..walau kau sangat hebat namun aku belum kalah. Kelak pada suatu saat kau pasti bertekuk lutut!"

Dengusnya.

"Terserah apa katamu. Aku tidak perduli siapa yang kalah siapa yang menang. Aku hanya ingin menyudahi segala kegilaan yang baru saja terjadi. Lagi pula sudah waktunya aku angkat kaki dari tempat ini."

Tegas Raja

"Bagus. Kalau perlu pergilah yang jauh dan kita jangan pernah bertemu lagi."

Sahut Anjarsari sambil mencibir

"Ee eeh... kalian tidak boleh pergi sendiri-sendiri. Bukankah aku sudah mengatakan kalian harus pergi bersama-sama!"

Sahut satu suara.

Kedua orang itu sama-sama palingkan kepala, menatap ke arah pintu.

Ternyata yang baru bicara adalah Si gembala Api.

Orang tua itu datang dengan membawa seperangkat pakaian bagus milik si gadis.

Sama seperti pakaian yang melekat dibadan si gadis, pakaian itu juga berwarna kuning gading. Si kakek juga membawa kantong perbekalan untuk Anjarsari

"Gadis aneh, keras kepala, sombong dan angkuh. Warna yang disukai semuanya serba kuning mengingatkan aku pada sesuatu benda yang sering terapung di sungai.
Hik hik!"

Celetuk Sinta yang saat itu telah kembali ke hulu pedang

"Biar saja dia suka dengan warna yang serba kuning.Tetapi sayangnya aku tidak dapat melihat apakah dia juga membiarkan giginya berwarna kuning."

Sahut Jiwa Pedang.

Raja yang mendengar perkataan Jiwa Pedang berucap lirih

"Seharusnya aku menyerangnya dengan cahaya kuning. Siapa tahu setelah tubuhnya menjadi kuning dia bisa berubah menjadi benda yang berharga."

Didepan sana, Si Gembala Api menyerahkan pakaian kepada Anjarsari.

Setelah menerima pakaian dari si kakek. Anjarsari berlari ke sudut yang gelap, lalu mengganti pakaiannya. Menunggu Anjarsari kembali, Si Gembala Api letakkan buntalan berisi perbekalan dan beberapa pakaian dilantai.

Kemudian kepada Raja dia berpesan

"Kau harus lebih banyak mengalah juga bersabar dalam menghadapinya.Anjarsari sesungguhnya gadis yang baik. Akibat dari masa lalu yang keras penuh tantangan yang membuat sifatnya menjadi demikian.Jagalah dia baik-baik, perlakukan dia seperti adikmu atau yang lebih baik dari sekedar saudara."

"Aku tidak tahu apakah bisa tabah dan sabar menghadapinya kek. Jika bersamanya terus menerus mungkin aku bisa cepat tua dan lekas mati kek."

Jawab Raja polos.

"Mengapa begitu?"

Tanya si kakek tidak mengerti. Sambil menyeringai Raja menjawab.

"Kalau aku makan hati setiap hari apa tidak lekas tua dan cepat mati!"

Ucapan Raja membuat si kakek tersenyum.

"Apa benar dengan begitu bisa cepat mati? Ha... ha... ha...!"

Setelah berganti pakaian Anjarsari muncul kembali.

Raja sempat terpesona melihat penampilan si gadis.

Setelah bersalin pakaian Anjarsari terlihat lebih anggun dan lebih cantik. Walau demikian sikapnya pada Raja Gendeng 313 tetap saja angkuh dan acuh

"Kau menyuruh aku pergi bersama dia.?"

Tanya Anjarsari tiba-tiba sambil tatap wajah orang tua yang berdiri disebelah kirinya

"Ya memang seharusnya demikian. Iblis Kolot harus ditemukan. Hidup atau mati mahluk yang satu itu tetap saja bisa menimbulkan masalah"

Kata Si Gembala Api.

"Sebenarnya aku tidak suka melakukan amanat yang kau berikan, orang tua!"

Anjarsari berterus terang.

"Tapi mengingat jasa-jasamu dimasa lalu, aku akan melakukan apa yang kau perintahkan."

Keputusan gadis itu membuat si kalek merasa lega

"Dia akan menjagamu!"

Terangnya sambil memandang ke arah Raja. Anjarsari menatap sekilas ke arah Raja lalu mendengus

"Aku bisa menjaga diri sendiri!"

Sahutnya sengit

"Aku percaya."

Si Gembala Api lalu menyerahkan kantong perbekalan kepada Anjarsari

Raja Gendeng 27 Aksara Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Berikan padanya.
Biarkan dia yag membawa bekalku itu"

"Benar kek. Biarkan aku yang membawa kantong perbekalan.Sekarang tunjukkan jalan rahasianya agar kami dapat keluar dari kawasan ini dengan aman"

Si kakek anggukkan kepala. Setelah menyerahkan kantong perbekalan pada sang pendekar, kakek ini memberi isyarat pada Raja dan Anjarsari untuk mengikutinya.
Si Gembala Api membawa mereka menelusuri sungai dingin didalam tanah.

Sungai itu gelap gulita namun dalamnya hanya selutut.

Si kakek yang dikenal dengan ilmunya yang dapat mengeluarkan api segera kerahkan tenaga dalam kebagian tangan. Dua tangan si kakek menyala terang dikobari api.Dengan menggunakan api yang memancar dari tangan orang tua itu mereka berjalan menuju ke hilir sungai.

Setelah menempuh perjalanan cukup jauh akhirnya mereka tiba dimulut sebuah air terjun.

Terdengar suara bergemuruh seperti hujan dari air yang jatuh menimpa bebatuan di dasar jurang sana.

"Kek, apakah kami harus terjun ke bawah sana seperti air diujung muara sungai ini?"

Bertanya sang pendekar sambil tatap kegelapan dibawahnya. Si Gembala Api menggeleng. Dia menoleh kesamping lalu menunjuk ke arah lereng berbatu dipenuhi undakan tangga.

"Kau dan dia bisa lewat tempat itu. Dulu aku yang membuatnya. Tujuannya adalah sebagai jalan untuk melarikan diri bila Kawasan Tua tak dapat lagi dipertahankan. Tapi bencana dan mahluk-mahluk itu telah memusnahkan impianku. Kaumku musnah, hanya aku dan Anjarsari saja yang tersisa."

Terang Si Gembala Api mengenang.

"Baiklah. Aku mengucapkan selamat tinggal. Kami akan pergi!"

Raja berpamitan.

"Aku juga kek."

Kata Anjarsari. Si kakek anggukkan kepala sambil menepuk bahu dara cantik itu

"Pandai-pandailah menjaga diri, Semoga dewa melindungimu, Anjar."

Pesan Gembala Api. Anjarsari tersenyum mencibir. Dia melangkah tinggalkan Penguasa Kawasan Tua dengan dikuti Raja yang memilih berjalan tidak Jauh dibelakangnya.

Goosebumps Pembalasan Di Malam Halloween Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Wiro Sableng 030 Dosa Dosa Tak Berampun

Cari Blog Ini