Ceritasilat Novel Online

Bara Naga 23


Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 23




   Bara Naga Karya dari Yin Yong

   
"Dan sekarang telah kutumpas seorang lawanmu yang tangguh, cara bagaimana kau akan berterima kasih padaku?"

   Demikian Siang Cin berseloroh.

   "Baik, bagaimana kalau hadiah tiga cewek cantik?"

   Jawab Sebun Tio bu dengan memicingkan sebelah mata.

   "Busyet!"

   Seru Siang On dengan suara tertahan.

   "Kau tahu, selamanya aku tidak gemar urusan perempuan, jangan kau jebloskan diriku."

   "Eh, ya, bicara tentang cewek, aku menjadi teringat kepada puteri kesayangan Thi ciangbun dari Bu siang pay itu? Bagaimana, sudah kau temukan?"

   Tanya Sebun Tio bu.

   "Ya, memang sudah berhasil kubawa keluar."

   "Sudah kaubawa keluar? Di mana orangnya? Memangnya kau sembunyikan?"

   "Anak dara itu memang sudah ter gila2 kepada Khang Giok tek, mereka sudah hidup bersama sebagai suami isteri dan tidak ingin kembali lagi kepada ayahnya."

   "Sialan! Kenapa ada anak perempuan yang tidak tahu malu begitu. Sia2 Thi Tok beng berusaha mati2an, tak tahunya anak dara itu lebih suka terjerumus ke dalam lumpur. Sungguh muka ayahnya telah tercoreng moreng."

   "Itulah cinta, cinta memang buta ..... Tapi biarlah kita serahkan kepada kebijaksanaan Thi-ciangbun sendiri, kukira beliau akan membereskan urusan rumah tanggannya dengan baik, orang luar tidak pantas ikut campur."

   Mereka lantas terdiam semua, suasana di gudang yang cukup luas itu menjadi hening, sampai suara langkah penjaga yang mondar mandir di luar juga bisa terdengar. Akhirnya Sebun Tio bu menjadi tidak sabar, ia tanya Le Tang.

   "Le laute, kira2 waktu apa sekarang ini?"

   Agaknya Le Tang memang seorang ahli menghitung cuaca, ia menengadah sejenak, lalu mengendus2 dengan hidungnya yang pesek, kemudian menjawab.

   "Sndah hampir terang tanah, Sebun-tangkeh." 359 Pada saat itulah, seperti menjawab pertanyaan Sebun Tio bu tadi, terdengarlah suara gemuruh dua kali, suara ledakan yang mengguncangkan di kejauhan dari arah Toa ho tin sana. Le Tang tertegun sejenak, tapi lantas bersorak tertahan, serunya.

   "Itulah suara ledakan Liat yam-tan kita. Siang susiok, pasukan kita sudah mulai menggempur kemari."

   Siang Cin mengangguk, tapi dia memberi tanda agar jangan bersuara keras2. Menyusul lantas terdengar pula suara gemuruh yang lebih keras, debu pasir gudang sama rontok karena guncangan ledakan itu. Mencorong sinar mata Sebun Tio bu, katanya girang.

   "Hah, Bu siang pay benar2 mulai menggempur Toa ho-tin pada pagi hari ini. Hebat, sungguh hebat, perbawa mereka ini sanggup bertempur dengan pasukan resmi bentuk apapun. Dan sekarang, apalagi yang kita tunggu di sini?"

   "Sabar dulu, Sebun tangkeh,"

   Ucap Siang Cin dengan tenang dan tersenyum.

   "Segera kita juga akan bergerak Sebentar bila pasukan Bu siang pay sudah menyerbu masuk Toa ho tin, hendaklah engkau pergi ke sana untuk menuntun mereka menggempur Ji ih hu melalui sebelah timur, yaitu melalui .hutan tempat kita menyusup kemari itu."

   Sebun'Tio bu mengiakan dan siap2 untuk berangkat.

   "Dan Le heng tinggal saja di sini bersamaku, kita akan mengawasi gerak gerik musuh, bilamana melihat mereka menggiring keluar tawanan orang2 kalian, dengan gerak kilat kita akan menerjang untuk menyelamatkan mereka dan membuat musuh kelabakan. Cuma tindakan kita ini sangat besar risikonya, mungkin harus mempertaruhkan nyawa, maka Le tang hendaknya hati2."

   Le Tang membusungkan dada dan menjawab.

   "Jangan kuatir, Siang susiok, pasti akan kulakukan tugasku dengan sekuat tenaga dan takkan memalukan Bu siang pay dan kehormatan Siang susiok."

   "Bagus,"

   Kata Siang Cin, lalu dipandangnya pula Loh Hou yang terluka itu, katanya.

   "Loh-heng terluka, sebaiknya tetap istirahat saja di sini, setelah semuanya sudah beres akan kujemput kau ......."

   "Tidak, Siang susiok,"

   Sela Loh Hou dengan rasa penasaran.

   "aku tidak mau mengeram di sini. Sedikit luka ini tiada artinya bagiku, aku masih sanggup, harap Siang susiok mengizinkan aku ikut serta .......

   "

   Siang Cin menatapnya dengan tajam, lalu berkata pula dengan ramah.

   "Loh heng, semangat perjuanganmu sungguh sangat mengharukan aku, tapi engkau terluka. Aku diserahi tugas oleh Bu siang-pay memimpin kalian ke sini, maka aku harus menjaga keselamatanmu. Ketahuilah, hidup manusia tidak melulu untuk bertempur di medan tempur saja, tapi masih banyak pekerjaan lain yang lebih berarti. Kesetiaan dan keberanian seseorang tidak melulu ditandai dengan cucuran darah. Pertempuran yang akan datang, sekalipun kau tidak ikut serta, bagiku, bagi Bu siang pay, kau tetap sudah memenuhi kewajiban dan tidak perlu merasa malu atau menyesal. Tentunya Loh heng dapat memahami maksudku." 360 "Tapi..... tapi, aku masih sanggup, Siang-susiok. Aku tidak mau mengeram di sini, aku ingin ikut Siang susiok ......."

   Dalam pada itu, suara gemuruh ledakan bertambah kerap dan keras, gudang inipun terasa berguncang Dengan gelisah Loh Hou dan Le Tang memandang Siang Cin.

   Sebun Tio bu juga tidak dapat memberi saran.

   Setelah berpikir sejenak, akhirnya Siang Cin berkata.

   "Baiklah, kau ikut, tapi harus hati2 dan menurut petunjuk."

   Loh Hou kegirangan dan mengucapkan terima kasih.

   "Hayolah kita berangkat,"

   Seru Sebun Tio bu dengan suara tertahan.

   "Kita menerobos keluar melalui jendela, harus hati2,"

   Kata Siang Cin, berbareng ia terus tarik Loh Hou dan dilempar keluar melalui lubang jendela itu, menyusul Siang Cin sendiri juga menerobos keluar.

   Di bawah jendela gudang saat itu ada dua penjaga berseragam kulit, mereka mendongak terkejut ketika mendengar sesuatu suara.

   Tapi sebelum mereka sempat bertindak apa2, Siang Cin sudah menubruk tiba, kedua tangannya menabas ke kanan dan ke kiri, kontan leher kedua orang itu patah dan terguling.

   Pada saat itu barulah Sebun Tio bu dan Le Tang menyusul tiba.

   Le Tang mengangsurkan toya Loh Hou yang belum sempat dibawa tadi.

   Sementara itu di jurusan Toa ho tin tampak terang benderang, api berkobar menjulang tinggi ke langit disertai suara gemuruh.

   Waktu Siang Cin memandang sekeliling Ji ihhu, suasana tetap sunyi dan tiada setitik cahayapun, bahkan lampu yang menempel di dinding benteng sana juga dipadamkan, semuanya tenggelam dalam kegelapan.

   Siang Cin dapat merasakan suasana yang tegang ini, jelas musuh di Ji ih hu telah siap siaga dan sedang menantikan datangnya badai serangan.

   "Sekarang juga aku akan menyelundup keluar, Siang heng,"

   Kata Sebun Tio bu.

   "Nanti dulu,"

   Kata Siang Cin.

   "Tunggu isyarat serbuan Bu siang pay ........"

   Mereka berempat sama berjongkok di kaki tembok gudang dan menunggu perkembangan lebih lanjut. Lama2 Sebun Tio bu menjadi tidak sabar, katanya dengan suara tertahan.

   "Mengapa belum ada tanda, entah bagaimana perkembangan di luar sana? Sungguh tidak enak hanya menunggu saja di sini."

   "Jangan gelisah, Tangkeh,"

   Ujar Siang Cin sambil menepuk bahu kawan ini.

   "Sebentar lagi pasti ada kabar, bila sudah begitu, mungkin tiada waktu lagi bagimu uutuk istirahat seperti sekarang ini."

   "He, dengar, coba dengarkan!"

   Mendadak Le Tang menegas. 361 Mereka lantas pasang kuping, terdengar suara "tut tut"

   Bunyi terompet kulit keong bergema di kejauhan sana, suaranya mengharukan, tapi juga membangkitkan semangat. Di tengah suara "tut tut"

   Itu terseling pula suara ledakan keras yang tiada hentinya dan suara gemuruh lari be ribu2 pasukan berkuda. Itulah pasukan Bu siang pay dari padang rumput. Menyusul dengan bergemanya suara "tut tut"

   Tadi, serentak berpuluh jalur berapi menjulang tinggi ke langit dan suara gemuruh pasukan besarpun menuju ke arah Ji ih hu sini.

   Le Tang dan Loh Hou sangat bersemangat, keduanya berjingkrak girang dan siap menyambut kedatangan pasukan Bu siang pay itu.

   Dengan tenang Siang Cin lantas berkata.

   "Tangkeh, sekarang bolehlah kita mulai bergerak."

   Tanpa ayal lagi Sebun Tio bu memberi salam terus melayang pergi dan menghilang dalam kegelapan.

   "Dan selanjutnya adalah tugas kita untuk beraksi,"

   Kata Siang Cin pula. Dengan menggenggam toyanya Loh Hou siap2 untuk bertindak, serunya.

   "Siang susiok, kami tidak gentar."

   Lebih dulu Siang Cin mengawasi sekeliling sana lalu berkata.

   "Kita akan merunduk melalui gunung gunungan sana dan sembunyi dulu, hati2 supaya jejak kita tidak ketahuan musuh."

   Setelah memberi pesan, segera Siang Cin mendahului melayang ke sana.

   Gunung2an itu kira2 berjarak lima puluhan langkah dari undak2an batu di pintu gerbang Kim bin tian.

   Setiba di samping gunung2an itu, Siang Cin memberi tanda agar kedua kawannya mendekam ke bawah la sendiri lantas mengintai ke balik gunung2an ini, benar juga, diantara lekukan gunung2an ini, ada lubang gua dan kelihatan wajah manusia yang sedang mengintip keluar dengan gelisah.

   Jelas di dalam gunung-gunungan ini ada jalan tembus di bawah tanah.

   Sementara itu ufuk timur sudah mulai kelihatan larikan putih, fajar sudah menyingsing, cuma gumpalan awan tampak tebal memenuhi langit, suasana menjadi remang2, anginpun meniup kencang.

   agaknya akan turun salju pula.

   Setelah berpikir.

   Siang Cin mengambil keputusan akan menyerempet bahaya sekali lagi.

   Ia coba memeriksa dengan cermat, akhirnya dapat diketemukan jalan masuk ke gunung2an itu.

   Jalan masuk itu terdiri dari sepotong batu yang dapat diangkat, di bawah gunung2an itu, kini ada seorang sedang menggeser batu penutup itu dan menongolkan kepalanya untuk menghirup hawa segar.

   Secepat kilat Siang Cin menubruk maju dan mencengkeram kuduk orang itu, menyusul leher orang itu dipencet pula dengan tangan lain.

   Hanya sekejap saja, orang itu tak dapat lagi menghirup hawa segar untuk selamanya.

   Sambil mengangkat mayat orang itu, Siang Cin terus menerobos ke dalam gunung2an.

   Jalan lorong di bawah sangat sempit dan cekak, cuma beberapa meter panjangnya.

   Pada ujung lorong sana ada ruangan bulat kecil dan cukup dibuat 362 tempat istirahat beberapa orang, dari ruangan bulat ini masih ada lorong2 sempit lain yang menembus ke tempat lain.

   Mungkin di sinilah tempat pengintaian dan terdapat alat2 tanda bahaya yang segera dapat dibunyikan bilamana pengintai di sini melihat sesuatu yang tidak beres.

   Siang Cin membanting mayat itu ke tanah hingga menimbulkan suara gedebug.

   Maka terdengarlah seorang mengomel dari lorong sana.

   "Ong Moa cu, keparat kau, orang lagi ngantuk, kau ganggu dengan suara keras begitu, memangnya kau terlalu iseng dan minta mampus?"

   Sekilas pandang Siang Cin dapat melihat ada tujuh lorong yang menembus ke ruangan bulat, kecuali sebuah lorong yang dilaluinya barusan, keenam lorong lain masing2 ada seorang sedang berbaring dengan kedua kaki selonjor ke jurusan sini.

   Dengan gerakan cepat dan cekatan, dalam sekejap saja Siang Cin sudah berhasil menyeret keluar dua orang di antaranya dan dihabisi.

   Keempat orang lainnya mendengar sesuatu yang tidak beres, tapi sebelum mereka sempat berbuat apa2, Siang Cin berhasil menutuk Hiat to mereka dari angin pukulan jarak jauh.

   Tanpa bersuara keempat orang itu roboh terkulai di tempat masing2, semuanya tertutuk Hiat to lumpuh dan bisunya.

   Dengan bengis lalu Siang Cin berkata.

   "Nah kawan, ke enam temanmu sudah menyusul kakek moyangnya di akhirat, tertinggal kau sendiri yang hidup. rebahlah kau di situ dan akan kutanyai kau, bila kau mau bekerja sama dengan baik, jiwamu akan kuampuni, kalau tidak, kawan2mu adalah contohnya."

   Baru sekarang orang2 yang tertutuk itu menyadari apa yang terjadi, diam2 merekapun bersyukur jiwa mereka belum lagi melayang.

   Karena mereka masing2 rebah di lorong sendiri2, lorong batu sempit, hakikatnya mereka tidak dapat melihat teman di sebelahnya, apalagi hendak saling memberi isyarat maka mereka sama2 mengira cuma tinggal dirinya sendiri yang hidup, selebihnya sudah terbunuh, keempat orang itu sama2 merasa beruntung bagi dirinya sendiri.

   Demi menyelamatkan nyawa sendiri, andaikan mengaku apa yang diketahuinya juga takkan ketahuan.

   Begitulah, dalam waktu singkat Siang Cin telah memanggil masuk Le Tang dan Loh Hou.

   Setiba di ruangan bulat itu, Siang Cin menyuruh mereka masing2 bertiarap di salah satu lorong yang kosong itu.

   Habis itu Siang Cin menyeret keluar salah seorang yang telah tertutuk tadi, lebih dulu ia gampar muka orang dua tiga kali hingga mata orang itu ber kunang2 dan kepala puling tujuh keliling.

   Hiat-to yang tertutuk tadipun serentak terbuka.

   Dengan darah mengucur keluar dari ujung mulut dan muka bengkak, cepat orang itu berlutut di depan Siang Cin dan memohon ampun.

   "Pasukan Bu siang pay sudah menyerbu ke Toa ho tin, kau tahu tidak kejadian ini?"

   Tanya Siang Cin dengan kereng. Orang berseragam kulit itu menyembah berulang2, jawabnya dengan gemetar.

   "Tahu, tahu, sebelum Toa ho tin digempur, ber ulang2 pimpinan sudah mendapat laporan yang tidak menguntungkan, maka sejak kemarin Ji ih hu sudah dijadikan pertahanan terakhir dan siap menghadapi datangnya musuh ...." 363 "Bagaimana keadaan di Toa ho tin sana, ceritakan menurut apa yang diketahui olehmu?"

   Bentak Siang Cin. Dengan ter gagap2 orang itu menjawab.

   "Pihak Bu siang pay sedang menggempur Toa ho tin dengan senjata api, kota itu sudah menjadi lautan api, menurut ......menurut teman yang bertugas kurir garis depan, katanya pasukan berkuda Bu siang pay telah membanjir ke dalam kota dan pertahanan di Toa ho tin telah mulai runtuh dan sukar dipertahankan lagi. Konon senjata api , pihak Bu siang pay sangat lihay dan keji, ada yang berbentuk bola, sekali dilemparkan lantas meledak dan mengobarkan api, mereka juga menggunakan Iabah2 beracun, menurut laporan terakhir, katanya barisan pelopor Bu siang pay sudah menyerbu masuk Toa ho tin, beberapa garis pertahanan kami di Toa ho tin telah dihancurkan oleh senjata api musuh ...."

   Bara Naga

   Jilid 18 "Setelah membobol Toa-ho-tin, langkah selanjutnya yang dituju Bu-siang pay tentunya Ji-ih-hu dan Pau-hou-san ceng!"

   Kata Siang Cin dengan tersenyum puas.

   "Dan apalagi yang kau ketahui?"

   "Hamba adalah orang kecil, itupun sudah cukup banyak yang kukatakan, yang Iainlain hamba tidak tahu,"

   Jawab orang itu.

   "Bohong!"

   Bentak Siang Cin, teringat olehnya batu-batu padat kelabu yang menonjol disekitar gunung-gunungan ini, ia tanya puIa.

   "Tidakkah kaupernah melihat kawankawanmu mengusung sesuatu benda, misalnya peti dan karung yang diberi bertali dan dihubungkan ke dalam Ji ih-hu?"

   
Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Setelah termenung sejenak, kemudian orang itu berseru pelahan.

   "Ah, benar, baru sekarang hamba ingat. Tiga hari yang lalu memang kulihat banyak kawan yang keluar masuk istana di waktu malam, setiap orang memanggul peti yang berbungkus kertas minyak, pengawasan tampak ketat, sampai setengah malaman baru pekerjaan itu rampung. Kemudian, menjelang fajar, ada belasan kawan membawa gulungan warna putih berlari keluar dengan terburu-buru. Kalau tidak salah gulungan warna putih itu berbentuk tali sebesar jari, Tapi... tapi hambapun tak berani memastikan betul atau tidak, sebab waktu itu keadaan remang-remang, hamba juga sudah mengantuk berjaga semalaman, bisa jadi salah lihat."

   "Kau omong sesungguhnya, tidak berdusta?"

   Tanya Siang Cin. Kembali orang itu menggigil ketakutan, jawabnya.

   "Masa ... masa hamba berani berdusta .... semua sudah hamba katakan sejujurnya . .. mohon ampun ..."

   Belum habis ucapan orang itu, dengan cepat Siang Cin telah menutuk Hiat to bisu dan lumpuhnya, lalu tubuh orang itu diangkat dan dimasukkan lagi ke lorong semula.

   "Nah, Loh heng dan Le heng sudah dengar sendiri pengakuannya tadi?"

   Kata Siang Cin kepada kedua kawannya. 364 Loh Hou dan Le Tang yang berbaring di dalam lorong masing-masing tidak dapat membalik tubuh, terpaksa mereka menjawab dengan kuatir.

   "Ya, sudah kudengar, Lantas bagaimana baiknya, Siang-susiok?"

   "Sudah kupesan kepada Kin Jin agar memperhatikan soal ini, tentu dia akan berunding cara mengatasinya dengan Thi-ciangbun kalian."

   Kata Siang Cin dengan tenang. Loh Hou tampak agak cemas, katanya.

   "Tapi....tapi kalau kawan-kawan kita kurang cermat dan main terjang saja, bisa jadi mereka akan celaka semua, Siangsusiok, apakah barang yang dikatakannya itu benar-benar bahan peledak?"

   "Kita jangan berharap bukan, tapi menganggapnya benar,"

   Kata Siang Cin.

   "Siang-susiok, betapapun kita harus mencari akal untuk membantu kawan-kawan kita,"

   Kata Le Tang.

   "Saat ini mereka sedang menerjang pintu neraka..."

   Dengan tegas Siang Cin berkata.

   "Tapi tugas kita sekarang juga cukup penting dan berat, Kita harus berusaha menolong kawan-kawanmu yang tertawan musuh, kita harus membantu mengacau bagian dalam sini apabila mereka sudah mulai menyerbu kemari. Kalau sekarang kita membagi tenaga untuk urusan lain, lalu siapa yang akan melaksanakan tugas yang kusebut tadi, padahal untuk mencari musuh yang siap memasang bahan peledak di tempat tersembunyi juga bukan pekerjaan yang mudah."

   Loh Hou dan Le Tang menjadi bungkam walaupun dalam hati sangat gelisah. Mendadak Le Tang berseru puIa.

   "Tapi, Siang-susiok, sedikitnya kita kan harus menyampaikan peringatan kepada mereka."

   "Kan sudah dikerjakan oleh Kin-heng dan Sebun-tangkeh?"

   Jawab Siang Cm dengan tertawa, Maka Le Tang berdua menjadi bungkam puIa. Sejenak kemudian, mendadak Siang Cin menggertak kaki dan berkaya.

   "Baiklah, biar ku pergi sendiri, Selain menyampaikan peringatan, sekaligus akan kulihat cara bagaimana musuh mengatur sumbu bahan peledak, Urusan sudah mendesak, terpaksa kulakukan menurut keadaan, apapun juga segera kukembali lagi secepatnya Harap kalian berjaga di sini, kecuali dipergoki musuh, kalau tidak, jangan sekali-sekali sembarangan bertindak bila aku belum kembali ke sini,"

   Serentak Le Tang berrdua mengiakan.

   Setelah memeriksa lagi sekeliling, habis itu baru Siang Cin menerobos keluar melalui lorong tadi.

   Di luar tetap sunyi senyap, suasana Ji ih-hu tetap hening, keheningan yang menegangkan.

   Tapi keheningan di sini justeru berlawanan dengan suasana hiruk pikuk di Toa-ho-tin sana, terdengar suara ledakan masih bergemuruh disertai api yang berkobar dan suara ambruknya bangunan, dan tentu saja bercampur dengan suara jeritan orang yang sedang bergulat dengan elmaut ditambah derap kaki kuda yang berlari kian kemari.

   Siang Cin menyelinap ke samping gunungan sana, ia dapat melihat penjaga-penjaga yang tersebar di tempat sembunyinya.

   Dari pengalamannya tadi, Siang Cin dapat memperkirakan kapan dan di mana tempat yang aman, ia incar baik-baik tempat yang dituju, mendadak ia melayang ke sana secepat terbang.

   Baru saja bayangannya mencapai tembok benteng, terdengarlah desiran angin tajam berhamburan dari berbagai arah.

   Akan tetapi gerakan Siang Cin benar-benar cepat Iuar biasa, sebelum senjata rahasia itu 365 mencapai titik sasarannya, lebih dulu Siang Cin sudah melintasi tembok benteng dan berlari ke Toa-ho tin.

   Saat itu Toa ho-tin sudah serupa neraka, api tampak berkobar-kobar di mana-mana.

   Siang Cin menyusuri hutan, baru saja ia keluar hutan di tanah yang landai sana, segera dilihatnya dari berbagai penjuru gelombang manusia sedang membanjir ke arah Ji-ih-hu sini, Ada anak buah Toa to kau yang berseragam biru, ada anggota Jitho hwe yang bermantel kelabu, ada pasukan Ceng siong-san ceng yang berbaju hijau, dan ada juga orang-orang Ji ih~hu sendiri yang berseragam kulit semuanya lari balik ke arah Ji-ih-hu dalam keadaan konyol.

   Siang Cin menggeleng, tanpa ayal ia menerjang ke arah Toa-ho-tin.

   Kini pihak perserikatan Ji ih hu sudah runtuh, tapi pertempuran sengit di Toa-ho-tin masih belum berakhir, bahkan tambah seru tanpa kenal ampun.

   Maklum, dalam keadaan gaduh begitu, kalau tidak membunuh tentu dibunuh.

   Beberapa rombongan musuh telah dilalui Siang Cin, sekarang ia sudah melihat pura pejuang Bu-siang-pay yang bergelang emas di kepala dan berseragam putih, semuanya sedang bertempur dengan gagah berani.

   Di tengah pertempuran seru itu, Siang Cin melihat ada sesuatu yang tidak beres, Dilihatnya pihak perserikatan Ji-ih-hu ada tanda-tanda mengundurkan pasukannya secara berturut-turut, agaknya mereka mempunyai rencana tertentu dan tidak ingin bertempur habis-habisan dengan Bu-siang-pay di medan Toa-ho-tin.

   Siang Cin melihat di sebelah sana ada seregu anggota Jit-ho-hwe sedang bertempur sambil mengundurkan diri.

   Secepat kilat ia melayang ke sana, kedua tangannya bekerja naik-turun, sekaligus ke-tujuh orang itu disikat habis, Ketika ia membalik tubuh, tiga penunggang kuda tahu-tahu sudah menerjang tiba.

   Ketiga penunggangnya berseragam putih dan bergelang kepala emas, dengan golok sabit dan perisai mereka terus menerjang ke arah Siang Cin.

   "Berhenti! Naga Kuning di sini!"

   Bentak Siang Cin dengan suara menggelegar.

   "Naga Kuning", nama ini seperti bunyi guntur disiang bolong yang mengalutkan ketiga anggota Bu-siang-pay itu, serentak mereka menahan kuda sehingga ketiga kuda itu berjingkrak sambil meringkik. Siang Cin lantas memburu maju sambil berseru.

   "Di mana Tiangsun-cuncu?"

   Serentak ketiga orang itu memberi hormat. satu di antaranya menjawab.

   "Lapor Siang-susiok, Cuncu mendapat tugas menyerang Pau-hou-san-ceng."

   Terbayang betapa jarak Pau-hou-san-ceng dengan Toa-ho tin, maka legalah hati Siang Cin. Katanya.

   "Dan siapa yang pegang pimpinan di sini?"

   "Pimpinan dipegang Toasuheng Giam Sok dibantu Thio Kong, Thio-suheng, yang bertugas mengepung Ji-ih-hu, bilamana semua pasukan sudah berkumpul, segera sarang induk musuh akan diserbu. 366 Menurut perintah Ciangbunjin, garis pertahanan musuh harus diserbu dan bertempur berhadapan, sedikitpun musuh tidak diberi kesempatan untuk mengundurkan diri, menurut perintah Ciangbunjin ada kemungkinan di balik mundurnya pasukan musuh ada tersembunyi muslihat keji tertentu."

   "Memang tidak salah, musuh memang sudah mengatur muslihat di Ji ih-bu sana,"

   Kata Siang Cin dengan tertawa.

   "Tapi semangat tempur mereka memang juga sudah runtuh, Nah, pergilah kalian, ingat, kejar musuh dengan ketat, jangan sampai tertinggal jauh."

   Ketiga orang itu memberi hormat, lalu menerjang pula ke depan sana.

   Siang Cin merasa lega setelah mendapat keterangan itu, Nyata Kin Jin dan Sebun Tio bu sudah menyampaikan beritanya kepada Thi Tok-heng, pihak Bu-siang-pay sudah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

   Tentu Thi Tok-heng sudah menduga pihak Ji-ih hu akan menarik pasukannya bila Toa-ho-tin boboI, pada saat pasukan induk Bu-siang-pay berkumpuI di dalam kota, segera sumbu peledak akan dipasang dan meledaklah seluruh Toa-ho tin.

   Oleh sebab itulah Thi Tok-heng sengaja menbagi sebagian pasukannya meninggalkan tempat bahaya ini untuk menyerbu Pau-hou sao-ceng, hanya sebagian kecil saja pasukannya diperintahkan bertempur dengan musuh, dengan demikian musuh akan sia-sia bilamana benar-benar meledakkan seluruh Toa-ho-tin.

   Malahan pihak sendiri yang akan rugi besar.

   Dengan pikiran senang Siang Cin lantas berlari pula ke depan, pada ujung sebuah persimpangan jalan, dilihatnya tiga lelaki berseragam kulit sedang berlari datang, tapi belum lagi mereka membelok ke arah lain, dari belakang sana sebarisan pasukan berkuda berseragam putih telah membidikkan anak panah sehingga beberapa anggota Ji-ih-hu terjungkal binasa.

   Siang Cin berlari ke depan pula, mendadak sebuah rumah bersusun ambruk hingga debu pasir berhamburan.

   Di mana-mana memang api belaka, mayat bergelimpangan memenuhi jalanan, rumah runtuh menjadi puing.

   Kejar mengejar antara pasukan pihak Bu-siang pay dan Ji ih-hu sudah mulai meninggalkan pusat kota.

   Kini pertarungan terjadi secara berkelompok.

   Siang Cin ikut berlari mundur ke arah Ji-ih-hu.

   tidak jauh di sebelah sana, dilihatnya seorang ksatria Bu-siang-pay berperawakan tinggi kurus dan bermuka kemerahmerahan sedang menempur sengit dua orang berjubah biru yang juga berperawakan tinggi.

   Kedua orang berjubah biru itu jelas sangat lihay, mereka masing-masing menggunakan senjata tongkat, dengan mati-matian mereka mengerubi lawannya.

   Di sebelah lain ada belasan anggota Bu-siang-pay sedang mengepung empat orang berewok dan berwajah bengis, keempat lelaki kekar setengah baya ini sama memakai mantel kulit warna kelabu, jelas mereka adalah jago Jit-ho-hwe.

   Meski belasan orang mengeroyok empat orang, namun keempat orang itu tidak menjadi gentar sedikitnya.

   367 Di sana lain lagi, ada seorang berbaju putih dan bergelang kepala sedang melayani tiga orang, Si baju putih ini agak luar biasa, bermata juling, hidung besar tapi pesek, mulut tebal seperti moncong babi.

   Biarpun jelek mukanya, tapi kepandaiannya boleh diuji, Dengan satu lawan tiga ia malah lebih banyak menyerangnya daripada diserang.

   Padahal salah satu dari ketiga pengerubutnya itu adalah orang ketiga dari So-liansu- coat, yaitu Pah Cong-ju.

   Di samping si baju putih bermuka buruk itupun ada seorang temannya lagi, juga berwajah luar biasa, alis tebal mata besar, hidung lebur dan mulut besar, perawakannya tegap, bersenjata godam di tangan kiri dan tangan kanan memegang golok sabit, iapun bertempur dengan gagah berani.

   Lawannya adalah seorang kakek, orang ketiga dari Jit-ho-hwe.

   "Tin-pan-thian"

   Ciang Heng, tampaknya Ciang Heng sudah kewalahan, sebentar lagi mungkin akan angkat tangan dan minta ampun.

   Situasi sekarang sudah jelas, meski dalam hal jumlah pihak Bu-siang-pay jauh lebih sedikit, tapi semangat tempur mereka menyala, bersatu hati, ditambah lagi kemenangan berturut-turut, semangat tempur mereka tambah berkobar.

   Sebaliknya pihak Ji-ih-hu meski berjumlah lebih banyak, namun kekalahan yang terus menerus sejak dari Ce giok-giam membuat runtuh semangat tempur mereka.

   Mereka menjadi jeri dan takut mati.

   Segera Siang Cin ikut terjun ke tengah medan tempur, sebatang gada menyambar lewat di sampingnya, tapi tanpa berkedip tangan Siang Cin terus menampar, orang yang membokong itu kena dihantam terpental dan menumbuk kawan-kawannya.

   Siang Cin terus menubruk maju, kedua tangannya bekerja cepat naik-turun, kembali lima jago Ceng-siong-san-ceng terkapar.

   Dalam pada itu si baju putih yang beralis tebal dan bermata besnr itu sedang mencecar Ciang Heng hingga jago Jit-ho-hwe ini hampir tidak sempat bernapas.

   Sembari menyerang si baju putih juga memperhatikan Siang Cin yang mulai mendekat itu serunya.

   "Apakah di situ Siang-susiok adanya?!"

   "Terima kasih, memang betul aku! Dan anda?!"

   Jawab Siang Cin dengan tertawa. Sambil mendesak musuh, orang itu menjawab dengan hormat.

   "Tecu Giam Siok, anggota Hui-ji bun Bu-siang-pay."

   "Ehm, memang sudah kuduga pasti kau,"

   Ujar Siang Cin sambil mengangguk Lalu ia melirik Ciang Heng sekejap, katanya.

   "Ciang-Ioyacu, buat apa susah-susah kau? Menjual nyawa percuma bagi Ji-ih-hu?"

   Tempo hari Ciang Heng sudah terluka ketika mengadu pukulan dengan Kin Jin di Pau-hou-san-ceng, dengan sendirinya kesehatannya belum pulih seluruhnya.

   Tapi mau-tak-mau dia harus mengadu nyawa karena Jit-ho hwe harus pegang janji.

   368 Butiran keringat tampak menghiasi wajah Ciang Heng yang sudah berkeriput dan pucat itu, dengan napas terengah-engah ia berseru.

   "Apa... apakah kau si Naga Kuning?"

   "Ehm, tepat juga tebakanmu,"

   Jawab Siang Cin.

   Mendadak Giam Siok membentak, golok dan godamnya bekerja sekaligus, golok menyambar Ciang Heng, berbareng godamnya menyampuk belasan orang berseragam kulit terdengar jerit ngeri di tengah muncratnya darah, belasan orang tersapu menggeletak sekali pun Ciang Heng yang paling kuat juga tak bisa berkutik.

   Siang Cin hanya menggeleng saja, katanya kemudian dengan suara tertahan.

   "Giam-heng, ingat, jangan terlalu jauh ditinggali musuh, kejar dengan rapat agar tidak terjebak."

   "Tecu paham,"

   Jawab Giam Siok dengan tersenyum.

   "Kin tayhiap dan Sebun-tangkeh sudah memberitahu."

   "Bagus,"

   Seru Siang Cin.

   "Selamat berjuang, sekarang aku akan kembali ke tempatku lagi."

   Kini hati Siang Cin benar-benar merasa lega, beban pikirannya telah lenyap.

   Dengan gerak cepat ia berlari kembali ke arah Ji ih-hu.

   Seperti caranya keluar tadi, iapun melintasi tembok benteng secepat terbang.

   Ketika melintasi tembok benteng itu, sekilas dilihatnya banyak orang berseragam kulit sibuk naik turun, ada yang membawa palu dan paku, ada yang memangguI gulungan kawat, ada pula yang menggotong kerangka besi.

   Siang Cin melayang ke atas pohon yang rimbun, tiba-tiba ia ingat kerangka-kerangka besi itu, Betul, itulah kerangka besi tempat busur, rupanya Ji-ih hu sedang memperbaiki kerangka busur yang telah dirusak oleh Sebun Tio-bu dan lain-lain.

   Belum lagi Siang Cin mendapatkan cara baik untuk menghadapi musuh, tiba-tiba terdengar suara teriakan ramai di sebelah sana, Siang Cin terkejut, jelas arah suara ramai itu berdekatan dengan gunung-gunungan tempat sembunyi Le Tang dan Loh Hou itu.

   Terkesiap Siang Cin, tanpa pikir ia terus melayang turun ke sana, Sebelum tiba di tempat tujuan, sekilas dilihatnya bayangan orang memenuhi sekitar gununggunungan itu.

   Tanpa melihat lagi Siang Cin sudah tahu apa yang terjadi.

   Jelas jejak Le Tang berdua diketahui musuh.

   Cepat ia menerjang maju, belum lagi orang-orang Ji-ih-hu itu melihat jelas siapa pendatang ini, tahu-tahu beberapa orang di antaranya telah mencelat.

   Kedua tangan Siang Cin bekerja cepat, dalam sekejap beberapa musuh terkapar lagi, ia berkelit ke kanan lalu mengegos ke kiri, beberapa kali bacokan golok lawan dihindarkannya, menyusul kedua tangannya memotong dan menghantam dua orang berseragam kulit terguling pula dengan kepala pecah dan darah muncrat.

   Seketika teriakan kaget berjangkit di sana-sini, menyusul terjadilah hujan senjata dari berbagai penjuru, namun Siang Cin dapat menyelinap kian kemari dengan kecepatan luar biasa.

   Berbareng kedua telapak tangannya menabas dengan dahsyat, belasan anak buah Ji-ih-hu tunggang-langgang lagi.

   369 Mendadak tiga sosok bayangan orang menubruk tiba dan serentak berhenti di depan Siang Cin dalam posisi mengepung dari tiga jurusan.

   Siang Cin berdiri tegak dan tenang, sorot matanya yang tajam mengerling ketiga musuh, dilihatnya satu di antaranya adalah orang tua tinggi besar berjenggot yang pernah ditemui di tembok benteng bersama Bwe Sin itu.

   Di samping orang tua berjenggot merah ini berdiri seorang Suseng ( pelajar ) cakap berbaju biru dengan ikat kepala yang sama warna.

   Di sebelahnya lagi adalah seorang bermuka merah dengan mata liar dan hidung lebar, buruk amat muka orang ini, tapi tampaknya dia adalah kepala dari ketiga orang ini.

   Di tengah suasana yang ramai itu, si muka merah berseru.

   "Jika tidak salah lihat, sobat yang berhadapan denganku ini tentunya si Naga Kuning Siang Cin bukan?"

   Siang Cin mendengus jawabnya tak acuh.

   "memang benar!"

   Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Si muka merah tampak beringas, matanya melotot, dengan gregetan ia bertanya puIa.

   "Suma dan Ni Thay dari Tiang-hong-pay serta Mo-bin-Ciong hu, semuanya terbunuh olehmu, orang Siang?"

   "BetuI,"

   Jawab Siang Cin tegas.

   "Dan sarang panah itupun dirusak olehmu?"

   Tanya pula si muka merah dengan murka.

   "Ya, pokoknya semua kejadian si sini adalah perbuatanku, baik pembakaran Hweim- kok maupun perampasan puteri Thi ciangbun, semuanya pekerjaanku, Nah, jelas dan puas sekarang?"

   Setelah menyeringai, Siang Cin menyambung pula.

   "Akupun tahu siapa kau, setelah kukerjai Ciong Hu bertiga, bukankah kau sudah pernah memeriksa ke sana. Di tepi kolam kering sana kudengar suaramu yang serak sehingga sukar terlupakan. Kutahu kau pasti sangat dendam padaku dan ingin menuntut balas bagi kawan-kawanmu, begitu bukan?"

   "BetuI!"

   Si muka merah meraung murka.

   "Dan sekarang sudah terbuka kesempatan itu bagimu,"

   Ujar Siang Cin sambil melangkah maju.

   "Tepat, aku Jik-gan-thi-pi (muka merah tangan besi) Toan Kiau memang sudah lama ingin menghadapi kau,"

   Dengus si muka merah dengan marah.

   Baru sekarang Siang Cin tahu-lawannya adalah tokoh Ji ih-hu yang terkemuka.

   Diam-diam ia menghimpun tenaga, ia tahu ketiga lawan di depan ini adalah tokoh kelas tinggi, untuk membereskan mereka rasanya tidak mudah.

   Belum lagi Siang Cin bertindak, ternyata si tua berjenggot merah sudah mulai menubruk lebih dulu sambiI membentak, dia menggunakan pedang punggung sempit, tajam luar biasa, segera ia menusuk.

   370 Toan Kiau juga tidak tinggal diam, tangan kiri menabas, tangan kanan dengan senjata gurdi lantas menikam batok kepala Siang Cin, si Suseng setengah baya juga lantas menubruk maju, dengan cepat ia menghantam.

   Dikerubut dari tiga jurusan, Siang Cin tetap tenang-tenang saja Mendadak ia mendoyong ke belakang.

   "plak", ia sambut pukulan si Suseng setengah baya, dan saat yang sama, dengan getaran pukulan itu Siang Cin mengapung ke atas. Maka tusukan pedang si muka merah dan tikaman gurdi si tua berjenggot juga kehilangan sasaran. Karena adu tangan tadi, si Suseng tergetar mundur dua-tiga tindak, ia menjadi murka, sambil membentak kedua lengan bajunya yang komprang terus menyabet. Melihat sabetan lengan baju yang lihay ini, tahulah Siang Cin siapa lawan ini, ia berputar di udara untuk kemudian melayang turun kembali, jengeknya.

   "Hm, Siangsiu- jiau-hun (memburu sukma dengan kedua lengan baju) Toh Goan, kiranya kau!"

   Si Suseng setengah baya itu memang betul bernama Toh Goan, dengan lengan bajunya yang komprang itu ia dapat menyerang musuh dari jauh dan dekat, sekali leher lawan terlibat lengan bajunya, jangan harap akan dapat terlepas lagi.

   Setelah tergetar mundur tadi, segera ia menubruk maju pula.

   Di samping lain si tua berjenggot dan Toa Kiau juga menubruk maju berbareng.

   Di bawah kerubutan tiga jago kelas tinggi, dengan gerak cepat "Liong-ih-tay-pat-sik"

   Yang lincah Siang Cin mengapung ke atas dan menubruk ke bawah, menyelinap ke kanan dan menyusup ke kiri, dengan gesit ia berseliweran di tengah kerubutan musuh, berbareng iapun batas menyerang dengan berbagai tipu serangan.

   Hanya sekejap saja tiga puluhan jurus sudah berlalu, Siang Cin merasa ketiga lawannya sekarang yang berbeda dengan Mo-bin-cu Ciong Hu dan gembong dari Tiang-hong-pay, untuk merobohkan mereka mungkin harus menggunakan akal.

   Beberapa jurus pula, sekonyong-konyong terdengar suara raungan di dalam gununggunungan sana.

   "Siang-susiok, biar kami menerjang keluar untuk membereskan kawanan keparat itu."

   Itulah suara Le Tang, Siang Cin tahu mungkin kedua orang itu melihat dia dikerubut tiga orang, maka ingin menerjang keluar membantunya. Secepat kilat Siang Cin melancarkan beberapa kali serangan untuk mendesak mundur musuh, berbareng iapun berteriak.

   "Tidak, jangan keluar, jaga disitu."

   Gurdi Toan Kiau menikam dan menusuk pula beberapa kali sambil berteriak-teriak.

   "Nyalakan api, bakar mereka!"

   Angin pukulan menderu-deru, sekaligus Siang Cin menghalau serangan Toan Kiau dan juga kebasan lengan baju si Suseng, Tapi pada saat yang sama, dengan meraung kalap pedang sempit si tua berjenggot merah juga menyambar tiba.

   Siang Cin sudah memperkirakan pertarungan ini hanya ada dua pilihan.

   Dia tetap melabrak Toan Kiau dari depan dengan risiko terserang pula oleh pedang dan 371 lengan baju dua lawan lainnya atau dia segera menyelinap keluar dari seranga Toan Kiau itu.

   Namun keadaan sudah mendesak, ia menyadari bila pertempuran berlangsung lama tentu akan banyak rugi daripada untungnya iapun tahu untuk menyelesaikan pertarungan sengit ini, imbalannya mungkin juga mahal, terpaksa juga harus mengadu jiwa.

   Dengan nekat mendadak Siang Cin mengegos, sekaligus ia hindarkan libatan lengan baju Toh Goan, tapi lengan baju yang lain sempat menyabat pundaknya.

   "cret", tahutahu pedang sempit si tua menyambar tiba dan menancap di betis Siang Cin. Pada saat yang sama gurdi Toan Kiau juga menyerempet lewat di depan hidung Siang Cin. Maka tibalah kesempatan yang di nantikan Siang Cin ini. Telapak tangan kanan menabas sekuatnya.

   "blang", kontan tubuh Toan Kiau mencelat dua-tiga tombak jauhnya. Pada saat tubuh Toan Kiau terpental ituIah, Siang Cin terus menarik kakinya yang terluka, berbareng tangan yang lain juga memotong ke leher si tua berjengot yang bermaksud menarik kembali pedangnya itu. Dengan cepat Siang Cin terus melompat mundur, kini yang dihadapinya tinggal Toh Goan saja, tubuh Toan Kiau sudah menggeletak si tua berjenggot merah juga berkelejetan sambil memegangi leher sendiri, darah tampak merembes keluar dari sela jarinya. Pedang sempit itu masih menancap di betis Siang Cin. Dengan muka kepucatpucatan ia pandang Toh Goan yang rada terengah-engah itu, ia tersenyum mendadak ia angkat kakinya.

   "Sret", pedang yang tadinya menancap di betisnya itu tahu-tahu sudah menembus dada seorang lelaki berseragam kulit di sebelah sana, menjerit saja tidak sempat, tahu-tahu orang itu roboh terkulai bermandikan darah. Siang Cin menyeringai seperti binatang buas yang terluka, sorot matanya tajam menyayat, ia pandang sekelilingnya sekejap, tanpa terasa anak buah Ji-ih hu yang berdekatan di situ sama menyurut mundur dengan ketakutan. Di sekitar gunung-gunungan itu ternyata sudah banyak tertumpuk kayu bakar, bahkan sudah disiram minyak. Namun para penjaga yang berseragam kulit itu tampak melongo jeri dan lupa pada tugasnya menyaksikan pertarungan sengit dan kematian beberapa pimpinannya itu.

   "Nah, Toh Goan, kini tinggal kau saja, majulah, kita selesaikan sekalian!"

   Kata Siang Cin dengan nada ketus, ia tersenyum dan mendadak berteriak.

   "Le Tang, Loh Hou, sekaranglah waktunya menerjang keluar!"

   Baru habis Stang Cin berteriak, sekonyong-konyong di pintu gerbang Ji-ih~hu sana berkumandang suara hiruk-pikuk, menyusul lantas terdengar suara gemuruh membanjir tibanya manusia dan derap kaki kuda.

   Sekilas melirik, dapatlah dilihat Siang Cin apa yang terjadi, kiranya pihak Ji-ih-hu telah membuka pintu gerbang benteng dan memasukkan sisa pasukannya yang mundur dari Toa-ho tin itu.

   Hampir pada saat yang sama dengan banjir orang yang berduyun-duyun masuk ke Ji-ih-hu ini, di arah Toa-ho-tin sana mendadak terdengar suara gemuruh ledakan 372 yang amat dahsyat disertai api yang membubung tinggi ke langit, bumi serasa guncang, asap tebal bergulung-gulung memenuhi angkasa.

   Suara ledakan ini kedengaran cukup dekat, seperti tidak jauh di depan Ji-ih hu, melihat gelagatnya, mungkin seluruh bahan peledak yang terpendam telah diledakkan.

   Siang Cin berdiri tertegun, diam-diam menghela napas panjang, ia menguatirkan para pahlawan Bu-siang-pay yang sedang bertempur, bukan mustahil ledakan dahsyat ini akan menelan korban pasukan kedua pihak yang sedang bertempur itu.

   "Brakk", sepotong batu karang gunung-gunungan itu hancur terhantam, di tengah jerit kaget orang banyak, dua sosok bayangan yang tangkas menerjang keluar. Seorang memakai rantai, sekali sabat, kontan tiga orang berseragam kulit tersampuk jatuh dan binasa. Toya yang diputar Loh Hou juga bekerja cepat, terdengar suara denging nyaring, beberapa golok musuh tersapu jatuh, beberapa orang mencelat mundur. Kelihatan Le Tang dan Loh Hou menerjang dengan kalap dan tangkas. Baru sekarang para penjaga berseragam kulit itu terkejut dan tersadar dari melenggong mereka tadi, beramai-ramai mereka lantas mengepung. Segera Siang Cin bergerak pula, sekali hantam, batok kepala dua orang yang paling dekat dihancurkan. Cepat Toh Goan menubruk maju, ia pimpin tiga puluhan orang berseragam dan mengepung rapat Siang Cin bertiga. Namun begitu Siang Cin dan Le Tang serta Loh Hou tidak menjadi gentar, mereka semakin bersemangat, bukannya kewalahan, bahkan pihak musuh yang kelabakan, beberapa orang kembali roboh terkapar pula. Pada saat ituIah, dari arah pintu gerbang Ji ih-hu sana berlari datang lima sosok bayangan orang. Hanya sekejap saja sudah berhadapan. Sekilas pandang Siang Cin mengenali tiga di antaranya, Yang dua orang adalah Han-mo-siang ciu, kedua tokoh Toa to-kau Dua orang lagi bermantel kulit kelabu, yang satu pendek gemuk seperti gentong, kepala besar tangan panjang, yang satu lagi bermuka hitam hidung pesek dan mulut lebar, mukanya sangat buruk, sedangkan orang kelima dikenalnya sebagai Lo sat-li Giam Ciat, sang janda genit. Kecuali Giam Ciat, keempat orang lainnya tampaknya berlepotan darah, rambut kusut muka berminyak dan penuh keringat tampaknya mereka habis bertempur sengit sehingga kelihatan lelah, lesu dan juga kesal. Melihat bala bantuan sudah datang, semangat Toh Goan terbangkit, ia menyerang mati-matian sambil berteriak.

   "Kebetulan kedatangan kalian, disinilah mata-mata musuh yang kita cari tadi!"

   Seketika Giam Ciat yang juga siap hendak menerjang maju itu merandek dan berdiri seperti patung, sorot matanya menatap tajam kepada Siang Cin yang sedang bertempur dengan gagah perwira itu, dia hampir-hampir tidak percaya kepada matanya sendiri, ia melongo dan tidak dapat bersuara.

   "Kau kenapa, nona Giam?"

   Si muka hitam yang berdiri di sebelahnya bertanya. Giam Ciat tersadar, tanyanya.

   "Sia... siapa dia ini?" 373 "Naga Kuning! Dia inilah Siang Cin keparat!"

   Teriak si pendek gemuk seperti gentong itu. Seketika wajah Giam Ciat berubah pucat pasi, keringat dingin membasahi tubuhnya, seperti habis sakit berat, gumamnya kemudian.

   "Naga ....Naga Kuning? Dia dia Siang Cin? Di... di Pau-hou-san-ceng pernah kulihat dia. Ya, dia memang Naga Kuning."

   Dalam pada itu Siang Cin telah beraksi pula, sekali menyapu dengan kakinya, kontan empat orang berseragam kulit menjerit terjungkal.

   Sekali hantam ia desak mundur Toh Goan pula, lalu ia berseru dengan tertawa "Selamat bertemu lagi, nona Giam? Go Ji menyampaikan salam padamu!"

   Saking dongkol dan gemas tubuh Giam Ciat sampai gemetar, jeritnya penuh benci.

   "Bagus kau Siang Cin ....kau jahanam ...."

   Siang Cin bergelak tertawa, sambil melancarkan beberapa kali serangan, ia berseru.

   "Kita berlawanan, Giam Ciat perang antara dua negara tidak pantang menggunakan tipu muslihat dan agen rahasia bukan?"

   Saking gemasnya hampir saja Giam Ciat jatuh semaput. Dengan tergagap ia berteriak pula.

   "Dan kau... kau pula yang membunuh nona Bwe?"

   Belum lagi Siang Cio nienjawab, terdengar suara mendesingnya benda-benda yang melayang dari luar Ji- ih hu, benda hitam bulat, begitu jatuh di tanah lantas menimbulkan ledakan keras itulah "Liat-yam-tan", granat buatan Bu siang pay.

   Seketika suasana menjadi kacau bulau, api berkobar dan asap berhamburan.

   Para pengerubut Siang Cin bertiga menjadi kelabakan menghadapi suasana yang luar biasa in?, dengan kalap Toh Goan menyerang pula sambil berteriak.

   "Hayo saudara-saudara, tunggu apa!agi? Suasana sudah gawat, apa yang kalian ragukan pula?"

   Sambil meraung, Ham-mo-siang-ciu mendahului menerjang ke tengah kalangan, keduanya menggunakan pedang pendek, serentak mereka mengerubuti Siang Cin.

   Dengan gregeten Giam Ciat juga menubruk maju, senjatanya yang berbentuk jaring terus terpentang iapun ikut menggempur dengan sengit.

   Si gendut tadi segera menerjang Loh Hou, sedang kawannya menandingi Le Tang, pertarungan sengit kembali berkobar pula.

   Ji-ih-hu kini sudah berubah menjadi neraka, di mana-mana api berkobar dan asap bergulung-gulung ke angkasa, batu pasir betebaran di tengah ambruknya bangunan, suara ledakan masih terus terdengar di sana-sini, bayangan orang lari kian kemari disertai jerit ketakutan.

   Namun dari udara masih terus hujan granat yang dihamburkan oleh Bu-siang-pay dari luar benteng.

   Hawa di tengah Ji ih hu penuh bau mesiu, bau yang sangat menusuk hidung, pertempuran antara Siang Cin bertiga dengan para pengerubutnya juga tambah sengit.

   374 "Labrak dan bunuh tanpa ampun, Le-heng dan Loh heng, cepat selesaikan!"

   Teriak Siang Cin sambil melancarkan beberapa pukulan sehingga Han-mo-siang cin terdesak mundur, berbareng ia mengelakkan serangan Toh Goan, ketika kakinya mendepak, kontan dua orang berseragam kulit terjungkal pula.

   "Hm, mungkin tidak semudah harapanmu, Siang Cin!"

   Jengek Toh Goan sambil menubruk maju puIa, kedua lengan bajunya yang kuat terus mengebut.

   "Hehe, boleh coba saja!"

   Kata Siang Cin sambil menyeringai, Berbareng ia hantam sana dan sodok sini sehingga musuh terpaksa melompat mundur.

   Diam-diam Siang Cin merasakan keadaan rada gawat, untuk merobohkan para pengerubutnya jelas sukar berlangsung dalam waktu singkat, padahal dia masih mengemban tugas lain yang penting.

   Melihat gelagatnya sebentar lagi Bu siang pay akan menyerbu besar-besaran, pada waktunya yang tepat ia harus membereskan tugas itu.

   Dan sekarang adalah kesempatan baik baginya untuk menerjang keluar kepungan.

   Mendadak ia menghantam sekuatnya ke depan, ketika Toh Goan terpaksa melompat mundur, segera Siang Cin melayang ke sana, ia terjang salah seorang Han-mosiang- ciu yang cacat telinga itu.

   Cepat orang itu mengelak ke samping, tapi baru setengah jalan mendadak Siang Cin berganti arah dan menabas Siang-ciu yang kedua.

   Gerakannya secepat kilat, serangannya sangat ganas, anggota Han-mo-siang-ciu ini tidak keburu mengelak lagi, dengan mata melotot dan mengertak gigi ia malah memapak maju, tumbaknya mendadak menusuk dari samping, telapak tangan kiri juga menghantam.

   Pada saat yang sama, tanpa bersuara Toh Goan juga menubruk maju, kedua lengan bajunya yang lemas sebagai ular terus menyabet punggung Siang Cin.

   Namun dengan sedikit mendak ke bawah sambil menggeser langkah, serangan lawan terhindar, berbareng ia menyikut, kontan salah seorang Han-mo-siang-ciu itu mencelat.

   Ketika ia membalik tubuh, dengan tepat berhadapan dengan Toh Goan.

   Keruan Toh Goan terkejut, belum lagi sempat ia bertindak lebih lanjut, secepat kilat pukulan Siang Cin sudah menyambar tiba dan tepat mengenai dadanya.

   "Brek", Toh Goan terhuyung-huyung dan tumpah darah dan tak bisa berkutik lagi. Mendadak Han-mo-sian-ciu yang cacat telinga itu menggerung kalap, dia tidak menerjang Siang Cin untuk menuntut balas bagi kawannya, tapi seperti kerbau gila terus menubruk ke sana, di sana Loh Hou sedang menempur si gendut dan anak buah Ji-ih-hu. Cepat Siang Cin bertindak, ia desak mundur Giam Ciat yang menyerang dengan kalap, lalu ia memburu ke sana sambil berseru.

   "Awas, Loh-heng!"

   Loh Hou tampak sudah mandi keringat dan napas terengah-engah, di sekitarnya menggeletak beberapa mayat, toyanya juga berlepotan darah.

   Akan tetapi lukanya yang belum sembuh menjadi kambuh lagi, sakitnya merasuk tuIang, ditambah lagi si 375 gendut yang ikut mengerubutnya itupun tidak rendah ilmu silatnya, serangannya dahsyat dan tidak kenal ampun, tentu saja Loh Hou semakin payah.

   Demi mendengar seruan Siang Cin, segera Loh Hou merasakan angin kencang menyambar tiba, sambil meraung toyanya terus menyapu ke samping, seorang berseragam kulit menjerit ngeri dan terpental, sementara itu orang yang cacat telinga juga sudah menerjang tiba.

   Untunglah pada saat itu Siang Cin memburu datang, ia mendahului menghantam.

   Rupanya orang yang cacat telinga itu sudah nekat, sama sekali tak memusingkan serangan dari belakang itu, tombaknya tetap menusuk Loh Hou.

   Pada detik yang sama, si gendut juga menusuk maju, senjatanya berbentuk kampak lantas membacok Loh Hou.

   Keruan Siang Cin kelabakan, teriaknya.

   "Rebahkan dirimu Loh Hou!"

   Serang menyerang itu datangnya terlalu cepat, sembari berteriak pukulan Siang Cin tetap dilancarkan, kontan si telinga cacat terpental, namun saat itu tumbaknya juga sempat menancap di iga kiri Loh Hou.

   Wajah Loh Hou tampak beringas, toyanya serapat berputar sehingga kampak si gendut tertangkis, tapi dua orang berseragam kulit sempat menubruk tiba, golok mereka terus mampir di punggungnya.

   Pada saat itu bayangan Siang Cin juga menubruk tiba, kedua tangannya menghantam sekaligus, batok kepala kedua orang itupun hancur.

   Habis itu bayangan kuning lantas melayang lagi ke arah si gendut.

   Segera ia disambut oleh cahaya kampak, namun Siang Cin tidak berkelit dan menghindar, tangan terangkat, sekali raih dan betot, tertangkaplah senjata musuh.

   Tentu saja si gendut kaget, sekuatnya ia menarik, namun kaki Siang Cin tahu-tahu sudah melayang tiba, kontan dia terpental.

   Tendangan Siang Cin tepat mengenai perutnya.

   Selagi si gendut terguling dan menjerit ngeri, terdengar pula jeritan yang ngeri di sebelah sana.

   Cepat Siang Cin berpaling, dilihatnya Le Tang sedang bergulat dengan si muka hitam, rantai Le Tang terlibat di leher lawan dan sedang dijirat sekuatnya sehingga muka si hitam semakin gelap, tapi golok si muka hitam juga bersarang di perut Le Tang.

   Selain itu ada lagi beberapa lelaki berseragam kulit sedang membacok punggung Le Tang sehingga daging luluh dan darah muncrat.

   Menyaksikan itu, mata Siang Cin merah membara, ia meraung murka dan menerjang ke sana.

   Tiga orang berseragam kulit hendak merintanginya, tapi hanya sekali dua gebrak saja ia telah robohkan orang-orang itu.

   Seorang lagi menyergap dari belakang dengan sebuah bacokan, tanpa menoleh Siang Cin menyampuk ke belakang, golok orang itu mencelat, bahkan mukanya hancur separo.

   376 Setiba di samping Le Tang, ia mengamuk dengan kalap, hanya sekejap saja beberapa orang yang menghujani bacokan pada punggung Le Tang itu telah dihancurkan kepalanya.

   Le Tang belum tewas, sorot matanya yang buram masih sempat menyaksikan Siang Cin menghabisi nyawa beberapa pengeroyoknya, maka terembuslah napas kepuasan pahlawan Bu-siang-pay ini, makin erat dia menjirat rantainya sehingga lidah lawan bermuka hitam itu terjuIur dengan kedua mata melotot.

   Namun orang itupun tetap memegangi goloknya yang bersarang di perut Le Tang.

   Siang Cin menahan perasaan pedihnya dan berseru parau.

   "Maaf, Le heng, kudatang terlambat selangkah."

   Le Tang tidak sanggup bicara lagi, terdengar suara "krak-krok"

   Di tenggorokannya, napas sudah habis, tersembul senyuman terima kasih dan iklas pada ujung mulutnya.

   Mendadak ia menggreget dan menarik rantainya lebih keras, habis itu ia berkejang, lalu melepaskan tangannya dan roboh terkulai untuk tak bangun lagi selamanya.

   Beberapa puluh anak buah Ji-ih-hu seperti kesima menyaksikan ketangkasan Siaog Cin tadi sehingga tidak berani menerjang maju, Ketika mendadak Siang Cin membalik tubuh, seketika mereka mundur dengan ketakutan, Giam Ciat juga berdiri di sebelah sana, senjatanya yang berwujut jaring itu terurai di tanah, wajahnya yang cantik tampak pucat, jelas iapun gelisah dan takut.

   Sementara itu Ji ih-hu sudah terjilat api, asap nembubung tinggi disertai suara letusan yang memekak telinga, Bayangan orang tampak berlari serabutan, tiada orang lagi yang memperhatikan keadaan di sini.

   
Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Siang Cin mengusap darah di tangannya di jubah kuningnya, ditatapnya Giam Ciat, lalu katanya dengan hambar.

   "Nona Giam, setiap orang harus berani menyadari kesalahannya sendiri, hendaklah kaupun dapat membedakan antara yang salah dan benar. Nah, silakan kau pergi saja, aku takkan menganggu kau."

   Giam Ciat tidak menjawab, entah mengapa air mata lantai bercucuran.

   Dilihatnya Siang Cin telah melayang pergi.

   Di tengah kekacauan itu, secepat kilat Siang Cin melayang ke tembok benteng sebelah timur sana, sesuai rencana semuIa, dilihatnya pasukan Bu-siang-pay sedang menerjang tiba melalui jurusan ini.

   Siang Cin bersembunyi di suatu tempat yang tidak menyoIok, dilihatnya di atas tembok benteng telah penuh penjaga-penjaga yang terdiri dari berbagai kelompok ada yang berseragam kulit, ada yang bermantel kelabu, ada yang berbaju hijau dan ada yang berjubah biru, suasana berisik dan sibuk, tegang dan mencemaskan.

   Di antara pemimpinnya Siang Cin melihat Toh Cong, ialah satu dari "Su-Coat", selain itu tampak pula Pah Cong-ju yang sebelah tangannya terluka.

   Ada lagi seorang yang suaranya melengking tajam.

   Dari suaranya yang khas ini Siang Cin lantas mengenalnya sebagai orang yang berteriak-teriak semalam.

   Orang ini berkepala besar dan botak, tapi pelipisnya tumbuh rambut yang panjang, matanya kecil, mulut lebar.

   377 Siang Cin ingat semalam orang ini seperti disebut-sebut sebagai "Nyo-ya", janganjangan dia ini gembong Ji-ih-hu yang bernama Nyo To.

   Belum lagi Siang Cin tahu apa yang harus dilakukannya, sekonyong-konyong suara berisik yang memenuhi seluruh tembok benteng yang mengelilingi Ji-ih hu menjadi sepi, berubah menjadi hening seperti kuburan.

   Siang Cin menjadi heran, ia coba mengintip keluar benteng, maka tersenyumlah dia, Nyata darah yang teralir, korban yang jatuh, pengalaman sulit yang terjadi selama satu hari satu malam itu telah mendapatkan imbalan yang pantas.

   

Tiga Maha Besar -- Khu Lung Misteri Bayangan Setan -- Khu Lung Laron Pengisap Darah -- Huang Yin /Tjan Id

Cari Blog Ini