Ceritasilat Novel Online

Bara Naga 11


Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 11




   Bara Naga Karya dari Yin Yong

   
Pi-ciok san sudah semakin dekat, cahaya lampu yang terang benderang di perkampungan di puncak bukit sudah jelas kelihatan, bangunan yang ditatah dari batu2 gunung terasa angker bagai iblis raksasa yang berduduk di tengah kegelapan.

   Tiba2 dari tempat gelap sana terdengar siulan rendah bagai bunyi burung kokok-beluk, sekaligus muncul bayangan puluhan orang yang segera merubung maju dari semak2 sekitarnya.

   Baru saja Siang Cin hendak beraksi, Tok-ciang Jan Pek yang yang ada di belakangnya cepat memburu maju, teriaknya dengan suara tertahan.

   "Apakah saudara2 dari Wi ji bun? Jan Pek-yang, di sini!"

   Seketika bayangan orang2 yang sudah bergerak maju itu menyusup lenyap pula ke dalam semak2 belukar, sementara seorang laki2 pendek dengan kedua kakinya yang melengkung bagai busur tahu2 menerobos keluar dari sana, dia terkekeh, katanya.

   "Kukira siapa, tahunya kau si bocah buntung ini, kenapa lari begitu kencang, memangnya kau suka hawa sejuk di tempat ini?"

   Suaranya tiba bersama bayangannya yang buntak, itulah seorang laki-saki cebol dengan kepala besar, kupingnya lebar, giginya bersiung besar, kulit mukanya yang kasar burikan lagi. Tok-ciang Jan Pek-yang hanya mendengus, katanya dingin.

   "Kalian segera akan memperoleh perintah, tunggu saja tanda kobaran api belirang di puncak Pi ciok san, kalian harus segera menyerbu ke sana, kami menyusup ke sarang musuh menyambut kalian dari dalam. Adakah teman2 kita di sebelah depan?"

   Si cebol kuping lebar meringis tawa, katanya.

   "setan mungkin ada, rombongan kita ini merupakan barisan yang paling dekat dengan sarang musuh, tak jauh lagi kawanan serigala Hek-jiu-tong mondar mandir, kalian harus hati2, jangan sampai batok kepala kalian kena dipancung musuh."

   Sembari bicara laki2 cebol ini tanpa berkesip mengamati Siang Cin, tapi Jan Pek-yang tidak hiraukan dia, katanya sambil berpaling.

   "Siang tayhiap, apakah segera berangkat?"

   Siang Cin tertawa, dia bawa ketiga orang itu terus menyelinap ke semak belukar di depan. Poan hou-jiu Te Yau berjalan paling belakang, waktu lewat di depan si 147 cebol dia tertawa dan berkata lirih.

   "Lo-kian-tui (kaki melingkar), hati2lah akan kedua kaki mestikamu ...."

   Lo-kian-tui segera memberi aba2 kepada anak buahnya terus menyelinap ke dalam semak alang2.

   Pi-ciok-san kini sudah di depan mata, dua beltas jalan berbatu yang ber-liku2 menjalar naik ke atas dari arah kiri-kanan, enam jalan yang berliku di sebelah kanan pada setiap ujung pengkolan tergantung sebuah lampion warna kuning, lampion itu dikerek tinggi bersambung ke atas puncak, sinar lampion besar yang terang benderang itu menyebabkan jalan berliku itu kelihatan jelas, bayangan tikuspun akan terlihat nyata, di bawah setiap lampion besar itu berjaga empat laki2 seragam hitam yang memeluk golok besar, di samping setiap empat laki2 ini mendekam pula seekor anjing galak.

   Sementara enam jalan berliku di sebelah kiri kelihatan gelap gulita, tapi terasakan adanya ancaman yang serius dalam kegelapan itu.

   Mendekam di belakang sebuah batu kelabu, dengan mengerut kening Siang Cin mengamati keadaan sekelilingnya, Poan-hou jiu menggeremet maju ke sampingnya, katanya lirih.

   "Siang-tayhiap, kita naik dari arah mana?"

   Memandang lekat ke depan, sesaat kemudian baru Siang Cin memberi putusan.

   "Dari arah kiri yang gelap itu."

   Sedikit bimbang akhirnya Poan hou-jiu berkata.

   "Bukan Cayhe banyak mulut, Siang-tayhiap, kurasa keadaan jalan disebelah kiri jauh lebih berbahaya daripada sebelah kanan yang benderang itu. bukan mustahil banyak pula jebakan dan perangkap di sana ...

   "

   "Betul,"

   Ucap Siang Cin.

   "tugas kita adalah menyusup ke jantung musuh tanpa konangan, kalau naik dari jalan kanan, jelas tak mungkin tidak konangan, meski mereka belum tentu mampu merintangi kita, tapi jejak kita sudah konangan dan pasti menimbulkan geger dikalangan mereka. Kalau naik dari sebelah kiri memang jauh lebih berbahaya. tapi Te-heng harus ingat, di tempat gelap memang sulit bergerak, tapi merekapun sukar merintangi kita."

   Memang beralasan, maka Te Yau mengangguk.

   "Ayolah maju!"

   Kata Siang Cin kemudian. Selincah kucing merunduk mereka berempat berlompat maju diantara batu2 yang terserak di semak belukar."

   Akhirnya mereka tiba di mulut jalan berliku yang menanjak ke atas, lebar jalan batu padas ini kira2 satu tombak.

   Keadaan jalan itu gelap gulita, dua sisi dindingnya menjulang tinggi dan curam, sunyi senyap tak terdengar suara apapun.

   Sejenak Siang Cin periksa keadaan sekitarnya, sebat sekali ia melejit tinggi dan hinggap di panggung batu yang terletak di antara jalan pertama dan ke dua, panggung batu ini berlumut dan ditumbuhi akar2an, batu besar ini mendekuk tidak rata, dengan hati2 sekali dia bergerak sehingga tidak menimbulkan suara apapun, dia mendekam sekian lama kemudian mengawasi kanan kiri dan depannya, kira2 lima langkah di sebelah depan ada tiga orang laki2 berseragam hitam tampak mendekam di tanah, mereka tumplek seluruh perhatian mengawasi jalan pertama di sebelah bawah, di depan ketiga orang itu terpasang peralatan panah berpegas yang sekaligus dapat membidikan anak2 panah secara beruntun, kalau tidak diperhatikan sukar diduga karena alat2 panah ini ditutupi dengan daun dan semak2 rumput, ujung panah yang kemilau biru itu tertuju ke jalan pertama di sebelah bawahnya padahal lebar jalan itu hanya setombak, dengan diberondong anak panah sekian banyak, tikuspun takkan lolos oleh panah2 beracun itu.

   Siaag Cin coba menoleh ke atas, kembali ia dibikin terkejut, panggung batu di antara jalan yang satu dengan jalan yang lain lapat2 terlihat pos setiap jarak tiga tombak pasti dipasang peralatan senjata rahasia yang lihay, demikian pula di dinding jalan berliku yang tinggi itu juga dipasang berbagai macam alat rahasia yang secara otomatis dapat membidikkan senjatanya.

   148 Pelan2 seperti kucing merunduk tikus Siang Cin menggeremet maju, kini didengarnya satu diantara ketiga orang penjaga itu menguap dan menggeliat, lalu menggerutu.

   "Keparat, mereka sedang pesta pora makan minum sekenyangnya, yang kawin juga sedang main di kasur, kita yang sial harus makan angin dengan perut kelaparan .....

   "

   "Sssst,"

   Seorang temannya mencegah.

   "jangan kau kentut melulu ..... beberapa hari ini suasana cukup tegang, kau tahu, tujuh di antara sepuluh Toako kita sudah pulang kandang, beberapa hari yang lalu Ngo-ko pimpin kawan2 Hiat-huntong melabrak musuh, kabarnya juga gugur semua."

   "Cuh,"

   Orang pertama menjadi uring2an.

   "tak usah kau singgung Hiat-hun-tong kita, bagian yang mereka terima dan hidangan yang mereka makan selalu lebih besar dari bagian orang lain, tapi kalau menjalankan tugas selalu minta tenaga orang lain."

   Seorang yang sejak tadi diam saja lantas mengomel.

   "Keparat, memangnya apa yang kalian persoalkan? Buat apa kau menggerutu melulu di sini, memangnya orang gagah macam apa kau?"

   Karena disemprot oleh kawannya yang satu ini, keadaan menjadi tenang sejenak, tapi sesaat kemudian si mulut usil itu menggerutu lagi.

   "Jaga malam ini harus sampai pagi pula, kemarin main Paykiu kantongku sudah terkuras habis, dasar lagi sial .."

   Laki2 yang menyemprot tadi mendengus, katanya.

   "Kau si mulut usil ini memang harus mampus, kalau kemarin kau tidak kalah habis2an, masa malam ini kau bakal cerewet. Melihat tampangmu saja sudah muak, mendengar kau mengerutu lagi, tuan besarmu ini menjadi geregetan ... ."

   Seluruh percakapan ketiga orang ini terdengar jelas oleh Siang Cin, diam2 ia geleng2 kepala.

   Ketiga orang tadi terdiam pula, rumput dan ranting kering berisik diembus angin lalu, awan ber-gulung2 di angkasa menambah gelapnya malam yang mencekam ini.

   Setelah berpikir sejenak, diam2 Siang Cin maklum untuk menyusup ke atas gunung tanpa konangan dan bentrok dengan para penjaga ini terang tidak mungkin, pengalaman ber-tahun2 selama ini segera terbayang kembali dalam benaknya.

   Selama ini entah itu demi kepentingan pribadi atau untuk membantu kesukaran orang lain, khusus dia mengutamakan gerak "cepat".

   Untuk mengganyang para penjaga di sini harus digunakan pula gerak cepat agar tanda bahaya tak sempat dikirim ke markas pusat di atas gunung.

   Tanpa banyak ragu lagi, dengan pelan2 Siang Cin melorot turun dari panggung batu, ia melejit kembali ke belakang panggung batu, Jan Pek-yang dan Ang Siu-cu tengah duduk bersemadi, sementara Poan-hoan-jiu Te Yau sedang meng-gosok2 telapak tangan dengan tidak sabar.

   Baru saja Siang Cin tiba Te Yau lantas bertanya lirih.

   "Bagaimana Siang-tayhiip? Bisa mulai kerja?"

   Siang Cin lantas menceritakan apa yang baru dilihatnya, lalu katanya tegas.

   "Urusan tidak boleh terlambat, waktu sudah amat mendesak, sepanjang jalan ini kita harus bekerja secara kekerasan, bunuh seluruh orang yang ada di sini sampai di markas pusat mereka serta menolong orang kita, menurut perhitunganku, dikala musuh tahu gelagat jelek, urusanpun sudah selesai."

   Jan Pek-yang dan Siu-cu diam saja tanpa komentar, tapi Te Yau ragu2, katanya lirih.

   "Apa boleh buat, terserah pada petunjuk Siang-tayhiap saja..."

   Siang Cin tertawa tawar, katanya tegas.

   "Dikala membunuh, kalian harus gunakan gerak cepat, tanpa kenal ampun." 149 Ketiga orang mengangguk, maka Siang Cin memberi tanda untuk mulai beraksi, secepat kilat ia melejit ke punggung batu di sana. Kali ini dia tidak main sembunyi pula, baru kaki menginjak batu, ketiga laki2 itupun terperanjat, mereka membentak sambil berpaling.

   "Siapa?"

   Sinar mata Siang Cin mencorong setajam pisau, dia meleset lewat disamping ketiga orang itu, belum lagi ketiga oranng itu melihat jelas, telapak tangan kanan Siang Cin sudah menabas, kontan tiga batok kepala seketika mencelat dan jatuh terguling di jalan.

   Belum lagi mayat ketiga orang ini roboh, tahu2 Siang Cin sudah meleset pula ke pos penjagaan di sebelah atasnya, baru saja bertiga orang yang jaga di sini merasakan adanya bahaya, tahu2 bayangan Siang Cin sudah meluncur tiba, kedua telapak tangannya terayun kontan ketiga korban inipun roboh terjungkal dengan perut dan dada remuk.

   Jan Pek-yang bertiga yang menguntit kencang di kelakang hakikatnya tidak sempat bekerja, tapi setapakpun mereka tidak berani ketinggalan, kejadian demikian terus berlangsung sampai pos penjagaan keenambelas.

   Kejadian yang sebetulnya tidak menimbulkan suara berisik ini, betapapun telah mengejutkan orang2 yang jaga di pos2 bagian atas, dua orang Hek-jiu-tong segera melolos golok serta memapak maju, sementara seorang lagi merogoh keluar sebuah bumbung warna perak kemilau terus dibanting ke tanah sekuatnya.

   Sambil menggeram tiba2 Siang Cin melenting kedepan, kedua kakinya menyepak kedua orang yang memapak maju, di tengah berkelebatnya sinar golok, ujung kakinya menyelinap di tengah sinar golok lawan dan secara telak mengenai jidat.

   kedua orang Hek jiu-tong, sambil berpekik kedua orang itupun terguling2 di jalan yang menurun itu.

   Bersamaan dengan itu mata Siang Cin yang jeli juga telah melihat seorang musuh yang tengah mengayun tangan hendak membanting bumbung perak tadi, maka telapak tangannya berkelebat lebih dulu, berbareng ujung kakinya menyapu bumbung perak yang melayang jatuh itu, gumpalan darah segar seketika tersembur dari tenggorokan laki2 itu, sementara bumbung perak itu mencelat jatuh ke sana.

   Ketika Siang Cin melayang lagi ke pos penjaga ke tujuh belas, bumbung perak yang menggelinding itu telah meledak, semburan api berasap menjulang tinggi ke udara, mirip kembang api yang sengaja diluncurkan ke angkasa.

   Kobaran api yang besar dan menyala benderang ini menyebabkan jejak Siang Cin berempat konangan dan tak sempat menyembunyikau diri lagi.

   Padahal masih enam langkah untuk mencapai pos penjagaan selanjutnya.

   Tiga orang yang jaga di sini menjadi kaget, salah seorang di antaranya melihat bayangan Siang Cin yang tengah meluncur datang bagai elang menyambar kelinci.

   Orang ini ketakutan, sekuatnya dia berteriak.

   "Mata2, awas mata2 ...."

   Tiba2 suaranya seperti ditelannya pula, dengan kedua tangan mendekap dada orang ini roboh terkulai dengan penderitaan yang luar biasa, kiranya sebatang tombak bersula telah menghujam dadanya.

   Kedua orang temannya berteriak aneh, satu di antaranya mengeluarkan bumbung perak serupa yang meledak tadi.

   Cepat Siang Cin menghantam dari kejauhan, belum sempat lawannya mengeluarkan senjata, tahu2 tubuhnya mencelat seperti diterjang badai, orang itupun melolong dan rnenghamburkan darah serta roboh ter guling2, bumbung perak yang telah dia keluarkan itu mencelat ke atas dan kebetulan jatuh pula menyentuh punggungnya.

   "Dar", di tengah pancaran lelatu api yang berwarna warni itu, tubuh si korban hancur lebur terbakar hangus. Tiada kesempatan untuk menyaksikan adegan yang mengerikan ini, karena ledakan satu disusul ledakan yang lain pada pos penjagaan sebelah atas, malam yang gelap menjadi terang benderang oleh pancaran cahaya warna warni di angkasa. Siang Cin anggap tidak melihat, ia terus meluruk meubruk 150 maju, pada saat itulah dari jalan di sebelah bawah yang mereka lalui tadi terdengar suara meletup yang cukup keras dan menimbulkan hawa panas, ribuan lidah api sekaligus menyala, seluruh jalan2 berliku di bawah sana telah ditelan api, nyala api yang semakin besar itu terus merambat ke atas sampai di ujung jalan sana. Cepat Tok ciang Jan Pek yang melayang maju ke dekat Siang Cin, serunya gugup.

   "Siang-tayhiap, musuh telah tahu kedatangan kita."

   Kedua telapak tangan Poan-hou-jin Te Yau terayun beruntun, tiga orang Hek-jiu tong di depan sana dipukulnya roboh binasa, sebat sekali mereka terus menerjang.

   "Terjang terus ke atas!"

   Siang Cin mendorong semangat mereka.

   Di atas panggung batu di sebelah depan ada dua puluhan orang Hek jiu-tong telah berjajar menunggu kadatangan mereka.

   Siang Cin menghardik sekali, sebuah benda melengkung dengan memancarkan cahaya kuning kemilau kontan membabat ke depan, luncuran kencang dan ganas, hanya kelihatan cahaya kuning berkelebat, beberapa orang Hek jiu-tong yang memapak maju seketika roboh terguling dengan batok kepala copot dari lehernya, terdengar suara gedebukan diiringi golok yang berkerontangan, suasana menjadi kacau balau.

   Itulah senjata rahasia khas Siang Cin, Toa-liong kak.

   Menyambit dan menangkap pula, Toa-liong-kak kembali berputar balik ke tangan Siang Cin, sementara itu sisa musuh yang berjumlah delapan orang juga telah diganyang habis oleh Jan Pek-yang bertiga, darah berceceran, mayat hergelimpangan.

   Kini tinggal sebuah pos penjagaan terbesar di sebelah depan, di bagian atas pos penjagaan ini sengaja dirintangi sebuah dinding, tembok dan di depan dinding inilah berjajar menunggu dengan tenang puluhan orang Hek-jiu-tong bersenjata lengkap, di sebelah kanan mereka berdiri pula enam laki2 kekar, meski keenam orang ini juga berseragam hitam, tapi pada leher mereka dihiasi oleh sebuah mainan sebesar telapak tangan manusia yang terbuat dari logam.

   Siang Cin meluncur tiba sembari menyerbu ia berseru lantang.

   "Kawan tangan hitam, nih penagih nyawa telah tiba."

   Keenam laki2 kekar itu menggerung bengis, dari arah yang berbeda mereka merubung maju, enam senjata berbentuk aneh sekaligus menyerang.

   Siang Cin menyeringai, sedikit berjongkok, Toa- liong-kak lantas menyamber, cahaya kuning berputar menyilaukan mata, dikala Toa-liong-kak berputar balik dan tertangkap kembali oleh Siang Cin, empat di antara enam musuh itu sudah berguling roboh dengan kedua kaki sebatas lutut terbabat kutung.

   Dua orang yaug selamat jadi melenggong, air muka mereka menampilkan rasa ngeri, tapi dengan nekat mereka menerjang maju pula.

   Tok-ciang Jan Pek-yang juga maju kedepan, pukulan dahsyat segera menyapu ke arah musuh, jengeknya.

   "Kawanan tangan hitam, pergilah menghadap Giam-lo-ong."

   Dua orang itu tanpa bicara segera mengayun golok Kui-thau-to dan sebatang gantolan runcing, mereka menghujani Siang Cin dengan serangan deras.

   Sementara di sebelah sana Thi tan Ang Siu-cu dan Poan hou-jiu Te Yau juga sedang menghajar lawan, dalam kepungan orang banyak, senjata Ngo-poan-kim-cui (bandulan emas lima kelopak) milik Ang Siu-cu yang berat itu betul2 mengnujuk perbawanya yang hebat, di mana bandulannya, menyambar, musuh pasti dibikin tunggang langgang.

   Sekilas Siang Cin tertawa senang, tiba2 dia melejlt ke atas dinding tadi, baru saja kakinya hinggap di atas tembok, dari tempat gelap di sebelah depan tiba2 terdengar suara jepretan, maka berhamburlah anak panah selebat kawanan tawon yang mengejar mangsa, bintik2 sinar perak yang gemerdep memecah udara sama tertuju ke arah Siang Cin.

   151 Cepat sekali Siang Cin sudah memperhitungkan suatu posisi yang menguntungkan di pojok sana, maka begitu dia berjumpalitan, Toa liong-kak ditangannyapun tersambit dengan membawa ekor cahaya kuning.

   Terdengar suara dering beradunya senjata tajam dan terseling pula teriakah orang yang meregang nyawa.

   Seperti sudah diperhitungkan, tangan Siang Cin dapat menangkap pula Toa-liong-kak yang berputar balik dengan cahayanya yang kemilau kuning, Toa liong-kak yang telah berlepotan darah pula.

   Puluhan tombak di sebelah sana terlihat perkampungan besar yang dibangun dari batu2 gunung, pintu gerbangnya yang tinggi terbuat dari tembaga, didepan pintu gerbang adalah undakan batu yang lebar, megah dan angker keadaannya, kini kecuali dua lampion besar yang bergantung di dua sisi pintu gerbang, lampu yang semula menyala benderang dalam suasana pesta pora tadi telah padam seluruhnya, maka keadaan perkampungan tampak gelap gulita.

   Di bawah cahaya lampion besar di pinto gerbang itu Siang Cin dapat melihat sebuah pigura besar yang tergantung di depan pintu dengan ukiran huruf2 besar bertinta emas yang berbunyi.

   "Bu-wi-san-ceng". Siang Cin berdiri di tempat yang miring di depan perkampungan, sementara bidikan anak panah telah berharnburan dari belakang tanggul sana. tanpa ayal Siang Cin melesat keatas tanggul rendah itu, tapi baru saja dia melangkah, dari tempat kegelapan di belakangnya terdergar suara dingin bengis berkata.""Hm, Toa-liong-kak, jadi kau ini Naga Kuning adanya?"

   Sebat sekali Siang Cin membalik tubuh, tampak di atas sebuah batu padas berdrri seorang tinggi kurus tengah mengawasinya, Siang Cin menjengek.

   "Kalau kau sudah tahu Toa-liong-kak, kenapa tidak kau turun tangan menolong jiwa temanmu?"

   Mendengus orang itu.

   "Tak perlu menolong jiwa mereka, cepat atau lambat toh utang darah ini harus ditagih?"

   "Baiklah, boleh coba kau tagih,"

   Bentak Siang Cin, Toa-liong-kak tiba2 menyamber pula dengan suara mendesing kencang, Toa-liong-kak berputar terus membahat lebar.

   Lawannya kelihatan terkejut, sedikit miring tubuh, berbareng sebilah pedang kemilau menyampuk Toa liong-kak yang menyamber tiba.

   Tapi mendadak Toa-liong-kak berputar memancarkan cahaya kemilau dan berkisar turun membabat ke paha orang itu.

   Se-konyong2 sinar kemilan bertebaran, pedang panjang orang itu berputar kencang, Toa-liong-kak tersampuk dan akhirnya jatuh berkerontang.

   Bagai bayangan setan.

   "ser, ser"", dua Toa-liong-kak tahu2 menyerang tiba pula, dikala orang itu menyadari bahaya tengah mengancam, sementara kemilau Toa liong-kak sudah menyamber tiba di depan mata. Tetapi orang itu tidak gugup sedikitpun, cepat ia berkisar ke samping, pedang berputar kencang dan rapat, tapi Toa-liong-kak seperti benda hidup saja, berulang kali kena dibentur pergi, tapi berulang kali pula memutar balik menyerang lagi dari berbagai arah.

   "Bagus sahabat, kau memang berisi,"

   Puji Siang Cin.

   Pada setiap katanya segera sebuah Toa-liong-kak tersambit pula, Toa-liong-kak yang "meluncur akhirnya berjumlah sembilan buah.

   Orang itu merasakan betapa berat tekanan sembilan batang Toa-liong-kak dari berbagai arah.

   Se-konyong2 jerit kaget kesakitan tercetus dari mulut orang itu, bagai orang gila sekuatnya dia putar pedang sekencangnya, berbareng ia berusaha berkelit, sinar pedangnya yang memanjang seperti rantai perak membungkus sekujur badannya.

   Tapi Toa-liong-kak memang senjata ampuh dan aneh, berulang kali terketuk pergi tapi bukan saja tidak jatuh, andaikan jatuh juga masih melejit lagi dan berputar pula menerjang balik pada lawannya, se olah2 sebelas batang Toa liok-kak ini 152 dikendalikan oleh seseorang yang lihay saja.

   Benturan beberapa kali menimbulkan percikan api, kejadian hanya sekejap belaka, belum lagi pancaran kembang api itu sirna, se konyong2 terdengar rintih yang mengerikan, orang yang bersenjata pedang itu tampak berputar dengan langkah sempoyongan, tiga di antara sebelas Toa-liong-kak kena diketuknya jatuh dan tak mampu bergerak pula, tapi delapan yang lain ternyata telah menghujam ke tubuhnya, kepala, dada, perut, punggung, kaki dan tangan, dengan pedang menyangga tanah, pelan2 orang kurus tinggi itu robot terjungkal.

   
Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Secepat angin Siang Cin memburu maju memunguti Toa liong-kak, lalu menghampiri korbannya, karena badan dihiasi delapan Toa-liong-kak, keadaan orang itu boleh dikatakan sangat mengenaskan, wajahnya sudah tidak pada bentuknya semula, darah tampak meleleh dari mulutnya, dengan rebah telentang, sekujur badan berkelejetan, sinar matanya pudar, tapi masih menatap Siang Cin tanpa berkedip, mulutnya megap2 kepayahan.

   Orang itu juga mengenakan seragam hitam, juga memakai kalung mainan berbentuk telapak tangan manusia warna hitam, cuma berbeda dengan kalung orang lain, tepat di tengah telapak tangan kalung orang ini terbingkai sebentuk batu warna merah sebesar buah kelengkeng.

   Dikala Siang Cin melihat batu merah pada kalung ini, segera ia tahu bahwa kedudukan dan jabatan orang ini tentu jauh berbeda dengan para korbannya yang terdahulu, belum lagi pikirannya bekerja, tiba2 dilihatnya bayangan orang berkelebat di sebelah sana, didengarnya seorang berteriak ngeri dan sedih.

   "Celaka ....Cit-ko ....Cit-ko dibunuh musuh!"

   Siang Cin terkesiap, kiranya orang ini adalah pentolan ketujuh di antara kesepuluh gembong Hek-jiu-tong, permusuhan kini jadi lebih mendalam lagi, sambil menunduk dia berkata dengan suara berat.

   "Kau bukan tandinganku. mestinya kau tidak perlu mengorbankan jiwa. Kau mati penasaran, tapi kau memang seorang laki2 sejati"

   Pucat muka orang itu, ia menatap Siang Cin, kerongkongannya berkeruyuk, akhirnya kepala terkulai miring tak bergerak lagi, sepasang matanya tetap mendelik, agaknya dia mati penasaran, dengan terlongong Siang Cin mengawasi pipi kiri orang yang terdapat tahi lalat sebesar kacang berwarna kehitaman.

   Suara ribut2 menyentak lamunan Siang Cin, waktu ia memandang ke sana, ratusan orang2 Hek-jiu tong telah merubung datang mengepung dirinya, semuanya bersenjata golok besar, wajah mereka tampak bengis, sorot matanya memancarkan dendam kesumat.

   Dengan cepat Siang Cin mencabut delapan Toaliong-kak dari tubuh korbannya, seluruhnya dia rangkap di sebelah tangannya, dengusnya kemudian.

   "Suruh pimpinanmu keluar, sembunyi bukan cara untuk menyelesaikan persoalan ini, kawanan tangan hitam, jangan biarkan darah kalian mengotori Bu wi san ceng ini dengan percuma."

   Sebelum gema suara Siang Cin lenyap, dari belakang rombongan kawanan tangan hitam yang ratusan jumlahnya ini tampak tiga bayangan orang tengah meluncur datang secepat angin, di antara gerakan lompatan ketiga bayangan ini tampak pula kemilau senjata tajam.

   Dalam waktu yang sama dari arah tembok yang mengalang jalan sana juga berkumandang lengking suara panjang, beruntun muncul pula tiga bayangan orang, setelah celingukan sejenak, serempak mereka meluncur ke arah Siang Cin.

   Maklum bahwa suatu pertempuran besar dan banjir darah bakal terbentang di depan mata, pelan2 Siang Cin memasukkan Toa-liong kak ke dalam sarungnya di ikat pinggang.

   Tiga orang yang muncul dari arah tembok tadi adalah Jan Pek-yang, Ang Siu-cu dan Te Yau, badan mereka berlepotan darah, dengan napas sedikit memburu mereka 153 melayang turun di kanan kiri Siang Cin, setelah menarik napas panjang Te Yau berkata lirih.

   "Kawanan tangan hitam di atas batu sana berhasil kami babat habis, hanya lengan Ang Siu-cu saja yang terluka, tapi tidak parah, Cayhe dan Pek-yang tidak kurang suatu apapun .

   "

   "Musuh sudah mengepung dan akan terjadi pertempuran babak terakhir di sini, Te-heng tolong kalian bertiga menyusup ke dalam perkampungan musuh dan mencari jejak puteri kesayangan Ciangbunjin kalian, Cayhe akan segera memberi tanda supaya bala bantuan kita dibawah segera menyerbu ke atas."

   Te Yau melenggong, katanya.

   "Tapi di sini hanya Siang-tayhiap sendiri ...." - - - - - - - - - - - - -- - - - - - - - - - - - - - - - - - - Pertarungan maut apa yang akan terjadi antara Siang Cin dengan gembong2 Hek-jiu-tong? Dapatkah puteri ketua Bu-siang-pay diselamatkan dan apa yang telah terjadi atas diri anak dara itu? - Bacalah

   Jilid ke - 9

   Jilid 09 Kawanan tangan hitam yang berjumlah ratusan itu sudah berhenti di depan, sementara tiga sosok bayangan orang di di belakang itu dalam sekejap telah melayang lewat melampui kepala barisan manusia itu dan hinggap di depan barisan, mereka melotot gusar ke arah Siang Cin berempat.

   Mendadak Siang Cin angkat tangannya, meluncurlah sebuak benda hitam bundar ke udara, ketika mencapai ketinggian belasan tombak benda itu meledak, kembang api yang berwarna warna menjadikan pemandangan udara yang indah, sesaat menatap ke atas, Siang Cin menoleh ke arah Jan Pek yang bertiga, katanya.

   "Tak lama lagi situasi pasti berubah dan akan lebih baik daripada keadaan yang kita hadapi sekarang"

   Kawanan Tangan Hitam di depan mereka mulai menampakkan reaksi, tapi tiada satupun yang berani bertindak tanpa perintah, sementara ketiga orang itu masih berdiri tegak tak bergeming, mata mereka tetap melotot tak berkesip.

   Satu diantaranya yapg berperawakan kasar dan berhidung besar tampil kedepan, serunya dengan suara lantang.

   "Anak muda, sudah cukup kau takabur, apakah Lo-jit kau yang membunuhnya?"

   Siang Cin tersenyum, katanya;

   "Kau inikah Si Biruang Lu Tat, pentolan keenam dari kesepuluh gembong Hek-jiu-tong?"

   Bentuk mata laki2 kasar ini mirip mata ular, hidung besar seperti hidung singa, mulutpun lebar dengan bibir yang tebal pula, serunya dengan gusar.

   "Akulah yang tanya kau, apakah Lo jit mati ditanganmu?". Mendengus Siang Cin dan balas bertanya.

   "Kalau betul mau apa?"

   Hidung laki2 kasar itu menjadi merah, hardiknya beringas.

   "Siapa kau?"

   Siang Cin berseru lantang.

   "Napa Kuning Siang Cin."

   Nama julukan ini bagai suara guntur di siang hari bolong, sekujur badan laki2 itu tampak bergetar, rona mukanyapun berubah, teriaknya.

   "Bagus, Siang Cin, kiranya kau!"

   Seorang laki2 setengah umur di samping yang berperawakan sedang tapi kurus menyeringai dingin. katanya.

   "Liok-ko, jenazah Jit-ko belum lagi dingin, memangnya setelah dia kaku baru kau akan menuntut balas kematiannya?"

   Seorang laki2 yang juga berusia pertengahan dengan alis tipis menimbrung.

   "Orang she Siang, majulah kau, aku Siok-lokiu akan mengiringi kematianmu ke akhirat."

   Tenang2 mengawasi ketiga orang di depannya, Siang Cin berkata kalem.

   "Ya, kalian pentolan2 Hek jiu tong, Lo-liok Si Biruang gunung Lu Tat, Lo-pat Si alap2 hitam Dian Ki dan Lo-kiu Siang-to-toh-hun (sepasang golok perenggut sukma) Mo Siong telah 154 datang sekaligus, maaf kalau aku masih asing dengan kalian, maklumlah sebelum ini memang kita belum pernah jumpa, setelah kalian memperkenalkan urutan kedudukan tadi baru kutahu akan nama kalian."

   Ketiga orang ini tetap berdiri tegak tanpa bergerak, sementara itu dari bawah gunung sudah terdengar suara gaduh serbuan orang2 Bu-siang-pay, kadang terdengar juga suara ledakan keras, sementara semprotan minyak berapi masih menerangi jalan berliku di sebelah bawah, gelagatnya pertempuran cukup seru atas serbuan pasukan Bu-siang-pay itu.

   Tanpa mengunjuk perasaan si Biruang gunung Lu Tat menoleh danm mengawasi kedua saudara angkat di kanan kirinya, akhirnya tatapan matanya tertuju pada saudaranya yang sudah menggeletak menjadi mayat di atas tanah sana, pelan2 dia berkata.

   "Siang Cin, manfaat apa yang kau terima dari pihak Bu-siang-pay, sampai kau rela menjual nyawa bagi mereka?"

   Bertaut alis Siang Cin, katanya tak acuh.

   "Soalnya satu sama lain segera cocok sekali bertemu, dan yang lebih penting, aku merasa muak melihat sepak terjang dan perbuatan keji kalian."

   Alap2 hitam Dian Ki segera menggerung, ia memaki.

   "Kentut makmu busuk!"

   Lu Tat segera mengulap tangan menghentikan caci maki Dian Ki, katanya tandas.

   "Siang Cin, kau sudah main terjang ke gunung kini dia main bunuh, Hek jiu tong tidak akan memberi ampun padamu. Dan lagi tak usah kau mengharapkan bala bantuan orang Bu-siang-pay di bawah gunung itu, baiklah sekarang kami bicara blak2an saja, kawanan tikus Bu-siang-pay itu takkan mampu membobol berbagai rintangan berat yang telah kami atur dengan baik, umpama berhasil menerjang kemari juga takkan luput dari kematian oleh serangan beberapa saudara tua kami."

   "Apa ya?"

   Siang Cin mengejek.

   "Marilah kita coba2 saja."

   Sambil menggeram Lu Tat menahan rasa gusarnya seperti mengharapkan sesuatu dia menengadah melihat cuaca. Dengan tenang Siang Cin berkata.

   "Kalian memang boleh juga, sebelum kawan2 Busiang- pay menerjang tiba kalian sudah tahu akan serbuan mereka ...."

   Si Biruang Lu Tat menyeringai dam melangkah maju, katanya.

   "Tepat sekali, dan sekarang marilah kita mulai saja."

   Siang Cin memberi tanda gerakan tangan kepada Jan Pek-yang bertiga yang ada dibelakangnya, habis itu mendadak ia menerjang ke sana, telapak tangannya setajam golok membabat tenggorokan Lu Tat.

   Hampir pada saat yang sama, Tok-ciang Jan Pek yang tiba2 melejit maju dan melemparkan granat belerang ke udara.

   "Tarr", kembang api bercampur asap biru keputihan seketika berhamburan berjatuhan ke dalam rombongan orang2 Hek jiutong. Biruang gunung Lu Tat menggerung keras, cepat ia menghindari serangan Siang Cin, berbareng sebatang toya perak sepanjang tiga kaki sudah tergenggam di tanganya, segera ia balas menerjang ke arah Siang Cin, Tanpa bersuara Alap2 hitam Dian Ki juga menyelinap maju, telapak tangan tegak miring menggempur punggung lawan. Segera Jan Pek-yang berteriak.

   "Maju!"

   "

   Mereka bertiga terus menerjang masuk ke Bu-wi-san ceng. Tapi baru saja mereka melompat maju, empat golok segera memapak dari kiri-kanan, si golok perenggut sukma Mo Siong lantas membentak.

   "Marilah gebrak dulu bebera jurus denganku"

   Thi tan Ang Siau cu segera menyongsong serangan musuh, bandulan beruas berkelopak lima sekaligus melancarkan belasan gerakan, ayunan bandulannya menderu bagai gelombang samudra.

   Tapi Jan Pek-yang dan Te Yau sedikitpun tidak tertunda gerakannya, beruntun beberapa kali lompatan, tanpa menemui banyak rintangan mereka sudah melampaui pagar dan meluncur masuk ke dalam perkampungan.

   Tiga puluhan anggota Tangan Hitam roboh bergulingan, api sama berkobar di tubuh 155 mereka, bau hangus kulit daging manusia tercium keras, pekikan puluhan mulut berpadu seperti berlomba seram mengerikan.

   Dengan enteng dan tangkas, Siang Cin meluputkan diri dari sergapan Dian Ki, telapak tangan berkelebat, ia balas membabat kearah musuh yang licik ini, sementara tangan kanan bergerak menciptakan bayangan ceplok2 dan tak teraba ke mana arahnya tahu2 menyongsong serangan Lu Tat.

   Maka, tiga orang sama berlompatan menyingkir, terdengar Siang Cin mendengus, sebuah pukulan sakti terus dilontarkan, seketika udara seperti penuh ditaburi bayangan telapak tangan.

   Tapi Biruang gunung Lu Tat juga tak mau kalah tangkas, iapun ingin pamer ilmu kebanggaannya yang telah digemblengnya selama puluhan tahun, yaitu Cui-si-cap lak-sian (enam belas kali berkelebat mengejar bayangan) dikombinasikan dengan permainan toya pendeknya yang berat itu, ia balas menyerang dengan gencar, sementara Dian Ki dengan telapak tangan kosong selalu main menyerang secara bergerilya, sehingga pertempuran tiga orang ini berjalan seru dan menegangkan, apalagi gerakan mereka sama cepat dan tangkas, masing2 sama melontarkan tipu serangan berbahaya.

   No-poan-kim-cui yang diyakinkan Thi-tan Ang Siu-cu boleh dikatakan sudah cukup sempurna, selama ber-tahun2 dia tumplek segala ketekunan dan tekadnya untuk memperdalam permainan senjata bandulan yang satu ini, entah itu dikala fajar atau senja, Ho-hou cui-hoat yang punya tiga puluh enam jurus ini tak pernah lupa dilatihnya secara rajin, kini seorang diri dia menghadapi Sian ce-to-toh-hun Mo Siong, pentolan kesembilan dari Hek-jiu-tong.

   Kawanan Tangan Hitam yang tidak terluka masih ada tujuh puluhan orang lebih, kecuali belasan orang yang ditugaskan memberi pertolongan kcpada para korban, sisa yang lain di bawah pimpinan beberapa Thaubak tetap merubung maju mengepung Siang Cin dan Ang Siu-cu di tengah arena.

   Beruntun Siang Cin menyerang pula dengan jurus It siau-siang itu yang hebat, dikala musuh menggerung gusar seraya berkelit pergi, dengan telak kakinya mendepak roboh seorang musuh, waktu telapak tangan kirinya menyelonong ke depan, seorang lawan kena ditonjoknya terpental dengan muntah darah.

   Sambil melompat kesana Siang Cin membentak kereng.

   "Ang heng, kenapa mestikamu tidak segera kau gunakan?"

   Dikala bicara itulah terasa deru angin mengemplang batok kepalanya, tiba2 ia melengkung badan, berbareng tangan memukul balik beberapa kali, menyusul dengan jurus Ngo mo-sio-bing langsung dia me nbelah ke arah Dian-Ki, di tengah samberan angin kencang secepat kilat itulah, tujuh kawanan Tangan Hitam telah terjungkal robob binasa.

   Ang Siu-cu mengertak gigi dan melabrak Mo Siong mati2an, mendengar peringatan Siang Cin mendadak dia menyurut mundur, tapi Mo Siong bagai bayangan ikut mendesak maju, sementara sepasang goloknya yang kemilau tajam itu menyamber bersilang dari atas dan samping, sedetikpun tidak memberi kesempatan kepada lawan, malah ejeknya.

   "Orang gagah dari Bu-sang-pay, hayolah maju lagi"

   Bicara sejujurnya di kalangan Bu siang- pay dalam barisan Thi ji bun.

   Ang Siu-cu sebetulnya terhitung jago kosen kelas wahid.

   orang yang terkenal dan dijunjung tinggi martabatnya di dalam Bu siang-pay.

   Kungfunya memang hebat, cerdik pandas juga pemberani, tapi kali ini ia berhadapan dengan salah satu gembong Hek-jiu tong.

   nama Siang-to toh hun cukup disegani juga di kalangan Kangouw, maka Ang Siu cu dipaksa tumplek seluruh bekal kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang hebat ini, meski dalam waktu singkat Mo Siong tak mungkin mengalahkan atau membunuh Ang Siu-cu, tapi untuk mengalahkan lawannya, Ang Siu-cu jelas juga tiada harapan.

   Ang Siu-cu tak berani takabur atau lena untuk mendesak lawan, sehingga Bian-hokcuci dan pelor belerang yang disimpan dalam bajunya sama sekali tak sempat dikeluarkannya, dengan nekat di samping melayani rangsakan lawan, iapun harus selalu waspada akan serangan kawanan Tangan Hitam yang membokong sehingga 156 keadaannya cukup gawat.

   Siang Cin cukup jelas akan keadaan yang dihadapi kedua musuhnya, sementara Lu Tat dan Dian Ki juga bertekad bertempur sampai titik darah terakhir untuk mengerubut si Naga Kuning, bukan saja jurus serangan mereka keji, se-olah2 merekapun rela mengorbankan jiwa raga sendiri asal gugur bersama musuh, apalagi tingkat kepandaian kedua orang ini dapat dinilai lebih unggul daripada Mo Siong.

   Berkepandaian tinggi dan bernyali besar, tapi bukan tugas enteng bagi Siang Cin untuk merobohkan kedua lawannya dalam waktu singkat kecuali menggunakan jurus sakti yang tiada taranya.

   padahal uutuk melancarkan jurus sakti ini dia sendiripun harus menyerempet bahaya.

   Terdengar jeritan, seorang kawanan Tangan Hitam yang berbadan tinggi besar tampak terpental roboh dengan kepala remuk, sementara Mo Siong terdengar mengumpat.

   "Kunyuk Bu-siang-pay, biar tuan besarmu membeset kulit dan menelan dagingmnu ...."

   Tiba2 Siang Cin melambung tinggi ke atas, di tengah udara ia menukik dengan tubrukan keras, si Alap2 hitam Dian Ki berpekik aneh, kedua telapak tangan sekaligus memukul beberap kali, deru angin pukulan menyampuk bagai kisaran angin puyuh.

   Tidak berkelit, tidak menghindarkan membalik, Siang Cin tetap menukik lurus ke bawah menubruk Dian Ki, dikala angin pukulan lawan hampir menyentuh tubuhnya, bagaikan mega mengambang di angkasa, dia meluncur lewat dengan jurus Gwat bong-ing, lalu disusul pula dengan tipu Ngo mo so hing, kekuatan telapak tangannya setajam golok, bagai kilat menyambar Dian Ki.

   Cepat Dian Ki berusaha menyurut mundur, tapi Siang Cin tetap mengejarnya.

   Pada saat itulah si Biruang gunung Lu Tat menggerung keras, toya peraknya dengan kemplangan keras terayun tiba."

   Mendadak Siang Cin batalkan kejarannya kepada Dian Ki, badan melengkung, kaki mendepak di udara, gerakannya begitu indah, gesit dan tangkas, yang terlihat hanyalah segulung bayangan yang membal balik, padahal toya perak Lu Tat dengan sekuatnya telah menyabet, jelas tak mungkin ditarik balik, saking gugupnya, dengan tumit kaki dia berusaha memutar, berbareng toya perak ditarik rendah terus menjojoh.

   Tapi baru ia melakukan setengah gerakan, telapak tangan Siang Cin dalam sekejap itu bagai kilat telah beberapa kali menghajar dadanya, begitu cepat sampai orang tidak sempat melihat jelas, dikala Lu Tat merasakan dadanya tergetar keras dan napas menjadi sesak oleh pukulan sekeras godam, tahu2 Siang Cin sudah berjumpalitan ke sebelah sana.

   Wajah yang beringas dan kasar itu menjadi pucat dan berkerut menahan kesakitan, si Biruang gunung yang kekar ini tak kuasa lagi berdiri tegak, langkahnya sempoyongan, kerongkongan terasa amis dan tersemburlah darah segar.

   Tanpa menghiraukan korbannya Siang Cin melesat ke sana, di tengah udara badannya kembali membalik, beberapa kali pukulan dahsyat sekaligus dilancarkan menyongsong Dian Ki yang memburu maju hendak menolong saudaranya.

   Sambil rnenggembor marah Dian Ki melontarkan belasan jurus pukulan, tapi gerakannya tetap tertahan dan malah terdesak mundur, belum lagi sempat dia melakukan gerakan susulan, kawanan Tangan Hitam yang lain sama menjerit dan berteriak2; Liok ko roboh ......Hai kawan2, Liok ko telah ajal ...

   "

   Dian Ki kaget seperti disambar geledek mendengar teriakan ramai itu, sesaat dia terlongong, tapi Siang Cin tidak pernah merandek sedikitpum, dengan menjengek tiba2 dia menyelinap maju, telapak tangan tegak miring membelah batok kepala orang.

   Bayangan pukulan berkelebat bagai setan perenggut nyawa, Dian Ki tersentak kaget, cepat dia menekuk pinggang seraya menunduk, berbareng kedua tangan menepuk ke atas.

   Akan tetapi ia tetap tak dapat menahan pukulan Siang Cin yang dahsyat.

   "Prak", suara tulang terpukul patah, tulang pipi Dian Ki terpukul pecah, ia terpental ke samping, sementara tangan kanan Sang Cin membelah pula kuduk orang, kontan 157 Dian Ki menggelepar di tanah. Tanpa merandek sedikitpun, Siang Cin terus meluncur maju pula, sebilah Toa-liongkak tertimpuk, di mana kemilau cahaya berkelebat, lima pasang kaki orang yang.menerjang maju sama terbabat kutung. Mo Siong yang lagi melabrak Ang Siu-cu dapat melihat jelas, darah tersirap, dengan bola mata merah membara, sepasang goloknya berputar sekencang kitiran, mulut ber-kaok2 seperti serigala kelaparan, dengan kalap tanpa hiraukan diri sendiri dia cecar lawannya yang bersenjata bandulan ini. Dasar si Bandul besi Ang Siu-cu juga berwatak angkuh, kini musuh menyerang semakin gencar, maka bandulan emasnya juga tak mau kalah gencar dengan keras pula dia layani amukan Mo Siong Hanya beberapa gebrak saja Siang Cin yang mengamuk di sana terjang ke tengah rombongan kawanan Tangan Hitam, tiga puluhan orang sekaligus dibikin tunggang langgang, jerit tangis mereka tak terperikan, darah muncrat kemana2, sisanya yang masih segar lari pontang-panting, tapi segera mereka merubung maju pula dengan mengertak gigi dan nekat melotot penuh dendam. Tangan Siang Cm terpentang sebat sekali dia memburu ke arah Siang-to-toh-hun yang mencecar Ang Siu-cu itu, sekilas Mo Siong melirik Siang Cin, suketika jantungnya serasa pecah, takut tapi juga gusar dan dendam, akhirnya dia nekat, golok kanan dengan keras menyampuk bandulan Ang Siu-cu sementara golok di tangan kiri mengikuti gerakan tubuhnya melingkar miring menyelonong ke samping Ang Siu-cu. Thi tan Ang Siu cu berusaha menarik balik bandulannya, dengan tangan kanannya membelah ke dada lawan, Kejadian berlangsung cepat, se-olah2 baru saja mulai dan segera pula berakhir, belum sempat Siang Cin memburu tiba, cepat dia berteriak.

   "Awas Ang-heng, mendekam ......."

   Sayang baru saja suaranya keluar dari mulut.

   "trot", golok Mo Siong telah menusuk masuk sela2 tulang iga Ang Siu cu, hampir pada waktu yang sama telapak tangan Ang Siu cu dengan telak juga membelah dada kiri orang.

   "Trang", bandulannyapun berhasil membentur pergi golok kanan Mo Siong, di tengah percikan lelatu api, kedua orang sama terpental roboh ke belakang. Begitu tubuh Ang Siu-cu menyentuh tanah, kawanan Tangan Hitam yang merubung disekitar gelanggang segera memburu maju sambil menghujani bacokan golok mereka. Sementara itu Siang Cin telah menerjang tiba, di mana lengannya menggaris, telapak tangannya menyerempet tenggorokan tiga musuh yang memburu maju, semburan darah segera menyemprot tinggi, sementara Siang Cin menggasak pula dua lawan yang lain, dua orang kawanan Tangan Hitam ini melolong keras, golok mereka mencelat, tulang dada patah dan remuk, jiwa melayang seketika. Ang Siu-cu jatuh tengkurap dengan napas kempas kempis, tangan kiri menekan luka pada iga kiri, tapi darah tetap merembes dari celah2 jari tangannya. Setengah berjongkok Siang Cin bertanya dengan cemas.

   "Ang heng, bagaimana keadaanmu?"

   Dengan suara serak Ang Siu-cu menjawab.

   "Sia ng ..... Siang-tayhiap .......aku tak kuat lagi."

   Waktu berpaling ke sana, terlihat oleh Siang Cin kawanan Tangan Hitaan tampak memapah Mo Siong yang kelihatan bermuka pucat menuju kedalam perkampungan. Sambil angkat tubuh Ang Siu cu, segera Siang Cin membentak.

   "Mo Siong, serahkan jiwamu. ....."

   Di tengah kumandang suaranya Siang Cin melayang ke sana, terjun ke tengah gerombolan musuh, beberapa kawanan Tangan Hitam yang memapah Mo Siong sama berteriak kaget, ada beberapa orang angkat golok terus menerjang maju.

   Sekali Siang Cin geraki tangan kanan, dua musuh melolong kesakitan dan menyernburkan darah segar, kematian mereka teramat mengenaskan.

   158 Mo Siong menjadi kalap dan beringas, dia dorong orang2 yang memapahnya, dengan langkah sempoyongan dia menyerbu maju seraya berteriak deagan suara serak, dua bilah goloknya memancarkan sinar kemilau membabat miring, mengarah leher dan dada Siang Cin.

   Mencorong bola mata Siang Cin, ia menghardik bengis.

   "Bayarlah hutang jiwamu, Mo Siong!"

   Sepasamg golok baru menyamber setengah jalan.

   "Nyek", tiba2 Mo Siong terpukul mencelat, badannya jungkir balik di udara celakanya kepalanya membentur tanah lebih dulu dan pecah. Dua orang yang memapahnya tadi berdiri melongo ketakutan, kaki mereka seperti berakar di bumi, tenaga untuk angkat langkah seribupun sudah tiada lagi. Bola mata Siang Cin merah membara melotot kepada kedua orang yang ketakutan ini, pelahan dia berkata.

   "Kalian bunuh diri saja sekarang!"- Tiba2 bergidik seperti tersentak bangun dari lamunan mereka, kedua orang ini putar badan terus hendak melarikan diri, Siang Cin mendengus sekali, di mana tangannya bergerak.

   "Serr", sebatang Toa-liong-kak dia sambitkan, terdengar kedua orang itu mengeluh tertahan, Toa-liong-kak tahu2 sudah berputar kembali pula ke tangan Siang Cin. Tanpa ayal lagi Siang Cin melompat ke atas tanggul dan turun di baliknya baru dia rebahkan Ang Siu-cu yang dipanggulnya, keadaan Ang Siu-cu sudah kempas kempis, napasnya sudah lemah dan tinggal menunggu ajal belaka. Menggosok telapak tangan yang gemetar Siang Cin berteriak dengan suara serak.

   "Ang-heng . .....bala bantuan kalian akan segera tiba, kuatkan hatimu, pertahankan dirimu ......takkan lama tentu ada orang akan memberi pertolongan padamu"

   Pelahan2 membuka matanya yang pudar, wajah Ang Siu-cu yang pucat mengulum secercah senyum tawar, bibirnya gemetar, suaranya terdengar rendah "Mung ...

   ..

   Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   kin tak kuat lagi, Siang-tayhiap ....aku kuatir ......setengah hidupku berkecimpung di kalangan Kangouw ......hari ini memperoleh ganjaran ......yang setimpal, memang demikianlah ......sebab dan akibat, ini memang .....

   .sudah kuduga sebelumnya .

   , .., ...

   "

   Menggeleng pilu Siang Cin, katanya dengan suara lirih.

   "Gara2ku yang tidak becus membantumu, Ang-heng. Ai, apa pula yang bisa kukatakan?"

   Beberapa kali tubuh Ang Siu-cu bergetar dan berkelejetan, matanya terbeliak, sementara sinar matanya sudah mulai pudar, Siang Cin sudah sering melihat keadaan macam begini, dia tahu laki2 yang gagah perwira dihadapannya ini tak lama lagi bakal mangkat mendahuluinya menuju alam baka.

   Tengorokannya bersuara rendah, jari tangan Ang Siu-cu yang gemetar dan terasa mulai dingin menggenggam kencang tangan Siang Cin, kulit mukanya berkerut, sekuatnya dia menarik napas, lalu berkata dengan tersendat.

   "Suruh ...., suruh mereka ......membawa pulang abu tulangku ke padang rumput ....... ."

   "Ya, pasti kulakukan,"

   Sahut Sing Cin.

   Ang Siu-cu berkelejetan beberapa kali, lalu tak bergerak lagi, namun bola matanya tetap terbelalak, matipun agaknya dia tak mau meram.

   Tanpa bersuara Siang Cin berdoa mengawasi jenazah dihadapannya, dia menghela napas, lalu dia pondong jenasah Ang Siu-cu dan ditaruh di tempat yang agak tersembunyi, lalu dia lari ke arah Bu-wi-san-ceng.

   Dinding tembok yang dibangun dari batu gunung tampak begitu tinggi dan tebal, musuh yang datang kemari pasti akan ciut nyalinya, tapi Siang Cin sedikitpun tidak gentar, dia melayang ke atas, bagai seekor burung raksasa di tengah udara dia meliuk dengan badan melengkung, dia melayang turun seringan daun jatuh.

   Tempat berada Siang Cin adalah sebuah serambi panjang luas yang dialasi batu marmer hijau, maju ke depan lagi adalah deretan rumah yang di bangun dari batu gunung.

   Tepat di tengah sana adalah ruang pendopo, delapan buah pintu yang diatur segi delapan dengan daun pintu terbuat dari tembaga seluruhnya terpentang 159 lebar, cahaya lampu tampak terang benderang di dalam pendopo, di payon kiri kanan rumah bergantungan dua belas lampu kaca yang mengkilap, sebuah huruf "GI" (setia) yang besar berwarna merah darah tergantung tepat di tengah dinding ruangan, di bawah huruf besar ini, tepat di kaki tembok terdapat sebuah meja panjang, dua batang lilin besar tampak menyala terang.

   Dalam suasana segenting ini tiada tampak bayangan seorangpun didalam ruang pendopo ini, Siang Cin memandang ke seluruh penjuru, perhatiannya tertuju pada pigura besar tepat tergantung di tengah ruangan, pigura ini berwarna dasar putih, tanpa tulisan sehurufpun, hanya ada lukisan tangan manusia berwarna hitam yang kelihatannya seram.

   Agaknya baru saja berlangsung dalam ruang pendopo ini perjamuan pernikahan.

   Diam2 Siang Cin menghela napas kasihan akan nasib anak perempuan itu, juga merasa ikut malu pula bagi pihak Bu-siang-pay, padahal pasukan sudah dikerahkan, peperangan yang menimbulkan banjir darahpun telah terjadi, betapa banyak jiwa telah dikorbankan, memangnya apa tujuannya? Tidak lain hanya ingin melampiaskan rasa penasaran belaka?.

   Pelan2 Siang Cin menaiki undakan dan maju ke depan, memasuki ruang pendopo, harumnya dupa dan baunya arak masih merangsang hidung, permadani merah digelar sejak dari pintu memanjang ke arah meja sembahyang di tengah ruang sana, suasana gembira ria masih terasakan.

   Menjelajah ke seluruh ruangan, tiada jejak mencurigakan yang ditemukan oleh Siang Cin, lalu dengan langkah hati2 dan penuh perhitungan Siang Cin membelok ke kiri menyusuri serambi menuju ke belakang, di sana terdapat sebuah kamar duduk yang dipajang dengan serasi dan asri.

   Kamar ini terdapat tiga buah pintu, satu di antaranya menembus ke belakang pula, sementara pintu di kanan-kiri menembus ke kamar lain, setelah berpikir sejenak, Siang Cin tidak memeriksa lebih lanjut, dia membelok ke pintu kanan.

   Di sini terdapat serambi yang liku2, di ujung serambi adalah sebuah rumah yang terbuat dari batu gunung pula, keadaan gelap gulita dan tidak terdengar apa2, dengan enteng Siang Cin meluncur ke depan, kira2 setengah perjalanan serambi berliku itu, tiba2 ia belok keluar serambi, sekali melenting, dia melejit tinggi dan hinggap di atap rumah.

   Di atap serembi panjang ini pada kedua sisinya terdapat payon yang bertalang tempatnya yang dekuk cukup pas untuk mendekam seorang.

   Segera kuping Siang Cin yang tajam mendengar suara "klik"

   Sangat pelahan, payon yang kedua sisi terbuat dari lempengan besi itu mendadak terbalik dan mengatup, baru sekarang disadari oleh Siang Cin bahwa payon besi ini ternyata tajamnya luar biasa.

   Sigap sekali tangan Siang Cin menepuk ke bawah sehingga badannya mencelat ke atas, dikala badannya tegak kembali di atap serambi itu, hujan panahpun memapak dirinya.

   Dalam kegelapan Siang Cin masih bisa melihat bahwa hujan panah dibidik keluar dari barisan jendela di deretan rumah pertama ujung serambi sana, cepat Siang Cin melayang ke sana sembari ayun sebelah tangannya, sebuah kotak kayu warna merah dia timpukkan dengan deru suara yang kencang melayang masuk melalui jendela ke dalam rumah pertama.

   Suara kotak kayu itu jatuh dan pecah berantakan sekejap saja didengarnya kegaduhan mulai timbul di dalam rumah.

   "Waduh, O, apa ini yang menggigitku"" --- "Aduh biang, sakit sekali .....

   ""

   "Celaka, dari mana labah2 sebanyak ini? Aai, minggir, jangau kau mendesak ke arahku ......" - "To-thauling, aduh, aku digigit ....... .."

   Siang Cin menyeringai, mendadak ia membalik tubuh, sebuah sabuk kain berminyak bagai seekor ular panjang tiba2 meluncur, dengan tepat menghantam lampu kaca yang paling ujung.

   "Prang pyaaar", ditengah suara berisik berhamburnya pecahan kaca, suara nyala api yang segera berkobar terdengar mengerikan, sabuk minyak yang mengandung belerang itu seketika menimbulkan kebakaran yang hebat. 160 Setelah menarik napas panjang, Siang Cin pentang tangan dan mengapung ke atas hinggap di atap paling tinggi dari bangunan itu. Api berkobar semakin besar di sebelab bawah, segera Siang Cin melayang ke sana pula, dikala hampir tiba di samping bangunan tinggi besar ini, dari arah kanan dilihatnya dua orang tengah baku hantam dengan sengit, keduanya bergebrak dengan gerak cepat dan cekatan. Lapat2 Siang Cin mengenali kedua orang yang lagi berhantam di atap rumah itu satu di antaranya adalah Poan-hou-jiu Te Yau, lawannya adalah seorang yang berjubah merah. Baru saja ia hendak menerjang kesana membantu Te Yau, tiba2 ia punya pikiran lain, umumnya orang2 kawanan Tangan Hitam, sekalipun dia seorang gembong yang punya kedudukan tinggi, semuanya mengenakan warna hitam, memangnya dari mana pula jago kosen berjubah merah ini? Memangnya di dalam waktu singkat ini pihak mereka telah mengundang jago2 dari aliran lain untuk bantu menghadapi serbuan orange Bu-siang-pay? Kalau hal ini betul, betapa banyak jago2 silat yang telah tiba? Bagaimana tingkat kepandaian mereka? Kini di mana pula mereka menyembunyikan diri? Siang Cin tidak ayal lagi, cepat dia melesat ke sana, dari jauh angin pukulannya segera melanda musuh yang berjubah merah menyolok itu. Sebat sekali orang berjubah merah itu berkisar, pergi, Poan-hou-jiu Te Yau berteriak riang.

   "Siang-tayhiap, jejak Siocia sudah ditemukan, Pek yang sedang ......"

   Belum habis dan bicara laki2 ubah merah telah melompat maju ke kanan-kiri, dalam gerakan ke kiri-kanan ini, tiba2 sebelah tangannya menggablok ke arah Siang Cin, sedang tangan yang lain memukul Te Yau tenaga pukulannya kuat luar biasa.

   Diam2 Siang Cin mendongkol, main kepalan dirinya adalah paling ahli, kenyataan lawan berani main hantam dihadapannya.

   

Ular Belang Putih -- Kauw Tan Seng Rahasia Iblis Cantik -- Gu Long Sukma Pedang -- Gu Long

Cari Blog Ini