Ceritasilat Novel Online

Bara Naga 16


Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 16




   Bara Naga Karya dari Yin Yong

   
"Betul, itu berarti dari sana pula mereka mengambil keputusan dan mengeluarkan perintah,"

   Demikian Siang Cin menambahlcan. Kin Jin ikut menimbrung dengan nada meyakinkan. Kukira di dalam gedung itu dibangun juga alat perangkap dan lorong bawah tanah ....."

   "Sebun Tio-bu sependapat, katanya.

   "Tentu pula dengan akal licik dan keji ... ."

   Berpikir sebentar, Siang Cin berkata.

   "Bagaimana? Mulai beraksi?"

   Sebun Tio-bu dan Kin Jin mengangguk bersama, mereka terus meluncur ke depan dengan kecepatan luar biasa.

   Dikala mencapai pucuk .pohon yang terdekat dengan gedung besar itu, mendadak Siang Cin bertiga melambung lebih tinggi ke atas, baru saja kelihatan bayangan berkelebat, tahu2 sudah lenyap pula.

   Teringat pengalaman di Pi-ciok-san dulu, Siang Cin kali ini tidak sia2kan payon yang lebar panjang itu untuk menyembunyikan diri, perawakannya yang tinggi semampai berjumpalitan di udara, seenteng burung walet, dengan enteng ia hinggap di puncak tiang besar di depan gedung megah itu, maka Sebun Tio bu dan Kin Jin juga meniru caranya, merekapun hinggap dan menempel di tiang yang lain seperti tiga ekor cicak raksasa.

   Kungfu yang mereka lakukan ini sebetulnya sangat makan tenaga, umumnya di dunia persilatan ilmu ini dinamakan Pia-hou-kang (ilmu cicak), ilmu ini memerlukan ketahanan napas yang dikendalikan oleh tenaga dalam sehingga badan seperti lengket pada benda apapun yang ditempelinya, bagi yang Lwekangnya tinggi sekaligus orang akan kuat ber-tahan ber-jam2, yang ilmunya rendah terpaksa harus dibantu dengan kaki tangan untuk bertahan.

   Pintu gedung megah yang bertatah paku tembaga putih sebesar telur angsa itu setengah terpentang, secercah cahaya guram tampak menyorot keluar dari dalam, tapi keadaan di dadam juga sunyi senyap, Dengan cermat Siang Cin pasang kuping mendengarkan, sejenak kemudian dia berkata lirih.

   "Awas, kalian harus hati2, di dalam ada orang."

   Sebun Tio-bu mengangguk, sahutnya.

   "Betul, ada empat orang."

   Kin-Jin juga berkata.

   "Agaknya mereka tengah berunding di ruangan sana, suaranya juga bisik2 tapi jelas yang dibicarakan cukup penting, jarak pembicaraan mereka dari 216 pintu kira2 dua puluhan tombak."

   Dengan tersenyum Siang Cin berkata.

   "Biar kumasuk lebih dulu, kalian menyusul bergantian."

   "Silakan!"

   Ucap SebunTio bu.

   Tubuh Siang Cin yang menempel di pilar itu tiba2 melorot ke bawah, tatkala mencapai setengah ketinggian pilar itu mendadak ia melenting ke depan dan melayang masuk melalui pintu yang setengah tertutup itu.

   Begitu berada di dalam ruangan, sekilas matanya menjelajah, diam2 ia terkesiap, kiranya ruang ini adalah pendopo besar yang panjang, ada dua belas pilar besar yang berjajar di kanan-kiri pendopo, lantainya adalah marmar putih yang besar dan mengkilap, pada ujung pendopo sana di sebelah kanan kiri ada dua undakan batu yang menuju ke atas sebuah panggung, di atas panggung terdapat belasan kursi besar berukir yang berlapis kulit harimau, tepat di tengah dinding di belakang panggung, terdapat ukiran seekor harimau yang terbuat dari tembaga.

   Lampu di pendopo seluruhnya dipadamkan, hanya enam pelita yang menyala di atas panggung, ada empat orang sedang duduk berkeliling sambil bicara bisik-bisik, sementara di bawah panggung, menghadap ke arah pintu besar ada dua puluhan laki2 kekar berpakaian merah sama duduk bersimpuh.

   Begitu menerobos masuk dan belum lagi kaki menyentuh lantai, dalam hati Siang Cin sudah mengeluh, tapi sebat sekali dia bergerak.

   "Wut", langsung ia melejit ke atap ruangan dan hinggap di belandar. Belasan orang di antaranya merasa pandangan kabur, sementara bayangan Siang Cin berkelebat di tengah keremangan, dua di antaranya lantas melonjak berdiri seraya berteriak.

   "Ada mata2!"

   Empat orang yang tengah berunding di atas panggung serentak berpaling, pada detik itulah kebetulan menjadi giliran Kin Jin menerobos masuk ke dalam peodopo, sudah tentu jejaknya menjadi konangan serta menarik perhatian semua orang yang berada dalam pendopo.

   Delapan laki2 lain yang masih duduk di lantai serentak meraung gusar terus menubruk maju, senjata kampak mereka tampak kemilau, sebat dan tangkas sekali gerak-gerik mereka, baru saja Kin Jin berdiri tegak, mereka telah mengerubutnya.

   Sungguh runyam keadaan Kin Jin waktu itu, maju-mundur serba susah.

   pada detik itulah, sepuluh laki2 baju merah yang lainpun memburu tiba sambil mengayun senjata mereka.

   Kin Jin jadi nekat, ia berdiri tegak sambil bertolak pinggang di tengah pintu, tangannya terangkat serta berseru lantang.

   "Tunggu sebentar!"

   Puluhan laki2 baju merah itu segera mengepungnya, seorang yang bertubuh tinggi kekar segera tampil sambil meraung.

   "Sahabat, tanggalkan kedokmu, tekuk lututmu pula menyerah dan terima dibelenggu saja, supaya tuan2 besarmu di sini tidak perlu bercapai lelah membekukmu dengac kekerasan."

   Sekilas Kin Jin melirik, dilihatnya Sebun Tio-bu tidak ikut masuk, dia tahu kawan ini telah melihat gelagat jelek, dengan dingin dia pandang orang2 yang mengepungnya, katanya kasar.

   "Kentut makmu, kalian kaum keroco ini juga berani membual dihadapanku? Memangnya darimana kau tahu kalau aku mata2 dan bukan kawan sendiri?"

   Laki2 kekar itu mengejek, cemoohnya.

   "Kalau kawan sendiri memangnya berdandan seperti tampangmu ini? Begini pula caramu keluar-masuk di rumah orang? Jangan kira kami ini dapat kau tipu. Dalam pada itu orang2 yang berunding di atas panggung itupun sudah berdiri, di bawah penerangan api, tampak seorang berwajah merah, perawakannya tinggi besar berjenggot hitam panjang, laki2 tua ini melangkah maju setapak, suaranya rendah tapi sekeras guntur.

   "Pasang lampu, biar kami berkenalan dengan sahabat yang tak diundang ini."

   Laki2 kekar baju merah itu mengiakan sambil mengundurkan diri.

   "Wut"

   Secepat kilat tiba2 Kin Jin melayang ke sana, dikala kedua tangannya bergerak dengan kecepatan 217 yang sukar diikuti pandangan mata, dua laki2 baju merah di kanan-kirinya sudah melolong roboh sambil memeluk perut, darah menyembur dari mulut mereka.

   Gerakan Kin Jin tidak berhenti, secara beruntun dia mendesak kedepan, di mana kedua telapak tangannya menabas, tampak bayangan tangan menyambar dan mengeluarkan deru kencang, kontan dua laki2 baju merah kembali terlempar roboh dengan menyemburkan darah dari mulutnya.

   Perubahan yang mendadak ini membuat enam Iaki2 baju merah yang lain melenggong, tapi dering senjata yang jatuh berkerontang diatas lantai, seketika menyentak sadar pikiran mereka.

   Tapi begitu bayangan telapak tangan menyambar, seorang kawan mereka terjungkal binasa pula dengan dada remuk.

   Sejak Kin Jin beraksi hingga jiwa lima korban melayang hanya berlangsung dalam sekejap mata belaka.

   Maka terdengarlah geram murka dari atas panggung, empat bayangan orang laksana empat ekor kelelawar pengisap darah, cepat dan seram sekali melayang tiba dengan kecepatan,yang amat mengejutkan.

   Tak terlukiskan bagaimana hebat dan tangkas gerakan Kin Jin, ia menyelinap di antara sambaran senjata musuh yang gencar dan rapat itu, ujung pakaiannya tak tersentuh sedikitpun oleh serangan lawan, seorang musuh menjadi kalap, kampaknya berputar dan tiba2 menubruk maju, sekaligus ia menyerampang dan membabat kedua kaki Kin Jin.

   Tertawa dingin Kin Jin, tiba2 ia meluncur mundur seperti orang bermain ski, tapi empat kampak musuh sekaligus menghujani tubuhnya pula, terpaksa dia memutar lengan kiri, sementara telapak tangan kanan menekan ke bawah dengan gentakan kuat, sungguh tak dapat dilukiskan betapa indah dan sebat gerakannya, tahu2 bayangan berkelebat.

   "pletak", suara tulang patah berkumandang diselingi lolong panjang kesakitan. Bacokan empat kampak itupun mengenai tempat kosong, menghancurkan lantai marmer malah, sehingga muncratlah lelatu api, sementara dengan gerakan yang gemulai Kin Jin telah melayang ke pinggir sana. Tapi gerakan ke pinggir ini justeru memapak kedatangan laki2 tua bermuka merah yang melayang turun dari panggung tadi, dengan mata mendelik, jenggot hitam tampak berkembang, nyata gusarnya tak terkatakan. Kin Jin yang masih terapung itu mendadak balas menyerang balik ke belakang. dalam sekejap itu terdengarlah serentetan suara adu telapak tangan yang nyaring. Hawa udara dalam pendopo seketika bergolak. Bayangan kedua orang seketika terpental dan anjlok ke bawah. wajah laki2 merah itu seketika berubah pucat kelabu, jenggot yang panjang itu bertaburan kaku, tubuh yang besar itu terus terbanting ke bawah. Untung di belakangnya seorang laki2 setengah umur berkepala gundul sempat memburu maju dan memapahnya. Menyusul dua orang laki2 berperawakan sedang juga menerjang tiba, salah satu yang sebelah kupingnya tinggal separo menerjang maju, serunya.

   "Cianglo, apakah masih kuat bertahan?"

   Orang tua yang bermuka merah tampak gemetar, kedua tangannya melepuh besar mirip paha babi, kulit daging hitam membiru. Laki2 pertengahan umur yang memapah laki2 tua ini, melirik benci ke arah Kin Jin, sejenak baru dia bersuara dingin.

   "Sahabat, tak perlu kau tutupi mukamu, kami sudah tahu siapa kau adanya, memangnya kurang senang kau tinggal di Tan cin, jauh2 datang ke Toa ho tin mencari setori."

   Mendadak laki2 tua itu menarik napas panjang, dengan melotot dia berteriak serak.

   "Kim lui jiu, aku telah memperoleh pelajaranmu."

   Kin Jin membuka kedoknya, katanya.

   "Cianglo, maaf akan kekurang ajaranku barusan, tapi Cianglo sendiri kenapa tidak ongkang2 saja di markas Jit-ho hwe sebagai pentolan ketiga di sana, untuk apa pula kalian bisik2 sepanjang malam di sini, sungguh membuatku tidak habis mengerti." 218 Jenggot hitam laki2 tua tampak bergoyang, katanya dengan napas tersengal.

   "Orang she Kin, di Tanciu kau boleh bersimaharaja, urusan Jit ho-hwe kami tak perlu kau mencampurinya ... .. untuk apa kehadiranku di Pau-hou-ceng ini, memangnya kau ingin mengetahui?"

   Sambil tersenyum Kin Jin menjura, katanya.

   "Hanya karena ingin tahu saja. Tapi kalau Cianglo tidak mau menerangkan, ya apa boleh buat, biarlab Cayhe mohon diri saja."

   Dada si orang tua naik turun, napasnya terengah2, bibirnya bergerak ingin bicara, tapi agaknya dia menguatirkan sesuatu, maka batal bersuara, dengan gemas akhirnya dia melengos ke arah lain.

   Adalah laki2 gundul itu ternyata berperangai kasar dan berangasan, dia meraung beringas.

   "Kin Jin, biarpun Kim-lui-jiu sudah menggetar dunia, memangnya kau boleh bertingkah dan datang pergi seenakmu sendiri? Kin Jin, jangan kaukira kami boleh dihina."

   Kin Jin sudah memutar badan, lekat dia membalik lagi, katanya dengan tertawa ramah.

   "Kalau tidak keliru, tuan ini pastilah Kui kok khek Pa Cong-si, salah satu So lian su -coat yang bersemayam di Pek-hoa-kok itu?"

   Tidak menampakkan perubahan air mukanya, Iaki2 gundul ini malah menjengek.

   "Orang gunung macam diriku ini mana dapat dijajarkan dengan Kim lui jiu yang tergolong tokoh besar?"

   Tidak marah, Kin Jin malah bersikap tenang, katanya.

   "Ah, Pa-heng terlalu memuji."

   Sorot matanya berubah beringas, salah satu dari Sio lian-su-coat ini berkata kasar.

   "Kau orang she Kin pasti paham akan aturan Kangouw, enam jiwa manusia ditambah luka2 Ciang-lo, lalu orang she Kin mau tinggal pergi hanya menjura begitu saja, apakah kau tidak terlalu meremehkan kami di sini?"

   Pelahan Kin Jin berkata.

   "Lalu, apa kehendak Pa heng?"

   "Gampang.saja,"

   Jengek Pa Cong-si.

   "tinggalkan batok kepalamu"

   Seketika Kin Jin menarik muka, desisnya.

   "Pa Cong-si, terhadap siapa kau sedang bicara?"

   Pa Cong-si ter-bahak2 dan berkata.

   "Terhadap kau keparat yang bernama kosong dan tak tahu diri ini."

   Sikap Kin Jin tetap tenang dan sabar, katanya.

   "Jika demikian, Pa Cong-si, boleh kau turun tangan saja. Batok kepalaku akan kutinggalkan di sinni asal kau mampu mengambilnya."

   Mencorong sinar mata Pa Cong-si, segera ia pasang kuda2. Dengan gaya santai Kin Jin mengebas lengan baju, katanya.

   "Silakan!"

   Tapi laki2 yang disebut Ciang-lo, yang terluka tangannya itu, mendadak mengadang di tengah mereka, teriaknya serak.

   "Tunggu sebentar Pa lote ....."

   Pa Co ng-si melengak dan menyurut mundur, serunya heran.

   "Ciang-lo, kau ...."

   Menggeleng dengan napas tersengal, si orang tua membalik menghadapi Kin Jin, katanya dengan suara serak.

   "Kin-heng ...."Ciang-lo terlalu sopan,"

   Kata Kin Jin tenang2.

   "entah ada petunjuk apa?"

   Si orang tua berkata.

   "Dalam waktu dekat ini seluruh kekuatan Jik-san-tui tengah dipersiapkan untuk menghadapi cerbuan Bu-siang-pay, situasi dalam Pau- hou-ceng cukup tegang ....hal ini tentunya Kin- heng cukup maklum ...."

   "Ya, kutahu,"

   Ucap Kin Jin. Kata si orang tua menghela napas.

   "Kami mempunyai hubungan erat dengan Jiksan- tui, betapapun kami tidak boleh berpeluk tangan melihat manusia padang rumput itu menginjak kedaulatan kita di sini ....dalam keadaan yang serba sulit ini, malam2 mendadak Kin-heng berkunjung kemari, malah sekali turun tangan membunuh enam nyawa anak buah Jik-san-tui, sungguh aku tidak mengerti apa maksud sepak terjangmu ini,"

   Kin Jin menjelaskan dengan kalem.

   "Barusan sudah kujelaskan, ini hanya salah paham belaka, hakikatnya kami tidak bermaksud mencari setori, bila kalian mau menyudahi persoalan sampai di sini, segera kami akan pergi." 219 Pa Cong si dari Kui kok khek berseru gusar.

   "Kin Jin, jangan kau meremehkan persoalan, bagaimana perhitungan jiwa enam orang dan luka2 Ciang-lo. Kin Jin menarik muka, katanya.

   "Baiklah. akan kutunggu kalian menagihnya padaku."

   Kedua orang berperawakan sedang tadi seketika naik pitam, orang yang sebelah kupingnya hilang separo itu membentak bengis.

   "Kin Jin, keangkuhanrnu kelewat batas, umpama Han mo-siang kiu (sepasang alap2 dari padang pasir) harus mempertaruhkan jiwa, hari ini ingin kami menumpas kesombongan kau keparat ini."

   "Han-mo-siang-kiu?"

   Dengan nada sinis Kin Jin mengulang nama julukan orang, mendadak dia tergelak2, katanya.

   "O, kiranya kalian adalah guru Kungfu dari Toa-tokau. Syukurlah jika kalian ada selera, Kin Jin dengan senang hati akan mengiringi keinginan kalian."

   Bola mata Han-mo-siang-kiu terbelalak merah, kembali yang telinganya cacat mendengus gusar serunya sambil menoleh.

   "Ciang-lo, akan kami ringkus dia."

   Lekas orang tuts itu berseru dengan napas memburu.

   "Nanti dulu, tunggu sebentar, asal usulnym belum jelas, betapapun tak boleh bertindak serampangan."

   "Tapi jiwa enam orang yang menggeletak ini memangnya dianggap sia2?"

   Seru Pa Cong-si gusar. Muka si orang tua semakin pucat, iapun berteriak.

   "Pa-lote, musuh besar sudah di depan mata, mana boleh sembarang mencari musuh baru? Cepat atau lambat peristiwa ini pasti ada penyelesaiannya secara adil, buat apa harus terburu nafsu?"

   Tapi Kui kok khek Pa Cong-si tetap ngotot, serunya.

   "Ciang lo, tengah malam buta orang ini menyelundup kemari, tujuannya sudah jelas, tentu bermaksud jahat yang tidak menguntungkan pihak kita, kau sendiri sudah terluka, demikian pula korban enam jiwa, bila dia bukan mata2 musuh apa pula kerjanya di sini?"

   Sudah tentu si orang tuta juga maklum akan hal ini.

   Tapi iapun maklum akan asalusul dan kelihayan Kim-lui-jiu Kin Jin bukan saja Kungfunya tinggi, luas pengalaman, di daerah Tan-ciu dia tak ubahnya seperti raja kecil di sana, anak buahnya ribuan dan tersebar luas di mana2, hubungan luas dan banyak kawan, Kin Jin benar2 seorang tokoh yang sukar dilayani dan tak boleh diusik.

   Kini Bu-siang-pay sudah berada di ambang pintu, pihak sendiri harus mengerahkan seluruh kekuatan untuk menghadapinya, mana boleh mencari musuh lain pula di dalam kandang sendiri? Oleh karena itu dia pikir biarlah telan dulu kerugian dan penasaran ini, setelah pertikaian dengan Bu-siang-pay usai, pelahan cari kesempatan lain untuk membuat perhitungan dengan Kin Jin Tapi Kui-kok-khek Pa Cong-si dan Han mo-siang-kui ternyata keras kepala dan kukuh pendapat, dengan ngotot hendak membuat penyelesaian sekarang juga, soal menang dan kalah sukar diramalkan, yang pasti permusuhan ini jelas takkan menguntungkan.

   Kin Jin menarik muka, katanya.

   "Ciang Heng, walau dalam Jit ho hwe kau terhitung pentolan nomor ketiga, mengingat usiamu lebih tua maka kumenghormatimu, oleh karena itu silakan kau minggir saja, bila Kui-kok-khek dan Han-mo siang-kiu ingin mencoba kelihayanku, biarkan mereka maju."

   Kui-kok-khek dan Han mo-siang-kiu segera menubruk maju. Se konyong2 pendopo besar yang semula remang2 menjadi terang benderang, dua obor raksasa tahu2 menyala dalam ruangan, berbareng terdengar suara lantang berkumandang.

   "Kin Jin, hidupmu akan berakhir di Pau-hou-ceng ini. Ketahuilah, Tan ciu yang kau kuasai memangnya mampu melebarkan sayanpnya ke Toa-ho-tin sini?"

   Cepat Kin Jin menoleh ke sana, dalam waktu sekejap ini puluhan obor telah menyala benderang dan terus bertambah banyak, entah sejak kapan, ke dua sisi pendopo panjang ini sudah berbaris orang berbaju merah yang mengangkat obor.

   Di bawah penerangan obor kelihatan betapa beringas muka mereka dengan senjata terhunus, seketika suasana bertambah tegang.

   
Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dengan tenang Kin Jin berkata.

   "Wah, cepat juga kalian kemari, hanya dalam sekejap, ruangan besar ini sudah menampilkan pameran yang boleh juga"

   Sembari bicara, benak Kin Jin bekerja cepat, jelas sejauh ini pihak musuh belum dapat 220 meraba keadaan pihaknya, ada berapa temannya yang ikut menyelundup kemari.

   Mungkin mereka pernah pergoki jejak Siang Cin tapi Kin Jin yakin seketika itu pula orang yang memergokinya itu pasti dibuat bungkam dan menggeletak, kalau tidak, tak mungkin musuh mengerahkan seluruh kekuatan dan perhatiannya kepada dirinya seorang saja.

   Dia merasa senang kini ada kesempatan untuk pamer kepandaian dan menggasak musuh, biar situasi di sini menjadi gaduh dan ribut, supaya Siang Cin dan Sebun Tio-bu punya peluang menggerebek seluruh pelosok sarang musuh.

   Suara dingin tadi berkumandang pula.

   "Kin Jin, mengakulah terus terang, kau mata2 darl pihak mana? Bu siang-pay atau Siang Cin?"

   Kini pandangan Kin Jin tertuju ke arah orang yang berbicara, di bawah penerangan obor terlihat jelas wajah orang itu lebar bundar menyerupai baskom, perawakannya kekar gagah, air mukanya menampilkan rona sinis dan banyak muslihatnya, beberapa kali mulut Kin Jin berkecek, tanyanya kemudian.

   "Siapa kau?"

   Wajah yang lebar itu tertawa, katanya sambil melangkah maju.

   "Ah, aku hanya kaum keroco saja.. Pernahkah kaudengar di dalam Jik-san-tui ada seorang yang bernama Pek Wi bing?"

   "O, kiranya Toh gwa-coh-to Pek-sam-thauling, sudah lama kudengar namamu,"

   Seru Kin Jin. Sam-thauling (pentolan ketiga) dari Jik-san-tui itu seperti tertawa tapi tidak tertawa, setelah mendengus dia menoleh, serunya.

   "Ciang-lo!"

   Muka Ciang Heng dari Jit-ho-hwe tampak bersemu kuning, lekas dia mendekat dan bertanya.

   "Bagaimana Pek-lote?"

   Pek Wi-bing berkata dengan suara tertahan "Aku tahu maksud Ciang-lo, tapi urusan sudah telanjur sejauh ini, menurut pendapatku, orang she Kin jelas mata2 yang dikirim kemari oleh Bu-siang-pay, bila malam ini kita tidak menahan dia, bila dia bekerja sama dengan orang2 Bu-siang-pay dan menyerbu datang, maka urusan tentu sukar dibayangkan."

   Ciang Heng menjadi ragu, katanya.

   "Tapi ..... Kin Jin tak boleh dipandang enteng ...."

   "Jangan kuatir,"

   Pek Wi bing menyeringai.

   "keadaannya sekayang ibarat harimau yang kesasar masuk kampung."

   Kata2nya yang terakhir sengaja diucapkan dengan nada tinggi, maka Kin Jin dapat mendengar jelas, mendadak dia tertawa serta menyambung.

   "Oleh karena itu, dia digonggong anjing!"

   "Orang she Kin tak usah menyindir,"

   Jengek Pek Wi-bing dongkol.

   "sebentar lagi ingin berteriakpun kau tak bisa lagi "

   Tiba2 mencorong terang bola mata Kin Jin, dingin tajam dan sadis. katanya tenang.

   "Pek Wibing, sebelum kau turun tangan, lebih baik kau berpikir dulu dua belas kali, jangan sampai mayat bergelimpangan, tetap kau tidak memperoleh keuntungan apa2."

   Wajah yang lebar itu tampak merah gusar, Pek Wi-bing berjingkrak, semprotnya.

   "Lebih baik pikirkan nasibmu sendiri, memangnya kaukira Jik san-tui dapat kau gertak?"

   "Sedikit angkat kedua tangannya Kin Jin berkutat tawar.

   "Kalau demikian, malam ini kalian harus belajar kenal dengan kelihayan Kim-lui-jiu."

   Han-mo-siang-kiu segera tampil ke muka, si telinga cacat segera meraung.

   "Keparat, kami kakak beradik akan jajal dulu betapa bobot kepandaianmu."

   Kain hijau yang membungkus kepala tampak melambai, baru saja perhatian orang banyak tertarik akan lambaian kain kedok ini, tiba2 Kin Jin melejit bagai anak panah cepatnya, tiada seorang pun yang jelas melihat bagaimana dia beraksi, di tengah suara gemerentang, yang memekak telinga, belasan orang berbaju merah sama jungkir balik dengan kepala hancur atau dada remuk.

   Sementara gema suara para korban masih mengalun dalam ruangan besar itu, secepat kilat Kin Jin sudah putar balik, kedua tangannya berubah laksana dua gada emas yang kemilau terang, sekali 221 telapak tangan terbuka, mendadak dia dorong kedua tangannya ke arah Pek Wi-bing.

   Toh gwat coh to Pek Wi-bing adalah jago kosen juga dalam Bu lim, dia tahu serangan ini tidak boleh dilawan dengan keras, sembari berteriak dia terus melompat ke samping.

   Kedua telapak tangan yang melancarkan kemilau kuning itu mendadak terpencar terus membelah lurus ke arah Han-mo-siang-kiu.

   Melihat gelagat jelek, kedua kakak beradik ini lekas2 menegok ke kiri dan kanan, namun demikian pukulan yang mengumandangkan suara gemuruh ini tetap menyerempet lewat tubuh mereka, lantai marmar di kaki merekapun sampai pecah sehingga debu krikil beterbangan.

   Sekonyong2 suara hardikan nyaring bergema, laksana segumpal awan menggulung dari udara, seorang menerjang ke arah Kin Jin.

   Cepat Kin Jin menarik kembali tangan kiri terus mencengkeram ke perut Pek Wi-bing, sementara telapak tangan kanan menggaris setengah lingkar terus menabas kesamping, Kin Jin mendengus dan menjengek.

   "Pa Cong-si, kau belum setimpal melawanku."

   Pembokong licik ini memang Kui-kok-khek Pa Cong-si, salah satu dari Sio-lin-su-coat di Pek-hoakok (lembah seratus bunga).

   Ubun2 kepalanya yang dekuk itu tampak berdenyut turun naik, kedua badik Pa Cong-si yang tajam mengkilap dengan sendirinya menyerang tempat kosong, sebat sekali Kin Jin menendang.

   "tring, tring"

   Kedua badik mencelat dari tangan Pa Cong-si dan patah menjadi empat potong.

   Pada waktu yang sama, seorang mendadak menubruk tiba, sebuah gelang tembaga sebesar roda kereta mendadak berputar ke atas kepala Kin Jin, berbareng sebilah pisau melengkung tajam mendadak menusuk perutnya.

   Berkerut alis Kin Jin menghadapi serangan serentak dari musuh yang licik ini.

   dasar kepandaian tinggi sedikitpun dia tidak menjadi gugup, mendadak dia berjumpalitan ke belakang, lalu menjengek.

   "Pek Wi bing, ternyata kaupun hanya kaum keroco saja."

   Cepat sekah Pek Wi bing menubruk maju pula, ia memegang sebuah gelang tembaga yang bercahaya kebiruan, sementara pinggiran gelangnya setajam pisau, gelang yang kelihatan sederhana ini hakikatnya adalah senjata yang ganas, biasanya senjata ini diutamakan untuk menggantol leher orang.

   Dikala berlompatan Kin Jin sudah memperhitungkan waktunya, baru saja Pek Wi bing memburu maju tiba2 ia melambung tinggi pula sambil berputar, menyusul ia balas menyerang dengan tidak kurang lihaynya.

   Sambil berteriak Pek Wi-bing berkelit, sementara Han-mo siang kiu yang sudah menubruk maju juga dipaksa melompat minggir, cahaya obor dalam pendopo seketika ber-goyang2.

   Dalam pada itu, Siang Cin yang mendekam di atas langit2 diam2 tertawa geli, timbal rasa kagumnya, selama ini dia sendiri terkenal kelihayan ilmu pukulannya, tapi Kim lui-jiu Kin Jin sekarang ternyata juga gagah perkasa, meski keduanya mempunyai kelebihan masing2, tapi bahwa Kin Jin memiliki tingkat kepandaian setarap ini, mau tidak mau Siang Cin menjadi kagum.

   Siang Cin dapat menilai, dengan Kim-lui jiu yang hebat itu, ia yakin seorang diri Kin Jin masih mampu menghadapi keroyokan orang banyak di pendopo ini, meski belum tentu dapat mengalahkan musuhnya, tapi dia sendrri jelas tidak bakal terkalahkan, bahwa seluruh perhatian musuh ditujukan kepada Kim Jin seorang, kenapa kesempatan ini tidak digunakan dengan baik.

   Selagi Siang Cin masih bimbang, sementara di bawah Pek Wi-bing, Han-mo-siangkiu dan Pa Cong ci berempat sudah mengeroyok Kin Jin dengan sengit, sedangkan Ciang Hong yang terluka bersiaga di pinggir gelanggang, sementara lingkaran orang2 berbaju merah dari Jik-san-tui semakin diperkecil, setiap waktu mereka siap menubruk maju bersama.

   Setelah menarik napas panjang, dengan diam2 selincah kucing Siang Cin menggeremet ke pojok sana terus melorot turun ke arah jendela, dengan hati2 dia, 222 menyongkel tanpa bersuara, dengan gesit ia menyelinap keluar.

   Malam dingin dan gelap, hanya diterangi kerlip bintang di langit, melompat ke atas wuwungan Siang Cin celingukan mencari jejak Sebun Tio-bu, pada saat itulah sesosok bayangan orang tahu2 menubruk dari belakangnya..

   Cepat Siang Cin membalik, terlihat jelas orang ini mengenakan pakaian warna merah menyolok meski di tengah malam gelap ini, malah tangannya menenteng dua bilah kampak.

   Dengan sikap angkuh Siang Cin menunggu, begitu bayangan itu mendekat, tanpa bersuara Siang Cin menabas dengan telapak tangan sembari meluncur maju.

   Pendatang ini agaknya tidak menduga akan menghadapi serangan kilat begini, dengan kaget dia mendak ke bawah.

   Baru Siang Cin hendak menambahkan serangan lain yang lebih ganas, dengan gugup orang itu berteriak tertahan.

   "Berhenti Siang heng, aku Sebun."

   Siang Cin melenggong, orang berbaju merah itu lantas melejit ke sampingnya.

   Memang betul Sebun Tio bu adanya.

   Dengan menyengir Siang Cin bertanya dengan suara pelahan.

   Cayhe sedang mencarimu, bagaimana Tangkeh bisa salin pakaian dalam waktu secepat ini?"

   Sebun Tio bu menghela napas lega, katanya.

   "Masa cuma kau saja yang senang, sejak tadi aku ikut bergabung dengan para kura2 di dalam pendopo. Begitu Lo Kin masuk dan jejaknya konangan, aku lantas urung bertindak, kebetulan aku menangkap seorang anggota Jik-san-tui yang lagi buang air, kututuk dia, lalu kubelejeti pakaiannya, dengan leluasa dapatlah aku keluar masuk pendopo, semula aku kuatir akan keadaan Lo Kin, tapi setelah kuikuti beberapa gebrak, keparat itu ternyata memang lihay, diam2 aku mencarimu di sana, waktu kau menyelundup keluar dari jendela tadi kebetulan kulihat bayanganmu, kupukir kau pasti sudah ambil sesuatu keputusan, maka buru2 aku menyusul kemari, hampir saja aku menjadi korban pukulannu yang mematikan ......"

   Lekas Siang Cin mohon maaf, katanya.

   "Siapa suruh kau ganti pakaian tanpa menyapa pula? Kukira jejakku sudah konangan . ......Eh, Tangkeh. Kin-heng jelas tak menjadi soal meski dikeroyok, mumpung ada kesempatan mari kita beraksi selagi mereka tumplek seluruh perhatian atas diri Kin heng,"

   "Baiklah, hayo mulai!"

   Jawab Sebun Tio bu. Setelah menerawang keadaan sekelilingnya, akhirnya Siang Cin berkata lirih.

   "Umpama nanti dipergoki musuh, Tangkeh bendaknya melawan sekadarnya, jangan se-kali2 melayani mereka sampai lama, lebih cepat berlalu lebih baik, sementara kesempatan sementara kugunakan untuk mencari tahu keadaan Pau-hou-ceng dan apakah di sini juga dikurung orang2 Bu siang pay."

   Sebun Tio bu mengangguk, katanya.

   "Baiklah!"

   Mereka terus melayang ke wuwungan pendopo, tanpa berhenti mereka langsung berlompatan di atas wuwungan gedung yang ber-lapis2 itu menuju ke gedung berloteng yang ada di lapisan terakhir.

   Bangunan gedung2 di Pau-hou-ceng ini ternyata cukup banyak, kalau tidak mau dikatakan terlalu rapat dan berhimpitan.

   namun gedung2 di sini dibangun secara teratur, pepohonan yang ditanam di sinipun terletak pada sudut2 yang telah diperhitungkan secara rapi, taman bunga dan jalanan kecil beralas balok2 batu gunung.

   Siang Cin dan Sebun Tio-bu sembunyi di belakang pohon besar yang ada di pojok sana, dengan jelas mereka melihat barisan berseragam merah sama ber-lari2 menuju ke ruang pendopo dari berbagai arah, semuanya bergerak lincah dan terlatih baik.

   Sebun Tio bu berkata lirih.

   "Pasukan Jik-san-tui seluruhnya dikerahkan untuk menghadapi Lo Kin, namun suasana perkampungan ini tetap tenang, jelas mereka mengira yang datang hanya Lo Kin seorang saja. Siang-heng, inilah kesempatan baik."

   "Betul, tapi Pau hou-ceng cukup luas seperti sebuah kota kecil, belum diketahui lagi 223 di mana pusat kekuasamn mereka ....lagi, Tangkeh, Cayhe tetap berpendapat bahwa orang2 Bu-siang-pay ada yang menjadi tawanan mereka ketika terjadi pertempuran di Pi-ciok san tempo hari itu ...."

   Berpikir sejenak akhirnya Sebun Tio bu memberi usul.

   "Mari kita tipu mereka saja, bila perlu gunakan pula kekerasan, waktu amat mendesak, lekas sikat dan cepat akhiri."

   Siang Cin mengangguk, katanya.

   ""Baiklah Tangkeh, akan kulindungi aksimu dari samping."

   Maka dengan langkah lebar Sebun Tio-bu langsung menuju gang kecil di sebelah kiri, baru puluhan langkah dia berjalan, dari balik pepohonan di sebelah sana berkumandang suara teguran.

   "Berhenti!. Sedikitpun Sebun Tio bu tidak memperlihatkan rasa gugup dan takut, ia menarik suara dan memaki.

   "Apakah Nyo Cin di sana? Kau keparat ini mungkin terlalu banyak tenggak air seni kuda ya, masa suara tuan besarmu juga tidak kau kenal lagi."

   Sejenak keadaan di balik pepohonan menjadi hening, tapi segera terdengar lagi suara lebih kereng.

   "Jangan kelakar, kau anak buah siapa?"

   Sebun Tin bu berludah, semprotnya gusar.

   "Kunyuk, masa suaraku tidak kaukenal? Memangnya kau yang berkuasa di sini ...."

   Dari balik pohon berkelebat keluar bayangan seorang tinggi besar, dengan mendelik ia menatap tajam Sebun Tio-bu, katanya pula dengan ketus "Memeluk harimau di Pan hou ceng."

   Dalam hati Sebun Tio-bu mengumpat, sungguh tak kira bahwa orang akan main teka-teki, bila hanya gertakannya tidak mempan, Tapi dia tetap melangkah maju, sengaja dia berseru dengan nada gusar.

   "Keparat, kau kira tuan besarmu tak bisa menjawab bahasa rahasiamu, Aku justeru tidak mau menjawab, coba apa yang dapat kaulakukan atas diriku?"

   Bayangan tinggi itu menyeringi, tiba2 serunya tegas.

   "Tangkap dia!"

   Mendengar aba2nya, empat bayangan orang segera menerobos keluar dari tempat gelap, bagai serigala kelaparan saja mereka menubruk ke arah Sebun Tio-bu.

   Sebun Tio-bu sudah nekat, ia tidak melawan, mendadak dia malah lempar kedua kampaknya ke jalan yang beralas batu gunung sehingga menimbulkan suara berkerontangan, sambil bertolak pinggang Sebun Tio bu meraung gusar.

   "Siapa berani bergerak? Kalian berani bertingkah, keparat piaraan anjing, tidak bisa membedakan lawan atau kawan sendiri, mau main kekerasan terhadap tuanbesarmu ini?"

   Karena gertakan Sebun Tio-bu ini, keempat laki2 itu melenggong sejenak dan merandek, mereka saling pandang dengan bingung. Sementara itu Sebun Tio bu masib terus berkaok2.

   "Baru saja tuan besarmu ini pulang dari arah Liok-sun-ho sana, badan capai mulut kering, ingin selekasnya memberi laporan dan minta arak pada Toa-thauling, tapi kalian anak kura2 ini mencegatku di sini, memangnya kalian mau apa?"

   Keempat laki2 itu sama berdiri bingung dan serba susah, sementara laki2 tinggi besar di belakang tadi lantas maju.. Sebun Tio-bu tetap bertolak pinggang, serunya dengan marah2.

   "Kebetulan kau kemari, keparat, aku orang she Sebun hari ini ingin melihat kau keparat yang sinting ini hendak berbuat apa atas tuan besarmu ini."

   Laki2 gede berpakaian merah itu berusia empat puluhan, wajahnya lebar gemuk merah, tapi air mukanya tampak kaku dingin, matanya yang tajam mengamati Sebun Tio bu dengan seksama, katanya dengan suara kaku.

   "Apakah kau anak buah Toathauling?"

   "Kalau bukan, memangnya aku ini anak buahmu?"

   Damprat Sebun Tio bu. Laki2 baju merah itu menarik muka, hardiknya bengis.

   "Kawan, mulutmu harus kenal sopan santun, meski kau anak buah Toa-thauling yang tersayang juga tak dapat menggertakku, jika kau tak mampu menjawab kode rahasia malam ini, maaf, Aku 224 orang she Pui terpaksa harus menahanmu"

   Sebun Tio-bu menyeringai, jengeknya.

   "Bagus. aku orang Sebun hendak pertaruhkan gentong nasiku untuk memenangkan penahanan ini, tapi bilamana urusan sampai terbengkalai, dihadapan Toa_thauling nanti kau yang harus bertanggung jawab akibatnya."

   Laki2 baju merah itu menjadi ragu, jelas dia tetap gusar, akhirnya berkata dengan uring2an.

   "Tinggalkan namamu."

   Sambil mendengus, Sebun Tio-bu lantas berseru.

   "Sebun Tio bu!"

   Laki2 baju merah tampak tertegun, jelas dia seperti ingat nama ini, tapi kesannya tidak mendalam dan tidak ingat siapa gerangan tokoh yang bernama Sebun Tio bu ini, setelah berpikir sebentar, akhirnya dia mengulap tangan, serunya.

   "Pergilah kita catat namamu."

   Dengan menyeringai Sebun Tio-bu melangkah ke sana, katanya.

   "Boleh, coba saja siapa yang salah dalam persoalan ini."

   Tapi baru beberapa langkah, laki2 gede itu tiba2 membentak gusar.

   "Berhenti!"

   Berdebur jantung Sebun Tio-bu, tanyanya sambil menoleh.

   "Ada apa?"

   Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Laki2 gede itu mencak2, serunya.

   "Didepan sana adalah tempat menyekap tawanan Hek-jiu-tong dan musuh kita, ada apa kau menuju ke sana?"

   Hampir saja tergelak2 saking senang hati Sebun Tio-bu, sambil berpikir sementara mulutnya balas menjengek.

   "Memangnya perlu kau mengoceh, aku juga tahu di mana tawanan Hek-jiu-tong dikurung, kalau dilarang pergi ke sana, memangnya aku orang Sebun berani terobosan ke sana."

   Saking gusar laki2 gede baju merah itu mendelik, dengan gemas dia membanting kaki, serunya beringas.

   "Baik, anggaplah mulutmu memang hebat, lihat saja nanti."

   Sebun Tio bu menyeringai dan melangkah ke depan, tidak jauh, di balik pohon sana tampak bayangan tembok tinggi, jalanan kecil inipun tampak melebar.

   Tanpa sangsi Sebun Tio-bu mengikuti arah jalan itu, baru saja dia hendak menerobos ke sebelah sana dari tempat gelap mendadak berkumandang hardikan;

   "Siapa?"

   Sebun Tio-bu berteriak gusar.

   "Pau- hou-ceng memeluk harimau, lekas jawab."

   Lima bayangan orang tampak melompat keluar dari tempat gelap, seorang yang terdepan sebagai pimpinan segera menyahut gugup.

   "Hasrat terkabul di Ji-Ih hu. Eh, kiranya orang sendiri .......

   "

   Sambil mendengus Sebun Tio-bu bertanya.

   "Ada kejadian apa di sini!"- Lagaknya seperti orang gede. Kelima orang itu cepat menghampiri, seorang yang berpakaian merah menyahut.

   "Tiada apa2, engkau tentu lelah, sudah malam, begini masih ronda?"

   Sebun Tio-bu menghela napas ujarnya. Makan gaji tentu harus menjalankan tugas, apa boleh buat? Keparat, apakah tawanan di dalam menimbulkan keributan? Kalian harus lebih hati2."

   Laki2 itu tertawa, katanya.

   "Tanggung beres! Lapisan pintu pertama adalah batu raksasa ribuan kati, dirangkap lagi papan besi tebal, lalu tiga pintu terali besi lagi, umpama rombongan gajah yang di kurung di dalam juga takkan mampu menerjang ke luar, apa lagi mereka manusia biasa?"

   "Kupikir demikian juga, apalagi keparat itu sudah cukup payah setelah disiksa sedemikian rupa. Tapi situasi beberapa hari ini semakin tegang, kuatirnya bila bala bantuan Bu-siang-pay akan menyerbu kemari."

   Orang itu berkedip, tanyanya lirih.

   "Saudara, kabarnya ada mata2 musuh menyelundup masuk di depan?"

   Sebun Tio bu celingukan sebentar, lalu merendahkan suara seperti penuh rahasia, katanya.

   "Memang, kepandaian bocah itu ternyata amat lihay, beberapa jago kita ternyata tidak mampu membekuknya meski sudah dikeroyok, malah Ciang-samya dari Jit ho-hwe terluka, kudengar enam orang kitapun sekali gebrak telah terbunuh, wah. kalau bicara soal ini aku jadi ngeri ...."

   Kelima laki2 itu ikut terkesiap, yang memimpin itu berkata dengan suara serak.

   225 "Kalau demikian, lawan agaknya sukar dilayani, padahal hanya seorang musuh dan kita sudah dibikin kelabakan, kalau datang beberapa orang lagi, entah apapula yang akan terjadi di sini ...

   "

   "Memang ... ."

   Ucap Sebun Tio-bu.

   "Mendingan di sini, ada tembok tebal dan dinding tinggi, dipasangi peralatan rahasia lagi, kemanapun kalian masih bisa sembunyi, kita yang di depan harus membendung serbuan musuh mana kuat menghadapi golok tajam mereka ...."

   Orang itu menghela napas, katanya dengan muka masam.

   "Soal alat rahasia segala kan hanya mendengar saja, kapan kita pernah melihatnya? Entah bagaimana bentuknya, apakah betul kuat membendung serbuan musuh, juga masih merupakan tanda tanya .."

   Sebun Tio bu agak kecewa karena tak dapat memancing keterangan yang penting, katanya tawar.

   "Siapa saja yang terkurung di dalam, apa kalian tahu?"

   Orang itu menggeleng, katanya.

   "Ini soal penting, kecuali beberapa pemimpin besar, kurasa tiada yang mengetahui, bagi kita siapa mereka tidak soal, yang penting bila tiba waktunya cara bagaimana harus mencari jalan hidup .....

   "

   Sebun Tio-bu tertawa, katanya.

   "Betul, hanya terima beberapa keping duit masakah harus mempertaruhkan jiwa ... Sudahlah, kalian tentu lelah, aku akan periksa sebelah depan."

   Lima orang itu segera menyingkir memberi jalan, si baju merah berpesan.

   "Harap periksa dengan seksama, saudara."

   Dengan langkah enteng Sebun Tio-bu beranjak ke depan sambil mengiakan, tiba di pinggir hutan sebelah sana, keadaan gelap dan sunyi, dari pucuk pohon di dengarnya suara Siang Cin.

   "Tangkeh ...."

   Waktu Sebun Tio-bu mendongak, seenteng burung Siang Cin telah meluncur turun di sebelahnya, katanya.

   "Percakapanmu sudah kudengar. Kini tugas pertama kita harus berdaya cara bagaimana menerjang masuk ke sana, kupikir aku perlu meniru caramu merebut seperangkat pakain mereka, bila perlu gunakan kekerasan dan terjang ke dalam dengan kerja kilat, jangan sampai menimbulkan suara berisik, supaya mereka tidak sempat lapor dan mengirim tanda bahaya ...."

   Sebun Tio-bu menepuk paha, tatanya.

   "Bagus, sekali kerja beres seluruhnya, memang itulah cara kerja Naga Kuning. Hayolah kita mulai."

   Siang Cin tepuk pundak orang serta menyeretnya masuk ke dalam hutan cemara, katanya memperingatkan.

   "Hati2, di sana ada pos penjagaan, ada dua penjaga di sana."

   Tapi sengaja mereka berjalan terang2an supaya kedatangan mereka diketahui orang, tak jauh mereka maju, tampak cahaya bergerak di sebelah depan, dua bayangan orang segera muncul dengan suara bentakan.

   "Siapa itu? Berhenti!"

   

   Jilid 13 Siang Cin mendengus, mendadak dia melejit ke depan, hanya kelihatan berkelebat, belum lagi kedua orang itu sempat melihat jelas siapa yang datang, tahu2 keduanya sudah tersungkur binasa.

   Dengan gerak cepat Sang Cin belejeti pakaian salah seorang terus dipakainya, kerudung muka dibuang, dengan tertawa ia berkata.

   "Hayolah, segalanya beres dan lancar."

   Cap-pi-kun-cu Sebun Tio bu mengacung-kan jempol, katanya memuji.

   "Cepat benar!" 226 Segera mereka maju lebih jauh, tujuannya adalah gedung besar yang ada di belakang hutan, setelah menghindarkan tujuh pos penjagaan, akhirnya mereka tiba di depan gedung batu, yang berbentuk segi empat. Gedung segi empat yang besar ini hanya terdapat delapan jendela, setiap jendela luasnya kira2 satu kaki dipasangi terali besi sebesar lengan pula, celah2 terali besi itu hanya selebar kepalan tangan. Pintu gerbangnya berwarna kuning dengan hiasan paku besar yang mengkilap, daun pintu tertutup rapat, tembok batu berwarna coklat tua terasa betapa kukuh bangunan gedung ini, suasana terasa seram dan menyesakkan napas. Dua batang obor besar tertancap miring di atas tembok, bunga api sering terpercik berjatuhan bercampur tetesan minyak bakar. Sepuluh laki2 berdiri di kanan-kiri tanpa bergerak, sekeliling sunyi senyap. Siang Cin menoleh sambil tertawa pada Sebun Tio-bu, dengan langkah tegap mereka keluar dari balik pohon, langsung mereka menuju pintu depan gedung persegi itu. Sorot mata kesepuluh laki2 baju merah yang berjaga di depan, pintu segera tertuju ke arah mereka, sorot mata mereka tampak curiga dua orang yang di depan serentak mengangkat tangan dan menegur.

   "Berhenti sebentar."

   Siang Cin menjura, katanya dengan tertawa;

   "Malam dingin, angin kencang, tentunya kalian capai dan menderita."

   Tanpa memperlihatkan perasaan apa2, kedua orang itu mengangkat kepala, lalu yang di sebelah kiri bersuara.

   "Malam selarut ini kalian datang kemari, entah ada kepentingan apa?"

   "Ya, memang ada keperluan,"

   Sahut Siang Cin tenang dan wajar.

   "Toa-thauling suruh kami mengadakan pemeriksaan khusus, adakah sesuatu yang tidak beres di sini? Soalnya ada mata2 musuh yang telah menyelundup ke bagian depan ...."

   Kedua orang itu saling pandang, orang yang bersuara itu berkata pula.

   "Kalau Toathauling ada perintah, kami semua tentu memberikan kelonggaran, tapi apakah kalian membawa medali perunggu Pau-hou-ceng dari Toa-thauling, siapapun yang akan masuk ke penjara harus memperlihatkan medali perunggu itu."

   Dalam hati diam2 Siang Cin mengumpat, tapi sikapnya tetap biasa, katanya.

   "ToaBARA NAGA- Koleksi

   KANG ZUSI 227 thauling hanya berpesan secara lisan, buru2 lagi sehingga tak sempat kami membawa medali perunggu yang diperlukan, tapi apakah pesan Toa-thauling secara langsung juga tidak berlaku di sini?"

   Dengan menarik muka kedua orang itu menggeleng kepala, katanya sinis.

   "Ketahuilah kawan, menurut perintah, kami hanya boleh memberi jalan berdasarkan medali perunggu, tanpa medali perunggu Pau-hou-ceng, umpama kakek-moyangku, sendiri juga tidak boleh masuk, ini bukan urusan main2, bila terjadi sesuatu, memangnya siapa yang bisa bertanggung jawab?"

   "Apa betul demikian?"

   Siang Cin menegas dengan tertawa aneh.

   "Sudah tentu,"

   Jengek laki2 itu.

   "tiada yang harus diberi kelonggaran secara khusus di sini."

   Sambil mengulap tangan Sebun Tio-bu maju selangkah, katanya dengan tertawa.

   "Tanpa medali perunggu Pau-hou-ceng, apa benar bapakmu sendiri juga tidak kau beri kelonggaran?"

   Merasa nada pembicaraan orang yang kaku mengancam tanpa terasa laki2 itu menyurut mundur, katanya waspada.

   "Ya, begitulah, kau ...."

   Belum habis dia bicara, mendadak Sebun Tio-bu ter gelak2, serunya..

   "Baik sekali, kini boleh kau anggap kami berdua adalah kakekmu."

   Kedua orang itu seketika naik hitam, tapi belum lagi sempat mereka bertindak, Siang Cin tiba2 sudah mendahului.

   "blang", tubuh orang itu jungkir balik setombak jauhnya. Dikala telapak tangan kirinya melayang itulah, tangan kanan Siang Cin juga menggenjot laki2 yang lain sehingga menyemburkan darah dari mulutnya. Dalam waktu yang sama Sebun Tio-bu, melejit tinggi ke atas. sekaligus kaki tangan bekerja, empat musuh telah dirobohkan, empat orang yang masih hidup menjerit ngeri, dua di antaranya menubruk ke arah Sebun Tio-bu, seorang menerjang Siang Cin, dan seorang lagi lari sipat kuping menuju ke pintu gerbang terus hendak menarik sebuah gelang hitam yang tergantung di atas pintu. Mendadak kampak besar yang kemilau membacok kepala Siang Cin, tapi Siang Cin berkelebat maju memapak, kedua kakinya terayun, sekali pancal, menyusul tubuhnya melejit ke sana, berbagai gerakan ini dilakukan secara serentak, dikala orang roboh 228 terbanting sebat sekali Siang Cin sudah melayang jauh ke sana dan tiba di samping laki2 yang hendak menarik gelang hitam di pinto gerbang. Seperti cakar iblis telapak tangan Siang Cin tahu2 membabat, kepala laki2 itu kontan menggelinding jauh ke sana, darah menyembur dari lehernya yang putus, sekali depak mayat tanpa kepala itu ditendang roboh oleh Siang Cin. Dalam pada itu, kedua laki2 yang menubruk ke arah Sebun Tio-bu juga telah dibinasakan, cara kematian kedua orang ini sama, leher mereka bolong sebesar kepalan tangan. Dari mulai sampai kesepuluh orang itu menggeletak binasa hatinya berlangsung dalam waktu yang amat singkat. Dengan menyeringai Sebun Tio-bu menggosok kedua telapak tangannya. katanya.

   "Cepat juga, ya?"

   Siang Cin mengangguk serunya.

   "Hayo kita terjang ke dalam."

   Sebun Tio-bu lantas menggedor pintu sekerasnya, teriaknya.

   "Buka pintu, lekas ada perintah khusus dari Toa-thauling."

   Malam sunyi, maka suara gedoran terdengar keras sekali, dengan cepat daun pintu besi yang tebal dan berat itu lantas terbuka pelan2. Dari celah2 pintu yang terbuka sedikit menongol keluar seraut wajah kurus, teriaknya tak sabar.

   "Ada urusan apa? Malam buta begini ber-kaok2 bikin geger saja."

   Kedua jari Siang Cin sekeras ujung tombak secepat kilat menjojoh leher laki2 muka kurus itu, dengan leluasa Siang Cin lantas seret keluar tubuh orang serta melemparkannya ke belakang.

   Sebun Tio-bu terus menyelinap masuk, sorot matanya yang tajam mendapatkan di belakang pintu besar adalah sebuah kamar jaga persegi seluas satu tombak lebih, di dalam kamar terpasang enam buah lampu kaca, ada empat laki2 di dalam kamar, dua di antaranya rebah bermalas-malasan di atas dipan, dua orang lagi duduk berhadapan sedang bermain kartu, dari cara mereka yang asyik memperhatikan pada permainannya, se-olah2 jiwa sendiripun berani dipertaruhkan.

   Begitu menyelinap masuk Sebun Tio-bu lantas angkat tangan seraya menyapa.

   "Haha, senang betul kalian, sebaliknya kami yang harus bekerja berat dari fajar sampai malam gelap, sungguh menyebalkan,"

   Kedua laki2 yang tengah berjudi itu tanpa menoleh, satu di antaranya yang menang bersuara kemalas2an.

   "Mau periksa penjara lagi? Sialan, memangnya bui gelap gulita 229 seperti neraka ini jauh lebih penting daripada penjara di kota raja, sehari semalam berapa kali diadakan pemeriksaan, bukankah hanya beberapa keparat saja yang disekap di sini?"

   Sambil tertawa Sebun Tio-bu berkata.

   "Tapi jika terjadi sesuatu yang tidak beres, memangnya kalian dapat berbuat apa di sini?"

   Merasakan jawaban yang kurang sedap orang yang bicara itu menoleh, ia jadi melenggong tanyanya kemudian.

   "Eh, ,siapa kau? Kita belum pernah melihatmu ...."

   Dalam pada itu Sebun Tio-bu sempat menjelajah keadaan kamar batu ini, Ruangan yang sumpek ini di bagian dinding sebelah kanan terlihat ada guratan pintu yang biasa dikerek turun-naik, maka dia menyeringai dingin, katanya.

   "Siapa bilang kau pernah melihatku? Tuan besarmu memang baru pertama kali ini kemari."

   Seorang lagi segera berjingkrak bangun, serunya gusar.

   "Hai, kau ini anak buah Thauling yang mana? Bicaramu kenapa begini angkuh? Maknya, mau periksa bui saja harus bertingkah segarang ini?"

   "Sudah tentu,"

   Ujar Sebun Tio-bu sambil tertawa.

   "kini tugasku yang utama adalah mengantar kematianmu."

   Keruan kaget orang itu, teriaknya;

   "Apa, apa kata mu?" ... Kedua tangan Sebun Tio bu bergerak melingkar terus ditarik pelan2 dan didorong, serangkum tenaga lunak yang tidak kelihatan mendadak menyambar, kontan laki2 itu mencelat, kepalanya menumbuk dinding dan roboh binasa dengan kepala remuk. Keruan teman judinya itu terkesima saking ngeri, ia ingin berteriak tapi suara tidak dapat keluar saking panik.

   "Kau ... .mat ....mata2.."

   "Peletak", tangan kanan Sebun Tio-bu menggenjot dada orang, suara tulang patah dan remuk menusuk pendengaran dalam suasana yang sepi ini sehingga dua orang yang rebah di dipan melompat kaget sambil kucek mata, mereka celingukan dengan bingung, tapi sebat sekali Sebun Tio-bu sudah melompat tiba, tanpa ampun kedua laki2 yang tersentak dari tidurnya kontan menjerit dengan tubuh terkulai dan tak bernyawa lagi. Dalam pada itu Siang Cin telah menyelinap masuk serta merapatkan pintu, langsung dia menghampiri alat rahasia di tembok sana, katanya dengan mengedip mata.

   "Tangkeh, kenapa tidak kau taya dulu cara membuka pintu rahasia ini."

   Sebun Tio bu diam saja, sesaat baru bersuara setelah berpikir.

   "Kita gempur dengan kekerasan saja."

   Siang Cin tertawa, katanya.

   "Mungkin akan terlalu banyak membuang tenaga." 230 Sebun Tio-bu berkata tak acuh.

   "Apa boleh buat, Siang-heng, marilah kita bergiliran, aku mulai lebih dulu, setelah lelah nanti ganti kau yang menggempur."

   "Bolehlah,"

   Ucap Siang Cin tertawa.

   "mumpung ada kesempatan, aku ingin menyaksikan kekuatan Tay-lik-kim-kong-ciang Tangkeh yang menggemparkan dunia persilatan itu."

   Codet di muka Sebun Tio-bu mendadak bersemu merah, katanya dengan sikap kereng. Orang she Sebun selamanya tidak ber-muka2, Siang heng boleh kau saksikan."

   Mendadak dia melompat maju, kedua tangannya menghantam sekaligus, pintu batu tebal itu seperti ditimpa godam raksasa, maka menggelegarlah suara keras.

   
Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Di tengah getaran keras pintu batu tampak bergoyang, kerikil debu beterbangan, Sebun Tio-bu kembali susuli pula dengan pukulan kedua, kembali terjadi goncangan keras, beruntun melancarkan belasan pukulan berat baru Sebun Tio-bu menyurut mundur, keringat tampak membasahi ujung hidung dan pelipisnya, setelah menarik napas dalam2 akhirnya dia berkata sambil menggosok tangan.

   "Siang-heng, kini giliranmu."

   Pintu batu yang tebal di jepit diantara batu2 gunung yang kukuh itu kini sudah tak keruan bentuknya seperti habis digempur oleh kampak, batu tebal yang semula rata kini tampak melesak ke dalam, rontokan batu tampak memenuhi lantai.

   Tay-lik-kimkiongciang yang dilontarkan Sebun Tio-bu memang dahsyat dan tak bernama kosong.

   Siang Cin tersenyum, katanya.

   "Tangkeh, Tay-lik-kim-kong-ciangmu ini mengutamakan kekerasan, mungkin Cayhe tidak memiliki kekuatan se hebat mu"

   "Siang-heng,"

   Iekas Sebun Tio-bu berkata.

   "bukan saatnya bicara sungkan, silahkan kau turun tangan saja, setelah istirahat nanti kuganti menggempurnya pula ...."

   Sambal berteriak, air muka Sang Cin tampak beringas, di tengah teriakan keras itu secepat kilat seperti beradu cepat sekaligus dia telah melancarkan berpuluh kali pukulan, begitu cepatnya pukulan ini sehingga orang sukar menghitungnya.

   Di tengah suara gemuruh disertai debu pasir beterbangan, pintu batu yang tebal itu ternyata tergempur hancur dan runtuh, tanpa bicara segera Siang Cin menyelinap masuk ke sana.

   "Jik sia-ciang yang hebat!"

   Sera Sebun Tio-bu kagum.

   Di kala melayang masuk itulah kuping Siang Cin mendengar suara gemuruhnya alat rahasia yang bekerja, Sekilas matanya menjelajah, seketika hatinya mengeluh, ribuan ujung panah ternyata tengah berhambur memapak tubuhnya dalam lorong yang sempit seluas beberapa kaki, anak panah ini memberondong keluar dari lubang bumbung besi yang terbenam merata di dinding, ujung panah memancarkan cahaya biru tanda 231 mengandung racun jahat.

   Segera terdengar teriakan Sebun Tio-bu di belakangnya memperingatkan.

   "Awas panah beracun, lekas menyingkir."

   Gemeretak gigi Siang Cin, air mukanya kembali berubah kelam, se-konyong2 ia melambung tinggi keatas, kedua kaki memancal, begitu keras dan kencang pukulan telapak tangannya sehingga hawa udara dalam lorong berderai seperti luber.

   Maka ramailah suara denging anak panah yang berhamburan patah dan hancur, kiranya ratusan anak panah yang sama ditujukan ke satu sasaran dalam waktu sesingkat itu telah hancur luluh banyak pula yang berkisar arah oleh damparan angin pukulan yang dahsyat itu.

   Di tengah gelak tertawanya Sang Cin terus melesat maju dan hinggap di depan sebuah pintu besi warna hitam, di tengah bentakannya yang menggelegar kembali ia menggempur lagi.

   Entah bagaimana kejadiannya, mungkin pukulannya menyentuh tombol alat rahasia sehingga menimbulkan dering keliningan yang gencar di mana2, begitu dering kelintingan berbunyi, dari balik pintu besi itu se-konyong2 melesat keluar bacokan sebuah golok melengkung yang panjang dan besar.

   Untung Siang Cin cukup waspada dan keburu mengegos, tapi dalam detik itu pula golok melengkung yang panjang tebal itu membal balik, dan lenyap di balik pintu Keruan Siang Cin meraung dongkol.

   Di tengah bentaknya kembali dia menerjang maju, dalam sekejap saja, Jik-sin-ciangnya kembali ratusan kali menggempur pintu besi tadi.

   Lambat laun daun pintu besi itu tampak bergeming dan akhirnya bergoncang keras dengan mengeluarkan suara gemuruh, golok tebal melengkung yang terselip di sela2 pintu tahu2 membacok keluar pula, kali ini Siang Cin sudah siap, pada waktu golok itu membacok keluar, sebat sekali dia mendahului melompat mundur, ketika golok melenting balik itulah beruntun Jik-sik-ciang juga menggempur pintu besi.

   Pada gempuran berikutnya daun pintu besi itu akhirnya semplak dan ambruk, dikala golok yang dipasangi pegas itu membacok pula, Siang Cin kerahkan sisa tenaga pukulannya, dia bikin golok itu patah dan tidak bekerja lagi.

   

Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan -- Hong San Khek Rahasia Iblis Cantik -- Gu Long Si Racun Dari Barat -- Jin Yong

Cari Blog Ini