Ceritasilat Novel Online

Bara Naga 2


Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 2




   Bara Naga Karya dari Yin Yong

   
Sejenak An Lip melenggong, mendadak ia berteriak.

   "Sekalipun dia menjadi pelacur murahan juga selamanya aku tidak akan melupakan dia."

   Se-konyong2 Siang Cin merasa kepalanya menjadi pusing. beberapa patah kata orang terasa pedas dan menusuk sanubarinya. Dengan tajam dia tatap laki2 yang lahiriah kelihatan kasar itu dengan suara pelahan ia bertanya.

   "Kenapa?"

   An Lip menelan liur, sedikit gagap dan tersengal, tanpa ragu dia berkata.

   "Bila engkau mencintai seseorang sepenuh hati, cinta yang murni dan suci pasti takkan luntur, apapun yang pernah terjadi tak perlu dipertimbangkan lagi."

   Sekian lama Siang Cin terlongong, katanya lirih.

   "Baik saudara, akan kubantu rebut kembali bakal isterimu."

   Saking haru dan senang, bergemetar badan An Lip, mulutnya terpentang, katanya. 15 "Betul? Tapi .... tapi Inkong, itu berarti kau harus menyerempet bahaya dan bermusuhan dengan Siang gi pang ....."

   Siang Cin tertawa pongah, katanya.

   "Memangnya kenapa, masa si Naga Kuning Siang Cin tidak mampu menghadapi para kurcaci Siang-gi-pang itu? Lalu bagaimana anggapanmu?"

   Lekas An Lip geleng kepala, katanya bingung.

   "Tidak Inkong, bukan begitu maksudku, aku hanya mengira ..... demi persoalanku seorang apakah perlu sampai menimbulkan keonaran besar .....

   "

   Siang Cin menarik napas, katanya tawar.

   "Kalau kurasa perlu, maka hal itu pasti cukup berbobot."

   Bergolak darah di rongga dada An Lip, beribu kata ingin dia utarakan, maksud hati yang tak terbatas ingin dia tuturkan, tapi terlalu banyak dan luas, terlalu tebal untuk dicairkan dalam sekejap ini, kecuali mencucurkan air mata tak kuasa dia mencurahkan isi hatinya.

   Api pelita di atas meja ber-goyang2, sinarnya yang kelap kelit terasa seram, bayangan kedua orang di sisi rumah memanjang di dinding sampai ke tanah.

   Mereka tiada yang buka suara lagi, biarlah suasana hening lelap ini mencekam keadaan, tapi di dalam kesunyian ini, keduanya merasakan adanya saling pengertian dan ketulusan antar sahabat.

   Siang Cin berkedip, katanya.

   "Kalau letih boleh saudara istirahat saja di atas kursi, aku akan keluar melihat keadaan."

   An Lip tersentak kaget, katanya sambil mengawasi tajam.

   "Keadaan? Inkong, memangnya ada sesuatu yang tidak beres? Keadaan sekeliling terasa tenang dan tenteram .....

   "

   Sembari berdiri Siang Cin menggeleng, katanya.

   "Justeru terasa tidak aman, kudengar suara lambaian pakaian yang tertiup angin serta daun kering yang terinjak kaki, ada beberapa orang tengah berlari ke mari. jumlahnya cukup banyak."

   Jantung An Lip seketika berdebur, katanya tegang.

   "Mungkinkah, mungkinkah orang2 Siang-gi-pang memburu kemari?"

   Sejenak berpikir, Siang Cin menyabut.

   "Mungkin saja, tapi tidak jadi soal."

   Sekuatnya An Lip himpun tenaga dan menarik napas, ia hendak meniup padam pelita di atas meja, cepat Siang Cin mencegah.

   "Biarkan lampu tetap menyala, saudara, aku senang akan sinar pelita yang remang2 hening ini."

   Dengan rasa heran An Lip berpaling mengawasi Siang Cin, sungguh dia tidak habis mengerti dan sukar menyelami kenapa laki2 yang disegani kaum persilatan ini sekarang melakukan tindakan yang melanggar kebiasaan Kangouw umumnya tapi hanya sekejap itu, dikala dia dengar suara kesiur angin dan berpaling itulah, dalam rumah sekarang hanya tinggal dia seorang diri.

   Bukan melalui pintu, juga tidak lewat jendela yang setengah terbuka, tapi Siang Cin telah melam bung ke atas belandar, di atas belandar ada sebuah keranjang bambu yang dapat digeser dan bergerak bebas, dari lubang keranjang di atap rumah inilah dia menerobos keluar.

   Menjelang fajar, hawa terasa dingin menusuk tulang.

   Begitu keluar dan mencapai wuwungan, Siang Cin lantas mendekam diam tak bergerak.

   Alam gelap gulita, hening lelap, hanya suara keresakan daun pohon yang dihembus angin, manakala hari hampir terang tanah, alampun terasa menjadi lebih gelap, umumnya tidur manusia pada waktu itupun lebih nyenyak.

   Sebuah bayangan samar2 tampak berkelebat, selincah kucing, seenteng burung walet dia berlompatan hinggap dipagar bambu di atas jembatan, di belakangnya menyusul dua bayangan orang pula, kedua bayangan ini lantas terpencar ke sisi rumah, pelita dalam rumah tetap menyala, sinarnya terasa tenang, suasana terasa mantap.

   Kecuali tiga orang yang berkelebat datang dengan gerak-gerik sembunyi2, menyusul datang pula seorang yang berlenggang seperti tuan besar, langsung menuju ke atas jembatan bambu, lalu tampak sesosok bayangan lain, langkahnya lembut teratur dan 16 sopan mengikut dibelakangnya.

   Bayangan orang yang bersikap congkak ini membalik, dengan hormat dia menjura kepada bayangan lembut dan sopan itu, lapat2 kelihatan bayangan lembut sopan itu adalah seorang pemuda berusia likuran tahun, jubahnya serba biru, dandanan perlente ini lebih mirip anak seorang bangsawan.

   Pemuda itu tampak memberi anggukan kepala kepada orang di depannya, maka orang itu beranjak pula dengan langkah yang pongah, kiranya dia memang kepala besar, kepalanya yang gede itu bila diukur pasti tidak lebih kecil daripada kepala keledai, tiba di ujung jembatan segera dia pentang mulut memperdengarkan suaranya yang seruk keras bagai gembrang.

   "Perhitungan lama di Sia-mo-nia harus diselesaikan, orang she Siang, payah juga Sin-losu mencarimu."

   Suara orang itu serak sumbang, logatnya sukar dimengerti, suaranya terdengar seperti bunyi pasir yang rontok menusuk telinga, kedua membusung tangannya bertolak pinggang, perutnya yang gendut itu mirip perut babi.

   Siang Cin mendekam di atas wuwungan mengerut kening, diam2 ia menghela napas, tanpa suara pula dia melayang turun dari atap rumah bagai bayangan setan pelan2 mengapung turun ke depan laki2 tambun itu.

   Begitu bayangan muncul, seperti membawa bau anyirnya darah, si kepala besar memancarkan sorot matanya yang masih ngantuk, sikapnya yang pongah tadi seketika lenyap, tanpa disadari dia menyurut mundur tiga tindak, jembatan bambu yang terinjak kakinya sampai berkeriut hampir patah.

   Ujung mulut Siang Cin menyungging senvuman aneh yang mencemooh, lengan jubahnya yang gondrong kuning mengebas, katanya dengan nada tawar seperti biasa.

   "Sin-suya, dunia ini rupanya cuma sebesar daun kelor, tak nyana kita bertemu pula di sini."

   Muka babi Sin-suya itu tampak pucat lesi, kulit daging pipinya tampak mengencang, bola matanya yang mirip mata kura2 mendelik, ter sipu2 dia membetulkan letak jubahnya yang kesempitan membungkus badannya yang gendut, katanya sambil menyegir.

   "Orang she Siang, dirodok kau, hakikatnya aku tiada permusuh apa2 dengan kau, urusanku dengan Kik Cu hong dari Tay hian pay di Siau-mo-nia kan tiada sangkut pautnya dengan kau, tapi kau mencampuri urusanku, bukan saja memunahkan Kungfu dua saudara angkatku, kau bikin aku kehilangan tempat berpijak di Siau-mo-nia, perhitungan ini orang she Siang, terserah bagaimana kau hendak membereskannya padaku."

   Seperti sedang mengingat2 Siang Cin menengadah, katanya kemudian.

   "Kik Cuhiong dari Tay-hian-pay ada hubungan intim denganku, dulu gurunya pernah berdampingan denganku memukul mundur delapan belas Lama kasa merah di perbatasan Tibet, maka tak mungkin aku berpeluk tangan melihat Sin-suya bertiga mengeroyok dia seorang, terpaksa kubantu dia sekadarnya."

   Saking murka daging tubuh Sin-suya tampak bergetar, raungnya.

   "Membantu sekadarnya? Memangnya makmu yang suruh kau sekaligus menamatkan jiwa dua saudaraku?"

   Pancaran sinar mata Siang Cin yang semula bening tiba2 berubah dingin tajam, suaranya bernada mengancam.

   "Sin-losu, dikalangan Kangouw kau memperoleh gelar Tho-san-sin, sudah sekian tahun kau malang melintang di Kangouw, seharusnya kau juga paham apa akibatnya berani kau bertingkah di depan Naga Kuning."

   Seperti dikemplang tongkat besi Sin-losu menyurut mundur, baru saja mulutnya terpentang mau bicara, pemuda yang sejak tadi berdiri di seberang jembatan sana tiba2 tertawa lebar, katanya menimbrung.

   "Menyaksikan sikapmu yang gagah dan congkak ini, maka tahulah aku bahwa saudara tentu si Naga Kuning Sang Cin adanya."

   Terangkat alis Siang Cin, suaranya tetap tawar.

   "Mana berani, setelah kulihat lagakmu ini, akupun lantas tahu bahwa kau ini Giok-mo-cu (iblis kemala ) Keh Kisin." 17 Pemuda yang berpakaian ketat warna biru tua itu memang benar adalah Giok-mo-cu Keh Ki-sin yang baru muncul tiga tahunan di daerah Thian-lam. Dia murid didik Singkok- bun di Thian-lam, belakangan dia berguru pula pada jago kosen nomor satu di perbatasan Hun-lam Hoan-jit-kiam-khek Han Siau-kan, Setelah lulus dari perguruan dia angkat saudara dengan It-tiau-tay Mo Kim, Cengcu dari Gih-tay-ceng yang kenamaan di Bu-lim, malah adik Mo Kian yang masih perawan Mo Hun-cu telah main cinta dengan Giok-mo-cu yang kabarnya pernah merobohkan Tiam-jong-ngo-eng (kelima jagoam Tiam-jong-pay), menurut kabar yang tersiar di kalangan Kangouw sejak lulus perguruan dan berkelana di Bu-lim Giok-mo-cu belum pernah menemukan tandingan. Giok-mo-cu Keh Ki-sin tertawa lantang, katanya.

   "Pandangan saudara memang tajam, julukan Naga Kuning ternyata tidak bernama kosong."

   Siang Cin mendengus, katanya.

   "Sin-suya, malam begini gelap, hawa dingin lagi, jauh2 Suya meluruk kemari, memangnya kau mau bikin perhitungan lama di Siaumo- nia dulu?"

   Sin-suya berkecek mulut, matanya mengerling ke arah Giok-mo-cu Kch Ki-sin tanpa berani memberi komentar, maka Giok-mo-cu tertawa, katanya kalem.

   "Memang begitulah menurut pendapatku."

   Mendadak Siang Cin tertawa juga, katanya kepada Keh Ki-sin.

   "Saudara, kau datang untuk membantu Sin-suya?"

   Wajah Giok mo-cu menyungging senyuman ramah, katanya mengangguk.

   ""Betul, seperti pula waktu saudara membantu Kik Cu-hong dari Tay hian-pay di Sian-mo-nia dulu."

   Dengan tak acuh Sang Cin mengebaskan lengan bajunya, katanya.

   "Saudara Keh, tahukah kau, selama tiga tahun ini, tidak mudah kau mengejar nama dan mengangkat gengsi?"

   "Sudah tentu aku tahu,"

   Sahut Koh Ki-sin tertawa. Siang Cin menepekur sejenak sambil menengadah, katanya.

   "Kau tahu apa akibat dari sikapmu yang temberang ini?"

   ""Sudah tentu,"

   Sahut Koh Ki-sin sambil manggut.

   "Baiklah, Cukup sampai di sini peringatanku, sebabai seorang pandai, kuharap kau tidak melakukan tindakan bodoh, sekarang kalau kau ingin mengundurkan diri masih kuberi kesempatan ....

   "

   Senyum lebar yang menghias muka Keh Ki-sin seketika lenyap, desisnya.

   "Siang Cin, sejak hari ini, tidak akan ada tempat berpijak lagi dalam Bu-lim untukmu, sampaikan saja kotbahmu kepada bini di rumahmu."

   Sin-suya ter-loroh2 geli, serunya.

   "Orang she Siang, jangan di sini kau memupur wajahmu sendiri, nanti kupenggal kepalamu dan kujadikan bola untuk main tendangan."

   Diam saja Siang Cin, pandangannya menjelajah keempat penjuru, katanya.

   "Sinsuya, ingatlah, turun tangan harus cepat, laksana meteor melanglang angkasa."

   Seperti tersengat Sin-suya menghentikan tawanya, cepat ia bergerak, tahu2 ia mengeluarkan sebilah Siang-jin-jan (pacul dua muka) sepanjang dua kaki, matanya yang sipit sebesar kacang tampak mendelik menatap Siang Cin, Mundur selangkah Siang Cin berkata.

   "Musim rontok adalah musimnya daun pohon rontok ....ucapan "rontok"

   Terulur memanjang bergema di angkasa, belum lagi gema suara ini lenyap, bayangan telapak tangan tiba2 menyambar ke arah Sin-suya, cepatnya bagai halilintar.

   Menggerung keras bagai kerbau gila, dengan sigap Sin-suya berkelit, meski tambun badannya, tapi selicin belut tiba2 dia berkisar lima kaki jauhnya, paculnya yang mengkilap berputar membawa sinar panjang bagai rantai menggulung maju, tapi bayangan telapak tangan lawan mendadak menciut, bagai iblis tahu2 menyelinap masuk ke tengah lingkaran pacul yang diputar kencang itu.

   18 Giok-mo-cu Keh Ki sin tertawa dingin, mendadak dia menyergap maju, jelas dia melihat bayangan kuning angsa ada di depannya, tapi belum lagi dia sempat menyerang, deru angin telapak tangan yang maha kuat tahu2 sudah menyerampang tenggorokannya dengan cepat dan setajam golok.

   Kedua tangan Keh Ki-sin membalik, ia melancarkan pukulan yang aneh, tapi kupingnya sempat mendengar suara "bret", suara kain pakaian yang robek, diiringi jeritan Sin-losu.

   "Kunyuk kurangajar, kau memang keji ...."

   Belum lagi raungan Sin-suya buyar, bayangan pukulan telapak tangan tahu2 sudah menyambar lewat pipi Keh Ki-sin, sampukan anginnya yang tajam serasa mengiris pipi Keh Ki-sin tujuh kali.

   Sudah tentu jantungnya berdetak keras, diam2 Keh Ki sin mengumpat, gerak tubuh apakah ini? Ilmu pukulan telapak tangan apa pula? Kenapa begitu cepat? Mungkinkah manusia dapat mencapai gerak cepat yang luar biasa ini? Keh Ki-sin mengertak gigi, mendadak dia melompat menyingkir, tapi begitu dia menyingkir, sebat sekali dia melejit balik pula, pulang-pergi ini dilakukan hampir dalam waktu yang sama, berbareng sebilah pedang tajam yang memancarkan cahaya warna-warni, bagai pelangi yang menyorot turun dari tengah angkasa, dengan cepat luar biasa menusuk lurus ke arah Siang Cin.

   Bayangan kuning tampak berkelebat memutar mengiris ke cahaya warna-warni pedang tajam itu, belum sempat Keh Ki-sin melanjutkan jurus kedua, bayangan telapak tangan yang berada tahu2 sudah menempel pakaiannya, saking kejut lekas dia menjengking ke belakang sekuatnya, tak urung dia tetap terdorong dua langkah oleh tenaga pukulan lawan itu.

   Pacul dua muka Sin-suya segera menyerampang dari samping, mata paculnya yang tajam kemilau, terasa dingin, keadaan Sin-suya yang lengan baju kirinya sukah koyak itu amat runyam, keadaannya lucu dan menggelikan, dengan menggreget dia ingin menelan bulat2 lawannya baru terlampias dendamnya.

   Kelam rona muka Siang Cin, kedua tangan menepuk sekali, tiba2 ia bergoyang ke kiri-kanan sehingga pacul dua muka itu menyamber lewat, berbareng sebelah tangan seperti tak acuh dan menyongsong dada Sin-losu yang gembur penuh daging berminyak itu.

   Melengking keras jeritan kaget Sin-losu, sekuatnya dia berusaha menggelinding ke samping, tak urung kulit daging pundak kanannya laksana dipapas tajam golok, darah muncrat keluar dari kulit dagingnya yang terbeset.

   Dengan sebat sekali kembali Siang Cin menghindarkan libatan sinar pedang warnawarni yang menggulung tiba, malah sempat pula dan melontarkan cemooh kepada Sin-losu.

   "Suya, tahanlah kesabaranmu." -- Di tengah berkata itu, sekaligus ia melakukan tujuh belas kali pukulan jarak pendek yang luar biasa, selintas pandang dia hanya sekali menggerakan tangannya, sasarannya menepuk punggung pedang Keh Ki-sin, tapi kenyataan Keh Ki-sin sendiri merasakan batang pedangnya bergetar tujuh belas kali sampai lengannya terasa kemeng, sementara pukulan telapak tangan terakhir lawan tahu2 sudah menyelonong menggempur batok kepalanya. Menghadapi serangan kilat ini, cepat2 Giok mo cu gunakan ujung pedangnya menutul tanah, tubuhnya bertolak mundur kebelakang, didengarnya Sin losu tengah mencak2.

   "Hayo kawan2 maju semua, ganyang durjana ini!"

   Seiring dengan aba2nya, dari kolong jembatan sesosok bayangan tiba2 melompat keluar, selincah kucing tiba2 menerkam, dengan senjata bernama Ci-kim-to (golok tebal) di tangannya membawa sejalur sinar dingin segera membacok.

   Bayangan kuning muda kembali berkelebat kurang jelas cara bagaimana jadinya.

   "Trang", tahu-tahu Ci-kim-to mencelat ke udara, sementara bayangan tubuh itu seperti ingin berlomba kecepatan, diiringi jeritan yang menyayat hati ikut mencelat terbang ke udara, darah menyembur deras dari mulutnya. Dari dua sisi rumah kembali menerjang keluar dua bayangan orang, hampir dalam waktu yang sama pula dari seberang jembatan bambu ber-turut2 jaga muncul empat puluhan orang yang bersenjata lengkap, cahaya warna-warni kilauan pedang kembal 19 menderu tiba, otak Siang Cin bekerja cepat, sesekali dia melejit ke depan rumah, di sana didengarnya Sin-suya lagi ber teriak2.

   "Sin-losu bersumpah kepada ibubapaknya kalau kali ini tak bisa membabar akar orang she Siang, kita takkan berkecimpung lagi di Kaugouw. Hayo gasak, bakar juga rumahnya!"

   Dalam kegelapan cahaya pedang warna-warni itu tampak menyolok, hawa pedang yang tajam kembali berhamburan, Siang Cin berkelit beruntun sembilan kali, mautidak- mau dia harus memuji kehebatan lawan.

   "Saudara Keh, Han Siau-kan ternyata tidak sembarang mengajarkan ilmu pedangnya padamu."

   Siang Cin tahu bahwa Giok-mo-cu Keh Ki-sin kini telah keluarkan keahlian ilmu pedangnya, Hoan-jit kiam-hoat.

   Bayangan empat puluhan orang bagai gelombang ombak samudera mendampar tiba, yang datang mendahului adalah lima orang laki2 setengah umur yang berperawakan kurus tinggi laksana galah, sekilas pandang Siang Cin lantas menyambut mereka dengan tertawa lebar.

   "Ngo-heng-ciok-cu, permusuhan kita agaknya sukar diakurkan."

   "Cis!"

   Laki2 paling depan yang berjenggot pendek berludah, gada ditangannya menari memenuhi udara, serunya.

   "Siang Cin, hari ini kau mengaku kalah saja."

   Siang Cin tidak menanggapi, sebat sekali ia menerjang keluar cahaya pedang warna-warni terus membuntuti gerakannya, tapi tiga-empat bayangan orang belum lagi sempat berteriak tahu2 sudah jungkir balik sejauh beberapa kaki.

   Senjata tampak bersimpang siur dengan kilauan cahayanya yang serabutan.

   bayangan orangpun saling terkam dan tubruk, dalam sekejap itu, tujuh delapan jiwa kembali melayang direnggut maut.

   Tiba2, selarik sinar merah menjulang tinggi ke atas, lalu diiringi ledakan yang cukup keras disertai percikan api yang terus berkobar menjilat apa saja yang gampang terbakar.

   Sekali tempeleng Siang Cin bikin laki2 berikat kepala hitam terbanting mampus dengan kepala pecah, sekilas melirik ke sana, dilihatnya rumah bambu yang mungil kesayangannya itu sudah dijilat jago merah, asap yang mengepul tinggi semakin membara sehingga alam sekeliling yang semula gelap menjadi terang benderang.

   Bibirnya terkancing rapat, sebat sekali dia menggenjot tubuh, ia meluncur ke sana, tapi cahaya pedang warna-warni itu masih terus membayanginya.

   Waktu Siang Cin tiba di depan rumahnya hawa panas cukup membuat sesak napas manusia, sesosok bayangan orang sejak tadi sudah mendekam di sana, kini mendadak dia melejit maju sambil ayun sebatang Liang-gin-kau (ganco perak bercahaya) mengincar perut Siang Cin.

   - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -- Siapakah dan apa latar belakang pembakaran rumah bambu Siang Cin ini? Bagaimana nasib Kun Sim ti dan An Lip masih berada di dalam rumah itu? 20

   Jilid 02 Perhatian Siang Cin ditujukan untuk memadamkan api, dalam keadaan kepepet tanpa siaga, tak ada peluang baginya untuk berkelit, apabila berkelit berarti membuang waktu, se-olah2 tangan kirinya memang sejak tadi sudah mencengkeram ujung ganco perak lawan, tahu2 dia seret laki2 yang menyergap ini, mulutnyapun menyeringai seram.

   "To ciok-cu, serahkan saja jiwamu."

   Pembokong dengan ganco perak ini memang salah satu dari lima laki2 kurus tinggi yang berjuluk Ngo heng-ciok-cu tadi, dia orang nomor empat dari kelima Ngo-heng yang bergelar To-ciok-cu Phoa Lik, saking kaget dan ketakutan, baru saja dia hendak melempar senjatanya, tahu2 jiwanya sudah melayang, batok kepalanya dikepruk hancur oleh Siang Cin.

   Baru saja Siang Cin hendak menerobos masuk, hawa pedang berwarna-warni itu menyambar pula ke seluruh badannya, situasi yang dia hadapi kini cukup jelas, jika dia balik menghadapi Hoan-cit kiam hoat Keh Ki-sin, itu berarti dia akan tertahan dan membuang waktu, bila dia langsung menerjang ke dalam rumah yang sudah terjilat api, akibatnya cicinya pasti akan cidera.

   Pikiran bekerja dengan cepat, Siang Cin segera mengambil keputusan, gerakannya tetap kencang dan tak berhenti, ia tetap meluncur maju, sesaat sebelum badannya terjun ke tengah kobaran api, dikala badannya, masih terapung dan menarik diri itulah, dia merasakan sakit di bawah ketiaknya, tapi beberapa jurus pukulannya juga telah di lontarkan dalam waktu sesingkat itu, dengan telak iapun merasakan telapak tangannya mengenai sesuatu yang keras, tak sempat dia perhatikan, tapi dia tahu bahwa dia sudah mendapat imbalannya.

   
Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Gubuk bambu yang dibangun serba sederhana dan mungil ini, kini sudah ditelan si jago merah, asap mengepul dan api menjilat kian kemari suara bambu yang dimakan api berkretekan menyebabkan Siang Cin kebingungan dan tak bisa membuka mata karena pedas oleh asap yang tebal.

   Dua putaran Siang Cin lari kian kemari di tengah lautan api sambil berteriak sepertiorang gila.

   "Cici ....bibi Ciu ....An Lip ...."

   Jawabannya adalah suara bambu pecah yang terjilat api, suara wuwungan gubuknya yang mulai ambruk, sementara di luar orang ber teriak2 mencaci maki dengan sengit.

   Sejak malang melintang di Kangouw Siang Cin tak kenal, gugup atau gelisah, tak pernah merasa tegang dan kuatir, reaksi di kancah pertempuran besar yang menimbulkan banjir darah, di tengah malam buta di tanah pekuburan yang sepi menyeramkan, di tengah kepungan musuh yang ber-lapis2, tak pernah ia merasa tegang, gugup dan gelisah, tapi sekarang, dalam sekejap ini, dia telah meresapi, dia paham-betapa pahit getirnya pengalaman seperti ini.

   "Cici ....oh ....cici ...."

   Seperti orang gila dia menerjang ke belakang, dimana adalah kamar tidur Kun Sim-ti, tiang yang telah terjilat api, kebetulan runtuh menimpa kepalanya, sekali pukul dia bikin tiang itu mencelat menjebol atap, tanpa pedulikan api yang menyambar kian kemari, tanpa hiraukan api sudah mulai menjilat badannya, seperti kehilangan ingatan dia terus menerjang masuk, dilihatnya Kun Sim-ti telah rebah di lantai, pakaiannya yang bersih itu kini sudah berlepotan darah, dinding hangus yang telah berkobar kebetulan runtuh hampir menindih badannya.

   Mata sudah membara, laksana diburu setan, sekuatnya ia menubruk maju, begitu 21 cepat sehingga sukar melukiskan gerakannya, sesaat sebelum dinding bambu yang ambruk hampir menindih badan Kun Sim-ti, dengan punggung dia tahan dinding bambu yang terbakar itu, sekilas ia melihat An Lip yang telah terjilat api tengah berguling2 di lantai, laki2 kekar ini lagi mencekik leher seorang laki2 besar berbaju putih, laki2 baju putih ini sudah mendelik matanya, lidahnyapun terjulur keluar, rambutnya sudah mulai di jilat api, sementara badiknya menembus dada An Lip di bawah tulang pundaknya.

   Seluruh rumah sudah terjilat api, Siang Cin mengertak gigi, dengan tangan kanan memeluk Kun Sim ti, sedikit miringkan tubuh, tangan kirinya meraih leher baju An Lip, matanya menjelajah keadaan sekitarnya, di bawah penerangan api yang berkobar, hawa di dalam rumah sudah mencapai suhu yang paling tinggi, dilihatnya sepasang sepatu hitam terjulur keluar disebelah sana.

   "Bibi Ciu...."

   Ia berteriak.

   Tersendat suara Siang Cin, itulah mak inang yang mengasuh dan membesarkannya sejak kecil, sekian tahun berkelana di Kangouw, dengan bekal kepandaian yang tiada taranya ini, ternyata mak inang yang membesarkannya tak mampu dilindunginya.

   Sungguh pedih serta luluh hatinya.

   Akhirnya dia ambil putusan, dengan kedua tangan mengempit dua orang laksana panah yang menjulang ke angkasa dia terjang atap rumah yang ber kobar2 terus meloncat keluar, tujuh tombak tingginya dia meluncur meninggalkan kobaran api yang beterbangan diembus angin.

   "Hari belum terang tanah, cuaca masih gelap, badan Siang Cin yang masih berkobar itu menjadi sasaran pandangan yang jelas, maka hujan panahpun berhamburan ke arahnya dari berbagai penjuru, begitu kencang, rapat dan tak terhitung jumlahnya. Sedikit miring dan mendak, dengan cepat luar biasa badan Sang Cin anjlok turun ke bawah, kira2 masih tiga tombak dari tanah, tahu2 ia berkisar laksana baling2 sehingga tubuhnya doyong miring ke sana dan meluncur turun ke sungai.

   "Byuur", api yang menjilat tubuh mereka seketika padam mengepulkan asap dan lenyap diembus angin, di-tengah jerit kaget dan keheranan orang banyak, tiba2 dengan badan basah kuyup itu Siang Cin meluncur keluar dari air terus melompat ke daratan, belum lagi hinggap di tanah, kedua kakinya dengan tepat mendepak dada dua laki2 yang tengah mengayun golok di tepi sungai. Sesosok bayangan kurus tinggi tiba2 muncul, Kim-kung-tui (bandulan emas) sebesar kepala bayi menderu tiba, dengan rambut yang sudah awut2an, Siang Cin mengegos ke samping, bandulan emas itu menyempet lewat dalam detik2 yang singkat ini, sikut kiri Siang Cin menyodok telak lambung si penyerang.

   "Ngek", darah menyembur dan muncrat beterbangan, sambil merendahkan badan sebelah kaki Siang Cin terayun pula, empat laki2 yang menyerbu tiba kena disapunya jatuh lintang pukang dengan kaki "patah, semuanya menjerit kesakitan dan terguling2 di tanah. Meski kedua tangan mengempit dua orang, tapi gerak-gerik Siang Cin masih tangkas, lincah dan cekatan laksana pusaran angin, dalam sekejap mata, enam laki2 kembali terbaring tanpa nyawa, kalau bukan didepak pecah kepalanya, pasti tertendang remuk dadanya. Bayangan orang tampak berkelebat memburu datang, tapi darah korbannya mengalir semakin banyak, tubuh manusia gelimpangan tanpa nyawa, tapi mereka tidak merasa jeri, se-olah2 tak melihat dan mendengar, yang satu roboh, dua menubruk tiba, inilah lukisan nyata dari neraka, di mana jagal manusia tengah berlangsung. Tegang dan ketakutan Sin losu terbelalak kedua bola matanya, sungguh tak pernah dibayangkannya bahwa si Naga Kuning ternyata betul2 mempunyai kekuatan terpendam yang bukan olah2 hebatnya, tekad juangnya begitu gigih dan tak terpadamkan. Giok-mo-cu Keh Ki-sin tampak duduk di bawah pohon, wajahnya pucat pasi, napasnya ter-engah2 kedua tangan mendekap dada, butiran keringat dingin bercucuran, dengan suara lemah serak dia bertanya.

   "Su ....Suko, apa di depan sana? Sin-losu bergidik seram, suaranya tergagap.

   "Siang Cin ternyata tidak kabur......." 22 Berkilau sorot mata Giok mo cu, serunya.

   "Dia mampus?"

   Sin-losu menelan liur, sahutnya hambar.

   "Tidak ....dia.... dia menyerbu kembali dan banyak korban ......"

   "Huuuaaah,"

   Sekumur darah tertumpah dari mulut Keh Ki-sin, badan yang menggelendot itu seketika menjadi lunglai, lekas Sin losu memburu datang, sekilas bola matanya jelilatan, lalu dia membanting kaki penuh kebencian, mendadak ia berkelebat ke dalam kegelapan, dikala Sin-losu ngacir ...

   yang terjadi..itulah, satu di antara Ngo heng ciok cu kembali terjungkir balik sejauh dua tombak.

   Se konyong2 seorang menjerit melengking.

   "Mana Sin-suya? Mana Keh-kongcu? Mereka melarikan diri."

   "Ngacir? Keparat, kita ditinggalkan mengadu jiwa di sini ......"

   Suara caci maki yang bernada gusar segera saling sahut.

   Dalam pada itu dengan sebat Siang Cin telah hindarkan bacokan Hou thau-to, sekali sodok dengan sikutnya dia bikin laki2 penyerang itu terpental dengan muntah darah, suara ribut berkumandang di mana2, bayangan orang berlarian dan lenyap di tempat gelap, sekejap saja semuanya sudab lari mencawat ekor.

   Dengan langkah sempoyongan Siang Cin berusaha menegakkan badannya, sekilas matanya menjelajah sekelilingnya, segera dia berlari pula ke depan terus melejit tinggi hinggap di pucuk pohon beringin yang tinggi lebat.

   Tak lama kemudian fajarpun menyingsing, cahaya mentari yang keemasan memancar cemerlang, cuaca pagi yang cerah, hawa sejuk, tapi keadaan di sini sungguh mengerikan.

   Bersandar di dahan pohon beringin yang lebat, dengan hati2 dan pelan2 Siang Cin merebahkan An Lip, laki2 kekar ini mengalami luka2 yang cukup parah, untungnya badik yang menembus dada itu menusuk miring ke atas, sehingga luka2nya tidak fatal.

   Siang Cin mencabut keluar badik itu, karena tidak membawa obat, untuk mencegah darah keluar terlalu banyak dia balut luka2 itu dengan sobekan kain bajunya, kini orang tengah tidur lelap, kalau tidak tentu sudah meraung kesakitan dan jatuh semaput waktu badik itu dicabut keluar dari dadanya.

   Siang Cin paham bahwa luka2nya sendiri juga tidak ringan, tapi sementara ini dia tidak sempat urus diri sendiri, Kun Sim-ti telah lelap dalam pelukannya, wajahnya nan jelita bak bidadari kini telah melepuh merah berair, bukan di pipinya saja, juga di pundak, lengan dan sekujur badannya terbakar.

   Siang Cin merasa syukur bahwa pertolongannya tepat pada waktunya, dia tahu asal dirawat dan istirahat untuk waktu yang cukup lama.

   Wajah Kun Sim-ti pasti tidak akan menimbulkan cacat apa2, tapi bila setengah langkah dia terlambat, wajah nan jelita ini pasti rusak, akibatnya sungguh tak berani Siang Cin membayangkan.

   Selain luka2 terbakar pundak Kun Sim-ti juga terbacok golok, lukanya cukup dalam, darah sudah berhenti, membeku hitam membiru, semakin dipandang perasaan Siang Cin menjadi pedih seperti di sayat2.

   Rumah bambunya yang mungil itu, kini telah tinggal puing2nya saja, sisa bambu yang masih terbakar mengepulkan asap, taman di pekarangan depan rumahnya kini sudah acak2an tak keruan, mayat tampak bergelimpangan di sana darahpun berceceran.

   ditambah berbagai alat senjata yang berserakan, pemandangan sungguh amat mengerikan.

   Siang Cin menarik napas panjang, di bawah ketiak kanannya ada sejalur luka panjang, tapi kulit daging sekitarnya kini sudah pati rasa, cuma luka terbakar dipunggung yang kini masih menyiksanya, rasanya seperti ditusuk ribuan jarum, atau di gigit ribuan semut.

   Siang Cin menjadi kehilangan akal, padahal yang luka parah harus selekasnya diberi pertolongan, tapi umpama dia sanggup menyeret kedua orang luka parah ini dan mencari tabib, kan bisa celaka kalau jejaknya sampai konangan musuh? Siang Cin tahu, selama beberapa tahun belakangan ini, permusuhan yang dia ikat selama berkecimpung di Kangouw jauh lebih banyak dari pada teman2 yang dikenalnya.

   Dikala memeras otak itulah, derap kaki kuda yang mencongklang pesat sayup2 23 datang dari kejauhan, derap kaki kuda terdengar kacau dan berpacu kencang, naluri Siang Gin segera merasakan adanya gejala tidak menguntungkan bakal tiba.

   Tak lama kemudian, derap kuda itu berhenti di luar hutan, dengan cepat dua puluhan orang dengan mengenakan seragam abut ketat muncul dari balik pohon sana, semuanya adalah laki2 yang bermuka bengis dan jahat, gerak-gerik mereka cukup tangkas terus menyebarkan diri, tak lama kemudian muncul pula lima puluhan orang yang berseragam sama ber-bondong2 memasuki hutan, tanpa di beri aba2 mereka langsung memecah diri menjadi sebuah lingkaran, busur panah siap di tangan mereka sama diarahkan kegelanggang seperti sedang menghadapi pemandangan yang seram.

   Baru saja ke delapan puluhan orang di sini selesai membenah diri, muncul pula dua puluhan orang dengan dandanan yang beraneka ragam, meluncur tiba dari berbagai penjuru hutan, lalu muncul pula seorang laki2 berusia tiga puluhan, bibir merah gigi putih, dengan jubah mentereng yang di bagian dada bersulam huruf "GI", empat laki2 yang berwajah kereng mengiring di belakangnya, di belakang ke empat orang ini beranjak pula seorang laki2, dia bukan lain adalah Gui Ih yang kemarin menghajar An Lip dengan cemetinya, Gui Ih adalah pelaksana hukum dari seksi bendera merah Siang-gi-pang.

   Siang Cin menyengir getir, sungguh amat kebetulan, dalam keadaan seperti ini, pihak Siang-gi-pang ternyata meluruk datang pula hendak membuat perhitungan dengan dirinya.

   Agaknya laki2 jubah kelabu dengan huruf "Gi"

   Yang tersulam di depan dada itu menjadi melenggong menyaksikan pemandangan di depan mata, wajahnya yang cakap itu mengernyit, terlihat bekas luka di jidatnya, codet ini sebesar mata uang, kini kelihatan bersemu merah, sekilas dia menyapu pandang sekitarnya, lalu berkata dengan suara kereng.

   "Gui-angki, selama enam belas jam ini, dengan berbagai daya upaya dan mengerahkan puluhan tenaga terpercaya baru kita berhasil menemukan alamat si Naga Kuning, tapi sekarang kita hanya menemukan puing2 dengan mayat yang tak mampu berbicara lagi.". Agaknya Gui Ih juga tertegun sekian saat dia melongo, sahutnya kemudian.

   "Bahwa gubuk yang terbakar itu jelas adalah tempat tinggal orang she Siang, bocah itu terlalu banyak mengikat permusuhan, bukan mustahil para musuhnya telah mendahului kita mengobrak-abrik tempatnya ini ...."

   Tangan si jubah kelabu mengelus hurus "Gi"

   Di depan dadanya, dengusnya dengan kurang senang.

   "Menurut penyelidikanmu, berapa banyak anak buah Siang Cin yang tinggal bersama dia?"

   Berpikir sebentar Gui Ih menjawab dengan suara lirih.

   "Kecuali seorang mak inang rasanya tiada orang lain yang tinggal bersama dia, selamanya dia malang melintang seorang diri ...."

   Mendelik mata si jubah kelabu, katanya keras.

   "Ada puluhan mayat menggeletak di sini, sukar dipercaya dengan seorang diri dia mampu menjagal orang sebanyak ini, apalagi mereka bersenjata semuanya." - Sampai di sini dia berpaling ke kanan dan berkata kepada laki2 tua berjenggot pendek.

   "Jing-sim tong Cui tongcu, kau pimpin beberapa orang, geledah sekeliling sana."

   Laki2 tua itu membungkuk sambil mengiakan, lalu melompat ke depan, sepuluhan orang anak buahnya segera ikut berlari di belakangnya, mereka mulai memeriksa semua mayat satu persatu, dari kejauhan tiba2 laki2 tua itu menjerit.

   "Hah, bukankah ini Cui ciok-cu Ong Bu, orang ketiga dari Ngo-heng-ciok cu." - Belum lenyap gema suaranya kembali ia menjerit pula.

   "Heh, inikan Bok-ciok-cu Phoa-lat. Ah. ini Tio Wijiang. Cong-thau-bak dari Thian-king-kau, Wah, Cap-ji-hwi-so dari Lam-bu-san juga menggeletak seluruhnya. Ini Nyo Cayseng, guru pelatih dari Ban-keh po. Ai, ini Liang Tam, Hupangcu dari Ui-hong pang di Toa-ih-ho ..."

   Setiap kali mendengar teriakan si laki2 tua, air muka si jubah kelabupun berubah semakin kelam, akhirnya dia tidak tahan lagi, serunya.

   "Cui tongcu, carilah mayat orang she Siang." --- Sampai di sini dia melotot, pula ke arah Gui Ih dengan muka 24 merah cepat Gui Ih berlari ke sana ikut bantu mencari, perhatiannya hanya tertuju pada mayat Siang Cin saja. Sesaat kemudian, dengan tangan berlepotan darah Cui-tongcu kembali, katanya sambil menggeleng.

   "Lapor Pangcu, seluruhnya ada tiga puluh dua mayat, semuanya jago2 silat yang punya nama di tiga propinsi utara, paling tidak mereka sudah cukup disegani oleh sesama kaum persilatan, beberapa tahun belakangan ini kita sudah cukup luas bergaul di Kangouw, di. antara 32 mayat dt sini ada dua puluhan lebih yang kukenal ...."

   Setelah menghela napas dia menyambung.

   "Umpama Nyo Cay-seng, Nyo-lote, dua hari yang lalu masih minum arak bersamaku, tak tersangka hari ini aku harus mengubur mayatnya di sini."

   Si jubah kelabu melotot tanpa bersuara, tak lama kemudian Gui Ih pun telah balik, katanya dengan ragu2.

   "Di bawah puing terdapat dua mayat yang sudah menjadi arang, satu laki dan satu perempuan, dari pakaiannya jelas si perempuan itu adalah mak inang .....

   "

   Si jubah kelabu menggentak kaki, tanyanya gusar.

   "Dan yang laki2?"

   Gus Ih ragu2, sahutnya kemudian.

   "Sudah menjadi abu dan sukar dikenal lagi, cuma pakaian yang dikenakan tampaknya bukan warna kuning .....

   "

   "Hayo, geledah seluruh pelosok!"

   Teriak si jubah kelabu dengan mendelik.

   Delapan puluhan orang serempak mengiakan mereka lantas memencar mengobrak abrik ke mana saja yang dipandang bisa digunakan bersembunyi.

   Cui-tongcu dari Jing-sim-tong itu agaknya.

   berkedudukan cukup tinggi, ia berdiri di depan si jubah kelabu dengan nada berat dia berkata.

   "Pangcu, bicara terus terang, betapa tinggi kepandaian si Naga Kuning Siang Cin belum pernah kita saksikan, paling tidak juga pernah kita dengar, pemandangan di depan mata merupakan bukti nyata, maka menurut pendapatku jika Pangcu suka bersabar, urusan ini kiranya bisa disudahi saja.....

   "

   Codet di jidat si jubah keiabu tampak semakin merah, sedapat mungkin dia menekan amarahnya,katanya kurang senang.

   "Cui-tongcu, peristiwa ini menyangkut nama dan wibawa Siang gi-pang kita, jika kita harus berpeluk dengan menghadapi usik orang lain tanpa memberi sedikit hajaran padanya, memangnya Siang gi pang masih punya wibawa untuk bertengger di kalangan Kangouw, bagaimana kita dapat memimpin anak buah yang berjumlah sekian banyak?"

   Cui tongcu mengelus jenggot, katanya kalem.

   "Ucapan Pangcu memang tidak salah, tapi kita juga harus menimbang, gengsi dan wibawa yang akan kita pertahankan harus kita rebut, kalau sebaliknya, kukira ini bukan cara yang baik."

   Mendelik si jubah kelabu, dingin suaranya.

   "Cui tongcu ini sudah menjadi keputusan Pang kita yang tak boleh diubah, peduli betapapun besar pengorbanan yang harus kita pertaruhkan, sakit hati ini tetap harus kita tuntut."

   Cui tongcu tak bersuara lagi, diam2 dia mengundurkan diri ke samping.

   Di pucuk pohon beringin Siang Cin dapat mertyaksikan semua ini dan mendengar pula dengan jelas, dengan senyuman getir ia mengawasi orang2 Siang gi-pang yang mondar mandir menggeledah kian kemari.

   Cepat sekali sang surya naik semakin tinggi, Si jubah kelabu menunggu dengan tidak sabar lagi, sambil menggendong tangan dia mondar-mandir tidak tenang, keempat laki2 kekar berdiri berjajar di belakangnya dengan meluruskan tangan.

   Siang Cin tahu keempat orang ini adalah Su-koay-Cu yang kenamaan dari Siang-gipang, mereka adalah pengawal pribadi Sam-bak-siu-su Tan Sin, Pangcu Siang-gipang.

   Si jubah kelabu Sam-bak-siu-su Tan Sin, mendadak mengayun tangan ke atas, teriaknya dongkol.

   "Sudah, berhenti! Semuanya pulang saja! Aku tidak percaya orang she Siang itu mampu terbang ke langit atau selulup ke bumi,"

   Lekas Cui-tongcu menepuk tangan, serunya.

   "Perintah Pangcu, penggeledahan dihentikan."

   Orang2 yang sudah menyebar luas ke dalam hutan itu segera putar balik dan berkumpul di tempat semula, belum lagi mereka sempat membentuk formasi lingkaran tadi, dari luar hutan tiba2 terdengar suara "pletak-pletok", suara beradunya 25 papan kayu..Baru saja Tan Sin berpaling dengan pandangan heran, anak buahnya di luar hutan sudah menghardik.

   "Berhenti saudara di depan itu Siang-gi-pang sedang ada perkara di sini. Bendera kami berkibar di sana, memangnya saudara tidak melihatnya?"

   Suara "pletak-pletok"

   Tak terdengar lagi, diganti suara aneh yang bernada melengking.

   "Eh, maknya dirodok, di siang hari bolong juga berani main begal di sini? Penyamun keroco juga pasti melihat tempat dan waktu bila mau beroperasi, kalian ini penyamun keparat dari mana yang tidak bisa melihat gelagat? Untung tuan besarmu hanya membawa batok kepala yang bertengger di leher tok, tiada sekeping uang yang bisa kau peras dari badanku, memangnya kalian mau berbuat apa terhadapku."

   Hardikan di luar kembali berkumandang.

   "Saudara yang baik, tentunya kaupun sudah kenyang berkecimpung di Kangouw, jangan bertingkah dan berlagak pilon di depan kami, kalau tahu diri lekas menyingkir saja."

   Suara aneh seperti orang banci tadi berteriak pula.

   "Wah aneh, tuanku sudah biasa berkeliaran main terobos rumah dan selundup dalam hutan, ke langit bisa terbang, ke bumi aku, bisa selulup, kemana aku suka pergi boleh sesuka hatiku, siapapun tiada yang berani mengusik seujung rambutku, memangnya kalian tetap mengadang di tengah jalan ini dan tidak mau menyingkir?"

   Tan Sin menarik muka, jengeknya.

   "Keparat ini jelas sengaja mencari gara2, suruh mereka biarkan dia kemari, akan kulihat ke mana dia mau pergi."

   Seorang laki2 baju abu2 segera berlari keluar hutan, tak lama kemudian, suara "pletak- pletok"

   Seperti ketokan kayu penjual bakmi berkumandang pula Eh ternyata beranjak kemari, menuju ke arah orang banyak ini.

   Siang Cin yang ada di pucuk pohon dia sudah menjadi gelisah, dia tahu orang yang suka mengetok kepingan kayu bila berjalan ini adalah teman karibnya sehidupsemati, pendekar aneh yang bergelar Liang kui pan dari Hou-keh-can, namanya Pau Seh-hoa.

   Tingkah lakunya lucu dan aneh, bajik dan dermawan, kini dia mengenakan celana panjang biru yang sudah luntur, ikat pinggungnya adalah seutas tali rami yang kelihatan mengkilap karena kotor berminyak, kakinya pakai sepatu rumput yang butut dan sudah berlubang alasnya, rambut yang awut2an laksana sarang ayam tersunggih di atas kepalanya, matanya yang sipit seperti kurang tidur tumbuh di bawah jidatnya yang lebar, hidung besar, mulutnya yang lebar dengan gigi kuning prongos, mulutnya selalu kerkecap mengiringi bunyi pletak-pletok dua keping kayu yang bergantung di belakang pantatnya, papan kayu warna hitam terbuat dari kayu kenari.

   Dengan tajam Tan Sin tatap kedatangan tamu yang tak di undang ini, Pau Seh-hoa unjuk tawa lucu kepada Pangcu besar ini dengan gigi yang prongos, tiba2 matanya melirik dan mulut yang lebar itu menciut, katanya- "Rumah di sini sudah dibakar?"

   Dingin tatapan Tan Sin, katanya.

   "Memangnya kenapa?"

   Pau Seh hoa mengernyit hidung, seperti tawa tidak tertawa dia berkata;

   "Kalian yang melakukan?"

   Tan Sin menengadah, jengeknya.

   "Kalau benar mau apa?"

   Pau Seh-hoa pandang sekelilingnya, mendadak sikapnya berubah, suaranya bukan saja dingin kaku, katanya ketus.

   "Lalu bagaimana dengan saudaraku Siang Cin?"

   Tan Sin menjengek.

   "Aku justeru ingin tanya padamu tentang dia."

   Sekilas melengak, mendadak Pau Seh-hoa terbahak2.

   "Slut", dia membuang ingus, lalu miringkan kepala dan berkata sambil menuding Tan Sin.

   "Ya, ya, aku tahu kawan, dengan bekal kemampuan kalian yang tak becus ini. terbukti dengan korban yang gelimpangan itu sekarang berbalik kau tanya pada tuan besarmu malah Hahaha, hohoho Siang-lote O, Siang-lote, memang hebat kau, kau benar2 hebat ...."

   Dikala gema tawanya masih mendengung, tiba2 dari sebelah sana menggeledek 26 suara hardikan, seorang laki2 baju hijau dengan jambangnya yang kasar mengayun golok besar menubruk tiba, goloknya membacok ke muka Pau Seh-hoa.

   "Hait, kurang-ajar! Tidak pakai aturan ...."

   Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Demikian seru Pau Seh-hoa, tapi tanpa bergeming sedikitpun, malah kepalapun tidak tampak bergerak, entah bagaimana, tahu2 kedua tangannya bergerak.

   "pletak".

   "klontang", golok besar si penyerang tahu2 terbang ke angkasa, sementara laki2 penyerang itu terlempar ke belakang jatuh terduduk dengan kaki tangan mencak2. Tangan Pau Seh-hoa tampak bergerak membalik dua keping kayunya entah sejak kapan tahu2 sudah berada di tangan dan kini sedang dilempar naik turun buat mainan, sambil geleng2 kepala kembali ia mengoceh dengan nada nyentrik.

   "Keparat yang tidak tahu adat, hari ini sekedar kuhajar kau supaya selanjutnya tahu sopan santun . .."

   Mulutnya mengoceh, sikapnyapun tak acuh, malah kelihatan pongah, tapi dengan jelas dilihat Pau Seh hoa betapa hebat perubahan air muka Tan Sin, mukanya sedingin es dan membesi hijau, anak buah Siang-gi-pang di sekelilingpun serentak memegang gagang senjata, panah terpasang di busur siap menanti aba2 untuk menyerang, suasana cukup tegang.

   Cui-tongcu yang berjenggot kambing itu batuk2, katanya dengan suara ketus.

   "Saudara ini kiranya seorang kosen, siapa benar dan siapa salah kenyataan yang akan membuktikan, sekarang saudara boleh sebutkan namamu dulu."

   Mata sipit Pau Seh hoa terbelalak, lidahnya terjulur menjilat bibir dari kiri ke ujung kanan, suaranya kini berganti dingin dan kasar.

   "Hm. Siang gi-pang terhitung perkumpulan kentut apa? Pau-loya sudah cukup bersikap ramah, tapi kalian justeru mau main kayu? Main serang secara serampangan, memangnya Pau-loya ini anak kura2? Dengarkan dengan baik.

   "dua keping kayu- Pau Seh-hoa ialah orang yang berdiri di depan kalian ini."

   Manusia punya nama, pohon ada bayangan, peribahasa ini memang tepat.

   Seketika berdetak jantung Cui tongcu demi mendengar orang memperkenalkan diri, sekilas ia tertegun.

   Pau Seh-hoa tidak hiraukan sikap orang, mulutnya ber kecek2 lalu berkata dengan mimik tertawa tidak tertawa.

   "Bagaimana? Tan- toapangcu agaknya masih penasaran?"

   Sam-bak sin-su Tan Sin belum pikun, sudah tentu dia tahu macam apa tokoh "dua keping kayu"

   Dari Hou keh-san ini, beberapa tahun yang lalu dengan dua keping kayunya itu Pau Seh hoa pernah menyapu habis kaum berandal Toa-lo-cian, hongpian dan "Sam-wi tui dari Sam jay seng yang berkuasa di Kwan tang.

   Memangnya siapa yang berani mengusik Hou eng (elang harimau) yang menunggui Ui-ji-eng, semacam rumput sakti yang dapat memunahkan ratusan macam racun di Hian-busan? Tapi seorang diri dengan senjata dua keping kayunya Pau-siansing ini telah sikat elang2 ganas itu, puluhan elang telah dibinasakan, dengan senang Pau Sehhoa memboyong Ui ji-eng turun gunung dengan kemenangan gemilang.

   Kejadian baru tahun yang lalu pentolan It tia liong, Liu-to Ce Seng sek mengajak Pau Seh hoa duel sampai mati.

   dalam tujuh belas jurus orang she Pau ini telah mengetuk remuk batok kepala lawannya.

   Nama Ce Seng sek cukup disegani di utara sungai besar, anak kecil yang menangispun seketika berhenti ketakutan bila mendengar namanya.

   Begitulah, Tan Sin tampak guram, katanya sambil menahan marah.

   "O, kiranya kau Pau ... .. Pau-tayhiap dari Hou-keh-san."

   Pau Seh-boa tertawa lebar, katanya.

   "Ah, jangan begitu sungkan, memangnya macam apa tokoh Tayhiap itu? Merampas yang kaya membantu si miskin, mendukung si lemah menumpas yang jahat, dia harus punya wibawa dan gagah perkasa, nama kebesarannya mampu menggoyahkan gunung, darahnya yang panas dapat meluluhkan musuh, berjiwa baja bernyali besi, orang seperti Siang loteku itu baru boleh disebut Tayhiap. Kalau aku orang she Pau ini, aku ini cuma gelandangan kaum Kangouw saja."

   Mengawasi puing2 di depan sana, Tan Sin bertanya dengan suara rendah.

   "Ada hubungan apa antara tuan dengan orang she Siang itu?" 27 Pau Seh-hoa unjuk gigi prongosnya yang kuning, katanya.

   "Sahabat sehidup semati."

   Bergetar badan Tan Sin, teriaknya.

   "Jadi tuan mau memikul perbuatan busuknya?"

   Berkedip mata sipit Pau Seh-hoa seperti orang mabuk, jengeknya.

   "Andai kata Siang-gi-pang kalian bermusuhan dengan Siang-lote, boleh kau membuat perhitungan dengan aku orang she Pau."

   Pelan2 Tan Sin menyurut selangkah, tampak perubahan pada air mukanya, diam2 ia menimang kekuatan sendiri serta mempertimbangkan kira2 sampai di mana kemampuan musuh, bila kekuatan dan kemampuan ini saling bentrok betapa pula akibatnya.

   Secara iseng Pau Seh hoa memainkan keping kayunya secara akrobatik, kepingan kayunya itu menari naik turun ber-putar2 secara menakjubkan, hidungnya yang besar ikut ber-gerak2 seperti mengejek menambah kocak permainannya.

   Keadaan menjadi beku, pihak Siang gi pang banyak orang dan kekuatanpun besar, tapi mereka juga mengerti, musuh yang mereka hadapi adalah seekor ular sakti berbisa, ular berbisa yang pandai tertawa.

   Lekas Cui tongcu beranjak maju ke samping Tan Sin, lalu ber-bisik2 di telinganya, jelas kelihatan rona muka Tan Sin berubah berulang kali dan tampak semakin jelek, tapi sedapat mungkin dia menahan gejolak marahnya.

   Pelan2 akhirnya Tan Sin melangkah keluar hutan dengan muka bersungut, lima-enam langkah kemudian tiba2 dia berpaling, katanya.

   "Saudara Pau!"

   "Hm, ada apa, aku sudab pasang kuping?"

   Tan Sin menarik napas, katanya.

   "Kejadian hari ini pasti akan selalu kami ingat dan akan membuat perhitungan kelak."

   Pau Seh- hoa cekikikan, suaranya tak kalah dingin.

   "Sudah tentu, ingin dilupakan juga tidak bisa, ya toh?"

   Tanpa bersuara lagi Tan Sin mengulap tangan, cepat sekali dia undurkan diri membawa seluruh anak buahnya, Gui Ih jalan paling belakang, sebelum keluar hutan dia berpaling sambil mendelik ke arah Pau Seh-hoa. Mulut Pau Seh hoa ber kecek2.

   "Pletak"

   Dia adu kedua keping kayunya seraya mengejek dengan suara melengking.

   "Awas batok kepalamu, bantal."

   Gusar tapi tak tahu apa maksud ucapan orang, Gui Ih hanya mendelik murka. Hal ini malah mendatangkan gelak tawa Pau Seh-hoa, serunya.

   "Memangnya bantal salah? Eh, menyulam!"

   Dengan tatapan kebencian, lekas Gui Ih melangkah pergi.

   Hutan kembali menjadi sunyi mencekam dan seram.

   Sang surya tetap memancarkan cahayanya, suhu panasnya semakin mengeringkan noktah2 darah yang berceceran, bau anyirnya darah lekas sekali terembus angin lalu, Mayat2 yang bergelimpangan itu ada yang mendelik, ada yang membentang mulut, satu dan lain berbeda tapi sama mengerikan, memang beginilah kehidupan insan persilatan yang berkecimpung di Kangouw, tak kenal persaudaraan, tak kenal sesama manusia, sekali bermusuhan, mati adalah akhir dari persengketaan itu.

   Mata Pau Seh hoa yang sipit itu menampilkan rasa hambar yang sukar diraba, dia mendongak seperti melihat cuaca, lalu pelan2 duduk tersimpuh di tanah, akhirnya ia menengadah ke arah pohon beringin di depan sana, di mana Siang Cin sembunyi dibalik dedaunan yang rimbun.

   Katanya.

   "Dengarkan Siang-tayhiap, sang naga di angkasa, lekaslah kau turun saja, memangnya enak berayun di atas dahan pohon yang bergontai?"

   Siang Cin yang sembunyi dibalik dedaunan tertawa, akhirnya dia menyingkap daun serta melongok keluar, katanya.

   "Lo Pau, amat kebetulan kedatanganmu, tepat pula waktunya kehadiranmu."

   Hidung Pau Seh- hoa yang besar mengendus2, katanya.

   "Kau terluka?"

   Siang Cin tertawa, katanya.

   "Tidak terlalu parah, malah Kun-cici dan seorang kawan yang terluka cukup parah."

   Cepat berdiri dan langsung Pau Seh-hoa melejit ke atas pohon, dahan pohon 28 berkeresek sekian lama, akhirnya dia gendong An Lip melompat turun.

   Dengan penuh perhatian dan hati2 sekali Siang Cin juga bawa Kun Sim-ti melayang turun, sementara Pau Seh hoa sudah keluarkan obat serta membalut luka2 An Lip, katanya dengan suara lirih.

   "Kondisi kepala besar ini cukup baik, mujur nasibnya. kalau badik itu sedikit menceng ke bawah, terpaksa dia harus menitis kembali pada kelahiran yang akan datang."

   Dengan menggigit bibir Siang Cin menatap wajah Kun Sim-ti yang terbakar hangus itu, sungguh pedih hatinya, sementara Pau Seh hoa tengah membersihkan noda darah di pundak An Lip, tanpa berpaling dia berkata.

   "lote di pinggangku tergantung sebuah kotak rotan, di dalam ada tiga kaleng bubuk, yang warna merah untuk obat luar, yang warna hijau boleh diminum, sedang sekaleng lagi yang putih boleh kau gunakan sendiri untuk membubuhi luka2mu."

   Tanpa bicara Siang Cin menghampiri mengambil kotak yang disebut, Kun Sim ti dibopongnya ke bawah pohon yang lebih terlindung, dengan hati2 dia baringkan Kun Sim ti, dengan seksama dia mencuci bersih luka2 serta membubuhi obat, gerak geriknya ringan dan lembut.

   Hening sesaat lamanya, akhirnya Siang Cin membuka pertanyaan.

   "Lo Pau, obatmu ini diracik dari bahan apa?"

   Pau Seh-hoa tertawa, cemoohnya.

   "Kenapa? Memangnya tidak manjur?"

   Kumandang tawa Siang Cin, katanya.

   "Bukan, malah manjur sekali, rasanya dingin nyaman meresap kulit daging."

   Pau Seh-hoa tengah mencekok sebotol obat cairan ke mulut An Lip, katanya tawar.

   "Ui ji-eng, rumput sakti dari Hiun-bu-san, binatang buas elang harimau saja menjaganya, merekapun tahu kasiat rumput ini, apalagi manusia?"

   Dengan langkah enteng Siang Cin muncul dari balik pohon, raut mukanya yang tampan memancarkan cahaya terang, lukanya ternyata juga telah terbalut cukup rapi.

   "Lo Pau, sebelum kau sempat mengerjakan dua keping kayumu aku bisa memberi persen dua kali tamparan ke mulutmu sebagai hukuman bagi mulutmu yang ngoceh tak keruan tadi, kau percaya?"

   Lekas Pau Seh-hoa goyang kedua tangannya, serunya .

   "Percaya, percaya, seribu kali percaya. Orang she Pau tak pernah jeri menghadapi siapapun juga, tapi terhadap tamparanmu itu aku paling takut. Wah, tak pernah kulupakan demontrasi yang pernah kau pamerkan di sarangku di tengah sungai Hwi-yang-kang dulu, sebelum batu seberat lima puluh kati yang kau lempar ke udara itu jatuh ke bawah, dengan kedua tanganmu sekaligus kau dapat menyampuk jatuh seratus tiga puluh tujuh ekor burung gereja .......

   "

   Tertawa lebar Siang Cin, ia berkata.

   "Soalnya di Hou-keh san tempat kediamanmu Itu tiada burung gereja lebih banyak lagi, kalau tidak, dalam waktu sesingkat itu bisa lebih banyak lagi burung gereja yang dapat kupukul jatuh."

   "Crot", Pau Seh-hoa berludah, matanya melotot, serunya.

   "Ha, baru dipuji sudah lantas mau makan hati? kau memang takabur."

   "Lo Pau,"

   Ucap Siang Cin sambil menggosok hidungnya.

   "omong2, sejak kini Sianggi pang mungkin tidak akan berpeluk tangan lagi terhadap dirimu."

   

Neraka Hitam -- Khu Lung Pedang Angin Berbisik -- Han Meng Kembalinya Ilmu Ulat Sutera -- Huang Ying

Cari Blog Ini